Etika Digital
Filsafat Moralitas di Era Teknologi dan Kehidupan
Virtual
Alihkan ke: Ilmu Teknologi. 
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif fondasi
filosofis, historis, dan normatif dari Etika Digital sebagai kerangka
moral baru dalam era informasi global. Dengan menggunakan pendekatan sistematis
dan reflektif, kajian ini menelusuri dimensi ontologis, epistemologis,
dan aksiologis dari eksistensi manusia di dalam dunia digital yang
semakin otonom dan algoritmik. Pembahasan dimulai dari konteks historis
kemunculan etika digital sebagai respons terhadap revolusi teknologi informasi
dan kemudian berlanjut pada analisis konseptual tentang bagaimana digitalisasi
mengubah struktur realitas, cara manusia memperoleh pengetahuan, serta
orientasi nilai moral dalam masyarakat jaringan (network society).
Dalam tataran ontologis, artikel ini menegaskan
bahwa ruang digital merupakan bentuk realitas baru (virtual ontology) di
mana eksistensi manusia dimediasi oleh data dan interaksi simbolik yang
memiliki dampak nyata terhadap kehidupan sosial. Pada dimensi epistemologis,
muncul bentuk pengetahuan baru yang bersifat kolaboratif, terotomatisasi, dan
didominasi oleh algoritma, sehingga menuntut tanggung jawab epistemik dalam
memverifikasi kebenaran digital. Sementara itu, secara aksiologis, etika
digital membangun prinsip moral baru seperti tanggung jawab algoritmik,
keadilan informasi, dan kebajikan digital yang berakar pada penghormatan
terhadap martabat manusia (human dignity).
Artikel ini juga mengkaji dimensi sosial, politik,
dan ekonomi dari etika digital, menyoroti bagaimana teknologi menciptakan
relasi kekuasaan baru, ekonomi data, dan ketimpangan akses yang memerlukan
refleksi moral dan kebijakan global. Kritik-kritik terhadap etika digital dari
perspektif postmodern, feminis, dan dekolonial turut dibahas untuk menunjukkan
keterbatasan dan bias normatif dalam wacana etika teknologi yang dominan. Pada
akhirnya, artikel ini menawarkan sintesis filosofis dalam bentuk Etika
Digital Humanistik, yaitu pendekatan integral yang menggabungkan
rasionalitas moral dengan rasionalitas teknologis demi membangun peradaban
informasi yang adil, beradab, dan berpusat pada kemanusiaan.
Etika digital humanistik menegaskan bahwa teknologi
harus berfungsi sebagai medium humanisasi, bukan dehumanisasi. Dengan demikian,
masa depan digital menuntut bukan hanya kecerdasan buatan yang lebih canggih,
tetapi juga kecerdasan moral yang mampu memastikan bahwa kemajuan
teknologi selaras dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang
universal.
Kata Kunci: Etika Digital; Filsafat Teknologi; Moralitas
Algoritmik; Humanisme Digital; Tanggung Jawab Moral; Rasionalitas Teknis;
Keberlanjutan Informasi; Keadilan Digital; Martabat Manusia.
PEMBAHASAN
Implikasi Etika Digital bagi Masa Depan Peradaban dan
Kemanusiaan
1.          
Pendahuluan
Peradaban manusia abad ke-21 ditandai oleh
transformasi radikal dalam cara manusia berpikir, berinteraksi, dan memaknai
keberadaannya melalui medium digital. Revolusi digital bukan sekadar fenomena
teknologis, melainkan perubahan epistemik dan ontologis yang mendalam: manusia
tidak lagi hidup dalam dunia digital, melainkan bersama dan melaluinya.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana etika—sebagai refleksi
rasional atas kebaikan, tanggung jawab, dan nilai moral—dapat bertahan,
beradaptasi, bahkan memandu kehidupan di ruang maya yang cair, cepat, dan
sering kali tanpa batas moral?
Etika digital menjadi bidang refleksi baru yang
berupaya menjawab tantangan ini, yaitu menjembatani ketegangan antara kemajuan
teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dunia digital menghadirkan berbagai
paradoks: kebebasan sekaligus pengawasan, keterhubungan sekaligus keterasingan,
serta pengetahuan yang melimpah tetapi rentan terhadap disinformasi. Fenomena
seperti big data, artificial intelligence (AI), dan social
media algorithms bukan hanya masalah teknis, melainkan juga persoalan moral
yang menyentuh inti eksistensi manusia—siapa yang bertanggung jawab ketika
algoritma membuat keputusan etis? Apakah kebebasan berekspresi di dunia maya
memiliki batas moral yang sama dengan dunia nyata? Dan sejauh mana data pribadi
seseorang memiliki nilai intrinsik dalam sistem ekonomi digital?
Perubahan ini menuntut redefinisi konsep klasik
dalam etika. Sejak masa Yunani Kuno, etika dipahami sebagai ilmu tentang “bagaimana
seharusnya manusia hidup baik” (how should one live well)—dari
Aristoteles hingga Kant, pertanyaan etika berpusat pada kehendak, kebajikan,
dan kewajiban manusia. Namun, dalam ruang digital, subjek etis bukan lagi
manusia individual semata, melainkan juga sistem otomatis, jaringan informasi,
dan entitas buatan yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan. Menurut
Luciano Floridi, kita kini hidup dalam infosphere, suatu lingkungan
ontologis baru di mana realitas, informasi, dan tindakan moral saling terjalin
dalam sistem yang kompleks dan otonom.¹ Etika digital, dengan demikian, bukan
sekadar penerapan nilai lama pada konteks baru, tetapi merupakan transformasi
epistemologis dari pemahaman moralitas itu sendiri.
Latar belakang historis menunjukkan bahwa embrio
etika digital berakar pada etika komputer (computer ethics) yang pertama kali
dirumuskan oleh Norbert Wiener pada 1940-an.² Wiener memandang teknologi
informasi sebagai sistem sosial yang mengandung tanggung jawab moral karena
dapat memengaruhi kehidupan manusia secara signifikan. Gagasan ini kemudian
berkembang melalui karya James Moor yang menekankan pentingnya “policy
vacuum” atau kekosongan kebijakan moral dalam menghadapi kemajuan teknologi
baru.³ Kini, pada era kecerdasan buatan dan machine learning, tantangan
itu menjadi semakin kompleks: nilai-nilai moral harus ditanamkan ke dalam
sistem yang belajar sendiri, sementara manusia sering kali tidak sepenuhnya
memahami cara kerja internal sistem tersebut.
Urgensi kajian etika digital terletak pada
kenyataan bahwa ruang digital telah menjadi ruang eksistensial manusia modern.
Identitas sosial, relasi interpersonal, bahkan keputusan politik kini dimediasi
oleh algoritma dan jaringan data. Dalam situasi ini, etika digital berperan
ganda: pertama, sebagai refleksi normatif terhadap nilai-nilai moral dalam
ruang digital; kedua, sebagai kerangka kritis untuk menilai dan membentuk
desain teknologi agar sejalan dengan prinsip kemanusiaan, keadilan, dan
tanggung jawab.⁴ Maka, etika digital tidak hanya relevan bagi filsuf atau
teknolog, tetapi juga bagi seluruh warga digital yang setiap tindakannya
meninggalkan jejak moral di dunia maya.
Secara metodologis, pembahasan tentang etika
digital dalam tulisan ini akan menggunakan pendekatan filsafat normatif dan
hermeneutik kontekstual. Pendekatan normatif bertujuan menguji validitas
prinsip moral dalam konteks digital, sementara pendekatan hermeneutik digunakan
untuk memahami makna moral yang muncul dari praktik sosial pengguna teknologi.
Dengan demikian, kajian ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga
reflektif dan praktis, membuka ruang bagi pengembangan “etika digital
humanistik”—suatu etika yang menempatkan teknologi sebagai sarana untuk
memperkuat martabat manusia, bukan sekadar instrumen efisiensi teknis.
Akhirnya, pendahuluan ini menggarisbawahi bahwa
etika digital merupakan upaya untuk menjaga dimensi moralitas manusia di tengah
derasnya arus digitalisasi. Ia bukan sekadar reaksi terhadap perubahan
teknologi, tetapi merupakan panggilan filosofis untuk menegaskan kembali makna
“manusia” dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh data, algoritma,
dan jaringan. Dalam era di mana batas antara yang nyata dan yang virtual
semakin kabur, etika digital hadir sebagai kompas moral yang menuntun manusia
agar tidak kehilangan arah kemanusiaannya di tengah lautan informasi.
Footnotes
[1]               
¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 4–7.
[2]               
² Norbert Wiener, Cybernetics: Or Control and
Communication in the Animal and the Machine (Cambridge, MA: MIT Press,
1948), 19–20.
[3]               
³ James H. Moor, “What Is Computer Ethics?” Metaphilosophy
16, no. 4 (October 1985): 266–275.
[4]               
⁴ Rafael Capurro, “Digital Ethics,” dalam The
Ethics of Information Technology, ed. Luciano Floridi (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 52–58.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Etika Digital
Etika digital tidak
lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari refleksi
filosofis atas hubungan manusia dengan teknologi. Untuk memahami fondasi
konseptualnya, penting menelusuri akar historis dan genealogis dari disiplin
ini, yang bermula dari etika teknologi (ethics of technology), kemudian
berkembang menjadi etika komputer (computer ethics), dan akhirnya
menemukan bentuk kontemporernya sebagai digital ethics atau etika digital.
2.1.      
Awal Mula Etika
Teknologi
Sejarah refleksi
etis terhadap teknologi dapat ditelusuri sejak era modern awal, ketika manusia
mulai memandang teknologi sebagai kekuatan transformasional terhadap kehidupan
sosial dan moral. Filsuf seperti Martin Heidegger dalam esainya Die
Frage nach der Technik (1954) telah mengingatkan bahwa teknologi
bukan sekadar alat netral, tetapi suatu “cara pengungkapan kebenaran” (a mode
of revealing) yang dapat membentuk eksistensi manusia.¹ Heidegger
menilai bahwa bahaya terbesar dari teknologi modern terletak bukan pada mesin
itu sendiri, melainkan pada cara berpikir instrumental yang menempatkan alam
dan manusia semata-mata sebagai sumber daya yang dapat dimanipulasi.² Pemikiran
ini menjadi dasar ontologis bagi refleksi etika terhadap teknologi: bahwa
setiap inovasi teknis selalu membawa konsekuensi moral dan eksistensial.
Pada paruh kedua
abad ke-20, refleksi tentang etika teknologi mulai memperoleh bentuk sistematis
melalui karya Norbert Wiener, matematikawan dan pendiri teori sibernetika.
Dalam bukunya Cybernetics: Or Control and Communication in
the Animal and the Machine (1948), Wiener mengajukan pandangan
bahwa teknologi informasi menciptakan sistem komunikasi yang sejajar dengan
organisme hidup, sehingga memerlukan tanggung jawab moral baru bagi manusia.³
Ia kemudian mengembangkan gagasan ini dalam The Human Use of Human Beings
(1950), menegaskan bahwa teknologi harus digunakan untuk memperkuat nilai-nilai
kemanusiaan, bukan menguranginya.⁴ Pandangan Wiener menandai lahirnya computer
ethics sebagai cabang etika terapan yang menyoroti peran manusia
dalam sistem informasi yang semakin otonom.
2.2.      
Era Komputerisasi
dan Lahirnya Etika Komputer
Pada dekade
1970–1980-an, dengan semakin luasnya penggunaan komputer di bidang
pemerintahan, bisnis, dan pendidikan, para filsuf dan ilmuwan komputer mulai
menyadari adanya “kekosongan moral” (policy vacuum) dalam penggunaan
teknologi baru.⁵ James H. Moor, dalam artikelnya yang berpengaruh “What Is
Computer Ethics?” (1985), mengidentifikasi bahwa komputer menghadirkan
situasi-situasi moral baru yang belum pernah diatur oleh norma-norma etika
tradisional.⁶ Menurut Moor, komputer bukan hanya alat pemroses data, tetapi
juga “teknologi yang memiliki logika fleksibel” (logical
malleability), sehingga mampu memengaruhi struktur tindakan moral
manusia.⁷
Pemikiran Moor ini
memperluas cakupan etika komputer menjadi lebih reflektif dan normatif. Ia
menegaskan bahwa etika komputer tidak hanya berkaitan dengan kebijakan privasi
atau keamanan data, tetapi juga dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana
teknologi membentuk nilai, pilihan, dan tanggung jawab manusia.⁸ Periode ini
ditandai pula oleh munculnya karya-karya awal dalam etika informasi (information
ethics), seperti yang dikembangkan oleh Terrell Ward Bynum dan
Deborah Johnson, yang berupaya mengintegrasikan teori moral klasik dengan
fenomena digital yang baru lahir.⁹
2.3.      
Genealogi Etika
Informasi menuju Etika Digital
Memasuki era
1990–2000-an, ledakan internet dan globalisasi komunikasi digital melahirkan
paradigma baru yang disebut information ethics. Luciano
Floridi, salah satu tokoh sentral dalam bidang ini, mengusulkan bahwa informasi
harus dipandang sebagai entitas moral yang memiliki nilai intrinsik.¹⁰ Menurut
Floridi, kita hidup dalam infosphere—lingkungan ontologis di
mana semua makhluk dan benda saling berhubungan melalui informasi.¹¹ Etika
informasi, dalam pandangan ini, tidak lagi terbatas pada hubungan manusia
dengan mesin, melainkan meliputi seluruh ekosistem informasi, termasuk data,
algoritma, dan sistem jaringan.¹²
Etika digital
sebagai tahap lanjut dari etika informasi muncul bersamaan dengan berkembangnya
digital
culture dan network society. Manuel Castells
menyebut masyarakat digital sebagai “masyarakat jejaring” di mana
kekuasaan, ekonomi, dan identitas dibangun melalui arus informasi yang
terdesentralisasi.¹³ Dalam konteks ini, tanggung jawab moral tidak lagi
bersifat individual, melainkan kolektif dan sistemik. Rafael Capurro kemudian
menekankan perlunya digital hermeneutics—pendekatan
filosofis untuk memahami makna moral yang tersembunyi di balik interaksi
digital dan komunikasi daring.¹⁴
Genealogi ini menunjukkan
bahwa etika digital lahir sebagai respons terhadap kompleksitas baru dalam
dunia maya, yang tidak dapat dijawab hanya dengan norma etika klasik. Ia
menuntut paradigma etis baru yang bersifat interdisipliner, menggabungkan
filsafat, teknologi, sosiologi, dan ilmu informasi. Etika digital dengan
demikian merupakan sintesis dari tiga tahap historis utama: (1) refleksi
ontologis atas teknologi modern, (2) analisis normatif terhadap komputerisasi
dan informasi, dan (3) kesadaran etis terhadap kehidupan digital sebagai ruang
eksistensial manusia.
2.4.      
Transisi Menuju
Etika Digital Kontemporer
Dalam dua dekade
terakhir, etika digital telah berkembang menjadi bidang kajian yang otonom,
menyoroti isu-isu spesifik seperti privasi data, algoritmik bias, artificial
intelligence ethics, dan cyber ethics.¹⁵ Perubahan ini
mencerminkan pergeseran dari paradigma “penggunaan teknologi secara etis”
menuju “desain etis teknologi”—yakni bagaimana nilai moral dapat
tertanam langsung dalam sistem digital.¹⁶ Di sinilah muncul konsep ethics
by design yang berupaya menanamkan prinsip keadilan, transparansi,
dan non-diskriminasi ke dalam arsitektur teknologi itu sendiri.¹⁷
Selain itu,
genealoginya juga memperlihatkan bahwa etika digital bukan hanya ranah filsafat
moral, melainkan juga medan politik dan ekonomi. Shoshana Zuboff, dalam The Age
of Surveillance Capitalism (2019), memperlihatkan bagaimana
perusahaan teknologi menggunakan data pribadi manusia sebagai sumber daya
ekonomi baru, yang menciptakan bentuk kolonialisme data modern.¹⁸ Karena itu,
etika digital juga berperan sebagai kritik terhadap struktur kekuasaan dan
kapitalisme informasi yang mendominasi era digital.
Dengan demikian,
pemahaman historis dan genealogis ini memperlihatkan bahwa etika digital adalah
kelanjutan sekaligus kritik terhadap tradisi etika modern. Ia menegaskan bahwa
setiap kemajuan teknologi menuntut refleksi moral yang sepadan—bukan untuk
menolak kemajuan itu, tetapi untuk memastikan bahwa teknologi tetap berada
dalam horizon kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Footnotes
[1]               
¹ Martin Heidegger, The
Question Concerning Technology,
terj. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–18.
[2]               
² Ibid., 24–27.
[3]               
³ Norbert Wiener, Cybernetics: Or Control
and Communication in the Animal and the Machine (Cambridge, MA: MIT Press, 1948), 32–34.
[4]               
⁴ Norbert Wiener, The Human Use of Human
Beings: Cybernetics and Society
(Boston: Houghton Mifflin, 1950), 36–42.
[5]               
⁵ Deborah G. Johnson, Computer
Ethics (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1985), 2–4.
[6]               
⁶ James H. Moor, “What Is Computer Ethics?” Metaphilosophy 16,
no. 4 (October 1985): 266–275.
[7]               
⁷ Ibid., 270.
[8]               
⁸ Terrell W. Bynum, “Computer Ethics: Basic Concepts and Historical
Overview,” dalam The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed.
Edward N. Zalta (Spring 2001 Edition).
[9]               
⁹ Deborah G. Johnson, Ethical
Issues in the Use of Computers
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1985), 11–14.
[10]            
¹⁰ Luciano Floridi, Information:
A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 42–45.
[11]            
¹¹ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 9–12.
[12]            
¹² Ibid., 32–34.
[13]            
¹³ Manuel Castells, The
Rise of the Network Society (Oxford:
Blackwell, 1996), 21–25.
[14]            
¹⁴ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics:
Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 48–53.
[15]            
¹⁵ John Sullins, “Information Technology and Moral Values,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2019 Edition).
[16]            
¹⁶ Jeroen van den Hoven et al., “Design for Values: An Introduction,”
dalam Handbook of Ethics, Values, and
Technological Design (Dordrecht:
Springer, 2015), 1–7.
[17]            
¹⁷ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral
Imagination (Cambridge, MA: MIT
Press, 2019), 4–6.
[18]            
¹⁸ Shoshana Zuboff, The
Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New
Frontier of Power (New York:
PublicAffairs, 2019), 93–100.
3.          
Ontologi
Dunia Digital
Ontologi dunia
digital membahas hakikat keberadaan (being) di era teknologi informasi,
di mana realitas tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi juga mencakup
dimensi virtual yang bersifat cair, hibrid, dan interkonektif. Dalam konteks
ini, filsafat ontologi berperan penting untuk menjawab pertanyaan mendasar: apa
makna “ada” dalam dunia digital, dan bagaimana eksistensi manusia
berubah ketika identitas, relasi, dan tindakan dimediasi oleh algoritma dan
data? Dunia digital bukan sekadar ekstensi dunia nyata, tetapi merupakan modus
eksistensi baru yang membentuk cara manusia berada, berpikir, dan
berinteraksi di dalam semesta informasi.
3.1.      
Digitalitas sebagai
Modus Keberadaan Baru
Digitalitas—yakni
kondisi eksistensial manusia dalam dan melalui medium digital—menunjukkan bahwa
manusia kini hidup dalam dua lapisan realitas: dunia fisik (offline
reality) dan dunia virtual (online reality). Pierre Lévy
menggambarkan fenomena ini sebagai “virtualisasi”, yaitu proses
transposisi realitas dari bentuk material ke bentuk immaterial yang tetap
memiliki nilai ontologis.¹ Virtualitas bukanlah ilusi atau kebalikan dari
kenyataan, melainkan bentuk lain dari keberadaan yang dimediasi oleh informasi
dan simbol.²
Jean Baudrillard
memperdalam konsep ini melalui teorinya tentang simulacra dan simulation.
Menurutnya, dalam era digital, manusia tidak lagi berhubungan langsung dengan
realitas, melainkan dengan representasi yang menggantikan realitas itu
sendiri.³ Simulasi digital menghasilkan dunia hiperreal (hyperreality),
di mana batas antara yang nyata dan yang maya menjadi kabur. Dalam dunia
hiperreal, tanda-tanda dan kode digital memiliki otonomi makna tersendiri;
mereka tidak lagi merepresentasikan dunia fisik, melainkan menciptakan
realitasnya sendiri.⁴ Fenomena ini menjelaskan bagaimana ruang digital dapat
membentuk perilaku dan persepsi manusia, dari media sosial hingga metaverse,
yang menghadirkan pengalaman eksistensial seolah-olah nyata.
Ontologi digital
dengan demikian menuntut reinterpretasi konsep “keberadaan”. Jika dalam
metafisika klasik Aristotelian, “ada” (to be) diidentikkan dengan
substansi yang berdiri sendiri, maka dalam era digital, “ada” berarti “terkoneksi”
(to be is
to be connected).⁵ Keberadaan tidak lagi ditentukan oleh substansi,
melainkan oleh relasi dan jaringan. Dunia digital adalah dunia relasional yang
tersusun dari node, tautan, dan arus informasi.⁶ Maka, realitas digital
bukanlah realitas yang stabil, tetapi dinamis dan terbentuk melalui proses
interaksi yang terus menerus antara manusia, mesin, dan data.
3.2.      
Manusia sebagai
Entitas Digital (Digital Being)
Transformasi digital
mengubah manusia menjadi entitas hibrid yang eksistensinya tersebar antara
tubuh fisik dan representasi digital. Sherry Turkle, dalam Life on
the Screen (1995), menyebut manusia modern sebagai cyborg self—identitas
yang terbentuk melalui permainan peran dan representasi dalam ruang digital.⁷
Identitas di dunia maya bersifat plural, cair, dan performatif; seseorang dapat
memiliki banyak persona digital yang tidak selalu konsisten dengan dirinya di
dunia nyata.⁸ Fenomena ini menggeser pengertian klasik tentang keotentikan diri
(authentic
self) sebagaimana dikemukakan dalam eksistensialisme Heideggerian.
Dalam konteks ini,
keberadaan manusia tidak dapat lagi dipisahkan dari jejak digitalnya (digital
footprints), yang menjadi bukti ontologis tentang keberadaannya di
dunia maya. Jejak digital memiliki karakter ontologis ganda: ia bersifat
representasional sekaligus konstitutif.⁹ Di satu sisi, ia merepresentasikan
tindakan manusia (seperti unggahan, interaksi, atau pencarian daring); di sisi
lain, ia juga membentuk identitas dan eksistensi individu dalam sistem
algoritmik yang terus mengarsipkan dan menilai perilaku pengguna.¹⁰ Dengan
demikian, eksistensi manusia dalam dunia digital adalah eksistensi yang selalu
terbaca (legible
existence) oleh sistem teknologis yang mengaturnya.
Luciano Floridi
menggambarkan fenomena ini sebagai “inforg” atau informational
organism: entitas yang hidup di dalam infosphere, ekosistem informasi
tempat manusia dan mesin berinteraksi secara simbiotik.¹¹ Dalam ontologi
Floridi, manusia digital tidak lagi menjadi pusat kosmos, tetapi bagian dari
jejaring informasi global.¹² Keberadaannya tidak bersifat otonom, melainkan
relasional dan bergantung pada arus data. Maka, ontologi digital menandai
pergeseran dari paradigma human-sentris menuju infospheric ontology—suatu
pandangan bahwa keberadaan ditentukan oleh relasi informasi, bukan oleh
substansi fisik atau kesadaran tunggal.¹³
3.3.      
Algoritma, Data, dan
Ontologi Relasional
Dalam dunia digital,
algoritma dan data memainkan peran ontologis yang setara dengan kategori “bentuk”
dan “substansi” dalam metafisika klasik. Algoritma bukan sekadar
instruksi teknis, melainkan prinsip pengatur realitas digital yang menentukan
apa yang tampak dan tidak tampak bagi manusia.¹⁴ Fenomena seperti filter
bubbles atau echo chambers menunjukkan bahwa
algoritma memiliki daya ontologis—ia tidak hanya mengatur informasi, tetapi
juga membentuk pengalaman dan persepsi realitas.¹⁵
Data, di sisi lain,
menjadi “materi pertama” (prima materia) dari dunia digital.
Semua entitas digital—baik gambar, teks, maupun identitas—dapat direduksi
menjadi data yang dapat disimpan, diproses, dan dikalkulasi.¹⁶ Namun, berbeda
dengan materi fisik, data bersifat tak terbatas dan reproduktif. Ia dapat
digandakan tanpa kehilangan substansinya, sehingga menciptakan keberadaan yang
tidak tunduk pada hukum entropi fisikal.¹⁷ Dunia digital dengan demikian
bersifat non-lokal dan imaterial, tetapi tetap real dalam pengaruhnya terhadap
kehidupan manusia.
Ontologi relasional
ini membawa implikasi etis yang signifikan: jika keberadaan ditentukan oleh
relasi data dan algoritma, maka tanggung jawab moral manusia harus
mempertimbangkan jaringan ontologis tersebut. Keputusan moral tidak lagi
terbatas pada hubungan antarindividu, tetapi juga mencakup relasi manusia
dengan sistem non-manusia seperti mesin dan jaringan informasi.¹⁸ Dalam hal
ini, etika digital harus berangkat dari kesadaran ontologis bahwa “yang ada” di
dunia digital mencakup manusia dan entitas buatan yang turut memediasi tindakan
moral.
3.4.      
Dunia Hibrid dan
Krisis Ontologis
Perkembangan
teknologi imersif seperti augmented reality (AR) dan metaverse
menandai lahirnya dunia hibrid, di mana batas antara yang nyata dan yang
virtual semakin kabur. Dunia hibrid menciptakan pengalaman ontologis baru yang
disebut “realitas campuran” (mixed reality), di mana objek
digital dapat berinteraksi secara langsung dengan dunia fisik.¹⁹ Hal ini
memunculkan pertanyaan baru dalam ontologi: apakah entitas virtual yang dapat
memengaruhi tindakan manusia memiliki status ontologis yang sama dengan benda
nyata?
Paul Ricoeur
menyebut bahwa pengalaman manusia selalu terbentuk melalui simbol dan
interpretasi.²⁰ Dalam konteks digital, simbol-simbol itu menjadi algoritmik dan
interaktif, sehingga realitas manusia dikonstruksi melalui lapisan
interpretatif yang semakin kompleks. Ontologi digital karenanya juga merupakan
ontologi hermeneutik: keberadaan di dunia maya selalu ditafsirkan dan
dinegosiasikan melalui interaksi sosial, teknologi, dan budaya.²¹
Pada titik ini,
dunia digital menantang fondasi metafisika tradisional. Ia menggantikan konsep
keberadaan yang statis dengan dinamika keberadaan yang selalu diperbarui secara
sistemik. Dengan demikian, memahami ontologi dunia digital berarti memahami
bahwa eksistensi manusia modern tidak lagi tunggal dan stabil, melainkan
bersifat plural, relasional, dan terdistribusi di antara jaringan simbol dan
kode.²²
Footnotes
[1]               
¹ Pierre Lévy, Becoming Virtual:
Reality in the Digital Age, terj.
Robert Bononno (New York: Plenum Trade, 1998), 22–25.
[2]               
² Ibid., 31–34.
[3]               
³ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, terj. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.
[4]               
⁴ Ibid., 11–12.
[5]               
⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 33.
[6]               
⁶ Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
24–28.
[7]               
⁷ Sherry Turkle, Life on the Screen:
Identity in the Age of the Internet
(New York: Simon & Schuster, 1995), 177–183.
[8]               
⁸ Ibid., 255–258.
[9]               
⁹ Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work,
and Think (Boston: Houghton Mifflin
Harcourt, 2013), 40–42.
[10]            
¹⁰ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 118–120.
[11]            
¹¹ Luciano Floridi, Information:
A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 41–44.
[12]            
¹² Floridi, The Ethics of
Information, 45–49.
[13]            
¹³ Ibid., 92–94.
[14]            
¹⁴ Nick Seaver, “Algorithms as Culture: Some Tactics for the
Ethnography of Algorithmic Systems,” Big
Data & Society 4, no. 2 (2017):
1–12.
[15]            
¹⁵ Eli Pariser, The Filter Bubble: What
the Internet Is Hiding from You (New
York: Penguin Press, 2011), 9–12.
[16]            
¹⁶ Lev Manovich, The Language of New
Media (Cambridge, MA: MIT Press,
2001), 27–30.
[17]            
¹⁷ N. Katherine Hayles, How
We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 18–21.
[18]            
¹⁸ Philip Brey, “The Physical and Social Reality of Virtual Worlds,” Techné: Research in Philosophy and Technology 8, no. 2 (2005): 1–18.
[19]            
¹⁹ Tom Boellstorff, Coming
of Age in Second Life: An Anthropologist Explores the Virtually Human (Princeton: Princeton University Press, 2008), 15–18.
[20]            
²⁰ Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–89.
[21]            
²¹ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics:
Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 62–65.
[22]            
²² Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects (Cambridge, MA: MIT Press,
2017), 29–32.
4.          
Epistemologi
Pengetahuan Digital
Epistemologi
pengetahuan digital membahas bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan
memverifikasi kebenaran di dalam ruang digital yang dikuasai oleh informasi,
algoritma, dan jaringan. Dalam dunia yang dibentuk oleh arus data yang masif,
kebenaran tidak lagi muncul sebagai hasil kontemplasi rasional, tetapi sebagai
produk interaksi dinamis antara manusia, mesin, dan sistem informasi.
Epistemologi digital, dengan demikian, menuntut analisis filosofis terhadap
hakikat pengetahuan di era informasi—suatu era di mana batas antara mengetahui
dan diketahui
menjadi semakin kabur.
4.1.      
Transformasi Paradigma
Pengetahuan di Era Digital
Dalam filsafat
klasik, pengetahuan (epistēmē) dipahami sebagai
kepercayaan yang benar dan dibenarkan (justified true belief).¹ Namun, di
era digital, struktur epistemik ini mengalami rekonstruksi mendasar. Informasi
yang beredar dalam jaringan digital tidak selalu memiliki otoritas
epistemologis yang jelas; ia dapat berasal dari algoritma, pengguna anonim,
atau sistem otomatis yang tidak memiliki niat kebenaran. Hal ini menciptakan
apa yang disebut Luciano Floridi sebagai infosphere—ruang di mana setiap
entitas, termasuk mesin, berperan sebagai produsen dan konsumen informasi.²
Dalam konteks ini, pengetahuan tidak lagi menjadi milik subjek rasional
tunggal, melainkan hasil dari proses kolektif dan sistemik dalam ekologi informasi
global.
Fenomena ini
mengakibatkan pergeseran dari epistemologi representasional menuju
epistemologi relasional.³ Jika pengetahuan
tradisional berfokus pada representasi dunia oleh pikiran manusia, maka
pengetahuan digital berfokus pada hubungan, konektivitas, dan distribusi
informasi. Misalnya, kebenaran di mesin pencari tidak muncul dari refleksi
filosofis, melainkan dari algoritma yang menghitung relevansi berdasarkan
perilaku pengguna.⁴ Kebenaran, dengan demikian, menjadi probabilistik
dan terpersonalisasi—ia
bergantung pada profil pengguna dan dinamika algoritmik yang terus diperbarui.
4.2.      
Krisis Kebenaran dan
Disinformasi
Salah satu tantangan
utama epistemologi digital adalah krisis kebenaran. Dalam dunia yang diwarnai
oleh infodemic,
hoaks, dan deepfake,
batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur.⁵ Hannah Arendt dalam The
Origins of Totalitarianism telah menegaskan bahwa kebohongan
politik modern bekerja bukan hanya dengan menutupi kebenaran, tetapi dengan
menciptakan kondisi di mana kebenaran kehilangan makna sosialnya.⁶ Dunia
digital memperluas fenomena ini secara global: algoritma media sosial mendorong
polarisasi informasi dengan menciptakan echo chambers—ruang di mana
individu hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinan mereka sendiri.⁷
Fenomena ini
menandai pergeseran epistemologis dari “masyarakat pengetahuan” (knowledge
society) menjadi “masyarakat opini” (opinion
society).⁸ Informasi yang viral sering kali lebih dipercaya
daripada informasi yang benar. Jean Baudrillard menggambarkan kondisi ini
sebagai hyperreality
of truth—keadaan di mana representasi informasi menjadi lebih nyata
daripada kenyataannya sendiri.⁹ Dalam konteks ini, epistemologi digital harus
berperan bukan hanya dalam mencari kebenaran, tetapi juga dalam mempertahankan
struktur rasionalitas yang memungkinkan kebenaran dapat dipahami, diverifikasi,
dan disepakati secara kolektif.
4.3.      
Algoritma sebagai
Subjek Epistemik
Dalam dunia digital,
algoritma bukan hanya instrumen teknis, tetapi juga agen epistemik yang
membentuk cara manusia mengetahui dunia.¹⁰ Melalui proses machine
learning, algoritma dapat menafsirkan data, membentuk pola, dan
menghasilkan keputusan yang bersifat prediktif.¹¹ Fenomena ini menimbulkan
pertanyaan filosofis: apakah mesin dapat memiliki epistemic agency—yakni kapasitas
untuk mengetahui atau berkontribusi pada produksi pengetahuan?
Nick Bostrom dan
Eliezer Yudkowsky menyoroti potensi dan bahaya epistemologi algoritmik,
terutama ketika sistem kecerdasan buatan mulai mengembangkan otonomi dalam
menilai data tanpa campur tangan manusia.¹² Dalam situasi ini, manusia berisiko
kehilangan peran sebagai pengendali pengetahuan dan hanya menjadi “penerima
hasil” dari sistem yang tidak transparan.¹³ Fenomena ini disebut “epistemic
opacity”—ketidakmampuan manusia memahami proses internal di balik
keputusan mesin.¹⁴ Akibatnya, epistemologi digital harus memperluas cakupannya
untuk mencakup hubungan antara manusia dan sistem non-manusia dalam konstruksi
pengetahuan.
Dalam konteks ini,
muncul paradigma baru yang disebut “hybrid epistemology”—yakni bentuk
pengetahuan yang dihasilkan dari kolaborasi antara manusia dan mesin.¹⁵
Kolaborasi ini dapat memperluas kapasitas kognitif manusia (seperti dalam
analisis data besar dan riset ilmiah), tetapi juga mengancam otonomi epistemik
manusia jika tidak disertai dengan prinsip transparansi dan tanggung jawab
moral.¹⁶
4.4.      
Literasi Digital dan
Tanggung Jawab Epistemik
Epistemologi digital
tidak dapat dilepaskan dari etika pengetahuan. Dalam dunia di mana setiap
individu menjadi produsen informasi, muncul kebutuhan akan epistemic
responsibility—yakni tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa
informasi yang dibagikan benar, valid, dan tidak menyesatkan.¹⁷ Miranda Fricker
menyebut fenomena ini sebagai “epistemic injustice”, yaitu ketidakadilan
yang terjadi ketika seseorang dirugikan sebagai subjek pengetahuan, misalnya
karena bias algoritmik atau diskriminasi informasi.¹⁸
Literasi digital,
dalam kerangka epistemologis, bukan hanya kemampuan teknis untuk menggunakan
teknologi, tetapi juga kemampuan kritis untuk menilai keandalan, kredibilitas,
dan konteks sumber informasi.¹⁹ Pengembangan critical digital literacy menjadi
syarat utama untuk memulihkan epistemologi publik di era digital.²⁰ Dalam hal
ini, prinsip transparansi algoritma, verifikasi sumber, dan kesadaran akan bias
sistem menjadi bagian integral dari tanggung jawab epistemik manusia modern.²¹
4.5.      
Menuju Epistemologi
Digital Humanistik
Epistemologi digital
pada akhirnya menuntut integrasi antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan.
Floridi menyebut pendekatan ini sebagai digital humanism—suatu upaya untuk
menempatkan manusia kembali di pusat infosphere tanpa mengabaikan peran
teknologi sebagai mitra epistemik.²² Dengan cara ini, pengetahuan digital tidak
hanya menjadi alat efisiensi atau kekuasaan, tetapi juga sarana untuk
memperluas cakrawala pengertian manusia tentang dirinya dan dunia.
Epistemologi digital
humanistik menekankan pentingnya keseimbangan antara otomatisasi dan refleksi,
antara kecepatan informasi dan kedalaman pemahaman.²³ Dalam masyarakat yang
dibanjiri data, kebijaksanaan (phronēsis)—yakni kemampuan menilai
dengan benar dalam situasi yang kompleks—menjadi lebih penting daripada sekadar
akses terhadap informasi.²⁴ Oleh karena itu, epistemologi digital tidak boleh
berhenti pada pertanyaan “bagaimana kita mengetahui?”, tetapi harus
memperluas cakupannya menjadi “bagaimana kita seharusnya mengetahui dengan
cara yang bertanggung jawab, adil, dan manusiawi?”.
Footnotes
[1]               
¹ Plato, Theaetetus, terj. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications,
2008), 187b–201c.
[2]               
² Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 10–12.
[3]               
³ Yuk Hui, On the Existence of
Digital Objects (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2016), 77–80.
[4]               
⁴ Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 34–36.
[5]               
⁵ Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for
Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 9–12.
[6]               
⁶ Hannah Arendt, The Origins of
Totalitarianism (New York: Harcourt,
Brace & World, 1951), 382–383.
[7]               
⁷ Cass R. Sunstein, #Republic:
Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 59–64.
[8]               
⁸ Byung-Chul Han, Infocracy:
Digitalization and the Crisis of Democracy (Cambridge: Polity Press, 2022), 23–26.
[9]               
⁹ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, terj. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 6–8.
[10]            
¹⁰ Tarleton Gillespie, “The Relevance of Algorithms,” dalam Media Technologies: Essays on Communication, Materiality, and
Society, ed. Tarleton Gillespie et
al. (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 167–194.
[11]            
¹¹ Pedro Domingos, The Master Algorithm:
How the Quest for the Ultimate Learning Machine Will Remake Our World (New York: Basic Books, 2015), 45–47.
[12]            
¹² Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial
Intelligence,” dalam The Cambridge Handbook
of Artificial Intelligence, ed.
Keith Frankish and William M. Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 316–317.
[13]            
¹³ Kate Crawford and Trevor Paglen, “Excavating AI: The Politics of
Images in Machine Learning Training Sets,” Excavating
AI Project Report (2019), 2–4.
[14]            
¹⁴ Paul Humphreys, “Computational Science and the Problem of Epistemic
Opacity,” Philosophy of Science 74, no. 4 (2009): 618–619.
[15]            
¹⁵ David J. Gunkel, The
Machine Question: Critical Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012), 121–124.
[16]            
¹⁶ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 57–60.
[17]            
¹⁷ José Medina, The Epistemology of
Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant
Imaginations (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 14–16.
[18]            
¹⁸ Miranda Fricker, Epistemic
Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–2.
[19]            
¹⁹ Renee Hobbs, Exploring the Roots of
Digital and Media Literacy through Personal Narrative (Philadelphia: Temple University Press, 2016), 88–90.
[20]            
²⁰ Michael Hoechsmann and Helen DeWaard, “Critical Digital Literacy: A
Framework for Educators,” Media Literacy Research 2, no. 1 (2020): 1–15.
[21]            
²¹ Luciano Floridi, “Information Ethics: Its Nature and Scope,” Computers and Society
28, no. 4 (1998): 9–12.
[22]            
²² Luciano Floridi, The
Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 211–214.
[23]            
²³ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues, 205–208.
[24]            
²⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999),
1140b–1141a.
5.          
Aksiologi
dan Moralitas Digital
Aksiologi, sebagai
cabang filsafat yang membahas tentang nilai dan moralitas, menjadi landasan
penting dalam memahami etika digital. Dalam konteks ini, dunia digital tidak
hanya menjadi ruang interaksi sosial, tetapi juga medan moral di mana
nilai-nilai seperti kebaikan, keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab harus
diterjemahkan ulang. Teknologi digital, yang awalnya diciptakan sebagai alat
untuk efisiensi dan komunikasi, kini menjadi ruang tempat manusia
mengekspresikan kehendaknya, membentuk identitasnya, dan memengaruhi kehidupan
orang lain. Maka, aksiologi digital berupaya menjawab pertanyaan: nilai-nilai
apa yang seharusnya mengarahkan tindakan manusia dalam ruang digital, dan
bagaimana moralitas dapat dijaga di tengah sistem yang diatur oleh algoritma
dan data?
5.1.      
Nilai-Nilai Moral
dalam Dunia Digital
Dalam etika klasik,
nilai moral berkaitan dengan prinsip-prinsip universal yang mengatur hubungan
antarindividu. Namun, di era digital, nilai-nilai tersebut mengalami
transformasi. Nilai kebebasan (liberty), misalnya,
tidak lagi hanya berarti kebebasan berbicara, tetapi juga kebebasan digital—hak
untuk mengekspresikan diri di ruang maya tanpa sensor, sekaligus tanggung jawab
untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian atau disinformasi.¹
Nilai privasi
juga memperoleh makna baru. Jika pada masa lalu privasi dipahami sebagai
perlindungan ruang pribadi dari intervensi negara, kini privasi berarti
perlindungan data pribadi dari pengawasan algoritmik dan eksploitasi ekonomi.²
Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance capitalism—kapitalisme
yang mengekstraksi nilai dari perilaku manusia melalui data.³ Dalam konteks
ini, aksiologi digital menuntut keseimbangan antara kebebasan informasi dan hak
untuk dilindungi.
Nilai tanggung
jawab (responsibility) pun menjadi krusial. Tindakan kecil
seperti membagikan informasi palsu atau mengunggah konten tanpa izin memiliki
konsekuensi moral yang signifikan dalam skala global.⁴ Maka, moralitas digital
harus menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan di ruang maya memiliki
implikasi sosial yang nyata. Hal ini sesuai dengan prinsip virtue
ethics Aristoteles, di mana kebajikan adalah kebiasaan untuk
bertindak benar dalam konteks yang tepat.⁵ Dalam ruang digital, kebajikan
semacam ini termanifestasi melalui kehati-hatian, empati, dan kejujuran dalam
berinteraksi secara daring.
5.2.      
Etika Komunikasi
Digital dan Relasi Moral
Moralitas digital
juga sangat ditentukan oleh cara manusia berkomunikasi dalam ruang siber.
Jürgen Habermas dalam teori tindakan komunikatif menegaskan bahwa komunikasi
etis adalah komunikasi yang berorientasi pada saling pengertian, bukan
dominasi.⁶ Dalam dunia digital, prinsip ini sering terancam oleh hate
speech, disinformasi, dan polarisasi opini yang dihasilkan oleh
algoritma media sosial.⁷
Etika komunikasi
digital menuntut adanya diskursus yang bertanggung jawab,
yakni kesediaan untuk mendengar, menimbang, dan menghormati pandangan lain di
tengah kebebasan ekspresi. Menurut Luciano Floridi, komunikasi digital yang
bermoral harus berlandaskan pada prinsip “infospheric flourishing”—keadaan di
mana interaksi informasi memperkaya, bukan merusak, tatanan moral dan sosial.⁸
Maka, nilai kejujuran dan integritas menjadi pusat dalam menjaga moralitas
komunikasi digital.
Fenomena cyberbullying
dan doxing
menunjukkan bahwa dunia digital dapat menjadi arena kekerasan simbolik yang
memerlukan refleksi etis mendalam. Pierre Bourdieu menggambarkan kekerasan
simbolik sebagai bentuk dominasi yang bekerja melalui bahasa dan representasi.⁹
Ketika algoritma memperkuat konten yang provokatif demi keterlibatan (engagement),
maka sistem itu sendiri berpotensi menjadi aktor moral yang berperan dalam
menyebarkan kekerasan simbolik.¹⁰ Di sinilah muncul kebutuhan untuk memperluas
cakupan tanggung jawab moral, tidak hanya bagi pengguna, tetapi juga bagi
desainer dan pengembang sistem digital.
5.3.      
Moralitas Algoritmik
dan Keadilan Teknologis
Moralitas digital
tidak hanya menyangkut perilaku manusia, tetapi juga logika moral yang tertanam
dalam sistem digital. Algoritma kini menjadi mediator moral baru—ia mengatur
apa yang terlihat, apa yang tersembunyi, dan bagaimana keputusan diambil.¹¹
Misalnya, sistem facial recognition sering kali
menunjukkan bias rasial karena data pelatihannya tidak representatif.¹²
Fenomena ini menimbulkan persoalan keadilan algoritmik
(algorithmic justice), yakni upaya untuk memastikan bahwa sistem digital tidak
mereproduksi diskriminasi sosial.¹³
Menurut Virginia
Eubanks, bias algoritmik bukanlah kesalahan teknis, melainkan cerminan struktur
ketidakadilan yang sudah ada dalam masyarakat.¹⁴ Oleh karena itu, moralitas
digital harus berupaya untuk menanamkan nilai keadilan (justice)
dalam desain teknologi itu sendiri. Inilah yang disebut value-sensitive
design—pendekatan yang mengintegrasikan nilai etis dalam seluruh
siklus pengembangan teknologi.¹⁵ Dengan demikian, moralitas tidak lagi hanya
berlaku bagi pengguna, tetapi juga menjadi bagian inheren dari arsitektur
sistem digital.
Luciano Floridi
mengusulkan konsep distributed morality, yakni bahwa
dalam dunia digital, tanggung jawab moral terdistribusi di antara berbagai
entitas—manusia, mesin, dan jaringan.¹⁶ Ini berarti moralitas digital tidak
dapat direduksi pada tindakan individu, tetapi harus dipahami sebagai ekosistem
nilai di mana setiap komponen memiliki peran etis.
5.4.      
Kebajikan Digital
dan Etika Kemanusiaan
Shannon Vallor dalam
Technology
and the Virtues (2016) mengembangkan gagasan “kebajikan
digital”—suatu bentuk adaptasi dari etika kebajikan
Aristotelian ke dalam konteks teknologi.¹⁷ Ia menyoroti tiga kebajikan utama
bagi manusia digital: patience, honesty,
dan humility.
Kebajikan-kebajikan ini dibutuhkan agar manusia mampu menavigasi dunia digital
dengan integritas moral. Misalnya, digital patience melatih pengguna
untuk menunda reaksi impulsif terhadap provokasi daring, sementara digital
humility menumbuhkan kesadaran bahwa pengetahuan digital bersifat
terbatas dan kontekstual.¹⁸
Etika kebajikan
digital mengarah pada visi humanistik, yakni bahwa teknologi harus memperkuat
martabat manusia, bukan menguranginya. Dalam kerangka aksiologis, martabat
manusia (human
dignity) adalah nilai tertinggi yang harus menjadi dasar seluruh
tindakan digital.¹⁹ Ketika teknologi digunakan untuk manipulasi atau
eksploitasi, ia kehilangan orientasi moralnya. Oleh karena itu, moralitas
digital harus diarahkan pada flourishing of humanity—keadaan di
mana manusia berkembang secara moral, intelektual, dan sosial melalui teknologi
yang etis.²⁰
5.5.      
Sintesis Aksiologis:
Dari Nilai ke Tanggung Jawab Moral
Aksiologi digital
pada akhirnya bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam praksis
kehidupan digital. Dunia digital yang etis adalah dunia di mana kebebasan
diimbangi dengan tanggung jawab, inovasi diarahkan oleh keadilan, dan teknologi
digunakan untuk memperkuat kemanusiaan.²¹ Dengan demikian, moralitas digital
bukan hanya tentang kepatuhan terhadap aturan, tetapi tentang pembentukan
karakter moral yang sadar akan implikasi setiap tindakan di ruang maya.
Dalam kerangka
filsafat kontemporer, etika digital menuntut refleksi praktis: bagaimana
mengoperasionalkan nilai-nilai moral ke dalam sistem yang kompleks dan
global.²² Sejalan dengan pandangan Emmanuel Levinas, hubungan dengan “yang
lain” di ruang digital harus dipahami sebagai panggilan etis—suatu tanggung
jawab tanpa batas terhadap keberadaan orang lain yang hadir bahkan dalam bentuk
virtual.²³ Moralitas digital yang sejati, karenanya, adalah moralitas yang
memanusiakan ruang siber, menjadikannya tempat bagi pertumbuhan, bukan
penghancuran; bagi kebenaran, bukan manipulasi; bagi solidaritas, bukan
isolasi.²⁴
Footnotes
[1]               
¹ John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971),
53–56.
[2]               
² Helen Nissenbaum, Privacy
in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2010), 118–121.
[3]               
³ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 75–79.
[4]               
⁴ Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 145–147.
[5]               
⁵ Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999),
1105a–1106b.
[6]               
⁶ Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[7]               
⁷ Cass R. Sunstein, #Republic:
Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 89–92.
[8]               
⁸ Luciano Floridi, Information: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 60–63.
[9]               
⁹ Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power (Cambridge: Harvard University
Press, 1991), 166–168.
[10]            
¹⁰ Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects (Cambridge, MA: MIT Press,
2017), 42–44.
[11]            
¹¹ Tarleton Gillespie, “The Relevance of Algorithms,” dalam Media Technologies: Essays on Communication, Materiality, and
Society, ed. Tarleton Gillespie et
al. (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 172–174.
[12]            
¹² Joy Buolamwini and Timnit Gebru, “Gender Shades: Intersectional
Accuracy Disparities in Commercial Gender Classification,” Proceedings of Machine Learning Research 81 (2018): 1–15.
[13]            
¹³ Virginia Eubanks, Automating
Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 84–87.
[14]            
¹⁴ Ibid., 89–92.
[15]            
¹⁵ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral
Imagination (Cambridge, MA: MIT
Press, 2019), 23–25.
[16]            
¹⁶ Luciano Floridi, “Distributed Morality in an Information Society,” Science and Engineering Ethics 19, no. 3 (2013): 727–743.
[17]            
¹⁷ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 123–128.
[18]            
¹⁸ Ibid., 133–136.
[19]            
¹⁹ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–36.
[20]            
²⁰ Floridi, The Ethics of
Information, 190–192.
[21]            
²¹ Rafael Capurro, Digital Ethics:
Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 45–48.
[22]            
²² Shannon Vallor, Technology and the
Virtues, 189–192.
[23]            
²³ Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority,
terj. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.
[24]            
²⁴ Zygmunt Bauman, Liquid Surveillance: A
Conversation (Cambridge: Polity
Press, 2013), 112–114.
6.          
Dimensi
Sosial, Politik, dan Ekonomi Etika Digital
Etika digital tidak
hanya beroperasi dalam ranah moralitas individu atau relasi manusia dengan
teknologi, tetapi juga menyentuh struktur sosial, politik, dan ekonomi yang
menopang kehidupan digital kontemporer. Dunia digital merupakan ruang di mana
kekuasaan, kapital, dan ideologi saling bertaut dalam bentuk baru yang tak
selalu tampak. Oleh karena itu, memahami etika digital secara komprehensif
menuntut pembacaan kritis terhadap bagaimana sistem digital membentuk struktur
masyarakat, mendistribusikan kekuasaan, dan menciptakan nilai ekonomi.
6.1.      
Struktur Sosial
Dunia Digital: Konektivitas dan Ketimpangan
Dari perspektif
sosial, digitalisasi telah menciptakan fenomena ambivalen. Di satu sisi, ia
memperluas partisipasi publik, mempercepat komunikasi, dan memperkuat
solidaritas global. Namun, di sisi lain, ia juga melahirkan bentuk baru dari
eksklusi sosial, yang dikenal sebagai digital divide—jurang antara mereka
yang memiliki akses terhadap teknologi dan mereka yang tidak.¹ Manuel Castells
menegaskan bahwa masyarakat digital membentuk network society, di mana kekuasaan
sosial ditentukan oleh sejauh mana individu atau kelompok mampu mengakses dan
memanfaatkan jaringan informasi.²
Konektivitas digital
menghasilkan bentuk baru dari kapital sosial yang berbasis pada
data dan visibilitas.³ Dalam media sosial, misalnya, pengakuan sosial tidak
lagi diukur melalui interaksi tatap muka, tetapi melalui algoritma perhatian:
jumlah likes,
followers,
dan engagement.
Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai society of transparency, di mana
keterpaparan menjadi norma moral baru.⁴ Namun, transparansi yang berlebihan
dapat menghapus ruang reflektif dan privasi yang dibutuhkan untuk kebebasan
moral.
Ketimpangan digital
juga menciptakan bentuk baru dari marginalisasi. Akses terhadap data,
teknologi, dan literasi digital menjadi faktor penentu dalam distribusi
kesempatan ekonomi dan politik.⁵ Dalam konteks global, negara-negara berkembang
sering kali menjadi konsumen teknologi yang diciptakan oleh korporasi besar
dari negara maju, sehingga memperkuat hierarki global dalam bentuk digital
colonialism—penjajahan melalui kontrol atas data dan infrastruktur
digital.⁶
6.2.      
Politik Digital dan
Kekuasaan Algoritmik
Dimensi politik
etika digital terletak pada bagaimana kekuasaan diartikulasikan dan dijalankan
melalui teknologi. Michel Foucault dalam konsep biopower menggambarkan bagaimana
kekuasaan modern beroperasi bukan melalui paksaan langsung, tetapi melalui
regulasi tubuh dan informasi.⁷ Dalam era digital, logika ini berkembang menjadi
algorithmic
governance—mekanisme kontrol sosial melalui algoritma yang mengatur
perilaku warga tanpa disadari.⁸
Media sosial dan
mesin pencari, misalnya, tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga
arena politik di mana wacana publik dibentuk, diseleksi, dan disebarkan.
Algoritma menentukan apa yang layak dilihat dan apa yang disembunyikan,
sehingga berperan sebagai “sensor halus” dalam demokrasi digital.⁹ Cass
Sunstein memperingatkan bahwa filter bubbles menciptakan ruang
informasi yang terfragmentasi, di mana masyarakat kehilangan kemampuan untuk
berdialog lintas pandangan.¹⁰ Hal ini berpotensi melemahkan deliberasi publik
yang menjadi dasar etika politik demokratis.
Fenomena digital
authoritarianism juga menandai dimensi politik baru etika digital.
Negara-negara otoriter kini menggunakan teknologi pengawasan dan kecerdasan
buatan untuk memantau, mengontrol, bahkan memprediksi perilaku warganya.¹¹
Dalam sistem seperti ini, teknologi kehilangan netralitas moralnya dan menjadi
instrumen kekuasaan. Etika digital harus merespons hal ini dengan menegaskan prinsip
digital
rights—hak-hak dasar warga di ruang digital, seperti hak atas
privasi, kebebasan berekspresi, dan perlindungan data pribadi.¹²
6.3.      
Ekonomi Digital dan
Kapitalisme Data
Secara ekonomi,
dunia digital telah melahirkan sistem kapitalisme baru yang disebut oleh
Shoshana Zuboff sebagai surveillance capitalism—suatu
bentuk kapitalisme yang mengekstraksi nilai ekonomi dari perilaku pengguna
melalui data.¹³ Dalam sistem ini, data pribadi bukan sekadar informasi,
melainkan komoditas yang diperdagangkan, diolah, dan dimonetisasi. Nicholas
Gane menyebutnya sebagai “ekonomi perhatian” (attention
economy), di mana perhatian manusia menjadi sumber daya langka yang
dieksploitasi oleh perusahaan teknologi.¹⁴
Etika digital, dalam
konteks ini, menuntut keadilan distribusional: siapakah yang diuntungkan dari
sirkulasi data, dan siapa yang menanggung biayanya? Ketika pengguna menyerahkan
data pribadi tanpa sadar kepada perusahaan teknologi, terjadi asimetri
kekuasaan antara individu dan korporasi.¹⁵ Fenomena ini menciptakan bentuk baru
dari eksploitasi digital—manusia bukan lagi pekerja industri, tetapi “pekerja
data” yang tidak dibayar.¹⁶
David Lyon
menekankan bahwa ekonomi data juga mengandung dimensi pengawasan yang mendalam
(surveillance
society), di mana setiap tindakan manusia menjadi sumber nilai
sekaligus alat kontrol sosial.¹⁷ Dalam konteks ini, etika digital harus
menegakkan prinsip transparansi, persetujuan sadar (informed consent), dan hak untuk
menghapus (right to
be forgotten) sebagai bagian dari perlindungan moral terhadap
individu di era ekonomi informasi.¹⁸
6.4.      
Demokrasi Digital
dan Tanggung Jawab Sosial
Etika digital juga
menyentuh dimensi demokrasi dan partisipasi publik. Dunia digital memperluas
ruang deliberatif bagi warga untuk berpartisipasi dalam diskursus politik.¹⁹
Namun, kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab dapat menciptakan anarki
informasi dan kekacauan publik. Fenomena fake news dan manipulasi data dalam
pemilu—seperti yang diungkap dalam skandal Cambridge Analytica—menunjukkan
bagaimana data dapat digunakan sebagai senjata politik untuk memengaruhi
kehendak kolektif.²⁰
Etika politik
digital, karenanya, harus menegaskan prinsip integritas informasi publik:
kebenaran dan transparansi dalam komunikasi politik adalah prasyarat bagi
legitimasi demokrasi digital.²¹ Selain itu, pemerintah, korporasi, dan
masyarakat sipil memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan
infrastruktur digital yang adil, aman, dan inklusif.²² Prinsip ini sejalan
dengan pandangan Martha Nussbaum tentang “capabilities approach”, yaitu bahwa
keadilan harus menjamin kemampuan dasar setiap individu untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial dan politik, termasuk di ruang digital.²³
6.5.      
Keadilan Sosial dan
Etika Ekonomi Digital
Etika digital juga
harus mempertimbangkan dampak ekonomi-politik global dari revolusi digital.
Akses terhadap data dan teknologi kini menjadi sumber kekuasaan geopolitik
baru.²⁴ Korporasi besar seperti Google, Meta, Amazon, dan Tencent menguasai
infrastruktur komunikasi dunia, sehingga memunculkan oligopoli digital yang
mengancam keadilan ekonomi dan kedaulatan data negara.²⁵
Fenomena ini
menghidupkan kembali perdebatan etika tentang keadilan global dan redistribusi
kekayaan digital. Joseph Stiglitz menekankan bahwa tanpa regulasi yang adil,
ekonomi digital akan memperdalam ketimpangan antara pusat dan pinggiran, baik
dalam konteks ekonomi nasional maupun global.²⁶ Dalam hal ini, etika digital
menuntut mekanisme tata kelola global yang menyeimbangkan kepentingan inovasi
dengan perlindungan sosial.
Etika digital dengan
demikian berfungsi sebagai koreksi moral terhadap kapitalisme informasi: ia
menolak reduksi manusia menjadi sekadar pengguna atau konsumen data, dan
menegaskan bahwa nilai sejati teknologi terletak pada kemampuannya untuk
memperluas kebebasan dan kesejahteraan manusia secara universal.²⁷
6.6.      
Sintesis Etis:
Menuju Ekologi Sosio-Digital yang Adil
Dari sudut pandang
aksiologis, dimensi sosial, politik, dan ekonomi etika digital saling terkait
dalam satu ekosistem moral: hubungan antara manusia, teknologi, dan
kekuasaan.²⁸ Dunia digital yang adil tidak dapat dicapai hanya dengan inovasi
teknis, tetapi memerlukan refleksi etis yang mendalam tentang nilai-nilai dasar
seperti keadilan, solidaritas, dan keberlanjutan.²⁹
Dengan mengadopsi
kerangka “digital
social ethics”, para pemikir seperti Floridi dan Capurro menyerukan
agar teknologi diarahkan bukan hanya pada efisiensi atau profit, tetapi pada human
flourishing—kesejahteraan manusia dan planet dalam
keseluruhannya.³⁰ Etika digital yang utuh harus melampaui moralitas individual
menuju keadilan struktural, memastikan bahwa transformasi digital membawa
kemajuan yang berkeadilan bagi seluruh umat manusia.³¹
Footnotes
[1]               
¹ Jan A. G. M. van Dijk, The
Deepening Divide: Inequality in the Information Society (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2005), 3–5.
[2]               
² Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
21–25.
[3]               
³ Pierre Lévy, Cyberculture (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2001),
54–56.
[4]               
⁴ Byung-Chul Han, The Transparency
Society (Stanford: Stanford
University Press, 2015), 9–11.
[5]               
⁵ Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2020),
372–374.
[6]               
⁶ Michael Kwet, “Digital Colonialism: US Empire and the New Imperialism
in the Global South,” Race & Class 60, no. 4 (2019): 3–26.
[7]               
⁷ Michel Foucault, The History of
Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
terj. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 139–142.
[8]               
⁸ Antoinette Rouvroy and Thomas Berns, “Algorithmic Governmentality and
Prospects of Emancipation,” Réactivation
des critiques de la raison administrative (2013): 1–17.
[9]               
⁹ Tarleton Gillespie, “The Relevance of Algorithms,” dalam Media Technologies: Essays on Communication, Materiality, and
Society, ed. Tarleton Gillespie et
al. (Cambridge, MA: MIT Press, 2014), 167–194.
[10]            
¹⁰ Cass R. Sunstein, #Republic:
Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 83–89.
[11]            
¹¹ Ron Deibert, Reset: Reclaiming the
Internet for Civil Society (Toronto:
House of Anansi, 2020), 44–48.
[12]            
¹² United Nations, The Right to Privacy in
the Digital Age (New York: UN
General Assembly Report, 2018), 12–14.
[13]            
¹³ Shoshana Zuboff, The
Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 65–72.
[14]            
¹⁴ Nicholas Gane, “The Emergence of the ‘Attention Economy’: Digital
Media and the Commodification of Human Consciousness,” Theory, Culture & Society 38, no. 7–8 (2021): 63–81.
[15]            
¹⁵ Helen Nissenbaum, Privacy
in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2010), 95–100.
[16]            
¹⁶ Trebor Scholz, Digital Labor: The
Internet as Playground and Factory
(New York: Routledge, 2013), 2–5.
[17]            
¹⁷ David Lyon, Surveillance Studies:
An Overview (Cambridge: Polity
Press, 2007), 55–58.
[18]            
¹⁸ European Parliament, General
Data Protection Regulation (GDPR)
(Brussels: Official Journal of the European Union, 2016), 1–3.
[19]            
¹⁹ Jürgen Habermas, Between
Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 308–311.
[20]            
²⁰ Carole Cadwalladr and Emma Graham-Harrison, “Revealed: 50 Million
Facebook Profiles Harvested for Cambridge Analytica,” The Guardian, March
17, 2018.
[21]            
²¹ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 186–189.
[22]            
²² Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 157–160.
[23]            
²³ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 71–74.
[24]            
²⁴ Henry Farrell and Abraham Newman, Underground
Empire: How America Weaponized the World Economy (New York: Henry Holt, 2023), 215–218.
[25]            
²⁵ Evgeny Morozov, To Save Everything,
Click Here: The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 132–136.
[26]            
²⁶ Joseph E. Stiglitz, People,
Power, and Profits: Progressive Capitalism for an Age of Discontent (New York: W. W. Norton, 2019), 215–217.
[27]            
²⁷ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 190–193.
[28]            
²⁸ Rafael Capurro, Digital Ethics:
Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 57–59.
[29]            
²⁹ Luciano Floridi, The
Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 198–201.
[30]            
³⁰ Floridi, The Ethics of
Information, 204–208.
[31]            
³¹ Manuel Castells, Communication
Power (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 417–420.
7.          
Kritik
terhadap Etika Digital
Setiap bentuk etika
yang lahir dalam konteks historis tertentu selalu mengandung keterbatasan.
Etika digital, meskipun berupaya menata moralitas dalam ruang teknologi informasi,
tidak terlepas dari kritik filosofis, metodologis, dan praksis. Kritik-kritik
ini datang dari berbagai arah—mulai dari postmodernisme, teori kritis, hingga
pendekatan feminis dan dekolonial—yang mempertanyakan klaim universalitas,
netralitas teknologi, serta efektivitas penerapan nilai-nilai moral dalam
sistem digital yang kompleks dan sering kali tidak transparan.
7.1.      
Kritik Postmodern
terhadap Universalitas Moral Digital
Salah satu kritik
utama terhadap etika digital datang dari perspektif postmodern, yang menolak
klaim universalitas dan rasionalitas tunggal dalam etika. Jean-François Lyotard
menegaskan bahwa era digital adalah era “akhir dari metanarasi,” di mana
kebenaran dan moralitas tidak lagi diatur oleh sistem nilai universal, tetapi
oleh narasi-narasi kecil (petits récits) yang bersifat
kontekstual.¹ Dengan demikian, upaya untuk membangun etika digital yang
bersifat universal dianggap problematis karena mengabaikan keragaman budaya,
politik, dan pengalaman lokal dalam ruang digital global.
Jean Baudrillard
menambahkan bahwa dalam masyarakat hiperreal, moralitas kehilangan acuannya
karena yang ada hanyalah simulasi nilai.² Misalnya, praktik “moralitas
digital” yang diukur melalui code of conduct atau terms of
service platform sebenarnya hanya merupakan bentuk moralitas yang
disimulasikan, bukan hasil refleksi etis yang otentik.³ Dalam konteks ini,
etika digital sering dipandang lebih sebagai strategi legitimasi korporasi
daripada sistem nilai yang sungguh-sungguh mengikat secara moral.
7.2.      
Kritik terhadap
Netralitas Teknologi dan Determinisme Digital
Kritik lain muncul
terhadap asumsi bahwa teknologi bersifat netral. Pandangan deterministik yang
melihat teknologi sebagai alat bebas nilai telah banyak dikoreksi oleh teori
kritis dan studi sains-teknologi (STS). Bruno Latour, melalui teori
aktor-jaringan (Actor-Network Theory), menunjukkan
bahwa teknologi memiliki agensi moral tersendiri—ia bukan
sekadar alat pasif, melainkan entitas yang ikut menentukan tindakan manusia.⁴
Karena itu, etika digital yang tidak memperhitungkan “moralitas material”
dari teknologi dianggap reduksionis.
Andrew Feenberg
mengembangkan kritik terhadap technological instrumentalism
melalui konsep critical theory of technology,
dengan menekankan bahwa teknologi selalu mengandung bias ideologis.⁵ Misalnya,
algoritma yang tampak objektif sesungguhnya merefleksikan kepentingan ekonomi
dan politik tertentu.⁶ Maka, etika digital yang hanya berbicara tentang
tanggung jawab pengguna tanpa menyoal struktur kekuasaan di balik teknologi
akan gagal mengatasi ketimpangan moral yang lebih dalam.
Dalam konteks ini,
kritik diarahkan pula terhadap kecenderungan etika digital untuk bersifat “normatif
tanpa praksis.” Banyak prinsip etika digital yang dirumuskan dalam dokumen
internasional—seperti AI Principles atau Digital
Charter—namun jarang diterapkan secara konkret karena tidak
mengubah relasi kekuasaan ekonomi yang menopang dunia digital.⁷
7.3.      
Kritik Feminis dan
Dekolonial terhadap Bias dan Ketidakadilan Digital
Perspektif feminis
dan dekolonial menyoroti bias sistemik yang melekat dalam teknologi digital.
Donna Haraway dalam A Cyborg Manifesto mengkritik cara
pandang teknologi modern yang maskulin, rasional, dan eksploitatif terhadap
tubuh dan alam.⁸ Menurutnya, etika digital yang tidak mempertimbangkan
pengalaman perempuan dan kelompok marjinal akan terus mereproduksi
ketidakadilan epistemik.⁹
Ruha Benjamin
menambahkan bahwa algoritma sering kali bekerja sebagai “new Jim
Code,” yakni bentuk rasisme struktural yang tersembunyi di balik
kode komputer.¹⁰ Teknologi pengenalan wajah, sistem rekrutmen berbasis AI, dan
analitik data sosial telah terbukti memperkuat stereotip rasial dan gender
karena dibangun dari data yang bias.¹¹ Kritik ini menunjukkan bahwa etika
digital harus melampaui sekadar wacana normatif dan bergerak menuju praksis
keadilan sosial digital (digital social justice).¹²
Perspektif
dekolonial juga memperingatkan bahwa etika digital yang dikembangkan di Barat
sering kali bersifat hegemonik dan tidak sensitif terhadap nilai-nilai lokal di
Global South.¹³ Fenomena digital colonialism—penguasaan data
dan infrastruktur teknologi oleh korporasi global—membuktikan bahwa dominasi
moral dalam etika digital sering berjalan beriringan dengan dominasi ekonomi.¹⁴
Maka, etika digital perlu direkonstruksi menjadi pluriversal ethics, yaitu sistem
etika yang menghormati keragaman epistemik dan kultural di ruang digital
global.¹⁵
7.4.      
Kritik terhadap
Reduksi Moralitas menjadi Regulasi
Kritik penting
lainnya menyangkut kecenderungan untuk mereduksi moralitas menjadi sekadar
regulasi atau kebijakan. Seperti dikemukakan oleh Zygmunt Bauman, modernitas
cenderung menggantikan tanggung jawab moral pribadi dengan sistem hukum dan
aturan birokratik.¹⁶ Dalam konteks digital, fenomena ini tampak pada
proliferasi kebijakan terms of service, content
moderation, dan community guidelines yang
menggantikan refleksi etis dengan kepatuhan mekanistik terhadap aturan.¹⁷
Padahal, sebagaimana
diingatkan Emmanuel Levinas, moralitas sejati bersumber dari tanggung jawab
terhadap “yang lain” (l’Autre), bukan dari kontrak atau
peraturan.¹⁸ Etika digital yang terlalu bergantung pada regulasi algoritmik
berisiko menumpulkan kepekaan moral manusia dan menyerahkan keputusan etis
kepada mesin. Dalam situasi seperti itu, moralitas kehilangan dimensinya yang
paling manusiawi: kebebasan, empati, dan tanggung jawab eksistensial.
Selain itu,
mekanisme moderasi konten sering kali bersifat politis dan bias. Keputusan
untuk menurunkan atau memblokir konten dapat mencerminkan ideologi perusahaan
teknologi, bukan prinsip moral yang universal.¹⁹ Maka, etika digital harus
tetap mempertahankan otonomi moral manusia di tengah otomatisasi keputusan yang
semakin meluas.
7.5.      
Kritik terhadap
Keterbatasan Etika Formal dan Paradigma Rasional
Sebagian filsuf
menilai bahwa etika digital masih terlalu terikat pada paradigma
rasional-instrumental warisan modernitas. Seyla Benhabib dan Axel Honneth
menunjukkan bahwa etika rasional sering gagal menangkap dimensi emosional dan
afektif dari kehidupan moral.²⁰ Dalam dunia digital, di mana interaksi manusia
berlangsung dalam ruang yang penuh emosi, afek, dan simbol, reduksi moralitas
ke dalam logika rasional tidak lagi memadai.²¹
Byung-Chul Han
mengkritik rasionalitas teknologis modern sebagai bentuk baru dari nihilisme.²²
Menurutnya, logika efisiensi dan transparansi digital menyingkirkan kedalaman
etika yang sejati. “Di dunia yang tanpa rahasia,” tulis Han, “kita
kehilangan misteri yang memberi makna pada moralitas.”²³ Kritik ini
memperingatkan bahwa etika digital, jika hanya berorientasi pada fungsionalitas
dan kepatuhan, berpotensi kehilangan dimensi spiritual dan eksistensialnya.
7.6.      
Tantangan Penerapan
dan Krisis Legitimasi
Kritik terakhir
bersifat praktis: etika digital sering kali gagal diterapkan karena lemahnya
mekanisme akuntabilitas.²⁴ Banyak perusahaan teknologi mengadopsi prinsip etika
secara simbolik sebagai bentuk ethics washing—yakni penggunaan
wacana etis untuk menutupi praktik bisnis yang tidak adil.²⁵ Fenomena ini
mencerminkan adanya crisis of legitimacy, di mana etika
digital menjadi alat retorika, bukan pedoman moral yang mengikat.
Selain itu, sifat
global dunia digital menciptakan kesulitan dalam penerapan etika lintas
yurisdiksi. Norma moral yang berlaku di Eropa, misalnya dalam General
Data Protection Regulation (GDPR), tidak selalu dapat diterapkan di
Asia atau Afrika karena perbedaan nilai budaya dan sistem hukum.²⁶ Akibatnya,
etika digital menghadapi paradoks: ia dituntut untuk bersifat universal, tetapi
juga harus kontekstual dan plural.
Dengan demikian,
kritik terhadap etika digital menegaskan perlunya pendekatan reflektif yang
lebih dalam—yakni etika yang tidak berhenti pada regulasi, melainkan berakar
pada kesadaran moral manusia dan penghargaan terhadap keberagaman pengalaman
digital. Etika digital masa depan harus menjadi etika yang hidup, kontekstual,
dan dialogis: bukan sistem tertutup, melainkan ruang refleksi yang terus
berkembang seiring dengan transformasi teknologi dan budaya manusia.
Footnotes
[1]               
¹ Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[2]               
² Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, terj. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 2–6.
[3]               
³ Ibid., 9–10.
[4]               
⁴ Bruno Latour, Reassembling the
Social: An Introduction to Actor-Network-Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 63–66.
[5]               
⁵ Andrew Feenberg, Transforming
Technology: A Critical Theory Revisited
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 15–19.
[6]               
⁶ Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 57–60.
[7]               
⁷ Mark Coeckelbergh, AI
Ethics (Cambridge, MA: MIT Press,
2020), 105–107.
[8]               
⁸ Donna Haraway, A Cyborg Manifesto:
Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century (New York: Routledge, 1991), 149–153.
[9]               
⁹ Ibid., 163–165.
[10]            
¹⁰ Ruha Benjamin, Race After Technology:
Abolitionist Tools for the New Jim Code
(Cambridge: Polity Press, 2019), 3–6.
[11]            
¹¹ Joy Buolamwini dan Timnit Gebru, “Gender Shades: Intersectional
Accuracy Disparities in Commercial Gender Classification,” Proceedings of Machine Learning Research 81 (2018): 1–15.
[12]            
¹² Sasha Costanza-Chock, Design
Justice: Community-Led Practices to Build the Worlds We Need (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 28–30.
[13]            
¹³ Walter D. Mignolo, The
Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 274–278.
[14]            
¹⁴ Michael Kwet, “Digital Colonialism: US Empire and the New
Imperialism in the Global South,” Race
& Class 60, no. 4 (2019): 3–26.
[15]            
¹⁵ Arturo Escobar, Designs for the
Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham: Duke University Press, 2018), 24–27.
[16]            
¹⁶ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 11–13.
[17]            
¹⁷ Tarleton Gillespie, Custodians
of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden Decisions That
Shape Social Media (New Haven: Yale
University Press, 2018), 101–104.
[18]            
¹⁸ Emmanuel Levinas, Ethics
and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, terj. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1985), 89–91.
[19]            
¹⁹ Sarah Roberts, Behind the Screen:
Content Moderation in the Shadows of Social Media (New Haven: Yale University Press, 2019), 55–57.
[20]            
²⁰ Seyla Benhabib, Situating the Self:
Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 47–50.
[21]            
²¹ Axel Honneth, Freedom’s Right: The
Social Foundations of Democratic Life
(New York: Columbia University Press, 2014), 92–95.
[22]            
²² Byung-Chul Han, Psychopolitics:
Neoliberalism and New Technologies of Power (London: Verso, 2017), 8–10.
[23]            
²³ Byung-Chul Han, The Transparency
Society (Stanford: Stanford
University Press, 2015), 14–15.
[24]            
²⁴ John Danaher, “The Ethics of Ethics-Washing: On Big Tech’s Use of
Moral Rhetoric to Avoid Regulation,” Ethics
and Information Technology 24, no. 1
(2022): 1–12.
[25]            
²⁵ Thilo Hagendorff, “The Ethics of AI Ethics: An Evaluation of
Guidelines,” Minds and Machines 30, no. 1 (2020): 99–120.
[26]            
²⁶ European Commission, Ethics
Guidelines for Trustworthy AI
(Brussels: European Union, 2019), 3–6.
8.          
Relevansi
Kontemporer dan Aplikasi Praktis
Etika digital pada
abad ke-21 bukan hanya bidang refleksi akademik, tetapi juga menjadi kerangka
praksis dalam menanggapi kompleksitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya
dunia digital. Relevansinya semakin nyata seiring meningkatnya dominasi
teknologi dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia: mulai dari komunikasi,
pendidikan, ekonomi, hingga pemerintahan. Dunia digital kini tidak sekadar
ruang tambahan bagi aktivitas manusia, melainkan ruang utama tempat nilai,
moralitas, dan tanggung jawab harus diterapkan secara konkret.
8.1.      
Etika Digital dalam
Kehidupan Sehari-hari
Dalam konteks
individu, etika digital berfungsi sebagai pedoman moral bagi perilaku daring.
Setiap tindakan di ruang digital—mengunggah, membagikan, atau
mengomentari—memiliki implikasi etis yang nyata.¹ Fenomena hate
speech, cyberbullying, dan penyebaran
disinformasi memperlihatkan bagaimana ruang digital dapat menjadi arena
destruktif apabila tidak diimbangi dengan kesadaran moral.² Oleh karena itu,
penguatan digital
civility—kesantunan dan tanggung jawab etis di dunia maya—menjadi
salah satu agenda penting dalam pendidikan etika digital.³
Program literasi
digital global yang digagas UNESCO menekankan bahwa pengguna internet harus
memahami tiga aspek etis: (a) respect—menghargai hak dan privasi
orang lain, (b) responsibility—menyadari
konsekuensi tindakan digital, dan (c) empathy—menunjukkan kepedulian
terhadap dampak emosional komunikasi daring.⁴ Dalam hal ini, moralitas digital
bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan, melainkan pembentukan karakter moral
yang reflektif dan berkeadaban.
8.2.      
Relevansi Etika
Digital dalam Dunia Pendidikan
Sektor pendidikan
merupakan salah satu bidang yang paling terdampak oleh transformasi digital.
Pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi proses belajar, sekaligus menimbulkan
pertanyaan etis baru tentang keadilan akses, privasi data siswa, dan integritas
akademik.⁵ Pendidikan daring membuka peluang demokratisasi pengetahuan, namun
juga memperkuat ketimpangan antara mereka yang memiliki akses teknologi dan
mereka yang tertinggal.⁶
Etika digital dalam
pendidikan mencakup perlindungan terhadap data pribadi siswa, pencegahan
plagiarisme berbasis AI, serta pengembangan digital pedagogy yang menjunjung
integritas akademik.⁷ Guru dan lembaga pendidikan kini dituntut tidak hanya
mengajarkan literasi digital, tetapi juga menanamkan moral
literacy—kemampuan menilai implikasi etis dari tindakan dalam ruang
digital.⁸ Dengan demikian, etika digital berperan sebagai dasar pembentukan
warga belajar yang bertanggung jawab secara moral di era informasi.
8.3.      
Etika Digital dan
Tantangan AI serta Big Data
Kecerdasan buatan (Artificial
Intelligence) dan analisis big data menjadi medan paling
kompleks bagi penerapan etika digital kontemporer. AI kini digunakan dalam
pengambilan keputusan penting, mulai dari perekrutan kerja hingga sistem
peradilan, yang menimbulkan pertanyaan serius tentang tanggung jawab moral dan
keadilan algoritmik.⁹
Organisasi seperti
IEEE dan UNESCO telah merumuskan prinsip-prinsip etika AI—antara lain beneficence,
non-maleficence,
autonomy,
justice,
dan explicability—sebagai
panduan global untuk memastikan bahwa pengembangan AI selaras dengan nilai
kemanusiaan.¹⁰ Namun, penerapan prinsip ini masih menghadapi kendala, terutama
karena kompleksitas teknis dan dominasi korporasi teknologi global dalam
mendefinisikan “etika” sesuai kepentingan mereka.¹¹
Luciano Floridi
menegaskan bahwa relevansi etika digital dalam konteks AI terletak pada
upayanya membangun “infospheric governance,” yakni tata
kelola informasi yang menempatkan manusia, bukan algoritma, sebagai pusat
orientasi moral.¹² Oleh karena itu, setiap inovasi teknologi harus disertai
dengan mekanisme transparansi, akuntabilitas, dan audit etis yang dapat diakses
publik.¹³
8.4.      
Aplikasi Etika
Digital dalam Dunia Ekonomi dan Bisnis
Ekonomi digital
menghadirkan tantangan baru bagi moralitas. Platform ekonomi berbasis
data—seperti e-commerce, fintech, dan gig economy—mengubah relasi kerja
dan tanggung jawab sosial perusahaan.¹⁴ Dalam banyak kasus, pekerja digital (platform
workers) menghadapi eksploitasi terselubung: jam kerja fleksibel
tanpa jaminan sosial, ketergantungan pada algoritma, dan hilangnya batas antara
ruang pribadi dan profesional.¹⁵
Etika digital dalam
bisnis menuntut penerapan prinsip corporate digital responsibility (CDR),
yaitu komitmen perusahaan terhadap praktik yang adil, transparan, dan
menghormati hak digital pengguna serta pekerja.¹⁶ Prinsip ini mencakup
perlindungan data konsumen, kebijakan non-diskriminatif dalam algoritma, serta
tanggung jawab ekologis terhadap dampak lingkungan dari infrastruktur digital
seperti pusat data (data centers).¹⁷
Selain itu, muncul
pula gerakan ethical tech entrepreneurship yang
mendorong inovator untuk mengintegrasikan nilai-nilai moral sejak tahap desain
produk.¹⁸ Gerakan ini berupaya menolak logika “move fast and break things”
yang sering diasosiasikan dengan Silicon Valley, dan menggantinya dengan
paradigma “move slow and fix things,” di mana refleksi etis menjadi
bagian integral dari inovasi.¹⁹
8.5.      
Etika Digital dalam
Tata Kelola Pemerintahan dan Politik
Dalam ranah politik
dan pemerintahan, etika digital berperan penting dalam menjamin legitimasi dan
keadilan sistem demokrasi. Pemerintahan digital (e-governance) dan sistem data
publik menuntut standar moral yang tinggi dalam penggunaan data warga.²⁰
Prinsip data
ethics menegaskan bahwa setiap kebijakan berbasis data harus
memperhatikan transparansi, keamanan, dan partisipasi warga dalam pengambilan
keputusan.²¹
Namun, penggunaan
teknologi untuk kepentingan politik juga menimbulkan risiko manipulasi dan
pengawasan berlebihan.²² Praktik digital surveillance yang dilakukan
atas nama keamanan nasional dapat mengancam privasi dan kebebasan sipil,
sementara politik berbasis data (seperti microtargeting pemilih) menimbulkan
dilema antara efisiensi politik dan manipulasi kesadaran publik.²³ Karena itu,
penerapan etika digital dalam politik menuntut pembatasan kekuasaan teknologi
dan penguatan prinsip akuntabilitas publik.
Di sisi lain,
teknologi digital juga dapat memperkuat partisipasi politik melalui digital
democracy—seperti platform petisi daring, transparansi anggaran
publik, dan ruang diskusi digital.²⁴ Dalam kerangka ini, etika digital bertugas
memastikan bahwa partisipasi digital tidak berubah menjadi populisme digital
yang destruktif, melainkan tetap berlandaskan dialog rasional dan tanggung
jawab bersama.²⁵
8.6.      
Ekologi Digital dan
Tanggung Jawab Global
Dimensi kontemporer
lain dari etika digital adalah kaitannya dengan isu ekologi dan keberlanjutan.
Infrastruktur digital global—pusat data, jaringan server, dan perangkat
keras—mengonsumsi energi dalam jumlah besar dan berkontribusi pada emisi
karbon.²⁶ Maka, muncul gagasan digital sustainability ethics,
yaitu upaya mengintegrasikan prinsip keadilan ekologis ke dalam desain dan
penggunaan teknologi digital.²⁷
Etika digital dalam
konteks ini menuntut keseimbangan antara inovasi dan keberlanjutan, dengan
mengedepankan konsep “green computing” dan ethical
recycling dari limbah elektronik.²⁸ Selain itu, perusahaan
teknologi harus bertanggung jawab secara moral terhadap rantai pasok global
mereka, yang sering kali melibatkan eksploitasi tenaga kerja di negara
berkembang untuk produksi komponen digital.²⁹
Dengan demikian,
etika digital tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara manusia dan
teknologi, tetapi juga dengan hubungan antara teknologi dan planet—menjadikan
tanggung jawab ekologis sebagai bagian integral dari moralitas digital
global.³⁰
8.7.      
Menuju Penerapan
Etika Digital yang Integral
Relevansi
kontemporer etika digital tidak hanya diukur dari kemampuannya merespons
tantangan moral masa kini, tetapi juga dari kemampuannya membangun sistem nilai
yang berkelanjutan untuk masa depan. Etika digital yang integral harus
memadukan tiga aspek utama: (1) kesadaran moral individual, (2) tanggung jawab
sosial kolektif, dan (3) tata kelola etis institusional.³¹
Dalam tataran
praktis, hal ini dapat diwujudkan melalui pendidikan etika digital lintas
sektor, pembentukan ethical boards di perusahaan
teknologi, penguatan regulasi global tentang hak digital, serta kolaborasi
antara akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil.³² Seperti ditegaskan
Shannon Vallor, masa depan etika digital tidak bergantung pada teknologi itu
sendiri, melainkan pada kualitas moral manusia yang menggunakannya.³³
Footnotes
[1]               
¹ Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford University
Press, 2013), 135–138.
[2]               
² Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects (Cambridge, MA: MIT Press,
2017), 18–20.
[3]               
³ Microsoft Digital Civility Index Report (Redmond: Microsoft, 2022),
3–6.
[4]               
⁴ UNESCO, Guidelines on Digital
Literacy for Learners and Educators
(Paris: UNESCO, 2021), 8–11.
[5]               
⁵ Neil Selwyn, Education and
Technology: Key Issues and Debates
(London: Bloomsbury Academic, 2016), 43–47.
[6]               
⁶ Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
24–27.
[7]               
⁷ Deborah L. Johnson, Computer
Ethics (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1985), 93–96.
[8]               
⁸ Renee Hobbs, Digital and Media
Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2011), 99–102.
[9]               
⁹ Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial
Intelligence,” dalam The Cambridge Handbook
of Artificial Intelligence, ed.
Keith Frankish dan William M. Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 316–320.
[10]            
¹⁰ IEEE, Ethically Aligned
Design: A Vision for Prioritizing Human Well-being with Autonomous and
Intelligent Systems, 2nd ed. (New
York: IEEE, 2019), 10–13.
[11]            
¹¹ Kate Crawford and Trevor Paglen, “Excavating AI: The Politics of
Images in Machine Learning Training Sets,” Excavating
AI Project Report (2019), 3–5.
[12]            
¹² Luciano Floridi, The
Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 176–179.
[13]            
¹³ Virginia Dignum, Responsible
Artificial Intelligence: Developing and Using AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 5–8.
[14]            
¹⁴ Trebor Scholz, Digital Labor: The
Internet as Playground and Factory
(New York: Routledge, 2013), 23–27.
[15]            
¹⁵ Alex J. Wood et al., “Good Gig, Bad Gig: Autonomy and Algorithmic
Control in the Global Gig Economy,” Work,
Employment and Society 33, no. 1
(2019): 56–75.
[16]            
¹⁶ Oliver P. Hauser, “Corporate Digital Responsibility,” Business Horizons 64,
no. 3 (2021): 273–283.
[17]            
¹⁷ Helen Nissenbaum, Privacy
in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2010), 132–136.
[18]            
¹⁸ Ron Deibert, Reset: Reclaiming the
Internet for Civil Society (Toronto:
House of Anansi, 2020), 52–55.
[19]            
¹⁹ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 213–216.
[20]            
²⁰ Jürgen Habermas, Between
Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 315–319.
[21]            
²¹ OECD, Recommendation of the
Council on Artificial Intelligence
(Paris: OECD Publishing, 2019), 4–6.
[22]            
²² Carole Cadwalladr dan Emma Graham-Harrison, “Revealed: 50 Million
Facebook Profiles Harvested for Cambridge Analytica,” The Guardian, March
17, 2018.
[23]            
²³ Shoshana Zuboff, The
Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 202–206.
[24]            
²⁴ Beth Noveck, Smart Citizens, Smarter
State: The Technologies of Expertise and the Future of Governing (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015),
115–118.
[25]            
²⁵ Cass R. Sunstein, #Republic:
Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 95–99.
[26]            
²⁶ Greenpeace, Clicking Clean: Who Is
Winning the Race to Build a Green Internet? (Washington, DC: Greenpeace, 2017), 9–13.
[27]            
²⁷ Karen Bakker, The Digital Water
Paradox: Governance of a Hybrid Resource (Cambridge, MA: MIT Press, 2022), 44–47.
[28]            
²⁸ Mark P. Mills, “The Cloud Begins with Coal,” Digital Power Group White Paper (2013), 5–7.
[29]            
²⁹ Jennifer Gabrys, Digital
Rubbish: A Natural History of Electronics (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2011), 61–63.
[30]            
³⁰ Luciano Floridi, The
Ethics of Information, 202–204.
[31]            
³¹ Rafael Capurro, Digital Ethics:
Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 72–76.
[32]            
³² European Commission, Ethics
Guidelines for Trustworthy AI
(Brussels: European Union, 2019), 10–12.
[33]            
³³ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues, 221–224.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Etika Digital Humanistik
Etika digital
humanistik merupakan upaya untuk mengintegrasikan refleksi filosofis klasik
tentang moralitas dengan realitas eksistensial manusia dalam era teknologi
informasi. Ia berangkat dari kesadaran bahwa digitalisasi bukan sekadar
transformasi teknologis, melainkan juga transformasi antropologis: manusia
tidak hanya menciptakan teknologi, tetapi juga sedang diciptakan kembali
olehnya.¹ Oleh karena itu, sintesis etika digital harus mengembalikan orientasi
moral teknologi kepada pusatnya yang sejati—manusia sebagai makhluk bermartabat dan
bertanggung jawab.
9.1.      
Rekonsiliasi antara
Rasionalitas Teknis dan Rasionalitas Moral
Dalam kerangka
filosofis, tantangan utama etika digital terletak pada ketegangan antara rasionalitas
teknis (instrumental
rationality) dan rasionalitas moral (practical rationality).²
Rasionalitas teknis berfokus pada efisiensi, optimalisasi, dan produktivitas,
sedangkan rasionalitas moral mengutamakan kebaikan, keadilan, dan makna.³ Dunia
digital, yang dikendalikan oleh algoritma dan data, cenderung mendewakan yang
pertama sambil menyingkirkan yang kedua.
Etika digital
humanistik berupaya menjembatani dua dimensi ini dengan cara mengembalikan
teknologi kepada fungsi etiknya: sebagai medium of moral extension, bukan substitute
for morality.⁴ Dalam pandangan Martin Heidegger, teknologi harus
dipahami bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai cara pengungkapan (revealing)
yang menyingkap kebenaran tentang keberadaan manusia.⁵ Oleh karena itu,
rekonsiliasi antara teknologi dan moralitas menuntut kesadaran ontologis bahwa
manusia tetap menjadi Dasein—subjek yang memaknai, bukan
sekadar pengguna yang dikendalikan oleh sistem digital.
Luciano Floridi
menggambarkan hubungan ini melalui konsep Fourth Revolution, yaitu revolusi
epistemik di mana manusia harus belajar hidup berdampingan dengan entitas
non-manusia seperti algoritma dan kecerdasan buatan.⁶ Namun, Floridi menekankan
bahwa manusia tetap memiliki tanggung jawab moral untuk “merancang moralitas”
dalam ruang informasi tersebut.⁷ Dengan demikian, etika digital humanistik
tidak menolak teknologi, melainkan menuntun rasionalitas teknologis agar
sejalan dengan prinsip-prinsip moral universal.
9.2.      
Integrasi Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi Digital
Etika digital
humanistik berakar pada sintesis tiga dimensi filosofis: ontologi,
epistemologi,
dan aksiologi.
Ontologi digital menegaskan bahwa realitas digital adalah bentuk keberadaan
yang nyata, bukan sekadar simulasi, karena di dalamnya manusia mengekspresikan
eksistensinya.⁸ Epistemologi digital, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
menggarisbawahi bahwa pengetahuan kini bersifat kolaboratif dan algoritmik,
menuntut tanggung jawab epistemik yang lebih luas.⁹ Sedangkan aksiologi digital
memperkenalkan nilai-nilai baru seperti tanggung jawab algoritmik, keadilan
informasi, dan transparansi etis.¹⁰
Sintesis ketiganya
menciptakan paradigma baru dalam etika: integral digital ethics, yakni
pendekatan yang melihat manusia, teknologi, dan informasi sebagai satu kesatuan
sistem moral yang saling terkait.¹¹ Di sini, moralitas bukan hanya atribut
manusia, tetapi menjadi kualitas relasional dari seluruh ekosistem digital—distributed
morality—di mana tindakan etis terjadi melalui kolaborasi antara
manusia dan mesin.¹² Dengan demikian, etika digital humanistik mengakui bahwa
moralitas di era digital bersifat intersubjektif dan intersistemik.
9.3.      
Humanisme Baru dalam
Era Digital
Etika digital
humanistik juga berusaha membangun kembali humanisme baru (neo-humanism)
yang relevan dengan abad informasi. Humanisme klasik menempatkan manusia
sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu (anthropocentrism), tetapi dalam
konteks digital, pandangan ini perlu diperluas menjadi relational
humanism—manusia sebagai makhluk yang eksistensinya ditentukan oleh
relasi dengan teknologi, sesama, dan lingkungan informasi.¹³
Shannon Vallor
mengemukakan bahwa manusia di era digital membutuhkan kebajikan baru (technomoral
virtues), seperti kesabaran digital, empati daring, dan tanggung
jawab data.¹⁴ Kebajikan-kebajikan ini menjadi dasar dari digital
human flourishing—kehidupan bermoral yang berkembang di tengah
jaringan teknologi.¹⁵ Sementara itu, Martha Nussbaum mengingatkan bahwa
humanisme sejati tidak cukup dengan rasionalitas, tetapi harus mencakup kapasitas
untuk berempati dan memperjuangkan keadilan sosial.¹⁶
Etika digital
humanistik dengan demikian bukan sekadar “etika untuk dunia maya,”
melainkan gerakan moral yang mengembalikan teknologi kepada tujuan kemanusiaan.
Ia berusaha melawan reduksi manusia menjadi sekadar data, pengguna, atau
konsumen algoritma. Sebaliknya, ia menegaskan manusia sebagai subjectum
moralis—subjek moral yang memiliki martabat dan kebebasan dalam
menentukan arah perkembangan teknologi.¹⁷
9.4.      
Teknologi sebagai
Medium Humanisasi
Etika digital
humanistik memandang teknologi bukan sebagai ancaman terhadap kemanusiaan,
melainkan sebagai peluang untuk memperluas kapasitas moral manusia. Norbert
Wiener sejak awal telah menyatakan bahwa teknologi sibernetika dapat berfungsi
secara etis jika diarahkan untuk memperkuat otonomi dan martabat manusia.¹⁸
Dalam pandangan ini, teknologi dapat menjadi medium of humanization, yaitu
sarana bagi manusia untuk mengembangkan kebajikan, solidaritas, dan kreativitas
moral.¹⁹
Namun, hal ini hanya
mungkin jika manusia mampu menanamkan nilai-nilai etis ke dalam arsitektur
teknologi. Pendekatan value-sensitive design yang
dikembangkan oleh Batya Friedman dan David Hendry menawarkan landasan praktis
untuk hal ini, dengan menekankan bahwa sistem digital harus dirancang
berdasarkan nilai-nilai keadilan, privasi, dan kesejahteraan kolektif.²⁰ Dalam
kerangka etika digital humanistik, desain teknologi bukan sekadar persoalan
teknis, tetapi tindakan moral dan politis yang menentukan masa depan peradaban
digital.²¹
9.5.      
Dari Moralitas
Individual ke Tanggung Jawab Kolektif
Etika digital
humanistik juga memperluas cakupan moralitas dari level individual ke level
kolektif. Dunia digital bersifat jaringan—tidak ada tindakan etis yang
sepenuhnya bersifat pribadi.²² Setiap klik, unggahan, dan keputusan algoritmik
memiliki konsekuensi sosial yang luas. Oleh karena itu, moralitas digital harus
bersifat networked
ethics, yaitu sistem tanggung jawab bersama antara pengguna,
desainer, perusahaan, dan lembaga publik.²³
Luciano Floridi
menyebut ini sebagai distributed agency, di mana
tanggung jawab moral tersebar dan harus dikelola melalui tata kelola informasi
yang adil dan transparan.²⁴ Dengan demikian, etika digital humanistik tidak
hanya menekankan kebajikan individu, tetapi juga mengusulkan reformasi
struktural terhadap cara teknologi dikelola secara global.
9.6.      
Horizon Etika
Digital Humanistik: Teknologi untuk Kemanusiaan
Tujuan akhir dari
sintesis ini adalah membangun horizon baru bagi etika—sebuah visi tentang
teknologi yang mendukung kehidupan bermartabat, adil, dan berkelanjutan.²⁵
Etika digital humanistik menolak dua ekstrem: teknofobia (ketakutan terhadap
teknologi) dan teknokrasi (penyembahan terhadap teknologi).²⁶ Sebaliknya, ia
menawarkan paradigma technological stewardship—kepemimpinan
moral dalam mengarahkan teknologi agar tetap berpihak pada kemanusiaan.²⁷
Dalam visi ini,
manusia bukan lagi “penguasa atas mesin,” melainkan penatalayan
moral dari dunia digital. Ia bertanggung jawab tidak hanya untuk
menggunakan teknologi dengan benar, tetapi juga memastikan bahwa teknologi itu
sendiri mencerminkan nilai-nilai etis yang luhur.²⁸ Dengan cara ini, etika
digital humanistik menjadi proyek filosofis dan praktis untuk mengembalikan
kemanusiaan dalam arus globalisasi teknologi.
Akhirnya, sintesis
filosofis ini menunjukkan bahwa etika digital bukanlah batasan bagi inovasi,
melainkan bentuk tertinggi dari kebebasan moral manusia: kemampuan untuk
memilih, mencipta, dan bertindak secara etis di tengah dunia yang semakin
algoritmik.²⁹ Dengan menegakkan martabat manusia sebagai pusat dari ekosistem
digital, etika digital humanistik menghadirkan visi baru tentang peradaban—sebuah peradaban informasi yang berjiwa.³⁰
Footnotes
[1]               
¹ Rafael Capurro, Digital Ethics: Philosophical
Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 63–66.
[2]               
² Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford University Press, 1947), 30–32.
[3]               
³ Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1 (Boston:
Beacon Press, 1984), 86–90.
[4]               
⁴ Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 12–15.
[5]               
⁵ Martin Heidegger, The
Question Concerning Technology,
terj. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 19–23.
[6]               
⁶ Luciano Floridi, The Fourth Revolution:
How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 9–11.
[7]               
⁷ Ibid., 122–125.
[8]               
⁸ Pierre Lévy, Becoming Virtual:
Reality in the Digital Age, terj.
Robert Bononno (New York: Plenum Trade, 1998), 34–36.
[9]               
⁹ Yuk Hui, On the Existence of
Digital Objects (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2016), 82–86.
[10]            
¹⁰ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 142–145.
[11]            
¹¹ Luciano Floridi, The
Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 176–180.
[12]            
¹² Floridi, The Ethics of
Information, 190–192.
[13]            
¹³ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–35.
[14]            
¹⁴ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues, 127–131.
[15]            
¹⁵ Ibid., 135–139.
[16]            
¹⁶ Martha C. Nussbaum, Upheavals
of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 392–394.
[17]            
¹⁷ Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority,
terj. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 201–205.
[18]            
¹⁸ Norbert Wiener, The Human Use of Human
Beings: Cybernetics and Society
(Boston: Houghton Mifflin, 1950), 39–42.
[19]            
¹⁹ Ibid., 55–58.
[20]            
²⁰ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral
Imagination (Cambridge, MA: MIT
Press, 2019), 24–27.
[21]            
²¹ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics:
Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 64–68.
[22]            
²² Zygmunt Bauman, Liquid Surveillance: A
Conversation (Cambridge: Polity
Press, 2013), 113–116.
[23]            
²³ Philip Brey, “Ethics of Emerging Technologies,” The Oxford Handbook of Ethics of AI, ed. Markus Dubber, Frank Pasquale, dan Sunit Das
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 255–258.
[24]            
²⁴ Luciano Floridi, “Distributed Morality in an Information Society,” Science and Engineering Ethics 19, no. 3 (2013): 728–731.
[25]            
²⁵ Jürgen Habermas, Moral
Consciousness and Communicative Action
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 126–129.
[26]            
²⁶ Evgeny Morozov, To Save Everything,
Click Here: The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 83–85.
[27]            
²⁷ Terry Bynum, “The Foundation of Computer Ethics,” Computers and Society
28, no. 4 (1998): 7–13.
[28]            
²⁸ Luciano Floridi, Information:
A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 60–63.
[29]            
²⁹ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues, 221–223.
[30]            
³⁰ Rafael Capurro, Digital Ethics, 75–78.
10.       Kesimpulan
Etika digital hadir
sebagai refleksi filosofis yang sangat penting di tengah revolusi informasi
yang telah mengubah struktur kehidupan manusia secara ontologis, epistemologis,
dan aksiologis. Dunia digital bukan sekadar ruang teknologis, melainkan sebuah
ekosistem moral baru tempat manusia, mesin, dan data saling berinteraksi
membentuk tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks. Oleh karena itu,
kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa etika digital tidak hanya
diperlukan untuk mengatur perilaku di dunia maya, tetapi juga untuk menegaskan
kembali martabat dan tanggung jawab manusia di tengah sistem yang semakin
dikendalikan oleh algoritma.¹
10.1.   
Etika Digital
sebagai Landasan Moral Peradaban Informasi
Dalam peradaban
digital, manusia dihadapkan pada paradoks antara kebebasan dan kontrol,
transparansi dan privasi, efisiensi dan moralitas.² Etika digital berfungsi
sebagai kompas normatif yang menuntun manusia agar tetap mampu mempertahankan
nilai-nilai kemanusiaan di tengah derasnya arus digitalisasi. Seperti
dinyatakan oleh Luciano Floridi, manusia modern hidup dalam infosphere,
di mana setiap tindakan digital memiliki konsekuensi moral yang nyata.³ Dengan
demikian, etika digital bukan sekadar adaptasi etika klasik terhadap konteks
baru, tetapi sebuah revolusi moral yang menuntut paradigma baru dalam memahami
tanggung jawab manusia.
Etika digital juga
menjadi penopang moral bagi transformasi sosial global. Ketika ekonomi, politik,
dan pendidikan bergantung pada sistem informasi, maka fondasi moral menjadi
kunci keberlanjutan.⁴ Tanpa nilai etis seperti keadilan, transparansi, dan
empati, ruang digital akan berubah menjadi arena kekuasaan yang menindas dan
mendominasi. Dalam kerangka inilah etika digital berfungsi sebagai bentuk moral
infrastructure dari masyarakat informasi yang adil dan beradab.⁵
10.2.   
Rekonstruksi Relasi
antara Manusia dan Teknologi
Salah satu hasil
refleksi penting dari kajian ini adalah perlunya merekonstruksi hubungan
manusia dengan teknologi. Tradisi modern yang menempatkan teknologi sebagai
instrumen netral terbukti tidak memadai.⁶ Teknologi bukan sekadar alat, tetapi
entitas yang membawa nilai, bias, dan kekuasaan.⁷ Karena itu, manusia tidak
dapat bersikap pasif atau fatalistik terhadap kemajuan teknologi, melainkan
harus menjadi agent of ethical design—subjek
moral yang secara sadar menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem
digital.⁸
Sebagaimana
ditekankan oleh Norbert Wiener, teknologi harus diarahkan untuk “the
human use of human beings,” yakni untuk memperkuat kebebasan dan
tanggung jawab manusia.⁹ Prinsip ini menegaskan bahwa kemajuan digital hanya
bermakna sejauh ia memperluas potensi moral manusia, bukan menggantikannya.
Dalam konteks ini, etika digital mengajarkan keseimbangan antara kemampuan
teknis (technological
competence) dan kebijaksanaan moral (moral wisdom).¹⁰
10.3.   
Dari Kesadaran Moral
Individual menuju Tanggung Jawab Kolektif
Etika digital juga
menuntut pergeseran dari moralitas yang bersifat individualistik menuju
tanggung jawab yang bersifat kolektif dan sistemik.¹¹ Dunia digital merupakan
jaringan relasi yang saling terhubung, di mana setiap tindakan individu
memiliki dampak sosial yang luas.¹² Maka, moralitas digital harus dipahami
sebagai networked
morality—tanggung jawab bersama antara pengguna, pengembang,
lembaga, dan negara dalam menjaga integritas ruang informasi.¹³
Luciano Floridi
menyebut konsep ini sebagai distributed morality, yaitu
kesadaran bahwa tanggung jawab moral kini tersebar di antara manusia dan
entitas non-manusia seperti algoritma dan mesin cerdas.¹⁴ Dalam konteks ini,
penguatan tata kelola etis (ethical governance) menjadi hal
yang mutlak, baik dalam skala nasional maupun global.¹⁵ Tanpa sistem tanggung
jawab kolektif, etika digital akan terjebak dalam moralitas simbolik yang tidak
efektif menghadapi tantangan nyata seperti disinformasi, eksploitasi data, dan
ketimpangan digital.
10.4.   
Humanisme sebagai
Inti Etika Digital
Kesimpulan filosofis
yang paling penting adalah bahwa etika digital pada akhirnya merupakan bentuk humanisme
baru yang berakar pada penghormatan terhadap martabat manusia (human
dignity).¹⁶ Teknologi hanya memiliki makna sejauh ia memperkuat
eksistensi manusia sebagai makhluk rasional, sosial, dan moral.¹⁷ Sebagaimana
diungkapkan oleh Martha Nussbaum, kemajuan sejati bukanlah hasil dari inovasi
teknis semata, tetapi dari kemampuan manusia untuk menggunakan pengetahuan demi
memperluas keadilan dan kasih sayang.¹⁸
Etika digital
humanistik mengajak manusia untuk tidak menyerahkan kebebasannya kepada
algoritma, tetapi menggunakan teknologi sebagai sarana pembebasan moral.¹⁹
Dalam paradigma ini, manusia tetap menjadi pusat moralitas, bukan korban dari
kemajuan teknologi.²⁰ Teknologi yang beretika adalah teknologi yang menghormati
batas moral, mengutamakan kesejahteraan manusia, dan memperkuat solidaritas
global.²¹
10.5.   
Menuju Filsafat
Moral Era Digital
Akhirnya, etika
digital bukanlah akhir dari filsafat moral, melainkan tahap lanjut dari
evolusinya. Ia menandai pergeseran dari etika tradisional yang berpusat pada
tindakan individual menuju etika sistemik yang mempertimbangkan relasi
antarentitas di dalam ekosistem informasi.²² Hal ini menunjukkan bahwa filsafat
moral terus berevolusi seiring dengan cara manusia memahami dirinya di dunia.
Sebagaimana
dikemukakan Shannon Vallor, masa depan etika tidak akan ditentukan oleh
seberapa canggih teknologi yang kita miliki, melainkan oleh seberapa bijak kita
menggunakannya.²³ Dengan demikian, etika digital harus menjadi proyek kolektif
umat manusia untuk menata ulang nilai-nilai dasar peradaban di era informasi.²⁴
Etika digital
humanistik, dalam pengertian terdalamnya, adalah panggilan filosofis untuk
menegakkan kembali makna “manusia” di tengah dunia yang semakin
dikendalikan oleh mesin.²⁵ Ia mengingatkan bahwa moralitas bukanlah kode yang
dapat diprogram, melainkan kesadaran yang harus dihidupi.²⁶ Oleh karena itu,
masa depan etika digital tidak terletak pada algoritma, melainkan pada
keberanian manusia untuk tetap berpikir, merasa, dan bertindak dengan
kebijaksanaan moral di dunia yang semakin terotomatisasi.²⁷
Footnotes
[1]               
¹ Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 5–7.
[2]               
² Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects (Cambridge, MA: MIT Press,
2017), 23–26.
[3]               
³ Luciano Floridi, The Logic of
Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 178–181.
[4]               
⁴ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 420–423.
[5]               
⁵ Rafael Capurro, Digital Ethics:
Philosophical Enquiries into Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2017), 69–72.
[6]               
⁶ Andrew Feenberg, Transforming
Technology: A Critical Theory Revisited
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 20–23.
[7]               
⁷ Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 67–70.
[8]               
⁸ Batya Friedman and David G. Hendry, Value Sensitive Design: Shaping Technology with Moral
Imagination (Cambridge, MA: MIT
Press, 2019), 29–31.
[9]               
⁹ Norbert Wiener, The Human Use of Human
Beings: Cybernetics and Society
(Boston: Houghton Mifflin, 1950), 34–36.
[10]            
¹⁰ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 198–200.
[11]            
¹¹ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 118–120.
[12]            
¹² Floridi, The Ethics of
Information, 189–191.
[13]            
¹³ Philip Brey, “The Physical and Social Reality of Virtual Worlds,” Techné: Research in Philosophy and Technology 8, no. 2 (2005): 7–10.
[14]            
¹⁴ Luciano Floridi, “Distributed Morality in an Information Society,” Science and Engineering Ethics 19, no. 3 (2013): 728–731.
[15]            
¹⁵ European Commission, Ethics
Guidelines for Trustworthy AI
(Brussels: European Union, 2019), 6–8.
[16]            
¹⁶ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–34.
[17]            
¹⁷ Emmanuel Levinas, Ethics
and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, terj. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1985), 89–92.
[18]            
¹⁸ Martha C. Nussbaum, Frontiers
of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006),
285–288.
[19]            
¹⁹ Luciano Floridi, The
Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 113–115.
[20]            
²⁰ Rafael Capurro, Digital Hermeneutics:
Philosophical Perspectives on Information and Communication Technology (Berlin: Springer, 2016), 70–72.
[21]            
²¹ Manuel Castells, The
Rise of the Network Society (Oxford:
Blackwell, 1996), 32–34.
[22]            
²² Yuk Hui, Recursivity and
Contingency (Lanham: Rowman &
Littlefield, 2019), 101–103.
[23]            
²³ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues, 224–226.
[24]            
²⁴ Floridi, The Logic of
Information, 201–204.
[25]            
²⁵ Byung-Chul Han, The Transparency
Society (Stanford: Stanford
University Press, 2015), 19–21.
[26]            
²⁶ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 15–17.
[27]            
²⁷ Rafael Capurro, Digital Ethics, 75–78.
Daftar Pustaka 
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.
Bakker, K. (2022). The
digital water paradox: Governance of a hybrid resource. MIT Press.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan
Press.
Bauman, Z. (1993). Postmodern
ethics. Blackwell.
Bauman, Z. (2000). Liquid
modernity. Polity Press.
Bauman, Z. (2013). Liquid
surveillance: A conversation. Polity Press.
Benjamin, R. (2019). Race
after technology: Abolitionist tools for the new Jim code. Polity
Press.
Benhabib, S. (1992). Situating
the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics.
Polity Press.
Bostrom, N., &
Yudkowsky, E. (2014). The ethics of artificial intelligence. In K. Frankish
& W. M. Ramsey (Eds.), The Cambridge handbook of artificial intelligence
(pp. 316–334). Cambridge University Press.
Bourdieu, P. (1991). Language
and symbolic power. Harvard University Press.
Brey, P. (2020). Ethics of
emerging technologies. In M. Dubber, F. Pasquale, & S. Das (Eds.), The
Oxford handbook of ethics of AI (pp. 255–258). Oxford University
Press.
Buolamwini, J., &
Gebru, T. (2018). Gender shades: Intersectional accuracy disparities in
commercial gender classification. Proceedings of Machine
Learning Research, 81, 1–15.
Bynum, T. (1998). The
foundation of computer ethics. Computers and Society, 28(4),
7–13.
Capurro, R. (2016). Digital
hermeneutics: Philosophical perspectives on information and communication
technology. Springer.
Capurro, R. (2017). Digital
ethics: Philosophical enquiries into information and communication technology.
Springer.
Castells, M. (1996). The
rise of the network society. Blackwell.
Castells, M. (2009). Communication
power. Oxford University Press.
Coeckelbergh, M. (2020). AI
ethics. MIT Press.
Costanza-Chock, S. (2020). Design
justice: Community-led practices to build the worlds we need. MIT
Press.
Dignum, V. (2019). Responsible
artificial intelligence: Developing and using AI in a responsible way.
Springer.
Deibert, R. (2020). Reset:
Reclaiming the internet for civil society. House of Anansi.
Escobar, A. (2018). Designs
for the pluriverse: Radical interdependence, autonomy, and the making of worlds.
Duke University Press.
European Commission.
(2019). Ethics guidelines for trustworthy AI. European
Union.
European Parliament.
(2016). General data protection regulation (GDPR). Official
Journal of the European Union.
Eubanks, V. (2018). Automating
inequality: How high-tech tools profile, police, and punish the poor.
St. Martin’s Press.
Feenberg, A. (2002). Transforming
technology: A critical theory revisited. Oxford University Press.
Floridi, L. (2010). Information:
A very short introduction. Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2014). The
fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality.
Oxford University Press.
Floridi, L. (2019). The
logic of information: A theory of philosophy as conceptual design.
Oxford University Press.
Foucault, M. (1990). The
history of sexuality, vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.).
Vintage Books.
Friedman, B., & Hendry,
D. G. (2019). Value sensitive design: Shaping
technology with moral imagination. MIT Press.
Gabrys, J. (2011). Digital
rubbish: A natural history of electronics. University of Michigan
Press.
Gane, N. (2021). The
emergence of the “attention economy”: Digital media and the commodification of
human consciousness. Theory, Culture & Society,
38(7–8), 63–81.
Gillespie, T. (2014). The
relevance of algorithms. In T. Gillespie, P. Boczkowski, & K. Foot (Eds.), Media
technologies: Essays on communication, materiality, and society
(pp. 167–194). MIT Press.
Gillespie, T. (2018). Custodians
of the internet: Platforms, content moderation, and the hidden decisions that
shape social media. Yale University Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral
consciousness and communicative action. MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy.
MIT Press.
Han, B.-C. (2015). The
transparency society. Stanford University Press.
Han, B.-C. (2017). In
the swarm: Digital prospects. MIT Press.
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics:
Neoliberalism and new technologies of power. Verso.
Haraway, D. (1991). A
cyborg manifesto: Science, technology, and socialist-feminism in the late
twentieth century. Routledge.
Heidegger, M. (1977). The
question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper &
Row.
Hobbs, R. (2011). Digital
and media literacy: Connecting culture and classroom. Corwin.
Honneth, A. (2014). Freedom’s
right: The social foundations of democratic life. Columbia
University Press.
Horkheimer, M. (1947). Eclipse
of reason. Oxford University Press.
Hui, Y. (2016). On
the existence of digital objects. University of Minnesota Press.
Hui, Y. (2019). Recursivity
and contingency. Rowman & Littlefield.
IEEE. (2019). Ethically
aligned design: A vision for prioritizing human well-being with autonomous and
intelligent systems (2nd ed.). IEEE.
Johnson, D. L. (1985). Computer
ethics. Prentice Hall.
Kwet, M. (2019). Digital
colonialism: US empire and the new imperialism in the Global South. Race
& Class, 60(4), 3–26.
Latour, B. (2005). Reassembling
the social: An introduction to actor-network-theory. Oxford
University Press.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press.
Levinas, E. (1985). Ethics
and infinity: Conversations with Philippe Nemo (R. A. Cohen,
Trans.). Duquesne University Press.
Lévy, P. (1998). Becoming
virtual: Reality in the digital age (R. Bononno, Trans.). Plenum
Trade.
Lévy, P. (2001). Cyberculture.
University of Minnesota Press.
Lyon, D. (2007). Surveillance
studies: An overview. Polity Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The
postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B.
Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
Mignolo, W. D. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options.
Duke University Press.
Mills, M. P. (2013). The
cloud begins with coal. Digital Power Group.
Morozov, E. (2013). To
save everything, click here: The folly of technological solutionism.
PublicAffairs.
Nissenbaum, H. (2010). Privacy
in context: Technology, policy, and the integrity of social life.
Stanford University Press.
Noble, S. U. (2018). Algorithms
of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.
Noveck, B. (2015). Smart
citizens, smarter state: The technologies of expertise and the future of
governing. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals
of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University
Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University
Press.
OECD. (2019). Recommendation
of the Council on Artificial Intelligence. OECD Publishing.
Piketty, T. (2020). Capital
and ideology. Harvard University Press.
Rawls, J. (1971). A
theory of justice. Harvard University Press.
Roberts, S. (2019). Behind
the screen: Content moderation in the shadows of social media. Yale
University Press.
Rouvroy, A., & Berns,
T. (2013). Algorithmic governmentality and prospects of emancipation. Réactivation
des critiques de la raison administrative, 1–17.
Scholz, T. (2013). Digital
labor: The internet as playground and factory. Routledge.
Selwyn, N. (2016). Education
and technology: Key issues and debates. Bloomsbury Academic.
Stiglitz, J. E. (2019). People,
power, and profits: Progressive capitalism for an age of discontent.
W. W. Norton.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic:
Divided democracy in the age of social media. Princeton University
Press.
UNESCO. (2021). Guidelines
on digital literacy for learners and educators. UNESCO.
United Nations. (2018). The
right to privacy in the digital age. UN General Assembly Report.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting.
Oxford University Press.
van Dijk, J. A. G. M.
(2005). The deepening divide: Inequality in the information society.
Sage Publications.
Wiener, N. (1950). The
human use of human beings: Cybernetics and society. Houghton
Mifflin.
Wood, A. J., Graham, M.,
Lehdonvirta, V., & Hjorth, I. (2019). Good gig, bad gig: Autonomy and
algorithmic control in the global gig economy. Work, Employment and
Society, 33(1), 56–75.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Zygmunt Bauman. (2000). Liquid
modernity. Polity Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar