Ekologisme
Etika, Keadilan, dan Transformasi Peradaban
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ekologisme
sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik kontemporer yang
menawarkan paradigma baru bagi hubungan antara manusia, masyarakat, dan alam.
Kajian ini menelusuri landasan historis, ontologis, epistemologis, etis,
sosial, dan politik dari Ekologisme, sekaligus mengulas berbagai kritik
dan tantangan terhadapnya dalam konteks global modern. Berawal dari
kesadaran akan krisis ekologis planet yang bersumber pada antroposentrisme dan
kapitalisme industrial, Ekologisme berkembang sebagai gerakan filosofis yang
menggabungkan ilmu, etika, dan politik menuju visi keadilan ekologis dan
keberlanjutan planetar.
Secara ontologis, Ekologisme menolak dualisme
manusia–alam dan menggantikannya dengan pandangan kosmosentris yang
menempatkan kehidupan sebagai jaringan interdependen. Secara epistemologis, ia
mengedepankan pengetahuan relasional dan partisipatif yang melibatkan
keterlibatan moral dalam memahami realitas ekologis. Dalam ranah etika dan
aksiologi, Ekologisme menegaskan prinsip tanggung jawab lintas generasi,
menempatkan kehidupan sebagai nilai intrinsik tertinggi. Sementara dalam ranah
sosial-politik, ia mendorong pembentukan demokrasi ekologis, kewargaan
ekologis, dan negara hijau (Green State) sebagai bentuk
institusional dari tanggung jawab ekologis kolektif.
Selain itu, artikel ini menguraikan relevansi
kontemporer Ekologisme di era Antroposen, ketika manusia menjadi kekuatan
geologis yang mengancam keberlanjutan bumi. Dalam konteks global, Ekologisme
menentang ketimpangan ekologis antara Utara–Selatan, kolonialisme hijau, serta
logika kapitalisme hijau yang masih berorientasi pada pertumbuhan. Ia
menawarkan visi alternatif berupa paradigma keberlanjutan yang adil,
berbasis solidaritas, kebijaksanaan ekologis, dan transformasi kesadaran
manusia.
Pada akhirnya, Ekologisme dipahami sebagai filsafat
kehidupan dan harapan, yang mengintegrasikan dimensi ilmiah, moral, dan
spiritual menuju peradaban baru yang selaras dengan bumi. Ia menegaskan bahwa
krisis ekologis tidak hanya menuntut perubahan teknologi, tetapi juga revolusi
kesadaran tentang tempat manusia dalam kosmos. Dengan demikian, Ekologisme
hadir bukan sekadar sebagai ideologi hijau, melainkan sebagai proyek
etis-filosofis global bagi masa depan kehidupan di planet ini.
Kata Kunci: Ekologisme; filsafat sosial-politik; keadilan
ekologis; demokrasi ekologis; etika lingkungan; Antroposen; tanggung jawab
ekologis; keberlanjutan planetar.
PEMBAHASAN
Ekologisme sebagai Paradigma Filsafat Sosial-Politik
1.          
Pendahuluan
Krisis ekologis global dewasa ini merupakan salah
satu tantangan terbesar bagi peradaban manusia modern. Perubahan iklim,
deforestasi, polusi industri, hilangnya keanekaragaman hayati, serta
eksploitasi sumber daya alam secara masif telah menimbulkan ketidakseimbangan
ekologis yang berdampak luas terhadap sistem sosial, ekonomi, dan politik
dunia. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis lingkungan, melainkan juga
mencerminkan krisis nilai, moral, dan paradigma berpikir manusia tentang
relasinya dengan alam. Dalam konteks inilah muncul Ekologisme, suatu
aliran dalam filsafat sosial-politik yang berupaya mengubah secara radikal cara
manusia memahami dan menata hubungan antara dirinya, masyarakat, dan alam
semesta.
Secara historis, munculnya Ekologisme dapat
ditelusuri pada perkembangan pemikiran lingkungan sejak pertengahan abad ke-20,
terutama setelah publikasi karya Rachel Carson Silent Spring (1962),
yang menandai titik balik kesadaran ekologis global terhadap bahaya degradasi
lingkungan akibat modernisasi dan industrialisasi tanpa batas.¹ Gerakan
lingkungan yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa pada dekade
1960–1970-an melahirkan kesadaran baru bahwa sistem ekonomi kapitalistik dan
pandangan dunia antroposentris menjadi penyebab utama kerusakan ekologis.²
Dalam ranah filsafat sosial-politik, kesadaran ini bertransformasi menjadi
kritik terhadap ideologi modern seperti liberalisme dan sosialisme, yang
dinilai sama-sama menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu,
mengabaikan nilai intrinsik alam.³
Ekologisme hadir sebagai paradigma baru yang
menolak antroposentrisme dan menggantinya dengan pandangan ekosentris,
yakni pandangan bahwa seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis memiliki nilai
moral dan keberhakan eksistensial yang sama.⁴ Dengan demikian, Ekologisme tidak
hanya mempersoalkan bagaimana manusia memanfaatkan alam, tetapi juga menegaskan
pentingnya keadilan ekologis — termasuk bagi generasi mendatang dan bagi
makhluk hidup non-manusia.⁵ Prinsip ini menuntut transformasi etika,
epistemologi, dan politik agar lebih selaras dengan tatanan ekologis, bukan
sekadar kepentingan ekonomi dan kekuasaan manusia.
Dalam konteks filsafat sosial-politik, Ekologisme
memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana konsep keadilan, kebebasan, dan
tanggung jawab dapat didefinisikan ulang dalam kerangka hubungan ekologis yang
saling tergantung?⁶ Jika dalam paradigma modern, keadilan sering dipahami
sebagai relasi antarindividu dalam masyarakat, maka dalam paradigma ekologis,
keadilan harus diperluas menjadi keadilan ekologis (ecological justice)
yang mencakup relasi antara manusia, makhluk hidup lainnya, dan lingkungan
alam.⁷ Demikian pula, kebebasan tidak lagi dimaknai sebagai dominasi manusia
atas alam, melainkan sebagai kemampuan manusia untuk hidup dalam harmoni dan
kesalingtergantungan ekologis.
Secara normatif, Ekologisme juga menantang tatanan
politik dan ekonomi global yang masih berorientasi pada pertumbuhan tanpa
batas. Murray Bookchin, melalui konsep social ecology, menegaskan bahwa
krisis ekologis berakar pada struktur sosial yang hierarkis dan eksploitatif.⁸
Oleh karena itu, penyelesaian krisis ekologis tidak cukup hanya melalui
reformasi teknologi atau kebijakan lingkungan, tetapi membutuhkan perubahan
struktural menuju tatanan sosial yang egaliter, partisipatif, dan berkeadilan
ekologis.⁹
Selain itu, Ekologisme mengandung dimensi moral
yang mendalam. Hans Jonas dalam karyanya The Imperative of Responsibility
(1979) menekankan pentingnya etika tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan
di bumi.¹⁰ Manusia, menurut Jonas, memiliki kewajiban moral untuk bertindak
secara bertanggung jawab terhadap keberlanjutan biosfer karena kapasitas
teknologinya yang dapat memusnahkan kehidupan.¹¹ Dengan demikian, Ekologisme
bukan hanya ideologi politik, tetapi juga filsafat moral dan eksistensial yang
mengubah relasi manusia dengan dunia secara fundamental.
Tujuan utama kajian ini adalah untuk menelaah
Ekologisme sebagai paradigma dalam filsafat sosial-politik yang menawarkan
fondasi baru bagi keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab ekologis. Artikel ini
akan menguraikan landasan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis
Ekologisme, serta menganalisis implikasi sosial dan politiknya dalam konteks
kontemporer. Dengan pendekatan filosofis yang sistematis dan kritis, kajian ini
berupaya menunjukkan bahwa Ekologisme bukan sekadar reaksi terhadap krisis
lingkungan, tetapi juga merupakan proyek filosofis yang menuntut revolusi nilai
dan paradigma dalam peradaban manusia.¹²
Footnotes
[1]               
Rachel Carson, Silent Spring (Boston:
Houghton Mifflin, 1962), 45.
[2]               
Andrew Dobson, Green Political Thought
(London: Routledge, 2007), 3–5.
[3]               
John Barry, Environment and Social Theory
(London: Routledge, 1999), 21.
[4]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–30.
[5]               
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 15.
[6]               
Brian Baxter, Ecologism: An Introduction
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 42.
[7]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 4–7.
[8]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 12.
[9]               
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 18–20.
[10]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 121.
[11]            
Ibid., 127.
[12]            
Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy
and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship
(London: Routledge, 1996), 10.
2.          
Landasan
Historis dan Konseptual Ekologisme
Pemikiran ekologis modern memiliki akar sejarah
yang panjang, mencakup perkembangan ide-ide tentang hubungan manusia dengan
alam sejak zaman Yunani kuno hingga munculnya gerakan lingkungan pada abad
ke-20. Dalam konteks filsafat sosial-politik, Ekologisme tidak hanya
muncul sebagai respons terhadap krisis lingkungan modern, tetapi juga sebagai
bentuk kritik terhadap paradigma rasionalitas dan modernitas yang menempatkan
manusia sebagai pusat dan penguasa atas alam.¹ Dengan demikian, untuk memahami
Ekologisme secara komprehensif, perlu ditelusuri landasan historis dan
konseptualnya—baik dari segi evolusi ide maupun pergeseran paradigma filosofis
yang melatarbelakanginya.
2.1.      
Akar Historis Pemikiran Ekologis
Pemikiran yang mengandung semangat ekologis
sebenarnya telah hadir dalam berbagai tradisi filsafat dan kebudayaan kuno.
Filsafat Yunani klasik, misalnya, telah mengenal gagasan tentang kosmos
sebagai tatanan alam yang harmonis. Tokoh seperti Herakleitos melihat alam
sebagai satu kesatuan yang dinamis diatur oleh logos, yakni prinsip
keteraturan dan perubahan yang menyatukan semua unsur kehidupan.² Demikian
pula, tradisi Timur seperti Taoisme dan Buddhisme mengajarkan keseimbangan
antara manusia dan alam semesta, menekankan prinsip wu wei (bertindak
selaras dengan alam) dan pratītya-samutpāda (ketergantungan timbal
balik).³
Namun, sejak Revolusi Ilmiah pada abad ke-17,
pandangan dunia yang holistik ini mulai tergantikan oleh paradigma
mekanistik dan dualistik yang diperkenalkan oleh filsuf seperti René
Descartes dan Francis Bacon.⁴ Alam direduksi menjadi objek material yang dapat
dikendalikan dan dieksploitasi melalui sains dan teknologi. Hal ini menandai
munculnya antroposentrisme modern, di mana manusia dipandang sebagai
subjek rasional yang terpisah dan superior terhadap alam.⁵ Dalam konteks ini,
Ekologisme dapat dilihat sebagai reaksi filosofis terhadap dampak-dampak
destruktif dari paradigma modernitas tersebut.
Kesadaran ekologis mulai bangkit kembali pada abad
ke-19 melalui tulisan-tulisan tokoh seperti Henry David Thoreau dan John
Muir di Amerika Serikat, yang mengajukan gagasan spiritualitas alam dan
nilai intrinsik lingkungan.⁶ Pemikiran ini kemudian berkembang dalam gerakan conservation
dan preservation yang menjadi cikal bakal munculnya gerakan lingkungan
modern. Namun, titik balik yang menentukan bagi kesadaran ekologis global
terjadi pada abad ke-20, terutama setelah publikasi karya Rachel Carson Silent
Spring (1962), yang membuka mata dunia terhadap dampak ekologis dari pestisida
dan industrialisasi.⁷
2.2.      
Transformasi Menuju Paradigma
Ekologisme
Gerakan lingkungan yang muncul pada dekade
1960–1970-an melahirkan apa yang disebut sebagai “revolusi hijau” dalam
pemikiran politik”, ketika isu lingkungan mulai dikaitkan dengan struktur ekonomi,
kekuasaan, dan keadilan sosial.⁸ Dalam konteks ini, istilah Ecologism
pertama kali digunakan secara sistematis oleh Andrew Dobson untuk membedakan
antara environmentalism (pendekatan reformis) dan ecologism
(pendekatan filosofis-radikal).⁹ Environmentalism lebih menekankan solusi
teknis terhadap masalah lingkungan—misalnya pengelolaan sumber daya dan
pengurangan polusi—sedangkan Ecologism menuntut perubahan paradigma yang
menyentuh akar moral, politik, dan epistemologis dari hubungan manusia dengan
alam.¹⁰
Secara konseptual, Ekologisme berlandaskan pada
pandangan ekosentrisme (ecocentrism), yang memandang alam bukan sekadar
sarana bagi manusia, melainkan komunitas kehidupan yang memiliki nilai
intrinsik.¹¹ Prinsip ini menolak pandangan antroposentrisme
(anthropocentrism), yaitu keyakinan bahwa manusia adalah pusat moralitas dan
tujuan akhir dari semua tindakan.¹² Dalam paradigma ekosentris, manusia
hanyalah salah satu unsur dari jaringan kehidupan yang saling bergantung, dan
karenanya memiliki tanggung jawab moral terhadap kelestarian sistem ekologis
secara keseluruhan.
Pemikiran ini diperkaya oleh berbagai aliran
turunan, seperti deep ecology yang dikembangkan oleh Arne Naess, yang
menekankan perubahan kesadaran diri ekologis (ecological self), serta social
ecology yang dirintis oleh Murray Bookchin, yang mengaitkan krisis ekologis
dengan struktur sosial hierarkis dan dominasi manusia atas manusia lainnya.¹³
Selain itu, eco-feminism yang dipelopori oleh Vandana Shiva dan Val
Plumwood menunjukkan adanya keterkaitan antara penindasan terhadap alam dan
patriarki dalam sistem sosial modern.¹⁴ Ketiga pendekatan ini memperluas
horizon Ekologisme sebagai filsafat sosial-politik yang tidak hanya membela
alam, tetapi juga menyerukan emansipasi ekologis yang meliputi keadilan
sosial dan moralitas lintas spesies.
2.3.      
Ekologisme sebagai Paradigma
Filsafat Sosial-Politik
Dalam konteks filsafat sosial-politik, Ekologisme
merupakan kritik terhadap seluruh sistem nilai modern yang berbasis pada
pertumbuhan ekonomi tanpa batas dan penguasaan terhadap alam. Ia mengusulkan
suatu tatanan normatif baru yang berorientasi pada keberlanjutan,
keseimbangan, dan keadilan ekologis.¹⁵ Pemikiran ini menuntut redefinisi konsep
politik tradisional seperti kebebasan, keadilan, dan hak, agar tidak lagi
terbatas pada relasi antarindividu, tetapi juga mencakup relasi ekologis.¹⁶
Keadilan dalam perspektif Ekologisme tidak hanya
berarti distribusi sumber daya secara adil antar manusia, melainkan juga
penghormatan terhadap hak-hak makhluk hidup lain serta tanggung jawab terhadap
generasi mendatang.¹⁷ Hal ini melahirkan konsep keadilan ekologis
(ecological justice) dan demokrasi ekologis (ecological democracy)
yang menempatkan partisipasi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan sebagai
fondasi politik baru.¹⁸
Dengan demikian, Ekologisme dapat dipahami sebagai sintesis
antara filsafat moral, politik, dan ekologi, yang berupaya mengembalikan
manusia ke dalam kesatuan kosmis yang lebih luas. Ia bukan hanya gerakan etis,
tetapi juga proyek peradaban baru yang berakar pada kesadaran ekologis sebagai
landasan bagi masa depan sosial-politik umat manusia.¹⁹
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th
ed. (London: Routledge, 2007), 2.
[2]               
Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson
(Toronto: University of Toronto Press, 1987), 45.
[3]               
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston:
Shambhala, 1975), 101–104.
[4]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 35–38.
[5]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 41.
[6]               
Henry David Thoreau, Walden; or, Life in the
Woods (Boston: Ticknor and Fields, 1854), 67.
[7]               
Rachel Carson, Silent Spring (Boston:
Houghton Mifflin, 1962), 15.
[8]               
John Barry, Environment and Social Theory
(London: Routledge, 1999), 18.
[9]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 8.
[10]            
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 12.
[11]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28.
[12]            
Bryan Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 22.
[13]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 31–33.
[14]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 4–6; Vandana Shiva, Staying Alive: Women,
Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 7.
[15]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 23–26.
[16]            
Brian Baxter, Ecologism: An Introduction
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 42.
[17]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions
of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 7.
[18]            
Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy
and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship
(London: Routledge, 1996), 12.
[19]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 130.
3.          
Ontologi
Ekologisme
Ontologi ekologisme berangkat dari pandangan dasar bahwa
realitas bukan sekadar kumpulan benda-benda yang terpisah, melainkan
suatu jaringan kehidupan yang saling terhubung secara dinamis dan organis.
Berbeda dari ontologi mekanistik yang lahir dari filsafat modern dan melihat
alam sebagai mesin yang dapat direduksi menjadi bagian-bagian terpisah,
ontologi ekologis memandang keberadaan sebagai relasi, bukan substansi.¹
Dengan kata lain, yang primer bukanlah entitas individual, melainkan keterhubungan
antar-entitas yang membentuk ekosistem kehidupan secara keseluruhan.
3.1.      
Alam sebagai Kesatuan Organis dan
Relasional
Dalam kerangka ekologisme, alam dipahami sebagai organisme
hidup (living organism) yang memiliki nilai dan kehendak intrinsik.²
Pemikiran ini sejalan dengan pandangan ekosentris Arne Naess, yang menolak
dualisme antara manusia dan alam.³ Naess menegaskan bahwa semua makhluk hidup
memiliki hak untuk hidup dan berkembang sesuai dengan potensinya, terlepas dari
manfaatnya bagi manusia. Oleh karena itu, ontologi ekologisme menolak gagasan
antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa atas
realitas.
Ontologi ini berpijak pada kesadaran bahwa setiap
unsur alam memiliki nilai intrinsik (intrinsic value), bukan semata nilai
instrumental.⁴ Dalam ekosistem, tidak ada hierarki moral absolut antara manusia
dan makhluk lain; semua entitas eksis dalam hubungan saling ketergantungan
(interdependensi) yang membentuk keseimbangan ekologis. Murray Bookchin
menggambarkan hal ini sebagai “komunitas kehidupan” (community of
life) di mana manusia hanyalah salah satu anggota di dalamnya, bukan
pemegang otoritas tertinggi.⁵
Dengan demikian, realitas ekologis bersifat holistik
dan relasional, di mana keberadaan suatu makhluk tidak dapat dipahami tanpa
mempertimbangkan konteks ekologisnya. Fritjof Capra menjelaskan bahwa dalam
paradigma ekologi, dunia tidak lagi dipahami sebagai mesin Newtonian, tetapi
sebagai jaringan (web of life) yang terus berubah dan saling
memengaruhi.⁶ Alam bukanlah objek mati, melainkan sistem kompleks yang memiliki
autopoiesis—kemampuan mengatur dan mempertahankan dirinya secara
mandiri.⁷
3.2.      
Penolakan terhadap Dualisme dan
Reduksionisme Modern
Ontologi ekologisme secara eksplisit mengkritik dualitas
ontologis yang diwariskan oleh filsafat Barat modern, terutama dikotomi
subjek–objek, manusia–alam, dan budaya–materi.⁸ Dualisme ini, sebagaimana
dijelaskan oleh Carolyn Merchant, telah menempatkan alam sebagai entitas pasif
yang tunduk pada eksploitasi ilmiah dan ekonomi.⁹ Dalam tradisi Descartesian,
alam direduksi menjadi materi tanpa jiwa, sementara manusia dipandang sebagai
satu-satunya makhluk rasional yang memiliki kesadaran dan nilai moral.
Ekologisme membalik asumsi tersebut dengan
menegaskan bahwa kesadaran dan kehidupan bukan monopoli manusia,
melainkan dimensi ontologis yang melintasi seluruh eksistensi. Val Plumwood
menyebut bahwa cara berpikir dualistik ini melahirkan logic of domination—logika
penaklukan yang tidak hanya menindas alam, tetapi juga perempuan dan kelompok
tertindas lainnya.¹⁰ Ontologi ekologis, sebaliknya, menekankan logic of
mutuality, yaitu prinsip kesalinghubungan dan keterlibatan antar semua
bentuk kehidupan.¹¹
Dengan menghapus dikotomi antara subjek dan objek,
ekologisme menggeser posisi manusia dari pengamat pasif menjadi bagian
integral dari sistem kehidupan. Manusia bukan penguasa yang berdiri di luar
alam, melainkan makhluk ekologis yang eksistensinya bergantung pada keselamatan
dan keseimbangan ekosistem.¹² Hal ini menciptakan dasar moral baru bahwa segala
tindakan manusia terhadap alam memiliki konsekuensi ontologis dan etis yang tak
terpisahkan.
3.3.      
Realitas sebagai Jaringan
Interdependensi dan Proses
Ontologi ekologisme juga menolak pandangan
substansialis yang melihat realitas sebagai sesuatu yang tetap dan statis.
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa realitas bersifat prosesual dan saling
terkait. Alfred North Whitehead dalam Process and Reality menekankan
bahwa semua entitas eksis melalui hubungan dan proses aktualisasi bersama—suatu
gagasan yang kemudian menginspirasi banyak pemikir ekologi.¹³ Dalam konteks
ini, keberadaan bukanlah “ada” yang diam, melainkan “menjadi”
yang terus bergerak dalam keseimbangan dinamis.
Pandangan ini memperluas pemahaman ontologis bahwa
kehidupan tidak dapat dipahami sebagai sekadar kumpulan organisme, tetapi
sebagai proses ko-evolusioner di mana manusia dan alam saling
membentuk.¹⁴ Dalam perspektif ekosistemik, setiap tindakan manusia—baik
politik, ekonomi, maupun budaya—merupakan bagian dari jaringan sebab-akibat
ekologis yang lebih luas.¹⁵ Dengan demikian, ontologi ekologisme menegaskan
bahwa tanggung jawab ekologis bukan hanya kewajiban moral, melainkan
keniscayaan ontologis: manusia bertanggung jawab karena ia ada di dalam
dan melalui alam.¹⁶
3.4.      
Implikasi Ontologis terhadap
Eksistensi Manusia
Implikasi ontologis dari ekologisme sangat mendalam
bagi pemahaman eksistensi manusia. Bila dalam ontologi modern manusia
didefinisikan melalui kesadaran dan rasionalitasnya yang terpisah dari dunia
material, maka dalam ekologisme manusia didefinisikan oleh relasi
ekologisnya.¹⁷ Eksistensi manusia tidak memiliki makna terlepas dari
keseluruhan ekosistem. Hal ini melahirkan konsep “diri ekologis” (ecological
self), yaitu kesadaran bahwa identitas manusia terbentuk melalui
keterhubungan dengan makhluk hidup lain dan lingkungan alam.¹⁸
Dengan demikian, ontologi ekologisme membuka jalan
bagi transformasi cara berpikir manusia tentang makna keberadaan, nilai, dan
tanggung jawab. Ia bukan hanya kerangka teoritis, melainkan juga dasar
filosofis bagi etika tanggung jawab ekologis dan politik
keberlanjutan.¹⁹ Dalam pandangan ini, mempertahankan keseimbangan alam
bukan semata tindakan moral, tetapi bagian dari mempertahankan keberadaan
manusia itu sendiri.²⁰
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th
ed. (London: Routledge, 2007), 10.
[2]               
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on
Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 24.
[3]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 29.
[4]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 22–24.
[5]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 34–35.
[6]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28.
[7]               
Humberto Maturana and Francisco Varela, Autopoiesis
and Cognition: The Realization of the Living (Dordrecht: D. Reidel, 1980),
75.
[8]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 54.
[9]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 41–43.
[10]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 2–4.
[11]            
Ibid., 7.
[12]            
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 33.
[13]            
Alfred North Whitehead, Process and Reality: An
Essay in Cosmology (New York: Free Press, 1978), 88–90.
[14]            
Brian Baxter, Ecologism: An Introduction
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 44.
[15]            
John Barry, Environment and Social Theory
(London: Routledge, 1999), 23–25.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 120–123.
[17]            
Murray Bookchin, The Philosophy of Social
Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 19.
[18]            
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[19]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 29.
[20]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 14.
4.          
Epistemologi
dan Etika Ekologis
Bagian ini membahas bagaimana pengetahuan tentang
alam dihasilkan, divalidasi, dan digunakan (epistemologi), serta bagaimana
pengetahuan tersebut menuntun tindakan moral terhadap manusia–alam (etika).
Dalam Ekologisme, epistemologi dan etika saling menembus: cara kita mengetahui
alam memengaruhi cara kita berbuat terhadapnya, dan komitmen etis kita
membentuk apa yang kita anggap sebagai bukti yang relevan dan cara
mengevaluasinya.¹
4.1.      
Sumber dan Validasi Pengetahuan
Ekologis
a.                 
Ilmu ekologi dan kompleksitas. 
Ekologisme mengandalkan ilmu ekologi kontemporer
yang menekankan keterhubungan dan dinamika nonlinier pada
sistem-sistem hidup. Capra menunjukkan bahwa paradigma “jaringan kehidupan”
menggantikan metafora mesin Newtonian: unit dasar bukanlah partikel terisolasi,
melainkan relasi dan pola-pola organisasi.² Konsep ketahanan
(resilience) menegaskan bahwa ekosistem mempertahankan fungsi melalui
perubahan dan gangguan—karena itu, pengetahuan ekologis harus peka terhadap
ambang kritis dan tipping points.³ Validasi pengetahuan karenanya tidak
hanya melalui eksperimen terkontrol, tetapi juga pemodelan sistem dan observasi
jangka panjang lintas skala ruang–waktu.⁴
b.                 
Pengetahuan ekologis tradisional (TEK). 
Ekologisme menilai kearifan lokal dan
praktik komunitas adat sebagai sumber insight tentang pola siklus,
kebertahanan, dan batas ekologis. Berkes menunjukkan bahwa TEK menyatukan
observasi empiris, nilai-nilai normatif, dan praktik adaptif yang terbukti
dalam jangka panjang.⁵ Dengan demikian, validasi tidak semata “objektivitas
netral,” melainkan kecocokan praksis: apakah suatu pengetahuan
menopang keberlanjutan sosial–ekologis dalam jangka panjang.⁶
c.                  
Fenomenologi dan pengalaman ekologis. 
Mengikuti Merleau-Ponty, pengalaman
tubuh-yang-mengada-di-dunia mengoreksi jarak epistemik modern antara
subjek–objek.⁷ Abram memperlihatkan bahwa persepsi ekologis—kepekaan
terhadap tempat (place) dan komunitas lebih-dari-manusia—membuka akses
ke dimensi makna yang hilang dalam reduksionisme.⁸
d.                 
Sains pasca-normal dan pengetahuan tersituasi. 
Ketika “fakta tak pasti, nilai dipertaruhkan,
taruhannya tinggi, dan keputusan mendesak,” Funtowicz dan Ravetz
menganjurkan post-normal science: memperluas komunitas penilai (termasuk
warga dan pemangku kepentingan) serta menekankan kualitas alih-alih
kepastian semu.⁹ Haraway menyebut pengetahuan tersituasi—semua klaim
ilmiah berposisi, sehingga transparansi perspektif menjadi bagian dari
validitas epistemik.¹⁰
e.                  
Rasionalitas komunikatif dan transdisiplin. 
Ekologisme mendorong co-production of knowledge:
dialog antara ilmuwan, pembuat kebijakan, komunitas lokal, dan dunia usaha.
Habermas menawarkan rasionalitas komunikatif sebagai kritik atas
rasionalitas instrumental: kebenaran ekologis dibentuk melalui diskursus
bebas-dominasi yang menguji klaim-klaim kognitif, normatif, dan ekspresif.¹¹
4.2.      
Kritik atas Objektivisme dan
Rasionalitas Instrumental
Ekologisme menolak objektivisme kuat yang
mengklaim pandangan-dari-tak-bertubuh. Merchant menunjukkan bagaimana revolusi
ilmiah meminggirkan alam menjadi “sumber daya” tanpa agensi.¹² Plumwood
menelusuri logika dominasi dalam dualisme Barat (akal/alam, budaya/ natura,
laki-laki/ perempuan) yang melegitimasi eksploitasi.¹³ Vandana Shiva menambah
bahwa kolonialisme dan pembangunan gaya modern membentuk “kolonialisme
ekologis”, yang merusak baik ekologi maupun mata pencaharian perempuan dan
komunitas adat.¹⁴ Karena itu, Ekologisme mengusulkan epistemologi
relasional–refleksif, yang mengakui kebernilain alam dan posisi peneliti,
sembari menggabungkan bukti ilmiah, pengalaman, dan kebijaksanaan praktis.¹⁵
4.3.      
Prinsip-Prinsip Etika Ekologis
a.                 
Etika lahan (Aldo Leopold). 
Leopold merumuskan aksioma etis sederhana: suatu
tindakan benar bila cenderung memelihara keutuhan, stabilitas, dan keindahan
komunitas biotik, salah bila sebaliknya.¹⁶ Ini memperluas komunitas moral (biotic
community) melampaui manusia.
b.                 
Deep ecology (Arne Naess). 
Naess menekankan nilai intrinsik semua
makhluk dan mendorong transformasi menuju diri ekologis (ecological
self).¹⁷ Prinsipnya meliputi pengurangan skala konsumsi, keberagaman
budaya–biotik, dan aksi nonkekerasan untuk melindungi bentuk-bentuk
kehidupan.¹⁸
c.                  
Social ecology (Murray Bookchin). 
Krisis ekologis berakar pada hierarki sosial;
karena itu, emansipasi ekologis mensyaratkan demokrasi langsung, produksi
terdesentralisasi, dan teknologi yang sesuai.¹⁹ Etika ekologis di sini berwajah
politik kebebasan: membongkar dominasi manusia atas manusia sebagai
prasyarat mengakhiri dominasi atas alam.²⁰
d.                 
Etika tanggung jawab (Hans Jonas). 
Dengan kekuatan teknologi modern, kewajiban moral
utama adalah menjamin keberlanjutan kondisi kemanusiaan dan kehidupan di
bumi.²¹ Prinsip kehati-hatian—bertindak seolah dampak terburuk mungkin
terjadi—menjadi panduan etika pada ketidakpastian besar.²²
e.                  
Ecofeminisme dan etika kepedulian. 
Ecofeminisme mengaitkan pembebasan perempuan dengan
pembebasan alam, menekankan keterhubungan, care, dan
anti-dualisme.²³ Warren mengartikulasikan etika yang menghindari dominasi,
menekankan relasi mutual dan context-sensitivity.²⁴
f.                   
Etika hewan vs. ekosentrisme. 
Singer (utilitarian) dan Regan (hak hewan)
memperluas pertimbangan moral ke individu non-manusia, sementara ekosentrisme
menekankan integritas sistem.²⁵ Perdebatan ini produktif: kebijakan
ekologis perlu merawat individu, spesies, dan ekosistem secara serempak,
dengan penalaran case-by-case.²⁶
4.4.      
Keadilan Ekologis dan Kewargaan
Hijau
Etika ekologis menyeberang ke ranah keadilan:
siapa menanggung beban degradasi, siapa menikmati manfaat? Schlosberg
mengusulkan tiga dimensi: distribusi, pengakuan, dan partisipasi—ditambah
kapabilitas untuk berfungsi dalam lingkungan yang sehat.²⁷ Dobson
menawarkan gagasan kewargaan ekologis: kewajiban lintas-batas terhadap commons
global dan generasi mendatang.²⁸ Dalam perspektif ini, keadilan ekologis
memerlukan institusi yang menjamin akses, suara, dan perlindungan bagi
komunitas rentan sekaligus menjaga batas-batas planet.
4.5.      
Prinsip Normatif untuk Kebijakan
Ekologisme menurunkan sejumlah prinsip
operasional:
·                    
Prinsip Kehati-hatian (precautionary principle): ketiadaan kepastian ilmiah bukan alasan menunda
pencegahan kerusakan serius—dirumuskan jelas dalam Rio Declaration
(Prinsip 15).²⁹
·                    
Polluter Pays & Extended Producer Responsibility: pelaku pencemar menanggung biaya pemulihan dan
pencegahan.³⁰
·                    
Restorasi dan rewilding: mengembalikan fungsi ekosistem, bukan sekadar menahan degradasi.³¹
·                    
Hak-hak Alam: Stone
memicu wacana memberikan kapasitas legal kepada entitas alam (sungai,
hutan) agar bisa diwakili dalam proses hukum.³²
·                    
Persetujuan atas dasar informasi awal (FPIC): menjamin hak komunitas lokal/ adat dalam
keputusan yang berdampak ekologis.³³
Prinsip-prinsip ini mengikat epistemologi dan
etika: ketidakpastian ilmiah (epistemik) justru memperkuat kewajiban
kehati-hatian (etik), sementara nilai-nilai keadilan mengarahkan agenda
riset (apa yang dihitung, siapa yang dihitung).
4.6.      
Ketegangan, Dilema, dan Jalan Tengah
Etika ekologis menghadapi dilema: perlindungan
spesies vs. kesejahteraan individu, transisi cepat vs. legitimasi
demokratis, degrowth vs. keadilan pembangunan Selatan. Kallis
mengusulkan degrowth sebagai proyek normatif: menata ulang tujuan
ekonomi menuju kesejahteraan dalam batas planet.³⁴ Eckersley menggarisbawahi
pentingnya demokrasi ekologis agar transformasi tidak alih-wajah menjadi
eko-otoritarianisme.³⁵ Jalan tengah Ekologisme: menggabungkan pengetahuan
majemuk (ilmiah–lokal–pengalaman), prosedur deliberatif, dan prinsip
protektif (kehati-hatian, keadilan, hak-hak alam) untuk menuntun keputusan
yang adaptif dan adil.
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 10–12.
[2]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–34.
[3]               
C. S. Holling, “Resilience and Stability of
Ecological Systems,” Annual Review of Ecology and Systematics 4 (1973):
1–23.
[4]               
Simon A. Levin, Fragile Dominion: Complexity and
the Commons (Reading, MA: Perseus, 1999), 41–47.
[5]               
Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New
York: Routledge, 2012), 1–7.
[6]               
Ibid., 188–201.
[7]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–101.
[8]               
David Abram, The Spell of the Sensuous (New
York: Vintage, 1997), 45–52.
[9]               
Silvio O. Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science
for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–55.
[10]            
Donna J. Haraway, “Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–99.
[11]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
285–312.
[12]            
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 41–55.
[13]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 41–48.
[14]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Development (London: Zed Books, 1989), 3–11.
[15]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 1–6.
[16]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 224–25.
[17]            
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[18]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–32.
[19]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 24–36.
[20]            
Murray Bookchin, The Philosophy of Social
Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 17–23.
[21]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–15.
[22]            
Ibid., 121–30.
[23]            
Karen J. Warren, “The Power and the Promise of
Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–46.
[24]            
Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature,
150–58.
[25]            
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 57–82; Tom Regan, The Case
for Animal Rights (Berkeley: University of California Press, 1983), 243–65.
[26]            
Bryan Norton, “Epistemology and Environmental
Values,” Monist 75, no. 2 (1992): 208–26.
[27]            
David Schlosberg, Defining Environmental Justice
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–28.
[28]            
Andrew Dobson, Citizenship and the Environment
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 83–101.
[29]            
United Nations, Rio Declaration on Environment
and Development (New York: UN, 1992), Principle 15.
[30]            
Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD), Recommendation of the Council on the Use of Economic
Instruments in Environmental Policy (Paris: OECD, 1991), 6–8.
[31]            
Paul H. Gobster and R. Bruce Hull, eds., Restoring
Nature: Perspectives from the Social Sciences and Humanities (Washington,
DC: Island Press, 2000), 1–12.
[32]            
Christopher D. Stone, “Should Trees Have
Standing?—Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law
Review 45 (1972): 450–501.
[33]            
United Nations, United Nations Declaration on
the Rights of Indigenous Peoples (New York: UN, 2007), Art. 10, 19, 32.
[34]            
Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon
Tyne: Agenda Publishing, 2018), 1–15.
[35]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 1–5, 141–72.
5.          
Dimensi
Sosial dan Politik Ekologisme
Ekologisme, selain sebagai paradigma filosofis,
juga merupakan ideologi sosial-politik yang menantang struktur
kekuasaan, pola ekonomi, dan nilai-nilai budaya yang menopang krisis ekologis
global. Ia mengusulkan transformasi mendasar terhadap sistem sosial yang
antroposentris menuju tatanan yang ekosentris, egaliter, dan berkelanjutan.¹
Dimensi sosial dan politik ini menjadi arena utama bagi penerapan nilai-nilai
ekologisme dalam praksis masyarakat modern—yakni dalam kebijakan publik,
demokrasi, ekonomi, dan keadilan sosial.
5.1.      
Ekologisme sebagai Ideologi Politik:
Dari Gerakan Hijau ke Politik Hijau
Sejak tahun 1970-an, ekologisme berkembang dari
gerakan moral dan sosial menjadi ideologi politik yang terorganisasi.² Gerakan
Hijau (Green Movement) di Eropa dan Amerika Serikat menolak pandangan
modernisasi industri yang menganggap kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi
sebagai ukuran kemajuan manusia.³ Dalam konteks politik praktis, lahirlah
partai-partai hijau seperti Die Grünen di Jerman, Les Verts di
Prancis, dan Green Party di Inggris serta negara-negara lain, yang
membawa agenda ekologis ke ranah demokrasi parlementer.⁴
Andrew Dobson membedakan antara environmentalism—yang
fokus pada manajemen sumber daya dan reformasi kebijakan lingkungan dalam
sistem yang ada—dan ecologism—yang menuntut rekonstruksi sistem
politik dan ekonomi secara menyeluruh.⁵ Artinya, ekologisme bukan sekadar
tentang pengelolaan lingkungan, melainkan tentang perubahan paradigma
sosial-politik: dari logika dominasi dan eksploitasi menuju logika
keberlanjutan dan keseimbangan.⁶
5.2.      
Kritik terhadap Kapitalisme dan
Modernitas Industri
Dalam dimensi sosial-ekonomi, ekologisme memandang kapitalisme
global sebagai penyebab utama ketimpangan sosial dan kerusakan ekologis.⁷
Sistem produksi kapitalistik berlandaskan pada logika akumulasi dan pertumbuhan
tanpa batas, yang bertentangan dengan prinsip dasar ekologi tentang
keseimbangan dan keterbatasan.⁸ Murray Bookchin menegaskan bahwa krisis
lingkungan tidak dapat diatasi hanya dengan inovasi teknologi, karena akar
masalahnya adalah hierarki sosial dan ekonomi yang menempatkan manusia
dan alam dalam relasi dominatif.⁹
Ekologisme dengan demikian mengajukan kritik tajam
terhadap modernitas industri—yang menuhankan efisiensi, produksi massal, dan
individualisme—karena telah menciptakan alienasi manusia dari alam dan dari
komunitas sosialnya sendiri.¹⁰ Vandana Shiva menyebut fenomena ini sebagai “kolonialisme
ekologis”, di mana eksploitasi alam sejalan dengan penindasan terhadap
masyarakat adat dan perempuan di dunia Selatan.¹¹
Dalam konteks ini, ekologisme menawarkan konsep ekonomi
ekologis, yang menolak ukuran kesejahteraan berbasis Produk Domestik Bruto
(PDB) dan menggantinya dengan indikator kesejahteraan berkelanjutan,
pemerataan, serta keseimbangan ekologis.¹² Herman Daly, pelopor ekonomi
berkelanjutan, memperkenalkan gagasan “steady-state economy”—ekonomi
tanpa pertumbuhan eksponensial yang menghormati batas-batas planet (planetary
boundaries).¹³
5.3.      
Keadilan Sosial dan Ekologis
Ekologisme memperluas konsep keadilan dari keadilan
sosial (intra-manusia) menjadi keadilan ekologis (antarspesies dan antar
generasi).¹⁴ Prinsip ini mengandung tiga dimensi utama:
1)                 
Keadilan distributif, yaitu
pembagian manfaat dan beban ekologis secara adil antar kelompok sosial.¹⁵
2)                 
Keadilan intergenerasional, yakni tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang dalam menjaga
keberlanjutan ekosistem.¹⁶
3)                 
Keadilan ekologis lintas-spesies, yang mengakui nilai intrinsik kehidupan non-manusia.¹⁷
David Schlosberg menekankan bahwa keadilan ekologis
tidak hanya berbicara tentang distribusi sumber daya, tetapi juga tentang pengakuan
dan partisipasi.¹⁸ Komunitas lokal dan masyarakat adat harus diakui sebagai
aktor utama dalam pengambilan keputusan lingkungan, bukan sekadar objek
kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan ekologis berakar pada prinsip demokrasi
partisipatif, di mana suara semua pihak—termasuk mereka yang terdampak
secara langsung oleh perubahan ekologis—dihargai secara setara.¹⁹
5.4.      
Demokrasi Ekologis dan Politik
Partisipatif
Ekologisme mendorong pembentukan demokrasi
ekologis (ecological democracy), yaitu model pemerintahan yang menekankan
partisipasi warga dalam pengelolaan sumber daya dan kebijakan lingkungan.²⁰
Robyn Eckersley mengusulkan konsep “Green State”, yaitu negara yang
mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ekologis ke dalam institusi, hukum, dan
proses demokrasi.²¹ Negara hijau tidak hanya menjamin kebebasan individu,
tetapi juga menegakkan tanggung jawab ekologis kolektif.
Jürgen Habermas memberikan dasar normatif bagi
demokrasi ekologis melalui teori tindakan komunikatif, di mana
legitimasi kebijakan publik harus diperoleh melalui diskursus rasional dan
bebas-dominasi.²² Dalam kerangka ini, wacana publik tentang lingkungan tidak
hanya menjadi urusan teknokratis, melainkan proses deliberatif yang melibatkan
masyarakat sipil, ilmuwan, dan komunitas akar rumput.²³
Model demokrasi ekologis ini juga sejalan dengan
konsep “glocal politics”—perpaduan antara tindakan lokal dan kebijakan
global.²⁴ Dalam menghadapi isu seperti perubahan iklim dan deforestasi,
tindakan lokal (seperti pengelolaan hutan berbasis masyarakat) perlu
diintegrasikan dengan kebijakan global (seperti Paris Agreement).²⁵
5.5.      
Ekologisme, Budaya, dan Perubahan
Sosial
Ekologisme bukan hanya ide politik, melainkan juga gerakan
kultural dan spiritual yang berusaha menumbuhkan kembali kesadaran ekologis
dalam kehidupan sehari-hari.²⁶ Ia menentang nilai-nilai materialisme dan
konsumtivisme yang mendominasi budaya modern, menggantikannya dengan etika
kesederhanaan (voluntary simplicity), solidaritas, dan keterhubungan
dengan alam.²⁷
Dalam konteks sosial, ekologisme menginspirasi
berbagai bentuk gerakan sosial baru, seperti gerakan permakultur, degrowth
movement, dan eco-feminism, yang menekankan gaya hidup
berkelanjutan, solidaritas komunitas, serta rekonstruksi ekonomi berbasis
kebutuhan, bukan keserakahan.²⁸ Perubahan sosial ekologis tidak dapat
dipaksakan dari atas, melainkan tumbuh dari bawah—melalui kesadaran,
pendidikan, dan praktik kolektif masyarakat.²⁹
5.6.      
Implikasi Politik Global dan
Tantangan Kontemporer
Di tingkat global, ekologisme berhadapan dengan politik
internasional yang masih didominasi oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik.³⁰
Meskipun berbagai kesepakatan seperti Kyoto Protocol (1997) dan Paris
Agreement (2015) telah menunjukkan komitmen terhadap pengurangan emisi,
pelaksanaannya masih terbentur pada konflik antara negara maju dan berkembang
mengenai tanggung jawab historis dan pembiayaan transisi energi.³¹
Ekologisme menyerukan kosmopolitanisme ekologis,
yaitu tanggung jawab moral dan politik lintas batas negara.³² Konsep ini
mengandaikan solidaritas global yang melampaui nasionalisme sempit, menempatkan
bumi sebagai rumah bersama (common home).³³ Dengan demikian, politik
ekologis berupaya membangun tatanan dunia yang tidak hanya adil bagi manusia,
tetapi juga bagi seluruh makhluk hidup di planet ini.³⁴
Kesimpulan
Sementara: Dari Reformasi ke Transformasi
Dimensi sosial dan politik ekologisme menegaskan
bahwa perubahan ekologis sejati adalah perubahan sosial dan politik.
Reformasi kebijakan tanpa perubahan nilai, struktur ekonomi, dan budaya
konsumsi tidak akan cukup.³⁵ Ekologisme mengajukan model baru bagi masyarakat
yang berkeadilan ekologis—di mana demokrasi, kesetaraan, dan keberlanjutan
menjadi fondasi moral dan praktis kehidupan bersama.³⁶
Dengan demikian, ekologisme bukan hanya gerakan
lingkungan, tetapi gerakan peradaban yang mengajak manusia untuk menata
ulang relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan dalam horizon ekologis
global.³⁷
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th
ed. (London: Routledge, 2007), 3.
[2]               
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 11.
[3]               
John Barry, Environment and Social Theory
(London: Routledge, 1999), 18.
[4]               
Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy
and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship
(London: Routledge, 1996), 9–12.
[5]               
Dobson, Green Political Thought, 7.
[6]               
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 25.
[7]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 12.
[8]               
Herman E. Daly, Steady-State Economics
(Washington, D.C.: Island Press, 1991), 15–18.
[9]               
Bookchin, The Philosophy of Social Ecology
(Montreal: Black Rose Books, 1990), 23.
[10]            
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 47.
[11]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Development (London: Zed Books, 1989), 5.
[12]            
Daly, Steady-State Economics, 31.
[13]            
Ibid., 37.
[14]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 8.
[15]            
David Schlosberg, Defining Environmental Justice
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 14.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 126.
[17]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28.
[18]            
Schlosberg, Defining Environmental Justice,
23–27.
[19]            
Brian Baxter, Ecologism: An Introduction
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 45.
[20]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 3.
[21]            
Eckersley, The Green State, 40–42.
[22]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 287.
[23]            
Eckersley, The Green State, 91.
[24]            
Dobson, Citizenship and the Environment
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 87.
[25]            
United Nations, Paris Agreement (New York:
UN, 2015), Articles 2–4.
[26]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science
for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 50–52.
[27]            
Duane Elgin, Voluntary Simplicity (New York:
William Morrow, 1993), 4–7.
[28]            
Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon
Tyne: Agenda Publishing, 2018), 1–10.
[29]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 19.
[30]            
John S. Dryzek, The Politics of the Earth:
Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013),
87.
[31]            
United Nations, Kyoto Protocol to the United
Nations Framework Convention on Climate Change (New York: UN, 1997),
Articles 3–5.
[32]            
Dobson, Citizenship and the Environment,
122.
[33]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13.
[34]            
Dryzek, The Politics of the Earth, 211.
[35]            
Naomi Klein, On Fire: The Burning Case for a
Green New Deal (New York: Simon & Schuster, 2019), 9–10.
[36]            
Eckersley, The Green State, 171.
[37]            
Bookchin, The Ecology of Freedom, 268.
6.          
Ekologisme
dalam Konteks Global dan Kontemporer
Dalam era globalisasi dan krisis planet yang
semakin kompleks, Ekologisme muncul bukan hanya sebagai teori normatif,
tetapi juga sebagai pandangan dunia (worldview) yang menantang paradigma
ekonomi, politik, dan budaya global yang masih didominasi oleh logika
pertumbuhan tanpa batas.¹ Krisis ekologis kontemporer—seperti perubahan iklim,
kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi global—bukan lagi persoalan lokal
atau sektoral, melainkan gejala sistemik dari cara pandang manusia terhadap
alam dan pembangunan.² Karena itu, ekologisme kontemporer berfungsi ganda:
sebagai kritik terhadap sistem global yang eksploitatif, dan sebagai visi
alternatif bagi tata dunia berkelanjutan.³
6.1.      
Krisis Ekologi Global dan Perubahan
Paradigma
Krisis ekologi global adalah cerminan dari
kegagalan paradigma modernitas yang berakar pada antroposentrisme,
materialisme, dan kapitalisme global.⁴ Laporan The Limits to Growth
(1972) oleh Club of Rome menjadi peringatan awal bahwa sistem ekonomi
yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas tidak dapat dipertahankan di
dunia dengan sumber daya terbatas.⁵ Namun, meski peringatan ini sudah setengah
abad berlalu, sistem global masih beroperasi dengan logika yang sama—mengejar pertumbuhan
ekonomi, meski dengan wajah “hijau” atau “berkelanjutan”.⁶
Naomi Klein menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme
hijau” (green capitalism)—yakni upaya untuk menutupi ekses ekologis
kapitalisme melalui retorika keberlanjutan, tanpa menyentuh akar struktural
ketidakadilan ekologis.⁷ Dalam pandangan ekologisme, solusi semacam itu
bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar masalah, sebab penyebab utama krisis
justru terletak pada model ekonomi eksploitatif dan relasi kekuasaan
global yang timpang.⁸
Ekologisme kontemporer menegaskan perlunya pergeseran
paradigma (paradigm shift) dari orientasi eksploitasi menuju keberlanjutan,
dari pertumbuhan menuju keseimbangan, dan dari dominasi menuju koeksistensi.⁹
Pergeseran ini tidak hanya menyangkut kebijakan publik, tetapi juga kesadaran
moral dan epistemologis tentang posisi manusia dalam jejaring kehidupan
global.¹⁰
6.2.      
Globalisasi, Ketimpangan, dan
Ketidakadilan Ekologis
Proses globalisasi mempercepat sirkulasi modal,
teknologi, dan sumber daya, tetapi sekaligus memperdalam ketimpangan
ekologis antara negara maju dan negara berkembang.¹¹ Negara-negara industri
di Utara mengimpor bahan mentah dan energi dari Selatan, namun mengekspor
limbah, polusi, dan degradasi lingkungan.¹² Fenomena ini disebut “imperialisme
ekologis”, yakni bentuk baru kolonialisme di mana hubungan eksploitasi
ekonomi berlangsung dalam kerangka ekologis global.¹³
Vandana Shiva menunjukkan bahwa korporasi
transnasional sering menggunakan dalih “pembangunan” untuk melegitimasi
perampasan tanah, air, dan benih lokal—sebuah bentuk biopiracy yang
menghancurkan kedaulatan ekologis komunitas lokal.¹⁴ Dalam konteks ini,
ekologisme berperan sebagai gerakan emansipasi global, yang
memperjuangkan environmental justice dan ecological democracy
lintas batas negara.¹⁵
Di sisi lain, muncul pula konsep “carbon
colonialism”, yakni praktik di mana negara kaya membeli hak emisi atau
memindahkan proyek karbon ke negara berkembang, tanpa memperbaiki perilaku
konsumtifnya sendiri.¹⁶ Ekologisme menolak solusi teknokratis semacam ini
karena mempertahankan struktur ketidakadilan global.¹⁷
6.3.      
Gerakan Sosial Global dan Transisi
Peradaban
Sejak dekade 1980-an, berbagai gerakan sosial
lintas negara muncul dengan inspirasi dari prinsip-prinsip ekologisme: mulai
dari Earth First! di Amerika Serikat, Chipko Movement di India,
hingga gerakan Extinction Rebellion dan Fridays for Future di
abad ke-21.¹⁸ Gerakan-gerakan ini menyatukan aktivisme ekologi, feminisme,
hak asasi manusia, dan keadilan sosial dalam satu bingkai perjuangan
transnasional.¹⁹
Selain gerakan sosial, muncul pula inisiatif
global untuk membangun sistem ekonomi baru berbasis keberlanjutan, seperti degrowth
movement di Eropa dan Buen Vivir di Amerika Latin.²⁰ Degrowth
menyerukan penghentian pertumbuhan ekonomi yang merusak dan menggantikannya
dengan kesejahteraan berbasis solidaritas, waktu luang, dan komunitas.²¹
Sementara Buen Vivir—yang berasal dari kosmologi masyarakat adat
Andes—mengajarkan prinsip hidup selaras dengan Pachamama (Ibu Bumi)
sebagai fondasi kesejahteraan kolektif.²²
Gerakan ini memperlihatkan bahwa ekologisme bukan
hanya ide Barat, tetapi gerakan global multikultural, yang menghimpun
nilai-nilai ekologis dari berbagai tradisi, termasuk spiritualitas Timur,
kosmologi adat, dan sains modern.²³
6.4.      
Teknologi, Ekologi, dan Etika
Kontemporer
Dalam konteks kontemporer, relasi antara teknologi
dan ekologi menjadi ambivalen. Di satu sisi, kemajuan teknologi digital,
bioteknologi, dan energi terbarukan menawarkan potensi besar untuk mengurangi
jejak ekologis; di sisi lain, ia menciptakan risiko etis dan ekologis baru,
seperti konsumsi energi data center, e-waste, dan ketergantungan terhadap
mineral langka.²⁴
Hans Jonas menegaskan bahwa kemajuan teknologi
menuntut etika tanggung jawab baru—karena daya jangkau tindakan manusia
kini berskala planet dan berdampak pada generasi mendatang.²⁵ Etika ini
menuntut sikap kehati-hatian (precautionary principle) dalam
pengembangan teknologi, terutama yang berpotensi mengubah ekosistem atau
genetika kehidupan.²⁶
Ekologisme kontemporer tidak anti-teknologi, tetapi
menyerukan teknologi yang ramah kehidupan (convivial technology)—yakni
teknologi yang memperkuat otonomi komunitas, memperkecil skala produksi, dan
menghormati batas alam.²⁷ Ivan Illich menyebutnya sebagai “alat yang
memberdayakan, bukan memperbudak manusia dan alam.”²⁸
6.5.      
Tata Kelola Global dan Politik
Lingkungan Internasional
Krisis iklim menuntut tata kelola global (global
governance) yang lebih kolaboratif dan adil. Konferensi-konferensi
internasional seperti Stockholm Conference (1972), Rio Earth Summit
(1992), dan Paris Agreement (2015) menandai upaya dunia menuju
kesepakatan ekologis global.²⁹ Namun, implementasinya sering terhambat oleh ketegangan
antara kedaulatan nasional dan tanggung jawab global.³⁰
Ekologisme mendorong model kosmopolitanisme
ekologis, yang memandang bumi sebagai rumah bersama (common home)
dan menuntut bentuk solidaritas global baru.³¹ Robyn Eckersley menyebutnya
sebagai ecological citizenship, yaitu bentuk kewargaan global yang
melampaui batas negara dan menuntut tanggung jawab terhadap seluruh makhluk
hidup.³²
Selain itu, muncul gagasan hak-hak alam (rights
of nature) yang telah diakui dalam konstitusi beberapa negara seperti
Ekuador dan Bolivia.³³ Paradigma ini menggeser hukum dari anthropocentric
law menjadi ecocentric law, di mana entitas alam seperti sungai dan
hutan memiliki hak eksistensial yang dapat dilindungi secara legal.³⁴
6.6.      
Tantangan dan Prospek Ekologisme di
Era Kontemporer
Meskipun kesadaran ekologis semakin meluas, ekologisme
menghadapi berbagai tantangan serius. Pertama, resistensi politik dan
ekonomi dari kepentingan industri fosil dan oligarki global yang
mempertahankan status quo.³⁵ Kedua, fragmentasi gerakan sosial yang
sering kali terpecah antara isu-isu spesifik—seperti iklim, hak hewan, atau
energi—tanpa koordinasi global yang kuat.³⁶ Ketiga, instrumentalisasi wacana
hijau oleh korporasi dan pemerintah melalui praktik greenwashing,
yang mereduksi transformasi ekologis menjadi strategi pemasaran.³⁷
Namun demikian, prospek ekologisme tetap terbuka
luas. Revolusi energi bersih, ekonomi sirkular, dan demokrasi partisipatif
memberi ruang bagi integrasi nilai-nilai ekologis dalam kebijakan global.³⁸ Di
tingkat lokal, semakin banyak komunitas yang mengembangkan model kehidupan
alternatif—seperti eco-villages, urban farming, dan community-based
conservation—yang menerapkan prinsip keberlanjutan nyata.³⁹
Dalam jangka panjang, keberhasilan ekologisme
bergantung pada transformasi kesadaran kolektif manusia: dari logika dominasi
menuju logika koeksistensi. Seperti ditegaskan Capra, masa depan peradaban akan
ditentukan oleh kemampuan manusia untuk memahami bahwa hidup adalah bagian dari
jaringan ekologis yang kompleks, bukan berada di atasnya.⁴⁰
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th
ed. (London: Routledge, 2007), 2–3.
[2]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 34.
[3]               
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 18.
[4]               
John S. Dryzek, The Politics of the Earth:
Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013),
7–9.
[5]               
Donella Meadows et al., The Limits to Growth
(New York: Universe Books, 1972), 11.
[6]               
Herman Daly, Steady-State Economics
(Washington, D.C.: Island Press, 1991), 25.
[7]               
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 21–25.
[8]               
Murray Bookchin, The Philosophy of Social
Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 22.
[9]               
Capra, The Hidden Connections: A Science for
Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 57–58.
[10]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 12.
[11]            
David Schlosberg, Defining Environmental Justice
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 18–21.
[12]            
Rob Nixon, Slow Violence and the
Environmentalism of the Poor (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 47–49.
[13]            
Alf Hornborg, The Power of the Machine: Global
Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA:
AltaMira Press, 2001), 15.
[14]            
Vandana Shiva, Biopiracy: The Plunder of Nature
and Knowledge (Boston: South End Press, 1997), 3–7.
[15]            
Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and
Development (London: Zed Books, 1989), 21.
[16]            
Larry Lohmann, “Carbon Trading, Climate Justice and
the Production of Ignorance,” Development 51, no. 3 (2008): 359–65.
[17]            
Klein, This Changes Everything, 89–90.
[18]            
John Barry and Robyn Eckersley, eds., The State
and the Global Ecological Crisis (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 12.
[19]            
Karen J. Warren, “The Power and the Promise of
Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 129–45.
[20]            
Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon Tyne:
Agenda Publishing, 2018), 15–19.
[21]            
Serge Latouche, Farewell to Growth
(Cambridge: Polity Press, 2009), 4.
[22]            
Alberto Acosta, Buen Vivir: Sumak Kawsay, una
oportunidad para imaginar otros mundos (Quito: Ediciones Abya-Yala, 2013),
11.
[23]            
Capra, The Hidden Connections, 76.
[24]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and
the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University
Press, 2021), 2–4.
[25]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
128.
[26]            
United Nations, Rio Declaration on Environment
and Development (New York: UN, 1992), Principle 15.
[27]            
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 34–36.
[28]            
Ivan Illich, Tools for Conviviality (New
York: Harper & Row, 1973), 11.
[29]            
United Nations, Report of the United Nations
Conference on the Human Environment (Stockholm, 1972) (New York: UN, 1973),
4–6.
[30]            
Dryzek, The Politics of the Earth, 111–13.
[31]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 6–7.
[32]            
Eckersley, The Green State, 91–93.
[33]            
Republic of Ecuador, Constitución de la
República del Ecuador (Quito: Asamblea Nacional, 2008), arts. 71–74.
[34]            
Christopher D. Stone, “Should Trees Have
Standing?—Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law
Review 45 (1972): 450–501.
[35]            
Naomi Klein, On Fire: The Burning Case for a
Green New Deal (New York: Simon & Schuster, 2019), 15.
[36]            
Schlosberg, Defining Environmental Justice,
115.
[37]            
Jennifer Clapp and Peter Dauvergne, Paths to a
Green World: The Political Economy of the Global Environment (Cambridge,
MA: MIT Press, 2011), 9–10.
[38]            
John S. Dryzek and Jonathan Pickering, The
Politics of the Anthropocene (Oxford: Oxford University Press, 2019),
19–21.
[39]            
Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New York:
Routledge, 2012), 204–6.
[40]            
Capra, The Web of Life, 41.
7.          
Kritik
terhadap Ekologisme
Sebagai paradigma filsafat sosial-politik, Ekologisme
tidak luput dari kritik—baik dari arus utama ilmu politik dan ekonomi, maupun
dari tradisi kritis internal yang justru bersimpati pada tujuan-tujuan
ekologis. Bagian ini mengelompokkan kritik-kritik utama, dasar argumentasinya,
serta beberapa tanggapan konseptual yang lazim diajukan oleh para pemikir
ekologis.
7.1.      
Kritik Liberalisme: Hak, Kebebasan,
dan Batas Negara Hukum
Dari perspektif liberal, Ekologisme dituduh mengancam
otonomi individu dengan memperluas lingkup kewajiban moral ke entitas
non-manusia dan generasi mendatang—yang dianggap sukar dipertanggungjawabkan
secara yuridis.¹ Kebijakan berbasis “hak-hak alam” dinilai berpotensi membebani
proses legislasi dan mengaburkan prioritas kebebasan negatif
(freedom from) yang menjadi asas negara hukum liberal.² Selain itu, pengaturan
konsumsi dan mobilitas untuk alasan ekologis dikhawatirkan berujung pada paternalism
negara.³
Tanggapan ekologis: gagasan “kewargaan ekologis” dan keadilan
intergenerasional berupaya menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab
terhadap commons, sembari menempatkan batas-batas planet sebagai kondisi
material kebebasan itu sendiri.⁴
7.2.      
Kritik Marxis dan Sosialis: Akar
Krisis dan Risiko Depolitisasi
Tradisi Marxis menilai Ekologisme kadang mengaburkan
akar material krisis—yakni relasi produksi kapitalistik dan logika
akumulasi tanpa batas.⁵ Fokus pada perubahan gaya hidup atau konservasi
dianggap menyisihkan perjuangan kelas dan mengalihkan perhatian
dari transformasi struktur kepemilikan.⁶ Kritik lain: sebagian wacana ekologis
mereproduksi “moralitas kelangkaan” tanpa menyentuh relasi eksploitatif
lintas pusat-pinggiran.⁷
Tanggapan ekologis: aliran social ecology dan kajian metabolic
rift menautkan degradasi ekologi dengan hierarki sosial serta pemisahan
metabolik kota-desa dalam kapitalisme industri; karenanya, transformasi
ekologis mensyaratkan demokratisasi ekonomi dan desentralisasi
produksi.⁸
7.3.      
Kritik Konservatif: Skepsis terhadap
Utopisme dan Biaya Sosial
Kritikus konservatif menilai sebagian proyek
ekologis utopis, anti-pertumbuhan, dan mengabaikan tradisi
lokal/otoritas organik yang menjaga ketertiban sosial.⁹ Mereka menekankan biaya
transisi (energi, infrastruktur, pekerjaan) dan risiko ketidakstabilan
jika ekonomi diarahkan menjauhi pertumbuhan sebagai tujuan kebijakan.¹⁰
Tanggapan ekologis: tradisi konservasionis klasik (mis. “ethic
of stewardship”) justru kompatibel dengan prinsip kehati-hatian;
yang dipersoalkan bukan perubahan bertahapnya, melainkan ketergantungan
sistemik pada pertumbuhan eksponensial yang bertentangan dengan batas
ekologis.¹¹
7.4.      
Kritik Ecomodernis dan Teknoutopian:
Jalan Teknologi vs Batas Planet
Arus ecomodernis berargumen bahwa solusi
utama adalah inovasi teknologi berskala besar (elektrifikasi penuh,
nuklir generasi baru, urbanisasi padat, intensifikasi pertanian) sehingga pertumbuhan
dapat dipisah (decouple) dari kerusakan ekologis.¹² Mereka menilai degrowth
atau pembatasan konsumsi tidak realistis secara politik.¹³
Tanggapan ekologis: decoupling absolut jarang dibuktikan dalam
skala global dan sering terserap oleh efek rebound; karena itu,
teknologi perlu diperbantukan oleh reorientasi tujuan ekonomi
(kesejahteraan, ketahanan, pemerataan) serta tata kelola yang mencegah
eksternalisasi baru (ekstraksi mineral kritis, e-waste).¹⁴
7.5.      
Tuduhan Eko-otoritarianisme:
Legitimasi, Darurat, dan Prosedur
Literatur klasik memperingatkan risiko “eko-otoritarianisme”:
demi menyelamatkan ekosistem, negara dapat memusatkan kekuasaan,
menangguhkan hak, atau memerintah lewat darurat permanen.¹⁵ Seruan “tindakan
cepat” dikhawatirkan menyingkirkan deliberasi demokratis dan hak
minoritas.¹⁶
Tanggapan ekologis: model demokrasi ekologis menekankan rasionalitas
komunikatif, citizens’ assemblies, dan akuntabilitas
multi-tingkat sebagai prasyarat legitimasi tindakan cepat; keadaan darurat
tidak boleh menjadi lisensi untuk eksklusi politik.¹⁷
7.6.      
Kritik Poskolonial dan Dunia
Selatan: Ketimpangan dan “Kolonialisme Hijau”
Pemikir poskolonial menyoroti asimetris-ness
tanggung jawab historis: standar emisi dan konservasi yang dipromosikan negara
kaya berpotensi membatasi pembangunan negara berkembang—fenomena yang
disebut “kolonialisme hijau” atau “carbon colonialism.”¹⁸ Praktik
offset dan land grabbing atas nama konservasi bisa mengusir
komunitas adat dari ruang hidupnya.¹⁹
Tanggapan ekologis: fokus bergeser ke keadilan transisi
(pembiayaan, transfer teknologi, kedaulatan energi), FPIC untuk
masyarakat adat, dan hak-hak alam yang dirumuskan oleh serta untuk
komunitas lokal—bukan sekadar transplantasi model hukum Global North.²⁰
7.7.      
Ketegangan Etik: Antara Ekosentrisme
dan Kesejahteraan Individu
Kritik dari etika hewan menyasar ekosentrisme:
menilai integritas ekosistem di atas kesejahteraan individu
non-manusia dapat membenarkan tindakan menyakitkan (mis. eradikasi spesies
invasif).²¹ Sebaliknya, fokus pada individu hewan dapat menghambat restorasi
ekosistem.²²
Tanggapan ekologis: berkembang pendekatan pluralis kontekstual
yang menimbang tiga tingkat nilai—individu, spesies, ekosistem—melalui
penalaran case-by-case, transparansi nilai, dan minimasi penderitaan
seraya menjaga fungsi ekosistem.²³
7.8.      
Kritik Epistemologis:
Relasionalitas, Sains Pasca-Normal, dan Validitas
Pendekatan pengetahuan tersituasi dan sains
pasca-normal dikritik karena berpotensi mengaburkan standar objektivitas
dan membuka ruang relativisme.²⁴ Proses ko-produksi pengetahuan dinilai
memperbesar biaya transaksi dan ketidakpastian keputusan.²⁵
Tanggapan ekologis: ekologisme tidak menolak objektivitas, melainkan menggandakannya—dari
sekadar kontrol laboratorium ke robustness lintas-metode, ketahanan
kebijakan terhadap ketidakpastian, dan validasi trans-komunitas pada
isu berisiko tinggi.²⁶
7.9.      
Kritik Kebijakan: Pengukuran,
Trade-off, dan Ekonomi Politik Transisi
Kritikus menyoroti kesenjangan antara prinsip
dan implementasi: indikator keberlanjutan sering inkompatibel (mis.
jejak karbon vs keanekaragaman hayati); kebijakan hijau rentan greenwashing;
transisi energi dapat memicu ketergantungan baru pada mineral kritis,
atau memindah beban ke wilayah rentan.²⁷
Tanggapan ekologis: dorongan menuju set indikator majemuk
(karbon, keanekaragaman, air, keadilan), audit rantai pasok, EPR/polluter
pays, dan desain kelembagaan (just transition funds, carbon
dividends) untuk memitigasi dampak distributif.²⁸
7.10.   
Kritik Internal: Strategi Gerakan
dan Horizon Transformasi
Di dalam kubu ekologis sendiri terdapat perbedaan
strategi: sebagian menekankan reformasi bertahap; yang lain mendesak degrowth
dan perombakan mendalam institusi pasar.²⁹ Ada kekhawatiran bahwa narasi
krisis yang terlalu apokaliptik menimbulkan keletihan publik, sedangkan
narasi teknokratis menimbulkan pasivitas politik.³⁰
Arah sintesis: menggabungkan visi jangka panjang (perubahan tujuan
ekonomi-politik) dengan paket kebijakan transisional yang dapat
ditindak (harga karbon adil, standar efisiensi, perlindungan sosial,
partisipasi deliberatif), serta membangun cerita kolektif tentang
kesejahteraan dalam batas planet.³¹
Kesimpulan
Singkat
Kritik-kritik di atas memperkaya dan mengujikan
koherensi Ekologisme: dari legitimasi demokratis dan keadilan global hingga
konsistensi etik dan epistemik. Relevansi Ekologisme—sebagai filsafat dan
politik—bergantung pada kemampuannya menjawab tantangan ini dengan
desain institusional yang adil, kerangka ilmu yang tangguh terhadap
ketidakpastian, serta strategi transisi yang efektif sekaligus sah secara
demokratis.
Footnotes
[1]               
John Barry, Environment and Social Theory
(London: Routledge, 1999), 21–24.
[2]               
Christopher D. Stone, “Should Trees Have
Standing?—Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law
Review 45 (1972): 450–501.
[3]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th
ed. (London: Routledge, 2007), 6–9.
[4]               
Andrew Dobson, Citizenship and the Environment
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 83–101.
[5]               
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology (New
York: Monthly Review Press, 2000), 141–65.
[6]               
Alf Hornborg, The Power of the Machine: Global
Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA:
AltaMira Press, 2001), 12–18.
[7]               
John S. Dryzek, The Politics of the Earth:
Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013),
100–106.
[8]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 24–36;
John Bellamy Foster, Brett Clark, and Richard York, The Ecological Rift
(New York: Monthly Review Press, 2010), 1–19.
[9]               
Roger Scruton, Green Philosophy: How to Think
Seriously about the Planet (Oxford: Oxford University Press, 2012), 1–15.
[10]            
William Nordhaus, The Climate Casino (New
Haven: Yale University Press, 2013), 55–63.
[11]            
Barry, Environment and Social Theory,
187–92.
[12]            
Ted Nordhaus and Michael Shellenberger, Break
Through: From the Death of Environmentalism to the Politics of Possibility
(Boston: Houghton Mifflin, 2007), 1–12; An Ecomodernist Manifesto
(2015).
[13]            
Vaclav Smil, Growth: From Microorganisms to
Megacities (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 431–40.
[14]            
Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon
Tyne: Agenda Publishing, 2018), 33–41; Tim Jackson, Prosperity without
Growth, 2nd ed. (London: Routledge, 2017), 122–35.
[15]            
William Ophuls, Ecology and the Politics of
Scarcity (San Francisco: W. H. Freeman, 1977), 145–57.
[16]            
Dryzek, The Politics of the Earth, 206–12.
[17]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312; Robyn
Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty
(Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 91–93.
[18]            
Larry Lohmann, “Carbon Trading, Climate Justice and
the Production of Ignorance,” Development 51, no. 3 (2008): 359–65; Rob
Nixon, Slow Violence and the Environmentalism of the Poor (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2011), 47–55.
[19]            
Vandana Shiva, Biopiracy: The Plunder of Nature
and Knowledge (Boston: South End Press, 1997), 3–7.
[20]            
United Nations, United Nations Declaration on
the Rights of Indigenous Peoples (New York: UN, 2007), arts. 10, 19, 32;
Republic of Ecuador, Constitución de la República del Ecuador (Quito:
Asamblea Nacional, 2008), arts. 71–74.
[21]            
Tom Regan, The Case for Animal Rights
(Berkeley: University of California Press, 1983), 243–65; Peter Singer, Practical
Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 57–82.
[22]            
J. Baird Callicott, In Defense of the Land Ethic
(Albany: SUNY Press, 1989), 59–68.
[23]            
Bryan G. Norton, “Epistemology and Environmental
Values,” Monist 75, no. 2 (1992): 208–26.
[24]            
Donna J. Haraway, “Situated Knowledges,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–99; Silvio O. Funtowicz and Jerome R. Ravetz,
“Science for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–55.
[25]            
Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and
Democracy in Europe and the United States (Princeton: Princeton University
Press, 2005), 13–21.
[26]            
Andrew Stirling, “Keep it Complex,” Nature
468 (2010): 1029–31.
[27]            
Jennifer Clapp and Peter Dauvergne, Paths to a
Green World: The Political Economy of the Global Environment (Cambridge,
MA: MIT Press, 2011), 9–15.
[28]            
Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD), Recommendation of the Council on the Use of Economic
Instruments in Environmental Policy (Paris: OECD, 1991), 6–8; United
Nations, Rio Declaration on Environment and Development (New York: UN,
1992), Principle 15.
[29]            
Kallis, Degrowth, 1–15; Naomi Klein, On
Fire: The Burning Case for a Green New Deal (New York: Simon &
Schuster, 2019), 9–15.
[30]            
John Barry and Robyn Eckersley, eds., The State
and the Global Ecological Crisis (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 1–14.
[31]            
Robyn Eckersley, The Green State, 171–76;
Tim Jackson, Post Growth (Cambridge: Polity, 2021), 95–106.
8.          
Sintesis
Filosofis dan Relevansi Kontemporer
Setelah menelaah fondasi ontologis, epistemologis,
etis, sosial, dan politik dari Ekologisme, tahap sintesis filosofis
bertujuan untuk menegaskan posisi ekologisme sebagai paradigma yang mengintegrasikan
berbagai dimensi filsafat modern—ontologi, epistemologi, aksiologi, dan
praksis sosial-politik—ke dalam satu kesadaran baru: kesadaran ekologis.¹
Ekologisme tidak sekadar aliran etika lingkungan, tetapi juga revolusi
konseptual yang menawarkan pandangan alternatif terhadap realitas,
pengetahuan, dan nilai di era Antroposen, ketika eksistensi manusia dan bumi
saling mengancam satu sama lain.²
8.1.      
Ekologisme sebagai Paradigma
Filsafat Baru
Dalam ranah filsafat, ekologisme berfungsi sebagai sintesis
antara tradisi rasional modern dan kebijaksanaan ekologis kuno. Ia
menyatukan pandangan ilmiah tentang keterhubungan sistem kehidupan dengan
pandangan moral tentang tanggung jawab dan keberlanjutan.³ Fritjof Capra
menyebutnya sebagai “paradigma sistemik”, di mana kehidupan dipahami
bukan sebagai mekanisme terpisah, melainkan sebagai jaringan proses yang
saling menopang.⁴
Dengan demikian, ekologisme menantang dualisme
lama—antara subjek dan objek, manusia dan alam, rasio dan nilai—dan
menggantikannya dengan paradigma relasional-holistis, di mana keberadaan
ditentukan oleh keterhubungan.⁵ Ini menjadikan ekologisme lebih dari sekadar
cabang etika; ia adalah metafilosofi kehidupan yang menegaskan bahwa
segala bentuk keberadaan memiliki nilai dan makna intrinsik.⁶
8.2.      
Sintesis Ontologis: Dari
Antroposentrisme ke Kosmosentrisme
Ontologi ekologis menyatukan dimensi metafisik
dan empiris: dunia bukanlah objek pasif, melainkan totalitas yang hidup.⁷
Manusia tidak berada “di atas” atau “di luar” alam, tetapi “di
dalam” jejaring kehidupan yang lebih besar.⁸ Prinsip kosmosentris
menggantikan antroposentrisme modern dengan pandangan bahwa seluruh realitas
merupakan sistem saling-bergantung yang mengandung nilai intrinsik.⁹
Sintesis ini juga menemukan gema dalam filsafat
Timur—khususnya Taoisme dan Buddhisme—yang menekankan keselarasan dengan alam
dan keterhubungan semua makhluk.¹⁰ Dalam konteks kontemporer, pemikiran ini
menjadi dasar bagi teori ecological humanism, yang melihat manusia bukan
sebagai pusat, tetapi sebagai penjaga harmoni kehidupan.¹¹
8.3.      
Sintesis Epistemologis: Pengetahuan
sebagai Relasi dan Tanggung Jawab
Ekologisme mengajukan model epistemologi yang transdisipliner
dan partisipatif, memadukan sains modern, kearifan lokal, dan refleksi
filosofis.¹² Pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai dominasi atas objek,
melainkan sebagai relasi timbal balik antara manusia dan dunia.¹³ Donna
Haraway menyebutnya “pengetahuan tersituasi” (situated
knowledges), di mana objektivitas sejati muncul dari kesadaran akan posisi,
keterbatasan, dan tanggung jawab pengetahuan itu sendiri.¹⁴
Dalam konteks ini, epistemologi ekologis menolak
positivisme dan determinisme mekanistik. Ia menggantinya dengan paradigma kompleksitas—pengetahuan
yang mengakui ketidakpastian, non-linearitas, dan interkoneksi antar-sistem.¹⁵
Etika dan epistemologi saling menembus: memahami alam berarti mengasihi dan
menjaga keberlanjutannya.¹⁶
8.4.      
Sintesis Etis dan Aksiologis: Dari
Etika Individu ke Etika Planetar
Etika ekologis memperluas horizon moral dari relasi
manusia–manusia menjadi etika planetar yang meliputi makhluk hidup dan
sistem ekologis.¹⁷ Hans Jonas menekankan bahwa tindakan manusia kini berdampak
hingga pada kelangsungan biosfer, sehingga diperlukan imperatif tanggung
jawab yang berskala global dan lintas generasi.¹⁸
Sintesis aksiologis ini menempatkan kehidupan
(bios) sebagai nilai tertinggi.¹⁹ Prinsip-prinsip seperti deep ecology,
social ecology, dan eco-feminism—yang pada awalnya berdiri
sendiri—dapat dipahami sebagai ekspresi berbeda dari satu nilai universal: reverensi
terhadap kehidupan (reverence for life), sebagaimana dirumuskan oleh
Albert Schweitzer.²⁰ Dengan demikian, ekologisme menawarkan sistem nilai yang
bersifat bio-sentris dan interdependen, di mana kebaikan moral diukur
berdasarkan kontribusinya terhadap kelestarian kehidupan.²¹
8.5.      
Sintesis Sosial dan Politik: Menuju
Demokrasi Ekologis Global
Ekologisme juga menuntun pada rekonstruksi
politik modern melalui konsep demokrasi ekologis.²² Robyn Eckersley
menyebut hal ini sebagai Green State: negara yang bukan hanya mengatur
manusia, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekologis sebagai asas
legitimasi politiknya.²³ Dalam sistem ini, hak dan kewajiban warga negara
diperluas menjadi kewargaan ekologis (ecological citizenship), yang
mencakup tanggung jawab terhadap makhluk hidup lain dan generasi masa depan.²⁴
Di tingkat global, sintesis politik ekologis
memunculkan gagasan kosmopolitanisme ekologis, yaitu solidaritas lintas
batas negara demi perlindungan bumi sebagai rumah bersama.²⁵ Gagasan ini
menghubungkan ekologisme dengan teori keadilan global (Rawls, Pogge) dan
ekoteologi lintas agama, sehingga membuka jalan bagi etika global lintas
peradaban.²⁶
8.6.      
Relevansi Kontemporer: Ekologisme di
Era Antroposen
Dalam konteks kontemporer, dunia berada di bawah
tekanan krisis multidimensi—iklim, energi, pangan, dan sosial—yang
semuanya bersumber dari model peradaban eksploitatif.²⁷ Ekologisme menawarkan
paradigma baru bagi transformasi global melalui tiga dimensi utama:
1)                 
Kognitif, dengan
mengubah cara berpikir manusia tentang alam dari objek ke relasi.²⁸
2)                 
Normatif, dengan
membangun etika tanggung jawab ekologis global.²⁹
3)                 
Institusional, dengan
mendorong sistem ekonomi dan politik berbasis keberlanjutan.³⁰
Konsep Antroposen—era di mana manusia
menjadi kekuatan geologis—menegaskan perlunya kesadaran filosofis baru.³¹
Ekologisme, dalam hal ini, menjadi basis moral dan epistemik bagi peradaban
yang lebih rendah hati, adil, dan selaras dengan bumi.³²
8.7.      
Ekologisme sebagai Filsafat Harapan
dan Transformasi
Pada akhirnya, ekologisme bukan hanya proyek ilmiah
atau politik, tetapi filsafat harapan (philosophy of hope).³³ Ia
menolak fatalisme ekologis dan menegaskan potensi manusia untuk berubah melalui
kesadaran, dialog, dan solidaritas.³⁴ Sejalan dengan gagasan Paulo Freire
tentang kesadaran kritis (conscientização), ekologisme menyerukan
pendidikan yang membebaskan manusia dari ideologi antroposentris menuju
kesadaran ekologis yang reflektif dan emansipatoris.³⁵
Ekologisme mengajarkan bahwa transformasi sejati
bukan sekadar perubahan struktur, melainkan transformasi kesadaran.³⁶
Dengan kesadaran ini, filsafat tidak lagi menjadi kontemplasi pasif, tetapi
tindakan reflektif untuk memulihkan keseimbangan kehidupan di bumi.³⁷
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th
ed. (London: Routledge, 2007), 2–3.
[2]               
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 8–12.
[3]               
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 15.
[4]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 34.
[5]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 41–43.
[6]               
Murray Bookchin, The Philosophy of Social
Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 18.
[7]               
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on
Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 24–26.
[8]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 29–30.
[9]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 22–25.
[10]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston:
Shambhala, 1975), 102–105.
[11]            
John Barry, Environment and Social Theory
(London: Routledge, 1999), 28–29.
[12]            
Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New
York: Routledge, 2012), 1–7.
[13]            
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–101.
[14]            
Donna J. Haraway, “Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–99.
[15]            
Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ:
Hampton Press, 2008), 9–13.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 121–24.
[17]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 224–25.
[18]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
11–15.
[19]            
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[20]            
Albert Schweitzer, Civilization and Ethics,
trans. C. T. Campion (London: A. & C. Black, 1949), 247–48.
[21]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 150–58.
[22]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 1–6.
[23]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 91–93.
[24]            
Andrew Dobson, Citizenship and the Environment
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 83–101.
[25]            
David Schlosberg, Defining Environmental Justice
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 201–204.
[26]            
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1999), 38–40; Pope Francis, Laudato Si’: On
Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015),
13.
[27]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 21–25.
[28]            
Capra, The Hidden Connections: A Science for
Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 50–52.
[29]            
Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon
Tyne: Agenda Publishing, 2018), 33–41.
[30]            
Tim Jackson, Prosperity without Growth, 2nd
ed. (London: Routledge, 2017), 122–35.
[31]            
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 9–11.
[32]            
Bruno Latour, Down to Earth: Politics in the New
Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2018), 45–49.
[33]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 268.
[34]            
Ernst Bloch, The Principle of Hope, trans.
Neville Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press,
1986), 4–5.
[35]            
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 35–37.
[36]            
Eckersley, The Green State, 171–72.
[37]            
Capra, The Web of Life, 41.
9.          
Kesimpulan
Ekologisme, sebagaimana telah diuraikan dalam
seluruh pembahasan sebelumnya, merupakan paradigma filsafat sosial-politik
yang menandai pergeseran besar dalam kesadaran manusia terhadap realitas,
pengetahuan, nilai, dan tindakan. Ia lahir dari kesadaran akan krisis
ekologis global yang tidak hanya bersifat ilmiah atau teknis, tetapi juga krisis
moral, epistemologis, dan ontologis.¹ Sebagai sebuah filsafat, ekologisme
tidak sekadar mengajarkan pelestarian lingkungan, melainkan menawarkan kerangka
berpikir baru tentang makna keberadaan manusia dalam jejaring kehidupan
yang luas dan saling tergantung.²
9.1.      
Rekapitulasi Argumentatif
Secara ontologis, ekologisme menolak pandangan
mekanistik dan antroposentris yang memisahkan manusia dari alam.³ Alam bukanlah
sekadar sumber daya, tetapi entitas hidup yang memiliki nilai intrinsik dan
martabat ontologis.⁴ Pandangan ini membawa konsekuensi filosofis bahwa
relasi manusia dengan dunia tidak lagi bersifat dominatif, melainkan
partisipatif—manusia menjadi bagian dari sistem ekologis, bukan penguasanya.⁵
Secara epistemologis, ekologisme menegaskan
perlunya pengetahuan relasional, kontekstual, dan refleksif, yang
mengakui kompleksitas serta keterbatasan manusia dalam memahami alam.⁶
Pengetahuan ekologis tidak dapat dipisahkan dari nilai dan tanggung jawab; cara
kita mengetahui dunia menentukan cara kita memperlakukan dunia.⁷ Oleh sebab
itu, ekologisme menggabungkan ilmu, pengalaman, dan kebijaksanaan lokal sebagai
sumber pengetahuan yang saling melengkapi.⁸
Secara aksiologis dan etis, ekologisme memperluas
cakrawala moral hingga mencakup semua makhluk hidup dan ekosistem sebagai
subjek moral.⁹ Prinsip tanggung jawab ekologis, sebagaimana dirumuskan
oleh Hans Jonas, menjadi landasan etika baru yang menuntut manusia untuk
bertindak demi keberlangsungan kehidupan di bumi, bahkan bagi generasi yang
belum lahir.¹⁰ Etika ini bukan hanya kewajiban moral individual, tetapi juga imperatif
kolektif dalam penyusunan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi.¹¹
Secara sosial-politik, ekologisme menawarkan proyek
rekonstruksi masyarakat dan negara yang berlandaskan pada keadilan ekologis,
demokrasi partisipatif, dan solidaritas lintas generasi.¹² Melalui konsep Green
State (Eckersley), ecological citizenship (Dobson), dan social
ecology (Bookchin), ekologisme memperluas makna kewargaan, hak, dan
kebebasan menjadi lebih ekologis dan interdependen.¹³ Dengan demikian, politik
ekologis bukan hanya soal regulasi lingkungan, tetapi transformasi paradigma
kekuasaan dan pembangunan menuju tatanan dunia yang lebih adil dan
berkelanjutan.¹⁴
9.2.      
Kontribusi Filsafat Ekologisme
terhadap Pemikiran Modern
Kontribusi utama ekologisme terhadap filsafat
modern terletak pada kemampuannya menyatukan dimensi ilmiah dan moralitas
kosmis dalam satu kerangka koheren.¹⁵ Ia mengoreksi rasionalitas
instrumental modern yang menundukkan alam menjadi objek, dan menggantinya
dengan rasionalitas komunikatif serta etika tanggung jawab ekologis.¹⁶ Dalam
hal ini, ekologisme berfungsi sebagai filsafat korektif terhadap modernitas:
ia tidak menolak kemajuan sains dan teknologi, tetapi menuntut agar keduanya
diarahkan kepada keberlanjutan dan keseimbangan hidup.¹⁷
Lebih jauh, ekologisme membuka jalan bagi dialog
lintas budaya dan peradaban, karena nilai-nilai ekologis bersifat
universal—ditemukan dalam tradisi Barat maupun Timur, dalam spiritualitas
religius maupun dalam sains modern.¹⁸ Dengan demikian, ekologisme berpotensi
menjadi bahasa etika global yang mampu menjembatani perbedaan ideologis
dalam menghadapi krisis planet bersama.¹⁹
9.3.      
Relevansi Kontemporer dan Tantangan
ke Depan
Di era Antroposen, ketika manusia telah menjadi kekuatan
geologis yang mengubah sistem bumi, ekologisme menjadi filsafat yang paling
relevan bagi kelangsungan peradaban.²⁰ Tantangan terbesar manusia saat ini
bukan hanya bertahan hidup, tetapi bertahan secara bermoral dan berkeadilan
di dunia yang terbatas.²¹ Ekologisme mengingatkan bahwa krisis ekologis tidak
dapat diselesaikan oleh logika yang sama yang menimbulkannya: eksploitasi,
pertumbuhan tanpa batas, dan pemisahan antara manusia dan alam.²²
Namun, untuk benar-benar menjadi kekuatan
transformasional, ekologisme harus menghadapi tiga tantangan mendasar. Pertama,
menghindari reduksi moralistik yang menjadikan ekologisme sekadar
idealisme hijau tanpa strategi konkret. Kedua, menghindari
eko-otoritarianisme, yaitu kecenderungan memaksakan kebijakan ekologis
tanpa partisipasi demokratis. Ketiga, menjaga keseimbangan antara visi
global dan aksi lokal, agar keberlanjutan tidak menjadi proyek elitis,
melainkan gerakan kolektif yang melibatkan masyarakat akar rumput.²³
Meskipun tantangan tersebut besar, potensi
ekologisme tetap kuat karena ia berakar pada prinsip universal kehidupan itu
sendiri—keterhubungan, keberagaman, dan keberlanjutan.²⁴ Dalam kerangka
ini, ekologisme bukan sekadar filsafat “tentang alam”, melainkan filsafat
kehidupan yang menata ulang hubungan manusia dengan bumi dan dirinya sendiri.²⁵
Penutup:
Menuju Kesadaran Ekologis Global
Akhirnya, ekologisme dapat dipahami sebagai proyek
peradaban baru yang berupaya menyatukan kembali rasionalitas, etika, dan
spiritualitas dalam satu kesadaran ekologis global.²⁶ Ia mengajarkan bahwa
keberadaan manusia menemukan maknanya bukan dalam dominasi, tetapi dalam
partisipasi; bukan dalam pemisahan, tetapi dalam kesalingterhubungan.²⁷
Dalam dunia yang semakin terancam oleh krisis
iklim, konflik sumber daya, dan ketimpangan sosial, ekologisme menawarkan visi
etis dan filosofis tentang harapan—bahwa manusia masih dapat menata kembali
kehidupannya secara adil, rendah hati, dan selaras dengan bumi.²⁸ Dengan
demikian, ekologisme bukanlah akhir dari filsafat politik modern, tetapi babak
baru dari pencarian manusia akan kebijaksanaan yang berpihak pada
kehidupan.²⁹
Footnotes
[1]               
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 11–15.
[2]               
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th
ed. (London: Routledge, 2007), 2–3.
[3]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 41–43.
[4]               
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth
(Oxford: Oxford University Press, 1979), 24–26.
[5]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–29.
[6]               
Donna J. Haraway, “Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–99.
[7]               
Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New
York: Routledge, 2012), 1–7.
[8]               
Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ:
Hampton Press, 2008), 12.
[9]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 224–25.
[10]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 121–24.
[11]            
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 19–22.
[12]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 24–36.
[13]            
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking
Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 91–93; Andrew
Dobson, Citizenship and the Environment (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 83–101.
[14]            
John S. Dryzek, The Politics of the Earth:
Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013),
211–15.
[15]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 35.
[16]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
[17]            
Tim Jackson, Prosperity without Growth, 2nd
ed. (London: Routledge, 2017), 122–35.
[18]            
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston:
Shambhala, 1975), 101–104.
[19]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13–15.
[20]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 9–11.
[21]            
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 8–10.
[22]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 21–25.
[23]            
Larry Lohmann, “Carbon Trading, Climate Justice and
the Production of Ignorance,” Development 51, no. 3 (2008): 359–65.
[24]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 150–58.
[25]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
10–12.
[26]            
Robyn Eckersley, The Green State, 171–72.
[27]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science
for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 50–52.
[28]            
Murray Bookchin, The Philosophy of Social
Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 31.
[29]            
Ernst Bloch, The Principle of Hope, trans.
Neville Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press,
1986), 4–5.
Daftar Pustaka
Buku dan
Monograf
Barry, J. (1999). Environment and social theory.
Routledge.
Baxter, B. (2000). Ecologism: An introduction.
Georgetown University Press.
Bloch, E. (1986). The principle of hope (N.
Plaice, S. Plaice, & P. Knight, Trans.). MIT Press.
Bookchin, M. (1990). The philosophy of social
ecology. Black Rose Books.
Bookchin, M. (2005). The ecology of freedom: The
emergence and dissolution of hierarchy. AK Press.
Berkes, F. (2012). Sacred ecology (3rd ed.).
Routledge.
Capra, F. (1975). The Tao of physics. Shambhala.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. Anchor Books.
Capra, F. (2002). The hidden connections: A
science for sustainable living. Anchor Books.
Callicott, J. B. (1989). In defense of the land
ethic. State University of New York Press.
Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton
Mifflin.
Clapp, J., & Dauvergne, P. (2011). Paths to
a green world: The political economy of the global environment (2nd ed.).
MIT Press.
Daly, H. E. (1991). Steady-state economics.
Island Press.
Dobson, A. (1998). Justice and the environment:
Conceptions of environmental sustainability and dimensions of social justice.
Oxford University Press.
Dobson, A. (2003). Citizenship and the
environment. Oxford University Press.
Dobson, A. (2007). Green political thought
(4th ed.). Routledge.
Dryzek, J. S. (2013). The politics of the earth:
Environmental discourses (3rd ed.). Oxford University Press.
Dryzek, J. S., & Pickering, J. (2019). The
politics of the Anthropocene. Oxford University Press.
Eckersley, R. (1992). Environmentalism and
political theory: Toward an ecocentric approach. State University of New
York Press.
Eckersley, R. (2004). The green state:
Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.
Elgin, D. (1993). Voluntary simplicity.
William Morrow.
Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology:
Materialism and nature. Monthly Review Press.
Foster, J. B., Clark, B., & York, R. (2010). The
ecological rift: Capitalism’s war on the Earth. Monthly Review Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The fate of
humans in the Anthropocene. Polity Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Haraway, D. J. (1988). Situated knowledges: The
science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist
Studies, 14(3), 575–599.
Hornborg, A. (2001). The power of the machine:
Global inequalities of economy, technology, and environment. AltaMira Press.
Illich, I. (1973). Tools for conviviality.
Harper & Row.
Jackson, T. (2017). Prosperity without growth
(2nd ed.). Routledge.
Jackson, T. (2021). Post growth: Life after
capitalism. Polity Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility:
In search of an ethics for the technological age. University of Chicago
Press.
Kallis, G. (2018). Degrowth. Agenda
Publishing.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Klein, N. (2019). On fire: The burning case for
a Green New Deal. Simon & Schuster.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures
on the new climatic regime. Polity Press.
Latour, B. (2018). Down to Earth: Politics in
the new climatic regime. Polity Press.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
Oxford University Press.
Lovelock, J. (1979). Gaia: A new look at life on
Earth. Oxford University Press.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., &
Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. Universe Books.
Morin, E. (2008). On complexity. Hampton
Press.
Naess, A. (1973). The shallow and the deep,
long-range ecology movement: A summary. Inquiry, 16(1–4), 95–100.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Nixon, R. (2011). Slow violence and the
environmentalism of the poor. Harvard University Press.
Nordhaus, T., & Shellenberger, M. (2007). Break
through: From the death of environmentalism to the politics of possibility.
Houghton Mifflin.
Nordhaus, W. D. (2013). The climate casino:
Risk, uncertainty, and economics for a warming world. Yale University
Press.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
Ophuls, W. (1977). Ecology and the politics of
scarcity. W. H. Freeman.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of
nature. Routledge.
Rawls, J. (1999). The law of peoples.
Harvard University Press.
Regan, T. (1983). The case for animal rights.
University of California Press.
Schlosberg, D. (2007). Defining environmental
justice. Oxford University Press.
Schweitzer, A. (1949). Civilization and ethics
(C. T. Campion, Trans.). A. & C. Black.
Scruton, R. (2012). Green philosophy: How to
think seriously about the planet. Oxford University Press.
Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology,
and development. Zed Books.
Shiva, V. (1997). Biopiracy: The plunder of
nature and knowledge. South End Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Smil, V. (2019). Growth: From microorganisms to
megacities. MIT Press.
Stirling, A. (2010). Keep it complex. Nature,
468(7327), 1029–1031.
Stone, C. D. (1972). Should trees have
standing?—Toward legal rights for natural objects. Southern California Law
Review, 45, 450–501.
Warren, K. J. (1990). The power and the promise of
ecological feminism. Environmental Ethics, 12(2), 129–145.
Laporan
dan Dokumen Internasional
Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). (1991). Recommendation of the council on the use of
economic instruments in environmental policy. OECD.
Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Republic of Ecuador. (2008). Constitución de la
República del Ecuador. Asamblea Nacional.
United Nations. (1972). Report of the United
Nations Conference on the Human Environment (Stockholm, 1972). United
Nations.
United Nations. (1992). Rio declaration on
environment and development. United Nations.
United Nations. (1997). Kyoto Protocol to the
United Nations Framework Convention on Climate Change. United Nations.
United Nations. (2007). United Nations
declaration on the rights of indigenous peoples. United Nations.
United Nations. (2015). Paris Agreement.
United Nations.
Artikel
Jurnal dan Esai Penting
Funtowicz, S. O., & Ravetz, J. R. (1993).
Science for the post-normal age. Futures, 25(7), 739–755.
Lohmann, L. (2008). Carbon trading, climate justice
and the production of ignorance. Development, 51(3), 359–365.
Norton, B. G. (1992). Epistemology and
environmental values. The Monist, 75(2), 208–226.
Karya
Kolektif dan Suntingan
Barry, J., & Eckersley, R. (Eds.). (2005). The
state and the global ecological crisis. MIT Press.
Doherty, B., & de Geus, M. (Eds.). (1996). Democracy
and green political thought: Sustainability, rights and citizenship.
Routledge.
Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental
ethics: An anthology. Blackwell.
Karya
Tambahan Relevan
Acosta, A. (2013). Buen vivir: Sumak kawsay, una
oportunidad para imaginar otros mundos. Ediciones Abya-Yala.
Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power,
politics, and the planetary costs of artificial intelligence. Yale
University Press.
Latouche, S. (2009). Farewell to growth.
Polity Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar