Prinsip Ekologi Integral
Fondasi Filosofis bagi Etika Lingkungan Holistik
Alihkan ke: Etika Lingkungan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam prinsip Ekologi
Integral sebagai fondasi filosofis bagi pengembangan etika lingkungan
holistik dan humanistik. Prinsip ini menolak dikotomi klasik antara manusia
dan alam, serta menawarkan paradigma baru yang menempatkan keduanya dalam
relasi koeksistensial dan saling ketergantungan. Secara ontologis,
ekologi integral menegaskan bahwa realitas bersifat relasional—semua makhluk
hidup merupakan bagian dari satu jaringan kehidupan yang dinamis. Secara epistemologis,
ia menekankan pengetahuan yang partisipatif dan kontekstual, yang
mengintegrasikan sains, moralitas, dan spiritualitas ekologis. Sementara secara
aksiologis, prinsip ini meneguhkan nilai intrinsik semua ciptaan serta
tanggung jawab moral manusia untuk menjaga keberlanjutan dan keutuhan bumi
sebagai rumah bersama (common home).
Lebih jauh, artikel ini menyoroti dimensi sosial,
ekonomi, dan politik dari ekologi integral yang menuntut keadilan ekologis
global, solidaritas antargenerasi, serta transformasi struktur pembangunan
menuju sistem berkeadilan ekologis. Kritik-kritik dari perspektif pragmatis,
posthumanis, dan ekofeminis dianalisis untuk memperkaya kerangka etika integral
ini. Pada akhirnya, melalui sintesis filosofis, artikel ini menegaskan
pentingnya humanisme ekologis, di mana martabat manusia dihayati dalam
tanggung jawabnya terhadap kehidupan, bukan dominasi atasnya. Prinsip ekologi
integral, dengan demikian, menjadi dasar bagi transformasi peradaban menuju era
kesadaran ekologis baru (Ecozoic Era) yang memadukan pengetahuan,
moralitas, dan spiritualitas dalam satu kesatuan kehidupan kosmik.
Kata Kunci: Ekologi Integral; Etika Lingkungan; Humanisme
Ekologis; Filsafat Ekologi; Keadilan Ekologis; Spiritualitas Bumi; Filsafat
Kontemporer; Keberlanjutan; Kosmologi Relasional; Tanggung Jawab Moral.
PEMBAHASAN
Prinsip Ekologi Integral dalam Konteks Krisis Ekologis
Global
1.          
Pendahuluan
Krisis ekologis global yang
semakin akut menandai era baru dalam sejarah manusia: sebuah masa di mana
eksistensi manusia dan keberlanjutan bumi saling terancam. Perubahan iklim,
deforestasi, polusi laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa
relasi antara manusia dan alam telah terganggu secara mendalam. Fenomena ini
bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis moral dan spiritual yang
menyentuh inti keberadaan manusia di dunia. Etika lingkungan modern lahir dari
kesadaran bahwa pendekatan antroposentris—yang menempatkan manusia sebagai
pusat nilai—gagal mempertahankan keseimbangan ekologis yang menopang kehidupan
bersama.¹
Dalam konteks ini, gagasan Prinsip
Ekologi Integral muncul sebagai paradigma baru yang berusaha melampaui
dikotomi antara manusia dan alam. Prinsip ini mengajukan pemahaman bahwa
seluruh realitas—baik ekologis, sosial, ekonomi, maupun spiritual—terjalin
dalam suatu jaringan kehidupan yang saling terkait dan tak terpisahkan.² Dengan
demikian, kerusakan ekologis tidak dapat diatasi hanya dengan solusi teknologis
atau kebijakan ekonomi, melainkan menuntut transformasi etis dan spiritual yang
menyentuh akar kesadaran manusia.³
Istilah ekologi integral
mendapatkan perhatian luas setelah dipopulerkan oleh Paus Fransiskus
dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), yang menekankan bahwa “segala
sesuatu saling terhubung” (everything is connected).⁴ Dalam
pandangan ini, dimensi ekologis dan sosial tidak dapat dipisahkan; kemiskinan
manusia dan kerusakan lingkungan adalah dua wajah dari krisis moral yang sama.⁵
Namun, jauh sebelum itu, sejumlah pemikir seperti Fritjof Capra,
Arne Naess, dan Murray Bookchin telah
menekankan pentingnya paradigma integral—yakni cara berpikir sistemik dan
relasional yang melihat dunia sebagai kesatuan organik.⁶
Dengan demikian, prinsip
ekologi integral bukan sekadar gagasan teologis, melainkan juga sintesis
filosofis antara ontologi keutuhan, epistemologi partisipatif, dan aksiologi
ekologis. Prinsip ini menolak fragmentasi modern antara sains, etika, dan
spiritualitas, dan mengusulkan pandangan holistik bahwa pengetahuan dan
moralitas manusia harus berakar pada kesadaran ekologis.⁷
Kajian ini bertujuan untuk
menelusuri dasar filosofis dari prinsip ekologi integral melalui pendekatan
historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara metodologis,
pembahasan menggunakan pendekatan hermeneutik reflektif, yang
berupaya memahami makna keberlanjutan ekologis dari perspektif relasional
antara manusia, alam, dan kosmos. Kajian ini juga bersifat interdisipliner,
dengan menghubungkan filsafat lingkungan, teologi, dan sains sistemik untuk
menyusun suatu kerangka etika yang integral dan humanistik.
Melalui kajian ini,
diharapkan terbangun suatu pemahaman filosofis bahwa keberlanjutan bukanlah
sekadar isu kebijakan, melainkan ekspresi dari kesadaran moral yang
menyeluruh—yakni kesadaran akan keutuhan ciptaan dan tanggung jawab
manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang saling menopang.⁸
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1992), 4–5.
[2]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–33.
[3]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 45.
[4]               
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 138.
[5]               
Ibid., sec. 49.
[6]               
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 151; Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 54.
[7]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 78–82.
[8]               
John Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology (Beverly
Hills: Bruce, 1972), 11–13.
2.          
Landasan Historis dan Genealogis
Gagasan tentang ekologi
integral tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil
evolusi panjang dalam sejarah pemikiran manusia mengenai hubungan antara
manusia dan alam. Ia berakar pada refleksi filosofis, religius, dan ilmiah
yang, sepanjang waktu, berupaya memahami keterpaduan kosmos serta tempat
manusia di dalamnya. Prinsip ini menandai perpindahan paradigma dari cara
pandang mekanistik-antroposentrik yang mendominasi modernitas
menuju paradigma ekologis-holistis yang menekankan
interdependensi seluruh realitas kehidupan.¹
2.1.      
Akar Filosofis dalam
Tradisi Barat dan Timur
Dalam filsafat klasik Barat,
jejak awal pemikiran integral dapat ditelusuri pada pandangan Stoisisme
yang memandang kosmos sebagai suatu tatanan rasional dan harmonis (logos),
di mana manusia merupakan bagian organik dari keseluruhan.² Pandangan ini
menegaskan keterhubungan etika dan alam, yang kemudian memengaruhi tradisi
humanistik Romawi. Sementara dalam filsafat Timur, khususnya dalam ajaran Taoisme,
muncul pandangan serupa mengenai kesatuan antara Tao (jalan kosmik)
dan semua makhluk, yang menolak dikotomi antara manusia dan alam.³
Pandangan integral ini sempat
memudar pada masa Revolusi Ilmiah abad ke-17, ketika alam
direduksi menjadi objek mekanis yang tunduk pada hukum sebab-akibat. Pemikiran René
Descartes dan Francis Bacon menandai lahirnya
paradigma dualistik—res cogitans dan res extensa—yang
memisahkan manusia sebagai subjek berpikir dari alam sebagai objek yang dapat
dieksploitasi.⁴ Sejak saat itu, hubungan manusia dengan alam ditentukan oleh
prinsip dominasi dan kontrol, yang menjadi dasar bagi modernitas industri.
2.2.      
Perkembangan Pemikiran
Ekologis Modern
Kritik terhadap paradigma
modern tersebut mulai muncul pada abad ke-20, terutama melalui gerakan filsafat
lingkungan dan ekoteologi. Salah satu tonggak penting
adalah karya Aldo Leopold, A Sand County Almanac
(1949), yang memperkenalkan “Land Ethic”—etika yang memperluas
komunitas moral untuk mencakup tanah, air, hewan, dan seluruh ekosistem.⁵
Leopold menyatakan bahwa manusia bukanlah penguasa, tetapi anggota komunitas
biotik yang memiliki tanggung jawab moral terhadap integritas ekologi.
Selanjutnya, Rachel
Carson melalui karya Silent Spring (1962) mengungkap dampak
destruktif teknologi dan pestisida terhadap ekosistem, sehingga menggugah
kesadaran ekologis global.⁶ Pemikiran ini melahirkan gelombang baru refleksi
filosofis dan spiritual tentang hubungan manusia dan alam, yang kemudian
dikenal sebagai ekologi dalam (deep ecology). Arne
Naess, pelopor gerakan ini, menegaskan bahwa semua bentuk kehidupan
memiliki nilai intrinsik terlepas dari kegunaannya bagi manusia.⁷
2.3.      
Pengaruh Teori Sistem
dan Ekologi Sosial
Pada pertengahan abad ke-20,
lahirlah pendekatan ilmiah dan filosofis yang menekankan keutuhan
sistem kehidupan, seperti yang dikemukakan oleh Fritjof Capra
melalui The Systems View of Life dan The Web of Life.⁸ Capra
menolak pandangan reduksionis yang hanya melihat bagian-bagian terpisah dari
realitas, dan menggantinya dengan pendekatan sistemik yang memandang dunia
sebagai jaringan proses yang saling berinteraksi.
Sementara itu, Murray
Bookchin mengembangkan konsep ekologi sosial, yang
berargumen bahwa krisis ekologis berakar pada struktur sosial hierarkis dan
penindasan manusia terhadap manusia lain.⁹ Bagi Bookchin, dominasi terhadap
alam tidak bisa dipisahkan dari dominasi sosial; karena itu, penyelesaian
krisis lingkungan memerlukan transformasi sosial yang radikal menuju masyarakat
egaliter dan ekologis.¹⁰
2.4.      
Dimensi Teologis dan
Ekoteologi Integral
Gagasan ekologi
integral mencapai artikulasi moral dan spiritual yang kuat dalam
ajaran teologi penciptaan dan spiritualitas ekologis.
Tokoh seperti Thomas Berry dan Leonardo Boff
menegaskan bahwa krisis ekologis adalah juga krisis spiritual akibat
keterasingan manusia dari bumi. Berry menyebut bumi sebagai “komunitas
subjek” (communion of subjects), bukan sekadar “koleksi
objek.”¹¹ Sementara Boff mengajukan spiritualitas bumi yang
menempatkan manusia sebagai bagian dari “tubuh kosmik” yang hidup dan
suci.¹²
Pemikiran ini berpuncak pada ensiklik
Paus Fransiskus, Laudato Si’ (2015), yang
memperkenalkan istilah integral ecology secara eksplisit sebagai
prinsip moral global. Paus Fransiskus menghubungkan isu lingkungan, sosial, dan
spiritual dalam satu kerangka keutuhan ciptaan, dengan menegaskan bahwa “tidak
ada ekologi tanpa antropologi yang memadai.”¹³ Prinsip ini menegaskan bahwa
perawatan terhadap bumi tidak dapat dipisahkan dari penghormatan terhadap
martabat manusia, terutama kaum miskin dan tertindas yang paling terdampak oleh
krisis ekologis.
2.5.      
Pergeseran Paradigma
ke Ekologi Integral
Dengan demikian, sejarah
panjang pemikiran ini menunjukkan bahwa prinsip ekologi integral
lahir sebagai sintesis antara pandangan filosofis, ilmiah, sosial, dan
teologis. Ia berupaya mengatasi dikotomi yang telah lama memisahkan manusia
dari alam, pengetahuan dari nilai, serta materi dari spiritualitas. Prinsip ini
membawa etika lingkungan pada tahap refleksi yang lebih dalam: dari sekadar ekonomi
hijau menuju kesadaran ekologis yang integral—yang mencakup dimensi ontologis,
epistemologis, aksiologis, dan praksis kehidupan manusia di bumi.¹⁴
Footnotes
[1]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 5–7.
[2]               
Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), VII.134–138.
[3]               
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin
Classics, 1963), 25–27.
[4]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 27–29; Francis Bacon, Novum Organum
(Oxford: Clarendon Press, 1857), 81–83.
[5]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There
(New York: Oxford University Press, 1949), 204–207.
[6]               
Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962),
16–18.
[7]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 28–32.
[8]               
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying
Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 11–14.
[9]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 59–62.
[10]            
Ibid., 314–316.
[11]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 82–84.
[12]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 90–93.
[13]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 118–120.
[14]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 65–68.
3.          
Ontologi Ekologi Integral
Ontologi ekologi integral
berpangkal pada keyakinan bahwa realitas bukanlah kumpulan entitas yang
terpisah, melainkan jaringan kehidupan yang saling terkait dan
koheren. Dalam kerangka ini, seluruh makhluk hidup dan unsur alam
dipandang sebagai bagian dari satu kesatuan eksistensial yang dinamis. Prinsip
dasar dari ontologi integral adalah relasionalitas ontologis, yakni
bahwa keberadaan setiap entitas ditentukan oleh hubungannya dengan
keseluruhan.¹ Dengan demikian, ontologi ekologi integral menolak pandangan
mekanistik dan atomistik yang memandang realitas sebagai sistem tertutup dari
bagian-bagian yang berdiri sendiri.
3.1.      
Realitas sebagai
Jaringan Kehidupan
Pandangan integral ini
menemukan ekspresi modernnya dalam teori sistem dan paradigma ekologi. Fritjof
Capra menjelaskan bahwa kehidupan pada hakikatnya merupakan “jaringan
hubungan” (web of life), di mana setiap organisme eksis hanya
dalam konteks sistem ekologis yang lebih luas.² Dalam konteks ini, keberadaan
bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses interaksi terus-menerus antara
energi, materi, dan kesadaran.³ Ontologi ini dengan demikian bersifat prosesual,
bukan substansialis; ia mengandaikan bahwa realitas adalah aliran keberadaan
yang dinamis (process being), sebagaimana dikembangkan dalam filsafat
proses Alfred North Whitehead.⁴
Bumi, dalam perspektif
ontologis integral, tidak lagi dilihat sebagai objek, melainkan
sebagai subjek kosmik—suatu komunitas hidup yang memiliki
nilai dan makna intrinsik. Thomas Berry menyebut bumi sebagai communion
of subjects, bukan collection of objects; manusia tidak berada di
atas ciptaan, tetapi di dalamnya sebagai bagian dari jaringan eksistensial yang
sama.⁵ Oleh sebab itu, kerusakan ekologis bukan hanya krisis material, tetapi
juga gangguan ontologis terhadap tatanan keberadaan itu sendiri.
3.2.      
Interdependensi dan
Keutuhan Kosmik
Konsepsi ini selaras dengan
prinsip interdependensi universal, sebagaimana juga ditekankan
dalam pemikiran Timur dan teologi ekologi. Dalam pandangan Buddhisme,
doktrin pratītyasamutpāda (timbul-saling-bergantungan) menyatakan
bahwa segala sesuatu “ada karena yang lain ada.”⁶ Dengan demikian, ketiadaan
kesadaran akan keterhubungan ini menghasilkan ilusi dualisme—manusia versus
alam, subjek versus objek, roh versus materi—yang menjadi akar krisis ekologis
modern.
Dalam ontologi integral,
seluruh eksistensi memiliki partisipasi ontologis dalam realitas yang
satu. Alam semesta dipandang sebagai organisme kosmik, sebagaimana ditegaskan James
Lovelock dalam Gaia Hypothesis, yang memandang bumi sebagai
sistem hidup yang mengatur dirinya sendiri.⁷ Dari perspektif ini, harmoni
ekologis bukan hanya kondisi fisik, melainkan ekspresi keseimbangan ontologis
antara makhluk dan lingkungan yang menopangnya.
3.3.      
Menolak Dualisme dan
Antroposentrisme
Ontologi ekologi integral
juga mengkritik secara mendasar warisan dualisme Cartesian
yang memisahkan pikiran dari materi, manusia dari alam, dan budaya dari
alamiah.⁸ Dalam pandangan ini, kesadaran ekologis hanya mungkin bila manusia
meninggalkan ilusi superioritas ontologis dan menerima dirinya sebagai bagian
dari jaringan kehidupan. Kesadaran ini bukan bentuk penurunan martabat manusia,
melainkan pengakuan atas solidaritas ontologis yang mengikat
semua entitas dalam satu tatanan kosmik.
Dengan demikian, prinsip
antroposentris—yang menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran nilai segala
sesuatu—ditransformasi menjadi antropos-partisipatif, yaitu
pengakuan bahwa manusia memang memiliki peran istimewa, tetapi peran itu
bersifat partisipatif dan bertanggung jawab dalam menjaga keselarasan
kehidupan.⁹ Ini berarti etika ekologis harus berakar pada kesadaran ontologis
bahwa eksistensi manusia tidak bisa dipisahkan dari eksistensi dunia alami.
3.4.      
Ontologi Relasional
dan Spiritualitas Kosmik
Dalam pandangan integral,
realitas bersifat relasional dan transenden sekaligus imanen.
Hal ini mengandung implikasi spiritual: kesucian tidak lagi dipahami secara
dualistik sebagai sesuatu “di luar dunia”, melainkan dihayati dalam kehadiran
yang imanen di seluruh ciptaan. Leonardo Boff
menekankan bahwa bumi adalah “tempat teofani”—ruang penyingkapan ilahi
melalui keberagaman kehidupan.¹⁰ Dengan demikian, setiap bentuk kehidupan
memiliki makna spiritual yang inheren, karena merupakan ekspresi dari misteri
kosmik yang sama.
Ontologi ekologi integral
menggabungkan kesadaran metafisis dan ekologis: metafisika tentang keberadaan
yang saling bergantung, dan ekologi sebagai praksis keberadaan yang saling
menopang.¹¹ Paradigma ini membentuk dasar bagi etika ekologis yang lebih luas,
di mana tindakan manusia terhadap alam bukan sekadar persoalan moral eksternal,
tetapi ekspresi dari pengakuan atas kesatuan ontologis kehidupan.
3.5.      
Keberadaan sebagai
Relasi Etis
Akhirnya, ontologi integral
menuntun pada pandangan bahwa menjadi berarti berelasi. Tidak
ada entitas yang berdiri sendiri; eksistensi selalu merupakan
keberadaan-bersama (being-with).¹² Dalam konteks ekologis, hal ini
berarti bahwa moralitas manusia bukan sekadar urusan antarindividu, melainkan
juga antarspesies dan antarunsur alam. Ontologi ini membentuk dasar bagi etika
tanggung jawab ekologis, di mana keberlanjutan bukan hanya kewajiban moral,
melainkan konsekuensi ontologis dari hakikat manusia sebagai makhluk relasional
di tengah kosmos yang hidup.¹³
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 45–47.
[2]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.
[3]               
Ibid., 52–54.
[4]               
Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology,
corrected ed., ed. David R. Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free
Press, 1978), 18–20.
[5]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 82.
[6]               
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press,
1974), 53–56.
[7]               
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford:
Oxford University Press, 1979), 9–11.
[8]               
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress
(Indianapolis: Hackett, 1998), 35–37.
[9]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 315–318.
[10]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 94–96.
[11]            
Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the
Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1992), 40–42.
[12]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–40.
[13]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 66.
4.          
Epistemologi Ekologi Integral
Epistemologi ekologi integral
berupaya menjembatani jurang yang selama ini memisahkan pengetahuan
ilmiah, kesadaran moral, dan kebijaksanaan spiritual. Prinsip ini
menolak reduksionisme epistemologis modern yang menganggap pengetahuan sebagai
hasil pengamatan objektif yang bebas nilai. Dalam paradigma integral,
pengetahuan dipahami sebagai proses partisipatif, di mana
subjek dan objek saling membentuk dalam jaringan kehidupan yang sama.¹
Epistemologi ini bertolak
dari kesadaran bahwa cara manusia mengetahui dunia turut menentukan cara
manusia memperlakukan dunia.² Dengan kata lain, krisis ekologi bukan hanya
akibat kesalahan tindakan, tetapi juga hasil dari cara mengetahui yang
terpecah, yang menyingkirkan nilai, makna, dan relasi dari struktur
pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologi ekologi integral mengusulkan suatu
model pengetahuan yang holistik, dialogis, dan ekologis.
4.1.      
Kritik terhadap
Epistemologi Modern dan Reduksionisme Ilmiah
Sejak Revolusi Ilmiah,
pengetahuan didominasi oleh paradigma mekanistik dan positivistik,
sebagaimana dikembangkan oleh Francis Bacon, Galileo
Galilei, dan René Descartes.³ Alam diperlakukan
sebagai mesin raksasa yang dapat dipahami melalui analisis bagian-bagian
terpisah, sementara manusia diposisikan sebagai pengamat eksternal yang netral.
Paradigma ini menghasilkan kemajuan teknologi yang luar biasa, tetapi sekaligus
melahirkan alienasi epistemologis—manusia kehilangan pengalaman keterhubungan
eksistensial dengan dunia alami.⁴
Dalam pandangan integral,
reduksionisme tersebut dianggap sebagai bentuk “epistemologi kekuasaan,”
karena menjadikan pengetahuan sebagai alat dominasi atas alam.⁵ Vandana
Shiva menyebutnya sebagai monoculture of the mind—cara
berpikir yang seragam dan menyingkirkan pluralitas bentuk pengetahuan lokal dan
spiritual.⁶ Sebagai gantinya, epistemologi integral mengusulkan ecology of
knowledge yang mengakui keberagaman sumber kebenaran, baik dari sains,
budaya, maupun kearifan ekosistem.⁷
4.2.      
Pengetahuan sebagai
Partisipasi dalam Realitas
Dalam kerangka ekologi
integral, pengetahuan tidak bersifat oposisi antara subjek dan objek, melainkan
relasi partisipatif.⁸ Subjek tidak berdiri di luar dunia yang
diketahui, tetapi terlibat di dalamnya secara ontologis. Proses mengetahui
berarti ikut mengalami keberadaan dunia, bukan sekadar
mendeskripsikannya secara netral.⁹ Dengan demikian, epistemologi ini dekat
dengan fenomenologi Husserlian dan hermeneutika
ekologis yang melihat dunia sebagai medan makna yang dialami secara
hidup, bukan objek observasi yang mati.¹⁰
Pendekatan ini juga
menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak bisa dilepaskan dari empati
ekologis, yaitu kemampuan untuk merasakan keterhubungan dengan makhluk
lain.¹¹ Dalam konteks ini, knowing menjadi bentuk being-with,
yakni keberadaan yang menyadari dirinya sebagai bagian dari jaringan kosmik.¹²
Dengan kata lain, epistemologi integral menggantikan paradigma penguasaan
dengan paradigma persekutuan.
4.3.      
Sintesis antara Sains,
Etika, dan Spiritualitas
Epistemologi ekologi integral
bukanlah penolakan terhadap sains, melainkan usaha rekonsiliasi antara
sains dan nilai. Paradigma ilmiah baru—terutama fisika kuantum dan
biologi sistemik—telah menunjukkan bahwa realitas bersifat saling terkait dan
tak dapat direduksi pada hubungan sebab-akibat linear.¹³ Hal ini mendukung
pandangan bahwa pengetahuan ilmiah harus diiringi oleh kesadaran etis dan
spiritual.
Fritjof Capra
menekankan bahwa sains modern sedang bergerak menuju paradigma sistemik yang
memandang alam sebagai jaringan kehidupan, bukan mesin.¹⁴ Sementara Thomas
Berry dan Brian Swimme menegaskan pentingnya cosmological
story, yaitu narasi ilmiah tentang alam semesta yang menghidupkan kembali
rasa kekaguman dan kesakralan terhadap kosmos.¹⁵ Epistemologi integral mengajak
manusia untuk mengintegrasikan logos (rasio ilmiah) dengan mythos
(makna simbolik dan spiritual), karena keduanya sama-sama penting dalam
memahami realitas yang hidup.
4.4.      
Peran Pengetahuan
Lokal dan Kearifan Ekologis
Dalam konteks sosial-budaya,
epistemologi integral juga mengakui nilai pengetahuan lokal dan tradisi
spiritual sebagai sumber kebijaksanaan ekologis.¹⁶ Banyak masyarakat adat
memiliki pandangan dunia yang intrinsik holistik—mereka memahami alam bukan sebagai
sumber daya, tetapi sebagai komunitas kehidupan yang sakral.¹⁷ Misalnya, dalam
tradisi Nusantara dikenal prinsip memayu hayuning bawana (memelihara
harmoni alam semesta), yang mencerminkan kesadaran ekologis integral yang telah
hidup jauh sebelum modernitas.¹⁸
Pengakuan terhadap pluralitas
epistemik ini menantang dominasi pengetahuan Barat dan membuka ruang bagi epistemologi
dialogis yang menghargai keberagaman perspektif.¹⁹ Dalam hal ini,
pengetahuan menjadi praktik etis yang inklusif dan partisipatif, bukan sekadar
sistem representasi yang netral.²⁰
4.5.      
Menuju Kesadaran
Ekologis Integral
Epistemologi integral
akhirnya berujung pada transformasi kesadaran. Mengetahui
berarti menyadari keterlibatan kita dalam jaring kehidupan.²¹ Pengetahuan
sejati tidak berhenti pada pemahaman intelektual, tetapi berbuah pada sikap
hormat dan tanggung jawab terhadap bumi.²² Dalam kerangka ini, epistemologi
integral menjadi landasan bagi aksiologi ekologis: mengetahui dan bertindak
adalah dua sisi dari satu kesadaran ekologis.²³
Dengan demikian, epistemologi
ekologi integral bukan hanya kerangka teori pengetahuan, melainkan cara
keberadaan (mode of being) yang mengakui relasi antara
pikiran, nilai, dan kehidupan. Ia memulihkan dimensi spiritual dalam
epistemologi dan menjadikan pengetahuan sebagai bentuk partisipasi aktif dalam
misteri kosmos yang hidup.²⁴
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 49–52.
[2]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–303.
[3]               
Francis Bacon, Novum Organum (Oxford: Clarendon Press, 1857),
67–70.
[4]               
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress
(Indianapolis: Hackett, 1998), 41–43.
[5]               
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 81.
[6]               
Vandana Shiva, Monocultures of the Mind: Perspectives on
Biodiversity and Biotechnology (London: Zed Books, 1993), 11–13.
[7]               
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 21–24.
[8]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 365–367.
[9]               
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-Than-Human World (New York: Pantheon, 1996), 54–56.
[10]            
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 45–47.
[11]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global
Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 18–20.
[12]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 52–54.
[13]            
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 70–72.
[14]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 62–65.
[15]            
Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the
Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1992), 89–91.
[16]            
Enrique Leff, Environmental Rationality: Towards a New Modernity
(London: Palgrave Macmillan, 2015), 33–35.
[17]            
Darrell A. Posey, Cultural and Spiritual Values of Biodiversity
(Nairobi: UNEP, 1999), 40–43.
[18]            
A. Supomo, Wayang and Ecology: Traditional Wisdom of Java
(Jakarta: LIPI Press, 2004), 12–13.
[19]            
Boaventura de Sousa Santos, The End of the Cognitive Empire: The
Coming of Age of Epistemologies of the South (Durham: Duke University
Press, 2018), 57–59.
[20]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 99–101.
[21]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 28–31.
[22]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 11.
[23]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 174–176.
[24]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 84–86.
5.          
Aksiologi dan Prinsip Moral Ekologi Integral
Aksiologi ekologi integral menegaskan
bahwa nilai moral tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga oleh
seluruh ciptaan. Paradigma ini menggeser etika dari antroposentrisme
menuju ekosentrisme dan kosmosentrisme, di mana setiap bentuk
kehidupan memiliki nilai intrinsik yang patut dihormati.¹ Prinsip ini menolak
pandangan instrumental yang mengukur nilai hanya berdasarkan manfaat bagi
manusia, dan menggantikannya dengan pengakuan bahwa alam memiliki martabat
ontologis dan moralnya sendiri.² Dengan demikian, etika ekologis bukan
hanya tentang bagaimana manusia menggunakan alam, tetapi tentang bagaimana
manusia hidup bersama alam secara adil dan harmonis.
5.1.      
Nilai Intrinsik
Kehidupan
Dalam paradigma modern, alam
sering dipahami sebagai objek ekonomi yang bernilai sejauh berguna bagi kepentingan
manusia. Namun, ekologi integral menolak pandangan utilitarian
ini dengan menegaskan bahwa setiap makhluk hidup memiliki nilai
intrinsik—nilai yang melekat pada keberadaannya sendiri, terlepas dari
kepentingan manusia.³ Aldo Leopold dalam Land Ethic
menulis bahwa “sesuatu dianggap benar bila ia cenderung memelihara
integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik.”⁴ Pernyataan ini
menjadi dasar moralitas ekologis yang menilai tindakan bukan dari hasil
ekonominya, melainkan dari kontribusinya terhadap keseimbangan ekosistem.
Nilai intrinsik juga berarti
bahwa manusia tidak memiliki hak absolut untuk mengeksploitasi makhluk hidup
lain. Arne Naess menegaskan bahwa semua spesies memiliki “hak
untuk hidup dan berkembang” (right to blossom) secara setara dalam
jaringan kehidupan.⁵ Pengakuan ini melahirkan prinsip moral bahwa setiap
tindakan manusia harus mempertimbangkan konsekuensinya terhadap keseluruhan
komunitas ekologis.⁶
5.2.      
Tanggung Jawab
Ekologis dan Solidaritas Antargenerasi
Aksiologi ekologi integral
berpijak pada prinsip tanggung jawab ekologis, yaitu kesadaran
bahwa manusia sebagai makhluk berakal memiliki peran moral untuk menjaga
keberlanjutan kehidupan di bumi.⁷ Tanggung jawab ini bersifat transgenerasional,
karena kerusakan lingkungan masa kini akan diwariskan kepada generasi
mendatang. Seperti ditegaskan oleh Hans Jonas dalam The
Imperative of Responsibility, etika modern harus diperluas menjadi etika
masa depan—etika yang memperhitungkan akibat tindakan manusia terhadap
eksistensi kehidupan yang akan datang.⁸
Dalam konteks ini, ekologi
integral menekankan solidaritas ekologis—rasa kebersamaan etis
antara manusia, sesama makhluk hidup, dan bumi sebagai rumah bersama (common
home).⁹ Solidaritas ini menuntut keadilan ekologis: setiap tindakan
ekonomi, politik, atau sosial harus memastikan bahwa kebutuhan manusia tidak
melampaui kapasitas regeneratif alam.¹⁰ Prinsip ini sejalan dengan ajaran Laudato
Si’, yang menegaskan bahwa “tidak ada dua krisis terpisah, yaitu krisis
lingkungan dan krisis sosial, melainkan satu krisis kompleks yang bersifat
integral.”¹¹
5.3.      
Keadilan Ekologis dan
Martabat Kosmik
Keadilan ekologis adalah
perwujudan konkret dari aksiologi integral. Ia menuntut pengakuan
terhadap hak-hak alam, sebagaimana diartikulasikan dalam gerakan Earth
Jurisprudence dan Rights of Nature.¹² Prinsip ini memandang bumi
bukan sekadar objek hukum, tetapi sebagai subjek moral dan bahkan subjek hukum
yang memiliki hak untuk eksis dan beregenerasi.¹³
Dalam perspektif Thomas
Berry, keadilan ekologis bukan hanya perihal distribusi sumber daya,
melainkan bentuk penghormatan terhadap martabat kosmik—bahwa
setiap unsur ciptaan mengandung nilai sakral.¹⁴ Oleh karena itu, penghancuran
ekosistem sama dengan menodai dimensi spiritual dunia. Aksiologi integral, dengan
demikian, menolak eksploitasi dan konsumerisme yang mengabaikan keseimbangan
kosmos, dan menggantikannya dengan etika keutuhan ciptaan (ethics
of wholeness).¹⁵
5.4.      
Spiritualitas Ekologis
sebagai Landasan Nilai
Dimensi spiritual merupakan
aspek tak terpisahkan dari aksiologi ekologi integral. Leonardo Boff
menyebut spiritualitas ekologis sebagai “perjalanan batin menuju kesadaran
bahwa kita adalah bagian dari tubuh bumi yang hidup.”¹⁶ Nilai tertinggi
dalam paradigma ini bukan kekuasaan atau kepemilikan, melainkan kesadaran
akan keterhubungan (connectedness) dengan seluruh ciptaan.
Spiritualitas ini menumbuhkan rasa hormat yang mendalam terhadap bumi,
sekaligus menggerakkan tindakan etis untuk melindunginya.¹⁷
Spiritualitas ekologis juga
menanamkan sikap kesederhanaan etis (ethical simplicity),
yakni kesadaran bahwa kebahagiaan manusia tidak ditentukan oleh konsumsi
berlebih, melainkan oleh harmoni dengan lingkungan.¹⁸ Sikap ini menegaskan
kembali nilai-nilai dasar seperti kasih, empati, dan tanggung jawab sebagai
bentuk konkret kebajikan ekologis (ecological virtues).¹⁹
5.5.      
Prinsip Moral Ekologi
Integral
Aksiologi ini melahirkan
sejumlah prinsip moral utama yang menjadi fondasi etika ekologis integral:
1)                 
Prinsip Keutuhan
(Integrity Principle): setiap tindakan harus menjaga keseimbangan dan
keutuhan sistem kehidupan.²⁰
2)                 
Prinsip Relasionalitas
(Relational Principle): nilai moral timbul dari relasi yang saling
menopang antar entitas ekologis.²¹
3)                 
Prinsip Keberlanjutan
(Sustainability Principle): kebutuhan generasi sekarang tidak boleh
mengorbankan kapasitas hidup generasi mendatang.²²
4)                 
Prinsip Sakralitas Alam
(Sacredness of Nature): alam adalah manifestasi nilai spiritual yang
harus dihormati dan dirawat.²³
Prinsip-prinsip ini membentuk
kerangka moral yang menuntun manusia untuk bertindak tidak sebagai penguasa,
tetapi sebagai penjaga kehidupan (steward of life).²⁴
Dengan demikian, aksiologi ekologi integral mengintegrasikan nilai-nilai
ontologis, moral, dan spiritual ke dalam etika lingkungan yang
menyeluruh—sebuah paradigma moral baru untuk peradaban yang berkeadilan
ekologis.
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 62–65.
[2]               
Fritjof Capra, The Hidden Connections: Integrating the Biological,
Cognitive, and Social Dimensions of Life into a Science of Sustainability
(New York: Anchor Books, 2002), 78–81.
[3]               
Bryan Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York:
Oxford University Press, 1991), 32–34.
[4]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There
(New York: Oxford University Press, 1949), 224.
[5]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 170.
[6]               
Ibid., 176–177.
[7]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1992), 92–95.
[8]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11–13.
[9]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 98–100.
[10]            
Bryan Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem
Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 41–43.
[11]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 139.
[12]            
Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice (Cape
Town: Siber Ink, 2002), 54–57.
[13]            
Polly Higgins, Eradicating Ecocide: Laws and Governance to Prevent
the Destruction of Our Planet (London: Shepheard-Walwyn, 2010), 23–25.
[14]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 83–85.
[15]            
Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the
Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1992), 201–203.
[16]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll: Orbis Books, 1995), 122–124.
[17]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global
Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 40–42.
[18]            
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (London: Blond & Briggs, 1973), 57–59.
[19]            
Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their
Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999), 217–220.
[20]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac, 225.
[21]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 311–314.
[22]            
United Nations, Our Common Future (New York: Oxford University
Press, 1987), 43.
[23]            
Thomas Berry, The Great Work, 90–91.
[24]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 67.
6.          
Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Politik Ekologi
Integral
Prinsip ekologi
integral menolak memandang krisis lingkungan sebagai masalah yang
berdiri sendiri. Ia melihatnya sebagai krisis sistemik yang
mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik.¹ Dengan kata lain, kehancuran
alam tidak dapat dipisahkan dari struktur ketidakadilan sosial, pola ekonomi
eksploitatif, dan kebijakan politik yang mengabaikan keberlanjutan ekologis.
Prinsip ini mengandaikan bahwa penyembuhan bumi menuntut transformasi
struktur sosial dan perubahan paradigma pembangunan
menuju sistem yang lebih adil dan ekologis.²
6.1.      
Ekologi Sosial: Relasi
antara Manusia, Alam, dan Keadilan
Dalam konteks sosial, ekologi
integral berpijak pada gagasan bahwa kerusakan ekologis dan ketimpangan
sosial merupakan dua sisi dari satu krisis moral yang sama.³ Murray
Bookchin, pelopor teori ekologi sosial, menegaskan bahwa
eksploitasi terhadap alam berakar pada bentuk-bentuk dominasi manusia atas
manusia lain.⁴ Struktur sosial yang hierarkis, patriarkal, dan kapitalistik
menciptakan budaya penindasan yang kemudian diperluas terhadap alam.⁵
Dengan demikian, penyelesaian
krisis ekologis tidak cukup hanya dengan reformasi teknologi atau konservasi
sumber daya, tetapi menuntut rekonstruksi sosial yang egaliter dan
partisipatif.⁶ Ekologi integral memandang keadilan sosial sebagai
syarat mutlak bagi keadilan ekologis, sebab tanpa redistribusi kekuasaan dan
sumber daya, masyarakat miskin akan terus menjadi korban utama degradasi
lingkungan.⁷
Dalam perspektif ini, ekologi
integral bersinggungan dengan etika pembebasan, sebagaimana
dikembangkan oleh Leonardo Boff dan Gustavo Gutiérrez,
yang menegaskan bahwa solidaritas dengan kaum miskin tidak terpisah dari
tanggung jawab terhadap bumi.⁸ Etika ekologis menjadi etika sosial yang
konkret: membela alam berarti membela kehidupan manusia, terutama yang tertindas.
6.2.      
Ekonomi Ekologis dan
Kritik terhadap Kapitalisme Eksploitatif
Dimensi ekonomi ekologi
integral menuntut pembalikan logika ekonomi arus utama yang
berlandaskan pertumbuhan tanpa batas (unlimited growth).⁹ Sistem
ekonomi global saat ini beroperasi atas dasar eksploitasi sumber daya alam dan
konsumsi berlebihan, yang tidak sejalan dengan hukum ekologi alam yang menuntut
keseimbangan dan regenerasi.¹⁰
E. F. Schumacher
dalam Small Is Beautiful menegaskan bahwa ekonomi harus diukur bukan
dari seberapa besar produksi, tetapi dari kualitas kehidupan dan
keberlanjutan ekosistem.¹¹ Prinsip ini melahirkan konsep economy
of enough—ekonomi yang memprioritaskan kecukupan, bukan akumulasi.¹² Amartya
Sen dan Martha Nussbaum juga mengembangkan capability
approach, yang menilai pembangunan berdasarkan kemampuan manusia untuk
hidup bermartabat, bukan semata peningkatan PDB.¹³
Ekonomi ekologis yang
integral menuntut transformasi paradigma pembangunan: dari
model ekstraktif menuju model regeneratif.¹⁴ Kate Raworth, melalui
konsep doughnut economics, mengajukan kerangka ekonomi yang beroperasi
di antara dua batas: kesejahteraan manusia dan batas ekologis bumi.¹⁵ Prinsip
ini sejalan dengan ajaran Laudato Si’, yang mengingatkan bahwa “ekonomi
tidak dapat dipahami terpisah dari etika ekologis.”¹⁶
Dengan demikian, ekologi
integral mendorong ekonomi yang berbasis pada keadilan distributif,
produksi berkelanjutan, dan solidaritas ekologis
global—sebuah model ekonomi yang berakar pada moralitas kehidupan,
bukan pada profit.¹⁷
6.3.      
Politik Ekologis dan
Tanggung Jawab Global
Pada dimensi politik, ekologi
integral menegaskan perlunya pemerintahan ekologis (ecological
governance) yang berpihak pada kehidupan.¹⁸ Krisis iklim, deforestasi,
dan polusi global adalah persoalan lintas batas yang menuntut solidaritas
politik antarbangsa.¹⁹ Namun, politik global saat ini masih didominasi oleh
paradigma nasionalistik dan ekonomi pasar bebas yang sering kali bertentangan
dengan nilai ekologis.²⁰
Paus Fransiskus
dalam Laudato Si’ menyerukan terbentuknya “politik ekologis baru”—politik
yang didorong oleh kasih, tanggung jawab, dan kesadaran moral terhadap bumi.²¹
Politik semacam ini menuntut reorientasi kekuasaan dari logika
dominasi menjadi logika pelayanan, di mana pemimpin dilihat bukan sebagai penguasa
atas sumber daya, tetapi sebagai penjaga keberlanjutan ekosistem.²²
Ekologi integral juga
menekankan demokrasi ekologis, yakni partisipasi aktif
masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan.²³ Demokrasi ini
mencakup pengakuan terhadap pengetahuan lokal dan hak komunitas adat
dalam mengelola sumber daya alam.²⁴ Sebagaimana ditunjukkan oleh Boaventura
de Sousa Santos, pluralitas epistemik dan kedaulatan komunitas lokal
merupakan elemen penting dari keadilan ekologi global.²⁵
Dengan demikian, politik
ekologis integral bukan hanya upaya teknokratik, melainkan gerakan moral dan
spiritual yang menghubungkan hak asasi manusia dengan hak bumi.²⁶ Ia mengubah
politik dari arena kekuasaan menjadi arena tanggung jawab terhadap kehidupan
bersama.
6.4.      
Pendidikan dan
Kebudayaan Ekologis
Dimensi sosial-politik
ekologi integral juga mencakup bidang pendidikan dan kebudayaan.
Krisis lingkungan berakar pada krisis kesadaran, yang hanya dapat diatasi
melalui pendidikan ekologis integral.²⁷ Pendidikan ini bukan
hanya transfer pengetahuan tentang lingkungan, tetapi pembentukan kesadaran
moral dan spiritual tentang keterhubungan eksistensial manusia dengan bumi.²⁸
David Orr
menegaskan bahwa pendidikan ekologis harus memupuk “ecological literacy,”
yakni kemampuan untuk berpikir dan bertindak dalam kerangka sistem kehidupan.²⁹
Selain itu, budaya konsumtif modern perlu digantikan oleh budaya kesederhanaan
dan tanggung jawab ekologis.³⁰ Kebudayaan dalam kerangka integral
bukan sekadar hasil kreativitas manusia, tetapi juga sarana partisipasi manusia
dalam memperkaya kehidupan planet ini.
6.5.      
Menuju Tata Dunia
Ekologis dan Humanistik
Dimensi sosial, ekonomi, dan
politik ekologi integral berpuncak pada cita-cita pembentukan tata
dunia ekologis dan humanistik.³¹ Dunia yang demikian bukan hanya
mengutamakan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga keadilan sosial,
kesejahteraan universal, dan kedamaian kosmik.³² Dalam tata dunia ini,
politik, ekonomi, dan budaya bekerja bersama untuk melayani kehidupan, bukan
menguasainya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas
Berry, tugas besar umat manusia di era modern adalah “The Great
Work”—yakni transisi dari peradaban yang destruktif menjadi peradaban
ekologis.³³ Ekologi integral menyediakan dasar filosofis dan moral bagi
transformasi ini: dunia yang berkeadilan ekologis hanya mungkin jika manusia
menata kembali relasinya dengan alam dan sesama dalam semangat solidaritas
kosmik.³⁴
Footnotes
[1]               
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 139.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 3–5.
[3]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 87–89.
[4]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution
of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 24–26.
[5]               
Ibid., 51–53.
[6]               
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 141–144.
[7]               
Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective
(New York: Springer, 2015), 23–25.
[8]               
Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and
Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1973), 179–181; Leonardo Boff, Ecology
and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll: Orbis Books, 1995), 127–130.
[9]               
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (London: Blond & Briggs, 1973), 54–56.
[10]            
Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles
and Applications (Washington, DC: Island Press, 2004), 7–9.
[11]            
Schumacher, Small Is Beautiful, 68.
[12]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 36–38.
[13]            
Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 25–27.
[14]            
Fritjof Capra and Hazel Henderson, Qualitative Growth: From the
Wealth of Nations to the Wealth of Life (Cambridge: Schumacher Center,
2009), 12–14.
[15]            
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a
21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 33–35.
[16]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 109.
[17]            
Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable
Development (Boston: Beacon Press, 1996), 45–47.
[18]            
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 19–21.
[19]            
Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009),
12–13.
[20]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 87–90.
[21]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 164.
[22]            
Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World (Maryknoll:
Orbis Books, 2010), 76–78.
[23]            
David Held, Democracy and the Global Order (Cambridge: Polity
Press, 1995), 214–216.
[24]            
Darrell A. Posey, Cultural and Spiritual Values of Biodiversity
(Nairobi: UNEP, 1999), 41–43.
[25]            
Boaventura de Sousa Santos, The End of the Cognitive Empire: The
Coming of Age of Epistemologies of the South (Durham: Duke University
Press, 2018), 59–61.
[26]            
Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the
Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1992), 243–245.
[27]            
David W. Orr, Ecological Literacy: Education and the Transition to
a Postmodern World (Albany: State University of New York Press, 1992),
83–86.
[28]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 209–211.
[29]            
Orr, Ecological Literacy, 89.
[30]            
E. F. Schumacher, Good Work (New York: Harper & Row,
1979), 12–14.
[31]            
Thomas Berry, The Great Work, 89–91.
[32]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 143–145.
[33]            
Berry, The Great Work, 3.
[34]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 174–176.
7.          
Kritik terhadap Prinsip Ekologi Integral
Prinsip ekologi
integral, meskipun menawarkan kerangka etika yang holistik dan
spiritual, tidak luput dari berbagai kritik filosofis, teologis, dan praktis.
Kritik-kritik ini muncul dari beragam disiplin—mulai dari filsafat lingkungan,
teologi politik, hingga teori sosial—yang menyoroti baik kekuatan maupun
keterbatasannya. Secara umum, perdebatan ini berkisar pada empat ranah utama: (1)
kritik terhadap idealisme moralnya, (2) persoalan implementasi
sosial-ekonomi, (3) tuduhan teosentrisme dan moralistik,
serta (4) ketegangan antara universalitas dan partikularitas
dalam penerapan etika ekologis integral.¹
7.1.      
Kritik terhadap
Idealisme Moral
Kritik pertama datang dari
kalangan filsafat pragmatis dan realisme politik, yang menilai
bahwa ekologi integral terlalu normatif dan utopis.² Prinsip ini menekankan
kesatuan moral antara manusia, alam, dan Tuhan, namun sering kali kurang
mempertimbangkan realitas konflik kepentingan dan struktur ekonomi global yang
kompleks.³ Menurut Andrew Dobson, idealisme etika ekologis
sering kali gagal menjawab pertanyaan “bagaimana” implementasi keadilan
ekologis dapat diwujudkan dalam konteks politik kapitalistik yang mendominasi
dunia.⁴
Selain itu, beberapa pemikir
seperti Luc Ferry dan John Passmore menilai
bahwa ekologi integral mengandung bahaya romantisasi alam,
seolah-olah alam memiliki moralitas dan kesadaran sendiri.⁵ Mereka berargumen
bahwa moralitas tetap merupakan konstruksi rasional manusia, bukan atribut yang
melekat pada alam.⁶ Dengan demikian, mereka mempertanyakan validitas filosofis
dari klaim bahwa alam memiliki “nilai intrinsik” secara ontologis.
7.2.      
Kritik terhadap
Aplikasi Sosial dan Ekonomi
Kritik kedua diarahkan pada aspek
implementatif. Meskipun ekologi integral menekankan keadilan sosial
dan keberlanjutan, banyak pihak menilai bahwa prinsip ini sulit
diterapkan dalam sistem ekonomi global yang bergantung pada
pertumbuhan dan konsumsi massal.⁷ Ulrich Beck menegaskan bahwa
kapitalisme ekologis—yang mencoba menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan
keberlanjutan lingkungan—sering kali hanya menghasilkan “modernisasi
ekologis semu.”⁸
Bahkan, beberapa ekonom
ekologis seperti Herman Daly menyoroti paradoks bahwa wacana “ekonomi
hijau” sering kali menjadi legitimasi baru bagi korporasi untuk tetap
mempertahankan orientasi profit, dengan hanya mengganti citra menjadi lebih “berkelanjutan.”⁹
Di sisi lain, penerapan prinsip ekologi integral memerlukan perubahan
struktural besar-besaran dalam sistem produksi dan konsumsi, yang sering kali
berhadapan dengan resistensi politik dan ekonomi.¹⁰
7.3.      
Kritik terhadap
Teosentrisme dan Moralistik Ekologis
Kritik ketiga muncul dari
kalangan sekuler dan posthumanist, yang menilai bahwa ekologi
integral—terutama dalam versi teologisnya, seperti yang dikembangkan oleh Paus
Fransiskus dan Leonardo Boff—masih terjebak dalam teosentrisme
moralistik.¹¹ Dalam pandangan ini, alam dianggap sebagai refleksi
keilahian, sehingga hubungan manusia dengan lingkungan ditentukan oleh moralitas
religius.¹²
Bruno Latour,
dalam karyanya Facing Gaia, mengkritik pandangan semacam itu karena
dianggap “mengembalikan alam ke dalam tatanan moral teologis,” padahal
yang dibutuhkan adalah paradigma politik baru yang menempatkan manusia dan
non-manusia dalam kesetaraan eksistensial.¹³ Sementara itu, Donna
Haraway melalui konsep Chthulucene menolak moralitas
universal yang bersumber dari spiritualitas tertentu dan lebih menekankan
praktik keterhubungan dan tanggung jawab situasional antara spesies.¹⁴
Selain itu, beberapa kritikus
menilai bahwa ekologi integral berpotensi menyederhanakan kompleksitas
pluralisme nilai, dengan mengklaim bahwa semua masalah etis dapat
diselesaikan melalui kesadaran spiritual yang menyatukan.¹⁵ Padahal, realitas
sosial dan budaya yang beragam menuntut pendekatan etika yang kontekstual dan
tidak homogen.
7.4.      
Ketegangan antara
Universalitas dan Partikularitas
Kritik lain menyoroti ketegangan
epistemologis antara universalitas prinsip moral ekologi integral
dengan keberagaman lokalitas ekologis.¹⁶ Meskipun ekologi integral berpretensi
bersifat universal, ia sering kali bersumber dari kerangka pemikiran
Barat—terutama teologi Katolik dan sains sistemik modern.¹⁷ Hal ini menimbulkan
pertanyaan: sejauh mana prinsip integral mampu mengakomodasi pluralitas
epistemik dan kosmologi masyarakat adat yang memiliki pandangan ekologis
tersendiri?
Boaventura de Sousa
Santos menekankan bahwa etika ekologis global tidak boleh menjadi
bentuk baru dari kolonialisme epistemik, tetapi harus menghormati ecologies
of knowledges, yaitu keberagaman cara mengetahui yang dimiliki komunitas
di seluruh dunia.¹⁸ Dalam konteks ini, ekologi integral perlu direvisi agar
tidak jatuh pada universalitas hegemonik, melainkan membuka ruang bagi
dialog lintas budaya dan spiritualitas.¹⁹
7.5.      
Kritik Poststruktural
dan Ekofeminis
Selain itu, kalangan ekofeminis
dan poststrukturalis menilai bahwa ekologi integral masih
menyimpan jejak patriarkalisme dalam bahasa dan struktur pemikirannya.²⁰ Val
Plumwood berargumen bahwa meskipun ekologi integral menolak
antroposentrisme, ia kadang gagal mengatasi dikotomi dasar seperti laki-laki/ perempuan,
rasional/ emosional, budaya/alam, yang menjadi akar dominasi ekologis.²¹
Bagi Karen Warren,
etika ekologis yang sejati harus berangkat dari prinsip care ethics—yakni
relasi empatik dan kontekstual, bukan norma universal yang abstrak.²² Kritik
ini menegaskan perlunya dimensi gender dan afektif dalam ekologi integral, agar
tidak sekadar berbicara tentang kesatuan kosmik, tetapi juga tentang relasi
konkret yang menumbuhkan keadilan dan kepedulian.²³
7.6.      
Evaluasi Kritis dan
Peluang Pengembangan
Meskipun demikian,
kritik-kritik tersebut tidak serta-merta meniadakan relevansi ekologi integral,
melainkan memperkaya dan memperdalamnya. Kritik pragmatis mengingatkan perlunya
pendekatan transformatif yang realistis, kritik posthumanis
menegaskan kesetaraan ontologis antarspesies, dan kritik
ekofeminis menyoroti pentingnya dimensi afektif dan empatik
dalam moralitas ekologis.²⁴
Dengan demikian, ekologi
integral tetap relevan sejauh ia terbuka terhadap refleksi kritis dan dialog
lintas paradigma.²⁵ Prinsip integral harus terus berkembang dari model normatif
menjadi praktik etika yang dinamis, yang mampu merangkul
pluralitas budaya, epistemologi, dan spiritualitas dalam membangun tatanan
ekologis yang adil dan manusiawi.²⁶
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 172–174.
[2]               
John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses,
3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 114–116.
[3]               
Bryan Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York:
Oxford University Press, 1991), 92–95.
[4]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 84–86.
[5]               
Luc Ferry, The New Ecological Order, trans. Carol Volk
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 36–38.
[6]               
John Passmore, Man’s Responsibility for Nature: Ecological Problems
and Western Traditions (London: Duckworth, 1974), 101–104.
[7]               
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 62–65.
[8]               
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London:
Sage, 1992), 13–15.
[9]               
Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development
(Boston: Beacon Press, 1996), 11–13.
[10]            
Fritjof Capra and Hazel Henderson, Qualitative Growth: From the
Wealth of Nations to the Wealth of Life (Cambridge: Schumacher Center,
2009), 28–30.
[11]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 122–124.
[12]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 83–84.
[13]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 91–93.
[14]            
Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the
Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 31–33.
[15]            
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the
Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 102–104.
[16]            
Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective
(New York: Springer, 2015), 75–77.
[17]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 220.
[18]            
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 23–26.
[19]            
Arturo Escobar, Designs for the Pluriverse: Radical
Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham: Duke
University Press, 2018), 15–17.
[20]            
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on
What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press,
2000), 69–72.
[21]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 41–43.
[22]            
Warren, Ecofeminist Philosophy, 87–89.
[23]            
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 294–296.
[24]            
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 125–127.
[25]            
Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their
Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999), 202–204.
[26]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 92–94.
8.          
Relevansi Kontemporer
Dalam konteks abad ke-21 yang
ditandai oleh krisis iklim global, ketimpangan sosial,
dan percepatan teknologi, prinsip ekologi integral
memperoleh relevansi yang semakin mendesak. Ia tidak hanya menawarkan pandangan
moral terhadap lingkungan, tetapi juga menyediakan kerangka
etis-filosofis untuk menata kembali relasi antara manusia, masyarakat, dan bumi.¹
Prinsip ini menjadi alternatif paradigmatik terhadap model pembangunan modern
yang eksploitatif dan reduksionis, sekaligus membuka jalan bagi kesadaran
ekologis yang holistik dan humanistik.
8.1.      
Ekologi Integral dan
Krisis Iklim Global
Krisis iklim merupakan
fenomena paling nyata dari disintegrasi relasi manusia dengan alam. Laporan Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa peningkatan suhu global,
pencairan es kutub, dan intensifikasi bencana alam adalah akibat langsung dari
aktivitas manusia yang tidak terkendali.² Dalam situasi ini, ekologi integral
menghadirkan pendekatan etis yang melihat krisis iklim bukan semata persoalan
teknis, tetapi krisis spiritual dan moralitas global.³
Paus Fransiskus
dalam Laudato Si’ menegaskan bahwa “tidak ada dua krisis
terpisah—sosial dan lingkungan—melainkan satu krisis kompleks yang bersifat
integral.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa akar persoalan ekologis adalah
kehilangan rasa keterhubungan manusia dengan bumi. Oleh karena itu, solusi atas
krisis iklim menuntut konversi ekologis (ecological
conversion): perubahan paradigma kesadaran manusia dari dominasi menjadi
partisipasi, dari eksploitasi menuju tanggung jawab.⁵
Selain itu, ekologi integral
menolak pendekatan technocratic paradigm yang hanya menekankan inovasi
teknologi tanpa perubahan etika dan gaya hidup.⁶ Teknologi harus diletakkan
dalam bingkai moral dan spiritualitas ekologis, agar tidak menjadi instrumen
baru dari dominasi atas alam.
8.2.      
Relevansi terhadap
Etika Sosial dan Keadilan Lingkungan
Krisis ekologis tidak hanya
berdampak pada alam, tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial.⁷ Komunitas
miskin dan masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan terhadap bencana
ekologis meskipun kontribusi mereka terhadap emisi karbon sangat kecil.⁸
Prinsip ekologi integral, dengan penekanannya pada keadilan ekologis
dan solidaritas antargenerasi, menjadi dasar bagi etika sosial
kontemporer yang lebih inklusif dan berkeadilan.⁹
Dalam kerangka ini, ecological
justice tidak hanya berarti perlindungan lingkungan, tetapi juga pengakuan
atas hak-hak ekologis manusia dan non-manusia.¹⁰ Hal ini tercermin
dalam berbagai inisiatif global seperti The Earth Charter (2000), yang
menegaskan kesatuan spiritual dan etis umat manusia dengan biosfer.¹¹ Dengan
demikian, ekologi integral memperluas cakrawala keadilan: dari keadilan
manusiawi menuju keadilan kosmik.¹²
Lebih jauh, gagasan ini juga
beresonansi dengan teori ekofeminisme, yang menyoroti
keterkaitan antara dominasi patriarki terhadap perempuan dan eksploitasi
terhadap alam.¹³ Ekologi integral, dengan semangat relasionalitasnya,
menyediakan landasan untuk membangun tatanan sosial yang menolak hierarki dan
kekerasan ekologis.
8.3.      
Ekologi Integral dalam
Era Teknologi dan Antroposen
Kehadiran teknologi digital,
kecerdasan buatan, dan bioteknologi memperluas jangkauan kuasa manusia atas
alam. Di satu sisi, kemajuan ini membuka peluang baru bagi konservasi,
efisiensi energi, dan mitigasi bencana; tetapi di sisi lain, ia juga
menghadirkan bentuk baru alienasi ekologis.¹⁴ Dalam era yang
disebut Antroposen—masa di mana manusia menjadi kekuatan
geologis yang menentukan arah bumi—ekologi integral menjadi koreksi terhadap hybris
manusia modern.¹⁵
Epistemologi modern yang
memisahkan manusia dari dunia kini mencapai puncaknya dalam datafication
dan technological abstraction—yakni realitas yang direduksi menjadi
angka dan sistem digital.¹⁶ Dalam situasi ini, ekologi integral mengingatkan
bahwa pengetahuan tanpa kebijaksanaan ekologis akan melahirkan
teknologi tanpa moralitas.¹⁷ Karena itu, dibutuhkan paradigma techno-ethics
yang berakar pada kesadaran ekologis integral: teknologi sebagai alat
partisipasi dalam kehidupan, bukan dominasi terhadapnya.¹⁸
8.4.      
Ekologi Integral dalam
Pendidikan dan Kebudayaan
Relevansi lain dari ekologi
integral terletak pada peran pendidikan dan kebudayaan ekologis
dalam membentuk kesadaran baru manusia modern. Pendidikan konvensional yang
menekankan rasionalitas instrumental telah gagal menumbuhkan rasa hormat
terhadap bumi.¹⁹ Karena itu, dibutuhkan model pendidikan integral yang
menyatukan pengetahuan ilmiah, moralitas, dan spiritualitas ekologis.²⁰
David Orr
menyebut konsep ini sebagai ecological literacy—kemampuan memahami
sistem kehidupan dan berperilaku sesuai dengan hukum-hukum alam.²¹ Pendidikan
ekologis integral bertujuan membentuk manusia yang ecologically competent,
yakni mampu berpikir sistemik, bertindak berkelanjutan, dan hidup sederhana.²²
Selain pendidikan, dimensi
kebudayaan juga memegang peran penting. Kesenian, ritus, dan narasi budaya
dapat menjadi sarana untuk memulihkan imajinasi ekologis
manusia.²³ Tradisi-tradisi lokal seperti falsafah Tri Hita Karana di
Bali atau memayu hayuning bawana di Jawa adalah contoh kearifan
integral yang dapat dijadikan landasan etika ekologis kontemporer.²⁴
8.5.      
Politik Global dan
Etika Antarbangsa
Dalam tataran politik global,
prinsip ekologi integral mendukung munculnya konsep tata kelola
ekologis dunia (global ecological governance) yang menempatkan bumi
sebagai rumah bersama (common home).²⁵ Prinsip ini mendorong
terbentuknya sistem hukum internasional yang mengakui hak-hak bumi
(rights of nature), sebagaimana diadopsi oleh Ekuador dan Bolivia
dalam konstitusi mereka.²⁶
Ekologi integral juga
berperan sebagai landasan moral bagi kerja sama internasional menghadapi krisis
iklim, seperti Paris Agreement (2015).²⁷ Dalam pandangan ini,
diplomasi bukan hanya persoalan kepentingan nasional, tetapi ekspresi tanggung
jawab moral terhadap keberlanjutan planet.²⁸ Dengan demikian, ekologi integral
menghadirkan etos politik kosmopolitan, di mana solidaritas
manusia lintas negara dan generasi menjadi prinsip moral tertinggi.²⁹
8.6.      
Spiritualitas Bumi dan
Harapan Kosmik
Akhirnya, relevansi terdalam
dari ekologi integral terletak pada pembaharuan spiritualitas bumi.³⁰
Di tengah nihilisme ekologis dan disorientasi moral modern, prinsip ini
menegaskan kembali sakralitas kehidupan.³¹ Seperti dinyatakan oleh Thomas
Berry, “masa depan umat manusia bergantung pada kemampuan kita
untuk menemukan kembali bumi sebagai komunitas spiritual.”³²
Spiritualitas ekologis bukan
pelarian religius, tetapi bentuk kesadaran imanen bahwa
kehidupan adalah anugerah yang saling menopang.³³ Dalam kesadaran ini, manusia
tidak lagi melihat dirinya sebagai penguasa atau pengamat dunia, tetapi sebagai
anggota komunitas kosmik yang bertanggung jawab atas
kelangsungan seluruh ciptaan.³⁴ Dengan demikian, ekologi integral menjadi jalan
menuju metanoia ekologis—perubahan batin yang menghubungkan
kembali manusia dengan bumi, sesama, dan Sang Sumber Kehidupan.³⁵
Footnotes
[1]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 3–5.
[2]               
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change
2021: The Physical Science Basis (Geneva: IPCC, 2021), 10–12.
[3]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 25–27.
[4]               
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 139.
[5]               
Ibid., sec. 216–221.
[6]               
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 139–141.
[7]               
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 83–85.
[8]               
Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective
(New York: Springer, 2015), 92–94.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11–13.
[10]            
Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice (Cape
Town: Siber Ink, 2002), 47–49.
[11]            
Earth Charter Commission, The Earth Charter (Paris: UNESCO,
2000), preamble.
[12]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 115–117.
[13]            
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on
What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press,
2000), 98–100.
[14]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 243–246.
[15]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 102–104.
[16]            
Byung-Chul Han, The Expulsion of the Other (Cambridge: Polity
Press, 2018), 35–38.
[17]            
Thomas Berry, The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and
Religion in the Twenty-First Century (New York: Columbia University Press,
2009), 56–59.
[18]            
Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World (Maryknoll:
Orbis Books, 2010), 112–114.
[19]            
David W. Orr, Ecological Literacy: Education and the Transition to
a Postmodern World (Albany: State University of New York Press, 1992),
89–91.
[20]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 210.
[21]            
Orr, Ecological Literacy, 102.
[22]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 316–318.
[23]            
Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey of the Universe
(New Haven: Yale University Press, 2011), 77–80.
[24]            
A. Supomo, Wayang and Ecology: Traditional Wisdom of Java
(Jakarta: LIPI Press, 2004), 17–19.
[25]            
David Held, Democracy and the Global Order (Cambridge: Polity
Press, 1995), 222–225.
[26]            
Polly Higgins, Eradicating Ecocide: Laws and Governance to Prevent
the Destruction of Our Planet (London: Shepheard-Walwyn, 2010), 38–41.
[27]            
United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), art. 2.
[28]            
Andrew Dobson, Environmental Politics: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 64–66.
[29]            
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 130–132.
[30]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll: Orbis Books, 1995), 143–145.
[31]            
Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the
Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1992), 245–247.
[32]            
Thomas Berry, The Great Work, 201.
[33]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 73–76.
[34]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global
Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 118–120.
[35]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 217.
9.          
Sintesis Filosofis: Menuju Etika Lingkungan
Integral dan Humanistik
Sintesis filosofis dari
prinsip ekologi integral berupaya menyatukan seluruh dimensi yang
telah dibahas—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, politik, dan
spiritual—ke dalam suatu kerangka etika lingkungan yang integral dan
humanistik. Etika ini berangkat dari kesadaran bahwa krisis ekologis
tidak hanya merupakan persoalan teknis, tetapi manifestasi dari krisis makna
dan orientasi manusia di dunia.¹ Oleh karena itu, tanggapan etis yang memadai
harus mencakup pembaruan kesadaran ontologis dan moral, serta rekonstruksi
relasi manusia dengan seluruh tatanan kosmos.
9.1.      
Integrasi Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi
Etika lingkungan integral dan
humanistik berakar pada kesatuan antara cara manusia “ada”,
“mengetahui”, dan “bernilai.” Ontologi integral menegaskan bahwa
realitas bersifat relasional dan koeksistensial; epistemologi integral mengajarkan
bahwa pengetahuan sejati adalah partisipasi dalam kehidupan; sementara
aksiologi integral mengajarkan bahwa nilai moral melekat dalam keberadaan itu
sendiri.²
Dengan menyatukan ketiganya,
terbentuk paradigma etika baru yang melampaui dualisme antara subjek dan objek,
antara rasio dan moralitas, antara manusia dan alam.³ Fritjof Capra
menyebut paradigma ini sebagai ecological worldview—pandangan dunia
yang melihat kehidupan sebagai jaringan makna dan proses yang saling menopang.⁴
Dalam kerangka ini, tindakan etis bukan lagi sekadar ketaatan terhadap norma,
melainkan ekspresi ontologis dari kesadaran bahwa hidup adalah relasi.
9.2.      
Manusia sebagai
Subjek-Partisipan dalam Kosmos
Etika integral menempatkan
manusia bukan sebagai penguasa, melainkan subjek-partisipan
dalam jaringan kosmik.⁵ Hal ini sejalan dengan gagasan Thomas Berry
yang menegaskan bahwa manusia adalah “bagian reflektif dari bumi,”
makhluk yang memiliki kemampuan kesadaran untuk memelihara atau menghancurkan
kehidupan.⁶ Dengan demikian, tanggung jawab moral manusia lahir dari kapasitas
reflektif ini—dari kesadarannya akan keanggotaan dalam komunitas kehidupan.
Etika humanistik dalam
kerangka integral bukan berarti menegaskan kembali antroposentrisme, melainkan humanisme
ekologis, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai penjaga dan
mediator kehidupan.⁷ Leonardo Boff menyebutnya sebagai eco-humanism,
yaitu humanisme yang terbuka pada transendensi kosmik dan kesucian alam.⁸ Dalam
arti ini, kemanusiaan sejati tidak diukur dari kemampuan menguasai alam,
melainkan dari kemampuannya untuk merawat kehidupan.
9.3.      
Etika Relasional dan
Solidaritas Kosmik
Etika integral bersifat relasional:
nilai moral tidak muncul dalam isolasi, melainkan dalam jaringan hubungan yang
membentuk kehidupan.⁹ Setiap tindakan manusia memiliki implikasi ekologis
karena terjalin dalam web of life. Oleh karena itu, moralitas ekologis
harus dipahami sebagai etika solidaritas kosmik—yakni kesadaran akan
keterikatan moral manusia terhadap seluruh makhluk.¹⁰
Joanna Macy
menyebut kesadaran ini sebagai the ecological self, suatu identitas
yang meluas hingga mencakup seluruh kehidupan.¹¹ Kesadaran ini memunculkan
keutamaan moral baru: compassion for all beings.¹² Kasih sayang bukan
lagi emosi personal, tetapi orientasi ontologis terhadap keberadaan yang saling
bergantung. Dalam perspektif ini, tanggung jawab etis terhadap bumi bukan
kewajiban eksternal, melainkan ekspresi alamiah dari kesadaran ekologis yang
matang.
9.4.      
Integrasi Etika dan
Spiritualitas Bumi
Etika lingkungan integral
tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas bumi, yang melihat
seluruh ciptaan sebagai manifestasi kehadiran ilahi atau theophany of being.¹³
Raimon Panikkar menamai pandangan ini sebagai cosmotheandric
vision—keutuhan yang mengikat manusia (anthropos), alam semesta (cosmos),
dan Yang Ilahi (Theos) dalam satu realitas dinamis.¹⁴
Dalam spiritualitas ini,
tindakan etis terhadap bumi menjadi bentuk ibadah kosmik: menjaga kehidupan
berarti menghormati misteri ilahi yang hadir di dalamnya.¹⁵ Maka, etika ekologis
bukanlah sekadar kewajiban moral, melainkan liturgi keberadaan—tindakan
yang menyatukan dimensi etis, estetis, dan spiritual kehidupan.¹⁶
Dengan demikian, prinsip ekologi
integral menumbuhkan kesadaran bahwa spiritualitas tidak bertentangan
dengan rasionalitas ekologis; justru keduanya berpadu dalam etika
sakralitas kehidupan yang menegaskan kesatuan antara moralitas dan
kosmos.¹⁷
9.5.      
Transformasi Kesadaran
dan Praksis Etis
Tujuan akhir dari sintesis
filosofis ini adalah transformasi kesadaran ekologis. Etika
lingkungan integral bukan sekadar teori moral, tetapi proses pendidikan
kesadaran manusia menuju kehidupan yang berkelanjutan dan bermakna.¹⁸
Transformasi ini menuntut metanoia ekologis—perubahan batin yang
mengubah cara manusia berpikir, berkehendak, dan bertindak terhadap bumi.¹⁹
Hans Jonas
menegaskan bahwa dalam era teknologi modern, etika baru harus lahir: etika yang
berpihak pada kehidupan masa depan dan menghargai batas-batas ekologis.²⁰
Prinsip tanggung jawab ekologis menjadi imperatif kategoris baru bagi
manusia abad ke-21: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tindakanmu
dapat menjaga keberlanjutan kehidupan di bumi.”²¹
Etika lingkungan integral,
dengan demikian, menuntun manusia untuk memadukan refleksi dan tindakan—menjadi
subjek moral yang sadar, terlibat, dan penuh kasih dalam komunitas ekologis
global.²²
9.6.      
Menuju Humanisme
Ekologis Global
Pada akhirnya, sintesis ini
bermuara pada lahirnya humanisme ekologis global—sebuah visi
kemanusiaan baru yang melampaui batas budaya, agama, dan politik.²³ Humanisme
ini berakar pada keyakinan bahwa martabat manusia tak dapat dipisahkan dari
martabat bumi.²⁴ Dalam paradigma ini, hak asasi manusia dan hak-hak alam
dipandang saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Thomas Berry
menyebutnya sebagai “era Ecozoic,” yaitu zaman baru di mana manusia
hidup dalam harmoni kreatif dengan seluruh ciptaan.²⁵ Visi ini bukan utopia,
melainkan horizon etis yang memandu transformasi peradaban dari logika dominasi
menuju logika kepedulian.²⁶
Dengan demikian, etika
lingkungan integral dan humanistik menjadi jembatan antara filsafat dan
praksis ekologis, antara kesadaran spiritual dan tanggung jawab
sosial. Ia mengundang manusia untuk menghidupi kembali relasi primordialnya
dengan bumi—bukan sebagai tuan, tetapi sebagai penjaga yang setia (faithful
steward) dari kehidupan yang dianugerahkan.²⁷
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 182–184.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 84–86.
[3]               
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 45–48.
[4]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–30.
[5]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 101–103.
[6]               
Berry, The Great Work, 103–104.
[7]               
Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the
Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1992), 198–200.
[8]               
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll: Orbis Books, 1995), 142–144.
[9]               
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 310–312.
[10]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 174–176.
[11]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self: Courage for Global
Justice and Ecological Renewal (Berkeley: Parallax Press, 2007), 88–90.
[12]            
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on
What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press,
2000), 87–89.
[13]            
Thomas Berry, The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and
Religion in the Twenty-First Century (New York: Columbia University Press,
2009), 63–65.
[14]            
Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 73–75.
[15]            
Berry, The Sacred Universe, 67–68.
[16]            
Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World (Maryknoll:
Orbis Books, 2010), 102–104.
[17]            
Brian Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey of the Universe
(New Haven: Yale University Press, 2011), 90–92.
[18]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 217–219.
[19]            
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll: Orbis Books, 2010), 191–193.
[20]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 36–38.
[21]            
Ibid., 123.
[22]            
Holmes Rolston III, Genes, Genesis and God: Values and Their
Origins in Natural and Human History (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999), 208–210.
[23]            
Leonardo Boff, Virtues for Another Possible World, 134–136.
[24]            
Enrique Leff, Environmental Rationality: Towards a New Modernity
(London: Palgrave Macmillan, 2015), 93–96.
[25]            
Berry, The Great Work, 201–203.
[26]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 140–142.
[27]            
Pope Francis, Laudato Si’, sec. 67.
10.      
Kesimpulan
Prinsip ekologi
integral merupakan sintesis filosofis dan etis yang berupaya
menyatukan seluruh dimensi kehidupan manusia—ontologis, epistemologis,
aksiologis, sosial, politik, dan spiritual—ke dalam satu kerangka moral yang
menyeluruh dan koheren.¹ Ia berangkat dari kesadaran mendasar bahwa krisis
lingkungan global bukanlah sekadar akibat kesalahan teknologis atau kebijakan
ekonomi, melainkan krisis spiritual dan epistemologis yang berakar pada cara
manusia memahami dan menempatkan dirinya dalam kosmos.²
Secara ontologis, ekologi
integral menegaskan bahwa realitas adalah jaringan kehidupan yang
saling terkait dan bergantung.³ Setiap makhluk hidup memiliki nilai dan
makna intrinsik yang tidak dapat direduksi pada manfaatnya bagi manusia.⁴
Dengan demikian, eksistensi manusia tidak dapat dipahami secara terpisah dari
keseluruhan sistem ekologis yang menopangnya. Prinsip ini meneguhkan pandangan relasionalitas
ontologis—bahwa menjadi berarti berelasi.⁵
Secara epistemologis, ekologi
integral mengusulkan cara mengetahui yang partisipatif dan dialogis,
yang menggabungkan rasionalitas ilmiah dengan kebijaksanaan etis dan
spiritual.⁶ Pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai alat dominasi atas alam,
tetapi sebagai bentuk partisipasi dalam misteri kehidupan. Dalam epistemologi
semacam ini, kebenaran bukan hanya hasil observasi objektif, melainkan juga
hasil keterlibatan eksistensial manusia dalam komunitas kehidupan.⁷
Secara aksiologis, ekologi
integral menegaskan bahwa nilai moral tertinggi adalah keberlanjutan
dan keutuhan kehidupan.⁸ Prinsip ini melahirkan imperatif ekologis
baru: setiap tindakan harus diukur berdasarkan sejauh mana ia menopang atau
merusak jaringan kehidupan.⁹ Etika ekologis, dengan demikian, bukan sekadar
tanggung jawab moral terhadap alam, tetapi ekspresi kesadaran spiritual akan
sakralitas keberadaan.¹⁰
Dimensi sosial, ekonomi, dan
politik dari ekologi integral memperluas cakrawala etika lingkungan menuju keadilan
ekologis global.¹¹ Prinsip ini mengaitkan tanggung jawab ekologis
dengan solidaritas sosial dan tanggung jawab antargenerasi. Dalam konteks
ketimpangan global dan krisis iklim, ekologi integral menuntut perubahan
paradigma pembangunan: dari eksploitasi menuju keberlanjutan, dari pertumbuhan
tanpa batas menuju keseimbangan kosmik.¹²
Secara spiritual, prinsip ini
menegaskan bahwa bumi bukan sekadar sumber daya, tetapi komunitas
sakral kehidupan—sebuah communion of subjects, bukan collection
of objects.¹³ Dengan demikian, spiritualitas ekologis tidak berpusat pada
transendensi yang menjauhkan manusia dari dunia, tetapi pada immanensi ilahi
yang menghidupi seluruh ciptaan.¹⁴ Dalam pandangan ini, menjaga bumi menjadi
bentuk tertinggi dari ibadah moral: tindakan yang menyatukan cinta,
pengetahuan, dan tanggung jawab dalam satu kesadaran integral.¹⁵
Secara filosofis, ekologi
integral berupaya melahirkan etika lingkungan humanistik,
yakni etika yang menempatkan manusia bukan di atas, melainkan di dalam kosmos
sebagai penjaga dan mediator kehidupan.¹⁶ Ia menolak ekstremisme antroposentris
yang menuhankan manusia, sekaligus menghindari ekosentrisme murni yang
menghapus nilai kemanusiaan. Dalam keseimbangan itulah muncul gagasan humanisme
ekologis—pandangan bahwa martabat manusia terletak dalam tanggung jawabnya
terhadap keberlangsungan kehidupan.¹⁷
Akhirnya, prinsip ekologi
integral mengajak manusia memasuki era kesadaran baru, yang
oleh Thomas Berry disebut sebagai Ecozoic Era: zaman
di mana manusia hidup selaras dengan bumi dan berpartisipasi aktif dalam
evolusi kosmik.¹⁸ Etika lingkungan integral dan humanistik menjadi fondasi
moral bagi peradaban masa depan yang berkeadilan ekologis, berakar pada
spiritualitas bumi, dan berorientasi pada kelestarian kehidupan.
Dengan demikian, ekologi
integral bukan sekadar teori atau prinsip etika, melainkan visi
peradaban: panggilan untuk membangun dunia di mana manusia dan bumi
dapat hidup bersama dalam keselarasan, keberlanjutan, dan kasih universal.¹⁹
Footnotes
[1]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 83–86.
[2]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 101–103.
[3]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.
[4]               
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 44–46.
[5]               
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David R.
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 75–77.
[6]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 311–313.
[7]               
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-Than-Human World (New York: Pantheon, 1996), 52–55.
[8]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There
(New York: Oxford University Press, 1949), 224–226.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 38–40.
[10]            
Thomas Berry, The Sacred Universe: Earth, Spirituality, and
Religion in the Twenty-First Century (New York: Columbia University Press,
2009), 61–63.
[11]            
Enrique Leff, Political Ecology: A Latin American Perspective
(New York: Springer, 2015), 93–95.
[12]            
E. F. Schumacher, Small Is Beautiful: Economics as if People
Mattered (London: Blond & Briggs, 1973), 64–66.
[13]            
Berry, The Great Work, 201–203.
[14]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 73–75.
[15]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll: Orbis Books, 1995), 144–146.
[16]            
Brian Swimme and Thomas Berry, The Universe Story: From the
Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1992), 199–202.
[17]            
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on
What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press,
2000), 102–104.
[18]            
Berry, The Great Work, 3–5.
[19]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 67, 217.
Daftar Pustaka 
Abram, D. (1996). The spell of the sensuous:
Perception and language in a more-than-human world. Pantheon Books.
Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new
modernity. Sage Publications.
Beck, U. (2009). World at risk. Polity
Press.
Berry, T. (1999). The great work: Our way into
the future. Bell Tower.
Berry, T. (2009). The sacred universe: Earth,
spirituality, and religion in the twenty-first century. Columbia University
Press.
Boff, L. (1995). Ecology and liberation: A new
paradigm. Orbis Books.
Boff, L. (1997). Cry of the earth, cry of the
poor. Orbis Books.
Boff, L. (2010). Virtues for another possible
world. Orbis Books.
Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The
emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. Anchor Books.
Capra, F. (2002). The hidden connections: A
science for sustainable living. Anchor Books.
Capra, F., & Henderson, H. (2009). Qualitative
growth: From the wealth of nations to the wealth of life. Schumacher Center
for New Economics.
Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The
systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.
Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton
Mifflin.
Cullinan, C. (2002). Wild law: A manifesto for
Earth justice. Siber Ink.
Daly, H. E. (1996). Beyond growth: The economics
of sustainable development. Beacon Press.
Daly, H. E., & Farley, J. (2004). Ecological
economics: Principles and applications. Island Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Dobson, A. (2007). Green political thought
(4th ed.). Routledge.
Dobson, A. (2016). Environmental politics: A
very short introduction. Oxford University Press.
Dryzek, J. (2013). The politics of the Earth:
Environmental discourses (3rd ed.). Oxford University Press.
Earth Charter Commission. (2000). The Earth Charter.
UNESCO.
Escobar, A. (2018). Designs for the pluriverse:
Radical interdependence, autonomy, and the making of worlds. Duke
University Press.
Ferry, L. (1995). The new ecological order
(C. Volk, Trans.). University of Chicago Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Gutiérrez, G. (1973). A theology of liberation: History,
politics, and salvation. Orbis Books.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Han, B.-C. (2018). The expulsion of the other.
Polity Press.
Haraway, D. (2016). Staying with the trouble:
Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy:
The revolution in modern science. Harper.
Higgins, P. (2010). Eradicating ecocide: Laws
and governance to prevent the destruction of our planet. Shepheard-Walwyn.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Lao Tzu. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau,
Trans.). Penguin Classics.
Latour, B. (1993). We have never been modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures
on the new climatic regime. Polity Press.
Leff, E. (2015). Political ecology: A Latin
American perspective. Springer.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac and
sketches here and there. Oxford University Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Lovelock, J. (1979). Gaia: A new look at life on
Earth. Oxford University Press.
Macy, J. (2007). World as lover, world as self:
Courage for global justice and ecological renewal. Parallax Press.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Naess, A. (1989). Ecology, community, and
lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A
philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Orr, D. W. (1992). Ecological literacy:
Education and the transition to a postmodern world. State University of New
York Press.
Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric
experience: Emerging religious consciousness. Orbis Books.
Panikkar, R. (2010). The rhythm of being: The
Gifford lectures. Orbis Books.
Passmore, J. (1974). Man’s responsibility for
nature: Ecological problems and Western traditions. Duckworth.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of
nature. Routledge.
Posey, D. A. (1999). Cultural and spiritual
values of biodiversity. United Nations Environment Programme (UNEP).
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught.
Grove Press.
Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven
ways to think like a 21st-century economist. Random House.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Rolston, H. III. (1992). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Temple University Press.
Rolston, H. III. (1999). Genes, genesis and God:
Values and their origins in natural and human history. Cambridge University
Press.
Rolston, H. III. (2012). A new environmental
ethics: The next millennium for life on Earth. Routledge.
Schumacher, E. F. (1973). Small is beautiful:
Economics as if people mattered. Blond & Briggs.
Schumacher, E. F. (1979). Good work. Harper
& Row.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Shiva, V. (1993). Monocultures of the mind: Perspectives
on biodiversity and biotechnology. Zed Books.
Supomo, A. (2004). Wayang and ecology:
Traditional wisdom of Java. LIPI Press.
Swimme, B., & Berry, T. (1992). The universe
story: From the primordial flaring forth to the Ecozoic era.
HarperSanFrancisco.
Swimme, B., & Tucker, M. E. (2011). Journey
of the universe. Yale University Press.
United Nations. (1987). Our common future.
Oxford University Press.
United Nations. (2015). Paris Agreement.
United Nations.
Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A
Western perspective on what it is and why it matters. Indiana University
Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality: An
essay in cosmology (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar