Kapitalisme dan Marxisme
Suatu Kajian Komparatif tentang Ontologi, Epistemologi,
dan Etika Sistem Ekonomi Modern
Alihkan ke: Deisme.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
perbandingan antara Kapitalisme dan Marxisme sebagai dua paradigma
ekonomi dan filsafat sosial yang mendasar dalam peradaban modern. Dengan
menggunakan pendekatan filsafat komparatif, penelitian ini menganalisis
secara sistematis aspek ontologis, epistemologis, dan etis dari kedua
sistem, serta menelusuri genealogi historis dan relevansi
kontemporernya dalam konteks globalisasi dan era digital.
Secara ontologis, Kapitalisme berpijak pada
individualisme metodologis dan naturalisme pasar, yang memandang manusia
sebagai agen rasional bebas dalam sistem pertukaran. Sebaliknya, Marxisme
berlandaskan pada materialisme historis dan dialektika sosial, menempatkan
realitas ekonomi sebagai hasil dari relasi produksi dan perjuangan kelas. Dalam
dimensi epistemologis, Kapitalisme menekankan rasionalitas instrumental dan
empirisme utilitarian, sedangkan Marxisme mengusung rasionalitas emansipatoris
melalui kritik ideologis dan kesadaran historis.
Secara etis dan aksiologis, Kapitalisme menjunjung
kebebasan individu dan efisiensi pasar, sementara Marxisme menekankan
kesetaraan, solidaritas, dan keadilan sosial. Kajian ini menunjukkan bahwa
kedua sistem memiliki keunggulan dan keterbatasan yang saling melengkapi, dan
bahwa sintesis filosofis antara keduanya diperlukan untuk merumuskan paradigma “ekonomi
humanistik dan berkelanjutan” yang mampu menyeimbangkan kebebasan dengan
keadilan, efisiensi dengan solidaritas, serta pertumbuhan dengan tanggung jawab
ekologis.
Melalui pendekatan dialektis dan reflektif, artikel
ini menyimpulkan bahwa masa depan ekonomi global memerlukan integrasi
nilai-nilai humanistik dari Kapitalisme dan Marxisme guna membangun sistem
ekonomi yang rasional, adil, dan bermartabat. Dengan demikian, filsafat ekonomi
tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sistem, tetapi juga sebagai proyek
etis pembebasan dan humanisasi manusia dalam dunia modern.
Kata Kunci: Kapitalisme; Marxisme; Ontologi; Epistemologi;
Etika Ekonomi; Dialektika; Humanisme; Keadilan Sosial; Neoliberalisme; Ekonomi
Humanistik
PEMBAHASAN
Perbandingan Kebebasan Kapitalistik dengan Keadilan
Sosial Marxis
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah peradaban modern, Kapitalisme dan
Marxisme muncul sebagai dua sistem pemikiran dan praktik sosial yang paling
berpengaruh dalam mengatur struktur ekonomi, politik, dan moral dunia. Keduanya
tidak hanya merepresentasikan dua model ekonomi yang berbeda, tetapi juga dua pandangan
dunia (worldview) yang berlawanan dalam memandang hakikat manusia,
masyarakat, dan realitas sosial-ekonomi. Kapitalisme berakar pada liberalisme
klasik dengan menekankan kebebasan individu, hak milik pribadi, dan
mekanisme pasar bebas sebagai motor kemajuan sosial.¹ Sementara itu, Marxisme
lahir sebagai reaksi kritis terhadap kapitalisme industrial abad ke-19,
menyoroti ketimpangan, alienasi, dan eksploitasi kelas pekerja yang timbul dari
sistem tersebut.²
Di tengah globalisasi dan teknologi digital masa
kini, benturan ideologis antara Kapitalisme dan Marxisme tidak lagi bersifat
militer atau politik semata, melainkan intelektual dan kultural. Ketika
kapitalisme berkembang menjadi neoliberalisme global dengan ciri
finansialisasi dan komodifikasi hampir semua aspek kehidupan, muncul pula
kebangkitan neo-Marxisme dan kritik postkapitalis yang
mempertanyakan keadilan, keberlanjutan ekologis, serta makna manusia dalam
sistem ekonomi yang serba efisien namun terdehumanisasi.³ Oleh karena itu,
perbandingan filosofis antara keduanya bukan sekadar persoalan ekonomi praktis,
tetapi menyentuh akar ontologis, epistemologis, dan etis dari bagaimana
manusia memahami dan mengatur kehidupan bersama.
1.2.      
Rumusan Masalah dan Tujuan
Kajian
Permasalahan utama yang ingin dikaji dalam tulisan
ini adalah:
1)                 
Bagaimana perbedaan ontologis antara Kapitalisme dan Marxisme dalam
memandang hakikat realitas sosial dan manusia?
2)                 
Bagaimana masing-masing sistem memahami sumber pengetahuan ekonomi dan
rasionalitas sosial (epistemologi)?
3)                 
Bagaimana kedua ideologi mendasarkan nilai-nilai moral dan tujuan
sosialnya dalam tatanan ekonomi (etika dan aksiologi)?
Tujuan utama penelitian ini ialah untuk membangun
pemahaman filosofis yang komparatif terhadap kedua sistem tersebut, serta
untuk menemukan kemungkinan sintesis etis dan humanistik di antara
keduanya yang dapat menjawab tantangan ekonomi-politik kontemporer seperti
ketimpangan global, krisis ekologis, dan dislokasi sosial akibat ekonomi
digital.
1.3.      
Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat
komparatif dan hermeneutika kritis. Pendekatan ini memungkinkan analisis
tekstual terhadap karya-karya utama seperti The Wealth of Nations karya
Adam Smith dan Das Kapital karya Karl Marx, di samping refleksi teoretis
terhadap pengaruh ideologisnya dalam praktik sosial.⁴ Dengan cara ini, analisis
tidak hanya membandingkan aspek ekonomi formal, tetapi juga struktur
rasionalitas, nilai moral, dan orientasi metafisis yang mendasari
masing-masing sistem.
Selain itu, metode ini juga bersifat transdisipliner,
menggabungkan wawasan filsafat sosial, teori ekonomi, dan etika normatif.⁵
Pendekatan hermeneutika historis digunakan untuk menafsirkan konteks
intelektual kelahiran kedua sistem, sementara pendekatan kritis digunakan untuk
mengevaluasi relevansi keduanya terhadap problem dunia modern.
1.4.      
Tinjauan Pustaka Singkat
Kajian tentang perbandingan Kapitalisme dan
Marxisme telah dilakukan dalam berbagai perspektif. Karya klasik Adam Smith
menekankan pentingnya kebebasan pasar dan pembagian kerja sebagai dasar
kemakmuran nasional.⁶ Sebaliknya, Karl Marx melalui Das Kapital
menafsirkan fenomena ekonomi sebagai ekspresi dari struktur kekuasaan dan
relasi produksi yang menindas.⁷
Sementara itu, Max Weber menghubungkan etika
Protestan dengan semangat kapitalisme modern, menunjukkan bahwa sistem ekonomi
tidak dapat dilepaskan dari dimensi religius dan moralnya.⁸ Dalam abad ke-20, Milton
Friedman menegaskan kembali prinsip kebebasan individu dalam pasar bebas
sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap otonomi manusia.⁹ Di sisi lain, Jürgen
Habermas dan Slavoj Žižek memformulasikan kembali kritik Marxisme
dalam konteks masyarakat komunikasi dan kapitalisme global, dengan menyoroti
krisis legitimasi dan alienasi modern.¹⁰
Berdasarkan literatur tersebut, dapat disimpulkan
bahwa perbandingan filosofis antara Kapitalisme dan Marxisme bukan hanya
bersifat ekonomi-teknis, tetapi menyinggung dimensi paling mendasar dari
filsafat manusia dan masyarakat. Karena itu, tulisan ini berupaya
menelusuri secara sistematis fondasi ontologis, epistemologis, dan etis kedua
sistem demi menemukan dasar-dasar baru bagi filsafat ekonomi humanistik.
Footnotes
[1]               
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776),
13–15.
[2]               
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 72–76.
[3]               
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–6.
[4]               
Karl Marx, Das Kapital, vol. 1 (Hamburg:
Otto Meissner Verlag, 1867), 7–10.
[5]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.
[6]               
Adam Smith, The Wealth of Nations, 19–23.
[7]               
Karl Marx, Das Kapital, 85–89.
[8]               
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Allen & Unwin, 1930),
39–45.
[9]               
Milton Friedman, Capitalism and Freedom
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 12–17.
[10]            
Slavoj Žižek, Living in the End Times
(London: Verso, 2010), 5–8; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 122–127.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
2.1.      
Asal-usul Kapitalisme
Akar historis kapitalisme dapat ditelusuri sejak
masa akhir feodalisme di Eropa Barat, ketika struktur ekonomi agraris
mulai mengalami pergeseran menuju perdagangan dan industri. Munculnya kelas
borjuis sebagai kekuatan ekonomi baru, serta berkembangnya sistem
perdagangan lintas benua pada abad ke-16 dan ke-17, menandai lahirnya fase merkantilisme,
yang menjadi cikal bakal kapitalisme modern.¹
Transformasi besar terjadi pada abad ke-18,
terutama melalui pengaruh Pencerahan dan karya Adam Smith, yang
menekankan kebebasan individu serta efisiensi pasar sebagai dasar kesejahteraan
sosial. Dalam karya monumentalnya The Wealth of Nations (1776), Smith
memperkenalkan konsep “tangan tak terlihat” (invisible hand) yang menggambarkan
bahwa kepentingan pribadi individu, jika diatur dalam mekanisme pasar bebas,
dapat menghasilkan kesejahteraan umum tanpa perlu intervensi pemerintah
berlebih.²
Selain itu, Etika Protestan yang digambarkan
oleh Max Weber memberikan dimensi kultural dan religius bagi
kapitalisme, dengan menekankan kerja keras, disiplin, dan rasionalitas ekonomi
sebagai ekspresi iman.³ Kapitalisme pun berkembang seiring Revolusi Industri
yang membawa perubahan besar dalam sistem produksi, tenaga kerja, dan
kepemilikan modal. Sejak saat itu, kapitalisme tidak hanya menjadi sistem
ekonomi, melainkan ideologi sosial yang mengatur relasi kekuasaan, nilai
moral, dan struktur masyarakat modern.⁴
2.2.      
Asal-usul Marxisme
Berbeda dengan kapitalisme yang tumbuh dari
semangat liberalisme dan individualisme, Marxisme lahir dari kritik mendalam
terhadap konsekuensi sosial kapitalisme industrial. Karl Marx (1818–1883),
melalui studi ekonomi-politiknya, melihat bahwa sistem kapitalis mengandung kontradiksi
internal yang pada akhirnya menimbulkan ketimpangan sosial dan eksploitasi
kelas pekerja (proletariat) oleh pemilik modal (borjuis).⁵
Marx mengembangkan materialisme historis,
yaitu teori bahwa sejarah manusia ditentukan oleh perkembangan kekuatan produktif
dan relasi produksi.⁶ Dalam kerangka ini, struktur ekonomi (basis) menentukan
bentuk kesadaran sosial, politik, dan budaya (suprastruktur). Ideologi, agama,
dan moralitas, menurut Marx, bukanlah entitas netral, melainkan refleksi dari
kepentingan kelas dominan.⁷
Inspirasi filosofis Marx datang dari dialektika
Hegelian, yang ia balikkan menjadi dialektika materialis. Jika Hegel
melihat perubahan sejarah sebagai gerak kesadaran menuju kebebasan, Marx
memandangnya sebagai perjuangan kelas yang bersifat konkret dan
material.⁸ Bersama Friedrich Engels, Marx memformulasikan prinsip revolusi
sosial dalam Manifesto of the Communist Party (1848), yang menyerukan
pembebasan manusia melalui penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat
produksi.⁹
2.3.      
Pertemuan dan Pertentangan
Sejarah
Hubungan antara Kapitalisme dan Marxisme sepanjang
sejarah bersifat dialektis dan antagonistik. Kapitalisme mendorong
kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melahirkan ketimpangan
struktural yang kemudian menjadi bahan bakar bagi kritik Marxis.¹⁰
Pada abad ke-20, pertentangan ini mencapai puncaknya
dalam Perang Dingin, yang mempertemukan blok kapitalis (dipimpin Amerika
Serikat) dan blok sosialis (dipimpin Uni Soviet).¹¹ Kapitalisme berevolusi
menjadi neoliberalisme setelah krisis stagflasi 1970-an, dengan tokoh
seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman yang menegaskan
kembali kebebasan pasar sebagai prinsip utama ekonomi modern.¹² Sementara itu,
Marxisme juga mengalami transformasi melalui Neo-Marxisme dan Teori
Kritis Frankfurt, yang menyoroti dimensi ideologis, budaya, dan komunikasi
dalam kapitalisme lanjut.¹³
Kini, dalam konteks globalisasi dan ekonomi
digital, perdebatan antara kedua sistem ini terus hidup dalam bentuk baru:
antara kapitalisme platform yang dikendalikan oleh korporasi teknologi
global dan gerakan sosial kiri baru yang menuntut keadilan sosial,
ekologis, dan digital.¹⁴ Dengan demikian, pemahaman genealogis terhadap
keduanya bukan hanya bersifat historis, tetapi juga menjadi dasar bagi refleksi
filosofis atas masa depan ekonomi manusia.
Footnotes
[1]               
Fernand Braudel, The Wheels of Commerce,
trans. Siân Reynolds (Berkeley: University of California Press, 1982), 43–46.
[2]               
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776),
14–17.
[3]               
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Allen & Unwin, 1930),
63–68.
[4]               
Karl Polanyi, The Great Transformation: The
Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944),
35–39.
[5]               
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 85–87.
[6]               
Karl Marx, A Contribution to the Critique of
Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company,
1904), 11–12.
[7]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
47–49.
[8]               
Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto
Meissner Verlag, 1867), 94–98.
[9]               
Karl Marx and Friedrich Engels, Manifesto of the
Communist Party (London: Penguin Classics, 2002), 67–70.
[10]            
David Harvey, The Limits to Capital (London:
Verso, 1982), 121–125.
[11]            
Eric Hobsbawm, The Age of Extremes: The Short
Twentieth Century, 1914–1991 (London: Michael Joseph, 1994), 228–231.
[12]            
Milton Friedman, Capitalism and Freedom
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 7–9; Friedrich Hayek, The Road
to Serfdom (London: Routledge, 1944), 42–44.
[13]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 89–93.
[14]            
Nick Srnicek, Platform Capitalism
(Cambridge: Polity Press, 2017), 3–7.
3.          
Ontologi
Ekonomi: Konsep tentang Realitas Sosial dan Material
3.1.      
Ontologi Kapitalisme
Dalam kerangka ontologisnya, kapitalisme berpijak
pada individualisme metodologis—pandangan bahwa realitas sosial
merupakan hasil dari tindakan-tindakan individu yang rasional dan bebas.¹
Manusia dipahami sebagai homo economicus, makhluk yang secara alamiah
mengejar kepentingan pribadi melalui perhitungan untung-rugi dan rasionalitas
instrumental.² Dengan demikian, dunia sosial dianggap sebagai arena interaksi
bebas di mana pasar berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang antara penawaran
dan permintaan.
Konsep “tangan tak terlihat” (invisible
hand) dalam pemikiran Adam Smith menjadi simbol metafisis dari keteraturan
spontan yang muncul dari tindakan egoistik individu.³ Realitas sosial-ekonomi
dalam kapitalisme bukanlah konstruksi kolektif yang direncanakan, melainkan produk
emergen dari kebebasan individu. Kepemilikan pribadi atas alat-alat
produksi dipandang sebagai dasar hakikat sosial, karena di dalamnya terkandung
nilai kebebasan, otonomi, dan tanggung jawab moral.⁴
Ontologi kapitalisme modern juga ditandai oleh
keyakinan akan naturalisme pasar, yaitu pandangan bahwa hukum ekonomi
bekerja seperti hukum alam—obyektif, netral, dan tak bergantung pada kehendak
moral.⁵ Dalam konteks ini, manusia bukan lagi makhluk sosial yang saling
tergantung, melainkan agen rasional dalam sistem yang diatur oleh logika
akumulasi modal.⁶ Konsekuensinya, relasi sosial direduksi menjadi relasi
pertukaran, dan nilai manusia diukur melalui kapasitasnya berpartisipasi dalam
sirkulasi komoditas dan uang.⁷
3.2.      
Ontologi Marxisme
Berbeda secara fundamental, Marxisme
mendasarkan ontologi ekonominya pada materialisme historis, yaitu
pandangan bahwa realitas sosial ditentukan oleh hubungan manusia dengan
alat-alat produksi.⁸ Bagi Marx, kesadaran manusia bukanlah penentu eksistensi
sosialnya, melainkan sebaliknya: “bukan kesadaran manusia yang menentukan
keberadaannya, tetapi keberadaan sosial yang menentukan kesadarannya.”⁹
Manusia dalam Marxisme adalah makhluk kerja (homo
faber) yang membentuk dirinya melalui proses produksi.¹⁰ Relasi sosial
tidak lahir dari kontrak bebas antarindividu seperti dalam kapitalisme,
melainkan dari struktur kekuatan produktif dan relasi kepemilikan yang
bersifat historis dan kelas.¹¹ Oleh karena itu, realitas sosial dipahami secara
dialektis, yaitu sebagai medan pertentangan antara kelas yang berkuasa
(borjuis) dan kelas tertindas (proletariat), yang mendorong perubahan sosial
melalui revolusi.¹²
Marx menolak pandangan idealistik tentang
masyarakat dan menggantikannya dengan ontologi praksis: dunia bukan
untuk ditafsirkan semata, melainkan untuk diubah.¹³ Dalam Das Kapital,
ia menunjukkan bahwa hukum-hukum ekonomi kapitalisme tidak bersifat alamiah,
tetapi historis—lahir dari kondisi tertentu dan dapat berakhir ketika struktur
sosial berubah.¹⁴ Dengan demikian, realitas sosial bukan entitas tetap,
melainkan proses dinamis yang ditentukan oleh kerja manusia, konflik sosial,
dan produksi material.
3.3.      
Perbandingan Ontologis
Secara ontologis, perbedaan mendasar antara
Kapitalisme dan Marxisme terletak pada status realitas sosial dan manusia.
Dalam kapitalisme, realitas sosial dilihat sebagai hasil interaksi bebas
individu, di mana mekanisme pasar dianggap wajar dan netral. Dalam
Marxisme, realitas sosial dipahami sebagai produk historis dari relasi
produksi, yang sarat dengan kekuasaan dan pertentangan kelas.¹⁵
Kapitalisme mengasumsikan antropologi atomistik:
manusia adalah individu terpisah yang berinteraksi untuk kepentingan pribadi.
Sementara Marxisme menawarkan antropologi relasional: manusia membentuk
dirinya dalam kerja kolektif dan relasi sosial yang konkret.¹⁶ Jika kapitalisme
menempatkan pasar sebagai realitas otonom yang menentukan nilai, maka Marxisme
menempatkan kerja manusia sebagai sumber utama nilai dan realitas
sosial.¹⁷
Dalam perspektif metafisis, kapitalisme bersandar
pada ontologi kebebasan individual, sedangkan Marxisme berpijak pada ontologi
determinasi sosial. Namun keduanya sama-sama berangkat dari upaya
menjelaskan realitas ekonomi secara rasional: kapitalisme melalui naturalisasi
pasar, Marxisme melalui historisasi produksi.¹⁸ Oleh karena itu, analisis
ontologis atas kedua sistem ini membuka ruang refleksi baru untuk memahami
manusia bukan sekadar sebagai agen ekonomi, tetapi sebagai makhluk historis,
moral, dan sosial yang terus berupaya mengatasi keterasingan dalam dunia
modern.¹⁹
Footnotes
[1]               
John Stuart Mill, Principles of Political
Economy (London: John W. Parker, 1848), 12–15.
[2]               
Amartya Sen, On Ethics and Economics
(Oxford: Basil Blackwell, 1987), 18–22.
[3]               
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776),
14–17.
[4]               
Milton Friedman, Capitalism and Freedom
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 8–11.
[5]               
Friedrich Hayek, The Constitution of Liberty
(Chicago: University of Chicago Press, 1960), 52–55.
[6]               
Karl Polanyi, The Great Transformation: The
Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944),
71–75.
[7]               
David Harvey, Seventeen Contradictions and the
End of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2014), 23–27.
[8]               
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political
Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904),
11–13.
[9]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
47.
[10]            
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 90–92.
[11]            
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A
Defence (Oxford: Clarendon Press, 1978), 87–90.
[12]            
Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto
Meissner Verlag, 1867), 112–118.
[13]            
Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978),
145–146.
[14]            
Karl Marx, Das Kapital, vol. 1 (Hamburg:
Otto Meissner Verlag, 1867), 85–90.
[15]            
Terry Eagleton, Marx and Freedom (London:
Phoenix Press, 1997), 33–37.
[16]            
Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New
York: Continuum, 1961), 21–23.
[17]            
Karl Marx, Capital: Volume I, 128–130.
[18]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 91–95.
[19]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989),
201–204.
4.          
Epistemologi
Ekonomi: Sumber Pengetahuan dan Rasionalitas
4.1.      
Epistemologi Kapitalisme
Epistemologi kapitalisme dibangun di atas fondasi
rasionalitas empiris dan individualisme epistemik, yakni keyakinan bahwa
pengetahuan ekonomi bersumber dari observasi perilaku manusia dalam pasar dan
dapat dijelaskan melalui hukum-hukum objektif yang mirip dengan hukum alam.¹
Kapitalisme mengandaikan bahwa individu memiliki kemampuan rasional untuk
menilai pilihan ekonomi secara mandiri, sehingga kebenaran ekonomi muncul dari agregasi
keputusan individual yang saling berinteraksi melalui mekanisme pasar.²
Adam Smith dan para ekonom klasik mengembangkan
suatu bentuk epistemologi naturalistik, di mana pasar dipandang sebagai
sistem informasi yang mengatur diri sendiri.³ Harga berfungsi sebagai “sinyal
pengetahuan” yang mengkoordinasikan tindakan individu tanpa perlu kesadaran
kolektif.⁴ Pemikiran ini kemudian diperkuat oleh Friedrich Hayek, yang
menegaskan bahwa pasar adalah “tatanan spontan” (spontaneous order) yang
menyimpan pengetahuan tersebar di antara jutaan individu.⁵ Dengan demikian,
pasar dianggap sebagai entitas epistemik yang lebih unggul daripada otoritas
pusat, karena hanya melalui kebebasan bertukar dan berkompetisi pengetahuan
dapat terdistribusi secara efisien.
Namun epistemologi kapitalisme bersifat instrumentalis,
menilai pengetahuan dari keberhasilannya dalam menghasilkan efisiensi dan
keuntungan, bukan dari kebenaran moral atau sosial.⁶ Rasionalitas dalam sistem
ini adalah rasionalitas utilitarian, yang mengukur nilai berdasarkan
hasil dan manfaat ekonomi.⁷ Milton Friedman bahkan menegaskan bahwa teori
ekonomi tidak dinilai dari realisme asumsinya, melainkan dari daya prediktifnya
terhadap perilaku pasar.⁸ Dengan demikian, epistemologi kapitalisme cenderung
positivistik: mengutamakan objektivitas, kuantifikasi, dan verifikasi empiris
atas fenomena ekonomi yang dianggap bebas nilai (value-free).⁹
4.2.      
Epistemologi Marxisme
Berbeda secara radikal, epistemologi Marxisme
menolak pandangan netral dan positivistik terhadap pengetahuan ekonomi. Bagi
Marx, ilmu ekonomi klasik menyembunyikan kepentingan ideologis kelas borjuis
di balik klaim objektivitas ilmiah.¹⁰ Ia mengembangkan apa yang disebut “epistemologi
kritis”, yakni pemahaman bahwa pengetahuan sosial selalu terikat pada
kondisi material dan posisi kelas tertentu.¹¹
Marx melihat pengetahuan sebagai produk historis
dan praksis, bukan refleksi pasif atas realitas.¹² Kebenaran ekonomi tidak
ditemukan melalui observasi netral, tetapi melalui analisis dialektis
terhadap kontradiksi dalam struktur produksi.¹³ Dengan menggunakan metode
dialektika Hegelian yang dimaterialisasikan, Marx memahami rasionalitas sebagai
proses konflik dan negasi yang menggerakkan perubahan sosial.¹⁴ Oleh sebab itu,
bagi Marxisme, rasionalitas ekonomi sejati adalah rasionalitas emansipatoris—yakni
pengetahuan yang bertujuan membebaskan manusia dari alienasi dan eksploitasi.¹⁵
Dalam kerangka ini, epistemologi Marxis bersifat historis-determinatif:
kesadaran manusia terbentuk oleh posisi sosialnya dalam sistem produksi.¹⁶ Apa
yang disebut “ilmu ekonomi” dalam kapitalisme bukanlah kebenaran universal,
melainkan representasi ideologis dari hubungan kekuasaan yang ingin
dipertahankan.¹⁷ Oleh karena itu, Marx menegaskan bahwa tugas filsafat bukan
hanya memahami dunia, tetapi mengubahnya melalui praksis revolusioner.¹⁸
Tokoh-tokoh Marxis setelahnya, seperti Georg Lukács
dan Jürgen Habermas, memperluas epistemologi ini dengan menekankan dimensi kesadaran
kelas dan komunikasi rasional.¹⁹ Lukács memandang kesadaran proletar
sebagai bentuk pengetahuan totalitas sosial, sementara Habermas mengajukan
konsep rasionalitas komunikatif sebagai alternatif terhadap rasionalitas
instrumental kapitalistik.²⁰ Maka, epistemologi Marxisme tidak berhenti pada
analisis ekonomi, melainkan menjadi proyek kognitif pembebasan manusia
melalui refleksi kritis dan praksis sosial.²¹
4.3.      
Perbandingan Epistemologis
Secara epistemologis, perbedaan antara Kapitalisme
dan Marxisme dapat diringkas dalam dua kutub utama: rasionalitas
instrumental vs rasionalitas emansipatoris. Kapitalisme berasumsi bahwa pengetahuan
dapat bersifat objektif, bebas nilai, dan dihasilkan melalui kalkulasi empiris,
sedangkan Marxisme menegaskan bahwa pengetahuan selalu tertanam dalam relasi
kekuasaan dan kondisi historis tertentu.²²
Kapitalisme menjadikan pasar sebagai mekanisme
epistemik kolektif—pengumpul informasi tersebar yang berfungsi tanpa
kesadaran sosial. Marxisme, sebaliknya, menempatkan kelas sosial sebagai
subjek epistemik, di mana kesadaran kritis tumbuh dari pengalaman alienasi
dan perjuangan kolektif.²³ Dalam kapitalisme, rasionalitas berarti efisiensi;
dalam Marxisme, rasionalitas berarti pembebasan.²⁴
Dengan demikian, epistemologi keduanya
merefleksikan dua paradigma pengetahuan yang berbeda secara ontologis dan
etis. Kapitalisme memandang dunia sosial sebagai sistem fakta dan angka
yang dapat dikelola secara teknis, sementara Marxisme melihatnya sebagai
struktur makna dan kekuasaan yang harus diubah secara historis.²⁵ Dalam konteks
filsafat kontemporer, perdebatan ini tetap relevan karena menyentuh pertanyaan
mendasar tentang hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan kemanusiaan di
tengah ekonomi digital dan globalisasi.²⁶
Footnotes
[1]               
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776),
12–15.
[2]               
John Stuart Mill, Principles of Political
Economy (London: John W. Parker, 1848), 9–12.
[3]               
Karl R. Popper, The Poverty of Historicism
(London: Routledge, 1957), 33–35.
[4]               
Friedrich Hayek, The Use of Knowledge in Society,
American Economic Review 35, no. 4 (1945): 519–530.
[5]               
Friedrich Hayek, The Constitution of Liberty
(Chicago: University of Chicago Press, 1960), 65–70.
[6]               
Amartya Sen, On Ethics and Economics
(Oxford: Basil Blackwell, 1987), 21–25.
[7]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), 13–17.
[8]               
Milton Friedman, Essays in Positive Economics
(Chicago: University of Chicago Press, 1953), 3–5.
[9]               
Lionel Robbins, An Essay on the Nature and
Significance of Economic Science (London: Macmillan, 1932), 1–4.
[10]            
Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto
Meissner Verlag, 1867), 84–88.
[11]            
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
47–49.
[12]            
Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978),
145.
[13]            
Karl Marx, A Contribution to the Critique of
Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr &
Company, 1904), 11–13.
[14]            
Georg Lukács, History and Class Consciousness,
trans. Rodney Livingstone (Cambridge: MIT Press, 1971), 46–49.
[15]            
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man
(Boston: Beacon Press, 1964), 123–126.
[16]            
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A
Defence (Oxford: Clarendon Press, 1978), 92–96.
[17]            
Louis Althusser, For Marx, trans. Ben
Brewster (London: Verso, 1969), 62–65.
[18]            
Karl Marx, Theses on Feuerbach, 146.
[19]            
Georg Lukács, History and Class Consciousness,
83–85.
[20]            
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–312.
[21]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.
[22]            
Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York:
Oxford University Press, 1947), 4–7.
[23]            
Terry Eagleton, Ideology: An Introduction
(London: Verso, 1991), 53–56.
[24]            
Herbert Marcuse, Reason and Revolution (London:
Routledge, 1941), 200–204.
[25]            
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon, 1980), 81–85.
[26]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2009), 93–97.
5.          
Etika
dan Aksiologi Ekonomi
5.1.      
Etika Kapitalisme
Etika kapitalisme berakar pada tradisi liberalisme
moral dan ekonomi, yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai
tertinggi dalam kehidupan sosial.¹ Dalam pandangan ini, tindakan ekonomi yang
paling etis adalah yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi otonomi individu
untuk memilih, berkompetisi, dan mengejar kepentingan pribadinya.² Adam
Smith, meskipun dikenal sebagai ekonom klasik, memiliki dimensi moral yang
kuat dalam karyanya The Theory of Moral Sentiments (1759). Ia
berpendapat bahwa kepentingan diri (self-interest) bukanlah bentuk
egoisme destruktif, tetapi dorongan alamiah yang, melalui empati dan moralitas
sosial, dapat menghasilkan kebaikan bersama.³
Etika kapitalisme menilai kebebasan pasar
sebagai ekspresi dari hak moral manusia untuk memiliki dan mengelola sumber
daya. Kepemilikan pribadi dipandang sebagai dasar tanggung jawab moral dan
sosial; tanpa hak milik, kebebasan individu tidak mungkin ada.⁴ Oleh karena
itu, keadilan dalam kapitalisme bukan diukur dari kesetaraan hasil, melainkan
dari kesetaraan kesempatan untuk bersaing secara adil.⁵
Namun, dalam praktiknya, etika kapitalisme sering
dikritik karena reduksi moral menjadi efisiensi. Rasionalitas ekonomi
yang menekankan laba, pertumbuhan, dan produktivitas cenderung mengabaikan
dimensi kemanusiaan, solidaritas, dan keberlanjutan.⁶ Max Weber dalam The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menunjukkan bahwa etika kerja
Protestan awalnya bersifat asketik dan bertujuan spiritual, tetapi dalam
kapitalisme modern berubah menjadi etika instrumental, di mana kerja dan
akumulasi modal menjadi tujuan itu sendiri, bukan sarana bagi kehidupan
bermakna.⁷
Etika kapitalisme modern, terutama dalam versi neoliberal,
menekankan tanggung jawab individu dan meritokrasi.⁸ Namun etika ini
menimbulkan paradoks: semakin menekankan kebebasan formal, semakin mengabaikan
kondisi material dan struktural yang membatasi kebebasan nyata bagi banyak
orang.⁹ Karenanya, kritik etis terhadap kapitalisme sering diarahkan pada
kecenderungannya menciptakan ketimpangan sistemik, eksploitasi tenaga kerja,
dan krisis moral konsumerisme.¹⁰
5.2.      
Etika Marxisme
Berbeda secara fundamental, etika Marxisme berakar
pada konsep keadilan sosial, solidaritas, dan emansipasi manusia.¹¹ Marx
tidak merumuskan etika normatif secara eksplisit, tetapi seluruh proyeknya
bersifat moral-politis, yakni upaya membebaskan manusia dari
keterasingan (alienation) dan dominasi struktural kapitalisme.¹² Dalam
pandangan Marx, eksploitasi ekonomi bukan hanya ketidakadilan material,
melainkan juga bentuk dehumanisasi, karena manusia kehilangan kendali
atas hasil kerjanya, makna hidupnya, dan dirinya sendiri sebagai makhluk
sosial.¹³
Etika Marxis menolak pandangan moral individualistik.
Kebaikan tidak dapat dicapai melalui tindakan personal yang atomistik,
melainkan melalui transformasi struktural atas kondisi sosial yang
menindas.¹⁴ Dengan demikian, keadilan dalam Marxisme bersifat kolektif dan
historis, bukan distributif seperti dalam kapitalisme liberal.¹⁵ Keadilan
dicapai ketika struktur produksi tidak lagi menindas manusia, dan ketika kerja
menjadi aktivitas kreatif yang mengekspresikan kemanusiaan, bukan sekadar alat
bertahan hidup.¹⁶
Aksiologi Marxisme menempatkan emansipasi
sebagai nilai tertinggi. Nilai ekonomi bukan berasal dari kepemilikan atau
pertukaran pasar, tetapi dari kerja manusia sebagai ekspresi esensinya.¹⁷ Marx
menyebut bahwa manusia sejati adalah makhluk produktif yang menegaskan dirinya
dalam aktivitas sosial, bukan dalam konsumsi.¹⁸ Oleh karena itu, etika Marxis
bersifat praksis: moralitas bukanlah sekadar refleksi teoretis, melainkan
tindakan transformasi sosial.¹⁹
Pemikir Marxis kemudian seperti Herbert Marcuse
dan Erich Fromm menegaskan bahwa etika pembebasan harus melampaui
moralitas borjuis dan menggantinya dengan etika humanistik radikal yang
menempatkan cinta, solidaritas, dan kreativitas sebagai nilai utama dalam
masyarakat tanpa kelas.²⁰ Etika ini bukan sekadar moral revolusioner, tetapi
juga bentuk kesadaran baru tentang makna menjadi manusia.²¹
5.3.      
Aksiologi Perbandingan:
Efisiensi vs Keadilan, Kebebasan vs Solidaritas
Dari perspektif aksiologis, Kapitalisme dan
Marxisme menampilkan dua sistem nilai yang saling bertentangan namun saling
menerangi. Kapitalisme menganggap efisiensi, kebebasan, dan otonomi individu
sebagai nilai tertinggi; sementara Marxisme menempatkan keadilan,
solidaritas, dan emansipasi kolektif sebagai dasar moral ekonomi.²²
Dalam kapitalisme, nilai ekonomi diukur melalui produktivitas
dan akumulasi, yang dianggap indikator kemajuan. Dalam Marxisme, nilai
ekonomi diukur melalui derajat humanisasi, yaitu sejauh mana sistem
memungkinkan manusia berkembang tanpa penindasan.²³ Maka, aksiologi keduanya
menunjukkan titik keseimbangan etis yang perlu dipertimbangkan:
efisiensi tanpa keadilan melahirkan ketimpangan, sedangkan keadilan tanpa
efisiensi berpotensi stagnasi.²⁴
Filsafat kontemporer, seperti John Rawls dan
Amartya Sen, berusaha menjembatani dikotomi ini dengan menekankan konsep
“keadilan sebagai fairness” dan “kebebasan substantif”, yang
mengintegrasikan aspek kebebasan liberal dengan tanggung jawab sosial.²⁵ Dengan
demikian, sintesis etika ekonomi yang ideal bukan sekadar memilih antara
kapitalisme atau Marxisme, melainkan menemukan titik keseimbangan antara
efisiensi dan solidaritas, antara kebebasan dan keadilan, yang dapat
menuntun ekonomi ke arah yang lebih manusiawi.²⁶
Footnotes
[1]               
John Locke, Two Treatises of Government
(London: Awnsham Churchill, 1690), 285–287.
[2]               
Milton Friedman, Capitalism and Freedom
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 12–15.
[3]               
Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments
(London: A. Millar, 1759), 23–27.
[4]               
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 160–164.
[5]               
Friedrich Hayek, The Road to Serfdom
(London: Routledge, 1944), 78–80.
[6]               
Michael Sandel, What Money Can’t Buy: The Moral
Limits of Markets (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2012), 19–22.
[7]               
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Allen & Unwin, 1930),
102–106.
[8]               
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 6–9.
[9]               
Pierre Bourdieu, Acts of Resistance: Against the
Tyranny of the Market (New York: The New Press, 1998), 11–14.
[10]            
Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology
(London: Verso, 1989), 52–55.
[11]            
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
47–49.
[12]            
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 82–86.
[13]            
Ibid., 98–101.
[14]            
Karl Marx, Capital: Volume I (Hamburg: Otto
Meissner Verlag, 1867), 85–90.
[15]            
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A
Defence (Oxford: Clarendon Press, 1978), 95–98.
[16]            
Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New
York: Continuum, 1961), 30–33.
[17]            
Karl Marx, Capital: Volume I, 134–137.
[18]            
Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978),
145–146.
[19]            
Georg Lukács, History and Class Consciousness,
trans. Rodney Livingstone (Cambridge: MIT Press, 1971), 70–74.
[20]            
Herbert Marcuse, Eros and Civilization
(Boston: Beacon Press, 1955), 108–111.
[21]            
Erich Fromm, The Sane Society (New York:
Rinehart, 1955), 102–106.
[22]            
Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New
Haven: Yale University Press, 2011), 62–65.
[23]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–40.
[24]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 55–58.
[25]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 52–55; Amartya Sen, The Idea of Justice
(Cambridge: Harvard University Press, 2009), 17–20.
[26]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
33–36.
6.          
Kritik
terhadap Kapitalisme dan Marxisme
6.1.      
Kritik terhadap Kapitalisme
Sejak kemunculannya, kapitalisme telah menjadi
sistem ekonomi paling dinamis sekaligus paling kontroversial dalam sejarah
modern. Kritik terhadapnya datang dari berbagai arah—moral, sosial, ekologis,
bahkan spiritual.¹
Pertama, kritik moral dan humanistik berpendapat
bahwa kapitalisme menimbulkan dehumanisasi melalui reduksi manusia
menjadi sekadar alat produksi dan konsumsi. Karl Marx menyebut kondisi ini
sebagai alienasi—yakni keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari
proses produksi, dari sesama manusia, dan dari dirinya sendiri.² Dalam
kapitalisme lanjut, menurut Herbert Marcuse, individu hidup dalam masyarakat “satu
dimensi” yang kehilangan kemampuan kritis karena terjebak dalam logika
konsumsi dan efisiensi teknologis.³
Kedua, kritik sosial dan kesetaraan
menyoroti ketimpangan yang dihasilkan oleh akumulasi kapital. Thomas Piketty
menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modal (r) cenderung melebihi
tingkat pertumbuhan ekonomi (g), yang secara sistemik melahirkan
kesenjangan antar kelas.⁴ Kapitalisme, dengan demikian, mengandung mekanisme
internal yang memperkuat ketimpangan kekayaan dan kekuasaan.
Ketiga, kritik ekologis menyoroti bahwa
orientasi kapitalisme terhadap pertumbuhan tanpa batas bertentangan dengan
keterbatasan sumber daya alam.⁵ Sistem pasar bebas tidak mampu memperhitungkan
eksternalitas lingkungan karena beroperasi di bawah logika keuntungan jangka
pendek. Naomi Klein menyebut bahwa kapitalisme global menjadi akar krisis iklim
karena memandang alam sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas.⁶
Terakhir, kritik kultural menyatakan bahwa
kapitalisme menciptakan hegemoni ideologis yang menormalisasi konsumsi dan
kompetisi sebagai nilai universal.⁷ Slavoj Žižek mengkritik bahwa kapitalisme
modern telah menginternalisasi kritik terhadap dirinya sendiri—ia mampu menjual
resistensi, menjadikan “pemberontakan” sebagai komoditas.⁸ Dalam arti
ini, kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi, tetapi juga sistem produksi makna
yang mengkolonisasi kesadaran manusia.
6.2.      
Kritik terhadap Marxisme
Sementara itu, Marxisme, meski lahir sebagai kritik
terhadap ketimpangan kapitalis, tidak luput dari kritik terhadap kegagalan
praksis dan implikasi ideologisnya.
Pertama, kritik terhadap totalitarianisme
menyatakan bahwa implementasi Marxisme dalam bentuk sosialisme negara (seperti
Uni Soviet dan Tiongkok Maois) sering kali berujung pada otoritarianisme dan
represi politik.⁹ Friedrich Hayek berpendapat bahwa perencanaan ekonomi
terpusat secara logis mengarah pada hilangnya kebebasan individu, karena negara
harus mengontrol seluruh aspek kehidupan sosial demi efisiensi produksi.¹⁰
Kedua, kritik terhadap determinisme historis
menyoroti kelemahan filosofis Marxisme klasik yang menempatkan hukum-hukum
sejarah sebagai keniscayaan ilmiah.¹¹ Karl Popper dalam The Open Society and
Its Enemies menolak “historisisme” Marxian karena menganggap sejarah
tidak dapat diprediksi secara ilmiah; manusia memiliki kebebasan kreatif yang
melampaui struktur ekonomi.¹²
Ketiga, kritik terhadap ekonomi politik Marx
juga muncul dari kaum sosialis revisionis seperti Eduard Bernstein, yang
menilai prediksi Marx tentang keruntuhan kapitalisme tidak terbukti.¹³
Bernstein menegaskan bahwa reformasi sosial melalui demokrasi dan serikat
pekerja lebih efektif daripada revolusi kelas.¹⁴ Kritik ini kemudian berkembang
menjadi sosialisme demokratik yang menolak dogmatisme revolusioner.
Keempat, kritik postmodern dan post-Marxis
menunjukkan bahwa analisis kelas dalam Marxisme terlalu reduksionis dan gagal
memahami kompleksitas identitas sosial modern seperti gender, ras, dan
budaya.¹⁵ Jean-François Lyotard dan Ernesto Laclau menegaskan bahwa proyek
emansipasi tunggal seperti komunisme sudah tidak relevan dalam masyarakat
plural.¹⁶ Dalam konteks ini, Marxisme dikritik karena masih mempertahankan
logika totalitas dan kebenaran tunggal yang berlawanan dengan prinsip dialogis
dan multivokalitas.
Akhirnya, kritik ekologis dan feminis juga
memperluas batas kritik terhadap Marxisme. Ekofeminis seperti Ariel Salleh
menilai bahwa Marxisme masih antroposentris dan maskulin, karena terlalu fokus
pada relasi produksi tanpa mempertimbangkan dimensi ekologis dan relasi
gender.¹⁷ Oleh sebab itu, kritik kontemporer mendorong rekonstruksi Marxisme
menjadi teori yang lebih inklusif dan ekologis—sering disebut eco-Marxism
atau feminist Marxism.¹⁸
6.3.      
Upaya Sintesis dan
Alternatif
Baik Kapitalisme maupun Marxisme menghadapi krisis
legitimasi di era globalisasi dan digital. Karena itu, banyak pemikir
kontemporer berupaya mencari sintesis etis dan praktis antara keduanya.
John Rawls, misalnya, mengusulkan model liberalisme
egalitarian melalui konsep justice as fairness, yang menggabungkan
kebebasan individual dengan prinsip perbedaan untuk mengoreksi ketimpangan
struktural.¹⁹ Sementara itu, Amartya Sen memperluasnya dengan gagasan “capability
approach”, yang menilai kesejahteraan bukan dari kepemilikan, tetapi dari
kemampuan aktual manusia untuk hidup bermakna.²⁰
Selain itu, ekonomi solidaritas dan ekonomi
hijau muncul sebagai respons terhadap krisis moral dan ekologis
kapitalisme.²¹ Gerakan ini berupaya menyeimbangkan efisiensi dengan keadilan
sosial, serta mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam sistem produksi.²²
Dari arah lain, Neo-Marxisme humanistik yang dikembangkan oleh Habermas
dan Fromm berusaha mengembalikan dimensi etis Marxisme dengan menekankan
komunikasi, partisipasi, dan humanisasi kerja.²³
Dengan demikian, kritik terhadap Kapitalisme dan
Marxisme bukan sekadar penolakan, melainkan pencarian paradigma baru:
suatu filsafat ekonomi humanistik yang mengakui pentingnya kebebasan individual
sekaligus solidaritas sosial, pertumbuhan ekonomi sekaligus keberlanjutan
ekologis, dan rasionalitas sekaligus moralitas.²⁴
Footnotes
[1]               
Karl Polanyi, The Great Transformation: The
Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944),
35–39.
[2]               
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 72–74.
[3]               
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man
(Boston: Beacon Press, 1964), 12–15.
[4]               
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First
Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge: Harvard University Press,
2014), 25–29.
[5]               
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism
and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 33–36.
[6]               
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 58–61.
[7]               
Antonio Gramsci, Selections from the Prison
Notebooks, trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York:
International Publishers, 1971), 245–248.
[8]               
Slavoj Žižek, Living in the End Times
(London: Verso, 2010), 7–9.
[9]               
Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its
Origins, Growth and Dissolution, vol. 3 (Oxford: Oxford University Press,
1978), 112–115.
[10]            
Friedrich Hayek, The Road to Serfdom
(London: Routledge, 1944), 69–73.
[11]            
Karl Marx, A Contribution to the Critique of
Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr &
Company, 1904), 11–12.
[12]            
Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies,
vol. 2 (London: Routledge, 1945), 89–92.
[13]            
Eduard Bernstein, Evolutionary Socialism
(New York: Schocken Books, 1961), 41–43.
[14]            
Ibid., 52–56.
[15]            
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984),
71–75.
[16]            
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and
Socialist Strategy (London: Verso, 1985), 112–116.
[17]            
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature,
Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 93–96.
[18]            
John Bellamy Foster and Paul Burkett, Marx and
the Earth: An Anti-Critique (Boston: Brill, 2016), 15–19.
[19]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 53–57.
[20]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 73–77.
[21]            
David Schweickart, After Capitalism (Lanham:
Rowman & Littlefield, 2002), 89–91.
[22]            
Tim Jackson, Prosperity without Growth:
Economics for a Finite Planet (London: Earthscan, 2009), 45–48.
[23]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 89–93; Erich Fromm, The
Sane Society (New York: Rinehart, 1955), 75–79.
[24]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
99–103.
7.          
Relevansi
Kontemporer
7.1.      
Kapitalisme Global dan
Neoliberalisme
Pada era globalisasi abad ke-21, kapitalisme telah
berevolusi menjadi bentuk baru yang disebut neoliberalisme global, di
mana pasar bebas, privatisasi, dan deregulasi dijadikan prinsip utama
penyelenggaraan ekonomi.¹ Neoliberalisme memandang kebebasan ekonomi sebagai
bentuk tertinggi dari kebebasan manusia, sementara intervensi negara dianggap
hambatan terhadap efisiensi.² Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan David
Harvey, neoliberalisme justru memperkuat konsentrasi kekayaan dan kekuasaan
di tangan segelintir elite global, menjadikan ketimpangan sebagai fenomena
struktural yang mendunia.³
Krisis finansial global tahun 2008 memperlihatkan
paradoks mendasar sistem ini. Mekanisme pasar yang diklaim efisien justru
menimbulkan krisis sistemik akibat spekulasi finansial tanpa kendali.⁴ Dalam
konteks ini, Joseph Stiglitz menegaskan bahwa kapitalisme kontemporer
telah mengalami “krisis legitimasi moral,” karena gagal menyeimbangkan
kebebasan pasar dengan keadilan sosial.⁵ Fenomena ini diperparah oleh kapitalisme
digital, di mana data pribadi manusia menjadi komoditas baru.⁶
Dalam ekonomi digital, perusahaan seperti Google,
Amazon, dan Meta menciptakan model bisnis berbasis surveillance capitalism,
di mana perilaku konsumen dimonitor dan dijual untuk tujuan profit.⁷ Shoshana
Zuboff menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru kolonialisme—bukan
terhadap wilayah fisik, melainkan terhadap kesadaran manusia.⁸ Dengan demikian,
kapitalisme kontemporer menunjukkan kecenderungan hegemonik yang semakin halus:
ia tidak hanya mengontrol produksi material, tetapi juga produksi informasi dan
makna sosial.⁹
7.2.      
Revivalisme Marxisme di Era
Digital
Meskipun banyak negara telah meninggalkan model
sosialisme klasik, pemikiran Marxis mengalami kebangkitan dalam konteks
baru, terutama melalui Neo-Marxisme, teori kritis, dan analisis budaya
digital.¹⁰ Slavoj Žižek, David Harvey, dan Antonio Negri
menafsirkan ulang Marxisme sebagai kritik terhadap kapitalisme lanjut yang kini
beroperasi dalam bentuk jaringan global dan ekonomi imaterial.¹¹
Dalam era digital, kerja imaterial—yakni produksi
ide, informasi, dan afeksi—menjadi sumber utama nilai ekonomi.¹² Namun kerja
ini, seperti ditunjukkan oleh Maurizio Lazzarato, tetap tunduk pada
logika kapitalistik yang mengeksploitasi kreativitas dan waktu personal
manusia.¹³ Neo-Marxisme digital berargumen bahwa eksploitasi kini tidak hanya
terjadi di pabrik, tetapi juga di ruang virtual dan media sosial, di mana
pengguna tanpa sadar menyumbangkan tenaga kerja digital dalam bentuk data,
perhatian, dan keterlibatan emosional.¹⁴
Di sisi lain, muncul pula Marxisme ekologis
(eco-Marxism) yang menggabungkan analisis kelas dengan kesadaran
lingkungan.¹⁵ John Bellamy Foster menafsirkan kembali gagasan Marx
tentang “metabolic rift”—keretakan metabolik antara manusia dan alam
akibat kapitalisme industri—sebagai dasar bagi teori ekonomi ekologis yang
berkelanjutan.¹⁶ Dengan demikian, relevansi Marxisme tidak hanya terletak pada
kritik terhadap kapitalisme, tetapi juga pada kemampuannya menawarkan kerangka
analisis alternatif bagi krisis ekologis dan digital yang dihadapi dunia
kontemporer.¹⁷
7.3.      
Perspektif Dunia Ketiga dan
Global South
Dalam konteks Global South, perdebatan
antara Kapitalisme dan Marxisme memiliki dimensi kolonial yang khas.
Kapitalisme global sering beroperasi dalam bentuk neo-imperialisme ekonomi,
di mana negara-negara berkembang bergantung pada modal asing dan mekanisme
utang internasional.¹⁸ Immanuel Wallerstein melalui World-Systems
Theory menjelaskan bahwa sistem kapitalisme dunia membagi negara ke dalam
inti (core), semi-periferi, dan periferi—struktur yang mempertahankan
ketimpangan global melalui mekanisme produksi dan perdagangan.¹⁹
Marxisme, di sisi lain, menjadi inspirasi bagi gerakan
pembebasan nasional di Asia, Afrika, dan Amerika Latin selama abad ke-20.²⁰
Pemikir seperti Frantz Fanon dan Amílcar Cabral menafsirkan
Marxisme dalam konteks kolonial sebagai teori emansipasi dari dominasi ekonomi
Barat.²¹ Namun, tantangan kontemporer muncul ketika negara-negara pascakolonial
harus menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi berbasis pasar dan keadilan
sosial.²²
Dalam konteks Indonesia, misalnya, perdebatan
antara kebijakan pasar bebas dan ekonomi kerakyatan menunjukkan bahwa warisan
kapitalisme dan sosialisme tetap hidup dalam bentuk dialektika pembangunan
nasional.²³ Karena itu, relevansi kontemporer filsafat ekonomi harus
dilihat dalam kerangka global yang mempertimbangkan sejarah kolonial,
ketimpangan struktural, dan aspirasi keadilan sosial universal.²⁴
7.4.      
Refleksi Umum: Filsafat
Ekonomi di Persimpangan Baru
Relevansi kontemporer Kapitalisme dan Marxisme
menunjukkan bahwa keduanya tidak sekadar sistem ekonomi, melainkan paradigma
pemikiran tentang manusia dan dunia. Kapitalisme telah membuktikan daya
inovasinya dalam menciptakan kemakmuran, namun gagal menjawab krisis moral dan
ekologis. Marxisme, sementara itu, tetap menjadi suara etis perlawanan
terhadap dominasi dan ketimpangan global, meskipun perlu direformulasikan agar
sesuai dengan kompleksitas dunia digital dan post-industri.²⁵
Tantangan filsafat ekonomi kontemporer adalah
membangun model alternatif yang humanistik dan berkelanjutan—sebuah
sistem yang mengintegrasikan efisiensi pasar dengan keadilan sosial, dan kemajuan
teknologi dengan tanggung jawab ekologis.²⁶ Dalam konteks ini, warisan
intelektual Kapitalisme dan Marxisme harus dibaca ulang bukan sebagai oposisi
biner, tetapi sebagai dua horizon etis dan epistemologis yang saling
menegur dan melengkapi dalam proyek besar kemanusiaan modern.²⁷
Footnotes
[1]               
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 2–5.
[2]               
Milton Friedman, Capitalism and Freedom
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 7–10.
[3]               
Harvey, A Brief History of Neoliberalism,
12–15.
[4]               
Joseph E. Stiglitz, Freefall: America, Free
Markets, and the Sinking of the World Economy (New York: W. W. Norton,
2010), 18–21.
[5]               
Ibid., 95–98.
[6]               
Nick Srnicek, Platform Capitalism
(Cambridge: Polity Press, 2017), 1–3.
[7]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 32–36.
[8]               
Ibid., 94–97.
[9]               
Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism
and New Technologies of Power (London: Verso, 2017), 10–13.
[10]            
Alex Callinicos, Against Postmodernism: A
Marxist Critique (Cambridge: Polity Press, 1989), 45–48.
[11]            
Slavoj Žižek, Living in the End Times
(London: Verso, 2010), 7–9; Antonio Negri and Michael Hardt, Empire
(Cambridge: Harvard University Press, 2000), 19–23.
[12]            
Maurizio Lazzarato, Immaterial Labor, in Radical
Thought in Italy: A Potential Politics, ed. Paolo Virno and Michael Hardt
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 133–136.
[13]            
Ibid., 140–142.
[14]            
Tiziana Terranova, Network Culture: Politics for
the Information Age (London: Pluto Press, 2004), 73–76.
[15]            
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature,
Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 89–91.
[16]            
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism
and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 33–36.
[17]            
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green
Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 52–56.
[18]            
Samir Amin, Accumulation on a World Scale: A
Critique of the Theory of Underdevelopment (New York: Monthly Review Press,
1974), 11–14.
[19]            
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I:
Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the
Sixteenth Century (New York: Academic Press, 1974), 88–91.
[20]            
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth (New
York: Grove Press, 1963), 65–68.
[21]            
Amílcar Cabral, Return to the Source: Selected
Speeches of Amílcar Cabral (New York: Monthly Review Press, 1973), 45–48.
[22]            
Gayatri Chakravorty Spivak, A Critique of
Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present (Cambridge:
Harvard University Press, 1999), 120–123.
[23]            
Mochtar Pabotinggi, Demokrasi dan Sosialisme di
Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1993), 41–44.
[24]            
Ariel Heryanto, Identity and Pleasure: The
Politics of Indonesian Screen Culture (Singapore: NUS Press, 2014), 25–28.
[25]            
Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New
Haven: Yale University Press, 2011), 82–85.
[26]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 2009), 47–50.
[27]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1984), 89–93.
8.          
Sintesis
Filosofis
8.1.      
Upaya Integratif: Dari
Dikotomi ke Dialektika
Pertentangan antara Kapitalisme dan Marxisme
dalam sejarah pemikiran ekonomi tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga
mencerminkan konflik nilai dan pandangan dunia. Kapitalisme menekankan
kebebasan dan kreativitas individu, sementara Marxisme menyoroti keadilan
sosial dan solidaritas kolektif.¹ Namun dalam konteks kontemporer, kedua sistem
ini tidak dapat dipertahankan dalam bentuk murninya; realitas ekonomi global
menuntut pendekatan dialektis dan sintesis etis yang melampaui oposisi
biner tersebut.²
Secara filosofis, sintesis ini dapat dipahami melalui
kerangka dialektika kritis—sebuah pendekatan yang berupaya
mempertahankan dinamika antara kebebasan individu dan struktur sosial.³ Dengan
mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem, sintesis filosofis ini
tidak berusaha meniadakan perbedaan, melainkan menempatkannya dalam kesalingtergantungan
reflektif. Kapitalisme tanpa koreksi sosial menjadi anarkis dan
eksploitatif, sedangkan Marxisme tanpa ruang bagi individu menjadi otoriter dan
stagnan.⁴ Oleh karena itu, filsafat ekonomi yang baru harus berupaya
menggabungkan etika kebebasan dan etika keadilan ke dalam satu
horizon praksis manusiawi.⁵
8.2.      
Ontologi Humanistik:
Manusia sebagai Makhluk Sosial-Kreatif
Sintesis ontologis antara Kapitalisme dan Marxisme dapat
dirumuskan melalui konsep “ontologi humanistik”, yaitu pemahaman tentang
manusia sebagai makhluk yang sekaligus bebas, rasional, dan sosial.⁶
Dari Kapitalisme, kita belajar bahwa kebebasan individu adalah kondisi dasar
bagi kreativitas dan inovasi; dari Marxisme, kita memahami bahwa kebebasan
sejati hanya bermakna dalam konteks keadilan sosial dan relasi kolektif yang
adil.⁷
Erich Fromm mengusulkan gagasan “humanisme radikal” yang mengintegrasikan dimensi
ekonomi dan etika.⁸ Bagi Fromm, masyarakat yang sehat bukanlah yang kaya secara
materi, melainkan yang memungkinkan individu untuk berkembang sebagai manusia
yang berdaya, berempati, dan kreatif.⁹ Dalam pengertian ini, ekonomi seharusnya
tidak lagi dipandang sebagai sistem mekanis produksi dan konsumsi, tetapi
sebagai ruang eksistensial di mana manusia menegaskan kemanusiaannya
melalui kerja, solidaritas, dan penciptaan makna.¹⁰
Ontologi humanistik ini juga menuntut redefinisi
konsep kerja: bukan sekadar aktivitas untuk bertahan hidup atau
mengakumulasi modal, melainkan ekspresi diri dan partisipasi dalam kehidupan
bersama.¹¹ Dengan demikian, realitas ekonomi ideal adalah yang memadukan
rasionalitas pasar dengan tujuan moral kemanusiaan—suatu bentuk ekonomi
bermakna (meaningful economy) yang menempatkan manusia, bukan modal, di
pusat sistem.¹²
8.3.      
Epistemologi Emansipatoris:
Rasionalitas sebagai Dialog
Dalam tataran epistemologis, sintesis filosofis
menuntut penggabungan antara rasionalitas instrumental kapitalisme dan
rasionalitas emansipatoris Marxisme.¹³ Jürgen Habermas mengembangkan
model communicative rationality, di mana kebenaran sosial tidak dicapai
melalui dominasi, melainkan melalui dialog intersubjektif yang terbuka
dan bebas dari paksaan.¹⁴
Dengan pendekatan ini, pasar dan negara tidak
dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebagai ruang
komunikasi sosial yang harus diatur oleh prinsip rasionalitas
komunikatif.¹⁵ Rasionalitas ekonomi—yang biasanya diukur melalui
efisiensi—harus dilengkapi dengan rasionalitas normatif, yaitu orientasi
terhadap kesepahaman dan keadilan sosial.¹⁶
Epistemologi emansipatoris ini membuka jalan bagi demokrasi
ekonomi, di mana pengetahuan ekonomi tidak lagi dimonopoli oleh teknokrat
atau korporasi, tetapi menjadi hasil deliberasi publik dan partisipasi
sosial.¹⁷ Dengan demikian, sintesis epistemologis ini menawarkan model baru
bagi ilmu ekonomi—sebuah ilmu yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga berkomitmen
untuk mengubahnya secara manusiawi.¹⁸
8.4.      
Etika Teleologis: Menuju
Ekonomi Humanistik dan Berkelanjutan
Sintesis etis antara Kapitalisme dan Marxisme
mengarah pada pembentukan etika teleologis, yakni sistem nilai yang
menilai tindakan ekonomi berdasarkan tujuannya bagi kemanusiaan.¹⁹ Etika ini
berupaya menjembatani dua kutub ekstrem: etika kebebasan (kapitalisme) dan
etika kesetaraan (Marxisme), melalui prinsip kebebasan dalam solidaritas.²⁰
Model etika ini sejalan dengan gagasan John
Rawls tentang justice as fairness dan Amartya Sen tentang capabilities
approach—bahwa keadilan sosial harus memungkinkan manusia untuk mewujudkan
potensi terbaiknya.²¹ Selain itu, dalam konteks krisis ekologis, etika ekonomi
juga harus mencakup dimensi keberlanjutan (sustainability).²² Hans
Jonas dalam The Imperative of Responsibility menegaskan bahwa
tindakan ekonomi etis adalah yang mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang
terhadap kehidupan manusia dan planet ini.²³
Dengan demikian, arah teleologis ekonomi tidak lagi
sekadar pertumbuhan atau redistribusi, tetapi pembentukan masyarakat yang
bermartabat, di mana kebebasan individu berpadu dengan tanggung jawab
sosial dan ekologis.²⁴ Sintesis etis ini menjadi dasar bagi visi “ekonomi
humanistik berkeadilan”, yaitu sistem yang mengintegrasikan kebebasan
pasar, demokrasi partisipatif, dan etika keberlanjutan dalam satu horizon moral
dan rasional.²⁵
8.5.      
Horizon Baru Filsafat
Ekonomi
Sintesis filosofis antara Kapitalisme dan Marxisme
membuka jalan bagi paradigma baru dalam filsafat ekonomi—sebuah humanisme
ekonomi reflektif yang menolak reduksionisme baik liberal maupun
materialis.²⁶ Paradigma ini menekankan bahwa ekonomi bukanlah tujuan, melainkan
sarana bagi pemenuhan kehidupan manusia yang bermakna dan berkeadilan.²⁷
Filsafat ekonomi kontemporer, dengan demikian,
harus berfungsi sebagai etika praktis global—memandu kebijakan publik,
teknologi, dan bisnis agar berorientasi pada martabat manusia serta kelestarian
bumi.²⁸ Dalam semangat dialektis, sintesis ini bukan akhir dari perdebatan,
tetapi permulaan dari refleksi baru tentang bagaimana manusia dapat
membangun sistem ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil, berempati,
dan berkelanjutan.²⁹
Footnotes
[1]               
Karl Polanyi, The Great Transformation: The
Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944),
35–39.
[2]               
Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New
Haven: Yale University Press, 2011), 90–92.
[3]               
Herbert Marcuse, Reason and Revolution
(London: Routledge, 1941), 205–208.
[4]               
Erich Fromm, The Sane Society (New York:
Rinehart, 1955), 75–78.
[5]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989),
313–316.
[6]               
Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New
York: Continuum, 1961), 45–48.
[7]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 77–79.
[8]               
Fromm, Marx’s Concept of Man, 56–59.
[9]               
Erich Fromm, To Have or To Be? (New York:
Harper & Row, 1976), 95–98.
[10]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 24–27.
[11]            
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 82–84.
[12]            
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago:
University of Chicago Press, 1958), 128–131.
[13]            
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–311.
[14]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 284–288.
[15]            
Ibid., 292–296.
[16]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
102–105.
[17]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 2009), 81–84.
[18]            
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 1970), 85–89.
[19]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 6–9.
[20]            
Erich Fromm, The Revolution of Hope (New
York: Harper & Row, 1968), 113–116.
[21]            
Rawls, A Theory of Justice, 84–86; Sen, The
Idea of Justice, 95–97.
[22]            
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism
and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 62–65.
[23]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
11–14.
[24]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
99–102.
[25]            
Amartya Sen, On Ethics and Economics
(Oxford: Basil Blackwell, 1987), 29–32.
[26]            
Charles Taylor, Modern Social Imaginaries
(Durham: Duke University Press, 2004), 145–148.
[27]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms
(Cambridge: MIT Press, 1996), 128–132.
[28]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University
Press, 2006), 283–286.
[29]            
Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age
of Globalization and Exclusion (Durham: Duke University Press, 2013),
57–60.
9.          
Kesimpulan
Kajian komparatif antara Kapitalisme dan
Marxisme menunjukkan bahwa keduanya bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan
dua pandangan dunia (worldview) yang berakar pada asumsi ontologis,
epistemologis, dan etis yang berbeda mengenai hakikat manusia dan masyarakat.
Kapitalisme berpijak pada ontologi individualisme, epistemologi
empiris-positivistik, dan etika kebebasan; sedangkan Marxisme bertumpu pada
ontologi materialisme historis, epistemologi dialektis-kritis, dan etika
keadilan sosial.¹
Secara ontologis, Kapitalisme melihat
realitas sosial sebagai hasil interaksi bebas individu-individu rasional,
sedangkan Marxisme memandangnya sebagai struktur historis yang terbentuk oleh
relasi produksi dan kekuasaan kelas.² Kedua pendekatan ini menyingkap dua sisi
eksistensi manusia: kebebasan personal dan determinasi sosial. Sintesis di
antara keduanya diperlukan agar filsafat ekonomi tidak terjebak dalam
reduksionisme—baik liberal yang menafikan struktur, maupun materialis yang
meniadakan kebebasan.³
Dari segi epistemologi, Kapitalisme
mengandalkan rasionalitas instrumental yang mengukur pengetahuan dari efisiensi
dan manfaat praktis, sementara Marxisme mengusung rasionalitas emansipatoris
yang menilai pengetahuan dari potensinya membebaskan manusia dari alienasi dan
penindasan.⁴ Namun dalam era digital dan globalisasi, keduanya perlu
disintesiskan melalui rasionalitas komunikatif (Habermas), di mana
pengetahuan ekonomi dipahami sebagai hasil dialog sosial yang etis dan
partisipatif.⁵ Dengan demikian, kebenaran ekonomi tidak hanya diuji oleh
keberhasilannya secara teknis, tetapi juga oleh kontribusinya terhadap
kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.⁶
Dalam dimensi etika dan aksiologi,
Kapitalisme menempatkan kebebasan dan efisiensi sebagai nilai utama, sedangkan Marxisme
mengutamakan kesetaraan dan solidaritas.⁷ Kedua sistem memiliki daya normatif
yang saling melengkapi: kebebasan tanpa keadilan melahirkan eksklusi, sedangkan
keadilan tanpa kebebasan melahirkan stagnasi.⁸ Sintesis etis diperlukan dalam
bentuk etika teleologis humanistik, yaitu sistem nilai yang menilai
tindakan ekonomi dari tujuannya terhadap kemanusiaan dan keberlanjutan
ekologis.⁹
Relevansi kontemporer dari sintesis ini terlihat
dalam kebutuhan akan ekonomi humanistik dan berkelanjutan—suatu model
yang menggabungkan dinamika inovatif kapitalisme dengan visi sosial Marxisme.¹⁰
Filsafat ekonomi di abad ke-21 menuntut keberanian untuk melampaui ideologi
menuju rasionalitas reflektif dan praksis etis.¹¹ Seperti ditegaskan
oleh Amartya Sen, kebebasan ekonomi sejati bukan hanya kemampuan untuk memilih,
tetapi juga kapasitas untuk hidup bermakna dalam tatanan sosial yang
adil.¹²
Oleh karena itu, kesimpulan filosofis dari kajian
ini adalah bahwa masa depan ekonomi manusia tidak dapat dibangun di atas dogma
pasar atau revolusi, melainkan melalui transformasi reflektif yang
menggabungkan rasionalitas, moralitas, dan tanggung jawab ekologis.¹³ Kapitalisme
dan Marxisme, jika dibaca secara dialektis, bukanlah musuh abadi, melainkan dua
kutub yang saling menegur dalam pencarian universal akan kehidupan yang
lebih adil, bebas, dan manusiawi.¹⁴
Footnotes
[1]               
Karl Polanyi, The Great Transformation: The
Political and Economic Origins of Our Time (Boston: Beacon Press, 1944),
41–44.
[2]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
47–49.
[3]               
Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New
York: Continuum, 1961), 55–57.
[4]               
Karl Marx, A Contribution to the Critique of
Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr &
Company, 1904), 12–15.
[5]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 284–287.
[6]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms
(Cambridge: MIT Press, 1996), 128–131.
[7]               
Milton Friedman, Capitalism and Freedom
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 9–11.
[8]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 84–86.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 6–9.
[10]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 73–76.
[11]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
101–104.
[12]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 2009), 25–28.
[13]            
Charles Taylor, Modern Social Imaginaries
(Durham: Duke University Press, 2004), 145–148.
[14]            
Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age
of Globalization and Exclusion (Durham: Duke University Press, 2013),
60–63.
Daftar Pustaka 
Amin, S. (1974). Accumulation on a world scale:
A critique of the theory of underdevelopment. Monthly Review Press.
Arendt, H. (1958). The human condition.
University of Chicago Press.
Bentham, J. (1789). An introduction to the
principles of morals and legislation. T. Payne.
Bernstein, E. (1961). Evolutionary socialism.
Schocken Books.
Bourdieu, P. (1998). Acts of resistance: Against
the tyranny of the market. The New Press.
Braudel, F. (1982). The wheels of commerce
(S. Reynolds, Trans.). University of California Press.
Burkett, P. (1999). Marx and nature: A red and
green perspective. St. Martin’s Press.
Cabral, A. (1973). Return to the source:
Selected speeches of Amílcar Cabral. Monthly Review Press.
Callinicos, A. (1989). Against postmodernism: A
Marxist critique. Polity Press.
Cohen, G. A. (1978). Karl Marx’s theory of
history: A defence. Clarendon Press.
Dussel, E. (2013). Ethics of liberation in the
age of globalization and exclusion. Duke University Press.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction.
Verso.
Eagleton, T. (1997). Marx and freedom.
Phoenix Press.
Eagleton, T. (2011). Why Marx was right.
Yale University Press.
Fanon, F. (1963). The wretched of the earth.
Grove Press.
Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology:
Materialism and nature. Monthly Review Press.
Foster, J. B., & Burkett, P. (2016). Marx
and the earth: An anti-critique. Brill.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed.
Continuum.
Friedman, M. (1953). Essays in positive
economics. University of Chicago Press.
Friedman, M. (1962). Capitalism and freedom.
University of Chicago Press.
Fromm, E. (1955). The sane society.
Rinehart.
Fromm, E. (1961). Marx’s concept of man.
Continuum.
Fromm, E. (1968). The revolution of hope.
Harper & Row.
Fromm, E. (1976). To have or to be? Harper
& Row.
Gramsci, A. (1971). Selections from the prison
notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Trans.). International Publishers.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vols. 1–2). Beacon Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms.
MIT Press.
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism
and new technologies of power. Verso.
Harvey, D. (1982). The limits to capital.
Verso.
Harvey, D. (2005). A brief history of
neoliberalism. Oxford University Press.
Harvey, D. (2014). Seventeen contradictions and
the end of capitalism. Oxford University Press.
Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom.
Routledge.
Hayek, F. A. (1945). The use of knowledge in
society. American Economic Review, 35(4), 519–530.
Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty.
University of Chicago Press.
Heryanto, A. (2014). Identity and pleasure: The
politics of Indonesian screen culture. NUS Press.
Hobsbawm, E. (1994). The age of extremes: The
short twentieth century, 1914–1991. Michael Joseph.
Honneth, A. (2014). Freedom’s right: The social
foundations of democratic life. Columbia University Press.
Horkheimer, M. (1947). Eclipse of reason.
Oxford University Press.
Jackson, T. (2009). Prosperity without growth:
Economics for a finite planet. Earthscan.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Kołakowski, L. (1978). Main currents of Marxism:
Its origins, growth and dissolution (Vol. 3). Oxford University Press.
Laclau, E., & Mouffe, C. (1985). Hegemony
and socialist strategy. Verso.
Lazzarato, M. (1996). Immaterial labor. In P. Virno
& M. Hardt (Eds.), Radical thought in Italy: A potential politics
(pp. 133–147). University of Minnesota Press.
Locke, J. (1690). Two treatises of government.
Awnsham Churchill.
Lukács, G. (1971). History and class
consciousness (R. Livingstone, Trans.). MIT Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge. University of Minnesota Press.
Marcuse, H. (1941). Reason and revolution.
Routledge.
Marcuse, H. (1955). Eros and civilization.
Beacon Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man.
Beacon Press.
Marx, K. (1904). A contribution to the critique
of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr & Company.
Marx, K. (1959). Economic and philosophic
manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Progress Publishers.
Marx, K. (1867). Capital: Volume I. Otto
Meissner Verlag.
Marx, K. (1978). Theses on Feuerbach. In R. C.
Tucker (Ed.), The Marx-Engels reader (pp. 143–145). W. W. Norton.
Marx, K., & Engels, F. (1848). Manifesto of
the Communist Party. Penguin Classics.
Marx, K., & Engels, F. (1970). The German
ideology (C. J. Arthur, Trans.). International Publishers.
Mill, J. S. (1848). Principles of political
economy. John W. Parker.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
Basic Books.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Pabotinggi, M. (1993). Demokrasi dan sosialisme
di Indonesia. LP3ES.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Polanyi, K. (1944). The great transformation:
The political and economic origins of our time. Beacon Press.
Popper, K. R. (1945). The open society and its
enemies (Vol. 2). Routledge.
Popper, K. R. (1957). The poverty of historicism.
Routledge.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Robbins, L. (1932). An essay on the nature and
significance of economic science. Macmillan.
Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics:
Nature, Marx and the postmodern. Zed Books.
Sandel, M. (2012). What money can’t buy: The
moral limits of markets. Farrar, Straus and Giroux.
Sen, A. (1987). On ethics and economics.
Basil Blackwell.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Smith, A. (1759). The theory of moral sentiments.
A. Millar.
Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and
causes of the wealth of nations. W. Strahan and T. Cadell.
Spivak, G. C. (1999). A critique of postcolonial
reason: Toward a history of the vanishing present. Harvard University
Press.
Srnicek, N. (2017). Platform capitalism.
Polity Press.
Stiglitz, J. E. (2010). Freefall: America, free
markets, and the sinking of the world economy. W. W. Norton.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (2004). Modern social imaginaries.
Duke University Press.
Terranova, T. (2004). Network culture: Politics
for the information age. Pluto Press.
Weber, M. (1930). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Allen & Unwin.
Wallerstein, I. (1974). The modern world-system
I: Capitalist agriculture and the origins of the European world-economy in the
sixteenth century. Academic Press.
Žižek, S. (1989). The sublime object of ideology.
Verso.
Žižek, S. (2010). Living in the end times.
Verso.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar