Alegori
Simbolisme, Makna, dan Penyingkapan Kebenaran dalam
Bahasa dan Seni
Alihkan ke: Bahasa
Indonesia Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep alegori
sebagai bentuk simbolik yang berperan penting dalam sejarah pemikiran,
filsafat, sastra, dan seni. Alegori tidak hanya dipahami sebagai teknik
retoris, tetapi juga sebagai modus epistemologis dan hermeneutik, yaitu
cara manusia menyingkap kebenaran melalui simbol, narasi, dan perumpamaan.
Kajian ini melacak akar historis alegori dari tradisi Yunani Kuno—khususnya
melalui Alegori Gua Plato—hingga penggunaannya dalam teologi abad
pertengahan, karya sastra Renaisans, serta kritik sosial-politik modern.
Melalui pendekatan interdisipliner yang mencakup
filsafat bahasa, teori sastra, dan hermeneutika, artikel ini menunjukkan bahwa
alegori berfungsi sebagai jembatan antara bahasa dan realitas, antara
pengalaman estetis dan refleksi etis. Alegori dalam karya seni dan sastra,
seperti The Divine Comedy, The Faerie Queene, Animal Farm,
dan film The Matrix, memperlihatkan kemampuannya untuk menyampaikan
kebenaran moral dan sosial melalui simbolisme yang berlapis.
Selain itu, artikel ini menyoroti dimensi kritis
dan politis alegori—sebagai strategi perlawanan terhadap kekuasaan dan
ideologi dominan—sekaligus membahas kritik modern terhadap alegori sebagai
bentuk ekspresi yang dianggap kaku dan didaktik. Namun, melalui reinterpretasi
kontemporer oleh pemikir seperti Benjamin, Ricoeur, dan de Man, alegori
dipulihkan sebagai ruang tafsir yang terbuka dan reflektif.
Akhirnya, sintesis filosofis artikel ini menegaskan
bahwa alegori tetap relevan dalam era digital dan globalisasi, bukan hanya
sebagai warisan estetika, tetapi sebagai bahasa reflektif yang menumbuhkan
kesadaran kritis, moral, dan eksistensial. Alegori mengajarkan manusia
untuk memahami dunia bukan secara literal, melainkan melalui penyingkapan
simbolik yang terus berkembang seiring perubahan zaman.
Kata Kunci: Alegori; simbolisme; hermeneutika; filsafat bahasa;
seni; kritik sosial; makna; representasi; kesadaran; refleksi.
PEMBAHASAN
Alegori Sebagai Bentuk Penyingkapan Kebenaran Simbolik
1.          
Pendahuluan
Sejak awal peradaban manusia, alegori telah menjadi
salah satu bentuk ekspresi intelektual dan artistik yang paling kompleks.
Istilah alegori berasal dari bahasa Yunani allegorein, yang
berarti “berbicara dengan cara lain,” mengandung makna bahwa suatu pesan
tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui simbol, perumpamaan, atau
kisah yang memiliki makna tersembunyi di balik tampilan literalnya.¹ Dalam
pengertian ini, alegori bukan sekadar alat retoris, melainkan sebuah cara
berpikir dan memahami dunia melalui lapisan makna yang berlapis dan saling
berkaitan.
Fungsi utama alegori adalah menjembatani antara
yang konkret dan yang abstrak, antara pengalaman inderawi dan kebenaran
rohaniah atau moral. Dalam tradisi filsafat Yunani, alegori berfungsi sebagai
sarana untuk mengungkapkan hakikat realitas yang tidak dapat dijangkau oleh
bahasa biasa. Plato, dalam karyanya Politeia (The Republic),
menggunakan “Mitos Gua” sebagai alegori tentang kondisi manusia dan
pencarian kebenaran.² Melalui kisah para tahanan yang hanya melihat bayangan di
dinding gua, Plato menunjukkan bahwa dunia fenomenal hanyalah representasi dari
realitas sejati yang berada di luar indra. Alegori di sini menjadi jalan menuju
pengetahuan yang lebih tinggi—sebuah bahasa simbolik yang memediasi antara
dunia empiris dan dunia ide.
Dalam konteks teologis dan sastra abad pertengahan,
alegori berfungsi sebagai sarana interpretasi moral dan spiritual. Santo
Agustinus, misalnya, menafsirkan Kitab Suci dengan metode alegoris untuk
menemukan makna rohaniah di balik narasi literal.³ Tradisi ini kemudian
berkembang dalam karya The Divine Comedy karya Dante Alighieri, di mana
perjalanan tokoh utama melalui neraka, api penyucian, dan surga merupakan
cerminan alegoris dari perjalanan jiwa manusia menuju keselamatan.⁴ Dengan demikian,
alegori tidak hanya menyampaikan pesan moral, tetapi juga mengandung dimensi
eksistensial dan metafisik yang mendalam.
Dalam era modern, alegori mengalami transformasi
fungsi. Ia tidak lagi dipahami hanya sebagai media religius atau moralistik,
tetapi juga sebagai bentuk kritik sosial dan kesadaran politik. Walter
Benjamin, dalam The Origin of German Tragic Drama, memandang alegori
sebagai cara untuk mengungkapkan kehancuran dan kesementaraan dunia modern
melalui simbol-simbol fragmentaris.⁵ Sementara itu, Paul de Man menekankan
bahwa alegori mencerminkan kesadaran bahasa terhadap keterbatasannya
sendiri—bahwa makna selalu bersifat sementara, tidak pernah final.⁶ Melalui
pandangan ini, alegori dipahami sebagai medan permainan antara makna, tanda, dan
interpretasi yang terus-menerus diperbaharui.
Dalam konteks kontemporer, alegori menjadi semakin
relevan seiring berkembangnya budaya visual dan media digital. Film, iklan, dan
seni konseptual sering kali menggunakan bentuk alegoris untuk menyampaikan kritik
sosial, politik, maupun ekologis secara tersirat. Alegori berfungsi sebagai
ruang di mana makna dapat dinegosiasikan, dipertanyakan, dan ditafsirkan ulang
secara kreatif. Dengan demikian, studi tentang alegori bukan sekadar kajian
estetika, tetapi juga eksplorasi epistemologis dan hermeneutik tentang
bagaimana manusia memaknai realitas melalui representasi simbolik.
Bagian ini membuka jalan bagi pembahasan
selanjutnya tentang dimensi historis, struktural, filosofis, dan sosial dari
alegori, serta bagaimana ia terus memainkan peran penting dalam upaya manusia
menyingkap kebenaran yang tersembunyi di balik tanda dan bahasa.
Footnotes
[1]               
M.H. Abrams dan Geoffrey Galt Harpham, A
Glossary of Literary Terms, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 7.
[2]               
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 196–200.
[3]               
Augustine, On Christian Doctrine, trans.
D.W. Robertson Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 42–45.
[4]               
Dante Alighieri, The Divine Comedy, trans.
Allen Mandelbaum (New York: Bantam Classics, 1982), 12–15.
[5]               
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172.
[6]               
Paul de Man, “The Rhetoric of Temporality,” dalam Blindness
and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporary Criticism (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1983), 187–228.
2.          
Asal-Usul
dan Perkembangan Historis Alegori
Konsep alegori memiliki akar yang sangat tua dalam
sejarah intelektual manusia, berakar dari tradisi Yunani Kuno dan berkembang
terus-menerus hingga era modern. Ia bukan hanya bentuk estetis dalam seni atau
sastra, melainkan juga cerminan cara manusia memahami dunia melalui simbol,
perbandingan, dan makna ganda. Sejarah alegori memperlihatkan perubahan fungsi
dan orientasi makna yang mengikuti dinamika kebudayaan, filsafat, dan
religiositas dari satu zaman ke zaman berikutnya.
2.1.      
Alegori dalam Tradisi
Yunani Kuno
Alegori pertama kali muncul sebagai bentuk
penafsiran mitos dalam kebudayaan Yunani. Para filsuf seperti Theagenes dari
Rhegium pada abad ke-6 SM sudah menggunakan pendekatan alegoris untuk
menafsirkan puisi Homerik, khususnya Iliad dan Odyssey, sebagai
representasi dari kekuatan alam atau prinsip moral, bukan hanya kisah
kepahlawanan.¹ Melalui tafsir alegoris ini, mitos yang bersifat antropomorfik
diubah menjadi simbol filosofis yang menjelaskan struktur kosmos dan etika.
Puncak awal alegori dalam pemikiran Yunani dapat
ditemukan dalam karya Plato, khususnya dalam Politeia (The Republic),
melalui “Alegori Gua” (Allegory of the Cave).² Di dalamnya, Plato
menggambarkan manusia yang hidup dalam kegelapan, hanya melihat bayangan
realitas sejati, dan baru mencapai pengetahuan hakiki setelah keluar dari gua
menuju cahaya matahari. Alegori ini bukan hanya ilustrasi moral, melainkan
metafora ontologis yang mendeskripsikan hubungan antara dunia indrawi dan dunia
ide (eidos).³ Dengan demikian, alegori menjadi medium epistemologis
untuk memahami realitas metafisis yang tersembunyi di balik fenomena.
2.2.      
Alegori dalam Tradisi
Keagamaan dan Abad Pertengahan
Memasuki era Helenistik dan kemudian masa Kristen
awal, alegori memperoleh fungsi baru sebagai alat penafsiran teologis. Filsuf
Stoa seperti Philo dari Alexandria menafsirkan Kitab Taurat secara alegoris
untuk menjembatani rasionalitas Yunani dengan wahyu Ibrani, sehingga teks-teks
suci tidak hanya dibaca secara literal tetapi juga simbolik.⁴ Tradisi ini
kemudian memengaruhi para teolog Kristen awal, termasuk Origen dan Santo
Agustinus, yang mengembangkan metode exegesis alegoris dalam memahami
Alkitab.⁵
Pada Abad Pertengahan, alegori menjadi struktur
utama dalam sistem berpikir religius dan sastra. Dalam teologi, alegori
digunakan untuk menyingkap makna moral dan rohaniah di balik teks suci. Dalam
kesusastraan, alegori diwujudkan dalam karya-karya besar seperti Psychomachia
karya Prudentius (abad ke-4), yang menggambarkan pertempuran antara kebajikan
dan keburukan sebagai alegori perjuangan spiritual manusia.⁶ Karya monumental
lainnya adalah The Divine Comedy karya Dante Alighieri, yang memadukan
teologi skolastik, filsafat Aristotelian, dan imajinasi puitik menjadi
perjalanan alegoris menuju keselamatan jiwa.⁷
2.3.      
Alegori pada Masa Renaisans
dan Barok
Pada masa Renaisans, alegori mengalami transformasi
dari media religius menjadi medium humanistik dan politis. Seniman dan penulis
Renaisans seperti Edmund Spenser dalam The Faerie Queene (1590)
menggunakan alegori untuk mengekspresikan nilai-nilai moral, cinta, dan
kebajikan manusia dalam kerangka mitologis.⁸ Sementara itu, seni rupa Renaisans
dan Barok—misalnya karya Botticelli atau Rubens—memanfaatkan alegori untuk
menampilkan konsep abstrak seperti keadilan, waktu, dan kebijaksanaan dalam
bentuk visual yang memikat.⁹ Alegori menjadi bahasa simbolik bagi harmoni
antara akal, seni, dan iman.
Namun, alegori tidak hanya menjadi sarana
keindahan. Dalam karya Barok Jerman abad ke-17, sebagaimana dibahas oleh Walter
Benjamin, alegori berubah menjadi simbol kesementaraan dan kehancuran dunia
fana.¹⁰ Ia mencerminkan kesadaran akan krisis eksistensial di tengah runtuhnya
tatanan religius dan politik tradisional, sehingga alegori berfungsi sebagai
cermin dari sejarah yang retak.
2.4.      
Alegori dalam Modernitas
dan Pemikiran Kontemporer
Pada era modern, alegori beralih menjadi instrumen
refleksi kritis terhadap bahasa, sejarah, dan ideologi. Dalam sastra, karya
seperti Animal Farm (1945) karya George Orwell atau The Trial
(1925) karya Franz Kafka menggunakan alegori untuk mengungkapkan kritik
terhadap kekuasaan, alienasi, dan absurditas modernitas.¹¹ Dalam filsafat, Paul
Ricoeur melihat alegori sebagai bentuk simbolik dari proses hermeneutik, di
mana makna tidak langsung hadir, tetapi harus “ditafsirkan” melalui
lapisan bahasa dan konteks.¹²
Dalam teori sastra abad ke-20, Paul de Man
menganggap alegori sebagai kesadaran reflektif terhadap waktu dan bahasa, suatu
bentuk ekspresi yang mengakui jarak antara makna dan ungkapan.¹³ Dengan
demikian, alegori tidak lagi dipandang sekadar sebagai gaya retoris, tetapi
sebagai struktur mendasar dari pemaknaan itu sendiri.
Perkembangan historis ini menunjukkan bahwa alegori
merupakan bentuk pemikiran lintas zaman—selalu berubah mengikuti horizon
budaya, namun tetap setia pada hakikatnya: mengungkap kebenaran yang tak
terjangkau secara langsung. Dari gua Plato hingga layar sinema kontemporer,
alegori terus menjadi jembatan antara yang tampak dan yang tersembunyi, antara
bahasa dan kenyataan.
Footnotes
[1]               
Jon Whitman, Allegory: The Dynamics of an
Ancient and Medieval Technique (Oxford: Clarendon Press, 1987), 3–5.
[2]               
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 196–200.
[3]               
Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy,
Vol. I: From the Origins to Socrates (Albany: SUNY Press, 1985), 112–115.
[4]               
Philo of Alexandria, Allegorical Interpretations
of Genesis 2 and 3, trans. F.H. Colson (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1932), 22–25.
[5]               
Augustine, On Christian Doctrine, trans.
D.W. Robertson Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 42–45.
[6]               
Prudentius, Psychomachia, trans. H.J.
Thomson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1949), 15–20.
[7]               
Dante Alighieri, The Divine Comedy, trans.
Allen Mandelbaum (New York: Bantam Classics, 1982), 12–15.
[8]               
Edmund Spenser, The Faerie Queene, ed.
Thomas P. Roche (London: Penguin Classics, 1987), xix–xxii.
[9]               
Erwin Panofsky, Studies in Iconology: Humanistic
Themes in the Art of the Renaissance (New York: Harper & Row, 1962),
47–50.
[10]            
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172.
[11]            
George Orwell, Animal Farm (London: Secker
and Warburg, 1945); Franz Kafka, The Trial, trans. Breon Mitchell (New
York: Schocken Books, 1998).
[12]            
Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor:
Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans.
Robert Czerny (London: Routledge, 2003), 59–61.
[13]            
Paul de Man, “The Rhetoric of Temporality,” dalam Blindness
and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporary Criticism (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1983), 207–209.
3.          
Hakikat
dan Struktur Alegori
Alegori merupakan bentuk ekspresi simbolik yang
beroperasi melalui sistem tanda berlapis, di mana makna literal menjadi pintu
masuk menuju makna yang lebih dalam.¹ Dalam tradisi semiotik, alegori dapat
dipahami sebagai proses pergeseran makna dari tingkat permukaan (denotatif)
menuju tingkat makna tersembunyi (konotatif atau transendental).
Dengan demikian, alegori bukan sekadar teknik estetika, melainkan struktur
pemaknaan yang mengandaikan adanya hubungan dinamis antara penanda (signifier)
dan petanda (signified).²
Secara hakiki, alegori berfungsi untuk menyampaikan
kebenaran yang tidak dapat dijelaskan secara langsung. Ia adalah bentuk bahasa
“tidak-langsung” yang memediasi antara pengalaman empiris dan ide
metafisis, antara dunia inderawi dan dunia konseptual.³ Dalam hal ini, alegori
menempati posisi unik di antara simbol dan metafora. Jika metafora menyamakan
dua hal berdasarkan kemiripan, maka alegori menciptakan keseluruhan sistem
tanda yang membangun jalinan makna yang kompleks dan naratif.⁴ Oleh karena itu,
alegori bukan hanya “satu metafora panjang”, tetapi suatu jaringan
hubungan konseptual yang koheren, di mana setiap elemen berkontribusi terhadap
makna totalitasnya.⁵
3.1.      
Alegori sebagai Sistem
Makna Ganda
Hakikat alegori terletak pada keberadaan makna
ganda yang saling berlapis. Setiap alegori memiliki dimensi literal (the
literal sense) dan dimensi simbolik atau moral (the allegorical sense).⁶
Dalam konteks religius dan moral, hubungan ini sering kali bersifat hierarkis:
makna rohaniah dianggap lebih tinggi daripada makna harfiah. Namun dalam
konteks modern dan postmodern, hierarki ini menjadi lebih cair; makna literal
dan simbolik saling berinteraksi dalam permainan interpretasi yang tak
berkesudahan.⁷ Paul Ricoeur menyebut fenomena ini sebagai “surplus of
meaning”—kelebihan makna yang selalu melampaui penafsiran tunggal.⁸
Makna ganda ini juga berkaitan dengan aspek
temporal. Menurut Paul de Man, alegori adalah bentuk kesadaran terhadap
waktu—kesadaran bahwa makna tidak hadir secara langsung, tetapi tertunda dan
berjarak.⁹ Alegori dengan demikian menandai “ketidaklangsungan makna,”
suatu kondisi di mana bahasa menyadari keterbatasannya dalam mengungkap
kebenaran secara penuh. Dalam setiap alegori, terdapat jarak antara apa yang
dikatakan dan apa yang dimaksud, antara representasi dan realitas.
3.2.      
Struktur Internal Alegori
Secara struktural, alegori terdiri dari tiga
lapisan utama: (1) lapisan literal, yaitu narasi atau bentuk permukaan
yang dapat diidentifikasi secara langsung; (2) lapisan simbolik, yaitu
struktur makna tersembunyi yang harus diinterpretasikan; dan (3) lapisan
kontekstual, yaitu horizon budaya, historis, atau teologis yang
memungkinkan alegori dipahami secara utuh.¹⁰
Northrop Frye mengemukakan bahwa alegori selalu
mengandaikan adanya sistem hubungan simbolik yang tertutup, di mana setiap
elemen saling menunjuk dalam kerangka makna total.¹¹ Misalnya, dalam The
Pilgrim’s Progress karya John Bunyan, tokoh-tokoh seperti “Christian,”
“Faithful,” atau “Hopeful” bukan sekadar karakter naratif,
melainkan personifikasi dari nilai-nilai moral dan spiritual yang saling
berinteraksi dalam struktur perjalanan eksistensial. Alegori dengan demikian
membangun dunia simbolik yang berfungsi sebagai cermin bagi realitas rohaniah
manusia.
Alegori juga bekerja melalui mekanisme substitusi
dan transposisi makna.¹² Setiap unsur literal (tokoh, tempat, peristiwa)
menggantikan ide abstrak tertentu. Namun, relasi ini tidak selalu bersifat
tetap; dalam pembacaan kontemporer, makna alegoris bersifat terbuka dan
bergantung pada konteks interpretasi pembaca.¹³ Oleh karena itu, alegori dapat
dilihat sebagai struktur yang dinamis—bukan hanya teks yang memiliki makna
tunggal, tetapi medan tafsir yang terus bergerak.
3.3.      
Alegori dan Bahasa Simbolik
Bahasa alegoris beroperasi pada wilayah ambiguitas
dan perantara antara yang faktual dan yang imajinatif. Susan Sontag menegaskan
bahwa alegori memaksa pembacanya untuk “melampaui permukaan” tanpa
kehilangan kesadaran terhadap bentuk estetikanya.¹⁴ Artinya, alegori mengandung
dialektika antara makna dan bentuk: ia mengundang tafsir filosofis sekaligus
apresiasi estetis.
Dalam kerangka hermeneutik, alegori merupakan
bentuk “pemahaman ganda” (double understanding), di mana teks
tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga memproyeksikan horizon makna yang
menuntut dialog antara pembaca dan teks.¹⁵ Gadamer menyebut hal ini sebagai Wirkungsgeschichte—sejarah
pengaruh pemahaman yang terus hidup dalam setiap penafsiran baru.¹⁶ Dengan
demikian, struktur alegori bukanlah struktur tertutup, melainkan terbuka
terhadap proses interpretasi yang selalu dapat diperbaharui.
3.4.      
Alegori sebagai Medium
Epistemologis dan Etis
Lebih dari sekadar alat estetika, alegori berperan
sebagai medium epistemologis—cara manusia memahami dunia melalui representasi
simbolik.¹⁷ Ia memungkinkan manusia menyingkap realitas yang tak dapat
dijangkau oleh rasionalitas langsung. Dalam hal ini, alegori berfungsi sebagai
“bahasa kedua” (second language) bagi kebenaran, di mana yang
transenden hadir melalui yang imanen.¹⁸
Selain itu, alegori juga memiliki dimensi etis.
Dalam banyak karya klasik, alegori digunakan untuk membimbing manusia menuju
kebijaksanaan atau kesadaran moral. Akan tetapi, dalam konteks modern, alegori
sering kali berfungsi untuk menyingkap paradoks moral atau bahkan mengkritik
nilai-nilai dominan.¹⁹ Oleh karena itu, alegori tetap relevan sebagai bentuk
refleksi filosofis terhadap eksistensi, kebenaran, dan tanggung jawab manusia.
Dengan demikian, hakikat dan struktur alegori dapat
disimpulkan sebagai sebuah sistem pemaknaan ganda yang bekerja secara dialektis
antara bentuk dan makna, literalitas dan simbolisme, serta keterbukaan dan
keutuhan. Ia bukan hanya perangkat sastra, melainkan cara berpikir—sebuah modus
eksistensial yang memungkinkan manusia menafsirkan dunia dengan kedalaman
reflektif.
Footnotes
[1]               
Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a
Symbolic Mode (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1964), 2–5.
[2]               
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1983), 65–70.
[3]               
Ernst Cassirer, Language and Myth, trans.
Susanne K. Langer (New York: Dover Publications, 1946), 23–27.
[4]               
M.H. Abrams dan Geoffrey Galt Harpham, A
Glossary of Literary Terms, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 8.
[5]               
Angus Fletcher, Allegory, 7–9.
[6]               
Augustine, On Christian Doctrine, trans.
D.W. Robertson Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 42.
[7]               
Paul de Man, “The Rhetoric of Temporality,” dalam Blindness
and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporary Criticism (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1983), 205–208.
[8]               
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 49–51.
[9]               
De Man, “The Rhetoric of Temporality,” 207.
[10]            
Jonathan Culler, Structuralist Poetics:
Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature (London: Routledge,
1975), 156–160.
[11]            
Northrop Frye, Anatomy of Criticism: Four Essays
(Princeton: Princeton University Press, 1957), 89–92.
[12]            
Roland Barthes, S/Z, trans. Richard Miller
(New York: Hill and Wang, 1974), 11–15.
[13]            
Umberto Eco, The Role of the Reader: Explorations
in the Semiotics of Texts (Bloomington: Indiana University Press, 1979),
34–38.
[14]            
Susan Sontag, Against Interpretation and Other
Essays (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1966), 11–13.
[15]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
1994), 269–273.
[16]            
Ibid., 300–302.
[17]            
Cassirer, Language and Myth, 28–30.
[18]            
Ricoeur, Interpretation Theory, 54–57.
[19]            
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172.
4.          
Alegori
dalam Filsafat dan Hermeneutika
Alegori, sejak awal kemunculannya dalam tradisi
filsafat Yunani hingga perkembangan teori hermeneutika modern, selalu berfungsi
sebagai jembatan antara bahasa dan kebenaran, antara simbol dan makna. Dalam
konteks filosofis, alegori tidak hanya berperan sebagai perangkat retoris,
melainkan juga sebagai cara berpikir yang memungkinkan manusia mengakses
realitas yang tidak dapat diungkapkan secara langsung oleh bahasa konseptual.¹ Hermeneutika
kemudian memperluas fungsi ini dengan menempatkan alegori sebagai salah satu
modus penafsiran yang menyingkap lapisan makna tersembunyi di balik teks dan
pengalaman manusia.
4.1.      
Alegori sebagai Metode
Filsafat
Dalam tradisi Yunani Kuno, alegori digunakan oleh
para filsuf untuk mengartikulasikan gagasan metafisis melalui gambaran
simbolik. Plato, misalnya, melalui “Alegori Gua” dalam Politeia (The
Republic), menggambarkan kondisi manusia yang terjebak dalam dunia bayangan
dan hanya dapat mencapai kebenaran sejati melalui perjalanan intelektual menuju
“dunia ide.”² Alegori ini mengandung dua dimensi utama: ontologis dan
epistemologis. Ontologis, karena mengandaikan adanya dua tingkat realitas—dunia
fenomenal dan dunia ide; epistemologis, karena menggambarkan proses
transendensi intelektual dari kebodohan menuju pengetahuan sejati.³
Alegori juga menjadi sarana bagi para filsuf untuk
menegaskan hubungan antara kebenaran dan bahasa. Bagi Plato, bahasa alegoris
bukanlah bentuk penyimpangan dari kebenaran, melainkan strategi filosofis untuk
menuntun jiwa manusia menuju pengenalan realitas yang tak terkatakan.⁴ Dalam
konteks ini, alegori menjadi “bahasa filsafat yang puitis”—suatu bentuk
ekspresi yang menyatukan rasio dan imajinasi dalam proses penyingkapan makna.
Aristoteles, meskipun lebih rasionalistik daripada
gurunya, juga mengakui nilai alegori dalam retorika dan puisi. Dalam Poetics,
ia menyatakan bahwa seni imitasi (mimesis) memiliki kemampuan untuk “mengatakan
kebenaran universal melalui peristiwa partikular,”⁵ yang pada hakikatnya
adalah prinsip kerja alegori: pengungkapan yang universal melalui bentuk yang
konkret dan terikat konteks.
4.2.      
Alegori dalam Tradisi
Hermeneutik Klasik
Pada era Patristik dan Abad Pertengahan, alegori
memperoleh fungsi hermeneutik yang sangat penting. Para teolog seperti Origen
dan Agustinus mengembangkan metode penafsiran alegoris terhadap Kitab Suci
untuk mengungkap makna rohaniah yang tersembunyi di balik narasi literal.⁶
Dalam pandangan Agustinus, teks suci tidak dapat dipahami hanya pada tingkat
kata-kata, tetapi harus dimaknai secara spiritual untuk mencapai veritas
spiritualis—kebenaran yang bersifat ilahi.⁷ Dengan demikian, alegori
berperan sebagai sarana hermeneutik yang menghubungkan bahasa manusia dengan
firman Tuhan.
Dalam konteks ini, alegori berfungsi sebagai “metode
pengungkapan ganda”: di satu sisi ia menjelaskan struktur moral dan teologis
dunia, di sisi lain ia menuntut keterlibatan aktif pembaca dalam proses
penafsiran. Thomas Aquinas melanjutkan tradisi ini dengan menegaskan bahwa
setiap teks suci memiliki empat tingkat makna: literal, alegoris, moral, dan
anagogis.⁸ Pembacaan alegoris, menurut Aquinas, membuka jalan bagi pemahaman
teologis yang melampaui permukaan teks, menjadikan alegori sebagai fondasi
hermeneutika skolastik.
4.3.      
Alegori dalam Hermeneutika
Modern
Memasuki era modern, alegori mengalami transformasi
epistemologis dan metodologis melalui pemikiran hermeneutik yang lebih
reflektif. Friedrich Schleiermacher (1768–1834) menekankan pentingnya memahami
“roh” dari teks melalui empati dan konteks sejarahnya, yang membuka
ruang bagi pembacaan alegoris sebagai cara untuk menembus makna batin dari
ekspresi bahasa.⁹ Hermeneutika tidak lagi dipandang hanya sebagai teknik tafsir
teks suci, melainkan sebagai seni memahami makna manusiawi dalam segala
bentuknya.
Wilhelm Dilthey kemudian memperluas pendekatan ini
dengan menegaskan bahwa penafsiran alegoris adalah bagian dari pengalaman hidup
(Erlebnis), di mana simbol dan representasi berperan sebagai mediator
antara pengalaman individual dan struktur budaya yang lebih luas.¹⁰ Alegori,
dalam pandangan ini, merupakan ekspresi historis dari makna yang hidup (lebendiger
Sinn), bukan sekadar kiasan statis.
Hans-Georg Gadamer membawa hermeneutika ke tingkat
filosofis dengan menegaskan bahwa pemahaman selalu bersifat dialogis.¹¹ Dalam Truth
and Method, ia menyatakan bahwa teks alegoris tidak hanya ditafsirkan oleh
pembaca, tetapi juga menafsirkan pembacanya. Proses ini disebut Wirkungsgeschichte—sejarah
efek pemahaman yang hidup dan berkembang.¹² Alegori, sebagai teks terbuka,
menuntut kesediaan hermeneutis untuk berdialog dengan tradisi dan horizon makna
masa kini.¹³
4.4.      
Alegori dan Simbolisme
Hermeneutik: Ricoeur dan Benjamin
Paul Ricoeur memberikan kontribusi penting dalam
menghubungkan alegori dengan simbolisme hermeneutik. Dalam The Symbolism of
Evil, ia menegaskan bahwa simbol dan alegori adalah bentuk bahasa yang “berbicara
lebih dari yang dikatakan” (le symbole donne à penser).¹⁴ Alegori,
dalam pandangan Ricoeur, adalah bagian dari dinamika simbolik yang mengandung surplus
of meaning—kelebihan makna yang tak pernah habis ditafsirkan.¹⁵ Melalui
penafsiran alegoris, manusia menembus batas literalitas menuju pemahaman
eksistensial, di mana makna selalu bersifat terbuka dan berlapis.
Walter Benjamin, sebaliknya, mengembangkan dimensi
kritis dari alegori dalam konteks modernitas. Dalam The Origin of German
Tragic Drama, ia melihat alegori bukan sebagai sarana harmoni simbolik,
melainkan sebagai refleksi atas kehancuran dan ketidaksempurnaan dunia
modern.¹⁶ Alegori bagi Benjamin adalah bentuk kesadaran historis yang melacak
reruntuhan makna—sebuah cara memahami dunia melalui fragmen, bukan totalitas.¹⁷
Dengan demikian, alegori menjadi alat hermeneutik untuk membaca tanda-tanda
sejarah, bukan sekadar gaya sastra.
4.5.      
Alegori sebagai
Hermeneutika Eksistensial
Dalam konteks filsafat kontemporer, alegori
memperoleh makna baru sebagai hermeneutika eksistensial. Heidegger, meskipun
jarang menggunakan istilah alegori secara eksplisit, menempatkan bahasa sebagai
“rumah Ada,” di mana kebenaran hanya dapat diungkap melalui cara-cara
yang tidak langsung.¹⁸ Dalam semangat ini, alegori berfungsi sebagai jalan
eksistensial untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi dalam pengalaman
manusia.
Alegori menjadi modus aletheia—penyingkapan
kebenaran yang tidak hadir sepenuhnya, tetapi tersingkap melalui simbol dan
metafora.¹⁹ Ia bukan sekadar sarana representasi, tetapi peristiwa pemahaman
itu sendiri. Hermeneutika alegoris, dengan demikian, tidak hanya menafsirkan
teks, tetapi juga menyingkap struktur ontologis dari pemahaman manusia terhadap
dirinya dan dunianya.
Kesimpulan Sementara
Alegori dalam filsafat dan hermeneutika
memperlihatkan dinamika antara ketersembunyian dan penyingkapan makna. Dalam
filsafat klasik, alegori berfungsi sebagai jembatan menuju kebenaran metafisis;
dalam hermeneutika modern, ia menjadi metode pemahaman yang menegaskan
keterlibatan eksistensial manusia dalam makna. Baik dalam gua Plato maupun dalam
simbolisme Ricoeur, alegori terus berfungsi sebagai bahasa “yang lain”—sebuah
jalan sunyi menuju pemahaman yang melampaui kata-kata.
Footnotes
[1]               
Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a
Symbolic Mode (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1964), 3–6.
[2]               
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 196–200.
[3]               
Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy,
Vol. II: Plato and Aristotle (Albany: SUNY Press, 1987), 125–130.
[4]               
Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck
and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 1986), 24–27.
[5]               
Aristotle, Poetics, trans. S.H. Butcher (New
York: Hill and Wang, 1961), 1451b–1453a.
[6]               
Origen, On First Principles, trans. G.W.
Butterworth (Gloucester, MA: Peter Smith, 1973), 243–248.
[7]               
Augustine, On Christian Doctrine, trans.
D.W. Robertson Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 42–45.
[8]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I.q1.a10.
[9]               
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and
Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 15–18.
[10]            
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Vol. IV:
Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof
Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 112–115.
[11]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
1994), 269–273.
[12]            
Ibid., 300–302.
[13]            
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston:
Northwestern University Press, 1969), 176–179.
[14]            
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans.
Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 12–14.
[15]            
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 48–51.
[16]            
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172.
[17]            
Susan Buck-Morss, The Dialectics of Seeing:
Walter Benjamin and the Arcades Project (Cambridge, MA: MIT Press, 1989),
72–75.
[18]            
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought,
trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193–197.
[19]            
Ibid., 200–202.
5.          
Alegori
dalam Sastra dan Seni
Alegori menempati posisi istimewa dalam sejarah
sastra dan seni karena berfungsi sebagai ruang di mana makna literal dan
simbolik saling bertaut, membentuk jaringan interpretasi yang kaya dan
berlapis. Dalam ranah estetika, alegori bukan hanya teknik representasi,
melainkan juga sebuah modus pemikiran artistik—cara seniman dan penulis
mengartikulasikan ide-ide metafisik, moral, maupun politis melalui
bentuk-bentuk imajinatif.¹ Dari puisi epik klasik hingga seni rupa kontemporer,
alegori terus menjadi medium yang memungkinkan manusia menafsirkan dunia
melalui bahasa simbol.
5.1.      
Alegori dalam Sastra Klasik
dan Abad Pertengahan
Dalam sejarah sastra Barat, alegori telah menjadi
sarana dominan dalam penyampaian nilai-nilai moral dan religius. Salah satu
contoh paling awal adalah karya Psychomachia (abad ke-4) oleh
Prudentius, yang menggambarkan pertarungan alegoris antara Kebajikan (Virtues)
dan Kejahatan (Vices) sebagai refleksi perjuangan batin manusia.² Di sini,
alegori berfungsi sebagai representasi dramatik dari konflik spiritual dan etis
yang menjadi inti dari pengalaman manusia.
Karya Dante Alighieri, The Divine Comedy
(1320), menandai puncak kesempurnaan alegori abad pertengahan.³ Melalui
perjalanan tokoh Dante dari Neraka ke Surga, teks ini menggabungkan teologi
skolastik, filsafat Aristotelian, dan imajinasi puitik menjadi struktur
simbolik yang kompleks. Setiap ruang dan tokoh dalam narasi Dante memiliki
lapisan makna: literal, moral, teologis, dan anagogis.⁴ Dengan demikian, The
Divine Comedy berfungsi bukan hanya sebagai karya sastra, tetapi juga
sebagai sistem kosmologi moral dan spiritual yang menggambarkan perjalanan jiwa
manusia menuju penyatuan dengan Ilahi.
Di Inggris abad ke-17, The Pilgrim’s Progress
(1678) karya John Bunyan memperlihatkan bentuk alegori moral yang lebih personal
dan Protestan.⁵ Tokoh “Christian” menempuh perjalanan menuju Celestial
City, menghadapi personifikasi dari dosa, kesesatan, dan iman. Alegori ini
memperlihatkan transposisi pengalaman rohani ke dalam narasi simbolik yang
konkret, menjadikannya sarana pendidikan spiritual bagi pembaca awam.
5.2.      
Alegori dalam Tradisi
Modern: Dari Humanisme hingga Kritik Sosial
Masa Renaisans dan modernitas awal membawa
transformasi penting dalam penggunaan alegori. Edmund Spenser, dalam The
Faerie Queene (1590), memadukan alegori moral, politik, dan cinta dalam
kerangka mitologis yang menekankan nilai-nilai kebajikan humanistik dan
idealisme nasional Inggris.⁶ Alegori di sini tidak lagi berpusat pada teologi,
tetapi pada moralitas sosial dan politik.
Memasuki abad ke-18 dan ke-19, alegori berkembang
menjadi alat kritik terhadap institusi sosial dan kekuasaan. William Blake,
melalui The Marriage of Heaven and Hell (1790), memanfaatkan alegori
visioner untuk mengkritik moralitas konvensional dan menyingkap ketegangan
antara imajinasi dan rasionalitas.⁷ Sementara itu, dalam novel abad ke-19
seperti Moby-Dick (1851) karya Herman Melville, alegori digunakan untuk
mengeksplorasi persoalan eksistensial dan spiritual manusia modern: pencarian
makna, takdir, dan keterbatasan pengetahuan.⁸
Dalam abad ke-20, alegori bertransformasi menjadi
instrumen kritik ideologis dan politik. George Orwell melalui Animal Farm
(1945) menggunakan alegori satiris untuk mengecam totalitarianisme Soviet,
sementara Franz Kafka, dalam The Trial (1925) dan The Castle
(1926), menciptakan alegori absurditas birokrasi modern dan alienasi
eksistensial manusia.⁹ Alegori di sini tidak lagi menyingkap makna moral yang
tetap, tetapi mengungkap kekosongan makna dan kehilangan orientasi di dunia
yang rasional namun tidak manusiawi.
5.3.      
Alegori dalam Seni Rupa dan
Representasi Visual
Dalam seni rupa, alegori muncul sebagai cara untuk
mengekspresikan konsep abstrak melalui bentuk visual. Pada masa Renaisans,
pelukis seperti Sandro Botticelli menggunakan alegori untuk menggambarkan
ide-ide filosofis dan moral. Lukisan Primavera (1478) dan The Birth
of Venus (1485) tidak hanya merayakan keindahan tubuh manusia, tetapi juga
melambangkan harmoni antara cinta, alam, dan kebijaksanaan ilahi.¹⁰ Alegori di
sini menjadi jembatan antara sensualitas dan spiritualitas.
Pada era Barok, alegori mengalami intensifikasi
dramatis dalam karya-karya Peter Paul Rubens dan Caravaggio. Rubens dalam The
Allegory of Peace and War (1629) menampilkan hubungan simbolik antara
perdamaian, keadilan, dan kemakmuran melalui komposisi dinamis dan warna yang
ekspresif.¹¹ Alegori tidak hanya menyampaikan pesan moral, tetapi juga
membangkitkan emosi dan refleksi filosofis tentang kondisi manusia.
Sementara itu, pada abad ke-20 dan 21, alegori
dalam seni visual menjadi lebih konseptual. Pelukis surealis seperti Salvador
Dalí dan René Magritte mengubah alegori menjadi bentuk eksplorasi bawah sadar
dan bahasa mimpi.¹² Seni kontemporer bahkan memperluas alegori ke ranah politik
dan sosial: karya Banksy, Ai Weiwei, atau Kara Walker, misalnya, memanfaatkan
alegori visual untuk mengkritik kekuasaan, kapitalisme, rasisme, dan represi
budaya.¹³ Dalam konteks ini, alegori menjadi perangkat hermeneutik yang
mengundang penonton untuk menafsirkan, bukan sekadar mengagumi.
5.4.      
Alegori dan Estetika
Simbolik
Alegori dalam sastra dan seni selalu menuntut
keseimbangan antara bentuk dan makna. Walter Benjamin dalam The Origin of
German Tragic Drama membedakan alegori dari simbol dengan menekankan sifat
fragmentaris dan historis alegori.¹⁴ Jika simbol mengandaikan kesatuan makna,
alegori justru mengungkap keterpecahan dan kesementaraan. Alegori, bagi
Benjamin, adalah ekspresi dari kesadaran modern tentang kefanaan dan kehilangan
makna total.¹⁵
Sementara itu, Paul de Man menyoroti aspek
linguistik alegori. Ia menegaskan bahwa alegori mencerminkan “jarak antara
tanda dan makna,” suatu kesadaran retoris bahwa bahasa tidak pernah benar-benar
mampu menyampaikan realitas secara penuh.¹⁶ Dari sini, alegori bukan hanya
representasi, tetapi juga refleksi terhadap batas-batas representasi itu
sendiri.
Dalam teori estetika kontemporer, alegori dipahami
sebagai bentuk komunikasi yang terbuka (open form). Roland Barthes dan
Umberto Eco menegaskan bahwa karya alegoris tidak pernah memiliki makna
tunggal, melainkan memanggil pembaca atau penonton untuk menjadi ko-interpreter
dalam proses pemaknaan.¹⁷ Alegori dengan demikian menjadi ruang dialogis antara
seniman, teks, dan khalayak—sebuah peristiwa pemahaman yang terus berkembang
melampaui batas-batas waktu dan konteks.
5.5.      
Alegori sebagai Cermin
Peradaban
Dalam perspektif historis dan kultural, alegori
berfungsi sebagai cermin peradaban: ia merekam cara manusia memahami kebenaran,
moralitas, dan kekuasaan melalui simbol dan narasi. Alegori mengikat masa lalu
dan masa kini dalam jalinan makna yang terus diperbarui. Dari kisah mistik
Dante hingga mural politik Banksy, alegori selalu menjadi medium di mana
manusia menegosiasikan identitas, nilai, dan harapan.
Alegori dalam sastra dan seni, oleh karena itu,
bukanlah bentuk ekspresi yang tertutup atau dogmatis, melainkan sebuah ruang
hermeneutik yang terbuka bagi interpretasi tanpa akhir—sebuah proses memahami
dunia melalui bahasa simbol yang hidup.
Footnotes
[1]               
Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a
Symbolic Mode (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1964), 7–9.
[2]               
Prudentius, Psychomachia, trans. H.J.
Thomson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1949), 15–20.
[3]               
Dante Alighieri, The Divine Comedy, trans.
Allen Mandelbaum (New York: Bantam Classics, 1982), 12–15.
[4]               
Charles S. Singleton, Dante Studies, Vol. 2:
Journey to Beatrice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1958), 45–48.
[5]               
John Bunyan, The Pilgrim’s Progress (London:
Penguin Classics, 1987), xvii–xix.
[6]               
Edmund Spenser, The Faerie Queene, ed.
Thomas P. Roche (London: Penguin Classics, 1987), xix–xxii.
[7]               
William Blake, The Marriage of Heaven and Hell,
ed. Geoffrey Keynes (Oxford: Oxford University Press, 1970), 9–11.
[8]               
Herman Melville, Moby-Dick (New York:
Penguin Classics, 1988), 201–205.
[9]               
George Orwell, Animal Farm (London: Secker
and Warburg, 1945), 3–5; Franz Kafka, The Trial, trans. Breon Mitchell
(New York: Schocken Books, 1998), 23–26.
[10]            
Erwin Panofsky, Studies in Iconology: Humanistic
Themes in the Art of the Renaissance (New York: Harper & Row, 1962),
47–50.
[11]            
Peter Paul Rubens, The Allegory of Peace and War
(London: National Gallery Collection, 1629).
[12]            
Dawn Ades, Dalí and Surrealism (London:
Thames & Hudson, 1995), 88–92.
[13]            
Julian Stallabrass, Art Incorporated: The Story
of Contemporary Art (Oxford: Oxford University Press, 2004), 122–127.
[14]            
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172.
[15]            
Ibid., 174–176.
[16]            
Paul de Man, “The Rhetoric of Temporality,” dalam Blindness
and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporary Criticism (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1983), 205–208.
[17]            
Roland Barthes, Image—Music—Text, trans.
Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 142–145; Umberto Eco, The
Open Work, trans. Anna Cancogni (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1989), 56–59.
6.          
Alegori
dalam Konteks Sosial dan Politik
Alegori, selain sebagai sarana estetika dan filsafat,
juga memiliki dimensi sosial dan politis yang mendalam. Dalam sejarah
kebudayaan, alegori sering digunakan sebagai medium komunikasi tidak langsung
untuk menyampaikan kritik terhadap kekuasaan, ketidakadilan, dan ideologi
dominan tanpa menantangnya secara eksplisit.¹ Melalui simbol dan narasi,
alegori memungkinkan seniman, penulis, maupun pemikir untuk mengekspresikan
perlawanan, harapan, dan refleksi terhadap struktur sosial-politik yang
menekan. Dengan demikian, alegori berfungsi sebagai bentuk “retorika
terselubung” yang menggabungkan keindahan estetik dengan kesadaran kritis.
6.1.      
Alegori sebagai Strategi
Kritik dan Resistensi
Sejak zaman klasik, alegori telah digunakan untuk
menyampaikan kritik terhadap struktur kekuasaan dan moralitas sosial. Fabel
Aesop, misalnya, merupakan bentuk alegori moral yang secara tersirat mengkritik
perilaku sosial dan politik melalui kisah hewan yang berperilaku seperti
manusia.² Tradisi ini dilanjutkan pada masa modern dalam bentuk yang lebih
eksplisit, seperti dalam karya Gulliver’s Travels (1726) karya Jonathan
Swift, yang memanfaatkan alegori satiris untuk mengomentari korupsi politik,
imperialisme, dan hipokrisi moral masyarakat Inggris abad ke-18.³
Pada abad ke-20, alegori menjadi salah satu
instrumen paling efektif dalam menyuarakan kritik terhadap totalitarianisme dan
represi ideologis. George Orwell melalui Animal Farm (1945) menampilkan
sebuah peternakan sebagai metafora politik bagi Revolusi Rusia dan degenerasi
kekuasaan komunis di bawah Stalin.⁴ Melalui kisah hewan-hewan yang memberontak
melawan tuannya hanya untuk kemudian diperintah oleh rezim yang lebih tiranik,
Orwell menunjukkan bagaimana kekuasaan cenderung korup dan bagaimana idealisme
revolusioner dapat dikhianati oleh nafsu kekuasaan.⁵ Dengan demikian, alegori
menjadi bentuk resistance discourse—strategi komunikasi yang aman secara
politis namun tajam secara ideologis.
Alegori juga sering digunakan dalam konteks
kolonial dan poskolonial untuk mengkritik penindasan dan dominasi budaya.
Chinua Achebe dalam Things Fall Apart (1958) dan Ngũgĩ wa Thiong’o dalam
A Grain of Wheat (1967) menggunakan narasi alegoris untuk menyingkap
dampak destruktif kolonialisme terhadap identitas dan moralitas masyarakat
Afrika.⁶ Di sini, alegori berfungsi sebagai “bahasa ganda”: di satu sisi
ia bercerita tentang kehidupan lokal, di sisi lain ia menyingkap trauma sejarah
dan struktur kekuasaan global.⁷
6.2.      
Alegori dan Ideologi:
Membaca Struktur Kekuasaan
Dalam teori kritis dan kajian budaya, alegori
dipahami sebagai perangkat ideologis yang mampu menyingkap relasi kuasa
tersembunyi dalam representasi. Fredric Jameson menegaskan bahwa “setiap
narasi adalah alegori politik” karena di dalamnya selalu tersimpan struktur
ideologi yang merepresentasikan sistem sosial tertentu.⁸ Ia menafsirkan alegori
sebagai bentuk political unconscious—ketidaksadaran politik yang
mengatur bagaimana teks memproduksi makna dan nilai.⁹ Dengan demikian, setiap
teks alegoris, baik yang disadari atau tidak, berpartisipasi dalam reproduksi
atau resistensi terhadap ideologi yang dominan.
Dalam kerangka ini, alegori menjadi ruang dialektis
antara penindasan dan kebebasan, antara hegemoni dan kontra-hegemoni.¹⁰ Melalui
simbol-simbol, ia mampu menyingkap kontradiksi sosial yang tersembunyi di balik
stabilitas politik. Walter Benjamin memandang alegori sebagai bahasa kehancuran
dan kritik terhadap totalitas sejarah.¹¹ Bagi Benjamin, alegori tidak
memuliakan kekuasaan, melainkan menunjukkan serpihan-serpihan penderitaan yang
ditinggalkan oleh sejarah—“puing-puing makna” yang menjadi saksi bisu
dari kekerasan ideologis.¹²
6.3.      
Alegori dalam Konteks
Poskolonial dan Global
Dalam konteks global kontemporer, alegori menjadi
alat penting untuk menafsirkan relasi antara kekuasaan, budaya, dan identitas.
Edward Said, dalam Culture and Imperialism (1993), menunjukkan bahwa
karya sastra kolonial seperti Heart of Darkness karya Joseph Conrad
dapat dibaca secara alegoris sebagai representasi ideologi imperialisme Barat
yang memandang Timur sebagai “yang lain.”¹³ Alegori di sini berfungsi
bukan hanya untuk menyembunyikan pesan, tetapi juga untuk menyingkap struktur
wacana kolonial yang membentuk persepsi global.
Sementara itu, penulis-penulis poskolonial seperti
Salman Rushdie dan Arundhati Roy menghidupkan kembali alegori sebagai cara
untuk mengartikulasikan identitas hibrid dan ambiguitas modernitas. Rushdie
dalam Midnight’s Children (1981) menulis kisah kelahiran anak-anak India
merdeka sebagai alegori kelahiran bangsa yang penuh paradoks.¹⁴ Alegori dalam
karya ini berfungsi sebagai “narasi kebangsaan” (national allegory),
yang menggambarkan keterpecahan sejarah, konflik ideologis, dan pencarian makna
dalam dunia pascakolonial.¹⁵
Fredric Jameson bahkan menegaskan bahwa dalam dunia
“periferi global,” semua karya sastra pada dasarnya bersifat alegoris
karena setiap ekspresi budaya selalu terikat dengan kondisi ekonomi dan politik
dari masyarakatnya.¹⁶ Dengan demikian, alegori menjadi ruang artikulasi bagi
bangsa-bangsa yang berjuang untuk menegaskan suara mereka di tengah hegemoni
global.
6.4.      
Alegori sebagai Kritik
Sosial di Era Kontemporer
Dalam masyarakat modern dan pascamodern, alegori
terus berfungsi sebagai bentuk kritik terhadap sistem kapitalisme, media, dan
teknologi. Film seperti The Matrix (1999) dan Parasite (2019)
merupakan contoh alegori visual yang mengungkap ketimpangan sosial dan krisis
eksistensial manusia di bawah sistem ekonomi global.¹⁷ Melalui konstruksi
simbolik dan narasi metaforis, film-film ini menggambarkan dunia yang diatur
oleh ilusi ideologis dan pertarungan kelas yang tersembunyi di balik normalitas
kehidupan sehari-hari.
Seni kontemporer juga memanfaatkan alegori untuk
menyingkap dinamika sosial-politik global. Karya-karya Banksy, misalnya,
menampilkan alegori visual tentang kekerasan negara, kapitalisme, dan kontrol
sosial, sementara instalasi Ai Weiwei seperti Sunflower Seeds (2010)
mengandung alegori tentang produksi massal dan hilangnya individualitas di
bawah rezim otoriter.¹⁸ Alegori di sini bukan sekadar representasi pasif,
tetapi bentuk aktivisme estetik yang mengundang refleksi publik dan perlawanan
simbolik.
6.5.      
Alegori, Moralitas, dan
Kesadaran Politik
Alegori sosial-politik memiliki kekuatan etis yang
unik: ia tidak menggurui secara langsung, tetapi menggugah kesadaran moral
melalui simbol.¹⁹ Dalam hal ini, alegori mengembalikan politik pada dimensi
humanistik—pada kemampuan untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan
reflektif. Alegori memungkinkan masyarakat untuk membaca ulang realitas yang tampak
“normal,” mengungkap ketimpangan, dan memulihkan empati melalui
imajinasi simbolik.
Dengan demikian, alegori bukan hanya alat analisis
atau kritik, tetapi juga ruang etis untuk membangun kesadaran sosial. Di tengah
dunia yang sarat manipulasi informasi dan wacana kekuasaan, alegori menjadi
bahasa alternatif bagi kebenaran—bahasa yang berbicara dengan “cara lain,”
namun justru karena ketidaklangsungannya, ia mampu menembus dinding ideologi
dan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a
Symbolic Mode (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1964), 13–15.
[2]               
Aesop, Fables, trans. Olivia Temple and
Robert Temple (London: Penguin Classics, 1998), xv–xviii.
[3]               
Jonathan Swift, Gulliver’s Travels (London:
Penguin Classics, 1986), 5–9.
[4]               
George Orwell, Animal Farm (London: Secker
and Warburg, 1945), 3–5.
[5]               
Christopher Norris, Orwell and the Politics of
Truth (Oxford: Oxford University Press, 1984), 45–50.
[6]               
Chinua Achebe, Things Fall Apart (London:
Heinemann, 1958), 7–10; Ngũgĩ wa Thiong’o, A Grain of Wheat (London:
Heinemann, 1967), 3–7.
[7]               
Simon Gikandi, Reading the African Novel
(Portsmouth, NH: Heinemann, 1987), 22–26.
[8]               
Fredric Jameson, The Political Unconscious:
Narrative as a Socially Symbolic Act (Ithaca, NY: Cornell University Press,
1981), 20–23.
[9]               
Ibid., 35–40.
[10]            
Terry Eagleton, Criticism and Ideology: A Study
in Marxist Literary Theory (London: Verso, 1976), 67–69.
[11]            
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172.
[12]            
Susan Buck-Morss, The Dialectics of Seeing:
Walter Benjamin and the Arcades Project (Cambridge, MA: MIT Press, 1989),
78–81.
[13]            
Edward Said, Culture and Imperialism (New
York: Vintage Books, 1993), 70–75.
[14]            
Salman Rushdie, Midnight’s Children (London:
Jonathan Cape, 1981), 5–10.
[15]            
Aijaz Ahmad, In Theory: Classes, Nations,
Literatures (London: Verso, 1992), 97–101.
[16]            
Fredric Jameson, “Third-World Literature in the Era
of Multinational Capitalism,” Social Text 15 (1986): 69–70.
[17]            
Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to Cinema
(London: Channel 4 Productions, 2006), 12–15.
[18]            
Julian Stallabrass, Art Incorporated: The Story
of Contemporary Art (Oxford: Oxford University Press, 2004), 122–125.
[19]            
Susan Sontag, Against Interpretation and Other
Essays (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1966), 10–12.
7.          
Kritik
dan Tantangan terhadap Alegori
Meskipun alegori memiliki sejarah panjang dan
fungsi yang luas dalam ranah filsafat, sastra, dan seni, konsep ini tidak luput
dari kritik. Seiring perkembangan teori estetika modern dan postmodern, alegori
sering dipandang sebagai bentuk ekspresi yang kaku, dogmatis, dan terbatas
dalam menyampaikan kompleksitas pengalaman manusia. Kritik terhadap alegori
muncul dari berbagai sudut pandang—filsafat, sastra, semiotika, hingga teori
budaya—yang bersama-sama mempertanyakan relevansi, transparansi makna, dan
otonomi pembacanya.¹
7.1.      
Kritik Klasik: Alegori
sebagai Bentuk Didaktik dan Reduktif
Sejak masa pencerahan, alegori mulai dipandang
dengan kecurigaan karena dianggap mengekang kebebasan estetis dan imajinasi
pembaca. Samuel Taylor Coleridge, misalnya, membedakan secara tajam antara symbol
dan allegory. Menurutnya, simbol bersifat “organik” dan hidup,
sementara alegori bersifat “mekanis” karena hanya memindahkan makna
secara artifisial dari satu tataran ke tataran lain.² Alegori dianggap sebagai
alat pengajaran moral yang memaksa interpretasi tunggal, sehingga menghambat
keterbukaan makna dan spontanitas artistik.
Pandangan Coleridge ini kemudian berpengaruh luas
dalam estetika Romantik, yang menekankan keaslian ekspresi subjektif dan
imajinasi individual di atas representasi simbolik yang bersifat normatif.³
Dalam kerangka ini, alegori dikritik karena dianggap menempatkan bentuk di atas
pengalaman, serta lebih menekankan pesan moral daripada kekayaan emosional
karya seni.
7.2.      
Kritik Modern: Alegori dan
Otonomi Teks
Pada abad ke-20, kritik terhadap alegori mengambil
bentuk baru melalui teori strukturalisme dan formalisme. Para teoretikus
seperti Cleanth Brooks dan W.K. Wimsatt menolak pembacaan alegoris karena
dianggap mengabaikan otonomi teks.⁴ Mereka menekankan bahwa karya sastra harus
dibaca berdasarkan strukturnya sendiri—bunyi, ritme, dan bentuk—tanpa membebani
teks dengan makna eksternal atau ideologis. Dalam kerangka New Criticism,
alegori dianggap sebagai gangguan terhadap keutuhan organik teks, karena
memaksa pembaca untuk mencari makna di luar teks itu sendiri.⁵
Namun, kritik ini juga menuai sanggahan dari
pendekatan hermeneutik dan dekonstruktif yang melihat alegori justru sebagai
bentuk kesadaran terhadap keterbatasan bahasa. Paul de Man, misalnya, menolak
pandangan bahwa alegori bersifat statis. Ia berargumen bahwa alegori adalah “kesadaran
terhadap jarak antara bahasa dan makna,” dan dengan demikian, alegori
menyingkap hakikat refleksif dari setiap tindakan pembacaan.⁶ Dalam pandangan
ini, alegori tidak menutup makna, tetapi justru membuka ruang bagi tafsir yang
tak berkesudahan.
7.3.      
Alegori dan Krisis
Representasi
Kritik lain terhadap alegori muncul dari perspektif
post-strukturalis yang menyoroti krisis representasi dalam bahasa dan budaya.
Roland Barthes menolak pandangan bahwa teks memiliki makna tunggal atau tetap.
Ia menyatakan bahwa setiap teks adalah jaringan tanda yang melahirkan pluralitas
makna, bukan sistem tertutup seperti alegori klasik.⁷ Dengan demikian,
alegori dianggap gagal mengakomodasi kompleksitas semiotik modern karena masih
berpijak pada hubungan stabil antara tanda dan makna.
Jacques Derrida memperluas kritik ini melalui
konsep différance—bahwa makna selalu tertunda dan tidak pernah hadir
secara penuh.⁸ Dari sudut pandang ini, alegori tradisional (yang berusaha
menetapkan korelasi pasti antara bentuk dan makna tersembunyi) dianggap
bertentangan dengan sifat dasar bahasa yang cair dan tak terhingga. Alegori
modern, jika ingin bertahan, harus meninggalkan klaim akan makna final dan
menerima sifat ambigu dari representasi itu sendiri.⁹
7.4.      
Alegori dan Ideologi:
Kritik Marxis dan Poskolonial
Dari perspektif Marxis, alegori sering dianggap
berfungsi ganda: ia bisa menjadi alat kritik sosial, tetapi juga bisa menjadi
instrumen reproduksi ideologi. Theodor W. Adorno, dalam Aesthetic Theory,
memperingatkan bahwa alegori berpotensi menutupi kontradiksi sosial di balik
simbolisme moral yang indah.¹⁰ Ia melihat alegori sebagai bentuk estetika yang
mudah diperalat untuk menormalkan relasi kuasa.
Sementara itu, pemikir poskolonial seperti Homi K.
Bhabha dan Gayatri Spivak menyoroti bahwa alegori Barat sering memaksakan
struktur makna yang bersifat universal dan kolonial terhadap pengalaman
lokal.¹¹ Alegori kolonial, misalnya, menampilkan “Timur” sebagai citra
eksotis dan inferior yang hanya bermakna melalui oposisi terhadap “Barat.”¹²
Kritik ini menuntut pembacaan ulang terhadap alegori agar tidak lagi berfungsi
sebagai alat hegemoni, melainkan sebagai ruang perlawanan simbolik yang
mengakui keberagaman suara dan konteks budaya.
7.5.      
Tantangan Kontemporer:
Alegori di Era Digital dan Global
Dalam era digital dan globalisasi budaya, alegori
menghadapi tantangan baru dalam hal kecepatan, visualitas, dan fragmentasi
makna. Di dunia yang didominasi oleh gambar dan media sosial, bentuk komunikasi
alegoris menjadi semakin instan dan cair. Meme politik, seni jalanan, dan film
populer kini sering berfungsi sebagai alegori sosial yang menggabungkan humor,
kritik, dan refleksi etis dalam format visual yang mudah diakses.¹³ Namun,
kecepatan sirkulasi simbol-simbol ini juga menimbulkan risiko banalitas—di mana
makna alegoris kehilangan kedalaman reflektif dan berubah menjadi konsumsi
estetika semata.¹⁴
Selain itu, alegori di era global sering kali terjebak
dalam paradoks: ia berupaya menyingkap kebenaran universal, tetapi beroperasi
dalam konteks budaya yang sangat terfragmentasi. Tantangan utama alegori
kontemporer bukan lagi bagaimana ia menyembunyikan makna, melainkan bagaimana
ia tetap relevan di tengah pluralitas wacana dan percepatan informasi yang
mengancam kedalaman penafsiran.¹⁵
Rehabilitasi
Alegori: Dari Otoritas ke Dialog
Meskipun mendapat banyak kritik, sejumlah pemikir
kontemporer berusaha merehabilitasi alegori sebagai bentuk pemikiran kritis
yang relevan. Paul Ricoeur, misalnya, melihat alegori sebagai ekspresi simbolik
yang mengandung “kelebihan makna” (surplus of meaning)—sebuah
ruang di mana makna tidak ditentukan, melainkan dinegosiasikan.¹⁶ Sementara
itu, Walter Benjamin dan Susan Sontag memandang alegori modern sebagai bentuk
kesadaran historis dan etis yang merefleksikan keretakan dunia modern.¹⁷
Dengan demikian, alih-alih dianggap usang, alegori
dapat dipahami ulang sebagai modus hermeneutik yang menegaskan pluralitas
makna, keterbukaan interpretasi, dan refleksi kritis terhadap realitas sosial.
Tantangan bagi alegori modern bukan lagi mempertahankan struktur makna tunggal,
tetapi bagaimana menjadi ruang dialog antara teks, sejarah, dan pengalaman
manusia yang terus berubah.
Footnotes
[1]               
Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a
Symbolic Mode (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1964), 15–17.
[2]               
Samuel Taylor Coleridge, The Statesman’s Manual
(London: Gale & Fenner, 1816), 36–38.
[3]               
M.H. Abrams, The Mirror and the Lamp: Romantic
Theory and the Critical Tradition (Oxford: Oxford University Press, 1953),
42–45.
[4]               
Cleanth Brooks, The Well Wrought Urn: Studies in
the Structure of Poetry (New York: Harcourt, 1947), 21–24.
[5]               
W.K. Wimsatt dan Monroe C. Beardsley, “The
Intentional Fallacy,” The Sewanee Review 54, no. 3 (1946): 468–488.
[6]               
Paul de Man, “The Rhetoric of Temporality,” dalam Blindness
and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporary Criticism (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1983), 205–208.
[7]               
Roland Barthes, S/Z, trans. Richard Miller
(New York: Hill and Wang, 1974), 11–15.
[8]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
62–65.
[9]               
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and
Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982),
99–103.
[10]            
Theodor W. Adorno, Aesthetic Theory, trans.
Robert Hullot-Kentor (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 45–48.
[11]            
Homi K. Bhabha, The Location of Culture
(London: Routledge, 1994), 72–75.
[12]            
Edward Said, Orientalism (New York: Vintage
Books, 1978), 40–43.
[13]            
Limor Shifman, Memes in Digital Culture
(Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 9–11.
[14]            
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
12–14.
[15]            
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge:
Polity Press, 2000), 58–60.
[16]            
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 48–51.
[17]            
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 174–176; Susan Sontag, Against
Interpretation and Other Essays (New York: Farrar, Straus and Giroux,
1966), 10–12.
8.          
Sintesis
Filosofis dan Relevansi Kontemporer
Alegori, setelah melalui sejarah panjang dari dunia
klasik hingga postmodern, tidak lagi dapat dipahami hanya sebagai teknik
representasi estetika, tetapi sebagai modus epistemologis dan hermeneutik—yakni
cara manusia memahami dunia melalui simbol, perumpamaan, dan struktur naratif.
Ia merupakan titik temu antara bahasa, filsafat, dan pengalaman eksistensial,
yang merefleksikan upaya manusia menyingkap kebenaran yang tersembunyi di balik
fenomena.¹ Dalam konteks kontemporer, alegori mengalami transformasi dari
perangkat teologis dan moralistik menjadi medium refleksi filosofis, kritik
sosial, dan bahkan eksperimen estetika yang melampaui batas-batas disiplin.
8.1.      
Alegori sebagai Jembatan
antara Bahasa dan Kebenaran
Secara filosofis, alegori beroperasi di wilayah
perbatasan antara yang dikatakan dan yang dimaksudkan. Dalam
tradisi Plato hingga Heidegger, kebenaran tidak pernah hadir secara langsung,
melainkan selalu melalui penyingkapan (aletheia) yang bersifat tak
lengkap.² Dalam konteks ini, alegori berfungsi sebagai “bahasa kedua”—bahasa
yang tidak menyampaikan kebenaran secara proposisional, tetapi melalui citra,
simbol, dan narasi.³
Paul Ricoeur memandang alegori sebagai bentuk
refleksi hermeneutik atas bahasa simbolik: ia berbicara lebih banyak daripada
yang dapat dikatakan secara literal.⁴ Dalam alegori, makna tidak hanya diwakilkan
tetapi juga dihasilkan melalui proses penafsiran. Dengan demikian,
alegori memperluas kapasitas bahasa dalam mengartikulasikan dimensi makna yang
tak terjangkau oleh konsep logis, menjadikannya instrumen epistemologis yang
menghubungkan logos dan imajinasi.
Heidegger bahkan menegaskan bahwa puisi dan
simbol—dua bentuk alegoris utama—adalah “rumah bagi kebenaran Ada” (das
Sein).⁵ Melalui bahasa yang puitis dan alegoris, manusia menyingkap sesuatu
yang tersembunyi di dalam dunia keseharian yang terobjektifikasi. Alegori,
karenanya, tidak sekadar representasi, tetapi peristiwa kebenaran itu
sendiri: ia menyingkap apa yang sebelumnya tersembunyi dalam diam.
8.2.      
Alegori dan Dialektika
Makna: Dari Benjamin ke De Man
Walter Benjamin memperlihatkan bahwa alegori adalah
medan dialektis antara makna dan kehancuran.⁶ Bagi Benjamin, alegori modern
mencerminkan kesadaran historis akan keterpecahan dunia dan runtuhnya totalitas
makna. Namun justru dalam serpihan-serpihan makna itulah muncul peluang bagi
refleksi filosofis: alegori menjadi bentuk pensyairan kehancuran yang
mengubah puing menjadi simbol.⁷
Paul de Man kemudian memperluas pandangan ini
dengan menafsirkan alegori sebagai kesadaran terhadap temporalitas dan
keterbatasan bahasa.⁸ Alegori, baginya, bukanlah gaya retoris, melainkan modus
berpikir di mana bahasa menyadari ketidakmampuannya untuk menyamai realitas.
Dalam arti ini, alegori adalah refleksi atas ketidakhadiran makna yang
justru menjadi dasar dinamika pemahaman manusia. Ia bukan sarana penyingkapan
kebenaran absolut, melainkan ruang bagi permainan makna yang terus menunda
dirinya sendiri.
Sintesis filosofis dari dua pandangan ini
menunjukkan bahwa alegori bukan lagi sekadar medium ekspresi moral, tetapi cara
manusia mengolah jarak antara makna dan realitas. Alegori menjadi simbol dari
kesadaran reflektif modern—bahwa kebenaran tidak dapat dimiliki, melainkan
hanya dapat didekati melalui interpretasi yang terus berlanjut.
8.3.      
Alegori dalam Ruang
Hermeneutik Kontemporer
Dalam hermeneutika kontemporer, alegori dipahami sebagai
bentuk dialog antara teks, pembaca, dan konteks historis. Hans-Georg Gadamer
menyebut proses pemahaman ini sebagai fusi horizon (Horizontverschmelzung),
yaitu pertemuan antara dunia teks dan dunia pembaca yang menghasilkan makna
baru.⁹ Alegori, sebagai teks terbuka, menuntut keterlibatan aktif pembaca dalam
penciptaan makna.
Umberto Eco melanjutkan gagasan ini dengan
menyatakan bahwa alegori adalah bentuk teks “terbuka” (open work)
yang mengundang berbagai interpretasi tanpa kehilangan struktur dasarnya.¹⁰
Alegori dengan demikian menjadi ruang hermeneutik dinamis di mana makna selalu
dinegosiasikan kembali seiring perubahan sosial, budaya, dan ideologis.
Melalui perspektif ini, alegori menjadi model bagi
komunikasi manusia modern: sebuah bentuk yang mengakui pluralitas makna,
menghormati ambiguitas, dan menolak reduksionisme ideologis. Dalam dunia yang
semakin terfragmentasi oleh informasi dan citra visual, alegori menghadirkan
pengalaman interpretatif yang memperlambat pemahaman, memaksa kita untuk “mendengar
yang tak langsung dikatakan.”
8.4.      
Alegori sebagai Cermin Etis
dan Sosial
Dalam ranah etika dan sosial, alegori tetap relevan
sebagai sarana refleksi moral tanpa dogmatisme. Dengan tidak menggurui secara
langsung, alegori mendorong pembacanya untuk menafsirkan sendiri nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.¹¹ Berbeda dari retorika moralistik, alegori
memberi ruang bagi pembaca untuk berpartisipasi dalam penciptaan makna etis.
Dalam dunia yang dipenuhi wacana politik dan media
yang manipulatif, alegori menjadi bentuk “komunikasi etis tak langsung.”¹²
Ia dapat menyingkap ketimpangan sosial atau kekuasaan yang tersembunyi tanpa
harus bersifat propaganda. Karya seperti The Matrix atau Parasite
berfungsi sebagai alegori kontemporer yang membuka kesadaran terhadap struktur
dominasi dan keterasingan manusia dalam sistem global.¹³ Alegori dengan
demikian menempatkan seni dan filsafat dalam posisi tanggung jawab etis
terhadap dunia.
8.5.      
Alegori dan Relevansi
Interdisipliner
Dalam era digital dan globalisasi pengetahuan,
alegori menemukan kehidupan baru dalam berbagai disiplin: filsafat, sastra,
film, teologi, psikologi, hingga sains. Dalam psikoanalisis, misalnya, alegori
digunakan untuk memahami struktur bawah sadar dan simbol mimpi sebagai bentuk “narasi
batin.”¹⁴ Dalam ekoteologi dan filsafat lingkungan, alegori menjadi sarana
untuk mengartikulasikan hubungan antara manusia dan alam secara spiritual dan
etis, seperti tampak dalam karya-karya alegoris ekofeminisme.¹⁵
Di bidang teknologi dan media digital, alegori juga
hadir dalam bentuk baru—visual interaktif, game naratif, dan sinema
posthumanis—yang mengungkap pertanyaan etis seputar kesadaran buatan, identitas
virtual, dan makna keberadaan.¹⁶ Alegori kini bukan sekadar teks, melainkan
pengalaman multidimensi yang menggabungkan simbol, simulasi, dan interaktivitas
dalam pembentukan makna.
8.6.      
Alegori sebagai Jalan Filsafat
Terbuka
Alegori, dalam sintesis akhirnya, dapat dipahami
sebagai jalan terbuka menuju kebijaksanaan reflektif (sapientia
hermeneutica). Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak hadir dalam bentuk
proposisi tetap, melainkan melalui dialog antara makna, waktu, dan pengalaman
manusia.¹⁷ Alegori mengajarkan kesabaran intelektual—bahwa memahami berarti
menafsir, dan menafsir berarti berpartisipasi dalam proses pencarian yang tak
pernah selesai.
Dengan demikian, alegori bukan warisan masa lampau
yang harus ditinggalkan, melainkan bahasa reflektif yang terus diperbarui. Ia
hidup di dalam seni, filsafat, dan kehidupan sehari-hari sebagai bentuk
kesadaran simbolik manusia terhadap dunia yang selalu penuh rahasia. Alegori
kontemporer, pada akhirnya, bukan sekadar tentang “mewakili makna,”
tetapi tentang menemukan kembali kemungkinan berpikir dan merasakan secara
manusiawi di tengah dunia yang semakin terotomatisasi dan tereduksi oleh
literalitas.
Footnotes
[1]               
Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a
Symbolic Mode (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1964), 21–23.
[2]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
258–261.
[3]               
Ernst Cassirer, Language and Myth, trans.
Susanne K. Langer (New York: Dover Publications, 1946), 34–36.
[4]               
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans.
Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 10–14.
[5]               
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought,
trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193–197.
[6]               
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172.
[7]               
Susan Buck-Morss, The Dialectics of Seeing:
Walter Benjamin and the Arcades Project (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 72–75.
[8]               
Paul de Man, “The Rhetoric of Temporality,” dalam Blindness
and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporary Criticism (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1983), 205–209.
[9]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
1994), 269–273.
[10]            
Umberto Eco, The Open Work, trans. Anna
Cancogni (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 3–5.
[11]            
M.H. Abrams dan Geoffrey Galt Harpham, A
Glossary of Literary Terms, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015),
9–10.
[12]            
Susan Sontag, Against Interpretation and Other
Essays (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1966), 10–12.
[13]            
Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to Cinema
(London: Channel 4 Productions, 2006), 22–25.
[14]            
Carl G. Jung, Man and His Symbols (New York:
Doubleday, 1964), 81–84.
[15]            
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 270–273.
[16]            
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman:
Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago:
University of Chicago Press, 1999), 45–49.
[17]            
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 57–60.
9.          
Kesimpulan
Sepanjang sejarah pemikiran manusia, alegori telah
memainkan peran fundamental sebagai medium antara bahasa dan kebenaran, antara
bentuk dan makna. Ia bukan sekadar gaya sastra atau alat retoris, melainkan
sebuah modus eksistensial dan filsafat simbolik yang memungkinkan
manusia memahami dunia melalui lapisan-lapisan tanda dan makna tersembunyi.¹
Melalui perjalanan historisnya dari Plato hingga hermeneutika kontemporer,
alegori senantiasa berfungsi sebagai jembatan antara yang empiris dan yang
transenden, yang literal dan yang rohaniah, yang tampak dan yang tersembunyi.
Alegori dalam filsafat klasik berawal sebagai jalan
menuju pengetahuan metafisis, seperti tampak dalam “Alegori Gua” Plato
yang menggambarkan transendensi jiwa dari bayangan menuju terang kebenaran.²
Dalam Abad Pertengahan, alegori menjadi wahana spiritual dan moral, sedangkan
dalam modernitas, ia menjelma menjadi instrumen kritik terhadap bahasa,
sejarah, dan kekuasaan.³ Walter Benjamin menyebut alegori sebagai bentuk
kesadaran modern yang menyadari keterpecahan dunia, sementara Paul Ricoeur
melihatnya sebagai bentuk simbolik yang mengandung surplus of meaning—kelebihan
makna yang tidak pernah habis ditafsirkan.⁴
Dari perspektif hermeneutik, alegori mengajarkan
bahwa pemahaman tidak pernah bersifat final. Hans-Georg Gadamer menegaskan
bahwa setiap pembacaan alegoris adalah peristiwa dialogis antara teks dan
pembaca, di mana makna selalu diperbarui oleh konteks historis.⁵ Dengan
demikian, alegori bukanlah sistem tertutup, melainkan medan terbuka tempat
pemahaman manusia tumbuh dan berinteraksi dengan tradisi serta horizon baru
makna.
Dalam konteks sastra dan seni, alegori
memperlihatkan kemampuan luar biasa untuk menggabungkan keindahan estetis
dengan kedalaman moral dan refleksi sosial. Karya-karya seperti The Divine
Comedy, The Pilgrim’s Progress, Animal Farm, hingga The
Matrix menunjukkan bahwa alegori mampu melintasi zaman dan medium,
beradaptasi dengan perubahan budaya tanpa kehilangan kekuatan filosofisnya.⁶
Alegori menjadi wadah bagi imajinasi kolektif manusia untuk mengekspresikan
nilai-nilai, ketakutan, dan harapannya dalam bentuk yang simbolik namun
universal.
Sementara itu, dalam dimensi sosial dan politik,
alegori telah berfungsi sebagai bahasa kritik terselubung terhadap
struktur kekuasaan dan ideologi.⁷ Ia memberikan ruang bagi perlawanan simbolik,
terutama dalam konteks di mana kebebasan berekspresi dibatasi. Alegori tidak
hanya mengungkapkan kondisi sosial, tetapi juga menantang struktur hegemoni
dengan cara yang subtil dan reflektif. Hal ini menunjukkan relevansinya yang
abadi sebagai bentuk komunikasi etis di tengah dunia yang penuh manipulasi
wacana.
Namun demikian, alegori juga menghadapi tantangan
serius dalam dunia modern dan digital. Kritik dari Coleridge, Derrida, hingga
Barthes menyoroti bahaya alegori yang terlalu mengikat makna dan menutup ruang
interpretasi.⁸ Akan tetapi, reinterpretasi kontemporer justru memulihkan
alegori sebagai bentuk berpikir reflektif yang terbuka, dialogis, dan kritis
terhadap bahasa serta representasi. Dalam hal ini, alegori tidak mati, tetapi
berevolusi—menjadi bentuk kesadaran simbolik yang menyesuaikan diri dengan
kebutuhan zaman.
Secara filosofis, alegori tetap relevan karena ia
mengajarkan kerendahan epistemologis: kesadaran bahwa kebenaran tidak
pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu menyingkapkan diri secara parsial.⁹
Alegori mengingatkan manusia bahwa setiap bahasa adalah upaya mendekati yang
tak terkatakan, dan setiap tafsir adalah perjalanan menuju pemahaman yang lebih
luas. Melalui alegori, manusia belajar bahwa makna bukanlah sesuatu yang
ditemukan sekali untuk selamanya, tetapi sesuatu yang dihidupi, ditafsirkan,
dan diciptakan kembali dalam setiap konteks historis.
Dengan demikian, alegori bukan sekadar warisan
literer, tetapi warisan intelektual dan spiritual. Ia menyatukan rasio dan
imajinasi, sejarah dan refleksi, estetika dan etika. Dalam dunia yang serba
cepat dan dangkal, alegori menawarkan kedalaman berpikir—mengajak
manusia untuk berhenti sejenak, membaca di antara baris-baris, dan menyadari
bahwa di balik setiap tanda, selalu tersembunyi dunia yang menunggu untuk
diungkap.¹⁰ Alegori, pada akhirnya, bukan hanya seni menafsirkan simbol,
melainkan seni menemukan makna dalam ketakterhinggaan.
Footnotes
[1]               
Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a
Symbolic Mode (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1964), 21–23.
[2]               
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 196–200.
[3]               
Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy,
Vol. II: Plato and Aristotle (Albany: SUNY Press, 1987), 125–130.
[4]               
Walter Benjamin, The Origin of German Tragic
Drama, trans. John Osborne (London: Verso, 1998), 166–172; Paul Ricoeur, Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian
University Press, 1976), 48–51.
[5]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
1994), 269–273.
[6]               
Dante Alighieri, The Divine Comedy, trans.
Allen Mandelbaum (New York: Bantam Classics, 1982), 12–15; John Bunyan, The
Pilgrim’s Progress (London: Penguin Classics, 1987), xvii–xix; George
Orwell, Animal Farm (London: Secker and Warburg, 1945), 3–5.
[7]               
Fredric Jameson, The Political Unconscious:
Narrative as a Socially Symbolic Act (Ithaca, NY: Cornell University Press,
1981), 20–23.
[8]               
Samuel Taylor Coleridge, The Statesman’s Manual
(London: Gale & Fenner, 1816), 36–38; Jacques Derrida, Of Grammatology,
trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
1976), 62–65; Roland Barthes, S/Z, trans. Richard Miller (New York: Hill
and Wang, 1974), 11–15.
[9]               
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought,
trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193–197.
[10]            
Susan Sontag, Against Interpretation and Other
Essays (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1966), 10–12.
Daftar Pustaka 
Achebe, C. (1958). Things fall apart.
Heinemann.
Ades, D. (1995). Dalí and surrealism. Thames
& Hudson.
Adorno, T. W. (1997). Aesthetic theory (R.
Hullot-Kentor, Trans.). University of Minnesota Press.
Ahmad, A. (1992). In theory: Classes, nations,
literatures. Verso.
Aesop. (1998). Fables (O. Temple & R.
Temple, Trans.). Penguin Classics.
Alighieri, D. (1982). The divine comedy (A.
Mandelbaum, Trans.). Bantam Classics.
Aristotle. (1961). Poetics (S. H. Butcher,
Trans.). Hill and Wang.
Augustine. (1958). On Christian doctrine (D.
W. Robertson Jr., Trans.). Bobbs-Merrill.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity
Press.
Barthes, R. (1974). S/Z (R. Miller, Trans.).
Hill and Wang.
Barthes, R. (1977). Image—music—text (S.
Heath, Trans.). Hill and Wang.
Benjamin, W. (1998). The origin of German tragic
drama (J. Osborne, Trans.). Verso.
Bhabha, H. K. (1994). The location of culture.
Routledge.
Blake, W. (1970). The marriage of heaven and
hell (G. Keynes, Ed.). Oxford University Press.
Brooks, C. (1947). The well wrought urn: Studies
in the structure of poetry. Harcourt.
Buck-Morss, S. (1989). The dialectics of seeing:
Walter Benjamin and the Arcades Project. MIT Press.
Bunyan, J. (1987). The pilgrim’s progress.
Penguin Classics.
Cassirer, E. (1946). Language and myth (S.
K. Langer, Trans.). Dover Publications.
Coleridge, S. T. (1816). The statesman’s manual.
Gale & Fenner.
Culler, J. (1975). Structuralist poetics:
Structuralism, linguistics, and the study of literature. Routledge.
Culler, J. (1982). On deconstruction: Theory and
criticism after structuralism. Cornell University Press.
Dante, A. (1982). The divine comedy (A.
Mandelbaum, Trans.). Bantam Classics.
De Man, P. (1983). The rhetoric of temporality. In Blindness
and insight: Essays in the rhetoric of contemporary criticism (pp.
187–228). University of Minnesota Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dilthey, W. (1996). Selected works, Vol. IV:
Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.).
Princeton University Press.
Eco, U. (1979). The role of the reader:
Explorations in the semiotics of texts. Indiana University Press.
Eco, U. (1989). The open work (A. Cancogni,
Trans.). Harvard University Press.
Eagleton, T. (1976). Criticism and ideology: A
study in Marxist literary theory. Verso.
Fletcher, A. (1964). Allegory: The theory of a
symbolic mode. Cornell University Press.
Frye, N. (1957). Anatomy of criticism: Four
essays. Princeton University Press.
Gadamer, H.-G. (1994). Truth and method (2nd
rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Gikandi, S. (1987). Reading the African novel.
Heinemann.
Hayles, N. K. (1999). How we became posthuman:
Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of
Chicago Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1971). Poetry, language, thought
(A. Hofstadter, Trans.). Harper & Row.
Jameson, F. (1981). The political unconscious:
Narrative as a socially symbolic act. Cornell University Press.
Jameson, F. (1986). Third-world literature in the
era of multinational capitalism. Social Text, 15, 65–88.
Jung, C. G. (1964). Man and his symbols.
Doubleday.
Kafka, F. (1998). The trial (B. Mitchell,
Trans.). Schocken Books.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.
Melville, H. (1988). Moby-Dick. Penguin
Classics.
Ngũgĩ wa Thiong’o. (1967). A grain of wheat.
Heinemann.
Norris, C. (1984). Orwell and the politics of
truth. Oxford University Press.
Nussbaum, M. (1986). The fragility of goodness:
Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge University
Press.
Orwell, G. (1945). Animal farm. Secker and
Warburg.
Origen. (1973). On first principles (G. W.
Butterworth, Trans.). Peter Smith.
Panofsky, E. (1962). Studies in iconology:
Humanistic themes in the art of the Renaissance. Harper & Row.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Northwestern University Press.
Philo of Alexandria. (1932). Allegorical
interpretations of Genesis 2 and 3 (F. H. Colson, Trans.). Harvard
University Press.
Plato. (1991). The Republic (A. Bloom,
Trans.). Basic Books.
Prudentius. (1949). Psychomachia (H. J.
Thomson, Trans.). Harvard University Press.
Reale, G. (1985). A history of ancient
philosophy, Vol. I: From the origins to Socrates. SUNY Press.
Reale, G. (1987). A history of ancient
philosophy, Vol. II: Plato and Aristotle. SUNY Press.
Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil
(E. Buchanan, Trans.). Beacon Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Rubens, P. P. (1629). The allegory of peace and
war [Painting]. The National Gallery, London.
Rushdie, S. (1981). Midnight’s children.
Jonathan Cape.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Vintage
Books.
Said, E. W. (1993). Culture and imperialism.
Vintage Books.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and
criticism (A. Bowie, Trans.). Cambridge University Press.
Shifman, L. (2014). Memes in digital culture.
MIT Press.
Singleton, C. S. (1958). Dante studies, Vol. 2:
Journey to Beatrice. Harvard University Press.
Sontag, S. (1966). Against interpretation and
other essays. Farrar, Straus and Giroux.
Spenser, E. (1987). The Faerie Queene (T. P.
Roche, Ed.). Penguin Classics.
Stallabrass, J. (2004). Art incorporated: The
story of contemporary art. Oxford University Press.
Swift, J. (1986). Gulliver’s travels.
Penguin Classics.
Theodor, A. W. (1997). Aesthetic theory (R.
Hullot-Kentor, Trans.). University of Minnesota Press.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Brothers.
Whitman, J. (1987). Allegory: The dynamics of an
ancient and medieval technique. Clarendon Press.
Wimsatt, W. K., & Beardsley, M. C. (1946). The
intentional fallacy. The Sewanee Review, 54(3), 468–488.
Žižek, S. (2006). The pervert’s guide to cinema
[Film]. Channel 4 Productions.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar