Kamis, 16 Oktober 2025

Aliran Pragmatis (al-Dzarai'iy): Pendidikan, Manfaat, dan Realitas Sosial dalam Pemikiran Ibnu Khaldun

Aliran Pragmatis (al-Dzarai'iy)

Pendidikan, Manfaat, dan Realitas Sosial dalam Pemikiran Ibnu Khaldun


Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran al-Dzarā’i‘iy (pragmatisme Islam) dalam filsafat Islam sebagaimana dirumuskan oleh Ibnu Khaldun, yang menekankan fungsi ilmu dan pendidikan sebagai sarana (dzarī‘ah) untuk mencapai kemaslahatan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Pendekatan ini menampilkan sintesis antara rasionalitas empiris dan nilai-nilai moral teologis, di mana pengetahuan tidak hanya dinilai berdasarkan kebenarannya, tetapi juga berdasarkan manfaat dan dampak sosialnya. Melalui analisis historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, artikel ini menguraikan bagaimana Ibnu Khaldun membangun paradigma fungsional yang menolak spekulasi metafisik tanpa manfaat praktis.

Epistemologi al-Dzarā’i‘iy menempatkan wahyu, akal, dan pengalaman sebagai instrumen saling melengkapi, sementara etika dan pendidikan berfungsi membentuk manusia yang berilmu dan beramal saleh. Dalam bidang sosial-politik, Ibnu Khaldun mengintegrasikan konsep ‘asabiyyah (solidaritas sosial) dan maṣlaḥah (kemaslahatan) sebagai dasar bagi keadilan dan keberlanjutan peradaban. Dibandingkan dengan pragmatisme Barat (William James, John Dewey, dan Peirce), al-Dzarā’i‘iy menampilkan dimensi teosentris yang menilai manfaat bukan sekadar secara utilitarian, tetapi juga secara moral dan spiritual.

Artikel ini menegaskan bahwa al-Dzarā’i‘iy relevan untuk menjawab tantangan modern seperti krisis moral, degradasi lingkungan, dan reduksi pendidikan menjadi sekadar instrumen ekonomi. Dengan mengintegrasikan ilmu, akhlak, dan kemaslahatan sosial, Ibnu Khaldun menghadirkan filsafat tindakan yang etis dan ilahiah. Maka, al-Dzarā’i‘iy dapat dipandang sebagai paradigma epistemologis dan aksiologis Islam yang menghidupkan kembali hubungan organik antara pengetahuan, amal, dan kebajikan dalam kerangka pembangunan peradaban manusia yang seimbang dan beradab.

Kata Kunci: Ibnu Khaldun; al-Dzarā’i‘iy; Pragmatisme Islam; Kemaslahatan; Epistemologi Islam; Etika Pendidikan; Filsafat Tindakan; Maqāṣid al-Sharī‘ah; Filsafat Sosial Islam; Pragmatisme Spiritual.


PEMBAHASAN

Aliran Pragmatis (al-Dzarā’i‘iy) dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam memiliki kekayaan aliran dan pendekatan yang luas, mencakup dimensi metafisik, epistemologis, etis, hingga sosial-historis. Salah satu corak yang relatif kurang mendapat perhatian dalam historiografi filsafat Islam klasik adalah aliran Pragmatis (al-Dzarā’i‘iy), yakni pendekatan yang menilai nilai suatu pengetahuan berdasarkan manfaat dan dampaknya terhadap kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam kerangka ini, al-Dzarā’i‘iy menekankan bahwa ilmu tidak bernilai pada dirinya sendiri, melainkan sejauh ia menjadi sarana (dzarī‘ah) bagi tercapainya kemaslahatan individu dan masyarakat.¹

Gagasan pragmatis dalam filsafat Islam dapat dilacak secara implisit dalam berbagai karya ulama dan filsuf, tetapi memperoleh bentuk konseptual yang khas dalam pemikiran Abd al-Rahman Ibn Khaldun (1332–1406 M). Ia bukan hanya dikenal sebagai pelopor ilmu sosial dan sejarah (‘ilm al-‘umrān), tetapi juga sebagai pemikir yang menekankan pentingnya pendidikan yang berorientasi pada manfaat praktis dan pembangunan moral-sosial.² Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun menulis bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan bukan sekadar kontemplasi teoritis, melainkan peningkatan kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan yang bermakna, tertib, dan produktif dalam masyarakat.³

Ibnu Khaldun hidup pada masa kemunduran politik dan intelektual dunia Islam, ketika tradisi keilmuan banyak terjebak dalam formalitas dan perdebatan skolastik tanpa aplikasi nyata. Kondisi ini mendorongnya untuk merumuskan suatu filsafat pendidikan dan pengetahuan yang berpijak pada realitas empiris dan sosial, bukan semata pada abstraksi metafisik.⁴ Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy dalam pemikiran Ibnu Khaldun muncul sebagai bentuk reaksi epistemologis dan etis terhadap idealisme rasionalistik yang mendominasi tradisi filsafat sebelumnya, seperti yang terlihat pada Ibn Sina dan al-Farabi.⁵

Lebih jauh, pendekatan pragmatis Ibnu Khaldun memiliki dimensi religius yang kuat. Ia tidak menolak dimensi spiritual dari pengetahuan, tetapi justru menegaskan bahwa pengetahuan harus mengantarkan manusia kepada keseimbangan antara keberhasilan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam pandangannya, ‘ilm adalah sarana untuk ‘amal ṣāliḥ, dan pendidikan adalah instrumen untuk membentuk manusia yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, dan Tuhannya.⁶ Dengan demikian, filsafat pragmatis Islam versi Ibnu Khaldun berakar pada etika teleologis Islam yang menempatkan kemaslahatan (maṣlaḥah) sebagai ukuran nilai tindakan dan ilmu.⁷

Dari perspektif metodologis, pendekatan ini juga merepresentasikan bentuk awal empirisisme sosial dalam tradisi Islam. Ibnu Khaldun mengembangkan metode observasi terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Muslim untuk menemukan hukum-hukum sosial yang bersifat umum. Ia memandang bahwa ilmu harus lahir dari pengalaman dan pengamatan terhadap realitas yang konkret, bukan dari spekulasi metafisik yang terlepas dari konteks kehidupan.⁸ Inilah yang kemudian menjadikan Ibnu Khaldun sebagai salah satu tokoh yang memadukan rasionalitas filosofis dengan kepekaan pragmatis terhadap kehidupan sosial.

Oleh karena itu, pembahasan tentang al-Dzarā’i‘iy dalam konteks filsafat Islam tidak hanya penting untuk memahami Ibnu Khaldun secara historis, tetapi juga relevan bagi rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer. Dalam era modern yang menuntut integrasi antara ilmu, moralitas, dan kemanfaatan sosial, filsafat pragmatis Islam menawarkan model berpikir yang menyeimbangkan antara hikmah (kebijaksanaan) dan manfa‘ah (kemanfaatan).⁹ Artikel ini akan menguraikan secara sistematis landasan filosofis, epistemologis, dan etis aliran al-Dzarā’i‘iy, dengan menyoroti kontribusi Ibnu Khaldun sebagai tokoh utamanya serta relevansi pemikirannya bagi pendidikan dan peradaban Islam masa kini.


Footnotes

[1]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 211.

[2]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 3–5.

[3]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 314.

[4]                Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 22.

[5]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 67.

[6]                M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 98.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 158–60.

[8]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 112–13.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 44–46.


2.           Landasan Historis dan Konseptual

2.1.       Asal-Usul Konsep al-Dzarā’i‘iy dalam Tradisi Islam

Secara etimologis, istilah al-Dzarā’i‘iy berasal dari kata dzarī‘ah (الذريعة) yang berarti “sarana” atau “perantara.” Dalam konteks fikih dan etika Islam, al-Dzarā’i‘iy merujuk pada prinsip bahwa segala tindakan dinilai berdasarkan sarana yang mengantarkan kepada tujuan tertentu.¹ Dengan demikian, nilai suatu tindakan atau pengetahuan tidak bersifat intrinsik, tetapi tergantung pada orientasi dan hasilnya dalam mencapai kemaslahatan (maṣlaḥah). Prinsip ini kemudian menjadi dasar dari apa yang disebut sebagai pragmatisme Islam, yang berorientasi pada manfaat praktis dan keberlanjutan moral.²

Dalam tradisi hukum Islam, sadd al-dzarā’i‘ (menutup sarana menuju keburukan) dan fath al-dzarā’i‘ (membuka sarana menuju kebaikan) merupakan mekanisme rasional untuk menjaga keseimbangan antara tujuan syariat dan tindakan manusia.³ Maka, al-Dzarā’i‘iy tidak semata berkaitan dengan utilitas material, tetapi juga dengan dimensi etis dan teleologis—yakni orientasi menuju maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat).⁴ Inilah akar filosofis yang kelak diadopsi dan dikembangkan Ibnu Khaldun dalam kerangka sosial dan pendidikan.

2.2.       Konteks Historis Kemunculan Gagasan Pragmatis

Pemikiran Ibnu Khaldun lahir pada masa kemunduran politik dan sosial dunia Islam, khususnya di wilayah Maghrib (Afrika Utara) abad ke-14. Dinasti-dinasti Muslim pada masa itu mengalami disintegrasi, konflik, serta stagnasi intelektual akibat dominasi dogmatisme teologis.⁵ Kondisi tersebut memunculkan kebutuhan akan pemikiran yang realistis dan aplikatif untuk memulihkan peradaban. Ibnu Khaldun, yang menyaksikan langsung kejatuhan berbagai kerajaan dan pergeseran sosial, mengembangkan suatu filsafat sejarah dan pendidikan yang berpijak pada pengamatan empiris serta orientasi kemaslahatan sosial.⁶

Ibnu Khaldun menilai bahwa pengetahuan tidak boleh berhenti pada tataran kontemplatif. Dalam Muqaddimah, ia menegaskan bahwa “ilmu yang tidak menghasilkan manfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat adalah kesia-siaan.”⁷ Pandangan ini menunjukkan bahwa al-Dzarā’i‘iy bagi Ibnu Khaldun bukan sekadar sikap intelektual, melainkan respons terhadap tantangan sosial dan kultural zamannya. Dengan demikian, pragmatisme Islam versi Ibnu Khaldun bersifat reaktif-historis, yaitu berusaha mengembalikan fungsi ilmu kepada hakikatnya sebagai sarana pembangunan peradaban (‘umrān).⁸

2.3.       Perbandingan dengan Pragmatisme Barat

Konsep al-Dzarā’i‘iy memiliki titik temu dengan pragmatisme modern di Barat yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey.⁹ Keduanya menilai kebenaran berdasarkan fungsi dan manfaat praktisnya dalam kehidupan manusia. Namun, perbedaan fundamental terletak pada dimensi teologis dan teleologis: pragmatisme Islam menempatkan kemaslahatan dan kebenaran dalam bingkai transendental, yakni keterikatan pada kehendak Tuhan dan tujuan moral akhir.¹⁰

Jika pragmatisme Barat menekankan truth as utility—bahwa kebenaran diukur dari keberhasilannya dalam praktik—maka Ibnu Khaldun mengajukan truth as moral efficacy, yaitu kebenaran yang menghasilkan keseimbangan antara kemajuan dunia dan kesempurnaan spiritual.¹¹ Dengan demikian, aliran al-Dzarā’i‘iy dalam Islam tidak bersifat sekular, tetapi menempatkan manfaat sebagai dzarī‘ah menuju sa‘ādah (kebahagiaan hakiki).

2.4.       Relasi antara Filsafat, Ilmu, dan Kemaslahatan

Dalam kerangka konseptualnya, al-Dzarā’i‘iy mengandung sintesis antara dimensi filosofis dan normatif. Ibnu Khaldun memandang bahwa seluruh ilmu pengetahuan (‘ulūm) memiliki nilai sejauh berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat dan pembentukan karakter manusia.¹² Ia menolak dualisme antara ilmu agama dan ilmu duniawi, dengan menegaskan bahwa keduanya memiliki fungsi saling melengkapi dalam rangka mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.¹³

Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy merupakan ekspresi dari pandangan dunia Islam yang menolak pemisahan antara teori dan praktik, antara kontemplasi dan aksi.¹⁴ Ibnu Khaldun membangun dasar konseptual bahwa pendidikan dan pengetahuan adalah alat untuk membangun masyarakat yang berkeadaban (madaniyah), bukan sekadar tujuan intelektual itu sendiri.¹⁵ Prinsip inilah yang menjadi jantung dari pragmatisme Islam: pengetahuan yang berfungsi sebagai sarana untuk membangun moralitas, keadilan, dan kemajuan sosial.


Footnotes

[1]                M. Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), 382.

[2]                Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:26–28.

[3]                Mohammad Hashim Kamali, Shari‘ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2008), 151.

[4]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 45.

[5]                N. J. Dawood, The Arabs: History, Culture, and Religion (London: Penguin, 1973), 216.

[6]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 12.

[7]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 341.

[8]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 127–28.

[9]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45–47.

[10]             Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, vol. 5, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 22.

[11]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 61.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 72–73.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 119.

[14]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 98.

[15]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 30–31.


3.           Genealogi Pemikiran Ibnu Khaldun

3.1.       Latar Sosio-Historis dan Biografi Intelektual

Pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah dan sosial yang melingkupinya. Ia lahir di Tunis pada tahun 1332 M, di tengah situasi politik yang tidak stabil akibat runtuhnya peradaban Islam di Andalusia dan fragmentasi kekuasaan di Afrika Utara.¹ Keluarganya berasal dari tradisi ilmuwan dan pejabat administratif yang telah lama berkiprah dalam dunia politik, sehingga sejak muda Ibnu Khaldun memiliki akses terhadap dunia pendidikan, kekuasaan, dan pemikiran keagamaan.²

Kondisi sosial-politik yang penuh pergolakan memberikan pengalaman empiris yang kuat baginya tentang dinamika masyarakat dan kekuasaan. Ia menyaksikan bagaimana peradaban dapat bangkit dan runtuh akibat faktor-faktor moral, ekonomi, dan sosial.³ Dari sinilah lahir kepekaan historis dan empiris Ibnu Khaldun, yang kemudian menjadi dasar dari teori sosialnya tentang ‘asabiyyah (solidaritas sosial) dan ‘umrān (peradaban). Dalam kerangka ini, al-Dzarā’i‘iy muncul sebagai respon intelektual terhadap realitas sosial yang menuntut pemikiran fungsional dan realistis.⁴

3.2.       Warisan Intelektual Islam dan Pengaruh Pemikiran Sebelumnya

Ibnu Khaldun merupakan pewaris tradisi intelektual Islam yang luas, yang mencakup filsafat Yunani, teologi Islam (kalām), tasawuf, serta ilmu-ilmu rasional. Dari al-Farabi dan Ibn Sina, ia mewarisi kerangka metafisika dan logika rasional; dari al-Ghazali, ia menyerap kritik terhadap rasionalisme ekstrem dan menegaskan pentingnya moralitas dan wahyu; sedangkan dari tradisi tasawuf, terutama pemikiran Ibn ‘Arabi, ia memahami kedalaman spiritual manusia.⁵

Namun, berbeda dari para pendahulunya, Ibnu Khaldun tidak berhenti pada kontemplasi metafisik. Ia menolak pandangan yang memisahkan teori dari praktik, dan justru mengembangkan pendekatan empiris yang berbasis pada observasi terhadap masyarakat nyata.⁶ Dalam hal ini, ia memadukan rasionalitas filosofis dengan dimensi moral dan sosial Islam, sehingga melahirkan bentuk filsafat yang pragmatis dan dinamis.

Selain itu, Ibnu Khaldun juga terpengaruh oleh tradisi fiqh al-maṣlaḥah (yurisprudensi kemaslahatan) yang berkembang di kalangan ulama Maliki di Maghrib.⁷ Prinsip al-maṣlaḥah al-mursalah dan sadd al-dzarā’i‘ menjadi fondasi bagi cara berpikirnya yang berorientasi pada hasil dan tujuan sosial. Bagi Ibnu Khaldun, hukum dan ilmu harus berfungsi sebagai sarana untuk memelihara tatanan masyarakat dan kesejahteraan umat.⁸ Pandangan ini menunjukkan bahwa al-Dzarā’i‘iy bukan sekadar kategori epistemologis, tetapi juga mencerminkan orientasi moral dan sosial dari tradisi hukum Islam itu sendiri.

3.3.       Integrasi Tradisi Filsafat, Teologi, dan Sosial

Genealogi pemikiran Ibnu Khaldun memperlihatkan upaya integratif antara tiga tradisi besar: filsafat (falsafah), teologi (‘ilm al-kalām), dan ilmu sosial (‘ilm al-‘umrān).⁹ Dari filsafat ia mengambil kerangka rasionalitas dan metodologi berpikir kritis; dari teologi ia mengambil dimensi transendental dan moralitas wahyu; sedangkan dari ilmu sosial ia mengembangkan metode empiris untuk memahami dinamika kehidupan manusia.¹⁰

Ibnu Khaldun mengkritik para filsuf sebelumnya karena terlalu terikat pada abstraksi rasional yang menjauh dari realitas. Ia menulis dalam Muqaddimah bahwa “filsafat yang tidak menyentuh kehidupan manusia adalah permainan pikiran yang tidak berguna.”¹¹ Kritik ini menunjukkan sikap pragmatis sekaligus reformis: filsafat harus menjadi sarana untuk memperbaiki masyarakat, bukan sekadar alat spekulasi.¹² Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy dalam pemikiran Ibnu Khaldun merupakan hasil sintesis dari tiga arus intelektual tersebut, yang melahirkan paradigma baru tentang hubungan antara pengetahuan, tindakan, dan kemaslahatan.

3.4.       Peralihan Paradigma: Dari Teoretis ke Empiris

Salah satu kontribusi terpenting Ibnu Khaldun dalam sejarah filsafat Islam adalah pergeseran paradigma dari epistemologi teoretis menuju pendekatan empiris-historis.¹³ Ia menolak klaim universalitas metafisika yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman sosial. Sebaliknya, ia mengajukan metode analisis induktif terhadap fenomena sejarah dan masyarakat sebagai sarana memahami hukum-hukum sosial (sunan al-ijtima‘ al-insānī).¹⁴

Pendekatan ini menjadikan Ibnu Khaldun sebagai pelopor dalam pemikiran pragmatis Islam. Dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy, pengetahuan yang benar bukan hanya yang konsisten secara logis, tetapi juga yang terbukti bermanfaat secara sosial dan moral.¹⁵ Oleh sebab itu, filsafat baginya harus bersentuhan dengan realitas: ia harus berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan maṣlaḥah, menegakkan keadilan, dan memelihara peradaban manusia.¹⁶

3.5.       Posisi Ibnu Khaldun dalam Tradisi Intelektual Islam

Dengan demikian, posisi Ibnu Khaldun dalam sejarah intelektual Islam bersifat transformatif. Ia menjadi penghubung antara rasionalisme klasik dan empirisisme modern, antara filsafat spekulatif dan ilmu sosial aplikatif.¹⁷ Pemikirannya menandai pergeseran dari filsafat yang berpusat pada being menuju filsafat yang berpusat pada becoming, dari kontemplasi ke aksi, dari teori ke praksis.¹⁸

Dalam konteks ini, al-Dzarā’i‘iy bukan hanya doktrin filsafat, tetapi juga metodologi berpikir dan etos intelektual: mencari kebenaran melalui kemanfaatan, dan mencari kemanfaatan melalui kebenaran. Paradigma ini menjadikan Ibnu Khaldun tokoh unik yang memadukan hikmah filosofis, kebijaksanaan syar‘i, dan kepekaan sosiologis dalam satu kerangka pemikiran yang utuh.¹⁹


Footnotes

[1]                N. J. Dawood, The Arabs: History, Culture, and Religion (London: Penguin, 1973), 218.

[2]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 9.

[3]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 102.

[4]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 44.

[5]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 59.

[6]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 323.

[7]                Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:28.

[8]                Mohammad Hashim Kamali, Shari‘ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2008), 153.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 118.

[10]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 214.

[11]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 332.

[12]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88.

[13]             Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 129.

[14]             Franz Rosenthal, “Introduction,” in The Muqaddimah (Princeton: Princeton University Press, 1967), lxviii.

[15]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 35.

[16]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 75.

[17]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 21.

[18]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 100.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 49.


4.           Ontologi al-Dzarā’i‘iy

4.1.       Hakikat Realitas: Dunia sebagai Arena Amal

Dalam pandangan aliran al-Dzarā’i‘iy, realitas tidak semata dipahami sebagai keberadaan statis yang menunggu untuk dikontemplasikan, melainkan sebagai arena dinamis bagi tindakan manusia. Dunia bukan hanya ciptaan yang harus direnungi, tetapi juga ruang di mana kehendak, akal, dan amal manusia menemukan maknanya.¹ Ontologi dalam kerangka ini bersifat aksiologis, yakni menilai realitas berdasarkan nilai dan fungsi moralnya bagi kehidupan. Realitas, dengan demikian, bukan sekadar wujūd (ada), tetapi wujūd bi al-ghāyah—keberadaan yang memiliki tujuan.²

Ibnu Khaldun memandang bahwa ciptaan Allah merupakan sistem keteraturan yang memiliki tujuan (ghāyah) dan sebab-sebab (asbāb) yang dapat dikenali melalui pengamatan.³ Dalam Muqaddimah, ia menegaskan bahwa hukum-hukum sosial yang mengatur kehidupan manusia merupakan bagian dari sunnatullah, yaitu pola tetap yang menandai tatanan kosmos.⁴ Dengan demikian, realitas sosial tidak berdiri terpisah dari realitas ilahi, melainkan menjadi cerminan dari hikmah Tuhan yang dapat dipahami melalui akal dan pengalaman.

Dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy, ontologi semacam ini menegaskan bahwa segala sesuatu memiliki nilai instrumental. Dunia bukan tujuan akhir, tetapi sarana (dzarī‘ah) menuju kesempurnaan moral dan spiritual.⁵ Artinya, manusia diciptakan bukan hanya untuk mengetahui, tetapi untuk berbuat; bukan hanya untuk memahami kebenaran, tetapi untuk mewujudkannya dalam tindakan yang membawa manfaat (manfa‘ah).

4.2.       Realitas Sosial sebagai Manifestasi Kehendak Ilahi

Ibnu Khaldun memperkenalkan konsep ‘umrān (peradaban) sebagai bentuk konkret dari realitas sosial manusia. Ia memandang masyarakat sebagai entitas ontologis yang berkembang mengikuti hukum-hukum kausalitas dan moralitas tertentu.⁶ Dalam kerangka ini, ‘umrān bukan sekadar hasil aktivitas manusiawi, melainkan ekspresi kehendak ilahi yang mewujud dalam sejarah.⁷

Ontologi sosial Ibnu Khaldun berpijak pada asumsi bahwa realitas manusia adalah realitas relasional—manusia hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan sosial, ekonomi, dan moralnya.⁸ Karena itu, ia menolak individualisme ontologis dan menggantinya dengan pandangan bahwa eksistensi manusia bersifat komunal dan teleologis. Dalam hal ini, konsep ‘asabiyyah (solidaritas sosial) menjadi dimensi ontologis penting: ia menghubungkan manusia dengan tatanan sosial yang lebih besar dan menjelaskan bagaimana moralitas kolektif membentuk struktur eksistensi.⁹

Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy tidak hanya menilai realitas dari sudut empiris, tetapi juga melihatnya sebagai struktur moral yang bergerak menuju tujuan tertentu. Dunia empiris bukan kebetulan tanpa makna; ia merupakan ladang amal di mana manusia diuji dalam tanggung jawab sosial dan spiritualnya.¹⁰

4.3.       Relasi Duniawi dan Ukhrawi dalam Struktur Ontologis

Dalam kerangka pemikiran Ibnu Khaldun, realitas memiliki dua dimensi yang saling berkaitan: duniawi dan ukhrawi. Dunia adalah tempat penempaan amal, sementara akhirat adalah tempat panen hasilnya.¹¹ Pandangan ini mengandung konsekuensi ontologis bahwa segala sesuatu di dunia memiliki nilai sejauh menjadi sarana bagi kebahagiaan abadi. Inilah inti dari al-Dzarā’i‘iy: realitas didefinisikan oleh fungsinya sebagai perantara menuju kebaikan akhir.¹²

Bagi Ibnu Khaldun, tidak ada dikotomi ontologis antara dunia dan akhirat. Keduanya terjalin dalam satu tatanan eksistensial yang berorientasi pada Tuhan.¹³ Dunia, dengan seluruh dinamika sosial dan materialnya, merupakan bagian dari skema kosmik yang mengarahkan manusia menuju kesempurnaan spiritual. Karenanya, aktivitas duniawi—termasuk pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi—memiliki nilai teologis jika diarahkan pada kemaslahatan.¹⁴

Ontologi ini mencerminkan teleologi moral Islam yang khas: nilai realitas terletak pada tujuannya, bukan semata pada keberadaannya.¹⁵ Ibnu Khaldun dengan demikian mengajukan suatu pandangan tentang dunia yang aktif dan bermakna, di mana manusia adalah pelaku moral yang diberi kebebasan terbatas untuk mengaktualkan kehendak ilahi melalui amal saleh dan pembangunan peradaban.

4.4.       Prinsip Kausalitas Sosial sebagai Dasar Ontologis

Salah satu aspek paling penting dari ontologi al-Dzarā’i‘iy adalah konsep kausalitas sosial (asbāb al-‘umrān). Ibnu Khaldun menolak pandangan fatalistik yang menafikan peran manusia dalam sejarah, tetapi juga menghindari pandangan naturalistik murni yang menghapus dimensi ilahi.¹⁶ Baginya, hubungan sebab-akibat di dunia sosial adalah bagian dari sunnatullah—aturan tetap Tuhan dalam ciptaan-Nya.¹⁷

Kausalitas dalam kerangka ini tidak bersifat mekanistik, melainkan moral dan teleologis.¹⁸ Setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi sosial yang terikat dengan hukum moral alam semesta. Ketika solidaritas dan moralitas melemah, peradaban pun merosot; ketika ilmu dan amal selaras dengan nilai-nilai ilahi, peradaban berkembang.¹⁹ Dengan demikian, realitas sosial bersifat dinamis dan bersyarat: ia berkembang atau runtuh sesuai dengan cara manusia menggunakan sarana-sarana (dzarā’i‘) yang dianugerahkan Tuhan.

4.5.       Ontologi Kemanusiaan: Manusia sebagai Subjek dan Sarana

Ibnu Khaldun menempatkan manusia sebagai pusat dalam ontologi al-Dzarā’i‘iy. Manusia bukan hanya makhluk yang mengalami realitas, tetapi juga penggerak dan pembentuk realitas.²⁰ Ia memiliki akal, kehendak, dan potensi untuk mengubah dunianya. Namun, potensi ini hanya bermakna jika digunakan untuk kemaslahatan dan pengabdian kepada Tuhan. Dalam hal ini, manusia bersifat ganda: ia adalah subjek aktif dan sarana pasif bagi terlaksananya kehendak ilahi.²¹

Manusia, menurut Ibnu Khaldun, menjadi mulia bukan karena pikirannya semata, tetapi karena amalnya yang bermanfaat.²² Nilai manusia diukur dari kontribusinya terhadap peradaban dan moralitas sosial.²³ Maka, dalam kerangka ontologi al-Dzarā’i‘iy, eksistensi manusia adalah eksistensi moral dan sosial—keberadaan yang menemukan maknanya hanya dalam tindakan yang berguna dan berorientasi pada kebaikan.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 68.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 87.

[3]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 318.

[4]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 120.

[5]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 216.

[6]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 6.

[7]                Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 38.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 121.

[9]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 133.

[10]             Franz Rosenthal, “Introduction,” in The Muqaddimah (Princeton: Princeton University Press, 1967), lxviii–lxix.

[11]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 341.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 74.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 46.

[14]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:35.

[15]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 50.

[16]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 14.

[17]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 345.

[18]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 101.

[19]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 159.

[20]             N. J. Dawood, The Arabs: History, Culture, and Religion (London: Penguin, 1973), 220.

[21]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 92.

[22]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 350.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 125.


5.           Epistemologi dan Metodologi al-Dzarā’i‘iy

5.1.       Sumber dan Tujuan Pengetahuan dalam al-Dzarā’i‘iy

Dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy, epistemologi tidak hanya membahas asal-usul pengetahuan, tetapi juga fungsi dan tujuan praktisnya. Bagi Ibnu Khaldun, pengetahuan bukan sekadar hasil aktivitas intelektual, melainkan alat (dzarī‘ah) untuk mencapai kemaslahatan dan kebajikan sosial.¹ Ia menolak pandangan yang menempatkan ilmu pada posisi spekulatif yang terpisah dari realitas kehidupan. Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang berguna (‘ilm nāfi‘), yakni ilmu yang membawa manfaat bagi dunia dan akhirat.²

Epistemologi al-Dzarā’i‘iy berpijak pada prinsip fungsionalitas pengetahuan. Pengetahuan memiliki nilai sejauh berkontribusi pada kehidupan manusia secara etis dan sosial.³ Dengan demikian, sumber kebenaran tidak hanya diukur melalui koherensi logis atau kesesuaian empiris, tetapi juga melalui faidah (manfaat) dan athar (pengaruh) yang ditimbulkannya terhadap kehidupan nyata.⁴ Inilah perbedaan mendasar antara epistemologi al-Dzarā’i‘iy dan rasionalisme metafisik klasik.

Selain itu, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa semua pengetahuan sejati berpuncak pada wahyu sebagai sumber utama kebenaran.⁵ Namun, wahyu tidak menafikan peran akal dan pengalaman; justru keduanya merupakan sarana yang dianugerahkan Tuhan untuk memahami realitas dan mengelola dunia. Dengan kata lain, epistemologi al-Dzarā’i‘iy bersifat teosentris empiris—yakni berpangkal pada wahyu, tetapi diverifikasi melalui pengalaman manusia.⁶

5.2.       Rasionalitas dan Empirisisme Sosial

Salah satu ciri khas epistemologi Ibnu Khaldun adalah rasionalisme empiris yang berorientasi pada realitas sosial. Ia menolak dua ekstrem epistemologis yang dominan pada zamannya: pertama, rasionalisme skolastik para filsuf yang menjadikan logika sebagai ukuran tunggal kebenaran; kedua, dogmatisme para teolog yang menolak peran pengalaman empiris.⁷

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menggunakan metode observasi dan analisis induktif terhadap fenomena sejarah, politik, dan ekonomi.⁸ Ia menulis, “Kita harus memperhatikan keadaan masyarakat dan bangsa-bangsa dengan pengamatan langsung, agar dapat menemukan hukum-hukum yang tetap dari kehidupan sosial.”⁹ Pernyataan ini menunjukkan bahwa baginya, ilmu sosial harus didasarkan pada pengalaman konkret, bukan pada asumsi metafisik.

Namun, rasionalitas yang dimaksud Ibnu Khaldun tidak bersifat sekular. Akal bukan entitas otonom, melainkan alat untuk menyingkap hikmah ilahi dalam tatanan sosial.¹⁰ Maka, epistemologi al-Dzarā’i‘iy menggabungkan rasionalitas praktis dengan kesadaran moral: berpikir untuk bertindak, dan bertindak untuk kebaikan.

5.3.       Ilmu sebagai Instrumen Kemaslahatan

Bagi Ibnu Khaldun, ilmu adalah alat (dzarī‘ah) untuk membangun peradaban (‘umrān) dan menegakkan nilai-nilai kemaslahatan (maṣlaḥah).¹¹ Ia menolak pemisahan antara ilmu teoritis dan ilmu praktis karena keduanya saling mendukung dalam membentuk manusia yang berilmu dan beramal saleh.¹² Ilmu yang tidak berimplikasi pada amal adalah kosong; amal tanpa ilmu adalah buta.¹³

Epistemologi al-Dzarā’i‘iy karenanya bersifat instrumentalis: ilmu menjadi sahih dan bernilai ketika menghasilkan manfaat sosial dan moral.¹⁴ Ini berbeda dari pandangan Aristotelian yang memandang ilmu sebagai pencarian “pengetahuan demi pengetahuan.” Dalam Islam, menurut Ibnu Khaldun, ilmu harus menuntun manusia menuju Tuhan melalui amal yang bermanfaat bagi masyarakat.¹⁵

Dengan demikian, kebenaran dalam al-Dzarā’i‘iy tidak semata bersifat korespondensial atau koherensial, tetapi juga teleologis: benar adalah apa yang menuntun manusia pada tujuan moral dan keberlanjutan hidup bersama.¹⁶

5.4.       Metodologi Empiris-Historis

Metodologi yang dikembangkan Ibnu Khaldun bersifat empiris-historis, yakni berpijak pada observasi, perbandingan, dan penalaran induktif atas data sosial.¹⁷ Ia menggunakan pendekatan ini untuk menganalisis hukum-hukum sosial (sunan al-ijtima‘ al-insānī), yang kemudian dianggap sebagai salah satu fondasi awal sosiologi ilmiah.¹⁸

Dalam analisisnya, Ibnu Khaldun menerapkan langkah-langkah metodologis yang sistematis:

1)                  Observasi empiris terhadap fakta sosial dan sejarah.

2)                  Analisis kausalitas untuk mencari sebab di balik perubahan sosial.

3)                  Verifikasi moral dan rasional untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip syariat dan akal sehat.

4)                  Generalisasi hukum sosial untuk menjelaskan pola-pola universal dalam sejarah umat manusia.¹⁹

Metode ini menunjukkan karakter khas epistemologi Islam yang menyatukan antara ilmu empiris dan moralitas normatif. Pengetahuan bukan hanya soal “apa adanya”, tetapi juga “seharusnya bagaimana”.²⁰ Dengan demikian, metodologi al-Dzarā’i‘iy menjadi jembatan antara sains sosial dan etika teologis.

5.5.       Kritik terhadap Ilmu Spekulatif

Ibnu Khaldun mengkritik para filsuf yang terjebak dalam spekulasi metafisik tanpa manfaat praktis. Ia menulis bahwa sebagian besar filsafat Yunani telah kehilangan arah karena terlepas dari kehidupan nyata manusia.²¹ Ia menilai bahwa “pengetahuan yang tidak menghasilkan amal adalah beban yang sia-sia.”²² Kritik ini menunjukkan pergeseran epistemologis penting dalam sejarah pemikiran Islam, dari kontemplasi ke praksis.

Bagi Ibnu Khaldun, pengetahuan yang tidak berakar pada realitas empiris dan tidak memberi manfaat sosial adalah bentuk kesombongan intelektual.²³ Ia menyeru agar ilmu diarahkan untuk memperkuat masyarakat, meningkatkan moralitas, dan memajukan kehidupan duniawi dalam bingkai nilai-nilai ukhrawi.²⁴ Dengan demikian, epistemologi al-Dzarā’i‘iy merupakan kritik terhadap elitisme intelektual dan pembelaan terhadap fungsi sosial ilmu.

5.6.       Prinsip Integratif antara Wahyu, Akal, dan Pengalaman

Epistemologi Ibnu Khaldun menolak dikotomi antara wahyu dan akal, serta antara rasio dan pengalaman. Bagi beliau, ketiganya merupakan instrumen saling melengkapi untuk mencapai kebenaran dan kemaslahatan.²⁵ Wahyu memberikan arah normatif dan tujuan transendental; akal menyediakan struktur rasional; dan pengalaman memberikan validasi empiris.²⁶

Melalui integrasi ini, Ibnu Khaldun membangun epistemologi Islam yang dinamis dan terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa kehilangan orientasi teologisnya.²⁷ Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy menjadi paradigma epistemologis yang tidak hanya rasional dan empiris, tetapi juga etis dan spiritual.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 78.

[2]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 341.

[3]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 220.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 122.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 95.

[6]                Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 40.

[7]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 128.

[8]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 11.

[9]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 315.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 48.

[11]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:36.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 84.

[13]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 104.

[14]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 53.

[15]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 18.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 160.

[17]             Franz Rosenthal, “Introduction,” in The Muqaddimah (Princeton: Princeton University Press, 1967), lxviii–lxx.

[18]             Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 131.

[19]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun, 14.

[20]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 87.

[21]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 347.

[22]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun, 42.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 127.

[24]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 97.

[25]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy, 224.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 52.

[27]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 56.


6.           Etika dan Tujuan Pendidikan

6.1.       Pendidikan sebagai Sarana Pembentukan Akhlak dan Amal

Dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy, pendidikan tidak dimaknai sekadar sebagai proses transfer pengetahuan, melainkan sebagai sarana (dzarī‘ah) pembentukan akhlak, amal, dan peradaban manusia.¹ Ibnu Khaldun menegaskan bahwa tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang bermanfaat (nāfi‘) bagi dirinya, masyarakat, dan agamanya.² Oleh karena itu, pendidikan menurutnya bersifat etis dan teleologis: ia diarahkan pada kebaikan moral, bukan sekadar kecakapan intelektual.

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis bahwa ilmu harus “menghasilkan amal,” karena amal yang benar merupakan buah dari pengetahuan yang benar.³ Artinya, ilmu tanpa etika adalah kosong, sementara etika tanpa ilmu adalah buta. Perspektif ini sejalan dengan prinsip al-Dzarā’i‘iy, di mana setiap proses pendidikan harus menjadi perantara menuju tujuan moral dan sosial yang lebih tinggi.⁴ Dengan demikian, pendidikan bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi instrumen untuk menegakkan keadilan, kebaikan, dan kemaslahatan umum (maṣlaḥah).⁵

6.2.       Prinsip Manfa‘ah (Kemanfaatan) sebagai Ukuran Nilai Ilmu

Etika al-Dzarā’i‘iy menilai ilmu berdasarkan asas manfa‘ah—yakni sejauh mana pengetahuan itu membawa manfaat nyata bagi kehidupan manusia.⁶ Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa pendidikan yang baik harus melahirkan pengetahuan yang aplikatif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.⁷ Ia menolak pendidikan yang hanya berfokus pada hafalan atau logika formal yang tidak berdampak pada pembentukan karakter dan kesejahteraan sosial.

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu yang tidak memberi manfaat adalah beban intelektual yang tidak berguna (‘ilm ghayr nāfi‘).⁸ Ia mengkritik para cendekiawan zamannya yang lebih tertarik pada perdebatan teoretis daripada pemecahan masalah sosial dan moral.⁹ Bagi Ibnu Khaldun, ilmu harus diorientasikan pada kemaslahatan, dan kemaslahatan harus berakar pada nilai-nilai wahyu.¹⁰ Dengan demikian, prinsip manfa‘ah menghubungkan epistemologi dengan etika, menjadikan pengetahuan sebagai alat untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.

6.3.       Pendidikan sebagai Upaya Membangun Peradaban (ʿUmrān)

Etika pendidikan Ibnu Khaldun berakar pada pandangannya tentang ʿumrān (peradaban) sebagai hasil dari tindakan manusia yang terarah dan bermoral.¹¹ Pendidikan berfungsi untuk membentuk manusia yang mampu mengelola dirinya dan masyarakatnya secara bijak, serta menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.¹² Dengan demikian, pendidikan menjadi fondasi peradaban, bukan hanya pengisi waktu atau sarana mobilitas sosial.

Ibnu Khaldun menulis bahwa kemajuan suatu bangsa bergantung pada kualitas pendidikannya, karena pendidikan melahirkan generasi yang mampu memelihara solidaritas sosial (ʿaṣabiyyah) dan memajukan struktur sosial.¹³ Dalam pandangannya, al-Dzarā’i‘iy menempatkan pendidikan sebagai instrumen pragmatis untuk mewujudkan keadilan sosial, keteraturan moral, dan keseimbangan antara kekuatan material dan spiritual.¹⁴

Dengan kata lain, pendidikan adalah alat ontologis sekaligus moral: ia membentuk manusia tidak hanya agar “mengetahui,” tetapi agar “berbuat benar.”¹⁵ Nilai kebenaran, bagi Ibnu Khaldun, baru menjadi sempurna ketika diwujudkan dalam tindakan sosial yang membangun kehidupan bersama.

6.4.       Integrasi antara Ilmu, Etika, dan Amal

Dalam etika al-Dzarā’i‘iy, tidak ada pemisahan antara ‘ilm (pengetahuan), akhlāq (etika), dan ‘amal (tindakan). Ketiganya membentuk satu kesatuan fungsional yang saling menopang.¹⁶ Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia berilmu sekaligus berkarakter, karena keunggulan intelektual tanpa moral hanya akan melahirkan kerusakan sosial.¹⁷

Integrasi antara ilmu dan akhlak ini merupakan wujud dari pendekatan pragmatis spiritual dalam Islam. Tujuan akhir pendidikan bukan sekadar pencapaian akademik, melainkan pencapaian kesempurnaan moral dan spiritual yang membawa manfaat bagi masyarakat.¹⁸ Dalam konteks ini, al-Dzarā’i‘iy memandang etika sebagai asas epistemologis dan praksis pendidikan.

Dengan demikian, pendidikan yang ideal menurut Ibnu Khaldun harus melatih akal dan jiwa secara bersamaan. Ia harus melahirkan manusia yang mampu berpikir rasional, bertindak bijak, dan berorientasi pada kemaslahatan universal.¹⁹ Pendidikan yang memisahkan aspek intelektual dan moral dianggap gagal, karena mengabaikan tujuan sejatinya: membentuk manusia yang baik (insān ṣāliḥ).²⁰

6.5.       Etika Kemaslahatan dan Akhlak Sosial

Etika pendidikan Ibnu Khaldun juga menekankan tanggung jawab sosial. Ilmu tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga harus membawa kebaikan bagi masyarakat.²¹ Dalam pandangan al-Dzarā’i‘iy, tindakan yang etis adalah tindakan yang mengantarkan kepada maṣlaḥah ‘āmmah (kemaslahatan umum).²² Oleh karena itu, pendidikan harus memupuk kesadaran sosial dan moralitas publik.

Ibnu Khaldun melihat pendidikan sebagai instrumen untuk memperkuat struktur sosial yang adil dan harmonis.²³ Guru, murid, dan masyarakat dipandang sebagai bagian dari satu sistem moral yang saling mempengaruhi.²⁴ Dalam konteks ini, etika al-Dzarā’i‘iy bersifat relasional: nilai tindakan diukur dari dampaknya terhadap kesejahteraan sosial.²⁵ Maka, pendidikan yang etis adalah pendidikan yang membangun tanggung jawab kolektif dan kesadaran kemanusiaan.


Tujuan Akhir: Keseimbangan Duniawi dan Ukhrawi

Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun tidak berhenti pada keberhasilan duniawi, tetapi meluas hingga tercapainya keseimbangan ukhrawi.²⁶ Ia menulis bahwa “pendidikan sejati adalah yang menuntun manusia menuju kesempurnaan moral dan kebahagiaan akhirat.”²⁷ Pandangan ini menunjukkan bahwa al-Dzarā’i‘iy menolak reduksi utilitarian semata: manfaat yang dimaksud bukan hanya material, tetapi juga spiritual.

Dengan demikian, pendidikan harus menjadi alat penyempurnaan manusia secara total—jasmani, akal, dan ruhani.²⁸ Ilmu harus menjadi sarana untuk memahami tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta, dan etika harus menjadi pedoman dalam menggunakannya.²⁹ Inilah tujuan tertinggi pendidikan dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy: pembentukan manusia yang bermanfaat, berilmu, dan bertakwa.³⁰


Footnotes

[1]                Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 42.

[2]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 344.

[3]                Ibid., 346.

[4]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 82.

[5]                Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:39.

[6]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 225.

[7]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 23.

[8]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 348.

[9]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 135.

[10]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 61.

[11]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 15.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 86.

[13]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 352.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 130.

[15]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 101.

[16]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 112.

[17]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun, 44.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 55.

[19]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 88.

[20]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, 25.

[21]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 64.

[22]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, 2:41.

[23]             Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 137.

[24]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 354.

[25]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 133.

[26]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 103.

[27]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 356.

[28]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 90.

[29]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 58.

[30]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun, 47.


7.           Dimensi Sosial dan Politik Pragmatisme Islam

7.1.       Ilmu dan Kemaslahatan Sosial sebagai Prinsip Dasar

Dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy, kehidupan sosial dan politik tidak dapat dipisahkan dari tujuan moral dan kemaslahatan umum (maṣlaḥah ‘āmmah).¹ Ibnu Khaldun menegaskan bahwa ilmu dan kekuasaan merupakan dua instrumen penting untuk menegakkan tatanan sosial yang adil dan stabil.² Ilmu berfungsi sebagai panduan normatif, sementara kekuasaan berperan sebagai sarana praktis untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat.

Konsep al-Dzarā’i‘iy menempatkan tindakan sosial dan politik dalam kerangka pragmatis yang berorientasi pada manfaat dan keadilan.³ Artinya, kebijakan dan sistem pemerintahan dinilai bukan dari bentuknya, tetapi dari dampaknya terhadap kemaslahatan rakyat.⁴ Prinsip ini selaras dengan ajaran Islam tentang siyāsah shar‘iyyah, yaitu pengelolaan urusan publik yang didasarkan pada maslahat, walau tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash.⁵

Dalam pandangan Ibnu Khaldun, peradaban yang baik hanya bisa bertahan apabila didukung oleh pengetahuan yang benar dan pemerintahan yang berorientasi pada kebaikan kolektif.⁶ Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy menjadi paradigma sosial yang mengintegrasikan etika, politik, dan ilmu dalam satu kesatuan fungsional menuju keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.

7.2.       Konsep ‘Asabiyyah dan Fungsinya dalam Struktur Sosial

Salah satu kontribusi terbesar Ibnu Khaldun terhadap filsafat sosial Islam adalah konsep ‘asabiyyah—solidaritas sosial atau kohesi kelompok—yang menjadi dasar ontologis bagi keberlangsungan masyarakat.⁷ Dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy, ‘asabiyyah dapat dipahami sebagai “sarana sosial” (dzarī‘ah ijtimā‘iyyah) untuk mencapai stabilitas dan kemajuan peradaban.⁸

Menurut Ibnu Khaldun, peradaban tumbuh ketika solidaritas sosial digunakan untuk tujuan moral dan rasional.⁹ Namun, ketika ‘asabiyyah berubah menjadi alat dominasi dan kepentingan sempit, peradaban akan hancur.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan sosial bersifat pragmatis: nilainya bergantung pada arah penggunaannya—menuju kemaslahatan atau kehancuran.

‘Asabiyyah juga berfungsi sebagai mekanisme etis yang menghubungkan individu dengan tatanan sosial yang lebih luas.¹¹ Ia bukan sekadar ikatan emosional, tetapi juga struktur moral yang menuntut tanggung jawab dan kerja kolektif. Dengan demikian, ‘asabiyyah dalam konteks al-Dzarā’i‘iy adalah bentuk solidaritas fungsional yang menggerakkan masyarakat menuju tujuan moral bersama.¹²

7.3.       Pendidikan dan Moralitas Politik

Bagi Ibnu Khaldun, politik yang baik hanya dapat lahir dari manusia yang berilmu dan bermoral.¹³ Maka, pendidikan menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan kekuasaan yang adil dan efektif. Ia menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah yang memahami hukum sebab-akibat sosial dan mampu menyesuaikan kebijakan dengan kemaslahatan rakyat.¹⁴

Etika al-Dzarā’i‘iy dalam politik menuntut agar kekuasaan digunakan sebagai sarana, bukan tujuan. Kekuasaan tanpa ilmu dan akhlak akan berubah menjadi tirani, sedangkan ilmu tanpa kekuasaan tidak memiliki daya guna sosial.¹⁵ Karena itu, Ibnu Khaldun menolak model pemerintahan yang berlandaskan karisma semata atau idealisme utopis. Ia menghendaki pemerintahan yang berbasis pada realitas sosial dan hukum-hukum empiris yang ia temukan melalui observasi sejarah.¹⁶

Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy menegaskan bahwa politik dalam Islam bersifat pragmatis-etis, bukan sekular-utilitarian. Politik adalah sarana moral untuk mencapai kesejahteraan kolektif, bukan arena perebutan kekuasaan semata.¹⁷

7.4.       Keadilan sebagai Tujuan Tertinggi Politik

Keadilan (‘adl) dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy merupakan tolok ukur etis bagi segala tindakan sosial dan politik.¹⁸ Ibnu Khaldun menyatakan bahwa “keadilan adalah dasar tegaknya peradaban, dan kezaliman adalah tanda kehancurannya.”¹⁹ Prinsip ini menegaskan dimensi moral dalam pragmatisme Islam: tindakan politik dinilai bukan hanya dari keberhasilannya, tetapi dari kesesuaiannya dengan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan.

Keadilan bagi Ibnu Khaldun tidak hanya bersifat legal-formal, tetapi juga sosial dan ekonomis.²⁰ Ia mengkritik sistem pemerintahan yang menindas rakyat melalui pajak berlebihan dan kebijakan eksploitatif.²¹ Dengan menggunakan pendekatan empiris, ia menunjukkan bahwa ketidakadilan akan melemahkan produktivitas dan menghancurkan solidaritas sosial.²²

Dengan demikian, keadilan dalam al-Dzarā’i‘iy berfungsi ganda: sebagai norma moral dan sebagai hukum kausal dalam sejarah sosial.²³ Suatu masyarakat yang tidak adil pasti akan mengalami kehancuran karena bertentangan dengan sunnatullah yang menuntut keseimbangan dan harmoni.

7.5.       Fungsi Ekonomi dan Politik dalam Perspektif Pragmatis

Ibnu Khaldun melihat ekonomi dan politik sebagai dimensi saling terkait dari kehidupan sosial.²⁴ Produksi, perdagangan, dan kekuasaan merupakan mekanisme yang harus diarahkan untuk mencapai kesejahteraan bersama.²⁵ Dalam pandangan al-Dzarā’i‘iy, ekonomi bukan semata sistem material, melainkan instrumen moral yang berfungsi untuk mendistribusikan kemaslahatan.²⁶

Ia menulis bahwa “pemerintah yang bijak adalah yang menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat.”²⁷ Pandangan ini mencerminkan etika pragmatis Ibnu Khaldun: kebijakan ekonomi dan politik harus dinilai berdasarkan manfaat nyata yang ditimbulkannya bagi masyarakat.²⁸

Dalam kerangka ini, al-Dzarā’i‘iy menolak eksploitasi, korupsi, dan konsumerisme, karena semuanya merusak struktur moral masyarakat.²⁹ Ia menegaskan bahwa keberhasilan sosial diukur bukan oleh kekayaan atau kekuasaan, tetapi oleh kemampuan suatu bangsa untuk menyeimbangkan kebutuhan material dengan tujuan spiritual.³⁰


Relevansi Konsep Sosial-Politik Ibnu Khaldun dalam Konteks Modern

Pemikiran sosial-politik Ibnu Khaldun tetap relevan dalam konteks dunia Islam modern. Ia memberikan kerangka etis bagi hubungan antara ilmu, kekuasaan, dan masyarakat.³¹ Prinsip al-Dzarā’i‘iy menuntun bahwa kebijakan publik, ekonomi, dan pendidikan harus diarahkan pada kemanfaatan, bukan sekadar efisiensi atau kekuasaan.³²

Dalam era globalisasi, paradigma al-Dzarā’i‘iy dapat menjadi model alternatif bagi tata kelola pemerintahan Islam yang integratif—menggabungkan dimensi empiris, rasional, dan moral.³³ Dengan menjadikan maṣlaḥah sebagai orientasi politik dan sosial, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa peradaban yang berkelanjutan hanya dapat berdiri di atas fondasi etika dan pengetahuan yang bermanfaat.³⁴


Footnotes

[1]                Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:44.

[2]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 349.

[3]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 89.

[4]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 68.

[5]                M. Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), 394.

[6]                Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 49.

[7]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 138.

[8]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 19.

[9]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 351.

[10]             Ibid., 353.

[11]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 92.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 135.

[13]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 105.

[14]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 356.

[15]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 230.

[16]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 28.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 59.

[18]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, 2:46.

[19]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 358.

[20]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 95.

[21]             Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 141.

[22]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 360.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 137.

[24]             N. J. Dawood, The Arabs: History, Culture, and Religion (London: Penguin, 1973), 222.

[25]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun, 22.

[26]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 98.

[27]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 362.

[28]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 115.

[29]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 61.

[30]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 108.

[31]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, 31.

[32]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 72.

[33]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 101.

[34]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 140.


8.           Perbandingan dengan Pragmatisme Barat

8.1.       Titik Temu: Manfaat dan Aksi sebagai Ukuran Kebenaran

Pragmatisme Islam (al-Dzarā’i‘iy) sebagaimana dikembangkan oleh Ibnu Khaldun memiliki sejumlah kesamaan konseptual dengan pragmatisme modern di Barat, terutama sebagaimana dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey.¹ Baik dalam tradisi Islam maupun Barat, kebenaran tidak dipandang sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai hasil dari proses tindakan dan pengalaman manusia dalam konteks tertentu.²

William James, misalnya, menyatakan bahwa “kebenaran adalah apa yang berguna dalam kehidupan manusia.”³ Sementara itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa “ilmu yang tidak menghasilkan amal adalah beban yang sia-sia.”⁴ Kedua pandangan ini menegaskan prinsip yang sama: nilai pengetahuan ditentukan oleh daya guna dan hasilnya, bukan hanya oleh kesesuaiannya dengan realitas abstrak.

Namun, titik temu ini bersifat metodologis, bukan metafisik. Ibnu Khaldun dan para pragmatis Barat sama-sama menolak spekulasi intelektual yang tidak memiliki manfaat praktis, tetapi berbeda dalam hal tujuan akhir tindakan. Bagi Ibnu Khaldun, manfaat (manfa‘ah) harus selalu diarahkan pada kemaslahatan moral dan spiritual, sementara bagi pragmatis Barat, manfaat cenderung diukur secara instrumental dan duniawi.⁵

8.2.       Perbedaan Fundamentalis: Dimensi Teleologis dan Teosentris

Perbedaan mendasar antara al-Dzarā’i‘iy dan pragmatisme Barat terletak pada fondasi ontologis dan teleologisnya. Pragmatisme Barat berkembang dalam konteks filsafat modern yang cenderung antimetafisik dan sekular, sementara al-Dzarā’i‘iy berakar dalam pandangan dunia Islam yang teosentris dan moral-transendental.⁶

Ibnu Khaldun melihat ilmu sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan moral (kamāl al-insānī) dan kebahagiaan akhirat (sa‘ādah), bukan sekadar alat untuk memecahkan masalah empiris.⁷ Dengan demikian, orientasi pragmatisnya bersifat teleologis—yakni diarahkan kepada tujuan akhir yang melampaui dunia material. Sementara itu, pragmatisme Dewey menolak segala bentuk tujuan transenden, dan memandang kebenaran sebagai hasil evolusi sosial yang terus berubah.⁸

Perbedaan ini menjadikan al-Dzarā’i‘iy sebagai pragmatisme spiritual, sedangkan pragmatisme Barat adalah pragmatisme humanistik-sekular. Keduanya sama-sama menilai tindakan sebagai pusat nilai, tetapi al-Dzarā’i‘iy menempatkan tindakan dalam bingkai tanggung jawab kepada Tuhan, bukan semata pada keberhasilan sosial.⁹

8.3.       Konsep Kebenaran: Moralitas versus Utilitas

Dalam pragmatisme Barat, khususnya menurut Peirce dan James, kebenaran diukur berdasarkan keberhasilannya dalam memecahkan masalah praktis atau dalam menuntun manusia menuju pengalaman yang memuaskan.¹⁰ Peirce memperkenalkan istilah practical consequences sebagai kriteria makna dan kebenaran.¹¹ Bagi James, “suatu ide benar jika terbukti berguna dalam pengalaman.”¹²

Sementara itu, dalam al-Dzarā’i‘iy, kebenaran tidak semata-mata ditentukan oleh kegunaan empiris, melainkan oleh kesesuaiannya dengan nilai moral dan wahyu.¹³ Ilmu yang bermanfaat harus membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan dan memperbaiki masyarakat.¹⁴ Maka, ukuran kebenaran bersifat moral-teologis, bukan psikologis-instrumental sebagaimana dalam pragmatisme Barat.

Dengan kata lain, bagi Ibnu Khaldun, truth adalah apa yang mengantarkan pada al-ṣalāḥ wa al-maṣlaḥah (kebaikan dan kemaslahatan), bukan sekadar apa yang “berhasil bekerja.”¹⁵ Inilah yang membedakan pragmatisme Islam dari teori truth as utility milik James.

8.4.       Fungsi Ilmu: Transformasi Sosial dan Pembentukan Moral

Baik Ibnu Khaldun maupun Dewey sama-sama melihat ilmu sebagai kekuatan yang harus diorientasikan pada perubahan sosial. Dewey memandang pendidikan sebagai proses demokratisasi, sementara Ibnu Khaldun menilainya sebagai sarana pembentukan moral dan kemaslahatan umat.¹⁶

Dewey menekankan learning by doing sebagai metode pragmatis pendidikan.¹⁷ Ibnu Khaldun, lebih dahulu, menekankan pentingnya pengalaman empiris dalam pembelajaran, serta mengkritik metode hafalan yang pasif.¹⁸ Namun, jika Dewey menekankan otonomi manusia sebagai subjek moral yang menentukan nilai, maka Ibnu Khaldun tetap menempatkan nilai moral dalam kerangka syariat dan kehendak ilahi.¹⁹

Dengan demikian, keduanya sepakat bahwa pengetahuan harus berorientasi pada tindakan, tetapi berbeda dalam orientasi etis: Dewey pada human good, Ibnu Khaldun pada divine good.²⁰

8.5.       Pandangan tentang Masyarakat dan Perubahan

Ibnu Khaldun dan para pragmatis Barat sama-sama menolak pandangan statis tentang masyarakat.²¹ Keduanya melihat kehidupan sosial sebagai proses yang dinamis dan dapat dijelaskan secara ilmiah. Namun, Ibnu Khaldun menafsirkan dinamika tersebut dalam kerangka moral transenden: perubahan sosial terjadi karena perubahan moral dan spiritual manusia.²²

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis bahwa “kemunduran suatu bangsa berawal dari hilangnya moralitas dan keadilan.”²³ Sementara itu, bagi Dewey, perubahan sosial adalah hasil dari adaptasi terhadap kondisi material dan lingkungan sosial.²⁴ Maka, perbedaan keduanya terletak pada akar kausalitas: Dewey menekankan faktor ekonomi dan institusional, sedangkan Ibnu Khaldun menekankan faktor etis dan spiritual.²⁵

Keduanya, bagaimanapun, memandang masyarakat sebagai entitas yang harus terus diperbaiki melalui pendidikan, tindakan, dan refleksi empiris—sebuah kesamaan metodologis yang mempertemukan dua tradisi tersebut.²⁶


Sintesis Kritis: Menuju Pragmatisme Spiritual Islam

Dari perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Dzarā’i‘iy mewakili bentuk pragmatisme teologis yang mengintegrasikan antara manfaat praktis dan orientasi moral-transendental.²⁷ Ibnu Khaldun menolak dikotomi antara dunia dan akhirat, antara ilmu dan amal, serta antara teori dan praktik.²⁸ Dalam pandangannya, tindakan manusia memperoleh nilai sejati hanya jika diarahkan pada kebaikan universal dan pengabdian kepada Tuhan.

Pragmatisme Barat, sebaliknya, cenderung memisahkan nilai moral dari pengalaman empiris.²⁹ Ia menilai kebenaran berdasarkan efektivitas, bukan kesucian moral. Namun, kesamaan keduanya dalam menolak dogmatisme menjadikan dialog antara kedua tradisi ini sangat produktif untuk membangun epistemologi Islam kontemporer yang empiris sekaligus etis.³⁰

Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy dapat dipandang sebagai varian spiritual dari pragmatisme universal—sebuah filsafat tindakan yang menolak spekulasi kosong, tetapi tetap menempatkan Tuhan sebagai orientasi tertinggi dalam setiap amal manusia.³¹


Footnotes

[1]                Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, vol. 5, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 11.

[2]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45.

[3]                Ibid., 51.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 344.

[5]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 228.

[6]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 88.

[7]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 346.

[8]                John Dewey, Reconstruction in Philosophy (New York: Henry Holt and Company, 1920), 159.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 139.

[10]             Charles S. Peirce, Collected Papers, 5:18.

[11]             Ibid., 5:29.

[12]             William James, Pragmatism, 57.

[13]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 111.

[14]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 100.

[15]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:48.

[16]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 24.

[17]             John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 32.

[18]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 50.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 60.

[20]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 164.

[21]             Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 143.

[22]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 352.

[23]             Ibid., 358.

[24]             John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt and Company, 1922), 71.

[25]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 104.

[26]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 33.

[27]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 141.

[28]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 119.

[29]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 175.

[30]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 74.

[31]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 113.


9.           Kritik dan Reinterpretasi Kontemporer

9.1.       Kritik terhadap Keterbatasan Orientasi Utilitarian

Salah satu kritik utama terhadap aliran al-Dzarā’i‘iy dalam pemikiran Ibnu Khaldun adalah potensi penyempitan makna nilai moral menjadi sekadar ukuran kemanfaatan.¹ Beberapa pemikir Muslim modern menilai bahwa orientasi “kemaslahatan” yang terlalu pragmatis dapat tergelincir ke dalam bentuk utilitarianisme teologis, di mana nilai kebaikan diukur hanya berdasarkan hasil sosial, bukan niat atau keikhlasan batin.²

Fazlur Rahman, misalnya, mengingatkan bahwa orientasi Islam terhadap maṣlaḥah harus selalu bersifat normatif, bukan relatif terhadap konteks duniawi semata.³ Menurutnya, bahaya yang dapat muncul dari tafsir pragmatis adalah hilangnya dimensi spiritual dan kesadaran transenden dalam etika Islam.⁴ Dalam konteks ini, reinterpretasi al-Dzarā’i‘iy perlu menegaskan bahwa kemanfaatan sejati adalah yang mengantarkan manusia kepada taqwā dan kesadaran moral terhadap Tuhan, bukan hanya efisiensi sosial.⁵

Selain itu, beberapa pemikir postmodern seperti Ziauddin Sardar juga mengingatkan bahwa pragmatisme yang tidak dikawal oleh nilai wahyu berisiko berubah menjadi teknokratisme—yakni mengutamakan hasil tanpa memperhatikan nilai moral yang mendasarinya.⁶

9.2.       Kritik terhadap Aspek Empirisme Sosial

Kritik lain diarahkan pada pendekatan empiris Ibnu Khaldun yang dianggap masih mengandung unsur deterministik.⁷ Walaupun ia menolak fatalisme, teorinya tentang ‘asabiyyah dan siklus peradaban dianggap terlalu menekankan hukum sosial yang bersifat universal dan kurang memperhitungkan peran kebebasan individu serta intervensi ilahi.⁸

Pemikir kontemporer seperti Syed Hossein Nasr berpendapat bahwa meskipun Ibnu Khaldun berhasil meletakkan dasar bagi ilmu sosial Islam, pendekatannya masih perlu diperkaya dengan dimensi metafisik yang lebih kuat.⁹ Menurut Nasr, pandangan Ibnu Khaldun tentang sejarah sebagai “proses kausal sosial” harus dilengkapi dengan pandangan tentang sejarah sebagai “manifestasi spiritual” dari kehendak Tuhan.¹⁰ Dengan demikian, reinterpretasi al-Dzarā’i‘iy kontemporer harus mampu menyeimbangkan antara determinasi empiris dan kebebasan moral manusia.

9.3.       Reinterpretasi oleh Pemikir Islam Modern

Dalam konteks modern, beberapa intelektual Muslim berusaha menafsirkan kembali konsep al-Dzarā’i‘iy sebagai paradigma yang dapat menghubungkan tradisi Islam dengan tantangan dunia modern. Muhammad Iqbal, misalnya, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menekankan pentingnya filsafat tindakan (philosophy of action) yang berpijak pada wahyu dan pengalaman.¹¹ Ia melihat kesamaan antara gagasan Ibnu Khaldun dan pragmatisme modern, namun menegaskan bahwa Islam memberikan arah spiritual yang melampaui sekularisme pragmatis.¹²

Sementara itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas menafsirkan al-Dzarā’i‘iy dalam kerangka epistemologi adab, yaitu integrasi antara ilmu, etika, dan tujuan moral.¹³ Menurut al-Attas, kemanfaatan dalam Islam bukan hanya bersifat fungsional, tetapi juga ta’dībī (mendidik manusia menjadi beradab).¹⁴ Dengan demikian, reinterpretasi pragmatisme Islam menuntut pengembalian nilai-nilai adab sebagai penuntun bagi rasionalitas dan praksis sosial.

Pendekatan lain datang dari Jasser Auda, yang melalui teori sistem maqāṣid al-sharī‘ah-nya, menafsirkan al-Dzarā’i‘iy sebagai filsafat dinamis yang memungkinkan pembaruan hukum Islam secara kontekstual tanpa kehilangan dimensi spiritual.¹⁵ Dalam kerangka ini, maṣlaḥah dipahami bukan hanya sebagai kepentingan praktis, tetapi sebagai struktur nilai yang kompleks dan berjenjang.¹⁶

9.4.       Relevansi bagi Dunia Pendidikan dan Sosial Kontemporer

Reinterpretasi kontemporer terhadap pemikiran Ibnu Khaldun juga menemukan relevansi besar dalam bidang pendidikan. Dalam dunia modern yang cenderung mengukur keberhasilan pendidikan melalui indikator ekonomi dan teknologis, pendekatan al-Dzarā’i‘iy menawarkan paradigma yang lebih seimbang antara kemanfaatan duniawi dan kesempurnaan moral.¹⁷

Pendidikan yang pragmatis dalam arti Islam tidak berhenti pada penguasaan keterampilan, tetapi juga menanamkan kesadaran sosial dan tanggung jawab spiritual.¹⁸ Sejalan dengan ini, pendekatan al-Dzarā’i‘iy dapat dijadikan model untuk pendidikan berbasis maqāṣid, yang menekankan pembentukan manusia yang produktif, adil, dan berorientasi pada kebaikan universal.¹⁹

Dalam konteks sosial-politik modern, paradigma ini juga relevan untuk menghadapi krisis moral, radikalisme, dan disintegrasi sosial.²⁰ Dengan menegaskan fungsi sosial ilmu sebagai sarana rekonstruksi moral, al-Dzarā’i‘iy dapat menjadi dasar filosofis bagi pembangunan masyarakat Islam yang progresif sekaligus berakhlak.²¹

9.5.       Menuju Reintegrasi Nilai dalam Epistemologi Islam

Kritik dan reinterpretasi kontemporer terhadap al-Dzarā’i‘iy pada akhirnya bermuara pada satu kesadaran penting: perlunya reintegrasi antara ilmu, nilai, dan spiritualitas.²² Ibnu Khaldun telah membuka jalan bagi epistemologi Islam yang realistis dan fungsional, namun konteks global saat ini menuntut perluasan makna pragmatisme menjadi lebih holistik dan normatif.²³

Dengan memadukan pendekatan empiris Ibnu Khaldun, dimensi moral al-Ghazali, dan kesadaran sistemik Jasser Auda, al-Dzarā’i‘iy dapat direkonstruksi sebagai filsafat etis-aksiologis yang relevan bagi masyarakat modern.²⁴ Ia bukan hanya menjawab persoalan “apa yang berguna”, tetapi juga “mengapa dan untuk siapa sesuatu itu berguna.”²⁵

Paradigma ini dapat menumbuhkan model peradaban Islam yang berorientasi pada keseimbangan: antara ilmu dan amal, antara dunia dan akhirat, serta antara rasionalitas dan spiritualitas.²⁶ Dengan demikian, reinterpretasi kontemporer al-Dzarā’i‘iy tidak sekadar melestarikan warisan Ibnu Khaldun, tetapi memperluasnya menjadi filsafat hidup yang berdaya cipta dan berdaya ubah.²⁷


Footnotes

[1]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 231.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 170.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 42.

[4]                Ibid., 44.

[5]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 77.

[6]                Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 120.

[7]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 146.

[8]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 35.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 143.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 65.

[11]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Ashraf Press, 1930), 108.

[12]             Ibid., 112.

[13]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 115.

[14]             Ibid., 116.

[15]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 80.

[16]             Ibid., 83.

[17]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 54.

[18]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 102.

[19]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:50.

[20]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 36.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 146.

[22]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 121.

[23]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 85.

[24]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 118.

[25]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 104.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 67.

[27]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun, 39.


10.       Sintesis Filosofis

10.1.    Integrasi antara Ilmu, Amal, dan Akhlak

Sintesis filosofis dalam al-Dzarā’i‘iy berakar pada upaya Ibnu Khaldun untuk menyatukan antara ilmu (‘ilm), amal (perbuatan), dan akhlak (moralitas) ke dalam satu sistem nilai yang utuh.¹ Ia memandang bahwa pengetahuan yang sejati tidak dapat dipisahkan dari tindakan yang benar dan niat yang lurus.² Dalam hal ini, epistemologi, etika, dan praksis sosial tidak berdiri sendiri, melainkan saling menopang dalam mencapai tujuan akhir manusia: kemaslahatan dan kebahagiaan (sa‘ādah).³

Prinsip ini menegaskan bahwa al-Dzarā’i‘iy bukan sekadar teori utilitarian, melainkan filsafat aksiologis yang berbasis spiritualitas. Manfaat yang menjadi orientasi utama bukan manfaat material semata, tetapi manfaat moral dan transendental.⁴ Ilmu berfungsi sebagai sarana memahami ciptaan Allah, amal menjadi sarana manifestasi nilai-nilai ilahi, dan akhlak menjadi ukuran kebenaran dalam tindakan manusia.⁵

Dengan demikian, Ibnu Khaldun berhasil membangun sintesis antara rasionalitas, empirisme, dan moralitas dalam satu sistem epistemologi Islam yang berorientasi pada manfaat dan kesempurnaan moral.

10.2.    Kesatuan Ontologis antara Duniawi dan Ukhrawi

Dalam filsafat Ibnu Khaldun, realitas duniawi dan ukhrawi tidak dipandang sebagai dua entitas yang terpisah, tetapi sebagai dua dimensi dari satu kesatuan eksistensial.⁶ Dunia adalah sarana (dzarī‘ah) bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi. Oleh karena itu, kegiatan duniawi seperti pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi memperoleh nilai religius sejauh diarahkan pada tujuan moral dan spiritual.⁷

Kesatuan ontologis ini mencerminkan pandangan khas Islam bahwa kehidupan dunia adalah bagian dari perjalanan menuju kesempurnaan diri.⁸ Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy menjadi jembatan antara aktivitas praktis dan nilai-nilai metafisik. Ibnu Khaldun menyatukan konsep keberadaan yang dinamis (wujūd mutaḥarrik) dengan tujuan etis (ghāyah akhlāqiyyah), menjadikan setiap tindakan manusia sebagai bagian dari proyek kosmik menuju keteraturan ilahi.⁹

Dalam konteks ini, realitas sosial dipahami sebagai “ruang moral,” tempat manusia menjalankan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.¹⁰

10.3.    Epistemologi Fungsional dan Teleologis

Sintesis epistemologis Ibnu Khaldun tampak dalam pandangannya bahwa pengetahuan tidak bernilai karena kebenarannya semata, tetapi karena fungsinya dalam mengantarkan manusia menuju tujuan moral.¹¹ Ia menolak pandangan intelektualisme murni yang memisahkan antara kebenaran dan manfaat. Kebenaran dalam Islam, menurutnya, harus memiliki faidah (daya guna) yang mendukung pembentukan keadilan dan kemaslahatan sosial.¹²

Dengan pendekatan ini, Ibnu Khaldun meletakkan dasar bagi epistemologi fungsional-teologis: ilmu dipahami sebagai instrumen yang memiliki nilai etis dan teleologis.¹³ Dalam hal ini, al-Dzarā’i‘iy menggabungkan dimensi empiris (karena bersandar pada pengalaman) dengan dimensi normatif (karena terarah pada maqāṣid al-sharī‘ah).¹⁴

Oleh sebab itu, pengetahuan menjadi bagian dari sistem tindakan yang terintegrasi, di mana kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan membentuk satu kesatuan fungsional.¹⁵

10.4.    Sintesis Sosial dan Politik: Dari ‘Asabiyyah ke Maṣlaḥah

Sintesis filosofis Ibnu Khaldun juga tampak dalam pandangannya tentang struktur sosial dan politik. Ia menghubungkan teori ‘asabiyyah (solidaritas sosial) dengan konsep maṣlaḥah (kemaslahatan umum) sebagai dua pilar utama peradaban.¹⁶ ‘Asabiyyah berfungsi sebagai kekuatan sosial empiris, sedangkan maṣlaḥah sebagai prinsip moral dan spiritual yang menuntun arah peradaban.¹⁷

Ibnu Khaldun menyatukan keduanya melalui kerangka al-Dzarā’i‘iy, yakni dengan menjadikan solidaritas sosial sebagai sarana moral untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan peradaban.¹⁸ Dengan demikian, ia berhasil mengintegrasikan dimensi empiris (struktur sosial dan politik) dengan dimensi normatif (nilai moral dan spiritual).

Dalam konteks modern, sintesis ini menunjukkan bahwa ilmu sosial Islam tidak dapat dipisahkan dari etika. Politik dan ekonomi bukan sekadar sistem kekuasaan dan distribusi, tetapi juga alat moral untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan publik.¹⁹

10.5.    Sintesis Metodologis: Rasionalisme, Empirisisme, dan Wahyu

Ibnu Khaldun menyajikan model metodologis yang menyatukan tiga sumber utama pengetahuan: rasio, pengalaman, dan wahyu.²⁰ Rasio memberikan struktur logis, pengalaman memberikan validitas empiris, dan wahyu memberikan arah normatif. Ketiga unsur ini bersatu dalam kerangka al-Dzarā’i‘iy, yang menilai ilmu dari segi kegunaan dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai ilahi.²¹

Sintesis metodologis ini menjadikan al-Dzarā’i‘iy sebagai paradigma pengetahuan yang integratif dan dinamis. Ia menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu duniawi, antara metafisika dan empirika.²² Dalam pandangan Ibnu Khaldun, seluruh pengetahuan adalah bagian dari satu sistem hierarkis yang berujung pada pengenalan terhadap Tuhan.²³

Oleh karena itu, epistemologi Islam yang diilhami Ibnu Khaldun mengandung karakter tauhīdī: menyatukan semua bentuk pengetahuan dalam orientasi yang sama—menuju keesaan dan kehendak Tuhan.²⁴

10.6.    Filsafat Tindakan dan Kesempurnaan Manusia

Dalam tataran antropologis, sintesis al-Dzarā’i‘iy diwujudkan dalam konsep manusia sebagai makhluk aktif (fa‘‘āl), yang menemukan maknanya melalui tindakan.²⁵ Manusia, menurut Ibnu Khaldun, tidak diciptakan untuk kontemplasi pasif, tetapi untuk berkarya, membangun, dan memakmurkan bumi.²⁶

Namun, tindakan ini tidak bebas nilai; ia harus diarahkan oleh prinsip adab dan taqwā.²⁷ Dengan demikian, kesempurnaan manusia (kamāl al-insānī) tidak dicapai melalui pengetahuan semata, tetapi melalui kesatuan antara berpikir, berbuat, dan beribadah.²⁸

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa “ilmu adalah pohon, amal adalah buahnya.”²⁹ Pernyataan ini menutup seluruh struktur al-Dzarā’i‘iy: pengetahuan sejati adalah yang berbuah amal, dan amal sejati adalah yang berakar pada pengetahuan dan iman.³⁰

10.7.    Kontribusi Filosofis terhadap Filsafat Islam Kontemporer

Sintesis Ibnu Khaldun dalam al-Dzarā’i‘iy memberikan landasan bagi filsafat Islam kontemporer yang integral dan aplikatif.³¹ Ia menawarkan kerangka konseptual yang dapat menjembatani ilmu-ilmu rasional dan spiritual, serta mengembalikan filsafat pada fungsi aslinya: membimbing manusia menuju kebijaksanaan dan kemaslahatan.³²

Pemikiran Ibnu Khaldun membuka ruang bagi pembentukan paradigma baru dalam epistemologi Islam, yakni paradigma aksiologis-transendental, di mana setiap pengetahuan diukur bukan hanya dari kebenaran logisnya, tetapi juga dari dampak moral dan sosialnya.³³

Dengan demikian, sintesis filosofis al-Dzarā’i‘iy dapat dianggap sebagai upaya rekonstruksi filsafat manfaat yang berakar pada nilai-nilai tauhid, yang menyatukan antara intelektualitas, spiritualitas, dan kemanusiaan.³⁴


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 106.

[2]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 343.

[3]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 232.

[4]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 120.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 147.

[6]                Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:52.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 69.

[8]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 86.

[9]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 40.

[10]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 56.

[11]             Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 149.

[12]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 347.

[13]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 108.

[14]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 88.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 149.

[16]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 37.

[17]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 353.

[18]             Ibid., 355.

[19]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 172.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 72.

[21]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 123.

[22]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 110.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 152.

[24]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun, 42.

[25]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 126.

[26]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 356.

[27]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 125.

[28]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun, 58.

[29]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 357.

[30]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 154.

[31]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, 39.

[32]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 113.

[33]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 90.

[34]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 127.


11.       Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

11.1.    Pragmatisme Islam dalam Konteks Global Modern

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang al-Dzarā’i‘iy menunjukkan relevansi luar biasa dalam menghadapi tantangan dunia modern yang ditandai oleh pragmatisme sekular, utilitarianisme ekonomi, dan krisis moral global.¹ Berbeda dengan pragmatisme Barat yang berakar pada filsafat empiris-positivistik, al-Dzarā’i‘iy mengajarkan bentuk pragmatisme spiritual, di mana tindakan praktis manusia harus selalu berlandaskan nilai etis dan orientasi teologis.²

Dalam konteks globalisasi dan kapitalisme modern, paradigma al-Dzarā’i‘iy menawarkan alternatif yang menolak dikotomi antara nilai moral dan keberhasilan praktis.³ Ia menegaskan bahwa manfaat tidak hanya diukur dari efisiensi ekonomi atau kemajuan teknologi, melainkan dari kontribusinya terhadap kesejahteraan moral dan keadilan sosial.⁴ Dengan demikian, Ibnu Khaldun memberikan model berpikir yang relevan bagi dunia modern yang tengah mencari keseimbangan antara rasionalitas, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial.⁵

11.2.    Aplikasi dalam Pendidikan Islam Kontemporer

Salah satu bidang terpenting penerapan al-Dzarā’i‘iy adalah pendidikan. Dalam sistem pendidikan modern yang sering berorientasi pada hasil ekonomi dan karier, konsep pendidikan pragmatis Ibnu Khaldun memberikan koreksi nilai. Pendidikan, menurutnya, bukan hanya sarana untuk memperoleh pengetahuan teknis, tetapi juga untuk membangun karakter, akhlak, dan kesadaran sosial.⁶

Model pendidikan Ibnu Khaldun menekankan keseimbangan antara ilmu teoretis dan praktis, antara pengetahuan agama dan ilmu dunia, serta antara kecerdasan kognitif dan kesalehan moral.⁷ Konsep ini dapat diterapkan dalam kurikulum pendidikan Islam kontemporer dengan menempatkan manfa‘ah (kemanfaatan) sebagai prinsip utama, tetapi tetap dalam bingkai maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat).⁸

Pendidikan yang berlandaskan al-Dzarā’i‘iy mengajarkan bahwa ilmu harus diterapkan untuk memperbaiki masyarakat, bukan sekadar untuk kepentingan pribadi.⁹ Dengan demikian, paradigma ini dapat memperkuat konsep pendidikan holistik yang mengintegrasikan dimensi spiritual, intelektual, dan sosial.¹⁰

11.3.    Relevansi terhadap Etika Sosial dan Profesional

Konsep al-Dzarā’i‘iy memiliki implikasi langsung terhadap pembentukan etika sosial dan profesional di era modern. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa semua pekerjaan dan aktivitas sosial memiliki nilai moral jika diarahkan untuk kemaslahatan bersama.¹¹ Dalam konteks profesi kontemporer—baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sains—pendekatan ini menuntut agar setiap tindakan profesional dievaluasi berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan publik dan moralitas sosial.¹²

Sebagai contoh, dalam dunia bisnis dan teknologi, al-Dzarā’i‘iy dapat berfungsi sebagai kerangka etika yang menolak eksploitasi, korupsi, dan dehumanisasi.¹³ Prinsip kemanfaatan dalam Islam tidak boleh dilepaskan dari keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab.¹⁴ Hal ini memberikan fondasi bagi pembangunan ekonomi Islam yang beretika dan berkelanjutan.¹⁵

Dalam masyarakat global yang kian materialistik, nilai-nilai al-Dzarā’i‘iy dapat mengembalikan orientasi etika kerja dari sekadar “efisiensi produksi” menuju “etika kebermanfaatan”—yaitu pandangan bahwa kesuksesan sejati adalah keberhasilan moral, bukan hanya keberhasilan finansial.¹⁶

11.4.    Penerapan dalam Politik dan Tata Kelola Sosial

Ibnu Khaldun menempatkan ilmu dan moralitas sebagai dasar legitimasi kekuasaan.¹⁷ Dalam konteks modern, al-Dzarā’i‘iy dapat diterapkan dalam bidang politik sebagai model etika kebijakan publik yang berorientasi pada kemaslahatan dan keseimbangan sosial.¹⁸ Politik, dalam pandangan ini, bukan sekadar praktik kekuasaan, tetapi bentuk tanggung jawab moral untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.¹⁹

Prinsip siyāsah al-maṣlaḥah (politik kemaslahatan) yang diilhami Ibnu Khaldun dapat menjadi dasar bagi tata kelola pemerintahan yang partisipatif, akuntabel, dan berkeadilan.²⁰ Pemerintah ideal bukan yang paling kuat, tetapi yang paling bermanfaat bagi rakyatnya.²¹ Dengan menekankan etika tindakan sebagai instrumen sosial, al-Dzarā’i‘iy menuntun pada pemahaman bahwa keberhasilan politik diukur bukan dari stabilitas kekuasaan, melainkan dari sejauh mana ia melayani kemaslahatan umum.²²

Pendekatan ini juga relevan untuk pembangunan sosial di era global yang menghadapi krisis kepercayaan publik terhadap institusi politik.²³ Melalui etika pragmatis Islam, politik dapat dipulihkan sebagai sarana moral untuk memperjuangkan kebaikan bersama, bukan sekadar perebutan kepentingan.²⁴

11.5.    Kontribusi terhadap Dialog Filsafat Global

Al-Dzarā’i‘iy juga memiliki relevansi bagi dialog antara filsafat Islam dan filsafat Barat.²⁵ Dalam era pluralisme intelektual, pemikiran Ibnu Khaldun menawarkan jembatan konseptual antara rasionalisme modern dan spiritualitas keagamaan.²⁶ Dengan menjadikan manfaat sebagai kategori epistemologis yang sekaligus etis, ia membuka ruang bagi sintesis antara pragmatisme, etika, dan teologi.²⁷

Pendekatan ini berpotensi memperkaya diskursus filsafat global yang selama ini terfragmentasi antara idealisme dan utilitarianisme.²⁸ Melalui al-Dzarā’i‘iy, Islam menghadirkan paradigma alternatif: “pragmatisme bermoral”, yaitu tindakan yang efektif sekaligus etis.²⁹ Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menegaskan peran agama bukan sebagai penghalang rasionalitas, tetapi sebagai sumber nilai yang memberi arah pada tindakan manusia.³⁰

Dengan mengintegrasikan dimensi empiris, etis, dan spiritual, pemikiran Ibnu Khaldun dapat memperluas horizon filsafat tindakan global—menjadikannya lebih manusiawi dan berakar pada makna hidup.³¹

11.6.    Relevansi terhadap Krisis Moral dan Ekologi

Pada masa kini, ketika dunia menghadapi krisis ekologis dan degradasi moral, al-Dzarā’i‘iy menawarkan kerangka konseptual untuk membangun etika lingkungan berbasis kemaslahatan.³² Prinsip bahwa setiap tindakan harus membawa manfaat dan menghindari kerusakan (jalb al-maṣāliḥ wa dar’ al-mafāsid) memiliki relevansi ekologis yang kuat.³³

Etika pragmatis Islam menegaskan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan ekologis sebagai bagian dari tugas moral.³⁴ Dalam konteks ini, paradigma Ibnu Khaldun dapat diterapkan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan yang menempatkan kemanfaatan manusia dalam keselarasan dengan keberlanjutan alam.³⁵

Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy dapat memperkaya diskursus kontemporer tentang etika lingkungan, keadilan sosial, dan keberlanjutan global melalui pendekatan yang menyatukan rasionalitas ilmiah dan nilai-nilai spiritual.³⁶

11.7.    Penegasan Kembali Spirit Pragmatis Islam

Relevansi pemikiran Ibnu Khaldun tidak berhenti pada tataran teoritis. Al-Dzarā’i‘iy mengandung pesan moral universal: bahwa setiap tindakan manusia harus memiliki tujuan kemaslahatan, keseimbangan, dan kesucian niat.³⁷ Di tengah dunia yang cenderung mengukur segalanya dengan produktivitas dan efisiensi, Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa kemanfaatan sejati adalah yang menghidupkan nilai kemanusiaan.³⁸

Oleh karena itu, paradigma al-Dzarā’i‘iy dapat menjadi dasar bagi pembaruan pemikiran Islam yang bersifat kontekstual, dinamis, dan terbuka terhadap perubahan, tanpa kehilangan arah spiritualnya.³⁹ Dengan menjadikan manfaat, akhlak, dan tanggung jawab sosial sebagai pilar utama, al-Dzarā’i‘iy menegaskan kembali hakikat filsafat Islam sebagai hikmah praktis—kebijaksanaan yang hidup, relevan, dan membumi.⁴⁰


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 157.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 129.

[3]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 92.

[4]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 115.

[5]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 43.

[6]                Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 60.

[7]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 344.

[8]                Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:56.

[9]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 118.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 74.

[11]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 130.

[12]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 42.

[13]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 94.

[14]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 132.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 160.

[16]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 120.

[17]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 349.

[18]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 96.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 162.

[20]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, 2:58.

[21]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun, 46.

[22]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 122.

[23]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 126.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 77.

[25]             Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, vol. 5, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 20.

[26]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 48.

[27]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 134.

[28]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 125.

[29]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 99.

[30]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 165.

[31]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, 45.

[32]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 78.

[33]             Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, 2:60.

[34]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 128.

[35]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 102.

[36]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 168.

[37]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 357.

[38]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 136.

[39]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 130.

[40]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 80.


12.       Kesimpulan

12.1.    Rekapitulasi Sintesis Filsafat al-Dzarā’i‘iy

Filsafat al-Dzarā’i‘iy yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun menempati posisi penting dalam tradisi intelektual Islam karena menghadirkan paradigma pengetahuan yang pragmatis, fungsional, dan spiritual sekaligus.¹ Dalam pandangannya, ilmu bukanlah entitas abstrak yang berdiri sendiri, tetapi sarana (dzarī‘ah) untuk mencapai tujuan moral, sosial, dan teologis.² Dengan demikian, seluruh aktivitas intelektual dan sosial manusia harus diukur berdasarkan manfaat dan kemaslahatan yang dihasilkannya bagi kehidupan duniawi dan ukhrawi.³

Pemikiran ini memperlihatkan upaya Ibnu Khaldun dalam mengintegrasikan tiga dimensi fundamental filsafat Islam: ontologi realistis, epistemologi empiris-teologis, dan aksiologi etis-fungsional.⁴ Ia menggabungkan antara pengalaman empiris dan prinsip-prinsip moral ilahi, menghasilkan sintesis antara rasionalitas dan spiritualitas yang tetap berorientasi pada kemanusiaan.⁵

12.2.    Ciri Khas Pragmatisme Islam

Ciri khas al-Dzarā’i‘iy dibandingkan dengan pragmatisme Barat terletak pada fondasi teosentrisnya.⁶ Jika pragmatisme modern (seperti William James dan John Dewey) menilai kebenaran dari efektivitas tindakan dalam konteks duniawi, maka Ibnu Khaldun menilai kebenaran dari kesesuaian tindakan dengan nilai ilahi dan kemaslahatan moral.⁷

Dengan demikian, al-Dzarā’i‘iy bukan sekadar “filsafat yang berguna,” melainkan filsafat kemanfaatan bernilai adab.⁸ Nilai suatu tindakan tidak diukur hanya dari keberhasilannya, tetapi dari kejujuran niat, keseimbangan, dan kontribusinya terhadap keadilan sosial.⁹ Ibnu Khaldun menolak ilmu yang steril dari amal, dan amal yang terlepas dari ilmu; keduanya harus berpadu dalam orientasi etis yang membawa manusia pada kesempurnaan moral (kamāl al-insānī).¹⁰

12.3.    Dimensi Pendidikan, Sosial, dan Politik

Filsafat al-Dzarā’i‘iy memiliki implikasi yang luas dalam bidang pendidikan, sosial, dan politik. Dalam pendidikan, ia menegaskan pentingnya pembelajaran yang bermanfaat, menghindari spekulasi kosong, dan berorientasi pada pembangunan karakter dan peradaban.¹¹ Dalam kehidupan sosial dan politik, Ibnu Khaldun menempatkan ilmu dan kekuasaan sebagai dua sarana yang harus diarahkan kepada kemaslahatan umum (maṣlaḥah ‘āmmah).¹²

Etika sosial dalam al-Dzarā’i‘iy didasarkan pada keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab kolektif.¹³ Prinsip ‘asabiyyah menjadi fondasi bagi solidaritas sosial, sementara maṣlaḥah berfungsi sebagai arah moral yang memastikan bahwa kekuatan sosial digunakan untuk kebaikan.¹⁴ Dengan demikian, Ibnu Khaldun menampilkan model peradaban Islam yang realistis, etis, dan berkelanjutan.¹⁵

12.4.    Signifikansi bagi Pemikiran Islam Kontemporer

Dalam konteks modern, al-Dzarā’i‘iy menawarkan kerangka konseptual yang relevan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, etika profesi, pendidikan karakter, dan kebijakan publik.¹⁶ Filsafat ini mengajarkan bahwa rasionalitas dan empirisme tidak boleh dilepaskan dari nilai moral dan spiritual.¹⁷ Oleh karena itu, paradigma Ibnu Khaldun dapat dijadikan dasar bagi rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan modern dan nilai-nilai keislaman.¹⁸

Pemikiran Ibnu Khaldun membantu menjawab tantangan global seperti krisis moral, disintegrasi sosial, dan degradasi lingkungan, dengan menegaskan pentingnya orientasi kemaslahatan dan tanggung jawab moral dalam setiap tindakan.¹⁹ Dalam arti ini, al-Dzarā’i‘iy bukan hanya sistem filsafat, melainkan juga etos peradaban Islam yang dinamis.²⁰

12.5.    Al-Dzarā’i‘iy sebagai Filsafat Manusia dan Kemanusiaan

Pada tataran eksistensial, al-Dzarā’i‘iy merupakan filsafat tentang manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbuat, dan bertanggung jawab.²¹ Manusia, dalam pandangan Ibnu Khaldun, tidak dapat mencapai kesempurnaan tanpa mengaitkan pengetahuannya dengan amal, dan amalnya dengan nilai ilahi.²² Dengan demikian, setiap tindakan manusia memiliki dimensi metafisik dan sosial sekaligus: menjadi sarana penyempurnaan diri dan pembentukan masyarakat beradab (madaniyah).²³

Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa kemajuan suatu peradaban bergantung pada kemanfaatan ilmu dan moralitas pelakunya.²⁴ Ketika ilmu kehilangan orientasi etisnya, maka peradaban akan mengalami kemunduran spiritual dan sosial.²⁵ Sebaliknya, ketika ilmu dan amal diarahkan pada kemaslahatan dan keadilan, maka peradaban akan berkembang secara seimbang dan berkelanjutan.²⁶


Penegasan Akhir: Pragmatisme Ilmiah yang Berjiwa Ilahi

Pada akhirnya, al-Dzarā’i‘iy Ibnu Khaldun dapat disimpulkan sebagai bentuk pragmatisme ilahiah, yaitu filsafat tindakan yang menilai ilmu dan amal berdasarkan kebermanfaatannya dalam kerangka tauhid.²⁷ Ia tidak menolak dunia empiris, tetapi menempatkannya dalam sistem nilai yang mengarah kepada Tuhan.²⁸

Melalui pendekatan ini, Ibnu Khaldun berhasil menyatukan antara rasionalitas ilmiah dan spiritualitas moral, antara empirisme sosial dan teleologi ilahi.²⁹ Maka, al-Dzarā’i‘iy bukan hanya warisan intelektual masa lalu, tetapi juga visi filosofis bagi masa depan Islam: membangun peradaban yang berilmu, berakhlak, dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.³⁰


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1992), 133.

[2]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 345.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 138.

[4]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1962), 234.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 172.

[6]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 49.

[7]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 106.

[8]                Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1951), 2:64.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 84.

[10]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 357.

[11]             Nabil Nofal, Educational Thought of Ibn Khaldun (Cairo: Al-Azhar University Press, 1983), 63.

[12]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2014), 48.

[13]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 135.

[14]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 353.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 176.

[16]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 110.

[17]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 140.

[18]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 137.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 82.

[20]             Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: Anthem Press, 2014), 49.

[21]             M. A. Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Islamic Book Trust, 1975), 133.

[22]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 346.

[23]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 139.

[24]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 142.

[25]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 178.

[26]             Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun, 51.

[27]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 112.

[28]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 87.

[29]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 141.

[30]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 145.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Alatas, S. F. (2014). Applying Ibn Khaldun: The recovery of a lost tradition in sociology. London: Routledge.

Alatas, S. F. (2014). Ibn Khaldun and contemporary sociology. Singapore: Anthem Press.

Al-Qasem, M. A. (1975). The ethics of al-Ghazali: A composite ethics in Islam. Petaling Jaya: Islamic Book Trust.

Al-Shatibi, A. I. (1951). Al-Muwafaqat fi usul al-shari‘ah (Vol. 2, A. Darraz, Ed.). Cairo: Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra.

Auda, J. (2008). Maqasid al-shariah as philosophy of Islamic law: A systems approach. London: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Bakar, O. (1992). Classification of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies.

Dawood, N. J. (1973). The Arabs: History, culture, and religion. London: Penguin Books.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. New York: Macmillan.

Dewey, J. (1920). Reconstruction in philosophy. New York: Henry Holt and Company.

Dewey, J. (1922). Human nature and conduct: An introduction to social psychology. New York: Henry Holt and Company.

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York: Macmillan.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Ashraf Press.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. New York: Longmans, Green, and Co.

Kamali, M. H. (1991). Principles of Islamic jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Mahdi, M. (1957). Ibn Khaldun’s philosophy of history: A study in the philosophical foundation of the science of culture. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. London: Allen and Unwin.

Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Nofal, N. (1983). Educational thought of Ibn Khaldun. Cairo: Al-Azhar University Press.

Peirce, C. S. (1934). Collected papers of Charles Sanders Peirce (Vol. 5, C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Quasem, M. A. (1975). The ethics of al-Ghazali: A composite ethics in Islam. Petaling Jaya: Islamic Book Trust.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The contemporary relevance of the sacred text of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Sheikh, M. S. (1962). Studies in Muslim philosophy. Lahore: Institute of Islamic Culture.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar