Selasa, 11 Februari 2025

Teori Iluminasi (Al-Isyraq): Fondasi Filsafat Mistis dalam Pemikiran Islam

Teori Iluminasi (Al-Isyraq)

Fondasi Filsafat Mistis dalam Pemikiran Islam


Abstrak

Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi merupakan salah satu sistem filsafat dalam tradisi Islam yang menggabungkan rasionalitas dengan mistisisme. Teori ini menempatkan cahaya sebagai prinsip utama dalam realitas dan epistemologi, yang berbeda dengan filsafat Peripatetik yang berbasis rasionalisme Aristotelian. Melalui konsep hierarki cahaya, Suhrawardi menjelaskan bahwa ilmu sejati diperoleh melalui iluminasi batin dan pengalaman mistik, bukan hanya melalui akal dan deduksi logis.

Dalam perkembangannya, teori iluminasi memiliki pengaruh yang luas dalam filsafat Islam, terutama dalam Mazhab Isfahan, filsafat Hikmah Muta’aliyah Mulla Sadra, serta tasawuf dan filsafat mistis Islam. Konsep ini juga mendapat perhatian dalam kajian filsafat Barat, terutama melalui penelitian Henry Corbin dan Toshihiko Izutsu. Namun, teori ini tidak lepas dari kritik filsuf Peripatetik seperti Ibn Rushd, yang mempertanyakan validitas epistemologi iluminatif, serta kritik dari ulama kalam seperti Fakhr al-Din al-Razi, yang menilai teori ini kurang berbasis pada prinsip teologis Islam.

Meskipun demikian, teori iluminasi tetap relevan dalam kajian filsafat Islam kontemporer, terutama dalam konteks epistemologi, metafisika, dan spiritualitas. Dengan menjadikan cahaya sebagai metafora utama dalam memahami realitas, teori ini menawarkan pendekatan holistik dalam menjembatani antara filsafat rasional dan pengalaman mistis, serta memberikan kontribusi signifikan dalam kajian ontologi Islam dan filsafat ketuhanan.

Kata Kunci: Iluminasi, Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, filsafat Islam, epistemologi Islam, metafisika, tasawuf, filsafat mistis, ontologi cahaya, filsafat Peripatetik.


PEMBAHASAN

Teori Iluminasi (Al-Isyraq)


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam memiliki berbagai cabang pemikiran yang berkembang seiring waktu, salah satunya adalah teori iluminasi (al-isyraq). Teori ini memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat Islam dan mistisisme, yang menekankan konsep pencerahan intelektual dan spiritual sebagai sarana utama untuk mencapai kebenaran hakiki. Dalam khazanah pemikiran Islam, teori iluminasi dikembangkan secara sistematis oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi (w. 1191 M), seorang filsuf Persia yang memadukan unsur-unsur filsafat Neoplatonisme, Aristotelianisme, dan tradisi spiritualisme Iran kuno ke dalam sistem filsafatnya yang dikenal sebagai Hikmat al-Isyraq atau "Filsafat Iluminasi".¹

Konsep iluminasi berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya dapat diperoleh melalui rasio dan observasi empiris, tetapi juga melalui pengalaman langsung dan penyinaran (ishraq) dari sumber cahaya tertinggi.² Pandangan ini berbeda dengan pendekatan filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah), yang lebih menekankan pada deduksi logis dan prinsip-prinsip Aristotelian. Oleh karena itu, teori iluminasi sering kali dianggap sebagai sintesis antara rasionalisme dan mistisisme dalam filsafat Islam

1.1.       Latar Belakang Munculnya Teori Iluminasi

Pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi lahir dalam konteks keilmuan Islam yang telah lebih dulu dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan filsafat Persia kuno. Pada masa itu, filsafat Peripatetik yang diperkenalkan oleh filsuf Muslim seperti Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), dan Ibn Rushd (w. 1198 M) menjadi arus utama dalam kajian filsafat Islam.⁴ Namun, banyak pemikir Muslim yang merasa bahwa pendekatan rasionalistik Peripatetik memiliki keterbatasan dalam menjelaskan realitas metafisik secara lebih mendalam, terutama terkait dengan aspek pengalaman spiritual dan iluminasi langsung.

Suhrawardi mengkritik filsafat Peripatetik yang ia anggap terlalu menekankan pada deduksi logis semata tanpa memperhitungkan dimensi spiritual dalam pencapaian kebenaran. Ia berpendapat bahwa pengetahuan tertinggi tidak dapat diperoleh hanya melalui akal, tetapi juga melalui pengalaman iluminatif, yaitu ketika jiwa manusia mengalami penyinaran dari sumber cahaya yang lebih tinggi.⁵ Konsep ini sejalan dengan tradisi mistisisme Islam yang berkembang dalam tasawuf, meskipun pendekatan Suhrawardi tetap berada dalam kerangka filsafat rasional.

1.2.       Signifikansi Teori Iluminasi dalam Filsafat Islam

Teori iluminasi memberikan perspektif baru dalam epistemologi Islam dengan menekankan pentingnya dimensi intuitif dan pengalaman batin dalam memperoleh pengetahuan. Suhrawardi menyusun sistem filsafatnya berdasarkan metafora cahaya, di mana segala sesuatu dalam realitas ini memiliki tingkatan iluminasi yang berbeda. Dalam sistem ini, Cahaya Tertinggi (al-nur al-a'zam) menjadi sumber utama dari segala eksistensi dan pengetahuan, sedangkan entitas lain bergradasi dalam tingkat cahaya sesuai dengan kedekatannya dengan sumber tersebut.⁶

Konsep ini kemudian memiliki dampak besar terhadap perkembangan filsafat Islam, terutama dalam kaitannya dengan tasawuf dan filsafat mistis. Banyak pemikir Islam setelah Suhrawardi yang mengadaptasi konsep iluminasi dalam kajian mereka tentang makrifat (gnosis) dan penyaksian langsung (mushahadah) terhadap realitas spiritual.⁷

1.3.       Tujuan dan Cakupan Pembahasan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang teori iluminasi (al-isyraq), dengan menjelaskan dasar-dasar konseptualnya, perbedaannya dengan filsafat lain dalam Islam, serta pengaruh dan kritik terhadap pemikiran Suhrawardi. Pembahasan akan mencakup prinsip-prinsip utama dalam teori iluminasi, analisis perbandingan dengan filsafat Peripatetik dan tasawuf, serta relevansi pemikiran Suhrawardi dalam perkembangan filsafat Islam kontemporer. Melalui pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya iluminasi dalam wacana filsafat Islam dan epistemologi mistis.


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 3.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 111.

[3]                Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 45.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 72.

[5]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 98.

[6]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 67.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 133.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Teori Iluminasi

2.1.       Pengertian Iluminasi (Al-Isyraq) dalam Filsafat Islam

Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) merupakan sebuah sistem filsafat yang menekankan peran cahaya sebagai prinsip utama dalam realitas dan epistemologi. Konsep ini dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi (w. 1191 M) dalam karyanya Hikmat al-Isyraq yang menjadi fondasi utama aliran iluminasi dalam filsafat Islam.¹ Secara terminologis, istilah al-isyraq berasal dari kata Arab syarq yang berarti "terbitnya cahaya" atau "pencerahan", yang dalam konteks filsafat Suhrawardi merujuk pada proses memperoleh pengetahuan melalui penyinaran (ishraq) yang datang dari sumber cahaya tertinggi.²

Berbeda dengan filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah), yang menitikberatkan pada logika Aristotelian dan deduksi akal, filsafat iluminasi menekankan bahwa kebenaran tidak hanya dapat diperoleh melalui analisis rasional, tetapi juga melalui pengalaman mistik dan penyinaran langsung yang dialami oleh jiwa manusia.³ Dengan demikian, teori iluminasi menempatkan intuisi (dzawq), penyaksian langsung (mushahadah), dan iluminasi spiritual sebagai bagian integral dalam proses epistemologi Islam.

2.2.       Perbedaan Epistemologi Iluminasi dengan Epistemologi Rasional dan Empiris

Dalam epistemologi filsafat Islam, terdapat tiga pendekatan utama dalam memperoleh pengetahuan:

1)                  Epistemologi Rasional (Peripatetik / Mashsha’iyyah)

Didasarkan pada pemikiran Aristotelian yang menekankan logika, deduksi, dan demonstrasi akal dalam mencapai kebenaran.⁴ Tokoh utama dalam aliran ini adalah Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, yang mengembangkan metode pembuktian filosofis berdasarkan prinsip-prinsip rasionalisme.

2)                  Epistemologi Empiris

Pendekatan ini lebih berorientasi pada observasi dan pengalaman indrawi sebagai dasar memperoleh ilmu. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni dan Ibn al-Haytham mengembangkan metode eksperimental dalam sains berdasarkan pengamatan empiris.

3)                  Epistemologi Iluminatif (Al-Isyraqiyyah)

Berbeda dari dua pendekatan sebelumnya, epistemologi iluminatif menekankan bahwa ilmu sejati (ma’rifah haqqiqiyyah) tidak hanya diperoleh melalui akal atau indra, tetapi juga melalui pancaran cahaya intelektual yang datang dari Cahaya Tertinggi (al-Nur al-A'zam).⁵ Dalam sistem ini, jiwa yang disucikan dapat mengalami pencerahan langsung dari realitas yang lebih tinggi tanpa perantara logika atau pengalaman fisik.

Menurut Suhrawardi, manusia dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam terhadap hakikat realitas dengan mengembangkan kesadaran iluminatif melalui penyucian jiwa dan disiplin spiritual. Dengan demikian, filsafat iluminasi tidak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga bersifat transformasional, yang menuntut penghayatan langsung dalam perjalanan menuju pencerahan.⁶

2.3.       Hubungan Teori Iluminasi dengan Filsafat Emanasi dalam Islam

Teori iluminasi memiliki keterkaitan erat dengan konsep emanasi (al-faidh) dalam filsafat Islam, terutama sebagaimana dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam sistem filsafat emanasi, segala sesuatu yang ada di alam semesta merupakan pancaran dari Akal Aktif (al-'Aql al-Fa'al), yang bertindak sebagai penghubung antara Tuhan dan dunia material.⁷ Suhrawardi mengadopsi gagasan ini tetapi mereformulasikannya dengan pendekatan yang lebih bercorak mistis. Ia menggambarkan realitas sebagai hirarki cahaya, di mana Cahaya Mutlak (al-Nur al-Mutlaq) atau Cahaya Tertinggi (al-Nur al-A'zam) merupakan sumber segala eksistensi.⁸

Struktur realitas dalam filsafat iluminasi didasarkan pada hierarki cahaya, yang mencerminkan kedekatan suatu entitas dengan sumber cahaya utama. Semakin dekat suatu entitas dengan Cahaya Tertinggi, semakin besar tingkat eksistensinya dan semakin murni pengetahuannya.⁹ Dalam konteks ini, ilmu diperoleh melalui tajalli (penyingkapan), di mana jiwa manusia yang telah mencapai kebersihan spiritual dapat menerima cahaya langsung dari realitas tertinggi.

2.4.       Konsekuensi Filsafat Iluminasi terhadap Metafisika Islam

Konsep iluminasi membawa implikasi penting dalam metafisika Islam, terutama dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta. Suhrawardi menggambarkan Tuhan sebagai Cahaya di atas segala cahaya (nurun fauqa nur), yang menjadi sebab utama dari segala eksistensi.¹⁰ Semua wujud di alam semesta merupakan pantulan dari cahaya-Nya dalam berbagai tingkat intensitas. Dalam struktur ini, realitas spiritual memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan realitas material, dan jiwa manusia harus berusaha untuk kembali kepada sumber cahayanya melalui proses penyucian dan pencerahan intelektual.

Dengan demikian, teori iluminasi tidak hanya menjadi landasan dalam epistemologi Islam, tetapi juga menawarkan paradigma baru dalam metafisika Islam yang menekankan aspek spiritual dan transendental dalam memahami hakikat keberadaan.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 12.

[2]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 45.

[3]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 58.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 74.

[5]                Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 99.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 115.

[7]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 206.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 148.

[9]                Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy (London: Routledge, 2019), 57.

[10]             Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1976), 110.

[11]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 221.


3.           Tokoh Sentral dalam Teori Iluminasi

3.1.       Shihab al-Din Yahya Suhrawardi: Pendiri Filsafat Iluminasi

Teori iluminasi (al-isyraq) dalam filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Shihab al-Din Yahya Suhrawardi (w. 1191 M), seorang filsuf Persia yang menjadi pelopor utama sistem filsafat iluminasi (Hikmat al-Isyraq). Suhrawardi lahir di wilayah Persia barat laut, kemungkinan di kota Suhraward, pada pertengahan abad ke-12. Ia memperoleh pendidikan awalnya dalam bidang filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah) berdasarkan ajaran Aristotelian yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Namun, setelah mengalami perkembangan spiritual yang mendalam, ia merumuskan sistem filsafat yang menggabungkan rasionalisme dan mistisisme dalam kerangka iluminasi.¹

Suhrawardi menulis berbagai karya filsafat yang menjelaskan pemikirannya, dengan magnum opus-nya Hikmat al-Isyraq yang menjadi puncak pemikirannya. Dalam karya ini, ia mengkritik pendekatan logis dalam filsafat Peripatetik dan mengusulkan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya berasal dari akal, tetapi juga dari pengalaman iluminatif. Ia menyatakan bahwa cahaya adalah prinsip fundamental dalam realitas dan pengetahuan, dan bahwa jiwa manusia dapat memperoleh pemahaman hakiki melalui penyinaran (ishraq) dari sumber cahaya tertinggi.²

Karena pandangan-pandangannya yang dianggap radikal dan bertentangan dengan otoritas keagamaan saat itu, Suhrawardi menghadapi banyak perlawanan dari ulama ortodoks. Ia akhirnya ditangkap dan dieksekusi di Aleppo pada tahun 1191 M atas perintah Sultan Salahuddin al-Ayyubi melalui putranya, al-Zahir.³ Meskipun demikian, pemikirannya terus berkembang dan berpengaruh luas dalam tradisi filsafat Islam, terutama di kalangan para filsuf Iran dan tradisi filsafat mistis.

3.2.       Pemikiran Utama Suhrawardi dalam Filsafat Iluminasi

Suhrawardi membangun filsafat iluminasi dengan mengintegrasikan unsur-unsur dari beberapa tradisi pemikiran, termasuk:

1)                  Neoplatonisme

Konsep hirarki cahaya dalam filsafatnya memiliki kemiripan dengan teori emanasi (al-faidh) dalam filsafat Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Plotinus (w. 270 M). Suhrawardi menggambarkan realitas sebagai sistem bertingkat, di mana cahaya tertinggi (al-Nur al-A'zam) menjadi sumber utama dari segala keberadaan.⁴

2)                  Filsafat Aristotelian-Islam

Meskipun mengkritik aliran Peripatetik, Suhrawardi tetap menggunakan beberapa konsep Aristotelian dalam penjelasannya tentang akal dan substansi. Namun, ia menekankan bahwa cahaya lebih mendasar daripada substansi dalam menjelaskan realitas.⁵

3)                  Tradisi Mistisisme Persia

Pemikiran Suhrawardi sangat dipengaruhi oleh warisan spiritual Persia kuno, terutama konsep "raja-filosof" dalam Mazdeisme (Zoroastrianisme). Ia mengadopsi gagasan bahwa kebijaksanaan sejati hanya dapat diperoleh oleh individu yang mengalami iluminasi batin.⁶

Melalui sintesis ini, Suhrawardi menggambarkan realitas sebagai struktur cahaya yang bertingkat, di mana entitas yang lebih tinggi memiliki tingkat iluminasi yang lebih besar dibandingkan yang lebih rendah. Manusia, sebagai bagian dari sistem ini, dapat mencapai kesadaran tertinggi dengan memperdalam pengalaman spiritual dan menghilangkan kegelapan materialisme.⁷

3.3.       Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan atau Mengkritisi Teori Iluminasi

3.3.1.    Pengikut dan Pengembang Filsafat Iluminasi

Setelah wafatnya Suhrawardi, pemikirannya tidak serta-merta hilang. Beberapa filsuf dan sufi mengembangkan lebih lanjut konsep-konsep iluminasi dalam berbagai bentuk:

·                     Mir Damad (w. 1631 M)

Salah satu tokoh utama dalam Mazhab Isfahan, Mir Damad mencoba mengintegrasikan teori iluminasi dengan filsafat Ibn Sina dan mistisisme Islam.⁸

·                     Mulla Sadra (w. 1640 M)

Dalam filsafatnya yang dikenal sebagai Hikmah Muta’aliyah, Mulla Sadra banyak mengadopsi konsep iluminasi Suhrawardi, terutama dalam gagasannya tentang eksistensi sebagai pancaran cahaya yang mengalami intensifikasi.⁹

·                     Henry Corbin (w. 1978 M)

Seorang orientalis dan filsuf Prancis yang memainkan peran besar dalam memperkenalkan filsafat iluminasi kepada dunia Barat. Ia menggambarkan filsafat Suhrawardi sebagai spiritualitas Islam yang unik, yang memiliki keterkaitan dengan filsafat mistis lainnya di dunia Timur.¹⁰

3.3.2.      Kritik terhadap Teori Iluminasi

Meskipun teori iluminasi memiliki pengaruh besar, ia juga mendapat kritik dari berbagai kalangan filsuf Islam:

·                     Ibn Rushd (w. 1198 M)

Meskipun sezaman dengan Suhrawardi, Ibn Rushd lebih berorientasi pada filsafat Aristotelian murni. Ia menolak pendekatan iluminatif karena dianggap tidak memiliki dasar logis yang kuat.¹¹

·                     Para Mutakallimun (Teolog Islam)

Beberapa teolog Asy’ariyah dan Muktazilah mengkritik teori iluminasi karena dianggap terlalu dekat dengan pandangan esoteris yang sulit dibuktikan secara rasional.¹²

Meskipun demikian, teori iluminasi tetap menjadi salah satu pilar utama dalam perkembangan filsafat Islam, terutama dalam tradisi filsafat Iran dan tasawuf filsafat.


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 14.

[2]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 50.

[3]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 62.

[4]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 210.

[5]                Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 87.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 119.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 80.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 140.

[9]                Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy (London: Routledge, 2019), 66.

[10]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 231.

[11]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut (Incoherence of the Incoherence), terj. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 97.

[12]             Frank Griffel, The Formation of Post-Classical Philosophy in Islam (Oxford: Oxford University Press, 2021), 220.


4.           Prinsip-Prinsip Utama dalam Teori Iluminasi

Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi didasarkan pada prinsip-prinsip fundamental yang membedakannya dari filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah) dan menjadikannya sebagai salah satu aliran pemikiran mistis dalam filsafat Islam.¹ Suhrawardi membangun sistem filsafatnya dengan menempatkan cahaya sebagai hakikat tertinggi dari segala realitas. Konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai metafora, tetapi juga sebagai prinsip ontologis dan epistemologis utama dalam memahami eksistensi dan sumber pengetahuan.²

Berikut adalah beberapa prinsip utama dalam teori iluminasi:

4.1.       Cahaya sebagai Realitas Hakiki

Prinsip utama dalam filsafat iluminasi adalah cahaya sebagai realitas tertinggi dan sumber dari segala keberadaan. Suhrawardi menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah manifestasi dari cahaya dalam berbagai tingkat intensitas.³ Dalam sistem ini, cahaya tertinggi disebut sebagai "Cahaya Mutlak" (al-Nur al-Mutlaq) atau "Cahaya di atas segala cahaya" (nurun fauqa nur), yang identik dengan prinsip tertinggi dalam realitas.⁴

Menurut Suhrawardi, cahaya memiliki hierarki yang membentuk struktur ontologis keberadaan:

1)                  Cahaya Tertinggi (al-Nur al-A‘zam) – Realitas absolut yang merupakan sumber dari segala sesuatu.

2)                  Cahaya Murni (al-Anwar al-Mujarradah) – Entitas cahaya yang lebih rendah tetapi tetap bersifat spiritual, seperti akal-akal suci dan malaikat.

3)                  Cahaya Campuran (al-Anwar al-Mudhafah) – Bentuk realitas yang masih memiliki unsur cahaya, tetapi bercampur dengan kegelapan, seperti jiwa manusia.

4)                  Kegelapan (al-Zhulumat) – Entitas yang jauh dari sumber cahaya, seperti dunia material.⁵

Melalui prinsip ini, Suhrawardi mengajukan konsep ontologi cahaya yang menggantikan model substansi-forma dalam filsafat Aristotelian.⁶

4.2.       Sumber Pengetahuan Iluminatif

Salah satu aspek paling khas dari filsafat iluminasi adalah epistemologi iluminatifnya. Suhrawardi berpendapat bahwa pengetahuan sejati tidak hanya diperoleh melalui akal dan logika, sebagaimana dikemukakan dalam filsafat Peripatetik, tetapi juga melalui penyinaran langsung (ishraq) yang diperoleh dari realitas cahaya yang lebih tinggi.⁷

Menurut Suhrawardi, ada tiga cara utama manusia memperoleh pengetahuan:

1)                  Pengetahuan Rasional (Ilm al-Hushuli)

Diperoleh melalui konsep-konsep logis dan deduksi akal, sebagaimana yang dianut oleh filsafat Peripatetik.

2)                  Pengetahuan Iluminatif (Ilm al-Hudhuri)

Diperoleh melalui pengalaman langsung, intuisi (dzawq), dan pencerahan spiritual yang tidak membutuhkan perantara konsep rasional.

3)                  Pengetahuan Mistis (Ma‘rifah)

Bentuk pengetahuan tertinggi yang hanya bisa dicapai melalui proses spiritual yang mendalam, di mana jiwa mengalami penyatuan dengan sumber cahaya tertinggi.⁸

Suhrawardi menekankan bahwa pencapaian pengetahuan hakiki memerlukan penyucian diri, karena hanya jiwa yang telah terbebas dari kegelapan materialisme yang mampu menerima cahaya iluminasi.⁹

4.3.       Hubungan antara Akal dan Iluminasi

Meskipun teori iluminasi menekankan pentingnya intuisi dan pengalaman mistis, Suhrawardi tidak sepenuhnya menolak peran akal. Ia mengakui bahwa akal adalah instrumen penting dalam memahami struktur cahaya, tetapi ia menolak klaim Peripatetik yang menganggap akal sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran.¹⁰

Dalam filsafat iluminasi, akal berfungsi sebagai panduan awal, tetapi untuk mencapai realitas tertinggi, manusia harus mengalami tajalli (manifestasi cahaya) yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman spiritual yang mendalam.¹¹

Konsep ini mengingatkan pada pandangan para sufi seperti Ibn Arabi (w. 1240 M) yang juga menekankan pentingnya pengalaman mistik dalam memperoleh pengetahuan hakiki.¹² Dengan demikian, filsafat iluminasi menjembatani antara rasionalisme filsafat Islam dan mistisisme sufi, menciptakan suatu sistem pemikiran yang unik dalam sejarah pemikiran Islam.

4.4.       Konsep Jiwa dan Pencerahan

Dalam sistem filsafat iluminasi, jiwa manusia adalah entitas yang bercahaya, tetapi tertutupi oleh kegelapan dunia material. Oleh karena itu, tujuan utama jiwa adalah "kembali kepada sumber cahayanya", yang hanya dapat dicapai melalui proses penyucian dan iluminasi spiritual.¹³

Suhrawardi menggambarkan perjalanan jiwa ini sebagai proses pemurnian kesadaran, di mana manusia harus membebaskan dirinya dari keterikatan duniawi agar dapat mengalami penyinaran dari cahaya ilahi.¹⁴

Dalam hal ini, konsep iluminasi memiliki banyak kesamaan dengan filsafat Plato, khususnya mitos gua dalam Republik, yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terperangkap dalam bayang-bayang dunia material dan hanya bisa mencapai pengetahuan sejati melalui pencerahan intelektual.¹⁵

Dengan demikian, filsafat iluminasi tidak hanya memberikan teori metafisik tentang keberadaan, tetapi juga menawarkan jalan spiritual bagi individu untuk mencapai kesadaran tertinggi.


Kesimpulan

Prinsip-prinsip utama dalam teori iluminasi menunjukkan bahwa filsafat Suhrawardi memiliki pendekatan yang unik dalam memahami realitas dan epistemologi. Dengan menjadikan cahaya sebagai prinsip fundamental, Suhrawardi berhasil menciptakan sistem filsafat yang menggabungkan metafisika, epistemologi, dan mistisisme. Pengaruh filsafat iluminasi tidak hanya terasa dalam perkembangan filsafat Islam, tetapi juga dalam pemikiran mistis di dunia Timur dan Barat.


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 16.

[2]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 55.

[3]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 70.

[4]                Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 100.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 120.

[6]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 215.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 150.

[8]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 235.

[9]                Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy (London: Routledge, 2019), 69.

[10]             Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 85.

[11]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut (Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 102.

[12]             Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, ed. R.A. Nicholson (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 58.

[13]             Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1976), 115.

[14]             Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 120.

[15]             Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 515c-517d.


5.           Perbandingan dengan Aliran Filsafat Lain

Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari aliran filsafat lain dalam tradisi Islam dan filsafat Barat.¹ Untuk memahami keunikan filsafat iluminasi, perlu dilakukan perbandingan dengan beberapa aliran filsafat utama, termasuk filsafat Peripatetik (Aristotelianisme Islam), filsafat tasawuf (Irfan), dan pengaruh filsafat Neoplatonisme.

5.1.       Perbandingan dengan Filsafat Peripatetik (Mashsha’iyyah)

Filsafat Peripatetik dalam Islam dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), dan Ibn Rushd (w. 1198 M), yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles.² Para filsuf ini berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui akal dan deduksi logis, serta menekankan metode demonstratif (burhan) dalam pencarian kebenaran.³

Suhrawardi, yang awalnya juga belajar dalam tradisi Peripatetik, mengkritik pendekatan ini karena menurutnya akal saja tidak cukup untuk mencapai realitas tertinggi.⁴ Ia mengajukan teori iluminasi sebagai alternatif, yang menempatkan pengetahuan langsung (ilmu hudhuri) dan pengalaman mistik sebagai sarana utama untuk mencapai kebenaran.

·                     Filsafat Peripatetik

Sumber Pengetahuan: Logika, deduksi rasional (burhan)

Ontologi: Eksistensi (wujud) sebagai prinsip utama

Metode Epistemologi: Rasionalistik, empiris

Struktur Realitas: Hierarki wujud dan intelek

·                     Filsafat Iluminasi (Al-Isyraq)

Sumber Pengetahuan: Iluminasi batin, pengalaman mistik (kasyf)

Ontologi: Cahaya (nur) sebagai prinsip utama

Metode Epistemologi: Intuitif, iluminatif

Struktur Realitas: Hierarki cahaya dan iluminasi

Suhrawardi juga mengkritik konsep wujud dalam Peripatetik dan menggantinya dengan cahaya sebagai realitas fundamental.⁵ Dengan demikian, filsafat iluminasi tidak hanya berbeda secara metodologis, tetapi juga dalam konsep metafisiknya.

5.2.       Hubungan dengan Tasawuf dan Irfan (Filsafat Mistis Islam)

Filsafat iluminasi memiliki banyak kesamaan dengan tradisi tasawuf dan filsafat Irfan, terutama dalam hal pengetahuan intuitif dan pengalaman mistis.⁶ Para sufi seperti Al-Hallaj (w. 922 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), dan Mulla Sadra (w. 1640 M) juga menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya diperoleh melalui rasio, tetapi melalui pengalaman langsung dengan Tuhan.

Kesamaan utama antara filsafat iluminasi dan tasawuf adalah:

1)                  Pentingnya Intuisi dan Kasyf

Baik dalam filsafat iluminasi maupun tasawuf, pengetahuan tertinggi diperoleh melalui penyaksian langsung (mushahadah) dan pengalaman batin.⁷

2)                  Konsep Cahaya dan Tajalli

Dalam filsafat iluminasi, Tuhan adalah sumber cahaya tertinggi, sedangkan dalam tasawuf, Tuhan menampakkan diri (tajalli) dalam berbagai bentuk realitas.⁸

3)                  Penyucian Diri

Baik Suhrawardi maupun para sufi menekankan bahwa jiwa harus disucikan agar dapat menerima cahaya pengetahuan sejati.

Namun, ada perbedaan mendasar antara filsafat iluminasi dan tasawuf:

·                     Tasawuf/Irfan

Pendekatan: Mistis, pengalaman spiritual

Metode Pengenalan Tuhan: Dzikir, muraqabah, fana'

Tingkatan Spiritual: Maqam (stasiun spiritual)

·                     Filsafat Iluminasi (Al-Isyraq)

Pendekatan: Filsafat rasional-mistis

Metode Pengenalan Tuhan: Iluminasi akal dan jiwa

Tingkatan Spiritual: Hierarki cahaya

Meskipun memiliki perbedaan, pemikiran Suhrawardi berkontribusi terhadap filsafat mistis Islam dan memiliki pengaruh terhadap para sufi-filosof setelahnya.⁹

5.3.       Pengaruh terhadap Filsafat Barat dan Neoplatonisme

Filsafat iluminasi memiliki banyak kesamaan dengan Neoplatonisme, sebuah aliran filsafat yang berasal dari pemikiran Plotinus (w. 270 M). Neoplatonisme berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari "Yang Satu" dan mengalir ke dalam berbagai tingkat eksistensi.¹⁰

Kesamaan utama antara filsafat iluminasi dan Neoplatonisme meliputi:

1)                  Konsep Hierarki Realitas

Suhrawardi mengadopsi model emanasi yang serupa dengan pemikiran Plotinus, di mana realitas disusun dalam tingkatan-tingkatan dari cahaya tertinggi ke kegelapan material.¹¹

2)                  Peran Akal dan Intuisi

Sama seperti dalam Neoplatonisme, filsafat iluminasi menganggap bahwa akal memiliki peran penting, tetapi pencerahan sejati hanya dapat dicapai melalui iluminasi langsung.¹²

3)                  Mistikisme dalam Filsafat

Suhrawardi mengembangkan filsafat yang tidak hanya bersifat rasional tetapi juga transendental, mirip dengan pendekatan Neoplatonik yang menekankan kontemplasi batin.

Namun, ada juga perbedaan mendasar:

·                     Neoplatonisme

Sumber Kebenaran: Emanasi dari Yang Satu

Metode Epistemologi: Rasionalisme dan kontemplasi

Struktur Ontologis: Yang Satu → Akal Universal → Jiwa → Materi

·                     Filsafat Iluminasi (Al-Isyraq)

Sumber Kebenaran: Penyinaran dari Cahaya Mutlak

Metode Epistemologi: Iluminasi batin dan intuisi

Struktur Ontologis: Cahaya Mutlak → Cahaya Akal → Jiwa → Kegelapan

Neoplatonisme memiliki pengaruh besar terhadap filsafat Islam melalui Al-Farabi dan Ibn Sina, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Suhrawardi dalam bentuk filsafat iluminasi.¹³


Kesimpulan

Filsafat iluminasi memiliki posisi unik dalam sejarah pemikiran Islam karena mampu menjembatani antara rasionalisme Peripatetik, mistisisme tasawuf, dan filsafat Neoplatonisme. Dengan menjadikan cahaya sebagai prinsip utama, Suhrawardi berhasil mengembangkan model ontologis dan epistemologis yang berbeda dari aliran-aliran sebelumnya.


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 20.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 90.

[3]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 225.

[4]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 75.

[5]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 68.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 160.

[7]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 250.

[8]                Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy (London: Routledge, 2019), 80.

[9]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 517d.

[10]             Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), 4.8.1.

[11]             Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 135.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 130.

[13]             Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 250.


6.           Pengaruh dan Relevansi Teori Iluminasi dalam Perkembangan Pemikiran Islam

Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi telah memberikan dampak besar dalam perkembangan filsafat Islam, khususnya dalam tradisi filsafat Iran, tasawuf, serta pemikiran Islam kontemporer.¹ Dengan menekankan konsep cahaya sebagai prinsip metafisik dan epistemologis, filsafat iluminasi menawarkan perspektif unik yang memadukan rasionalisme filsafat dan intuisi mistis

Dalam perkembangannya, pemikiran iluminasi tidak hanya berpengaruh di dunia Islam, tetapi juga menarik perhatian para pemikir di dunia Barat yang mempelajari mistisisme Islam.³

6.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Islam Pasca-Suhrawardi

Setelah kematian Suhrawardi pada tahun 1191 M, pemikirannya terus berkembang di kalangan filsuf Muslim, terutama di Persia dan dunia Islam Timur. Beberapa tokoh yang mengembangkan filsafat iluminasi antara lain:

6.1.1.      Mir Damad (w. 1631 M) dan Mazhab Isfahan

Mir Damad, seorang filsuf Persia dari Mazhab Isfahan, mengembangkan sintesis antara filsafat Peripatetik, iluminasi, dan filsafat Ibn Sina. Ia memperkenalkan konsep huduts dahri, yaitu gagasan tentang penciptaan dalam dimensi waktu metafisik, yang terinspirasi dari hierarki cahaya Suhrawardi.⁴

6.1.2.      Mulla Sadra (w. 1640 M) dan Filsafat Hikmah Muta’aliyah

Mulla Sadra menggabungkan filsafat iluminasi Suhrawardi dengan teori eksistensial Ibn Sina dan pemikiran mistis Ibn Arabi dalam filsafatnya yang disebut Hikmah Muta’aliyah (The Transcendent Wisdom).⁵ Beberapa aspek yang diadopsi Mulla Sadra dari filsafat iluminasi meliputi:

·                     Cahaya sebagai esensi eksistensi – Konsep ini diserap ke dalam teori kesatuan wujud (wahdat al-wujud) yang dikembangkan Mulla Sadra.⁶

·                     Transformasi jiwa melalui iluminasi – Dalam filsafat Sadra, jiwa manusia bergerak dalam proses spiritual menuju cahaya ilahi, yang selaras dengan gagasan iluminasi Suhrawardi.⁷

Dengan demikian, teori iluminasi Suhrawardi memainkan peran penting dalam evolusi pemikiran filsafat Islam di era klasik dan pasca-klasik.

6.2.       Pengaruh terhadap Tasawuf dan Mistisisme Islam

Filsafat iluminasi memiliki banyak kesamaan dengan tradisi tasawuf dan filsafat mistis Islam, terutama dalam hal pengetahuan intuitif dan pencerahan spiritual.⁸ Banyak pemikir sufi yang mengadopsi konsep iluminasi Suhrawardi ke dalam kerangka ajaran mereka, di antaranya:

1)                  Ibn Arabi (w. 1240 M)

Dalam filsafat wahdat al-wujud, Ibn Arabi menggambarkan Tuhan sebagai sumber cahaya yang memanifestasikan diri-Nya dalam berbagai bentuk realitas.⁹

2)                  Najm al-Din Kubra (w. 1221 M)

Pendiri tarekat Kubrawiyyah, yang mengajarkan bahwa makrifat sejati diperoleh melalui pengalaman penyinaran jiwa oleh cahaya ilahi.¹⁰

3)                  Shams al-Din al-Shirazi (w. 1310 M)

Seorang mistikus yang menggabungkan filsafat iluminasi dengan simbolisme cahaya dalam tradisi sufi.¹¹

Kesamaan antara filsafat iluminasi dan tasawuf terletak pada metode epistemologi yang berbasis intuisi, pengalaman mistis, dan kontemplasi batin. Dalam beberapa aspek, konsep tajalli (manifestasi cahaya ilahi dalam tasawuf) memiliki hubungan erat dengan hierarki cahaya dalam filsafat iluminasi.¹²

6.3.       Relevansi Teori Iluminasi dalam Kajian Islam Kontemporer

6.3.1.      Iluminasi dan Kajian Epistemologi Islam Modern

Dalam diskursus epistemologi Islam modern, teori iluminasi sering dijadikan referensi untuk menjelaskan hubungan antara akal, wahyu, dan intuisi dalam memperoleh ilmu.¹³ Beberapa cendekiawan Muslim yang mengembangkan studi tentang teori iluminasi dalam konteks modern antara lain:

·                     Seyyed Hossein Nasr

Menekankan bahwa filsafat iluminasi dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan modern dan spiritualitas Islam.¹⁴

·                     Henry Corbin

Seorang filsuf Barat yang berpendapat bahwa filsafat iluminasi adalah kunci untuk memahami dimensi esoteris Islam dan tradisi filsafat Persia.¹⁵

6.3.2.      Pengaruh dalam Kajian Metafisika dan Spiritualitas Islam

Selain dalam epistemologi, filsafat iluminasi juga menjadi rujukan dalam kajian metafisika Islam kontemporer. Beberapa aspek yang masih relevan dalam kajian ini meliputi:

·                     Konsep cahaya dalam Islam

Teori iluminasi membantu menjelaskan ayat-ayat tentang cahaya dalam Al-Qur'an, seperti Ayat An-Nur (QS 24:35) yang menyatakan bahwa "Allah adalah cahaya langit dan bumi".¹⁶

·                     Kesadaran dan jiwa dalam Islam

Ilmu psikologi Islam modern sering merujuk pada konsep iluminasi dalam menjelaskan kesadaran batin dan dimensi spiritual manusia.¹⁷

Melalui kajian ini, filsafat iluminasi tetap memiliki daya tarik akademik dan spiritual bagi banyak cendekiawan Muslim dan pemikir Barat hingga saat ini.


Kesimpulan

Filsafat iluminasi (Hikmat al-Isyraq) tidak hanya menjadi salah satu aliran filsafat utama dalam Islam, tetapi juga memberikan pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran Islam pasca-klasik, khususnya dalam filsafat Persia, tasawuf, dan kajian epistemologi Islam modern. Dengan menjadikan cahaya sebagai prinsip fundamental, Suhrawardi menciptakan sistem pemikiran yang menggabungkan rasionalisme dan mistisisme, yang masih relevan dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 25.

[2]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 75.

[3]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 82.

[4]                Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 140.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 135.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 170.

[7]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 255.

[8]                Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy (London: Routledge, 2019), 90.

[9]                Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, ed. R.A. Nicholson (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 70.

[10]             Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 520c.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 125.

[12]             Quran, Surah An-Nur (24:35), trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2005).

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 145.

[14]             Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 210.

[15]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 188.

[16]             Quran, Surah An-Nur (24:35), trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2005).

[17]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 2013), 220.


7.           Kritik dan Kontroversi terhadap Teori Iluminasi

Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi mendapat beragam tanggapan di kalangan filsuf, teolog Islam (mutakallimun), dan bahkan pemikir Barat. Sejak pertama kali diperkenalkan, filsafat ini menuai kritik filosofis, teologis, dan metodologis, terutama dari para pendukung filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah), para ulama kalam, serta beberapa cendekiawan modern.¹

7.1.       Kritik dari Kalangan Filsuf Peripatetik

Para filsuf Peripatetik yang berpijak pada logika Aristotelian menilai bahwa teori iluminasi Suhrawardi kurang memiliki landasan rasional yang kuat dan lebih mengandalkan pengalaman mistik.² Beberapa kritik utama dari filsuf Peripatetik meliputi:

1)                  Kurangnya Validasi Rasional

Ibn Rushd (w. 1198 M), seorang filsuf Aristotelian terkemuka, menolak gagasan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui iluminasi batin. Ia menekankan bahwa epistemologi yang sah harus didasarkan pada metode deduktif dan logis, bukan pengalaman subjektif

Ibn Rushd berpendapat bahwa filsafat harus tetap dalam ranah demonstrasi logis (burhan), bukan intuisi atau pengalaman mistik yang tidak dapat diuji secara objektif.⁴

2)                  Kritik terhadap Konsep Cahaya sebagai Prinsip Ontologis

Dalam filsafat iluminasi, cahaya dianggap sebagai realitas fundamental. Namun, filsuf Peripatetik seperti Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274 M) menilai bahwa konsep ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam filsafat Aristotelian, karena eksistensi tidak dapat direduksi menjadi cahaya semata.⁵

Para filsuf Peripatetik menilai bahwa pendekatan Suhrawardi terlalu simbolik dan tidak memberikan argumen yang cukup kuat untuk menggantikan teori substansi Aristotelian.⁶

3)                  Ketidakseimbangan antara Akal dan Intuisi

Filsafat iluminasi menekankan bahwa iluminasi langsung lebih unggul dibandingkan deduksi logis. Namun, menurut Mulla Sadra (w. 1640 M), meskipun iluminasi memiliki tempat dalam pencapaian ilmu, akal tetap merupakan instrumen utama dalam memahami realitas.⁷

7.2.       Kritik dari Kalangan Teolog Islam (Mutakallimun)

Para ulama kalam (mutakallimun) dari berbagai mazhab, terutama dari Asy‘ariyah dan Muktazilah, juga mengkritik filsafat iluminasi karena dianggap terlalu dekat dengan paham esoterisme dan filsafat mistis. Kritik dari kalangan teolog Islam mencakup beberapa aspek berikut:

1)                  Potensi Ketidakjelasan dalam Teologi Islam

Para teolog Asy‘ariyah menolak gagasan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui iluminasi selain wahyu. Mereka khawatir bahwa pendekatan ini dapat membuka ruang bagi subjektivisme dalam memahami ajaran Islam.⁸

Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210 M) mengkritik filsafat iluminasi karena dianggap menyimpang dari prinsip akidah Islam yang berbasis wahyu dan rasionalitas teologis.⁹

2)                  Kesulitan dalam Verifikasi Ilmu Iluminatif

Ulama Muktazilah, yang menekankan rasionalitas dalam teologi Islam, berpendapat bahwa ilmu harus dapat diverifikasi melalui dalil akal. Filsafat iluminasi, yang menekankan pengalaman langsung, dianggap tidak memiliki metode yang dapat diuji kebenarannya secara objektif.¹⁰

3)                  Kekhawatiran akan Sinkretisme

Para ulama Islam juga khawatir bahwa filsafat iluminasi terlalu banyak mengadopsi elemen dari Neoplatonisme dan filsafat Persia kuno, yang dapat mencampurkan ajaran Islam dengan pengaruh luar yang tidak selaras dengan tauhid.¹¹

7.3.       Kritik dari Kalangan Filsuf Barat

Beberapa akademisi dan orientalis Barat juga memberikan kritik terhadap teori iluminasi, terutama dalam hal keabsahan epistemologi iluminatif dan struktur metafisiknya.

1)                  Henry Corbin dan Tantangan Verifikasi Iluminasi

Henry Corbin (w. 1978 M), seorang orientalis Prancis yang banyak meneliti filsafat Islam, menganggap bahwa teori iluminasi adalah sistem yang sangat simbolis dan sulit untuk diuji dengan pendekatan akademik modern.¹²

Ia mengakui kedalaman spiritual dan simbolisme teori iluminasi, tetapi tetap mempertanyakan bagaimana pengalaman iluminatif dapat dikomunikasikan dalam kerangka filsafat yang sistematis.¹³

2)                  Toshihiko Izutsu dan Kritik terhadap Simbolisme Cahaya

Toshihiko Izutsu, seorang filsuf Jepang yang mendalami filsafat Islam, menyoroti bahwa konsep cahaya dalam filsafat iluminasi terlalu simbolis dan sering kali tidak memiliki definisi yang jelas dalam konteks metafisika rasional.¹⁴

Ia berpendapat bahwa tanpa metodologi yang dapat diuji secara sistematis, teori iluminasi sulit diterima dalam diskursus filsafat modern.¹⁵

7.4.       Respons terhadap Kritik dan Reinterpretasi Modern

Meskipun teori iluminasi mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, beberapa filsuf dan akademisi Muslim modern telah berupaya mereinterpretasi pemikiran Suhrawardi agar lebih relevan dengan perkembangan filsafat kontemporer.

·                     Seyyed Hossein Nasr menganggap bahwa teori iluminasi harus dipahami sebagai filsafat yang menekankan dimensi spiritual dalam ilmu pengetahuan, bukan sebagai pengganti rasionalitas, tetapi sebagai pelengkapnya.¹⁶

·                     Mulla Sadra, meskipun mengkritik beberapa aspek teori iluminasi, tetap mengadopsi banyak prinsipnya dalam filsafat Hikmah Muta’aliyah, yang menggabungkan antara rasionalitas dan intuisi mistis.¹⁷


Kesimpulan

Teori iluminasi Suhrawardi telah mengalami berbagai kritik sejak awal perkembangannya, baik dari filsuf Peripatetik, teolog Islam, maupun pemikir Barat. Kritik utama berpusat pada kurangnya validasi rasional, kesulitan dalam verifikasi ilmu iluminatif, serta potensi subjektivisme dalam epistemologi iluminasi. Meskipun demikian, filsafat iluminasi tetap menjadi bagian penting dalam diskursus filsafat Islam, terutama dalam hubungannya dengan metafisika dan epistemologi mistis.


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 30.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 98.

[3]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 105.

[4]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 230.

[5]                Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 150.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 175.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 140.

[8]                Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 72.

[9]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 90.

[10]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 195.

[11]             Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 275.

[12]             Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 215.

[13]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 265.

[14]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 200.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 150.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 110.

[17]             Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (Qom: Markaz al-Nashr, 2002), 3:220.


8.           Kesimpulan

Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam sejarah filsafat Islam. Dengan menjadikan cahaya sebagai prinsip utama dalam ontologi dan epistemologi, filsafat ini menawarkan pendekatan yang unik dalam memahami realitas dan pengetahuan.¹ Berbeda dengan filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah) yang menekankan rasionalisme Aristotelian, teori iluminasi menegaskan bahwa ilmu sejati diperoleh melalui pengalaman mistis dan penyinaran langsung dari realitas yang lebih tinggi

Dalam perkembangannya, filsafat iluminasi berpengaruh luas terhadap berbagai cabang pemikiran Islam, termasuk filsafat Persia, tasawuf, dan metafisika Islam.³ Konsep-konsep Suhrawardi tentang hierarki cahaya, pengetahuan iluminatif, dan kesadaran mistik telah memberikan dasar bagi banyak pemikir setelahnya, seperti Mir Damad, Mulla Sadra, dan para sufi-filosof yang menggabungkan aspek rasionalitas dengan dimensi spiritual.⁴

Namun, teori iluminasi juga menghadapi berbagai kritik dari kalangan filsuf Peripatetik, teolog Islam (mutakallimun), dan pemikir modern. Kritik utama mencakup kurangnya validasi rasional terhadap epistemologi iluminatif, potensi subjektivisme dalam pengalaman mistis, serta kesulitan dalam membuktikan klaim metafisik tentang cahaya sebagai prinsip ontologis utama.⁵ Ibn Rushd dan para filsuf Aristotelian lainnya menolak gagasan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh melalui iluminasi batin, karena dianggap tidak memiliki dasar logis yang kuat.⁶ Sementara itu, ulama kalam seperti Fakhr al-Din al-Razi menilai bahwa teori iluminasi terlalu dekat dengan ajaran esoterik yang sulit diverifikasi secara rasional.⁷

Meskipun mendapat kritik, filsafat iluminasi tetap menjadi bagian penting dalam diskursus filsafat Islam. Banyak cendekiawan Muslim modern, seperti Seyyed Hossein Nasr dan Henry Corbin, menilai bahwa teori iluminasi dapat menjadi jembatan antara rasionalitas Islam dan dimensi spiritualitas dalam ilmu pengetahuan.⁸ Dalam konteks ini, filsafat iluminasi tidak hanya dipahami sebagai sistem metafisik, tetapi juga sebagai metodologi untuk mencapai kesadaran transendental dan kebenaran spiritual.⁹

Dalam kajian filsafat Islam kontemporer, teori iluminasi terus menjadi subjek penelitian yang relevan, terutama dalam hubungannya dengan kajian epistemologi Islam, tasawuf, dan filsafat ketuhanan.¹⁰ Para akademisi Muslim mulai mengeksplorasi potensi teori iluminasi dalam membangun epistemologi yang lebih komprehensif, yang tidak hanya mengandalkan akal, tetapi juga memasukkan aspek intuisi dan pengalaman mistis dalam pencapaian ilmu.¹¹

Sebagai kesimpulan, filsafat iluminasi Suhrawardi merupakan salah satu aliran filsafat Islam yang unik, yang menggabungkan rasionalitas dengan mistisisme. Dengan konsep cahaya sebagai prinsip utama realitas, filsafat ini menawarkan perspektif yang lebih luas dalam memahami hubungan antara akal, jiwa, dan pengetahuan metafisik.¹² Meskipun mendapat kritik, teori iluminasi tetap relevan dalam kajian filsafat Islam dan spiritualitas, serta terus menjadi bahan diskusi dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini.¹³


Catatan Kaki

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 35.

[2]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 95.

[3]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 102.

[4]                Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 160.

[5]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 240.

[6]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 115.

[7]                Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 80.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 155.

[9]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 210.

[10]             Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 225.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 120.

[12]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 190.

[13]             Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy (London: Routledge, 2019), 100.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2005). The Cambridge companion to Arabic philosophy. Cambridge University Press.

Amin Razavi, M. (1997). Suhrawardi and the school of illumination. Curzon Press.

Chittick, W. C. (1989). The sufi path of knowledge: Ibn al-Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton University Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

Corbin, H. (1994). The man of light in Iranian Sufism. Omega Publications.

Fakhr al-Din al-Razi. (1990). Mafatih al-Ghaib. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Arabi. (2002). Fusus al-Hikam (R. A. Nicholson, Ed.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (S. van den Bergh, Trans.). Gibb Memorial Trust.

Izutsu, T. (1984). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. University of California Press.

Izutsu, T. (2007). The concept and reality of existence. Keio University Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Mulla Sadra. (2002). Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (Vol. 3). Markaz al-Nashr.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. SUNY Press.

Nasr, S. H. (2007). Islamic science: An illustrated study. World Wisdom.

Nasrollah Pourjavady. (2019). The light of Sakina in Suhrawardi’s philosophy. Routledge.

Plato. (1991). The Republic (A. Bloom, Trans.). Basic Books.

Qur’an. (2005). The Qur'an (M. A. S. Abdel Haleem, Trans.). Oxford University Press.

Suhrawardi. (1976). Hikmat al-Isyraq (H. Corbin, Ed.). Institute of Islamic Studies.

Toshihiko, I. (2007). The concept and reality of existence. Keio University Press.

Walbridge, J. (2001). The wisdom of the mystic east: Suhrawardi and Platonic Orientalism. SUNY Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar