Konsep Mustahilul Wujud
“Kajian Filosofis dan
Teologis Berdasarkan Referensi Islam Klasik”
Alihkan ke: Wajibul Wujud
Disclaimer
Sebagai penulis artikel ini, saya menegaskan bahwa
penulisan tentang konsep-konsep Tasawuf dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan dan
kajian akademis. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang objektif
tentang salah satu gagasan dalam tradisi tasawuf Islam, tanpa bermaksud untuk
mengajarkan, menganjurkan, atau mendorong pembaca untuk mengikuti atau
mendukung konsep ini.
Saya sangat menyarankan kepada para pembaca untuk tetap
berpegang teguh pada ajaran tasawuf yang lurus, yang tidak menimbulkan
kontroversi, serta telah diajarkan oleh para guru yang shaleh, alim, dan
memiliki kredibilitas tinggi dalam keilmuan dan amal. Semoga artikel ini dapat
menjadi sarana untuk menambah wawasan, memperkuat keimanan, dan meningkatkan
cinta kepada Allah Swt dengan pemahaman yang benar, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Abstrak
Konsep Mustahilul Wujud merupakan tema
penting dalam diskursus filsafat dan teologi Islam, yang mengacu pada entitas
atau sifat yang secara esensial tidak mungkin ada karena bertentangan dengan
logika, ontologi, dan ajaran agama. Artikel ini membahas secara mendalam
pengertian, klasifikasi, dan penerapan Mustahilul Wujud berdasarkan
sumber-sumber Islam klasik, termasuk pemikiran ulama besar seperti Al-Ghazali,
Ibnu Sina, dan Fakhruddin Al-Razi.
Melalui pendekatan filosofis dan teologis, artikel
ini menguraikan peran Mustahilul Wujud dalam memahami sifat-sifat Allah,
menjelaskan fenomena alam, dan memperkuat akidah Islam. Dalam teologi Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, Mustahilul Wujud digunakan untuk menegaskan
kesempurnaan sifat Allah dan menolak segala bentuk kekurangan atau kontradiksi.
Sementara itu, filsafat Islam memanfaatkan konsep ini untuk membedakan antara wajib,
mumkin, dan mustahil dalam kerangka logika eksistensi.
Dengan menyajikan dalil-dalil naqli dan aqli,
artikel ini juga menyoroti relevansi konsep Mustahilul Wujud dalam
konteks ontologi modern, termasuk penggunaannya sebagai alat untuk menghadapi
tantangan intelektual kontemporer. Kesimpulan artikel menegaskan bahwa
pemahaman yang komprehensif tentang Mustahilul Wujud tidak hanya memperkuat
keyakinan tauhid, tetapi juga memperkaya wawasan filosofis umat Islam. Artikel
ini diharapkan menjadi kontribusi berharga dalam kajian akidah dan filsafat
Islam.
Kata Kunci: Mustahilul Wujud, teologi Islam, filsafat Islam, Ahlus Sunnah Wal
Jamaah, logika eksistensi, akidah.
PEMBAHASAN
“Pemahaman Mustahilul Wujud:
Kajian Filosofis dan Teologis Berdasarkan Referensi Islam Klasik”
1.
Pendahuluan
1.1.
Pengertian
Mustahilul Wujud
Mustahilul Wujud
adalah istilah yang digunakan dalam diskursus filsafat dan teologi Islam untuk
merujuk kepada sesuatu yang mustahil secara esensial untuk ada. Dalam konteks
ini, mustahil bukan sekadar hal yang tidak ada, tetapi sesuatu yang
keberadaannya secara logis dan ontologis tidak mungkin terjadi. Sebagai contoh, konsep kontradiksi seperti
makhluk yang ada dan tiada secara bersamaan merupakan sesuatu yang mustahil
secara mutlak (mustahil dzati). Istilah ini sering
digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara apa yang bisa diterima oleh akal
sehat dan apa yang tidak mungkin wujud berdasarkan prinsip-prinsip logika.1
Dalam Islam,
pemahaman tentang Mustahilul Wujud berkaitan erat dengan akidah, terutama dalam
membahas sifat-sifat Allah yang sempurna dan mustahil-Nya memiliki kekurangan.
Para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa
sifat mustahil bagi Allah mencakup segala hal yang bertentangan dengan
kesempurnaan-Nya, seperti kelemahan, kebodohan, atau ketidakadilan.2
Pemahaman ini juga diperkuat dalam al-Aqidah al-Tahawiyah yang
menyatakan bahwa segala sifat yang mustahil wujud tidak mungkin dinisbahkan
kepada Allah.3
1.2.
Relevansi Pembahasan
Mustahilul Wujud
Pembahasan tentang
Mustahilul Wujud memiliki posisi strategis dalam ilmu kalam dan filsafat Islam.
Dalam ilmu kalam, konsep ini digunakan untuk memperkuat argumentasi tentang
tauhid, khususnya dalam mengidentifikasi sifat-sifat Allah yang sempurna dan
menolak segala anggapan yang merendahkan
kesucian-Nya. Hal ini sangat relevan untuk menghadapi berbagai aliran pemikiran
yang muncul dalam sejarah Islam, seperti Mu'tazilah dan kelompok lainnya, yang
memiliki pandangan berbeda terkait sifat-sifat Allah.4
Di sisi lain,
filsafat Islam juga menggunakan konsep Mustahilul Wujud untuk mengkaji realitas
dan eksistensi, terutama dalam perdebatan tentang al-wujud wa al-adam (eksistensi dan
ketiadaan). Pemikiran filsuf Muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi
mengintegrasikan logika Aristotelian untuk menjelaskan bahwa Mustahilul Wujud
adalah sesuatu yang tidak dapat menjadi kenyataan berdasarkan hukum sebab-akibat.5
Oleh karena itu, pembahasan ini tidak hanya penting dalam konteks teologis,
tetapi juga filosofis.
1.3.
Tujuan Penulisan
Artikel ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang Mustahilul Wujud melalui
pendekatan filosofis dan teologis yang bersumber dari referensi Islam klasik.
Dengan memadukan analisis logis dan dalil naqli, pembahasan ini diharapkan
dapat memberikan penjelasan yang komprehensif dan memperkuat keyakinan umat
Islam terhadap tauhid. Pendekatan ini juga bertujuan untuk meluruskan pemahaman
yang keliru atau dangkal tentang konsep ini, sehingga umat Islam memiliki
akidah yang kokoh berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Catatan Kaki
[1]
Fakhruddin Al-Razi, Tafsir
Al-Kabir, jilid 1 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), hlm.
36.
[2]
Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, jilid 4 (Kairo: Dar al-Hadith, 2001), hlm. 284.
[3]
Abu Ja'far Al-Tahawi, Al-Aqidah
al-Tahawiyah, ed. Syekh Ibrahim al-Bajuri (Kairo: Dar al-Fajr,
1998), hlm. 12-13.
[4]
Asy-Syahrastani, Al-Milal
wa al-Nihal, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm.
73-75.
[5]
Ibnu Sina, Al-Shifa':
Ilahiyyat, jilid 2 (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 211-212.
2.
Konsep Dasar Mustahilul Wujud
2.1.
Pengertian Ontologis
dan Logis
Mustahilul Wujud
dapat dipahami melalui dua dimensi utama: ontologis dan logis. Dalam pengertian
ontologis, Mustahilul Wujud merujuk pada sesuatu yang keberadaannya secara
esensial tidak mungkin ada, baik dalam realitas maupun dalam pikiran. Contohnya
adalah konsep kontradiktif seperti makhluk yang berada di dua tempat yang
saling eksklusif dalam waktu yang sama.1 Dalam pengertian logis,
Mustahilul Wujud adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat
karena melanggar prinsip dasar logika, seperti prinsip non-kontradiksi (prinsip
bahwa sesuatu tidak dapat sekaligus ada dan tidak ada dalam kondisi yang sama).2
Konsep ini menjadi
fundamental dalam membedakan apa yang mungkin, mustahil, dan wajib ada. Dalam
pandangan teologi Islam, Mustahilul Wujud adalah lawan dari Wajibul Wujud (sesuatu yang keberadaannya
mutlak diperlukan, yaitu Allah) dan berbeda dari Jaizul Wujud (sesuatu yang mungkin
ada atau tidak ada).3
2.2.
Klasifikasi Mustahil
1)
Mustahil ‘Aqli
(Mustahil Akal Murni)
Mustahil ‘Aqli adalah sesuatu yang tidak mungkin
ada berdasarkan hukum akal murni. Contohnya adalah keberadaan suatu makhluk
yang lebih besar dari Allah atau sifat Allah yang tidak sempurna. Imam
Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menegaskan bahwa akal tidak
dapat membayangkan sifat-sifat Allah yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya
karena hal tersebut mustahil secara akal.4
2)
Mustahil ‘Adi (Mustahil
Kebiasaan)
Mustahil ‘Adi adalah sesuatu yang mungkin terjadi
secara logis, tetapi dianggap mustahil dalam pengalaman atau kebiasaan manusia.
Sebagai contoh, seseorang yang berjalan di atas air tanpa bantuan teknologi
adalah mustahil secara kebiasaan, tetapi bukan mustahil secara mutlak karena
hal tersebut dapat terjadi melalui kehendak Allah (seperti mukjizat para nabi).5
3)
Mustahil Syari’i
(Mustahil Berdasarkan Syariat)
Mustahil Syari’i merujuk pada hal-hal yang tidak
mungkin terjadi karena bertentangan dengan hukum-hukum syariat. Contohnya
adalah anggapan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk menyembah selain-Nya,
karena hal ini bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam.6
2.3.
Dalil-Dalil Teologis
Pembahasan
Mustahilul Wujud dalam teologi Islam didukung oleh dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia" (QS. Asy-Syura [42] ayat 11), yang menegaskan bahwa
segala sifat yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya adalah mustahil.7
Ayat ini menjadi landasan untuk mengidentifikasi apa yang mustahil bagi Allah, seperti sifat
kekurangan, kelemahan, atau kebutuhan.
Selain itu, para
ulama klasik, seperti Fakhruddin Al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, menjelaskan bahwa
Mustahilul Wujud adalah dasar logis dalam menetapkan sifat-sifat Allah. Al-Razi
menyebut bahwa akal dapat memastikan bahwa sesuatu yang mustahil secara logis
tidak mungkin terjadi, termasuk anggapan bahwa Allah memiliki sekutu dalam
keesaan-Nya.8
2.4.
Pentingnya Memahami
Konsep Mustahilul Wujud
Pemahaman tentang
Mustahilul Wujud tidak hanya penting untuk memperkuat keyakinan tauhid, tetapi
juga berperan dalam membangun argumentasi logis terhadap berbagai pandangan
yang menyimpang. Sebagai contoh, kelompok
Mu'tazilah menolak konsep Mustahilul Wujud yang melibatkan kehendak Allah dalam
hal-hal yang di luar kebiasaan, sedangkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah menegaskan
bahwa kehendak Allah tidak terbatas oleh akal manusia, asalkan tidak
bertentangan dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna.9
Dengan memahami
Mustahilul Wujud, seorang Muslim dapat lebih kokoh dalam menghadapi pemikiran
yang meragukan atau menyesatkan, serta
mampu menjelaskan akidah Islam dengan pendekatan logis yang meyakinkan.
Catatan Kaki
[1]
Fakhruddin Al-Razi, Tafsir
Al-Kabir, jilid 1 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), hlm.
42.
[2]
Ibnu Sina, Al-Shifa':
Ilahiyyat, jilid 2 (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 194.
[3]
Imam Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, jilid 4 (Kairo: Dar al-Hadith, 2001), hlm. 284.
[4]
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 99-100.
[5]
Ibnu Taimiyah, Majmu'
al-Fatawa, jilid 3 (Riyadh: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 179.
[6]
Abu Ja'far Al-Tahawi, Al-Aqidah
al-Tahawiyah, ed. Syekh Ibrahim al-Bajuri (Kairo: Dar al-Fajr,
1998), hlm. 14.
[7]
Al-Qur'an, QS. Asy-Syura
[42] ayat 11.
[8]
Fakhruddin Al-Razi, Tafsir
Al-Kabir, jilid 2 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), hlm.
76.
[9]
Asy-Syahrastani, Al-Milal
wa al-Nihal, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm.
85-86.
3.
Mustahilul Wujud dalam Perspektif Ilmu Kalam
3.1.
Pandangan Ahlus
Sunnah Wal Jamaah
Dalam teologi Islam,
konsep Mustahilul Wujud sangat fundamental untuk memahami sifat-sifat Allah dan
menetapkan akidah yang benar. Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) menegaskan bahwa
Allah adalah Wajibul Wujud, yang berarti keberadaan-Nya adalah mutlak dan
mustahil bagi-Nya memiliki sifat kekurangan atau kelemahan. Imam Al-Tahawi
dalam Al-Aqidah
al-Tahawiyah menyatakan bahwa sifat-sifat Allah adalah kesempurnaan
mutlak, dan segala sifat yang bertentangan dengan kesempurnaan ini, seperti kelemahan atau ketergantungan, adalah
mustahil bagi-Nya.1
Konsep Mustahilul
Wujud bagi Allah didasarkan pada prinsip tanzih (pensucian), yaitu keyakinan
bahwa Allah suci dari segala sifat yang menyerupai makhluk. Hal ini didasarkan
pada firman Allah dalam Al-Qur'an: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. Asy-Syura
[42] ayat 11). Ayat ini menunjukkan
bahwa segala sifat yang mengurangi keesaan dan kesempurnaan Allah, seperti
menyerupai makhluk atau membutuhkan makhluk, adalah mustahil.2
3.2.
Pandangan Aliran
Lain
1)
Mu’tazilah
Mu’tazilah, meskipun dikenal dengan
pendekatan rasional, memiliki pandangan berbeda dalam mendefinisikan Mustahilul
Wujud. Mereka menekankan konsep keadilan Allah (‘adl), yang menurut mereka berarti
bahwa Allah tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak rasional atau tidak
adil. Sebagai contoh, mereka menganggap mustahil bagi Allah untuk memberikan
beban yang tidak dapat dipikul oleh makhluk-Nya karena hal itu bertentangan
dengan keadilan-Nya.3
Namun, pandangan
Mu’tazilah ini dikritik oleh Ahlus Sunnah, yang menegaskan bahwa keadilan Allah
bukanlah hasil dari aturan akal manusia, melainkan berdasarkan kehendak dan
hikmah-Nya yang sempurna. Imam Fakhruddin Al-Razi menjelaskan bahwa membatasi
kehendak Allah berdasarkan pemahaman manusia adalah bentuk kekeliruan teologis
yang dapat merusak pemahaman tauhid.4
2)
Asy’ariyah
dan Maturidiyah
Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua mazhab
utama dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sepakat bahwa Mustahilul Wujud mencakup
segala sifat yang bertentangan dengan kesempurnaan Allah. Mereka mengajarkan
bahwa Allah tidak mungkin memiliki sifat yang menunjukkan ketergantungan,
seperti membutuhkan makhluk, tempat, atau waktu. Al-Baqillani, seorang tokoh
Asy’ariyah, menegaskan dalam Al-Insaf bahwa sifat-sifat Allah
adalah esensial dan tidak berubah, sehingga segala sesuatu yang mengindikasikan
perubahan atau kekurangan adalah mustahil bagi-Nya.5
3.3.
Implikasi Teologis
Konsep Mustahilul
Wujud memiliki implikasi penting dalam menjaga kemurnian akidah Islam. Dengan
memahami bahwa sifat-sifat Allah adalah sempurna dan bebas dari segala kekurangan, umat Islam dapat
menolak segala pandangan yang merendahkan keesaan dan kebesaran-Nya. Selain
itu, pemahaman ini juga membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis yang
muncul dalam dialog antaragama atau diskusi teologis dengan kelompok lain.
Sebagai contoh,
salah satu pertanyaan klasik yang sering diajukan adalah: "Apakah Allah
mampu menciptakan sesuatu yang lebih besar dari-Nya sendiri?" Jawaban
atas pertanyaan ini adalah bahwa hal tersebut mustahil, bukan karena Allah
tidak mampu, tetapi karena pertanyaan itu sendiri bersifat kontradiktif dan tidak mungkin wujud secara logis. Dalam hal ini, Mustahilul Wujud menjadi
landasan logis untuk menolak premis-premis yang tidak rasional dalam memahami
sifat-sifat Allah.6
3.4.
Kesimpulan
Perspektif Ilmu Kalam
Konsep Mustahilul
Wujud dalam ilmu kalam memainkan peran penting dalam menetapkan batas-batas
pemikiran teologis yang benar. Dengan merujuk pada Al-Qur’an, hadis, dan
pemikiran para ulama, Ahlus Sunnah Wal Jamaah mampu memberikan pemahaman yang
konsisten dan logis tentang
sifat-sifat Allah serta menolak berbagai pandangan menyimpang yang muncul dalam
sejarah pemikiran Islam. Pemahaman ini memperkuat keyakinan bahwa Allah adalah
Zat yang Maha Sempurna, yang mustahil memiliki sifat kekurangan atau
keterbatasan.
Catatan Kaki
[1]
Abu Ja'far Al-Tahawi, Al-Aqidah
al-Tahawiyah, ed. Ibrahim al-Bajuri (Kairo: Dar al-Fajr, 1998),
hlm. 14-15.
[2]
Al-Qur’an, QS. Asy-Syura
[42] ayat 11.
[3]
Asy-Syahrastani, Al-Milal
wa al-Nihal, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm.
85-86.
[4]
Fakhruddin Al-Razi, Tafsir
Al-Kabir, jilid 3 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), hlm.
108.
[5]
Al-Baqillani, Al-Insaf,
ed. Muhammad Uthman (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), hlm. 45-46.
[6]
Ibnu Sina, Al-Najat
(Kairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 233.
4.
Kajian Filsafat Islam Tentang Mustahilul Wujud
4.1.
Analisis Filosofis
Dalam filsafat
Islam, Mustahilul Wujud dipahami sebagai sesuatu yang tidak mungkin eksis
karena bertentangan dengan prinsip-prinsip logika dan realitas. Pemikiran
filsafat Islam banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, tetapi dikembangkan lebih
jauh oleh filsuf Muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi. Ibnu Sina dalam Al-Shifa'
menyatakan bahwa Mustahilul Wujud adalah entitas yang keberadaannya tidak
mungkin secara esensial, seperti adanya sesuatu yang bersifat kontradiktif
dalam dirinya sendiri.1
Al-Farabi, dalam Kitab
al-Huruf, menyebut bahwa Mustahilul Wujud dapat diidentifikasi
melalui analisis logis terhadap realitas. Jika suatu hal melanggar hukum
sebab-akibat atau prinsip non-kontradiksi, maka hal tersebut termasuk dalam
kategori Mustahilul Wujud.2 Pandangan ini menunjukkan pentingnya
logika dalam filsafat Islam untuk membedakan antara yang mungkin (mumkin),
wajib (wajib),
dan mustahil (mumtani').
4.2.
Hubungan dengan Konsep Al-Wujud wa Al-‘Adam
Filsafat Islam
membahas Mustahilul Wujud dalam
kerangka konsep al-wujud wa al-‘adam (eksistensi
dan ketiadaan). Ibnu Sina menjelaskan bahwa keberadaan sesuatu bergantung pada
tiga kategori utama:
1)
Wajibul Wujud: Keberadaan yang
tidak memerlukan sebab lain untuk eksis, yaitu Allah.
2)
Mumkinul Wujud: Keberadaan yang
mungkin ada atau tidak ada tergantung pada sebab eksternal.
3)
Mustahilul Wujud: Keberadaan yang
secara logis tidak mungkin terjadi karena bertentangan dengan esensi atau sifat
dasarnya.3
Dalam filsafat
Islam, Mustahilul Wujud digunakan untuk menegaskan bahwa Allah adalah
satu-satunya Wajibul Wujud, sedangkan segala yang lain adalah mumkinul wujud yang bergantung
kepada-Nya. Dengan demikian, Mustahilul Wujud adalah konsep yang membantu
menjelaskan keteraturan ontologis dalam realitas.
4.3.
Konsep Sebab-Akibat dan Implikasi Logis
Konsep Mustahilul
Wujud juga berkaitan erat dengan hukum sebab-akibat dalam filsafat Islam.
Sebagai contoh, Ibnu Rushd dalam Tahafut al-Tahafut menolak gagasan
bahwa sesuatu yang mustahil dapat terjadi tanpa sebab yang jelas. Ia menegaskan
bahwa hukum kausalitas adalah bagian dari tata aturan yang ditentukan oleh Allah, dan Mustahilul Wujud adalah
segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum ini.4
Pemikiran ini
menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak hanya berbicara tentang realitas secara
abstrak tetapi juga mencari penjelasan logis atas hubungan antara Tuhan, alam,
dan makhluk.
4.4.
Relevansi dengan Ontologi Modern
Meskipun Mustahilul
Wujud awalnya dikembangkan dalam konteks filsafat Islam klasik, konsep ini
tetap relevan dalam kajian ontologi modern. Misalnya, filsafat kontemporer yang membahas logika modal
(modal logic) menggunakan kategori yang mirip dengan wajib,
mumkin,
dan mumtani’.5
Para filsuf Muslim
seperti Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in
Islam menunjukkan bahwa konsep Mustahilul Wujud dapat digunakan
untuk membantah
pandangan-pandangan ateisme modern, terutama yang menyangkal keberadaan Tuhan.
Dengan menunjukkan bahwa konsep Tuhan tidak masuk ke dalam kategori Mustahilul
Wujud, Iqbal menegaskan bahwa keberadaan Allah adalah logis dan diperlukan
secara metafisis.6
4.5.
Integrasi Filsafat dan Teologi
Integrasi antara
filsafat dan teologi dalam pembahasan Mustahilul Wujud menunjukkan pentingnya
pendekatan rasional dan wahyu dalam Islam. Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah mengkritik beberapa filsuf yang gagal memahami batas
logika manusia, tetapi ia tidak menolak logika sepenuhnya. Sebaliknya, ia menggunakan prinsip Mustahilul Wujud
untuk menolak ide-ide yang bertentangan dengan keesaan Allah, seperti keyakinan
adanya dua Tuhan atau lebih.7
Pemikiran ini mengajarkan bahwa filsafat Islam tidak hanya
bersifat spekulatif tetapi juga berfungsi untuk mendukung keyakinan teologis.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Sina, Al-Shifa':
Ilahiyyat, jilid 2 (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 194-195.
[2]
Al-Farabi, Kitab
al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar al-Mashriq, 1969), hlm. 70.
[3]
Ibnu Sina, Al-Isharat
wa al-Tanbihat, ed. Sulaiman Dunya (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1957),
hlm. 86.
[4]
Ibnu Rushd, Tahafut
al-Tahafut (Kairo: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 218.
[5]
William Lane Craig, The
Kalām Cosmological Argument (New York: Macmillan, 1979), hlm.
72-74.
[6]
Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy,
1930), hlm. 51-52.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 89-90.
5.
Contoh-Contoh Penerapan Mustahilul Wujud
5.1.
Dalam Sifat Allah
Penerapan konsep
Mustahilul Wujud dalam sifat Allah berfungsi untuk menetapkan keyakinan bahwa
Allah adalah Zat yang Maha Sempurna dan bebas dari segala kekurangan. Dalam
teologi Islam, Mustahilul Wujud mencakup segala sifat yang tidak mungkin
dimiliki Allah karena bertentangan dengan keesaan dan kesempurnaan-Nya.
Misalnya, sifat membutuhkan makhluk atau waktu adalah mustahil bagi Allah,
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Allah adalah Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran [03] ayat 97).1
Imam Fakhruddin
Al-Razi menjelaskan bahwa sifat mustahil seperti kelemahan, ketergantungan,
atau ketidaktahuan tidak dapat dinisbahkan kepada Allah karena keberadaan-Nya
adalah Wajibul Wujud, yang berarti keberadaan-Nya mutlak sempurna tanpa batas.2
Pendekatan ini juga digunakan untuk
membantah ide-ide yang keliru, seperti anggapan bahwa Allah memiliki sekutu
dalam kekuasaan-Nya, yang mustahil secara logis maupun teologis.3
5.2.
Dalam Fenomena Alam
Konsep Mustahilul
Wujud juga diterapkan dalam memahami fenomena alam dan hukum sebab-akibat.
Sebagai contoh, filsafat Islam menolak kemungkinan bahwa sesuatu dapat terjadi
tanpa sebab atau keluar dari prinsip kausalitas yang ditetapkan oleh Allah. Ibnu Sina dalam Al-Isharat
wa al-Tanbihat menyatakan bahwa keberadaan suatu entitas tanpa
sebab adalah Mustahilul Wujud karena bertentangan dengan hukum akal dan logika.4
Mukjizat para nabi,
meskipun melampaui kebiasaan (adat), tidak termasuk dalam
Mustahilul Wujud karena terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah, yang Maha
Berkuasa untuk melampaui batas hukum alam yang biasa dikenal manusia. Sebagai contoh,
Nabi Musa membelah laut dengan tongkatnya (QS. Asy-Syu’ara [42] ayat 63) adalah
sesuatu yang mungkin karena berasal dari kehendak Allah, bukan semata-mata
fenomena alam biasa.5
5.3.
Dalam Kehidupan Dunia
Dalam kehidupan
sehari-hari, Mustahilul Wujud digunakan untuk menjelaskan batasan akal manusia
dalam memahami realitas. Sebagai contoh, tidak mungkin bagi seseorang untuk
berada di dua tempat yang berbeda secara bersamaan. Prinsip ini juga diterapkan
dalam hukum syariat, seperti dalam
penolakan terhadap pernyataan-pernyataan yang mengandung kontradiksi logis,
misalnya seseorang mengklaim bahwa dirinya adalah Tuhan sekaligus manusia
biasa. Pernyataan ini adalah Mustahilul Wujud karena bertentangan dengan logika
teologis Islam yang menegaskan bahwa Tuhan adalah Zat yang mutlak sempurna,
sementara manusia bersifat terbatas.6
5.4.
Dalam Akidah dan Dakwah
Penerapan Mustahilul
Wujud dalam akidah bertujuan untuk memperkokoh keimanan umat terhadap tauhid.
Dalam konteks dakwah, konsep ini digunakan untuk menjelaskan kepada umat Islam
bahwa keyakinan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah
adalah mustahil dan keliru. Sebagai contoh, ide-ide seperti reinkarnasi dalam pandangan Islam dianggap sebagai Mustahilul
Wujud karena bertentangan dengan konsep qadha dan qadar yang telah ditetapkan
Allah, serta tidak sesuai dengan ajaran bahwa kehidupan manusia di dunia adalah
satu-satunya kesempatan untuk beribadah kepada Allah sebelum hari akhir.7
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya
Ulumuddin menekankan bahwa penting bagi umat Islam untuk memahami
konsep Mustahilul Wujud agar tidak terpengaruh oleh ideologi yang menyimpang. Beliau menulis bahwa akidah
yang benar harus didasarkan pada prinsip logis dan wahyu, yang keduanya saling
mendukung untuk menegakkan kebenaran tauhid.8
Kesimpulan
Penerapan konsep
Mustahilul Wujud dalam berbagai aspek, seperti sifat Allah, fenomena alam,
kehidupan dunia, dan dakwah, menunjukkan betapa pentingnya pemahaman ini dalam
membangun akidah yang kokoh. Dengan memahami batas-batas logika dan esensi
keberadaan, umat Islam dapat membedakan antara yang mungkin, wajib, dan
mustahil, serta memperkuat keyakinan mereka terhadap keesaan dan kesempurnaan
Allah.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS. Ali Imran
[03] ayat 97.
[2]
Fakhruddin Al-Razi, Tafsir
Al-Kabir, jilid 1 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), hlm.
42.
[3]
Abu Ja'far Al-Tahawi, Al-Aqidah
al-Tahawiyah, ed. Ibrahim al-Bajuri (Kairo: Dar al-Fajr, 1998),
hlm. 14-15.
[4]
Ibnu Sina, Al-Isharat
wa al-Tanbihat, ed. Sulaiman Dunya (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1957),
hlm. 86.
[5]
Al-Qur’an, QS. Asy-Syu’ara
[42] ayat 63.
[6]
Ibnu Rushd, Tahafut
al-Tahafut (Kairo: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 112-113.
[7]
Asy-Syahrastani, Al-Milal
wa al-Nihal, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm.
73.
[8]
Imam Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, jilid 4 (Kairo: Dar al-Hadith, 2001), hlm. 284.
6.
Kesimpulan
Konsep Mustahilul
Wujud merupakan salah satu tema penting dalam filsafat dan teologi Islam yang
berfungsi untuk memperjelas batasan antara yang wajib, mungkin, dan mustahil dalam kerangka logis, ontologis, dan
teologis. Dalam teologi Islam, Mustahilul Wujud didefinisikan sebagai sesuatu
yang secara esensial tidak mungkin ada, baik karena bertentangan dengan sifat
dasar eksistensinya maupun melanggar hukum logika seperti prinsip non-kontradiksi. Pemahaman ini tidak hanya
relevan dalam memahami sifat-sifat Allah tetapi juga dalam menjelaskan
keteraturan alam dan hubungan sebab-akibat.
6.1.
Kesimpulan Teologis
Dari perspektif
teologi Islam, Mustahilul Wujud membantu menetapkan keyakinan bahwa Allah
adalah Wajibul
Wujud, yang keberadaan-Nya mutlak sempurna tanpa kekurangan atau
kelemahan. Imam Al-Tahawi dalam Al-Aqidah al-Tahawiyah menegaskan bahwa Allah suci dari segala
sifat yang tidak layak bagi-Nya, seperti kebutuhan terhadap makhluk atau
keberadaan sekutu dalam keesaan-Nya.1 Dalil ini dikuatkan oleh
firman Allah: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. Asy-Syura
[42] ayat 11).2
Konsep Mustahilul
Wujud juga menjadi alat teologis yang digunakan oleh para ulama untuk menolak
klaim-klaim yang menyimpang, seperti pandangan yang menyatakan bahwa Allah
dapat memiliki sifat kekurangan atau berubah. Imam Fakhruddin Al-Razi
menegaskan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan kesempurnaan Allah
adalah mustahil secara akal dan wahyu, karena kesempurnaan adalah sifat
esensial dari Wujud-Nya.3
6.2.
Kesimpulan Filosofis
Dalam filsafat
Islam, Mustahilul Wujud memberikan kerangka untuk memahami realitas dan
eksistensi. Ibnu Sina dalam Al-Shifa' menjelaskan bahwa
kategori Mustahilul Wujud mencakup entitas yang tidak mungkin eksis karena
melanggar hukum logika atau prinsip kausalitas.4 Pendekatan ini membantu mengklasifikasikan
segala sesuatu dalam tiga kategori: Wajibul Wujud (Allah), Mumkinul
Wujud (makhluk yang bergantung pada Allah), dan Mustahilul
Wujud (entitas yang tidak mungkin ada).
Selain itu, filsafat
Islam juga menunjukkan bagaimana Mustahilul Wujud digunakan untuk menjelaskan
fenomena alam dan keajaiban, seperti mukjizat yang meskipun melampaui kebiasaan
(adat),
tetap berada dalam kehendak Allah dan tidak termasuk kategori mustahil secara
mutlak.5 Konsep
ini menjembatani antara pemahaman rasional dan spiritual, sehingga filsafat dan
teologi Islam dapat berjalan seiring dalam menjelaskan realitas.
6.3.
Relevansi dan Implikasi
Pemahaman Mustahilul
Wujud memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan umat Islam, baik dalam
akidah maupun dakwah. Dalam akidah, konsep ini memperkuat keyakinan umat
terhadap tauhid dengan menolak segala pemahaman yang menyimpang dari ajaran
Islam. Dalam dakwah, Mustahilul Wujud menjadi alat untuk membangun argumen yang
logis dan teologis terhadap pandangan yang bertentangan dengan prinsip keesaan
Allah.
Sebagai contoh,
Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menggunakan
prinsip Mustahilul Wujud untuk menolak konsep-konsep yang tidak sesuai dengan
akidah Islam, seperti keyakinan bahwa dunia ini ada tanpa sebab atau bahwa Allah tidak dapat menciptakan sesuatu
yang melampaui kebiasaan manusia.6 Dengan demikian, konsep ini tidak
hanya menjadi landasan teologis tetapi juga metode argumentasi yang efektif
dalam menghadapi tantangan intelektual.
6.4.
Penutup
Sebagai kesimpulan,
Mustahilul Wujud adalah konsep mendalam yang menjelaskan batas-batas keberadaan
dalam pandangan Islam. Dengan memahami konsep ini, umat Islam dapat memperkuat
keyakinan terhadap keesaan dan kesempurnaan Allah, serta menjawab berbagai
tantangan intelektual yang muncul dalam diskursus filsafat dan teologi.
Pemahaman yang mendalam tentang
Mustahilul Wujud, yang didukung oleh dalil-dalil naqli dan aqli, menunjukkan
keindahan dan kekuatan epistemologi Islam dalam menjelaskan hakikat realitas.
Catatan Kaki
[1]
Abu Ja'far Al-Tahawi, Al-Aqidah
al-Tahawiyah, ed. Ibrahim al-Bajuri (Kairo: Dar al-Fajr, 1998),
hlm. 14-15.
[2]
Al-Qur’an, QS. Asy-Syura:
11.
[3]
Fakhruddin Al-Razi, Tafsir
Al-Kabir, jilid 1 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), hlm.
42.
[4]
Ibnu Sina, Al-Shifa':
Ilahiyyat, jilid 2 (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 194-195.
[5]
Ibnu Rushd, Tahafut
al-Tahafut (Kairo: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 218.
[6]
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1960), hlm. 89-90.
Daftar Pustaka
Al-Baqillani, A. (2000). Al-Insaf.
(M. Uthman, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Farabi. (1969). Kitab
al-Huruf. (M. Mahdi, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali. (1960). Tahafut
al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma'arif.
Al-Ghazali. (2001). Ihya
Ulumuddin (Vol. 4). Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Qur’an. Surah Asy-Syura,
42:11.
Al-Qur’an. Surah Ali Imran,
3:97.
Asy-Syahrastani. (1992). Al-Milal
wa al-Nihal (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Craig, W. L. (1979). The
Kalām Cosmological Argument. New York: Macmillan.
Fakhruddin Al-Razi. (1981).
Tafsir Al-Kabir (Vols. 1–3). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
Ibnu Rushd. (1998). Tahafut
al-Tahafut. Cairo: Dar al-Fikr.
Ibnu Sina. (1957). Al-Isharat
wa al-Tanbihat. (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dar al-Ma'arif.
Ibnu Sina. (1960). Al-Shifa':
Ilahiyyat (Vol. 2). Cairo: Dar al-Ma'arif.
Iqbal, M. (1930). The Reconstruction
of Religious Thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy.
Tahawi, A. J. (1998). Al-Aqidah
al-Tahawiyah. (I. al-Bajuri, Ed.). Cairo: Dar al-Fajr.
Lampiran: Daftar Kitab untuk Memahami Konsep Mustahilul
Wujud
1)
Al-Ihya Ulumuddin
Penulis:
Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)
Penjelasan:
Kitab monumental yang membahas berbagai aspek akidah, ibadah, dan etika Islam.
Dalam pembahasan sifat-sifat Allah, Al-Ghazali menjelaskan sifat wajib,
mustahil, dan jaiz bagi Allah secara mendalam, termasuk analisis logis dan
teologis yang berkaitan dengan konsep Mustahilul Wujud.
2)
Tahafut al-Falasifah
Penulis:
Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)
Penjelasan:
Kitab ini merupakan kritik terhadap filsafat para filosof Muslim, terutama
dalam masalah metafisika. Al-Ghazali membahas konsep-konsep yang tidak logis
dalam filsafat, termasuk kategori Mustahilul Wujud dalam pemahaman
sifat-sifat Allah dan realitas.
3)
Tafsir Al-Kabir
Penulis:
Fakhruddin Al-Razi (1149–1209 M)
Penjelasan:
Sebuah tafsir yang kaya dengan penjelasan filosofis dan teologis. Al-Razi
secara sistematis mengupas sifat-sifat Allah, termasuk konsep Mustahilul
Wujud, berdasarkan analisis ayat-ayat Al-Qur'an dan pendekatan logis.
4)
Al-Shifa'*: Ilahiyyat
Penulis:
Ibnu Sina (980–1037 M)
Penjelasan:
Kitab ini adalah bagian dari ensiklopedia filsafat karya Ibnu Sina. Dalam
bagian Ilahiyyat, Ibnu Sina membahas eksistensi Allah dan klasifikasi
keberadaan, termasuk Wajibul Wujud, Mumkinul Wujud, dan Mustahilul
Wujud, dengan pendekatan filosofis yang mendalam.
5)
Kitab al-Huruf
Penulis:
Al-Farabi (872–950 M)
Penjelasan:
Sebuah karya tentang logika dan bahasa yang juga menjelaskan hubungan antara
konsep-konsep keberadaan. Al-Farabi membahas prinsip-prinsip logika yang
digunakan untuk memahami Mustahilul Wujud dan realitas secara
rasional.
6)
Al-Tahawiyah fi
al-Aqidah
Penulis:
Imam Abu Ja'far Al-Tahawi (843–935 M)
Penjelasan:
Sebuah risalah akidah yang menjadi rujukan utama dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Kitab ini menguraikan sifat-sifat Allah, termasuk penjelasan tentang sifat
mustahil yang tidak dapat dinisbahkan kepada-Nya.
7)
Tahafut al-Tahafut
Penulis:
Ibnu Rushd (1126–1198 M)
Penjelasan:
Kitab ini adalah jawaban terhadap kritik Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah. Ibnu Rushd membahas prinsip sebab-akibat dan keberadaan,
termasuk pengkategorian konsep-konsep yang mustahil wujud secara logis.
8)
Majmu' al-Fatawa
Penulis:
Ibnu Taimiyah (1263–1328 M)
Penjelasan:
Kumpulan fatwa yang mencakup berbagai topik teologi dan filsafat Islam. Ibnu
Taimiyah membahas Mustahilul Wujud dalam konteks sifat-sifat Allah dan
pentingnya prinsip logika dalam memahami akidah.
9)
Al-Isharat wa
al-Tanbihat
Penulis:
Ibnu Sina (980–1037 M)
Penjelasan:
Kitab ini berisi refleksi filosofis dan metafisik tentang keberadaan. Ibnu Sina
membahas secara mendalam kategori-kategori eksistensi, termasuk bagaimana Mustahilul
Wujud dipahami dalam filsafat Islam.
10)
Al-Milal wa al-Nihal
Penulis:
Asy-Syahrastani (1086–1153 M)
Penjelasan:
Sebuah kitab tentang perbandingan aliran-aliran dalam Islam dan filsafat. Dalam
kitab ini, Asy-Syahrastani menjelaskan pandangan berbagai kelompok tentang
sifat-sifat Allah, termasuk penggunaan konsep Mustahilul Wujud dalam
menyanggah pandangan yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Penutup
Kitab-kitab ini menawarkan
wawasan yang kaya dan mendalam tentang konsep Mustahilul Wujud, baik
dari perspektif teologis maupun filosofis. Dengan mempelajari karya-karya ini,
pembaca dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif dan sistematis tentang
konsep ini dalam Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar