Sabtu, 25 Oktober 2025

Keberadaan Tuhan René Descartes: Analisis Ontologis, Epistemologis, dan Metafisis

Keberadaan Tuhan René Descartes


Analisis Ontologis, Epistemologis, dan Metafisis


Alihkan ke: Pemikiran René Descartes.


Abstrak

Artikel ini membahas secara sistematis dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat René Descartes, dengan menelusuri landasan historis, struktur ontologis, argumen epistemologis, serta implikasi aksiologis dan teologisnya. Descartes, melalui metode keraguan radikal (methodical doubt), berupaya membangun kembali fondasi pengetahuan yang kokoh dan bebas dari kesangsian. Dari titik tolak cogito ergo sum (“Aku berpikir maka aku ada”), ia menegaskan perlunya eksistensi Tuhan sebagai prinsip metafisis yang menjamin kebenaran dan keteraturan dunia.

Secara ontologis, Tuhan bagi Descartes adalah substansi tak terbatas (substantia infinita) yang eksistensinya niscaya dan menjadi sebab diri sendiri (causa sui). Secara epistemologis, Tuhan berfungsi sebagai jaminan kebenaran bagi ide-ide yang jelas dan terpilah (clear and distinct), serta sebagai penangkal terhadap skeptisisme. Dalam dimensi aksiologis, Tuhan merupakan dasar moral dan sumber nilai rasional yang mengarahkan kehendak manusia kepada kebaikan. Dengan demikian, rasionalitas dalam sistem Descartes tidak semata-mata bersifat logis, tetapi juga mengandung makna spiritual dan etis yang berakar pada transendensi ilahi.

Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap argumen Descartes—baik dari empirisisme Hume, rasionalisme kritis Kant, maupun teologi eksistensial Kierkegaard—yang menyoroti keterbatasan pembuktian rasional atas Tuhan. Namun demikian, warisan pemikiran Descartes tetap relevan dalam konteks kontemporer: rasionalitas teistik yang ia bangun menjadi dasar dialog antara iman dan sains, serta antara spiritualitas dan rasionalitas modern. Akhirnya, Descartes menampilkan rasio bukan sebagai kekuatan yang meniadakan Tuhan, melainkan sebagai jalan menuju pengenalan yang lebih dalam terhadap sumber kebenaran dan makna eksistensi.

Kata Kunci: René Descartes; Rasionalitas; Keberadaan Tuhan; Ontologi; Epistemologi; Aksiologi; Metafisika; Filsafat Modern; Rasionalisme Teistik; Transendensi.


PEMBAHASAN

Dalil Rasionalitas Keberadaan Tuhan dalam Filsafat René Descartes


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan merupakan salah satu persoalan paling mendasar dalam filsafat dan teologi sepanjang sejarah pemikiran manusia. Sejak zaman Yunani Kuno hingga modernitas, berbagai argumen telah dikembangkan untuk menjawab problem metafisis ini, mulai dari argumen kosmologis Aristoteles hingga pembuktian ontologis Anselmus dari Canterbury. Dalam konteks modern, René Descartes (1596–1650) menempati posisi yang sangat penting karena berusaha membuktikan keberadaan Tuhan bukan semata-mata berdasarkan otoritas wahyu atau tradisi, melainkan melalui dasar rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan metodis.¹

René Descartes, yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern,” berupaya menegakkan fondasi pengetahuan yang kokoh melalui metode keraguan radikal (methodical doubt). Ia menolak segala bentuk otoritas eksternal dan berusaha menemukan kepastian yang tidak dapat diragukan, yang pada akhirnya dirumuskan dalam prinsip terkenal cogito ergo sum (“Aku berpikir maka aku ada”).² Namun, bagi Descartes, kepastian tentang eksistensi diri tidaklah cukup untuk menjamin kebenaran seluruh pengetahuan. Diperlukan jaminan metafisis bahwa akal manusia tidak ditipu oleh suatu kekuatan jahat yang maha-kuasa (deus deceptor).³ Di sinilah argumen tentang keberadaan Tuhan menjadi sentral, karena Tuhan dipandang sebagai sumber dan jaminan seluruh kebenaran serta realitas objektif dunia.⁴

Melalui pendekatan rasional dan deduktif, Descartes mengajukan dua bentuk utama pembuktian keberadaan Tuhan: argumen kausalitas (dalam Meditation III) dan argumen ontologis (dalam Meditation V). Keduanya bertujuan menunjukkan bahwa ide tentang Tuhan sebagai wujud yang sempurna tidak mungkin berasal dari manusia yang terbatas, melainkan mesti bersumber dari keberadaan yang sungguh-sungguh nyata dan sempurna.⁵ Dengan demikian, Tuhan tidak hanya dibuktikan secara metafisis, tetapi juga menjadi fondasi epistemologis bagi kepastian rasional itu sendiri.⁶

Konteks historis Descartes juga memperlihatkan bahwa argumen rasionalitas keberadaan Tuhan merupakan respons terhadap krisis epistemologis pada masa transisi dari abad pertengahan menuju modernitas. Reformasi Gereja, kebangkitan sains mekanistik, dan runtuhnya otoritas skolastik memunculkan kebutuhan baru akan dasar pengetahuan yang independen dari tradisi.⁷ Dalam situasi tersebut, Descartes menempatkan Tuhan bukan sebagai objek iman semata, melainkan sebagai syarat rasionalitas dan dasar metafisis dari pengetahuan manusia.⁸

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa pertanyaan pokok dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)                  Bagaimana Descartes membangun dalil rasionalitas keberadaan Tuhan melalui kerangka metodologis dan ontologisnya?

2)                  Apa hubungan antara eksistensi Tuhan dan kepastian pengetahuan dalam sistem rasionalisme Cartesian?

3)                  Sejauh mana argumen Descartes dapat dipertahankan terhadap kritik dari filsafat empiris dan rasionalisme kritis (seperti Kant)?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Kajian

Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri dan menganalisis dasar rasionalitas dalam pembuktian keberadaan Tuhan menurut René Descartes. Secara khusus, kajian ini bermaksud:

·                     Mengungkap struktur logis dan metafisis dari argumen Descartes tentang Tuhan.

·                     Menilai koherensi antara metode keraguan, cogito, dan pembuktian keberadaan Tuhan.

·                     Memberikan evaluasi kritis atas kontribusi Descartes terhadap relasi antara iman, akal, dan pengetahuan modern.

Manfaatnya tidak hanya bersifat historis, tetapi juga reflektif, karena mengajak pembaca meninjau ulang dasar rasionalitas dan transendensi dalam pemikiran manusia modern.

1.4.       Metode Kajian

Kajian ini menggunakan metode penelitian filosofis dengan pendekatan analisis konseptual dan hermeneutik historis. Teks utama yang digunakan ialah Meditations on First Philosophy, dengan dukungan karya Descartes lainnya seperti Principia Philosophiae dan Discourse on Method. Pendekatan hermeneutik dipakai untuk memahami makna dan intensi filosofis Descartes dalam konteks sejarahnya, sedangkan analisis logis digunakan untuk menilai koherensi internal argumennya.⁹ Pendekatan ini memungkinkan pembacaan Descartes secara rasional dan kritis, tanpa terjebak dalam pembelaan teologis semata.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 24–25.

[2]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 17.

[3]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 126–127.

[4]                John Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 45.

[5]                Descartes, Meditations, 48–50.

[6]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 432.

[7]                Richard Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 58–60.

[8]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 112.

[9]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 21–22.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

2.1.       Konteks Intelektual Abad ke-17

Filsafat René Descartes lahir dari rahim zaman yang penuh gejolak intelektual dan spiritual. Abad ke-17 menandai masa transisi besar dari dunia abad pertengahan yang bercorak teosentris menuju dunia modern yang bercorak antroposentris dan rasional.¹ Penemuan ilmiah Copernicus, Kepler, dan Galileo telah meruntuhkan pandangan kosmos skolastik yang berpusat pada bumi dan digantikan oleh model alam semesta mekanistik yang tunduk pada hukum matematika.² Dalam konteks inilah, kebutuhan akan dasar pengetahuan yang baru menjadi mendesak, karena otoritas teologis dan metafisika Aristotelian yang mendominasi universitas-universitas Eropa mulai dipertanyakan.³

Di tengah krisis epistemik tersebut, Descartes berupaya menyusun filsafat yang memberikan kepastian yang setara dengan kepastian matematika. Ia melihat bahwa kepastian metafisik dan ilmiah hanya dapat dicapai bila akal manusia berdiri di atas fondasi yang tidak tergoyahkan. Oleh karena itu, ia memperkenalkan metode keraguan radikal, di mana segala hal yang sedikit saja dapat diragukan harus ditolak sampai ditemukan kebenaran yang tidak dapat disangkal.⁴ Namun, untuk menjamin bahwa rasio manusia tidak tertipu oleh ilusi atau “genius jahat,” diperlukan kepastian metafisis tentang keberadaan Tuhan sebagai sumber kebenaran dan keteraturan.⁵ Dengan demikian, argumen rasionalitas keberadaan Tuhan dalam sistem Descartes tidak berdiri terpisah dari proyek epistemologisnya, melainkan menjadi bagian integral dari dasar seluruh ilmu pengetahuan.⁶

2.2.       Posisi Descartes dalam Tradisi Rasionalisme

Untuk memahami dalil rasionalitas keberadaan Tuhan menurut Descartes, perlu ditelusuri posisi filsafatnya dalam tradisi rasionalisme Barat. Rasionalisme, sebagai arus besar dalam filsafat modern, berasumsi bahwa kebenaran sejati dapat dicapai melalui akal (ratio) tanpa bergantung sepenuhnya pada pengalaman empiris.⁷ Tradisi ini, yang kemudian dikembangkan oleh Spinoza dan Leibniz, menemukan bentuk awal dan paradigmatik dalam sistem Descartes.

Meski sering dianggap sebagai pembaru radikal, Descartes tetap berdialog dengan tradisi filsafat skolastik. Ia mewarisi konsep-konsep kunci seperti substansi, kausalitas, dan aktus purus dari metafisika Thomas Aquinas dan Duns Scotus, namun menafsirkan ulang semuanya dalam kerangka epistemologis baru.⁸ Dalam hal pembuktian keberadaan Tuhan, misalnya, Descartes melanjutkan tradisi argumen ontologis Anselmus dari Canterbury tetapi mengubahnya menjadi bagian dari metodologi rasional untuk mencapai kepastian.⁹

Perbedaan fundamental antara Descartes dan para pendahulunya terletak pada arah pembuktiannya. Bila dalam teologi skolastik keberadaan Tuhan merupakan postulat iman yang kemudian dijustifikasi melalui rasio, maka dalam Descartes, keberadaan Tuhan adalah kesimpulan rasional yang menjadi syarat kemungkinan iman dan pengetahuan.¹⁰ Dengan demikian, Tuhan dalam sistem Cartesian bukan sekadar objek devosi religius, melainkan prinsip epistemik yang menjamin kebenaran.¹¹

2.3.       Motif Teologis dan Epistemologis Descartes

Dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes tidak dapat dipisahkan dari dua motif utama yang saling terkait: motif teologis dan motif epistemologis. Secara teologis, Descartes meyakini bahwa akal manusia diciptakan oleh Tuhan untuk mengenal kebenaran, sehingga setiap pencarian rasional sejati pada dasarnya adalah partisipasi dalam kebenaran ilahi.¹² Dalam suratnya kepada teolog Marin Mersenne, Descartes menegaskan bahwa seluruh sistem filsafatnya “tidak dapat dipisahkan dari gagasan tentang Tuhan sebagai pencipta dan penjamin segala sesuatu.”¹³

Secara epistemologis, pembuktian rasional keberadaan Tuhan berfungsi untuk mengatasi skeptisisme metodologis yang Descartes bangun sendiri. Setelah menemukan kebenaran pertama dalam cogito ergo sum, ia menyadari bahwa kepastian tentang diri belum menjamin kebenaran tentang dunia luar.¹⁴ Oleh sebab itu, keberadaan Tuhan yang sempurna dan tidak menipu menjadi dasar jaminan bahwa persepsi dan ide yang jelas serta terpilah (clear and distinct) dapat dipercaya.¹⁵ Dengan kata lain, Tuhan dalam sistem Descartes bukan hanya objek metafisika, melainkan fondasi epistemologi rasionalisme itu sendiri.

Genealogi intelektual Descartes juga memperlihatkan bahwa filsafatnya berakar pada tradisi Augustinian, yang menekankan relasi langsung antara akal manusia dan kebenaran ilahi.¹⁶ Namun, berbeda dari Augustinus yang menempatkan iman sebagai awal pengetahuan (credo ut intelligam), Descartes memulai dari keraguan menuju kepastian melalui rasio, lalu kembali meneguhkan keberadaan Tuhan sebagai jaminan kebenaran.¹⁷ Inilah yang menjadikan dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes memiliki nilai ganda: ia sekaligus berfungsi sebagai argumen teologis dan prinsip epistemologis modernitas.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 13–15.

[2]                Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 5–7.

[3]                Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 233.

[4]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 17–20.

[5]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 128.

[6]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 22.

[7]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 428–430.

[8]                Gilson, Reason and Revelation, 240.

[9]                Norman Kemp Smith, The Philosophy of Descartes (London: Macmillan, 1952), 76–77.

[10]             Richard Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 65–66.

[11]             John Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 47.

[12]             Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55.

[13]             René Descartes, The Philosophical Writings of Descartes, trans. John Cottingham, Robert Stoothoff, and Dugald Murdoch, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 271.

[14]             Descartes, Meditations, 25–26.

[15]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 431.

[16]             Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 253.

[17]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 115.


3.           Ontologi Descartes tentang Tuhan

3.1.       Konsep Substansi dan Atribut

Dalam filsafat René Descartes, ontologi memainkan peranan sentral dalam menegaskan dasar metafisis dari seluruh sistem rasionalitasnya. Segala sesuatu yang ada disebut substansi (substantia), yaitu sesuatu yang eksis sedemikian rupa sehingga tidak bergantung pada apa pun kecuali dirinya sendiri.¹ Namun, Descartes segera menegaskan bahwa dalam arti mutlak, hanya Tuhan yang dapat disebut substansi sejati, sebab hanya Ia yang benar-benar causa sui—penyebab bagi dirinya sendiri.² Sementara itu, manusia dan dunia materi hanyalah substansi dalam arti relatif, karena eksistensinya bergantung pada kehendak Tuhan.³

Dalam Principia Philosophiae, Descartes membedakan tiga jenis substansi: (1) Tuhan sebagai substansi infinita (substansi tak terbatas), (2) jiwa atau res cogitans (substansi berpikir), dan (3) materi atau res extensa (substansi yang memiliki keluasan).⁴ Dari ketiganya, Tuhan menempati posisi tertinggi sebagai penyebab utama (causa prima) dari segala eksistensi. Dengan demikian, ontologi Descartes bersifat hierarkis dan teosentris, meskipun dikembangkan dalam kerangka rasional dan deduktif.

Tuhan dalam sistem Cartesian tidak memiliki atribut material, melainkan ditandai oleh sifat-sifat metafisis seperti infinitas, kesempurnaan, dan kebenaran absolut.⁵ Kesempurnaan ini bukan sekadar sifat moral, tetapi juga ontologis: Tuhan adalah keberadaan yang mencakup segala realitas positif tanpa kekurangan sedikit pun.⁶ Karena itu, bagi Descartes, ide tentang Tuhan sebagai wujud sempurna tidak mungkin berasal dari makhluk yang terbatas; maka ide tersebut harus disebabkan oleh realitas yang memiliki kesempurnaan itu sendiri.⁷

3.2.        Eksistensi Tuhan sebagai Esensi yang Niscaya

Salah satu aspek paling penting dari ontologi Descartes adalah pandangannya bahwa eksistensi merupakan bagian dari esensi Tuhan. Dalam Meditation V, Descartes menulis bahwa keberadaan Tuhan “tidak dapat dipisahkan dari hakikat-Nya lebih dari segitiga yang tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa jumlah sudut-sudutnya sama dengan dua sudut siku-siku.”⁸ Dengan kata lain, Tuhan bukan sekadar mungkin ada, melainkan niscaya ada (ens necessarium).

Argumen ini dikenal sebagai pembuktian ontologis, yang mengandaikan bahwa dari ide tentang Tuhan sebagai wujud yang memiliki segala kesempurnaan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan merupakan salah satu kesempurnaan itu.⁹ Sebab, jika Tuhan tidak ada, maka Ia tidak memiliki kesempurnaan yang lengkap, dan itu berarti bertentangan dengan definisi-Nya sendiri sebagai wujud yang sempurna.¹⁰ Descartes menegaskan bahwa ide tentang Tuhan bukanlah hasil abstraksi empiris, melainkan innate idea—ide bawaan yang tertanam dalam struktur rasional manusia sebagai refleksi dari Sang Pencipta.¹¹

Dengan demikian, eksistensi Tuhan dalam sistem Descartes bersifat a priori dan deduktif: tidak bergantung pada pengalaman empiris, tetapi dapat diturunkan secara logis dari hakikat kesempurnaan itu sendiri.¹² Ontologi Tuhan yang demikian memberikan dasar bagi kepastian metafisis seluruh tatanan realitas. Segala sesuatu yang eksis, termasuk jiwa dan dunia materi, memperoleh keberadaannya dari partisipasi pada eksistensi ilahi yang niscaya.¹³

3.3.       Tuhan sebagai Sumber Keberadaan dan Kepastian Dunia

Bagi Descartes, keberadaan Tuhan bukan hanya postulat metafisis, tetapi juga prinsip ontologis yang menjamin keberadaan segala sesuatu yang lain. Dunia dan manusia tidak hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga terus-menerus dipelihara dalam keberadaannya oleh kekuatan ilahi.¹⁴ Pandangan ini disebut conservatio est continua creatio—pemeliharaan merupakan penciptaan yang berkelanjutan.¹⁵ Artinya, eksistensi dunia pada setiap saat bergantung pada kehendak Tuhan yang terus-menerus memberikan keberadaan.

Konsepsi ini menegaskan bahwa seluruh realitas bersifat kontingen, sementara hanya Tuhan yang niscaya. Tanpa Tuhan, tidak ada jaminan bagi keberlangsungan hukum-hukum alam, bahkan bagi kebenaran matematika sekalipun.¹⁶ Tuhan menjadi dasar bagi kepastian epistemologis (cognitio clara et distincta) dan keteraturan kosmos.¹⁷ Dalam hal ini, ontologi Descartes tidak bersifat deistik, karena Tuhan bukan hanya pencipta awal yang meninggalkan ciptaan-Nya, melainkan terus hadir sebagai prinsip aktif yang menegakkan eksistensi dan rasionalitas dunia.¹⁸

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ontologi Tuhan dalam filsafat Descartes merupakan sintesis unik antara metafisika tradisional dan rasionalisme modern. Tuhan adalah substansi absolut yang menjadi sebab diri sendiri, keberadaan yang niscaya, dan sumber kebenaran yang menjamin eksistensi serta pengetahuan manusia.¹⁹ Melalui fondasi ontologis ini, seluruh sistem filsafat Descartes memperoleh legitimasi dan kepastian metafisis yang menjadi ciri khas rasionalismenya.


Footnotes

[1]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 51.

[2]                Ibid., 53.

[3]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 36.

[4]                Descartes, Principles of Philosophy, 52–54.

[5]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 432.

[6]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 118.

[7]                Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45.

[8]                Ibid., 48.

[9]                Norman Kemp Smith, The Philosophy of Descartes (London: Macmillan, 1952), 79.

[10]             Descartes, Meditations, 49.

[11]             Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 132.

[12]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 433.

[13]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 242.

[14]             Descartes, Principles of Philosophy, 55.

[15]             Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 51.

[16]             Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography, 137.

[17]             Richard Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 70.

[18]             John Cottingham, Cartesian Reflections, 41.

[19]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 32.


4.           Epistemologi Rasionalitas Keberadaan Tuhan

4.1.       Metode Keraguan dan “Cogito ergo sum”

Epistemologi Descartes berakar pada keyakinan bahwa dasar pengetahuan sejati hanya dapat dibangun di atas kepastian yang mutlak dan tak tergoyahkan. Untuk mencapainya, Descartes memperkenalkan metode keraguan universal (methodical doubt), yaitu menolak segala hal yang sedikit saja dapat diragukan.¹ Ia meragukan kesaksian indra, realitas eksternal, bahkan kebenaran matematika, dengan alasan bahwa mungkin saja ada genius jahat (malin génie) yang menipunya.²

Namun, di tengah keraguan radikal itu, Descartes menemukan satu kebenaran yang tak dapat diragukan: fakta bahwa ia sedang meragukan, berpikir, dan karenanya eksis sebagai subjek berpikir. Dari sinilah lahir prinsip cogito ergo sum—“Aku berpikir, maka aku ada.”³ Cogito menjadi titik arkhimedean epistemologi Descartes, yakni fondasi pertama yang pasti dan jelas. Tetapi, bagi Descartes, kepastian tentang diri belum cukup; ia membutuhkan dasar metafisis yang menjamin kebenaran semua ide dan persepsi yang jelas serta terpilah (clear and distinct).⁴

Pada titik inilah keberadaan Tuhan menjadi niscaya dalam kerangka epistemologi Descartes. Tanpa Tuhan yang sempurna dan tidak menipu, tidak ada jaminan bahwa kesimpulan rasional manusia benar-benar mencerminkan realitas.⁵ Dengan demikian, epistemologi Descartes bersifat teosentris dalam fondasinya: kepastian pengetahuan bergantung pada eksistensi dan kebenaran Tuhan sebagai jaminan objektivitas rasional.⁶

4.2.       Argumen Kausalitas (Causa Efficiens)

Dalam Meditation III, Descartes mengembangkan argumen kausalitas sebagai salah satu dasar rasional bagi keberadaan Tuhan. Ia berangkat dari premis bahwa dalam kesadarannya terdapat ide tentang Tuhan sebagai wujud yang sempurna dan tak terbatas.⁷ Menurut prinsip kausalitas yang ia rumuskan, “tidak mungkin sesuatu yang kurang sempurna menjadi sebab bagi sesuatu yang lebih sempurna.”⁸ Karena manusia adalah makhluk terbatas, ia tidak dapat menjadi penyebab ide tentang kesempurnaan mutlak; maka harus ada realitas eksternal yang memiliki kesempurnaan itu sendiri—yakni Tuhan.⁹

Argumen ini bersifat a posteriori dalam arti berasal dari refleksi atas isi kesadaran, namun tetap berada dalam ranah rasional, bukan empiris. Descartes menolak gagasan bahwa ide tentang Tuhan hanyalah hasil konstruksi imajinatif; baginya, ide tersebut memiliki “realitas objektif” (realitas objektiva) yang hanya dapat dijelaskan oleh sebab yang memiliki “realitas formal” (realitas formalis) yang sebanding atau lebih besar.¹⁰ Prinsip ini menegaskan hubungan proporsional antara sebab dan akibat sebagai hukum universal rasionalitas.¹¹

Dengan demikian, argumen kausalitas Descartes tidak hanya bertujuan membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi juga menjamin koherensi antara isi kesadaran dan realitas eksternal. Tuhan, sebagai penyebab tertinggi, menjadi jembatan epistemik antara dunia ide dan dunia realitas.¹²

4.3.       Argumen Ontologis

Selain argumen kausalitas, Descartes juga merumuskan argumen ontologis dalam Meditation V, yang bersifat a priori. Ia berangkat dari definisi Tuhan sebagai wujud yang memiliki semua kesempurnaan (ens perfectissimum).¹³ Karena eksistensi adalah salah satu bentuk kesempurnaan, maka eksistensi tidak dapat dipisahkan dari esensi Tuhan.¹⁴ Dengan kata lain, untuk berpikir tentang Tuhan yang sempurna berarti berpikir tentang Tuhan yang ada.¹⁵

Descartes menganalogikan hal ini dengan kebenaran geometris: sama seperti fakta bahwa jumlah sudut segitiga selalu sama dengan dua sudut siku-siku, demikian pula eksistensi termasuk dalam hakikat Tuhan.¹⁶ Namun, ia menekankan bahwa argumen ini tidak berarti “menyimpulkan keberadaan dari ide kosong,” melainkan menyadari bahwa ide tentang Tuhan itu sendiri mengandung realitas yang meniscayakan eksistensi-Nya.¹⁷

Dalam epistemologi Descartes, argumen ontologis tidak hanya membuktikan bahwa Tuhan ada, tetapi juga bahwa Tuhan merupakan dasar seluruh kebenaran rasional. Karena Tuhan adalah penyebab dan penjamin ide-ide yang jelas dan terpilah, maka kepastian pengetahuan manusia bergantung pada kejujuran dan kesempurnaan Tuhan.¹⁸

4.4.       Fungsi Tuhan dalam Jaminan Epistemik

Peran epistemologis Tuhan mencapai puncaknya dalam Meditation IV dan V. Setelah menetapkan bahwa Tuhan sempurna dan tidak menipu, Descartes menyimpulkan bahwa segala ide yang jelas dan terpilah (clear and distinct) pasti benar.¹⁹ Tuhan, sebagai wujud yang sempurna, tidak akan menanamkan dalam diri manusia kecenderungan menuju kesalahan yang sistematis.²⁰

Dari sini muncul konsep “jaminan ilahi” (garantia divina) dalam epistemologi Descartes: kebenaran pengetahuan manusia hanya sah sejauh dijamin oleh sifat non-deceptive Tuhan.²¹ Dengan demikian, rasionalitas manusia bersumber pada partisipasi dalam rasionalitas ilahi.²²

Namun, posisi ini juga menimbulkan dilema epistemologis yang dikenal sebagai Cartesian Circle (lingkaran Cartesian).²³ Descartes tampak mendasarkan kejelasan ide pada keberadaan Tuhan, tetapi sekaligus membuktikan keberadaan Tuhan melalui ide yang dianggap jelas.²⁴ Para filsuf seperti Arnauld dan Kant kemudian mengkritik sirkularitas ini sebagai kelemahan logis dari epistemologi Descartes.²⁵ Meski demikian, dalam kerangka sistemnya sendiri, Descartes berusaha menunjukkan bahwa kepastian rasional bersandar pada keteraturan ontologis dan kebenaran metafisis Tuhan, yang melampaui keterbatasan akal manusia.²⁶

Dengan demikian, epistemologi rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes merupakan fondasi bagi keseluruhan sistem rasionalisme modern. Ia menghubungkan antara kepastian subjektif (cogito), prinsip kausalitas objektif, dan kebenaran universal yang dijamin oleh Tuhan sebagai sumber rasionalitas tertinggi.²⁷


Footnotes

[1]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 18.

[2]                Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 20.

[3]                Ibid., 24.

[4]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 54.

[5]                Descartes, Meditations, 27.

[6]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 433.

[7]                Descartes, Meditations, 42.

[8]                Ibid., 44.

[9]                Norman Kemp Smith, The Philosophy of Descartes (London: Macmillan, 1952), 85.

[10]             Descartes, Meditations, 46.

[11]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 119.

[12]             Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 136.

[13]             Descartes, Meditations, 48.

[14]             Ibid., 49.

[15]             Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 50.

[16]             Descartes, Meditations, 50.

[17]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 434.

[18]             Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography, 138.

[19]             Descartes, Meditations, 55.

[20]             Cottingham, Cartesian Reflections, 62.

[21]             Richard Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 71.

[22]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 246.

[23]             Arnauld, Antoine, “Fourth Objections to Descartes’ Meditations,” in The Philosophical Writings of Descartes, ed. and trans. John Cottingham et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 141.

[24]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 436.

[25]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 565.

[26]             Cottingham, The Rationalists, 52.

[27]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 35.


5.           Aksiologi dan Dimensi Teologis Rasionalitas

5.1.       Tuhan sebagai Dasar Etika dan Moralitas Rasional

Dalam filsafat Descartes, Tuhan tidak hanya berperan sebagai fondasi ontologis dan epistemologis, tetapi juga sebagai dasar aksiologis dari seluruh tatanan nilai. Karena Tuhan merupakan sumber segala kesempurnaan dan kebenaran, maka segala nilai kebaikan dan keutamaan moral berpangkal pada realitas ilahi tersebut.¹ Bagi Descartes, nilai moral tidak bersifat arbitrer atau sekadar hasil kebiasaan sosial, melainkan memiliki landasan rasional dan teologis dalam kehendak Tuhan yang sempurna.²

Dalam Meditation IV, Descartes menegaskan bahwa kesalahan moral manusia tidak berasal dari kehendak Tuhan, melainkan dari penyalahgunaan kebebasan oleh manusia itu sendiri.³ Tuhan telah memberikan kepada manusia dua kapasitas utama: intelek (kemampuan memahami) dan kehendak bebas (kemampuan memilih). Ketika kehendak manusia digunakan melampaui batas yang ditetapkan oleh intelek, maka terjadilah kesalahan dan dosa.⁴ Dengan demikian, kebaikan moral terletak pada penggunaan rasio secara selaras dengan kebenaran yang dijamin oleh Tuhan.

Rasionalitas dalam sistem Descartes dengan demikian memiliki dimensi etis: berpikir benar berarti bertindak benar, sebab keduanya berakar pada ketaatan terhadap keteraturan ilahi.⁵ Etika Cartesian bersifat teonom dan rasional sekaligus—teonom karena bersumber dari kehendak Tuhan, rasional karena dapat dimengerti dan dijalankan melalui akal.⁶ Tuhan, dengan kesempurnaan-Nya, menjadi ukuran objektif bagi kebaikan, dan manusia memperoleh nilai moral sejauh ia berpartisipasi dalam rasionalitas dan kebenaran ilahi.⁷

5.2.       Perpaduan antara Iman dan Rasio dalam Etika Descartes

Descartes sering dituduh sebagai rasionalis yang menyingkirkan peran iman, padahal pemahaman demikian terlalu menyederhanakan pandangannya. Dalam berbagai surat dan risalahnya, Descartes menegaskan bahwa rasio dan iman tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.⁸ Rasionalitas, baginya, adalah sarana untuk memahami dan meneguhkan iman, bukan untuk meniadakannya. Ia menulis dalam surat kepada Pater Mesland bahwa “iman dan akal adalah dua cahaya yang datang dari sumber yang sama, Tuhan, dan keduanya tidak mungkin bertentangan.”⁹

Dalam konteks etika, hubungan antara iman dan rasio tercermin dalam prinsip bahwa kehendak baik (bona voluntas) adalah tindakan yang mengikuti pengetahuan yang jelas dan benar.¹⁰ Tuhan memberikan akal agar manusia dapat mengenal kehendak-Nya secara rasional, dan memberikan iman agar manusia tetap tunduk pada misteri yang melampaui rasio.¹¹ Karena itu, moralitas sejati tidak hanya rasional, tetapi juga teologis: ia berakar pada kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan kesempurnaan Tuhan.¹²

Dalam karya Les Passions de l’âme, Descartes menulis bahwa kebajikan tertinggi adalah “menyadari bahwa hanya Tuhan yang layak dikasihi sepenuhnya, dan bahwa segala cinta yang benar pada makhluk adalah partisipasi dalam cinta kepada-Nya.”¹³ Hal ini menunjukkan bahwa dalam etika Cartesian, rasionalitas moral tidak terlepas dari orientasi spiritual yang menuju pada Tuhan.¹⁴

5.3.       Konsekuensi Aksiologis terhadap Pandangan Dunia Modern

Aksiologi rasionalitas dalam filsafat Descartes memiliki konsekuensi luas terhadap pembentukan pandangan dunia modern. Dengan menempatkan Tuhan sebagai prinsip rasionalitas dan moralitas, Descartes membangun jembatan antara iman teologis dan rasionalitas ilmiah.¹⁵ Ia menunjukkan bahwa hukum-hukum alam, matematika, dan etika semuanya bersumber dari keteraturan ilahi yang rasional.¹⁶ Dengan demikian, dunia menjadi dapat dimengerti bukan karena otonomi manusia semata, tetapi karena ia diciptakan oleh Tuhan yang rasional dan baik.¹⁷

Namun, warisan Cartesian juga menimbulkan ambiguitas dalam perkembangan modernitas. Penekanan pada rasionalitas individual akhirnya mengarah pada sekularisasi nilai, di mana Tuhan perlahan digeser dari pusat sistem epistemik menuju pinggiran.¹⁸ Para filsuf seperti Spinoza dan Leibniz mencoba melanjutkan rasionalisme Descartes, tetapi dengan mengubah Tuhan menjadi prinsip impersonal yang identik dengan alam.¹⁹ Meskipun demikian, fondasi aksiologis Descartes tetap penting, sebab ia menegaskan bahwa rasionalitas sejati tanpa orientasi pada kebaikan dan kebenaran ilahi akan kehilangan arah moralnya.²⁰

Dalam konteks kontemporer, prinsip aksiologis Descartes dapat direinterpretasikan sebagai dasar bagi etika rasional transendental: keyakinan bahwa nilai-nilai moral dan ilmiah hanya sah bila berakar pada keteraturan rasional yang objektif.²¹ Dengan demikian, meskipun Descartes hidup pada abad ke-17, pandangan aksiologisnya tetap relevan sebagai kritik terhadap relativisme moral dan krisis makna dalam dunia modern.²²


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55.

[2]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 68.

[3]                Descartes, Meditations, 56.

[4]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 141.

[5]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 437.

[6]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 120.

[7]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 39.

[8]                René Descartes, Correspondence with Princess Elizabeth, in The Philosophical Writings of Descartes, trans. John Cottingham, Robert Stoothoff, and Dugald Murdoch, vol. 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 278.

[9]                René Descartes, Oeuvres de Descartes, ed. Charles Adam and Paul Tannery, vol. 4 (Paris: Vrin, 1964), 122.

[10]             John Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 53.

[11]             Descartes, Meditations, 57.

[12]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 248.

[13]             René Descartes, Les Passions de l’âme (Paris: Vrin, 1983), art. 147.

[14]             Cottingham, Cartesian Reflections, 71.

[15]             Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography, 144.

[16]             Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 58.

[17]             Cottingham, The Rationalists, 54.

[18]             Richard Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 75.

[19]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 439.

[20]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 122.

[21]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 45.

[22]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 56.


6.           Kritik terhadap Dalil Rasionalitas Keberadaan Tuhan

6.1.       Kritik Empiris dan Skeptisisme Modern (David Hume dan Para Empiris Inggris)

Dalil rasionalitas keberadaan Tuhan yang diajukan Descartes menimbulkan perdebatan panjang di kalangan filsuf empiris. David Hume (1711–1776), tokoh utama empirisisme Inggris, menolak validitas argumen rasional tentang Tuhan karena menganggapnya melampaui batas pengalaman manusia.¹ Hume berpendapat bahwa semua ide dalam pikiran manusia harus dapat ditelusuri pada kesan indrawi (impressions); karena tidak ada pengalaman langsung tentang Tuhan, maka ide tentang Tuhan hanyalah hasil dari penyempurnaan ide manusia tentang kebaikan dan kesempurnaan.² Dengan demikian, ide tentang Tuhan tidak memiliki dasar empiris yang sahih.

Selain itu, Hume mengkritik prinsip kausalitas yang menjadi tulang punggung argumen Descartes.³ Menurut Hume, hubungan sebab-akibat bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan melalui akal, melainkan hasil dari kebiasaan psikologis yang timbul karena pengulangan pengalaman.⁴ Maka, pernyataan bahwa “ide tentang kesempurnaan harus berasal dari penyebab yang sempurna” dianggap tidak memiliki justifikasi empiris. Argumen kausalitas Descartes, bagi Hume, hanyalah deduksi rasional yang tidak terverifikasi oleh pengalaman.⁵

Kritik Hume ini menandai pergeseran penting dari rasionalisme metafisis menuju empirisisme kritis, di mana Tuhan tidak lagi dilihat sebagai postulat rasional, melainkan sebagai asumsi metafisis yang tidak dapat diverifikasi secara ilmiah.⁶ Dalam konteks modern, pandangan ini memicu lahirnya tradisi positivistik yang menolak pembahasan metafisika sebagai nonsens.⁷

6.2.       Kritik Transendental dan Rasionalisme Kritis (Immanuel Kant)

Kritik paling tajam terhadap pembuktian rasional keberadaan Tuhan datang dari Immanuel Kant (1724–1804), yang dalam Critique of Pure Reason menolak seluruh bentuk argumen rasional tradisional, termasuk versi Cartesian.⁸ Menurut Kant, semua argumen metafisis tentang Tuhan (kosmologis, teleologis, dan ontologis) pada akhirnya bergantung pada argumen ontologis, sehingga apabila yang terakhir gagal, seluruhnya runtuh.⁹

Kant menolak dasar utama argumen ontologis Descartes yang menyatakan bahwa eksistensi termasuk dalam esensi Tuhan. Ia menegaskan bahwa eksistensi bukanlah predikat yang menambah sesuatu pada esensi.¹⁰ Mengatakan bahwa Tuhan ada tidak menambah apa pun pada konsep Tuhan; sama seperti seratus taler yang dibayangkan tidak memiliki nilai lebih dari seratus taler nyata kecuali dalam kenyataan empiris.¹¹ Dengan demikian, dari konsep Tuhan yang sempurna tidak dapat disimpulkan keberadaan-Nya tanpa bukti empiris.¹²

Selain itu, Kant menunjukkan adanya lingkaran Cartesian dalam epistemologi Descartes, yakni bahwa ia menggunakan ide yang jelas dan terpilah untuk membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi kemudian menggunakan keberadaan Tuhan untuk menjamin kebenaran ide-ide tersebut.¹³ Menurut Kant, hal ini bukanlah pembuktian rasional, melainkan sirkularitas logis yang tak terhindarkan.¹⁴

Namun, Kant tidak menolak gagasan tentang Tuhan secara total. Dalam filsafat praktisnya, ia menegaskan bahwa Tuhan merupakan postulat rasio praktis, yakni suatu keharusan moral bagi tatanan nilai dan tujuan etis manusia.¹⁵ Dengan demikian, walaupun Tuhan tidak dapat dibuktikan secara teoretis, keberadaan-Nya tetap diperlukan bagi legitimasi moral. Kritik ini menunjukkan pergeseran epistemologis dari “pembuktian rasional” menuju “keharusan moral” dalam memahami Tuhan.¹⁶

6.3.       Kritik Teologis dan Eksistensialis

Selain kritik dari tradisi empiris dan kritisisme Kantian, pemikiran Descartes juga ditantang dari arah teologis dan eksistensialis. Søren Kierkegaard (1813–1855), sebagai pelopor eksistensialisme religius, menolak gagasan bahwa Tuhan dapat dibuktikan melalui rasio.¹⁷ Menurutnya, iman bukan hasil deduksi logis, melainkan lompatan eksistensial (leap of faith) yang melampaui rasionalitas.¹⁸ Dengan mengandalkan pembuktian rasional, manusia justru kehilangan dimensi eksistensial dari iman yang sejati.¹⁹

Dalam pandangan Kierkegaard, hubungan manusia dengan Tuhan bersifat paradoksal: Tuhan adalah yang mutlak transenden dan tidak dapat dijangkau oleh sistem rasional mana pun.²⁰ Iman sejati justru muncul ketika rasio berhenti berfungsi sebagai alat pembuktian dan menjadi sarana penyerahan diri.²¹

Kritik teologis lain datang dari Blaise Pascal (1623–1662), seorang kontemporer Descartes, yang menyindir rasionalisme Cartesian dengan ungkapan terkenal: “Tuhan Abraham, Ishak, dan Yakub bukanlah Tuhan para filsuf.”²² Pascal berpendapat bahwa Descartes telah “memberikan Tuhan satu dorongan untuk menggerakkan dunia, lalu tidak memerlukan-Nya lagi,”²³ yang menunjukkan kekhawatiran bahwa Tuhan dalam sistem Descartes lebih berfungsi sebagai prinsip metafisis daripada pribadi yang hidup dan berelasi dengan manusia.²⁴

Kritik-kritik tersebut memperlihatkan bahwa meskipun argumen Descartes berhasil memberikan struktur rasional bagi teologi modern, ia juga membuka ruang bagi reduksi transendensi ilahi menjadi sekadar postulat rasionalitas.²⁵

6.4.       Evaluasi Logis dan Filsafat Pascakritik

Kritik terhadap dalil rasionalitas Descartes kemudian berlanjut dalam tradisi filsafat kontemporer, terutama dalam fenomenologi dan filsafat analitik. Martin Heidegger, misalnya, menilai bahwa pembuktian rasional tentang Tuhan seperti yang dilakukan Descartes telah “menyempitkan Being ilahi menjadi sekadar entitas tertinggi di antara entitas lainnya.”²⁶ Bagi Heidegger, ini adalah bentuk onto-teologi, yaitu ketika Tuhan dijadikan objek dalam sistem metafisika manusia, sehingga kehilangan misteri dan transendensi-Nya.²⁷

Dalam filsafat analitik, Alvin Plantinga mencoba merehabilitasi argumen ontologis Descartes melalui pendekatan logika modal.²⁸ Ia menyatakan bahwa jika mungkin terdapat wujud yang memiliki kesempurnaan maksimal (dalam setiap dunia mungkin), maka wujud tersebut pasti eksis dalam dunia aktual.²⁹ Meskipun berbeda secara metodologis, usaha Plantinga ini menunjukkan bahwa warisan rasionalisme Descartes tetap hidup dan terus diperdebatkan.³⁰

Secara keseluruhan, kritik terhadap dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes mencerminkan ketegangan abadi antara iman dan rasio, antara Tuhan sebagai objek metafisika dan Tuhan sebagai misteri eksistensial.³¹


Footnotes

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 35.

[2]                Ibid., 45.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 44.

[4]                Hume, Enquiry, 60.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume V, Hobbes to Hume (New York: Doubleday, 1994), 285.

[6]                Richard Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 83.

[7]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 115.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 563.

[9]                Ibid., 567.

[10]             Ibid., 569.

[11]             Ibid., 570.

[12]             Norman Kemp Smith, A Commentary to Kant’s “Critique of Pure Reason” (London: Macmillan, 1918), 521.

[13]             Antoine Arnauld, “Fourth Objections to Descartes’ Meditations,” in The Philosophical Writings of Descartes, ed. and trans. John Cottingham et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 143.

[14]             Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 437.

[15]             Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125.

[16]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 124.

[17]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 43.

[18]             Ibid., 49.

[19]             John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin, 1972), 87.

[20]             Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 203.

[21]             Ibid., 205.

[22]             Blaise Pascal, Pensées, trans. Roger Ariew (Indianapolis: Hackett, 2005), §233.

[23]             Ibid., §277.

[24]             Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 147.

[25]             John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 79.

[26]             Martin Heidegger, Identity and Difference, trans. Joan Stambaugh (New York: Harper & Row, 1969), 54.

[27]             Ibid., 56.

[28]             Alvin Plantinga, The Nature of Necessity (Oxford: Oxford University Press, 1974), 212.

[29]             Ibid., 214.

[30]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 440.

[31]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 250.


7.           Relevansi Kontemporer

7.1.       Rasionalisme Descartes dan Filsafat Analitik Modern

Meskipun telah berlalu lebih dari tiga abad sejak kematian René Descartes, dalil rasionalitas keberadaan Tuhan masih menjadi sumber inspirasi dan perdebatan dalam filsafat kontemporer. Dalam filsafat analitik abad ke-20, gagasan Descartes tentang ide bawaan (innate ideas) dan pembuktian apriori mendapat bentuk baru melalui logika modal dan epistemologi rasional.¹ Tokoh seperti Alvin Plantinga, misalnya, mengembangkan versi modern dari argumen ontologis Descartes dengan menggunakan logika kemungkinan dunia (possible worlds semantics), yang menunjukkan bahwa jika keberadaan wujud yang sempurna itu mungkin, maka wujud tersebut mesti eksis di dunia aktual.²

Plantinga menegaskan bahwa argumen ontologis tidak dapat disangkal hanya karena bersifat non-empiris, sebab ia bekerja dalam ranah rasionalitas formal yang berbeda dengan pembuktian ilmiah.³ Dengan demikian, warisan Cartesian tetap hidup dalam bentuk rasionalisme teistik yang memadukan logika analitik dengan keyakinan metafisis. Pandangan ini menghidupkan kembali perdebatan antara ateisme logis dan teisme rasional di kalangan filsuf seperti Richard Swinburne, William Lane Craig, dan Robert Adams.⁴

Selain itu, Descartes juga mempengaruhi epistemologi kontemporer melalui gagasan tentang epistemic foundationalism—pandangan bahwa semua pengetahuan harus berakar pada keyakinan dasar yang tak tergoyahkan.⁵ Dalam konteks modern, hal ini tercermin dalam teori basic beliefs Plantinga dan reliabilisme epistemik Goldman, yang tetap mempertahankan semangat Cartesian dalam mencari fondasi rasional bagi kebenaran.⁶

7.2.       Rasionalitas Ilahi dan Dialog antara Sains dan Teologi

Pemikiran Descartes juga memiliki relevansi besar dalam diskursus antara sains dan teologi modern. Paradigma Cartesian tentang keteraturan rasional alam semesta telah menjadi fondasi bagi metode ilmiah, karena mengandaikan bahwa dunia tunduk pada hukum yang dapat dimengerti oleh akal manusia.⁷ Sebagaimana dicatat oleh John Polkinghorne, keyakinan ilmuwan bahwa alam semesta dapat dipahami secara rasional hanya masuk akal jika diasumsikan bahwa alam tersebut merupakan hasil ciptaan Tuhan yang rasional.⁸ Dengan demikian, konsep Descartes tentang Tuhan sebagai sumber keteraturan kosmos tetap menjadi asumsi teologis tersembunyi dalam sains modern.

Dalam konteks filsafat ilmu, rasionalitas teistik Descartes juga berperan sebagai koreksi terhadap reduksionisme ilmiah.⁹ Rasionalitas tanpa transendensi, sebagaimana terlihat dalam positivisme abad ke-20, cenderung menutup ruang bagi makna dan nilai.¹⁰ Namun, pandangan Descartes bahwa rasio manusia adalah pantulan dari rasio ilahi memungkinkan integrasi antara pengetahuan empiris dan pemahaman moral-spiritual.¹¹

Dengan demikian, logos Cartesian dapat diartikan kembali sebagai prinsip epistemologis dan spiritual yang menghubungkan sains dengan teologi, menghindarkan keduanya dari klaim absolutisme.¹²

7.3.       Dimensi Eksistensial dan Spiritualitas Rasional

Dalam era pascamodern yang ditandai oleh relativisme nilai dan krisis makna, gagasan Descartes tentang rasionalitas yang berakar pada Tuhan menawarkan landasan bagi spiritualitas yang reflektif dan kritis.¹³ Rasionalitas dalam arti Cartesian bukanlah sekadar kalkulasi logis, tetapi juga kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan kebenaran yang mutlak.¹⁴ Hal ini membuka ruang bagi spiritualitas yang tidak menolak akal, melainkan menggunakannya sebagai jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang transendensi.

Pemikir kontemporer seperti Paul Ricoeur dan Charles Taylor menafsirkan kembali warisan Descartes sebagai titik awal bagi rasionalitas reflektif, yaitu rasionalitas yang sadar akan fondasinya sendiri dan terbuka terhadap dimensi iman.¹⁵ Taylor, dalam Sources of the Self, menyatakan bahwa proyek modern tentang subjek otonom tidak akan mungkin tanpa dasar teologis yang diwariskan oleh Descartes, yang menegaskan manusia sebagai ciptaan yang berpikir dan sadar diri di hadapan Tuhan.¹⁶

Spiritualitas rasional demikian menjadi alternatif terhadap dua ekstrem zaman modern: fanatisme religius yang anti-rasional dan sekularisme nihilistik yang menolak transendensi.¹⁷ Dengan menghidupkan kembali prinsip Descartes bahwa kebenaran rasional berakar pada Tuhan yang tidak menipu, manusia modern dapat menemukan keseimbangan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral.¹⁸

7.4.       Relevansi Sosial dan Etis di Era Digital

Akhirnya, relevansi dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes juga dapat diperluas ke konteks sosial dan etis masa kini. Dunia digital yang ditandai oleh ledakan informasi, relativisme kebenaran, dan krisis kepercayaan menuntut pemulihan prinsip rasionalitas yang memiliki dasar moral.¹⁹ Prinsip claritas et distinctio Descartes dapat dimaknai kembali sebagai etika epistemik: keharusan berpikir jernih, kritis, dan bertanggung jawab dalam menghadapi arus data yang masif.²⁰

Tuhan dalam kerangka rasionalitas Cartesian tidak harus dipahami secara dogmatis, melainkan sebagai simbol keteraturan, kejujuran, dan kebenaran universal yang menuntun tindakan manusia.²¹ Dalam arti ini, rasionalitas teistik Descartes memiliki fungsi etis dan spiritual bagi masyarakat modern yang sedang mencari dasar bagi keadilan dan integritas intelektual.²²

Dengan demikian, relevansi kontemporer dalil rasionalitas keberadaan Tuhan menurut Descartes tidak hanya terletak pada pembelaan metafisika klasik, tetapi juga pada upaya membangun kembali rasionalitas yang berakar pada nilai, moralitas, dan keterbukaan terhadap transendensi.²³


Footnotes

[1]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 85.

[2]                Alvin Plantinga, The Nature of Necessity (Oxford: Oxford University Press, 1974), 212–214.

[3]                Ibid., 215.

[4]                William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London: Macmillan, 1979), 145; Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 68.

[5]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 442.

[6]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 50.

[7]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 60.

[8]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 23.

[9]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 127.

[10]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 120.

[11]             Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 149.

[12]             Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion, trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 45.

[13]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 91.

[14]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 57.

[15]             Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 284.

[16]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 152.

[17]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 118.

[18]             Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 58.

[19]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 95.

[20]             Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 20.

[21]             Hans Küng, Does God Exist? An Answer for Today (New York: Doubleday, 1980), 93.

[22]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 202.

[23]             John Cottingham, Cartesian Reflections, 91.


8.           Sintesis Filosofis

8.1.       Kesatuan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Rasionalitas Descartes

Rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat René Descartes merupakan struktur metafisis yang mengintegrasikan tiga dimensi utama filsafat: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam dimensi ontologis, Tuhan dipahami sebagai substansi absolutens infinitum—yang menjadi penyebab diri sendiri (causa sui) dan sumber eksistensi segala yang ada.¹ Dalam dimensi epistemologis, Tuhan menjamin kebenaran pengetahuan melalui kejelasan dan ketepatan ide (claritas et distinctio).² Sedangkan dalam dimensi aksiologis, Tuhan menjadi prinsip moral tertinggi yang menuntun manusia menuju kebaikan rasional dan kesempurnaan moral.³

Ketiga dimensi ini saling berjalin secara koheren dalam sistem Descartes. Ontologi memberikan dasar metafisis bagi epistemologi; epistemologi menegaskan struktur rasional pengetahuan yang berujung pada Tuhan; dan aksiologi menuntun penerapan pengetahuan dalam tatanan moral.⁴ Dengan demikian, rasionalitas Descartes bukan sekadar metode berpikir, melainkan sebuah ordo sapientiae—tatanan kebijaksanaan yang menempatkan Tuhan sebagai pusat segala kebenaran dan nilai.⁵

Kesatuan tiga dimensi ini menjadikan sistem Cartesian bersifat integratif: rasionalitas tidak dapat dilepaskan dari iman, dan iman tidak dapat dilepaskan dari prinsip rasional. Hal ini menandai kesinambungan antara warisan skolastik yang teosentris dan semangat modernitas yang antroposentris.⁶ Tuhan adalah jembatan yang memungkinkan dialog antara keduanya, sebab Ia adalah dasar keberadaan sekaligus jaminan kebenaran bagi subjek berpikir.⁷

8.2.       Rasionalitas sebagai Jalan Menuju Transendensi

Bagi Descartes, rasionalitas bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju pengakuan akan realitas yang melampaui rasio itu sendiri. Cogito ergo sum membuka kesadaran reflektif manusia tentang keberadaannya, namun kesadaran itu menemukan kepenuhannya hanya dalam pengenalan akan Tuhan sebagai sumber kebenaran dan eksistensi.⁸ Di sinilah rasionalitas berfungsi sebagai jembatan antara manusia dan yang transenden, bukan sebagai pengganti transendensi itu.⁹

Kesadaran diri manusia (subjektivitas) dalam sistem Cartesian menemukan maknanya ketika ia mengakui keterbatasan dirinya di hadapan Tuhan yang tak terbatas.¹⁰ Dalam kerangka ini, cogito tidak berujung pada egoisme epistemik, melainkan pada kesadaran akan partisipasi rasio manusia dalam rasio ilahi.¹¹ Rasionalitas sejati, dengan demikian, bersifat partisipatif-transendental: manusia berpikir benar karena ia ikut serta dalam kebenaran Tuhan.¹²

Dari perspektif ini, sistem Descartes dapat ditafsirkan sebagai metafisika keterbukaan: rasionalitas bukan penutupan terhadap misteri, melainkan gerak menuju sumber segala makna.¹³ Ia mengantisipasi pemikiran fenomenologis dan eksistensialis kemudian—seperti Husserl dan Ricoeur—yang menekankan bahwa kesadaran senantiasa diarahkan (intentional) kepada sesuatu yang melampauinya.¹⁴ Maka, transendensi Tuhan dalam Descartes bukanlah deus ex machina metafisika, melainkan horizon makna bagi seluruh aktivitas berpikir dan moral manusia.¹⁵

8.3.       Rekonstruksi Rasionalitas Teistik dalam Konteks Pascamodern

Dalam konteks filsafat pascamodern, sintesis rasionalitas Descartes dapat dibaca kembali sebagai dasar bagi rasionalitas teistik yang terbuka, yang mengakui nilai epistemik akal tanpa menutup diri dari dimensi misteri dan iman.¹⁶ Kritik poststrukturalisme terhadap rasionalitas modern—seperti yang dikemukakan oleh Michel Foucault dan Jacques Derrida—menunjukkan bahaya absolutisasi rasio yang terlepas dari nilai etis dan transendensi.¹⁷ Dalam hal ini, Descartes dapat direhabilitasi sebagai model rasionalisme yang tetap menghormati prinsip moral dan keilahian sebagai horizon kebenaran.¹⁸

Rekonstruksi ini penting dalam menghadapi krisis epistemik dan moral zaman kontemporer. Rasionalitas yang berakar pada Tuhan memungkinkan integrasi antara pengetahuan ilmiah, kebebasan manusia, dan tanggung jawab etis.¹⁹ Ia menghindarkan manusia dari dua ekstrem: relativisme yang menolak kebenaran objektif dan fundamentalisme yang menolak dialog rasional.²⁰ Dengan menghidupkan kembali fondasi teistik Descartes, filsafat dapat memulihkan martabat rasio sebagai sarana keterbukaan terhadap kebenaran dan bukan sekadar instrumen dominasi.²¹

Rasionalitas teistik seperti ini sejalan dengan pandangan filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas, yang menyerukan “rasionalitas komunikatif” yang terbuka terhadap dimensi religius, serta dengan Charles Taylor yang menekankan perlunya mengembalikan spiritualitas ke dalam ruang publik rasional.²² Maka, Descartes—meski sering dianggap simbol rasionalisme kering—dapat dibaca ulang sebagai pelopor spiritualitas rasional yang meneguhkan kesatuan antara berpikir, percaya, dan berbuat baik.²³

8.4.       Sintesis Akhir: Rasio, Iman, dan Kebenaran Ilahi

Sintesis filosofis dari dalil rasionalitas keberadaan Tuhan menurut Descartes dapat dirumuskan dalam tiga prinsip utama. Pertama, rasio sebagai anugerah ilahi: akal manusia adalah pantulan dari rasio Tuhan, yang memungkinkan manusia mengenal kebenaran.²⁴ Kedua, iman sebagai penegasan rasionalitas, bukan pengganti rasio; iman memperluas cakrawala rasional dengan mengarahkan akal kepada yang transenden.²⁵ Ketiga, kebenaran sebagai partisipasi ontologis, yakni kesadaran bahwa segala kebenaran dan nilai moral hanya bermakna sejauh berakar pada Tuhan yang sempurna.²⁶

Melalui prinsip-prinsip tersebut, rasionalitas Descartes menampilkan karakter yang tidak dogmatis, melainkan dialogis dan reflektif—rasionalitas yang dapat diuji, dikembangkan, dan dibuka untuk koreksi tanpa kehilangan arah moral dan metafisisnya.²⁷ Dengan demikian, sintesis Descartes menunjukkan bahwa pencarian rasional terhadap Tuhan bukanlah usaha yang sia-sia, melainkan bagian dari dinamika manusia menuju kebenaran yang lebih tinggi.²⁸

Dalam kerangka inilah Descartes meninggalkan warisan filosofis yang tetap relevan: rasionalitas bukan hanya alat berpikir, tetapi juga panggilan untuk mengenal dan mencintai kebenaran. Tuhan, bagi Descartes, bukan sekadar objek metafisis yang dibuktikan, tetapi juga fondamentum veritatis—dasar dari segala kebenaran dan makna keberadaan.²⁹


Footnotes

[1]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 53.

[2]                Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 57.

[3]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 90.

[4]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 125.

[5]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 443.

[6]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 41.

[7]                Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 252.

[8]                Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 27.

[9]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 150.

[10]             Descartes, Meditations, 50.

[11]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 93.

[12]             John Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 61.

[13]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 210.

[14]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 89.

[15]             Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 290.

[16]             Hans Küng, Does God Exist? An Answer for Today (New York: Doubleday, 1980), 97.

[17]             Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books, 1994), 325.

[18]             Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 273.

[19]             Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion, trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 54.

[20]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 121.

[21]             Cottingham, Cartesian Reflections, 93.

[22]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 773.

[23]             Cottingham, The Spiritual Dimension: Religion, Philosophy, and Human Value (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 45.

[24]             Descartes, Meditations, 56.

[25]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 129.

[26]             Kenny, A New History of Western Philosophy, 445.

[27]             Ricoeur, Fallible Man, 97.

[28]             Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography, 153.

[29]             Cottingham, Cartesian Reflections, 95.


9.           Kesimpulan

Dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat René Descartes bukanlah sekadar usaha metafisis untuk membuktikan eksistensi ilahi, melainkan fondasi dari keseluruhan proyek filsafat modern yang mencari kepastian pengetahuan.¹ Melalui metode keraguan radikal, Descartes menegakkan cogito ergo sum sebagai kepastian pertama; namun ia segera menyadari bahwa kepastian itu tidak akan bermakna tanpa adanya jaminan kebenaran yang melampaui subjektivitas manusia.² Di sinilah Tuhan berperan sebagai jaminan epistemik, sumber ontologis, dan prinsip moral dari seluruh rasionalitas.³

Secara ontologis, Descartes menempatkan Tuhan sebagai substansi tak terbatas (substantia infinita) yang menjadi penyebab diri sendiri (causa sui) dan dasar segala eksistensi.⁴ Eksistensi Tuhan bersifat niscaya karena merupakan bagian dari hakikat-Nya sebagai wujud yang sempurna; dengan demikian, argumen ontologis Descartes menegaskan hubungan erat antara keberadaan dan kesempurnaan.⁵

Secara epistemologis, Tuhan menjamin validitas rasionalitas manusia. Ia menjadi prinsip non-deceptive—Tuhan yang tidak menipu—yang memastikan bahwa ide-ide yang jelas dan terpilah (clear and distinct) memang benar adanya.⁶ Tanpa keberadaan Tuhan, rasionalitas manusia akan tenggelam dalam skeptisisme, karena tidak ada jaminan bahwa persepsi kita mencerminkan realitas objektif.⁷ Dengan demikian, dalam sistem Cartesian, kebenaran epistemik berakar pada kebenaran ilahi.⁸

Sementara itu, secara aksiologis, Tuhan berfungsi sebagai prinsip moral tertinggi yang menuntun manusia untuk menggunakan kebebasan dan rasionalitasnya secara benar.⁹ Kebaikan, bagi Descartes, tidak lain adalah kesesuaian antara kehendak manusia dan hukum rasional Tuhan.¹⁰ Maka, rasionalitas tidak hanya memiliki nilai teoritis, tetapi juga etis—ia menjadi jalan menuju kehidupan yang selaras dengan kebenaran dan kebijaksanaan ilahi.¹¹

Walaupun sistem Descartes menghadapi kritik serius—terutama dari Hume yang menggugat dasar kausalitas dan dari Kant yang menolak eksistensi sebagai predikat—filsafatnya tetap memberikan warisan intelektual yang tak ternilai.¹² Ia berhasil merumuskan kerangka pemikiran yang menghubungkan iman dan rasio, sains dan teologi, dengan menempatkan Tuhan sebagai dasar rasionalitas itu sendiri.¹³ Kritik-kritik modern terhadap Descartes tidak sepenuhnya meniadakan validitas sistemnya, tetapi justru memperkaya pemahaman akan kompleksitas hubungan antara akal dan iman.¹⁴

Dalam konteks kontemporer, rasionalitas Descartes dapat dibaca sebagai panggilan untuk menegakkan kembali integrasi antara pengetahuan dan nilai, antara sains dan spiritualitas.¹⁵ Di tengah krisis epistemik dan moral yang melanda dunia modern, gagasan tentang Tuhan sebagai prinsip rasionalitas dan moralitas dapat menjadi koreksi terhadap reduksionisme ilmiah dan relativisme nilai.¹⁶ Rasionalitas sejati, sebagaimana diajarkan Descartes, bukanlah otonomi absolut akal manusia, melainkan partisipasi dalam rasio ilahi yang menuntun kepada kebenaran dan kebaikan universal.¹⁷

Akhirnya, dalil rasionalitas keberadaan Tuhan dalam filsafat Descartes menyingkap bahwa pencarian rasional manusia bukanlah usaha untuk menggantikan Tuhan, tetapi untuk memahami ciptaan dan diri sendiri dalam terang kebenaran ilahi.¹⁸ Rasionalitas, dalam pengertian Cartesian, merupakan bentuk tertinggi dari devotio intellectus—pengabdian akal terhadap kebenaran yang bersumber dari Tuhan.¹⁹ Dengan demikian, Descartes tidak hanya membuka bab baru dalam sejarah filsafat modern, tetapi juga menunjukkan bahwa dasar sejati rasionalitas manusia adalah iman yang berpikir, iman yang tidak buta, melainkan menerangi jalan akal menuju Tuhan.²⁰


Footnotes

[1]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 95.

[2]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 25.

[3]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 129.

[4]                Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 52–53.

[5]                Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 48.

[6]                Ibid., 55.

[7]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 132.

[8]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 434.

[9]                Descartes, Meditations, 56.

[10]             Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 53.

[11]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV, Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 39.

[12]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 569.

[13]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 248.

[14]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 94.

[15]             Hans Küng, Does God Exist? An Answer for Today (New York: Doubleday, 1980), 101.

[16]             Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion, trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 54.

[17]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 154.

[18]             Cottingham, Cartesian Reflections, 99.

[19]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 210.

[20]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 130.


Daftar Pustaka

Adam, C., & Tannery, P. (Eds.). (1964). Oeuvres de Descartes (Vol. 4). Paris, France: Vrin.

Arnauld, A. (1984). Fourth objections to Descartes’ Meditations. In J. Cottingham, R. Stoothoff, & D. Murdoch (Eds. & Trans.), The philosophical writings of Descartes (Vol. 2, pp. 140–150). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. New York, NY: Dover Publications.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy: Volume IV, Descartes to Leibniz. New York, NY: Doubleday.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy: Volume V, Hobbes to Hume. New York, NY: Doubleday.

Cottingham, J. (1988). The rationalists. Oxford, UK: Oxford University Press.

Cottingham, J. (2005). The spiritual dimension: Religion, philosophy, and human value. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Cottingham, J. (2008). Cartesian reflections: Essays on Descartes’s philosophy. Oxford, UK: Oxford University Press.

Craig, W. L. (1979). The Kalam cosmological argument. London, UK: Macmillan.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Dordrecht, Netherlands: Reidel.

Descartes, R. (1984). The philosophical writings of Descartes (J. Cottingham, R. Stoothoff, & D. Murdoch, Eds. & Trans., Vols. 1–2). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Descartes, R. (1991). Correspondence with Princess Elizabeth. In J. Cottingham, R. Stoothoff, & D. Murdoch (Eds. & Trans.), The philosophical writings of Descartes (Vol. 3, pp. 277–288). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Descartes, R. (1983). Les passions de l’âme. Paris, France: Vrin.

Foucault, M. (1994). The order of things. New York, NY: Vintage Books.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford, UK: Oxford University Press.

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual biography. Oxford, UK: Clarendon Press.

Gilson, É. (1937). The unity of philosophical experience. New York, NY: Charles Scribner’s Sons.

Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the Middle Ages. New York, NY: Charles Scribner’s Sons.

Goldman, A. (1986). Epistemology and cognition. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (2008). Between naturalism and religion (C. Cronin, Trans.). Cambridge, UK: Polity Press.

Heidegger, M. (1969). Identity and difference (J. Stambaugh, Trans.). New York, NY: Harper & Row.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford, UK: Oxford University Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Kemp Smith, N. (1918). A commentary to Kant’s “Critique of pure reason”. London, UK: Macmillan.

Kemp Smith, N. (1952). The philosophy of Descartes. London, UK: Macmillan.

Kenny, A. (2012). A new history of Western philosophy. Oxford, UK: Oxford University Press.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). London, UK: Penguin Classics.

Koyré, A. (1957). From the closed world to the infinite universe. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Küng, H. (1980). Does God exist? An answer for today. New York, NY: Doubleday.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A. Lingis, Trans.). The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Macquarrie, J. (1972). Existentialism. London, UK: Penguin Books.

Pascal, B. (2005). Pensées (R. Ariew, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Plantinga, A. (1974). The nature of necessity. Oxford, UK: Oxford University Press.

Polkinghorne, J. (1989). Science and providence: God’s interaction with the world. London, UK: SPCK.

Popkin, R. (1979). The history of scepticism from Erasmus to Spinoza. Berkeley, CA: University of California Press.

Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil. Boston, MA: Beacon Press.

Ricoeur, P. (1986). Fallible man (C. Kelbley, Trans.). New York, NY: Fordham University Press.

Smith, N. K. (1952). The philosophy of Descartes. London, UK: Macmillan.

Swinburne, R. (2004). The existence of God (2nd ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar