Rabu, 08 Oktober 2025

Pemikiran Al-Mawardi: Konsep Kekuasaan, Hukum, dan Etika Pemerintahan pada Masa Abbasiyah

Pemikiran Al-Mawardi

Konsep Kekuasaan, Hukum, dan Etika Pemerintahan pada Masa Abbasiyah


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas pemikiran politik Abu al-Ḥasan al-Māwardī (974–1058 M), seorang ulama Syafi‘i dan Qāḍī al-Quḍāt pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, yang memberikan kontribusi besar dalam merumuskan teori politik Islam klasik. Melalui karya monumentalnya al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, al-Māwardī berhasil memadukan dimensi normatif syariat dengan kebutuhan praktis administrasi pemerintahan. Artikel ini menguraikan secara sistematis fondasi pemikiran al-Māwardī, meliputi konsep imāmah sebagai institusi tertinggi, legitimasi kepemimpinan melalui ahl al-ḥall wa al-‘aqd, struktur administrasi negara, sistem peradilan, serta etika pemerintahan yang berlandaskan prinsip amanah, keadilan, dan akuntabilitas.

Pembahasan juga menyoroti konteks sosial-politik masa Abbasiyah, di mana melemahnya otoritas khalifah akibat dominasi dinasti militer menuntut hadirnya teori politik yang mampu menjaga legitimasi spiritual khalifah sekaligus menata ulang tata kelola negara. Selain mengulas kontribusi intelektualnya, artikel ini menegaskan relevansi pemikiran al-Māwardī dalam wacana politik Islam kontemporer, khususnya terkait konsep rule of law, good governance, dan embrio kontrak sosial. Dengan demikian, warisan intelektual al-Māwardī dapat dipandang sebagai kontribusi penting Islam terhadap diskursus politik global yang menekankan keterpaduan antara agama, hukum, dan etika dalam pemerintahan.

Kata Kunci: Al-Māwardī; Politik Islam; Imāmah; Hukum Islam; Etika Pemerintahan; Kekhalifahan Abbasiyah; Good Governance.


PEMBAHASAN

Pemikiran Politik Abu Al-Hasan Al-Mawardi


1.           Pendahuluan

Abu Al-Hasan ʿAlī ibn Muḥammad ibn Ḥabīb al-Māwardī (w. 450 H/1058 M) adalah seorang fuqahā Syafi‘i dan negarawan yang menulis salah satu risalah politik—hukum paling berpengaruh dalam tradisi Islam klasik, al-Aḥkām al-Sulṭāniyya wa’l-Wilāyāt al-Dīniyya (The Ordinances of Government). Karya ini merumuskan arsitektur ketatanegaraan Islam secara normatif: dari kontrak imāmah (khilāfah), tugas dan syarat pemimpin, kementerian/ wizārah, militer, hingga peradilan dan administrasi fiskal.¹ Kelahiran pemikiran ini tidak dapat dilepaskan dari konteks akhir Abbasiyah, ketika otoritas khalifah merosot karena fragmentasi kekuasaan dan dominasi dinasti militer (seperti Būyid), sehingga diperlukan kerangka legitimasi dan tata kelola yang dapat menata kembali hubungan antara simbol otoritas religius khalifah dan realitas politik praktis.² Kerangka al-Māwardī, karena itu, bersifat preskriptif-institusional: ia bukan sekadar spekulasi filosofis, melainkan pedoman penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dioperasionalkan.³

Sebagai qāḍī dan diplomat yang berpengalaman, al-Māwardī membaca negara melalui prisma fikih: hukum publik (siyāsah shar‘iyyah) disusun dari dalil-dalil (al-Qur’an, Sunnah), ijmā‘, dan praktik administratif yang diakui syariat.⁴ Di tangan al-Māwardī, kontrak imāmah menjadi poros yang mengikat agama dan negara (dīn wa dawlah): imāmah diwajibkan untuk menjaga agama dan menertibkan urusan dunia, dengan mandat menegakkan keadilan, memastikan keamanan, menjamin hak-hak warga, dan mengelola sumber daya.⁵ Garis besar ini menempatkan pemimpin sebagai guardian of law (ḥāris al-dīn) sekaligus chief executive yang bertanggung jawab pada kesejahteraan publik (maṣlaḥah).⁶

Kekuatan al-Aḥkām al-Sulṭāniyya juga terletak pada desain institusinya. Selain memformulasikan khalifah dan wazīr, al-Māwardī menekankan independensi relatif peradilan—dengan menempatkan qāḍī al-quḍāt (kepala hakim) sebagai simpul profesionalisasi birokrasi hukum yang menilai, mengangkat, dan mengawasi para qāḍī di wilayah.⁷ Lembaga ini, yang berkembang pada periode Abbasiyah (dengan figur awal seperti Abū Yūsuf), mempertegas bahwa legitimasi politik harus ditopang legal-judicial accountability.⁸ Dengan demikian, tata kelola yang ia rumuskan berusaha menyeimbangkan supremasi norma syar‘i, kebutuhan efisiensi administratif, dan stabilitas politik.⁹

Secara historiografis, banyak kajian menempatkan al-Māwardī sebagai arsitek “konstitusionalisme” klasik Islam: ia merumuskan job description kekuasaan berikut perangkat checks-and-balances yang berbasis legitimasi hukum, bukan semata kekuatan de facto.¹⁰ H. A. R. Gibb, misalnya, menunjukkan bahwa teorinya tentang khilafah berfungsi untuk “mengikat kembali” otoritas khalifah di tengah realitas dominasi militer—sebuah sintesis antara ideal normatif dan kompromi politik yang mungkin.¹¹ Studi-studi kontemporer juga menyorot dimensi “kontrak sosial” tersirat dalam relasi penguasa-rakyat yang digarisbawahi al-Māwardī: ketaatan bertimbal balik (ṭā‘ah) berpijak pada pemenuhan kewajiban syar‘i dan kemaslahatan umum.¹²

Dari perspektif keilmuan saat ini, mempelajari al-Māwardī penting setidaknya atas tiga alasan. Pertama, ia menyediakan grammar konseptual untuk membaca public law Islam: sumber legitimasi, pendelegasian wewenang, dan etika jabatan publik.¹³ Kedua, ia memberi lensa untuk menafsir praktik politik pra-modern Muslim—bagaimana norma fikih bernegosiasi dengan realitas kekuasaan.¹⁴ Ketiga, ia menawarkan perangkat evaluatif bagi diskursus kontemporer tentang good governance dalam masyarakat Muslim modern: rule of law, akuntabilitas, dan keadilan distributif.¹⁵ Dengan menempatkan al-Māwardī di pertemuan fikih, administrasi, dan etika politik, artikel ini bertujuan mengurai fondasi, institusi, dan relevansi pemikirannya bagi studi hukum-politik Islam dan tantangan tata kelola saat ini.


Footnotes

[1]                Abū al-Ḥasan al-Māwardī, The Ordinances of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyya wa’l-Wilāyāt al-Dīniyya), trans. Wafaa H. Wahba (Reading: Garnet, 1996). (nli.org.il)

[2]                “Al-Māwardī,” dalam A History of Muslim Philosophy, bab 36 (ringkas), menyoroti konteks kemerosotan wibawa khalifah pada akhir Abbasiyah. (Al-Islam.org)

[3]                Nimrod Hurvitz, “Competing Texts,” menempatkan al-Aḥkām sebagai genre baru yang menghubungkan doktrin hukum dan kenyataan politik. PDF, Islamic Legal Studies Program (Harvard), 2008. (pil.law.harvard.edu)

[4]                Al-Māwardī, Ordinances, pendahuluan dan Bab 1 (Kontrak Imāmah). Lihat juga ulasan bibliografis di “Māwardī’s Legal Thinking,” al-ʿUṣūr al-Wusṭā (Columbia University Libraries). (journals.library.columbia.edu)

[5]                Al-Māwardī, Ordinances, Bab “The Contract of Imamate”; bandingkan perumusan kewajiban imāmah dalam studi: M. Rizqi A. (dsb.), “Al-Māwardī’s Social Contract Theory,” Journal of Islamic Studies and Humanities (Walisongo). (Jurnal Walisongo)

[6]                Ibid.; argumentasi bahwa imam adalah Ḥāris al-Dīn sekaligus pemimpin politik. (Jurnal Walisongo)

[7]                Pembahasan lembaga peradilan dan kepala hakim dalam al-Māwardī, Ordinances; lihat juga kajian komprehensif tentang qāḍī dalam The Oxford Handbook of Islamic Law. (journals.library.columbia.edu, Oxford Academic)

[8]                Tentang genealogi jabatan Qāḍī al-Quḍāt di Abbasiyah dan figur awal Abū Yūsuf, lihat diskusi historis pada entri ensiklopedik dan studi ringkas terkait. (Ensiklopedia Bebas)

[9]                Al-Māwardī, Ordinances, bab-bab tentang wizārah, hisbah, peradilan, dan keuangan publik. (nli.org.il)

[10]             Lihat mis. ulasan akademik atas dua terjemahan Inggris dan penempatan al-Māwardī dalam kajian hukum publik Islam di “Māwardī’s Legal Thinking.” (journals.library.columbia.edu)

[11]             H. A. R. Gibb, “Al-Māwardī’s Theory of the Caliphate,” dalam Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw dan William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962). Rujukan ini dikutip lewat ringkasan/sintesis sekunder. (journals.library.columbia.edu)

[12]             “Al-Māwardī’s Social Contract Theory,” JISH (Walisongo), dan ringkasan konseptual sejenis. (Jurnal Walisongo)

[13]             Al-Māwardī, Ordinances; bibliografi dan katalog edisi/terjemahan: WorldCat/Stanford (Garnet, 1996). (WorldCat, searchworks.stanford.edu)

[14]             “Competing Texts,” Hurvitz; serta A History of Muslim Philosophy (bab 36). (pil.law.harvard.edu, Al-Islam.org)

[15]             Lihat pula diskursus mutakhir yang menilai kontribusi al-Māwardī terhadap etika tata kelola dalam tradisi Muslim. (Academia)


2.           Biografi dan Konteks Sosio-Politik

2.1.       Riwayat Hidup Singkat Al-Mawardi

Abū al-Ḥasan ʿAlī ibn Muḥammad ibn Ḥabīb al-Māwardī lahir di Basrah pada tahun 364 H/974 M dan wafat di Baghdad pada 450 H/1058 M.¹ Ia berasal dari keluarga sederhana dengan profesi awal sebagai penjual air mawar (māʾ al-ward), yang kemudian melekat pada namanya “al-Māwardī.”² Al-Māwardī menempuh pendidikan agama sejak dini di Basrah, lalu melanjutkan ke Baghdad—pusat intelektual Islam kala itu—untuk memperdalam fikih mazhab Syafi‘i.³ Di sana, ia belajar kepada ulama besar seperti Abū Ḥayyān al-Tawḥīdī dan Syekh Abū Ishaq al-Shirazi.⁴

Keilmuan al-Māwardī meliputi fikih, tafsir, adab, dan politik. Namun, ia lebih dikenal sebagai seorang faqih Syafi‘i yang memiliki perhatian mendalam pada siyāsah shar‘iyyah (hukum tata negara Islam).⁵ Reputasinya membawanya diangkat sebagai qāḍī (hakim) di beberapa wilayah, hingga mencapai puncaknya sebagai Qāḍī al-Quḍāt (hakim agung) di Baghdad.⁶ Posisi ini menempatkannya tidak hanya sebagai otoritas hukum, tetapi juga sebagai penasihat politik bagi khalifah Abbasiyah.⁷

2.2.       Kedudukan Intelektual dan Karya-Karya

Sebagai seorang ulama, al-Māwardī meninggalkan banyak karya dalam bidang tafsir, etika, dan hukum. Namun karyanya yang paling monumental adalah al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, yang membahas teori politik dan tata kelola negara Islam.⁸ Buku ini menjadi tonggak utama dalam literatur politik Islam klasik, karena menyajikan konsepsi sistematis tentang khilafah, imamah, peradilan, keuangan, militer, hingga pengelolaan wilayah.⁹ Selain itu, ia juga menulis Adab al-Dunyā wa al-Dīn yang menekankan hubungan antara moralitas pribadi, etika sosial, dan stabilitas politik.¹⁰

Peran al-Māwardī dalam peradaban Islam tidak sebatas sebagai ahli hukum, tetapi juga sebagai mediator politik. Ia kerap diutus oleh khalifah sebagai diplomat dalam negosiasi dengan kekuatan militer seperti Būyid dan Sāmānid.¹¹ Peran ganda ini—ulama sekaligus negarawan—membuat pemikirannya bersifat aplikatif, bukan sekadar teoretis.

2.3.       Konteks Sosio-Politik Kekhalifahan Abbasiyah

Pada masa hidup al-Māwardī, Kekhalifahan Abbasiyah sedang berada dalam fase kemunduran politik.¹² Secara formal, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin tertinggi umat Islam, tetapi kekuasaan riil sering berada di tangan dinasti militer seperti Būyid (945–1055 M) yang menguasai Baghdad.¹³ Kondisi ini menciptakan ketegangan antara simbol otoritas religius khalifah dan dominasi politik de facto oleh militer.

Situasi tersebut memunculkan kebutuhan untuk menyusun teori legitimasi politik yang dapat menjaga eksistensi khalifah sebagai representasi otoritas agama, sekaligus mengakomodasi realitas fragmentasi politik.¹⁴ Al-Māwardī hadir dengan kerangka hukum-politik yang berupaya “menyelamatkan” posisi khalifah agar tetap memiliki legitimasi spiritual dan administratif, meskipun secara praktis kekuasaan politik dijalankan oleh amir atau wazīr yang kuat.¹⁵

Lebih jauh, konteks intelektual pada masa itu juga sangat dinamis. Baghdad menjadi pusat interaksi berbagai mazhab fikih, aliran teologi (kalam), dan filsafat.¹⁶ Dalam arus intelektual ini, al-Māwardī tampil sebagai ulama yang mengutamakan pendekatan fikih Syafi‘i, tetapi dengan kepekaan terhadap persoalan politik praktis.¹⁷ Hal ini membuat teorinya tentang negara Islam berbeda dari filsuf politik seperti al-Fārābī yang cenderung spekulatif, karena ia berangkat dari problem nyata administrasi pemerintahan.¹⁸


Signifikansi Historis

Dengan demikian, biografi dan konteks sosio-politik al-Māwardī menunjukkan bahwa pemikirannya lahir dari kebutuhan historis: menjaga kesinambungan otoritas khalifah, merumuskan hukum publik Islam yang sesuai syariat, dan memberikan pedoman etis bagi penyelenggaraan negara.¹⁹ Sebagai seorang Qāḍī al-Quḍāt, ia berdiri di garis depan dalam merumuskan teori politik Islam yang bercorak normatif-institusional, yang pengaruhnya bertahan hingga berabad-abad kemudian.²⁰


Footnotes

[1]                Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading: Garnet, 1996), xiii.

[2]                C. E. Bosworth, “Al-Māwardī,” dalam Encyclopaedia of Islam, 2nd ed. (Leiden: Brill, 1991), 1:895.

[3]                Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 7.

[4]                W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 73.

[5]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 159.

[6]                Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 269.

[7]                H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962), 141.

[8]                Al-Māwardī, Ordinances, xv–xvi.

[9]                Crone, Medieval Islamic Political Thought, 160.

[10]             Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1996).

[11]             Hurvitz, “Competing Texts,” 271.

[12]             Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.

[13]             Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005), 243.

[14]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 162.

[15]             Watt, Islamic Political Thought, 74.

[16]             Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 27.

[17]             Bosworth, “Al-Māwardī,” 896.

[18]             Alfarabi vs. al-Māwardī, bandingkan dalam Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 198.

[19]             Hurvitz, “Competing Texts,” 276.

[20]             Wahba, Ordinances, xviii.


3.           Fondasi Pemikiran Al-Māwardī

3.1.       Sumber-Sumber Pemikiran

Fondasi pemikiran politik al-Māwardī sangat erat dengan tradisi fikih Syafi‘i yang menjadi basis keilmuannya. Ia menafsirkan konsep negara dan kekuasaan melalui kerangka siyāsah shar‘iyyah (politik hukum Islam), yaitu politik yang berlandaskan syariat.¹ Sumber utama yang menjadi pijakan adalah al-Qur’an, Sunnah, ijmā‘ ulama, dan qiyās.² Di samping itu, ia juga terpengaruh oleh praktik administratif Kekhalifahan Abbasiyah, yang saat itu mengalami kompleksitas dalam pengelolaan kekuasaan akibat dominasi militer Būyid.³ Dengan demikian, pemikirannya memadukan dalil normatif dengan realitas politik yang pragmatis.

Selain tradisi fikih, al-Māwardī juga mengadopsi unsur pemikiran politik Islam yang berkembang sebelumnya, seperti konsepsi imāmah dalam karya al-Fārābī dan diskursus politik dalam teologi Mu‘tazilah maupun Sunni.⁴ Namun, al-Māwardī menolak pendekatan spekulatif filosofis dan lebih memilih konstruksi hukum praktis yang dapat diterapkan dalam pemerintahan.⁵

3.2.       Karya Utama: al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah

Magnum opus al-Māwardī, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, merupakan karya yang menyusun sistem pemerintahan Islam secara sistematis.⁶ Kitab ini menegaskan pentingnya lembaga imāmah (khilāfah) sebagai institusi tertinggi yang bertugas menjaga agama dan mengatur urusan dunia (ḥirāsat al-dīn wa siyāsat al-dunyā).⁷ Al-Māwardī merinci syarat-syarat seorang imam, tata cara pengangkatannya, serta kewajiban yang harus dijalankannya, seperti menegakkan hukum, menjaga keamanan, melindungi hak-hak warga, dan mengelola bait al-māl.⁸

Kitab ini juga membahas struktur lembaga negara, termasuk peran wazīr (menteri), qāḍī (hakim), amīr al-jihād (panglima militer), serta lembaga ḥisbah (pengawasan moral dan pasar).⁹ Dengan uraian tersebut, al-Aḥkām dipandang sebagai semacam “konstitusi” klasik Islam yang menyatukan prinsip agama dengan administrasi politik.¹⁰

3.3.       Prinsip Dasar: Keterpaduan Agama dan Politik

Fondasi pemikiran al-Māwardī berangkat dari prinsip bahwa agama dan politik adalah dua dimensi yang tidak terpisahkan (dīn wa dawlah).¹¹ Dalam pandangannya, imāmah adalah kewajiban syar‘i karena keberadaannya memastikan tegaknya hukum Allah di bumi.¹² Ketiadaan imāmah akan menimbulkan kekacauan, hilangnya keadilan, dan runtuhnya kehidupan sosial-politik umat.¹³

Selain itu, al-Māwardī menekankan konsep maṣlaḥah (kemaslahatan umum) sebagai tujuan utama penyelenggaraan negara.¹⁴ Kekuasaan, menurutnya, bukan sekadar hak, tetapi amanah yang dibatasi oleh hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.¹⁵ Oleh karena itu, ia menekankan bahwa kepemimpinan harus dijalankan berdasarkan keadilan, amanah, dan tanggung jawab moral.¹⁶

3.4.       Karakteristik Pemikiran

Ada beberapa karakteristik penting dalam fondasi pemikiran politik al-Māwardī:

1)                  Normatif-Institusional

Ia menyusun hukum publik Islam dalam bentuk institusi-institusi konkret seperti khalifah, wazīr, qāḍī, dan lembaga ḥisbah.¹⁷

2)                  Pragmatis

Meskipun ideal, pemikirannya mengakomodasi realitas politik saat itu, termasuk pengaruh Būyid yang mengurangi otoritas khalifah.¹⁸

3)                  Fikih-Sentris

Berbeda dengan filsuf politik, ia merumuskan teori politik dari sudut pandang fikih, bukan spekulasi metafisik.¹⁹

4)                  Etis-Religius

Konsep kepemimpinan yang ia rumuskan tidak hanya teknis, tetapi juga sarat etika, menekankan tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah dan masyarakat.²⁰


Signifikansi Fondasi Pemikiran

Fondasi pemikiran al-Māwardī menjadi titik balik dalam tradisi politik Islam karena berhasil menghubungkan norma syar‘i dengan kebutuhan praktis pemerintahan.²¹ Ia menyediakan kerangka hukum-politik yang bertahan lama, bahkan memengaruhi teori-teori politik Islam sesudahnya seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Khaldūn.²² Dengan demikian, fondasi pemikiran al-Māwardī dapat dipahami sebagai upaya sistematis untuk merumuskan tata kelola negara yang Islami sekaligus realistis dalam menghadapi tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 159.

[2]                Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading: Garnet, 1996), xiv.

[3]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.

[4]                Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 29.

[5]                W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 74.

[6]                Al-Māwardī, Ordinances, xv.

[7]                Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 10.

[8]                Al-Māwardī, Ordinances, 5–10.

[9]                Crone, Medieval Islamic Political Thought, 162.

[10]             H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962), 141.

[11]             Wahba, Ordinances, xvii.

[12]             Ibid., 3.

[13]             Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 271.

[14]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 165.

[15]             Watt, Islamic Political Thought, 75.

[16]             Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 21.

[17]             Hurvitz, “Competing Texts,” 273.

[18]             Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005), 243.

[19]             Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 198.

[20]             Wahba, Ordinances, xviii.

[21]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 167.

[22]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 29.


4.           Teori Politik dan Kekuasaan

4.1.       Konsep Imāmah/Khilāfah

Bagi al-Māwardī, imāmah atau khilāfah merupakan institusi fundamental dalam tatanan politik Islam. Ia mendefinisikan imāmah sebagai lembaga yang ditetapkan untuk menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia (ḥirāsat al-dīn wa siyāsat al-dunyā).¹ Dengan demikian, keberadaan imam atau khalifah merupakan kewajiban syar‘i yang harus ditegakkan oleh umat.²

Imam dipandang sebagai pemegang otoritas tertinggi yang tidak hanya memimpin secara politik, tetapi juga menjaga integritas syariat.³ Dalam hal ini, al-Māwardī menegaskan bahwa tanpa imāmah, hukum Islam tidak dapat ditegakkan secara konsisten, keadilan sosial akan hilang, dan stabilitas politik umat akan runtuh.⁴

4.2.       Syarat dan Legitimasi Kepemimpinan

Al-Māwardī merinci syarat-syarat yang harus dimiliki seorang imam, antara lain: berakal sehat, adil, berilmu sehingga mampu berijtihad, memiliki kemampuan fisik, keberanian dalam melindungi umat, serta nasab Quraisy.⁵ Kriteria ini menegaskan perpaduan antara legitimasi moral, religius, dan sosial.

Terkait mekanisme legitimasi, al-Māwardī mengajukan konsep ahl al-ḥall wa al-‘aqd—sekelompok tokoh berilmu dan berpengaruh yang bertugas memilih serta mengangkat imam.⁶ Mekanisme ini berfungsi sebagai bentuk kontrak politik (‘aqd al-imāmah) antara penguasa dan umat, yang didasarkan pada kewajiban timbal balik: ketaatan rakyat dan keadilan penguasa.⁷ Dengan demikian, legitimasi politik tidak sekadar ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh pengakuan moral dan hukum dari masyarakat.

4.3.       Hubungan antara Khalifah dan Aparatur Negara

Teori politik al-Māwardī juga menekankan pentingnya delegasi kekuasaan. Imam tidak bekerja sendiri, melainkan dibantu oleh wazīr (menteri) yang terbagi dalam dua kategori:

1)                  Wazīr Tafwīḍ – menteri dengan kewenangan penuh dalam mengelola administrasi pemerintahan.

2)                  Wazīr Tanfīdh – menteri dengan fungsi pelaksana keputusan imam.⁸

Selain wazīr, terdapat pula lembaga lain seperti qāḍī (hakim), amīr al-jihād (panglima militer), serta lembaga ḥisbah (pengawas pasar dan moral publik).⁹ Struktur ini menunjukkan bahwa pemerintahan ideal menurut al-Māwardī bersifat institusional, dengan pembagian kerja yang jelas untuk menjaga stabilitas politik.

Khalifah berfungsi sebagai pusat legitimasi, sementara aparatur negara menjalankan otoritas teknis. Hal ini sekaligus mencerminkan usaha al-Māwardī menata kembali hubungan antara otoritas simbolik khalifah Abbasiyah yang lemah dan realitas dominasi politik de facto oleh penguasa militer atau wazīr yang kuat.¹⁰

4.4.       Kedaulatan dan Otoritas Politik

Dalam kerangka al-Māwardī, kedaulatan pada prinsipnya bersumber dari syariat, bukan dari kehendak absolut penguasa.¹¹ Imam hanyalah pelaksana syariat dan pemelihara kepentingan umat.¹² Karena itu, kekuasaan khalifah dibatasi oleh hukum dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang.¹³

Meski demikian, al-Māwardī juga realistis terhadap kondisi politik. Ia mengakui bahwa jika penguasa militer berhasil menguasai wilayah tertentu, maka selama ia tetap menjaga syariat dan memberikan keamanan bagi rakyat, kekuasaannya dapat dianggap sah.¹⁴ Pandangan ini mencerminkan sikap kompromistis al-Māwardī untuk menjaga kesinambungan negara di tengah fragmentasi politik Abbasiyah.

4.5.       Fungsi Kekuasaan

Al-Māwardī merinci fungsi-fungsi kekuasaan khalifah, yang antara lain meliputi:

1)                  Menegakkan hukum dan keadilan.

2)                  Menjaga keamanan internal dan pertahanan eksternal.

3)                  Melindungi agama dan memelihara ortodoksi akidah.

4)                  Mengelola bait al-māl (keuangan negara) dan mendistribusikan zakat.

5)                  Menjamin hak-hak masyarakat, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi.¹⁵

Dengan demikian, kekuasaan dipandang sebagai amanah (amānah) untuk mewujudkan maṣlaḥah (kemaslahatan umum), bukan sarana untuk kepentingan pribadi penguasa.¹⁶


Signifikansi Teori Politik Al-Māwardī

Teori politik al-Māwardī memberikan kontribusi penting dalam sejarah pemikiran Islam. Ia berhasil menggabungkan dimensi normatif (syariat dan etika) dengan pragmatisme politik (realitas dominasi militer dan fragmentasi kekuasaan).¹⁷ Pemikiran ini berfungsi sebagai semacam “konstitusi klasik” yang menjaga otoritas khalifah sekaligus menyediakan kerangka administratif bagi penyelenggaraan negara.¹⁸

Lebih jauh, konsep ‘aqd al-imāmah yang dikemukakan al-Māwardī sering ditafsirkan sebagai bentuk kontrak sosial dalam Islam, di mana kekuasaan harus selalu berpijak pada legitimasi hukum dan moral.¹⁹ Oleh sebab itu, pemikirannya tidak hanya relevan dalam konteks Abbasiyah, tetapi juga memberikan warisan intelektual yang terus memengaruhi teori politik Islam hingga periode Ibn Taymiyyah, Ibn Khaldūn, bahkan wacana modern tentang negara Islam.²⁰


Footnotes

[1]                Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ed. Aḥmad Mubārak al-Baghdādī (Kuwait: Dār al-Kutub, 1989), 5.

[2]                Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances of Government (Reading: Garnet, 1996), 3.

[3]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 159.

[4]                Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 270.

[5]                Wahba, Ordinances, 5–6.

[6]                Al-Māwardī, Al-Aḥkām, 10.

[7]                Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.

[8]                Wahba, Ordinances, 26–28.

[9]                Al-Māwardī, Al-Aḥkām, 38–40.

[10]             Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005), 243.

[11]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 162.

[12]             Al-Māwardī, Al-Aḥkām, 7.

[13]             Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 74.

[14]             Hurvitz, “Competing Texts,” 273.

[15]             Wahba, Ordinances, 7–12.

[16]             Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 34.

[17]             H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962), 141.

[18]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 167.

[19]             Muhammad Rizqi A., “Al-Māwardī’s Social Contract Theory,” Journal of Islamic Studies and Humanities 3, no. 2 (2018): 44.

[20]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 29.


5.           Pemikiran tentang Hukum dan Administrasi

5.1.       Peran Sentral Hukum dalam Pemerintahan

Dalam kerangka pemikiran al-Māwardī, hukum menempati posisi sentral dalam menopang kehidupan negara dan masyarakat. Baginya, syariat adalah fondasi utama yang mengikat seluruh aspek pemerintahan.¹ Hukum publik (siyāsah shar‘iyyah) bukan sekadar aturan teknis, melainkan manifestasi dari prinsip keadilan yang menjadi tujuan utama kekuasaan.² Imam (khalifah) dan seluruh aparaturnya hanya sah sejauh mereka memerintah dalam koridor hukum Islam.³

Dengan demikian, legitimasi pemerintahan tidak ditentukan oleh kekuatan militer atau dukungan politik semata, melainkan oleh kemampuan penguasa dalam menegakkan hukum syar‘i.⁴ Perspektif ini menunjukkan orientasi normatif al-Māwardī, yang ingin memastikan agar kekuasaan tetap tunduk pada batasan hukum agama.

5.2.       Sistem Peradilan dan Kedudukan Qāḍī

Al-Māwardī menaruh perhatian khusus pada lembaga peradilan. Ia menegaskan bahwa qāḍī (hakim) memiliki fungsi vital untuk menjaga keadilan, menyelesaikan sengketa, dan memastikan hukum ditegakkan secara konsisten.⁵ Dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ia membedakan antara Qāḍī al-Quḍāt (hakim agung) yang memiliki otoritas mengangkat dan mengawasi para qāḍī di wilayah, dengan hakim biasa yang menangani perkara lokal.⁶

Menurut al-Māwardī, seorang qāḍī harus memiliki integritas moral, kecakapan hukum, serta independensi dari tekanan politik.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa al-Māwardī menyadari pentingnya rule of law dalam membatasi kekuasaan politik. Peradilan tidak boleh menjadi alat legitimasi tirani, melainkan instrumen untuk menjaga keadilan substantif.⁸

5.3.       Hukum Administrasi dan Tata Kelola Negara

Selain hukum peradilan, al-Māwardī juga merumuskan prinsip-prinsip hukum administrasi negara. Ia menekankan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan melalui struktur yang jelas: imam sebagai pemimpin tertinggi, wazīr sebagai pengelola administratif, dan pejabat birokrasi sebagai pelaksana kebijakan.⁹

Al-Māwardī membagi fungsi wazīr menjadi dua: wazīr tafwīḍ yang memiliki kewenangan luas dalam kebijakan, dan wazīr tanfīdh yang hanya bertugas melaksanakan keputusan imam.¹⁰ Pembagian ini mencerminkan pemikiran administratif yang sistematis, di mana kekuasaan didistribusikan agar negara dapat berjalan efektif.

Lebih lanjut, al-Māwardī juga mengatur bidang-bidang administrasi spesifik, seperti:

·                     Keuangan publik (bait al-māl), termasuk distribusi zakat dan pajak.¹¹

·                     Pertahanan militer, dengan struktur komando yang diatur secara hierarkis.¹²

·                     Pengawasan pasar dan moral publik melalui lembaga ḥisbah.¹³

Struktur administratif ini memperlihatkan perhatian al-Māwardī pada efisiensi pemerintahan sekaligus pemeliharaan etika sosial.

5.4.       Prinsip Keadilan dan Akuntabilitas

Dalam pemikiran al-Māwardī, hukum dan administrasi tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berlandaskan etika. Ia menekankan bahwa setiap pejabat negara, baik qāḍī, wazīr, maupun imam, memikul amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah dan rakyat.¹⁴ Dengan demikian, keadilan dan akuntabilitas merupakan dua prinsip utama dalam penyelenggaraan administrasi negara.

Al-Māwardī bahkan menekankan bahwa jika seorang penguasa gagal menegakkan keadilan atau melakukan penyalahgunaan wewenang, maka kontrak imāmah dapat dipandang gugur.¹⁵ Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan politik bersifat kondisional, bukan absolut.


Signifikansi Pemikiran Hukum dan Administrasi

Pemikiran al-Māwardī mengenai hukum dan administrasi menunjukkan kombinasi antara fikih normatif dan praktik administrasi.¹⁶ Ia menyajikan kerangka yang bersifat konstitusional, di mana lembaga-lembaga pemerintahan diatur secara sistematis dan tunduk pada prinsip syariat.

Hal ini penting karena memberikan basis teoretis bagi terbentuknya negara hukum dalam tradisi Islam, di mana pemerintahan dijalankan bukan berdasarkan kekuatan, melainkan hukum yang adil dan administrasi yang akuntabel.¹⁷ Dengan demikian, al-Māwardī dapat dianggap sebagai salah satu arsitek awal konsep rule of law dalam Islam klasik.¹⁸


Footnotes

[1]                Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading: Garnet, 1996), 3.

[2]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 160.

[3]                H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962), 141.

[4]                Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 269.

[5]                Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 45.

[6]                Wahba, Ordinances, 43.

[7]                Crone, Medieval Islamic Political Thought, 163.

[8]                Wael Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 177.

[9]                Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 25–30.

[10]             Wahba, Ordinances, 26–27.

[11]             Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 68.

[12]             Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005), 245.

[13]             Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, 102.

[14]             Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 34.

[15]             Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.

[16]             Hurvitz, “Competing Texts,” 273.

[17]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 167.

[18]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 31.


6.           Etika Pemerintahan

6.1.       Kepemimpinan sebagai Amanah

Al-Māwardī memandang kekuasaan sebagai amanah (amānah) yang diberikan Allah kepada penguasa untuk menegakkan keadilan dan menjaga kemaslahatan umat.¹ Konsep ini menekankan bahwa jabatan politik bukanlah hak istimewa pribadi, melainkan beban tanggung jawab moral dan religius.² Karena itu, seorang imam atau pejabat negara akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya oleh rakyat, tetapi juga di hadapan Allah.³ Dengan perspektif ini, etika pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari akidah dan spiritualitas.

6.2.       Kriteria Pemimpin Ideal

Dalam karyanya al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, al-Māwardī menyebut sejumlah syarat kepemimpinan yang sekaligus merefleksikan standar etika politik: berilmu, adil, berani, amanah, dan mampu mengelola urusan publik.⁴ Syarat “adil” menjadi kunci utama, karena tanpa keadilan, kekuasaan akan berubah menjadi instrumen penindasan.⁵

Selain itu, dalam Adab al-Dunyā wa al-Dīn, ia menekankan pentingnya sifat wara‘ (menjaga diri dari keburukan), hikmah (kebijaksanaan), dan ḥilm (kesabaran) sebagai karakter seorang pemimpin.⁶ Pemimpin yang ideal, menurutnya, bukan hanya menguasai hukum, tetapi juga memiliki kepribadian yang mampu menjadi teladan moral bagi masyarakat.⁷

6.3.       Tanggung Jawab Moral Penguasa

Etika pemerintahan dalam pemikiran al-Māwardī menekankan tanggung jawab moral penguasa terhadap rakyatnya. Ia menegaskan bahwa seorang imam wajib:

1)                  Menjaga agama agar tetap murni dari bid‘ah.

2)                  Melindungi hak-hak rakyat dan memberikan rasa aman.

3)                  Menghindari kezaliman dan penyalahgunaan wewenang.

4)                  Mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan.⁸

Dengan kerangka ini, al-Māwardī menolak absolutisme politik. Kekuasaan yang kehilangan orientasi moral akan kehilangan legitimasi di mata syariat dan masyarakat.⁹

6.4.       Hubungan Penguasa, Ulama, dan Rakyat

Etika pemerintahan yang ditawarkan al-Māwardī menekankan pentingnya hubungan harmonis antara penguasa, ulama, dan rakyat. Ulama berfungsi sebagai penjaga norma agama sekaligus penasihat moral bagi penguasa.¹⁰ Rakyat memiliki kewajiban taat selama penguasa menegakkan keadilan, namun mereka juga berhak menuntut jika penguasa melanggar amanah.¹¹

Dalam perspektif ini, al-Māwardī menghadirkan model pemerintahan yang partisipatif dalam koridor syariat, di mana ketaatan rakyat tidak bersifat buta, melainkan berdasarkan kontrak timbal balik antara penguasa dan umat.¹²

6.5.       Etika Administrasi dan Birokrasi

Selain penguasa tertinggi, al-Māwardī juga menekankan standar etika bagi pejabat administrasi negara. Seorang wazīr atau qāḍī, misalnya, harus menegakkan keadilan, bersikap jujur, dan menghindari korupsi.¹³ Ia menegaskan bahwa praktik nepotisme dan penyalahgunaan jabatan akan merusak legitimasi pemerintahan dan menimbulkan ketidakstabilan sosial.¹⁴

Bagi al-Māwardī, etika administrasi sama pentingnya dengan etika kepemimpinan. Negara yang adil hanya dapat terwujud jika seluruh aparaturnya bekerja dengan prinsip integritas dan akuntabilitas.¹⁵

6.6.       Relevansi Etika Politik al-Māwardī

Etika pemerintahan al-Māwardī tidak hanya relevan dalam konteks Abbasiyah, tetapi juga memiliki nilai universal. Prinsip keadilan, akuntabilitas, dan amanah merupakan nilai yang terus menjadi standar tata kelola pemerintahan modern.¹⁶ Konsep bahwa kekuasaan bersifat amanah dan kontraktual dapat disejajarkan dengan gagasan modern tentang good governance, rule of law, dan kontrak sosial.¹⁷

Dengan demikian, pemikiran etika politik al-Māwardī dapat dipandang sebagai warisan intelektual Islam yang berkontribusi pada diskursus etika politik global, baik dalam ranah teori maupun praktik pemerintahan.¹⁸


Footnotes

[1]                Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading: Garnet, 1996), 3.

[2]                H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962), 142.

[3]                Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.

[4]                Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ed. Aḥmad Mubārak al-Baghdādī (Kuwait: Dār al-Kutub, 1989), 5–7.

[5]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 163.

[6]                Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 18.

[7]                Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 32.

[8]                Wahba, Ordinances, 7–12.

[9]                Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 273.

[10]             Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.

[11]             Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 75.

[12]             Muhammad Rizqi A., “Al-Māwardī’s Social Contract Theory,” Journal of Islamic Studies and Humanities 3, no. 2 (2018): 44.

[13]             Wahba, Ordinances, 26–27.

[14]             Wael Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 177.

[15]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 165.

[16]             Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005), 246.

[17]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 33.

[18]             Leaman, The Political Aspects of Islamic Philosophy, 36.


7.           Relevansi Pemikiran Al-Māwardī

7.1.       Pengaruh terhadap Tradisi Politik Islam Klasik

Pemikiran al-Māwardī memberi fondasi kokoh bagi diskursus politik Islam setelahnya. Konsepsi imāmah sebagai institusi normatif-institusional menjadi rujukan banyak ulama, dari Ibn Taymiyyah hingga Ibn Khaldūn.¹ Ibn Taymiyyah, misalnya, dalam al-Siyāsah al-Shar‘iyyah menegaskan fungsi negara untuk menegakkan syariat, yang jelas dipengaruhi konstruksi al-Māwardī.² Sementara itu, Ibn Khaldūn dalam al-Muqaddimah menempatkan imāmah sebagai kebutuhan sosial-politik yang sejalan dengan gagasan al-Māwardī tentang pentingnya otoritas pusat demi stabilitas.³

Dengan demikian, pemikirannya berfungsi sebagai jembatan antara teori politik fikih normatif dan analisis historis sosiologis dalam tradisi Islam.⁴

7.2.       Relevansi bagi Konsep Rule of Law dan Good Governance

Dalam konteks modern, teori al-Māwardī sering dibaca ulang sebagai bentuk awal dari gagasan rule of law dalam Islam. Baginya, legitimasi kekuasaan bukan berasal dari kehendak pribadi penguasa, tetapi dari kepatuhan pada syariat dan prinsip keadilan.⁵ Pandangan ini sejajar dengan prinsip pemerintahan modern yang menekankan supremasi hukum di atas kekuasaan politik.

Selain itu, etika pemerintahan yang digariskan al-Māwardī—seperti akuntabilitas, amanah, dan larangan penyalahgunaan wewenang—memiliki kesamaan dengan nilai-nilai good governance kontemporer.⁶ Dengan demikian, karya-karyanya dapat dijadikan rujukan normatif untuk memperkuat integritas pemerintahan di masyarakat Muslim modern.

7.3.       Relevansi terhadap Gagasan Kontrak Sosial

Konsep ‘aqd al-imāmah (kontrak imāmah) yang dikemukakan al-Māwardī memiliki kedekatan dengan gagasan kontrak sosial.⁷ Relasi penguasa-rakyat didasarkan pada kesepakatan: rakyat wajib taat selama penguasa menegakkan keadilan, dan penguasa wajib melindungi rakyat serta menjaga syariat.⁸ Jika penguasa mengingkari amanah, legitimasi kepemimpinannya bisa dipersoalkan.⁹

Meskipun lahir dalam konteks abad pertengahan Islam, gagasan ini menunjukkan adanya embrio teori politik yang menekankan kontrak timbal balik antara negara dan rakyat, sebuah pola pikir yang memiliki resonansi dengan teori politik Barat modern (misalnya Hobbes, Locke, dan Rousseau), meski dengan basis teologis yang berbeda.¹⁰

7.4.       Relevansi dalam Wacana Politik Islam Kontemporer

Pemikiran al-Māwardī juga terus dikaji dalam wacana kontemporer tentang negara Islam, demokrasi, dan tata kelola masyarakat Muslim. Sejumlah pemikir Muslim modern, seperti Rashid Rida dan Abul A‘la Maududi, merujuk al-Māwardī untuk menegaskan pentingnya institusi kepemimpinan dalam Islam.¹¹

Di sisi lain, sebagian sarjana kontemporer mengkritik bahwa kerangka al-Māwardī terlalu berfokus pada legitimasi kekuasaan khalifah dan cenderung konservatif.¹² Namun, nilai-nilai etika politiknya—seperti keadilan, amanah, dan supremasi hukum—tetap relevan untuk menjawab tantangan pemerintahan modern di dunia Islam, termasuk dalam konteks negara bangsa yang pluralistik.¹³


Signifikansi Global

Dalam konteks global, pemikiran al-Māwardī dapat dipandang sebagai kontribusi Islam terhadap sejarah intelektual politik dunia.¹⁴ Ia menunjukkan bahwa tradisi Islam tidak hanya menghasilkan pemikiran teologis dan spiritual, tetapi juga teori politik yang sistematis dan aplikatif. Konsep pemerintahan sebagai amanah, pembatasan kekuasaan oleh hukum, dan tanggung jawab moral pemimpin merupakan gagasan universal yang dapat berdialog dengan teori politik global.¹⁵

Dengan demikian, relevansi al-Māwardī tidak terbatas pada ranah sejarah, melainkan juga aktual dalam memperkaya diskursus etika politik internasional, baik dalam hal legitimasi kekuasaan, akuntabilitas pejabat, maupun tata kelola pemerintahan yang adil.¹⁶


Footnotes

[1]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 167.

[2]                Ibn Taymiyyah, Al-Siyāsah al-Shar‘iyyah fī Iṣlāḥ al-Rā‘ī wa al-Ra‘iyyah (Cairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1961), 5.

[3]                Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. Darwish al-Jawīdī (Cairo: Dār al-Fikr, 2005), 123–124.

[4]                Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 33.

[5]                Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading: Garnet, 1996), 7–10.

[6]                H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962), 143.

[7]                Wahba, Ordinances, 5–6.

[8]                Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 11.

[9]                Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 273.

[10]             Oliver Leaman, ed., The Political Aspects of Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 38.

[11]             Rashid Rida, Al-Khilāfah aw al-Imāmah al-‘Uẓmā (Cairo: Maktabah al-Manār, 1923), 45–47.

[12]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 169.

[13]             Wael Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 31.

[14]             Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo, 2005), 248.

[15]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, 35.

[16]             Crone, Medieval Islamic Political Thought, 171.


8.           Penutup

Pemikiran politik Abu al-Ḥasan al-Māwardī (974–1058 M) merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah intelektual Islam klasik. Dengan karya monumentalnya al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ia berhasil menyusun teori politik yang memadukan dimensi normatif syariat dengan kebutuhan praktis administrasi pemerintahan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah.¹ Pemikirannya muncul dalam konteks sosial-politik yang kompleks, di mana otoritas khalifah mulai melemah akibat dominasi militer dan fragmentasi kekuasaan, sehingga diperlukan kerangka konseptual yang dapat menjaga legitimasi khalifah sekaligus memastikan berfungsinya tata kelola negara.²

Al-Māwardī menempatkan imāmah (khilāfah) sebagai institusi fundamental yang wajib ada untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia (ḥirāsat al-dīn wa siyāsat al-dunyā).³ Ia menggariskan syarat-syarat kepemimpinan, mekanisme legitimasi melalui ahl al-ḥall wa al-‘aqd, serta fungsi-fungsi kekuasaan yang menekankan pentingnya keadilan, akuntabilitas, dan amanah.⁴ Selain itu, ia merumuskan struktur administratif negara yang mencakup peran wazīr, qāḍī, militer, dan lembaga ḥisbah, sehingga pemerintahan dapat berjalan secara efektif dalam kerangka syariat.⁵

Etika pemerintahan yang ditawarkan al-Māwardī mempertegas bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa absolut, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan rakyat.⁶ Pandangan ini menolak tirani politik dan memberikan basis moral yang kokoh bagi penyelenggaraan negara. Lebih jauh, konsep kontrak imāmah yang dikemukakannya dapat dipandang sebagai embrio teori kontrak sosial dalam Islam, di mana legitimasi kekuasaan bersifat timbal balik antara penguasa dan rakyat.⁷

Relevansi pemikiran al-Māwardī tetap terjaga hingga kini. Prinsip-prinsip seperti rule of law, keadilan sosial, amanah, dan akuntabilitas memiliki kesamaan dengan nilai-nilai good governance yang dijunjung tinggi dalam pemerintahan modern.⁸ Dengan demikian, meski lahir dari konteks abad ke-11, gagasan-gagasannya masih dapat dijadikan pijakan normatif bagi masyarakat Muslim dalam membangun sistem pemerintahan yang adil, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan.⁹

Secara keseluruhan, pemikiran al-Māwardī dapat disimpulkan sebagai upaya sistematis untuk menjaga keseimbangan antara idealitas syariat dan realitas politik. Ia berhasil mewariskan kerangka politik Islam yang komprehensif: konsep kekuasaan yang berakar pada syariat, hukum yang menegakkan keadilan, dan etika pemerintahan yang berorientasi pada amanah dan akuntabilitas. Warisan intelektual ini menjadi kontribusi besar Islam dalam wacana politik global dan tetap relevan sebagai pedoman moral maupun praktis dalam menghadapi tantangan tata kelola pemerintahan kontemporer.¹⁰


Footnotes

[1]                Wafaa H. Wahba, trans., Al-Māwardī: The Ordinances of Government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah) (Reading: Garnet, 1996), xv–xvi.

[2]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.

[3]                Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, ed. Aḥmad Mubārak al-Baghdādī (Kuwait: Dār al-Kutub, 1989), 5.

[4]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 163.

[5]                Wahba, Ordinances, 25–30.

[6]                Al-Māwardī, Adab al-Dunyā wa al-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 34.

[7]                Nimrod Hurvitz, “Competing Texts: The Place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the History of Islamic Political Thought,” Islamic Law and Society 16, no. 3–4 (2009): 273.

[8]                H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. Stanford J. Shaw and William R. Polk (Princeton: Princeton University Press, 1962), 143.

[9]                Wael Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 31.

[10]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 35.


Daftar Pustaka

Al-Māwardī. (1989). Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah. (A. M. al-Baghdādī, Ed.). Kuwait: Dār al-Kutub.

Al-Māwardī. (1996). Adab al-Dunyā wa al-Dīn. Beirut: Dār al-Fikr.

Crone, P. (2004). Medieval Islamic political thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Gibb, H. A. R. (1962). Studies on the civilization of Islam. (S. J. Shaw & W. R. Polk, Eds.). Princeton: Princeton University Press.

Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution of Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2013). The impossible state: Islam, politics, and modernity’s moral predicament. New York: Columbia University Press.

Hurvitz, N. (2009). Competing texts: The place of al-Māwardī’s al-Aḥkām al-Sulṭāniyya in the history of Islamic political thought. Islamic Law and Society, 16(3–4), 216–241.

Ibn Khaldūn. (2005). Al-Muqaddimah. (D. al-Jawīdī, Ed.). Cairo: Dār al-Fikr.

Ibn Taymiyyah. (1961). Al-Siyāsah al-Shar‘iyyah fī Iṣlāḥ al-Rā‘ī wa al-Ra‘iyyah. Cairo: Maktabah al-Salafiyyah.

Khadduri, M. (1955). War and peace in the law of Islam. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Kennedy, H. (2005). When Baghdad ruled the Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Cambridge, MA: Da Capo Press.

Lapidus, I. M. (2002). A history of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Leaman, O. (Ed.). (1990). The political aspects of Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of Islamic political philosophy. Chicago: University of Chicago Press.

Rida, R. (1923). Al-Khilāfah aw al-Imāmah al-‘Uẓmā. Cairo: Maktabah al-Manār.

Rosenthal, E. I. J. (1958). Political thought in medieval Islam. Cambridge: Cambridge University Press.

Wahba, W. H. (Trans.). (1996). Al-Māwardī: The ordinances of government (al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah). Reading: Garnet.

Watt, W. M. (1968). Islamic political thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar