Filsafat Pancasila
Fondasi, Dinamika, dan Relevansi dalam Konteks
Keindonesiaan dan Global
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas Pancasila sebagai filsafat bangsa
Indonesia yang memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai
sistem nilai dan falsafah hidup yang menuntun arah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Secara historis, Pancasila lahir dari kristalisasi nilai-nilai
budaya Nusantara, interaksi dengan peradaban dunia, dan konsensus politik para
pendiri bangsa pada tahun 1945. Kajian ini menelusuri fondasi filosofis
Pancasila, perkembangan pemikiran dan implementasinya dalam sejarah Indonesia,
serta relevansinya dalam konteks nasional maupun global.
Secara ontologis, Pancasila menegaskan manusia sebagai
makhluk monopluralis yang hidup dalam relasi dengan Tuhan, sesama, masyarakat,
dan alam. Secara epistemologis, ia menekankan pluralitas sumber pengetahuan
yang meliputi akal, pengalaman, wahyu, dan musyawarah. Secara aksiologis,
Pancasila menghadirkan sistem nilai yang menekankan etika, keadilan, demokrasi,
dan persatuan. Artikel ini juga menyoroti posisi Pancasila dalam perbandingan
dengan filsafat Barat, Timur, dan postmodern, serta menegaskan relevansinya
dalam menghadapi tantangan radikalisme, sekularisme, dan globalisasi.
Pada ranah global, Pancasila ditawarkan sebagai
paradigma alternatif yang menekankan moderasi, pluralisme, dan keadilan sosial,
sehingga dapat berkontribusi dalam dialog antarperadaban dan penyelesaian
isu-isu universal seperti hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan, dan
solidaritas internasional. Dengan demikian, Pancasila dapat dipahami sebagai
filsafat praksis yang dinamis, moderatif, dan kontekstual, yang tidak hanya menjadi
dasar keindonesiaan, tetapi juga memiliki daya relevansi bagi peradaban dunia.
Kata Kunci: Pancasila; filsafat; ontologi; epistemologi; aksiologi; ideologi bangsa;
pluralisme; keadilan sosial; globalisasi.
PEMBAHASAN
Fondasi, Dinamika, dan Relevansi Filsafat Pancasila
dalam Konteks Keindonesiaan dan Global
1.          
Pendahuluan
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pancasila merupakan
dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang disepakati secara
historis oleh para pendiri bangsa pada tahun 1945. Ia tidak hanya hadir sebagai
ideologi politik, tetapi juga sebagai filsafat yang memuat pandangan hidup,
nilai-nilai moral, dan prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
konteks filsafat, Pancasila dipandang sebagai sistem nilai yang memiliki
dimensi ontologis (tentang hakikat manusia dan realitas), epistemologis
(tentang sumber dan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (tentang
nilai, moralitas, dan tujuan hidup bersama).¹
Konteks global saat
ini ditandai dengan arus globalisasi, perkembangan teknologi digital, serta
tantangan ideologi transnasional.
Hal tersebut menuntut adanya refleksi baru terhadap Pancasila agar tetap
relevan dalam menghadapi dinamika zaman. Tanpa refleksi filosofis, Pancasila
berisiko direduksi hanya sebagai slogan formal tanpa substansi praksis.² Oleh
karena itu, kajian filsafat Pancasila penting dilakukan secara akademis, bukan
sekadar normatif, untuk menggali kedalaman makna serta menemukan relevansinya
dalam menghadapi tantangan nasional maupun global.³
1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan dibahas dalam
artikel ini:
1)                 
Apa yang dimaksud dengan Pancasila
sebagai filsafat?
2)                 
Bagaimana dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis Pancasila dapat dipahami secara sistematis?
3)                 
Bagaimana dinamika perkembangan
pemikiran dan penerapan Pancasila dalam sejarah Indonesia?
4)                 
Sejauh mana relevansi Pancasila
dalam menghadapi tantangan global kontemporer?
1.3.       Tujuan dan Manfaat Kajian
Kajian ini bertujuan
untuk:
1)                 
Menjelaskan Pancasila sebagai
filsafat bangsa yang memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
2)                 
Mengkaji dinamika pemikiran dan
penerapan Pancasila dari masa ke masa.
3)                 
Menguraikan relevansi Pancasila
dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan dalam wacana global.
Manfaat kajian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik dalam pengembangan studi filsafat Pancasila,
memperkuat pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilainya, serta mendorong
generasi muda untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup yang aktual dan
dinamis.
1.4.       Metodologi Kajian
Kajian ini
menggunakan pendekatan filsafat normatif-analitis
dengan metode historis, kritis, dan komparatif. Pendekatan historis digunakan
untuk menelusuri proses lahirnya Pancasila dan perkembangan pemikirannya.
Pendekatan kritis dipakai untuk menelaah kedalaman makna ontologis, epistemologis, dan aksiologis
Pancasila. Sedangkan pendekatan komparatif dipakai untuk membandingkan
Pancasila dengan filsafat lain di tingkat global.⁴
Footnotes
[1]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 15.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
23.
[3]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 42.
[4]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 12.
2.          
Konsep Dasar Filsafat
Pancasila
2.1.       Definisi Pancasila sebagai Filsafat
Pancasila sebagai
filsafat dapat dipahami sebagai suatu sistem nilai yang dijadikan dasar,
pedoman, dan orientasi hidup bangsa Indonesia. Dalam pengertian ini, Pancasila
tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara (staatfundamentalnorm), tetapi juga
mengandung kedalaman refleksi filosofis yang menuntun manusia Indonesia dalam
memahami hakikat realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai moral.¹ Pancasila
sebagai filsafat adalah hasil kristalisasi dari budaya, agama, dan nilai-nilai
luhur bangsa yang dipadukan dengan kesadaran kebangsaan modern, sehingga
memiliki watak khas yang membedakannya dari ideologi atau filsafat bangsa
lain.²
Notonagoro
menekankan bahwa Pancasila adalah filsafat yang bersifat integral, di mana
sila-sila yang terdapat di dalamnya merupakan satu kesatuan sistem yang tidak
dapat dipisahkan.³ Oleh sebab itu, memandang Pancasila sebagai filsafat berarti melihatnya sebagai suatu
bangunan pemikiran menyeluruh yang menegaskan bagaimana bangsa Indonesia
memahami eksistensi manusia, masyarakat, dan negara dalam hubungan dengan
Tuhan, sesama, dan alam semesta.
2.2.       Sumber Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
Pancasila
Dalam kerangka filsafat, Pancasila dapat
dianalisis melalui tiga dimensi pokok, yakni ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
·                    
Ontologis,
Pancasila bersumber pada hakikat manusia sebagai
makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang hidup dalam kesatuan hubungan
dengan Tuhan, manusia lain, dan lingkungan. Pancasila mengakui realitas bahwa
manusia tidak bisa dipisahkan dari dimensi ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan,
demokrasi, dan keadilan sosial.⁴
·                    
Epistemologis,
Pancasila mengajarkan bahwa pengetahuan manusia
tidak hanya diperoleh dari rasio, melainkan juga dari wahyu, pengalaman
sejarah, budaya, dan konsensus sosial.⁵ Dengan demikian, Pancasila mengandung
pendekatan epistemologis yang integratif dan tidak reduksionis.
·                    
Aksiologis,
Pancasila menegaskan nilai-nilai fundamental yang
harus diwujudkan dalam kehidupan bersama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan bangsa, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini bukan hanya bersifat
normatif, melainkan juga praksis, yang menuntut aktualisasi dalam kehidupan
sehari-hari.⁶
2.3.       Kedudukan Pancasila dalam Sistem Filsafat
Dalam sistem
filsafat, Pancasila dapat dipandang sebagai filsafat praksis yang menghubungkan antara teori
dan kenyataan. Ia bukan hanya sekadar refleksi abstrak, melainkan filsafat yang
memiliki tujuan politis, sosial, dan kultural.⁷
Kedudukan Pancasila
sebagai filsafat dapat disejajarkan dengan filsafat bangsa lain, misalnya
Konfusianisme di Tiongkok, Bushido di Jepang, atau filsafat politik liberalisme
di Barat. Namun, yang membedakan Pancasila adalah sifatnya yang sintesis,
menggabungkan berbagai unsur keagamaan, tradisi lokal, dan modernitas dalam satu kerangka
pemikiran.⁸
Selain itu, dalam
konteks ilmu pengetahuan, Pancasila dapat dijadikan paradigma yang menuntun
arah pengembangan sains, teknologi, dan pendidikan di Indonesia. Filsafat
Pancasila mendorong ilmu pengetahuan agar tetap berakar pada nilai kemanusiaan
dan moralitas, sehingga tidak terjebak dalam positivisme sempit yang hanya menekankan aspek
material.⁹
2.4.       Relasi Pancasila dengan Konsep “Falsafah Bangsa”
Istilah falsafah
bangsa sering digunakan untuk menegaskan bahwa Pancasila adalah
hasil refleksi kolektif bangsa Indonesia atas pengalaman sejarahnya. Pancasila
bukanlah produk pemikiran individual semata, melainkan lahir dari konsensus
bersama yang mengakomodasi pluralitas
budaya, agama, dan adat istiadat di Nusantara.¹⁰
Sebagai falsafah
bangsa, Pancasila memiliki fungsi ganda: di satu sisi sebagai perekat bangsa
yang majemuk, di sisi lain sebagai panduan moral dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan demikian,
Pancasila tidak boleh dipahami secara statis, melainkan sebagai filsafat yang
dinamis dan terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan perkembangan sosial dan
global.¹¹
Footnotes
[1]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 5.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
17.
[3]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, 25.
[4]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 56.
[5]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 21.
[6]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 34.
[7]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 33.
[8]               
Yudi Latif, Negara Paripurna, 73.
[9]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila, 42.
[10]            
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila, 29.
[11]            
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 45.
3.          
Sejarah Lahir dan
Perkembangan Pemikiran Pancasila
3.1.       Akar Historis dan Budaya Nusantara
Pancasila sebagai
filsafat bangsa Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan
hasil kristalisasi nilai-nilai yang telah lama hidup dalam budaya Nusantara.
Tradisi lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan penghormatan terhadap
keberagaman telah menjadi landasan hidup bersama masyarakat Indonesia sejak
masa kerajaan-kerajaan kuno.¹ Unsur-unsur religiusitas juga tampak dari pengaruh Hindu-Buddha,
Islam, dan kearifan adat yang melahirkan pandangan hidup yang holistik dan
inklusif.²
Dengan demikian,
Pancasila lahir dari interaksi panjang antara tradisi lokal dengan peradaban dunia. Hal ini
menunjukkan bahwa Pancasila memiliki dimensi historis yang kuat, yang kemudian
diformulasikan secara eksplisit pada masa perjuangan kemerdekaan.³
3.2.       Proses Perumusan Pancasila pada BPUPKI dan PPKI
Secara formal,
Pancasila diperkenalkan pertama kali oleh Soekarno pada sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Dalam
pidatonya, Soekarno mengusulkan lima dasar negara yang ia sebut Pancasila,
yaitu kebangsaan, internasionalisme
atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan
Ketuhanan.⁴
Gagasan tersebut
kemudian dibahas secara intensif oleh anggota BPUPKI dan dituangkan dalam
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam Jakarta memuat rumusan sila pertama
yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”⁵
Namun, pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengesahkan rumusan final yang mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa” demi menjaga persatuan bangsa yang plural.⁶
Peristiwa ini
menunjukkan bahwa Pancasila adalah hasil konsensus politik dan budaya, yang
disusun dengan semangat kompromi untuk mengakomodasi keragaman bangsa Indonesia.⁷
3.3.       Tokoh-tokoh Perumus dan Gagasan Dasar
Selain Soekarno,
banyak tokoh lain yang turut berperan dalam merumuskan dasar negara. Muhammad
Yamin, misalnya, mengusulkan dasar negara berupa Peri Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.⁸ Sementara itu, Soepomo
menekankan konsep negara integralistik yang menempatkan kepentingan bersama di
atas kepentingan individu.⁹
Perdebatan
intelektual dan politik antara tokoh-tokoh tersebut melahirkan sintesis yang kemudian
dikenal sebagai Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila bukanlah hasil pemikiran
satu orang, melainkan buah kolektif dari para pendiri bangsa yang memiliki
latar belakang berbeda-beda.¹⁰
3.4.       Dinamika Historis Penerapan Pancasila
Perkembangan
pemikiran dan implementasi Pancasila terus mengalami dinamika sejak kemerdekaan
hingga masa kontemporer. Pada masa Orde Lama, Pancasila
diinterpretasikan dalam kerangka demokrasi terpimpin, di mana Soekarno berusaha menempatkan Pancasila
sebagai ideologi pemersatu di tengah konflik politik.¹¹
Pada masa Orde
Baru, Pancasila dijadikan ideologi tunggal melalui Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, penafsiran tunggal ini sering
kali bersifat hegemonik dan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.¹²
Setelah Reformasi
1998, Pancasila sempat terpinggirkan karena dianggap terkait
dengan otoritarianisme. Akan tetapi, sejak awal abad ke-21, Pancasila kembali mendapat perhatian
sebagai dasar filosofis yang diperlukan untuk memperkuat demokrasi, toleransi,
dan keadilan sosial di Indonesia.¹³
Dengan demikian,
sejarah perkembangan Pancasila memperlihatkan bahwa ia merupakan ideologi yang dinamis, selalu
ditafsirkan ulang sesuai dengan tantangan zaman. Pemikiran filsafat Pancasila
karenanya tidak pernah final, melainkan terus hidup dan berkembang.¹⁴
Footnotes
[1]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 12.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
26.
[3]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 18.
[4]               
Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Kebudayaan
(Jakarta: Tintamas, 1962), 47.
[5]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 31.
[6]               
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 54.
[7]               
Yudi Latif, Negara Paripurna, 29.
[8]               
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
(Jakarta: Siguntang, 1959), 124.
[9]               
Soepomo, Pidato dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah
Sidang BPUPKI-PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), 29.
[10]            
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 38.
[11]            
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi, 77.
[12]            
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 142.
[13]            
Yudi Latif, Negara Paripurna, 61.
[14]            
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 45.
4.          
Ontologi Pancasila
4.1.       Hakikat Realitas dalam Pancasila
Dalam filsafat,
ontologi merupakan kajian tentang hakikat realitas atau keberadaan. Pancasila sebagai filsafat
memiliki dimensi ontologis yang mengajarkan bahwa realitas kehidupan bangsa
Indonesia mencakup hubungan harmonis antara Tuhan, manusia, masyarakat, dan
alam semesta.¹ Sila-sila Pancasila tidak berdiri sendiri, melainkan saling
terkait sebagai refleksi dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk
multidimensional: religius, sosial, politik, dan ekologis.²
Hakikat realitas
menurut Pancasila tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual.
Ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan bahwa seluruh realitas bersumber dari Tuhan
sebagai asal dan tujuan. Dengan demikian, Pancasila mengakui adanya keterkaitan
erat antara aspek transendental dengan kehidupan empiris.³
4.2.       Pandangan tentang Manusia dan Kemanusiaan
Dimensi ontologis
Pancasila menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat,
kebebasan, dan tanggung jawab. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
menegaskan bahwa manusia adalah subjek etis yang memiliki hak asasi serta
kewajiban moral terhadap sesamanya.⁴
Manusia dalam
perspektif Pancasila dipahami sebagai makhluk monopluralis, yakni memiliki
dimensi individu dan sosial yang tak terpisahkan.⁵ Sebagai individu, manusia
memiliki kebebasan berpikir dan bertindak; sebagai makhluk sosial, ia memiliki
tanggung jawab untuk hidup bermasyarakat
dan menjaga harmoni. Pemahaman ontologis ini membedakan Pancasila dari ideologi
individualistik liberal maupun kolektivistik totalitarian.⁶
4.3.       Hubungan Individu, Masyarakat, dan Negara
Pancasila memandang
bahwa eksistensi individu, masyarakat, dan negara harus berada dalam hubungan yang seimbang. Negara
dalam pandangan Pancasila bukanlah entitas yang menindas individu, melainkan
wadah untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sila ketiga, Persatuan
Indonesia, mengandung makna bahwa negara merupakan rumah bersama
yang dibangun atas dasar solidaritas dan integrasi.⁷
Dengan demikian,
ontologi Pancasila menolak pandangan negara absolut ala Hegelian maupun negara
minimalis ala liberalisme klasik. Negara dipahami sebagai “organisasi
kekuasaan yang berkeadaban,” yakni alat untuk menata kehidupan bersama
secara adil, demokratis, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.⁸
4.4.       Konsep Ketuhanan dalam Perspektif Pancasila
Sila pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa, merupakan fondasi ontologis yang menegaskan bahwa realitas tertinggi dalam
Pancasila adalah Tuhan. Konsep Ketuhanan dalam Pancasila bersifat inklusif,
sehingga memungkinkan setiap pemeluk agama di Indonesia menghayati imannya
tanpa dipaksa mengikuti tafsir tunggal.⁹
Ketuhanan dalam
Pancasila tidak dimaksudkan sebagai bentuk negara teokratis, tetapi juga bukan
sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Ontologi Pancasila
justru menempatkan Ketuhanan sebagai sumber nilai moral dan spiritual yang menjiwai seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.¹⁰
Dengan demikian,
Pancasila menghadirkan pandangan ontologis yang menyeimbangkan antara transendensi (hubungan
manusia dengan Tuhan) dan immanensi (hubungan manusia dengan realitas sosial
dan alam).¹¹
Footnotes
[1]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 45.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
52.
[3]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 84.
[4]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 66.
[5]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, 48.
[6]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 59.
[7]               
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
(Jakarta: Siguntang, 1959), 211.
[8]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 119.
[9]               
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 63.
[10]            
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 74.
[11]            
Yudi Latif, Negara Paripurna, 97.
5.          
Epistemologi Pancasila
5.1.       Sumber Pengetahuan dalam Pancasila
Epistemologi
membahas hakikat, sumber, dan batas pengetahuan. Dalam konteks Pancasila,
epistemologi tidak semata bersandar pada rasionalitas murni atau empirisme semata, melainkan
mengintegrasikan wahyu, akal, pengalaman budaya, dan konsensus sosial sebagai
sumber pengetahuan.¹ Hal ini tampak jelas dalam sejarah lahirnya Pancasila yang
bersumber dari nilai-nilai religiusitas, kearifan lokal, serta pengalaman
bangsa dalam berinteraksi dengan peradaban global.²
Dengan demikian,
epistemologi Pancasila bersifat pluralistik-integratif.
Pengetahuan tidak dilihat hanya sebagai hasil logika deduktif atau induktif, tetapi juga
mencakup dimensi moral, spiritual, dan historis.³
5.2.       Metode Berpikir Filsafati dalam Konteks Pancasila
Epistemologi
Pancasila menekankan pentingnya keseimbangan antara rasionalitas, pengalaman
empiris, dan dimensi etis. Proses perumusan Pancasila pada 1945 menunjukkan
adanya metode dialogis, musyawarah, dan mufakat sebagai sarana pencarian
kebenaran bersama.⁴
Dengan kata lain,
metode epistemologis Pancasila dapat dipahami melalui:
·                    
Dialog
dan Musyawarah, sebagai proses pencarian pengetahuan yang
menghargai pluralitas pandangan.
·                    
Sintesis
Nilai, yang memadukan unsur keagamaan, budaya, dan modernitas.
·                    
Pragmatisme
Sosial, yaitu pengetahuan dianggap benar sejauh ia dapat
diimplementasikan untuk kebaikan bersama.⁵
Prinsip ini
menunjukkan bahwa epistemologi Pancasila berbeda dengan model positivistik
Barat yang menekankan objektivitas netral, sebab dalam Pancasila pengetahuan
selalu terkait dengan dimensi nilai dan kemaslahatan sosial.⁶
5.3.       Relasi Pancasila dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam konteks
perkembangan ilmu, Pancasila dapat dijadikan paradigma keilmuan di Indonesia.
Epistemologi Pancasila menuntut agar ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nilai-nilai moral, spiritual, dan
kemanusiaan.⁷ Dengan begitu, sains tidak dipahami semata-mata sebagai instrumen
teknis, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan harkat martabat manusia
dan mewujudkan keadilan sosial.
Sebagai contoh,
riset dan teknologi yang berlandaskan Pancasila seharusnya tidak hanya mengejar
keuntungan ekonomi, tetapi juga memperhatikan keadilan, keberlanjutan
lingkungan, dan kemanusiaan. Hal ini memperlihatkan bahwa epistemologi
Pancasila memiliki sifat normatif-transformatif, yakni
memandu arah ilmu agar tetap berpihak pada manusia dan kemanusiaan.⁸
5.4.       Pancasila sebagai Paradigma Ilmu dan Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, epistemologi
Pancasila menjadi dasar pengembangan kurikulum yang tidak hanya berorientasi
pada penguasaan pengetahuan teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter.
Pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia Indonesia yang beriman, beradab,
cerdas, serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan kemanusiaan.⁹
Dengan demikian,
epistemologi Pancasila menempatkan pendidikan sebagai proses integral yang
menyatukan pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas. Hal ini sejalan dengan
gagasan bahwa ilmu pengetahuan harus berakar pada nilai luhur bangsa dan sekaligus terbuka terhadap
perkembangan global.¹⁰
Footnotes
[1]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 61.
[2]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 102.
[3]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 71.
[4]               
Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Kebudayaan
(Jakarta: Tintamas, 1962), 54.
[5]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
89.
[6]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 63.
[7]               
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 84.
[8]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 152.
[9]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 97.
[10]            
Yudi Latif, Negara Paripurna, 115.
6.          
Aksiologi Pancasila
6.1.       Nilai-Nilai Dasar Pancasila
Aksiologi sebagai
cabang filsafat berfokus pada kajian nilai: apa yang dianggap baik, benar, indah, dan berguna.
Dalam kerangka Pancasila, aksiologi menegaskan bahwa nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya bersifat fundamental dan universal, tetapi berakar pada
pengalaman historis dan kultural bangsa Indonesia.¹ Nilai-nilai dasar Pancasila
tercermin dalam lima sila yang memuat prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial.²
Nilai Ketuhanan
memberikan fondasi spiritual; nilai Kemanusiaan meneguhkan martabat manusia;
nilai Persatuan mengikat keragaman bangsa; nilai Demokrasi memberikan arah
partisipasi politik; sedangkan nilai Keadilan Sosial menekankan keseimbangan dan pemerataan
kesejahteraan.³ Dengan demikian, Pancasila bukan hanya kumpulan norma politik,
tetapi sistem nilai yang menyatukan aspek etis, religius, dan sosial dalam satu
kesatuan.
6.2.       Etika dan Moralitas dalam Pancasila
Dimensi aksiologis
Pancasila menempatkan moralitas sebagai inti kehidupan bersama. Sila kedua, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, menekankan penghormatan terhadap hak asasi
manusia dan perlakuan adil terhadap sesama.⁴ Etika Pancasila tidak hanya berbentuk aturan legal,
tetapi juga menyentuh ranah batiniah, menuntut adanya kesadaran moral dari
setiap individu.
Lebih jauh, etika
Pancasila bersifat inklusif: menghargai pluralitas agama, budaya, dan suku
tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Hal ini berbeda dengan etika
liberal yang cenderung individualistik, atau etika kolektivistik yang sering
meniadakan kebebasan individu.⁵ Etika Pancasila mencari jalan tengah: kebebasan
individu harus dijalankan dalam kerangka tanggung jawab sosial.
6.3.       Pancasila sebagai Dasar Sistem Hukum dan Politik
Nilai-nilai
aksiologis Pancasila juga menjadi landasan moral dan normatif bagi penyusunan hukum dan politik
Indonesia. Konstitusi 1945 dan seluruh peraturan perundang-undangan harus
merujuk pada nilai-nilai dasar Pancasila.⁶ Hal ini menegaskan bahwa hukum bukan
sekadar produk formal, tetapi harus memiliki legitimasi moral.
Dalam bidang
politik, sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menegaskan bahwa
demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi liberal individualistis, tetapi
demokrasi musyawarah yang menekankan kearifan, kebersamaan, dan penghormatan
terhadap suara rakyat.⁷ Oleh karena itu, Pancasila berfungsi sebagai pedoman
etis bagi praktik politik, sehingga kekuasaan dijalankan untuk kepentingan rakyat,
bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata.
6.4.       Pancasila sebagai Landasan Keadilan Sosial
Sila kelima, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan puncak aksiologi
Pancasila. Ia menegaskan orientasi Pancasila pada tercapainya kesejahteraan
yang adil dan merata.⁸ Dalam perspektif aksiologis, keadilan sosial mencakup dimensi ekonomi,
politik, budaya, dan lingkungan hidup.
Keadilan sosial
dalam Pancasila bukan hanya distribusi material, melainkan juga kesempatan yang
sama dalam memperoleh pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik.⁹ Dengan
demikian, Pancasila menolak sistem kapitalisme yang menimbulkan kesenjangan,
sekaligus menghindari komunisme yang meniadakan hak individu. Pancasila
mengusulkan suatu jalan tengah: sistem ekonomi yang berkeadilan, berbasis
gotong royong, dan tetap menghargai kebebasan individu dalam kerangka
kepentingan umum.¹⁰
Footnotes
[1]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 83.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
115.
[3]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 126.
[4]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 93.
[5]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 88.
[6]               
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 42.
[7]               
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 99.
[8]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 127.
[9]               
Yudi Latif, Negara Paripurna, 142.
[10]            
Mohammad Hatta, Ekonomi Indonesia di Masa Datang (Jakarta:
Tintamas, 1954), 78.
7.          
Pancasila dalam
Perspektif Perbandingan Filsafat
7.1.       Pancasila dan Tradisi Filsafat Barat
Pancasila, dalam
perspektif filsafat perbandingan, memiliki sejumlah persamaan sekaligus
perbedaan dengan tradisi filsafat Barat. Dalam hubungannya dengan liberalisme,
Pancasila mengakui martabat dan kebebasan individu, tetapi tidak menempatkan
individu secara absolut di atas kepentingan masyarakat.¹ Di sinilah perbedaan
fundamental muncul: Pancasila
mengajarkan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial,
yang tidak sepenuhnya sejalan dengan paradigma liberalisme individualistik.²
Berbeda dengan marxisme,
Pancasila menolak materialisme historis yang meniadakan peran transendensi dan
agama. Namun, Pancasila sejalan dengan marxisme dalam hal kepedulian terhadap keadilan sosial,
pembebasan kaum tertindas, dan kritik terhadap kesenjangan ekonomi.³ Dengan
demikian, Pancasila dapat dikatakan menempuh jalan tengah: menerima nilai
keadilan sosial tanpa mengabaikan spiritualitas.
Adapun dengan eksistensialisme,
Pancasila memiliki kesamaan dalam menekankan kebebasan dan tanggung jawab
manusia. Namun, Pancasila tidak jatuh pada relativisme radikal sebagaimana sebagian pemikiran
eksistensialis, karena nilai-nilai Pancasila selalu dituntun oleh landasan
Ketuhanan Yang Maha Esa.⁴
7.2.       Pancasila dan Tradisi Filsafat Timur
Pancasila juga
memiliki keterkaitan dengan tradisi filsafat Timur. Dari Konfusianisme,
Pancasila mengambil nilai harmoni, etika sosial, dan penghormatan terhadap
hierarki moral dalam masyarakat.⁵ Sila Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan memiliki keselarasan dengan pandangan Konfusius mengenai
pentingnya keteraturan sosial dan musyawarah.
Pengaruh Hindu-Buddha
dalam Pancasila dapat dilihat dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan konsep
dharma yang menekankan keseimbangan kosmis.⁶ Hal ini tercermin dalam sila kedua
dan kelima yang menuntut keadilan
serta keluhuran budi pekerti.
Sementara itu, dari
tradisi Islam, Pancasila mendapatkan
fondasi etis berupa tauhid, keadilan, dan musyawarah.⁷ Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan ekspresi inklusif dari nilai tauhid, sedangkan sila keempat
berakar pada prinsip syura (musyawarah) yang telah lama
menjadi tradisi dalam masyarakat Muslim.
7.3.       Pancasila dan Filsafat Postmodern
Dalam perspektif
postmodern, Pancasila memiliki relevansi unik. Postmodernisme menolak kebenaran
tunggal dan menekankan pluralitas. Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia,
justru sejak awal dibangun atas prinsip keberagaman yang disatukan dalam
kerangka persatuan.⁸ Namun, berbeda dengan relativisme ekstrem postmodern, Pancasila
tetap menegaskan adanya nilai-nilai normatif universal yang mengikat, seperti
Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial.⁹
Dengan demikian,
Pancasila dapat dikatakan kompatibel dengan semangat postmodern dalam hal
penghormatan terhadap pluralitas, tetapi tetap menawarkan fondasi moral
transendental yang membedakannya dari relativisme nihilistik.
7.4.       Pancasila sebagai Filsafat yang Unik dan Khas
Nusantara
Dari perbandingan di atas, tampak
bahwa Pancasila tidak sepenuhnya identik dengan filsafat Barat maupun Timur,
melainkan menyusun suatu sistem filsafat yang khas dan orisinal.¹⁰ Ia
mengintegrasikan unsur transendensi (Ketuhanan), humanisme (Kemanusiaan),
nasionalisme (Persatuan), demokrasi (Kerakyatan), dan sosialisme-etis (Keadilan
Sosial) dalam satu kesatuan yang utuh.
Keunikan Pancasila
terletak pada sifatnya yang inklusif, integratif, dan kontekstual.
Inklusif karena mengakomodasi berbagai tradisi pemikiran; integratif karena
menyatukan dimensi individu, masyarakat, dan transendensi; serta kontekstual
karena lahir dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri.¹¹
Dengan demikian,
Pancasila dapat ditempatkan sebagai filsafat bangsa yang berdialog dengan
filsafat dunia, namun tetap menjaga identitasnya sebagai falsafah yang lahir
dari rahim Nusantara.
Footnotes
[1]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
134.
[2]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 152.
[3]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 201.
[4]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 107.
[5]               
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), 91.
[6]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 115.
[7]               
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1998), 64.
[8]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 97.
[9]               
Yudi Latif, Negara Paripurna, 168.
[10]            
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 118.
[11]            
Kaelan, Pendidikan Pancasila, 142.
8.          
Relevansi Pancasila
dalam Kehidupan Berbangsa
8.1.       Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa
Indonesia dikenal
sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya. Keberagaman ini, jika tidak dikelola
dengan baik, berpotensi menimbulkan konflik sosial dan disintegrasi. Pancasila
hadir sebagai ideologi pemersatu bangsa, karena kelima silanya mengandung
prinsip inklusif yang dapat merangkul seluruh golongan.¹
Sila pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa, menjadi payung spiritual bagi seluruh agama,
sementara sila kedua dan ketiga menegaskan pentingnya kemanusiaan universal dan
persatuan dalam perbedaan. Dengan demikian, Pancasila berfungsi sebagai konsensus nasional yang
menyatukan berbagai identitas
ke dalam bingkai kebangsaan Indonesia.²
8.2.       Pancasila dalam Konteks Demokrasi dan Pluralisme
Sistem demokrasi
Indonesia tidak dibangun semata-mata atas dasar liberalisme Barat, tetapi
berlandaskan pada sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.³ Prinsip ini
menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus berakar pada budaya musyawarah yang mengutamakan mufakat,
bukan sekadar kompetisi suara mayoritas.
Dalam konteks
pluralisme, Pancasila menjamin ruang hidup yang setara bagi semua warga negara
tanpa diskriminasi. Prinsip ini penting dalam mengelola keragaman agama, etnis, dan budaya di
Indonesia, sekaligus menjadi jawaban atas potensi fragmentasi akibat politik
identitas.⁴
8.3.       Pancasila dan Tantangan Radikalisme, Sekularisme,
serta Globalisasi
Relevansi Pancasila
juga tampak dalam kemampuannya menghadapi tantangan ideologi kontemporer.
Pertama, terhadap radikalisme, Pancasila
memberikan kerangka moderasi: sila Ketuhanan menolak ateisme ekstrem, namun
juga menolak fanatisme agama yang meniadakan keberagaman.⁵
Kedua, terhadap sekularisme
ekstrem, Pancasila menegaskan bahwa agama tetap memiliki peran
moral dalam ruang publik, tanpa menjadikan negara teokratis.⁶ Pancasila dengan demikian
menawarkan jalan tengah antara negara sekuler dan negara agama.
Ketiga, dalam era globalisasi,
Pancasila berfungsi sebagai filter nilai. Arus global membawa penetrasi budaya,
ideologi, dan ekonomi yang bisa menggerus identitas bangsa. Pancasila, dengan nilai kemanusiaan, persatuan,
dan keadilan sosial, mampu menjadi dasar selektif dalam menyaring nilai global
yang sesuai dengan kepribadian bangsa.⁷
8.4.       Pancasila dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Bangsa
Salah satu aspek
penting relevansi Pancasila adalah perannya dalam dunia pendidikan. Pendidikan Pancasila tidak
sekadar bersifat kognitif, tetapi juga membentuk sikap, karakter, dan moral
peserta didik.⁸ Pendidikan yang berlandaskan Pancasila bertujuan membangun
manusia Indonesia seutuhnya: beriman, beradab, berpengetahuan, serta
bertanggung jawab terhadap kehidupan bersama.
Dalam konteks ini,
Pancasila berfungsi sebagai dasar penguatan karakter kebangsaan (nation
and character building). Melalui internalisasi nilai-nilainya, Pancasila dapat
menjadi pedoman generasi muda dalam menghadapi krisis identitas, degradasi
moral, serta derasnya arus individualisme global.⁹
Kesimpulan Sementara
Relevansi Pancasila
dalam kehidupan berbangsa bukan sekadar formalitas ideologis, tetapi nyata dalam berbagai aspek: sebagai
pemersatu bangsa yang majemuk, sebagai dasar demokrasi yang khas Indonesia,
sebagai benteng menghadapi radikalisme dan globalisasi, serta sebagai landasan
pendidikan karakter. Dengan demikian, Pancasila tetap aktual dan mendesak untuk
terus dihidupkan dalam praksis kehidupan sosial, politik, dan budaya bangsa
Indonesia.¹⁰
Footnotes
[1]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 211.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
153.
[3]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 97.
[4]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 115.
[5]               
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1998), 72.
[6]               
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 131.
[7]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 176.
[8]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 112.
[9]               
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Pendidikan Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 64.
[10]            
Yudi Latif, Negara Paripurna, 229.
9.          
Relevansi Pancasila
dalam Konteks Global
9.1.       Pancasila sebagai Tawaran Filosofis bagi Dunia
Di tengah krisis
global yang ditandai dengan meningkatnya ketidakadilan sosial, konflik
antaragama, degradasi lingkungan, serta dominasi kapitalisme global, Pancasila
menawarkan alternatif paradigma etis yang menyeimbangkan dimensi spiritual,
kemanusiaan, dan sosial.¹ Pancasila tidak hanya relevan bagi Indonesia, melainkan juga memiliki
potensi untuk berkontribusi dalam percakapan global mengenai masa depan
peradaban manusia.
Nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa, misalnya, menegaskan pentingnya fondasi spiritualitas dalam kehidupan publik,
sesuatu yang sering diabaikan dalam paradigma sekuler Barat.² Sementara itu,
nilai keadilan sosial dalam Pancasila menawarkan model ekonomi yang
berkeadilan, berbeda dengan kapitalisme neoliberal yang cenderung menghasilkan
kesenjangan.³
9.2.       Kontribusi Pancasila terhadap Dialog Peradaban
Pancasila dapat
dipahami sebagai jembatan dialog antarperadaban karena sifatnya yang inklusif
dan terbuka. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengakui keberadaan agama-agama,
sedangkan sila Persatuan Indonesia dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
menekankan universalitas kemanusiaan.⁴
Prinsip-prinsip ini menjadikan Pancasila selaras dengan agenda dialog
antaragama dan antarbudaya yang sangat dibutuhkan dunia kontemporer.
Dalam forum
internasional, Pancasila dapat diposisikan sebagai kontribusi khas Indonesia
terhadap pembangunan peradaban dunia, sejajar dengan konsep human
rights di Barat, dharma di India, atau ren
dalam tradisi Konfusianisme Tiongkok.⁵ Dengan demikian, Pancasila berpotensi
menjadi kerangka
nilai global yang menekankan harmoni dan keadilan.
9.3.       Pancasila dan Isu Global Kontemporer
Dalam menghadapi
isu-isu global, Pancasila memiliki daya relevansi yang kuat:
·                    
Hak
Asasi Manusia (HAM): 
Sila kedua mengandung prinsip penghormatan
terhadap martabat manusia, sejalan dengan Deklarasi Universal HAM, tetapi
dengan menambahkan dimensi etis dan spiritual.⁶
·                    
Lingkungan
Hidup: 
Prinsip keadilan sosial menuntut pembangunan
berkelanjutan yang adil bagi generasi sekarang dan masa depan, sejalan dengan
gagasan sustainable development goals (SDGs).⁷
·                    
Keadilan
Sosial Internasional: 
Pancasila menolak dominasi politik-ekonomi global
yang eksploitatif. Solidaritas dan kerjasama internasional sesuai dengan semangat
sila ketiga dan kelima, yakni persatuan dan keadilan.⁸
Dengan demikian,
Pancasila dapat dijadikan paradigma alternatif dalam menghadapi problem global yang tidak dapat
diselesaikan oleh model politik dan ekonomi hegemonik semata.
9.4.       Pancasila sebagai Filsafat Kemanusiaan Universal
Pancasila pada
hakikatnya tidak hanya berlaku bagi bangsa Indonesia, tetapi juga mengandung
nilai-nilai universal yang dapat diterapkan secara global. Konsep Bhinneka
Tunggal Ika yang melekat pada Pancasila memberikan model hidup
bersama dalam perbedaan yang semakin relevan di era globalisasi.⁹
Dalam arti ini,
Pancasila dapat dipandang sebagai filsafat kemanusiaan universal yang berupaya
menegakkan nilai spiritual, menghargai pluralitas, serta mendorong keadilan
sosial.¹⁰ Seperti halnya filsafat besar dunia yang melampaui batas geografis, Pancasila memiliki
potensi untuk menjadi sumbangan pemikiran Indonesia bagi peradaban manusia.
Footnotes
[1]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 243.
[2]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 103.
[3]               
Mohammad Hatta, Ekonomi Indonesia di Masa Datang (Jakarta:
Tintamas, 1954), 87.
[4]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
172.
[5]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 134.
[6]               
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 147.
[7]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 189.
[8]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 128.
[9]               
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), 101.
[10]            
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1998), 93.
10.      
Kritik dan
Reinterpretasi Kontemporer
10.1.    Kritik Akademis terhadap Pancasila sebagai Filsafat
Meskipun Pancasila
dipandang sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia, beberapa kritik akademis
menyoroti sifatnya yang sering kali bersifat normatif dan kurang operasional.¹ Pancasila, menurut
sebagian kalangan, lebih banyak diperlakukan sebagai doktrin politik ketimbang
dikembangkan sebagai sistem filsafat yang dapat diuji secara kritis.²
Akibatnya, Pancasila berisiko jatuh pada retorika formal tanpa memiliki daya
transformasi nyata dalam kehidupan sosial dan politik.
Kritik lain datang
dari perspektif filsafat Barat yang menilai bahwa Pancasila belum memiliki
konsistensi metodologis sebagaimana sistem filsafat modern, karena lebih merupakan
hasil kompromi politik ketimbang konstruksi teoretis murni.³ Namun demikian,
justru dalam karakter kompromistis inilah Pancasila mendapatkan kekhasannya, sebab ia mencerminkan
realitas plural bangsa Indonesia.
10.2.    Reinterpretasi Nilai-Nilai Pancasila di Era Modern
Perkembangan zaman menuntut agar Pancasila
ditafsirkan kembali sesuai dengan konteks kekinian. Nilai Ketuhanan, misalnya,
perlu direinterpretasi sebagai dasar penguatan toleransi antarumat beragama di
tengah menguatnya polarisasi identitas.⁴ Nilai Kemanusiaan harus ditafsirkan
ulang dalam konteks hak asasi manusia, kesetaraan gender, serta penghormatan
terhadap kelompok minoritas.⁵
Sila Persatuan
Indonesia relevan untuk direinterpretasi sebagai upaya membangun integrasi
bangsa di era digital, di mana media sosial sering kali melahirkan segregasi
dan konflik wacana.⁶ Begitu pula dengan sila Demokrasi, yang kini harus dimaknai dalam kerangka
good
governance, partisipasi publik, dan transparansi politik. Terakhir,
sila Keadilan Sosial harus dijabarkan ulang dalam menghadapi tantangan
neoliberalisme global, kemiskinan struktural, dan kerusakan lingkungan.⁷
10.3.    Pancasila dalam Perspektif Generasi Muda dan
Revolusi Digital
Generasi muda adalah
agen utama keberlanjutan Pancasila. Namun, tantangan muncul ketika nilai-nilai Pancasila bersaing dengan
ideologi global yang disebarkan melalui teknologi digital. Penelitian
menunjukkan bahwa generasi milenial dan generasi Z sering kali memandang
Pancasila sekadar formalitas karena tidak diajarkan dengan pendekatan kritis
dan kontekstual.⁸
Oleh karena itu,
reinterpretasi Pancasila harus dilakukan melalui media digital, pendidikan
kreatif, dan budaya populer. Hal ini bertujuan agar Pancasila hadir sebagai “living ideology” yang
relevan dengan kehidupan generasi muda, bukan sekadar simbol historis.⁹
10.4.    Pancasila dalam Wacana Postkolonial dan Globalisasi
Budaya
Dalam perspektif
postkolonial, Pancasila dapat dipandang sebagai upaya bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari
dominasi ideologi Barat maupun Timur. Namun, kritik muncul karena Pancasila
sering kali diinstrumentalisasi oleh elit politik untuk kepentingan
kekuasaan.¹⁰
Reinterpretasi
Pancasila dalam era globalisasi budaya berarti mengembalikannya sebagai
paradigma kritis yang mampu menolak hegemoni kapitalisme global, sekaligus membuka ruang bagi kebudayaan
lokal.¹¹ Dengan demikian, Pancasila perlu dipahami bukan hanya sebagai ideologi
statis, tetapi sebagai filsafat hidup yang terus berkembang melalui dialektika
sejarah.
Kesimpulan Sementara
Kritik dan
reinterpretasi kontemporer menunjukkan bahwa Pancasila tidak dapat dipahami
secara final. Ia harus terus ditafsirkan ulang sesuai tantangan zaman, baik dalam menghadapi isu
kebangsaan maupun global. Proses reinterpretasi ini bukan berarti merombak nilai
dasar Pancasila, tetapi memperbarui cara penghayatan dan implementasinya agar
tetap relevan bagi Indonesia dan dunia.¹²
Footnotes
[1]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 203.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
191.
[3]               
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 142.
[4]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 257.
[5]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 138.
[6]               
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Pendidikan Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 81.
[7]               
Mohammad Hatta, Ekonomi Indonesia di Masa Datang (Jakarta:
Tintamas, 1954), 95.
[8]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 133.
[9]               
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya: Membangun
Multikulturalisme Indonesia (Jakarta: Kanisius, 2007), 74.
[10]            
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 159.
[11]            
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1998), 105.
[12]            
Yudi Latif, Negara Paripurna, 264.
11.      
Sintesis dan Refleksi
Filosofis
11.1.    Sintesis Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
Pancasila
Kajian filsafat
Pancasila menemukan keterpaduan antara dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Secara ontologis, Pancasila memandang
realitas sebagai
kesatuan antara transendensi, kemanusiaan, masyarakat, dan negara.¹ Secara epistemologis,
Pancasila menekankan pluralitas sumber pengetahuan: rasio, pengalaman empiris,
wahyu, serta kearifan kolektif yang diperoleh melalui musyawarah.² Sementara
secara aksiologis,
Pancasila menghadirkan sistem nilai yang berorientasi pada etika, keadilan, dan
kebersamaan.³
Ketiga dimensi ini
menunjukkan bahwa Pancasila bukan sekadar ideologi politik, melainkan filsafat
menyeluruh yang mengatur cara berpikir, bersikap, dan bertindak bangsa
Indonesia. Dengan sintesis ini, Pancasila dapat dipahami sebagai filsafat
praksis: ia bukan hanya teori, melainkan dasar bagi tindakan nyata dalam
kehidupan sosial dan kenegaraan.⁴
11.2.    Refleksi atas Pancasila sebagai Jalan Tengah
(Moderasi)
Pancasila dapat
direfleksikan sebagai filsafat “jalan tengah” atau moderasi. Ia menolak
ekstremisme individualistik ala liberalisme, sekaligus menghindari
totalitarianisme kolektivistik ala marxisme.⁵ Dalam bidang agama, Pancasila
menolak sekularisme ekstrem yang menyingkirkan agama dari ruang publik, tetapi juga menolak
fundamentalisme yang menafikan keberagaman iman.⁶
Refleksi ini
memperlihatkan bahwa Pancasila bersifat dialektis: ia lahir dari pergumulan
antara nilai-nilai
lokal Nusantara, pengaruh peradaban dunia, serta kebutuhan praktis bangsa Indonesia
untuk menemukan kesepakatan bersama. Moderasi inilah yang membuat Pancasila
tetap relevan sebagai filsafat kebangsaan di tengah ketegangan ideologi
global.⁷
11.3.    Implikasi Filosofis bagi Indonesia dan Dunia
Secara filosofis,
Pancasila memberikan arah bagi pembangunan bangsa Indonesia:
·                    
Dalam politik,
ia menuntun pada demokrasi yang berakar pada musyawarah dan kearifan kolektif.
·                    
Dalam ekonomi,
ia menekankan keseimbangan antara kebebasan individu dan keadilan sosial.
·                    
Dalam pendidikan,
ia mendorong integrasi ilmu, moral, dan spiritualitas.
·                    
Dalam hubungan
internasional, ia menjadi tawaran filsafat alternatif yang
menekankan perdamaian, toleransi, dan solidaritas global.⁸
Bagi dunia,
Pancasila memberikan refleksi bahwa ideologi bangsa tidak harus bersifat
hegemonik. Pancasila
menunjukkan kemungkinan hadirnya sebuah filsafat politik yang bersumber dari
lokalitas, tetapi memiliki daya universal. Hal ini menjadikan Pancasila sebagai
kontribusi khas Indonesia bagi percakapan global mengenai etika, demokrasi, dan
keadilan sosial.⁹
Refleksi Penutup
Refleksi filosofis
atas Pancasila menegaskan bahwa kekuatan utamanya terletak pada sifatnya yang dinamis, terbuka, dan
inklusif. Pancasila bukanlah dogma yang kaku, melainkan filsafat hidup yang
terus berkembang sesuai dengan tantangan zaman.¹⁰
Dengan demikian,
Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, melainkan juga sebagai
etika peradaban yang dapat menginspirasi bangsa Indonesia dan masyarakat dunia.
Refleksi ini menuntun kita untuk tidak berhenti pada pengulangan retoris atas sila-sila Pancasila,
tetapi mendorong internalisasi dan aktualisasinya dalam seluruh aspek
kehidupan.¹¹
Footnotes
[1]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 121.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
203.
[3]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 147.
[4]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 275.
[5]               
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 152.
[6]               
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1998), 114.
[7]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 214.
[8]               
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 89.
[9]               
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 141.
[10]            
Yudi Latif, Negara Paripurna, 289.
[11]            
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 177.
12.      
Penutup
12.1.    Kesimpulan
Kajian tentang Filsafat
Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya dasar negara,
melainkan juga sistem filsafat yang utuh, mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.¹ Secara ontologis, Pancasila menegaskan hakikat realitas manusia
sebagai makhluk monopluralis yang berada dalam relasi dengan Tuhan, sesama,
masyarakat, dan alam.² Secara epistemologis, Pancasila menekankan pluralitas sumber
pengetahuan: akal, pengalaman, wahyu, serta musyawarah.³ Sementara secara
aksiologis, Pancasila menghadirkan nilai-nilai moral yang melandasi hukum,
politik, ekonomi, dan pendidikan, dengan orientasi pada keadilan sosial dan
kemanusiaan.⁴
Sejarah menunjukkan
bahwa Pancasila lahir dari proses panjang, baik secara kultural maupun politis, melalui konsensus
para pendiri bangsa.⁵ Dinamika penerapannya sejak era Orde Lama, Orde Baru,
hingga Reformasi memperlihatkan bahwa Pancasila selalu ditafsirkan ulang sesuai
tantangan zamannya.⁶ Hal ini menegaskan sifatnya yang dinamis dan terbuka
terhadap reinterpretasi.
12.2.    Rekomendasi Implementatif
Agar Pancasila tetap
relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, beberapa langkah implementatif perlu diperhatikan:
·                    
Penguatan
Pendidikan Pancasila: 
Pendidikan tidak hanya menekankan aspek kognitif,
tetapi juga membentuk karakter dan etika kebangsaan.⁷
·                    
Internalisasi
dalam Kebijakan Publik: 
Pancasila harus menjadi rujukan normatif dalam
perumusan hukum, kebijakan ekonomi, dan tata kelola politik.⁸
·                    
Pengembangan
Wacana Akademik: 
Studi filsafat Pancasila harus dikembangkan
secara kritis agar tidak berhenti pada doktrin normatif, tetapi menjadi
filsafat yang hidup dan dinamis.⁹
·                    
Dialog
Global: 
Pancasila perlu dipromosikan sebagai kontribusi
khas Indonesia terhadap peradaban dunia, khususnya dalam isu toleransi,
pluralisme, dan keadilan sosial.¹⁰
12.3.    Penutup Reflektif
Pancasila merupakan
warisan filosofis sekaligus proyek peradaban bangsa Indonesia. Ia lahir dari semangat persatuan di
tengah keragaman, berkembang melalui dialektika sejarah, dan kini menghadapi
tantangan global yang kompleks. Refleksi atas Pancasila menegaskan bahwa
kekuatannya terletak pada sifat moderatif, integratif, dan kontekstual.¹¹
Sebagai filsafat
bangsa, Pancasila harus terus dihidupkan melalui praksis sosial, politik, dan
budaya. Tanpa aktualisasi, Pancasila akan redup menjadi simbol formal belaka. Namun dengan
internalisasi yang sungguh-sungguh, Pancasila dapat menjadi pedoman hidup
bangsa yang tidak hanya meneguhkan keindonesiaan, tetapi juga memberi inspirasi
bagi dunia dalam membangun peradaban yang lebih adil, damai, dan beradab.¹²
Footnotes
[1]               
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974), 131.
[2]               
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
203.
[3]               
R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara,
1985), 147.
[4]               
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 275.
[5]               
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
(Jakarta: Siguntang, 1959), 212.
[6]               
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1986), 214.
[7]               
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Pendidikan Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 91.
[8]               
Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), 183.
[9]               
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 152.
[10]            
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1998), 117.
[11]            
Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 141.
[12]            
Yudi Latif, Negara Paripurna, 289.
Daftar
Pustaka
Alfian. (1986). Pemikiran dan perubahan politik
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan pendidikan
demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Azra, A. (2007). Identitas dan krisis budaya:
Membangun multikulturalisme Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Hatta, M. (1954). Ekonomi Indonesia di masa datang.
Jakarta: Tintamas.
Hatta, M. (1962). Pengantar ke jalan ilmu dan
kebudayaan. Jakarta: Tintamas.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan, & Zubaidi, A. (2007). Filsafat
Pancasila: Pandangan hidup bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa.
Jakarta: Balai Pustaka.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas,
rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Madjid, N. (1998). Islam, kemodernan, dan
keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika politik:
Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: Gramedia.
Notonagoro. (1974). Pancasila: Dasar falsafah
negara. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.
Parmono, R. (1985). Mengenal filsafat Pancasila.
Jakarta: Bina Aksara.
Roeslan Abdulgani. (1981). Pancasila: Sebagai
ideologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Soepomo. (1995). Pidato dalam sidang BPUPKI, 31 Mei
1945. Dalam Risalah sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara
RI.
Yamin, M. (1959). Naskah persiapan Undang-Undang
Dasar 1945. Jakarta: Siguntang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar