Pemikiran Al-Mawardi
Konsep Kekuasaan, Hukum, dan Etika Pemerintahan pada
Masa Abbasiyah
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas pemikiran politik Abu al-Ḥasan al-Māwardī (974–1058
M), seorang ulama Syafi‘i dan Qāḍī al-Quḍāt pada masa Kekhalifahan Abbasiyah,
yang memberikan kontribusi besar dalam merumuskan teori politik Islam klasik.
Melalui karya monumentalnya al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, al-Māwardī berhasil
memadukan dimensi normatif syariat dengan kebutuhan praktis administrasi
pemerintahan. Artikel ini menguraikan secara sistematis fondasi pemikiran
al-Māwardī, meliputi konsep imāmah sebagai institusi tertinggi,
legitimasi kepemimpinan melalui ahl al-ḥall wa al-‘aqd, struktur
administrasi negara, sistem peradilan, serta etika pemerintahan yang
berlandaskan prinsip amanah, keadilan, dan akuntabilitas.
Pembahasan juga menyoroti konteks sosial-politik masa Abbasiyah, di mana
melemahnya otoritas khalifah akibat dominasi dinasti militer menuntut hadirnya
teori politik yang mampu menjaga legitimasi spiritual khalifah sekaligus menata
ulang tata kelola negara. Selain mengulas kontribusi intelektualnya, artikel
ini menegaskan relevansi pemikiran al-Māwardī dalam wacana politik Islam
kontemporer, khususnya terkait konsep rule of law, good governance,
dan embrio kontrak sosial. Dengan demikian, warisan intelektual al-Māwardī
dapat dipandang sebagai kontribusi penting Islam terhadap diskursus politik
global yang menekankan keterpaduan antara agama, hukum, dan etika dalam
pemerintahan.
Kata Kunci: Al-Māwardī;
Politik Islam; Imāmah; Hukum Islam; Etika Pemerintahan; Kekhalifahan Abbasiyah;
Good Governance.
PEMBAHASAN
Pemikiran Politik Abu Al-Hasan Al-Mawardi
1.          
Pendahuluan
Abu Al-Hasan ʿAlī ibn Muḥammad ibn Ḥabīb
al-Māwardī (w. 450 H/1058 M) adalah seorang fuqahā Syafi‘i dan negarawan yang
menulis salah satu risalah politik—hukum paling berpengaruh dalam tradisi Islam
klasik, al-Aḥkām al-Sulṭāniyya wa’l-Wilāyāt al-Dīniyya (The
Ordinances of Government). Karya ini merumuskan arsitektur ketatanegaraan
Islam secara normatif: dari kontrak imāmah (khilāfah), tugas dan syarat
pemimpin, kementerian/ wizārah, militer, hingga peradilan dan administrasi
fiskal.¹ Kelahiran pemikiran ini tidak dapat dilepaskan dari konteks akhir
Abbasiyah, ketika otoritas khalifah merosot karena fragmentasi kekuasaan dan
dominasi dinasti militer (seperti Būyid), sehingga diperlukan kerangka legitimasi
dan tata kelola yang dapat menata kembali hubungan antara simbol otoritas
religius khalifah dan realitas politik praktis.² Kerangka al-Māwardī, karena
itu, bersifat preskriptif-institusional: ia bukan sekadar spekulasi
filosofis, melainkan pedoman penyelenggaraan pemerintahan yang dapat
dioperasionalkan.³ 
Sebagai qāḍī dan diplomat yang
berpengalaman, al-Māwardī membaca negara melalui prisma fikih: hukum publik
(siyāsah shar‘iyyah) disusun dari dalil-dalil (al-Qur’an, Sunnah), ijmā‘, dan
praktik administratif yang diakui syariat.⁴ Di tangan al-Māwardī, kontrak
imāmah menjadi poros yang mengikat agama dan negara (dīn wa dawlah):
imāmah diwajibkan untuk menjaga agama dan menertibkan urusan dunia, dengan
mandat menegakkan keadilan, memastikan keamanan, menjamin hak-hak warga, dan
mengelola sumber daya.⁵ Garis besar ini menempatkan pemimpin sebagai guardian
of law (ḥāris al-dīn) sekaligus chief executive yang bertanggung
jawab pada kesejahteraan publik (maṣlaḥah).⁶ 
Kekuatan al-Aḥkām al-Sulṭāniyya
juga terletak pada desain institusinya. Selain memformulasikan khalifah dan
wazīr, al-Māwardī menekankan independensi relatif peradilan—dengan menempatkan qāḍī
al-quḍāt (kepala hakim) sebagai simpul profesionalisasi birokrasi hukum
yang menilai, mengangkat, dan mengawasi para qāḍī di wilayah.⁷ Lembaga ini,
yang berkembang pada periode Abbasiyah (dengan figur awal seperti Abū Yūsuf),
mempertegas bahwa legitimasi politik harus ditopang legal-judicial
accountability.⁸ Dengan demikian, tata kelola yang ia rumuskan berusaha
menyeimbangkan supremasi norma syar‘i, kebutuhan efisiensi administratif, dan
stabilitas politik.⁹ 
Secara historiografis, banyak kajian
menempatkan al-Māwardī sebagai arsitek “konstitusionalisme” klasik
Islam: ia merumuskan job description kekuasaan berikut perangkat
checks-and-balances yang berbasis legitimasi hukum, bukan semata kekuatan de
facto.¹⁰ H. A. R. Gibb, misalnya, menunjukkan bahwa teorinya tentang khilafah
berfungsi untuk “mengikat kembali” otoritas khalifah di tengah realitas
dominasi militer—sebuah sintesis antara ideal normatif dan kompromi politik
yang mungkin.¹¹ Studi-studi kontemporer juga menyorot dimensi “kontrak sosial”
tersirat dalam relasi penguasa-rakyat yang digarisbawahi al-Māwardī: ketaatan
bertimbal balik (ṭā‘ah) berpijak pada pemenuhan kewajiban syar‘i dan
kemaslahatan umum.¹² 
Dari perspektif keilmuan saat ini,
mempelajari al-Māwardī penting setidaknya atas tiga alasan. Pertama, ia
menyediakan grammar konseptual untuk membaca public law Islam:
sumber legitimasi, pendelegasian wewenang, dan etika jabatan publik.¹³ Kedua,
ia memberi lensa untuk menafsir praktik politik pra-modern Muslim—bagaimana
norma fikih bernegosiasi dengan realitas kekuasaan.¹⁴ Ketiga, ia menawarkan
perangkat evaluatif bagi diskursus kontemporer tentang good governance dalam
masyarakat Muslim modern: rule of law, akuntabilitas, dan keadilan
distributif.¹⁵ Dengan menempatkan al-Māwardī di pertemuan fikih, administrasi,
dan etika politik, artikel ini bertujuan mengurai fondasi, institusi, dan
relevansi pemikirannya bagi studi hukum-politik Islam dan tantangan tata kelola
saat ini. 
Footnotes
[1]               
Abū al-Ḥasan al-Māwardī, The Ordinances of
Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyya wa’l-Wilāyāt al-Dīniyya), trans. Wafaa
H. Wahba (Reading: Garnet, 1996). (nli.org.il)
[2]               
“Al-Māwardī,” dalam A History of Muslim Philosophy,
bab 36 (ringkas), menyoroti konteks kemerosotan wibawa khalifah pada akhir
Abbasiyah. (Al-Islam.org)
[3]               
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts,” menempatkan al-Aḥkām
sebagai genre baru yang menghubungkan doktrin hukum dan kenyataan politik. PDF,
Islamic Legal Studies Program (Harvard), 2008. (pil.law.harvard.edu)
[4]               
Al-Māwardī, Ordinances, pendahuluan dan Bab 1
(Kontrak Imāmah). Lihat juga ulasan bibliografis di “Māwardī’s Legal Thinking,”
al-ʿUṣūr al-Wusṭā (Columbia University Libraries). (journals.library.columbia.edu)
[5]               
Al-Māwardī, Ordinances, Bab “The Contract of
Imamate”; bandingkan perumusan kewajiban imāmah dalam studi: M. Rizqi A.
(dsb.), “Al-Māwardī’s Social Contract Theory,” Journal of Islamic Studies
and Humanities (Walisongo). (Jurnal Walisongo)
[6]               
Ibid.; argumentasi bahwa imam adalah Ḥāris al-Dīn
sekaligus pemimpin politik. (Jurnal Walisongo)
[7]               
Pembahasan lembaga peradilan dan kepala hakim dalam
al-Māwardī, Ordinances; lihat juga kajian komprehensif tentang qāḍī
dalam The Oxford Handbook of Islamic Law. (journals.library.columbia.edu, Oxford Academic)
[8]               
Tentang genealogi jabatan Qāḍī al-Quḍāt di
Abbasiyah dan figur awal Abū Yūsuf, lihat diskusi historis pada entri
ensiklopedik dan studi ringkas terkait. (Ensiklopedia
Bebas)
[9]               
Al-Māwardī, Ordinances, bab-bab tentang
wizārah, hisbah, peradilan, dan keuangan publik. (nli.org.il)
[10]            
Lihat mis. ulasan akademik atas dua terjemahan Inggris
dan penempatan al-Māwardī dalam kajian hukum publik Islam di “Māwardī’s Legal
Thinking.” (journals.library.columbia.edu)
[11]            
H. A. R. Gibb, “Al-Māwardī’s Theory of the Caliphate,”
dalam Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw dan
William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962). Rujukan ini
dikutip lewat ringkasan/sintesis sekunder. (journals.library.columbia.edu)
[12]            
“Al-Māwardī’s Social Contract Theory,” JISH
(Walisongo), dan ringkasan konseptual sejenis. (Jurnal Walisongo)
[13]            
Al-Māwardī, Ordinances; bibliografi dan katalog
edisi/terjemahan: WorldCat/Stanford (Garnet, 1996). (WorldCat,
searchworks.stanford.edu)
[14]            
“Competing Texts,” Hurvitz; serta A History of
Muslim Philosophy (bab 36). (pil.law.harvard.edu, Al-Islam.org)
[15]            
Lihat pula diskursus mutakhir yang menilai kontribusi
al-Māwardī terhadap etika tata kelola dalam tradisi Muslim. (Academia)
2.          
Biografi dan Konteks
Sosio-Politik
2.1.      
Riwayat Hidup
Singkat Al-Mawardi
Abū al-Ḥasan ʿAlī ibn Muḥammad ibn Ḥabīb
al-Māwardī lahir di Basrah pada tahun 364 H/974 M dan wafat di Baghdad pada 450
H/1058 M.¹ Ia berasal dari keluarga sederhana dengan profesi awal sebagai
penjual air mawar (māʾ al-ward), yang kemudian melekat pada namanya “al-Māwardī.”²
Al-Māwardī menempuh pendidikan agama sejak dini di Basrah, lalu melanjutkan ke
Baghdad—pusat intelektual Islam kala itu—untuk memperdalam fikih mazhab
Syafi‘i.³ Di sana, ia belajar kepada ulama besar seperti Abū Ḥayyān al-Tawḥīdī
dan Syekh Abū Ishaq al-Shirazi.⁴
Keilmuan al-Māwardī meliputi fikih,
tafsir, adab, dan politik. Namun, ia lebih dikenal sebagai seorang faqih
Syafi‘i yang memiliki perhatian mendalam pada siyāsah shar‘iyyah (hukum
tata negara Islam).⁵ Reputasinya membawanya diangkat sebagai qāḍī
(hakim) di beberapa wilayah, hingga mencapai puncaknya sebagai Qāḍī al-Quḍāt
(hakim agung) di Baghdad.⁶ Posisi ini menempatkannya tidak hanya sebagai
otoritas hukum, tetapi juga sebagai penasihat politik bagi khalifah Abbasiyah.⁷
2.2.      
Kedudukan
Intelektual dan Karya-Karya
Sebagai seorang ulama, al-Māwardī
meninggalkan banyak karya dalam bidang tafsir, etika, dan hukum. Namun karyanya
yang paling monumental adalah al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt
al-Dīniyyah, yang membahas teori politik dan tata kelola negara Islam.⁸
Buku ini menjadi tonggak utama dalam literatur politik Islam klasik, karena
menyajikan konsepsi sistematis tentang khilafah, imamah, peradilan, keuangan,
militer, hingga pengelolaan wilayah.⁹ Selain itu, ia juga menulis Adab
al-Dunyā wa al-Dīn yang menekankan hubungan antara moralitas pribadi, etika
sosial, dan stabilitas politik.¹⁰
Peran al-Māwardī dalam peradaban Islam
tidak sebatas sebagai ahli hukum, tetapi juga sebagai mediator politik. Ia
kerap diutus oleh khalifah sebagai diplomat dalam negosiasi dengan kekuatan
militer seperti Būyid dan Sāmānid.¹¹ Peran ganda ini—ulama sekaligus
negarawan—membuat pemikirannya bersifat aplikatif, bukan sekadar teoretis.
2.3.      
Konteks
Sosio-Politik Kekhalifahan Abbasiyah
Pada masa hidup al-Māwardī,
Kekhalifahan Abbasiyah sedang berada dalam fase kemunduran politik.¹² Secara
formal, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin tertinggi umat Islam, tetapi
kekuasaan riil sering berada di tangan dinasti militer seperti Būyid (945–1055
M) yang menguasai Baghdad.¹³ Kondisi ini menciptakan ketegangan antara simbol
otoritas religius khalifah dan dominasi politik de facto oleh militer.
Situasi tersebut memunculkan kebutuhan
untuk menyusun teori legitimasi politik yang dapat menjaga eksistensi khalifah
sebagai representasi otoritas agama, sekaligus mengakomodasi realitas
fragmentasi politik.¹⁴ Al-Māwardī hadir dengan kerangka hukum-politik yang
berupaya “menyelamatkan” posisi khalifah agar tetap memiliki legitimasi
spiritual dan administratif, meskipun secara praktis kekuasaan politik
dijalankan oleh amir atau wazīr yang kuat.¹⁵
Lebih jauh, konteks intelektual pada
masa itu juga sangat dinamis. Baghdad menjadi pusat interaksi berbagai mazhab
fikih, aliran teologi (kalam), dan filsafat.¹⁶ Dalam arus intelektual ini,
al-Māwardī tampil sebagai ulama yang mengutamakan pendekatan fikih Syafi‘i,
tetapi dengan kepekaan terhadap persoalan politik praktis.¹⁷ Hal ini membuat
teorinya tentang negara Islam berbeda dari filsuf politik seperti al-Fārābī
yang cenderung spekulatif, karena ia berangkat dari problem nyata administrasi
pemerintahan.¹⁸
Signifikansi Historis
Dengan demikian, biografi dan konteks
sosio-politik al-Māwardī menunjukkan bahwa pemikirannya lahir dari kebutuhan
historis: menjaga kesinambungan otoritas khalifah, merumuskan hukum publik
Islam yang sesuai syariat, dan memberikan pedoman etis bagi penyelenggaraan
negara.¹⁹ Sebagai seorang Qāḍī al-Quḍāt, ia berdiri di garis depan dalam
merumuskan teori politik Islam yang bercorak normatif-institusional, yang
pengaruhnya bertahan hingga berabad-abad kemudian.²⁰
Footnotes
[1]               
Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances
of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading:
Garnet, 1996), xiii.
[2]               
C. E. Bosworth, “Al-Māwardī,” dalam Encyclopaedia
of Islam, 2nd ed. (Leiden: Brill, 1991), 1:895.
[3]               
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 7.
[4]               
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 73.
[5]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 159.
[6]               
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of
al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political
Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 269.
[7]               
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam,
ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University
Press, 1962), 141.
[8]               
Al-Māwardī, Ordinances, xv–xvi.
[9]               
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 160.
[10]            
Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut:
Dār al-Fikr, 1996).
[11]            
Hurvitz, “Competing Texts,” 271.
[12]            
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.
[13]            
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World:
The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005),
243.
[14]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 162.
[15]            
Watt, Islamic Political Thought, 74.
[16]            
Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 27.
[17]            
Bosworth, “Al-Māwardī,” 896.
[18]            
Alfarabi vs. al-Māwardī, bandingkan dalam Muhsin
Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy
(Chicago: University of Chicago Press, 2001), 198.
[19]            
Hurvitz, “Competing Texts,” 276.
[20]            
Wahba, Ordinances, xviii.
3.          
Fondasi Pemikiran
Al-Māwardī
3.1.      
Sumber-Sumber
Pemikiran
Fondasi pemikiran politik al-Māwardī
sangat erat dengan tradisi fikih Syafi‘i yang menjadi basis keilmuannya. Ia
menafsirkan konsep negara dan kekuasaan melalui kerangka siyāsah shar‘iyyah
(politik hukum Islam), yaitu politik yang berlandaskan syariat.¹ Sumber utama
yang menjadi pijakan adalah al-Qur’an, Sunnah, ijmā‘ ulama, dan qiyās.² Di
samping itu, ia juga terpengaruh oleh praktik administratif Kekhalifahan
Abbasiyah, yang saat itu mengalami kompleksitas dalam pengelolaan kekuasaan
akibat dominasi militer Būyid.³ Dengan demikian, pemikirannya memadukan dalil
normatif dengan realitas politik yang pragmatis.
Selain tradisi fikih, al-Māwardī juga
mengadopsi unsur pemikiran politik Islam yang berkembang sebelumnya, seperti
konsepsi imāmah dalam karya al-Fārābī dan diskursus politik dalam
teologi Mu‘tazilah maupun Sunni.⁴ Namun, al-Māwardī menolak pendekatan
spekulatif filosofis dan lebih memilih konstruksi hukum praktis yang dapat
diterapkan dalam pemerintahan.⁵
3.2.      
Karya Utama: al-Aḥkām
al-Sulṭāniyyah
Magnum opus al-Māwardī, al-Aḥkām
al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, merupakan karya yang menyusun
sistem pemerintahan Islam secara sistematis.⁶ Kitab ini menegaskan pentingnya
lembaga imāmah (khilāfah) sebagai institusi tertinggi yang bertugas menjaga
agama dan mengatur urusan dunia (ḥirāsat al-dīn wa siyāsat al-dunyā).⁷
Al-Māwardī merinci syarat-syarat seorang imam, tata cara pengangkatannya, serta
kewajiban yang harus dijalankannya, seperti menegakkan hukum, menjaga keamanan,
melindungi hak-hak warga, dan mengelola bait al-māl.⁸
Kitab ini juga membahas struktur
lembaga negara, termasuk peran wazīr (menteri), qāḍī (hakim), amīr al-jihād
(panglima militer), serta lembaga ḥisbah (pengawasan moral dan pasar).⁹
Dengan uraian tersebut, al-Aḥkām dipandang sebagai semacam “konstitusi”
klasik Islam yang menyatukan prinsip agama dengan administrasi politik.¹⁰
3.3.      
Prinsip Dasar:
Keterpaduan Agama dan Politik
Fondasi pemikiran al-Māwardī berangkat
dari prinsip bahwa agama dan politik adalah dua dimensi yang tidak terpisahkan
(dīn wa dawlah).¹¹ Dalam pandangannya, imāmah adalah kewajiban syar‘i
karena keberadaannya memastikan tegaknya hukum Allah di bumi.¹² Ketiadaan
imāmah akan menimbulkan kekacauan, hilangnya keadilan, dan runtuhnya kehidupan
sosial-politik umat.¹³
Selain itu, al-Māwardī menekankan
konsep maṣlaḥah (kemaslahatan umum) sebagai tujuan utama penyelenggaraan
negara.¹⁴ Kekuasaan, menurutnya, bukan sekadar hak, tetapi amanah yang dibatasi
oleh hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.¹⁵ Oleh karena itu, ia
menekankan bahwa kepemimpinan harus dijalankan berdasarkan keadilan, amanah,
dan tanggung jawab moral.¹⁶
3.4.      
Karakteristik
Pemikiran
Ada beberapa karakteristik penting
dalam fondasi pemikiran politik al-Māwardī:
1)                 
Normatif-Institusional
Ia menyusun hukum publik Islam dalam bentuk
institusi-institusi konkret seperti khalifah, wazīr, qāḍī, dan lembaga ḥisbah.¹⁷
2)                 
Pragmatis
Meskipun ideal, pemikirannya mengakomodasi realitas politik
saat itu, termasuk pengaruh Būyid yang mengurangi otoritas khalifah.¹⁸
3)                 
Fikih-Sentris
Berbeda dengan filsuf politik, ia merumuskan teori politik
dari sudut pandang fikih, bukan spekulasi metafisik.¹⁹
4)                 
Etis-Religius
Konsep kepemimpinan yang ia rumuskan tidak hanya teknis,
tetapi juga sarat etika, menekankan tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah
dan masyarakat.²⁰
Signifikansi Fondasi Pemikiran
Fondasi pemikiran al-Māwardī menjadi
titik balik dalam tradisi politik Islam karena berhasil menghubungkan norma
syar‘i dengan kebutuhan praktis pemerintahan.²¹ Ia menyediakan kerangka
hukum-politik yang bertahan lama, bahkan memengaruhi teori-teori politik Islam
sesudahnya seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Khaldūn.²² Dengan demikian, fondasi
pemikiran al-Māwardī dapat dipahami sebagai upaya sistematis untuk merumuskan
tata kelola negara yang Islami sekaligus realistis dalam menghadapi tantangan
zaman.
Footnotes
[1]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 159.
[2]               
Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances
of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading:
Garnet, 1996), xiv.
[3]               
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.
[4]               
Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 29.
[5]               
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 74.
[6]               
Al-Māwardī, Ordinances, xv.
[7]               
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 10.
[8]               
Al-Māwardī, Ordinances, 5–10.
[9]               
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 162.
[10]            
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam,
ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University
Press, 1962), 141.
[11]            
Wahba, Ordinances, xvii.
[12]            
Ibid., 3.
[13]            
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of
al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political
Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 271.
[14]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 165.
[15]            
Watt, Islamic Political Thought, 75.
[16]            
Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut:
Dār al-Fikr, 1996), 21.
[17]            
Hurvitz, “Competing Texts,” 273.
[18]            
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World:
The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005),
243.
[19]            
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of
Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001),
198.
[20]            
Wahba, Ordinances, xviii.
[21]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 167.
[22]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 29.
4.          
Teori Politik dan
Kekuasaan
4.1.      
Konsep
Imāmah/Khilāfah
Bagi al-Māwardī, imāmah atau khilāfah
merupakan institusi fundamental dalam tatanan politik Islam. Ia mendefinisikan
imāmah sebagai lembaga yang ditetapkan untuk menggantikan fungsi kenabian dalam
menjaga agama dan mengatur urusan dunia (ḥirāsat al-dīn wa siyāsat al-dunyā).¹
Dengan demikian, keberadaan imam atau khalifah merupakan kewajiban syar‘i yang
harus ditegakkan oleh umat.²
Imam dipandang sebagai pemegang
otoritas tertinggi yang tidak hanya memimpin secara politik, tetapi juga
menjaga integritas syariat.³ Dalam hal ini, al-Māwardī menegaskan bahwa tanpa
imāmah, hukum Islam tidak dapat ditegakkan secara konsisten, keadilan sosial
akan hilang, dan stabilitas politik umat akan runtuh.⁴
4.2.      
Syarat dan
Legitimasi Kepemimpinan
Al-Māwardī merinci syarat-syarat
yang harus dimiliki seorang imam, antara lain: berakal sehat, adil, berilmu
sehingga mampu berijtihad, memiliki kemampuan fisik, keberanian dalam
melindungi umat, serta nasab Quraisy.⁵ Kriteria ini menegaskan perpaduan antara
legitimasi moral, religius, dan sosial.
Terkait mekanisme legitimasi,
al-Māwardī mengajukan konsep ahl al-ḥall wa al-‘aqd—sekelompok tokoh
berilmu dan berpengaruh yang bertugas memilih serta mengangkat imam.⁶ Mekanisme
ini berfungsi sebagai bentuk kontrak politik (‘aqd al-imāmah) antara
penguasa dan umat, yang didasarkan pada kewajiban timbal balik: ketaatan rakyat
dan keadilan penguasa.⁷ Dengan demikian, legitimasi politik tidak sekadar
ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh pengakuan moral dan hukum
dari masyarakat.
4.3.      
Hubungan antara
Khalifah dan Aparatur Negara
Teori politik al-Māwardī juga
menekankan pentingnya delegasi kekuasaan. Imam tidak bekerja sendiri,
melainkan dibantu oleh wazīr (menteri) yang terbagi dalam dua kategori:
1)                 
Wazīr Tafwīḍ –
menteri dengan kewenangan penuh dalam mengelola administrasi pemerintahan.
2)                 
Wazīr Tanfīdh –
menteri dengan fungsi pelaksana keputusan imam.⁸
Selain wazīr, terdapat pula lembaga
lain seperti qāḍī (hakim), amīr al-jihād (panglima militer), serta lembaga ḥisbah
(pengawas pasar dan moral publik).⁹ Struktur ini menunjukkan bahwa pemerintahan
ideal menurut al-Māwardī bersifat institusional, dengan pembagian kerja
yang jelas untuk menjaga stabilitas politik.
Khalifah berfungsi sebagai pusat
legitimasi, sementara aparatur negara menjalankan otoritas teknis. Hal ini
sekaligus mencerminkan usaha al-Māwardī menata kembali hubungan antara otoritas
simbolik khalifah Abbasiyah yang lemah dan realitas dominasi politik de facto
oleh penguasa militer atau wazīr yang kuat.¹⁰
4.4.      
Kedaulatan dan
Otoritas Politik
Dalam kerangka al-Māwardī, kedaulatan
pada prinsipnya bersumber dari syariat, bukan dari kehendak absolut penguasa.¹¹
Imam hanyalah pelaksana syariat dan pemelihara kepentingan umat.¹² Karena itu,
kekuasaan khalifah dibatasi oleh hukum dan tidak boleh bertindak
sewenang-wenang.¹³
Meski demikian, al-Māwardī juga
realistis terhadap kondisi politik. Ia mengakui bahwa jika penguasa militer
berhasil menguasai wilayah tertentu, maka selama ia tetap menjaga syariat dan
memberikan keamanan bagi rakyat, kekuasaannya dapat dianggap sah.¹⁴ Pandangan
ini mencerminkan sikap kompromistis al-Māwardī untuk menjaga kesinambungan negara
di tengah fragmentasi politik Abbasiyah.
4.5.      
Fungsi Kekuasaan
Al-Māwardī merinci fungsi-fungsi
kekuasaan khalifah, yang antara lain meliputi:
1)                 
Menegakkan hukum dan
keadilan.
2)                 
Menjaga keamanan internal
dan pertahanan eksternal.
3)                 
Melindungi agama dan
memelihara ortodoksi akidah.
4)                 
Mengelola bait al-māl
(keuangan negara) dan mendistribusikan zakat.
5)                 
Menjamin hak-hak
masyarakat, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi.¹⁵
Dengan demikian, kekuasaan dipandang
sebagai amanah (amānah) untuk mewujudkan maṣlaḥah
(kemaslahatan umum), bukan sarana untuk kepentingan pribadi penguasa.¹⁶
Signifikansi Teori Politik Al-Māwardī
Teori politik al-Māwardī memberikan
kontribusi penting dalam sejarah pemikiran Islam. Ia berhasil menggabungkan
dimensi normatif (syariat dan etika) dengan pragmatisme politik
(realitas dominasi militer dan fragmentasi kekuasaan).¹⁷ Pemikiran ini
berfungsi sebagai semacam “konstitusi klasik” yang menjaga otoritas
khalifah sekaligus menyediakan kerangka administratif bagi penyelenggaraan
negara.¹⁸
Lebih jauh, konsep ‘aqd al-imāmah
yang dikemukakan al-Māwardī sering ditafsirkan sebagai bentuk kontrak sosial
dalam Islam, di mana kekuasaan harus selalu berpijak pada legitimasi hukum dan
moral.¹⁹ Oleh sebab itu, pemikirannya tidak hanya relevan dalam konteks
Abbasiyah, tetapi juga memberikan warisan intelektual yang terus memengaruhi
teori politik Islam hingga periode Ibn Taymiyyah, Ibn Khaldūn, bahkan wacana
modern tentang negara Islam.²⁰
Footnotes
[1]               
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ed. Aḥmad
Mubārak al-Baghdādī (Kuwait: Dār al-Kutub, 1989), 5.
[2]               
Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances
of Government (Reading: Garnet, 1996), 3.
[3]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 159.
[4]               
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of
al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political
Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 270.
[5]               
Wahba, Ordinances, 5–6.
[6]               
Al-Māwardī, Al-Aḥkām, 10.
[7]               
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.
[8]               
Wahba, Ordinances, 26–28.
[9]               
Al-Māwardī, Al-Aḥkām, 38–40.
[10]            
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World:
The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005),
243.
[11]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 162.
[12]            
Al-Māwardī, Al-Aḥkām, 7.
[13]            
Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 74.
[14]            
Hurvitz, “Competing Texts,” 273.
[15]            
Wahba, Ordinances, 7–12.
[16]            
Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut:
Dār al-Fikr, 1996), 34.
[17]            
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam,
ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University
Press, 1962), 141.
[18]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 167.
[19]            
Muhammad Rizqi A., “Al-Māwardī’s Social Contract
Theory,” Journal of Islamic Studies and Humanities 3, no. 2 (2018): 44.
[20]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 29.
5.          
Pemikiran tentang
Hukum dan Administrasi
5.1.      
Peran Sentral Hukum
dalam Pemerintahan
Dalam kerangka pemikiran al-Māwardī,
hukum menempati posisi sentral dalam menopang kehidupan negara dan masyarakat.
Baginya, syariat adalah fondasi utama yang mengikat seluruh aspek
pemerintahan.¹ Hukum publik (siyāsah shar‘iyyah) bukan sekadar aturan
teknis, melainkan manifestasi dari prinsip keadilan yang menjadi tujuan utama
kekuasaan.² Imam (khalifah) dan seluruh aparaturnya hanya sah sejauh mereka
memerintah dalam koridor hukum Islam.³
Dengan demikian, legitimasi
pemerintahan tidak ditentukan oleh kekuatan militer atau dukungan politik
semata, melainkan oleh kemampuan penguasa dalam menegakkan hukum syar‘i.⁴ Perspektif
ini menunjukkan orientasi normatif al-Māwardī, yang ingin memastikan agar
kekuasaan tetap tunduk pada batasan hukum agama.
5.2.      
Sistem Peradilan dan
Kedudukan Qāḍī
Al-Māwardī menaruh perhatian khusus
pada lembaga peradilan. Ia menegaskan bahwa qāḍī (hakim) memiliki fungsi
vital untuk menjaga keadilan, menyelesaikan sengketa, dan memastikan hukum
ditegakkan secara konsisten.⁵ Dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ia
membedakan antara Qāḍī al-Quḍāt (hakim agung) yang memiliki otoritas
mengangkat dan mengawasi para qāḍī di wilayah, dengan hakim biasa yang
menangani perkara lokal.⁶
Menurut al-Māwardī, seorang qāḍī harus
memiliki integritas moral, kecakapan hukum, serta independensi dari tekanan
politik.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa al-Māwardī menyadari pentingnya rule of
law dalam membatasi kekuasaan politik. Peradilan tidak boleh menjadi alat
legitimasi tirani, melainkan instrumen untuk menjaga keadilan substantif.⁸
5.3.      
Hukum Administrasi
dan Tata Kelola Negara
Selain hukum peradilan, al-Māwardī juga
merumuskan prinsip-prinsip hukum administrasi negara. Ia menekankan bahwa
kekuasaan negara harus dijalankan melalui struktur yang jelas: imam sebagai
pemimpin tertinggi, wazīr sebagai pengelola administratif, dan pejabat
birokrasi sebagai pelaksana kebijakan.⁹
Al-Māwardī membagi fungsi wazīr menjadi
dua: wazīr tafwīḍ yang memiliki kewenangan luas dalam kebijakan, dan wazīr
tanfīdh yang hanya bertugas melaksanakan keputusan imam.¹⁰ Pembagian ini
mencerminkan pemikiran administratif yang sistematis, di mana kekuasaan didistribusikan
agar negara dapat berjalan efektif.
Lebih lanjut, al-Māwardī juga mengatur
bidang-bidang administrasi spesifik, seperti:
·                    
Keuangan publik
(bait al-māl), termasuk distribusi zakat dan pajak.¹¹
·                    
Pertahanan militer,
dengan struktur komando yang diatur secara hierarkis.¹²
·                    
Pengawasan pasar dan
moral publik melalui lembaga ḥisbah.¹³
Struktur administratif ini
memperlihatkan perhatian al-Māwardī pada efisiensi pemerintahan
sekaligus pemeliharaan etika sosial.
5.4.      
Prinsip Keadilan dan
Akuntabilitas
Dalam pemikiran al-Māwardī, hukum dan
administrasi tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berlandaskan etika. Ia
menekankan bahwa setiap pejabat negara, baik qāḍī, wazīr, maupun imam, memikul amanah
yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah dan rakyat.¹⁴ Dengan demikian,
keadilan dan akuntabilitas merupakan dua prinsip utama dalam penyelenggaraan
administrasi negara.
Al-Māwardī bahkan menekankan bahwa jika
seorang penguasa gagal menegakkan keadilan atau melakukan penyalahgunaan
wewenang, maka kontrak imāmah dapat dipandang gugur.¹⁵ Hal ini menunjukkan
bahwa kekuasaan politik bersifat kondisional, bukan absolut.
Signifikansi Pemikiran Hukum dan Administrasi
Pemikiran al-Māwardī mengenai hukum dan
administrasi menunjukkan kombinasi antara fikih normatif dan praktik
administrasi.¹⁶ Ia menyajikan kerangka yang bersifat konstitusional, di
mana lembaga-lembaga pemerintahan diatur secara sistematis dan tunduk pada
prinsip syariat.
Hal ini penting karena memberikan basis
teoretis bagi terbentuknya negara hukum dalam tradisi Islam, di mana
pemerintahan dijalankan bukan berdasarkan kekuatan, melainkan hukum yang adil
dan administrasi yang akuntabel.¹⁷ Dengan demikian, al-Māwardī dapat dianggap
sebagai salah satu arsitek awal konsep rule of law dalam Islam klasik.¹⁸
Footnotes
[1]               
Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances
of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading:
Garnet, 1996), 3.
[2]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 160.
[3]               
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam,
ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University
Press, 1962), 141.
[4]               
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of
al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political
Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 269.
[5]               
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 45.
[6]               
Wahba, Ordinances, 43.
[7]               
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 163.
[8]               
Wael Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic
Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 177.
[9]               
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 25–30.
[10]            
Wahba, Ordinances, 26–27.
[11]            
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 68.
[12]            
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World:
The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005),
245.
[13]            
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 102.
[14]            
Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut:
Dār al-Fikr, 1996), 34.
[15]            
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.
[16]            
Hurvitz, “Competing Texts,” 273.
[17]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 167.
[18]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 31.
6.          
Etika Pemerintahan
6.1.      
Kepemimpinan sebagai
Amanah
Al-Māwardī memandang kekuasaan sebagai amanah
(amānah) yang diberikan Allah kepada penguasa untuk menegakkan keadilan
dan menjaga kemaslahatan umat.¹ Konsep ini menekankan bahwa jabatan politik
bukanlah hak istimewa pribadi, melainkan beban tanggung jawab moral dan
religius.² Karena itu, seorang imam atau pejabat negara akan dimintai
pertanggungjawaban bukan hanya oleh rakyat, tetapi juga di hadapan Allah.³
Dengan perspektif ini, etika pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari akidah dan
spiritualitas.
6.2.      
Kriteria Pemimpin
Ideal
Dalam karyanya al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah,
al-Māwardī menyebut sejumlah syarat kepemimpinan yang sekaligus merefleksikan
standar etika politik: berilmu, adil, berani, amanah, dan mampu mengelola
urusan publik.⁴ Syarat “adil” menjadi kunci utama, karena tanpa
keadilan, kekuasaan akan berubah menjadi instrumen penindasan.⁵
Selain itu, dalam Adab al-Dunyā wa
al-Dīn, ia menekankan pentingnya sifat wara‘ (menjaga diri dari keburukan),
hikmah (kebijaksanaan), dan ḥilm (kesabaran) sebagai karakter seorang
pemimpin.⁶ Pemimpin yang ideal, menurutnya, bukan hanya menguasai hukum, tetapi
juga memiliki kepribadian yang mampu menjadi teladan moral bagi masyarakat.⁷
6.3.      
Tanggung Jawab Moral
Penguasa
Etika pemerintahan dalam pemikiran
al-Māwardī menekankan tanggung jawab moral penguasa terhadap rakyatnya. Ia
menegaskan bahwa seorang imam wajib:
1)                 
Menjaga agama agar tetap
murni dari bid‘ah.
2)                 
Melindungi hak-hak rakyat
dan memberikan rasa aman.
3)                 
Menghindari kezaliman dan
penyalahgunaan wewenang.
4)                 
Mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi atau golongan.⁸
Dengan kerangka ini, al-Māwardī menolak
absolutisme politik. Kekuasaan yang kehilangan orientasi moral akan kehilangan
legitimasi di mata syariat dan masyarakat.⁹
6.4.      
Hubungan Penguasa,
Ulama, dan Rakyat
Etika pemerintahan yang ditawarkan
al-Māwardī menekankan pentingnya hubungan harmonis antara penguasa, ulama, dan
rakyat. Ulama berfungsi sebagai penjaga norma agama sekaligus penasihat moral
bagi penguasa.¹⁰ Rakyat memiliki kewajiban taat selama penguasa menegakkan
keadilan, namun mereka juga berhak menuntut jika penguasa melanggar amanah.¹¹
Dalam perspektif ini, al-Māwardī
menghadirkan model pemerintahan yang partisipatif dalam koridor syariat,
di mana ketaatan rakyat tidak bersifat buta, melainkan berdasarkan kontrak
timbal balik antara penguasa dan umat.¹²
6.5.      
Etika Administrasi
dan Birokrasi
Selain penguasa tertinggi, al-Māwardī
juga menekankan standar etika bagi pejabat administrasi negara. Seorang wazīr
atau qāḍī, misalnya, harus menegakkan keadilan, bersikap jujur, dan menghindari
korupsi.¹³ Ia menegaskan bahwa praktik nepotisme dan penyalahgunaan jabatan
akan merusak legitimasi pemerintahan dan menimbulkan ketidakstabilan sosial.¹⁴
Bagi al-Māwardī, etika administrasi
sama pentingnya dengan etika kepemimpinan. Negara yang adil hanya dapat
terwujud jika seluruh aparaturnya bekerja dengan prinsip integritas dan
akuntabilitas.¹⁵
6.6.      
Relevansi Etika
Politik al-Māwardī
Etika pemerintahan al-Māwardī tidak
hanya relevan dalam konteks Abbasiyah, tetapi juga memiliki nilai universal.
Prinsip keadilan, akuntabilitas, dan amanah merupakan nilai yang terus menjadi
standar tata kelola pemerintahan modern.¹⁶ Konsep bahwa kekuasaan bersifat
amanah dan kontraktual dapat disejajarkan dengan gagasan modern tentang good
governance, rule of law, dan kontrak sosial.¹⁷
Dengan demikian, pemikiran etika
politik al-Māwardī dapat dipandang sebagai warisan intelektual Islam yang
berkontribusi pada diskursus etika politik global, baik dalam ranah teori maupun
praktik pemerintahan.¹⁸
Footnotes
[1]               
Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances
of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading:
Garnet, 1996), 3.
[2]               
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam,
ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University
Press, 1962), 142.
[3]               
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.
[4]               
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ed. Aḥmad
Mubārak al-Baghdādī (Kuwait: Dār al-Kutub, 1989), 5–7.
[5]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 163.
[6]               
Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut:
Dār al-Fikr, 1996), 18.
[7]               
Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 32.
[8]               
Wahba, Ordinances, 7–12.
[9]               
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of
al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political
Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 273.
[10]            
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.
[11]            
Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 75.
[12]            
Muhammad Rizqi A., “Al-Māwardī’s Social Contract
Theory,” Journal of Islamic Studies and Humanities 3, no. 2 (2018): 44.
[13]            
Wahba, Ordinances, 26–27.
[14]            
Wael Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic
Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 177.
[15]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 165.
[16]            
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World:
The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005),
246.
[17]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 33.
[18]            
Leaman, The Political Aspects of Islamic Philosophy,
36.
7.          
Relevansi Pemikiran
Al-Māwardī
7.1.      
Pengaruh terhadap
Tradisi Politik Islam Klasik
Pemikiran al-Māwardī memberi fondasi
kokoh bagi diskursus politik Islam setelahnya. Konsepsi imāmah sebagai
institusi normatif-institusional menjadi rujukan banyak ulama, dari Ibn
Taymiyyah hingga Ibn Khaldūn.¹ Ibn Taymiyyah, misalnya, dalam al-Siyāsah
al-Shar‘iyyah menegaskan fungsi negara untuk menegakkan syariat, yang jelas
dipengaruhi konstruksi al-Māwardī.² Sementara itu, Ibn Khaldūn dalam al-Muqaddimah
menempatkan imāmah sebagai kebutuhan sosial-politik yang sejalan dengan gagasan
al-Māwardī tentang pentingnya otoritas pusat demi stabilitas.³
Dengan demikian, pemikirannya berfungsi
sebagai jembatan antara teori politik fikih normatif dan analisis historis
sosiologis dalam tradisi Islam.⁴
7.2.      
Relevansi bagi
Konsep Rule of Law dan Good Governance
Dalam konteks modern, teori al-Māwardī
sering dibaca ulang sebagai bentuk awal dari gagasan rule of law dalam
Islam. Baginya, legitimasi kekuasaan bukan berasal dari kehendak pribadi
penguasa, tetapi dari kepatuhan pada syariat dan prinsip keadilan.⁵ Pandangan
ini sejajar dengan prinsip pemerintahan modern yang menekankan supremasi hukum
di atas kekuasaan politik.
Selain itu, etika pemerintahan yang
digariskan al-Māwardī—seperti akuntabilitas, amanah, dan larangan
penyalahgunaan wewenang—memiliki kesamaan dengan nilai-nilai good governance
kontemporer.⁶ Dengan demikian, karya-karyanya dapat dijadikan rujukan normatif
untuk memperkuat integritas pemerintahan di masyarakat Muslim modern.
7.3.      
Relevansi terhadap
Gagasan Kontrak Sosial
Konsep ‘aqd al-imāmah (kontrak
imāmah) yang dikemukakan al-Māwardī memiliki kedekatan dengan gagasan kontrak
sosial.⁷ Relasi penguasa-rakyat didasarkan pada kesepakatan: rakyat wajib taat
selama penguasa menegakkan keadilan, dan penguasa wajib melindungi rakyat serta
menjaga syariat.⁸ Jika penguasa mengingkari amanah, legitimasi kepemimpinannya
bisa dipersoalkan.⁹
Meskipun lahir dalam konteks abad pertengahan
Islam, gagasan ini menunjukkan adanya embrio teori politik yang menekankan kontrak
timbal balik antara negara dan rakyat, sebuah pola pikir yang memiliki
resonansi dengan teori politik Barat modern (misalnya Hobbes, Locke, dan
Rousseau), meski dengan basis teologis yang berbeda.¹⁰
7.4.      
Relevansi dalam
Wacana Politik Islam Kontemporer
Pemikiran al-Māwardī juga terus dikaji
dalam wacana kontemporer tentang negara Islam, demokrasi, dan tata kelola
masyarakat Muslim. Sejumlah pemikir Muslim modern, seperti Rashid Rida dan Abul
A‘la Maududi, merujuk al-Māwardī untuk menegaskan pentingnya institusi
kepemimpinan dalam Islam.¹¹
Di sisi lain, sebagian sarjana
kontemporer mengkritik bahwa kerangka al-Māwardī terlalu berfokus pada
legitimasi kekuasaan khalifah dan cenderung konservatif.¹² Namun, nilai-nilai
etika politiknya—seperti keadilan, amanah, dan supremasi hukum—tetap relevan
untuk menjawab tantangan pemerintahan modern di dunia Islam, termasuk dalam
konteks negara bangsa yang pluralistik.¹³
Signifikansi Global
Dalam konteks global, pemikiran
al-Māwardī dapat dipandang sebagai kontribusi Islam terhadap sejarah
intelektual politik dunia.¹⁴ Ia menunjukkan bahwa tradisi Islam tidak hanya
menghasilkan pemikiran teologis dan spiritual, tetapi juga teori politik yang
sistematis dan aplikatif. Konsep pemerintahan sebagai amanah, pembatasan
kekuasaan oleh hukum, dan tanggung jawab moral pemimpin merupakan gagasan
universal yang dapat berdialog dengan teori politik global.¹⁵
Dengan demikian, relevansi al-Māwardī
tidak terbatas pada ranah sejarah, melainkan juga aktual dalam memperkaya
diskursus etika politik internasional, baik dalam hal legitimasi kekuasaan,
akuntabilitas pejabat, maupun tata kelola pemerintahan yang adil.¹⁶
Footnotes
[1]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 167.
[2]               
Ibn Taymiyyah, Al-Siyāsah al-Shar‘iyyah fī Iṣlāḥ
al-Rā‘ī wa al-Ra‘iyyah (Cairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1961), 5.
[3]               
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. Darwish
al-Jawīdī (Cairo: Dār al-Fikr, 2005), 123–124.
[4]               
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 33.
[5]               
Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances
of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading:
Garnet, 1996), 7–10.
[6]               
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam,
ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University
Press, 1962), 143.
[7]               
Wahba, Ordinances, 5–6.
[8]               
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.
[9]               
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of
al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political
Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 273.
[10]            
Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 38.
[11]            
Rashid Rida, Al-Khilāfah aw al-Imāmah al-‘Uẓmā
(Cairo: Maktabah al-Manār, 1923), 45–47.
[12]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 169.
[13]            
Wael Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics,
and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press,
2013), 31.
[14]            
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World:
The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005),
248.
[15]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam,
35.
[16]            
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 171.
8.          
Penutup
Pemikiran politik Abu al-Ḥasan
al-Māwardī (974–1058 M) merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah
intelektual Islam klasik. Dengan karya monumentalnya al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah,
ia berhasil menyusun teori politik yang memadukan dimensi normatif syariat
dengan kebutuhan praktis administrasi pemerintahan pada masa Kekhalifahan
Abbasiyah.¹ Pemikirannya muncul dalam konteks sosial-politik yang kompleks, di
mana otoritas khalifah mulai melemah akibat dominasi militer dan fragmentasi
kekuasaan, sehingga diperlukan kerangka konseptual yang dapat menjaga
legitimasi khalifah sekaligus memastikan berfungsinya tata kelola negara.²
Al-Māwardī menempatkan imāmah
(khilāfah) sebagai institusi fundamental yang wajib ada untuk menjaga agama dan
mengatur urusan dunia (ḥirāsat al-dīn wa siyāsat al-dunyā).³ Ia
menggariskan syarat-syarat kepemimpinan, mekanisme legitimasi melalui ahl al-ḥall
wa al-‘aqd, serta fungsi-fungsi kekuasaan yang menekankan pentingnya
keadilan, akuntabilitas, dan amanah.⁴ Selain itu, ia merumuskan struktur
administratif negara yang mencakup peran wazīr, qāḍī, militer, dan lembaga ḥisbah,
sehingga pemerintahan dapat berjalan secara efektif dalam kerangka syariat.⁵
Etika pemerintahan yang ditawarkan
al-Māwardī mempertegas bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa absolut, melainkan
amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan rakyat.⁶ Pandangan
ini menolak tirani politik dan memberikan basis moral yang kokoh bagi
penyelenggaraan negara. Lebih jauh, konsep kontrak imāmah yang dikemukakannya
dapat dipandang sebagai embrio teori kontrak sosial dalam Islam, di mana
legitimasi kekuasaan bersifat timbal balik antara penguasa dan rakyat.⁷
Relevansi pemikiran al-Māwardī tetap
terjaga hingga kini. Prinsip-prinsip seperti rule of law, keadilan
sosial, amanah, dan akuntabilitas memiliki kesamaan dengan nilai-nilai good
governance yang dijunjung tinggi dalam pemerintahan modern.⁸ Dengan
demikian, meski lahir dari konteks abad ke-11, gagasan-gagasannya masih dapat
dijadikan pijakan normatif bagi masyarakat Muslim dalam membangun sistem
pemerintahan yang adil, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan.⁹
Secara keseluruhan, pemikiran
al-Māwardī dapat disimpulkan sebagai upaya sistematis untuk menjaga
keseimbangan antara idealitas syariat dan realitas politik. Ia berhasil
mewariskan kerangka politik Islam yang komprehensif: konsep kekuasaan yang
berakar pada syariat, hukum yang menegakkan keadilan, dan etika pemerintahan
yang berorientasi pada amanah dan akuntabilitas. Warisan intelektual ini
menjadi kontribusi besar Islam dalam wacana politik global dan tetap relevan
sebagai pedoman moral maupun praktis dalam menghadapi tantangan tata kelola
pemerintahan kontemporer.¹⁰
Footnotes
[1]               
Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances
of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading:
Garnet, 1996), xv–xvi.
[2]               
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.
[3]               
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ed. Aḥmad
Mubārak al-Baghdādī (Kuwait: Dār al-Kutub, 1989), 5.
[4]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 163.
[5]               
Wahba, Ordinances, 25–30.
[6]               
Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut:
Dār al-Fikr, 1996), 34.
[7]               
Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of
al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political
Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 273.
[8]               
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam,
ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University
Press, 1962), 143.
[9]               
Wael Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics,
and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press,
2013), 31.
[10]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 35.
Daftar Pustaka
Al-Māwardī. (1989). Al-Aḥkām
al-Sulṭāniyyah. (A. M. al-Baghdādī, Ed.). Kuwait: Dār al-Kutub.
Al-Māwardī. (1996). Adab al-Dunyā
wa al-Dīn. Beirut: Dār al-Fikr.
Crone, P. (2004). Medieval Islamic
political thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Gibb, H. A. R. (1962). Studies on
the civilization of Islam. (S. J. Shaw & W. R. Polk, Eds.). Princeton:
Princeton University Press.
Hallaq, W. B. (2005). The origins
and evolution of Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.
Hallaq, W. B. (2013). The
impossible state: Islam, politics, and modernity’s moral predicament. New York:
Columbia University Press.
Hurvitz, N. (2009). Competing texts:
The place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the history of
Islamic political thought. Islamic Law and Society, 16(3–4), 216–241.
Ibn Khaldūn. (2005). Al-Muqaddimah.
(D. al-Jawīdī, Ed.). Cairo: Dār al-Fikr.
Ibn Taymiyyah. (1961). Al-Siyāsah
al-Shar‘iyyah fī Iṣlāḥ al-Rā‘ī wa al-Ra‘iyyah. Cairo: Maktabah
al-Salafiyyah.
Khadduri, M. (1955). War and peace
in the law of Islam. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Kennedy, H. (2005). When Baghdad
ruled the Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty.
Cambridge, MA: Da Capo Press.
Lapidus, I. M. (2002). A history
of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Leaman, O. (Ed.). (1990). The
political aspects of Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University
Press.
Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the
foundation of Islamic political philosophy. Chicago: University of Chicago
Press.
Rida, R. (1923). Al-Khilāfah aw
al-Imāmah al-‘Uẓmā. Cairo: Maktabah al-Manār.
Rosenthal, E. I. J. (1958). Political
thought in medieval Islam. Cambridge: Cambridge University Press.
Wahba, W. H. (Trans.). (1996). Al-Māwardī:
The ordinances of government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt
al-Dīniyyah). Reading: Garnet.
Watt, W. M. (1968). Islamic
political thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar