Kamis, 23 Oktober 2025

Kapitalisme dan Marxisme: Suatu Kajian Komparatif tentang Ontologi, Epistemologi, dan Etika Sistem Ekonomi Modern

Kapitalisme dan Marxisme

Suatu Kajian Komparatif tentang Ontologi, Epistemologi, dan Etika Sistem Ekonomi Modern


Alihkan ke: Deisme.

Kapitalisme, Marxisme.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif perbandingan antara Kapitalisme dan Marxisme sebagai dua paradigma ekonomi dan filsafat sosial yang mendasar dalam peradaban modern. Dengan menggunakan pendekatan filsafat komparatif, penelitian ini menganalisis secara sistematis aspek ontologis, epistemologis, dan etis dari kedua sistem, serta menelusuri genealogi historis dan relevansi kontemporernya dalam konteks globalisasi dan era digital.

Secara ontologis, Kapitalisme berpijak pada individualisme metodologis dan naturalisme pasar, yang memandang manusia sebagai agen rasional bebas dalam sistem pertukaran. Sebaliknya, Marxisme berlandaskan pada materialisme historis dan dialektika sosial, menempatkan realitas ekonomi sebagai hasil dari relasi produksi dan perjuangan kelas. Dalam dimensi epistemologis, Kapitalisme menekankan rasionalitas instrumental dan empirisme utilitarian, sedangkan Marxisme mengusung rasionalitas emansipatoris melalui kritik ideologis dan kesadaran historis.

Secara etis dan aksiologis, Kapitalisme menjunjung kebebasan individu dan efisiensi pasar, sementara Marxisme menekankan kesetaraan, solidaritas, dan keadilan sosial. Kajian ini menunjukkan bahwa kedua sistem memiliki keunggulan dan keterbatasan yang saling melengkapi, dan bahwa sintesis filosofis antara keduanya diperlukan untuk merumuskan paradigma “ekonomi humanistik dan berkelanjutan” yang mampu menyeimbangkan kebebasan dengan keadilan, efisiensi dengan solidaritas, serta pertumbuhan dengan tanggung jawab ekologis.

Melalui pendekatan dialektis dan reflektif, artikel ini menyimpulkan bahwa masa depan ekonomi global memerlukan integrasi nilai-nilai humanistik dari Kapitalisme dan Marxisme guna membangun sistem ekonomi yang rasional, adil, dan bermartabat. Dengan demikian, filsafat ekonomi tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sistem, tetapi juga sebagai proyek etis pembebasan dan humanisasi manusia dalam dunia modern.

Kata Kunci: Kapitalisme; Marxisme; Ontologi; Epistemologi; Etika Ekonomi; Dialektika; Humanisme; Keadilan Sosial; Neoliberalisme; Ekonomi Humanistik


PEMBAHASAN

Perbandingan Kebebasan Kapitalistik dengan Keadilan Sosial Marxis


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah peradaban modern, Kapitalisme dan Marxisme muncul sebagai dua sistem pemikiran dan praktik sosial yang paling berpengaruh dalam mengatur struktur ekonomi, politik, dan moral dunia. Keduanya tidak hanya merepresentasikan dua model ekonomi yang berbeda, tetapi juga dua pandangan dunia (worldview) yang berlawanan dalam memandang hakikat manusia, masyarakat, dan realitas sosial-ekonomi. Kapitalisme berakar pada liberalisme klasik dengan menekankan kebebasan individu, hak milik pribadi, dan mekanisme pasar bebas sebagai motor kemajuan sosial.¹ Sementara itu, Marxisme lahir sebagai reaksi kritis terhadap kapitalisme industrial abad ke-19, menyoroti ketimpangan, alienasi, dan eksploitasi kelas pekerja yang timbul dari sistem tersebut.²

Di tengah globalisasi dan teknologi digital masa kini, benturan ideologis antara Kapitalisme dan Marxisme tidak lagi bersifat militer atau politik semata, melainkan intelektual dan kultural. Ketika kapitalisme berkembang menjadi neoliberalisme global dengan ciri finansialisasi dan komodifikasi hampir semua aspek kehidupan, muncul pula kebangkitan neo-Marxisme dan kritik postkapitalis yang mempertanyakan keadilan, keberlanjutan ekologis, serta makna manusia dalam sistem ekonomi yang serba efisien namun terdehumanisasi.³ Oleh karena itu, perbandingan filosofis antara keduanya bukan sekadar persoalan ekonomi praktis, tetapi menyentuh akar ontologis, epistemologis, dan etis dari bagaimana manusia memahami dan mengatur kehidupan bersama.

1.2.       Rumusan Masalah dan Tujuan Kajian

Permasalahan utama yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah:

1)                  Bagaimana perbedaan ontologis antara Kapitalisme dan Marxisme dalam memandang hakikat realitas sosial dan manusia?

2)                  Bagaimana masing-masing sistem memahami sumber pengetahuan ekonomi dan rasionalitas sosial (epistemologi)?

3)                  Bagaimana kedua ideologi mendasarkan nilai-nilai moral dan tujuan sosialnya dalam tatanan ekonomi (etika dan aksiologi)?

Tujuan utama penelitian ini ialah untuk membangun pemahaman filosofis yang komparatif terhadap kedua sistem tersebut, serta untuk menemukan kemungkinan sintesis etis dan humanistik di antara keduanya yang dapat menjawab tantangan ekonomi-politik kontemporer seperti ketimpangan global, krisis ekologis, dan dislokasi sosial akibat ekonomi digital.

1.3.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat komparatif dan hermeneutika kritis. Pendekatan ini memungkinkan analisis tekstual terhadap karya-karya utama seperti The Wealth of Nations karya Adam Smith dan Das Kapital karya Karl Marx, di samping refleksi teoretis terhadap pengaruh ideologisnya dalam praktik sosial.⁴ Dengan cara ini, analisis tidak hanya membandingkan aspek ekonomi formal, tetapi juga struktur rasionalitas, nilai moral, dan orientasi metafisis yang mendasari masing-masing sistem.

Selain itu, metode ini juga bersifat transdisipliner, menggabungkan wawasan filsafat sosial, teori ekonomi, dan etika normatif.⁵ Pendekatan hermeneutika historis digunakan untuk menafsirkan konteks intelektual kelahiran kedua sistem, sementara pendekatan kritis digunakan untuk mengevaluasi relevansi keduanya terhadap problem dunia modern.

1.4.       Tinjauan Pustaka Singkat

Kajian tentang perbandingan Kapitalisme dan Marxisme telah dilakukan dalam berbagai perspektif. Karya klasik Adam Smith menekankan pentingnya kebebasan pasar dan pembagian kerja sebagai dasar kemakmuran nasional.⁶ Sebaliknya, Karl Marx melalui Das Kapital menafsirkan fenomena ekonomi sebagai ekspresi dari struktur kekuasaan dan relasi produksi yang menindas.⁷

Sementara itu, Max Weber menghubungkan etika Protestan dengan semangat kapitalisme modern, menunjukkan bahwa sistem ekonomi tidak dapat dilepaskan dari dimensi religius dan moralnya.⁸ Dalam abad ke-20, Milton Friedman menegaskan kembali prinsip kebebasan individu dalam pasar bebas sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap otonomi manusia.⁹ Di sisi lain, Jürgen Habermas dan Slavoj Žižek memformulasikan kembali kritik Marxisme dalam konteks masyarakat komunikasi dan kapitalisme global, dengan menyoroti krisis legitimasi dan alienasi modern.¹⁰

Berdasarkan literatur tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbandingan filosofis antara Kapitalisme dan Marxisme bukan hanya bersifat ekonomi-teknis, tetapi menyinggung dimensi paling mendasar dari filsafat manusia dan masyarakat. Karena itu, tulisan ini berupaya menelusuri secara sistematis fondasi ontologis, epistemologis, dan etis kedua sistem demi menemukan dasar-dasar baru bagi filsafat ekonomi humanistik.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 13–15.

[2]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 72–76.

[3]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–6.

[4]                Karl Marx, Das Kapital, vol. 1 (Hamburg: Otto Meissner Verlag, 1867), 7–10.

[5]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.

[6]                Adam Smith, The Wealth of Nations, 19–23.

[7]                Karl Marx, Das Kapital, 85–89.

[8]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Allen & Unwin, 1930), 39–45.

[9]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 12–17.

[10]             Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010), 5–8; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 122–127.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

2.1.       Asal-usul Kapitalisme

Akar historis kapitalisme dapat ditelusuri sejak masa akhir feodalisme di Eropa Barat, ketika struktur ekonomi agraris mulai mengalami pergeseran menuju perdagangan dan industri. Munculnya kelas borjuis sebagai kekuatan ekonomi baru, serta berkembangnya sistem perdagangan lintas benua pada abad ke-16 dan ke-17, menandai lahirnya fase merkantilisme, yang menjadi cikal bakal kapitalisme modern.¹

Transformasi besar terjadi pada abad ke-18, terutama melalui pengaruh Pencerahan dan karya Adam Smith, yang menekankan kebebasan individu serta efisiensi pasar sebagai dasar kesejahteraan sosial. Dalam karya monumentalnya The Wealth of Nations (1776), Smith memperkenalkan konsep “tangan tak terlihat” (invisible hand) yang menggambarkan bahwa kepentingan pribadi individu, jika diatur dalam mekanisme pasar bebas, dapat menghasilkan kesejahteraan umum tanpa perlu intervensi pemerintah berlebih.²

Selain itu, Etika Protestan yang digambarkan oleh Max Weber memberikan dimensi kultural dan religius bagi kapitalisme, dengan menekankan kerja keras, disiplin, dan rasionalitas ekonomi sebagai ekspresi iman.³ Kapitalisme pun berkembang seiring Revolusi Industri yang membawa perubahan besar dalam sistem produksi, tenaga kerja, dan kepemilikan modal. Sejak saat itu, kapitalisme tidak hanya menjadi sistem ekonomi, melainkan ideologi sosial yang mengatur relasi kekuasaan, nilai moral, dan struktur masyarakat modern.⁴

2.2.       Asal-usul Marxisme

Berbeda dengan kapitalisme yang tumbuh dari semangat liberalisme dan individualisme, Marxisme lahir dari kritik mendalam terhadap konsekuensi sosial kapitalisme industrial. Karl Marx (1818–1883), melalui studi ekonomi-politiknya, melihat bahwa sistem kapitalis mengandung kontradiksi internal yang pada akhirnya menimbulkan ketimpangan sosial dan eksploitasi kelas pekerja (proletariat) oleh pemilik modal (borjuis).⁵

Marx mengembangkan materialisme historis, yaitu teori bahwa sejarah manusia ditentukan oleh perkembangan kekuatan produktif dan relasi produksi.⁶ Dalam kerangka ini, struktur ekonomi (basis) menentukan bentuk kesadaran sosial, politik, dan budaya (suprastruktur). Ideologi, agama, dan moralitas, menurut Marx, bukanlah entitas netral, melainkan refleksi dari kepentingan kelas dominan.⁷

Inspirasi filosofis Marx datang dari dialektika Hegelian, yang ia balikkan menjadi dialektika materialis. Jika Hegel melihat perubahan sejarah sebagai gerak kesadaran menuju kebebasan, Marx memandangnya sebagai perjuangan kelas yang bersifat konkret dan material.⁸ Bersama Friedrich Engels, Marx memformulasikan prinsip revolusi sosial dalam Manifesto of the Communist Party (1848), yang menyerukan pembebasan manusia melalui penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.⁹

2.3.       Pertemuan dan Pertentangan Sejarah

Hubungan antara Kapitalisme dan Marxisme sepanjang sejarah bersifat dialektis dan antagonistik. Kapitalisme mendorong kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melahirkan ketimpangan struktural yang kemudian menjadi bahan bakar bagi kritik Marxis.¹⁰

Pada abad ke-20, pertentangan ini mencapai puncaknya dalam Perang Dingin, yang mempertemukan blok kapitalis (dipimpin Amerika Serikat) dan blok sosialis (dipimpin Uni Soviet).¹¹ Kapitalisme berevolusi menjadi neoliberalisme setelah krisis stagflasi 1970-an, dengan tokoh seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman yang menegaskan kembali kebebasan pasar sebagai prinsip utama ekonomi modern.¹² Sementara itu, Marxisme juga mengalami transformasi melalui Neo-Marxisme dan Teori Kritis Frankfurt, yang menyoroti dimensi ideologis, budaya, dan komunikasi dalam kapitalisme lanjut.¹³

Kini, dalam konteks globalisasi dan ekonomi digital, perdebatan antara kedua sistem ini terus hidup dalam bentuk baru: antara kapitalisme platform yang dikendalikan oleh korporasi teknologi global dan gerakan sosial kiri baru yang menuntut keadilan sosial, ekologis, dan digital.¹⁴ Dengan demikian, pemahaman genealogis terhadap keduanya bukan hanya bersifat historis, tetapi juga menjadi dasar bagi refleksi filosofis atas masa depan ekonomi manusia.


Footnotes

[1]                Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, trans. Siân Reynolds (Berkeley: University of California Press, 1982), 43–46.

[2]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 14–17.

[3]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Allen & Unwin, 1930), 63–68.

[4]                Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944), 35–39.

[5]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 85–87.

[6]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 11–12.

[7]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 47–49.

[8]                Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto Meissner Verlag, 1867), 94–98.

[9]                Karl Marx and Friedrich Engels, Manifesto of the Communist Party (London: Penguin Classics, 2002), 67–70.

[10]             David Harvey, The Limits to Capital (London: Verso, 1982), 121–125.

[11]             Eric Hobsbawm, The Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991 (London: Michael Joseph, 1994), 228–231.

[12]             Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 7–9; Friedrich Hayek, The Road to Serfdom (London: Routledge, 1944), 42–44.

[13]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 89–93.

[14]             Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2017), 3–7.


3.           Ontologi Ekonomi: Konsep tentang Realitas Sosial dan Material

3.1.       Ontologi Kapitalisme

Dalam kerangka ontologisnya, kapitalisme berpijak pada individualisme metodologis—pandangan bahwa realitas sosial merupakan hasil dari tindakan-tindakan individu yang rasional dan bebas.¹ Manusia dipahami sebagai homo economicus, makhluk yang secara alamiah mengejar kepentingan pribadi melalui perhitungan untung-rugi dan rasionalitas instrumental.² Dengan demikian, dunia sosial dianggap sebagai arena interaksi bebas di mana pasar berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang antara penawaran dan permintaan.

Konsep “tangan tak terlihat” (invisible hand) dalam pemikiran Adam Smith menjadi simbol metafisis dari keteraturan spontan yang muncul dari tindakan egoistik individu.³ Realitas sosial-ekonomi dalam kapitalisme bukanlah konstruksi kolektif yang direncanakan, melainkan produk emergen dari kebebasan individu. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dipandang sebagai dasar hakikat sosial, karena di dalamnya terkandung nilai kebebasan, otonomi, dan tanggung jawab moral.⁴

Ontologi kapitalisme modern juga ditandai oleh keyakinan akan naturalisme pasar, yaitu pandangan bahwa hukum ekonomi bekerja seperti hukum alam—obyektif, netral, dan tak bergantung pada kehendak moral.⁵ Dalam konteks ini, manusia bukan lagi makhluk sosial yang saling tergantung, melainkan agen rasional dalam sistem yang diatur oleh logika akumulasi modal.⁶ Konsekuensinya, relasi sosial direduksi menjadi relasi pertukaran, dan nilai manusia diukur melalui kapasitasnya berpartisipasi dalam sirkulasi komoditas dan uang.⁷

3.2.       Ontologi Marxisme

Berbeda secara fundamental, Marxisme mendasarkan ontologi ekonominya pada materialisme historis, yaitu pandangan bahwa realitas sosial ditentukan oleh hubungan manusia dengan alat-alat produksi.⁸ Bagi Marx, kesadaran manusia bukanlah penentu eksistensi sosialnya, melainkan sebaliknya: “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosial yang menentukan kesadarannya.”⁹

Manusia dalam Marxisme adalah makhluk kerja (homo faber) yang membentuk dirinya melalui proses produksi.¹⁰ Relasi sosial tidak lahir dari kontrak bebas antarindividu seperti dalam kapitalisme, melainkan dari struktur kekuatan produktif dan relasi kepemilikan yang bersifat historis dan kelas.¹¹ Oleh karena itu, realitas sosial dipahami secara dialektis, yaitu sebagai medan pertentangan antara kelas yang berkuasa (borjuis) dan kelas tertindas (proletariat), yang mendorong perubahan sosial melalui revolusi.¹²

Marx menolak pandangan idealistik tentang masyarakat dan menggantikannya dengan ontologi praksis: dunia bukan untuk ditafsirkan semata, melainkan untuk diubah.¹³ Dalam Das Kapital, ia menunjukkan bahwa hukum-hukum ekonomi kapitalisme tidak bersifat alamiah, tetapi historis—lahir dari kondisi tertentu dan dapat berakhir ketika struktur sosial berubah.¹⁴ Dengan demikian, realitas sosial bukan entitas tetap, melainkan proses dinamis yang ditentukan oleh kerja manusia, konflik sosial, dan produksi material.

3.3.       Perbandingan Ontologis

Secara ontologis, perbedaan mendasar antara Kapitalisme dan Marxisme terletak pada status realitas sosial dan manusia. Dalam kapitalisme, realitas sosial dilihat sebagai hasil interaksi bebas individu, di mana mekanisme pasar dianggap wajar dan netral. Dalam Marxisme, realitas sosial dipahami sebagai produk historis dari relasi produksi, yang sarat dengan kekuasaan dan pertentangan kelas.¹⁵

Kapitalisme mengasumsikan antropologi atomistik: manusia adalah individu terpisah yang berinteraksi untuk kepentingan pribadi. Sementara Marxisme menawarkan antropologi relasional: manusia membentuk dirinya dalam kerja kolektif dan relasi sosial yang konkret.¹⁶ Jika kapitalisme menempatkan pasar sebagai realitas otonom yang menentukan nilai, maka Marxisme menempatkan kerja manusia sebagai sumber utama nilai dan realitas sosial.¹⁷

Dalam perspektif metafisis, kapitalisme bersandar pada ontologi kebebasan individual, sedangkan Marxisme berpijak pada ontologi determinasi sosial. Namun keduanya sama-sama berangkat dari upaya menjelaskan realitas ekonomi secara rasional: kapitalisme melalui naturalisasi pasar, Marxisme melalui historisasi produksi.¹⁸ Oleh karena itu, analisis ontologis atas kedua sistem ini membuka ruang refleksi baru untuk memahami manusia bukan sekadar sebagai agen ekonomi, tetapi sebagai makhluk historis, moral, dan sosial yang terus berupaya mengatasi keterasingan dalam dunia modern.¹⁹


Footnotes

[1]                John Stuart Mill, Principles of Political Economy (London: John W. Parker, 1848), 12–15.

[2]                Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford: Basil Blackwell, 1987), 18–22.

[3]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 14–17.

[4]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 8–11.

[5]                Friedrich Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 52–55.

[6]                Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944), 71–75.

[7]                David Harvey, Seventeen Contradictions and the End of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2014), 23–27.

[8]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 11–13.

[9]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 47.

[10]             Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 90–92.

[11]             G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Oxford: Clarendon Press, 1978), 87–90.

[12]             Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto Meissner Verlag, 1867), 112–118.

[13]             Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 145–146.

[14]             Karl Marx, Das Kapital, vol. 1 (Hamburg: Otto Meissner Verlag, 1867), 85–90.

[15]             Terry Eagleton, Marx and Freedom (London: Phoenix Press, 1997), 33–37.

[16]             Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Continuum, 1961), 21–23.

[17]             Karl Marx, Capital: Volume I, 128–130.

[18]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 91–95.

[19]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 201–204.


4.           Epistemologi Ekonomi: Sumber Pengetahuan dan Rasionalitas

4.1.       Epistemologi Kapitalisme

Epistemologi kapitalisme dibangun di atas fondasi rasionalitas empiris dan individualisme epistemik, yakni keyakinan bahwa pengetahuan ekonomi bersumber dari observasi perilaku manusia dalam pasar dan dapat dijelaskan melalui hukum-hukum objektif yang mirip dengan hukum alam.¹ Kapitalisme mengandaikan bahwa individu memiliki kemampuan rasional untuk menilai pilihan ekonomi secara mandiri, sehingga kebenaran ekonomi muncul dari agregasi keputusan individual yang saling berinteraksi melalui mekanisme pasar.²

Adam Smith dan para ekonom klasik mengembangkan suatu bentuk epistemologi naturalistik, di mana pasar dipandang sebagai sistem informasi yang mengatur diri sendiri.³ Harga berfungsi sebagai “sinyal pengetahuan” yang mengkoordinasikan tindakan individu tanpa perlu kesadaran kolektif.⁴ Pemikiran ini kemudian diperkuat oleh Friedrich Hayek, yang menegaskan bahwa pasar adalah “tatanan spontan” (spontaneous order) yang menyimpan pengetahuan tersebar di antara jutaan individu.⁵ Dengan demikian, pasar dianggap sebagai entitas epistemik yang lebih unggul daripada otoritas pusat, karena hanya melalui kebebasan bertukar dan berkompetisi pengetahuan dapat terdistribusi secara efisien.

Namun epistemologi kapitalisme bersifat instrumentalis, menilai pengetahuan dari keberhasilannya dalam menghasilkan efisiensi dan keuntungan, bukan dari kebenaran moral atau sosial.⁶ Rasionalitas dalam sistem ini adalah rasionalitas utilitarian, yang mengukur nilai berdasarkan hasil dan manfaat ekonomi.⁷ Milton Friedman bahkan menegaskan bahwa teori ekonomi tidak dinilai dari realisme asumsinya, melainkan dari daya prediktifnya terhadap perilaku pasar.⁸ Dengan demikian, epistemologi kapitalisme cenderung positivistik: mengutamakan objektivitas, kuantifikasi, dan verifikasi empiris atas fenomena ekonomi yang dianggap bebas nilai (value-free).⁹

4.2.       Epistemologi Marxisme

Berbeda secara radikal, epistemologi Marxisme menolak pandangan netral dan positivistik terhadap pengetahuan ekonomi. Bagi Marx, ilmu ekonomi klasik menyembunyikan kepentingan ideologis kelas borjuis di balik klaim objektivitas ilmiah.¹⁰ Ia mengembangkan apa yang disebut “epistemologi kritis”, yakni pemahaman bahwa pengetahuan sosial selalu terikat pada kondisi material dan posisi kelas tertentu.¹¹

Marx melihat pengetahuan sebagai produk historis dan praksis, bukan refleksi pasif atas realitas.¹² Kebenaran ekonomi tidak ditemukan melalui observasi netral, tetapi melalui analisis dialektis terhadap kontradiksi dalam struktur produksi.¹³ Dengan menggunakan metode dialektika Hegelian yang dimaterialisasikan, Marx memahami rasionalitas sebagai proses konflik dan negasi yang menggerakkan perubahan sosial.¹⁴ Oleh sebab itu, bagi Marxisme, rasionalitas ekonomi sejati adalah rasionalitas emansipatoris—yakni pengetahuan yang bertujuan membebaskan manusia dari alienasi dan eksploitasi.¹⁵

Dalam kerangka ini, epistemologi Marxis bersifat historis-determinatif: kesadaran manusia terbentuk oleh posisi sosialnya dalam sistem produksi.¹⁶ Apa yang disebut “ilmu ekonomi” dalam kapitalisme bukanlah kebenaran universal, melainkan representasi ideologis dari hubungan kekuasaan yang ingin dipertahankan.¹⁷ Oleh karena itu, Marx menegaskan bahwa tugas filsafat bukan hanya memahami dunia, tetapi mengubahnya melalui praksis revolusioner.¹⁸

Tokoh-tokoh Marxis setelahnya, seperti Georg Lukács dan Jürgen Habermas, memperluas epistemologi ini dengan menekankan dimensi kesadaran kelas dan komunikasi rasional.¹⁹ Lukács memandang kesadaran proletar sebagai bentuk pengetahuan totalitas sosial, sementara Habermas mengajukan konsep rasionalitas komunikatif sebagai alternatif terhadap rasionalitas instrumental kapitalistik.²⁰ Maka, epistemologi Marxisme tidak berhenti pada analisis ekonomi, melainkan menjadi proyek kognitif pembebasan manusia melalui refleksi kritis dan praksis sosial.²¹

4.3.       Perbandingan Epistemologis

Secara epistemologis, perbedaan antara Kapitalisme dan Marxisme dapat diringkas dalam dua kutub utama: rasionalitas instrumental vs rasionalitas emansipatoris. Kapitalisme berasumsi bahwa pengetahuan dapat bersifat objektif, bebas nilai, dan dihasilkan melalui kalkulasi empiris, sedangkan Marxisme menegaskan bahwa pengetahuan selalu tertanam dalam relasi kekuasaan dan kondisi historis tertentu.²²

Kapitalisme menjadikan pasar sebagai mekanisme epistemik kolektif—pengumpul informasi tersebar yang berfungsi tanpa kesadaran sosial. Marxisme, sebaliknya, menempatkan kelas sosial sebagai subjek epistemik, di mana kesadaran kritis tumbuh dari pengalaman alienasi dan perjuangan kolektif.²³ Dalam kapitalisme, rasionalitas berarti efisiensi; dalam Marxisme, rasionalitas berarti pembebasan.²⁴

Dengan demikian, epistemologi keduanya merefleksikan dua paradigma pengetahuan yang berbeda secara ontologis dan etis. Kapitalisme memandang dunia sosial sebagai sistem fakta dan angka yang dapat dikelola secara teknis, sementara Marxisme melihatnya sebagai struktur makna dan kekuasaan yang harus diubah secara historis.²⁵ Dalam konteks filsafat kontemporer, perdebatan ini tetap relevan karena menyentuh pertanyaan mendasar tentang hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan kemanusiaan di tengah ekonomi digital dan globalisasi.²⁶


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 12–15.

[2]                John Stuart Mill, Principles of Political Economy (London: John W. Parker, 1848), 9–12.

[3]                Karl R. Popper, The Poverty of Historicism (London: Routledge, 1957), 33–35.

[4]                Friedrich Hayek, The Use of Knowledge in Society, American Economic Review 35, no. 4 (1945): 519–530.

[5]                Friedrich Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 65–70.

[6]                Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford: Basil Blackwell, 1987), 21–25.

[7]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), 13–17.

[8]                Milton Friedman, Essays in Positive Economics (Chicago: University of Chicago Press, 1953), 3–5.

[9]                Lionel Robbins, An Essay on the Nature and Significance of Economic Science (London: Macmillan, 1932), 1–4.

[10]             Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto Meissner Verlag, 1867), 84–88.

[11]             Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 47–49.

[12]             Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 145.

[13]             Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 11–13.

[14]             Georg Lukács, History and Class Consciousness, trans. Rodney Livingstone (Cambridge: MIT Press, 1971), 46–49.

[15]             Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 123–126.

[16]             G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Oxford: Clarendon Press, 1978), 92–96.

[17]             Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso, 1969), 62–65.

[18]             Karl Marx, Theses on Feuerbach, 146.

[19]             Georg Lukács, History and Class Consciousness, 83–85.

[20]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–312.

[21]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[22]             Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford University Press, 1947), 4–7.

[23]             Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso, 1991), 53–56.

[24]             Herbert Marcuse, Reason and Revolution (London: Routledge, 1941), 200–204.

[25]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 81–85.

[26]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2009), 93–97.


5.           Etika dan Aksiologi Ekonomi

5.1.       Etika Kapitalisme

Etika kapitalisme berakar pada tradisi liberalisme moral dan ekonomi, yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan sosial.¹ Dalam pandangan ini, tindakan ekonomi yang paling etis adalah yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi otonomi individu untuk memilih, berkompetisi, dan mengejar kepentingan pribadinya.² Adam Smith, meskipun dikenal sebagai ekonom klasik, memiliki dimensi moral yang kuat dalam karyanya The Theory of Moral Sentiments (1759). Ia berpendapat bahwa kepentingan diri (self-interest) bukanlah bentuk egoisme destruktif, tetapi dorongan alamiah yang, melalui empati dan moralitas sosial, dapat menghasilkan kebaikan bersama.³

Etika kapitalisme menilai kebebasan pasar sebagai ekspresi dari hak moral manusia untuk memiliki dan mengelola sumber daya. Kepemilikan pribadi dipandang sebagai dasar tanggung jawab moral dan sosial; tanpa hak milik, kebebasan individu tidak mungkin ada.⁴ Oleh karena itu, keadilan dalam kapitalisme bukan diukur dari kesetaraan hasil, melainkan dari kesetaraan kesempatan untuk bersaing secara adil.⁵

Namun, dalam praktiknya, etika kapitalisme sering dikritik karena reduksi moral menjadi efisiensi. Rasionalitas ekonomi yang menekankan laba, pertumbuhan, dan produktivitas cenderung mengabaikan dimensi kemanusiaan, solidaritas, dan keberlanjutan.⁶ Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menunjukkan bahwa etika kerja Protestan awalnya bersifat asketik dan bertujuan spiritual, tetapi dalam kapitalisme modern berubah menjadi etika instrumental, di mana kerja dan akumulasi modal menjadi tujuan itu sendiri, bukan sarana bagi kehidupan bermakna.⁷

Etika kapitalisme modern, terutama dalam versi neoliberal, menekankan tanggung jawab individu dan meritokrasi.⁸ Namun etika ini menimbulkan paradoks: semakin menekankan kebebasan formal, semakin mengabaikan kondisi material dan struktural yang membatasi kebebasan nyata bagi banyak orang.⁹ Karenanya, kritik etis terhadap kapitalisme sering diarahkan pada kecenderungannya menciptakan ketimpangan sistemik, eksploitasi tenaga kerja, dan krisis moral konsumerisme.¹⁰

5.2.       Etika Marxisme

Berbeda secara fundamental, etika Marxisme berakar pada konsep keadilan sosial, solidaritas, dan emansipasi manusia.¹¹ Marx tidak merumuskan etika normatif secara eksplisit, tetapi seluruh proyeknya bersifat moral-politis, yakni upaya membebaskan manusia dari keterasingan (alienation) dan dominasi struktural kapitalisme.¹² Dalam pandangan Marx, eksploitasi ekonomi bukan hanya ketidakadilan material, melainkan juga bentuk dehumanisasi, karena manusia kehilangan kendali atas hasil kerjanya, makna hidupnya, dan dirinya sendiri sebagai makhluk sosial.¹³

Etika Marxis menolak pandangan moral individualistik. Kebaikan tidak dapat dicapai melalui tindakan personal yang atomistik, melainkan melalui transformasi struktural atas kondisi sosial yang menindas.¹⁴ Dengan demikian, keadilan dalam Marxisme bersifat kolektif dan historis, bukan distributif seperti dalam kapitalisme liberal.¹⁵ Keadilan dicapai ketika struktur produksi tidak lagi menindas manusia, dan ketika kerja menjadi aktivitas kreatif yang mengekspresikan kemanusiaan, bukan sekadar alat bertahan hidup.¹⁶

Aksiologi Marxisme menempatkan emansipasi sebagai nilai tertinggi. Nilai ekonomi bukan berasal dari kepemilikan atau pertukaran pasar, tetapi dari kerja manusia sebagai ekspresi esensinya.¹⁷ Marx menyebut bahwa manusia sejati adalah makhluk produktif yang menegaskan dirinya dalam aktivitas sosial, bukan dalam konsumsi.¹⁸ Oleh karena itu, etika Marxis bersifat praksis: moralitas bukanlah sekadar refleksi teoretis, melainkan tindakan transformasi sosial.¹⁹

Pemikir Marxis kemudian seperti Herbert Marcuse dan Erich Fromm menegaskan bahwa etika pembebasan harus melampaui moralitas borjuis dan menggantinya dengan etika humanistik radikal yang menempatkan cinta, solidaritas, dan kreativitas sebagai nilai utama dalam masyarakat tanpa kelas.²⁰ Etika ini bukan sekadar moral revolusioner, tetapi juga bentuk kesadaran baru tentang makna menjadi manusia.²¹

5.3.       Aksiologi Perbandingan: Efisiensi vs Keadilan, Kebebasan vs Solidaritas

Dari perspektif aksiologis, Kapitalisme dan Marxisme menampilkan dua sistem nilai yang saling bertentangan namun saling menerangi. Kapitalisme menganggap efisiensi, kebebasan, dan otonomi individu sebagai nilai tertinggi; sementara Marxisme menempatkan keadilan, solidaritas, dan emansipasi kolektif sebagai dasar moral ekonomi.²²

Dalam kapitalisme, nilai ekonomi diukur melalui produktivitas dan akumulasi, yang dianggap indikator kemajuan. Dalam Marxisme, nilai ekonomi diukur melalui derajat humanisasi, yaitu sejauh mana sistem memungkinkan manusia berkembang tanpa penindasan.²³ Maka, aksiologi keduanya menunjukkan titik keseimbangan etis yang perlu dipertimbangkan: efisiensi tanpa keadilan melahirkan ketimpangan, sedangkan keadilan tanpa efisiensi berpotensi stagnasi.²⁴

Filsafat kontemporer, seperti John Rawls dan Amartya Sen, berusaha menjembatani dikotomi ini dengan menekankan konsep “keadilan sebagai fairness” dan “kebebasan substantif”, yang mengintegrasikan aspek kebebasan liberal dengan tanggung jawab sosial.²⁵ Dengan demikian, sintesis etika ekonomi yang ideal bukan sekadar memilih antara kapitalisme atau Marxisme, melainkan menemukan titik keseimbangan antara efisiensi dan solidaritas, antara kebebasan dan keadilan, yang dapat menuntun ekonomi ke arah yang lebih manusiawi.²⁶


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government (London: Awnsham Churchill, 1690), 285–287.

[2]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 12–15.

[3]                Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments (London: A. Millar, 1759), 23–27.

[4]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 160–164.

[5]                Friedrich Hayek, The Road to Serfdom (London: Routledge, 1944), 78–80.

[6]                Michael Sandel, What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2012), 19–22.

[7]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Allen & Unwin, 1930), 102–106.

[8]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 6–9.

[9]                Pierre Bourdieu, Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market (New York: The New Press, 1998), 11–14.

[10]             Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso, 1989), 52–55.

[11]             Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 47–49.

[12]             Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 82–86.

[13]             Ibid., 98–101.

[14]             Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto Meissner Verlag, 1867), 85–90.

[15]             G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Oxford: Clarendon Press, 1978), 95–98.

[16]             Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Continuum, 1961), 30–33.

[17]             Karl Marx, Capital: Volume I, 134–137.

[18]             Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 145–146.

[19]             Georg Lukács, History and Class Consciousness, trans. Rodney Livingstone (Cambridge: MIT Press, 1971), 70–74.

[20]             Herbert Marcuse, Eros and Civilization (Boston: Beacon Press, 1955), 108–111.

[21]             Erich Fromm, The Sane Society (New York: Rinehart, 1955), 102–106.

[22]             Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University Press, 2011), 62–65.

[23]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–40.

[24]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 55–58.

[25]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 52–55; Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 17–20.

[26]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33–36.


6.           Kritik terhadap Kapitalisme dan Marxisme

6.1.       Kritik terhadap Kapitalisme

Sejak kemunculannya, kapitalisme telah menjadi sistem ekonomi paling dinamis sekaligus paling kontroversial dalam sejarah modern. Kritik terhadapnya datang dari berbagai arah—moral, sosial, ekologis, bahkan spiritual.¹

Pertama, kritik moral dan humanistik berpendapat bahwa kapitalisme menimbulkan dehumanisasi melalui reduksi manusia menjadi sekadar alat produksi dan konsumsi. Karl Marx menyebut kondisi ini sebagai alienasi—yakni keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari proses produksi, dari sesama manusia, dan dari dirinya sendiri.² Dalam kapitalisme lanjut, menurut Herbert Marcuse, individu hidup dalam masyarakat “satu dimensi” yang kehilangan kemampuan kritis karena terjebak dalam logika konsumsi dan efisiensi teknologis.³

Kedua, kritik sosial dan kesetaraan menyoroti ketimpangan yang dihasilkan oleh akumulasi kapital. Thomas Piketty menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modal (r) cenderung melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi (g), yang secara sistemik melahirkan kesenjangan antar kelas.⁴ Kapitalisme, dengan demikian, mengandung mekanisme internal yang memperkuat ketimpangan kekayaan dan kekuasaan.

Ketiga, kritik ekologis menyoroti bahwa orientasi kapitalisme terhadap pertumbuhan tanpa batas bertentangan dengan keterbatasan sumber daya alam.⁵ Sistem pasar bebas tidak mampu memperhitungkan eksternalitas lingkungan karena beroperasi di bawah logika keuntungan jangka pendek. Naomi Klein menyebut bahwa kapitalisme global menjadi akar krisis iklim karena memandang alam sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas.⁶

Terakhir, kritik kultural menyatakan bahwa kapitalisme menciptakan hegemoni ideologis yang menormalisasi konsumsi dan kompetisi sebagai nilai universal.⁷ Slavoj Žižek mengkritik bahwa kapitalisme modern telah menginternalisasi kritik terhadap dirinya sendiri—ia mampu menjual resistensi, menjadikan “pemberontakan” sebagai komoditas.⁸ Dalam arti ini, kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi, tetapi juga sistem produksi makna yang mengkolonisasi kesadaran manusia.

6.2.       Kritik terhadap Marxisme

Sementara itu, Marxisme, meski lahir sebagai kritik terhadap ketimpangan kapitalis, tidak luput dari kritik terhadap kegagalan praksis dan implikasi ideologisnya.

Pertama, kritik terhadap totalitarianisme menyatakan bahwa implementasi Marxisme dalam bentuk sosialisme negara (seperti Uni Soviet dan Tiongkok Maois) sering kali berujung pada otoritarianisme dan represi politik.⁹ Friedrich Hayek berpendapat bahwa perencanaan ekonomi terpusat secara logis mengarah pada hilangnya kebebasan individu, karena negara harus mengontrol seluruh aspek kehidupan sosial demi efisiensi produksi.¹⁰

Kedua, kritik terhadap determinisme historis menyoroti kelemahan filosofis Marxisme klasik yang menempatkan hukum-hukum sejarah sebagai keniscayaan ilmiah.¹¹ Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies menolak “historisisme” Marxian karena menganggap sejarah tidak dapat diprediksi secara ilmiah; manusia memiliki kebebasan kreatif yang melampaui struktur ekonomi.¹²

Ketiga, kritik terhadap ekonomi politik Marx juga muncul dari kaum sosialis revisionis seperti Eduard Bernstein, yang menilai prediksi Marx tentang keruntuhan kapitalisme tidak terbukti.¹³ Bernstein menegaskan bahwa reformasi sosial melalui demokrasi dan serikat pekerja lebih efektif daripada revolusi kelas.¹⁴ Kritik ini kemudian berkembang menjadi sosialisme demokratik yang menolak dogmatisme revolusioner.

Keempat, kritik postmodern dan post-Marxis menunjukkan bahwa analisis kelas dalam Marxisme terlalu reduksionis dan gagal memahami kompleksitas identitas sosial modern seperti gender, ras, dan budaya.¹⁵ Jean-François Lyotard dan Ernesto Laclau menegaskan bahwa proyek emansipasi tunggal seperti komunisme sudah tidak relevan dalam masyarakat plural.¹⁶ Dalam konteks ini, Marxisme dikritik karena masih mempertahankan logika totalitas dan kebenaran tunggal yang berlawanan dengan prinsip dialogis dan multivokalitas.

Akhirnya, kritik ekologis dan feminis juga memperluas batas kritik terhadap Marxisme. Ekofeminis seperti Ariel Salleh menilai bahwa Marxisme masih antroposentris dan maskulin, karena terlalu fokus pada relasi produksi tanpa mempertimbangkan dimensi ekologis dan relasi gender.¹⁷ Oleh sebab itu, kritik kontemporer mendorong rekonstruksi Marxisme menjadi teori yang lebih inklusif dan ekologis—sering disebut eco-Marxism atau feminist Marxism.¹⁸

6.3.       Upaya Sintesis dan Alternatif

Baik Kapitalisme maupun Marxisme menghadapi krisis legitimasi di era globalisasi dan digital. Karena itu, banyak pemikir kontemporer berupaya mencari sintesis etis dan praktis antara keduanya.

John Rawls, misalnya, mengusulkan model liberalisme egalitarian melalui konsep justice as fairness, yang menggabungkan kebebasan individual dengan prinsip perbedaan untuk mengoreksi ketimpangan struktural.¹⁹ Sementara itu, Amartya Sen memperluasnya dengan gagasan “capability approach”, yang menilai kesejahteraan bukan dari kepemilikan, tetapi dari kemampuan aktual manusia untuk hidup bermakna.²⁰

Selain itu, ekonomi solidaritas dan ekonomi hijau muncul sebagai respons terhadap krisis moral dan ekologis kapitalisme.²¹ Gerakan ini berupaya menyeimbangkan efisiensi dengan keadilan sosial, serta mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam sistem produksi.²² Dari arah lain, Neo-Marxisme humanistik yang dikembangkan oleh Habermas dan Fromm berusaha mengembalikan dimensi etis Marxisme dengan menekankan komunikasi, partisipasi, dan humanisasi kerja.²³

Dengan demikian, kritik terhadap Kapitalisme dan Marxisme bukan sekadar penolakan, melainkan pencarian paradigma baru: suatu filsafat ekonomi humanistik yang mengakui pentingnya kebebasan individual sekaligus solidaritas sosial, pertumbuhan ekonomi sekaligus keberlanjutan ekologis, dan rasionalitas sekaligus moralitas.²⁴


Footnotes

[1]                Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944), 35–39.

[2]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 72–74.

[3]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 12–15.

[4]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 25–29.

[5]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 33–36.

[6]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 58–61.

[7]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 245–248.

[8]                Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010), 7–9.

[9]                Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its Origins, Growth and Dissolution, vol. 3 (Oxford: Oxford University Press, 1978), 112–115.

[10]             Friedrich Hayek, The Road to Serfdom (London: Routledge, 1944), 69–73.

[11]             Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 11–12.

[12]             Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2 (London: Routledge, 1945), 89–92.

[13]             Eduard Bernstein, Evolutionary Socialism (New York: Schocken Books, 1961), 41–43.

[14]             Ibid., 52–56.

[15]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 71–75.

[16]             Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy (London: Verso, 1985), 112–116.

[17]             Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 93–96.

[18]             John Bellamy Foster and Paul Burkett, Marx and the Earth: An Anti-Critique (Boston: Brill, 2016), 15–19.

[19]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 53–57.

[20]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 73–77.

[21]             David Schweickart, After Capitalism (Lanham: Rowman & Littlefield, 2002), 89–91.

[22]             Tim Jackson, Prosperity without Growth: Economics for a Finite Planet (London: Earthscan, 2009), 45–48.

[23]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 89–93; Erich Fromm, The Sane Society (New York: Rinehart, 1955), 75–79.

[24]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 99–103.


7.           Relevansi Kontemporer

7.1.       Kapitalisme Global dan Neoliberalisme

Pada era globalisasi abad ke-21, kapitalisme telah berevolusi menjadi bentuk baru yang disebut neoliberalisme global, di mana pasar bebas, privatisasi, dan deregulasi dijadikan prinsip utama penyelenggaraan ekonomi.¹ Neoliberalisme memandang kebebasan ekonomi sebagai bentuk tertinggi dari kebebasan manusia, sementara intervensi negara dianggap hambatan terhadap efisiensi.² Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan David Harvey, neoliberalisme justru memperkuat konsentrasi kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir elite global, menjadikan ketimpangan sebagai fenomena struktural yang mendunia.³

Krisis finansial global tahun 2008 memperlihatkan paradoks mendasar sistem ini. Mekanisme pasar yang diklaim efisien justru menimbulkan krisis sistemik akibat spekulasi finansial tanpa kendali.⁴ Dalam konteks ini, Joseph Stiglitz menegaskan bahwa kapitalisme kontemporer telah mengalami “krisis legitimasi moral,” karena gagal menyeimbangkan kebebasan pasar dengan keadilan sosial.⁵ Fenomena ini diperparah oleh kapitalisme digital, di mana data pribadi manusia menjadi komoditas baru.⁶

Dalam ekonomi digital, perusahaan seperti Google, Amazon, dan Meta menciptakan model bisnis berbasis surveillance capitalism, di mana perilaku konsumen dimonitor dan dijual untuk tujuan profit.⁷ Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru kolonialisme—bukan terhadap wilayah fisik, melainkan terhadap kesadaran manusia.⁸ Dengan demikian, kapitalisme kontemporer menunjukkan kecenderungan hegemonik yang semakin halus: ia tidak hanya mengontrol produksi material, tetapi juga produksi informasi dan makna sosial.⁹

7.2.       Revivalisme Marxisme di Era Digital

Meskipun banyak negara telah meninggalkan model sosialisme klasik, pemikiran Marxis mengalami kebangkitan dalam konteks baru, terutama melalui Neo-Marxisme, teori kritis, dan analisis budaya digital.¹⁰ Slavoj Žižek, David Harvey, dan Antonio Negri menafsirkan ulang Marxisme sebagai kritik terhadap kapitalisme lanjut yang kini beroperasi dalam bentuk jaringan global dan ekonomi imaterial.¹¹

Dalam era digital, kerja imaterial—yakni produksi ide, informasi, dan afeksi—menjadi sumber utama nilai ekonomi.¹² Namun kerja ini, seperti ditunjukkan oleh Maurizio Lazzarato, tetap tunduk pada logika kapitalistik yang mengeksploitasi kreativitas dan waktu personal manusia.¹³ Neo-Marxisme digital berargumen bahwa eksploitasi kini tidak hanya terjadi di pabrik, tetapi juga di ruang virtual dan media sosial, di mana pengguna tanpa sadar menyumbangkan tenaga kerja digital dalam bentuk data, perhatian, dan keterlibatan emosional.¹⁴

Di sisi lain, muncul pula Marxisme ekologis (eco-Marxism) yang menggabungkan analisis kelas dengan kesadaran lingkungan.¹⁵ John Bellamy Foster menafsirkan kembali gagasan Marx tentang “metabolic rift”—keretakan metabolik antara manusia dan alam akibat kapitalisme industri—sebagai dasar bagi teori ekonomi ekologis yang berkelanjutan.¹⁶ Dengan demikian, relevansi Marxisme tidak hanya terletak pada kritik terhadap kapitalisme, tetapi juga pada kemampuannya menawarkan kerangka analisis alternatif bagi krisis ekologis dan digital yang dihadapi dunia kontemporer.¹⁷

7.3.       Perspektif Dunia Ketiga dan Global South

Dalam konteks Global South, perdebatan antara Kapitalisme dan Marxisme memiliki dimensi kolonial yang khas. Kapitalisme global sering beroperasi dalam bentuk neo-imperialisme ekonomi, di mana negara-negara berkembang bergantung pada modal asing dan mekanisme utang internasional.¹⁸ Immanuel Wallerstein melalui World-Systems Theory menjelaskan bahwa sistem kapitalisme dunia membagi negara ke dalam inti (core), semi-periferi, dan periferi—struktur yang mempertahankan ketimpangan global melalui mekanisme produksi dan perdagangan.¹⁹

Marxisme, di sisi lain, menjadi inspirasi bagi gerakan pembebasan nasional di Asia, Afrika, dan Amerika Latin selama abad ke-20.²⁰ Pemikir seperti Frantz Fanon dan Amílcar Cabral menafsirkan Marxisme dalam konteks kolonial sebagai teori emansipasi dari dominasi ekonomi Barat.²¹ Namun, tantangan kontemporer muncul ketika negara-negara pascakolonial harus menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi berbasis pasar dan keadilan sosial.²²

Dalam konteks Indonesia, misalnya, perdebatan antara kebijakan pasar bebas dan ekonomi kerakyatan menunjukkan bahwa warisan kapitalisme dan sosialisme tetap hidup dalam bentuk dialektika pembangunan nasional.²³ Karena itu, relevansi kontemporer filsafat ekonomi harus dilihat dalam kerangka global yang mempertimbangkan sejarah kolonial, ketimpangan struktural, dan aspirasi keadilan sosial universal.²⁴

7.4.       Refleksi Umum: Filsafat Ekonomi di Persimpangan Baru

Relevansi kontemporer Kapitalisme dan Marxisme menunjukkan bahwa keduanya tidak sekadar sistem ekonomi, melainkan paradigma pemikiran tentang manusia dan dunia. Kapitalisme telah membuktikan daya inovasinya dalam menciptakan kemakmuran, namun gagal menjawab krisis moral dan ekologis. Marxisme, sementara itu, tetap menjadi suara etis perlawanan terhadap dominasi dan ketimpangan global, meskipun perlu direformulasikan agar sesuai dengan kompleksitas dunia digital dan post-industri.²⁵

Tantangan filsafat ekonomi kontemporer adalah membangun model alternatif yang humanistik dan berkelanjutan—sebuah sistem yang mengintegrasikan efisiensi pasar dengan keadilan sosial, dan kemajuan teknologi dengan tanggung jawab ekologis.²⁶ Dalam konteks ini, warisan intelektual Kapitalisme dan Marxisme harus dibaca ulang bukan sebagai oposisi biner, tetapi sebagai dua horizon etis dan epistemologis yang saling menegur dan melengkapi dalam proyek besar kemanusiaan modern.²⁷


Footnotes

[1]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 2–5.

[2]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 7–10.

[3]                Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 12–15.

[4]                Joseph E. Stiglitz, Freefall: America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy (New York: W. W. Norton, 2010), 18–21.

[5]                Ibid., 95–98.

[6]                Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2017), 1–3.

[7]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 32–36.

[8]                Ibid., 94–97.

[9]                Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power (London: Verso, 2017), 10–13.

[10]             Alex Callinicos, Against Postmodernism: A Marxist Critique (Cambridge: Polity Press, 1989), 45–48.

[11]             Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010), 7–9; Antonio Negri and Michael Hardt, Empire (Cambridge: Harvard University Press, 2000), 19–23.

[12]             Maurizio Lazzarato, Immaterial Labor, in Radical Thought in Italy: A Potential Politics, ed. Paolo Virno and Michael Hardt (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 133–136.

[13]             Ibid., 140–142.

[14]             Tiziana Terranova, Network Culture: Politics for the Information Age (London: Pluto Press, 2004), 73–76.

[15]             Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 89–91.

[16]             John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 33–36.

[17]             Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 52–56.

[18]             Samir Amin, Accumulation on a World Scale: A Critique of the Theory of Underdevelopment (New York: Monthly Review Press, 1974), 11–14.

[19]             Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic Press, 1974), 88–91.

[20]             Frantz Fanon, The Wretched of the Earth (New York: Grove Press, 1963), 65–68.

[21]             Amílcar Cabral, Return to the Source: Selected Speeches of Amílcar Cabral (New York: Monthly Review Press, 1973), 45–48.

[22]             Gayatri Chakravorty Spivak, A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 120–123.

[23]             Mochtar Pabotinggi, Demokrasi dan Sosialisme di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1993), 41–44.

[24]             Ariel Heryanto, Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (Singapore: NUS Press, 2014), 25–28.

[25]             Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University Press, 2011), 82–85.

[26]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 47–50.

[27]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 89–93.


8.           Sintesis Filosofis

8.1.       Upaya Integratif: Dari Dikotomi ke Dialektika

Pertentangan antara Kapitalisme dan Marxisme dalam sejarah pemikiran ekonomi tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga mencerminkan konflik nilai dan pandangan dunia. Kapitalisme menekankan kebebasan dan kreativitas individu, sementara Marxisme menyoroti keadilan sosial dan solidaritas kolektif.¹ Namun dalam konteks kontemporer, kedua sistem ini tidak dapat dipertahankan dalam bentuk murninya; realitas ekonomi global menuntut pendekatan dialektis dan sintesis etis yang melampaui oposisi biner tersebut.²

Secara filosofis, sintesis ini dapat dipahami melalui kerangka dialektika kritis—sebuah pendekatan yang berupaya mempertahankan dinamika antara kebebasan individu dan struktur sosial.³ Dengan mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem, sintesis filosofis ini tidak berusaha meniadakan perbedaan, melainkan menempatkannya dalam kesalingtergantungan reflektif. Kapitalisme tanpa koreksi sosial menjadi anarkis dan eksploitatif, sedangkan Marxisme tanpa ruang bagi individu menjadi otoriter dan stagnan.⁴ Oleh karena itu, filsafat ekonomi yang baru harus berupaya menggabungkan etika kebebasan dan etika keadilan ke dalam satu horizon praksis manusiawi.⁵

8.2.       Ontologi Humanistik: Manusia sebagai Makhluk Sosial-Kreatif

Sintesis ontologis antara Kapitalisme dan Marxisme dapat dirumuskan melalui konsep “ontologi humanistik”, yaitu pemahaman tentang manusia sebagai makhluk yang sekaligus bebas, rasional, dan sosial.⁶ Dari Kapitalisme, kita belajar bahwa kebebasan individu adalah kondisi dasar bagi kreativitas dan inovasi; dari Marxisme, kita memahami bahwa kebebasan sejati hanya bermakna dalam konteks keadilan sosial dan relasi kolektif yang adil.⁷

Erich Fromm mengusulkan gagasan “humanisme radikal” yang mengintegrasikan dimensi ekonomi dan etika.⁸ Bagi Fromm, masyarakat yang sehat bukanlah yang kaya secara materi, melainkan yang memungkinkan individu untuk berkembang sebagai manusia yang berdaya, berempati, dan kreatif.⁹ Dalam pengertian ini, ekonomi seharusnya tidak lagi dipandang sebagai sistem mekanis produksi dan konsumsi, tetapi sebagai ruang eksistensial di mana manusia menegaskan kemanusiaannya melalui kerja, solidaritas, dan penciptaan makna.¹⁰

Ontologi humanistik ini juga menuntut redefinisi konsep kerja: bukan sekadar aktivitas untuk bertahan hidup atau mengakumulasi modal, melainkan ekspresi diri dan partisipasi dalam kehidupan bersama.¹¹ Dengan demikian, realitas ekonomi ideal adalah yang memadukan rasionalitas pasar dengan tujuan moral kemanusiaan—suatu bentuk ekonomi bermakna (meaningful economy) yang menempatkan manusia, bukan modal, di pusat sistem.¹²

8.3.       Epistemologi Emansipatoris: Rasionalitas sebagai Dialog

Dalam tataran epistemologis, sintesis filosofis menuntut penggabungan antara rasionalitas instrumental kapitalisme dan rasionalitas emansipatoris Marxisme.¹³ Jürgen Habermas mengembangkan model communicative rationality, di mana kebenaran sosial tidak dicapai melalui dominasi, melainkan melalui dialog intersubjektif yang terbuka dan bebas dari paksaan.¹⁴

Dengan pendekatan ini, pasar dan negara tidak dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebagai ruang komunikasi sosial yang harus diatur oleh prinsip rasionalitas komunikatif.¹⁵ Rasionalitas ekonomi—yang biasanya diukur melalui efisiensi—harus dilengkapi dengan rasionalitas normatif, yaitu orientasi terhadap kesepahaman dan keadilan sosial.¹⁶

Epistemologi emansipatoris ini membuka jalan bagi demokrasi ekonomi, di mana pengetahuan ekonomi tidak lagi dimonopoli oleh teknokrat atau korporasi, tetapi menjadi hasil deliberasi publik dan partisipasi sosial.¹⁷ Dengan demikian, sintesis epistemologis ini menawarkan model baru bagi ilmu ekonomi—sebuah ilmu yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga berkomitmen untuk mengubahnya secara manusiawi.¹⁸

8.4.       Etika Teleologis: Menuju Ekonomi Humanistik dan Berkelanjutan

Sintesis etis antara Kapitalisme dan Marxisme mengarah pada pembentukan etika teleologis, yakni sistem nilai yang menilai tindakan ekonomi berdasarkan tujuannya bagi kemanusiaan.¹⁹ Etika ini berupaya menjembatani dua kutub ekstrem: etika kebebasan (kapitalisme) dan etika kesetaraan (Marxisme), melalui prinsip kebebasan dalam solidaritas.²⁰

Model etika ini sejalan dengan gagasan John Rawls tentang justice as fairness dan Amartya Sen tentang capabilities approach—bahwa keadilan sosial harus memungkinkan manusia untuk mewujudkan potensi terbaiknya.²¹ Selain itu, dalam konteks krisis ekologis, etika ekonomi juga harus mencakup dimensi keberlanjutan (sustainability).²² Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility menegaskan bahwa tindakan ekonomi etis adalah yang mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang terhadap kehidupan manusia dan planet ini.²³

Dengan demikian, arah teleologis ekonomi tidak lagi sekadar pertumbuhan atau redistribusi, tetapi pembentukan masyarakat yang bermartabat, di mana kebebasan individu berpadu dengan tanggung jawab sosial dan ekologis.²⁴ Sintesis etis ini menjadi dasar bagi visi “ekonomi humanistik berkeadilan”, yaitu sistem yang mengintegrasikan kebebasan pasar, demokrasi partisipatif, dan etika keberlanjutan dalam satu horizon moral dan rasional.²⁵

8.5.       Horizon Baru Filsafat Ekonomi

Sintesis filosofis antara Kapitalisme dan Marxisme membuka jalan bagi paradigma baru dalam filsafat ekonomi—sebuah humanisme ekonomi reflektif yang menolak reduksionisme baik liberal maupun materialis.²⁶ Paradigma ini menekankan bahwa ekonomi bukanlah tujuan, melainkan sarana bagi pemenuhan kehidupan manusia yang bermakna dan berkeadilan.²⁷

Filsafat ekonomi kontemporer, dengan demikian, harus berfungsi sebagai etika praktis global—memandu kebijakan publik, teknologi, dan bisnis agar berorientasi pada martabat manusia serta kelestarian bumi.²⁸ Dalam semangat dialektis, sintesis ini bukan akhir dari perdebatan, tetapi permulaan dari refleksi baru tentang bagaimana manusia dapat membangun sistem ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil, berempati, dan berkelanjutan.²⁹


Footnotes

[1]                Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944), 35–39.

[2]                Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University Press, 2011), 90–92.

[3]                Herbert Marcuse, Reason and Revolution (London: Routledge, 1941), 205–208.

[4]                Erich Fromm, The Sane Society (New York: Rinehart, 1955), 75–78.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 313–316.

[6]                Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Continuum, 1961), 45–48.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 77–79.

[8]                Fromm, Marx’s Concept of Man, 56–59.

[9]                Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 95–98.

[10]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 24–27.

[11]             Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 82–84.

[12]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 128–131.

[13]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–311.

[14]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 284–288.

[15]             Ibid., 292–296.

[16]             Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014), 102–105.

[17]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 81–84.

[18]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 85–89.

[19]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.

[20]             Erich Fromm, The Revolution of Hope (New York: Harper & Row, 1968), 113–116.

[21]             Rawls, A Theory of Justice, 84–86; Sen, The Idea of Justice, 95–97.

[22]             John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 62–65.

[23]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 11–14.

[24]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 99–102.

[25]             Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford: Basil Blackwell, 1987), 29–32.

[26]             Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2004), 145–148.

[27]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge: MIT Press, 1996), 128–132.

[28]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 283–286.

[29]             Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age of Globalization and Exclusion (Durham: Duke University Press, 2013), 57–60.


9.           Kesimpulan

Kajian komparatif antara Kapitalisme dan Marxisme menunjukkan bahwa keduanya bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan dua pandangan dunia (worldview) yang berakar pada asumsi ontologis, epistemologis, dan etis yang berbeda mengenai hakikat manusia dan masyarakat. Kapitalisme berpijak pada ontologi individualisme, epistemologi empiris-positivistik, dan etika kebebasan; sedangkan Marxisme bertumpu pada ontologi materialisme historis, epistemologi dialektis-kritis, dan etika keadilan sosial.¹

Secara ontologis, Kapitalisme melihat realitas sosial sebagai hasil interaksi bebas individu-individu rasional, sedangkan Marxisme memandangnya sebagai struktur historis yang terbentuk oleh relasi produksi dan kekuasaan kelas.² Kedua pendekatan ini menyingkap dua sisi eksistensi manusia: kebebasan personal dan determinasi sosial. Sintesis di antara keduanya diperlukan agar filsafat ekonomi tidak terjebak dalam reduksionisme—baik liberal yang menafikan struktur, maupun materialis yang meniadakan kebebasan.³

Dari segi epistemologi, Kapitalisme mengandalkan rasionalitas instrumental yang mengukur pengetahuan dari efisiensi dan manfaat praktis, sementara Marxisme mengusung rasionalitas emansipatoris yang menilai pengetahuan dari potensinya membebaskan manusia dari alienasi dan penindasan.⁴ Namun dalam era digital dan globalisasi, keduanya perlu disintesiskan melalui rasionalitas komunikatif (Habermas), di mana pengetahuan ekonomi dipahami sebagai hasil dialog sosial yang etis dan partisipatif.⁵ Dengan demikian, kebenaran ekonomi tidak hanya diuji oleh keberhasilannya secara teknis, tetapi juga oleh kontribusinya terhadap kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.⁶

Dalam dimensi etika dan aksiologi, Kapitalisme menempatkan kebebasan dan efisiensi sebagai nilai utama, sedangkan Marxisme mengutamakan kesetaraan dan solidaritas.⁷ Kedua sistem memiliki daya normatif yang saling melengkapi: kebebasan tanpa keadilan melahirkan eksklusi, sedangkan keadilan tanpa kebebasan melahirkan stagnasi.⁸ Sintesis etis diperlukan dalam bentuk etika teleologis humanistik, yaitu sistem nilai yang menilai tindakan ekonomi dari tujuannya terhadap kemanusiaan dan keberlanjutan ekologis.⁹

Relevansi kontemporer dari sintesis ini terlihat dalam kebutuhan akan ekonomi humanistik dan berkelanjutan—suatu model yang menggabungkan dinamika inovatif kapitalisme dengan visi sosial Marxisme.¹⁰ Filsafat ekonomi di abad ke-21 menuntut keberanian untuk melampaui ideologi menuju rasionalitas reflektif dan praksis etis.¹¹ Seperti ditegaskan oleh Amartya Sen, kebebasan ekonomi sejati bukan hanya kemampuan untuk memilih, tetapi juga kapasitas untuk hidup bermakna dalam tatanan sosial yang adil.¹²

Oleh karena itu, kesimpulan filosofis dari kajian ini adalah bahwa masa depan ekonomi manusia tidak dapat dibangun di atas dogma pasar atau revolusi, melainkan melalui transformasi reflektif yang menggabungkan rasionalitas, moralitas, dan tanggung jawab ekologis.¹³ Kapitalisme dan Marxisme, jika dibaca secara dialektis, bukanlah musuh abadi, melainkan dua kutub yang saling menegur dalam pencarian universal akan kehidupan yang lebih adil, bebas, dan manusiawi.¹⁴


Footnotes

[1]                Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944), 41–44.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 47–49.

[3]                Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Continuum, 1961), 55–57.

[4]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 12–15.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 284–287.

[6]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge: MIT Press, 1996), 128–131.

[7]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 9–11.

[8]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 84–86.

[9]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.

[10]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 73–76.

[11]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 101–104.

[12]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 25–28.

[13]             Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2004), 145–148.

[14]             Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age of Globalization and Exclusion (Durham: Duke University Press, 2013), 60–63.


Daftar Pustaka

Amin, S. (1974). Accumulation on a world scale: A critique of the theory of underdevelopment. Monthly Review Press.

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Bentham, J. (1789). An introduction to the principles of morals and legislation. T. Payne.

Bernstein, E. (1961). Evolutionary socialism. Schocken Books.

Bourdieu, P. (1998). Acts of resistance: Against the tyranny of the market. The New Press.

Braudel, F. (1982). The wheels of commerce (S. Reynolds, Trans.). University of California Press.

Burkett, P. (1999). Marx and nature: A red and green perspective. St. Martin’s Press.

Cabral, A. (1973). Return to the source: Selected speeches of Amílcar Cabral. Monthly Review Press.

Callinicos, A. (1989). Against postmodernism: A Marxist critique. Polity Press.

Cohen, G. A. (1978). Karl Marx’s theory of history: A defence. Clarendon Press.

Dussel, E. (2013). Ethics of liberation in the age of globalization and exclusion. Duke University Press.

Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction. Verso.

Eagleton, T. (1997). Marx and freedom. Phoenix Press.

Eagleton, T. (2011). Why Marx was right. Yale University Press.

Fanon, F. (1963). The wretched of the earth. Grove Press.

Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. Monthly Review Press.

Foster, J. B., & Burkett, P. (2016). Marx and the earth: An anti-critique. Brill.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.

Friedman, M. (1953). Essays in positive economics. University of Chicago Press.

Friedman, M. (1962). Capitalism and freedom. University of Chicago Press.

Fromm, E. (1955). The sane society. Rinehart.

Fromm, E. (1961). Marx’s concept of man. Continuum.

Fromm, E. (1968). The revolution of hope. Harper & Row.

Fromm, E. (1976). To have or to be? Harper & Row.

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Trans.). International Publishers.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vols. 1–2). Beacon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms. MIT Press.

Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and new technologies of power. Verso.

Harvey, D. (1982). The limits to capital. Verso.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Harvey, D. (2014). Seventeen contradictions and the end of capitalism. Oxford University Press.

Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom. Routledge.

Hayek, F. A. (1945). The use of knowledge in society. American Economic Review, 35(4), 519–530.

Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty. University of Chicago Press.

Heryanto, A. (2014). Identity and pleasure: The politics of Indonesian screen culture. NUS Press.

Hobsbawm, E. (1994). The age of extremes: The short twentieth century, 1914–1991. Michael Joseph.

Honneth, A. (2014). Freedom’s right: The social foundations of democratic life. Columbia University Press.

Horkheimer, M. (1947). Eclipse of reason. Oxford University Press.

Jackson, T. (2009). Prosperity without growth: Economics for a finite planet. Earthscan.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Kołakowski, L. (1978). Main currents of Marxism: Its origins, growth and dissolution (Vol. 3). Oxford University Press.

Laclau, E., & Mouffe, C. (1985). Hegemony and socialist strategy. Verso.

Lazzarato, M. (1996). Immaterial labor. In P. Virno & M. Hardt (Eds.), Radical thought in Italy: A potential politics (pp. 133–147). University of Minnesota Press.

Locke, J. (1690). Two treatises of government. Awnsham Churchill.

Lukács, G. (1971). History and class consciousness (R. Livingstone, Trans.). MIT Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge. University of Minnesota Press.

Marcuse, H. (1941). Reason and revolution. Routledge.

Marcuse, H. (1955). Eros and civilization. Beacon Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man. Beacon Press.

Marx, K. (1904). A contribution to the critique of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr & Company.

Marx, K. (1959). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Progress Publishers.

Marx, K. (1867). Capital: Volume I. Otto Meissner Verlag.

Marx, K. (1978). Theses on Feuerbach. In R. C. Tucker (Ed.), The Marx-Engels reader (pp. 143–145). W. W. Norton.

Marx, K., & Engels, F. (1848). Manifesto of the Communist Party. Penguin Classics.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International Publishers.

Mill, J. S. (1848). Principles of political economy. John W. Parker.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Pabotinggi, M. (1993). Demokrasi dan sosialisme di Indonesia. LP3ES.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Polanyi, K. (1944). The great transformation: The political and economic origins of our time. Beacon Press.

Popper, K. R. (1945). The open society and its enemies (Vol. 2). Routledge.

Popper, K. R. (1957). The poverty of historicism. Routledge.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Robbins, L. (1932). An essay on the nature and significance of economic science. Macmillan.

Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the postmodern. Zed Books.

Sandel, M. (2012). What money can’t buy: The moral limits of markets. Farrar, Straus and Giroux.

Sen, A. (1987). On ethics and economics. Basil Blackwell.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Smith, A. (1759). The theory of moral sentiments. A. Millar.

Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. W. Strahan and T. Cadell.

Spivak, G. C. (1999). A critique of postcolonial reason: Toward a history of the vanishing present. Harvard University Press.

Srnicek, N. (2017). Platform capitalism. Polity Press.

Stiglitz, J. E. (2010). Freefall: America, free markets, and the sinking of the world economy. W. W. Norton.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (2004). Modern social imaginaries. Duke University Press.

Terranova, T. (2004). Network culture: Politics for the information age. Pluto Press.

Weber, M. (1930). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Allen & Unwin.

Wallerstein, I. (1974). The modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European world-economy in the sixteenth century. Academic Press.

Žižek, S. (1989). The sublime object of ideology. Verso.

Žižek, S. (2010). Living in the end times. Verso.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar