Jumat, 10 Oktober 2025

Sejarah Filsafat Modern: Konsep, Tokoh, Aliran, Kritik, dan Relevansi Kontemporer

Sejarah Filsafat Modern

Konsep, Tokoh, Aliran, Kritik, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.

Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif perjalanan filsafat modern dari abad ke-16 hingga abad ke-19, dengan menyoroti latar historis, konsep-konsep dasar, tokoh-tokoh utama, serta aliran-aliran yang membentuknya. Dimulai dari fondasi rasionalisme dan empirisme, artikel ini menelusuri kontribusi Pencerahan sebagai gerakan intelektual yang menekankan rasionalitas, kebebasan, dan kemajuan. Selanjutnya, dibahas sintesis Kantian yang mendamaikan rasionalisme dan empirisme, serta perkembangan idealisme Jerman melalui Fichte, Schelling, dan Hegel.

Perhatian juga diberikan pada aliran-aliran pasca-idealisme seperti positivisme, utilitarianisme, dan Marxisme yang menggeser orientasi filsafat dari spekulasi sistematis menuju pendekatan empiris dan praksis sosial. Artikel ini kemudian mengulas reaksi terhadap modernitas melalui romantisisme, eksistensialisme awal, dan kritik Nietzsche terhadap moralitas serta rasionalitas. Tidak hanya terbatas pada Eropa, kajian ini menyoroti pengaruh filsafat modern di dunia Islam, Asia, dan Afrika, serta dampaknya terhadap pendidikan, politik, dan kebudayaan global.

Artikel ini juga memaparkan kritik dan reinterpretasi kontemporer terhadap modernitas, baik dari postmodernisme, teori kritis, feminisme, maupun filsafat ekologi. Refleksi filosofis akhirnya menegaskan bahwa filsafat modern adalah warisan ambivalen—membawa kemajuan rasional dan emansipasi, tetapi juga memunculkan krisis alienasi, nihilisme, dan dominasi teknokratis. Keseluruhan kajian ini menunjukkan bahwa filsafat modern tetap relevan sebagai fondasi berpikir kritis dan reflektif, sekaligus sebagai undangan untuk merekonstruksi horizon pemahaman manusia secara lebih inklusif, plural, dan manusiawi.

Kata Kunci: Filsafat modern; rasionalisme; empirisme; Pencerahan; idealisme Jerman; pasca-idealisme; kritik modernitas; postmodernisme; globalisasi pemikiran; refleksi filosofis.


PEMBAHASAN

Konsep, Tokoh, Aliran, Kritik, dan Relevansi Filsafat Modern


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Kajian

Filsafat modern muncul sebagai respons atas keterbatasan filsafat abad pertengahan yang sangat dipengaruhi oleh dogma agama dan otoritas gereja. Periode ini ditandai oleh upaya manusia untuk menegaskan otonomi rasio, kebebasan berpikir, dan pencarian dasar-dasar pengetahuan yang independen dari tradisi skolastik. Tonggak peralihan menuju modernitas dapat dilihat sejak masa Renaisans, Reformasi, dan Revolusi Ilmiah, yang membuka ruang baru bagi kebebasan intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan empiris.¹

Gerakan filsafat modern berakar pada keyakinan bahwa akal manusia memiliki kemampuan untuk memahami realitas dan mengatur kehidupan sosial-politik.² Prinsip-prinsip seperti rasionalisme, empirisme, dan kritik terhadap otoritas tradisional menjadi fondasi yang menandai lahirnya modernitas dalam filsafat. Selain itu, pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-17 dan 18 mempertegas semangat kepercayaan pada kemajuan, kebebasan, dan universalisme nilai-nilai manusia.³

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan konteks historis tersebut, kajian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan fundamental:

1)                  Apa yang membedakan filsafat modern dengan filsafat klasik dan abad pertengahan?

2)                  Bagaimana perkembangan filsafat modern memengaruhi kerangka berpikir masyarakat Eropa dan dunia?

3)                  Apa kontribusi utama tokoh-tokoh filsafat modern terhadap ilmu pengetahuan, politik, dan kebudayaan?

4)                  Bagaimana relevansi filsafat modern dalam menghadapi problem kontemporer seperti krisis moral, sosial, dan epistemologis?

1.3.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menyajikan pemahaman sistematis tentang konsep, tokoh, dan aliran filsafat modern.

2)                  Menganalisis pengaruh filsafat modern terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, politik, dan kebudayaan.

3)                  Mengkritisi warisan filsafat modern dari perspektif kontemporer.

4)                  Memberikan refleksi filosofis mengenai relevansi filsafat modern dalam konteks global saat ini.

1.4.       Signifikansi Kajian

Pembahasan tentang sejarah filsafat modern penting bukan hanya untuk memahami perkembangan sejarah pemikiran Barat, melainkan juga untuk membangun kerangka kritis dalam melihat perkembangan ilmu dan budaya.⁴ Dengan mengkaji filsafat modern, kita dapat memahami akar rasionalitas modern yang melahirkan revolusi ilmiah, demokrasi liberal, kapitalisme, hingga kritik-kritik sosial radikal.⁵ Lebih jauh, kajian ini memberi kontribusi terhadap dialog lintas budaya dan filsafat global, di mana modernitas Barat berinteraksi dengan tradisi filsafat lain, termasuk Islam, Asia, dan Afrika.⁶


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 275–280.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), 12–15.

[3]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 3–7.

[4]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 245–250.

[5]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: W. W. Norton & Company, 1996), 21–23.

[6]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: MIT Press, 1990), 45–47.


2.           Konsep Dasar Filsafat Modern

2.1.       Definisi dan Karakteristik Umum

Filsafat modern merupakan fase perkembangan pemikiran filsafat yang muncul pada abad ke-16 hingga 18, sebagai kelanjutan dari transisi intelektual Renaisans, Reformasi, dan Revolusi Ilmiah. Filsafat ini dicirikan oleh penekanan pada otonomi rasio, kebebasan individu, dan kepercayaan bahwa manusia mampu menemukan dasar pengetahuan melalui metode kritis.¹ Berbeda dengan filsafat abad pertengahan yang terikat pada otoritas gereja, filsafat modern berusaha menegakkan prinsip-prinsip rasional yang dapat diverifikasi melalui pengalaman dan argumentasi logis.²

2.2.       Rasionalisme dan Empirisme sebagai Pilar Epistemologi

Salah satu ciri fundamental filsafat modern adalah munculnya dua aliran besar dalam epistemologi: rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme menekankan bahwa akal budi merupakan sumber utama pengetahuan, sebagaimana ditegaskan Descartes dengan prinsip cogito ergo sum yang menjadi dasar kepastian pengetahuan.³ Di sisi lain, empirisme, yang dikembangkan oleh Locke, Berkeley, dan Hume, menegaskan bahwa seluruh pengetahuan berakar pada pengalaman indrawi.⁴ Pertentangan dan dialog antara kedua aliran ini menjadi fondasi utama perkembangan filsafat modern, hingga akhirnya disintesiskan oleh Kant dalam filsafat kritisnya.⁵

2.3.       Kritik terhadap Otoritas Tradisional

Filsafat modern juga ditandai oleh kritik terhadap otoritas tradisional, baik dalam agama maupun politik. Kaum filsuf menuntut kebebasan berpikir serta menolak dogmatisme yang tidak dapat dibuktikan secara rasional. Hal ini tercermin dalam semangat Pencerahan yang menekankan sapere aude—“beranilah berpikir sendiri,” sebagaimana dipopulerkan oleh Immanuel Kant.⁶ Dengan demikian, filsafat modern bukan sekadar sistem pemikiran, tetapi juga sebuah proyek emansipasi intelektual yang berupaya membebaskan manusia dari belenggu ketidakdewasaan berpikir.⁷

2.4.       Prinsip Individualisme dan Subjektivitas

Selain rasionalitas, filsafat modern menegaskan nilai individualisme. Subjek manusia dianggap sebagai pusat pengalaman dan pengetahuan. Hal ini terlihat dalam karya Descartes, Locke, maupun Rousseau yang menekankan kebebasan dan hak-hak dasar manusia.⁸ Konsep subjektivitas ini kemudian berkembang menjadi dasar bagi filsafat politik modern, etika, dan teori sosial. Dengan kata lain, filsafat modern meletakkan subjek sebagai titik tolak filsafat sekaligus motor perubahan sosial.⁹

2.5.       Perbedaan dengan Filsafat Klasik dan Abad Pertengahan

Jika filsafat klasik (Yunani) berorientasi pada kosmos sebagai pusat refleksi, dan filsafat abad pertengahan pada harmoni antara iman dan akal, maka filsafat modern menitikberatkan pada manusia sebagai subjek rasional yang otonom.¹⁰ Perbedaan ini menandai lahirnya paradigma baru yang menekankan metode kritis, analitis, dan sistematis dalam mencari pengetahuan.¹¹


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 275.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 245–246.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), 55–57.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 43–45.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 136–140.

[6]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” (1784), dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11.

[7]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 9–11.

[8]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–52.

[9]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 143–145.

[10]             Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 3–5.

[11]             Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: W. W. Norton & Company, 1996), 22–23.


3.           Latar Historis Filsafat Modern

3.1.       Renaisans: Humanisme dan Kebangkitan Klasik

Periode Renaisans (abad ke-14 hingga ke-16) menjadi salah satu fondasi utama lahirnya filsafat modern. Gerakan intelektual ini ditandai dengan semangat ad fontes—kembali kepada sumber-sumber klasik Yunani dan Romawi—yang membangkitkan kembali minat pada seni, sains, dan filsafat kuno.¹ Humanisme Renaisans menempatkan manusia sebagai pusat perhatian intelektual, berbeda dari teosentrisme abad pertengahan. Pemikiran tokoh seperti Francesco Petrarca (1304–1374) dan Giovanni Pico della Mirandola (1463–1494) menekankan martabat dan kebebasan manusia sebagai makhluk rasional.²

Selain itu, perkembangan seni dan ilmu pengetahuan dalam era Renaisans, seperti karya Leonardo da Vinci dan Michelangelo, memperlihatkan pergeseran cara pandang dari dunia transenden menuju dunia empiris dan humanistik.³ Dengan demikian, Renaisans membuka jalan bagi pemisahan filsafat dari teologi skolastik dan meletakkan fondasi bagi pendekatan ilmiah yang lebih kritis.

3.2.       Reformasi: Pergeseran Otoritas Religius

Gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori Martin Luther (1483–1546) juga memberi pengaruh signifikan terhadap lahirnya filsafat modern. Reformasi menggugat otoritas absolut Gereja Katolik dan menekankan kebebasan individu dalam menafsirkan Kitab Suci.⁴ Prinsip sola scriptura dan sola fide mendorong lahirnya kesadaran baru mengenai otonomi pribadi, kebebasan berkeyakinan, serta tanggung jawab individual dalam ranah spiritual.

Dampak intelektual Reformasi tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga filosofis. Dengan melemahkan dominasi Gereja atas kehidupan intelektual, Reformasi membuka ruang bagi filsafat untuk berkembang secara independen.⁵ Akibatnya, muncul kecenderungan untuk menilai segala sesuatu berdasarkan akal budi dan pengalaman manusia, bukan sekadar otoritas dogmatis.

3.3.       Revolusi Ilmiah: Metode Baru dalam Pengetahuan

Revolusi Ilmiah pada abad ke-16 dan 17 merupakan tonggak penting yang secara langsung memengaruhi filsafat modern. Penemuan Nicolaus Copernicus (1473–1543) tentang heliosentrisme menantang pandangan geosentris yang diwariskan Aristoteles dan didukung Gereja.⁶ Perkembangan ini dilanjutkan oleh Galileo Galilei (1564–1642) dengan eksperimen mekanikanya, Johannes Kepler (1571–1630) dengan hukum gerak planet, dan Isaac Newton (1643–1727) dengan teori gravitasi universalnya.⁷

Revolusi Ilmiah menegaskan pentingnya observasi, eksperimen, dan penggunaan matematika sebagai dasar ilmu pengetahuan. Prinsip ini menjadi inspirasi bagi filsafat modern untuk mengembangkan metode epistemologis baru. Tokoh seperti Francis Bacon (1561–1626) memperkenalkan Novum Organum yang menekankan metode induktif, sementara René Descartes (1596–1650) mengembangkan metode deduktif melalui keragu-raguan metodis.⁸ Dari sinilah filsafat modern semakin terikat dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga lahir pemikiran yang lebih sistematis dan kritis dalam menafsirkan realitas.

3.4.       Transformasi Sosial, Politik, dan Kultural

Selain faktor intelektual, perubahan sosial dan politik juga berperan besar dalam membentuk filsafat modern. Kebangkitan negara-bangsa (nation-state) di Eropa, perkembangan ekonomi kapitalis, serta penemuan dunia baru melalui ekspedisi kolonial menciptakan horizon baru dalam filsafat.⁹ Pemikiran politik modern, sebagaimana dirumuskan oleh Thomas Hobbes (1588–1679) dalam Leviathan dan John Locke (1632–1704) dalam Two Treatises of Government, berakar pada konteks transformasi ini. Mereka menekankan pentingnya kontrak sosial, hak-hak individu, serta dasar legitimasi kekuasaan yang rasional.¹⁰

Di sisi lain, perkembangan teknologi percetakan sejak abad ke-15 mempercepat penyebaran ide-ide baru.¹¹ Buku-buku filsafat, sains, dan politik dapat diakses lebih luas, sehingga mempercepat terbentuknya komunitas intelektual lintas negara. Perubahan ini mengubah wajah filsafat menjadi lebih publik, terbuka, dan demokratis dalam penyebaran gagasan.


Sintesis Historis

Secara keseluruhan, latar historis filsafat modern dibentuk oleh tiga gelombang besar: Renaisans dengan humanisme dan kebangkitan klasik, Reformasi dengan kebebasan religius, serta Revolusi Ilmiah dengan metode empiris-rasional baru. Ditambah dengan transformasi sosial dan politik, semua faktor ini melahirkan iklim intelektual yang menuntut paradigma baru dalam filsafat.¹² Dengan demikian, filsafat modern tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil dialektika panjang antara tradisi klasik, otoritas abad pertengahan, dan dinamika zaman modern awal.


Footnotes

[1]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 23–25.

[2]                Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness: Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 134–140.

[3]                Jacob Burckhardt, The Civilization of the Renaissance in Italy (New York: Modern Library, 1990), 55–58.

[4]                Heiko A. Oberman, The Dawn of the Reformation (Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 47–50.

[5]                Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction (Oxford: Blackwell, 1999), 105–107.

[6]                Nicolaus Copernicus, On the Revolutions of the Heavenly Spheres, trans. Charles Glenn Wallis (Amherst: Prometheus Books, 1995), 37–39.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Copernican Revolution (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 215–220.

[8]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H. Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), 95–100.

[9]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 211–215.

[10]             John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 123–126.

[11]             Elizabeth Eisenstein, The Printing Press as an Agent of Change (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 45–49.

[12]             Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 287–289.


4.           Rasionalisme

4.1.       Konsep Dasar Rasionalisme

Rasionalisme merupakan salah satu aliran epistemologis utama dalam filsafat modern yang menekankan bahwa sumber pengetahuan sejati terletak pada akal budi (ratio) manusia.¹ Aliran ini muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan atas otoritas tradisional abad pertengahan serta sebagai upaya untuk membangun fondasi pengetahuan yang pasti dan tidak dapat diragukan. Rasionalisme menegaskan bahwa ada kebenaran-kebenaran yang dapat diperoleh melalui deduksi logis tanpa harus bergantung sepenuhnya pada pengalaman indrawi.²

Ciri khas rasionalisme terletak pada tiga prinsip utama: (1) keyakinan pada ide bawaan (innate ideas), (2) kepercayaan pada kepastian matematika sebagai model pengetahuan, dan (3) metode deduksi sebagai sarana utama mencapai kebenaran.³ Dengan demikian, rasionalisme berusaha membangun sistem filsafat yang koheren, universal, dan dapat diverifikasi oleh rasio manusia.

4.2.       René Descartes: Fondasi Rasionalisme Modern

René Descartes (1596–1650) dianggap sebagai bapak rasionalisme modern. Dalam karyanya Meditationes de Prima Philosophia (1641), ia mengajukan metode keragu-raguan metodis (methodical doubt) untuk menemukan dasar pengetahuan yang tidak dapat digoyahkan.⁴ Dari metode ini lahirlah prinsip terkenal cogito ergo sum (“aku berpikir, maka aku ada”), yang menjadi titik tolak epistemologi modern.⁵

Bagi Descartes, akal budi manusia memiliki ide bawaan, termasuk gagasan tentang Tuhan dan kebenaran matematis. Pengetahuan sejati, menurutnya, diperoleh bukan dari pengalaman yang berubah-ubah, tetapi dari ide-ide yang jelas dan terpilah (clear and distinct ideas).⁶ Pandangan ini memengaruhi bukan hanya epistemologi, tetapi juga ontologi, di mana Descartes membedakan antara substansi berpikir (res cogitans) dan substansi yang terbentang (res extensa).⁷

4.3.       Baruch Spinoza: Rasionalisme Monistik

Tokoh penting lain dalam rasionalisme adalah Baruch Spinoza (1632–1677). Dalam karyanya Ethica (1677), Spinoza mengembangkan sistem filsafat yang bersifat monistik, yakni bahwa segala sesuatu merupakan manifestasi dari satu substansi tunggal yang ia sebut Tuhan atau Alam (Deus sive Natura).⁸

Berbeda dari Descartes yang membedakan dua substansi, Spinoza menolak dualisme dan menegaskan bahwa semua realitas dapat dipahami melalui hukum rasional yang niscaya. Pengetahuan tertinggi, menurutnya, diperoleh melalui intuisi intelektual yang memungkinkan manusia memahami dunia sebagai kesatuan yang koheren.⁹ Spinoza juga menekankan determinisme: segala sesuatu terjadi secara niscaya menurut hukum alam, sehingga kebebasan sejati berarti memahami keteraturan rasional dunia.¹⁰

4.4.       Gottfried Wilhelm Leibniz: Harmoni Pradestinasional

Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716) melanjutkan tradisi rasionalisme dengan pendekatan metafisik yang khas. Ia mengajukan konsep monad, yaitu substansi sederhana, immaterial, dan aktif yang menjadi dasar realitas.¹¹ Setiap monad merupakan pusat persepsi unik yang mencerminkan keseluruhan kosmos dari perspektifnya sendiri.

Leibniz juga terkenal dengan doktrin pre-established harmony, yaitu bahwa setiap monad, meskipun independen, tetap selaras satu sama lain karena telah diatur oleh Tuhan sejak awal penciptaan.¹² Dengan demikian, dunia ini merupakan “yang terbaik dari segala kemungkinan dunia” (the best of all possible worlds), meskipun tampak mengandung penderitaan dan ketidaksempurnaan.¹³

4.5.       Kontribusi Rasionalisme bagi Filsafat Modern

Rasionalisme memberi kontribusi besar dalam membangun kerangka filsafat modern. Pertama, ia memperkenalkan standar kepastian pengetahuan yang berbasis pada matematika dan logika. Kedua, ia menekankan kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran universal melalui akal budi, terlepas dari pengalaman empiris. Ketiga, ia membuka jalan bagi filsafat sistematis yang berusaha menjelaskan realitas secara menyeluruh dan koheren.¹⁴

4.6.       Kritik terhadap Rasionalisme

Meskipun berpengaruh besar, rasionalisme tidak luput dari kritik. Empirisis seperti John Locke dan David Hume menolak gagasan ide bawaan dan menegaskan bahwa semua pengetahuan berakar pada pengalaman.¹⁵ Selain itu, rasionalisme dianggap terlalu menekankan kepastian deduktif sehingga cenderung mengabaikan kompleksitas realitas empiris. Kritik paling mendalam datang dari Immanuel Kant, yang berusaha mensintesiskan rasionalisme dan empirisme melalui filsafat kritisnya.¹⁶

Namun, terlepas dari kritik-kritik tersebut, rasionalisme tetap menjadi fondasi penting bagi filsafat modern, khususnya dalam mengembangkan keyakinan pada kemampuan akal budi manusia serta dalam membentuk paradigma ilmu pengetahuan yang rasional dan sistematis.¹⁷


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), 13–15.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 285–287.

[3]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 259–261.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.

[5]                Descartes, Meditations, 24.

[6]                Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 207–210.

[7]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Oxford University Press, 1995), 144–147.

[8]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), 3–5.

[9]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112–115.

[10]             Spinoza, Ethics, 67–70.

[11]             Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), 47–49.

[12]             Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. Ariew and Garber (Indianapolis: Hackett, 1989), 56–58.

[13]             Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge, 2005), 89–92.

[14]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 264–266.

[15]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 43–44.

[16]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 124–127.

[17]             Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 33–36.


5.           Empirisme

5.1.       Konsep Dasar Empirisme

Empirisme merupakan aliran filsafat modern yang menegaskan bahwa seluruh pengetahuan berakar pada pengalaman indrawi.¹ Berbeda dengan rasionalisme yang menekankan peran akal dan ide bawaan, empirisme berargumen bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa (lembaran kosong), dan hanya melalui pengalamanlah pengetahuan dapat diperoleh.² Dengan demikian, empirisme menekankan observasi, eksperimen, dan induksi sebagai metode utama dalam memperoleh kebenaran.

Aliran ini berkembang di Inggris pada abad ke-17 dan 18, sehingga sering disebut “empirisme Inggris.” Fokus utamanya adalah epistemologi, yakni bagaimana manusia memperoleh, memvalidasi, dan membatasi pengetahuannya.³

5.2.       John Locke: Tabula Rasa dan Ide-ide

John Locke (1632–1704) adalah tokoh sentral dalam empirisme. Dalam An Essay Concerning Human Understanding (1690), ia menolak gagasan ide bawaan dan mengajukan teori tabula rasa.⁴ Menurut Locke, seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman yang terbagi dua: (1) sensasi, yaitu pengalaman indrawi eksternal; dan (2) refleksi, yaitu pengalaman internal atas aktivitas pikiran.⁵

Locke membedakan antara kualitas primer (seperti bentuk, ukuran, gerakan) yang objektif, dan kualitas sekunder (seperti warna, rasa, bau) yang subjektif.⁶ Pandangan ini membuka ruang bagi pemisahan antara realitas objektif dan persepsi subjektif, suatu gagasan yang kelak memengaruhi filsafat ilmu modern.

5.3.       George Berkeley: Immaterialisme

George Berkeley (1685–1753) melanjutkan tradisi empirisme dengan penekanan radikal terhadap peran persepsi. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), ia berpendapat bahwa “ada” berarti “dipersepsi” (esse est percipi).⁷ Dengan kata lain, keberadaan benda bergantung pada fakta bahwa benda tersebut dipersepsi oleh subjek.

Bagi Berkeley, gagasan tentang materi yang ada secara independen dari persepsi adalah ilusi metafisik. Semua yang ada adalah ide dalam pikiran, dan keberlangsungan realitas dijamin oleh persepsi Tuhan yang senantiasa hadir.⁸ Konsep immaterialisme Berkeley merupakan kritik terhadap materialisme sekaligus bentuk konsistensi dalam mengembangkan prinsip empiris: bahwa kita hanya mengetahui apa yang kita alami secara langsung.

5.4.       David Hume: Skeptisisme Empiris

David Hume (1711–1776) merupakan puncak perkembangan empirisme. Dalam A Treatise of Human Nature (1739–1740), ia mengajukan analisis mendalam mengenai pengalaman manusia. Hume membedakan antara impressions (kesan indrawi yang kuat dan hidup) serta ideas (salinan lemah dari kesan).⁹

Hume mengkritik gagasan kausalitas yang selama ini diterima sebagai hubungan niscaya. Menurutnya, yang kita sebut sebab-akibat hanyalah kebiasaan pikiran yang terbentuk dari pengulangan pengalaman.¹⁰ Dengan demikian, kepastian kausalitas tidak dapat dibuktikan secara rasional maupun empiris, melainkan merupakan konstruksi psikologis. Pandangan ini mengguncang fondasi filsafat modern, sekaligus membuka jalan bagi filsafat kritis Immanuel Kant.¹¹

Selain itu, Hume juga menolak validitas argumen teologis tradisional, seperti bukti kosmologis dan teleologis tentang keberadaan Tuhan. Ia berpendapat bahwa keyakinan religius lebih didasarkan pada kebiasaan dan emosi daripada bukti empiris.¹²

5.5.       Kontribusi Empirisme terhadap Filsafat Modern

Empirisme memberikan kontribusi penting bagi filsafat modern. Pertama, ia menekankan pentingnya metode ilmiah berbasis observasi dan eksperimen, yang kelak melahirkan filsafat ilmu. Kedua, empirisme mengajarkan skeptisisme sehat terhadap klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi. Ketiga, dengan analisisnya mengenai batas pengetahuan manusia, empirisme memperluas ruang kritis dalam filsafat modern.¹³

5.6.       Kritik terhadap Empirisme

Meski berpengaruh besar, empirisme juga menghadapi kritik serius. Rasionalis menilai empirisme terlalu membatasi pengetahuan pada pengalaman indrawi, sehingga mengabaikan kemampuan akal budi untuk menemukan prinsip universal.¹⁴ Kant menilai bahwa Hume, dengan skeptisisme ekstremnya, justru “membangunkan” dirinya dari “tidur dogmatis,” karena memaksa ia merumuskan sintesis baru antara rasionalisme dan empirisme melalui filsafat kritis.¹⁵

Selain itu, empirisme cenderung terjebak pada problem relativitas persepsi: jika pengetahuan sepenuhnya bergantung pada pengalaman subjektif, bagaimana mungkin kita mencapai kebenaran objektif? Pertanyaan ini tetap menjadi perdebatan dalam epistemologi hingga saat ini.¹⁶


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 292–294.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 43–45.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 5, Modern Philosophy: The British Philosophers from Hobbes to Hume (New York: Image Books, 1994), 21–23.

[4]                Locke, Essay, 59–61.

[5]                Locke, Essay, 104–107.

[6]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 273–275.

[7]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 25–27.

[8]                Stephen H. Daniel, George Berkeley and Early Modern Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2006), 65–67.

[9]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000), 1–3.

[10]             Hume, Treatise, 173–176.

[11]             Paul Russell, The Riddle of Hume’s Treatise: Skepticism, Naturalism, and Irreligion (Oxford: Oxford University Press, 2008), 121–125.

[12]             Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard H. Popkin (Indianapolis: Hackett, 1980), 42–45.

[13]             Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 88–91.

[14]             Copleston, History of Philosophy, Vol. 4, 112–113.

[15]             Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Gary Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 7–9.

[16]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 277–278.


6.           Pencerahan (Enlightenment)

6.1.       Konsep dan Semangat Pencerahan

Pencerahan, atau Enlightenment, adalah gerakan intelektual yang berkembang pada abad ke-17 dan 18 di Eropa, ditandai oleh kepercayaan pada rasio, kebebasan, dan kemajuan manusia.¹ Moto terkenal dari gerakan ini adalah sapere aude (“beranilah berpikir sendiri”), yang dirumuskan oleh Immanuel Kant dalam esainya tahun 1784.² Pencerahan bukan sekadar aliran filsafat, melainkan sebuah proyek kultural yang bertujuan membebaskan manusia dari ketidakdewasaan intelektual dan belenggu otoritas tradisional, terutama Gereja dan monarki absolut.

Gerakan ini menekankan bahwa akal manusia, bila digunakan secara bebas, mampu membawa masyarakat menuju kemajuan moral, sosial, dan politik.³ Prinsip-prinsip kebebasan berpikir, toleransi beragama, dan hak-hak individu menjadi bagian integral dari semangat Pencerahan.

6.2.       Rasionalitas dan Ilmu Pengetahuan

Pencerahan erat kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Revolusi Ilmiah sebelumnya menyediakan kerangka metodologis bagi filsuf Pencerahan untuk menekankan pentingnya observasi, eksperimen, dan hukum-hukum rasional. Tokoh seperti Francis Bacon dan Isaac Newton dipandang sebagai teladan dalam menggabungkan rasio dan pengalaman untuk memahami alam.⁴

Filsuf Pencerahan percaya bahwa hukum alam tidak hanya berlaku pada fenomena fisik, tetapi juga pada masyarakat manusia.⁵ Oleh karena itu, mereka berusaha menemukan prinsip-prinsip rasional yang dapat diterapkan pada etika, politik, dan hukum, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan rasional.

6.3.       Tokoh-Tokoh Utama Pencerahan

Pencerahan melahirkan banyak pemikir besar yang menyumbangkan gagasan fundamental bagi perkembangan filsafat modern:

·                     Voltaire (1694–1778):

Kritikus tajam terhadap intoleransi agama dan otoritarianisme. Ia memperjuangkan kebebasan berpendapat, toleransi, dan reformasi sosial.⁶

·                     Jean-Jacques Rousseau (1712–1778):

Dalam The Social Contract (1762), ia mengajukan gagasan tentang kedaulatan rakyat dan volonté générale (kehendak umum) sebagai dasar legitimasi politik.⁷ Rousseau juga menekankan pentingnya pendidikan yang alami dalam Émile.

·                     Montesquieu (1689–1755):

Melalui The Spirit of the Laws (1748), ia memperkenalkan prinsip pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang sangat berpengaruh pada teori politik modern.⁸

·                     Denis Diderot (1713–1784):

Penyunting utama Encyclopédie, proyek besar yang bertujuan menyebarkan pengetahuan secara luas dan menantang otoritas intelektual tradisional.⁹

·                     Immanuel Kant (1724–1804):

Meskipun karyanya yang kritis menandai fase berikutnya, esai “What is Enlightenment?” menegaskan semangat kebebasan berpikir yang menjadi inti Pencerahan.¹⁰

6.4.       Dampak Sosial dan Politik

Gerakan Pencerahan memiliki pengaruh luas terhadap kehidupan sosial dan politik Eropa. Gagasan tentang kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat menjadi inspirasi bagi Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789).¹¹ Selain itu, prinsip sekularisasi yang berkembang pada masa ini mendorong pemisahan antara agama dan negara, serta menumbuhkan toleransi beragama di berbagai wilayah Eropa.

Pencerahan juga membawa perubahan dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Teori laissez-faire dari Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) menekankan kebebasan pasar, sementara gagasan pendidikan universal yang digagas oleh Rousseau dan Condorcet memperkuat keyakinan akan peran rasio dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.¹²

6.5.       Kritik terhadap Pencerahan

Meskipun membawa semangat kebebasan dan kemajuan, Pencerahan juga mendapat kritik. Pertama, gerakan ini dianggap terlalu optimistis terhadap kemampuan rasio manusia, sehingga mengabaikan dimensi irasional, emosional, dan spiritual.¹³ Kedua, kolonialisme Eropa sering menggunakan retorika Pencerahan tentang “kemajuan” untuk melegitimasi dominasi atas bangsa lain.¹⁴

Selain itu, pemikiran Rousseau menunjukkan paradoks internal dalam Pencerahan: sementara banyak filsuf menekankan individualisme dan kemajuan teknologi, Rousseau mengingatkan bahwa kemajuan peradaban juga bisa mengasingkan manusia dari alam dan merusak moralitas.¹⁵ Kritik-kritik ini menjadi dasar bagi romantisisme dan filsafat postmodern, yang menyoroti keterbatasan proyek rasionalitas modern.


Sintesis Historis

Pencerahan merupakan momen puncak filsafat modern, di mana rasionalisme dan empirisme menemukan bentuk sosial-politiknya dalam sebuah gerakan intelektual global.¹⁶ Semangat Pencerahan melahirkan revolusi politik, ekonomi, dan kultural yang mengubah wajah dunia Barat dan berdampak hingga ke seluruh dunia. Meskipun tidak lepas dari kelemahan dan kontradiksi, Pencerahan tetap menjadi tonggak sejarah dalam perkembangan filsafat modern, yang menegaskan nilai kebebasan, rasionalitas, dan martabat manusia sebagai dasar peradaban modern.


Footnotes

[1]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation, Vol. 1: The Rise of Modern Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1996), 3–6.

[2]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What Is Enlightenment?” (1784), dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11.

[3]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 7–10.

[4]                Steven Shapin, The Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 92–95.

[5]                Dorinda Outram, The Enlightenment (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 45–47.

[6]                Voltaire, Philosophical Dictionary, trans. Theodore Besterman (London: Penguin, 1972), 33–36.

[7]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–52.

[8]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–157.

[9]                Denis Diderot, Encyclopédie, ed. John Lough (New York: Pergamon, 1968), 11–14.

[10]             Kant, “What Is Enlightenment?”, 14–16.

[11]             Robert Darnton, The Business of Enlightenment: A Publishing History of the Encyclopédie (Cambridge: Harvard University Press, 1979), 87–90.

[12]             Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 115–118.

[13]             Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–5.

[14]             Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton: Princeton University Press, 2003), 21–23.

[15]             Jean-Jacques Rousseau, Discourse on the Sciences and Arts (1750), dalam The Discourses and Other Early Political Writings, ed. Victor Gourevitch (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–15.

[16]             Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 303–305.


7.           Sintesis Kantian dan Idealism Jerman

7.1.       Latar Belakang: Krisis antara Rasionalisme dan Empirisme

Perkembangan filsafat modern hingga abad ke-18 ditandai oleh pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalis menegaskan bahwa pengetahuan berakar pada akal budi dan ide bawaan, sedangkan kaum empiris meyakini pengalaman indrawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.¹ Ketegangan ini menimbulkan problem epistemologis serius, terutama setelah skeptisisme David Hume mengguncang fondasi kausalitas dan kepastian pengetahuan.² Dalam konteks inilah Immanuel Kant hadir dengan proyek filsafat kritisnya, yang berupaya mendamaikan rasionalisme dan empirisme melalui sintesis transendental.

7.2.       Immanuel Kant: Kritik atas Rasio Murni

Immanuel Kant (1724–1804) melalui karyanya Critique of Pure Reason (1781; edisi kedua 1787) mengajukan revolusi kopernikan dalam filsafat.³ Ia berargumen bahwa pengetahuan tidak semata-mata ditentukan oleh objek, melainkan juga oleh struktur apriori dalam subjek. Menurut Kant, pengalaman indrawi memang memberikan materi pengetahuan, tetapi bentuk pengetahuan ditentukan oleh kategori-kategori apriori akal budi.⁴

Kant membedakan antara fenomena (realitas sebagaimana tampak pada pengalaman) dan noumena (realitas pada dirinya sendiri yang tidak dapat diakses manusia).⁵ Dengan demikian, ia menolak klaim metafisik spekulatif sekaligus mengkritisi skeptisisme ekstrem. Sintesis Kant menunjukkan bahwa pengetahuan sahih merupakan hasil kerja sama antara rasio dan pengalaman.⁶

Selain itu, dalam Critique of Practical Reason (1788), Kant menekankan otonomi moral manusia. Prinsip kategoris imperatif (categorical imperative) menuntut bahwa tindakan moral harus bersifat universal, yakni dapat dijadikan hukum bagi semua orang.⁷ Dengan pemikiran ini, Kant meletakkan dasar bagi etika deontologis modern dan memberikan kontribusi signifikan dalam filsafat politik dan hukum.

7.3.       Fichte: Subjektivitas Radikal

Johann Gottlieb Fichte (1762–1814) melanjutkan filsafat kritis Kant dengan menekankan peran aktif subjek dalam membentuk realitas.⁸ Bagi Fichte, ego absolut adalah prinsip utama segala pengetahuan dan realitas. Dunia objektif bukanlah sesuatu yang mandiri, melainkan konstruksi dari aktivitas subjek.⁹ Fichte menekankan kebebasan dan kreativitas manusia, sehingga filsafatnya memiliki dimensi praktis yang erat kaitannya dengan kebebasan politik dan tanggung jawab etis.

7.4.       Schelling: Identitas Alam dan Roh

Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775–1854) berusaha mengatasi dualisme Kantian antara subjek dan objek dengan filsafat identitas.¹⁰ Menurut Schelling, alam dan roh pada dasarnya adalah manifestasi dari prinsip yang sama. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan hakiki antara dunia objektif dan subjektif; keduanya adalah aspek dari identitas mutlak.¹¹

Schelling juga mengembangkan filsafat alam yang menekankan kesatuan organik dunia. Pandangan ini memengaruhi romantisisme Jerman, seni, serta pemikiran ekologis pada periode berikutnya.¹²

7.5.       Hegel: Dialektika dan Roh Absolut

Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831) merupakan puncak idealisme Jerman. Dalam karyanya Phenomenology of Spirit (1807), Hegel menguraikan proses perkembangan kesadaran menuju pengetahuan absolut melalui dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis.¹³

Bagi Hegel, realitas adalah manifestasi dari Roh Absolut (Geist) yang berkembang secara historis.¹⁴ Sejarah manusia dipahami sebagai proses rasional menuju kebebasan yang lebih tinggi. Negara modern, menurutnya, adalah perwujudan tertinggi kebebasan etis, karena mengintegrasikan kebebasan individu dalam kerangka hukum dan institusi sosial.¹⁵

Hegel juga menekankan bahwa kontradiksi bukanlah kelemahan, melainkan motor penggerak perkembangan ide dan sejarah. Filsafatnya memberikan kerangka spekulatif yang sangat luas, memengaruhi berbagai tradisi berikutnya, mulai dari Marxisme hingga eksistensialisme.¹⁶

7.6.       Kontribusi Idealism Jerman

Idealism Jerman memberikan kontribusi monumental bagi filsafat modern. Pertama, ia melanjutkan kritik Kantian dengan memperluas peran subjek sebagai pusat realitas. Kedua, ia membangun sistem filsafat yang integratif, meliputi epistemologi, metafisika, etika, seni, dan politik. Ketiga, ia menginspirasi gerakan intelektual besar, termasuk romantisisme, filsafat politik modern, hingga kritik sosial.¹⁷

7.7.       Kritik terhadap Idealism Jerman

Meskipun monumental, idealisme Jerman juga dikritik. Filsafat Kant dianggap terlalu membatasi pengetahuan pada fenomena dan meninggalkan noumena sebagai wilayah yang tak terjangkau.¹⁸ Fichte dan Schelling dikritik karena kecenderungan spekulatifnya, sementara sistem Hegel dianggap terlalu abstrak dan mengabaikan kompleksitas empiris.¹⁹

Selain itu, penekanan pada sistem metafisik yang total sering dianggap berlawanan dengan semangat kritis Pencerahan. Kritik ini membuka jalan bagi munculnya filsafat materialis (Marx), eksistensialis (Kierkegaard), dan positivis (Comte), yang menolak sistem spekulatif besar dan menekankan kembali dimensi praktis, empiris, atau eksistensial manusia.²⁰


Sintesis Historis

Sintesis Kantian dan idealisme Jerman menandai fase puncak filsafat modern sebelum memasuki era filsafat abad ke-19 yang lebih plural. Kant berhasil mendamaikan rasionalisme dan empirisme melalui filsafat kritis, sementara Fichte, Schelling, dan Hegel mengembangkan sistem idealisme yang menekankan dinamika subjek, identitas alam dan roh, serta dialektika sejarah.²¹

Dengan demikian, tradisi ini bukan hanya mewariskan sistem filosofis yang kompleks, tetapi juga menyumbangkan kerangka bagi perkembangan filsafat politik, ilmu sosial, dan teori sejarah di era modern maupun kontemporer.²²


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 5: Modern Philosophy: The British Philosophers from Hobbes to Hume (New York: Image Books, 1994), 233–235.

[2]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000), xviii–xx.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 109–113.

[4]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism (New Haven: Yale University Press, 2004), 72–74.

[5]                Kant, Critique of Pure Reason, 190–193.

[6]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 342–345.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–29.

[8]                Johann Gottlieb Fichte, The Science of Knowledge, trans. Peter Heath and John Lachs (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 15–18.

[9]                Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 44–47.

[10]             Frederick Beiser, German Idealism: The Struggle against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 211–214.

[11]             Schelling, Philosophical Investigations into the Essence of Human Freedom, trans. Jeff Love and Johannes Schmidt (Albany: SUNY Press, 2006), 49–52.

[12]             Andrew Bowie, Schelling and Modern European Philosophy (London: Routledge, 1993), 73–76.

[13]             Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 79–81.

[14]             Hegel, Phenomenology of Spirit, 110–113.

[15]             Hegel, Elements of the Philosophy of Right, ed. Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 212–215.

[16]             Charles Taylor, Hegel (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 127–130.

[17]             Terry Pinkard, German Philosophy 1760–1860: The Legacy of Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 3–6.

[18]             Allison, Kant’s Transcendental Idealism, 95–97.

[19]             Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. 2: Hegel and Marx (Princeton: Princeton University Press, 1971), 30–33.

[20]             Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its Rise, Growth and Dissolution (Oxford: Oxford University Press, 1981), 11–14.

[21]             Tarnas, The Passion of the Western Mind, 349–352.

[22]             Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 312–315.


8.           Aliran-Aliran Pasca-Idealism

8.1.       Latar Historis Pasca-Idealism

Setelah puncaknya pada sistem filsafat Immanuel Kant, Fichte, Schelling, dan Hegel, idealisme Jerman memasuki masa kemunduran. Filsafat spekulatif yang besar, abstrak, dan sistematis dianggap terlalu jauh dari kenyataan konkret.¹ Revolusi industri, perubahan sosial-ekonomi, serta pergolakan politik abad ke-19 menuntut filsafat yang lebih praktis, empiris, dan aplikatif.² Maka lahirlah berbagai aliran pasca-idealisme yang mencoba menjawab tantangan zaman: positivisme, utilitarianisme, materialisme, dan kritik sosial Marxian.

8.2.       Positivisme: Sains sebagai Dasar Pengetahuan

Auguste Comte (1798–1857) adalah tokoh utama positivisme, sebuah aliran yang menekankan ilmu pengetahuan empiris sebagai satu-satunya sumber sahih pengetahuan.³ Dalam Cours de Philosophie Positive (1830–1842), Comte memperkenalkan “hukum tiga tahap”: (1) tahap teologis, (2) tahap metafisis, dan (3) tahap positif (ilmiah).⁴

Menurut Comte, filsafat tidak lagi boleh berspekulasi metafisis seperti dalam idealisme Jerman, melainkan harus menjadi “ilmu tentang ilmu-ilmu,” yaitu refleksi sistematis atas metode ilmiah.⁵ Positivisme memberi dorongan bagi lahirnya sosiologi sebagai ilmu baru, sekaligus mengukuhkan paradigma saintifik dalam filsafat modern.

8.3.       Utilitarianisme: Moralitas sebagai Manfaat

Di Inggris, filsafat moral berkembang dalam bentuk utilitarianisme yang dirintis oleh Jeremy Bentham (1748–1832) dan dikembangkan oleh John Stuart Mill (1806–1873).⁶ Prinsip utama aliran ini adalah the greatest happiness of the greatest number—tindakan dinilai benar bila menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terbesar.⁷

Bentham menekankan kalkulasi utilitas (hedonistic calculus), sementara Mill menambahkan dimensi kualitatif, yakni perbedaan antara kesenangan “tinggi” (intellectual pleasures) dan kesenangan “rendah.”⁸ Dengan demikian, utilitarianisme menjadi kerangka moral dan politik yang praktis, sangat berpengaruh pada teori hukum, demokrasi, dan kebijakan sosial.

8.4.       Materialisme dan Ateisme Filosofis

Di samping positivisme dan utilitarianisme, berkembang pula aliran materialisme yang menolak dualisme idealisme. Ludwig Feuerbach (1804–1872) menafsirkan agama sebagai proyeksi sifat-sifat manusia ke dalam konsep Tuhan.⁹ Dengan demikian, teologi direduksi menjadi antropologi.

Materialisme abad ke-19 juga berakar pada kemajuan ilmu alam, terutama biologi dan fisiologi. Tokoh seperti Jacob Moleschott dan Carl Vogt menekankan bahwa fenomena mental dan spiritual hanyalah produk dari proses fisiologis.¹⁰ Hal ini memunculkan ateisme filosofis yang menolak keberadaan realitas supranatural.

8.5.       Karl Marx: Kritik Sosial dan Materialisme Historis

Karl Marx (1818–1883), yang awalnya dipengaruhi Hegel, mengembangkan materialisme historis sebagai kritik terhadap idealisme spekulatif.¹¹ Dalam Theses on Feuerbach (1845), Marx menegaskan bahwa filsafat tidak cukup hanya menafsirkan dunia, tetapi harus mengubahnya.¹²

Marx menekankan peran hubungan produksi dan ekonomi sebagai basis dari struktur sosial dan politik. Sejarah, menurutnya, adalah sejarah perjuangan kelas.¹³ Dengan kritiknya terhadap kapitalisme, Marx melahirkan tradisi filsafat baru yang berpengaruh besar dalam politik, ekonomi, dan teori sosial hingga abad ke-20.

8.6.       Dampak Aliran-Aliran Pasca-Idealism

Aliran-aliran pasca-idealisme membawa perubahan arah filsafat modern. Positivisme mengukuhkan dominasi metode ilmiah, utilitarianisme memberikan kerangka praktis dalam moralitas dan politik, materialisme menekankan penjelasan naturalistik atas realitas, dan Marx menghubungkan filsafat dengan praksis sosial revolusioner.¹⁴

Peralihan ini menandai pergeseran dari filsafat sistematis yang spekulatif menuju filsafat yang lebih empiris, praktis, dan terlibat langsung dengan problem kemanusiaan.¹⁵

8.7.       Kritik terhadap Pasca-Idealism

Meskipun progresif, aliran-aliran pasca-idealisme juga menghadapi kritik. Positivisme dinilai terlalu reduksionis dan mengabaikan dimensi etis maupun metafisis kehidupan manusia.¹⁶ Utilitarianisme dikritik karena mengorbankan keadilan individu demi kebahagiaan kolektif.¹⁷ Materialisme dianggap gagal menjelaskan dimensi kesadaran subjektif yang kompleks.¹⁸ Sementara Marxisme sering dikritik karena utopisme politik dan kecenderungannya pada determinisme ekonomi.¹⁹

Namun, meski penuh kontroversi, aliran-aliran ini membentuk lanskap filsafat modern dan menjadi jembatan menuju filsafat kontemporer, termasuk eksistensialisme, pragmatisme, dan postmodernisme.²⁰


Footnotes

[1]                Frederick Beiser, German Idealism: The Struggle against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 317–320.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 363–365.

[3]                Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 12–14.

[4]                Comte, Cours, 45–47.

[5]                Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 211–213.

[6]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 11–13.

[7]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 9–11.

[8]                Mill, Utilitarianism, 17–20.

[9]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12–15.

[10]             Frederick Gregory, Scientific Materialism in Nineteenth Century Germany (Dordrecht: Reidel, 1977), 66–68.

[11]             Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 32–34.

[12]             Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), dalam The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 143.

[13]             Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto (London: 1848), 14–16.

[14]             Jonathan Sperber, Karl Marx: A Nineteenth-Century Life (New York: Liveright, 2013), 201–203.

[15]             Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 333–335.

[16]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 39–42.

[17]             Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 108–110.

[18]             Thomas Nagel, Mind and Cosmos (Oxford: Oxford University Press, 2012), 19–21.

[19]             Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its Rise, Growth, and Dissolution (Oxford: Oxford University Press, 1981), 126–129.

[20]             Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity, 2010), 23–25.


9.           Reaksi Terhadap Modernitas

9.1.       Latar Belakang Reaksi Filosofis

Modernitas yang dibentuk oleh rasionalisme, empirisme, Pencerahan, dan idealisme Jerman membawa janji kemajuan intelektual dan sosial. Namun, sejak abad ke-19 muncul kritik yang mempertanyakan validitas dan konsekuensi modernitas.¹ Bagi sebagian pemikir, rasionalitas modern terlalu optimistis, reduksionis, dan menyingkirkan dimensi manusiawi yang lebih dalam: emosi, iman, eksistensi, dan makna hidup.² Reaksi terhadap modernitas ini melahirkan aliran-aliran filosofis baru, seperti romantisisme, eksistensialisme awal, dan filsafat Nietzsche, yang menyoroti keterbatasan serta sisi gelap proyek modern.

9.2.       Romantisisme: Kritik atas Rasionalitas Kering

Romantisisme muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagai respons terhadap penekanan berlebihan pada rasio dalam Pencerahan dan idealisme.³ Kaum Romantik menekankan pentingnya imajinasi, perasaan, dan hubungan organik manusia dengan alam. Tokoh seperti Johann Gottfried Herder (1744–1803) dan Friedrich Schiller (1759–1805) menegaskan bahwa seni, puisi, dan budaya lokal memiliki nilai yang sama pentingnya dengan sains dan filsafat rasional.⁴

Romantisisme menolak universalisme abstrak Pencerahan, dan lebih menekankan keragaman historis serta kultural.⁵ Dengan demikian, gerakan ini tidak hanya reaksi estetis, tetapi juga filosofis, yang menegaskan dimensi manusia yang terabaikan oleh rasionalitas modern.

9.3.       Søren Kierkegaard: Eksistensialisme Awal

Søren Kierkegaard (1813–1855) sering disebut sebagai bapak eksistensialisme. Ia mengkritik sistem filsafat Hegelian yang terlalu abstrak dan menyingkirkan individu konkret.⁶ Menurut Kierkegaard, filsafat modern gagal menangkap pengalaman eksistensial manusia, khususnya soal kecemasan, keputusasaan, dan pilihan iman.

Dalam Fear and Trembling (1843), Kierkegaard menyoroti dilema iman Abraham sebagai contoh paradoks eksistensial yang tak dapat diselesaikan oleh rasio semata.⁷ Ia menegaskan bahwa kebenaran bersifat subjektif, dan bahwa lompatan iman (leap of faith) adalah inti eksistensi manusia.⁸ Kritik ini bukan hanya terhadap modernitas rasional, tetapi juga terhadap agama formal yang kehilangan dimensi personal dan eksistensial.

9.4.       Friedrich Nietzsche: Kritik atas Moralitas dan Rasionalitas Modern

Friedrich Nietzsche (1844–1900) adalah salah satu kritikus paling radikal terhadap modernitas. Dalam Thus Spoke Zarathustra (1883–1885) dan On the Genealogy of Morals (1887), Nietzsche menyerang moralitas tradisional yang menurutnya bersumber dari “moralitas budak” Kristen.⁹

Nietzsche juga menolak rasionalitas modern yang diwarisi dari Pencerahan dan idealisme, karena baginya rasionalitas hanyalah bentuk lain dari kehendak untuk menundukkan kehidupan.¹⁰ Konsep will to power (kehendak untuk berkuasa) menjadi prinsip fundamental bagi kehidupan, sementara gagasan Übermensch (manusia unggul) ditawarkan sebagai alternatif manusia modern yang terjebak dalam nihilisme.¹¹

Salah satu kritik Nietzsche yang paling terkenal adalah deklarasi “Tuhan telah mati” (God is dead), yang menandai runtuhnya nilai-nilai transenden dalam masyarakat modern.¹² Baginya, modernitas telah menghancurkan fondasi religius, tetapi belum berhasil menciptakan nilai-nilai baru, sehingga melahirkan krisis nihilisme.

9.5.       Dampak Reaksi terhadap Modernitas

Kritik dari romantisisme, Kierkegaard, dan Nietzsche memperlihatkan sisi gelap modernitas: keterasingan manusia, krisis makna, dan ancaman nihilisme.¹³ Reaksi ini membuka jalan bagi munculnya filsafat eksistensialisme abad ke-20 (Heidegger, Sartre), teori kritis (Horkheimer, Adorno), dan bahkan postmodernisme yang menolak narasi besar modernitas.¹⁴

Dengan demikian, reaksi terhadap modernitas bukan hanya perlawanan, tetapi juga koreksi penting terhadap kepercayaan buta pada rasionalitas. Ia menegaskan bahwa filsafat harus kembali menimbang aspek personal, historis, emosional, dan spiritual manusia.¹⁵


Sintesis Historis

Reaksi terhadap modernitas memperlihatkan dinamika dialektis dalam sejarah filsafat. Jika modernitas mengusung proyek emansipasi melalui rasio, maka reaksi terhadapnya mengingatkan akan keterbatasan rasio serta pentingnya dimensi eksistensial dan nilai-nilai kehidupan.¹⁶ Gerakan ini menegaskan bahwa filsafat modern tidak linier, melainkan penuh kritik internal yang memperkaya perjalanan pemikiran manusia.


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 375–377.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 351–353.

[3]                Isaiah Berlin, The Roots of Romanticism (Princeton: Princeton University Press, 1999), 22–25.

[4]                Frederick C. Beiser, The Romantic Imperative: The Concept of Early German Romanticism (Cambridge: Harvard University Press, 2003), 41–44.

[5]                Berlin, Roots of Romanticism, 56–59.

[6]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 33–35.

[7]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 45–48.

[8]                Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette: Purdue University Press, 1996), 71–74.

[9]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 25–28.

[10]             Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), 45–47.

[11]             Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Penguin, 1978), 123–125.

[12]             Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–183.

[13]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 394–397.

[14]             Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 13–15.

[15]             Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation (New Haven: Yale University Press, 1970), 28–30.

[16]             Tarnas, The Passion of the Western Mind, 380–382.


10.       Pengaruh Filsafat Modern di Luar Eropa

10.1.    Pengantar: Globalisasi Pemikiran Modern

Filsafat modern yang berakar di Eropa tidak hanya terbatas pada dunia Barat. Sejak abad ke-17 hingga 19, melalui kolonialisme, perdagangan, dan pertukaran intelektual, gagasan-gagasan modern tersebar ke Asia, Afrika, dan dunia Islam.¹ Penyebaran ini membawa konsekuensi ganda: di satu sisi, memperkaya horizon intelektual lokal dengan gagasan baru; di sisi lain, memunculkan resistensi terhadap dominasi kultural Barat.²

10.2.    Filsafat Modern dan Dunia Islam

Pengaruh filsafat modern dalam dunia Islam terutama muncul pada abad ke-19 melalui interaksi dengan kolonialisme dan reformasi internal.³ Tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani (1838–1897) mendorong kaum Muslim untuk memanfaatkan rasionalitas modern dan ilmu pengetahuan sebagai sarana kebangkitan, sambil tetap mempertahankan identitas Islam.⁴ Muhammad Abduh (1849–1905) mengintegrasikan pemikiran modern, khususnya rasionalisme dan moralitas universal, dalam kerangka teologi Islam.⁵

Selain itu, kritik sosial Karl Marx dan gagasan politik liberal Barat turut memengaruhi wacana politik Islam modern, terutama dalam isu keadilan sosial, demokrasi, dan kebangkitan nasionalisme.⁶ Meski demikian, terjadi ketegangan antara modernisasi yang berakar dari filsafat Barat dan kebutuhan untuk menjaga otentisitas tradisi Islam.

10.3.    Filsafat Modern di Asia Selatan dan Timur

Di India, pengaruh filsafat modern hadir melalui Inggris sebagai kekuatan kolonial. Pemikir seperti Raja Ram Mohan Roy (1772–1833) mencoba mereformasi Hindu dengan mengadopsi prinsip rasionalitas dan monoteisme yang selaras dengan Pencerahan.⁷ Kemudian, tokoh seperti Swami Vivekananda (1863–1902) menggabungkan spiritualitas Vedanta dengan gagasan humanisme modern.

Di Tiongkok, pengaruh modernitas masuk pada abad ke-19 melalui interaksi dengan misionaris dan kekuatan kolonial. Gerakan Self-Strengthening Movement berupaya mengadopsi sains dan teknologi Barat tanpa meninggalkan nilai Konfusianisme.⁸ Pada awal abad ke-20, tokoh seperti Liang Qichao (1873–1929) mendorong reformasi politik dengan memanfaatkan gagasan liberalisme dan demokrasi Barat.

Jepang mengambil pendekatan berbeda melalui Restorasi Meiji (1868), dengan mengadopsi sains, teknologi, dan filsafat modern Barat secara sistematis.⁹ Modernisasi Jepang berlandaskan sintesis antara rasionalitas modern dan tradisi lokal, yang kemudian menjadikan Jepang sebagai kekuatan modern non-Barat pertama.

10.4.    Filsafat Modern di Afrika

Di Afrika, pengaruh filsafat modern datang bersama kolonialisme Eropa, yang memperkenalkan gagasan rasionalitas, ilmu pengetahuan, serta sistem hukum dan politik modern.¹⁰ Namun, pengaruh ini tidak terlepas dari dominasi imperialisme.

Pada abad ke-20, filsafat modern Eropa, khususnya eksistensialisme dan Marxisme, menjadi inspirasi bagi gerakan pembebasan di Afrika. Tokoh seperti Frantz Fanon (1925–1961) memanfaatkan konsep alienasi dari Hegel dan kritik kolonialisme dengan pendekatan materialisme historis.¹¹ Pemikiran ini memberi dasar bagi perjuangan dekolonisasi dan pencarian identitas filosofis Afrika yang otentik.

10.5.    Dampak terhadap Pendidikan, Politik, dan Kebudayaan

Secara umum, filsafat modern memberikan tiga pengaruh utama di luar Eropa:

1)                  Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan:

Model universitas modern, metode ilmiah, dan sistem pendidikan rasional diperkenalkan di dunia non-Barat.¹²

2)                  Politik dan Nasionalisme:

Prinsip kebebasan, hak individu, dan demokrasi memengaruhi lahirnya gerakan nasionalis di Asia, Afrika, dan dunia Islam.¹³

3)                  Kebudayaan dan Identitas:

Filsafat modern menantang tradisi lokal, tetapi juga memicu gerakan sintesis yang berusaha menggabungkan modernitas dengan warisan budaya asli.¹⁴

10.6.    Kritik dan Resistensi

Pengaruh filsafat modern di luar Eropa juga menghadapi kritik. Di dunia Islam, banyak yang menilai bahwa modernisasi ala Barat sering berujung pada sekularisasi dan melemahkan otoritas agama.¹⁵ Di Asia, gagasan modernitas dianggap membawa individualisme yang bertentangan dengan nilai kolektivitas tradisional.¹⁶ Sementara di Afrika, modernitas sering dikritik sebagai bagian dari kolonialisme intelektual yang memarginalkan filsafat tradisional Afrika.¹⁷


Sintesis Historis

Meskipun penuh ketegangan, pengaruh filsafat modern di luar Eropa memperlihatkan bahwa gagasan modernitas tidak hanya menjadi milik Barat, tetapi telah masuk ke dalam dialog global. Interaksi antara filsafat modern dan tradisi non-Barat melahirkan bentuk-bentuk baru pemikiran yang unik, seperti Islam modernis, Hindu reformis, Neo-Konfusianisme modern, dan filsafat pembebasan Afrika.¹⁸ Dengan demikian, filsafat modern memberikan kontribusi bagi terciptanya dinamika intelektual global, meski harus selalu dipertanyakan dan disesuaikan dengan konteks kultural masing-masing.


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 385–388.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 355–357.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–47.

[4]                Jamal al-Din al-Afghani, Refutation of the Materialists, trans. Nikki R. Keddie (Berkeley: University of California Press, 1968), 19–22.

[5]                Muhammad Abduh, The Theology of Unity, trans. Ishaq Musa’ad and Kenneth Cragg (London: Allen & Unwin, 1966), 33–35.

[6]                Charles Tripp, Islam and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 28–30.

[7]                Amiya P. Sen, Raja Rammohun Roy: An Apostle of Indian Enlightenment (New Delhi: Oxford University Press, 2002), 56–58.

[8]                Benjamin A. Elman, On Their Own Terms: Science in China, 1550–1900 (Cambridge: Harvard University Press, 2005), 243–246.

[9]                Marius B. Jansen, The Making of Modern Japan (Cambridge: Harvard University Press, 2000), 335–338.

[10]             V. Y. Mudimbe, The Invention of Africa (Bloomington: Indiana University Press, 1988), 71–73.

[11]             Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 43–45.

[12]             Sheldon Rothblatt, The Modern University and Its Discontents (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 18–21.

[13]             Partha Chatterjee, Nationalist Thought and the Colonial World (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), 62–65.

[14]             Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 57–59.

[15]             Hourani, Arabic Thought, 88–90.

[16]             Tu Weiming, Confucianism in Historical Perspective (Berkeley: University of California Press, 1985), 132–134.

[17]             Paulin J. Hountondji, African Philosophy: Myth and Reality (Bloomington: Indiana University Press, 1996), 112–115.

[18]             Enrique Dussel, The Invention of the Americas: Eclipse of “the Other” and the Myth of Modernity (New York: Continuum, 1995), 91–94.


11.       Kritik dan Reinterpretasi Kontemporer

11.1.    Latar Belakang Kritik

Filsafat modern, dengan warisan rasionalisme, empirisme, Pencerahan, dan idealisme, telah membentuk fondasi dunia modern. Namun, pada abad ke-19 hingga 21, muncul berbagai kritik yang mempertanyakan klaim universalitas, netralitas, dan optimisme rasional modernitas.¹ Modernitas dinilai terlalu mengagungkan rasio, ilmu pengetahuan, dan kemajuan, sehingga mengabaikan dimensi eksistensial, historis, kultural, serta spiritual manusia.² Akibatnya, berbagai aliran kontemporer muncul, baik untuk mengoreksi, mendekonstruksi, maupun mereinterpretasi warisan filsafat modern.

11.2.    Kritik Postmodern terhadap Narasi Modernitas

Kaum postmodernis, seperti Jean-François Lyotard, Michel Foucault, dan Jacques Derrida, menolak klaim filsafat modern yang membangun “narasi besar” (grand narratives) tentang kebenaran universal.³ Lyotard, dalam The Postmodern Condition (1979), menyatakan bahwa era kontemporer ditandai dengan ketidakpercayaan pada narasi besar.⁴

Foucault mengkritik rasionalitas modern sebagai alat kekuasaan yang melegitimasi dominasi melalui wacana ilmu pengetahuan.⁵ Sementara Derrida, melalui metode dekonstruksi, membongkar asumsi metafisik dan logocentrisme dalam tradisi filsafat modern.⁶ Kritik postmodern ini menunjukkan bahwa modernitas bukanlah netral dan emansipatif semata, melainkan juga dapat melanggengkan dominasi dan eksklusi.

11.3.    Reinterpretasi Rasionalisme dan Empirisme dalam Filsafat Ilmu

Selain kritik radikal postmodern, ada pula reinterpretasi warisan modernitas dalam filsafat ilmu kontemporer. Karl Popper, misalnya, menolak kepastian epistemologis ala rasionalisme, tetapi tetap mempertahankan rasionalitas kritis melalui falsifikasionisme.⁷ Thomas Kuhn menekankan peran paradigma dan revolusi ilmiah dalam perkembangan sains, yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear sebagaimana diyakini modernis.⁸

Paul Feyerabend lebih jauh menolak metodologi universal sains dan mengusulkan “anarkisme metodologis.”⁹ Dengan demikian, warisan modern berupa rasionalisme dan empirisme tidak ditolak sepenuhnya, melainkan direinterpretasi untuk menekankan dimensi historis, sosial, dan pluralistik dari ilmu pengetahuan.

11.4.    Dialog dengan Filsafat Non-Barat

Filsafat kontemporer juga menilai modernitas Barat terlalu euro-sentris. Karena itu, muncul reinterpretasi modernitas dalam dialog dengan filsafat non-Barat. Misalnya, dalam dunia Islam, pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr mengkritik sekularisme modern dan menekankan pentingnya mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan spiritualitas Islam.¹⁰ Dalam konteks Asia, para filsuf Neo-Konfusianisme modern berusaha menyintesiskan nilai tradisional Timur dengan rasionalitas modern.¹¹

Di Amerika Latin, Enrique Dussel mengembangkan filsafat pembebasan yang menekankan pengalaman kaum tertindas, sebagai kritik terhadap modernitas yang dianggap berakar pada kolonialisme.¹² Reinterpretasi ini memperluas cakrawala filsafat modern agar lebih inklusif dan berakar pada pengalaman global.

11.5.    Kritik atas Proyek Emansipasi Modern

Sekolah Frankfurt, dengan tokoh seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Jürgen Habermas, menyoroti ambivalensi proyek emansipasi modern. Dalam Dialectic of Enlightenment (1947), Horkheimer dan Adorno menunjukkan bahwa rasionalitas instrumental modern, alih-alih membebaskan, justru dapat melahirkan dominasi teknokratis dan totalitarianisme.¹³

Namun, Habermas tetap berusaha menyelamatkan proyek modern melalui teori tindakan komunikatif.¹⁴ Ia menegaskan bahwa rasio komunikatif, bukan sekadar rasio instrumental, dapat menjadi dasar normatif bagi demokrasi deliberatif dan kehidupan sosial yang lebih adil.¹⁵ Dengan demikian, kritik Frankfurt tidak sepenuhnya menolak modernitas, melainkan mengajukan reinterpretasi kritis terhadap potensinya.

11.6.    Dimensi Etis, Eksistensial, dan Ekologis

Selain kritik epistemologis dan politik, filsafat kontemporer juga menambahkan reinterpretasi dalam ranah etika, eksistensi, dan ekologi. Eksistensialis abad ke-20, seperti Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre, menyoroti keterbatasan rasionalitas modern dalam menjelaskan keberadaan manusia yang otentik.¹⁶ Filsafat feminis mengkritik bias patriarkal dalam tradisi modern dan menuntut inklusi pengalaman perempuan.¹⁷

Dalam konteks ekologi, filsuf seperti Arne Naess mengembangkan deep ecology sebagai reaksi terhadap modernitas yang antroposentris dan eksploitatif.¹⁸ Hal ini menegaskan perlunya reinterpretasi modernitas agar lebih berkelanjutan, etis, dan selaras dengan lingkungan.


Sintesis Historis

Kritik dan reinterpretasi kontemporer menunjukkan bahwa warisan filsafat modern tetap relevan, tetapi tidak bisa diterima secara utuh. Ia perlu ditinjau ulang melalui perspektif kritis, historis, dan interkultural. Modernitas, yang awalnya menawarkan emansipasi melalui rasio, kini dipahami sebagai proyek yang ambivalen—membawa kemajuan, tetapi juga risiko alienasi, dominasi, dan krisis ekologis.¹⁹

Dengan demikian, kritik kontemporer tidak berarti menolak modernitas sepenuhnya, melainkan membuka ruang bagi modernitas yang lebih inklusif, pluralistik, dan manusiawi.²⁰


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 389–392.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 361–363.

[3]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[4]                Lyotard, Postmodern Condition, 37–39.

[5]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon, 1977), 27–29.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 11–14.

[7]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 33–35.

[8]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52–55.

[9]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 19–22.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 47–49.

[11]             Tu Weiming, Confucianism in Historical Perspective (Berkeley: University of California Press, 1985), 141–144.

[12]             Enrique Dussel, Philosophy of Liberation, trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll: Orbis Books, 1985), 21–23.

[13]             Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–6.

[14]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[15]             Habermas, Theory of Communicative Action, 293–296.

[16]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211–214.

[17]             Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1973), 22–24.

[18]             Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 29–31.

[19]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 401–404.

[20]             Richard J. Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge: MIT Press, 1991), 9–12.


12.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

12.1.    Makna Historis Filsafat Modern

Sejarah filsafat modern memperlihatkan transformasi besar dalam cara manusia memahami realitas, pengetahuan, dan dirinya sendiri. Dimulai dari rasionalisme Descartes dengan penegasan cogito ergo sum, empirisme Locke dan Hume yang menekankan pengalaman, hingga kritik transendental Kant yang mensintesiskan keduanya, kita melihat upaya tiada henti untuk menemukan dasar pengetahuan yang kokoh.¹ Filsafat modern bukan sekadar periode sejarah, melainkan juga paradigma berpikir yang meletakkan fondasi bagi ilmu pengetahuan, demokrasi, dan budaya modern.²

12.2.    Dialektika Antara Rasio dan Pengalaman

Salah satu refleksi filosofis yang dapat ditarik adalah bahwa perkembangan filsafat modern merupakan hasil dialektika antara dua kutub: rasionalisme dan empirisme. Rasionalis percaya pada kepastian deduktif akal, sedangkan empiris mengandalkan pengalaman indrawi.³ Ketegangan ini memuncak dalam skeptisisme Hume, yang akhirnya mendorong Kant untuk melakukan “revolusi kopernikan” dalam filsafat.⁴ Dari sini kita belajar bahwa kemajuan pemikiran tidak lahir dari konsensus tunggal, melainkan dari konflik kreatif antara gagasan yang saling menantang.

12.3.    Dimensi Sosial-Politik Modernitas

Filsafat modern juga tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan politik. Gagasan tentang kontrak sosial Hobbes, Locke, dan Rousseau membentuk teori politik modern yang menekankan hak-hak individu dan legitimasi demokratis.⁵ Ide-ide Pencerahan mengilhami revolusi politik di Amerika dan Prancis, serta menanamkan keyakinan bahwa kemajuan masyarakat dapat dicapai melalui rasionalitas dan hukum universal.⁶ Namun, refleksi kritis menunjukkan bahwa modernitas juga melahirkan paradoks: di balik janji kebebasan, muncul kolonialisme, eksploitasi ekonomi, dan dominasi teknokratis.⁷

12.4.    Relevansi Eksistensial dan Etis

Reaksi terhadap modernitas dari Kierkegaard, Nietzsche, dan Romantisisme menunjukkan keterbatasan rasionalitas instrumental. Mereka menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga eksistensial, penuh kecemasan, harapan, dan pencarian makna.⁸ Refleksi ini tetap relevan pada era kontemporer, ketika krisis makna, alienasi, dan nihilisme semakin terasa dalam masyarakat modern yang serba teknologis.⁹

Dengan demikian, filsafat modern mengajarkan bahwa rasionalitas harus diimbangi dengan perhatian pada dimensi etis, eksistensial, dan spiritual. Hal ini sejalan dengan seruan Kant tentang martabat manusia sebagai tujuan, bukan sekadar alat.¹⁰

12.5.    Pelajaran dari Kritik Kontemporer

Kritik kontemporer—dari postmodernisme, teori kritis, feminisme, hingga filsafat ekologi—menunjukkan bahwa proyek modernitas harus selalu dikaji ulang.¹¹ Rasionalitas memang membuka jalan bagi kebebasan dan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa koreksi kritis, ia bisa berubah menjadi alat dominasi.¹² Reinterpretasi kontemporer mengingatkan bahwa filsafat modern harus dibaca secara historis dan interkultural, tidak lagi euro-sentris, melainkan terbuka pada pengalaman global.¹³


Refleksi Filosofis Akhir

Dari keseluruhan perjalanan ini, dapat disimpulkan bahwa filsafat modern adalah warisan yang ambivalen: ia membawa emansipasi, tetapi juga keterasingan; ia menjanjikan kemajuan, tetapi juga memunculkan krisis.¹⁴ Filsafat modern mengajarkan kita untuk terus berpikir kritis, mempertanyakan otoritas, dan mencari dasar pengetahuan serta etika yang kokoh.

Refleksi filosofis ini menuntut kita untuk mengambil sikap seimbang: menerima pencapaian rasionalitas modern, tetapi juga peka terhadap kritik yang menyingkap keterbatasannya. Dengan demikian, filsafat modern tidak berhenti sebagai warisan sejarah, tetapi terus hidup sebagai dialog abadi tentang manusia, kebenaran, dan makna kehidupan.¹⁵


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), 13–15.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 287–289.

[3]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 259–261.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 109–113.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 123–126.

[6]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: W. W. Norton & Company, 1996), 21–23.

[7]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–6.

[8]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 45–48.

[9]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–183.

[10]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 41–43.

[11]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[12]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon, 1977), 27–29.

[13]             Enrique Dussel, Philosophy of Liberation, trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll: Orbis Books, 1985), 21–23.

[14]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 394–397.

[15]             Richard J. Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge: MIT Press, 1991), 9–12.


13.       Penutup

13.1.    Kesimpulan Umum

Sejarah filsafat modern memperlihatkan sebuah perjalanan intelektual yang panjang dan kompleks, dimulai dari pergulatan rasionalisme Descartes, empirisme Locke dan Hume, kritik transendental Kant, idealisme Jerman, hingga aliran-aliran pasca-idealisme seperti positivisme, utilitarianisme, dan Marxisme.¹ Dari sana, muncul pula reaksi terhadap modernitas melalui romantisisme, eksistensialisme awal Kierkegaard, dan kritik Nietzsche terhadap moralitas serta rasionalitas.² Semua aliran ini pada akhirnya membentuk sebuah mosaik pemikiran yang menandai kelahiran dunia modern.

13.2.    Kontribusi Utama Filsafat Modern

Filsafat modern meninggalkan sejumlah warisan penting. Pertama, ia mengukuhkan rasionalitas kritis sebagai sarana utama memahami realitas.³ Kedua, ia melahirkan paradigma ilmiah baru yang menjadi dasar revolusi teknologi dan sains.⁴ Ketiga, ia memperkaya teori politik dengan gagasan kontrak sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi.⁵ Keempat, ia membuka jalan bagi filsafat kontemporer yang lebih pluralistik, termasuk feminisme, filsafat ekologi, dan teori kritis.

Namun, warisan ini juga penuh ambivalensi. Modernitas, di satu sisi, membebaskan manusia dari dogma dan membuka ruang bagi kebebasan intelektual; tetapi di sisi lain, ia juga melahirkan alienasi, krisis makna, dan dominasi teknokratis.⁶

13.3.    Relevansi dalam Konteks Global

Pengaruh filsafat modern tidak berhenti di Eropa, tetapi menyebar ke dunia Islam, Asia, dan Afrika melalui kolonialisme, pendidikan, dan dialog lintas budaya.⁷ Gagasan rasionalitas, kebebasan, dan kemajuan berinteraksi dengan tradisi lokal, melahirkan bentuk-bentuk sintesis baru seperti Islam modernis, Neo-Konfusianisme modern, hingga filsafat pembebasan di Amerika Latin dan Afrika.⁸

Dalam konteks kontemporer, filsafat modern tetap relevan karena ia menyediakan perangkat kritis untuk menghadapi isu global seperti krisis ekologis, ketidakadilan sosial, dan nihilisme budaya.⁹ Namun, agar tetap hidup, warisan modernitas harus dibaca secara kritis, inklusif, dan terbuka terhadap dialog interkultural.


Penutup Reflektif

Filsafat modern adalah babak penting dalam sejarah pemikiran manusia yang tidak hanya membentuk struktur intelektual, tetapi juga realitas sosial, politik, dan budaya dunia. Ia mengajarkan bahwa manusia memiliki kapasitas rasional untuk mencari kebenaran, meskipun kebenaran itu sering kali bersifat parsial dan tentatif.¹⁰

Oleh karena itu, mempelajari filsafat modern bukan sekadar memahami masa lalu, melainkan juga menggali fondasi untuk refleksi masa kini dan masa depan. Filsafat modern mengajarkan pentingnya sikap kritis, dialogis, dan reflektif dalam menghadapi perubahan zaman.¹¹ Dengan demikian, warisan filsafat modern bukanlah sesuatu yang final, melainkan undangan untuk terus berpikir, mengoreksi, dan membangun kembali horizon pemahaman kita tentang manusia dan dunia.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 5, Modern Philosophy: The British Philosophers from Hobbes to Hume (New York: Image Books, 1994), 233–235.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 375–380.

[3]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 259–261.

[4]                Steven Shapin, The Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 93–95.

[5]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–52.

[6]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–5.

[7]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–47.

[8]                Enrique Dussel, Philosophy of Liberation, trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll: Orbis Books, 1985), 21–23.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 47–49.

[10]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 109–113.

[11]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 401–404.


Daftar Pustaka

Allison, H. E. (2004). Kant’s transcendental idealism. Yale University Press.

al-Afghani, J. al-D. (1968). Refutation of the materialists (N. R. Keddie, Trans.). University of California Press.

Beauvoir, S. de. (1973). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books.

Beiser, F. C. (2002). German idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.

Beiser, F. C. (2003). The romantic imperative: The concept of early German romanticism. Harvard University Press.

Bentham, J. (1789/1988). An introduction to the principles of morals and legislation. Clarendon Press.

Berlin, I. (1999). The roots of romanticism. Princeton University Press.

Bernstein, R. J. (1991). The new constellation: The ethical-political horizons of modernity/postmodernity. MIT Press.

Bernstein, R. J. (2010). The pragmatic turn. Polity.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Bowie, A. (1993). Schelling and modern European philosophy. Routledge.

Burckhardt, J. (1990). The civilization of the Renaissance in Italy. Modern Library.

Chatterjee, P. (1986). Nationalist thought and the colonial world. University of Minnesota Press.

Comte, A. (1896). Cours de philosophie positive (H. Martineau, Trans.). George Bell & Sons.

Copleston, F. (1994a). A history of philosophy: Volume 4, Modern philosophy from Descartes to Leibniz. Image Books.

Copleston, F. (1994b). A history of philosophy: Volume 5, Modern philosophy: The British philosophers from Hobbes to Hume. Image Books.

Daniel, S. H. (2006). George Berkeley and early modern philosophy. Oxford University Press.

Darnton, R. (1979). The business of Enlightenment: A publishing history of the Encyclopédie. Harvard University Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Diderot, D. (1968). Encyclopédie (J. Lough, Ed.). Pergamon.

Dussel, E. (1985). Philosophy of liberation (A. Martinez & C. Morkovsky, Trans.). Orbis Books.

Dussel, E. (1995). The invention of the Americas: Eclipse of “the other” and the myth of modernity. Continuum.

Eisenstein, E. (1980). The printing press as an agent of change. Cambridge University Press.

Elman, B. A. (2005). On their own terms: Science in China, 1550–1900. Harvard University Press.

Fanon, F. (2004). The wretched of the Earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper & Row.

Fichte, J. G. (1982). The science of knowledge (P. Heath & J. Lachs, Trans.). Cambridge University Press.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon.

Gay, P. (1996). The Enlightenment: An interpretation. W. W. Norton & Company.

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual biography. Oxford University Press.

Gilson, E. (1938). Reason and revelation in the Middle Ages. Charles Scribner’s Sons.

Gregory, F. (1977). Scientific materialism in nineteenth century Germany. Reidel.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society. Beacon Press.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of Enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Hountondji, P. J. (1996). African philosophy: Myth and reality. Indiana University Press.

Hume, D. (1980). Dialogues concerning natural religion (R. H. Popkin, Ed.). Hackett.

Hume, D. (2000). A treatise of human nature (D. F. Norton & M. J. Norton, Eds.). Oxford University Press.

Israel, J. (2001). Radical Enlightenment: Philosophy and the making of modernity 1650–1750. Oxford University Press.

Jansen, M. B. (2000). The making of modern Japan. Harvard University Press.

Jolley, N. (2005). Leibniz. Routledge.

Kant, I. (1996). Practical philosophy (M. J. Gregor, Ed.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998a). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998b). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (2004). Prolegomena to any future metaphysics (G. Hatfield, Trans.). Cambridge University Press.

Kenny, A. (2010). A new history of Western philosophy. Oxford University Press.

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and its sources. Columbia University Press.

Kuhn, T. S. (1957). The Copernican revolution. Harvard University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Leibniz, G. W. (1989). Discourse on metaphysics (A. Ariew & D. Garber, Trans.). Hackett.

Leibniz, G. W. (1991). Monadology (N. Rescher, Trans.). University of Pittsburgh Press.

Locke, J. (1690). An essay concerning human understanding. Thomas Basset.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Marx, K. (1959). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Progress Publishers.

Marx, K. (1978). Theses on Feuerbach (R. C. Tucker, Ed.). In The Marx-Engels reader (pp. 143–145). W. W. Norton.

Marx, K., & Engels, F. (1848/1978). The Communist manifesto (R. C. Tucker, Ed.). W. W. Norton.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Parker, Son, and Bourn.

Mudimbe, V. Y. (1988). The invention of Africa. Indiana University Press.

Naess, A. (1989). Ecology, community, and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Nadler, S. (2006). Spinoza’s ethics: An introduction. Cambridge University Press.

Nagel, T. (2012). Mind and cosmos. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. SUNY Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Viking Penguin.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1990). Beyond good and evil (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.

Outram, D. (2005). The Enlightenment. Cambridge University Press.

Pickering, M. (1993). Auguste Comte: An intellectual biography, Vol. 1. Cambridge University Press.

Pinkard, T. (2002). German philosophy 1760–1860: The legacy of idealism. Cambridge University Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. Routledge.

Popper, K. (1971). The open society and its enemies, Vol. 2: Hegel and Marx. Princeton University Press.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation. Yale University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.

Rousseau, J.-J. (1997). The discourses and other early political writings (V. Gourevitch, Ed.). Cambridge University Press.

Russell, P. (2008). The riddle of Hume’s treatise: Skepticism, naturalism, and irreligion. Oxford University Press.

Schiller, F. (2004). On the aesthetic education of man (E. M. Wilkinson & L. A. Willoughby, Trans.). Clarendon Press.

Schelling, F. W. J. (2006). Philosophical investigations into the essence of human freedom (J. Love & J. Schmidt, Trans.). SUNY Press.

Sen, A. P. (2002). Raja Rammohun Roy: An apostle of Indian enlightenment. Oxford University Press.

Shapin, S. (1996). The scientific revolution. University of Chicago Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought, Vol. 1. Cambridge University Press.

Smith, A. (1776/1991). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. Prometheus Books.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin.

Sperber, J. (2013). Karl Marx: A nineteenth-century life. Liveright.

Taylor, C. (1975). Hegel. Cambridge University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Tarnas, R. (1991). The passion of the Western mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine Books.

Trinkaus, C. (1970). In our image and likeness: Humanity and divinity in Italian humanist thought. University of Chicago Press.

Tripp, C. (2006). Islam and the moral economy: The challenge of capitalism. Cambridge University Press.

Tu, W. (1985). Confucianism in historical perspective. University of California Press.

Voltaire. (1972). Philosophical dictionary (T. Besterman, Trans.). Penguin.

Vivekananda, S. (1972). The complete works of Swami Vivekananda, Vol. 1. Advaita Ashrama.

Westphal, M. (1996). Becoming a self: A reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript. Purdue University Press.

Williams, B. (1985). Ethics and the limits of philosophy. Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar