Metafisika Islam
Antara Tuhan, Wujud, dan Realitas
Alihkan ke: Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif metafisika
dalam filsafat Islam sebagai inti dari struktur pemikiran filosofis dan
spiritual dalam peradaban Islam. Kajian ini menelusuri perjalanan historis,
ontologis, epistemologis, kosmologis, dan mistis dari tradisi metafisika Islam,
mulai dari pengaruh filsafat Yunani (Aristoteles dan Neoplatonisme) hingga
sintesis eksistensialis-transendental Mullā Ṣadrā. Melalui pendekatan analitis
dan historis-filosofis, penelitian ini menunjukkan bahwa metafisika Islam
berupaya mengintegrasikan akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi
(kashf) dalam satu kesatuan sistem pengetahuan.
Secara ontologis, metafisika Islam menempatkan wujud
(al-wujūd) sebagai realitas fundamental yang memancar dari Tuhan sebagai Wujud
Mutlak dan bergradasi melalui tatanan kosmik yang hierarkis. Sementara
secara epistemologis, ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya
diperoleh melalui nalar rasional, tetapi juga melalui penyatuan eksistensial
antara subjek dan objek pengetahuan dalam ‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan
hadir). Dimensi mistisnya, terutama dalam pemikiran Ibn ‘Arabī, memperkaya
metafisika Islam dengan konsep wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi)
sebagai ekspresi spiritual dari prinsip ontologisnya.
Dalam konteks kontemporer, metafisika Islam
memiliki relevansi besar terhadap krisis spiritualitas, etika, dan
epistemologi modern, karena menawarkan pandangan dunia yang
integral—menyatukan rasionalitas ilmiah dengan kesadaran ilahiah. Ia juga
membuka ruang bagi dialog antara filsafat Timur dan Barat, serta antara sains
dan agama, dengan menegaskan kesatuan antara realitas empiris dan transenden.
Melalui pendekatan yang rasional sekaligus spiritual, metafisika Islam tidak
hanya berfungsi sebagai sistem filsafat, tetapi juga sebagai jalan menuju
kebijaksanaan (ḥikmah) dan kesempurnaan manusia.
Kata Kunci: Metafisika Islam, Wujud (al-Wujūd), Ibn Sīnā,
Suhrawardī, Mullā Ṣadrā, Wahdat al-Wujūd, Ontologi, Epistemologi, Kosmologi,
Mistisisme, Akal dan Wahyu, Filsafat Islam Kontemporer.
PEMBAHASAN
Nilai Universal Metafisika Islam dalam Menjembatani
Iman dan Rasio
1.          
Pendahuluan
Metafisika menempati posisi sentral dalam filsafat
Islam karena ia menyelidiki realitas paling fundamental: hakikat wujud (al-wujūd)
dan hubungan antara Tuhan, alam, serta manusia. Dalam tradisi filsafat Islam,
metafisika tidak hanya dipahami sebagai cabang abstrak dari pengetahuan
rasional, tetapi juga sebagai jalan menuju pemahaman tentang asal-usul dan
tujuan keberadaan. Ia menggabungkan dimensi rasional, teologis, dan mistis
menjadi satu kesatuan sistem pemikiran yang unik dan khas dalam peradaban
Islam.¹
Latar belakang historis kemunculan metafisika Islam
tidak dapat dilepaskan dari pertemuan antara warisan intelektual Yunani dan
semangat keagamaan Islam. Setelah penerjemahan karya-karya Aristoteles,
Plotinus, dan filsuf Yunani lainnya ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyah,
para pemikir Muslim seperti al-Kindī, al-Fārābī, dan Ibn Sīnā mengembangkan
pendekatan metafisis yang berupaya menyelaraskan rasionalitas filosofis dengan
wahyu ilahi.² Namun, filsafat Islam tidak berhenti pada penyerapan gagasan
Yunani; ia mengalami transformasi besar dengan munculnya pemikiran iluminatif
Suhrawardī dan eksistensialis Mullā Ṣadrā, yang menekankan pengalaman langsung
dan intuisi sebagai sarana mengenal realitas terdalam.³
Masalah pokok yang menjadi pusat perhatian
metafisika Islam adalah pertanyaan tentang wujud: apa makna keberadaan
itu sendiri, apakah wujud bersifat tunggal atau bergradasi, dan bagaimana
hubungan antara Wujud Mutlak (Tuhan) dengan wujud-wujud partikular (makhluk).⁴
Dari persoalan inilah muncul perdebatan besar antara aliran rasional
(Peripatetik), iluminatif, dan mistik. Para filsuf Muslim mencoba menjawab
pertanyaan ini dengan berbagai pendekatan: Ibn Sīnā mengembangkan konsep wajib al-wujūd (Wujud yang niscaya) dan mumkin al-wujūd (wujud yang mungkin), sementara Mullā Ṣadrā menegaskan tashkīk al-wujūd (gradasi wujud)
yang memandang realitas sebagai spektrum eksistensi yang berpuncak pada Tuhan.⁵
Kajian metafisika dalam filsafat Islam memiliki
relevansi besar terhadap epistemologi, etika, dan kosmologi. Ia tidak hanya
berfungsi menjelaskan hakikat eksistensi, tetapi juga memberikan dasar
ontologis bagi moralitas, ilmu pengetahuan, dan pengalaman spiritual.⁶ Dengan
demikian, metafisika Islam dapat dilihat sebagai usaha menyatukan tiga sumber
pengetahuan utama: akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi (kashf).
Pendekatan ini menegaskan bahwa pencarian kebenaran metafisis dalam Islam
selalu bersifat integratif—menggabungkan rasionalitas filosofis dengan
spiritualitas religius.⁷
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif-filosofis melalui telaah teks klasik (misalnya
karya-karya Ibn Sīnā, Suhrawardī, dan Mullā Ṣadrā) serta interpretasi
hermeneutis terhadap gagasan metafisis dalam konteks historis dan kontemporer.
Pendekatan ini memungkinkan penggalian struktur konseptual dan logika internal
pemikiran metafisis Islam, sekaligus membuka ruang dialog dengan filsafat Barat
modern dan ilmu pengetahuan kontemporer.⁸ Dengan demikian, pembahasan
metafisika Islam tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga prospektif:
menggali akar tradisi untuk menjawab pertanyaan filosofis masa kini tentang
realitas, kesadaran, dan keberadaan.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 21–22.
[2]               
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 45–48.
[3]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 104–107.
[4]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 59–61.
[5]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum:
Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 12–14.
[6]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 33–35.
[7]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 41–43.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 5–7.
2.          
Landasan
Historis Metafisika dalam Filsafat Islam
Perkembangan
metafisika dalam filsafat Islam memiliki akar yang dalam dalam sejarah
intelektual dunia Islam, bermula dari proses asimilasi, reinterpretasi, dan
transformasi terhadap warisan filsafat Yunani kuno. Melalui gerakan penerjemahan
besar-besaran pada abad ke-8 hingga ke-10 M di bawah Dinasti ‘Abbāsiyyah,
karya-karya Aristoteles, Plotinus, dan Plato diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, sering kali dengan komentar dan elaborasi yang memperluas maknanya.¹
Hasilnya adalah lahirnya suatu tradisi filosofis yang tidak sekadar mengulang
pemikiran Yunani, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai teologis Islam dalam
kerangka metafisis yang koheren.
2.1.       Pengaruh Filsafat Yunani: Aristoteles dan
Neoplatonisme
Konsep-konsep utama
dalam metafisika Islam banyak dipengaruhi oleh dua arus besar filsafat Yunani: Aristotelianisme
dan Neoplatonisme.
Aristoteles memberikan dasar rasional bagi penjelasan tentang substansi,
bentuk, dan sebab pertama (al-sabab al-awwal), yang kemudian
diterima dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim.² Sementara itu,
Neoplatonisme, terutama melalui pemikiran Plotinus (yang dikenal di dunia Islam
lewat teks Theology
of Aristotle), memperkenalkan gagasan emanasi (fayḍ),
yaitu pancaran wujud dari Yang Esa secara berjenjang dan niscaya.³
Konsep emanasi
inilah yang kemudian menjadi landasan bagi metafisika kosmologis dalam filsafat
Islam. Para pemikir Muslim menafsirkan teori ini dalam kerangka tauhid, dengan
menegaskan bahwa segala wujud berasal dari Tuhan (al-Ḥaqq) tanpa mengurangi
keesaan-Nya.⁴ Dengan demikian, pengaruh Yunani tidak diterima secara mentah,
melainkan disaring dan diislamkan sesuai dengan prinsip teologis wahyu.
2.2.       Perkembangan Awal Filsafat Islam: Al-Kindī,
Al-Fārābī, dan Ibn Sīnā
Fase awal
pembentukan metafisika Islam ditandai oleh tokoh seperti al-Kindī
(801–873 M), yang dikenal sebagai “Filsuf Arab Pertama.” Ia berupaya
menegaskan kesesuaian antara akal dan wahyu dengan menekankan bahwa filsafat
adalah jalan untuk mengenal Tuhan melalui pengetahuan rasional tentang sebab
pertama.⁵
Setelahnya, al-Fārābī
(872–950 M) mengembangkan sistem metafisis yang lebih kompleks, menekankan
hierarki keberadaan yang berangkat dari Tuhan sebagai Akal Pertama menuju
akal-akal kosmik, jiwa, dan materi.⁶ Dalam pandangan al-Fārābī, alam semesta
adalah emanasi dari Tuhan, dan manusia sebagai makhluk rasional memiliki
potensi untuk kembali pada asalnya melalui kontemplasi intelektual.
Kontribusi paling
monumental datang dari Ibn Sīnā (Avicenna) (980–1037
M), yang menyusun sistem metafisika yang sistematik dan rasional. Ia membedakan
antara mahiyyah
(esensi) dan wujūd (eksistensi), dengan
menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Wajib al-Wujūd (Wujud yang
niscaya), sementara makhluk hanyalah mumkin al-wujūd (wujud kontingen)
yang bergantung pada Tuhan.⁷ Dengan pemikirannya, metafisika Islam mencapai
bentuk rasional paling matang dan menjadi rujukan utama hingga berabad-abad
kemudian.
2.3.       Transmisi dan Kritik: Teologi dan Mistisisme
Setelah puncak
Avicennian, metafisika Islam memasuki fase kritik dan transformasi. Al-Ghazālī
(1058–1111 M) dalam Tahāfut al-Falāsifah menolak
sebagian prinsip metafisis para filsuf, terutama ide tentang keabadian alam dan
pengetahuan Tuhan tentang partikular, yang dianggap bertentangan dengan doktrin
Islam.⁸ Meskipun demikian, kritik al-Ghazālī bukanlah penolakan total terhadap
filsafat, melainkan usaha untuk menegakkan batas antara rasio dan wahyu.
Sebaliknya, para
sufi seperti Ibn ‘Arabī (1165–1240 M)
membawa metafisika Islam ke arah yang lebih intuitif dan eksistensial. Dalam
ajaran wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi),
Ibn ‘Arabī memandang bahwa seluruh realitas adalah manifestasi dari Wujud Tuhan
yang tunggal.⁹ Gagasan ini kemudian menginspirasi Mullā Ṣadrā
(1572–1640 M), yang mensintesiskan rasionalisme Ibn Sīnā, iluminasionisme
Suhrawardī, dan mistisisme Ibn ‘Arabī dalam filsafat ḥikmah al-muta‘āliyah (kebijaksanaan transendental).¹⁰
Dengan demikian,
landasan historis metafisika Islam memperlihatkan kontinuitas dan dinamika
antara tiga kutub utama pemikiran: rasionalitas filosofis, keimanan teologis,
dan intuisi mistis. Tradisi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak sekadar
warisan Yunani yang diadaptasi, melainkan sebuah sistem metafisis orisinal yang
berakar dalam spiritualitas Islam dan tetap relevan bagi refleksi metafisis
kontemporer.
Footnotes
[1]               
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London:
Routledge, 1998), 45–49.
[2]               
Richard C. Taylor, “Aristotle and His Commentators in the Arabic
Tradition,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter
Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005),
15–20.
[3]               
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 34–36.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 51–53.
[5]               
Peter Adamson, Al-Kindī (Oxford: Oxford University Press,
2007), 72–74.
[6]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 109–112.
[7]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 85–88.
[8]               
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1927), 87–89.
[9]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 54–57.
[10]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981),
jilid 1, 22–25.
3.          
Ontologi:
Konsep Wujud dan Realitas
Ontologi dalam
filsafat Islam berpusat pada persoalan mendasar tentang wujud
(al-wujūd), yang menjadi inti dari seluruh pemikiran metafisis.
Pertanyaan “apa yang ada” tidak hanya bersifat logis, melainkan juga
spiritual dan teologis. Dalam tradisi Islam, wujud bukan sekadar eksistensi
empiris, melainkan realitas ontologis yang mengalir dari Tuhan sebagai Sumber
Mutlak Segala Ada.¹ Karena itu, pembahasan tentang wujud dalam filsafat Islam
tidak dapat dipisahkan dari dimensi ketuhanan, emanasi, dan tujuan akhir
keberadaan manusia.
3.1.       Pengertian Wujud (al-Wujūd) dan Mahiyyah (Hakikat
atau Esensi)
Distingsi antara wujūd
(eksistensi) dan mahiyyah (esensi) pertama kali
dirumuskan secara sistematik oleh Ibn Sīnā (Avicenna). Ia
menyatakan bahwa setiap entitas dapat ditinjau dari dua sisi: dari sisi “apa”-nya
(esensi) dan dari sisi “bahwa ia ada” (eksistensi).²
Esensi menjawab pertanyaan “apa sesuatu itu,” sedangkan eksistensi
menjawab “apakah sesuatu itu ada.” Hubungan keduanya bersifat
aksidental: eksistensi bukan bagian dari esensi, tetapi sesuatu yang
“ditambahkan” padanya oleh sebab eksternal, yakni Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Wujud Niscaya).³
Dalam kerangka ini,
Ibn Sīnā membedakan tiga jenis wujud:
1)                 
Wājib al-Wujūd
– wujud yang niscaya, yaitu Tuhan, yang eksistensinya tidak bergantung pada apa
pun.
2)                 
Mumkin al-Wujūd
– wujud kontingen, yaitu makhluk, yang keberadaannya bergantung pada sebab
lain.
3)                 
Mumtani‘ al-Wujūd
– wujud yang mustahil, yaitu sesuatu yang kontradiktif secara logis.⁴
Distingsi ini
memberikan fondasi ontologis bagi seluruh metafisika Islam dan menjadi kerangka
berpikir bagi para filsuf sesudahnya. Dalam pandangan ini, Tuhan dipahami bukan
hanya sebagai sebab pertama (causa prima), tetapi juga sebagai
realitas yang menegakkan keberadaan semua yang ada.
3.2.       Hierarki Wujud dan Hubungannya dengan Tuhan
Berdasarkan sistem
Ibn Sīnā, wujud dipahami sebagai realitas yang berjenjang, bergerak dari
tingkat paling tinggi (Tuhan) hingga tingkat paling rendah (materi).⁵ Al-Fārābī
sebelumnya juga telah mengemukakan struktur ontologis semacam ini melalui teori emanasi (fayḍ),
di mana Akal Pertama (al-‘Aql al-Awwal) memancar langsung
dari Tuhan, diikuti oleh akal-akal berikutnya, jiwa, dan materi.⁶
Bagi Ibn Sīnā, hierarki
ini tidak berarti bahwa wujud-wujud selain Tuhan bersifat ilahi, tetapi bahwa
mereka bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Tuhan memberikan eksistensi kepada
segala sesuatu tanpa kehilangan kesempurnaan-Nya, sebagaimana matahari
menerangi tanpa berkurang cahayanya.⁷
Pemikiran ini
kemudian disempurnakan oleh Mullā Ṣadrā melalui doktrin tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi). Menurutnya, wujud bukan kategori
yang bersifat univokal (sama derajatnya) maupun equivokal (sama sekali
berbeda), melainkan bersifat analogis dan bergradasi.⁸ Semua wujud adalah
manifestasi dari Wujud Mutlak dengan intensitas dan kesempurnaan yang
berbeda-beda. Tuhan adalah wujud tertinggi, sedangkan makhluk hanyalah bentuk
eksistensi yang lemah dari realitas yang sama. Dengan demikian, seluruh alam
merupakan satu kesatuan ontologis dalam perbedaan intensitas eksistensial.⁹
3.3.       Wujud sebagai Kesatuan dan Gerak Substansial
Salah satu inovasi
besar Mullā Ṣadrā adalah konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah),
yang menyatakan bahwa bukan hanya aksiden (sifat-sifat luar), tetapi substansi
itu sendiri senantiasa berada dalam proses perubahan dan penyempurnaan.¹⁰ Alam
semesta, menurutnya, bukanlah kumpulan entitas statis, melainkan arus wujud
yang dinamis menuju kesempurnaan ontologisnya. Gerak ini bukan perubahan dari
nihil menjadi ada, tetapi transformasi dari wujud yang lebih rendah menuju
wujud yang lebih sempurna.
Konsep ini menggeser
paradigma statis dalam metafisika Aristotelian menuju pandangan eksistensial
yang dinamis dan teleologis.¹¹ Dalam pandangan Mullā Ṣadrā, realitas pada
hakikatnya adalah gerak menuju Tuhan—al-ḥaqq—sebagai puncak wujud dan
tujuan akhir seluruh eksistensi. Semua yang ada adalah “perjalanan ontologis”
dari wujud yang lemah menuju Wujud Mutlak.¹²
Dengan demikian,
ontologi Islam tidak hanya menjelaskan apa yang ada, tetapi juga mengapa
dan ke mana keberadaan itu bergerak. Pandangan ini mengandung
implikasi etis dan spiritual: semakin tinggi tingkat eksistensi, semakin dekat
pula entitas itu kepada kesempurnaan Ilahi.¹³ Oleh karena itu, dalam filsafat
Islam, pengetahuan metafisis bukan sekadar kontemplasi rasional, melainkan juga
proses eksistensial menuju penyatuan dengan sumber realitas itu sendiri.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 57–60.
[2]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 83–85.
[3]               
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), jilid 1, 30–33.
[4]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 63–65.
[5]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 112–115.
[6]               
Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut:
Dār al-Mashriq, 1968), 49–53.
[7]               
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 1988), 102–104.
[8]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr,
1981), jilid 1, 36–39.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, eds., History of Islamic
Philosophy (London: Routledge, 1996), 589–592.
[10]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 94–97.
[11]            
Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects spirituels et
philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1972), 183–186.
[12]            
Reza Akbarian, “The Concept of Substantial Motion in Mulla Sadra’s
Philosophy,” Transcendent Philosophy 6, no. 1 (2005): 27–29.
[13]            
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 101–103.
4.          
Epistemologi
Metafisika Islam
Epistemologi
metafisika dalam filsafat Islam berfokus pada pertanyaan mendasar: bagaimana
manusia mengetahui realitas tertinggi (al-ḥaqīqah)? Jika ontologi
membahas “apa yang ada,” maka epistemologi metafisis Islam membahas “bagaimana
yang ada itu diketahui.” Dalam konteks ini, pengetahuan tidak hanya
dipahami sebagai aktivitas intelektual, melainkan juga sebagai partisipasi
ontologis dalam wujud itu sendiri.¹ Artinya, mengetahui bukan sekadar
merepresentasikan realitas, tetapi menjadi hadir bersama realitas tersebut
melalui penyatuan eksistensial antara subjek dan objek pengetahuan.
4.1.       Akal dan Intuisi dalam Mengetahui Realitas
Para filsuf Muslim
mengakui akal (‘aql) sebagai instrumen
utama pengetahuan metafisis. Ibn Sīnā menegaskan bahwa akal manusia memiliki
kemampuan untuk menangkap bentuk-bentuk universal dari realitas melalui proses
abstraksi (tajrīd).²
Dengan menaiki tingkatan akal—dari akal potensial (‘aql bi al-quwwah) hingga akal
aktual (‘aql bi
al-fi‘l) dan akal mustafād (akal yang tercerahkan oleh akal
aktif)—manusia dapat mencapai pemahaman rasional terhadap prinsip-prinsip
tertinggi keberadaan.³
Namun, tradisi
filsafat Islam tidak berhenti pada rasionalisme murni. Suhrawardī
(1154–1191 M), pendiri filsafat iluminatif (ḥikmah al-isyrāq), menolak anggapan
bahwa akal diskursif dapat sepenuhnya menjangkau realitas metafisis. Ia
memperkenalkan konsep ‘ilm al-huḍūrī (pengetahuan hadir),
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pencerahan batin ketika subjek dan
objek pengetahuan bersatu dalam cahaya kesadaran.⁴ Pengetahuan sejati,
menurutnya, bukan hasil deduksi logis, melainkan pengalaman langsung (mushāhadah)
terhadap wujud.⁵
Dengan demikian,
epistemologi metafisika Islam membedakan dua jenis pengetahuan:
1)                 
‘Ilm ḥuṣūlī
(pengetahuan konseptual) — yang diperoleh melalui akal, logika,
dan argumentasi.
2)                 
‘Ilm ḥuḍūrī
(pengetahuan hadir) — yang diperoleh melalui penyatuan
eksistensial dan iluminasi batin.⁶
Keduanya bukan lawan, melainkan saling melengkapi. Akal berfungsi menata dan
membenarkan pengetahuan, sedangkan intuisi memastikan kedalaman dan keotentikan
pengalaman metafisis.
4.2.       Hubungan antara Pengetahuan dan Keberadaan
Dalam metafisika
Islam, pengetahuan dan keberadaan memiliki hubungan yang identik secara
hakikat: pengetahuan adalah bentuk wujud itu sendiri.
Mullā Ṣadrā mengembangkan prinsip ittihād al-‘āqil wa al-ma‘qūl
(kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui), yang
menandai puncak integrasi antara ontologi dan epistemologi.⁷ Menurutnya, ketika
seseorang mengetahui sesuatu secara sejati, ia “menjadi” bentuk wujud
yang diketahui dalam tingkat kesadaran tertentu.⁸
Dengan demikian, pengetahuan
bukan hanya representasi mental, tetapi transformasi ontologis. Semakin tinggi
derajat pengetahuan seseorang, semakin tinggi pula tingkat wujudnya.⁹ Konsep
ini memperluas pengertian epistemologi menjadi proses eksistensial: mengetahui
berarti berpartisipasi dalam realitas yang lebih sempurna.
Hal ini juga selaras
dengan konsep pengetahuan ilahi (‘ilm ilāhī). Tuhan mengetahui
segala sesuatu bukan melalui representasi, melainkan karena segala sesuatu
hadir dalam Wujud-Nya.¹⁰ Maka, pengetahuan ilahi bersifat langsung, menyeluruh,
dan identik dengan keberadaan-Nya sendiri.¹¹ Dalam konteks manusia, pengetahuan
metafisis sejati adalah refleksi dari bentuk pengetahuan ilahi yang terbatasi
oleh kapasitas eksistensial manusia.
4.3.       Pengetahuan Tuhan dan Dunia: Masalah Keuniversalan
Ilmu Ilahi
Salah satu
perdebatan klasik dalam epistemologi metafisika Islam adalah bagaimana
Tuhan mengetahui realitas partikular. Ibn Sīnā berpendapat
bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu melalui pengetahuan terhadap Diri-Nya
sebagai sebab segala yang ada.¹² Karena pengetahuan Tuhan bersifat universal,
Ia mengetahui partikular bukan secara langsung, tetapi sebagai akibat dari
hukum-hukum universal yang tertanam dalam Diri-Nya.
Pandangan ini
mendapat kritik tajam dari al-Ghazālī, yang menilai bahwa hal tersebut
mengurangi kesempurnaan pengetahuan Tuhan karena membatasi-Nya hanya pada yang
universal.¹³ Sebaliknya, para mistikus seperti Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa
Tuhan mengetahui segala sesuatu secara langsung karena setiap wujud partikular
adalah manifestasi dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya (al-asmā’
wa al-ṣifāt).¹⁴ Dengan demikian, pengetahuan Tuhan bersifat imanen
dan transenden sekaligus: Ia mengetahui karena Ia adalah sumber dari setiap
pengetahuan dan setiap eksistensi.
Mullā Ṣadrā kemudian
mensintesiskan pandangan rasional dan intuitif ini dengan menyatakan bahwa pengetahuan
Tuhan terhadap dunia identik dengan keberadaan dunia itu sendiri dalam taraf
eksistensi yang lebih rendah.¹⁵ Dunia hadir dalam pengetahuan Tuhan sebagai
bentuk wujud yang tereksistensi melalui hubungan kausal yang niscaya. Oleh
karena itu, epistemologi metafisika Islam memandang pengetahuan ilahi dan
pengetahuan manusia sebagai dua tingkat dari satu gerak ontologis yang
sama—yakni perjalanan wujud menuju kesempurnaan kesadaran.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 62–65.
[2]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 91–93.
[3]               
Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq
al-Jadīdah, 1985), 214–218.
[4]               
Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 49–52.
[5]               
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge
and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 88–90.
[6]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York
Press, 1992), 45–47.
[7]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr,
1981), jilid 3, 284–288.
[8]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 112–115.
[9]               
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for
Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 74–77.
[10]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 69–71.
[11]            
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 78–81.
[12]            
Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hay’ah al-‘Āmmah, 1960), 235–238.
[13]            
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1927), 99–102.
[14]            
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 76–79.
[15]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, jilid 4, 210–214.
5.          
Kosmologi
Metafisis dalam Filsafat Islam
Kosmologi metafisis
dalam filsafat Islam merupakan upaya untuk menjelaskan struktur
dan dinamika alam semesta dalam hubungannya dengan Tuhan
sebagai Sumber dan Tujuan segala wujud. Jika ontologi membahas hakikat
keberadaan secara abstrak dan epistemologi menjelaskan cara mengetahuinya, maka
kosmologi metafisis menelusuri bagaimana wujud memancar dari Yang Esa dan
kembali kepada-Nya.¹ Dengan demikian, kosmologi Islam bukan sekadar teori
tentang asal-usul dunia secara fisik, tetapi tentang tata
keteraturan ontologis yang menghubungkan Tuhan, akal, jiwa, dan
materi dalam hierarki emanatif.
5.1.       Teori Emanasi (Fayḍ) dan Asal-Usul Alam
Konsep paling
fundamental dalam kosmologi metafisis Islam adalah teori emanasi (fayḍ), yang diperkenalkan oleh al-Fārābī dan
disistematisasi oleh Ibn Sīnā. Teori ini berakar pada Neoplatonisme, khususnya
pandangan bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Esa melalui pancaran wujud
yang bertingkat-tingkat.² Akan tetapi, para filsuf Muslim menolak implikasi
panteistiknya dan menafsirkannya dalam kerangka tauhid. Emanasi bukanlah “keluarnya”
Tuhan dari Diri-Nya, tetapi manifestasi keberadaan-Nya dalam
bentuk yang berbeda tingkat kesempurnaannya.³
Menurut al-Fārābī,
dari Tuhan (al-Wājib al-Wujūd) terpancar Akal
Pertama (al-‘Aql al-Awwal), yang kemudian memunculkan Akal
Kedua, dan seterusnya hingga Akal Kesepuluh, yang mengatur dunia sublunar
(materi).⁴ Proses emanasi ini bersifat niscaya, bukan karena paksaan eksternal,
melainkan karena sifat kebaikan Tuhan yang sempurna, yang secara alamiah
menyalurkan keberadaan kepada segala sesuatu.⁵
Ibn Sīnā memperkuat
sistem ini dengan menambahkan dimensi intelektual dan spiritual. Ia menjelaskan
bahwa setiap tingkatan akal memiliki tiga relasi: (1) dengan Tuhan sebagai
penyebab, (2) dengan dirinya sendiri sebagai eksistensi aktual, dan (3) dengan
akal di bawahnya sebagai penyebab turunan.⁶ Dari struktur ini terbentuk
hierarki kosmos yang rasional, di mana segala wujud saling bergantung dalam
tatanan kausalitas vertikal yang berujung pada Tuhan sebagai Sebab Pertama.⁷
Teori emanasi ini
tidak hanya menjelaskan asal-usul alam, tetapi juga menegaskan keteraturan
kosmos sebagai cerminan dari keteraturan Ilahi.⁸ Dalam konteks ini, metafisika
Islam menolak pandangan kaos atau kebetulan dalam penciptaan: seluruh
eksistensi adalah hasil dari kebijaksanaan dan kehendak rasional Tuhan.
5.2.       Struktur Kosmos dan Jiwa Universal (Nafs
al-Kulliyyah)
Selain struktur
intelektual kosmos, para filsuf Muslim memperkenalkan konsep Jiwa
Universal (al-nafs al-kulliyyah) sebagai perantara antara dunia
akal dan dunia materi. Jiwa Universal berfungsi menghidupkan alam, mengatur
gerak planet, dan menjadi sebab munculnya bentuk-bentuk kehidupan di bumi.⁹
Bagi al-Fārābī, jiwa
universal merupakan refleksi dari aktivitas kontemplatif Akal Aktif (al-‘aql
al-fa‘‘āl), yang menyalurkan bentuk-bentuk inteligibel ke dalam
potensi materi.¹⁰ Sedangkan bagi Ibn Sīnā, jiwa universal adalah entitas yang
lebih halus dari materi tetapi lebih rendah dari akal, berperan sebagai medium
transformasi antara spiritualitas dan keberjasmanian.¹¹
Mullā Ṣadrā kemudian
menafsirkan struktur kosmos secara dinamis melalui konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah). Menurutnya, seluruh
wujud berada dalam gerak kontinu dari potensi menuju aktualitas, dari materi
menuju spiritualitas.¹² Alam semesta bukanlah sistem statis, melainkan proses
eksistensial yang terus mengalir dari sumber wujud menuju kesempurnaan ilahi.¹³
Dengan demikian, kosmos menjadi arena bagi perjalanan wujud menuju Tuhan—suatu
pandangan yang menggabungkan dimensi rasional, ontologis, dan mistis.
5.3.       Tujuan Kosmos dan Kembalinya Wujud kepada Asalnya
(al-Ma‘ād)
Kosmologi metafisis
Islam tidak hanya menjelaskan asal-usul dunia, tetapi juga menyoroti tujuan
akhir keberadaan. Dalam pandangan para filsuf Muslim, seluruh
realitas bergerak dari Tuhan (al-Mabda’ al-Awwal) dan akan
kembali kepada-Nya (al-Ma‘ād al-Akhir).¹⁴ Prinsip ini
dirangkum dalam ungkapan Qur’ani: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn”
(Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami kembali).¹⁵
Bagi Ibn Sīnā,
kembalinya wujud kepada Tuhan berarti pencapaian kesempurnaan intelektual,
yaitu keadaan di mana jiwa manusia menyatu dengan akal aktif dan bebas dari
ikatan materi.¹⁶ Sedangkan bagi Suhrawardī, al-ma‘ād adalah pencerahan batin,
ketika cahaya jiwa kembali menyatu dengan Cahaya Mutlak.¹⁷ Dalam sistem Mullā Ṣadrā,
kembalinya wujud merupakan bagian dari gerak substansial kosmos secara
keseluruhan; seluruh eksistensi berpartisipasi dalam gerak spiral menuju Tuhan
sebagai puncak kesempurnaan wujud.¹⁸
Dengan demikian,
kosmologi metafisis Islam menegaskan bahwa alam semesta bukanlah entitas
otonom, melainkan pancaran dan perjalanan wujud dari Tuhan menuju Tuhan.¹⁹ Alam
memiliki makna spiritual dan teleologis: keberadaannya merupakan refleksi kasih
sayang dan kebijaksanaan Ilahi yang menuntun segala sesuatu untuk kembali ke
asalnya.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 15–18.
[2]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 89–91.
[3]               
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 64–66.
[4]               
Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut:
Dār al-Mashriq, 1968), 50–52.
[5]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 72–74.
[6]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 93–95.
[7]               
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 1988), 117–120.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 83–86.
[9]               
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard
R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 142–145.
[10]            
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 130–132.
[11]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York
Press, 1992), 67–69.
[12]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr,
1981), jilid 2, 45–49.
[13]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 124–127.
[14]            
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for
Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 108–111.
[15]            
Al-Qur’an 2:156.
[16]            
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), jilid 3, 289–292.
[17]            
Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 71–74.
[18]            
Reza Akbarian, “The Teleological Structure of Being in Mulla Sadra’s
Philosophy,” Transcendent Philosophy 7, no. 1 (2006): 41–44.
[19]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 95–97.
6.          
Metafisika
dan Mistisisme
Metafisika dalam
filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari dimensi mistisisme
(taṣawwuf), sebab keduanya berbagi tujuan yang sama: memahami
hakikat wujud dan mencapai kesatuan dengan sumbernya. Bila metafisika
menjelaskan realitas melalui argumentasi rasional, maka mistisisme menyingkap
realitas melalui pengalaman langsung (dhawq) dan penyaksian batin (mushāhadah).¹
Dalam konteks ini, mistisisme bukanlah antitesis filsafat, melainkan
kelanjutannya dalam tingkat eksistensial dan spiritual.²
Bagi para filsuf
Muslim, khususnya Ibn ‘Arabī, Suhrawardī, dan Mullā Ṣadrā, pengetahuan
sejati (al-ma‘rifah al-ḥaqīqiyyah) hanya dapat diperoleh jika
intelek dan hati bersatu.³ Dengan demikian, metafisika dan mistisisme merupakan
dua sisi dari satu pencarian yang sama—pencarian terhadap al-Ḥaqq,
Tuhan sebagai Realitas Tertinggi.
6.1.       Perspektif Ibn ‘Arabī tentang Wahdat al-Wujūd
Tokoh sentral dalam
integrasi metafisika dan mistisisme Islam adalah Muḥyiddīn Ibn ‘Arabī (1165–1240 M), yang mengembangkan doktrin terkenal wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi).⁴ Menurut Ibn ‘Arabī, wujud hanya
satu, dan segala sesuatu selain Tuhan tidak memiliki keberadaan hakiki kecuali
sebagai manifestasi (tajallī) dari Wujud Ilahi.⁵ Dengan
demikian, alam bukanlah entitas yang terpisah dari Tuhan, tetapi cerminan dari
Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya (al-asmā’ wa al-ṣifāt).
Konsep wahdat al-wujūd tidak berarti bahwa Tuhan dan alam identik secara
substansial (panteisme), melainkan bahwa alam memperoleh realitasnya melalui
Tuhan sebagaimana bayangan memperoleh bentuknya dari cahaya.⁶ Dalam pandangan
ini, eksistensi partikular hanyalah penampakan terbatas dari Wujud Mutlak yang
tak terhingga. Ibn ‘Arabī menulis dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam bahwa “tidak ada
dalam wujud ini selain Allah; segala sesuatu adalah Dia dalam bentuk dan nama
yang berbeda-beda.”⁷
Pemikiran Ibn ‘Arabī
memperluas horizon metafisika Islam dengan menekankan dimensi eksperiensial
dari pengetahuan ontologis. Ia menegaskan bahwa untuk mengetahui hakikat wujud,
seseorang harus mengalami kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu—suatu bentuk kesadaran
metafisis yang melampaui logika konseptual.⁸
6.2.       Simbiosis antara Akal dan Cinta Ilahi dalam
Pencarian Hakikat
Dalam tradisi mistik
Islam, pengetahuan metafisis tidak hanya bersumber dari akal, tetapi juga dari cinta
ilahi (al-‘ishq al-ilāhī). Cinta dianggap sebagai daya kosmik
yang menggerakkan seluruh eksistensi menuju kesempurnaan dan penyatuan dengan
Tuhan.⁹ Al-Fārābī dan Ibn Sīnā sudah menyebut ‘ishq sebagai prinsip metafisis
yang menjelaskan gerak kosmos: setiap makhluk mencintai kesempurnaan dan
berusaha meniru Wujud Ilahi.¹⁰
Bagi Ibn ‘Arabī dan
Rūmī, cinta adalah “sayap metafisika” yang membawa manusia melampaui batas
intelek menuju penyaksian langsung terhadap Realitas Mutlak.¹¹ Dalam Mathnawī,
Rūmī menulis bahwa “akal terbatas oleh kata, tetapi cinta menembus rahasia
di balik keberadaan.”¹² Dengan demikian, epistemologi cinta tidak
menggantikan rasio, melainkan menyempurnakannya dengan dimensi eksistensial dan
emosional yang memungkinkan pengalaman tawḥīd (penyatuan dengan Tuhan).
Pandangan ini
mencapai sintesis filosofisnya dalam karya Mullā Ṣadrā, yang menegaskan bahwa “pengetahuan,
cinta, dan wujud adalah satu realitas dalam tiga aspek.”¹³ Menurutnya,
setiap gerak ontologis adalah gerak cinta: setiap wujud merindukan kesempurnaan
yang lebih tinggi hingga mencapai Tuhan sebagai puncak eksistensi dan cinta itu
sendiri.¹⁴ Dengan demikian, metafisika tidak hanya berbicara tentang struktur
realitas, tetapi juga tentang arah dan makna eksistensi manusia
di dalamnya.
6.3.       Pengalaman Mistis sebagai Jalan Epistemik
Dalam sistem
filsafat Islam, pengalaman mistis (tajrubah dhawqiyyah) diakui sebagai
jalan
epistemik yang sah untuk memperoleh pengetahuan metafisis.¹⁵
Suhrawardī, pendiri filsafat iluminatif, mengajarkan bahwa pengetahuan sejati
diperoleh melalui penyinaran batin (ishrāq al-qalb), ketika jiwa
terbebas dari kegelapan materi dan memantulkan Cahaya Ilahi.¹⁶
Pengetahuan jenis
ini disebut ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan hadir), di
mana subjek dan objek pengetahuan tidak lagi terpisah.¹⁷ Hal ini berbeda dari
pengetahuan diskursif (‘ilm ḥuṣūlī) yang hanya menangkap
bentuk konseptual tanpa menghayati hakikatnya. Bagi Suhrawardī, pengetahuan
hadir adalah “penyatuan cahaya dengan cahaya,” yakni pengalaman langsung
terhadap Wujud sebagai Cahaya Mutlak.¹⁸
Mullā Ṣadrā
melanjutkan pandangan ini dengan memberikan dasar ontologis: karena wujud dan
pengetahuan identik, maka semakin tinggi tingkat eksistensi seseorang, semakin
dalam pula pengetahuannya.¹⁹ Dengan demikian, pengalaman mistik bukanlah
subjektivitas emosional, melainkan realitas ontologis yang
menggambarkan intensitas wujud manusia.²⁰
Dalam tradisi Islam,
jalan menuju pengetahuan metafisis melalui pengalaman mistis disebut al-sulūk
al-‘irfānī, yaitu perjalanan eksistensial dari ketidaktahuan
menuju penyaksian Tuhan.²¹ Proses ini melibatkan tiga tahap utama: takhallī
(penyucian diri), taḥallī (penghiasan dengan
sifat-sifat ilahi), dan tajallī (penampakan realitas Tuhan
dalam kesadaran).²² Dengan demikian, mistisisme bukan pelarian dari dunia
empiris, tetapi transformasi kesadaran menuju kesatuan realitas yang menjadi inti
metafisika Islam.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 103–105.
[2]               
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 22–25.
[3]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 37–39.
[4]               
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
120–122.
[5]               
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 85–88.
[6]               
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 41–43.
[7]               
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 112–114.
[8]               
Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative Imagination in the
Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 57–59.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 94–96.
[10]            
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–85.
[11]            
Jalāl al-Dīn Rūmī, Mathnawī Ma‘nawī, trans. Reynold A.
Nicholson (London: Luzac & Co., 1925), jilid 1, 12–14.
[12]            
Ibid., 65–67.
[13]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr,
1981), jilid 7, 28–30.
[14]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 136–139.
[15]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York
Press, 1992), 73–76.
[16]            
Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 81–84.
[17]            
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination, trans. John
Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999),
92–95.
[18]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 115–117.
[19]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, jilid 3, 286–289.
[20]            
Reza Akbarian, “The Role of Mystical Experience in Sadrian
Epistemology,” Transcendent Philosophy 8, no. 1 (2007): 55–58.
[21]            
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998),
122–124.
[22]            
Seyyed Hossein Nasr, Spirituality and Perfection in Islam
(London: Kegan Paul International, 1991), 64–66.
7.          
Kritik
dan Perdebatan terhadap Metafisika Islam
Metafisika dalam
filsafat Islam, meskipun memiliki struktur konseptual yang kokoh dan kedalaman
spiritual yang luar biasa, tidak luput dari kritik dan perdebatan, baik dari
kalangan teolog (mutakallimūn), sufi,
maupun filsuf
modern. Kritik tersebut tidak hanya berkaitan dengan aspek
rasional dan teologis, tetapi juga menyentuh persoalan metodologis dan
epistemologis. Dengan demikian, dinamika kritik terhadap metafisika Islam
mencerminkan vitalitas intelektual tradisi Islam yang terbuka terhadap dialog
antara rasio, wahyu, dan pengalaman spiritual.¹
7.1.       Kritik Teologis: Al-Ghazālī dan Keberatan terhadap
Kaum Filsuf
Kritik paling
terkenal terhadap metafisika Islam datang dari Imām al-Ghazālī (1058–1111 M)
melalui karya monumentalnya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan
Para Filsuf). Dalam karya ini, al-Ghazālī menolak beberapa doktrin
utama yang diajarkan oleh para filsuf Peripatetik seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā, terutama dalam tiga hal: (1) keyakinan bahwa alam bersifat qadīm (abadi),
(2) pandangan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal dan bukan
partikular, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.²
Menurut al-Ghazālī,
pandangan para filsuf tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar tauhid
dan ajaran wahyu. Ia menuduh para filsuf terlalu mengandalkan akal spekulatif
dalam menjelaskan hakikat wujud, sehingga jatuh pada kesalahan rasionalisme
ekstrem.³ Al-Ghazālī menegaskan bahwa akal memiliki batas; di atasnya terdapat
pengetahuan yang hanya dapat diperoleh melalui wahyu dan intuisi spiritual.⁴
Namun, kritik
al-Ghazālī tidak berarti penolakan total terhadap filsafat. Dalam karyanya Mishkāt
al-Anwār, ia justru mengintegrasikan aspek metafisika dengan
dimensi mistik, menunjukkan bahwa pengetahuan tertinggi adalah penyaksian
terhadap cahaya Tuhan.⁵ Dengan demikian, kritiknya lebih tepat dipahami sebagai
reorientasi
metafisika Islam dari rasionalisme ke iluminasi spiritual.
7.2.       Kritik Internal: Debat antara Rasionalisme, Iluminasionisme,
dan Eksistensialisme
Dalam tubuh filsafat
Islam sendiri, perdebatan metafisis berkembang antara tiga aliran besar: rasionalisme
Peripatetik (Ibn Sīnā), iluminasionisme (Suhrawardī),
dan eksistensialisme
transendental (Mullā Ṣadrā).⁶
Ibn Sīnā menekankan
dualisme antara wujūd (eksistensi) dan mahiyyah
(esensi), yang menimbulkan pertanyaan apakah eksistensi bersifat tambahan atau
inheren terhadap esensi. Suhrawardī mengkritik posisi ini dengan menyatakan
bahwa wujud
hanyalah konsep mental, sedangkan realitas sejati adalah nūr
(cahaya), yang menjadi dasar ontologi iluminatifnya.⁷ Sebaliknya, Mullā Ṣadrā
menolak keduanya dengan menyatakan bahwa wujūd adalah realitas yang paling
fundamental dan bersifat gradasional (tashkīk al-wujūd).⁸
Perdebatan ini memperlihatkan
pergeseran paradigma dari rasionalisme Aristotelian menuju ontologi
eksistensial yang lebih dinamis. Jika Ibn Sīnā menekankan struktur hierarkis
realitas yang tetap, Mullā Ṣadrā menegaskan gerak substansial sebagai inti
wujud.⁹ Perbedaan ini bukan sekadar teknis, tetapi juga mencerminkan evolusi
cara pandang manusia terhadap relasi antara Tuhan, dunia, dan kesadaran diri.
7.3.       Kritik Modern: Tantangan Sains dan Filsafat
Kontemporer
Dalam era modern,
metafisika Islam menghadapi kritik baru dari perspektif positivisme
ilmiah dan filsafat modern Barat. Para pemikir modern, seperti
Auguste Comte dan para pengikutnya, menolak relevansi metafisika dengan alasan
bahwa ia tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁰ Pandangan ini menantang
legitimasi epistemologis metafisika Islam yang berlandaskan rasionalitas
spekulatif dan pengalaman spiritual.
Selain itu, muncul
pula pertanyaan tentang bagaimana konsep metafisika Islam—yang berpusat pada
emanasi dan hierarki wujud—dapat berdialog dengan kosmologi modern, terutama
setelah munculnya fisika kuantum dan teori relativitas yang mengubah pandangan
klasik tentang ruang, waktu, dan kausalitas.¹¹ Para filsuf Muslim kontemporer
seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mehdi
Ha’iri Yazdi berusaha menanggapi kritik ini dengan menegaskan
bahwa metafisika Islam tidak bertentangan dengan sains, karena keduanya
beroperasi pada tingkat realitas yang berbeda: sains menjelaskan bagaimana
dunia bekerja, sedangkan metafisika menjelaskan mengapa dunia ada.¹²
Lebih jauh, kritik
modern juga menyoroti potensi bahaya dogmatisme metafisis jika konsep-konsep
klasik tidak dikontekstualisasikan. Beberapa pemikir seperti Muhammad Iqbal menyerukan reinterpretasi metafisika Islam dalam kerangka
eksistensial yang lebih dinamis dan personal.¹³ Iqbal menganggap bahwa konsep wahdat al-wujūd perlu diaktualkan sebagai wahdat al-shuhūd (kesatuan
kesadaran), agar metafisika Islam tetap relevan dalam menjawab tantangan
modernitas.¹⁴
Dengan demikian, kritik modern bukanlah akhir bagi metafisika Islam, melainkan peluang untuk pembaruan hermeneutik yang menyesuaikan warisan klasik dengan horizon pemikiran kontemporer.
7.4.       Rekontekstualisasi: Menuju Metafisika Islam yang
Terbuka
Dari berbagai kritik
di atas, tampak bahwa kekuatan metafisika Islam justru terletak pada kemampuannya
untuk beradaptasi dan berdialog. Dalam lintasan sejarahnya, ia
telah berevolusi dari sistem rasional Ibn Sīnā, iluminatif Suhrawardī, hingga
eksistensialis Mullā Ṣadrā, tanpa kehilangan akar spiritualnya.
Di era modern, upaya
seperti yang dilakukan oleh Nasr, Chittick, dan Kalin menunjukkan arah baru
bagi metafisika Islam—yakni mengintegrasikan rasionalitas dengan kesadaran
ekologis, spiritualitas, dan dimensi eksistensial manusia.¹⁵ Dengan demikian,
kritik terhadap metafisika Islam seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman,
tetapi sebagai mekanisme reflektif yang
menjaga vitalitas dan keterbukaan filsafat Islam di tengah perubahan zaman.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 141–144.
[2]               
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1927), 99–103.
[3]               
Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Ash‘arite School,” Dār
al-Mashriq (Beirut: 1992), 73–75.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 118–120.
[5]               
Al-Ghazālī, Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1964), 21–23.
[6]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 210–214.
[7]               
Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 55–58.
[8]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr,
1981), jilid 1, 36–39.
[9]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 147–150.
[10]            
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans.
Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 5–7.
[11]            
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Unity of Science
and Islam (London: Grey Seal, 1989), 112–115.
[12]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York
Press, 1992), 79–82.
[13]            
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 44–47.
[14]            
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
109–111.
[15]            
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for
Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 139–141.
8.          
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis
dalam kajian metafisika Islam merupakan hasil dari upaya
panjang integrasi antara akal, wahyu, dan intuisi spiritual,
yang menjadikan filsafat Islam sebagai tradisi yang tidak hanya rasional tetapi
juga transendental.¹ Di dalamnya, para filsuf Muslim berusaha menyatukan
dimensi logis-filosofis dari Aristotelianisme dan Neoplatonisme dengan dimensi
mistik dan teologis Islam, tanpa meniadakan otonomi masing-masing. Hasilnya
adalah suatu sistem metafisis yang unik: rasional secara metodologis, spiritual
secara tujuan, dan integral secara pandangan dunia.
8.1.       Integrasi Akal, Wahyu, dan Intuisi sebagai Jalan
Metafisis
Salah satu ciri khas
sintesis metafisika Islam ialah kemampuannya menyatukan akal
(‘aql), wahyu (naql), dan intuisi
(kashf) sebagai tiga sumber pengetahuan yang saling
melengkapi.² Dalam pandangan al-Fārābī dan Ibn Sīnā, akal adalah alat utama
untuk memahami struktur realitas melalui analisis rasional dan deduksi logis.
Namun, mereka juga menegaskan bahwa akal manusia tidak dapat mencapai pengetahuan
mutlak tanpa bimbingan wahyu yang berasal dari Tuhan.³
Sementara itu, dalam
tradisi iluminatif Suhrawardī dan eksistensial Mullā Ṣadrā, intuisi menjadi
sarana epistemologis tertinggi. Pengetahuan sejati diperoleh bukan hanya
melalui argumentasi rasional, tetapi melalui penyatuan eksistensial antara
subjek dan objek pengetahuan dalam ‘ilm al-huḍūrī (pengetahuan
hadir).⁴ Dengan demikian, wahyu memberikan kebenaran normatif, akal memberikan
struktur logis, dan intuisi memberikan kedalaman eksistensial. Ketiganya
membentuk piramida epistemik yang kokoh bagi metafisika Islam.⁵
Pendekatan sintetik
ini menegaskan bahwa filsafat Islam bukanlah sekadar elaborasi intelektual,
tetapi juga jalan menuju kesadaran spiritual.
Melalui perpaduan rasionalitas dan pencerahan batin, metafisika Islam
menampilkan harmoni antara logos dan gnosis,
antara berpikir dan menyaksikan.
8.2.       Rekonstruksi Konsep Wujud dalam Kerangka
Eksistensial Kontemporer
Salah satu
pencapaian terbesar sintesis metafisika Islam adalah rekonstruksi
konsep wujud (al-wujūd) yang dilakukan oleh Mullā Ṣadrā. Ia
berhasil menyatukan rasionalisme Avicennian, iluminisme Suhrawardian, dan
mistisisme Ibn ‘Arabī ke dalam sistem al-ḥikmah al-muta‘āliyah
(kebijaksanaan transendental).⁶ Dalam sistem ini, wujud tidak lagi dianggap
sekadar kategori abstrak, melainkan realitas
yang dinamis, bertingkat, dan bergerak menuju kesempurnaan.⁷
Mullā Ṣadrā
memperkenalkan dua prinsip utama yang menjadi fondasi sintesis metafisisnya: aṣālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi).⁸ Melalui prinsip pertama, ia
menegaskan bahwa eksistensi lebih nyata daripada esensi; segala sesuatu
memperoleh maknanya melalui keberadaan, bukan sebaliknya. Melalui prinsip
kedua, ia menjelaskan bahwa seluruh realitas berada dalam spektrum keberadaan
yang satu, namun berbeda dalam derajat intensitasnya.⁹
Pemikiran ini
membuka jalan bagi pemahaman eksistensial terhadap metafisika: manusia tidak
hanya mengetahui wujud, tetapi juga menjadi bagian dari wujud itu sendiri.
Dengan demikian, pengetahuan metafisis bukan hanya kontemplasi intelektual,
melainkan juga transformasi ontologis diri menuju realitas tertinggi.¹⁰ Dalam
konteks kontemporer, pemikiran ini dapat dibaca sebagai bentuk eksistensialisme
spiritual yang mendahului gagasan eksistensialisme Barat, tetapi
berakar pada prinsip keesaan Ilahi.
8.3.       Relevansi Metafisika Islam bagi Dialog Filsafat
Global dan Sains Modern
Sintesis metafisika
Islam juga memiliki relevansi yang luas bagi dialog antara filsafatTimur dan Barat, serta antara spiritualitas dan sains modern.
Dalam pandangan para filsuf Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan
William Chittick, krisis peradaban modern berpangkal pada reduksi realitas
menjadi sekadar dimensi material, sehingga kehilangan makna transenden.¹¹
Metafisika Islam, dengan pandangan wujudnya yang hierarkis dan integratif,
menawarkan alternatif: realitas harus dipahami sebagai kesatuan berlapis antara
dunia fisik, psikis, dan spiritual.¹²
Dalam dialog dengan
filsafat Barat, konsep aṣālat al-wujūd (eksistensi sebagai realitas utama) dapat dibandingkan dengan eksistensialisme Heidegger yang
menyoroti Sein
(being) sebagai inti keberadaan, meskipun pendekatan Islam tetap menekankan
dimensi teosentris—bahwa sumber wujud adalah Tuhan, bukan kesadaran manusia.¹³
Sementara itu, dalam konteks sains, kosmologi metafisis Islam mampu memberi
makna ontologis pada teori-teori ilmiah modern dengan menegaskan bahwa alam
semesta bukan sekadar sistem mekanistik, melainkan manifestasi kebijaksanaan
Ilahi yang rasional dan bermakna.¹⁴
Sintesis ini membuka
kemungkinan lahirnya “filsafat Islam kontemporer”
yang tidak hanya mempertahankan tradisi klasik, tetapi juga
mengaktualisasikannya dalam dialog global. Dengan mengintegrasikan dimensi
rasional, empiris, dan spiritual, metafisika Islam dapat berkontribusi terhadap
pencarian makna dan nilai dalam dunia modern yang cenderung sekular dan
fragmentaris.¹⁵
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 189–192.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 220–223.
[3]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 98–101.
[4]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York
Press, 1992), 87–89.
[5]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 141–143.
[6]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 156–159.
[7]               
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for
Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 122–125.
[8]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr,
1981), jilid 1, 38–42.
[9]               
Reza Akbarian, “The Concept of Graded Existence in Mulla Sadra’s Philosophy,”
Transcendent Philosophy 6, no. 2 (2005): 47–49.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 155–158.
[11]            
William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul:
The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2007), 33–36.
[12]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 161–164.
[13]            
Henry Corbin, Heidegger and the Islamic World: Comparative Ontology
and the Quest for Being (Paris: Gallimard, 1972), 45–48.
[14]            
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Unity of Science
and Islam (London: Grey Seal, 1989), 118–120.
[15]            
Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1994), 202–205.
9.          
Relevansi
dan Aplikasi Kontemporer
Metafisika dalam
filsafat Islam bukan sekadar warisan intelektual masa lalu, melainkan tradisi
hidup yang terus memberikan kontribusi konseptual dan spiritual
bagi persoalan manusia modern. Dalam konteks kontemporer, metafisika Islam
relevan untuk menjawab krisis makna, etika, dan spiritualitas yang muncul
akibat reduksi rasionalitas modern terhadap realitas menjadi sekadar dimensi
material dan empiris.¹ Melalui sintesis antara akal, wahyu, dan intuisi,
metafisika Islam menghadirkan pandangan dunia (worldview) yang integral: manusia,
alam, dan Tuhan tidak berdiri secara terpisah, tetapi terjalin dalam satu
kesatuan wujud yang hierarkis dan bermakna.²
9.1.       Metafisika dan Etika: Implikasi Ontologis bagi
Moralitas Islam
Dalam filsafat
Islam, metafisika dan etika tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya berpangkal
pada pemahaman tentang wujud.³ Setiap tindakan moral dianggap memiliki dasar
ontologis: kebaikan (al-khayr) adalah kesempurnaan
wujud, sedangkan kejahatan (al-sharr) adalah ketiadaan atau
kekurangan dalam wujud.⁴ Dengan demikian, moralitas bukan sekadar aturan
normatif, tetapi partisipasi eksistensial dalam kesempurnaan wujud Ilahi.
Al-Fārābī dalam Al-Madīnah al-Fāḍilah menegaskan bahwa masyarakat yang baik adalah refleksi
dari keteraturan kosmos.⁵ Etika yang sejati, menurutnya, harus meniru tatanan
metafisis alam semesta di mana setiap entitas berfungsi sesuai dengan derajat
dan tujuannya. Sementara itu, Ibn Sīnā menafsirkan kebajikan sebagai
aktualisasi potensi intelektual dan spiritual manusia menuju sa‘ādah
(kebahagiaan abadi).⁶
Pandangan ini
kemudian disempurnakan oleh Mullā Ṣadrā, yang menghubungkan etika dengan gerak
substansial manusia menuju kesempurnaan ontologis.⁷ Dalam sistemnya, setiap
tindakan manusia adalah bagian dari perjalanan eksistensial menuju Tuhan sebagai
sumber wujud. Dengan demikian, etika metafisis dalam Islam tidak
berhenti pada moralitas sosial, melainkan berujung pada transformasi
diri—peningkatan derajat eksistensi melalui pengetahuan dan amal saleh.⁸
9.2.       Metafisika dan Ilmu Pengetahuan: Antara Spiritualitas
dan Rasionalitas
Metafisika Islam
juga menawarkan landasan filosofis bagi dialog antara agama
dan sains, dua wilayah yang sering kali dipertentangkan dalam
modernitas. Dalam pandangan Islam klasik, ilmu pengetahuan (‘ilm)
tidak terpisah dari metafisika, sebab semua pengetahuan pada akhirnya berakar
pada prinsip kesatuan wujud.⁹ Oleh karena itu, memahami alam berarti memahami
tanda-tanda Tuhan (āyāt Allāh) yang tersebar di
seluruh ciptaan.¹⁰
Para pemikir
kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan
bahwa krisis ekologis dan spiritual dunia modern bersumber dari hilangnya
pandangan metafisis terhadap alam.¹¹ Dalam kerangka Islam, alam tidak sekadar
objek eksploitasi ilmiah, melainkan realitas sakral yang mengandung dimensi
teologis.¹² Dengan menghidupkan kembali kosmologi metafisis Islam, manusia
dapat menyeimbangkan rasionalitas teknologis dengan kesadaran spiritual
terhadap kesucian ciptaan.
Selain itu,
metafisika Islam juga dapat berkontribusi terhadap filsafat
sains modern dengan menolak dikotomi antara subjek dan objek
pengetahuan.¹³ Sebagaimana ditegaskan oleh Mullā Ṣadrā, pengetahuan sejati
bukan sekadar representasi mental, melainkan partisipasi eksistensial dalam
realitas yang diketahui.¹⁴ Pandangan ini memiliki kemiripan dengan paradigma
holistik dalam fisika kuantum, yang menekankan keterhubungan fundamental antara
pengamat dan yang diamati.¹⁵ Dengan demikian, metafisika Islam dapat
menjembatani antara sains empiris dan filsafat spiritual, memberikan dasar
ontologis yang lebih luas bagi pemahaman alam semesta.
9.3.       Kontribusi terhadap Wacana Filsafat Global dan
Posmodernisme
Dalam kancah
pemikiran global, metafisika Islam memiliki relevansi signifikan dalam
menghadapi krisis nihilisme dan relativisme yang
muncul dari filsafat posmodern.¹⁶ Posmodernisme, dengan penolakannya terhadap
kebenaran universal dan struktur metafisis, telah melahirkan pandangan dunia
yang fragmentaris dan pluralistik tanpa arah. Sebaliknya, metafisika Islam
menawarkan alternatif berupa kesatuan ontologis yang tidak meniadakan
keragaman, tetapi menempatkan keragaman dalam kerangka kesatuan wujud (wahdat al-wujūd).¹⁷
Gagasan ini
berpotensi memperkaya diskursus filsafat global dengan menegaskan bahwa
pluralitas budaya dan epistemologi manusia tidak harus mengarah pada relativisme,
tetapi dapat dipahami sebagai ekspresi dari satu realitas ilahi yang sama.¹⁸
Oleh karena itu, metafisika Islam memberikan model “pluralisme
ontologis”, yakni pengakuan terhadap keberagaman manifestasi
kebenaran di dalam kesatuan sumbernya.¹⁹
Selain itu, konsep tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi) juga dapat diterapkan dalam etika
global dan filsafat lingkungan, dengan menegaskan bahwa setiap bentuk kehidupan
memiliki nilai karena partisipasinya dalam Wujud Ilahi.²⁰ Dengan pendekatan
ini, metafisika Islam dapat memberikan dasar filosofis bagi etika ekologis
kontemporer dan dialog lintas agama, di mana semua eksistensi dihormati sebagai
bagian dari satu jaringan kosmik yang sakral.²¹
9.4.       Tantangan dan Peluang Revitalisasi
Relevansi metafisika
Islam di era modern tidak dapat dilepaskan dari tantangan metodologis dan
hermeneutis.²² Diperlukan pendekatan baru yang mampu menafsirkan
kembali konsep-konsep klasik tanpa kehilangan kedalaman
spiritualnya. Para pemikir seperti Mehdi Ha’iri Yazdi, Muhammad
Legenhausen, dan Reza Akbarian telah berusaha
merumuskan kembali metafisika Islam dengan pendekatan fenomenologis dan
eksistensialis, agar dapat berinteraksi secara produktif dengan wacana filsafat
Barat.²³
Di sisi lain,
peluang revitalisasi metafisika Islam juga muncul melalui pendidikan
dan penelitian filosofis interdisipliner, yang menghubungkan
metafisika dengan etika, ekologi, teknologi, dan psikologi spiritual.²⁴
Pendekatan ini tidak hanya menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, tetapi
juga menjadikannya relevan sebagai paradigma alternatif dalam menghadapi krisis
global kontemporer.
Dengan demikian,
metafisika Islam tetap aktual sebagai kerangka berpikir yang menyatukan rasionalitas,
spiritualitas, dan moralitas, serta menawarkan visi kosmologis
yang berakar pada kesadaran akan kesatuan eksistensi.²⁵ Ia mengajak manusia
modern untuk menafsirkan kembali sains, etika, dan kehidupan sosial dalam
terang hakikat wujud, sehingga menghasilkan peradaban yang berorientasi pada
keseimbangan antara pengetahuan dan kebijaksanaan.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 201–204.
[2]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 163–165.
[3]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 98–100.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 238–240.
[5]               
Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut:
Dār al-Mashriq, 1968), 78–80.
[6]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 123–126.
[7]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr,
1981), jilid 7, 32–36.
[8]               
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for
Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 162–165.
[9]               
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy
in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press,
2006), 209–211.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 51–54.
[11]            
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(London: Unwin Paperbacks, 1987), 34–37.
[12]            
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Unity of Science
and Islam (London: Grey Seal, 1989), 129–132.
[13]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York
Press, 1992), 91–93.
[14]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 174–176.
[15]            
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 185–187.
[16]            
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 121–123.
[17]            
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998),
149–151.
[18]            
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
263–265.
[19]            
Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects spirituels et
philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1972), 218–220.
[20]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 219–222.
[21]            
Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oxford:
Oneworld Publications, 2007), 112–115.
[22]            
Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1994), 224–226.
[23]            
Reza Akbarian, “Modern Challenges to Islamic Metaphysics,” Transcendent
Philosophy 9, no. 1 (2008): 33–36.
[24]            
Muhammad Legenhausen, Philosophy and the Modern World: Islamic
Reflections (Qom: Imam Khomeini Institute, 2015), 87–90.
[25]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 227–229.
10.       Kesimpulan
Metafisika dalam filsafat Islam merupakan puncak
refleksi intelektual dan spiritual dalam tradisi pemikiran Islam. Ia tidak
hanya berfungsi sebagai cabang filsafat yang membahas apa yang ada
(ontologi), tetapi juga sebagai kerangka kosmologis dan eksistensial
yang menuntun manusia untuk memahami posisi dirinya dalam tatanan wujud.¹
Melalui sintesis antara akal, wahyu, dan intuisi, para filsuf Muslim berhasil
membangun suatu sistem pemikiran yang menyatukan dimensi rasional, etis, dan
mistis ke dalam satu pandangan dunia yang integral dan holistik.²
Pada hakikatnya, seluruh tradisi metafisika Islam
berpangkal pada satu prinsip fundamental: kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd).
Prinsip ini menegaskan bahwa seluruh realitas, dalam keragamannya, merupakan
manifestasi dari Wujud Mutlak, yakni Tuhan.³ Alam semesta, jiwa, dan manusia
bukan entitas yang terpisah, melainkan tingkatan-tingkatan eksistensi yang
saling berhubungan dalam satu spektrum realitas ilahi. Dengan demikian,
pengetahuan metafisis bukan sekadar pencapaian intelektual, tetapi juga
transformasi eksistensial menuju kesadaran tentang kesatuan realitas.⁴
Dalam perspektif historis, perjalanan metafisika
Islam memperlihatkan evolusi konseptual yang dinamis: dari rasionalisme
Aristotelian Ibn Sīnā, iluminisme Suhrawardī, hingga eksistensialisme
transendental Mullā Ṣadrā.⁵ Masing-masing memberikan kontribusi yang saling
melengkapi—Ibn Sīnā menegakkan struktur rasional ontologi, Suhrawardī menambahkan
dimensi cahaya dan intuisi, sementara Mullā Ṣadrā menyatukan keduanya dalam
teori aṣālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi).⁶ Sintesis ini menunjukkan bahwa filsafat
Islam bukan sistem yang beku, melainkan tradisi reflektif yang selalu terbuka
terhadap pengayaan metodologis dan spiritual.
Dalam konteks modern, relevansi metafisika Islam
semakin terasa di tengah krisis spiritualitas dan fragmentasi pengetahuan.⁷
Dunia kontemporer yang didominasi materialisme dan positivisme telah
mengaburkan makna realitas di balik fenomena empiris. Di sinilah metafisika
Islam menawarkan alternatif: pemahaman tentang realitas sebagai kesatuan
berlapis antara dunia fisik, mental, dan spiritual, yang semuanya bersumber
dari dan kembali kepada Tuhan.⁸ Dengan menghidupkan kembali kesadaran
metafisis, manusia modern dapat menemukan kembali orientasi hidupnya yang
sejati—yakni menuju kesempurnaan eksistensial yang berakar pada pengetahuan dan
cinta Ilahi.⁹
Lebih jauh, metafisika Islam membuka ruang bagi dialog
lintas budaya dan filsafat global. Dalam menghadapi tantangan modernitas,
seperti krisis ekologi, relativisme moral, dan reduksi rasionalitas, filsafat
Islam dapat menjadi jembatan antara rasionalitas Barat dan spiritualitas Timur.¹⁰
Melalui konsep-konsep seperti wahdat al-wujūd dan ḥikmah al-muta‘āliyah, ia menghadirkan paradigma yang menegaskan bahwa pluralitas
tidak bertentangan dengan kesatuan, melainkan merupakan pancaran dari satu
sumber kebenaran yang sama.¹¹
Dengan demikian, metafisika Islam tidak berhenti
sebagai warisan sejarah, melainkan menjadi paradigma filosofis hidup
yang terus memberi inspirasi bagi pencarian makna, kebenaran, dan kesempurnaan
manusia. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak berhenti pada rasio,
tetapi berpuncak pada penyaksian batin terhadap realitas Ilahi.¹² Dalam terang
metafisika Islam, filsafat kembali menemukan tujuan aslinya: bukan sekadar
memahami dunia, tetapi juga menjadi jalan menuju kebijaksanaan (ḥikmah)
yang menyatukan pengetahuan dan keberadaan dalam kesempurnaan wujud.¹³
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 235–237.
[2]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 179–182.
[3]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 154–157.
[4]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 103–105.
[5]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 254–257.
[6]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum:
Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 44–47.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 231–234.
[8]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 128–130.
[9]               
Reza Akbarian, “The Human Journey toward Perfection
in Mulla Sadra’s Philosophy,” Transcendent Philosophy 8, no. 2 (2007):
63–66.
[10]            
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of
the Unity of Science and Islam (London: Grey Seal, 1989), 138–140.
[11]            
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of
California Press, 1983), 287–289.
[12]            
Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative
Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University
Press, 1969), 121–123.
[13]            
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 157–159.
Daftar Pustaka 
Al-Fārābī. (1968). Al-Madīnah al-Fāḍilah (ed. Albert N. Nader). Beirut: Dār
al-Mashriq.
Al-Ghazālī. (1927). Tahāfut al-Falāsifah (ed. Maurice Bouyges). Beirut:
Imprimerie Catholique.
Al-Ghazālī. (1964). Mishkāt al-Anwār (ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī). Cairo: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī.
Bohm, D. (1980). Wholeness and the implicate order. London: Routledge.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabī’s metaphysics of
imagination. Albany: State University of New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s
cosmology. Albany: State University of New York Press.
Chittick, W. C. (2001). The heart of Islamic philosophy: The quest for
self-knowledge in the teachings of Afdal al-Din Kashani. Oxford: Oxford
University Press.
Chittick, W. C. (2007). Science of the cosmos, science of the soul: The pertinence
of Islamic cosmology in the modern world. Oxford: Oneworld Publications.
Comte, A. (1896). The positive philosophy of Auguste Comte (Trans. H.
Martineau). London: George Bell.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary recital (Trans. W. R. Trask).
Princeton: Princeton University Press.
Corbin, H. (1969). Alone with the alone: Creative imagination in the Sufism of
Ibn ‘Arabī. Princeton: Princeton University Press.
Corbin, H. (1972). En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiques
(Vol. 4). Paris: Gallimard.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (Trans. L. Sherrard).
London: Kegan Paul International.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York:
Columbia University Press.
Frank, R. M. (1992). Al-Ghazali and the Ash‘arite school. Beirut: Dār
al-Mashriq.
Goodman, L. E. (1992). Avicenna. London: Routledge.
Gutas, D. (1988). Avicenna and the Aristotelian tradition. Leiden: Brill.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation
movement in Baghdad and early ‘Abbāsid society. London: Routledge.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy:
Knowledge by presence. Albany: State University of New York Press.
Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam.
Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical
concepts. Berkeley: University of California Press.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on
existence, intellect, and intuition. Oxford: Oxford University Press.
Leaman, O. (1985). An introduction to classical Islamic philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press.
Legenhausen, M. (2015). Philosophy and the modern world: Islamic reflections.
Qom: Imam Khomeini Institute.
Mullā Ṣadrā. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (Vols. 1–7). Qum: Maktabat al-Ṣadr.
Nasr, S. H. (1964). An introduction to Islamic cosmological doctrines.
Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī.
Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard
University Press.
Nasr, S. H. (1987). Man and nature: The spiritual crisis of modern man.
London: Unwin Paperbacks.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of
New York Press.
Nasr, S. H. (1991). Spirituality and perfection in Islam. London: Kegan Paul
International.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. Albany: State University
of New York Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present:
Philosophy in the land of prophecy. Albany: State University of New York
Press.
Rūmī, J. al-D. (1925). Mathnawī Ma‘nawī (Trans. R. A. Nicholson). London: Luzac
& Co.
Sardar, Z. (1989). Islamic science: The myth of the unity of science and Islam.
London: Grey Seal.
Ṣadrā, M. (Mullā Ṣadrā). (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (Vol. 1–7).
Qum: Maktabat al-Ṣadr.
Suhrawardī, Shihāb al-Dīn. (1952). Ḥikmat al-Ishrāq (ed. Henry
Corbin). Tehran: Iranian Institute of Philosophy.
Taylor, R. C. (2005). Aristotle and his commentators in the Arabic tradition. In P.
Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic
philosophy (pp. 15–20). Cambridge: Cambridge University Press.
Adamson, P. (2007). Al-Kindī. Oxford: Oxford University Press.
Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic world. Oxford: Oxford
University Press.
Aminrazavi, M. (1994). The Islamic intellectual tradition in Persia. Richmond:
Curzon Press.
Akbarian, R. (2005). The concept of substantial motion in Mulla Sadra’s philosophy. Transcendent
Philosophy, 6(1), 27–29.
Akbarian, R. (2006). The teleological structure of being in Mulla Sadra’s
philosophy. Transcendent Philosophy, 7(1), 41–44.
Akbarian, R. (2007). The role of mystical experience in Sadrian epistemology. Transcendent
Philosophy, 8(1), 55–58.
Akbarian, R. (2008). Modern challenges to Islamic metaphysics. Transcendent
Philosophy, 9(1), 33–36.
Chittick, W. C. (2001). The heart of Islamic philosophy: The quest for
self-knowledge in the teachings of Afdal al-Din Kashani. Oxford: Oxford
University Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual
tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Nasr, S. H., & Leaman, O. (Eds.). (1996). History of Islamic philosophy.
London: Routledge.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy. New York: Columbia
University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar