Kosmologi Islam
Antara Wahyu, Akal, dan Keteraturan Alam
Alihkan ke: Metafisika
Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Kosmologi
Islam sebagai sistem filsafat yang memadukan dimensi teologis, metafisis,
epistemologis, dan etis dalam memahami realitas alam semesta. Kosmologi Islam
berangkat dari prinsip tauhid—keesaan Tuhan sebagai sumber dan tujuan
segala wujud—serta menempatkan manusia sebagai khalīfah (wakil Tuhan)
yang bertanggung jawab terhadap keteraturan kosmik. Secara historis, pemikiran
kosmologis Islam berkembang melalui sintesis antara warisan wahyu Qur’ani dan
filsafat Yunani, yang kemudian diformulasikan oleh para pemikir seperti
Al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra. Secara ontologis,
kosmologi Islam melihat alam sebagai manifestasi dari Wujud Ilahi yang memiliki
struktur hierarkis dan penuh makna spiritual. Secara epistemologis,
pengetahuan tentang kosmos diperoleh melalui integrasi antara wahyu, akal, dan
intuisi spiritual (isyraq). Sementara secara aksiologis, kosmos
memiliki nilai moral sebagai amanah Tuhan yang menuntut manusia untuk
menjaga mīzān (keseimbangan) alam. Artikel ini juga menguraikan kritik
terhadap kosmologi Islam dari perspektif teologi, filsafat, dan sains modern,
serta menunjukkan relevansi kontemporernya dalam menjawab krisis ekologi
dan disintegrasi spiritual dunia modern. Pada akhirnya, kosmologi Islam
menawarkan paradigma pengetahuan yang holistik dan sakral, di mana sains,
etika, dan spiritualitas berpadu dalam satu kesadaran tauhidi yang
menyatukan Tuhan, alam, dan manusia dalam kesatuan wujud dan makna.
Kata Kunci: Kosmologi
Islam, Tauhid, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Filsafat Islam, Wahyu, Akal,
Iluminasi, Seyyed Hossein Nasr, Etika Ekologis, Spiritualitas, Ilmu Sakral.
PEMBAHASAN
Posisi Kosmologi Islam dalam Wacana Global antara Sains
dan Spiritualitas
1.          
Pendahuluan
Kosmologi Islam merupakan salah satu cabang penting
dalam filsafat Islam yang membahas asal-usul, struktur, dan tujuan alam semesta
berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan dan wahyu. Dalam konteks ini, kosmologi
tidak sekadar dipahami sebagai teori tentang benda langit atau proses fisika
semesta, melainkan sebagai upaya untuk memahami keteraturan ciptaan Tuhan dan
posisi manusia di dalamnya. Dengan demikian, pembahasan kosmologi Islam selalu
berhubungan dengan teologi, metafisika, dan etika, sebab hakikat alam dalam
pandangan Islam tidak pernah terlepas dari konsep tauhid—yakni kesatuan
Tuhan sebagai sumber segala realitas dan makna kehidupan.¹
Dalam sejarah pemikiran Islam, perdebatan tentang
alam semesta telah menjadi medan dialog antara wahyu dan akal. Al-Qur’an,
misalnya, mengandung banyak ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan
penciptaan langit dan bumi (afala yanzhuruna ila al-ibili kaifa khuliqat),
yang menandakan bahwa pengetahuan tentang kosmos merupakan bagian dari
pengetahuan tentang Tuhan.² Hal ini menjadikan refleksi kosmologis bukan semata
aktivitas rasional, tetapi juga spiritual—suatu bentuk tafakkur yang
menghubungkan pemikiran dengan keimanan. Dalam kerangka ini, kosmologi Islam
memiliki orientasi teosentris: alam semesta dipandang sebagai tanda-tanda Ilahi
(ayat kauniyyah) yang menuntun manusia menuju kesadaran transendental.³
Namun, sejak masa klasik, para filsuf Muslim
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina mencoba menafsirkan alam dengan
pendekatan rasional-filosofis yang juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani,
khususnya Aristoteles dan Plotinus. Mereka mengembangkan konsep emanasi (fayḍ)
untuk menjelaskan bagaimana dari Wujud Pertama (Tuhan) memancar seluruh
tingkatan realitas tanpa mengurangi kesempurnaan-Nya.⁴ Sementara itu, para
teolog (mutakallimun) seperti Al-Ghazali mengkritik pendekatan ini karena
dianggap mengaburkan konsep penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo).⁵
Pertentangan ini menunjukkan dinamika intelektual Islam yang kaya—antara
pendekatan rasional dan teologis, antara filsafat dan kalam, antara akal dan
wahyu.
Dalam konteks modern, kosmologi Islam kembali mendapatkan
perhatian, terutama karena tantangan yang datang dari kosmologi ilmiah seperti
teori Big Bang, multiverse, dan evolusi kosmos. Para pemikir kontemporer
seperti Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa krisis ekologis dan spiritual umat
manusia modern berakar pada hilangnya pandangan sakral terhadap alam semesta.⁶
Menurutnya, kosmologi Islam yang berakar pada prinsip tauhid dan
keteraturan Ilahi dapat menawarkan paradigma alternatif—suatu “kosmologi
sakral” yang menyatukan dimensi ilmiah dan spiritual dalam memahami alam.⁷
Oleh karena itu, artikel ini berupaya mengkaji
kosmologi Islam secara komprehensif, dengan menelusuri landasan historisnya,
kerangka ontologis dan epistemologisnya, nilai-nilai aksiologis yang terkandung
di dalamnya, serta relevansinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
krisis ekologi masa kini. Kajian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa
kosmologi Islam bukanlah sekadar wacana metafisik kuno, melainkan sebuah
pandangan dunia (weltanschauung) yang masih memiliki daya kritis dan
solutif bagi manusia modern yang mencari keterpaduan antara sains dan
spiritualitas.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 3–5.
[2]               
Al-Qur’an, Surah Al-Ghasyiyah [88] ayat 17.
[3]               
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 45–47.
[4]               
Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the
Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 67–71.
[5]               
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 78–82.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 21–24.
[7]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
12–14.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogi Intelektual Kosmologi Islam
Kosmologi Islam
berakar pada pandangan dunia Qur’ani yang memandang alam semesta (al-‘alam)
sebagai ciptaan Allah yang penuh makna dan keteraturan. Al-Qur’an tidak sekadar
menyingkap realitas fisik, melainkan juga memberikan fondasi teologis bahwa
segala yang ada merupakan manifestasi dari kehendak Ilahi. Dalam banyak ayat,
alam disebut sebagai ayat kauniyyah—tanda-tanda yang menunjuk
pada keesaan dan kekuasaan Tuhan.¹ Ayat-ayat seperti “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran [3] ayat 190)
menunjukkan bahwa refleksi atas kosmos merupakan bagian dari jalan spiritual
menuju pengetahuan tentang Tuhan.² Dengan demikian, landasan historis kosmologi
Islam bermula dari wahyu yang menuntun manusia untuk menggunakan akal (‘aql)
dan perenungan (tafakkur) dalam memahami struktur
dan tujuan alam semesta.
2.1.      
Fase Awal: Kosmologi Qur’ani dan Tradisi Kalam
Pada masa awal Islam
(abad ke-7 hingga ke-9 M), pemikiran tentang alam berkembang dalam ranah
teologis melalui ilmu kalam. Para teolog Muslim seperti al-Jahiz, al-Ash‘ari,
dan al-Maturidi berupaya menjelaskan hubungan antara Tuhan, kehendak-Nya, dan
keberadaan alam. Aliran Mu‘tazilah menekankan peran rasio
dan kebebasan kehendak Tuhan dalam menciptakan alam, sementara kalangan Asy‘ariyah
menekankan occasionalism—pandangan
bahwa setiap kejadian di alam merupakan akibat langsung dari kehendak Tuhan,
bukan dari sebab-sebab alami yang otonom.³
Konsep atomisme
Islam yang dikembangkan oleh mutakallimun merupakan salah satu upaya awal untuk
memahami struktur dasar alam semesta. Dalam pandangan ini, dunia tersusun atas
atom-atom yang tidak memiliki sifat kecuali ketika Allah memberinya bentuk dan
gerak setiap saat.⁴ Model ini berbeda dari pandangan Aristoteles yang
menekankan kausalitas alami; dalam teologi Islam klasik, hubungan sebab-akibat
bersifat kontingen dan sepenuhnya bergantung pada kehendak Ilahi.⁵ Dengan
demikian, kosmologi Islam awal dibangun di atas dasar teologis yang menolak
otonomi alam, tetapi tetap membuka ruang bagi rasionalitas dalam menjelaskan
fenomena ciptaan.
2.2.      
Fase Klasik: Integrasi Filsafat Yunani dan
Pemikiran Islam
Ketika peradaban
Islam memasuki masa keemasan pada abad ke-9 hingga ke-12 M, muncul gerakan
penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsafat Yunani, terutama karya
Plato, Aristoteles, dan Plotinus.⁶ Melalui pusat intelektual seperti Bayt
al-Hikmah di Baghdad, para filsuf Muslim berusaha mengharmoniskan wahyu dengan
filsafat rasional. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina
mengembangkan sistem kosmologi yang menjelaskan bagaimana dari Tuhan sebagai
Wujud Pertama (al-wujud al-awwal) memancar
realitas bertingkat melalui proses emanasi (fayḍ).⁷
Menurut Al-Farabi,
Tuhan sebagai sebab pertama memancarkan intelek pertama, yang kemudian
melahirkan intelek-intelek berikutnya sampai pada dunia materi. Struktur kosmos
dipahami secara hierarkis, di mana setiap lapisan eksistensi menggambarkan
keteraturan dan kesempurnaan Ilahi.⁸ Ibn Sina kemudian menyempurnakan model ini
dalam Kitab
al-Syifa, dengan menjelaskan bahwa seluruh realitas bersumber dari
satu wujud niscaya (wajib al-wujud), sementara semua
selain-Nya bersifat mungkin (mumkin al-wujud).⁹ Dalam pandangan
ini, alam bukanlah hasil kebetulan, tetapi cerminan dari nalar Ilahi yang
tertib dan rasional.
Namun, pandangan ini
menimbulkan perdebatan tajam di kalangan teolog. Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah menolak konsep emanasi karena dianggap meniadakan
kebebasan dan kehendak Tuhan dalam menciptakan alam.¹⁰ Ia menegaskan bahwa
penciptaan terjadi karena kehendak mutlak Allah, bukan melalui mekanisme yang
bersifat niscaya. Kritik ini menandai pergeseran dari kosmologi rasional menuju
teosentrisme yang lebih ketat, sekaligus memperlihatkan dinamika intelektual
Islam antara rasio filosofis dan ortodoksi teologis.
2.3.      
Fase Hikmah dan Tasawuf: Kosmologi Iluminatif
dan Eksistensial
Pada abad ke-12
hingga ke-17 M, muncul arus baru yang menggabungkan dimensi metafisis,
spiritual, dan filosofis dalam memahami alam: filsafat iluminasi (hikmah
al-isyrāqiyyah) dan filsafat hikmah (al-hikmah al-muta‘āliyyah).
Suhrawardi memperkenalkan kosmologi berbasis cahaya, di mana seluruh realitas
dipandang sebagai gradasi intensitas cahaya Ilahi (nur al-anwar).¹¹ Alam semesta
merupakan refleksi dari emanasi cahaya Tuhan, dan pengetahuan sejati diperoleh
melalui penyinaran batin (isyraq) yang menyatukan akal dan
intuisi spiritual.¹²
Pemikiran ini
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Mulla Sadra dalam sistem al-hikmah
al-muta‘āliyyah. Ia mengajukan konsep ashalat al-wujud (keberutamaan
eksistensi) dan tasykik al-wujud (gradasi eksistensi)
untuk menjelaskan keterhubungan antara Tuhan dan kosmos.¹³ Menurutnya, seluruh
wujud berasal dari realitas tunggal yang bertingkat—dari eksistensi tertinggi
(Tuhan) hingga eksistensi paling lemah (materi). Pandangan ini menjadi salah
satu bentuk tertinggi sintesis antara teologi, filsafat, dan tasawuf dalam
kosmologi Islam, yang melihat alam bukan hanya sebagai objek rasional, tetapi
juga medan penyingkapan kehadiran Ilahi.
Relevansi Historis: Dari Klasik ke Kontemporer
Genealogi
intelektual kosmologi Islam menunjukkan bahwa tradisi ini selalu terbuka
terhadap dialog antara wahyu dan rasio. Meskipun berakar pada teologi tauhid,
kosmologi Islam tidak menolak sains dan filsafat, melainkan berupaya
mengintegrasikannya dalam kerangka sakral.¹⁴ Dalam konteks modern, gagasan ini
kembali diangkat oleh pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Osman
Bakar yang menekankan pentingnya mengembalikan dimensi spiritual dalam ilmu
pengetahuan.¹⁵
Oleh karena itu,
landasan historis kosmologi Islam tidak dapat dilepaskan dari tiga arus besar:
teologi kalam, filsafat peripatetik (falasifah), dan hikmah tasawuf. Ketiganya
saling melengkapi dalam membentuk suatu paradigma kosmologis yang memandang
alam sebagai tanda-tanda Tuhan yang tertata, rasional, dan bermakna spiritual.
Dari akar Qur’ani hingga elaborasi filsafat hikmah, kosmologi Islam menegaskan
bahwa memahami alam berarti mengenal Sang Pencipta melalui keteraturan
ciptaan-Nya.
Footnotes
[1]               
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 164.
[2]               
Al-Qur’an, Surah Ali Imran [3] ayat 190.
[3]               
Harry A. Wolfson, The Philosophy of the
Kalam (Cambridge: Harvard University
Press, 1976), 41–45.
[4]               
Richard M. Frank, “Creation and the Cosmic System: Al-Kindi and Early
Kalam,” Journal of the History of Philosophy 24, no. 3 (1986): 363–385.
[5]               
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 77–80.
[6]               
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic
Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid
Society (London: Routledge, 1998),
15–20.
[7]               
Al-Farabi, The Principles of the
Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press,
1985), 67–71.
[8]               
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 124–128.
[9]               
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), 12–18.
[10]            
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 1997), 78–82.
[11]            
Shihab al-Din al-Suhrawardi, The
Philosophy of Illumination, terj.
John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999),
25–27.
[12]            
Hossein Ziai, Knowledge and
Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 51–55.
[13]            
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah,
terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research
Institute, 1981), 92–95.
[14]            
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the
Modern World (Oxford: Oneworld,
2007), 5–8.
[15]            
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 33–36.
3.          
Ontologi
Kosmologi Islam: Tuhan, Alam, dan Wujud
Ontologi kosmologi
Islam berpusat pada relasi antara Tuhan (Allah), alam semesta (al-‘alam),
dan keberadaan (wujud). Dalam pandangan Islam,
realitas tertinggi adalah Tuhan sebagai Wujud Mutlak (al-wujud
al-haqq), sumber dari segala eksistensi yang lain. Alam semesta
tidak memiliki keberadaan yang otonom, tetapi bergantung sepenuhnya pada
kehendak dan penciptaan-Nya. Dengan demikian, struktur ontologis kosmos dalam
Islam bersifat hierarkis dan teosentris: Tuhan adalah sebab pertama dan tujuan
akhir dari segala sesuatu.¹
Konsep ini berakar
pada prinsip tauhid, yakni kesatuan mutlak Tuhan
yang menegaskan bahwa tidak ada realitas yang sejati selain Allah.² Prinsip tauhid
bukan hanya doktrin teologis, melainkan juga dasar metafisika yang menentukan
seluruh tatanan kosmos. Alam dipahami sebagai manifestasi dari sifat-sifat
Ilahi (asma’ wa
sifat Allah), sehingga setiap entitas di alam memantulkan aspek
tertentu dari kesempurnaan Tuhan.³ Dalam hal ini, penciptaan bukanlah peristiwa
temporal semata, tetapi juga realitas ontologis yang berlangsung terus-menerus
(tajaddud
al-khalq), di mana wujud senantiasa diperbarui oleh kehendak
Ilahi.⁴
3.1.      
Tuhan sebagai Wujud Mutlak
Dalam filsafat
Islam, terutama pada Ibn Sina, Tuhan digambarkan sebagai Wajib
al-Wujud (Wujud yang Niscaya), sedangkan segala sesuatu selain-Nya
adalah mumkin
al-wujud (wujud yang mungkin).⁵ Wajib al-Wujud tidak tergantung
pada apa pun untuk eksis, sedangkan mumkin al-wujud bergantung pada-Nya
dalam segala hal. Ontologi ini mengandaikan bahwa hanya Tuhan yang memiliki
eksistensi sejati, sedangkan makhluk hanyalah partisipasi dalam keberadaan
Ilahi.⁶
Ibn Sina menjelaskan
bahwa dari Wujud
Niscaya memancar seluruh tingkatan realitas melalui proses emanasi
(fayḍ).⁷
Dalam skema ini, realitas terdiri dari hierarki intelek dan jiwa langit, hingga
akhirnya menghasilkan dunia materi. Namun, proses emanasi bukanlah peristiwa
fisik, melainkan relasi logis antara kesempurnaan Tuhan dan manifestasi
wujud-wujud yang bergantung kepada-Nya. Pandangan ini memperlihatkan bahwa alam
semesta adalah tatanan rasional yang mencerminkan kehendak dan kebijaksanaan
Ilahi (hikmah
ilahiyyah).⁸
3.2.      
Alam sebagai Manifestasi dan Keteraturan Ilahi
Dalam kerangka
ontologi Islam, alam bukanlah entitas independen, melainkan manifestasi
simbolik dari realitas Ilahi. Al-Qur’an menggambarkan alam sebagai tanda-tanda
(ayat)
yang menunjuk kepada Tuhan: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar” (QS. Fussilat [41]
ayat 53).⁹ Ayat ini menunjukkan bahwa kosmos memiliki fungsi teologis—ia
menjadi wahana pengenalan terhadap Tuhan.
Para filsuf seperti
Al-Farabi dan Ibn Rushd memahami alam dalam kerangka rasional, di mana
keteraturan kosmik merupakan bukti kebijaksanaan Ilahi.¹⁰ Alam bekerja sesuai
hukum-hukum yang tetap, namun hukum-hukum itu bukan otonom dari Tuhan,
melainkan perwujudan kehendak-Nya yang konsisten. Dalam hal ini, hukum alam
merupakan sunnatullah—pola
tetap yang menyingkap tatanan Ilahi.¹¹ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa
dalam pandangan Islam, hukum-hukum alam tidak meniadakan Tuhan, tetapi justru
menegaskan kehadiran-Nya sebagai Pengatur Kosmos (Rabb al-‘Alamin).¹²
Selain itu, pemikir
sufistik seperti Ibn Arabi memperdalam dimensi ontologis ini melalui konsep tajalli
(penyingkapan Ilahi). Menurutnya, seluruh alam merupakan penyingkapan nama-nama
Tuhan dalam berbagai bentuk wujud.¹³ Alam semesta adalah cermin tempat Tuhan
melihat diri-Nya sendiri, sebagaimana manusia menjadi mikrokosmos (al-‘alam
al-saghir) yang merefleksikan makrokosmos (al-‘alam
al-kabir).¹⁴ Ontologi wahdat al-wujud (kesatuan wujud)
Ibn Arabi menegaskan bahwa tidak ada dualitas sejati antara Tuhan dan alam,
melainkan perbedaan tingkat manifestasi dari satu realitas Ilahi.¹⁵
3.3.      
Hierarki dan Gradasi Wujud
Salah satu ciri khas
ontologi Islam adalah pemahaman tentang gradasi eksistensi. Dalam pandangan hikmah
muta‘aliyyah Mulla Sadra, eksistensi bukan kategori statis,
melainkan bersifat bertingkat (tasykik al-wujud).¹⁶ Setiap wujud
memiliki intensitas yang berbeda, dari eksistensi paling sempurna (Tuhan)
hingga yang paling lemah (materi).¹⁷ Dengan demikian, seluruh realitas
merupakan spektrum eksistensi tunggal yang bersumber dari Tuhan. Konsep ini
memadukan filsafat Ibn Sina yang rasional, mistisisme Ibn Arabi yang intuitif,
dan teologi yang teosentris.
Mulla Sadra juga
memperkenalkan doktrin harakah jawhariyyah (gerak
substansial), yakni bahwa seluruh wujud materi bergerak secara ontologis menuju
kesempurnaan eksistensial.¹⁸ Gerak ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga
spiritual—menunjukkan dinamika kosmos yang selalu menuju Tuhan sebagai asal dan
tujuan (al-mabda’
wa al-ma‘ad).¹⁹ Dengan demikian, alam semesta dalam kosmologi Islam
bukanlah entitas beku, melainkan proses dinamis yang terus berpartisipasi dalam
aktualisasi Ilahi.
Ontologi Kosmos dan Tanggung Jawab Manusia
Dalam tatanan
kosmologis Islam, manusia menempati posisi unik sebagai penghubung antara alam
dan Tuhan. Ia merupakan mikrokosmos yang mencerminkan seluruh tingkatan
realitas.²⁰ Sebagai khalifah, manusia bertugas menjaga keseimbangan kosmos dan
memelihara keteraturan Ilahi di bumi.²¹ Oleh karena itu, pemahaman ontologis
tentang alam bukan hanya bersifat teoritis, melainkan juga etis dan spiritual:
mengenal struktur wujud berarti menegaskan tanggung jawab manusia terhadap
ciptaan.²²
Dengan demikian, ontologi
kosmologi Islam menampilkan visi yang utuh tentang realitas: Tuhan sebagai
Wujud Mutlak, alam sebagai manifestasi-Nya yang teratur, dan manusia sebagai
saksi sekaligus penjaga keteraturan itu. Dalam kerangka ini, seluruh eksistensi
bersatu dalam harmoni yang berpusat pada tauhid, yang tidak hanya
mempersatukan Tuhan dan alam, tetapi juga mengintegrasikan pengetahuan,
moralitas, dan spiritualitas dalam satu kesatuan kosmik yang bermakna.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 12–14.
[2]               
Al-Qur’an, Surah Al-Ikhlas [112] ayat 1–4.
[3]               
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 43–46.
[4]               
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 189–192.
[5]               
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), 25–28.
[6]               
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 136–139.
[7]               
Al-Farabi, The Principles of the
Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press,
1985), 69–73.
[8]               
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the
Modern World (Oxford: Oneworld,
2007), 15–18.
[9]               
Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.
[10]            
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954),
57–60.
[11]            
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 28–31.
[12]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 22–25.
[13]            
Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press,
1980), 92–95.
[14]            
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 65–68.
[15]            
Henry Corbin, Creative Imagination in
the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton:
Princeton University Press, 1969), 105–108.
[16]            
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah,
terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research
Institute, 1981), 101–104.
[17]            
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla
Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 115–118.
[18]            
Christian Jambet, The Act of Being: The
Philosophy of Revelation in Mulla Sadra
(New York: Zone Books, 2006), 55–58.
[19]            
Hossein Ziai, “Mulla Sadra: Metaphysics of Being and Movement,” Islamic Studies 32,
no. 4 (1993): 417–428.
[20]            
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
[21]            
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 54–57.
[22]            
William C. Chittick, The
Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–44.
4.          
Ontologi
Kosmologi Islam: Tuhan, Alam, dan Wujud
Ontologi kosmologi
Islam berakar pada prinsip tauhid sebagai fondasi metafisik
utama yang menegaskan kesatuan realitas antara Tuhan (al-Haqq),
alam (al-‘alam),
dan wujud (al-wujūd).
Dalam pandangan Islam, seluruh eksistensi merupakan pancaran dari Wujud Mutlak,
yakni Allah Swt, yang menjadi sumber,
penopang, dan tujuan akhir dari segala sesuatu.¹ Ontologi ini tidak menempatkan
Tuhan dan alam dalam dikotomi mutlak, melainkan dalam hubungan emanatif dan
hierarkis di mana keberadaan makhluk merupakan partisipasi dari realitas
Ilahi.² Dengan demikian, pemahaman tentang wujud dalam kosmologi Islam bukan
hanya menyangkut eksistensi empiris, tetapi juga dimensi spiritual yang
menghubungkan ciptaan dengan Sang Pencipta.
4.1.      
Tuhan sebagai Wujud Mutlak (al-Wujūd al-Haqq)
Dalam filsafat Islam
klasik, khususnya dalam sistem pemikiran Ibn Sina, Tuhan dipahami sebagai Wājib
al-Wujūd (Wujud Niscaya) — realitas yang keberadaannya tidak
mungkin tidak ada.³ Segala sesuatu selain Tuhan disebut mumkin
al-wujūd (wujud yang mungkin), yaitu entitas yang tidak memiliki
keberadaan secara mandiri, melainkan bergantung sepenuhnya pada Wujud Niscaya.⁴
Tuhan, sebagai sebab pertama (al-sabab al-awwal), tidak
disebabkan oleh apa pun, melainkan menjadi sumber dari segala yang ada.
Hubungan antara Tuhan dan alam bersifat ontologis, bukan temporal, artinya
penciptaan bukan peristiwa dalam waktu, melainkan ketergantungan eksistensial
yang terus-menerus.⁵
Konsepsi ini
menunjukkan bahwa keberadaan alam semesta tidak berdiri sendiri, tetapi
merupakan manifestasi dari keberadaan Tuhan. Dalam kerangka metafisika Islam,
wujud Tuhan bersifat wahid (satu), qadim
(tidak bermula), dan baqa’ (abadi).⁶ Alam semesta hadir
bukan karena kebutuhan Tuhan, melainkan karena limpahan kemurahan-Nya (fayḍ
al-ilāhī).⁷ Maka, ontologi Islam menolak pandangan materialistik
yang menempatkan alam sebagai realitas tertinggi, sekaligus mengkritik dualisme
ekstrem yang memisahkan Tuhan dan dunia secara ontologis.
4.2.      
Alam sebagai Manifestasi Kehendak dan Hikmah
Ilahi
Al-Qur’an
menggambarkan alam semesta sebagai āyāt Allāh — tanda-tanda kebesaran
Tuhan yang mengisyaratkan keteraturan, kebijaksanaan, dan kasih sayang-Nya.⁸
Dalam perspektif ini, seluruh kosmos bukanlah sekadar kumpulan benda fisik,
melainkan representasi simbolik dari tatanan Ilahi (al-nizām al-ilāhī). Ontologi Islam
menempatkan alam sebagai tajallī, yaitu penyingkapan atau
perwujudan sifat-sifat Tuhan dalam bentuk konkret.⁹
Para filsuf Muslim
seperti Al-Farabi dan Ibn Rushd menjelaskan bahwa keteraturan alam menunjukkan
adanya hikmah
(kebijaksanaan) yang melatarinya.¹⁰ Alam bergerak menurut hukum-hukum tertentu
(sunan
Allāh), yang tidak otonom dari Tuhan, tetapi merupakan ekspresi
dari kehendak-Nya yang konsisten.¹¹ Hal ini berarti bahwa hukum alam dalam
Islam memiliki dua dimensi: sebagai keteraturan empiris yang dapat diteliti
oleh akal, dan sebagai simbol metafisik yang menyingkap kebijaksanaan Ilahi.¹²
Dalam tradisi sufi,
terutama pada Ibn Arabi, alam dipahami sebagai cermin tempat Tuhan “melihat
diri-Nya” melalui penyingkapan nama-nama-Nya (asmā’ Allāh).¹³ Setiap entitas di
alam merepresentasikan satu atau beberapa sifat Ilahi — ada yang
memanifestasikan keindahan (jamāl), ada pula yang menampakkan
keagungan (jalāl).¹⁴
Dengan demikian, alam bukanlah entitas terpisah dari Tuhan, melainkan refleksi
dari kehadiran Ilahi di setiap tingkat eksistensi.¹⁵
4.3.      
Gradasi dan Kesatuan Wujud
Salah satu gagasan
paling mendalam dalam ontologi Islam adalah konsep tasykīk al-wujūd (gradasi wujud) sebagaimana
dirumuskan oleh Mulla Sadra.¹⁶ Menurutnya, wujud bersifat tunggal (wahid),
tetapi memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda. Semua realitas, dari yang
paling tinggi (Tuhan) hingga yang paling rendah (materi), merupakan gradasi
dari satu eksistensi Ilahi yang sama.¹⁷ Pandangan ini disebut ashālat
al-wujūd (keberutamaan eksistensi), yang menolak realitas hakiki
bagi esensi (māhiyyah), karena esensi hanyalah
konsep intelektual, sedangkan eksistensi adalah kenyataan ontologis yang
sejati.¹⁸
Mulla Sadra juga
mengajarkan bahwa seluruh ciptaan mengalami harakah jawhariyyah (gerak
substansial), yakni gerak eksistensial yang membawa seluruh wujud menuju
kesempurnaan.¹⁹ Dalam kerangka ini, kosmos tidak bersifat statis, tetapi
dinamis — bergerak menuju Tuhan sebagai asal dan tujuan akhir (al-mabda’
wa al-ma‘ād).²⁰ Gerak ini mencerminkan struktur hierarkis kosmos
yang progresif: dari wujud material menuju spiritual, dari potensi menuju
aktual, dari keterpisahan menuju kesatuan.²¹
Dengan demikian,
ontologi Islam tidak memisahkan antara Tuhan dan dunia, melainkan memandang
keduanya dalam hubungan kebergantungan eksistensial yang abadi. Tuhan adalah “Ada”
yang memberi ada, dan alam adalah “yang ada karena diberi ada.”²²
4.4.      
Manusia sebagai Mikrokosmos dan Penjaga Tatanan
Wujud
Dalam tatanan
kosmologis Islam, manusia menempati posisi sentral sebagai mikrokosmos (al-‘ālam
al-saghīr) yang mencerminkan makrokosmos (al-‘ālam
al-kabīr).²³ Ia merupakan wujud yang memadukan dimensi ruhani dan
jasmani, dan karena itu menjadi titik temu antara dunia materi dan spiritual.²⁴
Al-Qur’an menegaskan peran manusia sebagai khalifah Allah di bumi (QS.
Al-Baqarah [2] ayat 30), yang berarti ia memiliki tanggung jawab ontologis
untuk menjaga harmoni kosmos.²⁵
Sebagai khalīfah,
manusia bukan sekadar penguasa atas alam, tetapi saksi dari keteraturan Ilahi
yang tampak di dalamnya.²⁶ Dengan menggunakan akal dan kesadarannya, manusia
dipanggil untuk mengenali tanda-tanda Tuhan dalam ciptaan dan menegakkan
keseimbangan (mīzān) dalam kehidupan.²⁷ Dalam
kerangka ontologis ini, kesadaran spiritual menjadi bentuk tertinggi
pengetahuan tentang wujud: mengenal alam berarti mengenal Tuhan melalui
manifestasi eksistensi-Nya.²⁸
Dengan demikian,
ontologi kosmologi Islam membentuk pandangan dunia yang holistik: Tuhan sebagai
Wujud Mutlak, alam sebagai manifestasi kehendak Ilahi, dan manusia sebagai
saksi serta penjaga tatanan wujud. Kesatuan antara ketiganya merupakan cerminan
dari tauhid
ontologis, di mana seluruh realitas menemukan maknanya hanya dalam
keterhubungan dengan Tuhan. Ontologi Islam, dengan demikian, tidak berhenti
pada metafisika abstrak, tetapi menjadi dasar etika, epistemologi, dan
spiritualitas yang mengarahkan manusia untuk hidup selaras dengan tatanan
Ilahi.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 15–18.
[2]               
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the
Modern World (Oxford: Oneworld, 2007),
7–9.
[3]               
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), 25–27.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 130–133.
[5]               
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 92–94.
[6]               
Al-Farabi, The Principles of the
Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press,
1985), 67–71.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 84–86.
[8]               
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 164.
[9]               
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 191–194.
[10]            
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954),
56–60.
[11]            
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 29–32.
[12]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 23–27.
[13]            
Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press,
1980), 92–95.
[14]            
Henry Corbin, Creative Imagination in
the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton:
Princeton University Press, 1969), 102–107.
[15]            
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 64–68.
[16]            
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah,
terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research
Institute, 1981), 101–104.
[17]            
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla
Sadra (Albany: SUNY Press, 1975),
112–116.
[18]            
Christian Jambet, The Act of Being: The
Philosophy of Revelation in Mulla Sadra
(New York: Zone Books, 2006), 54–57.
[19]            
Hossein Ziai, “Mulla Sadra: Metaphysics of Being and Movement,” Islamic Studies 32,
no. 4 (1993): 417–428.
[20]            
Seyyed Hossein Nasr, Three
Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 115–118.
[21]            
William C. Chittick, The
Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–44.
[22]            
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
210–213.
[23]            
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
[24]            
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 53–56.
[25]            
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 47–49.
[26]            
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul,
25–27.
[27]            
Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.
[28]            
Henry Corbin, Temple and
Contemplation (London: KPI, 1986),
77–79.
5.          
Epistemologi
Kosmologi Islam: Sumber Pengetahuan tentang Alam
Epistemologi
kosmologi Islam berangkat dari pandangan bahwa alam semesta (al-‘ālam)
adalah tanda-tanda (āyāt) Tuhan yang dapat dikenali
melalui dua sumber utama: wahyu dan akal. Dalam Islam, pengetahuan tentang
kosmos tidak hanya diperoleh melalui observasi empiris, tetapi juga melalui
pemahaman terhadap teks wahyu yang mengandung dimensi metafisis dan simbolik.¹
Dengan demikian, epistemologi Islam menggabungkan dimensi rasional, intuitif,
dan transendental dalam memahami hakikat alam, berbeda dengan pendekatan
empiris murni yang berkembang dalam sains modern.
Pengetahuan
kosmologis dalam Islam bersifat teosentris—yakni berpangkal pada
Tuhan sebagai sumber segala pengetahuan.² Alam bukanlah entitas netral,
melainkan cerminan dari kebijaksanaan dan kehendak Ilahi. Pengetahuan tentang
alam berarti pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhan (sunan Allāh) yang bekerja di
dalamnya.³ Oleh karena itu, epistemologi Islam tidak menempatkan akal dan wahyu
dalam posisi yang saling bertentangan, tetapi dalam hubungan komplementer yang
saling menerangi.
5.1.      
Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan Kosmologis
Wahyu merupakan
sumber utama pengetahuan dalam Islam. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia
untuk merenungkan tanda-tanda penciptaan di langit dan bumi sebagai bukti
kekuasaan dan kebijaksanaan Tuhan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal”
(QS. Ali Imran [3] ayat 190).⁴ Ayat ini menunjukkan bahwa pengetahuan kosmologis
dalam Islam memiliki dimensi spiritual dan teologis—yakni untuk mengenal Tuhan
melalui refleksi terhadap ciptaan-Nya.⁵
Al-Qur’an tidak
memberikan penjelasan ilmiah dalam arti teknis, tetapi menyajikan pandangan
dunia (weltanschauung)
yang menegaskan keteraturan, keharmonisan, dan makna moral di balik alam
semesta.⁶ Pengetahuan tentang kosmos, dalam kerangka Qur’ani, bukan semata-mata
pencarian fakta empiris, melainkan jalan menuju kesadaran tauhid.⁷ Karena itu,
epistemologi wahyu menempatkan pencarian ilmiah dalam horizon etika dan
spiritualitas: sains bukan hanya untuk menguasai alam, tetapi untuk mengenal
kebesaran Sang Pencipta.⁸
Para mufasir dan
filsuf Muslim klasik, seperti Al-Razi dan Al-Ghazali, menegaskan bahwa
ayat-ayat kosmologis dalam Al-Qur’an memiliki makna simbolik yang dapat
ditafsirkan (ta’wil).⁹ Melalui pendekatan ini,
wahyu dipahami bukan sebagai teks yang kaku, tetapi sebagai realitas dinamis
yang membuka jalan bagi dialog antara keimanan dan akal. Dengan demikian, wahyu
berfungsi sebagai dasar epistemologis yang memberikan arah dan nilai bagi
pengetahuan manusia tentang alam.¹⁰
5.2.      
Akal dan Pengamatan Empiris sebagai Instrumen
Pengetahuan
Selain wahyu, akal (‘aql)
memiliki kedudukan penting dalam epistemologi Islam. Akal merupakan anugerah
Ilahi yang memungkinkan manusia memahami struktur dan hukum alam.¹¹ Dalam
kosmologi Islam, penggunaan akal tidak diartikan sebagai rasionalisme otonom,
tetapi sebagai partisipasi dalam pengetahuan Ilahi yang tercermin dalam
keteraturan kosmos.¹²
Ibn Sina memandang
akal sebagai sarana untuk menangkap keteraturan rasional alam semesta yang
berasal dari Tuhan.¹³ Ia membedakan antara akal potensial (‘aql bi
al-quwwah) dan akal aktual (‘aql bi al-fi‘l), di mana proses
pengetahuan terjadi ketika akal manusia bersentuhan dengan intelek aktif (‘aql
al-fa‘āl)—entitas kosmik yang menyalurkan pengetahuan dari Tuhan
kepada manusia.¹⁴ Dengan demikian, pengetahuan kosmologis merupakan hasil
iluminasi intelektual, bukan semata aktivitas empiris.
Sementara itu, Al-Farabi
mengembangkan teori hierarki pengetahuan di mana sains rasional (‘ulum
‘aqliyyah) berfungsi untuk memahami hukum-hukum alam, sedangkan
wahyu memberikan makna teleologis dan moral terhadapnya.¹⁵ Ibn Rushd
menambahkan bahwa akal dan observasi empiris merupakan jalan sah untuk mengenal
Tuhan karena keduanya mengungkap keteraturan ciptaan-Nya.¹⁶ Dalam pandangannya,
mempelajari fenomena alam adalah bentuk ibadah intelektual yang menegaskan
tauhid melalui pengetahuan ilmiah.¹⁷
Dengan demikian,
epistemologi rasional Islam tidak bertentangan dengan wahyu, melainkan bersifat
integratif. Pengetahuan yang sejati adalah sintesis antara refleksi rasional
dan kesadaran spiritual.¹⁸
5.3.      
Intuisi dan Iluminasi dalam Pengetahuan
Kosmologis
Selain wahyu dan
akal, epistemologi Islam juga mengakui peran intuisi (kasyf)
dan iluminasi (isyraq) dalam memahami realitas
kosmos. Dalam filsafat iluminasi Suhrawardi, pengetahuan sejati diperoleh
melalui penyinaran batin yang menghubungkan akal manusia dengan sumber cahaya
Ilahi (nūr al-anwār).¹⁹
Alam dipahami sebagai gradasi cahaya yang memancar dari Tuhan, dan pengetahuan
diperoleh ketika jiwa manusia “disinari” oleh tingkat cahaya yang lebih
tinggi.²⁰
Suhrawardi menolak
pandangan rasionalisme murni dan menekankan bahwa akal saja tidak cukup untuk
mencapai pengetahuan hakiki tentang alam.²¹ Diperlukan penyucian jiwa dan
pencerahan batin agar manusia mampu menembus dimensi metafisis kosmos.²² Dalam
hal ini, epistemologi iluminatif bersifat transrasional, tetapi tidak
irasional, karena tetap berakar pada prinsip keteraturan Ilahi.²³
Mulla Sadra kemudian
mengintegrasikan pendekatan rasional Ibn Sina dengan pendekatan iluminatif
Suhrawardi dan mistik Ibn Arabi.²⁴ Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati
adalah “penyingkapan wujud” (kasyf al-wujūd) yang terjadi ketika
subjek pengetahuan berpartisipasi secara ontologis dengan realitas yang
diketahui.²⁵ Dengan demikian, pengetahuan kosmologis dalam Islam tidak hanya
bersifat representasional, tetapi juga partisipatif dan transformasional—pengetahuan
yang mengubah subjek menjadi bagian dari tatanan Ilahi yang ia pahami.²⁶
Integrasi antara Wahyu, Akal, dan Intuisi
Epistemologi Islam
menolak dikotomi antara sains dan agama, antara rasionalitas dan spiritualitas.
Dalam pandangan Islam, pengetahuan sejati adalah integrasi antara tiga sumber
utama: wahyu yang memberi arah, akal yang memberi struktur, dan intuisi yang
memberi kedalaman makna.²⁷ Ketiganya membentuk sistem pengetahuan yang holistik
di mana kosmos dipahami bukan hanya sebagai objek empiris, tetapi juga sebagai
tanda eksistensial yang mengandung pesan teologis.
Seyyed Hossein Nasr
menegaskan bahwa krisis pengetahuan modern disebabkan oleh terputusnya hubungan
antara sains dan makna spiritual alam.²⁸ Menurutnya, epistemologi Islam
menawarkan alternatif berupa “pengetahuan sakral” (sacred
science), yang memandang alam semesta sebagai realitas transparan
terhadap Tuhan.²⁹ Dalam paradigma ini, ilmu tidak hanya berfungsi menjelaskan bagaimana
alam bekerja, tetapi juga mengapa ia ada—yakni sebagai
manifestasi kebijaksanaan dan kasih sayang Tuhan.³⁰
Dengan demikian,
epistemologi kosmologi Islam mengajarkan bahwa pengetahuan tentang alam tidak
pernah netral secara nilai. Ia adalah bentuk ibadah intelektual yang
mengarahkan manusia kepada pengenalan akan realitas Ilahi, di mana memahami
kosmos berarti menyelami kehadiran Tuhan dalam setiap lapisan wujud.
Footnotes
[1]               
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 41–43.
[2]               
Seyyed Hossein Nasr, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 21–24.
[3]               
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 175–178.
[4]               
Al-Qur’an, Surah Ali Imran [3] ayat 190.
[5]               
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the
Modern World (Oxford: Oneworld,
2007), 12–15.
[6]               
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 27–29.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 89–92.
[8]               
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990),
115–117.
[9]               
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih
al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr,
1981), 3:145–148.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 25–27.
[11]            
Al-Farabi, Kitab al-Huruf, terj. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar al-Mashriq, 1969),
98–101.
[12]            
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 95–97.
[13]            
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), 29–31.
[14]            
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 144–147.
[15]            
Al-Farabi, The Principles of the
Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press,
1985), 72–75.
[16]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, terj. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959),
23–26.
[17]            
Seyyed Hossein Nasr, Science
and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 58–61.
[18]            
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 210–212.
[19]            
Shihab al-Din al-Suhrawardi, The
Philosophy of Illumination, terj.
John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999),
24–27.
[20]            
Hossein Ziai, Knowledge and
Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 51–54.
[21]            
Ibid., 67–69.
[22]            
Henry Corbin, The Man of Light in
Iranian Sufism (Boulder: Shambhala,
1978), 92–95.
[23]            
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 48–50.
[24]            
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah,
terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research
Institute, 1981), 105–108.
[25]            
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla
Sadra (Albany: SUNY Press, 1975),
123–126.
[26]            
Christian Jambet, The Act of Being: The
Philosophy of Revelation in Mulla Sadra
(New York: Zone Books, 2006), 59–62.
[27]            
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 62–65.
[28]            
Ibid., 70–73.
[29]            
Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 31–34.
[30]            
Osman Bakar, Tawhid and Science, 44–46.
6.          
Aksiologi
dan Etika Kosmologis dalam Islam
Aksiologi kosmologi
Islam berfokus pada nilai dan makna moral yang terkandung dalam tatanan alam
semesta. Jika ontologi menjelaskan apa alam itu, dan epistemologi
menjelaskan bagaimana manusia mengetahuinya,
maka aksiologi menguraikan untuk apa alam itu diciptakan dan bagaimana
manusia seharusnya berinteraksi dengannya. Dalam pandangan Islam, kosmos
bukanlah entitas tanpa tujuan, tetapi memiliki makna etis dan spiritual yang
berakar pada prinsip tauhid.¹ Tuhan menciptakan alam
dengan kebijaksanaan (hikmah) dan keseimbangan (mīzān),
serta menjadikan manusia sebagai khalifah untuk menjaga keteraturan tersebut.²
Dengan demikian, nilai-nilai kosmologis Islam melandasi etika ekologis,
tanggung jawab moral, dan kesadaran spiritual manusia terhadap ciptaan.
6.1.      
Alam sebagai Amanah dan Tanda Ilahi
Dalam Al-Qur’an,
alam digambarkan sebagai amanah—sesuatu yang dipercayakan
oleh Allah kepada manusia untuk dijaga dan dikelola secara bertanggung jawab.³
Alam bukan milik manusia, melainkan milik Tuhan (lillāh mā fī al-samāwāti wa mā fī al-ardh)—segala
yang di langit dan di bumi adalah milik Allah (QS. Al-Baqarah [2] ayat 284).⁴
Oleh karena itu, hubungan manusia dengan alam bersifat moral dan spiritual,
bukan hanya utilitarian.
Alam juga berfungsi
sebagai ayat
kauniyyah, yaitu tanda-tanda Ilahi yang mengungkap kebesaran dan
kebijaksanaan Tuhan.⁵ Dalam konteks ini, tindakan merusak alam dipandang bukan
sekadar pelanggaran ekologis, tetapi juga penyimpangan spiritual karena menolak
membaca dan menghormati tanda-tanda Tuhan.⁶ Seyyed Hossein Nasr menegaskan
bahwa dalam pandangan Islam, setiap elemen kosmos—dari bintang hingga
batu—memiliki makna spiritual, dan manusia bertugas menjaga kesakralan
tersebut.⁷ Alam tidak boleh direduksi menjadi objek eksploitasi, tetapi harus
dihormati sebagai bagian dari tatanan Ilahi.⁸
Kesadaran ini
melahirkan etika amanah ekologis, di mana setiap
tindakan manusia terhadap alam diukur berdasarkan tanggung jawab moral kepada
Sang Pencipta.⁹ Dalam kosmologi Islam, alam adalah kitab kedua selain wahyu
tertulis (kitāb
al-masṭūr), yakni wahyu terbuka (kitāb al-manẓūr) yang perlu dibaca
dengan akal dan hati.¹⁰
6.2.      
Manusia sebagai Khalifah dan Penjaga
Keseimbangan Kosmik
Konsep khalīfah
fī al-ardh (wakil Tuhan di bumi) merupakan pilar aksiologi
kosmologis Islam.¹¹ Dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 30, Allah menyatakan bahwa
manusia ditugaskan sebagai khalifah, bukan penguasa absolut, tetapi pengelola
yang bertanggung jawab terhadap ciptaan.¹² Amanah ini mengandung implikasi etis
bahwa manusia harus menegakkan keadilan (‘adl) dan keseimbangan (mīzān)
di alam semesta.¹³
Etika kosmologis
Islam menolak dualisme antara manusia dan alam. Sebaliknya, manusia dipandang
sebagai bagian integral dari kosmos, terikat secara ontologis dan moral dengan
seluruh makhluk.¹⁴ Ketika manusia berperilaku melampaui batas (QS. Al-Rahman
[55] ayat 8–9), tatanan kosmik terganggu, dan krisis ekologis pun terjadi.¹⁵
Dengan demikian, menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga
ibadah yang menegaskan kesadaran tauhid.¹⁶
Al-Ghazali dalam Ihya’
‘Ulum al-Din menegaskan bahwa setiap ciptaan memiliki tujuan dan
hikmah yang tidak boleh diabaikan manusia.¹⁷ Ia menulis bahwa perenungan
terhadap alam semesta dapat menumbuhkan rasa kagum dan syukur kepada Tuhan,
yang merupakan bentuk tertinggi dari etika spiritual.¹⁸ Dengan demikian,
kesadaran etis terhadap kosmos juga merupakan kesadaran ibadah: mengenal dan
menjaga ciptaan berarti mengenal dan mengabdi kepada Sang Pencipta.¹⁹
6.3.      
Prinsip Keseimbangan (Mīzān) dan
Keharmonisan Universal
Al-Qur’an menyebut
bahwa Allah menciptakan alam dengan keseimbangan (mīzān): “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia
letakkan mīzān, supaya kamu jangan melampaui batas dalam mīzān”
(QS. Al-Rahman [55] ayat 7–8).²⁰ Ayat ini menjadi dasar etika kosmologis Islam
yang menekankan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Prinsip mīzān
bukan hanya keseimbangan fisik, tetapi juga moral dan eksistensial—yakni
keselarasan antara tindakan manusia dan tatanan Ilahi.²¹
Dalam filsafat
Islam, prinsip ini dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina melalui gagasan tatanan
hierarkis alam yang harmonis di bawah hukum Ilahi.²² Alam semesta
berfungsi dengan keteraturan rasional yang menunjukkan kesempurnaan Pencipta.
Oleh karena itu, etika kosmologis tidak hanya menuntut pengetahuan tentang
alam, tetapi juga penyesuaian diri terhadap harmoni kosmik tersebut.²³
Nasr menyebut hal
ini sebagai “kosmologi sakral”, yakni pandangan bahwa setiap tindakan
manusia harus selaras dengan ritme Ilahi yang mengatur alam.²⁴ Dalam konteks
modern, prinsip mīzān dapat dijadikan dasar bagi
etika lingkungan yang berkelanjutan (eco-theology Islam), di mana
eksploitasi alam dianggap sebagai pelanggaran terhadap keseimbangan Ilahi.²⁵
6.4.      
Nilai Spiritualitas dan Etika Ekologis
Kontemporer
Relevansi aksiologi
kosmologi Islam menjadi semakin mendesak di tengah krisis ekologi global.
Paradigma materialistik modern yang memandang alam semata sebagai objek
konsumsi telah memutus hubungan sakral antara manusia dan kosmos.²⁶ Islam,
melalui prinsip tauhid, menawarkan paradigma
alternatif di mana alam kembali dipahami sebagai manifestasi Tuhan.²⁷
Seyyed Hossein Nasr
menekankan bahwa penyelamatan ekologi modern memerlukan revitalisasi
kesadaran kosmologis religius yang menempatkan manusia dalam
kerangka spiritual kosmos.²⁸ Dalam kerangka ini, etika ekologis bukan hanya
tanggung jawab sosial, tetapi juga ekspresi iman dan ibadah.²⁹
Etika kosmologis
Islam mengajarkan tiga prinsip utama: pertama, kesadaran tauhid
bahwa seluruh alam bersumber dari Tuhan; kedua, prinsip amanah
dan khalīfah
yang menegaskan tanggung jawab moral manusia; dan ketiga, prinsip mīzān
yang menuntut keharmonisan antara manusia dan alam.³⁰ Ketiganya membentuk
fondasi nilai yang menyatukan spiritualitas, sains, dan etika dalam satu
kesadaran kosmik yang utuh.
Dengan demikian,
aksiologi kosmologi Islam tidak hanya menjelaskan makna moral dari struktur
kosmos, tetapi juga menuntun manusia untuk hidup secara ekologis, adil, dan
penuh rasa syukur terhadap ciptaan Tuhan.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 105–107.
[2]               
Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.
[3]               
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 38–40.
[4]               
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 284.
[5]               
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 181–184.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 25–27.
[7]               
Ibid., 29–32.
[8]               
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the
Modern World (Oxford: Oneworld,
2007), 16–18.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 58–60.
[10]            
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 44–47.
[11]            
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
[12]            
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azim (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), 1:221–223.
[13]            
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990),
112–115.
[14]            
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 156–158.
[15]            
Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 8–9.
[16]            
Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 37–39.
[17]            
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 118–121.
[18]            
Ibid., 123–125.
[19]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 90–93.
[20]            
Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–8.
[21]            
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 207–210.
[22]            
Al-Farabi, The Principles of the
Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press,
1985), 72–75.
[23]            
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), 112–115.
[24]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature, 45–48.
[25]            
Osman Bakar, Environmental Ethics in
Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001),
14–17.
[26]            
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature, 71–74.
[27]            
William C. Chittick, The
Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–45.
[28]            
Nasr, The Need for a Sacred
Science, 40–43.
[29]            
Ibid., 49–51.
[30]            
Osman Bakar, Tawhid and Science, 50–52.
7.          
Kritik
terhadap Kosmologi Islam
Kosmologi Islam,
sebagai sistem pemikiran yang mengintegrasikan dimensi teologis, filosofis, dan
mistis, telah mengalami berbagai kritik baik dari dalam tradisi Islam sendiri
maupun dari perspektif pemikiran modern. Kritik ini tidak semata-mata
menunjukkan kelemahan, melainkan memperlihatkan dinamika intelektual yang terus
berkembang dalam upaya memahami hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia.
Secara garis besar, kritik terhadap kosmologi Islam dapat dikelompokkan menjadi
tiga: (1) kritik internal dari para teolog terhadap filsuf Islam, (2) kritik
rasional terhadap pendekatan mistik dan emanatif, dan (3) kritik modern
terhadap keterbatasan metodologis dan relevansi kosmologi Islam di era sains
kontemporer.
7.1.      
Kritik Teologis terhadap Filsafat Kosmologi
Islam
Kritik paling
berpengaruh terhadap kosmologi Islam berasal dari kalangan teolog (mutakallimūn),
khususnya Al-Ghazali, yang dalam Tahāfut al-Falāsifah menentang
gagasan filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.¹ Menurut Al-Ghazali, pandangan
filsafat yang menyatakan bahwa alam semesta muncul melalui proses emanasi dari
Tuhan secara niscaya (bi al-dharūrah) mengandung problem
teologis, karena meniadakan kebebasan dan kehendak Tuhan dalam menciptakan
alam.² Dalam perspektif teologi Asy‘ariyah, Tuhan menciptakan segala sesuatu
berdasarkan kehendak-Nya yang absolut (irādah), bukan karena hukum niscaya
metafisis.³
Al-Ghazali menilai
sistem emanasi Ibn Sina berbahaya karena menyerupai prinsip emanasi Plotinus
yang cenderung mengarah pada panteisme terselubung.⁴ Ia menegaskan bahwa alam
semesta memiliki permulaan temporal dan diciptakan ex nihilo (dari ketiadaan), sesuai
dengan ajaran wahyu.⁵ Selain itu, Al-Ghazali menolak pandangan bahwa Tuhan
hanya mengetahui universal dan bukan partikular, karena hal itu dianggap
membatasi pengetahuan Ilahi.⁶ Kritik ini mengembalikan kosmologi Islam ke
fondasi teologis yang lebih teosentris, menekankan kekuasaan Tuhan atas
hukum-hukum alam yang bersifat kontingen, bukan niscaya.⁷
Kritik teologis ini
kemudian mendorong munculnya tradisi filsafat teistik baru yang berupaya
menyeimbangkan antara rasionalitas dan keimanan, seperti pada pemikiran Fakhr
al-Din al-Razi dan Mulla Sadra, yang mencoba mensintesiskan metafisika Ibn Sina
dengan teologi Islam ortodoks.⁸
7.2.      
Kritik Filsafat terhadap Kosmologi Mistis dan
Emanatif
Selain kritik dari
teologi, beberapa pemikir rasional juga mengajukan keberatan terhadap dimensi
mistik dan emanatif dalam kosmologi Islam, terutama terhadap doktrin wahdat
al-wujūd (kesatuan wujud) Ibn Arabi.⁹ Para kritikus seperti Ibn Taymiyyah
menilai bahwa pandangan Ibn Arabi berpotensi mengaburkan batas antara Tuhan dan
makhluk, karena menekankan bahwa seluruh realitas merupakan manifestasi dari
satu Wujud Ilahi.¹⁰ Pandangan ini, menurut mereka, berpotensi menimbulkan hulūl
(inkarnasi) dan ittihād (penyatuan substansial),
yang bertentangan dengan prinsip tanzīh (transendensi Tuhan).¹¹
Ibn Taymiyyah dalam Majmū‘
al-Fatāwā menegaskan bahwa konsep kesatuan wujud dapat
menjerumuskan pada kesesatan metafisis, karena menghapus perbedaan ontologis
antara Pencipta dan ciptaan.¹² Kritik ini menunjukkan adanya kekhawatiran
terhadap kecenderungan mistik yang berpotensi menggeser keesaan Tuhan ke arah
monisme filosofis.¹³
Namun, para
pendukung Ibn Arabi seperti Abd al-Karim al-Jili dan Mulla Sadra membela bahwa wahdat
al-wujūd tidak berarti identitas ontologis antara Tuhan dan alam,
tetapi gradasi manifestasi eksistensi yang semuanya bergantung pada Wujud
Mutlak.¹⁴ Dengan demikian, perdebatan ini lebih bersifat hermeneutik daripada
dogmatis, menyangkut cara memahami hubungan antara transendensi dan immanensi
Tuhan dalam realitas kosmik.
7.3.      
Kritik Modern: Rasionalitas Ilmiah dan Krisis
Relevansi
Pada era modern,
kosmologi Islam menghadapi tantangan baru dari paradigma sains empiris. Sejak
munculnya revolusi ilmiah, teori-teori kosmologis seperti Big Bang
dan evolusi kosmos telah menggantikan model emanatif dan hierarkis yang dianut
dalam filsafat Islam klasik.¹⁵ Kosmologi modern menolak pendekatan metafisis,
menggantinya dengan metodologi empiris, matematis, dan falsifikatif.¹⁶
Beberapa ilmuwan dan
filsuf modern menganggap kosmologi Islam terlalu “metaforis” dan tidak memenuhi
kriteria rasional-empiris.¹⁷ Misalnya, sistem kosmologi Ptolemeus yang diadopsi
oleh para filsuf Islam klasik kini dianggap tidak relevan dengan observasi
astronomi modern.¹⁸ Selain itu, kritik juga diarahkan terhadap kecenderungan
skolastik dalam filsafat Islam yang dianggap terlalu menekankan deduksi
metafisis tanpa pengujian empiris.¹⁹
Namun, pemikir
kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Osman Bakar menanggapi kritik ini
dengan menegaskan bahwa kosmologi Islam tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan
sains empiris, melainkan melengkapi sains dengan dimensi spiritual dan etis.²⁰
Nasr menyebut bahwa krisis ekologi modern berakar pada pandangan kosmologis
sekuler yang menafikan sakralitas alam.²¹ Menurutnya, kosmologi Islam dapat
memberikan kerangka normatif bagi sains modern dengan mengembalikan makna
sakral alam sebagai manifestasi Tuhan.²²
Oleh karena itu,
kritik modern terhadap kosmologi Islam justru membuka ruang untuk rekonstruksi
epistemologis, yakni integrasi antara sains empiris dan metafisika Islam dalam
paradigma sacred
science.²³
7.4.      
Kritik Metodologis dan Hermeneutik
Selain aspek
teologis dan ilmiah, kritik juga datang dari sisi metodologi dan hermeneutik.
Beberapa sarjana modern seperti Oliver Leaman menyoroti bahwa kosmologi Islam
klasik sering kali menggunakan bahasa simbolik yang sulit diverifikasi secara
konseptual.²⁴ Misalnya, konsep emanasi, intelek aktif, dan hierarki langit
bersifat metaforis sehingga memerlukan interpretasi filosofis yang fleksibel.²⁵
Sementara itu,
Toshihiko Izutsu menilai bahwa kekuatan kosmologi Islam justru terletak pada
struktur semantiknya yang kaya dan simbolis.²⁶ Kritik hermeneutik ini tidak
dimaksudkan untuk menolak validitas kosmologi Islam, melainkan untuk menekankan
perlunya pembacaan ulang yang kontekstual terhadap teks-teks klasik.²⁷
Pendekatan
hermeneutik kontemporer membuka peluang untuk memahami kosmologi Islam secara
dinamis, bukan sebagai sistem tertutup, tetapi sebagai tradisi pengetahuan yang
dapat berdialog dengan kosmologi ilmiah modern.²⁸
Sintesis dan Nilai Kritis
Kritik terhadap
kosmologi Islam, baik dari teologi, filsafat, maupun sains modern, menunjukkan
bahwa tradisi ini bersifat terbuka terhadap revisi dan penafsiran ulang.²⁹
Kosmologi Islam tidak berhenti pada struktur intelektual masa klasik, tetapi
terus berevolusi sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia. Dalam konteks
ini, kritik justru berfungsi sebagai sarana tajdīd al-fikr al-falsafī
(pembaruan pemikiran filosofis), yang menjaga vitalitas tradisi Islam agar
tetap relevan dalam memahami realitas kontemporer.³⁰
Dengan demikian,
kritik terhadap kosmologi Islam bukanlah bentuk penolakan total, melainkan
bagian dari dinamika epistemik yang memperkaya pemahaman manusia tentang
hubungan antara Tuhan, alam, dan ilmu pengetahuan.
Footnotes
[1]               
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 1997), 21–23.
[2]               
Ibid., 58–60.
[3]               
Harry A. Wolfson, The Philosophy of the
Kalam (Cambridge: Harvard University
Press, 1976), 44–47.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 148–150.
[5]               
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 71–75.
[6]               
Ibid., 85–88.
[7]               
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–85.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Three
Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 108–112.
[9]               
Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press,
1980), 93–95.
[10]            
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, ed. Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Dar al-Rayyān,
1986), 2:115–118.
[11]            
Ibid., 2:120–123.
[12]            
Ibid., 3:45–47.
[13]            
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 57–60.
[14]            
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah,
terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research
Institute, 1981), 95–98.
[15]            
John D. Barrow, The Origin of the
Universe (New York: Basic Books,
1994), 17–21.
[16]            
Stephen Hawking, A Brief History of Time (London: Bantam Books, 1988), 39–42.
[17]            
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An
Introduction (Cambridge: Polity
Press, 1985), 118–120.
[18]            
George Saliba, Islamic Science and the
Making of the European Renaissance
(Cambridge: MIT Press, 2007), 67–70.
[19]            
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic
Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid
Society (London: Routledge, 1998),
112–115.
[20]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 36–39.
[21]            
Ibid., 40–42.
[22]            
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 49–52.
[23]            
Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 31–34.
[24]            
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An
Introduction, 129–132.
[25]            
Ibid., 133–135.
[26]            
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
211–214.
[27]            
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul
(Oxford: Oneworld, 2007), 29–31.
[28]            
Nasr, The Need for a Sacred
Science, 45–47.
[29]            
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 51–53.
[30]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 94–96.
8.          
Relevansi
Kontemporer Kosmologi Islam
Kosmologi Islam,
meskipun berakar pada tradisi klasik, memiliki relevansi yang mendalam dalam
konteks kontemporer, terutama dalam menjawab krisis spiritual, ekologis, dan
epistemologis dunia modern. Paradigma modern yang didominasi oleh rasionalisme
sekuler dan materialisme ilmiah telah memisahkan sains dari makna spiritual,
sehingga alam semesta dipandang semata-mata sebagai objek mekanistik tanpa
nilai sakral.¹ Kosmologi Islam menawarkan alternatif dengan mengembalikan
dimensi transenden dan teleologis dalam memahami alam, di mana sains, etika, dan
spiritualitas terjalin secara integral.²
Relevansi kosmologi
Islam saat ini dapat dilihat dalam tiga ranah utama: (1) dialog antara Islam
dan sains modern, (2) tanggapan terhadap krisis lingkungan dan ekologi, dan (3)
rekonstruksi spiritualitas ilmiah yang berbasis pada tauhid.³
8.1.      
Dialog antara Islam dan Sains Modern
Perkembangan
kosmologi ilmiah modern seperti teori Big Bang, relativitas umum, dan
fisika kuantum telah mengubah cara manusia memahami asal-usul dan struktur alam
semesta. Namun, sains modern cenderung mengabaikan dimensi metafisis yang
menjadi inti dari kosmologi Islam.⁴ Dalam perspektif Islam, tidak ada
pertentangan mendasar antara wahyu dan rasio, antara agama dan sains, karena
keduanya merupakan manifestasi dari satu sumber kebenaran, yaitu Tuhan.⁵
Seyyed Hossein Nasr
menegaskan bahwa dialog antara sains dan Islam harus dimulai dari fondasi
metafisik, bukan dari sekadar kesesuaian empiris.⁶ Ia menolak gagasan “Islamisasi
sains” dalam arti sempit, melainkan menyerukan pembentukan kembali
paradigma ilmiah yang berakar pada prinsip tauhid.⁷ Dalam pandangan ini, sains
tidak hanya menjelaskan hukum-hukum alam, tetapi juga menjadi jalan menuju
pengenalan Tuhan melalui keteraturan dan harmoni kosmos.⁸
Beberapa ilmuwan
Muslim kontemporer seperti Osman Bakar dan Ziauddin Sardar berpendapat bahwa
paradigma sains Islam perlu mengintegrasikan dimensi etis dan spiritual dalam
metodologinya.⁹ Misalnya, hukum-hukum alam dipahami bukan sebagai sistem
otonom, tetapi sebagai sunan Allah—hukum Ilahi yang
menunjukkan konsistensi kehendak Tuhan.¹⁰ Dalam konteks ini, kosmologi Islam
berperan sebagai jembatan epistemologis yang menghubungkan keimanan dengan
pengetahuan empiris.
8.2.      
Kosmologi Islam dan Krisis Ekologi Global
Salah satu relevansi
paling penting dari kosmologi Islam di era modern adalah kontribusinya terhadap
etika lingkungan dan kesadaran ekologis. Krisis ekologi yang melanda dunia
dewasa ini—seperti perubahan iklim, eksploitasi alam, dan hilangnya
keanekaragaman hayati—disebabkan oleh paradigma antroposentris yang memisahkan
manusia dari alam.¹¹ Dalam pandangan kosmologis Islam, manusia bukan penguasa
absolut, tetapi khalifah (wakil Tuhan) yang
bertanggung jawab menjaga keseimbangan (mīzān) alam semesta.¹²
Al-Qur’an
menggambarkan alam sebagai ciptaan yang penuh keteraturan dan harmoni, dan
perusakan terhadapnya berarti pelanggaran terhadap tatanan Ilahi.¹³ Prinsip tauhid
mengajarkan bahwa seluruh realitas bersatu dalam keesaan Tuhan; karenanya,
menjaga alam adalah bagian dari ibadah.¹⁴
Seyyed Hossein Nasr
dalam Man and
Nature menyebut krisis ekologi modern sebagai “krisis
spiritualitas,” karena muncul dari pandangan dunia yang kehilangan rasa
sakral terhadap kosmos.¹⁵ Ia menyerukan “rekonsakralisasi alam,” yakni
mengembalikan pemahaman bahwa setiap unsur alam memiliki nilai intrinsik
sebagai refleksi sifat-sifat Tuhan (asma’ Allah).¹⁶ Dalam kerangka ini,
kosmologi Islam dapat memberikan paradigma etika ekologis yang berkelanjutan,
berlandaskan spiritualitas dan tanggung jawab moral.¹⁷
Pendekatan ini juga
sejalan dengan gagasan eco-theology Islam, di mana manusia
dilihat sebagai bagian integral dari kosmos, bukan entitas terpisah.¹⁸ Alam
tidak hanya perlu dilindungi karena kepentingan manusia, tetapi karena ia
memiliki martabat ontologis sebagai ciptaan Ilahi.¹⁹
8.3.      
Relevansi Kosmologi Islam bagi Rekonstruksi
Spiritualitas Ilmiah
Krisis modernitas
tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga epistemologis dan spiritual. Sains
modern yang berdiri di atas asas positivisme cenderung menolak makna dan nilai,
mengakibatkan kehampaan eksistensial manusia.²⁰ Kosmologi Islam menawarkan
rekonstruksi spiritualitas ilmiah dengan menempatkan pengetahuan dalam konteks
sakral.²¹ Dalam paradigma ini, sains tidak hanya menjadi alat untuk memahami
alam, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub
ilallah).²²
Nasr menyebutnya
sebagai ‘ilm
al-muqaddas (ilmu yang disucikan), yakni ilmu yang bersumber dari
kesadaran akan kehadiran Tuhan di balik realitas empiris.²³ Pendekatan ini
menegaskan bahwa rasionalitas sejati tidak menafikan spiritualitas, melainkan
tumbuh dari pengenalan terhadap keteraturan Ilahi dalam kosmos.²⁴
Filsafat hikmah
yang dikembangkan oleh Suhrawardi dan Mulla Sadra juga memiliki relevansi besar
bagi rekonstruksi spiritualitas ilmiah.²⁵ Suhrawardi menekankan pentingnya
intuisi dan penyinaran batin (isyraq) sebagai pelengkap
rasionalitas ilmiah, sementara Mulla Sadra menekankan gradasi wujud (tasykīk
al-wujūd) yang menunjukkan bahwa pengetahuan sejati adalah
partisipasi eksistensial dalam realitas Ilahi.²⁶ Dengan demikian, kosmologi
Islam tidak hanya berbicara tentang struktur alam, tetapi juga tentang
transformasi spiritual manusia yang memahaminya.²⁷
8.4.      
Kosmologi Islam dalam Pendidikan dan Peradaban
Kontemporer
Relevansi kosmologi
Islam juga terletak pada potensinya dalam membangun paradigma pendidikan dan
peradaban yang integral.²⁸ Dalam sistem pendidikan modern yang cenderung
fragmentaris, kosmologi Islam dapat mengembalikan kesatuan antara ilmu, etika,
dan spiritualitas.²⁹ Osman Bakar menegaskan bahwa integrasi ini sangat penting
untuk melahirkan manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi
juga bijaksana secara moral.³⁰
Dalam pendidikan
Islam, pemahaman kosmologi bukan sekadar pelajaran tentang struktur alam,
tetapi sarana untuk menumbuhkan kesadaran tauhidi.³¹ Melalui pendekatan ini,
peserta didik diajak melihat dunia bukan hanya sebagai objek kajian ilmiah,
tetapi juga sebagai tanda-tanda Ilahi yang menumbuhkan rasa takjub (ta‘ajjub)
dan syukur (shukr).³²
Dengan demikian,
relevansi kosmologi Islam pada abad ke-21 tidak terletak pada kemampuannya
menggantikan sains modern, tetapi pada kemampuannya memberikan kerangka
makna bagi sains itu sendiri.³³ Dalam dunia yang semakin teknologis
dan sekuler, kosmologi Islam mengingatkan manusia akan kesakralan eksistensi
dan tanggung jawab spiritualnya terhadap alam semesta.³⁴
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 43–45.
[2]               
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 37–40.
[3]               
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the
Modern World (Oxford: Oneworld,
2007), 6–8.
[4]               
Stephen Hawking, A Brief History of Time (London: Bantam Books, 1988), 40–42.
[5]               
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, terj. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959),
21–23.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 93–95.
[7]               
Ibid., 98–100.
[8]               
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 45–48.
[9]               
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The
Shape of Ideas to Come (London:
Mansell, 1985), 61–64.
[10]            
Al-Qur’an, Surah Al-A‘raf [7] ayat 54.
[11]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 24–27.
[12]            
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
[13]            
Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.
[14]            
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 203–205.
[15]            
Nasr, Man and Nature, 68–71.
[16]            
Ibid., 73–76.
[17]            
Osman Bakar, Environmental Ethics in
Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001),
18–20.
[18]            
Fazlun Khalid, Islam and the
Environment (London: Ta-Ha, 2002),
12–15.
[19]            
William C. Chittick, The
Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–44.
[20]            
Ziauddin Sardar, The Future of Muslim
Civilization (London: Mansell,
1979), 99–101.
[21]            
Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 28–31.
[22]            
Ibid., 33–35.
[23]            
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 101–103.
[24]            
Osman Bakar, Tawhid and Science, 49–52.
[25]            
Shihab al-Din al-Suhrawardi, The
Philosophy of Illumination, terj.
John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999),
25–28.
[26]            
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah,
terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research
Institute, 1981), 106–109.
[27]            
Christian Jambet, The Act of Being: The
Philosophy of Revelation in Mulla Sadra
(New York: Zone Books, 2006), 59–61.
[28]            
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam, 50–52.
[29]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature, 46–48.
[30]            
Osman Bakar, The History and
Philosophy of Islamic Science
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 61–63.
[31]            
Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.
[32]            
Nasr, Man and Nature, 77–79.
[33]            
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul,
28–31.
[34]            
Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science, 47–49.
9.          
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis
kosmologi Islam merupakan upaya untuk memadukan tiga dimensi utama dalam
pandangan dunia Islam: wahyu (al-waḥy), akal (al-‘aql),
dan intuisi spiritual (al-kashf). Melalui sintesis ini,
kosmologi Islam tidak hanya berfungsi sebagai sistem penjelasan metafisis
tentang alam, tetapi juga sebagai kerangka epistemologis, etis, dan spiritual
yang memadukan ilmu pengetahuan dengan kesadaran ilahi.¹ Sintesis tersebut
menunjukkan bahwa seluruh realitas bersumber dari Tuhan, bergerak di bawah
hukum-hukum-Nya, dan kembali kepada-Nya.²
Dalam struktur
sintesis ini, alam semesta tidak dipahami semata-mata sebagai entitas fisik
yang tunduk pada hukum kausalitas, melainkan sebagai manifestasi dinamis dari
kehendak dan kebijaksanaan Ilahi (ḥikmah ilāhiyyah).³ Kosmos menjadi
cermin bagi kesempurnaan Tuhan, sementara manusia menjadi saksi (shāhid)
dan penafsir dari tanda-tanda-Nya (āyāt Allāh).⁴ Dengan demikian,
kosmologi Islam melampaui batas-batas antara sains, filsafat, dan
teologi—menyatukan ketiganya dalam satu visi metafisis yang menyeluruh.
9.1.      
Integrasi antara Wahyu, Akal, dan Intuisi
Sintesis filosofis
dalam kosmologi Islam berakar pada pandangan bahwa kebenaran tidak bersifat
tunggal dalam metode, tetapi satu dalam substansi. Wahyu memberikan fondasi
ontologis dan moral; akal memberikan struktur rasional; sementara intuisi atau isyraq
memberikan kedalaman spiritual.⁵ Ketiganya bukanlah sumber pengetahuan yang
saling bertentangan, tetapi saling melengkapi untuk menyingkap realitas Ilahi.
Al-Farabi dan Ibn
Sina mewakili puncak integrasi rasional antara wahyu dan filsafat, dengan
menjelaskan bahwa wahyu adalah bentuk pengetahuan intelektual tertinggi yang
disampaikan melalui imajinasi kenabian.⁶ Sementara Suhrawardi dan Mulla Sadra
memperluasnya ke wilayah metafisika iluminatif dan eksistensialis, dengan
menekankan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui penyinaran
wujud—yakni penyatuan antara akal, jiwa, dan realitas Ilahi.⁷
Mulla Sadra menyebut
pendekatan ini sebagai al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat
transendental), yang memadukan teologi (kalām), rasionalisme peripatetik,
dan intuisi mistik.⁸ Dalam kerangka ini, seluruh bentuk pengetahuan bersumber
dari satu realitas wujud yang sama, namun diungkapkan melalui berbagai
tingkatan persepsi manusia.⁹ Dengan demikian, integrasi epistemologis ini
menegaskan bahwa kebenaran metafisis, ilmiah, dan spiritual tidak bisa
dipisahkan tanpa kehilangan makna hakikinya.¹⁰
9.2.      
Kesatuan Ontologis antara Tuhan, Alam, dan
Manusia
Sintesis filosofis
kosmologi Islam juga terwujud dalam konsep kesatuan ontologis (wahdat
al-wujūd). Menurut Ibn Arabi, seluruh realitas merupakan
manifestasi dari satu Wujud Mutlak yang menyingkapkan diri-Nya dalam berbagai
bentuk eksistensi.¹¹ Alam bukanlah ciptaan yang berdiri sendiri, melainkan tajallī
(penyingkapan) dari sifat-sifat Tuhan (asmā’ wa ṣifāt Allāh).¹² Manusia,
sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr), mencerminkan
seluruh struktur makrokosmos (al-‘ālam al-kabīr) dan dengan
demikian menjadi penghubung antara Tuhan dan alam.¹³
Konsep ini tidak
dimaksudkan sebagai panteisme, tetapi sebagai ekspresi metafisis bahwa semua
wujud bergantung pada Wujud Mutlak tanpa kehilangan keunikannya
masing-masing.¹⁴ Henry Corbin menafsirkan wahdat al-wujūd sebagai ontologi
simbolik, di mana setiap realitas fisik merupakan citra dari realitas spiritual
yang lebih tinggi.¹⁵ Dalam pengertian ini, kosmologi Islam menolak dualisme
Cartesian antara subjek dan objek, serta menggantinya dengan model eksistensial
yang memandang seluruh realitas sebagai jejaring makna yang berpusat pada
Tuhan.¹⁶
9.3.      
Relasi Kosmologi dan Etika: Dari Kontemplasi ke
Tanggung Jawab
Sintesis kosmologis
Islam tidak berhenti pada penjelasan metafisis, tetapi juga berimplikasi etis.
Dalam kerangka aksiologis, alam dipahami sebagai amanah yang harus dijaga, karena
setiap ciptaan memiliki nilai spiritual sebagai tanda kehadiran Tuhan.¹⁷ Oleh
sebab itu, kesadaran kosmologis selalu disertai dengan kesadaran moral:
memahami struktur wujud berarti memahami tanggung jawab manusia di dalamnya.¹⁸
Al-Ghazali menegaskan
bahwa kontemplasi terhadap alam semesta merupakan jalan menuju pengenalan Ilahi
(ma‘rifah).¹⁹
Sementara Nasr menafsirkan bahwa tindakan manusia terhadap lingkungan
merefleksikan kesadaran metafisisnya terhadap Tuhan.²⁰ Dalam dunia modern yang
kehilangan dimensi spiritual, sintesis etis ini menjadi landasan untuk
membangun paradigma ekoteologis Islam yang menekankan harmoni antara sains,
iman, dan tindakan ekologis.²¹
Dengan demikian,
etika kosmologis Islam berpangkal pada tauhid aksional, yakni kesatuan
antara pengetahuan dan perbuatan.²² Mengetahui alam berarti menghormatinya;
memahami wujud berarti menjaga keteraturan Ilahi dalam kehidupan.
9.4.      
Sintesis Sains dan Spiritualitas: Menuju
Paradigma Ilmu Sakral
Salah satu
kontribusi paling penting dari kosmologi Islam bagi dunia kontemporer adalah
rekonstruksi hubungan antara sains dan spiritualitas. Seyyed Hossein Nasr
menyebut pendekatan ini sebagai sacred science, yaitu ilmu yang
berakar pada prinsip tauhid dan memandang realitas
empiris sebagai cerminan struktur Ilahi.²³ Dalam kerangka ini, sains tidak
sekadar menjelaskan fenomena alam, tetapi juga mengantarkan manusia kepada
makna ontologis di balik fenomena tersebut.²⁴
Paradigma ilmu
sakral tidak menolak metode empiris, tetapi menempatkannya dalam konteks
metafisis.²⁵ Observasi ilmiah dipahami sebagai tafakkur—proses spiritual yang
mengantarkan manusia untuk menyaksikan kebesaran Tuhan melalui ciptaan-Nya.²⁶
Dengan demikian, ilmu tidak lagi menjadi sarana dominasi, melainkan jalan
menuju taqarrub
ilā Allāh (kedekatan kepada Tuhan).²⁷
Kosmologi Islam,
dalam sintesis ini, menawarkan paradigma pengetahuan yang komprehensif:
rasional dalam metode, spiritual dalam tujuan, dan etis dalam penerapan.²⁸
Implikasi Filosofis: Tauhid sebagai Prinsip
Universal
Inti dari seluruh
sintesis filosofis kosmologi Islam adalah prinsip tauhid—bahwa seluruh realitas
merupakan kesatuan yang berakar pada Tuhan.²⁹ Tauhid bukan sekadar pernyataan
teologis, tetapi juga prinsip epistemologis dan ontologis yang menjamin keterpaduan
antara pikiran, nilai, dan realitas.³⁰ Dalam konteks ini, kosmologi Islam
menegaskan bahwa pluralitas fenomena alam tidak meniadakan kesatuan hakikat,
tetapi justru mengungkapkannya melalui keberagaman wujud.³¹
Prinsip tauhid
juga menjadi dasar bagi rekonstruksi ilmu pengetahuan, etika, dan peradaban
Islam modern.³² Ia memberikan arah teleologis bagi seluruh aktivitas
manusia—bahwa tujuan akhir pengetahuan bukanlah kekuasaan atas alam, melainkan
kebijaksanaan untuk hidup selaras dengan tatanan Ilahi.³³
Dengan demikian,
sintesis filosofis kosmologi Islam tidak hanya menggabungkan tradisi rasional,
teologis, dan mistik, tetapi juga membuka jalan bagi paradigma pengetahuan yang
lebih holistik dan berorientasi spiritual. Dalam dunia yang terfragmentasi oleh
sekularisme dan reduksionisme ilmiah, sintesis ini menjadi landasan bagi
kebangkitan kembali filsafat Islam sebagai pandangan dunia yang menyatukan
sains, etika, dan spiritualitas dalam satu kesadaran tauhidi yang utuh.³⁴
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 91–93.
[2]               
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 41–44.
[3]               
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 172–175.
[4]               
Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.
[5]               
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul
(Oxford: Oneworld, 2007), 22–25.
[6]               
Al-Farabi, The Principles of the
Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press,
1985), 68–71.
[7]               
Shihab al-Din al-Suhrawardi, The
Philosophy of Illumination, terj.
John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999),
25–28.
[8]               
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah,
terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research
Institute, 1981), 112–115.
[9]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla
Sadra (Albany: SUNY Press, 1975),
129–132.
[10]            
Christian Jambet, The Act of Being: The
Philosophy of Revelation in Mulla Sadra
(New York: Zone Books, 2006), 58–61.
[11]            
Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press,
1980), 90–92.
[12]            
Henry Corbin, Creative Imagination in
the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton:
Princeton University Press, 1969), 99–102.
[13]            
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 64–67.
[14]            
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
210–212.
[15]            
Henry Corbin, Temple and
Contemplation (London: KPI, 1986),
73–76.
[16]            
Seyyed Hossein Nasr, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 108–111.
[17]            
Osman Bakar, Environmental Ethics in
Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001),
18–21.
[18]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 37–39.
[19]            
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990),
122–124.
[20]            
Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man
(London: Unwin, 1976), 71–73.
[21]            
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul,
33–36.
[22]            
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 53–56.
[23]            
Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 31–34.
[24]            
Ibid., 36–38.
[25]            
Mulla Sadra, Al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah, 120–123.
[26]            
Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, 40–43.
[27]            
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 98–101.
[28]            
Osman Bakar, Tawhid and Science, 49–51.
[29]            
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 204–206.
[30]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature, 45–47.
[31]            
William C. Chittick, The
Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 40–43.
[32]            
Osman Bakar, The History and
Philosophy of Islamic Science
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 58–61.
[33]            
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature, 77–80.
[34]            
Nasr, The Need for a Sacred
Science, 45–48.
10.       Kesimpulan
Kosmologi Islam
merupakan suatu sistem pemikiran yang menyatukan dimensi metafisis, rasional,
dan spiritual dalam memahami realitas alam semesta. Ia tidak hanya menjelaskan
asal-usul dan struktur kosmos, tetapi juga menyingkap makna eksistensial yang
mendalam di balik tatanan ciptaan. Dalam kerangka ini, Tuhan (Allah Swt)
dipahami sebagai Wujud Mutlak (al-Wujūd
al-Ḥaqq), sumber segala eksistensi, sedangkan alam semesta
merupakan manifestasi dari kehendak dan kebijaksanaan Ilahi.¹ Manusia, pada
gilirannya, menempati posisi sentral sebagai khalifah—penghubung antara Tuhan
dan alam—yang diberi amanah untuk menjaga keseimbangan dan harmoni kosmik.²
Melalui dimensi ontologis,
kosmologi Islam menegaskan bahwa seluruh wujud berakar pada realitas tunggal
Ilahi, di mana Tuhan tidak terpisah dari ciptaan, melainkan transenden dan
imanen sekaligus.³ Melalui epistemologi, ia menawarkan
model pengetahuan yang integratif, menggabungkan wahyu, rasio, dan intuisi
spiritual dalam memahami hakikat alam.⁴ Sedangkan melalui aksiologi,
ia memandang alam sebagai amanah yang memiliki nilai moral
dan spiritual, sehingga hubungan manusia dengan kosmos bukan hubungan
eksploitasi, tetapi hubungan etis dan penuh tanggung jawab.⁵
10.1.   
Integrasi antara Sains, Filsafat, dan
Spiritualitas
Kosmologi Islam
memiliki relevansi yang sangat penting di tengah krisis modernitas yang
ditandai oleh sekularisasi ilmu pengetahuan dan disintegrasi antara sains dan
nilai.⁶ Paradigma sains modern, yang berakar pada materialisme dan
reduksionisme, cenderung mengabaikan aspek spiritual dari alam, sehingga
menyebabkan alienasi manusia dari kosmos.⁷ Dalam konteks ini, kosmologi Islam
hadir sebagai paradigma alternatif yang mengintegrasikan sains dengan kesadaran
metafisis.
Seyyed Hossein Nasr
menegaskan bahwa sains modern perlu “disucikan” melalui pemulihan kesadaran
akan kesakralan alam, karena pengetahuan sejati dalam Islam tidak pernah
terpisah dari nilai-nilai spiritual dan moral.⁸ Dalam pandangan ini, ilmu
pengetahuan bukan semata aktivitas kognitif, tetapi juga ibadah intelektual
yang mengantarkan manusia kepada pengenalan Tuhan.⁹ Maka, kosmologi Islam dapat
menjadi jembatan antara pengetahuan empiris dan spiritualitas, antara
objektivitas ilmiah dan kesadaran tauhidi.¹⁰
10.2.   
Kesadaran Tauhidi sebagai Fondasi Peradaban
Inti dari seluruh
kosmologi Islam adalah prinsip tauhid, yaitu kesatuan Tuhan yang
menjadi sumber dari segala wujud dan pengetahuan.¹¹ Tauhid bukan hanya doktrin
teologis, tetapi prinsip ontologis dan etis yang mengatur seluruh aspek
kehidupan. Dalam kosmologi Islam, tauhid menandai keterpaduan antara
realitas alam dan moralitas manusia, antara ciptaan dan Sang Pencipta.¹² Oleh
sebab itu, pandangan dunia Islam (Islamic worldview) bersifat
holistik dan sakral: setiap fenomena alam dipandang sebagai tanda Ilahi (āyāt
Allāh) yang memiliki makna spiritual.¹³
Kesadaran tauhidi
juga memiliki implikasi peradaban yang luas. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia menuntun
arah penelitian yang berorientasi pada keseimbangan antara kemajuan dan
keberlanjutan. Dalam bidang etika, ia menegaskan tanggung jawab manusia
terhadap alam dan sesama.¹⁴ Dalam bidang spiritualitas, ia memupuk kesadaran
bahwa seluruh eksistensi adalah bagian dari kesatuan kosmik yang suci.¹⁵ Dengan
demikian, tauhid
menjadi asas bagi rekonstruksi peradaban modern yang manusiawi, ekologis, dan
berakar pada nilai-nilai transenden.¹⁶
10.3.   
Sintesis Filosofis dan Relevansi Kontemporer
Kosmologi Islam
berhasil mensintesiskan tiga tradisi besar dalam sejarah pemikiran manusia:
teologi ketuhanan, rasionalitas filsafat Yunani, dan spiritualitas mistik
Timur.¹⁷ Melalui para pemikir seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn
Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Sadra, Islam telah melahirkan pandangan kosmologis
yang utuh, di mana pengetahuan, etika, dan spiritualitas berpadu dalam kesatuan
harmoni.¹⁸
Relevansi kosmologi
Islam di era kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menawarkan paradigma
ilmu pengetahuan yang berakar pada nilai-nilai ilahiah.¹⁹ Di tengah krisis
lingkungan, fragmentasi ilmu, dan kehampaan spiritual, kosmologi Islam
mengingatkan bahwa alam bukan sekadar objek material, melainkan manifestasi
kehadiran Tuhan.²⁰ Maka, memahami kosmos bukan hanya aktivitas ilmiah, tetapi
juga perjalanan eksistensial menuju kesadaran Ilahi.²¹
Penutup: Menuju Kesadaran Kosmologis Islam
Kosmologi Islam,
dengan seluruh kerangka ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, mengajak
manusia untuk kembali kepada kesadaran kosmik yang sakral—bahwa alam semesta
adalah “tanda” Tuhan yang hidup dan berinteraksi dengan manusia.²²
Kesadaran ini menuntut sikap tawadhu‘ di hadapan kebesaran
ciptaan dan menegaskan kembali peran manusia sebagai penjaga keseimbangan alam
(khalīfah
fī al-arḍ).²³
Dengan demikian,
sintesis filosofis dan spiritual kosmologi Islam tidak hanya meneguhkan iman,
tetapi juga memberikan arah baru bagi sains dan peradaban modern.²⁴ Ia
mengajarkan bahwa puncak pengetahuan bukanlah penguasaan atas alam, melainkan
pemahaman terhadap keteraturan Ilahi yang menuntun manusia untuk hidup selaras
dengan Sang Pencipta.²⁵ Dalam kesatuan antara Tuhan, alam, dan manusia inilah,
kosmologi Islam menemukan maknanya yang sejati—sebagai filsafat keberadaan yang
sekaligus etika kehidupan.²⁶
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 12–14.
[2]               
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
[3]               
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), 25–28.
[4]               
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 44–46.
[5]               
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990),
115–117.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 43–45.
[7]               
Ibid., 68–71.
[8]               
Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: SUNY Press, 1993),
32–35.
[9]               
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul
(Oxford: Oneworld, 2007), 19–21.
[10]            
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 38–41.
[11]            
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 176–179.
[12]            
William C. Chittick, The
Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 43–46.
[13]            
Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.
[14]            
Osman Bakar, Environmental Ethics in
Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001),
14–17.
[15]            
Henry Corbin, Creative Imagination in
the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton:
Princeton University Press, 1969), 101–104.
[16]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 45–48.
[17]            
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 157–160.
[18]            
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla
Sadra (Albany: SUNY Press, 1975),
118–120.
[19]            
Osman Bakar, The History and
Philosophy of Islamic Science
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 59–62.
[20]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 93–96.
[21]            
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 203–205.
[22]            
Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.
[23]            
Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam, 51–54.
[24]            
Nasr, The Need for a Sacred
Science, 46–48.
[25]            
William C. Chittick, Science
of the Cosmos, Science of the Soul,
31–34.
[26]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred, 97–100.
Daftar Pustaka 
Al-Farabi. (1985). The principles of the
opinions of the citizens of the virtuous city (R. Walzer, Trans.). Oxford:
Clarendon Press.
Al-Farabi. (1969). Kitab al-Huruf (M. Mahdi,
Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali. (1990). Ihya’ ‘Ulum al-Din (N.
A. Faris, Trans.). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Ghazali. (1997). Tahafut al-Falasifah (M.
E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.
Al-Qur’an al-Karim.
Bakar, O. (1991). Tawhid and science: Essays on
the history and philosophy of Islamic science. Kuala Lumpur: Nurin
Enterprise.
Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in
Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Bakar, O. (1999). The history and philosophy of
Islamic science. Cambridge: Islamic Texts Society.
Bakar, O. (2001). Environmental ethics in Islam.
Kuala Lumpur: IKIM.
Barrow, J. D. (1994). The origin of the universe.
New York: Basic Books.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany: SUNY Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. Albany: SUNY Press.
Chittick, W. C. (2007). Science of the cosmos,
science of the soul: The pertinence of Islamic cosmology in the modern world.
Oxford: Oneworld.
Corbin, H. (1969). Creative imagination in the
Sufism of Ibn ‘Arabi. Princeton: Princeton University Press.
Corbin, H. (1978). The man of light in Iranian
Sufism. Boulder: Shambhala.
Corbin, H. (1986). Temple and contemplation.
London: KPI.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.
Fazlur Rahman. (1975). The philosophy of Mulla
Sadra. Albany: SUNY Press.
Hawking, S. (1988). A brief history of time.
London: Bantam Books.
Ibn Arabi. (1980). Fusus al-Hikam (R. W. J.
Austin, Trans.). New York: Paulist Press.
Ibn Kathir. (1994). Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
(Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Rushd. (1959). Fasl al-Maqal (G. F.
Hourani, Trans.). Leiden: Brill.
Ibn Sina. (2005). Al-Shifa: Metaphysics (M.
E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.
Izutsu, T. (1966). Ethico-religious concepts in
the Qur’an. Montreal: McGill University Press.
Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A
comparative study of key philosophical concepts. Berkeley: University of
California Press.
Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur’an:
Semantics of the Qur’anic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Jambet, C. (2006). The act of being: The
philosophy of revelation in Mulla Sadra. New York: Zone Books.
Khalid, F. (2002). Islam and the environment.
London: Ta-Ha Publishers.
Leaman, O. (1985). An introduction to classical
Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Leaman, O. (1985). Islamic philosophy: An introduction.
Cambridge: Polity Press.
Mulla Sadra. (1981). Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah
fi al-Asfar al-Arba‘ah (S. J. Ashtiyani, Trans.). Teheran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute.
Nasr, S. H. (1964). An introduction to Islamic
cosmological doctrines. Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1976). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. London: Unwin.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany: SUNY Press.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred
science. Albany: SUNY Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. New York: Oxford University Press.
Sardar, Z. (1979). The future of Muslim
civilization. London: Mansell.
Sardar, Z. (1985). Islamic futures: The shape of
ideas to come. London: Mansell.
Saliba, G. (2007). Islamic science and the
making of the European Renaissance. Cambridge: MIT Press.
Suhrawardi, S. al-D. (1999). The philosophy of
illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Provo: Brigham Young
University Press.
Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the
Kalam. Cambridge: Harvard University Press.
Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A
study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Atlanta: Scholars Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar