Rabu, 29 Oktober 2025

Prinsip Ekologi Integral: Fondasi Filosofis bagi Etika Lingkungan Holistik

Prinsip Ekologi Integral

Fondasi Filosofis bagi Etika Lingkungan Holistik


Alihkan ke: Etika Lingkungan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara mendalam prinsip Ekologi Integral sebagai fondasi filosofis bagi pengembangan etika lingkungan holistik dan humanistik. Prinsip ini menolak dikotomi klasik antara manusia dan alam, serta menawarkan paradigma baru yang menempatkan keduanya dalam relasi koeksistensial dan saling ketergantungan. Secara ontologis, ekologi integral menegaskan bahwa realitas bersifat relasional—semua makhluk hidup merupakan bagian dari satu jaringan kehidupan yang dinamis. Secara epistemologis, ia menekankan pengetahuan yang partisipatif dan kontekstual, yang mengintegrasikan sains, moralitas, dan spiritualitas ekologis. Sementara secara aksiologis, prinsip ini meneguhkan nilai intrinsik semua ciptaan serta tanggung jawab moral manusia untuk menjaga keberlanjutan dan keutuhan bumi sebagai rumah bersama (common home).

Lebih jauh, artikel ini menyoroti dimensi sosial, ekonomi, dan politik dari ekologi integral yang menuntut keadilan ekologis global, solidaritas antargenerasi, serta transformasi struktur pembangunan menuju sistem berkeadilan ekologis. Kritik-kritik dari perspektif pragmatis, posthumanis, dan ekofeminis dianalisis untuk memperkaya kerangka etika integral ini. Pada akhirnya, melalui sintesis filosofis, artikel ini menegaskan pentingnya humanisme ekologis, di mana martabat manusia dihayati dalam tanggung jawabnya terhadap kehidupan, bukan dominasi atasnya. Prinsip ekologi integral, dengan demikian, menjadi dasar bagi transformasi peradaban menuju era kesadaran ekologis baru (Ecozoic Era) yang memadukan pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas dalam satu kesatuan kehidupan kosmik.

Kata Kunci: Ekologi Integral; Etika Lingkungan; Humanisme Ekologis; Filsafat Ekologi; Keadilan Ekologis; Spiritualitas Bumi; Filsafat Kontemporer; Keberlanjutan; Kosmologi Relasional; Tanggung Jawab Moral.


PEMBAHASAN

Prinsip Ekologi Integral dalam Konteks Krisis Ekologis Global


1.           Pendahuluan

Krisis ekologis global yang semakin akut menandai era baru dalam sejarah manusia: sebuah masa di mana eksistensi manusia dan keberlanjutan bumi saling terancam. Perubahan iklim, deforestasi, polusi laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa relasi antara manusia dan alam telah terganggu secara mendalam. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis moral dan spiritual yang menyentuh inti keberadaan manusia di dunia. Etika lingkungan modern lahir dari kesadaran bahwa pendekatan antroposentris—yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai—gagal mempertahankan keseimbangan ekologis yang menopang kehidupan bersama.¹

Dalam konteks ini, gagasan Prinsip Ekologi Integral muncul sebagai paradigma baru yang berusaha melampaui dikotomi antara manusia dan alam. Prinsip ini mengajukan pemahaman bahwa seluruh realitas—baik ekologis, sosial, ekonomi, maupun spiritual—terjalin dalam suatu jaringan kehidupan yang saling terkait dan tak terpisahkan.² Dengan demikian, kerusakan ekologis tidak dapat diatasi hanya dengan solusi teknologis atau kebijakan ekonomi, melainkan menuntut transformasi etis dan spiritual yang menyentuh akar kesadaran manusia.³

Istilah ekologi integral mendapatkan perhatian luas setelah dipopulerkan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), yang menekankan bahwa “segala sesuatu saling terhubung” (everything is connected).⁴ Dalam pandangan ini, dimensi ekologis dan sosial tidak dapat dipisahkan; kemiskinan manusia dan kerusakan lingkungan adalah dua wajah dari krisis moral yang sama.⁵ Namun, jauh sebelum itu, sejumlah pemikir seperti Fritjof Capra, Arne Naess, dan Murray Bookchin telah menekankan pentingnya paradigma integral—yakni cara berpikir sistemik dan relasional yang melihat dunia sebagai kesatuan organik.⁶

Dengan demikian, prinsip ekologi integral bukan sekadar gagasan teologis, melainkan juga sintesis filosofis antara ontologi keutuhan, epistemologi partisipatif, dan aksiologi ekologis. Prinsip ini menolak fragmentasi modern antara sains, etika, dan spiritualitas, dan mengusulkan pandangan holistik bahwa pengetahuan dan moralitas manusia harus berakar pada kesadaran ekologis.⁷

Kajian ini bertujuan untuk menelusuri dasar filosofis dari prinsip ekologi integral melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara metodologis, pembahasan menggunakan pendekatan hermeneutik reflektif, yang berupaya memahami makna keberlanjutan ekologis dari perspektif relasional antara manusia, alam, dan kosmos. Kajian ini juga bersifat interdisipliner, dengan menghubungkan filsafat lingkungan, teologi, dan sains sistemik untuk menyusun suatu kerangka etika yang integral dan humanistik.

Melalui kajian ini, diharapkan terbangun suatu pemahaman filosofis bahwa keberlanjutan bukanlah sekadar isu kebijakan, melainkan ekspresi dari kesadaran moral yang menyeluruh—yakni kesadaran akan keutuhan ciptaan dan tanggung jawab manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang saling menopang.⁸


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1992), 4–5.

[2]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–33.

[3]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 45.

[4]                Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 138.

[5]                Ibid., sec. 49.

[6]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 151; Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 54.

[7]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 78–82.

[8]                John Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology (Beverly Hills: Bruce, 1972), 11–13.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Gagasan tentang ekologi integral tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dalam sejarah pemikiran manusia mengenai hubungan antara manusia dan alam. Ia berakar pada refleksi filosofis, religius, dan ilmiah yang, sepanjang waktu, berupaya memahami keterpaduan kosmos serta tempat manusia di dalamnya. Prinsip ini menandai perpindahan paradigma dari cara pandang mekanistik-antropo­sentrik yang mendominasi modernitas menuju paradigma ekologis-holistis yang menekankan interdependensi seluruh realitas kehidupan.¹

2.1.       Akar Filosofis dalam Tradisi Barat dan Timur

Dalam filsafat klasik Barat, jejak awal pemikiran integral dapat ditelusuri pada pandangan Stoisisme yang memandang kosmos sebagai suatu tatanan rasional dan harmonis (logos), di mana manusia merupakan bagian organik dari keseluruhan.² Pandangan ini menegaskan keterhubungan etika dan alam, yang kemudian memengaruhi tradisi humanistik Romawi. Sementara dalam filsafat Timur, khususnya dalam ajaran Taoisme, muncul pandangan serupa mengenai kesatuan antara Tao (jalan kosmik) dan semua makhluk, yang menolak dikotomi antara manusia dan alam.³

Pandangan integral ini sempat memudar pada masa Revolusi Ilmiah abad ke-17, ketika alam direduksi menjadi objek mekanis yang tunduk pada hukum sebab-akibat. Pemikiran René Descartes dan Francis Bacon menandai lahirnya paradigma dualistik—res cogitans dan res extensa—yang memisahkan manusia sebagai subjek berpikir dari alam sebagai objek yang dapat dieksploitasi.⁴ Sejak saat itu, hubungan manusia dengan alam ditentukan oleh prinsip dominasi dan kontrol, yang menjadi dasar bagi modernitas industri.

2.2.       Perkembangan Pemikiran Ekologis Modern

Kritik terhadap paradigma modern tersebut mulai muncul pada abad ke-20, terutama melalui gerakan filsafat lingkungan dan ekoteologi. Salah satu tonggak penting adalah karya Aldo Leopold, A Sand County Almanac (1949), yang memperkenalkan “Land Ethic”—etika yang memperluas komunitas moral untuk mencakup tanah, air, hewan, dan seluruh ekosistem.⁵ Leopold menyatakan bahwa manusia bukanlah penguasa, tetapi anggota komunitas biotik yang memiliki tanggung jawab moral terhadap integritas ekologi.

Selanjutnya, Rachel Carson melalui karya Silent Spring (1962) mengungkap dampak destruktif teknologi dan pestisida terhadap ekosistem, sehingga menggugah kesadaran ekologis global.⁶ Pemikiran ini melahirkan gelombang baru refleksi filosofis dan spiritual tentang hubungan manusia dan alam, yang kemudian dikenal sebagai ekologi dalam (deep ecology). Arne Naess, pelopor gerakan ini, menegaskan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik terlepas dari kegunaannya bagi manusia.⁷

2.3.       Pengaruh Teori Sistem dan Ekologi Sosial

Pada pertengahan abad ke-20, lahirlah pendekatan ilmiah dan filosofis yang menekankan keutuhan sistem kehidupan, seperti yang dikemukakan oleh Fritjof Capra melalui The Systems View of Life dan The Web of Life.⁸ Capra menolak pandangan reduksionis yang hanya melihat bagian-bagian terpisah dari realitas, dan menggantinya dengan pendekatan sistemik yang memandang dunia sebagai jaringan proses yang saling berinteraksi.

Sementara itu, Murray Bookchin mengembangkan konsep ekologi sosial, yang berargumen bahwa krisis ekologis berakar pada struktur sosial hierarkis dan penindasan manusia terhadap manusia lain.⁹ Bagi Bookchin, dominasi terhadap alam tidak bisa dipisahkan dari dominasi sosial; karena itu, penyelesaian krisis lingkungan memerlukan transformasi sosial yang radikal menuju masyarakat egaliter dan ekologis.¹⁰

2.4.       Dimensi Teologis dan Ekoteologi Integral

Gagasan ekologi integral mencapai artikulasi moral dan spiritual yang kuat dalam ajaran teologi penciptaan dan spiritualitas ekologis. Tokoh seperti Thomas Berry dan Leonardo Boff menegaskan bahwa krisis ekologis adalah juga krisis spiritual akibat keterasingan manusia dari bumi. Berry menyebut bumi sebagai “komunitas subjek” (communion of subjects), bukan sekadar “koleksi objek.”¹¹ Sementara Boff mengajukan spiritualitas bumi yang menempatkan manusia sebagai bagian dari “tubuh kosmik” yang hidup dan suci.¹²

Pemikiran ini berpuncak pada ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si’ (2015), yang memperkenalkan istilah integral ecology secara eksplisit sebagai prinsip moral global. Paus Fransiskus menghubungkan isu lingkungan, sosial, dan spiritual dalam satu kerangka keutuhan ciptaan, dengan menegaskan bahwa “tidak ada ekologi tanpa antropologi yang memadai.”¹³ Prinsip ini menegaskan bahwa perawatan terhadap bumi tidak dapat dipisahkan dari penghormatan terhadap martabat manusia, terutama kaum miskin dan tertindas yang paling terdampak oleh krisis ekologis.

2.5.       Pergeseran Paradigma ke Ekologi Integral

Dengan demikian, sejarah panjang pemikiran ini menunjukkan bahwa prinsip ekologi integral lahir sebagai sintesis antara pandangan filosofis, ilmiah, sosial, dan teologis. Ia berupaya mengatasi dikotomi yang telah lama memisahkan manusia dari alam, pengetahuan dari nilai, serta materi dari spiritualitas. Prinsip ini membawa etika lingkungan pada tahap refleksi yang lebih dalam: dari sekadar ekonomi hijau menuju kesadaran ekologis yang integral—yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, dan praksis kehidupan manusia di bumi.¹⁴


Footnotes

[1]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 5–7.

[2]                Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), VII.134–138.

[3]                Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin Classics, 1963), 25–27.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 27–29; Francis Bacon, Novum Organum (Oxford: Clarendon Press, 1857), 81–83.

[5]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 204–207.

[6]                Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962), 16–18.

[7]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–32.

[8]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 11–14.

[9]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 59–62.

[10]             Ibid., 314–316.

[11]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 82–84.

[12]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 90–93.

[13]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 118–120.

[14]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 65–68.


3.           Ontologi Ekologi Integral

Ontologi ekologi integral berpangkal pada keyakinan bahwa realitas bukanlah kumpulan entitas yang terpisah, melainkan jaringan kehidupan yang saling terkait dan koheren. Dalam kerangka ini, seluruh makhluk hidup dan unsur alam dipandang sebagai bagian dari satu kesatuan eksistensial yang dinamis. Prinsip dasar dari ontologi integral adalah relasionalitas ontologis, yakni bahwa keberadaan setiap entitas ditentukan oleh hubungannya dengan keseluruhan.¹ Dengan demikian, ontologi ekologi integral menolak pandangan mekanistik dan atomistik yang memandang realitas sebagai sistem tertutup dari bagian-bagian yang berdiri sendiri.

3.1.       Realitas sebagai Jaringan Kehidupan

Pandangan integral ini menemukan ekspresi modernnya dalam teori sistem dan paradigma ekologi. Fritjof Capra menjelaskan bahwa kehidupan pada hakikatnya merupakan “jaringan hubungan” (web of life), di mana setiap organisme eksis hanya dalam konteks sistem ekologis yang lebih luas.² Dalam konteks ini, keberadaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses interaksi terus-menerus antara energi, materi, dan kesadaran.³ Ontologi ini dengan demikian bersifat prosesual, bukan substansialis; ia mengandaikan bahwa realitas adalah aliran keberadaan yang dinamis (process being), sebagaimana dikembangkan dalam filsafat proses Alfred North Whitehead.⁴

Bumi, dalam perspektif ontologis integral, tidak lagi dilihat sebagai objek, melainkan sebagai subjek kosmik—suatu komunitas hidup yang memiliki nilai dan makna intrinsik. Thomas Berry menyebut bumi sebagai communion of subjects, bukan collection of objects; manusia tidak berada di atas ciptaan, tetapi di dalamnya sebagai bagian dari jaringan eksistensial yang sama.⁵ Oleh sebab itu, kerusakan ekologis bukan hanya krisis material, tetapi juga gangguan ontologis terhadap tatanan keberadaan itu sendiri.

3.2.       Interdependensi dan Keutuhan Kosmik

Konsepsi ini selaras dengan prinsip interdependensi universal, sebagaimana juga ditekankan dalam pemikiran Timur dan teologi ekologi. Dalam pandangan Buddhisme, doktrin pratītyasamutpāda (timbul-saling-bergantungan) menyatakan bahwa segala sesuatu “ada karena yang lain ada.”⁶ Dengan demikian, ketiadaan kesadaran akan keterhubungan ini menghasilkan ilusi dualisme—manusia versus alam, subjek versus objek, roh versus materi—yang menjadi akar krisis ekologis modern.

Dalam ontologi integral, seluruh eksistensi memiliki partisipasi ontologis dalam realitas yang satu. Alam semesta dipandang sebagai organisme kosmik, sebagaimana ditegaskan James Lovelock dalam Gaia Hypothesis, yang memandang bumi sebagai sistem hidup yang mengatur dirinya sendiri.⁷ Dari perspektif ini, harmoni ekologis bukan hanya kondisi fisik, melainkan ekspresi keseimbangan ontologis antara makhluk dan lingkungan yang menopangnya.

3.3.       Menolak Dualisme dan Antroposentrisme

Ontologi ekologi integral juga mengkritik secara mendasar warisan dualisme Cartesian yang memisahkan pikiran dari materi, manusia dari alam, dan budaya dari alamiah.⁸ Dalam pandangan ini, kesadaran ekologis hanya mungkin bila manusia meninggalkan ilusi superioritas ontologis dan menerima dirinya sebagai bagian dari jaringan kehidupan. Kesadaran ini bukan bentuk penurunan martabat manusia, melainkan pengakuan atas solidaritas ontologis yang mengikat semua entitas dalam satu tatanan kosmik.

Dengan demikian, prinsip antroposentris—yang menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran nilai segala sesuatu—ditransformasi menjadi antropos-partisipatif, yaitu pengakuan bahwa manusia memang memiliki peran istimewa, tetapi peran itu bersifat partisipatif dan bertanggung jawab dalam menjaga keselarasan kehidupan.⁹ Ini berarti etika ekologis harus berakar pada kesadaran ontologis bahwa eksistensi manusia tidak bisa dipisahkan dari eksistensi dunia alami.

3.4.       Ontologi Relasional dan Spiritualitas Kosmik

Dalam pandangan integral, realitas bersifat relasional dan transenden sekaligus imanen. Hal ini mengandung implikasi spiritual: kesucian tidak lagi dipahami secara dualistik sebagai sesuatu “di luar dunia”, melainkan dihayati dalam kehadiran yang imanen di seluruh ciptaan. Leonardo Boff menekankan bahwa bumi adalah “tempat teofani”—ruang penyingkapan ilahi melalui keberagaman kehidupan.¹⁰ Dengan demikian, setiap bentuk kehidupan memiliki makna spiritual yang inheren, karena merupakan ekspresi dari misteri kosmik yang sama.

Ontologi ekologi integral menggabungkan kesadaran metafisis dan ekologis: metafisika tentang keberadaan yang saling bergantung, dan ekologi sebagai praksis keberadaan yang saling menopang.¹¹ Paradigma ini membentuk dasar bagi etika ekologis yang lebih luas, di mana tindakan manusia terhadap alam bukan sekadar persoalan moral eksternal, tetapi ekspresi dari pengakuan atas kesatuan ontologis kehidupan.

3.5.       Keberadaan sebagai Relasi Etis

Akhirnya, ontologi integral menuntun pada pandangan bahwa menjadi berarti berelasi. Tidak ada entitas yang berdiri sendiri; eksistensi selalu merupakan keberadaan-bersama (being-with).¹² Dalam konteks ekologis, hal ini berarti bahwa moralitas manusia bukan sekadar urusan antarindividu, melainkan juga antarspesies dan antarunsur alam. Ontologi ini membentuk dasar bagi etika tanggung jawab ekologis, di mana keberlanjutan bukan hanya kewajiban moral, melainkan konsekuensi ontologis dari hakikat manusia sebagai makhluk relasional di tengah kosmos yang hidup.¹³


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 45–47.

[2]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.

[3]                Ibid., 52–54.

[4]                Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, corrected ed., ed. David R. Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 18–20.

[5]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 82.

[6]                Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 53–56.

[7]                James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 9–11.

[8]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 35–37.

[9]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 315–318.

[10]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 94–96.

[11]             Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 40–42.

[12]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–40.

[13]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 66.


4.           Epistemologi Ekologi Integral

Epistemologi ekologi integral berupaya menjembatani jurang yang selama ini memisahkan pengetahuan ilmiah, kesadaran moral, dan kebijaksanaan spiritual. Prinsip ini menolak reduksionisme epistemologis modern yang menganggap pengetahuan sebagai hasil pengamatan objektif yang bebas nilai. Dalam paradigma integral, pengetahuan dipahami sebagai proses partisipatif, di mana subjek dan objek saling membentuk dalam jaringan kehidupan yang sama.¹

Epistemologi ini bertolak dari kesadaran bahwa cara manusia mengetahui dunia turut menentukan cara manusia memperlakukan dunia.² Dengan kata lain, krisis ekologi bukan hanya akibat kesalahan tindakan, tetapi juga hasil dari cara mengetahui yang terpecah, yang menyingkirkan nilai, makna, dan relasi dari struktur pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologi ekologi integral mengusulkan suatu model pengetahuan yang holistik, dialogis, dan ekologis.

4.1.       Kritik terhadap Epistemologi Modern dan Reduksionisme Ilmiah

Sejak Revolusi Ilmiah, pengetahuan didominasi oleh paradigma mekanistik dan positivistik, sebagaimana dikembangkan oleh Francis Bacon, Galileo Galilei, dan René Descartes.³ Alam diperlakukan sebagai mesin raksasa yang dapat dipahami melalui analisis bagian-bagian terpisah, sementara manusia diposisikan sebagai pengamat eksternal yang netral. Paradigma ini menghasilkan kemajuan teknologi yang luar biasa, tetapi sekaligus melahirkan alienasi epistemologis—manusia kehilangan pengalaman keterhubungan eksistensial dengan dunia alami.⁴

Dalam pandangan integral, reduksionisme tersebut dianggap sebagai bentuk “epistemologi kekuasaan,” karena menjadikan pengetahuan sebagai alat dominasi atas alam.⁵ Vandana Shiva menyebutnya sebagai monoculture of the mind—cara berpikir yang seragam dan menyingkirkan pluralitas bentuk pengetahuan lokal dan spiritual.⁶ Sebagai gantinya, epistemologi integral mengusulkan ecology of knowledge yang mengakui keberagaman sumber kebenaran, baik dari sains, budaya, maupun kearifan ekosistem.⁷

4.2.       Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Realitas

Dalam kerangka ekologi integral, pengetahuan tidak bersifat oposisi antara subjek dan objek, melainkan relasi partisipatif.⁸ Subjek tidak berdiri di luar dunia yang diketahui, tetapi terlibat di dalamnya secara ontologis. Proses mengetahui berarti ikut mengalami keberadaan dunia, bukan sekadar mendeskripsikannya secara netral.⁹ Dengan demikian, epistemologi ini dekat dengan fenomenologi Husserlian dan hermeneutika ekologis yang melihat dunia sebagai medan makna yang dialami secara hidup, bukan objek observasi yang mati.¹⁰

Pendekatan ini juga menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak bisa dilepaskan dari empati ekologis, yaitu kemampuan untuk merasakan keterhubungan dengan makhluk lain.¹¹ Dalam konteks ini, knowing menjadi bentuk being-with, yakni keberadaan yang menyadari dirinya sebagai bagian dari jaringan kosmik.¹² Dengan kata lain, epistemologi integral menggantikan paradigma penguasaan dengan paradigma persekutuan.

4.3.       Sintesis antara Sains, Etika, dan Spiritualitas

Epistemologi ekologi integral bukanlah penolakan terhadap sains, melainkan usaha rekonsiliasi antara sains dan nilai. Paradigma ilmiah baru—terutama fisika kuantum dan biologi sistemik—telah menunjukkan bahwa realitas bersifat saling terkait dan tak dapat direduksi pada hubungan sebab-akibat linear.¹³ Hal ini mendukung pandangan bahwa pengetahuan ilmiah harus diiringi oleh kesadaran etis dan spiritual.

Fritjof Capra menekankan bahwa sains modern sedang bergerak menuju paradigma sistemik yang memandang alam sebagai jaringan kehidupan, bukan mesin.¹⁴ Sementara Thomas Berry dan Brian Swimme menegaskan pentingnya cosmological story, yaitu narasi ilmiah tentang alam semesta yang menghidupkan kembali rasa kekaguman dan kesakralan terhadap kosmos.¹⁵ Epistemologi integral mengajak manusia untuk mengintegrasikan logos (rasio ilmiah) dengan mythos (makna simbolik dan spiritual), karena keduanya sama-sama penting dalam memahami realitas yang hidup.

4.4.       Peran Pengetahuan Lokal dan Kearifan Ekologis

Dalam konteks sosial-budaya, epistemologi integral juga mengakui nilai pengetahuan lokal dan tradisi spiritual sebagai sumber kebijaksanaan ekologis.¹⁶ Banyak masyarakat adat memiliki pandangan dunia yang intrinsik holistik—mereka memahami alam bukan sebagai sumber daya, tetapi sebagai komunitas kehidupan yang sakral.¹⁷ Misalnya, dalam tradisi Nusantara dikenal prinsip memayu hayuning bawana (memelihara harmoni alam semesta), yang mencerminkan kesadaran ekologis integral yang telah hidup jauh sebelum modernitas.¹⁸

Pengakuan terhadap pluralitas epistemik ini menantang dominasi pengetahuan Barat dan membuka ruang bagi epistemologi dialogis yang menghargai keberagaman perspektif.¹⁹ Dalam hal ini, pengetahuan menjadi praktik etis yang inklusif dan partisipatif, bukan sekadar sistem representasi yang netral.²⁰

4.5.       Menuju Kesadaran Ekologis Integral

Epistemologi integral akhirnya berujung pada transformasi kesadaran. Mengetahui berarti menyadari keterlibatan kita dalam jaring kehidupan.²¹ Pengetahuan sejati tidak berhenti pada pemahaman intelektual, tetapi berbuah pada sikap hormat dan tanggung jawab terhadap bumi.²² Dalam kerangka ini, epistemologi integral menjadi landasan bagi aksiologi ekologis: mengetahui dan bertindak adalah dua sisi dari satu kesadaran ekologis.²³

Dengan demikian, epistemologi ekologi integral bukan hanya kerangka teori pengetahuan, melainkan cara keberadaan (mode of being) yang mengakui relasi antara pikiran, nilai, dan kehidupan. Ia memulihkan dimensi spiritual dalam epistemologi dan menjadikan pengetahuan sebagai bentuk partisipasi aktif dalam misteri kosmos yang hidup.²⁴


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 49–52.

[2]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–303.

[3]                Francis Bacon, Novum Organum (Oxford: Clarendon Press, 1857), 67–70.

[4]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 41–43.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 81.

[6]                Vandana Shiva, Monocultures of the Mind: Perspectives on Biodiversity and Biotechnology (London: Zed Books, 1993), 11–13.

[7]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 21–24.

[8]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 365–367.

[9]                David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-Than-Human World (New York: Pantheon, 1996), 54–56.

[10]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 45–47.

[11]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 18–20.

[12]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 52–54.

[13]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 70–72.

[14]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 62–65.

[15]             Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 89–91.

[16]             Enrique Leff, Environmental Rationality: Towards a New Modernity (London: Palgrave Macmillan, 2015), 33–35.

[17]             Darrell A. Posey, Cultural and Spiritual Values of Biodiversity (Nairobi: UNEP, 1999), 40–43.

[18]             A. Supomo, Wayang and Ecology: Traditional Wisdom of Java (Jakarta: LIPI Press, 2004), 12–13.

[19]             Boaventura de Sousa Santos, The End of the Cognitive Empire: The Coming of Age of Epistemologies of the South (Durham: Duke University Press, 2018), 57–59.

[20]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 99–101.

[21]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 28–31.

[22]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 11.

[23]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 174–176.

[24]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 84–86.


5.           Aksiologi dan Prinsip Moral Ekologi Integral

Aksiologi ekologi integral menegaskan bahwa nilai moral tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga oleh seluruh ciptaan. Paradigma ini menggeser etika dari antroposentrisme menuju ekosentrisme dan kosmosentrisme, di mana setiap bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik yang patut dihormati.¹ Prinsip ini menolak pandangan instrumental yang mengukur nilai hanya berdasarkan manfaat bagi manusia, dan menggantikannya dengan pengakuan bahwa alam memiliki martabat ontologis dan moralnya sendiri.² Dengan demikian, etika ekologis bukan hanya tentang bagaimana manusia menggunakan alam, tetapi tentang bagaimana manusia hidup bersama alam secara adil dan harmonis.

5.1.       Nilai Intrinsik Kehidupan

Dalam paradigma modern, alam sering dipahami sebagai objek ekonomi yang bernilai sejauh berguna bagi kepentingan manusia. Namun, ekologi integral menolak pandangan utilitarian ini dengan menegaskan bahwa setiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik—nilai yang melekat pada keberadaannya sendiri, terlepas dari kepentingan manusia.³ Aldo Leopold dalam Land Ethic menulis bahwa “sesuatu dianggap benar bila ia cenderung memelihara integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik.”⁴ Pernyataan ini menjadi dasar moralitas ekologis yang menilai tindakan bukan dari hasil ekonominya, melainkan dari kontribusinya terhadap keseimbangan ekosistem.

Nilai intrinsik juga berarti bahwa manusia tidak memiliki hak absolut untuk mengeksploitasi makhluk hidup lain. Arne Naess menegaskan bahwa semua spesies memiliki “hak untuk hidup dan berkembang” (right to blossom) secara setara dalam jaringan kehidupan.⁵ Pengakuan ini melahirkan prinsip moral bahwa setiap tindakan manusia harus mempertimbangkan konsekuensinya terhadap keseluruhan komunitas ekologis.⁶

5.2.       Tanggung Jawab Ekologis dan Solidaritas Antargenerasi

Aksiologi ekologi integral berpijak pada prinsip tanggung jawab ekologis, yaitu kesadaran bahwa manusia sebagai makhluk berakal memiliki peran moral untuk menjaga keberlanjutan kehidupan di bumi.⁷ Tanggung jawab ini bersifat transgenerasional, karena kerusakan lingkungan masa kini akan diwariskan kepada generasi mendatang. Seperti ditegaskan oleh Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility, etika modern harus diperluas menjadi etika masa depan—etika yang memperhitungkan akibat tindakan manusia terhadap eksistensi kehidupan yang akan datang.⁸

Dalam konteks ini, ekologi integral menekankan solidaritas ekologis—rasa kebersamaan etis antara manusia, sesama makhluk hidup, dan bumi sebagai rumah bersama (common home).⁹ Solidaritas ini menuntut keadilan ekologis: setiap tindakan ekonomi, politik, atau sosial harus memastikan bahwa kebutuhan manusia tidak melampaui kapasitas regeneratif alam.¹⁰ Prinsip ini sejalan dengan ajaran Laudato Si’, yang menegaskan bahwa “tidak ada dua krisis terpisah, yaitu krisis lingkungan dan krisis sosial, melainkan satu krisis kompleks yang bersifat integral.”¹¹

5.3.       Keadilan Ekologis dan Martabat Kosmik

Keadilan ekologis adalah perwujudan konkret dari aksiologi integral. Ia menuntut pengakuan terhadap hak-hak alam, sebagaimana diartikulasikan dalam gerakan Earth Jurisprudence dan Rights of Nature.¹² Prinsip ini memandang bumi bukan sekadar objek hukum, tetapi sebagai subjek moral dan bahkan subjek hukum yang memiliki hak untuk eksis dan beregenerasi.¹³

Dalam perspektif Thomas Berry, keadilan ekologis bukan hanya perihal distribusi sumber daya, melainkan bentuk penghormatan terhadap martabat kosmik—bahwa setiap unsur ciptaan mengandung nilai sakral.¹⁴ Oleh karena itu, penghancuran ekosistem sama dengan menodai dimensi spiritual dunia. Aksiologi integral, dengan demikian, menolak eksploitasi dan konsumerisme yang mengabaikan keseimbangan kosmos, dan menggantikannya dengan etika keutuhan ciptaan (ethics of wholeness).¹⁵

5.4.       Spiritualitas Ekologis sebagai Landasan Nilai

Dimensi spiritual merupakan aspek tak terpisahkan dari aksiologi ekologi integral. Leonardo Boff menyebut spiritualitas ekologis sebagai “perjalanan batin menuju kesadaran bahwa kita adalah bagian dari tubuh bumi yang hidup.”¹⁶ Nilai tertinggi dalam paradigma ini bukan kekuasaan atau kepemilikan, melainkan kesadaran akan keterhubungan (connectedness) dengan seluruh ciptaan. Spiritualitas ini menumbuhkan rasa hormat yang mendalam terhadap bumi, sekaligus menggerakkan tindakan etis untuk melindunginya.¹⁷

Spiritualitas ekologis juga menanamkan sikap kesederhanaan etis (ethical simplicity), yakni kesadaran bahwa kebahagiaan manusia tidak ditentukan oleh konsumsi berlebih, melainkan oleh harmoni dengan lingkungan.¹⁸ Sikap ini menegaskan kembali nilai-nilai dasar seperti kasih, empati, dan tanggung jawab sebagai bentuk konkret kebajikan ekologis (ecological virtues).¹⁹

5.5.       Prinsip Moral Ekologi Integral

Aksiologi ini melahirkan sejumlah prinsip moral utama yang menjadi fondasi etika ekologis integral:

1)                  Prinsip Keutuhan (Integrity Principle): setiap tindakan harus menjaga keseimbangan dan keutuhan sistem kehidupan.²⁰

2)                  Prinsip Relasionalitas (Relational Principle): nilai moral timbul dari relasi yang saling menopang antar entitas ekologis.²¹

3)                  Prinsip Keberlanjutan (Sustainability Principle): kebutuhan generasi sekarang tidak boleh mengorbankan kapasitas hidup generasi mendatang.²²

4)                  Prinsip Sakralitas Alam (Sacredness of Nature): alam adalah manifestasi nilai spiritual yang harus dihormati dan dirawat.²³

Prinsip-prinsip ini membentuk kerangka moral yang menuntun manusia untuk bertindak tidak sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga kehidupan (steward of life).²⁴ Dengan demikian, aksiologi ekologi integral mengintegrasikan nilai-nilai ontologis, moral, dan spiritual ke dalam etika lingkungan yang menyeluruh—sebuah paradigma moral baru untuk peradaban yang berkeadilan ekologis.


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 62–65.

[2]                Fritjof Capra, The Hidden Connections: Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life into a Science of Sustainability (New York: Anchor Books, 2002), 78–81.

[3]                Bryan Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 32–34.

[4]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[5]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 170.

[6]                Ibid., 176–177.

[7]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1992), 92–95.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[9]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 98–100.

[10]             Bryan Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 41–43.

[11]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 139.

[12]             Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice (Cape Town: Siber Ink, 2002), 54–57.

[13]             Polly Higgins, Eradicating Ecocide: Laws and Governance to Prevent the Destruction of Our Planet (London: Shepheard-Walwyn, 2010), 23–25.

[14]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 83–85.

[15]             Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 201–203.

[16]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll: Orbis Books, 1995), 122–124.

[17]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 40–42.

[18]             E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (London: Blond & Briggs, 1973), 57–59.

[19]             Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 217–220.

[20]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac, 225.

[21]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 311–314.

[22]             United Nations, Our Common Future (New York: Oxford University Press, 1987), 43.

[23]             Thomas Berry, The Great Work, 90–91.

[24]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 67.


6.           Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Politik Ekologi Integral

Prinsip ekologi integral menolak memandang krisis lingkungan sebagai masalah yang berdiri sendiri. Ia melihatnya sebagai krisis sistemik yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik.¹ Dengan kata lain, kehancuran alam tidak dapat dipisahkan dari struktur ketidakadilan sosial, pola ekonomi eksploitatif, dan kebijakan politik yang mengabaikan keberlanjutan ekologis. Prinsip ini mengandaikan bahwa penyembuhan bumi menuntut transformasi struktur sosial dan perubahan paradigma pembangunan menuju sistem yang lebih adil dan ekologis.²

6.1.       Ekologi Sosial: Relasi antara Manusia, Alam, dan Keadilan

Dalam konteks sosial, ekologi integral berpijak pada gagasan bahwa kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial merupakan dua sisi dari satu krisis moral yang samaMurray Bookchin, pelopor teori ekologi sosial, menegaskan bahwa eksploitasi terhadap alam berakar pada bentuk-bentuk dominasi manusia atas manusia lain.⁴ Struktur sosial yang hierarkis, patriarkal, dan kapitalistik menciptakan budaya penindasan yang kemudian diperluas terhadap alam.⁵

Dengan demikian, penyelesaian krisis ekologis tidak cukup hanya dengan reformasi teknologi atau konservasi sumber daya, tetapi menuntut rekonstruksi sosial yang egaliter dan partisipatif.⁶ Ekologi integral memandang keadilan sosial sebagai syarat mutlak bagi keadilan ekologis, sebab tanpa redistribusi kekuasaan dan sumber daya, masyarakat miskin akan terus menjadi korban utama degradasi lingkungan.⁷

Dalam perspektif ini, ekologi integral bersinggungan dengan etika pembebasan, sebagaimana dikembangkan oleh Leonardo Boff dan Gustavo Gutiérrez, yang menegaskan bahwa solidaritas dengan kaum miskin tidak terpisah dari tanggung jawab terhadap bumi.⁸ Etika ekologis menjadi etika sosial yang konkret: membela alam berarti membela kehidupan manusia, terutama yang tertindas.

6.2.       Ekonomi Ekologis dan Kritik terhadap Kapitalisme Eksploitatif

Dimensi ekonomi ekologi integral menuntut pembalikan logika ekonomi arus utama yang berlandaskan pertumbuhan tanpa batas (unlimited growth).⁹ Sistem ekonomi global saat ini beroperasi atas dasar eksploitasi sumber daya alam dan konsumsi berlebihan, yang tidak sejalan dengan hukum ekologi alam yang menuntut keseimbangan dan regenerasi.¹⁰

E. F. Schumacher dalam Small Is Beautiful menegaskan bahwa ekonomi harus diukur bukan dari seberapa besar produksi, tetapi dari kualitas kehidupan dan keberlanjutan ekosistem.¹¹ Prinsip ini melahirkan konsep economy of enough—ekonomi yang memprioritaskan kecukupan, bukan akumulasi.¹² Amartya Sen dan Martha Nussbaum juga mengembangkan capability approach, yang menilai pembangunan berdasarkan kemampuan manusia untuk hidup bermartabat, bukan semata peningkatan PDB.¹³

Ekonomi ekologis yang integral menuntut transformasi paradigma pembangunan: dari model ekstraktif menuju model regeneratif.¹⁴ Kate Raworth, melalui konsep doughnut economics, mengajukan kerangka ekonomi yang beroperasi di antara dua batas: kesejahteraan manusia dan batas ekologis bumi.¹⁵ Prinsip ini sejalan dengan ajaran Laudato Si’, yang mengingatkan bahwa “ekonomi tidak dapat dipahami terpisah dari etika ekologis.”¹⁶

Dengan demikian, ekologi integral mendorong ekonomi yang berbasis pada keadilan distributif, produksi berkelanjutan, dan solidaritas ekologis global—sebuah model ekonomi yang berakar pada moralitas kehidupan, bukan pada profit.¹⁷

6.3.       Politik Ekologis dan Tanggung Jawab Global

Pada dimensi politik, ekologi integral menegaskan perlunya pemerintahan ekologis (ecological governance) yang berpihak pada kehidupan.¹⁸ Krisis iklim, deforestasi, dan polusi global adalah persoalan lintas batas yang menuntut solidaritas politik antarbangsa.¹⁹ Namun, politik global saat ini masih didominasi oleh paradigma nasionalistik dan ekonomi pasar bebas yang sering kali bertentangan dengan nilai ekologis.²⁰

Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menyerukan terbentuknya “politik ekologis baru”—politik yang didorong oleh kasih, tanggung jawab, dan kesadaran moral terhadap bumi.²¹ Politik semacam ini menuntut reorientasi kekuasaan dari logika dominasi menjadi logika pelayanan, di mana pemimpin dilihat bukan sebagai penguasa atas sumber daya, tetapi sebagai penjaga keberlanjutan ekosistem.²²

Ekologi integral juga menekankan demokrasi ekologis, yakni partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan.²³ Demokrasi ini mencakup pengakuan terhadap pengetahuan lokal dan hak komunitas adat dalam mengelola sumber daya alam.²⁴ Sebagaimana ditunjukkan oleh Boaventura de Sousa Santos, pluralitas epistemik dan kedaulatan komunitas lokal merupakan elemen penting dari keadilan ekologi global.²⁵

Dengan demikian, politik ekologis integral bukan hanya upaya teknokratik, melainkan gerakan moral dan spiritual yang menghubungkan hak asasi manusia dengan hak bumi.²⁶ Ia mengubah politik dari arena kekuasaan menjadi arena tanggung jawab terhadap kehidupan bersama.

6.4.       Pendidikan dan Kebudayaan Ekologis

Dimensi sosial-politik ekologi integral juga mencakup bidang pendidikan dan kebudayaan. Krisis lingkungan berakar pada krisis kesadaran, yang hanya dapat diatasi melalui pendidikan ekologis integral.²⁷ Pendidikan ini bukan hanya transfer pengetahuan tentang lingkungan, tetapi pembentukan kesadaran moral dan spiritual tentang keterhubungan eksistensial manusia dengan bumi.²⁸

David Orr menegaskan bahwa pendidikan ekologis harus memupuk “ecological literacy,” yakni kemampuan untuk berpikir dan bertindak dalam kerangka sistem kehidupan.²⁹ Selain itu, budaya konsumtif modern perlu digantikan oleh budaya kesederhanaan dan tanggung jawab ekologis.³⁰ Kebudayaan dalam kerangka integral bukan sekadar hasil kreativitas manusia, tetapi juga sarana partisipasi manusia dalam memperkaya kehidupan planet ini.

6.5.       Menuju Tata Dunia Ekologis dan Humanistik

Dimensi sosial, ekonomi, dan politik ekologi integral berpuncak pada cita-cita pembentukan tata dunia ekologis dan humanistik.³¹ Dunia yang demikian bukan hanya mengutamakan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga keadilan sosial, kesejahteraan universal, dan kedamaian kosmik.³² Dalam tata dunia ini, politik, ekonomi, dan budaya bekerja bersama untuk melayani kehidupan, bukan menguasainya.

Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Berry, tugas besar umat manusia di era modern adalah “The Great Work”—yakni transisi dari peradaban yang destruktif menjadi peradaban ekologis.³³ Ekologi integral menyediakan dasar filosofis dan moral bagi transformasi ini: dunia yang berkeadilan ekologis hanya mungkin jika manusia menata kembali relasinya dengan alam dan sesama dalam semangat solidaritas kosmik.³⁴


Footnotes

[1]                Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 139.

[2]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 3–5.

[3]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 87–89.

[4]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 24–26.

[5]                Ibid., 51–53.

[6]                Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 141–144.

[7]                Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective (New York: Springer, 2015), 23–25.

[8]                Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1973), 179–181; Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll: Orbis Books, 1995), 127–130.

[9]                E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (London: Blond & Briggs, 1973), 54–56.

[10]             Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles and Applications (Washington, DC: Island Press, 2004), 7–9.

[11]             Schumacher, Small Is Beautiful, 68.

[12]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–38.

[13]             Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 25–27.

[14]             Fritjof Capra and Hazel Henderson, Qualitative Growth: From the Wealth of Nations to the Wealth of Life (Cambridge: Schumacher Center, 2009), 12–14.

[15]             Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 33–35.

[16]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 109.

[17]             Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 45–47.

[18]             Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 19–21.

[19]             Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009), 12–13.

[20]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 87–90.

[21]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 164.

[22]             Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World (Maryknoll: Orbis Books, 2010), 76–78.

[23]             David Held, Democracy and the Global Order (Cambridge: Polity Press, 1995), 214–216.

[24]             Darrell A. Posey, Cultural and Spiritual Values of Biodiversity (Nairobi: UNEP, 1999), 41–43.

[25]             Boaventura de Sousa Santos, The End of the Cognitive Empire: The Coming of Age of Epistemologies of the South (Durham: Duke University Press, 2018), 59–61.

[26]             Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 243–245.

[27]             David W. Orr, Ecological Literacy: Education and the Transition to a Postmodern World (Albany: State University of New York Press, 1992), 83–86.

[28]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 209–211.

[29]             Orr, Ecological Literacy, 89.

[30]             E. F. Schumacher, Good Work (New York: Harper & Row, 1979), 12–14.

[31]             Thomas Berry, The Great Work, 89–91.

[32]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 143–145.

[33]             Berry, The Great Work, 3.

[34]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 174–176.


7.           Kritik terhadap Prinsip Ekologi Integral

Prinsip ekologi integral, meskipun menawarkan kerangka etika yang holistik dan spiritual, tidak luput dari berbagai kritik filosofis, teologis, dan praktis. Kritik-kritik ini muncul dari beragam disiplin—mulai dari filsafat lingkungan, teologi politik, hingga teori sosial—yang menyoroti baik kekuatan maupun keterbatasannya. Secara umum, perdebatan ini berkisar pada empat ranah utama: (1) kritik terhadap idealisme moralnya, (2) persoalan implementasi sosial-ekonomi, (3) tuduhan teosentrisme dan moralistik, serta (4) ketegangan antara universalitas dan partikularitas dalam penerapan etika ekologis integral.¹

7.1.       Kritik terhadap Idealisme Moral

Kritik pertama datang dari kalangan filsafat pragmatis dan realisme politik, yang menilai bahwa ekologi integral terlalu normatif dan utopis.² Prinsip ini menekankan kesatuan moral antara manusia, alam, dan Tuhan, namun sering kali kurang mempertimbangkan realitas konflik kepentingan dan struktur ekonomi global yang kompleks.³ Menurut Andrew Dobson, idealisme etika ekologis sering kali gagal menjawab pertanyaan “bagaimana” implementasi keadilan ekologis dapat diwujudkan dalam konteks politik kapitalistik yang mendominasi dunia.⁴

Selain itu, beberapa pemikir seperti Luc Ferry dan John Passmore menilai bahwa ekologi integral mengandung bahaya romantisasi alam, seolah-olah alam memiliki moralitas dan kesadaran sendiri.⁵ Mereka berargumen bahwa moralitas tetap merupakan konstruksi rasional manusia, bukan atribut yang melekat pada alam.⁶ Dengan demikian, mereka mempertanyakan validitas filosofis dari klaim bahwa alam memiliki “nilai intrinsik” secara ontologis.

7.2.       Kritik terhadap Aplikasi Sosial dan Ekonomi

Kritik kedua diarahkan pada aspek implementatif. Meskipun ekologi integral menekankan keadilan sosial dan keberlanjutan, banyak pihak menilai bahwa prinsip ini sulit diterapkan dalam sistem ekonomi global yang bergantung pada pertumbuhan dan konsumsi massal.⁷ Ulrich Beck menegaskan bahwa kapitalisme ekologis—yang mencoba menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan—sering kali hanya menghasilkan “modernisasi ekologis semu.”⁸

Bahkan, beberapa ekonom ekologis seperti Herman Daly menyoroti paradoks bahwa wacana “ekonomi hijau” sering kali menjadi legitimasi baru bagi korporasi untuk tetap mempertahankan orientasi profit, dengan hanya mengganti citra menjadi lebih “berkelanjutan.”⁹ Di sisi lain, penerapan prinsip ekologi integral memerlukan perubahan struktural besar-besaran dalam sistem produksi dan konsumsi, yang sering kali berhadapan dengan resistensi politik dan ekonomi.¹⁰

7.3.       Kritik terhadap Teosentrisme dan Moralistik Ekologis

Kritik ketiga muncul dari kalangan sekuler dan posthumanist, yang menilai bahwa ekologi integral—terutama dalam versi teologisnya, seperti yang dikembangkan oleh Paus Fransiskus dan Leonardo Boff—masih terjebak dalam teosentrisme moralistik.¹¹ Dalam pandangan ini, alam dianggap sebagai refleksi keilahian, sehingga hubungan manusia dengan lingkungan ditentukan oleh moralitas religius.¹²

Bruno Latour, dalam karyanya Facing Gaia, mengkritik pandangan semacam itu karena dianggap “mengembalikan alam ke dalam tatanan moral teologis,” padahal yang dibutuhkan adalah paradigma politik baru yang menempatkan manusia dan non-manusia dalam kesetaraan eksistensial.¹³ Sementara itu, Donna Haraway melalui konsep Chthulucene menolak moralitas universal yang bersumber dari spiritualitas tertentu dan lebih menekankan praktik keterhubungan dan tanggung jawab situasional antara spesies.¹⁴

Selain itu, beberapa kritikus menilai bahwa ekologi integral berpotensi menyederhanakan kompleksitas pluralisme nilai, dengan mengklaim bahwa semua masalah etis dapat diselesaikan melalui kesadaran spiritual yang menyatukan.¹⁵ Padahal, realitas sosial dan budaya yang beragam menuntut pendekatan etika yang kontekstual dan tidak homogen.

7.4.       Ketegangan antara Universalitas dan Partikularitas

Kritik lain menyoroti ketegangan epistemologis antara universalitas prinsip moral ekologi integral dengan keberagaman lokalitas ekologis.¹⁶ Meskipun ekologi integral berpretensi bersifat universal, ia sering kali bersumber dari kerangka pemikiran Barat—terutama teologi Katolik dan sains sistemik modern.¹⁷ Hal ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana prinsip integral mampu mengakomodasi pluralitas epistemik dan kosmologi masyarakat adat yang memiliki pandangan ekologis tersendiri?

Boaventura de Sousa Santos menekankan bahwa etika ekologis global tidak boleh menjadi bentuk baru dari kolonialisme epistemik, tetapi harus menghormati ecologies of knowledges, yaitu keberagaman cara mengetahui yang dimiliki komunitas di seluruh dunia.¹⁸ Dalam konteks ini, ekologi integral perlu direvisi agar tidak jatuh pada universalitas hegemonik, melainkan membuka ruang bagi dialog lintas budaya dan spiritualitas.¹⁹

7.5.       Kritik Poststruktural dan Ekofeminis

Selain itu, kalangan ekofeminis dan poststrukturalis menilai bahwa ekologi integral masih menyimpan jejak patriarkalisme dalam bahasa dan struktur pemikirannya.²⁰ Val Plumwood berargumen bahwa meskipun ekologi integral menolak antroposentrisme, ia kadang gagal mengatasi dikotomi dasar seperti laki-laki/ perempuan, rasional/ emosional, budaya/alam, yang menjadi akar dominasi ekologis.²¹

Bagi Karen Warren, etika ekologis yang sejati harus berangkat dari prinsip care ethics—yakni relasi empatik dan kontekstual, bukan norma universal yang abstrak.²² Kritik ini menegaskan perlunya dimensi gender dan afektif dalam ekologi integral, agar tidak sekadar berbicara tentang kesatuan kosmik, tetapi juga tentang relasi konkret yang menumbuhkan keadilan dan kepedulian.²³

7.6.       Evaluasi Kritis dan Peluang Pengembangan

Meskipun demikian, kritik-kritik tersebut tidak serta-merta meniadakan relevansi ekologi integral, melainkan memperkaya dan memperdalamnya. Kritik pragmatis mengingatkan perlunya pendekatan transformatif yang realistis, kritik posthumanis menegaskan kesetaraan ontologis antarspesies, dan kritik ekofeminis menyoroti pentingnya dimensi afektif dan empatik dalam moralitas ekologis.²⁴

Dengan demikian, ekologi integral tetap relevan sejauh ia terbuka terhadap refleksi kritis dan dialog lintas paradigma.²⁵ Prinsip integral harus terus berkembang dari model normatif menjadi praktik etika yang dinamis, yang mampu merangkul pluralitas budaya, epistemologi, dan spiritualitas dalam membangun tatanan ekologis yang adil dan manusiawi.²⁶


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 172–174.

[2]                John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 114–116.

[3]                Bryan Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 92–95.

[4]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 84–86.

[5]                Luc Ferry, The New Ecological Order, trans. Carol Volk (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 36–38.

[6]                John Passmore, Man’s Responsibility for Nature: Ecological Problems and Western Traditions (London: Duckworth, 1974), 101–104.

[7]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 62–65.

[8]                Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage, 1992), 13–15.

[9]                Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 11–13.

[10]             Fritjof Capra and Hazel Henderson, Qualitative Growth: From the Wealth of Nations to the Wealth of Life (Cambridge: Schumacher Center, 2009), 28–30.

[11]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 122–124.

[12]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 83–84.

[13]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 91–93.

[14]             Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 31–33.

[15]             Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 102–104.

[16]             Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective (New York: Springer, 2015), 75–77.

[17]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 220.

[18]             Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 23–26.

[19]             Arturo Escobar, Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham: Duke University Press, 2018), 15–17.

[20]             Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press, 2000), 69–72.

[21]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 41–43.

[22]             Warren, Ecofeminist Philosophy, 87–89.

[23]             Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 294–296.

[24]             Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 125–127.

[25]             Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 202–204.

[26]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 92–94.


8.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks abad ke-21 yang ditandai oleh krisis iklim global, ketimpangan sosial, dan percepatan teknologi, prinsip ekologi integral memperoleh relevansi yang semakin mendesak. Ia tidak hanya menawarkan pandangan moral terhadap lingkungan, tetapi juga menyediakan kerangka etis-filosofis untuk menata kembali relasi antara manusia, masyarakat, dan bumi.¹ Prinsip ini menjadi alternatif paradigmatik terhadap model pembangunan modern yang eksploitatif dan reduksionis, sekaligus membuka jalan bagi kesadaran ekologis yang holistik dan humanistik.

8.1.       Ekologi Integral dan Krisis Iklim Global

Krisis iklim merupakan fenomena paling nyata dari disintegrasi relasi manusia dengan alam. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa peningkatan suhu global, pencairan es kutub, dan intensifikasi bencana alam adalah akibat langsung dari aktivitas manusia yang tidak terkendali.² Dalam situasi ini, ekologi integral menghadirkan pendekatan etis yang melihat krisis iklim bukan semata persoalan teknis, tetapi krisis spiritual dan moralitas global

Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menegaskan bahwa “tidak ada dua krisis terpisah—sosial dan lingkungan—melainkan satu krisis kompleks yang bersifat integral.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa akar persoalan ekologis adalah kehilangan rasa keterhubungan manusia dengan bumi. Oleh karena itu, solusi atas krisis iklim menuntut konversi ekologis (ecological conversion): perubahan paradigma kesadaran manusia dari dominasi menjadi partisipasi, dari eksploitasi menuju tanggung jawab.⁵

Selain itu, ekologi integral menolak pendekatan technocratic paradigm yang hanya menekankan inovasi teknologi tanpa perubahan etika dan gaya hidup.⁶ Teknologi harus diletakkan dalam bingkai moral dan spiritualitas ekologis, agar tidak menjadi instrumen baru dari dominasi atas alam.

8.2.       Relevansi terhadap Etika Sosial dan Keadilan Lingkungan

Krisis ekologis tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial.⁷ Komunitas miskin dan masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan terhadap bencana ekologis meskipun kontribusi mereka terhadap emisi karbon sangat kecil.⁸ Prinsip ekologi integral, dengan penekanannya pada keadilan ekologis dan solidaritas antargenerasi, menjadi dasar bagi etika sosial kontemporer yang lebih inklusif dan berkeadilan.⁹

Dalam kerangka ini, ecological justice tidak hanya berarti perlindungan lingkungan, tetapi juga pengakuan atas hak-hak ekologis manusia dan non-manusia.¹⁰ Hal ini tercermin dalam berbagai inisiatif global seperti The Earth Charter (2000), yang menegaskan kesatuan spiritual dan etis umat manusia dengan biosfer.¹¹ Dengan demikian, ekologi integral memperluas cakrawala keadilan: dari keadilan manusiawi menuju keadilan kosmik.¹²

Lebih jauh, gagasan ini juga beresonansi dengan teori ekofeminisme, yang menyoroti keterkaitan antara dominasi patriarki terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap alam.¹³ Ekologi integral, dengan semangat relasionalitasnya, menyediakan landasan untuk membangun tatanan sosial yang menolak hierarki dan kekerasan ekologis.

8.3.       Ekologi Integral dalam Era Teknologi dan Antroposen

Kehadiran teknologi digital, kecerdasan buatan, dan bioteknologi memperluas jangkauan kuasa manusia atas alam. Di satu sisi, kemajuan ini membuka peluang baru bagi konservasi, efisiensi energi, dan mitigasi bencana; tetapi di sisi lain, ia juga menghadirkan bentuk baru alienasi ekologis.¹⁴ Dalam era yang disebut Antroposen—masa di mana manusia menjadi kekuatan geologis yang menentukan arah bumi—ekologi integral menjadi koreksi terhadap hybris manusia modern.¹⁵

Epistemologi modern yang memisahkan manusia dari dunia kini mencapai puncaknya dalam datafication dan technological abstraction—yakni realitas yang direduksi menjadi angka dan sistem digital.¹⁶ Dalam situasi ini, ekologi integral mengingatkan bahwa pengetahuan tanpa kebijaksanaan ekologis akan melahirkan teknologi tanpa moralitas.¹⁷ Karena itu, dibutuhkan paradigma techno-ethics yang berakar pada kesadaran ekologis integral: teknologi sebagai alat partisipasi dalam kehidupan, bukan dominasi terhadapnya.¹⁸

8.4.       Ekologi Integral dalam Pendidikan dan Kebudayaan

Relevansi lain dari ekologi integral terletak pada peran pendidikan dan kebudayaan ekologis dalam membentuk kesadaran baru manusia modern. Pendidikan konvensional yang menekankan rasionalitas instrumental telah gagal menumbuhkan rasa hormat terhadap bumi.¹⁹ Karena itu, dibutuhkan model pendidikan integral yang menyatukan pengetahuan ilmiah, moralitas, dan spiritualitas ekologis.²⁰

David Orr menyebut konsep ini sebagai ecological literacy—kemampuan memahami sistem kehidupan dan berperilaku sesuai dengan hukum-hukum alam.²¹ Pendidikan ekologis integral bertujuan membentuk manusia yang ecologically competent, yakni mampu berpikir sistemik, bertindak berkelanjutan, dan hidup sederhana.²²

Selain pendidikan, dimensi kebudayaan juga memegang peran penting. Kesenian, ritus, dan narasi budaya dapat menjadi sarana untuk memulihkan imajinasi ekologis manusia.²³ Tradisi-tradisi lokal seperti falsafah Tri Hita Karana di Bali atau memayu hayuning bawana di Jawa adalah contoh kearifan integral yang dapat dijadikan landasan etika ekologis kontemporer.²⁴

8.5.       Politik Global dan Etika Antarbangsa

Dalam tataran politik global, prinsip ekologi integral mendukung munculnya konsep tata kelola ekologis dunia (global ecological governance) yang menempatkan bumi sebagai rumah bersama (common home).²⁵ Prinsip ini mendorong terbentuknya sistem hukum internasional yang mengakui hak-hak bumi (rights of nature), sebagaimana diadopsi oleh Ekuador dan Bolivia dalam konstitusi mereka.²⁶

Ekologi integral juga berperan sebagai landasan moral bagi kerja sama internasional menghadapi krisis iklim, seperti Paris Agreement (2015).²⁷ Dalam pandangan ini, diplomasi bukan hanya persoalan kepentingan nasional, tetapi ekspresi tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan planet.²⁸ Dengan demikian, ekologi integral menghadirkan etos politik kosmopolitan, di mana solidaritas manusia lintas negara dan generasi menjadi prinsip moral tertinggi.²⁹

8.6.       Spiritualitas Bumi dan Harapan Kosmik

Akhirnya, relevansi terdalam dari ekologi integral terletak pada pembaharuan spiritualitas bumi.³⁰ Di tengah nihilisme ekologis dan disorientasi moral modern, prinsip ini menegaskan kembali sakralitas kehidupan.³¹ Seperti dinyatakan oleh Thomas Berry, “masa depan umat manusia bergantung pada kemampuan kita untuk menemukan kembali bumi sebagai komunitas spiritual.”³²

Spiritualitas ekologis bukan pelarian religius, tetapi bentuk kesadaran imanen bahwa kehidupan adalah anugerah yang saling menopang.³³ Dalam kesadaran ini, manusia tidak lagi melihat dirinya sebagai penguasa atau pengamat dunia, tetapi sebagai anggota komunitas kosmik yang bertanggung jawab atas kelangsungan seluruh ciptaan.³⁴ Dengan demikian, ekologi integral menjadi jalan menuju metanoia ekologis—perubahan batin yang menghubungkan kembali manusia dengan bumi, sesama, dan Sang Sumber Kehidupan.³⁵


Footnotes

[1]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 3–5.

[2]                Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change 2021: The Physical Science Basis (Geneva: IPCC, 2021), 10–12.

[3]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 25–27.

[4]                Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 139.

[5]                Ibid., sec. 216–221.

[6]                Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 139–141.

[7]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 83–85.

[8]                Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective (New York: Springer, 2015), 92–94.

[9]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[10]             Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice (Cape Town: Siber Ink, 2002), 47–49.

[11]             Earth Charter Commission, The Earth Charter (Paris: UNESCO, 2000), preamble.

[12]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 115–117.

[13]             Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press, 2000), 98–100.

[14]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 243–246.

[15]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 102–104.

[16]             Byung-Chul Han, The Expulsion of the Other (Cambridge: Polity Press, 2018), 35–38.

[17]             Thomas Berry, The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and Religion in the Twenty-First Century (New York: Columbia University Press, 2009), 56–59.

[18]             Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World (Maryknoll: Orbis Books, 2010), 112–114.

[19]             David W. Orr, Ecological Literacy: Education and the Transition to a Postmodern World (Albany: State University of New York Press, 1992), 89–91.

[20]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 210.

[21]             Orr, Ecological Literacy, 102.

[22]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 316–318.

[23]             Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey of the Universe (New Haven: Yale University Press, 2011), 77–80.

[24]             A. Supomo, Wayang and Ecology: Traditional Wisdom of Java (Jakarta: LIPI Press, 2004), 17–19.

[25]             David Held, Democracy and the Global Order (Cambridge: Polity Press, 1995), 222–225.

[26]             Polly Higgins, Eradicating Ecocide: Laws and Governance to Prevent the Destruction of Our Planet (London: Shepheard-Walwyn, 2010), 38–41.

[27]             United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), art. 2.

[28]             Andrew Dobson, Environmental Politics: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2016), 64–66.

[29]             Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 130–132.

[30]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll: Orbis Books, 1995), 143–145.

[31]             Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 245–247.

[32]             Thomas Berry, The Great Work, 201.

[33]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 73–76.

[34]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 118–120.

[35]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 217.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Etika Lingkungan Integral dan Humanistik

Sintesis filosofis dari prinsip ekologi integral berupaya menyatukan seluruh dimensi yang telah dibahas—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, politik, dan spiritual—ke dalam suatu kerangka etika lingkungan yang integral dan humanistik. Etika ini berangkat dari kesadaran bahwa krisis ekologis tidak hanya merupakan persoalan teknis, tetapi manifestasi dari krisis makna dan orientasi manusia di dunia.¹ Oleh karena itu, tanggapan etis yang memadai harus mencakup pembaruan kesadaran ontologis dan moral, serta rekonstruksi relasi manusia dengan seluruh tatanan kosmos.

9.1.       Integrasi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Etika lingkungan integral dan humanistik berakar pada kesatuan antara cara manusia “ada”, “mengetahui”, dan “bernilai.” Ontologi integral menegaskan bahwa realitas bersifat relasional dan koeksistensial; epistemologi integral mengajarkan bahwa pengetahuan sejati adalah partisipasi dalam kehidupan; sementara aksiologi integral mengajarkan bahwa nilai moral melekat dalam keberadaan itu sendiri.²

Dengan menyatukan ketiganya, terbentuk paradigma etika baru yang melampaui dualisme antara subjek dan objek, antara rasio dan moralitas, antara manusia dan alam.³ Fritjof Capra menyebut paradigma ini sebagai ecological worldview—pandangan dunia yang melihat kehidupan sebagai jaringan makna dan proses yang saling menopang.⁴ Dalam kerangka ini, tindakan etis bukan lagi sekadar ketaatan terhadap norma, melainkan ekspresi ontologis dari kesadaran bahwa hidup adalah relasi.

9.2.       Manusia sebagai Subjek-Partisipan dalam Kosmos

Etika integral menempatkan manusia bukan sebagai penguasa, melainkan subjek-partisipan dalam jaringan kosmik.⁵ Hal ini sejalan dengan gagasan Thomas Berry yang menegaskan bahwa manusia adalah “bagian reflektif dari bumi,” makhluk yang memiliki kemampuan kesadaran untuk memelihara atau menghancurkan kehidupan.⁶ Dengan demikian, tanggung jawab moral manusia lahir dari kapasitas reflektif ini—dari kesadarannya akan keanggotaan dalam komunitas kehidupan.

Etika humanistik dalam kerangka integral bukan berarti menegaskan kembali antroposentrisme, melainkan humanisme ekologis, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai penjaga dan mediator kehidupan.⁷ Leonardo Boff menyebutnya sebagai eco-humanism, yaitu humanisme yang terbuka pada transendensi kosmik dan kesucian alam.⁸ Dalam arti ini, kemanusiaan sejati tidak diukur dari kemampuan menguasai alam, melainkan dari kemampuannya untuk merawat kehidupan.

9.3.       Etika Relasional dan Solidaritas Kosmik

Etika integral bersifat relasional: nilai moral tidak muncul dalam isolasi, melainkan dalam jaringan hubungan yang membentuk kehidupan.⁹ Setiap tindakan manusia memiliki implikasi ekologis karena terjalin dalam web of life. Oleh karena itu, moralitas ekologis harus dipahami sebagai etika solidaritas kosmik—yakni kesadaran akan keterikatan moral manusia terhadap seluruh makhluk.¹⁰

Joanna Macy menyebut kesadaran ini sebagai the ecological self, suatu identitas yang meluas hingga mencakup seluruh kehidupan.¹¹ Kesadaran ini memunculkan keutamaan moral baru: compassion for all beings.¹² Kasih sayang bukan lagi emosi personal, tetapi orientasi ontologis terhadap keberadaan yang saling bergantung. Dalam perspektif ini, tanggung jawab etis terhadap bumi bukan kewajiban eksternal, melainkan ekspresi alamiah dari kesadaran ekologis yang matang.

9.4.       Integrasi Etika dan Spiritualitas Bumi

Etika lingkungan integral tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas bumi, yang melihat seluruh ciptaan sebagai manifestasi kehadiran ilahi atau theophany of being.¹³ Raimon Panikkar menamai pandangan ini sebagai cosmotheandric vision—keutuhan yang mengikat manusia (anthropos), alam semesta (cosmos), dan Yang Ilahi (Theos) dalam satu realitas dinamis.¹⁴

Dalam spiritualitas ini, tindakan etis terhadap bumi menjadi bentuk ibadah kosmik: menjaga kehidupan berarti menghormati misteri ilahi yang hadir di dalamnya.¹⁵ Maka, etika ekologis bukanlah sekadar kewajiban moral, melainkan liturgi keberadaan—tindakan yang menyatukan dimensi etis, estetis, dan spiritual kehidupan.¹⁶

Dengan demikian, prinsip ekologi integral menumbuhkan kesadaran bahwa spiritualitas tidak bertentangan dengan rasionalitas ekologis; justru keduanya berpadu dalam etika sakralitas kehidupan yang menegaskan kesatuan antara moralitas dan kosmos.¹⁷

9.5.       Transformasi Kesadaran dan Praksis Etis

Tujuan akhir dari sintesis filosofis ini adalah transformasi kesadaran ekologis. Etika lingkungan integral bukan sekadar teori moral, tetapi proses pendidikan kesadaran manusia menuju kehidupan yang berkelanjutan dan bermakna.¹⁸ Transformasi ini menuntut metanoia ekologis—perubahan batin yang mengubah cara manusia berpikir, berkehendak, dan bertindak terhadap bumi.¹⁹

Hans Jonas menegaskan bahwa dalam era teknologi modern, etika baru harus lahir: etika yang berpihak pada kehidupan masa depan dan menghargai batas-batas ekologis.²⁰ Prinsip tanggung jawab ekologis menjadi imperatif kategoris baru bagi manusia abad ke-21: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tindakanmu dapat menjaga keberlanjutan kehidupan di bumi.”²¹

Etika lingkungan integral, dengan demikian, menuntun manusia untuk memadukan refleksi dan tindakan—menjadi subjek moral yang sadar, terlibat, dan penuh kasih dalam komunitas ekologis global.²²

9.6.       Menuju Humanisme Ekologis Global

Pada akhirnya, sintesis ini bermuara pada lahirnya humanisme ekologis global—sebuah visi kemanusiaan baru yang melampaui batas budaya, agama, dan politik.²³ Humanisme ini berakar pada keyakinan bahwa martabat manusia tak dapat dipisahkan dari martabat bumi.²⁴ Dalam paradigma ini, hak asasi manusia dan hak-hak alam dipandang saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Thomas Berry menyebutnya sebagai “era Ecozoic,” yaitu zaman baru di mana manusia hidup dalam harmoni kreatif dengan seluruh ciptaan.²⁵ Visi ini bukan utopia, melainkan horizon etis yang memandu transformasi peradaban dari logika dominasi menuju logika kepedulian.²⁶

Dengan demikian, etika lingkungan integral dan humanistik menjadi jembatan antara filsafat dan praksis ekologis, antara kesadaran spiritual dan tanggung jawab sosial. Ia mengundang manusia untuk menghidupi kembali relasi primordialnya dengan bumi—bukan sebagai tuan, tetapi sebagai penjaga yang setia (faithful steward) dari kehidupan yang dianugerahkan.²⁷


Footnotes

[1]                Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 182–184.

[2]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 84–86.

[3]                Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 45–48.

[4]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–30.

[5]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 101–103.

[6]                Berry, The Great Work, 103–104.

[7]                Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 198–200.

[8]                Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll: Orbis Books, 1995), 142–144.

[9]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 310–312.

[10]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 174–176.

[11]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 88–90.

[12]             Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press, 2000), 87–89.

[13]             Thomas Berry, The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and Religion in the Twenty-First Century (New York: Columbia University Press, 2009), 63–65.

[14]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 73–75.

[15]             Berry, The Sacred Universe, 67–68.

[16]             Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World (Maryknoll: Orbis Books, 2010), 102–104.

[17]             Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey of the Universe (New Haven: Yale University Press, 2011), 90–92.

[18]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 217–219.

[19]             Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll: Orbis Books, 2010), 191–193.

[20]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 36–38.

[21]             Ibid., 123.

[22]             Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 208–210.

[23]             Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World, 134–136.

[24]             Enrique Leff, Environmental Rationality: Towards a New Modernity (London: Palgrave Macmillan, 2015), 93–96.

[25]             Berry, The Great Work, 201–203.

[26]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 140–142.

[27]             Pope Francis, Laudato Si’, sec. 67.


10.       Kesimpulan

Prinsip ekologi integral merupakan sintesis filosofis dan etis yang berupaya menyatukan seluruh dimensi kehidupan manusia—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, politik, dan spiritual—ke dalam satu kerangka moral yang menyeluruh dan koheren.¹ Ia berangkat dari kesadaran mendasar bahwa krisis lingkungan global bukanlah sekadar akibat kesalahan teknologis atau kebijakan ekonomi, melainkan krisis spiritual dan epistemologis yang berakar pada cara manusia memahami dan menempatkan dirinya dalam kosmos.²

Secara ontologis, ekologi integral menegaskan bahwa realitas adalah jaringan kehidupan yang saling terkait dan bergantung.³ Setiap makhluk hidup memiliki nilai dan makna intrinsik yang tidak dapat direduksi pada manfaatnya bagi manusia.⁴ Dengan demikian, eksistensi manusia tidak dapat dipahami secara terpisah dari keseluruhan sistem ekologis yang menopangnya. Prinsip ini meneguhkan pandangan relasionalitas ontologis—bahwa menjadi berarti berelasi.⁵

Secara epistemologis, ekologi integral mengusulkan cara mengetahui yang partisipatif dan dialogis, yang menggabungkan rasionalitas ilmiah dengan kebijaksanaan etis dan spiritual.⁶ Pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai alat dominasi atas alam, tetapi sebagai bentuk partisipasi dalam misteri kehidupan. Dalam epistemologi semacam ini, kebenaran bukan hanya hasil observasi objektif, melainkan juga hasil keterlibatan eksistensial manusia dalam komunitas kehidupan.⁷

Secara aksiologis, ekologi integral menegaskan bahwa nilai moral tertinggi adalah keberlanjutan dan keutuhan kehidupan.⁸ Prinsip ini melahirkan imperatif ekologis baru: setiap tindakan harus diukur berdasarkan sejauh mana ia menopang atau merusak jaringan kehidupan.⁹ Etika ekologis, dengan demikian, bukan sekadar tanggung jawab moral terhadap alam, tetapi ekspresi kesadaran spiritual akan sakralitas keberadaan.¹⁰

Dimensi sosial, ekonomi, dan politik dari ekologi integral memperluas cakrawala etika lingkungan menuju keadilan ekologis global.¹¹ Prinsip ini mengaitkan tanggung jawab ekologis dengan solidaritas sosial dan tanggung jawab antargenerasi. Dalam konteks ketimpangan global dan krisis iklim, ekologi integral menuntut perubahan paradigma pembangunan: dari eksploitasi menuju keberlanjutan, dari pertumbuhan tanpa batas menuju keseimbangan kosmik.¹²

Secara spiritual, prinsip ini menegaskan bahwa bumi bukan sekadar sumber daya, tetapi komunitas sakral kehidupan—sebuah communion of subjects, bukan collection of objects.¹³ Dengan demikian, spiritualitas ekologis tidak berpusat pada transendensi yang menjauhkan manusia dari dunia, tetapi pada immanensi ilahi yang menghidupi seluruh ciptaan.¹⁴ Dalam pandangan ini, menjaga bumi menjadi bentuk tertinggi dari ibadah moral: tindakan yang menyatukan cinta, pengetahuan, dan tanggung jawab dalam satu kesadaran integral.¹⁵

Secara filosofis, ekologi integral berupaya melahirkan etika lingkungan humanistik, yakni etika yang menempatkan manusia bukan di atas, melainkan di dalam kosmos sebagai penjaga dan mediator kehidupan.¹⁶ Ia menolak ekstremisme antroposentris yang menuhankan manusia, sekaligus menghindari ekosentrisme murni yang menghapus nilai kemanusiaan. Dalam keseimbangan itulah muncul gagasan humanisme ekologis—pandangan bahwa martabat manusia terletak dalam tanggung jawabnya terhadap keberlangsungan kehidupan.¹⁷

Akhirnya, prinsip ekologi integral mengajak manusia memasuki era kesadaran baru, yang oleh Thomas Berry disebut sebagai Ecozoic Era: zaman di mana manusia hidup selaras dengan bumi dan berpartisipasi aktif dalam evolusi kosmik.¹⁸ Etika lingkungan integral dan humanistik menjadi fondasi moral bagi peradaban masa depan yang berkeadilan ekologis, berakar pada spiritualitas bumi, dan berorientasi pada kelestarian kehidupan.

Dengan demikian, ekologi integral bukan sekadar teori atau prinsip etika, melainkan visi peradaban: panggilan untuk membangun dunia di mana manusia dan bumi dapat hidup bersama dalam keselarasan, keberlanjutan, dan kasih universal.¹⁹


Footnotes

[1]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 83–86.

[2]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 101–103.

[3]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.

[4]                Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 44–46.

[5]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David R. Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 75–77.

[6]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 311–313.

[7]                David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-Than-Human World (New York: Pantheon, 1996), 52–55.

[8]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224–226.

[9]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 38–40.

[10]             Thomas Berry, The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and Religion in the Twenty-First Century (New York: Columbia University Press, 2009), 61–63.

[11]             Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective (New York: Springer, 2015), 93–95.

[12]             E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered (London: Blond & Briggs, 1973), 64–66.

[13]             Berry, The Great Work, 201–203.

[14]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 73–75.

[15]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll: Orbis Books, 1995), 144–146.

[16]             Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 199–202.

[17]             Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press, 2000), 102–104.

[18]             Berry, The Great Work, 3–5.

[19]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 67, 217.


Daftar Pustaka

Abram, D. (1996). The spell of the sensuous: Perception and language in a more-than-human world. Pantheon Books.

Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity. Sage Publications.

Beck, U. (2009). World at risk. Polity Press.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. Bell Tower.

Berry, T. (2009). The sacred universe: Earth, spirituality, and religion in the twenty-first century. Columbia University Press.

Boff, L. (1995). Ecology and liberation: A new paradigm. Orbis Books.

Boff, L. (1997). Cry of the earth, cry of the poor. Orbis Books.

Boff, L. (2010). Virtues for another possible world. Orbis Books.

Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. Anchor Books.

Capra, F. (2002). The hidden connections: A science for sustainable living. Anchor Books.

Capra, F., & Henderson, H. (2009). Qualitative growth: From the wealth of nations to the wealth of life. Schumacher Center for New Economics.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.

Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton Mifflin.

Cullinan, C. (2002). Wild law: A manifesto for Earth justice. Siber Ink.

Daly, H. E. (1996). Beyond growth: The economics of sustainable development. Beacon Press.

Daly, H. E., & Farley, J. (2004). Ecological economics: Principles and applications. Island Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Dobson, A. (2007). Green political thought (4th ed.). Routledge.

Dobson, A. (2016). Environmental politics: A very short introduction. Oxford University Press.

Dryzek, J. (2013). The politics of the Earth: Environmental discourses (3rd ed.). Oxford University Press.

Earth Charter Commission. (2000). The Earth Charter. UNESCO.

Escobar, A. (2018). Designs for the pluriverse: Radical interdependence, autonomy, and the making of worlds. Duke University Press.

Ferry, L. (1995). The new ecological order (C. Volk, Trans.). University of Chicago Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Gutiérrez, G. (1973). A theology of liberation: History, politics, and salvation. Orbis Books.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Han, B.-C. (2018). The expulsion of the other. Polity Press.

Haraway, D. (2016). Staying with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. Harper.

Higgins, P. (2010). Eradicating ecocide: Laws and governance to prevent the destruction of our planet. Shepheard-Walwyn.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Lao Tzu. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin Classics.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime. Polity Press.

Leff, E. (2015). Political ecology: A Latin American perspective. Springer.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac and sketches here and there. Oxford University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Lovelock, J. (1979). Gaia: A new look at life on Earth. Oxford University Press.

Macy, J. (2007). World as lover, world as self: Courage for global justice and ecological renewal. Parallax Press.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Naess, A. (1989). Ecology, community, and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford University Press.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Orr, D. W. (1992). Ecological literacy: Education and the transition to a postmodern world. State University of New York Press.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness. Orbis Books.

Panikkar, R. (2010). The rhythm of being: The Gifford lectures. Orbis Books.

Passmore, J. (1974). Man’s responsibility for nature: Ecological problems and Western traditions. Duckworth.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of nature. Routledge.

Posey, D. A. (1999). Cultural and spiritual values of biodiversity. United Nations Environment Programme (UNEP).

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.

Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a 21st-century economist. Random House.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Rolston, H. III. (1992). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Rolston, H. III. (1999). Genes, genesis and God: Values and their origins in natural and human history. Cambridge University Press.

Rolston, H. III. (2012). A new environmental ethics: The next millennium for life on Earth. Routledge.

Schumacher, E. F. (1973). Small is beautiful: Economics as if people mattered. Blond & Briggs.

Schumacher, E. F. (1979). Good work. Harper & Row.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Shiva, V. (1993). Monocultures of the mind: Perspectives on biodiversity and biotechnology. Zed Books.

Supomo, A. (2004). Wayang and ecology: Traditional wisdom of Java. LIPI Press.

Swimme, B., & Berry, T. (1992). The universe story: From the primordial flaring forth to the Ecozoic era. HarperSanFrancisco.

Swimme, B., & Tucker, M. E. (2011). Journey of the universe. Yale University Press.

United Nations. (1987). Our common future. Oxford University Press.

United Nations. (2015). Paris Agreement. United Nations.

Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A Western perspective on what it is and why it matters. Indiana University Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality: An essay in cosmology (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar