Keberadaan Tuhan René Descartes
Analisis Ontologis, Epistemologis, dan Metafisis
Alihkan ke: Pemikiran René Descartes.
Abstrak
Artikel ini membahas secara sistematis dalil
rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat René Descartes, dengan
menelusuri landasan historis, struktur ontologis, argumen epistemologis, serta
implikasi aksiologis dan teologisnya. Descartes, melalui metode keraguan
radikal (methodical doubt), berupaya membangun kembali fondasi pengetahuan
yang kokoh dan bebas dari kesangsian. Dari titik tolak cogito ergo sum
(“Aku berpikir maka aku ada”), ia menegaskan perlunya eksistensi Tuhan
sebagai prinsip metafisis yang menjamin kebenaran dan keteraturan dunia.
Secara ontologis, Tuhan bagi Descartes adalah substansi
tak terbatas (substantia infinita) yang eksistensinya niscaya dan
menjadi sebab diri sendiri (causa sui). Secara epistemologis, Tuhan
berfungsi sebagai jaminan kebenaran bagi ide-ide yang jelas dan terpilah (clear
and distinct), serta sebagai penangkal terhadap skeptisisme. Dalam dimensi
aksiologis, Tuhan merupakan dasar moral dan sumber nilai rasional yang
mengarahkan kehendak manusia kepada kebaikan. Dengan demikian, rasionalitas
dalam sistem Descartes tidak semata-mata bersifat logis, tetapi juga mengandung
makna spiritual dan etis yang berakar pada transendensi ilahi.
Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap
argumen Descartes—baik dari empirisisme Hume, rasionalisme kritis Kant, maupun
teologi eksistensial Kierkegaard—yang menyoroti keterbatasan pembuktian
rasional atas Tuhan. Namun demikian, warisan pemikiran Descartes tetap relevan
dalam konteks kontemporer: rasionalitas teistik yang ia bangun menjadi dasar
dialog antara iman dan sains, serta antara spiritualitas dan rasionalitas
modern. Akhirnya, Descartes menampilkan rasio bukan sebagai kekuatan yang
meniadakan Tuhan, melainkan sebagai jalan menuju pengenalan yang lebih dalam
terhadap sumber kebenaran dan makna eksistensi.
Kata Kunci: René Descartes; Rasionalitas; Keberadaan
Tuhan; Ontologi; Epistemologi; Aksiologi; Metafisika; Filsafat Modern;
Rasionalisme Teistik; Transendensi.
PEMBAHASAN
Dalil Rasionalitas Keberadaan Tuhan dalam Filsafat René
Descartes
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Masalah
Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan merupakan salah
satu persoalan paling mendasar dalam filsafat dan teologi sepanjang sejarah
pemikiran manusia. Sejak zaman Yunani Kuno hingga modernitas, berbagai argumen
telah dikembangkan untuk menjawab problem metafisis ini, mulai dari argumen
kosmologis Aristoteles hingga pembuktian ontologis Anselmus dari Canterbury.
Dalam konteks modern, René Descartes (1596–1650) menempati posisi yang sangat
penting karena berusaha membuktikan keberadaan Tuhan bukan semata-mata berdasarkan
otoritas wahyu atau tradisi, melainkan melalui dasar rasional yang dapat
dipertanggungjawabkan secara logis dan metodis.¹
René Descartes, yang dikenal sebagai “Bapak
Filsafat Modern,” berupaya menegakkan fondasi pengetahuan yang kokoh melalui
metode keraguan radikal (methodical doubt). Ia menolak segala bentuk
otoritas eksternal dan berusaha menemukan kepastian yang tidak dapat diragukan,
yang pada akhirnya dirumuskan dalam prinsip terkenal cogito ergo sum
(“Aku berpikir maka aku ada”).² Namun, bagi Descartes, kepastian tentang
eksistensi diri tidaklah cukup untuk menjamin kebenaran seluruh pengetahuan.
Diperlukan jaminan metafisis bahwa akal manusia tidak ditipu oleh suatu
kekuatan jahat yang maha-kuasa (deus deceptor).³ Di sinilah argumen
tentang keberadaan Tuhan menjadi sentral, karena Tuhan dipandang sebagai sumber
dan jaminan seluruh kebenaran serta realitas objektif dunia.⁴
Melalui pendekatan rasional dan deduktif, Descartes
mengajukan dua bentuk utama pembuktian keberadaan Tuhan: argumen kausalitas
(dalam Meditation III) dan argumen ontologis (dalam Meditation
V). Keduanya bertujuan menunjukkan bahwa ide tentang Tuhan sebagai wujud
yang sempurna tidak mungkin berasal dari manusia yang terbatas, melainkan mesti
bersumber dari keberadaan yang sungguh-sungguh nyata dan sempurna.⁵ Dengan
demikian, Tuhan tidak hanya dibuktikan secara metafisis, tetapi juga menjadi
fondasi epistemologis bagi kepastian rasional itu sendiri.⁶
Konteks historis Descartes juga memperlihatkan
bahwa argumen rasionalitas keberadaan Tuhan merupakan respons terhadap krisis
epistemologis pada masa transisi dari abad pertengahan menuju modernitas.
Reformasi Gereja, kebangkitan sains mekanistik, dan runtuhnya otoritas
skolastik memunculkan kebutuhan baru akan dasar pengetahuan yang independen
dari tradisi.⁷ Dalam situasi tersebut, Descartes menempatkan Tuhan bukan
sebagai objek iman semata, melainkan sebagai syarat rasionalitas dan dasar
metafisis dari pengetahuan manusia.⁸
1.2.      
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa
pertanyaan pokok dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)                 
Bagaimana Descartes membangun dalil rasionalitas keberadaan Tuhan
melalui kerangka metodologis dan ontologisnya?
2)                 
Apa hubungan antara eksistensi Tuhan dan kepastian pengetahuan dalam
sistem rasionalisme Cartesian?
3)                 
Sejauh mana argumen Descartes dapat dipertahankan terhadap kritik dari
filsafat empiris dan rasionalisme kritis (seperti Kant)?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat Kajian
Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri dan
menganalisis dasar rasionalitas dalam pembuktian keberadaan Tuhan menurut René
Descartes. Secara khusus, kajian ini bermaksud:
·                    
Mengungkap struktur logis dan metafisis dari argumen Descartes tentang
Tuhan.
·                    
Menilai koherensi antara metode keraguan, cogito, dan pembuktian
keberadaan Tuhan.
·                    
Memberikan evaluasi kritis atas kontribusi Descartes terhadap relasi
antara iman, akal, dan pengetahuan modern.
Manfaatnya tidak hanya bersifat historis, tetapi
juga reflektif, karena mengajak pembaca meninjau ulang dasar rasionalitas dan
transendensi dalam pemikiran manusia modern.
1.4.      
Metode Kajian
Kajian ini menggunakan metode penelitian
filosofis dengan pendekatan analisis konseptual dan hermeneutik
historis. Teks utama yang digunakan ialah Meditations on First
Philosophy, dengan dukungan karya Descartes lainnya seperti Principia
Philosophiae dan Discourse on Method. Pendekatan hermeneutik dipakai
untuk memahami makna dan intensi filosofis Descartes dalam konteks sejarahnya,
sedangkan analisis logis digunakan untuk menilai koherensi internal
argumennya.⁹ Pendekatan ini memungkinkan pembacaan Descartes secara rasional
dan kritis, tanpa terjebak dalam pembelaan teologis semata.
Footnotes
[1]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 24–25.
[2]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 17.
[3]               
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 126–127.
[4]               
John Cottingham, The Rationalists (Oxford:
Oxford University Press, 1988), 45.
[5]               
Descartes, Meditations, 48–50.
[6]               
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 432.
[7]               
Richard Popkin, The History of Scepticism from
Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 58–60.
[8]               
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 112.
[9]               
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology
(London: Routledge, 2000), 21–22.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
2.1.      
Konteks Intelektual Abad ke-17
Filsafat René Descartes lahir dari rahim zaman yang
penuh gejolak intelektual dan spiritual. Abad ke-17 menandai masa transisi
besar dari dunia abad pertengahan yang bercorak teosentris menuju dunia modern
yang bercorak antroposentris dan rasional.¹ Penemuan ilmiah Copernicus, Kepler,
dan Galileo telah meruntuhkan pandangan kosmos skolastik yang berpusat pada
bumi dan digantikan oleh model alam semesta mekanistik yang tunduk pada hukum
matematika.² Dalam konteks inilah, kebutuhan akan dasar pengetahuan yang baru
menjadi mendesak, karena otoritas teologis dan metafisika Aristotelian yang
mendominasi universitas-universitas Eropa mulai dipertanyakan.³
Di tengah krisis epistemik tersebut, Descartes
berupaya menyusun filsafat yang memberikan kepastian yang setara dengan
kepastian matematika. Ia melihat bahwa kepastian metafisik dan ilmiah hanya
dapat dicapai bila akal manusia berdiri di atas fondasi yang tidak tergoyahkan.
Oleh karena itu, ia memperkenalkan metode keraguan radikal, di mana
segala hal yang sedikit saja dapat diragukan harus ditolak sampai ditemukan
kebenaran yang tidak dapat disangkal.⁴ Namun, untuk menjamin bahwa rasio
manusia tidak tertipu oleh ilusi atau “genius jahat,” diperlukan kepastian
metafisis tentang keberadaan Tuhan sebagai sumber kebenaran dan keteraturan.⁵
Dengan demikian, argumen rasionalitas keberadaan Tuhan dalam sistem Descartes
tidak berdiri terpisah dari proyek epistemologisnya, melainkan menjadi bagian
integral dari dasar seluruh ilmu pengetahuan.⁶
2.2.      
Posisi Descartes dalam Tradisi
Rasionalisme
Untuk memahami dalil rasionalitas keberadaan Tuhan
menurut Descartes, perlu ditelusuri posisi filsafatnya dalam tradisi
rasionalisme Barat. Rasionalisme, sebagai arus besar dalam filsafat modern,
berasumsi bahwa kebenaran sejati dapat dicapai melalui akal (ratio)
tanpa bergantung sepenuhnya pada pengalaman empiris.⁷ Tradisi ini, yang
kemudian dikembangkan oleh Spinoza dan Leibniz, menemukan bentuk awal dan
paradigmatik dalam sistem Descartes.
Meski sering dianggap sebagai pembaru radikal,
Descartes tetap berdialog dengan tradisi filsafat skolastik. Ia mewarisi
konsep-konsep kunci seperti substansi, kausalitas, dan aktus
purus dari metafisika Thomas Aquinas dan Duns Scotus, namun menafsirkan
ulang semuanya dalam kerangka epistemologis baru.⁸ Dalam hal pembuktian
keberadaan Tuhan, misalnya, Descartes melanjutkan tradisi argumen ontologis
Anselmus dari Canterbury tetapi mengubahnya menjadi bagian dari metodologi rasional
untuk mencapai kepastian.⁹
Perbedaan fundamental antara Descartes dan para
pendahulunya terletak pada arah pembuktiannya. Bila dalam teologi skolastik
keberadaan Tuhan merupakan postulat iman yang kemudian dijustifikasi
melalui rasio, maka dalam Descartes, keberadaan Tuhan adalah kesimpulan
rasional yang menjadi syarat kemungkinan iman dan pengetahuan.¹⁰
Dengan demikian, Tuhan dalam sistem Cartesian bukan sekadar objek devosi
religius, melainkan prinsip epistemik yang menjamin kebenaran.¹¹
2.3.      
Motif Teologis dan Epistemologis
Descartes
Dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat
Descartes tidak dapat dipisahkan dari dua motif utama yang saling terkait: motif
teologis dan motif epistemologis. Secara teologis, Descartes
meyakini bahwa akal manusia diciptakan oleh Tuhan untuk mengenal kebenaran,
sehingga setiap pencarian rasional sejati pada dasarnya adalah partisipasi
dalam kebenaran ilahi.¹² Dalam suratnya kepada teolog Marin Mersenne, Descartes
menegaskan bahwa seluruh sistem filsafatnya “tidak dapat dipisahkan dari
gagasan tentang Tuhan sebagai pencipta dan penjamin segala sesuatu.”¹³
Secara epistemologis, pembuktian rasional
keberadaan Tuhan berfungsi untuk mengatasi skeptisisme metodologis yang
Descartes bangun sendiri. Setelah menemukan kebenaran pertama dalam cogito
ergo sum, ia menyadari bahwa kepastian tentang diri belum menjamin
kebenaran tentang dunia luar.¹⁴ Oleh sebab itu, keberadaan Tuhan yang sempurna
dan tidak menipu menjadi dasar jaminan bahwa persepsi dan ide yang jelas serta
terpilah (clear and distinct) dapat dipercaya.¹⁵ Dengan kata lain, Tuhan
dalam sistem Descartes bukan hanya objek metafisika, melainkan fondasi
epistemologi rasionalisme itu sendiri.
Genealogi intelektual Descartes juga memperlihatkan
bahwa filsafatnya berakar pada tradisi Augustinian, yang menekankan relasi
langsung antara akal manusia dan kebenaran ilahi.¹⁶ Namun, berbeda dari
Augustinus yang menempatkan iman sebagai awal pengetahuan (credo ut
intelligam), Descartes memulai dari keraguan menuju kepastian melalui rasio,
lalu kembali meneguhkan keberadaan Tuhan sebagai jaminan kebenaran.¹⁷ Inilah
yang menjadikan dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes
memiliki nilai ganda: ia sekaligus berfungsi sebagai argumen teologis dan
prinsip epistemologis modernitas.
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 13–15.
[2]               
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 5–7.
[3]               
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 233.
[4]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 17–20.
[5]               
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 128.
[6]               
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 22.
[7]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2012), 428–430.
[8]               
Gilson, Reason and Revelation, 240.
[9]               
Norman Kemp Smith, The Philosophy of Descartes
(London: Macmillan, 1952), 76–77.
[10]            
Richard Popkin, The History of Scepticism from
Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 65–66.
[11]            
John Cottingham, The Rationalists (Oxford:
Oxford University Press, 1988), 47.
[12]            
Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55.
[13]            
René Descartes, The Philosophical Writings of
Descartes, trans. John Cottingham, Robert Stoothoff, and Dugald Murdoch,
vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 271.
[14]            
Descartes, Meditations, 25–26.
[15]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
431.
[16]            
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 253.
[17]            
Gilson, The Unity of Philosophical Experience
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 115.
3.          
Ontologi
Descartes tentang Tuhan
3.1.      
Konsep Substansi dan Atribut
Dalam filsafat René Descartes, ontologi memainkan
peranan sentral dalam menegaskan dasar metafisis dari seluruh sistem
rasionalitasnya. Segala sesuatu yang ada disebut substansi (substantia),
yaitu sesuatu yang eksis sedemikian rupa sehingga tidak bergantung pada apa pun
kecuali dirinya sendiri.¹ Namun, Descartes segera menegaskan bahwa dalam arti
mutlak, hanya Tuhan yang dapat disebut substansi sejati, sebab
hanya Ia yang benar-benar causa sui—penyebab bagi dirinya sendiri.²
Sementara itu, manusia dan dunia materi hanyalah substansi dalam arti relatif,
karena eksistensinya bergantung pada kehendak Tuhan.³
Dalam Principia Philosophiae, Descartes
membedakan tiga jenis substansi: (1) Tuhan sebagai substansi infinita
(substansi tak terbatas), (2) jiwa atau res cogitans (substansi
berpikir), dan (3) materi atau res extensa (substansi yang
memiliki keluasan).⁴ Dari ketiganya, Tuhan menempati posisi tertinggi sebagai
penyebab utama (causa prima) dari segala eksistensi. Dengan demikian,
ontologi Descartes bersifat hierarkis dan teosentris, meskipun dikembangkan
dalam kerangka rasional dan deduktif.
Tuhan dalam sistem Cartesian tidak memiliki atribut
material, melainkan ditandai oleh sifat-sifat metafisis seperti infinitas,
kesempurnaan, dan kebenaran absolut.⁵ Kesempurnaan ini bukan sekadar sifat
moral, tetapi juga ontologis: Tuhan adalah keberadaan yang mencakup segala
realitas positif tanpa kekurangan sedikit pun.⁶ Karena itu, bagi Descartes, ide
tentang Tuhan sebagai wujud sempurna tidak mungkin berasal dari makhluk yang
terbatas; maka ide tersebut harus disebabkan oleh realitas yang memiliki
kesempurnaan itu sendiri.⁷
3.2.      
 Eksistensi Tuhan sebagai Esensi yang Niscaya
Salah satu aspek paling penting dari ontologi
Descartes adalah pandangannya bahwa eksistensi merupakan bagian dari esensi
Tuhan. Dalam Meditation V, Descartes menulis bahwa keberadaan Tuhan
“tidak dapat dipisahkan dari hakikat-Nya lebih dari segitiga yang tidak dapat
dipisahkan dari fakta bahwa jumlah sudut-sudutnya sama dengan dua sudut
siku-siku.”⁸ Dengan kata lain, Tuhan bukan sekadar mungkin ada, melainkan niscaya
ada (ens necessarium).
Argumen ini dikenal sebagai pembuktian ontologis,
yang mengandaikan bahwa dari ide tentang Tuhan sebagai wujud yang memiliki
segala kesempurnaan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan merupakan salah satu
kesempurnaan itu.⁹ Sebab, jika Tuhan tidak ada, maka Ia tidak memiliki
kesempurnaan yang lengkap, dan itu berarti bertentangan dengan definisi-Nya
sendiri sebagai wujud yang sempurna.¹⁰ Descartes menegaskan bahwa ide tentang
Tuhan bukanlah hasil abstraksi empiris, melainkan innate idea—ide bawaan
yang tertanam dalam struktur rasional manusia sebagai refleksi dari Sang
Pencipta.¹¹
Dengan demikian, eksistensi Tuhan dalam sistem
Descartes bersifat a priori dan deduktif: tidak bergantung pada
pengalaman empiris, tetapi dapat diturunkan secara logis dari hakikat
kesempurnaan itu sendiri.¹² Ontologi Tuhan yang demikian memberikan dasar bagi
kepastian metafisis seluruh tatanan realitas. Segala sesuatu yang eksis,
termasuk jiwa dan dunia materi, memperoleh keberadaannya dari partisipasi pada
eksistensi ilahi yang niscaya.¹³
3.3.      
Tuhan sebagai Sumber Keberadaan dan
Kepastian Dunia
Bagi Descartes, keberadaan Tuhan bukan hanya
postulat metafisis, tetapi juga prinsip ontologis yang menjamin keberadaan
segala sesuatu yang lain. Dunia dan manusia tidak hanya diciptakan oleh Tuhan,
tetapi juga terus-menerus dipelihara dalam keberadaannya oleh kekuatan ilahi.¹⁴
Pandangan ini disebut conservatio est continua creatio—pemeliharaan
merupakan penciptaan yang berkelanjutan.¹⁵ Artinya, eksistensi dunia pada
setiap saat bergantung pada kehendak Tuhan yang terus-menerus memberikan
keberadaan.
Konsepsi ini menegaskan bahwa seluruh realitas
bersifat kontingen, sementara hanya Tuhan yang niscaya. Tanpa Tuhan, tidak ada
jaminan bagi keberlangsungan hukum-hukum alam, bahkan bagi kebenaran matematika
sekalipun.¹⁶ Tuhan menjadi dasar bagi kepastian epistemologis (cognitio
clara et distincta) dan keteraturan kosmos.¹⁷ Dalam hal ini, ontologi
Descartes tidak bersifat deistik, karena Tuhan bukan hanya pencipta awal yang
meninggalkan ciptaan-Nya, melainkan terus hadir sebagai prinsip aktif yang
menegakkan eksistensi dan rasionalitas dunia.¹⁸
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ontologi
Tuhan dalam filsafat Descartes merupakan sintesis unik antara metafisika
tradisional dan rasionalisme modern. Tuhan adalah substansi absolut yang
menjadi sebab diri sendiri, keberadaan yang niscaya, dan sumber kebenaran yang
menjamin eksistensi serta pengetahuan manusia.¹⁹ Melalui fondasi ontologis ini,
seluruh sistem filsafat Descartes memperoleh legitimasi dan kepastian metafisis
yang menjadi ciri khas rasionalismenya.
Footnotes
[1]               
René Descartes, Principles of Philosophy,
trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983),
51.
[2]               
Ibid., 53.
[3]               
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 36.
[4]               
Descartes, Principles of Philosophy, 52–54.
[5]               
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2012), 432.
[6]               
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 118.
[7]               
Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45.
[8]               
Ibid., 48.
[9]               
Norman Kemp Smith, The Philosophy of Descartes
(London: Macmillan, 1952), 79.
[10]            
Descartes, Meditations, 49.
[11]            
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 132.
[12]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
433.
[13]            
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 242.
[14]            
Descartes, Principles of Philosophy, 55.
[15]            
Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford
University Press, 1988), 51.
[16]            
Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography,
137.
[17]            
Richard Popkin, The History of Scepticism from
Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 70.
[18]            
John Cottingham, Cartesian Reflections, 41.
[19]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 32.
4.          
Epistemologi
Rasionalitas Keberadaan Tuhan
4.1.      
Metode Keraguan dan “Cogito ergo
sum”
Epistemologi Descartes berakar pada keyakinan bahwa
dasar pengetahuan sejati hanya dapat dibangun di atas kepastian yang mutlak dan
tak tergoyahkan. Untuk mencapainya, Descartes memperkenalkan metode keraguan
universal (methodical doubt), yaitu menolak segala hal yang sedikit saja
dapat diragukan.¹ Ia meragukan kesaksian indra, realitas eksternal, bahkan
kebenaran matematika, dengan alasan bahwa mungkin saja ada genius jahat
(malin génie) yang menipunya.²
Namun, di tengah keraguan radikal itu, Descartes
menemukan satu kebenaran yang tak dapat diragukan: fakta bahwa ia sedang
meragukan, berpikir, dan karenanya eksis sebagai subjek berpikir. Dari sinilah
lahir prinsip cogito ergo sum—“Aku berpikir, maka aku ada.”³ Cogito
menjadi titik arkhimedean epistemologi Descartes, yakni fondasi pertama yang
pasti dan jelas. Tetapi, bagi Descartes, kepastian tentang diri belum cukup; ia
membutuhkan dasar metafisis yang menjamin kebenaran semua ide dan persepsi yang
jelas serta terpilah (clear and distinct).⁴
Pada titik inilah keberadaan Tuhan menjadi niscaya
dalam kerangka epistemologi Descartes. Tanpa Tuhan yang sempurna dan tidak
menipu, tidak ada jaminan bahwa kesimpulan rasional manusia benar-benar
mencerminkan realitas.⁵ Dengan demikian, epistemologi Descartes bersifat
teosentris dalam fondasinya: kepastian pengetahuan bergantung pada eksistensi
dan kebenaran Tuhan sebagai jaminan objektivitas rasional.⁶
4.2.      
Argumen Kausalitas (Causa Efficiens)
Dalam Meditation III, Descartes
mengembangkan argumen kausalitas sebagai salah satu dasar rasional bagi
keberadaan Tuhan. Ia berangkat dari premis bahwa dalam kesadarannya terdapat
ide tentang Tuhan sebagai wujud yang sempurna dan tak terbatas.⁷ Menurut
prinsip kausalitas yang ia rumuskan, “tidak mungkin sesuatu yang kurang
sempurna menjadi sebab bagi sesuatu yang lebih sempurna.”⁸ Karena manusia
adalah makhluk terbatas, ia tidak dapat menjadi penyebab ide tentang
kesempurnaan mutlak; maka harus ada realitas eksternal yang memiliki
kesempurnaan itu sendiri—yakni Tuhan.⁹
Argumen ini bersifat a posteriori dalam arti
berasal dari refleksi atas isi kesadaran, namun tetap berada dalam ranah
rasional, bukan empiris. Descartes menolak gagasan bahwa ide tentang Tuhan
hanyalah hasil konstruksi imajinatif; baginya, ide tersebut memiliki “realitas
objektif” (realitas objektiva) yang hanya dapat dijelaskan oleh
sebab yang memiliki “realitas formal” (realitas formalis) yang
sebanding atau lebih besar.¹⁰ Prinsip ini menegaskan hubungan proporsional
antara sebab dan akibat sebagai hukum universal rasionalitas.¹¹
Dengan demikian, argumen kausalitas Descartes tidak
hanya bertujuan membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi juga menjamin koherensi
antara isi kesadaran dan realitas eksternal. Tuhan, sebagai penyebab tertinggi,
menjadi jembatan epistemik antara dunia ide dan dunia realitas.¹²
4.3.      
Argumen Ontologis
Selain argumen kausalitas, Descartes juga
merumuskan argumen ontologis dalam Meditation V, yang bersifat a
priori. Ia berangkat dari definisi Tuhan sebagai wujud yang memiliki
semua kesempurnaan (ens perfectissimum).¹³ Karena eksistensi adalah
salah satu bentuk kesempurnaan, maka eksistensi tidak dapat dipisahkan dari
esensi Tuhan.¹⁴ Dengan kata lain, untuk berpikir tentang Tuhan yang sempurna
berarti berpikir tentang Tuhan yang ada.¹⁵
Descartes menganalogikan hal ini dengan kebenaran
geometris: sama seperti fakta bahwa jumlah sudut segitiga selalu sama dengan
dua sudut siku-siku, demikian pula eksistensi termasuk dalam hakikat Tuhan.¹⁶
Namun, ia menekankan bahwa argumen ini tidak berarti “menyimpulkan
keberadaan dari ide kosong,” melainkan menyadari bahwa ide tentang Tuhan
itu sendiri mengandung realitas yang meniscayakan eksistensi-Nya.¹⁷
Dalam epistemologi Descartes, argumen ontologis
tidak hanya membuktikan bahwa Tuhan ada, tetapi juga bahwa Tuhan merupakan
dasar seluruh kebenaran rasional. Karena Tuhan adalah penyebab dan penjamin
ide-ide yang jelas dan terpilah, maka kepastian pengetahuan manusia bergantung
pada kejujuran dan kesempurnaan Tuhan.¹⁸
4.4.      
Fungsi Tuhan dalam Jaminan Epistemik
Peran epistemologis Tuhan mencapai puncaknya dalam Meditation
IV dan V. Setelah menetapkan bahwa Tuhan sempurna dan tidak menipu,
Descartes menyimpulkan bahwa segala ide yang jelas dan terpilah (clear and
distinct) pasti benar.¹⁹ Tuhan, sebagai wujud yang sempurna, tidak akan
menanamkan dalam diri manusia kecenderungan menuju kesalahan yang sistematis.²⁰
Dari sini muncul konsep “jaminan ilahi”
(garantia divina) dalam epistemologi Descartes: kebenaran pengetahuan
manusia hanya sah sejauh dijamin oleh sifat non-deceptive Tuhan.²¹ Dengan
demikian, rasionalitas manusia bersumber pada partisipasi dalam rasionalitas
ilahi.²²
Namun, posisi ini juga menimbulkan dilema
epistemologis yang dikenal sebagai Cartesian Circle (lingkaran
Cartesian).²³ Descartes tampak mendasarkan kejelasan ide pada keberadaan Tuhan,
tetapi sekaligus membuktikan keberadaan Tuhan melalui ide yang dianggap
jelas.²⁴ Para filsuf seperti Arnauld dan Kant kemudian mengkritik sirkularitas
ini sebagai kelemahan logis dari epistemologi Descartes.²⁵ Meski demikian,
dalam kerangka sistemnya sendiri, Descartes berusaha menunjukkan bahwa
kepastian rasional bersandar pada keteraturan ontologis dan kebenaran metafisis
Tuhan, yang melampaui keterbatasan akal manusia.²⁶
Dengan demikian, epistemologi rasionalitas
keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes merupakan fondasi bagi keseluruhan
sistem rasionalisme modern. Ia menghubungkan antara kepastian subjektif (cogito),
prinsip kausalitas objektif, dan kebenaran universal yang dijamin oleh Tuhan
sebagai sumber rasionalitas tertinggi.²⁷
Footnotes
[1]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 18.
[2]               
Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 20.
[3]               
Ibid., 24.
[4]               
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 54.
[5]               
Descartes, Meditations, 27.
[6]               
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 433.
[7]               
Descartes, Meditations, 42.
[8]               
Ibid., 44.
[9]               
Norman Kemp Smith, The Philosophy of Descartes
(London: Macmillan, 1952), 85.
[10]            
Descartes, Meditations, 46.
[11]            
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 119.
[12]            
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 136.
[13]            
Descartes, Meditations, 48.
[14]            
Ibid., 49.
[15]            
Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford
University Press, 1988), 50.
[16]            
Descartes, Meditations, 50.
[17]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
434.
[18]            
Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography,
138.
[19]            
Descartes, Meditations, 55.
[20]            
Cottingham, Cartesian Reflections, 62.
[21]            
Richard Popkin, The History of Scepticism from
Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 71.
[22]            
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 246.
[23]            
Arnauld, Antoine, “Fourth Objections to Descartes’ Meditations,”
in The Philosophical Writings of Descartes, ed. and trans. John
Cottingham et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 141.
[24]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
436.
[25]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 565.
[26]            
Cottingham, The Rationalists, 52.
[27]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 35.
5.          
Aksiologi
dan Dimensi Teologis Rasionalitas
5.1.      
Tuhan sebagai Dasar Etika dan
Moralitas Rasional
Dalam filsafat Descartes, Tuhan tidak hanya
berperan sebagai fondasi ontologis dan epistemologis, tetapi juga sebagai dasar
aksiologis dari seluruh tatanan nilai. Karena Tuhan merupakan sumber segala
kesempurnaan dan kebenaran, maka segala nilai kebaikan dan keutamaan moral
berpangkal pada realitas ilahi tersebut.¹ Bagi Descartes, nilai moral tidak
bersifat arbitrer atau sekadar hasil kebiasaan sosial, melainkan memiliki
landasan rasional dan teologis dalam kehendak Tuhan yang sempurna.²
Dalam Meditation IV, Descartes menegaskan
bahwa kesalahan moral manusia tidak berasal dari kehendak Tuhan, melainkan dari
penyalahgunaan kebebasan oleh manusia itu sendiri.³ Tuhan telah memberikan
kepada manusia dua kapasitas utama: intelek (kemampuan memahami) dan kehendak
bebas (kemampuan memilih). Ketika kehendak manusia digunakan melampaui
batas yang ditetapkan oleh intelek, maka terjadilah kesalahan dan dosa.⁴ Dengan
demikian, kebaikan moral terletak pada penggunaan rasio secara selaras dengan
kebenaran yang dijamin oleh Tuhan.
Rasionalitas dalam sistem Descartes dengan demikian
memiliki dimensi etis: berpikir benar berarti bertindak benar, sebab keduanya
berakar pada ketaatan terhadap keteraturan ilahi.⁵ Etika Cartesian bersifat
teonom dan rasional sekaligus—teonom karena bersumber dari kehendak Tuhan,
rasional karena dapat dimengerti dan dijalankan melalui akal.⁶ Tuhan, dengan
kesempurnaan-Nya, menjadi ukuran objektif bagi kebaikan, dan manusia memperoleh
nilai moral sejauh ia berpartisipasi dalam rasionalitas dan kebenaran ilahi.⁷
5.2.      
Perpaduan antara Iman dan Rasio
dalam Etika Descartes
Descartes sering dituduh sebagai rasionalis yang
menyingkirkan peran iman, padahal pemahaman demikian terlalu menyederhanakan
pandangannya. Dalam berbagai surat dan risalahnya, Descartes menegaskan bahwa
rasio dan iman tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.⁸ Rasionalitas,
baginya, adalah sarana untuk memahami dan meneguhkan iman, bukan untuk
meniadakannya. Ia menulis dalam surat kepada Pater Mesland bahwa “iman dan
akal adalah dua cahaya yang datang dari sumber yang sama, Tuhan, dan keduanya
tidak mungkin bertentangan.”⁹
Dalam konteks etika, hubungan antara iman dan rasio
tercermin dalam prinsip bahwa kehendak baik (bona voluntas) adalah
tindakan yang mengikuti pengetahuan yang jelas dan benar.¹⁰ Tuhan memberikan
akal agar manusia dapat mengenal kehendak-Nya secara rasional, dan memberikan
iman agar manusia tetap tunduk pada misteri yang melampaui rasio.¹¹ Karena itu,
moralitas sejati tidak hanya rasional, tetapi juga teologis: ia berakar pada
kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan kesempurnaan Tuhan.¹²
Dalam karya Les Passions de l’âme, Descartes
menulis bahwa kebajikan tertinggi adalah “menyadari bahwa hanya Tuhan yang
layak dikasihi sepenuhnya, dan bahwa segala cinta yang benar pada makhluk
adalah partisipasi dalam cinta kepada-Nya.”¹³ Hal ini menunjukkan bahwa
dalam etika Cartesian, rasionalitas moral tidak terlepas dari orientasi
spiritual yang menuju pada Tuhan.¹⁴
5.3.      
Konsekuensi Aksiologis terhadap
Pandangan Dunia Modern
Aksiologi rasionalitas dalam filsafat Descartes
memiliki konsekuensi luas terhadap pembentukan pandangan dunia modern. Dengan
menempatkan Tuhan sebagai prinsip rasionalitas dan moralitas, Descartes
membangun jembatan antara iman teologis dan rasionalitas ilmiah.¹⁵
Ia menunjukkan bahwa hukum-hukum alam, matematika, dan etika semuanya bersumber
dari keteraturan ilahi yang rasional.¹⁶ Dengan demikian, dunia menjadi dapat
dimengerti bukan karena otonomi manusia semata, tetapi karena ia diciptakan
oleh Tuhan yang rasional dan baik.¹⁷
Namun, warisan Cartesian juga menimbulkan
ambiguitas dalam perkembangan modernitas. Penekanan pada rasionalitas
individual akhirnya mengarah pada sekularisasi nilai, di mana Tuhan perlahan
digeser dari pusat sistem epistemik menuju pinggiran.¹⁸ Para filsuf seperti
Spinoza dan Leibniz mencoba melanjutkan rasionalisme Descartes, tetapi dengan
mengubah Tuhan menjadi prinsip impersonal yang identik dengan alam.¹⁹ Meskipun
demikian, fondasi aksiologis Descartes tetap penting, sebab ia menegaskan bahwa
rasionalitas sejati tanpa orientasi pada kebaikan dan kebenaran ilahi akan
kehilangan arah moralnya.²⁰
Dalam konteks kontemporer, prinsip aksiologis
Descartes dapat direinterpretasikan sebagai dasar bagi etika rasional
transendental: keyakinan bahwa nilai-nilai moral dan ilmiah hanya sah bila
berakar pada keteraturan rasional yang objektif.²¹ Dengan demikian, meskipun
Descartes hidup pada abad ke-17, pandangan aksiologisnya tetap relevan sebagai
kritik terhadap relativisme moral dan krisis makna dalam dunia modern.²²
Footnotes
[1]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55.
[2]               
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 68.
[3]               
Descartes, Meditations, 56.
[4]               
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 141.
[5]               
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 437.
[6]               
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 120.
[7]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 39.
[8]               
René Descartes, Correspondence with Princess
Elizabeth, in The Philosophical Writings of Descartes, trans. John
Cottingham, Robert Stoothoff, and Dugald Murdoch, vol. 3 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 278.
[9]               
René Descartes, Oeuvres de Descartes, ed.
Charles Adam and Paul Tannery, vol. 4 (Paris: Vrin, 1964), 122.
[10]            
John Cottingham, The Rationalists (Oxford:
Oxford University Press, 1988), 53.
[11]            
Descartes, Meditations, 57.
[12]            
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 248.
[13]            
René Descartes, Les Passions de l’âme
(Paris: Vrin, 1983), art. 147.
[14]            
Cottingham, Cartesian Reflections, 71.
[15]            
Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography,
144.
[16]            
Descartes, Principles of Philosophy, trans.
Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 58.
[17]            
Cottingham, The Rationalists, 54.
[18]            
Richard Popkin, The History of Scepticism from
Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 75.
[19]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
439.
[20]            
Gilson, The Unity of Philosophical Experience,
122.
[21]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 45.
[22]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 56.
6.          
Kritik
terhadap Dalil Rasionalitas Keberadaan Tuhan
6.1.      
Kritik Empiris dan Skeptisisme
Modern (David Hume dan Para Empiris Inggris)
Dalil rasionalitas keberadaan Tuhan yang diajukan
Descartes menimbulkan perdebatan panjang di kalangan filsuf empiris. David Hume
(1711–1776), tokoh utama empirisisme Inggris, menolak validitas argumen
rasional tentang Tuhan karena menganggapnya melampaui batas pengalaman
manusia.¹ Hume berpendapat bahwa semua ide dalam pikiran manusia harus dapat
ditelusuri pada kesan indrawi (impressions); karena tidak ada pengalaman
langsung tentang Tuhan, maka ide tentang Tuhan hanyalah hasil dari
penyempurnaan ide manusia tentang kebaikan dan kesempurnaan.² Dengan demikian,
ide tentang Tuhan tidak memiliki dasar empiris yang sahih.
Selain itu, Hume mengkritik prinsip kausalitas yang
menjadi tulang punggung argumen Descartes.³ Menurut Hume, hubungan sebab-akibat
bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan melalui akal, melainkan hasil dari
kebiasaan psikologis yang timbul karena pengulangan pengalaman.⁴ Maka,
pernyataan bahwa “ide tentang kesempurnaan harus berasal dari penyebab yang
sempurna” dianggap tidak memiliki justifikasi empiris. Argumen kausalitas
Descartes, bagi Hume, hanyalah deduksi rasional yang tidak terverifikasi oleh
pengalaman.⁵
Kritik Hume ini menandai pergeseran penting dari
rasionalisme metafisis menuju empirisisme kritis, di mana Tuhan tidak lagi
dilihat sebagai postulat rasional, melainkan sebagai asumsi metafisis yang
tidak dapat diverifikasi secara ilmiah.⁶ Dalam konteks modern, pandangan ini
memicu lahirnya tradisi positivistik yang menolak pembahasan metafisika sebagai
nonsens.⁷
6.2.      
Kritik Transendental dan
Rasionalisme Kritis (Immanuel Kant)
Kritik paling tajam terhadap pembuktian rasional
keberadaan Tuhan datang dari Immanuel Kant (1724–1804), yang dalam Critique
of Pure Reason menolak seluruh bentuk argumen rasional tradisional,
termasuk versi Cartesian.⁸ Menurut Kant, semua argumen metafisis tentang Tuhan
(kosmologis, teleologis, dan ontologis) pada akhirnya bergantung pada argumen
ontologis, sehingga apabila yang terakhir gagal, seluruhnya runtuh.⁹
Kant menolak dasar utama argumen ontologis
Descartes yang menyatakan bahwa eksistensi termasuk dalam esensi Tuhan. Ia
menegaskan bahwa eksistensi bukanlah predikat yang menambah sesuatu pada
esensi.¹⁰ Mengatakan bahwa Tuhan ada tidak menambah apa pun pada konsep
Tuhan; sama seperti seratus taler yang dibayangkan tidak memiliki nilai lebih
dari seratus taler nyata kecuali dalam kenyataan empiris.¹¹ Dengan demikian,
dari konsep Tuhan yang sempurna tidak dapat disimpulkan keberadaan-Nya tanpa
bukti empiris.¹²
Selain itu, Kant menunjukkan adanya lingkaran
Cartesian dalam epistemologi Descartes, yakni bahwa ia menggunakan ide yang
jelas dan terpilah untuk membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi kemudian
menggunakan keberadaan Tuhan untuk menjamin kebenaran ide-ide tersebut.¹³
Menurut Kant, hal ini bukanlah pembuktian rasional, melainkan sirkularitas
logis yang tak terhindarkan.¹⁴
Namun, Kant tidak menolak gagasan tentang Tuhan
secara total. Dalam filsafat praktisnya, ia menegaskan bahwa Tuhan merupakan postulat
rasio praktis, yakni suatu keharusan moral bagi tatanan nilai dan tujuan
etis manusia.¹⁵ Dengan demikian, walaupun Tuhan tidak dapat dibuktikan secara
teoretis, keberadaan-Nya tetap diperlukan bagi legitimasi moral. Kritik ini
menunjukkan pergeseran epistemologis dari “pembuktian rasional” menuju “keharusan
moral” dalam memahami Tuhan.¹⁶
6.3.      
Kritik Teologis dan Eksistensialis
Selain kritik dari tradisi empiris dan kritisisme
Kantian, pemikiran Descartes juga ditantang dari arah teologis dan
eksistensialis. Søren Kierkegaard (1813–1855), sebagai pelopor eksistensialisme
religius, menolak gagasan bahwa Tuhan dapat dibuktikan melalui rasio.¹⁷
Menurutnya, iman bukan hasil deduksi logis, melainkan lompatan eksistensial (leap
of faith) yang melampaui rasionalitas.¹⁸ Dengan mengandalkan pembuktian
rasional, manusia justru kehilangan dimensi eksistensial dari iman yang
sejati.¹⁹
Dalam pandangan Kierkegaard, hubungan manusia
dengan Tuhan bersifat paradoksal: Tuhan adalah yang mutlak transenden dan tidak
dapat dijangkau oleh sistem rasional mana pun.²⁰ Iman sejati justru muncul
ketika rasio berhenti berfungsi sebagai alat pembuktian dan menjadi sarana
penyerahan diri.²¹
Kritik teologis lain datang dari Blaise Pascal
(1623–1662), seorang kontemporer Descartes, yang menyindir rasionalisme
Cartesian dengan ungkapan terkenal: “Tuhan Abraham, Ishak, dan Yakub
bukanlah Tuhan para filsuf.”²² Pascal berpendapat bahwa Descartes telah “memberikan
Tuhan satu dorongan untuk menggerakkan dunia, lalu tidak memerlukan-Nya lagi,”²³
yang menunjukkan kekhawatiran bahwa Tuhan dalam sistem Descartes lebih
berfungsi sebagai prinsip metafisis daripada pribadi yang hidup dan berelasi
dengan manusia.²⁴
Kritik-kritik tersebut memperlihatkan bahwa
meskipun argumen Descartes berhasil memberikan struktur rasional bagi teologi
modern, ia juga membuka ruang bagi reduksi transendensi ilahi menjadi sekadar
postulat rasionalitas.²⁵
6.4.      
Evaluasi Logis dan Filsafat
Pascakritik
Kritik terhadap dalil rasionalitas Descartes
kemudian berlanjut dalam tradisi filsafat kontemporer, terutama dalam
fenomenologi dan filsafat analitik. Martin Heidegger, misalnya, menilai bahwa
pembuktian rasional tentang Tuhan seperti yang dilakukan Descartes telah
“menyempitkan Being ilahi menjadi sekadar entitas tertinggi di antara entitas
lainnya.”²⁶ Bagi Heidegger, ini adalah bentuk onto-teologi, yaitu ketika
Tuhan dijadikan objek dalam sistem metafisika manusia, sehingga kehilangan
misteri dan transendensi-Nya.²⁷
Dalam filsafat analitik, Alvin Plantinga mencoba
merehabilitasi argumen ontologis Descartes melalui pendekatan logika modal.²⁸
Ia menyatakan bahwa jika mungkin terdapat wujud yang memiliki kesempurnaan
maksimal (dalam setiap dunia mungkin), maka wujud tersebut pasti eksis dalam
dunia aktual.²⁹ Meskipun berbeda secara metodologis, usaha Plantinga ini
menunjukkan bahwa warisan rasionalisme Descartes tetap hidup dan terus
diperdebatkan.³⁰
Secara keseluruhan, kritik terhadap dalil
rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes mencerminkan ketegangan
abadi antara iman dan rasio, antara Tuhan sebagai objek metafisika dan Tuhan
sebagai misteri eksistensial.³¹
Footnotes
[1]               
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
1999), 35.
[2]               
Ibid., 45.
[3]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 44.
[4]               
Hume, Enquiry, 60.
[5]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume V, Hobbes to Hume (New York: Doubleday, 1994), 285.
[6]               
Richard Popkin, The History of Scepticism from
Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 83.
[7]               
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 115.
[8]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 563.
[9]               
Ibid., 567.
[10]            
Ibid., 569.
[11]            
Ibid., 570.
[12]            
Norman Kemp Smith, A Commentary to Kant’s
“Critique of Pure Reason” (London: Macmillan, 1918), 521.
[13]            
Antoine Arnauld, “Fourth Objections to Descartes’ Meditations,”
in The Philosophical Writings of Descartes, ed. and trans. John
Cottingham et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 143.
[14]            
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2012), 437.
[15]            
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125.
[16]            
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 124.
[17]            
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 43.
[18]            
Ibid., 49.
[19]            
John Macquarrie, Existentialism (London:
Penguin, 1972), 87.
[20]            
Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript,
trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University
Press, 1941), 203.
[21]            
Ibid., 205.
[22]            
Blaise Pascal, Pensées, trans. Roger Ariew
(Indianapolis: Hackett, 2005), §233.
[23]            
Ibid., §277.
[24]            
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 147.
[25]            
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 79.
[26]            
Martin Heidegger, Identity and Difference,
trans. Joan Stambaugh (New York: Harper & Row, 1969), 54.
[27]            
Ibid., 56.
[28]            
Alvin Plantinga, The Nature of Necessity
(Oxford: Oxford University Press, 1974), 212.
[29]            
Ibid., 214.
[30]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
440.
[31]            
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 250.
7.          
Relevansi
Kontemporer
7.1.      
Rasionalisme Descartes dan Filsafat
Analitik Modern
Meskipun telah berlalu lebih dari tiga abad sejak
kematian René Descartes, dalil rasionalitas keberadaan Tuhan masih menjadi
sumber inspirasi dan perdebatan dalam filsafat kontemporer. Dalam filsafat
analitik abad ke-20, gagasan Descartes tentang ide bawaan (innate ideas)
dan pembuktian apriori mendapat bentuk baru melalui logika modal dan
epistemologi rasional.¹ Tokoh seperti Alvin Plantinga, misalnya, mengembangkan
versi modern dari argumen ontologis Descartes dengan menggunakan logika
kemungkinan dunia (possible worlds semantics), yang menunjukkan bahwa
jika keberadaan wujud yang sempurna itu mungkin, maka wujud tersebut mesti
eksis di dunia aktual.²
Plantinga menegaskan bahwa argumen ontologis tidak
dapat disangkal hanya karena bersifat non-empiris, sebab ia bekerja dalam ranah
rasionalitas formal yang berbeda dengan pembuktian ilmiah.³ Dengan demikian,
warisan Cartesian tetap hidup dalam bentuk rasionalisme teistik yang memadukan
logika analitik dengan keyakinan metafisis. Pandangan ini menghidupkan kembali
perdebatan antara ateisme logis dan teisme rasional di kalangan filsuf seperti
Richard Swinburne, William Lane Craig, dan Robert Adams.⁴
Selain itu, Descartes juga mempengaruhi
epistemologi kontemporer melalui gagasan tentang epistemic foundationalism—pandangan
bahwa semua pengetahuan harus berakar pada keyakinan dasar yang tak
tergoyahkan.⁵ Dalam konteks modern, hal ini tercermin dalam teori basic
beliefs Plantinga dan reliabilisme epistemik Goldman, yang tetap
mempertahankan semangat Cartesian dalam mencari fondasi rasional bagi
kebenaran.⁶
7.2.      
Rasionalitas Ilahi dan Dialog antara
Sains dan Teologi
Pemikiran Descartes juga memiliki relevansi besar
dalam diskursus antara sains dan teologi modern. Paradigma Cartesian
tentang keteraturan rasional alam semesta telah menjadi fondasi bagi metode
ilmiah, karena mengandaikan bahwa dunia tunduk pada hukum yang dapat dimengerti
oleh akal manusia.⁷ Sebagaimana dicatat oleh John Polkinghorne, keyakinan
ilmuwan bahwa alam semesta dapat dipahami secara rasional hanya masuk akal jika
diasumsikan bahwa alam tersebut merupakan hasil ciptaan Tuhan yang rasional.⁸
Dengan demikian, konsep Descartes tentang Tuhan sebagai sumber keteraturan kosmos
tetap menjadi asumsi teologis tersembunyi dalam sains modern.
Dalam konteks filsafat ilmu, rasionalitas teistik
Descartes juga berperan sebagai koreksi terhadap reduksionisme ilmiah.⁹
Rasionalitas tanpa transendensi, sebagaimana terlihat dalam positivisme abad
ke-20, cenderung menutup ruang bagi makna dan nilai.¹⁰ Namun, pandangan
Descartes bahwa rasio manusia adalah pantulan dari rasio ilahi memungkinkan
integrasi antara pengetahuan empiris dan pemahaman moral-spiritual.¹¹
Dengan demikian, logos Cartesian dapat
diartikan kembali sebagai prinsip epistemologis dan spiritual yang
menghubungkan sains dengan teologi, menghindarkan keduanya dari klaim
absolutisme.¹²
7.3.      
Dimensi Eksistensial dan
Spiritualitas Rasional
Dalam era pascamodern yang ditandai oleh relativisme
nilai dan krisis makna, gagasan Descartes tentang rasionalitas yang berakar
pada Tuhan menawarkan landasan bagi spiritualitas yang reflektif dan kritis.¹³
Rasionalitas dalam arti Cartesian bukanlah sekadar kalkulasi logis, tetapi juga
kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan kebenaran yang mutlak.¹⁴ Hal ini
membuka ruang bagi spiritualitas yang tidak menolak akal, melainkan
menggunakannya sebagai jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang
transendensi.
Pemikir kontemporer seperti Paul Ricoeur dan
Charles Taylor menafsirkan kembali warisan Descartes sebagai titik awal bagi rasionalitas
reflektif, yaitu rasionalitas yang sadar akan fondasinya sendiri dan
terbuka terhadap dimensi iman.¹⁵ Taylor, dalam Sources of the Self,
menyatakan bahwa proyek modern tentang subjek otonom tidak akan mungkin tanpa
dasar teologis yang diwariskan oleh Descartes, yang menegaskan manusia sebagai
ciptaan yang berpikir dan sadar diri di hadapan Tuhan.¹⁶
Spiritualitas rasional demikian menjadi alternatif
terhadap dua ekstrem zaman modern: fanatisme religius yang anti-rasional dan
sekularisme nihilistik yang menolak transendensi.¹⁷ Dengan menghidupkan kembali
prinsip Descartes bahwa kebenaran rasional berakar pada Tuhan yang tidak
menipu, manusia modern dapat menemukan keseimbangan antara kebebasan berpikir
dan tanggung jawab moral.¹⁸
7.4.      
Relevansi Sosial dan Etis di Era
Digital
Akhirnya, relevansi dalil rasionalitas keberadaan
Tuhan dalam filsafat Descartes juga dapat diperluas ke konteks sosial dan etis
masa kini. Dunia digital yang ditandai oleh ledakan informasi, relativisme
kebenaran, dan krisis kepercayaan menuntut pemulihan prinsip rasionalitas yang
memiliki dasar moral.¹⁹ Prinsip claritas et distinctio Descartes dapat
dimaknai kembali sebagai etika epistemik: keharusan berpikir jernih, kritis,
dan bertanggung jawab dalam menghadapi arus data yang masif.²⁰
Tuhan dalam kerangka rasionalitas Cartesian tidak
harus dipahami secara dogmatis, melainkan sebagai simbol keteraturan,
kejujuran, dan kebenaran universal yang menuntun tindakan manusia.²¹ Dalam arti
ini, rasionalitas teistik Descartes memiliki fungsi etis dan spiritual bagi
masyarakat modern yang sedang mencari dasar bagi keadilan dan integritas intelektual.²²
Dengan demikian, relevansi kontemporer dalil
rasionalitas keberadaan Tuhan menurut Descartes tidak hanya terletak pada
pembelaan metafisika klasik, tetapi juga pada upaya membangun kembali
rasionalitas yang berakar pada nilai, moralitas, dan keterbukaan terhadap
transendensi.²³
Footnotes
[1]               
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 85.
[2]               
Alvin Plantinga, The Nature of Necessity
(Oxford: Oxford University Press, 1974), 212–214.
[3]               
Ibid., 215.
[4]               
William Lane Craig, The Kalam Cosmological
Argument (London: Macmillan, 1979), 145; Richard Swinburne, The
Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 68.
[5]               
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 442.
[6]               
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 50.
[7]               
René Descartes, Principles of Philosophy,
trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983),
60.
[8]               
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 23.
[9]               
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 127.
[10]            
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 120.
[11]            
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 149.
[12]            
Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion,
trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 45.
[13]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles
Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 91.
[14]            
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 57.
[15]            
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston:
Beacon Press, 1967), 284.
[16]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
152.
[17]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 118.
[18]            
Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford
University Press, 1988), 58.
[19]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 95.
[20]            
Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 20.
[21]            
Hans Küng, Does God Exist? An Answer for Today
(New York: Doubleday, 1980), 93.
[22]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 202.
[23]            
John Cottingham, Cartesian Reflections, 91.
8.          
Sintesis
Filosofis
8.1.      
Kesatuan Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi dalam Rasionalitas Descartes
Rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat René
Descartes merupakan struktur metafisis yang mengintegrasikan tiga dimensi utama
filsafat: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam
dimensi ontologis, Tuhan dipahami sebagai substansi absolut—ens
infinitum—yang menjadi penyebab diri sendiri (causa sui) dan sumber
eksistensi segala yang ada.¹ Dalam dimensi epistemologis, Tuhan menjamin
kebenaran pengetahuan melalui kejelasan dan ketepatan ide (claritas et
distinctio).² Sedangkan dalam dimensi aksiologis, Tuhan menjadi
prinsip moral tertinggi yang menuntun manusia menuju kebaikan rasional dan
kesempurnaan moral.³
Ketiga dimensi ini saling berjalin secara koheren
dalam sistem Descartes. Ontologi memberikan dasar metafisis bagi epistemologi;
epistemologi menegaskan struktur rasional pengetahuan yang berujung pada Tuhan;
dan aksiologi menuntun penerapan pengetahuan dalam tatanan moral.⁴ Dengan
demikian, rasionalitas Descartes bukan sekadar metode berpikir, melainkan sebuah
ordo sapientiae—tatanan kebijaksanaan yang menempatkan Tuhan sebagai
pusat segala kebenaran dan nilai.⁵
Kesatuan tiga dimensi ini menjadikan sistem
Cartesian bersifat integratif: rasionalitas tidak dapat dilepaskan dari iman,
dan iman tidak dapat dilepaskan dari prinsip rasional. Hal ini menandai
kesinambungan antara warisan skolastik yang teosentris dan semangat modernitas
yang antroposentris.⁶ Tuhan adalah jembatan yang memungkinkan dialog antara
keduanya, sebab Ia adalah dasar keberadaan sekaligus jaminan kebenaran bagi
subjek berpikir.⁷
8.2.      
Rasionalitas sebagai Jalan Menuju
Transendensi
Bagi Descartes, rasionalitas bukan tujuan akhir,
melainkan jalan menuju pengakuan akan realitas yang melampaui rasio itu
sendiri. Cogito ergo sum membuka kesadaran reflektif manusia tentang
keberadaannya, namun kesadaran itu menemukan kepenuhannya hanya dalam
pengenalan akan Tuhan sebagai sumber kebenaran dan eksistensi.⁸ Di sinilah
rasionalitas berfungsi sebagai jembatan antara manusia dan yang transenden,
bukan sebagai pengganti transendensi itu.⁹
Kesadaran diri manusia (subjektivitas) dalam sistem
Cartesian menemukan maknanya ketika ia mengakui keterbatasan dirinya di hadapan
Tuhan yang tak terbatas.¹⁰ Dalam kerangka ini, cogito tidak berujung
pada egoisme epistemik, melainkan pada kesadaran akan partisipasi rasio manusia
dalam rasio ilahi.¹¹ Rasionalitas sejati, dengan demikian, bersifat partisipatif-transendental:
manusia berpikir benar karena ia ikut serta dalam kebenaran Tuhan.¹²
Dari perspektif ini, sistem Descartes dapat
ditafsirkan sebagai metafisika keterbukaan: rasionalitas bukan penutupan
terhadap misteri, melainkan gerak menuju sumber segala makna.¹³ Ia
mengantisipasi pemikiran fenomenologis dan eksistensialis kemudian—seperti
Husserl dan Ricoeur—yang menekankan bahwa kesadaran senantiasa diarahkan (intentional)
kepada sesuatu yang melampauinya.¹⁴ Maka, transendensi Tuhan dalam Descartes
bukanlah deus ex machina metafisika, melainkan horizon makna bagi
seluruh aktivitas berpikir dan moral manusia.¹⁵
8.3.      
Rekonstruksi Rasionalitas Teistik
dalam Konteks Pascamodern
Dalam konteks filsafat pascamodern, sintesis
rasionalitas Descartes dapat dibaca kembali sebagai dasar bagi rasionalitas
teistik yang terbuka, yang mengakui nilai epistemik akal tanpa menutup diri
dari dimensi misteri dan iman.¹⁶ Kritik poststrukturalisme terhadap
rasionalitas modern—seperti yang dikemukakan oleh Michel Foucault dan Jacques
Derrida—menunjukkan bahaya absolutisasi rasio yang terlepas dari nilai etis dan
transendensi.¹⁷ Dalam hal ini, Descartes dapat direhabilitasi sebagai model
rasionalisme yang tetap menghormati prinsip moral dan keilahian sebagai horizon
kebenaran.¹⁸
Rekonstruksi ini penting dalam menghadapi krisis
epistemik dan moral zaman kontemporer. Rasionalitas yang berakar pada Tuhan
memungkinkan integrasi antara pengetahuan ilmiah, kebebasan manusia, dan
tanggung jawab etis.¹⁹ Ia menghindarkan manusia dari dua ekstrem: relativisme
yang menolak kebenaran objektif dan fundamentalisme yang menolak dialog
rasional.²⁰ Dengan menghidupkan kembali fondasi teistik Descartes, filsafat
dapat memulihkan martabat rasio sebagai sarana keterbukaan terhadap kebenaran
dan bukan sekadar instrumen dominasi.²¹
Rasionalitas teistik seperti ini sejalan dengan
pandangan filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas, yang menyerukan
“rasionalitas komunikatif” yang terbuka terhadap dimensi religius, serta dengan
Charles Taylor yang menekankan perlunya mengembalikan spiritualitas ke dalam
ruang publik rasional.²² Maka, Descartes—meski sering dianggap simbol
rasionalisme kering—dapat dibaca ulang sebagai pelopor spiritualitas rasional
yang meneguhkan kesatuan antara berpikir, percaya, dan berbuat baik.²³
8.4.      
Sintesis Akhir: Rasio, Iman, dan
Kebenaran Ilahi
Sintesis filosofis dari dalil rasionalitas
keberadaan Tuhan menurut Descartes dapat dirumuskan dalam tiga prinsip utama.
Pertama, rasio sebagai anugerah ilahi: akal manusia adalah pantulan dari
rasio Tuhan, yang memungkinkan manusia mengenal kebenaran.²⁴ Kedua, iman
sebagai penegasan rasionalitas, bukan pengganti rasio; iman memperluas
cakrawala rasional dengan mengarahkan akal kepada yang transenden.²⁵ Ketiga, kebenaran
sebagai partisipasi ontologis, yakni kesadaran bahwa segala kebenaran dan
nilai moral hanya bermakna sejauh berakar pada Tuhan yang sempurna.²⁶
Melalui prinsip-prinsip tersebut, rasionalitas
Descartes menampilkan karakter yang tidak dogmatis, melainkan dialogis dan
reflektif—rasionalitas yang dapat diuji, dikembangkan, dan dibuka untuk
koreksi tanpa kehilangan arah moral dan metafisisnya.²⁷ Dengan demikian, sintesis
Descartes menunjukkan bahwa pencarian rasional terhadap Tuhan bukanlah usaha
yang sia-sia, melainkan bagian dari dinamika manusia menuju kebenaran yang
lebih tinggi.²⁸
Dalam kerangka inilah Descartes meninggalkan
warisan filosofis yang tetap relevan: rasionalitas bukan hanya alat berpikir,
tetapi juga panggilan untuk mengenal dan mencintai kebenaran. Tuhan, bagi
Descartes, bukan sekadar objek metafisis yang dibuktikan, tetapi juga fondamentum
veritatis—dasar dari segala kebenaran dan makna keberadaan.²⁹
Footnotes
[1]               
René Descartes, Principles of Philosophy,
trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983),
53.
[2]               
Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 57.
[3]               
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 90.
[4]               
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 125.
[5]               
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 443.
[6]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 41.
[7]               
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 252.
[8]               
Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 27.
[9]               
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 150.
[10]            
Descartes, Meditations, 50.
[11]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles
Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 93.
[12]            
John Cottingham, The Rationalists (Oxford:
Oxford University Press, 1988), 61.
[13]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 210.
[14]            
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 89.
[15]            
Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston:
Beacon Press, 1967), 290.
[16]            
Hans Küng, Does God Exist? An Answer for Today
(New York: Doubleday, 1980), 97.
[17]            
Michel Foucault, The Order of Things (New
York: Vintage Books, 1994), 325.
[18]            
Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 273.
[19]            
Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion,
trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 54.
[20]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 121.
[21]            
Cottingham, Cartesian Reflections, 93.
[22]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 773.
[23]            
Cottingham, The Spiritual Dimension: Religion,
Philosophy, and Human Value (Cambridge: Cambridge University Press, 2005),
45.
[24]            
Descartes, Meditations, 56.
[25]            
Gilson, The Unity of Philosophical Experience,
129.
[26]            
Kenny, A New History of Western Philosophy,
445.
[27]            
Ricoeur, Fallible Man, 97.
[28]            
Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography,
153.
[29]            
Cottingham, Cartesian Reflections, 95.
9.          
Kesimpulan
Dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat
René Descartes bukanlah sekadar usaha metafisis untuk membuktikan eksistensi
ilahi, melainkan fondasi dari keseluruhan proyek filsafat modern yang mencari
kepastian pengetahuan.¹ Melalui metode keraguan radikal, Descartes menegakkan cogito
ergo sum sebagai kepastian pertama; namun ia segera menyadari bahwa
kepastian itu tidak akan bermakna tanpa adanya jaminan kebenaran yang melampaui
subjektivitas manusia.² Di sinilah Tuhan berperan sebagai jaminan epistemik,
sumber ontologis, dan prinsip moral dari seluruh rasionalitas.³
Secara ontologis, Descartes menempatkan
Tuhan sebagai substansi tak terbatas (substantia infinita) yang
menjadi penyebab diri sendiri (causa sui) dan dasar segala eksistensi.⁴
Eksistensi Tuhan bersifat niscaya karena merupakan bagian dari hakikat-Nya
sebagai wujud yang sempurna; dengan demikian, argumen ontologis Descartes
menegaskan hubungan erat antara keberadaan dan kesempurnaan.⁵
Secara epistemologis, Tuhan menjamin
validitas rasionalitas manusia. Ia menjadi prinsip non-deceptive—Tuhan yang
tidak menipu—yang memastikan bahwa ide-ide yang jelas dan terpilah (clear
and distinct) memang benar adanya.⁶ Tanpa keberadaan Tuhan, rasionalitas
manusia akan tenggelam dalam skeptisisme, karena tidak ada jaminan bahwa
persepsi kita mencerminkan realitas objektif.⁷ Dengan demikian, dalam sistem
Cartesian, kebenaran epistemik berakar pada kebenaran ilahi.⁸
Sementara itu, secara aksiologis, Tuhan
berfungsi sebagai prinsip moral tertinggi yang menuntun manusia untuk
menggunakan kebebasan dan rasionalitasnya secara benar.⁹ Kebaikan, bagi
Descartes, tidak lain adalah kesesuaian antara kehendak manusia dan hukum
rasional Tuhan.¹⁰ Maka, rasionalitas tidak hanya memiliki nilai teoritis,
tetapi juga etis—ia menjadi jalan menuju kehidupan yang selaras dengan
kebenaran dan kebijaksanaan ilahi.¹¹
Walaupun sistem Descartes menghadapi kritik
serius—terutama dari Hume yang menggugat dasar kausalitas dan dari Kant yang
menolak eksistensi sebagai predikat—filsafatnya tetap memberikan warisan
intelektual yang tak ternilai.¹² Ia berhasil merumuskan kerangka pemikiran yang
menghubungkan iman dan rasio, sains dan teologi, dengan menempatkan Tuhan
sebagai dasar rasionalitas itu sendiri.¹³ Kritik-kritik modern terhadap Descartes
tidak sepenuhnya meniadakan validitas sistemnya, tetapi justru memperkaya
pemahaman akan kompleksitas hubungan antara akal dan iman.¹⁴
Dalam konteks kontemporer, rasionalitas
Descartes dapat dibaca sebagai panggilan untuk menegakkan kembali integrasi antara
pengetahuan dan nilai, antara sains dan spiritualitas.¹⁵ Di tengah krisis
epistemik dan moral yang melanda dunia modern, gagasan tentang Tuhan sebagai
prinsip rasionalitas dan moralitas dapat menjadi koreksi terhadap reduksionisme
ilmiah dan relativisme nilai.¹⁶ Rasionalitas sejati, sebagaimana diajarkan
Descartes, bukanlah otonomi absolut akal manusia, melainkan partisipasi dalam
rasio ilahi yang menuntun kepada kebenaran dan kebaikan universal.¹⁷
Akhirnya, dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam
filsafat Descartes menyingkap bahwa pencarian rasional manusia bukanlah usaha
untuk menggantikan Tuhan, tetapi untuk memahami ciptaan dan diri sendiri dalam
terang kebenaran ilahi.¹⁸ Rasionalitas, dalam pengertian Cartesian, merupakan
bentuk tertinggi dari devotio intellectus—pengabdian akal terhadap
kebenaran yang bersumber dari Tuhan.¹⁹ Dengan demikian, Descartes tidak hanya
membuka bab baru dalam sejarah filsafat modern, tetapi juga menunjukkan bahwa
dasar sejati rasionalitas manusia adalah iman yang berpikir, iman yang
tidak buta, melainkan menerangi jalan akal menuju Tuhan.²⁰
Footnotes
[1]               
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays
on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 95.
[2]               
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 25.
[3]               
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 129.
[4]               
Descartes, Principles of Philosophy, trans.
Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 52–53.
[5]               
Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 48.
[6]               
Ibid., 55.
[7]               
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 132.
[8]               
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 434.
[9]               
Descartes, Meditations, 56.
[10]            
Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford
University Press, 1988), 53.
[11]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 39.
[12]            
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
1999), 45; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 569.
[13]            
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 248.
[14]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles
Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 94.
[15]            
Hans Küng, Does God Exist? An Answer for Today
(New York: Doubleday, 1980), 101.
[16]            
Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion,
trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 54.
[17]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
154.
[18]            
Cottingham, Cartesian Reflections, 99.
[19]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 210.
[20]            
Gilson, The Unity of Philosophical Experience,
130.
Daftar Pustaka 
Adam, C., & Tannery, P. (Eds.). (1964). Oeuvres
de Descartes (Vol. 4). Paris, France: Vrin.
Arnauld, A. (1984). Fourth objections to Descartes’
Meditations. In J. Cottingham, R. Stoothoff, & D. Murdoch (Eds.
& Trans.), The philosophical writings of Descartes (Vol. 2, pp.
140–150). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
New York, NY: Dover Publications.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy:
Volume IV, Descartes to Leibniz. New York, NY: Doubleday.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy:
Volume V, Hobbes to Hume. New York, NY: Doubleday.
Cottingham, J. (1988). The rationalists.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Cottingham, J. (2005). The spiritual dimension:
Religion, philosophy, and human value. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Cottingham, J. (2008). Cartesian reflections:
Essays on Descartes’s philosophy. Oxford, UK: Oxford University Press.
Craig, W. L. (1979). The Kalam cosmological
argument. London, UK: Macmillan.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). Chicago, IL: University of Chicago Press.
Descartes, R. (1983). Principles of philosophy
(V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Dordrecht, Netherlands: Reidel.
Descartes, R. (1984). The philosophical writings
of Descartes (J. Cottingham, R. Stoothoff, & D. Murdoch, Eds. &
Trans., Vols. 1–2). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Descartes, R. (1991). Correspondence with
Princess Elizabeth. In J. Cottingham, R. Stoothoff, & D. Murdoch (Eds.
& Trans.), The philosophical writings of Descartes (Vol. 3, pp.
277–288). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on method
(D. A. Cress, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Descartes, R. (1983). Les passions de l’âme.
Paris, France: Vrin.
Foucault, M. (1994). The order of things.
New York, NY: Vintage Books.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual
biography. Oxford, UK: Clarendon Press.
Gilson, É. (1937). The unity of philosophical
experience. New York, NY: Charles Scribner’s Sons.
Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the
Middle Ages. New York, NY: Charles Scribner’s Sons.
Goldman, A. (1986). Epistemology and cognition.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (2008). Between naturalism and
religion (C. Cronin, Trans.). Cambridge, UK: Polity Press.
Heidegger, M. (1969). Identity and difference
(J. Stambaugh, Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kemp Smith, N. (1918). A commentary to Kant’s
“Critique of pure reason”. London, UK: Macmillan.
Kemp Smith, N. (1952). The philosophy of
Descartes. London, UK: Macmillan.
Kenny, A. (2012). A new history of Western
philosophy. Oxford, UK: Oxford University Press.
Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific
postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton, NJ:
Princeton University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). London, UK: Penguin Classics.
Koyré, A. (1957). From the closed world to the
infinite universe. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.
Küng, H. (1980). Does God exist? An answer for
today. New York, NY: Doubleday.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A.
Lingis, Trans.). The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Macquarrie, J. (1972). Existentialism.
London, UK: Penguin Books.
Pascal, B. (2005). Pensées (R. Ariew,
Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Plantinga, A. (1974). The nature of necessity.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Polkinghorne, J. (1989). Science and providence:
God’s interaction with the world. London, UK: SPCK.
Popkin, R. (1979). The history of scepticism
from Erasmus to Spinoza. Berkeley, CA: University of California Press.
Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil.
Boston, MA: Beacon Press.
Ricoeur, P. (1986). Fallible man (C.
Kelbley, Trans.). New York, NY: Fordham University Press.
Smith, N. K. (1952). The philosophy of Descartes.
London, UK: Macmillan.
Swinburne, R. (2004). The existence of God
(2nd ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge,
MA: Harvard University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar