Kamis, 16 Oktober 2025

Aliran Religius-Rasional: Sintesis Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā

Aliran Religius-Rasional

Sintesis Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā


Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Religius-Rasional dalam filsafat Islam yang berpuncak pada pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’, sebuah perkumpulan intelektual abad ke-10 M yang berupaya menyatukan rasionalitas filsafat Yunani dengan spiritualitas Islam. Melalui telaah historis, genealogis, dan konseptual, penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ merepresentasikan salah satu bentuk paling matang dari sintesis antara akal (‘aql) dan wahyu (waḥy) dalam tradisi Islam.

Kajian ini menelusuri landasan historis dan sosio-intelektual munculnya aliran religius-rasional, yang tumbuh dalam konteks ketegangan antara ortodoksi teologis dan rasionalisme filosofis. Selanjutnya, artikel ini menguraikan struktur ontologis, epistemologis, dan etis pemikiran Ikhwan—di mana kosmos dipahami sebagai manifestasi rasional kehendak Ilahi, dan pengetahuan berfungsi sebagai jalan menuju penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs). Dalam kerangka epistemologinya, akal berperan menyingkap hukum-hukum alam, sementara wahyu menjadi pemandu moral dan spiritual bagi akal agar tidak menyimpang dari kebenaran.

Metodologi Ikhwan, yang bersifat ensiklopedik dan integratif, memperlihatkan upaya untuk memadukan burhān (demonstrasi rasional), jadal (dialektika), dan bayān (penjelasan simbolik) ke dalam satu sistem pengetahuan yang koheren. Melalui pendekatan ini, mereka menegaskan bahwa ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama tidak dapat dipisahkan, sebab seluruhnya berakar pada prinsip tawḥīd (kesatuan Ilahi). Artikel ini juga memaparkan berbagai kritik dan respons terhadap pemikiran Ikhwan—baik dari kalangan ortodoks seperti al-Ghazālī dan Ibn Taymiyyah, maupun dari rasionalis seperti Ibn Sīnā dan Ibn Rushd—serta menilai bahwa gagasan mereka tetap relevan dalam menghadapi krisis spiritualitas dan fragmentasi pengetahuan modern.

Kesimpulannya, Ikhwan al-Ṣafā’ berhasil menghadirkan paradigma rasionalitas spiritual, yaitu bentuk rasionalisme yang berorientasi pada kebijaksanaan dan penyempurnaan jiwa. Dengan menegaskan bahwa akal dan wahyu merupakan dua cahaya dari satu sumber kebenaran, aliran religius-rasional yang mereka bangun menawarkan inspirasi bagi rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer dan pembangunan peradaban manusia yang berimbang antara ilmu, iman, dan etika.

Kata Kunci: Ikhwan al-Ṣafā’, Rasionalitas Religius, Filsafat Islam, Wahyu dan Akal, Epistemologi Islam, Kosmologi Ilahi, Etika Spiritual, Ensiklopedisme Islam.


PEMBAHASAN

Aliran Religius-Rasional dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah intelektual Islam, hubungan antara akal (al-‘aql) dan wahyu (al-waḥy) senantiasa menjadi tema sentral yang menentukan arah perkembangan teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sejak abad ke-8 hingga ke-11 Masehi, dunia Islam mengalami fase yang dikenal sebagai zaman keemasan intelektual—masa di mana rasionalitas dan spiritualitas berjalan seiring dalam menafsirkan hakikat realitas dan kebenaran. Di tengah dinamika tersebut, muncul suatu aliran yang berupaya menjembatani keduanya secara harmonis, yaitu aliran religius-rasional dengan representasi utamanya pada Ikhwan al-Ṣafā’ (Persaudaraan Kemurnian).¹

Ikhwan al-Ṣafā’, yang berpusat di Basrah pada abad ke-10 M, merupakan kelompok pemikir yang menulis ensiklopedia filsafat monumental berjudul Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’.² Karya ini terdiri dari 52 risalah yang mencakup berbagai disiplin ilmu—mulai dari logika, matematika, fisika, biologi, psikologi, hingga metafisika dan teologi—dengan tujuan utama membentuk manusia ideal (al-insān al-kāmil) melalui kesatuan ilmu dan moralitas.³ Bagi Ikhwan al-Ṣafā’, akal dan wahyu bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua jalan yang saling melengkapi dalam menyingkap hakikat kebenaran ilahi. Rasionalitas berfungsi sebagai sarana untuk memahami makna terdalam dari wahyu, sementara wahyu memberikan arah normatif bagi rasionalitas agar tidak tersesat dalam relativisme.⁴

Kelahiran aliran religius-rasional ini tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual dan sosial pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, ketika gerakan penerjemahan karya-karya Yunani dan Helenistik sedang mencapai puncaknya.⁵ Interaksi dengan filsafat Yunani, khususnya tradisi Neoplatonisme dan Aristotelianisme, mendorong munculnya sintesis baru antara pemikiran ilmiah dan teologi Islam. Dalam atmosfer intelektual seperti inilah Ikhwan al-Ṣafā’ berusaha mengintegrasikan ilmu rasional dengan nilai-nilai spiritual Islam, menegaskan bahwa pemahaman terhadap Tuhan dan alam semesta harus melibatkan akal yang jernih serta hati yang disucikan.⁶

Lebih jauh lagi, Ikhwan al-Ṣafā’ menekankan bahwa agama tanpa akal cenderung melahirkan fanatisme, sementara akal tanpa agama dapat menjerumuskan manusia ke dalam kekosongan moral.⁷ Oleh karena itu, mereka mengembangkan sistem pengetahuan yang bertujuan tidak hanya menjelaskan struktur kosmos secara rasional, tetapi juga membimbing manusia menuju penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan penyatuan dengan Tuhan (ittihād bi-Allāh).⁸ Dalam kerangka ini, aliran religius-rasional dapat dipahami sebagai upaya untuk membangun filsafat Islam yang holistik dan integratif, di mana wahyu menjadi sumber nilai, dan rasio menjadi alat untuk memahaminya secara mendalam.

Dengan demikian, kajian terhadap aliran religius-rasional tidak hanya penting untuk memahami warisan intelektual Ikhwan al-Ṣafā’, tetapi juga relevan bagi konteks modern. Di tengah ketegangan antara sains dan agama, rasionalisme dan spiritualitas, warisan pemikiran ini menawarkan model integratif yang menegaskan bahwa pengetahuan sejati harus berakar pada kebenaran rasional sekaligus nilai-nilai transenden.⁹ Penelusuran terhadap dasar ontologis, epistemologis, dan metodologis aliran ini dapat membuka jalan bagi rekonstruksi paradigma keilmuan Islam yang lebih dialogis dan humanistik.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 47.

[2]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 15–17.

[3]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 23–24.

[4]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 52.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 67–68.

[6]                Netton, Muslim Neoplatonists, 44–46.

[7]                Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Austin: University of Texas Press, 1982), 21.

[8]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 77–79.

[9]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 119–120.


2.           Landasan Historis dan Sosio-Intelektual

Kemunculan aliran religius-rasional yang diwakili oleh Ikhwan al-Ṣafā’ tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah dan dinamika intelektual dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiyah (abad ke-8 hingga ke-11 M). Periode ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam, ketika Baghdad dan Basrah menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi.¹ Dalam suasana ini, interaksi antara tradisi keagamaan Islam dengan warisan filsafat Yunani, Persia, dan India melahirkan sintesis pemikiran yang melandasi perkembangan filsafat Islam klasik.

2.1.       Konteks Politik dan Sosial Dinasti Abbasiyah

Secara politik, pemerintahan Abbasiyah ditandai oleh stabilitas relatif dan dukungan terhadap kegiatan intelektual, khususnya di bawah kepemimpinan khalifah seperti al-Ma’mun (memerintah 813–833 M).² Melalui pendirian Bayt al-Ḥikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad, gerakan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, Plotinus, dan Galen berlangsung secara sistematis.³ Proyek ini tidak hanya berfungsi sebagai transfer pengetahuan, tetapi juga menjadi sarana pembentukan habitus intelektual baru yang rasional dan reflektif.

Sementara itu, di kota Basrah—yang menjadi pusat kegiatan Ikhwan al-Ṣafā’—berkembang iklim sosial yang relatif terbuka terhadap perdebatan teologis dan filsafat. Kota ini merupakan tempat pertemuan para pedagang, cendekiawan, dan teolog dari berbagai mazhab, seperti Mu‘tazilah, Syiah, dan Sufi.⁴ Dalam suasana plural dan kosmopolit inilah muncul kebutuhan akan sintesis pemikiran yang dapat mengharmoniskan antara iman dan akal, antara teks dan rasio, antara doktrin dan kebijaksanaan praktis.

2.2.       Latar Intelektual: Pengaruh Filsafat Yunani dan Teologi Islam

Secara intelektual, Ikhwan al-Ṣafā’ hidup pada masa ketika dua arus besar sedang berinteraksi intensif: teologi rasional (kalām) dan filsafat Yunani-Islam. Aliran Mu‘tazilah telah lebih dahulu menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami doktrin-doktrin keagamaan, sementara para penerjemah dan filsuf awal seperti al-Kindī dan al-Fārābī memperkenalkan kerangka metafisik dan logis dari tradisi Yunani ke dalam wacana Islam.⁵

Ikhwan al-Ṣafā’ mengambil posisi khas di antara keduanya. Mereka tidak sekadar mengadopsi logika dan metafisika Yunani, tetapi juga mengislamkannya dalam kerangka moral dan spiritual.⁶ Dalam Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’, mereka menggunakan model ensiklopedik untuk memadukan seluruh cabang ilmu—dari matematika hingga teologi—ke dalam sistem pengetahuan yang berorientasi pada penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan kesempurnaan manusia (al-insān al-kāmil).⁷ Hal ini menunjukkan bahwa proyek intelektual Ikhwan bukan hanya bersifat akademis, tetapi juga etis dan religius.

2.3.       Lingkungan Intelektual Basrah dan Jaringan Pemikiran Rahasia

Selain faktor teologis dan filosofis, struktur sosial dan politik pada masa itu turut mendorong Ikhwan al-Ṣafā’ membentuk jaringan pemikiran yang bersifat semi-tertutup. Dalam situasi di mana perbedaan mazhab dan pandangan teologis sering menimbulkan konflik, mereka memilih bentuk persaudaraan intelektual rahasia sebagai strategi untuk menjaga kebebasan berpikir dan keamanan komunitasnya.⁸ Melalui bentuk ini, gagasan-gagasan rasional-religius dapat berkembang tanpa tekanan politik atau sektarian.

Lebih jauh, semangat ensiklopedik dan eklektik Ikhwan al-Ṣafā’ juga mencerminkan kondisi intelektual dunia Islam yang telah matang untuk menerima pluralitas sumber pengetahuan.⁹ Integrasi antara warisan Yunani, ajaran Islam, dan mistisisme Timur menjadikan aliran religius-rasional sebagai cerminan puncak dari kosmopolitanisme intelektual abad ke-10 M. Dalam konteks inilah, pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ berfungsi sebagai jembatan antara rasionalisme teologis Mu‘tazilah dan spiritualisme filsafat iluminatif (ishrāqiyyah) yang berkembang kemudian.¹⁰

Dengan demikian, landasan historis dan sosio-intelektual Ikhwan al-Ṣafā’ memperlihatkan bahwa aliran religius-rasional bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dialektika panjang antara berbagai tradisi keilmuan. Ia tumbuh di atas fondasi budaya intelektual Islam yang terbuka, plural, dan dialogis—suatu karakteristik yang menjadikannya relevan tidak hanya pada masa klasik, tetapi juga bagi pembaruan pemikiran Islam kontemporer.


Footnotes

[1]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Volume 2: The Expansion of Islam in the Middle Periods (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 27–28.

[2]                Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo Press, 2005), 104–106.

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 36–39.

[4]                Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam (London: Routledge, 1975), 91–93.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 88–90.

[6]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 47–49.

[7]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 45–46.

[8]                Abbas Hamdani, “Ikhwan al-Safa’: Their Heritage and Their Legacy,” Islamic Studies 3, no. 1 (1964): 37–39.

[9]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 91–92.

[10]             Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 121–122.


3.           Genealogi Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’

3.1.       Asal-Usul dan Identitas Intelektual Ikhwan al-Ṣafā’

Kelompok Ikhwan al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’ (Persaudaraan Kemurnian dan Sahabat Kesetiaan) muncul di Basrah pada paruh kedua abad ke-10 M.¹ Meskipun identitas personal para anggotanya masih diperdebatkan, sebagian besar sejarawan filsafat Islam berpendapat bahwa mereka merupakan komunitas intelektual rahasia yang terdiri atas para ulama, filsuf, dan ilmuwan dari berbagai latar belakang mazhab, termasuk Syiah Ismailiyah, Mu‘tazilah, dan Sufi.² Tujuan utama mereka bukan hanya menghasilkan karya ilmiah, tetapi juga membangun suatu gerakan moral dan intelektual yang menyatukan seluruh cabang pengetahuan manusia ke dalam kerangka spiritual-rasional yang harmonis.

Nama Ikhwan al-Ṣafā’ sendiri mengandung makna simbolik: “saudara-saudara yang murni,” yaitu sekelompok manusia yang menyucikan jiwanya melalui pengetahuan dan kebajikan.³ Menurut mereka, persaudaraan intelektual yang tulus merupakan prasyarat bagi pencapaian kebijaksanaan dan kedekatan dengan Tuhan. Karya utama mereka, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ (“Risalah-Risalah Persaudaraan Kemurnian”), merupakan ensiklopedia filosofis-religius yang mencerminkan proyek kolektif untuk menyatukan agama, filsafat, dan sains di bawah prinsip kesatuan ilahi (tawḥīd).⁴

3.2.       Struktur dan Isi Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’

Karya monumental ini terdiri dari 52 risalah, yang secara tematik terbagi menjadi empat bagian besar: (1) ilmu-ilmu matematika dan logika; (2) ilmu-ilmu fisika dan alam; (3) ilmu-ilmu psikis dan rasional; dan (4) ilmu-ilmu teologis dan metafisis.⁵ Dengan pembagian tersebut, Ikhwan al-Ṣafā’ menegaskan pandangan bahwa pengetahuan bersifat hierarkis dan saling terkait—dimulai dari ilmu-ilmu empiris menuju pengetahuan rasional dan akhirnya berujung pada pengetahuan spiritual.⁶

Pendekatan ensiklopedik ini menunjukkan ambisi mereka untuk mengintegrasikan seluruh cabang ilmu dalam satu sistem koheren yang menjadikan manusia sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr) yang mencerminkan tatanan kosmos (al-‘ālam al-kabīr).⁷ Dalam pandangan mereka, memahami alam berarti memahami diri, dan memahami diri berarti mengenal Tuhan. Hal ini sejalan dengan prinsip utama filsafat mereka bahwa akal manusia merupakan pantulan dari Akal Universal (al-‘aql al-kullī) yang bersumber dari Tuhan.⁸

3.3.       Sumber dan Warisan Intelektual

Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ merupakan hasil sintesis yang luas antara berbagai tradisi intelektual. Mereka menggabungkan unsur-unsur Neoplatonisme, Aristotelianisme, dan Pythagoreanisme dengan ajaran-ajaran Islam, terutama mengenai kesatuan Tuhan, keabadian jiwa, dan keteraturan alam.⁹ Konsep emanasi (fayḍ) dari Tuhan ke dalam berbagai tingkat realitas yang diadaptasi dari Plotinus dipadukan dengan gagasan tauhid Islam, menghasilkan sistem kosmologi yang spiritual dan rasional sekaligus.¹⁰

Selain pengaruh filsafat Yunani, Ikhwan al-Ṣafā’ juga terinspirasi oleh gagasan tasawuf awal dan etika religius Islam.¹¹ Mereka menekankan pentingnya penyucian jiwa, cinta terhadap kebenaran, dan kesatuan spiritual umat manusia. Dalam risalah-risalahnya, mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadis untuk mendukung argumentasi rasional mereka, menunjukkan bahwa wahyu dan akal tidak dipertentangkan, melainkan saling mengokohkan.¹²

Beberapa sejarawan, seperti Nasr dan Netton, menyebut Ikhwan al-Ṣafā’ sebagai bentuk awal dari “filsafat ensiklopedik Islam”, di mana seluruh disiplin ilmu—baik empiris maupun metafisis—dipandang sebagai sarana menuju pengetahuan ilahi.¹³ Dengan demikian, genealogi pemikiran mereka bukan sekadar derivatif dari filsafat Yunani, melainkan merupakan kreasi orisinal dalam konteks Islam, yang mengandung misi spiritual, moral, dan intelektual sekaligus.

3.4.       Posisi dalam Tradisi Filsafat Islam

Dalam khazanah filsafat Islam, Ikhwan al-Ṣafā’ menempati posisi transisional antara rasionalisme teologis Mu‘tazilah dan metafisika iluminatif (ishrāqiyyah) yang kelak dikembangkan oleh Suhrawardi.¹⁴ Mereka mewakili semangat integratif yang menolak dikotomi antara sains dan agama, rasio dan wahyu, dunia dan akhirat. Dalam hal ini, pemikiran mereka mempersiapkan jalan bagi para filsuf besar seperti Ibn Sina dan Mulla Sadra dalam mengembangkan model rasional-spiritual yang lebih matang.¹⁵

Secara historis, pengaruh Ikhwan al-Ṣafā’ meluas hingga dunia Islam bagian barat, terutama Andalusia, di mana struktur ensiklopedik mereka menginspirasi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di kalangan sarjana Muslim dan Yahudi abad pertengahan.¹⁶ Pandangan mereka tentang kesatuan ilmu, keharmonisan kosmos, dan keterpaduan antara akal dan iman menjadi salah satu warisan penting bagi filsafat Islam dan bahkan bagi kebangkitan intelektual Eropa di kemudian hari.¹⁷

Dengan demikian, genealogi pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ dapat dipahami sebagai hasil dialog kreatif antara tradisi intelektual Islam dan warisan klasik dunia kuno, yang melahirkan sebuah paradigma religius-rasional yang berupaya membimbing manusia menuju kesempurnaan akal, jiwa, dan iman.


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 12–15.

[2]                Abbas Hamdani, “The Brethren of Purity: A Secret Society of Muslim Philosophers,” The Muslim World 49, no. 3 (1959): 193–195.

[3]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 11.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 102.

[5]                Netton, Muslim Neoplatonists, 23–25.

[6]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 108.

[7]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 41–43.

[8]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 124.

[9]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 57–58.

[10]             Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Faber and Faber, 1956), V.2.1.

[11]             Margaret Smith, An Early Mystic of Baghdad: A Study of the Life and Teaching of Ḥārith al-Muḥāsibī (London: Sheldon Press, 1935), 77–78.

[12]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 79–81.

[13]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 61–62.

[14]             Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 167.

[15]             Hossein Ziai, “Suhrawardi on Knowledge and the Experience of Light,” in History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (London: Routledge, 1996), 434.

[16]             Miguel Asín Palacios, The Mystical Philosophy of Ibn Masarra and His Followers (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 94–95.

[17]             George Sarton, Introduction to the History of Science, Vol. 1 (Baltimore: Williams & Wilkins, 1927), 593–595.


4.           Ontologi: Kosmos, Jiwa, dan Tuhan

4.1.       Prinsip Dasar Ontologi Ikhwan al-Ṣafā’

Bagi Ikhwan al-Ṣafā’, hakikat realitas bersifat hierarkis, emanatif, dan rasional, di mana seluruh wujud merupakan pancaran bertingkat dari sumber tunggal, yaitu Tuhan (al-Bārī’, Sang Pencipta).¹ Pandangan ini berakar pada kombinasi antara teologi Islam dan filsafat Neoplatonik, khususnya konsep emanasi (fayḍ) dari The One yang diperkenalkan oleh Plotinus.² Namun, berbeda dari Neoplatonisme murni, Ikhwan menegaskan bahwa proses emanasi tidak mengurangi kesempurnaan Tuhan dan tidak meniscayakan kekekalan materi; seluruh keberadaan tetap bergantung mutlak kepada kehendak dan kebijaksanaan ilahi (ḥikmah ilāhiyyah).³

Realitas, menurut mereka, tersusun atas tiga tingkat utama wujud: Tuhan sebagai sumber segala yang ada, ‘Aql Kullī (Akal Universal), dan Nafs Kullīyah (Jiwa Universal).⁴ Dari tiga tingkat ini, emanasi terus berlangsung hingga melahirkan dunia materi dan segala bentuk kehidupan. Ontologi Ikhwan al-Ṣafā’ bersifat kosmosentris-spiritual, karena alam semesta dipandang sebagai cerminan keteraturan dan rasionalitas Ilahi. Setiap lapisan wujud memiliki tujuan dan fungsi tertentu dalam rangka menyingkap hikmah Tuhan yang tersembunyi di balik ciptaan.⁵

4.2.       Tuhan sebagai Asal dan Tujuan Segala Realitas

Dalam sistem metafisika Ikhwan al-Ṣafā’, Tuhan adalah Wujud Mutlak (al-Wujūd al-Muṭlaq), Esa dalam hakikat dan sumber segala eksistensi. Ia tidak dapat dijangkau oleh pancaindra maupun imajinasi; hanya melalui akal dan penyucian jiwa manusia dapat memahami tanda-tanda keberadaan-Nya.⁶ Tuhan bukan sekadar penyebab pertama yang statis, tetapi realitas hidup yang menjadi sumber gerak dan keteraturan seluruh kosmos.⁷

Ikhwan menolak pandangan materialistik yang menafsirkan alam secara mekanistik. Mereka menegaskan bahwa Tuhan bukan sekadar “Pencipta awal,” melainkan Penjaga kontinuitas keberadaan (mudabbir al-wujūd).⁸ Dalam Rasā’il, dijelaskan bahwa keberadaan setiap makhluk merupakan refleksi dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (asmā’ Allāh wa ṣifātihi), sehingga seluruh ciptaan memiliki aspek spiritual yang menandakan ketergantungan total pada realitas Ilahi.⁹

Pandangan ini memperlihatkan kesatuan antara ontologi dan teologi dalam filsafat Ikhwan: mengenal struktur kosmos berarti mengenal Tuhan, sebab alam semesta adalah manifestasi simbolik dari kebijaksanaan dan kehendak-Nya.¹⁰ Dengan demikian, pengetahuan tentang Tuhan diperoleh bukan hanya melalui teks wahyu, tetapi juga melalui kontemplasi rasional atas keteraturan kosmos.

4.3.       Jiwa sebagai Penghubung antara Alam Ruhani dan Alam Materi

Posisi jiwa (nafs) menempati peran sentral dalam ontologi Ikhwan al-Ṣafā’. Jiwa merupakan entitas penghubung (wāsiṭah) antara dunia spiritual yang murni (‘ālam al-arwāḥ) dan dunia materi (‘ālam al-ajsām).¹¹ Ia bersifat immaterial namun beroperasi dalam tubuh sebagai prinsip kehidupan dan kesadaran. Jiwa manusia, menurut Ikhwan, berasal dari Jiwa Universal (al-Nafs al-Kullīyah), yang memancar dari Akal Universal (al-‘Aql al-Kullī).¹²

Tujuan eksistensial manusia adalah mengembalikan jiwa kepada asalnya, yaitu Tuhan. Proses ini disebut rujū‘ ilā al-ṣadr al-awwal (kembali kepada sumber pertama).¹³ Untuk mencapai hal tersebut, jiwa harus disucikan melalui pengetahuan dan amal kebajikan. Ketidaktahuan dan keterikatan pada dunia materi menyebabkan jiwa terpenjara dalam bentuk-bentuk jasmani yang lebih rendah.¹⁴ Oleh karena itu, pengetahuan rasional bagi Ikhwan bukan sekadar akumulasi intelektual, tetapi sarana penyucian dan pembebasan spiritual (tazkiyat al-nafs).¹⁵

Konsepsi ini menunjukkan bahwa sistem ontologis Ikhwan bersifat teleologis dan soteriologis: seluruh struktur kosmos berfungsi sebagai jalan bagi jiwa untuk kembali kepada Tuhan. Dengan demikian, manusia berada pada posisi unik sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr) yang merefleksikan seluruh realitas makrokosmos, menjadikan perjalanan spiritual manusia sebagai miniatur dari dinamika kosmos itu sendiri.¹⁶

4.4.       Kosmos sebagai Cermin Rasionalitas Ilahi

Alam semesta dalam pandangan Ikhwan al-Ṣafā’ adalah struktur rasional dan harmonis yang tersusun berdasarkan proporsi matematis dan prinsip keteraturan (niẓām).¹⁷ Mereka mengadopsi warisan Pythagorean bahwa angka dan harmoni merupakan dasar keteraturan alam, tetapi menafsirkannya secara spiritual sebagai ekspresi kebijaksanaan Tuhan.¹⁸ Kosmos tidak bersifat kebetulan; ia adalah manifestasi rasional dari kehendak Ilahi, di mana segala yang ada memiliki makna dan tujuan.

Dalam Rasā’il, mereka mengilustrasikan alam sebagai tubuh hidup yang digerakkan oleh jiwa universal dan dituntun oleh akal ilahi.¹⁹ Alam berfungsi sebagai tempat ujian sekaligus wahana pendidikan jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan moral dan intelektual.²⁰ Dengan demikian, kosmologi Ikhwan bukan hanya menjelaskan struktur realitas, tetapi juga mengandung dimensi etik dan spiritual, di mana setiap pengetahuan tentang alam harus mengantarkan manusia kepada pengenalan dan penghambaan kepada Tuhan.

4.5.       Kesatuan Ontologis antara Tuhan, Kosmos, dan Jiwa

Dalam keseluruhan sistemnya, Ikhwan al-Ṣafā’ menegaskan prinsip kesatuan wujud dalam keberagaman manifestasi.²¹ Tuhan adalah asal dari segala sesuatu, namun ciptaan tetap memiliki realitasnya sendiri yang bersifat bergantung (wujūd bi-al-ghayr).²² Dengan demikian, tidak ada dikotomi tajam antara dunia spiritual dan dunia material; keduanya merupakan dua dimensi dari satu realitas yang sama, berbeda hanya dalam tingkat kesempurnaan dan kedekatan dengan sumbernya.

Prinsip ontologis ini menjadikan sistem Ikhwan sebagai bentuk awal dari monisme spiritual Islam, yang kelak menemukan ekspresi filosofis lebih matang dalam ḥikmah al-muta‘āliyah karya Mulla Ṣadrā.²³ Kesatuan antara kosmos, jiwa, dan Tuhan menunjukkan bahwa rasionalitas dan spiritualitas bukan dua jalur yang terpisah, melainkan dua aspek dari satu perjalanan menuju kebenaran yang mutlak.²⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 117–118.

[2]                Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Faber and Faber, 1956), V.1.6–9.

[3]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 55–56.

[4]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 47–48.

[5]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 120.

[6]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 128.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 170.

[8]                Netton, Muslim Neoplatonists, 60–61.

[9]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 52.

[10]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 66.

[11]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 172.

[12]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 123–124.

[13]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 83.

[14]             Netton, Muslim Neoplatonists, 63.

[15]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 71.

[16]             Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 131.

[17]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 95.

[18]             A. L. Tibawi, “Ikhwan al-Safa and Their Natural Philosophy,” Islamic Quarterly 9, no. 1 (1965): 20–22.

[19]             Netton, Muslim Neoplatonists, 68–69.

[20]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 128.

[21]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 175.

[22]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 74.

[23]             Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Rida al-Lahiji (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), vol. 2, 15–17.

[24]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 77.


5.           Epistemologi: Akal, Wahyu, dan Ilmu Pengetahuan

5.1.       Prinsip Dasar Epistemologi Religius-Rasional

Epistemologi Ikhwan al-Ṣafā’ berangkat dari pandangan bahwa pengetahuan (‘ilm) merupakan jalan penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) sekaligus sarana mencapai kesempurnaan spiritual (al-kamāl al-insānī).¹ Pengetahuan tidak sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga tindakan moral dan spiritual yang mengantarkan manusia pada kedekatan dengan Tuhan.² Bagi Ikhwan, akal (‘aql) dan wahyu (waḥy) bukan dua sumber kebenaran yang berlawanan, melainkan dua instrumen saling melengkapi dalam memahami realitas. Akal berfungsi menafsirkan tanda-tanda Tuhan dalam alam, sementara wahyu menuntun akal agar tetap berada dalam kebenaran etis dan metafisis.³

Ikhwan menegaskan bahwa wahyu bersifat ilham ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan wali sebagai bentuk bimbingan spiritual, sedangkan akal adalah cahaya batin (nūr al-bāṭin) yang diberikan kepada seluruh manusia untuk memahami hukum-hukum alam dan moral.⁴ Dalam pandangan mereka, kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui harmoni antara keduanya: akal yang tercerahkan oleh wahyu dan wahyu yang dipahami secara rasional.⁵ Dengan demikian, epistemologi Ikhwan bersifat integratif dan teosentris—semua pengetahuan pada akhirnya bermuara pada Tuhan sebagai sumber dan tujuan kebenaran.

5.2.       Akal sebagai Instrumen Penyingkap Kebenaran

Akal, menurut Ikhwan al-Ṣafā’, adalah pantulan dari Akal Universal (al-‘Aql al-Kullī), yaitu prinsip rasional yang pertama kali memancar dari Tuhan dalam struktur emanasi kosmik.⁶ Sebagaimana Akal Universal menjadi sumber keteraturan alam, akal manusia menjadi cermin keteraturan itu dalam dimensi individual. Dengan akalnya, manusia mampu memahami hukum-hukum yang mengatur alam semesta (sunna al-kawn) dan menyingkap jejak kebijaksanaan ilahi di dalamnya.⁷

Namun, Ikhwan membedakan antara akal teoritis (al-‘aql al-naẓarī) dan akal praktis (al-‘aql al-‘amalī). Akal teoritis berfungsi mengenal kebenaran metafisik melalui refleksi rasional, sedangkan akal praktis menuntun tindakan etis yang selaras dengan kebijaksanaan Tuhan.⁸ Dengan memadukan keduanya, manusia dapat menjalani kehidupan yang seimbang antara kontemplasi intelektual dan praksis moral. Dalam Rasā’il, mereka menegaskan bahwa “barang siapa yang mengabaikan akalnya, maka ia mengabaikan martabat kemanusiaannya.”⁹

Epistemologi rasional Ikhwan menolak ekstremisme anti-rasional. Mereka menegaskan bahwa akal adalah karunia Ilahi dan bukti kemuliaan manusia, tetapi penggunaannya harus disertai kesucian niat dan kedekatan spiritual agar tidak tergelincir ke dalam kesombongan intelektual.¹⁰ Akal yang tercerahkan adalah akal yang tunduk kepada kebenaran Tuhan, bukan yang menuhankan dirinya sendiri.

5.3.       Wahyu sebagai Sumber Bimbingan Transenden

Sementara itu, wahyu dalam pandangan Ikhwan al-Ṣafā’ adalah manifestasi tertinggi dari kebijaksanaan Tuhan yang diturunkan kepada manusia melalui para nabi.¹¹ Wahyu tidak hanya mengandung kebenaran teologis, tetapi juga prinsip-prinsip moral dan kosmologis yang sejalan dengan rasionalitas alam.¹² Oleh karena itu, tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal; konflik antara keduanya hanya muncul bila wahyu disalahpahami secara literal, atau bila akal digunakan tanpa panduan spiritual.¹³

Ikhwan menolak dikotomi yang tajam antara akal filosofis dan iman religius. Mereka memandang para nabi sebagai filsuf sejati, karena nabi tidak hanya mengetahui kebenaran melalui akal, tetapi juga mengalami penyatuan langsung dengan sumber pengetahuan ilahi.¹⁴ Dalam hal ini, wahyu adalah puncak rasionalitas yang diilhami, sedangkan filsafat adalah upaya manusiawi untuk mendekati kebenaran wahyu dengan daya nalar.¹⁵

Melalui kerangka ini, Ikhwan menegaskan bahwa wahyu memiliki fungsi normatif—menentukan arah moral dan tujuan pengetahuan—sementara akal berfungsi instrumental, yakni menyingkap mekanisme dan struktur realitas. Keduanya berinteraksi secara dialektis dalam proses epistemik yang berujung pada kesempurnaan jiwa.¹⁶

5.4.       Ilmu Pengetahuan sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan

Dalam sistem pengetahuan Ikhwan al-Ṣafā’, ilmu (‘ilm) tidak bersifat fragmentaris, tetapi tersusun dalam hierarki yang memantulkan struktur kosmos.¹⁷ Mereka membagi ilmu ke dalam empat kategori besar: (1) matematika, sebagai dasar keteraturan logis; (2) ilmu alam, sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum fisik dunia materi; (3) ilmu psikis dan rasional, yang mengkaji jiwa dan akal; serta (4) ilmu ketuhanan (ilāhiyyāt), yang menjadi puncak pengetahuan manusia tentang realitas tertinggi.¹⁸

Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa bagi Ikhwan, ilmu pengetahuan memiliki fungsi spiritual—yakni mempersiapkan jiwa untuk kembali kepada Tuhan.¹⁹ Pengetahuan ilmiah bukan hanya sarana dominasi atas alam, melainkan bentuk partisipasi manusia dalam kebijaksanaan ilahi. Oleh karena itu, mereka menolak pemisahan antara ilmu empiris dan metafisika.²⁰ Alam adalah teks terbuka yang dapat dibaca oleh akal, sedangkan wahyu adalah interpretasi simbolik dari hukum-hukum alam oleh Tuhan sendiri.²¹

Dalam Rasā’il, Ikhwan menulis: “Setiap ilmu adalah tangga menuju keilahian; barang siapa berhenti di satu anak tangga, ia tidak akan sampai kepada puncak kebenaran.”²² Pandangan ini menggambarkan epistemologi dinamis, di mana pengetahuan bersifat progresif dan berorientasi pada transformasi spiritual.


Integrasi Akal, Wahyu, dan Ilmu dalam Pencarian Kebenaran

Keseluruhan sistem epistemologi Ikhwan al-Ṣafā’ bertumpu pada prinsip kesatuan pengetahuan dan kesatuan kebenaran.²³ Tidak ada perbedaan hakiki antara pengetahuan rasional dan pengetahuan spiritual; keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Akal berfungsi mengurai, sedangkan wahyu menyatukan; ilmu menjembatani keduanya dalam praksis kehidupan.²⁴

Dengan demikian, epistemologi Ikhwan mencerminkan model rasionalitas religius, di mana intelektualitas tidak dipisahkan dari spiritualitas.²⁵ Akal menjadi instrumen wahyu dalam memahami tanda-tanda Tuhan di alam semesta (āyāt al-kawnīyah), sementara wahyu menuntun akal menuju kebijaksanaan sejati (ḥikmah).²⁶ Paradigma ini menjadikan pengetahuan sebagai ibadah, dan rasionalitas sebagai jalan menuju kebenaran Ilahi.²⁷


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 82.

[2]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 73–75.

[3]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 63.

[4]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 84.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 178.

[6]                Netton, Muslim Neoplatonists, 78.

[7]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 135.

[8]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 88–89.

[9]                Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 1, 33.

[10]             Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 135.

[11]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 86.

[12]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 179.

[13]             Netton, Muslim Neoplatonists, 81–82.

[14]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 139.

[15]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 93.

[16]             Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 138.

[17]             Netton, Muslim Neoplatonists, 83.

[18]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 88.

[19]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 182.

[20]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 97.

[21]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 141.

[22]             Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 3, 115.

[23]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 90.

[24]             Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 142.

[25]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 184.

[26]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 144.

[27]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 100.


6.           Etika dan Tujuan Kehidupan

6.1.       Etika sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan Jiwa

Dalam sistem filsafat Ikhwan al-Ṣafā’, etika (akhlaq) bukan sekadar pedoman perilaku sosial, tetapi merupakan ilmu penyucian jiwa (‘ilm tazkiyat al-nafs) yang berfungsi membimbing manusia menuju kesempurnaan spiritual.¹ Tujuan utama kehidupan manusia, menurut mereka, adalah pembebasan jiwa dari keterikatan materi dan kembalinya kepada sumber asalnya, yaitu Tuhan (al-Ṣāni‘ al-Awwal).² Oleh karena itu, etika bukan hanya cabang praktis dari filsafat, melainkan inti dari keseluruhan proyek intelektual Ikhwan, di mana pengetahuan dan tindakan moral berfungsi secara sinergis untuk mencapai kebahagiaan sejati (al-sa‘ādah al-ḥaqīqiyyah).³

Dalam Rasā’il, Ikhwan menggambarkan kehidupan manusia sebagai perjalanan jiwa yang turun ke dunia materi untuk diuji, kemudian naik kembali melalui tangga pengetahuan dan kebajikan.⁴ Proses ini bersifat kosmologis sekaligus etis: sebagaimana alam tersusun dalam tatanan hierarkis yang harmonis, demikian pula jiwa manusia harus menata dirinya sesuai dengan tatanan moral dan rasional yang mengantarkan kepada kesempurnaan.⁵

6.2.       Struktur Moral: Kebajikan dan Keseimbangan Jiwa

Ikhwan al-Ṣafā’ mendasarkan etika mereka pada prinsip keseimbangan jiwa (i‘tidāl al-nafs) dan kebajikan universal (faḍīlah), yang mencerminkan keselarasan antara kekuatan rasional, emosional, dan nafsani dalam diri manusia.⁶ Prinsip ini sejalan dengan tradisi etika Aristotelian dan Neoplatonik, namun diberi makna spiritual dalam kerangka Islam. Mereka berpendapat bahwa manusia memiliki tiga kekuatan utama:

1)                  al-quwwah al-‘aqliyyah (daya rasional),

2)                  al-quwwah al-ghaḍabiyyah (daya emosional/amarah), dan

3)                  al-quwwah al-shahwiyyah (daya keinginan).⁷

Keseimbangan ketiga daya tersebut melahirkan empat kebajikan utama: hikmah (kebijaksanaan), syajā‘ah (keberanian), ‘iffah (pengendalian diri), dan ‘adālah (keadilan).⁸ Dengan demikian, keadilan bagi Ikhwan bukan hanya hukum sosial, tetapi harmoni batin yang terwujud ketika rasio memimpin nafs dan emosi dalam kerangka etis yang benar.

Ikhwan menegaskan bahwa moralitas sejati tidak dapat dicapai melalui aturan eksternal semata, tetapi melalui transformasi batiniah.⁹ Kebajikan adalah hasil dari kesadaran rasional yang disinari oleh iman, bukan semata hasil kebiasaan atau paksaan sosial.¹⁰ Etika Ikhwan karenanya bersifat rasional-religius: rasional karena didasarkan pada struktur kejiwaan manusia, dan religius karena berorientasi pada penyatuan dengan kehendak Tuhan.

6.3.       Etika Rasional dan Pengendalian Diri

Salah satu aspek penting dari etika Ikhwan al-Ṣafā’ adalah penekanan pada pengendalian diri (mujāhadah al-nafs).¹¹ Jiwa manusia yang terjerat oleh hawa nafsu (al-shahwah) cenderung turun pada derajat hewani, sementara jiwa yang dikuasai oleh akal dan kebijaksanaan akan naik menuju derajat malaikat.¹² Dalam kerangka ini, etika berfungsi sebagai latihan rohani (riyāḍah nafsiyyah), yang mengarahkan jiwa untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi.

Ikhwan menggunakan analogi yang mendalam: tubuh manusia ibarat “kendaraan,” dan akal adalah “penunggangnya.”¹³ Bila penunggang kehilangan kendali, kendaraan akan membawa jiwa pada kebinasaan. Oleh karena itu, pendidikan moral harus diarahkan untuk memperkuat kemampuan rasional agar mampu menundukkan keinginan jasmani.¹⁴ Prinsip ini menunjukkan kesinambungan antara etika rasional dan asketisisme religius, di mana pengetahuan dan kebajikan merupakan dua sisi dari perjalanan menuju kesempurnaan.

6.4.       Tujuan Akhir: Kebahagiaan dan Persatuan dengan Tuhan

Tujuan akhir manusia, menurut Ikhwan al-Ṣafā’, adalah kebahagiaan sejati (al-sa‘ādah al-ḥaqīqiyyah), yang tidak dapat diperoleh dari kesenangan duniawi, kekayaan, atau kekuasaan, melainkan dari penyatuan jiwa dengan Tuhan (ittiḥād al-nafs bi-llāh).¹⁵ Kebahagiaan sejati bersifat abadi dan hanya mungkin dicapai melalui kesempurnaan akal dan kemurnian moral.

Mereka mengutip ayat al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” (Q.S. al-Bayyinah [98] ayat 7), untuk menegaskan bahwa surga bukan semata tempat fisik, melainkan kondisi spiritual bagi jiwa yang telah menyatu dengan sumber cahaya Ilahi.¹⁶

Konsep ittiḥād (penyatuan) dalam pemikiran Ikhwan tidak berarti hilangnya individualitas manusia, tetapi pencapaian keserupaan spiritual dengan Tuhan melalui kebijaksanaan dan kebaikan.¹⁷ Jiwa yang telah mencapai kesempurnaan moral menjadi cermin dari kesempurnaan Tuhan—suatu gagasan yang menunjukkan pengaruh Neoplatonisme namun disublimasikan dalam kerangka teologis Islam.¹⁸

Dengan demikian, etika Ikhwan al-Ṣafā’ bersifat teleologis dan transenden: ia memandang kehidupan moral sebagai sarana untuk mencapai tujuan kosmik, yaitu kembalinya jiwa kepada asalnya.¹⁹ Rasionalitas moral dan kesalehan religius berpadu dalam satu visi: mengantarkan manusia menjadi al-insān al-kāmil (manusia sempurna), yang akalnya mencerminkan hikmah Ilahi dan jiwanya memantulkan cahaya Tuhan.²⁰


Signifikansi Etika Ikhwan al-Ṣafā’ bagi Kehidupan Modern

Etika religius-rasional Ikhwan al-Ṣafā’ tetap relevan dalam konteks kontemporer, terutama dalam menghadapi krisis moral dan disintegrasi antara ilmu dan nilai.²¹ Dengan menekankan kesatuan antara akal dan iman, pengetahuan dan kebajikan, sistem etika mereka menawarkan paradigma holistik dan humanistik bagi pembentukan manusia modern yang utuh secara intelektual dan spiritual.²²

Bagi Ikhwan, manusia bukan sekadar makhluk berpikir (animal rationale), melainkan makhluk bermoral yang dipanggil untuk menjadi wakil Tuhan di bumi (khalīfah Allāh fī al-arḍ).²³ Karena itu, tanggung jawab etis tidak hanya mencakup hubungan antar manusia, tetapi juga relasi manusia dengan alam dan Tuhan.²⁴ Dalam pengertian ini, etika Ikhwan menjadi jembatan antara rasionalisme moral dan teologi spiritual, yang menawarkan sintesis harmonis antara kebebasan berpikir dan kedisiplinan iman.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 92.

[2]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 95–96.

[3]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 102.

[4]                Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 2, 48.

[5]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 147.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 187.

[7]                Netton, Muslim Neoplatonists, 97.

[8]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 149.

[9]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 94.

[10]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 106.

[11]             Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 3, 77.

[12]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 150.

[13]             Netton, Muslim Neoplatonists, 99.

[14]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 108.

[15]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 98.

[16]             Al-Qur’an, Q.S. al-Bayyinah [98]: 7.

[17]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 188.

[18]             Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Faber and Faber, 1956), V.3.5–7.

[19]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 152.

[20]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 111.

[21]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 100.

[22]             Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 151.

[23]             Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 1, 66.

[24]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 155.


7.           Metodologi dan Rasionalisme Ikhwan al-Ṣafā’

7.1.       Prinsip Umum Metodologi Pengetahuan

Metodologi Ikhwan al-Ṣafā’ berakar pada keyakinan bahwa segala bentuk ilmu dan kebijaksanaan harus dipahami dalam kerangka kesatuan epistemologis dan spiritual.¹ Mereka tidak memisahkan metode ilmiah dari tujuan etis-religius, karena bagi mereka, pencarian pengetahuan merupakan bagian dari perjalanan jiwa menuju Tuhan.² Oleh sebab itu, metode filosofis Ikhwan memadukan rasionalitas analitik, simbolisme spiritual, dan intuisi kontemplatif dalam satu kerangka hermeneutis yang menyeluruh.³

Dalam Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’, mereka menegaskan bahwa metode pencarian kebenaran harus mencakup tiga tahapan: (a) observasi dan pengalaman empiris terhadap alam, (b) refleksi rasional terhadap prinsip-prinsip universal, dan (c) penyucian batin agar akal dapat menerima cahaya wahyu.⁴ Dengan demikian, metode Ikhwan bersifat ensiklopedik dan integratif—menggabungkan disiplin ilmu rasional (‘ulūm ‘aqliyyah) dan ilmu religius (‘ulūm naqliyyah) ke dalam sistem yang saling melengkapi.⁵

7.2.       Pendekatan Ensiklopedik dan Sintetis

Karya monumental mereka, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, merupakan bukti konkret dari metode ensiklopedik yang menjadi ciri khas aliran religius-rasional ini.⁶ Ikhwan tidak membatasi diri pada satu bidang ilmu, melainkan berupaya menggabungkan logika Aristoteles, metafisika Neoplatonis, teologi Islam, dan kosmologi Pythagoras dalam satu sintesis sistematis.⁷ Mereka menolak dikotomi antara sains dan teologi, serta memandang ilmu pengetahuan sebagai jaring koheren yang berpusat pada prinsip tawḥīd (kesatuan ilahi).⁸

Pendekatan ini menunjukkan bahwa Ikhwan menggunakan metode interdisipliner avant-la-lettre, menggabungkan logika deduktif-induktif dengan intuisi metafisis.⁹ Ilmu-ilmu empiris mereka tempatkan pada level dasar pengetahuan, sementara ilmu-ilmu rasional dan teologis berada pada puncaknya. Struktur hierarkis tersebut bukan untuk memisahkan, tetapi untuk menunjukkan jalan menuju kebenaran tertinggi: dari materi menuju spiritual, dari empiris menuju ilahi.¹⁰

7.3.       Rasionalisme Moderat dan Sintesis Akal-Wahyu

Rasionalisme Ikhwan al-Ṣafā’ dapat disebut rasionalisme moderat, karena mereka menolak baik ekstremisme rasional murni ala Mu‘tazilah maupun fideisme literal ala kalangan ortodoks.¹¹ Bagi Ikhwan, akal adalah “cahaya batin” yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia untuk mengenali tanda-tanda kebijaksanaan ilahi di alam.¹² Namun, rasio tidak berdiri otonom; ia memerlukan bimbingan wahyu agar tetap berada dalam kebenaran moral dan spiritual.¹³

Mereka menegaskan bahwa “wahyu adalah akal yang disucikan, sedangkan akal adalah wahyu yang diformulasikan.”¹⁴ Ungkapan ini menggambarkan prinsip kesetaraan epistemologis antara akal dan wahyu: keduanya berasal dari sumber yang sama, hanya berbeda dalam cara manifestasinya. Oleh karena itu, metodologi mereka bersifat dialektis-kooperatif—akal berfungsi menafsirkan realitas empiris dan simbolik wahyu, sedangkan wahyu memberikan arah dan makna bagi aktivitas rasional.¹⁵

Rasionalisme Ikhwan tidak berhenti pada argumentasi logis, tetapi berkembang menjadi rasionalisme spiritual (al-‘aql al-rūḥānī), di mana rasio bertransformasi menjadi instrumen penyaksian terhadap kebenaran ilahi.¹⁶ Dengan demikian, mereka melampaui rasionalisme sekuler menuju rasionalitas religius yang berakar pada prinsip tawḥīd.

7.4.       Metode Logis dan Dialektika Pengetahuan

Dalam kerangka metodologisnya, Ikhwan al-Ṣafā’ menggunakan berbagai pendekatan argumentatif yang mereka sebut sebagai tiga tingkat penalaran:

1)                  al-burhān (demonstrasi logis) – metode rasional yang bertujuan mencapai kepastian intelektual,

2)                  al-jadal (dialektika) – metode dialogis untuk menjembatani perbedaan pandangan, dan

3)                  al-bayān (penjelasan simbolik) – metode retoris-spiritual untuk mengungkap makna wahyu.¹⁷

Ketiga metode tersebut digunakan secara simultan untuk menjangkau audiens dengan kapasitas intelektual berbeda: para filsuf, teolog, dan awam.¹⁸ Dengan strategi ini, Ikhwan menggabungkan rasionalitas formal dengan pendekatan komunikatif yang persuasif dan edukatif. Hal ini menjadikan Rasā’il bukan sekadar teks filsafat, tetapi juga karya pedagogis yang mendidik akal dan menuntun jiwa.¹⁹

7.5.       Metode Hermeneutis dan Simbolisme Kosmologis

Selain argumentasi rasional, Ikhwan juga mengembangkan metode hermeneutis dalam memahami teks-teks wahyu dan simbol-simbol alam.²⁰ Mereka berpendapat bahwa al-Qur’an mengandung makna lahiriah (ẓāhir) dan batiniah (bāṭin), dan keduanya hanya dapat dipahami melalui kombinasi antara rasio dan intuisi spiritual.²¹ Oleh karena itu, penafsiran simbolik (ta’wīl) menjadi bagian integral dari metodologi mereka.

Dalam hal ini, Ikhwan memperlakukan kosmos sebagai teks: alam semesta adalah kitab terbuka yang ditulis oleh Tuhan dalam bahasa rasional dan matematis.²² Manusia sebagai pembaca kosmos harus menggunakan akalnya untuk memahami hukum-hukum keteraturan alam, sembari menyucikan jiwanya agar dapat menangkap makna metafisik di balik fenomena material.²³ Dengan demikian, hermeneutika Ikhwan bersifat kosmoteologis, di mana interpretasi terhadap wahyu dan alam sama-sama diarahkan kepada pengenalan terhadap Tuhan.

7.6.       Sintesis Metodologis: Ilmu, Filsafat, dan Spiritualitas

Metodologi Ikhwan al-Ṣafā’ berujung pada sintesis antara ilmu, filsafat, dan spiritualitas.²⁴ Mereka menolak pandangan reduksionis yang memisahkan pengetahuan ilmiah dari nilai-nilai moral dan religius. Dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai kebijaksanaan (ḥikmah), sedangkan kebijaksanaan adalah refleksi dari pengetahuan yang diterangi iman.²⁵

Dengan demikian, rasionalisme Ikhwan tidak berhenti pada tataran intelektual, melainkan bermuara pada transformasi eksistensial manusia.²⁶ Pengetahuan sejati (ma‘rifah) menuntun manusia kepada tindakan moral dan kesadaran spiritual. Bagi mereka, puncak metode rasional adalah pencerahan batin (tanwīr al-qalb)—suatu keadaan ketika akal dan jiwa berpadanan dengan kehendak Ilahi.²⁷


Evaluasi Filosofis

Metodologi Ikhwan al-Ṣafā’ mencerminkan paradigma ilmiah yang holistik dan integratif, mendahului banyak gagasan modern tentang interdisiplinaritas dan sintesis antara ilmu dan nilai.²⁸ Mereka berhasil menampilkan model berpikir yang rasional tanpa kehilangan dimensi spiritual, menjadikan mereka sebagai salah satu penghubung penting antara rasionalisme klasik dan mistisisme Islam.²⁹ Rasionalisme Ikhwan bukanlah sekularisme intelektual, tetapi rational spirituality—sebuah bentuk pencerahan yang menjadikan akal sebagai cermin cahaya wahyu.³⁰


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 103.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 191.

[3]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 116.

[4]                Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 1, 22–23.

[5]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 159.

[6]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 104.

[7]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 120.

[8]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 106.

[9]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 192.

[10]             Netton, Muslim Neoplatonists, 108.

[11]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 163.

[12]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 125.

[13]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 108.

[14]             Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 2, 49.

[15]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 195.

[16]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 166.

[17]             Netton, Muslim Neoplatonists, 112–113.

[18]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 128.

[19]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 111.

[20]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 197.

[21]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 170.

[22]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 130.

[23]             Netton, Muslim Neoplatonists, 115.

[24]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 113.

[25]             Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 156.

[26]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 134.

[27]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 172.

[28]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 199.

[29]             Netton, Muslim Neoplatonists, 118.

[30]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 115.


8.           Kritik dan Respons terhadap Aliran Religius-Rasional

8.1.       Latar Kritik: Rasionalisme dalam Ketegangan Teologis

Kehadiran Ikhwan al-Ṣafā’ dan aliran religi-rasional pada abad ke-10 M tidak terjadi dalam ruang hampa. Pandangan mereka—yang berupaya memadukan akal dan wahyu—berhadapan langsung dengan ketegangan epistemologis antara dua arus besar: teologi ortodoks (Ahl al-Sunnah) dan rasionalisme teologis Mu‘tazilah.¹ Di satu sisi, para teolog ortodoks menuduh kelompok-kelompok rasionalis sebagai penyimpang dari iman karena dianggap terlalu menekankan otonomi akal; di sisi lain, sebagian Mu‘tazilah menilai Ikhwan al-Ṣafā’ terlalu sinkretik dan mistikal.²

Rasionalisme Ikhwan dianggap mengandung unsur filsafat Yunani yang berpotensi mengaburkan kemurnian tauhid.³ Keberanian mereka mengintegrasikan konsep emanasi (fayḍ), Akal Universal, dan Jiwa Universal sering dianggap mendekati paham panteistik.⁴ Meski demikian, Ikhwan menolak tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa semua emanasi hanyalah simbol untuk menggambarkan proses ciptaan secara metaforis, bukan pengganti konsep penciptaan (al-khalq) dalam Al-Qur’an.⁵

8.2.       Kritik dari Kalangan Ortodoks dan Teolog Sunni

Kritik paling tajam terhadap pendekatan rasional-ensiklopedik Ikhwan al-Ṣafā’ datang dari kalangan ortodoks, terutama yang diwakili oleh Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111 M). Dalam Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazālī mengecam filsafat yang terlalu mengandalkan akal, karena dianggap dapat menimbulkan kekeliruan dalam perkara metafisika seperti kekekalan alam, ilmu Tuhan, dan kebangkitan jiwa.⁶ Meskipun ia tidak menyebut Ikhwan al-Ṣafā’ secara eksplisit, kritiknya terhadap “para filsuf Islam” (al-falāsifah) mencakup aspek rasionalisme yang juga menjadi ciri khas Ikhwan.⁷

Al-Ghazālī menilai bahwa filsafat, ketika tidak dipandu wahyu, mudah terjerumus ke dalam ta’wīl ekstrem (penafsiran simbolik berlebihan) yang menyesatkan umat.⁸ Dalam pandangan ortodoksi, posisi wahyu harus selalu di atas rasio. Oleh karena itu, metode simbolik Ikhwan yang menafsirkan Al-Qur’an secara alegoris sering dianggap berbahaya bagi keimanan awam.⁹ Namun, Ikhwan sendiri menegaskan bahwa metode tersebut bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan sarana mendekatkan makna batin teks kepada kebenaran rasional.¹⁰

Selain al-Ghazālī, para teolog seperti Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) juga mengkritik tradisi filsafat Islam, termasuk aliran-aliran yang terinspirasi oleh Ikhwan.¹¹ Ia menolak penggunaan istilah-istilah metafisis asing dan menuduh sistem mereka sebagai hasil dari “pencampuran antara wahyu dan filsafat kafir.”¹² Kritik-kritik ini menegaskan bahwa aliran religius-rasional dianggap terlalu terbuka terhadap asimilasi intelektual lintas budaya, sesuatu yang bertentangan dengan semangat ortodoksi tekstual.

8.3.       Kritik dari Dalam Tradisi Rasionalisme

Menariknya, kritik terhadap Ikhwan juga datang dari sesama kalangan rasionalis, seperti Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037 M) dan al-Fārābī (w. 950 M). Meskipun mereka memiliki orientasi rasional, keduanya menilai sistem Ikhwan kurang sistematik dan terlalu bercampur dengan simbolisme mistik.¹³ Ibn Sīnā menekankan pentingnya metodologi demonstratif (burhānī) yang ketat, sementara Ikhwan menggunakan pendekatan dialektik-ensiklopedik yang mencampurkan rasionalitas, teologi, dan alegori.¹⁴

Bagi Ibn Sīnā, pengetahuan harus disusun secara logis dalam bentuk proposisi deduktif agar dapat mencapai kepastian ilmiah.¹⁵ Sebaliknya, Ikhwan menggunakan gaya simbolik dan naratif yang dianggapnya terlalu puitis. Namun, meskipun berbeda pendekatan, Avicenna mengakui nilai moral dan spiritual Ikhwan, terutama dalam usaha mereka menegakkan kesatuan antara ilmu dan iman.¹⁶

Sementara itu, Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M) menilai bahwa rasionalisme Ikhwan masih terlalu terikat pada mistisisme.¹⁷ Ia menganggap bahwa pendekatan simbolik mereka mengaburkan makna rasionalitas sejati, yang bagi Ibn Rushd justru harus bersifat objektif dan bebas dari unsur mitologis.¹⁸ Dengan demikian, dari kalangan rasionalis sendiri, kritik terhadap Ikhwan lebih bersifat metodologis daripada substantif.

8.4.       Kritik dari Perspektif Historis-Orientalis

Dalam kajian modern, sejumlah sarjana Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20—seperti Ignaz Goldziher, Louis Massignon, dan De Boer—menilai Ikhwan al-Ṣafā’ sebagai contoh sinkretisme intelektual Islam yang mencampuradukkan unsur Islam, Yunani, Persia, dan India tanpa sistem logis yang jelas.¹⁹ Pandangan ini mencerminkan bias orientalis yang melihat sintesis budaya sebagai bentuk “kemerosotan” rasionalitas Islam.

Namun, pandangan ini dikritik oleh sarjana kemudian seperti Seyyed Hossein Nasr dan Ian Richard Netton, yang menegaskan bahwa integrasi multikultural Ikhwan justru menunjukkan universalitas Islam sebagai peradaban terbuka.²⁰ Bagi mereka, Ikhwan tidak mencampuradukkan sistem secara acak, melainkan membangun kerangka koheren-simbolik yang menyatukan akal, iman, dan sains dalam satu horizon spiritual.²¹ Dengan demikian, tuduhan sinkretisme sebenarnya mencerminkan ketidakmampuan kritik Barat memahami epistemologi non-positivistik Islam.

8.5.       Pengaruh dan Respons Positif

Terlepas dari berbagai kritik, pengaruh Ikhwan al-Ṣafā’ terhadap dunia Islam sangat besar.²² Rasā’il mereka disalin dan dikaji secara luas di Irak, Persia, Andalusia, hingga Afrika Utara.²³ Gagasan mereka tentang kesatuan ilmu dan integrasi antara filsafat dan agama menginspirasi pemikir-pemikir kemudian, seperti Suhrawardī (w. 1191 M) dengan filsafat iluminatifnya (ḥikmah al-ishrāqiyyah), dan Mullā Ṣadrā (w. 1640 M) dengan metafisika al-ḥikmah al-muta‘āliyah.²⁴

Selain itu, banyak ilmuwan Muslim seperti al-Bīrūnī dan Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī mengadopsi semangat ensiklopedik Ikhwan dalam mengembangkan sains Islam.²⁵ Dalam bidang etika dan pendidikan, pandangan Ikhwan tentang penyempurnaan jiwa dan keharmonisan sosial juga mempengaruhi pemikiran sufistik dan sistem madrasah klasik.²⁶ Dengan demikian, walaupun dikritik, aliran religius-rasional tetap menjadi salah satu pilar penting dalam membentuk identitas intelektual Islam yang terbuka, reflektif, dan sintesis.²⁷


Evaluasi Umum

Dari sudut pandang filsafat sejarah, kritik terhadap Ikhwan al-Ṣafā’ justru memperlihatkan keberanian intelektual mereka dalam menjembatani antara akal dan iman di tengah polarisasi teologis dunia Islam.²⁸ Aliran religius-rasional yang mereka bangun menunjukkan bahwa rasionalitas dalam Islam tidak bersifat antitetis terhadap spiritualitas, tetapi berfungsi sebagai sarana untuk memahami kebenaran ilahi secara lebih mendalam.²⁹

Kritik dari ortodoks menyoroti risiko rasionalisme tanpa iman; kritik dari rasionalis menyoroti ketidakdisiplinan metodologis; sementara kritik orientalis menyoroti pluralitas sumber mereka. Namun, di balik semua itu, Ikhwan al-Ṣafā’ berhasil membangun rasionalisme spiritual-humanistik, di mana filsafat menjadi ibadah, dan pengetahuan menjadi jalan keselamatan.³⁰


Footnotes

[1]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Volume 2: The Expansion of Islam in the Middle Periods (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 122–124.

[2]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 135.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 118.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 204.

[5]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 142.

[6]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 15–18.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 163.

[8]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, 36–38.

[9]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 120.

[10]             Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 1, 42.

[11]             Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muḥammad Rashād Sālim (Riyadh: Jāmi‘ah al-Imām, 1979), vol. 3, 245.

[12]             Ibid., 247–248.

[13]             Netton, Muslim Neoplatonists, 138.

[14]             Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 45.

[15]             Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Burhān, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1957), 17–19.

[16]             Goodman, Avicenna, 52.

[17]             Averroes (Ibn Rushd), Tahāfut al-Tahāfut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 62.

[18]             Ibid., 65–66.

[19]             Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law (Princeton: Princeton University Press, 1981), 189.

[20]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 123.

[21]             Netton, Muslim Neoplatonists, 141.

[22]             Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 148.

[23]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 206.

[24]             Hossein Ziai, “Suhrawardi on Knowledge and the Experience of Light,” in History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (London: Routledge, 1996), 440.

[25]             George Sarton, Introduction to the History of Science, Vol. 1 (Baltimore: Williams & Wilkins, 1927), 596–598.

[26]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 176.

[27]             Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 167.

[28]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 126.

[29]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 208.

[30]             Netton, Muslim Neoplatonists, 143.


9.           Sintesis Filosofis

9.1.       Kesatuan Epistemologis antara Akal dan Wahyu

Filsafat Ikhwan al-Ṣafā’ berpuncak pada gagasan tentang kesatuan epistemologis antara akal (‘aql) dan wahyu (waḥy) sebagai dua jalan paralel menuju kebenaran.¹ Bagi mereka, wahyu adalah manifestasi eksternal dari kebijaksanaan Tuhan dalam bahasa simbolik, sedangkan akal merupakan cerminan internal dari kebijaksanaan yang sama dalam diri manusia.² Dengan demikian, akal dan wahyu bukan dua sumber pengetahuan yang terpisah, melainkan dua aspek dari satu kebenaran ilahi yang tunggal (al-ḥaqīqah al-wāḥidah).³

Pandangan ini melahirkan paradigma rasional-teologis, di mana kebenaran tidak dimonopoli oleh pengalaman religius maupun deduksi rasional semata, tetapi ditemukan melalui interaksi dialektis keduanya. Ikhwan memandang wahyu sebagai bimbingan moral-spiritual yang menjaga akal dari kesesatan, sementara akal berfungsi sebagai penafsir dan pengaktualisasi makna wahyu di dalam kehidupan empiris.⁴ Dalam kerangka ini, filsafat menjadi jembatan antara iman dan ilmu, antara kontemplasi dan tindakan.

9.2.       Integrasi Ontologis: Kosmos sebagai Cermin Ketuhanan

Secara ontologis, Ikhwan al-Ṣafā’ menyatukan pandangan metafisika Islam dengan rasionalitas Yunani dalam konsep kosmos sebagai teofani rasional—yakni manifestasi Tuhan dalam tatanan rasional alam.⁵ Tuhan adalah sumber wujud yang mutlak (al-wujūd al-muṭlaq), sementara kosmos merupakan pancaran keteraturan dan kehendak-Nya yang terartikulasikan dalam hukum-hukum universal.⁶

Dengan memadukan konsep emanasi (dari Plotinus) dan prinsip tawḥīd (keesaan Tuhan), Ikhwan menegaskan bahwa keberagaman fenomena duniawi tidak meniadakan kesatuan sumbernya.⁷ Realitas bersifat hierarkis, tetapi semua tingkatan wujud berpartisipasi dalam keesaan Ilahi. Manusia, sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr), merefleksikan struktur dan rasionalitas makrokosmos (al-‘ālam al-kabīr).⁸ Dengan mengenal dirinya, manusia dapat mengenal Tuhan; dan dengan memahami kosmos, ia memahami kehendak Tuhan yang bekerja dalam keteraturan alam.⁹

Sintesis ini menjadikan sistem ontologis Ikhwan bersifat spiritual-kosmologis: ia tidak memisahkan dunia empiris dari dimensi ilahi, melainkan memandang keduanya sebagai dua cermin dari satu realitas yang sama. Dalam hal ini, mereka berhasil mengintegrasikan kosmologi ilmiah, metafisika, dan teologi ke dalam suatu sistem yang koheren.¹⁰

9.3.       Sintesis Etis: Rasionalitas dan Spiritualitas

Dalam bidang etika, Ikhwan al-Ṣafā’ mengembangkan etika rasional-spiritual, yang menegaskan bahwa kebajikan sejati (faḍīlah) hanya dapat dicapai bila rasio dan iman bekerja secara harmonis.¹¹ Etika mereka tidak terpisah dari filsafat jiwa dan kosmologi: sebagaimana kosmos bergerak menuju kesempurnaan Ilahi, demikian pula jiwa manusia harus berproses menuju penyatuan dengan sumber asalnya.¹²

Rasionalitas berfungsi sebagai sarana mengenali struktur moral kehidupan, sementara spiritualitas memberi arah teleologis bagi tindakan.¹³ Dalam kerangka ini, kebajikan bukan sekadar hasil perhitungan etis rasional (seperti pada Aristoteles), tetapi bentuk tazkiyah (penyucian diri) yang menuntun jiwa kembali kepada Tuhan.¹⁴

Etika Ikhwan dengan demikian menolak dikotomi antara intelektualisme dan asketisme: keduanya adalah fase dari perjalanan yang sama. Rasionalitas tanpa iman menjadi dingin dan kering, sedangkan iman tanpa rasio menjadi fanatik dan buta.¹⁵ Dengan menyatukan keduanya, Ikhwan menghadirkan model etika Islam yang berakar pada kesadaran metafisik dan tanggung jawab moral.

9.4.       Sintesis Metodologis: Rasionalisme Ilahi

Pada tataran metodologis, Ikhwan al-Ṣafā’ menggabungkan tiga pendekatan utama—burhān (demonstrasi rasional), jadal (dialektika argumentatif), dan bayān (simbolisme retoris)—ke dalam satu kerangka metodologis yang integratif.¹⁶ Mereka memandang bahwa kebenaran dapat diakses melalui berbagai jalur, sesuai tingkat kesiapan intelektual dan spiritual manusia.

Melalui burhān, manusia memahami hukum rasional alam; melalui jadal, ia berdialog dan memperdalam pengetahuan; dan melalui bayān, ia merenungkan makna simbolik wahyu.¹⁷ Ketiganya saling melengkapi: logika menjaga kebenaran dari kesalahan, dialektika menumbuhkan kesadaran kritis, dan simbolisme membuka ruang bagi intuisi dan penyingkapan batin (kashf).¹⁸

Metode ini menunjukkan bentuk rasionalisme ilahi (al-‘aql al-ilāhī), yakni rasionalitas yang bersandar pada wahyu dan kesadaran spiritual.¹⁹ Rasio bukan hanya alat analisis logis, tetapi juga instrumen kontemplatif yang mampu menyingkap dimensi metafisik realitas. Dengan demikian, rasionalitas bagi Ikhwan bukan sekadar intelektual, tetapi juga eksistensial.²⁰

9.5.       Sintesis Kosmoteologis: Ilmu, Filsafat, dan Agama

Salah satu pencapaian tertinggi Ikhwan al-Ṣafā’ ialah kemampuannya merumuskan kosmoteologi integratif, yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan teologi.²¹ Mereka berpendapat bahwa seluruh ilmu—baik matematik, fisika, biologi, maupun metafisika—merupakan bagian dari perjalanan manusia menuju Tuhan.²² Ilmu pengetahuan, bila diarahkan dengan benar, menjadi ibadah intelektual (‘ibādah ‘aqliyyah) yang mengangkat derajat manusia di hadapan Tuhan.²³

Dalam kerangka ini, Ikhwan melampaui pandangan positivistik maupun dogmatik: ilmu tidak boleh berdiri tanpa nilai, dan agama tidak boleh menolak rasionalitas.²⁴ Pengetahuan empiris harus ditafsirkan secara teologis, sementara wahyu harus dimaknai secara rasional. Pandangan ini menjadikan sistem Ikhwan sebagai salah satu bentuk awal dari teologi rasional Islam (al-ilāhiyyāt al-‘aqliyyah).²⁵

9.6.       Relevansi Filosofis: Jembatan antara Timur dan Barat

Sintesis filosofis Ikhwan al-Ṣafā’ tidak hanya berpengaruh pada filsafat Islam, tetapi juga pada tradisi pemikiran Eropa abad pertengahan.²⁶ Melalui penerjemahan karya mereka ke dalam bahasa Latin dan Ibrani di Andalusia, ide-ide tentang kesatuan ilmu, emanasi, dan harmoni kosmos berkontribusi pada kebangkitan rasionalisme skolastik—khususnya pada pemikiran Thomas Aquinas dan Albertus Magnus.²⁷

Secara historis, sistem Ikhwan menjadi jembatan epistemologis antara Timur dan Barat, memperlihatkan bahwa filsafat Islam bukanlah kelanjutan pasif dari Yunani, melainkan tradisi kreatif yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan pengalaman empiris dalam satu sintesis universal.²⁸ Dalam konteks modern, gagasan mereka tentang integrasi ilmu dan nilai tetap relevan bagi dunia yang mengalami fragmentasi pengetahuan dan krisis spiritualitas.²⁹


Penutup: Rasionalitas sebagai Jalan Spiritualitas

Sintesis filosofis Ikhwan al-Ṣafā’ menegaskan bahwa puncak rasionalitas bukanlah skeptisisme atau relativisme, melainkan pengenalan terhadap Tuhan melalui akal yang disucikan.³⁰ Filsafat bagi mereka bukan sekadar pencarian teoretis, tetapi jalan eksistensial menuju kesempurnaan. Dengan menyatukan ontologi, epistemologi, dan etika dalam bingkai teologis, mereka menghadirkan model filsafat Islam yang komprehensif, di mana pengetahuan, iman, dan amal menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 130.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 213.

[3]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 156.

[4]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 180.

[5]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 145.

[6]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 215.

[7]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 133.

[8]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 160.

[9]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 171.

[10]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 182.

[11]             Netton, Muslim Neoplatonists, 147.

[12]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 135.

[13]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 164.

[14]             Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 3, 112.

[15]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 218.

[16]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 184.

[17]             Netton, Muslim Neoplatonists, 149.

[18]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 169.

[19]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 137.

[20]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 221.

[21]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 186.

[22]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 172.

[23]             Netton, Muslim Neoplatonists, 153.

[24]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 139.

[25]             Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 173.

[26]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 223.

[27]             George Sarton, Introduction to the History of Science, Vol. 2 (Baltimore: Williams & Wilkins, 1931), 312–314.

[28]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 141.

[29]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 176.

[30]             Netton, Muslim Neoplatonists, 155.


10.       Relevansi Kontemporer

10.1.    Krisis Modernitas dan Kebutuhan Sintesis Baru

Dunia modern ditandai oleh kemajuan teknologi dan sains yang luar biasa, tetapi sekaligus mengalami krisis makna akibat pemisahan antara pengetahuan dan nilai.¹ Rasionalitas modern cenderung bersifat instrumental dan sekular, memisahkan akal dari wahyu serta mengabaikan dimensi spiritual manusia.² Dalam konteks inilah, pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ kembali menemukan signifikansinya—yakni sebagai model sintesis antara rasionalitas ilmiah dan kesadaran teologis.

Ikhwan menolak dikotomi antara ilmu empiris dan spiritualitas, dengan menegaskan bahwa ilmu sejati adalah ilmu yang mengantarkan manusia kepada kebijaksanaan (ḥikmah).³ Mereka menyadari bahwa pengetahuan tanpa orientasi moral akan melahirkan kehancuran, sebagaimana iman tanpa rasionalitas menimbulkan fanatisme.⁴ Prinsip keseimbangan antara keduanya dapat menjadi dasar bagi epistemologi Islam kontemporer yang berusaha mengintegrasikan sains, etika, dan teologi.

10.2.    Relevansi bagi Epistemologi Islam Modern

Gerakan intelektual Islam abad ke-20—seperti yang diusung oleh Fazlur Rahman, Ismail al-Faruqi, dan Seyyed Hossein Nasr—berusaha membangun kembali paradigma keilmuan yang memadukan wahyu dan rasio.⁵ Gagasan ini sejatinya merefleksikan semangat Ikhwan al-Ṣafā’, yang menempatkan akal dan wahyu sebagai dua aspek komplementer dari kebenaran.

Menurut Nasr, krisis ilmu modern terletak pada kehilangan dimensi sakral dalam pengetahuan; sains telah direduksi menjadi instrumen eksploitasi tanpa kesadaran metafisik.⁶ Pemikiran Ikhwan menegaskan bahwa ilmu harus dipahami sebagai ibadah intelektual (ʿibādah ʿaqliyyah)—yaitu bentuk penyembahan kepada Tuhan melalui penyingkapan hukum-hukum ciptaan-Nya.⁷ Dengan menghidupkan kembali orientasi sakral ilmu ini, peradaban Islam kontemporer dapat menumbuhkan bentuk rasionalitas spiritual, yang seimbang antara analisis empiris dan kesadaran ilahi.⁸

Selain itu, pendekatan ensiklopedik Ikhwan juga relevan dengan paradigma interdisipliner ilmu pengetahuan modern. Mereka telah menunjukkan bahwa sains, filsafat, dan teologi bukan domain yang terpisah, melainkan satu jaringan makna yang berpusat pada Tuhan.⁹ Dalam era di mana spesialisasi ekstrem menyebabkan fragmentasi pengetahuan, model integratif Ikhwan dapat menjadi inspirasi bagi rekonstruksi epistemologi Islam berbasis kesatuan ilmu (tawḥīd al-ʿilm).¹⁰

10.3.    Relevansi Etis dan Pendidikan Karakter

Selain dalam epistemologi, pemikiran Ikhwan juga menawarkan landasan etis-spiritual bagi pendidikan dan kebudayaan modern.¹¹ Krisis moral global—yang ditandai oleh materialisme, hedonisme, dan alienasi manusia dari nilai-nilai spiritual—memerlukan pendekatan pendidikan yang membentuk tidak hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga integritas moral dan kesadaran spiritual.¹²

Dalam kerangka Ikhwan al-Ṣafā’, pendidikan sejati (tarbiyah ḥaqīqiyyah) bertujuan membimbing jiwa menuju kebajikan, bukan sekadar mengasah kemampuan berpikir logis.¹³ Mereka menekankan bahwa guru sejati bukan hanya pengajar ilmu, tetapi juga penuntun ruhani (murabbī al-rūḥ).¹⁴ Pandangan ini sejalan dengan gagasan pendidikan Islam integratif yang kini diusung oleh lembaga-lembaga keislaman modern, seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), yang menekankan integrasi ilmu dan akhlak.¹⁵

Etika rasional Ikhwan—yang menuntut keseimbangan antara akal, nafsu, dan spiritualitas—dapat dijadikan model bagi pendidikan karakter berbasis hikmah, yakni pembentukan manusia yang berpikir kritis, berakhlak, dan memiliki kesadaran transenden.¹⁶

10.4.    Relevansi dalam Dialog Agama dan Ilmu Pengetahuan

Dalam konteks globalisasi dan pluralisme modern, sintesis Ikhwan al-Ṣafā’ juga penting bagi dialog antara agama dan sains.¹⁷ Mereka menunjukkan bahwa iman tidak bertentangan dengan penalaran ilmiah, dan bahwa alam semesta merupakan wahyu Tuhan dalam bentuk material.¹⁸ Dengan demikian, studi ilmiah terhadap alam bukanlah aktivitas sekuler, melainkan bentuk tafsir rasional atas tanda-tanda Tuhan (āyāt Allāh).¹⁹

Paradigma ini dapat menjadi dasar teologis bagi pendekatan ekologis dan etika lingkungan dalam Islam modern.²⁰ Ikhwan menekankan bahwa kosmos adalah entitas hidup yang memiliki tujuan ilahi, bukan objek eksploitasi manusia.²¹ Dengan menegaskan kembali kesucian alam, mereka memberikan fondasi spiritual bagi etika ekologis kontemporer—sebuah hal yang kini sangat relevan dalam menghadapi krisis iklim global.²²

10.5.    Relevansi Filosofis dan Spiritual Universal

Akhirnya, relevansi Ikhwan al-Ṣafā’ tidak hanya terbatas pada konteks Islam, tetapi juga pada pencarian makna universal manusia.²³ Mereka menawarkan model filsafat yang transkultural, menggabungkan tradisi Yunani, Persia, India, dan Islam dalam satu sistem yang menegaskan kesatuan kebenaran di balik keragaman bentuknya.²⁴ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi secara ideologis dan spiritual, pandangan ini memberikan dasar bagi dialog lintas budaya dan agama.²⁵

Pemikiran mereka dapat dipahami sebagai bentuk humanisme spiritual Islam, di mana rasionalitas digunakan bukan untuk menafikan iman, melainkan untuk memperdalamnya.²⁶ Oleh karena itu, warisan Ikhwan al-Ṣafā’ tetap menjadi sumber inspirasi bagi proyek intelektual dan moral umat manusia dalam membangun peradaban berbasis pengetahuan, keadilan, dan kesucian.²⁷


Penutup: Dari Rasionalitas ke Kebijaksanaan

Relevansi kontemporer Ikhwan al-Ṣafā’ terletak pada kemampuannya menyatukan rasionalitas dengan kebijaksanaan (ḥikmah).²⁸ Dalam dunia yang sering terjebak antara fundamentalisme religius dan positivisme saintifik, mereka menawarkan jalan ketiga: rasionalitas yang berjiwa spiritual.²⁹ Melalui sintesis antara akal dan wahyu, ilmu dan iman, manusia dapat kembali menemukan keseimbangan eksistensialnya sebagai makhluk rasional-spiritual yang diciptakan untuk mengenal dan mengabdi kepada Tuhan.³⁰


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 9–10.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 143.

[3]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 184.

[4]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 145.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–7.

[6]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 12–14.

[7]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 160.

[8]                Nasr, Knowledge and the Sacred, 18.

[9]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 188–189.

[10]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 21–22.

[11]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 147.

[12]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 25–26.

[13]             Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 2, 59–60.

[14]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 191.

[15]             Ismail al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Herndon, VA: IIIT, 1982), 8–9.

[16]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 192.

[17]             Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 21–22.

[18]             Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 230.

[19]             Nasr, Religion and the Order of Nature, 27.

[20]             Parvez Manzoor, “Environment and Values: The Islamic Perspective,” in Touch of Midas: Science, Values, and Environment in Islam and the West, ed. Ziauddin Sardar (Manchester: Manchester University Press, 1984), 155.

[21]             Nasr, Man and Nature, 15.

[22]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 194.

[23]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 232.

[24]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 149.

[25]             Fethi Miské, “Islamic Universalism and Cross-Cultural Dialogue,” Islamic Quarterly 44, no. 3 (2000): 211–212.

[26]             Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 181.

[27]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 20.

[28]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 196.

[29]             Nasr, Religion and the Order of Nature, 30.

[30]             Netton, Muslim Neoplatonists, 165.


11.       Kesimpulan

11.1.    Ikhwan al-Ṣafā’ dan Warisan Religius-Rasional

Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ menempati posisi unik dalam sejarah filsafat Islam sebagai upaya monumental untuk menyatukan rasionalitas dan religiusitas dalam satu sistem yang koheren.¹ Mereka menggabungkan semangat intelektual Yunani dengan kedalaman spiritual Islam, melahirkan paradigma yang menolak dikotomi antara iman dan akal.² Dalam pandangan Ikhwan, akal bukan ancaman bagi wahyu, tetapi instrumen Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk menyingkap makna terdalam dari ciptaan dan firman-Nya.³

Aliran religi-rasional yang mereka bangun merupakan ekspresi dari tafsir filosofis atas wahyu—di mana pengetahuan dipahami sebagai bentuk ibadah, dan filsafat menjadi sarana untuk mencapai kebenaran ilahi.⁴ Dengan cara ini, Ikhwan mengajarkan bahwa rasionalitas sejati selalu berakar pada nilai-nilai transenden, dan spiritualitas yang otentik selalu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.⁵

11.2.    Sintesis Filosofis sebagai Inti Pemikiran

Sintesis antara akal, wahyu, dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan Ikhwan al-Ṣafā’ menunjukkan bahwa sistem berpikir Islam memiliki kapasitas dialogis dan universal.⁶ Mereka tidak melihat sains, filsafat, dan agama sebagai entitas yang saling bertentangan, melainkan sebagai tiga jalur epistemologis yang menuju pada kebenaran yang sama.⁷ Pandangan ini menghadirkan struktur kosmologis dan spiritual yang integratif, di mana pengetahuan ilmiah menjadi jalan menuju kebijaksanaan (ḥikmah) dan kebajikan (faḍīlah).⁸

Filsafat Ikhwan juga memperlihatkan bahwa kebahagiaan manusia (al-sa‘ādah) bukan hanya hasil pemenuhan kebutuhan material atau intelektual, tetapi juga hasil dari penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) yang menuntun manusia untuk kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan.⁹ Maka, rasionalitas dalam sistem mereka bersifat soteriologis: ia bukan sekadar alat analisis, melainkan sarana keselamatan spiritual.¹⁰

11.3.    Relevansi Abadi: Dari Filsafat Klasik ke Tantangan Modern

Dalam konteks modern, ketika manusia dihadapkan pada krisis spiritualitas dan fragmentasi pengetahuan, paradigma Ikhwan al-Ṣafā’ menawarkan jalan keluar yang konstruktif.¹¹ Dengan menegaskan kesatuan pengetahuan dan nilai, mereka memberikan fondasi filosofis bagi integrasi antara sains, etika, dan agama.¹² Prinsip tawḥīd al-‘ilm (kesatuan ilmu) yang mereka anut dapat menjadi dasar bagi rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer yang menolak dikotomi antara rasionalitas dan wahyu.¹³

Selain itu, pendekatan etis mereka yang menekankan keseimbangan antara rasio, nafsu, dan spiritualitas relevan dengan pendidikan karakter dan moralitas publik modern.¹⁴ Ikhwan menunjukkan bahwa peradaban yang sejati hanya dapat dibangun di atas paduan antara intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas, bukan melalui supremasi teknologi atau dogma.¹⁵

Dengan demikian, pemikiran Ikhwan tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga normatif: ia menawarkan visi tentang manusia sebagai makhluk rasional-spiritual yang bertanggung jawab, sadar akan posisi kosmiknya, dan selalu berusaha mengaktualkan kehendak Tuhan melalui ilmu dan amal.¹⁶


Penutup: Akal sebagai Jalan Wahyu, Filsafat sebagai Ibadah

Pada akhirnya, sistem religius-rasional Ikhwan al-Ṣafā’ menegaskan bahwa akal dan wahyu bukan dua cahaya yang berlawanan, tetapi dua sinar dari satu matahari kebenaran.¹⁷ Akal berfungsi menafsirkan tanda-tanda Tuhan di alam semesta, sementara wahyu menuntun akal agar tetap berjalan di jalan yang lurus. Filsafat, dalam pandangan mereka, bukanlah rival agama, tetapi bentuk ibadah intelektual yang tertinggi—usaha manusia untuk mengenal Tuhan melalui refleksi mendalam atas ciptaan-Nya.¹⁸

Dengan warisan seperti itu, Ikhwan al-Ṣafā’ telah meninggalkan jejak penting bagi sejarah intelektual Islam dan dunia. Mereka memperlihatkan bahwa rasionalitas tidak harus meniadakan spiritualitas, dan bahwa iman tidak harus menolak penalaran.¹⁹ Dalam sintesis keduanya, manusia dapat menemukan jalan menuju kebenaran, kebijaksanaan, dan kesempurnaan jiwa—suatu visi yang tetap relevan bagi peradaban manusia lintas waktu.²⁰


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 151.

[2]                Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 200.

[3]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’) (London: Routledge, 1982), 168.

[4]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 194.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 237.

[6]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 183.

[7]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 153.

[8]                De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 203.

[9]                Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 2, 71.

[10]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 239.

[11]             Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 21–23.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 28.

[13]             Ismail al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Herndon, VA: IIIT, 1982), 12.

[14]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 29.

[15]             Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 32–34.

[16]             De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 206.

[17]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 157.

[18]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 241.

[19]             Netton, Muslim Neoplatonists, 170.

[20]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 25.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur, Malaysia: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of knowledge: General principles and work plan. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Al-Ghazālī, A. H. (1927). Tahāfut al-falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Beirut, Lebanon: Imprimerie Catholique.

Averroes (Ibn Rushd). (1954). The incoherence of the incoherence (S. van den Bergh, Trans.). London, England: Luzac.

Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in Islam. Cambridge, England: Islamic Texts Society.

Callataÿ, G. de. (2005). Ikhwan al-Safa’: A brotherhood of idealists on religion, philosophy, and science. Oxford, England: Oneworld Publications.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London, England: Kegan Paul International.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Goldziher, I. (1981). Introduction to Islamic theology and law. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. London, England: Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam, Vol. 2: The expansion of Islam in the middle periods. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Ibn Sīnā (Avicenna). (1957). Al-Shifā’: Al-Burhān (‘A. R. Badawī, Ed.). Cairo, Egypt: Dār al-Nahḍah al-‘Arabiyyah.

Ibn Taymiyyah. (1979). Dar’ ta‘āruḍ al-‘aql wa al-naql (M. R. Sālim, Ed., Vol. 3). Riyadh, Saudi Arabia: Jāmi‘ah al-Imām.

Ikhwan al-Ṣafā’. (1957). Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’ (‘Ā. Tāmir, Ed., Vols. 1–3). Beirut, Lebanon: Dār Ṣādir.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Manzoor, P. (1984). Environment and values: The Islamic perspective. In Z. Sardar (Ed.), Touch of Midas: Science, values, and environment in Islam and the West (pp. 150–165). Manchester, England: Manchester University Press.

Miské, F. (2000). Islamic universalism and cross-cultural dialogue. Islamic Quarterly, 44(3), 209–215.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic cosmological doctrines. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. New York, NY: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Chicago, IL: ABC International Group.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. Albany, NY: State University of New York Press.

Netton, I. R. (1982). Muslim Neoplatonists: An introduction to the thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’). London, England: Routledge.

Plotinus. (1956). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). London, England: Faber and Faber.

Sarton, G. (1927). Introduction to the history of science, Vol. 1. Baltimore, MD: Williams & Wilkins.

Sarton, G. (1931). Introduction to the history of science, Vol. 2. Baltimore, MD: Williams & Wilkins.

Ziai, H. (1996). Suhrawardi on knowledge and the experience of light. In S. H. Nasr & O. Leaman (Eds.), History of Islamic philosophy (pp. 434–445). London, England: Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar