Kamis, 23 Oktober 2025

Kosmologi Filosofis: Asal, Struktur, dan Makna Semesta dalam Perspektif Filsafat

Kosmologi Filosofis

Asal, Struktur, dan Makna Semesta dalam Perspektif Filsafat


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif kosmologi filosofis sebagai bidang refleksi yang berupaya memahami asal-usul, struktur, dan makna alam semesta melalui pendekatan rasional, metafisik, dan etis. Kajian ini menelusuri perkembangan historis kosmologi dari mitos kuno hingga pemikiran kontemporer, menunjukkan bahwa pemahaman manusia tentang kosmos selalu bertransformasi sesuai dengan paradigma intelektual dan spiritual zamannya. Secara ontologis, kosmos dipahami bukan sekadar sebagai tatanan material, tetapi sebagai realitas rasional dan sakral yang mencerminkan kesatuan universal. Secara epistemologis, kosmologi filosofis menggabungkan antara rasionalitas ilmiah dan kesadaran reflektif, menegaskan bahwa pengetahuan tentang alam bersifat partisipatif—manusia tidak hanya mengamati, tetapi juga terlibat dalam proses pemaknaan kosmos.

Dari segi aksiologi, artikel ini menegaskan bahwa kesadaran akan keteraturan kosmik melahirkan etika kosmologis yang menuntun manusia untuk hidup dalam harmoni dengan alam, menghormati kehidupan, dan mengembangkan tanggung jawab ekologis. Kritik dari positivisme, postmodernisme, teologi, dan eksistensialisme diulas untuk memperlihatkan dinamika serta keterbukaan filsafat kosmos terhadap koreksi metodologis dan nilai-nilai baru. Pada akhirnya, melalui pendekatan sintesis, kosmologi filosofis disajikan sebagai kerangka integral yang menyatukan ilmu pengetahuan, filsafat, dan spiritualitas dalam pandangan dunia yang holistik. Pandangan ini menegaskan relevansi kosmologi filosofis bagi peradaban modern—sebagai jembatan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara kemajuan teknologi dan tanggung jawab moral, serta antara manusia dan alam semesta.

Kata Kunci: Kosmologi filosofis, ontologi kosmos, epistemologi kosmologis, etika kosmik, kesadaran ekologis, spiritualitas universal, kesatuan realitas.


PEMBAHASAN

Bagaimana Filsafat Memahami Kosmos secara Rasional dan Ontologis?


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang asal-usul dan struktur semesta merupakan salah satu bentuk keingintahuan paling mendasar dalam sejarah kesadaran manusia. Sejak zaman purba, manusia memandang langit dengan rasa kagum dan misteri, berusaha menafsirkan keteraturan bintang, gerak planet, serta dinamika siang dan malam sebagai tanda-tanda dari suatu tatanan kosmik yang rasional atau ilahi. Dalam konteks ini, kosmologi filosofis muncul sebagai cabang refleksi yang tidak hanya menanyakan bagaimana alam semesta bekerja—seperti halnya ilmu pengetahuan modern—tetapi juga mengapa ia ada, apa maknanya, dan bagaimana posisi manusia di dalam keseluruhan realitas tersebut. Dengan demikian, kosmologi filosofis menempati ruang antara metafisika, epistemologi, dan aksiologi, mengintegrasikan penjelasan rasional tentang struktur kosmos dengan pemaknaan eksistensial dan etis terhadap keberadaan manusia di dalamnya.¹

Dalam sejarah pemikiran, gagasan tentang kosmos selalu mencerminkan cara manusia memahami dirinya dan tempatnya di dunia. Dalam tradisi Yunani kuno, istilah kosmos (κόσμος) berarti “tatanan” atau “keindahan,” menandakan keyakinan bahwa alam semesta merupakan suatu keseluruhan yang harmonis dan rasional.² Thales dari Miletos, misalnya, melihat bahwa segala sesuatu berasal dari prinsip tunggal (archē), yaitu air, yang menjadi dasar keteraturan semesta.³ Pandangan ini menandai transisi dari penjelasan mitologis menuju pemikiran rasional. Kemudian, Plato dalam Timaeus menyusun visi kosmos sebagai ciptaan Demiurgos yang membentuk materi kacau menjadi tatanan harmonis berdasarkan ide-ide abadi.⁴ Aristoteles melanjutkan gagasan ini dengan konsep kosmos tertutup, di mana setiap benda memiliki tempat dan tujuan alami dalam sistem hierarkis yang sempurna.⁵

Namun, transformasi besar terjadi pada masa modern ketika Copernicus, Galileo, dan Newton memecah paradigma Aristotelian. Alam tidak lagi dilihat sebagai organisme yang hidup, melainkan sebagai mesin yang tunduk pada hukum-hukum matematis universal.⁶ Perubahan ini melahirkan kosmologi mekanistik, yang menekankan keteraturan kausal namun mengabaikan dimensi makna dan tujuan. Filsafat kemudian berhadapan dengan pertanyaan baru: jika alam hanyalah mekanisme tanpa arah, di manakah tempat manusia, dan apakah masih ada ruang bagi nilai-nilai metafisik atau spiritual? Pertanyaan ini menjadi inti dari kosmologi filosofis modern, yang berusaha menyeimbangkan antara pengetahuan ilmiah dan refleksi maknawi.⁷

Di abad ke-20 dan ke-21, kemajuan kosmologi fisika—seperti teori relativitas umum, model Big Bang, dan fisika kuantum—mengubah pemahaman kita tentang waktu, ruang, dan asal-usul semesta.⁸ Namun di balik keberhasilan ilmiah ini, tetap tersisa problem filosofis yang mendalam: apakah semesta memiliki permulaan absolut? Apakah hukum-hukum alam muncul begitu saja atau menunjukkan rasionalitas yang mendasari realitas? Apakah keberadaan manusia hanyalah kebetulan kosmik atau bagian dari rancangan yang lebih luas?⁹ Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pusat perhatian kosmologi filosofis kontemporer, yang menggabungkan refleksi ilmiah, metafisik, dan spiritual dalam kerangka yang lebih holistik.

Secara metodologis, pembahasan kosmologi filosofis tidak dapat dilepaskan dari pendekatan interdisipliner: ia menuntut sintesis antara sains empiris, logika rasional, hermeneutika makna, dan intuisi metafisik. Kosmologi filosofis juga mengandung dimensi aksiologis, sebab pemahaman tentang kosmos menentukan cara manusia memperlakukan alam dan sesamanya. Dengan melihat alam sebagai sistem yang memiliki keteraturan dan nilai intrinsik, manusia terdorong untuk mengembangkan etika kosmik—yakni kesadaran moral yang berpijak pada kesatuan seluruh makhluk.¹⁰

Oleh karena itu, bagian pendahuluan ini menjadi dasar untuk memahami kosmologi bukan semata sebagai disiplin spekulatif, melainkan sebagai usaha manusia memahami dirinya dalam horizon semesta. Ia menegaskan bahwa filsafat tidak berhenti pada abstraksi, tetapi berakar pada kekaguman terhadap realitas dan keinginan untuk menemukan tempat manusia di dalam tatanan universal yang tak terbatas.¹¹ Kosmologi filosofis dengan demikian berperan sebagai jembatan antara pengetahuan ilmiah dan pemaknaan eksistensial, antara keteraturan rasional dan misteri yang melampaui rasio.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (London: Burns Oates, 1946), 32–33.

[2]                Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 5.

[3]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 45.

[4]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 29a–47e.

[5]                Aristotle, De Caelo, trans. J. L. Stocks (Oxford: Clarendon Press, 1922), II.12.

[6]                Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 15–20.

[7]                Immanuel Kant, Universal Natural History and Theory of the Heavens, trans. Stanley L. Jaki (Edinburgh: Scottish Academic Press, 1981), 7.

[8]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 34–36.

[9]                Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 12–14.

[10]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 68–70.

[11]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 4–6.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Kosmologi

Perkembangan kosmologi filosofis merupakan hasil dari proses panjang evolusi intelektual manusia dalam memahami realitas semesta. Ia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan tumbuh melalui pergulatan antara mitos, rasio, dan pengalaman empiris yang membentuk cara manusia memaknai dunia. Secara historis, perjalanan ini dapat dibagi ke dalam beberapa tahap utama—yakni kosmologi mitologis, kosmologi pra-Sokratik, kosmologi klasik dan skolastik, kosmologi modern, dan kosmologi kontemporer—yang masing-masing menandai transformasi mendasar dalam cara berpikir tentang alam semesta.¹

2.1.       Kosmologi Mitologis: Asal-usul Sakral Semesta

Pada tahap awal peradaban manusia, kosmos dipahami melalui narasi mitologis. Dalam pandangan ini, alam semesta tidak dijelaskan berdasarkan hukum-hukum alam, melainkan melalui kisah-kisah sakral tentang dewa-dewi yang menciptakan dan mengatur tatanan dunia. Mitos-mitos seperti Enuma Elish di Mesopotamia, Rig Veda di India, dan kisah penciptaan Mesir Kuno memperlihatkan bahwa kosmos dipandang sebagai perwujudan kehendak ilahi yang mengalahkan kekacauan (chaos) untuk menegakkan keteraturan (cosmos).²

Dalam konteks Yunani awal, Hesiod dalam Theogonia menuturkan bahwa dunia lahir dari Chaos yang kemudian menurunkan Gaia (Bumi), Uranus (Langit), dan generasi dewa-dewi yang mengatur tatanan semesta.³ Kosmologi mitologis seperti ini mengandung nilai simbolik yang mendalam: ia menafsirkan keteraturan alam sebagai refleksi dari tatanan moral dan spiritual. Walau belum bersifat rasional, mitologi menjadi langkah awal bagi munculnya kesadaran kosmik yang akan dikembangkan lebih jauh oleh filsafat.⁴

2.2.       Kosmologi Pra-Sokratik: Rasionalisasi Alam

Peralihan dari mitos ke rasio terjadi di Yunani abad ke-6 SM, ketika para filsuf pra-Sokratik mulai mencari archē (prinsip pertama) yang menjelaskan asal-usul segala sesuatu secara rasional. Thales dari Miletos berpendapat bahwa air adalah dasar segala realitas karena memiliki sifat hidup dan perubahan.⁵ Anaximandros mengusulkan konsep apeiron (yang tak terbatas) sebagai prinsip asal yang mendahului segala bentuk.⁶ Sementara itu, Herakleitos melihat api sebagai simbol perubahan abadi dan logos sebagai rasionalitas yang menjiwai tatanan semesta.⁷

Puncak dari tahap ini terdapat pada Pythagoras dan Parmenides. Pythagoras menekankan harmoni matematis sebagai dasar realitas, menandakan kesadaran bahwa alam tunduk pada proporsi rasional.⁸ Parmenides, sebaliknya, menolak perubahan dan menegaskan bahwa “yang ada” adalah tunggal, kekal, dan tak berubah—pandangan yang kelak memengaruhi metafisika Plato.⁹ Melalui pemikiran pra-Sokratik inilah kosmologi mulai bertransformasi menjadi disiplin rasional yang mencari keteraturan logis di balik fenomena alam.

2.3.       Kosmologi Klasik dan Skolastik: Sintesis Metafisis dan Teologis

Plato dan Aristoteles menjadi dua figur utama yang meletakkan dasar bagi kosmologi filosofis klasik. Dalam Timaeus, Plato menggambarkan dunia sebagai hasil karya Demiurgos, sang pengrajin ilahi yang membentuk materi dari kekacauan menjadi tatanan harmonis berdasarkan ide-ide abadi.¹⁰ Kosmos bagi Plato merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa, sebuah pandangan yang menegaskan kesatuan antara rasio, keindahan, dan spiritualitas.

Aristoteles, dalam De Caelo, menolak ide penciptaan temporal dan mengajukan konsep kosmos abadi, di mana bumi menjadi pusat semesta dan setiap benda bergerak sesuai dengan tujuan alaminya (telos).¹¹ Konsep keteraturan hierarkis Aristoteles kemudian diadopsi dan disintesiskan oleh para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas, yang menafsirkan kosmos sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki rasionalitas internal sesuai hukum ilahi.¹² Kosmologi skolastik dengan demikian mempertemukan metafisika Aristotelian dan teologi Kristiani dalam satu sistem kosmos yang teratur dan bermakna.

2.4.       Kosmologi Modern: Mekanistik dan Ilmiah

Revolusi ilmiah abad ke-16 hingga ke-17 mengubah paradigma kosmologis secara radikal. Nicolaus Copernicus dengan teori heliosentrisnya menggantikan posisi bumi sebagai pusat alam semesta. Galileo Galilei melalui observasi teleskopik menegaskan bahwa langit tunduk pada hukum yang sama dengan bumi.¹³ Isaac Newton kemudian memformulasikan hukum gravitasi universal, yang memandang kosmos sebagai mesin raksasa yang tunduk pada hukum matematis deterministik.¹⁴

Kosmologi modern ini memisahkan dunia fisik dari makna metafisiknya. Alam tidak lagi dilihat sebagai organisme hidup, melainkan sebagai sistem mekanik tanpa tujuan intrinsik.¹⁵ Meskipun hal ini menandai kemajuan luar biasa dalam sains, ia juga melahirkan krisis filosofis—hilangnya dimensi nilai, tujuan, dan spiritualitas dalam pandangan dunia modern.¹⁶

2.5.       Kosmologi Kontemporer: Sintesis Sains dan Filsafat

Abad ke-20 membawa kebangkitan baru dalam refleksi kosmologis. Teori relativitas umum Einstein menunjukkan bahwa ruang dan waktu bersifat dinamis, sementara model Big Bang menegaskan bahwa alam semesta memiliki awal temporal.¹⁷ Mekanika kuantum menyingkap realitas yang tidak deterministik, di mana probabilitas dan pengamat memainkan peran penting dalam struktur kosmos.

Pemikiran ini menginspirasi para filsuf dan ilmuwan seperti Alfred North Whitehead dengan filsafat prosesnya, yang memandang realitas sebagai jaringan peristiwa yang saling berhubungan.¹⁸ Fritjof Capra, melalui The Tao of Physics, mencoba menjembatani pandangan ilmiah modern dengan kebijaksanaan Timur, menegaskan bahwa kosmos adalah kesatuan dinamis yang memadukan materi, energi, dan kesadaran.¹⁹ Kosmologi kontemporer dengan demikian berupaya merehabilitasi kembali dimensi makna dan spiritualitas dalam penjelasan ilmiah tentang alam.


Dengan menelusuri genealoginya, dapat disimpulkan bahwa kosmologi filosofis merupakan hasil evolusi kesadaran manusia tentang kosmos—dari mitos ke rasio, dari mekanistik ke holistik. Setiap tahap sejarahnya memperlihatkan upaya manusia untuk memahami tatanan semesta secara lebih mendalam, bukan hanya dalam aspek fisiknya, tetapi juga dalam konteks eksistensial dan etis.²⁰


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (London: Burns Oates, 1946), 31–35.

[2]                Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religion (New York: Sheed & Ward, 1958), 45–47.

[3]                Hesiod, Theogony, trans. Hugh G. Evelyn-White (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914), 116–125.

[4]                Karen Armstrong, A Short History of Myth (Edinburgh: Canongate, 2005), 23–26.

[5]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 47.

[6]                Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 86.

[7]                Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), 12.

[8]                Philip Wheelwright, The Presocratics (New York: Odyssey Press, 1966), 67–69.

[9]                G. S. Kirk, J. E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 242.

[10]             Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 29a–47e.

[11]             Aristotle, De Caelo, trans. J. L. Stocks (Oxford: Clarendon Press, 1922), II.12.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 47, a. 2.

[13]             Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1953), 87–89.

[14]             Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (London: Royal Society, 1687), Book III.

[15]             Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 42–45.

[16]             René Guénon, The Reign of Quantity and the Signs of the Times (New York: Sophia Perennis, 2001), 67–68.

[17]             Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 34–36.

[18]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 11–12.

[19]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 80–85.

[20]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 6–8.


3.           Ontologi Kosmos: Struktur, Substansi, dan Keteraturan

Pembahasan tentang ontologi kosmos menyangkut pertanyaan paling mendasar mengenai hakikat keberadaan alam semesta—apa yang membuatnya ada, bagaimana strukturnya tersusun, dan apakah di balik keragaman fenomenanya terdapat kesatuan yang mendasarinya. Sejak awal sejarah filsafat, para pemikir berupaya menjawab apakah kosmos bersifat material, spiritual, atau keduanya; apakah keteraturannya muncul secara kebetulan atau merupakan ekspresi dari rasionalitas transenden.¹ Pertanyaan ini bukan sekadar metafisik, melainkan menyentuh inti kesadaran manusia sebagai bagian dari keseluruhan realitas yang teratur.

3.1.       Hakikat Realitas Kosmos: Materialisme, Dualisme, dan Hilemorfisme

Dalam sejarah filsafat, terdapat beragam pandangan mengenai substansi dasar kosmos. Kaum materialis seperti Demokritos dan Epikuros mengajukan bahwa realitas tersusun atas atom-atom yang bergerak dalam kehampaan, tanpa tujuan maupun prinsip rohani.² Pandangan ini menjadi cikal bakal ontologi mekanistik modern yang menafsirkan alam sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum kausalitas fisik.³

Sebaliknya, idealisme metafisis—yang dirintis oleh Plato—menegaskan bahwa dunia indrawi hanyalah bayangan dari dunia ide yang abadi dan sempurna.⁴ Bagi Plato, tatanan kosmos bersumber dari rasio ilahi yang mengatur bentuk-bentuk ideal. Aristoteles kemudian mengoreksi pandangan ini dengan teori hilemorfisme, yakni bahwa setiap benda tersusun dari materi (hyle) dan bentuk (morphe).⁵ Dalam sistemnya, alam tidak hanya terdiri dari unsur fisik, melainkan juga dari prinsip formal yang mengarahkan materi pada aktualitasnya. Dengan demikian, keteraturan kosmos bersifat imanen dan teleologis, bukan semata hasil kebetulan.⁶

Dalam pemikiran Skolastik, khususnya pada Thomas Aquinas, struktur ontologis ini memperoleh dimensi teologis: materi dan bentuk berada dalam ketergantungan ontologis pada Tuhan sebagai actus purus, sumber keberadaan segala sesuatu.⁷ Dengan cara ini, kosmos dipahami sebagai ciptaan yang sekaligus rasional dan sakral, di mana setiap entitas memiliki tempatnya dalam hierarki wujud yang mengalir dari Keberadaan Mutlak menuju realitas partikular.⁸

3.2.       Prinsip Kesatuan dan Keteraturan Kosmos

Pertanyaan berikutnya menyangkut bagaimana keteraturan dan kesatuan dapat muncul dari keragaman fenomena alam. Dalam tradisi Yunani, konsep logos menjadi kunci bagi pemahaman tentang tatanan kosmos. Herakleitos memandang logos sebagai prinsip rasional universal yang menata perubahan dan konflik menjadi harmoni.⁹ Bagi para Stoa, logos spermatikos adalah benih rasional yang menjiwai seluruh realitas, menjadikan dunia sebagai organisme hidup yang saling berhubungan.¹⁰

Aristoteles memperkuat gagasan keteraturan dengan menjelaskan bahwa setiap gerak di alam bertujuan menuju telos tertentu—suatu bentuk finalitas yang menunjukkan bahwa kosmos bersifat rasional.¹¹ Konsep ini kemudian diteruskan oleh para teolog Kristen yang melihat keteraturan alam sebagai bukti adanya Pencipta yang rasional.¹²

Dalam filsafat modern, keteraturan kosmos sering dijelaskan melalui hukum-hukum alam yang tetap dan dapat diprediksi. Isaac Newton, misalnya, menganggap alam sebagai mekanisme matematis yang tunduk pada hukum universal.¹³ Namun, Immanuel Kant mengkritik pandangan ini dengan menegaskan bahwa keteraturan yang kita temukan bukanlah sesuatu yang “ada di luar,” melainkan hasil dari struktur apriori rasio manusia.¹⁴ Dengan demikian, kosmos bukan hanya tatanan eksternal, tetapi juga produk sintesis antara dunia objektif dan subjek pengamat.

Kosmologi kontemporer memperluas pemahaman ini melalui teori-teori sistem kompleks dan interkoneksi universal. Pandangan holistik dalam fisika kuantum dan ekologi memperlihatkan bahwa setiap unsur kosmos saling terhubung dalam jaringan dinamis, di mana keteraturan muncul dari hubungan timbal balik, bukan dari struktur hierarkis yang kaku.¹⁵

3.3.       Teleologi Kosmos: Tujuan dan Makna Alam Semesta

Aspek teleologis kosmos berkaitan dengan pertanyaan: apakah alam memiliki tujuan atau makna intrinsik? Bagi Plato dan Aristoteles, tatanan kosmos tidak mungkin dipahami tanpa mengandaikan tujuan. Dalam Timaeus, Plato menyebut bahwa Demiurgos menciptakan alam “demi kebaikan” (for the sake of the good), bukan karena keharusan mekanis.¹⁶ Sementara itu, Aristoteles menegaskan bahwa segala sesuatu di alam bertindak demi telos—tujuan yang merupakan penyempurnaan kodratnya sendiri.¹⁷

Tradisi teologis Kristen mengembangkan pandangan teleologis ini dalam kerangka penciptaan. Thomas Aquinas menulis bahwa setiap makhluk memiliki kecenderungan alami menuju kebaikan, dan keteraturan alam merupakan refleksi dari kehendak rasional Tuhan.¹⁸ Dalam konteks ini, kosmos memiliki makna moral dan spiritual: ia bukan sekadar arena fisik, melainkan cerminan kebijaksanaan ilahi.

Sebaliknya, modernitas sering menolak teleologi. Filsuf seperti David Hume dan para positivis logis menganggap konsep tujuan dalam alam sebagai antropomorfisme yang tidak ilmiah.¹⁹ Namun, di abad ke-20, muncul pandangan baru seperti antropic principle dalam kosmologi fisika, yang menyatakan bahwa parameter-parameter fundamental alam semesta tampak disesuaikan bagi munculnya kehidupan dan kesadaran.²⁰ Hal ini memunculkan kembali diskusi filosofis tentang apakah keteraturan kosmos hanya kebetulan statistik atau tanda adanya rasionalitas transenden.

3.4.       Relasi antara Tuhan dan Alam: Teisme, Panteisme, Panenteisme, dan Deisme

Dimensi terakhir dari ontologi kosmos menyangkut relasi antara Tuhan dan dunia. Dalam teisme klasik, seperti yang diajarkan oleh Aquinas, Tuhan dipandang sebagai Pencipta yang transenden sekaligus imanen melalui hukum-hukum alam yang dikehendaki-Nya.²¹ Panteisme, seperti dalam filsafat Spinoza, menegaskan bahwa Tuhan dan alam adalah satu substansi yang sama; segala sesuatu merupakan modus dari keberadaan ilahi.²² Panenteisme berupaya menengahi keduanya dengan menyatakan bahwa dunia berada “di dalam” Tuhan, tetapi Tuhan melampaui dunia.²³

Sementara itu, deisme yang berkembang pada masa Pencerahan menolak intervensi langsung Tuhan dalam alam. Tuhan hanya dipahami sebagai arsitek awal yang menciptakan alam dan membiarkannya berjalan menurut hukum-hukum rasional.²⁴ Pandangan ini mendukung visi mekanistik modern namun mengurangi dimensi spiritual dalam kosmologi.

Kosmologi kontemporer mencoba melampaui dikotomi tersebut dengan pendekatan relasional. Dalam pandangan prosesual Alfred North Whitehead, Tuhan bukan pencipta statis, melainkan entitas yang berpartisipasi dalam proses kreatif kosmos.²⁵ Tuhan dan dunia saling memengaruhi dalam dinamika keberadaan, menjadikan realitas bersifat ko-evolutif. Dengan demikian, ontologi kosmos tidak berhenti pada metafisika statis, melainkan bergerak menuju pemahaman dinamis tentang keberadaan sebagai jaringan hubungan yang hidup.²⁶


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ontologi kosmos berusaha mengungkap struktur terdalam dari realitas universal. Alam semesta bukanlah kumpulan benda mati yang acak, tetapi suatu ordo rasional yang memiliki keteraturan dan kemungkinan makna. Pemahaman ontologis ini menjadi dasar bagi epistemologi dan etika kosmologis, karena hanya dengan memahami struktur keberadaan, manusia dapat menemukan tempat dan tanggung jawabnya dalam tatanan semesta.²⁷


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (London: Burns Oates, 1946), 55–57.

[2]                Democritus, Fragments, trans. C. C. W. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 67.

[3]                Pierre Duhem, The Aim and Structure of Physical Theory (Princeton: Princeton University Press, 1954), 12–14.

[4]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 508e–509d.

[5]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), VII.3.

[6]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Clarendon Press, 1948), 136–138.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 44, a. 1.

[8]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 105–107.

[9]                Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), 30.

[10]             Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.135.

[11]             Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), II.3.

[12]             Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), XI.4.

[13]             Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (London: Royal Society, 1687), Book III.

[14]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A126–A130.

[15]             Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996), 27–29.

[16]             Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 29a–30b.

[17]             Aristotle, Metaphysics, XII.7.

[18]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c. 2.

[19]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 45–48.

[20]             John D. Barrow and Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Oxford University Press, 1986), 3–5.

[21]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 103, a. 7.

[22]             Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University Press, 1985), I.14.

[23]             Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (New York: Harper & Row, 1941), 92.

[24]             Voltaire, Philosophical Dictionary, trans. Theodore Besterman (London: Penguin, 1972), 124.

[25]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 343–345.

[26]             David Ray Griffin, Reenchantment without Supernaturalism (Ithaca: Cornell University Press, 2001), 44–46.

[27]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 18–20.


4.           Epistemologi Kosmologi: Pengetahuan tentang Alam Semesta

Epistemologi kosmologi merupakan cabang refleksi filosofis yang menelaah bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan menafsirkan realitas kosmik. Ia tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan ilmiah tentang alam semesta, tetapi juga dengan batas dan legitimasi pengetahuan itu sendiri. Pertanyaan sentralnya mencakup: Apa yang dapat kita ketahui tentang alam semesta? Dengan cara apa kita mengetahuinya? Sejauh mana rasio manusia mampu menjangkau totalitas kosmos? Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar kita pada kajian tentang hubungan antara pengalaman empiris, rasionalitas ilmiah, dan intuisi metafisik dalam memahami struktur serta makna kosmos.¹

4.1.       Sumber dan Batas Pengetahuan Kosmologis

Sejak zaman Yunani kuno, sumber pengetahuan kosmologis telah menjadi medan perdebatan antara empirisisme, rasionalisme, dan metafisika. Kaum empiris seperti Aristoteles berpendapat bahwa pengetahuan tentang alam diperoleh melalui observasi terhadap fenomena konkret, yang kemudian diolah menjadi prinsip umum melalui induksi.² Sebaliknya, Plato berkeyakinan bahwa kebenaran kosmik hanya dapat dicapai melalui rasio murni, sebab dunia indrawi hanyalah bayangan dari realitas ide yang sempurna.³

Perkembangan sains modern menegaskan peran observasi dan eksperimentasi sebagai dasar pengetahuan kosmologis. Galileo dan Newton membangun paradigma bahwa alam semesta tunduk pada hukum-hukum universal yang dapat dijelaskan secara matematis.⁴ Namun demikian, Immanuel Kant menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah selalu dibatasi oleh kondisi-kondisi apriori dalam subjek manusia. Dalam Critique of Pure Reason, ia berargumen bahwa ruang dan waktu bukanlah properti benda-benda di luar, melainkan bentuk intuisi dalam kesadaran manusia yang memungkinkan pengalaman terhadap dunia.⁵ Dengan demikian, manusia tidak mengetahui kosmos “sebagaimana adanya” (das Ding an sich), melainkan sebagaimana ia tampak melalui struktur rasio manusia.

Dalam konteks ini, epistemologi kosmologi menyadari bahwa pengetahuan tentang alam semesta bersifat transendental dan terbatas. Sains mampu menjelaskan mekanisme dan hukum-hukum alam, tetapi tidak dapat menembus hakikat terdalam keberadaan atau menjawab pertanyaan “mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali.”⁶ Di sinilah filsafat berperan sebagai refleksi kritis yang melampaui reduksi empiris, tanpa menolak validitas metode ilmiah.

4.2.       Peran Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Kosmos

Ilmu pengetahuan modern, terutama fisika teoretis, memainkan peran sentral dalam memperluas horizon pengetahuan manusia tentang kosmos. Melalui teori relativitas umum, Albert Einstein menunjukkan bahwa ruang dan waktu bukanlah wadah statis, tetapi jaringan dinamis yang dipengaruhi oleh materi dan energi.⁷ Teori ini membuka wawasan baru tentang kosmos sebagai sistem terpadu, di mana gravitasi tidak lagi dipahami sebagai gaya, melainkan kelengkungan ruang-waktu itu sendiri.

Sementara itu, kosmologi kuantum dan teori medan menantang pemahaman klasik tentang kausalitas. Mekanika kuantum menyingkap bahwa di tingkat mikroskopis, realitas tidak deterministik; keberadaan partikel ditentukan oleh probabilitas dan peran pengamat.⁸ Fenomena ini memunculkan pertanyaan epistemologis: apakah pengamatan manusia membentuk realitas, ataukah hanya mengungkap struktur tersembunyinya?

Para filsuf seperti Karl Popper dan Thomas Kuhn menyoroti dimensi historis dan paradigmatik dalam pengetahuan kosmologis. Popper menegaskan bahwa teori ilmiah bersifat falsifikatif—selalu terbuka untuk dibantah melalui pengalaman baru.⁹ Kuhn, dalam The Structure of Scientific Revolutions, memperlihatkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak selalu linier, melainkan melalui revolusi konseptual yang mengubah cara pandang terhadap alam.¹⁰ Maka, epistemologi kosmologi tidak sekadar mempelajari fakta, tetapi juga dinamika paradigma yang menentukan bagaimana manusia menafsirkan realitas semesta.

4.3.       Kosmologi sebagai Sintesis antara Ilmu dan Filsafat

Epistemologi kosmologi modern menuntut sintesis antara pendekatan ilmiah dan refleksi filosofis. Ilmu pengetahuan menyediakan deskripsi matematis tentang struktur kosmos, sedangkan filsafat menafsirkan implikasi ontologis dan maknanya bagi eksistensi manusia.¹¹ Tanpa refleksi filosofis, kosmologi ilmiah berisiko jatuh ke dalam reduksionisme materialis yang mengabaikan dimensi makna; sebaliknya, tanpa dasar empiris, spekulasi metafisik dapat terjebak dalam dogmatisme.

Upaya sintesis ini tampak dalam karya Alfred North Whitehead, yang mengembangkan filsafat proses sebagai kerangka untuk memahami alam semesta sebagai jaringan relasional yang hidup.¹² Begitu pula, Fritjof Capra dalam The Tao of Physics menunjukkan adanya keselarasan antara penemuan fisika modern dan pandangan spiritual Timur, yang melihat kosmos sebagai kesatuan dinamis energi dan kesadaran.¹³

Pandangan holistik ini juga selaras dengan teori sistem kompleks dalam sains kontemporer, di mana keteraturan kosmos dipahami bukan sebagai hasil hukum mekanistik, melainkan sebagai emergent order—tatanan yang muncul dari interaksi komponen-komponen yang saling berhubungan.¹⁴ Dalam kerangka ini, epistemologi kosmologi tidak lagi memisahkan subjek dan objek, melainkan melihat pengetahuan sebagai hasil partisipasi aktif manusia dalam keseluruhan proses kosmik.

4.4.       Batas Pengetahuan dan Misteri Kosmos

Kendati sains modern telah menyingkap banyak rahasia alam, epistemologi kosmologi menyadari bahwa pengetahuan manusia tetap bersifat parsial dan terbatas. Pertanyaan tentang asal-usul absolut alam semesta—apakah benar-benar bermula dari Big Bang, ataukah merupakan bagian dari siklus tanpa awal dan akhir—masih berada di wilayah spekulatif.¹⁵ Stephen Hawking, misalnya, dalam A Brief History of Time, mengakui bahwa sekalipun kita memahami hukum-hukum fisika, pertanyaan mengapa hukum itu ada masih tak terjawab.¹⁶

Selain itu, fisika modern juga menghadapi batas epistemik dalam menjelaskan fenomena seperti singularitas atau energi gelap. Brian Greene menulis bahwa semakin jauh kita menelusuri alam semesta, semakin kita dihadapkan pada “ketiadaan observasional,” di mana teori bekerja di luar jangkauan eksperimental.¹⁷ Dalam situasi ini, epistemologi kosmologi membuka ruang bagi refleksi metafisik dan bahkan spiritual, karena keterbatasan pengetahuan justru menunjukkan kedalaman misteri kosmos yang melampaui kalkulasi manusia.

Bagi filsafat, kesadaran akan batas pengetahuan ini bukanlah kelemahan, melainkan pintu menuju kebijaksanaan. Seperti dikatakan oleh Kant, pengetahuan manusia memang terbatas, tetapi justru melalui batas itulah muncul dorongan transendental untuk memahami yang tak terbatas.¹⁸ Dengan demikian, epistemologi kosmologi berakhir bukan pada kepastian dogmatis, tetapi pada sikap filosofis yang terbuka, reflektif, dan rendah hati terhadap kebesaran semesta.


Epistemologi kosmologi, dengan demikian, mengajarkan bahwa pengetahuan tentang alam semesta adalah dialog antara rasio dan misteri, antara ilmu dan kontemplasi, antara objektivitas ilmiah dan partisipasi eksistensial. Manusia, sebagai bagian dari kosmos, bukan hanya pengamat pasif tetapi juga peserta dalam drama kosmik yang terus berlangsung. Dari sinilah muncul kesadaran bahwa mengenal alam berarti juga mengenal diri sendiri, karena keduanya terjalin dalam satu jalinan realitas yang sama.¹⁹


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 9–10.

[2]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1993), II.19.

[3]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 507b–509d.

[4]                Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1953), 88–90.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A22–A26.

[6]                Martin Heidegger, An Introduction to Metaphysics, trans. Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 1959), 3–5.

[7]                Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory (New York: Crown, 1961), 71–73.

[8]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 39–41.

[9]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 27–28.

[10]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–68.

[11]             Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 95–96.

[12]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 29–30.

[13]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 95–99.

[14]             Ilya Prigogine, Order Out of Chaos (New York: Bantam Books, 1984), 43–46.

[15]             Roger Penrose, Cycles of Time: An Extraordinary New View of the Universe (New York: Knopf, 2010), 12–14.

[16]             Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 175–177.

[17]             Brian Greene, The Fabric of the Cosmos (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 321–323.

[18]             Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 162–164.

[19]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 20–21.


5.           Aksiologi dan Etika Kosmologis

Dimensi aksiologis dari kosmologi filosofis menyoroti hubungan antara pengetahuan tentang alam semesta dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kosmos tidak hanya menjadi objek pengetahuan, tetapi juga sumber nilai, makna, dan orientasi moral bagi manusia.¹ Aksiologi kosmologis berangkat dari kesadaran bahwa setiap pemahaman tentang struktur dan keteraturan alam selalu berimplikasi pada cara manusia memaknai keberadaannya sendiri serta tanggung jawabnya terhadap keseluruhan realitas. Dengan demikian, etika kosmologis merupakan upaya untuk menafsirkan alam semesta bukan sekadar sebagai sistem fisik, melainkan sebagai ruang moral di mana manusia dipanggil untuk hidup selaras dengan tatanan kosmik.²

5.1.       Nilai dan Makna Alam bagi Manusia

Dalam pandangan klasik, terutama pada tradisi Yunani dan skolastik, kosmos dianggap sebagai tatanan rasional yang memiliki nilai intrinsik. Plato, dalam Timaeus, menyatakan bahwa alam semesta diciptakan “demi kebaikan,” sebab keteraturannya merupakan refleksi dari ide kebaikan yang tertinggi (the Good).³ Aristoteles menegaskan bahwa segala sesuatu di alam memiliki tujuan (telos), dan kebaikan tertinggi terwujud ketika makhluk hidup mencapai kesempurnaannya sesuai kodratnya.⁴

Bagi Thomas Aquinas, nilai alam terletak pada partisipasinya dalam keberadaan Tuhan. Alam bukan sekadar ciptaan yang terpisah dari Sang Pencipta, tetapi manifestasi dari kebijaksanaan dan kasih ilahi.⁵ Oleh karena itu, setiap makhluk memiliki nilai ontologis yang layak dihormati, karena semuanya merupakan bagian dari hierarki wujud yang berasal dari actus purus. Pandangan ini menegaskan bahwa penghormatan terhadap alam adalah bentuk penghormatan terhadap Tuhan.

Sebaliknya, dalam kosmologi modern yang cenderung mekanistik, alam direduksi menjadi sekumpulan benda mati tanpa makna atau tujuan moral.⁶ Alam kehilangan nilai intrinsiknya dan hanya dihargai sejauh berguna bagi kepentingan manusia. Krisis ekologis kontemporer sebagian besar berakar pada cara pandang ini, yang memutus hubungan etis antara manusia dan kosmos. Aksiologi kosmologis berusaha mengembalikan kesadaran bahwa alam bukan sekadar “latar belakang kehidupan,” melainkan bagian integral dari keberadaan manusia itu sendiri.⁷

5.2.       Etika Ekologis dan Tanggung Jawab Kosmik

Dari kesadaran akan nilai intrinsik alam lahir etika ekologis, yaitu pandangan moral yang menuntut manusia untuk bertindak selaras dengan tatanan kosmos. Filsuf seperti Albert Schweitzer mengembangkan gagasan Reverence for Life—rasa hormat terhadap kehidupan sebagai dasar moral universal.⁸ Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Arne Naess tentang deep ecology, yang menolak antroposentrisme dan menyerukan penghargaan terhadap semua bentuk kehidupan sebagai entitas yang memiliki hak eksistensi.⁹

Dalam perspektif ini, etika kosmologis mengandaikan bahwa manusia tidak berada di luar atau di atas alam, tetapi merupakan bagian dari keseluruhan jaringan kehidupan. Pandangan holistik ini menegaskan prinsip kesalingtergantungan (interdependence) yang menjadi dasar moralitas ekologis.¹⁰ Seperti dikemukakan oleh Fritjof Capra, seluruh makhluk hidup merupakan simpul-simpul dalam “jaring kehidupan” (web of life) yang saling menopang satu sama lain.¹¹ Oleh karena itu, setiap tindakan manusia yang merusak ekosistem pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap tatanan kosmik yang menopang keberadaannya sendiri.

Etika ekologis juga memiliki dimensi spiritual. Dalam pandangan teologi kosmik seperti yang dikembangkan oleh Pierre Teilhard de Chardin, alam semesta dipahami sebagai proses evolusi menuju kesatuan kesadaran yang lebih tinggi (Omega Point).¹² Manusia, dalam hal ini, berperan sebagai kooperator ilahi yang turut serta dalam penyempurnaan kosmos melalui tindakan moral dan pengetahuan.¹³ Maka, tanggung jawab etis manusia terhadap alam bukan hanya ekologis, tetapi juga teleologis—berpartisipasi dalam tujuan kosmik yang mengarah pada kebaikan universal.

5.3.       Spiritualitas Kosmik dan Kesadaran Universal

Aksiologi kosmologis tidak berhenti pada etika, tetapi juga membuka ruang bagi spiritualitas kosmik—kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, dan bahwa kehidupan memiliki makna dalam konteks universal. Carl Sagan, dalam Cosmos, menulis bahwa “kita adalah cara bagi kosmos untuk mengenal dirinya sendiri.”¹⁴ Pernyataan ini mengandung makna spiritual yang mendalam: kesadaran manusia adalah refleksi dari kesadaran kosmos yang sedang bangkit melalui dirinya.

Dalam tradisi Timur, kesadaran ini ditemukan dalam ajaran Taoisme dan Buddhisme yang menekankan kesatuan antara manusia dan alam.¹⁵ Tao Te Ching mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati muncul ketika manusia hidup seimbang dengan ritme alam semesta, bukan melawannya.¹⁶ Spiritualitas kosmik ini berlawanan dengan paradigma dualistik Barat yang memisahkan subjek dan objek, manusia dan alam. Dengan menegaskan kembali kesatuan ini, manusia menemukan kembali kedamaian ontologis dan keseimbangan etis dalam kehidupannya.

Bagi filsafat kontemporer, spiritualitas kosmik menjadi basis bagi etika global, yakni moralitas yang berlandaskan pada kesadaran ekologis dan solidaritas kosmik. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, mengusulkan etika tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan di bumi sebagai prinsip moral baru dalam era teknologi.¹⁷ Dengan demikian, spiritualitas kosmik tidak bersifat mistik semata, tetapi menjadi fondasi praksis bagi peradaban yang berkelanjutan dan manusiawi.

5.4.       Kosmologi sebagai Dasar Etika Global

Etika kosmologis yang sejati harus melampaui batas antropologis dan geografis menuju horizon universal. Dalam dunia yang saling terhubung oleh teknologi dan ekologi, krisis lingkungan bukan lagi masalah lokal, melainkan persoalan global yang menyangkut kelangsungan seluruh spesies.¹⁸ Oleh karena itu, kosmologi filosofis dapat berfungsi sebagai dasar ontologis bagi etika global, karena ia mengajarkan bahwa semua realitas saling terkait dan berasal dari sumber keberadaan yang sama.

Etika global yang berbasis kosmologi ini menekankan prinsip kesatuan, solidaritas, dan tanggung jawab lintas generasi.¹⁹ Nilai-nilai seperti keseimbangan, keharmonisan, dan keberlanjutan tidak hanya bersifat moral, tetapi juga kosmologis—yakni cara manusia menjaga keseimbangan tatanan universal.²⁰ Sebagaimana dikemukakan oleh Teilhard de Chardin, evolusi kosmos menuju kesadaran yang lebih tinggi membutuhkan keterlibatan moral manusia; tindakan etis bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi partisipasi dalam dinamika kreatif semesta.²¹

Dengan demikian, aksiologi kosmologis mengembalikan etika ke akar metafisisnya: bahwa bertindak baik berarti selaras dengan struktur kebaikan yang telah tertanam dalam kosmos itu sendiri.²² Melalui kesadaran ini, manusia tidak lagi melihat dirinya sebagai penguasa dunia, melainkan sebagai penjaga dan rekan dialog dalam simfoni kosmik yang terus berkembang.


Keseluruhan refleksi aksiologis ini menegaskan bahwa kosmologi bukan hanya studi tentang asal-usul dan struktur alam semesta, melainkan juga panduan etis dan spiritual bagi eksistensi manusia. Dengan memahami kosmos sebagai tatanan rasional yang bernilai, manusia diundang untuk hidup dalam harmoni dengan seluruh ciptaan, menumbuhkan rasa tanggung jawab, penghormatan, dan cinta terhadap kehidupan dalam segala bentuknya.²³


Footnotes

[1]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 20–21.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (London: Burns Oates, 1950), 84–86.

[3]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 29d–30b.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), I.7.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 47, a. 2.

[6]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 62–63.

[7]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[8]                Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought (New York: Holt, 1933), 156.

[9]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–29.

[10]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 204.

[11]             Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.

[12]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 258–260.

[13]             Ibid., 266.

[14]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 13.

[15]             D. T. Suzuki, Zen and Japanese Culture (Princeton: Princeton University Press, 1959), 56–58.

[16]             Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (Harmondsworth: Penguin Books, 1963), 25–26.

[17]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–12.

[18]             Vaclav Havel, “The Need for Transcendence in the Postmodern World,” New York Times, February 8, 1995.

[19]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 88–90.

[20]             James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 115–116.

[21]             Pierre Teilhard de Chardin, The Future of Man (New York: Harper & Row, 1964), 97–98.

[22]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 148.

[23]             Fritjof Capra, The Hidden Connections (New York: Anchor Books, 2002), 205–207.


6.           Kritik terhadap Kosmologi Filsafat

Kosmologi filosofis, meskipun memiliki peran penting dalam mengintegrasikan dimensi rasional, metafisik, dan spiritual dari pemahaman tentang alam semesta, tidak lepas dari berbagai bentuk kritik epistemologis, metodologis, dan ideologis. Kritik ini muncul dari berbagai aliran pemikiran yang mempertanyakan dasar-dasar metafisika kosmologis, relevansinya terhadap ilmu pengetahuan modern, serta potensi bias antropologis dan teologis di dalamnya.¹ Melalui kritik-kritik ini, kosmologi filosofis diuji sekaligus diperkaya, karena setiap keberatan terhadapnya menantang filsafat untuk memperbarui pendekatannya terhadap realitas semesta.

6.1.       Kritik Saintifik terhadap Kosmologi Metafisik

Kritik paling tajam terhadap kosmologi filosofis berasal dari positivisme dan empirisisme ilmiah. Auguste Comte, misalnya, berpendapat bahwa filsafat metafisik tidak lagi relevan dalam era ilmu positif, karena pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui observasi dan verifikasi empiris.² Dalam pandangan ini, spekulasi metafisik tentang asal-usul atau tujuan alam dianggap tidak ilmiah, sebab tidak dapat diuji secara eksperimental.

David Hume sebelumnya telah mengajukan kritik epistemologis yang serupa. Ia menegaskan bahwa akal manusia tidak dapat menembus hubungan kausal di luar pengalaman, sehingga pembicaraan tentang penyebab pertama atau substansi kosmos hanyalah asumsi tanpa dasar empiris.³ Kritik ini diperkuat oleh para ilmuwan modern yang menganggap bahwa kosmologi filosofis sering kali beroperasi di luar batas verifikasi ilmiah.

Bahkan dalam konteks sains kontemporer, kosmologi teoretis seperti teori multiverse atau model pra-Big Bang menimbulkan dilema epistemik: teori-teori tersebut melampaui bukti observasional, sehingga tidak dapat diverifikasi dengan metode empiris biasa.⁴ Bagi kaum positivis, kondisi ini menunjukkan bahwa filsafat dan sains kadang-kadang bersinggungan di wilayah yang sama—namun dengan pendekatan yang sangat berbeda: filsafat bertanya tentang makna, sedangkan sains mencari penjelasan mekanistik.⁵

Kritik saintifik terhadap kosmologi filosofis, dengan demikian, menuntut filsafat agar berhati-hati dalam menggunakan bahasa metafisik dan agar tetap bersandar pada prinsip rasionalitas serta bukti empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.⁶

6.2.       Kritik Postmodern terhadap Rasionalitas Kosmik

Dalam abad ke-20, muncul gelombang kritik postmodern yang menggugat klaim universalitas dan objektivitas kosmologi filosofis. Jean-François Lyotard menegaskan bahwa modernitas telah runtuh karena kehilangan legitimasi dari “narasi besar” yang dulu mengklaim menjelaskan segala sesuatu, termasuk tatanan kosmos.⁷ Kosmologi filosofis, dalam pandangan ini, merupakan salah satu bentuk narasi besar yang menutupi pluralitas pengalaman manusia dengan ilusi keteraturan rasional.

Michel Foucault juga mengkritik bagaimana “pengetahuan tentang alam” selalu terkait dengan relasi kuasa. Menurutnya, setiap kosmologi mencerminkan struktur sosial dan politik zamannya; konsep keteraturan kosmos bisa menjadi legitimasi bagi keteraturan sosial yang menindas.⁸ Jacques Derrida menambahkan dimensi dekonstruktif: setiap upaya untuk menulis “struktur universal” mengandaikan pusat yang tetap (logos, Tuhan, atau hukum alam), padahal makna selalu bersifat diferensial dan tak stabil.⁹

Kritik postmodern ini menyoroti bahwa kosmologi filosofis kerap gagal mengakui keragaman cara manusia memahami semesta. Alih-alih tatanan universal, mungkin kosmos hanya dapat dipahami melalui konteks kultural, bahasa, dan simbol yang berbeda-beda.¹⁰ Dengan demikian, filsafat perlu merevisi klaim totalitasnya dan membuka diri terhadap pluralitas perspektif, termasuk yang lahir dari sains, seni, dan spiritualitas non-Barat.¹¹

6.3.       Kritik Teologis terhadap Rasionalisasi Alam

Dari sisi teologi, kosmologi filosofis dikritik karena kecenderungannya mereduksi Tuhan menjadi prinsip rasional dalam tatanan alam. Filsafat klasik, terutama Aristotelianisme dan skolastisisme, sering dianggap terlalu mengandalkan argumen rasional seperti causa prima atau actus purus untuk menjelaskan keberadaan Tuhan.¹² Para teolog eksistensialis seperti Karl Barth dan Søren Kierkegaard menolak pandangan ini dengan alasan bahwa Tuhan tidak dapat dicapai melalui spekulasi metafisik, melainkan hanya melalui wahyu dan pengalaman iman.¹³

Menurut Barth, upaya manusia untuk memahami Tuhan melalui alam berisiko melahirkan teologi natural yang menempatkan rasio di atas iman.¹⁴ Pandangan ini menantang tradisi kosmologi skolastik yang berasumsi bahwa keteraturan alam mencerminkan keteraturan ilahi. Teologi eksistensialis memandang bahwa keteraturan itu sendiri tidak menjamin pengetahuan tentang Tuhan, sebab relasi dengan Yang Ilahi bersifat personal, bukan rasional.¹⁵

Namun demikian, kritik teologis ini juga mendorong kosmologi filosofis untuk merefleksikan kembali batasnya: bahwa upaya memahami kosmos tidak selalu berarti memahami Sang Pencipta. Ia mengingatkan bahwa realitas ilahi tidak dapat direduksi menjadi tatanan alam, sebagaimana hukum fisika tidak dapat menjelaskan makna eksistensial manusia.¹⁶

6.4.       Kritik Humanistik: Antroposentrisme dan Alienasi

Kritik lain yang sangat relevan berasal dari humanisme ekologis dan eksistensialis, yang menilai bahwa kosmologi filosofis tradisional terlalu antroposentris—menempatkan manusia sebagai pusat kosmos dan ukuran segala sesuatu.¹⁷ Pandangan ini, meskipun tampak mulia dalam konteks humanisme klasik, telah melahirkan jarak eksistensial antara manusia dan alam, yang berujung pada eksploitasi ekologis dan krisis lingkungan global.¹⁸

Martin Heidegger menegaskan bahwa modernitas telah “melupakan keberadaan” (Seinsvergessenheit) dengan memandang alam hanya sebagai Bestand, yaitu sumber daya yang dapat dimanipulasi secara teknologis.¹⁹ Dalam pengertian ini, kosmologi modern bukan lagi kontemplasi atas misteri alam, tetapi kalkulasi atas benda-benda. Teknologi menggantikan metafisika, dan dunia kehilangan sakralitasnya.²⁰

Kritik ini juga dikembangkan oleh para pemikir ekofeminisme seperti Carolyn Merchant, yang menunjukkan bahwa sejak abad ke-17, metafora “alam sebagai mesin” telah menggeser pandangan kuno tentang “alam sebagai ibu” menjadi objek dominasi patriarkal.²¹ Aksiologi kosmologis yang sejati, karenanya, menuntut pemulihan relasi dialogis antara manusia dan alam, bukan relasi dominatif.²²

6.5.       Kritik Eksistensial: Batas Rasionalitas terhadap Misteri Kosmos

Kritik terakhir bersifat eksistensial: kosmologi filosofis dianggap gagal menangkap aspek misteri dan absurditas dari eksistensi manusia di dalam kosmos. Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menegaskan bahwa upaya manusia mencari makna di alam semesta yang bisu berujung pada absurditas.²³ Sementara itu, Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa keberadaan manusia tidak memiliki tujuan kosmik; makna harus diciptakan secara subyektif dalam dunia tanpa fondasi metafisik.²⁴

Filsafat eksistensial menolak ide bahwa keteraturan rasional alam dapat menjamin keteraturan makna bagi manusia. Dalam pandangan ini, kosmos bukanlah entitas moral atau rasional, melainkan ruang kebebasan radikal di mana manusia harus membangun nilai-nilainya sendiri.²⁵ Namun, dari perspektif yang lebih reflektif, kritik eksistensialis ini justru memperluas dimensi kosmologi filosofis—mengubahnya dari penjelasan rasional semata menjadi kontemplasi etis dan eksistensial atas keberadaan manusia dalam semesta yang misterius.²⁶


Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa kosmologi filosofis bukanlah sistem tertutup, melainkan medan refleksi yang terus berkembang. Ia diuji oleh ilmu pengetahuan, digugat oleh postmodernisme, dikoreksi oleh teologi, dan ditantang oleh humanisme ekologis serta eksistensialisme. Namun dalam setiap kritik, terdapat peluang untuk memperdalam pemahaman tentang hubungan manusia dengan kosmos—bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai bagian dari tatanan yang terus terbuka bagi penafsiran dan penciptaan makna baru.²⁷


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 113–114.

[2]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 12–14.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1902), 28–29.

[4]                Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 104–107.

[5]                Karl Popper, Conjectures and Refutations (London: Routledge, 1963), 241.

[6]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 80–81.

[7]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[8]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 82.

[9]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278.

[10]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 315.

[11]             Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 18.

[12]             Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7.

[13]             Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson (Princeton: Princeton University Press, 1941), 53–54.

[14]             Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II/1 (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 47–49.

[15]             Rudolf Bultmann, History and Eschatology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1957), 12–13.

[16]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. I (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 90–91.

[17]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970), 56–58.

[18]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 43.

[19]             Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–13.

[20]             Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 152.

[21]             Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 168–170.

[22]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 55.

[23]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 16–18.

[24]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 68.

[25]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 85.

[26]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1960), 103.

[27]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 25–27.


7.           Relevansi Kontemporer Kosmologi Filosofis

Dalam konteks dunia modern yang ditandai oleh kemajuan sains, krisis ekologis, dan pencarian spiritualitas baru, kosmologi filosofis memperoleh relevansi yang semakin mendesak. Ia tidak lagi sekadar kajian abstrak mengenai asal-usul atau struktur alam semesta, tetapi menjadi kerangka reflektif untuk memahami hubungan antara manusia, pengetahuan, teknologi, dan keberlanjutan kehidupan di planet ini.¹ Relevansi kontemporernya mencakup berbagai bidang: dari dialog antara filsafat dan ilmu pengetahuan, refleksi etis dalam ekoteologi, hingga perumusan pandangan dunia holistik yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari kosmos yang dinamis.

7.1.       Dalam Ilmu Pengetahuan: Dialog antara Filsafat dan Kosmologi Fisika

Perkembangan kosmologi modern telah memperluas cakrawala pengetahuan manusia tentang alam semesta, namun juga menimbulkan pertanyaan metafisik baru yang tidak dapat dijawab oleh sains semata. Teori Big Bang, relativitas umum, dan mekanika kuantum menunjukkan bahwa kosmos bukan sistem statis, melainkan tatanan dinamis yang memiliki sejarah, kompleksitas, dan batas pengetahuan.²

Stephen Hawking, misalnya, dalam A Brief History of Time, mengakui bahwa meskipun hukum fisika dapat menjelaskan bagaimana alam bekerja, mereka tidak menjawab mengapa hukum tersebut ada, atau mengapa alam semesta “memilih” hukum-hukum tertentu.³ Pertanyaan semacam ini mengembalikan sains pada wilayah refleksi filosofis—sebuah wilayah yang menuntut dialog antara penalaran empiris dan pemikiran metafisik.

Filsafat kontemporer berperan sebagai mediator epistemologis, yang menjembatani antara teori ilmiah dan makna eksistensialnya. Seperti dikemukakan oleh Thomas Nagel, “penjelasan ilmiah tentang dunia tidak lengkap tanpa memahami tempat kesadaran dalam keseluruhan realitas.”⁴ Dengan demikian, kosmologi filosofis berfungsi bukan untuk menggantikan sains, melainkan untuk memperluas horizon pengetahuan agar mencakup dimensi makna, nilai, dan kesadaran.

Pendekatan interdisipliner ini tampak dalam karya fisikawan-filsuf seperti David Bohm, yang mengusulkan konsep implicate order—suatu tatanan tersembunyi di balik realitas empiris yang menunjukkan kesalingterhubungan universal.⁵ Konsep ini merehabilitasi gagasan klasik tentang kosmos sebagai kesatuan organik, sekaligus memperkaya dialog antara fisika kuantum dan metafisika.

7.2.       Dalam Ekoteologi dan Etika Lingkungan

Relevansi kedua dari kosmologi filosofis terletak pada kontribusinya terhadap ekoteologi dan etika lingkungan. Krisis ekologis global bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga krisis metafisik—akibat dari cara pandang modern yang memisahkan manusia dari alam.⁶ Lynn White Jr. menyebut bahwa akar krisis ekologi terletak pada paradigma teologis Barat yang menempatkan manusia sebagai penguasa atas ciptaan, bukan bagian darinya.⁷

Kosmologi filosofis menawarkan jalan keluar melalui pemulihan pandangan kosmosentris, di mana seluruh makhluk hidup dipahami sebagai bagian dari tatanan rasional dan sakral. Pierre Teilhard de Chardin, misalnya, melihat alam semesta sebagai proses evolusi spiritual menuju kesatuan kesadaran, sementara Thomas Berry menekankan pentingnya “kesadaran ekologis” sebagai landasan peradaban baru.⁸

Dalam konteks ini, kosmologi filosofis tidak hanya mengajarkan keteraturan alam secara intelektual, tetapi juga menanamkan kesadaran etis untuk hidup selaras dengan bumi. Filsafat kosmos menjadi dasar moral untuk menumbuhkan sikap tanggung jawab ekologis, rasa hormat terhadap kehidupan, serta pengakuan bahwa eksistensi manusia bergantung pada keseimbangan kosmik yang lebih luas.⁹

Lebih jauh, etika kosmologis ini menumbuhkan semangat spiritualitas ekologis yang menolak dualisme antara materi dan roh, antara manusia dan alam. Dalam pandangan ini, perawatan terhadap bumi adalah bentuk ibadah kosmik—partisipasi manusia dalam menjaga harmoni tatanan ilahi yang mewujud dalam realitas alam.¹⁰

7.3.       Dalam Budaya dan Spiritualitas Modern

Kosmologi filosofis juga memiliki relevansi kultural yang mendalam di tengah kebangkitan spiritualitas kosmik dan budaya ilmiah abad ke-21. Di satu sisi, teknologi dan sains memberikan wawasan empiris tentang alam semesta; di sisi lain, manusia modern mengalami kekosongan makna akibat hilangnya dimensi metafisik dalam pandangan dunia materialistik.¹¹

Carl Sagan, melalui karya Cosmos, berusaha mengembalikan rasa kagum terhadap alam semesta sebagai sumber makna eksistensial. Ia menulis bahwa “kosmos bukan hanya segala yang ada, tetapi juga sumber inspirasi bagi rasa rendah hati dan keterhubungan.”¹² Dalam semangat serupa, filsafat kontemporer berupaya merumuskan kembali spiritualitas rasional—suatu kesadaran yang memadukan ilmu, etika, dan rasa takjub terhadap misteri alam.¹³

Gerakan spiritualitas kosmik ini juga tercermin dalam kebangkitan minat terhadap tradisi filsafat Timur seperti Taoisme, Buddhisme, dan Vedanta, yang menekankan kesatuan antara manusia dan alam.¹⁴ Tradisi-tradisi ini sejalan dengan semangat kosmologi filosofis dalam melihat semesta sebagai jaringan kehidupan yang saling bergantung, bukan arena dominasi.

Dengan demikian, kosmologi filosofis berfungsi sebagai jembatan antara sains dan spiritualitas, antara rasionalitas dan kontemplasi, antara teknologi dan kebijaksanaan.¹⁵ Ia membantu membangun kesadaran global yang memadukan pengetahuan modern dengan nilai-nilai spiritual universal—sebuah fondasi bagi etika kemanusiaan yang baru.

7.4.       Dalam Pendidikan, Teknologi, dan Kesadaran Global

Kosmologi filosofis juga memiliki dimensi pedagogis yang signifikan. Pendidikan modern cenderung bersifat fragmentaris dan pragmatis, berfokus pada efisiensi teknologis tanpa menumbuhkan kesadaran kosmik.¹⁶ Padahal, pemahaman tentang tempat manusia dalam semesta dapat menjadi dasar pembentukan karakter yang kritis, empatik, dan bertanggung jawab.

David Orr berpendapat bahwa krisis ekologis bukan hanya akibat kesalahan ilmiah, tetapi juga akibat “pendidikan yang buta terhadap kosmos.”¹⁷ Dalam konteks ini, kosmologi filosofis dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan sebagai kerangka reflektif untuk mengajarkan keterhubungan antara ilmu, etika, dan spiritualitas.

Selain itu, perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan menghadirkan tantangan baru bagi kesadaran kosmik manusia. Dunia maya menciptakan “kosmos virtual” yang meniru keteraturan alam, namun berpotensi memutus relasi manusia dengan realitas konkret.¹⁸ Filsafat kosmos dapat membantu manusia memahami batas antara representasi dan kenyataan, serta mengajarkan tanggung jawab etis dalam penggunaan teknologi yang selaras dengan prinsip kosmik.¹⁹

Dalam konteks global, kesadaran kosmologis menjadi dasar bagi etika universal yang melampaui batas bangsa, ras, dan agama.²⁰ Ia menegaskan bahwa seluruh umat manusia berbagi asal, rumah, dan masa depan yang sama di dalam semesta ini—sebuah pandangan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi krisis planet dan disintegrasi moral kontemporer.²¹


Relevansi kontemporer kosmologi filosofis, dengan demikian, tidak hanya terletak pada dimensi teoretisnya, tetapi juga pada daya transformatifnya dalam membentuk kesadaran baru. Ia mengajarkan keseimbangan antara pengetahuan ilmiah dan kebijaksanaan moral, antara analisis rasional dan rasa hormat terhadap misteri, antara kemajuan teknologi dan tanggung jawab ekologis.²² Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kosmologi filosofis hadir sebagai wacana pemersatu—sebuah refleksi tentang makna keberadaan manusia dalam tatanan semesta yang terus berkembang.²³


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 211–213.

[2]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 33–35.

[3]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 174–176.

[4]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 7.

[5]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 11–13.

[6]                Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture (New York: Bantam Books, 1982), 26–27.

[7]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[8]                Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 258–260.

[9]                Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 45–47.

[10]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 91–92.

[11]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 520.

[12]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 4–6.

[13]             Ken Wilber, A Brief History of Everything (Boston: Shambhala, 2000), 10–12.

[14]             Daisetz T. Suzuki, Zen and Japanese Culture (Princeton: Princeton University Press, 1959), 76–78.

[15]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 112–114.

[16]             Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO, 1999), 9–10.

[17]             David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994), 23–24.

[18]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 121–122.

[19]             Yuk Hui, Recursivity and Contingency (Lanham: Rowman & Littlefield, 2019), 88–89.

[20]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17–18.

[21]             Vaclav Havel, “The Need for Transcendence in the Postmodern World,” New York Times, February 8, 1995.

[22]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 54–56.

[23]             Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey of the Universe (New Haven: Yale University Press, 2011), 136–138.


8.           Sintesis Filosofis

Bagian sintesis filosofis dalam kajian kosmologi berfungsi sebagai tahap reflektif yang berupaya mengintegrasikan seluruh dimensi filsafat kosmos—ontologis, epistemologis, dan aksiologis—ke dalam suatu pandangan menyeluruh tentang realitas. Ia bertujuan untuk menyatukan antara rasionalitas ilmiah, refleksi metafisik, dan kesadaran etis-spiritual dalam satu kerangka koheren yang menjelaskan posisi manusia di dalam tatanan semesta.¹ Dalam konteks ini, sintesis filosofis tidak dimaksudkan sebagai penutupan diskursus, melainkan sebagai horizon keterbukaan yang mempertemukan filsafat, sains, dan spiritualitas dalam kesadaran kosmik yang integral.

8.1.       Kesatuan Ontologis: Kosmos sebagai Realitas Terpadu

Dari perspektif ontologis, sintesis filosofis menegaskan bahwa kosmos adalah kesatuan yang dinamis dan teratur, bukan sekadar kumpulan entitas material yang terpisah. Pandangan ini menyatukan intuisi metafisik kuno tentang keterhubungan segala sesuatu dengan penemuan ilmiah modern mengenai struktur relasional alam semesta.²

Konsep keteraturan universal yang dikemukakan oleh para filsuf klasik seperti Herakleitos dan Aristoteles menemukan resonansinya dalam sains kontemporer melalui teori relativitas dan fisika kuantum.³ Albert Einstein, misalnya, menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidak dapat dipisahkan, melainkan membentuk jaringan kontinu yang menampung seluruh fenomena fisik.⁴ Demikian pula, fisika kuantum mengungkap bahwa setiap partikel terjalin dalam medan energi yang saling mempengaruhi, mengisyaratkan adanya kesatuan ontologis yang mendasari pluralitas fenomena.⁵

Dengan demikian, sintesis ontologis kosmologi filosofis menolak dualisme antara roh dan materi. Alam dipahami sebagai sistem hidup yang memiliki dimensi material sekaligus spiritual, sebagaimana ditegaskan oleh Alfred North Whitehead bahwa realitas adalah “proses” yang melibatkan partisipasi antara energi, kesadaran, dan nilai.⁶ Kesatuan kosmos berarti bahwa setiap bentuk keberadaan memiliki peran dalam keseluruhan harmoni universal—sebuah pandangan yang mengembalikan dimensi sakral dalam pemahaman alam.⁷

8.2.       Kesatuan Epistemologis: Rasio, Pengalaman, dan Transendensi

Pada tataran epistemologis, sintesis filosofis menuntut rekonsiliasi antara sains empiris dan refleksi metafisik. Tradisi modern sering menempatkan keduanya dalam ketegangan: sains dianggap berurusan dengan fakta, sementara filsafat dengan makna. Namun, kosmologi filosofis kontemporer menunjukkan bahwa pengetahuan sejati tentang semesta menuntut keterpaduan antara rasionalitas, intuisi, dan keterbukaan terhadap misteri.⁸

Immanuel Kant sudah menyadari keterbatasan rasio dalam menjangkau hakikat semesta, namun tetap menegaskan nilai apriori rasio dalam membentuk pengetahuan ilmiah.⁹ Sementara itu, fenomenologi Husserl dan Heidegger menambahkan dimensi eksistensial, bahwa pengetahuan tidak bersifat netral, melainkan selalu terkait dengan kesadaran manusia sebagai “ada-di-dunia.”¹⁰

Kosmologi filosofis modern, dengan demikian, memperluas epistemologi menjadi partisipatif: manusia tidak sekadar mengamati alam, tetapi turut berpartisipasi dalam proses pemaknaannya.¹¹ Seperti dikatakan oleh Fritjof Capra, pemahaman tentang kosmos memerlukan “pergeseran paradigma” dari mekanistik menuju organik—dari pemisahan menuju kesalingterhubungan.¹² Dalam paradigma baru ini, rasio tidak lagi dilihat sebagai penguasa atas alam, melainkan sebagai sarana dialog antara kesadaran manusia dan rasionalitas kosmik yang lebih besar.¹³

Epistemologi kosmologis yang integral membuka ruang bagi transendensi, yaitu kesadaran bahwa pengetahuan ilmiah selalu mengarah pada sesuatu yang melampaui dirinya sendiri—ke arah misteri keberadaan yang tak terhingga.¹⁴ Di sini, filsafat bertemu kembali dengan dimensi spiritual, bukan dalam bentuk dogma, melainkan sebagai keterbukaan eksistensial terhadap keajaiban realitas.¹⁵

8.3.       Kesatuan Aksiologis: Etika Kosmik dan Tanggung Jawab Universal

Dimensi aksiologis dari sintesis kosmologis menegaskan bahwa kesadaran akan kesatuan kosmos harus berimplikasi etis. Mengetahui alam berarti juga mengakui nilai intrinsik dari seluruh keberadaan.¹⁶ Dalam kerangka ini, etika kosmik menjadi konsekuensi logis dari pandangan kosmologis yang menempatkan manusia bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai penjaga dan partisipan dalam tatanan universal.¹⁷

Hans Jonas menekankan pentingnya “imperatif tanggung jawab” dalam era teknologi, di mana kekuasaan manusia atas alam harus diimbangi dengan kewajiban moral untuk menjaga kelestariannya.¹⁸ Dalam semangat yang sama, Thomas Berry menulis bahwa “tugas besar manusia modern bukan lagi menaklukkan bumi, tetapi berpartisipasi dalam proses penyembuhannya.”¹⁹ Pandangan ini mencerminkan etika yang tidak hanya antroposentris, tetapi kosmosentris—etika yang berakar pada kesadaran akan keterkaitan segala makhluk.

Aksiologi kosmik juga memiliki dimensi spiritual. Spiritualitas baru yang muncul dari kosmologi filosofis menekankan rasa syukur dan kekaguman terhadap tatanan semesta.²⁰ Dalam kesadaran ini, manusia menemukan kembali posisinya sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar, di mana setiap tindakan moral menjadi partisipasi dalam harmoni kosmik.²¹

8.4.       Menuju Kosmologi Integral: Rasionalitas, Spiritualitas, dan Ekologi

Sintesis filosofis akhirnya bermuara pada gagasan tentang kosmologi integral, yaitu pandangan dunia yang memadukan sains, filsafat, dan spiritualitas dalam satu kerangka pemahaman.²² Kosmologi integral mengakui bahwa alam semesta bersifat rasional, tetapi rasionalitasnya tidak terbatas pada logika matematis—ia juga mencakup keindahan, nilai, dan kesadaran.²³

Pierre Teilhard de Chardin menggambarkan kosmos sebagai proses evolusi menuju Omega Point, yaitu kesatuan kesadaran ilahi yang menjadi tujuan akhir segala hal.²⁴ Sementara itu, Ken Wilber menegaskan perlunya integrasi antara dimensi empiris, rasional, dan mistik untuk membangun “kesadaran kosmik” yang mampu melampaui reduksionisme modern.²⁵ Pandangan integral ini sejalan dengan prinsip ekologi spiritual yang dikembangkan oleh Brian Swimme dan Mary Evelyn Tucker, yang menafsirkan kosmos sebagai “cerita besar” (the great story) tentang hubungan kreatif antara manusia dan alam.²⁶

Melalui kosmologi integral, manusia diajak untuk menafsirkan ulang posisinya dalam semesta—bukan sebagai pusat, melainkan sebagai ekspresi kesadaran kosmik yang sedang berevolusi.²⁷ Dengan cara ini, filsafat tidak hanya menjadi sistem konseptual, tetapi menjadi bentuk kebijaksanaan hidup yang memandu manusia untuk berpikir, bertindak, dan berdoa dalam harmoni dengan seluruh realitas.²⁸


Sintesis filosofis kosmologi, dengan demikian, menandai titik temu antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara rasio dan transendensi. Ia mengajarkan bahwa memahami kosmos berarti memahami diri sendiri, karena manusia dan alam berasal dari sumber yang sama dan berbagi nasib yang sama dalam tatanan keberadaan.²⁹ Dalam semangat ini, kosmologi filosofis tidak hanya berbicara tentang struktur semesta, tetapi juga tentang panggilan moral dan spiritual manusia untuk hidup selaras dengan ritme kosmik—sebuah kesadaran yang menuntun pada kehidupan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan penuh makna.³⁰


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 217–218.

[2]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 33–35.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7.

[4]                Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory (New York: Crown, 1961), 84–85.

[5]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 55–57.

[6]                Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 90–92.

[7]                Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996), 29–30.

[8]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 117–119.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A22–A23.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–57.

[11]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), xvi–xvii.

[12]             Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture (New York: Bantam Books, 1982), 51–52.

[13]             Michael Polanyi, Personal Knowledge (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 311–312.

[14]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 45–46.

[15]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1960), 107–109.

[16]             Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred S. Frings (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 44–46.

[17]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 203–204.

[18]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–10.

[19]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 55–57.

[20]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 275–277.

[21]             Matthew Fox, The Coming of the Cosmic Christ (San Francisco: Harper & Row, 1988), 67–68.

[22]             Ken Wilber, A Theory of Everything (Boston: Shambhala, 2000), 12–13.

[23]             Brian Swimme, The Universe Is a Green Dragon (Santa Fe: Bear & Co., 1984), 23–25.

[24]             Pierre Teilhard de Chardin, The Future of Man (New York: Harper & Row, 1964), 101–103.

[25]             Ken Wilber, Sex, Ecology, Spirituality: The Spirit of Evolution (Boston: Shambhala, 1995), 7–8.

[26]             Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey of the Universe (New Haven: Yale University Press, 2011), 136–138.

[27]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 45–47.

[28]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 149–150.

[29]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 25–26.

[30]             Vaclav Havel, “The Need for Transcendence in the Postmodern World,” New York Times, February 8, 1995.


9.           Kesimpulan

Kosmologi filosofis, sebagai disiplin yang menyatukan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis, memperlihatkan bahwa pencarian manusia terhadap asal-usul dan struktur semesta bukan hanya bersifat ilmiah, tetapi juga eksistensial dan spiritual.¹ Ia menegaskan bahwa kosmos tidak sekadar realitas fisik yang tunduk pada hukum-hukum mekanistik, melainkan tatanan rasional dan bernilai yang menjadi dasar bagi kehidupan, pengetahuan, dan moralitas.² Dengan demikian, kosmologi filosofis berfungsi sebagai refleksi menyeluruh tentang posisi manusia di dalam semesta, sekaligus sebagai usaha memahami makna keberadaan dalam horizon universal.

9.1.       Kesimpulan Ontologis: Alam sebagai Kesatuan Rasional dan Sakral

Secara ontologis, kosmologi filosofis mengajarkan bahwa alam semesta merupakan realitas yang teratur, rasional, dan bermakna. Tradisi filsafat sejak Yunani kuno hingga pemikiran kontemporer menegaskan bahwa di balik keragaman fenomena alam terdapat prinsip kesatuan yang mendasarinya—logos, harmonia, atau rasionalitas ilahi.³ Pandangan ini tidak sekadar metaforis, tetapi menandakan bahwa seluruh realitas saling berhubungan dalam suatu keteraturan kosmik yang tidak dapat direduksi menjadi kebetulan.

Pemikiran modern, melalui fisika relativitas dan mekanika kuantum, secara tak terduga mengonfirmasi intuisi kuno ini. Alam semesta dipahami sebagai sistem terbuka yang saling terhubung, di mana setiap bagian memengaruhi keseluruhan.⁴ Dengan demikian, manusia, sebagai bagian dari kosmos, tidak dapat memisahkan dirinya dari jaringan eksistensi universal; keberadaannya adalah manifestasi kesadaran kosmik itu sendiri.⁵

9.2.       Kesimpulan Epistemologis: Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Realitas Kosmos

Secara epistemologis, kosmologi filosofis mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang semesta bersifat partisipatif dan refleksif. Manusia tidak hanya mengamati alam sebagai objek, tetapi berpartisipasi di dalamnya melalui kesadaran, refleksi, dan penalaran.⁶ Proses mengetahui menjadi bentuk keterlibatan eksistensial antara subjek dan dunia, sebagaimana diungkap oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger.⁷

Sains modern telah memperluas jangkauan pengetahuan manusia, tetapi filsafat kosmologis menegaskan bahwa rasio ilmiah tidak pernah berdiri sendiri: ia memerlukan horizon makna yang lebih luas.⁸ Ketika fisika menyingkap hukum-hukum alam, filsafat mengajukan pertanyaan yang lebih dalam—mengapa hukum-hukum itu ada?, dan apa maknanya bagi manusia?⁹ Dengan demikian, epistemologi kosmologis berfungsi sebagai jembatan antara rasionalitas dan misteri, antara empirisme dan kontemplasi, membentuk cara berpikir yang terbuka namun tetap rasional.¹⁰

9.3.       Kesimpulan Aksiologis: Etika Kosmik dan Spiritualitas Universal

Secara aksiologis, kosmologi filosofis membawa implikasi moral yang mendalam. Kesadaran akan keterhubungan seluruh makhluk menuntun manusia untuk mengembangkan etika kosmik—sebuah pandangan moral yang didasarkan pada penghormatan terhadap kehidupan dan tatanan alam.¹¹ Dalam perspektif ini, setiap tindakan manusia terhadap alam adalah tindakan terhadap dirinya sendiri, karena keduanya merupakan bagian dari satu kesatuan eksistensial.¹²

Etika kosmologis ini menegaskan prinsip tanggung jawab ekologis, solidaritas universal, dan rasa hormat terhadap keberadaan.¹³ Spiritualitas kosmik kemudian menjadi bentuk kesadaran baru yang melampaui batas agama dan budaya, menekankan kesatuan antara ilmu, iman, dan kehidupan.¹⁴ Dalam kesadaran ini, manusia tidak lagi melihat kosmos sebagai “latar belakang” kehidupannya, melainkan sebagai rumah spiritual yang mengandung makna dan tujuan.¹⁵


Sintesis Akhir: Menuju Kesadaran Kosmik Manusia

Dari keseluruhan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kosmologi filosofis berfungsi sebagai jalan menuju kesadaran kosmik, yakni kesadaran akan keterpaduan rasio, pengalaman, dan nilai dalam memahami realitas.¹⁶ Ia mempertemukan pandangan saintifik tentang keteraturan alam dengan pemahaman metafisik tentang makna, serta dengan tuntutan moral untuk hidup selaras dengan tatanan semesta.

Dalam era modern yang cenderung fragmentaris dan antroposentris, kosmologi filosofis mengingatkan manusia bahwa kemajuan teknologi dan sains harus disertai kebijaksanaan etis dan spiritual.¹⁷ Filsafat kosmos mengajarkan keseimbangan antara pengetahuan dan tanggung jawab, antara kebebasan dan keteraturan, antara manusia dan alam.

Akhirnya, kosmologi filosofis bukanlah sistem tertutup, melainkan pandangan dunia terbuka (open worldview) yang senantiasa berkembang seiring pengetahuan manusia.¹⁸ Ia mengajarkan bahwa pencarian makna tentang semesta adalah juga pencarian makna tentang diri manusia sendiri—sebuah perjalanan tanpa akhir menuju kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang menjadi dasar dari segala realitas.¹⁹


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 220–222.

[2]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 15–17.

[3]                Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), 30.

[4]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 57–59.

[5]                Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 102–103.

[6]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 118.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–57.

[8]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 41–42.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A832–A835.

[10]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 28–29.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–10.

[12]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 203.

[13]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 91–92.

[14]             Pierre Teilhard de Chardin, The Future of Man (New York: Harper & Row, 1964), 97–99.

[15]             Matthew Fox, The Coming of the Cosmic Christ (San Francisco: Harper & Row, 1988), 67–68.

[16]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 115–117.

[17]             Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO, 1999), 9–10.

[18]             Ken Wilber, A Theory of Everything (Boston: Shambhala, 2000), 15–16.

[19]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 25–27.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1930). Physics (R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Aquinas, T. (1947). Summa theologica. London: Burns Oates.

Aquinas, T. (1957). Summa contra gentiles. New York: Image Books.

Barrow, J. D., & Tipler, F. J. (1986). The anthropic cosmological principle. Oxford: Oxford University Press.

Barth, K. (1957). Church dogmatics (Vol. II/1). Edinburgh: T&T Clark.

Beauvoir, S. de. (1948). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). New York: Citadel Press.

Berry, T. (1988). The dream of the earth. San Francisco: Sierra Club Books.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. New York: Bell Tower.

Boff, L. (1997). Cry of the earth, cry of the poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Bohm, D. (1980). Wholeness and the implicate order. London: Routledge.

Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann, Trans.). New York: Scribner.

Bultmann, R. (1957). History and eschatology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). New York: Vintage.

Capra, F. (1975). The tao of physics. Boston: Shambhala.

Capra, F. (1982). The turning point: Science, society, and the rising culture. New York: Bantam Books.

Capra, F. (1996). The web of life. New York: Anchor Books.

Capra, F. (2002). The hidden connections. New York: Anchor Books.

Carroll, S. (2016). The big picture: On the origins of life, meaning, and the universe itself. New York: Dutton.

Chardin, P. T. de. (1959). The phenomenon of man. New York: Harper & Row.

Chardin, P. T. de. (1964). The future of man. New York: Harper & Row.

Comte, A. (1896). The positive philosophy (H. Martineau, Trans.). London: George Bell and Sons.

Copleston, F. (1946). A history of philosophy: Greece and Rome. London: Burns Oates.

Copleston, F. (1950). A history of philosophy: Medieval philosophy. London: Burns Oates.

Copleston, F. (1958). A history of philosophy: Modern philosophy. London: Burns Oates.

Davies, P. (1992). The mind of God: The scientific basis for a rational world. New York: Simon & Schuster.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Einstein, A. (1961). Relativity: The special and the general theory. New York: Crown.

Eliade, M. (1958). Patterns in comparative religion. New York: Sheed & Ward.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon Books.

Fox, M. (1988). The coming of the cosmic Christ. San Francisco: Harper & Row.

Gilson, É. (1937). The unity of philosophical experience. New York: Scribner.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. New York: Random House.

Greene, B. (2004). The fabric of the cosmos. New York: Alfred A. Knopf.

Guénon, R. (2001). The reign of quantity and the signs of the times. New York: Sophia Perennis.

Havel, V. (1995, February 8). The need for transcendence in the postmodern world. The New York Times.

Hawking, S. (1988). A brief history of time. New York: Bantam Books.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. New York: Bantam Books.

Heidegger, M. (1959). An introduction to metaphysics (R. Manheim, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). New York: Harper & Row.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy. New York: Harper & Row.

Heraclitus. (1987). Fragments (T. M. Robinson, Trans.). Toronto: University of Toronto Press.

Hesiod. (1914). Theogony (H. G. Evelyn-White, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Hume, D. (1902). An enquiry concerning human understanding (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Jaeger, W. (1947). The theology of the early Greek philosophers. Oxford: Clarendon Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago: University of Chicago Press.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.

Kant, I. (1981). Universal natural history and theory of the heavens (S. L. Jaki, Trans.). Edinburgh: Scottish Academic Press.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Koyré, A. (1957). From the closed world to the infinite universe. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.

Lao Tzu. (1963). Tao te ching (D. C. Lau, Trans.). Harmondsworth: Penguin Books.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford: Oxford University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Marcel, G. (1960). The mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). Chicago: Henry Regnery.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man. Boston: Beacon Press.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. San Francisco: Harper & Row.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.

Morin, E. (1999). Seven complex lessons in education for the future. Paris: UNESCO.

Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false. Oxford: Oxford University Press.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis principia mathematica. London: Royal Society.

Orr, D. W. (1994). Earth in mind: On education, environment, and the human prospect. Washington, DC: Island Press.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Penrose, R. (2010). Cycles of time: An extraordinary new view of the universe. New York: Knopf.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Plato. (2000). Timaeus (D. J. Zeyl, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Polanyi, M. (1958). Personal knowledge. Chicago: University of Chicago Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Popper, K. (1963). Conjectures and refutations. London: Routledge.

Prigogine, I. (1984). Order out of chaos. New York: Bantam Books.

Rahner, K. (1968). Spirit in the world. New York: Herder and Herder.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton: Princeton University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Sagan, C. (1980). Cosmos. New York: Random House.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.). Evanston: Northwestern University Press.

Schweitzer, A. (1933). Out of my life and thought. New York: Holt.

Spinoza, B. (1985). Ethics (E. Curley, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Suzuki, D. T. (1959). Zen and Japanese culture. Princeton: Princeton University Press.

Swimme, B. (1984). The universe is a green dragon. Santa Fe: Bear & Co.

Swimme, B., & Tucker, M. E. (2011). Journey of the universe. New Haven: Yale University Press.

Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon of man. New York: Harper & Row.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Voltaire. (1972). Philosophical dictionary (T. Besterman, Trans.). London: Penguin.

White, L., Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality. New York: Free Press.

Wilber, K. (1995). Sex, ecology, spirituality: The spirit of evolution. Boston: Shambhala.

Wilber, K. (2000). A theory of everything. Boston: Shambhala.

Wilber, K. (2000). A brief history of everything. Boston: Shambhala.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar