Etika Hukum
Fondasi Filosofis, Rasionalitas Normatif, dan Relevansi
Sosial dalam Tatanan Keadilan
Alihkan ke: Ilmu Hukum. 
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif etika
hukum sebagai fondasi filosofis yang menghubungkan moralitas, rasionalitas,
dan keadilan dalam sistem hukum. Dengan menggunakan pendekatan historis,
ontologis, epistemologis, dan aksiologis, kajian ini menelusuri akar pemikiran
etika hukum sejak filsafat Yunani klasik, tradisi skolastik, modernitas
rasionalistik, hingga refleksi kontemporer tentang hukum dan moralitas. Secara
ontologis, hukum dipahami bukan hanya sebagai sistem norma positif, tetapi
sebagai tatanan moral yang rasional dan berorientasi pada bonum commune
(kebaikan bersama). Secara epistemologis, hukum memperoleh legitimasi moral
melalui rasionalitas praktis dan komunikasi etis antarwarga negara.
Aksiologi etika hukum menegaskan bahwa nilai
keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan merupakan inti moral yang memberi makna
pada hukum, sementara dimensi sosial-politiknya menunjukkan peran hukum sebagai
instrumen moral bagi keadilan publik dan demokrasi. Kritik dari positivisme,
relativisme budaya, dan postmodernisme memperkaya refleksi etika hukum dengan
membuka ruang bagi pendekatan yang lebih dialogis dan kontekstual. Dalam konteks
kontemporer, etika hukum menjadi relevan untuk menjawab tantangan globalisasi,
teknologi digital, dan krisis ekologis, serta untuk menegaskan kembali martabat
manusia sebagai dasar moral hukum universal.
Dengan demikian, etika hukum hadir sebagai sintesis
filosofis yang menyatukan legalitas dan moralitas, rasionalitas dan
keadilan, dalam kerangka kemanusiaan yang integral. Hukum yang sejati bukan
hanya yang berlaku, melainkan yang berkeadilan—yakni hukum yang
hidup dalam kesadaran moral manusia dan menuntun peradaban menuju tatanan etis
yang universal.
Kata Kunci: Etika Hukum; Keadilan; Moralitas;
Rasionalitas; Hukum Alam; Bonum Commune; Filsafat Moral; Legitimasi Hukum;
Diskursus Etis; Kemanusiaan.
PEMBAHASAN
Etika Hukum sebagai Landasan Moral Keadilan
1.          
Pendahuluan
Etika hukum merupakan bidang kajian yang
menempatkan hukum dalam horizon moralitas dan tanggung jawab rasional manusia.
Hukum, pada hakikatnya, tidak hanya dipahami sebagai seperangkat norma positif
yang diberlakukan oleh otoritas negara, melainkan juga sebagai manifestasi dari
nilai-nilai etis yang mendasari kehidupan bersama. Oleh karena itu, hubungan
antara etika dan hukum bersifat inheren—etika menyediakan landasan normatif
bagi hukum, sedangkan hukum menjadi instrumen konkretisasi nilai-nilai etika
dalam kehidupan sosial.¹
Dalam sejarah pemikiran filsafat, persoalan
keterkaitan antara etika dan hukum telah muncul sejak masa klasik. Plato dan
Aristoteles memandang hukum sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan kebajikan
publik (the common good).² Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles
menegaskan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mendorong kebajikan moral
warganya.³ Pandangan ini menegaskan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari
orientasi etis yang mengarah pada kebaikan manusia sebagai makhluk politik (zoon
politikon).
Selanjutnya, dalam tradisi Skolastik, Thomas
Aquinas mengembangkan pandangan yang lebih sistematis mengenai keterhubungan
antara hukum dan moralitas. Melalui konsep lex aeterna, lex naturalis,
dan lex humana, Aquinas menjelaskan bahwa hukum manusia yang adil
berakar pada hukum alam yang bersumber dari rasio ilahi.⁴ Hukum yang memisahkan
diri dari keadilan dan kebenaran moral dianggap bukan hukum sejati (lex
iniusta non est lex).⁵
Namun, memasuki era modern, muncul pergeseran
paradigma melalui positivisme hukum yang memisahkan hukum dari moralitas.
Pemikir seperti John Austin dan Hans Kelsen menegaskan bahwa hukum harus
dipahami sebagai sistem norma yang otonom dari nilai-nilai etika.⁶ Pandangan
ini menimbulkan problem filosofis: apakah hukum yang sah secara formal, tetapi
tidak adil secara moral, masih dapat dianggap sebagai hukum? Pertanyaan ini
menandai titik awal bagi lahirnya refleksi filosofis tentang etika hukum
sebagai upaya mengembalikan dasar moral dalam teori dan praktik hukum.
Dalam konteks kontemporer, urgensi kajian etika
hukum semakin meningkat. Fenomena seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan
hukum, pelanggaran HAM, dan problematika hukum digital menuntut pemahaman baru
tentang relasi antara moralitas, keadilan, dan hukum.⁷ Etika hukum hadir
sebagai jembatan antara rasionalitas legal dan tanggung jawab moral, menegaskan
bahwa hukum yang baik bukan hanya legally valid tetapi juga morally
justified.⁸
Oleh sebab itu, kajian ini bertujuan untuk menggali
fondasi filosofis etika hukum melalui tiga dimensi utama: (1) ontologis, guna
memahami hakikat moralitas dalam hukum; (2) epistemologis, untuk menjelaskan
cara pengetahuan moral bekerja dalam praktik hukum; dan (3) aksiologis, untuk
merumuskan nilai-nilai yang menjadi orientasi keadilan. Kajian ini menggunakan
pendekatan interdisipliner—menggabungkan filsafat moral, teori hukum, dan
refleksi sosial—sebagai upaya mengintegrasikan etika ke dalam praksis hukum
yang adil dan manusiawi.
Footnotes
[1]               
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 3–5.
[2]               
Plato, The Laws, trans. Trevor J. Saunders
(London: Penguin Classics, 2004), 715–718.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1103b–1105a.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II,
Q.91–94, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger
Bros., 1947).
[5]               
Ibid., I-II, Q.96, a.4.
[6]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 67–69.
[7]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 10–12.
[8]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New
Haven: Yale University Press, 1969), 162–164.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Etika Hukum
Kajian tentang etika
hukum memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks, membentang dari filsafat
Yunani klasik hingga teori hukum modern. Perkembangan historis ini menunjukkan
bahwa gagasan tentang hukum tidak pernah terlepas dari refleksi moral dan
nilai-nilai etis yang mendasarinya. Dalam konteks ini, genealogi etika hukum
tidak hanya menggambarkan perubahan konseptual mengenai hubungan antara
moralitas dan hukum, tetapi juga menyingkap dinamika historis tentang bagaimana
manusia memahami keadilan, kebenaran, dan kewajiban sosial dalam struktur
hukum.
2.1.      
Etika dan Hukum dalam Filsafat Yunani Klasik
Pada masa Yunani
kuno, pemikiran tentang hukum selalu berakar pada etika dan filsafat moral.
Socrates, melalui dialog-dialognya dalam karya Plato, menekankan bahwa hukum
sejati harus mencerminkan kebenaran dan keadilan moral yang bersifat
universal.⁽¹⁾ Bagi Socrates, hukum yang tidak adil bukanlah hukum sejati karena
tidak bersumber dari rasionalitas moral yang menuntun manusia kepada
kebaikan.⁽²⁾ Dalam The Republic, Plato menggambarkan
hukum sebagai instrumen yang menjaga harmoni dalam jiwa dan masyarakat—di mana
keadilan (dikaiosune)
menjadi prinsip tertinggi yang mengatur seluruh tatanan sosial.⁽³⁾
Sementara itu,
Aristoteles memberikan pendekatan yang lebih empiris dan realistis. Dalam Nicomachean
Ethics dan Politics, ia menegaskan bahwa hukum
merupakan sarana pendidikan moral yang membentuk kebajikan warga negara.⁽⁴⁾
Menurutnya, keadilan hukum bukan hanya tentang kesetaraan formal, melainkan
tentang proporsionalitas yang sesuai dengan martabat dan kontribusi individu
terhadap kebaikan bersama (common good).⁽⁵⁾ Pemikiran
Aristoteles ini menjadi fondasi awal bagi konsep hukum alam (natural
law) yang kelak berkembang dalam tradisi filsafat skolastik.
2.2.      
Tradisi Skolastik dan Sintesis Moralitas Ilahi
Memasuki abad
pertengahan, etika hukum memperoleh bentuk sistematis melalui sintesis
teologis-filosofis yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Dalam kerangka
pemikirannya, hukum dibagi menjadi empat tingkatan hierarkis: lex
aeterna (hukum kekal), lex divina (hukum ilahi), lex
naturalis (hukum alam), dan lex humana (hukum manusia).⁽⁶⁾
Aquinas menegaskan bahwa lex naturalis merupakan partisipasi
rasional manusia terhadap hukum kekal Tuhan, dan menjadi dasar moral bagi hukum
manusia.⁽⁷⁾
Dengan demikian,
setiap hukum manusia yang tidak sesuai dengan prinsip moral dan keadilan ilahi
dianggap tidak sah secara moral (lex iniusta non est lex).⁽⁸⁾ Pandangan
ini memberikan arah bagi konsepsi etika hukum sebagai suatu sistem normatif
yang tidak semata bersandar pada kehendak penguasa, tetapi juga pada
rasionalitas moral universal. Tradisi skolastik kemudian membentuk basis bagi
hukum kanonik Gereja serta memengaruhi pembentukan hukum kodifikasi Eropa
modern.
Selain Aquinas, para
pemikir seperti Augustinus dan Anselmus juga memberikan kontribusi besar
terhadap integrasi moral dan hukum. Augustinus menegaskan bahwa hukum yang
tidak berdasarkan kasih (caritas) dan keadilan sejati
hanyalah “kekuasaan yang tersusun tanpa moralitas.”⁽⁹⁾ Pandangan ini
memperlihatkan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai spiritual dan
tujuan moral manusia.
2.3.      
Rasionalisasi Hukum pada Era Modern
Perubahan besar
terjadi pada masa modern ketika rasionalitas sekuler mulai menggeser landasan
teologis dalam teori hukum. Hugo Grotius menjadi tokoh penting dalam transisi
ini. Ia mengembangkan teori hukum alam yang bersifat rasional dan otonom, tidak
lagi bergantung secara langsung pada wahyu ilahi.⁽¹⁰⁾ Bagi Grotius, hukum alam
tetap sahih “sekalipun Tuhan tidak ada,” karena berakar pada rasio moral
manusia yang universal.⁽¹¹⁾
Pencerahan Eropa
(Enlightenment) kemudian memperkuat kecenderungan rasionalistik ini. Immanuel
Kant, misalnya, menghubungkan hukum dengan prinsip moral otonomi manusia. Dalam
Metaphysics
of Morals, ia menjelaskan bahwa hukum sejati adalah hukum yang
memungkinkan kebebasan seseorang bersesuaian dengan kebebasan semua orang
menurut hukum universal.⁽¹²⁾ Prinsip categorical imperative menjadi
dasar etis bagi hukum yang menjamin kebebasan dan martabat manusia sebagai
tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar sarana.⁽¹³⁾
Di sisi lain, muncul
pula tradisi utilitarianisme yang diwakili oleh Jeremy Bentham dan John Stuart
Mill. Mereka menilai hukum dari segi manfaatnya bagi kebahagiaan terbesar (the
greatest happiness of the greatest number).⁽¹⁴⁾ Walaupun pendekatan
ini menggeser fokus dari moralitas individual ke konsekuensi sosial, tetap
terdapat dimensi etika yang inheren dalam teori mereka, yakni keyakinan bahwa
hukum harus memajukan kesejahteraan manusia secara kolektif.
2.4.      
Etika Hukum dalam Era Positivisme dan
Modernitas Hukum
Memasuki abad ke-19
dan ke-20, positivisme hukum mengukuhkan pandangan bahwa hukum harus dipisahkan
dari moralitas. John Austin menegaskan bahwa hukum adalah perintah penguasa
yang sah dan didukung oleh sanksi.⁽¹⁵⁾ Hans Kelsen, dalam Pure
Theory of Law, mengembangkan konsepsi hukum yang murni normatif dan
bebas dari nilai etika.⁽¹⁶⁾ Walau demikian, pemisahan ini menimbulkan dilema
moral: jika hukum dilepaskan dari nilai, bagaimana menjelaskan legitimasi hukum
yang menindas?
Sebagai reaksi
terhadap positivisme, muncul kembali refleksi moral atas hukum melalui
pemikiran tokoh-tokoh seperti Lon L. Fuller, John Finnis, dan Jürgen Habermas.
Fuller menegaskan bahwa hukum memiliki moralitas internal yang melekat dalam
strukturnya, seperti prinsip konsistensi, kejelasan, dan keadilan
prosedural.⁽¹⁷⁾ Sementara Finnis menghidupkan kembali teori hukum alam dengan menekankan
tujuh nilai dasar manusia yang menjadi fondasi moral hukum.⁽¹⁸⁾ Habermas
kemudian mengembangkan pendekatan diskursif, di mana legitimasi hukum diperoleh
melalui komunikasi rasional dan etis antarwarga negara.⁽¹⁹⁾
2.5.      
Implikasi Genealogis bagi Pemahaman Etika Hukum
Dari seluruh
perjalanan historis tersebut, tampak bahwa etika hukum selalu berkembang dalam
ketegangan antara rasionalitas moral dan kekuasaan normatif. Genealogi ini
menunjukkan bahwa setiap zaman memiliki paradigma sendiri dalam menyeimbangkan
hukum dan etika: dari idealisme moral Yunani, teologi skolastik, rasionalisme
modern, hingga positivisme dan refleksi diskursif kontemporer. Kesemuanya
berkontribusi terhadap pemahaman bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai moral, karena tanpa fondasi etika, hukum akan kehilangan arah dan
legitimasi.
Dengan demikian,
landasan historis dan genealogis etika hukum tidak hanya menjelaskan evolusi
gagasan hukum, tetapi juga menegaskan dimensi moral yang menjadi inti dari
setiap sistem hukum yang berkeadilan. Pemahaman ini menjadi prasyarat bagi
pembentukan kerangka ontologis dan epistemologis etika hukum yang lebih kokoh
dan reflektif.
Footnotes
[1]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 338c–339e.
[2]               
Xenophon, Memorabilia, trans. Amy L. Bonnette (Ithaca: Cornell University
Press, 1994), 4.4.12–15.
[3]               
Plato, The Republic, 443c–444a.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1103b–1105a.
[5]               
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 1280a–1281b.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.91–94, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[7]               
Ibid., I-II, Q.93, a.2.
[8]               
Ibid., I-II, Q.96, a.4.
[9]               
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books,
2003), XIX.21.
[10]            
Hugo Grotius, On the Law of War and
Peace, trans. Francis W. Kelsey
(Oxford: Clarendon Press, 1925), Prolegomena, §11.
[11]            
Ibid.
[12]            
Immanuel Kant, The Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:230–232.
[13]            
Ibid., 6:225–226.
[14]            
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation
(Oxford: Clarendon Press, 1907), ch. I, §2–5.
[15]            
John Austin, The Province of
Jurisprudence Determined (London:
John Murray, 1832), 13–15.
[16]            
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of
California Press, 1967), 1–10.
[17]            
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–41.
[18]            
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Clarendon Press,
1980), 86–90.
[19]            
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–110.
3.          
Ontologi
Etika Hukum
Ontologi etika hukum
berupaya memahami hakikat terdalam dari hukum sebagai fenomena moral yang
berakar pada rasionalitas manusia dan struktur nilai yang objektif. Kajian ini
tidak hanya menanyakan apa itu hukum dalam dimensi yuridis
formal, tetapi juga apa yang membuat hukum itu bernilai dan
bermoral. Dengan demikian, ontologi etika hukum mengungkap dasar
keberadaan hukum sebagai entitas normatif yang tidak hanya mengatur tindakan
manusia, tetapi juga menuntun manusia kepada kebaikan dan keadilan.
3.1.      
Hakikat Hukum sebagai Entitas Moral dan
Rasional
Dalam pengertian
ontologis, hukum bukan sekadar sistem aturan yang dibuat oleh negara, melainkan
suatu ekspresi rasionalitas moral manusia dalam mengatur kehidupan bersama.
Thomas Aquinas menyebut hukum sebagai ordinatio rationis ad bonum commune—suatu
tatanan rasional yang diarahkan kepada kebaikan bersama.¹ Hukum yang sejati
harus berakar pada rasio moral yang mampu membedakan antara yang adil dan yang
tidak adil, antara yang benar dan yang salah. Aristoteles, jauh sebelumnya,
telah menyatakan bahwa hukum yang baik merupakan manifestasi dari akal budi
praktis (phronesis)
yang mengarahkan masyarakat pada kebajikan moral.²
Pandangan ini
menegaskan bahwa hukum memiliki dimensi rasional sekaligus etis. Ia tidak hanya
memerintah dan melarang, tetapi juga menilai dan mengorientasikan tindakan
manusia menuju keadilan.³ Maka, secara ontologis, hukum memiliki modus
essendi ganda: ia adalah norma positif yang mengatur tindakan, dan
sekaligus manifestasi nilai moral yang berakar dalam akal praktis manusia.
3.2.      
Hubungan antara Hukum, Moralitas, dan Keadilan
Keterkaitan antara
hukum dan moralitas telah lama menjadi inti dari refleksi ontologis tentang
hukum. Hukum yang adil secara moral diyakini memiliki keberadaan yang sejati,
sedangkan hukum yang tidak adil kehilangan legitimasi ontologisnya.⁴ Aquinas
dengan tegas menyatakan bahwa lex iniusta non est lex—hukum yang
tidak adil bukanlah hukum sejati.⁵ Pernyataan ini menegaskan bahwa keberadaan
hukum tidak ditentukan hanya oleh bentuk formalnya, tetapi oleh isi moralnya.
Dalam perspektif
modern, John Finnis melanjutkan tradisi ini dengan menegaskan bahwa hukum
memperoleh realitas ontologisnya dari nilai-nilai dasar manusia seperti
kehidupan, pengetahuan, keadilan, dan persahabatan sosial.⁶ Tanpa orientasi
kepada nilai-nilai tersebut, hukum hanyalah sistem aturan yang kehilangan makna
normatifnya. Keadilan, dalam kerangka ini, bukan sekadar hasil keputusan
penguasa atau kesepakatan sosial, tetapi merupakan sifat ontologis yang melekat
pada hukum itu sendiri sebagai refleksi rasio moral manusia.⁷
Sebaliknya,
positivisme hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen menolak keterikatan
ontologis antara hukum dan moralitas.⁸ Bagi Kelsen, hukum adalah sistem norma
yang valid secara formal, bukan karena isinya benar atau salah secara moral,
melainkan karena diturunkan dari norma dasar (Grundnorm).⁹ Namun, pendekatan ini
menuai kritik karena mengosongkan hukum dari dimensi moralitas yang menjadi
sumber makna dan keadilan.ⁱ⁰ Fuller menanggapi dengan menegaskan bahwa bahkan
struktur hukum yang paling formal pun memiliki “moralitas internal”
seperti kejelasan, konsistensi, dan keterbukaan yang menjadikan hukum dapat
berfungsi secara etis.¹¹
3.3.      
Dimensi Ontologis: Antara Realisme Moral dan
Positivisme Normatif
Ontologi etika hukum
berada pada ketegangan antara dua paradigma besar: realisme moral dan positivisme
normatif. Realisme moral, sebagaimana dikembangkan dalam tradisi
hukum alam, beranggapan bahwa nilai-nilai moral memiliki eksistensi objektif
yang dapat ditangkap oleh akal manusia.¹² Dengan demikian, hukum yang sejati
bersumber dari realitas moral yang transenden atau rasional. Aquinas dan
Grotius termasuk dalam paradigma ini, di mana hukum alam merupakan partisipasi
manusia dalam hukum kekal Tuhan atau rasionalitas universal.¹³
Sebaliknya,
positivisme normatif menolak realitas objektif dari nilai moral dan menegaskan
bahwa keberadaan hukum bergantung sepenuhnya pada kehendak otoritas yang sah.¹⁴
Dalam pandangan ini, hukum adalah produk manusia yang memperoleh validitasnya
bukan karena kebenaran moralnya, melainkan karena keabsahan formal dari proses
pembentukannya.¹⁵
Namun, pandangan
kontemporer seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas berusaha mendamaikan
dua kutub ini. Ia menekankan bahwa hukum memperoleh keberadaannya melalui
proses diskursif, di mana legitimasi hukum ditentukan oleh rasionalitas
komunikatif dan konsensus etis antarwarga.¹⁶ Dengan demikian, hukum memiliki
eksistensi ontologis yang bersifat intersubjektif—lahir dari dialog rasional
yang menuntut penghormatan terhadap martabat manusia.
3.4.      
Manusia sebagai Subjek Ontologis Etika Hukum
Manusia, dalam
konteks ontologi etika hukum, tidak sekadar menjadi objek hukum yang diatur,
tetapi juga subjek moral yang menciptakan dan menilai hukum. Eksistensi manusia
sebagai makhluk rasional dan etis menjadi dasar bagi keberadaan hukum itu
sendiri.¹⁷ Dalam pandangan Kant, manusia adalah makhluk otonom yang mampu
memberikan hukum bagi dirinya sendiri (autonomia legis).¹⁸ Hukum yang sejati
harus menghormati manusia bukan sebagai alat, tetapi sebagai tujuan pada
dirinya sendiri.¹⁹
Dimensi ini
menunjukkan bahwa hukum memperoleh makna ontologisnya hanya sejauh ia berakar
pada kebebasan dan martabat manusia. Di sini, hukum bukan sekadar sistem
koersif, melainkan ekspresi kebebasan moral yang teratur. Hukum yang menindas
kebebasan manusia berarti meniadakan fondasi ontologisnya sebagai ekspresi akal
budi praktis.²⁰
Dengan demikian,
manusia adalah pusat ontologi etika hukum: ia adalah sumber nilai, penafsir
norma, dan tujuan akhir dari keadilan. Relasi antara manusia dan hukum bukan
relasi subordinatif, melainkan relasi dialogis di mana keduanya saling
meneguhkan dalam horizon moral yang sama.
Kesimpulan Ontologis
Secara keseluruhan,
ontologi etika hukum menunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipahami tanpa dimensi
moralitas yang melekat padanya. Keberadaan hukum tidak hanya ditentukan oleh
validitas formal, tetapi juga oleh legitimasi etis yang bersumber dari
rasionalitas moral manusia. Hukum yang adil bukan hanya ada,
tetapi seharusnya
ada (ought to be), dan di sinilah letak
keontologian hukum yang sejati.
Etika hukum, dalam
kerangka ini, menjadi upaya filosofis untuk menjaga agar hukum tetap berada
dalam horizon kebaikan dan keadilan. Tanpa fondasi ontologis yang berakar pada
moralitas, hukum berisiko tereduksi menjadi alat kekuasaan semata. Maka,
ontologi etika hukum berfungsi sebagai penjamin bahwa hukum, dalam
eksistensinya yang sejati, selalu berpihak kepada martabat dan nilai kemanusiaan.
Footnots
[1]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1140a–1141b.
[3]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–35.
[4]               
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books,
2003), XIX.21.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.96, a.4.
[6]               
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Clarendon Press,
1980), 86–95.
[7]               
Ibid., 98–100.
[8]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of
California Press, 1967), 67–72.
[9]               
Ibid., 75.
[10]            
H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), 185–186.
[11]            
Lon L. Fuller, The Morality of Law, 39–42.
[12]            
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 1280b–1281a.
[13]            
Hugo Grotius, On the Law of War and
Peace, trans. Francis W. Kelsey
(Oxford: Clarendon Press, 1925), Prolegomena §11.
[14]            
John Austin, The Province of
Jurisprudence Determined (London:
John Murray, 1832), 13–17.
[15]            
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, 1–10.
[16]            
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–110.
[17]            
Jacques Maritain, The Rights of Man and
Natural Law (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1943), 4–6.
[18]            
Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.
[19]            
Ibid., 4:428–429.
[20]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970),
66–68.
4.          
Epistemologi
Etika Hukum
Epistemologi etika
hukum berfokus pada pertanyaan: bagaimana manusia mengetahui dan memahami
nilai-nilai moral yang melandasi hukum, serta bagaimana pengetahuan moral
tersebut dapat diterapkan dalam penalaran yuridis? Kajian ini
menelusuri hubungan antara pengetahuan rasional, pengalaman moral, dan
interpretasi hukum, serta berusaha menjelaskan dasar kognitif yang memungkinkan
hukum bersifat etis. Dengan demikian, epistemologi etika hukum menjadi jembatan
antara rasionalitas teoretis dan praksis keadilan.
4.1.      
Sumber Pengetahuan Etis dalam Penalaran Hukum
Dalam tradisi
filsafat klasik, sumber pengetahuan moral dianggap berasal dari akal budi
manusia yang mampu mengenali kebaikan dan keadilan sebagai realitas universal.
Aristoteles menekankan peran nous praktikos atau akal praktis
sebagai dasar bagi penilaian moral yang bijaksana (phronesis).¹ Hukum, bagi
Aristoteles, adalah hasil refleksi rasional terhadap pengalaman etis manusia
dalam masyarakat.²
Thomas Aquinas
kemudian mengembangkan konsep synderesis, yakni kemampuan
rasional manusia untuk mengenali prinsip dasar moral seperti “berbuat baik
dan menghindari kejahatan.”³ Menurut Aquinas, synderesis adalah sumber epistemik
pertama bagi hukum alam (lex naturalis), karena dari sanalah
manusia memperoleh kesadaran moral yang membimbingnya dalam membentuk hukum
positif.⁴ Dengan demikian, epistemologi etika hukum tidak sekadar bersandar
pada pengalaman empiris, tetapi juga pada prinsip rasional yang bersifat
apriori dan universal.
Sementara itu,
tradisi modern menekankan rasionalitas otonom sebagai sumber legitimasi moral
hukum. Immanuel Kant menegaskan bahwa pengetahuan moral tidak diperoleh dari
pengalaman, melainkan dari hukum rasional yang bersifat a priori.⁵
Prinsip categorical
imperative menjadi dasar epistemik bagi hukum moral: tindakan yang
benar adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal bagi semua makhluk
rasional.⁶ Dalam konteks ini, hukum yang adil adalah hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan akal praktis universal.
4.2.      
Rasionalitas Praktis dan Pengetahuan Moral
dalam Penegakan Hukum
Rasionalitas praktis
memainkan peran utama dalam epistemologi etika hukum. Ia memungkinkan penegak
hukum menafsirkan norma hukum tidak hanya secara tekstual, tetapi juga secara
moral. Lon L. Fuller menegaskan bahwa hukum memiliki internal
morality—yakni seperangkat prinsip epistemik yang menjamin agar
hukum dapat diketahui, dimengerti, dan ditaati oleh warga.⁷ Prinsip-prinsip
seperti kejelasan, konsistensi, dan stabilitas bukan hanya bersifat teknis,
melainkan juga memiliki nilai moral epistemik karena menjamin keterbukaan dan
rasionalitas hukum.⁸
John Rawls
menambahkan bahwa proses berpikir etis dalam hukum merupakan bentuk reflective
equilibrium—yakni keseimbangan antara prinsip moral umum dan
penilaian khusus dalam konteks sosial tertentu.⁹ Melalui refleksi ini, manusia
mampu menyesuaikan antara nilai keadilan yang universal dengan kasus konkret
yang unik. Maka, pengetahuan moral dalam hukum tidak bersifat statis, tetapi
dinamis dan berkembang melalui proses dialogis antara norma, akal budi, dan
pengalaman.¹⁰
Dalam praktik
peradilan, rasionalitas praktis juga menjadi dasar dalam interpretasi hukum (legal
reasoning). Ronald Dworkin, misalnya, menolak pandangan
positivistik bahwa hukum hanyalah kumpulan aturan; ia menegaskan bahwa hakim
harus menggunakan prinsip moral (principles of justice, fairness, and due
process) dalam menafsirkan hukum positif.¹¹ Dengan demikian,
pengetahuan hukum selalu mengandung unsur moralitas yang tak terpisahkan dari
rasionalitas etis.
4.3.      
Peran Hati Nurani (Conscience) dalam
Epistemologi Hukum
Selain rasionalitas
formal, epistemologi etika hukum juga melibatkan dimensi batiniah pengetahuan
moral, yakni hati nurani (conscience). Dalam tradisi
skolastik, hati nurani dianggap sebagai suara batin manusia yang menilai baik
dan buruk berdasarkan hukum moral alami.¹² Hati nurani bukan sekadar perasaan,
tetapi bentuk kesadaran moral yang bersumber dari akal praktis dan kesadaran
akan kebenaran objektif.¹³
Dalam konteks hukum
modern, hati nurani berperan penting dalam dilema etis, misalnya dalam kasus di
mana hukum positif bertentangan dengan nilai moral universal. Contohnya,
perdebatan tentang “ketidaktaatan sipil” (civil disobedience) yang
dikemukakan oleh Henry David Thoreau dan Martin Luther King Jr. menyoroti
dimensi epistemik hati nurani sebagai sumber pengetahuan moral yang lebih
tinggi daripada sekadar kepatuhan legal.¹⁴ King menulis bahwa seseorang
memiliki kewajiban moral untuk menentang hukum yang tidak adil, karena
kebenaran moral dapat diketahui melalui hati nurani yang tercerahkan.¹⁵
Dengan demikian,
hati nurani dalam epistemologi etika hukum merupakan “organ moral” yang
menyeimbangkan antara rasionalitas objektif dan kepekaan etis subjektif. Ia
menjadi penghubung antara hukum eksternal (positif) dan kesadaran batin manusia
yang mencari kebenaran moral.
4.4.      
Relativisme dan Universalisme dalam Pengetahuan
Etika Hukum
Persoalan
epistemologis penting dalam etika hukum adalah pertentangan antara relativisme
dan universalisme. Relativisme moral berpendapat bahwa pengetahuan etis
bersifat kontekstual, bergantung pada budaya, tradisi, dan struktur sosial
tertentu.¹⁶ Dalam paradigma ini, hukum dianggap mencerminkan nilai-nilai
masyarakat, bukan kebenaran moral universal. Hal ini tampak dalam aliran
realisme hukum dan teori sosiologis, yang melihat hukum sebagai produk relasi
kekuasaan dan kebiasaan sosial, bukan refleksi nilai moral objektif.¹⁷
Sebaliknya,
universalisme moral menegaskan bahwa prinsip-prinsip moral tertentu memiliki
validitas universal—seperti keadilan, kebenaran, dan martabat manusia. John
Finnis, mengikuti tradisi hukum alam, menyatakan bahwa nilai-nilai dasar
manusia bersifat universal dan dapat diketahui melalui akal praktis.¹⁸ Bahkan
dalam pluralitas budaya, nilai-nilai ini tetap menjadi dasar moral bagi semua
sistem hukum. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Habermas yang menekankan rational
discourse sebagai sarana memperoleh kebenaran etis yang dapat
diterima secara intersubjektif.¹⁹
Dengan demikian,
epistemologi etika hukum berupaya menyeimbangkan antara konteks historis dan
prinsip universal. Pengetahuan etis hukum yang sahih harus terbuka terhadap
pluralitas tanpa kehilangan orientasi moral yang rasional dan komunikatif.
4.5.      
Pengetahuan Etika Hukum dalam Era Kontemporer
Dalam konteks dunia
modern yang kompleks, epistemologi etika hukum menghadapi tantangan baru.
Teknologi digital, kecerdasan buatan, dan hukum siber menimbulkan pertanyaan
epistemik baru: bagaimana manusia mengenali kebenaran moral dalam konteks
algoritma dan sistem otomatis yang menggantikan keputusan manusia?²⁰ Dalam
situasi ini, epistemologi etika hukum dituntut untuk memperluas horizon
rasionalitasnya dari rasionalitas individual menuju rationality of systems yang tetap
mempertahankan nilai-nilai moral.²¹
Selain itu,
pendekatan postmodern menyoroti pluralitas pengetahuan dan menolak klaim
tunggal atas kebenaran moral.²² Namun, penolakan ini tidak berarti nihilisme
moral, melainkan ajakan untuk mengembangkan epistemologi hukum yang dialogis,
partisipatif, dan reflektif terhadap keragaman pandangan etis di masyarakat
global.²³ Dalam kerangka ini, etika hukum menjadi ruang epistemik di mana
rasionalitas, hati nurani, dan komunikasi moral saling bertemu untuk membentuk
hukum yang adil, inklusif, dan manusiawi.
Kesimpulan Epistemologis
Epistemologi etika
hukum menegaskan bahwa pengetahuan moral yang melandasi hukum tidak bersifat
semata empiris atau formal, tetapi merupakan hasil sintesis antara
rasionalitas, kesadaran batin, dan pengalaman sosial. Melalui akal praktis,
manusia mengenali kebaikan; melalui hati nurani, ia menilai; dan melalui dialog
sosial, ia memverifikasi kebenaran moral hukum. Dengan demikian, pengetahuan
etika hukum adalah pengetahuan yang hidup (living knowledge): selalu terbuka
terhadap koreksi, refleksi, dan perkembangan historis.
Hukum, pada
akhirnya, tidak hanya diketahui melalui teks atau prosedur, tetapi melalui
kebijaksanaan moral yang menuntun manusia untuk bertindak adil di dunia yang
terus berubah.
Footnots
[1]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1140a–1141b.
[2]               
Ibid., 1139a–1140b.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.79, a.12, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[4]               
Ibid., I-II, Q.94, a.2.
[5]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics
of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–422.
[6]               
Ibid., 4:429–430.
[7]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–35.
[8]               
Ibid., 46–48.
[9]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 48–51.
[10]            
Ibid., 53–55.
[11]            
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 22–28.
[12]            
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.79, a.13.
[13]            
Josef Pieper, The Concept of Sin (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 15–17.
[14]            
Henry David Thoreau, Civil
Disobedience (Boston: Ticknor and
Fields, 1849), 4–6.
[15]            
Martin Luther King Jr., Letter
from Birmingham Jail (Birmingham:
April 16, 1963), 6–8.
[16]            
Clifford Geertz, Local Knowledge:
Further Essays in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 167–170.
[17]            
Karl Llewellyn, The Bramble Bush: On
Our Law and Its Study (New York:
Oceana Publications, 1930), 19–21.
[18]            
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Clarendon Press,
1980), 85–90.
[19]            
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–112.
[20]            
Mireille Hildebrandt, Smart
Technologies and the End(s) of Law
(Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 21–23.
[21]            
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 64–67.
[22]            
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), 37–40.
[23]            
Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 59–62.
5.          
Aksiologi
Etika Hukum: Nilai, Keadilan, dan Kebaikan
Aksiologi etika
hukum menelaah dimensi nilai (values) yang memberi makna normatif
pada hukum, serta bagaimana nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi penilaian
moral terhadap sistem dan praktik hukum. Secara filosofis, aksiologi bertanya: apa yang
membuat hukum itu bernilai baik dan adil? Pertanyaan ini
menempatkan hukum bukan hanya sebagai instrumen pengendalian sosial, tetapi
juga sebagai ekspresi rasional dari kebaikan moral dan keadilan substantif.
Etika hukum, dalam perspektif aksiologis, berusaha menautkan hukum dengan
tujuan moral yang lebih tinggi—yakni kebaikan bersama (bonum
commune) dan penghormatan terhadap martabat manusia.
5.1.      
Nilai Moral sebagai Fondasi Hukum
Nilai adalah inti
dari struktur etika hukum. Hukum yang adil harus didasarkan pada nilai-nilai
moral yang bersifat universal seperti kejujuran, keadilan, kebenaran, dan
kemanusiaan.¹ Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum yang baik adalah “perintah
akal budi untuk kebaikan bersama,”² yang berarti bahwa nilai kebaikan
menjadi inti dari seluruh tatanan hukum. Tanpa fondasi nilai, hukum kehilangan
orientasi moralnya dan berubah menjadi mekanisme kekuasaan tanpa legitimasi.
Dalam kerangka
modern, John Finnis mengembangkan teori basic human goods yang menyatakan
bahwa hukum memperoleh validitas moralnya dari nilai-nilai dasar
manusia—kehidupan, pengetahuan, keadilan, permainan, persahabatan, dan
keindahan.³ Semua nilai ini bersifat intrinsik dan menjadi landasan etika bagi
hukum alam modern. Hukum yang sahih, menurut Finnis, adalah hukum yang melindungi
dan memajukan nilai-nilai dasar tersebut.⁴
Sebaliknya,
positivisme hukum cenderung memisahkan hukum dari nilai moral. Hans Kelsen
menegaskan bahwa hukum adalah sistem norma yang sah secara formal, bukan karena
kebaikannya, melainkan karena validitas hierarkisnya terhadap Grundnorm.⁵
Pandangan ini, meskipun menegaskan netralitas hukum, berisiko mengabaikan
dimensi aksiologis yang menjadi sumber keadilan. Oleh karena itu, teori etika
hukum menolak reduksi hukum menjadi sekadar “aturan tanpa nilai,” dan menegaskan
kembali bahwa nilai moral adalah substansi ontologis dari hukum yang sejati.⁶
5.2.      
Keadilan sebagai Nilai Tertinggi Hukum
Keadilan (justitia)
merupakan nilai sentral dalam aksiologi hukum. Sejak Aristoteles, keadilan
telah dipahami sebagai kebajikan tertinggi dalam kehidupan sosial, yakni “memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.”⁷ Aristoteles membedakan dua
bentuk keadilan: keadilan distributif dan keadilan korektif.⁸ Keadilan
distributif berhubungan dengan pembagian sumber daya berdasarkan
proporsionalitas moral, sedangkan keadilan korektif berkaitan dengan pemulihan
keseimbangan akibat pelanggaran hak. Kedua bentuk ini menjadi dasar normatif
bagi struktur hukum modern.
Dalam filsafat
modern, Immanuel Kant menegaskan bahwa keadilan berakar pada kebebasan moral.⁹
Hukum yang adil adalah hukum yang menjamin kebebasan setiap individu tanpa
merusak kebebasan orang lain.¹⁰ Prinsip universal law Kant menunjukkan
bahwa keadilan tidak bergantung pada konsekuensi, tetapi pada kesesuaian
tindakan dengan prinsip moral yang rasional dan universal. Dengan demikian,
hukum memperoleh nilai moralnya sejauh ia menghormati otonomi manusia sebagai
makhluk bermartabat.
John Rawls kemudian
merumuskan teori keadilan yang berpengaruh dalam konteks modern. Dalam A Theory
of Justice, ia memperkenalkan dua prinsip utama: (1) setiap
individu memiliki hak atas kebebasan yang sama, dan (2) ketidaksetaraan
sosial-ekonomi hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan mereka yang paling
lemah (difference
principle).¹¹ Teori ini menegaskan keadilan sebagai “fairness,”
yaitu kondisi etis yang mengatur struktur sosial secara rasional dan setara.
Dalam konteks etika hukum, Rawls menunjukkan bahwa hukum yang baik tidak hanya
menegakkan ketertiban, tetapi juga mengoreksi ketimpangan sosial dengan
semangat keadilan moral.¹²
5.3.      
Kebaikan Bersama (Bonum Commune) dan
Martabat Manusia
Konsep bonum
commune atau kebaikan bersama merupakan pusat aksiologi dalam etika
hukum klasik dan skolastik. Thomas Aquinas menegaskan bahwa tujuan akhir hukum
adalah bonum
commune, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.¹³
Kebaikan bersama tidak identik dengan jumlah kebahagiaan terbesar (sebagaimana
dikatakan utilitarianisme), tetapi merupakan tatanan moral yang menjamin
kondisi bagi setiap individu untuk mengaktualkan dirinya secara bermartabat.¹⁴
Martabat manusia (dignitas
humana) menjadi aspek integral dari kebaikan bersama. Dalam
pandangan Jacques Maritain, hukum harus berakar pada pengakuan atas martabat
manusia sebagai makhluk rasional dan bebas.¹⁵ Pelanggaran terhadap martabat
manusia berarti pelanggaran terhadap dasar moral hukum itu sendiri. Oleh karena
itu, etika hukum menuntut agar setiap norma hukum dipertimbangkan dalam cahaya
martabat manusia yang tidak dapat ditawar.
Pandangan ini
berakar kuat dalam tradisi hukum internasional modern, seperti Universal
Declaration of Human Rights (1948), yang menyatakan bahwa pengakuan
terhadap martabat dan hak-hak asasi semua anggota keluarga manusia adalah dasar
bagi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.¹⁶ Di sini, nilai moral hukum
bersifat universal dan menegaskan bahwa setiap sistem hukum nasional harus
tunduk pada prinsip etis yang melindungi kemanusiaan.
5.4.      
Relasi antara Nilai, Norma, dan Kebajikan
Nilai moral dalam
hukum tidak bekerja secara abstrak; ia mewujud dalam norma-norma dan kebajikan
praktis. Etika hukum menempatkan kebajikan (virtue) sebagai perantara antara
nilai dan tindakan.¹⁷ Dalam kerangka Aristoteles, kebajikan adalah kebiasaan
baik yang memungkinkan manusia bertindak sesuai dengan rasio moral.¹⁸ Maka,
hakim yang baik bukan hanya yang menerapkan hukum secara teknis, tetapi yang
memiliki kebajikan moral seperti kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan.
Lon Fuller
memperkuat gagasan ini dengan konsep internal morality of law—yakni
nilai-nilai seperti kejelasan, konsistensi, dan keterbukaan yang tidak hanya
bersifat teknis, tetapi merupakan ekspresi dari kebajikan hukum yang baik.¹⁹
Artinya, kebajikan bukan sekadar kualitas personal, tetapi struktur etis yang
menghidupi sistem hukum itu sendiri.
Dengan demikian,
nilai, norma, dan kebajikan membentuk segitiga aksiologis hukum: nilai
memberikan arah, norma memberi bentuk, dan kebajikan memberi roh moral bagi
penegakannya.²⁰ Tanpa kebajikan moral para pelaku hukum, nilai-nilai keadilan
hanya akan menjadi ideal tanpa realisasi praktis.
5.5.      
Aksiologi Hukum dalam Konteks Sosial dan Global
Aksiologi etika
hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan global. Dalam
dunia yang ditandai oleh pluralitas nilai, konflik kepentingan, dan ketimpangan
kekuasaan, nilai keadilan dan kebaikan bersama harus diterjemahkan secara
kontekstual tanpa kehilangan prinsip universalnya.²¹
Jürgen Habermas
menawarkan paradigma discourse ethics di mana legitimasi
hukum diperoleh melalui proses komunikasi rasional yang melibatkan semua pihak
yang terkena dampak.²² Dalam kerangka ini, nilai hukum tidak bersifat dogmatis,
tetapi dialogis; ia dibangun melalui kesepakatan moral yang rasional di antara
warga negara yang setara.²³
Dalam konteks
globalisasi dan kapitalisme hukum, etika hukum juga ditantang oleh logika pasar
dan politik kekuasaan yang sering mengabaikan nilai moral.²⁴ Oleh karena itu,
aksiologi etika hukum harus bersifat kritis: menilai sistem hukum bukan hanya
berdasarkan efektivitasnya, tetapi juga sejauh mana ia menegakkan nilai
keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan universal.²⁵
Kesimpulan Aksiologis
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa nilai, keadilan, dan kebaikan merupakan inti aksiologi
etika hukum. Nilai memberi legitimasi moral, keadilan memberi arah normatif,
dan kebaikan bersama memberi tujuan akhir bagi hukum. Aksiologi hukum
menegaskan bahwa hukum yang benar adalah hukum yang berakar pada nilai moral
universal, diterapkan dengan prinsip keadilan yang rasional, dan diarahkan pada
kebaikan manusia secara kolektif.
Etika hukum, dengan
demikian, menjadi fondasi moral bagi setiap sistem hukum yang ingin
mempertahankan legitimasinya. Tanpa nilai, hukum menjadi kering; tanpa
keadilan, hukum menjadi tirani; dan tanpa kebaikan, hukum kehilangan makna
kemanusiaannya.
Footnots
[1]               
Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 186–189.
[2]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[3]               
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Clarendon Press,
1980), 86–95.
[4]               
Ibid., 98–100.
[5]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of
California Press, 1967), 67–72.
[6]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 162–164.
[7]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1129a–1131a.
[8]               
Ibid., 1131b–1132b.
[9]               
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 6:230–232.
[10]            
Ibid., 6:238.
[11]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–65.
[12]            
Ibid., 75–77.
[13]            
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.2.
[14]            
Josef Pieper, The Four Cardinal
Virtues (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1966), 33–35.
[15]            
Jacques Maritain, The Rights of Man and
Natural Law (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1943), 5–8.
[16]            
United Nations, Universal Declaration
of Human Rights (Paris: UN General
Assembly, 1948), Preamble.
[17]            
MacIntyre, After Virtue, 191–192.
[18]            
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b–1107a.
[19]            
Fuller, The Morality of Law, 33–35.
[20]            
Martha Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 72–75.
[21]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Belknap Press, 2009), 7–10.
[22]            
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–112.
[23]            
Seyla Benhabib, Situating the Self:
Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 36–38.
[24]            
David Harvey, A Brief History of
Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 81–83.
[25]            
Nancy Fraser, Scales of Justice:
Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2009), 17–20.
6.          
Dimensi
Sosial dan Politik Etika Hukum
Dimensi sosial dan
politik etika hukum menelaah bagaimana nilai-nilai moral yang terkandung dalam
hukum berinteraksi dengan struktur kekuasaan, lembaga sosial, dan kehidupan
publik. Etika hukum tidak hanya berbicara tentang norma moral individual,
tetapi juga tentang tanggung jawab kolektif dan legitimasi sosial dari hukum
itu sendiri. Dalam konteks ini, hukum tidak dapat dipahami semata sebagai
sistem normatif yang netral, melainkan sebagai institusi sosial yang
dipengaruhi oleh relasi kuasa, ekonomi, budaya, dan politik. Etika hukum
bertugas menilai sejauh mana sistem hukum mengabdi pada keadilan sosial dan kemanusiaan,
bukan hanya pada kepentingan kekuasaan.
6.1.      
Hukum sebagai Institusi Sosial yang Bermoral
Secara sosiologis,
hukum merupakan sarana yang menata kehidupan bersama dan mewujudkan nilai-nilai
moral ke dalam praktik sosial. Émile Durkheim memandang hukum sebagai refleksi
dari solidaritas sosial; perubahan bentuk hukum mencerminkan perubahan struktur
moral masyarakat.¹ Dalam masyarakat modern yang kompleks, hukum tidak hanya
menegakkan ketertiban, tetapi juga mengatur distribusi hak dan kewajiban
berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.²
Max Weber, dalam
analisisnya tentang rasionalisasi hukum, menekankan bahwa hukum modern
cenderung formal dan rasional, tetapi berisiko kehilangan dimensi etisnya.³
Etika hukum, dalam konteks ini, berfungsi mengembalikan “roh moral” ke
dalam sistem hukum yang cenderung birokratis dan instrumental.⁴ Dengan kata
lain, hukum yang benar tidak sekadar efisien secara prosedural, tetapi juga
bermakna secara moral dan sosial.
John Finnis menegaskan
bahwa hukum memiliki fungsi sosial untuk memajukan common good melalui
tindakan-tindakan yang berakar pada keadilan dan kerja sama sosial.⁵ Maka,
dalam kerangka etika hukum, keberlakuan sosial hukum bergantung pada sejauh
mana ia mampu menumbuhkan solidaritas, kesejahteraan bersama, dan kepercayaan
publik terhadap keadilan.
6.2.      
Etika Hukum dan Konsep Negara Hukum (Rule of
Law)
Etika hukum
memainkan peran penting dalam mengukuhkan rule of law sebagai prinsip moral
dan politik. Rule of law bukan hanya sekadar
prinsip legal-formal, melainkan ekspresi etika keadilan di mana kekuasaan
tunduk pada hukum dan hukum tunduk pada nilai moral.⁶ Lon L. Fuller menegaskan
bahwa rule of
law memiliki “moralitas internal” yang menjamin agar hukum
dapat berfungsi secara etis: hukum harus konsisten, transparan, dan dapat
dipahami oleh semua warga negara.⁷
Dalam konteks
politik, rule of
law mengandaikan kesetaraan moral antara penguasa dan rakyat. Hukum
tidak boleh menjadi instrumen kekuasaan untuk menindas, melainkan sarana etis
untuk melindungi kebebasan individu dan martabat manusia.⁸ Ketika hukum
kehilangan nilai moralnya dan berubah menjadi alat kepentingan, ia berubah
menjadi rule by
law—yakni penindasan yang dilegalkan melalui aturan.⁹ Oleh karena
itu, dalam negara hukum yang demokratis, prinsip etika hukum harus menjadi
penyeimbang antara legalitas dan legitimasi moral.
Jürgen Habermas
menambahkan bahwa legitimasi hukum hanya dapat diperoleh melalui proses
demokratis yang rasional dan komunikatif.¹⁰ Dengan demikian, rule of
law dalam arti etis bukan hanya struktur institusional, tetapi juga
hasil dari diskursus moral publik yang terbuka dan inklusif.
6.3.      
Kekuasaan, Ideologi, dan Tanggung Jawab Moral
Hukum
Hubungan antara
hukum dan kekuasaan merupakan salah satu fokus utama dalam dimensi politik
etika hukum. Michel Foucault mengungkap bahwa hukum sering menjadi bagian dari
mekanisme disciplinary
power yang menormalisasi perilaku dan membentuk subjek sosial
melalui pengawasan dan wacana.¹¹ Dalam kerangka ini, etika hukum harus
berfungsi kritis—menguji sejauh mana hukum menjadi alat emansipasi atau justru
instrumen dominasi.¹²
Etika hukum yang
kritis tidak berhenti pada kepatuhan terhadap hukum positif, tetapi juga
mempertanyakan legitimasi moral dari struktur hukum yang ada.¹³ Dalam konteks
ini, Hannah Arendt memperingatkan bahwa ketaatan buta terhadap hukum tanpa
refleksi etis dapat melahirkan “banalitas kejahatan,” di mana tindakan
tidak manusiawi dilakukan atas nama legalitas.¹⁴ Maka, tanggung jawab moral
dalam hukum menuntut kesadaran reflektif terhadap nilai kemanusiaan di balik
setiap norma hukum.
Kekuasaan politik
memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kebijakan hukum tidak
hanya sah secara prosedural, tetapi juga adil secara substansial. Etika hukum
menjadi mekanisme normatif untuk mengontrol kekuasaan agar tetap berpihak pada
keadilan dan kesejahteraan bersama.
6.4.      
Etika Profesi Hukum dan Moralitas Publik
Dalam dimensi
sosial, etika hukum juga berkaitan erat dengan etika profesi hukum—yakni
tanggung jawab moral yang diemban oleh hakim, advokat, jaksa, dan aparat
penegak hukum. Profesi hukum bukan sekadar pelaksana aturan, melainkan
pelindung nilai-nilai keadilan.¹⁵ Oleh karena itu, integritas moral merupakan
syarat fundamental bagi legitimasi sosial profesi hukum.
Etika profesi
menuntut agar setiap penegak hukum tidak hanya patuh pada kode etik formal,
tetapi juga memiliki kebajikan moral seperti kejujuran, keberanian, dan empati
terhadap penderitaan manusia.¹⁶ Fuller menegaskan bahwa tanpa komitmen moral
dari para pelaku hukum, sistem hukum akan kehilangan kapasitasnya untuk
menegakkan keadilan sejati.¹⁷
Selain itu, etika
profesi hukum berfungsi menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga hukum.¹⁸
Kepercayaan sosial (social trust) merupakan aspek
aksiologis dari legitimasi hukum; tanpa kepercayaan, hukum kehilangan otoritas
moralnya.¹⁹ Dalam hal ini, etika hukum memiliki dimensi sosial yang
mendalam—menjadi fondasi moral bagi hubungan antara hukum dan masyarakat.
6.5.      
Etika Hukum, Demokrasi, dan Keadilan Sosial
Etika hukum memiliki
implikasi langsung terhadap pembangunan demokrasi dan keadilan sosial.
Demokrasi yang sejati bukan hanya ditandai oleh prosedur pemilihan umum, tetapi
juga oleh adanya sistem hukum yang menjamin partisipasi setara dan keadilan
distributif.²⁰ John Rawls menegaskan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
lembaga-lembaga sosial.²¹ Oleh karena itu, hukum harus menjadi instrumen moral
yang menegakkan kesetaraan dan melindungi mereka yang paling rentan.
Dalam konteks
global, Amartya Sen mengembangkan konsep “keadilan sebagai kebebasan” (justice
as freedom), di mana hukum yang baik adalah hukum yang memperluas
kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat.²² Maka, etika hukum menuntut agar
sistem hukum berperan aktif dalam menghapus kemiskinan, diskriminasi, dan
kekerasan struktural.²³
Demokrasi
deliberatif sebagaimana dirumuskan oleh Habermas menempatkan hukum sebagai
hasil dari komunikasi etis antara warga negara yang bebas dan setara.²⁴ Dalam
kerangka ini, legitimasi hukum tidak ditentukan oleh kekuasaan mayoritas,
melainkan oleh rasionalitas moral yang dihasilkan dari dialog publik yang
inklusif.²⁵ Dengan demikian, dimensi sosial dan politik etika hukum menegaskan
bahwa hukum yang adil harus lahir dari partisipasi moral seluruh masyarakat.
Kesimpulan Dimensi Sosial dan Politik
Dimensi sosial dan
politik etika hukum menegaskan bahwa hukum tidak pernah berdiri di ruang hampa
nilai. Ia hidup di dalam jaringan sosial dan politik yang kompleks, dan
karenanya harus selalu diarahkan pada keadilan sosial, partisipasi demokratis,
dan penghormatan terhadap martabat manusia. Etika hukum berfungsi sebagai
kompas moral yang menuntun lembaga hukum agar tidak menyimpang dari tujuan
kemanusiaan dan kebaikan bersama.
Hukum yang adil,
dengan demikian, bukan hanya hukum yang ditaati, tetapi hukum yang
dipercaya—karena ia lahir dari dialog antara moralitas, rasionalitas, dan
solidaritas sosial.
Footnots
[1]               
Émile Durkheim, The Division of Labour
in Society, trans. W. D. Halls (New
York: Free Press, 1984), 23–25.
[2]               
Ibid., 31–33.
[3]               
Max Weber, Economy and Society: An
Outline of Interpretive Sociology,
trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California
Press, 1978), 882–883.
[4]               
Ibid., 887.
[5]               
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Clarendon Press,
1980), 106–108.
[6]               
Joseph Raz, The Authority of Law:
Essays on Law and Morality (Oxford:
Clarendon Press, 1979), 212–214.
[7]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–38.
[8]               
Ibid., 41.
[9]               
Friedrich A. Hayek, The
Constitution of Liberty (Chicago:
University of Chicago Press, 1960), 206–208.
[10]            
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–111.
[11]            
Michel Foucault, Discipline and Punish:
The Birth of the Prison, trans. Alan
Sheridan (New York: Vintage Books, 1977), 27–29.
[12]            
Ibid., 195–198.
[13]            
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 172–175.
[14]            
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem:
A Report on the Banality of Evil
(New York: Viking Press, 1963), 276–278.
[15]            
David Luban, Legal Ethics and Human
Dignity (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), 15–18.
[16]            
Rosalind Hursthouse, On
Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 126–128.
[17]            
Fuller, The Morality of Law, 162–165.
[18]            
Lawrence Friedman, The Legal System: A
Social Science Perspective (New
York: Russell Sage Foundation, 1975), 122–124.
[19]            
Robert Putnam, Bowling Alone: The
Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 135–138.
[20]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–40.
[21]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–4.
[22]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Belknap Press, 2009), 17–19.
[23]            
Martha Nussbaum, Creating Capabilities:
The Human Development Approach
(Cambridge: Belknap Press, 2011), 18–22.
[24]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, 299–302.
[25]            
Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 61–64.
7.          
Kritik
terhadap Etika Hukum
Kritik terhadap
etika hukum mencerminkan dinamika pemikiran hukum yang terus berkembang di
antara berbagai paradigma filsafat dan teori sosial. Meskipun etika hukum
berupaya mengintegrasikan moralitas dengan hukum, sejumlah aliran filsafat
memandang pendekatan ini problematik karena dianggap mengaburkan batas antara
fakta dan nilai, antara norma legal dan norma moral. Kritik ini datang dari
beberapa arah utama: positivisme hukum, relativisme budaya, sosiologi hukum
realis, serta postmodernisme dan teori kritis kontemporer. Masing-masing
menawarkan tantangan epistemologis dan normatif terhadap klaim universalitas
dan objektivitas etika hukum.
7.1.      
Kritik Positivisme Hukum terhadap Moralitas
Hukum
Positivisme hukum
klasik, yang dipelopori oleh John Austin dan kemudian dikembangkan oleh Hans
Kelsen serta H. L. A. Hart, menolak gagasan bahwa hukum harus diukur
berdasarkan moralitas.¹ Austin mendefinisikan hukum sebagai “perintah
penguasa yang didukung oleh sanksi,”² sehingga validitas hukum bergantung
pada otoritas formal, bukan isi moralnya. Dalam pandangan ini, keadilan atau
ketidakadilan adalah pertimbangan eksternal terhadap hukum, bukan bagian dari
hakikatnya.
Kelsen melanjutkan
argumen ini dengan teori hukum murni (Reine Rechtslehre), yang berupaya
memisahkan hukum dari semua elemen non-legal seperti etika, politik, dan
agama.³ Menurut Kelsen, hukum adalah sistem norma yang valid sejauh ia
bersumber dari norma dasar (Grundnorm) yang diakui secara
formal.⁴ Dengan demikian, nilai moral bukan syarat bagi keberlakuan hukum.
Positivisme mengklaim netralitas ilmiah dalam studi hukum dengan menolak klaim
moral universal yang dianggap subjektif dan metafisik.
Namun, pendekatan ini
menuai kritik balik dari Lon L. Fuller dan John Finnis yang menilai positivisme
telah mengosongkan hukum dari makna moralnya. Fuller menyebut bahwa hukum tanpa
moralitas internal hanyalah “kekuasaan yang teratur secara teknis,”
bukan hukum sejati.⁵ Kritik ini menandai ketegangan epistemologis antara
deskripsi hukum sebagai sistem tertutup dan pemahaman hukum sebagai tatanan
normatif yang bermakna secara moral.
7.2.      
Kritik Relativisme Budaya dan Sosiologis
Aliran sosiologis
dan antropologis menolak universalitas moral yang sering diklaim oleh etika
hukum. Clifford Geertz, melalui pendekatan antropologi hukum, berpendapat bahwa
setiap sistem hukum lahir dari konteks budaya tertentu dengan nilai dan logika
moralnya sendiri.⁶ Tidak ada standar moral tunggal yang dapat diterapkan lintas
budaya tanpa mengabaikan keragaman tradisi etis. Dalam kerangka ini, etika
hukum universal dianggap berpotensi hegemonik karena menafsirkan moralitas
berdasarkan paradigma Barat rasionalistik.⁷
Demikian pula,
realisme hukum Amerika (American Legal Realism), yang dipelopori oleh Oliver
Wendell Holmes Jr. dan Karl Llewellyn, mengkritik pandangan idealis tentang
hukum sebagai sistem rasional yang selaras dengan moralitas universal.⁸ Bagi
para realis, hukum adalah hasil interaksi sosial dan keputusan manusia yang
sarat dengan kepentingan politik, ekonomi, dan budaya.⁹ Holmes bahkan
menegaskan bahwa “kehidupan hukum bukanlah logika, tetapi pengalaman.”¹⁰
Kritik ini menyoroti
bahwa klaim moral dalam hukum sering kali menyembunyikan struktur kekuasaan dan
bias ideologis. Dengan kata lain, etika hukum tidak bebas dari politik moral,
melainkan turut menciptakan hierarki nilai yang dapat bersifat eksklusif atau
diskriminatif.
7.3.      
Kritik Postmodern dan Dekonstruktif terhadap Etika
Hukum
Filsafat postmodern
memberikan kritik yang lebih radikal terhadap etika hukum dengan menolak klaim
universalitas, rasionalitas, dan stabilitas makna moral. Jacques Derrida,
melalui konsep deconstruction, menunjukkan bahwa
setiap sistem hukum mengandung ambiguitas internal yang tidak dapat sepenuhnya
ditangkap oleh rasio moral.¹¹ Ia menulis bahwa “keadilan adalah hal yang
selalu tertunda,”¹² menandakan bahwa setiap penerapan hukum mengandung
unsur ketidakpastian dan keterbatasan interpretasi.
Michel Foucault, di
sisi lain, membongkar relasi antara hukum, kekuasaan, dan pengetahuan.¹³
Menurutnya, hukum bukan entitas moral yang netral, melainkan instrumen
kekuasaan yang memproduksi subjek melalui mekanisme disciplinary power.¹⁴ Etika hukum,
dalam konteks ini, sering kali menjadi sarana legitimasi moral bagi praktik
dominasi, bukan alat pembebasan.
Jean-François
Lyotard menambahkan bahwa proyek moral universal modern telah runtuh dalam apa
yang ia sebut sebagai “krisis legitimasi narasi besar” (grand narratives).¹⁵
Dalam dunia pluralistik, klaim universal atas keadilan atau moralitas hanya
dapat dipahami sebagai “narasi lokal” yang bersaing satu sama lain.
Kritik postmodern ini memaksa etika hukum untuk lebih reflektif, dialogis, dan
sadar akan keterbatasan epistemologisnya.
7.4.      
Kritik dari Teori Kritis dan Mazhab Frankfurt
Mazhab Frankfurt,
terutama melalui karya Jürgen Habermas dan Theodor Adorno, memberikan kritik
terhadap etika hukum modern yang dianggap terlalu rasional-instrumental.
Habermas mengakui pentingnya etika dalam hukum, namun menolak pendekatan moral
yang bersifat monologis atau paternalistik.¹⁶ Ia menggantinya dengan discourse
ethics—etika komunikatif di mana legitimasi hukum diperoleh melalui
partisipasi rasional dan bebas dari dominasi.¹⁷
Adorno dan
Horkheimer sebelumnya mengkritik “rasionalitas instrumental” dalam hukum
modern yang, alih-alih membebaskan manusia, justru memperkuat sistem dominasi
dan alienasi sosial.¹⁸ Dalam pandangan mereka, etika hukum harus bersifat
emansipatoris, yakni membebaskan individu dari penindasan struktural dan
membuka ruang bagi keadilan sosial yang nyata.¹⁹
Dengan demikian,
teori kritis tidak menolak etika hukum secara total, tetapi menuntut
transformasi paradigma: dari etika normatif yang statis menuju etika reflektif
yang sadar akan konteks sosial, politik, dan ekonomi dari hukum itu sendiri.
7.5.      
Kritik Kontemporer: Bias Ideologis dan Krisis
Etika Global
Dalam era
globalisasi dan teknologi, kritik terhadap etika hukum berfokus pada bias
ideologis dan tantangan moral baru. Global ethics menyoroti bahwa sistem hukum
internasional sering kali mencerminkan dominasi negara kuat dan mengabaikan
keadilan substantif bagi negara-negara berkembang.²⁰ Prinsip moral universal
seperti human
rights kerap ditafsirkan secara politis untuk membenarkan
intervensi ekonomi atau militer.²¹
Di sisi lain,
perkembangan hukum digital dan kecerdasan buatan menimbulkan krisis etika
baru.²² Keputusan hukum yang diambil oleh algoritma atau sistem otomatis
menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral, niat, dan keadilan.²³ Hal
ini memperlihatkan bahwa etika hukum tidak lagi dapat bergantung pada paradigma
klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat penilaian moral. Etika hukum
harus berevolusi menghadapi kompleksitas sosial dan teknologi baru yang
memengaruhi makna keadilan itu sendiri.
Kesimpulan Kritis
Dari berbagai kritik
tersebut, jelas bahwa etika hukum menghadapi dilema mendasar antara
universalitas moral dan relativitas sosial, antara idealisme moral dan realitas
politik. Positivisme menolak moralitas demi objektivitas, realisme menyoroti
faktor sosial dan empiris, postmodernisme menggugat klaim rasionalitas,
sementara teori kritis menuntut kepekaan emansipatoris.
Namun demikian,
kritik-kritik tersebut tidak meniadakan relevansi etika hukum; sebaliknya,
mereka memperkaya refleksi filosofis agar etika hukum menjadi lebih terbuka,
dialogis, dan kontekstual. Etika hukum yang sejati bukan sistem moral tertutup,
melainkan ruang refleksi rasional yang selalu terbuka bagi koreksi dan pembaruan
moral di tengah perubahan zaman.
Footnots
[1]               
John Austin, The Province of
Jurisprudence Determined (London:
John Murray, 1832), 13–15.
[2]               
Ibid., 21.
[3]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of
California Press, 1967), 1–10.
[4]               
Ibid., 67–72.
[5]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 39–42.
[6]               
Clifford Geertz, Local Knowledge:
Further Essays in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 167–170.
[7]               
Boaventura de Sousa Santos, Toward
a New Legal Common Sense (London:
Butterworths, 1995), 112–115.
[8]               
Karl N. Llewellyn, The Bramble Bush: On
Our Law and Its Study (New York:
Oceana Publications, 1930), 19–21.
[9]               
Oliver Wendell Holmes Jr., The
Common Law (Boston: Little, Brown
and Company, 1881), 1–3.
[10]            
Ibid., 5.
[11]            
Jacques Derrida, Force of Law: The
"Mystical Foundation of Authority", trans. Mary Quaintance (Cardozo Law Review 11, 1990), 919–921.
[12]            
Ibid., 943.
[13]            
Michel Foucault, Discipline and Punish:
The Birth of the Prison, trans. Alan
Sheridan (New York: Vintage Books, 1977), 195–198.
[14]            
Ibid., 203–205.
[15]            
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), 37–40.
[16]            
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–111.
[17]            
Ibid., 302–304.
[18]            
Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002),
94–97.
[19]            
Ibid., 104–106.
[20]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human
Rights (Cambridge: Polity Press,
2002), 24–27.
[21]            
Makau Mutua, Human Rights: A
Political and Cultural Critique
(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2002), 14–16.
[22]            
Mireille Hildebrandt, Smart
Technologies and the End(s) of Law
(Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 21–23.
[23]            
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 64–67.
8.          
Relevansi
Etika Hukum dalam Konteks Kontemporer
Etika hukum memiliki
urgensi yang semakin besar di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi
abad ke-21. Globalisasi, digitalisasi, krisis lingkungan, dan meningkatnya
ketimpangan sosial-ekonomi telah menimbulkan tantangan baru terhadap fondasi
moral hukum. Dalam konteks ini, etika hukum berfungsi bukan hanya sebagai
disiplin reflektif, tetapi juga sebagai prinsip normatif yang menuntun
pembentukan dan penerapan hukum agar tetap berakar pada nilai kemanusiaan dan
keadilan. Relevansi etika hukum terletak pada kemampuannya untuk menjembatani
antara legal
validity (keabsahan hukum) dan moral legitimacy (keabsahan moral)
dalam tatanan dunia yang semakin kompleks.
8.1.      
Etika Hukum dan Tantangan Globalisasi
Globalisasi telah
mengubah wajah hukum internasional dan nasional melalui mobilitas ekonomi,
migrasi manusia, serta pertukaran ide dan teknologi yang masif. Namun, proses
ini juga melahirkan ketidaksetaraan struktural dan krisis moral global.¹ Etika
hukum hadir untuk mengingatkan bahwa hukum internasional tidak boleh menjadi
instrumen hegemoni, melainkan sarana keadilan global yang berlandaskan
solidaritas dan penghormatan terhadap martabat manusia.²
John Rawls dalam The Law
of Peoples menegaskan bahwa masyarakat internasional membutuhkan
prinsip keadilan global yang didasarkan pada rasa hormat, kerja sama, dan
kesetaraan antarnegara.³ Pandangan ini menggeser orientasi hukum internasional
dari kepentingan politik menuju moralitas universal yang menghargai hak asasi
manusia. Di sisi lain, Amartya Sen menambahkan bahwa hukum harus memperhatikan
“kapabilitas” individu dan bangsa untuk hidup secara bermartabat, bukan
sekadar kepatuhan terhadap norma formal.⁴
Dalam konteks
globalisasi ekonomi, etika hukum berperan menilai legitimasi moral dari sistem
perdagangan, investasi, dan hak kekayaan intelektual yang seringkali
memperdalam ketimpangan global.⁵ Dengan demikian, etika hukum berfungsi sebagai
kritik normatif terhadap hukum internasional yang cenderung berpihak pada
kepentingan korporasi dan negara-negara kaya.
8.2.      
Etika Hukum dan Hak Asasi Manusia
Relevansi etika
hukum juga sangat kuat dalam wacana hak asasi manusia (HAM). Deklarasi
Universal HAM (1948) menegaskan bahwa semua manusia memiliki martabat yang
melekat dan hak-hak yang setara.⁶ Prinsip ini merupakan fondasi moral yang
mendasari hampir seluruh sistem hukum modern. Etika hukum memperkuat kerangka
ini dengan memberikan justifikasi moral atas pentingnya penghormatan terhadap
martabat manusia sebagai dasar legitimasi hukum.
Namun, implementasi
HAM sering kali menghadapi dilema moral antara universalitas dan relativitas
budaya.⁷ Beberapa masyarakat menolak standar HAM global dengan alasan
nilai-nilai lokal atau agama. Dalam situasi seperti ini, etika hukum berperan
sebagai ruang dialogis untuk menafsirkan prinsip-prinsip moral universal dalam
konteks sosial dan kultural yang beragam tanpa kehilangan substansi
keadilannya.⁸
Selain itu, muncul
persoalan baru seperti hak digital, hak privasi, dan keadilan data.⁹ Dalam era
digital, perlindungan terhadap data pribadi menjadi bentuk baru dari
penghormatan terhadap martabat manusia.¹⁰ Maka, etika hukum harus berevolusi
untuk menjawab tantangan moral dari dunia yang semakin bergantung pada
teknologi informasi dan kecerdasan buatan.
8.3.      
Etika Hukum dalam Era Digital dan Kecerdasan
Buatan
Revolusi digital
menghadirkan persoalan epistemologis dan aksiologis yang menantang bagi hukum.
Penggunaan artificial
intelligence (AI) dalam sistem peradilan, prediksi kriminalitas,
dan kebijakan publik memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral dan
keadilan algoritmik.¹¹ Apakah keputusan yang dibuat oleh algoritma dapat
dianggap sah secara moral? Siapa yang bertanggung jawab atas ketidakadilan yang
dihasilkan oleh sistem otomatis?
Mireille Hildebrandt
menegaskan bahwa etika hukum dalam era digital harus mampu memastikan bahwa
teknologi tidak menggantikan prinsip moral manusia, melainkan memperkuatnya.¹²
Hukum digital harus dirancang dengan mempertimbangkan nilai-nilai transparansi,
akuntabilitas, dan keadilan.¹³ Luciano Floridi menambahkan bahwa “informasi
adalah bentuk kehidupan baru,” sehingga hukum perlu mengakui tanggung jawab
etis dalam interaksi manusia dengan sistem informasi.¹⁴
Etika hukum, dalam
konteks ini, berperan sebagai panduan normatif untuk menilai batas moral penggunaan
teknologi hukum. Hal ini melibatkan pertimbangan tentang kebebasan, privasi,
keadilan algoritmik, serta hak untuk tidak didiskriminasi oleh sistem
otomatis.¹⁵ Dengan demikian, etika hukum bukan lagi sekadar teori normatif,
tetapi juga kerangka moral bagi digital jurisprudence masa depan.
8.4.      
Etika Hukum dan Isu Keadilan Ekologis
Salah satu relevansi
kontemporer yang semakin penting adalah hubungan antara etika hukum dan krisis
ekologis. Antroposentrisme dalam sistem hukum modern sering menyingkirkan nilai
moral terhadap alam.¹⁶ Akibatnya, eksploitasi lingkungan, perubahan iklim, dan
kehilangan biodiversitas menjadi krisis moral sekaligus hukum. Etika hukum
ekologis (ecological
jurisprudence) berusaha mengembalikan nilai moral dalam relasi
manusia dengan alam.¹⁷
Christopher Stone
dalam esainya yang berpengaruh Should Trees Have Standing?
mempertanyakan mengapa entitas alam seperti sungai, hutan, atau spesies tidak
dapat memiliki hak hukum.¹⁸ Ia menegaskan bahwa sistem hukum yang etis harus
memperluas cakupan moralitasnya melampaui manusia. Sejalan dengan itu, hukum
lingkungan modern mulai mengadopsi prinsip-prinsip stewardship, tanggung jawab
generasional, dan keadilan interspesies.¹⁹
Dengan demikian,
etika hukum yang relevan di era krisis ekologis harus melampaui paradigma
keadilan sosial menuju paradigma keadilan ekologis.²⁰ Ini menandai transformasi
moral hukum dari anthropocentric justice menuju ecocentric
justice yang menempatkan keberlanjutan hidup sebagai nilai
tertinggi.
8.5.      
Etika Hukum, Demokrasi, dan Tanggung Jawab
Publik
Dalam konteks
politik dan sosial, etika hukum relevan sebagai fondasi moral bagi praktik
demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan hukum yang tidak hanya legal,
tetapi juga etis dan adil.²¹ Habermas menggarisbawahi bahwa legitimasi hukum
hanya dapat diperoleh melalui proses deliberatif di mana warga negara terlibat
dalam diskursus rasional yang bebas dari dominasi.²²
Etika hukum menuntut
agar kebijakan publik tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermoral
secara substantif.²³ Hukum yang menindas, meskipun dibuat secara demokratis,
tetap tidak memiliki legitimasi moral.²⁴ Oleh karena itu, etika hukum berperan
menjaga agar demokrasi tidak jatuh menjadi “tirani mayoritas,” dengan
menegakkan nilai-nilai seperti keadilan sosial, hak minoritas, dan solidaritas
publik.
Selain itu, etika
hukum juga relevan dalam menghadapi tantangan korupsi, ketidakadilan
struktural, dan penyalahgunaan kekuasaan.²⁵ Ia menuntut integritas moral dalam
lembaga hukum serta kesadaran etis warga negara untuk berpartisipasi dalam
penegakan hukum yang adil dan transparan. Dalam hal ini, etika hukum bukan
hanya tanggung jawab negara, tetapi juga kewajiban moral bersama dalam
kehidupan berbangsa.
Kesimpulan Relevansi Kontemporer
Relevansi etika hukum
di era kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menafsirkan kembali
hubungan antara hukum, moralitas, dan kemanusiaan dalam konteks global,
digital, ekologis, dan demokratis. Etika hukum berfungsi sebagai panduan moral
yang mencegah hukum menjadi alat kekuasaan atau teknologi semata.
Hukum yang etis
harus terbuka terhadap nilai-nilai universal, tetapi juga sensitif terhadap
konteks lokal; ia harus rasional, namun tetap manusiawi. Di tengah perubahan
zaman, etika hukum menjadi ruang refleksi di mana rasionalitas dan moralitas
saling menyempurnakan—menjadikan hukum bukan hanya aturan, tetapi perwujudan
keadilan yang hidup.
Footnots
[1]               
Saskia Sassen, Territory, Authority,
Rights: From Medieval to Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 29–31.
[2]               
Boaventura de Sousa Santos, Toward
a New Legal Common Sense (London:
Butterworths, 1995), 103–106.
[3]               
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 34–36.
[4]               
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 17–19.
[5]               
Thomas Pogge, World Poverty and Human
Rights (Cambridge: Polity Press,
2002), 23–25.
[6]               
United Nations, Universal Declaration
of Human Rights (Paris: UN General
Assembly, 1948), Preamble.
[7]               
Jack Donnelly, Universal Human Rights
in Theory and Practice (Ithaca:
Cornell University Press, 2013), 93–95.
[8]               
Abdullahi An-Na’im, Human
Rights in Cross-Cultural Perspectives: A Quest for Consensus (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1992), 18–21.
[9]               
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 64–67.
[10]            
Mireille Hildebrandt, Smart
Technologies and the End(s) of Law
(Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 22–25.
[11]            
Virginia Dignum, Responsible Artificial
Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 48–50.
[12]            
Hildebrandt, Smart Technologies and
the End(s) of Law, 112–114.
[13]            
Ibid., 115–117.
[14]            
Floridi, The Ethics of
Information, 81–84.
[15]            
Frank Pasquale, The Black Box Society:
The Secret Algorithms That Control Money and Information (Cambridge: Harvard University Press, 2015), 5–8.
[16]            
Kate Raworth, Doughnut Economics:
Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction: Chelsea Green, 2017), 158–160.
[17]            
Klaus Bosselmann, The Principle of
Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 92–94.
[18]            
Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights
for Natural Objects,” Southern California Law
Review 45 (1972): 450–452.
[19]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 104–107.
[20]            
Andrew Brennan and Yeuk-Sze Lo, “Environmental Ethics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Stanford University, 2023).
[21]            
Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University Press, 1998), 37–40.
[22]            
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–111.
[23]            
Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 61–63.
[24]            
Hannah Arendt, The Origins of
Totalitarianism (New York: Harcourt
Brace, 1951), 444–447.
[25]            
Transparency International, Global
Corruption Report 2021 (Berlin:
Transparency International, 2021), 9–11.
9.          
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis
dari etika hukum berupaya mengintegrasikan seluruh dimensi yang telah dibahas
sebelumnya—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan politik—ke dalam
suatu kerangka pemikiran yang utuh dan koheren. Etika hukum, dalam arti
terdalamnya, tidak sekadar merupakan cabang dari filsafat moral atau teori
hukum, melainkan merupakan ruang dialog antara rasionalitas normatif dan
praksis keadilan. Dalam konteks ini, sintesis filosofis menegaskan bahwa hukum
yang benar bukan hanya legalitas yang berlaku, tetapi moralitas
yang berkeadilan.
Dengan menempatkan
hukum dalam horizon etika, sintesis ini berusaha menyatukan tiga poros utama: (1)
rasionalitas etis, yang menegaskan dasar moral dari hukum; (2)
keadilan sebagai tujuan teleologis hukum; dan (3)
kebaikan bersama (bonum commune)
sebagai prinsip transendental hukum.
9.1.      
Rekonsiliasi antara Legalitas dan Moralitas
Salah satu tujuan
utama etika hukum adalah mendamaikan ketegangan antara legal
positivism dan natural law theory. Positivisme
hukum menekankan validitas formal hukum, sedangkan hukum alam menekankan
keabsahan moralnya. Dalam sintesis filosofis, kedua pendekatan ini tidak harus
dipertentangkan, melainkan dapat dikompromikan melalui konsep legitimasi
ganda: hukum yang sah secara formal harus juga dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.¹
Lon L. Fuller, dalam
The
Morality of Law, menyebut bahwa “moralitas internal hukum”—yakni
prinsip-prinsip kejelasan, konsistensi, dan keadilan prosedural—merupakan
jembatan antara keabsahan hukum dan legitimasi etisnya.² Sementara itu, John
Finnis menyatakan bahwa hukum memperoleh maknanya melalui orientasi terhadap
nilai-nilai dasar manusia, sehingga legalitas dan moralitas bersatu dalam
rasionalitas praktis manusia.³
Dalam sintesis ini,
hukum tidak lagi dilihat sebagai sistem tertutup yang steril dari nilai,
melainkan sebagai proses rasional yang selalu terbuka terhadap kritik moral.
Etika hukum berfungsi untuk memastikan bahwa hukum tidak kehilangan
kemanusiaannya, dan bahwa keadilan tidak berhenti pada kepatuhan formal,
melainkan mencapai legitimasi substansial.
9.2.      
Rasionalitas Etis sebagai Dasar Keberadaan
Hukum
Rasionalitas etis
merupakan inti dari ontologi hukum yang beretika. Thomas Aquinas menyebut hukum
sebagai ordinatio
rationis ad bonum commune—tatanan rasional yang diarahkan pada
kebaikan bersama.⁴ Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum hanya memiliki
eksistensi sejati apabila berakar pada rasionalitas moral.
Dalam tradisi
Kantian, rasionalitas moral diwujudkan melalui prinsip otonomi, yaitu kemampuan
manusia untuk memberi hukum pada dirinya sendiri (autonomia legis).⁵ Hukum yang
sejati harus menghormati manusia sebagai tujuan, bukan alat.⁶ Oleh karena itu,
rasionalitas etis bukan sekadar logika formal hukum, tetapi penilaian praktis
yang mempertimbangkan martabat manusia dan tujuan moral tindakan hukum.
Habermas memperluas
konsep ini dengan memperkenalkan rationality of communication—bahwa
legitimasi hukum muncul dari konsensus rasional yang dicapai melalui komunikasi
etis di ruang publik.⁷ Dengan demikian, rasionalitas etis adalah fondasi
intersubjektif hukum: ia tidak hanya hidup dalam teks undang-undang, tetapi
dalam kesadaran moral bersama.
9.3.      
Keadilan sebagai Prinsip Teleologis Hukum
Keadilan (justitia)
merupakan arah teleologis dari seluruh sistem hukum. Aristoteles menyebut
keadilan sebagai “kebajikan utama” karena mencakup seluruh kebajikan moral
dalam relasi sosial.⁸ Sementara Aquinas menegaskan bahwa hukum harus
mengarahkan manusia kepada keadilan, sebab keadilan adalah ekspresi konkret
dari kebaikan moral dalam tatanan sosial.⁹
John Rawls, dalam
konteks modern, memformulasikan keadilan sebagai fairness, yaitu keseimbangan antara
kebebasan individu dan kesetaraan sosial.¹⁰ Teori ini menegaskan bahwa hukum
yang adil adalah hukum yang memfasilitasi keadilan distributif, prosedural, dan
korektif sekaligus. Keadilan bukan hasil akhir yang statis, tetapi proses
reflektif yang terus diperbarui dalam praktik sosial.
Dengan demikian,
sintesis filosofis menempatkan keadilan sebagai tujuan teleologis hukum: hukum
tidak hanya mengatur, tetapi menuntun; tidak hanya melarang, tetapi
memanusiakan. Keadilan adalah arah normatif yang menautkan legalitas dengan
moralitas.
9.4.      
Kebaikan Bersama (Bonum Commune) sebagai
Tujuan Transendental
Prinsip bonum
commune memberikan horizon metafisik bagi etika hukum. Hukum yang
sejati selalu diarahkan pada kebaikan bersama, bukan sekadar pada kepentingan
individu atau kelompok.¹¹ Bonum commune bukan hanya jumlah
kebahagiaan kolektif (seperti dalam utilitarianisme), melainkan tatanan moral
yang memungkinkan setiap individu mencapai kesempurnaan dirinya dalam
kebersamaan sosial.¹²
Dalam kerangka
modern, Jacques Maritain menafsirkan bonum commune sebagai prinsip
integral antara hak individu dan tanggung jawab sosial.¹³ Hukum yang beretika
harus menjaga keseimbangan antara kebebasan dan solidaritas, antara hak dan
kewajiban. Kebaikan bersama menjadi tolok ukur moral bagi legitimasi hukum—ia
menguji apakah hukum melayani kemaslahatan universal atau hanya melayani
segelintir kepentingan kekuasaan.
Dengan demikian, bonum
commune menegaskan bahwa etika hukum memiliki orientasi
transendental: ia bukan sekadar moralitas sekuler, melainkan panggilan moral
manusia untuk mengupayakan kehidupan bersama yang adil, damai, dan manusiawi.
9.5.      
Integrasi Nilai, Norma, dan Praksis Hukum
Sintesis filosofis
juga menuntut integrasi antara nilai-nilai moral (etika), norma-norma legal
(hukum), dan praktik sosial (politik). Hukum tanpa nilai kehilangan legitimasi;
nilai tanpa hukum kehilangan daya praksis; dan praksis tanpa keduanya
kehilangan arah moral.¹⁴ Oleh karena itu, etika hukum berfungsi sebagai prinsip
penghubung yang menjamin keselarasan antara idealitas moral dan realitas
sosial.
Habermas menyebut
hal ini sebagai “rasionalitas komunikatif yang berorientasi pada kebenaran
praktis,”¹⁵ sementara Finnis menyebutnya sebagai practical
reasonableness—yakni kemampuan untuk menimbang tindakan hukum
berdasarkan prinsip moral universal dan kondisi konkret manusia.¹⁶ Maka,
sintesis filosofis menuntut agar teori dan praktik hukum selalu bergerak dalam
dialektika reflektif antara moralitas dan legalitas.
9.6.      
Etika Hukum sebagai Kesadaran Reflektif dan
Transformasional
Etika hukum, dalam
sintesisnya, bukan sekadar sistem nilai normatif, tetapi bentuk kesadaran
reflektif dan praksis transformasional. Hukum yang beretika menuntut adanya
kesadaran moral dari seluruh elemen masyarakat: pembuat hukum, penegak hukum,
dan warga negara. Kesadaran ini memastikan bahwa hukum tetap menjadi sarana
keadilan, bukan alat kekuasaan.
Dalam konteks
kontemporer, etika hukum juga menjadi gerakan transformasional yang menghadapi
tantangan global seperti krisis ekologi, ketidaksetaraan ekonomi, dan disrupsi
teknologi.¹⁷ Dengan mengintegrasikan nilai kemanusiaan dan keadilan universal,
etika hukum berfungsi sebagai “nalar moral publik” yang menuntun arah
perkembangan peradaban hukum manusia.¹⁸
Dengan demikian,
sintesis filosofis dari etika hukum berakhir pada sebuah prinsip universal: hukum
sejati adalah moralitas yang terinstitusionalisasi, dan moralitas
sejati adalah hukum yang dihidupi dalam kesadaran keadilan manusia.
Kesimpulan Sintesis
Dari keseluruhan
analisis, dapat disimpulkan bahwa etika hukum merupakan medan refleksi filosofis
di mana rasionalitas, keadilan, dan kebaikan bersama saling berkelindan. Ia
bukan hanya teori normatif, tetapi praksis moral yang hidup dalam tatanan
sosial dan politik. Etika hukum mengingatkan bahwa hukum yang kehilangan etika
akan menjadi tirani, sedangkan etika tanpa hukum akan menjadi utopia.
Sintesis filosofis
ini, dengan demikian, menegaskan visi integral: hukum dan moralitas adalah dua
aspek dari satu realitas rasional yang sama—yakni perjuangan manusia menuju
keadilan yang sejati, universal, dan transendental.
Footnots
[1]               
H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), 181–183.
[2]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–35.
[3]               
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Clarendon Press,
1980), 86–95.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[5]               
Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–422.
[6]               
Ibid., 4:429.
[7]               
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–111.
[8]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1129a–1132b.
[9]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.92, a.1.
[10]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–65.
[11]            
Jacques Maritain, The Rights of Man and
Natural Law (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1943), 5–7.
[12]            
Josef Pieper, The Four Cardinal
Virtues (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1966), 31–34.
[13]            
Maritain, The Rights of Man and
Natural Law, 8–10.
[14]            
Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 187–190.
[15]            
Habermas, Between Facts and Norms, 303–305.
[16]            
Finnis, Natural Law and Natural
Rights, 100–102.
[17]            
Martha Nussbaum, Creating Capabilities:
The Human Development Approach
(Cambridge: Belknap Press, 2011), 27–29.
[18]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of
Chicago Press, 2000), 41–43.
10.       Kesimpulan
Etika hukum, dalam
keseluruhan kajian filosofisnya, menegaskan bahwa hukum tidak dapat dipahami
hanya sebagai seperangkat norma positif yang bersifat formal dan prosedural. Ia
merupakan ekspresi rasional dari moralitas manusia yang bertujuan menegakkan
keadilan, kebaikan bersama, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dengan
demikian, hukum yang sejati bukan hanya legal order, tetapi juga moral
order—suatu tatanan yang menggabungkan rasionalitas praktis dan
nilai-nilai etis yang mengarahkan kehidupan bersama menuju kesempurnaan moral
dan sosial.
10.1.   
Hukum sebagai Manifestasi Moralitas Rasional
Secara ontologis,
hukum memperoleh eksistensinya dari rasionalitas moral manusia. Thomas Aquinas
menegaskan bahwa hukum adalah “tatanan rasional yang diarahkan kepada
kebaikan bersama,”¹ yang berarti bahwa hukum hanya sah sejauh ia berakar
pada rasio moral yang mengarahkan manusia menuju keadilan. Pandangan ini
menempatkan moralitas sebagai fondasi keberadaan hukum: tanpa moralitas, hukum
kehilangan legitimasi ontologisnya.
Dalam konteks
modern, John Finnis memperkuat pandangan tersebut dengan menegaskan bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang melindungi basic human goods seperti
kehidupan, keadilan, pengetahuan, dan persahabatan sosial.² Maka, hukum bukan
hanya instrumen kekuasaan, tetapi sarana rasional untuk mewujudkan nilai-nilai
dasar kemanusiaan.
Dengan demikian,
hukum dan moralitas bukan dua ranah yang terpisah, melainkan dua sisi dari
realitas rasional yang sama. Hubungan keduanya bersifat komplementer: hukum
memberi struktur bagi moralitas, sementara moralitas memberi arah bagi hukum.
10.2.   
Keadilan sebagai Puncak Etika Hukum
Keadilan (justitia)
adalah nilai teleologis yang menjadi arah akhir dari seluruh struktur hukum.
Aristoteles telah menegaskan bahwa keadilan merupakan “kebajikan utama yang
mencakup seluruh kebajikan moral.”³ Dalam kerangka ini, keadilan bukan
sekadar kesetaraan formal, melainkan pemulihan keseimbangan moral antara hak
dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab sosial.
John Rawls kemudian
memperbaharui makna keadilan dalam konteks modern melalui prinsip justice
as fairness, yaitu keadilan sebagai kondisi rasional yang
menyeimbangkan kebebasan individu dengan keadilan distributif.⁴ Prinsip ini
menegaskan bahwa sistem hukum harus tidak hanya sah secara legal, tetapi juga
adil secara moral dan sosial.
Dalam konteks
kontemporer, keadilan juga mencakup keadilan ekologis dan digital, yang
menuntut tanggung jawab moral terhadap alam dan teknologi.⁵ Etika hukum, dalam
hal ini, memperluas cakupan moral hukum hingga meliputi seluruh dimensi
kehidupan manusia dan planetnya.
10.3.   
Rasionalitas dan Komunikasi sebagai Basis
Legitimasi Hukum
Secara
epistemologis, hukum yang etis bersumber dari rasionalitas praktis dan
komunikatif. Immanuel Kant menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk rasional
memiliki kemampuan untuk memberi hukum kepada dirinya sendiri (autonomia
legis),⁶ sehingga setiap sistem hukum sejati harus menghormati
kebebasan dan martabat manusia.
Habermas
mengembangkan gagasan ini dengan mengemukakan teori discourse ethics, bahwa legitimasi
hukum hanya dapat diperoleh melalui partisipasi rasional warga negara dalam
proses komunikasi bebas dan setara.⁷ Artinya, hukum yang adil tidak ditentukan
oleh kekuasaan atau mayoritas, tetapi oleh hasil dialog etis yang mengutamakan
rasionalitas moral.
Oleh karena itu,
rasionalitas hukum tidak dapat dipisahkan dari diskursus moral publik. Dalam
masyarakat demokratis, etika hukum menuntut keterbukaan, refleksi, dan
partisipasi sebagai dasar legitimasi yang sejati.
10.4.   
Hukum dalam Dimensi Sosial dan Politik: Dari
Kekuasaan Menuju Keadilan
Dalam tataran sosial
dan politik, etika hukum berfungsi sebagai penyeimbang antara hukum dan
kekuasaan. Michel Foucault mengingatkan bahwa hukum sering kali menjadi
instrumen dominasi,⁸ sementara Hannah Arendt menunjukkan bahwa ketaatan
terhadap hukum yang tidak adil dapat melahirkan “banalitas kejahatan.”⁹
Etika hukum mengajarkan bahwa legitimasi hukum tidak cukup didasarkan pada
otoritas, tetapi harus berakar pada tanggung jawab moral.
Negara hukum yang
sejati (Rechtsstaat)
harus berlandaskan rule of law yang bermoral—di mana
hukum menundukkan kekuasaan, bukan sebaliknya.¹⁰ Dalam kerangka ini, etika
hukum memperkuat demokrasi dengan menegaskan bahwa hukum bukan alat kendali,
tetapi sarana pembebasan yang menjamin keadilan dan martabat manusia.
Maka, dimensi
sosial-politik etika hukum berperan menjaga agar sistem hukum tetap menjadi
ruang moral, bukan mekanisme represif. Ia memastikan bahwa hukum selalu
berpihak kepada kemanusiaan, bukan kepada kepentingan kekuasaan.
10.5.   
Integrasi Aksiologis: Nilai, Kebaikan, dan
Kemanusiaan
Aksiologi etika
hukum menunjukkan bahwa nilai-nilai moral seperti keadilan, kebaikan, dan
kemanusiaan merupakan fondasi yang memberi makna pada hukum. Thomas Aquinas dan
Jacques Maritain sama-sama menegaskan bahwa bonum commune—kebaikan
bersama—adalah tujuan akhir hukum.¹¹ Hukum yang baik adalah hukum yang melayani
kepentingan umum tanpa mengorbankan hak-hak individu.
Di era modern,
nilai-nilai tersebut diterjemahkan dalam prinsip-prinsip human
rights, demokrasi deliberatif, dan keadilan sosial.¹² Etika hukum
mempersatukan nilai-nilai ini ke dalam suatu sintesis moral yang menghubungkan
rasionalitas hukum dengan tujuan kemanusiaan universal.
Dengan demikian,
aksiologi hukum tidak bersifat abstrak, tetapi aplikatif: ia memandu
pembentukan hukum, interpretasi yudisial, dan kebijakan publik agar selaras
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang transenden.
10.6.   
Etika Hukum sebagai Spirit Keadilan Universal
Dalam sintesis
akhirnya, etika hukum tampil sebagai semangat yang menjiwai seluruh tatanan
hukum. Ia mengingatkan bahwa hukum tanpa etika adalah instrumen kosong,
sementara etika tanpa hukum adalah ideal tanpa realisasi.¹³ Etika hukum
berperan menjaga keseimbangan antara cita moral dan struktur institusional,
antara universalitas prinsip dan partikularitas konteks.
Dengan demikian,
etika hukum menjadi prinsip kesatuan antara is dan ought—antara kenyataan hukum dan
cita moralnya. Hukum yang sejati bukan hanya ada (being), tetapi juga seharusnya ada
(ought to
be), sebagaimana dinyatakan oleh Lon Fuller bahwa “kewajiban
moral hukum adalah menjamin agar hukum tetap menjadi tatanan yang bermakna bagi
manusia.”¹⁴
Etika hukum,
karenanya, adalah panggilan rasional dan moral bagi peradaban manusia: untuk
membangun hukum yang bukan hanya sah di mata negara, tetapi juga benar di
hadapan nurani dan Tuhan.
Kesimpulan Akhir
Secara filosofis,
etika hukum mengembalikan hukum kepada hakikat asalnya sebagai instrumen
keadilan dan kemanusiaan. Ia menyatukan rasionalitas dan moralitas, legalitas
dan legitimasi, kekuasaan dan kebajikan. Dalam konteks kontemporer, etika hukum
menjadi dasar reflektif bagi reformasi hukum yang responsif terhadap krisis
moral global—mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman ekologis dan
teknologi.
Etika hukum yang
sejati adalah hukum yang berakar pada kesadaran moral universal dan terbuka
terhadap koreksi rasional. Ia mengajarkan bahwa hukum yang adil bukan hanya
yang tertulis, tetapi yang hidup dalam tindakan manusia. Dengan demikian, etika
hukum tidak berhenti sebagai teori normatif, melainkan menjadi praksis moral
yang menuntun manusia menuju tatanan keadilan universal.
Footnots
[1]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[2]               
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980),
86–95.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1129a–1131b.
[4]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 75–77.
[5]               
Klaus Bosselmann, The Principle of
Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 92–94.
[6]               
Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.
[7]               
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
107–111.
[8]               
Michel Foucault, Discipline and Punish:
The Birth of the Prison, trans. Alan
Sheridan (New York: Vintage Books, 1977), 27–29.
[9]               
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem:
A Report on the Banality of Evil
(New York: Viking Press, 1963), 276–278.
[10]            
Friedrich A. Hayek, The
Constitution of Liberty (Chicago:
University of Chicago Press, 1960), 206–208.
[11]            
Jacques Maritain, The Rights of Man and
Natural Law (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1943), 5–8.
[12]            
Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 61–63.
[13]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of
Chicago Press, 2000), 45–47.
[14]            
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 162–164.
Daftar Pustaka 
Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E.
Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
An-Na’im, A. A. (1992). Human rights in cross-cultural perspectives: A quest for
consensus. University of Pennsylvania Press.
Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican
Province, Trans.). Benziger Bros.
Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil.
Viking Press.
Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. Harcourt Brace.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett
Publishing.
Austin, J. (1832). The province of jurisprudence determined. John Murray.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in
contemporary ethics. Routledge.
Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global
era. Princeton University Press.
Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. Bell Tower.
Bosselmann, K. (2008). The principle of sustainability: Transforming law and
governance. Ashgate.
Brennan, A., & Lo, Y.-S. (2023). Environmental ethics. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy. Stanford
University.
Dahl, R. A. (1998). On democracy. Yale University Press.
Derrida, J. (1990). Force of law: The “mystical foundation of authority” (M.
Quaintance, Trans.). Cardozo Law Review, 11(5–6), 919–1045.
Dignum, V. (2019). Responsible artificial intelligence: How to develop and use
AI in a responsible way. Springer.
Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice (3rd ed.).
Cornell University Press.
Durkheim, É. (1984). The division of labour in society (W. D. Halls, Trans.).
Free Press.
Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Clarendon Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan,
Trans.). Vintage Books.
Fraser, N. (2009). Scales of justice: Reimagining political space in a
globalizing world. Columbia University Press.
Friedman, L. M. (1975). The legal system: A social science perspective. Russell
Sage Foundation.
Fuller, L. L. (1969). The morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.
Geertz, C. (1983). Local knowledge: Further essays in interpretive anthropology.
Basic Books.
Grotius, H. (1925). On the law of war and peace (F. W. Kelsey, Trans.).
Clarendon Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory
of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Hart, H. L. A. (1961). The concept of law. Clarendon Press.
Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University
Press.
Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty. University of Chicago
Press.
Hildebrandt, M. (2015). Smart technologies and the end(s) of law. Edward Elgar
Publishing.
Holmes, O. W. Jr. (1881). The common law. Little, Brown and Company.
Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor,
Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge
University Press.
Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). University of
California Press.
King, M. L. Jr. (1963, April 16). Letter from Birmingham jail.
Llewellyn, K. N. (1930). The bramble bush: On our law and its study. Oceana
Publications.
Lon L. Fuller. (1969). The morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.
Luban, D. (2007). Legal ethics and human dignity. Cambridge University
Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G.
Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of
Notre Dame Press.
Maritain, J. (1943). The rights of man and natural law. Charles Scribner’s
Sons.
Mutua, M. (2002). Human rights: A political and cultural critique.
University of Pennsylvania Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species
membership. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach.
Belknap Press.
Pasquale, F. (2015). The black box society: The secret algorithms that control
money and information. Harvard University Press.
Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. University of Notre Dame
Press.
Pieper, J. (2001). The concept of sin. St. Augustine’s Press.
Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.
Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American
community. Simon & Schuster.
Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a 21st-century
economist. Chelsea Green.
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.
Rawls, J. (1999). The law of peoples. Harvard University Press.
Raz, J. (1979). The authority of law: Essays on law and morality.
Clarendon Press.
Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago
Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University
Press.
Santos, B. de S. (1995). Toward a new legal common sense. Butterworths.
Sassen, S. (2006). Territory, authority, rights: From medieval to global
assemblages. Princeton University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Belknap Press.
Stone, C. D. (1972). Should trees have standing? Toward legal rights for natural
objects. Southern California Law Review, 45(2), 450–481.
Thoreau, H. D. (1849). Civil disobedience. Ticknor and Fields.
Transparency International. (2021). Global corruption report 2021.
Transparency International.
United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. UN General
Assembly.
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology
(G. Roth & C. Wittich, Trans.). University of California Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar