Minggu, 26 Oktober 2025

Etika Hukum: Fondasi Filosofis, Rasionalitas Normatif, dan Relevansi Sosial dalam Tatanan Keadilan

Etika Hukum

Fondasi Filosofis, Rasionalitas Normatif, dan Relevansi Sosial dalam Tatanan Keadilan


Alihkan ke: Ilmu Hukum.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif etika hukum sebagai fondasi filosofis yang menghubungkan moralitas, rasionalitas, dan keadilan dalam sistem hukum. Dengan menggunakan pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, kajian ini menelusuri akar pemikiran etika hukum sejak filsafat Yunani klasik, tradisi skolastik, modernitas rasionalistik, hingga refleksi kontemporer tentang hukum dan moralitas. Secara ontologis, hukum dipahami bukan hanya sebagai sistem norma positif, tetapi sebagai tatanan moral yang rasional dan berorientasi pada bonum commune (kebaikan bersama). Secara epistemologis, hukum memperoleh legitimasi moral melalui rasionalitas praktis dan komunikasi etis antarwarga negara.

Aksiologi etika hukum menegaskan bahwa nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan merupakan inti moral yang memberi makna pada hukum, sementara dimensi sosial-politiknya menunjukkan peran hukum sebagai instrumen moral bagi keadilan publik dan demokrasi. Kritik dari positivisme, relativisme budaya, dan postmodernisme memperkaya refleksi etika hukum dengan membuka ruang bagi pendekatan yang lebih dialogis dan kontekstual. Dalam konteks kontemporer, etika hukum menjadi relevan untuk menjawab tantangan globalisasi, teknologi digital, dan krisis ekologis, serta untuk menegaskan kembali martabat manusia sebagai dasar moral hukum universal.

Dengan demikian, etika hukum hadir sebagai sintesis filosofis yang menyatukan legalitas dan moralitas, rasionalitas dan keadilan, dalam kerangka kemanusiaan yang integral. Hukum yang sejati bukan hanya yang berlaku, melainkan yang berkeadilan—yakni hukum yang hidup dalam kesadaran moral manusia dan menuntun peradaban menuju tatanan etis yang universal.

Kata Kunci: Etika Hukum; Keadilan; Moralitas; Rasionalitas; Hukum Alam; Bonum Commune; Filsafat Moral; Legitimasi Hukum; Diskursus Etis; Kemanusiaan.


PEMBAHASAN

Etika Hukum sebagai Landasan Moral Keadilan


1.           Pendahuluan

Etika hukum merupakan bidang kajian yang menempatkan hukum dalam horizon moralitas dan tanggung jawab rasional manusia. Hukum, pada hakikatnya, tidak hanya dipahami sebagai seperangkat norma positif yang diberlakukan oleh otoritas negara, melainkan juga sebagai manifestasi dari nilai-nilai etis yang mendasari kehidupan bersama. Oleh karena itu, hubungan antara etika dan hukum bersifat inheren—etika menyediakan landasan normatif bagi hukum, sedangkan hukum menjadi instrumen konkretisasi nilai-nilai etika dalam kehidupan sosial.¹

Dalam sejarah pemikiran filsafat, persoalan keterkaitan antara etika dan hukum telah muncul sejak masa klasik. Plato dan Aristoteles memandang hukum sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan kebajikan publik (the common good).² Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menegaskan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mendorong kebajikan moral warganya.³ Pandangan ini menegaskan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari orientasi etis yang mengarah pada kebaikan manusia sebagai makhluk politik (zoon politikon).

Selanjutnya, dalam tradisi Skolastik, Thomas Aquinas mengembangkan pandangan yang lebih sistematis mengenai keterhubungan antara hukum dan moralitas. Melalui konsep lex aeterna, lex naturalis, dan lex humana, Aquinas menjelaskan bahwa hukum manusia yang adil berakar pada hukum alam yang bersumber dari rasio ilahi.⁴ Hukum yang memisahkan diri dari keadilan dan kebenaran moral dianggap bukan hukum sejati (lex iniusta non est lex).⁵

Namun, memasuki era modern, muncul pergeseran paradigma melalui positivisme hukum yang memisahkan hukum dari moralitas. Pemikir seperti John Austin dan Hans Kelsen menegaskan bahwa hukum harus dipahami sebagai sistem norma yang otonom dari nilai-nilai etika.⁶ Pandangan ini menimbulkan problem filosofis: apakah hukum yang sah secara formal, tetapi tidak adil secara moral, masih dapat dianggap sebagai hukum? Pertanyaan ini menandai titik awal bagi lahirnya refleksi filosofis tentang etika hukum sebagai upaya mengembalikan dasar moral dalam teori dan praktik hukum.

Dalam konteks kontemporer, urgensi kajian etika hukum semakin meningkat. Fenomena seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan hukum, pelanggaran HAM, dan problematika hukum digital menuntut pemahaman baru tentang relasi antara moralitas, keadilan, dan hukum.⁷ Etika hukum hadir sebagai jembatan antara rasionalitas legal dan tanggung jawab moral, menegaskan bahwa hukum yang baik bukan hanya legally valid tetapi juga morally justified.⁸

Oleh sebab itu, kajian ini bertujuan untuk menggali fondasi filosofis etika hukum melalui tiga dimensi utama: (1) ontologis, guna memahami hakikat moralitas dalam hukum; (2) epistemologis, untuk menjelaskan cara pengetahuan moral bekerja dalam praktik hukum; dan (3) aksiologis, untuk merumuskan nilai-nilai yang menjadi orientasi keadilan. Kajian ini menggunakan pendekatan interdisipliner—menggabungkan filsafat moral, teori hukum, dan refleksi sosial—sebagai upaya mengintegrasikan etika ke dalam praksis hukum yang adil dan manusiawi.


Footnotes

[1]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 3–5.

[2]                Plato, The Laws, trans. Trevor J. Saunders (London: Penguin Classics, 2004), 715–718.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1103b–1105a.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.91–94, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[5]                Ibid., I-II, Q.96, a.4.

[6]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 67–69.

[7]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 10–12.

[8]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 162–164.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Etika Hukum

Kajian tentang etika hukum memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks, membentang dari filsafat Yunani klasik hingga teori hukum modern. Perkembangan historis ini menunjukkan bahwa gagasan tentang hukum tidak pernah terlepas dari refleksi moral dan nilai-nilai etis yang mendasarinya. Dalam konteks ini, genealogi etika hukum tidak hanya menggambarkan perubahan konseptual mengenai hubungan antara moralitas dan hukum, tetapi juga menyingkap dinamika historis tentang bagaimana manusia memahami keadilan, kebenaran, dan kewajiban sosial dalam struktur hukum.

2.1.       Etika dan Hukum dalam Filsafat Yunani Klasik

Pada masa Yunani kuno, pemikiran tentang hukum selalu berakar pada etika dan filsafat moral. Socrates, melalui dialog-dialognya dalam karya Plato, menekankan bahwa hukum sejati harus mencerminkan kebenaran dan keadilan moral yang bersifat universal.⁽¹⁾ Bagi Socrates, hukum yang tidak adil bukanlah hukum sejati karena tidak bersumber dari rasionalitas moral yang menuntun manusia kepada kebaikan.⁽²⁾ Dalam The Republic, Plato menggambarkan hukum sebagai instrumen yang menjaga harmoni dalam jiwa dan masyarakat—di mana keadilan (dikaiosune) menjadi prinsip tertinggi yang mengatur seluruh tatanan sosial.⁽³⁾

Sementara itu, Aristoteles memberikan pendekatan yang lebih empiris dan realistis. Dalam Nicomachean Ethics dan Politics, ia menegaskan bahwa hukum merupakan sarana pendidikan moral yang membentuk kebajikan warga negara.⁽⁴⁾ Menurutnya, keadilan hukum bukan hanya tentang kesetaraan formal, melainkan tentang proporsionalitas yang sesuai dengan martabat dan kontribusi individu terhadap kebaikan bersama (common good).⁽⁵⁾ Pemikiran Aristoteles ini menjadi fondasi awal bagi konsep hukum alam (natural law) yang kelak berkembang dalam tradisi filsafat skolastik.

2.2.       Tradisi Skolastik dan Sintesis Moralitas Ilahi

Memasuki abad pertengahan, etika hukum memperoleh bentuk sistematis melalui sintesis teologis-filosofis yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Dalam kerangka pemikirannya, hukum dibagi menjadi empat tingkatan hierarkis: lex aeterna (hukum kekal), lex divina (hukum ilahi), lex naturalis (hukum alam), dan lex humana (hukum manusia).⁽⁶⁾ Aquinas menegaskan bahwa lex naturalis merupakan partisipasi rasional manusia terhadap hukum kekal Tuhan, dan menjadi dasar moral bagi hukum manusia.⁽⁷⁾

Dengan demikian, setiap hukum manusia yang tidak sesuai dengan prinsip moral dan keadilan ilahi dianggap tidak sah secara moral (lex iniusta non est lex).⁽⁸⁾ Pandangan ini memberikan arah bagi konsepsi etika hukum sebagai suatu sistem normatif yang tidak semata bersandar pada kehendak penguasa, tetapi juga pada rasionalitas moral universal. Tradisi skolastik kemudian membentuk basis bagi hukum kanonik Gereja serta memengaruhi pembentukan hukum kodifikasi Eropa modern.

Selain Aquinas, para pemikir seperti Augustinus dan Anselmus juga memberikan kontribusi besar terhadap integrasi moral dan hukum. Augustinus menegaskan bahwa hukum yang tidak berdasarkan kasih (caritas) dan keadilan sejati hanyalah “kekuasaan yang tersusun tanpa moralitas.”⁽⁹⁾ Pandangan ini memperlihatkan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai spiritual dan tujuan moral manusia.

2.3.       Rasionalisasi Hukum pada Era Modern

Perubahan besar terjadi pada masa modern ketika rasionalitas sekuler mulai menggeser landasan teologis dalam teori hukum. Hugo Grotius menjadi tokoh penting dalam transisi ini. Ia mengembangkan teori hukum alam yang bersifat rasional dan otonom, tidak lagi bergantung secara langsung pada wahyu ilahi.⁽¹⁰⁾ Bagi Grotius, hukum alam tetap sahih “sekalipun Tuhan tidak ada,” karena berakar pada rasio moral manusia yang universal.⁽¹¹⁾

Pencerahan Eropa (Enlightenment) kemudian memperkuat kecenderungan rasionalistik ini. Immanuel Kant, misalnya, menghubungkan hukum dengan prinsip moral otonomi manusia. Dalam Metaphysics of Morals, ia menjelaskan bahwa hukum sejati adalah hukum yang memungkinkan kebebasan seseorang bersesuaian dengan kebebasan semua orang menurut hukum universal.⁽¹²⁾ Prinsip categorical imperative menjadi dasar etis bagi hukum yang menjamin kebebasan dan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar sarana.⁽¹³⁾

Di sisi lain, muncul pula tradisi utilitarianisme yang diwakili oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Mereka menilai hukum dari segi manfaatnya bagi kebahagiaan terbesar (the greatest happiness of the greatest number).⁽¹⁴⁾ Walaupun pendekatan ini menggeser fokus dari moralitas individual ke konsekuensi sosial, tetap terdapat dimensi etika yang inheren dalam teori mereka, yakni keyakinan bahwa hukum harus memajukan kesejahteraan manusia secara kolektif.

2.4.       Etika Hukum dalam Era Positivisme dan Modernitas Hukum

Memasuki abad ke-19 dan ke-20, positivisme hukum mengukuhkan pandangan bahwa hukum harus dipisahkan dari moralitas. John Austin menegaskan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang sah dan didukung oleh sanksi.⁽¹⁵⁾ Hans Kelsen, dalam Pure Theory of Law, mengembangkan konsepsi hukum yang murni normatif dan bebas dari nilai etika.⁽¹⁶⁾ Walau demikian, pemisahan ini menimbulkan dilema moral: jika hukum dilepaskan dari nilai, bagaimana menjelaskan legitimasi hukum yang menindas?

Sebagai reaksi terhadap positivisme, muncul kembali refleksi moral atas hukum melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Lon L. Fuller, John Finnis, dan Jürgen Habermas. Fuller menegaskan bahwa hukum memiliki moralitas internal yang melekat dalam strukturnya, seperti prinsip konsistensi, kejelasan, dan keadilan prosedural.⁽¹⁷⁾ Sementara Finnis menghidupkan kembali teori hukum alam dengan menekankan tujuh nilai dasar manusia yang menjadi fondasi moral hukum.⁽¹⁸⁾ Habermas kemudian mengembangkan pendekatan diskursif, di mana legitimasi hukum diperoleh melalui komunikasi rasional dan etis antarwarga negara.⁽¹⁹⁾

2.5.       Implikasi Genealogis bagi Pemahaman Etika Hukum

Dari seluruh perjalanan historis tersebut, tampak bahwa etika hukum selalu berkembang dalam ketegangan antara rasionalitas moral dan kekuasaan normatif. Genealogi ini menunjukkan bahwa setiap zaman memiliki paradigma sendiri dalam menyeimbangkan hukum dan etika: dari idealisme moral Yunani, teologi skolastik, rasionalisme modern, hingga positivisme dan refleksi diskursif kontemporer. Kesemuanya berkontribusi terhadap pemahaman bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moral, karena tanpa fondasi etika, hukum akan kehilangan arah dan legitimasi.

Dengan demikian, landasan historis dan genealogis etika hukum tidak hanya menjelaskan evolusi gagasan hukum, tetapi juga menegaskan dimensi moral yang menjadi inti dari setiap sistem hukum yang berkeadilan. Pemahaman ini menjadi prasyarat bagi pembentukan kerangka ontologis dan epistemologis etika hukum yang lebih kokoh dan reflektif.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 338c–339e.

[2]                Xenophon, Memorabilia, trans. Amy L. Bonnette (Ithaca: Cornell University Press, 1994), 4.4.12–15.

[3]                Plato, The Republic, 443c–444a.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103b–1105a.

[5]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1280a–1281b.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.91–94, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[7]                Ibid., I-II, Q.93, a.2.

[8]                Ibid., I-II, Q.96, a.4.

[9]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.21.

[10]             Hugo Grotius, On the Law of War and Peace, trans. Francis W. Kelsey (Oxford: Clarendon Press, 1925), Prolegomena, §11.

[11]             Ibid.

[12]             Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:230–232.

[13]             Ibid., 6:225–226.

[14]             Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), ch. I, §2–5.

[15]             John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: John Murray, 1832), 13–15.

[16]             Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 1–10.

[17]             Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–41.

[18]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 86–90.

[19]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–110.


3.           Ontologi Etika Hukum

Ontologi etika hukum berupaya memahami hakikat terdalam dari hukum sebagai fenomena moral yang berakar pada rasionalitas manusia dan struktur nilai yang objektif. Kajian ini tidak hanya menanyakan apa itu hukum dalam dimensi yuridis formal, tetapi juga apa yang membuat hukum itu bernilai dan bermoral. Dengan demikian, ontologi etika hukum mengungkap dasar keberadaan hukum sebagai entitas normatif yang tidak hanya mengatur tindakan manusia, tetapi juga menuntun manusia kepada kebaikan dan keadilan.

3.1.       Hakikat Hukum sebagai Entitas Moral dan Rasional

Dalam pengertian ontologis, hukum bukan sekadar sistem aturan yang dibuat oleh negara, melainkan suatu ekspresi rasionalitas moral manusia dalam mengatur kehidupan bersama. Thomas Aquinas menyebut hukum sebagai ordinatio rationis ad bonum commune—suatu tatanan rasional yang diarahkan kepada kebaikan bersama.¹ Hukum yang sejati harus berakar pada rasio moral yang mampu membedakan antara yang adil dan yang tidak adil, antara yang benar dan yang salah. Aristoteles, jauh sebelumnya, telah menyatakan bahwa hukum yang baik merupakan manifestasi dari akal budi praktis (phronesis) yang mengarahkan masyarakat pada kebajikan moral.²

Pandangan ini menegaskan bahwa hukum memiliki dimensi rasional sekaligus etis. Ia tidak hanya memerintah dan melarang, tetapi juga menilai dan mengorientasikan tindakan manusia menuju keadilan.³ Maka, secara ontologis, hukum memiliki modus essendi ganda: ia adalah norma positif yang mengatur tindakan, dan sekaligus manifestasi nilai moral yang berakar dalam akal praktis manusia.

3.2.       Hubungan antara Hukum, Moralitas, dan Keadilan

Keterkaitan antara hukum dan moralitas telah lama menjadi inti dari refleksi ontologis tentang hukum. Hukum yang adil secara moral diyakini memiliki keberadaan yang sejati, sedangkan hukum yang tidak adil kehilangan legitimasi ontologisnya.⁴ Aquinas dengan tegas menyatakan bahwa lex iniusta non est lex—hukum yang tidak adil bukanlah hukum sejati.⁵ Pernyataan ini menegaskan bahwa keberadaan hukum tidak ditentukan hanya oleh bentuk formalnya, tetapi oleh isi moralnya.

Dalam perspektif modern, John Finnis melanjutkan tradisi ini dengan menegaskan bahwa hukum memperoleh realitas ontologisnya dari nilai-nilai dasar manusia seperti kehidupan, pengetahuan, keadilan, dan persahabatan sosial.⁶ Tanpa orientasi kepada nilai-nilai tersebut, hukum hanyalah sistem aturan yang kehilangan makna normatifnya. Keadilan, dalam kerangka ini, bukan sekadar hasil keputusan penguasa atau kesepakatan sosial, tetapi merupakan sifat ontologis yang melekat pada hukum itu sendiri sebagai refleksi rasio moral manusia.⁷

Sebaliknya, positivisme hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen menolak keterikatan ontologis antara hukum dan moralitas.⁸ Bagi Kelsen, hukum adalah sistem norma yang valid secara formal, bukan karena isinya benar atau salah secara moral, melainkan karena diturunkan dari norma dasar (Grundnorm).⁹ Namun, pendekatan ini menuai kritik karena mengosongkan hukum dari dimensi moralitas yang menjadi sumber makna dan keadilan.ⁱ⁰ Fuller menanggapi dengan menegaskan bahwa bahkan struktur hukum yang paling formal pun memiliki “moralitas internal” seperti kejelasan, konsistensi, dan keterbukaan yang menjadikan hukum dapat berfungsi secara etis.¹¹

3.3.       Dimensi Ontologis: Antara Realisme Moral dan Positivisme Normatif

Ontologi etika hukum berada pada ketegangan antara dua paradigma besar: realisme moral dan positivisme normatif. Realisme moral, sebagaimana dikembangkan dalam tradisi hukum alam, beranggapan bahwa nilai-nilai moral memiliki eksistensi objektif yang dapat ditangkap oleh akal manusia.¹² Dengan demikian, hukum yang sejati bersumber dari realitas moral yang transenden atau rasional. Aquinas dan Grotius termasuk dalam paradigma ini, di mana hukum alam merupakan partisipasi manusia dalam hukum kekal Tuhan atau rasionalitas universal.¹³

Sebaliknya, positivisme normatif menolak realitas objektif dari nilai moral dan menegaskan bahwa keberadaan hukum bergantung sepenuhnya pada kehendak otoritas yang sah.¹⁴ Dalam pandangan ini, hukum adalah produk manusia yang memperoleh validitasnya bukan karena kebenaran moralnya, melainkan karena keabsahan formal dari proses pembentukannya.¹⁵

Namun, pandangan kontemporer seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas berusaha mendamaikan dua kutub ini. Ia menekankan bahwa hukum memperoleh keberadaannya melalui proses diskursif, di mana legitimasi hukum ditentukan oleh rasionalitas komunikatif dan konsensus etis antarwarga.¹⁶ Dengan demikian, hukum memiliki eksistensi ontologis yang bersifat intersubjektif—lahir dari dialog rasional yang menuntut penghormatan terhadap martabat manusia.

3.4.       Manusia sebagai Subjek Ontologis Etika Hukum

Manusia, dalam konteks ontologi etika hukum, tidak sekadar menjadi objek hukum yang diatur, tetapi juga subjek moral yang menciptakan dan menilai hukum. Eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan etis menjadi dasar bagi keberadaan hukum itu sendiri.¹⁷ Dalam pandangan Kant, manusia adalah makhluk otonom yang mampu memberikan hukum bagi dirinya sendiri (autonomia legis).¹⁸ Hukum yang sejati harus menghormati manusia bukan sebagai alat, tetapi sebagai tujuan pada dirinya sendiri.¹⁹

Dimensi ini menunjukkan bahwa hukum memperoleh makna ontologisnya hanya sejauh ia berakar pada kebebasan dan martabat manusia. Di sini, hukum bukan sekadar sistem koersif, melainkan ekspresi kebebasan moral yang teratur. Hukum yang menindas kebebasan manusia berarti meniadakan fondasi ontologisnya sebagai ekspresi akal budi praktis.²⁰

Dengan demikian, manusia adalah pusat ontologi etika hukum: ia adalah sumber nilai, penafsir norma, dan tujuan akhir dari keadilan. Relasi antara manusia dan hukum bukan relasi subordinatif, melainkan relasi dialogis di mana keduanya saling meneguhkan dalam horizon moral yang sama.


Kesimpulan Ontologis

Secara keseluruhan, ontologi etika hukum menunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipahami tanpa dimensi moralitas yang melekat padanya. Keberadaan hukum tidak hanya ditentukan oleh validitas formal, tetapi juga oleh legitimasi etis yang bersumber dari rasionalitas moral manusia. Hukum yang adil bukan hanya ada, tetapi seharusnya ada (ought to be), dan di sinilah letak keontologian hukum yang sejati.

Etika hukum, dalam kerangka ini, menjadi upaya filosofis untuk menjaga agar hukum tetap berada dalam horizon kebaikan dan keadilan. Tanpa fondasi ontologis yang berakar pada moralitas, hukum berisiko tereduksi menjadi alat kekuasaan semata. Maka, ontologi etika hukum berfungsi sebagai penjamin bahwa hukum, dalam eksistensinya yang sejati, selalu berpihak kepada martabat dan nilai kemanusiaan.


Footnots

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1140a–1141b.

[3]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–35.

[4]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.21.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.96, a.4.

[6]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 86–95.

[7]                Ibid., 98–100.

[8]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 67–72.

[9]                Ibid., 75.

[10]             H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), 185–186.

[11]             Lon L. Fuller, The Morality of Law, 39–42.

[12]             Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1280b–1281a.

[13]             Hugo Grotius, On the Law of War and Peace, trans. Francis W. Kelsey (Oxford: Clarendon Press, 1925), Prolegomena §11.

[14]             John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: John Murray, 1832), 13–17.

[15]             Hans Kelsen, Pure Theory of Law, 1–10.

[16]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–110.

[17]             Jacques Maritain, The Rights of Man and Natural Law (New York: Charles Scribner’s Sons, 1943), 4–6.

[18]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.

[19]             Ibid., 4:428–429.

[20]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970), 66–68.


4.           Epistemologi Etika Hukum

Epistemologi etika hukum berfokus pada pertanyaan: bagaimana manusia mengetahui dan memahami nilai-nilai moral yang melandasi hukum, serta bagaimana pengetahuan moral tersebut dapat diterapkan dalam penalaran yuridis? Kajian ini menelusuri hubungan antara pengetahuan rasional, pengalaman moral, dan interpretasi hukum, serta berusaha menjelaskan dasar kognitif yang memungkinkan hukum bersifat etis. Dengan demikian, epistemologi etika hukum menjadi jembatan antara rasionalitas teoretis dan praksis keadilan.

4.1.       Sumber Pengetahuan Etis dalam Penalaran Hukum

Dalam tradisi filsafat klasik, sumber pengetahuan moral dianggap berasal dari akal budi manusia yang mampu mengenali kebaikan dan keadilan sebagai realitas universal. Aristoteles menekankan peran nous praktikos atau akal praktis sebagai dasar bagi penilaian moral yang bijaksana (phronesis).¹ Hukum, bagi Aristoteles, adalah hasil refleksi rasional terhadap pengalaman etis manusia dalam masyarakat.²

Thomas Aquinas kemudian mengembangkan konsep synderesis, yakni kemampuan rasional manusia untuk mengenali prinsip dasar moral seperti “berbuat baik dan menghindari kejahatan.”³ Menurut Aquinas, synderesis adalah sumber epistemik pertama bagi hukum alam (lex naturalis), karena dari sanalah manusia memperoleh kesadaran moral yang membimbingnya dalam membentuk hukum positif.⁴ Dengan demikian, epistemologi etika hukum tidak sekadar bersandar pada pengalaman empiris, tetapi juga pada prinsip rasional yang bersifat apriori dan universal.

Sementara itu, tradisi modern menekankan rasionalitas otonom sebagai sumber legitimasi moral hukum. Immanuel Kant menegaskan bahwa pengetahuan moral tidak diperoleh dari pengalaman, melainkan dari hukum rasional yang bersifat a priori.⁵ Prinsip categorical imperative menjadi dasar epistemik bagi hukum moral: tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal bagi semua makhluk rasional.⁶ Dalam konteks ini, hukum yang adil adalah hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan akal praktis universal.

4.2.       Rasionalitas Praktis dan Pengetahuan Moral dalam Penegakan Hukum

Rasionalitas praktis memainkan peran utama dalam epistemologi etika hukum. Ia memungkinkan penegak hukum menafsirkan norma hukum tidak hanya secara tekstual, tetapi juga secara moral. Lon L. Fuller menegaskan bahwa hukum memiliki internal morality—yakni seperangkat prinsip epistemik yang menjamin agar hukum dapat diketahui, dimengerti, dan ditaati oleh warga.⁷ Prinsip-prinsip seperti kejelasan, konsistensi, dan stabilitas bukan hanya bersifat teknis, melainkan juga memiliki nilai moral epistemik karena menjamin keterbukaan dan rasionalitas hukum.⁸

John Rawls menambahkan bahwa proses berpikir etis dalam hukum merupakan bentuk reflective equilibrium—yakni keseimbangan antara prinsip moral umum dan penilaian khusus dalam konteks sosial tertentu.⁹ Melalui refleksi ini, manusia mampu menyesuaikan antara nilai keadilan yang universal dengan kasus konkret yang unik. Maka, pengetahuan moral dalam hukum tidak bersifat statis, tetapi dinamis dan berkembang melalui proses dialogis antara norma, akal budi, dan pengalaman.¹⁰

Dalam praktik peradilan, rasionalitas praktis juga menjadi dasar dalam interpretasi hukum (legal reasoning). Ronald Dworkin, misalnya, menolak pandangan positivistik bahwa hukum hanyalah kumpulan aturan; ia menegaskan bahwa hakim harus menggunakan prinsip moral (principles of justice, fairness, and due process) dalam menafsirkan hukum positif.¹¹ Dengan demikian, pengetahuan hukum selalu mengandung unsur moralitas yang tak terpisahkan dari rasionalitas etis.

4.3.       Peran Hati Nurani (Conscience) dalam Epistemologi Hukum

Selain rasionalitas formal, epistemologi etika hukum juga melibatkan dimensi batiniah pengetahuan moral, yakni hati nurani (conscience). Dalam tradisi skolastik, hati nurani dianggap sebagai suara batin manusia yang menilai baik dan buruk berdasarkan hukum moral alami.¹² Hati nurani bukan sekadar perasaan, tetapi bentuk kesadaran moral yang bersumber dari akal praktis dan kesadaran akan kebenaran objektif.¹³

Dalam konteks hukum modern, hati nurani berperan penting dalam dilema etis, misalnya dalam kasus di mana hukum positif bertentangan dengan nilai moral universal. Contohnya, perdebatan tentang “ketidaktaatan sipil” (civil disobedience) yang dikemukakan oleh Henry David Thoreau dan Martin Luther King Jr. menyoroti dimensi epistemik hati nurani sebagai sumber pengetahuan moral yang lebih tinggi daripada sekadar kepatuhan legal.¹⁴ King menulis bahwa seseorang memiliki kewajiban moral untuk menentang hukum yang tidak adil, karena kebenaran moral dapat diketahui melalui hati nurani yang tercerahkan.¹⁵

Dengan demikian, hati nurani dalam epistemologi etika hukum merupakan “organ moral” yang menyeimbangkan antara rasionalitas objektif dan kepekaan etis subjektif. Ia menjadi penghubung antara hukum eksternal (positif) dan kesadaran batin manusia yang mencari kebenaran moral.

4.4.       Relativisme dan Universalisme dalam Pengetahuan Etika Hukum

Persoalan epistemologis penting dalam etika hukum adalah pertentangan antara relativisme dan universalisme. Relativisme moral berpendapat bahwa pengetahuan etis bersifat kontekstual, bergantung pada budaya, tradisi, dan struktur sosial tertentu.¹⁶ Dalam paradigma ini, hukum dianggap mencerminkan nilai-nilai masyarakat, bukan kebenaran moral universal. Hal ini tampak dalam aliran realisme hukum dan teori sosiologis, yang melihat hukum sebagai produk relasi kekuasaan dan kebiasaan sosial, bukan refleksi nilai moral objektif.¹⁷

Sebaliknya, universalisme moral menegaskan bahwa prinsip-prinsip moral tertentu memiliki validitas universal—seperti keadilan, kebenaran, dan martabat manusia. John Finnis, mengikuti tradisi hukum alam, menyatakan bahwa nilai-nilai dasar manusia bersifat universal dan dapat diketahui melalui akal praktis.¹⁸ Bahkan dalam pluralitas budaya, nilai-nilai ini tetap menjadi dasar moral bagi semua sistem hukum. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Habermas yang menekankan rational discourse sebagai sarana memperoleh kebenaran etis yang dapat diterima secara intersubjektif.¹⁹

Dengan demikian, epistemologi etika hukum berupaya menyeimbangkan antara konteks historis dan prinsip universal. Pengetahuan etis hukum yang sahih harus terbuka terhadap pluralitas tanpa kehilangan orientasi moral yang rasional dan komunikatif.

4.5.       Pengetahuan Etika Hukum dalam Era Kontemporer

Dalam konteks dunia modern yang kompleks, epistemologi etika hukum menghadapi tantangan baru. Teknologi digital, kecerdasan buatan, dan hukum siber menimbulkan pertanyaan epistemik baru: bagaimana manusia mengenali kebenaran moral dalam konteks algoritma dan sistem otomatis yang menggantikan keputusan manusia?²⁰ Dalam situasi ini, epistemologi etika hukum dituntut untuk memperluas horizon rasionalitasnya dari rasionalitas individual menuju rationality of systems yang tetap mempertahankan nilai-nilai moral.²¹

Selain itu, pendekatan postmodern menyoroti pluralitas pengetahuan dan menolak klaim tunggal atas kebenaran moral.²² Namun, penolakan ini tidak berarti nihilisme moral, melainkan ajakan untuk mengembangkan epistemologi hukum yang dialogis, partisipatif, dan reflektif terhadap keragaman pandangan etis di masyarakat global.²³ Dalam kerangka ini, etika hukum menjadi ruang epistemik di mana rasionalitas, hati nurani, dan komunikasi moral saling bertemu untuk membentuk hukum yang adil, inklusif, dan manusiawi.


Kesimpulan Epistemologis

Epistemologi etika hukum menegaskan bahwa pengetahuan moral yang melandasi hukum tidak bersifat semata empiris atau formal, tetapi merupakan hasil sintesis antara rasionalitas, kesadaran batin, dan pengalaman sosial. Melalui akal praktis, manusia mengenali kebaikan; melalui hati nurani, ia menilai; dan melalui dialog sosial, ia memverifikasi kebenaran moral hukum. Dengan demikian, pengetahuan etika hukum adalah pengetahuan yang hidup (living knowledge): selalu terbuka terhadap koreksi, refleksi, dan perkembangan historis.

Hukum, pada akhirnya, tidak hanya diketahui melalui teks atau prosedur, tetapi melalui kebijaksanaan moral yang menuntun manusia untuk bertindak adil di dunia yang terus berubah.


Footnots

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1140a–1141b.

[2]                Ibid., 1139a–1140b.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.79, a.12, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[4]                Ibid., I-II, Q.94, a.2.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–422.

[6]                Ibid., 4:429–430.

[7]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–35.

[8]                Ibid., 46–48.

[9]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 48–51.

[10]             Ibid., 53–55.

[11]             Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 22–28.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.79, a.13.

[13]             Josef Pieper, The Concept of Sin (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 15–17.

[14]             Henry David Thoreau, Civil Disobedience (Boston: Ticknor and Fields, 1849), 4–6.

[15]             Martin Luther King Jr., Letter from Birmingham Jail (Birmingham: April 16, 1963), 6–8.

[16]             Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 167–170.

[17]             Karl Llewellyn, The Bramble Bush: On Our Law and Its Study (New York: Oceana Publications, 1930), 19–21.

[18]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 85–90.

[19]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–112.

[20]             Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 21–23.

[21]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 64–67.

[22]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 37–40.

[23]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 59–62.


5.           Aksiologi Etika Hukum: Nilai, Keadilan, dan Kebaikan

Aksiologi etika hukum menelaah dimensi nilai (values) yang memberi makna normatif pada hukum, serta bagaimana nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi penilaian moral terhadap sistem dan praktik hukum. Secara filosofis, aksiologi bertanya: apa yang membuat hukum itu bernilai baik dan adil? Pertanyaan ini menempatkan hukum bukan hanya sebagai instrumen pengendalian sosial, tetapi juga sebagai ekspresi rasional dari kebaikan moral dan keadilan substantif. Etika hukum, dalam perspektif aksiologis, berusaha menautkan hukum dengan tujuan moral yang lebih tinggi—yakni kebaikan bersama (bonum commune) dan penghormatan terhadap martabat manusia.

5.1.       Nilai Moral sebagai Fondasi Hukum

Nilai adalah inti dari struktur etika hukum. Hukum yang adil harus didasarkan pada nilai-nilai moral yang bersifat universal seperti kejujuran, keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.¹ Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum yang baik adalah “perintah akal budi untuk kebaikan bersama,”² yang berarti bahwa nilai kebaikan menjadi inti dari seluruh tatanan hukum. Tanpa fondasi nilai, hukum kehilangan orientasi moralnya dan berubah menjadi mekanisme kekuasaan tanpa legitimasi.

Dalam kerangka modern, John Finnis mengembangkan teori basic human goods yang menyatakan bahwa hukum memperoleh validitas moralnya dari nilai-nilai dasar manusia—kehidupan, pengetahuan, keadilan, permainan, persahabatan, dan keindahan.³ Semua nilai ini bersifat intrinsik dan menjadi landasan etika bagi hukum alam modern. Hukum yang sahih, menurut Finnis, adalah hukum yang melindungi dan memajukan nilai-nilai dasar tersebut.⁴

Sebaliknya, positivisme hukum cenderung memisahkan hukum dari nilai moral. Hans Kelsen menegaskan bahwa hukum adalah sistem norma yang sah secara formal, bukan karena kebaikannya, melainkan karena validitas hierarkisnya terhadap Grundnorm.⁵ Pandangan ini, meskipun menegaskan netralitas hukum, berisiko mengabaikan dimensi aksiologis yang menjadi sumber keadilan. Oleh karena itu, teori etika hukum menolak reduksi hukum menjadi sekadar “aturan tanpa nilai,” dan menegaskan kembali bahwa nilai moral adalah substansi ontologis dari hukum yang sejati.⁶

5.2.       Keadilan sebagai Nilai Tertinggi Hukum

Keadilan (justitia) merupakan nilai sentral dalam aksiologi hukum. Sejak Aristoteles, keadilan telah dipahami sebagai kebajikan tertinggi dalam kehidupan sosial, yakni “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.”⁷ Aristoteles membedakan dua bentuk keadilan: keadilan distributif dan keadilan korektif.⁸ Keadilan distributif berhubungan dengan pembagian sumber daya berdasarkan proporsionalitas moral, sedangkan keadilan korektif berkaitan dengan pemulihan keseimbangan akibat pelanggaran hak. Kedua bentuk ini menjadi dasar normatif bagi struktur hukum modern.

Dalam filsafat modern, Immanuel Kant menegaskan bahwa keadilan berakar pada kebebasan moral.⁹ Hukum yang adil adalah hukum yang menjamin kebebasan setiap individu tanpa merusak kebebasan orang lain.¹⁰ Prinsip universal law Kant menunjukkan bahwa keadilan tidak bergantung pada konsekuensi, tetapi pada kesesuaian tindakan dengan prinsip moral yang rasional dan universal. Dengan demikian, hukum memperoleh nilai moralnya sejauh ia menghormati otonomi manusia sebagai makhluk bermartabat.

John Rawls kemudian merumuskan teori keadilan yang berpengaruh dalam konteks modern. Dalam A Theory of Justice, ia memperkenalkan dua prinsip utama: (1) setiap individu memiliki hak atas kebebasan yang sama, dan (2) ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan mereka yang paling lemah (difference principle).¹¹ Teori ini menegaskan keadilan sebagai “fairness,” yaitu kondisi etis yang mengatur struktur sosial secara rasional dan setara. Dalam konteks etika hukum, Rawls menunjukkan bahwa hukum yang baik tidak hanya menegakkan ketertiban, tetapi juga mengoreksi ketimpangan sosial dengan semangat keadilan moral.¹²

5.3.       Kebaikan Bersama (Bonum Commune) dan Martabat Manusia

Konsep bonum commune atau kebaikan bersama merupakan pusat aksiologi dalam etika hukum klasik dan skolastik. Thomas Aquinas menegaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah bonum commune, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.¹³ Kebaikan bersama tidak identik dengan jumlah kebahagiaan terbesar (sebagaimana dikatakan utilitarianisme), tetapi merupakan tatanan moral yang menjamin kondisi bagi setiap individu untuk mengaktualkan dirinya secara bermartabat.¹⁴

Martabat manusia (dignitas humana) menjadi aspek integral dari kebaikan bersama. Dalam pandangan Jacques Maritain, hukum harus berakar pada pengakuan atas martabat manusia sebagai makhluk rasional dan bebas.¹⁵ Pelanggaran terhadap martabat manusia berarti pelanggaran terhadap dasar moral hukum itu sendiri. Oleh karena itu, etika hukum menuntut agar setiap norma hukum dipertimbangkan dalam cahaya martabat manusia yang tidak dapat ditawar.

Pandangan ini berakar kuat dalam tradisi hukum internasional modern, seperti Universal Declaration of Human Rights (1948), yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap martabat dan hak-hak asasi semua anggota keluarga manusia adalah dasar bagi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.¹⁶ Di sini, nilai moral hukum bersifat universal dan menegaskan bahwa setiap sistem hukum nasional harus tunduk pada prinsip etis yang melindungi kemanusiaan.

5.4.       Relasi antara Nilai, Norma, dan Kebajikan

Nilai moral dalam hukum tidak bekerja secara abstrak; ia mewujud dalam norma-norma dan kebajikan praktis. Etika hukum menempatkan kebajikan (virtue) sebagai perantara antara nilai dan tindakan.¹⁷ Dalam kerangka Aristoteles, kebajikan adalah kebiasaan baik yang memungkinkan manusia bertindak sesuai dengan rasio moral.¹⁸ Maka, hakim yang baik bukan hanya yang menerapkan hukum secara teknis, tetapi yang memiliki kebajikan moral seperti kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan.

Lon Fuller memperkuat gagasan ini dengan konsep internal morality of law—yakni nilai-nilai seperti kejelasan, konsistensi, dan keterbukaan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi merupakan ekspresi dari kebajikan hukum yang baik.¹⁹ Artinya, kebajikan bukan sekadar kualitas personal, tetapi struktur etis yang menghidupi sistem hukum itu sendiri.

Dengan demikian, nilai, norma, dan kebajikan membentuk segitiga aksiologis hukum: nilai memberikan arah, norma memberi bentuk, dan kebajikan memberi roh moral bagi penegakannya.²⁰ Tanpa kebajikan moral para pelaku hukum, nilai-nilai keadilan hanya akan menjadi ideal tanpa realisasi praktis.

5.5.       Aksiologi Hukum dalam Konteks Sosial dan Global

Aksiologi etika hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan global. Dalam dunia yang ditandai oleh pluralitas nilai, konflik kepentingan, dan ketimpangan kekuasaan, nilai keadilan dan kebaikan bersama harus diterjemahkan secara kontekstual tanpa kehilangan prinsip universalnya.²¹

Jürgen Habermas menawarkan paradigma discourse ethics di mana legitimasi hukum diperoleh melalui proses komunikasi rasional yang melibatkan semua pihak yang terkena dampak.²² Dalam kerangka ini, nilai hukum tidak bersifat dogmatis, tetapi dialogis; ia dibangun melalui kesepakatan moral yang rasional di antara warga negara yang setara.²³

Dalam konteks globalisasi dan kapitalisme hukum, etika hukum juga ditantang oleh logika pasar dan politik kekuasaan yang sering mengabaikan nilai moral.²⁴ Oleh karena itu, aksiologi etika hukum harus bersifat kritis: menilai sistem hukum bukan hanya berdasarkan efektivitasnya, tetapi juga sejauh mana ia menegakkan nilai keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan universal.²⁵


Kesimpulan Aksiologis

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai, keadilan, dan kebaikan merupakan inti aksiologi etika hukum. Nilai memberi legitimasi moral, keadilan memberi arah normatif, dan kebaikan bersama memberi tujuan akhir bagi hukum. Aksiologi hukum menegaskan bahwa hukum yang benar adalah hukum yang berakar pada nilai moral universal, diterapkan dengan prinsip keadilan yang rasional, dan diarahkan pada kebaikan manusia secara kolektif.

Etika hukum, dengan demikian, menjadi fondasi moral bagi setiap sistem hukum yang ingin mempertahankan legitimasinya. Tanpa nilai, hukum menjadi kering; tanpa keadilan, hukum menjadi tirani; dan tanpa kebaikan, hukum kehilangan makna kemanusiaannya.


Footnots

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 186–189.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 86–95.

[4]                Ibid., 98–100.

[5]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 67–72.

[6]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 162–164.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129a–1131a.

[8]                Ibid., 1131b–1132b.

[9]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:230–232.

[10]             Ibid., 6:238.

[11]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–65.

[12]             Ibid., 75–77.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.2.

[14]             Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 33–35.

[15]             Jacques Maritain, The Rights of Man and Natural Law (New York: Charles Scribner’s Sons, 1943), 5–8.

[16]             United Nations, Universal Declaration of Human Rights (Paris: UN General Assembly, 1948), Preamble.

[17]             MacIntyre, After Virtue, 191–192.

[18]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b–1107a.

[19]             Fuller, The Morality of Law, 33–35.

[20]             Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 72–75.

[21]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Belknap Press, 2009), 7–10.

[22]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–112.

[23]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 36–38.

[24]             David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 81–83.

[25]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2009), 17–20.


6.           Dimensi Sosial dan Politik Etika Hukum

Dimensi sosial dan politik etika hukum menelaah bagaimana nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum berinteraksi dengan struktur kekuasaan, lembaga sosial, dan kehidupan publik. Etika hukum tidak hanya berbicara tentang norma moral individual, tetapi juga tentang tanggung jawab kolektif dan legitimasi sosial dari hukum itu sendiri. Dalam konteks ini, hukum tidak dapat dipahami semata sebagai sistem normatif yang netral, melainkan sebagai institusi sosial yang dipengaruhi oleh relasi kuasa, ekonomi, budaya, dan politik. Etika hukum bertugas menilai sejauh mana sistem hukum mengabdi pada keadilan sosial dan kemanusiaan, bukan hanya pada kepentingan kekuasaan.

6.1.       Hukum sebagai Institusi Sosial yang Bermoral

Secara sosiologis, hukum merupakan sarana yang menata kehidupan bersama dan mewujudkan nilai-nilai moral ke dalam praktik sosial. Émile Durkheim memandang hukum sebagai refleksi dari solidaritas sosial; perubahan bentuk hukum mencerminkan perubahan struktur moral masyarakat.¹ Dalam masyarakat modern yang kompleks, hukum tidak hanya menegakkan ketertiban, tetapi juga mengatur distribusi hak dan kewajiban berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.²

Max Weber, dalam analisisnya tentang rasionalisasi hukum, menekankan bahwa hukum modern cenderung formal dan rasional, tetapi berisiko kehilangan dimensi etisnya.³ Etika hukum, dalam konteks ini, berfungsi mengembalikan “roh moral” ke dalam sistem hukum yang cenderung birokratis dan instrumental.⁴ Dengan kata lain, hukum yang benar tidak sekadar efisien secara prosedural, tetapi juga bermakna secara moral dan sosial.

John Finnis menegaskan bahwa hukum memiliki fungsi sosial untuk memajukan common good melalui tindakan-tindakan yang berakar pada keadilan dan kerja sama sosial.⁵ Maka, dalam kerangka etika hukum, keberlakuan sosial hukum bergantung pada sejauh mana ia mampu menumbuhkan solidaritas, kesejahteraan bersama, dan kepercayaan publik terhadap keadilan.

6.2.       Etika Hukum dan Konsep Negara Hukum (Rule of Law)

Etika hukum memainkan peran penting dalam mengukuhkan rule of law sebagai prinsip moral dan politik. Rule of law bukan hanya sekadar prinsip legal-formal, melainkan ekspresi etika keadilan di mana kekuasaan tunduk pada hukum dan hukum tunduk pada nilai moral.⁶ Lon L. Fuller menegaskan bahwa rule of law memiliki “moralitas internal” yang menjamin agar hukum dapat berfungsi secara etis: hukum harus konsisten, transparan, dan dapat dipahami oleh semua warga negara.⁷

Dalam konteks politik, rule of law mengandaikan kesetaraan moral antara penguasa dan rakyat. Hukum tidak boleh menjadi instrumen kekuasaan untuk menindas, melainkan sarana etis untuk melindungi kebebasan individu dan martabat manusia.⁸ Ketika hukum kehilangan nilai moralnya dan berubah menjadi alat kepentingan, ia berubah menjadi rule by law—yakni penindasan yang dilegalkan melalui aturan.⁹ Oleh karena itu, dalam negara hukum yang demokratis, prinsip etika hukum harus menjadi penyeimbang antara legalitas dan legitimasi moral.

Jürgen Habermas menambahkan bahwa legitimasi hukum hanya dapat diperoleh melalui proses demokratis yang rasional dan komunikatif.¹⁰ Dengan demikian, rule of law dalam arti etis bukan hanya struktur institusional, tetapi juga hasil dari diskursus moral publik yang terbuka dan inklusif.

6.3.       Kekuasaan, Ideologi, dan Tanggung Jawab Moral Hukum

Hubungan antara hukum dan kekuasaan merupakan salah satu fokus utama dalam dimensi politik etika hukum. Michel Foucault mengungkap bahwa hukum sering menjadi bagian dari mekanisme disciplinary power yang menormalisasi perilaku dan membentuk subjek sosial melalui pengawasan dan wacana.¹¹ Dalam kerangka ini, etika hukum harus berfungsi kritis—menguji sejauh mana hukum menjadi alat emansipasi atau justru instrumen dominasi.¹²

Etika hukum yang kritis tidak berhenti pada kepatuhan terhadap hukum positif, tetapi juga mempertanyakan legitimasi moral dari struktur hukum yang ada.¹³ Dalam konteks ini, Hannah Arendt memperingatkan bahwa ketaatan buta terhadap hukum tanpa refleksi etis dapat melahirkan “banalitas kejahatan,” di mana tindakan tidak manusiawi dilakukan atas nama legalitas.¹⁴ Maka, tanggung jawab moral dalam hukum menuntut kesadaran reflektif terhadap nilai kemanusiaan di balik setiap norma hukum.

Kekuasaan politik memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kebijakan hukum tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga adil secara substansial. Etika hukum menjadi mekanisme normatif untuk mengontrol kekuasaan agar tetap berpihak pada keadilan dan kesejahteraan bersama.

6.4.       Etika Profesi Hukum dan Moralitas Publik

Dalam dimensi sosial, etika hukum juga berkaitan erat dengan etika profesi hukum—yakni tanggung jawab moral yang diemban oleh hakim, advokat, jaksa, dan aparat penegak hukum. Profesi hukum bukan sekadar pelaksana aturan, melainkan pelindung nilai-nilai keadilan.¹⁵ Oleh karena itu, integritas moral merupakan syarat fundamental bagi legitimasi sosial profesi hukum.

Etika profesi menuntut agar setiap penegak hukum tidak hanya patuh pada kode etik formal, tetapi juga memiliki kebajikan moral seperti kejujuran, keberanian, dan empati terhadap penderitaan manusia.¹⁶ Fuller menegaskan bahwa tanpa komitmen moral dari para pelaku hukum, sistem hukum akan kehilangan kapasitasnya untuk menegakkan keadilan sejati.¹⁷

Selain itu, etika profesi hukum berfungsi menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga hukum.¹⁸ Kepercayaan sosial (social trust) merupakan aspek aksiologis dari legitimasi hukum; tanpa kepercayaan, hukum kehilangan otoritas moralnya.¹⁹ Dalam hal ini, etika hukum memiliki dimensi sosial yang mendalam—menjadi fondasi moral bagi hubungan antara hukum dan masyarakat.

6.5.       Etika Hukum, Demokrasi, dan Keadilan Sosial

Etika hukum memiliki implikasi langsung terhadap pembangunan demokrasi dan keadilan sosial. Demokrasi yang sejati bukan hanya ditandai oleh prosedur pemilihan umum, tetapi juga oleh adanya sistem hukum yang menjamin partisipasi setara dan keadilan distributif.²⁰ John Rawls menegaskan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari lembaga-lembaga sosial.²¹ Oleh karena itu, hukum harus menjadi instrumen moral yang menegakkan kesetaraan dan melindungi mereka yang paling rentan.

Dalam konteks global, Amartya Sen mengembangkan konsep “keadilan sebagai kebebasan” (justice as freedom), di mana hukum yang baik adalah hukum yang memperluas kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat.²² Maka, etika hukum menuntut agar sistem hukum berperan aktif dalam menghapus kemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan struktural.²³

Demokrasi deliberatif sebagaimana dirumuskan oleh Habermas menempatkan hukum sebagai hasil dari komunikasi etis antara warga negara yang bebas dan setara.²⁴ Dalam kerangka ini, legitimasi hukum tidak ditentukan oleh kekuasaan mayoritas, melainkan oleh rasionalitas moral yang dihasilkan dari dialog publik yang inklusif.²⁵ Dengan demikian, dimensi sosial dan politik etika hukum menegaskan bahwa hukum yang adil harus lahir dari partisipasi moral seluruh masyarakat.


Kesimpulan Dimensi Sosial dan Politik

Dimensi sosial dan politik etika hukum menegaskan bahwa hukum tidak pernah berdiri di ruang hampa nilai. Ia hidup di dalam jaringan sosial dan politik yang kompleks, dan karenanya harus selalu diarahkan pada keadilan sosial, partisipasi demokratis, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Etika hukum berfungsi sebagai kompas moral yang menuntun lembaga hukum agar tidak menyimpang dari tujuan kemanusiaan dan kebaikan bersama.

Hukum yang adil, dengan demikian, bukan hanya hukum yang ditaati, tetapi hukum yang dipercaya—karena ia lahir dari dialog antara moralitas, rasionalitas, dan solidaritas sosial.


Footnots

[1]                Émile Durkheim, The Division of Labour in Society, trans. W. D. Halls (New York: Free Press, 1984), 23–25.

[2]                Ibid., 31–33.

[3]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 882–883.

[4]                Ibid., 887.

[5]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 106–108.

[6]                Joseph Raz, The Authority of Law: Essays on Law and Morality (Oxford: Clarendon Press, 1979), 212–214.

[7]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–38.

[8]                Ibid., 41.

[9]                Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 206–208.

[10]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–111.

[11]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1977), 27–29.

[12]             Ibid., 195–198.

[13]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 172–175.

[14]             Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 276–278.

[15]             David Luban, Legal Ethics and Human Dignity (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 15–18.

[16]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 126–128.

[17]             Fuller, The Morality of Law, 162–165.

[18]             Lawrence Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russell Sage Foundation, 1975), 122–124.

[19]             Robert Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 135–138.

[20]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–40.

[21]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–4.

[22]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Belknap Press, 2009), 17–19.

[23]             Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Belknap Press, 2011), 18–22.

[24]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, 299–302.

[25]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 61–64.


7.           Kritik terhadap Etika Hukum

Kritik terhadap etika hukum mencerminkan dinamika pemikiran hukum yang terus berkembang di antara berbagai paradigma filsafat dan teori sosial. Meskipun etika hukum berupaya mengintegrasikan moralitas dengan hukum, sejumlah aliran filsafat memandang pendekatan ini problematik karena dianggap mengaburkan batas antara fakta dan nilai, antara norma legal dan norma moral. Kritik ini datang dari beberapa arah utama: positivisme hukum, relativisme budaya, sosiologi hukum realis, serta postmodernisme dan teori kritis kontemporer. Masing-masing menawarkan tantangan epistemologis dan normatif terhadap klaim universalitas dan objektivitas etika hukum.

7.1.       Kritik Positivisme Hukum terhadap Moralitas Hukum

Positivisme hukum klasik, yang dipelopori oleh John Austin dan kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen serta H. L. A. Hart, menolak gagasan bahwa hukum harus diukur berdasarkan moralitas.¹ Austin mendefinisikan hukum sebagai “perintah penguasa yang didukung oleh sanksi,”² sehingga validitas hukum bergantung pada otoritas formal, bukan isi moralnya. Dalam pandangan ini, keadilan atau ketidakadilan adalah pertimbangan eksternal terhadap hukum, bukan bagian dari hakikatnya.

Kelsen melanjutkan argumen ini dengan teori hukum murni (Reine Rechtslehre), yang berupaya memisahkan hukum dari semua elemen non-legal seperti etika, politik, dan agama.³ Menurut Kelsen, hukum adalah sistem norma yang valid sejauh ia bersumber dari norma dasar (Grundnorm) yang diakui secara formal.⁴ Dengan demikian, nilai moral bukan syarat bagi keberlakuan hukum. Positivisme mengklaim netralitas ilmiah dalam studi hukum dengan menolak klaim moral universal yang dianggap subjektif dan metafisik.

Namun, pendekatan ini menuai kritik balik dari Lon L. Fuller dan John Finnis yang menilai positivisme telah mengosongkan hukum dari makna moralnya. Fuller menyebut bahwa hukum tanpa moralitas internal hanyalah “kekuasaan yang teratur secara teknis,” bukan hukum sejati.⁵ Kritik ini menandai ketegangan epistemologis antara deskripsi hukum sebagai sistem tertutup dan pemahaman hukum sebagai tatanan normatif yang bermakna secara moral.

7.2.       Kritik Relativisme Budaya dan Sosiologis

Aliran sosiologis dan antropologis menolak universalitas moral yang sering diklaim oleh etika hukum. Clifford Geertz, melalui pendekatan antropologi hukum, berpendapat bahwa setiap sistem hukum lahir dari konteks budaya tertentu dengan nilai dan logika moralnya sendiri.⁶ Tidak ada standar moral tunggal yang dapat diterapkan lintas budaya tanpa mengabaikan keragaman tradisi etis. Dalam kerangka ini, etika hukum universal dianggap berpotensi hegemonik karena menafsirkan moralitas berdasarkan paradigma Barat rasionalistik.⁷

Demikian pula, realisme hukum Amerika (American Legal Realism), yang dipelopori oleh Oliver Wendell Holmes Jr. dan Karl Llewellyn, mengkritik pandangan idealis tentang hukum sebagai sistem rasional yang selaras dengan moralitas universal.⁸ Bagi para realis, hukum adalah hasil interaksi sosial dan keputusan manusia yang sarat dengan kepentingan politik, ekonomi, dan budaya.⁹ Holmes bahkan menegaskan bahwa “kehidupan hukum bukanlah logika, tetapi pengalaman.”¹⁰

Kritik ini menyoroti bahwa klaim moral dalam hukum sering kali menyembunyikan struktur kekuasaan dan bias ideologis. Dengan kata lain, etika hukum tidak bebas dari politik moral, melainkan turut menciptakan hierarki nilai yang dapat bersifat eksklusif atau diskriminatif.

7.3.       Kritik Postmodern dan Dekonstruktif terhadap Etika Hukum

Filsafat postmodern memberikan kritik yang lebih radikal terhadap etika hukum dengan menolak klaim universalitas, rasionalitas, dan stabilitas makna moral. Jacques Derrida, melalui konsep deconstruction, menunjukkan bahwa setiap sistem hukum mengandung ambiguitas internal yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh rasio moral.¹¹ Ia menulis bahwa “keadilan adalah hal yang selalu tertunda,”¹² menandakan bahwa setiap penerapan hukum mengandung unsur ketidakpastian dan keterbatasan interpretasi.

Michel Foucault, di sisi lain, membongkar relasi antara hukum, kekuasaan, dan pengetahuan.¹³ Menurutnya, hukum bukan entitas moral yang netral, melainkan instrumen kekuasaan yang memproduksi subjek melalui mekanisme disciplinary power.¹⁴ Etika hukum, dalam konteks ini, sering kali menjadi sarana legitimasi moral bagi praktik dominasi, bukan alat pembebasan.

Jean-François Lyotard menambahkan bahwa proyek moral universal modern telah runtuh dalam apa yang ia sebut sebagai “krisis legitimasi narasi besar” (grand narratives).¹⁵ Dalam dunia pluralistik, klaim universal atas keadilan atau moralitas hanya dapat dipahami sebagai “narasi lokal” yang bersaing satu sama lain. Kritik postmodern ini memaksa etika hukum untuk lebih reflektif, dialogis, dan sadar akan keterbatasan epistemologisnya.

7.4.       Kritik dari Teori Kritis dan Mazhab Frankfurt

Mazhab Frankfurt, terutama melalui karya Jürgen Habermas dan Theodor Adorno, memberikan kritik terhadap etika hukum modern yang dianggap terlalu rasional-instrumental. Habermas mengakui pentingnya etika dalam hukum, namun menolak pendekatan moral yang bersifat monologis atau paternalistik.¹⁶ Ia menggantinya dengan discourse ethics—etika komunikatif di mana legitimasi hukum diperoleh melalui partisipasi rasional dan bebas dari dominasi.¹⁷

Adorno dan Horkheimer sebelumnya mengkritik “rasionalitas instrumental” dalam hukum modern yang, alih-alih membebaskan manusia, justru memperkuat sistem dominasi dan alienasi sosial.¹⁸ Dalam pandangan mereka, etika hukum harus bersifat emansipatoris, yakni membebaskan individu dari penindasan struktural dan membuka ruang bagi keadilan sosial yang nyata.¹⁹

Dengan demikian, teori kritis tidak menolak etika hukum secara total, tetapi menuntut transformasi paradigma: dari etika normatif yang statis menuju etika reflektif yang sadar akan konteks sosial, politik, dan ekonomi dari hukum itu sendiri.

7.5.       Kritik Kontemporer: Bias Ideologis dan Krisis Etika Global

Dalam era globalisasi dan teknologi, kritik terhadap etika hukum berfokus pada bias ideologis dan tantangan moral baru. Global ethics menyoroti bahwa sistem hukum internasional sering kali mencerminkan dominasi negara kuat dan mengabaikan keadilan substantif bagi negara-negara berkembang.²⁰ Prinsip moral universal seperti human rights kerap ditafsirkan secara politis untuk membenarkan intervensi ekonomi atau militer.²¹

Di sisi lain, perkembangan hukum digital dan kecerdasan buatan menimbulkan krisis etika baru.²² Keputusan hukum yang diambil oleh algoritma atau sistem otomatis menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral, niat, dan keadilan.²³ Hal ini memperlihatkan bahwa etika hukum tidak lagi dapat bergantung pada paradigma klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat penilaian moral. Etika hukum harus berevolusi menghadapi kompleksitas sosial dan teknologi baru yang memengaruhi makna keadilan itu sendiri.


Kesimpulan Kritis

Dari berbagai kritik tersebut, jelas bahwa etika hukum menghadapi dilema mendasar antara universalitas moral dan relativitas sosial, antara idealisme moral dan realitas politik. Positivisme menolak moralitas demi objektivitas, realisme menyoroti faktor sosial dan empiris, postmodernisme menggugat klaim rasionalitas, sementara teori kritis menuntut kepekaan emansipatoris.

Namun demikian, kritik-kritik tersebut tidak meniadakan relevansi etika hukum; sebaliknya, mereka memperkaya refleksi filosofis agar etika hukum menjadi lebih terbuka, dialogis, dan kontekstual. Etika hukum yang sejati bukan sistem moral tertutup, melainkan ruang refleksi rasional yang selalu terbuka bagi koreksi dan pembaruan moral di tengah perubahan zaman.


Footnots

[1]                John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: John Murray, 1832), 13–15.

[2]                Ibid., 21.

[3]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 1–10.

[4]                Ibid., 67–72.

[5]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 39–42.

[6]                Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 167–170.

[7]                Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense (London: Butterworths, 1995), 112–115.

[8]                Karl N. Llewellyn, The Bramble Bush: On Our Law and Its Study (New York: Oceana Publications, 1930), 19–21.

[9]                Oliver Wendell Holmes Jr., The Common Law (Boston: Little, Brown and Company, 1881), 1–3.

[10]             Ibid., 5.

[11]             Jacques Derrida, Force of Law: The "Mystical Foundation of Authority", trans. Mary Quaintance (Cardozo Law Review 11, 1990), 919–921.

[12]             Ibid., 943.

[13]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1977), 195–198.

[14]             Ibid., 203–205.

[15]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 37–40.

[16]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–111.

[17]             Ibid., 302–304.

[18]             Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–97.

[19]             Ibid., 104–106.

[20]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 24–27.

[21]             Makau Mutua, Human Rights: A Political and Cultural Critique (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2002), 14–16.

[22]             Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 21–23.

[23]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 64–67.


8.           Relevansi Etika Hukum dalam Konteks Kontemporer

Etika hukum memiliki urgensi yang semakin besar di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi abad ke-21. Globalisasi, digitalisasi, krisis lingkungan, dan meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi telah menimbulkan tantangan baru terhadap fondasi moral hukum. Dalam konteks ini, etika hukum berfungsi bukan hanya sebagai disiplin reflektif, tetapi juga sebagai prinsip normatif yang menuntun pembentukan dan penerapan hukum agar tetap berakar pada nilai kemanusiaan dan keadilan. Relevansi etika hukum terletak pada kemampuannya untuk menjembatani antara legal validity (keabsahan hukum) dan moral legitimacy (keabsahan moral) dalam tatanan dunia yang semakin kompleks.

8.1.       Etika Hukum dan Tantangan Globalisasi

Globalisasi telah mengubah wajah hukum internasional dan nasional melalui mobilitas ekonomi, migrasi manusia, serta pertukaran ide dan teknologi yang masif. Namun, proses ini juga melahirkan ketidaksetaraan struktural dan krisis moral global.¹ Etika hukum hadir untuk mengingatkan bahwa hukum internasional tidak boleh menjadi instrumen hegemoni, melainkan sarana keadilan global yang berlandaskan solidaritas dan penghormatan terhadap martabat manusia.²

John Rawls dalam The Law of Peoples menegaskan bahwa masyarakat internasional membutuhkan prinsip keadilan global yang didasarkan pada rasa hormat, kerja sama, dan kesetaraan antarnegara.³ Pandangan ini menggeser orientasi hukum internasional dari kepentingan politik menuju moralitas universal yang menghargai hak asasi manusia. Di sisi lain, Amartya Sen menambahkan bahwa hukum harus memperhatikan “kapabilitas” individu dan bangsa untuk hidup secara bermartabat, bukan sekadar kepatuhan terhadap norma formal.⁴

Dalam konteks globalisasi ekonomi, etika hukum berperan menilai legitimasi moral dari sistem perdagangan, investasi, dan hak kekayaan intelektual yang seringkali memperdalam ketimpangan global.⁵ Dengan demikian, etika hukum berfungsi sebagai kritik normatif terhadap hukum internasional yang cenderung berpihak pada kepentingan korporasi dan negara-negara kaya.

8.2.       Etika Hukum dan Hak Asasi Manusia

Relevansi etika hukum juga sangat kuat dalam wacana hak asasi manusia (HAM). Deklarasi Universal HAM (1948) menegaskan bahwa semua manusia memiliki martabat yang melekat dan hak-hak yang setara.⁶ Prinsip ini merupakan fondasi moral yang mendasari hampir seluruh sistem hukum modern. Etika hukum memperkuat kerangka ini dengan memberikan justifikasi moral atas pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia sebagai dasar legitimasi hukum.

Namun, implementasi HAM sering kali menghadapi dilema moral antara universalitas dan relativitas budaya.⁷ Beberapa masyarakat menolak standar HAM global dengan alasan nilai-nilai lokal atau agama. Dalam situasi seperti ini, etika hukum berperan sebagai ruang dialogis untuk menafsirkan prinsip-prinsip moral universal dalam konteks sosial dan kultural yang beragam tanpa kehilangan substansi keadilannya.⁸

Selain itu, muncul persoalan baru seperti hak digital, hak privasi, dan keadilan data.⁹ Dalam era digital, perlindungan terhadap data pribadi menjadi bentuk baru dari penghormatan terhadap martabat manusia.¹⁰ Maka, etika hukum harus berevolusi untuk menjawab tantangan moral dari dunia yang semakin bergantung pada teknologi informasi dan kecerdasan buatan.

8.3.       Etika Hukum dalam Era Digital dan Kecerdasan Buatan

Revolusi digital menghadirkan persoalan epistemologis dan aksiologis yang menantang bagi hukum. Penggunaan artificial intelligence (AI) dalam sistem peradilan, prediksi kriminalitas, dan kebijakan publik memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral dan keadilan algoritmik.¹¹ Apakah keputusan yang dibuat oleh algoritma dapat dianggap sah secara moral? Siapa yang bertanggung jawab atas ketidakadilan yang dihasilkan oleh sistem otomatis?

Mireille Hildebrandt menegaskan bahwa etika hukum dalam era digital harus mampu memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan prinsip moral manusia, melainkan memperkuatnya.¹² Hukum digital harus dirancang dengan mempertimbangkan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.¹³ Luciano Floridi menambahkan bahwa “informasi adalah bentuk kehidupan baru,” sehingga hukum perlu mengakui tanggung jawab etis dalam interaksi manusia dengan sistem informasi.¹⁴

Etika hukum, dalam konteks ini, berperan sebagai panduan normatif untuk menilai batas moral penggunaan teknologi hukum. Hal ini melibatkan pertimbangan tentang kebebasan, privasi, keadilan algoritmik, serta hak untuk tidak didiskriminasi oleh sistem otomatis.¹⁵ Dengan demikian, etika hukum bukan lagi sekadar teori normatif, tetapi juga kerangka moral bagi digital jurisprudence masa depan.

8.4.       Etika Hukum dan Isu Keadilan Ekologis

Salah satu relevansi kontemporer yang semakin penting adalah hubungan antara etika hukum dan krisis ekologis. Antroposentrisme dalam sistem hukum modern sering menyingkirkan nilai moral terhadap alam.¹⁶ Akibatnya, eksploitasi lingkungan, perubahan iklim, dan kehilangan biodiversitas menjadi krisis moral sekaligus hukum. Etika hukum ekologis (ecological jurisprudence) berusaha mengembalikan nilai moral dalam relasi manusia dengan alam.¹⁷

Christopher Stone dalam esainya yang berpengaruh Should Trees Have Standing? mempertanyakan mengapa entitas alam seperti sungai, hutan, atau spesies tidak dapat memiliki hak hukum.¹⁸ Ia menegaskan bahwa sistem hukum yang etis harus memperluas cakupan moralitasnya melampaui manusia. Sejalan dengan itu, hukum lingkungan modern mulai mengadopsi prinsip-prinsip stewardship, tanggung jawab generasional, dan keadilan interspesies.¹⁹

Dengan demikian, etika hukum yang relevan di era krisis ekologis harus melampaui paradigma keadilan sosial menuju paradigma keadilan ekologis.²⁰ Ini menandai transformasi moral hukum dari anthropocentric justice menuju ecocentric justice yang menempatkan keberlanjutan hidup sebagai nilai tertinggi.

8.5.       Etika Hukum, Demokrasi, dan Tanggung Jawab Publik

Dalam konteks politik dan sosial, etika hukum relevan sebagai fondasi moral bagi praktik demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan hukum yang tidak hanya legal, tetapi juga etis dan adil.²¹ Habermas menggarisbawahi bahwa legitimasi hukum hanya dapat diperoleh melalui proses deliberatif di mana warga negara terlibat dalam diskursus rasional yang bebas dari dominasi.²²

Etika hukum menuntut agar kebijakan publik tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermoral secara substantif.²³ Hukum yang menindas, meskipun dibuat secara demokratis, tetap tidak memiliki legitimasi moral.²⁴ Oleh karena itu, etika hukum berperan menjaga agar demokrasi tidak jatuh menjadi “tirani mayoritas,” dengan menegakkan nilai-nilai seperti keadilan sosial, hak minoritas, dan solidaritas publik.

Selain itu, etika hukum juga relevan dalam menghadapi tantangan korupsi, ketidakadilan struktural, dan penyalahgunaan kekuasaan.²⁵ Ia menuntut integritas moral dalam lembaga hukum serta kesadaran etis warga negara untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum yang adil dan transparan. Dalam hal ini, etika hukum bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga kewajiban moral bersama dalam kehidupan berbangsa.


Kesimpulan Relevansi Kontemporer

Relevansi etika hukum di era kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menafsirkan kembali hubungan antara hukum, moralitas, dan kemanusiaan dalam konteks global, digital, ekologis, dan demokratis. Etika hukum berfungsi sebagai panduan moral yang mencegah hukum menjadi alat kekuasaan atau teknologi semata.

Hukum yang etis harus terbuka terhadap nilai-nilai universal, tetapi juga sensitif terhadap konteks lokal; ia harus rasional, namun tetap manusiawi. Di tengah perubahan zaman, etika hukum menjadi ruang refleksi di mana rasionalitas dan moralitas saling menyempurnakan—menjadikan hukum bukan hanya aturan, tetapi perwujudan keadilan yang hidup.


Footnots

[1]                Saskia Sassen, Territory, Authority, Rights: From Medieval to Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 29–31.

[2]                Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense (London: Butterworths, 1995), 103–106.

[3]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 34–36.

[4]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 17–19.

[5]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 23–25.

[6]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights (Paris: UN General Assembly, 1948), Preamble.

[7]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 93–95.

[8]                Abdullahi An-Na’im, Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: A Quest for Consensus (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1992), 18–21.

[9]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 64–67.

[10]             Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 22–25.

[11]             Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 48–50.

[12]             Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law, 112–114.

[13]             Ibid., 115–117.

[14]             Floridi, The Ethics of Information, 81–84.

[15]             Frank Pasquale, The Black Box Society: The Secret Algorithms That Control Money and Information (Cambridge: Harvard University Press, 2015), 5–8.

[16]             Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction: Chelsea Green, 2017), 158–160.

[17]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 92–94.

[18]             Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972): 450–452.

[19]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 104–107.

[20]             Andrew Brennan and Yeuk-Sze Lo, “Environmental Ethics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Stanford University, 2023).

[21]             Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University Press, 1998), 37–40.

[22]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–111.

[23]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 61–63.

[24]             Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt Brace, 1951), 444–447.

[25]             Transparency International, Global Corruption Report 2021 (Berlin: Transparency International, 2021), 9–11.


9.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis dari etika hukum berupaya mengintegrasikan seluruh dimensi yang telah dibahas sebelumnya—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan politik—ke dalam suatu kerangka pemikiran yang utuh dan koheren. Etika hukum, dalam arti terdalamnya, tidak sekadar merupakan cabang dari filsafat moral atau teori hukum, melainkan merupakan ruang dialog antara rasionalitas normatif dan praksis keadilan. Dalam konteks ini, sintesis filosofis menegaskan bahwa hukum yang benar bukan hanya legalitas yang berlaku, tetapi moralitas yang berkeadilan.

Dengan menempatkan hukum dalam horizon etika, sintesis ini berusaha menyatukan tiga poros utama: (1) rasionalitas etis, yang menegaskan dasar moral dari hukum; (2) keadilan sebagai tujuan teleologis hukum; dan (3) kebaikan bersama (bonum commune) sebagai prinsip transendental hukum.

9.1.       Rekonsiliasi antara Legalitas dan Moralitas

Salah satu tujuan utama etika hukum adalah mendamaikan ketegangan antara legal positivism dan natural law theory. Positivisme hukum menekankan validitas formal hukum, sedangkan hukum alam menekankan keabsahan moralnya. Dalam sintesis filosofis, kedua pendekatan ini tidak harus dipertentangkan, melainkan dapat dikompromikan melalui konsep legitimasi ganda: hukum yang sah secara formal harus juga dapat dipertanggungjawabkan secara moral.¹

Lon L. Fuller, dalam The Morality of Law, menyebut bahwa “moralitas internal hukum”—yakni prinsip-prinsip kejelasan, konsistensi, dan keadilan prosedural—merupakan jembatan antara keabsahan hukum dan legitimasi etisnya.² Sementara itu, John Finnis menyatakan bahwa hukum memperoleh maknanya melalui orientasi terhadap nilai-nilai dasar manusia, sehingga legalitas dan moralitas bersatu dalam rasionalitas praktis manusia.³

Dalam sintesis ini, hukum tidak lagi dilihat sebagai sistem tertutup yang steril dari nilai, melainkan sebagai proses rasional yang selalu terbuka terhadap kritik moral. Etika hukum berfungsi untuk memastikan bahwa hukum tidak kehilangan kemanusiaannya, dan bahwa keadilan tidak berhenti pada kepatuhan formal, melainkan mencapai legitimasi substansial.

9.2.       Rasionalitas Etis sebagai Dasar Keberadaan Hukum

Rasionalitas etis merupakan inti dari ontologi hukum yang beretika. Thomas Aquinas menyebut hukum sebagai ordinatio rationis ad bonum commune—tatanan rasional yang diarahkan pada kebaikan bersama.⁴ Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum hanya memiliki eksistensi sejati apabila berakar pada rasionalitas moral.

Dalam tradisi Kantian, rasionalitas moral diwujudkan melalui prinsip otonomi, yaitu kemampuan manusia untuk memberi hukum pada dirinya sendiri (autonomia legis).⁵ Hukum yang sejati harus menghormati manusia sebagai tujuan, bukan alat.⁶ Oleh karena itu, rasionalitas etis bukan sekadar logika formal hukum, tetapi penilaian praktis yang mempertimbangkan martabat manusia dan tujuan moral tindakan hukum.

Habermas memperluas konsep ini dengan memperkenalkan rationality of communication—bahwa legitimasi hukum muncul dari konsensus rasional yang dicapai melalui komunikasi etis di ruang publik.⁷ Dengan demikian, rasionalitas etis adalah fondasi intersubjektif hukum: ia tidak hanya hidup dalam teks undang-undang, tetapi dalam kesadaran moral bersama.

9.3.       Keadilan sebagai Prinsip Teleologis Hukum

Keadilan (justitia) merupakan arah teleologis dari seluruh sistem hukum. Aristoteles menyebut keadilan sebagai “kebajikan utama” karena mencakup seluruh kebajikan moral dalam relasi sosial.⁸ Sementara Aquinas menegaskan bahwa hukum harus mengarahkan manusia kepada keadilan, sebab keadilan adalah ekspresi konkret dari kebaikan moral dalam tatanan sosial.⁹

John Rawls, dalam konteks modern, memformulasikan keadilan sebagai fairness, yaitu keseimbangan antara kebebasan individu dan kesetaraan sosial.¹⁰ Teori ini menegaskan bahwa hukum yang adil adalah hukum yang memfasilitasi keadilan distributif, prosedural, dan korektif sekaligus. Keadilan bukan hasil akhir yang statis, tetapi proses reflektif yang terus diperbarui dalam praktik sosial.

Dengan demikian, sintesis filosofis menempatkan keadilan sebagai tujuan teleologis hukum: hukum tidak hanya mengatur, tetapi menuntun; tidak hanya melarang, tetapi memanusiakan. Keadilan adalah arah normatif yang menautkan legalitas dengan moralitas.

9.4.       Kebaikan Bersama (Bonum Commune) sebagai Tujuan Transendental

Prinsip bonum commune memberikan horizon metafisik bagi etika hukum. Hukum yang sejati selalu diarahkan pada kebaikan bersama, bukan sekadar pada kepentingan individu atau kelompok.¹¹ Bonum commune bukan hanya jumlah kebahagiaan kolektif (seperti dalam utilitarianisme), melainkan tatanan moral yang memungkinkan setiap individu mencapai kesempurnaan dirinya dalam kebersamaan sosial.¹²

Dalam kerangka modern, Jacques Maritain menafsirkan bonum commune sebagai prinsip integral antara hak individu dan tanggung jawab sosial.¹³ Hukum yang beretika harus menjaga keseimbangan antara kebebasan dan solidaritas, antara hak dan kewajiban. Kebaikan bersama menjadi tolok ukur moral bagi legitimasi hukum—ia menguji apakah hukum melayani kemaslahatan universal atau hanya melayani segelintir kepentingan kekuasaan.

Dengan demikian, bonum commune menegaskan bahwa etika hukum memiliki orientasi transendental: ia bukan sekadar moralitas sekuler, melainkan panggilan moral manusia untuk mengupayakan kehidupan bersama yang adil, damai, dan manusiawi.

9.5.       Integrasi Nilai, Norma, dan Praksis Hukum

Sintesis filosofis juga menuntut integrasi antara nilai-nilai moral (etika), norma-norma legal (hukum), dan praktik sosial (politik). Hukum tanpa nilai kehilangan legitimasi; nilai tanpa hukum kehilangan daya praksis; dan praksis tanpa keduanya kehilangan arah moral.¹⁴ Oleh karena itu, etika hukum berfungsi sebagai prinsip penghubung yang menjamin keselarasan antara idealitas moral dan realitas sosial.

Habermas menyebut hal ini sebagai “rasionalitas komunikatif yang berorientasi pada kebenaran praktis,”¹⁵ sementara Finnis menyebutnya sebagai practical reasonableness—yakni kemampuan untuk menimbang tindakan hukum berdasarkan prinsip moral universal dan kondisi konkret manusia.¹⁶ Maka, sintesis filosofis menuntut agar teori dan praktik hukum selalu bergerak dalam dialektika reflektif antara moralitas dan legalitas.

9.6.       Etika Hukum sebagai Kesadaran Reflektif dan Transformasional

Etika hukum, dalam sintesisnya, bukan sekadar sistem nilai normatif, tetapi bentuk kesadaran reflektif dan praksis transformasional. Hukum yang beretika menuntut adanya kesadaran moral dari seluruh elemen masyarakat: pembuat hukum, penegak hukum, dan warga negara. Kesadaran ini memastikan bahwa hukum tetap menjadi sarana keadilan, bukan alat kekuasaan.

Dalam konteks kontemporer, etika hukum juga menjadi gerakan transformasional yang menghadapi tantangan global seperti krisis ekologi, ketidaksetaraan ekonomi, dan disrupsi teknologi.¹⁷ Dengan mengintegrasikan nilai kemanusiaan dan keadilan universal, etika hukum berfungsi sebagai “nalar moral publik” yang menuntun arah perkembangan peradaban hukum manusia.¹⁸

Dengan demikian, sintesis filosofis dari etika hukum berakhir pada sebuah prinsip universal: hukum sejati adalah moralitas yang terinstitusionalisasi, dan moralitas sejati adalah hukum yang dihidupi dalam kesadaran keadilan manusia.


Kesimpulan Sintesis

Dari keseluruhan analisis, dapat disimpulkan bahwa etika hukum merupakan medan refleksi filosofis di mana rasionalitas, keadilan, dan kebaikan bersama saling berkelindan. Ia bukan hanya teori normatif, tetapi praksis moral yang hidup dalam tatanan sosial dan politik. Etika hukum mengingatkan bahwa hukum yang kehilangan etika akan menjadi tirani, sedangkan etika tanpa hukum akan menjadi utopia.

Sintesis filosofis ini, dengan demikian, menegaskan visi integral: hukum dan moralitas adalah dua aspek dari satu realitas rasional yang sama—yakni perjuangan manusia menuju keadilan yang sejati, universal, dan transendental.


Footnots

[1]                H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), 181–183.

[2]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–35.

[3]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 86–95.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[5]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–422.

[6]                Ibid., 4:429.

[7]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–111.

[8]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129a–1132b.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.92, a.1.

[10]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–65.

[11]             Jacques Maritain, The Rights of Man and Natural Law (New York: Charles Scribner’s Sons, 1943), 5–7.

[12]             Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 31–34.

[13]             Maritain, The Rights of Man and Natural Law, 8–10.

[14]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 187–190.

[15]             Habermas, Between Facts and Norms, 303–305.

[16]             Finnis, Natural Law and Natural Rights, 100–102.

[17]             Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Belknap Press, 2011), 27–29.

[18]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 41–43.


10.       Kesimpulan

Etika hukum, dalam keseluruhan kajian filosofisnya, menegaskan bahwa hukum tidak dapat dipahami hanya sebagai seperangkat norma positif yang bersifat formal dan prosedural. Ia merupakan ekspresi rasional dari moralitas manusia yang bertujuan menegakkan keadilan, kebaikan bersama, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dengan demikian, hukum yang sejati bukan hanya legal order, tetapi juga moral order—suatu tatanan yang menggabungkan rasionalitas praktis dan nilai-nilai etis yang mengarahkan kehidupan bersama menuju kesempurnaan moral dan sosial.

10.1.    Hukum sebagai Manifestasi Moralitas Rasional

Secara ontologis, hukum memperoleh eksistensinya dari rasionalitas moral manusia. Thomas Aquinas menegaskan bahwa hukum adalah “tatanan rasional yang diarahkan kepada kebaikan bersama,”¹ yang berarti bahwa hukum hanya sah sejauh ia berakar pada rasio moral yang mengarahkan manusia menuju keadilan. Pandangan ini menempatkan moralitas sebagai fondasi keberadaan hukum: tanpa moralitas, hukum kehilangan legitimasi ontologisnya.

Dalam konteks modern, John Finnis memperkuat pandangan tersebut dengan menegaskan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang melindungi basic human goods seperti kehidupan, keadilan, pengetahuan, dan persahabatan sosial.² Maka, hukum bukan hanya instrumen kekuasaan, tetapi sarana rasional untuk mewujudkan nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Dengan demikian, hukum dan moralitas bukan dua ranah yang terpisah, melainkan dua sisi dari realitas rasional yang sama. Hubungan keduanya bersifat komplementer: hukum memberi struktur bagi moralitas, sementara moralitas memberi arah bagi hukum.

10.2.    Keadilan sebagai Puncak Etika Hukum

Keadilan (justitia) adalah nilai teleologis yang menjadi arah akhir dari seluruh struktur hukum. Aristoteles telah menegaskan bahwa keadilan merupakan “kebajikan utama yang mencakup seluruh kebajikan moral.”³ Dalam kerangka ini, keadilan bukan sekadar kesetaraan formal, melainkan pemulihan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab sosial.

John Rawls kemudian memperbaharui makna keadilan dalam konteks modern melalui prinsip justice as fairness, yaitu keadilan sebagai kondisi rasional yang menyeimbangkan kebebasan individu dengan keadilan distributif.⁴ Prinsip ini menegaskan bahwa sistem hukum harus tidak hanya sah secara legal, tetapi juga adil secara moral dan sosial.

Dalam konteks kontemporer, keadilan juga mencakup keadilan ekologis dan digital, yang menuntut tanggung jawab moral terhadap alam dan teknologi.⁵ Etika hukum, dalam hal ini, memperluas cakupan moral hukum hingga meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia dan planetnya.

10.3.    Rasionalitas dan Komunikasi sebagai Basis Legitimasi Hukum

Secara epistemologis, hukum yang etis bersumber dari rasionalitas praktis dan komunikatif. Immanuel Kant menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk rasional memiliki kemampuan untuk memberi hukum kepada dirinya sendiri (autonomia legis),⁶ sehingga setiap sistem hukum sejati harus menghormati kebebasan dan martabat manusia.

Habermas mengembangkan gagasan ini dengan mengemukakan teori discourse ethics, bahwa legitimasi hukum hanya dapat diperoleh melalui partisipasi rasional warga negara dalam proses komunikasi bebas dan setara.⁷ Artinya, hukum yang adil tidak ditentukan oleh kekuasaan atau mayoritas, tetapi oleh hasil dialog etis yang mengutamakan rasionalitas moral.

Oleh karena itu, rasionalitas hukum tidak dapat dipisahkan dari diskursus moral publik. Dalam masyarakat demokratis, etika hukum menuntut keterbukaan, refleksi, dan partisipasi sebagai dasar legitimasi yang sejati.

10.4.    Hukum dalam Dimensi Sosial dan Politik: Dari Kekuasaan Menuju Keadilan

Dalam tataran sosial dan politik, etika hukum berfungsi sebagai penyeimbang antara hukum dan kekuasaan. Michel Foucault mengingatkan bahwa hukum sering kali menjadi instrumen dominasi,⁸ sementara Hannah Arendt menunjukkan bahwa ketaatan terhadap hukum yang tidak adil dapat melahirkan “banalitas kejahatan.”⁹ Etika hukum mengajarkan bahwa legitimasi hukum tidak cukup didasarkan pada otoritas, tetapi harus berakar pada tanggung jawab moral.

Negara hukum yang sejati (Rechtsstaat) harus berlandaskan rule of law yang bermoral—di mana hukum menundukkan kekuasaan, bukan sebaliknya.¹⁰ Dalam kerangka ini, etika hukum memperkuat demokrasi dengan menegaskan bahwa hukum bukan alat kendali, tetapi sarana pembebasan yang menjamin keadilan dan martabat manusia.

Maka, dimensi sosial-politik etika hukum berperan menjaga agar sistem hukum tetap menjadi ruang moral, bukan mekanisme represif. Ia memastikan bahwa hukum selalu berpihak kepada kemanusiaan, bukan kepada kepentingan kekuasaan.

10.5.    Integrasi Aksiologis: Nilai, Kebaikan, dan Kemanusiaan

Aksiologi etika hukum menunjukkan bahwa nilai-nilai moral seperti keadilan, kebaikan, dan kemanusiaan merupakan fondasi yang memberi makna pada hukum. Thomas Aquinas dan Jacques Maritain sama-sama menegaskan bahwa bonum commune—kebaikan bersama—adalah tujuan akhir hukum.¹¹ Hukum yang baik adalah hukum yang melayani kepentingan umum tanpa mengorbankan hak-hak individu.

Di era modern, nilai-nilai tersebut diterjemahkan dalam prinsip-prinsip human rights, demokrasi deliberatif, dan keadilan sosial.¹² Etika hukum mempersatukan nilai-nilai ini ke dalam suatu sintesis moral yang menghubungkan rasionalitas hukum dengan tujuan kemanusiaan universal.

Dengan demikian, aksiologi hukum tidak bersifat abstrak, tetapi aplikatif: ia memandu pembentukan hukum, interpretasi yudisial, dan kebijakan publik agar selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang transenden.

10.6.    Etika Hukum sebagai Spirit Keadilan Universal

Dalam sintesis akhirnya, etika hukum tampil sebagai semangat yang menjiwai seluruh tatanan hukum. Ia mengingatkan bahwa hukum tanpa etika adalah instrumen kosong, sementara etika tanpa hukum adalah ideal tanpa realisasi.¹³ Etika hukum berperan menjaga keseimbangan antara cita moral dan struktur institusional, antara universalitas prinsip dan partikularitas konteks.

Dengan demikian, etika hukum menjadi prinsip kesatuan antara is dan ought—antara kenyataan hukum dan cita moralnya. Hukum yang sejati bukan hanya ada (being), tetapi juga seharusnya ada (ought to be), sebagaimana dinyatakan oleh Lon Fuller bahwa “kewajiban moral hukum adalah menjamin agar hukum tetap menjadi tatanan yang bermakna bagi manusia.”¹⁴

Etika hukum, karenanya, adalah panggilan rasional dan moral bagi peradaban manusia: untuk membangun hukum yang bukan hanya sah di mata negara, tetapi juga benar di hadapan nurani dan Tuhan.


Kesimpulan Akhir

Secara filosofis, etika hukum mengembalikan hukum kepada hakikat asalnya sebagai instrumen keadilan dan kemanusiaan. Ia menyatukan rasionalitas dan moralitas, legalitas dan legitimasi, kekuasaan dan kebajikan. Dalam konteks kontemporer, etika hukum menjadi dasar reflektif bagi reformasi hukum yang responsif terhadap krisis moral global—mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman ekologis dan teknologi.

Etika hukum yang sejati adalah hukum yang berakar pada kesadaran moral universal dan terbuka terhadap koreksi rasional. Ia mengajarkan bahwa hukum yang adil bukan hanya yang tertulis, tetapi yang hidup dalam tindakan manusia. Dengan demikian, etika hukum tidak berhenti sebagai teori normatif, melainkan menjadi praksis moral yang menuntun manusia menuju tatanan keadilan universal.


Footnots

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.90, a.4, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[2]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 86–95.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129a–1131b.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 75–77.

[5]                Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 92–94.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.

[7]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–111.

[8]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1977), 27–29.

[9]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 276–278.

[10]             Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 206–208.

[11]             Jacques Maritain, The Rights of Man and Natural Law (New York: Charles Scribner’s Sons, 1943), 5–8.

[12]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 61–63.

[13]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 45–47.

[14]             Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 162–164.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

An-Na’im, A. A. (1992). Human rights in cross-cultural perspectives: A quest for consensus. University of Pennsylvania Press.

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. Viking Press.

Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. Harcourt Brace.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Austin, J. (1832). The province of jurisprudence determined. John Murray.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. Bell Tower.

Bosselmann, K. (2008). The principle of sustainability: Transforming law and governance. Ashgate.

Brennan, A., & Lo, Y.-S. (2023). Environmental ethics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy. Stanford University.

Dahl, R. A. (1998). On democracy. Yale University Press.

Derrida, J. (1990). Force of law: The “mystical foundation of authority” (M. Quaintance, Trans.). Cardozo Law Review, 11(5–6), 919–1045.

Dignum, V. (2019). Responsible artificial intelligence: How to develop and use AI in a responsible way. Springer.

Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.

Durkheim, É. (1984). The division of labour in society (W. D. Halls, Trans.). Free Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Clarendon Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Fraser, N. (2009). Scales of justice: Reimagining political space in a globalizing world. Columbia University Press.

Friedman, L. M. (1975). The legal system: A social science perspective. Russell Sage Foundation.

Fuller, L. L. (1969). The morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.

Geertz, C. (1983). Local knowledge: Further essays in interpretive anthropology. Basic Books.

Grotius, H. (1925). On the law of war and peace (F. W. Kelsey, Trans.). Clarendon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Hart, H. L. A. (1961). The concept of law. Clarendon Press.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty. University of Chicago Press.

Hildebrandt, M. (2015). Smart technologies and the end(s) of law. Edward Elgar Publishing.

Holmes, O. W. Jr. (1881). The common law. Little, Brown and Company.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). University of California Press.

King, M. L. Jr. (1963, April 16). Letter from Birmingham jail.

Llewellyn, K. N. (1930). The bramble bush: On our law and its study. Oceana Publications.

Lon L. Fuller. (1969). The morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.

Luban, D. (2007). Legal ethics and human dignity. Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Maritain, J. (1943). The rights of man and natural law. Charles Scribner’s Sons.

Mutua, M. (2002). Human rights: A political and cultural critique. University of Pennsylvania Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Belknap Press.

Pasquale, F. (2015). The black box society: The secret algorithms that control money and information. Harvard University Press.

Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. University of Notre Dame Press.

Pieper, J. (2001). The concept of sin. St. Augustine’s Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon & Schuster.

Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a 21st-century economist. Chelsea Green.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rawls, J. (1999). The law of peoples. Harvard University Press.

Raz, J. (1979). The authority of law: Essays on law and morality. Clarendon Press.

Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Santos, B. de S. (1995). Toward a new legal common sense. Butterworths.

Sassen, S. (2006). Territory, authority, rights: From medieval to global assemblages. Princeton University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Belknap Press.

Stone, C. D. (1972). Should trees have standing? Toward legal rights for natural objects. Southern California Law Review, 45(2), 450–481.

Thoreau, H. D. (1849). Civil disobedience. Ticknor and Fields.

Transparency International. (2021). Global corruption report 2021. Transparency International.

United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. UN General Assembly.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Trans.). University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar