Aliran Religius-Rasional
Sintesis Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā
Alihkan ke: Aliran-Aliran
Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Religius-Rasional
dalam filsafat Islam yang berpuncak pada pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’,
sebuah perkumpulan intelektual abad ke-10 M yang berupaya menyatukan
rasionalitas filsafat Yunani dengan spiritualitas Islam. Melalui telaah
historis, genealogis, dan konseptual, penelitian ini menunjukkan bahwa sistem
pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ merepresentasikan salah satu bentuk paling matang
dari sintesis antara akal (‘aql) dan wahyu (waḥy) dalam tradisi Islam.
Kajian ini menelusuri landasan historis dan
sosio-intelektual munculnya aliran religius-rasional, yang tumbuh dalam
konteks ketegangan antara ortodoksi teologis dan rasionalisme filosofis.
Selanjutnya, artikel ini menguraikan struktur ontologis, epistemologis, dan
etis pemikiran Ikhwan—di mana kosmos dipahami sebagai manifestasi rasional
kehendak Ilahi, dan pengetahuan berfungsi sebagai jalan menuju penyucian jiwa (tazkiyat
al-nafs). Dalam kerangka epistemologinya, akal berperan menyingkap
hukum-hukum alam, sementara wahyu menjadi pemandu moral dan spiritual bagi akal
agar tidak menyimpang dari kebenaran.
Metodologi Ikhwan, yang bersifat ensiklopedik
dan integratif, memperlihatkan upaya untuk memadukan burhān
(demonstrasi rasional), jadal (dialektika), dan bayān (penjelasan
simbolik) ke dalam satu sistem pengetahuan yang koheren. Melalui pendekatan
ini, mereka menegaskan bahwa ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama tidak dapat
dipisahkan, sebab seluruhnya berakar pada prinsip tawḥīd (kesatuan
Ilahi). Artikel ini juga memaparkan berbagai kritik dan respons terhadap
pemikiran Ikhwan—baik dari kalangan ortodoks seperti al-Ghazālī dan Ibn
Taymiyyah, maupun dari rasionalis seperti Ibn Sīnā dan Ibn Rushd—serta menilai
bahwa gagasan mereka tetap relevan dalam menghadapi krisis spiritualitas dan
fragmentasi pengetahuan modern.
Kesimpulannya, Ikhwan al-Ṣafā’ berhasil
menghadirkan paradigma rasionalitas spiritual, yaitu bentuk rasionalisme
yang berorientasi pada kebijaksanaan dan penyempurnaan jiwa. Dengan menegaskan
bahwa akal dan wahyu merupakan dua cahaya dari satu sumber kebenaran, aliran
religius-rasional yang mereka bangun menawarkan inspirasi bagi rekonstruksi
epistemologi Islam kontemporer dan pembangunan peradaban manusia yang berimbang
antara ilmu, iman, dan etika.
Kata Kunci: Ikhwan al-Ṣafā’, Rasionalitas Religius, Filsafat
Islam, Wahyu dan Akal, Epistemologi Islam, Kosmologi Ilahi, Etika Spiritual,
Ensiklopedisme Islam.
PEMBAHASAN
Aliran Religius-Rasional dalam Filsafat Islam
1.          
Pendahuluan
Dalam sejarah intelektual Islam, hubungan antara akal
(al-‘aql) dan wahyu (al-waḥy) senantiasa menjadi tema sentral yang
menentukan arah perkembangan teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sejak
abad ke-8 hingga ke-11 Masehi, dunia Islam mengalami fase yang dikenal sebagai zaman
keemasan intelektual—masa di mana rasionalitas dan spiritualitas berjalan
seiring dalam menafsirkan hakikat realitas dan kebenaran. Di tengah dinamika tersebut,
muncul suatu aliran yang berupaya menjembatani keduanya secara harmonis, yaitu aliran
religius-rasional dengan representasi utamanya pada Ikhwan al-Ṣafā’
(Persaudaraan Kemurnian).¹
Ikhwan al-Ṣafā’, yang berpusat di Basrah pada abad
ke-10 M, merupakan kelompok pemikir yang menulis ensiklopedia filsafat
monumental berjudul Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’.² Karya
ini terdiri dari 52 risalah yang mencakup berbagai disiplin ilmu—mulai dari
logika, matematika, fisika, biologi, psikologi, hingga metafisika dan
teologi—dengan tujuan utama membentuk manusia ideal (al-insān al-kāmil)
melalui kesatuan ilmu dan moralitas.³ Bagi Ikhwan al-Ṣafā’, akal dan wahyu
bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua jalan yang saling
melengkapi dalam menyingkap hakikat kebenaran ilahi. Rasionalitas berfungsi
sebagai sarana untuk memahami makna terdalam dari wahyu, sementara wahyu
memberikan arah normatif bagi rasionalitas agar tidak tersesat dalam
relativisme.⁴
Kelahiran aliran religius-rasional ini tidak dapat
dilepaskan dari konteks intelektual dan sosial pada masa kekuasaan Dinasti
Abbasiyah, ketika gerakan penerjemahan karya-karya Yunani dan Helenistik
sedang mencapai puncaknya.⁵ Interaksi dengan filsafat Yunani, khususnya tradisi
Neoplatonisme dan Aristotelianisme, mendorong munculnya sintesis
baru antara pemikiran ilmiah dan teologi Islam. Dalam atmosfer intelektual
seperti inilah Ikhwan al-Ṣafā’ berusaha mengintegrasikan ilmu rasional dengan
nilai-nilai spiritual Islam, menegaskan bahwa pemahaman terhadap Tuhan dan alam
semesta harus melibatkan akal yang jernih serta hati yang disucikan.⁶
Lebih jauh lagi, Ikhwan al-Ṣafā’ menekankan bahwa agama
tanpa akal cenderung melahirkan fanatisme, sementara akal tanpa agama
dapat menjerumuskan manusia ke dalam kekosongan moral.⁷ Oleh karena itu,
mereka mengembangkan sistem pengetahuan yang bertujuan tidak hanya menjelaskan
struktur kosmos secara rasional, tetapi juga membimbing manusia menuju
penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan penyatuan dengan Tuhan (ittihād
bi-Allāh).⁸ Dalam kerangka ini, aliran religius-rasional dapat dipahami
sebagai upaya untuk membangun filsafat Islam yang holistik dan integratif,
di mana wahyu menjadi sumber nilai, dan rasio menjadi alat untuk memahaminya
secara mendalam.
Dengan demikian, kajian terhadap aliran
religius-rasional tidak hanya penting untuk memahami warisan intelektual Ikhwan
al-Ṣafā’, tetapi juga relevan bagi konteks modern. Di tengah ketegangan antara
sains dan agama, rasionalisme dan spiritualitas, warisan pemikiran ini menawarkan
model integratif yang menegaskan bahwa pengetahuan sejati harus berakar pada kebenaran
rasional sekaligus nilai-nilai transenden.⁹ Penelusuran terhadap dasar
ontologis, epistemologis, dan metodologis aliran ini dapat membuka jalan bagi
rekonstruksi paradigma keilmuan Islam yang lebih dialogis dan humanistik.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 47.
[2]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 15–17.
[3]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood
of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld
Publications, 2005), 23–24.
[4]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 52.
[5]               
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 67–68.
[6]               
Netton, Muslim Neoplatonists, 44–46.
[7]               
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought
(Austin: University of Texas Press, 1982), 21.
[8]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 77–79.
[9]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 119–120.
2.          
Landasan
Historis dan Sosio-Intelektual
Kemunculan aliran religius-rasional yang
diwakili oleh Ikhwan al-Ṣafā’ tidak dapat dilepaskan dari konteks
sejarah dan dinamika intelektual dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
(abad ke-8 hingga ke-11 M). Periode ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban
Islam, ketika Baghdad dan Basrah menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan,
filsafat, dan teologi.¹ Dalam suasana ini, interaksi antara tradisi keagamaan
Islam dengan warisan filsafat Yunani, Persia, dan India melahirkan sintesis
pemikiran yang melandasi perkembangan filsafat Islam klasik.
2.1.      
Konteks Politik dan Sosial Dinasti
Abbasiyah
Secara politik, pemerintahan Abbasiyah ditandai
oleh stabilitas relatif dan dukungan terhadap kegiatan intelektual, khususnya
di bawah kepemimpinan khalifah seperti al-Ma’mun (memerintah 813–833 M).²
Melalui pendirian Bayt al-Ḥikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad,
gerakan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsuf Yunani seperti
Plato, Aristoteles, Plotinus, dan Galen berlangsung secara sistematis.³ Proyek
ini tidak hanya berfungsi sebagai transfer pengetahuan, tetapi juga menjadi
sarana pembentukan habitus intelektual baru yang rasional dan reflektif.
Sementara itu, di kota Basrah—yang menjadi
pusat kegiatan Ikhwan al-Ṣafā’—berkembang iklim sosial yang relatif terbuka
terhadap perdebatan teologis dan filsafat. Kota ini merupakan tempat pertemuan
para pedagang, cendekiawan, dan teolog dari berbagai mazhab, seperti
Mu‘tazilah, Syiah, dan Sufi.⁴ Dalam suasana plural dan kosmopolit inilah muncul
kebutuhan akan sintesis pemikiran yang dapat mengharmoniskan antara iman dan
akal, antara teks dan rasio, antara doktrin dan kebijaksanaan praktis.
2.2.      
Latar Intelektual: Pengaruh Filsafat
Yunani dan Teologi Islam
Secara intelektual, Ikhwan al-Ṣafā’ hidup pada masa
ketika dua arus besar sedang berinteraksi intensif: teologi rasional (kalām)
dan filsafat Yunani-Islam. Aliran Mu‘tazilah telah lebih dahulu
menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami doktrin-doktrin keagamaan,
sementara para penerjemah dan filsuf awal seperti al-Kindī dan al-Fārābī
memperkenalkan kerangka metafisik dan logis dari tradisi Yunani ke dalam wacana
Islam.⁵
Ikhwan al-Ṣafā’ mengambil posisi khas di antara
keduanya. Mereka tidak sekadar mengadopsi logika dan metafisika Yunani, tetapi
juga mengislamkannya dalam kerangka moral dan spiritual.⁶ Dalam Rasā’il
Ikhwān al-Ṣafā’, mereka menggunakan model ensiklopedik untuk memadukan seluruh
cabang ilmu—dari matematika hingga teologi—ke dalam sistem pengetahuan yang
berorientasi pada penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan kesempurnaan
manusia (al-insān al-kāmil).⁷ Hal ini menunjukkan bahwa proyek
intelektual Ikhwan bukan hanya bersifat akademis, tetapi juga etis dan
religius.
2.3.      
Lingkungan Intelektual Basrah dan
Jaringan Pemikiran Rahasia
Selain faktor teologis dan filosofis, struktur
sosial dan politik pada masa itu turut mendorong Ikhwan al-Ṣafā’ membentuk
jaringan pemikiran yang bersifat semi-tertutup. Dalam situasi di mana perbedaan
mazhab dan pandangan teologis sering menimbulkan konflik, mereka memilih bentuk
persaudaraan intelektual rahasia sebagai strategi untuk menjaga
kebebasan berpikir dan keamanan komunitasnya.⁸ Melalui bentuk ini,
gagasan-gagasan rasional-religius dapat berkembang tanpa tekanan politik atau
sektarian.
Lebih jauh, semangat ensiklopedik dan eklektik
Ikhwan al-Ṣafā’ juga mencerminkan kondisi intelektual dunia Islam yang telah
matang untuk menerima pluralitas sumber pengetahuan.⁹ Integrasi antara warisan
Yunani, ajaran Islam, dan mistisisme Timur menjadikan aliran religius-rasional
sebagai cerminan puncak dari kosmopolitanisme intelektual abad ke-10 M.
Dalam konteks inilah, pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ berfungsi sebagai jembatan
antara rasionalisme teologis Mu‘tazilah dan spiritualisme filsafat
iluminatif (ishrāqiyyah) yang berkembang kemudian.¹⁰
Dengan demikian, landasan historis dan
sosio-intelektual Ikhwan al-Ṣafā’ memperlihatkan bahwa aliran religius-rasional
bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dialektika
panjang antara berbagai tradisi keilmuan. Ia tumbuh di atas fondasi budaya
intelektual Islam yang terbuka, plural, dan dialogis—suatu karakteristik yang
menjadikannya relevan tidak hanya pada masa klasik, tetapi juga bagi pembaruan
pemikiran Islam kontemporer.
Footnotes
[1]               
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam,
Volume 2: The Expansion of Islam in the Middle Periods (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 27–28.
[2]               
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim
World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge: Da Capo
Press, 2005), 104–106.
[3]               
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 36–39.
[4]               
Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam
(London: Routledge, 1975), 91–93.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
88–90.
[6]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 47–49.
[7]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 45–46.
[8]               
Abbas Hamdani, “Ikhwan al-Safa’: Their Heritage and
Their Legacy,” Islamic Studies 3, no. 1 (1964): 37–39.
[9]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 91–92.
[10]            
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 121–122.
3.          
Genealogi
Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’
3.1.      
Asal-Usul dan Identitas Intelektual
Ikhwan al-Ṣafā’
Kelompok Ikhwan al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’
(Persaudaraan Kemurnian dan Sahabat Kesetiaan) muncul di Basrah pada
paruh kedua abad ke-10 M.¹ Meskipun identitas personal para anggotanya masih
diperdebatkan, sebagian besar sejarawan filsafat Islam berpendapat bahwa mereka
merupakan komunitas intelektual rahasia yang terdiri atas para ulama, filsuf,
dan ilmuwan dari berbagai latar belakang mazhab, termasuk Syiah Ismailiyah,
Mu‘tazilah, dan Sufi.² Tujuan utama mereka bukan hanya menghasilkan karya
ilmiah, tetapi juga membangun suatu gerakan moral dan intelektual yang
menyatukan seluruh cabang pengetahuan manusia ke dalam kerangka
spiritual-rasional yang harmonis.
Nama Ikhwan al-Ṣafā’ sendiri mengandung
makna simbolik: “saudara-saudara yang murni,” yaitu sekelompok manusia
yang menyucikan jiwanya melalui pengetahuan dan kebajikan.³ Menurut mereka,
persaudaraan intelektual yang tulus merupakan prasyarat bagi pencapaian
kebijaksanaan dan kedekatan dengan Tuhan. Karya utama mereka, Rasā’il Ikhwān
al-Ṣafā’ (“Risalah-Risalah Persaudaraan Kemurnian”), merupakan
ensiklopedia filosofis-religius yang mencerminkan proyek kolektif untuk
menyatukan agama, filsafat, dan sains di bawah prinsip kesatuan ilahi (tawḥīd).⁴
3.2.      
Struktur dan Isi Rasā’il Ikhwān
al-Ṣafā’
Karya monumental ini terdiri dari 52 risalah,
yang secara tematik terbagi menjadi empat bagian besar: (1) ilmu-ilmu
matematika dan logika; (2) ilmu-ilmu fisika dan alam; (3) ilmu-ilmu psikis dan
rasional; dan (4) ilmu-ilmu teologis dan metafisis.⁵ Dengan pembagian tersebut,
Ikhwan al-Ṣafā’ menegaskan pandangan bahwa pengetahuan bersifat hierarkis dan
saling terkait—dimulai dari ilmu-ilmu empiris menuju pengetahuan rasional dan
akhirnya berujung pada pengetahuan spiritual.⁶
Pendekatan ensiklopedik ini menunjukkan ambisi
mereka untuk mengintegrasikan seluruh cabang ilmu dalam satu sistem
koheren yang menjadikan manusia sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr)
yang mencerminkan tatanan kosmos (al-‘ālam al-kabīr).⁷ Dalam pandangan
mereka, memahami alam berarti memahami diri, dan memahami diri berarti mengenal
Tuhan. Hal ini sejalan dengan prinsip utama filsafat mereka bahwa akal manusia
merupakan pantulan dari Akal Universal (al-‘aql al-kullī) yang bersumber
dari Tuhan.⁸
3.3.      
Sumber dan Warisan Intelektual
Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ merupakan hasil sintesis
yang luas antara berbagai tradisi intelektual. Mereka menggabungkan unsur-unsur
Neoplatonisme, Aristotelianisme, dan Pythagoreanisme
dengan ajaran-ajaran Islam, terutama mengenai kesatuan Tuhan, keabadian jiwa,
dan keteraturan alam.⁹ Konsep emanasi (fayḍ) dari Tuhan ke dalam
berbagai tingkat realitas yang diadaptasi dari Plotinus dipadukan dengan
gagasan tauhid Islam, menghasilkan sistem kosmologi yang spiritual dan rasional
sekaligus.¹⁰
Selain pengaruh filsafat Yunani, Ikhwan al-Ṣafā’
juga terinspirasi oleh gagasan tasawuf awal dan etika religius Islam.¹¹
Mereka menekankan pentingnya penyucian jiwa, cinta terhadap kebenaran, dan
kesatuan spiritual umat manusia. Dalam risalah-risalahnya, mereka mengutip ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis untuk mendukung argumentasi rasional mereka, menunjukkan
bahwa wahyu dan akal tidak dipertentangkan, melainkan saling mengokohkan.¹²
Beberapa sejarawan, seperti Nasr dan Netton,
menyebut Ikhwan al-Ṣafā’ sebagai bentuk awal dari “filsafat ensiklopedik
Islam”, di mana seluruh disiplin ilmu—baik empiris maupun
metafisis—dipandang sebagai sarana menuju pengetahuan ilahi.¹³ Dengan demikian,
genealogi pemikiran mereka bukan sekadar derivatif dari filsafat Yunani,
melainkan merupakan kreasi orisinal dalam konteks Islam, yang mengandung
misi spiritual, moral, dan intelektual sekaligus.
3.4.      
Posisi dalam Tradisi Filsafat Islam
Dalam khazanah filsafat Islam, Ikhwan al-Ṣafā’
menempati posisi transisional antara rasionalisme teologis Mu‘tazilah
dan metafisika iluminatif (ishrāqiyyah) yang kelak dikembangkan oleh
Suhrawardi.¹⁴ Mereka mewakili semangat integratif yang menolak dikotomi antara
sains dan agama, rasio dan wahyu, dunia dan akhirat. Dalam hal ini, pemikiran
mereka mempersiapkan jalan bagi para filsuf besar seperti Ibn Sina dan Mulla
Sadra dalam mengembangkan model rasional-spiritual yang lebih matang.¹⁵
Secara historis, pengaruh Ikhwan al-Ṣafā’ meluas
hingga dunia Islam bagian barat, terutama Andalusia, di mana struktur ensiklopedik
mereka menginspirasi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di kalangan
sarjana Muslim dan Yahudi abad pertengahan.¹⁶ Pandangan mereka tentang kesatuan
ilmu, keharmonisan kosmos, dan keterpaduan antara akal dan iman menjadi salah
satu warisan penting bagi filsafat Islam dan bahkan bagi kebangkitan
intelektual Eropa di kemudian hari.¹⁷
Dengan demikian, genealogi pemikiran Ikhwan
al-Ṣafā’ dapat dipahami sebagai hasil dialog kreatif antara tradisi
intelektual Islam dan warisan klasik dunia kuno, yang melahirkan sebuah
paradigma religius-rasional yang berupaya membimbing manusia menuju
kesempurnaan akal, jiwa, dan iman.
Footnotes
[1]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 12–15.
[2]               
Abbas Hamdani, “The Brethren of Purity: A Secret
Society of Muslim Philosophers,” The Muslim World 49, no. 3 (1959):
193–195.
[3]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 11.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
102.
[5]               
Netton, Muslim Neoplatonists, 23–25.
[6]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 108.
[7]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 41–43.
[8]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 124.
[9]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 57–58.
[10]            
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Faber and Faber, 1956), V.2.1.
[11]            
Margaret Smith, An Early Mystic of Baghdad: A
Study of the Life and Teaching of Ḥārith al-Muḥāsibī (London: Sheldon
Press, 1935), 77–78.
[12]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 79–81.
[13]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 61–62.
[14]            
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 167.
[15]            
Hossein Ziai, “Suhrawardi on Knowledge and the
Experience of Light,” in History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed
Hossein Nasr and Oliver Leaman (London: Routledge, 1996), 434.
[16]            
Miguel Asín Palacios, The Mystical Philosophy of
Ibn Masarra and His Followers (Cambridge: Cambridge University Press,
1978), 94–95.
[17]            
George Sarton, Introduction to the History of
Science, Vol. 1 (Baltimore: Williams & Wilkins, 1927), 593–595.
4.          
Ontologi:
Kosmos, Jiwa, dan Tuhan
4.1.      
Prinsip Dasar Ontologi Ikhwan
al-Ṣafā’
Bagi Ikhwan al-Ṣafā’, hakikat realitas
bersifat hierarkis, emanatif, dan rasional, di mana seluruh wujud
merupakan pancaran bertingkat dari sumber tunggal, yaitu Tuhan (al-Bārī’,
Sang Pencipta).¹ Pandangan ini berakar pada kombinasi antara teologi Islam
dan filsafat Neoplatonik, khususnya konsep emanasi (fayḍ) dari The
One yang diperkenalkan oleh Plotinus.² Namun, berbeda dari
Neoplatonisme murni, Ikhwan menegaskan bahwa proses emanasi tidak mengurangi
kesempurnaan Tuhan dan tidak meniscayakan kekekalan materi; seluruh keberadaan
tetap bergantung mutlak kepada kehendak dan kebijaksanaan ilahi (ḥikmah
ilāhiyyah).³
Realitas, menurut mereka, tersusun atas tiga
tingkat utama wujud: Tuhan sebagai sumber segala yang ada, ‘Aql Kullī
(Akal Universal), dan Nafs Kullīyah (Jiwa Universal).⁴ Dari tiga tingkat
ini, emanasi terus berlangsung hingga melahirkan dunia materi dan segala bentuk
kehidupan. Ontologi Ikhwan al-Ṣafā’ bersifat kosmosentris-spiritual,
karena alam semesta dipandang sebagai cerminan keteraturan dan rasionalitas
Ilahi. Setiap lapisan wujud memiliki tujuan dan fungsi tertentu dalam rangka
menyingkap hikmah Tuhan yang tersembunyi di balik ciptaan.⁵
4.2.      
Tuhan sebagai Asal dan Tujuan Segala
Realitas
Dalam sistem metafisika Ikhwan al-Ṣafā’, Tuhan
adalah Wujud Mutlak (al-Wujūd al-Muṭlaq), Esa dalam hakikat dan sumber
segala eksistensi. Ia tidak dapat dijangkau oleh pancaindra maupun imajinasi;
hanya melalui akal dan penyucian jiwa manusia dapat memahami tanda-tanda
keberadaan-Nya.⁶ Tuhan bukan sekadar penyebab pertama yang statis, tetapi
realitas hidup yang menjadi sumber gerak dan keteraturan seluruh kosmos.⁷
Ikhwan menolak pandangan materialistik yang
menafsirkan alam secara mekanistik. Mereka menegaskan bahwa Tuhan bukan sekadar
“Pencipta awal,” melainkan Penjaga kontinuitas keberadaan (mudabbir
al-wujūd).⁸ Dalam Rasā’il, dijelaskan bahwa keberadaan setiap
makhluk merupakan refleksi dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (asmā’ Allāh
wa ṣifātihi), sehingga seluruh ciptaan memiliki aspek spiritual yang
menandakan ketergantungan total pada realitas Ilahi.⁹
Pandangan ini memperlihatkan kesatuan antara
ontologi dan teologi dalam filsafat Ikhwan: mengenal struktur kosmos berarti
mengenal Tuhan, sebab alam semesta adalah manifestasi simbolik dari
kebijaksanaan dan kehendak-Nya.¹⁰ Dengan demikian, pengetahuan tentang Tuhan
diperoleh bukan hanya melalui teks wahyu, tetapi juga melalui kontemplasi
rasional atas keteraturan kosmos.
4.3.      
Jiwa sebagai Penghubung antara Alam
Ruhani dan Alam Materi
Posisi jiwa (nafs) menempati peran
sentral dalam ontologi Ikhwan al-Ṣafā’. Jiwa merupakan entitas penghubung (wāsiṭah)
antara dunia spiritual yang murni (‘ālam al-arwāḥ) dan dunia materi (‘ālam
al-ajsām).¹¹ Ia bersifat immaterial namun beroperasi dalam tubuh sebagai
prinsip kehidupan dan kesadaran. Jiwa manusia, menurut Ikhwan, berasal dari
Jiwa Universal (al-Nafs al-Kullīyah), yang memancar dari Akal Universal
(al-‘Aql al-Kullī).¹²
Tujuan eksistensial manusia adalah mengembalikan
jiwa kepada asalnya, yaitu Tuhan. Proses ini disebut rujū‘ ilā al-ṣadr
al-awwal (kembali kepada sumber pertama).¹³ Untuk mencapai hal tersebut,
jiwa harus disucikan melalui pengetahuan dan amal kebajikan. Ketidaktahuan dan
keterikatan pada dunia materi menyebabkan jiwa terpenjara dalam bentuk-bentuk
jasmani yang lebih rendah.¹⁴ Oleh karena itu, pengetahuan rasional bagi Ikhwan
bukan sekadar akumulasi intelektual, tetapi sarana penyucian dan pembebasan
spiritual (tazkiyat al-nafs).¹⁵
Konsepsi ini menunjukkan bahwa sistem ontologis
Ikhwan bersifat teleologis dan soteriologis: seluruh struktur kosmos
berfungsi sebagai jalan bagi jiwa untuk kembali kepada Tuhan. Dengan demikian,
manusia berada pada posisi unik sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr)
yang merefleksikan seluruh realitas makrokosmos, menjadikan perjalanan
spiritual manusia sebagai miniatur dari dinamika kosmos itu sendiri.¹⁶
4.4.      
Kosmos sebagai Cermin Rasionalitas
Ilahi
Alam semesta dalam pandangan Ikhwan al-Ṣafā’ adalah
struktur rasional dan harmonis yang tersusun berdasarkan proporsi
matematis dan prinsip keteraturan (niẓām).¹⁷ Mereka mengadopsi warisan Pythagorean
bahwa angka dan harmoni merupakan dasar keteraturan alam, tetapi menafsirkannya
secara spiritual sebagai ekspresi kebijaksanaan Tuhan.¹⁸ Kosmos tidak bersifat
kebetulan; ia adalah manifestasi rasional dari kehendak Ilahi, di mana
segala yang ada memiliki makna dan tujuan.
Dalam Rasā’il, mereka mengilustrasikan alam
sebagai tubuh hidup yang digerakkan oleh jiwa universal dan dituntun oleh akal
ilahi.¹⁹ Alam berfungsi sebagai tempat ujian sekaligus wahana pendidikan jiwa
manusia untuk mencapai kesempurnaan moral dan intelektual.²⁰ Dengan demikian,
kosmologi Ikhwan bukan hanya menjelaskan struktur realitas, tetapi juga
mengandung dimensi etik dan spiritual, di mana setiap pengetahuan
tentang alam harus mengantarkan manusia kepada pengenalan dan penghambaan
kepada Tuhan.
4.5.      
Kesatuan Ontologis antara Tuhan,
Kosmos, dan Jiwa
Dalam keseluruhan sistemnya, Ikhwan al-Ṣafā’
menegaskan prinsip kesatuan wujud dalam keberagaman manifestasi.²¹ Tuhan
adalah asal dari segala sesuatu, namun ciptaan tetap memiliki realitasnya
sendiri yang bersifat bergantung (wujūd bi-al-ghayr).²² Dengan demikian,
tidak ada dikotomi tajam antara dunia spiritual dan dunia material; keduanya
merupakan dua dimensi dari satu realitas yang sama, berbeda hanya dalam tingkat
kesempurnaan dan kedekatan dengan sumbernya.
Prinsip ontologis ini menjadikan sistem Ikhwan
sebagai bentuk awal dari monisme spiritual Islam, yang kelak menemukan
ekspresi filosofis lebih matang dalam ḥikmah al-muta‘āliyah karya Mulla
Ṣadrā.²³ Kesatuan antara kosmos, jiwa, dan Tuhan menunjukkan bahwa rasionalitas
dan spiritualitas bukan dua jalur yang terpisah, melainkan dua aspek dari satu
perjalanan menuju kebenaran yang mutlak.²⁴
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
117–118.
[2]               
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Faber and Faber, 1956), V.1.6–9.
[3]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 55–56.
[4]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 47–48.
[5]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 120.
[6]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 128.
[7]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 170.
[8]               
Netton, Muslim Neoplatonists, 60–61.
[9]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 52.
[10]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 66.
[11]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 172.
[12]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 123–124.
[13]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 83.
[14]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 63.
[15]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 71.
[16]            
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy, 131.
[17]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 95.
[18]            
A. L. Tibawi, “Ikhwan al-Safa and Their Natural
Philosophy,” Islamic Quarterly 9, no. 1 (1965): 20–22.
[19]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 68–69.
[20]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 128.
[21]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 175.
[22]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 74.
[23]            
Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Rida
al-Lahiji (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), vol. 2, 15–17.
[24]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 77.
5.          
Epistemologi:
Akal, Wahyu, dan Ilmu Pengetahuan
5.1.      
Prinsip Dasar Epistemologi Religius-Rasional
Epistemologi Ikhwan al-Ṣafā’ berangkat dari
pandangan bahwa pengetahuan (‘ilm) merupakan jalan penyucian jiwa (tazkiyat
al-nafs) sekaligus sarana mencapai kesempurnaan spiritual (al-kamāl
al-insānī).¹ Pengetahuan tidak sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga
tindakan moral dan spiritual yang mengantarkan manusia pada kedekatan dengan
Tuhan.² Bagi Ikhwan, akal (‘aql) dan wahyu (waḥy) bukan dua
sumber kebenaran yang berlawanan, melainkan dua instrumen saling melengkapi
dalam memahami realitas. Akal berfungsi menafsirkan tanda-tanda Tuhan dalam
alam, sementara wahyu menuntun akal agar tetap berada dalam kebenaran etis dan
metafisis.³
Ikhwan menegaskan bahwa wahyu bersifat ilham ilahi
yang diturunkan kepada para nabi dan wali sebagai bentuk bimbingan spiritual,
sedangkan akal adalah cahaya batin (nūr al-bāṭin) yang diberikan kepada
seluruh manusia untuk memahami hukum-hukum alam dan moral.⁴ Dalam pandangan
mereka, kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui harmoni antara keduanya:
akal yang tercerahkan oleh wahyu dan wahyu yang dipahami secara rasional.⁵
Dengan demikian, epistemologi Ikhwan bersifat integratif dan teosentris—semua
pengetahuan pada akhirnya bermuara pada Tuhan sebagai sumber dan tujuan
kebenaran.
5.2.      
Akal sebagai Instrumen Penyingkap
Kebenaran
Akal, menurut Ikhwan al-Ṣafā’, adalah pantulan
dari Akal Universal (al-‘Aql al-Kullī), yaitu prinsip rasional yang
pertama kali memancar dari Tuhan dalam struktur emanasi kosmik.⁶ Sebagaimana
Akal Universal menjadi sumber keteraturan alam, akal manusia menjadi cermin
keteraturan itu dalam dimensi individual. Dengan akalnya, manusia mampu
memahami hukum-hukum yang mengatur alam semesta (sunna al-kawn) dan
menyingkap jejak kebijaksanaan ilahi di dalamnya.⁷
Namun, Ikhwan membedakan antara akal teoritis
(al-‘aql al-naẓarī) dan akal praktis (al-‘aql al-‘amalī).
Akal teoritis berfungsi mengenal kebenaran metafisik melalui refleksi rasional,
sedangkan akal praktis menuntun tindakan etis yang selaras dengan kebijaksanaan
Tuhan.⁸ Dengan memadukan keduanya, manusia dapat menjalani kehidupan yang
seimbang antara kontemplasi intelektual dan praksis moral. Dalam Rasā’il,
mereka menegaskan bahwa “barang siapa yang mengabaikan akalnya, maka ia
mengabaikan martabat kemanusiaannya.”⁹
Epistemologi rasional Ikhwan menolak ekstremisme
anti-rasional. Mereka menegaskan bahwa akal adalah karunia Ilahi dan
bukti kemuliaan manusia, tetapi penggunaannya harus disertai kesucian niat dan
kedekatan spiritual agar tidak tergelincir ke dalam kesombongan intelektual.¹⁰
Akal yang tercerahkan adalah akal yang tunduk kepada kebenaran Tuhan, bukan
yang menuhankan dirinya sendiri.
5.3.      
Wahyu sebagai Sumber Bimbingan
Transenden
Sementara itu, wahyu dalam pandangan Ikhwan
al-Ṣafā’ adalah manifestasi tertinggi dari kebijaksanaan Tuhan yang diturunkan
kepada manusia melalui para nabi.¹¹ Wahyu tidak hanya mengandung kebenaran
teologis, tetapi juga prinsip-prinsip moral dan kosmologis yang sejalan dengan
rasionalitas alam.¹² Oleh karena itu, tidak ada pertentangan antara wahyu dan
akal; konflik antara keduanya hanya muncul bila wahyu disalahpahami secara
literal, atau bila akal digunakan tanpa panduan spiritual.¹³
Ikhwan menolak dikotomi yang tajam antara akal
filosofis dan iman religius. Mereka memandang para nabi sebagai
filsuf sejati, karena nabi tidak hanya mengetahui kebenaran melalui akal,
tetapi juga mengalami penyatuan langsung dengan sumber pengetahuan ilahi.¹⁴
Dalam hal ini, wahyu adalah puncak rasionalitas yang diilhami, sedangkan
filsafat adalah upaya manusiawi untuk mendekati kebenaran wahyu dengan daya
nalar.¹⁵
Melalui kerangka ini, Ikhwan menegaskan bahwa wahyu
memiliki fungsi normatif—menentukan arah moral dan tujuan
pengetahuan—sementara akal berfungsi instrumental, yakni menyingkap
mekanisme dan struktur realitas. Keduanya berinteraksi secara dialektis dalam
proses epistemik yang berujung pada kesempurnaan jiwa.¹⁶
5.4.      
Ilmu Pengetahuan sebagai Jalan
Menuju Kesempurnaan
Dalam sistem pengetahuan Ikhwan al-Ṣafā’, ilmu
(‘ilm) tidak bersifat fragmentaris, tetapi tersusun dalam hierarki yang
memantulkan struktur kosmos.¹⁷ Mereka membagi ilmu ke dalam empat kategori
besar: (1) matematika, sebagai dasar keteraturan logis; (2) ilmu alam,
sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum fisik dunia materi; (3) ilmu psikis
dan rasional, yang mengkaji jiwa dan akal; serta (4) ilmu ketuhanan
(ilāhiyyāt), yang menjadi puncak pengetahuan manusia tentang realitas
tertinggi.¹⁸
Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa bagi Ikhwan,
ilmu pengetahuan memiliki fungsi spiritual—yakni mempersiapkan jiwa untuk
kembali kepada Tuhan.¹⁹ Pengetahuan ilmiah bukan hanya sarana dominasi atas
alam, melainkan bentuk partisipasi manusia dalam kebijaksanaan ilahi. Oleh
karena itu, mereka menolak pemisahan antara ilmu empiris dan metafisika.²⁰ Alam
adalah teks terbuka yang dapat dibaca oleh akal, sedangkan wahyu adalah
interpretasi simbolik dari hukum-hukum alam oleh Tuhan sendiri.²¹
Dalam Rasā’il, Ikhwan menulis: “Setiap
ilmu adalah tangga menuju keilahian; barang siapa berhenti di satu anak tangga,
ia tidak akan sampai kepada puncak kebenaran.”²² Pandangan ini
menggambarkan epistemologi dinamis, di mana pengetahuan bersifat progresif dan
berorientasi pada transformasi spiritual.
Integrasi
Akal, Wahyu, dan Ilmu dalam Pencarian Kebenaran
Keseluruhan sistem epistemologi Ikhwan al-Ṣafā’
bertumpu pada prinsip kesatuan pengetahuan dan kesatuan kebenaran.²³
Tidak ada perbedaan hakiki antara pengetahuan rasional dan pengetahuan
spiritual; keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Akal berfungsi
mengurai, sedangkan wahyu menyatukan; ilmu menjembatani keduanya dalam praksis
kehidupan.²⁴
Dengan demikian, epistemologi Ikhwan mencerminkan
model rasionalitas religius, di mana intelektualitas tidak dipisahkan
dari spiritualitas.²⁵ Akal menjadi instrumen wahyu dalam memahami tanda-tanda
Tuhan di alam semesta (āyāt al-kawnīyah), sementara wahyu menuntun akal
menuju kebijaksanaan sejati (ḥikmah).²⁶ Paradigma ini menjadikan
pengetahuan sebagai ibadah, dan rasionalitas sebagai jalan menuju kebenaran
Ilahi.²⁷
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 82.
[2]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 73–75.
[3]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 63.
[4]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 84.
[5]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 178.
[6]               
Netton, Muslim Neoplatonists, 78.
[7]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 135.
[8]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 88–89.
[9]               
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa
Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 1, 33.
[10]            
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 135.
[11]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 86.
[12]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 179.
[13]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 81–82.
[14]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 139.
[15]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 93.
[16]            
Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy, 138.
[17]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 83.
[18]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 88.
[19]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 182.
[20]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 97.
[21]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 141.
[22]            
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 3, 115.
[23]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 90.
[24]            
Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy, 142.
[25]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 184.
[26]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 144.
[27]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 100.
6.          
Etika
dan Tujuan Kehidupan
6.1.      
Etika sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan
Jiwa
Dalam sistem filsafat Ikhwan al-Ṣafā’, etika
(akhlaq) bukan sekadar pedoman perilaku sosial, tetapi merupakan ilmu
penyucian jiwa (‘ilm tazkiyat al-nafs) yang berfungsi membimbing
manusia menuju kesempurnaan spiritual.¹ Tujuan utama kehidupan manusia, menurut
mereka, adalah pembebasan jiwa dari keterikatan materi dan kembalinya
kepada sumber asalnya, yaitu Tuhan (al-Ṣāni‘ al-Awwal).² Oleh karena
itu, etika bukan hanya cabang praktis dari filsafat, melainkan inti dari
keseluruhan proyek intelektual Ikhwan, di mana pengetahuan dan tindakan moral
berfungsi secara sinergis untuk mencapai kebahagiaan sejati (al-sa‘ādah
al-ḥaqīqiyyah).³
Dalam Rasā’il, Ikhwan menggambarkan
kehidupan manusia sebagai perjalanan jiwa yang turun ke dunia materi untuk
diuji, kemudian naik kembali melalui tangga pengetahuan dan kebajikan.⁴ Proses
ini bersifat kosmologis sekaligus etis: sebagaimana alam tersusun dalam tatanan
hierarkis yang harmonis, demikian pula jiwa manusia harus menata dirinya sesuai
dengan tatanan moral dan rasional yang mengantarkan kepada kesempurnaan.⁵
6.2.      
Struktur Moral: Kebajikan dan
Keseimbangan Jiwa
Ikhwan al-Ṣafā’ mendasarkan etika mereka pada
prinsip keseimbangan jiwa (i‘tidāl al-nafs) dan kebajikan
universal (faḍīlah), yang mencerminkan keselarasan antara kekuatan
rasional, emosional, dan nafsani dalam diri manusia.⁶ Prinsip ini sejalan
dengan tradisi etika Aristotelian dan Neoplatonik, namun diberi
makna spiritual dalam kerangka Islam. Mereka berpendapat bahwa manusia memiliki
tiga kekuatan utama:
1)                 
al-quwwah al-‘aqliyyah (daya rasional),
2)                 
al-quwwah al-ghaḍabiyyah (daya emosional/amarah), dan
3)                 
al-quwwah al-shahwiyyah (daya keinginan).⁷
Keseimbangan ketiga daya tersebut melahirkan empat
kebajikan utama: hikmah (kebijaksanaan), syajā‘ah (keberanian), ‘iffah
(pengendalian diri), dan ‘adālah (keadilan).⁸ Dengan demikian,
keadilan bagi Ikhwan bukan hanya hukum sosial, tetapi harmoni batin yang
terwujud ketika rasio memimpin nafs dan emosi dalam kerangka etis yang benar.
Ikhwan menegaskan bahwa moralitas sejati tidak
dapat dicapai melalui aturan eksternal semata, tetapi melalui transformasi
batiniah.⁹ Kebajikan adalah hasil dari kesadaran rasional yang disinari
oleh iman, bukan semata hasil kebiasaan atau paksaan sosial.¹⁰ Etika Ikhwan
karenanya bersifat rasional-religius: rasional karena didasarkan pada
struktur kejiwaan manusia, dan religius karena berorientasi pada penyatuan
dengan kehendak Tuhan.
6.3.      
Etika Rasional dan Pengendalian Diri
Salah satu aspek penting dari etika Ikhwan al-Ṣafā’
adalah penekanan pada pengendalian diri (mujāhadah al-nafs).¹¹ Jiwa
manusia yang terjerat oleh hawa nafsu (al-shahwah) cenderung turun pada
derajat hewani, sementara jiwa yang dikuasai oleh akal dan kebijaksanaan akan
naik menuju derajat malaikat.¹² Dalam kerangka ini, etika berfungsi sebagai
latihan rohani (riyāḍah nafsiyyah), yang mengarahkan jiwa untuk
melepaskan diri dari ikatan duniawi.
Ikhwan menggunakan analogi yang mendalam: tubuh
manusia ibarat “kendaraan,” dan akal adalah “penunggangnya.”¹³
Bila penunggang kehilangan kendali, kendaraan akan membawa jiwa pada
kebinasaan. Oleh karena itu, pendidikan moral harus diarahkan untuk memperkuat
kemampuan rasional agar mampu menundukkan keinginan jasmani.¹⁴ Prinsip ini
menunjukkan kesinambungan antara etika rasional dan asketisisme
religius, di mana pengetahuan dan kebajikan merupakan dua sisi dari
perjalanan menuju kesempurnaan.
6.4.      
Tujuan Akhir: Kebahagiaan dan
Persatuan dengan Tuhan
Tujuan akhir manusia, menurut Ikhwan al-Ṣafā’,
adalah kebahagiaan sejati (al-sa‘ādah al-ḥaqīqiyyah), yang tidak
dapat diperoleh dari kesenangan duniawi, kekayaan, atau kekuasaan, melainkan
dari penyatuan jiwa dengan Tuhan (ittiḥād al-nafs bi-llāh).¹⁵
Kebahagiaan sejati bersifat abadi dan hanya mungkin dicapai melalui
kesempurnaan akal dan kemurnian moral.
Mereka mengutip ayat al-Qur’an: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai” (Q.S. al-Bayyinah [98] ayat 7), untuk
menegaskan bahwa surga bukan semata tempat fisik, melainkan kondisi spiritual
bagi jiwa yang telah menyatu dengan sumber cahaya Ilahi.¹⁶
Konsep ittiḥād (penyatuan) dalam pemikiran
Ikhwan tidak berarti hilangnya individualitas manusia, tetapi pencapaian
keserupaan spiritual dengan Tuhan melalui kebijaksanaan dan kebaikan.¹⁷ Jiwa
yang telah mencapai kesempurnaan moral menjadi cermin dari kesempurnaan
Tuhan—suatu gagasan yang menunjukkan pengaruh Neoplatonisme namun
disublimasikan dalam kerangka teologis Islam.¹⁸
Dengan demikian, etika Ikhwan al-Ṣafā’ bersifat teleologis
dan transenden: ia memandang kehidupan moral sebagai sarana untuk mencapai
tujuan kosmik, yaitu kembalinya jiwa kepada asalnya.¹⁹ Rasionalitas moral dan
kesalehan religius berpadu dalam satu visi: mengantarkan manusia menjadi al-insān
al-kāmil (manusia sempurna), yang akalnya mencerminkan hikmah Ilahi dan
jiwanya memantulkan cahaya Tuhan.²⁰
Signifikansi
Etika Ikhwan al-Ṣafā’ bagi Kehidupan Modern
Etika religius-rasional Ikhwan al-Ṣafā’ tetap relevan
dalam konteks kontemporer, terutama dalam menghadapi krisis moral dan
disintegrasi antara ilmu dan nilai.²¹ Dengan menekankan kesatuan antara akal
dan iman, pengetahuan dan kebajikan, sistem etika mereka menawarkan paradigma holistik
dan humanistik bagi pembentukan manusia modern yang utuh secara intelektual
dan spiritual.²²
Bagi Ikhwan, manusia bukan sekadar makhluk berpikir
(animal rationale), melainkan makhluk bermoral yang dipanggil untuk
menjadi wakil Tuhan di bumi (khalīfah Allāh fī al-arḍ).²³ Karena itu,
tanggung jawab etis tidak hanya mencakup hubungan antar manusia, tetapi juga
relasi manusia dengan alam dan Tuhan.²⁴ Dalam pengertian ini, etika Ikhwan
menjadi jembatan antara rasionalisme moral dan teologi spiritual,
yang menawarkan sintesis harmonis antara kebebasan berpikir dan kedisiplinan
iman.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 92.
[2]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 95–96.
[3]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 102.
[4]               
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa
Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 2, 48.
[5]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 147.
[6]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 187.
[7]               
Netton, Muslim Neoplatonists, 97.
[8]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 149.
[9]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 94.
[10]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 106.
[11]            
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 3, 77.
[12]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 150.
[13]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 99.
[14]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 108.
[15]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 98.
[16]            
Al-Qur’an, Q.S. al-Bayyinah [98]: 7.
[17]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 188.
[18]            
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Faber and Faber, 1956), V.3.5–7.
[19]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 152.
[20]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 111.
[21]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 100.
[22]            
Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy, 151.
[23]            
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 1, 66.
[24]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 155.
7.          
Metodologi
dan Rasionalisme Ikhwan al-Ṣafā’
7.1.      
Prinsip Umum Metodologi Pengetahuan
Metodologi Ikhwan al-Ṣafā’ berakar pada
keyakinan bahwa segala bentuk ilmu dan kebijaksanaan harus dipahami dalam
kerangka kesatuan epistemologis dan spiritual.¹ Mereka tidak memisahkan
metode ilmiah dari tujuan etis-religius, karena bagi mereka, pencarian
pengetahuan merupakan bagian dari perjalanan jiwa menuju Tuhan.² Oleh sebab
itu, metode filosofis Ikhwan memadukan rasionalitas analitik, simbolisme
spiritual, dan intuisi kontemplatif dalam satu kerangka hermeneutis
yang menyeluruh.³
Dalam Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’, mereka
menegaskan bahwa metode pencarian kebenaran harus mencakup tiga tahapan: (a)
observasi dan pengalaman empiris terhadap alam, (b) refleksi rasional
terhadap prinsip-prinsip universal, dan (c) penyucian batin agar akal
dapat menerima cahaya wahyu.⁴ Dengan demikian, metode Ikhwan bersifat ensiklopedik
dan integratif—menggabungkan disiplin ilmu rasional (‘ulūm ‘aqliyyah)
dan ilmu religius (‘ulūm naqliyyah) ke dalam sistem yang saling
melengkapi.⁵
7.2.      
Pendekatan Ensiklopedik dan Sintetis
Karya monumental mereka, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’
wa Khullān al-Wafā’, merupakan bukti konkret dari metode ensiklopedik yang
menjadi ciri khas aliran religius-rasional ini.⁶ Ikhwan tidak membatasi diri
pada satu bidang ilmu, melainkan berupaya menggabungkan logika Aristoteles,
metafisika Neoplatonis, teologi Islam, dan kosmologi Pythagoras dalam satu
sintesis sistematis.⁷ Mereka menolak dikotomi antara sains dan teologi, serta
memandang ilmu pengetahuan sebagai jaring koheren yang berpusat pada prinsip tawḥīd
(kesatuan ilahi).⁸
Pendekatan ini menunjukkan bahwa Ikhwan menggunakan
metode interdisipliner avant-la-lettre, menggabungkan logika
deduktif-induktif dengan intuisi metafisis.⁹ Ilmu-ilmu empiris mereka tempatkan
pada level dasar pengetahuan, sementara ilmu-ilmu rasional dan teologis berada
pada puncaknya. Struktur hierarkis tersebut bukan untuk memisahkan, tetapi
untuk menunjukkan jalan menuju kebenaran tertinggi: dari materi menuju
spiritual, dari empiris menuju ilahi.¹⁰
7.3.      
Rasionalisme Moderat dan Sintesis
Akal-Wahyu
Rasionalisme Ikhwan al-Ṣafā’ dapat disebut rasionalisme
moderat, karena mereka menolak baik ekstremisme rasional murni ala
Mu‘tazilah maupun fideisme literal ala kalangan ortodoks.¹¹ Bagi Ikhwan, akal
adalah “cahaya batin” yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia untuk
mengenali tanda-tanda kebijaksanaan ilahi di alam.¹² Namun, rasio tidak berdiri
otonom; ia memerlukan bimbingan wahyu agar tetap berada dalam kebenaran moral
dan spiritual.¹³
Mereka menegaskan bahwa “wahyu adalah akal yang
disucikan, sedangkan akal adalah wahyu yang diformulasikan.”¹⁴ Ungkapan ini
menggambarkan prinsip kesetaraan epistemologis antara akal dan wahyu: keduanya
berasal dari sumber yang sama, hanya berbeda dalam cara manifestasinya. Oleh
karena itu, metodologi mereka bersifat dialektis-kooperatif—akal
berfungsi menafsirkan realitas empiris dan simbolik wahyu, sedangkan wahyu
memberikan arah dan makna bagi aktivitas rasional.¹⁵
Rasionalisme Ikhwan tidak berhenti pada argumentasi
logis, tetapi berkembang menjadi rasionalisme spiritual (al-‘aql
al-rūḥānī), di mana rasio bertransformasi menjadi instrumen penyaksian
terhadap kebenaran ilahi.¹⁶ Dengan demikian, mereka melampaui rasionalisme
sekuler menuju rasionalitas religius yang berakar pada prinsip tawḥīd.
7.4.      
Metode Logis dan Dialektika
Pengetahuan
Dalam kerangka metodologisnya, Ikhwan al-Ṣafā’
menggunakan berbagai pendekatan argumentatif yang mereka sebut sebagai tiga
tingkat penalaran:
1)                 
al-burhān
(demonstrasi logis) – metode rasional yang bertujuan mencapai kepastian
intelektual,
2)                 
al-jadal
(dialektika) – metode dialogis untuk menjembatani perbedaan pandangan, dan
3)                 
al-bayān (penjelasan
simbolik) – metode retoris-spiritual untuk mengungkap makna wahyu.¹⁷
Ketiga metode tersebut digunakan secara simultan
untuk menjangkau audiens dengan kapasitas intelektual berbeda: para filsuf, teolog,
dan awam.¹⁸ Dengan strategi ini, Ikhwan menggabungkan rasionalitas formal
dengan pendekatan komunikatif yang persuasif dan edukatif. Hal ini menjadikan Rasā’il
bukan sekadar teks filsafat, tetapi juga karya pedagogis yang mendidik akal dan
menuntun jiwa.¹⁹
7.5.      
Metode Hermeneutis dan Simbolisme
Kosmologis
Selain argumentasi rasional, Ikhwan juga
mengembangkan metode hermeneutis dalam memahami teks-teks wahyu dan
simbol-simbol alam.²⁰ Mereka berpendapat bahwa al-Qur’an mengandung makna
lahiriah (ẓāhir) dan batiniah (bāṭin), dan keduanya hanya dapat
dipahami melalui kombinasi antara rasio dan intuisi spiritual.²¹ Oleh karena
itu, penafsiran simbolik (ta’wīl) menjadi bagian integral dari
metodologi mereka.
Dalam hal ini, Ikhwan memperlakukan kosmos
sebagai teks: alam semesta adalah kitab terbuka yang ditulis oleh Tuhan
dalam bahasa rasional dan matematis.²² Manusia sebagai pembaca kosmos harus
menggunakan akalnya untuk memahami hukum-hukum keteraturan alam, sembari
menyucikan jiwanya agar dapat menangkap makna metafisik di balik fenomena
material.²³ Dengan demikian, hermeneutika Ikhwan bersifat kosmoteologis,
di mana interpretasi terhadap wahyu dan alam sama-sama diarahkan kepada
pengenalan terhadap Tuhan.
7.6.      
Sintesis Metodologis: Ilmu,
Filsafat, dan Spiritualitas
Metodologi Ikhwan al-Ṣafā’ berujung pada sintesis
antara ilmu, filsafat, dan spiritualitas.²⁴ Mereka menolak pandangan
reduksionis yang memisahkan pengetahuan ilmiah dari nilai-nilai moral dan
religius. Dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai
kebijaksanaan (ḥikmah), sedangkan kebijaksanaan adalah refleksi dari
pengetahuan yang diterangi iman.²⁵
Dengan demikian, rasionalisme Ikhwan tidak berhenti
pada tataran intelektual, melainkan bermuara pada transformasi eksistensial
manusia.²⁶ Pengetahuan sejati (ma‘rifah) menuntun manusia kepada
tindakan moral dan kesadaran spiritual. Bagi mereka, puncak metode rasional
adalah pencerahan batin (tanwīr al-qalb)—suatu keadaan ketika akal dan
jiwa berpadanan dengan kehendak Ilahi.²⁷
Evaluasi
Filosofis
Metodologi Ikhwan al-Ṣafā’ mencerminkan paradigma
ilmiah yang holistik dan integratif, mendahului banyak gagasan modern
tentang interdisiplinaritas dan sintesis antara ilmu dan nilai.²⁸ Mereka
berhasil menampilkan model berpikir yang rasional tanpa kehilangan dimensi
spiritual, menjadikan mereka sebagai salah satu penghubung penting antara rasionalisme
klasik dan mistisisme Islam.²⁹ Rasionalisme Ikhwan bukanlah
sekularisme intelektual, tetapi rational spirituality—sebuah bentuk
pencerahan yang menjadikan akal sebagai cermin cahaya wahyu.³⁰
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 103.
[2]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 191.
[3]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 116.
[4]               
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa
Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 1, 22–23.
[5]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 159.
[6]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 104.
[7]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 120.
[8]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 106.
[9]               
Corbin, History of Islamic Philosophy, 192.
[10]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 108.
[11]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 163.
[12]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 125.
[13]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 108.
[14]            
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il, vol. 2, 49.
[15]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 195.
[16]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 166.
[17]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 112–113.
[18]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 128.
[19]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present,
111.
[20]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 197.
[21]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 170.
[22]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 130.
[23]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 115.
[24]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 113.
[25]            
Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 156.
[26]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 134.
[27]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 172.
[28]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 199.
[29]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 118.
[30]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 115.
8.          
Kritik
dan Respons terhadap Aliran Religius-Rasional
8.1.      
Latar Kritik: Rasionalisme dalam
Ketegangan Teologis
Kehadiran Ikhwan al-Ṣafā’ dan aliran religi-rasional
pada abad ke-10 M tidak terjadi dalam ruang hampa. Pandangan mereka—yang
berupaya memadukan akal dan wahyu—berhadapan langsung dengan ketegangan
epistemologis antara dua arus besar: teologi ortodoks (Ahl al-Sunnah)
dan rasionalisme teologis Mu‘tazilah.¹ Di satu sisi, para teolog
ortodoks menuduh kelompok-kelompok rasionalis sebagai penyimpang dari iman
karena dianggap terlalu menekankan otonomi akal; di sisi lain, sebagian
Mu‘tazilah menilai Ikhwan al-Ṣafā’ terlalu sinkretik dan mistikal.²
Rasionalisme Ikhwan dianggap mengandung unsur filsafat
Yunani yang berpotensi mengaburkan kemurnian tauhid.³ Keberanian mereka
mengintegrasikan konsep emanasi (fayḍ), Akal Universal, dan Jiwa
Universal sering dianggap mendekati paham panteistik.⁴ Meski demikian,
Ikhwan menolak tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa semua emanasi hanyalah
simbol untuk menggambarkan proses ciptaan secara metaforis, bukan pengganti
konsep penciptaan (al-khalq) dalam Al-Qur’an.⁵
8.2.      
Kritik dari Kalangan Ortodoks dan
Teolog Sunni
Kritik paling tajam terhadap pendekatan
rasional-ensiklopedik Ikhwan al-Ṣafā’ datang dari kalangan ortodoks, terutama
yang diwakili oleh Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111 M). Dalam Tahāfut
al-Falāsifah, al-Ghazālī mengecam filsafat yang terlalu mengandalkan akal,
karena dianggap dapat menimbulkan kekeliruan dalam perkara metafisika seperti
kekekalan alam, ilmu Tuhan, dan kebangkitan jiwa.⁶ Meskipun ia tidak menyebut
Ikhwan al-Ṣafā’ secara eksplisit, kritiknya terhadap “para filsuf Islam”
(al-falāsifah) mencakup aspek rasionalisme yang juga menjadi ciri khas
Ikhwan.⁷
Al-Ghazālī menilai bahwa filsafat, ketika tidak
dipandu wahyu, mudah terjerumus ke dalam ta’wīl ekstrem (penafsiran
simbolik berlebihan) yang menyesatkan umat.⁸ Dalam pandangan ortodoksi, posisi
wahyu harus selalu di atas rasio. Oleh karena itu, metode simbolik Ikhwan yang
menafsirkan Al-Qur’an secara alegoris sering dianggap berbahaya bagi keimanan
awam.⁹ Namun, Ikhwan sendiri menegaskan bahwa metode tersebut bukanlah bentuk
penyimpangan, melainkan sarana mendekatkan makna batin teks kepada kebenaran
rasional.¹⁰
Selain al-Ghazālī, para teolog seperti Ibn
Taymiyyah (w. 1328 M) juga mengkritik tradisi filsafat Islam, termasuk
aliran-aliran yang terinspirasi oleh Ikhwan.¹¹ Ia menolak penggunaan istilah-istilah
metafisis asing dan menuduh sistem mereka sebagai hasil dari “pencampuran
antara wahyu dan filsafat kafir.”¹² Kritik-kritik ini menegaskan bahwa
aliran religius-rasional dianggap terlalu terbuka terhadap asimilasi
intelektual lintas budaya, sesuatu yang bertentangan dengan semangat ortodoksi
tekstual.
8.3.      
Kritik dari Dalam Tradisi
Rasionalisme
Menariknya, kritik terhadap Ikhwan juga datang dari
sesama kalangan rasionalis, seperti Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037 M) dan al-Fārābī
(w. 950 M). Meskipun mereka memiliki orientasi rasional, keduanya menilai
sistem Ikhwan kurang sistematik dan terlalu bercampur dengan simbolisme
mistik.¹³ Ibn Sīnā menekankan pentingnya metodologi demonstratif (burhānī)
yang ketat, sementara Ikhwan menggunakan pendekatan dialektik-ensiklopedik yang
mencampurkan rasionalitas, teologi, dan alegori.¹⁴
Bagi Ibn Sīnā, pengetahuan harus disusun secara
logis dalam bentuk proposisi deduktif agar dapat mencapai kepastian ilmiah.¹⁵
Sebaliknya, Ikhwan menggunakan gaya simbolik dan naratif yang dianggapnya
terlalu puitis. Namun, meskipun berbeda pendekatan, Avicenna mengakui nilai
moral dan spiritual Ikhwan, terutama dalam usaha mereka menegakkan kesatuan
antara ilmu dan iman.¹⁶
Sementara itu, Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M)
menilai bahwa rasionalisme Ikhwan masih terlalu terikat pada mistisisme.¹⁷ Ia
menganggap bahwa pendekatan simbolik mereka mengaburkan makna rasionalitas
sejati, yang bagi Ibn Rushd justru harus bersifat objektif dan bebas dari unsur
mitologis.¹⁸ Dengan demikian, dari kalangan rasionalis sendiri, kritik terhadap
Ikhwan lebih bersifat metodologis daripada substantif.
8.4.      
Kritik dari Perspektif
Historis-Orientalis
Dalam kajian modern, sejumlah sarjana Barat pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20—seperti Ignaz Goldziher, Louis Massignon,
dan De Boer—menilai Ikhwan al-Ṣafā’ sebagai contoh sinkretisme
intelektual Islam yang mencampuradukkan unsur Islam, Yunani, Persia, dan India
tanpa sistem logis yang jelas.¹⁹ Pandangan ini mencerminkan bias orientalis
yang melihat sintesis budaya sebagai bentuk “kemerosotan” rasionalitas
Islam.
Namun, pandangan ini dikritik oleh sarjana kemudian
seperti Seyyed Hossein Nasr dan Ian Richard Netton, yang
menegaskan bahwa integrasi multikultural Ikhwan justru menunjukkan universalitas
Islam sebagai peradaban terbuka.²⁰ Bagi mereka, Ikhwan tidak
mencampuradukkan sistem secara acak, melainkan membangun kerangka koheren-simbolik
yang menyatukan akal, iman, dan sains dalam satu horizon spiritual.²¹ Dengan
demikian, tuduhan sinkretisme sebenarnya mencerminkan ketidakmampuan kritik
Barat memahami epistemologi non-positivistik Islam.
8.5.      
Pengaruh dan Respons Positif
Terlepas dari berbagai kritik, pengaruh Ikhwan
al-Ṣafā’ terhadap dunia Islam sangat besar.²² Rasā’il mereka disalin dan
dikaji secara luas di Irak, Persia, Andalusia, hingga Afrika Utara.²³ Gagasan
mereka tentang kesatuan ilmu dan integrasi antara filsafat dan agama
menginspirasi pemikir-pemikir kemudian, seperti Suhrawardī (w. 1191 M)
dengan filsafat iluminatifnya (ḥikmah al-ishrāqiyyah), dan Mullā Ṣadrā
(w. 1640 M) dengan metafisika al-ḥikmah al-muta‘āliyah.²⁴
Selain itu, banyak ilmuwan Muslim seperti al-Bīrūnī
dan Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī mengadopsi semangat ensiklopedik Ikhwan dalam
mengembangkan sains Islam.²⁵ Dalam bidang etika dan pendidikan, pandangan
Ikhwan tentang penyempurnaan jiwa dan keharmonisan sosial juga mempengaruhi
pemikiran sufistik dan sistem madrasah klasik.²⁶ Dengan demikian, walaupun
dikritik, aliran religius-rasional tetap menjadi salah satu pilar penting dalam
membentuk identitas intelektual Islam yang terbuka, reflektif, dan sintesis.²⁷
Evaluasi
Umum
Dari sudut pandang filsafat sejarah, kritik
terhadap Ikhwan al-Ṣafā’ justru memperlihatkan keberanian intelektual
mereka dalam menjembatani antara akal dan iman di tengah polarisasi teologis
dunia Islam.²⁸ Aliran religius-rasional yang mereka bangun menunjukkan bahwa
rasionalitas dalam Islam tidak bersifat antitetis terhadap spiritualitas,
tetapi berfungsi sebagai sarana untuk memahami kebenaran ilahi secara lebih
mendalam.²⁹
Kritik dari ortodoks menyoroti risiko rasionalisme
tanpa iman; kritik dari rasionalis menyoroti ketidakdisiplinan metodologis;
sementara kritik orientalis menyoroti pluralitas sumber mereka. Namun, di balik
semua itu, Ikhwan al-Ṣafā’ berhasil membangun rasionalisme
spiritual-humanistik, di mana filsafat menjadi ibadah, dan pengetahuan
menjadi jalan keselamatan.³⁰
Footnotes
[1]               
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam,
Volume 2: The Expansion of Islam in the Middle Periods (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 122–124.
[2]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 135.
[3]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 118.
[4]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 204.
[5]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 142.
[6]               
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah,
ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 15–18.
[7]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 163.
[8]               
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, 36–38.
[9]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 120.
[10]            
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān
al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 1, 42.
[11]            
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql,
ed. Muḥammad Rashād Sālim (Riyadh: Jāmi‘ah al-Imām, 1979), vol. 3, 245.
[12]            
Ibid., 247–248.
[13]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 138.
[14]            
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 45.
[15]            
Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Burhān, ed. ‘Abd
al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1957), 17–19.
[16]            
Goodman, Avicenna, 52.
[17]            
Averroes (Ibn Rushd), Tahāfut al-Tahāfut,
trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 62.
[18]            
Ibid., 65–66.
[19]            
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic
Theology and Law (Princeton: Princeton University Press, 1981), 189.
[20]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 123.
[21]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 141.
[22]            
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 148.
[23]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 206.
[24]            
Hossein Ziai, “Suhrawardi on Knowledge and the
Experience of Light,” in History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed
Hossein Nasr and Oliver Leaman (London: Routledge, 1996), 440.
[25]            
George Sarton, Introduction to the History of
Science, Vol. 1 (Baltimore: Williams & Wilkins, 1927), 596–598.
[26]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 176.
[27]            
Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy, 167.
[28]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 126.
[29]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 208.
[30]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 143.
9.          
Sintesis
Filosofis
9.1.      
Kesatuan Epistemologis antara Akal
dan Wahyu
Filsafat Ikhwan al-Ṣafā’ berpuncak pada
gagasan tentang kesatuan epistemologis antara akal (‘aql) dan wahyu
(waḥy) sebagai dua jalan paralel menuju kebenaran.¹ Bagi mereka, wahyu
adalah manifestasi eksternal dari kebijaksanaan Tuhan dalam bahasa simbolik, sedangkan
akal merupakan cerminan internal dari kebijaksanaan yang sama dalam diri
manusia.² Dengan demikian, akal dan wahyu bukan dua sumber pengetahuan yang
terpisah, melainkan dua aspek dari satu kebenaran ilahi yang tunggal (al-ḥaqīqah
al-wāḥidah).³
Pandangan ini melahirkan paradigma rasional-teologis,
di mana kebenaran tidak dimonopoli oleh pengalaman religius maupun deduksi
rasional semata, tetapi ditemukan melalui interaksi dialektis keduanya. Ikhwan
memandang wahyu sebagai bimbingan moral-spiritual yang menjaga akal dari
kesesatan, sementara akal berfungsi sebagai penafsir dan pengaktualisasi makna
wahyu di dalam kehidupan empiris.⁴ Dalam kerangka ini, filsafat menjadi
jembatan antara iman dan ilmu, antara kontemplasi dan tindakan.
9.2.      
Integrasi Ontologis: Kosmos sebagai
Cermin Ketuhanan
Secara ontologis, Ikhwan al-Ṣafā’ menyatukan
pandangan metafisika Islam dengan rasionalitas Yunani dalam konsep kosmos
sebagai teofani rasional—yakni manifestasi Tuhan dalam tatanan rasional
alam.⁵ Tuhan adalah sumber wujud yang mutlak (al-wujūd al-muṭlaq),
sementara kosmos merupakan pancaran keteraturan dan kehendak-Nya yang
terartikulasikan dalam hukum-hukum universal.⁶
Dengan memadukan konsep emanasi (dari
Plotinus) dan prinsip tawḥīd (keesaan Tuhan), Ikhwan menegaskan bahwa
keberagaman fenomena duniawi tidak meniadakan kesatuan sumbernya.⁷ Realitas
bersifat hierarkis, tetapi semua tingkatan wujud berpartisipasi dalam keesaan
Ilahi. Manusia, sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr), merefleksikan
struktur dan rasionalitas makrokosmos (al-‘ālam al-kabīr).⁸ Dengan
mengenal dirinya, manusia dapat mengenal Tuhan; dan dengan memahami kosmos, ia
memahami kehendak Tuhan yang bekerja dalam keteraturan alam.⁹
Sintesis ini menjadikan sistem ontologis Ikhwan
bersifat spiritual-kosmologis: ia tidak memisahkan dunia empiris dari
dimensi ilahi, melainkan memandang keduanya sebagai dua cermin dari satu
realitas yang sama. Dalam hal ini, mereka berhasil mengintegrasikan kosmologi
ilmiah, metafisika, dan teologi ke dalam suatu sistem yang koheren.¹⁰
9.3.      
Sintesis Etis: Rasionalitas dan
Spiritualitas
Dalam bidang etika, Ikhwan al-Ṣafā’ mengembangkan etika
rasional-spiritual, yang menegaskan bahwa kebajikan sejati (faḍīlah)
hanya dapat dicapai bila rasio dan iman bekerja secara harmonis.¹¹ Etika mereka
tidak terpisah dari filsafat jiwa dan kosmologi: sebagaimana kosmos bergerak
menuju kesempurnaan Ilahi, demikian pula jiwa manusia harus berproses menuju
penyatuan dengan sumber asalnya.¹²
Rasionalitas berfungsi sebagai sarana mengenali struktur
moral kehidupan, sementara spiritualitas memberi arah teleologis bagi
tindakan.¹³ Dalam kerangka ini, kebajikan bukan sekadar hasil perhitungan etis
rasional (seperti pada Aristoteles), tetapi bentuk tazkiyah (penyucian
diri) yang menuntun jiwa kembali kepada Tuhan.¹⁴
Etika Ikhwan dengan demikian menolak dikotomi
antara intelektualisme dan asketisme: keduanya adalah fase dari perjalanan yang
sama. Rasionalitas tanpa iman menjadi dingin dan kering, sedangkan iman tanpa
rasio menjadi fanatik dan buta.¹⁵ Dengan menyatukan keduanya, Ikhwan
menghadirkan model etika Islam yang berakar pada kesadaran metafisik dan
tanggung jawab moral.
9.4.      
Sintesis Metodologis: Rasionalisme
Ilahi
Pada tataran metodologis, Ikhwan al-Ṣafā’
menggabungkan tiga pendekatan utama—burhān (demonstrasi rasional), jadal
(dialektika argumentatif), dan bayān (simbolisme retoris)—ke dalam
satu kerangka metodologis yang integratif.¹⁶ Mereka memandang bahwa kebenaran
dapat diakses melalui berbagai jalur, sesuai tingkat kesiapan intelektual dan
spiritual manusia.
Melalui burhān, manusia memahami hukum
rasional alam; melalui jadal, ia berdialog dan memperdalam pengetahuan;
dan melalui bayān, ia merenungkan makna simbolik wahyu.¹⁷ Ketiganya
saling melengkapi: logika menjaga kebenaran dari kesalahan, dialektika
menumbuhkan kesadaran kritis, dan simbolisme membuka ruang bagi intuisi dan
penyingkapan batin (kashf).¹⁸
Metode ini menunjukkan bentuk rasionalisme ilahi
(al-‘aql al-ilāhī), yakni rasionalitas yang bersandar pada wahyu dan
kesadaran spiritual.¹⁹ Rasio bukan hanya alat analisis logis, tetapi juga
instrumen kontemplatif yang mampu menyingkap dimensi metafisik realitas. Dengan
demikian, rasionalitas bagi Ikhwan bukan sekadar intelektual, tetapi juga
eksistensial.²⁰
9.5.      
Sintesis Kosmoteologis: Ilmu,
Filsafat, dan Agama
Salah satu pencapaian tertinggi Ikhwan al-Ṣafā’
ialah kemampuannya merumuskan kosmoteologi integratif, yang
menghubungkan ilmu pengetahuan dengan teologi.²¹ Mereka berpendapat bahwa
seluruh ilmu—baik matematik, fisika, biologi, maupun metafisika—merupakan
bagian dari perjalanan manusia menuju Tuhan.²² Ilmu pengetahuan, bila diarahkan
dengan benar, menjadi ibadah intelektual (‘ibādah ‘aqliyyah) yang
mengangkat derajat manusia di hadapan Tuhan.²³
Dalam kerangka ini, Ikhwan melampaui pandangan
positivistik maupun dogmatik: ilmu tidak boleh berdiri tanpa nilai, dan agama
tidak boleh menolak rasionalitas.²⁴ Pengetahuan empiris harus ditafsirkan
secara teologis, sementara wahyu harus dimaknai secara rasional. Pandangan ini
menjadikan sistem Ikhwan sebagai salah satu bentuk awal dari teologi
rasional Islam (al-ilāhiyyāt al-‘aqliyyah).²⁵
9.6.      
Relevansi Filosofis: Jembatan antara
Timur dan Barat
Sintesis filosofis Ikhwan al-Ṣafā’ tidak hanya
berpengaruh pada filsafat Islam, tetapi juga pada tradisi pemikiran Eropa abad
pertengahan.²⁶ Melalui penerjemahan karya mereka ke dalam bahasa Latin dan
Ibrani di Andalusia, ide-ide tentang kesatuan ilmu, emanasi, dan harmoni kosmos
berkontribusi pada kebangkitan rasionalisme skolastik—khususnya pada pemikiran Thomas
Aquinas dan Albertus Magnus.²⁷
Secara historis, sistem Ikhwan menjadi jembatan
epistemologis antara Timur dan Barat, memperlihatkan bahwa filsafat Islam
bukanlah kelanjutan pasif dari Yunani, melainkan tradisi kreatif yang
mengintegrasikan wahyu, akal, dan pengalaman empiris dalam satu sintesis
universal.²⁸ Dalam konteks modern, gagasan mereka tentang integrasi ilmu dan
nilai tetap relevan bagi dunia yang mengalami fragmentasi pengetahuan dan
krisis spiritualitas.²⁹
Penutup:
Rasionalitas sebagai Jalan Spiritualitas
Sintesis filosofis Ikhwan al-Ṣafā’ menegaskan bahwa
puncak rasionalitas bukanlah skeptisisme atau relativisme, melainkan pengenalan
terhadap Tuhan melalui akal yang disucikan.³⁰ Filsafat bagi mereka bukan
sekadar pencarian teoretis, tetapi jalan eksistensial menuju kesempurnaan.
Dengan menyatukan ontologi, epistemologi, dan etika dalam bingkai teologis,
mereka menghadirkan model filsafat Islam yang komprehensif, di mana
pengetahuan, iman, dan amal menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 130.
[2]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 213.
[3]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 156.
[4]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 180.
[5]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 145.
[6]               
Corbin, History of Islamic Philosophy, 215.
[7]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 133.
[8]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 160.
[9]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 171.
[10]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 182.
[11]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 147.
[12]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 135.
[13]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 164.
[14]            
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa
Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 3, 112.
[15]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 218.
[16]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 184.
[17]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 149.
[18]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 169.
[19]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present,
137.
[20]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 221.
[21]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 186.
[22]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 172.
[23]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 153.
[24]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 139.
[25]            
Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy, 173.
[26]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 223.
[27]            
George Sarton, Introduction to the History of
Science, Vol. 2 (Baltimore: Williams & Wilkins, 1931), 312–314.
[28]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 141.
[29]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 176.
[30]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 155.
10.       Relevansi Kontemporer
10.1.   
Krisis Modernitas dan Kebutuhan
Sintesis Baru
Dunia modern ditandai oleh kemajuan teknologi dan
sains yang luar biasa, tetapi sekaligus mengalami krisis makna akibat
pemisahan antara pengetahuan dan nilai.¹ Rasionalitas modern cenderung bersifat
instrumental dan sekular, memisahkan akal dari wahyu serta mengabaikan
dimensi spiritual manusia.² Dalam konteks inilah, pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’
kembali menemukan signifikansinya—yakni sebagai model sintesis antara
rasionalitas ilmiah dan kesadaran teologis.
Ikhwan menolak dikotomi antara ilmu empiris dan
spiritualitas, dengan menegaskan bahwa ilmu sejati adalah ilmu yang
mengantarkan manusia kepada kebijaksanaan (ḥikmah).³ Mereka menyadari
bahwa pengetahuan tanpa orientasi moral akan melahirkan kehancuran, sebagaimana
iman tanpa rasionalitas menimbulkan fanatisme.⁴ Prinsip keseimbangan antara
keduanya dapat menjadi dasar bagi epistemologi Islam kontemporer yang
berusaha mengintegrasikan sains, etika, dan teologi.
10.2.   
Relevansi bagi Epistemologi Islam
Modern
Gerakan intelektual Islam abad ke-20—seperti yang
diusung oleh Fazlur Rahman, Ismail al-Faruqi, dan Seyyed
Hossein Nasr—berusaha membangun kembali paradigma keilmuan yang memadukan
wahyu dan rasio.⁵ Gagasan ini sejatinya merefleksikan semangat Ikhwan
al-Ṣafā’, yang menempatkan akal dan wahyu sebagai dua aspek komplementer
dari kebenaran.
Menurut Nasr, krisis ilmu modern terletak pada
kehilangan dimensi sakral dalam pengetahuan; sains telah direduksi
menjadi instrumen eksploitasi tanpa kesadaran metafisik.⁶ Pemikiran Ikhwan
menegaskan bahwa ilmu harus dipahami sebagai ibadah intelektual (ʿibādah
ʿaqliyyah)—yaitu bentuk penyembahan kepada Tuhan melalui penyingkapan
hukum-hukum ciptaan-Nya.⁷ Dengan menghidupkan kembali orientasi sakral ilmu
ini, peradaban Islam kontemporer dapat menumbuhkan bentuk rasionalitas
spiritual, yang seimbang antara analisis empiris dan kesadaran ilahi.⁸
Selain itu, pendekatan ensiklopedik Ikhwan
juga relevan dengan paradigma interdisipliner ilmu pengetahuan modern.
Mereka telah menunjukkan bahwa sains, filsafat, dan teologi bukan domain yang
terpisah, melainkan satu jaringan makna yang berpusat pada Tuhan.⁹ Dalam era di
mana spesialisasi ekstrem menyebabkan fragmentasi pengetahuan, model integratif
Ikhwan dapat menjadi inspirasi bagi rekonstruksi epistemologi Islam berbasis
kesatuan ilmu (tawḥīd al-ʿilm).¹⁰
10.3.   
Relevansi Etis dan Pendidikan
Karakter
Selain dalam epistemologi, pemikiran Ikhwan juga
menawarkan landasan etis-spiritual bagi pendidikan dan kebudayaan
modern.¹¹ Krisis moral global—yang ditandai oleh materialisme, hedonisme, dan
alienasi manusia dari nilai-nilai spiritual—memerlukan pendekatan pendidikan
yang membentuk tidak hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga integritas
moral dan kesadaran spiritual.¹²
Dalam kerangka Ikhwan al-Ṣafā’, pendidikan sejati (tarbiyah
ḥaqīqiyyah) bertujuan membimbing jiwa menuju kebajikan, bukan sekadar
mengasah kemampuan berpikir logis.¹³ Mereka menekankan bahwa guru sejati bukan
hanya pengajar ilmu, tetapi juga penuntun ruhani (murabbī al-rūḥ).¹⁴
Pandangan ini sejalan dengan gagasan pendidikan Islam integratif yang kini
diusung oleh lembaga-lembaga keislaman modern, seperti International
Institute of Islamic Thought (IIIT), yang menekankan integrasi ilmu dan
akhlak.¹⁵
Etika rasional Ikhwan—yang menuntut keseimbangan
antara akal, nafsu, dan spiritualitas—dapat dijadikan model bagi pendidikan
karakter berbasis hikmah, yakni pembentukan manusia yang berpikir kritis,
berakhlak, dan memiliki kesadaran transenden.¹⁶
10.4.   
Relevansi dalam Dialog Agama dan
Ilmu Pengetahuan
Dalam konteks globalisasi dan pluralisme modern,
sintesis Ikhwan al-Ṣafā’ juga penting bagi dialog antara agama dan sains.¹⁷
Mereka menunjukkan bahwa iman tidak bertentangan dengan penalaran ilmiah, dan
bahwa alam semesta merupakan wahyu Tuhan dalam bentuk material.¹⁸ Dengan
demikian, studi ilmiah terhadap alam bukanlah aktivitas sekuler, melainkan
bentuk tafsir rasional atas tanda-tanda Tuhan (āyāt Allāh).¹⁹
Paradigma ini dapat menjadi dasar teologis bagi
pendekatan ekologis dan etika lingkungan dalam Islam modern.²⁰ Ikhwan
menekankan bahwa kosmos adalah entitas hidup yang memiliki tujuan ilahi, bukan
objek eksploitasi manusia.²¹ Dengan menegaskan kembali kesucian alam, mereka
memberikan fondasi spiritual bagi etika ekologis kontemporer—sebuah hal yang
kini sangat relevan dalam menghadapi krisis iklim global.²²
10.5.   
Relevansi Filosofis dan Spiritual
Universal
Akhirnya, relevansi Ikhwan al-Ṣafā’ tidak hanya
terbatas pada konteks Islam, tetapi juga pada pencarian makna universal
manusia.²³ Mereka menawarkan model filsafat yang transkultural,
menggabungkan tradisi Yunani, Persia, India, dan Islam dalam satu sistem yang
menegaskan kesatuan kebenaran di balik keragaman bentuknya.²⁴ Dalam
dunia yang semakin terfragmentasi secara ideologis dan spiritual, pandangan ini
memberikan dasar bagi dialog lintas budaya dan agama.²⁵
Pemikiran mereka dapat dipahami sebagai bentuk humanisme
spiritual Islam, di mana rasionalitas digunakan bukan untuk menafikan iman,
melainkan untuk memperdalamnya.²⁶ Oleh karena itu, warisan Ikhwan al-Ṣafā’
tetap menjadi sumber inspirasi bagi proyek intelektual dan moral umat manusia
dalam membangun peradaban berbasis pengetahuan, keadilan, dan kesucian.²⁷
Penutup:
Dari Rasionalitas ke Kebijaksanaan
Relevansi kontemporer Ikhwan al-Ṣafā’ terletak pada
kemampuannya menyatukan rasionalitas dengan kebijaksanaan (ḥikmah).²⁸
Dalam dunia yang sering terjebak antara fundamentalisme religius dan
positivisme saintifik, mereka menawarkan jalan ketiga: rasionalitas yang
berjiwa spiritual.²⁹ Melalui sintesis antara akal dan wahyu, ilmu dan iman,
manusia dapat kembali menemukan keseimbangan eksistensialnya sebagai makhluk
rasional-spiritual yang diciptakan untuk mengenal dan mengabdi kepada Tuhan.³⁰
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997),
9–10.
[2]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 143.
[3]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood
of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford: Oneworld
Publications, 2005), 184.
[4]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 145.
[5]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 5–7.
[6]               
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany:
State University of New York Press, 1989), 12–14.
[7]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 160.
[8]               
Nasr, Knowledge and the Sacred, 18.
[9]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 188–189.
[10]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 21–22.
[11]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 147.
[12]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of
Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 25–26.
[13]            
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa
Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 2, 59–60.
[14]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 191.
[15]            
Ismail al-Faruqi, Islamization of Knowledge:
General Principles and Work Plan (Herndon, VA: IIIT, 1982), 8–9.
[16]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 192.
[17]            
Nasr, Religion and the Order of Nature (New
York: Oxford University Press, 1996), 21–22.
[18]            
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 230.
[19]            
Nasr, Religion and the Order of Nature, 27.
[20]            
Parvez Manzoor, “Environment and Values: The
Islamic Perspective,” in Touch of Midas: Science, Values, and Environment in
Islam and the West, ed. Ziauddin Sardar (Manchester: Manchester University
Press, 1984), 155.
[21]            
Nasr, Man and Nature, 15.
[22]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 194.
[23]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 232.
[24]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 149.
[25]            
Fethi Miské, “Islamic Universalism and
Cross-Cultural Dialogue,” Islamic Quarterly 44, no. 3 (2000): 211–212.
[26]            
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 181.
[27]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 20.
[28]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 196.
[29]            
Nasr, Religion and the Order of Nature, 30.
[30]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 165.
11.       Kesimpulan
11.1.   
Ikhwan al-Ṣafā’ dan Warisan
Religius-Rasional
Pemikiran Ikhwan al-Ṣafā’ menempati posisi
unik dalam sejarah filsafat Islam sebagai upaya monumental untuk menyatukan
rasionalitas dan religiusitas dalam satu sistem yang koheren.¹ Mereka
menggabungkan semangat intelektual Yunani dengan kedalaman spiritual Islam,
melahirkan paradigma yang menolak dikotomi antara iman dan akal.² Dalam
pandangan Ikhwan, akal bukan ancaman bagi wahyu, tetapi instrumen Tuhan yang
diberikan kepada manusia untuk menyingkap makna terdalam dari ciptaan dan
firman-Nya.³
Aliran religi-rasional yang mereka bangun
merupakan ekspresi dari tafsir filosofis atas wahyu—di mana pengetahuan
dipahami sebagai bentuk ibadah, dan filsafat menjadi sarana untuk mencapai
kebenaran ilahi.⁴ Dengan cara ini, Ikhwan mengajarkan bahwa rasionalitas sejati
selalu berakar pada nilai-nilai transenden, dan spiritualitas yang otentik
selalu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.⁵
11.2.   
Sintesis Filosofis sebagai Inti
Pemikiran
Sintesis antara akal, wahyu, dan ilmu pengetahuan
yang dikembangkan Ikhwan al-Ṣafā’ menunjukkan bahwa sistem berpikir Islam
memiliki kapasitas dialogis dan universal.⁶ Mereka tidak melihat sains,
filsafat, dan agama sebagai entitas yang saling bertentangan, melainkan sebagai
tiga jalur epistemologis yang menuju pada kebenaran yang sama.⁷
Pandangan ini menghadirkan struktur kosmologis dan spiritual yang integratif,
di mana pengetahuan ilmiah menjadi jalan menuju kebijaksanaan (ḥikmah)
dan kebajikan (faḍīlah).⁸
Filsafat Ikhwan juga memperlihatkan bahwa
kebahagiaan manusia (al-sa‘ādah) bukan hanya hasil pemenuhan kebutuhan
material atau intelektual, tetapi juga hasil dari penyucian jiwa (tazkiyat
al-nafs) yang menuntun manusia untuk kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan.⁹
Maka, rasionalitas dalam sistem mereka bersifat soteriologis: ia bukan
sekadar alat analisis, melainkan sarana keselamatan spiritual.¹⁰
11.3.   
Relevansi Abadi: Dari Filsafat
Klasik ke Tantangan Modern
Dalam konteks modern, ketika manusia dihadapkan
pada krisis spiritualitas dan fragmentasi pengetahuan, paradigma Ikhwan
al-Ṣafā’ menawarkan jalan keluar yang konstruktif.¹¹ Dengan menegaskan kesatuan
pengetahuan dan nilai, mereka memberikan fondasi filosofis bagi integrasi
antara sains, etika, dan agama.¹² Prinsip tawḥīd al-‘ilm (kesatuan ilmu)
yang mereka anut dapat menjadi dasar bagi rekonstruksi epistemologi Islam
kontemporer yang menolak dikotomi antara rasionalitas dan wahyu.¹³
Selain itu, pendekatan etis mereka yang menekankan
keseimbangan antara rasio, nafsu, dan spiritualitas relevan dengan pendidikan
karakter dan moralitas publik modern.¹⁴ Ikhwan menunjukkan bahwa peradaban yang
sejati hanya dapat dibangun di atas paduan antara intelektualitas,
moralitas, dan spiritualitas, bukan melalui supremasi teknologi atau
dogma.¹⁵
Dengan demikian, pemikiran Ikhwan tidak hanya
memiliki nilai historis, tetapi juga normatif: ia menawarkan visi tentang
manusia sebagai makhluk rasional-spiritual yang bertanggung jawab, sadar akan
posisi kosmiknya, dan selalu berusaha mengaktualkan kehendak Tuhan melalui ilmu
dan amal.¹⁶
Penutup:
Akal sebagai Jalan Wahyu, Filsafat sebagai Ibadah
Pada akhirnya, sistem religius-rasional Ikhwan
al-Ṣafā’ menegaskan bahwa akal dan wahyu bukan dua cahaya yang berlawanan,
tetapi dua sinar dari satu matahari kebenaran.¹⁷ Akal berfungsi menafsirkan
tanda-tanda Tuhan di alam semesta, sementara wahyu menuntun akal agar tetap
berjalan di jalan yang lurus. Filsafat, dalam pandangan mereka, bukanlah rival
agama, tetapi bentuk ibadah intelektual yang tertinggi—usaha manusia untuk
mengenal Tuhan melalui refleksi mendalam atas ciptaan-Nya.¹⁸
Dengan warisan seperti itu, Ikhwan al-Ṣafā’ telah
meninggalkan jejak penting bagi sejarah intelektual Islam dan dunia. Mereka
memperlihatkan bahwa rasionalitas tidak harus meniadakan spiritualitas,
dan bahwa iman tidak harus menolak penalaran.¹⁹ Dalam sintesis keduanya,
manusia dapat menemukan jalan menuju kebenaran, kebijaksanaan, dan kesempurnaan
jiwa—suatu visi yang tetap relevan bagi peradaban manusia lintas waktu.²⁰
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 151.
[2]               
Godefroid de Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A
Brotherhood of Idealists on Religion, Philosophy, and Science (Oxford:
Oneworld Publications, 2005), 200.
[3]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’)
(London: Routledge, 1982), 168.
[4]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 194.
[5]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 237.
[6]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 183.
[7]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 153.
[8]               
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 203.
[9]               
Ikhwan al-Ṣafā’, Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa
Khullān al-Wafā’, ed. ‘Ārif Tāmir (Beirut: Dār Ṣādir, 1957), vol. 2, 71.
[10]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 239.
[11]            
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany:
State University of New York Press, 1989), 21–23.
[12]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 28.
[13]            
Ismail al-Faruqi, Islamization of Knowledge:
General Principles and Work Plan (Herndon, VA: IIIT, 1982), 12.
[14]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of
Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 29.
[15]            
Nasr, Religion and the Order of Nature (New
York: Oxford University Press, 1996), 32–34.
[16]            
De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’, 206.
[17]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 157.
[18]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 241.
[19]            
Netton, Muslim Neoplatonists, 170.
[20]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 25.
Daftar Pustaka 
Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of
education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education.
Kuala Lumpur, Malaysia: International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC).
Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of
knowledge: General principles and work plan. Herndon, VA: International
Institute of Islamic Thought (IIIT).
Al-Ghazālī, A. H. (1927). Tahāfut al-falāsifah
(M. Bouyges, Ed.). Beirut, Lebanon: Imprimerie Catholique.
Averroes (Ibn Rushd). (1954). The incoherence of
the incoherence (S. van den Bergh, Trans.). London, England: Luzac.
Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in
Islam. Cambridge, England: Islamic Texts Society.
Callataÿ, G. de. (2005). Ikhwan al-Safa’: A
brotherhood of idealists on religion, philosophy, and science. Oxford,
England: Oneworld Publications.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London, England: Kegan Paul
International.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Goldziher, I. (1981). Introduction to Islamic
theology and law. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Goodman, L. E. (1992). Avicenna. London,
England: Routledge.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Boston, MA: Beacon Press.
Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam,
Vol. 2: The expansion of Islam in the middle periods. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Ibn Sīnā (Avicenna). (1957). Al-Shifā’: Al-Burhān
(‘A. R. Badawī, Ed.). Cairo, Egypt: Dār al-Nahḍah al-‘Arabiyyah.
Ibn Taymiyyah. (1979). Dar’ ta‘āruḍ al-‘aql wa
al-naql (M. R. Sālim, Ed., Vol. 3). Riyadh, Saudi Arabia: Jāmi‘ah al-Imām.
Ikhwan al-Ṣafā’. (1957). Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’
wa Khullān al-Wafā’ (‘Ā. Tāmir, Ed., Vols. 1–3). Beirut, Lebanon: Dār
Ṣādir.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Cambridge, England: Cambridge University Press.
Manzoor, P. (1984). Environment and values: The
Islamic perspective. In Z. Sardar (Ed.), Touch of Midas: Science, values,
and environment in Islam and the West (pp. 150–165). Manchester, England:
Manchester University Press.
Miské, F. (2000). Islamic universalism and
cross-cultural dialogue. Islamic Quarterly, 44(3), 209–215.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic
cosmological doctrines. Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. New York, NY: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. Chicago, IL: ABC International Group.
Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its
origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. Albany, NY:
State University of New York Press.
Netton, I. R. (1982). Muslim Neoplatonists: An
introduction to the thought of the Brethren of Purity (Ikhwan al-Safa’).
London, England: Routledge.
Plotinus. (1956). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). London, England: Faber and Faber.
Sarton, G. (1927). Introduction to the history
of science, Vol. 1. Baltimore, MD: Williams & Wilkins.
Sarton, G. (1931). Introduction to the history
of science, Vol. 2. Baltimore, MD: Williams & Wilkins.
Ziai, H. (1996). Suhrawardi on knowledge and the
experience of light. In S. H. Nasr & O. Leaman (Eds.), History of
Islamic philosophy (pp. 434–445). London, England: Routledge.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar