Filsafat Sains
Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas filsafat sains secara komprehensif, mulai dari
konsep dasar, sejarah perkembangan, tokoh-tokoh utama, hingga relevansinya
dalam dunia kontemporer. Filsafat sains dipahami sebagai cabang filsafat yang
mengkaji hakikat, struktur, dan implikasi ilmu pengetahuan dari dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Sejarahnya ditelusuri sejak filsafat Yunani
Kuno, kontribusi filsuf Islam klasik, revolusi ilmiah di Eropa, hingga
perdebatan kontemporer antara realisme, falsifikasionisme, paradigma, dan
anarkisme metodologis. Artikel ini menyoroti tokoh-tokoh penting seperti
Francis Bacon, René Descartes, Auguste Comte, Karl Popper, Thomas S. Kuhn, Imre
Lakatos, Paul Feyerabend, hingga Bas van Fraassen.
Selain menguraikan masalah-masalah pokok seperti problem demarkasi,
justifikasi ilmiah, hubungan teori dan fakta, serta objektivitas ilmu, artikel
ini juga meninjau kritik dan perdebatan yang melingkupi filsafat sains. Lebih
jauh, artikel ini menempatkan filsafat sains dalam konteks interdisipliner,
mencakup hubungan dengan ilmu sosial, ilmu alam, teknologi, dan agama.
Relevansinya dalam dunia kontemporer dibahas melalui refleksi atas krisis
epistemologis, krisis ekologi, bioteknologi, kecerdasan buatan, serta
pentingnya pendidikan dan demokratisasi pengetahuan. Artikel ini menegaskan bahwa
filsafat sains bukan sekadar refleksi akademis, melainkan sarana kritis dan
normatif untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan ilmu dan tanggung jawab
kemanusiaan.
Kata Kunci: Filsafat
Sains; Epistemologi; Ontologi; Aksiologi; Positivisme; Falsifikasionisme;
Paradigma; Realisme; Anti-Realisme; Etika Ilmu; Teknologi; Kontemporer.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi Filsafat Sains
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Kajian Filsafat Sains
Filsafat sains merupakan cabang
filsafat yang secara khusus menelaah hakikat ilmu pengetahuan, struktur,
metode, serta implikasi sosial dan etis dari praktik ilmiah. Secara historis,
filsafat sains lahir dari kebutuhan untuk menjawab pertanyaan mendasar: apa
yang membedakan pengetahuan ilmiah dari bentuk pengetahuan lain seperti mitos,
agama, atau seni? Pertanyaan ini telah menjadi salah satu tema besar sejak era
filsafat Yunani Kuno, ketika para pemikir seperti Plato dan Aristoteles
berupaya merumuskan definisi episteme (pengetahuan yang sahih) berbeda
dari doxa (opini atau pendapat biasa).¹
Dalam perkembangan selanjutnya,
filsafat sains semakin menemukan urgensinya, terutama pada masa modern ketika
revolusi ilmiah melahirkan paradigma baru dalam memahami alam semesta.
Tokoh-tokoh seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, hingga Francis Bacon
berperan besar dalam menggeser cara pandang manusia terhadap realitas, dari
dominasi metafisika spekulatif menuju metodologi observasi dan eksperimen.²
Perubahan ini menuntut filsafat untuk merefleksikan kembali hakikat ilmu, baik
dari aspek ontologis (apa yang dikaji sains), epistemologis (bagaimana ilmu
diperoleh dan divalidasi), maupun aksiologis (untuk apa ilmu digunakan dan
bagaimana dampaknya bagi kehidupan manusia).³
Di era kontemporer, urgensi filsafat
sains semakin meningkat. Perkembangan teknologi, bioteknologi, kecerdasan
buatan, dan big data memunculkan dilema etis dan epistemologis baru. Sains
tidak lagi hanya dipandang sebagai sarana netral untuk memahami realitas,
melainkan juga sebagai kekuatan sosial-politik yang dapat memengaruhi kebijakan
publik, distribusi kekuasaan, hingga konstruksi budaya.⁴ Dengan demikian,
filsafat sains bukan sekadar refleksi akademis, melainkan juga kerangka kritis
untuk memahami dinamika ilmu pengetahuan dalam masyarakat global yang semakin
kompleks.
1.2.      
Rumusan Masalah dan
Pertanyaan Penelitian
Untuk memahami filsafat sains secara
utuh, beberapa rumusan masalah dapat diajukan:
·                    
Apa definisi filsafat sains
dan bagaimana perbedaannya dengan cabang filsafat lain seperti epistemologi
atau logika?
·                    
Bagaimana sejarah
perkembangan filsafat sains dari era Yunani Kuno, Islam klasik, hingga modern
dan kontemporer?
·                    
Siapa tokoh-tokoh utama
dalam filsafat sains, serta bagaimana kontribusi pemikiran mereka terhadap
perkembangan sains?
·                    
Apa masalah-masalah pokok
yang menjadi fokus filsafat sains, seperti problem demarkasi, validitas
induksi, objektivitas, dan perdebatan realisme vs. anti-realisme?
·                    
Bagaimana relevansi
filsafat sains dalam menjawab tantangan dunia kontemporer, seperti isu etika
bioteknologi, ekologi, dan kecerdasan buatan?
Rumusan masalah ini bukan hanya
bersifat teoretis, tetapi juga memiliki implikasi praktis bagi dunia akademik
dan masyarakat luas.
1.3.      
Tujuan dan
Signifikansi Kajian
Kajian filsafat sains memiliki beberapa
tujuan strategis. Pertama, untuk memberikan pemahaman konseptual yang lebih
dalam mengenai apa itu ilmu pengetahuan dan bagaimana ia bekerja. Kedua, untuk
menelaah sejarah perkembangan pemikiran ilmiah, sehingga dapat dipahami
bagaimana paradigma ilmiah berubah dan berkembang. Ketiga, untuk mengkritisi
klaim objektivitas sains serta mengkaji dimensi sosial, politik, dan etis dari
praktik ilmiah.⁵
Signifikansi kajian ini terletak pada
kontribusinya dalam membangun kesadaran kritis. Bagi kalangan akademisi,
filsafat sains membantu memperkuat landasan metodologis penelitian. Bagi
masyarakat umum, filsafat sains memberikan wawasan agar tidak terjebak pada
pandangan naif yang memandang sains sebagai otoritas absolut tanpa
mempertanyakan dasar-dasar epistemologis dan dampak sosialnya.⁶ Dengan
demikian, filsafat sains berperan sebagai penyeimbang antara kemajuan ilmu dan
nilai-nilai kemanusiaan.
1.4.      
Metodologi Kajian
Kajian filsafat sains dilakukan melalui
pendekatan filosofis-historis dan analisis kritis-konseptual. Pendekatan
filosofis-historis digunakan untuk menelusuri perkembangan filsafat sains dari
zaman klasik hingga kontemporer, mencakup tokoh-tokoh dan teori-teori utama
yang berpengaruh. Pendekatan ini memungkinkan kita memahami dinamika perubahan
paradigma ilmu pengetahuan.
Sementara itu, analisis
kritis-konseptual digunakan untuk membedah problem-problem mendasar dalam
filsafat sains, seperti problem induksi, kriteria falsifikasi, dan perdebatan
realisme vs. anti-realisme. Analisis ini penting untuk memahami struktur logis
dan metodologis dari argumen-argumen yang diajukan para filsuf sains.⁷ Selain
itu, kajian interdisipliner dengan sosiologi ilmu, etika, dan filsafat politik
juga diperlukan untuk menilai dampak sosial dan moral dari perkembangan sains.
1.5.      
Relevansi Bab
Pendahuluan
Bab pendahuluan ini berfungsi untuk
memberikan orientasi awal terhadap pembahasan filsafat sains. Dengan
menampilkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan metodologi, pembaca
akan mendapatkan kerangka konseptual yang jelas dalam mengikuti alur kajian. Pendahuluan
ini sekaligus menegaskan bahwa filsafat sains tidak hanya penting secara
akademis, tetapi juga krusial dalam menjawab tantangan kontemporer di era
modern yang sarat dengan problematika ilmiah dan teknologi.
Footnotes
[1]               
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 476d–480a.
[2]               
Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European
Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University
Press, 2001), 45–78.
[3]               
Stephen Toulmin, Foresight and Understanding: An
Enquiry into the Aims of Science (Bloomington: Indiana University Press,
1961), 12–20.
[4]               
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow
Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University
Press, 1987), 142–168.
[5]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52.
[6]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–9.
[7]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University
Press, 1978), 8–14.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Sains
2.1.      
Definisi Filsafat
Sains
Filsafat sains merupakan cabang
filsafat yang memusatkan perhatian pada analisis, refleksi, dan evaluasi
terhadap dasar-dasar ilmu pengetahuan. Secara umum, ia membahas apa yang
dimaksud dengan ilmu, bagaimana pengetahuan ilmiah diperoleh, serta sejauh mana
pengetahuan itu dapat dianggap sahih. Karl Popper, misalnya, menekankan bahwa
filsafat sains berupaya menetapkan kriteria demarkasi yang memisahkan sains
dari non-sains melalui prinsip falsifikasi.¹ Definisi lain menekankan dimensi
epistemologis, yakni filsafat sains sebagai upaya memahami struktur logis dari
teori ilmiah, hubungan antara teori dan observasi, serta cara teori berkembang
dalam dinamika historisnya.²
Dengan demikian, filsafat sains bukan
sekadar panduan teknis untuk penelitian, melainkan kerangka konseptual yang
membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang ilmu pengetahuan: apa hakikat
kebenaran ilmiah, apa batasannya, dan bagaimana ilmu berinteraksi dengan
konteks sosial-budaya.³
2.2.      
Ruang Lingkup Kajian
Ruang lingkup filsafat sains mencakup
tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
·                    
Ontologi Ilmu
Ontologi berfokus pada objek kajian ilmu: apa yang
sesungguhnya dikaji oleh sains? Pertanyaan ini menyangkut realitas yang
dianggap “ada” oleh ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, dalam fisika klasik
Newtonian, realitas dipahami sebagai entitas mekanistik yang tunduk pada hukum
universal, sementara dalam fisika kuantum realitas dipandang lebih kompleks,
penuh dengan probabilitas dan ketidakpastian.⁴ Perubahan ontologis ini
menunjukkan bahwa apa yang dianggap nyata dalam sains tidaklah statis, tetapi
dapat berubah seiring perkembangan paradigma ilmiah.
·                    
Epistemologi Ilmu
Dimensi epistemologi berkaitan dengan cara memperoleh,
membenarkan, dan menguji pengetahuan ilmiah. Pertanyaan sentralnya adalah:
bagaimana kita tahu bahwa suatu klaim ilmiah benar? Dalam tradisi empiris,
validitas ilmu ditentukan oleh observasi dan pengalaman, sedangkan tradisi
rasionalis menekankan peran deduksi logis.⁵ Pada abad ke-20, muncul berbagai
teori validasi, seperti falsifikasionisme Popper, paradigma revolusi ilmiah
Kuhn, dan program riset Lakatos, yang memperkaya cara memahami justifikasi
ilmiah.⁶
·                    
Aksiologi Ilmu
Aksiologi menyangkut nilai dan tujuan dari kegiatan ilmiah.
Sains tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga berdampak pada
masyarakat dan peradaban. Pertanyaan penting yang muncul adalah: untuk apa
sains digunakan, dan nilai apa yang seharusnya mengarahkan perkembangan ilmu?
Dalam hal ini, filsafat sains berfungsi untuk menilai konsekuensi etis, sosial,
dan politik dari pengetahuan ilmiah.⁷ Misalnya, perkembangan teknologi nuklir
tidak dapat dilepaskan dari refleksi aksiologis mengenai manfaat dan potensi
destruktifnya.
2.3.      
Fungsi dan Peran
Filsafat Sains
Filsafat sains memiliki fungsi yang
multifaset. Pertama, sebagai refleksi kritis, ia berperan mengkaji
asumsi-asumsi dasar yang mendasari sains, termasuk konsep kebenaran,
objektivitas, dan rasionalitas. Kedua, sebagai evaluasi metodologis, ia
memberikan kerangka untuk menilai validitas metode ilmiah, sehingga ilmuwan
dapat memahami keterbatasan maupun kekuatan pendekatan yang digunakan. Ketiga,
sebagai jembatan interdisipliner, filsafat sains mempertemukan ilmu
pengetahuan dengan ranah lain, seperti etika, sosiologi, dan teologi, untuk
memastikan sains tidak berkembang secara vakum tanpa memperhatikan nilai
kemanusiaan.⁸
Selain itu, filsafat sains juga
berperan dalam membentuk sikap kritis terhadap otoritas sains. Ia membantu
masyarakat untuk tidak menerima sains secara dogmatis, tetapi dengan kesadaran
bahwa sains adalah konstruksi dinamis yang terus berkembang.⁹ Dengan demikian,
filsafat sains menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi fakta, melainkan
suatu proses reflektif yang melibatkan aspek logis, historis, dan normatif.
Footnotes
[1]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52.
[2]               
Wesley C. Salmon, The Foundations of Scientific Inference
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1967), 5–12.
[3]               
Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called
Science? 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2013), 1–8.
[4]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.
[5]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 19–25.
[6]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.
[7]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–328.
[8]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University
Press, 1978), 8–14.
[9]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1993), 7–13.
3.          
Sejarah Perkembangan
Filsafat Sains
3.1.      
Filsafat Sains dalam
Tradisi Yunani Kuno
Akar filsafat sains dapat ditelusuri
hingga filsafat Yunani Kuno, ketika pertanyaan tentang hakikat pengetahuan dan
realitas pertama kali diperdebatkan secara sistematis. Plato membedakan antara episteme
(pengetahuan yang bersifat tetap dan universal) dengan doxa (pendapat
yang bersifat relatif), dan melalui alegori gua ia menegaskan bahwa pengetahuan
sejati hanya dapat dicapai melalui pemahaman rasional terhadap ide-ide abadi.¹
Aristoteles melangkah lebih jauh dengan mengembangkan sistem logika deduktif
serta konsep kausalitas yang menjadi landasan metodologi ilmiah selama
berabad-abad.²
Selain itu, filsuf pra-Sokratik seperti
Thales, Anaximander, dan Demokritos juga memberikan kontribusi awal dengan
mencoba menjelaskan fenomena alam berdasarkan prinsip-prinsip rasional, bukan
semata-mata mitos.³ Peralihan dari mitologi ke logos inilah yang menandai
lahirnya tradisi filsafat sains dalam peradaban Barat.
3.2.      
Filsafat Sains dalam
Tradisi Islam Klasik
Pada abad pertengahan, tradisi filsafat
Islam memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Farabi menekankan pentingnya logika sebagai instrumen utama dalam membangun
pengetahuan ilmiah. Ibn Sina (Avicenna) mengembangkan teori induksi dan deduksi
dalam kerangka filsafat alam serta menyusun sistem epistemologi yang
berpengaruh besar di Eropa melalui penerjemahan karya-karyanya.⁴
Sementara itu, Al-Ghazali mengkritik
klaim kepastian para filsuf rasionalis dan menekankan keterbatasan akal manusia
dalam menjangkau hakikat realitas, terutama dalam karya monumentalnya Tahafut
al-Falasifah.⁵ Kritik ini kemudian dijawab oleh Ibn Rushd (Averroes) yang
membela peran filsafat dan logika sebagai sarana penting dalam memahami syariat
sekaligus alam.⁶ Perdebatan ini menunjukkan dinamika epistemologis yang kaya
dalam tradisi Islam klasik dan menjadi jembatan intelektual antara peradaban
Yunani dan Eropa modern.
3.3.      
Revolusi Ilmiah di
Eropa
Memasuki abad ke-16 dan 17, Eropa
mengalami apa yang disebut sebagai revolusi ilmiah. Nicolaus Copernicus
mengguncang pandangan kosmos dengan teori heliosentris, yang kemudian diperkuat
oleh Johannes Kepler melalui hukum pergerakan planet.⁷ Galileo Galilei
memperkenalkan metode observasi sistematis dengan teleskop, sementara Isaac
Newton menyusun Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1687) yang
menjadi tonggak mekanika klasik.⁸
Pada periode ini, Francis Bacon
memperkenalkan empirisme induktif sebagai metode ilmiah, sedangkan René
Descartes menekankan peran rasionalisme dan deduksi logis.⁹ Kedua pendekatan
ini meletakkan dasar bagi perdebatan epistemologis yang akan berlangsung
sepanjang sejarah filsafat sains: empirisme versus rasionalisme.
3.4.      
Pencerahan dan
Positivisme
Abad ke-18 dikenal sebagai masa
Pencerahan (Enlightenment), ketika akal budi dan ilmu pengetahuan
dipandang sebagai sarana utama untuk membebaskan manusia dari dogma dan
takhayul. Pada masa ini, muncul pandangan bahwa sains harus berdiri di atas
landasan objektif, bebas dari intervensi metafisika dan teologi.¹⁰
Di abad ke-19, Auguste Comte
mengembangkan positivisme, sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya sahih
bila didasarkan pada fakta empiris yang dapat diverifikasi.¹¹ Positivisme Comte
menegaskan hierarki ilmu, mulai dari matematika hingga sosiologi, dan memandang
perkembangan ilmu sebagai tahap tertinggi evolusi intelektual manusia.
3.5.      
Filsafat Sains Kontemporer
Pada abad ke-20, filsafat sains
mengalami perkembangan signifikan melalui munculnya berbagai aliran pemikiran
baru. Lingkaran Wina (Vienna Circle) memunculkan positivisme logis yang
berusaha merumuskan dasar ilmiah yang ketat melalui verifikasi linguistik dan
logika simbolik.¹² Namun, aliran ini segera menghadapi kritik tajam. Karl
Popper menolak prinsip verifikasi dan menggantinya dengan falsifikasionisme:
teori ilmiah tidak pernah dapat diverifikasi secara mutlak, melainkan hanya dapat
diuji dan dibantah.¹³
Thomas S. Kuhn kemudian memperkenalkan
gagasan paradigma dan revolusi ilmiah, yang menekankan sifat
historis dan sosiologis dari perkembangan sains.¹⁴ Imre Lakatos mencoba
mendamaikan Popper dan Kuhn melalui konsep program riset ilmiah,
sedangkan Paul Feyerabend menolak adanya metode ilmiah universal dengan
semboyannya “anything goes.”¹⁵
Perdebatan antara realisme dan
anti-realisme juga mendominasi filsafat sains kontemporer. Realisme berpendapat
bahwa teori ilmiah menggambarkan realitas sebagaimana adanya, sementara
anti-realisme memandang teori ilmiah hanya sebagai instrumen untuk memprediksi
fenomena, bukan representasi kebenaran objektif.¹⁶
Kesimpulan Sementara
Sejarah filsafat sains menunjukkan
bahwa pemahaman tentang ilmu pengetahuan selalu mengalami perubahan seiring
waktu. Dari rasionalisme Yunani Kuno, sintesis Islam klasik, revolusi ilmiah
Eropa, hingga perdebatan kontemporer tentang falsifikasi, paradigma, dan
realisme, filsafat sains terus memainkan peran penting dalam merefleksikan
hakikat dan fungsi ilmu pengetahuan. Sejarah ini juga menegaskan bahwa ilmu
tidak pernah berkembang dalam ruang hampa, melainkan selalu terkait dengan
konteks sosial, budaya, dan filosofis zamannya.
Footnotes
[1]               
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 476d–480a.
[2]               
Aristoteles, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes (Oxford: Oxford University Press, 1994), I.2.
[3]               
Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy
(London: Penguin, 2001), 37–56.
[4]               
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 2001), 101–118.
[5]               
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 1–6.
[6]               
Averroes, The Incoherence of the Incoherence,
trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 12–15.
[7]               
Nicolaus Copernicus, On the Revolutions of the
Heavenly Spheres, trans. Edward Rosen (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1992), 5–10.
[8]               
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press,
1934), Book I.
[9]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H.
Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), Aphorism I–XII; René Descartes, Discourse
on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998),
19–25.
[10]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
Axi–xii.
[11]            
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.
[12]            
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London:
Gollancz, 1936), 31–46.
[13]            
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52.
[14]            
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.
[15]            
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University
Press, 1978), 8–14; Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1993), 7–13.
[16]            
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–25.
4.          
Tokoh-Tokoh Utama
dalam Filsafat Sains
4.1.      
Francis Bacon
(1561–1626): Empirisme dan Induksi
Francis Bacon sering dianggap sebagai
bapak metode ilmiah modern. Dalam karyanya Novum Organum, ia mengkritik
cara berpikir skolastik yang terlalu mengandalkan silogisme dan metafisika
abstrak.¹ Bacon memperkenalkan metode induksi sebagai dasar bagi pengembangan
ilmu, yakni menyusun pengetahuan melalui pengamatan sistematis dan eksperimen
yang berulang. Bagi Bacon, ilmu pengetahuan bertujuan praktis: “knowledge is
power.”² Pemikirannya menekankan bahwa ilmu tidak sekadar mencari kebenaran
teoritis, tetapi juga harus bermanfaat bagi kemajuan teknologi dan kesejahteraan
manusia.
4.2.      
René Descartes
(1596–1650): Rasionalisme dan Deduksi
René Descartes memandang akal sebagai
fondasi utama pengetahuan yang sahih. Dalam Discourse on Method, ia
menegaskan bahwa kepastian pengetahuan hanya dapat dicapai melalui keraguan
metodis dan deduksi logis.³ Dengan semboyan “cogito, ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), Descartes menempatkan subjek berpikir sebagai titik
pijak bagi seluruh sistem pengetahuan. Ia juga mengembangkan pendekatan
mekanistik terhadap alam, memandang fenomena alam sebagai sistem yang tunduk
pada hukum matematika.⁴ Dengan demikian, Descartes berkontribusi dalam
mengukuhkan tradisi rasionalisme yang menjadi tandingan bagi empirisme Bacon.
4.3.      
Auguste Comte
(1798–1857): Positivisme
Auguste Comte adalah pelopor positivisme,
suatu aliran yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan sejati hanya mungkin
diperoleh dari fakta-fakta empiris yang dapat diverifikasi. Dalam Cours de
Philosophie Positive, Comte mengajukan “hukum tiga tahap” perkembangan
intelektual manusia: tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif
(ilmiah).⁵ Menurut Comte, pada tahap positif manusia tidak lagi menjelaskan
fenomena dengan mitos atau metafisika, melainkan dengan hukum-hukum ilmiah.
Positivisme Comte memberi pengaruh besar pada perkembangan ilmu sosial,
terutama dalam upaya menjadikan sosiologi sebagai ilmu yang setara dengan ilmu
alam.⁶
4.4.      
Karl Popper
(1902–1994): Falsifikasi dan Rasionalisme Kritis
Karl Popper menolak prinsip verifikasi
yang diusung positivisme logis. Menurutnya, teori ilmiah tidak pernah bisa
dibuktikan benar secara mutlak, melainkan hanya bisa diuji melalui upaya
falsifikasi.⁷ Teori yang baik adalah teori yang berani membuat prediksi
berisiko, sehingga dapat diuji kebenarannya. Pandangan ini dikenal dengan
falsifikasionisme. Selain itu, Popper mengajukan gagasan “rasionalisme
kritis,” yaitu bahwa ilmu berkembang melalui kritik, koreksi, dan pengujian
terus-menerus.⁸ Dengan demikian, sains bukanlah sistem dogmatis, melainkan
proses terbuka yang selalu siap direvisi.
4.5.      
Thomas S. Kuhn (1922–1996):
Paradigma dan Revolusi Ilmiah
Thomas Kuhn dalam The Structure of
Scientific Revolutions memperkenalkan konsep paradigma sebagai kerangka
acuan yang membimbing aktivitas ilmiah.⁹ Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan tidak
berkembang secara kumulatif, melainkan melalui periode “sains normal”
yang diikuti oleh krisis, dan kemudian terjadi “revolusi ilmiah” yang
melahirkan paradigma baru.¹⁰ Pandangan ini menekankan aspek historis dan
sosiologis dalam perkembangan ilmu, berbeda dari Popper yang lebih menekankan
aspek logis. Teori Kuhn berpengaruh besar dalam studi ilmu pengetahuan,
khususnya dalam mengkritisi klaim objektivitas sains.
4.6.      
Imre Lakatos
(1922–1974): Program Riset Ilmiah
Imre Lakatos berusaha mendamaikan
pandangan Popper dan Kuhn melalui konsep research programmes atau
program riset ilmiah.¹¹ Ia membedakan antara “inti keras” (hard core)
dari suatu program ilmiah yang dilindungi oleh serangkaian hipotesis tambahan,
dan “sabuk pelindung” (protective belt) yang dapat direvisi atau
diganti. Bagi Lakatos, program riset yang progresif ditandai dengan kemampuan
menghasilkan prediksi baru yang terbukti benar, sementara program yang
degeneratif lambat laun ditinggalkan.¹²
4.7.      
Paul Feyerabend
(1924–1994): Anarkisme Epistemologis
Paul Feyerabend menawarkan kritik
radikal terhadap pandangan metodologis arus utama. Dalam Against Method,
ia menolak adanya metode ilmiah universal dan menyatakan semboyan
kontroversial: “anything goes.”¹³ Bagi Feyerabend, sejarah sains
menunjukkan bahwa kemajuan sering dicapai dengan melanggar aturan-aturan
metodologis yang dianggap baku. Ia menekankan pentingnya pluralisme metodologis
serta memperingatkan bahaya jika sains dikultuskan sebagai satu-satunya sumber
kebenaran.¹⁴ Pandangannya membuka ruang bagi pendekatan interdisipliner dan
kritik terhadap hegemoni sains dalam masyarakat.
Tokoh Lain
Selain tokoh-tokoh di atas, terdapat
sejumlah pemikir lain yang memberikan kontribusi penting. Michael Polanyi
menekankan dimensi personal dalam pengetahuan ilmiah melalui konsep tacit knowledge
(pengetahuan yang tidak sepenuhnya dapat diekspresikan secara eksplisit).¹⁵ Bas
van Fraassen memperkenalkan constructive empiricism, yang menegaskan
bahwa tujuan sains adalah menjelaskan fenomena yang dapat diobservasi, tanpa
klaim kebenaran metafisik.¹⁶ Dengan demikian, perkembangan filsafat sains
modern tidak dapat dilepaskan dari interaksi gagasan berbagai tokoh dengan
latar belakang yang beragam.
Kesimpulan Sementara
Para tokoh utama dalam filsafat sains
memberikan landasan konseptual yang berbeda-beda, mulai dari empirisme Bacon,
rasionalisme Descartes, positivisme Comte, falsifikasionisme Popper, paradigma
Kuhn, program riset Lakatos, hingga anarkisme epistemologis Feyerabend.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan keragaman sekaligus kekayaan filsafat
sains sebagai bidang yang terus berupaya memahami dan mengkritisi hakikat
pengetahuan ilmiah.
Footnotes
[1]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H.
Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), Aphorism I–XII.
[2]               
Brian Vickers, Francis Bacon and the Progress of
Knowledge (London: Routledge, 1992), 33–41.
[3]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 19–25.
[4]               
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Oxford University Press, 1995), 120–135.
[5]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.
[6]               
Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual
Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 201–210.
[7]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52.
[8]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.
[9]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.
[10]            
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History
for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 78–92.
[11]            
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University
Press, 1978), 8–14.
[12]            
John Worrall, “Scientific Realism and Scientific
Change,” Philosophical Quarterly 30, no. 121 (1980): 201–231.
[13]            
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1993), 7–13.
[14]            
Ian Hacking, Representing and Intervening:
Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 134–145.
[15]            
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Garden
City: Doubleday, 1966), 4–9.
[16]            
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–25.
5.          
Masalah-Masalah
Pokok dalam Filsafat Sains
5.1.      
Masalah Demarkasi:
Sains vs. Non-Sains
Salah satu persoalan mendasar dalam
filsafat sains adalah bagaimana membedakan antara ilmu pengetahuan (sains) dan
non-ilmu (pseudo-science, metafisika, atau bahkan mitologi). Persoalan ini
dikenal sebagai problem demarkasi. Karl Popper memberikan kontribusi penting
dengan menyatakan bahwa kriteria pembeda sains bukanlah verifikasi (sebagaimana
diyakini kaum positivis logis), melainkan falsifikasi.¹ Sebuah teori dianggap
ilmiah jika ia dapat diuji dan berpotensi dibantah oleh fakta empiris.
Sebaliknya, teori yang tidak dapat difalsifikasi, seperti astrologi, dianggap
tidak ilmiah.² Namun, Thomas Kuhn mengkritik pandangan ini dengan menunjukkan
bahwa dalam praktiknya, ilmuwan sering mempertahankan teori meskipun terdapat
anomali, sampai akhirnya terjadi revolusi paradigma.³ Perdebatan ini menegaskan
bahwa garis batas antara sains dan non-sains tidak selalu tegas, melainkan dinamis
sesuai konteks historis dan sosial.
5.2.      
Masalah Justifikasi
Ilmiah: Induksi, Deduksi, dan Probabilitas
Masalah klasik lain adalah persoalan
justifikasi atau dasar pembenaran ilmiah. David Hume menunjukkan bahwa
induksi—penarikan kesimpulan umum dari kasus-kasus khusus—tidak memiliki dasar
logis yang kuat, karena selalu ada kemungkinan bahwa masa depan tidak akan
menyerupai masa lalu.⁴ Misalnya, fakta bahwa matahari terbit setiap hari tidak
menjamin bahwa ia akan selalu terbit di masa depan.
Sebagai respon, Karl Popper menolak
induksi sebagai dasar ilmiah dan menggantinya dengan deduksi hipotetis, di mana
teori diuji melalui prediksi dan kemudian diuji secara empiris.⁵ Sementara itu,
pendekatan probabilistik dan bayesian mencoba mengatasi kelemahan induksi dengan
menilai derajat keyakinan terhadap suatu hipotesis berdasarkan bukti yang
tersedia.⁶ Perdebatan ini masih terus berlangsung, menunjukkan bahwa dasar
epistemologis sains tidaklah sesederhana yang sering dibayangkan.
5.3.      
Hubungan Teori dan
Fakta: Observasi Tidak Netral
Masalah lain yang krusial adalah
hubungan antara teori dan fakta. Positivisme logis menganggap fakta sebagai
dasar netral yang dapat diverifikasi secara langsung melalui observasi. Namun,
Kuhn dan Feyerabend menegaskan bahwa observasi tidak pernah netral, melainkan
selalu dipandu oleh teori.⁷ Misalnya, apa yang dianggap “fakta” dalam
fisika Newton berbeda dengan “fakta” dalam fisika relativitas Einstein.
Dengan kata lain, fakta ilmiah tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi
oleh kerangka konseptual yang mendasarinya.
5.4.      
Realisme vs.
Anti-Realisme
Perdebatan mengenai status ontologis
teori ilmiah juga menjadi masalah pokok dalam filsafat sains. Realisme ilmiah
berpendapat bahwa teori ilmiah bertujuan menggambarkan realitas sebagaimana
adanya, termasuk entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti
elektron atau quark.⁸ Sebaliknya, anti-realisme (atau instrumentalisme)
menegaskan bahwa teori ilmiah hanyalah instrumen untuk memprediksi fenomena
yang dapat diamati, tanpa harus mengklaim kebenaran ontologis tentang dunia
yang tidak terlihat.⁹ Bas van Fraassen dengan constructive empiricism
menyatakan bahwa cukup bagi sains untuk “menyelamatkan fenomena,” tanpa
harus berpretensi menggambarkan realitas secara penuh.¹⁰ Perdebatan ini
memperlihatkan ketegangan antara tuntutan epistemologis dan ontologis dalam
memahami sains.
5.5.      
Objektivitas vs.
Subjektivitas dalam Ilmu
Ilmu pengetahuan sering diklaim sebagai
aktivitas objektif yang bebas dari nilai dan kepentingan. Namun, filsafat sains
kontemporer menunjukkan bahwa objektivitas ilmiah tidak pernah absolut. Thomas
Kuhn menekankan peran komunitas ilmiah dalam menentukan paradigma, sedangkan
Bruno Latour menunjukkan bahwa sains merupakan praktik sosial yang dipengaruhi
oleh institusi, politik, dan teknologi.¹¹ Helen Longino bahkan menyoroti
pentingnya pluralisme perspektif dalam menjamin objektivitas ilmiah, karena
interaksi sosial antar-ilmuwan dapat mengurangi bias individual.¹² Dengan
demikian, objektivitas dalam sains lebih tepat dipahami sebagai produk
intersubjektivitas dan konsensus ilmiah, bukan kebenaran mutlak yang lepas dari
konteks.
Kesimpulan Sementara
Masalah-masalah pokok dalam filsafat
sains—demarkasi, justifikasi ilmiah, hubungan teori dan fakta, realisme vs.
anti-realisme, serta objektivitas—menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah
aktivitas kompleks yang tidak hanya melibatkan logika formal, tetapi juga
dimensi historis, sosial, dan filosofis. Perdebatan ini memperkaya pemahaman
kita tentang sains sekaligus mengingatkan bahwa klaim kebenaran ilmiah selalu
terbuka bagi kritik dan revisi.
Footnotes
[1]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52.
[2]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.
[3]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.
[4]               
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999),
20–25.
[5]               
Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary
Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 3–15.
[6]               
Colin Howson and Peter Urbach, Scientific
Reasoning: The Bayesian Approach (La Salle: Open Court, 1993), 25–38.
[7]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1993), 7–13.
[8]               
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–25.
[9]               
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 1–15.
[10]            
Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford:
Clarendon Press, 1989), 27–39.
[11]            
Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life:
The Construction of Scientific Facts (Princeton: Princeton University
Press, 1986), 43–59.
[12]            
Helen Longino, Science as Social Knowledge: Values
and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University
Press, 1990), 62–80.
6.          
Kritik dan
Perdebatan dalam Filsafat Sains
6.1.      
Kritik terhadap
Positivisme dan Positivisme Logis
Positivisme yang dikembangkan oleh
Auguste Comte dan dilanjutkan oleh lingkaran Wina (Vienna Circle) melalui
positivisme logis berusaha menjadikan sains sebagai pengetahuan yang sepenuhnya
objektif dan terlepas dari metafisika.¹ Namun, pendekatan ini segera menghadapi
kritik serius. Karl Popper menolak prinsip verifikasi yang menjadi dasar
positivisme logis karena menurutnya, tidak ada jumlah observasi yang cukup
untuk membuktikan kebenaran universal suatu teori.² Teori ilmiah hanya dapat
diuji melalui falsifikasi, yaitu dengan mencari kondisi yang dapat
membantahnya.
Selain itu, W.V.O. Quine dalam esainya Two
Dogmas of Empiricism mengkritik positivisme logis dengan menunjukkan bahwa
perbedaan antara pernyataan analitik dan sintetis tidak dapat dipertahankan
secara konsisten.³ Kritik ini mengguncang fondasi filosofis positivisme logis
dan menandai pergeseran menuju post-positivisme.
6.2.      
Perdebatan
Post-Positivisme: Paradigma dan Sejarah Ilmu
Thomas S. Kuhn membawa perspektif baru
melalui karyanya The Structure of Scientific Revolutions, yang
menekankan dimensi historis dan sosiologis dalam perkembangan sains.⁴ Menurut
Kuhn, ilmu tidak berkembang secara linier kumulatif, melainkan melalui
pergantian paradigma yang dipicu oleh anomali. Konsep “revolusi ilmiah”
ini menolak pandangan positivisme yang melihat ilmu sebagai akumulasi fakta
netral.
Imre Lakatos mencoba merekonsiliasi
pandangan Popper dan Kuhn dengan gagasan research programmes, yang
menegaskan bahwa perkembangan ilmu tidak sesederhana falsifikasi tunggal atau
revolusi paradigma mendadak, melainkan melalui kompetisi antarprogram riset
yang dinilai progresif atau degeneratif.⁵ Paul Feyerabend, sebaliknya, lebih
radikal dengan menolak keberadaan metode ilmiah universal. Dengan semboyannya “anything
goes,” ia mengajukan anarkisme epistemologis, yang memandang bahwa
keberhasilan sains justru lahir dari pelanggaran terhadap aturan metodologis
yang ketat.⁶
6.3.      
Perdebatan Realisme
vs. Anti-Realisme
Salah satu perdebatan paling intens
dalam filsafat sains kontemporer adalah antara realisme dan anti-realisme.
Realisme ilmiah berargumen bahwa teori-teori ilmiah menggambarkan realitas,
termasuk entitas yang tidak dapat diamati seperti elektron, quark, atau
gelombang gravitasi.⁷ Sebaliknya, anti-realisme, terutama melalui
konstruktivisme empiris Bas van Fraassen, menegaskan bahwa tujuan sains
hanyalah menjelaskan fenomena yang dapat diamati, tanpa harus mengklaim
kebenaran ontologis.⁸
Perdebatan ini juga memiliki implikasi
praktis: realisme cenderung menjustifikasi keyakinan bahwa teori-teori ilmiah
mendekati kebenaran, sedangkan anti-realisme menekankan sifat instrumental sains
yang lebih bersifat pragmatis. Kontestasi ini menegaskan bahwa dasar ontologis
sains tetap menjadi area perdebatan yang belum terselesaikan.
6.4.      
Kritik Ideologis dan
Etis terhadap Sains
Selain kritik epistemologis, sains juga
menghadapi kritik ideologis dan etis. Jürgen Habermas menegaskan bahwa sains
tidak sepenuhnya bebas nilai; ia selalu terikat pada kepentingan manusia, baik
kepentingan teknis, praktis, maupun emansipatoris.⁹ Bruno Latour menambahkan
bahwa sains adalah praktik sosial yang melibatkan jaringan aktor manusia dan
non-manusia, sehingga klaim objektivitas absolut perlu dipertanyakan.¹⁰
Kritik etis terhadap sains muncul dalam
konteks penggunaan teknologi yang berpotensi destruktif, seperti senjata
nuklir, rekayasa genetika, hingga kecerdasan buatan. Helen Longino menyoroti
pentingnya pluralisme perspektif dan interaksi sosial antarilmuwan untuk
mengurangi bias dan memastikan bahwa sains berkembang secara etis dan
demokratis.¹¹ Dengan demikian, filsafat sains tidak hanya berperan dalam
analisis epistemologis, tetapi juga dalam refleksi etis mengenai konsekuensi
pengetahuan ilmiah.
Kesimpulan Sementara
Kritik dan perdebatan dalam filsafat
sains menunjukkan bahwa sains bukanlah aktivitas netral yang berkembang secara
linear, melainkan proses kompleks yang melibatkan aspek epistemologis,
historis, sosial, dan etis. Dari kritik terhadap positivisme, perdebatan
paradigma, hingga konflik realisme dan anti-realisme, tampak bahwa filsafat
sains selalu bergerak dinamis. Perkembangan kritik ini memperkaya pemahaman
kita tentang sains sekaligus mengingatkan bahwa klaim objektivitas ilmiah perlu
terus dikaji secara kritis.
Footnotes
[1]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.
[2]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52.
[3]               
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.
[4]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.
[5]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University
Press, 1978), 8–14.
[6]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1993), 7–13.
[7]               
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–25.
[8]               
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 1–15.
[9]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–328.
[10]            
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow
Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University
Press, 1987), 142–168.
[11]            
Helen Longino, Science as Social Knowledge: Values
and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University
Press, 1990), 62–80.
7.          
Filsafat Sains dalam
Konteks Interdisipliner
7.1.      
Hubungan Filsafat
Sains dengan Ilmu Sosial dan Humaniora
Filsafat sains tidak hanya relevan bagi
ilmu alam, tetapi juga memiliki implikasi penting dalam ilmu sosial dan
humaniora. Secara historis, Auguste Comte mencoba menempatkan sosiologi sebagai
ilmu positif yang berdiri sejajar dengan ilmu alam, dengan menggunakan metode
observasi dan verifikasi empiris.¹ Namun, kritik dari Max Weber menegaskan
bahwa ilmu sosial tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan ilmu alam, karena
objek kajiannya adalah tindakan manusia yang sarat makna.²
Dalam perkembangan kontemporer,
perdebatan antara pendekatan positivistik dan interpretatif dalam ilmu sosial
tetap berlangsung. Filsafat sains dalam hal ini berperan untuk menjembatani
perbedaan tersebut dengan menyoroti dimensi epistemologis dan metodologis,
sekaligus mengakui peran nilai, budaya, dan bahasa dalam pembentukan
pengetahuan sosial.³ Dengan demikian, filsafat sains membantu memperluas
horizon ilmu sosial agar tidak terjebak dalam reduksionisme metodologis.
7.2.      
Filsafat Sains dan
Ilmu Alam
Ilmu alam sering dianggap sebagai model
ideal dari pengetahuan ilmiah. Akan tetapi, filsafat sains menunjukkan bahwa bahkan
dalam ilmu alam, terdapat problem epistemologis yang kompleks, seperti
persoalan induksi, hubungan teori dengan observasi, dan status realitas entitas
yang tidak teramati.⁴ Misalnya, fisika kuantum menantang konsep klasik tentang
determinisme, sehingga menimbulkan perdebatan filosofis mengenai hakikat
realitas dan probabilitas.⁵
Filsafat sains dalam konteks ini
berfungsi untuk merefleksikan asumsi dasar yang mendasari praktik ilmiah dalam
ilmu alam. Ia mengajukan pertanyaan apakah teori ilmiah benar-benar
merepresentasikan realitas, atau sekadar model yang fungsional untuk
memprediksi fenomena. Pertanyaan ini memperlihatkan bahwa bahkan ilmu yang
dianggap paling “pasti” pun tetap terbuka terhadap refleksi filosofis.
7.3.      
Filsafat Sains dan
Teknologi
Perkembangan teknologi modern
memperlihatkan keterkaitan erat antara ilmu dan aplikasinya. Namun, filsafat
sains menekankan bahwa teknologi bukan hanya penerapan netral dari sains,
melainkan juga sebuah fenomena sosial dan budaya yang membawa implikasi etis.
Martin Heidegger, misalnya, melihat teknologi sebagai cara tertentu manusia
mengungkapkan realitas, yang sekaligus bisa membatasi cara pandang manusia
terhadap dunia.⁶
Dalam konteks kontemporer, filsafat
sains membantu menilai dampak teknologi seperti kecerdasan buatan,
bioteknologi, dan energi nuklir. Pertanyaan mengenai siapa yang mengendalikan
teknologi, untuk kepentingan siapa, serta bagaimana risiko-risiko etisnya,
menjadi bagian penting dari refleksi filsafat sains.⁷ Dengan demikian, filsafat
sains mendorong agar perkembangan teknologi diarahkan tidak hanya untuk
kemajuan material, tetapi juga untuk kemaslahatan manusia.
7.4.      
Filsafat Sains dalam
Perspektif Agama
Hubungan antara filsafat sains dan
agama telah lama menjadi topik perdebatan. Dalam tradisi Barat, ketegangan
antara pandangan sains dan agama sering ditampilkan dalam konflik seperti kasus
Galileo. Namun, sejumlah pemikir kontemporer berusaha melihat hubungan keduanya
secara dialogis. Ian Barbour, misalnya, mengajukan tipologi hubungan sains dan
agama yang meliputi konflik, independensi, dialog, dan integrasi.⁸
Dalam tradisi Islam, filsafat sains
memperoleh dimensi khusus karena ilmu pengetahuan dipandang sebagai bagian dari
upaya memahami ciptaan Tuhan. Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menekankan
perlunya Islamic science yang berakar pada kosmologi Islam, agar ilmu
tidak tercerabut dari nilai-nilai spiritual.⁹ Dengan demikian, filsafat sains
membuka ruang untuk dialog interdisipliner yang melibatkan dimensi metafisika,
etika, dan spiritualitas dalam memahami ilmu.
Kesimpulan Sementara
Filsafat sains dalam konteks
interdisipliner menunjukkan peranannya yang luas di berbagai bidang. Ia
membantu ilmu sosial menyeimbangkan antara penjelasan empiris dan interpretasi
makna, menganalisis problem epistemologis dalam ilmu alam, mengkritisi
implikasi teknologi modern, serta membuka ruang dialog dengan agama. Dengan
demikian, filsafat sains tidak hanya berfungsi sebagai refleksi internal
terhadap ilmu, tetapi juga sebagai jembatan yang menghubungkan sains dengan
ranah-ranah pengetahuan dan pengalaman manusia lainnya.
Footnotes
[1]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.
[2]               
Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther
Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 3–22.
[3]               
Jürgen Habermas, On the Logic of the Social
Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge: MIT
Press, 1988), 44–61.
[4]               
Wesley C. Salmon, The Foundations of Scientific
Inference (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1967), 5–12.
[5]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.
[6]               
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper, 1977), 3–35.
[7]               
Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A Search
for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of Chicago
Press, 1986), 10–18.
[8]               
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 77–104.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 17–35.
8.          
Relevansi Filsafat
Sains dalam Dunia Kontemporer
8.1.      
Menjawab Krisis
Epistemologis dalam Ilmu Pengetahuan Modern
Di era kontemporer, filsafat sains
berperan penting dalam menjawab krisis epistemologis yang dihadapi ilmu
pengetahuan. Sains modern sering dipandang sebagai sumber otoritas tunggal
kebenaran, tetapi perkembangan teori relativitas, mekanika kuantum, dan teori
chaos menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat tentatif dan penuh
ketidakpastian.¹ Dengan demikian, filsafat sains hadir untuk mengingatkan bahwa
ilmu bukanlah kumpulan fakta final, melainkan proses dinamis yang terbuka
terhadap revisi. Perspektif ini sangat penting dalam mencegah sains jatuh ke
dalam dogmatisme baru yang justru berlawanan dengan semangat kritis ilmu itu
sendiri.²
8.2.      
Filsafat Sains dan
Krisis Ekologi
Krisis ekologi global—seperti perubahan
iklim, kepunahan spesies, dan kerusakan lingkungan—mendorong refleksi mendalam
tentang peran sains. Selama berabad-abad, sains dipahami dalam kerangka
antroposentris dan eksploitatif, sebagaimana diwariskan oleh paradigma
mekanistik Cartesian-Newtonian.³ Filsafat sains kontemporer, khususnya melalui
pendekatan ekofilosofi, menekankan perlunya paradigma baru yang lebih ekologis
dan holistik.⁴ Dengan meninjau kembali dasar ontologis dan aksiologis ilmu,
filsafat sains membantu merumuskan sains yang berorientasi pada keberlanjutan,
etika lingkungan, dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang.⁵
8.3.      
Etika Bioteknologi
dan Kehidupan
Perkembangan bioteknologi—seperti
rekayasa genetika, kloning, dan manipulasi DNA—menimbulkan dilema etis yang
kompleks. Pertanyaan mengenai batas intervensi manusia terhadap kehidupan,
status moral embrio, serta dampak sosial-ekonomi dari teknologi kesehatan
menuntut jawaban filosofis yang mendalam.⁶ Filsafat sains memberikan kerangka
reflektif untuk menilai tidak hanya kemungkinan teknis, tetapi juga implikasi
moral dan kemanusiaan dari bioteknologi.⁷ Dengan demikian, ia mendorong agar
sains tidak semata-mata mengejar kemajuan, melainkan juga mempertimbangkan
prinsip etika dan martabat manusia.
8.4.      
Filsafat Sains dalam
Era Digital dan Kecerdasan Buatan
Era digital menghadirkan tantangan baru
dalam filsafat sains, khususnya terkait dengan big data, algoritma, dan
kecerdasan buatan (AI). Algoritma komputer sering dipandang sebagai “netral”
dan “objektif,” tetapi kajian filsafat sains mengungkapkan bahwa algoritma
juga dibentuk oleh asumsi, bias, dan nilai tertentu.⁸ Hal ini menimbulkan
pertanyaan penting: apakah keputusan yang dihasilkan AI dapat dianggap ilmiah
dan objektif? Bruno Latour dan filsuf kontemporer lain menekankan bahwa
teknologi digital tidak hanya alat, melainkan bagian dari konstruksi sosial
yang memengaruhi cara manusia memahami realitas.⁹
Filsafat sains, dengan perspektif
kritisnya, berperan untuk mengevaluasi batas-batas rasionalitas algoritmik,
potensi bahaya bias sistemik, serta tanggung jawab moral dalam penggunaan AI.¹⁰
Dengan demikian, filsafat sains tidak hanya relevan untuk memahami sains
klasik, tetapi juga vital untuk menilai fenomena baru dalam dunia digital.
8.5.      
Filsafat Sains dalam
Pendidikan dan Demokratisasi Pengetahuan
Filsafat sains juga relevan dalam
konteks pendidikan. Refleksi filosofis atas ilmu membantu peserta didik
memahami bahwa sains bukan sekadar akumulasi data, tetapi sebuah proses yang
melibatkan kritik, revisi, dan interaksi sosial.¹¹ Hal ini sejalan dengan upaya
membangun scientific literacy yang kritis, sehingga masyarakat mampu
memahami, menilai, dan mengontrol penggunaan sains dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, filsafat sains berperan
dalam mendorong demokratisasi pengetahuan. Dengan menekankan keterbukaan, transparansi,
dan refleksi kritis, filsafat sains membantu melawan monopoli pengetahuan oleh
institusi tertentu dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses ilmiah.¹²
Kesimpulan Sementara
Relevansi filsafat sains dalam dunia
kontemporer sangat luas: ia menjadi kerangka reflektif dalam menghadapi krisis
epistemologis, menanggapi krisis ekologi global, merumuskan etika bioteknologi,
menilai implikasi teknologi digital dan AI, serta memperkuat pendidikan dan
demokratisasi pengetahuan. Semua ini menunjukkan bahwa filsafat sains tidak
hanya sekadar refleksi akademik, melainkan instrumen penting untuk memastikan
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan nilai-nilai etis,
sosial, dan kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.
[2]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.
[3]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 164–185.
[4]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–44.
[5]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
77–92.
[6]               
Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of
Dignity: The Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books,
2002), 3–18.
[7]               
Ruth Chadwick, Ethics and Biotechnology
(London: Routledge, 1994), 21–34.
[8]               
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big
Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016),
9–27.
[9]               
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow
Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University
Press, 1987), 142–168.
[10]            
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University
Press, 2016), 55–73.
[11]            
Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called
Science? 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2013), 1–8.
[12]            
Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 47–62.
9.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
9.1.      
Sintesis Pemikiran
Utama dalam Filsafat Sains
Sejarah panjang filsafat sains
memperlihatkan keragaman pendekatan yang terkadang berseberangan. Positivisme
menekankan objektivitas empiris, falsifikasionisme Popper menggarisbawahi sifat
tentatif teori, Kuhn menekankan aspek historis dan paradigma, sementara
Feyerabend menolak adanya metode tunggal dengan anarkisme epistemologisnya.¹
Meskipun berbeda, pandangan-pandangan ini menyumbangkan dimensi yang saling
melengkapi.
Jika digabungkan, dapat disintesiskan
bahwa sains adalah aktivitas manusia yang bersifat:
·                    
Empiris, karena
berakar pada pengamatan dan bukti, sebagaimana ditekankan Bacon dan kaum
empiris.²
·                    
Rasional dan deduktif,
karena memerlukan kerangka logis dan teori untuk menginterpretasi data,
sebagaimana ditunjukkan oleh Descartes dan Popper.³
·                    
Historis dan sosial,
karena perkembangan sains dipengaruhi oleh komunitas ilmiah, paradigma, serta
konteks budaya, sebagaimana dianalisis Kuhn dan Latour.⁴
·                    
Plural dan dinamis,
karena tidak ada metode tunggal yang mutlak berlaku, sebagaimana digarisbawahi
Feyerabend dan Longino.⁵
Sintesis ini menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan adalah proses multidimensional: rasional sekaligus historis,
empiris sekaligus sosial, normatif sekaligus deskriptif.
9.2.      
Refleksi atas
Hakikat Kebenaran Ilmiah
Pertanyaan sentral filsafat sains
adalah: apakah teori ilmiah menggambarkan realitas sebagaimana adanya, ataukah
sekadar model pragmatis? Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori mendekati
kebenaran objektif, sementara anti-realisme menolak klaim ontologis dan
memandang teori sebagai instrumen prediktif.⁶
Refleksi filosofis menunjukkan bahwa
kebenaran ilmiah lebih tepat dipahami sebagai kebenaran tentatif—bukan
absolut, melainkan terbuka untuk revisi seiring bukti baru dan perubahan
paradigma.⁷ Dengan demikian, ilmu bersifat fallibilis (dapat salah)
namun tetap rasional karena tunduk pada koreksi dan mekanisme kritik internal.
Pandangan ini sejalan dengan “rasionalisme kritis” Popper, yang
menegaskan bahwa sains tumbuh melalui proses trial and error yang tak
berkesudahan.⁸
9.3.      
Sains sebagai
Konstruksi Sosial dan Kultural
Refleksi lebih lanjut menegaskan bahwa
sains tidak berdiri di luar masyarakat. Ia dibentuk oleh interaksi sosial,
institusi, kepentingan politik, serta nilai-nilai budaya. Bruno Latour dan para
sosiolog sains menunjukkan bahwa fakta ilmiah “dibangun” melalui praktik
laboratorium, negosiasi antarilmuwan, dan legitimasi institusional.⁹ Dengan
demikian, objektivitas ilmiah tidak bersifat mutlak, melainkan dihasilkan
melalui konsensus intersubjektif.
Namun, pandangan ini tidak berarti
relativisme total. Konsensus ilmiah tetap memiliki landasan kuat pada bukti
empiris, meskipun cara memahaminya dipengaruhi oleh kerangka konseptual.
Refleksi ini mengingatkan bahwa tanggung jawab etis ilmuwan mencakup
transparansi, keterbukaan, dan kesadaran terhadap implikasi sosial pengetahuan
yang mereka hasilkan.¹⁰
9.4.      
Implikasi Filosofis
bagi Kehidupan Kontemporer
Refleksi filsafat sains memiliki
implikasi luas dalam menghadapi tantangan kontemporer. Dalam konteks ekologi,
filsafat sains menuntut paradigma baru yang lebih berkelanjutan dan holistik.¹¹
Dalam bioteknologi, ia mengingatkan bahwa intervensi ilmiah atas kehidupan
harus mempertimbangkan martabat manusia dan prinsip etika.¹² Dalam era digital
dan kecerdasan buatan, filsafat sains menegaskan perlunya kewaspadaan terhadap
bias algoritmik serta tanggung jawab moral penggunaan teknologi.¹³
Dengan demikian, filsafat sains
berperan bukan hanya dalam ranah akademis, tetapi juga sebagai pemandu etis dan
kritis bagi masyarakat global. Ia membantu memastikan bahwa sains tidak
terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan dan tidak terjebak dalam paradigma
reduksionis yang berbahaya.
Kesimpulan Sementara
Sintesis pemikiran filsafat sains
menegaskan bahwa ilmu adalah pencarian rasional yang terbuka, plural, dan
bersifat sosial-historis. Refleksi filosofis memperlihatkan bahwa kebenaran
ilmiah bukanlah absolut, melainkan tentatif, sekaligus mengingatkan bahwa sains
membawa implikasi etis dan sosial yang luas. Oleh karena itu, filsafat sains
tetap relevan sebagai upaya kritis untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan
pengetahuan dan tanggung jawab kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1993), 7–13.
[2]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H.
Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), Aphorism I–XII.
[3]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52.
[4]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91; Bruno
Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through
Society (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 142–168.
[5]               
Helen Longino, Science as Social Knowledge: Values
and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University
Press, 1990), 62–80.
[6]               
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 1–15.
[7]               
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–25.
[8]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.
[9]               
Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life:
The Construction of Scientific Facts (Princeton: Princeton University
Press, 1986), 43–59.
[10]            
Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 47–62.
[11]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–44.
[12]            
Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of
Dignity: The Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books,
2002), 3–18.
[13]            
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big
Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016),
9–27.
10.      
Penutup
10.1.   
Kesimpulan Utama
Kajian mengenai filsafat sains
memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar akumulasi fakta yang
objektif, melainkan sebuah aktivitas manusia yang kompleks, historis, dan sarat
nilai. Dari pemikiran Yunani Kuno, kontribusi peradaban Islam, revolusi ilmiah
di Eropa, hingga perdebatan kontemporer tentang realisme, paradigma, dan
pluralisme metodologis, tampak bahwa sains berkembang melalui proses dinamis
yang selalu terbuka terhadap kritik dan revisi.¹
Secara epistemologis, sains dapat
dipahami sebagai pencarian kebenaran yang bersifat tentatif, yang tidak pernah
mencapai kepastian absolut tetapi memiliki daya koreksi internal yang kuat.²
Secara ontologis, ia membentuk kerangka untuk memahami realitas dengan beragam
model, mulai dari mekanistik hingga probabilistik.³ Secara aksiologis, filsafat
sains menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bebas nilai, melainkan membawa
implikasi etis, sosial, dan politik.⁴ Dengan demikian, filsafat sains membantu
menyeimbangkan antara rasionalitas ilmiah dan tanggung jawab kemanusiaan.
10.2.   
Implikasi Teoretis
dan Praktis
Secara teoretis, filsafat sains
memperkaya pemahaman tentang ilmu sebagai fenomena multidimensional yang
melibatkan logika, sejarah, dan sosial budaya. Ia memperlihatkan keterbatasan
klaim objektivitas sains sekaligus menggarisbawahi kekuatannya sebagai sistem
pengetahuan yang paling dapat diandalkan dalam memahami dunia empiris.⁵
Secara praktis, refleksi filsafat sains
menjadi penting untuk menghadapi tantangan global kontemporer: krisis ekologi,
bioteknologi, kecerdasan buatan, dan digitalisasi kehidupan.⁶ Filsafat sains
membantu memastikan bahwa pengembangan ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari
nilai-nilai etika, keberlanjutan, dan keadilan sosial. Ia menegaskan bahwa
sains harus berorientasi pada kemaslahatan manusia, bukan sekadar kepentingan
ekonomi atau kekuasaan.⁷
10.3.   
Rekomendasi Kajian
Lanjutan
Penutup ini juga menggarisbawahi
pentingnya pengembangan kajian filsafat sains di masa depan. Ada tiga
rekomendasi utama:
1)                 
Pendalaman
interdisipliner – Kajian filsafat sains perlu terus melibatkan dialog
dengan disiplin lain seperti etika, politik, teologi, dan ekologi, agar
refleksinya lebih menyeluruh.⁸
2)                 
Kritik teknologi digital
– Era algoritma, big data, dan kecerdasan buatan menuntut filsafat sains untuk
menilai kembali batas-batas rasionalitas ilmiah dan potensi bias dalam
konstruksi pengetahuan.⁹
3)                 
Perspektif global dan
non-Barat – Kajian filsafat sains perlu mengakomodasi tradisi intelektual
di luar Barat, termasuk warisan Islam, Asia, dan Afrika, agar tidak terjebak
pada paradigma Euro-sentris.¹⁰
10.4.   
Penutup Reflektif
Akhirnya, filsafat sains bukanlah
disiplin yang hanya berurusan dengan abstraksi akademis. Ia adalah refleksi
kritis yang memiliki implikasi langsung bagi kehidupan manusia. Dengan menelaah
dasar-dasar epistemologis, ontologis, dan aksiologis ilmu, filsafat sains
berfungsi sebagai kompas yang menjaga agar kemajuan pengetahuan tidak melenceng
dari orientasi kemanusiaan. Sebagaimana ditegaskan Popper, sains tumbuh melalui
kritik dan koreksi tanpa akhir; dan sebagaimana ditekankan Kuhn, ia selalu
dipengaruhi oleh konteks historis dan sosial.¹¹ Dengan kesadaran itu, filsafat
sains mengajarkan bahwa ilmu adalah pencarian terbuka, sebuah dialog yang tak
pernah selesai antara akal, pengalaman, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.
[2]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.
[3]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.
[4]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–328.
[5]               
Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called
Science? 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2013), 1–8.
[6]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
77–92.
[7]               
Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of
Dignity: The Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books,
2002), 3–18.
[8]               
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 77–104.
[9]               
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big
Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016),
9–27.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 17–35.
[11]            
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–52; Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962),
92–110.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language,
truth and logic. London: Gollancz.
Bacon, F. (1960). Novum organum
(F. H. Anderson, Ed.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Barbour, I. G. (1997). Religion
and science: Historical and contemporary issues. San Francisco:
HarperCollins.
Barnes, J. (2001). Early Greek
philosophy. London: Penguin.
Chadwick, R. (1994). Ethics and
biotechnology. London: Routledge.
Chalmers, A. F. (2013). What is
this thing called science? (4th ed.). Maidenhead: Open University Press.
Comte, A. (1896). The positive
philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). London: George Bell.
Copernicus, N. (1992). On the
revolutions of the heavenly spheres (E. Rosen, Trans.). Baltimore: Johns
Hopkins University Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on
method (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Feyerabend, P. (1993). Against
method. London: Verso.
Fuller, S. (2000). Thomas Kuhn: A
philosophical history for our times. Chicago: University of Chicago Press.
Gaukroger, S. (1995). Descartes:
An intellectual biography. Oxford: Oxford University Press.
Ghazali, A. (1997). The
incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham
Young University Press.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the
Aristotelian tradition. Leiden: Brill.
Habermas, J. (1971). Knowledge and
human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1988). On the logic
of the social sciences (S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.).
Cambridge: MIT Press.
Hacking, I. (1983). Representing
and intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science.
Cambridge: Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1977). The question
concerning technology (W. Lovitt, Trans.). New York: Harper.
Heisenberg, W. (1958). Physics and
philosophy: The revolution in modern science. New York: Harper.
Howson, C., & Urbach, P. (1993). Scientific
reasoning: The Bayesian approach. La Salle: Open Court.
Hume, D. (1999). An enquiry
concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford
University Press.
Kass, L. R. (2002). Life, liberty,
and the defense of dignity: The challenge for bioethics. San Francisco:
Encounter Books.
Kitcher, P. (2001). Science,
truth, and democracy. Oxford: Oxford University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure
of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1978). The
methodology of scientific research programmes: Philosophical papers.
Cambridge: Cambridge University Press.
Latour, B. (1987). Science in
action: How to follow scientists and engineers through society. Cambridge:
Harvard University Press.
Latour, B., & Woolgar, S. (1986).
Laboratory life: The construction of scientific facts. Princeton:
Princeton University Press.
Longino, H. (1990). Science as
social knowledge: Values and objectivity in scientific inquiry. Princeton:
Princeton University Press.
Martineau, H. (Trans.). (1896). The
positive philosophy of Auguste Comte. London: George Bell.
Merchant, C. (1980). The death of
nature: Women, ecology, and the scientific revolution. San Francisco:
Harper & Row.
Naess, A. (1989). Ecology,
community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and
civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Newton, I. (1934). Philosophiae
naturalis principia mathematica (A. Motte, Trans.). Berkeley: University of
California Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability:
A philosophy of adaptive ecosystem management. Chicago: University of
Chicago Press.
O’Neil, C. (2016). Weapons of math
destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. New
York: Crown.
Pickering, M. (1993). Auguste
Comte: An intellectual biography. Cambridge: Cambridge University Press.
Plato. (1992). Republic (G. M.
A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Polanyi, M. (1966). The tacit
dimension. Garden City: Doubleday.
Popper, K. (1963). Conjectures and
refutations: The growth of scientific knowledge. London: Routledge.
Popper, K. (1972). Objective
knowledge: An evolutionary approach. Oxford: Clarendon Press.
Popper, K. (2002). The logic of
scientific discovery. London: Routledge.
Psillos, S. (1999). Scientific
realism: How science tracks truth. London: Routledge.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of
empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Salmon, W. C. (1967). The
foundations of scientific inference. Pittsburgh: University of Pittsburgh
Press.
Toulmin, S. (1961). Foresight and
understanding: An enquiry into the aims of science. Bloomington: Indiana
University Press.
Van Fraassen, B. C. (1980). The
scientific image. Oxford: Clarendon Press.
Van Fraassen, B. C. (1989). Laws
and symmetry. Oxford: Clarendon Press.
Vallor, S. (2016). Technology and
the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford:
Oxford University Press.
Vickers, B. (1992). Francis Bacon
and the progress of knowledge. London: Routledge.
Weber, M. (1978). Economy and
society (G. Roth & C. Wittich, Trans.). Berkeley: University of
California Press.
Winner, L. (1986). The whale and
the reactor: A search for limits in an age of high technology. Chicago:
University of Chicago Press.
Worrall, J. (1980). Scientific
realism and scientific change. Philosophical Quarterly, 30(121),
201–231.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar