Selasa, 11 Februari 2025

Ashalah al-Wujud: Konsep, Argumen, dan Implikasinya dalam Filsafat Islam

Ashalah al-Wujud

Konsep, Argumen, dan Implikasinya dalam Filsafat Islam


Alihkan ke: Ashalah al-Mahiyah (Primordialitas Esensi)


Abstrak

Konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) merupakan salah satu gagasan utama dalam filsafat Islam yang dikembangkan oleh Mulla Sadra dalam sistem Hikmah al-Muta‘aliyah (The Transcendent Theosophy). Konsep ini menegaskan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi dalam struktur realitas, sehingga keberadaan suatu entitas tidak ditentukan oleh esensinya, melainkan oleh eksistensinya. Artikel ini membahas Ashalah al-Wujud secara sistematis, dimulai dari pengertian dan konteks historisnya, tokoh-tokoh yang mengusungnya, serta berbagai argumen filosofis yang mendukungnya. Selain itu, artikel ini juga membandingkan konsep ini dengan pemikiran lain, seperti filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah), filsafat Iluminasi (hikmat al-ishraq), serta teologi Islam (kalam). Implikasi dari Ashalah al-Wujud juga dikaji dalam berbagai aspek, termasuk teologi, epistemologi, mistisisme, serta etika dan spiritualitas. Kajian ini menunjukkan bahwa konsep Ashalah al-Wujud memberikan pemahaman mendalam tentang hakikat Tuhan, realitas alam semesta, dan perjalanan spiritual manusia. Dengan pendekatan metafisika transendentalnya, teori ini tidak hanya relevan dalam kajian filsafat Islam, tetapi juga membuka peluang dialog dengan pemikiran filsafat Barat, khususnya dalam bidang ontologi dan fenomenologi.

Kata Kunci: Ashalah al-Wujud, Mulla Sadra, Hikmah al-Muta‘aliyah, Tashkik al-Wujud, Metafisika Islam, Epistemologi Islam, Mistisisme Islam, Filsafat Islam.


PEMBAHASAN

Konsep Ashalah al-Wujud dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan salah satu cabang pemikiran yang terus berkembang dan memiliki kedalaman konseptual dalam menjelaskan hakikat realitas. Salah satu konsep fundamental yang menjadi perdebatan panjang dalam filsafat Islam adalah persoalan tentang wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi). Perdebatan ini menyoal apakah yang lebih mendasar dalam realitas: eksistensi itu sendiri ataukah esensi yang menentukan hakikat sesuatu. Dalam diskursus ini, konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) muncul sebagai salah satu gagasan paling signifikan, yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim terutama dalam tradisi Hikmah al-Muta‘aliyah yang dirumuskan oleh Mulla Sadra (w. 1640 M).

Konsep Ashalah al-Wujud menyatakan bahwa eksistensi adalah prinsip fundamental yang mendahului esensi dalam seluruh tatanan realitas. Sebaliknya, esensi dianggap sebagai sesuatu yang hanya ada dalam pikiran dan tidak memiliki realitas objektif tanpa eksistensi. Dengan kata lain, segala sesuatu menjadi nyata bukan karena esensinya, melainkan karena eksistensinya. Pendekatan ini berbeda dengan teori Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi), yang dianut oleh beberapa pemikir sebelumnya seperti Suhrawardi (w. 1191 M), yang berpendapat bahwa esensi lebih utama daripada eksistensi dan bahwa eksistensi hanyalah aksiden yang menempel pada esensi1.

Gagasan ini memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek filsafat Islam, mulai dari metafisika, epistemologi, hingga teologi dan mistisisme. Dalam metafisika, Ashalah al-Wujud melahirkan konsep Tashkik al-Wujud (gradasi eksistensi), yang menyatakan bahwa eksistensi bukan hanya sesuatu yang mutlak dan statis, tetapi memiliki tingkatan-tingkatan keberadaan yang berbeda-beda2. Dalam epistemologi, pemahaman terhadap Ashalah al-Wujud memberikan landasan bagi teori pengetahuan yang menekankan bahwa kesadaran manusia terhadap realitas bergantung pada hubungan manusia dengan eksistensi, bukan sekadar definisi esensial tentang sesuatu3. Sementara dalam aspek teologi, teori ini berkontribusi terhadap konsep ketuhanan dalam Islam, di mana Allah dipahami sebagai eksistensi mutlak (wajib al-wujud) yang menjadi sumber dari segala sesuatu yang ada4.

Di dalam tasawuf dan mistisisme Islam, konsep ini juga memiliki relevansi yang kuat. Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dalam doktrin Wahdat al-Wujud (kesatuan eksistensi) berpendapat bahwa realitas eksistensi sejatinya adalah satu dan segala sesuatu hanyalah manifestasi dari eksistensi Tuhan yang mutlak5. Meski ada perbedaan pendekatan antara doktrin Ibn ‘Arabi dengan filsafat Mulla Sadra, keduanya sama-sama menekankan superioritas eksistensi atas esensi.

Dengan memahami konsep Ashalah al-Wujud, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana filsafat Islam menjelaskan hakikat keberadaan, hubungan antara Tuhan dan alam semesta, serta bagaimana manusia memahami realitas secara epistemologis. Artikel ini akan membahas secara sistematis tentang konsep Ashalah al-Wujud, argumentasi filosofis yang mendukungnya, serta implikasi konsep ini dalam berbagai aspek keilmuan Islam.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 381.

[2]                Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 112.

[3]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 87.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 59.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 77.


2.           Pengertian dan Konteks Historis Ashalah al-Wujud

2.1.       Pengertian Ashalah al-Wujud

Konsep Ashalah al-Wujud (اصالة الوجود) dalam filsafat Islam mengacu pada gagasan bahwa eksistensi (wujud) merupakan realitas yang paling fundamental dan mendahului segala bentuk esensi (mahiyah). Dalam pandangan ini, realitas tidak ditentukan oleh esensi sesuatu, melainkan oleh eksistensinya. Dengan kata lain, segala sesuatu di dunia ini eksis bukan karena esensinya, tetapi karena keberadaannya sendiri yang nyata dan fundamental1.

Konsep ini merupakan respons terhadap perdebatan klasik dalam filsafat Islam mengenai hubungan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Dua pandangan utama muncul dalam diskursus ini: Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) dan Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi). Pendukung Ashalah al-Wujud, seperti Mulla Sadra, berargumen bahwa esensi hanyalah sebuah konstruksi intelektual yang tidak memiliki keberadaan independen, sementara eksistensi adalah dasar dari seluruh realitas2. Sebaliknya, para pemikir seperti Suhrawardi dari tradisi iluminasi (hikmat al-ishraq) meyakini bahwa esensi lebih utama dan mendahului eksistensi, karena esensi menentukan identitas hakiki sesuatu, sedangkan eksistensi hanya merupakan tambahan yang diberikan pada esensi3.

Dalam konteks filsafat Islam, teori Ashalah al-Wujud memiliki konsekuensi metafisis yang mendalam, terutama dalam pengembangan konsep tashkik al-wujud (gradasi eksistensi), yang menyatakan bahwa eksistensi tidak bersifat statis dan seragam, melainkan memiliki tingkatan dan derajat keberadaan yang berbeda-beda4.

2.2.       Konteks Historis Munculnya Ashalah al-Wujud

Gagasan tentang eksistensi dan esensi telah menjadi perdebatan panjang sejak era filsafat Yunani kuno, terutama dalam pemikiran Aristoteles yang membedakan antara substansi (ousia) dan aksidens. Konsep ini kemudian diserap oleh filsuf Muslim seperti Al-Farabi (w. 950 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M), yang memperkenalkan distingsi antara wajib al-wujud (eksistensi yang niscaya, yaitu Tuhan) dan mumkin al-wujud (eksistensi yang bergantung pada sebab lain)5.

Dalam filsafat peripatetik (mashsha’iyyah), Ibnu Sina menganggap esensi dan eksistensi sebagai dua hal yang berbeda tetapi berkaitan erat dalam entitas yang mungkin (mumkin al-wujud). Ia berpendapat bahwa eksistensi bukanlah bagian intrinsik dari esensi, melainkan sesuatu yang diberikan oleh agen eksternal, yaitu Tuhan6. Pemikirannya ini kemudian menjadi dasar perdebatan dalam filsafat Islam selanjutnya.

Pada abad ke-12, Suhrawardi mengajukan sistem filsafat iluminasi (hikmat al-ishraq), di mana ia menolak Ashalah al-Wujud dan lebih menekankan pada Ashalah al-Mahiyah. Menurut Suhrawardi, realitas lebih bersandar pada esensi karena esensi adalah yang menentukan hakikat sesuatu, sementara eksistensi hanya merupakan kualitas tambahan yang bisa diberikan atau diambil7.

Namun, paradigma filsafat Islam mengalami pergeseran signifikan dengan munculnya Mulla Sadra (w. 1640 M), seorang pemikir Persia yang mengembangkan sistem Hikmah al-Muta‘aliyah (Filsafat Transendental). Dalam sistemnya, Mulla Sadra mengkritik konsep Ashalah al-Mahiyah dan dengan tegas mengemukakan bahwa eksistensi adalah realitas utama, sedangkan esensi hanyalah konsepsi intelektual yang dihasilkan oleh akal manusia8. Ia membangun teori ini berdasarkan konsep tashkik al-wujud yang menyatakan bahwa eksistensi memiliki derajat yang beragam, dengan Tuhan sebagai eksistensi tertinggi dan mutlak, sementara makhluk lainnya memiliki eksistensi yang bertingkat sesuai dengan kedekatan atau keterjauhan mereka dari Tuhan9.

Sejak diperkenalkan oleh Mulla Sadra, konsep Ashalah al-Wujud menjadi pilar utama dalam filsafat Islam pasca-klasik, terutama dalam kajian metafisika, epistemologi, dan mistisisme Islam. Konsep ini juga mendapat perhatian dari para pemikir modern yang mencoba menghubungkannya dengan fenomenologi dan ontologi Barat10.


Footnotes

[1]                Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 45.

[2]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 61.

[3]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 420.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 97.

[5]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 135.

[6]                Peter Adamson, The Philosophy of Ibn Sina and its Influence on Medieval Europe (London: Variorum, 1996), 92.

[7]                Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy (Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 58.

[8]                Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 102.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 78.

[10]             Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 188.


3.           Tokoh dan Aliran yang Menganut Konsep Ashalah al-Wujud

3.1.       Mulla Sadra dan Hikmah al-Muta‘aliyah

Pemikir utama yang memperkenalkan dan mengembangkan konsep Ashalah al-Wujud secara sistematis adalah Mulla Sadra (w. 1640 M), seorang filsuf Persia dari era Safawi yang mendirikan sistem Hikmah al-Muta‘aliyah (Filsafat Transendental). Dalam karyanya yang monumental, al-Asfar al-Arba‘ah, Mulla Sadra secara tegas menyatakan bahwa eksistensi adalah prinsip fundamental dalam realitas, sementara esensi hanyalah konstruksi mental1.

Menurut Mulla Sadra, eksistensi memiliki tingkatan yang beragam dalam suatu hierarki keberadaan yang disebut tashkik al-wujud (gradasi eksistensi). Tuhan adalah eksistensi tertinggi dan mutlak (wajib al-wujud), sedangkan makhluk lainnya merupakan eksistensi dengan derajat yang lebih rendah berdasarkan kedekatan mereka dengan Tuhan2. Konsep ini menegaskan bahwa eksistensi bukanlah sesuatu yang tetap dan seragam, melainkan sesuatu yang mengalami harakah jawhariyyah (gerak substansial), yang membuat setiap entitas mengalami transformasi eksistensial dalam perjalanan menuju kesempurnaan3.

Dalam konteks epistemologi, Mulla Sadra juga menghubungkan Ashalah al-Wujud dengan teori pengetahuan. Menurutnya, pemahaman manusia terhadap realitas bergantung pada bagaimana kesadarannya menangkap eksistensi sesuatu, bukan sekadar mengetahui esensi sesuatu. Hal ini berbeda dengan pandangan filsafat peripatetik yang lebih mengedepankan analisis esensial untuk memahami sesuatu4.

3.2.       Pemikiran Para Filosof Sebelumnya

Sebelum Mulla Sadra, perdebatan mengenai eksistensi dan esensi telah berkembang dalam filsafat Islam klasik, terutama dalam pemikiran Ibnu Sina (w. 1037 M) dan Suhrawardi (w. 1191 M).

1)                  Ibnu Sina dan Filsafat Peripatetik

Ibnu Sina merupakan filsuf Muslim pertama yang secara sistematis membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dalam entitas yang mungkin (mumkin al-wujud). Ia berpendapat bahwa esensi suatu objek dapat dipahami tanpa memperhitungkan eksistensinya, yang berarti eksistensi bersifat aksidental dan tidak inheren dalam esensi5. Meski begitu, Ibnu Sina belum secara eksplisit mengembangkan konsep Ashalah al-Wujud, tetapi teorinya menjadi dasar bagi perdebatan selanjutnya mengenai hubungan antara eksistensi dan esensi.

2)                  Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi (Hikmah al-Ishraq)

Suhrawardi menentang gagasan eksistensi sebagai realitas fundamental dan lebih menekankan pada esensi sebagai inti keberadaan. Dalam filsafat iluminasi, ia mengembangkan teori bahwa cahaya (nur) adalah prinsip metafisis utama yang mendasari segala sesuatu. Dengan demikian, ia lebih cenderung pada Ashalah al-Mahiyah dan menolak bahwa eksistensi memiliki realitas yang berdiri sendiri6.

3.3.       Perbandingan antara Ashalah al-Wujud dan Ashalah al-Mahiyah

Meskipun Ashalah al-Wujud akhirnya menjadi paradigma dominan dalam filsafat Islam pasca-klasik, teori ini mendapatkan tantangan dari para pendukung Ashalah al-Mahiyah. Para pemikir iluminasi, seperti Suhrawardi, berargumen bahwa manusia dalam pengalamannya lebih dahulu memahami esensi daripada eksistensi. Sebaliknya, para pendukung Ashalah al-Wujud, terutama Mulla Sadra, menekankan bahwa segala sesuatu menjadi nyata karena eksistensinya, bukan karena esensinya7.

Dalam perkembangannya, teori Ashalah al-Wujud lebih banyak dianut oleh filsuf Muslim dari tradisi Hikmah al-Muta‘aliyah, sementara pendekatan esensialisme (Ashalah al-Mahiyah) lebih populer dalam beberapa cabang teologi Islam, terutama dalam kalangan pemikir mutakallimun (teolog).

3.4.       Pengaruh Ashalah al-Wujud dalam Pemikiran Islam Kontemporer

Konsep Ashalah al-Wujud tidak hanya berpengaruh dalam diskursus klasik, tetapi juga dalam pemikiran Islam kontemporer. Beberapa filsuf Muslim modern, seperti Allama Tabataba’i (w. 1981 M) dan Murtadha Mutahhari (w. 1979 M), mengembangkan pemikiran Mulla Sadra lebih lanjut dan menggunakannya sebagai dasar dalam teologi Islam modern8.

Selain itu, konsep ini juga mendapatkan perhatian dalam studi filsafat perbandingan, di mana beberapa akademisi berusaha menghubungkan gagasan Ashalah al-Wujud dengan fenomenologi dan ontologi Barat, seperti pemikiran Martin Heidegger yang menekankan pada "being" sebagai inti dari pemahaman manusia tentang realitas9.

Dengan demikian, Ashalah al-Wujud tidak hanya menjadi bagian dari tradisi filsafat Islam, tetapi juga telah berkembang menjadi gagasan yang dapat dijadikan landasan untuk memahami metafisika dan ontologi dalam konteks filsafat global.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), 212.

[2]                Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 87.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 110.

[4]                Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 94.

[5]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 140.

[6]                Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy (Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 62.

[7]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 80.

[8]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 115.

[9]                Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 192.


4.           Argumen-Argumen Filosofis dalam Mendukung Ashalah al-Wujud

Konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) dalam filsafat Islam bukan sekadar gagasan metafisik yang spekulatif, tetapi didukung oleh berbagai argumen filosofis yang kuat. Para pendukung teori ini, terutama Mulla Sadra, merumuskan beberapa landasan rasional untuk membuktikan bahwa eksistensi adalah prinsip fundamental dalam realitas, sementara esensi hanyalah sesuatu yang bersifat konseptual dan tidak memiliki keberadaan mandiri1. Argumen-argumen ini mencakup argumen ontologis, argumen epistemologis, dan argumen metafisis yang menjelaskan mengapa eksistensi lebih fundamental daripada esensi.

4.1.       Argumen Ontologis: Eksistensi sebagai Hakikat yang Sesungguhnya

Dalam filsafat Islam, ontologi membahas tentang hakikat realitas dan bagaimana sesuatu dapat dikatakan “ada” atau “wujud.” Dalam konteks Ashalah al-Wujud, argumen ontologis berusaha membuktikan bahwa eksistensi memiliki realitas yang hakiki, sedangkan esensi hanyalah konsep yang dibuat oleh akal manusia2.

1)                  Eksistensi sebagai Prinsip Universal

Para filsuf yang mendukung Ashalah al-Wujud berargumen bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini memiliki eksistensi, tetapi tidak semua memiliki esensi yang tetap. Sebagai contoh, suatu benda dapat memiliki esensi sebagai "meja" atau "kursi," tetapi keberadaan (wujud) benda tersebut tetap menjadi realitas utama yang memungkinkan segala sesuatu terwujud3.

2)                  Realitas Tidak Bergantung pada Konsepsi Esensial

Dalam sistem metafisika Mulla Sadra, esensi hanyalah konsep yang diciptakan oleh akal manusia untuk membedakan satu entitas dari yang lain, tetapi keberadaan mereka tidak bergantung pada esensi tersebut. Sebagai contoh, seseorang dapat memahami konsep "manusia" tanpa menyadari eksistensinya, tetapi eksistensi manusia itu sendiri adalah sesuatu yang tidak dapat diabaikan4.

3)                  Refutasi terhadap Esensialisme (Ashalah al-Mahiyah)

Para filsuf iluminasi seperti Suhrawardi berpendapat bahwa esensi lebih fundamental daripada eksistensi. Namun, Mulla Sadra membantah argumen ini dengan menunjukkan bahwa esensi tidak memiliki realitas di luar pikiran. Jika esensi memiliki realitas independen, maka ia seharusnya bisa ada tanpa eksistensi, tetapi hal ini bertentangan dengan realitas empiris5.

4.2.       Argumen Epistemologis: Hubungan Antara Eksistensi dan Pengetahuan

Selain argumen ontologis, Ashalah al-Wujud juga didukung oleh argumen epistemologis, yang menyoroti bagaimana manusia memahami realitas melalui eksistensi.

1)                  Eksistensi sebagai Dasar Pengetahuan

Dalam filsafat Mulla Sadra, segala bentuk pengetahuan manusia berakar pada pemahaman tentang eksistensi. Manusia mengenali sesuatu bukan melalui esensinya, tetapi melalui kenyataan bahwa sesuatu itu ada. Misalnya, seseorang dapat mengetahui bahwa "sebuah pohon" itu ada sebelum ia mengetahui hakikat esensial pohon tersebut6.

2)                  Eksistensi dalam Kesadaran Manusia

Konsep eksistensi juga berperan dalam kesadaran manusia. Sadra berargumen bahwa pemikiran tentang "ada" (wujud) adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pengalaman manusia. Bahkan konsep-konsep lain dalam akal, seperti esensi atau substansi, hanya bisa dimengerti jika ia diasosiasikan dengan eksistensi7.

3)                  Implikasi dalam Mistisisme dan Ilmu Pengetahuan

Argumen epistemologis ini memiliki dampak besar dalam mistisisme Islam (tasawuf) dan ilmu pengetahuan. Dalam tasawuf, eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang memiliki gradasi (tashkik al-wujud), di mana tingkat keberadaan seseorang semakin tinggi ketika ia lebih dekat dengan Tuhan sebagai sumber eksistensi mutlak (wajib al-wujud)8.

4.3.       Argumen Metafisis: Tashkik al-Wujud (Gradasi Eksistensi)

Salah satu aspek terpenting dalam teori Ashalah al-Wujud adalah konsep tashkik al-wujud, yaitu gagasan bahwa eksistensi memiliki berbagai tingkatan keberadaan yang berbeda-beda.

1)                  Eksistensi Tidak Seragam, tetapi Berjenjang

Mulla Sadra menyatakan bahwa eksistensi bukanlah satu kategori yang homogen, melainkan memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda. Tuhan sebagai wujud mutlak berada pada tingkatan eksistensi tertinggi, sementara makhluk-makhluk lain berada pada tingkatan yang lebih rendah9.

2)                  Gerak Substansial (Harakah Jawhariyyah)

Salah satu konsep revolusioner dalam filsafat Sadrian adalah harakah jawhariyyah (gerak substansial). Sadra berpendapat bahwa eksistensi tidak bersifat statis, melainkan terus mengalami perubahan menuju kesempurnaan. Hal ini berbeda dengan filsafat Aristotelian yang memandang perubahan hanya terjadi dalam aksiden, bukan dalam substansi10.

3)                  Implikasi dalam Kosmologi dan Teologi

Konsep gradasi eksistensi ini memiliki implikasi besar dalam kosmologi Islam. Ia menjelaskan bagaimana alam semesta memiliki tatanan hierarkis yang berpuncak pada Tuhan sebagai sumber segala keberadaan. Dalam teologi Islam, konsep ini juga digunakan untuk memahami bagaimana makhluk yang berbeda memiliki hubungan yang berbeda pula dengan Tuhan11.


Kesimpulan

Argumen-argumen filosofis yang mendukung Ashalah al-Wujud menunjukkan bahwa eksistensi adalah prinsip paling mendasar dalam realitas. Dari sudut pandang ontologis, eksistensi lebih nyata daripada esensi. Dari perspektif epistemologis, eksistensi adalah dasar bagi pengetahuan manusia. Sementara dalam ranah metafisika, tashkik al-wujud dan harakah jawhariyyah memberikan kerangka yang lebih dinamis untuk memahami alam semesta dan keberadaan Tuhan.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), 78.

[2]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 390.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 105.

[4]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 72.

[5]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 45.

[6]                Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 84.

[7]                Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy (Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 69.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 99.

[9]                Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 111.

[10]             Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 190.

[11]             Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 155.


5.           Perbandingan Konsep Ashalah al-Wujud dengan Pemikiran Lain

Konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra dalam Hikmah al-Muta‘aliyah telah menjadi salah satu pilar utama dalam filsafat Islam pasca-klasik. Namun, pemikiran ini tidak berdiri sendiri. Dalam sejarah filsafat, terdapat berbagai pandangan lain mengenai hubungan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), baik dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam filsafat Barat dan teologi Islam klasik. Bagian ini akan membandingkan konsep Ashalah al-Wujud dengan (1) Aristotelianisme dan Neo-Platonisme, serta (2) pemikiran dalam tradisi kalam Islam.

5.1.       Perbandingan dengan Aristotelianisme dan Neo-Platonisme

1)                  Aristotelianisme dan Filsafat Peripatetik

Dalam filsafat Aristoteles (w. 322 SM), konsep eksistensi tidak diperlakukan sebagai realitas yang berdiri sendiri, melainkan sebagai sesuatu yang melekat pada substansi (ousia). Aristoteles membedakan antara substansi pertama (yaitu individu konkret yang eksis) dan substansi kedua (yaitu esensi atau hakikat sesuatu). Dalam sistemnya, yang lebih fundamental adalah esensi karena ia menentukan identitas suatu objek1.

Pandangan ini kemudian diserap oleh para filsuf Muslim seperti Al-Farabi (w. 950 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M) dalam tradisi filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah). Ibnu Sina, misalnya, berpendapat bahwa eksistensi bukanlah bagian inheren dari esensi, melainkan sesuatu yang diberikan oleh penyebab eksternal—yaitu Tuhan. Ia membedakan antara wajib al-wujud (yang eksistensinya niscaya, seperti Tuhan) dan mumkin al-wujud (yang eksistensinya bergantung pada sesuatu yang lain)2.

Dalam hal ini, filsafat Ibnu Sina cenderung mendekati konsep Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi), karena ia menempatkan esensi sebagai sesuatu yang memiliki makna mandiri sebelum menerima eksistensi. Hal ini bertentangan dengan Mulla Sadra, yang berpendapat bahwa esensi hanyalah sebuah konstruksi intelektual yang tidak memiliki realitas independen tanpa eksistensi3.

2)                  Neo-Platonisme dan Filsafat Iluminasi (Hikmah al-Ishraq)

Tradisi Neo-Platonisme, yang berpengaruh besar dalam pemikiran Islam melalui karya Plotinus (w. 270 M), memiliki banyak kesamaan dengan filsafat iluminasi (Hikmah al-Ishraq) yang dikembangkan oleh Suhrawardi (w. 1191 M). Dalam sistem ini, realitas tertinggi adalah "Cahaya Mutlak" (nur al-anwar), yang darinya segala sesuatu memancar dalam hierarki eksistensial yang lebih rendah4.

Suhrawardi menolak konsep Ashalah al-Wujud dan justru menegaskan bahwa esensi lebih utama daripada eksistensi. Ia berpendapat bahwa manusia pertama-tama memahami esensi sesuatu sebelum menyadari keberadaannya. Oleh karena itu, menurutnya, esensi adalah prinsip utama dalam realitas, sedangkan eksistensi hanyalah sesuatu yang bersifat aksidental5.

Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Sadra mengkritik pendekatan iluminasi ini dengan menyatakan bahwa cahaya itu sendiri hanyalah bentuk lain dari eksistensi. Ia berpendapat bahwa realitas bukanlah hierarki cahaya, melainkan hierarki eksistensi yang memiliki tingkatan keberadaan yang berbeda (tashkik al-wujud)6.

5.2.       Perbandingan dengan Ontologi dalam Tradisi Kalam

Dalam tradisi kalam (teologi Islam), perdebatan tentang eksistensi dan esensi juga berlangsung, terutama antara dua mazhab teologi utama: Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah.

1)                  Pendekatan Mu‘tazilah terhadap Eksistensi dan Esensi

Mazhab Mu‘tazilah, yang dikenal dengan pendekatan rasionalnya, mengadopsi konsep bahwa esensi dan eksistensi adalah dua hal yang terpisah. Mereka berargumen bahwa setiap entitas memiliki esensi tertentu yang dapat dipahami tanpa merujuk pada eksistensinya. Dalam perspektif ini, esensi memiliki kedudukan tersendiri sebelum eksistensi terjadi7.

Pandangan ini lebih dekat dengan konsep Ashalah al-Mahiyah, yang berlawanan dengan pemikiran Mulla Sadra. Para teolog Mu‘tazilah meyakini bahwa sesuatu yang tidak eksis tetap dapat dipahami esensinya secara logis, sehingga mereka menolak gagasan bahwa eksistensi adalah realitas fundamental.

2)                  Pendekatan Asy‘ariyah terhadap Eksistensi dan Esensi

Sebaliknya, Asy‘ariyah, sebagai mazhab teologi yang lebih tradisional, mengajukan teori bahwa eksistensi suatu entitas adalah sesuatu yang ditentukan oleh kehendak Tuhan. Dalam teologi Asy‘ariyah, eksistensi tidak memiliki realitas independen, tetapi sepenuhnya bergantung pada kehendak ilahi8.

Hal ini berbeda dengan filsafat Mulla Sadra yang melihat eksistensi sebagai sesuatu yang memiliki realitas objektif dengan gradasi (tashkik al-wujud). Menurut Sadra, eksistensi memiliki berbagai tingkatan keberadaan, dari yang paling lemah hingga yang paling kuat, dengan Tuhan sebagai eksistensi tertinggi9.

3)                  Kritik terhadap Teologi Kalam

Mulla Sadra mengkritik para teolog kalam karena, menurutnya, mereka gagal memahami sifat dinamis dari eksistensi. Dalam sistemnya, eksistensi bukan hanya sekadar sesuatu yang dikaruniakan oleh Tuhan, tetapi juga mengalami transformasi melalui proses harakah jawhariyyah (gerak substansial). Dengan kata lain, realitas bukanlah sesuatu yang tetap dan kaku, tetapi mengalami evolusi menuju kesempurnaan10.


Kesimpulan

Dari perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Ashalah al-Wujud berbeda secara fundamental dengan pendekatan Aristotelian, Neo-Platonisme, dan teologi kalam.

·                     Dalam tradisi Peripatetik (Ibnu Sina), esensi lebih mendasar daripada eksistensi, sedangkan dalam sistem Sadrian, eksistensi lebih utama.

·                     Dalam filsafat iluminasi (Suhrawardi), realitas dipahami sebagai hierarki cahaya, tetapi dalam sistem Sadrian, hierarki tersebut sebenarnya adalah gradasi eksistensi.

·                     Dalam tradisi teologi Islam, baik Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah memiliki pendekatan yang berbeda terhadap eksistensi, tetapi keduanya tidak mengakui konsep tashkik al-wujud sebagaimana yang dikembangkan oleh Mulla Sadra.

Dengan demikian, Ashalah al-Wujud menawarkan perspektif yang unik dalam metafisika Islam, yang berbeda dari tradisi filosofis dan teologis sebelumnya.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1030a.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 112.

[3]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 62.

[4]                Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy (Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 77.

[5]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 450.

[6]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), 203.

[7]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY Press, 1978), 98.

[8]                Harry Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 150.

[9]                Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 110.

[10]             Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 99.


6.           Implikasi Ashalah al-Wujud dalam Berbagai Aspek

Konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra tidak hanya berdampak pada filsafat metafisika, tetapi juga membawa implikasi luas dalam berbagai aspek pemikiran Islam, termasuk teologi, epistemologi, mistisisme, serta etika dan spiritualitas. Pemahaman bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi membentuk cara pandang baru dalam memahami hakikat Tuhan, manusia, dan alam semesta.

6.1.       Implikasi dalam Teologi: Konsep Ketuhanan

Dalam aspek teologi Islam, Ashalah al-Wujud memberikan pemahaman baru tentang wujud Tuhan sebagai eksistensi mutlak (wajib al-wujud). Dalam sistem Sadrian, Tuhan bukan hanya sebagai "sebab pertama" (causa prima), tetapi juga sebagai eksistensi absolut yang menjadi sumber segala realitas1.

1)                  Tuhan sebagai Satu-Satunya Realitas Hakiki

Mulla Sadra berargumen bahwa karena hanya eksistensi yang memiliki realitas sejati, maka Tuhan sebagai wajib al-wujud adalah satu-satunya keberadaan yang benar-benar nyata. Segala sesuatu yang lain hanyalah manifestasi dari eksistensi-Nya pada tingkatan yang lebih rendah dalam gradasi keberadaan (tashkik al-wujud)2.

2)                  Pandangan Baru tentang Hubungan Tuhan dan Makhluk

Dalam pemikiran kalam tradisional, Tuhan dianggap sebagai pencipta yang "terpisah" dari ciptaan-Nya. Namun, dalam Hikmah al-Muta‘aliyah, keberadaan makhluk dipahami sebagai pancaran (tajalli) dari Tuhan, di mana makhluk-makhluk tidak memiliki eksistensi mandiri, melainkan hanya bagian dari manifestasi eksistensi ilahi3.

3)                  Konsep Tauhid yang Lebih Mendalam

Pendekatan ini memperkuat konsep tauhid dalam Islam, karena segala sesuatu di alam semesta dipandang sebagai bentuk perwujudan dari eksistensi Tuhan, tanpa adanya dualisme yang membedakan antara Tuhan dan makhluk secara absolut4.

6.2.       Implikasi dalam Epistemologi: Sumber Pengetahuan dan Kesadaran

Selain aspek teologi, Ashalah al-Wujud juga berdampak pada teori pengetahuan dalam filsafat Islam. Dalam pemikiran Sadrian, pengetahuan tidak hanya bergantung pada esensi objek, tetapi juga pada realitas eksistensialnya5.

1)                  Pengetahuan sebagai Pengalaman Eksistensial

Mulla Sadra menolak pandangan bahwa pengetahuan hanya diperoleh melalui abstraksi esensi dalam akal manusia. Sebaliknya, ia mengajukan teori bahwa pengetahuan adalah bentuk eksistensi itu sendiri. Dengan kata lain, semakin dekat seseorang dengan eksistensi tertinggi (Tuhan), semakin luas pula pengetahuannya6.

2)                  Hubungan antara Kesadaran dan Eksistensi

Dalam sistem epistemologinya, Sadra menekankan bahwa manusia tidak bisa memahami sesuatu tanpa memiliki pengalaman eksistensial terhadap objek tersebut. Hal ini menjelaskan bagaimana kesadaran manusia beroperasi dalam memahami realitas7.

6.3.       Implikasi dalam Mistisisme: Keterkaitan dengan Tasawuf

Pemikiran Sadrian memiliki banyak kesamaan dengan pemikiran Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dalam konsep Wahdat al-Wujud (kesatuan eksistensi). Meskipun terdapat perbedaan metodologi antara keduanya, keduanya sepakat bahwa realitas eksistensial adalah satu, dan segala sesuatu yang ada adalah manifestasi dari Tuhan8.

1)                  Eksistensi sebagai Jalan Menuju Tuhan

Dalam tasawuf, perjalanan spiritual manusia adalah proses transformasi eksistensial yang bertahap menuju eksistensi absolut, yaitu Tuhan. Konsep ini sejalan dengan tashkik al-wujud dalam Hikmah al-Muta‘aliyah, di mana keberadaan manusia dapat meningkat menuju tingkatan eksistensi yang lebih tinggi9.

2)                  Tajalli dan Makna Kehidupan

Dalam mistisisme Islam, konsep tajalli atau manifestasi Tuhan dalam realitas juga menemukan justifikasinya dalam teori Ashalah al-Wujud. Setiap makhluk adalah pancaran dari eksistensi Ilahi, dan semakin tinggi kesadaran seseorang terhadap realitas eksistensi, semakin dekat ia dengan Tuhan10.

6.4.       Implikasi dalam Etika dan Spiritualitas

Konsep Ashalah al-Wujud juga berdampak dalam aspek etika dan spiritualitas Islam. Dalam filsafat Sadrian, perjalanan manusia menuju kesempurnaan moral tidak sekadar bersandar pada aturan normatif, tetapi merupakan transformasi eksistensial11.

1)                  Etika sebagai Perjalanan Eksistensial

Dalam perspektif Sadrian, manusia yang berakhlak baik bukan hanya mengikuti aturan-aturan moral, tetapi juga mengalami peningkatan dalam derajat keberadaannya. Oleh karena itu, etika bukan sekadar tindakan lahiriah, tetapi merupakan hasil dari kesadaran eksistensial yang semakin mendekat kepada Tuhan12.

2)                  Tujuan Hidup sebagai Proses Kesempurnaan Eksistensial

Manusia tidak hanya hidup untuk memenuhi kewajiban normatif, tetapi juga untuk mencapai tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Konsep ini sejalan dengan gagasan tasawuf tentang insan kamil (manusia sempurna), di mana manusia ideal adalah mereka yang mencapai tingkatan eksistensi tertinggi dalam gradasi keberadaan13.


Kesimpulan

Konsep Ashalah al-Wujud memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek pemikiran Islam. Dalam teologi, ia menegaskan bahwa Tuhan adalah eksistensi mutlak, sedangkan semua makhluk hanyalah manifestasi dari eksistensi-Nya. Dalam epistemologi, konsep ini memberikan landasan bagi teori pengetahuan yang berbasis pengalaman eksistensial. Dalam tasawuf, ia memberikan justifikasi filosofis bagi perjalanan spiritual menuju Tuhan. Dan dalam etika, ia menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah meningkatkan kualitas eksistensinya. Dengan demikian, konsep ini tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam cara manusia memahami kehidupan dan keberadaannya di dunia.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), 150.

[2]                Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 102.

[3]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 78.

[4]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 400.

[5]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 91.

[6]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 105.

[7]                Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy (Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 72.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 120.

[9]                Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (New York: SUNY Press, 1992), 88.

[10]             Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 215.

[11]             Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 170.

[12]             Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY Press, 1978), 95.

[13]             Harry Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 155.


7.           Kesimpulan

Konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra dalam Hikmah al-Muta‘aliyah telah memberikan kontribusi besar terhadap filsafat Islam. Dengan menegaskan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi, Mulla Sadra berhasil mengatasi perdebatan panjang dalam filsafat Islam mengenai hubungan antara wujud dan mahiyah yang sebelumnya dikuasai oleh tradisi Peripatetik dan Iluminasi1. Konsep ini tidak hanya memiliki implikasi metafisik, tetapi juga memberikan paradigma baru dalam teologi, epistemologi, mistisisme, dan etika.

Dari segi teologi, konsep Ashalah al-Wujud memperkuat pemahaman tentang Tuhan sebagai wujud mutlak (wajib al-wujud), yang menjadi sumber segala eksistensi. Dalam pandangan ini, makhluk tidak memiliki eksistensi independen, melainkan merupakan manifestasi dari keberadaan Tuhan dalam berbagai tingkatan tashkik al-wujud2. Dengan demikian, konsep ini memberikan penjelasan yang lebih dalam mengenai tauhid, serta membangun jembatan antara filsafat dan tasawuf dalam memahami hubungan Tuhan dengan makhluk3.

Dalam epistemologi, Ashalah al-Wujud menegaskan bahwa pengetahuan bukan hanya soal konsep-konsep esensial, tetapi lebih merupakan pengalaman eksistensial. Sadra menolak gagasan bahwa akal hanya berfungsi sebagai alat abstraksi esensi. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa pemahaman yang sejati hanya mungkin terjadi ketika seseorang mengalami eksistensi objek tersebut secara langsung4. Pandangan ini juga membawa implikasi penting dalam diskusi tentang kesadaran manusia dan cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan.

Dalam mistisisme Islam, konsep Ashalah al-Wujud memiliki kesamaan dengan doktrin Wahdat al-Wujud (kesatuan eksistensi) yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabi. Meskipun berbeda dalam pendekatan, keduanya sama-sama menyatakan bahwa realitas pada hakikatnya satu, dan segala sesuatu hanyalah manifestasi dari eksistensi Tuhan5. Konsep tashkik al-wujud yang dikembangkan oleh Sadra juga memungkinkan pemahaman yang lebih dinamis terhadap perjalanan spiritual manusia dalam mendekati Tuhan, di mana keberadaan manusia mengalami transformasi eksistensial menuju kesempurnaan6.

Dari perspektif etika dan spiritualitas, konsep ini memberikan dasar yang kuat bagi pemahaman bahwa perbaikan moral dan spiritual bukan hanya soal mengikuti aturan normatif, tetapi juga merupakan perjalanan eksistensial. Dalam pandangan Sadra, seseorang yang mencapai tingkat keberadaan yang lebih tinggi akan secara otomatis memiliki akhlak yang lebih baik, karena ia lebih dekat dengan sumber segala eksistensi, yaitu Tuhan7. Hal ini memberikan pendekatan yang lebih esensial terhadap etika dibandingkan dengan pendekatan normatif yang sering kali kaku dalam ilmu fiqih dan kalam tradisional.

Secara komparatif, Ashalah al-Wujud memiliki keunggulan dibandingkan dengan teori Ashalah al-Mahiyah yang dipegang oleh para filsuf iluminasi seperti Suhrawardi dan beberapa pemikir Peripatetik seperti Ibnu Sina. Jika dalam Ashalah al-Mahiyah, esensi dianggap sebagai dasar realitas, dalam Ashalah al-Wujud, esensi hanyalah produk intelektual yang tidak memiliki realitas independen8. Perbedaan ini memiliki dampak yang signifikan dalam berbagai aspek pemikiran Islam, termasuk bagaimana manusia memahami Tuhan, alam semesta, dan eksistensi dirinya sendiri.

Lebih jauh, konsep ini juga membuka peluang dialog antara filsafat Islam dengan pemikiran Barat, terutama dalam bidang fenomenologi dan ontologi. Beberapa akademisi telah mencoba membandingkan gagasan Sadra dengan pemikiran Martin Heidegger, yang juga menekankan pentingnya "being" dalam filsafatnya9. Meskipun terdapat perbedaan mendasar, kesamaan pendekatan dalam memahami eksistensi menunjukkan bahwa filsafat Islam memiliki relevansi yang luas dalam diskusi filsafat kontemporer.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ashalah al-Wujud bukan hanya sebuah teori metafisik dalam filsafat Islam, tetapi juga merupakan konsep yang menawarkan wawasan mendalam mengenai hakikat realitas, hubungan manusia dengan Tuhan, serta bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan menjalani kehidupan moral yang bermakna. Sebagai warisan filsafat Islam, pemikiran ini masih terus dikaji dan memiliki potensi besar untuk memperkaya berbagai diskursus filosofis, baik dalam dunia Islam maupun di kancah filsafat global.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), 175.

[2]                Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 89.

[3]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 2007), 99.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 112.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 130.

[6]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 104.

[7]                Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy (Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 80.

[8]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 410.

[9]                Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 195.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press.

Corbin, H. (1998). The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy. Berkeley: North Atlantic Books.

Frank, R. M. (1978). Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu‘tazila in the Classical Period. Albany: State University of New York Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. London: Routledge.

Ha'iri Yazdi, M. (1992). The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. New York: State University of New York Press.

Izutsu, T. (2007). The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio University Press.

Kalin, I. (2010). Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford: Oxford University Press.

Kamal, M. (2006). Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy. London: Ashgate.

Khamenei, S. M. (2009). Sadr al-Din Shirazi and Transcendent Theosophy. Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute.

Leaman, O. (2009). Islamic Philosophy: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Mulla Sadra. (1999). al-Asfar al-Arba‘ah (Vols. 1–4). Tehran: Institute of Islamic Studies.

Nasr, S. H., & Leaman, O. (1996). History of Islamic Philosophy. London: Routledge.

Wolfson, H. (1976). The Philosophy of the Kalam. Cambridge: Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar