Etika Ekologis
Dasar Filosofis, Moralitas Lingkungan, dan Tanggung
Jawab Manusia terhadap Alam
Alihkan ke: Filsafat Lingkungan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif fondasi
filosofis, moral, dan praksis dari Etika Ekologis sebagai paradigma baru
dalam menghadapi krisis lingkungan global. Melalui pendekatan sistematis yang
meliputi dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis,
sosial-politik, dan sintesis filosofis, kajian ini menegaskan bahwa masalah
ekologis bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis moral dan spiritual
yang menuntut pembaruan cara manusia memahami dan menempatkan dirinya dalam
tatanan kosmos.
Secara historis, etika ekologis berkembang
dari kritik terhadap antroposentrisme modern menuju kesadaran ekosentris yang
menempatkan seluruh makhluk dalam jaringan kehidupan yang setara. Secara ontologis,
ia memandang manusia dan alam sebagai kesatuan eksistensial yang saling
bergantung; secara epistemologis, ia menolak pengetahuan yang dominatif
dan mengusulkan pendekatan partisipatoris yang melibatkan tanggung jawab moral
terhadap dunia. Dari sisi aksiologis, etika ekologis menegaskan nilai
intrinsik kehidupan serta prinsip tanggung jawab dan kepedulian terhadap bumi.
Pada ranah sosial, ekonomi, dan politik,
etika ekologis menjadi landasan moral bagi pembangunan berkelanjutan, keadilan
ekologis, serta tata kelola lingkungan global yang berkeadilan. Artikel ini
berpuncak pada sintesis filosofis tentang ekologi integral, yaitu visi
holistik yang mempersatukan dimensi pengetahuan, etika, dan spiritualitas dalam
kesadaran bahwa segala sesuatu saling terhubung. Dengan demikian, etika
ekologis bukan hanya teori moral, melainkan panggilan eksistensial untuk
membangun peradaban yang berkeadilan ekologis, berkelanjutan, dan penuh kasih
terhadap kehidupan.
Kata Kunci: Etika
ekologis, ekosentrisme, tanggung jawab moral, keadilan lingkungan, ekologi
integral, keberlanjutan, etika planetari, spiritualitas bumi.
PEMBAHASAN
Etika Ekologis sebagai Fondasi Moral untuk Masa Depan
Bumi
1.          
Pendahuluan
Krisis ekologis yang melanda dunia dewasa ini bukan
hanya persoalan ilmiah atau teknologis, melainkan juga masalah moral dan
filosofis yang menuntut refleksi mendalam tentang relasi manusia dengan alam.
Pemanasan global, deforestasi, polusi laut, dan kepunahan spesies telah
menyingkap ketimpangan mendasar antara aktivitas manusia modern dan daya dukung
bumi sebagai rumah bersama kehidupan. Dalam konteks inilah, muncul kebutuhan
akan etika ekologis—sebuah cabang etika terapan yang berupaya menata
kembali tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidupnya.¹
Sejak revolusi industri abad ke-18, paradigma
antroposentrisme—yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam—telah
mendominasi cara berpikir Barat. Alam direduksi menjadi objek eksploitasi demi
kemajuan ekonomi dan teknologis.² Pandangan ini mengakar dalam filsafat modern
sejak René Descartes yang memisahkan res cogitans (subjek berpikir) dan res
extensa (benda yang terbentang), menjadikan alam sebagai sesuatu yang dapat
diukur, dimanipulasi, dan dikendalikan.³ Akibatnya, relasi manusia dengan alam
bergeser dari hubungan timbal balik menuju hubungan dominasi dan
utilitarianisme.
Namun, berbagai krisis lingkungan yang kian
mengancam keberlanjutan hidup menimbulkan kesadaran baru bahwa paradigma lama
ini harus digantikan oleh paradigma ekologis yang lebih holistik. Sejumlah
pemikir seperti Aldo Leopold, Arne Naess, dan Hans Jonas menyerukan perlunya perubahan
orientasi moral manusia dari ego-centric menuju eco-centric.⁴
Bagi Leopold, “The land ethic simply enlarges the boundaries of the
community to include soils, waters, plants, and animals,” yang berarti
bahwa etika harus meluas hingga mencakup keseluruhan sistem ekologis.⁵
Etika ekologis berupaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan fundamental: apakah alam memiliki nilai intrinsik selain
kegunaannya bagi manusia? Apakah makhluk non-manusia memiliki hak moral untuk
hidup? Bagaimana manusia seharusnya bertindak dalam menjaga keseimbangan
ekologis? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut refleksi filsafati yang melibatkan
dimensi ontologis (tentang hakikat keberadaan alam), epistemologis (cara
manusia memahami alam), dan aksiologis (nilai serta kewajiban moral terhadap
alam).⁶ Dengan demikian, etika ekologis bukan hanya tentang perilaku “ramah
lingkungan”, melainkan suatu upaya mendalam untuk menata ulang dasar-dasar
eksistensial dan moral manusia di tengah ekosistem yang rapuh.
Dalam konteks global, pembahasan etika ekologis
juga berhubungan dengan keadilan antar-generasi dan tanggung jawab kolektif
terhadap masa depan bumi. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menegaskan
bahwa krisis ekologi pada hakikatnya merupakan krisis moral, sebab “tidak
ada ekologi tanpa antropologi yang benar.”⁷ Sementara itu, dalam ranah
filsafat sekuler, Hans Jonas menegaskan bahwa etika tradisional yang berpusat
pada hubungan antar-manusia harus diperluas agar mencakup tindakan manusia
terhadap alam dan generasi yang belum lahir.⁸ Oleh karena itu, lahirnya etika
ekologis bukan sekadar respons terhadap bencana alam, tetapi manifestasi dari
kesadaran etis baru—yakni kesadaran bahwa keberlanjutan kehidupan di bumi
bergantung pada tanggung jawab moral manusia terhadap segala bentuk keberadaan.
Dengan dasar pemikiran tersebut, kajian ini
bertujuan untuk menelaah etika ekologis secara filosofis, dengan menelusuri
akar historisnya, membedah dasar ontologis dan epistemologisnya, serta
menimbang implikasi aksiologis dan sosialnya. Kajian ini juga akan mengkaji
kritik-kritik terhadap etika ekologis serta menawarkan sintesis filosofis
menuju pemahaman yang lebih integral antara manusia dan alam. Dengan cara ini,
diharapkan pembahasan etika ekologis tidak hanya menjadi teori normatif, tetapi
juga menjadi dasar praksis bagi pembangunan peradaban ekologis yang
berkelanjutan dan berkeadilan.
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 12–14.
[2]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our
Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
[3]               
René Descartes, Discourse on the Method,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 31–34.
[4]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–30.
[5]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 204.
[6]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 44–47.
[7]               
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 118.
[8]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 36–38.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Etika Ekologis
Etika ekologis tidak
lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari refleksi
manusia atas relasinya dengan alam sepanjang sejarah peradaban. Setiap zaman
menghadirkan paradigma moral dan metafisik yang berbeda mengenai posisi manusia
dalam kosmos. Oleh karena itu, memahami landasan historis dan genealogis etika
ekologis berarti menelusuri transformasi pandangan dunia (weltanschauung)
dari kosmos yang sakral menuju dunia yang terobjektifikasi, hingga munculnya
kesadaran ekologis modern yang bersifat holistik dan interdependen.¹
2.1.       Filsafat Alam Pra-Modern: Kosmos sebagai Kehidupan
yang Sakral
Dalam filsafat
Yunani kuno, alam (physis) dipahami sebagai realitas
hidup yang memiliki keteraturan dan tujuan intrinsik. Aristoteles, dalam Physics
dan Metaphysics,
memandang alam sebagai suatu tatanan teleologis, di mana setiap makhluk
bergerak menuju kesempurnaan sesuai kodratnya.² Konsep telos
ini menegaskan bahwa segala sesuatu dalam alam memiliki nilai dan arah
intrinsik yang harus dihormati. Sementara itu, filsafat Stoisisme menekankan
prinsip logos
sebagai rasionalitas kosmik yang mengatur seluruh alam semesta; manusia
dianggap sebagai bagian dari tatanan ini dan karenanya harus hidup “sesuai
dengan alam” (living according to nature).³
Tradisi Timur pun
menunjukkan pandangan yang serupa. Dalam Taoisme, Dao dipahami sebagai prinsip
alamiah yang mengalir di dalam segala sesuatu, menuntun harmoni antara manusia
dan kosmos.⁴ Konfusianisme menekankan tian ren he yi—kesatuan antara
langit (tian) dan manusia (ren)—yang menandakan keseimbangan moral dan
ekologis.⁵ Dalam pandangan ini, hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan
instrumental, tetapi relasi etis yang ditandai rasa hormat, keselarasan, dan
tanggung jawab.
2.2.       Dominasi Antroposentrisme dan Krisis Modernitas
Pandangan kosmos
sebagai kehidupan yang sakral mulai mengalami perubahan radikal pada masa
Renaisans dan terutama sejak Descartes dan Bacon. René Descartes dengan
dualismenya memisahkan antara pikiran dan materi (res cogitans dan res extensa),
sehingga alam direduksi menjadi objek mekanistik tanpa nilai moral.⁶ Francis
Bacon kemudian memperkuat paradigma ini melalui gagasannya bahwa “pengetahuan
adalah kekuasaan” (knowledge is power), yang
membenarkan eksploitasi alam demi kepentingan manusia.⁷ Dengan demikian,
lahirlah paradigma antroposentris dan mekanistik yang mendominasi modernitas.
Perubahan ini
diperkuat oleh revolusi ilmiah abad ke-17 dan revolusi industri abad ke-18.
Alam tidak lagi dipandang sebagai entitas hidup, tetapi sebagai sistem tertutup
yang dapat dikendalikan melalui hukum fisika.⁸ Lynn White Jr. mengaitkan krisis
ekologis modern dengan akar teologis Kristen Barat yang menempatkan manusia
sebagai “penguasa bumi”, sebagaimana tertulis dalam kitab Kejadian.⁹
Namun, pembacaan teologis ini kemudian dikritik oleh berbagai teolog ekologi
yang menekankan konsep stewardship—manusia sebagai
pengelola, bukan penguasa alam.¹⁰
2.3.       Kebangkitan Kesadaran Ekologis Modern
Pada abad ke-20,
muncul kesadaran baru terhadap keterbatasan paradigma antroposentris. Krisis
lingkungan, polusi, dan kepunahan spesies memicu lahirnya refleksi etis baru
terhadap relasi manusia dan alam. Salah satu tonggak penting adalah karya Aldo
Leopold, A Sand
County Almanac (1949), yang memperkenalkan konsep land ethic.
Ia menulis bahwa “etika tanah” memperluas komunitas moral hingga
mencakup tanah, air, tumbuhan, dan hewan.¹¹
Pada dekade 1970-an,
Arne Naess memperkenalkan deep ecology sebagai gerakan
filsafat dan etika yang menolak antroposentrisme dan mengedepankan biospheric
egalitarianism, yaitu pandangan bahwa semua bentuk kehidupan
memiliki nilai yang sama.¹² Gerakan ini menjadi inspirasi bagi banyak
pendekatan etika lingkungan lainnya seperti eco-feminism, social
ecology (Murray Bookchin), dan ecotheology.¹³
Hans Jonas, melalui The
Imperative of Responsibility (1979), memberikan dimensi etika
normatif yang mendalam. Ia menekankan bahwa tindakan manusia modern memiliki
dampak jangka panjang terhadap biosfer dan generasi mendatang, sehingga perlu
etika baru yang berlandaskan pada prinsip tanggung jawab (principle
of responsibility).¹⁴
2.4.       Arah Genealogis Menuju Etika Ekologi Integral
Dalam
perkembangannya, etika ekologis tidak lagi hanya menjadi ranah etika terapan,
melainkan berkembang menjadi paradigma filsafat moral baru yang melampaui
dikotomi manusia–alam. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato
Si’ (2015) memperkenalkan konsep “ekologi integral”, yaitu
pendekatan yang menyatukan dimensi lingkungan, sosial, ekonomi, dan spiritual
sebagai satu kesatuan moral.¹⁵ Sementara itu, dalam konteks filsafat sekuler,
para pemikir kontemporer seperti Val Plumwood dan Bruno Latour menekankan
pentingnya post-human
ethics, di mana moralitas tidak lagi berpusat pada manusia,
melainkan pada jejaring kehidupan yang lebih luas.¹⁶
Dengan demikian,
secara genealogis, etika ekologis merupakan hasil dialektika panjang antara
pandangan dunia kuno yang sakral, modernitas yang mekanistik, dan kesadaran
kontemporer yang ekologis. Ia lahir dari pergulatan intelektual dan moral untuk
mengembalikan manusia ke dalam tatanan kosmos yang lebih luas, bukan sebagai
penguasa, tetapi sebagai penjaga dan peserta dalam drama kehidupan yang saling
terkait.
Footnotes
[1]               
Donald A. Crosby, Living with Ambiguity: Religious Naturalism and
the Menace of Evil (Albany: SUNY Press, 2008), 22–23.
[2]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1015a–1017b.
[3]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), VII.87–89.
[4]               
Laozi, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (Harmondsworth: Penguin,
1963), 1–3.
[5]               
Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian
Religiousness (Albany: SUNY Press, 1989), 112–114.
[6]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 47–50.
[7]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–34.
[8]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.
[9]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1205.
[10]            
John Cobb and Herman Daly, For the Common Good: Redirecting the
Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future
(Boston: Beacon Press, 1989), 56–57.
[11]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 204–205.
[12]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 67–70.
[13]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 44–46.
[14]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 123–126.
[15]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 137–138.
[16]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 192–194; Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 95–97.
3.          
Ontologi
Etika Ekologis: Manusia dan Alam sebagai Kesatuan Eksistensial
Pembahasan ontologis
dalam etika ekologis berangkat dari pertanyaan mendasar mengenai hakikat
keberadaan (being) manusia dan alam, serta
bagaimana relasi ontologis di antara keduanya seharusnya dipahami. Dalam
tradisi filsafat modern, terutama sejak Descartes dan Kant, manusia diposisikan
sebagai subjek rasional yang berdiri terpisah dari dunia alamiah.¹ Alam, pada
gilirannya, direduksi menjadi objek eksternal yang nilainya ditentukan
semata-mata oleh kegunaannya bagi manusia. Pandangan dualistik ini menimbulkan
konsekuensi etis yang mendalam: alam kehilangan status ontologisnya sebagai
entitas yang memiliki nilai intrinsik dan menjadi sekadar sarana produksi bagi
kepentingan manusia.²
Sebaliknya, dalam
paradigma etika ekologis, manusia dan alam tidak dipahami sebagai dua entitas
yang terpisah, melainkan sebagai kesatuan eksistensial yang saling bergantung.
Ontologi ekologis menolak pandangan antroposentris dengan menegaskan bahwa
seluruh makhluk berbagi modus essendi yang sama—yakni
eksistensi dalam jaringan kehidupan (web of life).³ Dalam kerangka ini,
keberadaan manusia hanya dapat dimaknai dalam konteks ekologisnya: manusia
hidup karena dan bersama makhluk lainnya. Maurice Merleau-Ponty menyebut
hubungan ini sebagai flesh of the world—jaringan daging
dunia yang menyatukan subjek dan objek dalam satu kontinuitas eksistensial.⁴
3.1.       Kritik terhadap Dualisme Ontologis
Dualisme ontologis
yang diwariskan oleh tradisi Cartesian telah membentuk pola pikir eksploitasi
alam. Ketika alam dipandang sebagai benda mati (res extensa), maka tidak ada alasan
moral untuk memperlakukannya dengan hormat.⁵ Etika ekologis justru berangkat
dari kritik terhadap pandangan ini dengan menegaskan kembali dimensi being
dari alam. Dalam pandangan Heidegger, krisis ekologis sesungguhnya bersumber
dari “forgetfulness
of being,” yaitu kelalaian manusia dalam menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian dari Sein yang sama dengan seluruh
keberadaan lainnya.⁶ Manusia bukan penguasa atas being, melainkan penjaga (shepherd
of being) yang bertugas memelihara keterbukaan eksistensi.⁷
Dari perspektif
Timur, pandangan serupa juga hadir dalam konsep Buddhis tentang pratītyasamutpāda
(saling ketergantungan universal). Tidak ada makhluk yang eksis secara
terpisah; keberadaan setiap entitas ditentukan oleh relasinya dengan yang
lain.⁸ Prinsip ini menjadi dasar bagi deep ecology yang dikembangkan Arne
Naess, yang melihat ego individual manusia sebagai bagian kecil dari Self
yang lebih luas, yaitu ecological Self.⁹ Dengan demikian,
ontologi ekologis tidak hanya berbicara tentang struktur realitas, tetapi juga
tentang kesadaran moral manusia terhadap keberadaannya dalam jaring kehidupan.
3.2.       Ontologi Relasional dan Ekosentrisme
Etika ekologis
mendasarkan diri pada ontologi relasional, yaitu
pandangan bahwa eksistensi bukanlah keberadaan yang tertutup dan otonom,
melainkan terbuka dan saling terhubung. Dalam ekosentrisme, segala bentuk
kehidupan memiliki nilai dan martabat ontologis karena menjadi bagian dari
totalitas ekologis yang hidup.¹⁰ Ini menolak hierarki keberadaan yang
menempatkan manusia di puncak piramida ontologis. Val Plumwood menegaskan bahwa
relasi manusia dan alam bukanlah relasi antara penguasa dan objek, tetapi
antara sesama subjek (subject-to-subject relationship).¹¹
Dalam konteks ini,
ekologi bukan sekadar bidang ilmu tentang lingkungan, melainkan kerangka
ontologis yang melihat dunia sebagai sistem kehidupan yang dinamis dan
interaktif. Fritjof Capra dalam The Web of Life menggambarkan alam
sebagai jejaring kompleks yang membentuk kesatuan sistemik, di mana setiap
unsur memiliki fungsi dan nilai intrinsik dalam keseluruhan ekosistem.¹²
Ontologi ekologis dengan demikian menegaskan bahwa “ada” berarti “ber-relasi.”
Keberadaan suatu makhluk hanya bermakna sejauh ia ikut serta dalam
mempertahankan harmoni jaringan ekologis tersebut.¹³
3.3.       Implikasi Ontologis bagi Etika
Dari landasan
ontologis inilah muncul dasar moral etika ekologis: jika seluruh keberadaan
saling terkait secara eksistensial, maka setiap tindakan manusia terhadap alam
memiliki dimensi moral.¹⁴ Prinsip care (kepedulian) dan responsibility
(tanggung jawab) yang ditekankan Hans Jonas mendapatkan legitimasi ontologisnya
di sini: manusia bertanggung jawab bukan karena superioritasnya, tetapi karena
partisipasinya dalam keberadaan yang sama.¹⁵ Tanggung jawab ekologis bukan
hanya kewajiban moral, melainkan konsekuensi eksistensial dari kenyataan bahwa
kehidupan manusia adalah bagian dari kehidupan alam.
Dengan demikian,
ontologi etika ekologis membalik logika antroposentris menjadi logika
partisipatoris: manusia bukan master of nature, melainkan member
of nature. Ia hidup bukan di atas alam, tetapi di dalamnya, bersama
seluruh makhluk lain yang berbagi nasib ekologis yang sama. Kesadaran akan
kesatuan eksistensial ini menjadi fondasi ontologis bagi seluruh konstruksi
etika ekologis kontemporer.
Footnotes
[1]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 267–269.
[2]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 47–50.
[3]               
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 21–22.
[4]               
Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans.
Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 130–131.
[5]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.
[6]               
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 35–36.
[7]               
Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi
(New York: Harper & Row, 1977), 245–247.
[8]               
Thich Nhat Hanh, The Heart of Understanding: Commentaries on the
Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press, 1988), 22–24.
[9]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 164–165.
[10]            
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: SUNY Press, 1990), 55–58.
[11]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 189–191.
[12]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–29.
[13]            
Brian Henning, The Ethics of Creativity: Beauty, Morality, and
Nature in a Processive Cosmos (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press,
2005), 48–50.
[14]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 121–123.
[15]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 124–126.
4.          
Epistemologi
Etika Ekologis: Pengetahuan tentang Alam dan Keterlibatan Manusia
Epistemologi etika
ekologis berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana
manusia mengetahui, memahami, dan menilai alam secara moral.
Dalam filsafat modern, pengetahuan tentang alam didominasi oleh paradigma
positivistik yang menekankan objektivitas, kuantifikasi, dan jarak antara
subjek peneliti dengan objek yang diteliti.¹ Paradigma ini menghasilkan ilmu
pengetahuan yang efisien dalam menjelaskan fenomena fisik, tetapi sekaligus
mengasingkan manusia dari alam yang dipelajarinya. Alam diperlakukan sebagai
sistem tertutup yang dapat dikuasai, bukan sebagai realitas hidup yang harus
dihormati.²
Etika ekologis
menolak klaim netralitas epistemologis tersebut. Ia menegaskan bahwa pengetahuan
tentang alam tidak pernah bebas nilai, sebab setiap cara
mengetahui mencerminkan sikap eksistensial terhadap dunia.³ Dengan kata lain,
epistemologi ekologis bukan hanya soal mengetahui alam, tetapi tentang bagaimana
manusia terlibat dalam dan bersama alam.
4.1.       Kritik terhadap Epistemologi Mekanistik dan
Reduksionisme
Epistemologi
mekanistik lahir dari revolusi ilmiah abad ke-17, ketika Galileo, Newton, dan
Bacon menekankan bahwa realitas alam dapat direduksi ke hukum-hukum matematika
dan mekanika.⁴ Pengetahuan menjadi alat dominasi, bukan kontemplasi. Francis
Bacon secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan sains adalah “menaklukkan
alam” demi kesejahteraan manusia.⁵ Pandangan ini melahirkan reduksionisme
epistemologis—yakni kecenderungan untuk memandang kompleksitas kehidupan hanya
melalui bagian-bagian terukur, mengabaikan dimensi kualitatif dan relasional
dari alam.⁶
Kritik terhadap
reduksionisme datang dari berbagai arah. Filsuf ekofeminis seperti Carolyn
Merchant menilai bahwa reduksi alam menjadi “mesin” telah menghapus
citra alam sebagai “ibu yang hidup,” sehingga legitimasi etis untuk
mengeksploitasinya menjadi tak terbendung.⁷ Sementara itu, fenomenologi alam
(Merleau-Ponty, Husserl) menekankan bahwa pengetahuan sejati tentang dunia
tidak dapat dicapai melalui objektifikasi, tetapi melalui pengalaman langsung
dan keterlibatan tubuh manusia dalam dunia yang sama.⁸
4.2.       Menuju Epistemologi Relasional dan Partisipatoris
Sebagai reaksi
terhadap positivisme, epistemologi etika ekologis mengusulkan pendekatan relasional
dan partisipatoris. Dalam paradigma ini, subjek dan objek tidak
berdiri secara dikotomis, melainkan terjalin dalam hubungan timbal balik.
Gregory Bateson menyebutnya sebagai “ecology of mind”—cara berpikir
yang menyadari keterhubungan antara pikiran manusia dan sistem ekologis yang
lebih luas.⁹ Pengetahuan, dengan demikian, bukan sekadar representasi kognitif,
tetapi partisipasi
eksistensial dalam jaringan kehidupan.
Fritjof Capra memperluas
pandangan ini dalam The Tao of Physics dan The Web
of Life, dengan menegaskan bahwa pengetahuan ekologis bersifat
sistemik dan dinamis.¹⁰ Alam bukan kumpulan objek, melainkan jaringan proses
yang saling memengaruhi. Oleh karena itu, memahami alam berarti memahami pola
hubungan, bukan entitas terpisah.¹¹ Dalam epistemologi ekologis, to know
berarti to
connect—mengetahui adalah menghubungkan diri secara etis dan
spiritual dengan keseluruhan kehidupan.
Pendekatan ini juga
menemukan resonansinya dalam spiritualitas ekologis. Pengetahuan ekologis
melibatkan bukan hanya akal (logos), tetapi juga empati (pathos)
dan kesadaran moral (ethos). Thomas Berry, seorang
teolog-ekolog, menyebut bahwa tugas utama manusia modern adalah beralih dari “a
human-centered worldview” menuju “an earth-centered consciousness.”¹²
Dengan demikian, epistemologi ekologis tidak sekadar menuntut rasionalitas
baru, tetapi juga transformasi kesadaran.
4.3.       Pengetahuan, Nilai, dan Tanggung Jawab
Epistemologi
ekologis bersifat normatif karena menuntun pada tindakan etis. Pengetahuan yang
sejati tentang alam tidak berhenti pada pemahaman teoritis, tetapi melahirkan tanggung
jawab moral terhadap keberlanjutan kehidupan. Hans Jonas
menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah modern yang mampu mengubah alam secara
radikal menuntut munculnya etika baru yang sebanding dengan kekuatan
tersebut.¹³ Dalam pandangan Jonas, epistemologi dan etika tidak dapat
dipisahkan: semakin besar kapasitas manusia untuk mengetahui dan mengubah alam,
semakin besar pula tanggung jawab moralnya.¹⁴
Selain itu,
epistemologi ekologis juga menolak klaim universalitas tunggal dari pengetahuan
Barat. Berbagai bentuk pengetahuan lokal (indigenous knowledge systems)
dipandang sebagai bagian penting dari kebijaksanaan ekologis global.¹⁵
Pengetahuan adat tidak sekadar praktik teknis, tetapi ekspresi dari relasi etis
antara manusia dan lingkungannya yang sarat dengan makna simbolik dan
spiritual. Dalam konteks ini, epistemologi ekologis menjadi jembatan antara
sains, etika, dan kearifan budaya.
4.4.       Epistemologi Ekologis sebagai Jalan Menuju
Kesadaran Integral
Arah utama
epistemologi ekologis adalah integrasi antara dimensi kognitif, moral, dan
spiritual pengetahuan. Ia mengajak manusia untuk mengetahui dengan cara yang lebih manusiawi dan
ekologis, yakni dengan menyadari bahwa pengetahuan selalu
mengandung tanggung jawab terhadap kehidupan.¹⁶ Kesadaran ekologis sejati
muncul ketika manusia tidak lagi memandang alam sebagai “yang lain,”
tetapi sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Dengan demikian,
epistemologi etika ekologis bukan sekadar teori tentang cara mengetahui,
melainkan juga cara menjadi—yakni menjadi manusia yang
sadar akan keterlibatan eksistensialnya dalam keseluruhan jaringan kehidupan.
Dalam kesadaran ini, pengetahuan menjadi tindakan moral, dan tindakan moral
menjadi cara mengetahui dunia secara lebih utuh.
Footnotes
[1]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte,
trans. Harriet Martineau (New York: Calvin Blanchard, 1853), 12–14.
[2]               
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 26–28.
[3]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New
York: Oxford University Press, 1991), 44–47.
[4]               
Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems,
trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1967), 3–4.
[5]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–34.
[6]               
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 107–108.
[7]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 169–171.
[8]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 90–92.
[9]               
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago:
University of Chicago Press, 1972), 321–322.
[10]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels
between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 1975),
34–36.
[11]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–29.
[12]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 56–58.
[13]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 23–24.
[14]            
Ibid., 126–128.
[15]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 42–43.
[16]            
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 155–157.
5.          
Aksiologi
Etika Ekologis: Nilai, Moralitas, dan Kebaikan Alam
Aksiologi etika
ekologis berfokus pada pertanyaan tentang nilai (value)
dan kebaikan
(goodness) dalam kaitannya dengan alam. Jika etika tradisional
menempatkan nilai moral dalam relasi antar-manusia, maka etika ekologis
memperluas cakupan moralitas hingga mencakup seluruh komunitas kehidupan.¹ Hal
ini menuntut pergeseran dari sistem nilai antroposentris menuju paradigma nilai
yang bersifat biocentris dan ekosentris.
Dalam konteks ini, pertanyaan utama bukan lagi “apa yang baik bagi manusia,”
tetapi “apa yang baik bagi kehidupan secara keseluruhan.”²
5.1.       Nilai Intrinsik Alam
Dalam tradisi etika
lingkungan, perdebatan utama berkisar pada apakah alam memiliki nilai
intrinsik (nilai yang melekat pada dirinya sendiri) atau hanya nilai
instrumental (nilai karena manfaatnya bagi manusia).³
Antroposentrisme klasik beranggapan bahwa hanya makhluk rasional yang memiliki
nilai moral, sementara alam hanyalah sarana untuk tujuan manusia.⁴ Sebaliknya,
etika ekologis menegaskan bahwa semua entitas alam—baik makhluk hidup maupun
tak hidup—memiliki nilai intrinsik karena keberadaannya yang turut menopang
keberlangsungan kehidupan.⁵
Aldo Leopold,
melalui konsep land ethic, menyatakan bahwa “a thing
is right when it tends to preserve the integrity, stability, and beauty of the
biotic community.”⁶ Pandangan ini memperluas horizon moral hingga
meliputi tanah, air, tumbuhan, dan hewan sebagai bagian dari komunitas etis.
Dalam hal ini, nilai moral tidak hanya ditentukan oleh kesadaran rasional,
melainkan oleh kontribusi suatu entitas terhadap keseimbangan ekosistem.⁷
Dengan demikian, kebaikan dalam etika ekologis bersifat sistemik, bukan
individual: sesuatu dikatakan baik sejauh ia menjaga keharmonisan totalitas
kehidupan.⁸
5.2.       Prinsip Moralitas Ekologis: Tanggung Jawab dan
Kepedulian
Aksiologi etika
ekologis tidak hanya membahas nilai, tetapi juga prinsip
moralitas ekologis yang melandasi tindakan manusia terhadap
alam. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility,
menegaskan bahwa dalam era teknologi, manusia memiliki kekuasaan yang belum
pernah ada sebelumnya terhadap biosfer.⁹ Karena itu, tanggung jawab moral
manusia harus diperluas agar mencakup konsekuensi ekologis dari tindakannya
terhadap generasi mendatang.¹⁰ Prinsip Jonas ini menjadi landasan moral utama
bagi etika ekologis kontemporer: setiap tindakan manusia harus mempertimbangkan
kelestarian kehidupan di masa depan.¹¹
Selain tanggung
jawab (responsibility),
etika ekologis juga mengedepankan prinsip kepedulian (care).
Carol Gilligan dan Nel Noddings, melalui etika kepedulian, menekankan bahwa
moralitas tidak hanya berakar pada keadilan dan kewajiban, tetapi juga pada
relasi empatik terhadap yang lain.¹² Dalam konteks ekologis, prinsip ini
berarti mengakui dan merawat kebergantungan timbal balik antara manusia dan
lingkungan. Kepedulian ekologis menumbuhkan sikap hormat terhadap semua makhluk
hidup dan menginternalisasi kesadaran bahwa kerusakan terhadap alam adalah
bentuk pelanggaran moral terhadap tatanan kehidupan itu sendiri.¹³
5.3.       Kebaikan Alam dan Sakralitas Kehidupan
Etika ekologis juga
menegaskan bahwa alam tidak hanya bernilai secara moral, tetapi juga memiliki
dimensi sakralitas. Dalam banyak
tradisi budaya dan keagamaan, alam dipandang sebagai manifestasi dari yang
ilahi.¹⁴ Perspektif ini menghidupkan kembali reverence for life (rasa hormat
terhadap kehidupan) sebagaimana dikemukakan oleh Albert Schweitzer, yang
menyatakan bahwa “ethics is nothing other than reverence for life
itself.”¹⁵ Dalam kerangka ini, kebaikan ekologis tidak sekadar
etika rasional, tetapi juga ekspresi spiritual yang memuliakan kehidupan
sebagai anugerah yang harus dijaga.
Sakralitas kehidupan
juga muncul dalam teologi ekologi kontemporer. Paus Fransiskus, dalam Laudato
Si’, menegaskan bahwa alam adalah “saudara dan ibu” bagi
manusia, bukan sekadar sumber daya.¹⁶ Pandangan ini mengembalikan moralitas
ekologis ke dalam horizon religius dan spiritual, di mana hubungan manusia
dengan alam merupakan bentuk ibadah dan tanggung jawab kosmik.¹⁷ Dalam hal ini,
nilai tertinggi dalam etika ekologis adalah integritas ciptaan—kesadaran bahwa
seluruh kehidupan terjalin dalam satu kesatuan eksistensial yang menuntut
penghormatan dan kasih.¹⁸
5.4.       Aksiologi Ekologis dan Keadilan Antar-Generasi
Dimensi aksiologis
etika ekologis juga mencakup prinsip keadilan antar-generasi.
Prinsip ini menegaskan bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban moral untuk
menjaga keberlangsungan bumi bagi generasi yang akan datang.¹⁹ Nicholas Low dan
Brendan Gleeson menyebut keadilan ekologis sebagai “the moral extension of justice to future beings
and non-human entities.”²⁰ Prinsip ini memperluas cakupan etika
sosial ke dalam ranah temporal dan ekologis. Dalam konteks ini, keadilan tidak
lagi bersifat antropologis, melainkan kosmologis.²¹
Aksiologi ekologis,
dengan demikian, tidak hanya berbicara tentang nilai, tetapi juga tentang arah
moral dan spiritual kehidupan manusia. Nilai tertinggi bukanlah pertumbuhan
ekonomi atau kepuasan individual, melainkan keberlanjutan kehidupan dan
keutuhan ciptaan.²² Etika ekologis mengajak manusia untuk menata kembali
hierarki nilai modern, menempatkan harmoni ekologis sebagai dasar dari segala
tindakan moral.²³
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 12–14.
[2]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New
York: Oxford University Press, 1991), 58–60.
[3]               
J. Baird Callicott, “Intrinsic Value in Nature: A Metaethical
Analysis,” Environmental Ethics 4, no. 3 (1982): 257–275.
[4]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 39–40.
[5]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 66–68.
[6]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224.
[7]               
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 32–34.
[8]               
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–101.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 22–23.
[10]            
Ibid., 126–128.
[11]            
Larry L. Rasmussen, Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New
Key (Oxford: Oxford University Press, 2012), 45–46.
[12]            
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
69–71.
[13]            
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 172–174.
[14]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 45–47.
[15]            
Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought: An Autobiography,
trans. C. T. Campion (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1998), 158.
[16]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 11.
[17]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 38–39.
[18]            
Sean McDonagh, To Care for the Earth: A Call to a New Theology
(Santa Fe: Bear & Company, 1986), 73–75.
[19]            
Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for
Global Environmental Change,” Environmental Policy and Law 19, no. 1
(1989): 34–35.
[20]            
Nicholas Low and Brendan Gleeson, Justice, Society and Nature: An
Exploration of Political Ecology (London: Routledge, 1998), 72–74.
[21]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An
Anthology (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 210–212.
[22]            
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 112–114.
[23]            
Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of
Reason (London: Routledge, 2002), 174–176.
6.          
Dimensi
Sosial, Ekonomi, dan Politik Etika Ekologis
Etika ekologis tidak
hanya berakar pada kesadaran moral individu terhadap alam, tetapi juga memiliki
implikasi sosial, ekonomi, dan politik yang luas. Dalam dunia modern yang
ditandai oleh industrialisasi, globalisasi, dan konsumerisme, krisis ekologi
tidak dapat dipahami semata sebagai persoalan etika pribadi, melainkan sebagai
akibat dari struktur sosial dan sistem ekonomi-politik yang tidak adil terhadap
lingkungan.¹ Karena itu, etika ekologis menuntut transformasi struktural: bukan
hanya perubahan perilaku individu, tetapi juga rekonstruksi nilai, kebijakan,
dan institusi sosial agar lebih selaras dengan prinsip keberlanjutan ekologis
dan keadilan lingkungan.²
6.1.       Etika Ekologis dan Keadilan Sosial
Krisis lingkungan
selalu memiliki dimensi sosial. Dampak dari perubahan iklim, polusi, dan
kerusakan ekologis sering kali paling berat dirasakan oleh kelompok miskin, masyarakat
adat, dan negara-negara berkembang.³ Oleh karena itu, etika ekologis harus
mencakup keadilan ekologis (environmental
justice), yang menekankan distribusi
yang adil atas manfaat dan beban lingkungan.⁴ Gerakan keadilan ekologis muncul
di Amerika Serikat pada 1980-an sebagai respon terhadap diskriminasi lingkungan
terhadap komunitas minoritas.⁵ Namun dalam konteks global, konsep ini
berkembang menjadi eco-justice—suatu integrasi antara
keadilan sosial dan keutuhan ciptaan.⁶
Dalam kerangka ini,
prinsip moral etika ekologis menolak eksploitasi terhadap manusia dan alam
sekaligus. Thomas Berry menyebut bahwa krisis ekologi pada hakikatnya adalah “krisis
komunitas,” yakni hilangnya rasa solidaritas antara manusia dan seluruh
bentuk kehidupan.⁷ Maka, etika ekologis menuntut solidaritas sosial-ekologis di
mana kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan bumi.
6.2.       Dimensi Ekonomi: Kritik terhadap Kapitalisme dan
Konsumerisme
Etika ekologis
menyoroti hubungan erat antara model ekonomi kapitalistik dan
kerusakan ekologis. Sistem ekonomi modern yang berorientasi pada pertumbuhan
tanpa batas telah mengabaikan keterbatasan ekologis bumi.⁸ Paradigma “pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan” sering kali menjadi paradoks karena tetap
berlandaskan logika eksploitasi sumber daya alam.⁹ Dalam hal ini, etika
ekologis mengajukan kritik mendasar terhadap logika homo economicus yang mengutamakan
efisiensi dan keuntungan materi di atas keseimbangan ekologis.¹⁰
E. F. Schumacher melalui
Small Is
Beautiful menegaskan pentingnya “ekonomi skala manusia” yang
berbasis pada prinsip keberlanjutan dan kesederhanaan.¹¹ Pandangan ini
menekankan bahwa nilai ekonomi harus dikembalikan pada fungsi moralnya:
melayani kehidupan, bukan menghancurkannya. Konsep ekonomi hijau (green
economy) dan ekonomi sirkular (circular economy) merupakan upaya
kontemporer untuk mengintegrasikan prinsip etika ekologis dalam struktur
ekonomi global.¹² Namun, sebagaimana dikritik Naomi Klein, banyak kebijakan
hijau masih terjebak dalam logika pasar yang sama—menjadikan “lingkungan”
sebagai komoditas baru alih-alih sebagai nilai moral.¹³
Dengan demikian,
etika ekologis menuntut transformasi ekonomi moral:
dari paradigma eksploitasi menuju paradigma keberlanjutan, dari akumulasi
menuju keseimbangan, dan dari konsumsi berlebih menuju kehidupan yang cukup (sufficiency
ethics).¹⁴
6.3.       Dimensi Politik: Ekologi dan Kekuasaan
Krisis ekologi juga
merupakan krisis politik karena terkait dengan pengelolaan kekuasaan atas
sumber daya alam. Politik lingkungan sering kali menjadi ajang konflik antara
kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekologis.¹⁵ Dalam konteks ini, etika
ekologis menekankan politik tanggung jawab (politics
of responsibility)—yakni bahwa negara, lembaga internasional, dan
korporasi memiliki kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem.¹⁶
Teori ekologi sosial
yang dikembangkan Murray Bookchin melihat akar krisis ekologis dalam struktur
hierarkis dan dominatif masyarakat manusia itu sendiri.¹⁷ Menurutnya, sistem
sosial yang menindas manusia juga akan menindas alam, karena keduanya berakar pada
logika kekuasaan yang sama. Maka, pembebasan ekologis hanya mungkin jika
terjadi pembebasan sosial.¹⁸ Prinsip ini mengarah pada eco-democracy,
yaitu tata politik yang berbasis partisipasi, desentralisasi, dan kesetaraan
ekologis.¹⁹
Dalam tataran
global, muncul pula gagasan governance ekologis yang
menekankan kerja sama antarnegara untuk menangani isu-isu lintas batas seperti
perubahan iklim, deforestasi, dan polusi laut.²⁰ Perjanjian internasional
seperti Paris
Agreement (2015) merupakan langkah konkret menuju kesepakatan etis
global, meskipun implementasinya masih lemah karena kepentingan ekonomi
nasional sering kali mengalahkan komitmen moral ekologis.²¹
6.4.       Ekologi dan Etika Pembangunan Berkelanjutan
Etika ekologis menempatkan
diri sebagai dasar normatif bagi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).²² Prinsip “meet the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs”
sebagaimana dirumuskan dalam Brundtland Report (1987) adalah
ekspresi etis dari tanggung jawab antar-generasi.²³ Namun, etika ekologis
melangkah lebih jauh dengan menekankan bahwa keberlanjutan tidak hanya bersifat
ekonomi atau sosial, tetapi juga moral dan spiritual.²⁴
Pembangunan berkelanjutan
yang sejati harus berakar pada kesadaran bahwa kemajuan manusia hanya bermakna
jika selaras dengan keseimbangan alam.²⁵ Dalam kerangka ini, etika ekologis
bukan sekadar teori normatif, melainkan juga visi politik untuk menciptakan
tatanan sosial-ekonomi baru yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua
makhluk hidup di bumi.
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 25–27.
[2]               
John Barry, Rethinking Green Politics: Nature, Virtue, and Progress
(London: Sage, 1999), 88–90.
[3]               
David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories,
Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 41–42.
[4]               
Robert Bullard, Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental
Quality (Boulder: Westview Press, 1990), 56–57.
[5]               
Dorceta Taylor, Toxic Communities: Environmental Racism, Industrial
Pollution, and Residential Mobility (New York: NYU Press, 2014), 18–19.
[6]               
Larry L. Rasmussen, Earth Community, Earth Ethics (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1996), 62–64.
[7]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 73–74.
[8]               
Herman E. Daly, Steady-State Economics (San Francisco: W.H.
Freeman, 1977), 8–10.
[9]               
Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New
Political Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.
[10]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999),
254–255.
[11]            
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 109–110.
[12]            
Pearce, David W., Anil Markandya, and Edward B. Barbier, Blueprint
for a Green Economy (London: Earthscan, 1989), 21–23.
[13]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 92–93.
[14]            
Wolfgang Sachs, ed., The Development Dictionary: A Guide to
Knowledge as Power (London: Zed Books, 2010), 211–213.
[15]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and
Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 37–39.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 124–126.
[17]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 44–45.
[18]            
Ibid., 50–52.
[19]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An
Anthology (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 215–216.
[20]            
Frank Biermann, Earth System Governance: World Politics in the
Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 5–7.
[21]            
Joyeeta Gupta, The History of Global Climate Governance
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 121–123.
[22]            
John Pezzey and Michael Toman, The Economics of Sustainability
(Washington, DC: Resources for the Future, 2002), 3–4.
[23]            
World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common
Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
[24]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 159–161.
[25]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 82–83.
7.          
Kritik
terhadap Etika Ekologis
Meskipun etika
ekologis menawarkan paradigma moral baru yang penting dalam menghadapi krisis
lingkungan global, berbagai kritik telah diajukan terhadap dasar teoritis,
metodologis, dan implikasi praktisnya. Kritik tersebut datang dari beragam
perspektif—mulai dari humanisme klasik, teori etika normatif modern, hingga
pemikiran politik dan ekonomi kontemporer. Bagian ini menguraikan secara
sistematis beberapa pokok kritik utama terhadap etika ekologis, baik dalam hal
filsafat moral, penerapan kebijakan, maupun konsekuensi ideologisnya.
7.1.       Kritik Humanisme Klasik dan Antroposentrisme
Moderat
Salah satu kritik
utama terhadap etika ekologis datang dari para filsuf humanis yang menilai
bahwa perluasan moralitas hingga ke seluruh alam dapat mengaburkan makna khas
moralitas manusia.¹ Etika tradisional, terutama sejak Kant, berlandaskan pada
rasionalitas dan otonomi moral manusia sebagai subjek etis.² Dengan demikian,
memperlakukan makhluk non-rasional—seperti hewan, tumbuhan, atau benda
alam—sebagai subjek moral dianggap menyalahi prinsip dasar etika normatif.³
Humanisme moderat
juga menilai bahwa antroposentrisme tidak sepenuhnya negatif. Bryan Norton,
misalnya, mengemukakan konsep weak anthropocentrism, yakni
pandangan bahwa nilai-nilai ekologis dapat dipertahankan sejauh mereka berakar
pada kepentingan manusia yang tercerahkan (enlightened human interests).⁴
Dalam pandangan ini, tanggung jawab ekologis dapat dipahami tanpa meniadakan
posisi istimewa manusia dalam hierarki moral. Pendekatan ini menjadi jembatan
antara moralitas ekologis dan etika humanistik yang masih mempertahankan
rasionalitas sebagai pusat moralitas.⁵
7.2.       Kritik terhadap Biocentrisme dan Ekosentrisme
Radikal
Etika ekologis
sering dikritik karena mengandung tendensi biocentrisme atau ekosentrisme
radikal, yang menempatkan semua bentuk kehidupan dalam posisi
moral yang setara.⁶ Kritikus seperti Tom Regan dan Peter Singer menilai bahwa
pandangan ini sulit dipertahankan secara etis maupun praktis.⁷ Jika semua
makhluk memiliki hak moral yang sama, maka tindakan manusia yang paling
sederhana—seperti makan, bertani, atau membangun tempat tinggal—dapat dianggap
melanggar hak-hak ekologis makhluk lain.⁸
Selain itu,
biocentrisme dinilai gagal memberikan kriteria moral yang jelas untuk
menyelesaikan konflik antar-nilai ekologis. Holmes Rolston III sendiri mengakui
adanya dilema ketika “moralitas ekologis” berbenturan dengan kebutuhan
manusia untuk bertahan hidup.⁹ Kritik ini menunjukkan bahwa etika ekologis
membutuhkan kerangka hierarkis atau gradasional yang lebih realistis agar dapat
diterapkan dalam kebijakan moral dan lingkungan.¹⁰
Di sisi lain,
kalangan ekofeminis seperti Val Plumwood menyoroti bahwa ekosentrisme kadang
mengabaikan dimensi sosial dan gender dalam analisisnya.¹¹ Dengan menekankan
kesatuan ekologis tanpa memperhitungkan ketimpangan sosial, etika ekologis
berisiko menjadi “abstraksi hijau” yang tidak menyentuh akar dominasi
patriarkis dan kolonial yang turut menyebabkan krisis ekologis.¹²
7.3.       Kritik Epistemologis dan Metodologis
Dari sudut pandang
epistemologis, etika ekologis dikritik karena terlalu mengandalkan metafora
organik dan sistemik tanpa kerangka rasional yang kokoh.¹³ Beberapa filsuf
analitik menilai bahwa gagasan seperti “nilai intrinsik alam” atau “hak
alam” sulit dibuktikan secara logis dan empiris.¹⁴ Richard Sylvan (Routley)
bahkan menuduh etika ekologis bersifat “metafisikal” dan “romantik”
karena menisbatkan nilai moral pada entitas yang tidak memiliki kesadaran
moral.¹⁵
Kritik metodologis
lainnya menyoroti kecenderungan etika ekologis untuk mengaburkan batas antara
fakta dan nilai (is–ought fallacy).¹⁶ Dalam upayanya
menegaskan nilai moral alam, banyak argumen etika ekologis yang dituduh
melakukan lompatan normatif dari deskripsi ekologis menuju preskripsi etis
tanpa justifikasi yang memadai.¹⁷ Karenanya, diperlukan metodologi yang lebih
ketat agar etika ekologis tidak jatuh pada sentimentalitas moral atau
mistisisme ekospiritual yang sulit diverifikasi.¹⁸
7.4.       Kritik Ekonomi dan Politik: Antara Ideal Moral dan
Realitas Struktural
Etika ekologis juga
menghadapi kritik dari kalangan ekonomi politik yang menilai bahwa ideal moral
ekologis sering kali gagal menghadapi realitas sistem global yang berbasis
pasar.¹⁹ John Barry dan Clive Spash berpendapat bahwa tanpa perubahan sistem
ekonomi kapitalistik, etika ekologis hanya akan menjadi wacana moral yang
impotens.²⁰ Paradigma “moralitas hijau” tidak cukup kuat untuk
menandingi logika pertumbuhan dan akumulasi kapital yang mendasari eksploitasi
sumber daya alam.²¹
Selain itu, etika
ekologis sering dianggap terlalu normatif dan tidak memperhitungkan dinamika
kekuasaan politik.²² Dalam praktiknya, kebijakan lingkungan global sering kali
dikooptasi oleh kepentingan ekonomi negara maju yang menggunakan retorika “pembangunan
berkelanjutan” sebagai legitimasi baru bagi kontrol sumber daya.²³ Dengan
demikian, tanpa dimensi politik yang kritis, etika ekologis dapat terjebak
dalam idealisme moral yang terlepas dari realitas sosial.²⁴
7.5.       Kritik terhadap Aspek Spiritualitas dan Mistisisme
Alam
Sebagian pemikir
sekuler menuduh etika ekologis mengandung unsur spiritualitas atau religiositas
terselubung yang tidak dapat diuji secara rasional.²⁵ Gerakan deep
ecology dan ecospirituality dianggap terlalu
dekat dengan mistisisme alam yang mengaburkan batas antara etika dan
metafisika.²⁶ Dalam konteks akademik, kritik ini berangkat dari keprihatinan
bahwa pendekatan semacam itu dapat melemahkan kredibilitas ilmiah etika
ekologis sebagai disiplin rasional.²⁷
Namun demikian, para
pembela etika ekologis seperti Thomas Berry dan Leonardo Boff menegaskan bahwa
dimensi spiritual bukanlah bentuk irasionalitas, melainkan ekspresi etis
terdalam dari kesadaran ekologis yang melihat kehidupan sebagai kesatuan
suci.²⁸ Meski demikian, kritik ini tetap menjadi tantangan bagi etika ekologis
untuk menjaga keseimbangan antara rasionalitas filosofis dan kedalaman
spiritualitas ekologisnya.
Evaluasi Kritis
Kritik-kritik
tersebut menunjukkan bahwa etika ekologis, meskipun memiliki daya transformasi
moral yang kuat, masih menghadapi tantangan konseptual dan praktis yang
signifikan. Ia perlu menegaskan dasar ontologis dan epistemologisnya tanpa
jatuh pada dogmatisme moral atau spiritualitas yang kabur. Di sisi lain, etika
ekologis juga harus memperkuat jembatan dengan ilmu sosial, ekonomi, dan
politik agar visinya tentang keberlanjutan dapat diwujudkan dalam sistem
konkret.²⁹
Dengan demikian,
kritik terhadap etika ekologis tidak seharusnya dipandang sebagai penolakan,
melainkan sebagai dialog yang memperkaya dan mengarahkan disiplin ini menuju
kedewasaan konseptual—yakni etika yang rasional, praksis, dan tetap berakar
pada penghormatan terhadap kehidupan.
Footnotes
[1]               
Roger Scruton, Green Philosophy: How to Think Seriously about the
Planet (Oxford: Oxford University Press, 2012), 14–15.
[2]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–33.
[3]               
Christine Korsgaard, Fellow Creatures: Our Obligations to the Other
Animals (Oxford: Oxford University Press, 2018), 20–22.
[4]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New
York: Oxford University Press, 1991), 88–90.
[5]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 214–215.
[6]               
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–101.
[7]               
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 275–277.
[8]               
Tom Regan, The Case for Animal Rights (Berkeley: University of
California Press, 1983), 362–364.
[9]               
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 88–89.
[10]            
J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic: More Essays in
Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1999), 126–127.
[11]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 184–185.
[12]            
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 77–79.
[13]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An
Anthology (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 320–322.
[14]            
Mark Sagoff, “On Preserving the Natural Environment,” Yale Law
Journal 84, no. 2 (1975): 205–207.
[15]            
Richard Sylvan (Routley), “Is There a Need for a New, an Environmental,
Ethic?” Proceedings of the XV World Congress of Philosophy (Varna:
1973), 44–46.
[16]            
G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 10–12.
[17]            
W. T. Blackstone, Philosophy and Environmental Crisis (Athens:
University of Georgia Press, 1972), 18–20.
[18]            
Bryan Norton, “Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental
Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.
[19]            
John Barry, Rethinking Green Politics: Nature, Virtue, and Progress
(London: Sage, 1999), 103–104.
[20]            
Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New
Political Economy 15, no. 2 (2010): 182–183.
[21]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 152–153.
[22]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and
Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 114–115.
[23]            
Joyeeta Gupta, The History of Global Climate Governance
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 141–142.
[24]            
Frank Biermann, Earth System Governance: World Politics in the
Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 76–77.
[25]            
William Grey, “Anthropocentrism and Deep Ecology,” Australasian
Journal of Philosophy 71, no. 4 (1993): 463–475.
[26]            
Michael Zimmerman, Contestating Earth’s Future: Radical Ecology and
Postmodernity (Berkeley: University of California Press, 1994), 61–63.
[27]            
Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their
Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999), 332–334.
[28]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 42–43; Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 39–40.
[29]            
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 190–192.
8.          
Relevansi
Kontemporer Etika Ekologis
Etika ekologis pada
era kontemporer menempati posisi sentral dalam wacana filsafat moral, kebijakan
publik, dan gerakan sosial global. Ia tidak hanya menawarkan prinsip normatif
bagi perilaku manusia terhadap alam, tetapi juga menjadi kerangka
konseptual dan praksis transformatif untuk menjawab tantangan
zaman—mulai dari krisis iklim, degradasi keanekaragaman hayati, hingga
ketimpangan sosial dan ekologis global.¹ Dalam konteks abad ke-21 yang ditandai
oleh Anthropocene—yakni
era di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan geologis yang mengubah struktur
bumi—etika ekologis muncul sebagai filsafat moral yang paling relevan untuk
menata ulang hubungan antara manusia, teknologi, dan planet.²
8.1.       Etika Ekologis dan Krisis Antroposen
Krisis ekologis
global saat ini menandai pergeseran besar dalam sejarah manusia. Istilah Anthropocene,
yang dipopulerkan oleh Paul Crutzen, menandai bahwa manusia kini menjadi faktor
penentu dalam proses geologis dan iklim bumi.³ Namun, kekuasaan tersebut tidak
diiringi oleh kedewasaan moral yang seimbang. Krisis ini bukan hanya ekologis,
tetapi juga eksistensial: manusia menghadapi konsekuensi dari tindakannya
sendiri.⁴
Etika ekologis,
dalam konteks ini, menjadi filsafat tanggung jawab global.
Hans Jonas menegaskan bahwa moralitas modern harus melampaui batas-batas
tradisional yang hanya mengatur hubungan antarmanusia; ia kini harus melibatkan
tanggung jawab terhadap seluruh biosfer dan generasi mendatang.⁵ Prinsip “bertindak
sedemikian rupa sehingga akibat dari tindakanmu tidak menghancurkan
keberlanjutan kehidupan di bumi” menjadi imperatif baru dalam zaman
Antroposen.⁶
Lebih jauh lagi,
etika ekologis membantu mengatasi “krisis makna” modern. Ketika kemajuan
teknologi menjauhkan manusia dari pengalaman ekologis langsung, etika ekologis
mengingatkan akan keterlibatan eksistensial manusia dalam jaringan kehidupan.⁷
Dengan demikian, relevansi etika ekologis bukan hanya bersifat moral, tetapi
juga spiritual dan kultural—yakni upaya memulihkan kembali rasa keterhubungan
yang hilang antara manusia dan bumi.⁸
8.2.       Etika Ekologis dalam Kebijakan dan Pembangunan
Global
Relevansi etika
ekologis juga tampak jelas dalam ranah kebijakan internasional dan pembangunan
global. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang menjadi prinsip dasar
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sustainable Development Goals
(SDGs) berakar pada asumsi moral etika ekologis, yakni bahwa kesejahteraan manusia
harus berjalan seiring dengan kelestarian alam.⁹
Etika ekologis
menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh dipisahkan dari keadilan ekologis (ecological
justice).¹⁰ Artinya, setiap kebijakan ekonomi atau teknologi harus
memperhitungkan dampaknya terhadap sistem ekologis global serta terhadap
kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap kerusakan lingkungan.¹¹ Prinsip
ini mendorong munculnya paradigma eco-governance, yang menekankan
integrasi moral, sosial, dan ekologis dalam perumusan kebijakan publik.¹²
Paus Fransiskus
melalui ensiklik Laudato Si’ memberikan dimensi
etis-religius yang memperkuat relevansi etika ekologis dalam kebijakan global.
Ia menyerukan “ekologi integral” yang menggabungkan keadilan sosial
dengan tanggung jawab ekologis, menolak dualisme antara manusia dan alam, serta
menempatkan bumi sebagai rumah bersama (our common home).¹³ Dalam konteks
ini, etika ekologis bukan sekadar refleksi filosofis, tetapi juga landasan
moral bagi diplomasi lingkungan dan politik global.¹⁴
8.3.       Etika Ekologis dan Transformasi Budaya
Selain pada tingkat
politik dan ekonomi, etika ekologis juga memainkan peran penting dalam transformasi
budaya dan kesadaran kolektif. Budaya modern yang didominasi
oleh konsumsi dan individualisme telah menumpulkan kepekaan terhadap nilai
kehidupan non-manusia.¹⁵ Melalui pendidikan ekologis, seni, dan spiritualitas
alam, etika ekologis menanamkan kembali rasa hormat, empati, dan tanggung jawab
terhadap alam.¹⁶
Dalam pendidikan,
etika ekologis mendorong pendekatan ecopedagogy—pendidikan yang
menumbuhkan kesadaran ekologis dan tanggung jawab moral terhadap bumi.¹⁷ Paulo
Freire menginspirasi pendekatan ini dengan prinsip conscientização (kesadaran kritis),
yang diterapkan dalam konteks ekologis untuk membebaskan manusia dari struktur
penindasan terhadap alam.¹⁸
Di bidang budaya
populer dan teknologi digital, muncul pula fenomena eco-activism dan green
movements yang menggunakan media sosial untuk menggalang kesadaran
global tentang isu-isu lingkungan.¹⁹ Tokoh-tokoh seperti Greta Thunberg
mewakili generasi muda yang mengartikulasikan etika ekologis dalam bentuk
praksis politik transnasional, menunjukkan bahwa moralitas ekologis kini telah
menjadi bahasa universal perlawanan terhadap krisis iklim.²⁰
8.4.       Etika Ekologis di Era Teknologi dan Digitalisasi
Dalam era digital,
relevansi etika ekologis juga menyentuh ranah teknologi. Penggunaan energi
dalam industri digital, produksi perangkat elektronik, dan sampah teknologi (e-waste)
menimbulkan tantangan ekologis baru yang belum sepenuhnya diatur oleh sistem
etika tradisional.²¹ Karena itu, dibutuhkan etika teknologi ekologis—yakni
refleksi moral atas dampak ekologis dari perkembangan sains dan teknologi.²²
Sebagaimana
diingatkan Bruno Latour, manusia modern harus berhenti menganggap teknologi
sebagai sesuatu yang netral.²³ Teknologi adalah bentuk kekuasaan yang membawa
konsekuensi ekologis, sehingga memerlukan prinsip tanggung jawab dan kesederhanaan
(technological
humility).²⁴ Dalam konteks ini, etika ekologis memperluas diri
menjadi etika planetari: suatu moralitas global yang menata hubungan manusia,
alam, dan teknologi dalam satu ekosistem nilai.²⁵
8.5.       Menuju Peradaban Ekologis
Relevansi terakhir
dari etika ekologis terletak pada visinya terhadap masa depan peradaban. Konsep
peradaban
ekologis (ecological civilization)
mengandaikan suatu tatanan sosial dan kultural baru yang dibangun di atas
nilai-nilai keberlanjutan, solidaritas, dan spiritualitas bumi.²⁶ Etika
ekologis menjadi dasar normatif bagi perubahan paradigma peradaban dari logika
dominasi menuju logika koeksistensi.²⁷
Fritjof Capra dan
Pier Luigi Luisi menggambarkan perubahan ini sebagai transisi dari “paradigma
mekanistik” menuju “paradigma sistemik,” di mana manusia memahami
dirinya bukan sebagai penguasa atas alam, tetapi sebagai bagian integral dari
jaring kehidupan.²⁸ Dengan demikian, etika ekologis tidak berhenti pada tataran
moralitas individual, tetapi menjadi peta jalan filosofis menuju
kebijaksanaan ekologis global.²⁹
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 3–5.
[2]               
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the
Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 7–9.
[3]               
Paul J. Crutzen, “Geology of Mankind,” Nature 415 (2002): 23.
[4]               
Dipesh Chakrabarty, “The Climate of History: Four Theses,” Critical
Inquiry 35, no. 2 (2009): 197–222.
[5]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11–13.
[6]               
Ibid., 126–128.
[7]               
Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans.
Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 129–130.
[8]               
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 155–156.
[9]               
World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common
Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43–44.
[10]            
Larry L. Rasmussen, Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New
Key (Oxford: Oxford University Press, 2012), 74–75.
[11]            
Nicholas Low and Brendan Gleeson, Justice, Society and Nature: An
Exploration of Political Ecology (London: Routledge, 1998), 72–73.
[12]            
Frank Biermann, Earth System Governance: World Politics in the
Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 16–18.
[13]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 67–69.
[14]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 41–42.
[15]            
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 111–112.
[16]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 71–72.
[17]            
Richard Kahn, Critical Pedagogy, Ecoliteracy, and Planetary Crisis
(New York: Peter Lang, 2010), 23–25.
[18]            
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 39–40.
[19]            
Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in
the Internet Age (Cambridge: Polity Press, 2012), 145–146.
[20]            
Greta Thunberg, The Climate Book (New York: Penguin Press,
2023), 12–13.
[21]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary
Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021),
44–46.
[22]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 133–134.
[23]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 98–100.
[24]            
Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 213–215.
[25]            
Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009),
12–13.
[26]            
James Miller, China’s Green Religion: Daoism and the Quest for a
Sustainable Future (New York: Columbia University Press, 2017), 33–34.
[27]            
John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology
(Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 92–94.
[28]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 11–12.
[29]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 123–125.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Ekologi Integral
Sintesis filosofis
etika ekologis berupaya mengintegrasikan seluruh dimensi yang telah dibahas
sebelumnya—historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis—ke dalam suatu
visi filosofis yang utuh tentang hubungan manusia dan alam. Etika ekologis,
dalam bentuknya yang paling mendalam, tidak hanya merupakan cabang dari
filsafat moral, tetapi sebuah paradigma keberadaan baru yang menuntun manusia
untuk hidup dalam harmoni dengan seluruh ciptaan.¹ Sintesis ini menegaskan
bahwa tanggung jawab ekologis bukan sekadar tugas moral eksternal, melainkan
bagian dari struktur eksistensial manusia itu sendiri: menjadi berarti turut
serta dalam menjaga keberlangsungan kehidupan.²
9.1.       Integrasi Ontologis: Manusia sebagai Bagian dari
Jaring Kehidupan
Secara ontologis,
etika ekologis memulihkan kembali pemahaman bahwa manusia bukan entitas yang
berdiri di luar atau di atas alam, melainkan bagian integral dari web of
life.³ Dengan demikian, sintesis ekologis menolak dualisme yang
diwariskan oleh filsafat modern antara subjek dan objek, manusia dan alam, roh
dan materi.⁴ Dalam perspektif ini, manusia dilihat sebagai makhluk yang “ada
di dalam dunia” (being-in-the-world) sebagaimana
ditekankan oleh Heidegger—yakni eksistensi yang selalu sudah terjalin dengan
lingkungannya.⁵
Integrasi ontologis
ini tidak meniadakan keunikan manusia, tetapi menempatkannya dalam konteks
relasional: manusia memiliki kesadaran reflektif yang memungkinkan ia memahami
dirinya sebagai bagian dari keseluruhan ekologis.⁶ Oleh karena itu, keberadaan
manusia memperoleh makna bukan melalui dominasi terhadap alam, tetapi melalui
partisipasi dalam kehidupan yang lebih besar daripada dirinya sendiri.⁷
9.2.       Integrasi Epistemologis: Mengetahui sebagai
Keterlibatan dan Perawatan
Dari segi
epistemologis, ekologi integral menolak pengetahuan yang bersifat objektif dan
dominatif.⁸ Pengetahuan sejati tentang alam tidak lahir dari jarak, melainkan
dari keterlibatan. Maurice Merleau-Ponty menyebut pengalaman ini sebagai “the
flesh of the world”—suatu cara mengetahui di mana subjek dan dunia
saling menembus dalam kontinuitas eksistensial.⁹ Dengan demikian, epistemologi
ekologis bersifat partisipatoris: mengetahui berarti ikut serta dalam ritme
kehidupan, bukan sekadar mengamatinya dari luar.¹⁰
Prinsip ini
mengandung implikasi etis mendalam. Jika pengetahuan selalu melibatkan relasi,
maka setiap tindakan mengetahui juga mengandung dimensi tanggung jawab.¹¹ Dalam
kerangka ini, sains dan teknologi harus dipahami sebagai bentuk keterlibatan
moral yang menuntut kehati-hatian dan kesadaran terhadap dampaknya terhadap
jaringan kehidupan.¹² Dengan demikian, sintesis epistemologis etika ekologis
menegaskan kesatuan antara knowing dan caring—antara
pengetahuan dan kasih.¹³
9.3.       Integrasi Aksiologis: Nilai, Cinta, dan Tanggung
Jawab Kosmik
Dalam dimensi
aksiologis, ekologi integral menegaskan bahwa nilai moral tertinggi bukanlah
efisiensi atau pertumbuhan, melainkan kelestarian dan keutuhan kehidupan.¹⁴
Hans Jonas menggambarkan hal ini sebagai imperatif tanggung jawab, di mana
manusia dipanggil untuk bertindak sedemikian rupa agar akibat tindakannya tidak
menghancurkan keberlanjutan kehidupan di bumi.¹⁵ Prinsip ini menjadi dasar
moral bagi seluruh etika ekologis: nilai tertinggi bukan berada pada manusia
sebagai individu, tetapi pada kehidupan sebagai totalitas.¹⁶
Selain itu, sintesis
aksiologis juga menekankan dimensi cinta dan spiritualitas ekologis. Leonardo
Boff menyebut cinta terhadap bumi sebagai bentuk tertinggi dari etika
ekologis—sebuah kasih yang melampaui batas spesies dan menjangkau seluruh
ciptaan.¹⁷ Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menyebut relasi
ekologis ini sebagai ecological conversion, yakni
pertobatan moral yang lahir dari kesadaran bahwa manusia dan alam adalah satu
keluarga kosmik.¹⁸ Dengan demikian, tanggung jawab ekologis bukan semata
kewajiban, tetapi juga ungkapan kasih universal yang meneguhkan sakralitas
kehidupan.¹⁹
9.4.       Integrasi Sosial dan Politik: Etika sebagai Dasar
Peradaban Ekologis
Sintesis filosofis
etika ekologis tidak berhenti pada tataran teoretis, tetapi meluas ke ranah
praksis sosial-politik. Murray Bookchin, melalui konsep social
ecology, menegaskan bahwa krisis ekologis berakar pada struktur
sosial yang hirarkis dan eksploitatif.²⁰ Maka, pembebasan ekologis harus berjalan
seiring dengan pembebasan sosial.²¹ Prinsip ini menjadi landasan bagi gagasan peradaban
ekologis, di mana struktur ekonomi, politik, dan budaya
dibangun berdasarkan prinsip kesetaraan ekologis, solidaritas, dan
keberlanjutan.²²
Etika ekologis,
dengan demikian, berfungsi sebagai etika publik baru yang mengatur
relasi antara masyarakat dan bumi.²³ Dalam konteks ini, nilai-nilai seperti
kesederhanaan, tanggung jawab kolektif, dan keadilan ekologis menjadi fondasi
moral bagi kebijakan global.²⁴ Etika ekologis bukan lagi sekadar cabang
filsafat, tetapi paradigma peradaban—peta moral untuk masa depan umat manusia
di bumi.²⁵
9.5.       Ekologi Integral sebagai Jalan Menuju Kebijaksanaan
Holistik
Akhirnya, sintesis
filosofis etika ekologis mengarah pada visi ekologi integral (integral
ecology)—suatu cara berpikir dan hidup yang mempersatukan dimensi
ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan spiritual dalam satu
kesatuan.²⁶ Paus Fransiskus menggambarkannya sebagai “kesadaran bahwa segala
sesuatu saling terhubung,” di mana keseimbangan ekologis tidak dapat
dipisahkan dari keadilan sosial dan perdamaian batin manusia.²⁷
Ekologi integral
menuntun manusia menuju bentuk kebijaksanaan baru: sapientia terrena—kebijaksanaan
bumi yang berakar pada kesadaran keterikatan dan kasih.²⁸ Ia melampaui
sekularisme rasionalistik sekaligus menghindari mistisisme irasional, dengan
menggabungkan logos (akal), ethos (tanggung jawab), dan pathos (cinta).²⁹ Dalam
horizon ini, manusia tidak lagi menjadi pusat kosmos, melainkan penjaga kosmos;
tidak lagi penguasa, tetapi pelayan kehidupan.³⁰
Dengan demikian,
sintesis filosofis etika ekologis menutup lingkar refleksi ini dengan panggilan
moral yang universal: untuk membangun peradaban yang rendah hati, berkelanjutan,
dan penuh kasih terhadap bumi sebagai rumah bersama. Inilah makna terdalam dari
ekologi integral—pertemuan antara filsafat, etika, dan spiritualitas dalam
kesadaran ekologis yang utuh.
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 201–203.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 128–130.
[3]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–28.
[4]               
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 42–44.
[5]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–81.
[6]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 75–77.
[7]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 163–165.
[8]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New
York: Oxford University Press, 1991), 111–112.
[9]               
Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans.
Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 130–131.
[10]            
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 158–160.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 124–126.
[12]            
Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory
Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 214–216.
[13]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 52–53.
[14]            
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–100.
[15]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 123–125.
[16]            
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 111–112.
[17]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 67–68.
[18]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 215–217.
[19]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 48–49.
[20]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 66–67.
[21]            
Ibid., 74–76.
[22]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and
Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 88–89.
[23]            
John B. Cobb Jr. and Herman E. Daly, For the Common Good:
Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable
Future (Boston: Beacon Press, 1989), 89–90.
[24]            
Larry L. Rasmussen, Earth Community, Earth Ethics (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1996), 71–72.
[25]            
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 182–184.
[26]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 117–119.
[27]            
Pope Francis, Laudato Si’, 137–139.
[28]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 12–13.
[29]            
Thomas Berry, The Great Work, 98–99.
[30]            
Holmes Rolston III, Genes, Genesis, and God: Values and Their
Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999), 342–344.
10.       Kesimpulan
Etika ekologis hadir sebagai salah satu pencapaian
penting dalam evolusi kesadaran moral manusia modern. Ia bukan sekadar cabang
dari etika terapan, tetapi suatu paradigma moral-filosofis yang menata ulang
hubungan manusia dengan alam secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.¹
Melalui pendekatan ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai penguasa yang
berdaulat atas dunia, melainkan sebagai makhluk yang hidup dalam jejaring
keberadaan yang saling bergantung.² Dalam dunia yang dilanda krisis iklim,
eksploitasi sumber daya alam, dan degradasi moral terhadap bumi, etika ekologis
mengajukan gagasan bahwa kelestarian alam adalah bagian tak terpisahkan dari
kelestarian kemanusiaan itu sendiri.³
Secara ontologis, etika ekologis menegaskan
kesatuan eksistensial antara manusia dan alam.⁴ Alam tidak lagi dipahami
sebagai objek yang terpisah dari kesadaran manusia, melainkan sebagai mitra
eksistensial yang memiliki nilai dan tujuan intrinsik.⁵ Pemahaman ini menggugah
kesadaran bahwa tindakan terhadap alam adalah tindakan terhadap diri sendiri—karena
keduanya berada dalam jaringan kehidupan yang sama.⁶
Secara epistemologis, etika ekologis menolak
model pengetahuan yang dominatif dan reduksionistik.⁷ Pengetahuan tentang alam
tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan moral dan pengalaman ekologis
manusia.⁸ Dengan demikian, pengetahuan sejati bukanlah hasil objektifikasi,
melainkan bentuk partisipasi dan perawatan (care) terhadap dunia.⁹
Kesadaran ini melahirkan epistemologi ekologis yang menggabungkan dimensi
rasional, etis, dan spiritual dalam memahami realitas.¹⁰
Secara aksiologis, etika ekologis menegaskan
bahwa nilai tertinggi bukanlah pertumbuhan ekonomi, efisiensi teknologis, atau
kenyamanan manusia, melainkan keutuhan kehidupan dan kebaikan
ekologis.¹¹ Nilai moral tidak lagi bersifat eksklusif manusiawi, melainkan
bersifat inklusif terhadap seluruh ciptaan. Prinsip tanggung jawab (responsibility),
kepedulian (care), dan hormat terhadap kehidupan (reverence for life)
menjadi dasar universal bagi tindakan moral.¹² Dalam konteks ini, etika ekologis
memulihkan makna moralitas sebagai tindakan yang memelihara kehidupan, bukan
sekadar mengatur perilaku sosial manusia.¹³
Lebih jauh, etika ekologis memiliki implikasi
sosial, ekonomi, dan politik yang mendalam. Ia menuntut perubahan paradigma
pembangunan dari logika eksploitasi menuju logika keberlanjutan, serta
menegaskan pentingnya keadilan ekologis bagi kelompok rentan dan generasi
mendatang.¹⁴ Dalam tataran politik global, etika ekologis menjadi fondasi bagi
kebijakan sustainable development dan earth governance yang
berkeadilan ekologis.¹⁵ Dengan demikian, ia berfungsi sebagai etika publik baru
yang menuntun arah moral peradaban kontemporer.
Pada akhirnya, sintesis filosofis etika ekologis
mencapai puncaknya dalam visi ekologi integral.¹⁶ Pandangan ini
mempersatukan dimensi ontologis (keberadaan bersama), epistemologis
(pengetahuan yang terlibat), dan aksiologis (nilai dan tanggung jawab) dalam
satu horizon kesadaran: bahwa segala sesuatu saling terhubung dan saling
membutuhkan.¹⁷ Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, “segala sesuatu
saling berkaitan, dan tidak mungkin berbicara tentang lingkungan tanpa
menyinggung persoalan manusia dan masyarakat.”¹⁸
Dengan demikian, etika ekologis merupakan panggilan
untuk perubahan paradigma moral global—dari dominasi menuju partisipasi, dari
eksploitasi menuju perawatan, dan dari individualisme menuju komunitas
ekologis.¹⁹ Ia menjadi bentuk kebijaksanaan baru yang menuntun manusia pada
harmoni dengan bumi, sesama, dan Sang Pencipta. Etika ekologis bukan hanya
wacana normatif, melainkan proyek peradaban: membangun dunia yang
berkeadilan ekologis dan penuh kasih terhadap kehidupan.²⁰
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 4–6.
[2]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 66–68.
[3]               
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 9–10.
[4]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–28.
[5]               
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 43–45.
[6]               
Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the
Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press,
1968), 131–132.
[7]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 112–113.
[8]               
David Abram, The Spell of the Sensuous:
Perception and Language in a More-than-Human World (New York: Vintage
Books, 1996), 158–160.
[9]               
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind
(Chicago: University of Chicago Press, 1972), 321–322.
[10]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 117–119.
[11]            
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of
Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–101.
[12]            
Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought:
An Autobiography, trans. C. T. Campion (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1998), 158.
[13]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 52–53.
[14]            
Nicholas Low and Brendan Gleeson, Justice,
Society and Nature: An Exploration of Political Ecology (London: Routledge,
1998), 73–74.
[15]            
Frank Biermann, Earth System Governance: World
Politics in the Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 16–18.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 130–132.
[17]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 71–72.
[18]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common
Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 92.
[19]            
Val Plumwood, Environmental Culture: The
Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 173–175.
[20]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982),
83–84.
Daftar Pustaka 
Abram, D. (1996). The spell of the sensuous:
Perception and language in a more-than-human world. Vintage Books.
Bacon, F. (2000). Novum organum (L. Jardine
& M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.
Barry, J. (1999). Rethinking green politics:
Nature, virtue, and progress. Sage.
Bateson, G. (1972). Steps to an ecology of mind.
University of Chicago Press.
Beck, U. (2009). World at risk. Polity
Press.
Biermann, F. (2014). Earth system governance:
World politics in the Anthropocene. MIT Press.
Blackstone, W. T. (1972). Philosophy and
environmental crisis. University of Georgia Press.
Boff, L. (1995). Ecology and liberation: A new
paradigm. Orbis Books.
Boff, L. (1997). Cry of the Earth, cry of the
poor. Orbis Books.
Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The
emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.
Brown Weiss, E. (1989). Intergenerational equity: A
legal framework for global environmental change. Environmental Policy and
Law, 19(1), 34–35.
Bullard, R. (1990). Dumping in Dixie: Race,
class, and environmental quality. Westview Press.
Callicott, J. B. (1982). Intrinsic value in nature:
A metaethical analysis. Environmental Ethics, 4(3), 257–275.
Callicott, J. B. (1999). Beyond the land ethic:
More essays in environmental philosophy. SUNY Press.
Capra, F. (1975). The Tao of physics: An
exploration of the parallels between modern physics and Eastern mysticism.
Shambhala.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. Anchor Books.
Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The
systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.
Castells, M. (2012). Networks of outrage and
hope: Social movements in the Internet age. Polity Press.
Chakrabarty, D. (2009). The climate of history:
Four theses. Critical Inquiry, 35(2), 197–222.
Cobb, J. B., Jr., & Daly, H. E. (1989). For
the common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and
a sustainable future. Beacon Press.
Cobb, J. B., Jr. (1972). Is it too late? A
theology of ecology. Bruce Publishing.
Comte, A. (1853). The positive philosophy of
Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). Calvin Blanchard.
Crutzen, P. J. (2002). Geology of mankind. Nature,
415, 23.
Crosby, D. A. (2008). Living with ambiguity:
Religious naturalism and the menace of evil. SUNY Press.
Daly, H. E. (1977). Steady-state economics.
W. H. Freeman.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on the method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett.
Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent
philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Dobson, A. (2007). Green political thought
(4th ed.). Routledge.
Eckersley, R. (2004). The green state:
Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.
Feenberg, A. (2002). Transforming technology: A
critical theory revisited. Oxford University Press.
Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.
Grey, W. (1993). Anthropocentrism and deep ecology.
Australasian Journal of Philosophy, 71(4), 463–475.
Gupta, J. (2010). The history of global climate
governance. Cambridge University Press.
Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The fate of
humans in the Anthropocene. Polity Press.
Hanh, T. N. (1988). The heart of understanding:
Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Parallax Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977a). The question concerning
technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977b). Letter on humanism
(F. A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kahn, R. (2010). Critical pedagogy, ecoliteracy,
and planetary crisis. Peter Lang.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures
on the new climatic regime. Polity Press.
Laertius, D. (1925). Lives of eminent
philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau,
Trans.). Penguin.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
Oxford University Press.
Light, A., & Rolston, H., III (Eds.). (2003). Environmental
ethics: An anthology. Blackwell.
Low, N., & Gleeson, B. (1998). Justice,
society and nature: An exploration of political ecology. Routledge.
McDonagh, S. (1986). To care for the Earth: A
call to a new theology. Bear & Company.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Merleau-Ponty, M. (1968). The visible and the
invisible (A. Lingis, Trans.). Northwestern University Press.
Miller, J. (2017). China’s green religion:
Daoism and the quest for a sustainable future. Columbia University Press.
Moore, G. E. (1903). Principia ethica.
Cambridge University Press.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Noddings, N. (1984). Caring: A feminine approach
to ethics and moral education. University of California Press.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
Norton, B. G. (1984). Environmental ethics and weak
anthropocentrism. Environmental Ethics, 6(2), 131–148.
Pearce, D. W., Markandya, A., & Barbier, E. B.
(1989). Blueprint for a green economy. Earthscan.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of
nature. Routledge.
Plumwood, V. (2002). Environmental culture: The
ecological crisis of reason. Routledge.
Rasmussen, L. L. (1996). Earth community, Earth
ethics. Orbis Books.
Rasmussen, L. L. (2012). Earth-honoring faith:
Religious ethics in a new key. Oxford University Press.
Regan, T. (1983). The case for animal rights.
University of California Press.
Rolston, H., III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Temple University Press.
Rolston, H., III. (1989). Philosophy gone wild:
Essays in environmental ethics. Prometheus Books.
Rolston, H., III. (1999). Genes, genesis and
God: Values and their origins in natural and human history. Cambridge
University Press.
Routley, R. (Sylvan, R.). (1973). Is there a need
for a new, an environmental, ethic? In Proceedings of the XV World Congress
of Philosophy (pp. 44–46).
Sachs, W. (Ed.). (2010). The development
dictionary: A guide to knowledge as power. Zed Books.
Sagoff, M. (1975). On preserving the natural
environment. Yale Law Journal, 84(2), 205–207.
Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics:
Nature, Marx and the postmodern. Zed Books.
Schlosberg, D. (2007). Defining environmental
justice: Theories, movements, and nature. Oxford University Press.
Schumacher, E. F. (1973). Small is beautiful:
Economics as if people mattered. Harper & Row.
Scruton, R. (2012). Green philosophy: How to
think seriously about the planet. Oxford University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Knopf.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Spash, C. L. (2010). The brave new world of carbon
trading. New Political Economy, 15(2), 169–195.
Sylvan, R. (Routley, R.). (1973). Is there a need
for a new, an environmental, ethic? In Proceedings of the XV World Congress
of Philosophy (pp. 44–46).
Taylor, D. (2014). Toxic communities:
Environmental racism, industrial pollution, and residential mobility. NYU
Press.
Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A
theory of environmental ethics. Princeton University Press.
Thunberg, G. (2023). The climate book.
Penguin Press.
Tu, W. (1989). Centrality and commonality: An
essay on Confucian religiousness. SUNY Press.
Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology
and religion. Island Press.
Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Scribner.
White, L., Jr. (1967). The historical roots of our
ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.
World Commission on Environment and Development
(WCED). (1987). Our common future. Oxford University Press.
Zimmerman, M. (1994). Contestating Earth’s
future: Radical ecology and postmodernity. University of California Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar