Mazhab Miletos
Fondasi Awal Filsafat Alam dalam Tradisi Yunani Kuno
Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.
Dari Mitos ke Logos yang Tertunda.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif Mazhab
Miletos sebagai fondasi awal filsafat alam dalam tradisi Yunani Kuno.
Kajian ini bertujuan untuk menelusuri asal-usul historis, prinsip-prinsip
ontologis, epistemologis, dan kosmologis yang dikembangkan oleh tiga tokoh
utama—Thales, Anaximandros, dan Anaximenes—serta kontribusi dan
pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat Barat. Dalam analisisnya, artikel
ini menunjukkan bahwa Mazhab Miletos merupakan titik transisi penting dari mythos
menuju logos, yaitu pergeseran cara berpikir manusia dari penjelasan
mitologis menuju penjelasan rasional. Melalui konsep archē (prinsip
pertama), mereka menegaskan bahwa segala sesuatu berasal dari satu unsur dasar
yang rasional dan abadi, sehingga menandai lahirnya tradisi berpikir metafisik
dan ilmiah.
Secara epistemologis, Mazhab Miletos memperkenalkan
pola pengetahuan yang berbasis pada observasi dan penalaran logis, meskipun
masih bersifat spekulatif. Secara kosmologis, mereka mengemukakan bahwa alam
semesta bersifat teratur, dinamis, dan tunduk pada hukum-hukum alam yang dapat
dipahami oleh akal manusia. Meskipun memiliki keterbatasan dalam aspek
metodologis dan empiris, pemikiran mereka telah membuka jalan bagi perkembangan
filsafat pra-Sokratik dan menjadi akar bagi rasionalitas ilmiah yang berkembang
dalam tradisi klasik hingga modern. Dalam konteks kontemporer, warisan Mazhab
Miletos tetap relevan, terutama dalam membangun kesadaran rasional, ekologis,
dan epistemologis terhadap hubungan manusia dengan alam. Artikel ini menegaskan
bahwa Mazhab Miletos bukan hanya bab awal dalam sejarah filsafat, melainkan fondasi
paradigmatik bagi seluruh struktur pemikiran ilmiah dan filsafat Barat.
Kata Kunci: Mazhab Miletos; Thales; Anaximandros; Anaximenes;
archē; filsafat alam; rasionalitas; ontologi; kosmologi; epistemologi; Yunani
Kuno.
PEMBAHASAN
Mazhab Miletos sebagai Tonggak Awal Pemikiran Ilmiah
dan Filosofis
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Masalah
Mazhab Miletos menandai titik awal dari sejarah
filsafat Barat yang berpijak pada rasionalitas dan pengamatan terhadap alam
semesta. Dalam konteks sejarah intelektual Yunani Kuno, Mazhab ini muncul
sebagai respons terhadap dominasi mitos (mythos) yang sebelumnya menjadi
cara utama manusia memahami dunia. Sebelum kemunculan filsafat, realitas
dijelaskan melalui kisah-kisah religius yang mengaitkan fenomena alam dengan
tindakan para dewa, seperti Zeus yang menyebabkan petir atau Poseidon yang
menguasai laut. Namun, sekitar abad ke-6 SM, di kota pesisir Miletos—sebuah
pusat perdagangan dan kebudayaan di Asia Kecil—muncul sekelompok pemikir yang
berani menafsirkan alam secara rasional tanpa bergantung pada penjelasan
mitologis. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai para filsuf Miletos:
Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.¹
Mazhab ini menjadi tonggak awal karena
memperkenalkan gagasan bahwa alam semesta memiliki tatanan rasional dan prinsip
dasar yang dapat dipahami melalui akal manusia. Mereka mempercayai adanya archē—suatu
unsur atau prinsip pertama yang menjadi asal segala sesuatu. Thales menganggap
air sebagai archē, Anaximandros memperkenalkan konsep apeiron
(yang tak terbatas), sementara Anaximenes menyatakan bahwa udara adalah unsur
dasar dari segala sesuatu.² Gagasan-gagasan ini, meskipun sederhana dibandingkan
dengan teori ilmiah modern, menandai pergeseran epistemologis dari keyakinan
pada mitos menuju penjelasan yang berbasis logika dan observasi empiris.
Secara geografis dan kultural, Miletos memiliki
posisi strategis yang memungkinkan interaksi intelektual lintas budaya. Kota
ini merupakan pelabuhan penting di Ionia dan menjadi pusat pertukaran gagasan
antara Yunani, Mesir, dan Babilonia.³ Melalui hubungan ini, para pemikir
Miletos tidak hanya menerima inspirasi dari ilmu pengetahuan Timur Kuno—seperti
astronomi Babilonia dan geometri Mesir—tetapi juga mengembangkan cara berpikir
yang lebih sistematis dan rasional. Mereka tidak sekadar meniru, melainkan
mentransformasikan pengetahuan tersebut menjadi kerangka filsafat alam (physis),
yang menekankan bahwa fenomena dunia dapat dijelaskan melalui hukum dan
keteraturan yang inheren di alam semesta.⁴
Mazhab Miletos juga mencerminkan perubahan sosial
dan spiritual masyarakat Yunani pada masa itu. Perkembangan kota-kota (polis),
meningkatnya perdagangan, serta kontak dengan berbagai kebudayaan membuat
masyarakat Yunani semakin terbuka terhadap cara berpikir kritis.⁵ Dengan
demikian, lahirnya Mazhab Miletos bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan hasil
dari dinamika sosial, ekonomi, dan intelektual yang kompleks. Dalam pengertian
ini, Miletos menjadi tempat di mana rasionalitas ilmiah pertama kali menemukan
bentuknya, menandai awal dari tradisi pemikiran filosofis yang akan melahirkan
sains modern.
Lebih jauh, Mazhab Miletos tidak hanya penting
secara historis, tetapi juga filosofis. Ia menegaskan prinsip dasar bahwa
segala sesuatu memiliki sebab yang dapat dicari dan dipahami. Prinsip ini
kemudian menjadi dasar bagi metode ilmiah—yakni pencarian pengetahuan melalui
observasi, penalaran, dan generalisasi.⁶ Dalam pengertian epistemologis, para
filsuf Miletos menolak pengetahuan dogmatis dan mengajukan pendekatan kritis
terhadap realitas. Pemikiran seperti ini menandai permulaan logos, yaitu
rasionalitas yang menjadi fondasi filsafat Barat.⁷
Dengan demikian, Mazhab Miletos dapat dipahami
bukan hanya sebagai mazhab filsafat pertama, tetapi juga sebagai simbol
kelahiran berpikir ilmiah. Kajian terhadap mazhab ini menjadi penting karena
membuka pemahaman tentang bagaimana manusia mulai mencari keteraturan di balik
keragaman fenomena, serta bagaimana upaya awal memahami kosmos menjadi dasar
bagi seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di kemudian hari.
1.2.      
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa
pertanyaan pokok yang dapat diajukan:
1)                 
Bagaimana konteks historis, geografis, dan kultural yang
melatarbelakangi kemunculan Mazhab Miletos?
2)                 
Apa gagasan utama yang dikemukakan oleh Thales, Anaximandros, dan
Anaximenes dalam memahami realitas alam?
3)                 
Bagaimana Mazhab Miletos berkontribusi terhadap perkembangan
rasionalitas ilmiah dan tradisi filsafat Barat?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat Kajian
Kajian ini bertujuan untuk menguraikan secara
komprehensif asal-usul, gagasan pokok, dan kontribusi Mazhab Miletos dalam
sejarah filsafat. Secara akademik, kajian ini diharapkan dapat memperkaya
pemahaman mengenai transformasi intelektual dari mythos menuju logos,
serta menegaskan pentingnya peran Mazhab Miletos sebagai fondasi bagi
rasionalitas ilmiah. Secara praktis, kajian ini bermanfaat dalam memperluas
wawasan tentang pentingnya berpikir kritis dan empiris dalam memahami dunia,
serta menumbuhkan kesadaran akan akar historis ilmu pengetahuan modern.
Footnotes
[1]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 25–28.
[2]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
45–50.
[3]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 31–33.
[4]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 19–22.
[5]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 11–14.
[6]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 35.
[7]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 15–18.
2.          
Landasan
Historis dan Geografis Mazhab Miletos
2.1.      
Kota Miletos sebagai Pusat Peradaban
dan Perdagangan
Kota Miletos, terletak di wilayah Ionia di pesisir
barat Asia Kecil (sekarang bagian dari Turki modern), merupakan salah satu kota
pelabuhan paling penting dalam dunia Yunani Kuno. Letaknya yang strategis di
tepi Laut Aegea menjadikannya pusat perdagangan, pelayaran, dan pertukaran
gagasan antara Timur dan Barat.¹ Aktivitas ekonomi dan kontak lintas budaya ini
menciptakan kondisi sosial yang sangat dinamis, di mana gagasan-gagasan baru
dari Mesir, Fenisia, dan Babilonia dapat diserap, dipelajari, dan diolah secara
kritis oleh masyarakat Miletos. Dengan demikian, kota ini bukan sekadar pusat
ekonomi, tetapi juga laboratorium intelektual yang memungkinkan lahirnya cara
berpikir baru tentang alam dan realitas.²
Miletos memiliki sistem pemerintahan yang relatif
stabil dan otonom dibandingkan dengan kota-kota Yunani lainnya. Keberadaannya
sebagai polis (kota-negara) dengan struktur sosial yang terbuka
memberikan ruang bagi aktivitas intelektual yang tidak sepenuhnya dikontrol
oleh otoritas agama atau politik.³ Situasi ini mendukung munculnya kelompok
pemikir yang berani mempertanyakan keyakinan tradisional serta mencari
penjelasan rasional terhadap fenomena alam. Dalam konteks inilah, lahir para
filsuf pertama seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes, yang dikenal
sebagai tokoh-tokoh utama Mazhab Miletos.
Selain sebagai kota perdagangan, Miletos juga
dikenal karena kemajuan dalam bidang arsitektur, matematika, dan astronomi.⁴
Thales, misalnya, dikenal bukan hanya sebagai filsuf, tetapi juga sebagai ahli
matematika dan astronom yang konon mampu memprediksi gerhana matahari sekitar
tahun 585 SM.⁵ Kemampuan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Miletos telah
mengembangkan metode observasi dan penalaran yang melampaui tradisi mitologis.
Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan filsafat alam (physis),
di mana alam tidak lagi dilihat sebagai arena intervensi ilahi, tetapi sebagai
sistem yang teratur dan dapat dipahami oleh rasio manusia.
2.2.      
Kondisi Sosial, Politik, dan
Intelektual Awal Yunani
Kemunculan Mazhab Miletos tidak dapat dilepaskan
dari konteks sosial-politik Yunani pada masa itu. Pada abad ke-7 hingga ke-6
SM, dunia Yunani sedang mengalami transformasi besar: munculnya sistem polis,
berkembangnya perdagangan maritim, dan tumbuhnya kelas menengah baru yang
berperan dalam dinamika sosial.⁶ Dalam lingkungan seperti ini, otoritas
tradisional—terutama mitos religius yang diwariskan melalui puisi Homer dan
Hesiod—mulai dipertanyakan. Masyarakat Yunani mulai mencari penjelasan yang
lebih rasional dan universal tentang asal-usul segala sesuatu.
Selain faktor sosial, kondisi intelektual juga
turut mendukung lahirnya pemikiran rasional. Hubungan Miletos dengan Mesir dan
Babilonia memperkenalkan masyarakatnya pada astronomi, geometri, dan konsep
kosmologi yang lebih teratur.⁷ Namun, para pemikir Miletos tidak sekadar meniru
pengetahuan asing tersebut; mereka menginterpretasikannya dengan semangat baru
yang bersifat rasional dan naturalistik. Misalnya, jika dalam tradisi Babilonia
gerak bintang masih dikaitkan dengan dewa-dewi, maka bagi para filsuf Miletos,
bintang-bintang dan langit menjadi bagian dari sistem alam yang tunduk pada
prinsip keteraturan logis (logos).⁸
Transformasi ini juga mencerminkan semangat
humanisme awal, di mana manusia mulai memosisikan dirinya sebagai subjek pengetahuan,
bukan sekadar penerima wahyu. Filsafat lahir ketika manusia mulai bertanya mengapa
sesuatu terjadi dan bagaimana dunia bekerja, bukan hanya siapa
penyebabnya secara religius.⁹ Oleh karena itu, Mazhab Miletos sering dianggap
sebagai “kelahiran rasionalitas ilmiah”, karena di sinilah muncul
kesadaran bahwa realitas dapat dijelaskan tanpa merujuk pada entitas
supranatural.
Secara historis, Mazhab Miletos menandai fase
peralihan dari pengetahuan berbasis tradisi menuju pengetahuan berbasis penalaran.
Dalam hal ini, Thales dan penerusnya bukan hanya mengawali sejarah filsafat,
tetapi juga menanamkan fondasi bagi sains alam.¹⁰ Melalui pendekatan
observasional dan deduktif, mereka mengajukan teori-teori yang mencoba memahami
asal-usul kosmos, bahan dasar segala sesuatu, dan keteraturan fenomena alam.
Dengan demikian, Mazhab Miletos bukan hanya produk dari kondisi geografis yang
menguntungkan, tetapi juga hasil dari transformasi sosial, politik, dan
intelektual yang memungkinkan lahirnya filsafat rasional di dunia Yunani Kuno.
Footnotes
[1]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 5–7.
[2]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 21–23.
[3]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 29.
[4]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 38.
[5]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 33.
[6]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 37.
[7]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 22–25.
[8]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 41–43.
[9]               
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 9–12.
[10]            
John Mansley Robinson, An Introduction to Early
Greek Philosophy (Boston: Houghton Mifflin, 1968), 18–20.
3.          
Tokoh-Tokoh
Utama Mazhab Miletos
Mazhab Miletos merupakan tonggak awal dalam sejarah
filsafat Barat yang dikenal melalui tiga tokoh utamanya: Thales, Anaximandros,
dan Anaximenes. Ketiganya hidup di kota Miletos pada abad ke-6 SM dan
berupaya menjelaskan asal-usul realitas dengan berpijak pada prinsip alamiah (physis)
dan bukan mitologi. Mereka mencari archē—unsur pertama atau prinsip
dasar yang menjadi sumber dari segala sesuatu.¹ Meskipun gagasan mereka masih
sederhana bila dibandingkan dengan filsafat dan sains modern, ketiganya telah
meletakkan dasar bagi cara berpikir ilmiah dan rasional yang kemudian
dikembangkan oleh generasi filsuf Yunani berikutnya.
3.1.      
Thales dari Miletos (Sekitar 624–546
SM)
Thales sering disebut sebagai filsuf pertama
dalam sejarah Barat, sekaligus pendiri Mazhab Miletos.² Ia berupaya
menjelaskan asal-usul segala sesuatu melalui unsur alam, bukan mitos religius.
Thales berpendapat bahwa air (hydor) merupakan archē, atau
prinsip pertama dari segala yang ada.³ Menurutnya, semua kehidupan bergantung
pada air; tanpa air, tidak ada kehidupan, dan segala sesuatu yang tampak padat
atau kering pun pada dasarnya mengandung unsur cair di dalamnya.⁴
Gagasan ini mencerminkan pandangan empiris awal
yang berpijak pada pengamatan terhadap dunia nyata. Thales mungkin terinspirasi
oleh lingkungan geografis Miletos, yang merupakan kota pelabuhan dan pusat
perdagangan laut. Ia mengamati bahwa air memiliki kemampuan untuk berubah
bentuk—menjadi uap, cairan, atau es—dan dengan demikian dapat menjadi dasar
dari semua wujud materi.⁵
Selain sebagai filsuf, Thales dikenal juga sebagai ilmuwan
dan matematikawan. Ia disebut-sebut telah mempelajari geometri dari Mesir
dan menerapkannya untuk mengukur tinggi piramida dengan menggunakan bayangan.⁶
Dalam bidang astronomi, ia dikatakan berhasil memprediksi gerhana matahari pada
tahun 585 SM, yang menjadi bukti kemampuan rasional dan observasionalnya.⁷ Dengan
demikian, Thales tidak hanya membuka jalan bagi filsafat alam, tetapi juga
menjadi pelopor bagi metode ilmiah yang berpijak pada pengamatan dan penalaran
logis.
3.2.      
Anaximandros (Sekitar 610–546 SM)
Anaximandros, murid dan penerus Thales, melangkah
lebih jauh dalam pencarian prinsip dasar realitas. Ia menolak gagasan gurunya
bahwa air merupakan archē, dan mengajukan konsep “apeiron”
(yang tak terbatas, tak berhingga, dan tak ditentukan) sebagai sumber dari
segala sesuatu.⁸ Menurutnya, segala sesuatu di dunia berasal dari apeiron
dan akan kembali kepadanya ketika hancur.⁹
Pemikiran Anaximandros menandai langkah penting
dalam abstraksi filosofis. Ia menyadari bahwa jika satu unsur seperti air
dijadikan asal dari segala hal, maka unsur tersebut tidak dapat menjelaskan
keberagaman dan perubahan yang terjadi di alam. Oleh karena itu, apeiron—yang
tidak memiliki sifat tertentu dan tidak terbatas—dipandang lebih rasional
sebagai asal mula realitas.¹⁰
Selain itu, Anaximandros juga merupakan salah satu
pemikir pertama yang memperkenalkan gagasan kosmologis dan evolusioner.
Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk silinder yang melayang di pusat alam
semesta tanpa penopang, dan bahwa makhluk hidup pertama berasal dari air, lalu
berevolusi hingga muncul manusia.¹¹ Pandangan ini menunjukkan keberanian
intelektual yang luar biasa pada zamannya, karena berusaha menjelaskan alam
semesta tanpa bergantung pada kepercayaan mitologis.
Lebih dari itu, Anaximandros memperkenalkan prinsip
keseimbangan kosmik: segala sesuatu yang melanggar keseimbangan akan
dihukum dan dikembalikan kepada apeiron.¹² Prinsip ini merupakan bentuk
awal dari pemikiran tentang hukum alam, yang menjadi dasar bagi rasionalitas
ilmiah di kemudian hari. Dengan demikian, Anaximandros dapat dianggap sebagai
pelopor metafisika dan kosmologi dalam tradisi filsafat Yunani.
3.3.      
Anaximenes (Sekitar 585–528 SM)
Anaximenes, murid Anaximandros, berusaha
menyederhanakan dan sekaligus memperjelas gagasan gurunya. Ia menolak konsep apeiron
yang terlalu abstrak dan mengusulkan bahwa udara (aēr) adalah prinsip
dasar (archē) dari segala sesuatu.¹³ Menurutnya, udara tidak hanya
tak terlihat dan tak terbatas, tetapi juga dapat berubah menjadi unsur lain
melalui proses pemadatan (condensation) dan pengenceran (rarefaction).¹⁴
Dalam pandangan Anaximenes, segala bentuk materi
merupakan hasil dari perbedaan tingkat kerapatan udara. Ketika udara memadat,
ia menjadi angin, lalu awan, air, tanah, hingga batu. Sebaliknya, ketika
mengembang, udara berubah menjadi api.¹⁵ Penjelasan ini menunjukkan bentuk awal
dari teori fisika material—sebuah upaya sistematis untuk memahami
perubahan bentuk materi berdasarkan hukum alamiah, bukan intervensi
supranatural.
Selain itu, Anaximenes melihat udara sebagai
napas kehidupan (pneuma) yang menghubungkan manusia dengan alam semesta.
Sebagaimana napas menjaga kehidupan manusia, udara kosmik menopang seluruh
kehidupan di alam semesta.¹⁶ Gagasan ini tidak hanya mengandung dimensi fisik,
tetapi juga spiritual, menggambarkan kesatuan antara mikrocosmos (manusia) dan
makrocosmos (alam).
Melalui teori ini, Anaximenes memperlihatkan
kemampuan berpikir induktif—menarik kesimpulan umum dari pengamatan
empiris—yang menjadi salah satu ciri awal metode ilmiah.¹⁷ Ia juga menegaskan
bahwa perubahan di alam bukan hasil dari tindakan dewa, melainkan proses alami
yang dapat dijelaskan melalui hubungan sebab-akibat yang logis.
Sintesis
Pemikiran Ketiga Tokoh
Meskipun berbeda dalam menentukan substansi dasar
alam, ketiga tokoh Mazhab Miletos memiliki kesamaan mendasar: mereka semua
berusaha menjelaskan alam melalui prinsip rasional, naturalistik, dan
universal. Mereka menggantikan penjelasan mitologis dengan pemikiran
berbasis observasi dan deduksi logis.¹⁸ Dari Thales hingga Anaximenes, terjadi
perkembangan bertahap dari konkret ke abstrak—dari air sebagai unsur empiris,
ke apeiron yang metafisik, lalu ke udara yang menggabungkan keduanya.
Pemikiran mereka juga membuka jalan bagi
filsuf-filsuf berikutnya, seperti Herakleitos yang menekankan perubahan abadi,
dan Pythagoras yang melihat keteraturan matematis di alam.¹⁹ Dengan demikian,
Mazhab Miletos tidak hanya meletakkan fondasi bagi kosmologi dan ontologi,
tetapi juga bagi metode berpikir ilmiah yang akan membentuk dasar seluruh
tradisi filsafat dan sains Barat.
Footnotes
[1]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 24–25.
[2]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 35.
[3]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 34.
[4]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 41.
[5]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 8–10.
[6]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 49.
[7]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 19.
[8]               
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 14–16.
[9]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 46–48.
[10]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
28.
[11]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 44.
[12]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
56–57.
[13]            
John Mansley Robinson, An Introduction to Early
Greek Philosophy (Boston: Houghton Mifflin, 1968), 21–23.
[14]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 43.
[15]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 36.
[16]            
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers, 27.
[17]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 53.
[18]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
30.
[19]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 49–50.
4.          
Epistemologi
dan Metode Pemikiran Mazhab Miletos
Mazhab Miletos tidak hanya penting karena
memperkenalkan gagasan kosmologis dan ontologis tentang asal-usul alam semesta,
tetapi juga karena membentuk fondasi epistemologis bagi tradisi filsafat dan
ilmu pengetahuan Barat. Para filsuf Miletos—Thales, Anaximandros, dan
Anaximenes—membangun suatu cara berpikir yang berpijak pada rasionalitas (logos),
observasi empiris, dan penalaran logis sebagai sarana untuk
memahami realitas. Dengan demikian, mazhab ini menjadi titik tolak bagi
perubahan radikal dari pengetahuan mitologis menuju pengetahuan ilmiah dan
filosofis.¹
4.1.      
Pergeseran dari Mitologi ke
Rasionalitas (Mythos → Logos)
Sebelum munculnya Mazhab Miletos, dunia Yunani
dijelaskan melalui narasi-narasi mitologis seperti yang terdapat dalam karya
Homer dan Hesiod, di mana alam dan kehidupan manusia dipandang sebagai hasil
intervensi para dewa.² Dalam mitologi, petir adalah manifestasi amarah Zeus,
laut bergolak karena kemurkaan Poseidon, dan kesuburan bumi dijelaskan oleh
kemurahan hati Demeter. Namun, para pemikir Miletos berani memisahkan alam dari
dunia ilahi dan menganggap bahwa setiap fenomena memiliki penyebab alami (aitia
physika), bukan supranatural.³
Peralihan ini menandai lahirnya rasionalitas
sebagai cara baru dalam memahami dunia. Bagi Thales, misalnya, air bukanlah
simbol ilahi, melainkan unsur fisik yang memiliki peranan universal dalam
keberadaan.⁴ Anaximandros memperluasnya dengan konsep apeiron, suatu
prinsip yang tidak memiliki batas dan bersifat rasional, bukan religius.⁵
Sementara Anaximenes mengembangkan pandangan ini lebih lanjut dengan menekankan
proses alamiah seperti pemadatan dan pengenceran udara.⁶ Dengan demikian,
Mazhab Miletos mengajarkan bahwa dunia dapat dijelaskan secara konsisten
melalui hukum-hukum alam yang rasional dan dapat diobservasi, bukan melalui
mitos atau wahyu.
Perubahan ini juga merupakan transformasi
epistemologis dari pengetahuan berbasis kepercayaan menjadi pengetahuan
berbasis rasio dan pengalaman. Mereka mulai menggunakan akal sebagai alat
untuk menemukan keteraturan dan kausalitas di alam, membuka jalan bagi
munculnya logos—yakni rasionalitas dan argumentasi yang menjadi ciri
khas filsafat Yunani Kuno.⁷
4.2.      
Awal Metode Ilmiah dan Observasi
Alam
Epistemologi Mazhab Miletos berakar pada upaya
untuk menemukan kebenaran melalui pengamatan empiris dan penalaran
deduktif, yang kemudian menjadi cikal bakal metode ilmiah.⁸ Para filsuf
Miletos berusaha memahami alam dengan cara mengamati fenomena konkret, mencari
pola keteraturan, dan menyusun generalisasi rasional. Misalnya, Thales
mengamati pentingnya air bagi kehidupan dan dari sana menyimpulkan bahwa air
merupakan asal dari segala sesuatu.⁹ Walaupun argumennya belum berbasis
eksperimentasi sistematis seperti dalam sains modern, pendekatan Thales sudah
menunjukkan kesadaran bahwa pengetahuan harus berpijak pada realitas empiris.
Anaximandros memperkenalkan dimensi baru dalam
metode berpikir dengan menekankan abstraksi rasional. Ia mengembangkan
teori tentang apeiron bukan karena pengamatan langsung, tetapi karena
kesimpulan logis atas keterbatasan unsur empiris.¹⁰ Pendekatan ini menunjukkan
keseimbangan antara observasi dan penalaran—sebuah model epistemologis yang
menggabungkan data empiris dan refleksi rasional.
Sementara itu, Anaximenes memperlihatkan prototipe
penalaran ilmiah eksperimental, meskipun masih sederhana. Ia menafsirkan
perubahan bentuk materi (api, udara, air, tanah, batu) sebagai akibat dari
proses kondensasi dan pengenceran udara.¹¹ Artinya, ia mencoba menjelaskan
fenomena alam dengan prinsip kausalitas mekanistik, bukan intervensi ilahi. Hal
ini menunjukkan kesadaran epistemik bahwa fenomena fisik memiliki hubungan
sebab-akibat yang dapat dipelajari dan dipahami melalui rasio.
Dengan demikian, ketiga tokoh ini menegaskan bahwa
pengetahuan sejati harus berasal dari dua sumber utama: pengalaman (empiria)
dan penalaran (logos).¹² Kedua unsur ini menjadi dasar bagi epistemologi
Yunani dan kemudian berkembang menjadi metode ilmiah modern.
4.3.      
Rasionalitas, Kosmos, dan Prinsip
Keteraturan Alam
Mazhab Miletos juga meyakini bahwa alam semesta
memiliki keteraturan inheren yang dapat dipahami oleh akal manusia. Mereka
menolak pandangan bahwa dunia diciptakan secara acak atau dikuasai oleh
kekuatan gaib. Menurut Anaximandros, semua benda di alam tunduk pada prinsip
keseimbangan dan keadilan kosmik—ketika satu unsur melampaui batasnya, alam
akan “menghukum” dan memulihkan keseimbangan melalui hukum alam.¹³
Prinsip ini merupakan bentuk awal dari konsep hukum alam (natural law)
yang kelak berkembang dalam filsafat dan sains.
Kesadaran akan keteraturan alam juga mencerminkan rasionalitas
kosmik, di mana manusia dianggap mampu memahami alam karena akalnya
merupakan bagian dari keteraturan itu sendiri.¹⁴ Bagi para filsuf Miletos,
berpikir secara rasional bukanlah aktivitas yang terpisah dari alam, melainkan
cerminan dari struktur rasional alam semesta itu sendiri. Hal ini kemudian
menjadi dasar bagi tradisi epistemologis Yunani yang memandang bahwa
pengetahuan sejati (epistēmē) adalah pengetahuan tentang keteraturan
universal yang mendasari segala fenomena.¹⁵
Signifikansi
Epistemologis Mazhab Miletos
Dari perspektif epistemologi, Mazhab Miletos
memberikan kontribusi monumental bagi sejarah filsafat. Mereka memperkenalkan model
pengetahuan yang bersifat naturalistik, yang mencari sebab di dalam alam,
bukan di luar alam.¹⁶ Pendekatan ini menandai lahirnya semangat ilmiah dan
rasional yang menjadi ciri khas peradaban Barat.
Lebih jauh lagi, pemikiran mereka mengandung sikap
metodologis terbuka—bahwa kebenaran tidak bersifat mutlak, tetapi dapat
dicari dan diuji melalui observasi dan rasio.¹⁷ Sikap inilah yang membedakan
mereka dari para penyair religius atau mitologis sezamannya. Dengan demikian,
Mazhab Miletos tidak hanya merumuskan teori tentang asal-usul alam, tetapi juga
memperkenalkan paradigma epistemologis baru: bahwa pengetahuan adalah hasil
dari penyelidikan rasional terhadap realitas empiris.
Prinsip-prinsip epistemik Mazhab Miletos kemudian
diwarisi oleh generasi filsuf berikutnya—dari Herakleitos hingga
Aristoteles—dan menjadi fondasi bagi perkembangan logika, sains, dan filsafat
modern.¹⁸
Footnotes
[1]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 32–33.
[2]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 28–30.
[3]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 37.
[4]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 13.
[5]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 42.
[6]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 51.
[7]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 20–21.
[8]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 48.
[9]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
34.
[10]            
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 18–19.
[11]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 46.
[12]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 45–46.
[13]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
58–59.
[14]            
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers, 29.
[15]            
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy,
39.
[16]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
37.
[17]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 51.
[18]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 52–54.
5.          
Ontologi
dan Kosmologi Mazhab Miletos
Mazhab Miletos menempati posisi penting dalam
sejarah filsafat karena merupakan titik awal bagi lahirnya pemikiran ontologis
dan kosmologis dalam tradisi Yunani Kuno. Para filsufnya—Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes—tidak hanya berusaha menjelaskan asal mula alam
semesta, tetapi juga menanyakan hakikat terdalam dari keberadaan itu sendiri.¹
Mereka menggeser fokus penjelasan dunia dari narasi mitologis menuju
penelusuran rasional tentang “apa yang ada” (to on) dan bagaimana
realitas bekerja secara alami (physis).
Ontologi Mazhab Miletos berpusat pada pencarian substansi
dasar atau prinsip pertama (archē) yang menjadi sumber dari
segala sesuatu, sedangkan kosmologi mereka berupaya menjelaskan struktur,
keteraturan, dan dinamika kosmos berdasarkan prinsip rasional tersebut.²
5.1.      
Konsep Archē sebagai Prinsip
Ontologis
Bagi para filsuf Miletos, pertanyaan fundamental
bukanlah siapa yang menciptakan alam semesta, melainkan dari apa segala
sesuatu berasal. Pertanyaan ini menandai peralihan dari penjelasan teologis
menuju pendekatan ontologis.³ Mereka berusaha menemukan archē—unsur
dasar yang kekal, tunggal, dan menjadi sumber bagi segala perubahan di alam
semesta.
Thales memandang air sebagai archē, karena air terdapat di mana-mana
dan menjadi syarat utama kehidupan.⁴ Pandangan ini, meskipun sederhana,
mencerminkan intuisi ontologis bahwa keberadaan memiliki satu dasar universal
yang menyatukan segala keragaman fenomena. Dalam hal ini, Thales memperkenalkan
prinsip monistik: bahwa di balik keragaman bentuk, terdapat kesatuan substansial
yang sama.⁵
Anaximandros mengembangkan konsep ini secara lebih abstrak dengan memperkenalkan apeiron—yang
tak terbatas dan tak terhingga—sebagai asal mula segala sesuatu.⁶ Ia menolak
gagasan bahwa unsur tertentu seperti air dapat menjadi sumber dari semua yang
ada, karena setiap unsur memiliki sifat yang berlawanan (basah–kering,
panas–dingin) dan tidak mungkin satu di antaranya menjadi dasar dari semua yang
lain.⁷ Dengan demikian, apeiron dipahami sebagai prinsip ontologis yang
tidak memiliki bentuk, batas, atau kualitas tertentu, namun darinya segala
sesuatu berasal dan kepadanya kembali.⁸
Sementara itu, Anaximenes mencoba
mengembalikan konsep ontologis tersebut ke ranah yang lebih konkret, dengan
menyatakan bahwa udara (aēr) adalah archē dari segala sesuatu.⁹
Baginya, udara bersifat tak terbatas, tetapi sekaligus dapat diamati dan
mengalami transformasi menjadi bentuk lain melalui proses kondensasi dan
pengenceran.¹⁰ Dengan demikian, Anaximenes menyatukan aspek empiris dan
metafisik dari ontologi Miletos, menunjukkan bahwa realitas bersifat dinamis
dan terus berubah dalam kesatuan prinsip yang sama.
Dari ketiga tokoh ini, terlihat bahwa konsep archē
bukan sekadar teori tentang asal-usul materi, tetapi juga gagasan metafisik
tentang kesatuan dan keberlangsungan realitas.¹¹ Setiap perubahan di dunia
hanyalah transformasi dari bentuk dasar yang sama, bukan penciptaan dari
ketiadaan. Ini menunjukkan bahwa Mazhab Miletos telah mengenalkan prinsip
ontologis paling awal dalam sejarah filsafat Barat: ex nihilo nihil fit—tidak
ada yang datang dari ketiadaan.¹²
5.2.      
Struktur dan Keteraturan Kosmos
Kosmologi Mazhab Miletos berakar pada pandangan
bahwa alam semesta (kosmos) adalah sistem yang rasional, teratur, dan
tunduk pada hukum-hukum alam. Para filsuf Miletos menolak pandangan kaotik dan
antropomorfis dari mitologi, dan menggantinya dengan model dunia yang memiliki struktur
keteraturan.¹³
Bagi Thales, dunia dipenuhi oleh kekuatan
hidup—segala sesuatu dianggap “penuh dengan dewa” dalam pengertian
metaforis, yakni bahwa semua benda memiliki prinsip kehidupan yang sama dengan
alam semesta.¹⁴ Pandangan ini mengandung embrio dari konsep panpsikisme,
yaitu keyakinan bahwa materi memiliki dimensi kehidupan atau kesadaran
tertentu, suatu gagasan yang akan berpengaruh dalam filsafat alam berikutnya.¹⁵
Anaximandros mengembangkan gagasan kosmologis yang lebih kompleks. Ia menggambarkan
bumi sebagai benda berbentuk silinder yang melayang di tengah-tengah ruang
tanpa penopang karena keseimbangannya dengan segala arah.¹⁶ Langit, menurutnya,
tersusun dari roda-roda api yang mengelilingi bumi, dan fenomena seperti
matahari serta bintang merupakan bagian dari sistem kosmik yang teratur.¹⁷
Dengan demikian, Anaximandros adalah salah satu filsuf pertama yang
memperkenalkan model mekanistik alam semesta, di mana fenomena langit
tidak lagi dijelaskan dengan mitos, tetapi dengan struktur rasional yang dapat
dipahami.¹⁸
Sementara itu, Anaximenes memandang udara
sebagai unsur yang menghubungkan segala sesuatu di alam, sekaligus sebagai napas
kosmik (pneuma) yang memberikan kehidupan pada seluruh realitas.¹⁹
Ia menjelaskan fenomena perubahan alam melalui prinsip fisik yang terukur—bahwa
variasi dalam kerapatan udara menghasilkan unsur-unsur baru seperti api, air,
tanah, dan batu.²⁰ Pandangan ini merupakan bentuk awal dari teori
transformasi materi, yang mendasari pemikiran ilmiah tentang energi dan
perubahan bentuk zat dalam fisika modern.²¹
Dengan demikian, bagi para filsuf Miletos, kosmos
bukanlah ciptaan dewa, melainkan sistem yang hidup dan teratur, yang
tunduk pada hukum-hukum internalnya sendiri.²² Dalam pengertian ini, Mazhab
Miletos meletakkan fondasi bagi kosmologi rasional, yang menggabungkan
prinsip keteraturan (ordo) dengan dinamika perubahan (metabolē).
5.3.      
Dinamika Alam dan Prinsip
Keseimbangan
Mazhab Miletos juga menegaskan bahwa alam semesta
berada dalam keadaan keseimbangan dinamis. Anaximandros, misalnya,
menekankan prinsip keadilan kosmik, di mana unsur-unsur alam saling “membayar
denda” satu sama lain karena pelanggaran terhadap keseimbangan alam.²³
Prinsip ini, meskipun bersifat simbolik, mencerminkan pandangan bahwa setiap
perubahan di alam merupakan bagian dari siklus keteraturan dan pembaruan yang
terus berlangsung.²⁴
Pemahaman ini mengandung dimensi ontologis dan etis
sekaligus: alam semesta dianggap memiliki hukum yang bersifat adil, di mana
tidak ada unsur yang dapat mendominasi secara permanen.²⁵ Dalam filsafat
kemudian, gagasan ini menjadi dasar bagi pandangan Herakleitos tentang
perubahan abadi dan keseimbangan berlawanan (unity of opposites).²⁶
Implikasi
Ontologis dan Kosmologis bagi Filsafat Selanjutnya
Ontologi dan kosmologi Mazhab Miletos memberikan
warisan yang mendalam bagi tradisi filsafat Barat. Dengan menegaskan bahwa
realitas bersumber pada prinsip tunggal yang rasional dan kekal, mereka
memperkenalkan struktur metafisik dunia yang dapat dipahami oleh akal.²⁷
Pemikiran mereka menjadi dasar bagi teori empat unsur Empedokles, atomisme
Demokritos, dan bahkan konsep substansi Aristoteles.²⁸
Selain itu, gagasan kosmologis mereka membuka jalan
bagi ilmu pengetahuan modern. Upaya menjelaskan perubahan materi melalui proses
alami, sebagaimana dilakukan oleh Anaximenes, merupakan bentuk awal dari
pendekatan ilmiah terhadap fenomena fisik.²⁹ Dengan demikian, Mazhab Miletos
bukan hanya tonggak sejarah filsafat, tetapi juga akar dari seluruh tradisi
pemikiran ilmiah yang menekankan rasionalitas, keteraturan, dan kesatuan hukum
alam.
Footnotes
[1]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 40–41.
[2]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 58.
[3]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 38.
[4]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 16.
[5]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 52.
[6]               
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 20.
[7]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 64.
[8]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 33.
[9]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 50.
[10]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 60.
[11]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
43.
[12]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 39.
[13]            
John Mansley Robinson, An Introduction to Early
Greek Philosophy (Boston: Houghton Mifflin, 1968), 25.
[14]            
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers, 35.
[15]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 54.
[16]            
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology, 23.
[17]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
70.
[18]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 62.
[19]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
46.
[20]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 41.
[21]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 53.
[22]            
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers, 37.
[23]            
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology, 27.
[24]            
John Burnet, Early Greek Philosophy, 21.
[25]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 55.
[26]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
72.
[27]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 65.
[28]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 42.
[29]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
48.
6.          
Kontribusi
dan Pengaruh terhadap Filsafat Selanjutnya
Mazhab Miletos menempati posisi yang sangat penting
dalam sejarah perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan karena menjadi fondasi
pertama bagi tradisi rasionalitas Barat. Para filsuf Miletos—Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes—telah memperkenalkan cara berpikir yang berpijak
pada rasio, observasi, dan prinsip keteraturan alam, menggantikan penjelasan
mitologis yang sebelumnya mendominasi kebudayaan Yunani.¹ Melalui pandangan
mereka, filsafat Yunani mengalami revolusi epistemologis dan ontologis yang
kemudian memengaruhi seluruh aliran filsafat selanjutnya, baik dalam tradisi
pra-Sokratik maupun pasca-Sokratik.
6.1.      
Pengaruh terhadap Filsafat
Pra-Sokratik
Kontribusi Mazhab Miletos secara langsung dapat
dilacak pada perkembangan pemikiran filsuf pra-Sokratik lainnya, terutama dalam
hal pencarian archē (prinsip pertama) dan physis (hakikat alam).²
Dengan menjadikan alam sebagai objek refleksi rasional, Mazhab Miletos
meletakkan dasar bagi tradisi filsafat alam (natural philosophy) yang
kemudian dikembangkan oleh berbagai mazhab lain.
Herakleitos dari Efesos, misalnya, melanjutkan semangat rasional Mazhab
Miletos namun menolak pandangan statis mereka. Ia menegaskan bahwa realitas
bersifat dinamis, diatur oleh hukum perubahan abadi: panta rhei (“semua
mengalir”).³ Gagasan Herakleitos mengenai logos sebagai prinsip
universal keteraturan alam memiliki akar yang jelas dalam pandangan rasional
Miletos tentang kosmos yang teratur dan rasional.
Sementara itu, Parmenides dan Mazhab Eleatik
memberikan tanggapan kritis terhadap Mazhab Miletos dengan menolak pandangan
bahwa realitas bersifat berubah.⁴ Menurut Parmenides, perubahan hanyalah ilusi;
yang benar-benar ada adalah “Yang Ada” (to eon), yang tunggal dan
tidak berubah.⁵ Meskipun bertentangan, kritik Parmenides justru memperkuat
warisan Mazhab Miletos karena mendorong diskursus ontologis yang lebih mendalam
tentang hubungan antara keberadaan, perubahan, dan kebenaran.⁶
Empedokles, Anaxagoras, dan Demokritos juga merupakan pewaris
intelektual dari tradisi Miletos.⁷ Empedokles mengembangkan gagasan tentang
empat unsur dasar (tanah, air, udara, dan api) sebagai sintesis dari monisme
Miletos dan pluralisme kosmik.⁸ Demokritos kemudian merumuskan teori atomisme
yang lebih sistematis, di mana setiap unsur alam berasal dari partikel terkecil
(atomos) yang bergerak dalam ruang kosong—suatu gagasan yang jelas
berakar pada keyakinan Miletos akan prinsip material dan hukum alam yang
teratur.⁹
Dengan demikian, hampir seluruh filsafat
pra-Sokratik merupakan elaborasi, revisi, atau kritik terhadap pertanyaan yang
mula-mula diajukan oleh Mazhab Miletos: “Apa asal mula segala sesuatu?”
Pertanyaan sederhana ini menjadi motor penggerak bagi seluruh sejarah filsafat
metafisika dan sains.¹⁰
6.2.      
Pengaruh terhadap Filsafat Klasik
(Sokratik dan Pasca-Sokratik)
Warisan Mazhab Miletos juga terasa kuat dalam
filsafat klasik, terutama dalam pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Meskipun ketiganya mengalihkan perhatian filsafat dari alam ke manusia dan
etika, mereka tetap berutang pada cara berpikir rasional dan analitis yang
diwariskan oleh Miletos.¹¹
Socrates melanjutkan semangat pencarian rasional Miletos, tetapi mengalihkannya
dari dunia fisik ke dunia moral dan pengetahuan diri. Baginya, sebagaimana alam
tunduk pada hukum-hukum yang dapat dipahami oleh rasio, demikian pula kehidupan
manusia harus dituntun oleh prinsip rasionalitas dan keutamaan (arete).¹²
Plato, dalam karya Timaeus, mengembangkan teori kosmologi yang
menegaskan bahwa alam semesta memiliki keteraturan matematis dan rasional,
sebagaimana diyakini oleh para filsuf Miletos.¹³ Namun, ia menggabungkan
pendekatan tersebut dengan metafisika idealistik, dengan menyatakan bahwa dunia
fisik hanyalah bayangan dari dunia ide. Dalam hal ini, Plato tetap mewarisi
pandangan Miletos bahwa realitas bersifat rasional dan dapat dijelaskan melalui
struktur prinsipil, meskipun ia menempatkannya dalam tataran ide.¹⁴
Aristoteles merupakan penerus paling signifikan dari tradisi Miletos dalam hal
metodologi ilmiah. Ia mengadopsi dan menyempurnakan gagasan archē
sebagai “penyebab pertama” (prima causa) dan “substansi” (ousia)
dari segala sesuatu.¹⁵ Aristoteles secara eksplisit memuji Thales sebagai “filsuf
pertama yang meneliti prinsip-prinsip alam,” dan menjadikan karya-karya
para filsuf Miletos sebagai titik awal dalam Metafisika Buku I.¹⁶ Bagi
Aristoteles, Miletos telah membuka jalan bagi penyelidikan kausalitas yang
menjadi inti dari seluruh sains dan filsafat.¹⁷
6.3.      
Pengaruh terhadap Tradisi Ilmu
Pengetahuan Alam
Selain dalam bidang filsafat, Mazhab Miletos juga
memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan alam
(natural sciences). Thales dan Anaximandros dapat dianggap sebagai perintis
pendekatan ilmiah karena mereka berupaya menjelaskan fenomena alam melalui
pengamatan empiris dan prinsip rasional.¹⁸ Gagasan mereka tentang keteraturan
dan keterhubungan alam menjadi dasar bagi prinsip kausalitas yang kemudian
digunakan dalam fisika, astronomi, dan biologi.
Pandangan Anaximenes tentang udara sebagai elemen
universal yang mengalami proses kondensasi dan pengenceran merupakan bentuk
awal dari teori transformasi materi.¹⁹ Pandangan ini memiliki kesamaan
struktural dengan konsep energi dan massa dalam fisika modern—yakni bahwa
perubahan wujud tidak berarti hilangnya substansi dasar, melainkan transformasi
dalam tingkat kerapatan atau bentuknya.²⁰
Dalam konteks sejarah ilmu, Mazhab Miletos juga
dianggap sebagai pelopor kosmologi ilmiah. Dengan menolak penjelasan
mitologis, mereka memulai tradisi penalaran observasional terhadap alam
semesta—suatu pendekatan yang kelak berkembang dalam tradisi astronomi
Ptolemaik dan akhirnya dalam revolusi ilmiah Copernicus dan Newton.²¹
6.4.      
Relevansi Filosofis dalam Tradisi
Modern
Warisan Mazhab Miletos tidak berhenti pada era
klasik, tetapi terus memengaruhi paradigma filsafat modern. Francis Bacon
dan René Descartes, misalnya, menghidupkan kembali semangat Miletos
dalam menekankan pentingnya rasio dan observasi empiris sebagai dasar
pengetahuan.²² Descartes, dengan metode keraguannya (methodical doubt),
sebenarnya melanjutkan tradisi epistemologis yang sudah dimulai oleh Thales:
mencari kepastian rasional dalam dunia yang dapat dijelaskan secara logis.²³
Demikian pula, ilmuwan modern seperti Isaac
Newton dan Albert Einstein mewarisi prinsip keteraturan kosmos dari
Miletos. Keyakinan bahwa alam semesta tunduk pada hukum rasional dan dapat
dimodelkan secara matematis adalah refleksi langsung dari warisan kosmologis
Miletos.²⁴ Dengan demikian, pengaruh Mazhab Miletos tidak hanya bersifat
historis, tetapi juga konseptual, membentuk cara manusia modern memahami dunia:
bahwa realitas bersifat rasional, teratur, dan dapat dipahami melalui akal.²⁵
Kesimpulan
Sementara
Kontribusi Mazhab Miletos terhadap filsafat dan
ilmu pengetahuan selanjutnya tidak dapat dilebih-lebihkan. Mereka adalah
perintis dalam menempatkan akal dan alam sebagai dua pilar utama pengetahuan
manusia. Melalui upaya mereka mencari prinsip dasar realitas, Mazhab
Miletos membangun paradigma baru dalam berpikir: bahwa pengetahuan sejati lahir
dari pencarian rasional atas keteraturan dunia.²⁶ Gagasan ini terus
menginspirasi seluruh tradisi filsafat Barat, dari pra-Sokratik hingga modern,
dan tetap menjadi fondasi bagi upaya manusia memahami hakikat alam semesta.
Footnotes
[1]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 68.
[2]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 51.
[3]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 45.
[4]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 27.
[5]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 76.
[6]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 42.
[7]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 59.
[8]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 63.
[9]               
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 32.
[10]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
53.
[11]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 70.
[12]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 47.
[13]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 62.
[14]            
Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek
Philosophers, 45.
[15]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 72.
[16]            
Aristotle, Metaphysics, I.983b20–984a5.
[17]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
56.
[18]            
John Mansley Robinson, An Introduction to Early
Greek Philosophy (Boston: Houghton Mifflin, 1968), 30.
[19]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
79.
[20]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 67.
[21]            
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy,
49.
[22]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1958), 14.
[23]            
René Descartes, Discourse on Method (Leiden:
Jan Maire, 1637), 4.
[24]            
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy
(New York: Harper, 1958), 11–12.
[25]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 51.
[26]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 74.
7.          
Kritik
dan Keterbatasan Mazhab Miletos
Mazhab Miletos menandai lahirnya rasionalitas
ilmiah dan pemikiran filsafat alam di dunia Yunani Kuno. Namun, seperti setiap
awal pemikiran besar, mazhab ini tidak luput dari keterbatasan konseptual
dan metodologis. Meskipun berperan sebagai fondasi filsafat Barat,
gagasan-gagasannya masih bersifat spekulatif, belum teruji secara empiris, dan
sering kali mengandung kontradiksi antara penalaran rasional dan pengamatan
indrawi.¹ Oleh karena itu, kajian kritis terhadap Mazhab Miletos penting
dilakukan untuk memahami batas epistemologis dan ontologisnya dalam konteks
sejarah filsafat.
7.1.      
Keterbatasan Metodologis: Antara
Rasionalitas dan Spekulasi
Salah satu kritik utama terhadap Mazhab Miletos
terletak pada sifat spekulatif dari metode berpikirnya. Para filsuf
Miletos memang menggantikan mitos dengan rasio, tetapi mereka belum memiliki metode
ilmiah eksperimental sebagaimana yang berkembang di kemudian hari.² Thales,
misalnya, menyimpulkan bahwa air adalah asal mula segala sesuatu berdasarkan
pengamatan umum terhadap kehidupan, bukan hasil dari eksperimen sistematis.³
Demikian pula, Anaximandros dengan konsep apeiron dan Anaximenes dengan
teori kondensasi udara membangun hipotesis yang lebih bersifat deduktif
daripada verifikatif.⁴
Mereka telah memulai proses rasionalisasi alam,
namun belum mampu menyediakan kriteria objektif untuk membuktikan
klaim-klaim mereka. Menurut Bertrand Russell, pemikiran Miletos “lebih
bersifat filosofis daripada ilmiah,” karena penjelasan mereka mengenai alam
tidak dapat diuji secara empiris.⁵ Dengan kata lain, meskipun Mazhab Miletos
telah menanamkan benih rasionalitas, ia masih terperangkap dalam tahap awal
perkembangan epistemologi ilmiah, di mana intuisi lebih dominan daripada
verifikasi.
7.2.      
Keterbatasan Ontologis: Monisme yang
Reduktif
Secara ontologis, Mazhab Miletos memandang bahwa
seluruh realitas dapat dijelaskan oleh satu prinsip dasar (archē).
Thales dengan air, Anaximandros dengan apeiron, dan Anaximenes dengan
udara, semuanya berpijak pada monisme materialistik.⁶ Meskipun pandangan
ini menandai langkah besar dari mitologi menuju filsafat, pendekatan monistik
tersebut justru menjadi reduksionistik, karena menyederhanakan
kompleksitas realitas menjadi satu substansi tunggal.⁷
Herakleitos, Pythagoras, dan para pluralis seperti
Empedokles kemudian mengkritik pendekatan ini karena dianggap tidak mampu menjelaskan
keragaman dan perubahan dalam dunia nyata.⁸ Herakleitos menegaskan bahwa
realitas justru ditandai oleh perubahan konstan, bukan kesatuan statis
sebagaimana diasumsikan oleh Miletos.⁹ Dalam pandangan Herakleitos, dunia bukan
berasal dari satu unsur, melainkan dari konflik dan harmoni yang terus
bergerak. Kritik ini menunjukkan bahwa Mazhab Miletos belum mengembangkan teori
tentang proses dan dinamika realitas secara memadai.¹⁰
Selain itu, gagasan apeiron
Anaximandros—yang bersifat abstrak dan tak terdefinisi—dapat dianggap sebagai
langkah maju secara konseptual, namun sekaligus membuka persoalan baru: jika apeiron
tidak memiliki sifat, bagaimana ia dapat menghasilkan realitas yang bersifat
spesifik?¹¹ Problem ini menunjukkan keterbatasan ontologis dalam menjelaskan
hubungan antara yang tak terbatas (infinite) dan yang terbatas (finite).¹²
7.3.      
Keterbatasan Epistemologis: Antara
Observasi dan Penalaran
Mazhab Miletos berada di ambang antara pengamatan
empiris dan penalaran rasional, namun belum mampu mengintegrasikan keduanya
secara sistematis. Thales mengamati fenomena alam, tetapi penafsirannya masih
mengandung unsur mistik—misalnya, gagasan bahwa “segala sesuatu penuh dengan
dewa” (panta plēthē theōn), yang menunjukkan sisa-sisa animisme
dalam pemikirannya.¹³
Anaximandros, meskipun lebih rasional, mengandalkan
argumentasi deduktif tanpa verifikasi empiris yang kuat.¹⁴ Begitu pula
Anaximenes, yang menjelaskan perubahan materi melalui kondensasi dan
pengenceran udara, tidak memiliki bukti eksperimental untuk mendukung
teorinya.¹⁵ Dengan demikian, Mazhab Miletos masih berada dalam tahap pra-ilmiah,
di mana rasio digunakan sebagai alat spekulatif, bukan eksperimental.
Dalam hal ini, Jean-Pierre Vernant menilai bahwa
Mazhab Miletos berhasil menyingkirkan mitos, tetapi “belum sepenuhnya
menggantikannya dengan sains.”¹⁶ Mereka telah menemukan bentuk berpikir
baru, namun belum menemukan metode baru untuk menguji kebenaran
pengetahuan. Akibatnya, epistemologi mereka bersifat rasional intuitif—rasional
dalam niat, intuitif dalam pelaksanaan.
7.4.      
Kritik dari Mazhab Lain dan Filsafat
Klasik
Mazhab Miletos juga menjadi sasaran kritik dari
mazhab-mazhab filsafat berikutnya. Mazhab Eleatik, yang dipelopori oleh
Parmenides dan Zeno, menganggap pandangan Miletos terlalu bergantung pada dunia
indrawi yang menipu.¹⁷ Parmenides menolak pandangan bahwa perubahan itu nyata,
dengan argumen bahwa “Yang Ada tidak mungkin menjadi Yang Tidak Ada.”
Dalam kerangka ini, ia menolak monisme material Miletos dan menggantinya dengan
monisme metafisik tentang keberadaan yang tunggal dan tidak berubah.¹⁸
Selain itu, Plato mengkritik Mazhab Miletos
karena terlalu menekankan aspek material dari realitas tanpa memperhatikan
dimensi ide. Menurutnya, filsafat sejati harus mencari bentuk ideal yang abadi
di balik materi yang berubah.¹⁹ Sementara Aristoteles menilai bahwa para
filsuf Miletos memang menemukan prinsip pertama, tetapi mereka gagal
menjelaskan penyebab gerak (efficient cause) yang mengatur
transformasi materi.²⁰ Dengan demikian, dalam pandangan Aristoteles, Mazhab
Miletos baru mencapai tahap awal dari filsafat alam, belum mencapai kedalaman
metafisika sejati.²¹
7.5.      
Keterbatasan Konseptual dalam
Kosmologi
Dari segi kosmologi, pandangan Mazhab Miletos
tentang alam semesta masih sangat sederhana.²² Thales menganggap bumi mengapung
di atas air seperti rakit, sedangkan Anaximandros membayangkan bumi berbentuk
silinder yang menggantung di udara.²³ Model kosmologis seperti ini, meskipun
menunjukkan upaya berpikir rasional, masih sangat bergantung pada imajinasi dan
belum didukung oleh metode observasi astronomis yang sistematis.²⁴
Lebih jauh lagi, Mazhab Miletos belum memiliki
konsep tentang hukum gerak, gaya gravitasi, atau keteraturan matematis yang
kelak ditemukan dalam tradisi Pythagoras dan Aristoteles.²⁵ Dalam hal ini,
mereka baru memulai fondasi kosmologi rasional, tetapi belum mengembangkan
model ilmiah yang dapat diverifikasi. Oleh karena itu, meskipun Mazhab Miletos
berhasil memperkenalkan ide bahwa alam tunduk pada hukum rasional, hukum
tersebut belum diformulasikan secara konseptual maupun matematis.²⁶
Signifikansi
di Tengah Keterbatasan
Meskipun banyak memiliki keterbatasan, Mazhab
Miletos tetap memiliki nilai historis yang monumental.²⁷ Keterbatasan mereka
justru menunjukkan bahwa filsafat dan sains lahir melalui proses evolusi
intelektual—dari spekulasi menuju sistematisasi, dari intuisi menuju
eksperimentasi. Tanpa keberanian Thales dan rekan-rekannya untuk memisahkan
alam dari mitos, tidak akan ada ruang bagi perkembangan rasionalitas dan metode
ilmiah.²⁸
Sebagaimana diungkapkan oleh Copleston, “Mazhab
Miletos tidak memberikan jawaban akhir, tetapi mereka memulai pertanyaan yang
tak pernah selesai.”²⁹ Dengan demikian, keterbatasan Mazhab Miletos
bukanlah kelemahan belaka, melainkan tanda bahwa filsafat tengah belajar
berbicara dengan bahasa rasio—bahasa yang kelak menjadi dasar peradaban ilmiah
manusia.³⁰
Footnotes
[1]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 60.
[2]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 78.
[3]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 24.
[4]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 67.
[5]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 52.
[6]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 70.
[7]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 41.
[8]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 84.
[9]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 80.
[10]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
62.
[11]            
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 35.
[12]            
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers, 45.
[13]            
John Burnet, Early Greek Philosophy, 27.
[14]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
86.
[15]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 69.
[16]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 73.
[17]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 82.
[18]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 54.
[19]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 70.
[20]            
Aristotle, Metaphysics, I.983b15–984a10.
[21]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 84.
[22]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
64.
[23]            
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology, 37.
[24]            
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers, 47.
[25]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 56.
[26]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
88.
[27]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 86.
[28]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 75.
[29]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 72.
[30]            
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy,
57.
8.          
Analisis
Filosofis dan Relevansi Kontemporer
Mazhab Miletos menandai titik awal dalam sejarah
filsafat yang mengubah cara manusia memahami alam dan keberadaan. Dengan berani
meninggalkan mitos dan menggantikannya dengan penjelasan rasional, para filsuf
Miletos—Thales, Anaximandros, dan Anaximenes—menetapkan paradigma baru tentang rasionalitas,
keteraturan kosmos, dan pencarian sebab alami.¹ Dalam perspektif filsafat
kontemporer, pemikiran Mazhab Miletos tidak hanya memiliki nilai historis,
tetapi juga relevansi konseptual yang terus hidup dalam sains, filsafat
alam, epistemologi, dan ekologi modern.
8.1.      
Rasionalitas Alam dan Awal Paradigma
Ilmiah
Salah satu warisan paling penting dari Mazhab
Miletos adalah gagasan bahwa alam (physis) dapat dipahami melalui rasio
dan hukum alamiah, bukan melalui mitos atau otoritas religius.² Prinsip ini
menjadi dasar bagi paradigma ilmiah yang kemudian berkembang dalam sejarah
Barat. Thales, dengan pandangannya tentang air sebagai archē, memulai
upaya sistematis untuk menjelaskan dunia secara rasional.³ Anaximandros
menambahkan dimensi metafisik dengan konsep apeiron, sementara
Anaximenes memperkenalkan mekanisme material yang menjelaskan perubahan alam
melalui proses kondensasi dan pengenceran.⁴
Dari perspektif epistemologis, langkah para filsuf
Miletos ini menunjukkan lahirnya model pengetahuan kausal (causal
explanation model)—yaitu cara memahami fenomena melalui hubungan sebab dan
akibat yang dapat dirasionalisasi.⁵ Model ini merupakan cikal bakal pendekatan
ilmiah modern, yang berpijak pada observasi, analisis, dan generalisasi hukum
alam. Sebagaimana dikemukakan oleh Karl Popper, semangat para filsuf Miletos
menjadi “akar dari tradisi rasional kritis” yang menjadi inti sains
modern.⁶
Lebih jauh lagi, gagasan mereka memperkenalkan
konsep kesatuan alam semesta—bahwa segala sesuatu saling berhubungan
dalam sistem yang rasional. Prinsip ini bergaung hingga era Newtonian dalam
hukum mekanika klasik dan bahkan dalam fisika kontemporer seperti teori
relativitas Einstein, yang tetap berasumsi bahwa alam semesta memiliki
keteraturan yang dapat dipahami secara matematis.⁷ Dengan demikian,
rasionalitas alam yang digagas Miletos masih menjadi paradigma sentral dalam
ilmu pengetahuan kontemporer.
8.2.      
Ontologi Kesatuan dan Prinsip
Ekologis
Konsep archē yang diperkenalkan oleh Mazhab
Miletos juga memiliki dimensi ontologis dan ekologis yang relevan bagi
zaman modern. Dalam pandangan mereka, seluruh realitas berasal dari satu
substansi dasar dan saling terhubung dalam kesatuan kosmik.⁸ Prinsip ini,
meskipun sederhana, mengandung pandangan holistik tentang alam semesta—bahwa
semua bentuk kehidupan dan materi merupakan manifestasi dari satu sumber yang
sama.
Dalam konteks kontemporer, pandangan ini sejalan
dengan filsafat ekologi dan sains sistemik yang menekankan keterhubungan
antara manusia dan alam.⁹ Konsep Thales tentang air sebagai sumber kehidupan,
misalnya, kini menemukan makna baru dalam wacana keberlanjutan lingkungan dan
etika ekologi. Air tidak hanya dipahami sebagai unsur fisik, tetapi juga simbol
keterhubungan ekologis yang menentukan kelangsungan hidup bumi.¹⁰
Lebih jauh lagi, gagasan apeiron
Anaximandros tentang ketidakterbatasan dan keseimbangan kosmik dapat dilihat
sebagai cikal bakal dari konsep homeostasis ekologis—yakni keseimbangan
dinamis dalam sistem alam.¹¹ Dalam konteks krisis iklim dan degradasi
lingkungan saat ini, pemikiran Mazhab Miletos memberikan inspirasi filosofis
untuk memulihkan kesadaran bahwa alam tidak tunduk pada manusia, melainkan
manusia adalah bagian integral dari alam.¹²
8.3.      
Relevansi Epistemologis dalam Era
Ilmu Modern
Epistemologi Mazhab Miletos juga memiliki relevansi
penting dalam era ilmu modern, khususnya dalam kaitannya dengan filsafat
ilmu dan metodologi ilmiah. Mereka menolak otoritas dogmatis dan
memperkenalkan prinsip bahwa pengetahuan harus dicari melalui pengamatan dan
rasio.¹³ Prinsip ini sejalan dengan semangat skeptisisme metodologis
dalam tradisi ilmiah modern yang menuntut pembuktian rasional terhadap setiap klaim
pengetahuan.
Meskipun para filsuf Miletos tidak memiliki alat
eksperimental seperti ilmuwan modern, sikap mereka menunjukkan embrio dari metode
falsifikatif yang kelak dikembangkan oleh Popper—yakni kesadaran bahwa
pengetahuan harus selalu terbuka terhadap koreksi dan revisi.¹⁴ Dalam konteks
ini, Mazhab Miletos bukan hanya permulaan filsafat, tetapi juga permulaan disiplin
kritis terhadap pengetahuan itu sendiri.
Relevansi epistemologis ini menjadi semakin
signifikan dalam dunia yang dipenuhi oleh informasi, spekulasi, dan post-truth.
Mazhab Miletos mengingatkan bahwa kebenaran harus dicari bukan melalui otoritas
atau kepercayaan buta, tetapi melalui proses penalaran yang koheren, empiris,
dan terbuka terhadap kritik.¹⁵
8.4.      
Pengaruh terhadap Rasionalitas Humanistik
dan Etika Pengetahuan
Selain aspek ontologis dan epistemologis, Mazhab
Miletos juga meninggalkan jejak rasionalitas humanistik, yaitu keyakinan
bahwa manusia mampu memahami dan menafsirkan realitas dengan menggunakan
akalnya.¹⁶ Rasionalitas ini menjadi dasar bagi optimisme intelektual yang
berkembang dalam humanisme Renaisans dan Pencerahan. Dalam pandangan ini,
manusia bukan sekadar penerima wahyu atau nasib, tetapi makhluk yang aktif
mencari pengetahuan untuk memperbaiki dirinya dan dunianya.¹⁷
Relevansi etis dari semangat Miletos juga terlihat
dalam konteks tanggung jawab manusia terhadap penggunaan pengetahuan. Pemahaman
rasional tentang alam seharusnya tidak mengarah pada eksploitasi, tetapi pada
pengelolaan bijaksana.¹⁸ Dengan demikian, warisan Mazhab Miletos mengandung
pesan moral: bahwa pengetahuan dan kekuasaan atas alam harus disertai dengan
kesadaran akan keterhubungan ontologis antara manusia dan kosmos.¹⁹
8.5.      
Refleksi Filsafat Kontemporer
terhadap Mazhab Miletos
Dalam filsafat kontemporer, terutama dalam filsafat
sains dan kosmologi modern, pemikiran Mazhab Miletos sering dilihat sebagai
paradigma awal dari ontologi naturalistik—pandangan bahwa realitas dapat
dijelaskan tanpa mengandaikan entitas metafisik di luar alam.²⁰ Pandangan ini
dihidupkan kembali dalam tradisi empirisme logis dan realisme ilmiah, yang
melihat hukum alam sebagai satu-satunya dasar penjelasan realitas.
Namun, refleksi modern juga menunjukkan bahwa
pemikiran Miletos tidak sekadar bersifat mekanistik, melainkan juga organistik—mereka
memandang alam sebagai entitas hidup yang dinamis.²¹ Dalam hal ini, pandangan
Miletos dapat dipandang lebih dekat dengan kosmologi kuantum dan teori sistem
kompleks modern, yang melihat alam semesta bukan sebagai mesin mati, melainkan
sebagai jaringan proses yang saling terkait dan terus berubah.²²
Oleh karena itu, Mazhab Miletos tetap relevan bukan
hanya sebagai warisan historis, tetapi sebagai sumber inspirasi filosofis
dalam memahami hubungan antara rasionalitas, alam, dan manusia di era modern.²³
Kesimpulan
Analitis
Mazhab Miletos mengajarkan bahwa memahami dunia
berarti mengerti prinsip rasional yang mendasarinya. Meskipun pemikiran mereka
sederhana, esensi filosofisnya tetap abadi: alam semesta tunduk pada
keteraturan, pengetahuan harus bersandar pada rasio, dan manusia adalah bagian
dari kosmos yang rasional.²⁴ Dalam dunia kontemporer yang diwarnai krisis
epistemik dan ekologis, prinsip-prinsip Mazhab Miletos memberikan fondasi
filosofis untuk membangun kembali kesadaran rasional dan ekologis manusia.²⁵
Dengan demikian, warisan Miletos tidak berhenti sebagai sejarah filsafat,
melainkan hidup sebagai etos pengetahuan yang terbuka, kritis, dan
berkelanjutan.
Footnotes
[1]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 90.
[2]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 59.
[3]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 32.
[4]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 67.
[5]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 75.
[6]               
Karl Popper, The World of Parmenides: Essays on
the Presocratic Enlightenment (London: Routledge, 1998), 12.
[7]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy
(New York: Harper, 1958), 16–17.
[8]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek Thought
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 80.
[9]               
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 42.
[10]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 77.
[11]            
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 40.
[12]            
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 49.
[13]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 92.
[14]            
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 45.
[15]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 61.
[16]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
70.
[17]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1958), 21.
[18]            
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle,
55.
[19]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 83.
[20]            
Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 11.
[21]            
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy,
19.
[22]            
Ilya Prigogine dan Isabelle Stengers, Order Out
of Chaos: Man’s New Dialogue with Nature (New York: Bantam Books, 1984),
33.
[23]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 95.
[24]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 63.
[25]            
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle,
59.
9.          
Kesimpulan
Mazhab Miletos merupakan fondasi awal dari seluruh
tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan Barat. Para filsufnya—Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes—telah memulai revolusi intelektual yang menggeser
cara manusia memahami dunia: dari penjelasan berbasis mitos (mythos)
menuju penjelasan rasional (logos).¹ Dalam konteks sejarah intelektual,
mazhab ini menjadi titik balik peradaban manusia dari pola pikir
religio-mitologis menuju rasionalitas ilmiah dan filosofis.² Dengan menempatkan
alam sebagai objek penyelidikan dan bukan sekadar arena kekuatan ilahi, Mazhab
Miletos melahirkan paradigma baru dalam memahami realitas: bahwa alam semesta
memiliki keteraturan (kosmos) dan hukum-hukum yang dapat dijelaskan
melalui rasio manusia.³
Secara ontologis, Mazhab Miletos
memperkenalkan konsep archē—prinsip pertama yang menjadi dasar dari
segala sesuatu.⁴ Gagasan ini menjadi akar dari metafisika dan filsafat alam
dalam tradisi Yunani. Thales dengan airnya, Anaximandros dengan apeiron-nya,
dan Anaximenes dengan udara-nya, masing-masing merepresentasikan upaya untuk
memahami hakikat keberadaan secara menyeluruh.⁵ Walaupun mereka berbeda dalam
menentukan unsur dasar, kesamaan terletak pada keyakinan bahwa segala sesuatu
berasal dari suatu substansi tunggal yang rasional dan dapat dijelaskan.⁶
Inilah awal dari ontologi monistik, yang kemudian berkembang menjadi
metafisika Aristotelian dan bahkan memengaruhi filsafat modern dalam bentuk
naturalisme dan materialisme ilmiah.⁷
Dari segi epistemologis, Mazhab Miletos
menegaskan bahwa pengetahuan sejati lahir dari pengamatan dan penalaran logis,
bukan dari mitos atau otoritas keagamaan.⁸ Mereka memperkenalkan semangat
skeptis dan kritis yang menjadi landasan metode ilmiah. Dalam hal ini,
pemikiran mereka mendahului prinsip empirisme dan rasionalisme modern: bahwa
pengetahuan harus berakar pada realitas empiris dan dapat diuji secara
rasional.⁹ Sebagaimana dicatat oleh Karl Popper, semangat kritis Miletos
merupakan “titik kelahiran tradisi rasional” yang kemudian melahirkan
sains modern.¹⁰
Dalam aspek kosmologis, Mazhab Miletos
memandang alam semesta sebagai sistem yang hidup dan teratur.¹¹ Mereka percaya
bahwa perubahan di alam bukan akibat kehendak dewa, melainkan akibat hukum
alamiah yang tetap. Prinsip ini mengandung embrio dari pandangan ilmiah tentang
keteraturan alam semesta, yang kelak menemukan bentuk matematisnya dalam karya
Newton dan Einstein.¹² Konsep kosmos yang rasional juga mengandung nilai
spiritual tersendiri: alam bukanlah entitas yang kacau, melainkan sistem
harmonis yang dapat dipahami dan dihormati oleh manusia.¹³
Namun, Mazhab Miletos juga memiliki keterbatasan
konseptual.¹⁴ Pemikiran mereka masih bersifat spekulatif dan belum memiliki
metode empiris yang teruji. Monisme mereka bersifat reduksionistik karena
menyederhanakan kompleksitas realitas menjadi satu unsur tunggal.¹⁵ Meski
demikian, keterbatasan ini bukanlah kelemahan semata, melainkan fase awal dari
perkembangan filsafat dan sains. Sebagaimana dicatat oleh Copleston, “kesalahan
para filsuf Miletos bukan pada apa yang mereka pikirkan, melainkan pada
keberanian mereka untuk mulai berpikir.”¹⁶
Dari sudut pandang filsafat kontemporer,
Mazhab Miletos tetap memiliki relevansi yang tinggi.¹⁷ Dalam era modern yang
diwarnai krisis epistemik dan ekologis, semangat Miletos untuk memahami alam
secara rasional sekaligus menghormatinya sebagai sistem keteraturan kembali
menemukan signifikansinya.¹⁸ Konsep apeiron Anaximandros dapat
ditafsirkan ulang sebagai simbol dari ketidakterhinggaan dan ketidakterbatasan
pengetahuan manusia tentang alam semesta, sementara pandangan Thales tentang
air dan Anaximenes tentang udara dapat dimaknai sebagai metafora ekologis atas
keterhubungan seluruh kehidupan di bumi.¹⁹ Dengan demikian, warisan Mazhab
Miletos tidak hanya bersifat historis, tetapi juga filosofis—menjadi inspirasi
bagi upaya manusia untuk memahami dan menjaga keseimbangan alam semesta.
Akhirnya, Mazhab Miletos mengajarkan bahwa rasionalitas,
keteraturan, dan kesatuan alam merupakan prinsip-prinsip dasar yang
memungkinkan eksistensi dan pengetahuan.²⁰ Dari sana, lahirlah seluruh cabang
filsafat dan sains modern. Mereka tidak hanya membuka bab pertama dalam sejarah
filsafat, tetapi juga meletakkan dasar bagi cara berpikir manusia yang otonom,
kritis, dan terbuka terhadap kebenaran.²¹ Dengan demikian, Mazhab Miletos bukan
sekadar masa lalu intelektual, melainkan cermin abadi bagi cita-cita
rasionalitas dan kebijaksanaan manusia.²²
Footnotes
[1]               
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 98.
[2]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 65.
[3]               
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 87.
[4]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 75.
[5]               
John Burnet, Early Greek Philosophy (London:
A. & C. Black, 1920), 34.
[6]               
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 90.
[7]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1959), 80.
[8]               
Werner Jaeger, Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 51.
[9]               
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 67.
[10]            
Karl Popper, The World of Parmenides: Essays on
the Presocratic Enlightenment (London: Routledge, 1998), 18.
[11]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 100.
[12]            
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy
(New York: Harper, 1958), 22.
[13]            
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek
Thought, 90.
[14]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
78.
[15]            
G. S. Kirk et al., The Presocratic Philosophers,
92.
[16]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 82.
[17]            
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy, 70.
[18]            
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 60.
[19]            
Charles H. Kahn, Anaximander and the Origins of
Greek Cosmology (New York: Columbia University Press, 1960), 43.
[20]            
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1, 103.
[21]            
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers,
80.
[22]            
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome, 84.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1984). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). In J. Barnes (Ed.), The Complete Works of Aristotle: The Revised
Oxford Translation (Vol. 2). Princeton University Press.
Barnes, J. (1982). The Presocratic Philosophers.
Routledge.
Burnet, J. (1920). Early Greek Philosophy
(4th ed.). A. & C. Black.
Copleston, F. (1958). A History of Philosophy:
Modern Philosophy (Vol. 4). Doubleday.
Copleston, F. (1959). A History of Philosophy:
Greece and Rome (Vol. 1). Doubleday.
Descartes, R. (1637). Discourse on Method.
Leiden: Jan Maire.
Guthrie, W. K. C. (1962). A History of Greek
Philosophy, Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans.
Cambridge University Press.
Heisenberg, W. (1958). Physics and Philosophy:
The Revolution in Modern Science. Harper.
Jaeger, W. (1947). Theology of the Early Greek
Philosophers. Clarendon Press.
Kahn, C. H. (1960). Anaximander and the Origins
of Greek Cosmology. Columbia University Press.
Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M.
(1983). The Presocratic Philosophers (2nd ed.). Cambridge University
Press.
Naess, A. (1989). Ecology, Community, and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Popper, K. (1959). The Logic of Scientific
Discovery. Hutchinson.
Popper, K. (1998). The World of Parmenides:
Essays on the Presocratic Enlightenment (A. F. Petersen, Ed.). Routledge.
Prigogine, I., & Stengers, I. (1984). Order
Out of Chaos: Man’s New Dialogue with Nature. Bantam Books.
Putnam, H. (1981). Reason, Truth, and History.
Cambridge University Press.
Robinson, J. M. (1968). An Introduction to Early
Greek Philosophy. Houghton Mifflin.
Russell, B. (1946). A History of Western
Philosophy. George Allen & Unwin.
Vernant, J.-P. (1982). The Origins of Greek
Thought (J. Lloyd, Trans.). Cornell University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar