Sabtu, 11 Oktober 2025

Filsafat Pancasila: Fondasi, Dinamika, dan Relevansi dalam Konteks Keindonesiaan dan Global

Filsafat Pancasila

Fondasi, Dinamika, dan Relevansi dalam Konteks Keindonesiaan dan Global


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia yang memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai sistem nilai dan falsafah hidup yang menuntun arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara historis, Pancasila lahir dari kristalisasi nilai-nilai budaya Nusantara, interaksi dengan peradaban dunia, dan konsensus politik para pendiri bangsa pada tahun 1945. Kajian ini menelusuri fondasi filosofis Pancasila, perkembangan pemikiran dan implementasinya dalam sejarah Indonesia, serta relevansinya dalam konteks nasional maupun global.

Secara ontologis, Pancasila menegaskan manusia sebagai makhluk monopluralis yang hidup dalam relasi dengan Tuhan, sesama, masyarakat, dan alam. Secara epistemologis, ia menekankan pluralitas sumber pengetahuan yang meliputi akal, pengalaman, wahyu, dan musyawarah. Secara aksiologis, Pancasila menghadirkan sistem nilai yang menekankan etika, keadilan, demokrasi, dan persatuan. Artikel ini juga menyoroti posisi Pancasila dalam perbandingan dengan filsafat Barat, Timur, dan postmodern, serta menegaskan relevansinya dalam menghadapi tantangan radikalisme, sekularisme, dan globalisasi.

Pada ranah global, Pancasila ditawarkan sebagai paradigma alternatif yang menekankan moderasi, pluralisme, dan keadilan sosial, sehingga dapat berkontribusi dalam dialog antarperadaban dan penyelesaian isu-isu universal seperti hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan, dan solidaritas internasional. Dengan demikian, Pancasila dapat dipahami sebagai filsafat praksis yang dinamis, moderatif, dan kontekstual, yang tidak hanya menjadi dasar keindonesiaan, tetapi juga memiliki daya relevansi bagi peradaban dunia.

Kata Kunci: Pancasila; filsafat; ontologi; epistemologi; aksiologi; ideologi bangsa; pluralisme; keadilan sosial; globalisasi.


PEMBAHASAN

Fondasi, Dinamika, dan Relevansi Filsafat Pancasila dalam Konteks Keindonesiaan dan Global


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Pancasila merupakan dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang disepakati secara historis oleh para pendiri bangsa pada tahun 1945. Ia tidak hanya hadir sebagai ideologi politik, tetapi juga sebagai filsafat yang memuat pandangan hidup, nilai-nilai moral, dan prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks filsafat, Pancasila dipandang sebagai sistem nilai yang memiliki dimensi ontologis (tentang hakikat manusia dan realitas), epistemologis (tentang sumber dan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (tentang nilai, moralitas, dan tujuan hidup bersama).¹

Konteks global saat ini ditandai dengan arus globalisasi, perkembangan teknologi digital, serta tantangan ideologi transnasional. Hal tersebut menuntut adanya refleksi baru terhadap Pancasila agar tetap relevan dalam menghadapi dinamika zaman. Tanpa refleksi filosofis, Pancasila berisiko direduksi hanya sebagai slogan formal tanpa substansi praksis.² Oleh karena itu, kajian filsafat Pancasila penting dilakukan secara akademis, bukan sekadar normatif, untuk menggali kedalaman makna serta menemukan relevansinya dalam menghadapi tantangan nasional maupun global.³

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan dibahas dalam artikel ini:

1)                  Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai filsafat?

2)                  Bagaimana dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis Pancasila dapat dipahami secara sistematis?

3)                  Bagaimana dinamika perkembangan pemikiran dan penerapan Pancasila dalam sejarah Indonesia?

4)                  Sejauh mana relevansi Pancasila dalam menghadapi tantangan global kontemporer?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menjelaskan Pancasila sebagai filsafat bangsa yang memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

2)                  Mengkaji dinamika pemikiran dan penerapan Pancasila dari masa ke masa.

3)                  Menguraikan relevansi Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan dalam wacana global.

Manfaat kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik dalam pengembangan studi filsafat Pancasila, memperkuat pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilainya, serta mendorong generasi muda untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup yang aktual dan dinamis.

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat normatif-analitis dengan metode historis, kritis, dan komparatif. Pendekatan historis digunakan untuk menelusuri proses lahirnya Pancasila dan perkembangan pemikirannya. Pendekatan kritis dipakai untuk menelaah kedalaman makna ontologis, epistemologis, dan aksiologis Pancasila. Sedangkan pendekatan komparatif dipakai untuk membandingkan Pancasila dengan filsafat lain di tingkat global.⁴


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 15.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 23.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 42.

[4]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 12.


2.           Konsep Dasar Filsafat Pancasila

2.1.       Definisi Pancasila sebagai Filsafat

Pancasila sebagai filsafat dapat dipahami sebagai suatu sistem nilai yang dijadikan dasar, pedoman, dan orientasi hidup bangsa Indonesia. Dalam pengertian ini, Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara (staatfundamentalnorm), tetapi juga mengandung kedalaman refleksi filosofis yang menuntun manusia Indonesia dalam memahami hakikat realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai moral.¹ Pancasila sebagai filsafat adalah hasil kristalisasi dari budaya, agama, dan nilai-nilai luhur bangsa yang dipadukan dengan kesadaran kebangsaan modern, sehingga memiliki watak khas yang membedakannya dari ideologi atau filsafat bangsa lain.²

Notonagoro menekankan bahwa Pancasila adalah filsafat yang bersifat integral, di mana sila-sila yang terdapat di dalamnya merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan.³ Oleh sebab itu, memandang Pancasila sebagai filsafat berarti melihatnya sebagai suatu bangunan pemikiran menyeluruh yang menegaskan bagaimana bangsa Indonesia memahami eksistensi manusia, masyarakat, dan negara dalam hubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.

2.2.       Sumber Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Pancasila

Dalam kerangka filsafat, Pancasila dapat dianalisis melalui tiga dimensi pokok, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

·                     Ontologis,

Pancasila bersumber pada hakikat manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang hidup dalam kesatuan hubungan dengan Tuhan, manusia lain, dan lingkungan. Pancasila mengakui realitas bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari dimensi ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial.⁴

·                     Epistemologis,

Pancasila mengajarkan bahwa pengetahuan manusia tidak hanya diperoleh dari rasio, melainkan juga dari wahyu, pengalaman sejarah, budaya, dan konsensus sosial.⁵ Dengan demikian, Pancasila mengandung pendekatan epistemologis yang integratif dan tidak reduksionis.

·                     Aksiologis,

Pancasila menegaskan nilai-nilai fundamental yang harus diwujudkan dalam kehidupan bersama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan bangsa, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini bukan hanya bersifat normatif, melainkan juga praksis, yang menuntut aktualisasi dalam kehidupan sehari-hari.⁶

2.3.       Kedudukan Pancasila dalam Sistem Filsafat

Dalam sistem filsafat, Pancasila dapat dipandang sebagai filsafat praksis yang menghubungkan antara teori dan kenyataan. Ia bukan hanya sekadar refleksi abstrak, melainkan filsafat yang memiliki tujuan politis, sosial, dan kultural.⁷

Kedudukan Pancasila sebagai filsafat dapat disejajarkan dengan filsafat bangsa lain, misalnya Konfusianisme di Tiongkok, Bushido di Jepang, atau filsafat politik liberalisme di Barat. Namun, yang membedakan Pancasila adalah sifatnya yang sintesis, menggabungkan berbagai unsur keagamaan, tradisi lokal, dan modernitas dalam satu kerangka pemikiran.⁸

Selain itu, dalam konteks ilmu pengetahuan, Pancasila dapat dijadikan paradigma yang menuntun arah pengembangan sains, teknologi, dan pendidikan di Indonesia. Filsafat Pancasila mendorong ilmu pengetahuan agar tetap berakar pada nilai kemanusiaan dan moralitas, sehingga tidak terjebak dalam positivisme sempit yang hanya menekankan aspek material.⁹

2.4.       Relasi Pancasila dengan Konsep “Falsafah Bangsa”

Istilah falsafah bangsa sering digunakan untuk menegaskan bahwa Pancasila adalah hasil refleksi kolektif bangsa Indonesia atas pengalaman sejarahnya. Pancasila bukanlah produk pemikiran individual semata, melainkan lahir dari konsensus bersama yang mengakomodasi pluralitas budaya, agama, dan adat istiadat di Nusantara.¹⁰

Sebagai falsafah bangsa, Pancasila memiliki fungsi ganda: di satu sisi sebagai perekat bangsa yang majemuk, di sisi lain sebagai panduan moral dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan demikian, Pancasila tidak boleh dipahami secara statis, melainkan sebagai filsafat yang dinamis dan terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan perkembangan sosial dan global.¹¹


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 5.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 17.

[3]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, 25.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 56.

[5]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 21.

[6]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 34.

[7]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, 33.

[8]                Yudi Latif, Negara Paripurna, 73.

[9]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila, 42.

[10]             R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila, 29.

[11]             Kaelan, Pendidikan Pancasila, 45.


3.           Sejarah Lahir dan Perkembangan Pemikiran Pancasila

3.1.       Akar Historis dan Budaya Nusantara

Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang telah lama hidup dalam budaya Nusantara. Tradisi lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan penghormatan terhadap keberagaman telah menjadi landasan hidup bersama masyarakat Indonesia sejak masa kerajaan-kerajaan kuno.¹ Unsur-unsur religiusitas juga tampak dari pengaruh Hindu-Buddha, Islam, dan kearifan adat yang melahirkan pandangan hidup yang holistik dan inklusif.²

Dengan demikian, Pancasila lahir dari interaksi panjang antara tradisi lokal dengan peradaban dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila memiliki dimensi historis yang kuat, yang kemudian diformulasikan secara eksplisit pada masa perjuangan kemerdekaan.³

3.2.       Proses Perumusan Pancasila pada BPUPKI dan PPKI

Secara formal, Pancasila diperkenalkan pertama kali oleh Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengusulkan lima dasar negara yang ia sebut Pancasila, yaitu kebangsaan, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan.⁴

Gagasan tersebut kemudian dibahas secara intensif oleh anggota BPUPKI dan dituangkan dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam Jakarta memuat rumusan sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”⁵ Namun, pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan rumusan final yang mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi menjaga persatuan bangsa yang plural.⁶

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Pancasila adalah hasil konsensus politik dan budaya, yang disusun dengan semangat kompromi untuk mengakomodasi keragaman bangsa Indonesia.⁷

3.3.       Tokoh-tokoh Perumus dan Gagasan Dasar

Selain Soekarno, banyak tokoh lain yang turut berperan dalam merumuskan dasar negara. Muhammad Yamin, misalnya, mengusulkan dasar negara berupa Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.⁸ Sementara itu, Soepomo menekankan konsep negara integralistik yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan individu.⁹

Perdebatan intelektual dan politik antara tokoh-tokoh tersebut melahirkan sintesis yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila bukanlah hasil pemikiran satu orang, melainkan buah kolektif dari para pendiri bangsa yang memiliki latar belakang berbeda-beda.¹⁰

3.4.       Dinamika Historis Penerapan Pancasila

Perkembangan pemikiran dan implementasi Pancasila terus mengalami dinamika sejak kemerdekaan hingga masa kontemporer. Pada masa Orde Lama, Pancasila diinterpretasikan dalam kerangka demokrasi terpimpin, di mana Soekarno berusaha menempatkan Pancasila sebagai ideologi pemersatu di tengah konflik politik.¹¹

Pada masa Orde Baru, Pancasila dijadikan ideologi tunggal melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, penafsiran tunggal ini sering kali bersifat hegemonik dan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.¹²

Setelah Reformasi 1998, Pancasila sempat terpinggirkan karena dianggap terkait dengan otoritarianisme. Akan tetapi, sejak awal abad ke-21, Pancasila kembali mendapat perhatian sebagai dasar filosofis yang diperlukan untuk memperkuat demokrasi, toleransi, dan keadilan sosial di Indonesia.¹³

Dengan demikian, sejarah perkembangan Pancasila memperlihatkan bahwa ia merupakan ideologi yang dinamis, selalu ditafsirkan ulang sesuai dengan tantangan zaman. Pemikiran filsafat Pancasila karenanya tidak pernah final, melainkan terus hidup dan berkembang.¹⁴


Footnotes

[1]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 12.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 26.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 18.

[4]                Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Kebudayaan (Jakarta: Tintamas, 1962), 47.

[5]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 31.

[6]                Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 54.

[7]                Yudi Latif, Negara Paripurna, 29.

[8]                Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Siguntang, 1959), 124.

[9]                Soepomo, Pidato dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), 29.

[10]             Kaelan, Pendidikan Pancasila, 38.

[11]             Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi, 77.

[12]             Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 142.

[13]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 61.

[14]             Kaelan, Pendidikan Pancasila, 45.


4.           Ontologi Pancasila

4.1.       Hakikat Realitas dalam Pancasila

Dalam filsafat, ontologi merupakan kajian tentang hakikat realitas atau keberadaan. Pancasila sebagai filsafat memiliki dimensi ontologis yang mengajarkan bahwa realitas kehidupan bangsa Indonesia mencakup hubungan harmonis antara Tuhan, manusia, masyarakat, dan alam semesta.¹ Sila-sila Pancasila tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait sebagai refleksi dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk multidimensional: religius, sosial, politik, dan ekologis.²

Hakikat realitas menurut Pancasila tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual. Ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan bahwa seluruh realitas bersumber dari Tuhan sebagai asal dan tujuan. Dengan demikian, Pancasila mengakui adanya keterkaitan erat antara aspek transendental dengan kehidupan empiris.³

4.2.       Pandangan tentang Manusia dan Kemanusiaan

Dimensi ontologis Pancasila menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat, kebebasan, dan tanggung jawab. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menegaskan bahwa manusia adalah subjek etis yang memiliki hak asasi serta kewajiban moral terhadap sesamanya.⁴

Manusia dalam perspektif Pancasila dipahami sebagai makhluk monopluralis, yakni memiliki dimensi individu dan sosial yang tak terpisahkan.⁵ Sebagai individu, manusia memiliki kebebasan berpikir dan bertindak; sebagai makhluk sosial, ia memiliki tanggung jawab untuk hidup bermasyarakat dan menjaga harmoni. Pemahaman ontologis ini membedakan Pancasila dari ideologi individualistik liberal maupun kolektivistik totalitarian.⁶

4.3.       Hubungan Individu, Masyarakat, dan Negara

Pancasila memandang bahwa eksistensi individu, masyarakat, dan negara harus berada dalam hubungan yang seimbang. Negara dalam pandangan Pancasila bukanlah entitas yang menindas individu, melainkan wadah untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengandung makna bahwa negara merupakan rumah bersama yang dibangun atas dasar solidaritas dan integrasi.⁷

Dengan demikian, ontologi Pancasila menolak pandangan negara absolut ala Hegelian maupun negara minimalis ala liberalisme klasik. Negara dipahami sebagai “organisasi kekuasaan yang berkeadaban,” yakni alat untuk menata kehidupan bersama secara adil, demokratis, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.⁸

4.4.       Konsep Ketuhanan dalam Perspektif Pancasila

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan fondasi ontologis yang menegaskan bahwa realitas tertinggi dalam Pancasila adalah Tuhan. Konsep Ketuhanan dalam Pancasila bersifat inklusif, sehingga memungkinkan setiap pemeluk agama di Indonesia menghayati imannya tanpa dipaksa mengikuti tafsir tunggal.⁹

Ketuhanan dalam Pancasila tidak dimaksudkan sebagai bentuk negara teokratis, tetapi juga bukan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Ontologi Pancasila justru menempatkan Ketuhanan sebagai sumber nilai moral dan spiritual yang menjiwai seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.¹⁰

Dengan demikian, Pancasila menghadirkan pandangan ontologis yang menyeimbangkan antara transendensi (hubungan manusia dengan Tuhan) dan immanensi (hubungan manusia dengan realitas sosial dan alam).¹¹


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 45.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 52.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 84.

[4]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 66.

[5]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, 48.

[6]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 59.

[7]                Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Siguntang, 1959), 211.

[8]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 119.

[9]                Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 63.

[10]             Kaelan, Pendidikan Pancasila, 74.

[11]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 97.


5.           Epistemologi Pancasila

5.1.       Sumber Pengetahuan dalam Pancasila

Epistemologi membahas hakikat, sumber, dan batas pengetahuan. Dalam konteks Pancasila, epistemologi tidak semata bersandar pada rasionalitas murni atau empirisme semata, melainkan mengintegrasikan wahyu, akal, pengalaman budaya, dan konsensus sosial sebagai sumber pengetahuan.¹ Hal ini tampak jelas dalam sejarah lahirnya Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai religiusitas, kearifan lokal, serta pengalaman bangsa dalam berinteraksi dengan peradaban global.²

Dengan demikian, epistemologi Pancasila bersifat pluralistik-integratif. Pengetahuan tidak dilihat hanya sebagai hasil logika deduktif atau induktif, tetapi juga mencakup dimensi moral, spiritual, dan historis.³

5.2.       Metode Berpikir Filsafati dalam Konteks Pancasila

Epistemologi Pancasila menekankan pentingnya keseimbangan antara rasionalitas, pengalaman empiris, dan dimensi etis. Proses perumusan Pancasila pada 1945 menunjukkan adanya metode dialogis, musyawarah, dan mufakat sebagai sarana pencarian kebenaran bersama.⁴

Dengan kata lain, metode epistemologis Pancasila dapat dipahami melalui:

·                     Dialog dan Musyawarah, sebagai proses pencarian pengetahuan yang menghargai pluralitas pandangan.

·                     Sintesis Nilai, yang memadukan unsur keagamaan, budaya, dan modernitas.

·                     Pragmatisme Sosial, yaitu pengetahuan dianggap benar sejauh ia dapat diimplementasikan untuk kebaikan bersama.⁵

Prinsip ini menunjukkan bahwa epistemologi Pancasila berbeda dengan model positivistik Barat yang menekankan objektivitas netral, sebab dalam Pancasila pengetahuan selalu terkait dengan dimensi nilai dan kemaslahatan sosial.⁶

5.3.       Relasi Pancasila dengan Ilmu Pengetahuan

Dalam konteks perkembangan ilmu, Pancasila dapat dijadikan paradigma keilmuan di Indonesia. Epistemologi Pancasila menuntut agar ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nilai-nilai moral, spiritual, dan kemanusiaan.⁷ Dengan begitu, sains tidak dipahami semata-mata sebagai instrumen teknis, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan harkat martabat manusia dan mewujudkan keadilan sosial.

Sebagai contoh, riset dan teknologi yang berlandaskan Pancasila seharusnya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga memperhatikan keadilan, keberlanjutan lingkungan, dan kemanusiaan. Hal ini memperlihatkan bahwa epistemologi Pancasila memiliki sifat normatif-transformatif, yakni memandu arah ilmu agar tetap berpihak pada manusia dan kemanusiaan.⁸

5.4.       Pancasila sebagai Paradigma Ilmu dan Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, epistemologi Pancasila menjadi dasar pengembangan kurikulum yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan pengetahuan teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia Indonesia yang beriman, beradab, cerdas, serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan kemanusiaan.⁹

Dengan demikian, epistemologi Pancasila menempatkan pendidikan sebagai proses integral yang menyatukan pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas. Hal ini sejalan dengan gagasan bahwa ilmu pengetahuan harus berakar pada nilai luhur bangsa dan sekaligus terbuka terhadap perkembangan global.¹⁰


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 61.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 102.

[3]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 71.

[4]                Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Kebudayaan (Jakarta: Tintamas, 1962), 54.

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 89.

[6]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 63.

[7]                Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 84.

[8]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 152.

[9]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, 97.

[10]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 115.


6.           Aksiologi Pancasila

6.1.       Nilai-Nilai Dasar Pancasila

Aksiologi sebagai cabang filsafat berfokus pada kajian nilai: apa yang dianggap baik, benar, indah, dan berguna. Dalam kerangka Pancasila, aksiologi menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat fundamental dan universal, tetapi berakar pada pengalaman historis dan kultural bangsa Indonesia.¹ Nilai-nilai dasar Pancasila tercermin dalam lima sila yang memuat prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial.²

Nilai Ketuhanan memberikan fondasi spiritual; nilai Kemanusiaan meneguhkan martabat manusia; nilai Persatuan mengikat keragaman bangsa; nilai Demokrasi memberikan arah partisipasi politik; sedangkan nilai Keadilan Sosial menekankan keseimbangan dan pemerataan kesejahteraan.³ Dengan demikian, Pancasila bukan hanya kumpulan norma politik, tetapi sistem nilai yang menyatukan aspek etis, religius, dan sosial dalam satu kesatuan.

6.2.       Etika dan Moralitas dalam Pancasila

Dimensi aksiologis Pancasila menempatkan moralitas sebagai inti kehidupan bersama. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menekankan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlakuan adil terhadap sesama.⁴ Etika Pancasila tidak hanya berbentuk aturan legal, tetapi juga menyentuh ranah batiniah, menuntut adanya kesadaran moral dari setiap individu.

Lebih jauh, etika Pancasila bersifat inklusif: menghargai pluralitas agama, budaya, dan suku tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Hal ini berbeda dengan etika liberal yang cenderung individualistik, atau etika kolektivistik yang sering meniadakan kebebasan individu.⁵ Etika Pancasila mencari jalan tengah: kebebasan individu harus dijalankan dalam kerangka tanggung jawab sosial.

6.3.       Pancasila sebagai Dasar Sistem Hukum dan Politik

Nilai-nilai aksiologis Pancasila juga menjadi landasan moral dan normatif bagi penyusunan hukum dan politik Indonesia. Konstitusi 1945 dan seluruh peraturan perundang-undangan harus merujuk pada nilai-nilai dasar Pancasila.⁶ Hal ini menegaskan bahwa hukum bukan sekadar produk formal, tetapi harus memiliki legitimasi moral.

Dalam bidang politik, sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menegaskan bahwa demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi liberal individualistis, tetapi demokrasi musyawarah yang menekankan kearifan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap suara rakyat.⁷ Oleh karena itu, Pancasila berfungsi sebagai pedoman etis bagi praktik politik, sehingga kekuasaan dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata.

6.4.       Pancasila sebagai Landasan Keadilan Sosial

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan puncak aksiologi Pancasila. Ia menegaskan orientasi Pancasila pada tercapainya kesejahteraan yang adil dan merata.⁸ Dalam perspektif aksiologis, keadilan sosial mencakup dimensi ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan hidup.

Keadilan sosial dalam Pancasila bukan hanya distribusi material, melainkan juga kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik.⁹ Dengan demikian, Pancasila menolak sistem kapitalisme yang menimbulkan kesenjangan, sekaligus menghindari komunisme yang meniadakan hak individu. Pancasila mengusulkan suatu jalan tengah: sistem ekonomi yang berkeadilan, berbasis gotong royong, dan tetap menghargai kebebasan individu dalam kerangka kepentingan umum.¹⁰


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 83.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 115.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 126.

[4]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 93.

[5]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 88.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 42.

[7]                Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 99.

[8]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, 127.

[9]                Yudi Latif, Negara Paripurna, 142.

[10]             Mohammad Hatta, Ekonomi Indonesia di Masa Datang (Jakarta: Tintamas, 1954), 78.


7.           Pancasila dalam Perspektif Perbandingan Filsafat

7.1.       Pancasila dan Tradisi Filsafat Barat

Pancasila, dalam perspektif filsafat perbandingan, memiliki sejumlah persamaan sekaligus perbedaan dengan tradisi filsafat Barat. Dalam hubungannya dengan liberalisme, Pancasila mengakui martabat dan kebebasan individu, tetapi tidak menempatkan individu secara absolut di atas kepentingan masyarakat.¹ Di sinilah perbedaan fundamental muncul: Pancasila mengajarkan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, yang tidak sepenuhnya sejalan dengan paradigma liberalisme individualistik.²

Berbeda dengan marxisme, Pancasila menolak materialisme historis yang meniadakan peran transendensi dan agama. Namun, Pancasila sejalan dengan marxisme dalam hal kepedulian terhadap keadilan sosial, pembebasan kaum tertindas, dan kritik terhadap kesenjangan ekonomi.³ Dengan demikian, Pancasila dapat dikatakan menempuh jalan tengah: menerima nilai keadilan sosial tanpa mengabaikan spiritualitas.

Adapun dengan eksistensialisme, Pancasila memiliki kesamaan dalam menekankan kebebasan dan tanggung jawab manusia. Namun, Pancasila tidak jatuh pada relativisme radikal sebagaimana sebagian pemikiran eksistensialis, karena nilai-nilai Pancasila selalu dituntun oleh landasan Ketuhanan Yang Maha Esa.⁴

7.2.       Pancasila dan Tradisi Filsafat Timur

Pancasila juga memiliki keterkaitan dengan tradisi filsafat Timur. Dari Konfusianisme, Pancasila mengambil nilai harmoni, etika sosial, dan penghormatan terhadap hierarki moral dalam masyarakat.⁵ Sila Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan memiliki keselarasan dengan pandangan Konfusius mengenai pentingnya keteraturan sosial dan musyawarah.

Pengaruh Hindu-Buddha dalam Pancasila dapat dilihat dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan konsep dharma yang menekankan keseimbangan kosmis.⁶ Hal ini tercermin dalam sila kedua dan kelima yang menuntut keadilan serta keluhuran budi pekerti.

Sementara itu, dari tradisi Islam, Pancasila mendapatkan fondasi etis berupa tauhid, keadilan, dan musyawarah.⁷ Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ekspresi inklusif dari nilai tauhid, sedangkan sila keempat berakar pada prinsip syura (musyawarah) yang telah lama menjadi tradisi dalam masyarakat Muslim.

7.3.       Pancasila dan Filsafat Postmodern

Dalam perspektif postmodern, Pancasila memiliki relevansi unik. Postmodernisme menolak kebenaran tunggal dan menekankan pluralitas. Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, justru sejak awal dibangun atas prinsip keberagaman yang disatukan dalam kerangka persatuan.⁸ Namun, berbeda dengan relativisme ekstrem postmodern, Pancasila tetap menegaskan adanya nilai-nilai normatif universal yang mengikat, seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial.⁹

Dengan demikian, Pancasila dapat dikatakan kompatibel dengan semangat postmodern dalam hal penghormatan terhadap pluralitas, tetapi tetap menawarkan fondasi moral transendental yang membedakannya dari relativisme nihilistik.

7.4.       Pancasila sebagai Filsafat yang Unik dan Khas Nusantara

Dari perbandingan di atas, tampak bahwa Pancasila tidak sepenuhnya identik dengan filsafat Barat maupun Timur, melainkan menyusun suatu sistem filsafat yang khas dan orisinal.¹⁰ Ia mengintegrasikan unsur transendensi (Ketuhanan), humanisme (Kemanusiaan), nasionalisme (Persatuan), demokrasi (Kerakyatan), dan sosialisme-etis (Keadilan Sosial) dalam satu kesatuan yang utuh.

Keunikan Pancasila terletak pada sifatnya yang inklusif, integratif, dan kontekstual. Inklusif karena mengakomodasi berbagai tradisi pemikiran; integratif karena menyatukan dimensi individu, masyarakat, dan transendensi; serta kontekstual karena lahir dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri.¹¹

Dengan demikian, Pancasila dapat ditempatkan sebagai filsafat bangsa yang berdialog dengan filsafat dunia, namun tetap menjaga identitasnya sebagai falsafah yang lahir dari rahim Nusantara.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 134.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 152.

[3]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 201.

[4]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 107.

[5]                Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 91.

[6]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 115.

[7]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 64.

[8]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 97.

[9]                Yudi Latif, Negara Paripurna, 168.

[10]             Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 118.

[11]             Kaelan, Pendidikan Pancasila, 142.


8.           Relevansi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa

8.1.       Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya. Keberagaman ini, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menimbulkan konflik sosial dan disintegrasi. Pancasila hadir sebagai ideologi pemersatu bangsa, karena kelima silanya mengandung prinsip inklusif yang dapat merangkul seluruh golongan.¹

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi payung spiritual bagi seluruh agama, sementara sila kedua dan ketiga menegaskan pentingnya kemanusiaan universal dan persatuan dalam perbedaan. Dengan demikian, Pancasila berfungsi sebagai konsensus nasional yang menyatukan berbagai identitas ke dalam bingkai kebangsaan Indonesia.²

8.2.       Pancasila dalam Konteks Demokrasi dan Pluralisme

Sistem demokrasi Indonesia tidak dibangun semata-mata atas dasar liberalisme Barat, tetapi berlandaskan pada sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.³ Prinsip ini menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus berakar pada budaya musyawarah yang mengutamakan mufakat, bukan sekadar kompetisi suara mayoritas.

Dalam konteks pluralisme, Pancasila menjamin ruang hidup yang setara bagi semua warga negara tanpa diskriminasi. Prinsip ini penting dalam mengelola keragaman agama, etnis, dan budaya di Indonesia, sekaligus menjadi jawaban atas potensi fragmentasi akibat politik identitas.⁴

8.3.       Pancasila dan Tantangan Radikalisme, Sekularisme, serta Globalisasi

Relevansi Pancasila juga tampak dalam kemampuannya menghadapi tantangan ideologi kontemporer. Pertama, terhadap radikalisme, Pancasila memberikan kerangka moderasi: sila Ketuhanan menolak ateisme ekstrem, namun juga menolak fanatisme agama yang meniadakan keberagaman.⁵

Kedua, terhadap sekularisme ekstrem, Pancasila menegaskan bahwa agama tetap memiliki peran moral dalam ruang publik, tanpa menjadikan negara teokratis.⁶ Pancasila dengan demikian menawarkan jalan tengah antara negara sekuler dan negara agama.

Ketiga, dalam era globalisasi, Pancasila berfungsi sebagai filter nilai. Arus global membawa penetrasi budaya, ideologi, dan ekonomi yang bisa menggerus identitas bangsa. Pancasila, dengan nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial, mampu menjadi dasar selektif dalam menyaring nilai global yang sesuai dengan kepribadian bangsa.⁷

8.4.       Pancasila dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter Bangsa

Salah satu aspek penting relevansi Pancasila adalah perannya dalam dunia pendidikan. Pendidikan Pancasila tidak sekadar bersifat kognitif, tetapi juga membentuk sikap, karakter, dan moral peserta didik.⁸ Pendidikan yang berlandaskan Pancasila bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya: beriman, beradab, berpengetahuan, serta bertanggung jawab terhadap kehidupan bersama.

Dalam konteks ini, Pancasila berfungsi sebagai dasar penguatan karakter kebangsaan (nation and character building). Melalui internalisasi nilai-nilainya, Pancasila dapat menjadi pedoman generasi muda dalam menghadapi krisis identitas, degradasi moral, serta derasnya arus individualisme global.⁹


Kesimpulan Sementara

Relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa bukan sekadar formalitas ideologis, tetapi nyata dalam berbagai aspek: sebagai pemersatu bangsa yang majemuk, sebagai dasar demokrasi yang khas Indonesia, sebagai benteng menghadapi radikalisme dan globalisasi, serta sebagai landasan pendidikan karakter. Dengan demikian, Pancasila tetap aktual dan mendesak untuk terus dihidupkan dalam praksis kehidupan sosial, politik, dan budaya bangsa Indonesia.¹⁰


Footnotes

[1]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 211.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 153.

[3]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 97.

[4]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 115.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 72.

[6]                Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 131.

[7]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 176.

[8]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 112.

[9]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Pendidikan Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 64.

[10]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 229.


9.           Relevansi Pancasila dalam Konteks Global

9.1.       Pancasila sebagai Tawaran Filosofis bagi Dunia

Di tengah krisis global yang ditandai dengan meningkatnya ketidakadilan sosial, konflik antaragama, degradasi lingkungan, serta dominasi kapitalisme global, Pancasila menawarkan alternatif paradigma etis yang menyeimbangkan dimensi spiritual, kemanusiaan, dan sosial.¹ Pancasila tidak hanya relevan bagi Indonesia, melainkan juga memiliki potensi untuk berkontribusi dalam percakapan global mengenai masa depan peradaban manusia.

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, menegaskan pentingnya fondasi spiritualitas dalam kehidupan publik, sesuatu yang sering diabaikan dalam paradigma sekuler Barat.² Sementara itu, nilai keadilan sosial dalam Pancasila menawarkan model ekonomi yang berkeadilan, berbeda dengan kapitalisme neoliberal yang cenderung menghasilkan kesenjangan.³

9.2.       Kontribusi Pancasila terhadap Dialog Peradaban

Pancasila dapat dipahami sebagai jembatan dialog antarperadaban karena sifatnya yang inklusif dan terbuka. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengakui keberadaan agama-agama, sedangkan sila Persatuan Indonesia dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menekankan universalitas kemanusiaan.⁴ Prinsip-prinsip ini menjadikan Pancasila selaras dengan agenda dialog antaragama dan antarbudaya yang sangat dibutuhkan dunia kontemporer.

Dalam forum internasional, Pancasila dapat diposisikan sebagai kontribusi khas Indonesia terhadap pembangunan peradaban dunia, sejajar dengan konsep human rights di Barat, dharma di India, atau ren dalam tradisi Konfusianisme Tiongkok.⁵ Dengan demikian, Pancasila berpotensi menjadi kerangka nilai global yang menekankan harmoni dan keadilan.

9.3.       Pancasila dan Isu Global Kontemporer

Dalam menghadapi isu-isu global, Pancasila memiliki daya relevansi yang kuat:

·                     Hak Asasi Manusia (HAM):

Sila kedua mengandung prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, sejalan dengan Deklarasi Universal HAM, tetapi dengan menambahkan dimensi etis dan spiritual.⁶

·                     Lingkungan Hidup:

Prinsip keadilan sosial menuntut pembangunan berkelanjutan yang adil bagi generasi sekarang dan masa depan, sejalan dengan gagasan sustainable development goals (SDGs).⁷

·                     Keadilan Sosial Internasional:

Pancasila menolak dominasi politik-ekonomi global yang eksploitatif. Solidaritas dan kerjasama internasional sesuai dengan semangat sila ketiga dan kelima, yakni persatuan dan keadilan.⁸

Dengan demikian, Pancasila dapat dijadikan paradigma alternatif dalam menghadapi problem global yang tidak dapat diselesaikan oleh model politik dan ekonomi hegemonik semata.

9.4.       Pancasila sebagai Filsafat Kemanusiaan Universal

Pancasila pada hakikatnya tidak hanya berlaku bagi bangsa Indonesia, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal yang dapat diterapkan secara global. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang melekat pada Pancasila memberikan model hidup bersama dalam perbedaan yang semakin relevan di era globalisasi.⁹

Dalam arti ini, Pancasila dapat dipandang sebagai filsafat kemanusiaan universal yang berupaya menegakkan nilai spiritual, menghargai pluralitas, serta mendorong keadilan sosial.¹⁰ Seperti halnya filsafat besar dunia yang melampaui batas geografis, Pancasila memiliki potensi untuk menjadi sumbangan pemikiran Indonesia bagi peradaban manusia.


Footnotes

[1]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 243.

[2]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 103.

[3]                Mohammad Hatta, Ekonomi Indonesia di Masa Datang (Jakarta: Tintamas, 1954), 87.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 172.

[5]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 134.

[6]                Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 147.

[7]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 189.

[8]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 128.

[9]                Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 101.

[10]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 93.


10.       Kritik dan Reinterpretasi Kontemporer

10.1.    Kritik Akademis terhadap Pancasila sebagai Filsafat

Meskipun Pancasila dipandang sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia, beberapa kritik akademis menyoroti sifatnya yang sering kali bersifat normatif dan kurang operasional.¹ Pancasila, menurut sebagian kalangan, lebih banyak diperlakukan sebagai doktrin politik ketimbang dikembangkan sebagai sistem filsafat yang dapat diuji secara kritis.² Akibatnya, Pancasila berisiko jatuh pada retorika formal tanpa memiliki daya transformasi nyata dalam kehidupan sosial dan politik.

Kritik lain datang dari perspektif filsafat Barat yang menilai bahwa Pancasila belum memiliki konsistensi metodologis sebagaimana sistem filsafat modern, karena lebih merupakan hasil kompromi politik ketimbang konstruksi teoretis murni.³ Namun demikian, justru dalam karakter kompromistis inilah Pancasila mendapatkan kekhasannya, sebab ia mencerminkan realitas plural bangsa Indonesia.

10.2.    Reinterpretasi Nilai-Nilai Pancasila di Era Modern

Perkembangan zaman menuntut agar Pancasila ditafsirkan kembali sesuai dengan konteks kekinian. Nilai Ketuhanan, misalnya, perlu direinterpretasi sebagai dasar penguatan toleransi antarumat beragama di tengah menguatnya polarisasi identitas.⁴ Nilai Kemanusiaan harus ditafsirkan ulang dalam konteks hak asasi manusia, kesetaraan gender, serta penghormatan terhadap kelompok minoritas.⁵

Sila Persatuan Indonesia relevan untuk direinterpretasi sebagai upaya membangun integrasi bangsa di era digital, di mana media sosial sering kali melahirkan segregasi dan konflik wacana.⁶ Begitu pula dengan sila Demokrasi, yang kini harus dimaknai dalam kerangka good governance, partisipasi publik, dan transparansi politik. Terakhir, sila Keadilan Sosial harus dijabarkan ulang dalam menghadapi tantangan neoliberalisme global, kemiskinan struktural, dan kerusakan lingkungan.⁷

10.3.    Pancasila dalam Perspektif Generasi Muda dan Revolusi Digital

Generasi muda adalah agen utama keberlanjutan Pancasila. Namun, tantangan muncul ketika nilai-nilai Pancasila bersaing dengan ideologi global yang disebarkan melalui teknologi digital. Penelitian menunjukkan bahwa generasi milenial dan generasi Z sering kali memandang Pancasila sekadar formalitas karena tidak diajarkan dengan pendekatan kritis dan kontekstual.⁸

Oleh karena itu, reinterpretasi Pancasila harus dilakukan melalui media digital, pendidikan kreatif, dan budaya populer. Hal ini bertujuan agar Pancasila hadir sebagai “living ideology” yang relevan dengan kehidupan generasi muda, bukan sekadar simbol historis.⁹

10.4.    Pancasila dalam Wacana Postkolonial dan Globalisasi Budaya

Dalam perspektif postkolonial, Pancasila dapat dipandang sebagai upaya bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari dominasi ideologi Barat maupun Timur. Namun, kritik muncul karena Pancasila sering kali diinstrumentalisasi oleh elit politik untuk kepentingan kekuasaan.¹⁰

Reinterpretasi Pancasila dalam era globalisasi budaya berarti mengembalikannya sebagai paradigma kritis yang mampu menolak hegemoni kapitalisme global, sekaligus membuka ruang bagi kebudayaan lokal.¹¹ Dengan demikian, Pancasila perlu dipahami bukan hanya sebagai ideologi statis, tetapi sebagai filsafat hidup yang terus berkembang melalui dialektika sejarah.


Kesimpulan Sementara

Kritik dan reinterpretasi kontemporer menunjukkan bahwa Pancasila tidak dapat dipahami secara final. Ia harus terus ditafsirkan ulang sesuai tantangan zaman, baik dalam menghadapi isu kebangsaan maupun global. Proses reinterpretasi ini bukan berarti merombak nilai dasar Pancasila, tetapi memperbarui cara penghayatan dan implementasinya agar tetap relevan bagi Indonesia dan dunia.¹²


Footnotes

[1]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 203.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 191.

[3]                Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 142.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 257.

[5]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 138.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Pendidikan Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 81.

[7]                Mohammad Hatta, Ekonomi Indonesia di Masa Datang (Jakarta: Tintamas, 1954), 95.

[8]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 133.

[9]                Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia (Jakarta: Kanisius, 2007), 74.

[10]             Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 159.

[11]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 105.

[12]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 264.


11.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

11.1.    Sintesis Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Pancasila

Kajian filsafat Pancasila menemukan keterpaduan antara dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologis, Pancasila memandang realitas sebagai kesatuan antara transendensi, kemanusiaan, masyarakat, dan negara.¹ Secara epistemologis, Pancasila menekankan pluralitas sumber pengetahuan: rasio, pengalaman empiris, wahyu, serta kearifan kolektif yang diperoleh melalui musyawarah.² Sementara secara aksiologis, Pancasila menghadirkan sistem nilai yang berorientasi pada etika, keadilan, dan kebersamaan.³

Ketiga dimensi ini menunjukkan bahwa Pancasila bukan sekadar ideologi politik, melainkan filsafat menyeluruh yang mengatur cara berpikir, bersikap, dan bertindak bangsa Indonesia. Dengan sintesis ini, Pancasila dapat dipahami sebagai filsafat praksis: ia bukan hanya teori, melainkan dasar bagi tindakan nyata dalam kehidupan sosial dan kenegaraan.⁴

11.2.    Refleksi atas Pancasila sebagai Jalan Tengah (Moderasi)

Pancasila dapat direfleksikan sebagai filsafat “jalan tengah” atau moderasi. Ia menolak ekstremisme individualistik ala liberalisme, sekaligus menghindari totalitarianisme kolektivistik ala marxisme.⁵ Dalam bidang agama, Pancasila menolak sekularisme ekstrem yang menyingkirkan agama dari ruang publik, tetapi juga menolak fundamentalisme yang menafikan keberagaman iman.⁶

Refleksi ini memperlihatkan bahwa Pancasila bersifat dialektis: ia lahir dari pergumulan antara nilai-nilai lokal Nusantara, pengaruh peradaban dunia, serta kebutuhan praktis bangsa Indonesia untuk menemukan kesepakatan bersama. Moderasi inilah yang membuat Pancasila tetap relevan sebagai filsafat kebangsaan di tengah ketegangan ideologi global.⁷

11.3.    Implikasi Filosofis bagi Indonesia dan Dunia

Secara filosofis, Pancasila memberikan arah bagi pembangunan bangsa Indonesia:

·                     Dalam politik, ia menuntun pada demokrasi yang berakar pada musyawarah dan kearifan kolektif.

·                     Dalam ekonomi, ia menekankan keseimbangan antara kebebasan individu dan keadilan sosial.

·                     Dalam pendidikan, ia mendorong integrasi ilmu, moral, dan spiritualitas.

·                     Dalam hubungan internasional, ia menjadi tawaran filsafat alternatif yang menekankan perdamaian, toleransi, dan solidaritas global.⁸

Bagi dunia, Pancasila memberikan refleksi bahwa ideologi bangsa tidak harus bersifat hegemonik. Pancasila menunjukkan kemungkinan hadirnya sebuah filsafat politik yang bersumber dari lokalitas, tetapi memiliki daya universal. Hal ini menjadikan Pancasila sebagai kontribusi khas Indonesia bagi percakapan global mengenai etika, demokrasi, dan keadilan sosial.⁹


Refleksi Penutup

Refleksi filosofis atas Pancasila menegaskan bahwa kekuatan utamanya terletak pada sifatnya yang dinamis, terbuka, dan inklusif. Pancasila bukanlah dogma yang kaku, melainkan filsafat hidup yang terus berkembang sesuai dengan tantangan zaman.¹⁰

Dengan demikian, Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, melainkan juga sebagai etika peradaban yang dapat menginspirasi bangsa Indonesia dan masyarakat dunia. Refleksi ini menuntun kita untuk tidak berhenti pada pengulangan retoris atas sila-sila Pancasila, tetapi mendorong internalisasi dan aktualisasinya dalam seluruh aspek kehidupan.¹¹


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 121.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 203.

[3]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 147.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 275.

[5]                Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 152.

[6]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 114.

[7]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 214.

[8]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 89.

[9]                Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 141.

[10]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 289.

[11]             Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 177.


12.       Penutup

12.1.    Kesimpulan

Kajian tentang Filsafat Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya dasar negara, melainkan juga sistem filsafat yang utuh, mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.¹ Secara ontologis, Pancasila menegaskan hakikat realitas manusia sebagai makhluk monopluralis yang berada dalam relasi dengan Tuhan, sesama, masyarakat, dan alam.² Secara epistemologis, Pancasila menekankan pluralitas sumber pengetahuan: akal, pengalaman, wahyu, serta musyawarah.³ Sementara secara aksiologis, Pancasila menghadirkan nilai-nilai moral yang melandasi hukum, politik, ekonomi, dan pendidikan, dengan orientasi pada keadilan sosial dan kemanusiaan.⁴

Sejarah menunjukkan bahwa Pancasila lahir dari proses panjang, baik secara kultural maupun politis, melalui konsensus para pendiri bangsa.⁵ Dinamika penerapannya sejak era Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi memperlihatkan bahwa Pancasila selalu ditafsirkan ulang sesuai tantangan zamannya.⁶ Hal ini menegaskan sifatnya yang dinamis dan terbuka terhadap reinterpretasi.

12.2.    Rekomendasi Implementatif

Agar Pancasila tetap relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, beberapa langkah implementatif perlu diperhatikan:

·                     Penguatan Pendidikan Pancasila:

Pendidikan tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga membentuk karakter dan etika kebangsaan.⁷

·                     Internalisasi dalam Kebijakan Publik:

Pancasila harus menjadi rujukan normatif dalam perumusan hukum, kebijakan ekonomi, dan tata kelola politik.⁸

·                     Pengembangan Wacana Akademik:

Studi filsafat Pancasila harus dikembangkan secara kritis agar tidak berhenti pada doktrin normatif, tetapi menjadi filsafat yang hidup dan dinamis.⁹

·                     Dialog Global:

Pancasila perlu dipromosikan sebagai kontribusi khas Indonesia terhadap peradaban dunia, khususnya dalam isu toleransi, pluralisme, dan keadilan sosial.¹⁰

12.3.    Penutup Reflektif

Pancasila merupakan warisan filosofis sekaligus proyek peradaban bangsa Indonesia. Ia lahir dari semangat persatuan di tengah keragaman, berkembang melalui dialektika sejarah, dan kini menghadapi tantangan global yang kompleks. Refleksi atas Pancasila menegaskan bahwa kekuatannya terletak pada sifat moderatif, integratif, dan kontekstual.¹¹

Sebagai filsafat bangsa, Pancasila harus terus dihidupkan melalui praksis sosial, politik, dan budaya. Tanpa aktualisasi, Pancasila akan redup menjadi simbol formal belaka. Namun dengan internalisasi yang sungguh-sungguh, Pancasila dapat menjadi pedoman hidup bangsa yang tidak hanya meneguhkan keindonesiaan, tetapi juga memberi inspirasi bagi dunia dalam membangun peradaban yang lebih adil, damai, dan beradab.¹²


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), 131.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 203.

[3]                R. Parmono, Mengenal Filsafat Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 147.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 275.

[5]                Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Siguntang, 1959), 212.

[6]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), 214.

[7]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Pendidikan Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 91.

[8]                Roeslan Abdulgani, Pancasila: Sebagai Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 183.

[9]                Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 152.

[10]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 117.

[11]             Kaelan dan Achmad Zubaidi, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2007), 141.

[12]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 289.


Daftar Pustaka

Alfian. (1986). Pemikiran dan perubahan politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan pendidikan demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

Azra, A. (2007). Identitas dan krisis budaya: Membangun multikulturalisme Indonesia. Jakarta: Kanisius.

Hatta, M. (1954). Ekonomi Indonesia di masa datang. Jakarta: Tintamas.

Hatta, M. (1962). Pengantar ke jalan ilmu dan kebudayaan. Jakarta: Tintamas.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kaelan, & Zubaidi, A. (2007). Filsafat Pancasila: Pandangan hidup bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Madjid, N. (1998). Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Magnis-Suseno, F. (1987). Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: Gramedia.

Notonagoro. (1974). Pancasila: Dasar falsafah negara. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.

Parmono, R. (1985). Mengenal filsafat Pancasila. Jakarta: Bina Aksara.

Roeslan Abdulgani. (1981). Pancasila: Sebagai ideologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Soepomo. (1995). Pidato dalam sidang BPUPKI, 31 Mei 1945. Dalam Risalah sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara RI.

Yamin, M. (1959). Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Siguntang.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar