Selasa, 11 Februari 2025

Konsep Ilmu Al-Wujud dalam Islam

Konsep Ilmu Al-Wujud dalam Islam

Kajian Filsafat dan Tasawuf


Abstrak

Ilmu al-wujud merupakan salah satu kajian penting dalam filsafat Islam yang membahas tentang hakikat keberadaan dan eksistensi. Konsep ini berkembang dalam dua ranah utama, yaitu filsafat Islam dan tasawuf. Para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra mengembangkan berbagai teori tentang wujud, mulai dari perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud), hingga teori Ashalah al-Wujud yang dikemukakan oleh Mulla Sadra. Sementara itu, dalam tasawuf, Ibnu Arabi memperkenalkan konsep Wahdatul Wujud, yang menegaskan bahwa semua keberadaan adalah manifestasi dari Tuhan, yang kemudian mendapat kritik dari ulama lain yang lebih menekankan konsep Wahdatul Syuhud.

Artikel ini juga membandingkan ilmu al-wujud dalam Islam dengan ontologi Barat, khususnya pemikiran Aristotelian, Neoplatonisme, dan eksistensialisme modern. Kajian ini menunjukkan bahwa filsafat Islam memiliki pendekatan unik yang tetap mempertahankan unsur teologis dan spiritual, berbeda dengan eksistensialisme yang lebih menekankan subjektivitas manusia. Selain itu, ilmu al-wujud juga memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan, terutama dalam pemikiran Islam kontemporer, etika dan akhlak, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teologi Islam.

Melalui kajian ini, dapat disimpulkan bahwa ilmu al-wujud tidak hanya menjadi warisan intelektual Islam, tetapi juga tetap relevan dalam menjawab berbagai tantangan filosofis dan spiritual di era modern. Dengan memahami ilmu al-wujud, umat Islam dapat memperoleh wawasan yang lebih luas tentang hubungan antara Tuhan, alam, dan keberadaan manusia.

Kata Kunci: Ilmu al-wujud, filsafat Islam, tasawuf, Wahdatul Wujud, Ashalah al-Wujud, ontologi Islam, eksistensialisme, Mulla Sadra, Ibnu Arabi, filsafat keberadaan.


PEMBAHASAN

Konsep Ilmu Al-Wujud dalam Islam


1.           Pendahuluan

Ilmu al-wujud (ontologi) merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas hakikat keberadaan dan eksistensi dalam perspektif Islam. Konsep ini memiliki akar yang kuat dalam tradisi pemikiran Islam klasik, terutama dalam kajian filsafat Islam dan tasawuf. Perdebatan tentang wujud (eksistensi) telah menjadi salah satu topik utama dalam filsafat Islam sejak era filsuf Muslim awal seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, hingga era pemikir sufi seperti Ibnu Arabi dan Mulla Sadra. Perkembangan pemikiran tentang wujud dalam Islam tidak terlepas dari interaksi dengan filsafat Yunani, khususnya Aristotelianisme dan Neoplatonisme, serta pengaruh dari tradisi tasawuf yang menekankan dimensi spiritual dalam memahami keberadaan Tuhan dan makhluk.1

Filsafat Islam mengembangkan konsep wujud yang unik dibandingkan dengan ontologi Barat. Salah satu aspek mendasar dalam ilmu al-wujud adalah perbedaan antara wajibul wujud (keberadaan yang niscaya, yakni Tuhan) dan mumkinul wujud (keberadaan yang mungkin, yakni makhluk). Ibnu Sina (980-1037 M) memainkan peran penting dalam membangun argumen tentang keberadaan Tuhan berdasarkan kategori ini, yang kemudian mempengaruhi pemikiran para filsuf setelahnya.2 Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Mulla Sadra (1571-1636 M) dengan teori Ashalah al-Wujud (primordialitas wujud), yang menegaskan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi (mahiyah). Pendekatan ini memiliki implikasi besar dalam memahami hubungan antara Tuhan dan alam semesta dalam Islam.3

Selain dalam filsafat, ilmu al-wujud juga memiliki tempat yang signifikan dalam tradisi tasawuf. Salah satu konsep utama dalam tasawuf terkait dengan wujud adalah Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi (1165-1240 M). Ia mengajukan gagasan bahwa seluruh keberadaan pada hakikatnya merupakan manifestasi dari satu wujud hakiki, yaitu Tuhan.4 Pemikiran ini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama dan filosof, terutama dari perspektif Ahlus Sunnah yang lebih cenderung menolak interpretasi ekstrem dari doktrin ini. Alternatif terhadap Wahdatul Wujud adalah Wahdatul Syuhud (kesatuan penyaksian), yang dikembangkan oleh ulama seperti Ahmad Sirhindi, yang berpendapat bahwa hanya kesadaran manusia yang mengalami penyatuan dengan Tuhan dalam persepsi, tetapi Tuhan tetap transenden.5

Studi tentang ilmu al-wujud dalam Islam memiliki relevansi yang luas, tidak hanya dalam bidang filsafat dan tasawuf, tetapi juga dalam kajian teologi Islam (kalam), epistemologi, dan etika. Kajian ini penting untuk memahami bagaimana umat Islam sepanjang sejarah telah menafsirkan eksistensi dan relasinya dengan Tuhan. Dengan semakin berkembangnya diskusi tentang filsafat eksistensialisme dan metafisika dalam era modern, ilmu al-wujud dalam Islam dapat memberikan kontribusi penting dalam perdebatan kontemporer tentang makna kehidupan dan realitas.6

Melalui artikel ini, kita akan menelusuri konsep ilmu al-wujud dari berbagai perspektif, mulai dari filsafat Islam klasik, pemikiran para sufi, hingga relevansinya dalam dunia modern. Kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat wujud dalam Islam serta bagaimana pemikiran ini dapat diterapkan dalam kehidupan intelektual dan spiritual.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 89-92.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 104-107.

[3]                Seyyed Hossein Nasr and Mehdi Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia (London: I.B. Tauris, 2008), 367-372.

[4]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.

[5]                Alexander D. Knysh, Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam (Albany: SUNY Press, 1999), 85-89.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 45-49.


2.           Pengertian dan Sejarah Ilmu Al-Wujud

2.1.       Pengertian Ilmu Al-Wujud

Ilmu al-wujud, dalam konteks filsafat Islam, merupakan cabang ontologi yang membahas tentang hakikat keberadaan (wujud) dan relasinya dengan esensi (mahiyah). Ontologi sendiri berasal dari kata Yunani ontos (keberadaan) dan logos (ilmu), yang berarti kajian tentang hakikat eksistensi.1 Dalam Islam, ilmu al-wujud berkembang sebagai disiplin yang berusaha memahami keberadaan Tuhan, manusia, dan alam semesta dalam bingkai metafisik dan teologis.

Dalam filsafat Islam, wujud dipandang sebagai prinsip fundamental yang mendasari semua realitas. Para filosof Muslim membedakan antara Wajibul Wujud (keberadaan yang niscaya, yakni Tuhan) dan Mumkinul Wujud (keberadaan yang mungkin, yakni makhluk). Ibnu Sina (980-1037 M) adalah salah satu pemikir utama yang membangun konsep ini, yang kemudian mempengaruhi pemikiran teologis dan filosofis Islam.2 Konsep ini juga berkembang dalam tasawuf melalui pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240 M), yang memperkenalkan doktrin Wahdatul Wujud (kesatuan eksistensi), yang menegaskan bahwa semua realitas adalah manifestasi dari satu keberadaan hakiki, yaitu Tuhan.3

Secara umum, kajian ilmu al-wujud dalam Islam terbagi ke dalam dua pendekatan utama:

1)                  Pendekatan Filosofis, yang menelaah wujud sebagai entitas metafisik dengan menggunakan logika dan argumen rasional. Pendekatan ini lebih banyak dikembangkan oleh para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Mulla Sadra.

2)                  Pendekatan Tasawuf, yang menekankan pada aspek pengalaman mistik dan hubungan eksistensial antara manusia dan Tuhan. Pendekatan ini ditekankan oleh para sufi seperti Ibnu Arabi dan Al-Jili.4

2.2.       Sejarah Perkembangan Ilmu Al-Wujud dalam Islam

2.2.1.    Pengaruh Filsafat Yunani

Perkembangan ilmu al-wujud dalam Islam tidak terlepas dari pengaruh filsafat Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles dan Plotinus. Aristoteles (384-322 SM) memperkenalkan konsep substansi (ousia) dan aksiden sebagai dasar dalam ontologi. Pemikiran ini kemudian diadaptasi oleh filosof Muslim dalam memahami perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud).5

Sementara itu, pengaruh Neoplatonisme—melalui pemikiran Plotinus (204-270 M)—muncul dalam doktrin emanasi (faydh), yang mengajarkan bahwa seluruh keberadaan berasal dari satu sumber utama, yaitu Tuhan. Konsep ini banyak mempengaruhi pemikiran filsafat Islam, terutama dalam teori wujud yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina.6

2.2.2.    Ilmu Al-Wujud dalam Filsafat Islam Klasik

Perkembangan ilmu al-wujud dalam Islam dimulai dengan para filsuf Muslim awal, yang berusaha mengharmonikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Beberapa tokoh utama dalam perkembangan ini antara lain:

1)                  Al-Kindi (801-873 M)

Sebagai filsuf Muslim pertama, Al-Kindi mencoba mengadaptasi filsafat Aristoteles dan Plotinus dalam pemikiran Islam. Ia membahas konsep wujud dalam konteks ketuhanan dan hubungan antara ciptaan dengan Tuhan sebagai Wajibul Wujud.7

2)                  Al-Farabi (872-950 M)

Al-Farabi mengembangkan teori wujud sebagai hierarki keberadaan, yang menjelaskan bagaimana segala sesuatu berasal dari Tuhan melalui proses emanasi. Ia juga membahas perbedaan antara wujud dalam akal (wujud aqli) dan wujud dalam realitas (wujud hissi).8

3)                  Ibnu Sina (980-1037 M)

Ibnu Sina adalah tokoh utama dalam pembahasan ilmu al-wujud. Ia membedakan antara wujud yang niscaya (Wajibul Wujud) dan wujud yang mungkin (Mumkinul Wujud). Menurutnya, segala sesuatu yang ada memerlukan sebab bagi eksistensinya kecuali Tuhan, yang merupakan keberadaan yang niscaya dan tidak bergantung pada apa pun.9

4)                  Ibnu Rusyd (1126-1198 M)

Ibnu Rusyd mengkritik pandangan Neoplatonis yang diadopsi oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi. Ia lebih menekankan rasionalitas Aristotelian dalam memahami keberadaan dan menolak konsep emanasi sebagai dasar ontologi Islam.10

2.2.3.    Ilmu Al-Wujud dalam Tradisi Tasawuf

Selain berkembang dalam filsafat Islam, ilmu al-wujud juga mendapat tempat dalam tradisi tasawuf. Salah satu pemikiran yang paling berpengaruh adalah doktrin Wahdatul Wujud yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Ia berpendapat bahwa semua keberadaan pada hakikatnya merupakan manifestasi dari satu wujud hakiki, yaitu Tuhan.

Beberapa tokoh utama dalam pengembangan ilmu al-wujud dalam tasawuf antara lain:

1)                  Ibnu Arabi (1165-1240 M)

Ibnu Arabi mengajukan konsep bahwa tidak ada keberadaan selain Tuhan, dan seluruh alam semesta hanyalah pantulan dari keberadaan-Nya. Doktrin ini menjadi dasar dalam kajian metafisika tasawuf.11

2)                  Shadruddin Al-Qunawi (1210-1274 M)

Murid Ibnu Arabi ini memperluas doktrin Wahdatul Wujud dengan menjelaskan konsep manifestasi ilahi dalam pengalaman mistik para sufi.12

3)                  Mulla Sadra (1571-1636 M)

Ia mengembangkan teori Ashalah al-Wujud, yang menegaskan bahwa wujud adalah realitas yang hakiki, sementara esensi hanyalah konstruksi mental. Teori ini menjadi salah satu pijakan utama dalam filsafat Islam modern.13


Footnotes

[1]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 85-87.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 104-107.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 59-62.

[5]                Richard C. Taylor, Averroes (Ibn Rushd) and the Metaphysics of Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 2005), 112-115.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 56-59.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 95-97.

[8]                F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 143-145.

[9]                Lenn E. Goodman, Avicenna, 104-107.

[10]             Richard C. Taylor, Averroes and the Metaphysics of Aristotle, 115-117.

[11]             Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 135-138.

[12]             Knysh, Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition, 72-75.

[13]             Nasr and Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia, 367-372.


3.           Pandangan Para Filosof Islam tentang Ilmu Al-Wujud

Ilmu al-wujud dalam filsafat Islam telah berkembang melalui kontribusi para filosof Muslim yang mencoba menjelaskan hakikat keberadaan dalam berbagai perspektif. Para pemikir ini tidak hanya berusaha menyintesiskan pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran Islam, tetapi juga mengembangkan konsep ontologi yang khas dan berbeda dari filsafat Barat. Beberapa tokoh utama dalam pembahasan ilmu al-wujud adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra.

3.1.       Al-Kindi: Filsafat Ilmu Al-Wujud sebagai Teologi Rasional

Al-Kindi (801–873 M) merupakan filsuf Muslim pertama yang berusaha mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Ia dikenal sebagai "Filosof Arab" dan berperan penting dalam memperkenalkan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme kepada dunia Islam.1 Dalam kajiannya tentang ilmu al-wujud, Al-Kindi memandang bahwa wujud mutlak hanya dimiliki oleh Tuhan sebagai Wajibul Wujud (keberadaan yang niscaya), sedangkan semua makhluk adalah Mumkinul Wujud (keberadaan yang mungkin) yang bergantung pada Tuhan untuk eksistensinya.2

Salah satu sumbangsih penting Al-Kindi dalam ilmu al-wujud adalah pemikirannya mengenai keesaan Tuhan (tawhid) dalam perspektif metafisika. Ia menegaskan bahwa Tuhan adalah sumber segala wujud, dan wujud-Nya tidak dapat dibandingkan dengan makhluk ciptaan. Pemikiran ini menjadi dasar bagi filsafat Islam selanjutnya dalam memahami konsep ketuhanan dan eksistensi.3

3.2.       Al-Farabi: Wujud sebagai Hierarki Keberadaan

Al-Farabi (872–950 M) mengembangkan lebih lanjut pemikiran ilmu al-wujud dengan menekankan adanya hierarki keberadaan melalui konsep emanasi. Dalam sistem metafisiknya, ia menggambarkan bahwa seluruh keberadaan berasal dari Tuhan melalui proses bertahap, sebagaimana dijelaskan dalam teori "Sepuluh Akal" yang merujuk pada tingkatan wujud dari Tuhan hingga dunia material.4

Menurut Al-Farabi, Tuhan adalah Wajibul Wujud yang memancarkan keberadaan lainnya secara berjenjang. Dari Tuhan memancar "Akal Pertama," yang kemudian melahirkan Akal Kedua, dan seterusnya hingga mencapai dunia material.5 Pandangan ini mendapat pengaruh kuat dari pemikiran Neoplatonisme, khususnya teori emanasi Plotinus (204–270 M), namun dikombinasikan dengan konsep ketuhanan Islam.6

3.3.       Ibnu Sina: Distingsi antara Wujud dan Mahiyah

Ibnu Sina (980–1037 M) adalah tokoh utama dalam filsafat Islam yang memperkenalkan konsep fundamental dalam ilmu al-wujud: perbedaan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi).7 Menurutnya, semua yang ada di dunia ini memiliki mahiyah (hakikat atau definisi sesuatu), tetapi keberadaannya (wujud) bergantung pada faktor eksternal.

Dalam sistem metafisiknya, Ibnu Sina membagi wujud menjadi tiga kategori:

1)                  Wajibul Wujud: Tuhan sebagai keberadaan yang niscaya, tidak bergantung pada apa pun.

2)                  Mumkinul Wujud: Makhluk yang eksistensinya bergantung pada sebab lain.

3)                  Mumtani’ul Wujud: Keberadaan yang mustahil ada, seperti konsep kontradiktif.8

Pandangan Ibnu Sina ini menjadi dasar bagi filsafat Islam berikutnya, terutama dalam menjelaskan konsep keberadaan Tuhan sebagai sumber utama dari segala sesuatu.

3.4.       Ibnu Rusyd: Kritik terhadap Ontologi Neoplatonik

Ibnu Rusyd (1126–1198 M) berbeda pandangan dengan para pendahulunya, terutama dalam menolak konsep emanasi yang diajukan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Sebagai seorang komentator Aristotelian, ia lebih menekankan pada keberadaan sebagai suatu realitas yang konkret dan menolak pemisahan antara wujud dan mahiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Sina.9

Ibnu Rusyd juga berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan dunia melalui sistem emanasi bertingkat, tetapi melalui causality yang lebih rasional, sebagaimana dijelaskan dalam filsafat Aristoteles.10 Kritiknya terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi menjadikannya sebagai tokoh penting dalam debat antara filsafat dan teologi Islam.

3.5.       Mulla Sadra: Teori Ashalah al-Wujud (Primordialitas Wujud)

Mulla Sadra (1571–1636 M) adalah salah satu pemikir terbesar dalam filsafat Islam yang mengembangkan teori Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi). Ia menegaskan bahwa wujud adalah realitas yang hakiki, sementara mahiyah hanyalah konsep yang dibuat oleh akal manusia.11

Mulla Sadra juga memperkenalkan teori gerak substansial (al-harakah al-jawhariyyah), yang menyatakan bahwa eksistensi tidak bersifat statis, tetapi mengalami perubahan secara kontinu menuju tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi.12 Pemikiran ini menjadi salah satu pijakan utama dalam filsafat Islam modern dan memberikan solusi bagi banyak perdebatan metafisika sebelumnya.


Kesimpulan

Ilmu al-wujud dalam Islam telah mengalami perkembangan yang signifikan melalui pemikiran para filosof Muslim. Al-Kindi menekankan aspek ketuhanan dalam ilmu wujud, Al-Farabi memperkenalkan teori emanasi, Ibnu Sina membedakan antara wujud dan mahiyah, Ibnu Rusyd mengkritik pemikiran Neoplatonis, dan Mulla Sadra mengembangkan teori Ashalah al-Wujud serta gerak substansial. Kajian ini tidak hanya memperkaya filsafat Islam, tetapi juga menjadi dasar bagi banyak diskusi metafisika dalam dunia Islam hingga saat ini.


Footnotes

[1]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 102-105.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 94-96.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 72-75.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 145-147.

[5]                F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 89-92.

[6]                Richard C. Taylor, Averroes (Ibn Rushd) and the Metaphysics of Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 2005), 133-136.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 97-101.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna, 104-107.

[9]                Richard C. Taylor, Averroes and the Metaphysics of Aristotle, 118-121.

[10]             Charles Genequand, Ibn Rushd's Metaphysics (Leiden: Brill, 1984), 76-79.

[11]             Nasr and Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia (London: I.B. Tauris, 2008), 367-372.

[12]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 145-148.


4.           Ilmu Al-Wujud dalam Tasawuf

Ilmu al-wujud tidak hanya berkembang dalam ranah filsafat Islam tetapi juga memiliki peranan penting dalam tradisi tasawuf. Sementara filsafat Islam lebih menekankan analisis rasional terhadap hakikat keberadaan, tasawuf memandang wujud sebagai realitas spiritual yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman mistik dan penyaksian langsung terhadap Tuhan (makrifat). Salah satu perdebatan utama dalam tasawuf terkait ilmu al-wujud adalah antara doktrin Wahdatul Wujud (kesatuan eksistensi) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan konsep Wahdatul Syuhud (kesatuan penyaksian) yang dikemukakan oleh para sufi yang mengkritiknya.

4.1.       Konsep Wahdatul Wujud oleh Ibnu Arabi

Ibnu Arabi (1165–1240 M) adalah salah satu pemikir sufi paling berpengaruh dalam pembahasan ilmu al-wujud. Dalam karyanya Fusus al-Hikam dan Al-Futuhat al-Makkiyah, ia mengajukan doktrin Wahdatul Wujud, yang menyatakan bahwa hanya ada satu wujud hakiki, yaitu Tuhan, sedangkan semua keberadaan lain hanyalah manifestasi dari-Nya.1

Menurut Ibnu Arabi, seluruh alam semesta adalah pantulan (tajalli) dari keberadaan Tuhan. Ia menggambarkan bahwa wujud makhluk hanyalah cerminan dari wujud Ilahi dalam berbagai bentuk dan tingkat realitas. Dalam kerangka ini, makhluk bukanlah wujud independen, tetapi bagian dari wujud mutlak yang satu.2

Konsep ini sering dijelaskan melalui perumpamaan "cahaya dan bayangan." Tuhan adalah cahaya sejati, sementara makhluk adalah bayangan yang muncul dari cahaya tersebut. Oleh karena itu, keberadaan makhluk bukanlah keberadaan sejati, tetapi hanya refleksi dari Tuhan.3

Namun, ajaran Wahdatul Wujud menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ulama dan teolog Muslim. Beberapa menganggapnya sebagai penyimpangan dari tauhid karena bisa diinterpretasikan sebagai panteisme. Namun, para pendukung Ibnu Arabi berpendapat bahwa konsep ini tidak menyamakan Tuhan dengan makhluk, melainkan menegaskan bahwa semua wujud hanya memiliki realitas sejati dalam Tuhan.4

4.2.       Kritik dan Perbedaan dengan Wahdatul Syuhud

Sebagian ulama sufi dan teolog Sunni, termasuk Imam Ibnu Taimiyah (1263–1328 M) dan Syekh Ahmad Sirhindi (1564–1624 M), mengkritik doktrin Wahdatul Wujud dan mengembangkan konsep alternatif yang dikenal sebagai Wahdatul Syuhud.5

·                     Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa doktrin Wahdatul Wujud dapat menyesatkan umat Muslim karena berpotensi menyamakan Tuhan dengan makhluk. Ia menegaskan bahwa Tuhan tetap transenden dan berbeda secara hakiki dari ciptaan-Nya.6

·                     Ahmad Sirhindi, seorang sufi Naqsyabandiyah dari India, menolak gagasan bahwa makhluk adalah manifestasi dari Tuhan. Ia mengajarkan bahwa dalam pengalaman mistik, seorang sufi dapat mencapai kesadaran penuh tentang Tuhan, tetapi Tuhan tetap memiliki keberadaan yang terpisah dan transenden. Ini dikenal sebagai kesatuan penyaksian (Wahdatul Syuhud), di mana seorang sufi menyaksikan Tuhan dalam segala sesuatu, tetapi tidak menyamakan makhluk dengan Tuhan.7

Perbedaan utama antara kedua konsep ini adalah:

·                     Wahdatul Wujud menegaskan bahwa tidak ada wujud selain Tuhan, dan makhluk hanyalah manifestasi dari-Nya.

·                     Wahdatul Syuhud menekankan bahwa kesadaran mistik seseorang dapat melihat Tuhan dalam segala sesuatu, tetapi Tuhan tetap berbeda dari makhluk.

Kritik ini menyebabkan pergeseran dalam kajian ilmu al-wujud dalam tasawuf, terutama di dunia Sunni, yang lebih menerima Wahdatul Syuhud sebagai konsep yang lebih sesuai dengan ajaran tauhid Islam.8

4.3.       Hubungan Ilmu Al-Wujud dengan Makrifatullah dalam Tasawuf

Dalam tasawuf, ilmu al-wujud sering dikaitkan dengan makrifatullah (pengenalan terhadap Tuhan). Para sufi percaya bahwa memahami hakikat wujud adalah kunci untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan (qurb ilallah). Proses pencapaian ini melibatkan beberapa tahapan spiritual, antara lain:

1)                  Takhalli (Pengosongan Diri): Seorang sufi harus membersihkan dirinya dari sifat-sifat buruk agar dapat memahami realitas wujud.9

2)                  Tahalli (Penghiasan Diri dengan Sifat Ilahi): Setelah membebaskan diri dari keterikatan duniawi, seorang sufi menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji.10

3)                  Tajalli (Penyingkapan Realitas Ilahi): Pada tahap ini, seorang sufi mengalami penyaksian langsung terhadap realitas wujud dan menyadari bahwa keberadaan sejati hanya ada pada Tuhan.11

Konsep ini berkaitan erat dengan doktrin fana' (lenyapnya ego) dan baqa' (keabadian dalam Tuhan), yang menjadi bagian penting dalam perjalanan mistik sufi. Para sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Al-Jili mengembangkan pemikiran ini lebih lanjut dalam syair-syair dan karya-karya mereka.12

4.4.       Implikasi Ilmu Al-Wujud dalam Kehidupan Spiritual

Pemahaman tentang ilmu al-wujud dalam tasawuf memiliki dampak yang mendalam dalam kehidupan seorang Muslim. Di antara implikasi utamanya adalah:

1)                  Membantu Pemahaman tentang Tuhan dan Realitas: Dengan memahami konsep wujud, seorang Muslim dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah refleksi dari-Nya.13

2)                  Meningkatkan Kesadaran Spiritual: Pemikiran Wahdatul Wujud atau Wahdatul Syuhud dapat membantu seseorang mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.14

3)                  Membangun Kesalehan dan Akhlak: Seorang sufi yang memahami ilmu al-wujud cenderung lebih rendah hati dan memiliki kesadaran bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari keberadaan yang lebih besar.15


Kesimpulan

Ilmu al-wujud dalam tasawuf berkembang melalui perdebatan antara konsep Wahdatul Wujud yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan konsep Wahdatul Syuhud yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ahmad Sirhindi. Kedua konsep ini berusaha menjelaskan bagaimana makhluk berhubungan dengan Tuhan dalam konteks metafisika Islam. Ilmu al-wujud juga menjadi bagian penting dalam pencarian spiritual seorang sufi, terutama dalam upaya mencapai makrifatullah dan kesadaran akan hakikat eksistensi.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.

[2]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 42-45.

[3]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 138-140.

[4]                Alexander D. Knysh, Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition (Albany: SUNY Press, 1999), 85-89.

[5]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 270-273.

[6]                Ahmad Sirhindi, Maktubat (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1963), 44-48.

[7]                Knysh, Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition, 92-95.

[8]                Nasr and Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia, 410-413.

[9]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 195-198.

[10]             Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, 285-287.

[11]             Izutsu, Sufism and Taoism, 72-75.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth (New York: HarperOne, 2007), 124-128.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 87-90.

[14]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 112-115.

[15]             Jalaluddin Rumi, The Masnavi, Book One, diterjemahkan oleh Jawid Mojaddedi (Oxford: Oxford University Press, 2004), 56-58.


5.           Perbandingan Ilmu Al-Wujud dengan Ontologi Barat

Ilmu al-wujud dalam filsafat Islam memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan dengan ontologi dalam filsafat Barat. Para filosof Muslim mengembangkan konsep wujud melalui interaksi dengan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme, tetapi mereka juga memperkenalkan elemen-elemen metafisika yang lebih selaras dengan pandangan teologis Islam. Di sisi lain, filsafat Barat terus berkembang dengan berbagai aliran pemikiran seperti eksistensialisme, idealisme, dan realisme yang turut membentuk cara pandang terhadap ontologi.

Bab ini akan membandingkan konsep ilmu al-wujud dalam Islam dengan pemikiran ontologi dalam tradisi filsafat Barat dari beberapa aspek utama, yaitu perbandingan dengan filsafat Aristotelian dan Neoplatonis, perbedaan dengan filsafat eksistensialisme, serta respons para ulama Islam terhadap pemikiran Barat.

5.1.       Persamaan dan Perbedaan dengan Ontologi Aristotelian dan Neoplatonis

Pemikiran filsafat Islam tentang ilmu al-wujud banyak dipengaruhi oleh Aristoteles (384–322 SM) dan Plotinus (204–270 M). Aristoteles dalam Metaphysics menjelaskan bahwa realitas terdiri dari substansi (ousia) dan aksiden. Ia juga menekankan pentingnya aktor pertama yang tidak bergerak (unmoved mover), yang menjadi dasar bagi banyak konsep ketuhanan dalam filsafat Islam.1

Filosof Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina mengadaptasi konsep Aristotelian tentang substansi dan bentuk, tetapi mereka memasukkannya ke dalam konteks Islam dengan menekankan bahwa Tuhan adalah Wajibul Wujud (keberadaan yang niscaya), bukan sekadar "penggerak pertama" seperti dalam sistem Aristotelian.2 Selain itu, Ibnu Sina mengembangkan gagasan tentang perbedaan antara wujud dan mahiyah, yang tidak ditemukan dalam filsafat Aristotelian.3

Di sisi lain, Neoplatonisme memberikan pengaruh yang kuat terhadap filsafat Islam melalui konsep emanasi (faydh), yang diperkenalkan oleh Plotinus. Dalam sistem Neoplatonis, segala sesuatu berasal dari The One (Yang Esa), yang kemudian menurunkan realitas dalam hirarki keberadaan.4 Konsep ini diadopsi oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina, tetapi mereka mengislamisasinya dengan menempatkan Tuhan sebagai entitas yang berkehendak, bukan sebagai sumber emanasi yang otomatis seperti dalam Neoplatonisme.5

Perbedaan utama antara filsafat Islam dan ontologi Aristotelian-Neoplatonis adalah bahwa filsafat Islam tetap mempertahankan doktrin teistik yang kuat. Dalam filsafat Islam, Tuhan bukan hanya sekadar prinsip metafisik tetapi juga Tuhan yang berkehendak dan berinteraksi dengan ciptaan-Nya, sebagaimana diajarkan dalam ajaran Islam.6

5.2.       Perbandingan dengan Filsafat Eksistensialisme Barat

Sejak abad ke-19 dan 20, filsafat Barat mengalami pergeseran besar dengan munculnya eksistensialisme yang menolak banyak prinsip metafisika klasik. Eksistensialisme, yang dikembangkan oleh tokoh seperti Søren Kierkegaard, Martin Heidegger, dan Jean-Paul Sartre, menekankan subjektivitas individu dalam mendefinisikan eksistensi dan menolak konsep keberadaan yang tetap.7

Dalam eksistensialisme ateistik Sartre, misalnya, keberadaan manusia dianggap sebagai sesuatu yang mendahului esensi—artinya, manusia tidak memiliki tujuan bawaan tetapi harus menciptakan maknanya sendiri.8 Ini sangat berbeda dengan filsafat Islam, yang justru menekankan bahwa wujud makhluk bersumber dari Tuhan dan memiliki esensi serta tujuan yang ditetapkan secara teologis.

Namun, ada beberapa kesamaan antara filsafat eksistensialisme dan filsafat Islam, terutama dalam pemikiran Mulla Sadra tentang gerak substansial (al-harakah al-jawhariyyah). Sadra berpendapat bahwa eksistensi terus berkembang dan berubah dalam perjalanan menuju kesempurnaan spiritual, suatu gagasan yang memiliki kemiripan dengan eksistensialisme Heidegger yang melihat keberadaan sebagai sesuatu yang terus mengalami perubahan dan penemuan diri.9

Selain itu, eksistensialisme Kierkegaard yang menekankan lompatan iman dalam mencapai Tuhan memiliki kesamaan dengan konsep makrifat dalam tasawuf, di mana seorang sufi harus mencapai pengalaman mistik untuk memahami realitas yang lebih tinggi.10

Meskipun demikian, perbedaan fundamental tetap ada. Filsafat Islam tetap mempertahankan realitas metafisik yang mutlak, sementara eksistensialisme modern lebih cenderung bersifat relatif dan subjektif.11

5.3.       Kritik dan Respons Ulama Islam terhadap Pemikiran Ontologi Barat

Beberapa ulama Islam modern menanggapi pemikiran ontologi Barat dengan sikap kritis. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, mengkritik filsafat eksistensialisme dan positivisme Barat karena dianggap mengabaikan dimensi spiritual dan hanya berfokus pada materialisme.12 Ia berpendapat bahwa filsafat Islam menawarkan pandangan dunia yang lebih utuh karena mencakup dimensi rasional, spiritual, dan etika dalam memahami wujud.13

Muhammad Iqbal, seorang pemikir Muslim dari India, mencoba menjembatani filsafat Islam dengan filsafat Barat modern. Ia mengembangkan konsep "ego dinamis" yang mengakui perubahan dalam keberadaan manusia tetapi tetap dalam koridor teistik yang bersumber dari wahyu Islam.14

Selain itu, para ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah dan Al-Ghazali telah mengkritik filsafat Yunani dan Barat sejak dahulu. Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah mengkritik konsep filsafat Yunani yang dianggap bertentangan dengan wahyu, sementara Ibnu Taimiyah menekankan pendekatan yang lebih berbasis Al-Qur’an dan Hadis dalam memahami realitas.15


Kesimpulan

Perbandingan antara ilmu al-wujud dalam Islam dan ontologi Barat menunjukkan bahwa meskipun terdapat pengaruh awal dari Aristoteles dan Plotinus, filsafat Islam berkembang dengan karakteristiknya sendiri. Berbeda dengan pemikiran Barat modern yang lebih condong kepada relativisme dan subjektivisme, filsafat Islam tetap mempertahankan dimensi ketuhanan dan kepastian metafisik.

Kritik terhadap filsafat Barat menunjukkan bahwa filsafat Islam menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam memahami wujud, dengan menggabungkan aspek rasional, spiritual, dan teologis. Dengan demikian, studi tentang ilmu al-wujud dalam Islam tidak hanya relevan dalam dunia akademik, tetapi juga dapat menjadi kontribusi bagi diskursus filosofis global.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, diterjemahkan oleh Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 102-104.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 67-70.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 112-115.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 90-92.

[5]                F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 143-145.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 45-47.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie (New York: Harper & Row, 1962), 98-100.

[8]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, diterjemahkan oleh Hazel E. Barnes (London: Routledge, 1956), 22-25.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 128-132.

[10]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, diterjemahkan oleh Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 75-78.

[11]             Nasr, The Need for a Sacred Science, 91-94.

[12]             Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1930), 105-108.

[13]             Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, diterjemahkan oleh Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 54-57.

[14]             Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1930), 110-113.

[15]             Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, diterjemahkan oleh Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 60-63.


6.           Implikasi Ilmu Al-Wujud dalam Kehidupan

Ilmu al-wujud dalam filsafat Islam bukan hanya sekadar kajian teoretis tentang hakikat keberadaan, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep ini berpengaruh terhadap pemahaman teologi Islam, etika dan akhlak, serta cara manusia memandang realitas dan eksistensinya di dunia. Filsafat wujud yang dikembangkan oleh para pemikir Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan Mulla Sadra memberikan landasan bagi pemahaman spiritual, moral, dan intelektual yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bab ini akan membahas implikasi ilmu al-wujud dalam beberapa aspek utama kehidupan, termasuk pemikiran Islam kontemporer, etika dan akhlak, serta perannya dalam kajian teologi dan pengembangan ilmu pengetahuan.

6.1.       Dampak Ilmu Al-Wujud terhadap Pemikiran Islam Kontemporer

Ilmu al-wujud telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pemikiran Islam, baik dalam ranah filsafat, tasawuf, maupun teologi. Salah satu dampak utamanya adalah pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara Tuhan dan makhluk.

Mulla Sadra, melalui teori Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi), menunjukkan bahwa realitas bersifat dinamis dan berkembang menuju kesempurnaan.1 Pemikiran ini telah mempengaruhi banyak intelektual Muslim modern dalam memahami konsep perubahan dan evolusi dalam dunia Islam. Misalnya, Seyyed Hossein Nasr mengadaptasi konsep ini dalam studi ekologi Islam, yang menekankan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari wujud Ilahi dan harus dijaga keseimbangannya.2

Di sisi lain, pemikiran tentang ilmu al-wujud juga memberikan wawasan baru dalam kajian sains Islam. Para ilmuwan Muslim yang mengkaji filsafat eksistensi berupaya mencari titik temu antara metafisika Islam dan sains modern, terutama dalam bidang kosmologi dan fisika kuantum.3

6.2.       Relevansi Ilmu Al-Wujud terhadap Etika dan Akhlak Islam

Ilmu al-wujud memiliki implikasi mendalam dalam bidang etika dan akhlak Islam. Dalam tasawuf, pemahaman tentang hakikat wujud sering dikaitkan dengan konsep ihsan—yakni kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam pengawasan Tuhan.4

Ibnu Arabi dalam doktrin Wahdatul Wujud menegaskan bahwa manusia, sebagai bagian dari manifestasi wujud Ilahi, memiliki tanggung jawab untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan kasih sayang dan ketakwaan.5 Oleh karena itu, seseorang yang memahami ilmu al-wujud akan menyadari bahwa segala perbuatannya memiliki dampak yang lebih luas, baik dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dengan alam semesta.

Dalam perspektif Mulla Sadra, gerak substansial dalam wujud menuntut manusia untuk selalu berusaha meningkatkan kesempurnaan dirinya. Ini selaras dengan konsep tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dalam Islam, di mana seseorang harus terus memperbaiki diri secara spiritual dan intelektual agar semakin dekat dengan Tuhan.6

Ilmu al-wujud juga berdampak pada kesadaran moral individu. Seorang Muslim yang memahami bahwa wujudnya hanyalah bagian kecil dari realitas yang lebih besar akan lebih rendah hati dan memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) dalam berinteraksi dengan sesama.7

6.3.       Aplikasi dalam Kajian Teologi dan Ilmu Pengetahuan

Ilmu al-wujud memiliki relevansi yang kuat dalam studi teologi Islam, terutama dalam diskusi tentang sifat Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta. Dalam teologi Islam, perdebatan antara Asy'ariyah dan Maturidiyah tentang sifat wujud Tuhan dapat dijelaskan lebih dalam dengan pendekatan filsafat wujud yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim.8

·                     Dalam tradisi Asy'ariyah, wujud Tuhan dianggap berbeda secara hakiki dari makhluk-Nya, tetapi tetap berinteraksi dengan ciptaan-Nya.9

·                     Dalam Maturidiyah, wujud Tuhan lebih ditekankan sebagai sumber segala realitas tanpa adanya perubahan dalam zat-Nya.10

Ilmu al-wujud juga memiliki implikasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern. Pemikiran tentang realitas dan esensi dalam filsafat Islam dapat menjadi titik temu dengan konsep-konsep dalam fisika kuantum, di mana realitas sering kali dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis dan tidak tetap.11

6.4.       Implikasi Ilmu Al-Wujud dalam Kehidupan Sosial dan Politik

Selain dalam ranah filsafat dan teologi, ilmu al-wujud juga dapat diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik. Pemahaman bahwa wujud makhluk berasal dari Tuhan dapat menumbuhkan rasa persaudaraan yang lebih kuat di antara sesama manusia.

Dalam konsep negara Islam, banyak pemikir Muslim modern yang mencoba mengadaptasi ilmu al-wujud dalam membangun sistem politik yang lebih inklusif dan humanis. Muhammad Iqbal, misalnya, menggunakan konsep keberadaan dalam filsafat Islam untuk menekankan pentingnya kebangkitan spiritual dan intelektual umat Islam dalam membangun peradaban yang maju.12

Selain itu, ilmu al-wujud juga relevan dalam kajian hak asasi manusia dalam Islam. Jika manusia dipahami sebagai bagian dari sistem wujud yang lebih besar, maka setiap individu memiliki nilai yang tinggi dan harus diperlakukan dengan adil dan bermartabat.13


Kesimpulan

Ilmu al-wujud dalam filsafat Islam tidak hanya memiliki relevansi teoretis, tetapi juga berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan. Dari perspektif pemikiran Islam kontemporer, ilmu al-wujud telah membantu membentuk pemahaman tentang hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Dalam etika dan akhlak, konsep ini mengajarkan pentingnya kesadaran spiritual, kesalehan, dan tanggung jawab moral. Selain itu, ilmu al-wujud juga memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan studi teologi Islam.

Dengan demikian, memahami ilmu al-wujud bukan hanya sekadar memahami konsep metafisika, tetapi juga sebuah cara untuk memperkaya pengalaman hidup manusia secara spiritual, intelektual, dan sosial.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 87-90.

[2]                Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1976), 45-48.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 132-135.

[4]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 158-162.

[5]                Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oxford: Oneworld, 2007), 112-115.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 195-197.

[7]                Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 105-107.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 120-123.

[9]                Richard Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali & Avicenna (New York: Columbia University Press, 1992), 75-78.

[10]             F. W. Zimmermann, Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 189-192.

[11]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 210-213.

[12]             Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1930), 125-127.

[13]             Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 198-201.


7.           Kesimpulan

Kajian tentang ilmu al-wujud dalam Islam merupakan salah satu diskursus filosofis dan mistis yang memiliki pengaruh luas dalam pemikiran Islam. Ilmu ini tidak hanya berkembang dalam ranah filsafat rasional, tetapi juga dalam dimensi spiritual tasawuf. Pembahasan tentang ilmu al-wujud dalam Islam menunjukkan bahwa konsep ini telah mengalami perkembangan yang kompleks, mulai dari pemikiran filsafat klasik hingga relevansinya dalam kajian teologi dan kehidupan kontemporer.

Secara filosofis, ilmu al-wujud dalam Islam telah mengalami evolusi yang signifikan sejak era Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, hingga Mulla Sadra. Ibnu Sina menegaskan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua entitas yang berbeda, dan Tuhan sebagai Wajibul Wujud adalah satu-satunya keberadaan yang niscaya.1 Di sisi lain, Mulla Sadra melalui teori Ashalah al-Wujud memperkenalkan pemahaman bahwa wujud adalah realitas yang hakiki, sedangkan mahiyah hanyalah konsep yang ada dalam akal manusia.2

Dari perspektif tasawuf, ilmu al-wujud juga memainkan peran sentral dalam memahami hubungan antara Tuhan dan makhluk. Ibnu Arabi mengembangkan konsep Wahdatul Wujud, yang menyatakan bahwa hanya ada satu keberadaan sejati, yaitu Tuhan, dan seluruh makhluk adalah manifestasi dari wujud-Nya.3 Meskipun konsep ini mendapat kritik dari para ulama lain seperti Ahmad Sirhindi, yang memperkenalkan konsep Wahdatul Syuhud, pemikiran ini tetap menjadi salah satu doktrin mistik yang berpengaruh dalam dunia Islam.4

Perbandingan ilmu al-wujud dengan ontologi Barat menunjukkan bahwa filsafat Islam memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari filsafat eksistensialisme modern. Filsafat eksistensialisme menekankan subjektivitas individu dan kebebasan eksistensial, sebagaimana dikembangkan oleh Sartre dan Heidegger.5 Sementara itu, filsafat Islam tetap berpegang pada konsep realitas yang mutlak, di mana eksistensi manusia memiliki tujuan dan keterkaitan dengan Tuhan.6

Dari sisi praktis, ilmu al-wujud memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan, terutama dalam aspek etika, akhlak, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pemahaman tentang wujud membantu manusia dalam mencapai kesadaran spiritual dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Dalam kajian etika Islam, kesadaran bahwa wujud manusia berasal dari Tuhan membentuk karakter rendah hati dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosial.7 Selain itu, ilmu al-wujud juga menjadi dasar dalam pengembangan sains dan kosmologi Islam, terutama dalam pencarian hubungan antara keberadaan fisik dan metafisik.8

Dengan demikian, kajian ilmu al-wujud dalam Islam tidak hanya menjadi warisan intelektual yang kaya, tetapi juga tetap relevan dalam menjawab tantangan kehidupan modern. Konsep ini memberikan perspektif yang mendalam tentang makna eksistensi, baik dalam konteks spiritual, etika, maupun epistemologi. Oleh karena itu, pengkajian lebih lanjut tentang ilmu al-wujud tetap diperlukan untuk mengembangkan pemahaman Islam yang lebih holistik dan kontekstual dalam menghadapi perubahan zaman.


Footnotes

[1]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 104-107.

[2]                Seyyed Hossein Nasr and Mehdi Aminrazavi, An Anthology of Philosophy in Persia (London: I.B. Tauris, 2008), 367-372.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.

[4]                Alexander D. Knysh, Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam (Albany: SUNY Press, 1999), 85-89.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, diterjemahkan oleh Hazel E. Barnes (London: Routledge, 1956), 22-25.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie (New York: Harper & Row, 1962), 98-100.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 87-90.

[8]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 145-148.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps. Oxford University Press.

Aristotle. (1989). Metaphysics (H. Tredennick, Trans.). Harvard University Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination. SUNY Press.

Chittick, W. C. (2007). Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World. Oneworld.

Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy. Kegan Paul.

Frank, R. (1992). Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali & Avicenna. Columbia University Press.

Ghazali, A. (2000). The Incoherence of the Philosophers (M. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie, Trans.). Harper & Row.

Iqbal, M. (1930). Reconstruction of Religious Thought in Islam. Iqbal Academy.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts. University of California Press.

Kalin, I. (2010). Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and Trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.

Knysh, A. D. (1999). Ibn 'Arabi in the Later Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam. SUNY Press.

Leaman, O. (2002). An Introduction to Classical Islamic Philosophy. Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1976). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Unwin Paperbacks.

Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred Science. SUNY Press.

Nasr, S. H., & Aminrazavi, M. (2008). An Anthology of Philosophy in Persia. I.B. Tauris.

Rumi, J. (2004). The Masnavi, Book One (J. Mojaddedi, Trans.). Oxford University Press.

Sartre, J. P. (1956). Being and Nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Routledge.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press.

Sirhindi, A. (1963). Maktubat. Sh. Muhammad Ashraf.

Taylor, R. C. (2005). Averroes (Ibn Rushd) and the Metaphysics of Aristotle. Oxford University Press.

Zimmermann, F. W. (2018). Al-Farabi’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar