Ashalah al-Wujud
Konsep, Argumen, dan Implikasinya dalam Filsafat Islam
Alihkan ke: Ashalah al-Mahiyah (Primordialitas Esensi)
Abstrak
Konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas
eksistensi) merupakan salah satu gagasan utama dalam filsafat Islam yang
dikembangkan oleh Mulla Sadra dalam sistem Hikmah al-Muta‘aliyah
(The Transcendent Theosophy). Konsep ini menegaskan bahwa eksistensi
lebih fundamental daripada esensi dalam struktur realitas, sehingga keberadaan
suatu entitas tidak ditentukan oleh esensinya, melainkan oleh eksistensinya.
Artikel ini membahas Ashalah al-Wujud secara sistematis, dimulai dari
pengertian dan konteks historisnya, tokoh-tokoh yang mengusungnya, serta
berbagai argumen filosofis yang mendukungnya. Selain itu, artikel ini juga
membandingkan konsep ini dengan pemikiran lain, seperti filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah),
filsafat Iluminasi (hikmat al-ishraq), serta teologi Islam (kalam).
Implikasi dari Ashalah al-Wujud juga dikaji dalam berbagai aspek,
termasuk teologi, epistemologi, mistisisme, serta etika dan spiritualitas.
Kajian ini menunjukkan bahwa konsep Ashalah al-Wujud memberikan
pemahaman mendalam tentang hakikat Tuhan, realitas alam semesta, dan perjalanan
spiritual manusia. Dengan pendekatan metafisika transendentalnya, teori ini
tidak hanya relevan dalam kajian filsafat Islam, tetapi juga membuka peluang
dialog dengan pemikiran filsafat Barat, khususnya dalam bidang ontologi dan
fenomenologi.
Kata Kunci: Ashalah al-Wujud, Mulla Sadra, Hikmah al-Muta‘aliyah, Tashkik al-Wujud, Metafisika
Islam, Epistemologi Islam, Mistisisme Islam, Filsafat Islam.
PEMBAHASAN
Konsep Ashalah al-Wujud dalam Filsafat Islam
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam
merupakan salah satu cabang pemikiran yang terus berkembang dan memiliki
kedalaman konseptual dalam menjelaskan hakikat realitas. Salah satu konsep
fundamental yang menjadi perdebatan panjang dalam filsafat Islam adalah
persoalan tentang wujud (eksistensi) dan mahiyah
(esensi). Perdebatan ini menyoal apakah yang lebih mendasar dalam realitas:
eksistensi itu sendiri ataukah esensi yang menentukan hakikat sesuatu. Dalam
diskursus ini, konsep Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi) muncul
sebagai salah satu gagasan paling signifikan, yang diperkenalkan dan
dikembangkan oleh para filsuf Muslim terutama dalam tradisi Hikmah
al-Muta‘aliyah yang dirumuskan oleh Mulla Sadra (w. 1640 M).
Konsep Ashalah
al-Wujud menyatakan bahwa eksistensi adalah prinsip fundamental
yang mendahului esensi dalam seluruh tatanan realitas. Sebaliknya, esensi
dianggap sebagai sesuatu yang hanya ada dalam pikiran dan tidak memiliki
realitas objektif tanpa eksistensi. Dengan kata lain, segala sesuatu menjadi nyata
bukan karena esensinya, melainkan karena eksistensinya. Pendekatan ini berbeda dengan teori Ashalah
al-Mahiyah (primordialitas esensi), yang dianut
oleh beberapa pemikir sebelumnya seperti Suhrawardi (w. 1191 M), yang
berpendapat bahwa esensi lebih utama daripada eksistensi dan bahwa eksistensi
hanyalah aksiden yang menempel pada esensi1.
Gagasan ini memiliki
implikasi yang luas dalam berbagai aspek filsafat Islam, mulai dari metafisika,
epistemologi, hingga teologi dan mistisisme. Dalam metafisika, Ashalah
al-Wujud melahirkan konsep Tashkik al-Wujud (gradasi
eksistensi), yang menyatakan bahwa eksistensi bukan hanya sesuatu
yang mutlak dan statis, tetapi memiliki tingkatan-tingkatan keberadaan yang berbeda-beda2.
Dalam epistemologi, pemahaman terhadap Ashalah al-Wujud memberikan
landasan bagi teori pengetahuan yang menekankan bahwa kesadaran manusia
terhadap realitas bergantung pada hubungan manusia dengan eksistensi, bukan
sekadar definisi esensial tentang sesuatu3. Sementara dalam aspek
teologi, teori ini berkontribusi
terhadap konsep ketuhanan dalam Islam, di mana Allah dipahami sebagai
eksistensi mutlak (wajib al-wujud) yang menjadi sumber
dari segala sesuatu yang ada4.
Di dalam tasawuf dan
mistisisme Islam, konsep ini juga memiliki relevansi yang kuat. Ibn ‘Arabi (w.
1240 M) dalam doktrin Wahdat al-Wujud (kesatuan eksistensi) berpendapat bahwa realitas eksistensi sejatinya adalah
satu dan segala sesuatu hanyalah manifestasi dari eksistensi Tuhan yang mutlak5. Meski ada perbedaan
pendekatan antara doktrin Ibn ‘Arabi dengan filsafat Mulla Sadra, keduanya
sama-sama menekankan superioritas eksistensi atas esensi.
Dengan memahami
konsep Ashalah
al-Wujud, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang
bagaimana filsafat Islam menjelaskan hakikat keberadaan, hubungan antara Tuhan
dan alam semesta, serta bagaimana manusia memahami realitas secara epistemologis. Artikel ini akan membahas
secara sistematis tentang konsep Ashalah al-Wujud, argumentasi
filosofis yang mendukungnya, serta implikasi konsep ini dalam berbagai aspek keilmuan
Islam.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic
Philosophy (London: Routledge, 1996), 381.
[2]
Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 112.
[3]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 87.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio University Press, 2007), 59.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 77.
2.
Pengertian
dan Konteks Historis Ashalah al-Wujud
2.1.
Pengertian Ashalah
al-Wujud
Konsep Ashalah
al-Wujud (اصالة الوجود) dalam filsafat Islam mengacu pada gagasan
bahwa eksistensi (wujud) merupakan realitas yang
paling fundamental dan mendahului segala bentuk esensi (mahiyah).
Dalam pandangan ini, realitas tidak ditentukan oleh esensi sesuatu, melainkan
oleh eksistensinya. Dengan kata lain, segala sesuatu di dunia ini eksis bukan
karena esensinya, tetapi karena keberadaannya sendiri yang nyata dan fundamental1.
Konsep ini merupakan
respons terhadap perdebatan klasik dalam filsafat Islam mengenai hubungan
antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).
Dua pandangan utama muncul dalam diskursus ini: Ashalah al-Wujud (primordialitas
eksistensi) dan Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi). Pendukung Ashalah al-Wujud, seperti Mulla
Sadra, berargumen bahwa esensi hanyalah sebuah konstruksi intelektual yang
tidak memiliki keberadaan independen, sementara eksistensi adalah dasar dari
seluruh realitas2. Sebaliknya, para pemikir seperti Suhrawardi dari
tradisi iluminasi (hikmat al-ishraq) meyakini bahwa
esensi lebih utama dan mendahului eksistensi, karena esensi menentukan
identitas hakiki sesuatu,
sedangkan eksistensi hanya merupakan tambahan yang diberikan pada esensi3.
Dalam konteks
filsafat Islam, teori Ashalah al-Wujud memiliki
konsekuensi metafisis yang mendalam, terutama dalam pengembangan konsep tashkik
al-wujud (gradasi eksistensi), yang menyatakan bahwa eksistensi
tidak bersifat statis dan seragam,
melainkan memiliki tingkatan dan derajat keberadaan yang berbeda-beda4.
2.2.
Konteks Historis
Munculnya Ashalah al-Wujud
Gagasan tentang
eksistensi dan esensi telah menjadi perdebatan panjang sejak era filsafat
Yunani kuno, terutama dalam pemikiran Aristoteles yang membedakan antara
substansi (ousia)
dan aksidens. Konsep ini kemudian diserap oleh filsuf Muslim seperti Al-Farabi
(w. 950 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M), yang memperkenalkan distingsi antara wajib
al-wujud (eksistensi yang niscaya, yaitu Tuhan) dan mumkin
al-wujud (eksistensi yang bergantung pada sebab lain)5.
Dalam filsafat
peripatetik (mashsha’iyyah), Ibnu Sina
menganggap esensi dan eksistensi sebagai dua hal yang berbeda tetapi berkaitan
erat dalam entitas yang mungkin (mumkin al-wujud). Ia berpendapat
bahwa eksistensi bukanlah bagian intrinsik dari esensi, melainkan sesuatu yang diberikan oleh agen eksternal, yaitu Tuhan6.
Pemikirannya ini kemudian menjadi dasar perdebatan dalam filsafat Islam
selanjutnya.
Pada abad ke-12,
Suhrawardi mengajukan sistem filsafat iluminasi (hikmat al-ishraq), di mana ia
menolak Ashalah
al-Wujud dan lebih menekankan pada Ashalah al-Mahiyah. Menurut
Suhrawardi, realitas lebih bersandar pada esensi karena esensi adalah yang
menentukan hakikat sesuatu, sementara eksistensi hanya merupakan kualitas
tambahan yang bisa diberikan atau diambil7.
Namun, paradigma
filsafat Islam mengalami pergeseran signifikan dengan munculnya Mulla Sadra (w.
1640 M), seorang pemikir Persia yang mengembangkan sistem Hikmah
al-Muta‘aliyah (Filsafat Transendental). Dalam
sistemnya, Mulla Sadra mengkritik konsep Ashalah al-Mahiyah dan dengan tegas
mengemukakan bahwa eksistensi adalah realitas utama, sedangkan esensi hanyalah
konsepsi intelektual yang dihasilkan oleh akal manusia8. Ia
membangun teori ini berdasarkan konsep tashkik al-wujud yang menyatakan
bahwa eksistensi memiliki derajat yang beragam, dengan Tuhan sebagai eksistensi tertinggi dan mutlak,
sementara makhluk lainnya memiliki eksistensi yang bertingkat sesuai dengan
kedekatan atau keterjauhan mereka dari Tuhan9.
Sejak diperkenalkan
oleh Mulla Sadra, konsep Ashalah al-Wujud menjadi pilar
utama dalam filsafat Islam
pasca-klasik, terutama dalam kajian metafisika, epistemologi, dan mistisisme
Islam. Konsep ini juga mendapat perhatian dari para pemikir modern yang mencoba
menghubungkannya dengan fenomenologi dan ontologi Barat10.
Footnotes
[1]
Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 45.
[2]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 61.
[3]
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic
Philosophy (London: Routledge, 1996), 420.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio University Press, 2007), 97.
[5]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 135.
[6]
Peter Adamson, The Philosophy of Ibn Sina and its Influence on
Medieval Europe (London: Variorum, 1996), 92.
[7]
Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy
(Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 58.
[8]
Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent
Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009),
102.
[9]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 78.
[10]
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 188.
3.
Tokoh
dan Aliran yang Menganut Konsep Ashalah al-Wujud
3.1.
Mulla Sadra dan
Hikmah al-Muta‘aliyah
Pemikir utama yang
memperkenalkan dan mengembangkan konsep Ashalah al-Wujud secara sistematis adalah Mulla
Sadra (w. 1640 M), seorang filsuf Persia dari era Safawi yang
mendirikan sistem Hikmah al-Muta‘aliyah (Filsafat
Transendental). Dalam karyanya yang monumental, al-Asfar
al-Arba‘ah, Mulla Sadra secara tegas menyatakan bahwa eksistensi
adalah prinsip fundamental dalam realitas, sementara esensi hanyalah konstruksi
mental1.
Menurut Mulla Sadra,
eksistensi memiliki tingkatan yang beragam dalam suatu hierarki keberadaan yang
disebut tashkik
al-wujud (gradasi eksistensi). Tuhan adalah eksistensi tertinggi dan mutlak (wajib al-wujud), sedangkan makhluk
lainnya merupakan eksistensi dengan derajat yang lebih rendah berdasarkan
kedekatan mereka dengan Tuhan2. Konsep ini menegaskan bahwa
eksistensi bukanlah sesuatu yang tetap dan seragam, melainkan sesuatu yang
mengalami harakah
jawhariyyah (gerak substansial), yang membuat
setiap entitas mengalami transformasi eksistensial dalam perjalanan menuju
kesempurnaan3.
Dalam konteks
epistemologi, Mulla Sadra juga menghubungkan Ashalah al-Wujud dengan teori
pengetahuan. Menurutnya, pemahaman manusia terhadap realitas bergantung pada
bagaimana kesadarannya menangkap eksistensi sesuatu, bukan sekadar mengetahui
esensi sesuatu. Hal ini berbeda dengan pandangan filsafat peripatetik yang
lebih mengedepankan analisis esensial untuk memahami sesuatu4.
3.2.
Pemikiran Para
Filosof Sebelumnya
Sebelum Mulla Sadra,
perdebatan mengenai eksistensi dan esensi telah berkembang dalam filsafat Islam
klasik, terutama dalam pemikiran Ibnu
Sina (w. 1037 M) dan Suhrawardi (w. 1191 M).
1)
Ibnu Sina dan Filsafat
Peripatetik
Ibnu Sina merupakan filsuf Muslim pertama yang
secara sistematis membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
dalam entitas yang mungkin (mumkin al-wujud). Ia berpendapat bahwa
esensi suatu objek dapat dipahami tanpa memperhitungkan eksistensinya, yang
berarti eksistensi bersifat aksidental dan tidak inheren dalam esensi5.
Meski begitu, Ibnu Sina belum secara eksplisit mengembangkan konsep Ashalah
al-Wujud, tetapi teorinya menjadi dasar bagi perdebatan selanjutnya
mengenai hubungan antara eksistensi dan esensi.
2)
Suhrawardi dan Filsafat
Iluminasi (Hikmah al-Ishraq)
Suhrawardi menentang gagasan eksistensi sebagai
realitas fundamental dan lebih menekankan pada esensi sebagai inti keberadaan.
Dalam filsafat iluminasi, ia mengembangkan teori bahwa cahaya (nur)
adalah prinsip metafisis utama yang mendasari segala sesuatu. Dengan demikian,
ia lebih cenderung pada Ashalah al-Mahiyah dan menolak bahwa
eksistensi memiliki realitas yang berdiri sendiri6.
3.3.
Perbandingan antara
Ashalah al-Wujud dan Ashalah al-Mahiyah
Meskipun Ashalah
al-Wujud akhirnya menjadi paradigma dominan dalam filsafat Islam
pasca-klasik, teori ini mendapatkan tantangan dari para pendukung Ashalah
al-Mahiyah. Para pemikir iluminasi, seperti Suhrawardi, berargumen
bahwa manusia dalam pengalamannya lebih dahulu memahami esensi daripada
eksistensi. Sebaliknya, para pendukung Ashalah al-Wujud, terutama Mulla Sadra, menekankan bahwa segala sesuatu
menjadi nyata karena eksistensinya, bukan karena esensinya7.
Dalam
perkembangannya, teori Ashalah al-Wujud lebih banyak
dianut oleh filsuf Muslim dari tradisi Hikmah al-Muta‘aliyah, sementara
pendekatan esensialisme (Ashalah al-Mahiyah) lebih populer
dalam beberapa cabang teologi Islam, terutama dalam kalangan pemikir mutakallimun
(teolog).
3.4.
Pengaruh Ashalah
al-Wujud dalam Pemikiran Islam Kontemporer
Konsep Ashalah
al-Wujud tidak hanya berpengaruh dalam diskursus klasik, tetapi
juga dalam pemikiran Islam kontemporer. Beberapa filsuf Muslim modern, seperti Allama
Tabataba’i (w. 1981 M) dan Murtadha Mutahhari (w. 1979 M),
mengembangkan pemikiran
Mulla Sadra lebih lanjut dan menggunakannya sebagai dasar dalam teologi Islam modern8.
Selain itu, konsep
ini juga mendapatkan perhatian dalam studi filsafat perbandingan, di mana
beberapa akademisi berusaha menghubungkan gagasan Ashalah al-Wujud dengan fenomenologi dan ontologi Barat, seperti
pemikiran Martin Heidegger yang menekankan pada "being"
sebagai inti dari pemahaman manusia tentang realitas9.
Dengan demikian, Ashalah
al-Wujud tidak hanya menjadi bagian dari tradisi filsafat Islam,
tetapi juga telah berkembang menjadi gagasan yang dapat dijadikan landasan untuk memahami metafisika dan
ontologi dalam konteks filsafat global.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic
Studies, 1999), 212.
[2]
Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent
Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 87.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 110.
[4]
Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 94.
[5]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 140.
[6]
Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy
(Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 62.
[7]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio University Press, 2007), 80.
[8]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 115.
[9]
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 192.
4.
Argumen-Argumen
Filosofis dalam Mendukung Ashalah al-Wujud
Konsep Ashalah
al-Wujud (primordialitas eksistensi) dalam
filsafat Islam bukan sekadar gagasan metafisik yang spekulatif, tetapi didukung
oleh berbagai argumen filosofis yang kuat. Para pendukung teori ini, terutama Mulla
Sadra, merumuskan beberapa landasan rasional untuk membuktikan
bahwa eksistensi adalah prinsip fundamental dalam realitas, sementara esensi hanyalah sesuatu yang bersifat konseptual
dan tidak memiliki keberadaan mandiri1. Argumen-argumen ini mencakup
argumen
ontologis, argumen epistemologis, dan argumen
metafisis yang menjelaskan mengapa eksistensi lebih fundamental
daripada esensi.
4.1.
Argumen Ontologis:
Eksistensi sebagai Hakikat yang Sesungguhnya
Dalam filsafat
Islam, ontologi membahas tentang hakikat realitas dan bagaimana sesuatu dapat
dikatakan “ada” atau “wujud.” Dalam konteks Ashalah
al-Wujud, argumen ontologis berusaha membuktikan bahwa eksistensi
memiliki realitas yang hakiki, sedangkan esensi hanyalah konsep yang dibuat oleh akal manusia2.
1)
Eksistensi sebagai Prinsip
Universal
Para filsuf yang mendukung Ashalah al-Wujud
berargumen bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini memiliki
eksistensi, tetapi tidak semua memiliki esensi yang tetap. Sebagai contoh,
suatu benda dapat memiliki esensi sebagai "meja" atau "kursi,"
tetapi keberadaan (wujud) benda tersebut tetap menjadi realitas utama
yang memungkinkan segala sesuatu terwujud3.
2)
Realitas Tidak Bergantung
pada Konsepsi Esensial
Dalam sistem metafisika Mulla Sadra, esensi
hanyalah konsep yang diciptakan oleh akal manusia untuk membedakan satu entitas
dari yang lain, tetapi keberadaan mereka tidak bergantung pada esensi tersebut.
Sebagai contoh, seseorang dapat memahami konsep "manusia"
tanpa menyadari eksistensinya, tetapi eksistensi manusia itu sendiri adalah
sesuatu yang tidak dapat diabaikan4.
3)
Refutasi terhadap
Esensialisme (Ashalah al-Mahiyah)
Para filsuf iluminasi seperti Suhrawardi
berpendapat bahwa esensi lebih fundamental daripada eksistensi. Namun, Mulla
Sadra membantah argumen ini dengan menunjukkan bahwa esensi tidak memiliki
realitas di luar pikiran. Jika esensi memiliki realitas independen, maka ia
seharusnya bisa ada tanpa eksistensi, tetapi hal ini bertentangan dengan
realitas empiris5.
4.2.
Argumen
Epistemologis: Hubungan Antara Eksistensi dan Pengetahuan
Selain argumen
ontologis, Ashalah
al-Wujud juga didukung oleh argumen epistemologis, yang menyoroti bagaimana manusia memahami realitas
melalui eksistensi.
1)
Eksistensi sebagai Dasar
Pengetahuan
Dalam filsafat Mulla Sadra, segala bentuk
pengetahuan manusia berakar pada pemahaman tentang eksistensi. Manusia
mengenali sesuatu bukan melalui esensinya, tetapi melalui kenyataan bahwa
sesuatu itu ada. Misalnya, seseorang dapat mengetahui bahwa "sebuah
pohon" itu ada sebelum ia mengetahui hakikat esensial pohon tersebut6.
2)
Eksistensi dalam Kesadaran
Manusia
Konsep eksistensi juga berperan dalam kesadaran
manusia. Sadra berargumen bahwa pemikiran tentang "ada" (wujud)
adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pengalaman manusia. Bahkan
konsep-konsep lain dalam akal, seperti esensi atau substansi, hanya bisa
dimengerti jika ia diasosiasikan dengan eksistensi7.
3)
Implikasi dalam Mistisisme
dan Ilmu Pengetahuan
Argumen epistemologis ini memiliki dampak besar
dalam mistisisme Islam (tasawuf) dan ilmu pengetahuan. Dalam tasawuf,
eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang memiliki gradasi (tashkik
al-wujud), di mana tingkat keberadaan seseorang semakin tinggi ketika ia
lebih dekat dengan Tuhan sebagai sumber eksistensi mutlak (wajib al-wujud)8.
4.3.
Argumen Metafisis:
Tashkik al-Wujud (Gradasi Eksistensi)
Salah satu aspek
terpenting dalam teori Ashalah al-Wujud adalah konsep tashkik
al-wujud, yaitu gagasan bahwa eksistensi memiliki berbagai
tingkatan keberadaan yang berbeda-beda.
1)
Eksistensi Tidak Seragam,
tetapi Berjenjang
Mulla Sadra menyatakan bahwa eksistensi bukanlah
satu kategori yang homogen, melainkan memiliki derajat dan tingkatan yang
berbeda. Tuhan sebagai wujud mutlak berada pada tingkatan eksistensi
tertinggi, sementara makhluk-makhluk lain berada pada tingkatan yang lebih
rendah9.
2)
Gerak Substansial (Harakah
Jawhariyyah)
Salah satu konsep revolusioner dalam filsafat
Sadrian adalah harakah jawhariyyah (gerak substansial). Sadra
berpendapat bahwa eksistensi tidak bersifat statis, melainkan terus mengalami
perubahan menuju kesempurnaan. Hal ini berbeda dengan filsafat Aristotelian
yang memandang perubahan hanya terjadi dalam aksiden, bukan dalam substansi10.
3)
Implikasi dalam Kosmologi
dan Teologi
Konsep gradasi eksistensi ini memiliki implikasi
besar dalam kosmologi Islam. Ia menjelaskan bagaimana alam semesta memiliki
tatanan hierarkis yang berpuncak pada Tuhan sebagai sumber segala keberadaan.
Dalam teologi Islam, konsep ini juga digunakan untuk memahami bagaimana makhluk
yang berbeda memiliki hubungan yang berbeda pula dengan Tuhan11.
Kesimpulan
Argumen-argumen
filosofis yang mendukung Ashalah al-Wujud menunjukkan bahwa
eksistensi adalah prinsip paling mendasar dalam realitas. Dari sudut pandang ontologis, eksistensi lebih nyata daripada
esensi. Dari perspektif epistemologis, eksistensi adalah dasar bagi pengetahuan
manusia. Sementara dalam ranah metafisika, tashkik al-wujud dan harakah
jawhariyyah memberikan kerangka yang lebih dinamis untuk memahami
alam semesta dan keberadaan Tuhan.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic
Studies, 1999), 78.
[2]
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic
Philosophy (London: Routledge, 1996), 390.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 105.
[4]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 72.
[5]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio University Press, 2007), 45.
[6]
Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (New York: State University of New York Press, 1992), 84.
[7]
Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy
(Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 69.
[8]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 99.
[9]
Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent
Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009),
111.
[10]
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 190.
[11]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 155.
5.
Perbandingan
Konsep Ashalah al-Wujud dengan Pemikiran Lain
Konsep Ashalah
al-Wujud (primordialitas eksistensi) yang
dikembangkan oleh Mulla Sadra dalam Hikmah
al-Muta‘aliyah telah menjadi salah satu pilar utama dalam filsafat
Islam pasca-klasik. Namun, pemikiran ini tidak berdiri sendiri. Dalam sejarah
filsafat, terdapat berbagai pandangan lain mengenai hubungan antara eksistensi
(wujud)
dan esensi (mahiyah), baik dalam tradisi
filsafat Islam maupun dalam filsafat
Barat dan teologi Islam klasik. Bagian ini akan membandingkan konsep Ashalah
al-Wujud dengan (1) Aristotelianisme dan Neo-Platonisme, serta (2)
pemikiran dalam tradisi kalam Islam.
5.1.
Perbandingan dengan
Aristotelianisme dan Neo-Platonisme
1)
Aristotelianisme dan
Filsafat Peripatetik
Dalam filsafat Aristoteles (w. 322 SM), konsep
eksistensi tidak diperlakukan sebagai realitas yang berdiri sendiri, melainkan
sebagai sesuatu yang melekat pada substansi (ousia). Aristoteles
membedakan antara substansi pertama (yaitu individu konkret
yang eksis) dan substansi kedua (yaitu esensi atau hakikat
sesuatu). Dalam sistemnya, yang lebih fundamental adalah esensi karena ia
menentukan identitas suatu objek1.
Pandangan ini kemudian diserap oleh para filsuf
Muslim seperti Al-Farabi (w. 950 M) dan Ibnu Sina
(w. 1037 M) dalam tradisi filsafat Peripatetik (mashsha’iyyah). Ibnu
Sina, misalnya, berpendapat bahwa eksistensi bukanlah bagian inheren dari
esensi, melainkan sesuatu yang diberikan oleh penyebab eksternal—yaitu Tuhan.
Ia membedakan antara wajib al-wujud (yang eksistensinya niscaya,
seperti Tuhan) dan mumkin al-wujud (yang eksistensinya bergantung pada
sesuatu yang lain)2.
Dalam hal ini, filsafat Ibnu Sina cenderung
mendekati konsep Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi),
karena ia menempatkan esensi sebagai sesuatu yang memiliki makna mandiri
sebelum menerima eksistensi. Hal ini bertentangan dengan Mulla Sadra, yang
berpendapat bahwa esensi hanyalah sebuah konstruksi intelektual yang tidak
memiliki realitas independen tanpa eksistensi3.
2)
Neo-Platonisme dan
Filsafat Iluminasi (Hikmah al-Ishraq)
Tradisi Neo-Platonisme, yang berpengaruh besar
dalam pemikiran Islam melalui karya Plotinus (w. 270 M),
memiliki banyak kesamaan dengan filsafat iluminasi (Hikmah al-Ishraq)
yang dikembangkan oleh Suhrawardi (w. 1191 M). Dalam sistem
ini, realitas tertinggi adalah "Cahaya Mutlak" (nur
al-anwar), yang darinya segala sesuatu memancar dalam hierarki
eksistensial yang lebih rendah4.
Suhrawardi menolak konsep Ashalah al-Wujud
dan justru menegaskan bahwa esensi lebih utama daripada eksistensi.
Ia berpendapat bahwa manusia pertama-tama memahami esensi sesuatu sebelum
menyadari keberadaannya. Oleh karena itu, menurutnya, esensi adalah prinsip
utama dalam realitas, sedangkan eksistensi hanyalah sesuatu yang bersifat
aksidental5.
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Sadra mengkritik
pendekatan iluminasi ini dengan menyatakan bahwa cahaya itu sendiri hanyalah
bentuk lain dari eksistensi. Ia berpendapat bahwa realitas bukanlah hierarki
cahaya, melainkan hierarki eksistensi yang memiliki tingkatan keberadaan yang
berbeda (tashkik al-wujud)6.
5.2.
Perbandingan dengan
Ontologi dalam Tradisi Kalam
Dalam tradisi kalam
(teologi Islam), perdebatan tentang eksistensi dan esensi juga berlangsung,
terutama antara dua mazhab teologi
utama: Mu‘tazilah
dan Asy‘ariyah.
1)
Pendekatan Mu‘tazilah
terhadap Eksistensi dan Esensi
Mazhab Mu‘tazilah, yang dikenal
dengan pendekatan rasionalnya, mengadopsi konsep bahwa esensi dan eksistensi
adalah dua hal yang terpisah. Mereka berargumen bahwa setiap entitas
memiliki esensi tertentu yang dapat dipahami tanpa merujuk pada eksistensinya.
Dalam perspektif ini, esensi memiliki kedudukan tersendiri sebelum eksistensi
terjadi7.
Pandangan ini lebih dekat dengan konsep Ashalah
al-Mahiyah, yang berlawanan dengan pemikiran Mulla Sadra. Para teolog
Mu‘tazilah meyakini bahwa sesuatu yang tidak eksis tetap dapat dipahami
esensinya secara logis, sehingga mereka menolak gagasan bahwa eksistensi adalah
realitas fundamental.
2)
Pendekatan Asy‘ariyah
terhadap Eksistensi dan Esensi
Sebaliknya, Asy‘ariyah, sebagai
mazhab teologi yang lebih tradisional, mengajukan teori bahwa eksistensi suatu
entitas adalah sesuatu yang ditentukan oleh kehendak Tuhan. Dalam teologi
Asy‘ariyah, eksistensi tidak memiliki realitas independen, tetapi sepenuhnya
bergantung pada kehendak ilahi8.
Hal ini berbeda dengan filsafat Mulla Sadra yang
melihat eksistensi sebagai sesuatu yang memiliki realitas objektif dengan
gradasi (tashkik al-wujud). Menurut Sadra, eksistensi memiliki
berbagai tingkatan keberadaan, dari yang paling lemah hingga yang paling kuat,
dengan Tuhan sebagai eksistensi tertinggi9.
3)
Kritik terhadap Teologi
Kalam
Mulla Sadra mengkritik para teolog kalam karena,
menurutnya, mereka gagal memahami sifat dinamis dari eksistensi. Dalam
sistemnya, eksistensi bukan hanya sekadar sesuatu yang dikaruniakan oleh Tuhan,
tetapi juga mengalami transformasi melalui proses harakah jawhariyyah (gerak
substansial). Dengan kata lain, realitas bukanlah sesuatu yang tetap dan kaku,
tetapi mengalami evolusi menuju kesempurnaan10.
Kesimpulan
Dari perbandingan di
atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Ashalah al-Wujud berbeda secara fundamental dengan pendekatan
Aristotelian, Neo-Platonisme, dan teologi kalam.
·
Dalam tradisi Peripatetik
(Ibnu Sina), esensi lebih mendasar daripada eksistensi, sedangkan dalam sistem
Sadrian, eksistensi lebih utama.
·
Dalam filsafat iluminasi
(Suhrawardi), realitas dipahami sebagai hierarki cahaya, tetapi dalam sistem
Sadrian, hierarki tersebut sebenarnya adalah gradasi eksistensi.
·
Dalam tradisi teologi Islam, baik Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah memiliki pendekatan yang berbeda
terhadap eksistensi, tetapi keduanya tidak mengakui konsep tashkik
al-wujud sebagaimana yang dikembangkan oleh Mulla Sadra.
Dengan demikian, Ashalah
al-Wujud menawarkan perspektif yang unik dalam metafisika Islam, yang berbeda dari tradisi
filosofis dan teologis sebelumnya.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1030a.
[2]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 112.
[3]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio University Press, 2007), 62.
[4]
Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy
(Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 77.
[5]
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy
(London: Routledge, 1996), 450.
[6]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic
Studies, 1999), 203.
[7]
Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY
Press, 1978), 98.
[8]
Harry Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard
University Press, 1976), 150.
[9]
Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent
Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009),
110.
[10]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 99.
6.
Implikasi
Ashalah al-Wujud dalam Berbagai Aspek
Konsep Ashalah
al-Wujud (primordialitas eksistensi) yang
dikembangkan oleh Mulla Sadra tidak hanya
berdampak pada filsafat metafisika, tetapi juga membawa implikasi luas dalam
berbagai aspek pemikiran Islam, termasuk teologi, epistemologi,
mistisisme,
serta etika
dan spiritualitas. Pemahaman bahwa eksistensi lebih fundamental
daripada esensi membentuk cara
pandang baru dalam memahami hakikat Tuhan, manusia, dan alam semesta.
6.1.
Implikasi dalam
Teologi: Konsep Ketuhanan
Dalam aspek teologi Islam, Ashalah
al-Wujud memberikan pemahaman baru tentang wujud
Tuhan sebagai eksistensi mutlak (wajib al-wujud). Dalam sistem
Sadrian, Tuhan bukan hanya sebagai
"sebab pertama" (causa prima), tetapi juga sebagai eksistensi
absolut yang menjadi sumber segala realitas1.
1)
Tuhan sebagai Satu-Satunya
Realitas Hakiki
Mulla Sadra berargumen bahwa karena hanya
eksistensi yang memiliki realitas sejati, maka Tuhan sebagai wajib al-wujud
adalah satu-satunya keberadaan yang benar-benar nyata. Segala sesuatu yang lain
hanyalah manifestasi dari eksistensi-Nya pada tingkatan yang lebih rendah dalam
gradasi keberadaan (tashkik al-wujud)2.
2)
Pandangan Baru tentang
Hubungan Tuhan dan Makhluk
Dalam pemikiran kalam tradisional, Tuhan dianggap
sebagai pencipta yang "terpisah" dari ciptaan-Nya. Namun, dalam Hikmah
al-Muta‘aliyah, keberadaan makhluk dipahami sebagai pancaran (tajalli)
dari Tuhan, di mana makhluk-makhluk tidak memiliki eksistensi mandiri,
melainkan hanya bagian dari manifestasi eksistensi ilahi3.
3)
Konsep Tauhid yang Lebih
Mendalam
Pendekatan ini memperkuat konsep tauhid dalam
Islam, karena segala sesuatu di alam semesta dipandang sebagai bentuk
perwujudan dari eksistensi Tuhan, tanpa adanya dualisme yang membedakan antara
Tuhan dan makhluk secara absolut4.
6.2.
Implikasi dalam
Epistemologi: Sumber Pengetahuan dan Kesadaran
Selain aspek
teologi, Ashalah
al-Wujud juga berdampak pada teori pengetahuan dalam filsafat
Islam. Dalam pemikiran Sadrian,
pengetahuan
tidak hanya bergantung pada esensi objek, tetapi juga pada realitas
eksistensialnya5.
1)
Pengetahuan sebagai
Pengalaman Eksistensial
Mulla Sadra menolak pandangan bahwa pengetahuan
hanya diperoleh melalui abstraksi esensi dalam akal manusia. Sebaliknya, ia
mengajukan teori bahwa pengetahuan adalah bentuk eksistensi itu sendiri. Dengan
kata lain, semakin dekat seseorang dengan eksistensi tertinggi (Tuhan), semakin
luas pula pengetahuannya6.
2)
Hubungan antara Kesadaran
dan Eksistensi
Dalam sistem epistemologinya, Sadra menekankan
bahwa manusia tidak bisa memahami sesuatu tanpa memiliki pengalaman
eksistensial terhadap objek tersebut. Hal ini menjelaskan bagaimana kesadaran
manusia beroperasi dalam memahami realitas7.
6.3.
Implikasi dalam
Mistisisme: Keterkaitan dengan Tasawuf
Pemikiran Sadrian
memiliki banyak kesamaan dengan pemikiran Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dalam
konsep Wahdat
al-Wujud (kesatuan eksistensi). Meskipun
terdapat perbedaan metodologi
antara keduanya, keduanya sepakat bahwa realitas eksistensial adalah satu, dan segala
sesuatu yang ada adalah manifestasi dari Tuhan8.
1)
Eksistensi sebagai Jalan
Menuju Tuhan
Dalam tasawuf, perjalanan spiritual manusia
adalah proses transformasi eksistensial yang bertahap menuju eksistensi
absolut, yaitu Tuhan. Konsep ini sejalan dengan tashkik al-wujud dalam
Hikmah al-Muta‘aliyah, di mana keberadaan manusia dapat meningkat
menuju tingkatan eksistensi yang lebih tinggi9.
2)
Tajalli dan Makna
Kehidupan
Dalam mistisisme Islam, konsep tajalli
atau manifestasi Tuhan dalam realitas juga menemukan justifikasinya dalam teori
Ashalah al-Wujud. Setiap makhluk adalah pancaran dari eksistensi
Ilahi, dan semakin tinggi kesadaran seseorang terhadap realitas eksistensi,
semakin dekat ia dengan Tuhan10.
6.4.
Implikasi dalam
Etika dan Spiritualitas
Konsep Ashalah
al-Wujud juga berdampak
dalam aspek etika dan spiritualitas Islam. Dalam filsafat Sadrian, perjalanan
manusia menuju kesempurnaan moral tidak sekadar bersandar pada aturan normatif,
tetapi merupakan transformasi eksistensial11.
1)
Etika sebagai Perjalanan
Eksistensial
Dalam perspektif Sadrian, manusia yang berakhlak
baik bukan hanya mengikuti aturan-aturan moral, tetapi juga mengalami
peningkatan dalam derajat keberadaannya. Oleh karena itu, etika bukan sekadar
tindakan lahiriah, tetapi merupakan hasil dari kesadaran eksistensial yang
semakin mendekat kepada Tuhan12.
2)
Tujuan Hidup sebagai
Proses Kesempurnaan Eksistensial
Manusia tidak hanya hidup untuk memenuhi
kewajiban normatif, tetapi juga untuk mencapai tingkat eksistensi yang lebih
tinggi. Konsep ini sejalan dengan gagasan tasawuf tentang insan kamil
(manusia sempurna), di mana manusia ideal adalah mereka yang mencapai
tingkatan eksistensi tertinggi dalam gradasi keberadaan13.
Kesimpulan
Konsep Ashalah
al-Wujud memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek
pemikiran Islam. Dalam teologi, ia menegaskan bahwa Tuhan adalah eksistensi
mutlak, sedangkan semua makhluk hanyalah manifestasi dari eksistensi-Nya. Dalam
epistemologi, konsep ini memberikan landasan bagi teori pengetahuan yang berbasis
pengalaman eksistensial. Dalam tasawuf, ia memberikan justifikasi filosofis
bagi perjalanan spiritual menuju
Tuhan. Dan dalam etika, ia menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah
meningkatkan kualitas eksistensinya. Dengan demikian, konsep ini tidak hanya
bersifat metafisik, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam cara manusia
memahami kehidupan dan keberadaannya di dunia.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic
Studies, 1999), 150.
[2]
Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent
Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009),
102.
[3]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio University Press, 2007), 78.
[4]
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic
Philosophy (London: Routledge, 1996), 400.
[5]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 91.
[6]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 105.
[7]
Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy
(Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 72.
[8]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 120.
[9]
Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (New York: SUNY Press, 1992), 88.
[10]
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 215.
[11]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 170.
[12]
Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY
Press, 1978), 95.
[13]
Harry Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard
University Press, 1976), 155.
7.
Kesimpulan
Konsep Ashalah
al-Wujud (primordialitas eksistensi) yang
dikembangkan oleh Mulla Sadra dalam Hikmah
al-Muta‘aliyah telah memberikan kontribusi besar terhadap filsafat
Islam. Dengan menegaskan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi,
Mulla Sadra berhasil mengatasi perdebatan panjang dalam filsafat Islam mengenai
hubungan antara wujud dan mahiyah
yang sebelumnya dikuasai oleh tradisi Peripatetik
dan Iluminasi1. Konsep ini tidak hanya memiliki implikasi metafisik,
tetapi juga memberikan paradigma baru dalam teologi, epistemologi, mistisisme, dan etika.
Dari segi teologi,
konsep Ashalah
al-Wujud memperkuat pemahaman tentang Tuhan sebagai wujud
mutlak (wajib al-wujud), yang menjadi
sumber segala eksistensi. Dalam pandangan ini, makhluk tidak memiliki
eksistensi independen, melainkan merupakan manifestasi dari keberadaan Tuhan
dalam berbagai tingkatan tashkik al-wujud2.
Dengan demikian, konsep ini memberikan
penjelasan yang lebih dalam mengenai tauhid, serta membangun jembatan
antara filsafat dan tasawuf dalam memahami hubungan Tuhan dengan makhluk3.
Dalam epistemologi,
Ashalah
al-Wujud menegaskan bahwa pengetahuan bukan hanya soal konsep-konsep
esensial, tetapi lebih merupakan pengalaman eksistensial. Sadra
menolak gagasan bahwa akal hanya berfungsi sebagai alat abstraksi esensi.
Sebaliknya, ia berpendapat bahwa pemahaman yang sejati hanya mungkin terjadi
ketika seseorang mengalami eksistensi objek tersebut secara langsung4.
Pandangan ini juga membawa implikasi
penting dalam diskusi tentang kesadaran manusia dan cara manusia memperoleh
ilmu pengetahuan.
Dalam mistisisme
Islam, konsep Ashalah al-Wujud memiliki kesamaan
dengan doktrin Wahdat al-Wujud (kesatuan
eksistensi) yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabi. Meskipun berbeda
dalam pendekatan, keduanya sama-sama menyatakan
bahwa realitas pada hakikatnya satu, dan segala sesuatu hanyalah manifestasi
dari eksistensi Tuhan5. Konsep tashkik al-wujud yang dikembangkan
oleh Sadra juga memungkinkan pemahaman yang lebih dinamis terhadap perjalanan
spiritual manusia dalam mendekati Tuhan, di mana keberadaan manusia mengalami
transformasi eksistensial menuju kesempurnaan6.
Dari perspektif etika
dan spiritualitas, konsep ini memberikan dasar yang kuat bagi
pemahaman bahwa perbaikan moral dan spiritual bukan hanya soal
mengikuti aturan normatif, tetapi juga merupakan perjalanan eksistensial.
Dalam pandangan Sadra, seseorang yang mencapai tingkat keberadaan yang lebih
tinggi akan secara otomatis memiliki akhlak yang lebih baik, karena ia lebih
dekat dengan sumber segala eksistensi,
yaitu Tuhan7. Hal ini memberikan pendekatan yang lebih esensial
terhadap etika dibandingkan dengan pendekatan normatif yang sering kali kaku
dalam ilmu fiqih dan kalam tradisional.
Secara komparatif, Ashalah
al-Wujud memiliki keunggulan dibandingkan dengan teori Ashalah
al-Mahiyah yang dipegang oleh para filsuf iluminasi seperti Suhrawardi
dan beberapa pemikir Peripatetik seperti Ibnu Sina. Jika dalam Ashalah
al-Mahiyah, esensi dianggap sebagai dasar realitas, dalam Ashalah al-Wujud, esensi hanyalah
produk intelektual yang tidak memiliki realitas independen8.
Perbedaan ini memiliki dampak yang signifikan dalam berbagai aspek pemikiran
Islam, termasuk bagaimana manusia memahami Tuhan, alam semesta, dan eksistensi
dirinya sendiri.
Lebih jauh, konsep
ini juga membuka peluang dialog antara filsafat Islam dengan pemikiran Barat,
terutama dalam bidang fenomenologi dan ontologi. Beberapa akademisi telah mencoba
membandingkan gagasan Sadra dengan pemikiran Martin Heidegger, yang juga
menekankan pentingnya "being" dalam filsafatnya9.
Meskipun terdapat perbedaan mendasar, kesamaan pendekatan dalam memahami
eksistensi menunjukkan bahwa filsafat Islam memiliki relevansi yang luas dalam
diskusi filsafat kontemporer.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa Ashalah al-Wujud bukan hanya sebuah
teori metafisik dalam filsafat Islam, tetapi juga merupakan konsep yang menawarkan
wawasan mendalam mengenai hakikat realitas, hubungan manusia dengan Tuhan,
serta bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan menjalani kehidupan moral
yang bermakna. Sebagai warisan filsafat Islam, pemikiran ini
masih terus dikaji dan memiliki potensi besar untuk memperkaya berbagai diskursus filosofis, baik dalam dunia Islam
maupun di kancah filsafat global.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah (Tehran: Institute of Islamic
Studies, 1999), 175.
[2]
Sayyed Mohammad Khamenei, Sadr al-Din Shirazi and Transcendent
Theosophy (Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research Institute, 2009), 89.
[3]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio University Press, 2007), 99.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 112.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 130.
[6]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 104.
[7]
Henry Corbin, The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy
(Berkeley: North Atlantic Books, 1998), 80.
[8]
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic
Philosophy (London: Routledge, 1996), 410.
[9]
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 195.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University
of New York Press.
Corbin, H. (1998). The Voyage and the Messenger:
Iran and Philosophy. Berkeley: North Atlantic Books.
Frank, R. M. (1978). Beings and Their
Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu‘tazila in the
Classical Period. Albany: State University of New York Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. London:
Routledge.
Ha'iri Yazdi, M. (1992). The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. New York: State
University of New York Press.
Izutsu, T. (2007). The Concept and Reality of
Existence. Tokyo: Keio University Press.
Kalin, I. (2010). Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford:
Oxford University Press.
Kamal, M. (2006). Mulla Sadra’s Transcendent
Philosophy. London: Ashgate.
Khamenei, S. M. (2009). Sadr al-Din Shirazi and
Transcendent Theosophy. Tehran: SADRA Islamic Philosophy Research
Institute.
Leaman, O. (2009). Islamic Philosophy: An
Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
Mulla Sadra. (1999). al-Asfar al-Arba‘ah
(Vols. 1–4). Tehran: Institute of Islamic Studies.
Nasr, S. H., & Leaman, O. (1996). History of
Islamic Philosophy. London: Routledge.
Wolfson, H. (1976). The Philosophy of the Kalam.
Cambridge: Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar