Rabu, 15 Oktober 2025

Ekologisme: Etika, Keadilan, dan Transformasi Peradaban

Ekologisme

Etika, Keadilan, dan Transformasi Peradaban


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ekologisme sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik kontemporer yang menawarkan paradigma baru bagi hubungan antara manusia, masyarakat, dan alam. Kajian ini menelusuri landasan historis, ontologis, epistemologis, etis, sosial, dan politik dari Ekologisme, sekaligus mengulas berbagai kritik dan tantangan terhadapnya dalam konteks global modern. Berawal dari kesadaran akan krisis ekologis planet yang bersumber pada antroposentrisme dan kapitalisme industrial, Ekologisme berkembang sebagai gerakan filosofis yang menggabungkan ilmu, etika, dan politik menuju visi keadilan ekologis dan keberlanjutan planetar.

Secara ontologis, Ekologisme menolak dualisme manusia–alam dan menggantikannya dengan pandangan kosmosentris yang menempatkan kehidupan sebagai jaringan interdependen. Secara epistemologis, ia mengedepankan pengetahuan relasional dan partisipatif yang melibatkan keterlibatan moral dalam memahami realitas ekologis. Dalam ranah etika dan aksiologi, Ekologisme menegaskan prinsip tanggung jawab lintas generasi, menempatkan kehidupan sebagai nilai intrinsik tertinggi. Sementara dalam ranah sosial-politik, ia mendorong pembentukan demokrasi ekologis, kewargaan ekologis, dan negara hijau (Green State) sebagai bentuk institusional dari tanggung jawab ekologis kolektif.

Selain itu, artikel ini menguraikan relevansi kontemporer Ekologisme di era Antroposen, ketika manusia menjadi kekuatan geologis yang mengancam keberlanjutan bumi. Dalam konteks global, Ekologisme menentang ketimpangan ekologis antara Utara–Selatan, kolonialisme hijau, serta logika kapitalisme hijau yang masih berorientasi pada pertumbuhan. Ia menawarkan visi alternatif berupa paradigma keberlanjutan yang adil, berbasis solidaritas, kebijaksanaan ekologis, dan transformasi kesadaran manusia.

Pada akhirnya, Ekologisme dipahami sebagai filsafat kehidupan dan harapan, yang mengintegrasikan dimensi ilmiah, moral, dan spiritual menuju peradaban baru yang selaras dengan bumi. Ia menegaskan bahwa krisis ekologis tidak hanya menuntut perubahan teknologi, tetapi juga revolusi kesadaran tentang tempat manusia dalam kosmos. Dengan demikian, Ekologisme hadir bukan sekadar sebagai ideologi hijau, melainkan sebagai proyek etis-filosofis global bagi masa depan kehidupan di planet ini.

Kata Kunci: Ekologisme; filsafat sosial-politik; keadilan ekologis; demokrasi ekologis; etika lingkungan; Antroposen; tanggung jawab ekologis; keberlanjutan planetar.


PEMBAHASAN

Ekologisme sebagai Paradigma Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Krisis ekologis global dewasa ini merupakan salah satu tantangan terbesar bagi peradaban manusia modern. Perubahan iklim, deforestasi, polusi industri, hilangnya keanekaragaman hayati, serta eksploitasi sumber daya alam secara masif telah menimbulkan ketidakseimbangan ekologis yang berdampak luas terhadap sistem sosial, ekonomi, dan politik dunia. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis lingkungan, melainkan juga mencerminkan krisis nilai, moral, dan paradigma berpikir manusia tentang relasinya dengan alam. Dalam konteks inilah muncul Ekologisme, suatu aliran dalam filsafat sosial-politik yang berupaya mengubah secara radikal cara manusia memahami dan menata hubungan antara dirinya, masyarakat, dan alam semesta.

Secara historis, munculnya Ekologisme dapat ditelusuri pada perkembangan pemikiran lingkungan sejak pertengahan abad ke-20, terutama setelah publikasi karya Rachel Carson Silent Spring (1962), yang menandai titik balik kesadaran ekologis global terhadap bahaya degradasi lingkungan akibat modernisasi dan industrialisasi tanpa batas.¹ Gerakan lingkungan yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa pada dekade 1960–1970-an melahirkan kesadaran baru bahwa sistem ekonomi kapitalistik dan pandangan dunia antroposentris menjadi penyebab utama kerusakan ekologis.² Dalam ranah filsafat sosial-politik, kesadaran ini bertransformasi menjadi kritik terhadap ideologi modern seperti liberalisme dan sosialisme, yang dinilai sama-sama menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu, mengabaikan nilai intrinsik alam.³

Ekologisme hadir sebagai paradigma baru yang menolak antroposentrisme dan menggantinya dengan pandangan ekosentris, yakni pandangan bahwa seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis memiliki nilai moral dan keberhakan eksistensial yang sama.⁴ Dengan demikian, Ekologisme tidak hanya mempersoalkan bagaimana manusia memanfaatkan alam, tetapi juga menegaskan pentingnya keadilan ekologis — termasuk bagi generasi mendatang dan bagi makhluk hidup non-manusia.⁵ Prinsip ini menuntut transformasi etika, epistemologi, dan politik agar lebih selaras dengan tatanan ekologis, bukan sekadar kepentingan ekonomi dan kekuasaan manusia.

Dalam konteks filsafat sosial-politik, Ekologisme memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana konsep keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab dapat didefinisikan ulang dalam kerangka hubungan ekologis yang saling tergantung?⁶ Jika dalam paradigma modern, keadilan sering dipahami sebagai relasi antarindividu dalam masyarakat, maka dalam paradigma ekologis, keadilan harus diperluas menjadi keadilan ekologis (ecological justice) yang mencakup relasi antara manusia, makhluk hidup lainnya, dan lingkungan alam.⁷ Demikian pula, kebebasan tidak lagi dimaknai sebagai dominasi manusia atas alam, melainkan sebagai kemampuan manusia untuk hidup dalam harmoni dan kesalingtergantungan ekologis.

Secara normatif, Ekologisme juga menantang tatanan politik dan ekonomi global yang masih berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas. Murray Bookchin, melalui konsep social ecology, menegaskan bahwa krisis ekologis berakar pada struktur sosial yang hierarkis dan eksploitatif.⁸ Oleh karena itu, penyelesaian krisis ekologis tidak cukup hanya melalui reformasi teknologi atau kebijakan lingkungan, tetapi membutuhkan perubahan struktural menuju tatanan sosial yang egaliter, partisipatif, dan berkeadilan ekologis.⁹

Selain itu, Ekologisme mengandung dimensi moral yang mendalam. Hans Jonas dalam karyanya The Imperative of Responsibility (1979) menekankan pentingnya etika tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan di bumi.¹⁰ Manusia, menurut Jonas, memiliki kewajiban moral untuk bertindak secara bertanggung jawab terhadap keberlanjutan biosfer karena kapasitas teknologinya yang dapat memusnahkan kehidupan.¹¹ Dengan demikian, Ekologisme bukan hanya ideologi politik, tetapi juga filsafat moral dan eksistensial yang mengubah relasi manusia dengan dunia secara fundamental.

Tujuan utama kajian ini adalah untuk menelaah Ekologisme sebagai paradigma dalam filsafat sosial-politik yang menawarkan fondasi baru bagi keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab ekologis. Artikel ini akan menguraikan landasan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis Ekologisme, serta menganalisis implikasi sosial dan politiknya dalam konteks kontemporer. Dengan pendekatan filosofis yang sistematis dan kritis, kajian ini berupaya menunjukkan bahwa Ekologisme bukan sekadar reaksi terhadap krisis lingkungan, tetapi juga merupakan proyek filosofis yang menuntut revolusi nilai dan paradigma dalam peradaban manusia.¹²


Footnotes

[1]                Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962), 45.

[2]                Andrew Dobson, Green Political Thought (London: Routledge, 2007), 3–5.

[3]                John Barry, Environment and Social Theory (London: Routledge, 1999), 21.

[4]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.

[5]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 15.

[6]                Brian Baxter, Ecologism: An Introduction (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 42.

[7]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 4–7.

[8]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 12.

[9]                Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 18–20.

[10]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121.

[11]             Ibid., 127.

[12]             Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship (London: Routledge, 1996), 10.


2.           Landasan Historis dan Konseptual Ekologisme

Pemikiran ekologis modern memiliki akar sejarah yang panjang, mencakup perkembangan ide-ide tentang hubungan manusia dengan alam sejak zaman Yunani kuno hingga munculnya gerakan lingkungan pada abad ke-20. Dalam konteks filsafat sosial-politik, Ekologisme tidak hanya muncul sebagai respons terhadap krisis lingkungan modern, tetapi juga sebagai bentuk kritik terhadap paradigma rasionalitas dan modernitas yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa atas alam.¹ Dengan demikian, untuk memahami Ekologisme secara komprehensif, perlu ditelusuri landasan historis dan konseptualnya—baik dari segi evolusi ide maupun pergeseran paradigma filosofis yang melatarbelakanginya.

2.1.       Akar Historis Pemikiran Ekologis

Pemikiran yang mengandung semangat ekologis sebenarnya telah hadir dalam berbagai tradisi filsafat dan kebudayaan kuno. Filsafat Yunani klasik, misalnya, telah mengenal gagasan tentang kosmos sebagai tatanan alam yang harmonis. Tokoh seperti Herakleitos melihat alam sebagai satu kesatuan yang dinamis diatur oleh logos, yakni prinsip keteraturan dan perubahan yang menyatukan semua unsur kehidupan.² Demikian pula, tradisi Timur seperti Taoisme dan Buddhisme mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam semesta, menekankan prinsip wu wei (bertindak selaras dengan alam) dan pratītya-samutpāda (ketergantungan timbal balik).³

Namun, sejak Revolusi Ilmiah pada abad ke-17, pandangan dunia yang holistik ini mulai tergantikan oleh paradigma mekanistik dan dualistik yang diperkenalkan oleh filsuf seperti René Descartes dan Francis Bacon.⁴ Alam direduksi menjadi objek material yang dapat dikendalikan dan dieksploitasi melalui sains dan teknologi. Hal ini menandai munculnya antroposentrisme modern, di mana manusia dipandang sebagai subjek rasional yang terpisah dan superior terhadap alam.⁵ Dalam konteks ini, Ekologisme dapat dilihat sebagai reaksi filosofis terhadap dampak-dampak destruktif dari paradigma modernitas tersebut.

Kesadaran ekologis mulai bangkit kembali pada abad ke-19 melalui tulisan-tulisan tokoh seperti Henry David Thoreau dan John Muir di Amerika Serikat, yang mengajukan gagasan spiritualitas alam dan nilai intrinsik lingkungan.⁶ Pemikiran ini kemudian berkembang dalam gerakan conservation dan preservation yang menjadi cikal bakal munculnya gerakan lingkungan modern. Namun, titik balik yang menentukan bagi kesadaran ekologis global terjadi pada abad ke-20, terutama setelah publikasi karya Rachel Carson Silent Spring (1962), yang membuka mata dunia terhadap dampak ekologis dari pestisida dan industrialisasi.⁷

2.2.       Transformasi Menuju Paradigma Ekologisme

Gerakan lingkungan yang muncul pada dekade 1960–1970-an melahirkan apa yang disebut sebagai “revolusi hijau” dalam pemikiran politik”, ketika isu lingkungan mulai dikaitkan dengan struktur ekonomi, kekuasaan, dan keadilan sosial.⁸ Dalam konteks ini, istilah Ecologism pertama kali digunakan secara sistematis oleh Andrew Dobson untuk membedakan antara environmentalism (pendekatan reformis) dan ecologism (pendekatan filosofis-radikal).⁹ Environmentalism lebih menekankan solusi teknis terhadap masalah lingkungan—misalnya pengelolaan sumber daya dan pengurangan polusi—sedangkan Ecologism menuntut perubahan paradigma yang menyentuh akar moral, politik, dan epistemologis dari hubungan manusia dengan alam.¹⁰

Secara konseptual, Ekologisme berlandaskan pada pandangan ekosentrisme (ecocentrism), yang memandang alam bukan sekadar sarana bagi manusia, melainkan komunitas kehidupan yang memiliki nilai intrinsik.¹¹ Prinsip ini menolak pandangan antroposentrisme (anthropocentrism), yaitu keyakinan bahwa manusia adalah pusat moralitas dan tujuan akhir dari semua tindakan.¹² Dalam paradigma ekosentris, manusia hanyalah salah satu unsur dari jaringan kehidupan yang saling bergantung, dan karenanya memiliki tanggung jawab moral terhadap kelestarian sistem ekologis secara keseluruhan.

Pemikiran ini diperkaya oleh berbagai aliran turunan, seperti deep ecology yang dikembangkan oleh Arne Naess, yang menekankan perubahan kesadaran diri ekologis (ecological self), serta social ecology yang dirintis oleh Murray Bookchin, yang mengaitkan krisis ekologis dengan struktur sosial hierarkis dan dominasi manusia atas manusia lainnya.¹³ Selain itu, eco-feminism yang dipelopori oleh Vandana Shiva dan Val Plumwood menunjukkan adanya keterkaitan antara penindasan terhadap alam dan patriarki dalam sistem sosial modern.¹⁴ Ketiga pendekatan ini memperluas horizon Ekologisme sebagai filsafat sosial-politik yang tidak hanya membela alam, tetapi juga menyerukan emansipasi ekologis yang meliputi keadilan sosial dan moralitas lintas spesies.

2.3.       Ekologisme sebagai Paradigma Filsafat Sosial-Politik

Dalam konteks filsafat sosial-politik, Ekologisme merupakan kritik terhadap seluruh sistem nilai modern yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi tanpa batas dan penguasaan terhadap alam. Ia mengusulkan suatu tatanan normatif baru yang berorientasi pada keberlanjutan, keseimbangan, dan keadilan ekologis.¹⁵ Pemikiran ini menuntut redefinisi konsep politik tradisional seperti kebebasan, keadilan, dan hak, agar tidak lagi terbatas pada relasi antarindividu, tetapi juga mencakup relasi ekologis.¹⁶

Keadilan dalam perspektif Ekologisme tidak hanya berarti distribusi sumber daya secara adil antar manusia, melainkan juga penghormatan terhadap hak-hak makhluk hidup lain serta tanggung jawab terhadap generasi mendatang.¹⁷ Hal ini melahirkan konsep keadilan ekologis (ecological justice) dan demokrasi ekologis (ecological democracy) yang menempatkan partisipasi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan sebagai fondasi politik baru.¹⁸

Dengan demikian, Ekologisme dapat dipahami sebagai sintesis antara filsafat moral, politik, dan ekologi, yang berupaya mengembalikan manusia ke dalam kesatuan kosmis yang lebih luas. Ia bukan hanya gerakan etis, tetapi juga proyek peradaban baru yang berakar pada kesadaran ekologis sebagai landasan bagi masa depan sosial-politik umat manusia.¹⁹


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 2.

[2]                Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), 45.

[3]                Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 101–104.

[4]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 35–38.

[5]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41.

[6]                Henry David Thoreau, Walden; or, Life in the Woods (Boston: Ticknor and Fields, 1854), 67.

[7]                Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962), 15.

[8]                John Barry, Environment and Social Theory (London: Routledge, 1999), 18.

[9]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 8.

[10]             Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 12.

[11]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.

[12]             Bryan Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 22.

[13]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 31–33.

[14]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 4–6; Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 7.

[15]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 23–26.

[16]             Brian Baxter, Ecologism: An Introduction (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 42.

[17]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7.

[18]             Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship (London: Routledge, 1996), 12.

[19]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 130.


3.           Ontologi Ekologisme

Ontologi ekologisme berangkat dari pandangan dasar bahwa realitas bukan sekadar kumpulan benda-benda yang terpisah, melainkan suatu jaringan kehidupan yang saling terhubung secara dinamis dan organis. Berbeda dari ontologi mekanistik yang lahir dari filsafat modern dan melihat alam sebagai mesin yang dapat direduksi menjadi bagian-bagian terpisah, ontologi ekologis memandang keberadaan sebagai relasi, bukan substansi.¹ Dengan kata lain, yang primer bukanlah entitas individual, melainkan keterhubungan antar-entitas yang membentuk ekosistem kehidupan secara keseluruhan.

3.1.       Alam sebagai Kesatuan Organis dan Relasional

Dalam kerangka ekologisme, alam dipahami sebagai organisme hidup (living organism) yang memiliki nilai dan kehendak intrinsik.² Pemikiran ini sejalan dengan pandangan ekosentris Arne Naess, yang menolak dualisme antara manusia dan alam.³ Naess menegaskan bahwa semua makhluk hidup memiliki hak untuk hidup dan berkembang sesuai dengan potensinya, terlepas dari manfaatnya bagi manusia. Oleh karena itu, ontologi ekologisme menolak gagasan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa atas realitas.

Ontologi ini berpijak pada kesadaran bahwa setiap unsur alam memiliki nilai intrinsik (intrinsic value), bukan semata nilai instrumental.⁴ Dalam ekosistem, tidak ada hierarki moral absolut antara manusia dan makhluk lain; semua entitas eksis dalam hubungan saling ketergantungan (interdependensi) yang membentuk keseimbangan ekologis. Murray Bookchin menggambarkan hal ini sebagai “komunitas kehidupan” (community of life) di mana manusia hanyalah salah satu anggota di dalamnya, bukan pemegang otoritas tertinggi.⁵

Dengan demikian, realitas ekologis bersifat holistik dan relasional, di mana keberadaan suatu makhluk tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan konteks ekologisnya. Fritjof Capra menjelaskan bahwa dalam paradigma ekologi, dunia tidak lagi dipahami sebagai mesin Newtonian, tetapi sebagai jaringan (web of life) yang terus berubah dan saling memengaruhi.⁶ Alam bukanlah objek mati, melainkan sistem kompleks yang memiliki autopoiesis—kemampuan mengatur dan mempertahankan dirinya secara mandiri.⁷

3.2.       Penolakan terhadap Dualisme dan Reduksionisme Modern

Ontologi ekologisme secara eksplisit mengkritik dualitas ontologis yang diwariskan oleh filsafat Barat modern, terutama dikotomi subjek–objek, manusia–alam, dan budaya–materi.⁸ Dualisme ini, sebagaimana dijelaskan oleh Carolyn Merchant, telah menempatkan alam sebagai entitas pasif yang tunduk pada eksploitasi ilmiah dan ekonomi.⁹ Dalam tradisi Descartesian, alam direduksi menjadi materi tanpa jiwa, sementara manusia dipandang sebagai satu-satunya makhluk rasional yang memiliki kesadaran dan nilai moral.

Ekologisme membalik asumsi tersebut dengan menegaskan bahwa kesadaran dan kehidupan bukan monopoli manusia, melainkan dimensi ontologis yang melintasi seluruh eksistensi. Val Plumwood menyebut bahwa cara berpikir dualistik ini melahirkan logic of domination—logika penaklukan yang tidak hanya menindas alam, tetapi juga perempuan dan kelompok tertindas lainnya.¹⁰ Ontologi ekologis, sebaliknya, menekankan logic of mutuality, yaitu prinsip kesalinghubungan dan keterlibatan antar semua bentuk kehidupan.¹¹

Dengan menghapus dikotomi antara subjek dan objek, ekologisme menggeser posisi manusia dari pengamat pasif menjadi bagian integral dari sistem kehidupan. Manusia bukan penguasa yang berdiri di luar alam, melainkan makhluk ekologis yang eksistensinya bergantung pada keselamatan dan keseimbangan ekosistem.¹² Hal ini menciptakan dasar moral baru bahwa segala tindakan manusia terhadap alam memiliki konsekuensi ontologis dan etis yang tak terpisahkan.

3.3.       Realitas sebagai Jaringan Interdependensi dan Proses

Ontologi ekologisme juga menolak pandangan substansialis yang melihat realitas sebagai sesuatu yang tetap dan statis. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa realitas bersifat prosesual dan saling terkait. Alfred North Whitehead dalam Process and Reality menekankan bahwa semua entitas eksis melalui hubungan dan proses aktualisasi bersama—suatu gagasan yang kemudian menginspirasi banyak pemikir ekologi.¹³ Dalam konteks ini, keberadaan bukanlah “ada” yang diam, melainkan “menjadi” yang terus bergerak dalam keseimbangan dinamis.

Pandangan ini memperluas pemahaman ontologis bahwa kehidupan tidak dapat dipahami sebagai sekadar kumpulan organisme, tetapi sebagai proses ko-evolusioner di mana manusia dan alam saling membentuk.¹⁴ Dalam perspektif ekosistemik, setiap tindakan manusia—baik politik, ekonomi, maupun budaya—merupakan bagian dari jaringan sebab-akibat ekologis yang lebih luas.¹⁵ Dengan demikian, ontologi ekologisme menegaskan bahwa tanggung jawab ekologis bukan hanya kewajiban moral, melainkan keniscayaan ontologis: manusia bertanggung jawab karena ia ada di dalam dan melalui alam.¹⁶

3.4.       Implikasi Ontologis terhadap Eksistensi Manusia

Implikasi ontologis dari ekologisme sangat mendalam bagi pemahaman eksistensi manusia. Bila dalam ontologi modern manusia didefinisikan melalui kesadaran dan rasionalitasnya yang terpisah dari dunia material, maka dalam ekologisme manusia didefinisikan oleh relasi ekologisnya.¹⁷ Eksistensi manusia tidak memiliki makna terlepas dari keseluruhan ekosistem. Hal ini melahirkan konsep “diri ekologis” (ecological self), yaitu kesadaran bahwa identitas manusia terbentuk melalui keterhubungan dengan makhluk hidup lain dan lingkungan alam.¹⁸

Dengan demikian, ontologi ekologisme membuka jalan bagi transformasi cara berpikir manusia tentang makna keberadaan, nilai, dan tanggung jawab. Ia bukan hanya kerangka teoritis, melainkan juga dasar filosofis bagi etika tanggung jawab ekologis dan politik keberlanjutan.¹⁹ Dalam pandangan ini, mempertahankan keseimbangan alam bukan semata tindakan moral, tetapi bagian dari mempertahankan keberadaan manusia itu sendiri.²⁰


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 10.

[2]                James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 24.

[3]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 29.

[4]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 22–24.

[5]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 34–35.

[6]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28.

[7]                Humberto Maturana and Francisco Varela, Autopoiesis and Cognition: The Realization of the Living (Dordrecht: D. Reidel, 1980), 75.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 54.

[9]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.

[10]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 2–4.

[11]             Ibid., 7.

[12]             Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 33.

[13]             Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology (New York: Free Press, 1978), 88–90.

[14]             Brian Baxter, Ecologism: An Introduction (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 44.

[15]             John Barry, Environment and Social Theory (London: Routledge, 1999), 23–25.

[16]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 120–123.

[17]             Murray Bookchin, The Philosophy of Social Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 19.

[18]             Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[19]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 29.

[20]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 14.


4.           Epistemologi dan Etika Ekologis

Bagian ini membahas bagaimana pengetahuan tentang alam dihasilkan, divalidasi, dan digunakan (epistemologi), serta bagaimana pengetahuan tersebut menuntun tindakan moral terhadap manusia–alam (etika). Dalam Ekologisme, epistemologi dan etika saling menembus: cara kita mengetahui alam memengaruhi cara kita berbuat terhadapnya, dan komitmen etis kita membentuk apa yang kita anggap sebagai bukti yang relevan dan cara mengevaluasinya.¹

4.1.       Sumber dan Validasi Pengetahuan Ekologis

a.                  Ilmu ekologi dan kompleksitas.

Ekologisme mengandalkan ilmu ekologi kontemporer yang menekankan keterhubungan dan dinamika nonlinier pada sistem-sistem hidup. Capra menunjukkan bahwa paradigma “jaringan kehidupan” menggantikan metafora mesin Newtonian: unit dasar bukanlah partikel terisolasi, melainkan relasi dan pola-pola organisasi.² Konsep ketahanan (resilience) menegaskan bahwa ekosistem mempertahankan fungsi melalui perubahan dan gangguan—karena itu, pengetahuan ekologis harus peka terhadap ambang kritis dan tipping points.³ Validasi pengetahuan karenanya tidak hanya melalui eksperimen terkontrol, tetapi juga pemodelan sistem dan observasi jangka panjang lintas skala ruang–waktu.⁴

b.                  Pengetahuan ekologis tradisional (TEK).

Ekologisme menilai kearifan lokal dan praktik komunitas adat sebagai sumber insight tentang pola siklus, kebertahanan, dan batas ekologis. Berkes menunjukkan bahwa TEK menyatukan observasi empiris, nilai-nilai normatif, dan praktik adaptif yang terbukti dalam jangka panjang.⁵ Dengan demikian, validasi tidak semata “objektivitas netral,” melainkan kecocokan praksis: apakah suatu pengetahuan menopang keberlanjutan sosial–ekologis dalam jangka panjang.⁶

c.                   Fenomenologi dan pengalaman ekologis.

Mengikuti Merleau-Ponty, pengalaman tubuh-yang-mengada-di-dunia mengoreksi jarak epistemik modern antara subjek–objek.⁷ Abram memperlihatkan bahwa persepsi ekologis—kepekaan terhadap tempat (place) dan komunitas lebih-dari-manusia—membuka akses ke dimensi makna yang hilang dalam reduksionisme.⁸

d.                  Sains pasca-normal dan pengetahuan tersituasi.

Ketika “fakta tak pasti, nilai dipertaruhkan, taruhannya tinggi, dan keputusan mendesak,” Funtowicz dan Ravetz menganjurkan post-normal science: memperluas komunitas penilai (termasuk warga dan pemangku kepentingan) serta menekankan kualitas alih-alih kepastian semu.⁹ Haraway menyebut pengetahuan tersituasi—semua klaim ilmiah berposisi, sehingga transparansi perspektif menjadi bagian dari validitas epistemik.¹⁰

e.                   Rasionalitas komunikatif dan transdisiplin.

Ekologisme mendorong co-production of knowledge: dialog antara ilmuwan, pembuat kebijakan, komunitas lokal, dan dunia usaha. Habermas menawarkan rasionalitas komunikatif sebagai kritik atas rasionalitas instrumental: kebenaran ekologis dibentuk melalui diskursus bebas-dominasi yang menguji klaim-klaim kognitif, normatif, dan ekspresif.¹¹

4.2.       Kritik atas Objektivisme dan Rasionalitas Instrumental

Ekologisme menolak objektivisme kuat yang mengklaim pandangan-dari-tak-bertubuh. Merchant menunjukkan bagaimana revolusi ilmiah meminggirkan alam menjadi “sumber daya” tanpa agensi.¹² Plumwood menelusuri logika dominasi dalam dualisme Barat (akal/alam, budaya/ natura, laki-laki/ perempuan) yang melegitimasi eksploitasi.¹³ Vandana Shiva menambah bahwa kolonialisme dan pembangunan gaya modern membentuk “kolonialisme ekologis”, yang merusak baik ekologi maupun mata pencaharian perempuan dan komunitas adat.¹⁴ Karena itu, Ekologisme mengusulkan epistemologi relasional–refleksif, yang mengakui kebernilain alam dan posisi peneliti, sembari menggabungkan bukti ilmiah, pengalaman, dan kebijaksanaan praktis.¹⁵

4.3.       Prinsip-Prinsip Etika Ekologis

a.                  Etika lahan (Aldo Leopold).

Leopold merumuskan aksioma etis sederhana: suatu tindakan benar bila cenderung memelihara keutuhan, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik, salah bila sebaliknya.¹⁶ Ini memperluas komunitas moral (biotic community) melampaui manusia.

b.                  Deep ecology (Arne Naess).

Naess menekankan nilai intrinsik semua makhluk dan mendorong transformasi menuju diri ekologis (ecological self).¹⁷ Prinsipnya meliputi pengurangan skala konsumsi, keberagaman budaya–biotik, dan aksi nonkekerasan untuk melindungi bentuk-bentuk kehidupan.¹⁸

c.                   Social ecology (Murray Bookchin).

Krisis ekologis berakar pada hierarki sosial; karena itu, emansipasi ekologis mensyaratkan demokrasi langsung, produksi terdesentralisasi, dan teknologi yang sesuai.¹⁹ Etika ekologis di sini berwajah politik kebebasan: membongkar dominasi manusia atas manusia sebagai prasyarat mengakhiri dominasi atas alam.²⁰

d.                  Etika tanggung jawab (Hans Jonas).

Dengan kekuatan teknologi modern, kewajiban moral utama adalah menjamin keberlanjutan kondisi kemanusiaan dan kehidupan di bumi.²¹ Prinsip kehati-hatian—bertindak seolah dampak terburuk mungkin terjadi—menjadi panduan etika pada ketidakpastian besar.²²

e.                   Ecofeminisme dan etika kepedulian.

Ecofeminisme mengaitkan pembebasan perempuan dengan pembebasan alam, menekankan keterhubungan, care, dan anti-dualisme.²³ Warren mengartikulasikan etika yang menghindari dominasi, menekankan relasi mutual dan context-sensitivity.²⁴

f.                    Etika hewan vs. ekosentrisme.

Singer (utilitarian) dan Regan (hak hewan) memperluas pertimbangan moral ke individu non-manusia, sementara ekosentrisme menekankan integritas sistem.²⁵ Perdebatan ini produktif: kebijakan ekologis perlu merawat individu, spesies, dan ekosistem secara serempak, dengan penalaran case-by-case.²⁶

4.4.       Keadilan Ekologis dan Kewargaan Hijau

Etika ekologis menyeberang ke ranah keadilan: siapa menanggung beban degradasi, siapa menikmati manfaat? Schlosberg mengusulkan tiga dimensi: distribusi, pengakuan, dan partisipasi—ditambah kapabilitas untuk berfungsi dalam lingkungan yang sehat.²⁷ Dobson menawarkan gagasan kewargaan ekologis: kewajiban lintas-batas terhadap commons global dan generasi mendatang.²⁸ Dalam perspektif ini, keadilan ekologis memerlukan institusi yang menjamin akses, suara, dan perlindungan bagi komunitas rentan sekaligus menjaga batas-batas planet.

4.5.       Prinsip Normatif untuk Kebijakan

Ekologisme menurunkan sejumlah prinsip operasional:

·                     Prinsip Kehati-hatian (precautionary principle): ketiadaan kepastian ilmiah bukan alasan menunda pencegahan kerusakan serius—dirumuskan jelas dalam Rio Declaration (Prinsip 15).²⁹

·                     Polluter Pays & Extended Producer Responsibility: pelaku pencemar menanggung biaya pemulihan dan pencegahan.³⁰

·                     Restorasi dan rewilding: mengembalikan fungsi ekosistem, bukan sekadar menahan degradasi.³¹

·                     Hak-hak Alam: Stone memicu wacana memberikan kapasitas legal kepada entitas alam (sungai, hutan) agar bisa diwakili dalam proses hukum.³²

·                     Persetujuan atas dasar informasi awal (FPIC): menjamin hak komunitas lokal/ adat dalam keputusan yang berdampak ekologis.³³

Prinsip-prinsip ini mengikat epistemologi dan etika: ketidakpastian ilmiah (epistemik) justru memperkuat kewajiban kehati-hatian (etik), sementara nilai-nilai keadilan mengarahkan agenda riset (apa yang dihitung, siapa yang dihitung).

4.6.       Ketegangan, Dilema, dan Jalan Tengah

Etika ekologis menghadapi dilema: perlindungan spesies vs. kesejahteraan individu, transisi cepat vs. legitimasi demokratis, degrowth vs. keadilan pembangunan Selatan. Kallis mengusulkan degrowth sebagai proyek normatif: menata ulang tujuan ekonomi menuju kesejahteraan dalam batas planet.³⁴ Eckersley menggarisbawahi pentingnya demokrasi ekologis agar transformasi tidak alih-wajah menjadi eko-otoritarianisme.³⁵ Jalan tengah Ekologisme: menggabungkan pengetahuan majemuk (ilmiah–lokal–pengalaman), prosedur deliberatif, dan prinsip protektif (kehati-hatian, keadilan, hak-hak alam) untuk menuntun keputusan yang adaptif dan adil.


Footnotes

[1]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 10–12.

[2]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–34.

[3]                C. S. Holling, “Resilience and Stability of Ecological Systems,” Annual Review of Ecology and Systematics 4 (1973): 1–23.

[4]                Simon A. Levin, Fragile Dominion: Complexity and the Commons (Reading, MA: Perseus, 1999), 41–47.

[5]                Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 1–7.

[6]                Ibid., 188–201.

[7]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–101.

[8]                David Abram, The Spell of the Sensuous (New York: Vintage, 1997), 45–52.

[9]                Silvio O. Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–55.

[10]             Donna J. Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–99.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.

[12]             Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–55.

[13]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 41–48.

[14]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 3–11.

[15]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 1–6.

[16]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224–25.

[17]             Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[18]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–32.

[19]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 24–36.

[20]             Murray Bookchin, The Philosophy of Social Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 17–23.

[21]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–15.

[22]             Ibid., 121–30.

[23]             Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–46.

[24]             Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature, 150–58.

[25]             Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 57–82; Tom Regan, The Case for Animal Rights (Berkeley: University of California Press, 1983), 243–65.

[26]             Bryan Norton, “Epistemology and Environmental Values,” Monist 75, no. 2 (1992): 208–26.

[27]             David Schlosberg, Defining Environmental Justice (Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–28.

[28]             Andrew Dobson, Citizenship and the Environment (Oxford: Oxford University Press, 2003), 83–101.

[29]             United Nations, Rio Declaration on Environment and Development (New York: UN, 1992), Principle 15.

[30]             Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Recommendation of the Council on the Use of Economic Instruments in Environmental Policy (Paris: OECD, 1991), 6–8.

[31]             Paul H. Gobster and R. Bruce Hull, eds., Restoring Nature: Perspectives from the Social Sciences and Humanities (Washington, DC: Island Press, 2000), 1–12.

[32]             Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing?—Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972): 450–501.

[33]             United Nations, United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (New York: UN, 2007), Art. 10, 19, 32.

[34]             Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon Tyne: Agenda Publishing, 2018), 1–15.

[35]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 1–5, 141–72.


5.           Dimensi Sosial dan Politik Ekologisme

Ekologisme, selain sebagai paradigma filosofis, juga merupakan ideologi sosial-politik yang menantang struktur kekuasaan, pola ekonomi, dan nilai-nilai budaya yang menopang krisis ekologis global. Ia mengusulkan transformasi mendasar terhadap sistem sosial yang antroposentris menuju tatanan yang ekosentris, egaliter, dan berkelanjutan.¹ Dimensi sosial dan politik ini menjadi arena utama bagi penerapan nilai-nilai ekologisme dalam praksis masyarakat modern—yakni dalam kebijakan publik, demokrasi, ekonomi, dan keadilan sosial.

5.1.       Ekologisme sebagai Ideologi Politik: Dari Gerakan Hijau ke Politik Hijau

Sejak tahun 1970-an, ekologisme berkembang dari gerakan moral dan sosial menjadi ideologi politik yang terorganisasi.² Gerakan Hijau (Green Movement) di Eropa dan Amerika Serikat menolak pandangan modernisasi industri yang menganggap kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran kemajuan manusia.³ Dalam konteks politik praktis, lahirlah partai-partai hijau seperti Die Grünen di Jerman, Les Verts di Prancis, dan Green Party di Inggris serta negara-negara lain, yang membawa agenda ekologis ke ranah demokrasi parlementer.⁴

Andrew Dobson membedakan antara environmentalism—yang fokus pada manajemen sumber daya dan reformasi kebijakan lingkungan dalam sistem yang ada—dan ecologism—yang menuntut rekonstruksi sistem politik dan ekonomi secara menyeluruh.⁵ Artinya, ekologisme bukan sekadar tentang pengelolaan lingkungan, melainkan tentang perubahan paradigma sosial-politik: dari logika dominasi dan eksploitasi menuju logika keberlanjutan dan keseimbangan.⁶

5.2.       Kritik terhadap Kapitalisme dan Modernitas Industri

Dalam dimensi sosial-ekonomi, ekologisme memandang kapitalisme global sebagai penyebab utama ketimpangan sosial dan kerusakan ekologis.⁷ Sistem produksi kapitalistik berlandaskan pada logika akumulasi dan pertumbuhan tanpa batas, yang bertentangan dengan prinsip dasar ekologi tentang keseimbangan dan keterbatasan.⁸ Murray Bookchin menegaskan bahwa krisis lingkungan tidak dapat diatasi hanya dengan inovasi teknologi, karena akar masalahnya adalah hierarki sosial dan ekonomi yang menempatkan manusia dan alam dalam relasi dominatif.⁹

Ekologisme dengan demikian mengajukan kritik tajam terhadap modernitas industri—yang menuhankan efisiensi, produksi massal, dan individualisme—karena telah menciptakan alienasi manusia dari alam dan dari komunitas sosialnya sendiri.¹⁰ Vandana Shiva menyebut fenomena ini sebagai “kolonialisme ekologis”, di mana eksploitasi alam sejalan dengan penindasan terhadap masyarakat adat dan perempuan di dunia Selatan.¹¹

Dalam konteks ini, ekologisme menawarkan konsep ekonomi ekologis, yang menolak ukuran kesejahteraan berbasis Produk Domestik Bruto (PDB) dan menggantinya dengan indikator kesejahteraan berkelanjutan, pemerataan, serta keseimbangan ekologis.¹² Herman Daly, pelopor ekonomi berkelanjutan, memperkenalkan gagasan “steady-state economy”—ekonomi tanpa pertumbuhan eksponensial yang menghormati batas-batas planet (planetary boundaries).¹³

5.3.       Keadilan Sosial dan Ekologis

Ekologisme memperluas konsep keadilan dari keadilan sosial (intra-manusia) menjadi keadilan ekologis (antarspesies dan antar generasi).¹⁴ Prinsip ini mengandung tiga dimensi utama:

1)                  Keadilan distributif, yaitu pembagian manfaat dan beban ekologis secara adil antar kelompok sosial.¹⁵

2)                  Keadilan intergenerasional, yakni tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang dalam menjaga keberlanjutan ekosistem.¹⁶

3)                  Keadilan ekologis lintas-spesies, yang mengakui nilai intrinsik kehidupan non-manusia.¹⁷

David Schlosberg menekankan bahwa keadilan ekologis tidak hanya berbicara tentang distribusi sumber daya, tetapi juga tentang pengakuan dan partisipasi.¹⁸ Komunitas lokal dan masyarakat adat harus diakui sebagai aktor utama dalam pengambilan keputusan lingkungan, bukan sekadar objek kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan ekologis berakar pada prinsip demokrasi partisipatif, di mana suara semua pihak—termasuk mereka yang terdampak secara langsung oleh perubahan ekologis—dihargai secara setara.¹⁹

5.4.       Demokrasi Ekologis dan Politik Partisipatif

Ekologisme mendorong pembentukan demokrasi ekologis (ecological democracy), yaitu model pemerintahan yang menekankan partisipasi warga dalam pengelolaan sumber daya dan kebijakan lingkungan.²⁰ Robyn Eckersley mengusulkan konsep “Green State”, yaitu negara yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ekologis ke dalam institusi, hukum, dan proses demokrasi.²¹ Negara hijau tidak hanya menjamin kebebasan individu, tetapi juga menegakkan tanggung jawab ekologis kolektif.

Jürgen Habermas memberikan dasar normatif bagi demokrasi ekologis melalui teori tindakan komunikatif, di mana legitimasi kebijakan publik harus diperoleh melalui diskursus rasional dan bebas-dominasi.²² Dalam kerangka ini, wacana publik tentang lingkungan tidak hanya menjadi urusan teknokratis, melainkan proses deliberatif yang melibatkan masyarakat sipil, ilmuwan, dan komunitas akar rumput.²³

Model demokrasi ekologis ini juga sejalan dengan konsep “glocal politics”—perpaduan antara tindakan lokal dan kebijakan global.²⁴ Dalam menghadapi isu seperti perubahan iklim dan deforestasi, tindakan lokal (seperti pengelolaan hutan berbasis masyarakat) perlu diintegrasikan dengan kebijakan global (seperti Paris Agreement).²⁵

5.5.       Ekologisme, Budaya, dan Perubahan Sosial

Ekologisme bukan hanya ide politik, melainkan juga gerakan kultural dan spiritual yang berusaha menumbuhkan kembali kesadaran ekologis dalam kehidupan sehari-hari.²⁶ Ia menentang nilai-nilai materialisme dan konsumtivisme yang mendominasi budaya modern, menggantikannya dengan etika kesederhanaan (voluntary simplicity), solidaritas, dan keterhubungan dengan alam.²⁷

Dalam konteks sosial, ekologisme menginspirasi berbagai bentuk gerakan sosial baru, seperti gerakan permakultur, degrowth movement, dan eco-feminism, yang menekankan gaya hidup berkelanjutan, solidaritas komunitas, serta rekonstruksi ekonomi berbasis kebutuhan, bukan keserakahan.²⁸ Perubahan sosial ekologis tidak dapat dipaksakan dari atas, melainkan tumbuh dari bawah—melalui kesadaran, pendidikan, dan praktik kolektif masyarakat.²⁹

5.6.       Implikasi Politik Global dan Tantangan Kontemporer

Di tingkat global, ekologisme berhadapan dengan politik internasional yang masih didominasi oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik.³⁰ Meskipun berbagai kesepakatan seperti Kyoto Protocol (1997) dan Paris Agreement (2015) telah menunjukkan komitmen terhadap pengurangan emisi, pelaksanaannya masih terbentur pada konflik antara negara maju dan berkembang mengenai tanggung jawab historis dan pembiayaan transisi energi.³¹

Ekologisme menyerukan kosmopolitanisme ekologis, yaitu tanggung jawab moral dan politik lintas batas negara.³² Konsep ini mengandaikan solidaritas global yang melampaui nasionalisme sempit, menempatkan bumi sebagai rumah bersama (common home).³³ Dengan demikian, politik ekologis berupaya membangun tatanan dunia yang tidak hanya adil bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh makhluk hidup di planet ini.³⁴


Kesimpulan Sementara: Dari Reformasi ke Transformasi

Dimensi sosial dan politik ekologisme menegaskan bahwa perubahan ekologis sejati adalah perubahan sosial dan politik. Reformasi kebijakan tanpa perubahan nilai, struktur ekonomi, dan budaya konsumsi tidak akan cukup.³⁵ Ekologisme mengajukan model baru bagi masyarakat yang berkeadilan ekologis—di mana demokrasi, kesetaraan, dan keberlanjutan menjadi fondasi moral dan praktis kehidupan bersama.³⁶

Dengan demikian, ekologisme bukan hanya gerakan lingkungan, tetapi gerakan peradaban yang mengajak manusia untuk menata ulang relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan dalam horizon ekologis global.³⁷


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 3.

[2]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 11.

[3]                John Barry, Environment and Social Theory (London: Routledge, 1999), 18.

[4]                Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship (London: Routledge, 1996), 9–12.

[5]                Dobson, Green Political Thought, 7.

[6]                Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 25.

[7]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 12.

[8]                Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, D.C.: Island Press, 1991), 15–18.

[9]                Bookchin, The Philosophy of Social Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 23.

[10]             Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 47.

[11]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 5.

[12]             Daly, Steady-State Economics, 31.

[13]             Ibid., 37.

[14]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 8.

[15]             David Schlosberg, Defining Environmental Justice (Oxford: Oxford University Press, 2007), 14.

[16]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 126.

[17]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.

[18]             Schlosberg, Defining Environmental Justice, 23–27.

[19]             Brian Baxter, Ecologism: An Introduction (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2000), 45.

[20]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 3.

[21]             Eckersley, The Green State, 40–42.

[22]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 287.

[23]             Eckersley, The Green State, 91.

[24]             Dobson, Citizenship and the Environment (Oxford: Oxford University Press, 2003), 87.

[25]             United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), Articles 2–4.

[26]             Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 50–52.

[27]             Duane Elgin, Voluntary Simplicity (New York: William Morrow, 1993), 4–7.

[28]             Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon Tyne: Agenda Publishing, 2018), 1–10.

[29]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 19.

[30]             John S. Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 87.

[31]             United Nations, Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (New York: UN, 1997), Articles 3–5.

[32]             Dobson, Citizenship and the Environment, 122.

[33]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13.

[34]             Dryzek, The Politics of the Earth, 211.

[35]             Naomi Klein, On Fire: The Burning Case for a Green New Deal (New York: Simon & Schuster, 2019), 9–10.

[36]             Eckersley, The Green State, 171.

[37]             Bookchin, The Ecology of Freedom, 268.


6.           Ekologisme dalam Konteks Global dan Kontemporer

Dalam era globalisasi dan krisis planet yang semakin kompleks, Ekologisme muncul bukan hanya sebagai teori normatif, tetapi juga sebagai pandangan dunia (worldview) yang menantang paradigma ekonomi, politik, dan budaya global yang masih didominasi oleh logika pertumbuhan tanpa batas.¹ Krisis ekologis kontemporer—seperti perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi global—bukan lagi persoalan lokal atau sektoral, melainkan gejala sistemik dari cara pandang manusia terhadap alam dan pembangunan.² Karena itu, ekologisme kontemporer berfungsi ganda: sebagai kritik terhadap sistem global yang eksploitatif, dan sebagai visi alternatif bagi tata dunia berkelanjutan

6.1.       Krisis Ekologi Global dan Perubahan Paradigma

Krisis ekologi global adalah cerminan dari kegagalan paradigma modernitas yang berakar pada antroposentrisme, materialisme, dan kapitalisme global.⁴ Laporan The Limits to Growth (1972) oleh Club of Rome menjadi peringatan awal bahwa sistem ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas tidak dapat dipertahankan di dunia dengan sumber daya terbatas.⁵ Namun, meski peringatan ini sudah setengah abad berlalu, sistem global masih beroperasi dengan logika yang sama—mengejar pertumbuhan ekonomi, meski dengan wajah “hijau” atau “berkelanjutan”.⁶

Naomi Klein menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme hijau” (green capitalism)—yakni upaya untuk menutupi ekses ekologis kapitalisme melalui retorika keberlanjutan, tanpa menyentuh akar struktural ketidakadilan ekologis.⁷ Dalam pandangan ekologisme, solusi semacam itu bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar masalah, sebab penyebab utama krisis justru terletak pada model ekonomi eksploitatif dan relasi kekuasaan global yang timpang.⁸

Ekologisme kontemporer menegaskan perlunya pergeseran paradigma (paradigm shift) dari orientasi eksploitasi menuju keberlanjutan, dari pertumbuhan menuju keseimbangan, dan dari dominasi menuju koeksistensi.⁹ Pergeseran ini tidak hanya menyangkut kebijakan publik, tetapi juga kesadaran moral dan epistemologis tentang posisi manusia dalam jejaring kehidupan global.¹⁰

6.2.       Globalisasi, Ketimpangan, dan Ketidakadilan Ekologis

Proses globalisasi mempercepat sirkulasi modal, teknologi, dan sumber daya, tetapi sekaligus memperdalam ketimpangan ekologis antara negara maju dan negara berkembang.¹¹ Negara-negara industri di Utara mengimpor bahan mentah dan energi dari Selatan, namun mengekspor limbah, polusi, dan degradasi lingkungan.¹² Fenomena ini disebut “imperialisme ekologis”, yakni bentuk baru kolonialisme di mana hubungan eksploitasi ekonomi berlangsung dalam kerangka ekologis global.¹³

Vandana Shiva menunjukkan bahwa korporasi transnasional sering menggunakan dalih “pembangunan” untuk melegitimasi perampasan tanah, air, dan benih lokal—sebuah bentuk biopiracy yang menghancurkan kedaulatan ekologis komunitas lokal.¹⁴ Dalam konteks ini, ekologisme berperan sebagai gerakan emansipasi global, yang memperjuangkan environmental justice dan ecological democracy lintas batas negara.¹⁵

Di sisi lain, muncul pula konsep “carbon colonialism”, yakni praktik di mana negara kaya membeli hak emisi atau memindahkan proyek karbon ke negara berkembang, tanpa memperbaiki perilaku konsumtifnya sendiri.¹⁶ Ekologisme menolak solusi teknokratis semacam ini karena mempertahankan struktur ketidakadilan global.¹⁷

6.3.       Gerakan Sosial Global dan Transisi Peradaban

Sejak dekade 1980-an, berbagai gerakan sosial lintas negara muncul dengan inspirasi dari prinsip-prinsip ekologisme: mulai dari Earth First! di Amerika Serikat, Chipko Movement di India, hingga gerakan Extinction Rebellion dan Fridays for Future di abad ke-21.¹⁸ Gerakan-gerakan ini menyatukan aktivisme ekologi, feminisme, hak asasi manusia, dan keadilan sosial dalam satu bingkai perjuangan transnasional.¹⁹

Selain gerakan sosial, muncul pula inisiatif global untuk membangun sistem ekonomi baru berbasis keberlanjutan, seperti degrowth movement di Eropa dan Buen Vivir di Amerika Latin.²⁰ Degrowth menyerukan penghentian pertumbuhan ekonomi yang merusak dan menggantikannya dengan kesejahteraan berbasis solidaritas, waktu luang, dan komunitas.²¹ Sementara Buen Vivir—yang berasal dari kosmologi masyarakat adat Andes—mengajarkan prinsip hidup selaras dengan Pachamama (Ibu Bumi) sebagai fondasi kesejahteraan kolektif.²²

Gerakan ini memperlihatkan bahwa ekologisme bukan hanya ide Barat, tetapi gerakan global multikultural, yang menghimpun nilai-nilai ekologis dari berbagai tradisi, termasuk spiritualitas Timur, kosmologi adat, dan sains modern.²³

6.4.       Teknologi, Ekologi, dan Etika Kontemporer

Dalam konteks kontemporer, relasi antara teknologi dan ekologi menjadi ambivalen. Di satu sisi, kemajuan teknologi digital, bioteknologi, dan energi terbarukan menawarkan potensi besar untuk mengurangi jejak ekologis; di sisi lain, ia menciptakan risiko etis dan ekologis baru, seperti konsumsi energi data center, e-waste, dan ketergantungan terhadap mineral langka.²⁴

Hans Jonas menegaskan bahwa kemajuan teknologi menuntut etika tanggung jawab baru—karena daya jangkau tindakan manusia kini berskala planet dan berdampak pada generasi mendatang.²⁵ Etika ini menuntut sikap kehati-hatian (precautionary principle) dalam pengembangan teknologi, terutama yang berpotensi mengubah ekosistem atau genetika kehidupan.²⁶

Ekologisme kontemporer tidak anti-teknologi, tetapi menyerukan teknologi yang ramah kehidupan (convivial technology)—yakni teknologi yang memperkuat otonomi komunitas, memperkecil skala produksi, dan menghormati batas alam.²⁷ Ivan Illich menyebutnya sebagai “alat yang memberdayakan, bukan memperbudak manusia dan alam.”²⁸

6.5.       Tata Kelola Global dan Politik Lingkungan Internasional

Krisis iklim menuntut tata kelola global (global governance) yang lebih kolaboratif dan adil. Konferensi-konferensi internasional seperti Stockholm Conference (1972), Rio Earth Summit (1992), dan Paris Agreement (2015) menandai upaya dunia menuju kesepakatan ekologis global.²⁹ Namun, implementasinya sering terhambat oleh ketegangan antara kedaulatan nasional dan tanggung jawab global.³⁰

Ekologisme mendorong model kosmopolitanisme ekologis, yang memandang bumi sebagai rumah bersama (common home) dan menuntut bentuk solidaritas global baru.³¹ Robyn Eckersley menyebutnya sebagai ecological citizenship, yaitu bentuk kewargaan global yang melampaui batas negara dan menuntut tanggung jawab terhadap seluruh makhluk hidup.³²

Selain itu, muncul gagasan hak-hak alam (rights of nature) yang telah diakui dalam konstitusi beberapa negara seperti Ekuador dan Bolivia.³³ Paradigma ini menggeser hukum dari anthropocentric law menjadi ecocentric law, di mana entitas alam seperti sungai dan hutan memiliki hak eksistensial yang dapat dilindungi secara legal.³⁴

6.6.       Tantangan dan Prospek Ekologisme di Era Kontemporer

Meskipun kesadaran ekologis semakin meluas, ekologisme menghadapi berbagai tantangan serius. Pertama, resistensi politik dan ekonomi dari kepentingan industri fosil dan oligarki global yang mempertahankan status quo.³⁵ Kedua, fragmentasi gerakan sosial yang sering kali terpecah antara isu-isu spesifik—seperti iklim, hak hewan, atau energi—tanpa koordinasi global yang kuat.³⁶ Ketiga, instrumentalisasi wacana hijau oleh korporasi dan pemerintah melalui praktik greenwashing, yang mereduksi transformasi ekologis menjadi strategi pemasaran.³⁷

Namun demikian, prospek ekologisme tetap terbuka luas. Revolusi energi bersih, ekonomi sirkular, dan demokrasi partisipatif memberi ruang bagi integrasi nilai-nilai ekologis dalam kebijakan global.³⁸ Di tingkat lokal, semakin banyak komunitas yang mengembangkan model kehidupan alternatif—seperti eco-villages, urban farming, dan community-based conservation—yang menerapkan prinsip keberlanjutan nyata.³⁹

Dalam jangka panjang, keberhasilan ekologisme bergantung pada transformasi kesadaran kolektif manusia: dari logika dominasi menuju logika koeksistensi. Seperti ditegaskan Capra, masa depan peradaban akan ditentukan oleh kemampuan manusia untuk memahami bahwa hidup adalah bagian dari jaringan ekologis yang kompleks, bukan berada di atasnya.⁴⁰


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 2–3.

[2]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 34.

[3]                Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 18.

[4]                John S. Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 7–9.

[5]                Donella Meadows et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972), 11.

[6]                Herman Daly, Steady-State Economics (Washington, D.C.: Island Press, 1991), 25.

[7]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 21–25.

[8]                Murray Bookchin, The Philosophy of Social Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 22.

[9]                Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 57–58.

[10]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 12.

[11]             David Schlosberg, Defining Environmental Justice (Oxford: Oxford University Press, 2007), 18–21.

[12]             Rob Nixon, Slow Violence and the Environmentalism of the Poor (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 47–49.

[13]             Alf Hornborg, The Power of the Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 15.

[14]             Vandana Shiva, Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge (Boston: South End Press, 1997), 3–7.

[15]             Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 21.

[16]             Larry Lohmann, “Carbon Trading, Climate Justice and the Production of Ignorance,” Development 51, no. 3 (2008): 359–65.

[17]             Klein, This Changes Everything, 89–90.

[18]             John Barry and Robyn Eckersley, eds., The State and the Global Ecological Crisis (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 12.

[19]             Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 129–45.

[20]             Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon Tyne: Agenda Publishing, 2018), 15–19.

[21]             Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 4.

[22]             Alberto Acosta, Buen Vivir: Sumak Kawsay, una oportunidad para imaginar otros mundos (Quito: Ediciones Abya-Yala, 2013), 11.

[23]             Capra, The Hidden Connections, 76.

[24]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 2–4.

[25]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 128.

[26]             United Nations, Rio Declaration on Environment and Development (New York: UN, 1992), Principle 15.

[27]             Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 34–36.

[28]             Ivan Illich, Tools for Conviviality (New York: Harper & Row, 1973), 11.

[29]             United Nations, Report of the United Nations Conference on the Human Environment (Stockholm, 1972) (New York: UN, 1973), 4–6.

[30]             Dryzek, The Politics of the Earth, 111–13.

[31]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 6–7.

[32]             Eckersley, The Green State, 91–93.

[33]             Republic of Ecuador, Constitución de la República del Ecuador (Quito: Asamblea Nacional, 2008), arts. 71–74.

[34]             Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing?—Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972): 450–501.

[35]             Naomi Klein, On Fire: The Burning Case for a Green New Deal (New York: Simon & Schuster, 2019), 15.

[36]             Schlosberg, Defining Environmental Justice, 115.

[37]             Jennifer Clapp and Peter Dauvergne, Paths to a Green World: The Political Economy of the Global Environment (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 9–10.

[38]             John S. Dryzek and Jonathan Pickering, The Politics of the Anthropocene (Oxford: Oxford University Press, 2019), 19–21.

[39]             Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 204–6.

[40]             Capra, The Web of Life, 41.


7.           Kritik terhadap Ekologisme

Sebagai paradigma filsafat sosial-politik, Ekologisme tidak luput dari kritik—baik dari arus utama ilmu politik dan ekonomi, maupun dari tradisi kritis internal yang justru bersimpati pada tujuan-tujuan ekologis. Bagian ini mengelompokkan kritik-kritik utama, dasar argumentasinya, serta beberapa tanggapan konseptual yang lazim diajukan oleh para pemikir ekologis.

7.1.       Kritik Liberalisme: Hak, Kebebasan, dan Batas Negara Hukum

Dari perspektif liberal, Ekologisme dituduh mengancam otonomi individu dengan memperluas lingkup kewajiban moral ke entitas non-manusia dan generasi mendatang—yang dianggap sukar dipertanggungjawabkan secara yuridis.¹ Kebijakan berbasis “hak-hak alam” dinilai berpotensi membebani proses legislasi dan mengaburkan prioritas kebebasan negatif (freedom from) yang menjadi asas negara hukum liberal.² Selain itu, pengaturan konsumsi dan mobilitas untuk alasan ekologis dikhawatirkan berujung pada paternalism negara.³

Tanggapan ekologis: gagasan “kewargaan ekologis” dan keadilan intergenerasional berupaya menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab terhadap commons, sembari menempatkan batas-batas planet sebagai kondisi material kebebasan itu sendiri.⁴

7.2.       Kritik Marxis dan Sosialis: Akar Krisis dan Risiko Depolitisasi

Tradisi Marxis menilai Ekologisme kadang mengaburkan akar material krisis—yakni relasi produksi kapitalistik dan logika akumulasi tanpa batas.⁵ Fokus pada perubahan gaya hidup atau konservasi dianggap menyisihkan perjuangan kelas dan mengalihkan perhatian dari transformasi struktur kepemilikan.⁶ Kritik lain: sebagian wacana ekologis mereproduksi “moralitas kelangkaan” tanpa menyentuh relasi eksploitatif lintas pusat-pinggiran.⁷

Tanggapan ekologis: aliran social ecology dan kajian metabolic rift menautkan degradasi ekologi dengan hierarki sosial serta pemisahan metabolik kota-desa dalam kapitalisme industri; karenanya, transformasi ekologis mensyaratkan demokratisasi ekonomi dan desentralisasi produksi.⁸

7.3.       Kritik Konservatif: Skepsis terhadap Utopisme dan Biaya Sosial

Kritikus konservatif menilai sebagian proyek ekologis utopis, anti-pertumbuhan, dan mengabaikan tradisi lokal/otoritas organik yang menjaga ketertiban sosial.⁹ Mereka menekankan biaya transisi (energi, infrastruktur, pekerjaan) dan risiko ketidakstabilan jika ekonomi diarahkan menjauhi pertumbuhan sebagai tujuan kebijakan.¹⁰

Tanggapan ekologis: tradisi konservasionis klasik (mis. “ethic of stewardship”) justru kompatibel dengan prinsip kehati-hatian; yang dipersoalkan bukan perubahan bertahapnya, melainkan ketergantungan sistemik pada pertumbuhan eksponensial yang bertentangan dengan batas ekologis.¹¹

7.4.       Kritik Ecomodernis dan Teknoutopian: Jalan Teknologi vs Batas Planet

Arus ecomodernis berargumen bahwa solusi utama adalah inovasi teknologi berskala besar (elektrifikasi penuh, nuklir generasi baru, urbanisasi padat, intensifikasi pertanian) sehingga pertumbuhan dapat dipisah (decouple) dari kerusakan ekologis.¹² Mereka menilai degrowth atau pembatasan konsumsi tidak realistis secara politik.¹³

Tanggapan ekologis: decoupling absolut jarang dibuktikan dalam skala global dan sering terserap oleh efek rebound; karena itu, teknologi perlu diperbantukan oleh reorientasi tujuan ekonomi (kesejahteraan, ketahanan, pemerataan) serta tata kelola yang mencegah eksternalisasi baru (ekstraksi mineral kritis, e-waste).¹⁴

7.5.       Tuduhan Eko-otoritarianisme: Legitimasi, Darurat, dan Prosedur

Literatur klasik memperingatkan risiko “eko-otoritarianisme”: demi menyelamatkan ekosistem, negara dapat memusatkan kekuasaan, menangguhkan hak, atau memerintah lewat darurat permanen.¹⁵ Seruan “tindakan cepat” dikhawatirkan menyingkirkan deliberasi demokratis dan hak minoritas.¹⁶

Tanggapan ekologis: model demokrasi ekologis menekankan rasionalitas komunikatif, citizens’ assemblies, dan akuntabilitas multi-tingkat sebagai prasyarat legitimasi tindakan cepat; keadaan darurat tidak boleh menjadi lisensi untuk eksklusi politik.¹⁷

7.6.       Kritik Poskolonial dan Dunia Selatan: Ketimpangan dan “Kolonialisme Hijau”

Pemikir poskolonial menyoroti asimetris-ness tanggung jawab historis: standar emisi dan konservasi yang dipromosikan negara kaya berpotensi membatasi pembangunan negara berkembang—fenomena yang disebut “kolonialisme hijau” atau “carbon colonialism.”¹⁸ Praktik offset dan land grabbing atas nama konservasi bisa mengusir komunitas adat dari ruang hidupnya.¹⁹

Tanggapan ekologis: fokus bergeser ke keadilan transisi (pembiayaan, transfer teknologi, kedaulatan energi), FPIC untuk masyarakat adat, dan hak-hak alam yang dirumuskan oleh serta untuk komunitas lokal—bukan sekadar transplantasi model hukum Global North.²⁰

7.7.       Ketegangan Etik: Antara Ekosentrisme dan Kesejahteraan Individu

Kritik dari etika hewan menyasar ekosentrisme: menilai integritas ekosistem di atas kesejahteraan individu non-manusia dapat membenarkan tindakan menyakitkan (mis. eradikasi spesies invasif).²¹ Sebaliknya, fokus pada individu hewan dapat menghambat restorasi ekosistem.²²

Tanggapan ekologis: berkembang pendekatan pluralis kontekstual yang menimbang tiga tingkat nilai—individu, spesies, ekosistem—melalui penalaran case-by-case, transparansi nilai, dan minimasi penderitaan seraya menjaga fungsi ekosistem.²³

7.8.       Kritik Epistemologis: Relasionalitas, Sains Pasca-Normal, dan Validitas

Pendekatan pengetahuan tersituasi dan sains pasca-normal dikritik karena berpotensi mengaburkan standar objektivitas dan membuka ruang relativisme.²⁴ Proses ko-produksi pengetahuan dinilai memperbesar biaya transaksi dan ketidakpastian keputusan.²⁵

Tanggapan ekologis: ekologisme tidak menolak objektivitas, melainkan menggandakannya—dari sekadar kontrol laboratorium ke robustness lintas-metode, ketahanan kebijakan terhadap ketidakpastian, dan validasi trans-komunitas pada isu berisiko tinggi.²⁶

7.9.       Kritik Kebijakan: Pengukuran, Trade-off, dan Ekonomi Politik Transisi

Kritikus menyoroti kesenjangan antara prinsip dan implementasi: indikator keberlanjutan sering inkompatibel (mis. jejak karbon vs keanekaragaman hayati); kebijakan hijau rentan greenwashing; transisi energi dapat memicu ketergantungan baru pada mineral kritis, atau memindah beban ke wilayah rentan.²⁷

Tanggapan ekologis: dorongan menuju set indikator majemuk (karbon, keanekaragaman, air, keadilan), audit rantai pasok, EPR/polluter pays, dan desain kelembagaan (just transition funds, carbon dividends) untuk memitigasi dampak distributif.²⁸

7.10.    Kritik Internal: Strategi Gerakan dan Horizon Transformasi

Di dalam kubu ekologis sendiri terdapat perbedaan strategi: sebagian menekankan reformasi bertahap; yang lain mendesak degrowth dan perombakan mendalam institusi pasar.²⁹ Ada kekhawatiran bahwa narasi krisis yang terlalu apokaliptik menimbulkan keletihan publik, sedangkan narasi teknokratis menimbulkan pasivitas politik.³⁰

Arah sintesis: menggabungkan visi jangka panjang (perubahan tujuan ekonomi-politik) dengan paket kebijakan transisional yang dapat ditindak (harga karbon adil, standar efisiensi, perlindungan sosial, partisipasi deliberatif), serta membangun cerita kolektif tentang kesejahteraan dalam batas planet.³¹


Kesimpulan Singkat

Kritik-kritik di atas memperkaya dan mengujikan koherensi Ekologisme: dari legitimasi demokratis dan keadilan global hingga konsistensi etik dan epistemik. Relevansi Ekologisme—sebagai filsafat dan politik—bergantung pada kemampuannya menjawab tantangan ini dengan desain institusional yang adil, kerangka ilmu yang tangguh terhadap ketidakpastian, serta strategi transisi yang efektif sekaligus sah secara demokratis.


Footnotes

[1]                John Barry, Environment and Social Theory (London: Routledge, 1999), 21–24.

[2]                Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing?—Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972): 450–501.

[3]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 6–9.

[4]                Andrew Dobson, Citizenship and the Environment (Oxford: Oxford University Press, 2003), 83–101.

[5]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology (New York: Monthly Review Press, 2000), 141–65.

[6]                Alf Hornborg, The Power of the Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 12–18.

[7]                John S. Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 100–106.

[8]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 24–36; John Bellamy Foster, Brett Clark, and Richard York, The Ecological Rift (New York: Monthly Review Press, 2010), 1–19.

[9]                Roger Scruton, Green Philosophy: How to Think Seriously about the Planet (Oxford: Oxford University Press, 2012), 1–15.

[10]             William Nordhaus, The Climate Casino (New Haven: Yale University Press, 2013), 55–63.

[11]             Barry, Environment and Social Theory, 187–92.

[12]             Ted Nordhaus and Michael Shellenberger, Break Through: From the Death of Environmentalism to the Politics of Possibility (Boston: Houghton Mifflin, 2007), 1–12; An Ecomodernist Manifesto (2015).

[13]             Vaclav Smil, Growth: From Microorganisms to Megacities (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 431–40.

[14]             Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon Tyne: Agenda Publishing, 2018), 33–41; Tim Jackson, Prosperity without Growth, 2nd ed. (London: Routledge, 2017), 122–35.

[15]             William Ophuls, Ecology and the Politics of Scarcity (San Francisco: W. H. Freeman, 1977), 145–57.

[16]             Dryzek, The Politics of the Earth, 206–12.

[17]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312; Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 91–93.

[18]             Larry Lohmann, “Carbon Trading, Climate Justice and the Production of Ignorance,” Development 51, no. 3 (2008): 359–65; Rob Nixon, Slow Violence and the Environmentalism of the Poor (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 47–55.

[19]             Vandana Shiva, Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge (Boston: South End Press, 1997), 3–7.

[20]             United Nations, United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (New York: UN, 2007), arts. 10, 19, 32; Republic of Ecuador, Constitución de la República del Ecuador (Quito: Asamblea Nacional, 2008), arts. 71–74.

[21]             Tom Regan, The Case for Animal Rights (Berkeley: University of California Press, 1983), 243–65; Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 57–82.

[22]             J. Baird Callicott, In Defense of the Land Ethic (Albany: SUNY Press, 1989), 59–68.

[23]             Bryan G. Norton, “Epistemology and Environmental Values,” Monist 75, no. 2 (1992): 208–26.

[24]             Donna J. Haraway, “Situated Knowledges,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–99; Silvio O. Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–55.

[25]             Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and Democracy in Europe and the United States (Princeton: Princeton University Press, 2005), 13–21.

[26]             Andrew Stirling, “Keep it Complex,” Nature 468 (2010): 1029–31.

[27]             Jennifer Clapp and Peter Dauvergne, Paths to a Green World: The Political Economy of the Global Environment (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 9–15.

[28]             Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Recommendation of the Council on the Use of Economic Instruments in Environmental Policy (Paris: OECD, 1991), 6–8; United Nations, Rio Declaration on Environment and Development (New York: UN, 1992), Principle 15.

[29]             Kallis, Degrowth, 1–15; Naomi Klein, On Fire: The Burning Case for a Green New Deal (New York: Simon & Schuster, 2019), 9–15.

[30]             John Barry and Robyn Eckersley, eds., The State and the Global Ecological Crisis (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 1–14.

[31]             Robyn Eckersley, The Green State, 171–76; Tim Jackson, Post Growth (Cambridge: Polity, 2021), 95–106.


8.           Sintesis Filosofis dan Relevansi Kontemporer

Setelah menelaah fondasi ontologis, epistemologis, etis, sosial, dan politik dari Ekologisme, tahap sintesis filosofis bertujuan untuk menegaskan posisi ekologisme sebagai paradigma yang mengintegrasikan berbagai dimensi filsafat modern—ontologi, epistemologi, aksiologi, dan praksis sosial-politik—ke dalam satu kesadaran baru: kesadaran ekologis.¹ Ekologisme tidak sekadar aliran etika lingkungan, tetapi juga revolusi konseptual yang menawarkan pandangan alternatif terhadap realitas, pengetahuan, dan nilai di era Antroposen, ketika eksistensi manusia dan bumi saling mengancam satu sama lain.²

8.1.       Ekologisme sebagai Paradigma Filsafat Baru

Dalam ranah filsafat, ekologisme berfungsi sebagai sintesis antara tradisi rasional modern dan kebijaksanaan ekologis kuno. Ia menyatukan pandangan ilmiah tentang keterhubungan sistem kehidupan dengan pandangan moral tentang tanggung jawab dan keberlanjutan.³ Fritjof Capra menyebutnya sebagai “paradigma sistemik”, di mana kehidupan dipahami bukan sebagai mekanisme terpisah, melainkan sebagai jaringan proses yang saling menopang.⁴

Dengan demikian, ekologisme menantang dualisme lama—antara subjek dan objek, manusia dan alam, rasio dan nilai—dan menggantikannya dengan paradigma relasional-holistis, di mana keberadaan ditentukan oleh keterhubungan.⁵ Ini menjadikan ekologisme lebih dari sekadar cabang etika; ia adalah metafilosofi kehidupan yang menegaskan bahwa segala bentuk keberadaan memiliki nilai dan makna intrinsik.⁶

8.2.       Sintesis Ontologis: Dari Antroposentrisme ke Kosmosentrisme

Ontologi ekologis menyatukan dimensi metafisik dan empiris: dunia bukanlah objek pasif, melainkan totalitas yang hidup.⁷ Manusia tidak berada “di atas” atau “di luar” alam, tetapi “di dalam” jejaring kehidupan yang lebih besar.⁸ Prinsip kosmosentris menggantikan antroposentrisme modern dengan pandangan bahwa seluruh realitas merupakan sistem saling-bergantung yang mengandung nilai intrinsik.⁹

Sintesis ini juga menemukan gema dalam filsafat Timur—khususnya Taoisme dan Buddhisme—yang menekankan keselarasan dengan alam dan keterhubungan semua makhluk.¹⁰ Dalam konteks kontemporer, pemikiran ini menjadi dasar bagi teori ecological humanism, yang melihat manusia bukan sebagai pusat, tetapi sebagai penjaga harmoni kehidupan.¹¹

8.3.       Sintesis Epistemologis: Pengetahuan sebagai Relasi dan Tanggung Jawab

Ekologisme mengajukan model epistemologi yang transdisipliner dan partisipatif, memadukan sains modern, kearifan lokal, dan refleksi filosofis.¹² Pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai dominasi atas objek, melainkan sebagai relasi timbal balik antara manusia dan dunia.¹³ Donna Haraway menyebutnya pengetahuan tersituasi (situated knowledges), di mana objektivitas sejati muncul dari kesadaran akan posisi, keterbatasan, dan tanggung jawab pengetahuan itu sendiri.¹⁴

Dalam konteks ini, epistemologi ekologis menolak positivisme dan determinisme mekanistik. Ia menggantinya dengan paradigma kompleksitas—pengetahuan yang mengakui ketidakpastian, non-linearitas, dan interkoneksi antar-sistem.¹⁵ Etika dan epistemologi saling menembus: memahami alam berarti mengasihi dan menjaga keberlanjutannya.¹⁶

8.4.       Sintesis Etis dan Aksiologis: Dari Etika Individu ke Etika Planetar

Etika ekologis memperluas horizon moral dari relasi manusia–manusia menjadi etika planetar yang meliputi makhluk hidup dan sistem ekologis.¹⁷ Hans Jonas menekankan bahwa tindakan manusia kini berdampak hingga pada kelangsungan biosfer, sehingga diperlukan imperatif tanggung jawab yang berskala global dan lintas generasi.¹⁸

Sintesis aksiologis ini menempatkan kehidupan (bios) sebagai nilai tertinggi.¹⁹ Prinsip-prinsip seperti deep ecology, social ecology, dan eco-feminism—yang pada awalnya berdiri sendiri—dapat dipahami sebagai ekspresi berbeda dari satu nilai universal: reverensi terhadap kehidupan (reverence for life), sebagaimana dirumuskan oleh Albert Schweitzer.²⁰ Dengan demikian, ekologisme menawarkan sistem nilai yang bersifat bio-sentris dan interdependen, di mana kebaikan moral diukur berdasarkan kontribusinya terhadap kelestarian kehidupan.²¹

8.5.       Sintesis Sosial dan Politik: Menuju Demokrasi Ekologis Global

Ekologisme juga menuntun pada rekonstruksi politik modern melalui konsep demokrasi ekologis.²² Robyn Eckersley menyebut hal ini sebagai Green State: negara yang bukan hanya mengatur manusia, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekologis sebagai asas legitimasi politiknya.²³ Dalam sistem ini, hak dan kewajiban warga negara diperluas menjadi kewargaan ekologis (ecological citizenship), yang mencakup tanggung jawab terhadap makhluk hidup lain dan generasi masa depan.²⁴

Di tingkat global, sintesis politik ekologis memunculkan gagasan kosmopolitanisme ekologis, yaitu solidaritas lintas batas negara demi perlindungan bumi sebagai rumah bersama.²⁵ Gagasan ini menghubungkan ekologisme dengan teori keadilan global (Rawls, Pogge) dan ekoteologi lintas agama, sehingga membuka jalan bagi etika global lintas peradaban.²⁶

8.6.       Relevansi Kontemporer: Ekologisme di Era Antroposen

Dalam konteks kontemporer, dunia berada di bawah tekanan krisis multidimensi—iklim, energi, pangan, dan sosial—yang semuanya bersumber dari model peradaban eksploitatif.²⁷ Ekologisme menawarkan paradigma baru bagi transformasi global melalui tiga dimensi utama:

1)                  Kognitif, dengan mengubah cara berpikir manusia tentang alam dari objek ke relasi.²⁸

2)                  Normatif, dengan membangun etika tanggung jawab ekologis global.²⁹

3)                  Institusional, dengan mendorong sistem ekonomi dan politik berbasis keberlanjutan.³⁰

Konsep Antroposen—era di mana manusia menjadi kekuatan geologis—menegaskan perlunya kesadaran filosofis baru.³¹ Ekologisme, dalam hal ini, menjadi basis moral dan epistemik bagi peradaban yang lebih rendah hati, adil, dan selaras dengan bumi.³²

8.7.       Ekologisme sebagai Filsafat Harapan dan Transformasi

Pada akhirnya, ekologisme bukan hanya proyek ilmiah atau politik, tetapi filsafat harapan (philosophy of hope).³³ Ia menolak fatalisme ekologis dan menegaskan potensi manusia untuk berubah melalui kesadaran, dialog, dan solidaritas.³⁴ Sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang kesadaran kritis (conscientização), ekologisme menyerukan pendidikan yang membebaskan manusia dari ideologi antroposentris menuju kesadaran ekologis yang reflektif dan emansipatoris.³⁵

Ekologisme mengajarkan bahwa transformasi sejati bukan sekadar perubahan struktur, melainkan transformasi kesadaran.³⁶ Dengan kesadaran ini, filsafat tidak lagi menjadi kontemplasi pasif, tetapi tindakan reflektif untuk memulihkan keseimbangan kehidupan di bumi.³⁷


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 2–3.

[2]                Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 8–12.

[3]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 15.

[4]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 34.

[5]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.

[6]                Murray Bookchin, The Philosophy of Social Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 18.

[7]                James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 24–26.

[8]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 29–30.

[9]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 22–25.

[10]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 102–105.

[11]             John Barry, Environment and Social Theory (London: Routledge, 1999), 28–29.

[12]             Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 1–7.

[13]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–101.

[14]             Donna J. Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–99.

[15]             Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press, 2008), 9–13.

[16]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–24.

[17]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224–25.

[18]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 11–15.

[19]             Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[20]             Albert Schweitzer, Civilization and Ethics, trans. C. T. Campion (London: A. & C. Black, 1949), 247–48.

[21]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 150–58.

[22]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 1–6.

[23]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 91–93.

[24]             Andrew Dobson, Citizenship and the Environment (Oxford: Oxford University Press, 2003), 83–101.

[25]             David Schlosberg, Defining Environmental Justice (Oxford: Oxford University Press, 2007), 201–204.

[26]             John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 38–40; Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13.

[27]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 21–25.

[28]             Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 50–52.

[29]             Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle upon Tyne: Agenda Publishing, 2018), 33–41.

[30]             Tim Jackson, Prosperity without Growth, 2nd ed. (London: Routledge, 2017), 122–35.

[31]             Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 9–11.

[32]             Bruno Latour, Down to Earth: Politics in the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2018), 45–49.

[33]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 268.

[34]             Ernst Bloch, The Principle of Hope, trans. Neville Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 4–5.

[35]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 35–37.

[36]             Eckersley, The Green State, 171–72.

[37]             Capra, The Web of Life, 41.


9.           Kesimpulan

Ekologisme, sebagaimana telah diuraikan dalam seluruh pembahasan sebelumnya, merupakan paradigma filsafat sosial-politik yang menandai pergeseran besar dalam kesadaran manusia terhadap realitas, pengetahuan, nilai, dan tindakan. Ia lahir dari kesadaran akan krisis ekologis global yang tidak hanya bersifat ilmiah atau teknis, tetapi juga krisis moral, epistemologis, dan ontologis.¹ Sebagai sebuah filsafat, ekologisme tidak sekadar mengajarkan pelestarian lingkungan, melainkan menawarkan kerangka berpikir baru tentang makna keberadaan manusia dalam jejaring kehidupan yang luas dan saling tergantung.²

9.1.       Rekapitulasi Argumentatif

Secara ontologis, ekologisme menolak pandangan mekanistik dan antroposentris yang memisahkan manusia dari alam.³ Alam bukanlah sekadar sumber daya, tetapi entitas hidup yang memiliki nilai intrinsik dan martabat ontologis.⁴ Pandangan ini membawa konsekuensi filosofis bahwa relasi manusia dengan dunia tidak lagi bersifat dominatif, melainkan partisipatif—manusia menjadi bagian dari sistem ekologis, bukan penguasanya.⁵

Secara epistemologis, ekologisme menegaskan perlunya pengetahuan relasional, kontekstual, dan refleksif, yang mengakui kompleksitas serta keterbatasan manusia dalam memahami alam.⁶ Pengetahuan ekologis tidak dapat dipisahkan dari nilai dan tanggung jawab; cara kita mengetahui dunia menentukan cara kita memperlakukan dunia.⁷ Oleh sebab itu, ekologisme menggabungkan ilmu, pengalaman, dan kebijaksanaan lokal sebagai sumber pengetahuan yang saling melengkapi.⁸

Secara aksiologis dan etis, ekologisme memperluas cakrawala moral hingga mencakup semua makhluk hidup dan ekosistem sebagai subjek moral.⁹ Prinsip tanggung jawab ekologis, sebagaimana dirumuskan oleh Hans Jonas, menjadi landasan etika baru yang menuntut manusia untuk bertindak demi keberlangsungan kehidupan di bumi, bahkan bagi generasi yang belum lahir.¹⁰ Etika ini bukan hanya kewajiban moral individual, tetapi juga imperatif kolektif dalam penyusunan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi.¹¹

Secara sosial-politik, ekologisme menawarkan proyek rekonstruksi masyarakat dan negara yang berlandaskan pada keadilan ekologis, demokrasi partisipatif, dan solidaritas lintas generasi.¹² Melalui konsep Green State (Eckersley), ecological citizenship (Dobson), dan social ecology (Bookchin), ekologisme memperluas makna kewargaan, hak, dan kebebasan menjadi lebih ekologis dan interdependen.¹³ Dengan demikian, politik ekologis bukan hanya soal regulasi lingkungan, tetapi transformasi paradigma kekuasaan dan pembangunan menuju tatanan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.¹⁴

9.2.       Kontribusi Filsafat Ekologisme terhadap Pemikiran Modern

Kontribusi utama ekologisme terhadap filsafat modern terletak pada kemampuannya menyatukan dimensi ilmiah dan moralitas kosmis dalam satu kerangka koheren.¹⁵ Ia mengoreksi rasionalitas instrumental modern yang menundukkan alam menjadi objek, dan menggantinya dengan rasionalitas komunikatif serta etika tanggung jawab ekologis.¹⁶ Dalam hal ini, ekologisme berfungsi sebagai filsafat korektif terhadap modernitas: ia tidak menolak kemajuan sains dan teknologi, tetapi menuntut agar keduanya diarahkan kepada keberlanjutan dan keseimbangan hidup.¹⁷

Lebih jauh, ekologisme membuka jalan bagi dialog lintas budaya dan peradaban, karena nilai-nilai ekologis bersifat universal—ditemukan dalam tradisi Barat maupun Timur, dalam spiritualitas religius maupun dalam sains modern.¹⁸ Dengan demikian, ekologisme berpotensi menjadi bahasa etika global yang mampu menjembatani perbedaan ideologis dalam menghadapi krisis planet bersama.¹⁹

9.3.       Relevansi Kontemporer dan Tantangan ke Depan

Di era Antroposen, ketika manusia telah menjadi kekuatan geologis yang mengubah sistem bumi, ekologisme menjadi filsafat yang paling relevan bagi kelangsungan peradaban.²⁰ Tantangan terbesar manusia saat ini bukan hanya bertahan hidup, tetapi bertahan secara bermoral dan berkeadilan di dunia yang terbatas.²¹ Ekologisme mengingatkan bahwa krisis ekologis tidak dapat diselesaikan oleh logika yang sama yang menimbulkannya: eksploitasi, pertumbuhan tanpa batas, dan pemisahan antara manusia dan alam.²²

Namun, untuk benar-benar menjadi kekuatan transformasional, ekologisme harus menghadapi tiga tantangan mendasar. Pertama, menghindari reduksi moralistik yang menjadikan ekologisme sekadar idealisme hijau tanpa strategi konkret. Kedua, menghindari eko-otoritarianisme, yaitu kecenderungan memaksakan kebijakan ekologis tanpa partisipasi demokratis. Ketiga, menjaga keseimbangan antara visi global dan aksi lokal, agar keberlanjutan tidak menjadi proyek elitis, melainkan gerakan kolektif yang melibatkan masyarakat akar rumput.²³

Meskipun tantangan tersebut besar, potensi ekologisme tetap kuat karena ia berakar pada prinsip universal kehidupan itu sendiri—keterhubungan, keberagaman, dan keberlanjutan.²⁴ Dalam kerangka ini, ekologisme bukan sekadar filsafat “tentang alam”, melainkan filsafat kehidupan yang menata ulang hubungan manusia dengan bumi dan dirinya sendiri.²⁵


Penutup: Menuju Kesadaran Ekologis Global

Akhirnya, ekologisme dapat dipahami sebagai proyek peradaban baru yang berupaya menyatukan kembali rasionalitas, etika, dan spiritualitas dalam satu kesadaran ekologis global.²⁶ Ia mengajarkan bahwa keberadaan manusia menemukan maknanya bukan dalam dominasi, tetapi dalam partisipasi; bukan dalam pemisahan, tetapi dalam kesalingterhubungan.²⁷

Dalam dunia yang semakin terancam oleh krisis iklim, konflik sumber daya, dan ketimpangan sosial, ekologisme menawarkan visi etis dan filosofis tentang harapan—bahwa manusia masih dapat menata kembali kehidupannya secara adil, rendah hati, dan selaras dengan bumi.²⁸ Dengan demikian, ekologisme bukanlah akhir dari filsafat politik modern, tetapi babak baru dari pencarian manusia akan kebijaksanaan yang berpihak pada kehidupan.²⁹


Footnotes

[1]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 11–15.

[2]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 2–3.

[3]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.

[4]                James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 24–26.

[5]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–29.

[6]                Donna J. Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–99.

[7]                Fikret Berkes, Sacred Ecology, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 1–7.

[8]                Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press, 2008), 12.

[9]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224–25.

[10]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–24.

[11]             Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 19–22.

[12]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Edinburgh: AK Press, 2005), 24–36.

[13]             Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 91–93; Andrew Dobson, Citizenship and the Environment (Oxford: Oxford University Press, 2003), 83–101.

[14]             John S. Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 211–15.

[15]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 35.

[16]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.

[17]             Tim Jackson, Prosperity without Growth, 2nd ed. (London: Routledge, 2017), 122–35.

[18]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 101–104.

[19]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13–15.

[20]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 9–11.

[21]             Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 8–10.

[22]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 21–25.

[23]             Larry Lohmann, “Carbon Trading, Climate Justice and the Production of Ignorance,” Development 51, no. 3 (2008): 359–65.

[24]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 150–58.

[25]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 10–12.

[26]             Robyn Eckersley, The Green State, 171–72.

[27]             Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2002), 50–52.

[28]             Murray Bookchin, The Philosophy of Social Ecology (Montreal: Black Rose Books, 1990), 31.

[29]             Ernst Bloch, The Principle of Hope, trans. Neville Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 4–5.


Daftar Pustaka


Buku dan Monograf

Barry, J. (1999). Environment and social theory. Routledge.

Baxter, B. (2000). Ecologism: An introduction. Georgetown University Press.

Bloch, E. (1986). The principle of hope (N. Plaice, S. Plaice, & P. Knight, Trans.). MIT Press.

Bookchin, M. (1990). The philosophy of social ecology. Black Rose Books.

Bookchin, M. (2005). The ecology of freedom: The emergence and dissolution of hierarchy. AK Press.

Berkes, F. (2012). Sacred ecology (3rd ed.). Routledge.

Capra, F. (1975). The Tao of physics. Shambhala.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. Anchor Books.

Capra, F. (2002). The hidden connections: A science for sustainable living. Anchor Books.

Callicott, J. B. (1989). In defense of the land ethic. State University of New York Press.

Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton Mifflin.

Clapp, J., & Dauvergne, P. (2011). Paths to a green world: The political economy of the global environment (2nd ed.). MIT Press.

Daly, H. E. (1991). Steady-state economics. Island Press.

Dobson, A. (1998). Justice and the environment: Conceptions of environmental sustainability and dimensions of social justice. Oxford University Press.

Dobson, A. (2003). Citizenship and the environment. Oxford University Press.

Dobson, A. (2007). Green political thought (4th ed.). Routledge.

Dryzek, J. S. (2013). The politics of the earth: Environmental discourses (3rd ed.). Oxford University Press.

Dryzek, J. S., & Pickering, J. (2019). The politics of the Anthropocene. Oxford University Press.

Eckersley, R. (1992). Environmentalism and political theory: Toward an ecocentric approach. State University of New York Press.

Eckersley, R. (2004). The green state: Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.

Elgin, D. (1993). Voluntary simplicity. William Morrow.

Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. Monthly Review Press.

Foster, J. B., Clark, B., & York, R. (2010). The ecological rift: Capitalism’s war on the Earth. Monthly Review Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The fate of humans in the Anthropocene. Polity Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Haraway, D. J. (1988). Situated knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.

Hornborg, A. (2001). The power of the machine: Global inequalities of economy, technology, and environment. AltaMira Press.

Illich, I. (1973). Tools for conviviality. Harper & Row.

Jackson, T. (2017). Prosperity without growth (2nd ed.). Routledge.

Jackson, T. (2021). Post growth: Life after capitalism. Polity Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kallis, G. (2018). Degrowth. Agenda Publishing.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Klein, N. (2019). On fire: The burning case for a Green New Deal. Simon & Schuster.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime. Polity Press.

Latour, B. (2018). Down to Earth: Politics in the new climatic regime. Polity Press.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford University Press.

Lovelock, J. (1979). Gaia: A new look at life on Earth. Oxford University Press.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. Universe Books.

Morin, E. (2008). On complexity. Hampton Press.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement: A summary. Inquiry, 16(1–4), 95–100.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Nixon, R. (2011). Slow violence and the environmentalism of the poor. Harvard University Press.

Nordhaus, T., & Shellenberger, M. (2007). Break through: From the death of environmentalism to the politics of possibility. Houghton Mifflin.

Nordhaus, W. D. (2013). The climate casino: Risk, uncertainty, and economics for a warming world. Yale University Press.

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford University Press.

Ophuls, W. (1977). Ecology and the politics of scarcity. W. H. Freeman.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of nature. Routledge.

Rawls, J. (1999). The law of peoples. Harvard University Press.

Regan, T. (1983). The case for animal rights. University of California Press.

Schlosberg, D. (2007). Defining environmental justice. Oxford University Press.

Schweitzer, A. (1949). Civilization and ethics (C. T. Campion, Trans.). A. & C. Black.

Scruton, R. (2012). Green philosophy: How to think seriously about the planet. Oxford University Press.

Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology, and development. Zed Books.

Shiva, V. (1997). Biopiracy: The plunder of nature and knowledge. South End Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Smil, V. (2019). Growth: From microorganisms to megacities. MIT Press.

Stirling, A. (2010). Keep it complex. Nature, 468(7327), 1029–1031.

Stone, C. D. (1972). Should trees have standing?—Toward legal rights for natural objects. Southern California Law Review, 45, 450–501.

Warren, K. J. (1990). The power and the promise of ecological feminism. Environmental Ethics, 12(2), 129–145.


Laporan dan Dokumen Internasional

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (1991). Recommendation of the council on the use of economic instruments in environmental policy. OECD.

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Republic of Ecuador. (2008). Constitución de la República del Ecuador. Asamblea Nacional.

United Nations. (1972). Report of the United Nations Conference on the Human Environment (Stockholm, 1972). United Nations.

United Nations. (1992). Rio declaration on environment and development. United Nations.

United Nations. (1997). Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. United Nations.

United Nations. (2007). United Nations declaration on the rights of indigenous peoples. United Nations.

United Nations. (2015). Paris Agreement. United Nations.


Artikel Jurnal dan Esai Penting

Funtowicz, S. O., & Ravetz, J. R. (1993). Science for the post-normal age. Futures, 25(7), 739–755.

Lohmann, L. (2008). Carbon trading, climate justice and the production of ignorance. Development, 51(3), 359–365.

Norton, B. G. (1992). Epistemology and environmental values. The Monist, 75(2), 208–226.


Karya Kolektif dan Suntingan

Barry, J., & Eckersley, R. (Eds.). (2005). The state and the global ecological crisis. MIT Press.

Doherty, B., & de Geus, M. (Eds.). (1996). Democracy and green political thought: Sustainability, rights and citizenship. Routledge.

Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Blackwell.


Karya Tambahan Relevan

Acosta, A. (2013). Buen vivir: Sumak kawsay, una oportunidad para imaginar otros mundos. Ediciones Abya-Yala.

Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power, politics, and the planetary costs of artificial intelligence. Yale University Press.

Latouche, S. (2009). Farewell to growth. Polity Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar