Teori Iluminasi
(Al-Isyraq)
Fondasi Filsafat Mistis dalam Pemikiran Islam
Abstrak
Teori iluminasi (Hikmat al-Isyraq) yang
dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi merupakan salah satu
sistem filsafat dalam tradisi Islam yang menggabungkan rasionalitas dengan
mistisisme. Teori ini menempatkan cahaya sebagai prinsip utama dalam
realitas dan epistemologi, yang berbeda dengan filsafat Peripatetik yang
berbasis rasionalisme Aristotelian. Melalui konsep hierarki cahaya,
Suhrawardi menjelaskan bahwa ilmu sejati diperoleh melalui iluminasi batin
dan pengalaman mistik, bukan hanya melalui akal dan deduksi logis.
Dalam perkembangannya, teori iluminasi memiliki pengaruh
yang luas dalam filsafat Islam, terutama dalam Mazhab Isfahan, filsafat
Hikmah Muta’aliyah Mulla Sadra, serta tasawuf dan filsafat mistis Islam.
Konsep ini juga mendapat perhatian dalam kajian filsafat Barat, terutama
melalui penelitian Henry Corbin dan Toshihiko Izutsu. Namun, teori ini tidak
lepas dari kritik filsuf Peripatetik seperti Ibn Rushd, yang
mempertanyakan validitas epistemologi iluminatif, serta kritik dari ulama
kalam seperti Fakhr al-Din al-Razi, yang menilai teori ini kurang berbasis
pada prinsip teologis Islam.
Meskipun demikian, teori iluminasi tetap relevan
dalam kajian filsafat Islam kontemporer, terutama dalam konteks
epistemologi, metafisika, dan spiritualitas. Dengan menjadikan cahaya
sebagai metafora utama dalam memahami realitas, teori ini menawarkan pendekatan
holistik dalam menjembatani antara filsafat rasional dan pengalaman mistis,
serta memberikan kontribusi signifikan dalam kajian ontologi Islam dan
filsafat ketuhanan.
Kata Kunci: Iluminasi, Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, filsafat Islam, epistemologi Islam, metafisika, tasawuf, filsafat mistis, ontologi
cahaya, filsafat Peripatetik.
PEMBAHASAN
Teori Iluminasi (Al-Isyraq)
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam memiliki berbagai cabang pemikiran
yang berkembang seiring waktu, salah satunya adalah teori iluminasi (al-isyraq).
Teori ini memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat Islam dan mistisisme,
yang menekankan konsep pencerahan intelektual dan spiritual sebagai sarana
utama untuk mencapai kebenaran hakiki. Dalam khazanah pemikiran Islam, teori
iluminasi dikembangkan secara sistematis oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi
(w. 1191 M), seorang filsuf Persia yang memadukan unsur-unsur filsafat
Neoplatonisme, Aristotelianisme, dan tradisi spiritualisme Iran kuno ke dalam
sistem filsafatnya yang dikenal sebagai Hikmat al-Isyraq atau "Filsafat
Iluminasi".¹
Konsep iluminasi berangkat dari keyakinan bahwa
pengetahuan sejati tidak hanya dapat diperoleh melalui rasio dan observasi
empiris, tetapi juga melalui pengalaman langsung dan penyinaran (ishraq)
dari sumber cahaya tertinggi.² Pandangan ini berbeda dengan pendekatan filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah), yang lebih menekankan pada deduksi logis
dan prinsip-prinsip Aristotelian. Oleh karena itu, teori iluminasi sering kali
dianggap sebagai sintesis antara rasionalisme dan mistisisme dalam filsafat Islam.³
1.1. Latar Belakang Munculnya Teori Iluminasi
Pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi lahir dalam
konteks keilmuan Islam yang telah lebih dulu dipengaruhi oleh filsafat Yunani
dan filsafat Persia kuno. Pada masa itu, filsafat Peripatetik yang
diperkenalkan oleh filsuf Muslim seperti Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w.
1037 M), dan Ibn Rushd (w. 1198 M) menjadi arus utama dalam kajian filsafat Islam.⁴ Namun, banyak pemikir Muslim yang merasa bahwa pendekatan rasionalistik
Peripatetik memiliki keterbatasan dalam menjelaskan realitas metafisik secara
lebih mendalam, terutama terkait dengan aspek pengalaman spiritual dan
iluminasi langsung.
Suhrawardi mengkritik filsafat Peripatetik yang ia
anggap terlalu menekankan pada deduksi logis semata tanpa memperhitungkan
dimensi spiritual dalam pencapaian kebenaran. Ia berpendapat bahwa pengetahuan
tertinggi tidak dapat diperoleh hanya melalui akal, tetapi juga melalui
pengalaman iluminatif, yaitu ketika jiwa manusia mengalami penyinaran dari
sumber cahaya yang lebih tinggi.⁵ Konsep ini sejalan dengan tradisi mistisisme
Islam yang berkembang dalam tasawuf, meskipun pendekatan Suhrawardi tetap
berada dalam kerangka filsafat rasional.
1.2. Signifikansi Teori Iluminasi dalam Filsafat Islam
Teori iluminasi memberikan perspektif baru dalam
epistemologi Islam dengan menekankan pentingnya dimensi intuitif dan pengalaman
batin dalam memperoleh pengetahuan. Suhrawardi menyusun sistem filsafatnya
berdasarkan metafora cahaya, di mana segala sesuatu dalam realitas ini memiliki
tingkatan iluminasi yang berbeda. Dalam sistem ini, Cahaya Tertinggi (al-nur
al-a'zam) menjadi sumber utama dari segala eksistensi dan pengetahuan,
sedangkan entitas lain bergradasi dalam tingkat cahaya sesuai dengan
kedekatannya dengan sumber tersebut.⁶
Konsep ini kemudian memiliki dampak besar terhadap
perkembangan filsafat Islam, terutama dalam kaitannya dengan tasawuf dan
filsafat mistis. Banyak pemikir Islam setelah Suhrawardi yang mengadaptasi
konsep iluminasi dalam kajian mereka tentang makrifat (gnosis) dan
penyaksian langsung (mushahadah) terhadap realitas spiritual.⁷
1.3. Tujuan dan Cakupan Pembahasan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
yang komprehensif tentang teori iluminasi (al-isyraq), dengan menjelaskan
dasar-dasar konseptualnya, perbedaannya dengan filsafat lain dalam Islam, serta
pengaruh dan kritik terhadap pemikiran Suhrawardi. Pembahasan akan mencakup
prinsip-prinsip utama dalam teori iluminasi, analisis perbandingan dengan
filsafat Peripatetik dan tasawuf, serta relevansi pemikiran Suhrawardi dalam
perkembangan filsafat Islam kontemporer. Melalui pendekatan ini, diharapkan
pembaca dapat memahami pentingnya iluminasi dalam wacana filsafat Islam dan
epistemologi mistis.
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 3.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 111.
[3]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 45.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 72.
[5]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 98.
[6]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East:
Suhrawardi and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 67.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 133.
2.
Definisi
dan Konsep Dasar Teori Iluminasi
2.1. Pengertian Iluminasi (Al-Isyraq) dalam Filsafat
Islam
Teori iluminasi (Hikmat
al-Isyraq) merupakan sebuah sistem filsafat yang menekankan peran cahaya sebagai prinsip
utama dalam realitas dan epistemologi. Konsep ini dikembangkan oleh Shihab
al-Din Yahya Suhrawardi (w. 1191 M) dalam karyanya Hikmat
al-Isyraq yang menjadi fondasi utama aliran iluminasi dalam
filsafat Islam.¹ Secara terminologis, istilah al-isyraq berasal dari kata Arab syarq
yang berarti "terbitnya cahaya"
atau "pencerahan", yang dalam konteks filsafat Suhrawardi
merujuk pada proses memperoleh pengetahuan melalui penyinaran (ishraq)
yang datang dari sumber cahaya tertinggi.²
Berbeda dengan
filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah), yang
menitikberatkan pada logika Aristotelian dan deduksi akal, filsafat iluminasi menekankan bahwa kebenaran tidak hanya dapat
diperoleh melalui analisis rasional, tetapi juga melalui pengalaman mistik dan
penyinaran langsung yang dialami oleh jiwa manusia.³ Dengan demikian, teori iluminasi
menempatkan intuisi (dzawq), penyaksian langsung (mushahadah),
dan iluminasi spiritual sebagai bagian integral dalam proses epistemologi
Islam.
2.2. Perbedaan Epistemologi Iluminasi dengan
Epistemologi Rasional dan Empiris
Dalam epistemologi
filsafat Islam, terdapat tiga pendekatan utama dalam memperoleh pengetahuan:
1)
Epistemologi
Rasional (Peripatetik / Mashsha’iyyah)
Didasarkan pada pemikiran Aristotelian
yang menekankan logika, deduksi, dan demonstrasi akal dalam mencapai
kebenaran.⁴ Tokoh utama dalam aliran ini adalah Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd,
yang mengembangkan metode pembuktian filosofis berdasarkan prinsip-prinsip
rasionalisme.
2)
Epistemologi
Empiris
Pendekatan ini lebih berorientasi pada
observasi dan pengalaman indrawi sebagai dasar memperoleh ilmu. Para ilmuwan
Muslim seperti Al-Biruni dan Ibn al-Haytham
mengembangkan metode eksperimental dalam sains berdasarkan pengamatan empiris.
3)
Epistemologi
Iluminatif (Al-Isyraqiyyah)
Berbeda dari dua pendekatan sebelumnya,
epistemologi iluminatif menekankan bahwa ilmu sejati (ma’rifah
haqqiqiyyah) tidak hanya diperoleh melalui akal atau indra, tetapi
juga melalui pancaran cahaya intelektual yang datang dari Cahaya
Tertinggi (al-Nur al-A'zam).⁵ Dalam sistem
ini, jiwa yang disucikan dapat mengalami pencerahan langsung dari realitas yang
lebih tinggi tanpa perantara logika atau pengalaman fisik.
Menurut Suhrawardi,
manusia dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam terhadap hakikat realitas
dengan mengembangkan kesadaran iluminatif melalui penyucian jiwa dan disiplin
spiritual. Dengan demikian, filsafat iluminasi tidak hanya bersifat spekulatif,
tetapi juga bersifat transformasional,
yang menuntut penghayatan langsung dalam perjalanan menuju pencerahan.⁶
2.3. Hubungan Teori Iluminasi dengan Filsafat Emanasi
dalam Islam
Teori iluminasi
memiliki keterkaitan erat dengan konsep emanasi (al-faidh)
dalam filsafat Islam, terutama sebagaimana dikembangkan oleh Al-Farabi
dan Ibn Sina. Dalam sistem filsafat emanasi, segala sesuatu yang ada di alam semesta merupakan
pancaran dari Akal Aktif (al-'Aql
al-Fa'al), yang bertindak sebagai penghubung antara Tuhan dan dunia
material.⁷ Suhrawardi mengadopsi gagasan ini tetapi mereformulasikannya dengan
pendekatan yang lebih bercorak mistis. Ia menggambarkan realitas sebagai
hirarki cahaya, di mana Cahaya Mutlak (al-Nur al-Mutlaq)
atau Cahaya
Tertinggi (al-Nur al-A'zam) merupakan sumber segala
eksistensi.⁸
Struktur realitas
dalam filsafat iluminasi didasarkan pada hierarki cahaya, yang mencerminkan
kedekatan suatu entitas dengan sumber cahaya utama. Semakin dekat suatu entitas
dengan Cahaya
Tertinggi, semakin besar tingkat eksistensinya dan semakin murni
pengetahuannya.⁹ Dalam konteks ini, ilmu diperoleh melalui tajalli
(penyingkapan), di mana jiwa manusia yang telah mencapai kebersihan spiritual
dapat menerima cahaya langsung dari realitas tertinggi.
2.4. Konsekuensi Filsafat Iluminasi terhadap Metafisika
Islam
Konsep iluminasi
membawa implikasi penting dalam metafisika Islam, terutama dalam menjelaskan
hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta. Suhrawardi menggambarkan
Tuhan sebagai Cahaya di atas segala cahaya (nurun fauqa nur), yang menjadi sebab
utama dari segala eksistensi.¹⁰ Semua wujud di alam semesta merupakan pantulan
dari cahaya-Nya dalam berbagai tingkat intensitas. Dalam struktur ini, realitas
spiritual memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan realitas material, dan
jiwa manusia harus berusaha untuk
kembali kepada sumber cahayanya melalui proses penyucian dan pencerahan
intelektual.
Dengan demikian,
teori iluminasi tidak hanya menjadi landasan dalam epistemologi Islam, tetapi
juga menawarkan paradigma baru dalam metafisika Islam yang menekankan aspek
spiritual dan transendental dalam memahami hakikat keberadaan.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of
Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 12.
[2]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 45.
[3]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 58.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 74.
[5]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 99.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 115.
[7]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 206.
[8]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 148.
[9]
Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy
(London: Routledge, 2019), 57.
[10]
Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Institute of Islamic Studies, 1976), 110.
[11]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press,
1984), 221.
3.
Tokoh
Sentral dalam Teori Iluminasi
3.1. Shihab al-Din Yahya Suhrawardi: Pendiri Filsafat Iluminasi
Teori iluminasi (al-isyraq)
dalam filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Shihab
al-Din Yahya Suhrawardi (w. 1191 M), seorang filsuf Persia yang
menjadi pelopor utama sistem filsafat iluminasi (Hikmat al-Isyraq). Suhrawardi lahir
di wilayah Persia barat laut, kemungkinan di kota Suhraward, pada pertengahan
abad ke-12. Ia memperoleh pendidikan awalnya dalam bidang filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah) berdasarkan ajaran
Aristotelian yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Namun,
setelah mengalami perkembangan spiritual yang mendalam, ia merumuskan sistem
filsafat yang menggabungkan rasionalisme dan mistisisme dalam kerangka
iluminasi.¹
Suhrawardi menulis
berbagai karya filsafat yang menjelaskan pemikirannya, dengan magnum opus-nya Hikmat
al-Isyraq yang menjadi puncak pemikirannya. Dalam karya ini, ia
mengkritik pendekatan logis dalam
filsafat Peripatetik dan mengusulkan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya
berasal dari akal, tetapi juga dari pengalaman iluminatif. Ia menyatakan bahwa cahaya
adalah prinsip fundamental dalam realitas dan pengetahuan, dan
bahwa jiwa manusia dapat memperoleh pemahaman hakiki melalui penyinaran (ishraq)
dari sumber cahaya tertinggi.²
Karena
pandangan-pandangannya yang dianggap radikal dan bertentangan dengan otoritas
keagamaan saat itu, Suhrawardi menghadapi banyak perlawanan dari ulama
ortodoks. Ia akhirnya ditangkap dan dieksekusi di Aleppo pada tahun 1191 M atas
perintah Sultan Salahuddin al-Ayyubi melalui putranya, al-Zahir.³ Meskipun
demikian, pemikirannya terus berkembang dan berpengaruh luas dalam tradisi
filsafat Islam, terutama di kalangan para filsuf Iran dan tradisi filsafat
mistis.
3.2. Pemikiran Utama Suhrawardi dalam Filsafat Iluminasi
Suhrawardi membangun
filsafat iluminasi dengan mengintegrasikan unsur-unsur dari beberapa tradisi pemikiran, termasuk:
1)
Neoplatonisme
Konsep hirarki cahaya dalam filsafatnya
memiliki kemiripan dengan teori emanasi (al-faidh) dalam filsafat
Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Plotinus (w. 270 M). Suhrawardi
menggambarkan realitas sebagai sistem bertingkat, di mana cahaya tertinggi (al-Nur
al-A'zam) menjadi sumber utama dari segala keberadaan.⁴
2)
Filsafat
Aristotelian-Islam
Meskipun mengkritik aliran Peripatetik,
Suhrawardi tetap menggunakan beberapa konsep Aristotelian dalam penjelasannya
tentang akal dan substansi. Namun, ia menekankan bahwa cahaya
lebih mendasar daripada substansi dalam menjelaskan realitas.⁵
3)
Tradisi
Mistisisme Persia
Pemikiran Suhrawardi sangat dipengaruhi
oleh warisan spiritual Persia kuno, terutama konsep "raja-filosof"
dalam Mazdeisme (Zoroastrianisme). Ia mengadopsi gagasan bahwa
kebijaksanaan sejati hanya dapat diperoleh oleh individu yang mengalami
iluminasi batin.⁶
Melalui sintesis
ini, Suhrawardi menggambarkan realitas sebagai struktur cahaya yang bertingkat,
di mana entitas yang lebih tinggi memiliki tingkat iluminasi yang lebih besar
dibandingkan yang lebih rendah. Manusia, sebagai bagian dari sistem ini, dapat mencapai kesadaran tertinggi dengan memperdalam pengalaman
spiritual dan menghilangkan kegelapan materialisme.⁷
3.3. Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan atau Mengkritisi
Teori Iluminasi
3.3.1.
Pengikut
dan Pengembang Filsafat Iluminasi
Setelah wafatnya
Suhrawardi, pemikirannya tidak serta-merta hilang. Beberapa filsuf dan sufi mengembangkan lebih lanjut
konsep-konsep iluminasi dalam berbagai bentuk:
·
Mir
Damad (w. 1631 M)
Salah satu tokoh utama dalam Mazhab
Isfahan, Mir Damad mencoba mengintegrasikan teori iluminasi
dengan filsafat Ibn Sina dan mistisisme Islam.⁸
·
Mulla
Sadra (w. 1640 M)
Dalam filsafatnya yang dikenal sebagai Hikmah
Muta’aliyah, Mulla Sadra banyak mengadopsi konsep iluminasi
Suhrawardi, terutama dalam gagasannya tentang eksistensi sebagai pancaran cahaya yang
mengalami intensifikasi.⁹
·
Henry
Corbin (w. 1978 M)
Seorang orientalis dan filsuf Prancis
yang memainkan peran besar dalam memperkenalkan filsafat iluminasi kepada dunia
Barat. Ia menggambarkan filsafat Suhrawardi sebagai spiritualitas
Islam yang unik, yang memiliki keterkaitan dengan filsafat mistis
lainnya di dunia Timur.¹⁰
3.3.2.
Kritik
terhadap Teori Iluminasi
Meskipun teori
iluminasi memiliki pengaruh besar, ia juga mendapat kritik dari berbagai
kalangan filsuf Islam:
·
Ibn
Rushd (w. 1198 M)
Meskipun sezaman dengan Suhrawardi, Ibn
Rushd lebih berorientasi pada filsafat Aristotelian murni. Ia menolak
pendekatan iluminatif karena dianggap tidak memiliki dasar logis yang kuat.¹¹
·
Para
Mutakallimun (Teolog Islam)
Beberapa teolog Asy’ariyah dan
Muktazilah mengkritik teori iluminasi karena dianggap terlalu dekat dengan pandangan
esoteris yang sulit dibuktikan secara rasional.¹²
Meskipun demikian, teori iluminasi tetap menjadi
salah satu pilar utama dalam perkembangan filsafat Islam, terutama dalam
tradisi filsafat Iran dan tasawuf filsafat.
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of
Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 14.
[2]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 50.
[3]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 62.
[4]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 210.
[5]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 87.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 119.
[7]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 80.
[8]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 140.
[9]
Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy
(London: Routledge, 2019), 66.
[10]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press,
1984), 231.
[11]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut (Incoherence of
the Incoherence), terj. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust,
1954), 97.
[12]
Frank Griffel, The Formation of Post-Classical Philosophy in
Islam (Oxford: Oxford University Press, 2021), 220.
4.
Prinsip-Prinsip
Utama dalam Teori Iluminasi
Teori iluminasi (Hikmat
al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi
didasarkan pada prinsip-prinsip fundamental yang membedakannya dari filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah) dan menjadikannya
sebagai salah satu aliran pemikiran mistis dalam filsafat Islam.¹ Suhrawardi
membangun sistem filsafatnya dengan menempatkan cahaya sebagai hakikat tertinggi dari segala
realitas. Konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai metafora,
tetapi juga sebagai prinsip
ontologis dan epistemologis utama dalam memahami eksistensi
dan sumber pengetahuan.²
Berikut adalah
beberapa prinsip utama dalam teori iluminasi:
4.1. Cahaya sebagai Realitas Hakiki
Prinsip utama dalam
filsafat iluminasi adalah cahaya sebagai realitas tertinggi dan sumber
dari segala keberadaan. Suhrawardi menyatakan bahwa segala
sesuatu yang ada di alam semesta adalah manifestasi dari cahaya dalam berbagai tingkat intensitas.³
Dalam sistem ini, cahaya tertinggi disebut sebagai "Cahaya
Mutlak" (al-Nur al-Mutlaq) atau "Cahaya
di atas segala cahaya" (nurun fauqa nur), yang identik
dengan prinsip tertinggi dalam realitas.⁴
Menurut Suhrawardi, cahaya memiliki hierarki yang
membentuk struktur ontologis keberadaan:
1)
Cahaya
Tertinggi (al-Nur al-A‘zam) – Realitas absolut yang merupakan
sumber dari segala sesuatu.
2)
Cahaya
Murni (al-Anwar al-Mujarradah) – Entitas cahaya yang lebih
rendah tetapi tetap bersifat spiritual, seperti akal-akal suci dan malaikat.
3)
Cahaya
Campuran (al-Anwar al-Mudhafah) – Bentuk realitas yang masih
memiliki unsur cahaya, tetapi bercampur dengan kegelapan, seperti jiwa manusia.
4)
Kegelapan
(al-Zhulumat) – Entitas yang jauh dari sumber cahaya, seperti
dunia material.⁵
Melalui prinsip ini,
Suhrawardi mengajukan konsep ontologi cahaya yang
menggantikan model substansi-forma dalam filsafat Aristotelian.⁶
4.2. Sumber Pengetahuan Iluminatif
Salah satu aspek paling khas dari filsafat iluminasi adalah
epistemologi iluminatifnya. Suhrawardi berpendapat bahwa pengetahuan
sejati tidak hanya diperoleh melalui akal dan logika,
sebagaimana dikemukakan dalam filsafat Peripatetik, tetapi juga melalui penyinaran
langsung (ishraq) yang diperoleh dari realitas cahaya yang lebih tinggi.⁷
Menurut Suhrawardi,
ada tiga cara utama manusia memperoleh pengetahuan:
1)
Pengetahuan
Rasional (Ilm al-Hushuli)
Diperoleh melalui konsep-konsep logis
dan deduksi akal, sebagaimana yang dianut oleh filsafat Peripatetik.
2)
Pengetahuan
Iluminatif (Ilm al-Hudhuri)
Diperoleh melalui pengalaman langsung,
intuisi (dzawq),
dan pencerahan spiritual yang tidak membutuhkan perantara konsep rasional.
3)
Pengetahuan
Mistis (Ma‘rifah)
Bentuk pengetahuan tertinggi yang hanya
bisa dicapai melalui proses spiritual yang mendalam, di mana jiwa mengalami
penyatuan dengan sumber cahaya tertinggi.⁸
Suhrawardi
menekankan bahwa pencapaian pengetahuan hakiki memerlukan
penyucian diri, karena hanya jiwa yang telah terbebas dari
kegelapan materialisme yang mampu
menerima cahaya iluminasi.⁹
4.3. Hubungan antara Akal dan Iluminasi
Meskipun teori
iluminasi menekankan pentingnya intuisi dan pengalaman mistis, Suhrawardi tidak
sepenuhnya menolak peran akal. Ia mengakui bahwa akal
adalah instrumen penting dalam memahami struktur cahaya, tetapi
ia menolak klaim Peripatetik yang menganggap akal sebagai satu-satunya jalan
menuju kebenaran.¹⁰
Dalam filsafat
iluminasi, akal berfungsi sebagai panduan awal, tetapi untuk
mencapai realitas tertinggi, manusia harus mengalami tajalli
(manifestasi cahaya) yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman spiritual yang mendalam.¹¹
Konsep ini
mengingatkan pada pandangan para sufi seperti Ibn Arabi (w. 1240 M) yang juga
menekankan pentingnya pengalaman mistik dalam memperoleh pengetahuan hakiki.¹²
Dengan demikian, filsafat iluminasi menjembatani antara rasionalisme filsafat Islam dan
mistisisme
sufi, menciptakan suatu sistem pemikiran yang unik dalam
sejarah pemikiran Islam.
4.4. Konsep Jiwa dan Pencerahan
Dalam sistem
filsafat iluminasi, jiwa manusia adalah entitas yang bercahaya, tetapi
tertutupi oleh kegelapan dunia material. Oleh karena itu, tujuan utama jiwa adalah "kembali kepada sumber cahayanya",
yang hanya dapat dicapai melalui proses penyucian dan iluminasi spiritual.¹³
Suhrawardi menggambarkan
perjalanan jiwa ini sebagai proses pemurnian kesadaran, di mana
manusia harus membebaskan dirinya dari keterikatan duniawi agar dapat mengalami
penyinaran
dari cahaya ilahi.¹⁴
Dalam hal ini,
konsep iluminasi memiliki banyak kesamaan dengan filsafat Plato, khususnya mitos
gua dalam Republik, yang menggambarkan
manusia sebagai makhluk yang terperangkap dalam bayang-bayang dunia material dan hanya bisa mencapai
pengetahuan sejati melalui pencerahan intelektual.¹⁵
Dengan demikian,
filsafat iluminasi tidak hanya memberikan teori metafisik tentang keberadaan,
tetapi juga menawarkan jalan
spiritual bagi individu untuk mencapai kesadaran tertinggi.
Kesimpulan
Prinsip-prinsip
utama dalam teori iluminasi menunjukkan bahwa filsafat Suhrawardi memiliki
pendekatan yang unik dalam memahami realitas dan epistemologi. Dengan menjadikan cahaya
sebagai prinsip fundamental, Suhrawardi berhasil menciptakan sistem
filsafat yang menggabungkan metafisika, epistemologi, dan mistisisme.
Pengaruh filsafat iluminasi tidak hanya terasa dalam perkembangan filsafat Islam, tetapi juga dalam pemikiran mistis di dunia Timur dan Barat.
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of
Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 16.
[2]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 55.
[3]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 70.
[4]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 100.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 120.
[6]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 215.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 150.
[8]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press,
1984), 235.
[9]
Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy
(London: Routledge, 2019), 69.
[10]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 85.
[11]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut (Incoherence of
the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust,
1954), 102.
[12]
Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, ed. R.A.
Nicholson (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 58.
[13]
Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry
Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1976), 115.
[14]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 120.
[15]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 515c-517d.
5.
Perbandingan
dengan Aliran Filsafat Lain
Teori iluminasi (Hikmat
al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi
memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari aliran filsafat lain dalam
tradisi Islam dan filsafat Barat.¹ Untuk memahami keunikan filsafat iluminasi,
perlu dilakukan perbandingan dengan beberapa
aliran filsafat utama, termasuk filsafat Peripatetik (Aristotelianisme Islam),
filsafat tasawuf (Irfan), dan pengaruh filsafat Neoplatonisme.
5.1. Perbandingan dengan Filsafat Peripatetik
(Mashsha’iyyah)
Filsafat Peripatetik
dalam Islam dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Farabi
(w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), dan Ibn Rushd (w. 1198 M),
yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles.² Para filsuf ini berpendapat
bahwa pengetahuan
diperoleh melalui akal dan deduksi logis, serta menekankan
metode demonstratif (burhan) dalam pencarian kebenaran.³
Suhrawardi, yang awalnya juga belajar dalam tradisi Peripatetik, mengkritik pendekatan ini karena menurutnya akal
saja tidak cukup untuk mencapai realitas tertinggi.⁴ Ia
mengajukan teori iluminasi sebagai alternatif, yang menempatkan pengetahuan
langsung (ilmu hudhuri) dan pengalaman mistik sebagai
sarana utama untuk mencapai kebenaran.
Sumber Pengetahuan: Logika,
deduksi rasional (burhan)
Ontologi: Eksistensi (wujud)
sebagai prinsip utama
Metode Epistemologi: Rasionalistik,
empiris
Struktur Realitas: Hierarki
wujud dan intelek
·
Filsafat
Iluminasi (Al-Isyraq)
Sumber Pengetahuan: Iluminasi
batin, pengalaman mistik (kasyf)
Ontologi: Cahaya (nur)
sebagai prinsip utama
Metode Epistemologi: Intuitif,
iluminatif
Struktur Realitas: Hierarki
cahaya dan iluminasi
Suhrawardi juga
mengkritik konsep wujud dalam Peripatetik dan
menggantinya dengan cahaya sebagai realitas fundamental.⁵
Dengan demikian, filsafat iluminasi
tidak hanya berbeda secara metodologis, tetapi juga dalam konsep metafisiknya.
5.2. Hubungan dengan Tasawuf dan Irfan (Filsafat Mistis
Islam)
Filsafat iluminasi memiliki banyak kesamaan dengan tradisi
tasawuf dan filsafat Irfan, terutama dalam hal pengetahuan
intuitif dan pengalaman mistis.⁶ Para sufi seperti Al-Hallaj
(w. 922 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), dan Mulla Sadra (w. 1640 M)
juga menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya diperoleh melalui
rasio, tetapi melalui pengalaman langsung dengan Tuhan.
Kesamaan utama antara filsafat iluminasi dan tasawuf
adalah:
1)
Pentingnya
Intuisi dan Kasyf
Baik dalam filsafat iluminasi maupun
tasawuf, pengetahuan tertinggi diperoleh melalui penyaksian
langsung (mushahadah) dan
pengalaman batin.⁷
2)
Konsep
Cahaya dan Tajalli
Dalam filsafat iluminasi, Tuhan
adalah sumber cahaya tertinggi, sedangkan dalam tasawuf, Tuhan menampakkan
diri (tajalli) dalam berbagai bentuk realitas.⁸
3)
Penyucian
Diri
Baik Suhrawardi maupun para sufi
menekankan bahwa jiwa harus disucikan agar dapat menerima cahaya
pengetahuan sejati.
Namun, ada perbedaan
mendasar antara filsafat iluminasi dan tasawuf:
·
Tasawuf/Irfan
Pendekatan: Mistis, pengalaman
spiritual
Metode Pengenalan Tuhan: Dzikir,
muraqabah, fana'
Tingkatan Spiritual: Maqam
(stasiun spiritual)
·
Filsafat
Iluminasi (Al-Isyraq)
Pendekatan: Filsafat
rasional-mistis
Metode Pengenalan Tuhan: Iluminasi
akal dan jiwa
Tingkatan Spiritual: Hierarki
cahaya
Meskipun memiliki
perbedaan, pemikiran Suhrawardi berkontribusi terhadap filsafat mistis Islam
dan memiliki pengaruh terhadap
para sufi-filosof setelahnya.⁹
5.3. Pengaruh terhadap Filsafat Barat dan Neoplatonisme
Filsafat iluminasi
memiliki banyak kesamaan dengan Neoplatonisme, sebuah aliran
filsafat yang berasal dari
pemikiran Plotinus (w. 270 M).
Neoplatonisme berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari "Yang Satu"
dan mengalir ke dalam berbagai tingkat eksistensi.¹⁰
Kesamaan utama
antara filsafat iluminasi dan
Neoplatonisme meliputi:
1)
Konsep
Hierarki Realitas
Suhrawardi mengadopsi model emanasi
yang serupa dengan pemikiran Plotinus, di mana realitas
disusun dalam tingkatan-tingkatan dari cahaya tertinggi ke kegelapan material.¹¹
2)
Peran
Akal dan Intuisi
Sama seperti dalam Neoplatonisme,
filsafat iluminasi menganggap bahwa akal memiliki peran penting, tetapi pencerahan
sejati hanya dapat dicapai melalui iluminasi langsung.¹²
3)
Mistikisme
dalam Filsafat
Suhrawardi mengembangkan filsafat
yang tidak hanya bersifat rasional tetapi juga transendental,
mirip dengan pendekatan Neoplatonik yang menekankan kontemplasi
batin.
Namun, ada juga
perbedaan mendasar:
·
Neoplatonisme
Sumber Kebenaran: Emanasi dari
Yang Satu
Metode Epistemologi: Rasionalisme
dan kontemplasi
Struktur Ontologis: Yang Satu →
Akal Universal → Jiwa → Materi
·
Filsafat
Iluminasi (Al-Isyraq)
Sumber Kebenaran: Penyinaran
dari Cahaya Mutlak
Metode Epistemologi: Iluminasi
batin dan intuisi
Struktur Ontologis: Cahaya
Mutlak → Cahaya Akal → Jiwa → Kegelapan
Neoplatonisme
memiliki pengaruh besar terhadap filsafat Islam melalui Al-Farabi
dan Ibn Sina, yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Suhrawardi dalam bentuk filsafat iluminasi.¹³
Kesimpulan
Filsafat iluminasi memiliki posisi unik dalam sejarah pemikiran
Islam karena mampu menjembatani antara rasionalisme Peripatetik, mistisisme tasawuf,
dan filsafat Neoplatonisme. Dengan menjadikan cahaya
sebagai prinsip utama, Suhrawardi berhasil mengembangkan model
ontologis dan epistemologis yang berbeda dari aliran-aliran sebelumnya.
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of
Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 20.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 90.
[3]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 225.
[4]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 75.
[5]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 68.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 160.
[7]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press,
1984), 250.
[8]
Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy
(London: Routledge, 2019), 80.
[9]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 517d.
[10]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Books, 1991), 4.8.1.
[11]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 135.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 130.
[13]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 250.
6.
Pengaruh
dan Relevansi Teori Iluminasi dalam Perkembangan Pemikiran Islam
Teori iluminasi (Hikmat
al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi
telah memberikan dampak besar dalam perkembangan filsafat Islam, khususnya dalam tradisi filsafat Iran, tasawuf, serta
pemikiran Islam kontemporer.¹ Dengan menekankan konsep cahaya
sebagai prinsip metafisik dan epistemologis, filsafat iluminasi
menawarkan perspektif unik yang memadukan rasionalisme filsafat dan intuisi mistis.²
Dalam
perkembangannya, pemikiran iluminasi tidak hanya berpengaruh di dunia Islam,
tetapi juga menarik perhatian para pemikir di dunia Barat yang mempelajari
mistisisme Islam.³
6.1. Pengaruh terhadap Filsafat Islam Pasca-Suhrawardi
Setelah kematian Suhrawardi pada tahun 1191 M, pemikirannya
terus berkembang di kalangan filsuf Muslim, terutama di Persia dan dunia Islam
Timur. Beberapa tokoh yang mengembangkan filsafat iluminasi antara lain:
6.1.1.
Mir
Damad (w. 1631 M) dan Mazhab Isfahan
Mir Damad, seorang
filsuf Persia dari Mazhab Isfahan, mengembangkan
sintesis antara filsafat Peripatetik, iluminasi, dan filsafat
Ibn Sina. Ia memperkenalkan konsep huduts
dahri, yaitu gagasan tentang penciptaan dalam dimensi waktu
metafisik, yang terinspirasi dari hierarki cahaya Suhrawardi.⁴
6.1.2.
Mulla
Sadra (w. 1640 M) dan Filsafat Hikmah Muta’aliyah
Mulla Sadra menggabungkan
filsafat
iluminasi Suhrawardi dengan teori eksistensial Ibn Sina dan pemikiran mistis
Ibn Arabi dalam filsafatnya yang disebut Hikmah
Muta’aliyah (The Transcendent Wisdom).⁵ Beberapa aspek yang diadopsi Mulla Sadra dari filsafat iluminasi
meliputi:
·
Cahaya
sebagai esensi eksistensi – Konsep ini diserap ke dalam teori
kesatuan wujud (wahdat al-wujud) yang dikembangkan Mulla
Sadra.⁶
·
Transformasi
jiwa melalui iluminasi – Dalam filsafat Sadra, jiwa manusia
bergerak dalam proses spiritual menuju cahaya ilahi,
yang selaras dengan gagasan iluminasi Suhrawardi.⁷
Dengan demikian,
teori iluminasi Suhrawardi memainkan peran penting dalam evolusi pemikiran
filsafat Islam di era klasik dan pasca-klasik.
6.2. Pengaruh terhadap Tasawuf dan Mistisisme Islam
Filsafat iluminasi
memiliki banyak kesamaan dengan tradisi tasawuf dan filsafat mistis Islam,
terutama dalam hal pengetahuan intuitif dan pencerahan spiritual.⁸
Banyak pemikir sufi yang mengadopsi konsep iluminasi Suhrawardi ke dalam
kerangka ajaran mereka, di antaranya:
1)
Ibn
Arabi (w. 1240 M)
Dalam filsafat wahdat al-wujud, Ibn
Arabi menggambarkan Tuhan sebagai sumber cahaya yang
memanifestasikan diri-Nya dalam berbagai bentuk realitas.⁹
2)
Najm
al-Din Kubra (w. 1221 M)
Pendiri tarekat Kubrawiyyah, yang
mengajarkan bahwa makrifat sejati diperoleh melalui pengalaman
penyinaran jiwa oleh cahaya ilahi.¹⁰
3)
Shams
al-Din al-Shirazi (w. 1310 M)
Seorang mistikus yang menggabungkan
filsafat iluminasi dengan simbolisme cahaya dalam tradisi sufi.¹¹
Kesamaan antara
filsafat iluminasi dan tasawuf
terletak pada metode epistemologi yang berbasis intuisi,
pengalaman mistis, dan kontemplasi batin. Dalam beberapa aspek, konsep tajalli
(manifestasi cahaya ilahi dalam tasawuf) memiliki hubungan erat
dengan hierarki
cahaya dalam filsafat iluminasi.¹²
6.3. Relevansi Teori Iluminasi dalam Kajian Islam
Kontemporer
6.3.1.
Iluminasi
dan Kajian Epistemologi Islam Modern
Dalam diskursus epistemologi Islam modern, teori iluminasi
sering dijadikan referensi untuk menjelaskan hubungan antara akal, wahyu, dan intuisi dalam
memperoleh ilmu.¹³ Beberapa cendekiawan Muslim yang
mengembangkan studi tentang teori iluminasi dalam konteks modern antara lain:
·
Seyyed
Hossein Nasr
Menekankan bahwa filsafat
iluminasi dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan modern dan
spiritualitas Islam.¹⁴
·
Henry
Corbin
Seorang filsuf Barat yang berpendapat
bahwa filsafat
iluminasi adalah kunci untuk memahami dimensi esoteris Islam dan tradisi
filsafat Persia.¹⁵
6.3.2.
Pengaruh
dalam Kajian Metafisika dan Spiritualitas Islam
Selain dalam
epistemologi, filsafat iluminasi juga
menjadi rujukan dalam kajian metafisika Islam kontemporer. Beberapa aspek yang
masih relevan dalam kajian ini meliputi:
·
Konsep
cahaya dalam Islam –
Teori iluminasi membantu menjelaskan
ayat-ayat tentang cahaya dalam Al-Qur'an, seperti Ayat
An-Nur (QS 24:35) yang menyatakan bahwa "Allah adalah
cahaya langit dan bumi".¹⁶
·
Kesadaran
dan jiwa dalam Islam –
Ilmu psikologi Islam modern sering
merujuk pada konsep iluminasi dalam menjelaskan kesadaran batin dan dimensi spiritual manusia.¹⁷
Melalui kajian ini,
filsafat iluminasi tetap memiliki daya tarik akademik dan spiritual bagi banyak
cendekiawan Muslim dan
pemikir Barat hingga saat ini.
Kesimpulan
Filsafat iluminasi (Hikmat
al-Isyraq) tidak hanya menjadi salah satu aliran filsafat utama
dalam Islam, tetapi juga memberikan pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran
Islam pasca-klasik, khususnya dalam filsafat Persia, tasawuf,
dan kajian epistemologi Islam modern. Dengan menjadikan cahaya
sebagai prinsip fundamental, Suhrawardi menciptakan sistem
pemikiran yang menggabungkan rasionalisme dan mistisisme, yang
masih relevan dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of
Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 25.
[2]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 75.
[3]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 82.
[4]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 140.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 135.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 170.
[7]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press,
1984), 255.
[8]
Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy
(London: Routledge, 2019), 90.
[9]
Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, ed. R.A. Nicholson
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 70.
[10]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom
(New York: Basic Books, 1991), 520c.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(New York: World Wisdom, 2007), 125.
[12]
Quran, Surah An-Nur (24:35), trans. M.A.S.
Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2005).
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An
Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 145.
[14]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital,
trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 210.
[15]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 188.
[16]
Quran, Surah An-Nur (24:35), trans. M.A.S.
Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2005).
[17]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 2013), 220.
7.
Kritik
dan Kontroversi terhadap Teori Iluminasi
Teori iluminasi (Hikmat
al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi
mendapat beragam tanggapan di kalangan filsuf, teolog Islam (mutakallimun),
dan bahkan pemikir Barat. Sejak pertama kali diperkenalkan, filsafat ini menuai
kritik
filosofis, teologis, dan metodologis, terutama dari para
pendukung filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah), para ulama kalam,
serta beberapa cendekiawan modern.¹
7.1. Kritik dari Kalangan Filsuf Peripatetik
Para filsuf Peripatetik yang berpijak pada logika
Aristotelian menilai bahwa teori iluminasi Suhrawardi kurang
memiliki landasan rasional yang kuat dan lebih mengandalkan pengalaman mistik.²
Beberapa kritik utama dari filsuf Peripatetik meliputi:
1)
Kurangnya Validasi
Rasional
Ibn Rushd (w. 1198 M),
seorang filsuf Aristotelian terkemuka, menolak gagasan bahwa pengetahuan dapat
diperoleh melalui iluminasi batin. Ia menekankan bahwa epistemologi
yang sah harus didasarkan pada metode deduktif dan logis, bukan pengalaman
subjektif.³
Ibn Rushd berpendapat bahwa filsafat harus tetap
dalam ranah demonstrasi logis (burhan),
bukan intuisi atau pengalaman mistik yang tidak dapat diuji secara objektif.⁴
2)
Kritik terhadap Konsep
Cahaya sebagai Prinsip Ontologis
Dalam filsafat
iluminasi, cahaya dianggap sebagai realitas
fundamental. Namun, filsuf Peripatetik seperti Nasir
al-Din al-Tusi (w. 1274 M) menilai bahwa konsep ini tidak
memiliki dasar yang kuat dalam filsafat Aristotelian, karena
eksistensi tidak dapat direduksi menjadi cahaya semata.⁵
Para filsuf Peripatetik menilai bahwa pendekatan
Suhrawardi terlalu simbolik dan tidak memberikan
argumen yang cukup kuat untuk menggantikan teori substansi Aristotelian.⁶
3)
Ketidakseimbangan
antara Akal dan Intuisi
Filsafat iluminasi menekankan bahwa iluminasi
langsung lebih unggul dibandingkan deduksi logis. Namun,
menurut Mulla Sadra (w. 1640 M),
meskipun iluminasi memiliki tempat dalam pencapaian ilmu, akal
tetap merupakan instrumen utama dalam memahami realitas.⁷
7.2. Kritik dari Kalangan Teolog Islam (Mutakallimun)
Para ulama kalam (mutakallimun)
dari berbagai mazhab, terutama dari Asy‘ariyah dan Muktazilah, juga
mengkritik filsafat iluminasi karena
dianggap terlalu dekat dengan paham esoterisme dan filsafat mistis.
Kritik dari kalangan teolog Islam
mencakup beberapa aspek berikut:
1)
Potensi Ketidakjelasan
dalam Teologi Islam
Para teolog Asy‘ariyah menolak gagasan bahwa pengetahuan
dapat diperoleh melalui iluminasi selain wahyu. Mereka khawatir
bahwa pendekatan ini dapat membuka ruang bagi subjektivisme dalam
memahami ajaran Islam.⁸
Fakhr al-Din al-Razi
(w. 1210 M) mengkritik filsafat iluminasi karena dianggap menyimpang
dari prinsip akidah Islam yang berbasis wahyu dan rasionalitas
teologis.⁹
2)
Kesulitan dalam
Verifikasi Ilmu Iluminatif
Ulama Muktazilah, yang menekankan rasionalitas
dalam teologi Islam, berpendapat bahwa ilmu harus dapat
diverifikasi melalui dalil akal. Filsafat iluminasi, yang
menekankan pengalaman langsung, dianggap tidak memiliki metode
yang dapat diuji kebenarannya secara objektif.¹⁰
3)
Kekhawatiran akan
Sinkretisme
Para ulama
Islam juga khawatir bahwa filsafat iluminasi terlalu banyak mengadopsi elemen
dari Neoplatonisme dan filsafat Persia kuno, yang dapat
mencampurkan ajaran Islam dengan pengaruh luar yang tidak selaras dengan
tauhid.¹¹
7.3. Kritik dari Kalangan Filsuf Barat
Beberapa akademisi dan orientalis Barat juga
memberikan kritik terhadap teori iluminasi, terutama dalam hal keabsahan
epistemologi iluminatif dan struktur metafisiknya.
1)
Henry Corbin dan
Tantangan Verifikasi Iluminasi
Henry Corbin (w. 1978
M), seorang orientalis Prancis yang banyak meneliti filsafat Islam, menganggap bahwa teori iluminasi adalah sistem yang sangat
simbolis dan sulit untuk diuji dengan pendekatan akademik modern.¹²
Ia mengakui kedalaman spiritual dan
simbolisme teori iluminasi, tetapi tetap mempertanyakan bagaimana
pengalaman iluminatif dapat dikomunikasikan dalam kerangka filsafat yang
sistematis.¹³
2)
Toshihiko Izutsu dan
Kritik terhadap Simbolisme Cahaya
Toshihiko Izutsu,
seorang filsuf Jepang yang mendalami filsafat Islam, menyoroti bahwa konsep
cahaya dalam filsafat iluminasi terlalu simbolis dan sering kali tidak memiliki
definisi yang jelas dalam konteks metafisika rasional.¹⁴
Ia berpendapat
bahwa tanpa metodologi yang dapat diuji secara
sistematis, teori iluminasi sulit diterima dalam diskursus filsafat modern.¹⁵
7.4. Respons terhadap Kritik dan Reinterpretasi Modern
Meskipun teori
iluminasi mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, beberapa filsuf dan akademisi Muslim modern telah berupaya
mereinterpretasi pemikiran Suhrawardi agar lebih relevan dengan perkembangan
filsafat kontemporer.
·
Seyyed
Hossein Nasr menganggap bahwa teori iluminasi harus dipahami sebagai filsafat
yang menekankan dimensi spiritual dalam ilmu pengetahuan, bukan
sebagai pengganti rasionalitas, tetapi sebagai pelengkapnya.¹⁶
·
Mulla
Sadra, meskipun mengkritik beberapa aspek teori iluminasi,
tetap mengadopsi banyak prinsipnya dalam filsafat Hikmah
Muta’aliyah, yang menggabungkan antara rasionalitas dan intuisi
mistis.¹⁷
Kesimpulan
Teori iluminasi
Suhrawardi telah mengalami berbagai kritik sejak awal perkembangannya, baik dari filsuf Peripatetik, teolog Islam,
maupun pemikir Barat. Kritik utama berpusat pada kurangnya
validasi rasional, kesulitan dalam verifikasi ilmu iluminatif, serta potensi
subjektivisme dalam epistemologi iluminasi. Meskipun demikian,
filsafat iluminasi tetap menjadi bagian penting dalam diskursus filsafat Islam,
terutama dalam hubungannya dengan metafisika dan epistemologi
mistis.
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s
Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 30.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 98.
[3]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon
van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 105.
[4]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 230.
[5]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 150.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 175.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 140.
[8]
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 72.
[9]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 90.
[10]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence
(Tokyo: Keio University Press, 2007), 195.
[11]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 275.
[12]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital,
trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 215.
[13]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative
Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California
Press, 1984), 265.
[14]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 200.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An
Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 150.
[16]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: SUNY Press, 1993), 110.
[17]
Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi
al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (Qom: Markaz al-Nashr, 2002), 3:220.
8.
Kesimpulan
Teori iluminasi (Hikmat
al-Isyraq) yang dikembangkan oleh Shihab al-Din Yahya Suhrawardi
telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam sejarah filsafat Islam.
Dengan menjadikan cahaya sebagai prinsip utama dalam ontologi dan
epistemologi, filsafat ini menawarkan pendekatan yang unik
dalam memahami realitas dan
pengetahuan.¹ Berbeda dengan filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah) yang menekankan
rasionalisme Aristotelian, teori iluminasi menegaskan bahwa ilmu
sejati diperoleh melalui pengalaman mistis dan penyinaran langsung dari
realitas yang lebih tinggi.²
Dalam
perkembangannya, filsafat iluminasi berpengaruh luas terhadap berbagai cabang
pemikiran Islam, termasuk filsafat Persia, tasawuf, dan
metafisika Islam.³ Konsep-konsep Suhrawardi
tentang hierarki cahaya, pengetahuan iluminatif, dan
kesadaran mistik telah memberikan dasar bagi banyak pemikir
setelahnya, seperti Mir Damad, Mulla Sadra, dan para sufi-filosof
yang menggabungkan aspek rasionalitas dengan dimensi spiritual.⁴
Namun, teori
iluminasi juga menghadapi berbagai kritik dari kalangan filsuf Peripatetik,
teolog Islam (mutakallimun), dan pemikir modern.
Kritik utama mencakup kurangnya validasi rasional terhadap
epistemologi iluminatif, potensi subjektivisme dalam pengalaman mistis, serta
kesulitan dalam membuktikan klaim metafisik tentang cahaya sebagai prinsip
ontologis utama.⁵ Ibn Rushd dan para filsuf Aristotelian lainnya
menolak gagasan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh melalui iluminasi
batin, karena dianggap tidak memiliki dasar logis yang kuat.⁶
Sementara itu, ulama kalam seperti Fakhr al-Din al-Razi menilai
bahwa teori iluminasi terlalu dekat dengan ajaran esoterik yang sulit diverifikasi secara
rasional.⁷
Meskipun mendapat
kritik, filsafat iluminasi tetap menjadi bagian penting dalam diskursus
filsafat Islam. Banyak cendekiawan Muslim modern, seperti Seyyed
Hossein Nasr dan Henry Corbin, menilai bahwa teori iluminasi
dapat menjadi jembatan antara rasionalitas Islam dan dimensi spiritualitas
dalam ilmu pengetahuan.⁸ Dalam konteks ini, filsafat iluminasi tidak
hanya dipahami sebagai sistem metafisik, tetapi juga sebagai metodologi untuk
mencapai kesadaran transendental dan kebenaran spiritual.⁹
Dalam kajian
filsafat Islam kontemporer, teori iluminasi terus menjadi subjek penelitian
yang relevan, terutama dalam hubungannya dengan kajian epistemologi Islam, tasawuf, dan
filsafat ketuhanan.¹⁰ Para akademisi Muslim mulai
mengeksplorasi potensi teori iluminasi dalam membangun
epistemologi yang lebih komprehensif, yang tidak hanya
mengandalkan akal, tetapi juga memasukkan aspek intuisi dan pengalaman mistis
dalam pencapaian ilmu.¹¹
Sebagai kesimpulan,
filsafat iluminasi Suhrawardi merupakan salah satu aliran filsafat Islam yang unik,
yang menggabungkan rasionalitas dengan mistisisme. Dengan konsep cahaya
sebagai prinsip utama realitas, filsafat ini menawarkan
perspektif yang lebih luas dalam memahami hubungan antara akal, jiwa, dan pengetahuan
metafisik.¹² Meskipun mendapat kritik, teori iluminasi tetap relevan dalam kajian
filsafat Islam dan spiritualitas, serta terus menjadi bahan
diskusi dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini.¹³
Catatan Kaki
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of
Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 35.
[2]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New York: Omega Publications, 1994), 95.
[3]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardi and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 102.
[4]
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 160.
[5]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 240.
[6]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon
van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 115.
[7]
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 80.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(New York: World Wisdom, 2007), 155.
[9]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence
(Tokyo: Keio University Press, 2007), 210.
[10]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital,
trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 225.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science
(Albany: SUNY Press, 1993), 120.
[12]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 190.
[13]
Nasrollah Pourjavady, The Light of Sakina in Suhrawardi’s Philosophy
(London: Routledge, 2019), 100.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2005). The Cambridge companion to
Arabic philosophy. Cambridge University Press.
Amin Razavi, M. (1997). Suhrawardi and the
school of illumination. Curzon Press.
Chittick, W. C. (1989). The sufi path of
knowledge: Ibn al-Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary
recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton University Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.
Corbin, H. (1994). The man of light in Iranian
Sufism. Omega Publications.
Fakhr al-Din al-Razi. (1990). Mafatih al-Ghaib.
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Arabi. (2002). Fusus al-Hikam (R. A.
Nicholson, Ed.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (S.
van den Bergh, Trans.). Gibb Memorial Trust.
Izutsu, T. (1984). Sufism and Taoism: A
comparative study of key philosophical concepts. University of California
Press.
Izutsu, T. (2007). The concept and reality of
existence. Keio University Press.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Polity Press.
Mulla Sadra. (2002). Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi
al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (Vol. 3). Markaz al-Nashr.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred
science. SUNY Press.
Nasr, S. H. (2007). Islamic science: An
illustrated study. World Wisdom.
Nasrollah Pourjavady. (2019). The light of
Sakina in Suhrawardi’s philosophy. Routledge.
Plato. (1991). The Republic (A. Bloom,
Trans.). Basic Books.
Qur’an. (2005). The Qur'an (M. A. S. Abdel
Haleem, Trans.). Oxford University Press.
Suhrawardi. (1976). Hikmat al-Isyraq (H.
Corbin, Ed.). Institute of Islamic Studies.
Toshihiko, I. (2007). The concept and reality of
existence. Keio University Press.
Walbridge, J. (2001). The wisdom of the mystic
east: Suhrawardi and Platonic Orientalism. SUNY Press.
Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A
study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Scholars Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar