Senin, 27 Oktober 2025

Etika Digital: Filsafat Moralitas di Era Teknologi dan Kehidupan Virtual

Etika Digital

Filsafat Moralitas di Era Teknologi dan Kehidupan Virtual


Alihkan ke: Ilmu Teknologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif fondasi filosofis, historis, dan normatif dari Etika Digital sebagai kerangka moral baru dalam era informasi global. Dengan menggunakan pendekatan sistematis dan reflektif, kajian ini menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari eksistensi manusia di dalam dunia digital yang semakin otonom dan algoritmik. Pembahasan dimulai dari konteks historis kemunculan etika digital sebagai respons terhadap revolusi teknologi informasi dan kemudian berlanjut pada analisis konseptual tentang bagaimana digitalisasi mengubah struktur realitas, cara manusia memperoleh pengetahuan, serta orientasi nilai moral dalam masyarakat jaringan (network society).

Dalam tataran ontologis, artikel ini menegaskan bahwa ruang digital merupakan bentuk realitas baru (virtual ontology) di mana eksistensi manusia dimediasi oleh data dan interaksi simbolik yang memiliki dampak nyata terhadap kehidupan sosial. Pada dimensi epistemologis, muncul bentuk pengetahuan baru yang bersifat kolaboratif, terotomatisasi, dan didominasi oleh algoritma, sehingga menuntut tanggung jawab epistemik dalam memverifikasi kebenaran digital. Sementara itu, secara aksiologis, etika digital membangun prinsip moral baru seperti tanggung jawab algoritmik, keadilan informasi, dan kebajikan digital yang berakar pada penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity).

Artikel ini juga mengkaji dimensi sosial, politik, dan ekonomi dari etika digital, menyoroti bagaimana teknologi menciptakan relasi kekuasaan baru, ekonomi data, dan ketimpangan akses yang memerlukan refleksi moral dan kebijakan global. Kritik-kritik terhadap etika digital dari perspektif postmodern, feminis, dan dekolonial turut dibahas untuk menunjukkan keterbatasan dan bias normatif dalam wacana etika teknologi yang dominan. Pada akhirnya, artikel ini menawarkan sintesis filosofis dalam bentuk Etika Digital Humanistik, yaitu pendekatan integral yang menggabungkan rasionalitas moral dengan rasionalitas teknologis demi membangun peradaban informasi yang adil, beradab, dan berpusat pada kemanusiaan.

Etika digital humanistik menegaskan bahwa teknologi harus berfungsi sebagai medium humanisasi, bukan dehumanisasi. Dengan demikian, masa depan digital menuntut bukan hanya kecerdasan buatan yang lebih canggih, tetapi juga kecerdasan moral yang mampu memastikan bahwa kemajuan teknologi selaras dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang universal.

Kata Kunci: Etika Digital; Filsafat Teknologi; Moralitas Algoritmik; Humanisme Digital; Tanggung Jawab Moral; Rasionalitas Teknis; Keberlanjutan Informasi; Keadilan Digital; Martabat Manusia.


PEMBAHASAN

Implikasi Etika Digital bagi Masa Depan Peradaban dan Kemanusiaan


1.           Pendahuluan

Peradaban manusia abad ke-21 ditandai oleh transformasi radikal dalam cara manusia berpikir, berinteraksi, dan memaknai keberadaannya melalui medium digital. Revolusi digital bukan sekadar fenomena teknologis, melainkan perubahan epistemik dan ontologis yang mendalam: manusia tidak lagi hidup dalam dunia digital, melainkan bersama dan melaluinya. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana etika—sebagai refleksi rasional atas kebaikan, tanggung jawab, dan nilai moral—dapat bertahan, beradaptasi, bahkan memandu kehidupan di ruang maya yang cair, cepat, dan sering kali tanpa batas moral?

Etika digital menjadi bidang refleksi baru yang berupaya menjawab tantangan ini, yaitu menjembatani ketegangan antara kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dunia digital menghadirkan berbagai paradoks: kebebasan sekaligus pengawasan, keterhubungan sekaligus keterasingan, serta pengetahuan yang melimpah tetapi rentan terhadap disinformasi. Fenomena seperti big data, artificial intelligence (AI), dan social media algorithms bukan hanya masalah teknis, melainkan juga persoalan moral yang menyentuh inti eksistensi manusia—siapa yang bertanggung jawab ketika algoritma membuat keputusan etis? Apakah kebebasan berekspresi di dunia maya memiliki batas moral yang sama dengan dunia nyata? Dan sejauh mana data pribadi seseorang memiliki nilai intrinsik dalam sistem ekonomi digital?

Perubahan ini menuntut redefinisi konsep klasik dalam etika. Sejak masa Yunani Kuno, etika dipahami sebagai ilmu tentang “bagaimana seharusnya manusia hidup baik” (how should one live well)—dari Aristoteles hingga Kant, pertanyaan etika berpusat pada kehendak, kebajikan, dan kewajiban manusia. Namun, dalam ruang digital, subjek etis bukan lagi manusia individual semata, melainkan juga sistem otomatis, jaringan informasi, dan entitas buatan yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan. Menurut Luciano Floridi, kita kini hidup dalam infosphere, suatu lingkungan ontologis baru di mana realitas, informasi, dan tindakan moral saling terjalin dalam sistem yang kompleks dan otonom.¹ Etika digital, dengan demikian, bukan sekadar penerapan nilai lama pada konteks baru, tetapi merupakan transformasi epistemologis dari pemahaman moralitas itu sendiri.

Latar belakang historis menunjukkan bahwa embrio etika digital berakar pada etika komputer (computer ethics) yang pertama kali dirumuskan oleh Norbert Wiener pada 1940-an.² Wiener memandang teknologi informasi sebagai sistem sosial yang mengandung tanggung jawab moral karena dapat memengaruhi kehidupan manusia secara signifikan. Gagasan ini kemudian berkembang melalui karya James Moor yang menekankan pentingnya “policy vacuum” atau kekosongan kebijakan moral dalam menghadapi kemajuan teknologi baru.³ Kini, pada era kecerdasan buatan dan machine learning, tantangan itu menjadi semakin kompleks: nilai-nilai moral harus ditanamkan ke dalam sistem yang belajar sendiri, sementara manusia sering kali tidak sepenuhnya memahami cara kerja internal sistem tersebut.

Urgensi kajian etika digital terletak pada kenyataan bahwa ruang digital telah menjadi ruang eksistensial manusia modern. Identitas sosial, relasi interpersonal, bahkan keputusan politik kini dimediasi oleh algoritma dan jaringan data. Dalam situasi ini, etika digital berperan ganda: pertama, sebagai refleksi normatif terhadap nilai-nilai moral dalam ruang digital; kedua, sebagai kerangka kritis untuk menilai dan membentuk desain teknologi agar sejalan dengan prinsip kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab.⁴ Maka, etika digital tidak hanya relevan bagi filsuf atau teknolog, tetapi juga bagi seluruh warga digital yang setiap tindakannya meninggalkan jejak moral di dunia maya.

Secara metodologis, pembahasan tentang etika digital dalam tulisan ini akan menggunakan pendekatan filsafat normatif dan hermeneutik kontekstual. Pendekatan normatif bertujuan menguji validitas prinsip moral dalam konteks digital, sementara pendekatan hermeneutik digunakan untuk memahami makna moral yang muncul dari praktik sosial pengguna teknologi. Dengan demikian, kajian ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga reflektif dan praktis, membuka ruang bagi pengembangan “etika digital humanistik”—suatu etika yang menempatkan teknologi sebagai sarana untuk memperkuat martabat manusia, bukan sekadar instrumen efisiensi teknis.

Akhirnya, pendahuluan ini menggarisbawahi bahwa etika digital merupakan upaya untuk menjaga dimensi moralitas manusia di tengah derasnya arus digitalisasi. Ia bukan sekadar reaksi terhadap perubahan teknologi, tetapi merupakan panggilan filosofis untuk menegaskan kembali makna “manusia” dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh data, algoritma, dan jaringan. Dalam era di mana batas antara yang nyata dan yang virtual semakin kabur, etika digital hadir sebagai kompas moral yang menuntun manusia agar tidak kehilangan arah kemanusiaannya di tengah lautan informasi.


Footnotes

[1]                ¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 4–7.

[2]                ² Norbert Wiener, Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine (Cambridge, MA: MIT Press, 1948), 19–20.

[3]                ³ James H. Moor, “What Is Computer Ethics?” Metaphilosophy 16, no. 4 (October 1985): 266–275.

[4]                ⁴ Rafael Capurro, “Digital Ethics,” dalam The Ethics of Information Technology, ed. Luciano Floridi (Oxford: Oxford University Press, 2010), 52–58.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Etika Digital

Etika digital tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari refleksi filosofis atas hubungan manusia dengan teknologi. Untuk memahami fondasi konseptualnya, penting menelusuri akar historis dan genealogis dari disiplin ini, yang bermula dari etika teknologi (ethics of technology), kemudian berkembang menjadi etika komputer (computer ethics), dan akhirnya menemukan bentuk kontemporernya sebagai digital ethics atau etika digital.

2.1.       Awal Mula Etika Teknologi

Sejarah refleksi etis terhadap teknologi dapat ditelusuri sejak era modern awal, ketika manusia mulai memandang teknologi sebagai kekuatan transformasional terhadap kehidupan sosial dan moral. Filsuf seperti Martin Heidegger dalam esainya Die Frage nach der Technik (1954) telah mengingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat netral, tetapi suatu “cara pengungkapan kebenaran” (a mode of revealing) yang dapat membentuk eksistensi manusia.¹ Heidegger menilai bahwa bahaya terbesar dari teknologi modern terletak bukan pada mesin itu sendiri, melainkan pada cara berpikir instrumental yang menempatkan alam dan manusia semata-mata sebagai sumber daya yang dapat dimanipulasi.² Pemikiran ini menjadi dasar ontologis bagi refleksi etika terhadap teknologi: bahwa setiap inovasi teknis selalu membawa konsekuensi moral dan eksistensial.

Pada paruh kedua abad ke-20, refleksi tentang etika teknologi mulai memperoleh bentuk sistematis melalui karya Norbert Wiener, matematikawan dan pendiri teori sibernetika. Dalam bukunya Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine (1948), Wiener mengajukan pandangan bahwa teknologi informasi menciptakan sistem komunikasi yang sejajar dengan organisme hidup, sehingga memerlukan tanggung jawab moral baru bagi manusia.³ Ia kemudian mengembangkan gagasan ini dalam The Human Use of Human Beings (1950), menegaskan bahwa teknologi harus digunakan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan menguranginya.⁴ Pandangan Wiener menandai lahirnya computer ethics sebagai cabang etika terapan yang menyoroti peran manusia dalam sistem informasi yang semakin otonom.

2.2.       Era Komputerisasi dan Lahirnya Etika Komputer

Pada dekade 1970–1980-an, dengan semakin luasnya penggunaan komputer di bidang pemerintahan, bisnis, dan pendidikan, para filsuf dan ilmuwan komputer mulai menyadari adanya “kekosongan moral” (policy vacuum) dalam penggunaan teknologi baru.⁵ James H. Moor, dalam artikelnya yang berpengaruh “What Is Computer Ethics?” (1985), mengidentifikasi bahwa komputer menghadirkan situasi-situasi moral baru yang belum pernah diatur oleh norma-norma etika tradisional.⁶ Menurut Moor, komputer bukan hanya alat pemroses data, tetapi juga “teknologi yang memiliki logika fleksibel” (logical malleability), sehingga mampu memengaruhi struktur tindakan moral manusia.⁷

Pemikiran Moor ini memperluas cakupan etika komputer menjadi lebih reflektif dan normatif. Ia menegaskan bahwa etika komputer tidak hanya berkaitan dengan kebijakan privasi atau keamanan data, tetapi juga dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana teknologi membentuk nilai, pilihan, dan tanggung jawab manusia.⁸ Periode ini ditandai pula oleh munculnya karya-karya awal dalam etika informasi (information ethics), seperti yang dikembangkan oleh Terrell Ward Bynum dan Deborah Johnson, yang berupaya mengintegrasikan teori moral klasik dengan fenomena digital yang baru lahir.⁹

2.3.       Genealogi Etika Informasi menuju Etika Digital

Memasuki era 1990–2000-an, ledakan internet dan globalisasi komunikasi digital melahirkan paradigma baru yang disebut information ethics. Luciano Floridi, salah satu tokoh sentral dalam bidang ini, mengusulkan bahwa informasi harus dipandang sebagai entitas moral yang memiliki nilai intrinsik.¹⁰ Menurut Floridi, kita hidup dalam infosphere—lingkungan ontologis di mana semua makhluk dan benda saling berhubungan melalui informasi.¹¹ Etika informasi, dalam pandangan ini, tidak lagi terbatas pada hubungan manusia dengan mesin, melainkan meliputi seluruh ekosistem informasi, termasuk data, algoritma, dan sistem jaringan.¹²

Etika digital sebagai tahap lanjut dari etika informasi muncul bersamaan dengan berkembangnya digital culture dan network society. Manuel Castells menyebut masyarakat digital sebagai “masyarakat jejaring” di mana kekuasaan, ekonomi, dan identitas dibangun melalui arus informasi yang terdesentralisasi.¹³ Dalam konteks ini, tanggung jawab moral tidak lagi bersifat individual, melainkan kolektif dan sistemik. Rafael Capurro kemudian menekankan perlunya digital hermeneutics—pendekatan filosofis untuk memahami makna moral yang tersembunyi di balik interaksi digital dan komunikasi daring.¹⁴

Genealogi ini menunjukkan bahwa etika digital lahir sebagai respons terhadap kompleksitas baru dalam dunia maya, yang tidak dapat dijawab hanya dengan norma etika klasik. Ia menuntut paradigma etis baru yang bersifat interdisipliner, menggabungkan filsafat, teknologi, sosiologi, dan ilmu informasi. Etika digital dengan demikian merupakan sintesis dari tiga tahap historis utama: (1) refleksi ontologis atas teknologi modern, (2) analisis normatif terhadap komputerisasi dan informasi, dan (3) kesadaran etis terhadap kehidupan digital sebagai ruang eksistensial manusia.

2.4.       Transisi Menuju Etika Digital Kontemporer

Dalam dua dekade terakhir, etika digital telah berkembang menjadi bidang kajian yang otonom, menyoroti isu-isu spesifik seperti privasi data, algoritmik bias, artificial intelligence ethics, dan cyber ethics.¹⁵ Perubahan ini mencerminkan pergeseran dari paradigma “penggunaan teknologi secara etis” menuju “desain etis teknologi”—yakni bagaimana nilai moral dapat tertanam langsung dalam sistem digital.¹⁶ Di sinilah muncul konsep ethics by design yang berupaya menanamkan prinsip keadilan, transparansi, dan non-diskriminasi ke dalam arsitektur teknologi itu sendiri.¹⁷

Selain itu, genealoginya juga memperlihatkan bahwa etika digital bukan hanya ranah filsafat moral, melainkan juga medan politik dan ekonomi. Shoshana Zuboff, dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019), memperlihatkan bagaimana perusahaan teknologi menggunakan data pribadi manusia sebagai sumber daya ekonomi baru, yang menciptakan bentuk kolonialisme data modern.¹⁸ Karena itu, etika digital juga berperan sebagai kritik terhadap struktur kekuasaan dan kapitalisme informasi yang mendominasi era digital.

Dengan demikian, pemahaman historis dan genealogis ini memperlihatkan bahwa etika digital adalah kelanjutan sekaligus kritik terhadap tradisi etika modern. Ia menegaskan bahwa setiap kemajuan teknologi menuntut refleksi moral yang sepadan—bukan untuk menolak kemajuan itu, tetapi untuk memastikan bahwa teknologi tetap berada dalam horizon kemanusiaan, bukan sebaliknya.


Footnotes

[1]                ¹ Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, terj. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–18.

[2]                ² Ibid., 24–27.

[3]                ³ Norbert Wiener, Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine (Cambridge, MA: MIT Press, 1948), 32–34.

[4]                ⁴ Norbert Wiener, The Human Use of Human Beings: Cybernetics and Society (Boston: Houghton Mifflin, 1950), 36–42.

[5]                ⁵ Deborah G. Johnson, Computer Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1985), 2–4.

[6]                ⁶ James H. Moor, “What Is Computer Ethics?” Metaphilosophy 16, no. 4 (October 1985): 266–275.

[7]                ⁷ Ibid., 270.

[8]                ⁸ Terrell W. Bynum, “Computer Ethics: Basic Concepts and Historical Overview,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2001 Edition).

[9]                ⁹ Deborah G. Johnson, Ethical Issues in the Use of Computers (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1985), 11–14.

[10]             ¹⁰ Luciano Floridi, Information: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 42–45.

[11]             ¹¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 9–12.

[12]             ¹² Ibid., 32–34.

[13]             ¹³ Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 21–25.

[14]             ¹⁴ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics: Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 48–53.

[15]             ¹⁵ John Sullins, “Information Technology and Moral Values,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2019 Edition).

[16]             ¹⁶ Jeroen van den Hoven et al., “Design for Values: An Introduction,” dalam Handbook of Ethics, Values, and Technological Design (Dordrecht: Springer, 2015), 1–7.

[17]             ¹⁷ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral Imagination (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 4–6.

[18]             ¹⁸ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 93–100.


3.           Ontologi Dunia Digital

Ontologi dunia digital membahas hakikat keberadaan (being) di era teknologi informasi, di mana realitas tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi juga mencakup dimensi virtual yang bersifat cair, hibrid, dan interkonektif. Dalam konteks ini, filsafat ontologi berperan penting untuk menjawab pertanyaan mendasar: apa makna “ada” dalam dunia digital, dan bagaimana eksistensi manusia berubah ketika identitas, relasi, dan tindakan dimediasi oleh algoritma dan data? Dunia digital bukan sekadar ekstensi dunia nyata, tetapi merupakan modus eksistensi baru yang membentuk cara manusia berada, berpikir, dan berinteraksi di dalam semesta informasi.

3.1.       Digitalitas sebagai Modus Keberadaan Baru

Digitalitas—yakni kondisi eksistensial manusia dalam dan melalui medium digital—menunjukkan bahwa manusia kini hidup dalam dua lapisan realitas: dunia fisik (offline reality) dan dunia virtual (online reality). Pierre Lévy menggambarkan fenomena ini sebagai “virtualisasi”, yaitu proses transposisi realitas dari bentuk material ke bentuk immaterial yang tetap memiliki nilai ontologis.¹ Virtualitas bukanlah ilusi atau kebalikan dari kenyataan, melainkan bentuk lain dari keberadaan yang dimediasi oleh informasi dan simbol.²

Jean Baudrillard memperdalam konsep ini melalui teorinya tentang simulacra dan simulation. Menurutnya, dalam era digital, manusia tidak lagi berhubungan langsung dengan realitas, melainkan dengan representasi yang menggantikan realitas itu sendiri.³ Simulasi digital menghasilkan dunia hiperreal (hyperreality), di mana batas antara yang nyata dan yang maya menjadi kabur. Dalam dunia hiperreal, tanda-tanda dan kode digital memiliki otonomi makna tersendiri; mereka tidak lagi merepresentasikan dunia fisik, melainkan menciptakan realitasnya sendiri.⁴ Fenomena ini menjelaskan bagaimana ruang digital dapat membentuk perilaku dan persepsi manusia, dari media sosial hingga metaverse, yang menghadirkan pengalaman eksistensial seolah-olah nyata.

Ontologi digital dengan demikian menuntut reinterpretasi konsep “keberadaan”. Jika dalam metafisika klasik Aristotelian, “ada” (to be) diidentikkan dengan substansi yang berdiri sendiri, maka dalam era digital, “ada” berarti “terkoneksi” (to be is to be connected).⁵ Keberadaan tidak lagi ditentukan oleh substansi, melainkan oleh relasi dan jaringan. Dunia digital adalah dunia relasional yang tersusun dari node, tautan, dan arus informasi.⁶ Maka, realitas digital bukanlah realitas yang stabil, tetapi dinamis dan terbentuk melalui proses interaksi yang terus menerus antara manusia, mesin, dan data.

3.2.       Manusia sebagai Entitas Digital (Digital Being)

Transformasi digital mengubah manusia menjadi entitas hibrid yang eksistensinya tersebar antara tubuh fisik dan representasi digital. Sherry Turkle, dalam Life on the Screen (1995), menyebut manusia modern sebagai cyborg self—identitas yang terbentuk melalui permainan peran dan representasi dalam ruang digital.⁷ Identitas di dunia maya bersifat plural, cair, dan performatif; seseorang dapat memiliki banyak persona digital yang tidak selalu konsisten dengan dirinya di dunia nyata.⁸ Fenomena ini menggeser pengertian klasik tentang keotentikan diri (authentic self) sebagaimana dikemukakan dalam eksistensialisme Heideggerian.

Dalam konteks ini, keberadaan manusia tidak dapat lagi dipisahkan dari jejak digitalnya (digital footprints), yang menjadi bukti ontologis tentang keberadaannya di dunia maya. Jejak digital memiliki karakter ontologis ganda: ia bersifat representasional sekaligus konstitutif.⁹ Di satu sisi, ia merepresentasikan tindakan manusia (seperti unggahan, interaksi, atau pencarian daring); di sisi lain, ia juga membentuk identitas dan eksistensi individu dalam sistem algoritmik yang terus mengarsipkan dan menilai perilaku pengguna.¹⁰ Dengan demikian, eksistensi manusia dalam dunia digital adalah eksistensi yang selalu terbaca (legible existence) oleh sistem teknologis yang mengaturnya.

Luciano Floridi menggambarkan fenomena ini sebagai “inforg” atau informational organism: entitas yang hidup di dalam infosphere, ekosistem informasi tempat manusia dan mesin berinteraksi secara simbiotik.¹¹ Dalam ontologi Floridi, manusia digital tidak lagi menjadi pusat kosmos, tetapi bagian dari jejaring informasi global.¹² Keberadaannya tidak bersifat otonom, melainkan relasional dan bergantung pada arus data. Maka, ontologi digital menandai pergeseran dari paradigma human-sentris menuju infospheric ontology—suatu pandangan bahwa keberadaan ditentukan oleh relasi informasi, bukan oleh substansi fisik atau kesadaran tunggal.¹³

3.3.       Algoritma, Data, dan Ontologi Relasional

Dalam dunia digital, algoritma dan data memainkan peran ontologis yang setara dengan kategori “bentuk” dan “substansi” dalam metafisika klasik. Algoritma bukan sekadar instruksi teknis, melainkan prinsip pengatur realitas digital yang menentukan apa yang tampak dan tidak tampak bagi manusia.¹⁴ Fenomena seperti filter bubbles atau echo chambers menunjukkan bahwa algoritma memiliki daya ontologis—ia tidak hanya mengatur informasi, tetapi juga membentuk pengalaman dan persepsi realitas.¹⁵

Data, di sisi lain, menjadi “materi pertama” (prima materia) dari dunia digital. Semua entitas digital—baik gambar, teks, maupun identitas—dapat direduksi menjadi data yang dapat disimpan, diproses, dan dikalkulasi.¹⁶ Namun, berbeda dengan materi fisik, data bersifat tak terbatas dan reproduktif. Ia dapat digandakan tanpa kehilangan substansinya, sehingga menciptakan keberadaan yang tidak tunduk pada hukum entropi fisikal.¹⁷ Dunia digital dengan demikian bersifat non-lokal dan imaterial, tetapi tetap real dalam pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.

Ontologi relasional ini membawa implikasi etis yang signifikan: jika keberadaan ditentukan oleh relasi data dan algoritma, maka tanggung jawab moral manusia harus mempertimbangkan jaringan ontologis tersebut. Keputusan moral tidak lagi terbatas pada hubungan antarindividu, tetapi juga mencakup relasi manusia dengan sistem non-manusia seperti mesin dan jaringan informasi.¹⁸ Dalam hal ini, etika digital harus berangkat dari kesadaran ontologis bahwa “yang ada” di dunia digital mencakup manusia dan entitas buatan yang turut memediasi tindakan moral.

3.4.       Dunia Hibrid dan Krisis Ontologis

Perkembangan teknologi imersif seperti augmented reality (AR) dan metaverse menandai lahirnya dunia hibrid, di mana batas antara yang nyata dan yang virtual semakin kabur. Dunia hibrid menciptakan pengalaman ontologis baru yang disebut “realitas campuran” (mixed reality), di mana objek digital dapat berinteraksi secara langsung dengan dunia fisik.¹⁹ Hal ini memunculkan pertanyaan baru dalam ontologi: apakah entitas virtual yang dapat memengaruhi tindakan manusia memiliki status ontologis yang sama dengan benda nyata?

Paul Ricoeur menyebut bahwa pengalaman manusia selalu terbentuk melalui simbol dan interpretasi.²⁰ Dalam konteks digital, simbol-simbol itu menjadi algoritmik dan interaktif, sehingga realitas manusia dikonstruksi melalui lapisan interpretatif yang semakin kompleks. Ontologi digital karenanya juga merupakan ontologi hermeneutik: keberadaan di dunia maya selalu ditafsirkan dan dinegosiasikan melalui interaksi sosial, teknologi, dan budaya.²¹

Pada titik ini, dunia digital menantang fondasi metafisika tradisional. Ia menggantikan konsep keberadaan yang statis dengan dinamika keberadaan yang selalu diperbarui secara sistemik. Dengan demikian, memahami ontologi dunia digital berarti memahami bahwa eksistensi manusia modern tidak lagi tunggal dan stabil, melainkan bersifat plural, relasional, dan terdistribusi di antara jaringan simbol dan kode.²²


Footnotes

[1]                ¹ Pierre Lévy, Becoming Virtual: Reality in the Digital Age, terj. Robert Bononno (New York: Plenum Trade, 1998), 22–25.

[2]                ² Ibid., 31–34.

[3]                ³ Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, terj. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.

[4]                ⁴ Ibid., 11–12.

[5]                ⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 33.

[6]                ⁶ Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 24–28.

[7]                ⁷ Sherry Turkle, Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (New York: Simon & Schuster, 1995), 177–183.

[8]                ⁸ Ibid., 255–258.

[9]                ⁹ Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think (Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 40–42.

[10]             ¹⁰ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 118–120.

[11]             ¹¹ Luciano Floridi, Information: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 41–44.

[12]             ¹² Floridi, The Ethics of Information, 45–49.

[13]             ¹³ Ibid., 92–94.

[14]             ¹⁴ Nick Seaver, “Algorithms as Culture: Some Tactics for the Ethnography of Algorithmic Systems,” Big Data & Society 4, no. 2 (2017): 1–12.

[15]             ¹⁵ Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (New York: Penguin Press, 2011), 9–12.

[16]             ¹⁶ Lev Manovich, The Language of New Media (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 27–30.

[17]             ¹⁷ N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 18–21.

[18]             ¹⁸ Philip Brey, “The Physical and Social Reality of Virtual Worlds,” Techné: Research in Philosophy and Technology 8, no. 2 (2005): 1–18.

[19]             ¹⁹ Tom Boellstorff, Coming of Age in Second Life: An Anthropologist Explores the Virtually Human (Princeton: Princeton University Press, 2008), 15–18.

[20]             ²⁰ Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–89.

[21]             ²¹ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics: Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 62–65.

[22]             ²² Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects (Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 29–32.


4.           Epistemologi Pengetahuan Digital

Epistemologi pengetahuan digital membahas bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan memverifikasi kebenaran di dalam ruang digital yang dikuasai oleh informasi, algoritma, dan jaringan. Dalam dunia yang dibentuk oleh arus data yang masif, kebenaran tidak lagi muncul sebagai hasil kontemplasi rasional, tetapi sebagai produk interaksi dinamis antara manusia, mesin, dan sistem informasi. Epistemologi digital, dengan demikian, menuntut analisis filosofis terhadap hakikat pengetahuan di era informasi—suatu era di mana batas antara mengetahui dan diketahui menjadi semakin kabur.

4.1.       Transformasi Paradigma Pengetahuan di Era Digital

Dalam filsafat klasik, pengetahuan (epistēmē) dipahami sebagai kepercayaan yang benar dan dibenarkan (justified true belief).¹ Namun, di era digital, struktur epistemik ini mengalami rekonstruksi mendasar. Informasi yang beredar dalam jaringan digital tidak selalu memiliki otoritas epistemologis yang jelas; ia dapat berasal dari algoritma, pengguna anonim, atau sistem otomatis yang tidak memiliki niat kebenaran. Hal ini menciptakan apa yang disebut Luciano Floridi sebagai infosphere—ruang di mana setiap entitas, termasuk mesin, berperan sebagai produsen dan konsumen informasi.² Dalam konteks ini, pengetahuan tidak lagi menjadi milik subjek rasional tunggal, melainkan hasil dari proses kolektif dan sistemik dalam ekologi informasi global.

Fenomena ini mengakibatkan pergeseran dari epistemologi representasional menuju epistemologi relasional.³ Jika pengetahuan tradisional berfokus pada representasi dunia oleh pikiran manusia, maka pengetahuan digital berfokus pada hubungan, konektivitas, dan distribusi informasi. Misalnya, kebenaran di mesin pencari tidak muncul dari refleksi filosofis, melainkan dari algoritma yang menghitung relevansi berdasarkan perilaku pengguna.⁴ Kebenaran, dengan demikian, menjadi probabilistik dan terpersonalisasi—ia bergantung pada profil pengguna dan dinamika algoritmik yang terus diperbarui.

4.2.       Krisis Kebenaran dan Disinformasi

Salah satu tantangan utama epistemologi digital adalah krisis kebenaran. Dalam dunia yang diwarnai oleh infodemic, hoaks, dan deepfake, batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur.⁵ Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism telah menegaskan bahwa kebohongan politik modern bekerja bukan hanya dengan menutupi kebenaran, tetapi dengan menciptakan kondisi di mana kebenaran kehilangan makna sosialnya.⁶ Dunia digital memperluas fenomena ini secara global: algoritma media sosial mendorong polarisasi informasi dengan menciptakan echo chambers—ruang di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinan mereka sendiri.⁷

Fenomena ini menandai pergeseran epistemologis dari “masyarakat pengetahuan” (knowledge society) menjadi “masyarakat opini” (opinion society).⁸ Informasi yang viral sering kali lebih dipercaya daripada informasi yang benar. Jean Baudrillard menggambarkan kondisi ini sebagai hyperreality of truth—keadaan di mana representasi informasi menjadi lebih nyata daripada kenyataannya sendiri.⁹ Dalam konteks ini, epistemologi digital harus berperan bukan hanya dalam mencari kebenaran, tetapi juga dalam mempertahankan struktur rasionalitas yang memungkinkan kebenaran dapat dipahami, diverifikasi, dan disepakati secara kolektif.

4.3.       Algoritma sebagai Subjek Epistemik

Dalam dunia digital, algoritma bukan hanya instrumen teknis, tetapi juga agen epistemik yang membentuk cara manusia mengetahui dunia.¹⁰ Melalui proses machine learning, algoritma dapat menafsirkan data, membentuk pola, dan menghasilkan keputusan yang bersifat prediktif.¹¹ Fenomena ini menimbulkan pertanyaan filosofis: apakah mesin dapat memiliki epistemic agency—yakni kapasitas untuk mengetahui atau berkontribusi pada produksi pengetahuan?

Nick Bostrom dan Eliezer Yudkowsky menyoroti potensi dan bahaya epistemologi algoritmik, terutama ketika sistem kecerdasan buatan mulai mengembangkan otonomi dalam menilai data tanpa campur tangan manusia.¹² Dalam situasi ini, manusia berisiko kehilangan peran sebagai pengendali pengetahuan dan hanya menjadi “penerima hasil” dari sistem yang tidak transparan.¹³ Fenomena ini disebut “epistemic opacity”—ketidakmampuan manusia memahami proses internal di balik keputusan mesin.¹⁴ Akibatnya, epistemologi digital harus memperluas cakupannya untuk mencakup hubungan antara manusia dan sistem non-manusia dalam konstruksi pengetahuan.

Dalam konteks ini, muncul paradigma baru yang disebut “hybrid epistemology”—yakni bentuk pengetahuan yang dihasilkan dari kolaborasi antara manusia dan mesin.¹⁵ Kolaborasi ini dapat memperluas kapasitas kognitif manusia (seperti dalam analisis data besar dan riset ilmiah), tetapi juga mengancam otonomi epistemik manusia jika tidak disertai dengan prinsip transparansi dan tanggung jawab moral.¹⁶

4.4.       Literasi Digital dan Tanggung Jawab Epistemik

Epistemologi digital tidak dapat dilepaskan dari etika pengetahuan. Dalam dunia di mana setiap individu menjadi produsen informasi, muncul kebutuhan akan epistemic responsibility—yakni tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa informasi yang dibagikan benar, valid, dan tidak menyesatkan.¹⁷ Miranda Fricker menyebut fenomena ini sebagai “epistemic injustice”, yaitu ketidakadilan yang terjadi ketika seseorang dirugikan sebagai subjek pengetahuan, misalnya karena bias algoritmik atau diskriminasi informasi.¹⁸

Literasi digital, dalam kerangka epistemologis, bukan hanya kemampuan teknis untuk menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan kritis untuk menilai keandalan, kredibilitas, dan konteks sumber informasi.¹⁹ Pengembangan critical digital literacy menjadi syarat utama untuk memulihkan epistemologi publik di era digital.²⁰ Dalam hal ini, prinsip transparansi algoritma, verifikasi sumber, dan kesadaran akan bias sistem menjadi bagian integral dari tanggung jawab epistemik manusia modern.²¹

4.5.       Menuju Epistemologi Digital Humanistik

Epistemologi digital pada akhirnya menuntut integrasi antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Floridi menyebut pendekatan ini sebagai digital humanism—suatu upaya untuk menempatkan manusia kembali di pusat infosphere tanpa mengabaikan peran teknologi sebagai mitra epistemik.²² Dengan cara ini, pengetahuan digital tidak hanya menjadi alat efisiensi atau kekuasaan, tetapi juga sarana untuk memperluas cakrawala pengertian manusia tentang dirinya dan dunia.

Epistemologi digital humanistik menekankan pentingnya keseimbangan antara otomatisasi dan refleksi, antara kecepatan informasi dan kedalaman pemahaman.²³ Dalam masyarakat yang dibanjiri data, kebijaksanaan (phronēsis)—yakni kemampuan menilai dengan benar dalam situasi yang kompleks—menjadi lebih penting daripada sekadar akses terhadap informasi.²⁴ Oleh karena itu, epistemologi digital tidak boleh berhenti pada pertanyaan “bagaimana kita mengetahui?”, tetapi harus memperluas cakupannya menjadi “bagaimana kita seharusnya mengetahui dengan cara yang bertanggung jawab, adil, dan manusiawi?”.


Footnotes

[1]                ¹ Plato, Theaetetus, terj. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2008), 187b–201c.

[2]                ² Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 10–12.

[3]                ³ Yuk Hui, On the Existence of Digital Objects (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2016), 77–80.

[4]                ⁴ Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 34–36.

[5]                ⁵ Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 9–12.

[6]                ⁶ Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace & World, 1951), 382–383.

[7]                ⁷ Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 59–64.

[8]                ⁸ Byung-Chul Han, Infocracy: Digitalization and the Crisis of Democracy (Cambridge: Polity Press, 2022), 23–26.

[9]                ⁹ Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, terj. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 6–8.

[10]             ¹⁰ Tarleton Gillespie, “The Relevance of Algorithms,” dalam Media Technologies: Essays on Communication, Materiality, and Society, ed. Tarleton Gillespie et al. (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 167–194.

[11]             ¹¹ Pedro Domingos, The Master Algorithm: How the Quest for the Ultimate Learning Machine Will Remake Our World (New York: Basic Books, 2015), 45–47.

[12]             ¹² Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial Intelligence,” dalam The Cambridge Handbook of Artificial Intelligence, ed. Keith Frankish and William M. Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 316–317.

[13]             ¹³ Kate Crawford and Trevor Paglen, “Excavating AI: The Politics of Images in Machine Learning Training Sets,” Excavating AI Project Report (2019), 2–4.

[14]             ¹⁴ Paul Humphreys, “Computational Science and the Problem of Epistemic Opacity,” Philosophy of Science 74, no. 4 (2009): 618–619.

[15]             ¹⁵ David J. Gunkel, The Machine Question: Critical Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012), 121–124.

[16]             ¹⁶ Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 57–60.

[17]             ¹⁷ José Medina, The Epistemology of Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant Imaginations (Oxford: Oxford University Press, 2013), 14–16.

[18]             ¹⁸ Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–2.

[19]             ¹⁹ Renee Hobbs, Exploring the Roots of Digital and Media Literacy through Personal Narrative (Philadelphia: Temple University Press, 2016), 88–90.

[20]             ²⁰ Michael Hoechsmann and Helen DeWaard, “Critical Digital Literacy: A Framework for Educators,” Media Literacy Research 2, no. 1 (2020): 1–15.

[21]             ²¹ Luciano Floridi, “Information Ethics: Its Nature and Scope,” Computers and Society 28, no. 4 (1998): 9–12.

[22]             ²² Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 211–214.

[23]             ²³ Shannon Vallor, Technology and the Virtues, 205–208.

[24]             ²⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140b–1141a.


5.           Aksiologi dan Moralitas Digital

Aksiologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang nilai dan moralitas, menjadi landasan penting dalam memahami etika digital. Dalam konteks ini, dunia digital tidak hanya menjadi ruang interaksi sosial, tetapi juga medan moral di mana nilai-nilai seperti kebaikan, keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab harus diterjemahkan ulang. Teknologi digital, yang awalnya diciptakan sebagai alat untuk efisiensi dan komunikasi, kini menjadi ruang tempat manusia mengekspresikan kehendaknya, membentuk identitasnya, dan memengaruhi kehidupan orang lain. Maka, aksiologi digital berupaya menjawab pertanyaan: nilai-nilai apa yang seharusnya mengarahkan tindakan manusia dalam ruang digital, dan bagaimana moralitas dapat dijaga di tengah sistem yang diatur oleh algoritma dan data?

5.1.       Nilai-Nilai Moral dalam Dunia Digital

Dalam etika klasik, nilai moral berkaitan dengan prinsip-prinsip universal yang mengatur hubungan antarindividu. Namun, di era digital, nilai-nilai tersebut mengalami transformasi. Nilai kebebasan (liberty), misalnya, tidak lagi hanya berarti kebebasan berbicara, tetapi juga kebebasan digital—hak untuk mengekspresikan diri di ruang maya tanpa sensor, sekaligus tanggung jawab untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian atau disinformasi.¹

Nilai privasi juga memperoleh makna baru. Jika pada masa lalu privasi dipahami sebagai perlindungan ruang pribadi dari intervensi negara, kini privasi berarti perlindungan data pribadi dari pengawasan algoritmik dan eksploitasi ekonomi.² Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance capitalism—kapitalisme yang mengekstraksi nilai dari perilaku manusia melalui data.³ Dalam konteks ini, aksiologi digital menuntut keseimbangan antara kebebasan informasi dan hak untuk dilindungi.

Nilai tanggung jawab (responsibility) pun menjadi krusial. Tindakan kecil seperti membagikan informasi palsu atau mengunggah konten tanpa izin memiliki konsekuensi moral yang signifikan dalam skala global.⁴ Maka, moralitas digital harus menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan di ruang maya memiliki implikasi sosial yang nyata. Hal ini sesuai dengan prinsip virtue ethics Aristoteles, di mana kebajikan adalah kebiasaan untuk bertindak benar dalam konteks yang tepat.⁵ Dalam ruang digital, kebajikan semacam ini termanifestasi melalui kehati-hatian, empati, dan kejujuran dalam berinteraksi secara daring.

5.2.       Etika Komunikasi Digital dan Relasi Moral

Moralitas digital juga sangat ditentukan oleh cara manusia berkomunikasi dalam ruang siber. Jürgen Habermas dalam teori tindakan komunikatif menegaskan bahwa komunikasi etis adalah komunikasi yang berorientasi pada saling pengertian, bukan dominasi.⁶ Dalam dunia digital, prinsip ini sering terancam oleh hate speech, disinformasi, dan polarisasi opini yang dihasilkan oleh algoritma media sosial.⁷

Etika komunikasi digital menuntut adanya diskursus yang bertanggung jawab, yakni kesediaan untuk mendengar, menimbang, dan menghormati pandangan lain di tengah kebebasan ekspresi. Menurut Luciano Floridi, komunikasi digital yang bermoral harus berlandaskan pada prinsip “infospheric flourishing”—keadaan di mana interaksi informasi memperkaya, bukan merusak, tatanan moral dan sosial.⁸ Maka, nilai kejujuran dan integritas menjadi pusat dalam menjaga moralitas komunikasi digital.

Fenomena cyberbullying dan doxing menunjukkan bahwa dunia digital dapat menjadi arena kekerasan simbolik yang memerlukan refleksi etis mendalam. Pierre Bourdieu menggambarkan kekerasan simbolik sebagai bentuk dominasi yang bekerja melalui bahasa dan representasi.⁹ Ketika algoritma memperkuat konten yang provokatif demi keterlibatan (engagement), maka sistem itu sendiri berpotensi menjadi aktor moral yang berperan dalam menyebarkan kekerasan simbolik.¹⁰ Di sinilah muncul kebutuhan untuk memperluas cakupan tanggung jawab moral, tidak hanya bagi pengguna, tetapi juga bagi desainer dan pengembang sistem digital.

5.3.       Moralitas Algoritmik dan Keadilan Teknologis

Moralitas digital tidak hanya menyangkut perilaku manusia, tetapi juga logika moral yang tertanam dalam sistem digital. Algoritma kini menjadi mediator moral baru—ia mengatur apa yang terlihat, apa yang tersembunyi, dan bagaimana keputusan diambil.¹¹ Misalnya, sistem facial recognition sering kali menunjukkan bias rasial karena data pelatihannya tidak representatif.¹² Fenomena ini menimbulkan persoalan keadilan algoritmik (algorithmic justice), yakni upaya untuk memastikan bahwa sistem digital tidak mereproduksi diskriminasi sosial.¹³

Menurut Virginia Eubanks, bias algoritmik bukanlah kesalahan teknis, melainkan cerminan struktur ketidakadilan yang sudah ada dalam masyarakat.¹⁴ Oleh karena itu, moralitas digital harus berupaya untuk menanamkan nilai keadilan (justice) dalam desain teknologi itu sendiri. Inilah yang disebut value-sensitive design—pendekatan yang mengintegrasikan nilai etis dalam seluruh siklus pengembangan teknologi.¹⁵ Dengan demikian, moralitas tidak lagi hanya berlaku bagi pengguna, tetapi juga menjadi bagian inheren dari arsitektur sistem digital.

Luciano Floridi mengusulkan konsep distributed morality, yakni bahwa dalam dunia digital, tanggung jawab moral terdistribusi di antara berbagai entitas—manusia, mesin, dan jaringan.¹⁶ Ini berarti moralitas digital tidak dapat direduksi pada tindakan individu, tetapi harus dipahami sebagai ekosistem nilai di mana setiap komponen memiliki peran etis.

5.4.       Kebajikan Digital dan Etika Kemanusiaan

Shannon Vallor dalam Technology and the Virtues (2016) mengembangkan gagasan “kebajikan digital”—suatu bentuk adaptasi dari etika kebajikan Aristotelian ke dalam konteks teknologi.¹⁷ Ia menyoroti tiga kebajikan utama bagi manusia digital: patience, honesty, dan humility. Kebajikan-kebajikan ini dibutuhkan agar manusia mampu menavigasi dunia digital dengan integritas moral. Misalnya, digital patience melatih pengguna untuk menunda reaksi impulsif terhadap provokasi daring, sementara digital humility menumbuhkan kesadaran bahwa pengetahuan digital bersifat terbatas dan kontekstual.¹⁸

Etika kebajikan digital mengarah pada visi humanistik, yakni bahwa teknologi harus memperkuat martabat manusia, bukan menguranginya. Dalam kerangka aksiologis, martabat manusia (human dignity) adalah nilai tertinggi yang harus menjadi dasar seluruh tindakan digital.¹⁹ Ketika teknologi digunakan untuk manipulasi atau eksploitasi, ia kehilangan orientasi moralnya. Oleh karena itu, moralitas digital harus diarahkan pada flourishing of humanity—keadaan di mana manusia berkembang secara moral, intelektual, dan sosial melalui teknologi yang etis.²⁰

5.5.       Sintesis Aksiologis: Dari Nilai ke Tanggung Jawab Moral

Aksiologi digital pada akhirnya bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam praksis kehidupan digital. Dunia digital yang etis adalah dunia di mana kebebasan diimbangi dengan tanggung jawab, inovasi diarahkan oleh keadilan, dan teknologi digunakan untuk memperkuat kemanusiaan.²¹ Dengan demikian, moralitas digital bukan hanya tentang kepatuhan terhadap aturan, tetapi tentang pembentukan karakter moral yang sadar akan implikasi setiap tindakan di ruang maya.

Dalam kerangka filsafat kontemporer, etika digital menuntut refleksi praktis: bagaimana mengoperasionalkan nilai-nilai moral ke dalam sistem yang kompleks dan global.²² Sejalan dengan pandangan Emmanuel Levinas, hubungan dengan “yang lain” di ruang digital harus dipahami sebagai panggilan etis—suatu tanggung jawab tanpa batas terhadap keberadaan orang lain yang hadir bahkan dalam bentuk virtual.²³ Moralitas digital yang sejati, karenanya, adalah moralitas yang memanusiakan ruang siber, menjadikannya tempat bagi pertumbuhan, bukan penghancuran; bagi kebenaran, bukan manipulasi; bagi solidaritas, bukan isolasi.²⁴


Footnotes

[1]                ¹ John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 53–56.

[2]                ² Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2010), 118–121.

[3]                ³ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 75–79.

[4]                ⁴ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 145–147.

[5]                ⁵ Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1105a–1106b.

[6]                ⁶ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[7]                ⁷ Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 89–92.

[8]                ⁸ Luciano Floridi, Information: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 60–63.

[9]                ⁹ Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 166–168.

[10]             ¹⁰ Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects (Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 42–44.

[11]             ¹¹ Tarleton Gillespie, “The Relevance of Algorithms,” dalam Media Technologies: Essays on Communication, Materiality, and Society, ed. Tarleton Gillespie et al. (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 172–174.

[12]             ¹² Joy Buolamwini and Timnit Gebru, “Gender Shades: Intersectional Accuracy Disparities in Commercial Gender Classification,” Proceedings of Machine Learning Research 81 (2018): 1–15.

[13]             ¹³ Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 84–87.

[14]             ¹⁴ Ibid., 89–92.

[15]             ¹⁵ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral Imagination (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 23–25.

[16]             ¹⁶ Luciano Floridi, “Distributed Morality in an Information Society,” Science and Engineering Ethics 19, no. 3 (2013): 727–743.

[17]             ¹⁷ Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 123–128.

[18]             ¹⁸ Ibid., 133–136.

[19]             ¹⁹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–36.

[20]             ²⁰ Floridi, The Ethics of Information, 190–192.

[21]             ²¹ Rafael Capurro, Digital Ethics: Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 45–48.

[22]             ²² Shannon Vallor, Technology and the Virtues, 189–192.

[23]             ²³ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.

[24]             ²⁴ Zygmunt Bauman, Liquid Surveillance: A Conversation (Cambridge: Polity Press, 2013), 112–114.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Ekonomi Etika Digital

Etika digital tidak hanya beroperasi dalam ranah moralitas individu atau relasi manusia dengan teknologi, tetapi juga menyentuh struktur sosial, politik, dan ekonomi yang menopang kehidupan digital kontemporer. Dunia digital merupakan ruang di mana kekuasaan, kapital, dan ideologi saling bertaut dalam bentuk baru yang tak selalu tampak. Oleh karena itu, memahami etika digital secara komprehensif menuntut pembacaan kritis terhadap bagaimana sistem digital membentuk struktur masyarakat, mendistribusikan kekuasaan, dan menciptakan nilai ekonomi.

6.1.       Struktur Sosial Dunia Digital: Konektivitas dan Ketimpangan

Dari perspektif sosial, digitalisasi telah menciptakan fenomena ambivalen. Di satu sisi, ia memperluas partisipasi publik, mempercepat komunikasi, dan memperkuat solidaritas global. Namun, di sisi lain, ia juga melahirkan bentuk baru dari eksklusi sosial, yang dikenal sebagai digital divide—jurang antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dan mereka yang tidak.¹ Manuel Castells menegaskan bahwa masyarakat digital membentuk network society, di mana kekuasaan sosial ditentukan oleh sejauh mana individu atau kelompok mampu mengakses dan memanfaatkan jaringan informasi.²

Konektivitas digital menghasilkan bentuk baru dari kapital sosial yang berbasis pada data dan visibilitas.³ Dalam media sosial, misalnya, pengakuan sosial tidak lagi diukur melalui interaksi tatap muka, tetapi melalui algoritma perhatian: jumlah likes, followers, dan engagement. Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai society of transparency, di mana keterpaparan menjadi norma moral baru.⁴ Namun, transparansi yang berlebihan dapat menghapus ruang reflektif dan privasi yang dibutuhkan untuk kebebasan moral.

Ketimpangan digital juga menciptakan bentuk baru dari marginalisasi. Akses terhadap data, teknologi, dan literasi digital menjadi faktor penentu dalam distribusi kesempatan ekonomi dan politik.⁵ Dalam konteks global, negara-negara berkembang sering kali menjadi konsumen teknologi yang diciptakan oleh korporasi besar dari negara maju, sehingga memperkuat hierarki global dalam bentuk digital colonialism—penjajahan melalui kontrol atas data dan infrastruktur digital.⁶

6.2.       Politik Digital dan Kekuasaan Algoritmik

Dimensi politik etika digital terletak pada bagaimana kekuasaan diartikulasikan dan dijalankan melalui teknologi. Michel Foucault dalam konsep biopower menggambarkan bagaimana kekuasaan modern beroperasi bukan melalui paksaan langsung, tetapi melalui regulasi tubuh dan informasi.⁷ Dalam era digital, logika ini berkembang menjadi algorithmic governance—mekanisme kontrol sosial melalui algoritma yang mengatur perilaku warga tanpa disadari.⁸

Media sosial dan mesin pencari, misalnya, tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga arena politik di mana wacana publik dibentuk, diseleksi, dan disebarkan. Algoritma menentukan apa yang layak dilihat dan apa yang disembunyikan, sehingga berperan sebagai “sensor halus” dalam demokrasi digital.⁹ Cass Sunstein memperingatkan bahwa filter bubbles menciptakan ruang informasi yang terfragmentasi, di mana masyarakat kehilangan kemampuan untuk berdialog lintas pandangan.¹⁰ Hal ini berpotensi melemahkan deliberasi publik yang menjadi dasar etika politik demokratis.

Fenomena digital authoritarianism juga menandai dimensi politik baru etika digital. Negara-negara otoriter kini menggunakan teknologi pengawasan dan kecerdasan buatan untuk memantau, mengontrol, bahkan memprediksi perilaku warganya.¹¹ Dalam sistem seperti ini, teknologi kehilangan netralitas moralnya dan menjadi instrumen kekuasaan. Etika digital harus merespons hal ini dengan menegaskan prinsip digital rights—hak-hak dasar warga di ruang digital, seperti hak atas privasi, kebebasan berekspresi, dan perlindungan data pribadi.¹²

6.3.       Ekonomi Digital dan Kapitalisme Data

Secara ekonomi, dunia digital telah melahirkan sistem kapitalisme baru yang disebut oleh Shoshana Zuboff sebagai surveillance capitalism—suatu bentuk kapitalisme yang mengekstraksi nilai ekonomi dari perilaku pengguna melalui data.¹³ Dalam sistem ini, data pribadi bukan sekadar informasi, melainkan komoditas yang diperdagangkan, diolah, dan dimonetisasi. Nicholas Gane menyebutnya sebagai “ekonomi perhatian” (attention economy), di mana perhatian manusia menjadi sumber daya langka yang dieksploitasi oleh perusahaan teknologi.¹⁴

Etika digital, dalam konteks ini, menuntut keadilan distribusional: siapakah yang diuntungkan dari sirkulasi data, dan siapa yang menanggung biayanya? Ketika pengguna menyerahkan data pribadi tanpa sadar kepada perusahaan teknologi, terjadi asimetri kekuasaan antara individu dan korporasi.¹⁵ Fenomena ini menciptakan bentuk baru dari eksploitasi digital—manusia bukan lagi pekerja industri, tetapi “pekerja data” yang tidak dibayar.¹⁶

David Lyon menekankan bahwa ekonomi data juga mengandung dimensi pengawasan yang mendalam (surveillance society), di mana setiap tindakan manusia menjadi sumber nilai sekaligus alat kontrol sosial.¹⁷ Dalam konteks ini, etika digital harus menegakkan prinsip transparansi, persetujuan sadar (informed consent), dan hak untuk menghapus (right to be forgotten) sebagai bagian dari perlindungan moral terhadap individu di era ekonomi informasi.¹⁸

6.4.       Demokrasi Digital dan Tanggung Jawab Sosial

Etika digital juga menyentuh dimensi demokrasi dan partisipasi publik. Dunia digital memperluas ruang deliberatif bagi warga untuk berpartisipasi dalam diskursus politik.¹⁹ Namun, kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab dapat menciptakan anarki informasi dan kekacauan publik. Fenomena fake news dan manipulasi data dalam pemilu—seperti yang diungkap dalam skandal Cambridge Analytica—menunjukkan bagaimana data dapat digunakan sebagai senjata politik untuk memengaruhi kehendak kolektif.²⁰

Etika politik digital, karenanya, harus menegaskan prinsip integritas informasi publik: kebenaran dan transparansi dalam komunikasi politik adalah prasyarat bagi legitimasi demokrasi digital.²¹ Selain itu, pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan infrastruktur digital yang adil, aman, dan inklusif.²² Prinsip ini sejalan dengan pandangan Martha Nussbaum tentang “capabilities approach”, yaitu bahwa keadilan harus menjamin kemampuan dasar setiap individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik, termasuk di ruang digital.²³

6.5.       Keadilan Sosial dan Etika Ekonomi Digital

Etika digital juga harus mempertimbangkan dampak ekonomi-politik global dari revolusi digital. Akses terhadap data dan teknologi kini menjadi sumber kekuasaan geopolitik baru.²⁴ Korporasi besar seperti Google, Meta, Amazon, dan Tencent menguasai infrastruktur komunikasi dunia, sehingga memunculkan oligopoli digital yang mengancam keadilan ekonomi dan kedaulatan data negara.²⁵

Fenomena ini menghidupkan kembali perdebatan etika tentang keadilan global dan redistribusi kekayaan digital. Joseph Stiglitz menekankan bahwa tanpa regulasi yang adil, ekonomi digital akan memperdalam ketimpangan antara pusat dan pinggiran, baik dalam konteks ekonomi nasional maupun global.²⁶ Dalam hal ini, etika digital menuntut mekanisme tata kelola global yang menyeimbangkan kepentingan inovasi dengan perlindungan sosial.

Etika digital dengan demikian berfungsi sebagai koreksi moral terhadap kapitalisme informasi: ia menolak reduksi manusia menjadi sekadar pengguna atau konsumen data, dan menegaskan bahwa nilai sejati teknologi terletak pada kemampuannya untuk memperluas kebebasan dan kesejahteraan manusia secara universal.²⁷

6.6.       Sintesis Etis: Menuju Ekologi Sosio-Digital yang Adil

Dari sudut pandang aksiologis, dimensi sosial, politik, dan ekonomi etika digital saling terkait dalam satu ekosistem moral: hubungan antara manusia, teknologi, dan kekuasaan.²⁸ Dunia digital yang adil tidak dapat dicapai hanya dengan inovasi teknis, tetapi memerlukan refleksi etis yang mendalam tentang nilai-nilai dasar seperti keadilan, solidaritas, dan keberlanjutan.²⁹

Dengan mengadopsi kerangka “digital social ethics”, para pemikir seperti Floridi dan Capurro menyerukan agar teknologi diarahkan bukan hanya pada efisiensi atau profit, tetapi pada human flourishing—kesejahteraan manusia dan planet dalam keseluruhannya.³⁰ Etika digital yang utuh harus melampaui moralitas individual menuju keadilan struktural, memastikan bahwa transformasi digital membawa kemajuan yang berkeadilan bagi seluruh umat manusia.³¹


Footnotes

[1]                ¹ Jan A. G. M. van Dijk, The Deepening Divide: Inequality in the Information Society (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2005), 3–5.

[2]                ² Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 21–25.

[3]                ³ Pierre Lévy, Cyberculture (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2001), 54–56.

[4]                ⁴ Byung-Chul Han, The Transparency Society (Stanford: Stanford University Press, 2015), 9–11.

[5]                ⁵ Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2020), 372–374.

[6]                ⁶ Michael Kwet, “Digital Colonialism: US Empire and the New Imperialism in the Global South,” Race & Class 60, no. 4 (2019): 3–26.

[7]                ⁷ Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, terj. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 139–142.

[8]                ⁸ Antoinette Rouvroy and Thomas Berns, “Algorithmic Governmentality and Prospects of Emancipation,” Réactivation des critiques de la raison administrative (2013): 1–17.

[9]                ⁹ Tarleton Gillespie, “The Relevance of Algorithms,” dalam Media Technologies: Essays on Communication, Materiality, and Society, ed. Tarleton Gillespie et al. (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 167–194.

[10]             ¹⁰ Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 83–89.

[11]             ¹¹ Ron Deibert, Reset: Reclaiming the Internet for Civil Society (Toronto: House of Anansi, 2020), 44–48.

[12]             ¹² United Nations, The Right to Privacy in the Digital Age (New York: UN General Assembly Report, 2018), 12–14.

[13]             ¹³ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 65–72.

[14]             ¹⁴ Nicholas Gane, “The Emergence of the ‘Attention Economy’: Digital Media and the Commodification of Human Consciousness,” Theory, Culture & Society 38, no. 7–8 (2021): 63–81.

[15]             ¹⁵ Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2010), 95–100.

[16]             ¹⁶ Trebor Scholz, Digital Labor: The Internet as Playground and Factory (New York: Routledge, 2013), 2–5.

[17]             ¹⁷ David Lyon, Surveillance Studies: An Overview (Cambridge: Polity Press, 2007), 55–58.

[18]             ¹⁸ European Parliament, General Data Protection Regulation (GDPR) (Brussels: Official Journal of the European Union, 2016), 1–3.

[19]             ¹⁹ Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 308–311.

[20]             ²⁰ Carole Cadwalladr and Emma Graham-Harrison, “Revealed: 50 Million Facebook Profiles Harvested for Cambridge Analytica,” The Guardian, March 17, 2018.

[21]             ²¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 186–189.

[22]             ²² Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 157–160.

[23]             ²³ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 71–74.

[24]             ²⁴ Henry Farrell and Abraham Newman, Underground Empire: How America Weaponized the World Economy (New York: Henry Holt, 2023), 215–218.

[25]             ²⁵ Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 132–136.

[26]             ²⁶ Joseph E. Stiglitz, People, Power, and Profits: Progressive Capitalism for an Age of Discontent (New York: W. W. Norton, 2019), 215–217.

[27]             ²⁷ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 190–193.

[28]             ²⁸ Rafael Capurro, Digital Ethics: Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 57–59.

[29]             ²⁹ Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 198–201.

[30]             ³⁰ Floridi, The Ethics of Information, 204–208.

[31]             ³¹ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 417–420.


7.           Kritik terhadap Etika Digital

Setiap bentuk etika yang lahir dalam konteks historis tertentu selalu mengandung keterbatasan. Etika digital, meskipun berupaya menata moralitas dalam ruang teknologi informasi, tidak terlepas dari kritik filosofis, metodologis, dan praksis. Kritik-kritik ini datang dari berbagai arah—mulai dari postmodernisme, teori kritis, hingga pendekatan feminis dan dekolonial—yang mempertanyakan klaim universalitas, netralitas teknologi, serta efektivitas penerapan nilai-nilai moral dalam sistem digital yang kompleks dan sering kali tidak transparan.

7.1.       Kritik Postmodern terhadap Universalitas Moral Digital

Salah satu kritik utama terhadap etika digital datang dari perspektif postmodern, yang menolak klaim universalitas dan rasionalitas tunggal dalam etika. Jean-François Lyotard menegaskan bahwa era digital adalah era “akhir dari metanarasi,” di mana kebenaran dan moralitas tidak lagi diatur oleh sistem nilai universal, tetapi oleh narasi-narasi kecil (petits récits) yang bersifat kontekstual.¹ Dengan demikian, upaya untuk membangun etika digital yang bersifat universal dianggap problematis karena mengabaikan keragaman budaya, politik, dan pengalaman lokal dalam ruang digital global.

Jean Baudrillard menambahkan bahwa dalam masyarakat hiperreal, moralitas kehilangan acuannya karena yang ada hanyalah simulasi nilai.² Misalnya, praktik “moralitas digital” yang diukur melalui code of conduct atau terms of service platform sebenarnya hanya merupakan bentuk moralitas yang disimulasikan, bukan hasil refleksi etis yang otentik.³ Dalam konteks ini, etika digital sering dipandang lebih sebagai strategi legitimasi korporasi daripada sistem nilai yang sungguh-sungguh mengikat secara moral.

7.2.       Kritik terhadap Netralitas Teknologi dan Determinisme Digital

Kritik lain muncul terhadap asumsi bahwa teknologi bersifat netral. Pandangan deterministik yang melihat teknologi sebagai alat bebas nilai telah banyak dikoreksi oleh teori kritis dan studi sains-teknologi (STS). Bruno Latour, melalui teori aktor-jaringan (Actor-Network Theory), menunjukkan bahwa teknologi memiliki agensi moral tersendiri—ia bukan sekadar alat pasif, melainkan entitas yang ikut menentukan tindakan manusia.⁴ Karena itu, etika digital yang tidak memperhitungkan “moralitas material” dari teknologi dianggap reduksionis.

Andrew Feenberg mengembangkan kritik terhadap technological instrumentalism melalui konsep critical theory of technology, dengan menekankan bahwa teknologi selalu mengandung bias ideologis.⁵ Misalnya, algoritma yang tampak objektif sesungguhnya merefleksikan kepentingan ekonomi dan politik tertentu.⁶ Maka, etika digital yang hanya berbicara tentang tanggung jawab pengguna tanpa menyoal struktur kekuasaan di balik teknologi akan gagal mengatasi ketimpangan moral yang lebih dalam.

Dalam konteks ini, kritik diarahkan pula terhadap kecenderungan etika digital untuk bersifat “normatif tanpa praksis.” Banyak prinsip etika digital yang dirumuskan dalam dokumen internasional—seperti AI Principles atau Digital Charter—namun jarang diterapkan secara konkret karena tidak mengubah relasi kekuasaan ekonomi yang menopang dunia digital.⁷

7.3.       Kritik Feminis dan Dekolonial terhadap Bias dan Ketidakadilan Digital

Perspektif feminis dan dekolonial menyoroti bias sistemik yang melekat dalam teknologi digital. Donna Haraway dalam A Cyborg Manifesto mengkritik cara pandang teknologi modern yang maskulin, rasional, dan eksploitatif terhadap tubuh dan alam.⁸ Menurutnya, etika digital yang tidak mempertimbangkan pengalaman perempuan dan kelompok marjinal akan terus mereproduksi ketidakadilan epistemik.⁹

Ruha Benjamin menambahkan bahwa algoritma sering kali bekerja sebagai “new Jim Code,” yakni bentuk rasisme struktural yang tersembunyi di balik kode komputer.¹⁰ Teknologi pengenalan wajah, sistem rekrutmen berbasis AI, dan analitik data sosial telah terbukti memperkuat stereotip rasial dan gender karena dibangun dari data yang bias.¹¹ Kritik ini menunjukkan bahwa etika digital harus melampaui sekadar wacana normatif dan bergerak menuju praksis keadilan sosial digital (digital social justice).¹²

Perspektif dekolonial juga memperingatkan bahwa etika digital yang dikembangkan di Barat sering kali bersifat hegemonik dan tidak sensitif terhadap nilai-nilai lokal di Global South.¹³ Fenomena digital colonialism—penguasaan data dan infrastruktur teknologi oleh korporasi global—membuktikan bahwa dominasi moral dalam etika digital sering berjalan beriringan dengan dominasi ekonomi.¹⁴ Maka, etika digital perlu direkonstruksi menjadi pluriversal ethics, yaitu sistem etika yang menghormati keragaman epistemik dan kultural di ruang digital global.¹⁵

7.4.       Kritik terhadap Reduksi Moralitas menjadi Regulasi

Kritik penting lainnya menyangkut kecenderungan untuk mereduksi moralitas menjadi sekadar regulasi atau kebijakan. Seperti dikemukakan oleh Zygmunt Bauman, modernitas cenderung menggantikan tanggung jawab moral pribadi dengan sistem hukum dan aturan birokratik.¹⁶ Dalam konteks digital, fenomena ini tampak pada proliferasi kebijakan terms of service, content moderation, dan community guidelines yang menggantikan refleksi etis dengan kepatuhan mekanistik terhadap aturan.¹⁷

Padahal, sebagaimana diingatkan Emmanuel Levinas, moralitas sejati bersumber dari tanggung jawab terhadap “yang lain” (l’Autre), bukan dari kontrak atau peraturan.¹⁸ Etika digital yang terlalu bergantung pada regulasi algoritmik berisiko menumpulkan kepekaan moral manusia dan menyerahkan keputusan etis kepada mesin. Dalam situasi seperti itu, moralitas kehilangan dimensinya yang paling manusiawi: kebebasan, empati, dan tanggung jawab eksistensial.

Selain itu, mekanisme moderasi konten sering kali bersifat politis dan bias. Keputusan untuk menurunkan atau memblokir konten dapat mencerminkan ideologi perusahaan teknologi, bukan prinsip moral yang universal.¹⁹ Maka, etika digital harus tetap mempertahankan otonomi moral manusia di tengah otomatisasi keputusan yang semakin meluas.

7.5.       Kritik terhadap Keterbatasan Etika Formal dan Paradigma Rasional

Sebagian filsuf menilai bahwa etika digital masih terlalu terikat pada paradigma rasional-instrumental warisan modernitas. Seyla Benhabib dan Axel Honneth menunjukkan bahwa etika rasional sering gagal menangkap dimensi emosional dan afektif dari kehidupan moral.²⁰ Dalam dunia digital, di mana interaksi manusia berlangsung dalam ruang yang penuh emosi, afek, dan simbol, reduksi moralitas ke dalam logika rasional tidak lagi memadai.²¹

Byung-Chul Han mengkritik rasionalitas teknologis modern sebagai bentuk baru dari nihilisme.²² Menurutnya, logika efisiensi dan transparansi digital menyingkirkan kedalaman etika yang sejati. “Di dunia yang tanpa rahasia,” tulis Han, “kita kehilangan misteri yang memberi makna pada moralitas.”²³ Kritik ini memperingatkan bahwa etika digital, jika hanya berorientasi pada fungsionalitas dan kepatuhan, berpotensi kehilangan dimensi spiritual dan eksistensialnya.

7.6.       Tantangan Penerapan dan Krisis Legitimasi

Kritik terakhir bersifat praktis: etika digital sering kali gagal diterapkan karena lemahnya mekanisme akuntabilitas.²⁴ Banyak perusahaan teknologi mengadopsi prinsip etika secara simbolik sebagai bentuk ethics washing—yakni penggunaan wacana etis untuk menutupi praktik bisnis yang tidak adil.²⁵ Fenomena ini mencerminkan adanya crisis of legitimacy, di mana etika digital menjadi alat retorika, bukan pedoman moral yang mengikat.

Selain itu, sifat global dunia digital menciptakan kesulitan dalam penerapan etika lintas yurisdiksi. Norma moral yang berlaku di Eropa, misalnya dalam General Data Protection Regulation (GDPR), tidak selalu dapat diterapkan di Asia atau Afrika karena perbedaan nilai budaya dan sistem hukum.²⁶ Akibatnya, etika digital menghadapi paradoks: ia dituntut untuk bersifat universal, tetapi juga harus kontekstual dan plural.

Dengan demikian, kritik terhadap etika digital menegaskan perlunya pendekatan reflektif yang lebih dalam—yakni etika yang tidak berhenti pada regulasi, melainkan berakar pada kesadaran moral manusia dan penghargaan terhadap keberagaman pengalaman digital. Etika digital masa depan harus menjadi etika yang hidup, kontekstual, dan dialogis: bukan sistem tertutup, melainkan ruang refleksi yang terus berkembang seiring dengan transformasi teknologi dan budaya manusia.


Footnotes

[1]                ¹ Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[2]                ² Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, terj. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 2–6.

[3]                ³ Ibid., 9–10.

[4]                ⁴ Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 63–66.

[5]                ⁵ Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 15–19.

[6]                ⁶ Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 57–60.

[7]                ⁷ Mark Coeckelbergh, AI Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 105–107.

[8]                ⁸ Donna Haraway, A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century (New York: Routledge, 1991), 149–153.

[9]                ⁹ Ibid., 163–165.

[10]             ¹⁰ Ruha Benjamin, Race After Technology: Abolitionist Tools for the New Jim Code (Cambridge: Polity Press, 2019), 3–6.

[11]             ¹¹ Joy Buolamwini dan Timnit Gebru, “Gender Shades: Intersectional Accuracy Disparities in Commercial Gender Classification,” Proceedings of Machine Learning Research 81 (2018): 1–15.

[12]             ¹² Sasha Costanza-Chock, Design Justice: Community-Led Practices to Build the Worlds We Need (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 28–30.

[13]             ¹³ Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 274–278.

[14]             ¹⁴ Michael Kwet, “Digital Colonialism: US Empire and the New Imperialism in the Global South,” Race & Class 60, no. 4 (2019): 3–26.

[15]             ¹⁵ Arturo Escobar, Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham: Duke University Press, 2018), 24–27.

[16]             ¹⁶ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 11–13.

[17]             ¹⁷ Tarleton Gillespie, Custodians of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden Decisions That Shape Social Media (New Haven: Yale University Press, 2018), 101–104.

[18]             ¹⁸ Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, terj. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 89–91.

[19]             ¹⁹ Sarah Roberts, Behind the Screen: Content Moderation in the Shadows of Social Media (New Haven: Yale University Press, 2019), 55–57.

[20]             ²⁰ Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 47–50.

[21]             ²¹ Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014), 92–95.

[22]             ²² Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power (London: Verso, 2017), 8–10.

[23]             ²³ Byung-Chul Han, The Transparency Society (Stanford: Stanford University Press, 2015), 14–15.

[24]             ²⁴ John Danaher, “The Ethics of Ethics-Washing: On Big Tech’s Use of Moral Rhetoric to Avoid Regulation,” Ethics and Information Technology 24, no. 1 (2022): 1–12.

[25]             ²⁵ Thilo Hagendorff, “The Ethics of AI Ethics: An Evaluation of Guidelines,” Minds and Machines 30, no. 1 (2020): 99–120.

[26]             ²⁶ European Commission, Ethics Guidelines for Trustworthy AI (Brussels: European Union, 2019), 3–6.


8.           Relevansi Kontemporer dan Aplikasi Praktis

Etika digital pada abad ke-21 bukan hanya bidang refleksi akademik, tetapi juga menjadi kerangka praksis dalam menanggapi kompleksitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya dunia digital. Relevansinya semakin nyata seiring meningkatnya dominasi teknologi dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia: mulai dari komunikasi, pendidikan, ekonomi, hingga pemerintahan. Dunia digital kini tidak sekadar ruang tambahan bagi aktivitas manusia, melainkan ruang utama tempat nilai, moralitas, dan tanggung jawab harus diterapkan secara konkret.

8.1.       Etika Digital dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam konteks individu, etika digital berfungsi sebagai pedoman moral bagi perilaku daring. Setiap tindakan di ruang digital—mengunggah, membagikan, atau mengomentari—memiliki implikasi etis yang nyata.¹ Fenomena hate speech, cyberbullying, dan penyebaran disinformasi memperlihatkan bagaimana ruang digital dapat menjadi arena destruktif apabila tidak diimbangi dengan kesadaran moral.² Oleh karena itu, penguatan digital civility—kesantunan dan tanggung jawab etis di dunia maya—menjadi salah satu agenda penting dalam pendidikan etika digital.³

Program literasi digital global yang digagas UNESCO menekankan bahwa pengguna internet harus memahami tiga aspek etis: (a) respect—menghargai hak dan privasi orang lain, (b) responsibility—menyadari konsekuensi tindakan digital, dan (c) empathy—menunjukkan kepedulian terhadap dampak emosional komunikasi daring.⁴ Dalam hal ini, moralitas digital bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan, melainkan pembentukan karakter moral yang reflektif dan berkeadaban.

8.2.       Relevansi Etika Digital dalam Dunia Pendidikan

Sektor pendidikan merupakan salah satu bidang yang paling terdampak oleh transformasi digital. Pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi proses belajar, sekaligus menimbulkan pertanyaan etis baru tentang keadilan akses, privasi data siswa, dan integritas akademik.⁵ Pendidikan daring membuka peluang demokratisasi pengetahuan, namun juga memperkuat ketimpangan antara mereka yang memiliki akses teknologi dan mereka yang tertinggal.⁶

Etika digital dalam pendidikan mencakup perlindungan terhadap data pribadi siswa, pencegahan plagiarisme berbasis AI, serta pengembangan digital pedagogy yang menjunjung integritas akademik.⁷ Guru dan lembaga pendidikan kini dituntut tidak hanya mengajarkan literasi digital, tetapi juga menanamkan moral literacy—kemampuan menilai implikasi etis dari tindakan dalam ruang digital.⁸ Dengan demikian, etika digital berperan sebagai dasar pembentukan warga belajar yang bertanggung jawab secara moral di era informasi.

8.3.       Etika Digital dan Tantangan AI serta Big Data

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan analisis big data menjadi medan paling kompleks bagi penerapan etika digital kontemporer. AI kini digunakan dalam pengambilan keputusan penting, mulai dari perekrutan kerja hingga sistem peradilan, yang menimbulkan pertanyaan serius tentang tanggung jawab moral dan keadilan algoritmik.⁹

Organisasi seperti IEEE dan UNESCO telah merumuskan prinsip-prinsip etika AI—antara lain beneficence, non-maleficence, autonomy, justice, dan explicability—sebagai panduan global untuk memastikan bahwa pengembangan AI selaras dengan nilai kemanusiaan.¹⁰ Namun, penerapan prinsip ini masih menghadapi kendala, terutama karena kompleksitas teknis dan dominasi korporasi teknologi global dalam mendefinisikan “etika” sesuai kepentingan mereka.¹¹

Luciano Floridi menegaskan bahwa relevansi etika digital dalam konteks AI terletak pada upayanya membangun “infospheric governance,” yakni tata kelola informasi yang menempatkan manusia, bukan algoritma, sebagai pusat orientasi moral.¹² Oleh karena itu, setiap inovasi teknologi harus disertai dengan mekanisme transparansi, akuntabilitas, dan audit etis yang dapat diakses publik.¹³

8.4.       Aplikasi Etika Digital dalam Dunia Ekonomi dan Bisnis

Ekonomi digital menghadirkan tantangan baru bagi moralitas. Platform ekonomi berbasis data—seperti e-commerce, fintech, dan gig economy—mengubah relasi kerja dan tanggung jawab sosial perusahaan.¹⁴ Dalam banyak kasus, pekerja digital (platform workers) menghadapi eksploitasi terselubung: jam kerja fleksibel tanpa jaminan sosial, ketergantungan pada algoritma, dan hilangnya batas antara ruang pribadi dan profesional.¹⁵

Etika digital dalam bisnis menuntut penerapan prinsip corporate digital responsibility (CDR), yaitu komitmen perusahaan terhadap praktik yang adil, transparan, dan menghormati hak digital pengguna serta pekerja.¹⁶ Prinsip ini mencakup perlindungan data konsumen, kebijakan non-diskriminatif dalam algoritma, serta tanggung jawab ekologis terhadap dampak lingkungan dari infrastruktur digital seperti pusat data (data centers).¹⁷

Selain itu, muncul pula gerakan ethical tech entrepreneurship yang mendorong inovator untuk mengintegrasikan nilai-nilai moral sejak tahap desain produk.¹⁸ Gerakan ini berupaya menolak logika “move fast and break things” yang sering diasosiasikan dengan Silicon Valley, dan menggantinya dengan paradigma “move slow and fix things,” di mana refleksi etis menjadi bagian integral dari inovasi.¹⁹

8.5.       Etika Digital dalam Tata Kelola Pemerintahan dan Politik

Dalam ranah politik dan pemerintahan, etika digital berperan penting dalam menjamin legitimasi dan keadilan sistem demokrasi. Pemerintahan digital (e-governance) dan sistem data publik menuntut standar moral yang tinggi dalam penggunaan data warga.²⁰ Prinsip data ethics menegaskan bahwa setiap kebijakan berbasis data harus memperhatikan transparansi, keamanan, dan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan.²¹

Namun, penggunaan teknologi untuk kepentingan politik juga menimbulkan risiko manipulasi dan pengawasan berlebihan.²² Praktik digital surveillance yang dilakukan atas nama keamanan nasional dapat mengancam privasi dan kebebasan sipil, sementara politik berbasis data (seperti microtargeting pemilih) menimbulkan dilema antara efisiensi politik dan manipulasi kesadaran publik.²³ Karena itu, penerapan etika digital dalam politik menuntut pembatasan kekuasaan teknologi dan penguatan prinsip akuntabilitas publik.

Di sisi lain, teknologi digital juga dapat memperkuat partisipasi politik melalui digital democracy—seperti platform petisi daring, transparansi anggaran publik, dan ruang diskusi digital.²⁴ Dalam kerangka ini, etika digital bertugas memastikan bahwa partisipasi digital tidak berubah menjadi populisme digital yang destruktif, melainkan tetap berlandaskan dialog rasional dan tanggung jawab bersama.²⁵

8.6.       Ekologi Digital dan Tanggung Jawab Global

Dimensi kontemporer lain dari etika digital adalah kaitannya dengan isu ekologi dan keberlanjutan. Infrastruktur digital global—pusat data, jaringan server, dan perangkat keras—mengonsumsi energi dalam jumlah besar dan berkontribusi pada emisi karbon.²⁶ Maka, muncul gagasan digital sustainability ethics, yaitu upaya mengintegrasikan prinsip keadilan ekologis ke dalam desain dan penggunaan teknologi digital.²⁷

Etika digital dalam konteks ini menuntut keseimbangan antara inovasi dan keberlanjutan, dengan mengedepankan konsep “green computing” dan ethical recycling dari limbah elektronik.²⁸ Selain itu, perusahaan teknologi harus bertanggung jawab secara moral terhadap rantai pasok global mereka, yang sering kali melibatkan eksploitasi tenaga kerja di negara berkembang untuk produksi komponen digital.²⁹

Dengan demikian, etika digital tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara manusia dan teknologi, tetapi juga dengan hubungan antara teknologi dan planet—menjadikan tanggung jawab ekologis sebagai bagian integral dari moralitas digital global.³⁰

8.7.       Menuju Penerapan Etika Digital yang Integral

Relevansi kontemporer etika digital tidak hanya diukur dari kemampuannya merespons tantangan moral masa kini, tetapi juga dari kemampuannya membangun sistem nilai yang berkelanjutan untuk masa depan. Etika digital yang integral harus memadukan tiga aspek utama: (1) kesadaran moral individual, (2) tanggung jawab sosial kolektif, dan (3) tata kelola etis institusional.³¹

Dalam tataran praktis, hal ini dapat diwujudkan melalui pendidikan etika digital lintas sektor, pembentukan ethical boards di perusahaan teknologi, penguatan regulasi global tentang hak digital, serta kolaborasi antara akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil.³² Seperti ditegaskan Shannon Vallor, masa depan etika digital tidak bergantung pada teknologi itu sendiri, melainkan pada kualitas moral manusia yang menggunakannya.³³


Footnotes

[1]                ¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 135–138.

[2]                ² Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects (Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 18–20.

[3]                ³ Microsoft Digital Civility Index Report (Redmond: Microsoft, 2022), 3–6.

[4]                ⁴ UNESCO, Guidelines on Digital Literacy for Learners and Educators (Paris: UNESCO, 2021), 8–11.

[5]                ⁵ Neil Selwyn, Education and Technology: Key Issues and Debates (London: Bloomsbury Academic, 2016), 43–47.

[6]                ⁶ Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 24–27.

[7]                ⁷ Deborah L. Johnson, Computer Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1985), 93–96.

[8]                ⁸ Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2011), 99–102.

[9]                ⁹ Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial Intelligence,” dalam The Cambridge Handbook of Artificial Intelligence, ed. Keith Frankish dan William M. Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 316–320.

[10]             ¹⁰ IEEE, Ethically Aligned Design: A Vision for Prioritizing Human Well-being with Autonomous and Intelligent Systems, 2nd ed. (New York: IEEE, 2019), 10–13.

[11]             ¹¹ Kate Crawford and Trevor Paglen, “Excavating AI: The Politics of Images in Machine Learning Training Sets,” Excavating AI Project Report (2019), 3–5.

[12]             ¹² Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 176–179.

[13]             ¹³ Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence: Developing and Using AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 5–8.

[14]             ¹⁴ Trebor Scholz, Digital Labor: The Internet as Playground and Factory (New York: Routledge, 2013), 23–27.

[15]             ¹⁵ Alex J. Wood et al., “Good Gig, Bad Gig: Autonomy and Algorithmic Control in the Global Gig Economy,” Work, Employment and Society 33, no. 1 (2019): 56–75.

[16]             ¹⁶ Oliver P. Hauser, “Corporate Digital Responsibility,” Business Horizons 64, no. 3 (2021): 273–283.

[17]             ¹⁷ Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2010), 132–136.

[18]             ¹⁸ Ron Deibert, Reset: Reclaiming the Internet for Civil Society (Toronto: House of Anansi, 2020), 52–55.

[19]             ¹⁹ Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 213–216.

[20]             ²⁰ Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 315–319.

[21]             ²¹ OECD, Recommendation of the Council on Artificial Intelligence (Paris: OECD Publishing, 2019), 4–6.

[22]             ²² Carole Cadwalladr dan Emma Graham-Harrison, “Revealed: 50 Million Facebook Profiles Harvested for Cambridge Analytica,” The Guardian, March 17, 2018.

[23]             ²³ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 202–206.

[24]             ²⁴ Beth Noveck, Smart Citizens, Smarter State: The Technologies of Expertise and the Future of Governing (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 115–118.

[25]             ²⁵ Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 95–99.

[26]             ²⁶ Greenpeace, Clicking Clean: Who Is Winning the Race to Build a Green Internet? (Washington, DC: Greenpeace, 2017), 9–13.

[27]             ²⁷ Karen Bakker, The Digital Water Paradox: Governance of a Hybrid Resource (Cambridge, MA: MIT Press, 2022), 44–47.

[28]             ²⁸ Mark P. Mills, “The Cloud Begins with Coal,” Digital Power Group White Paper (2013), 5–7.

[29]             ²⁹ Jennifer Gabrys, Digital Rubbish: A Natural History of Electronics (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2011), 61–63.

[30]             ³⁰ Luciano Floridi, The Ethics of Information, 202–204.

[31]             ³¹ Rafael Capurro, Digital Ethics: Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 72–76.

[32]             ³² European Commission, Ethics Guidelines for Trustworthy AI (Brussels: European Union, 2019), 10–12.

[33]             ³³ Shannon Vallor, Technology and the Virtues, 221–224.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Etika Digital Humanistik

Etika digital humanistik merupakan upaya untuk mengintegrasikan refleksi filosofis klasik tentang moralitas dengan realitas eksistensial manusia dalam era teknologi informasi. Ia berangkat dari kesadaran bahwa digitalisasi bukan sekadar transformasi teknologis, melainkan juga transformasi antropologis: manusia tidak hanya menciptakan teknologi, tetapi juga sedang diciptakan kembali olehnya.¹ Oleh karena itu, sintesis etika digital harus mengembalikan orientasi moral teknologi kepada pusatnya yang sejati—manusia sebagai makhluk bermartabat dan bertanggung jawab.

9.1.       Rekonsiliasi antara Rasionalitas Teknis dan Rasionalitas Moral

Dalam kerangka filosofis, tantangan utama etika digital terletak pada ketegangan antara rasionalitas teknis (instrumental rationality) dan rasionalitas moral (practical rationality).² Rasionalitas teknis berfokus pada efisiensi, optimalisasi, dan produktivitas, sedangkan rasionalitas moral mengutamakan kebaikan, keadilan, dan makna.³ Dunia digital, yang dikendalikan oleh algoritma dan data, cenderung mendewakan yang pertama sambil menyingkirkan yang kedua.

Etika digital humanistik berupaya menjembatani dua dimensi ini dengan cara mengembalikan teknologi kepada fungsi etiknya: sebagai medium of moral extension, bukan substitute for morality.⁴ Dalam pandangan Martin Heidegger, teknologi harus dipahami bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai cara pengungkapan (revealing) yang menyingkap kebenaran tentang keberadaan manusia.⁵ Oleh karena itu, rekonsiliasi antara teknologi dan moralitas menuntut kesadaran ontologis bahwa manusia tetap menjadi Dasein—subjek yang memaknai, bukan sekadar pengguna yang dikendalikan oleh sistem digital.

Luciano Floridi menggambarkan hubungan ini melalui konsep Fourth Revolution, yaitu revolusi epistemik di mana manusia harus belajar hidup berdampingan dengan entitas non-manusia seperti algoritma dan kecerdasan buatan.⁶ Namun, Floridi menekankan bahwa manusia tetap memiliki tanggung jawab moral untuk “merancang moralitas” dalam ruang informasi tersebut.⁷ Dengan demikian, etika digital humanistik tidak menolak teknologi, melainkan menuntun rasionalitas teknologis agar sejalan dengan prinsip-prinsip moral universal.

9.2.       Integrasi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Digital

Etika digital humanistik berakar pada sintesis tiga dimensi filosofis: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi digital menegaskan bahwa realitas digital adalah bentuk keberadaan yang nyata, bukan sekadar simulasi, karena di dalamnya manusia mengekspresikan eksistensinya.⁸ Epistemologi digital, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menggarisbawahi bahwa pengetahuan kini bersifat kolaboratif dan algoritmik, menuntut tanggung jawab epistemik yang lebih luas.⁹ Sedangkan aksiologi digital memperkenalkan nilai-nilai baru seperti tanggung jawab algoritmik, keadilan informasi, dan transparansi etis.¹⁰

Sintesis ketiganya menciptakan paradigma baru dalam etika: integral digital ethics, yakni pendekatan yang melihat manusia, teknologi, dan informasi sebagai satu kesatuan sistem moral yang saling terkait.¹¹ Di sini, moralitas bukan hanya atribut manusia, tetapi menjadi kualitas relasional dari seluruh ekosistem digital—distributed morality—di mana tindakan etis terjadi melalui kolaborasi antara manusia dan mesin.¹² Dengan demikian, etika digital humanistik mengakui bahwa moralitas di era digital bersifat intersubjektif dan intersistemik.

9.3.       Humanisme Baru dalam Era Digital

Etika digital humanistik juga berusaha membangun kembali humanisme baru (neo-humanism) yang relevan dengan abad informasi. Humanisme klasik menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu (anthropocentrism), tetapi dalam konteks digital, pandangan ini perlu diperluas menjadi relational humanism—manusia sebagai makhluk yang eksistensinya ditentukan oleh relasi dengan teknologi, sesama, dan lingkungan informasi.¹³

Shannon Vallor mengemukakan bahwa manusia di era digital membutuhkan kebajikan baru (technomoral virtues), seperti kesabaran digital, empati daring, dan tanggung jawab data.¹⁴ Kebajikan-kebajikan ini menjadi dasar dari digital human flourishing—kehidupan bermoral yang berkembang di tengah jaringan teknologi.¹⁵ Sementara itu, Martha Nussbaum mengingatkan bahwa humanisme sejati tidak cukup dengan rasionalitas, tetapi harus mencakup kapasitas untuk berempati dan memperjuangkan keadilan sosial.¹⁶

Etika digital humanistik dengan demikian bukan sekadar “etika untuk dunia maya,” melainkan gerakan moral yang mengembalikan teknologi kepada tujuan kemanusiaan. Ia berusaha melawan reduksi manusia menjadi sekadar data, pengguna, atau konsumen algoritma. Sebaliknya, ia menegaskan manusia sebagai subjectum moralis—subjek moral yang memiliki martabat dan kebebasan dalam menentukan arah perkembangan teknologi.¹⁷

9.4.       Teknologi sebagai Medium Humanisasi

Etika digital humanistik memandang teknologi bukan sebagai ancaman terhadap kemanusiaan, melainkan sebagai peluang untuk memperluas kapasitas moral manusia. Norbert Wiener sejak awal telah menyatakan bahwa teknologi sibernetika dapat berfungsi secara etis jika diarahkan untuk memperkuat otonomi dan martabat manusia.¹⁸ Dalam pandangan ini, teknologi dapat menjadi medium of humanization, yaitu sarana bagi manusia untuk mengembangkan kebajikan, solidaritas, dan kreativitas moral.¹⁹

Namun, hal ini hanya mungkin jika manusia mampu menanamkan nilai-nilai etis ke dalam arsitektur teknologi. Pendekatan value-sensitive design yang dikembangkan oleh Batya Friedman dan David Hendry menawarkan landasan praktis untuk hal ini, dengan menekankan bahwa sistem digital harus dirancang berdasarkan nilai-nilai keadilan, privasi, dan kesejahteraan kolektif.²⁰ Dalam kerangka etika digital humanistik, desain teknologi bukan sekadar persoalan teknis, tetapi tindakan moral dan politis yang menentukan masa depan peradaban digital.²¹

9.5.       Dari Moralitas Individual ke Tanggung Jawab Kolektif

Etika digital humanistik juga memperluas cakupan moralitas dari level individual ke level kolektif. Dunia digital bersifat jaringan—tidak ada tindakan etis yang sepenuhnya bersifat pribadi.²² Setiap klik, unggahan, dan keputusan algoritmik memiliki konsekuensi sosial yang luas. Oleh karena itu, moralitas digital harus bersifat networked ethics, yaitu sistem tanggung jawab bersama antara pengguna, desainer, perusahaan, dan lembaga publik.²³

Luciano Floridi menyebut ini sebagai distributed agency, di mana tanggung jawab moral tersebar dan harus dikelola melalui tata kelola informasi yang adil dan transparan.²⁴ Dengan demikian, etika digital humanistik tidak hanya menekankan kebajikan individu, tetapi juga mengusulkan reformasi struktural terhadap cara teknologi dikelola secara global.

9.6.       Horizon Etika Digital Humanistik: Teknologi untuk Kemanusiaan

Tujuan akhir dari sintesis ini adalah membangun horizon baru bagi etika—sebuah visi tentang teknologi yang mendukung kehidupan bermartabat, adil, dan berkelanjutan.²⁵ Etika digital humanistik menolak dua ekstrem: teknofobia (ketakutan terhadap teknologi) dan teknokrasi (penyembahan terhadap teknologi).²⁶ Sebaliknya, ia menawarkan paradigma technological stewardship—kepemimpinan moral dalam mengarahkan teknologi agar tetap berpihak pada kemanusiaan.²⁷

Dalam visi ini, manusia bukan lagi “penguasa atas mesin,” melainkan penatalayan moral dari dunia digital. Ia bertanggung jawab tidak hanya untuk menggunakan teknologi dengan benar, tetapi juga memastikan bahwa teknologi itu sendiri mencerminkan nilai-nilai etis yang luhur.²⁸ Dengan cara ini, etika digital humanistik menjadi proyek filosofis dan praktis untuk mengembalikan kemanusiaan dalam arus globalisasi teknologi.

Akhirnya, sintesis filosofis ini menunjukkan bahwa etika digital bukanlah batasan bagi inovasi, melainkan bentuk tertinggi dari kebebasan moral manusia: kemampuan untuk memilih, mencipta, dan bertindak secara etis di tengah dunia yang semakin algoritmik.²⁹ Dengan menegakkan martabat manusia sebagai pusat dari ekosistem digital, etika digital humanistik menghadirkan visi baru tentang peradaban—sebuah peradaban informasi yang berjiwa.³⁰


Footnotes

[1]                ¹ Rafael Capurro, Digital Ethics: Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 63–66.

[2]                ² Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford University Press, 1947), 30–32.

[3]                ³ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.

[4]                ⁴ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 12–15.

[5]                ⁵ Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, terj. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 19–23.

[6]                ⁶ Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 9–11.

[7]                ⁷ Ibid., 122–125.

[8]                ⁸ Pierre Lévy, Becoming Virtual: Reality in the Digital Age, terj. Robert Bononno (New York: Plenum Trade, 1998), 34–36.

[9]                ⁹ Yuk Hui, On the Existence of Digital Objects (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2016), 82–86.

[10]             ¹⁰ Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 142–145.

[11]             ¹¹ Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 176–180.

[12]             ¹² Floridi, The Ethics of Information, 190–192.

[13]             ¹³ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–35.

[14]             ¹⁴ Shannon Vallor, Technology and the Virtues, 127–131.

[15]             ¹⁵ Ibid., 135–139.

[16]             ¹⁶ Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 392–394.

[17]             ¹⁷ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 201–205.

[18]             ¹⁸ Norbert Wiener, The Human Use of Human Beings: Cybernetics and Society (Boston: Houghton Mifflin, 1950), 39–42.

[19]             ¹⁹ Ibid., 55–58.

[20]             ²⁰ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral Imagination (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 24–27.

[21]             ²¹ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics: Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 64–68.

[22]             ²² Zygmunt Bauman, Liquid Surveillance: A Conversation (Cambridge: Polity Press, 2013), 113–116.

[23]             ²³ Philip Brey, “Ethics of Emerging Technologies,” The Oxford Handbook of Ethics of AI, ed. Markus Dubber, Frank Pasquale, dan Sunit Das (Oxford: Oxford University Press, 2020), 255–258.

[24]             ²⁴ Luciano Floridi, “Distributed Morality in an Information Society,” Science and Engineering Ethics 19, no. 3 (2013): 728–731.

[25]             ²⁵ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 126–129.

[26]             ²⁶ Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 83–85.

[27]             ²⁷ Terry Bynum, “The Foundation of Computer Ethics,” Computers and Society 28, no. 4 (1998): 7–13.

[28]             ²⁸ Luciano Floridi, Information: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 60–63.

[29]             ²⁹ Shannon Vallor, Technology and the Virtues, 221–223.

[30]             ³⁰ Rafael Capurro, Digital Ethics, 75–78.


10.       Kesimpulan

Etika digital hadir sebagai refleksi filosofis yang sangat penting di tengah revolusi informasi yang telah mengubah struktur kehidupan manusia secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dunia digital bukan sekadar ruang teknologis, melainkan sebuah ekosistem moral baru tempat manusia, mesin, dan data saling berinteraksi membentuk tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks. Oleh karena itu, kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa etika digital tidak hanya diperlukan untuk mengatur perilaku di dunia maya, tetapi juga untuk menegaskan kembali martabat dan tanggung jawab manusia di tengah sistem yang semakin dikendalikan oleh algoritma.¹

10.1.    Etika Digital sebagai Landasan Moral Peradaban Informasi

Dalam peradaban digital, manusia dihadapkan pada paradoks antara kebebasan dan kontrol, transparansi dan privasi, efisiensi dan moralitas.² Etika digital berfungsi sebagai kompas normatif yang menuntun manusia agar tetap mampu mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah derasnya arus digitalisasi. Seperti dinyatakan oleh Luciano Floridi, manusia modern hidup dalam infosphere, di mana setiap tindakan digital memiliki konsekuensi moral yang nyata.³ Dengan demikian, etika digital bukan sekadar adaptasi etika klasik terhadap konteks baru, tetapi sebuah revolusi moral yang menuntut paradigma baru dalam memahami tanggung jawab manusia.

Etika digital juga menjadi penopang moral bagi transformasi sosial global. Ketika ekonomi, politik, dan pendidikan bergantung pada sistem informasi, maka fondasi moral menjadi kunci keberlanjutan.⁴ Tanpa nilai etis seperti keadilan, transparansi, dan empati, ruang digital akan berubah menjadi arena kekuasaan yang menindas dan mendominasi. Dalam kerangka inilah etika digital berfungsi sebagai bentuk moral infrastructure dari masyarakat informasi yang adil dan beradab.⁵

10.2.    Rekonstruksi Relasi antara Manusia dan Teknologi

Salah satu hasil refleksi penting dari kajian ini adalah perlunya merekonstruksi hubungan manusia dengan teknologi. Tradisi modern yang menempatkan teknologi sebagai instrumen netral terbukti tidak memadai.⁶ Teknologi bukan sekadar alat, tetapi entitas yang membawa nilai, bias, dan kekuasaan.⁷ Karena itu, manusia tidak dapat bersikap pasif atau fatalistik terhadap kemajuan teknologi, melainkan harus menjadi agent of ethical design—subjek moral yang secara sadar menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem digital.⁸

Sebagaimana ditekankan oleh Norbert Wiener, teknologi harus diarahkan untuk “the human use of human beings,” yakni untuk memperkuat kebebasan dan tanggung jawab manusia.⁹ Prinsip ini menegaskan bahwa kemajuan digital hanya bermakna sejauh ia memperluas potensi moral manusia, bukan menggantikannya. Dalam konteks ini, etika digital mengajarkan keseimbangan antara kemampuan teknis (technological competence) dan kebijaksanaan moral (moral wisdom).¹⁰

10.3.    Dari Kesadaran Moral Individual menuju Tanggung Jawab Kolektif

Etika digital juga menuntut pergeseran dari moralitas yang bersifat individualistik menuju tanggung jawab yang bersifat kolektif dan sistemik.¹¹ Dunia digital merupakan jaringan relasi yang saling terhubung, di mana setiap tindakan individu memiliki dampak sosial yang luas.¹² Maka, moralitas digital harus dipahami sebagai networked morality—tanggung jawab bersama antara pengguna, pengembang, lembaga, dan negara dalam menjaga integritas ruang informasi.¹³

Luciano Floridi menyebut konsep ini sebagai distributed morality, yaitu kesadaran bahwa tanggung jawab moral kini tersebar di antara manusia dan entitas non-manusia seperti algoritma dan mesin cerdas.¹⁴ Dalam konteks ini, penguatan tata kelola etis (ethical governance) menjadi hal yang mutlak, baik dalam skala nasional maupun global.¹⁵ Tanpa sistem tanggung jawab kolektif, etika digital akan terjebak dalam moralitas simbolik yang tidak efektif menghadapi tantangan nyata seperti disinformasi, eksploitasi data, dan ketimpangan digital.

10.4.    Humanisme sebagai Inti Etika Digital

Kesimpulan filosofis yang paling penting adalah bahwa etika digital pada akhirnya merupakan bentuk humanisme baru yang berakar pada penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity).¹⁶ Teknologi hanya memiliki makna sejauh ia memperkuat eksistensi manusia sebagai makhluk rasional, sosial, dan moral.¹⁷ Sebagaimana diungkapkan oleh Martha Nussbaum, kemajuan sejati bukanlah hasil dari inovasi teknis semata, tetapi dari kemampuan manusia untuk menggunakan pengetahuan demi memperluas keadilan dan kasih sayang.¹⁸

Etika digital humanistik mengajak manusia untuk tidak menyerahkan kebebasannya kepada algoritma, tetapi menggunakan teknologi sebagai sarana pembebasan moral.¹⁹ Dalam paradigma ini, manusia tetap menjadi pusat moralitas, bukan korban dari kemajuan teknologi.²⁰ Teknologi yang beretika adalah teknologi yang menghormati batas moral, mengutamakan kesejahteraan manusia, dan memperkuat solidaritas global.²¹

10.5.    Menuju Filsafat Moral Era Digital

Akhirnya, etika digital bukanlah akhir dari filsafat moral, melainkan tahap lanjut dari evolusinya. Ia menandai pergeseran dari etika tradisional yang berpusat pada tindakan individual menuju etika sistemik yang mempertimbangkan relasi antarentitas di dalam ekosistem informasi.²² Hal ini menunjukkan bahwa filsafat moral terus berevolusi seiring dengan cara manusia memahami dirinya di dunia.

Sebagaimana dikemukakan Shannon Vallor, masa depan etika tidak akan ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang kita miliki, melainkan oleh seberapa bijak kita menggunakannya.²³ Dengan demikian, etika digital harus menjadi proyek kolektif umat manusia untuk menata ulang nilai-nilai dasar peradaban di era informasi.²⁴

Etika digital humanistik, dalam pengertian terdalamnya, adalah panggilan filosofis untuk menegakkan kembali makna “manusia” di tengah dunia yang semakin dikendalikan oleh mesin.²⁵ Ia mengingatkan bahwa moralitas bukanlah kode yang dapat diprogram, melainkan kesadaran yang harus dihidupi.²⁶ Oleh karena itu, masa depan etika digital tidak terletak pada algoritma, melainkan pada keberanian manusia untuk tetap berpikir, merasa, dan bertindak dengan kebijaksanaan moral di dunia yang semakin terotomatisasi.²⁷


Footnotes

[1]                ¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 5–7.

[2]                ² Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects (Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 23–26.

[3]                ³ Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 178–181.

[4]                ⁴ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 420–423.

[5]                ⁵ Rafael Capurro, Digital Ethics: Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 69–72.

[6]                ⁶ Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 20–23.

[7]                ⁷ Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 67–70.

[8]                ⁸ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral Imagination (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 29–31.

[9]                ⁹ Norbert Wiener, The Human Use of Human Beings: Cybernetics and Society (Boston: Houghton Mifflin, 1950), 34–36.

[10]             ¹⁰ Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 198–200.

[11]             ¹¹ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 118–120.

[12]             ¹² Floridi, The Ethics of Information, 189–191.

[13]             ¹³ Philip Brey, “The Physical and Social Reality of Virtual Worlds,” Techné: Research in Philosophy and Technology 8, no. 2 (2005): 7–10.

[14]             ¹⁴ Luciano Floridi, “Distributed Morality in an Information Society,” Science and Engineering Ethics 19, no. 3 (2013): 728–731.

[15]             ¹⁵ European Commission, Ethics Guidelines for Trustworthy AI (Brussels: European Union, 2019), 6–8.

[16]             ¹⁶ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–34.

[17]             ¹⁷ Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, terj. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 89–92.

[18]             ¹⁸ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 285–288.

[19]             ¹⁹ Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 113–115.

[20]             ²⁰ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics: Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 70–72.

[21]             ²¹ Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 32–34.

[22]             ²² Yuk Hui, Recursivity and Contingency (Lanham: Rowman & Littlefield, 2019), 101–103.

[23]             ²³ Shannon Vallor, Technology and the Virtues, 224–226.

[24]             ²⁴ Floridi, The Logic of Information, 201–204.

[25]             ²⁵ Byung-Chul Han, The Transparency Society (Stanford: Stanford University Press, 2015), 19–21.

[26]             ²⁶ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 15–17.

[27]             ²⁷ Rafael Capurro, Digital Ethics, 75–78.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Bakker, K. (2022). The digital water paradox: Governance of a hybrid resource. MIT Press.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Blackwell.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Bauman, Z. (2013). Liquid surveillance: A conversation. Polity Press.

Benjamin, R. (2019). Race after technology: Abolitionist tools for the new Jim code. Polity Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. Polity Press.

Bostrom, N., & Yudkowsky, E. (2014). The ethics of artificial intelligence. In K. Frankish & W. M. Ramsey (Eds.), The Cambridge handbook of artificial intelligence (pp. 316–334). Cambridge University Press.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power. Harvard University Press.

Brey, P. (2020). Ethics of emerging technologies. In M. Dubber, F. Pasquale, & S. Das (Eds.), The Oxford handbook of ethics of AI (pp. 255–258). Oxford University Press.

Buolamwini, J., & Gebru, T. (2018). Gender shades: Intersectional accuracy disparities in commercial gender classification. Proceedings of Machine Learning Research, 81, 1–15.

Bynum, T. (1998). The foundation of computer ethics. Computers and Society, 28(4), 7–13.

Capurro, R. (2016). Digital hermeneutics: Philosophical perspectives on information and communication technology. Springer.

Capurro, R. (2017). Digital ethics: Philosophical enquiries into information and communication technology. Springer.

Castells, M. (1996). The rise of the network society. Blackwell.

Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.

Coeckelbergh, M. (2020). AI ethics. MIT Press.

Costanza-Chock, S. (2020). Design justice: Community-led practices to build the worlds we need. MIT Press.

Dignum, V. (2019). Responsible artificial intelligence: Developing and using AI in a responsible way. Springer.

Deibert, R. (2020). Reset: Reclaiming the internet for civil society. House of Anansi.

Escobar, A. (2018). Designs for the pluriverse: Radical interdependence, autonomy, and the making of worlds. Duke University Press.

European Commission. (2019). Ethics guidelines for trustworthy AI. European Union.

European Parliament. (2016). General data protection regulation (GDPR). Official Journal of the European Union.

Eubanks, V. (2018). Automating inequality: How high-tech tools profile, police, and punish the poor. St. Martin’s Press.

Feenberg, A. (2002). Transforming technology: A critical theory revisited. Oxford University Press.

Floridi, L. (2010). Information: A very short introduction. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford University Press.

Floridi, L. (2019). The logic of information: A theory of philosophy as conceptual design. Oxford University Press.

Foucault, M. (1990). The history of sexuality, vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Friedman, B., & Hendry, D. G. (2019). Value sensitive design: Shaping technology with moral imagination. MIT Press.

Gabrys, J. (2011). Digital rubbish: A natural history of electronics. University of Michigan Press.

Gane, N. (2021). The emergence of the “attention economy”: Digital media and the commodification of human consciousness. Theory, Culture & Society, 38(7–8), 63–81.

Gillespie, T. (2014). The relevance of algorithms. In T. Gillespie, P. Boczkowski, & K. Foot (Eds.), Media technologies: Essays on communication, materiality, and society (pp. 167–194). MIT Press.

Gillespie, T. (2018). Custodians of the internet: Platforms, content moderation, and the hidden decisions that shape social media. Yale University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.

Han, B.-C. (2015). The transparency society. Stanford University Press.

Han, B.-C. (2017). In the swarm: Digital prospects. MIT Press.

Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and new technologies of power. Verso.

Haraway, D. (1991). A cyborg manifesto: Science, technology, and socialist-feminism in the late twentieth century. Routledge.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy: Connecting culture and classroom. Corwin.

Honneth, A. (2014). Freedom’s right: The social foundations of democratic life. Columbia University Press.

Horkheimer, M. (1947). Eclipse of reason. Oxford University Press.

Hui, Y. (2016). On the existence of digital objects. University of Minnesota Press.

Hui, Y. (2019). Recursivity and contingency. Rowman & Littlefield.

IEEE. (2019). Ethically aligned design: A vision for prioritizing human well-being with autonomous and intelligent systems (2nd ed.). IEEE.

Johnson, D. L. (1985). Computer ethics. Prentice Hall.

Kwet, M. (2019). Digital colonialism: US empire and the new imperialism in the Global South. Race & Class, 60(4), 3–26.

Latour, B. (2005). Reassembling the social: An introduction to actor-network-theory. Oxford University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Levinas, E. (1985). Ethics and infinity: Conversations with Philippe Nemo (R. A. Cohen, Trans.). Duquesne University Press.

Lévy, P. (1998). Becoming virtual: Reality in the digital age (R. Bononno, Trans.). Plenum Trade.

Lévy, P. (2001). Cyberculture. University of Minnesota Press.

Lyon, D. (2007). Surveillance studies: An overview. Polity Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Mills, M. P. (2013). The cloud begins with coal. Digital Power Group.

Morozov, E. (2013). To save everything, click here: The folly of technological solutionism. PublicAffairs.

Nissenbaum, H. (2010). Privacy in context: Technology, policy, and the integrity of social life. Stanford University Press.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.

Noveck, B. (2015). Smart citizens, smarter state: The technologies of expertise and the future of governing. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

OECD. (2019). Recommendation of the Council on Artificial Intelligence. OECD Publishing.

Piketty, T. (2020). Capital and ideology. Harvard University Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Roberts, S. (2019). Behind the screen: Content moderation in the shadows of social media. Yale University Press.

Rouvroy, A., & Berns, T. (2013). Algorithmic governmentality and prospects of emancipation. Réactivation des critiques de la raison administrative, 1–17.

Scholz, T. (2013). Digital labor: The internet as playground and factory. Routledge.

Selwyn, N. (2016). Education and technology: Key issues and debates. Bloomsbury Academic.

Stiglitz, J. E. (2019). People, power, and profits: Progressive capitalism for an age of discontent. W. W. Norton.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

UNESCO. (2021). Guidelines on digital literacy for learners and educators. UNESCO.

United Nations. (2018). The right to privacy in the digital age. UN General Assembly Report.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

van Dijk, J. A. G. M. (2005). The deepening divide: Inequality in the information society. Sage Publications.

Wiener, N. (1950). The human use of human beings: Cybernetics and society. Houghton Mifflin.

Wood, A. J., Graham, M., Lehdonvirta, V., & Hjorth, I. (2019). Good gig, bad gig: Autonomy and algorithmic control in the global gig economy. Work, Employment and Society, 33(1), 56–75.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.

Zygmunt Bauman. (2000). Liquid modernity. Polity Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar