Kamis, 16 Oktober 2025

Metafisika Islam: Antara Tuhan, Wujud, dan Realitas

Metafisika Islam

Antara Tuhan, Wujud, dan Realitas


Alihkan ke: Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif metafisika dalam filsafat Islam sebagai inti dari struktur pemikiran filosofis dan spiritual dalam peradaban Islam. Kajian ini menelusuri perjalanan historis, ontologis, epistemologis, kosmologis, dan mistis dari tradisi metafisika Islam, mulai dari pengaruh filsafat Yunani (Aristoteles dan Neoplatonisme) hingga sintesis eksistensialis-transendental Mullā Ṣadrā. Melalui pendekatan analitis dan historis-filosofis, penelitian ini menunjukkan bahwa metafisika Islam berupaya mengintegrasikan akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi (kashf) dalam satu kesatuan sistem pengetahuan.

Secara ontologis, metafisika Islam menempatkan wujud (al-wujūd) sebagai realitas fundamental yang memancar dari Tuhan sebagai Wujud Mutlak dan bergradasi melalui tatanan kosmik yang hierarkis. Sementara secara epistemologis, ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya diperoleh melalui nalar rasional, tetapi juga melalui penyatuan eksistensial antara subjek dan objek pengetahuan dalam ‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan hadir). Dimensi mistisnya, terutama dalam pemikiran Ibn ‘Arabī, memperkaya metafisika Islam dengan konsep wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi) sebagai ekspresi spiritual dari prinsip ontologisnya.

Dalam konteks kontemporer, metafisika Islam memiliki relevansi besar terhadap krisis spiritualitas, etika, dan epistemologi modern, karena menawarkan pandangan dunia yang integral—menyatukan rasionalitas ilmiah dengan kesadaran ilahiah. Ia juga membuka ruang bagi dialog antara filsafat Timur dan Barat, serta antara sains dan agama, dengan menegaskan kesatuan antara realitas empiris dan transenden. Melalui pendekatan yang rasional sekaligus spiritual, metafisika Islam tidak hanya berfungsi sebagai sistem filsafat, tetapi juga sebagai jalan menuju kebijaksanaan (ḥikmah) dan kesempurnaan manusia.

Kata Kunci: Metafisika Islam, Wujud (al-Wujūd), Ibn Sīnā, Suhrawardī, Mullā Ṣadrā, Wahdat al-Wujūd, Ontologi, Epistemologi, Kosmologi, Mistisisme, Akal dan Wahyu, Filsafat Islam Kontemporer.


PEMBAHASAN

Nilai Universal Metafisika Islam dalam Menjembatani Iman dan Rasio


1.           Pendahuluan

Metafisika menempati posisi sentral dalam filsafat Islam karena ia menyelidiki realitas paling fundamental: hakikat wujud (al-wujūd) dan hubungan antara Tuhan, alam, serta manusia. Dalam tradisi filsafat Islam, metafisika tidak hanya dipahami sebagai cabang abstrak dari pengetahuan rasional, tetapi juga sebagai jalan menuju pemahaman tentang asal-usul dan tujuan keberadaan. Ia menggabungkan dimensi rasional, teologis, dan mistis menjadi satu kesatuan sistem pemikiran yang unik dan khas dalam peradaban Islam.¹

Latar belakang historis kemunculan metafisika Islam tidak dapat dilepaskan dari pertemuan antara warisan intelektual Yunani dan semangat keagamaan Islam. Setelah penerjemahan karya-karya Aristoteles, Plotinus, dan filsuf Yunani lainnya ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyah, para pemikir Muslim seperti al-Kindī, al-Fārābī, dan Ibn Sīnā mengembangkan pendekatan metafisis yang berupaya menyelaraskan rasionalitas filosofis dengan wahyu ilahi.² Namun, filsafat Islam tidak berhenti pada penyerapan gagasan Yunani; ia mengalami transformasi besar dengan munculnya pemikiran iluminatif Suhrawardī dan eksistensialis Mullā Ṣadrā, yang menekankan pengalaman langsung dan intuisi sebagai sarana mengenal realitas terdalam.³

Masalah pokok yang menjadi pusat perhatian metafisika Islam adalah pertanyaan tentang wujud: apa makna keberadaan itu sendiri, apakah wujud bersifat tunggal atau bergradasi, dan bagaimana hubungan antara Wujud Mutlak (Tuhan) dengan wujud-wujud partikular (makhluk).⁴ Dari persoalan inilah muncul perdebatan besar antara aliran rasional (Peripatetik), iluminatif, dan mistik. Para filsuf Muslim mencoba menjawab pertanyaan ini dengan berbagai pendekatan: Ibn Sīnā mengembangkan konsep wajib al-wujūd (Wujud yang niscaya) dan mumkin al-wujūd (wujud yang mungkin), sementara Mullā Ṣadrā menegaskan tashkīk al-wujūd (gradasi wujud) yang memandang realitas sebagai spektrum eksistensi yang berpuncak pada Tuhan.⁵

Kajian metafisika dalam filsafat Islam memiliki relevansi besar terhadap epistemologi, etika, dan kosmologi. Ia tidak hanya berfungsi menjelaskan hakikat eksistensi, tetapi juga memberikan dasar ontologis bagi moralitas, ilmu pengetahuan, dan pengalaman spiritual.⁶ Dengan demikian, metafisika Islam dapat dilihat sebagai usaha menyatukan tiga sumber pengetahuan utama: akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi (kashf). Pendekatan ini menegaskan bahwa pencarian kebenaran metafisis dalam Islam selalu bersifat integratif—menggabungkan rasionalitas filosofis dengan spiritualitas religius.⁷

Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-filosofis melalui telaah teks klasik (misalnya karya-karya Ibn Sīnā, Suhrawardī, dan Mullā Ṣadrā) serta interpretasi hermeneutis terhadap gagasan metafisis dalam konteks historis dan kontemporer. Pendekatan ini memungkinkan penggalian struktur konseptual dan logika internal pemikiran metafisis Islam, sekaligus membuka ruang dialog dengan filsafat Barat modern dan ilmu pengetahuan kontemporer.⁸ Dengan demikian, pembahasan metafisika Islam tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga prospektif: menggali akar tradisi untuk menjawab pertanyaan filosofis masa kini tentang realitas, kesadaran, dan keberadaan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 21–22.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 45–48.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 104–107.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 59–61.

[5]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 12–14.

[6]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 33–35.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 41–43.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 5–7.


2.           Landasan Historis Metafisika dalam Filsafat Islam

Perkembangan metafisika dalam filsafat Islam memiliki akar yang dalam dalam sejarah intelektual dunia Islam, bermula dari proses asimilasi, reinterpretasi, dan transformasi terhadap warisan filsafat Yunani kuno. Melalui gerakan penerjemahan besar-besaran pada abad ke-8 hingga ke-10 M di bawah Dinasti ‘Abbāsiyyah, karya-karya Aristoteles, Plotinus, dan Plato diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sering kali dengan komentar dan elaborasi yang memperluas maknanya.¹ Hasilnya adalah lahirnya suatu tradisi filosofis yang tidak sekadar mengulang pemikiran Yunani, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai teologis Islam dalam kerangka metafisis yang koheren.

2.1.       Pengaruh Filsafat Yunani: Aristoteles dan Neoplatonisme

Konsep-konsep utama dalam metafisika Islam banyak dipengaruhi oleh dua arus besar filsafat Yunani: Aristotelianisme dan Neoplatonisme. Aristoteles memberikan dasar rasional bagi penjelasan tentang substansi, bentuk, dan sebab pertama (al-sabab al-awwal), yang kemudian diterima dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim.² Sementara itu, Neoplatonisme, terutama melalui pemikiran Plotinus (yang dikenal di dunia Islam lewat teks Theology of Aristotle), memperkenalkan gagasan emanasi (fayḍ), yaitu pancaran wujud dari Yang Esa secara berjenjang dan niscaya.³

Konsep emanasi inilah yang kemudian menjadi landasan bagi metafisika kosmologis dalam filsafat Islam. Para pemikir Muslim menafsirkan teori ini dalam kerangka tauhid, dengan menegaskan bahwa segala wujud berasal dari Tuhan (al-Ḥaqq) tanpa mengurangi keesaan-Nya.⁴ Dengan demikian, pengaruh Yunani tidak diterima secara mentah, melainkan disaring dan diislamkan sesuai dengan prinsip teologis wahyu.

2.2.       Perkembangan Awal Filsafat Islam: Al-Kindī, Al-Fārābī, dan Ibn Sīnā

Fase awal pembentukan metafisika Islam ditandai oleh tokoh seperti al-Kindī (801–873 M), yang dikenal sebagai “Filsuf Arab Pertama.” Ia berupaya menegaskan kesesuaian antara akal dan wahyu dengan menekankan bahwa filsafat adalah jalan untuk mengenal Tuhan melalui pengetahuan rasional tentang sebab pertama.⁵

Setelahnya, al-Fārābī (872–950 M) mengembangkan sistem metafisis yang lebih kompleks, menekankan hierarki keberadaan yang berangkat dari Tuhan sebagai Akal Pertama menuju akal-akal kosmik, jiwa, dan materi.⁶ Dalam pandangan al-Fārābī, alam semesta adalah emanasi dari Tuhan, dan manusia sebagai makhluk rasional memiliki potensi untuk kembali pada asalnya melalui kontemplasi intelektual.

Kontribusi paling monumental datang dari Ibn Sīnā (Avicenna) (980–1037 M), yang menyusun sistem metafisika yang sistematik dan rasional. Ia membedakan antara mahiyyah (esensi) dan wujūd (eksistensi), dengan menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Wajib al-Wujūd (Wujud yang niscaya), sementara makhluk hanyalah mumkin al-wujūd (wujud kontingen) yang bergantung pada Tuhan.⁷ Dengan pemikirannya, metafisika Islam mencapai bentuk rasional paling matang dan menjadi rujukan utama hingga berabad-abad kemudian.

2.3.       Transmisi dan Kritik: Teologi dan Mistisisme

Setelah puncak Avicennian, metafisika Islam memasuki fase kritik dan transformasi. Al-Ghazālī (1058–1111 M) dalam Tahāfut al-Falāsifah menolak sebagian prinsip metafisis para filsuf, terutama ide tentang keabadian alam dan pengetahuan Tuhan tentang partikular, yang dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.⁸ Meskipun demikian, kritik al-Ghazālī bukanlah penolakan total terhadap filsafat, melainkan usaha untuk menegakkan batas antara rasio dan wahyu.

Sebaliknya, para sufi seperti Ibn ‘Arabī (1165–1240 M) membawa metafisika Islam ke arah yang lebih intuitif dan eksistensial. Dalam ajaran wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi), Ibn ‘Arabī memandang bahwa seluruh realitas adalah manifestasi dari Wujud Tuhan yang tunggal.⁹ Gagasan ini kemudian menginspirasi Mullā Ṣadrā (1572–1640 M), yang mensintesiskan rasionalisme Ibn Sīnā, iluminasionisme Suhrawardī, dan mistisisme Ibn ‘Arabī dalam filsafat ḥikmah al-muta‘āliyah (kebijaksanaan transendental).¹⁰

Dengan demikian, landasan historis metafisika Islam memperlihatkan kontinuitas dan dinamika antara tiga kutub utama pemikiran: rasionalitas filosofis, keimanan teologis, dan intuisi mistis. Tradisi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak sekadar warisan Yunani yang diadaptasi, melainkan sebuah sistem metafisis orisinal yang berakar dalam spiritualitas Islam dan tetap relevan bagi refleksi metafisis kontemporer.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 45–49.

[2]                Richard C. Taylor, “Aristotle and His Commentators in the Arabic Tradition,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 15–20.

[3]                Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 34–36.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 51–53.

[5]                Peter Adamson, Al-Kindī (Oxford: Oxford University Press, 2007), 72–74.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 109–112.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 85–88.

[8]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 87–89.

[9]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 54–57.

[10]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 22–25.


3.           Ontologi: Konsep Wujud dan Realitas

Ontologi dalam filsafat Islam berpusat pada persoalan mendasar tentang wujud (al-wujūd), yang menjadi inti dari seluruh pemikiran metafisis. Pertanyaan “apa yang ada” tidak hanya bersifat logis, melainkan juga spiritual dan teologis. Dalam tradisi Islam, wujud bukan sekadar eksistensi empiris, melainkan realitas ontologis yang mengalir dari Tuhan sebagai Sumber Mutlak Segala Ada.¹ Karena itu, pembahasan tentang wujud dalam filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari dimensi ketuhanan, emanasi, dan tujuan akhir keberadaan manusia.

3.1.       Pengertian Wujud (al-Wujūd) dan Mahiyyah (Hakikat atau Esensi)

Distingsi antara wujūd (eksistensi) dan mahiyyah (esensi) pertama kali dirumuskan secara sistematik oleh Ibn Sīnā (Avicenna). Ia menyatakan bahwa setiap entitas dapat ditinjau dari dua sisi: dari sisi “apa”-nya (esensi) dan dari sisi “bahwa ia ada” (eksistensi).² Esensi menjawab pertanyaan “apa sesuatu itu,” sedangkan eksistensi menjawab “apakah sesuatu itu ada.” Hubungan keduanya bersifat aksidental: eksistensi bukan bagian dari esensi, tetapi sesuatu yang “ditambahkan” padanya oleh sebab eksternal, yakni Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Wujud Niscaya).³

Dalam kerangka ini, Ibn Sīnā membedakan tiga jenis wujud:

1)                  Wājib al-Wujūd – wujud yang niscaya, yaitu Tuhan, yang eksistensinya tidak bergantung pada apa pun.

2)                  Mumkin al-Wujūd – wujud kontingen, yaitu makhluk, yang keberadaannya bergantung pada sebab lain.

3)                  Mumtani‘ al-Wujūd – wujud yang mustahil, yaitu sesuatu yang kontradiktif secara logis.⁴

Distingsi ini memberikan fondasi ontologis bagi seluruh metafisika Islam dan menjadi kerangka berpikir bagi para filsuf sesudahnya. Dalam pandangan ini, Tuhan dipahami bukan hanya sebagai sebab pertama (causa prima), tetapi juga sebagai realitas yang menegakkan keberadaan semua yang ada.

3.2.       Hierarki Wujud dan Hubungannya dengan Tuhan

Berdasarkan sistem Ibn Sīnā, wujud dipahami sebagai realitas yang berjenjang, bergerak dari tingkat paling tinggi (Tuhan) hingga tingkat paling rendah (materi).⁵ Al-Fārābī sebelumnya juga telah mengemukakan struktur ontologis semacam ini melalui teori emanasi (fayḍ), di mana Akal Pertama (al-‘Aql al-Awwal) memancar langsung dari Tuhan, diikuti oleh akal-akal berikutnya, jiwa, dan materi.⁶

Bagi Ibn Sīnā, hierarki ini tidak berarti bahwa wujud-wujud selain Tuhan bersifat ilahi, tetapi bahwa mereka bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Tuhan memberikan eksistensi kepada segala sesuatu tanpa kehilangan kesempurnaan-Nya, sebagaimana matahari menerangi tanpa berkurang cahayanya.⁷

Pemikiran ini kemudian disempurnakan oleh Mullā Ṣadrā melalui doktrin tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi). Menurutnya, wujud bukan kategori yang bersifat univokal (sama derajatnya) maupun equivokal (sama sekali berbeda), melainkan bersifat analogis dan bergradasi.⁸ Semua wujud adalah manifestasi dari Wujud Mutlak dengan intensitas dan kesempurnaan yang berbeda-beda. Tuhan adalah wujud tertinggi, sedangkan makhluk hanyalah bentuk eksistensi yang lemah dari realitas yang sama. Dengan demikian, seluruh alam merupakan satu kesatuan ontologis dalam perbedaan intensitas eksistensial.⁹

3.3.       Wujud sebagai Kesatuan dan Gerak Substansial

Salah satu inovasi besar Mullā Ṣadrā adalah konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah), yang menyatakan bahwa bukan hanya aksiden (sifat-sifat luar), tetapi substansi itu sendiri senantiasa berada dalam proses perubahan dan penyempurnaan.¹⁰ Alam semesta, menurutnya, bukanlah kumpulan entitas statis, melainkan arus wujud yang dinamis menuju kesempurnaan ontologisnya. Gerak ini bukan perubahan dari nihil menjadi ada, tetapi transformasi dari wujud yang lebih rendah menuju wujud yang lebih sempurna.

Konsep ini menggeser paradigma statis dalam metafisika Aristotelian menuju pandangan eksistensial yang dinamis dan teleologis.¹¹ Dalam pandangan Mullā Ṣadrā, realitas pada hakikatnya adalah gerak menuju Tuhan—al-ḥaqq—sebagai puncak wujud dan tujuan akhir seluruh eksistensi. Semua yang ada adalah “perjalanan ontologis” dari wujud yang lemah menuju Wujud Mutlak.¹²

Dengan demikian, ontologi Islam tidak hanya menjelaskan apa yang ada, tetapi juga mengapa dan ke mana keberadaan itu bergerak. Pandangan ini mengandung implikasi etis dan spiritual: semakin tinggi tingkat eksistensi, semakin dekat pula entitas itu kepada kesempurnaan Ilahi.¹³ Oleh karena itu, dalam filsafat Islam, pengetahuan metafisis bukan sekadar kontemplasi rasional, melainkan juga proses eksistensial menuju penyatuan dengan sumber realitas itu sendiri.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 57–60.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 83–85.

[3]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), jilid 1, 30–33.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 63–65.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 112–115.

[6]                Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 49–53.

[7]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 102–104.

[8]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 36–39.

[9]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, eds., History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 589–592.

[10]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 94–97.

[11]             Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1972), 183–186.

[12]             Reza Akbarian, “The Concept of Substantial Motion in Mulla Sadra’s Philosophy,” Transcendent Philosophy 6, no. 1 (2005): 27–29.

[13]             William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 101–103.


4.           Epistemologi Metafisika Islam

Epistemologi metafisika dalam filsafat Islam berfokus pada pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui realitas tertinggi (al-ḥaqīqah)? Jika ontologi membahas “apa yang ada,” maka epistemologi metafisis Islam membahas “bagaimana yang ada itu diketahui.” Dalam konteks ini, pengetahuan tidak hanya dipahami sebagai aktivitas intelektual, melainkan juga sebagai partisipasi ontologis dalam wujud itu sendiri.¹ Artinya, mengetahui bukan sekadar merepresentasikan realitas, tetapi menjadi hadir bersama realitas tersebut melalui penyatuan eksistensial antara subjek dan objek pengetahuan.

4.1.       Akal dan Intuisi dalam Mengetahui Realitas

Para filsuf Muslim mengakui akal (‘aql) sebagai instrumen utama pengetahuan metafisis. Ibn Sīnā menegaskan bahwa akal manusia memiliki kemampuan untuk menangkap bentuk-bentuk universal dari realitas melalui proses abstraksi (tajrīd).² Dengan menaiki tingkatan akal—dari akal potensial (‘aql bi al-quwwah) hingga akal aktual (‘aql bi al-fi‘l) dan akal mustafād (akal yang tercerahkan oleh akal aktif)—manusia dapat mencapai pemahaman rasional terhadap prinsip-prinsip tertinggi keberadaan.³

Namun, tradisi filsafat Islam tidak berhenti pada rasionalisme murni. Suhrawardī (1154–1191 M), pendiri filsafat iluminatif (ḥikmah al-isyrāq), menolak anggapan bahwa akal diskursif dapat sepenuhnya menjangkau realitas metafisis. Ia memperkenalkan konsep ‘ilm al-huḍūrī (pengetahuan hadir), yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pencerahan batin ketika subjek dan objek pengetahuan bersatu dalam cahaya kesadaran.⁴ Pengetahuan sejati, menurutnya, bukan hasil deduksi logis, melainkan pengalaman langsung (mushāhadah) terhadap wujud.⁵

Dengan demikian, epistemologi metafisika Islam membedakan dua jenis pengetahuan:

1)                  ‘Ilm ḥuṣūlī (pengetahuan konseptual) — yang diperoleh melalui akal, logika, dan argumentasi.

2)                  ‘Ilm ḥuḍūrī (pengetahuan hadir) — yang diperoleh melalui penyatuan eksistensial dan iluminasi batin.⁶
Keduanya bukan lawan, melainkan saling melengkapi. Akal berfungsi menata dan membenarkan pengetahuan, sedangkan intuisi memastikan kedalaman dan keotentikan pengalaman metafisis.

4.2.       Hubungan antara Pengetahuan dan Keberadaan

Dalam metafisika Islam, pengetahuan dan keberadaan memiliki hubungan yang identik secara hakikat: pengetahuan adalah bentuk wujud itu sendiri. Mullā Ṣadrā mengembangkan prinsip ittihād al-‘āqil wa al-ma‘qūl (kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui), yang menandai puncak integrasi antara ontologi dan epistemologi.⁷ Menurutnya, ketika seseorang mengetahui sesuatu secara sejati, ia “menjadi” bentuk wujud yang diketahui dalam tingkat kesadaran tertentu.⁸

Dengan demikian, pengetahuan bukan hanya representasi mental, tetapi transformasi ontologis. Semakin tinggi derajat pengetahuan seseorang, semakin tinggi pula tingkat wujudnya.⁹ Konsep ini memperluas pengertian epistemologi menjadi proses eksistensial: mengetahui berarti berpartisipasi dalam realitas yang lebih sempurna.

Hal ini juga selaras dengan konsep pengetahuan ilahi (‘ilm ilāhī). Tuhan mengetahui segala sesuatu bukan melalui representasi, melainkan karena segala sesuatu hadir dalam Wujud-Nya.¹⁰ Maka, pengetahuan ilahi bersifat langsung, menyeluruh, dan identik dengan keberadaan-Nya sendiri.¹¹ Dalam konteks manusia, pengetahuan metafisis sejati adalah refleksi dari bentuk pengetahuan ilahi yang terbatasi oleh kapasitas eksistensial manusia.

4.3.       Pengetahuan Tuhan dan Dunia: Masalah Keuniversalan Ilmu Ilahi

Salah satu perdebatan klasik dalam epistemologi metafisika Islam adalah bagaimana Tuhan mengetahui realitas partikular. Ibn Sīnā berpendapat bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu melalui pengetahuan terhadap Diri-Nya sebagai sebab segala yang ada.¹² Karena pengetahuan Tuhan bersifat universal, Ia mengetahui partikular bukan secara langsung, tetapi sebagai akibat dari hukum-hukum universal yang tertanam dalam Diri-Nya.

Pandangan ini mendapat kritik tajam dari al-Ghazālī, yang menilai bahwa hal tersebut mengurangi kesempurnaan pengetahuan Tuhan karena membatasi-Nya hanya pada yang universal.¹³ Sebaliknya, para mistikus seperti Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara langsung karena setiap wujud partikular adalah manifestasi dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya (al-asmā’ wa al-ṣifāt).¹⁴ Dengan demikian, pengetahuan Tuhan bersifat imanen dan transenden sekaligus: Ia mengetahui karena Ia adalah sumber dari setiap pengetahuan dan setiap eksistensi.

Mullā Ṣadrā kemudian mensintesiskan pandangan rasional dan intuitif ini dengan menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan terhadap dunia identik dengan keberadaan dunia itu sendiri dalam taraf eksistensi yang lebih rendah.¹⁵ Dunia hadir dalam pengetahuan Tuhan sebagai bentuk wujud yang tereksistensi melalui hubungan kausal yang niscaya. Oleh karena itu, epistemologi metafisika Islam memandang pengetahuan ilahi dan pengetahuan manusia sebagai dua tingkat dari satu gerak ontologis yang sama—yakni perjalanan wujud menuju kesempurnaan kesadaran.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 62–65.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 91–93.

[3]                Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 214–218.

[4]                Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 49–52.

[5]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 88–90.

[6]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 45–47.

[7]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 3, 284–288.

[8]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 112–115.

[9]                William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford University Press, 2001), 74–77.

[10]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 69–71.

[11]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 78–81.

[12]             Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah, 1960), 235–238.

[13]             Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 99–102.

[14]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 76–79.

[15]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, jilid 4, 210–214.


5.           Kosmologi Metafisis dalam Filsafat Islam

Kosmologi metafisis dalam filsafat Islam merupakan upaya untuk menjelaskan struktur dan dinamika alam semesta dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai Sumber dan Tujuan segala wujud. Jika ontologi membahas hakikat keberadaan secara abstrak dan epistemologi menjelaskan cara mengetahuinya, maka kosmologi metafisis menelusuri bagaimana wujud memancar dari Yang Esa dan kembali kepada-Nya.¹ Dengan demikian, kosmologi Islam bukan sekadar teori tentang asal-usul dunia secara fisik, tetapi tentang tata keteraturan ontologis yang menghubungkan Tuhan, akal, jiwa, dan materi dalam hierarki emanatif.

5.1.       Teori Emanasi (Fayḍ) dan Asal-Usul Alam

Konsep paling fundamental dalam kosmologi metafisis Islam adalah teori emanasi (fayḍ), yang diperkenalkan oleh al-Fārābī dan disistematisasi oleh Ibn Sīnā. Teori ini berakar pada Neoplatonisme, khususnya pandangan bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Esa melalui pancaran wujud yang bertingkat-tingkat.² Akan tetapi, para filsuf Muslim menolak implikasi panteistiknya dan menafsirkannya dalam kerangka tauhid. Emanasi bukanlah “keluarnya” Tuhan dari Diri-Nya, tetapi manifestasi keberadaan-Nya dalam bentuk yang berbeda tingkat kesempurnaannya.³

Menurut al-Fārābī, dari Tuhan (al-Wājib al-Wujūd) terpancar Akal Pertama (al-‘Aql al-Awwal), yang kemudian memunculkan Akal Kedua, dan seterusnya hingga Akal Kesepuluh, yang mengatur dunia sublunar (materi).⁴ Proses emanasi ini bersifat niscaya, bukan karena paksaan eksternal, melainkan karena sifat kebaikan Tuhan yang sempurna, yang secara alamiah menyalurkan keberadaan kepada segala sesuatu.⁵

Ibn Sīnā memperkuat sistem ini dengan menambahkan dimensi intelektual dan spiritual. Ia menjelaskan bahwa setiap tingkatan akal memiliki tiga relasi: (1) dengan Tuhan sebagai penyebab, (2) dengan dirinya sendiri sebagai eksistensi aktual, dan (3) dengan akal di bawahnya sebagai penyebab turunan.⁶ Dari struktur ini terbentuk hierarki kosmos yang rasional, di mana segala wujud saling bergantung dalam tatanan kausalitas vertikal yang berujung pada Tuhan sebagai Sebab Pertama.⁷

Teori emanasi ini tidak hanya menjelaskan asal-usul alam, tetapi juga menegaskan keteraturan kosmos sebagai cerminan dari keteraturan Ilahi.⁸ Dalam konteks ini, metafisika Islam menolak pandangan kaos atau kebetulan dalam penciptaan: seluruh eksistensi adalah hasil dari kebijaksanaan dan kehendak rasional Tuhan.

5.2.       Struktur Kosmos dan Jiwa Universal (Nafs al-Kulliyyah)

Selain struktur intelektual kosmos, para filsuf Muslim memperkenalkan konsep Jiwa Universal (al-nafs al-kulliyyah) sebagai perantara antara dunia akal dan dunia materi. Jiwa Universal berfungsi menghidupkan alam, mengatur gerak planet, dan menjadi sebab munculnya bentuk-bentuk kehidupan di bumi.⁹

Bagi al-Fārābī, jiwa universal merupakan refleksi dari aktivitas kontemplatif Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘‘āl), yang menyalurkan bentuk-bentuk inteligibel ke dalam potensi materi.¹⁰ Sedangkan bagi Ibn Sīnā, jiwa universal adalah entitas yang lebih halus dari materi tetapi lebih rendah dari akal, berperan sebagai medium transformasi antara spiritualitas dan keberjasmanian.¹¹

Mullā Ṣadrā kemudian menafsirkan struktur kosmos secara dinamis melalui konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah). Menurutnya, seluruh wujud berada dalam gerak kontinu dari potensi menuju aktualitas, dari materi menuju spiritualitas.¹² Alam semesta bukanlah sistem statis, melainkan proses eksistensial yang terus mengalir dari sumber wujud menuju kesempurnaan ilahi.¹³ Dengan demikian, kosmos menjadi arena bagi perjalanan wujud menuju Tuhan—suatu pandangan yang menggabungkan dimensi rasional, ontologis, dan mistis.

5.3.       Tujuan Kosmos dan Kembalinya Wujud kepada Asalnya (al-Ma‘ād)

Kosmologi metafisis Islam tidak hanya menjelaskan asal-usul dunia, tetapi juga menyoroti tujuan akhir keberadaan. Dalam pandangan para filsuf Muslim, seluruh realitas bergerak dari Tuhan (al-Mabda’ al-Awwal) dan akan kembali kepada-Nya (al-Ma‘ād al-Akhir).¹⁴ Prinsip ini dirangkum dalam ungkapan Qur’ani: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami kembali).¹⁵

Bagi Ibn Sīnā, kembalinya wujud kepada Tuhan berarti pencapaian kesempurnaan intelektual, yaitu keadaan di mana jiwa manusia menyatu dengan akal aktif dan bebas dari ikatan materi.¹⁶ Sedangkan bagi Suhrawardī, al-ma‘ād adalah pencerahan batin, ketika cahaya jiwa kembali menyatu dengan Cahaya Mutlak.¹⁷ Dalam sistem Mullā Ṣadrā, kembalinya wujud merupakan bagian dari gerak substansial kosmos secara keseluruhan; seluruh eksistensi berpartisipasi dalam gerak spiral menuju Tuhan sebagai puncak kesempurnaan wujud.¹⁸

Dengan demikian, kosmologi metafisis Islam menegaskan bahwa alam semesta bukanlah entitas otonom, melainkan pancaran dan perjalanan wujud dari Tuhan menuju Tuhan.¹⁹ Alam memiliki makna spiritual dan teleologis: keberadaannya merupakan refleksi kasih sayang dan kebijaksanaan Ilahi yang menuntun segala sesuatu untuk kembali ke asalnya.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 15–18.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 89–91.

[3]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 64–66.

[4]                Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 50–52.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 72–74.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 93–95.

[7]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 117–120.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 83–86.

[9]                Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 142–145.

[10]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 130–132.

[11]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 67–69.

[12]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 2, 45–49.

[13]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 124–127.

[14]             William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford University Press, 2001), 108–111.

[15]             Al-Qur’an 2:156.

[16]             Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), jilid 3, 289–292.

[17]             Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 71–74.

[18]             Reza Akbarian, “The Teleological Structure of Being in Mulla Sadra’s Philosophy,” Transcendent Philosophy 7, no. 1 (2006): 41–44.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 95–97.


6.           Metafisika dan Mistisisme

Metafisika dalam filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari dimensi mistisisme (taṣawwuf), sebab keduanya berbagi tujuan yang sama: memahami hakikat wujud dan mencapai kesatuan dengan sumbernya. Bila metafisika menjelaskan realitas melalui argumentasi rasional, maka mistisisme menyingkap realitas melalui pengalaman langsung (dhawq) dan penyaksian batin (mushāhadah).¹ Dalam konteks ini, mistisisme bukanlah antitesis filsafat, melainkan kelanjutannya dalam tingkat eksistensial dan spiritual.²

Bagi para filsuf Muslim, khususnya Ibn ‘Arabī, Suhrawardī, dan Mullā Ṣadrā, pengetahuan sejati (al-ma‘rifah al-ḥaqīqiyyah) hanya dapat diperoleh jika intelek dan hati bersatu.³ Dengan demikian, metafisika dan mistisisme merupakan dua sisi dari satu pencarian yang sama—pencarian terhadap al-Ḥaqq, Tuhan sebagai Realitas Tertinggi.

6.1.       Perspektif Ibn ‘Arabī tentang Wahdat al-Wujūd

Tokoh sentral dalam integrasi metafisika dan mistisisme Islam adalah Muḥyiddīn Ibn ‘Arabī (1165–1240 M), yang mengembangkan doktrin terkenal wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi).⁴ Menurut Ibn ‘Arabī, wujud hanya satu, dan segala sesuatu selain Tuhan tidak memiliki keberadaan hakiki kecuali sebagai manifestasi (tajallī) dari Wujud Ilahi.⁵ Dengan demikian, alam bukanlah entitas yang terpisah dari Tuhan, tetapi cerminan dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya (al-asmā’ wa al-ṣifāt).

Konsep wahdat al-wujūd tidak berarti bahwa Tuhan dan alam identik secara substansial (panteisme), melainkan bahwa alam memperoleh realitasnya melalui Tuhan sebagaimana bayangan memperoleh bentuknya dari cahaya.⁶ Dalam pandangan ini, eksistensi partikular hanyalah penampakan terbatas dari Wujud Mutlak yang tak terhingga. Ibn ‘Arabī menulis dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam bahwa “tidak ada dalam wujud ini selain Allah; segala sesuatu adalah Dia dalam bentuk dan nama yang berbeda-beda.”⁷

Pemikiran Ibn ‘Arabī memperluas horizon metafisika Islam dengan menekankan dimensi eksperiensial dari pengetahuan ontologis. Ia menegaskan bahwa untuk mengetahui hakikat wujud, seseorang harus mengalami kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu—suatu bentuk kesadaran metafisis yang melampaui logika konseptual.⁸

6.2.       Simbiosis antara Akal dan Cinta Ilahi dalam Pencarian Hakikat

Dalam tradisi mistik Islam, pengetahuan metafisis tidak hanya bersumber dari akal, tetapi juga dari cinta ilahi (al-‘ishq al-ilāhī). Cinta dianggap sebagai daya kosmik yang menggerakkan seluruh eksistensi menuju kesempurnaan dan penyatuan dengan Tuhan.⁹ Al-Fārābī dan Ibn Sīnā sudah menyebut ‘ishq sebagai prinsip metafisis yang menjelaskan gerak kosmos: setiap makhluk mencintai kesempurnaan dan berusaha meniru Wujud Ilahi.¹⁰

Bagi Ibn ‘Arabī dan Rūmī, cinta adalah “sayap metafisika” yang membawa manusia melampaui batas intelek menuju penyaksian langsung terhadap Realitas Mutlak.¹¹ Dalam Mathnawī, Rūmī menulis bahwa “akal terbatas oleh kata, tetapi cinta menembus rahasia di balik keberadaan.”¹² Dengan demikian, epistemologi cinta tidak menggantikan rasio, melainkan menyempurnakannya dengan dimensi eksistensial dan emosional yang memungkinkan pengalaman tawḥīd (penyatuan dengan Tuhan).

Pandangan ini mencapai sintesis filosofisnya dalam karya Mullā Ṣadrā, yang menegaskan bahwa “pengetahuan, cinta, dan wujud adalah satu realitas dalam tiga aspek.”¹³ Menurutnya, setiap gerak ontologis adalah gerak cinta: setiap wujud merindukan kesempurnaan yang lebih tinggi hingga mencapai Tuhan sebagai puncak eksistensi dan cinta itu sendiri.¹⁴ Dengan demikian, metafisika tidak hanya berbicara tentang struktur realitas, tetapi juga tentang arah dan makna eksistensi manusia di dalamnya.

6.3.       Pengalaman Mistis sebagai Jalan Epistemik

Dalam sistem filsafat Islam, pengalaman mistis (tajrubah dhawqiyyah) diakui sebagai jalan epistemik yang sah untuk memperoleh pengetahuan metafisis.¹⁵ Suhrawardī, pendiri filsafat iluminatif, mengajarkan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui penyinaran batin (ishrāq al-qalb), ketika jiwa terbebas dari kegelapan materi dan memantulkan Cahaya Ilahi.¹⁶

Pengetahuan jenis ini disebut ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan hadir), di mana subjek dan objek pengetahuan tidak lagi terpisah.¹⁷ Hal ini berbeda dari pengetahuan diskursif (‘ilm ḥuṣūlī) yang hanya menangkap bentuk konseptual tanpa menghayati hakikatnya. Bagi Suhrawardī, pengetahuan hadir adalah “penyatuan cahaya dengan cahaya,” yakni pengalaman langsung terhadap Wujud sebagai Cahaya Mutlak.¹⁸

Mullā Ṣadrā melanjutkan pandangan ini dengan memberikan dasar ontologis: karena wujud dan pengetahuan identik, maka semakin tinggi tingkat eksistensi seseorang, semakin dalam pula pengetahuannya.¹⁹ Dengan demikian, pengalaman mistik bukanlah subjektivitas emosional, melainkan realitas ontologis yang menggambarkan intensitas wujud manusia.²⁰

Dalam tradisi Islam, jalan menuju pengetahuan metafisis melalui pengalaman mistis disebut al-sulūk al-‘irfānī, yaitu perjalanan eksistensial dari ketidaktahuan menuju penyaksian Tuhan.²¹ Proses ini melibatkan tiga tahap utama: takhallī (penyucian diri), taḥallī (penghiasan dengan sifat-sifat ilahi), dan tajallī (penampakan realitas Tuhan dalam kesadaran).²² Dengan demikian, mistisisme bukan pelarian dari dunia empiris, tetapi transformasi kesadaran menuju kesatuan realitas yang menjadi inti metafisika Islam.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 103–105.

[2]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 22–25.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 37–39.

[4]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 120–122.

[5]                Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 85–88.

[6]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 41–43.

[7]                Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 112–114.

[8]                Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 57–59.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 94–96.

[10]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–85.

[11]             Jalāl al-Dīn Rūmī, Mathnawī Ma‘nawī, trans. Reynold A. Nicholson (London: Luzac & Co., 1925), jilid 1, 12–14.

[12]             Ibid., 65–67.

[13]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 7, 28–30.

[14]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 136–139.

[15]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 73–76.

[16]             Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 81–84.

[17]             Henry Corbin, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 92–95.

[18]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 115–117.

[19]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, jilid 3, 286–289.

[20]             Reza Akbarian, “The Role of Mystical Experience in Sadrian Epistemology,” Transcendent Philosophy 8, no. 1 (2007): 55–58.

[21]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998), 122–124.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, Spirituality and Perfection in Islam (London: Kegan Paul International, 1991), 64–66.


7.           Kritik dan Perdebatan terhadap Metafisika Islam

Metafisika dalam filsafat Islam, meskipun memiliki struktur konseptual yang kokoh dan kedalaman spiritual yang luar biasa, tidak luput dari kritik dan perdebatan, baik dari kalangan teolog (mutakallimūn), sufi, maupun filsuf modern. Kritik tersebut tidak hanya berkaitan dengan aspek rasional dan teologis, tetapi juga menyentuh persoalan metodologis dan epistemologis. Dengan demikian, dinamika kritik terhadap metafisika Islam mencerminkan vitalitas intelektual tradisi Islam yang terbuka terhadap dialog antara rasio, wahyu, dan pengalaman spiritual.¹

7.1.       Kritik Teologis: Al-Ghazālī dan Keberatan terhadap Kaum Filsuf

Kritik paling terkenal terhadap metafisika Islam datang dari Imām al-Ghazālī (1058–1111 M) melalui karya monumentalnya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf). Dalam karya ini, al-Ghazālī menolak beberapa doktrin utama yang diajarkan oleh para filsuf Peripatetik seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā, terutama dalam tiga hal: (1) keyakinan bahwa alam bersifat qadīm (abadi), (2) pandangan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal dan bukan partikular, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.²

Menurut al-Ghazālī, pandangan para filsuf tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar tauhid dan ajaran wahyu. Ia menuduh para filsuf terlalu mengandalkan akal spekulatif dalam menjelaskan hakikat wujud, sehingga jatuh pada kesalahan rasionalisme ekstrem.³ Al-Ghazālī menegaskan bahwa akal memiliki batas; di atasnya terdapat pengetahuan yang hanya dapat diperoleh melalui wahyu dan intuisi spiritual.⁴

Namun, kritik al-Ghazālī tidak berarti penolakan total terhadap filsafat. Dalam karyanya Mishkāt al-Anwār, ia justru mengintegrasikan aspek metafisika dengan dimensi mistik, menunjukkan bahwa pengetahuan tertinggi adalah penyaksian terhadap cahaya Tuhan.⁵ Dengan demikian, kritiknya lebih tepat dipahami sebagai reorientasi metafisika Islam dari rasionalisme ke iluminasi spiritual.

7.2.       Kritik Internal: Debat antara Rasionalisme, Iluminasionisme, dan Eksistensialisme

Dalam tubuh filsafat Islam sendiri, perdebatan metafisis berkembang antara tiga aliran besar: rasionalisme Peripatetik (Ibn Sīnā), iluminasionisme (Suhrawardī), dan eksistensialisme transendental (Mullā Ṣadrā).⁶

Ibn Sīnā menekankan dualisme antara wujūd (eksistensi) dan mahiyyah (esensi), yang menimbulkan pertanyaan apakah eksistensi bersifat tambahan atau inheren terhadap esensi. Suhrawardī mengkritik posisi ini dengan menyatakan bahwa wujud hanyalah konsep mental, sedangkan realitas sejati adalah nūr (cahaya), yang menjadi dasar ontologi iluminatifnya.⁷ Sebaliknya, Mullā Ṣadrā menolak keduanya dengan menyatakan bahwa wujūd adalah realitas yang paling fundamental dan bersifat gradasional (tashkīk al-wujūd).⁸

Perdebatan ini memperlihatkan pergeseran paradigma dari rasionalisme Aristotelian menuju ontologi eksistensial yang lebih dinamis. Jika Ibn Sīnā menekankan struktur hierarkis realitas yang tetap, Mullā Ṣadrā menegaskan gerak substansial sebagai inti wujud.⁹ Perbedaan ini bukan sekadar teknis, tetapi juga mencerminkan evolusi cara pandang manusia terhadap relasi antara Tuhan, dunia, dan kesadaran diri.

7.3.       Kritik Modern: Tantangan Sains dan Filsafat Kontemporer

Dalam era modern, metafisika Islam menghadapi kritik baru dari perspektif positivisme ilmiah dan filsafat modern Barat. Para pemikir modern, seperti Auguste Comte dan para pengikutnya, menolak relevansi metafisika dengan alasan bahwa ia tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁰ Pandangan ini menantang legitimasi epistemologis metafisika Islam yang berlandaskan rasionalitas spekulatif dan pengalaman spiritual.

Selain itu, muncul pula pertanyaan tentang bagaimana konsep metafisika Islam—yang berpusat pada emanasi dan hierarki wujud—dapat berdialog dengan kosmologi modern, terutama setelah munculnya fisika kuantum dan teori relativitas yang mengubah pandangan klasik tentang ruang, waktu, dan kausalitas.¹¹ Para filsuf Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mehdi Ha’iri Yazdi berusaha menanggapi kritik ini dengan menegaskan bahwa metafisika Islam tidak bertentangan dengan sains, karena keduanya beroperasi pada tingkat realitas yang berbeda: sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja, sedangkan metafisika menjelaskan mengapa dunia ada.¹²

Lebih jauh, kritik modern juga menyoroti potensi bahaya dogmatisme metafisis jika konsep-konsep klasik tidak dikontekstualisasikan. Beberapa pemikir seperti Muhammad Iqbal menyerukan reinterpretasi metafisika Islam dalam kerangka eksistensial yang lebih dinamis dan personal.¹³ Iqbal menganggap bahwa konsep wahdat al-wujūd perlu diaktualkan sebagai wahdat al-shuhūd (kesatuan kesadaran), agar metafisika Islam tetap relevan dalam menjawab tantangan modernitas.¹⁴

Dengan demikian, kritik modern bukanlah akhir bagi metafisika Islam, melainkan peluang untuk pembaruan hermeneutik yang menyesuaikan warisan klasik dengan horizon pemikiran kontemporer.

7.4.       Rekontekstualisasi: Menuju Metafisika Islam yang Terbuka

Dari berbagai kritik di atas, tampak bahwa kekuatan metafisika Islam justru terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dan berdialog. Dalam lintasan sejarahnya, ia telah berevolusi dari sistem rasional Ibn Sīnā, iluminatif Suhrawardī, hingga eksistensialis Mullā Ṣadrā, tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Di era modern, upaya seperti yang dilakukan oleh Nasr, Chittick, dan Kalin menunjukkan arah baru bagi metafisika Islam—yakni mengintegrasikan rasionalitas dengan kesadaran ekologis, spiritualitas, dan dimensi eksistensial manusia.¹⁵ Dengan demikian, kritik terhadap metafisika Islam seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai mekanisme reflektif yang menjaga vitalitas dan keterbukaan filsafat Islam di tengah perubahan zaman.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 141–144.

[2]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 99–103.

[3]                Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Ash‘arite School,” Dār al-Mashriq (Beirut: 1992), 73–75.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 118–120.

[5]                Al-Ghazālī, Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1964), 21–23.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 210–214.

[7]                Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1952), 55–58.

[8]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 36–39.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 147–150.

[10]             Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 5–7.

[11]             Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Unity of Science and Islam (London: Grey Seal, 1989), 112–115.

[12]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 79–82.

[13]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 44–47.

[14]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 109–111.

[15]             William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford University Press, 2001), 139–141.


8.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis dalam kajian metafisika Islam merupakan hasil dari upaya panjang integrasi antara akal, wahyu, dan intuisi spiritual, yang menjadikan filsafat Islam sebagai tradisi yang tidak hanya rasional tetapi juga transendental.¹ Di dalamnya, para filsuf Muslim berusaha menyatukan dimensi logis-filosofis dari Aristotelianisme dan Neoplatonisme dengan dimensi mistik dan teologis Islam, tanpa meniadakan otonomi masing-masing. Hasilnya adalah suatu sistem metafisis yang unik: rasional secara metodologis, spiritual secara tujuan, dan integral secara pandangan dunia.

8.1.       Integrasi Akal, Wahyu, dan Intuisi sebagai Jalan Metafisis

Salah satu ciri khas sintesis metafisika Islam ialah kemampuannya menyatukan akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi (kashf) sebagai tiga sumber pengetahuan yang saling melengkapi.² Dalam pandangan al-Fārābī dan Ibn Sīnā, akal adalah alat utama untuk memahami struktur realitas melalui analisis rasional dan deduksi logis. Namun, mereka juga menegaskan bahwa akal manusia tidak dapat mencapai pengetahuan mutlak tanpa bimbingan wahyu yang berasal dari Tuhan.³

Sementara itu, dalam tradisi iluminatif Suhrawardī dan eksistensial Mullā Ṣadrā, intuisi menjadi sarana epistemologis tertinggi. Pengetahuan sejati diperoleh bukan hanya melalui argumentasi rasional, tetapi melalui penyatuan eksistensial antara subjek dan objek pengetahuan dalam ‘ilm al-huḍūrī (pengetahuan hadir).⁴ Dengan demikian, wahyu memberikan kebenaran normatif, akal memberikan struktur logis, dan intuisi memberikan kedalaman eksistensial. Ketiganya membentuk piramida epistemik yang kokoh bagi metafisika Islam.⁵

Pendekatan sintetik ini menegaskan bahwa filsafat Islam bukanlah sekadar elaborasi intelektual, tetapi juga jalan menuju kesadaran spiritual. Melalui perpaduan rasionalitas dan pencerahan batin, metafisika Islam menampilkan harmoni antara logos dan gnosis, antara berpikir dan menyaksikan.

8.2.       Rekonstruksi Konsep Wujud dalam Kerangka Eksistensial Kontemporer

Salah satu pencapaian terbesar sintesis metafisika Islam adalah rekonstruksi konsep wujud (al-wujūd) yang dilakukan oleh Mullā Ṣadrā. Ia berhasil menyatukan rasionalisme Avicennian, iluminisme Suhrawardian, dan mistisisme Ibn ‘Arabī ke dalam sistem al-ḥikmah al-muta‘āliyah (kebijaksanaan transendental).⁶ Dalam sistem ini, wujud tidak lagi dianggap sekadar kategori abstrak, melainkan realitas yang dinamis, bertingkat, dan bergerak menuju kesempurnaan.⁷

Mullā Ṣadrā memperkenalkan dua prinsip utama yang menjadi fondasi sintesis metafisisnya: aṣālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi).⁸ Melalui prinsip pertama, ia menegaskan bahwa eksistensi lebih nyata daripada esensi; segala sesuatu memperoleh maknanya melalui keberadaan, bukan sebaliknya. Melalui prinsip kedua, ia menjelaskan bahwa seluruh realitas berada dalam spektrum keberadaan yang satu, namun berbeda dalam derajat intensitasnya.⁹

Pemikiran ini membuka jalan bagi pemahaman eksistensial terhadap metafisika: manusia tidak hanya mengetahui wujud, tetapi juga menjadi bagian dari wujud itu sendiri. Dengan demikian, pengetahuan metafisis bukan hanya kontemplasi intelektual, melainkan juga transformasi ontologis diri menuju realitas tertinggi.¹⁰ Dalam konteks kontemporer, pemikiran ini dapat dibaca sebagai bentuk eksistensialisme spiritual yang mendahului gagasan eksistensialisme Barat, tetapi berakar pada prinsip keesaan Ilahi.

8.3.       Relevansi Metafisika Islam bagi Dialog Filsafat Global dan Sains Modern

Sintesis metafisika Islam juga memiliki relevansi yang luas bagi dialog antara filsafatTimur dan Barat, serta antara spiritualitas dan sains modern. Dalam pandangan para filsuf Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan William Chittick, krisis peradaban modern berpangkal pada reduksi realitas menjadi sekadar dimensi material, sehingga kehilangan makna transenden.¹¹ Metafisika Islam, dengan pandangan wujudnya yang hierarkis dan integratif, menawarkan alternatif: realitas harus dipahami sebagai kesatuan berlapis antara dunia fisik, psikis, dan spiritual.¹²

Dalam dialog dengan filsafat Barat, konsep aṣālat al-wujūd (eksistensi sebagai realitas utama) dapat dibandingkan dengan eksistensialisme Heidegger yang menyoroti Sein (being) sebagai inti keberadaan, meskipun pendekatan Islam tetap menekankan dimensi teosentris—bahwa sumber wujud adalah Tuhan, bukan kesadaran manusia.¹³ Sementara itu, dalam konteks sains, kosmologi metafisis Islam mampu memberi makna ontologis pada teori-teori ilmiah modern dengan menegaskan bahwa alam semesta bukan sekadar sistem mekanistik, melainkan manifestasi kebijaksanaan Ilahi yang rasional dan bermakna.¹⁴

Sintesis ini membuka kemungkinan lahirnya “filsafat Islam kontemporer” yang tidak hanya mempertahankan tradisi klasik, tetapi juga mengaktualisasikannya dalam dialog global. Dengan mengintegrasikan dimensi rasional, empiris, dan spiritual, metafisika Islam dapat berkontribusi terhadap pencarian makna dan nilai dalam dunia modern yang cenderung sekular dan fragmentaris.¹⁵


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 189–192.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 220–223.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 98–101.

[4]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 87–89.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 141–143.

[6]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 156–159.

[7]                William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford University Press, 2001), 122–125.

[8]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 38–42.

[9]                Reza Akbarian, “The Concept of Graded Existence in Mulla Sadra’s Philosophy,” Transcendent Philosophy 6, no. 2 (2005): 47–49.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 155–158.

[11]             William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2007), 33–36.

[12]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 161–164.

[13]             Henry Corbin, Heidegger and the Islamic World: Comparative Ontology and the Quest for Being (Paris: Gallimard, 1972), 45–48.

[14]             Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Unity of Science and Islam (London: Grey Seal, 1989), 118–120.

[15]             Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1994), 202–205.


9.           Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

Metafisika dalam filsafat Islam bukan sekadar warisan intelektual masa lalu, melainkan tradisi hidup yang terus memberikan kontribusi konseptual dan spiritual bagi persoalan manusia modern. Dalam konteks kontemporer, metafisika Islam relevan untuk menjawab krisis makna, etika, dan spiritualitas yang muncul akibat reduksi rasionalitas modern terhadap realitas menjadi sekadar dimensi material dan empiris.¹ Melalui sintesis antara akal, wahyu, dan intuisi, metafisika Islam menghadirkan pandangan dunia (worldview) yang integral: manusia, alam, dan Tuhan tidak berdiri secara terpisah, tetapi terjalin dalam satu kesatuan wujud yang hierarkis dan bermakna.²

9.1.       Metafisika dan Etika: Implikasi Ontologis bagi Moralitas Islam

Dalam filsafat Islam, metafisika dan etika tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya berpangkal pada pemahaman tentang wujud.³ Setiap tindakan moral dianggap memiliki dasar ontologis: kebaikan (al-khayr) adalah kesempurnaan wujud, sedangkan kejahatan (al-sharr) adalah ketiadaan atau kekurangan dalam wujud.⁴ Dengan demikian, moralitas bukan sekadar aturan normatif, tetapi partisipasi eksistensial dalam kesempurnaan wujud Ilahi.

Al-Fārābī dalam Al-Madīnah al-Fāḍilah menegaskan bahwa masyarakat yang baik adalah refleksi dari keteraturan kosmos.⁵ Etika yang sejati, menurutnya, harus meniru tatanan metafisis alam semesta di mana setiap entitas berfungsi sesuai dengan derajat dan tujuannya. Sementara itu, Ibn Sīnā menafsirkan kebajikan sebagai aktualisasi potensi intelektual dan spiritual manusia menuju sa‘ādah (kebahagiaan abadi).⁶

Pandangan ini kemudian disempurnakan oleh Mullā Ṣadrā, yang menghubungkan etika dengan gerak substansial manusia menuju kesempurnaan ontologis.⁷ Dalam sistemnya, setiap tindakan manusia adalah bagian dari perjalanan eksistensial menuju Tuhan sebagai sumber wujud. Dengan demikian, etika metafisis dalam Islam tidak berhenti pada moralitas sosial, melainkan berujung pada transformasi diri—peningkatan derajat eksistensi melalui pengetahuan dan amal saleh.⁸

9.2.       Metafisika dan Ilmu Pengetahuan: Antara Spiritualitas dan Rasionalitas

Metafisika Islam juga menawarkan landasan filosofis bagi dialog antara agama dan sains, dua wilayah yang sering kali dipertentangkan dalam modernitas. Dalam pandangan Islam klasik, ilmu pengetahuan (‘ilm) tidak terpisah dari metafisika, sebab semua pengetahuan pada akhirnya berakar pada prinsip kesatuan wujud.⁹ Oleh karena itu, memahami alam berarti memahami tanda-tanda Tuhan (āyāt Allāh) yang tersebar di seluruh ciptaan.¹⁰

Para pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis ekologis dan spiritual dunia modern bersumber dari hilangnya pandangan metafisis terhadap alam.¹¹ Dalam kerangka Islam, alam tidak sekadar objek eksploitasi ilmiah, melainkan realitas sakral yang mengandung dimensi teologis.¹² Dengan menghidupkan kembali kosmologi metafisis Islam, manusia dapat menyeimbangkan rasionalitas teknologis dengan kesadaran spiritual terhadap kesucian ciptaan.

Selain itu, metafisika Islam juga dapat berkontribusi terhadap filsafat sains modern dengan menolak dikotomi antara subjek dan objek pengetahuan.¹³ Sebagaimana ditegaskan oleh Mullā Ṣadrā, pengetahuan sejati bukan sekadar representasi mental, melainkan partisipasi eksistensial dalam realitas yang diketahui.¹⁴ Pandangan ini memiliki kemiripan dengan paradigma holistik dalam fisika kuantum, yang menekankan keterhubungan fundamental antara pengamat dan yang diamati.¹⁵ Dengan demikian, metafisika Islam dapat menjembatani antara sains empiris dan filsafat spiritual, memberikan dasar ontologis yang lebih luas bagi pemahaman alam semesta.

9.3.       Kontribusi terhadap Wacana Filsafat Global dan Posmodernisme

Dalam kancah pemikiran global, metafisika Islam memiliki relevansi signifikan dalam menghadapi krisis nihilisme dan relativisme yang muncul dari filsafat posmodern.¹⁶ Posmodernisme, dengan penolakannya terhadap kebenaran universal dan struktur metafisis, telah melahirkan pandangan dunia yang fragmentaris dan pluralistik tanpa arah. Sebaliknya, metafisika Islam menawarkan alternatif berupa kesatuan ontologis yang tidak meniadakan keragaman, tetapi menempatkan keragaman dalam kerangka kesatuan wujud (wahdat al-wujūd).¹⁷

Gagasan ini berpotensi memperkaya diskursus filsafat global dengan menegaskan bahwa pluralitas budaya dan epistemologi manusia tidak harus mengarah pada relativisme, tetapi dapat dipahami sebagai ekspresi dari satu realitas ilahi yang sama.¹⁸ Oleh karena itu, metafisika Islam memberikan model “pluralisme ontologis”, yakni pengakuan terhadap keberagaman manifestasi kebenaran di dalam kesatuan sumbernya.¹⁹

Selain itu, konsep tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi) juga dapat diterapkan dalam etika global dan filsafat lingkungan, dengan menegaskan bahwa setiap bentuk kehidupan memiliki nilai karena partisipasinya dalam Wujud Ilahi.²⁰ Dengan pendekatan ini, metafisika Islam dapat memberikan dasar filosofis bagi etika ekologis kontemporer dan dialog lintas agama, di mana semua eksistensi dihormati sebagai bagian dari satu jaringan kosmik yang sakral.²¹

9.4.       Tantangan dan Peluang Revitalisasi

Relevansi metafisika Islam di era modern tidak dapat dilepaskan dari tantangan metodologis dan hermeneutis.²² Diperlukan pendekatan baru yang mampu menafsirkan kembali konsep-konsep klasik tanpa kehilangan kedalaman spiritualnya. Para pemikir seperti Mehdi Ha’iri Yazdi, Muhammad Legenhausen, dan Reza Akbarian telah berusaha merumuskan kembali metafisika Islam dengan pendekatan fenomenologis dan eksistensialis, agar dapat berinteraksi secara produktif dengan wacana filsafat Barat.²³

Di sisi lain, peluang revitalisasi metafisika Islam juga muncul melalui pendidikan dan penelitian filosofis interdisipliner, yang menghubungkan metafisika dengan etika, ekologi, teknologi, dan psikologi spiritual.²⁴ Pendekatan ini tidak hanya menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, tetapi juga menjadikannya relevan sebagai paradigma alternatif dalam menghadapi krisis global kontemporer.

Dengan demikian, metafisika Islam tetap aktual sebagai kerangka berpikir yang menyatukan rasionalitas, spiritualitas, dan moralitas, serta menawarkan visi kosmologis yang berakar pada kesadaran akan kesatuan eksistensi.²⁵ Ia mengajak manusia modern untuk menafsirkan kembali sains, etika, dan kehidupan sosial dalam terang hakikat wujud, sehingga menghasilkan peradaban yang berorientasi pada keseimbangan antara pengetahuan dan kebijaksanaan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 201–204.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 163–165.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 98–100.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 238–240.

[5]                Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 78–80.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 123–126.

[7]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 7, 32–36.

[8]                William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford University Press, 2001), 162–165.

[9]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 209–211.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 51–54.

[11]             Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1987), 34–37.

[12]             Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Unity of Science and Islam (London: Grey Seal, 1989), 129–132.

[13]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 91–93.

[14]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 174–176.

[15]             David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 185–187.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 121–123.

[17]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998), 149–151.

[18]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 263–265.

[19]             Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1972), 218–220.

[20]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 219–222.

[21]             Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oxford: Oneworld Publications, 2007), 112–115.

[22]             Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1994), 224–226.

[23]             Reza Akbarian, “Modern Challenges to Islamic Metaphysics,” Transcendent Philosophy 9, no. 1 (2008): 33–36.

[24]             Muhammad Legenhausen, Philosophy and the Modern World: Islamic Reflections (Qom: Imam Khomeini Institute, 2015), 87–90.

[25]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 227–229.


10.       Kesimpulan

Metafisika dalam filsafat Islam merupakan puncak refleksi intelektual dan spiritual dalam tradisi pemikiran Islam. Ia tidak hanya berfungsi sebagai cabang filsafat yang membahas apa yang ada (ontologi), tetapi juga sebagai kerangka kosmologis dan eksistensial yang menuntun manusia untuk memahami posisi dirinya dalam tatanan wujud.¹ Melalui sintesis antara akal, wahyu, dan intuisi, para filsuf Muslim berhasil membangun suatu sistem pemikiran yang menyatukan dimensi rasional, etis, dan mistis ke dalam satu pandangan dunia yang integral dan holistik.²

Pada hakikatnya, seluruh tradisi metafisika Islam berpangkal pada satu prinsip fundamental: kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd). Prinsip ini menegaskan bahwa seluruh realitas, dalam keragamannya, merupakan manifestasi dari Wujud Mutlak, yakni Tuhan.³ Alam semesta, jiwa, dan manusia bukan entitas yang terpisah, melainkan tingkatan-tingkatan eksistensi yang saling berhubungan dalam satu spektrum realitas ilahi. Dengan demikian, pengetahuan metafisis bukan sekadar pencapaian intelektual, tetapi juga transformasi eksistensial menuju kesadaran tentang kesatuan realitas.⁴

Dalam perspektif historis, perjalanan metafisika Islam memperlihatkan evolusi konseptual yang dinamis: dari rasionalisme Aristotelian Ibn Sīnā, iluminisme Suhrawardī, hingga eksistensialisme transendental Mullā Ṣadrā.⁵ Masing-masing memberikan kontribusi yang saling melengkapi—Ibn Sīnā menegakkan struktur rasional ontologi, Suhrawardī menambahkan dimensi cahaya dan intuisi, sementara Mullā Ṣadrā menyatukan keduanya dalam teori aṣālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi).⁶ Sintesis ini menunjukkan bahwa filsafat Islam bukan sistem yang beku, melainkan tradisi reflektif yang selalu terbuka terhadap pengayaan metodologis dan spiritual.

Dalam konteks modern, relevansi metafisika Islam semakin terasa di tengah krisis spiritualitas dan fragmentasi pengetahuan.⁷ Dunia kontemporer yang didominasi materialisme dan positivisme telah mengaburkan makna realitas di balik fenomena empiris. Di sinilah metafisika Islam menawarkan alternatif: pemahaman tentang realitas sebagai kesatuan berlapis antara dunia fisik, mental, dan spiritual, yang semuanya bersumber dari dan kembali kepada Tuhan.⁸ Dengan menghidupkan kembali kesadaran metafisis, manusia modern dapat menemukan kembali orientasi hidupnya yang sejati—yakni menuju kesempurnaan eksistensial yang berakar pada pengetahuan dan cinta Ilahi.⁹

Lebih jauh, metafisika Islam membuka ruang bagi dialog lintas budaya dan filsafat global. Dalam menghadapi tantangan modernitas, seperti krisis ekologi, relativisme moral, dan reduksi rasionalitas, filsafat Islam dapat menjadi jembatan antara rasionalitas Barat dan spiritualitas Timur.¹⁰ Melalui konsep-konsep seperti wahdat al-wujūd dan ḥikmah al-muta‘āliyah, ia menghadirkan paradigma yang menegaskan bahwa pluralitas tidak bertentangan dengan kesatuan, melainkan merupakan pancaran dari satu sumber kebenaran yang sama.¹¹

Dengan demikian, metafisika Islam tidak berhenti sebagai warisan sejarah, melainkan menjadi paradigma filosofis hidup yang terus memberi inspirasi bagi pencarian makna, kebenaran, dan kesempurnaan manusia. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak berhenti pada rasio, tetapi berpuncak pada penyaksian batin terhadap realitas Ilahi.¹² Dalam terang metafisika Islam, filsafat kembali menemukan tujuan aslinya: bukan sekadar memahami dunia, tetapi juga menjadi jalan menuju kebijaksanaan (ḥikmah) yang menyatukan pengetahuan dan keberadaan dalam kesempurnaan wujud.¹³


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 235–237.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 179–182.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 154–157.

[4]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 103–105.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 254–257.

[6]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah (Qum: Maktabat al-Ṣadr, 1981), jilid 1, 44–47.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 231–234.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 128–130.

[9]                Reza Akbarian, “The Human Journey toward Perfection in Mulla Sadra’s Philosophy,” Transcendent Philosophy 8, no. 2 (2007): 63–66.

[10]             Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Unity of Science and Islam (London: Grey Seal, 1989), 138–140.

[11]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 287–289.

[12]             Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 121–123.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 157–159.


Daftar Pustaka

Al-Fārābī. (1968). Al-Madīnah al-Fāḍilah (ed. Albert N. Nader). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Ghazālī. (1927). Tahāfut al-Falāsifah (ed. Maurice Bouyges). Beirut: Imprimerie Catholique.

Al-Ghazālī. (1964). Mishkāt al-Anwār (ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī). Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Bohm, D. (1980). Wholeness and the implicate order. London: Routledge.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabī’s metaphysics of imagination. Albany: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s cosmology. Albany: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (2001). The heart of Islamic philosophy: The quest for self-knowledge in the teachings of Afdal al-Din Kashani. Oxford: Oxford University Press.

Chittick, W. C. (2007). Science of the cosmos, science of the soul: The pertinence of Islamic cosmology in the modern world. Oxford: Oneworld Publications.

Comte, A. (1896). The positive philosophy of Auguste Comte (Trans. H. Martineau). London: George Bell.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary recital (Trans. W. R. Trask). Princeton: Princeton University Press.

Corbin, H. (1969). Alone with the alone: Creative imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī. Princeton: Princeton University Press.

Corbin, H. (1972). En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiques (Vol. 4). Paris: Gallimard.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (Trans. L. Sherrard). London: Kegan Paul International.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Frank, R. M. (1992). Al-Ghazali and the Ash‘arite school. Beirut: Dār al-Mashriq.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. London: Routledge.

Gutas, D. (1988). Avicenna and the Aristotelian tradition. Leiden: Brill.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbāsid society. London: Routledge.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. Albany: State University of New York Press.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. Berkeley: University of California Press.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition. Oxford: Oxford University Press.

Leaman, O. (1985). An introduction to classical Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Legenhausen, M. (2015). Philosophy and the modern world: Islamic reflections. Qom: Imam Khomeini Institute.

Mullā Ṣadrā. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (Vols. 1–7). Qum: Maktabat al-Ṣadr.

Nasr, S. H. (1964). An introduction to Islamic cosmological doctrines. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1987). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. London: Unwin Paperbacks.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1991). Spirituality and perfection in Islam. London: Kegan Paul International.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. Albany: State University of New York Press.

Rūmī, J. al-D. (1925). Mathnawī Ma‘nawī (Trans. R. A. Nicholson). London: Luzac & Co.

Sardar, Z. (1989). Islamic science: The myth of the unity of science and Islam. London: Grey Seal.

Ṣadrā, M. (Mullā Ṣadrā). (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (Vol. 1–7). Qum: Maktabat al-Ṣadr.

Suhrawardī, Shihāb al-Dīn. (1952). Ḥikmat al-Ishrāq (ed. Henry Corbin). Tehran: Iranian Institute of Philosophy.

Taylor, R. C. (2005). Aristotle and his commentators in the Arabic tradition. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 15–20). Cambridge: Cambridge University Press.

Adamson, P. (2007). Al-Kindī. Oxford: Oxford University Press.

Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic world. Oxford: Oxford University Press.

Aminrazavi, M. (1994). The Islamic intellectual tradition in Persia. Richmond: Curzon Press.

Akbarian, R. (2005). The concept of substantial motion in Mulla Sadra’s philosophy. Transcendent Philosophy, 6(1), 27–29.

Akbarian, R. (2006). The teleological structure of being in Mulla Sadra’s philosophy. Transcendent Philosophy, 7(1), 41–44.

Akbarian, R. (2007). The role of mystical experience in Sadrian epistemology. Transcendent Philosophy, 8(1), 55–58.

Akbarian, R. (2008). Modern challenges to Islamic metaphysics. Transcendent Philosophy, 9(1), 33–36.

Chittick, W. C. (2001). The heart of Islamic philosophy: The quest for self-knowledge in the teachings of Afdal al-Din Kashani. Oxford: Oxford University Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Nasr, S. H., & Leaman, O. (Eds.). (1996). History of Islamic philosophy. London: Routledge.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy. New York: Columbia University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar