Kosmologi Filosofis
Asal, Struktur, dan Makna Semesta dalam Perspektif
Filsafat
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif kosmologi
filosofis sebagai bidang refleksi yang berupaya memahami asal-usul,
struktur, dan makna alam semesta melalui pendekatan rasional, metafisik, dan
etis. Kajian ini menelusuri perkembangan historis kosmologi dari mitos kuno
hingga pemikiran kontemporer, menunjukkan bahwa pemahaman manusia tentang
kosmos selalu bertransformasi sesuai dengan paradigma intelektual dan spiritual
zamannya. Secara ontologis, kosmos dipahami bukan sekadar sebagai tatanan
material, tetapi sebagai realitas rasional dan sakral yang mencerminkan
kesatuan universal. Secara epistemologis, kosmologi filosofis menggabungkan antara
rasionalitas ilmiah dan kesadaran reflektif, menegaskan bahwa pengetahuan
tentang alam bersifat partisipatif—manusia tidak hanya mengamati, tetapi juga
terlibat dalam proses pemaknaan kosmos.
Dari segi aksiologi, artikel ini menegaskan bahwa
kesadaran akan keteraturan kosmik melahirkan etika kosmologis yang
menuntun manusia untuk hidup dalam harmoni dengan alam, menghormati kehidupan,
dan mengembangkan tanggung jawab ekologis. Kritik dari positivisme,
postmodernisme, teologi, dan eksistensialisme diulas untuk memperlihatkan
dinamika serta keterbukaan filsafat kosmos terhadap koreksi metodologis dan
nilai-nilai baru. Pada akhirnya, melalui pendekatan sintesis, kosmologi
filosofis disajikan sebagai kerangka integral yang menyatukan ilmu
pengetahuan, filsafat, dan spiritualitas dalam pandangan dunia yang holistik.
Pandangan ini menegaskan relevansi kosmologi filosofis bagi peradaban
modern—sebagai jembatan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara kemajuan
teknologi dan tanggung jawab moral, serta antara manusia dan alam semesta.
Kata Kunci: Kosmologi filosofis, ontologi kosmos, epistemologi
kosmologis, etika kosmik, kesadaran ekologis, spiritualitas universal, kesatuan
realitas.
PEMBAHASAN
Bagaimana Filsafat Memahami Kosmos secara Rasional dan Ontologis?
1.          
Pendahuluan
Pertanyaan tentang asal-usul dan struktur
semesta merupakan salah satu bentuk keingintahuan paling mendasar dalam
sejarah kesadaran manusia. Sejak zaman purba, manusia memandang langit dengan
rasa kagum dan misteri, berusaha menafsirkan keteraturan bintang, gerak planet,
serta dinamika siang dan malam sebagai tanda-tanda dari suatu tatanan kosmik
yang rasional atau ilahi. Dalam konteks ini, kosmologi filosofis muncul
sebagai cabang refleksi yang tidak hanya menanyakan bagaimana alam
semesta bekerja—seperti halnya ilmu pengetahuan modern—tetapi juga mengapa
ia ada, apa maknanya, dan bagaimana posisi manusia di dalam keseluruhan
realitas tersebut. Dengan demikian, kosmologi filosofis menempati ruang antara metafisika,
epistemologi, dan aksiologi, mengintegrasikan penjelasan rasional tentang
struktur kosmos dengan pemaknaan eksistensial dan etis terhadap keberadaan
manusia di dalamnya.¹
Dalam sejarah pemikiran, gagasan tentang kosmos
selalu mencerminkan cara manusia memahami dirinya dan tempatnya di dunia. Dalam
tradisi Yunani kuno, istilah kosmos (κόσμος) berarti “tatanan” atau
“keindahan,” menandakan keyakinan bahwa alam semesta merupakan suatu
keseluruhan yang harmonis dan rasional.² Thales dari Miletos, misalnya, melihat
bahwa segala sesuatu berasal dari prinsip tunggal (archē), yaitu air,
yang menjadi dasar keteraturan semesta.³ Pandangan ini menandai transisi dari
penjelasan mitologis menuju pemikiran rasional. Kemudian, Plato dalam Timaeus
menyusun visi kosmos sebagai ciptaan Demiurgos yang membentuk materi
kacau menjadi tatanan harmonis berdasarkan ide-ide abadi.⁴ Aristoteles
melanjutkan gagasan ini dengan konsep kosmos tertutup, di mana setiap
benda memiliki tempat dan tujuan alami dalam sistem hierarkis yang sempurna.⁵
Namun, transformasi besar terjadi pada masa modern
ketika Copernicus, Galileo, dan Newton memecah paradigma Aristotelian. Alam
tidak lagi dilihat sebagai organisme yang hidup, melainkan sebagai mesin yang
tunduk pada hukum-hukum matematis universal.⁶ Perubahan ini melahirkan kosmologi
mekanistik, yang menekankan keteraturan kausal namun mengabaikan dimensi
makna dan tujuan. Filsafat kemudian berhadapan dengan pertanyaan baru: jika
alam hanyalah mekanisme tanpa arah, di manakah tempat manusia, dan apakah masih
ada ruang bagi nilai-nilai metafisik atau spiritual? Pertanyaan ini menjadi
inti dari kosmologi filosofis modern, yang berusaha menyeimbangkan
antara pengetahuan ilmiah dan refleksi maknawi.⁷
Di abad ke-20 dan ke-21, kemajuan kosmologi fisika—seperti
teori relativitas umum, model Big Bang, dan fisika kuantum—mengubah pemahaman
kita tentang waktu, ruang, dan asal-usul semesta.⁸ Namun di balik keberhasilan
ilmiah ini, tetap tersisa problem filosofis yang mendalam: apakah semesta
memiliki permulaan absolut? Apakah hukum-hukum alam muncul begitu saja atau
menunjukkan rasionalitas yang mendasari realitas? Apakah keberadaan manusia
hanyalah kebetulan kosmik atau bagian dari rancangan yang lebih luas?⁹
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pusat perhatian kosmologi
filosofis kontemporer, yang menggabungkan refleksi ilmiah, metafisik, dan
spiritual dalam kerangka yang lebih holistik.
Secara metodologis, pembahasan kosmologi filosofis
tidak dapat dilepaskan dari pendekatan interdisipliner: ia menuntut
sintesis antara sains empiris, logika rasional, hermeneutika makna, dan intuisi
metafisik. Kosmologi filosofis juga mengandung dimensi aksiologis, sebab
pemahaman tentang kosmos menentukan cara manusia memperlakukan alam dan
sesamanya. Dengan melihat alam sebagai sistem yang memiliki keteraturan dan
nilai intrinsik, manusia terdorong untuk mengembangkan etika kosmik—yakni
kesadaran moral yang berpijak pada kesatuan seluruh makhluk.¹⁰
Oleh karena itu, bagian pendahuluan ini menjadi
dasar untuk memahami kosmologi bukan semata sebagai disiplin spekulatif,
melainkan sebagai usaha manusia memahami dirinya dalam horizon semesta.
Ia menegaskan bahwa filsafat tidak berhenti pada abstraksi, tetapi berakar pada
kekaguman terhadap realitas dan keinginan untuk menemukan tempat manusia di
dalam tatanan universal yang tak terbatas.¹¹ Kosmologi filosofis dengan
demikian berperan sebagai jembatan antara pengetahuan ilmiah dan pemaknaan
eksistensial, antara keteraturan rasional dan misteri yang melampaui rasio.
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (London: Burns Oates, 1946), 32–33.
[2]               
Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 5.
[3]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 45.
[4]               
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 29a–47e.
[5]               
Aristotle, De Caelo, trans. J. L. Stocks
(Oxford: Clarendon Press, 1922), II.12.
[6]               
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 15–20.
[7]               
Immanuel Kant, Universal Natural History and
Theory of the Heavens, trans. Stanley L. Jaki (Edinburgh: Scottish Academic
Press, 1981), 7.
[8]               
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), 34–36.
[9]               
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific
Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 12–14.
[10]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston:
Shambhala, 1975), 68–70.
[11]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House,
1980), 4–6.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Kosmologi
Perkembangan
kosmologi filosofis merupakan hasil dari proses panjang evolusi intelektual
manusia dalam memahami realitas semesta. Ia tidak muncul secara tiba-tiba,
melainkan tumbuh melalui pergulatan antara mitos, rasio, dan pengalaman empiris
yang membentuk cara manusia memaknai dunia. Secara historis, perjalanan ini
dapat dibagi ke dalam beberapa tahap utama—yakni kosmologi
mitologis, kosmologi pra-Sokratik, kosmologi
klasik dan skolastik, kosmologi modern, dan kosmologi
kontemporer—yang masing-masing menandai transformasi mendasar
dalam cara berpikir tentang alam semesta.¹
2.1.      
Kosmologi Mitologis: Asal-usul Sakral Semesta
Pada tahap awal
peradaban manusia, kosmos dipahami melalui narasi mitologis. Dalam pandangan
ini, alam semesta tidak dijelaskan berdasarkan hukum-hukum alam, melainkan
melalui kisah-kisah sakral tentang dewa-dewi yang menciptakan dan mengatur
tatanan dunia. Mitos-mitos seperti Enuma Elish di Mesopotamia, Rig Veda
di India, dan kisah penciptaan Mesir Kuno memperlihatkan bahwa kosmos dipandang
sebagai perwujudan kehendak ilahi yang mengalahkan kekacauan (chaos)
untuk menegakkan keteraturan (cosmos).²
Dalam konteks Yunani
awal, Hesiod dalam Theogonia menuturkan bahwa dunia lahir
dari Chaos
yang kemudian menurunkan Gaia (Bumi), Uranus (Langit), dan generasi dewa-dewi
yang mengatur tatanan semesta.³ Kosmologi mitologis seperti ini mengandung
nilai simbolik yang mendalam: ia menafsirkan keteraturan alam sebagai refleksi
dari tatanan moral dan spiritual. Walau belum bersifat rasional, mitologi
menjadi langkah awal bagi munculnya kesadaran kosmik yang akan dikembangkan
lebih jauh oleh filsafat.⁴
2.2.      
Kosmologi Pra-Sokratik: Rasionalisasi Alam
Peralihan dari mitos
ke rasio terjadi di Yunani abad ke-6 SM, ketika para filsuf pra-Sokratik mulai
mencari archē
(prinsip pertama) yang menjelaskan asal-usul segala sesuatu secara rasional.
Thales dari Miletos berpendapat bahwa air adalah dasar segala realitas karena
memiliki sifat hidup dan perubahan.⁵ Anaximandros mengusulkan konsep apeiron
(yang tak terbatas) sebagai prinsip asal yang mendahului segala bentuk.⁶
Sementara itu, Herakleitos melihat api sebagai simbol perubahan abadi dan logos
sebagai rasionalitas yang menjiwai tatanan semesta.⁷
Puncak dari tahap
ini terdapat pada Pythagoras dan Parmenides. Pythagoras menekankan harmoni
matematis sebagai dasar realitas, menandakan kesadaran bahwa alam tunduk pada
proporsi rasional.⁸ Parmenides, sebaliknya, menolak perubahan dan menegaskan
bahwa “yang ada” adalah tunggal, kekal, dan tak berubah—pandangan yang
kelak memengaruhi metafisika Plato.⁹ Melalui pemikiran pra-Sokratik inilah
kosmologi mulai bertransformasi menjadi disiplin rasional yang mencari
keteraturan logis di balik fenomena alam.
2.3.      
Kosmologi Klasik dan Skolastik: Sintesis
Metafisis dan Teologis
Plato dan
Aristoteles menjadi dua figur utama yang meletakkan dasar bagi kosmologi
filosofis klasik. Dalam Timaeus, Plato menggambarkan dunia
sebagai hasil karya Demiurgos, sang pengrajin ilahi
yang membentuk materi dari kekacauan menjadi tatanan harmonis berdasarkan
ide-ide abadi.¹⁰ Kosmos bagi Plato merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa,
sebuah pandangan yang menegaskan kesatuan antara rasio, keindahan, dan
spiritualitas.
Aristoteles, dalam De Caelo,
menolak ide penciptaan temporal dan mengajukan konsep kosmos
abadi, di mana bumi menjadi pusat semesta dan setiap benda bergerak
sesuai dengan tujuan alaminya (telos).¹¹ Konsep keteraturan
hierarkis Aristoteles kemudian diadopsi dan disintesiskan oleh para filsuf
skolastik seperti Thomas Aquinas, yang menafsirkan kosmos sebagai ciptaan Tuhan
yang memiliki rasionalitas internal sesuai hukum ilahi.¹² Kosmologi skolastik
dengan demikian mempertemukan metafisika Aristotelian dan teologi Kristiani
dalam satu sistem kosmos yang teratur dan bermakna.
2.4.      
Kosmologi Modern: Mekanistik dan Ilmiah
Revolusi ilmiah abad
ke-16 hingga ke-17 mengubah paradigma kosmologis secara radikal. Nicolaus
Copernicus dengan teori heliosentrisnya menggantikan posisi bumi sebagai pusat
alam semesta. Galileo Galilei melalui observasi teleskopik menegaskan bahwa
langit tunduk pada hukum yang sama dengan bumi.¹³ Isaac Newton kemudian
memformulasikan hukum gravitasi universal, yang memandang kosmos sebagai mesin
raksasa yang tunduk pada hukum matematis deterministik.¹⁴
Kosmologi modern ini
memisahkan dunia fisik dari makna metafisiknya. Alam tidak lagi dilihat sebagai
organisme hidup, melainkan sebagai sistem mekanik tanpa tujuan intrinsik.¹⁵
Meskipun hal ini menandai kemajuan luar biasa dalam sains, ia juga melahirkan
krisis filosofis—hilangnya dimensi nilai, tujuan, dan spiritualitas dalam
pandangan dunia modern.¹⁶
2.5.      
Kosmologi Kontemporer: Sintesis Sains dan
Filsafat
Abad ke-20 membawa
kebangkitan baru dalam refleksi kosmologis. Teori relativitas umum Einstein
menunjukkan bahwa ruang dan waktu bersifat dinamis, sementara model Big Bang
menegaskan bahwa alam semesta memiliki awal temporal.¹⁷ Mekanika kuantum
menyingkap realitas yang tidak deterministik, di mana probabilitas dan pengamat
memainkan peran penting dalam struktur kosmos.
Pemikiran ini
menginspirasi para filsuf dan ilmuwan seperti Alfred North Whitehead dengan
filsafat prosesnya, yang memandang realitas sebagai jaringan peristiwa yang
saling berhubungan.¹⁸ Fritjof Capra, melalui The Tao of Physics, mencoba
menjembatani pandangan ilmiah modern dengan kebijaksanaan Timur, menegaskan
bahwa kosmos adalah kesatuan dinamis yang memadukan materi, energi, dan
kesadaran.¹⁹ Kosmologi kontemporer dengan demikian berupaya merehabilitasi
kembali dimensi makna dan spiritualitas dalam penjelasan ilmiah tentang alam.
Dengan menelusuri
genealoginya, dapat disimpulkan bahwa kosmologi filosofis merupakan hasil
evolusi kesadaran manusia tentang kosmos—dari mitos ke rasio,
dari mekanistik ke holistik. Setiap tahap sejarahnya memperlihatkan upaya
manusia untuk memahami tatanan semesta secara lebih mendalam, bukan hanya dalam
aspek fisiknya, tetapi juga dalam konteks eksistensial dan etis.²⁰
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Greece and Rome
(London: Burns Oates, 1946), 31–35.
[2]               
Mircea Eliade, Patterns in Comparative
Religion (New York: Sheed &
Ward, 1958), 45–47.
[3]               
Hesiod, Theogony, trans. Hugh G. Evelyn-White (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1914), 116–125.
[4]               
Karen Armstrong, A Short History of Myth (Edinburgh: Canongate, 2005), 23–26.
[5]               
Jonathan Barnes, The Presocratic
Philosophers (London: Routledge,
1982), 47.
[6]               
Werner Jaeger, The Theology of the
Early Greek Philosophers (Oxford:
Clarendon Press, 1947), 86.
[7]               
Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of
Toronto Press, 1987), 12.
[8]               
Philip Wheelwright, The
Presocratics (New York: Odyssey
Press, 1966), 67–69.
[9]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 242.
[10]            
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 29a–47e.
[11]            
Aristotle, De Caelo, trans. J. L. Stocks (Oxford: Clarendon Press, 1922),
II.12.
[12]            
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 47, a. 2.
[13]            
Galileo Galilei, Dialogue Concerning the
Two Chief World Systems, trans.
Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1953), 87–89.
[14]            
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica (London: Royal
Society, 1687), Book III.
[15]            
Alexandre Koyré, From the Closed World
to the Infinite Universe (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1957), 42–45.
[16]            
René Guénon, The Reign of Quantity
and the Signs of the Times (New
York: Sophia Perennis, 2001), 67–68.
[17]            
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 34–36.
[18]            
Alfred North Whitehead, Process
and Reality (New York: Free Press,
1978), 11–12.
[19]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 80–85.
[20]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 6–8.
3.          
Ontologi
Kosmos: Struktur, Substansi, dan Keteraturan
Pembahasan tentang ontologi
kosmos menyangkut pertanyaan paling mendasar mengenai hakikat
keberadaan alam semesta—apa yang membuatnya ada, bagaimana
strukturnya tersusun, dan apakah di balik keragaman fenomenanya terdapat
kesatuan yang mendasarinya. Sejak awal sejarah filsafat, para pemikir berupaya
menjawab apakah kosmos bersifat material, spiritual, atau keduanya; apakah
keteraturannya muncul secara kebetulan atau merupakan ekspresi dari rasionalitas
transenden.¹ Pertanyaan ini bukan sekadar metafisik, melainkan menyentuh inti
kesadaran manusia sebagai bagian dari keseluruhan realitas yang teratur.
3.1.      
Hakikat Realitas Kosmos: Materialisme,
Dualisme, dan Hilemorfisme
Dalam sejarah
filsafat, terdapat beragam pandangan mengenai substansi dasar kosmos. Kaum materialis
seperti Demokritos dan Epikuros mengajukan bahwa realitas tersusun atas
atom-atom yang bergerak dalam kehampaan, tanpa tujuan maupun prinsip rohani.²
Pandangan ini menjadi cikal bakal ontologi mekanistik modern yang menafsirkan
alam sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum kausalitas fisik.³
Sebaliknya, idealisme
metafisis—yang dirintis oleh Plato—menegaskan bahwa dunia
indrawi hanyalah bayangan dari dunia ide yang abadi dan sempurna.⁴ Bagi Plato,
tatanan kosmos bersumber dari rasio ilahi yang mengatur bentuk-bentuk ideal.
Aristoteles kemudian mengoreksi pandangan ini dengan teori hilemorfisme,
yakni bahwa setiap benda tersusun dari materi (hyle) dan bentuk
(morphe).⁵
Dalam sistemnya, alam tidak hanya terdiri dari unsur fisik, melainkan juga dari
prinsip formal yang mengarahkan materi pada aktualitasnya. Dengan demikian,
keteraturan kosmos bersifat imanen dan teleologis, bukan semata hasil
kebetulan.⁶
Dalam pemikiran
Skolastik, khususnya pada Thomas Aquinas, struktur ontologis ini memperoleh
dimensi teologis: materi dan bentuk berada dalam ketergantungan ontologis pada
Tuhan sebagai actus purus, sumber keberadaan
segala sesuatu.⁷ Dengan cara ini, kosmos dipahami sebagai ciptaan yang sekaligus
rasional dan sakral, di mana setiap entitas memiliki tempatnya dalam hierarki
wujud yang mengalir dari Keberadaan Mutlak menuju realitas partikular.⁸
3.2.      
Prinsip Kesatuan dan Keteraturan Kosmos
Pertanyaan
berikutnya menyangkut bagaimana keteraturan dan kesatuan dapat muncul dari
keragaman fenomena alam. Dalam tradisi Yunani, konsep logos
menjadi kunci bagi pemahaman tentang tatanan kosmos. Herakleitos memandang logos
sebagai prinsip rasional universal yang menata perubahan dan konflik menjadi
harmoni.⁹ Bagi para Stoa, logos spermatikos adalah benih
rasional yang menjiwai seluruh realitas, menjadikan dunia sebagai organisme
hidup yang saling berhubungan.¹⁰
Aristoteles
memperkuat gagasan keteraturan dengan menjelaskan bahwa setiap gerak di alam
bertujuan menuju telos tertentu—suatu bentuk
finalitas yang menunjukkan bahwa kosmos bersifat rasional.¹¹ Konsep ini
kemudian diteruskan oleh para teolog Kristen yang melihat keteraturan alam
sebagai bukti adanya Pencipta yang rasional.¹²
Dalam filsafat
modern, keteraturan kosmos sering dijelaskan melalui hukum-hukum alam yang
tetap dan dapat diprediksi. Isaac Newton, misalnya, menganggap alam sebagai
mekanisme matematis yang tunduk pada hukum universal.¹³ Namun, Immanuel Kant
mengkritik pandangan ini dengan menegaskan bahwa keteraturan yang kita temukan
bukanlah sesuatu yang “ada di luar,” melainkan hasil dari struktur
apriori rasio manusia.¹⁴ Dengan demikian, kosmos bukan hanya tatanan eksternal,
tetapi juga produk sintesis antara dunia objektif dan subjek pengamat.
Kosmologi
kontemporer memperluas pemahaman ini melalui teori-teori sistem kompleks dan
interkoneksi universal. Pandangan holistik dalam fisika kuantum dan
ekologi memperlihatkan bahwa setiap unsur kosmos saling terhubung dalam
jaringan dinamis, di mana keteraturan muncul dari hubungan timbal balik, bukan
dari struktur hierarkis yang kaku.¹⁵
3.3.      
Teleologi Kosmos: Tujuan dan Makna Alam Semesta
Aspek teleologis
kosmos berkaitan dengan pertanyaan: apakah alam memiliki tujuan atau makna
intrinsik? Bagi Plato dan Aristoteles, tatanan kosmos tidak mungkin dipahami
tanpa mengandaikan tujuan. Dalam Timaeus, Plato menyebut bahwa Demiurgos
menciptakan alam “demi kebaikan” (for the sake of the good), bukan
karena keharusan mekanis.¹⁶ Sementara itu, Aristoteles menegaskan bahwa segala
sesuatu di alam bertindak demi telos—tujuan yang merupakan
penyempurnaan kodratnya sendiri.¹⁷
Tradisi teologis
Kristen mengembangkan pandangan teleologis ini dalam kerangka penciptaan.
Thomas Aquinas menulis bahwa setiap makhluk memiliki kecenderungan alami menuju
kebaikan, dan keteraturan alam merupakan refleksi dari kehendak rasional
Tuhan.¹⁸ Dalam konteks ini, kosmos memiliki makna moral dan spiritual: ia bukan
sekadar arena fisik, melainkan cerminan kebijaksanaan ilahi.
Sebaliknya,
modernitas sering menolak teleologi. Filsuf seperti David Hume dan para
positivis logis menganggap konsep tujuan dalam alam sebagai antropomorfisme
yang tidak ilmiah.¹⁹ Namun, di abad ke-20, muncul pandangan baru seperti antropic
principle dalam kosmologi fisika, yang menyatakan bahwa
parameter-parameter fundamental alam semesta tampak disesuaikan bagi munculnya
kehidupan dan kesadaran.²⁰ Hal ini memunculkan kembali diskusi filosofis
tentang apakah keteraturan kosmos hanya kebetulan statistik atau tanda adanya
rasionalitas transenden.
3.4.      
Relasi antara Tuhan dan Alam: Teisme,
Panteisme, Panenteisme, dan Deisme
Dimensi terakhir
dari ontologi kosmos menyangkut relasi antara Tuhan dan dunia. Dalam teisme
klasik, seperti yang diajarkan oleh Aquinas, Tuhan dipandang
sebagai Pencipta yang transenden sekaligus imanen melalui hukum-hukum alam yang
dikehendaki-Nya.²¹ Panteisme, seperti dalam
filsafat Spinoza, menegaskan bahwa Tuhan dan alam adalah satu substansi yang
sama; segala sesuatu merupakan modus dari keberadaan ilahi.²² Panenteisme
berupaya menengahi keduanya dengan menyatakan bahwa dunia berada “di dalam”
Tuhan, tetapi Tuhan melampaui dunia.²³
Sementara itu, deisme
yang berkembang pada masa Pencerahan menolak intervensi langsung Tuhan dalam
alam. Tuhan hanya dipahami sebagai arsitek awal yang menciptakan alam dan
membiarkannya berjalan menurut hukum-hukum rasional.²⁴ Pandangan ini mendukung
visi mekanistik modern namun mengurangi dimensi spiritual dalam kosmologi.
Kosmologi
kontemporer mencoba melampaui dikotomi tersebut dengan pendekatan relasional.
Dalam pandangan prosesual Alfred North Whitehead, Tuhan bukan pencipta statis,
melainkan entitas yang berpartisipasi dalam proses kreatif kosmos.²⁵ Tuhan dan
dunia saling memengaruhi dalam dinamika keberadaan, menjadikan realitas
bersifat ko-evolutif. Dengan demikian, ontologi kosmos tidak berhenti pada
metafisika statis, melainkan bergerak menuju pemahaman dinamis tentang
keberadaan sebagai jaringan hubungan yang hidup.²⁶
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa ontologi kosmos berusaha mengungkap struktur terdalam
dari realitas universal. Alam semesta bukanlah kumpulan benda mati yang acak,
tetapi suatu ordo rasional yang memiliki
keteraturan dan kemungkinan makna. Pemahaman ontologis ini menjadi dasar bagi
epistemologi dan etika kosmologis, karena hanya dengan memahami struktur
keberadaan, manusia dapat menemukan tempat dan tanggung jawabnya dalam tatanan
semesta.²⁷
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Greece and Rome
(London: Burns Oates, 1946), 55–57.
[2]               
Democritus, Fragments, trans. C. C. W. Taylor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 67.
[3]               
Pierre Duhem, The Aim and Structure
of Physical Theory (Princeton:
Princeton University Press, 1954), 12–14.
[4]               
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 508e–509d.
[5]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924),
VII.3.
[6]               
Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals
of the History of His Development
(Oxford: Clarendon Press, 1948), 136–138.
[7]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 44, a. 1.
[8]               
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 105–107.
[9]               
Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of
Toronto Press, 1987), 30.
[10]            
Diogenes Laertius, Lives of Eminent
Philosophers, trans. R. D. Hicks
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.135.
[11]            
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford:
Clarendon Press, 1930), II.3.
[12]            
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), XI.4.
[13]            
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica (London: Royal
Society, 1687), Book III.
[14]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
A126–A130.
[15]            
Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996), 27–29.
[16]            
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 29a–30b.
[17]            
Aristotle, Metaphysics, XII.7.
[18]            
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c. 2.
[19]            
David Hume, Dialogues Concerning
Natural Religion, ed. Norman Kemp
Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 45–48.
[20]            
John D. Barrow and Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle
(Oxford: Oxford University Press, 1986), 3–5.
[21]            
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 103, a. 7.
[22]            
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University
Press, 1985), I.14.
[23]            
Charles Hartshorne, Man’s
Vision of God and the Logic of Theism
(New York: Harper & Row, 1941), 92.
[24]            
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans. Theodore Besterman (London: Penguin, 1972),
124.
[25]            
Alfred North Whitehead, Process
and Reality (New York: Free Press,
1978), 343–345.
[26]            
David Ray Griffin, Reenchantment without
Supernaturalism (Ithaca: Cornell
University Press, 2001), 44–46.
[27]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 18–20.
4.          
Epistemologi
Kosmologi: Pengetahuan tentang Alam Semesta
Epistemologi
kosmologi merupakan cabang refleksi filosofis yang menelaah bagaimana
manusia mengetahui, memahami, dan menafsirkan realitas kosmik.
Ia tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan ilmiah tentang alam semesta, tetapi
juga dengan batas dan legitimasi pengetahuan itu sendiri. Pertanyaan sentralnya
mencakup: Apa yang
dapat kita ketahui tentang alam semesta? Dengan cara apa kita mengetahuinya?
Sejauh mana rasio manusia mampu menjangkau totalitas kosmos?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar kita pada kajian tentang hubungan antara
pengalaman empiris, rasionalitas ilmiah, dan intuisi metafisik dalam memahami
struktur serta makna kosmos.¹
4.1.      
Sumber dan Batas Pengetahuan Kosmologis
Sejak zaman Yunani
kuno, sumber pengetahuan kosmologis telah menjadi medan perdebatan antara empirisisme,
rasionalisme,
dan metafisika.
Kaum empiris seperti Aristoteles berpendapat bahwa pengetahuan tentang alam
diperoleh melalui observasi terhadap fenomena konkret, yang kemudian diolah
menjadi prinsip umum melalui induksi.² Sebaliknya, Plato berkeyakinan bahwa
kebenaran kosmik hanya dapat dicapai melalui rasio murni, sebab dunia indrawi
hanyalah bayangan dari realitas ide yang sempurna.³
Perkembangan sains
modern menegaskan peran observasi dan eksperimentasi sebagai dasar pengetahuan
kosmologis. Galileo dan Newton membangun paradigma bahwa alam semesta tunduk
pada hukum-hukum universal yang dapat dijelaskan secara matematis.⁴ Namun
demikian, Immanuel Kant menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah selalu dibatasi
oleh kondisi-kondisi apriori dalam subjek manusia. Dalam Critique
of Pure Reason, ia berargumen bahwa ruang dan waktu bukanlah
properti benda-benda di luar, melainkan bentuk intuisi dalam kesadaran manusia
yang memungkinkan pengalaman terhadap dunia.⁵ Dengan demikian, manusia tidak
mengetahui kosmos “sebagaimana adanya” (das Ding an sich), melainkan
sebagaimana ia tampak melalui struktur rasio manusia.
Dalam konteks ini,
epistemologi kosmologi menyadari bahwa pengetahuan tentang alam semesta
bersifat transendental dan terbatas.
Sains mampu menjelaskan mekanisme dan hukum-hukum alam, tetapi tidak dapat
menembus hakikat terdalam keberadaan atau menjawab pertanyaan “mengapa ada
sesuatu daripada tidak ada sama sekali.”⁶ Di sinilah filsafat berperan sebagai
refleksi kritis yang melampaui reduksi empiris, tanpa menolak validitas metode
ilmiah.
4.2.      
Peran Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Kosmos
Ilmu pengetahuan modern,
terutama fisika teoretis, memainkan peran sentral dalam memperluas horizon
pengetahuan manusia tentang kosmos. Melalui teori relativitas umum, Albert
Einstein menunjukkan bahwa ruang dan waktu bukanlah wadah statis, tetapi
jaringan dinamis yang dipengaruhi oleh materi dan energi.⁷ Teori ini membuka
wawasan baru tentang kosmos sebagai sistem terpadu, di mana gravitasi tidak
lagi dipahami sebagai gaya, melainkan kelengkungan ruang-waktu itu sendiri.
Sementara itu,
kosmologi kuantum dan teori medan menantang pemahaman klasik tentang
kausalitas. Mekanika kuantum menyingkap bahwa di tingkat mikroskopis, realitas
tidak deterministik; keberadaan partikel ditentukan oleh probabilitas dan peran
pengamat.⁸ Fenomena ini memunculkan pertanyaan epistemologis: apakah pengamatan
manusia membentuk realitas, ataukah hanya mengungkap struktur tersembunyinya?
Para filsuf seperti
Karl Popper dan Thomas Kuhn menyoroti dimensi historis dan paradigmatik dalam
pengetahuan kosmologis. Popper menegaskan bahwa teori ilmiah bersifat
falsifikatif—selalu terbuka untuk dibantah melalui pengalaman baru.⁹ Kuhn,
dalam The
Structure of Scientific Revolutions, memperlihatkan bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan tidak selalu linier, melainkan melalui revolusi
konseptual yang mengubah cara pandang terhadap alam.¹⁰ Maka, epistemologi
kosmologi tidak sekadar mempelajari fakta, tetapi juga dinamika paradigma yang
menentukan bagaimana manusia menafsirkan realitas semesta.
4.3.      
Kosmologi sebagai Sintesis antara Ilmu dan
Filsafat
Epistemologi
kosmologi modern menuntut sintesis antara pendekatan ilmiah dan refleksi
filosofis. Ilmu pengetahuan menyediakan deskripsi matematis
tentang struktur kosmos, sedangkan filsafat menafsirkan implikasi ontologis dan
maknanya bagi eksistensi manusia.¹¹ Tanpa refleksi filosofis, kosmologi ilmiah
berisiko jatuh ke dalam reduksionisme materialis yang mengabaikan dimensi
makna; sebaliknya, tanpa dasar empiris, spekulasi metafisik dapat terjebak
dalam dogmatisme.
Upaya sintesis ini
tampak dalam karya Alfred North Whitehead, yang mengembangkan filsafat
proses sebagai kerangka untuk memahami alam semesta sebagai
jaringan relasional yang hidup.¹² Begitu pula, Fritjof Capra dalam The Tao
of Physics menunjukkan adanya keselarasan antara penemuan fisika
modern dan pandangan spiritual Timur, yang melihat kosmos sebagai kesatuan
dinamis energi dan kesadaran.¹³
Pandangan holistik
ini juga selaras dengan teori sistem kompleks dalam sains kontemporer, di mana
keteraturan kosmos dipahami bukan sebagai hasil hukum mekanistik, melainkan
sebagai emergent
order—tatanan yang muncul dari interaksi komponen-komponen yang
saling berhubungan.¹⁴ Dalam kerangka ini, epistemologi kosmologi tidak lagi
memisahkan subjek dan objek, melainkan melihat pengetahuan sebagai hasil
partisipasi aktif manusia dalam keseluruhan proses kosmik.
4.4.      
Batas Pengetahuan dan Misteri Kosmos
Kendati sains modern
telah menyingkap banyak rahasia alam, epistemologi kosmologi menyadari bahwa pengetahuan
manusia tetap bersifat parsial dan terbatas. Pertanyaan tentang
asal-usul absolut alam semesta—apakah benar-benar bermula dari Big Bang,
ataukah merupakan bagian dari siklus tanpa awal dan akhir—masih berada di
wilayah spekulatif.¹⁵ Stephen Hawking, misalnya, dalam A Brief
History of Time, mengakui bahwa sekalipun kita memahami hukum-hukum
fisika, pertanyaan mengapa hukum itu ada masih tak terjawab.¹⁶
Selain itu, fisika
modern juga menghadapi batas epistemik dalam menjelaskan fenomena seperti
singularitas atau energi gelap. Brian Greene menulis bahwa semakin jauh kita menelusuri
alam semesta, semakin kita dihadapkan pada “ketiadaan observasional,” di
mana teori bekerja di luar jangkauan eksperimental.¹⁷ Dalam situasi ini,
epistemologi kosmologi membuka ruang bagi refleksi metafisik dan bahkan
spiritual, karena keterbatasan pengetahuan justru menunjukkan kedalaman misteri
kosmos yang melampaui kalkulasi manusia.
Bagi filsafat,
kesadaran akan batas pengetahuan ini bukanlah kelemahan, melainkan pintu
menuju kebijaksanaan. Seperti dikatakan oleh Kant, pengetahuan
manusia memang terbatas, tetapi justru melalui batas itulah muncul dorongan
transendental untuk memahami yang tak terbatas.¹⁸ Dengan demikian, epistemologi
kosmologi berakhir bukan pada kepastian dogmatis, tetapi pada sikap filosofis
yang terbuka, reflektif, dan rendah hati terhadap kebesaran semesta.
Epistemologi
kosmologi, dengan demikian, mengajarkan bahwa pengetahuan tentang alam semesta
adalah dialog antara rasio dan misteri, antara ilmu dan
kontemplasi, antara objektivitas ilmiah dan partisipasi
eksistensial. Manusia, sebagai bagian dari kosmos, bukan hanya
pengamat pasif tetapi juga peserta dalam drama kosmik yang terus berlangsung.
Dari sinilah muncul kesadaran bahwa mengenal alam berarti juga mengenal diri
sendiri, karena keduanya terjalin dalam satu jalinan realitas yang sama.¹⁹
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 9–10.
[2]               
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press,
1993), II.19.
[3]               
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 507b–509d.
[4]               
Galileo Galilei, Dialogue Concerning the
Two Chief World Systems, trans.
Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1953), 88–90.
[5]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
A22–A26.
[6]               
Martin Heidegger, An Introduction to
Metaphysics, trans. Ralph Manheim
(New Haven: Yale University Press, 1959), 3–5.
[7]               
Albert Einstein, Relativity: The Special
and the General Theory (New York:
Crown, 1961), 71–73.
[8]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 39–41.
[9]               
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
27–28.
[10]            
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 66–68.
[11]            
Bertrand Russell, The Problems of
Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1912), 95–96.
[12]            
Alfred North Whitehead, Process
and Reality (New York: Free Press,
1978), 29–30.
[13]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 95–99.
[14]            
Ilya Prigogine, Order Out of Chaos (New York: Bantam Books, 1984), 43–46.
[15]            
Roger Penrose, Cycles of Time: An
Extraordinary New View of the Universe
(New York: Knopf, 2010), 12–14.
[16]            
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 175–177.
[17]            
Brian Greene, The Fabric of the
Cosmos (New York: Alfred A. Knopf,
2004), 321–323.
[18]            
Immanuel Kant, Critique of Practical
Reason, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 162–164.
[19]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 20–21.
5.          
Aksiologi
dan Etika Kosmologis
Dimensi aksiologis
dari kosmologi filosofis menyoroti hubungan antara pengetahuan tentang alam
semesta dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kosmos tidak hanya menjadi
objek pengetahuan, tetapi juga sumber nilai, makna, dan orientasi moral bagi
manusia.¹ Aksiologi kosmologis berangkat dari kesadaran bahwa setiap pemahaman
tentang struktur dan keteraturan alam selalu berimplikasi pada cara manusia
memaknai keberadaannya sendiri serta tanggung jawabnya terhadap keseluruhan
realitas. Dengan demikian, etika kosmologis merupakan
upaya untuk menafsirkan alam semesta bukan sekadar sebagai sistem fisik,
melainkan sebagai ruang moral di mana manusia dipanggil untuk hidup selaras
dengan tatanan kosmik.²
5.1.      
Nilai dan Makna Alam bagi Manusia
Dalam pandangan
klasik, terutama pada tradisi Yunani dan skolastik, kosmos dianggap sebagai
tatanan rasional yang memiliki nilai intrinsik. Plato, dalam Timaeus,
menyatakan bahwa alam semesta diciptakan “demi kebaikan,” sebab
keteraturannya merupakan refleksi dari ide kebaikan yang tertinggi (the Good).³
Aristoteles menegaskan bahwa segala sesuatu di alam memiliki tujuan (telos),
dan kebaikan tertinggi terwujud ketika makhluk hidup mencapai kesempurnaannya sesuai
kodratnya.⁴
Bagi Thomas Aquinas,
nilai alam terletak pada partisipasinya dalam keberadaan Tuhan. Alam bukan
sekadar ciptaan yang terpisah dari Sang Pencipta, tetapi manifestasi dari
kebijaksanaan dan kasih ilahi.⁵ Oleh karena itu, setiap makhluk memiliki nilai
ontologis yang layak dihormati, karena semuanya merupakan bagian dari hierarki
wujud yang berasal dari actus purus. Pandangan ini
menegaskan bahwa penghormatan terhadap alam adalah bentuk
penghormatan terhadap Tuhan.
Sebaliknya, dalam
kosmologi modern yang cenderung mekanistik, alam direduksi menjadi sekumpulan
benda mati tanpa makna atau tujuan moral.⁶ Alam kehilangan nilai intrinsiknya
dan hanya dihargai sejauh berguna bagi kepentingan manusia. Krisis ekologis
kontemporer sebagian besar berakar pada cara pandang ini, yang memutus hubungan
etis antara manusia dan kosmos. Aksiologi kosmologis berusaha mengembalikan
kesadaran bahwa alam bukan sekadar “latar belakang kehidupan,” melainkan
bagian integral dari keberadaan manusia itu sendiri.⁷
5.2.      
Etika Ekologis dan Tanggung Jawab Kosmik
Dari kesadaran akan
nilai intrinsik alam lahir etika ekologis, yaitu pandangan
moral yang menuntut manusia untuk bertindak selaras dengan tatanan kosmos.
Filsuf seperti Albert Schweitzer mengembangkan gagasan Reverence
for Life—rasa hormat terhadap kehidupan sebagai dasar moral
universal.⁸ Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Arne Naess tentang deep
ecology, yang menolak antroposentrisme dan menyerukan penghargaan
terhadap semua bentuk kehidupan sebagai entitas yang memiliki hak eksistensi.⁹
Dalam perspektif
ini, etika kosmologis mengandaikan bahwa manusia tidak berada di luar atau di
atas alam, tetapi merupakan bagian dari keseluruhan jaringan kehidupan.
Pandangan holistik ini menegaskan prinsip kesalingtergantungan (interdependence)
yang menjadi dasar moralitas ekologis.¹⁰ Seperti dikemukakan oleh Fritjof
Capra, seluruh makhluk hidup merupakan simpul-simpul dalam “jaring kehidupan”
(web of
life) yang saling menopang satu sama lain.¹¹ Oleh karena itu,
setiap tindakan manusia yang merusak ekosistem pada hakikatnya adalah
pelanggaran terhadap tatanan kosmik yang menopang keberadaannya sendiri.
Etika ekologis juga
memiliki dimensi spiritual. Dalam pandangan teologi kosmik seperti yang
dikembangkan oleh Pierre Teilhard de Chardin, alam semesta dipahami sebagai
proses evolusi menuju kesatuan kesadaran yang lebih tinggi (Omega
Point).¹² Manusia, dalam hal ini, berperan sebagai kooperator ilahi
yang turut serta dalam penyempurnaan kosmos melalui tindakan moral dan
pengetahuan.¹³ Maka, tanggung jawab etis manusia terhadap alam bukan hanya
ekologis, tetapi juga teleologis—berpartisipasi dalam tujuan kosmik yang
mengarah pada kebaikan universal.
5.3.      
Spiritualitas Kosmik dan Kesadaran Universal
Aksiologi kosmologis
tidak berhenti pada etika, tetapi juga membuka ruang bagi spiritualitas
kosmik—kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari
keseluruhan yang lebih besar, dan bahwa kehidupan memiliki makna dalam konteks
universal. Carl Sagan, dalam Cosmos, menulis bahwa “kita
adalah cara bagi kosmos untuk mengenal dirinya sendiri.”¹⁴ Pernyataan ini
mengandung makna spiritual yang mendalam: kesadaran manusia adalah refleksi
dari kesadaran kosmos yang sedang bangkit melalui dirinya.
Dalam tradisi Timur,
kesadaran ini ditemukan dalam ajaran Taoisme dan Buddhisme yang menekankan
kesatuan antara manusia dan alam.¹⁵ Tao Te Ching mengajarkan bahwa
kebijaksanaan sejati muncul ketika manusia hidup seimbang dengan ritme alam
semesta, bukan melawannya.¹⁶ Spiritualitas kosmik ini berlawanan dengan
paradigma dualistik Barat yang memisahkan subjek dan objek, manusia dan alam.
Dengan menegaskan kembali kesatuan ini, manusia menemukan kembali kedamaian
ontologis dan keseimbangan etis dalam kehidupannya.
Bagi filsafat
kontemporer, spiritualitas kosmik menjadi basis bagi etika
global, yakni moralitas yang berlandaskan pada kesadaran
ekologis dan solidaritas kosmik. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility,
mengusulkan etika tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan di bumi sebagai
prinsip moral baru dalam era teknologi.¹⁷ Dengan demikian, spiritualitas kosmik
tidak bersifat mistik semata, tetapi menjadi fondasi praksis bagi peradaban
yang berkelanjutan dan manusiawi.
5.4.      
Kosmologi sebagai Dasar Etika Global
Etika kosmologis
yang sejati harus melampaui batas antropologis dan geografis menuju horizon
universal. Dalam dunia yang saling terhubung oleh teknologi dan ekologi, krisis
lingkungan bukan lagi masalah lokal, melainkan persoalan global yang menyangkut
kelangsungan seluruh spesies.¹⁸ Oleh karena itu, kosmologi filosofis dapat
berfungsi sebagai dasar ontologis bagi etika global,
karena ia mengajarkan bahwa semua realitas saling terkait dan berasal dari
sumber keberadaan yang sama.
Etika global yang
berbasis kosmologi ini menekankan prinsip kesatuan, solidaritas, dan tanggung
jawab lintas generasi.¹⁹ Nilai-nilai seperti keseimbangan, keharmonisan, dan
keberlanjutan tidak hanya bersifat moral, tetapi juga kosmologis—yakni cara
manusia menjaga keseimbangan tatanan universal.²⁰ Sebagaimana dikemukakan oleh
Teilhard de Chardin, evolusi kosmos menuju kesadaran yang lebih tinggi
membutuhkan keterlibatan moral manusia; tindakan etis bukan sekadar kewajiban
sosial, tetapi partisipasi dalam dinamika kreatif semesta.²¹
Dengan demikian,
aksiologi kosmologis mengembalikan etika ke akar metafisisnya: bahwa bertindak
baik berarti selaras dengan struktur kebaikan yang telah tertanam dalam kosmos
itu sendiri.²² Melalui kesadaran ini, manusia tidak lagi melihat dirinya
sebagai penguasa dunia, melainkan sebagai penjaga dan rekan dialog dalam
simfoni kosmik yang terus berkembang.
Keseluruhan refleksi
aksiologis ini menegaskan bahwa kosmologi bukan hanya studi tentang asal-usul
dan struktur alam semesta, melainkan juga panduan etis dan spiritual bagi eksistensi
manusia. Dengan memahami kosmos sebagai tatanan rasional yang
bernilai, manusia diundang untuk hidup dalam harmoni dengan seluruh ciptaan,
menumbuhkan rasa tanggung jawab, penghormatan, dan cinta terhadap kehidupan
dalam segala bentuknya.²³
Footnotes
[1]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and
Non-Formal Ethics of Values, trans.
Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University Press,
1973), 20–21.
[2]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (London: Burns Oates, 1950), 84–86.
[3]               
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 29d–30b.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1985), I.7.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 47, a. 2.
[6]               
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 62–63.
[7]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767
(1967): 1203–1207.
[8]               
Albert Schweitzer, Out of My Life and
Thought (New York: Holt, 1933), 156.
[9]               
Arne Naess, Ecology, Community and
Lifestyle, trans. David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–29.
[10]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 204.
[11]            
Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.
[12]            
Pierre Teilhard de Chardin, The
Phenomenon of Man (New York: Harper
& Row, 1959), 258–260.
[13]            
Ibid., 266.
[14]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 13.
[15]            
D. T. Suzuki, Zen and Japanese
Culture (Princeton: Princeton
University Press, 1959), 56–58.
[16]            
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (Harmondsworth: Penguin Books,
1963), 25–26.
[17]            
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–12.
[18]            
Vaclav Havel, “The Need for Transcendence in the Postmodern World,” New York Times,
February 8, 1995.
[19]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry
of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1997), 88–90.
[20]            
James Lovelock, Gaia: A New Look at
Life on Earth (Oxford: Oxford
University Press, 1979), 115–116.
[21]            
Pierre Teilhard de Chardin, The
Future of Man (New York: Harper
& Row, 1964), 97–98.
[22]            
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 148.
[23]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections (New York: Anchor Books, 2002), 205–207.
6.          
Kritik
terhadap Kosmologi Filsafat
Kosmologi filosofis,
meskipun memiliki peran penting dalam mengintegrasikan dimensi rasional,
metafisik, dan spiritual dari pemahaman tentang alam semesta, tidak lepas dari
berbagai bentuk kritik epistemologis, metodologis, dan
ideologis. Kritik ini muncul dari berbagai aliran pemikiran
yang mempertanyakan dasar-dasar metafisika kosmologis, relevansinya terhadap
ilmu pengetahuan modern, serta potensi bias antropologis dan teologis di
dalamnya.¹ Melalui kritik-kritik ini, kosmologi filosofis diuji sekaligus
diperkaya, karena setiap keberatan terhadapnya menantang filsafat untuk
memperbarui pendekatannya terhadap realitas semesta.
6.1.      
Kritik Saintifik terhadap Kosmologi Metafisik
Kritik paling tajam
terhadap kosmologi filosofis berasal dari positivisme dan empirisisme ilmiah.
Auguste Comte, misalnya, berpendapat bahwa filsafat metafisik tidak lagi
relevan dalam era ilmu positif, karena pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh
melalui observasi dan verifikasi empiris.² Dalam pandangan ini, spekulasi
metafisik tentang asal-usul atau tujuan alam dianggap tidak ilmiah, sebab tidak
dapat diuji secara eksperimental.
David Hume
sebelumnya telah mengajukan kritik epistemologis yang serupa. Ia menegaskan
bahwa akal manusia tidak dapat menembus hubungan kausal di luar pengalaman,
sehingga pembicaraan tentang penyebab pertama atau substansi kosmos hanyalah
asumsi tanpa dasar empiris.³ Kritik ini diperkuat oleh para ilmuwan modern yang
menganggap bahwa kosmologi filosofis sering kali beroperasi di luar batas
verifikasi ilmiah.
Bahkan dalam konteks
sains kontemporer, kosmologi teoretis seperti teori multiverse atau model
pra-Big Bang menimbulkan dilema epistemik: teori-teori tersebut melampaui bukti
observasional, sehingga tidak dapat diverifikasi dengan metode empiris biasa.⁴
Bagi kaum positivis, kondisi ini menunjukkan bahwa filsafat dan sains
kadang-kadang bersinggungan di wilayah yang sama—namun dengan pendekatan yang
sangat berbeda: filsafat bertanya tentang makna, sedangkan sains mencari
penjelasan mekanistik.⁵
Kritik saintifik
terhadap kosmologi filosofis, dengan demikian, menuntut filsafat agar
berhati-hati dalam menggunakan bahasa metafisik dan agar tetap bersandar pada
prinsip rasionalitas serta bukti empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.⁶
6.2.      
Kritik Postmodern terhadap Rasionalitas Kosmik
Dalam abad ke-20,
muncul gelombang kritik postmodern yang
menggugat klaim universalitas dan objektivitas kosmologi filosofis.
Jean-François Lyotard menegaskan bahwa modernitas telah runtuh karena
kehilangan legitimasi dari “narasi besar” yang dulu mengklaim
menjelaskan segala sesuatu, termasuk tatanan kosmos.⁷ Kosmologi filosofis,
dalam pandangan ini, merupakan salah satu bentuk narasi besar yang menutupi
pluralitas pengalaman manusia dengan ilusi keteraturan rasional.
Michel Foucault juga
mengkritik bagaimana “pengetahuan tentang alam” selalu terkait dengan relasi
kuasa. Menurutnya, setiap kosmologi mencerminkan struktur
sosial dan politik zamannya; konsep keteraturan kosmos bisa menjadi legitimasi
bagi keteraturan sosial yang menindas.⁸ Jacques Derrida menambahkan dimensi
dekonstruktif: setiap upaya untuk menulis “struktur universal”
mengandaikan pusat yang tetap (logos, Tuhan, atau hukum alam),
padahal makna selalu bersifat diferensial dan tak stabil.⁹
Kritik postmodern
ini menyoroti bahwa kosmologi filosofis kerap gagal mengakui keragaman
cara manusia memahami semesta. Alih-alih tatanan universal, mungkin
kosmos hanya dapat dipahami melalui konteks kultural, bahasa, dan simbol yang
berbeda-beda.¹⁰ Dengan demikian, filsafat perlu merevisi klaim totalitasnya dan
membuka diri terhadap pluralitas perspektif, termasuk yang lahir dari sains,
seni, dan spiritualitas non-Barat.¹¹
6.3.      
Kritik Teologis terhadap Rasionalisasi Alam
Dari sisi teologi,
kosmologi filosofis dikritik karena kecenderungannya mereduksi Tuhan menjadi
prinsip rasional dalam tatanan alam. Filsafat klasik, terutama Aristotelianisme
dan skolastisisme, sering dianggap terlalu mengandalkan argumen rasional
seperti causa
prima atau actus purus untuk menjelaskan
keberadaan Tuhan.¹² Para teolog eksistensialis seperti Karl Barth dan Søren
Kierkegaard menolak pandangan ini dengan alasan bahwa Tuhan tidak dapat dicapai
melalui spekulasi metafisik, melainkan hanya melalui wahyu dan pengalaman
iman.¹³
Menurut Barth, upaya
manusia untuk memahami Tuhan melalui alam berisiko melahirkan teologi
natural yang menempatkan rasio di atas iman.¹⁴ Pandangan ini
menantang tradisi kosmologi skolastik yang berasumsi bahwa keteraturan alam
mencerminkan keteraturan ilahi. Teologi eksistensialis memandang bahwa
keteraturan itu sendiri tidak menjamin pengetahuan tentang Tuhan, sebab relasi
dengan Yang Ilahi bersifat personal, bukan rasional.¹⁵
Namun demikian,
kritik teologis ini juga mendorong kosmologi filosofis untuk merefleksikan
kembali batasnya: bahwa upaya memahami kosmos tidak selalu berarti memahami
Sang Pencipta. Ia mengingatkan bahwa realitas ilahi tidak dapat direduksi
menjadi tatanan alam, sebagaimana hukum fisika tidak dapat menjelaskan makna
eksistensial manusia.¹⁶
6.4.      
Kritik Humanistik: Antroposentrisme dan
Alienasi
Kritik lain yang
sangat relevan berasal dari humanisme ekologis dan eksistensialis,
yang menilai bahwa kosmologi filosofis tradisional terlalu
antroposentris—menempatkan manusia sebagai pusat kosmos dan ukuran segala
sesuatu.¹⁷ Pandangan ini, meskipun tampak mulia dalam konteks humanisme klasik,
telah melahirkan jarak eksistensial antara manusia dan alam, yang berujung pada
eksploitasi ekologis dan krisis lingkungan global.¹⁸
Martin Heidegger
menegaskan bahwa modernitas telah “melupakan keberadaan” (Seinsvergessenheit)
dengan memandang alam hanya sebagai Bestand, yaitu sumber daya yang
dapat dimanipulasi secara teknologis.¹⁹ Dalam pengertian ini, kosmologi modern
bukan lagi kontemplasi atas misteri alam, tetapi kalkulasi atas benda-benda.
Teknologi menggantikan metafisika, dan dunia kehilangan sakralitasnya.²⁰
Kritik ini juga
dikembangkan oleh para pemikir ekofeminisme seperti Carolyn Merchant, yang
menunjukkan bahwa sejak abad ke-17, metafora “alam sebagai mesin” telah
menggeser pandangan kuno tentang “alam sebagai ibu” menjadi objek
dominasi patriarkal.²¹ Aksiologi kosmologis yang sejati, karenanya, menuntut pemulihan
relasi
dialogis antara manusia dan alam, bukan relasi dominatif.²²
6.5.      
Kritik Eksistensial: Batas Rasionalitas
terhadap Misteri Kosmos
Kritik terakhir
bersifat eksistensial: kosmologi
filosofis dianggap gagal menangkap aspek misteri dan absurditas dari eksistensi
manusia di dalam kosmos. Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menegaskan
bahwa upaya manusia mencari makna di alam semesta yang bisu berujung pada
absurditas.²³ Sementara itu, Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa keberadaan
manusia tidak memiliki tujuan kosmik; makna harus diciptakan secara subyektif
dalam dunia tanpa fondasi metafisik.²⁴
Filsafat
eksistensial menolak ide bahwa keteraturan rasional alam dapat menjamin
keteraturan makna bagi manusia. Dalam pandangan ini, kosmos bukanlah entitas
moral atau rasional, melainkan ruang kebebasan radikal di mana manusia harus
membangun nilai-nilainya sendiri.²⁵ Namun, dari perspektif yang lebih
reflektif, kritik eksistensialis ini justru memperluas dimensi kosmologi
filosofis—mengubahnya dari penjelasan rasional semata menjadi kontemplasi
etis dan eksistensial atas keberadaan manusia dalam semesta
yang misterius.²⁶
Kritik-kritik di
atas menunjukkan bahwa kosmologi filosofis bukanlah sistem tertutup, melainkan
medan refleksi yang terus berkembang. Ia diuji oleh ilmu pengetahuan, digugat
oleh postmodernisme, dikoreksi oleh teologi, dan ditantang oleh humanisme
ekologis serta eksistensialisme. Namun dalam setiap kritik, terdapat peluang
untuk memperdalam pemahaman tentang hubungan manusia dengan kosmos—bukan hanya
sebagai pengamat, tetapi sebagai bagian dari tatanan yang terus terbuka bagi
penafsiran dan penciptaan makna baru.²⁷
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 113–114.
[2]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and
Sons, 1896), 12–14.
[3]               
David Hume, An Enquiry Concerning
Human Understanding, ed. L. A.
Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1902), 28–29.
[4]               
Sean Carroll, The Big Picture: On the
Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 104–107.
[5]               
Karl Popper, Conjectures and
Refutations (London: Routledge,
1963), 241.
[6]               
Bertrand Russell, The Problems of
Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1912), 80–81.
[7]               
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[8]               
Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
82.
[9]               
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago
Press, 1978), 278.
[10]            
Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 315.
[11]            
Niels Bohr, Atomic Physics and
Human Knowledge (New York: Wiley,
1958), 18.
[12]            
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924),
XII.7.
[13]            
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript, trans. David F. Swenson
(Princeton: Princeton University Press, 1941), 53–54.
[14]            
Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II/1 (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 47–49.
[15]            
Rudolf Bultmann, History and Eschatology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1957), 12–13.
[16]            
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. I (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 90–91.
[17]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970),
56–58.
[18]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care
for Our Common Home (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2015), 43.
[19]            
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt
(New York: Harper & Row, 1977), 12–13.
[20]            
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 152.
[21]            
Carolyn Merchant, The Death of Nature:
Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 168–170.
[22]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 55.
[23]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955),
16–18.
[24]            
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 68.
[25]            
Simone de Beauvoir, The
Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 85.
[26]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1960),
103.
[27]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 25–27.
7.          
Relevansi
Kontemporer Kosmologi Filosofis
Dalam konteks dunia
modern yang ditandai oleh kemajuan sains, krisis ekologis, dan pencarian
spiritualitas baru, kosmologi filosofis memperoleh
relevansi yang semakin mendesak. Ia tidak lagi sekadar kajian abstrak mengenai
asal-usul atau struktur alam semesta, tetapi menjadi kerangka
reflektif untuk memahami hubungan antara manusia, pengetahuan,
teknologi, dan keberlanjutan kehidupan di planet ini.¹ Relevansi kontemporernya
mencakup berbagai bidang: dari dialog antara filsafat dan ilmu pengetahuan,
refleksi etis dalam ekoteologi, hingga perumusan pandangan dunia holistik yang
menempatkan manusia sebagai bagian integral dari kosmos yang dinamis.
7.1.      
Dalam Ilmu Pengetahuan: Dialog antara Filsafat
dan Kosmologi Fisika
Perkembangan
kosmologi modern telah memperluas cakrawala pengetahuan manusia tentang alam
semesta, namun juga menimbulkan pertanyaan metafisik baru yang
tidak dapat dijawab oleh sains semata. Teori Big Bang, relativitas umum, dan
mekanika kuantum menunjukkan bahwa kosmos bukan sistem statis, melainkan
tatanan dinamis yang memiliki sejarah, kompleksitas, dan batas pengetahuan.²
Stephen Hawking,
misalnya, dalam A Brief History of Time, mengakui
bahwa meskipun hukum fisika dapat menjelaskan bagaimana alam bekerja, mereka
tidak menjawab mengapa hukum tersebut ada, atau mengapa alam semesta “memilih”
hukum-hukum tertentu.³ Pertanyaan semacam ini mengembalikan sains pada wilayah
refleksi filosofis—sebuah wilayah yang menuntut dialog antara penalaran empiris
dan pemikiran metafisik.
Filsafat kontemporer
berperan sebagai mediator epistemologis, yang
menjembatani antara teori ilmiah dan makna eksistensialnya. Seperti dikemukakan
oleh Thomas Nagel, “penjelasan ilmiah tentang dunia tidak lengkap tanpa
memahami tempat kesadaran dalam keseluruhan realitas.”⁴ Dengan demikian,
kosmologi filosofis berfungsi bukan untuk menggantikan sains, melainkan untuk
memperluas horizon pengetahuan agar mencakup dimensi makna, nilai, dan
kesadaran.
Pendekatan
interdisipliner ini tampak dalam karya fisikawan-filsuf seperti David Bohm,
yang mengusulkan konsep implicate order—suatu tatanan
tersembunyi di balik realitas empiris yang menunjukkan kesalingterhubungan
universal.⁵ Konsep ini merehabilitasi gagasan klasik tentang kosmos sebagai
kesatuan organik, sekaligus memperkaya dialog antara fisika kuantum dan
metafisika.
7.2.      
Dalam Ekoteologi dan Etika Lingkungan
Relevansi kedua dari
kosmologi filosofis terletak pada kontribusinya terhadap ekoteologi
dan etika
lingkungan. Krisis ekologis global bukan sekadar masalah
teknis, tetapi juga krisis metafisik—akibat dari cara pandang modern yang
memisahkan manusia dari alam.⁶ Lynn White Jr. menyebut bahwa akar krisis
ekologi terletak pada paradigma teologis Barat yang menempatkan manusia sebagai
penguasa atas ciptaan, bukan bagian darinya.⁷
Kosmologi filosofis
menawarkan jalan keluar melalui pemulihan pandangan kosmosentris,
di mana seluruh makhluk hidup dipahami sebagai bagian dari tatanan rasional dan
sakral. Pierre Teilhard de Chardin, misalnya, melihat alam semesta sebagai
proses evolusi spiritual menuju kesatuan kesadaran, sementara Thomas Berry
menekankan pentingnya “kesadaran ekologis” sebagai landasan peradaban
baru.⁸
Dalam konteks ini,
kosmologi filosofis tidak hanya mengajarkan keteraturan alam secara
intelektual, tetapi juga menanamkan kesadaran etis untuk hidup
selaras dengan bumi. Filsafat kosmos menjadi dasar moral untuk menumbuhkan
sikap tanggung jawab ekologis, rasa hormat terhadap kehidupan, serta pengakuan
bahwa eksistensi manusia bergantung pada keseimbangan kosmik yang lebih luas.⁹
Lebih jauh, etika
kosmologis ini menumbuhkan semangat spiritualitas ekologis yang menolak
dualisme antara materi dan roh, antara manusia dan alam. Dalam pandangan ini,
perawatan terhadap bumi adalah bentuk ibadah kosmik—partisipasi manusia dalam
menjaga harmoni tatanan ilahi yang mewujud dalam realitas alam.¹⁰
7.3.      
Dalam Budaya dan Spiritualitas Modern
Kosmologi filosofis
juga memiliki relevansi kultural yang mendalam di tengah kebangkitan spiritualitas
kosmik dan budaya ilmiah abad ke-21. Di satu sisi, teknologi
dan sains memberikan wawasan empiris tentang alam semesta; di sisi lain,
manusia modern mengalami kekosongan makna akibat hilangnya dimensi metafisik
dalam pandangan dunia materialistik.¹¹
Carl Sagan, melalui
karya Cosmos,
berusaha mengembalikan rasa kagum terhadap alam semesta sebagai sumber makna
eksistensial. Ia menulis bahwa “kosmos bukan hanya segala yang ada, tetapi
juga sumber inspirasi bagi rasa rendah hati dan keterhubungan.”¹² Dalam
semangat serupa, filsafat kontemporer berupaya merumuskan kembali spiritualitas
rasional—suatu kesadaran yang memadukan ilmu, etika, dan rasa
takjub terhadap misteri alam.¹³
Gerakan
spiritualitas kosmik ini juga tercermin dalam kebangkitan minat terhadap
tradisi filsafat Timur seperti Taoisme, Buddhisme, dan Vedanta, yang menekankan
kesatuan antara manusia dan alam.¹⁴ Tradisi-tradisi ini sejalan dengan semangat
kosmologi filosofis dalam melihat semesta sebagai jaringan kehidupan yang
saling bergantung, bukan arena dominasi.
Dengan demikian,
kosmologi filosofis berfungsi sebagai jembatan antara sains dan spiritualitas,
antara rasionalitas dan kontemplasi, antara teknologi dan kebijaksanaan.¹⁵ Ia
membantu membangun kesadaran global yang memadukan pengetahuan modern dengan
nilai-nilai spiritual universal—sebuah fondasi bagi etika kemanusiaan yang
baru.
7.4.      
Dalam Pendidikan, Teknologi, dan Kesadaran
Global
Kosmologi filosofis
juga memiliki dimensi pedagogis yang
signifikan. Pendidikan modern cenderung bersifat fragmentaris dan pragmatis,
berfokus pada efisiensi teknologis tanpa menumbuhkan kesadaran kosmik.¹⁶
Padahal, pemahaman tentang tempat manusia dalam semesta dapat menjadi dasar
pembentukan karakter yang kritis, empatik, dan bertanggung jawab.
David Orr
berpendapat bahwa krisis ekologis bukan hanya akibat kesalahan ilmiah, tetapi
juga akibat “pendidikan yang buta terhadap kosmos.”¹⁷ Dalam konteks ini,
kosmologi filosofis dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan sebagai
kerangka reflektif untuk mengajarkan keterhubungan antara ilmu, etika, dan
spiritualitas.
Selain itu,
perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan menghadirkan tantangan
baru bagi kesadaran kosmik manusia. Dunia maya menciptakan “kosmos virtual”
yang meniru keteraturan alam, namun berpotensi memutus relasi manusia dengan
realitas konkret.¹⁸ Filsafat kosmos dapat membantu manusia memahami batas
antara representasi dan kenyataan, serta mengajarkan tanggung jawab etis dalam
penggunaan teknologi yang selaras dengan prinsip kosmik.¹⁹
Dalam konteks
global, kesadaran kosmologis menjadi dasar bagi etika universal yang melampaui
batas bangsa, ras, dan agama.²⁰ Ia menegaskan bahwa seluruh umat manusia
berbagi asal, rumah, dan masa depan yang sama di dalam semesta ini—sebuah
pandangan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi krisis planet dan
disintegrasi moral kontemporer.²¹
Relevansi
kontemporer kosmologi filosofis, dengan demikian, tidak hanya terletak pada
dimensi teoretisnya, tetapi juga pada daya transformatifnya dalam
membentuk kesadaran baru. Ia mengajarkan keseimbangan antara pengetahuan ilmiah
dan kebijaksanaan moral, antara analisis rasional dan rasa hormat terhadap misteri,
antara kemajuan teknologi dan tanggung jawab ekologis.²² Dalam dunia yang
semakin terfragmentasi, kosmologi filosofis hadir sebagai wacana
pemersatu—sebuah refleksi tentang makna keberadaan manusia dalam tatanan
semesta yang terus berkembang.²³
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 211–213.
[2]               
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New
York: Bantam Books, 2010), 33–35.
[3]               
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 174–176.
[4]               
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why
the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 7.
[5]               
David Bohm, Wholeness and the
Implicate Order (London: Routledge,
1980), 11–13.
[6]               
Fritjof Capra, The Turning Point:
Science, Society, and the Rising Culture (New York: Bantam Books, 1982), 26–27.
[7]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767
(1967): 1203–1207.
[8]               
Pierre Teilhard de Chardin, The
Phenomenon of Man (New York: Harper
& Row, 1959), 258–260.
[9]               
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 45–47.
[10]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry
of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1997), 91–92.
[11]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 520.
[12]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 4–6.
[13]            
Ken Wilber, A Brief History of
Everything (Boston: Shambhala,
2000), 10–12.
[14]            
Daisetz T. Suzuki, Zen and Japanese
Culture (Princeton: Princeton
University Press, 1959), 76–78.
[15]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 112–114.
[16]            
Edgar Morin, Seven Complex Lessons
in Education for the Future (Paris:
UNESCO, 1999), 9–10.
[17]            
David W. Orr, Earth in Mind: On
Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994), 23–24.
[18]            
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 121–122.
[19]            
Yuk Hui, Recursivity and
Contingency (Lanham: Rowman &
Littlefield, 2019), 88–89.
[20]            
Hans Küng, Global Responsibility:
In Search of a New World Ethic (New
York: Crossroad, 1991), 17–18.
[21]            
Vaclav Havel, “The Need for Transcendence in the Postmodern World,” New York Times,
February 8, 1995.
[22]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 54–56.
[23]            
Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey
of the Universe (New Haven: Yale
University Press, 2011), 136–138.
8.          
Sintesis
Filosofis
Bagian sintesis
filosofis dalam kajian kosmologi berfungsi sebagai tahap
reflektif yang berupaya mengintegrasikan seluruh dimensi filsafat
kosmos—ontologis, epistemologis, dan aksiologis—ke dalam suatu pandangan
menyeluruh tentang realitas. Ia bertujuan untuk menyatukan antara rasionalitas
ilmiah, refleksi metafisik, dan kesadaran etis-spiritual dalam satu kerangka
koheren yang menjelaskan posisi manusia di dalam tatanan semesta.¹ Dalam
konteks ini, sintesis filosofis tidak dimaksudkan sebagai penutupan diskursus,
melainkan sebagai horizon keterbukaan yang mempertemukan filsafat, sains, dan
spiritualitas dalam kesadaran kosmik yang integral.
8.1.      
Kesatuan Ontologis: Kosmos sebagai Realitas
Terpadu
Dari perspektif
ontologis, sintesis filosofis menegaskan bahwa kosmos adalah kesatuan yang dinamis dan teratur,
bukan sekadar kumpulan entitas material yang terpisah. Pandangan ini menyatukan
intuisi metafisik kuno tentang keterhubungan segala sesuatu dengan penemuan
ilmiah modern mengenai struktur relasional alam semesta.²
Konsep keteraturan
universal yang dikemukakan oleh para filsuf klasik seperti Herakleitos dan
Aristoteles menemukan resonansinya dalam sains kontemporer melalui teori
relativitas dan fisika kuantum.³ Albert Einstein, misalnya, menunjukkan bahwa
ruang dan waktu tidak dapat dipisahkan, melainkan membentuk jaringan
kontinu yang menampung seluruh fenomena fisik.⁴ Demikian pula,
fisika kuantum mengungkap bahwa setiap partikel terjalin dalam medan energi
yang saling mempengaruhi, mengisyaratkan adanya kesatuan ontologis yang
mendasari pluralitas fenomena.⁵
Dengan demikian,
sintesis ontologis kosmologi filosofis menolak dualisme antara roh dan materi.
Alam dipahami sebagai sistem hidup yang memiliki dimensi material sekaligus
spiritual, sebagaimana ditegaskan oleh Alfred North Whitehead bahwa realitas
adalah “proses” yang melibatkan partisipasi antara energi, kesadaran,
dan nilai.⁶ Kesatuan kosmos berarti bahwa setiap bentuk keberadaan memiliki
peran dalam keseluruhan harmoni universal—sebuah pandangan yang mengembalikan
dimensi sakral dalam pemahaman alam.⁷
8.2.      
Kesatuan Epistemologis: Rasio, Pengalaman, dan
Transendensi
Pada tataran
epistemologis, sintesis filosofis menuntut rekonsiliasi antara sains empiris dan refleksi
metafisik. Tradisi modern sering menempatkan keduanya dalam
ketegangan: sains dianggap berurusan dengan fakta, sementara filsafat dengan
makna. Namun, kosmologi filosofis kontemporer menunjukkan bahwa pengetahuan
sejati tentang semesta menuntut keterpaduan antara rasionalitas, intuisi, dan
keterbukaan terhadap misteri.⁸
Immanuel Kant sudah
menyadari keterbatasan rasio dalam menjangkau hakikat semesta, namun tetap
menegaskan nilai apriori rasio dalam membentuk pengetahuan ilmiah.⁹ Sementara
itu, fenomenologi Husserl dan Heidegger menambahkan dimensi eksistensial, bahwa
pengetahuan tidak bersifat netral, melainkan selalu terkait dengan kesadaran
manusia sebagai “ada-di-dunia.”¹⁰
Kosmologi filosofis
modern, dengan demikian, memperluas epistemologi menjadi partisipatif:
manusia tidak sekadar mengamati alam, tetapi turut berpartisipasi dalam proses
pemaknaannya.¹¹ Seperti dikatakan oleh Fritjof Capra, pemahaman tentang kosmos
memerlukan “pergeseran paradigma” dari mekanistik menuju organik—dari
pemisahan menuju kesalingterhubungan.¹² Dalam paradigma baru ini, rasio tidak
lagi dilihat sebagai penguasa atas alam, melainkan sebagai sarana dialog antara
kesadaran manusia dan rasionalitas kosmik yang lebih besar.¹³
Epistemologi
kosmologis yang integral membuka ruang bagi transendensi, yaitu kesadaran
bahwa pengetahuan ilmiah selalu mengarah pada sesuatu yang melampaui dirinya
sendiri—ke arah misteri keberadaan yang tak terhingga.¹⁴ Di sini, filsafat
bertemu kembali dengan dimensi spiritual, bukan dalam bentuk dogma, melainkan
sebagai keterbukaan eksistensial terhadap keajaiban realitas.¹⁵
8.3.      
Kesatuan Aksiologis: Etika Kosmik dan Tanggung
Jawab Universal
Dimensi aksiologis
dari sintesis kosmologis menegaskan bahwa kesadaran akan kesatuan kosmos harus
berimplikasi etis. Mengetahui alam berarti juga mengakui nilai intrinsik dari seluruh
keberadaan.¹⁶ Dalam kerangka ini, etika kosmik menjadi
konsekuensi logis dari pandangan kosmologis yang menempatkan manusia bukan
sebagai penguasa, melainkan sebagai penjaga dan partisipan dalam tatanan
universal.¹⁷
Hans Jonas
menekankan pentingnya “imperatif tanggung jawab” dalam era teknologi, di mana
kekuasaan manusia atas alam harus diimbangi dengan kewajiban moral untuk
menjaga kelestariannya.¹⁸ Dalam semangat yang sama, Thomas Berry menulis bahwa
“tugas besar manusia modern bukan lagi menaklukkan bumi, tetapi
berpartisipasi dalam proses penyembuhannya.”¹⁹ Pandangan ini mencerminkan
etika yang tidak hanya antroposentris, tetapi kosmosentris—etika yang berakar
pada kesadaran akan keterkaitan segala makhluk.
Aksiologi kosmik
juga memiliki dimensi spiritual. Spiritualitas baru yang muncul dari kosmologi
filosofis menekankan rasa syukur dan kekaguman terhadap tatanan semesta.²⁰
Dalam kesadaran ini, manusia menemukan kembali posisinya sebagai bagian dari
keseluruhan yang lebih besar, di mana setiap tindakan moral menjadi partisipasi
dalam harmoni kosmik.²¹
8.4.      
Menuju Kosmologi Integral: Rasionalitas,
Spiritualitas, dan Ekologi
Sintesis filosofis
akhirnya bermuara pada gagasan tentang kosmologi integral, yaitu
pandangan dunia yang memadukan sains, filsafat, dan spiritualitas dalam satu
kerangka pemahaman.²² Kosmologi integral mengakui bahwa alam semesta bersifat
rasional, tetapi rasionalitasnya tidak terbatas pada logika matematis—ia juga
mencakup keindahan, nilai, dan kesadaran.²³
Pierre Teilhard de
Chardin menggambarkan kosmos sebagai proses evolusi menuju Omega
Point, yaitu kesatuan kesadaran ilahi yang menjadi tujuan akhir
segala hal.²⁴ Sementara itu, Ken Wilber menegaskan perlunya integrasi antara
dimensi empiris, rasional, dan mistik untuk membangun “kesadaran kosmik”
yang mampu melampaui reduksionisme modern.²⁵ Pandangan integral ini sejalan
dengan prinsip ekologi spiritual yang dikembangkan oleh Brian Swimme dan Mary
Evelyn Tucker, yang menafsirkan kosmos sebagai “cerita besar” (the
great story) tentang hubungan kreatif antara manusia dan alam.²⁶
Melalui kosmologi
integral, manusia diajak untuk menafsirkan ulang posisinya dalam semesta—bukan
sebagai pusat, melainkan sebagai ekspresi kesadaran kosmik yang sedang
berevolusi.²⁷ Dengan cara ini, filsafat tidak hanya menjadi sistem konseptual,
tetapi menjadi bentuk kebijaksanaan hidup yang memandu manusia untuk berpikir,
bertindak, dan berdoa dalam harmoni dengan seluruh realitas.²⁸
Sintesis filosofis
kosmologi, dengan demikian, menandai titik temu antara pengetahuan
dan kebijaksanaan, antara rasio dan transendensi. Ia
mengajarkan bahwa memahami kosmos berarti memahami diri sendiri, karena manusia
dan alam berasal dari sumber yang sama dan berbagi nasib yang sama dalam tatanan
keberadaan.²⁹ Dalam semangat ini, kosmologi filosofis tidak hanya berbicara
tentang struktur semesta, tetapi juga tentang panggilan moral dan spiritual manusia
untuk hidup selaras dengan ritme kosmik—sebuah kesadaran yang menuntun pada
kehidupan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan penuh makna.³⁰
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 217–218.
[2]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 33–35.
[3]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924),
XII.7.
[4]               
Albert Einstein, Relativity: The Special
and the General Theory (New York:
Crown, 1961), 84–85.
[5]               
David Bohm, Wholeness and the
Implicate Order (London: Routledge,
1980), 55–57.
[6]               
Alfred North Whitehead, Process
and Reality (New York: Free Press,
1978), 90–92.
[7]               
Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996), 29–30.
[8]               
Edmund Husserl, The Crisis of European
Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970),
117–119.
[9]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
A22–A23.
[10]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 55–57.
[11]            
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), xvi–xvii.
[12]            
Fritjof Capra, The Turning Point:
Science, Society, and the Rising Culture (New York: Bantam Books, 1982), 51–52.
[13]            
Michael Polanyi, Personal Knowledge (Chicago: University of Chicago Press, 1958),
311–312.
[14]            
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 45–46.
[15]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1960),
107–109.
[16]            
Max Scheler, Formalism in Ethics and
Non-Formal Ethics of Values, trans.
Manfred S. Frings (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 44–46.
[17]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 203–204.
[18]            
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–10.
[19]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 55–57.
[20]            
Pierre Teilhard de Chardin, The
Phenomenon of Man (New York: Harper
& Row, 1959), 275–277.
[21]            
Matthew Fox, The Coming of the
Cosmic Christ (San Francisco: Harper
& Row, 1988), 67–68.
[22]            
Ken Wilber, A Theory of Everything (Boston: Shambhala, 2000), 12–13.
[23]            
Brian Swimme, The Universe Is a Green
Dragon (Santa Fe: Bear & Co.,
1984), 23–25.
[24]            
Pierre Teilhard de Chardin, The
Future of Man (New York: Harper
& Row, 1964), 101–103.
[25]            
Ken Wilber, Sex, Ecology,
Spirituality: The Spirit of Evolution
(Boston: Shambhala, 1995), 7–8.
[26]            
Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey
of the Universe (New Haven: Yale
University Press, 2011), 136–138.
[27]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 45–47.
[28]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 149–150.
[29]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 25–26.
[30]            
Vaclav Havel, “The Need for Transcendence in the Postmodern World,” New York Times,
February 8, 1995.
9.          
Kesimpulan
Kosmologi filosofis,
sebagai disiplin yang menyatukan dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis, memperlihatkan bahwa pencarian manusia terhadap asal-usul dan
struktur semesta bukan hanya bersifat ilmiah, tetapi juga eksistensial dan spiritual.¹
Ia menegaskan bahwa kosmos tidak sekadar realitas fisik yang tunduk pada
hukum-hukum mekanistik, melainkan tatanan rasional dan bernilai yang menjadi
dasar bagi kehidupan, pengetahuan, dan moralitas.² Dengan demikian, kosmologi
filosofis berfungsi sebagai refleksi menyeluruh tentang posisi manusia di dalam
semesta, sekaligus sebagai usaha memahami makna keberadaan dalam horizon
universal.
9.1.      
Kesimpulan Ontologis: Alam sebagai Kesatuan
Rasional dan Sakral
Secara ontologis,
kosmologi filosofis mengajarkan bahwa alam semesta merupakan realitas
yang teratur, rasional, dan bermakna. Tradisi filsafat sejak
Yunani kuno hingga pemikiran kontemporer menegaskan bahwa di balik keragaman
fenomena alam terdapat prinsip kesatuan yang mendasarinya—logos,
harmonia,
atau rasionalitas ilahi.³ Pandangan ini tidak sekadar metaforis, tetapi
menandakan bahwa seluruh realitas saling berhubungan dalam suatu keteraturan
kosmik yang tidak dapat direduksi menjadi kebetulan.
Pemikiran modern,
melalui fisika relativitas dan mekanika kuantum, secara tak terduga
mengonfirmasi intuisi kuno ini. Alam semesta dipahami sebagai sistem terbuka
yang saling terhubung, di mana setiap bagian memengaruhi keseluruhan.⁴ Dengan
demikian, manusia, sebagai bagian dari kosmos, tidak dapat memisahkan dirinya
dari jaringan eksistensi universal; keberadaannya adalah manifestasi kesadaran
kosmik itu sendiri.⁵
9.2.      
Kesimpulan Epistemologis: Pengetahuan sebagai
Partisipasi dalam Realitas Kosmos
Secara
epistemologis, kosmologi filosofis mengungkapkan bahwa pengetahuan
tentang semesta bersifat partisipatif dan refleksif. Manusia
tidak hanya mengamati alam sebagai objek, tetapi berpartisipasi di dalamnya
melalui kesadaran, refleksi, dan penalaran.⁶ Proses mengetahui menjadi bentuk
keterlibatan eksistensial antara subjek dan dunia, sebagaimana diungkap oleh
fenomenologi Husserl dan Heidegger.⁷
Sains modern telah
memperluas jangkauan pengetahuan manusia, tetapi filsafat kosmologis menegaskan
bahwa rasio ilmiah tidak pernah berdiri sendiri: ia memerlukan horizon makna
yang lebih luas.⁸ Ketika fisika menyingkap hukum-hukum alam, filsafat
mengajukan pertanyaan yang lebih dalam—mengapa hukum-hukum itu ada?, dan apa
maknanya bagi manusia?⁹ Dengan demikian, epistemologi kosmologis berfungsi
sebagai jembatan antara rasionalitas dan misteri, antara empirisme dan
kontemplasi, membentuk cara berpikir yang terbuka namun tetap rasional.¹⁰
9.3.      
Kesimpulan Aksiologis: Etika Kosmik dan
Spiritualitas Universal
Secara aksiologis,
kosmologi filosofis membawa implikasi moral yang mendalam. Kesadaran akan
keterhubungan seluruh makhluk menuntun manusia untuk mengembangkan etika
kosmik—sebuah pandangan moral yang didasarkan pada penghormatan
terhadap kehidupan dan tatanan alam.¹¹ Dalam perspektif ini, setiap tindakan
manusia terhadap alam adalah tindakan terhadap dirinya sendiri, karena keduanya
merupakan bagian dari satu kesatuan eksistensial.¹²
Etika kosmologis ini
menegaskan prinsip tanggung jawab ekologis, solidaritas universal, dan rasa
hormat terhadap keberadaan.¹³ Spiritualitas kosmik kemudian menjadi bentuk
kesadaran baru yang melampaui batas agama dan budaya, menekankan kesatuan
antara ilmu, iman, dan kehidupan.¹⁴ Dalam kesadaran ini, manusia tidak lagi
melihat kosmos sebagai “latar belakang” kehidupannya, melainkan sebagai
rumah spiritual yang mengandung makna dan tujuan.¹⁵
Sintesis Akhir: Menuju Kesadaran Kosmik Manusia
Dari keseluruhan
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kosmologi filosofis berfungsi sebagai jalan
menuju kesadaran kosmik, yakni kesadaran akan keterpaduan
rasio, pengalaman, dan nilai dalam memahami realitas.¹⁶ Ia mempertemukan
pandangan saintifik tentang keteraturan alam dengan pemahaman metafisik tentang
makna, serta dengan tuntutan moral untuk hidup selaras dengan tatanan semesta.
Dalam era modern
yang cenderung fragmentaris dan antroposentris, kosmologi filosofis
mengingatkan manusia bahwa kemajuan teknologi dan sains harus disertai
kebijaksanaan etis dan spiritual.¹⁷ Filsafat kosmos mengajarkan keseimbangan
antara pengetahuan dan tanggung jawab, antara kebebasan dan keteraturan, antara
manusia dan alam.
Akhirnya, kosmologi
filosofis bukanlah sistem tertutup, melainkan pandangan dunia terbuka (open
worldview) yang senantiasa berkembang seiring pengetahuan
manusia.¹⁸ Ia mengajarkan bahwa pencarian makna tentang semesta adalah juga
pencarian makna tentang diri manusia sendiri—sebuah perjalanan tanpa akhir
menuju kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang menjadi dasar dari segala
realitas.¹⁹
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Modern Philosophy (London: Burns Oates, 1958), 220–222.
[2]               
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner, 1937), 15–17.
[3]               
Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of
Toronto Press, 1987), 30.
[4]               
David Bohm, Wholeness and the
Implicate Order (London: Routledge,
1980), 57–59.
[5]               
Alfred North Whitehead, Process
and Reality (New York: Free Press,
1978), 102–103.
[6]               
Edmund Husserl, The Crisis of European
Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970),
118.
[7]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 55–57.
[8]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 41–42.
[9]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
A832–A835.
[10]            
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
28–29.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–10.
[12]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 203.
[13]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry
of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1997), 91–92.
[14]            
Pierre Teilhard de Chardin, The
Future of Man (New York: Harper
& Row, 1964), 97–99.
[15]            
Matthew Fox, The Coming of the
Cosmic Christ (San Francisco: Harper
& Row, 1988), 67–68.
[16]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 115–117.
[17]            
Edgar Morin, Seven Complex Lessons
in Education for the Future (Paris:
UNESCO, 1999), 9–10.
[18]            
Ken Wilber, A Theory of Everything (Boston: Shambhala, 2000), 15–16.
[19]            
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 25–27.
Daftar Pustaka 
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1930). Physics (R. P. Hardie
& R. K. Gaye, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Aquinas, T. (1947). Summa theologica.
London: Burns Oates.
Aquinas, T. (1957). Summa contra gentiles.
New York: Image Books.
Barrow, J. D., & Tipler, F. J. (1986). The
anthropic cosmological principle. Oxford: Oxford University Press.
Barth, K. (1957). Church dogmatics (Vol.
II/1). Edinburgh: T&T Clark.
Beauvoir, S. de. (1948). The ethics of ambiguity
(B. Frechtman, Trans.). New York: Citadel Press.
Berry, T. (1988). The dream of the earth.
San Francisco: Sierra Club Books.
Berry, T. (1999). The great work: Our way into
the future. New York: Bell Tower.
Boff, L. (1997). Cry of the earth, cry of the
poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Bohm, D. (1980). Wholeness and the implicate
order. London: Routledge.
Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann,
Trans.). New York: Scribner.
Bultmann, R. (1957). History and eschatology.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). New York: Vintage.
Capra, F. (1975). The tao of physics.
Boston: Shambhala.
Capra, F. (1982). The turning point: Science,
society, and the rising culture. New York: Bantam Books.
Capra, F. (1996). The web of life. New York:
Anchor Books.
Capra, F. (2002). The hidden connections.
New York: Anchor Books.
Carroll, S. (2016). The big picture: On the
origins of life, meaning, and the universe itself. New York: Dutton.
Chardin, P. T. de. (1959). The phenomenon of man.
New York: Harper & Row.
Chardin, P. T. de. (1964). The future of man.
New York: Harper & Row.
Comte, A. (1896). The positive philosophy
(H. Martineau, Trans.). London: George Bell and Sons.
Copleston, F. (1946). A history of philosophy:
Greece and Rome. London: Burns Oates.
Copleston, F. (1950). A history of philosophy:
Medieval philosophy. London: Burns Oates.
Copleston, F. (1958). A history of philosophy:
Modern philosophy. London: Burns Oates.
Davies, P. (1992). The mind of God: The
scientific basis for a rational world. New York: Simon & Schuster.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on method
(D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Einstein, A. (1961). Relativity: The special and
the general theory. New York: Crown.
Eliade, M. (1958). Patterns in comparative
religion. New York: Sheed & Ward.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York:
Pantheon Books.
Fox, M. (1988). The coming of the cosmic Christ.
San Francisco: Harper & Row.
Gilson, É. (1937). The unity of philosophical
experience. New York: Scribner.
Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. New York: Random House.
Greene, B. (2004). The fabric of the cosmos.
New York: Alfred A. Knopf.
Guénon, R. (2001). The reign of quantity and the
signs of the times. New York: Sophia Perennis.
Havel, V. (1995, February 8). The need for
transcendence in the postmodern world. The New York Times.
Hawking, S. (1988). A brief history of time.
New York: Bantam Books.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. New York: Bantam Books.
Heidegger, M. (1959). An introduction to
metaphysics (R. Manheim, Trans.). New Haven: Yale University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology (W. Lovitt, Trans.). New York: Harper & Row.
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy.
New York: Harper & Row.
Heraclitus. (1987). Fragments (T. M.
Robinson, Trans.). Toronto: University of Toronto Press.
Hesiod. (1914). Theogony (H. G.
Evelyn-White, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Hume, D. (1902). An enquiry concerning human
understanding (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press.
Jaeger, W. (1947). The theology of the early
Greek philosophers. Oxford: Clarendon Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago:
University of Chicago Press.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.
Kant, I. (1981). Universal natural history and
theory of the heavens (S. L. Jaki, Trans.). Edinburgh: Scottish Academic
Press.
Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific
postscript (D. F. Swenson, Trans.). Princeton: Princeton University Press.
Koyré, A. (1957). From the closed world to the
infinite universe. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In
search of a new world ethic. New York: Crossroad.
Lao Tzu. (1963). Tao te ching (D. C. Lau,
Trans.). Harmondsworth: Penguin Books.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
Oxford: Oxford University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.).
Minneapolis: University of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue. Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Marcel, G. (1960). The mystery of being (G.
S. Fraser, Trans.). Chicago: Henry Regnery.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man.
Boston: Beacon Press.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. San Francisco: Harper & Row.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.
Morin, E. (1999). Seven complex lessons in
education for the future. Paris: UNESCO.
Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the
materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false.
Oxford: Oxford University Press.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis
principia mathematica. London: Royal Society.
Orr, D. W. (1994). Earth in mind: On education,
environment, and the human prospect. Washington, DC: Island Press.
Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric
experience: Emerging religious consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Penrose, R. (2010). Cycles of time: An
extraordinary new view of the universe. New York: Knopf.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Plato. (2000). Timaeus (D. J. Zeyl, Trans.).
Indianapolis: Hackett Publishing.
Polanyi, M. (1958). Personal knowledge.
Chicago: University of Chicago Press.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery. London: Routledge.
Popper, K. (1963). Conjectures and refutations.
London: Routledge.
Prigogine, I. (1984). Order out of chaos.
New York: Bantam Books.
Rahner, K. (1968). Spirit in the world. New
York: Herder and Herder.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton: Princeton University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford: Oxford University Press.
Sagan, C. (1980). Cosmos. New York: Random
House.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.
Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and
non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.).
Evanston: Northwestern University Press.
Schweitzer, A. (1933). Out of my life and
thought. New York: Holt.
Spinoza, B. (1985). Ethics (E. Curley,
Trans.). Princeton: Princeton University Press.
Suzuki, D. T. (1959). Zen and Japanese culture.
Princeton: Princeton University Press.
Swimme, B. (1984). The universe is a green
dragon. Santa Fe: Bear & Co.
Swimme, B., & Tucker, M. E. (2011). Journey
of the universe. New Haven: Yale University Press.
Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon
of man. New York: Harper & Row.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Voltaire. (1972). Philosophical dictionary
(T. Besterman, Trans.). London: Penguin.
White, L., Jr. (1967). The historical roots of our
ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality.
New York: Free Press.
Wilber, K. (1995). Sex, ecology, spirituality:
The spirit of evolution. Boston: Shambhala.
Wilber, K. (2000). A theory of everything.
Boston: Shambhala.
Wilber, K. (2000). A brief history of everything.
Boston: Shambhala.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar