Sabtu, 25 Oktober 2025

Etika Ekologis: Dasar Filosofis, Moralitas Lingkungan, dan Tanggung Jawab Manusia terhadap Alam

Etika Ekologis

Dasar Filosofis, Moralitas Lingkungan, dan Tanggung Jawab Manusia terhadap Alam


Alihkan ke: Filsafat Lingkungan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif fondasi filosofis, moral, dan praksis dari Etika Ekologis sebagai paradigma baru dalam menghadapi krisis lingkungan global. Melalui pendekatan sistematis yang meliputi dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial-politik, dan sintesis filosofis, kajian ini menegaskan bahwa masalah ekologis bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis moral dan spiritual yang menuntut pembaruan cara manusia memahami dan menempatkan dirinya dalam tatanan kosmos.

Secara historis, etika ekologis berkembang dari kritik terhadap antroposentrisme modern menuju kesadaran ekosentris yang menempatkan seluruh makhluk dalam jaringan kehidupan yang setara. Secara ontologis, ia memandang manusia dan alam sebagai kesatuan eksistensial yang saling bergantung; secara epistemologis, ia menolak pengetahuan yang dominatif dan mengusulkan pendekatan partisipatoris yang melibatkan tanggung jawab moral terhadap dunia. Dari sisi aksiologis, etika ekologis menegaskan nilai intrinsik kehidupan serta prinsip tanggung jawab dan kepedulian terhadap bumi.

Pada ranah sosial, ekonomi, dan politik, etika ekologis menjadi landasan moral bagi pembangunan berkelanjutan, keadilan ekologis, serta tata kelola lingkungan global yang berkeadilan. Artikel ini berpuncak pada sintesis filosofis tentang ekologi integral, yaitu visi holistik yang mempersatukan dimensi pengetahuan, etika, dan spiritualitas dalam kesadaran bahwa segala sesuatu saling terhubung. Dengan demikian, etika ekologis bukan hanya teori moral, melainkan panggilan eksistensial untuk membangun peradaban yang berkeadilan ekologis, berkelanjutan, dan penuh kasih terhadap kehidupan.

Kata Kunci: Etika ekologis, ekosentrisme, tanggung jawab moral, keadilan lingkungan, ekologi integral, keberlanjutan, etika planetari, spiritualitas bumi.


PEMBAHASAN

Etika Ekologis sebagai Fondasi Moral untuk Masa Depan Bumi


1.           Pendahuluan

Krisis ekologis yang melanda dunia dewasa ini bukan hanya persoalan ilmiah atau teknologis, melainkan juga masalah moral dan filosofis yang menuntut refleksi mendalam tentang relasi manusia dengan alam. Pemanasan global, deforestasi, polusi laut, dan kepunahan spesies telah menyingkap ketimpangan mendasar antara aktivitas manusia modern dan daya dukung bumi sebagai rumah bersama kehidupan. Dalam konteks inilah, muncul kebutuhan akan etika ekologis—sebuah cabang etika terapan yang berupaya menata kembali tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidupnya.¹

Sejak revolusi industri abad ke-18, paradigma antroposentrisme—yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam—telah mendominasi cara berpikir Barat. Alam direduksi menjadi objek eksploitasi demi kemajuan ekonomi dan teknologis.² Pandangan ini mengakar dalam filsafat modern sejak René Descartes yang memisahkan res cogitans (subjek berpikir) dan res extensa (benda yang terbentang), menjadikan alam sebagai sesuatu yang dapat diukur, dimanipulasi, dan dikendalikan.³ Akibatnya, relasi manusia dengan alam bergeser dari hubungan timbal balik menuju hubungan dominasi dan utilitarianisme.

Namun, berbagai krisis lingkungan yang kian mengancam keberlanjutan hidup menimbulkan kesadaran baru bahwa paradigma lama ini harus digantikan oleh paradigma ekologis yang lebih holistik. Sejumlah pemikir seperti Aldo Leopold, Arne Naess, dan Hans Jonas menyerukan perlunya perubahan orientasi moral manusia dari ego-centric menuju eco-centric.⁴ Bagi Leopold, “The land ethic simply enlarges the boundaries of the community to include soils, waters, plants, and animals,” yang berarti bahwa etika harus meluas hingga mencakup keseluruhan sistem ekologis.⁵

Etika ekologis berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental: apakah alam memiliki nilai intrinsik selain kegunaannya bagi manusia? Apakah makhluk non-manusia memiliki hak moral untuk hidup? Bagaimana manusia seharusnya bertindak dalam menjaga keseimbangan ekologis? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut refleksi filsafati yang melibatkan dimensi ontologis (tentang hakikat keberadaan alam), epistemologis (cara manusia memahami alam), dan aksiologis (nilai serta kewajiban moral terhadap alam).⁶ Dengan demikian, etika ekologis bukan hanya tentang perilaku “ramah lingkungan”, melainkan suatu upaya mendalam untuk menata ulang dasar-dasar eksistensial dan moral manusia di tengah ekosistem yang rapuh.

Dalam konteks global, pembahasan etika ekologis juga berhubungan dengan keadilan antar-generasi dan tanggung jawab kolektif terhadap masa depan bumi. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menegaskan bahwa krisis ekologi pada hakikatnya merupakan krisis moral, sebab “tidak ada ekologi tanpa antropologi yang benar.”⁷ Sementara itu, dalam ranah filsafat sekuler, Hans Jonas menegaskan bahwa etika tradisional yang berpusat pada hubungan antar-manusia harus diperluas agar mencakup tindakan manusia terhadap alam dan generasi yang belum lahir.⁸ Oleh karena itu, lahirnya etika ekologis bukan sekadar respons terhadap bencana alam, tetapi manifestasi dari kesadaran etis baru—yakni kesadaran bahwa keberlanjutan kehidupan di bumi bergantung pada tanggung jawab moral manusia terhadap segala bentuk keberadaan.

Dengan dasar pemikiran tersebut, kajian ini bertujuan untuk menelaah etika ekologis secara filosofis, dengan menelusuri akar historisnya, membedah dasar ontologis dan epistemologisnya, serta menimbang implikasi aksiologis dan sosialnya. Kajian ini juga akan mengkaji kritik-kritik terhadap etika ekologis serta menawarkan sintesis filosofis menuju pemahaman yang lebih integral antara manusia dan alam. Dengan cara ini, diharapkan pembahasan etika ekologis tidak hanya menjadi teori normatif, tetapi juga menjadi dasar praksis bagi pembangunan peradaban ekologis yang berkelanjutan dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 12–14.

[2]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[3]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 31–34.

[4]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.

[5]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 204.

[6]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 44–47.

[7]                Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 118.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 36–38.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Etika Ekologis

Etika ekologis tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari refleksi manusia atas relasinya dengan alam sepanjang sejarah peradaban. Setiap zaman menghadirkan paradigma moral dan metafisik yang berbeda mengenai posisi manusia dalam kosmos. Oleh karena itu, memahami landasan historis dan genealogis etika ekologis berarti menelusuri transformasi pandangan dunia (weltanschauung) dari kosmos yang sakral menuju dunia yang terobjektifikasi, hingga munculnya kesadaran ekologis modern yang bersifat holistik dan interdependen.¹

2.1.       Filsafat Alam Pra-Modern: Kosmos sebagai Kehidupan yang Sakral

Dalam filsafat Yunani kuno, alam (physis) dipahami sebagai realitas hidup yang memiliki keteraturan dan tujuan intrinsik. Aristoteles, dalam Physics dan Metaphysics, memandang alam sebagai suatu tatanan teleologis, di mana setiap makhluk bergerak menuju kesempurnaan sesuai kodratnya.² Konsep telos ini menegaskan bahwa segala sesuatu dalam alam memiliki nilai dan arah intrinsik yang harus dihormati. Sementara itu, filsafat Stoisisme menekankan prinsip logos sebagai rasionalitas kosmik yang mengatur seluruh alam semesta; manusia dianggap sebagai bagian dari tatanan ini dan karenanya harus hidup “sesuai dengan alam” (living according to nature).³

Tradisi Timur pun menunjukkan pandangan yang serupa. Dalam Taoisme, Dao dipahami sebagai prinsip alamiah yang mengalir di dalam segala sesuatu, menuntun harmoni antara manusia dan kosmos.⁴ Konfusianisme menekankan tian ren he yi—kesatuan antara langit (tian) dan manusia (ren)—yang menandakan keseimbangan moral dan ekologis.⁵ Dalam pandangan ini, hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan instrumental, tetapi relasi etis yang ditandai rasa hormat, keselarasan, dan tanggung jawab.

2.2.       Dominasi Antroposentrisme dan Krisis Modernitas

Pandangan kosmos sebagai kehidupan yang sakral mulai mengalami perubahan radikal pada masa Renaisans dan terutama sejak Descartes dan Bacon. René Descartes dengan dualismenya memisahkan antara pikiran dan materi (res cogitans dan res extensa), sehingga alam direduksi menjadi objek mekanistik tanpa nilai moral.⁶ Francis Bacon kemudian memperkuat paradigma ini melalui gagasannya bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” (knowledge is power), yang membenarkan eksploitasi alam demi kepentingan manusia.⁷ Dengan demikian, lahirlah paradigma antroposentris dan mekanistik yang mendominasi modernitas.

Perubahan ini diperkuat oleh revolusi ilmiah abad ke-17 dan revolusi industri abad ke-18. Alam tidak lagi dipandang sebagai entitas hidup, tetapi sebagai sistem tertutup yang dapat dikendalikan melalui hukum fisika.⁸ Lynn White Jr. mengaitkan krisis ekologis modern dengan akar teologis Kristen Barat yang menempatkan manusia sebagai “penguasa bumi”, sebagaimana tertulis dalam kitab Kejadian.⁹ Namun, pembacaan teologis ini kemudian dikritik oleh berbagai teolog ekologi yang menekankan konsep stewardship—manusia sebagai pengelola, bukan penguasa alam.¹⁰

2.3.       Kebangkitan Kesadaran Ekologis Modern

Pada abad ke-20, muncul kesadaran baru terhadap keterbatasan paradigma antroposentris. Krisis lingkungan, polusi, dan kepunahan spesies memicu lahirnya refleksi etis baru terhadap relasi manusia dan alam. Salah satu tonggak penting adalah karya Aldo Leopold, A Sand County Almanac (1949), yang memperkenalkan konsep land ethic. Ia menulis bahwa “etika tanah” memperluas komunitas moral hingga mencakup tanah, air, tumbuhan, dan hewan.¹¹

Pada dekade 1970-an, Arne Naess memperkenalkan deep ecology sebagai gerakan filsafat dan etika yang menolak antroposentrisme dan mengedepankan biospheric egalitarianism, yaitu pandangan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai yang sama.¹² Gerakan ini menjadi inspirasi bagi banyak pendekatan etika lingkungan lainnya seperti eco-feminism, social ecology (Murray Bookchin), dan ecotheology.¹³

Hans Jonas, melalui The Imperative of Responsibility (1979), memberikan dimensi etika normatif yang mendalam. Ia menekankan bahwa tindakan manusia modern memiliki dampak jangka panjang terhadap biosfer dan generasi mendatang, sehingga perlu etika baru yang berlandaskan pada prinsip tanggung jawab (principle of responsibility).¹⁴

2.4.       Arah Genealogis Menuju Etika Ekologi Integral

Dalam perkembangannya, etika ekologis tidak lagi hanya menjadi ranah etika terapan, melainkan berkembang menjadi paradigma filsafat moral baru yang melampaui dikotomi manusia–alam. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015) memperkenalkan konsep “ekologi integral”, yaitu pendekatan yang menyatukan dimensi lingkungan, sosial, ekonomi, dan spiritual sebagai satu kesatuan moral.¹⁵ Sementara itu, dalam konteks filsafat sekuler, para pemikir kontemporer seperti Val Plumwood dan Bruno Latour menekankan pentingnya post-human ethics, di mana moralitas tidak lagi berpusat pada manusia, melainkan pada jejaring kehidupan yang lebih luas.¹⁶

Dengan demikian, secara genealogis, etika ekologis merupakan hasil dialektika panjang antara pandangan dunia kuno yang sakral, modernitas yang mekanistik, dan kesadaran kontemporer yang ekologis. Ia lahir dari pergulatan intelektual dan moral untuk mengembalikan manusia ke dalam tatanan kosmos yang lebih luas, bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga dan peserta dalam drama kehidupan yang saling terkait.


Footnotes

[1]                Donald A. Crosby, Living with Ambiguity: Religious Naturalism and the Menace of Evil (Albany: SUNY Press, 2008), 22–23.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1015a–1017b.

[3]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), VII.87–89.

[4]                Laozi, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (Harmondsworth: Penguin, 1963), 1–3.

[5]                Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: SUNY Press, 1989), 112–114.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 47–50.

[7]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–34.

[8]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.

[9]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1205.

[10]             John Cobb and Herman Daly, For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 56–57.

[11]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 204–205.

[12]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 67–70.

[13]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 44–46.

[14]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 123–126.

[15]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 137–138.

[16]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 192–194; Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 95–97.


3.           Ontologi Etika Ekologis: Manusia dan Alam sebagai Kesatuan Eksistensial

Pembahasan ontologis dalam etika ekologis berangkat dari pertanyaan mendasar mengenai hakikat keberadaan (being) manusia dan alam, serta bagaimana relasi ontologis di antara keduanya seharusnya dipahami. Dalam tradisi filsafat modern, terutama sejak Descartes dan Kant, manusia diposisikan sebagai subjek rasional yang berdiri terpisah dari dunia alamiah.¹ Alam, pada gilirannya, direduksi menjadi objek eksternal yang nilainya ditentukan semata-mata oleh kegunaannya bagi manusia. Pandangan dualistik ini menimbulkan konsekuensi etis yang mendalam: alam kehilangan status ontologisnya sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik dan menjadi sekadar sarana produksi bagi kepentingan manusia.²

Sebaliknya, dalam paradigma etika ekologis, manusia dan alam tidak dipahami sebagai dua entitas yang terpisah, melainkan sebagai kesatuan eksistensial yang saling bergantung. Ontologi ekologis menolak pandangan antroposentris dengan menegaskan bahwa seluruh makhluk berbagi modus essendi yang sama—yakni eksistensi dalam jaringan kehidupan (web of life).³ Dalam kerangka ini, keberadaan manusia hanya dapat dimaknai dalam konteks ekologisnya: manusia hidup karena dan bersama makhluk lainnya. Maurice Merleau-Ponty menyebut hubungan ini sebagai flesh of the world—jaringan daging dunia yang menyatukan subjek dan objek dalam satu kontinuitas eksistensial.⁴

3.1.       Kritik terhadap Dualisme Ontologis

Dualisme ontologis yang diwariskan oleh tradisi Cartesian telah membentuk pola pikir eksploitasi alam. Ketika alam dipandang sebagai benda mati (res extensa), maka tidak ada alasan moral untuk memperlakukannya dengan hormat.⁵ Etika ekologis justru berangkat dari kritik terhadap pandangan ini dengan menegaskan kembali dimensi being dari alam. Dalam pandangan Heidegger, krisis ekologis sesungguhnya bersumber dari “forgetfulness of being,” yaitu kelalaian manusia dalam menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari Sein yang sama dengan seluruh keberadaan lainnya.⁶ Manusia bukan penguasa atas being, melainkan penjaga (shepherd of being) yang bertugas memelihara keterbukaan eksistensi.⁷

Dari perspektif Timur, pandangan serupa juga hadir dalam konsep Buddhis tentang pratītyasamutpāda (saling ketergantungan universal). Tidak ada makhluk yang eksis secara terpisah; keberadaan setiap entitas ditentukan oleh relasinya dengan yang lain.⁸ Prinsip ini menjadi dasar bagi deep ecology yang dikembangkan Arne Naess, yang melihat ego individual manusia sebagai bagian kecil dari Self yang lebih luas, yaitu ecological Self.⁹ Dengan demikian, ontologi ekologis tidak hanya berbicara tentang struktur realitas, tetapi juga tentang kesadaran moral manusia terhadap keberadaannya dalam jaring kehidupan.

3.2.       Ontologi Relasional dan Ekosentrisme

Etika ekologis mendasarkan diri pada ontologi relasional, yaitu pandangan bahwa eksistensi bukanlah keberadaan yang tertutup dan otonom, melainkan terbuka dan saling terhubung. Dalam ekosentrisme, segala bentuk kehidupan memiliki nilai dan martabat ontologis karena menjadi bagian dari totalitas ekologis yang hidup.¹⁰ Ini menolak hierarki keberadaan yang menempatkan manusia di puncak piramida ontologis. Val Plumwood menegaskan bahwa relasi manusia dan alam bukanlah relasi antara penguasa dan objek, tetapi antara sesama subjek (subject-to-subject relationship).¹¹

Dalam konteks ini, ekologi bukan sekadar bidang ilmu tentang lingkungan, melainkan kerangka ontologis yang melihat dunia sebagai sistem kehidupan yang dinamis dan interaktif. Fritjof Capra dalam The Web of Life menggambarkan alam sebagai jejaring kompleks yang membentuk kesatuan sistemik, di mana setiap unsur memiliki fungsi dan nilai intrinsik dalam keseluruhan ekosistem.¹² Ontologi ekologis dengan demikian menegaskan bahwa “ada” berarti “ber-relasi.” Keberadaan suatu makhluk hanya bermakna sejauh ia ikut serta dalam mempertahankan harmoni jaringan ekologis tersebut.¹³

3.3.       Implikasi Ontologis bagi Etika

Dari landasan ontologis inilah muncul dasar moral etika ekologis: jika seluruh keberadaan saling terkait secara eksistensial, maka setiap tindakan manusia terhadap alam memiliki dimensi moral.¹⁴ Prinsip care (kepedulian) dan responsibility (tanggung jawab) yang ditekankan Hans Jonas mendapatkan legitimasi ontologisnya di sini: manusia bertanggung jawab bukan karena superioritasnya, tetapi karena partisipasinya dalam keberadaan yang sama.¹⁵ Tanggung jawab ekologis bukan hanya kewajiban moral, melainkan konsekuensi eksistensial dari kenyataan bahwa kehidupan manusia adalah bagian dari kehidupan alam.

Dengan demikian, ontologi etika ekologis membalik logika antroposentris menjadi logika partisipatoris: manusia bukan master of nature, melainkan member of nature. Ia hidup bukan di atas alam, tetapi di dalamnya, bersama seluruh makhluk lain yang berbagi nasib ekologis yang sama. Kesadaran akan kesatuan eksistensial ini menjadi fondasi ontologis bagi seluruh konstruksi etika ekologis kontemporer.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 267–269.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 47–50.

[3]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 21–22.

[4]                Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 130–131.

[5]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.

[6]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 35–36.

[7]                Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi (New York: Harper & Row, 1977), 245–247.

[8]                Thich Nhat Hanh, The Heart of Understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press, 1988), 22–24.

[9]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 164–165.

[10]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: SUNY Press, 1990), 55–58.

[11]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 189–191.

[12]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–29.

[13]             Brian Henning, The Ethics of Creativity: Beauty, Morality, and Nature in a Processive Cosmos (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2005), 48–50.

[14]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 121–123.

[15]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 124–126.


4.           Epistemologi Etika Ekologis: Pengetahuan tentang Alam dan Keterlibatan Manusia

Epistemologi etika ekologis berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan menilai alam secara moral. Dalam filsafat modern, pengetahuan tentang alam didominasi oleh paradigma positivistik yang menekankan objektivitas, kuantifikasi, dan jarak antara subjek peneliti dengan objek yang diteliti.¹ Paradigma ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang efisien dalam menjelaskan fenomena fisik, tetapi sekaligus mengasingkan manusia dari alam yang dipelajarinya. Alam diperlakukan sebagai sistem tertutup yang dapat dikuasai, bukan sebagai realitas hidup yang harus dihormati.²

Etika ekologis menolak klaim netralitas epistemologis tersebut. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang alam tidak pernah bebas nilai, sebab setiap cara mengetahui mencerminkan sikap eksistensial terhadap dunia.³ Dengan kata lain, epistemologi ekologis bukan hanya soal mengetahui alam, tetapi tentang bagaimana manusia terlibat dalam dan bersama alam.

4.1.       Kritik terhadap Epistemologi Mekanistik dan Reduksionisme

Epistemologi mekanistik lahir dari revolusi ilmiah abad ke-17, ketika Galileo, Newton, dan Bacon menekankan bahwa realitas alam dapat direduksi ke hukum-hukum matematika dan mekanika.⁴ Pengetahuan menjadi alat dominasi, bukan kontemplasi. Francis Bacon secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan sains adalah “menaklukkan alam” demi kesejahteraan manusia.⁵ Pandangan ini melahirkan reduksionisme epistemologis—yakni kecenderungan untuk memandang kompleksitas kehidupan hanya melalui bagian-bagian terukur, mengabaikan dimensi kualitatif dan relasional dari alam.⁶

Kritik terhadap reduksionisme datang dari berbagai arah. Filsuf ekofeminis seperti Carolyn Merchant menilai bahwa reduksi alam menjadi “mesin” telah menghapus citra alam sebagai “ibu yang hidup,” sehingga legitimasi etis untuk mengeksploitasinya menjadi tak terbendung.⁷ Sementara itu, fenomenologi alam (Merleau-Ponty, Husserl) menekankan bahwa pengetahuan sejati tentang dunia tidak dapat dicapai melalui objektifikasi, tetapi melalui pengalaman langsung dan keterlibatan tubuh manusia dalam dunia yang sama.⁸

4.2.       Menuju Epistemologi Relasional dan Partisipatoris

Sebagai reaksi terhadap positivisme, epistemologi etika ekologis mengusulkan pendekatan relasional dan partisipatoris. Dalam paradigma ini, subjek dan objek tidak berdiri secara dikotomis, melainkan terjalin dalam hubungan timbal balik. Gregory Bateson menyebutnya sebagai “ecology of mind”—cara berpikir yang menyadari keterhubungan antara pikiran manusia dan sistem ekologis yang lebih luas.⁹ Pengetahuan, dengan demikian, bukan sekadar representasi kognitif, tetapi partisipasi eksistensial dalam jaringan kehidupan.

Fritjof Capra memperluas pandangan ini dalam The Tao of Physics dan The Web of Life, dengan menegaskan bahwa pengetahuan ekologis bersifat sistemik dan dinamis.¹⁰ Alam bukan kumpulan objek, melainkan jaringan proses yang saling memengaruhi. Oleh karena itu, memahami alam berarti memahami pola hubungan, bukan entitas terpisah.¹¹ Dalam epistemologi ekologis, to know berarti to connect—mengetahui adalah menghubungkan diri secara etis dan spiritual dengan keseluruhan kehidupan.

Pendekatan ini juga menemukan resonansinya dalam spiritualitas ekologis. Pengetahuan ekologis melibatkan bukan hanya akal (logos), tetapi juga empati (pathos) dan kesadaran moral (ethos). Thomas Berry, seorang teolog-ekolog, menyebut bahwa tugas utama manusia modern adalah beralih dari “a human-centered worldview” menuju “an earth-centered consciousness.”¹² Dengan demikian, epistemologi ekologis tidak sekadar menuntut rasionalitas baru, tetapi juga transformasi kesadaran.

4.3.       Pengetahuan, Nilai, dan Tanggung Jawab

Epistemologi ekologis bersifat normatif karena menuntun pada tindakan etis. Pengetahuan yang sejati tentang alam tidak berhenti pada pemahaman teoritis, tetapi melahirkan tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan kehidupan. Hans Jonas menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah modern yang mampu mengubah alam secara radikal menuntut munculnya etika baru yang sebanding dengan kekuatan tersebut.¹³ Dalam pandangan Jonas, epistemologi dan etika tidak dapat dipisahkan: semakin besar kapasitas manusia untuk mengetahui dan mengubah alam, semakin besar pula tanggung jawab moralnya.¹⁴

Selain itu, epistemologi ekologis juga menolak klaim universalitas tunggal dari pengetahuan Barat. Berbagai bentuk pengetahuan lokal (indigenous knowledge systems) dipandang sebagai bagian penting dari kebijaksanaan ekologis global.¹⁵ Pengetahuan adat tidak sekadar praktik teknis, tetapi ekspresi dari relasi etis antara manusia dan lingkungannya yang sarat dengan makna simbolik dan spiritual. Dalam konteks ini, epistemologi ekologis menjadi jembatan antara sains, etika, dan kearifan budaya.

4.4.       Epistemologi Ekologis sebagai Jalan Menuju Kesadaran Integral

Arah utama epistemologi ekologis adalah integrasi antara dimensi kognitif, moral, dan spiritual pengetahuan. Ia mengajak manusia untuk mengetahui dengan cara yang lebih manusiawi dan ekologis, yakni dengan menyadari bahwa pengetahuan selalu mengandung tanggung jawab terhadap kehidupan.¹⁶ Kesadaran ekologis sejati muncul ketika manusia tidak lagi memandang alam sebagai “yang lain,” tetapi sebagai bagian dari dirinya sendiri.

Dengan demikian, epistemologi etika ekologis bukan sekadar teori tentang cara mengetahui, melainkan juga cara menjadi—yakni menjadi manusia yang sadar akan keterlibatan eksistensialnya dalam keseluruhan jaringan kehidupan. Dalam kesadaran ini, pengetahuan menjadi tindakan moral, dan tindakan moral menjadi cara mengetahui dunia secara lebih utuh.


Footnotes

[1]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (New York: Calvin Blanchard, 1853), 12–14.

[2]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 26–28.

[3]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 44–47.

[4]                Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1967), 3–4.

[5]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–34.

[6]                E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 107–108.

[7]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 169–171.

[8]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 90–92.

[9]                Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1972), 321–322.

[10]             Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 1975), 34–36.

[11]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–29.

[12]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 56–58.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 23–24.

[14]             Ibid., 126–128.

[15]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 42–43.

[16]             David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 155–157.


5.           Aksiologi Etika Ekologis: Nilai, Moralitas, dan Kebaikan Alam

Aksiologi etika ekologis berfokus pada pertanyaan tentang nilai (value) dan kebaikan (goodness) dalam kaitannya dengan alam. Jika etika tradisional menempatkan nilai moral dalam relasi antar-manusia, maka etika ekologis memperluas cakupan moralitas hingga mencakup seluruh komunitas kehidupan.¹ Hal ini menuntut pergeseran dari sistem nilai antroposentris menuju paradigma nilai yang bersifat biocentris dan ekosentris. Dalam konteks ini, pertanyaan utama bukan lagi “apa yang baik bagi manusia,” tetapi “apa yang baik bagi kehidupan secara keseluruhan.”²

5.1.       Nilai Intrinsik Alam

Dalam tradisi etika lingkungan, perdebatan utama berkisar pada apakah alam memiliki nilai intrinsik (nilai yang melekat pada dirinya sendiri) atau hanya nilai instrumental (nilai karena manfaatnya bagi manusia).³ Antroposentrisme klasik beranggapan bahwa hanya makhluk rasional yang memiliki nilai moral, sementara alam hanyalah sarana untuk tujuan manusia.⁴ Sebaliknya, etika ekologis menegaskan bahwa semua entitas alam—baik makhluk hidup maupun tak hidup—memiliki nilai intrinsik karena keberadaannya yang turut menopang keberlangsungan kehidupan.⁵

Aldo Leopold, melalui konsep land ethic, menyatakan bahwa “a thing is right when it tends to preserve the integrity, stability, and beauty of the biotic community.”⁶ Pandangan ini memperluas horizon moral hingga meliputi tanah, air, tumbuhan, dan hewan sebagai bagian dari komunitas etis. Dalam hal ini, nilai moral tidak hanya ditentukan oleh kesadaran rasional, melainkan oleh kontribusi suatu entitas terhadap keseimbangan ekosistem.⁷ Dengan demikian, kebaikan dalam etika ekologis bersifat sistemik, bukan individual: sesuatu dikatakan baik sejauh ia menjaga keharmonisan totalitas kehidupan.⁸

5.2.       Prinsip Moralitas Ekologis: Tanggung Jawab dan Kepedulian

Aksiologi etika ekologis tidak hanya membahas nilai, tetapi juga prinsip moralitas ekologis yang melandasi tindakan manusia terhadap alam. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menegaskan bahwa dalam era teknologi, manusia memiliki kekuasaan yang belum pernah ada sebelumnya terhadap biosfer.⁹ Karena itu, tanggung jawab moral manusia harus diperluas agar mencakup konsekuensi ekologis dari tindakannya terhadap generasi mendatang.¹⁰ Prinsip Jonas ini menjadi landasan moral utama bagi etika ekologis kontemporer: setiap tindakan manusia harus mempertimbangkan kelestarian kehidupan di masa depan.¹¹

Selain tanggung jawab (responsibility), etika ekologis juga mengedepankan prinsip kepedulian (care). Carol Gilligan dan Nel Noddings, melalui etika kepedulian, menekankan bahwa moralitas tidak hanya berakar pada keadilan dan kewajiban, tetapi juga pada relasi empatik terhadap yang lain.¹² Dalam konteks ekologis, prinsip ini berarti mengakui dan merawat kebergantungan timbal balik antara manusia dan lingkungan. Kepedulian ekologis menumbuhkan sikap hormat terhadap semua makhluk hidup dan menginternalisasi kesadaran bahwa kerusakan terhadap alam adalah bentuk pelanggaran moral terhadap tatanan kehidupan itu sendiri.¹³

5.3.       Kebaikan Alam dan Sakralitas Kehidupan

Etika ekologis juga menegaskan bahwa alam tidak hanya bernilai secara moral, tetapi juga memiliki dimensi sakralitas. Dalam banyak tradisi budaya dan keagamaan, alam dipandang sebagai manifestasi dari yang ilahi.¹⁴ Perspektif ini menghidupkan kembali reverence for life (rasa hormat terhadap kehidupan) sebagaimana dikemukakan oleh Albert Schweitzer, yang menyatakan bahwa “ethics is nothing other than reverence for life itself.”¹⁵ Dalam kerangka ini, kebaikan ekologis tidak sekadar etika rasional, tetapi juga ekspresi spiritual yang memuliakan kehidupan sebagai anugerah yang harus dijaga.

Sakralitas kehidupan juga muncul dalam teologi ekologi kontemporer. Paus Fransiskus, dalam Laudato Si’, menegaskan bahwa alam adalah “saudara dan ibu” bagi manusia, bukan sekadar sumber daya.¹⁶ Pandangan ini mengembalikan moralitas ekologis ke dalam horizon religius dan spiritual, di mana hubungan manusia dengan alam merupakan bentuk ibadah dan tanggung jawab kosmik.¹⁷ Dalam hal ini, nilai tertinggi dalam etika ekologis adalah integritas ciptaan—kesadaran bahwa seluruh kehidupan terjalin dalam satu kesatuan eksistensial yang menuntut penghormatan dan kasih.¹⁸

5.4.       Aksiologi Ekologis dan Keadilan Antar-Generasi

Dimensi aksiologis etika ekologis juga mencakup prinsip keadilan antar-generasi. Prinsip ini menegaskan bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban moral untuk menjaga keberlangsungan bumi bagi generasi yang akan datang.¹⁹ Nicholas Low dan Brendan Gleeson menyebut keadilan ekologis sebagai “the moral extension of justice to future beings and non-human entities.”²⁰ Prinsip ini memperluas cakupan etika sosial ke dalam ranah temporal dan ekologis. Dalam konteks ini, keadilan tidak lagi bersifat antropologis, melainkan kosmologis.²¹

Aksiologi ekologis, dengan demikian, tidak hanya berbicara tentang nilai, tetapi juga tentang arah moral dan spiritual kehidupan manusia. Nilai tertinggi bukanlah pertumbuhan ekonomi atau kepuasan individual, melainkan keberlanjutan kehidupan dan keutuhan ciptaan.²² Etika ekologis mengajak manusia untuk menata kembali hierarki nilai modern, menempatkan harmoni ekologis sebagai dasar dari segala tindakan moral.²³


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 12–14.

[2]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 58–60.

[3]                J. Baird Callicott, “Intrinsic Value in Nature: A Metaethical Analysis,” Environmental Ethics 4, no. 3 (1982): 257–275.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 39–40.

[5]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 66–68.

[6]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[7]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 32–34.

[8]                Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–101.

[9]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 22–23.

[10]             Ibid., 126–128.

[11]             Larry L. Rasmussen, Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New Key (Oxford: Oxford University Press, 2012), 45–46.

[12]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 69–71.

[13]             Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 172–174.

[14]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 45–47.

[15]             Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought: An Autobiography, trans. C. T. Campion (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1998), 158.

[16]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 11.

[17]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 38–39.

[18]             Sean McDonagh, To Care for the Earth: A Call to a New Theology (Santa Fe: Bear & Company, 1986), 73–75.

[19]             Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Policy and Law 19, no. 1 (1989): 34–35.

[20]             Nicholas Low and Brendan Gleeson, Justice, Society and Nature: An Exploration of Political Ecology (London: Routledge, 1998), 72–74.

[21]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 210–212.

[22]             E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 112–114.

[23]             Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 174–176.


6.           Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Politik Etika Ekologis

Etika ekologis tidak hanya berakar pada kesadaran moral individu terhadap alam, tetapi juga memiliki implikasi sosial, ekonomi, dan politik yang luas. Dalam dunia modern yang ditandai oleh industrialisasi, globalisasi, dan konsumerisme, krisis ekologi tidak dapat dipahami semata sebagai persoalan etika pribadi, melainkan sebagai akibat dari struktur sosial dan sistem ekonomi-politik yang tidak adil terhadap lingkungan.¹ Karena itu, etika ekologis menuntut transformasi struktural: bukan hanya perubahan perilaku individu, tetapi juga rekonstruksi nilai, kebijakan, dan institusi sosial agar lebih selaras dengan prinsip keberlanjutan ekologis dan keadilan lingkungan.²

6.1.       Etika Ekologis dan Keadilan Sosial

Krisis lingkungan selalu memiliki dimensi sosial. Dampak dari perubahan iklim, polusi, dan kerusakan ekologis sering kali paling berat dirasakan oleh kelompok miskin, masyarakat adat, dan negara-negara berkembang.³ Oleh karena itu, etika ekologis harus mencakup keadilan ekologis (environmental justice), yang menekankan distribusi yang adil atas manfaat dan beban lingkungan.⁴ Gerakan keadilan ekologis muncul di Amerika Serikat pada 1980-an sebagai respon terhadap diskriminasi lingkungan terhadap komunitas minoritas.⁵ Namun dalam konteks global, konsep ini berkembang menjadi eco-justice—suatu integrasi antara keadilan sosial dan keutuhan ciptaan.⁶

Dalam kerangka ini, prinsip moral etika ekologis menolak eksploitasi terhadap manusia dan alam sekaligus. Thomas Berry menyebut bahwa krisis ekologi pada hakikatnya adalah “krisis komunitas,” yakni hilangnya rasa solidaritas antara manusia dan seluruh bentuk kehidupan.⁷ Maka, etika ekologis menuntut solidaritas sosial-ekologis di mana kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan bumi.

6.2.       Dimensi Ekonomi: Kritik terhadap Kapitalisme dan Konsumerisme

Etika ekologis menyoroti hubungan erat antara model ekonomi kapitalistik dan kerusakan ekologis. Sistem ekonomi modern yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas telah mengabaikan keterbatasan ekologis bumi.⁸ Paradigma “pertumbuhan ekonomi berkelanjutan” sering kali menjadi paradoks karena tetap berlandaskan logika eksploitasi sumber daya alam.⁹ Dalam hal ini, etika ekologis mengajukan kritik mendasar terhadap logika homo economicus yang mengutamakan efisiensi dan keuntungan materi di atas keseimbangan ekologis.¹⁰

E. F. Schumacher melalui Small Is Beautiful menegaskan pentingnya “ekonomi skala manusia” yang berbasis pada prinsip keberlanjutan dan kesederhanaan.¹¹ Pandangan ini menekankan bahwa nilai ekonomi harus dikembalikan pada fungsi moralnya: melayani kehidupan, bukan menghancurkannya. Konsep ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi sirkular (circular economy) merupakan upaya kontemporer untuk mengintegrasikan prinsip etika ekologis dalam struktur ekonomi global.¹² Namun, sebagaimana dikritik Naomi Klein, banyak kebijakan hijau masih terjebak dalam logika pasar yang sama—menjadikan “lingkungan” sebagai komoditas baru alih-alih sebagai nilai moral.¹³

Dengan demikian, etika ekologis menuntut transformasi ekonomi moral: dari paradigma eksploitasi menuju paradigma keberlanjutan, dari akumulasi menuju keseimbangan, dan dari konsumsi berlebih menuju kehidupan yang cukup (sufficiency ethics).¹⁴

6.3.       Dimensi Politik: Ekologi dan Kekuasaan

Krisis ekologi juga merupakan krisis politik karena terkait dengan pengelolaan kekuasaan atas sumber daya alam. Politik lingkungan sering kali menjadi ajang konflik antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekologis.¹⁵ Dalam konteks ini, etika ekologis menekankan politik tanggung jawab (politics of responsibility)—yakni bahwa negara, lembaga internasional, dan korporasi memiliki kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem.¹⁶

Teori ekologi sosial yang dikembangkan Murray Bookchin melihat akar krisis ekologis dalam struktur hierarkis dan dominatif masyarakat manusia itu sendiri.¹⁷ Menurutnya, sistem sosial yang menindas manusia juga akan menindas alam, karena keduanya berakar pada logika kekuasaan yang sama. Maka, pembebasan ekologis hanya mungkin jika terjadi pembebasan sosial.¹⁸ Prinsip ini mengarah pada eco-democracy, yaitu tata politik yang berbasis partisipasi, desentralisasi, dan kesetaraan ekologis.¹⁹

Dalam tataran global, muncul pula gagasan governance ekologis yang menekankan kerja sama antarnegara untuk menangani isu-isu lintas batas seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi laut.²⁰ Perjanjian internasional seperti Paris Agreement (2015) merupakan langkah konkret menuju kesepakatan etis global, meskipun implementasinya masih lemah karena kepentingan ekonomi nasional sering kali mengalahkan komitmen moral ekologis.²¹

6.4.       Ekologi dan Etika Pembangunan Berkelanjutan

Etika ekologis menempatkan diri sebagai dasar normatif bagi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).²² Prinsip “meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” sebagaimana dirumuskan dalam Brundtland Report (1987) adalah ekspresi etis dari tanggung jawab antar-generasi.²³ Namun, etika ekologis melangkah lebih jauh dengan menekankan bahwa keberlanjutan tidak hanya bersifat ekonomi atau sosial, tetapi juga moral dan spiritual.²⁴

Pembangunan berkelanjutan yang sejati harus berakar pada kesadaran bahwa kemajuan manusia hanya bermakna jika selaras dengan keseimbangan alam.²⁵ Dalam kerangka ini, etika ekologis bukan sekadar teori normatif, melainkan juga visi politik untuk menciptakan tatanan sosial-ekonomi baru yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua makhluk hidup di bumi.


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 25–27.

[2]                John Barry, Rethinking Green Politics: Nature, Virtue, and Progress (London: Sage, 1999), 88–90.

[3]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 41–42.

[4]                Robert Bullard, Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality (Boulder: Westview Press, 1990), 56–57.

[5]                Dorceta Taylor, Toxic Communities: Environmental Racism, Industrial Pollution, and Residential Mobility (New York: NYU Press, 2014), 18–19.

[6]                Larry L. Rasmussen, Earth Community, Earth Ethics (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1996), 62–64.

[7]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 73–74.

[8]                Herman E. Daly, Steady-State Economics (San Francisco: W.H. Freeman, 1977), 8–10.

[9]                Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New Political Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.

[10]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 254–255.

[11]             E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 109–110.

[12]             Pearce, David W., Anil Markandya, and Edward B. Barbier, Blueprint for a Green Economy (London: Earthscan, 1989), 21–23.

[13]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 92–93.

[14]             Wolfgang Sachs, ed., The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power (London: Zed Books, 2010), 211–213.

[15]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 37–39.

[16]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 124–126.

[17]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 44–45.

[18]             Ibid., 50–52.

[19]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 215–216.

[20]             Frank Biermann, Earth System Governance: World Politics in the Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 5–7.

[21]             Joyeeta Gupta, The History of Global Climate Governance (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 121–123.

[22]             John Pezzey and Michael Toman, The Economics of Sustainability (Washington, DC: Resources for the Future, 2002), 3–4.

[23]             World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.

[24]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 159–161.

[25]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 82–83.


7.           Kritik terhadap Etika Ekologis

Meskipun etika ekologis menawarkan paradigma moral baru yang penting dalam menghadapi krisis lingkungan global, berbagai kritik telah diajukan terhadap dasar teoritis, metodologis, dan implikasi praktisnya. Kritik tersebut datang dari beragam perspektif—mulai dari humanisme klasik, teori etika normatif modern, hingga pemikiran politik dan ekonomi kontemporer. Bagian ini menguraikan secara sistematis beberapa pokok kritik utama terhadap etika ekologis, baik dalam hal filsafat moral, penerapan kebijakan, maupun konsekuensi ideologisnya.

7.1.       Kritik Humanisme Klasik dan Antroposentrisme Moderat

Salah satu kritik utama terhadap etika ekologis datang dari para filsuf humanis yang menilai bahwa perluasan moralitas hingga ke seluruh alam dapat mengaburkan makna khas moralitas manusia.¹ Etika tradisional, terutama sejak Kant, berlandaskan pada rasionalitas dan otonomi moral manusia sebagai subjek etis.² Dengan demikian, memperlakukan makhluk non-rasional—seperti hewan, tumbuhan, atau benda alam—sebagai subjek moral dianggap menyalahi prinsip dasar etika normatif.³

Humanisme moderat juga menilai bahwa antroposentrisme tidak sepenuhnya negatif. Bryan Norton, misalnya, mengemukakan konsep weak anthropocentrism, yakni pandangan bahwa nilai-nilai ekologis dapat dipertahankan sejauh mereka berakar pada kepentingan manusia yang tercerahkan (enlightened human interests).⁴ Dalam pandangan ini, tanggung jawab ekologis dapat dipahami tanpa meniadakan posisi istimewa manusia dalam hierarki moral. Pendekatan ini menjadi jembatan antara moralitas ekologis dan etika humanistik yang masih mempertahankan rasionalitas sebagai pusat moralitas.⁵

7.2.       Kritik terhadap Biocentrisme dan Ekosentrisme Radikal

Etika ekologis sering dikritik karena mengandung tendensi biocentrisme atau ekosentrisme radikal, yang menempatkan semua bentuk kehidupan dalam posisi moral yang setara.⁶ Kritikus seperti Tom Regan dan Peter Singer menilai bahwa pandangan ini sulit dipertahankan secara etis maupun praktis.⁷ Jika semua makhluk memiliki hak moral yang sama, maka tindakan manusia yang paling sederhana—seperti makan, bertani, atau membangun tempat tinggal—dapat dianggap melanggar hak-hak ekologis makhluk lain.⁸

Selain itu, biocentrisme dinilai gagal memberikan kriteria moral yang jelas untuk menyelesaikan konflik antar-nilai ekologis. Holmes Rolston III sendiri mengakui adanya dilema ketika “moralitas ekologis” berbenturan dengan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup.⁹ Kritik ini menunjukkan bahwa etika ekologis membutuhkan kerangka hierarkis atau gradasional yang lebih realistis agar dapat diterapkan dalam kebijakan moral dan lingkungan.¹⁰

Di sisi lain, kalangan ekofeminis seperti Val Plumwood menyoroti bahwa ekosentrisme kadang mengabaikan dimensi sosial dan gender dalam analisisnya.¹¹ Dengan menekankan kesatuan ekologis tanpa memperhitungkan ketimpangan sosial, etika ekologis berisiko menjadi “abstraksi hijau” yang tidak menyentuh akar dominasi patriarkis dan kolonial yang turut menyebabkan krisis ekologis.¹²

7.3.       Kritik Epistemologis dan Metodologis

Dari sudut pandang epistemologis, etika ekologis dikritik karena terlalu mengandalkan metafora organik dan sistemik tanpa kerangka rasional yang kokoh.¹³ Beberapa filsuf analitik menilai bahwa gagasan seperti “nilai intrinsik alam” atau “hak alam” sulit dibuktikan secara logis dan empiris.¹⁴ Richard Sylvan (Routley) bahkan menuduh etika ekologis bersifat “metafisikal” dan “romantik” karena menisbatkan nilai moral pada entitas yang tidak memiliki kesadaran moral.¹⁵

Kritik metodologis lainnya menyoroti kecenderungan etika ekologis untuk mengaburkan batas antara fakta dan nilai (is–ought fallacy).¹⁶ Dalam upayanya menegaskan nilai moral alam, banyak argumen etika ekologis yang dituduh melakukan lompatan normatif dari deskripsi ekologis menuju preskripsi etis tanpa justifikasi yang memadai.¹⁷ Karenanya, diperlukan metodologi yang lebih ketat agar etika ekologis tidak jatuh pada sentimentalitas moral atau mistisisme ekospiritual yang sulit diverifikasi.¹⁸

7.4.       Kritik Ekonomi dan Politik: Antara Ideal Moral dan Realitas Struktural

Etika ekologis juga menghadapi kritik dari kalangan ekonomi politik yang menilai bahwa ideal moral ekologis sering kali gagal menghadapi realitas sistem global yang berbasis pasar.¹⁹ John Barry dan Clive Spash berpendapat bahwa tanpa perubahan sistem ekonomi kapitalistik, etika ekologis hanya akan menjadi wacana moral yang impotens.²⁰ Paradigma “moralitas hijau” tidak cukup kuat untuk menandingi logika pertumbuhan dan akumulasi kapital yang mendasari eksploitasi sumber daya alam.²¹

Selain itu, etika ekologis sering dianggap terlalu normatif dan tidak memperhitungkan dinamika kekuasaan politik.²² Dalam praktiknya, kebijakan lingkungan global sering kali dikooptasi oleh kepentingan ekonomi negara maju yang menggunakan retorika “pembangunan berkelanjutan” sebagai legitimasi baru bagi kontrol sumber daya.²³ Dengan demikian, tanpa dimensi politik yang kritis, etika ekologis dapat terjebak dalam idealisme moral yang terlepas dari realitas sosial.²⁴

7.5.       Kritik terhadap Aspek Spiritualitas dan Mistisisme Alam

Sebagian pemikir sekuler menuduh etika ekologis mengandung unsur spiritualitas atau religiositas terselubung yang tidak dapat diuji secara rasional.²⁵ Gerakan deep ecology dan ecospirituality dianggap terlalu dekat dengan mistisisme alam yang mengaburkan batas antara etika dan metafisika.²⁶ Dalam konteks akademik, kritik ini berangkat dari keprihatinan bahwa pendekatan semacam itu dapat melemahkan kredibilitas ilmiah etika ekologis sebagai disiplin rasional.²⁷

Namun demikian, para pembela etika ekologis seperti Thomas Berry dan Leonardo Boff menegaskan bahwa dimensi spiritual bukanlah bentuk irasionalitas, melainkan ekspresi etis terdalam dari kesadaran ekologis yang melihat kehidupan sebagai kesatuan suci.²⁸ Meski demikian, kritik ini tetap menjadi tantangan bagi etika ekologis untuk menjaga keseimbangan antara rasionalitas filosofis dan kedalaman spiritualitas ekologisnya.


Evaluasi Kritis

Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa etika ekologis, meskipun memiliki daya transformasi moral yang kuat, masih menghadapi tantangan konseptual dan praktis yang signifikan. Ia perlu menegaskan dasar ontologis dan epistemologisnya tanpa jatuh pada dogmatisme moral atau spiritualitas yang kabur. Di sisi lain, etika ekologis juga harus memperkuat jembatan dengan ilmu sosial, ekonomi, dan politik agar visinya tentang keberlanjutan dapat diwujudkan dalam sistem konkret.²⁹

Dengan demikian, kritik terhadap etika ekologis tidak seharusnya dipandang sebagai penolakan, melainkan sebagai dialog yang memperkaya dan mengarahkan disiplin ini menuju kedewasaan konseptual—yakni etika yang rasional, praksis, dan tetap berakar pada penghormatan terhadap kehidupan.


Footnotes

[1]                Roger Scruton, Green Philosophy: How to Think Seriously about the Planet (Oxford: Oxford University Press, 2012), 14–15.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–33.

[3]                Christine Korsgaard, Fellow Creatures: Our Obligations to the Other Animals (Oxford: Oxford University Press, 2018), 20–22.

[4]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 88–90.

[5]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 214–215.

[6]                Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–101.

[7]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 275–277.

[8]                Tom Regan, The Case for Animal Rights (Berkeley: University of California Press, 1983), 362–364.

[9]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 88–89.

[10]             J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic: More Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1999), 126–127.

[11]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 184–185.

[12]             Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 77–79.

[13]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 320–322.

[14]             Mark Sagoff, “On Preserving the Natural Environment,” Yale Law Journal 84, no. 2 (1975): 205–207.

[15]             Richard Sylvan (Routley), “Is There a Need for a New, an Environmental, Ethic?” Proceedings of the XV World Congress of Philosophy (Varna: 1973), 44–46.

[16]             G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–12.

[17]             W. T. Blackstone, Philosophy and Environmental Crisis (Athens: University of Georgia Press, 1972), 18–20.

[18]             Bryan Norton, “Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.

[19]             John Barry, Rethinking Green Politics: Nature, Virtue, and Progress (London: Sage, 1999), 103–104.

[20]             Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New Political Economy 15, no. 2 (2010): 182–183.

[21]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 152–153.

[22]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 114–115.

[23]             Joyeeta Gupta, The History of Global Climate Governance (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 141–142.

[24]             Frank Biermann, Earth System Governance: World Politics in the Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 76–77.

[25]             William Grey, “Anthropocentrism and Deep Ecology,” Australasian Journal of Philosophy 71, no. 4 (1993): 463–475.

[26]             Michael Zimmerman, Contestating Earth’s Future: Radical Ecology and Postmodernity (Berkeley: University of California Press, 1994), 61–63.

[27]             Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 332–334.

[28]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 42–43; Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 39–40.

[29]             Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 190–192.


8.           Relevansi Kontemporer Etika Ekologis

Etika ekologis pada era kontemporer menempati posisi sentral dalam wacana filsafat moral, kebijakan publik, dan gerakan sosial global. Ia tidak hanya menawarkan prinsip normatif bagi perilaku manusia terhadap alam, tetapi juga menjadi kerangka konseptual dan praksis transformatif untuk menjawab tantangan zaman—mulai dari krisis iklim, degradasi keanekaragaman hayati, hingga ketimpangan sosial dan ekologis global.¹ Dalam konteks abad ke-21 yang ditandai oleh Anthropocene—yakni era di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan geologis yang mengubah struktur bumi—etika ekologis muncul sebagai filsafat moral yang paling relevan untuk menata ulang hubungan antara manusia, teknologi, dan planet.²

8.1.       Etika Ekologis dan Krisis Antroposen

Krisis ekologis global saat ini menandai pergeseran besar dalam sejarah manusia. Istilah Anthropocene, yang dipopulerkan oleh Paul Crutzen, menandai bahwa manusia kini menjadi faktor penentu dalam proses geologis dan iklim bumi.³ Namun, kekuasaan tersebut tidak diiringi oleh kedewasaan moral yang seimbang. Krisis ini bukan hanya ekologis, tetapi juga eksistensial: manusia menghadapi konsekuensi dari tindakannya sendiri.⁴

Etika ekologis, dalam konteks ini, menjadi filsafat tanggung jawab global. Hans Jonas menegaskan bahwa moralitas modern harus melampaui batas-batas tradisional yang hanya mengatur hubungan antarmanusia; ia kini harus melibatkan tanggung jawab terhadap seluruh biosfer dan generasi mendatang.⁵ Prinsip “bertindak sedemikian rupa sehingga akibat dari tindakanmu tidak menghancurkan keberlanjutan kehidupan di bumi” menjadi imperatif baru dalam zaman Antroposen.⁶

Lebih jauh lagi, etika ekologis membantu mengatasi “krisis makna” modern. Ketika kemajuan teknologi menjauhkan manusia dari pengalaman ekologis langsung, etika ekologis mengingatkan akan keterlibatan eksistensial manusia dalam jaringan kehidupan.⁷ Dengan demikian, relevansi etika ekologis bukan hanya bersifat moral, tetapi juga spiritual dan kultural—yakni upaya memulihkan kembali rasa keterhubungan yang hilang antara manusia dan bumi.⁸

8.2.       Etika Ekologis dalam Kebijakan dan Pembangunan Global

Relevansi etika ekologis juga tampak jelas dalam ranah kebijakan internasional dan pembangunan global. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menjadi prinsip dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sustainable Development Goals (SDGs) berakar pada asumsi moral etika ekologis, yakni bahwa kesejahteraan manusia harus berjalan seiring dengan kelestarian alam.⁹

Etika ekologis menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh dipisahkan dari keadilan ekologis (ecological justice).¹⁰ Artinya, setiap kebijakan ekonomi atau teknologi harus memperhitungkan dampaknya terhadap sistem ekologis global serta terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap kerusakan lingkungan.¹¹ Prinsip ini mendorong munculnya paradigma eco-governance, yang menekankan integrasi moral, sosial, dan ekologis dalam perumusan kebijakan publik.¹²

Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ memberikan dimensi etis-religius yang memperkuat relevansi etika ekologis dalam kebijakan global. Ia menyerukan “ekologi integral” yang menggabungkan keadilan sosial dengan tanggung jawab ekologis, menolak dualisme antara manusia dan alam, serta menempatkan bumi sebagai rumah bersama (our common home).¹³ Dalam konteks ini, etika ekologis bukan sekadar refleksi filosofis, tetapi juga landasan moral bagi diplomasi lingkungan dan politik global.¹⁴

8.3.       Etika Ekologis dan Transformasi Budaya

Selain pada tingkat politik dan ekonomi, etika ekologis juga memainkan peran penting dalam transformasi budaya dan kesadaran kolektif. Budaya modern yang didominasi oleh konsumsi dan individualisme telah menumpulkan kepekaan terhadap nilai kehidupan non-manusia.¹⁵ Melalui pendidikan ekologis, seni, dan spiritualitas alam, etika ekologis menanamkan kembali rasa hormat, empati, dan tanggung jawab terhadap alam.¹⁶

Dalam pendidikan, etika ekologis mendorong pendekatan ecopedagogy—pendidikan yang menumbuhkan kesadaran ekologis dan tanggung jawab moral terhadap bumi.¹⁷ Paulo Freire menginspirasi pendekatan ini dengan prinsip conscientização (kesadaran kritis), yang diterapkan dalam konteks ekologis untuk membebaskan manusia dari struktur penindasan terhadap alam.¹⁸

Di bidang budaya populer dan teknologi digital, muncul pula fenomena eco-activism dan green movements yang menggunakan media sosial untuk menggalang kesadaran global tentang isu-isu lingkungan.¹⁹ Tokoh-tokoh seperti Greta Thunberg mewakili generasi muda yang mengartikulasikan etika ekologis dalam bentuk praksis politik transnasional, menunjukkan bahwa moralitas ekologis kini telah menjadi bahasa universal perlawanan terhadap krisis iklim.²⁰

8.4.       Etika Ekologis di Era Teknologi dan Digitalisasi

Dalam era digital, relevansi etika ekologis juga menyentuh ranah teknologi. Penggunaan energi dalam industri digital, produksi perangkat elektronik, dan sampah teknologi (e-waste) menimbulkan tantangan ekologis baru yang belum sepenuhnya diatur oleh sistem etika tradisional.²¹ Karena itu, dibutuhkan etika teknologi ekologis—yakni refleksi moral atas dampak ekologis dari perkembangan sains dan teknologi.²²

Sebagaimana diingatkan Bruno Latour, manusia modern harus berhenti menganggap teknologi sebagai sesuatu yang netral.²³ Teknologi adalah bentuk kekuasaan yang membawa konsekuensi ekologis, sehingga memerlukan prinsip tanggung jawab dan kesederhanaan (technological humility).²⁴ Dalam konteks ini, etika ekologis memperluas diri menjadi etika planetari: suatu moralitas global yang menata hubungan manusia, alam, dan teknologi dalam satu ekosistem nilai.²⁵

8.5.       Menuju Peradaban Ekologis

Relevansi terakhir dari etika ekologis terletak pada visinya terhadap masa depan peradaban. Konsep peradaban ekologis (ecological civilization) mengandaikan suatu tatanan sosial dan kultural baru yang dibangun di atas nilai-nilai keberlanjutan, solidaritas, dan spiritualitas bumi.²⁶ Etika ekologis menjadi dasar normatif bagi perubahan paradigma peradaban dari logika dominasi menuju logika koeksistensi.²⁷

Fritjof Capra dan Pier Luigi Luisi menggambarkan perubahan ini sebagai transisi dari “paradigma mekanistik” menuju “paradigma sistemik,” di mana manusia memahami dirinya bukan sebagai penguasa atas alam, tetapi sebagai bagian integral dari jaring kehidupan.²⁸ Dengan demikian, etika ekologis tidak berhenti pada tataran moralitas individual, tetapi menjadi peta jalan filosofis menuju kebijaksanaan ekologis global.²⁹


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 3–5.

[2]                Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 7–9.

[3]                Paul J. Crutzen, “Geology of Mankind,” Nature 415 (2002): 23.

[4]                Dipesh Chakrabarty, “The Climate of History: Four Theses,” Critical Inquiry 35, no. 2 (2009): 197–222.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[6]                Ibid., 126–128.

[7]                Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 129–130.

[8]                David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 155–156.

[9]                World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43–44.

[10]             Larry L. Rasmussen, Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New Key (Oxford: Oxford University Press, 2012), 74–75.

[11]             Nicholas Low and Brendan Gleeson, Justice, Society and Nature: An Exploration of Political Ecology (London: Routledge, 1998), 72–73.

[12]             Frank Biermann, Earth System Governance: World Politics in the Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 16–18.

[13]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 67–69.

[14]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 41–42.

[15]             E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 111–112.

[16]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 71–72.

[17]             Richard Kahn, Critical Pedagogy, Ecoliteracy, and Planetary Crisis (New York: Peter Lang, 2010), 23–25.

[18]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 39–40.

[19]             Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity Press, 2012), 145–146.

[20]             Greta Thunberg, The Climate Book (New York: Penguin Press, 2023), 12–13.

[21]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 44–46.

[22]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 133–134.

[23]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 98–100.

[24]             Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 213–215.

[25]             Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009), 12–13.

[26]             James Miller, China’s Green Religion: Daoism and the Quest for a Sustainable Future (New York: Columbia University Press, 2017), 33–34.

[27]             John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology (Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 92–94.

[28]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 11–12.

[29]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 123–125.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Ekologi Integral

Sintesis filosofis etika ekologis berupaya mengintegrasikan seluruh dimensi yang telah dibahas sebelumnya—historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis—ke dalam suatu visi filosofis yang utuh tentang hubungan manusia dan alam. Etika ekologis, dalam bentuknya yang paling mendalam, tidak hanya merupakan cabang dari filsafat moral, tetapi sebuah paradigma keberadaan baru yang menuntun manusia untuk hidup dalam harmoni dengan seluruh ciptaan.¹ Sintesis ini menegaskan bahwa tanggung jawab ekologis bukan sekadar tugas moral eksternal, melainkan bagian dari struktur eksistensial manusia itu sendiri: menjadi berarti turut serta dalam menjaga keberlangsungan kehidupan.²

9.1.       Integrasi Ontologis: Manusia sebagai Bagian dari Jaring Kehidupan

Secara ontologis, etika ekologis memulihkan kembali pemahaman bahwa manusia bukan entitas yang berdiri di luar atau di atas alam, melainkan bagian integral dari web of life.³ Dengan demikian, sintesis ekologis menolak dualisme yang diwariskan oleh filsafat modern antara subjek dan objek, manusia dan alam, roh dan materi.⁴ Dalam perspektif ini, manusia dilihat sebagai makhluk yang “ada di dalam dunia” (being-in-the-world) sebagaimana ditekankan oleh Heidegger—yakni eksistensi yang selalu sudah terjalin dengan lingkungannya.⁵

Integrasi ontologis ini tidak meniadakan keunikan manusia, tetapi menempatkannya dalam konteks relasional: manusia memiliki kesadaran reflektif yang memungkinkan ia memahami dirinya sebagai bagian dari keseluruhan ekologis.⁶ Oleh karena itu, keberadaan manusia memperoleh makna bukan melalui dominasi terhadap alam, tetapi melalui partisipasi dalam kehidupan yang lebih besar daripada dirinya sendiri.⁷

9.2.       Integrasi Epistemologis: Mengetahui sebagai Keterlibatan dan Perawatan

Dari segi epistemologis, ekologi integral menolak pengetahuan yang bersifat objektif dan dominatif.⁸ Pengetahuan sejati tentang alam tidak lahir dari jarak, melainkan dari keterlibatan. Maurice Merleau-Ponty menyebut pengalaman ini sebagai “the flesh of the world”—suatu cara mengetahui di mana subjek dan dunia saling menembus dalam kontinuitas eksistensial.⁹ Dengan demikian, epistemologi ekologis bersifat partisipatoris: mengetahui berarti ikut serta dalam ritme kehidupan, bukan sekadar mengamatinya dari luar.¹⁰

Prinsip ini mengandung implikasi etis mendalam. Jika pengetahuan selalu melibatkan relasi, maka setiap tindakan mengetahui juga mengandung dimensi tanggung jawab.¹¹ Dalam kerangka ini, sains dan teknologi harus dipahami sebagai bentuk keterlibatan moral yang menuntut kehati-hatian dan kesadaran terhadap dampaknya terhadap jaringan kehidupan.¹² Dengan demikian, sintesis epistemologis etika ekologis menegaskan kesatuan antara knowing dan caring—antara pengetahuan dan kasih.¹³

9.3.       Integrasi Aksiologis: Nilai, Cinta, dan Tanggung Jawab Kosmik

Dalam dimensi aksiologis, ekologi integral menegaskan bahwa nilai moral tertinggi bukanlah efisiensi atau pertumbuhan, melainkan kelestarian dan keutuhan kehidupan.¹⁴ Hans Jonas menggambarkan hal ini sebagai imperatif tanggung jawab, di mana manusia dipanggil untuk bertindak sedemikian rupa agar akibat tindakannya tidak menghancurkan keberlanjutan kehidupan di bumi.¹⁵ Prinsip ini menjadi dasar moral bagi seluruh etika ekologis: nilai tertinggi bukan berada pada manusia sebagai individu, tetapi pada kehidupan sebagai totalitas.¹⁶

Selain itu, sintesis aksiologis juga menekankan dimensi cinta dan spiritualitas ekologis. Leonardo Boff menyebut cinta terhadap bumi sebagai bentuk tertinggi dari etika ekologis—sebuah kasih yang melampaui batas spesies dan menjangkau seluruh ciptaan.¹⁷ Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menyebut relasi ekologis ini sebagai ecological conversion, yakni pertobatan moral yang lahir dari kesadaran bahwa manusia dan alam adalah satu keluarga kosmik.¹⁸ Dengan demikian, tanggung jawab ekologis bukan semata kewajiban, tetapi juga ungkapan kasih universal yang meneguhkan sakralitas kehidupan.¹⁹

9.4.       Integrasi Sosial dan Politik: Etika sebagai Dasar Peradaban Ekologis

Sintesis filosofis etika ekologis tidak berhenti pada tataran teoretis, tetapi meluas ke ranah praksis sosial-politik. Murray Bookchin, melalui konsep social ecology, menegaskan bahwa krisis ekologis berakar pada struktur sosial yang hirarkis dan eksploitatif.²⁰ Maka, pembebasan ekologis harus berjalan seiring dengan pembebasan sosial.²¹ Prinsip ini menjadi landasan bagi gagasan peradaban ekologis, di mana struktur ekonomi, politik, dan budaya dibangun berdasarkan prinsip kesetaraan ekologis, solidaritas, dan keberlanjutan.²²

Etika ekologis, dengan demikian, berfungsi sebagai etika publik baru yang mengatur relasi antara masyarakat dan bumi.²³ Dalam konteks ini, nilai-nilai seperti kesederhanaan, tanggung jawab kolektif, dan keadilan ekologis menjadi fondasi moral bagi kebijakan global.²⁴ Etika ekologis bukan lagi sekadar cabang filsafat, tetapi paradigma peradaban—peta moral untuk masa depan umat manusia di bumi.²⁵

9.5.       Ekologi Integral sebagai Jalan Menuju Kebijaksanaan Holistik

Akhirnya, sintesis filosofis etika ekologis mengarah pada visi ekologi integral (integral ecology)—suatu cara berpikir dan hidup yang mempersatukan dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan spiritual dalam satu kesatuan.²⁶ Paus Fransiskus menggambarkannya sebagai “kesadaran bahwa segala sesuatu saling terhubung,” di mana keseimbangan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial dan perdamaian batin manusia.²⁷

Ekologi integral menuntun manusia menuju bentuk kebijaksanaan baru: sapientia terrena—kebijaksanaan bumi yang berakar pada kesadaran keterikatan dan kasih.²⁸ Ia melampaui sekularisme rasionalistik sekaligus menghindari mistisisme irasional, dengan menggabungkan logos (akal), ethos (tanggung jawab), dan pathos (cinta).²⁹ Dalam horizon ini, manusia tidak lagi menjadi pusat kosmos, melainkan penjaga kosmos; tidak lagi penguasa, tetapi pelayan kehidupan.³⁰

Dengan demikian, sintesis filosofis etika ekologis menutup lingkar refleksi ini dengan panggilan moral yang universal: untuk membangun peradaban yang rendah hati, berkelanjutan, dan penuh kasih terhadap bumi sebagai rumah bersama. Inilah makna terdalam dari ekologi integral—pertemuan antara filsafat, etika, dan spiritualitas dalam kesadaran ekologis yang utuh.


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 201–203.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 128–130.

[3]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–28.

[4]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 42–44.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–81.

[6]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 75–77.

[7]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 163–165.

[8]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 111–112.

[9]                Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 130–131.

[10]             David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 158–160.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 124–126.

[12]             Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 214–216.

[13]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 52–53.

[14]             Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–100.

[15]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 123–125.

[16]             E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (New York: Harper & Row, 1973), 111–112.

[17]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 67–68.

[18]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 215–217.

[19]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 48–49.

[20]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 66–67.

[21]             Ibid., 74–76.

[22]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 88–89.

[23]             John B. Cobb Jr. and Herman E. Daly, For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 89–90.

[24]             Larry L. Rasmussen, Earth Community, Earth Ethics (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1996), 71–72.

[25]             Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 182–184.

[26]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 117–119.

[27]             Pope Francis, Laudato Si’, 137–139.

[28]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 12–13.

[29]             Thomas Berry, The Great Work, 98–99.

[30]             Holmes Rolston III, Genes, Genesis, and God: Values and Their Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 342–344.


10.       Kesimpulan

Etika ekologis hadir sebagai salah satu pencapaian penting dalam evolusi kesadaran moral manusia modern. Ia bukan sekadar cabang dari etika terapan, tetapi suatu paradigma moral-filosofis yang menata ulang hubungan manusia dengan alam secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.¹ Melalui pendekatan ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai penguasa yang berdaulat atas dunia, melainkan sebagai makhluk yang hidup dalam jejaring keberadaan yang saling bergantung.² Dalam dunia yang dilanda krisis iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan degradasi moral terhadap bumi, etika ekologis mengajukan gagasan bahwa kelestarian alam adalah bagian tak terpisahkan dari kelestarian kemanusiaan itu sendiri.³

Secara ontologis, etika ekologis menegaskan kesatuan eksistensial antara manusia dan alam.⁴ Alam tidak lagi dipahami sebagai objek yang terpisah dari kesadaran manusia, melainkan sebagai mitra eksistensial yang memiliki nilai dan tujuan intrinsik.⁵ Pemahaman ini menggugah kesadaran bahwa tindakan terhadap alam adalah tindakan terhadap diri sendiri—karena keduanya berada dalam jaringan kehidupan yang sama.⁶

Secara epistemologis, etika ekologis menolak model pengetahuan yang dominatif dan reduksionistik.⁷ Pengetahuan tentang alam tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan moral dan pengalaman ekologis manusia.⁸ Dengan demikian, pengetahuan sejati bukanlah hasil objektifikasi, melainkan bentuk partisipasi dan perawatan (care) terhadap dunia.⁹ Kesadaran ini melahirkan epistemologi ekologis yang menggabungkan dimensi rasional, etis, dan spiritual dalam memahami realitas.¹⁰

Secara aksiologis, etika ekologis menegaskan bahwa nilai tertinggi bukanlah pertumbuhan ekonomi, efisiensi teknologis, atau kenyamanan manusia, melainkan keutuhan kehidupan dan kebaikan ekologis.¹¹ Nilai moral tidak lagi bersifat eksklusif manusiawi, melainkan bersifat inklusif terhadap seluruh ciptaan. Prinsip tanggung jawab (responsibility), kepedulian (care), dan hormat terhadap kehidupan (reverence for life) menjadi dasar universal bagi tindakan moral.¹² Dalam konteks ini, etika ekologis memulihkan makna moralitas sebagai tindakan yang memelihara kehidupan, bukan sekadar mengatur perilaku sosial manusia.¹³

Lebih jauh, etika ekologis memiliki implikasi sosial, ekonomi, dan politik yang mendalam. Ia menuntut perubahan paradigma pembangunan dari logika eksploitasi menuju logika keberlanjutan, serta menegaskan pentingnya keadilan ekologis bagi kelompok rentan dan generasi mendatang.¹⁴ Dalam tataran politik global, etika ekologis menjadi fondasi bagi kebijakan sustainable development dan earth governance yang berkeadilan ekologis.¹⁵ Dengan demikian, ia berfungsi sebagai etika publik baru yang menuntun arah moral peradaban kontemporer.

Pada akhirnya, sintesis filosofis etika ekologis mencapai puncaknya dalam visi ekologi integral.¹⁶ Pandangan ini mempersatukan dimensi ontologis (keberadaan bersama), epistemologis (pengetahuan yang terlibat), dan aksiologis (nilai dan tanggung jawab) dalam satu horizon kesadaran: bahwa segala sesuatu saling terhubung dan saling membutuhkan.¹⁷ Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, “segala sesuatu saling berkaitan, dan tidak mungkin berbicara tentang lingkungan tanpa menyinggung persoalan manusia dan masyarakat.”¹⁸

Dengan demikian, etika ekologis merupakan panggilan untuk perubahan paradigma moral global—dari dominasi menuju partisipasi, dari eksploitasi menuju perawatan, dan dari individualisme menuju komunitas ekologis.¹⁹ Ia menjadi bentuk kebijaksanaan baru yang menuntun manusia pada harmoni dengan bumi, sesama, dan Sang Pencipta. Etika ekologis bukan hanya wacana normatif, melainkan proyek peradaban: membangun dunia yang berkeadilan ekologis dan penuh kasih terhadap kehidupan.²⁰


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 4–6.

[2]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 66–68.

[3]                Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 9–10.

[4]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–28.

[5]                Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 43–45.

[6]                Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 131–132.

[7]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 112–113.

[8]                David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 158–160.

[9]                Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1972), 321–322.

[10]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 117–119.

[11]             Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–101.

[12]             Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought: An Autobiography, trans. C. T. Campion (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1998), 158.

[13]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 52–53.

[14]             Nicholas Low and Brendan Gleeson, Justice, Society and Nature: An Exploration of Political Ecology (London: Routledge, 1998), 73–74.

[15]             Frank Biermann, Earth System Governance: World Politics in the Anthropocene (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 16–18.

[16]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 130–132.

[17]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 71–72.

[18]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 92.

[19]             Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 173–175.

[20]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 83–84.


Daftar Pustaka

Abram, D. (1996). The spell of the sensuous: Perception and language in a more-than-human world. Vintage Books.

Bacon, F. (2000). Novum organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.

Barry, J. (1999). Rethinking green politics: Nature, virtue, and progress. Sage.

Bateson, G. (1972). Steps to an ecology of mind. University of Chicago Press.

Beck, U. (2009). World at risk. Polity Press.

Biermann, F. (2014). Earth system governance: World politics in the Anthropocene. MIT Press.

Blackstone, W. T. (1972). Philosophy and environmental crisis. University of Georgia Press.

Boff, L. (1995). Ecology and liberation: A new paradigm. Orbis Books.

Boff, L. (1997). Cry of the Earth, cry of the poor. Orbis Books.

Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.

Brown Weiss, E. (1989). Intergenerational equity: A legal framework for global environmental change. Environmental Policy and Law, 19(1), 34–35.

Bullard, R. (1990). Dumping in Dixie: Race, class, and environmental quality. Westview Press.

Callicott, J. B. (1982). Intrinsic value in nature: A metaethical analysis. Environmental Ethics, 4(3), 257–275.

Callicott, J. B. (1999). Beyond the land ethic: More essays in environmental philosophy. SUNY Press.

Capra, F. (1975). The Tao of physics: An exploration of the parallels between modern physics and Eastern mysticism. Shambhala.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. Anchor Books.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.

Castells, M. (2012). Networks of outrage and hope: Social movements in the Internet age. Polity Press.

Chakrabarty, D. (2009). The climate of history: Four theses. Critical Inquiry, 35(2), 197–222.

Cobb, J. B., Jr., & Daly, H. E. (1989). For the common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and a sustainable future. Beacon Press.

Cobb, J. B., Jr. (1972). Is it too late? A theology of ecology. Bruce Publishing.

Comte, A. (1853). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). Calvin Blanchard.

Crutzen, P. J. (2002). Geology of mankind. Nature, 415, 23.

Crosby, D. A. (2008). Living with ambiguity: Religious naturalism and the menace of evil. SUNY Press.

Daly, H. E. (1977). Steady-state economics. W. H. Freeman.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on the method (D. A. Cress, Trans.). Hackett.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Dobson, A. (2007). Green political thought (4th ed.). Routledge.

Eckersley, R. (2004). The green state: Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.

Feenberg, A. (2002). Transforming technology: A critical theory revisited. Oxford University Press.

Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Grey, W. (1993). Anthropocentrism and deep ecology. Australasian Journal of Philosophy, 71(4), 463–475.

Gupta, J. (2010). The history of global climate governance. Cambridge University Press.

Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The fate of humans in the Anthropocene. Polity Press.

Hanh, T. N. (1988). The heart of understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Parallax Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977a). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977b). Letter on humanism (F. A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kahn, R. (2010). Critical pedagogy, ecoliteracy, and planetary crisis. Peter Lang.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime. Polity Press.

Laertius, D. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford University Press.

Light, A., & Rolston, H., III (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Blackwell.

Low, N., & Gleeson, B. (1998). Justice, society and nature: An exploration of political ecology. Routledge.

McDonagh, S. (1986). To care for the Earth: A call to a new theology. Bear & Company.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Merleau-Ponty, M. (1968). The visible and the invisible (A. Lingis, Trans.). Northwestern University Press.

Miller, J. (2017). China’s green religion: Daoism and the quest for a sustainable future. Columbia University Press.

Moore, G. E. (1903). Principia ethica. Cambridge University Press.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Noddings, N. (1984). Caring: A feminine approach to ethics and moral education. University of California Press.

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford University Press.

Norton, B. G. (1984). Environmental ethics and weak anthropocentrism. Environmental Ethics, 6(2), 131–148.

Pearce, D. W., Markandya, A., & Barbier, E. B. (1989). Blueprint for a green economy. Earthscan.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of nature. Routledge.

Plumwood, V. (2002). Environmental culture: The ecological crisis of reason. Routledge.

Rasmussen, L. L. (1996). Earth community, Earth ethics. Orbis Books.

Rasmussen, L. L. (2012). Earth-honoring faith: Religious ethics in a new key. Oxford University Press.

Regan, T. (1983). The case for animal rights. University of California Press.

Rolston, H., III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Rolston, H., III. (1989). Philosophy gone wild: Essays in environmental ethics. Prometheus Books.

Rolston, H., III. (1999). Genes, genesis and God: Values and their origins in natural and human history. Cambridge University Press.

Routley, R. (Sylvan, R.). (1973). Is there a need for a new, an environmental, ethic? In Proceedings of the XV World Congress of Philosophy (pp. 44–46).

Sachs, W. (Ed.). (2010). The development dictionary: A guide to knowledge as power. Zed Books.

Sagoff, M. (1975). On preserving the natural environment. Yale Law Journal, 84(2), 205–207.

Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the postmodern. Zed Books.

Schlosberg, D. (2007). Defining environmental justice: Theories, movements, and nature. Oxford University Press.

Schumacher, E. F. (1973). Small is beautiful: Economics as if people mattered. Harper & Row.

Scruton, R. (2012). Green philosophy: How to think seriously about the planet. Oxford University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Knopf.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Spash, C. L. (2010). The brave new world of carbon trading. New Political Economy, 15(2), 169–195.

Sylvan, R. (Routley, R.). (1973). Is there a need for a new, an environmental, ethic? In Proceedings of the XV World Congress of Philosophy (pp. 44–46).

Taylor, D. (2014). Toxic communities: Environmental racism, industrial pollution, and residential mobility. NYU Press.

Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A theory of environmental ethics. Princeton University Press.

Thunberg, G. (2023). The climate book. Penguin Press.

Tu, W. (1989). Centrality and commonality: An essay on Confucian religiousness. SUNY Press.

Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology and religion. Island Press.

Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Scribner.

White, L., Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.

World Commission on Environment and Development (WCED). (1987). Our common future. Oxford University Press.

Zimmerman, M. (1994). Contestating Earth’s future: Radical ecology and postmodernity. University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar