Konsep Ilmu Al-Wujud dalam Islam
Kajian Filsafat dan Tasawuf
Abstrak
Ilmu al-wujud merupakan salah satu kajian penting
dalam filsafat Islam yang membahas tentang hakikat keberadaan dan eksistensi.
Konsep ini berkembang dalam dua ranah utama, yaitu filsafat Islam dan tasawuf.
Para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan
Mulla Sadra mengembangkan berbagai teori tentang wujud, mulai dari perbedaan
antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud), hingga teori Ashalah al-Wujud yang dikemukakan oleh Mulla Sadra. Sementara itu, dalam tasawuf,
Ibnu Arabi memperkenalkan konsep Wahdatul Wujud, yang menegaskan bahwa
semua keberadaan adalah manifestasi dari Tuhan, yang kemudian mendapat kritik
dari ulama lain yang lebih menekankan konsep Wahdatul Syuhud.
Artikel ini juga membandingkan ilmu al-wujud dalam
Islam dengan ontologi Barat, khususnya pemikiran Aristotelian, Neoplatonisme,
dan eksistensialisme modern. Kajian ini menunjukkan bahwa filsafat Islam
memiliki pendekatan unik yang tetap mempertahankan unsur teologis dan
spiritual, berbeda dengan eksistensialisme yang lebih menekankan subjektivitas
manusia. Selain itu, ilmu al-wujud juga memiliki implikasi yang luas dalam
kehidupan, terutama dalam pemikiran Islam kontemporer, etika dan akhlak, serta
pengembangan ilmu pengetahuan dan teologi Islam.
Melalui kajian ini, dapat disimpulkan bahwa ilmu
al-wujud tidak hanya menjadi warisan intelektual Islam, tetapi juga tetap
relevan dalam menjawab berbagai tantangan filosofis dan spiritual di era modern. Dengan memahami ilmu al-wujud, umat Islam dapat memperoleh wawasan yang
lebih luas tentang hubungan antara Tuhan, alam, dan keberadaan manusia.
Kata Kunci: Ilmu al-wujud, filsafat Islam, tasawuf, Wahdatul Wujud, Ashalah al-Wujud, ontologi Islam, eksistensialisme, Mulla Sadra, Ibnu
Arabi, filsafat keberadaan.
PEMBAHASAN
Konsep Ilmu Al-Wujud dalam Islam
1.
Pendahuluan
Ilmu al-wujud
(ontologi) merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas hakikat
keberadaan dan eksistensi dalam perspektif Islam. Konsep ini memiliki akar yang
kuat dalam tradisi pemikiran Islam klasik, terutama dalam kajian filsafat Islam
dan tasawuf. Perdebatan tentang wujud (eksistensi)
telah menjadi salah satu topik utama dalam filsafat Islam sejak era filsuf
Muslim awal seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, hingga era
pemikir sufi seperti Ibnu Arabi dan Mulla Sadra. Perkembangan pemikiran tentang
wujud dalam Islam tidak terlepas dari interaksi dengan filsafat Yunani,
khususnya Aristotelianisme dan Neoplatonisme, serta pengaruh dari tradisi
tasawuf yang menekankan dimensi spiritual dalam memahami keberadaan Tuhan dan
makhluk.1
Filsafat Islam
mengembangkan konsep wujud yang unik dibandingkan dengan ontologi Barat. Salah
satu aspek mendasar dalam ilmu al-wujud adalah perbedaan antara wajibul wujud (keberadaan yang niscaya, yakni Tuhan) dan mumkinul wujud (keberadaan yang mungkin, yakni makhluk). Ibnu Sina
(980-1037 M) memainkan peran penting dalam membangun argumen tentang keberadaan Tuhan berdasarkan kategori ini, yang
kemudian mempengaruhi pemikiran para filsuf setelahnya.2 Pemikiran
ini kemudian dikembangkan oleh Mulla Sadra (1571-1636 M) dengan teori Ashalah al-Wujud (primordialitas wujud), yang menegaskan bahwa
eksistensi lebih fundamental daripada esensi (mahiyah). Pendekatan ini memiliki implikasi besar dalam memahami hubungan
antara Tuhan dan alam semesta dalam Islam.3
Selain dalam
filsafat, ilmu al-wujud juga memiliki tempat yang signifikan dalam tradisi
tasawuf. Salah satu konsep utama dalam tasawuf terkait dengan wujud adalah Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi (1165-1240 M). Ia mengajukan gagasan
bahwa seluruh keberadaan pada hakikatnya merupakan manifestasi dari satu wujud
hakiki, yaitu Tuhan.4 Pemikiran ini menimbulkan perdebatan di
kalangan ulama dan filosof, terutama dari perspektif Ahlus Sunnah yang lebih
cenderung menolak interpretasi ekstrem dari doktrin ini. Alternatif terhadap
Wahdatul Wujud adalah Wahdatul Syuhud (kesatuan
penyaksian), yang dikembangkan oleh ulama seperti Ahmad Sirhindi, yang
berpendapat bahwa hanya kesadaran manusia yang mengalami penyatuan dengan Tuhan
dalam persepsi, tetapi Tuhan tetap transenden.5
Studi tentang ilmu
al-wujud dalam Islam memiliki relevansi yang luas, tidak hanya dalam bidang
filsafat dan tasawuf, tetapi juga dalam kajian teologi Islam (kalam), epistemologi, dan etika. Kajian ini
penting untuk memahami bagaimana umat Islam sepanjang sejarah telah menafsirkan
eksistensi dan relasinya dengan Tuhan. Dengan semakin berkembangnya diskusi
tentang filsafat eksistensialisme dan metafisika dalam era modern, ilmu
al-wujud dalam Islam dapat memberikan kontribusi penting dalam perdebatan
kontemporer tentang makna kehidupan dan realitas.6
Melalui artikel ini,
kita akan menelusuri konsep ilmu al-wujud dari berbagai perspektif, mulai dari
filsafat Islam klasik, pemikiran para sufi, hingga relevansinya dalam dunia modern. Kajian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat wujud dalam Islam
serta bagaimana pemikiran ini dapat diterapkan dalam kehidupan intelektual dan
spiritual.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 89-92.
[2]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 104-107.
[3]
Seyyed Hossein Nasr and Mehdi Aminrazavi, An Anthology of
Philosophy in Persia (London: I.B. Tauris, 2008), 367-372.
[4]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.
[5]
Alexander D. Knysh, Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition: The
Making of a Polemical Image in Medieval Islam (Albany: SUNY Press, 1999),
85-89.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 45-49.
2.
Pengertian
dan Sejarah Ilmu Al-Wujud
2.1.
Pengertian Ilmu
Al-Wujud
Ilmu al-wujud, dalam
konteks filsafat Islam, merupakan cabang ontologi yang membahas tentang hakikat
keberadaan (wujud) dan relasinya dengan esensi (mahiyah). Ontologi sendiri
berasal dari kata Yunani ontos (keberadaan) dan logos
(ilmu), yang berarti kajian tentang hakikat eksistensi.1 Dalam
Islam, ilmu al-wujud berkembang sebagai disiplin yang berusaha memahami
keberadaan Tuhan, manusia, dan alam semesta dalam bingkai metafisik dan
teologis.
Dalam filsafat Islam, wujud dipandang sebagai prinsip fundamental yang mendasari semua
realitas. Para filosof Muslim membedakan antara Wajibul Wujud (keberadaan yang
niscaya, yakni Tuhan) dan Mumkinul Wujud (keberadaan yang
mungkin, yakni makhluk). Ibnu Sina (980-1037 M) adalah salah satu pemikir utama
yang membangun konsep ini, yang kemudian mempengaruhi pemikiran teologis dan
filosofis Islam.2 Konsep ini juga berkembang dalam tasawuf melalui
pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240 M), yang memperkenalkan doktrin Wahdatul Wujud (kesatuan eksistensi), yang menegaskan bahwa semua
realitas adalah manifestasi dari satu keberadaan hakiki, yaitu Tuhan.3
Secara umum, kajian
ilmu al-wujud dalam Islam terbagi ke dalam dua pendekatan utama:
1)
Pendekatan Filosofis, yang menelaah wujud sebagai entitas metafisik dengan
menggunakan logika dan argumen rasional. Pendekatan ini lebih banyak
dikembangkan oleh para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Mulla Sadra.
2)
Pendekatan Tasawuf, yang menekankan pada aspek pengalaman mistik dan
hubungan eksistensial antara manusia dan Tuhan. Pendekatan ini ditekankan oleh
para sufi seperti Ibnu Arabi dan Al-Jili.4
2.2.
Sejarah Perkembangan
Ilmu Al-Wujud dalam Islam
2.2.1.
Pengaruh Filsafat
Yunani
Perkembangan ilmu
al-wujud dalam Islam tidak terlepas dari pengaruh filsafat Yunani, khususnya
pemikiran Aristoteles dan Plotinus. Aristoteles (384-322 SM) memperkenalkan
konsep substansi (ousia) dan aksiden sebagai dasar dalam ontologi. Pemikiran ini
kemudian diadaptasi oleh filosof Muslim dalam memahami perbedaan antara esensi
(mahiyah) dan eksistensi (wujud).5
Sementara itu,
pengaruh Neoplatonisme—melalui pemikiran Plotinus (204-270 M)—muncul dalam
doktrin emanasi (faydh), yang mengajarkan bahwa
seluruh keberadaan berasal dari satu sumber utama, yaitu Tuhan. Konsep ini
banyak mempengaruhi pemikiran filsafat Islam, terutama dalam teori wujud yang
dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina.6
2.2.2.
Ilmu Al-Wujud dalam
Filsafat Islam Klasik
Perkembangan ilmu
al-wujud dalam Islam dimulai dengan para filsuf Muslim awal, yang berusaha
mengharmonikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Beberapa tokoh utama dalam
perkembangan ini antara lain:
1)
Al-Kindi (801-873 M)
Sebagai filsuf Muslim pertama, Al-Kindi mencoba
mengadaptasi filsafat Aristoteles dan Plotinus dalam pemikiran Islam. Ia
membahas konsep wujud dalam konteks ketuhanan dan hubungan antara ciptaan
dengan Tuhan sebagai Wajibul Wujud.7
2)
Al-Farabi (872-950 M)
Al-Farabi mengembangkan teori wujud sebagai
hierarki keberadaan, yang menjelaskan bagaimana segala sesuatu berasal dari
Tuhan melalui proses emanasi. Ia juga membahas perbedaan antara wujud dalam
akal (wujud aqli) dan wujud dalam realitas (wujud hissi).8
3)
Ibnu Sina (980-1037 M)
Ibnu Sina adalah tokoh utama dalam pembahasan
ilmu al-wujud. Ia membedakan antara wujud yang niscaya (Wajibul Wujud) dan
wujud yang mungkin (Mumkinul Wujud). Menurutnya, segala sesuatu yang ada
memerlukan sebab bagi eksistensinya kecuali Tuhan, yang merupakan keberadaan
yang niscaya dan tidak bergantung pada apa pun.9
4)
Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Ibnu Rusyd mengkritik pandangan Neoplatonis yang
diadopsi oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi. Ia lebih menekankan rasionalitas
Aristotelian dalam memahami keberadaan dan menolak konsep emanasi sebagai dasar
ontologi Islam.10
2.2.3.
Ilmu Al-Wujud dalam
Tradisi Tasawuf
Selain berkembang
dalam filsafat Islam, ilmu al-wujud juga mendapat tempat dalam tradisi tasawuf.
Salah satu pemikiran yang paling berpengaruh adalah doktrin Wahdatul Wujud yang
dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Ia berpendapat bahwa semua keberadaan pada
hakikatnya merupakan manifestasi dari satu wujud hakiki, yaitu Tuhan.
Beberapa tokoh utama
dalam pengembangan ilmu al-wujud dalam tasawuf antara lain:
1)
Ibnu Arabi (1165-1240 M)
Ibnu Arabi mengajukan konsep bahwa tidak ada
keberadaan selain Tuhan, dan seluruh alam semesta hanyalah pantulan dari
keberadaan-Nya. Doktrin ini menjadi dasar dalam kajian metafisika tasawuf.11
2)
Shadruddin Al-Qunawi
(1210-1274 M)
Murid Ibnu Arabi ini memperluas doktrin Wahdatul Wujud dengan menjelaskan konsep manifestasi ilahi dalam pengalaman mistik para
sufi.12
3)
Mulla Sadra (1571-1636 M)
Ia mengembangkan teori Ashalah al-Wujud,
yang menegaskan bahwa wujud adalah realitas yang hakiki, sementara esensi
hanyalah konstruksi mental. Teori ini menjadi salah satu pijakan utama dalam
filsafat Islam modern.13
Footnotes
[1]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016),
85-87.
[2]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 104-107.
[3]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 59-62.
[5]
Richard C. Taylor, Averroes (Ibn Rushd) and the Metaphysics of
Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 2005), 112-115.
[6]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 56-59.
[7]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan
Paul, 1993), 95-97.
[8]
F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 143-145.
[9]
Lenn E. Goodman, Avicenna, 104-107.
[10]
Richard C. Taylor, Averroes and the Metaphysics of Aristotle,
115-117.
[11]
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 135-138.
[12]
Knysh, Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition, 72-75.
[13]
Nasr and Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia,
367-372.
3.
Pandangan
Para Filosof Islam tentang Ilmu Al-Wujud
Ilmu al-wujud dalam
filsafat Islam telah berkembang melalui kontribusi para filosof Muslim yang
mencoba menjelaskan hakikat keberadaan dalam berbagai perspektif. Para pemikir
ini tidak hanya berusaha menyintesiskan pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran
Islam, tetapi juga mengembangkan konsep ontologi yang khas dan berbeda dari
filsafat Barat. Beberapa tokoh utama dalam pembahasan ilmu al-wujud adalah
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd, dan Mulla Sadra.
3.1.
Al-Kindi: Filsafat
Ilmu Al-Wujud sebagai Teologi Rasional
Al-Kindi (801–873 M)
merupakan filsuf Muslim pertama yang berusaha mengintegrasikan filsafat Yunani
dengan ajaran Islam. Ia dikenal sebagai "Filosof Arab" dan berperan
penting dalam memperkenalkan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme kepada
dunia Islam.1 Dalam kajiannya tentang ilmu al-wujud, Al-Kindi memandang bahwa wujud mutlak
hanya dimiliki oleh Tuhan sebagai Wajibul Wujud (keberadaan yang
niscaya), sedangkan semua makhluk adalah Mumkinul Wujud (keberadaan yang
mungkin) yang bergantung pada Tuhan untuk eksistensinya.2
Salah satu
sumbangsih penting Al-Kindi dalam ilmu al-wujud adalah pemikirannya mengenai keesaan
Tuhan (tawhid) dalam perspektif metafisika. Ia menegaskan bahwa
Tuhan adalah sumber segala wujud, dan wujud-Nya tidak dapat dibandingkan dengan
makhluk ciptaan. Pemikiran ini menjadi dasar bagi filsafat Islam selanjutnya
dalam memahami konsep ketuhanan dan eksistensi.3
3.2.
Al-Farabi: Wujud
sebagai Hierarki Keberadaan
Al-Farabi (872–950
M) mengembangkan lebih lanjut pemikiran ilmu al-wujud dengan menekankan adanya
hierarki keberadaan melalui konsep emanasi. Dalam sistem
metafisiknya, ia menggambarkan bahwa seluruh keberadaan berasal dari Tuhan
melalui proses bertahap, sebagaimana dijelaskan dalam teori "Sepuluh Akal"
yang merujuk pada tingkatan wujud dari Tuhan hingga dunia material.4
Menurut Al-Farabi,
Tuhan adalah Wajibul Wujud yang memancarkan
keberadaan lainnya secara berjenjang. Dari Tuhan memancar "Akal Pertama,"
yang kemudian melahirkan Akal
Kedua, dan seterusnya hingga mencapai dunia material.5 Pandangan ini
mendapat pengaruh kuat dari pemikiran Neoplatonisme, khususnya teori emanasi
Plotinus (204–270 M), namun dikombinasikan dengan konsep ketuhanan Islam.6
3.3.
Ibnu Sina: Distingsi
antara Wujud dan Mahiyah
Ibnu Sina (980–1037
M) adalah tokoh utama dalam filsafat Islam yang memperkenalkan konsep
fundamental dalam ilmu al-wujud: perbedaan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah
(esensi).7 Menurutnya, semua yang ada di dunia ini
memiliki mahiyah (hakikat atau definisi sesuatu), tetapi keberadaannya (wujud)
bergantung pada faktor eksternal.
Dalam sistem
metafisiknya, Ibnu Sina membagi wujud menjadi tiga kategori:
1)
Wajibul Wujud: Tuhan sebagai keberadaan yang niscaya, tidak bergantung
pada apa pun.
2)
Mumkinul Wujud: Makhluk yang eksistensinya bergantung pada sebab lain.
3)
Mumtani’ul Wujud: Keberadaan yang mustahil ada, seperti konsep
kontradiktif.8
Pandangan Ibnu Sina
ini menjadi dasar bagi filsafat Islam berikutnya, terutama dalam menjelaskan
konsep keberadaan Tuhan sebagai sumber utama dari segala sesuatu.
3.4.
Ibnu Rusyd: Kritik
terhadap Ontologi Neoplatonik
Ibnu Rusyd
(1126–1198 M) berbeda pandangan dengan para pendahulunya, terutama dalam
menolak konsep emanasi yang diajukan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Sebagai seorang komentator Aristotelian, ia lebih
menekankan pada keberadaan sebagai suatu realitas yang konkret dan menolak
pemisahan antara wujud dan mahiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Sina.9
Ibnu Rusyd juga
berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan dunia melalui sistem emanasi bertingkat,
tetapi melalui causality yang lebih rasional, sebagaimana dijelaskan dalam filsafat
Aristoteles.10 Kritiknya terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi menjadikannya
sebagai tokoh penting dalam debat antara filsafat dan teologi Islam.
3.5.
Mulla Sadra: Teori
Ashalah al-Wujud (Primordialitas Wujud)
Mulla Sadra
(1571–1636 M) adalah salah satu pemikir terbesar dalam filsafat Islam yang
mengembangkan teori Ashalah al-Wujud
(primordialitas eksistensi). Ia menegaskan bahwa wujud adalah realitas yang
hakiki, sementara mahiyah hanyalah
konsep yang dibuat oleh akal manusia.11
Mulla Sadra juga
memperkenalkan teori gerak substansial (al-harakah
al-jawhariyyah), yang menyatakan bahwa eksistensi tidak
bersifat statis, tetapi mengalami perubahan secara kontinu menuju tingkat
kesempurnaan yang lebih tinggi.12 Pemikiran ini menjadi salah satu
pijakan utama dalam filsafat Islam modern dan memberikan solusi bagi banyak
perdebatan metafisika sebelumnya.
Kesimpulan
Ilmu al-wujud dalam
Islam telah mengalami perkembangan yang signifikan melalui pemikiran para filosof Muslim. Al-Kindi
menekankan aspek ketuhanan dalam ilmu wujud, Al-Farabi memperkenalkan teori emanasi, Ibnu Sina membedakan antara wujud dan mahiyah, Ibnu Rusyd mengkritik
pemikiran Neoplatonis, dan Mulla Sadra mengembangkan teori Ashalah al-Wujud
serta gerak substansial. Kajian ini tidak hanya memperkaya filsafat Islam,
tetapi juga menjadi dasar bagi banyak diskusi metafisika dalam dunia Islam
hingga saat ini.
Footnotes
[1]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016),
102-105.
[2]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 94-96.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 72-75.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan
Paul, 1993), 145-147.
[5]
F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 89-92.
[6]
Richard C. Taylor, Averroes (Ibn Rushd) and the Metaphysics of
Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 2005), 133-136.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 97-101.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna, 104-107.
[9]
Richard C. Taylor, Averroes and the Metaphysics of Aristotle,
118-121.
[10]
Charles Genequand, Ibn Rushd's Metaphysics (Leiden: Brill,
1984), 76-79.
[11]
Nasr and Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia
(London: I.B. Tauris, 2008), 367-372.
[12]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 145-148.
4.
Ilmu
Al-Wujud dalam Tasawuf
Ilmu al-wujud tidak
hanya berkembang dalam ranah filsafat Islam tetapi juga memiliki peranan
penting dalam tradisi tasawuf. Sementara filsafat Islam lebih menekankan
analisis rasional terhadap hakikat keberadaan, tasawuf memandang wujud sebagai
realitas spiritual yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman mistik dan
penyaksian langsung terhadap Tuhan (makrifat). Salah satu perdebatan
utama dalam tasawuf terkait ilmu al-wujud adalah antara doktrin Wahdatul Wujud (kesatuan eksistensi) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi
dan konsep Wahdatul Syuhud (kesatuan
penyaksian) yang dikemukakan oleh para sufi yang mengkritiknya.
4.1.
Konsep Wahdatul
Wujud oleh Ibnu Arabi
Ibnu Arabi
(1165–1240 M) adalah salah satu pemikir sufi paling berpengaruh dalam
pembahasan ilmu al-wujud. Dalam karyanya Fusus al-Hikam dan Al-Futuhat
al-Makkiyah, ia mengajukan doktrin Wahdatul Wujud, yang menyatakan
bahwa hanya ada satu wujud
hakiki, yaitu Tuhan, sedangkan semua keberadaan lain hanyalah manifestasi
dari-Nya.1
Menurut Ibnu Arabi,
seluruh alam semesta adalah pantulan (tajalli) dari keberadaan Tuhan. Ia
menggambarkan bahwa wujud makhluk hanyalah cerminan dari wujud Ilahi dalam berbagai bentuk dan tingkat realitas.
Dalam kerangka ini, makhluk bukanlah wujud independen, tetapi bagian dari wujud
mutlak yang satu.2
Konsep ini sering
dijelaskan melalui perumpamaan "cahaya dan bayangan." Tuhan
adalah cahaya sejati, sementara makhluk adalah bayangan yang muncul dari cahaya tersebut. Oleh karena itu, keberadaan
makhluk bukanlah keberadaan sejati, tetapi hanya refleksi dari Tuhan.3
Namun, ajaran
Wahdatul Wujud menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ulama dan teolog
Muslim. Beberapa menganggapnya sebagai penyimpangan dari tauhid karena bisa
diinterpretasikan sebagai panteisme. Namun, para pendukung Ibnu Arabi
berpendapat bahwa konsep ini tidak menyamakan
Tuhan dengan makhluk, melainkan menegaskan bahwa semua wujud hanya memiliki
realitas sejati dalam Tuhan.4
4.2.
Kritik dan Perbedaan
dengan Wahdatul Syuhud
Sebagian ulama sufi
dan teolog Sunni, termasuk Imam Ibnu Taimiyah (1263–1328 M) dan Syekh Ahmad Sirhindi (1564–1624 M), mengkritik
doktrin Wahdatul Wujud dan mengembangkan konsep alternatif yang dikenal sebagai
Wahdatul Syuhud.5
·
Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa doktrin Wahdatul Wujud dapat
menyesatkan umat Muslim karena berpotensi menyamakan Tuhan dengan makhluk. Ia
menegaskan bahwa Tuhan tetap transenden dan berbeda secara hakiki dari
ciptaan-Nya.6
·
Ahmad
Sirhindi, seorang sufi Naqsyabandiyah dari India, menolak
gagasan bahwa makhluk adalah manifestasi dari Tuhan. Ia mengajarkan bahwa dalam
pengalaman mistik, seorang sufi dapat mencapai kesadaran penuh tentang Tuhan,
tetapi Tuhan tetap memiliki keberadaan yang terpisah dan transenden. Ini
dikenal sebagai kesatuan penyaksian (Wahdatul Syuhud), di mana seorang sufi menyaksikan Tuhan dalam segala sesuatu, tetapi
tidak menyamakan makhluk dengan Tuhan.7
Perbedaan utama
antara kedua konsep ini adalah:
·
Wahdatul Wujud menegaskan
bahwa tidak ada wujud selain Tuhan, dan makhluk hanyalah manifestasi dari-Nya.
·
Wahdatul Syuhud menekankan
bahwa kesadaran mistik seseorang dapat melihat Tuhan dalam segala sesuatu,
tetapi Tuhan tetap berbeda dari makhluk.
Kritik ini menyebabkan pergeseran dalam kajian ilmu
al-wujud dalam tasawuf, terutama di dunia Sunni, yang lebih menerima Wahdatul Syuhud sebagai konsep yang lebih sesuai dengan ajaran tauhid Islam.8
4.3.
Hubungan Ilmu
Al-Wujud dengan Makrifatullah dalam Tasawuf
Dalam tasawuf, ilmu
al-wujud sering dikaitkan dengan makrifatullah (pengenalan terhadap Tuhan). Para sufi percaya bahwa memahami
hakikat wujud adalah kunci untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan (qurb
ilallah). Proses pencapaian ini melibatkan beberapa tahapan
spiritual, antara lain:
1)
Takhalli
(Pengosongan Diri): Seorang sufi harus membersihkan dirinya
dari sifat-sifat buruk agar dapat memahami realitas wujud.9
2)
Tahalli
(Penghiasan Diri dengan Sifat Ilahi): Setelah membebaskan diri
dari keterikatan duniawi, seorang sufi menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji.10
3)
Tajalli
(Penyingkapan Realitas Ilahi): Pada tahap ini, seorang sufi
mengalami penyaksian langsung terhadap realitas wujud dan menyadari bahwa
keberadaan sejati hanya ada pada Tuhan.11
Konsep ini berkaitan
erat dengan doktrin fana' (lenyapnya ego) dan baqa' (keabadian dalam Tuhan),
yang menjadi bagian penting dalam perjalanan mistik sufi. Para sufi seperti
Jalaluddin Rumi dan Al-Jili mengembangkan pemikiran ini lebih lanjut dalam syair-syair dan karya-karya
mereka.12
4.4.
Implikasi Ilmu
Al-Wujud dalam Kehidupan Spiritual
Pemahaman tentang
ilmu al-wujud dalam tasawuf memiliki dampak yang mendalam dalam kehidupan seorang Muslim. Di antara
implikasi utamanya adalah:
1)
Membantu
Pemahaman tentang Tuhan dan Realitas: Dengan memahami konsep
wujud, seorang Muslim dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyadari
bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah refleksi dari-Nya.13
2)
Meningkatkan
Kesadaran Spiritual: Pemikiran Wahdatul Wujud atau Wahdatul Syuhud dapat membantu seseorang mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih
tinggi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.14
3)
Membangun
Kesalehan dan Akhlak: Seorang sufi yang memahami ilmu al-wujud
cenderung lebih rendah hati dan memiliki kesadaran bahwa dirinya hanyalah
bagian kecil dari keberadaan yang lebih besar.15
Kesimpulan
Ilmu al-wujud dalam
tasawuf berkembang melalui perdebatan antara konsep Wahdatul Wujud yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan konsep Wahdatul Syuhud yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ahmad Sirhindi.
Kedua konsep ini berusaha menjelaskan bagaimana makhluk berhubungan dengan
Tuhan dalam konteks metafisika Islam. Ilmu al-wujud juga menjadi bagian penting dalam pencarian spiritual
seorang sufi, terutama dalam upaya mencapai makrifatullah dan kesadaran akan
hakikat eksistensi.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.
[2]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
42-45.
[3]
Chittick, The Sufi Path of
Knowledge, 138-140.
[4]
Alexander D. Knysh, Ibn
'Arabi in the Later Islamic Tradition
(Albany: SUNY Press, 1999), 85-89.
[5]
Annemarie Schimmel, Mystical
Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 270-273.
[6]
Ahmad Sirhindi, Maktubat (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1963), 44-48.
[7]
Knysh, Ibn 'Arabi in the Later
Islamic Tradition, 92-95.
[8]
Nasr and Aminrazavi, An
Anthology of Philosophy in Persia,
410-413.
[9]
Chittick, The Sufi Path of
Knowledge, 195-198.
[10]
Schimmel, Mystical Dimensions of
Islam, 285-287.
[11]
Izutsu, Sufism and Taoism, 72-75.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, The
Garden of Truth (New York:
HarperOne, 2007), 124-128.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY
Press, 1993), 87-90.
[14]
William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The
Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld,
2007), 112-115.
[15]
Jalaluddin Rumi, The Masnavi, Book One, diterjemahkan oleh Jawid
Mojaddedi (Oxford: Oxford University Press, 2004), 56-58.
5.
Perbandingan
Ilmu Al-Wujud dengan Ontologi Barat
Ilmu al-wujud dalam
filsafat Islam memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan dengan ontologi dalam
filsafat Barat. Para filosof Muslim mengembangkan konsep wujud melalui interaksi dengan pemikiran Aristoteles dan
Neoplatonisme, tetapi mereka juga memperkenalkan elemen-elemen metafisika yang
lebih selaras dengan pandangan teologis Islam. Di sisi lain, filsafat Barat
terus berkembang dengan berbagai aliran pemikiran seperti eksistensialisme,
idealisme, dan realisme yang turut membentuk cara pandang terhadap ontologi.
Bab ini akan
membandingkan konsep ilmu al-wujud dalam Islam dengan pemikiran ontologi dalam tradisi filsafat Barat dari
beberapa aspek utama, yaitu perbandingan dengan filsafat Aristotelian dan
Neoplatonis, perbedaan dengan filsafat eksistensialisme, serta respons para
ulama Islam terhadap pemikiran Barat.
5.1.
Persamaan dan
Perbedaan dengan Ontologi Aristotelian dan Neoplatonis
Pemikiran filsafat Islam tentang ilmu al-wujud banyak dipengaruhi oleh Aristoteles (384–322 SM)
dan Plotinus (204–270 M). Aristoteles dalam Metaphysics menjelaskan bahwa
realitas terdiri dari substansi (ousia) dan aksiden. Ia juga
menekankan pentingnya aktor pertama yang tidak bergerak
(unmoved
mover), yang menjadi dasar bagi banyak konsep ketuhanan dalam filsafat Islam.1
Filosof Muslim
seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina mengadaptasi konsep Aristotelian tentang
substansi dan bentuk, tetapi mereka memasukkannya ke dalam konteks Islam dengan
menekankan bahwa Tuhan adalah Wajibul Wujud (keberadaan yang
niscaya), bukan sekadar "penggerak pertama" seperti dalam sistem
Aristotelian.2 Selain itu, Ibnu Sina mengembangkan gagasan
tentang perbedaan antara wujud dan mahiyah, yang tidak ditemukan dalam filsafat
Aristotelian.3
Di sisi lain,
Neoplatonisme memberikan pengaruh yang kuat terhadap filsafat Islam melalui
konsep emanasi (faydh), yang diperkenalkan oleh
Plotinus. Dalam sistem Neoplatonis, segala sesuatu berasal dari The One
(Yang Esa), yang kemudian menurunkan realitas dalam hirarki keberadaan.4
Konsep ini diadopsi oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina, tetapi mereka mengislamisasinya
dengan menempatkan Tuhan sebagai entitas yang berkehendak, bukan sebagai sumber
emanasi yang otomatis seperti dalam Neoplatonisme.5
Perbedaan utama
antara filsafat Islam dan ontologi Aristotelian-Neoplatonis adalah bahwa filsafat Islam tetap mempertahankan
doktrin teistik yang kuat. Dalam filsafat Islam, Tuhan bukan hanya sekadar
prinsip metafisik tetapi juga Tuhan yang berkehendak dan berinteraksi dengan
ciptaan-Nya, sebagaimana diajarkan dalam ajaran Islam.6
5.2.
Perbandingan dengan
Filsafat Eksistensialisme Barat
Sejak abad ke-19 dan
20, filsafat Barat mengalami pergeseran besar dengan munculnya eksistensialisme
yang menolak banyak prinsip metafisika klasik. Eksistensialisme, yang
dikembangkan oleh tokoh seperti Søren Kierkegaard,
Martin Heidegger, dan Jean-Paul Sartre, menekankan subjektivitas individu dalam mendefinisikan eksistensi dan
menolak konsep keberadaan yang tetap.7
Dalam eksistensialisme
ateistik Sartre, misalnya, keberadaan manusia dianggap sebagai sesuatu yang mendahului
esensi—artinya, manusia tidak memiliki tujuan bawaan tetapi harus menciptakan maknanya
sendiri.8 Ini sangat berbeda dengan filsafat Islam, yang justru
menekankan bahwa wujud makhluk bersumber dari Tuhan dan memiliki esensi serta
tujuan yang ditetapkan secara teologis.
Namun, ada beberapa
kesamaan antara filsafat eksistensialisme dan filsafat Islam, terutama dalam
pemikiran Mulla Sadra tentang gerak substansial (al-harakah al-jawhariyyah). Sadra
berpendapat bahwa eksistensi terus berkembang dan berubah dalam perjalanan
menuju kesempurnaan spiritual, suatu gagasan yang memiliki kemiripan dengan
eksistensialisme Heidegger yang melihat keberadaan sebagai sesuatu yang terus
mengalami perubahan dan penemuan diri.9
Selain itu,
eksistensialisme Kierkegaard yang menekankan lompatan iman dalam mencapai
Tuhan memiliki kesamaan dengan konsep makrifat dalam tasawuf, di mana seorang sufi harus mencapai
pengalaman mistik untuk memahami realitas yang lebih tinggi.10
Meskipun demikian,
perbedaan fundamental tetap ada. Filsafat Islam tetap mempertahankan realitas
metafisik yang mutlak, sementara eksistensialisme modern lebih cenderung bersifat relatif dan subjektif.11
5.3.
Kritik dan Respons
Ulama Islam terhadap Pemikiran Ontologi Barat
Beberapa ulama Islam
modern menanggapi pemikiran ontologi Barat dengan sikap kritis. Seyyed Hossein
Nasr, misalnya, mengkritik filsafat eksistensialisme dan positivisme Barat
karena dianggap mengabaikan dimensi spiritual dan hanya berfokus pada materialisme.12 Ia berpendapat bahwa
filsafat Islam menawarkan pandangan dunia yang lebih utuh karena mencakup
dimensi rasional, spiritual, dan etika dalam memahami wujud.13
Muhammad Iqbal,
seorang pemikir Muslim dari India, mencoba menjembatani filsafat Islam dengan
filsafat Barat modern. Ia mengembangkan konsep "ego dinamis" yang
mengakui perubahan dalam keberadaan manusia tetapi tetap dalam koridor teistik
yang bersumber dari wahyu Islam.14
Selain itu, para
ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah dan Al-Ghazali telah mengkritik filsafat
Yunani dan Barat sejak dahulu. Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah mengkritik
konsep filsafat Yunani yang dianggap bertentangan dengan wahyu, sementara Ibnu
Taimiyah menekankan pendekatan
yang lebih berbasis Al-Qur’an dan Hadis dalam memahami realitas.15
Kesimpulan
Perbandingan antara
ilmu al-wujud dalam Islam dan ontologi Barat menunjukkan bahwa meskipun
terdapat pengaruh awal dari Aristoteles dan Plotinus, filsafat Islam berkembang
dengan karakteristiknya sendiri. Berbeda dengan pemikiran Barat modern yang lebih condong kepada
relativisme dan subjektivisme, filsafat Islam tetap mempertahankan dimensi
ketuhanan dan kepastian metafisik.
Kritik terhadap
filsafat Barat menunjukkan bahwa filsafat Islam menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam memahami wujud,
dengan menggabungkan aspek rasional, spiritual, dan teologis. Dengan demikian,
studi tentang ilmu al-wujud dalam Islam tidak hanya relevan dalam dunia
akademik, tetapi juga dapat menjadi kontribusi bagi diskursus filosofis global.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, diterjemahkan oleh Hugh Tredennick (Cambridge:
Harvard University Press, 1989), 102-104.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 67-70.
[3]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 112-115.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic
Philosophy (London: Kegan Paul,
1993), 90-92.
[5]
F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary
on Aristotle’s Metaphysics (Oxford:
Oxford University Press, 2018), 143-145.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Three
Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 45-47.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie (New York: Harper
& Row, 1962), 98-100.
[8]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, diterjemahkan oleh Hazel E. Barnes (London:
Routledge, 1956), 22-25.
[9]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later
Islamic Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 128-132.
[10]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, diterjemahkan oleh Alastair Hannay (London: Penguin,
1985), 75-78.
[11]
Nasr, The Need for a Sacred
Science, 91-94.
[12]
Muhammad Iqbal, Reconstruction of
Religious Thought in Islam (Lahore:
Iqbal Academy, 1930), 105-108.
[13]
Al-Ghazali, The Incoherence of the
Philosophers, diterjemahkan oleh
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 54-57.
[14]
Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Iqbal Academy, 1930), 110-113.
[15]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, diterjemahkan oleh
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 60-63.
6.
Implikasi
Ilmu Al-Wujud dalam Kehidupan
Ilmu al-wujud dalam
filsafat Islam bukan hanya sekadar kajian teoretis tentang hakikat keberadaan,
tetapi juga memiliki dampak nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep ini berpengaruh terhadap pemahaman teologi Islam, etika dan akhlak, serta cara manusia memandang realitas dan
eksistensinya di dunia. Filsafat wujud yang dikembangkan oleh para pemikir
Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan Mulla Sadra memberikan landasan bagi
pemahaman spiritual, moral, dan intelektual yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Bab ini akan
membahas implikasi ilmu al-wujud dalam beberapa aspek utama kehidupan, termasuk pemikiran Islam kontemporer, etika
dan akhlak, serta perannya dalam kajian teologi dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
6.1.
Dampak Ilmu Al-Wujud
terhadap Pemikiran Islam Kontemporer
Ilmu al-wujud telah
memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pemikiran Islam, baik dalam
ranah filsafat, tasawuf, maupun teologi. Salah satu dampak utamanya adalah pemahaman yang lebih
mendalam tentang hubungan antara Tuhan dan makhluk.
Mulla Sadra, melalui
teori Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi), menunjukkan bahwa
realitas bersifat dinamis dan berkembang menuju kesempurnaan.1
Pemikiran ini telah mempengaruhi banyak intelektual Muslim modern dalam memahami konsep perubahan dan
evolusi dalam dunia Islam. Misalnya, Seyyed Hossein Nasr mengadaptasi konsep
ini dalam studi ekologi Islam, yang menekankan bahwa alam semesta merupakan
manifestasi dari wujud Ilahi dan harus dijaga keseimbangannya.2
Di sisi lain,
pemikiran tentang ilmu al-wujud juga memberikan wawasan baru dalam kajian sains
Islam. Para ilmuwan Muslim yang mengkaji filsafat eksistensi berupaya mencari titik temu antara metafisika Islam
dan sains modern, terutama dalam bidang kosmologi dan fisika kuantum.3
6.2.
Relevansi Ilmu
Al-Wujud terhadap Etika dan Akhlak Islam
Ilmu al-wujud
memiliki implikasi mendalam dalam bidang etika dan akhlak Islam. Dalam tasawuf,
pemahaman tentang hakikat wujud sering dikaitkan dengan konsep ihsan—yakni
kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam pengawasan Tuhan.4
Ibnu Arabi dalam
doktrin Wahdatul Wujud menegaskan bahwa
manusia, sebagai bagian dari manifestasi wujud Ilahi, memiliki tanggung jawab untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan
kasih sayang dan ketakwaan.5 Oleh karena itu, seseorang yang
memahami ilmu al-wujud akan menyadari bahwa segala perbuatannya memiliki dampak
yang lebih luas, baik dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dengan alam semesta.
Dalam perspektif
Mulla Sadra, gerak substansial dalam wujud menuntut manusia untuk selalu
berusaha meningkatkan kesempurnaan dirinya. Ini selaras dengan konsep tazkiyatun
nafs (penyucian jiwa) dalam Islam, di mana seseorang harus terus memperbaiki diri secara
spiritual dan intelektual agar semakin dekat dengan Tuhan.6
Ilmu al-wujud juga
berdampak pada kesadaran moral individu. Seorang Muslim yang memahami bahwa
wujudnya hanyalah bagian kecil dari realitas yang lebih besar akan lebih rendah hati dan memiliki sifat
tawadhu’ (rendah hati) dalam berinteraksi dengan sesama.7
6.3.
Aplikasi dalam
Kajian Teologi dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu al-wujud
memiliki relevansi yang kuat dalam studi teologi Islam, terutama dalam diskusi
tentang sifat Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta. Dalam teologi Islam,
perdebatan antara Asy'ariyah dan Maturidiyah tentang sifat wujud Tuhan dapat
dijelaskan lebih dalam dengan pendekatan filsafat wujud yang dikembangkan oleh
para pemikir Muslim.8
·
Dalam tradisi Asy'ariyah,
wujud Tuhan dianggap berbeda secara hakiki dari makhluk-Nya, tetapi tetap
berinteraksi dengan ciptaan-Nya.9
·
Dalam Maturidiyah,
wujud Tuhan lebih ditekankan sebagai sumber segala realitas tanpa adanya
perubahan dalam zat-Nya.10
Ilmu al-wujud juga memiliki
implikasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern. Pemikiran tentang
realitas dan esensi dalam filsafat Islam dapat menjadi titik temu dengan konsep-konsep dalam fisika kuantum, di
mana realitas sering kali dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis dan
tidak tetap.11
6.4.
Implikasi Ilmu
Al-Wujud dalam Kehidupan Sosial dan Politik
Selain dalam ranah
filsafat dan teologi, ilmu al-wujud juga dapat diterapkan dalam kehidupan
sosial dan politik. Pemahaman bahwa wujud makhluk berasal dari Tuhan dapat
menumbuhkan rasa persaudaraan yang lebih
kuat di antara sesama manusia.
Dalam konsep negara
Islam, banyak pemikir Muslim modern yang mencoba mengadaptasi
ilmu al-wujud dalam membangun sistem politik yang lebih inklusif dan humanis.
Muhammad Iqbal, misalnya, menggunakan konsep keberadaan dalam filsafat Islam
untuk menekankan pentingnya kebangkitan spiritual dan intelektual umat Islam
dalam membangun peradaban yang maju.12
Selain itu, ilmu
al-wujud juga relevan dalam kajian hak asasi manusia dalam Islam.
Jika manusia dipahami sebagai bagian dari sistem wujud yang lebih besar, maka
setiap individu memiliki nilai yang tinggi dan harus diperlakukan dengan adil
dan bermartabat.13
Kesimpulan
Ilmu al-wujud dalam
filsafat Islam tidak hanya memiliki relevansi teoretis, tetapi juga berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan.
Dari perspektif pemikiran Islam kontemporer, ilmu al-wujud telah membantu membentuk
pemahaman tentang hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Dalam etika dan akhlak,
konsep ini mengajarkan pentingnya kesadaran spiritual, kesalehan, dan tanggung
jawab moral. Selain itu, ilmu al-wujud juga memiliki kontribusi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan studi teologi Islam.
Dengan demikian,
memahami ilmu al-wujud bukan hanya sekadar memahami konsep metafisika, tetapi juga sebuah cara untuk
memperkaya pengalaman hidup manusia secara spiritual, intelektual, dan sosial.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 87-90.
[2]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(London: Unwin Paperbacks, 1976), 45-48.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 132-135.
[4]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 158-162.
[5]
Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oxford:
Oneworld, 2007), 112-115.
[6]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan
Paul, 1993), 195-197.
[7]
Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press,
1964), 105-107.
[8]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 120-123.
[9]
Richard Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali &
Avicenna (New York: Columbia University Press, 1992), 75-78.
[10]
F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 189-192.
[11]
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 210-213.
[12]
Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Iqbal Academy, 1930), 125-127.
[13]
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 198-201.
7.
Kesimpulan
Kajian tentang ilmu
al-wujud dalam Islam merupakan salah satu diskursus filosofis
dan mistis yang memiliki pengaruh luas dalam pemikiran Islam. Ilmu ini tidak
hanya berkembang dalam ranah filsafat rasional, tetapi juga dalam dimensi
spiritual tasawuf. Pembahasan tentang ilmu al-wujud dalam Islam menunjukkan
bahwa konsep ini telah mengalami perkembangan yang kompleks, mulai dari
pemikiran filsafat klasik hingga
relevansinya dalam kajian teologi dan kehidupan kontemporer.
Secara filosofis,
ilmu al-wujud dalam Islam telah mengalami evolusi yang signifikan sejak era
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, hingga Mulla Sadra. Ibnu
Sina menegaskan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua entitas yang berbeda, dan Tuhan sebagai Wajibul Wujud adalah satu-satunya keberadaan yang niscaya.1 Di
sisi lain, Mulla Sadra melalui teori Ashalah al-Wujud memperkenalkan pemahaman bahwa wujud adalah realitas
yang hakiki, sedangkan mahiyah hanyalah konsep yang ada dalam akal manusia.2
Dari perspektif
tasawuf, ilmu al-wujud juga memainkan peran sentral dalam memahami hubungan
antara Tuhan dan makhluk. Ibnu Arabi mengembangkan konsep
Wahdatul Wujud, yang menyatakan bahwa hanya ada satu keberadaan sejati,
yaitu Tuhan, dan seluruh makhluk adalah manifestasi dari wujud-Nya.3
Meskipun konsep ini mendapat kritik dari para ulama lain seperti Ahmad
Sirhindi, yang memperkenalkan konsep Wahdatul Syuhud, pemikiran ini tetap menjadi salah satu doktrin mistik
yang berpengaruh dalam dunia Islam.4
Perbandingan ilmu
al-wujud dengan ontologi Barat menunjukkan
bahwa filsafat Islam memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari
filsafat eksistensialisme modern. Filsafat eksistensialisme menekankan subjektivitas
individu dan kebebasan eksistensial, sebagaimana dikembangkan
oleh Sartre dan Heidegger.5 Sementara itu, filsafat Islam tetap
berpegang pada konsep realitas yang mutlak, di mana
eksistensi manusia memiliki tujuan
dan keterkaitan dengan Tuhan.6
Dari sisi praktis,
ilmu al-wujud memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan,
terutama dalam aspek etika, akhlak, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Pemahaman tentang wujud membantu manusia dalam
mencapai kesadaran spiritual dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Dalam kajian etika Islam, kesadaran bahwa
wujud manusia berasal dari Tuhan membentuk karakter rendah hati dan bertanggung
jawab dalam kehidupan sosial.7 Selain itu, ilmu al-wujud juga
menjadi dasar dalam pengembangan sains dan kosmologi Islam,
terutama dalam pencarian hubungan antara keberadaan fisik dan metafisik.8
Dengan demikian,
kajian ilmu al-wujud dalam Islam tidak hanya menjadi warisan intelektual yang
kaya, tetapi juga tetap relevan dalam menjawab tantangan kehidupan modern.
Konsep ini memberikan perspektif yang mendalam tentang makna eksistensi, baik
dalam konteks spiritual, etika,
maupun epistemologi. Oleh karena itu, pengkajian lebih lanjut tentang ilmu
al-wujud tetap diperlukan untuk mengembangkan pemahaman Islam yang lebih
holistik dan kontekstual dalam menghadapi perubahan zaman.
Footnotes
[1]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 104-107.
[2]
Seyyed Hossein Nasr and Mehdi Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia (London: I.B. Tauris, 2008), 367-372.
[3]
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.
[4]
Alexander D. Knysh, Ibn
'Arabi in the Later Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in
Medieval Islam (Albany: SUNY Press,
1999), 85-89.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, diterjemahkan oleh Hazel E. Barnes (London:
Routledge, 1956), 22-25.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie (New York: Harper
& Row, 1962), 98-100.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science (Albany:
SUNY Press, 1993), 87-90.
[8]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later
Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 145-148.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic
World: A History of Philosophy Without Any Gaps. Oxford University Press.
Aristotle. (1989). Metaphysics (H.
Tredennick, Trans.). Harvard University Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination. SUNY Press.
Chittick, W. C. (2007). Science of the Cosmos,
Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World.
Oneworld.
Corbin, H. (1993). History of Islamic
Philosophy. Kegan Paul.
Frank, R. (1992). Creation and the Cosmic
System: Al-Ghazali & Avicenna. Columbia University Press.
Ghazali, A. (2000). The Incoherence of the
Philosophers (M. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J.
Macquarrie, Trans.). Harper & Row.
Iqbal, M. (1930). Reconstruction of Religious
Thought in Islam. Iqbal Academy.
Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts. University of California
Press.
Kalin, I. (2010). Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford
University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and Trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin.
Knysh, A. D. (1999). Ibn 'Arabi in the Later
Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam. SUNY
Press.
Leaman, O. (2002). An Introduction to Classical
Islamic Philosophy. Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages.
Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1976). Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man. Unwin Paperbacks.
Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred
Science. SUNY Press.
Nasr, S. H., & Aminrazavi, M. (2008). An
Anthology of Philosophy in Persia. I.B. Tauris.
Rumi, J. (2004). The Masnavi, Book One (J.
Mojaddedi, Trans.). Oxford University Press.
Sartre, J. P. (1956). Being and Nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Routledge.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of
Islam. University of North Carolina Press.
Sirhindi, A. (1963). Maktubat. Sh. Muhammad
Ashraf.
Taylor, R. C. (2005). Averroes (Ibn Rushd) and
the Metaphysics of Aristotle. Oxford University Press.
Zimmermann, F. W. (2018). Al-Farabi’s Commentary
on Aristotle’s Metaphysics. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar