Kamis, 23 Oktober 2025

Kosmologi Islam: Antara Wahyu, Akal, dan Keteraturan Alam

Kosmologi Islam

Antara Wahyu, Akal, dan Keteraturan Alam


Alihkan ke: Metafisika Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Kosmologi Islam sebagai sistem filsafat yang memadukan dimensi teologis, metafisis, epistemologis, dan etis dalam memahami realitas alam semesta. Kosmologi Islam berangkat dari prinsip tauhid—keesaan Tuhan sebagai sumber dan tujuan segala wujud—serta menempatkan manusia sebagai khalīfah (wakil Tuhan) yang bertanggung jawab terhadap keteraturan kosmik. Secara historis, pemikiran kosmologis Islam berkembang melalui sintesis antara warisan wahyu Qur’ani dan filsafat Yunani, yang kemudian diformulasikan oleh para pemikir seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra. Secara ontologis, kosmologi Islam melihat alam sebagai manifestasi dari Wujud Ilahi yang memiliki struktur hierarkis dan penuh makna spiritual. Secara epistemologis, pengetahuan tentang kosmos diperoleh melalui integrasi antara wahyu, akal, dan intuisi spiritual (isyraq). Sementara secara aksiologis, kosmos memiliki nilai moral sebagai amanah Tuhan yang menuntut manusia untuk menjaga mīzān (keseimbangan) alam. Artikel ini juga menguraikan kritik terhadap kosmologi Islam dari perspektif teologi, filsafat, dan sains modern, serta menunjukkan relevansi kontemporernya dalam menjawab krisis ekologi dan disintegrasi spiritual dunia modern. Pada akhirnya, kosmologi Islam menawarkan paradigma pengetahuan yang holistik dan sakral, di mana sains, etika, dan spiritualitas berpadu dalam satu kesadaran tauhidi yang menyatukan Tuhan, alam, dan manusia dalam kesatuan wujud dan makna.

Kata Kunci: Kosmologi Islam, Tauhid, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Filsafat Islam, Wahyu, Akal, Iluminasi, Seyyed Hossein Nasr, Etika Ekologis, Spiritualitas, Ilmu Sakral.


PEMBAHASAN

Posisi Kosmologi Islam dalam Wacana Global antara Sains dan Spiritualitas


1.           Pendahuluan

Kosmologi Islam merupakan salah satu cabang penting dalam filsafat Islam yang membahas asal-usul, struktur, dan tujuan alam semesta berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan dan wahyu. Dalam konteks ini, kosmologi tidak sekadar dipahami sebagai teori tentang benda langit atau proses fisika semesta, melainkan sebagai upaya untuk memahami keteraturan ciptaan Tuhan dan posisi manusia di dalamnya. Dengan demikian, pembahasan kosmologi Islam selalu berhubungan dengan teologi, metafisika, dan etika, sebab hakikat alam dalam pandangan Islam tidak pernah terlepas dari konsep tauhid—yakni kesatuan Tuhan sebagai sumber segala realitas dan makna kehidupan.¹

Dalam sejarah pemikiran Islam, perdebatan tentang alam semesta telah menjadi medan dialog antara wahyu dan akal. Al-Qur’an, misalnya, mengandung banyak ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan penciptaan langit dan bumi (afala yanzhuruna ila al-ibili kaifa khuliqat), yang menandakan bahwa pengetahuan tentang kosmos merupakan bagian dari pengetahuan tentang Tuhan.² Hal ini menjadikan refleksi kosmologis bukan semata aktivitas rasional, tetapi juga spiritual—suatu bentuk tafakkur yang menghubungkan pemikiran dengan keimanan. Dalam kerangka ini, kosmologi Islam memiliki orientasi teosentris: alam semesta dipandang sebagai tanda-tanda Ilahi (ayat kauniyyah) yang menuntun manusia menuju kesadaran transendental.³

Namun, sejak masa klasik, para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina mencoba menafsirkan alam dengan pendekatan rasional-filosofis yang juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dan Plotinus. Mereka mengembangkan konsep emanasi (fayḍ) untuk menjelaskan bagaimana dari Wujud Pertama (Tuhan) memancar seluruh tingkatan realitas tanpa mengurangi kesempurnaan-Nya.⁴ Sementara itu, para teolog (mutakallimun) seperti Al-Ghazali mengkritik pendekatan ini karena dianggap mengaburkan konsep penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo).⁵ Pertentangan ini menunjukkan dinamika intelektual Islam yang kaya—antara pendekatan rasional dan teologis, antara filsafat dan kalam, antara akal dan wahyu.

Dalam konteks modern, kosmologi Islam kembali mendapatkan perhatian, terutama karena tantangan yang datang dari kosmologi ilmiah seperti teori Big Bang, multiverse, dan evolusi kosmos. Para pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa krisis ekologis dan spiritual umat manusia modern berakar pada hilangnya pandangan sakral terhadap alam semesta.⁶ Menurutnya, kosmologi Islam yang berakar pada prinsip tauhid dan keteraturan Ilahi dapat menawarkan paradigma alternatif—suatu “kosmologi sakral” yang menyatukan dimensi ilmiah dan spiritual dalam memahami alam.⁷

Oleh karena itu, artikel ini berupaya mengkaji kosmologi Islam secara komprehensif, dengan menelusuri landasan historisnya, kerangka ontologis dan epistemologisnya, nilai-nilai aksiologis yang terkandung di dalamnya, serta relevansinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan krisis ekologi masa kini. Kajian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kosmologi Islam bukanlah sekadar wacana metafisik kuno, melainkan sebuah pandangan dunia (weltanschauung) yang masih memiliki daya kritis dan solutif bagi manusia modern yang mencari keterpaduan antara sains dan spiritualitas.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 3–5.

[2]                Al-Qur’an, Surah Al-Ghasyiyah [88] ayat 17.

[3]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 45–47.

[4]                Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 67–71.

[5]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 78–82.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 21–24.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 12–14.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Intelektual Kosmologi Islam

Kosmologi Islam berakar pada pandangan dunia Qur’ani yang memandang alam semesta (al-‘alam) sebagai ciptaan Allah yang penuh makna dan keteraturan. Al-Qur’an tidak sekadar menyingkap realitas fisik, melainkan juga memberikan fondasi teologis bahwa segala yang ada merupakan manifestasi dari kehendak Ilahi. Dalam banyak ayat, alam disebut sebagai ayat kauniyyah—tanda-tanda yang menunjuk pada keesaan dan kekuasaan Tuhan.¹ Ayat-ayat seperti “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran [3] ayat 190) menunjukkan bahwa refleksi atas kosmos merupakan bagian dari jalan spiritual menuju pengetahuan tentang Tuhan.² Dengan demikian, landasan historis kosmologi Islam bermula dari wahyu yang menuntun manusia untuk menggunakan akal (‘aql) dan perenungan (tafakkur) dalam memahami struktur dan tujuan alam semesta.

2.1.       Fase Awal: Kosmologi Qur’ani dan Tradisi Kalam

Pada masa awal Islam (abad ke-7 hingga ke-9 M), pemikiran tentang alam berkembang dalam ranah teologis melalui ilmu kalam. Para teolog Muslim seperti al-Jahiz, al-Ash‘ari, dan al-Maturidi berupaya menjelaskan hubungan antara Tuhan, kehendak-Nya, dan keberadaan alam. Aliran Mu‘tazilah menekankan peran rasio dan kebebasan kehendak Tuhan dalam menciptakan alam, sementara kalangan Asy‘ariyah menekankan occasionalism—pandangan bahwa setiap kejadian di alam merupakan akibat langsung dari kehendak Tuhan, bukan dari sebab-sebab alami yang otonom.³

Konsep atomisme Islam yang dikembangkan oleh mutakallimun merupakan salah satu upaya awal untuk memahami struktur dasar alam semesta. Dalam pandangan ini, dunia tersusun atas atom-atom yang tidak memiliki sifat kecuali ketika Allah memberinya bentuk dan gerak setiap saat.⁴ Model ini berbeda dari pandangan Aristoteles yang menekankan kausalitas alami; dalam teologi Islam klasik, hubungan sebab-akibat bersifat kontingen dan sepenuhnya bergantung pada kehendak Ilahi.⁵ Dengan demikian, kosmologi Islam awal dibangun di atas dasar teologis yang menolak otonomi alam, tetapi tetap membuka ruang bagi rasionalitas dalam menjelaskan fenomena ciptaan.

2.2.       Fase Klasik: Integrasi Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam

Ketika peradaban Islam memasuki masa keemasan pada abad ke-9 hingga ke-12 M, muncul gerakan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsafat Yunani, terutama karya Plato, Aristoteles, dan Plotinus.⁶ Melalui pusat intelektual seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, para filsuf Muslim berusaha mengharmoniskan wahyu dengan filsafat rasional. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina mengembangkan sistem kosmologi yang menjelaskan bagaimana dari Tuhan sebagai Wujud Pertama (al-wujud al-awwal) memancar realitas bertingkat melalui proses emanasi (fayḍ).⁷

Menurut Al-Farabi, Tuhan sebagai sebab pertama memancarkan intelek pertama, yang kemudian melahirkan intelek-intelek berikutnya sampai pada dunia materi. Struktur kosmos dipahami secara hierarkis, di mana setiap lapisan eksistensi menggambarkan keteraturan dan kesempurnaan Ilahi.⁸ Ibn Sina kemudian menyempurnakan model ini dalam Kitab al-Syifa, dengan menjelaskan bahwa seluruh realitas bersumber dari satu wujud niscaya (wajib al-wujud), sementara semua selain-Nya bersifat mungkin (mumkin al-wujud).⁹ Dalam pandangan ini, alam bukanlah hasil kebetulan, tetapi cerminan dari nalar Ilahi yang tertib dan rasional.

Namun, pandangan ini menimbulkan perdebatan tajam di kalangan teolog. Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menolak konsep emanasi karena dianggap meniadakan kebebasan dan kehendak Tuhan dalam menciptakan alam.¹⁰ Ia menegaskan bahwa penciptaan terjadi karena kehendak mutlak Allah, bukan melalui mekanisme yang bersifat niscaya. Kritik ini menandai pergeseran dari kosmologi rasional menuju teosentrisme yang lebih ketat, sekaligus memperlihatkan dinamika intelektual Islam antara rasio filosofis dan ortodoksi teologis.

2.3.       Fase Hikmah dan Tasawuf: Kosmologi Iluminatif dan Eksistensial

Pada abad ke-12 hingga ke-17 M, muncul arus baru yang menggabungkan dimensi metafisis, spiritual, dan filosofis dalam memahami alam: filsafat iluminasi (hikmah al-isyrāqiyyah) dan filsafat hikmah (al-hikmah al-muta‘āliyyah). Suhrawardi memperkenalkan kosmologi berbasis cahaya, di mana seluruh realitas dipandang sebagai gradasi intensitas cahaya Ilahi (nur al-anwar).¹¹ Alam semesta merupakan refleksi dari emanasi cahaya Tuhan, dan pengetahuan sejati diperoleh melalui penyinaran batin (isyraq) yang menyatukan akal dan intuisi spiritual.¹²

Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Mulla Sadra dalam sistem al-hikmah al-muta‘āliyyah. Ia mengajukan konsep ashalat al-wujud (keberutamaan eksistensi) dan tasykik al-wujud (gradasi eksistensi) untuk menjelaskan keterhubungan antara Tuhan dan kosmos.¹³ Menurutnya, seluruh wujud berasal dari realitas tunggal yang bertingkat—dari eksistensi tertinggi (Tuhan) hingga eksistensi paling lemah (materi). Pandangan ini menjadi salah satu bentuk tertinggi sintesis antara teologi, filsafat, dan tasawuf dalam kosmologi Islam, yang melihat alam bukan hanya sebagai objek rasional, tetapi juga medan penyingkapan kehadiran Ilahi.


Relevansi Historis: Dari Klasik ke Kontemporer

Genealogi intelektual kosmologi Islam menunjukkan bahwa tradisi ini selalu terbuka terhadap dialog antara wahyu dan rasio. Meskipun berakar pada teologi tauhid, kosmologi Islam tidak menolak sains dan filsafat, melainkan berupaya mengintegrasikannya dalam kerangka sakral.¹⁴ Dalam konteks modern, gagasan ini kembali diangkat oleh pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Osman Bakar yang menekankan pentingnya mengembalikan dimensi spiritual dalam ilmu pengetahuan.¹⁵

Oleh karena itu, landasan historis kosmologi Islam tidak dapat dilepaskan dari tiga arus besar: teologi kalam, filsafat peripatetik (falasifah), dan hikmah tasawuf. Ketiganya saling melengkapi dalam membentuk suatu paradigma kosmologis yang memandang alam sebagai tanda-tanda Tuhan yang tertata, rasional, dan bermakna spiritual. Dari akar Qur’ani hingga elaborasi filsafat hikmah, kosmologi Islam menegaskan bahwa memahami alam berarti mengenal Sang Pencipta melalui keteraturan ciptaan-Nya.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 164.

[2]                Al-Qur’an, Surah Ali Imran [3] ayat 190.

[3]                Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 41–45.

[4]                Richard M. Frank, “Creation and the Cosmic System: Al-Kindi and Early Kalam,” Journal of the History of Philosophy 24, no. 3 (1986): 363–385.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 77–80.

[6]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 15–20.

[7]                Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 67–71.

[8]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 124–128.

[9]                Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 12–18.

[10]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 78–82.

[11]             Shihab al-Din al-Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, terj. John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 25–27.

[12]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 51–55.

[13]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah, terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 92–95.

[14]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 5–8.

[15]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 33–36.


3.           Ontologi Kosmologi Islam: Tuhan, Alam, dan Wujud

Ontologi kosmologi Islam berpusat pada relasi antara Tuhan (Allah), alam semesta (al-‘alam), dan keberadaan (wujud). Dalam pandangan Islam, realitas tertinggi adalah Tuhan sebagai Wujud Mutlak (al-wujud al-haqq), sumber dari segala eksistensi yang lain. Alam semesta tidak memiliki keberadaan yang otonom, tetapi bergantung sepenuhnya pada kehendak dan penciptaan-Nya. Dengan demikian, struktur ontologis kosmos dalam Islam bersifat hierarkis dan teosentris: Tuhan adalah sebab pertama dan tujuan akhir dari segala sesuatu.¹

Konsep ini berakar pada prinsip tauhid, yakni kesatuan mutlak Tuhan yang menegaskan bahwa tidak ada realitas yang sejati selain Allah.² Prinsip tauhid bukan hanya doktrin teologis, melainkan juga dasar metafisika yang menentukan seluruh tatanan kosmos. Alam dipahami sebagai manifestasi dari sifat-sifat Ilahi (asma’ wa sifat Allah), sehingga setiap entitas di alam memantulkan aspek tertentu dari kesempurnaan Tuhan.³ Dalam hal ini, penciptaan bukanlah peristiwa temporal semata, tetapi juga realitas ontologis yang berlangsung terus-menerus (tajaddud al-khalq), di mana wujud senantiasa diperbarui oleh kehendak Ilahi.⁴

3.1.       Tuhan sebagai Wujud Mutlak

Dalam filsafat Islam, terutama pada Ibn Sina, Tuhan digambarkan sebagai Wajib al-Wujud (Wujud yang Niscaya), sedangkan segala sesuatu selain-Nya adalah mumkin al-wujud (wujud yang mungkin).⁵ Wajib al-Wujud tidak tergantung pada apa pun untuk eksis, sedangkan mumkin al-wujud bergantung pada-Nya dalam segala hal. Ontologi ini mengandaikan bahwa hanya Tuhan yang memiliki eksistensi sejati, sedangkan makhluk hanyalah partisipasi dalam keberadaan Ilahi.⁶

Ibn Sina menjelaskan bahwa dari Wujud Niscaya memancar seluruh tingkatan realitas melalui proses emanasi (fayḍ).⁷ Dalam skema ini, realitas terdiri dari hierarki intelek dan jiwa langit, hingga akhirnya menghasilkan dunia materi. Namun, proses emanasi bukanlah peristiwa fisik, melainkan relasi logis antara kesempurnaan Tuhan dan manifestasi wujud-wujud yang bergantung kepada-Nya. Pandangan ini memperlihatkan bahwa alam semesta adalah tatanan rasional yang mencerminkan kehendak dan kebijaksanaan Ilahi (hikmah ilahiyyah).⁸

3.2.       Alam sebagai Manifestasi dan Keteraturan Ilahi

Dalam kerangka ontologi Islam, alam bukanlah entitas independen, melainkan manifestasi simbolik dari realitas Ilahi. Al-Qur’an menggambarkan alam sebagai tanda-tanda (ayat) yang menunjuk kepada Tuhan: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar” (QS. Fussilat [41] ayat 53).⁹ Ayat ini menunjukkan bahwa kosmos memiliki fungsi teologis—ia menjadi wahana pengenalan terhadap Tuhan.

Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Rushd memahami alam dalam kerangka rasional, di mana keteraturan kosmik merupakan bukti kebijaksanaan Ilahi.¹⁰ Alam bekerja sesuai hukum-hukum yang tetap, namun hukum-hukum itu bukan otonom dari Tuhan, melainkan perwujudan kehendak-Nya yang konsisten. Dalam hal ini, hukum alam merupakan sunnatullah—pola tetap yang menyingkap tatanan Ilahi.¹¹ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa dalam pandangan Islam, hukum-hukum alam tidak meniadakan Tuhan, tetapi justru menegaskan kehadiran-Nya sebagai Pengatur Kosmos (Rabb al-‘Alamin).¹²

Selain itu, pemikir sufistik seperti Ibn Arabi memperdalam dimensi ontologis ini melalui konsep tajalli (penyingkapan Ilahi). Menurutnya, seluruh alam merupakan penyingkapan nama-nama Tuhan dalam berbagai bentuk wujud.¹³ Alam semesta adalah cermin tempat Tuhan melihat diri-Nya sendiri, sebagaimana manusia menjadi mikrokosmos (al-‘alam al-saghir) yang merefleksikan makrokosmos (al-‘alam al-kabir).¹⁴ Ontologi wahdat al-wujud (kesatuan wujud) Ibn Arabi menegaskan bahwa tidak ada dualitas sejati antara Tuhan dan alam, melainkan perbedaan tingkat manifestasi dari satu realitas Ilahi.¹⁵

3.3.       Hierarki dan Gradasi Wujud

Salah satu ciri khas ontologi Islam adalah pemahaman tentang gradasi eksistensi. Dalam pandangan hikmah muta‘aliyyah Mulla Sadra, eksistensi bukan kategori statis, melainkan bersifat bertingkat (tasykik al-wujud).¹⁶ Setiap wujud memiliki intensitas yang berbeda, dari eksistensi paling sempurna (Tuhan) hingga yang paling lemah (materi).¹⁷ Dengan demikian, seluruh realitas merupakan spektrum eksistensi tunggal yang bersumber dari Tuhan. Konsep ini memadukan filsafat Ibn Sina yang rasional, mistisisme Ibn Arabi yang intuitif, dan teologi yang teosentris.

Mulla Sadra juga memperkenalkan doktrin harakah jawhariyyah (gerak substansial), yakni bahwa seluruh wujud materi bergerak secara ontologis menuju kesempurnaan eksistensial.¹⁸ Gerak ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual—menunjukkan dinamika kosmos yang selalu menuju Tuhan sebagai asal dan tujuan (al-mabda’ wa al-ma‘ad).¹⁹ Dengan demikian, alam semesta dalam kosmologi Islam bukanlah entitas beku, melainkan proses dinamis yang terus berpartisipasi dalam aktualisasi Ilahi.


Ontologi Kosmos dan Tanggung Jawab Manusia

Dalam tatanan kosmologis Islam, manusia menempati posisi unik sebagai penghubung antara alam dan Tuhan. Ia merupakan mikrokosmos yang mencerminkan seluruh tingkatan realitas.²⁰ Sebagai khalifah, manusia bertugas menjaga keseimbangan kosmos dan memelihara keteraturan Ilahi di bumi.²¹ Oleh karena itu, pemahaman ontologis tentang alam bukan hanya bersifat teoritis, melainkan juga etis dan spiritual: mengenal struktur wujud berarti menegaskan tanggung jawab manusia terhadap ciptaan.²²

Dengan demikian, ontologi kosmologi Islam menampilkan visi yang utuh tentang realitas: Tuhan sebagai Wujud Mutlak, alam sebagai manifestasi-Nya yang teratur, dan manusia sebagai saksi sekaligus penjaga keteraturan itu. Dalam kerangka ini, seluruh eksistensi bersatu dalam harmoni yang berpusat pada tauhid, yang tidak hanya mempersatukan Tuhan dan alam, tetapi juga mengintegrasikan pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas dalam satu kesatuan kosmik yang bermakna.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 12–14.

[2]                Al-Qur’an, Surah Al-Ikhlas [112] ayat 1–4.

[3]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 43–46.

[4]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 189–192.

[5]                Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 25–28.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 136–139.

[7]                Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 69–73.

[8]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 15–18.

[9]                Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.

[10]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 57–60.

[11]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 28–31.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 22–25.

[13]             Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 92–95.

[14]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 65–68.

[15]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 105–108.

[16]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah, terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 101–104.

[17]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 115–118.

[18]             Christian Jambet, The Act of Being: The Philosophy of Revelation in Mulla Sadra (New York: Zone Books, 2006), 55–58.

[19]             Hossein Ziai, “Mulla Sadra: Metaphysics of Being and Movement,” Islamic Studies 32, no. 4 (1993): 417–428.

[20]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 54–57.

[22]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–44.


4.           Ontologi Kosmologi Islam: Tuhan, Alam, dan Wujud

Ontologi kosmologi Islam berakar pada prinsip tauhid sebagai fondasi metafisik utama yang menegaskan kesatuan realitas antara Tuhan (al-Haqq), alam (al-‘alam), dan wujud (al-wujūd). Dalam pandangan Islam, seluruh eksistensi merupakan pancaran dari Wujud Mutlak, yakni Allah Swt, yang menjadi sumber, penopang, dan tujuan akhir dari segala sesuatu.¹ Ontologi ini tidak menempatkan Tuhan dan alam dalam dikotomi mutlak, melainkan dalam hubungan emanatif dan hierarkis di mana keberadaan makhluk merupakan partisipasi dari realitas Ilahi.² Dengan demikian, pemahaman tentang wujud dalam kosmologi Islam bukan hanya menyangkut eksistensi empiris, tetapi juga dimensi spiritual yang menghubungkan ciptaan dengan Sang Pencipta.

4.1.       Tuhan sebagai Wujud Mutlak (al-Wujūd al-Haqq)

Dalam filsafat Islam klasik, khususnya dalam sistem pemikiran Ibn Sina, Tuhan dipahami sebagai Wājib al-Wujūd (Wujud Niscaya) — realitas yang keberadaannya tidak mungkin tidak ada.³ Segala sesuatu selain Tuhan disebut mumkin al-wujūd (wujud yang mungkin), yaitu entitas yang tidak memiliki keberadaan secara mandiri, melainkan bergantung sepenuhnya pada Wujud Niscaya.⁴ Tuhan, sebagai sebab pertama (al-sabab al-awwal), tidak disebabkan oleh apa pun, melainkan menjadi sumber dari segala yang ada. Hubungan antara Tuhan dan alam bersifat ontologis, bukan temporal, artinya penciptaan bukan peristiwa dalam waktu, melainkan ketergantungan eksistensial yang terus-menerus.⁵

Konsepsi ini menunjukkan bahwa keberadaan alam semesta tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan manifestasi dari keberadaan Tuhan. Dalam kerangka metafisika Islam, wujud Tuhan bersifat wahid (satu), qadim (tidak bermula), dan baqa’ (abadi).⁶ Alam semesta hadir bukan karena kebutuhan Tuhan, melainkan karena limpahan kemurahan-Nya (fayḍ al-ilāhī).⁷ Maka, ontologi Islam menolak pandangan materialistik yang menempatkan alam sebagai realitas tertinggi, sekaligus mengkritik dualisme ekstrem yang memisahkan Tuhan dan dunia secara ontologis.

4.2.       Alam sebagai Manifestasi Kehendak dan Hikmah Ilahi

Al-Qur’an menggambarkan alam semesta sebagai āyāt Allāh — tanda-tanda kebesaran Tuhan yang mengisyaratkan keteraturan, kebijaksanaan, dan kasih sayang-Nya.⁸ Dalam perspektif ini, seluruh kosmos bukanlah sekadar kumpulan benda fisik, melainkan representasi simbolik dari tatanan Ilahi (al-nizām al-ilāhī). Ontologi Islam menempatkan alam sebagai tajallī, yaitu penyingkapan atau perwujudan sifat-sifat Tuhan dalam bentuk konkret.⁹

Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Rushd menjelaskan bahwa keteraturan alam menunjukkan adanya hikmah (kebijaksanaan) yang melatarinya.¹⁰ Alam bergerak menurut hukum-hukum tertentu (sunan Allāh), yang tidak otonom dari Tuhan, tetapi merupakan ekspresi dari kehendak-Nya yang konsisten.¹¹ Hal ini berarti bahwa hukum alam dalam Islam memiliki dua dimensi: sebagai keteraturan empiris yang dapat diteliti oleh akal, dan sebagai simbol metafisik yang menyingkap kebijaksanaan Ilahi.¹²

Dalam tradisi sufi, terutama pada Ibn Arabi, alam dipahami sebagai cermin tempat Tuhan “melihat diri-Nya” melalui penyingkapan nama-nama-Nya (asmā’ Allāh).¹³ Setiap entitas di alam merepresentasikan satu atau beberapa sifat Ilahi — ada yang memanifestasikan keindahan (jamāl), ada pula yang menampakkan keagungan (jalāl).¹⁴ Dengan demikian, alam bukanlah entitas terpisah dari Tuhan, melainkan refleksi dari kehadiran Ilahi di setiap tingkat eksistensi.¹⁵

4.3.       Gradasi dan Kesatuan Wujud

Salah satu gagasan paling mendalam dalam ontologi Islam adalah konsep tasykīk al-wujūd (gradasi wujud) sebagaimana dirumuskan oleh Mulla Sadra.¹⁶ Menurutnya, wujud bersifat tunggal (wahid), tetapi memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda. Semua realitas, dari yang paling tinggi (Tuhan) hingga yang paling rendah (materi), merupakan gradasi dari satu eksistensi Ilahi yang sama.¹⁷ Pandangan ini disebut ashālat al-wujūd (keberutamaan eksistensi), yang menolak realitas hakiki bagi esensi (māhiyyah), karena esensi hanyalah konsep intelektual, sedangkan eksistensi adalah kenyataan ontologis yang sejati.¹⁸

Mulla Sadra juga mengajarkan bahwa seluruh ciptaan mengalami harakah jawhariyyah (gerak substansial), yakni gerak eksistensial yang membawa seluruh wujud menuju kesempurnaan.¹⁹ Dalam kerangka ini, kosmos tidak bersifat statis, tetapi dinamis — bergerak menuju Tuhan sebagai asal dan tujuan akhir (al-mabda’ wa al-ma‘ād).²⁰ Gerak ini mencerminkan struktur hierarkis kosmos yang progresif: dari wujud material menuju spiritual, dari potensi menuju aktual, dari keterpisahan menuju kesatuan.²¹

Dengan demikian, ontologi Islam tidak memisahkan antara Tuhan dan dunia, melainkan memandang keduanya dalam hubungan kebergantungan eksistensial yang abadi. Tuhan adalah “Ada” yang memberi ada, dan alam adalah “yang ada karena diberi ada.”²²

4.4.       Manusia sebagai Mikrokosmos dan Penjaga Tatanan Wujud

Dalam tatanan kosmologis Islam, manusia menempati posisi sentral sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-saghīr) yang mencerminkan makrokosmos (al-‘ālam al-kabīr).²³ Ia merupakan wujud yang memadukan dimensi ruhani dan jasmani, dan karena itu menjadi titik temu antara dunia materi dan spiritual.²⁴ Al-Qur’an menegaskan peran manusia sebagai khalifah Allah di bumi (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30), yang berarti ia memiliki tanggung jawab ontologis untuk menjaga harmoni kosmos.²⁵

Sebagai khalīfah, manusia bukan sekadar penguasa atas alam, tetapi saksi dari keteraturan Ilahi yang tampak di dalamnya.²⁶ Dengan menggunakan akal dan kesadarannya, manusia dipanggil untuk mengenali tanda-tanda Tuhan dalam ciptaan dan menegakkan keseimbangan (mīzān) dalam kehidupan.²⁷ Dalam kerangka ontologis ini, kesadaran spiritual menjadi bentuk tertinggi pengetahuan tentang wujud: mengenal alam berarti mengenal Tuhan melalui manifestasi eksistensi-Nya.²⁸


Dengan demikian, ontologi kosmologi Islam membentuk pandangan dunia yang holistik: Tuhan sebagai Wujud Mutlak, alam sebagai manifestasi kehendak Ilahi, dan manusia sebagai saksi serta penjaga tatanan wujud. Kesatuan antara ketiganya merupakan cerminan dari tauhid ontologis, di mana seluruh realitas menemukan maknanya hanya dalam keterhubungan dengan Tuhan. Ontologi Islam, dengan demikian, tidak berhenti pada metafisika abstrak, tetapi menjadi dasar etika, epistemologi, dan spiritualitas yang mengarahkan manusia untuk hidup selaras dengan tatanan Ilahi.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 15–18.

[2]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 7–9.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 25–27.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 130–133.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 92–94.

[6]                Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 67–71.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 84–86.

[8]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 164.

[9]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 191–194.

[10]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 56–60.

[11]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 29–32.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 23–27.

[13]             Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 92–95.

[14]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 102–107.

[15]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 64–68.

[16]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah, terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 101–104.

[17]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 112–116.

[18]             Christian Jambet, The Act of Being: The Philosophy of Revelation in Mulla Sadra (New York: Zone Books, 2006), 54–57.

[19]             Hossein Ziai, “Mulla Sadra: Metaphysics of Being and Movement,” Islamic Studies 32, no. 4 (1993): 417–428.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 115–118.

[21]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–44.

[22]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 210–213.

[23]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 53–56.

[25]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 47–49.

[26]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul, 25–27.

[27]             Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.

[28]             Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 77–79.


5.           Epistemologi Kosmologi Islam: Sumber Pengetahuan tentang Alam

Epistemologi kosmologi Islam berangkat dari pandangan bahwa alam semesta (al-‘ālam) adalah tanda-tanda (āyāt) Tuhan yang dapat dikenali melalui dua sumber utama: wahyu dan akal. Dalam Islam, pengetahuan tentang kosmos tidak hanya diperoleh melalui observasi empiris, tetapi juga melalui pemahaman terhadap teks wahyu yang mengandung dimensi metafisis dan simbolik.¹ Dengan demikian, epistemologi Islam menggabungkan dimensi rasional, intuitif, dan transendental dalam memahami hakikat alam, berbeda dengan pendekatan empiris murni yang berkembang dalam sains modern.

Pengetahuan kosmologis dalam Islam bersifat teosentris—yakni berpangkal pada Tuhan sebagai sumber segala pengetahuan.² Alam bukanlah entitas netral, melainkan cerminan dari kebijaksanaan dan kehendak Ilahi. Pengetahuan tentang alam berarti pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhan (sunan Allāh) yang bekerja di dalamnya.³ Oleh karena itu, epistemologi Islam tidak menempatkan akal dan wahyu dalam posisi yang saling bertentangan, tetapi dalam hubungan komplementer yang saling menerangi.

5.1.       Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan Kosmologis

Wahyu merupakan sumber utama pengetahuan dalam Islam. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk merenungkan tanda-tanda penciptaan di langit dan bumi sebagai bukti kekuasaan dan kebijaksanaan Tuhan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal” (QS. Ali Imran [3] ayat 190).⁴ Ayat ini menunjukkan bahwa pengetahuan kosmologis dalam Islam memiliki dimensi spiritual dan teologis—yakni untuk mengenal Tuhan melalui refleksi terhadap ciptaan-Nya.⁵

Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan ilmiah dalam arti teknis, tetapi menyajikan pandangan dunia (weltanschauung) yang menegaskan keteraturan, keharmonisan, dan makna moral di balik alam semesta.⁶ Pengetahuan tentang kosmos, dalam kerangka Qur’ani, bukan semata-mata pencarian fakta empiris, melainkan jalan menuju kesadaran tauhid.⁷ Karena itu, epistemologi wahyu menempatkan pencarian ilmiah dalam horizon etika dan spiritualitas: sains bukan hanya untuk menguasai alam, tetapi untuk mengenal kebesaran Sang Pencipta.⁸

Para mufasir dan filsuf Muslim klasik, seperti Al-Razi dan Al-Ghazali, menegaskan bahwa ayat-ayat kosmologis dalam Al-Qur’an memiliki makna simbolik yang dapat ditafsirkan (ta’wil).⁹ Melalui pendekatan ini, wahyu dipahami bukan sebagai teks yang kaku, tetapi sebagai realitas dinamis yang membuka jalan bagi dialog antara keimanan dan akal. Dengan demikian, wahyu berfungsi sebagai dasar epistemologis yang memberikan arah dan nilai bagi pengetahuan manusia tentang alam.¹⁰

5.2.       Akal dan Pengamatan Empiris sebagai Instrumen Pengetahuan

Selain wahyu, akal (‘aql) memiliki kedudukan penting dalam epistemologi Islam. Akal merupakan anugerah Ilahi yang memungkinkan manusia memahami struktur dan hukum alam.¹¹ Dalam kosmologi Islam, penggunaan akal tidak diartikan sebagai rasionalisme otonom, tetapi sebagai partisipasi dalam pengetahuan Ilahi yang tercermin dalam keteraturan kosmos.¹²

Ibn Sina memandang akal sebagai sarana untuk menangkap keteraturan rasional alam semesta yang berasal dari Tuhan.¹³ Ia membedakan antara akal potensial (‘aql bi al-quwwah) dan akal aktual (‘aql bi al-fi‘l), di mana proses pengetahuan terjadi ketika akal manusia bersentuhan dengan intelek aktif (‘aql al-fa‘āl)—entitas kosmik yang menyalurkan pengetahuan dari Tuhan kepada manusia.¹⁴ Dengan demikian, pengetahuan kosmologis merupakan hasil iluminasi intelektual, bukan semata aktivitas empiris.

Sementara itu, Al-Farabi mengembangkan teori hierarki pengetahuan di mana sains rasional (‘ulum ‘aqliyyah) berfungsi untuk memahami hukum-hukum alam, sedangkan wahyu memberikan makna teleologis dan moral terhadapnya.¹⁵ Ibn Rushd menambahkan bahwa akal dan observasi empiris merupakan jalan sah untuk mengenal Tuhan karena keduanya mengungkap keteraturan ciptaan-Nya.¹⁶ Dalam pandangannya, mempelajari fenomena alam adalah bentuk ibadah intelektual yang menegaskan tauhid melalui pengetahuan ilmiah.¹⁷

Dengan demikian, epistemologi rasional Islam tidak bertentangan dengan wahyu, melainkan bersifat integratif. Pengetahuan yang sejati adalah sintesis antara refleksi rasional dan kesadaran spiritual.¹⁸

5.3.       Intuisi dan Iluminasi dalam Pengetahuan Kosmologis

Selain wahyu dan akal, epistemologi Islam juga mengakui peran intuisi (kasyf) dan iluminasi (isyraq) dalam memahami realitas kosmos. Dalam filsafat iluminasi Suhrawardi, pengetahuan sejati diperoleh melalui penyinaran batin yang menghubungkan akal manusia dengan sumber cahaya Ilahi (nūr al-anwār).¹⁹ Alam dipahami sebagai gradasi cahaya yang memancar dari Tuhan, dan pengetahuan diperoleh ketika jiwa manusia “disinari” oleh tingkat cahaya yang lebih tinggi.²⁰

Suhrawardi menolak pandangan rasionalisme murni dan menekankan bahwa akal saja tidak cukup untuk mencapai pengetahuan hakiki tentang alam.²¹ Diperlukan penyucian jiwa dan pencerahan batin agar manusia mampu menembus dimensi metafisis kosmos.²² Dalam hal ini, epistemologi iluminatif bersifat transrasional, tetapi tidak irasional, karena tetap berakar pada prinsip keteraturan Ilahi.²³

Mulla Sadra kemudian mengintegrasikan pendekatan rasional Ibn Sina dengan pendekatan iluminatif Suhrawardi dan mistik Ibn Arabi.²⁴ Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah “penyingkapan wujud” (kasyf al-wujūd) yang terjadi ketika subjek pengetahuan berpartisipasi secara ontologis dengan realitas yang diketahui.²⁵ Dengan demikian, pengetahuan kosmologis dalam Islam tidak hanya bersifat representasional, tetapi juga partisipatif dan transformasional—pengetahuan yang mengubah subjek menjadi bagian dari tatanan Ilahi yang ia pahami.²⁶


Integrasi antara Wahyu, Akal, dan Intuisi

Epistemologi Islam menolak dikotomi antara sains dan agama, antara rasionalitas dan spiritualitas. Dalam pandangan Islam, pengetahuan sejati adalah integrasi antara tiga sumber utama: wahyu yang memberi arah, akal yang memberi struktur, dan intuisi yang memberi kedalaman makna.²⁷ Ketiganya membentuk sistem pengetahuan yang holistik di mana kosmos dipahami bukan hanya sebagai objek empiris, tetapi juga sebagai tanda eksistensial yang mengandung pesan teologis.

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis pengetahuan modern disebabkan oleh terputusnya hubungan antara sains dan makna spiritual alam.²⁸ Menurutnya, epistemologi Islam menawarkan alternatif berupa “pengetahuan sakral” (sacred science), yang memandang alam semesta sebagai realitas transparan terhadap Tuhan.²⁹ Dalam paradigma ini, ilmu tidak hanya berfungsi menjelaskan bagaimana alam bekerja, tetapi juga mengapa ia ada—yakni sebagai manifestasi kebijaksanaan dan kasih sayang Tuhan.³⁰

Dengan demikian, epistemologi kosmologi Islam mengajarkan bahwa pengetahuan tentang alam tidak pernah netral secara nilai. Ia adalah bentuk ibadah intelektual yang mengarahkan manusia kepada pengenalan akan realitas Ilahi, di mana memahami kosmos berarti menyelami kehadiran Tuhan dalam setiap lapisan wujud.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 41–43.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 21–24.

[3]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 175–178.

[4]                Al-Qur’an, Surah Ali Imran [3] ayat 190.

[5]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 12–15.

[6]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 27–29.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 89–92.

[8]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 115–117.

[9]                Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 3:145–148.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 25–27.

[11]             Al-Farabi, Kitab al-Huruf, terj. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar al-Mashriq, 1969), 98–101.

[12]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 95–97.

[13]             Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 29–31.

[14]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 144–147.

[15]             Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 72–75.

[16]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, terj. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 23–26.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 58–61.

[18]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 210–212.

[19]             Shihab al-Din al-Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, terj. John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 24–27.

[20]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 51–54.

[21]             Ibid., 67–69.

[22]             Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Boulder: Shambhala, 1978), 92–95.

[23]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 48–50.

[24]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah, terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 105–108.

[25]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 123–126.

[26]             Christian Jambet, The Act of Being: The Philosophy of Revelation in Mulla Sadra (New York: Zone Books, 2006), 59–62.

[27]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 62–65.

[28]             Ibid., 70–73.

[29]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 31–34.

[30]             Osman Bakar, Tawhid and Science, 44–46.


6.           Aksiologi dan Etika Kosmologis dalam Islam

Aksiologi kosmologi Islam berfokus pada nilai dan makna moral yang terkandung dalam tatanan alam semesta. Jika ontologi menjelaskan apa alam itu, dan epistemologi menjelaskan bagaimana manusia mengetahuinya, maka aksiologi menguraikan untuk apa alam itu diciptakan dan bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengannya. Dalam pandangan Islam, kosmos bukanlah entitas tanpa tujuan, tetapi memiliki makna etis dan spiritual yang berakar pada prinsip tauhid.¹ Tuhan menciptakan alam dengan kebijaksanaan (hikmah) dan keseimbangan (mīzān), serta menjadikan manusia sebagai khalifah untuk menjaga keteraturan tersebut.² Dengan demikian, nilai-nilai kosmologis Islam melandasi etika ekologis, tanggung jawab moral, dan kesadaran spiritual manusia terhadap ciptaan.

6.1.       Alam sebagai Amanah dan Tanda Ilahi

Dalam Al-Qur’an, alam digambarkan sebagai amanah—sesuatu yang dipercayakan oleh Allah kepada manusia untuk dijaga dan dikelola secara bertanggung jawab.³ Alam bukan milik manusia, melainkan milik Tuhan (lillāh mā fī al-samāwāti wa mā fī al-ardh)—segala yang di langit dan di bumi adalah milik Allah (QS. Al-Baqarah [2] ayat 284).⁴ Oleh karena itu, hubungan manusia dengan alam bersifat moral dan spiritual, bukan hanya utilitarian.

Alam juga berfungsi sebagai ayat kauniyyah, yaitu tanda-tanda Ilahi yang mengungkap kebesaran dan kebijaksanaan Tuhan.⁵ Dalam konteks ini, tindakan merusak alam dipandang bukan sekadar pelanggaran ekologis, tetapi juga penyimpangan spiritual karena menolak membaca dan menghormati tanda-tanda Tuhan.⁶ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa dalam pandangan Islam, setiap elemen kosmos—dari bintang hingga batu—memiliki makna spiritual, dan manusia bertugas menjaga kesakralan tersebut.⁷ Alam tidak boleh direduksi menjadi objek eksploitasi, tetapi harus dihormati sebagai bagian dari tatanan Ilahi.⁸

Kesadaran ini melahirkan etika amanah ekologis, di mana setiap tindakan manusia terhadap alam diukur berdasarkan tanggung jawab moral kepada Sang Pencipta.⁹ Dalam kosmologi Islam, alam adalah kitab kedua selain wahyu tertulis (kitāb al-masṭūr), yakni wahyu terbuka (kitāb al-manẓūr) yang perlu dibaca dengan akal dan hati.¹⁰

6.2.       Manusia sebagai Khalifah dan Penjaga Keseimbangan Kosmik

Konsep khalīfah fī al-ardh (wakil Tuhan di bumi) merupakan pilar aksiologi kosmologis Islam.¹¹ Dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 30, Allah menyatakan bahwa manusia ditugaskan sebagai khalifah, bukan penguasa absolut, tetapi pengelola yang bertanggung jawab terhadap ciptaan.¹² Amanah ini mengandung implikasi etis bahwa manusia harus menegakkan keadilan (‘adl) dan keseimbangan (mīzān) di alam semesta.¹³

Etika kosmologis Islam menolak dualisme antara manusia dan alam. Sebaliknya, manusia dipandang sebagai bagian integral dari kosmos, terikat secara ontologis dan moral dengan seluruh makhluk.¹⁴ Ketika manusia berperilaku melampaui batas (QS. Al-Rahman [55] ayat 8–9), tatanan kosmik terganggu, dan krisis ekologis pun terjadi.¹⁵ Dengan demikian, menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga ibadah yang menegaskan kesadaran tauhid.¹⁶

Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan bahwa setiap ciptaan memiliki tujuan dan hikmah yang tidak boleh diabaikan manusia.¹⁷ Ia menulis bahwa perenungan terhadap alam semesta dapat menumbuhkan rasa kagum dan syukur kepada Tuhan, yang merupakan bentuk tertinggi dari etika spiritual.¹⁸ Dengan demikian, kesadaran etis terhadap kosmos juga merupakan kesadaran ibadah: mengenal dan menjaga ciptaan berarti mengenal dan mengabdi kepada Sang Pencipta.¹⁹

6.3.       Prinsip Keseimbangan (Mīzān) dan Keharmonisan Universal

Al-Qur’an menyebut bahwa Allah menciptakan alam dengan keseimbangan (mīzān): “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan mīzān, supaya kamu jangan melampaui batas dalam mīzān” (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–8).²⁰ Ayat ini menjadi dasar etika kosmologis Islam yang menekankan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Prinsip mīzān bukan hanya keseimbangan fisik, tetapi juga moral dan eksistensial—yakni keselarasan antara tindakan manusia dan tatanan Ilahi.²¹

Dalam filsafat Islam, prinsip ini dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina melalui gagasan tatanan hierarkis alam yang harmonis di bawah hukum Ilahi.²² Alam semesta berfungsi dengan keteraturan rasional yang menunjukkan kesempurnaan Pencipta. Oleh karena itu, etika kosmologis tidak hanya menuntut pengetahuan tentang alam, tetapi juga penyesuaian diri terhadap harmoni kosmik tersebut.²³

Nasr menyebut hal ini sebagai “kosmologi sakral”, yakni pandangan bahwa setiap tindakan manusia harus selaras dengan ritme Ilahi yang mengatur alam.²⁴ Dalam konteks modern, prinsip mīzān dapat dijadikan dasar bagi etika lingkungan yang berkelanjutan (eco-theology Islam), di mana eksploitasi alam dianggap sebagai pelanggaran terhadap keseimbangan Ilahi.²⁵

6.4.       Nilai Spiritualitas dan Etika Ekologis Kontemporer

Relevansi aksiologi kosmologi Islam menjadi semakin mendesak di tengah krisis ekologi global. Paradigma materialistik modern yang memandang alam semata sebagai objek konsumsi telah memutus hubungan sakral antara manusia dan kosmos.²⁶ Islam, melalui prinsip tauhid, menawarkan paradigma alternatif di mana alam kembali dipahami sebagai manifestasi Tuhan.²⁷

Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa penyelamatan ekologi modern memerlukan revitalisasi kesadaran kosmologis religius yang menempatkan manusia dalam kerangka spiritual kosmos.²⁸ Dalam kerangka ini, etika ekologis bukan hanya tanggung jawab sosial, tetapi juga ekspresi iman dan ibadah.²⁹

Etika kosmologis Islam mengajarkan tiga prinsip utama: pertama, kesadaran tauhid bahwa seluruh alam bersumber dari Tuhan; kedua, prinsip amanah dan khalīfah yang menegaskan tanggung jawab moral manusia; dan ketiga, prinsip mīzān yang menuntut keharmonisan antara manusia dan alam.³⁰ Ketiganya membentuk fondasi nilai yang menyatukan spiritualitas, sains, dan etika dalam satu kesadaran kosmik yang utuh.

Dengan demikian, aksiologi kosmologi Islam tidak hanya menjelaskan makna moral dari struktur kosmos, tetapi juga menuntun manusia untuk hidup secara ekologis, adil, dan penuh rasa syukur terhadap ciptaan Tuhan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 105–107.

[2]                Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.

[3]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 38–40.

[4]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 284.

[5]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 181–184.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 25–27.

[7]                Ibid., 29–32.

[8]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 16–18.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 58–60.

[10]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 44–47.

[11]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.

[12]             Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 1:221–223.

[13]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 112–115.

[14]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 156–158.

[15]             Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 8–9.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 37–39.

[17]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 118–121.

[18]             Ibid., 123–125.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 90–93.

[20]             Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–8.

[21]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 207–210.

[22]             Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 72–75.

[23]             Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 112–115.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature, 45–48.

[25]             Osman Bakar, Environmental Ethics in Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001), 14–17.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature, 71–74.

[27]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–45.

[28]             Nasr, The Need for a Sacred Science, 40–43.

[29]             Ibid., 49–51.

[30]             Osman Bakar, Tawhid and Science, 50–52.


7.           Kritik terhadap Kosmologi Islam

Kosmologi Islam, sebagai sistem pemikiran yang mengintegrasikan dimensi teologis, filosofis, dan mistis, telah mengalami berbagai kritik baik dari dalam tradisi Islam sendiri maupun dari perspektif pemikiran modern. Kritik ini tidak semata-mata menunjukkan kelemahan, melainkan memperlihatkan dinamika intelektual yang terus berkembang dalam upaya memahami hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia. Secara garis besar, kritik terhadap kosmologi Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) kritik internal dari para teolog terhadap filsuf Islam, (2) kritik rasional terhadap pendekatan mistik dan emanatif, dan (3) kritik modern terhadap keterbatasan metodologis dan relevansi kosmologi Islam di era sains kontemporer.

7.1.       Kritik Teologis terhadap Filsafat Kosmologi Islam

Kritik paling berpengaruh terhadap kosmologi Islam berasal dari kalangan teolog (mutakallimūn), khususnya Al-Ghazali, yang dalam Tahāfut al-Falāsifah menentang gagasan filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.¹ Menurut Al-Ghazali, pandangan filsafat yang menyatakan bahwa alam semesta muncul melalui proses emanasi dari Tuhan secara niscaya (bi al-dharūrah) mengandung problem teologis, karena meniadakan kebebasan dan kehendak Tuhan dalam menciptakan alam.² Dalam perspektif teologi Asy‘ariyah, Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya yang absolut (irādah), bukan karena hukum niscaya metafisis.³

Al-Ghazali menilai sistem emanasi Ibn Sina berbahaya karena menyerupai prinsip emanasi Plotinus yang cenderung mengarah pada panteisme terselubung.⁴ Ia menegaskan bahwa alam semesta memiliki permulaan temporal dan diciptakan ex nihilo (dari ketiadaan), sesuai dengan ajaran wahyu.⁵ Selain itu, Al-Ghazali menolak pandangan bahwa Tuhan hanya mengetahui universal dan bukan partikular, karena hal itu dianggap membatasi pengetahuan Ilahi.⁶ Kritik ini mengembalikan kosmologi Islam ke fondasi teologis yang lebih teosentris, menekankan kekuasaan Tuhan atas hukum-hukum alam yang bersifat kontingen, bukan niscaya.⁷

Kritik teologis ini kemudian mendorong munculnya tradisi filsafat teistik baru yang berupaya menyeimbangkan antara rasionalitas dan keimanan, seperti pada pemikiran Fakhr al-Din al-Razi dan Mulla Sadra, yang mencoba mensintesiskan metafisika Ibn Sina dengan teologi Islam ortodoks.⁸

7.2.       Kritik Filsafat terhadap Kosmologi Mistis dan Emanatif

Selain kritik dari teologi, beberapa pemikir rasional juga mengajukan keberatan terhadap dimensi mistik dan emanatif dalam kosmologi Islam, terutama terhadap doktrin wahdat al-wujūd (kesatuan wujud) Ibn Arabi.⁹ Para kritikus seperti Ibn Taymiyyah menilai bahwa pandangan Ibn Arabi berpotensi mengaburkan batas antara Tuhan dan makhluk, karena menekankan bahwa seluruh realitas merupakan manifestasi dari satu Wujud Ilahi.¹⁰ Pandangan ini, menurut mereka, berpotensi menimbulkan hulūl (inkarnasi) dan ittihād (penyatuan substansial), yang bertentangan dengan prinsip tanzīh (transendensi Tuhan).¹¹

Ibn Taymiyyah dalam Majmū‘ al-Fatāwā menegaskan bahwa konsep kesatuan wujud dapat menjerumuskan pada kesesatan metafisis, karena menghapus perbedaan ontologis antara Pencipta dan ciptaan.¹² Kritik ini menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap kecenderungan mistik yang berpotensi menggeser keesaan Tuhan ke arah monisme filosofis.¹³

Namun, para pendukung Ibn Arabi seperti Abd al-Karim al-Jili dan Mulla Sadra membela bahwa wahdat al-wujūd tidak berarti identitas ontologis antara Tuhan dan alam, tetapi gradasi manifestasi eksistensi yang semuanya bergantung pada Wujud Mutlak.¹⁴ Dengan demikian, perdebatan ini lebih bersifat hermeneutik daripada dogmatis, menyangkut cara memahami hubungan antara transendensi dan immanensi Tuhan dalam realitas kosmik.

7.3.       Kritik Modern: Rasionalitas Ilmiah dan Krisis Relevansi

Pada era modern, kosmologi Islam menghadapi tantangan baru dari paradigma sains empiris. Sejak munculnya revolusi ilmiah, teori-teori kosmologis seperti Big Bang dan evolusi kosmos telah menggantikan model emanatif dan hierarkis yang dianut dalam filsafat Islam klasik.¹⁵ Kosmologi modern menolak pendekatan metafisis, menggantinya dengan metodologi empiris, matematis, dan falsifikatif.¹⁶

Beberapa ilmuwan dan filsuf modern menganggap kosmologi Islam terlalu “metaforis” dan tidak memenuhi kriteria rasional-empiris.¹⁷ Misalnya, sistem kosmologi Ptolemeus yang diadopsi oleh para filsuf Islam klasik kini dianggap tidak relevan dengan observasi astronomi modern.¹⁸ Selain itu, kritik juga diarahkan terhadap kecenderungan skolastik dalam filsafat Islam yang dianggap terlalu menekankan deduksi metafisis tanpa pengujian empiris.¹⁹

Namun, pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Osman Bakar menanggapi kritik ini dengan menegaskan bahwa kosmologi Islam tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan sains empiris, melainkan melengkapi sains dengan dimensi spiritual dan etis.²⁰ Nasr menyebut bahwa krisis ekologi modern berakar pada pandangan kosmologis sekuler yang menafikan sakralitas alam.²¹ Menurutnya, kosmologi Islam dapat memberikan kerangka normatif bagi sains modern dengan mengembalikan makna sakral alam sebagai manifestasi Tuhan.²²

Oleh karena itu, kritik modern terhadap kosmologi Islam justru membuka ruang untuk rekonstruksi epistemologis, yakni integrasi antara sains empiris dan metafisika Islam dalam paradigma sacred science.²³

7.4.       Kritik Metodologis dan Hermeneutik

Selain aspek teologis dan ilmiah, kritik juga datang dari sisi metodologi dan hermeneutik. Beberapa sarjana modern seperti Oliver Leaman menyoroti bahwa kosmologi Islam klasik sering kali menggunakan bahasa simbolik yang sulit diverifikasi secara konseptual.²⁴ Misalnya, konsep emanasi, intelek aktif, dan hierarki langit bersifat metaforis sehingga memerlukan interpretasi filosofis yang fleksibel.²⁵

Sementara itu, Toshihiko Izutsu menilai bahwa kekuatan kosmologi Islam justru terletak pada struktur semantiknya yang kaya dan simbolis.²⁶ Kritik hermeneutik ini tidak dimaksudkan untuk menolak validitas kosmologi Islam, melainkan untuk menekankan perlunya pembacaan ulang yang kontekstual terhadap teks-teks klasik.²⁷

Pendekatan hermeneutik kontemporer membuka peluang untuk memahami kosmologi Islam secara dinamis, bukan sebagai sistem tertutup, tetapi sebagai tradisi pengetahuan yang dapat berdialog dengan kosmologi ilmiah modern.²⁸


Sintesis dan Nilai Kritis

Kritik terhadap kosmologi Islam, baik dari teologi, filsafat, maupun sains modern, menunjukkan bahwa tradisi ini bersifat terbuka terhadap revisi dan penafsiran ulang.²⁹ Kosmologi Islam tidak berhenti pada struktur intelektual masa klasik, tetapi terus berevolusi sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia. Dalam konteks ini, kritik justru berfungsi sebagai sarana tajdīd al-fikr al-falsafī (pembaruan pemikiran filosofis), yang menjaga vitalitas tradisi Islam agar tetap relevan dalam memahami realitas kontemporer.³⁰

Dengan demikian, kritik terhadap kosmologi Islam bukanlah bentuk penolakan total, melainkan bagian dari dinamika epistemik yang memperkaya pemahaman manusia tentang hubungan antara Tuhan, alam, dan ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 21–23.

[2]                Ibid., 58–60.

[3]                Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 44–47.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 148–150.

[5]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 71–75.

[6]                Ibid., 85–88.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–85.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 108–112.

[9]                Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 93–95.

[10]             Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, ed. Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Dar al-Rayyān, 1986), 2:115–118.

[11]             Ibid., 2:120–123.

[12]             Ibid., 3:45–47.

[13]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 57–60.

[14]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah, terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 95–98.

[15]             John D. Barrow, The Origin of the Universe (New York: Basic Books, 1994), 17–21.

[16]             Stephen Hawking, A Brief History of Time (London: Bantam Books, 1988), 39–42.

[17]             Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 1985), 118–120.

[18]             George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 67–70.

[19]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 112–115.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 36–39.

[21]             Ibid., 40–42.

[22]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 49–52.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 31–34.

[24]             Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction, 129–132.

[25]             Ibid., 133–135.

[26]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 211–214.

[27]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oxford: Oneworld, 2007), 29–31.

[28]             Nasr, The Need for a Sacred Science, 45–47.

[29]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 51–53.

[30]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 94–96.


8.           Relevansi Kontemporer Kosmologi Islam

Kosmologi Islam, meskipun berakar pada tradisi klasik, memiliki relevansi yang mendalam dalam konteks kontemporer, terutama dalam menjawab krisis spiritual, ekologis, dan epistemologis dunia modern. Paradigma modern yang didominasi oleh rasionalisme sekuler dan materialisme ilmiah telah memisahkan sains dari makna spiritual, sehingga alam semesta dipandang semata-mata sebagai objek mekanistik tanpa nilai sakral.¹ Kosmologi Islam menawarkan alternatif dengan mengembalikan dimensi transenden dan teleologis dalam memahami alam, di mana sains, etika, dan spiritualitas terjalin secara integral.²

Relevansi kosmologi Islam saat ini dapat dilihat dalam tiga ranah utama: (1) dialog antara Islam dan sains modern, (2) tanggapan terhadap krisis lingkungan dan ekologi, dan (3) rekonstruksi spiritualitas ilmiah yang berbasis pada tauhid

8.1.       Dialog antara Islam dan Sains Modern

Perkembangan kosmologi ilmiah modern seperti teori Big Bang, relativitas umum, dan fisika kuantum telah mengubah cara manusia memahami asal-usul dan struktur alam semesta. Namun, sains modern cenderung mengabaikan dimensi metafisis yang menjadi inti dari kosmologi Islam.⁴ Dalam perspektif Islam, tidak ada pertentangan mendasar antara wahyu dan rasio, antara agama dan sains, karena keduanya merupakan manifestasi dari satu sumber kebenaran, yaitu Tuhan.⁵

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa dialog antara sains dan Islam harus dimulai dari fondasi metafisik, bukan dari sekadar kesesuaian empiris.⁶ Ia menolak gagasan “Islamisasi sains” dalam arti sempit, melainkan menyerukan pembentukan kembali paradigma ilmiah yang berakar pada prinsip tauhid.⁷ Dalam pandangan ini, sains tidak hanya menjelaskan hukum-hukum alam, tetapi juga menjadi jalan menuju pengenalan Tuhan melalui keteraturan dan harmoni kosmos.⁸

Beberapa ilmuwan Muslim kontemporer seperti Osman Bakar dan Ziauddin Sardar berpendapat bahwa paradigma sains Islam perlu mengintegrasikan dimensi etis dan spiritual dalam metodologinya.⁹ Misalnya, hukum-hukum alam dipahami bukan sebagai sistem otonom, tetapi sebagai sunan Allah—hukum Ilahi yang menunjukkan konsistensi kehendak Tuhan.¹⁰ Dalam konteks ini, kosmologi Islam berperan sebagai jembatan epistemologis yang menghubungkan keimanan dengan pengetahuan empiris.

8.2.       Kosmologi Islam dan Krisis Ekologi Global

Salah satu relevansi paling penting dari kosmologi Islam di era modern adalah kontribusinya terhadap etika lingkungan dan kesadaran ekologis. Krisis ekologi yang melanda dunia dewasa ini—seperti perubahan iklim, eksploitasi alam, dan hilangnya keanekaragaman hayati—disebabkan oleh paradigma antroposentris yang memisahkan manusia dari alam.¹¹ Dalam pandangan kosmologis Islam, manusia bukan penguasa absolut, tetapi khalifah (wakil Tuhan) yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan (mīzān) alam semesta.¹²

Al-Qur’an menggambarkan alam sebagai ciptaan yang penuh keteraturan dan harmoni, dan perusakan terhadapnya berarti pelanggaran terhadap tatanan Ilahi.¹³ Prinsip tauhid mengajarkan bahwa seluruh realitas bersatu dalam keesaan Tuhan; karenanya, menjaga alam adalah bagian dari ibadah.¹⁴

Seyyed Hossein Nasr dalam Man and Nature menyebut krisis ekologi modern sebagai “krisis spiritualitas,” karena muncul dari pandangan dunia yang kehilangan rasa sakral terhadap kosmos.¹⁵ Ia menyerukan “rekonsakralisasi alam,” yakni mengembalikan pemahaman bahwa setiap unsur alam memiliki nilai intrinsik sebagai refleksi sifat-sifat Tuhan (asma’ Allah).¹⁶ Dalam kerangka ini, kosmologi Islam dapat memberikan paradigma etika ekologis yang berkelanjutan, berlandaskan spiritualitas dan tanggung jawab moral.¹⁷

Pendekatan ini juga sejalan dengan gagasan eco-theology Islam, di mana manusia dilihat sebagai bagian integral dari kosmos, bukan entitas terpisah.¹⁸ Alam tidak hanya perlu dilindungi karena kepentingan manusia, tetapi karena ia memiliki martabat ontologis sebagai ciptaan Ilahi.¹⁹

8.3.       Relevansi Kosmologi Islam bagi Rekonstruksi Spiritualitas Ilmiah

Krisis modernitas tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga epistemologis dan spiritual. Sains modern yang berdiri di atas asas positivisme cenderung menolak makna dan nilai, mengakibatkan kehampaan eksistensial manusia.²⁰ Kosmologi Islam menawarkan rekonstruksi spiritualitas ilmiah dengan menempatkan pengetahuan dalam konteks sakral.²¹ Dalam paradigma ini, sains tidak hanya menjadi alat untuk memahami alam, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub ilallah).²²

Nasr menyebutnya sebagai ‘ilm al-muqaddas (ilmu yang disucikan), yakni ilmu yang bersumber dari kesadaran akan kehadiran Tuhan di balik realitas empiris.²³ Pendekatan ini menegaskan bahwa rasionalitas sejati tidak menafikan spiritualitas, melainkan tumbuh dari pengenalan terhadap keteraturan Ilahi dalam kosmos.²⁴

Filsafat hikmah yang dikembangkan oleh Suhrawardi dan Mulla Sadra juga memiliki relevansi besar bagi rekonstruksi spiritualitas ilmiah.²⁵ Suhrawardi menekankan pentingnya intuisi dan penyinaran batin (isyraq) sebagai pelengkap rasionalitas ilmiah, sementara Mulla Sadra menekankan gradasi wujud (tasykīk al-wujūd) yang menunjukkan bahwa pengetahuan sejati adalah partisipasi eksistensial dalam realitas Ilahi.²⁶ Dengan demikian, kosmologi Islam tidak hanya berbicara tentang struktur alam, tetapi juga tentang transformasi spiritual manusia yang memahaminya.²⁷

8.4.       Kosmologi Islam dalam Pendidikan dan Peradaban Kontemporer

Relevansi kosmologi Islam juga terletak pada potensinya dalam membangun paradigma pendidikan dan peradaban yang integral.²⁸ Dalam sistem pendidikan modern yang cenderung fragmentaris, kosmologi Islam dapat mengembalikan kesatuan antara ilmu, etika, dan spiritualitas.²⁹ Osman Bakar menegaskan bahwa integrasi ini sangat penting untuk melahirkan manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara moral.³⁰

Dalam pendidikan Islam, pemahaman kosmologi bukan sekadar pelajaran tentang struktur alam, tetapi sarana untuk menumbuhkan kesadaran tauhidi.³¹ Melalui pendekatan ini, peserta didik diajak melihat dunia bukan hanya sebagai objek kajian ilmiah, tetapi juga sebagai tanda-tanda Ilahi yang menumbuhkan rasa takjub (ta‘ajjub) dan syukur (shukr).³²

Dengan demikian, relevansi kosmologi Islam pada abad ke-21 tidak terletak pada kemampuannya menggantikan sains modern, tetapi pada kemampuannya memberikan kerangka makna bagi sains itu sendiri.³³ Dalam dunia yang semakin teknologis dan sekuler, kosmologi Islam mengingatkan manusia akan kesakralan eksistensi dan tanggung jawab spiritualnya terhadap alam semesta.³⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 43–45.

[2]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 37–40.

[3]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 6–8.

[4]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (London: Bantam Books, 1988), 40–42.

[5]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, terj. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 21–23.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 93–95.

[7]                Ibid., 98–100.

[8]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 45–48.

[9]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 61–64.

[10]             Al-Qur’an, Surah Al-A‘raf [7] ayat 54.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 24–27.

[12]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.

[13]             Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.

[14]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 203–205.

[15]             Nasr, Man and Nature, 68–71.

[16]             Ibid., 73–76.

[17]             Osman Bakar, Environmental Ethics in Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001), 18–20.

[18]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha, 2002), 12–15.

[19]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 42–44.

[20]             Ziauddin Sardar, The Future of Muslim Civilization (London: Mansell, 1979), 99–101.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 28–31.

[22]             Ibid., 33–35.

[23]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 101–103.

[24]             Osman Bakar, Tawhid and Science, 49–52.

[25]             Shihab al-Din al-Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, terj. John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 25–28.

[26]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah, terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 106–109.

[27]             Christian Jambet, The Act of Being: The Philosophy of Revelation in Mulla Sadra (New York: Zone Books, 2006), 59–61.

[28]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 50–52.

[29]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature, 46–48.

[30]             Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 61–63.

[31]             Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.

[32]             Nasr, Man and Nature, 77–79.

[33]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul, 28–31.

[34]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, 47–49.


9.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis kosmologi Islam merupakan upaya untuk memadukan tiga dimensi utama dalam pandangan dunia Islam: wahyu (al-waḥy), akal (al-‘aql), dan intuisi spiritual (al-kashf). Melalui sintesis ini, kosmologi Islam tidak hanya berfungsi sebagai sistem penjelasan metafisis tentang alam, tetapi juga sebagai kerangka epistemologis, etis, dan spiritual yang memadukan ilmu pengetahuan dengan kesadaran ilahi.¹ Sintesis tersebut menunjukkan bahwa seluruh realitas bersumber dari Tuhan, bergerak di bawah hukum-hukum-Nya, dan kembali kepada-Nya.²

Dalam struktur sintesis ini, alam semesta tidak dipahami semata-mata sebagai entitas fisik yang tunduk pada hukum kausalitas, melainkan sebagai manifestasi dinamis dari kehendak dan kebijaksanaan Ilahi (ḥikmah ilāhiyyah).³ Kosmos menjadi cermin bagi kesempurnaan Tuhan, sementara manusia menjadi saksi (shāhid) dan penafsir dari tanda-tanda-Nya (āyāt Allāh).⁴ Dengan demikian, kosmologi Islam melampaui batas-batas antara sains, filsafat, dan teologi—menyatukan ketiganya dalam satu visi metafisis yang menyeluruh.

9.1.       Integrasi antara Wahyu, Akal, dan Intuisi

Sintesis filosofis dalam kosmologi Islam berakar pada pandangan bahwa kebenaran tidak bersifat tunggal dalam metode, tetapi satu dalam substansi. Wahyu memberikan fondasi ontologis dan moral; akal memberikan struktur rasional; sementara intuisi atau isyraq memberikan kedalaman spiritual.⁵ Ketiganya bukanlah sumber pengetahuan yang saling bertentangan, tetapi saling melengkapi untuk menyingkap realitas Ilahi.

Al-Farabi dan Ibn Sina mewakili puncak integrasi rasional antara wahyu dan filsafat, dengan menjelaskan bahwa wahyu adalah bentuk pengetahuan intelektual tertinggi yang disampaikan melalui imajinasi kenabian.⁶ Sementara Suhrawardi dan Mulla Sadra memperluasnya ke wilayah metafisika iluminatif dan eksistensialis, dengan menekankan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui penyinaran wujud—yakni penyatuan antara akal, jiwa, dan realitas Ilahi.⁷

Mulla Sadra menyebut pendekatan ini sebagai al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat transendental), yang memadukan teologi (kalām), rasionalisme peripatetik, dan intuisi mistik.⁸ Dalam kerangka ini, seluruh bentuk pengetahuan bersumber dari satu realitas wujud yang sama, namun diungkapkan melalui berbagai tingkatan persepsi manusia.⁹ Dengan demikian, integrasi epistemologis ini menegaskan bahwa kebenaran metafisis, ilmiah, dan spiritual tidak bisa dipisahkan tanpa kehilangan makna hakikinya.¹⁰

9.2.       Kesatuan Ontologis antara Tuhan, Alam, dan Manusia

Sintesis filosofis kosmologi Islam juga terwujud dalam konsep kesatuan ontologis (wahdat al-wujūd). Menurut Ibn Arabi, seluruh realitas merupakan manifestasi dari satu Wujud Mutlak yang menyingkapkan diri-Nya dalam berbagai bentuk eksistensi.¹¹ Alam bukanlah ciptaan yang berdiri sendiri, melainkan tajallī (penyingkapan) dari sifat-sifat Tuhan (asmā’ wa ṣifāt Allāh).¹² Manusia, sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr), mencerminkan seluruh struktur makrokosmos (al-‘ālam al-kabīr) dan dengan demikian menjadi penghubung antara Tuhan dan alam.¹³

Konsep ini tidak dimaksudkan sebagai panteisme, tetapi sebagai ekspresi metafisis bahwa semua wujud bergantung pada Wujud Mutlak tanpa kehilangan keunikannya masing-masing.¹⁴ Henry Corbin menafsirkan wahdat al-wujūd sebagai ontologi simbolik, di mana setiap realitas fisik merupakan citra dari realitas spiritual yang lebih tinggi.¹⁵ Dalam pengertian ini, kosmologi Islam menolak dualisme Cartesian antara subjek dan objek, serta menggantinya dengan model eksistensial yang memandang seluruh realitas sebagai jejaring makna yang berpusat pada Tuhan.¹⁶

9.3.       Relasi Kosmologi dan Etika: Dari Kontemplasi ke Tanggung Jawab

Sintesis kosmologis Islam tidak berhenti pada penjelasan metafisis, tetapi juga berimplikasi etis. Dalam kerangka aksiologis, alam dipahami sebagai amanah yang harus dijaga, karena setiap ciptaan memiliki nilai spiritual sebagai tanda kehadiran Tuhan.¹⁷ Oleh sebab itu, kesadaran kosmologis selalu disertai dengan kesadaran moral: memahami struktur wujud berarti memahami tanggung jawab manusia di dalamnya.¹⁸

Al-Ghazali menegaskan bahwa kontemplasi terhadap alam semesta merupakan jalan menuju pengenalan Ilahi (ma‘rifah).¹⁹ Sementara Nasr menafsirkan bahwa tindakan manusia terhadap lingkungan merefleksikan kesadaran metafisisnya terhadap Tuhan.²⁰ Dalam dunia modern yang kehilangan dimensi spiritual, sintesis etis ini menjadi landasan untuk membangun paradigma ekoteologis Islam yang menekankan harmoni antara sains, iman, dan tindakan ekologis.²¹

Dengan demikian, etika kosmologis Islam berpangkal pada tauhid aksional, yakni kesatuan antara pengetahuan dan perbuatan.²² Mengetahui alam berarti menghormatinya; memahami wujud berarti menjaga keteraturan Ilahi dalam kehidupan.

9.4.       Sintesis Sains dan Spiritualitas: Menuju Paradigma Ilmu Sakral

Salah satu kontribusi paling penting dari kosmologi Islam bagi dunia kontemporer adalah rekonstruksi hubungan antara sains dan spiritualitas. Seyyed Hossein Nasr menyebut pendekatan ini sebagai sacred science, yaitu ilmu yang berakar pada prinsip tauhid dan memandang realitas empiris sebagai cerminan struktur Ilahi.²³ Dalam kerangka ini, sains tidak sekadar menjelaskan fenomena alam, tetapi juga mengantarkan manusia kepada makna ontologis di balik fenomena tersebut.²⁴

Paradigma ilmu sakral tidak menolak metode empiris, tetapi menempatkannya dalam konteks metafisis.²⁵ Observasi ilmiah dipahami sebagai tafakkur—proses spiritual yang mengantarkan manusia untuk menyaksikan kebesaran Tuhan melalui ciptaan-Nya.²⁶ Dengan demikian, ilmu tidak lagi menjadi sarana dominasi, melainkan jalan menuju taqarrub ilā Allāh (kedekatan kepada Tuhan).²⁷

Kosmologi Islam, dalam sintesis ini, menawarkan paradigma pengetahuan yang komprehensif: rasional dalam metode, spiritual dalam tujuan, dan etis dalam penerapan.²⁸


Implikasi Filosofis: Tauhid sebagai Prinsip Universal

Inti dari seluruh sintesis filosofis kosmologi Islam adalah prinsip tauhid—bahwa seluruh realitas merupakan kesatuan yang berakar pada Tuhan.²⁹ Tauhid bukan sekadar pernyataan teologis, tetapi juga prinsip epistemologis dan ontologis yang menjamin keterpaduan antara pikiran, nilai, dan realitas.³⁰ Dalam konteks ini, kosmologi Islam menegaskan bahwa pluralitas fenomena alam tidak meniadakan kesatuan hakikat, tetapi justru mengungkapkannya melalui keberagaman wujud.³¹

Prinsip tauhid juga menjadi dasar bagi rekonstruksi ilmu pengetahuan, etika, dan peradaban Islam modern.³² Ia memberikan arah teleologis bagi seluruh aktivitas manusia—bahwa tujuan akhir pengetahuan bukanlah kekuasaan atas alam, melainkan kebijaksanaan untuk hidup selaras dengan tatanan Ilahi.³³

Dengan demikian, sintesis filosofis kosmologi Islam tidak hanya menggabungkan tradisi rasional, teologis, dan mistik, tetapi juga membuka jalan bagi paradigma pengetahuan yang lebih holistik dan berorientasi spiritual. Dalam dunia yang terfragmentasi oleh sekularisme dan reduksionisme ilmiah, sintesis ini menjadi landasan bagi kebangkitan kembali filsafat Islam sebagai pandangan dunia yang menyatukan sains, etika, dan spiritualitas dalam satu kesadaran tauhidi yang utuh.³⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 91–93.

[2]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 41–44.

[3]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 172–175.

[4]                Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.

[5]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oxford: Oneworld, 2007), 22–25.

[6]                Al-Farabi, The Principles of the Opinions of the Citizens of the Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 68–71.

[7]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, terj. John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 25–28.

[8]                Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah, terj. Sayyid Jalal Ashtiyani (Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 112–115.

[9]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 129–132.

[10]             Christian Jambet, The Act of Being: The Philosophy of Revelation in Mulla Sadra (New York: Zone Books, 2006), 58–61.

[11]             Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 90–92.

[12]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 99–102.

[13]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 64–67.

[14]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 210–212.

[15]             Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 73–76.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 108–111.

[17]             Osman Bakar, Environmental Ethics in Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001), 18–21.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 37–39.

[19]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 122–124.

[20]             Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 71–73.

[21]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul, 33–36.

[22]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 53–56.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 31–34.

[24]             Ibid., 36–38.

[25]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah, 120–123.

[26]             Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, 40–43.

[27]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 98–101.

[28]             Osman Bakar, Tawhid and Science, 49–51.

[29]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 204–206.

[30]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature, 45–47.

[31]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 40–43.

[32]             Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 58–61.

[33]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature, 77–80.

[34]             Nasr, The Need for a Sacred Science, 45–48.


10.       Kesimpulan

Kosmologi Islam merupakan suatu sistem pemikiran yang menyatukan dimensi metafisis, rasional, dan spiritual dalam memahami realitas alam semesta. Ia tidak hanya menjelaskan asal-usul dan struktur kosmos, tetapi juga menyingkap makna eksistensial yang mendalam di balik tatanan ciptaan. Dalam kerangka ini, Tuhan (Allah Swt) dipahami sebagai Wujud Mutlak (al-Wujūd al-Ḥaqq), sumber segala eksistensi, sedangkan alam semesta merupakan manifestasi dari kehendak dan kebijaksanaan Ilahi.¹ Manusia, pada gilirannya, menempati posisi sentral sebagai khalifah—penghubung antara Tuhan dan alam—yang diberi amanah untuk menjaga keseimbangan dan harmoni kosmik.²

Melalui dimensi ontologis, kosmologi Islam menegaskan bahwa seluruh wujud berakar pada realitas tunggal Ilahi, di mana Tuhan tidak terpisah dari ciptaan, melainkan transenden dan imanen sekaligus.³ Melalui epistemologi, ia menawarkan model pengetahuan yang integratif, menggabungkan wahyu, rasio, dan intuisi spiritual dalam memahami hakikat alam.⁴ Sedangkan melalui aksiologi, ia memandang alam sebagai amanah yang memiliki nilai moral dan spiritual, sehingga hubungan manusia dengan kosmos bukan hubungan eksploitasi, tetapi hubungan etis dan penuh tanggung jawab.⁵

10.1.    Integrasi antara Sains, Filsafat, dan Spiritualitas

Kosmologi Islam memiliki relevansi yang sangat penting di tengah krisis modernitas yang ditandai oleh sekularisasi ilmu pengetahuan dan disintegrasi antara sains dan nilai.⁶ Paradigma sains modern, yang berakar pada materialisme dan reduksionisme, cenderung mengabaikan aspek spiritual dari alam, sehingga menyebabkan alienasi manusia dari kosmos.⁷ Dalam konteks ini, kosmologi Islam hadir sebagai paradigma alternatif yang mengintegrasikan sains dengan kesadaran metafisis.

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa sains modern perlu “disucikan” melalui pemulihan kesadaran akan kesakralan alam, karena pengetahuan sejati dalam Islam tidak pernah terpisah dari nilai-nilai spiritual dan moral.⁸ Dalam pandangan ini, ilmu pengetahuan bukan semata aktivitas kognitif, tetapi juga ibadah intelektual yang mengantarkan manusia kepada pengenalan Tuhan.⁹ Maka, kosmologi Islam dapat menjadi jembatan antara pengetahuan empiris dan spiritualitas, antara objektivitas ilmiah dan kesadaran tauhidi.¹⁰

10.2.    Kesadaran Tauhidi sebagai Fondasi Peradaban

Inti dari seluruh kosmologi Islam adalah prinsip tauhid, yaitu kesatuan Tuhan yang menjadi sumber dari segala wujud dan pengetahuan.¹¹ Tauhid bukan hanya doktrin teologis, tetapi prinsip ontologis dan etis yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam kosmologi Islam, tauhid menandai keterpaduan antara realitas alam dan moralitas manusia, antara ciptaan dan Sang Pencipta.¹² Oleh sebab itu, pandangan dunia Islam (Islamic worldview) bersifat holistik dan sakral: setiap fenomena alam dipandang sebagai tanda Ilahi (āyāt Allāh) yang memiliki makna spiritual.¹³

Kesadaran tauhidi juga memiliki implikasi peradaban yang luas. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia menuntun arah penelitian yang berorientasi pada keseimbangan antara kemajuan dan keberlanjutan. Dalam bidang etika, ia menegaskan tanggung jawab manusia terhadap alam dan sesama.¹⁴ Dalam bidang spiritualitas, ia memupuk kesadaran bahwa seluruh eksistensi adalah bagian dari kesatuan kosmik yang suci.¹⁵ Dengan demikian, tauhid menjadi asas bagi rekonstruksi peradaban modern yang manusiawi, ekologis, dan berakar pada nilai-nilai transenden.¹⁶

10.3.    Sintesis Filosofis dan Relevansi Kontemporer

Kosmologi Islam berhasil mensintesiskan tiga tradisi besar dalam sejarah pemikiran manusia: teologi ketuhanan, rasionalitas filsafat Yunani, dan spiritualitas mistik Timur.¹⁷ Melalui para pemikir seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Sadra, Islam telah melahirkan pandangan kosmologis yang utuh, di mana pengetahuan, etika, dan spiritualitas berpadu dalam kesatuan harmoni.¹⁸

Relevansi kosmologi Islam di era kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menawarkan paradigma ilmu pengetahuan yang berakar pada nilai-nilai ilahiah.¹⁹ Di tengah krisis lingkungan, fragmentasi ilmu, dan kehampaan spiritual, kosmologi Islam mengingatkan bahwa alam bukan sekadar objek material, melainkan manifestasi kehadiran Tuhan.²⁰ Maka, memahami kosmos bukan hanya aktivitas ilmiah, tetapi juga perjalanan eksistensial menuju kesadaran Ilahi.²¹


Penutup: Menuju Kesadaran Kosmologis Islam

Kosmologi Islam, dengan seluruh kerangka ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, mengajak manusia untuk kembali kepada kesadaran kosmik yang sakral—bahwa alam semesta adalah “tanda” Tuhan yang hidup dan berinteraksi dengan manusia.²² Kesadaran ini menuntut sikap tawadhu‘ di hadapan kebesaran ciptaan dan menegaskan kembali peran manusia sebagai penjaga keseimbangan alam (khalīfah fī al-arḍ).²³

Dengan demikian, sintesis filosofis dan spiritual kosmologi Islam tidak hanya meneguhkan iman, tetapi juga memberikan arah baru bagi sains dan peradaban modern.²⁴ Ia mengajarkan bahwa puncak pengetahuan bukanlah penguasaan atas alam, melainkan pemahaman terhadap keteraturan Ilahi yang menuntun manusia untuk hidup selaras dengan Sang Pencipta.²⁵ Dalam kesatuan antara Tuhan, alam, dan manusia inilah, kosmologi Islam menemukan maknanya yang sejati—sebagai filsafat keberadaan yang sekaligus etika kehidupan.²⁶


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 12–14.

[2]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 25–28.

[4]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 44–46.

[5]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, terj. Nabih Amin Faris (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 115–117.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin, 1976), 43–45.

[7]                Ibid., 68–71.

[8]                Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 32–35.

[9]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oxford: Oneworld, 2007), 19–21.

[10]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991), 38–41.

[11]             Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 176–179.

[12]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 43–46.

[13]             Al-Qur’an, Surah Fussilat [41] ayat 53.

[14]             Osman Bakar, Environmental Ethics in Islam (Kuala Lumpur: IKIM, 2001), 14–17.

[15]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 101–104.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 45–48.

[17]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 157–160.

[18]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 118–120.

[19]             Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 59–62.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 93–96.

[21]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 203–205.

[22]             Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.

[23]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 51–54.

[24]             Nasr, The Need for a Sacred Science, 46–48.

[25]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul, 31–34.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 97–100.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1985). The principles of the opinions of the citizens of the virtuous city (R. Walzer, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Al-Farabi. (1969). Kitab al-Huruf (M. Mahdi, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Ghazali. (1990). Ihya’ ‘Ulum al-Din (N. A. Faris, Trans.). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Ghazali. (1997). Tahafut al-Falasifah (M. E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.

Al-Qur’an al-Karim.

Bakar, O. (1991). Tawhid and science: Essays on the history and philosophy of Islamic science. Kuala Lumpur: Nurin Enterprise.

Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Bakar, O. (1999). The history and philosophy of Islamic science. Cambridge: Islamic Texts Society.

Bakar, O. (2001). Environmental ethics in Islam. Kuala Lumpur: IKIM.

Barrow, J. D. (1994). The origin of the universe. New York: Basic Books.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany: SUNY Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. Albany: SUNY Press.

Chittick, W. C. (2007). Science of the cosmos, science of the soul: The pertinence of Islamic cosmology in the modern world. Oxford: Oneworld.

Corbin, H. (1969). Creative imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi. Princeton: Princeton University Press.

Corbin, H. (1978). The man of light in Iranian Sufism. Boulder: Shambhala.

Corbin, H. (1986). Temple and contemplation. London: KPI.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Fazlur Rahman. (1975). The philosophy of Mulla Sadra. Albany: SUNY Press.

Hawking, S. (1988). A brief history of time. London: Bantam Books.

Ibn Arabi. (1980). Fusus al-Hikam (R. W. J. Austin, Trans.). New York: Paulist Press.

Ibn Kathir. (1994). Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Rushd. (1959). Fasl al-Maqal (G. F. Hourani, Trans.). Leiden: Brill.

Ibn Sina. (2005). Al-Shifa: Metaphysics (M. E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.

Izutsu, T. (1966). Ethico-religious concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. Berkeley: University of California Press.

Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Jambet, C. (2006). The act of being: The philosophy of revelation in Mulla Sadra. New York: Zone Books.

Khalid, F. (2002). Islam and the environment. London: Ta-Ha Publishers.

Leaman, O. (1985). An introduction to classical Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Leaman, O. (1985). Islamic philosophy: An introduction. Cambridge: Polity Press.

Mulla Sadra. (1981). Al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Arba‘ah (S. J. Ashtiyani, Trans.). Teheran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute.

Nasr, S. H. (1964). An introduction to Islamic cosmological doctrines. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1976). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. London: Unwin.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: SUNY Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. Albany: SUNY Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. New York: Oxford University Press.

Sardar, Z. (1979). The future of Muslim civilization. London: Mansell.

Sardar, Z. (1985). Islamic futures: The shape of ideas to come. London: Mansell.

Saliba, G. (2007). Islamic science and the making of the European Renaissance. Cambridge: MIT Press.

Suhrawardi, S. al-D. (1999). The philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the Kalam. Cambridge: Harvard University Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Atlanta: Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar