Sejarah Filsafat Modern
Konsep, Tokoh, Aliran, Kritik, dan Relevansi
Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif perjalanan filsafat modern dari
abad ke-16 hingga abad ke-19, dengan menyoroti latar historis, konsep-konsep
dasar, tokoh-tokoh utama, serta aliran-aliran yang membentuknya. Dimulai dari
fondasi rasionalisme dan empirisme, artikel ini menelusuri kontribusi
Pencerahan sebagai gerakan intelektual yang menekankan rasionalitas, kebebasan,
dan kemajuan. Selanjutnya, dibahas sintesis Kantian yang mendamaikan
rasionalisme dan empirisme, serta perkembangan idealisme Jerman melalui Fichte,
Schelling, dan Hegel.
Perhatian juga diberikan pada aliran-aliran pasca-idealisme seperti
positivisme, utilitarianisme, dan Marxisme yang menggeser orientasi filsafat
dari spekulasi sistematis menuju pendekatan empiris dan praksis sosial. Artikel
ini kemudian mengulas reaksi terhadap modernitas melalui romantisisme,
eksistensialisme awal, dan kritik Nietzsche terhadap moralitas serta
rasionalitas. Tidak hanya terbatas pada Eropa, kajian ini menyoroti pengaruh
filsafat modern di dunia Islam, Asia, dan Afrika, serta dampaknya terhadap
pendidikan, politik, dan kebudayaan global.
Artikel ini juga memaparkan kritik dan reinterpretasi kontemporer
terhadap modernitas, baik dari postmodernisme, teori kritis, feminisme, maupun
filsafat ekologi. Refleksi filosofis akhirnya menegaskan bahwa filsafat modern
adalah warisan ambivalen—membawa kemajuan rasional dan emansipasi, tetapi juga
memunculkan krisis alienasi, nihilisme, dan dominasi teknokratis. Keseluruhan
kajian ini menunjukkan bahwa filsafat modern tetap relevan sebagai fondasi
berpikir kritis dan reflektif, sekaligus sebagai undangan untuk merekonstruksi
horizon pemahaman manusia secara lebih inklusif, plural, dan manusiawi.
Kata Kunci: Filsafat
modern; rasionalisme; empirisme; Pencerahan; idealisme Jerman; pasca-idealisme;
kritik modernitas; postmodernisme; globalisasi pemikiran; refleksi filosofis.
PEMBAHASAN
Konsep, Tokoh, Aliran, Kritik, dan Relevansi Filsafat
Modern
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Kajian
Filsafat modern muncul sebagai respons
atas keterbatasan filsafat abad pertengahan yang sangat dipengaruhi oleh dogma
agama dan otoritas gereja. Periode ini ditandai oleh upaya manusia untuk
menegaskan otonomi rasio, kebebasan berpikir, dan pencarian dasar-dasar
pengetahuan yang independen dari tradisi skolastik. Tonggak peralihan menuju
modernitas dapat dilihat sejak masa Renaisans, Reformasi, dan Revolusi Ilmiah, yang
membuka ruang baru bagi kebebasan intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan
empiris.¹
Gerakan filsafat modern berakar pada
keyakinan bahwa akal manusia memiliki kemampuan untuk memahami realitas dan
mengatur kehidupan sosial-politik.² Prinsip-prinsip seperti rasionalisme,
empirisme, dan kritik terhadap otoritas tradisional menjadi fondasi yang
menandai lahirnya modernitas dalam filsafat. Selain itu, pencerahan (Enlightenment)
pada abad ke-17 dan 18 mempertegas semangat kepercayaan pada kemajuan, kebebasan,
dan universalisme nilai-nilai manusia.³
1.2.      
Rumusan Masalah
Berdasarkan konteks historis tersebut,
kajian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan fundamental:
1)                 
Apa yang membedakan
filsafat modern dengan filsafat klasik dan abad pertengahan?
2)                 
Bagaimana perkembangan
filsafat modern memengaruhi kerangka berpikir masyarakat Eropa dan dunia?
3)                 
Apa kontribusi utama
tokoh-tokoh filsafat modern terhadap ilmu pengetahuan, politik, dan kebudayaan?
4)                 
Bagaimana relevansi
filsafat modern dalam menghadapi problem kontemporer seperti krisis moral,
sosial, dan epistemologis?
1.3.      
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)                 
Menyajikan pemahaman
sistematis tentang konsep, tokoh, dan aliran filsafat modern.
2)                 
Menganalisis pengaruh
filsafat modern terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, politik, dan
kebudayaan.
3)                 
Mengkritisi warisan
filsafat modern dari perspektif kontemporer.
4)                 
Memberikan refleksi
filosofis mengenai relevansi filsafat modern dalam konteks global saat ini.
1.4.      
Signifikansi Kajian
Pembahasan tentang sejarah filsafat
modern penting bukan hanya untuk memahami perkembangan sejarah pemikiran Barat,
melainkan juga untuk membangun kerangka kritis dalam melihat perkembangan ilmu
dan budaya.⁴ Dengan mengkaji filsafat modern, kita dapat memahami akar
rasionalitas modern yang melahirkan revolusi ilmiah, demokrasi liberal,
kapitalisme, hingga kritik-kritik sosial radikal.⁵ Lebih jauh, kajian ini
memberi kontribusi terhadap dialog lintas budaya dan filsafat global, di mana
modernitas Barat berinteraksi dengan tradisi filsafat lain, termasuk Islam,
Asia, dan Afrika.⁶
Footnotes
[1]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 275–280.
[2]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image
Books, 1994), 12–15.
[3]               
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy
and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press,
2001), 3–7.
[4]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 245–250.
[5]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1996), 21–23.
[6]               
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity (Cambridge: MIT Press, 1990), 45–47.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Modern
2.1.      
Definisi dan
Karakteristik Umum
Filsafat modern merupakan fase
perkembangan pemikiran filsafat yang muncul pada abad ke-16 hingga 18, sebagai
kelanjutan dari transisi intelektual Renaisans, Reformasi, dan Revolusi Ilmiah.
Filsafat ini dicirikan oleh penekanan pada otonomi rasio, kebebasan individu,
dan kepercayaan bahwa manusia mampu menemukan dasar pengetahuan melalui metode
kritis.¹ Berbeda dengan filsafat abad pertengahan yang terikat pada otoritas
gereja, filsafat modern berusaha menegakkan prinsip-prinsip rasional yang dapat
diverifikasi melalui pengalaman dan argumentasi logis.²
2.2.      
Rasionalisme dan
Empirisme sebagai Pilar Epistemologi
Salah satu ciri fundamental filsafat
modern adalah munculnya dua aliran besar dalam epistemologi: rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme menekankan bahwa akal budi merupakan sumber utama
pengetahuan, sebagaimana ditegaskan Descartes dengan prinsip cogito ergo sum
yang menjadi dasar kepastian pengetahuan.³ Di sisi lain, empirisme, yang
dikembangkan oleh Locke, Berkeley, dan Hume, menegaskan bahwa seluruh
pengetahuan berakar pada pengalaman indrawi.⁴ Pertentangan dan dialog antara
kedua aliran ini menjadi fondasi utama perkembangan filsafat modern, hingga
akhirnya disintesiskan oleh Kant dalam filsafat kritisnya.⁵
2.3.      
Kritik terhadap
Otoritas Tradisional
Filsafat modern juga ditandai oleh
kritik terhadap otoritas tradisional, baik dalam agama maupun politik. Kaum
filsuf menuntut kebebasan berpikir serta menolak dogmatisme yang tidak dapat dibuktikan
secara rasional. Hal ini tercermin dalam semangat Pencerahan yang menekankan sapere
aude—“beranilah berpikir sendiri,” sebagaimana dipopulerkan oleh Immanuel
Kant.⁶ Dengan demikian, filsafat modern bukan sekadar sistem pemikiran, tetapi
juga sebuah proyek emansipasi intelektual yang berupaya membebaskan manusia
dari belenggu ketidakdewasaan berpikir.⁷
2.4.      
Prinsip
Individualisme dan Subjektivitas
Selain rasionalitas, filsafat modern
menegaskan nilai individualisme. Subjek manusia dianggap sebagai pusat
pengalaman dan pengetahuan. Hal ini terlihat dalam karya Descartes, Locke,
maupun Rousseau yang menekankan kebebasan dan hak-hak dasar manusia.⁸ Konsep
subjektivitas ini kemudian berkembang menjadi dasar bagi filsafat politik
modern, etika, dan teori sosial. Dengan kata lain, filsafat modern meletakkan
subjek sebagai titik tolak filsafat sekaligus motor perubahan sosial.⁹
2.5.      
Perbedaan dengan
Filsafat Klasik dan Abad Pertengahan
Jika filsafat klasik (Yunani)
berorientasi pada kosmos sebagai pusat refleksi, dan filsafat abad pertengahan
pada harmoni antara iman dan akal, maka filsafat modern menitikberatkan pada
manusia sebagai subjek rasional yang otonom.¹⁰ Perbedaan ini menandai lahirnya
paradigma baru yang menekankan metode kritis, analitis, dan sistematis dalam
mencari pengetahuan.¹¹
Footnotes
[1]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 275.
[2]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 245–246.
[3]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image
Books, 1994), 55–57.
[4]               
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(London: Thomas Basset, 1690), 43–45.
[5]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
136–140.
[6]               
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is
Enlightenment?” (1784), dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11.
[7]               
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy
and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press,
2001), 9–11.
[8]               
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract,
trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–52.
[9]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 143–145.
[10]            
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle
Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 3–5.
[11]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1996), 22–23.
3.          
Latar Historis
Filsafat Modern
3.1.      
Renaisans: Humanisme
dan Kebangkitan Klasik
Periode Renaisans (abad ke-14 hingga
ke-16) menjadi salah satu fondasi utama lahirnya filsafat modern. Gerakan
intelektual ini ditandai dengan semangat ad fontes—kembali kepada
sumber-sumber klasik Yunani dan Romawi—yang membangkitkan kembali minat pada
seni, sains, dan filsafat kuno.¹ Humanisme Renaisans menempatkan manusia
sebagai pusat perhatian intelektual, berbeda dari teosentrisme abad
pertengahan. Pemikiran tokoh seperti Francesco Petrarca (1304–1374) dan
Giovanni Pico della Mirandola (1463–1494) menekankan martabat dan kebebasan
manusia sebagai makhluk rasional.²
Selain itu, perkembangan seni dan ilmu
pengetahuan dalam era Renaisans, seperti karya Leonardo da Vinci dan
Michelangelo, memperlihatkan pergeseran cara pandang dari dunia transenden
menuju dunia empiris dan humanistik.³ Dengan demikian, Renaisans membuka jalan
bagi pemisahan filsafat dari teologi skolastik dan meletakkan fondasi bagi
pendekatan ilmiah yang lebih kritis.
3.2.      
Reformasi:
Pergeseran Otoritas Religius
Gerakan Reformasi Protestan yang
dipelopori Martin Luther (1483–1546) juga memberi pengaruh signifikan terhadap
lahirnya filsafat modern. Reformasi menggugat otoritas absolut Gereja Katolik
dan menekankan kebebasan individu dalam menafsirkan Kitab Suci.⁴ Prinsip sola
scriptura dan sola fide mendorong lahirnya kesadaran baru mengenai
otonomi pribadi, kebebasan berkeyakinan, serta tanggung jawab individual dalam
ranah spiritual.
Dampak intelektual Reformasi tidak
hanya bersifat teologis, tetapi juga filosofis. Dengan melemahkan dominasi
Gereja atas kehidupan intelektual, Reformasi membuka ruang bagi filsafat untuk
berkembang secara independen.⁵ Akibatnya, muncul kecenderungan untuk menilai
segala sesuatu berdasarkan akal budi dan pengalaman manusia, bukan sekadar
otoritas dogmatis.
3.3.      
Revolusi Ilmiah:
Metode Baru dalam Pengetahuan
Revolusi Ilmiah pada abad ke-16 dan 17
merupakan tonggak penting yang secara langsung memengaruhi filsafat modern.
Penemuan Nicolaus Copernicus (1473–1543) tentang heliosentrisme menantang
pandangan geosentris yang diwariskan Aristoteles dan didukung Gereja.⁶ Perkembangan
ini dilanjutkan oleh Galileo Galilei (1564–1642) dengan eksperimen mekanikanya,
Johannes Kepler (1571–1630) dengan hukum gerak planet, dan Isaac Newton
(1643–1727) dengan teori gravitasi universalnya.⁷
Revolusi Ilmiah menegaskan pentingnya
observasi, eksperimen, dan penggunaan matematika sebagai dasar ilmu
pengetahuan. Prinsip ini menjadi inspirasi bagi filsafat modern untuk
mengembangkan metode epistemologis baru. Tokoh seperti Francis Bacon
(1561–1626) memperkenalkan Novum Organum yang menekankan metode
induktif, sementara René Descartes (1596–1650) mengembangkan metode deduktif
melalui keragu-raguan metodis.⁸ Dari sinilah filsafat modern semakin terikat
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga lahir pemikiran yang lebih
sistematis dan kritis dalam menafsirkan realitas.
3.4.      
Transformasi Sosial,
Politik, dan Kultural
Selain faktor intelektual, perubahan
sosial dan politik juga berperan besar dalam membentuk filsafat modern.
Kebangkitan negara-bangsa (nation-state) di Eropa, perkembangan ekonomi kapitalis,
serta penemuan dunia baru melalui ekspedisi kolonial menciptakan horizon baru
dalam filsafat.⁹ Pemikiran politik modern, sebagaimana dirumuskan oleh Thomas
Hobbes (1588–1679) dalam Leviathan dan John Locke (1632–1704) dalam Two
Treatises of Government, berakar pada konteks transformasi ini. Mereka
menekankan pentingnya kontrak sosial, hak-hak individu, serta dasar legitimasi
kekuasaan yang rasional.¹⁰
Di sisi lain, perkembangan teknologi
percetakan sejak abad ke-15 mempercepat penyebaran ide-ide baru.¹¹ Buku-buku
filsafat, sains, dan politik dapat diakses lebih luas, sehingga mempercepat
terbentuknya komunitas intelektual lintas negara. Perubahan ini mengubah wajah
filsafat menjadi lebih publik, terbuka, dan demokratis dalam penyebaran gagasan.
Sintesis Historis
Secara keseluruhan, latar historis
filsafat modern dibentuk oleh tiga gelombang besar: Renaisans dengan humanisme
dan kebangkitan klasik, Reformasi dengan kebebasan religius, serta Revolusi
Ilmiah dengan metode empiris-rasional baru. Ditambah dengan transformasi sosial
dan politik, semua faktor ini melahirkan iklim intelektual yang menuntut
paradigma baru dalam filsafat.¹² Dengan demikian, filsafat modern tidak lahir
dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil dialektika panjang antara tradisi
klasik, otoritas abad pertengahan, dan dinamika zaman modern awal.
Footnotes
[1]               
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its
Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 23–25.
[2]               
Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness:
Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of
Chicago Press, 1970), 134–140.
[3]               
Jacob Burckhardt, The Civilization of the
Renaissance in Italy (New York: Modern Library, 1990), 55–58.
[4]               
Heiko A. Oberman, The Dawn of the Reformation
(Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 47–50.
[5]               
Alister E. McGrath, Reformation Thought: An
Introduction (Oxford: Blackwell, 1999), 105–107.
[6]               
Nicolaus Copernicus, On the Revolutions of the
Heavenly Spheres, trans. Charles Glenn Wallis (Amherst: Prometheus Books,
1995), 37–39.
[7]               
Thomas S. Kuhn, The Copernican Revolution
(Cambridge: Harvard University Press, 1957), 215–220.
[8]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H.
Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), 95–100.
[9]               
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political
Thought, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 211–215.
[10]            
John Locke, Two Treatises of Government, ed.
Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 123–126.
[11]            
Elizabeth Eisenstein, The Printing Press as an
Agent of Change (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 45–49.
[12]            
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 287–289.
4.          
Rasionalisme
4.1.      
Konsep Dasar
Rasionalisme
Rasionalisme merupakan salah satu
aliran epistemologis utama dalam filsafat modern yang menekankan bahwa sumber
pengetahuan sejati terletak pada akal budi (ratio) manusia.¹ Aliran ini
muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan atas otoritas tradisional abad
pertengahan serta sebagai upaya untuk membangun fondasi pengetahuan yang pasti
dan tidak dapat diragukan. Rasionalisme menegaskan bahwa ada
kebenaran-kebenaran yang dapat diperoleh melalui deduksi logis tanpa harus
bergantung sepenuhnya pada pengalaman indrawi.²
Ciri khas rasionalisme terletak pada
tiga prinsip utama: (1) keyakinan pada ide bawaan (innate ideas), (2)
kepercayaan pada kepastian matematika sebagai model pengetahuan, dan (3) metode
deduksi sebagai sarana utama mencapai kebenaran.³ Dengan demikian, rasionalisme
berusaha membangun sistem filsafat yang koheren, universal, dan dapat
diverifikasi oleh rasio manusia.
4.2.      
René Descartes:
Fondasi Rasionalisme Modern
René Descartes (1596–1650) dianggap
sebagai bapak rasionalisme modern. Dalam karyanya Meditationes de Prima
Philosophia (1641), ia mengajukan metode keragu-raguan metodis (methodical
doubt) untuk menemukan dasar pengetahuan yang tidak dapat digoyahkan.⁴ Dari
metode ini lahirlah prinsip terkenal cogito ergo sum (“aku berpikir,
maka aku ada”), yang menjadi titik tolak epistemologi modern.⁵
Bagi Descartes, akal budi manusia
memiliki ide bawaan, termasuk gagasan tentang Tuhan dan kebenaran matematis.
Pengetahuan sejati, menurutnya, diperoleh bukan dari pengalaman yang
berubah-ubah, tetapi dari ide-ide yang jelas dan terpilah (clear and
distinct ideas).⁶ Pandangan ini memengaruhi bukan hanya epistemologi,
tetapi juga ontologi, di mana Descartes membedakan antara substansi berpikir (res
cogitans) dan substansi yang terbentang (res extensa).⁷
4.3.      
Baruch Spinoza:
Rasionalisme Monistik
Tokoh penting lain dalam rasionalisme
adalah Baruch Spinoza (1632–1677). Dalam karyanya Ethica (1677), Spinoza
mengembangkan sistem filsafat yang bersifat monistik, yakni bahwa segala
sesuatu merupakan manifestasi dari satu substansi tunggal yang ia sebut Tuhan
atau Alam (Deus sive Natura).⁸
Berbeda dari Descartes yang membedakan
dua substansi, Spinoza menolak dualisme dan menegaskan bahwa semua realitas
dapat dipahami melalui hukum rasional yang niscaya. Pengetahuan tertinggi,
menurutnya, diperoleh melalui intuisi intelektual yang memungkinkan manusia
memahami dunia sebagai kesatuan yang koheren.⁹ Spinoza juga menekankan
determinisme: segala sesuatu terjadi secara niscaya menurut hukum alam,
sehingga kebebasan sejati berarti memahami keteraturan rasional dunia.¹⁰
4.4.      
Gottfried Wilhelm
Leibniz: Harmoni Pradestinasional
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716)
melanjutkan tradisi rasionalisme dengan pendekatan metafisik yang khas. Ia
mengajukan konsep monad, yaitu substansi sederhana, immaterial, dan
aktif yang menjadi dasar realitas.¹¹ Setiap monad merupakan pusat persepsi unik
yang mencerminkan keseluruhan kosmos dari perspektifnya sendiri.
Leibniz juga terkenal dengan doktrin pre-established
harmony, yaitu bahwa setiap monad, meskipun independen, tetap selaras satu
sama lain karena telah diatur oleh Tuhan sejak awal penciptaan.¹² Dengan
demikian, dunia ini merupakan “yang terbaik dari segala kemungkinan dunia” (the
best of all possible worlds), meskipun tampak mengandung penderitaan dan
ketidaksempurnaan.¹³
4.5.      
Kontribusi
Rasionalisme bagi Filsafat Modern
Rasionalisme memberi kontribusi besar
dalam membangun kerangka filsafat modern. Pertama, ia memperkenalkan standar
kepastian pengetahuan yang berbasis pada matematika dan logika. Kedua, ia
menekankan kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran universal melalui akal
budi, terlepas dari pengalaman empiris. Ketiga, ia membuka jalan bagi filsafat
sistematis yang berusaha menjelaskan realitas secara menyeluruh dan koheren.¹⁴
4.6.      
Kritik terhadap
Rasionalisme
Meskipun berpengaruh besar,
rasionalisme tidak luput dari kritik. Empirisis seperti John Locke dan David
Hume menolak gagasan ide bawaan dan menegaskan bahwa semua pengetahuan berakar
pada pengalaman.¹⁵ Selain itu, rasionalisme dianggap terlalu menekankan
kepastian deduktif sehingga cenderung mengabaikan kompleksitas realitas
empiris. Kritik paling mendalam datang dari Immanuel Kant, yang berusaha
mensintesiskan rasionalisme dan empirisme melalui filsafat kritisnya.¹⁶
Namun, terlepas dari kritik-kritik
tersebut, rasionalisme tetap menjadi fondasi penting bagi filsafat modern,
khususnya dalam mengembangkan keyakinan pada kemampuan akal budi manusia serta
dalam membentuk paradigma ilmu pengetahuan yang rasional dan sistematis.¹⁷
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image
Books, 1994), 13–15.
[2]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 285–287.
[3]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 259–261.
[4]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.
[5]               
Descartes, Meditations, 24.
[6]               
Descartes, Principles of Philosophy, trans.
Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 207–210.
[7]               
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Oxford University Press, 1995), 144–147.
[8]               
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin, 1996), 3–5.
[9]               
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112–115.
[10]            
Spinoza, Ethics, 67–70.
[11]            
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans.
Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), 47–49.
[12]            
Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. Ariew
and Garber (Indianapolis: Hackett, 1989), 56–58.
[13]            
Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge,
2005), 89–92.
[14]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
264–266.
[15]            
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(London: Thomas Basset, 1690), 43–44.
[16]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
124–127.
[17]            
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy
and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press,
2001), 33–36.
5.          
Empirisme
5.1.      
Konsep Dasar
Empirisme
Empirisme merupakan aliran filsafat
modern yang menegaskan bahwa seluruh pengetahuan berakar pada pengalaman
indrawi.¹ Berbeda dengan rasionalisme yang menekankan peran akal dan ide
bawaan, empirisme berargumen bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah tabula
rasa (lembaran kosong), dan hanya melalui pengalamanlah pengetahuan dapat
diperoleh.² Dengan demikian, empirisme menekankan observasi, eksperimen, dan
induksi sebagai metode utama dalam memperoleh kebenaran.
Aliran ini berkembang di Inggris pada
abad ke-17 dan 18, sehingga sering disebut “empirisme Inggris.” Fokus utamanya
adalah epistemologi, yakni bagaimana manusia memperoleh, memvalidasi, dan
membatasi pengetahuannya.³
5.2.      
John Locke: Tabula
Rasa dan Ide-ide
John Locke (1632–1704) adalah tokoh
sentral dalam empirisme. Dalam An Essay Concerning Human Understanding
(1690), ia menolak gagasan ide bawaan dan mengajukan teori tabula rasa.⁴
Menurut Locke, seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman yang terbagi dua:
(1) sensasi, yaitu pengalaman indrawi eksternal; dan (2) refleksi, yaitu pengalaman
internal atas aktivitas pikiran.⁵
Locke membedakan antara kualitas primer
(seperti bentuk, ukuran, gerakan) yang objektif, dan kualitas sekunder (seperti
warna, rasa, bau) yang subjektif.⁶ Pandangan ini membuka ruang bagi pemisahan
antara realitas objektif dan persepsi subjektif, suatu gagasan yang kelak
memengaruhi filsafat ilmu modern.
5.3.      
George Berkeley:
Immaterialisme
George Berkeley (1685–1753) melanjutkan
tradisi empirisme dengan penekanan radikal terhadap peran persepsi. Dalam
karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710),
ia berpendapat bahwa “ada” berarti “dipersepsi” (esse est percipi).⁷
Dengan kata lain, keberadaan benda bergantung pada fakta bahwa benda tersebut
dipersepsi oleh subjek.
Bagi Berkeley, gagasan tentang materi
yang ada secara independen dari persepsi adalah ilusi metafisik. Semua yang ada
adalah ide dalam pikiran, dan keberlangsungan realitas dijamin oleh persepsi
Tuhan yang senantiasa hadir.⁸ Konsep immaterialisme Berkeley merupakan kritik
terhadap materialisme sekaligus bentuk konsistensi dalam mengembangkan prinsip
empiris: bahwa kita hanya mengetahui apa yang kita alami secara langsung.
5.4.      
David Hume:
Skeptisisme Empiris
David Hume (1711–1776) merupakan puncak
perkembangan empirisme. Dalam A Treatise of Human Nature (1739–1740), ia
mengajukan analisis mendalam mengenai pengalaman manusia. Hume membedakan
antara impressions (kesan indrawi yang kuat dan hidup) serta ideas
(salinan lemah dari kesan).⁹
Hume mengkritik gagasan kausalitas yang
selama ini diterima sebagai hubungan niscaya. Menurutnya, yang kita sebut
sebab-akibat hanyalah kebiasaan pikiran yang terbentuk dari pengulangan
pengalaman.¹⁰ Dengan demikian, kepastian kausalitas tidak dapat dibuktikan
secara rasional maupun empiris, melainkan merupakan konstruksi psikologis.
Pandangan ini mengguncang fondasi filsafat modern, sekaligus membuka jalan bagi
filsafat kritis Immanuel Kant.¹¹
Selain itu, Hume juga menolak validitas
argumen teologis tradisional, seperti bukti kosmologis dan teleologis tentang
keberadaan Tuhan. Ia berpendapat bahwa keyakinan religius lebih didasarkan pada
kebiasaan dan emosi daripada bukti empiris.¹²
5.5.      
Kontribusi Empirisme
terhadap Filsafat Modern
Empirisme memberikan kontribusi penting
bagi filsafat modern. Pertama, ia menekankan pentingnya metode ilmiah berbasis
observasi dan eksperimen, yang kelak melahirkan filsafat ilmu. Kedua, empirisme
mengajarkan skeptisisme sehat terhadap klaim metafisik yang tidak dapat
diverifikasi. Ketiga, dengan analisisnya mengenai batas pengetahuan manusia,
empirisme memperluas ruang kritis dalam filsafat modern.¹³
5.6.      
Kritik terhadap
Empirisme
Meski berpengaruh besar, empirisme juga
menghadapi kritik serius. Rasionalis menilai empirisme terlalu membatasi
pengetahuan pada pengalaman indrawi, sehingga mengabaikan kemampuan akal budi
untuk menemukan prinsip universal.¹⁴ Kant menilai bahwa Hume, dengan
skeptisisme ekstremnya, justru “membangunkan” dirinya dari “tidur dogmatis,”
karena memaksa ia merumuskan sintesis baru antara rasionalisme dan empirisme
melalui filsafat kritis.¹⁵
Selain itu, empirisme cenderung
terjebak pada problem relativitas persepsi: jika pengetahuan sepenuhnya
bergantung pada pengalaman subjektif, bagaimana mungkin kita mencapai kebenaran
objektif? Pertanyaan ini tetap menjadi perdebatan dalam epistemologi hingga
saat ini.¹⁶
Footnotes
[1]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 292–294.
[2]               
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(London: Thomas Basset, 1690), 43–45.
[3]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 5, Modern Philosophy: The British Philosophers from Hobbes to Hume
(New York: Image Books, 1994), 21–23.
[4]               
Locke, Essay, 59–61.
[5]               
Locke, Essay, 104–107.
[6]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 273–275.
[7]               
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 25–27.
[8]               
Stephen H. Daniel, George Berkeley and Early Modern
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2006), 65–67.
[9]               
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed.
David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000),
1–3.
[10]            
Hume, Treatise, 173–176.
[11]            
Paul Russell, The Riddle of Hume’s Treatise:
Skepticism, Naturalism, and Irreligion (Oxford: Oxford University Press,
2008), 121–125.
[12]            
Hume, Dialogues Concerning Natural Religion,
ed. Richard H. Popkin (Indianapolis: Hackett, 1980), 42–45.
[13]            
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy
and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press,
2001), 88–91.
[14]            
Copleston, History of Philosophy, Vol. 4,
112–113.
[15]            
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future
Metaphysics, trans. Gary Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press,
2004), 7–9.
[16]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
277–278.
6.          
Pencerahan
(Enlightenment)
6.1.      
Konsep dan Semangat
Pencerahan
Pencerahan, atau Enlightenment,
adalah gerakan intelektual yang berkembang pada abad ke-17 dan 18 di Eropa,
ditandai oleh kepercayaan pada rasio, kebebasan, dan kemajuan manusia.¹ Moto
terkenal dari gerakan ini adalah sapere aude (“beranilah berpikir
sendiri”), yang dirumuskan oleh Immanuel Kant dalam esainya tahun 1784.²
Pencerahan bukan sekadar aliran filsafat, melainkan sebuah proyek kultural yang
bertujuan membebaskan manusia dari ketidakdewasaan intelektual dan belenggu
otoritas tradisional, terutama Gereja dan monarki absolut.
Gerakan ini menekankan bahwa akal
manusia, bila digunakan secara bebas, mampu membawa masyarakat menuju kemajuan
moral, sosial, dan politik.³ Prinsip-prinsip kebebasan berpikir, toleransi
beragama, dan hak-hak individu menjadi bagian integral dari semangat
Pencerahan.
6.2.      
Rasionalitas dan
Ilmu Pengetahuan
Pencerahan erat kaitannya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan modern. Revolusi Ilmiah sebelumnya menyediakan
kerangka metodologis bagi filsuf Pencerahan untuk menekankan pentingnya
observasi, eksperimen, dan hukum-hukum rasional. Tokoh seperti Francis Bacon
dan Isaac Newton dipandang sebagai teladan dalam menggabungkan rasio dan
pengalaman untuk memahami alam.⁴
Filsuf Pencerahan percaya bahwa hukum
alam tidak hanya berlaku pada fenomena fisik, tetapi juga pada masyarakat
manusia.⁵ Oleh karena itu, mereka berusaha menemukan prinsip-prinsip rasional
yang dapat diterapkan pada etika, politik, dan hukum, dengan tujuan menciptakan
masyarakat yang lebih adil dan rasional.
6.3.      
Tokoh-Tokoh Utama
Pencerahan
Pencerahan melahirkan banyak pemikir
besar yang menyumbangkan gagasan fundamental bagi perkembangan filsafat modern:
·                    
Voltaire (1694–1778):
Kritikus tajam terhadap intoleransi agama dan
otoritarianisme. Ia memperjuangkan kebebasan berpendapat, toleransi, dan
reformasi sosial.⁶
·                    
Jean-Jacques Rousseau
(1712–1778): 
Dalam The Social Contract (1762), ia mengajukan
gagasan tentang kedaulatan rakyat dan volonté générale (kehendak umum)
sebagai dasar legitimasi politik.⁷ Rousseau juga menekankan pentingnya
pendidikan yang alami dalam Émile.
·                    
Montesquieu (1689–1755):
Melalui The Spirit of the Laws (1748), ia
memperkenalkan prinsip pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, yang sangat berpengaruh pada teori politik modern.⁸
·                    
Denis Diderot
(1713–1784): 
Penyunting utama Encyclopédie, proyek besar yang
bertujuan menyebarkan pengetahuan secara luas dan menantang otoritas
intelektual tradisional.⁹
·                    
Immanuel Kant
(1724–1804): 
Meskipun karyanya yang kritis menandai fase berikutnya,
esai “What is Enlightenment?” menegaskan semangat kebebasan berpikir yang
menjadi inti Pencerahan.¹⁰
6.4.      
Dampak Sosial dan
Politik
Gerakan Pencerahan memiliki pengaruh
luas terhadap kehidupan sosial dan politik Eropa. Gagasan tentang kebebasan,
kesetaraan, dan kedaulatan rakyat menjadi inspirasi bagi Revolusi Amerika
(1776) dan Revolusi Prancis (1789).¹¹ Selain itu, prinsip sekularisasi yang
berkembang pada masa ini mendorong pemisahan antara agama dan negara, serta
menumbuhkan toleransi beragama di berbagai wilayah Eropa.
Pencerahan juga membawa perubahan dalam
bidang ekonomi dan pendidikan. Teori laissez-faire dari Adam Smith dalam The
Wealth of Nations (1776) menekankan kebebasan pasar, sementara gagasan
pendidikan universal yang digagas oleh Rousseau dan Condorcet memperkuat
keyakinan akan peran rasio dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.¹²
6.5.      
Kritik terhadap
Pencerahan
Meskipun membawa semangat kebebasan dan
kemajuan, Pencerahan juga mendapat kritik. Pertama, gerakan ini dianggap
terlalu optimistis terhadap kemampuan rasio manusia, sehingga mengabaikan
dimensi irasional, emosional, dan spiritual.¹³ Kedua, kolonialisme Eropa sering
menggunakan retorika Pencerahan tentang “kemajuan” untuk melegitimasi dominasi
atas bangsa lain.¹⁴
Selain itu, pemikiran Rousseau
menunjukkan paradoks internal dalam Pencerahan: sementara banyak filsuf
menekankan individualisme dan kemajuan teknologi, Rousseau mengingatkan bahwa
kemajuan peradaban juga bisa mengasingkan manusia dari alam dan merusak
moralitas.¹⁵ Kritik-kritik ini menjadi dasar bagi romantisisme dan filsafat
postmodern, yang menyoroti keterbatasan proyek rasionalitas modern.
Sintesis Historis
Pencerahan merupakan momen puncak
filsafat modern, di mana rasionalisme dan empirisme menemukan bentuk
sosial-politiknya dalam sebuah gerakan intelektual global.¹⁶ Semangat
Pencerahan melahirkan revolusi politik, ekonomi, dan kultural yang mengubah
wajah dunia Barat dan berdampak hingga ke seluruh dunia. Meskipun tidak lepas
dari kelemahan dan kontradiksi, Pencerahan tetap menjadi tonggak sejarah dalam
perkembangan filsafat modern, yang menegaskan nilai kebebasan, rasionalitas,
dan martabat manusia sebagai dasar peradaban modern.
Footnotes
[1]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
Vol. 1: The Rise of Modern Paganism (New York: W. W. Norton & Company,
1996), 3–6.
[2]               
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What Is
Enlightenment?” (1784), dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11.
[3]               
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy
and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press,
2001), 7–10.
[4]               
Steven Shapin, The Scientific Revolution
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 92–95.
[5]               
Dorinda Outram, The Enlightenment (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 45–47.
[6]               
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans.
Theodore Besterman (London: Penguin, 1972), 33–36.
[7]               
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract,
trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–52.
[8]               
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans.
Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 155–157.
[9]               
Denis Diderot, Encyclopédie, ed. John Lough
(New York: Pergamon, 1968), 11–14.
[10]            
Kant, “What Is Enlightenment?”, 14–16.
[11]            
Robert Darnton, The Business of Enlightenment: A
Publishing History of the Encyclopédie (Cambridge: Harvard University
Press, 1979), 87–90.
[12]            
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 115–118.
[13]            
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press,
2002), 3–5.
[14]            
Sankar Muthu, Enlightenment against Empire
(Princeton: Princeton University Press, 2003), 21–23.
[15]            
Jean-Jacques Rousseau, Discourse on the Sciences
and Arts (1750), dalam The Discourses and Other Early Political Writings,
ed. Victor Gourevitch (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–15.
[16]            
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 303–305.
7.          
Sintesis Kantian dan
Idealism Jerman
7.1.      
Latar Belakang:
Krisis antara Rasionalisme dan Empirisme
Perkembangan filsafat modern hingga
abad ke-18 ditandai oleh pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalis
menegaskan bahwa pengetahuan berakar pada akal budi dan ide bawaan, sedangkan
kaum empiris meyakini pengalaman indrawi sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan.¹ Ketegangan ini menimbulkan problem epistemologis serius, terutama
setelah skeptisisme David Hume mengguncang fondasi kausalitas dan kepastian
pengetahuan.² Dalam konteks inilah Immanuel Kant hadir dengan proyek filsafat
kritisnya, yang berupaya mendamaikan rasionalisme dan empirisme melalui
sintesis transendental.
7.2.      
Immanuel Kant:
Kritik atas Rasio Murni
Immanuel Kant (1724–1804) melalui
karyanya Critique of Pure Reason (1781; edisi kedua 1787) mengajukan
revolusi kopernikan dalam filsafat.³ Ia berargumen bahwa pengetahuan tidak
semata-mata ditentukan oleh objek, melainkan juga oleh struktur apriori dalam
subjek. Menurut Kant, pengalaman indrawi memang memberikan materi pengetahuan,
tetapi bentuk pengetahuan ditentukan oleh kategori-kategori apriori akal budi.⁴
Kant membedakan antara fenomena
(realitas sebagaimana tampak pada pengalaman) dan noumena (realitas pada
dirinya sendiri yang tidak dapat diakses manusia).⁵ Dengan demikian, ia menolak
klaim metafisik spekulatif sekaligus mengkritisi skeptisisme ekstrem. Sintesis
Kant menunjukkan bahwa pengetahuan sahih merupakan hasil kerja sama antara
rasio dan pengalaman.⁶
Selain itu, dalam Critique of
Practical Reason (1788), Kant menekankan otonomi moral manusia. Prinsip
kategoris imperatif (categorical imperative) menuntut bahwa tindakan
moral harus bersifat universal, yakni dapat dijadikan hukum bagi semua orang.⁷
Dengan pemikiran ini, Kant meletakkan dasar bagi etika deontologis modern dan
memberikan kontribusi signifikan dalam filsafat politik dan hukum.
7.3.      
Fichte:
Subjektivitas Radikal
Johann Gottlieb Fichte (1762–1814)
melanjutkan filsafat kritis Kant dengan menekankan peran aktif subjek dalam
membentuk realitas.⁸ Bagi Fichte, ego absolut adalah prinsip utama
segala pengetahuan dan realitas. Dunia objektif bukanlah sesuatu yang mandiri,
melainkan konstruksi dari aktivitas subjek.⁹ Fichte menekankan kebebasan dan
kreativitas manusia, sehingga filsafatnya memiliki dimensi praktis yang erat
kaitannya dengan kebebasan politik dan tanggung jawab etis.
7.4.      
Schelling: Identitas
Alam dan Roh
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling
(1775–1854) berusaha mengatasi dualisme Kantian antara subjek dan objek dengan
filsafat identitas.¹⁰ Menurut Schelling, alam dan roh pada dasarnya adalah
manifestasi dari prinsip yang sama. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan
hakiki antara dunia objektif dan subjektif; keduanya adalah aspek dari
identitas mutlak.¹¹
Schelling juga mengembangkan filsafat
alam yang menekankan kesatuan organik dunia. Pandangan ini memengaruhi
romantisisme Jerman, seni, serta pemikiran ekologis pada periode berikutnya.¹²
7.5.      
Hegel: Dialektika
dan Roh Absolut
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
(1770–1831) merupakan puncak idealisme Jerman. Dalam karyanya Phenomenology
of Spirit (1807), Hegel menguraikan proses perkembangan kesadaran menuju
pengetahuan absolut melalui dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis.¹³
Bagi Hegel, realitas adalah manifestasi
dari Roh Absolut (Geist) yang berkembang secara historis.¹⁴ Sejarah
manusia dipahami sebagai proses rasional menuju kebebasan yang lebih tinggi.
Negara modern, menurutnya, adalah perwujudan tertinggi kebebasan etis, karena
mengintegrasikan kebebasan individu dalam kerangka hukum dan institusi
sosial.¹⁵
Hegel juga menekankan bahwa kontradiksi
bukanlah kelemahan, melainkan motor penggerak perkembangan ide dan sejarah.
Filsafatnya memberikan kerangka spekulatif yang sangat luas, memengaruhi
berbagai tradisi berikutnya, mulai dari Marxisme hingga eksistensialisme.¹⁶
7.6.      
Kontribusi Idealism
Jerman
Idealism Jerman memberikan kontribusi
monumental bagi filsafat modern. Pertama, ia melanjutkan kritik Kantian dengan
memperluas peran subjek sebagai pusat realitas. Kedua, ia membangun sistem
filsafat yang integratif, meliputi epistemologi, metafisika, etika, seni, dan
politik. Ketiga, ia menginspirasi gerakan intelektual besar, termasuk
romantisisme, filsafat politik modern, hingga kritik sosial.¹⁷
7.7.      
Kritik terhadap
Idealism Jerman
Meskipun monumental, idealisme Jerman
juga dikritik. Filsafat Kant dianggap terlalu membatasi pengetahuan pada
fenomena dan meninggalkan noumena sebagai wilayah yang tak terjangkau.¹⁸ Fichte
dan Schelling dikritik karena kecenderungan spekulatifnya, sementara sistem
Hegel dianggap terlalu abstrak dan mengabaikan kompleksitas empiris.¹⁹
Selain itu, penekanan pada sistem
metafisik yang total sering dianggap berlawanan dengan semangat kritis
Pencerahan. Kritik ini membuka jalan bagi munculnya filsafat materialis (Marx),
eksistensialis (Kierkegaard), dan positivis (Comte), yang menolak sistem
spekulatif besar dan menekankan kembali dimensi praktis, empiris, atau
eksistensial manusia.²⁰
Sintesis Historis
Sintesis Kantian dan idealisme Jerman
menandai fase puncak filsafat modern sebelum memasuki era filsafat abad ke-19
yang lebih plural. Kant berhasil mendamaikan rasionalisme dan empirisme melalui
filsafat kritis, sementara Fichte, Schelling, dan Hegel mengembangkan sistem idealisme
yang menekankan dinamika subjek, identitas alam dan roh, serta dialektika
sejarah.²¹
Dengan demikian, tradisi ini bukan
hanya mewariskan sistem filosofis yang kompleks, tetapi juga menyumbangkan
kerangka bagi perkembangan filsafat politik, ilmu sosial, dan teori sejarah di
era modern maupun kontemporer.²²
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
5: Modern Philosophy: The British Philosophers from Hobbes to Hume (New
York: Image Books, 1994), 233–235.
[2]               
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed.
David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000),
xviii–xx.
[3]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
109–113.
[4]               
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism
(New Haven: Yale University Press, 2004), 72–74.
[5]               
Kant, Critique of Pure Reason, 190–193.
[6]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 342–345.
[7]               
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–29.
[8]               
Johann Gottlieb Fichte, The Science of Knowledge,
trans. Peter Heath and John Lachs (Cambridge: Cambridge University Press,
1982), 15–18.
[9]               
Daniel Breazeale, Thinking through the
Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 44–47.
[10]            
Frederick Beiser, German Idealism: The Struggle
against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge: Harvard University Press,
2002), 211–214.
[11]            
Schelling, Philosophical Investigations into the
Essence of Human Freedom, trans. Jeff Love and Johannes Schmidt (Albany:
SUNY Press, 2006), 49–52.
[12]            
Andrew Bowie, Schelling and Modern European
Philosophy (London: Routledge, 1993), 73–76.
[13]            
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of
Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 79–81.
[14]            
Hegel, Phenomenology of Spirit, 110–113.
[15]            
Hegel, Elements of the Philosophy of Right, ed.
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 212–215.
[16]            
Charles Taylor, Hegel (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 127–130.
[17]            
Terry Pinkard, German Philosophy 1760–1860: The
Legacy of Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 3–6.
[18]            
Allison, Kant’s Transcendental Idealism, 95–97.
[19]            
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol.
2: Hegel and Marx (Princeton: Princeton University Press, 1971), 30–33.
[20]            
Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its
Rise, Growth and Dissolution (Oxford: Oxford University Press, 1981),
11–14.
[21]            
Tarnas, The Passion of the Western Mind,
349–352.
[22]            
Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 312–315.
8.          
Aliran-Aliran
Pasca-Idealism
8.1.      
Latar Historis
Pasca-Idealism
Setelah puncaknya pada sistem filsafat
Immanuel Kant, Fichte, Schelling, dan Hegel, idealisme Jerman memasuki masa
kemunduran. Filsafat spekulatif yang besar, abstrak, dan sistematis dianggap
terlalu jauh dari kenyataan konkret.¹ Revolusi industri, perubahan
sosial-ekonomi, serta pergolakan politik abad ke-19 menuntut filsafat yang
lebih praktis, empiris, dan aplikatif.² Maka lahirlah berbagai aliran
pasca-idealisme yang mencoba menjawab tantangan zaman: positivisme,
utilitarianisme, materialisme, dan kritik sosial Marxian.
8.2.      
Positivisme: Sains
sebagai Dasar Pengetahuan
Auguste Comte (1798–1857) adalah tokoh
utama positivisme, sebuah aliran yang menekankan ilmu pengetahuan empiris
sebagai satu-satunya sumber sahih pengetahuan.³ Dalam Cours de Philosophie
Positive (1830–1842), Comte memperkenalkan “hukum tiga tahap”: (1) tahap
teologis, (2) tahap metafisis, dan (3) tahap positif (ilmiah).⁴
Menurut Comte, filsafat tidak lagi
boleh berspekulasi metafisis seperti dalam idealisme Jerman, melainkan harus
menjadi “ilmu tentang ilmu-ilmu,” yaitu refleksi sistematis atas metode
ilmiah.⁵ Positivisme memberi dorongan bagi lahirnya sosiologi sebagai ilmu
baru, sekaligus mengukuhkan paradigma saintifik dalam filsafat modern.
8.3.      
Utilitarianisme:
Moralitas sebagai Manfaat
Di Inggris, filsafat moral berkembang
dalam bentuk utilitarianisme yang dirintis oleh Jeremy Bentham (1748–1832) dan
dikembangkan oleh John Stuart Mill (1806–1873).⁶ Prinsip utama aliran ini
adalah the greatest happiness of the greatest number—tindakan dinilai
benar bila menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terbesar.⁷
Bentham menekankan kalkulasi utilitas
(hedonistic calculus), sementara Mill menambahkan dimensi kualitatif, yakni
perbedaan antara kesenangan “tinggi” (intellectual pleasures) dan kesenangan
“rendah.”⁸ Dengan demikian, utilitarianisme menjadi kerangka moral dan politik
yang praktis, sangat berpengaruh pada teori hukum, demokrasi, dan kebijakan
sosial.
8.4.      
Materialisme dan
Ateisme Filosofis
Di samping positivisme dan utilitarianisme,
berkembang pula aliran materialisme yang menolak dualisme idealisme. Ludwig
Feuerbach (1804–1872) menafsirkan agama sebagai proyeksi sifat-sifat manusia ke
dalam konsep Tuhan.⁹ Dengan demikian, teologi direduksi menjadi antropologi.
Materialisme abad ke-19 juga berakar
pada kemajuan ilmu alam, terutama biologi dan fisiologi. Tokoh seperti Jacob
Moleschott dan Carl Vogt menekankan bahwa fenomena mental dan spiritual
hanyalah produk dari proses fisiologis.¹⁰ Hal ini memunculkan ateisme filosofis
yang menolak keberadaan realitas supranatural.
8.5.      
Karl Marx: Kritik
Sosial dan Materialisme Historis
Karl Marx (1818–1883), yang awalnya
dipengaruhi Hegel, mengembangkan materialisme historis sebagai kritik terhadap
idealisme spekulatif.¹¹ Dalam Theses on Feuerbach (1845), Marx
menegaskan bahwa filsafat tidak cukup hanya menafsirkan dunia, tetapi harus
mengubahnya.¹²
Marx menekankan peran hubungan produksi
dan ekonomi sebagai basis dari struktur sosial dan politik. Sejarah,
menurutnya, adalah sejarah perjuangan kelas.¹³ Dengan kritiknya terhadap
kapitalisme, Marx melahirkan tradisi filsafat baru yang berpengaruh besar dalam
politik, ekonomi, dan teori sosial hingga abad ke-20.
8.6.      
Dampak Aliran-Aliran
Pasca-Idealism
Aliran-aliran pasca-idealisme membawa
perubahan arah filsafat modern. Positivisme mengukuhkan dominasi metode ilmiah,
utilitarianisme memberikan kerangka praktis dalam moralitas dan politik,
materialisme menekankan penjelasan naturalistik atas realitas, dan Marx
menghubungkan filsafat dengan praksis sosial revolusioner.¹⁴
Peralihan ini menandai pergeseran dari
filsafat sistematis yang spekulatif menuju filsafat yang lebih empiris,
praktis, dan terlibat langsung dengan problem kemanusiaan.¹⁵
8.7.      
Kritik terhadap
Pasca-Idealism
Meskipun progresif, aliran-aliran
pasca-idealisme juga menghadapi kritik. Positivisme dinilai terlalu reduksionis
dan mengabaikan dimensi etis maupun metafisis kehidupan manusia.¹⁶
Utilitarianisme dikritik karena mengorbankan keadilan individu demi kebahagiaan
kolektif.¹⁷ Materialisme dianggap gagal menjelaskan dimensi kesadaran subjektif
yang kompleks.¹⁸ Sementara Marxisme sering dikritik karena utopisme politik dan
kecenderungannya pada determinisme ekonomi.¹⁹
Namun, meski penuh kontroversi,
aliran-aliran ini membentuk lanskap filsafat modern dan menjadi jembatan menuju
filsafat kontemporer, termasuk eksistensialisme, pragmatisme, dan
postmodernisme.²⁰
Footnotes
[1]               
Frederick Beiser, German Idealism: The Struggle
against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge: Harvard University Press,
2002), 317–320.
[2]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 363–365.
[3]               
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 12–14.
[4]               
Comte, Cours, 45–47.
[5]               
Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual
Biography, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 211–213.
[6]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 11–13.
[7]               
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 9–11.
[8]               
Mill, Utilitarianism, 17–20.
[9]               
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
trans. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12–15.
[10]            
Frederick Gregory, Scientific Materialism in
Nineteenth Century Germany (Dordrecht: Reidel, 1977), 66–68.
[11]            
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of
1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 32–34.
[12]            
Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), dalam The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978),
143.
[13]            
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist
Manifesto (London: 1848), 14–16.
[14]            
Jonathan Sperber, Karl Marx: A Nineteenth-Century
Life (New York: Liveright, 2013), 201–203.
[15]            
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 333–335.
[16]            
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 39–42.
[17]            
Bernard Williams, Ethics and the Limits of
Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 108–110.
[18]            
Thomas Nagel, Mind and Cosmos (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 19–21.
[19]            
Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its
Rise, Growth, and Dissolution (Oxford: Oxford University Press, 1981),
126–129.
[20]            
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn
(Cambridge: Polity, 2010), 23–25.
9.          
Reaksi Terhadap
Modernitas
9.1.      
Latar Belakang
Reaksi Filosofis
Modernitas yang dibentuk oleh
rasionalisme, empirisme, Pencerahan, dan idealisme Jerman membawa janji
kemajuan intelektual dan sosial. Namun, sejak abad ke-19 muncul kritik yang
mempertanyakan validitas dan konsekuensi modernitas.¹ Bagi sebagian pemikir,
rasionalitas modern terlalu optimistis, reduksionis, dan menyingkirkan dimensi
manusiawi yang lebih dalam: emosi, iman, eksistensi, dan makna hidup.² Reaksi
terhadap modernitas ini melahirkan aliran-aliran filosofis baru, seperti
romantisisme, eksistensialisme awal, dan filsafat Nietzsche, yang menyoroti
keterbatasan serta sisi gelap proyek modern.
9.2.      
Romantisisme: Kritik
atas Rasionalitas Kering
Romantisisme muncul pada akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19 sebagai respons terhadap penekanan berlebihan pada
rasio dalam Pencerahan dan idealisme.³ Kaum Romantik menekankan pentingnya
imajinasi, perasaan, dan hubungan organik manusia dengan alam. Tokoh seperti
Johann Gottfried Herder (1744–1803) dan Friedrich Schiller (1759–1805)
menegaskan bahwa seni, puisi, dan budaya lokal memiliki nilai yang sama
pentingnya dengan sains dan filsafat rasional.⁴
Romantisisme menolak universalisme
abstrak Pencerahan, dan lebih menekankan keragaman historis serta kultural.⁵
Dengan demikian, gerakan ini tidak hanya reaksi estetis, tetapi juga filosofis,
yang menegaskan dimensi manusia yang terabaikan oleh rasionalitas modern.
9.3.      
Søren Kierkegaard:
Eksistensialisme Awal
Søren Kierkegaard (1813–1855) sering
disebut sebagai bapak eksistensialisme. Ia mengkritik sistem filsafat Hegelian
yang terlalu abstrak dan menyingkirkan individu konkret.⁶ Menurut Kierkegaard,
filsafat modern gagal menangkap pengalaman eksistensial manusia, khususnya soal
kecemasan, keputusasaan, dan pilihan iman.
Dalam Fear and Trembling (1843),
Kierkegaard menyoroti dilema iman Abraham sebagai contoh paradoks eksistensial
yang tak dapat diselesaikan oleh rasio semata.⁷ Ia menegaskan bahwa kebenaran
bersifat subjektif, dan bahwa lompatan iman (leap of faith) adalah inti
eksistensi manusia.⁸ Kritik ini bukan hanya terhadap modernitas rasional,
tetapi juga terhadap agama formal yang kehilangan dimensi personal dan
eksistensial.
9.4.      
Friedrich Nietzsche:
Kritik atas Moralitas dan Rasionalitas Modern
Friedrich Nietzsche (1844–1900) adalah
salah satu kritikus paling radikal terhadap modernitas. Dalam Thus Spoke
Zarathustra (1883–1885) dan On the Genealogy of Morals (1887),
Nietzsche menyerang moralitas tradisional yang menurutnya bersumber dari
“moralitas budak” Kristen.⁹
Nietzsche juga menolak rasionalitas
modern yang diwarisi dari Pencerahan dan idealisme, karena baginya rasionalitas
hanyalah bentuk lain dari kehendak untuk menundukkan kehidupan.¹⁰ Konsep will
to power (kehendak untuk berkuasa) menjadi prinsip fundamental bagi
kehidupan, sementara gagasan Übermensch (manusia unggul) ditawarkan
sebagai alternatif manusia modern yang terjebak dalam nihilisme.¹¹
Salah satu kritik Nietzsche yang paling
terkenal adalah deklarasi “Tuhan telah mati” (God is dead), yang
menandai runtuhnya nilai-nilai transenden dalam masyarakat modern.¹² Baginya,
modernitas telah menghancurkan fondasi religius, tetapi belum berhasil
menciptakan nilai-nilai baru, sehingga melahirkan krisis nihilisme.
9.5.      
Dampak Reaksi
terhadap Modernitas
Kritik dari romantisisme, Kierkegaard,
dan Nietzsche memperlihatkan sisi gelap modernitas: keterasingan manusia,
krisis makna, dan ancaman nihilisme.¹³ Reaksi ini membuka jalan bagi munculnya
filsafat eksistensialisme abad ke-20 (Heidegger, Sartre), teori kritis
(Horkheimer, Adorno), dan bahkan postmodernisme yang menolak narasi besar
modernitas.¹⁴
Dengan demikian, reaksi terhadap
modernitas bukan hanya perlawanan, tetapi juga koreksi penting terhadap
kepercayaan buta pada rasionalitas. Ia menegaskan bahwa filsafat harus kembali
menimbang aspek personal, historis, emosional, dan spiritual manusia.¹⁵
Sintesis Historis
Reaksi terhadap modernitas
memperlihatkan dinamika dialektis dalam sejarah filsafat. Jika modernitas
mengusung proyek emansipasi melalui rasio, maka reaksi terhadapnya mengingatkan
akan keterbatasan rasio serta pentingnya dimensi eksistensial dan nilai-nilai
kehidupan.¹⁶ Gerakan ini menegaskan bahwa filsafat modern tidak linier,
melainkan penuh kritik internal yang memperkaya perjalanan pemikiran manusia.
Footnotes
[1]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 375–377.
[2]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 351–353.
[3]               
Isaiah Berlin, The Roots of Romanticism
(Princeton: Princeton University Press, 1999), 22–25.
[4]               
Frederick C. Beiser, The Romantic Imperative: The
Concept of Early German Romanticism (Cambridge: Harvard University Press,
2003), 41–44.
[5]               
Berlin, Roots of Romanticism, 56–59.
[6]               
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H.
Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 33–35.
[7]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 45–48.
[8]               
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of
Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette: Purdue
University Press, 1996), 71–74.
[9]               
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 25–28.
[10]            
Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin, 1990), 45–47.
[11]            
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans.
Walter Kaufmann (New York: Viking Penguin, 1978), 123–125.
[12]            
Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–183.
[13]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 394–397.
[14]            
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press,
2002), 13–15.
[15]            
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on
Interpretation (New Haven: Yale University Press, 1970), 28–30.
[16]            
Tarnas, The Passion of the Western Mind,
380–382.
10.      
Pengaruh Filsafat
Modern di Luar Eropa
10.1.   
Pengantar:
Globalisasi Pemikiran Modern
Filsafat modern yang berakar di Eropa
tidak hanya terbatas pada dunia Barat. Sejak abad ke-17 hingga 19, melalui
kolonialisme, perdagangan, dan pertukaran intelektual, gagasan-gagasan modern
tersebar ke Asia, Afrika, dan dunia Islam.¹ Penyebaran ini membawa konsekuensi
ganda: di satu sisi, memperkaya horizon intelektual lokal dengan gagasan baru;
di sisi lain, memunculkan resistensi terhadap dominasi kultural Barat.²
10.2.   
Filsafat Modern dan
Dunia Islam
Pengaruh filsafat modern dalam dunia
Islam terutama muncul pada abad ke-19 melalui interaksi dengan kolonialisme dan
reformasi internal.³ Tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani (1838–1897)
mendorong kaum Muslim untuk memanfaatkan rasionalitas modern dan ilmu
pengetahuan sebagai sarana kebangkitan, sambil tetap mempertahankan identitas
Islam.⁴ Muhammad Abduh (1849–1905) mengintegrasikan pemikiran modern, khususnya
rasionalisme dan moralitas universal, dalam kerangka teologi Islam.⁵
Selain itu, kritik sosial Karl Marx dan
gagasan politik liberal Barat turut memengaruhi wacana politik Islam modern,
terutama dalam isu keadilan sosial, demokrasi, dan kebangkitan nasionalisme.⁶
Meski demikian, terjadi ketegangan antara modernisasi yang berakar dari
filsafat Barat dan kebutuhan untuk menjaga otentisitas tradisi Islam.
10.3.   
Filsafat Modern di
Asia Selatan dan Timur
Di India, pengaruh filsafat modern
hadir melalui Inggris sebagai kekuatan kolonial. Pemikir seperti Raja Ram Mohan
Roy (1772–1833) mencoba mereformasi Hindu dengan mengadopsi prinsip
rasionalitas dan monoteisme yang selaras dengan Pencerahan.⁷ Kemudian, tokoh
seperti Swami Vivekananda (1863–1902) menggabungkan spiritualitas Vedanta
dengan gagasan humanisme modern.
Di Tiongkok, pengaruh modernitas masuk
pada abad ke-19 melalui interaksi dengan misionaris dan kekuatan kolonial.
Gerakan Self-Strengthening Movement berupaya mengadopsi sains dan
teknologi Barat tanpa meninggalkan nilai Konfusianisme.⁸ Pada awal abad ke-20,
tokoh seperti Liang Qichao (1873–1929) mendorong reformasi politik dengan
memanfaatkan gagasan liberalisme dan demokrasi Barat.
Jepang mengambil pendekatan berbeda
melalui Restorasi Meiji (1868), dengan mengadopsi sains, teknologi, dan
filsafat modern Barat secara sistematis.⁹ Modernisasi Jepang berlandaskan
sintesis antara rasionalitas modern dan tradisi lokal, yang kemudian menjadikan
Jepang sebagai kekuatan modern non-Barat pertama.
10.4.   
Filsafat Modern di
Afrika
Di Afrika, pengaruh filsafat modern
datang bersama kolonialisme Eropa, yang memperkenalkan gagasan rasionalitas,
ilmu pengetahuan, serta sistem hukum dan politik modern.¹⁰ Namun, pengaruh ini
tidak terlepas dari dominasi imperialisme.
Pada abad ke-20, filsafat modern Eropa,
khususnya eksistensialisme dan Marxisme, menjadi inspirasi bagi gerakan
pembebasan di Afrika. Tokoh seperti Frantz Fanon (1925–1961) memanfaatkan
konsep alienasi dari Hegel dan kritik kolonialisme dengan pendekatan materialisme
historis.¹¹ Pemikiran ini memberi dasar bagi perjuangan dekolonisasi dan
pencarian identitas filosofis Afrika yang otentik.
10.5.   
Dampak terhadap
Pendidikan, Politik, dan Kebudayaan
Secara umum, filsafat modern memberikan
tiga pengaruh utama di luar Eropa:
1)                 
Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan: 
Model universitas modern, metode ilmiah, dan sistem
pendidikan rasional diperkenalkan di dunia non-Barat.¹²
2)                 
Politik dan
Nasionalisme: 
Prinsip kebebasan, hak individu, dan demokrasi memengaruhi
lahirnya gerakan nasionalis di Asia, Afrika, dan dunia Islam.¹³
3)                 
Kebudayaan dan
Identitas: 
Filsafat modern menantang tradisi lokal, tetapi juga memicu
gerakan sintesis yang berusaha menggabungkan modernitas dengan warisan budaya
asli.¹⁴
10.6.   
Kritik dan
Resistensi
Pengaruh filsafat modern di luar Eropa
juga menghadapi kritik. Di dunia Islam, banyak yang menilai bahwa modernisasi
ala Barat sering berujung pada sekularisasi dan melemahkan otoritas agama.¹⁵ Di
Asia, gagasan modernitas dianggap membawa individualisme yang bertentangan dengan
nilai kolektivitas tradisional.¹⁶ Sementara di Afrika, modernitas sering
dikritik sebagai bagian dari kolonialisme intelektual yang memarginalkan
filsafat tradisional Afrika.¹⁷
Sintesis Historis
Meskipun penuh ketegangan, pengaruh
filsafat modern di luar Eropa memperlihatkan bahwa gagasan modernitas tidak
hanya menjadi milik Barat, tetapi telah masuk ke dalam dialog global. Interaksi
antara filsafat modern dan tradisi non-Barat melahirkan bentuk-bentuk baru
pemikiran yang unik, seperti Islam modernis, Hindu reformis, Neo-Konfusianisme
modern, dan filsafat pembebasan Afrika.¹⁸ Dengan demikian, filsafat modern
memberikan kontribusi bagi terciptanya dinamika intelektual global, meski harus
selalu dipertanyakan dan disesuaikan dengan konteks kultural masing-masing.
Footnotes
[1]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 385–388.
[2]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 355–357.
[3]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–47.
[4]               
Jamal al-Din al-Afghani, Refutation of the
Materialists, trans. Nikki R. Keddie (Berkeley: University of California
Press, 1968), 19–22.
[5]               
Muhammad Abduh, The Theology of Unity, trans.
Ishaq Musa’ad and Kenneth Cragg (London: Allen & Unwin, 1966), 33–35.
[6]               
Charles Tripp, Islam and the Moral Economy: The
Challenge of Capitalism (Cambridge: Cambridge University Press, 2006),
28–30.
[7]               
Amiya P. Sen, Raja Rammohun Roy: An Apostle of Indian
Enlightenment (New Delhi: Oxford University Press, 2002), 56–58.
[8]               
Benjamin A. Elman, On Their Own Terms: Science in
China, 1550–1900 (Cambridge: Harvard University Press, 2005), 243–246.
[9]               
Marius B. Jansen, The Making of Modern Japan
(Cambridge: Harvard University Press, 2000), 335–338.
[10]            
V. Y. Mudimbe, The Invention of Africa
(Bloomington: Indiana University Press, 1988), 71–73.
[11]            
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans.
Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 43–45.
[12]            
Sheldon Rothblatt, The Modern University and Its
Discontents (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 18–21.
[13]            
Partha Chatterjee, Nationalist Thought and the
Colonial World (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), 62–65.
[14]            
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London:
Routledge, 1994), 57–59.
[15]            
Hourani, Arabic Thought, 88–90.
[16]            
Tu Weiming, Confucianism in Historical Perspective
(Berkeley: University of California Press, 1985), 132–134.
[17]            
Paulin J. Hountondji, African Philosophy: Myth and
Reality (Bloomington: Indiana University Press, 1996), 112–115.
[18]            
Enrique Dussel, The Invention of the Americas:
Eclipse of “the Other” and the Myth of Modernity (New York: Continuum,
1995), 91–94.
11.      
Kritik dan
Reinterpretasi Kontemporer
11.1.   
Latar Belakang
Kritik
Filsafat modern, dengan warisan
rasionalisme, empirisme, Pencerahan, dan idealisme, telah membentuk fondasi
dunia modern. Namun, pada abad ke-19 hingga 21, muncul berbagai kritik yang
mempertanyakan klaim universalitas, netralitas, dan optimisme rasional
modernitas.¹ Modernitas dinilai terlalu mengagungkan rasio, ilmu pengetahuan,
dan kemajuan, sehingga mengabaikan dimensi eksistensial, historis, kultural,
serta spiritual manusia.² Akibatnya, berbagai aliran kontemporer muncul, baik
untuk mengoreksi, mendekonstruksi, maupun mereinterpretasi warisan filsafat
modern.
11.2.   
Kritik Postmodern
terhadap Narasi Modernitas
Kaum postmodernis, seperti
Jean-François Lyotard, Michel Foucault, dan Jacques Derrida, menolak klaim
filsafat modern yang membangun “narasi besar” (grand narratives) tentang kebenaran
universal.³ Lyotard, dalam The Postmodern Condition (1979), menyatakan
bahwa era kontemporer ditandai dengan ketidakpercayaan pada narasi besar.⁴
Foucault mengkritik rasionalitas modern
sebagai alat kekuasaan yang melegitimasi dominasi melalui wacana ilmu
pengetahuan.⁵ Sementara Derrida, melalui metode dekonstruksi, membongkar asumsi
metafisik dan logocentrisme dalam tradisi filsafat modern.⁶ Kritik postmodern
ini menunjukkan bahwa modernitas bukanlah netral dan emansipatif semata, melainkan
juga dapat melanggengkan dominasi dan eksklusi.
11.3.   
Reinterpretasi
Rasionalisme dan Empirisme dalam Filsafat Ilmu
Selain kritik radikal postmodern, ada
pula reinterpretasi warisan modernitas dalam filsafat ilmu kontemporer. Karl
Popper, misalnya, menolak kepastian epistemologis ala rasionalisme, tetapi
tetap mempertahankan rasionalitas kritis melalui falsifikasionisme.⁷ Thomas
Kuhn menekankan peran paradigma dan revolusi ilmiah dalam perkembangan sains,
yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear
sebagaimana diyakini modernis.⁸
Paul Feyerabend lebih jauh menolak
metodologi universal sains dan mengusulkan “anarkisme metodologis.”⁹ Dengan
demikian, warisan modern berupa rasionalisme dan empirisme tidak ditolak
sepenuhnya, melainkan direinterpretasi untuk menekankan dimensi historis,
sosial, dan pluralistik dari ilmu pengetahuan.
11.4.   
Dialog dengan
Filsafat Non-Barat
Filsafat kontemporer juga menilai
modernitas Barat terlalu euro-sentris. Karena itu, muncul reinterpretasi
modernitas dalam dialog dengan filsafat non-Barat. Misalnya, dalam dunia Islam,
pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr mengkritik sekularisme modern dan
menekankan pentingnya mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan spiritualitas
Islam.¹⁰ Dalam konteks Asia, para filsuf Neo-Konfusianisme modern berusaha
menyintesiskan nilai tradisional Timur dengan rasionalitas modern.¹¹
Di Amerika Latin, Enrique Dussel
mengembangkan filsafat pembebasan yang menekankan pengalaman kaum tertindas,
sebagai kritik terhadap modernitas yang dianggap berakar pada kolonialisme.¹²
Reinterpretasi ini memperluas cakrawala filsafat modern agar lebih inklusif dan
berakar pada pengalaman global.
11.5.   
Kritik atas Proyek
Emansipasi Modern
Sekolah Frankfurt, dengan tokoh seperti
Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Jürgen Habermas, menyoroti ambivalensi
proyek emansipasi modern. Dalam Dialectic of Enlightenment (1947),
Horkheimer dan Adorno menunjukkan bahwa rasionalitas instrumental modern,
alih-alih membebaskan, justru dapat melahirkan dominasi teknokratis dan totalitarianisme.¹³
Namun, Habermas tetap berusaha
menyelamatkan proyek modern melalui teori tindakan komunikatif.¹⁴ Ia menegaskan
bahwa rasio komunikatif, bukan sekadar rasio instrumental, dapat menjadi dasar
normatif bagi demokrasi deliberatif dan kehidupan sosial yang lebih adil.¹⁵
Dengan demikian, kritik Frankfurt tidak sepenuhnya menolak modernitas,
melainkan mengajukan reinterpretasi kritis terhadap potensinya.
11.6.   
Dimensi Etis,
Eksistensial, dan Ekologis
Selain kritik epistemologis dan
politik, filsafat kontemporer juga menambahkan reinterpretasi dalam ranah
etika, eksistensi, dan ekologi. Eksistensialis abad ke-20, seperti Martin
Heidegger dan Jean-Paul Sartre, menyoroti keterbatasan rasionalitas modern
dalam menjelaskan keberadaan manusia yang otentik.¹⁶ Filsafat feminis
mengkritik bias patriarkal dalam tradisi modern dan menuntut inklusi pengalaman
perempuan.¹⁷
Dalam konteks ekologi, filsuf seperti
Arne Naess mengembangkan deep ecology sebagai reaksi terhadap modernitas
yang antroposentris dan eksploitatif.¹⁸ Hal ini menegaskan perlunya
reinterpretasi modernitas agar lebih berkelanjutan, etis, dan selaras dengan
lingkungan.
Sintesis Historis
Kritik dan reinterpretasi kontemporer
menunjukkan bahwa warisan filsafat modern tetap relevan, tetapi tidak bisa
diterima secara utuh. Ia perlu ditinjau ulang melalui perspektif kritis,
historis, dan interkultural. Modernitas, yang awalnya menawarkan emansipasi
melalui rasio, kini dipahami sebagai proyek yang ambivalen—membawa kemajuan,
tetapi juga risiko alienasi, dominasi, dan krisis ekologis.¹⁹
Dengan demikian, kritik kontemporer
tidak berarti menolak modernitas sepenuhnya, melainkan membuka ruang bagi
modernitas yang lebih inklusif, pluralistik, dan manusiawi.²⁰
Footnotes
[1]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 389–392.
[2]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 361–363.
[3]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[4]               
Lyotard, Postmodern Condition, 37–39.
[5]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon, 1977), 27–29.
[6]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
11–14.
[7]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 33–35.
[8]               
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52–55.
[9]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 19–22.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 47–49.
[11]            
Tu Weiming, Confucianism in Historical Perspective
(Berkeley: University of California Press, 1985), 141–144.
[12]            
Enrique Dussel, Philosophy of Liberation,
trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll: Orbis Books,
1985), 21–23.
[13]            
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press,
2002), 3–6.
[14]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society (Boston: Beacon
Press, 1984), 285–289.
[15]            
Habermas, Theory of Communicative Action,
293–296.
[16]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211–214.
[17]            
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.
M. Parshley (New York: Vintage Books, 1973), 22–24.
[18]            
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 29–31.
[19]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 401–404.
[20]            
Richard J. Bernstein, The New Constellation: The
Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge: MIT
Press, 1991), 9–12.
12.      
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
12.1.   
Makna Historis
Filsafat Modern
Sejarah filsafat modern memperlihatkan transformasi
besar dalam cara manusia memahami realitas, pengetahuan, dan dirinya sendiri.
Dimulai dari rasionalisme Descartes dengan penegasan cogito ergo sum,
empirisme Locke dan Hume yang menekankan pengalaman, hingga kritik
transendental Kant yang mensintesiskan keduanya, kita melihat upaya tiada henti
untuk menemukan dasar pengetahuan yang kokoh.¹ Filsafat modern bukan sekadar
periode sejarah, melainkan juga paradigma berpikir yang meletakkan fondasi bagi
ilmu pengetahuan, demokrasi, dan budaya modern.²
12.2.   
Dialektika Antara
Rasio dan Pengalaman
Salah satu refleksi filosofis yang
dapat ditarik adalah bahwa perkembangan filsafat modern merupakan hasil
dialektika antara dua kutub: rasionalisme dan empirisme. Rasionalis percaya
pada kepastian deduktif akal, sedangkan empiris mengandalkan pengalaman
indrawi.³ Ketegangan ini memuncak dalam skeptisisme Hume, yang akhirnya
mendorong Kant untuk melakukan “revolusi kopernikan” dalam filsafat.⁴ Dari sini
kita belajar bahwa kemajuan pemikiran tidak lahir dari konsensus tunggal,
melainkan dari konflik kreatif antara gagasan yang saling menantang.
12.3.   
Dimensi
Sosial-Politik Modernitas
Filsafat modern juga tidak dapat
dipisahkan dari perubahan sosial dan politik. Gagasan tentang kontrak sosial
Hobbes, Locke, dan Rousseau membentuk teori politik modern yang menekankan
hak-hak individu dan legitimasi demokratis.⁵ Ide-ide Pencerahan mengilhami
revolusi politik di Amerika dan Prancis, serta menanamkan keyakinan bahwa
kemajuan masyarakat dapat dicapai melalui rasionalitas dan hukum universal.⁶
Namun, refleksi kritis menunjukkan bahwa modernitas juga melahirkan paradoks:
di balik janji kebebasan, muncul kolonialisme, eksploitasi ekonomi, dan
dominasi teknokratis.⁷
12.4.   
Relevansi
Eksistensial dan Etis
Reaksi terhadap modernitas dari Kierkegaard,
Nietzsche, dan Romantisisme menunjukkan keterbatasan rasionalitas instrumental.
Mereka menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga
eksistensial, penuh kecemasan, harapan, dan pencarian makna.⁸ Refleksi ini
tetap relevan pada era kontemporer, ketika krisis makna, alienasi, dan
nihilisme semakin terasa dalam masyarakat modern yang serba teknologis.⁹
Dengan demikian, filsafat modern
mengajarkan bahwa rasionalitas harus diimbangi dengan perhatian pada dimensi
etis, eksistensial, dan spiritual. Hal ini sejalan dengan seruan Kant tentang
martabat manusia sebagai tujuan, bukan sekadar alat.¹⁰
12.5.   
Pelajaran dari
Kritik Kontemporer
Kritik kontemporer—dari postmodernisme,
teori kritis, feminisme, hingga filsafat ekologi—menunjukkan bahwa proyek
modernitas harus selalu dikaji ulang.¹¹ Rasionalitas memang membuka jalan bagi
kebebasan dan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa koreksi kritis, ia bisa berubah
menjadi alat dominasi.¹² Reinterpretasi kontemporer mengingatkan bahwa filsafat
modern harus dibaca secara historis dan interkultural, tidak lagi euro-sentris,
melainkan terbuka pada pengalaman global.¹³
Refleksi Filosofis Akhir
Dari keseluruhan perjalanan ini, dapat
disimpulkan bahwa filsafat modern adalah warisan yang ambivalen: ia membawa
emansipasi, tetapi juga keterasingan; ia menjanjikan kemajuan, tetapi juga
memunculkan krisis.¹⁴ Filsafat modern mengajarkan kita untuk terus berpikir
kritis, mempertanyakan otoritas, dan mencari dasar pengetahuan serta etika yang
kokoh.
Refleksi filosofis ini menuntut kita
untuk mengambil sikap seimbang: menerima pencapaian rasionalitas modern, tetapi
juga peka terhadap kritik yang menyingkap keterbatasannya. Dengan demikian,
filsafat modern tidak berhenti sebagai warisan sejarah, tetapi terus hidup
sebagai dialog abadi tentang manusia, kebenaran, dan makna kehidupan.¹⁵
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 4, Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image
Books, 1994), 13–15.
[2]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 287–289.
[3]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 259–261.
[4]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
109–113.
[5]               
John Locke, Two Treatises of Government, ed.
Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 123–126.
[6]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1996), 21–23.
[7]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press,
2002), 3–6.
[8]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 45–48.
[9]               
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–183.
[10]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
41–43.
[11]            
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[12]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon, 1977), 27–29.
[13]            
Enrique Dussel, Philosophy of Liberation,
trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll: Orbis Books,
1985), 21–23.
[14]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 394–397.
[15]            
Richard J. Bernstein, The New Constellation: The
Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge: MIT
Press, 1991), 9–12.
13.      
Penutup
13.1.   
Kesimpulan Umum
Sejarah filsafat modern memperlihatkan
sebuah perjalanan intelektual yang panjang dan kompleks, dimulai dari
pergulatan rasionalisme Descartes, empirisme Locke dan Hume, kritik
transendental Kant, idealisme Jerman, hingga aliran-aliran pasca-idealisme
seperti positivisme, utilitarianisme, dan Marxisme.¹ Dari sana, muncul pula
reaksi terhadap modernitas melalui romantisisme, eksistensialisme awal
Kierkegaard, dan kritik Nietzsche terhadap moralitas serta rasionalitas.² Semua
aliran ini pada akhirnya membentuk sebuah mosaik pemikiran yang menandai
kelahiran dunia modern.
13.2.   
Kontribusi Utama
Filsafat Modern
Filsafat modern meninggalkan sejumlah
warisan penting. Pertama, ia mengukuhkan rasionalitas kritis sebagai sarana
utama memahami realitas.³ Kedua, ia melahirkan paradigma ilmiah baru yang
menjadi dasar revolusi teknologi dan sains.⁴ Ketiga, ia memperkaya teori
politik dengan gagasan kontrak sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi.⁵
Keempat, ia membuka jalan bagi filsafat kontemporer yang lebih pluralistik,
termasuk feminisme, filsafat ekologi, dan teori kritis.
Namun, warisan ini juga penuh
ambivalensi. Modernitas, di satu sisi, membebaskan manusia dari dogma dan
membuka ruang bagi kebebasan intelektual; tetapi di sisi lain, ia juga
melahirkan alienasi, krisis makna, dan dominasi teknokratis.⁶
13.3.   
Relevansi dalam
Konteks Global
Pengaruh filsafat modern tidak berhenti
di Eropa, tetapi menyebar ke dunia Islam, Asia, dan Afrika melalui
kolonialisme, pendidikan, dan dialog lintas budaya.⁷ Gagasan rasionalitas,
kebebasan, dan kemajuan berinteraksi dengan tradisi lokal, melahirkan
bentuk-bentuk sintesis baru seperti Islam modernis, Neo-Konfusianisme modern,
hingga filsafat pembebasan di Amerika Latin dan Afrika.⁸
Dalam konteks kontemporer, filsafat
modern tetap relevan karena ia menyediakan perangkat kritis untuk menghadapi
isu global seperti krisis ekologis, ketidakadilan sosial, dan nihilisme
budaya.⁹ Namun, agar tetap hidup, warisan modernitas harus dibaca secara
kritis, inklusif, dan terbuka terhadap dialog interkultural.
Penutup Reflektif
Filsafat modern adalah babak penting
dalam sejarah pemikiran manusia yang tidak hanya membentuk struktur
intelektual, tetapi juga realitas sosial, politik, dan budaya dunia. Ia
mengajarkan bahwa manusia memiliki kapasitas rasional untuk mencari kebenaran,
meskipun kebenaran itu sering kali bersifat parsial dan tentatif.¹⁰
Oleh karena itu, mempelajari filsafat
modern bukan sekadar memahami masa lalu, melainkan juga menggali fondasi untuk
refleksi masa kini dan masa depan. Filsafat modern mengajarkan pentingnya sikap
kritis, dialogis, dan reflektif dalam menghadapi perubahan zaman.¹¹ Dengan
demikian, warisan filsafat modern bukanlah sesuatu yang final, melainkan
undangan untuk terus berpikir, mengoreksi, dan membangun kembali horizon
pemahaman kita tentang manusia dan dunia.
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 5, Modern Philosophy: The British Philosophers from Hobbes to Hume
(New York: Image Books, 1994), 233–235.
[2]               
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 375–380.
[3]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 259–261.
[4]               
Steven Shapin, The Scientific Revolution
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 93–95.
[5]               
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract,
trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–52.
[6]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press,
2002), 3–5.
[7]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–47.
[8]               
Enrique Dussel, Philosophy of Liberation,
trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll: Orbis Books,
1985), 21–23.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 47–49.
[10]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
109–113.
[11]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 401–404.
Daftar Pustaka
Allison, H. E. (2004). Kant’s
transcendental idealism. Yale University Press.
al-Afghani, J. al-D. (1968). Refutation
of the materialists (N. R. Keddie, Trans.). University of California Press.
Beauvoir, S. de. (1973). The
second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books.
Beiser, F. C. (2002). German
idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University
Press.
Beiser, F. C. (2003). The romantic
imperative: The concept of early German romanticism. Harvard University
Press.
Bentham, J. (1789/1988). An
introduction to the principles of morals and legislation. Clarendon Press.
Berlin, I. (1999). The roots of
romanticism. Princeton University Press.
Bernstein, R. J. (1991). The new
constellation: The ethical-political horizons of modernity/postmodernity.
MIT Press.
Bernstein, R. J. (2010). The
pragmatic turn. Polity.
Bhabha, H. K. (1994). The location
of culture. Routledge.
Bowie, A. (1993). Schelling and
modern European philosophy. Routledge.
Burckhardt, J. (1990). The
civilization of the Renaissance in Italy. Modern Library.
Chatterjee, P. (1986). Nationalist
thought and the colonial world. University of Minnesota Press.
Comte, A. (1896). Cours de
philosophie positive (H. Martineau, Trans.). George Bell & Sons.
Copleston, F. (1994a). A history
of philosophy: Volume 4, Modern philosophy from Descartes to Leibniz. Image
Books.
Copleston, F. (1994b). A history
of philosophy: Volume 5, Modern philosophy: The British philosophers from
Hobbes to Hume. Image Books.
Daniel, S. H. (2006). George
Berkeley and early modern philosophy. Oxford University Press.
Darnton, R. (1979). The business
of Enlightenment: A publishing history of the Encyclopédie. Harvard
University Press.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Diderot, D. (1968). Encyclopédie
(J. Lough, Ed.). Pergamon.
Dussel, E. (1985). Philosophy of
liberation (A. Martinez & C. Morkovsky, Trans.). Orbis Books.
Dussel, E. (1995). The invention
of the Americas: Eclipse of “the other” and the myth of modernity.
Continuum.
Eisenstein, E. (1980). The
printing press as an agent of change. Cambridge University Press.
Elman, B. A. (2005). On their own
terms: Science in China, 1550–1900. Harvard University Press.
Fanon, F. (2004). The wretched of
the Earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.
Feyerabend, P. (1975). Against
method. Verso.
Feuerbach, L. (1957). The essence
of Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper & Row.
Fichte, J. G. (1982). The science
of knowledge (P. Heath & J. Lachs, Trans.). Cambridge University Press.
Foucault, M. (1977). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon.
Gay, P. (1996). The Enlightenment:
An interpretation. W. W. Norton & Company.
Gaukroger, S. (1995). Descartes:
An intellectual biography. Oxford University Press.
Gilson, E. (1938). Reason and
revelation in the Middle Ages. Charles Scribner’s Sons.
Gregory, F. (1977). Scientific
materialism in nineteenth century Germany. Reidel.
Habermas, J. (1984). The theory of
communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society.
Beacon Press.
Hourani, A. (1983). Arabic thought
in the liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.
Horkheimer, M., & Adorno, T. W.
(2002). Dialectic of Enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford
University Press.
Hountondji, P. J. (1996). African
philosophy: Myth and reality. Indiana University Press.
Hume, D. (1980). Dialogues
concerning natural religion (R. H. Popkin, Ed.). Hackett.
Hume, D. (2000). A treatise of
human nature (D. F. Norton & M. J. Norton, Eds.). Oxford University
Press.
Israel, J. (2001). Radical
Enlightenment: Philosophy and the making of modernity 1650–1750. Oxford
University Press.
Jansen, M. B. (2000). The making
of modern Japan. Harvard University Press.
Jolley, N. (2005). Leibniz.
Routledge.
Kant, I. (1996). Practical
philosophy (M. J. Gregor, Ed.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1997). Critique of
practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998a). Critique of pure
reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998b). Groundwork of
the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (2004). Prolegomena to
any future metaphysics (G. Hatfield, Trans.). Cambridge University Press.
Kenny, A. (2010). A new history of
Western philosophy. Oxford University Press.
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance
thought and its sources. Columbia University Press.
Kuhn, T. S. (1957). The Copernican
revolution. Harvard University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure
of scientific revolutions. University of Chicago Press.
Leibniz, G. W. (1989). Discourse
on metaphysics (A. Ariew & D. Garber, Trans.). Hackett.
Leibniz, G. W. (1991). Monadology
(N. Rescher, Trans.). University of Pittsburgh Press.
Locke, J. (1690). An essay
concerning human understanding. Thomas Basset.
Locke, J. (1988). Two treatises of
government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern
condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.).
University of Minnesota Press.
Marx, K. (1959). Economic and
philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Progress Publishers.
Marx, K. (1978). Theses on
Feuerbach (R. C. Tucker, Ed.). In The Marx-Engels reader (pp.
143–145). W. W. Norton.
Marx, K., & Engels, F.
(1848/1978). The Communist manifesto (R. C. Tucker, Ed.). W. W. Norton.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism.
Parker, Son, and Bourn.
Mudimbe, V. Y. (1988). The
invention of Africa. Indiana University Press.
Naess, A. (1989). Ecology,
community, and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.).
Cambridge University Press.
Nadler, S. (2006). Spinoza’s
ethics: An introduction. Cambridge University Press.
Nagel, T. (2012). Mind and cosmos.
Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and
the sacred. SUNY Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay
science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1978). Thus spoke
Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Viking Penguin.
Nietzsche, F. (1989). On the
genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1990). Beyond good
and evil (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.
Outram, D. (2005). The
Enlightenment. Cambridge University Press.
Pickering, M. (1993). Auguste
Comte: An intellectual biography, Vol. 1. Cambridge University Press.
Pinkard, T. (2002). German
philosophy 1760–1860: The legacy of idealism. Cambridge University Press.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Popper, K. (1971). The open
society and its enemies, Vol. 2: Hegel and Marx. Princeton University
Press.
Ricoeur, P. (1970). Freud and
philosophy: An essay on interpretation. Yale University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social
contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.
Rousseau, J.-J. (1997). The
discourses and other early political writings (V. Gourevitch, Ed.).
Cambridge University Press.
Russell, P. (2008). The riddle of
Hume’s treatise: Skepticism, naturalism, and irreligion. Oxford University
Press.
Schiller, F. (2004). On the
aesthetic education of man (E. M. Wilkinson & L. A. Willoughby,
Trans.). Clarendon Press.
Schelling, F. W. J. (2006). Philosophical
investigations into the essence of human freedom (J. Love & J. Schmidt,
Trans.). SUNY Press.
Sen, A. P. (2002). Raja Rammohun
Roy: An apostle of Indian enlightenment. Oxford University Press.
Shapin, S. (1996). The scientific
revolution. University of Chicago Press.
Skinner, Q. (1978). The
foundations of modern political thought, Vol. 1. Cambridge University
Press.
Smith, A. (1776/1991). An inquiry
into the nature and causes of the wealth of nations. Prometheus Books.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E.
Curley, Trans.). Penguin.
Sperber, J. (2013). Karl Marx: A
nineteenth-century life. Liveright.
Taylor, C. (1975). Hegel.
Cambridge University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the
self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Tarnas, R. (1991). The passion of
the Western mind: Understanding the ideas that have shaped our world view.
Ballantine Books.
Trinkaus, C. (1970). In our image
and likeness: Humanity and divinity in Italian humanist thought. University
of Chicago Press.
Tripp, C. (2006). Islam and the
moral economy: The challenge of capitalism. Cambridge University Press.
Tu, W. (1985). Confucianism in
historical perspective. University of California Press.
Voltaire. (1972). Philosophical
dictionary (T. Besterman, Trans.). Penguin.
Vivekananda, S. (1972). The
complete works of Swami Vivekananda, Vol. 1. Advaita Ashrama.
Westphal, M. (1996). Becoming a
self: A reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript. Purdue
University Press.
Williams, B. (1985). Ethics and
the limits of philosophy. Harvard University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar