Jumat, 10 Oktober 2025

Filsafat Sains: Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Sains

Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas filsafat sains secara komprehensif, mulai dari konsep dasar, sejarah perkembangan, tokoh-tokoh utama, hingga relevansinya dalam dunia kontemporer. Filsafat sains dipahami sebagai cabang filsafat yang mengkaji hakikat, struktur, dan implikasi ilmu pengetahuan dari dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Sejarahnya ditelusuri sejak filsafat Yunani Kuno, kontribusi filsuf Islam klasik, revolusi ilmiah di Eropa, hingga perdebatan kontemporer antara realisme, falsifikasionisme, paradigma, dan anarkisme metodologis. Artikel ini menyoroti tokoh-tokoh penting seperti Francis Bacon, René Descartes, Auguste Comte, Karl Popper, Thomas S. Kuhn, Imre Lakatos, Paul Feyerabend, hingga Bas van Fraassen.

Selain menguraikan masalah-masalah pokok seperti problem demarkasi, justifikasi ilmiah, hubungan teori dan fakta, serta objektivitas ilmu, artikel ini juga meninjau kritik dan perdebatan yang melingkupi filsafat sains. Lebih jauh, artikel ini menempatkan filsafat sains dalam konteks interdisipliner, mencakup hubungan dengan ilmu sosial, ilmu alam, teknologi, dan agama. Relevansinya dalam dunia kontemporer dibahas melalui refleksi atas krisis epistemologis, krisis ekologi, bioteknologi, kecerdasan buatan, serta pentingnya pendidikan dan demokratisasi pengetahuan. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat sains bukan sekadar refleksi akademis, melainkan sarana kritis dan normatif untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan ilmu dan tanggung jawab kemanusiaan.

Kata Kunci: Filsafat Sains; Epistemologi; Ontologi; Aksiologi; Positivisme; Falsifikasionisme; Paradigma; Realisme; Anti-Realisme; Etika Ilmu; Teknologi; Kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi Filsafat Sains


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Kajian Filsafat Sains

Filsafat sains merupakan cabang filsafat yang secara khusus menelaah hakikat ilmu pengetahuan, struktur, metode, serta implikasi sosial dan etis dari praktik ilmiah. Secara historis, filsafat sains lahir dari kebutuhan untuk menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membedakan pengetahuan ilmiah dari bentuk pengetahuan lain seperti mitos, agama, atau seni? Pertanyaan ini telah menjadi salah satu tema besar sejak era filsafat Yunani Kuno, ketika para pemikir seperti Plato dan Aristoteles berupaya merumuskan definisi episteme (pengetahuan yang sahih) berbeda dari doxa (opini atau pendapat biasa).¹

Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat sains semakin menemukan urgensinya, terutama pada masa modern ketika revolusi ilmiah melahirkan paradigma baru dalam memahami alam semesta. Tokoh-tokoh seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, hingga Francis Bacon berperan besar dalam menggeser cara pandang manusia terhadap realitas, dari dominasi metafisika spekulatif menuju metodologi observasi dan eksperimen.² Perubahan ini menuntut filsafat untuk merefleksikan kembali hakikat ilmu, baik dari aspek ontologis (apa yang dikaji sains), epistemologis (bagaimana ilmu diperoleh dan divalidasi), maupun aksiologis (untuk apa ilmu digunakan dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan manusia).³

Di era kontemporer, urgensi filsafat sains semakin meningkat. Perkembangan teknologi, bioteknologi, kecerdasan buatan, dan big data memunculkan dilema etis dan epistemologis baru. Sains tidak lagi hanya dipandang sebagai sarana netral untuk memahami realitas, melainkan juga sebagai kekuatan sosial-politik yang dapat memengaruhi kebijakan publik, distribusi kekuasaan, hingga konstruksi budaya.⁴ Dengan demikian, filsafat sains bukan sekadar refleksi akademis, melainkan juga kerangka kritis untuk memahami dinamika ilmu pengetahuan dalam masyarakat global yang semakin kompleks.

1.2.       Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Untuk memahami filsafat sains secara utuh, beberapa rumusan masalah dapat diajukan:

·                     Apa definisi filsafat sains dan bagaimana perbedaannya dengan cabang filsafat lain seperti epistemologi atau logika?

·                     Bagaimana sejarah perkembangan filsafat sains dari era Yunani Kuno, Islam klasik, hingga modern dan kontemporer?

·                     Siapa tokoh-tokoh utama dalam filsafat sains, serta bagaimana kontribusi pemikiran mereka terhadap perkembangan sains?

·                     Apa masalah-masalah pokok yang menjadi fokus filsafat sains, seperti problem demarkasi, validitas induksi, objektivitas, dan perdebatan realisme vs. anti-realisme?

·                     Bagaimana relevansi filsafat sains dalam menjawab tantangan dunia kontemporer, seperti isu etika bioteknologi, ekologi, dan kecerdasan buatan?

Rumusan masalah ini bukan hanya bersifat teoretis, tetapi juga memiliki implikasi praktis bagi dunia akademik dan masyarakat luas.

1.3.       Tujuan dan Signifikansi Kajian

Kajian filsafat sains memiliki beberapa tujuan strategis. Pertama, untuk memberikan pemahaman konseptual yang lebih dalam mengenai apa itu ilmu pengetahuan dan bagaimana ia bekerja. Kedua, untuk menelaah sejarah perkembangan pemikiran ilmiah, sehingga dapat dipahami bagaimana paradigma ilmiah berubah dan berkembang. Ketiga, untuk mengkritisi klaim objektivitas sains serta mengkaji dimensi sosial, politik, dan etis dari praktik ilmiah.⁵

Signifikansi kajian ini terletak pada kontribusinya dalam membangun kesadaran kritis. Bagi kalangan akademisi, filsafat sains membantu memperkuat landasan metodologis penelitian. Bagi masyarakat umum, filsafat sains memberikan wawasan agar tidak terjebak pada pandangan naif yang memandang sains sebagai otoritas absolut tanpa mempertanyakan dasar-dasar epistemologis dan dampak sosialnya.⁶ Dengan demikian, filsafat sains berperan sebagai penyeimbang antara kemajuan ilmu dan nilai-nilai kemanusiaan.

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian filsafat sains dilakukan melalui pendekatan filosofis-historis dan analisis kritis-konseptual. Pendekatan filosofis-historis digunakan untuk menelusuri perkembangan filsafat sains dari zaman klasik hingga kontemporer, mencakup tokoh-tokoh dan teori-teori utama yang berpengaruh. Pendekatan ini memungkinkan kita memahami dinamika perubahan paradigma ilmu pengetahuan.

Sementara itu, analisis kritis-konseptual digunakan untuk membedah problem-problem mendasar dalam filsafat sains, seperti problem induksi, kriteria falsifikasi, dan perdebatan realisme vs. anti-realisme. Analisis ini penting untuk memahami struktur logis dan metodologis dari argumen-argumen yang diajukan para filsuf sains.⁷ Selain itu, kajian interdisipliner dengan sosiologi ilmu, etika, dan filsafat politik juga diperlukan untuk menilai dampak sosial dan moral dari perkembangan sains.

1.5.       Relevansi Bab Pendahuluan

Bab pendahuluan ini berfungsi untuk memberikan orientasi awal terhadap pembahasan filsafat sains. Dengan menampilkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan metodologi, pembaca akan mendapatkan kerangka konseptual yang jelas dalam mengikuti alur kajian. Pendahuluan ini sekaligus menegaskan bahwa filsafat sains tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga krusial dalam menjawab tantangan kontemporer di era modern yang sarat dengan problematika ilmiah dan teknologi.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 476d–480a.

[2]                Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001), 45–78.

[3]                Stephen Toulmin, Foresight and Understanding: An Enquiry into the Aims of Science (Bloomington: Indiana University Press, 1961), 12–20.

[4]                Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 142–168.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52.

[6]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–9.

[7]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–14.


2.           Konsep Dasar Filsafat Sains

2.1.       Definisi Filsafat Sains

Filsafat sains merupakan cabang filsafat yang memusatkan perhatian pada analisis, refleksi, dan evaluasi terhadap dasar-dasar ilmu pengetahuan. Secara umum, ia membahas apa yang dimaksud dengan ilmu, bagaimana pengetahuan ilmiah diperoleh, serta sejauh mana pengetahuan itu dapat dianggap sahih. Karl Popper, misalnya, menekankan bahwa filsafat sains berupaya menetapkan kriteria demarkasi yang memisahkan sains dari non-sains melalui prinsip falsifikasi.¹ Definisi lain menekankan dimensi epistemologis, yakni filsafat sains sebagai upaya memahami struktur logis dari teori ilmiah, hubungan antara teori dan observasi, serta cara teori berkembang dalam dinamika historisnya.²

Dengan demikian, filsafat sains bukan sekadar panduan teknis untuk penelitian, melainkan kerangka konseptual yang membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang ilmu pengetahuan: apa hakikat kebenaran ilmiah, apa batasannya, dan bagaimana ilmu berinteraksi dengan konteks sosial-budaya.³

2.2.       Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup filsafat sains mencakup tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

·                     Ontologi Ilmu

Ontologi berfokus pada objek kajian ilmu: apa yang sesungguhnya dikaji oleh sains? Pertanyaan ini menyangkut realitas yang dianggap “ada” oleh ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, dalam fisika klasik Newtonian, realitas dipahami sebagai entitas mekanistik yang tunduk pada hukum universal, sementara dalam fisika kuantum realitas dipandang lebih kompleks, penuh dengan probabilitas dan ketidakpastian.⁴ Perubahan ontologis ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap nyata dalam sains tidaklah statis, tetapi dapat berubah seiring perkembangan paradigma ilmiah.

·                     Epistemologi Ilmu

Dimensi epistemologi berkaitan dengan cara memperoleh, membenarkan, dan menguji pengetahuan ilmiah. Pertanyaan sentralnya adalah: bagaimana kita tahu bahwa suatu klaim ilmiah benar? Dalam tradisi empiris, validitas ilmu ditentukan oleh observasi dan pengalaman, sedangkan tradisi rasionalis menekankan peran deduksi logis.⁵ Pada abad ke-20, muncul berbagai teori validasi, seperti falsifikasionisme Popper, paradigma revolusi ilmiah Kuhn, dan program riset Lakatos, yang memperkaya cara memahami justifikasi ilmiah.⁶

·                     Aksiologi Ilmu

Aksiologi menyangkut nilai dan tujuan dari kegiatan ilmiah. Sains tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga berdampak pada masyarakat dan peradaban. Pertanyaan penting yang muncul adalah: untuk apa sains digunakan, dan nilai apa yang seharusnya mengarahkan perkembangan ilmu? Dalam hal ini, filsafat sains berfungsi untuk menilai konsekuensi etis, sosial, dan politik dari pengetahuan ilmiah.⁷ Misalnya, perkembangan teknologi nuklir tidak dapat dilepaskan dari refleksi aksiologis mengenai manfaat dan potensi destruktifnya.

2.3.       Fungsi dan Peran Filsafat Sains

Filsafat sains memiliki fungsi yang multifaset. Pertama, sebagai refleksi kritis, ia berperan mengkaji asumsi-asumsi dasar yang mendasari sains, termasuk konsep kebenaran, objektivitas, dan rasionalitas. Kedua, sebagai evaluasi metodologis, ia memberikan kerangka untuk menilai validitas metode ilmiah, sehingga ilmuwan dapat memahami keterbatasan maupun kekuatan pendekatan yang digunakan. Ketiga, sebagai jembatan interdisipliner, filsafat sains mempertemukan ilmu pengetahuan dengan ranah lain, seperti etika, sosiologi, dan teologi, untuk memastikan sains tidak berkembang secara vakum tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan.⁸

Selain itu, filsafat sains juga berperan dalam membentuk sikap kritis terhadap otoritas sains. Ia membantu masyarakat untuk tidak menerima sains secara dogmatis, tetapi dengan kesadaran bahwa sains adalah konstruksi dinamis yang terus berkembang.⁹ Dengan demikian, filsafat sains menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi fakta, melainkan suatu proses reflektif yang melibatkan aspek logis, historis, dan normatif.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52.

[2]                Wesley C. Salmon, The Foundations of Scientific Inference (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1967), 5–12.

[3]                Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called Science? 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2013), 1–8.

[4]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.

[5]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 19–25.

[6]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.

[7]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–328.

[8]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–14.

[9]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1993), 7–13.


3.           Sejarah Perkembangan Filsafat Sains

3.1.       Filsafat Sains dalam Tradisi Yunani Kuno

Akar filsafat sains dapat ditelusuri hingga filsafat Yunani Kuno, ketika pertanyaan tentang hakikat pengetahuan dan realitas pertama kali diperdebatkan secara sistematis. Plato membedakan antara episteme (pengetahuan yang bersifat tetap dan universal) dengan doxa (pendapat yang bersifat relatif), dan melalui alegori gua ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui pemahaman rasional terhadap ide-ide abadi.¹ Aristoteles melangkah lebih jauh dengan mengembangkan sistem logika deduktif serta konsep kausalitas yang menjadi landasan metodologi ilmiah selama berabad-abad.²

Selain itu, filsuf pra-Sokratik seperti Thales, Anaximander, dan Demokritos juga memberikan kontribusi awal dengan mencoba menjelaskan fenomena alam berdasarkan prinsip-prinsip rasional, bukan semata-mata mitos.³ Peralihan dari mitologi ke logos inilah yang menandai lahirnya tradisi filsafat sains dalam peradaban Barat.

3.2.       Filsafat Sains dalam Tradisi Islam Klasik

Pada abad pertengahan, tradisi filsafat Islam memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Al-Farabi menekankan pentingnya logika sebagai instrumen utama dalam membangun pengetahuan ilmiah. Ibn Sina (Avicenna) mengembangkan teori induksi dan deduksi dalam kerangka filsafat alam serta menyusun sistem epistemologi yang berpengaruh besar di Eropa melalui penerjemahan karya-karyanya.⁴

Sementara itu, Al-Ghazali mengkritik klaim kepastian para filsuf rasionalis dan menekankan keterbatasan akal manusia dalam menjangkau hakikat realitas, terutama dalam karya monumentalnya Tahafut al-Falasifah.⁵ Kritik ini kemudian dijawab oleh Ibn Rushd (Averroes) yang membela peran filsafat dan logika sebagai sarana penting dalam memahami syariat sekaligus alam.⁶ Perdebatan ini menunjukkan dinamika epistemologis yang kaya dalam tradisi Islam klasik dan menjadi jembatan intelektual antara peradaban Yunani dan Eropa modern.

3.3.       Revolusi Ilmiah di Eropa

Memasuki abad ke-16 dan 17, Eropa mengalami apa yang disebut sebagai revolusi ilmiah. Nicolaus Copernicus mengguncang pandangan kosmos dengan teori heliosentris, yang kemudian diperkuat oleh Johannes Kepler melalui hukum pergerakan planet.⁷ Galileo Galilei memperkenalkan metode observasi sistematis dengan teleskop, sementara Isaac Newton menyusun Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1687) yang menjadi tonggak mekanika klasik.⁸

Pada periode ini, Francis Bacon memperkenalkan empirisme induktif sebagai metode ilmiah, sedangkan René Descartes menekankan peran rasionalisme dan deduksi logis.⁹ Kedua pendekatan ini meletakkan dasar bagi perdebatan epistemologis yang akan berlangsung sepanjang sejarah filsafat sains: empirisme versus rasionalisme.

3.4.       Pencerahan dan Positivisme

Abad ke-18 dikenal sebagai masa Pencerahan (Enlightenment), ketika akal budi dan ilmu pengetahuan dipandang sebagai sarana utama untuk membebaskan manusia dari dogma dan takhayul. Pada masa ini, muncul pandangan bahwa sains harus berdiri di atas landasan objektif, bebas dari intervensi metafisika dan teologi.¹⁰

Di abad ke-19, Auguste Comte mengembangkan positivisme, sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya sahih bila didasarkan pada fakta empiris yang dapat diverifikasi.¹¹ Positivisme Comte menegaskan hierarki ilmu, mulai dari matematika hingga sosiologi, dan memandang perkembangan ilmu sebagai tahap tertinggi evolusi intelektual manusia.

3.5.       Filsafat Sains Kontemporer

Pada abad ke-20, filsafat sains mengalami perkembangan signifikan melalui munculnya berbagai aliran pemikiran baru. Lingkaran Wina (Vienna Circle) memunculkan positivisme logis yang berusaha merumuskan dasar ilmiah yang ketat melalui verifikasi linguistik dan logika simbolik.¹² Namun, aliran ini segera menghadapi kritik tajam. Karl Popper menolak prinsip verifikasi dan menggantinya dengan falsifikasionisme: teori ilmiah tidak pernah dapat diverifikasi secara mutlak, melainkan hanya dapat diuji dan dibantah.¹³

Thomas S. Kuhn kemudian memperkenalkan gagasan paradigma dan revolusi ilmiah, yang menekankan sifat historis dan sosiologis dari perkembangan sains.¹⁴ Imre Lakatos mencoba mendamaikan Popper dan Kuhn melalui konsep program riset ilmiah, sedangkan Paul Feyerabend menolak adanya metode ilmiah universal dengan semboyannya “anything goes.”¹⁵

Perdebatan antara realisme dan anti-realisme juga mendominasi filsafat sains kontemporer. Realisme berpendapat bahwa teori ilmiah menggambarkan realitas sebagaimana adanya, sementara anti-realisme memandang teori ilmiah hanya sebagai instrumen untuk memprediksi fenomena, bukan representasi kebenaran objektif.¹⁶


Kesimpulan Sementara

Sejarah filsafat sains menunjukkan bahwa pemahaman tentang ilmu pengetahuan selalu mengalami perubahan seiring waktu. Dari rasionalisme Yunani Kuno, sintesis Islam klasik, revolusi ilmiah Eropa, hingga perdebatan kontemporer tentang falsifikasi, paradigma, dan realisme, filsafat sains terus memainkan peran penting dalam merefleksikan hakikat dan fungsi ilmu pengetahuan. Sejarah ini juga menegaskan bahwa ilmu tidak pernah berkembang dalam ruang hampa, melainkan selalu terkait dengan konteks sosial, budaya, dan filosofis zamannya.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 476d–480a.

[2]                Aristoteles, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Oxford University Press, 1994), I.2.

[3]                Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin, 2001), 37–56.

[4]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 101–118.

[5]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 1–6.

[6]                Averroes, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 12–15.

[7]                Nicolaus Copernicus, On the Revolutions of the Heavenly Spheres, trans. Edward Rosen (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1992), 5–10.

[8]                Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1934), Book I.

[9]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H. Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), Aphorism I–XII; René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 19–25.

[10]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Axi–xii.

[11]             Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.

[12]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–46.

[13]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52.

[14]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.

[15]             Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–14; Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1993), 7–13.

[16]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–25.


4.           Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Sains

4.1.       Francis Bacon (1561–1626): Empirisme dan Induksi

Francis Bacon sering dianggap sebagai bapak metode ilmiah modern. Dalam karyanya Novum Organum, ia mengkritik cara berpikir skolastik yang terlalu mengandalkan silogisme dan metafisika abstrak.¹ Bacon memperkenalkan metode induksi sebagai dasar bagi pengembangan ilmu, yakni menyusun pengetahuan melalui pengamatan sistematis dan eksperimen yang berulang. Bagi Bacon, ilmu pengetahuan bertujuan praktis: “knowledge is power.”² Pemikirannya menekankan bahwa ilmu tidak sekadar mencari kebenaran teoritis, tetapi juga harus bermanfaat bagi kemajuan teknologi dan kesejahteraan manusia.

4.2.       René Descartes (1596–1650): Rasionalisme dan Deduksi

René Descartes memandang akal sebagai fondasi utama pengetahuan yang sahih. Dalam Discourse on Method, ia menegaskan bahwa kepastian pengetahuan hanya dapat dicapai melalui keraguan metodis dan deduksi logis.³ Dengan semboyan “cogito, ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), Descartes menempatkan subjek berpikir sebagai titik pijak bagi seluruh sistem pengetahuan. Ia juga mengembangkan pendekatan mekanistik terhadap alam, memandang fenomena alam sebagai sistem yang tunduk pada hukum matematika.⁴ Dengan demikian, Descartes berkontribusi dalam mengukuhkan tradisi rasionalisme yang menjadi tandingan bagi empirisme Bacon.

4.3.       Auguste Comte (1798–1857): Positivisme

Auguste Comte adalah pelopor positivisme, suatu aliran yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan sejati hanya mungkin diperoleh dari fakta-fakta empiris yang dapat diverifikasi. Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte mengajukan “hukum tiga tahap” perkembangan intelektual manusia: tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif (ilmiah).⁵ Menurut Comte, pada tahap positif manusia tidak lagi menjelaskan fenomena dengan mitos atau metafisika, melainkan dengan hukum-hukum ilmiah. Positivisme Comte memberi pengaruh besar pada perkembangan ilmu sosial, terutama dalam upaya menjadikan sosiologi sebagai ilmu yang setara dengan ilmu alam.⁶

4.4.       Karl Popper (1902–1994): Falsifikasi dan Rasionalisme Kritis

Karl Popper menolak prinsip verifikasi yang diusung positivisme logis. Menurutnya, teori ilmiah tidak pernah bisa dibuktikan benar secara mutlak, melainkan hanya bisa diuji melalui upaya falsifikasi.⁷ Teori yang baik adalah teori yang berani membuat prediksi berisiko, sehingga dapat diuji kebenarannya. Pandangan ini dikenal dengan falsifikasionisme. Selain itu, Popper mengajukan gagasan “rasionalisme kritis,” yaitu bahwa ilmu berkembang melalui kritik, koreksi, dan pengujian terus-menerus.⁸ Dengan demikian, sains bukanlah sistem dogmatis, melainkan proses terbuka yang selalu siap direvisi.

4.5.       Thomas S. Kuhn (1922–1996): Paradigma dan Revolusi Ilmiah

Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions memperkenalkan konsep paradigma sebagai kerangka acuan yang membimbing aktivitas ilmiah.⁹ Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan tidak berkembang secara kumulatif, melainkan melalui periode “sains normal” yang diikuti oleh krisis, dan kemudian terjadi “revolusi ilmiah” yang melahirkan paradigma baru.¹⁰ Pandangan ini menekankan aspek historis dan sosiologis dalam perkembangan ilmu, berbeda dari Popper yang lebih menekankan aspek logis. Teori Kuhn berpengaruh besar dalam studi ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengkritisi klaim objektivitas sains.

4.6.       Imre Lakatos (1922–1974): Program Riset Ilmiah

Imre Lakatos berusaha mendamaikan pandangan Popper dan Kuhn melalui konsep research programmes atau program riset ilmiah.¹¹ Ia membedakan antara “inti keras” (hard core) dari suatu program ilmiah yang dilindungi oleh serangkaian hipotesis tambahan, dan “sabuk pelindung” (protective belt) yang dapat direvisi atau diganti. Bagi Lakatos, program riset yang progresif ditandai dengan kemampuan menghasilkan prediksi baru yang terbukti benar, sementara program yang degeneratif lambat laun ditinggalkan.¹²

4.7.       Paul Feyerabend (1924–1994): Anarkisme Epistemologis

Paul Feyerabend menawarkan kritik radikal terhadap pandangan metodologis arus utama. Dalam Against Method, ia menolak adanya metode ilmiah universal dan menyatakan semboyan kontroversial: “anything goes.”¹³ Bagi Feyerabend, sejarah sains menunjukkan bahwa kemajuan sering dicapai dengan melanggar aturan-aturan metodologis yang dianggap baku. Ia menekankan pentingnya pluralisme metodologis serta memperingatkan bahaya jika sains dikultuskan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.¹⁴ Pandangannya membuka ruang bagi pendekatan interdisipliner dan kritik terhadap hegemoni sains dalam masyarakat.


Tokoh Lain

Selain tokoh-tokoh di atas, terdapat sejumlah pemikir lain yang memberikan kontribusi penting. Michael Polanyi menekankan dimensi personal dalam pengetahuan ilmiah melalui konsep tacit knowledge (pengetahuan yang tidak sepenuhnya dapat diekspresikan secara eksplisit).¹⁵ Bas van Fraassen memperkenalkan constructive empiricism, yang menegaskan bahwa tujuan sains adalah menjelaskan fenomena yang dapat diobservasi, tanpa klaim kebenaran metafisik.¹⁶ Dengan demikian, perkembangan filsafat sains modern tidak dapat dilepaskan dari interaksi gagasan berbagai tokoh dengan latar belakang yang beragam.


Kesimpulan Sementara

Para tokoh utama dalam filsafat sains memberikan landasan konseptual yang berbeda-beda, mulai dari empirisme Bacon, rasionalisme Descartes, positivisme Comte, falsifikasionisme Popper, paradigma Kuhn, program riset Lakatos, hingga anarkisme epistemologis Feyerabend. Perbedaan pandangan ini mencerminkan keragaman sekaligus kekayaan filsafat sains sebagai bidang yang terus berupaya memahami dan mengkritisi hakikat pengetahuan ilmiah.


Footnotes

[1]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H. Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), Aphorism I–XII.

[2]                Brian Vickers, Francis Bacon and the Progress of Knowledge (London: Routledge, 1992), 33–41.

[3]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 19–25.

[4]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Oxford University Press, 1995), 120–135.

[5]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.

[6]                Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 201–210.

[7]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52.

[8]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.

[9]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.

[10]             Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 78–92.

[11]             Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–14.

[12]             John Worrall, “Scientific Realism and Scientific Change,” Philosophical Quarterly 30, no. 121 (1980): 201–231.

[13]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1993), 7–13.

[14]             Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 134–145.

[15]             Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Garden City: Doubleday, 1966), 4–9.

[16]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–25.


5.           Masalah-Masalah Pokok dalam Filsafat Sains

5.1.       Masalah Demarkasi: Sains vs. Non-Sains

Salah satu persoalan mendasar dalam filsafat sains adalah bagaimana membedakan antara ilmu pengetahuan (sains) dan non-ilmu (pseudo-science, metafisika, atau bahkan mitologi). Persoalan ini dikenal sebagai problem demarkasi. Karl Popper memberikan kontribusi penting dengan menyatakan bahwa kriteria pembeda sains bukanlah verifikasi (sebagaimana diyakini kaum positivis logis), melainkan falsifikasi.¹ Sebuah teori dianggap ilmiah jika ia dapat diuji dan berpotensi dibantah oleh fakta empiris. Sebaliknya, teori yang tidak dapat difalsifikasi, seperti astrologi, dianggap tidak ilmiah.² Namun, Thomas Kuhn mengkritik pandangan ini dengan menunjukkan bahwa dalam praktiknya, ilmuwan sering mempertahankan teori meskipun terdapat anomali, sampai akhirnya terjadi revolusi paradigma.³ Perdebatan ini menegaskan bahwa garis batas antara sains dan non-sains tidak selalu tegas, melainkan dinamis sesuai konteks historis dan sosial.

5.2.       Masalah Justifikasi Ilmiah: Induksi, Deduksi, dan Probabilitas

Masalah klasik lain adalah persoalan justifikasi atau dasar pembenaran ilmiah. David Hume menunjukkan bahwa induksi—penarikan kesimpulan umum dari kasus-kasus khusus—tidak memiliki dasar logis yang kuat, karena selalu ada kemungkinan bahwa masa depan tidak akan menyerupai masa lalu.⁴ Misalnya, fakta bahwa matahari terbit setiap hari tidak menjamin bahwa ia akan selalu terbit di masa depan.

Sebagai respon, Karl Popper menolak induksi sebagai dasar ilmiah dan menggantinya dengan deduksi hipotetis, di mana teori diuji melalui prediksi dan kemudian diuji secara empiris.⁵ Sementara itu, pendekatan probabilistik dan bayesian mencoba mengatasi kelemahan induksi dengan menilai derajat keyakinan terhadap suatu hipotesis berdasarkan bukti yang tersedia.⁶ Perdebatan ini masih terus berlangsung, menunjukkan bahwa dasar epistemologis sains tidaklah sesederhana yang sering dibayangkan.

5.3.       Hubungan Teori dan Fakta: Observasi Tidak Netral

Masalah lain yang krusial adalah hubungan antara teori dan fakta. Positivisme logis menganggap fakta sebagai dasar netral yang dapat diverifikasi secara langsung melalui observasi. Namun, Kuhn dan Feyerabend menegaskan bahwa observasi tidak pernah netral, melainkan selalu dipandu oleh teori.⁷ Misalnya, apa yang dianggap “fakta” dalam fisika Newton berbeda dengan “fakta” dalam fisika relativitas Einstein. Dengan kata lain, fakta ilmiah tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh kerangka konseptual yang mendasarinya.

5.4.       Realisme vs. Anti-Realisme

Perdebatan mengenai status ontologis teori ilmiah juga menjadi masalah pokok dalam filsafat sains. Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori ilmiah bertujuan menggambarkan realitas sebagaimana adanya, termasuk entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti elektron atau quark.⁸ Sebaliknya, anti-realisme (atau instrumentalisme) menegaskan bahwa teori ilmiah hanyalah instrumen untuk memprediksi fenomena yang dapat diamati, tanpa harus mengklaim kebenaran ontologis tentang dunia yang tidak terlihat.⁹ Bas van Fraassen dengan constructive empiricism menyatakan bahwa cukup bagi sains untuk “menyelamatkan fenomena,” tanpa harus berpretensi menggambarkan realitas secara penuh.¹⁰ Perdebatan ini memperlihatkan ketegangan antara tuntutan epistemologis dan ontologis dalam memahami sains.

5.5.       Objektivitas vs. Subjektivitas dalam Ilmu

Ilmu pengetahuan sering diklaim sebagai aktivitas objektif yang bebas dari nilai dan kepentingan. Namun, filsafat sains kontemporer menunjukkan bahwa objektivitas ilmiah tidak pernah absolut. Thomas Kuhn menekankan peran komunitas ilmiah dalam menentukan paradigma, sedangkan Bruno Latour menunjukkan bahwa sains merupakan praktik sosial yang dipengaruhi oleh institusi, politik, dan teknologi.¹¹ Helen Longino bahkan menyoroti pentingnya pluralisme perspektif dalam menjamin objektivitas ilmiah, karena interaksi sosial antar-ilmuwan dapat mengurangi bias individual.¹² Dengan demikian, objektivitas dalam sains lebih tepat dipahami sebagai produk intersubjektivitas dan konsensus ilmiah, bukan kebenaran mutlak yang lepas dari konteks.


Kesimpulan Sementara

Masalah-masalah pokok dalam filsafat sains—demarkasi, justifikasi ilmiah, hubungan teori dan fakta, realisme vs. anti-realisme, serta objektivitas—menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah aktivitas kompleks yang tidak hanya melibatkan logika formal, tetapi juga dimensi historis, sosial, dan filosofis. Perdebatan ini memperkaya pemahaman kita tentang sains sekaligus mengingatkan bahwa klaim kebenaran ilmiah selalu terbuka bagi kritik dan revisi.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52.

[2]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 20–25.

[5]                Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 3–15.

[6]                Colin Howson and Peter Urbach, Scientific Reasoning: The Bayesian Approach (La Salle: Open Court, 1993), 25–38.

[7]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1993), 7–13.

[8]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–25.

[9]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 1–15.

[10]             Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon Press, 1989), 27–39.

[11]             Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts (Princeton: Princeton University Press, 1986), 43–59.

[12]             Helen Longino, Science as Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1990), 62–80.


6.           Kritik dan Perdebatan dalam Filsafat Sains

6.1.       Kritik terhadap Positivisme dan Positivisme Logis

Positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte dan dilanjutkan oleh lingkaran Wina (Vienna Circle) melalui positivisme logis berusaha menjadikan sains sebagai pengetahuan yang sepenuhnya objektif dan terlepas dari metafisika.¹ Namun, pendekatan ini segera menghadapi kritik serius. Karl Popper menolak prinsip verifikasi yang menjadi dasar positivisme logis karena menurutnya, tidak ada jumlah observasi yang cukup untuk membuktikan kebenaran universal suatu teori.² Teori ilmiah hanya dapat diuji melalui falsifikasi, yaitu dengan mencari kondisi yang dapat membantahnya.

Selain itu, W.V.O. Quine dalam esainya Two Dogmas of Empiricism mengkritik positivisme logis dengan menunjukkan bahwa perbedaan antara pernyataan analitik dan sintetis tidak dapat dipertahankan secara konsisten.³ Kritik ini mengguncang fondasi filosofis positivisme logis dan menandai pergeseran menuju post-positivisme.

6.2.       Perdebatan Post-Positivisme: Paradigma dan Sejarah Ilmu

Thomas S. Kuhn membawa perspektif baru melalui karyanya The Structure of Scientific Revolutions, yang menekankan dimensi historis dan sosiologis dalam perkembangan sains.⁴ Menurut Kuhn, ilmu tidak berkembang secara linier kumulatif, melainkan melalui pergantian paradigma yang dipicu oleh anomali. Konsep “revolusi ilmiah” ini menolak pandangan positivisme yang melihat ilmu sebagai akumulasi fakta netral.

Imre Lakatos mencoba merekonsiliasi pandangan Popper dan Kuhn dengan gagasan research programmes, yang menegaskan bahwa perkembangan ilmu tidak sesederhana falsifikasi tunggal atau revolusi paradigma mendadak, melainkan melalui kompetisi antarprogram riset yang dinilai progresif atau degeneratif.⁵ Paul Feyerabend, sebaliknya, lebih radikal dengan menolak keberadaan metode ilmiah universal. Dengan semboyannya “anything goes,” ia mengajukan anarkisme epistemologis, yang memandang bahwa keberhasilan sains justru lahir dari pelanggaran terhadap aturan metodologis yang ketat.⁶

6.3.       Perdebatan Realisme vs. Anti-Realisme

Salah satu perdebatan paling intens dalam filsafat sains kontemporer adalah antara realisme dan anti-realisme. Realisme ilmiah berargumen bahwa teori-teori ilmiah menggambarkan realitas, termasuk entitas yang tidak dapat diamati seperti elektron, quark, atau gelombang gravitasi.⁷ Sebaliknya, anti-realisme, terutama melalui konstruktivisme empiris Bas van Fraassen, menegaskan bahwa tujuan sains hanyalah menjelaskan fenomena yang dapat diamati, tanpa harus mengklaim kebenaran ontologis.⁸

Perdebatan ini juga memiliki implikasi praktis: realisme cenderung menjustifikasi keyakinan bahwa teori-teori ilmiah mendekati kebenaran, sedangkan anti-realisme menekankan sifat instrumental sains yang lebih bersifat pragmatis. Kontestasi ini menegaskan bahwa dasar ontologis sains tetap menjadi area perdebatan yang belum terselesaikan.

6.4.       Kritik Ideologis dan Etis terhadap Sains

Selain kritik epistemologis, sains juga menghadapi kritik ideologis dan etis. Jürgen Habermas menegaskan bahwa sains tidak sepenuhnya bebas nilai; ia selalu terikat pada kepentingan manusia, baik kepentingan teknis, praktis, maupun emansipatoris.⁹ Bruno Latour menambahkan bahwa sains adalah praktik sosial yang melibatkan jaringan aktor manusia dan non-manusia, sehingga klaim objektivitas absolut perlu dipertanyakan.¹⁰

Kritik etis terhadap sains muncul dalam konteks penggunaan teknologi yang berpotensi destruktif, seperti senjata nuklir, rekayasa genetika, hingga kecerdasan buatan. Helen Longino menyoroti pentingnya pluralisme perspektif dan interaksi sosial antarilmuwan untuk mengurangi bias dan memastikan bahwa sains berkembang secara etis dan demokratis.¹¹ Dengan demikian, filsafat sains tidak hanya berperan dalam analisis epistemologis, tetapi juga dalam refleksi etis mengenai konsekuensi pengetahuan ilmiah.


Kesimpulan Sementara

Kritik dan perdebatan dalam filsafat sains menunjukkan bahwa sains bukanlah aktivitas netral yang berkembang secara linear, melainkan proses kompleks yang melibatkan aspek epistemologis, historis, sosial, dan etis. Dari kritik terhadap positivisme, perdebatan paradigma, hingga konflik realisme dan anti-realisme, tampak bahwa filsafat sains selalu bergerak dinamis. Perkembangan kritik ini memperkaya pemahaman kita tentang sains sekaligus mengingatkan bahwa klaim objektivitas ilmiah perlu terus dikaji secara kritis.


Footnotes

[1]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.

[2]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52.

[3]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.

[5]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–14.

[6]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1993), 7–13.

[7]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–25.

[8]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 1–15.

[9]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–328.

[10]             Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 142–168.

[11]             Helen Longino, Science as Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1990), 62–80.


7.           Filsafat Sains dalam Konteks Interdisipliner

7.1.       Hubungan Filsafat Sains dengan Ilmu Sosial dan Humaniora

Filsafat sains tidak hanya relevan bagi ilmu alam, tetapi juga memiliki implikasi penting dalam ilmu sosial dan humaniora. Secara historis, Auguste Comte mencoba menempatkan sosiologi sebagai ilmu positif yang berdiri sejajar dengan ilmu alam, dengan menggunakan metode observasi dan verifikasi empiris.¹ Namun, kritik dari Max Weber menegaskan bahwa ilmu sosial tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan ilmu alam, karena objek kajiannya adalah tindakan manusia yang sarat makna.²

Dalam perkembangan kontemporer, perdebatan antara pendekatan positivistik dan interpretatif dalam ilmu sosial tetap berlangsung. Filsafat sains dalam hal ini berperan untuk menjembatani perbedaan tersebut dengan menyoroti dimensi epistemologis dan metodologis, sekaligus mengakui peran nilai, budaya, dan bahasa dalam pembentukan pengetahuan sosial.³ Dengan demikian, filsafat sains membantu memperluas horizon ilmu sosial agar tidak terjebak dalam reduksionisme metodologis.

7.2.       Filsafat Sains dan Ilmu Alam

Ilmu alam sering dianggap sebagai model ideal dari pengetahuan ilmiah. Akan tetapi, filsafat sains menunjukkan bahwa bahkan dalam ilmu alam, terdapat problem epistemologis yang kompleks, seperti persoalan induksi, hubungan teori dengan observasi, dan status realitas entitas yang tidak teramati.⁴ Misalnya, fisika kuantum menantang konsep klasik tentang determinisme, sehingga menimbulkan perdebatan filosofis mengenai hakikat realitas dan probabilitas.⁵

Filsafat sains dalam konteks ini berfungsi untuk merefleksikan asumsi dasar yang mendasari praktik ilmiah dalam ilmu alam. Ia mengajukan pertanyaan apakah teori ilmiah benar-benar merepresentasikan realitas, atau sekadar model yang fungsional untuk memprediksi fenomena. Pertanyaan ini memperlihatkan bahwa bahkan ilmu yang dianggap paling “pasti” pun tetap terbuka terhadap refleksi filosofis.

7.3.       Filsafat Sains dan Teknologi

Perkembangan teknologi modern memperlihatkan keterkaitan erat antara ilmu dan aplikasinya. Namun, filsafat sains menekankan bahwa teknologi bukan hanya penerapan netral dari sains, melainkan juga sebuah fenomena sosial dan budaya yang membawa implikasi etis. Martin Heidegger, misalnya, melihat teknologi sebagai cara tertentu manusia mengungkapkan realitas, yang sekaligus bisa membatasi cara pandang manusia terhadap dunia.⁶

Dalam konteks kontemporer, filsafat sains membantu menilai dampak teknologi seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, dan energi nuklir. Pertanyaan mengenai siapa yang mengendalikan teknologi, untuk kepentingan siapa, serta bagaimana risiko-risiko etisnya, menjadi bagian penting dari refleksi filsafat sains.⁷ Dengan demikian, filsafat sains mendorong agar perkembangan teknologi diarahkan tidak hanya untuk kemajuan material, tetapi juga untuk kemaslahatan manusia.

7.4.       Filsafat Sains dalam Perspektif Agama

Hubungan antara filsafat sains dan agama telah lama menjadi topik perdebatan. Dalam tradisi Barat, ketegangan antara pandangan sains dan agama sering ditampilkan dalam konflik seperti kasus Galileo. Namun, sejumlah pemikir kontemporer berusaha melihat hubungan keduanya secara dialogis. Ian Barbour, misalnya, mengajukan tipologi hubungan sains dan agama yang meliputi konflik, independensi, dialog, dan integrasi.⁸

Dalam tradisi Islam, filsafat sains memperoleh dimensi khusus karena ilmu pengetahuan dipandang sebagai bagian dari upaya memahami ciptaan Tuhan. Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menekankan perlunya Islamic science yang berakar pada kosmologi Islam, agar ilmu tidak tercerabut dari nilai-nilai spiritual.⁹ Dengan demikian, filsafat sains membuka ruang untuk dialog interdisipliner yang melibatkan dimensi metafisika, etika, dan spiritualitas dalam memahami ilmu.


Kesimpulan Sementara

Filsafat sains dalam konteks interdisipliner menunjukkan peranannya yang luas di berbagai bidang. Ia membantu ilmu sosial menyeimbangkan antara penjelasan empiris dan interpretasi makna, menganalisis problem epistemologis dalam ilmu alam, mengkritisi implikasi teknologi modern, serta membuka ruang dialog dengan agama. Dengan demikian, filsafat sains tidak hanya berfungsi sebagai refleksi internal terhadap ilmu, tetapi juga sebagai jembatan yang menghubungkan sains dengan ranah-ranah pengetahuan dan pengalaman manusia lainnya.


Footnotes

[1]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 1–15.

[2]                Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 3–22.

[3]                Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge: MIT Press, 1988), 44–61.

[4]                Wesley C. Salmon, The Foundations of Scientific Inference (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1967), 5–12.

[5]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.

[6]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper, 1977), 3–35.

[7]                Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 10–18.

[8]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 77–104.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 17–35.


8.           Relevansi Filsafat Sains dalam Dunia Kontemporer

8.1.       Menjawab Krisis Epistemologis dalam Ilmu Pengetahuan Modern

Di era kontemporer, filsafat sains berperan penting dalam menjawab krisis epistemologis yang dihadapi ilmu pengetahuan. Sains modern sering dipandang sebagai sumber otoritas tunggal kebenaran, tetapi perkembangan teori relativitas, mekanika kuantum, dan teori chaos menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat tentatif dan penuh ketidakpastian.¹ Dengan demikian, filsafat sains hadir untuk mengingatkan bahwa ilmu bukanlah kumpulan fakta final, melainkan proses dinamis yang terbuka terhadap revisi. Perspektif ini sangat penting dalam mencegah sains jatuh ke dalam dogmatisme baru yang justru berlawanan dengan semangat kritis ilmu itu sendiri.²

8.2.       Filsafat Sains dan Krisis Ekologi

Krisis ekologi global—seperti perubahan iklim, kepunahan spesies, dan kerusakan lingkungan—mendorong refleksi mendalam tentang peran sains. Selama berabad-abad, sains dipahami dalam kerangka antroposentris dan eksploitatif, sebagaimana diwariskan oleh paradigma mekanistik Cartesian-Newtonian.³ Filsafat sains kontemporer, khususnya melalui pendekatan ekofilosofi, menekankan perlunya paradigma baru yang lebih ekologis dan holistik.⁴ Dengan meninjau kembali dasar ontologis dan aksiologis ilmu, filsafat sains membantu merumuskan sains yang berorientasi pada keberlanjutan, etika lingkungan, dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang.⁵

8.3.       Etika Bioteknologi dan Kehidupan

Perkembangan bioteknologi—seperti rekayasa genetika, kloning, dan manipulasi DNA—menimbulkan dilema etis yang kompleks. Pertanyaan mengenai batas intervensi manusia terhadap kehidupan, status moral embrio, serta dampak sosial-ekonomi dari teknologi kesehatan menuntut jawaban filosofis yang mendalam.⁶ Filsafat sains memberikan kerangka reflektif untuk menilai tidak hanya kemungkinan teknis, tetapi juga implikasi moral dan kemanusiaan dari bioteknologi.⁷ Dengan demikian, ia mendorong agar sains tidak semata-mata mengejar kemajuan, melainkan juga mempertimbangkan prinsip etika dan martabat manusia.

8.4.       Filsafat Sains dalam Era Digital dan Kecerdasan Buatan

Era digital menghadirkan tantangan baru dalam filsafat sains, khususnya terkait dengan big data, algoritma, dan kecerdasan buatan (AI). Algoritma komputer sering dipandang sebagai “netral” dan “objektif,” tetapi kajian filsafat sains mengungkapkan bahwa algoritma juga dibentuk oleh asumsi, bias, dan nilai tertentu.⁸ Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah keputusan yang dihasilkan AI dapat dianggap ilmiah dan objektif? Bruno Latour dan filsuf kontemporer lain menekankan bahwa teknologi digital tidak hanya alat, melainkan bagian dari konstruksi sosial yang memengaruhi cara manusia memahami realitas.⁹

Filsafat sains, dengan perspektif kritisnya, berperan untuk mengevaluasi batas-batas rasionalitas algoritmik, potensi bahaya bias sistemik, serta tanggung jawab moral dalam penggunaan AI.¹⁰ Dengan demikian, filsafat sains tidak hanya relevan untuk memahami sains klasik, tetapi juga vital untuk menilai fenomena baru dalam dunia digital.

8.5.       Filsafat Sains dalam Pendidikan dan Demokratisasi Pengetahuan

Filsafat sains juga relevan dalam konteks pendidikan. Refleksi filosofis atas ilmu membantu peserta didik memahami bahwa sains bukan sekadar akumulasi data, tetapi sebuah proses yang melibatkan kritik, revisi, dan interaksi sosial.¹¹ Hal ini sejalan dengan upaya membangun scientific literacy yang kritis, sehingga masyarakat mampu memahami, menilai, dan mengontrol penggunaan sains dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh, filsafat sains berperan dalam mendorong demokratisasi pengetahuan. Dengan menekankan keterbukaan, transparansi, dan refleksi kritis, filsafat sains membantu melawan monopoli pengetahuan oleh institusi tertentu dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses ilmiah.¹²


Kesimpulan Sementara

Relevansi filsafat sains dalam dunia kontemporer sangat luas: ia menjadi kerangka reflektif dalam menghadapi krisis epistemologis, menanggapi krisis ekologi global, merumuskan etika bioteknologi, menilai implikasi teknologi digital dan AI, serta memperkuat pendidikan dan demokratisasi pengetahuan. Semua ini menunjukkan bahwa filsafat sains tidak hanya sekadar refleksi akademik, melainkan instrumen penting untuk memastikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan nilai-nilai etis, sosial, dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.

[2]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.

[3]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 164–185.

[4]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–44.

[5]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 77–92.

[6]                Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of Dignity: The Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books, 2002), 3–18.

[7]                Ruth Chadwick, Ethics and Biotechnology (London: Routledge, 1994), 21–34.

[8]                Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 9–27.

[9]                Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 142–168.

[10]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 55–73.

[11]             Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called Science? 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2013), 1–8.

[12]             Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 47–62.


9.           Sintesis dan Refleksi Filosofis

9.1.       Sintesis Pemikiran Utama dalam Filsafat Sains

Sejarah panjang filsafat sains memperlihatkan keragaman pendekatan yang terkadang berseberangan. Positivisme menekankan objektivitas empiris, falsifikasionisme Popper menggarisbawahi sifat tentatif teori, Kuhn menekankan aspek historis dan paradigma, sementara Feyerabend menolak adanya metode tunggal dengan anarkisme epistemologisnya.¹ Meskipun berbeda, pandangan-pandangan ini menyumbangkan dimensi yang saling melengkapi.

Jika digabungkan, dapat disintesiskan bahwa sains adalah aktivitas manusia yang bersifat:

·                     Empiris, karena berakar pada pengamatan dan bukti, sebagaimana ditekankan Bacon dan kaum empiris.²

·                     Rasional dan deduktif, karena memerlukan kerangka logis dan teori untuk menginterpretasi data, sebagaimana ditunjukkan oleh Descartes dan Popper.³

·                     Historis dan sosial, karena perkembangan sains dipengaruhi oleh komunitas ilmiah, paradigma, serta konteks budaya, sebagaimana dianalisis Kuhn dan Latour.⁴

·                     Plural dan dinamis, karena tidak ada metode tunggal yang mutlak berlaku, sebagaimana digarisbawahi Feyerabend dan Longino.⁵

Sintesis ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah proses multidimensional: rasional sekaligus historis, empiris sekaligus sosial, normatif sekaligus deskriptif.

9.2.       Refleksi atas Hakikat Kebenaran Ilmiah

Pertanyaan sentral filsafat sains adalah: apakah teori ilmiah menggambarkan realitas sebagaimana adanya, ataukah sekadar model pragmatis? Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori mendekati kebenaran objektif, sementara anti-realisme menolak klaim ontologis dan memandang teori sebagai instrumen prediktif.⁶

Refleksi filosofis menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah lebih tepat dipahami sebagai kebenaran tentatif—bukan absolut, melainkan terbuka untuk revisi seiring bukti baru dan perubahan paradigma.⁷ Dengan demikian, ilmu bersifat fallibilis (dapat salah) namun tetap rasional karena tunduk pada koreksi dan mekanisme kritik internal. Pandangan ini sejalan dengan “rasionalisme kritis” Popper, yang menegaskan bahwa sains tumbuh melalui proses trial and error yang tak berkesudahan.⁸

9.3.       Sains sebagai Konstruksi Sosial dan Kultural

Refleksi lebih lanjut menegaskan bahwa sains tidak berdiri di luar masyarakat. Ia dibentuk oleh interaksi sosial, institusi, kepentingan politik, serta nilai-nilai budaya. Bruno Latour dan para sosiolog sains menunjukkan bahwa fakta ilmiah “dibangun” melalui praktik laboratorium, negosiasi antarilmuwan, dan legitimasi institusional.⁹ Dengan demikian, objektivitas ilmiah tidak bersifat mutlak, melainkan dihasilkan melalui konsensus intersubjektif.

Namun, pandangan ini tidak berarti relativisme total. Konsensus ilmiah tetap memiliki landasan kuat pada bukti empiris, meskipun cara memahaminya dipengaruhi oleh kerangka konseptual. Refleksi ini mengingatkan bahwa tanggung jawab etis ilmuwan mencakup transparansi, keterbukaan, dan kesadaran terhadap implikasi sosial pengetahuan yang mereka hasilkan.¹⁰

9.4.       Implikasi Filosofis bagi Kehidupan Kontemporer

Refleksi filsafat sains memiliki implikasi luas dalam menghadapi tantangan kontemporer. Dalam konteks ekologi, filsafat sains menuntut paradigma baru yang lebih berkelanjutan dan holistik.¹¹ Dalam bioteknologi, ia mengingatkan bahwa intervensi ilmiah atas kehidupan harus mempertimbangkan martabat manusia dan prinsip etika.¹² Dalam era digital dan kecerdasan buatan, filsafat sains menegaskan perlunya kewaspadaan terhadap bias algoritmik serta tanggung jawab moral penggunaan teknologi.¹³

Dengan demikian, filsafat sains berperan bukan hanya dalam ranah akademis, tetapi juga sebagai pemandu etis dan kritis bagi masyarakat global. Ia membantu memastikan bahwa sains tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan dan tidak terjebak dalam paradigma reduksionis yang berbahaya.


Kesimpulan Sementara

Sintesis pemikiran filsafat sains menegaskan bahwa ilmu adalah pencarian rasional yang terbuka, plural, dan bersifat sosial-historis. Refleksi filosofis memperlihatkan bahwa kebenaran ilmiah bukanlah absolut, melainkan tentatif, sekaligus mengingatkan bahwa sains membawa implikasi etis dan sosial yang luas. Oleh karena itu, filsafat sains tetap relevan sebagai upaya kritis untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan pengetahuan dan tanggung jawab kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1993), 7–13.

[2]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H. Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), Aphorism I–XII.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91; Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 142–168.

[5]                Helen Longino, Science as Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1990), 62–80.

[6]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 1–15.

[7]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–25.

[8]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.

[9]                Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts (Princeton: Princeton University Press, 1986), 43–59.

[10]             Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 47–62.

[11]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–44.

[12]             Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of Dignity: The Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books, 2002), 3–18.

[13]             Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 9–27.


10.       Penutup

10.1.    Kesimpulan Utama

Kajian mengenai filsafat sains memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar akumulasi fakta yang objektif, melainkan sebuah aktivitas manusia yang kompleks, historis, dan sarat nilai. Dari pemikiran Yunani Kuno, kontribusi peradaban Islam, revolusi ilmiah di Eropa, hingga perdebatan kontemporer tentang realisme, paradigma, dan pluralisme metodologis, tampak bahwa sains berkembang melalui proses dinamis yang selalu terbuka terhadap kritik dan revisi.¹

Secara epistemologis, sains dapat dipahami sebagai pencarian kebenaran yang bersifat tentatif, yang tidak pernah mencapai kepastian absolut tetapi memiliki daya koreksi internal yang kuat.² Secara ontologis, ia membentuk kerangka untuk memahami realitas dengan beragam model, mulai dari mekanistik hingga probabilistik.³ Secara aksiologis, filsafat sains menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bebas nilai, melainkan membawa implikasi etis, sosial, dan politik.⁴ Dengan demikian, filsafat sains membantu menyeimbangkan antara rasionalitas ilmiah dan tanggung jawab kemanusiaan.

10.2.    Implikasi Teoretis dan Praktis

Secara teoretis, filsafat sains memperkaya pemahaman tentang ilmu sebagai fenomena multidimensional yang melibatkan logika, sejarah, dan sosial budaya. Ia memperlihatkan keterbatasan klaim objektivitas sains sekaligus menggarisbawahi kekuatannya sebagai sistem pengetahuan yang paling dapat diandalkan dalam memahami dunia empiris.⁵

Secara praktis, refleksi filsafat sains menjadi penting untuk menghadapi tantangan global kontemporer: krisis ekologi, bioteknologi, kecerdasan buatan, dan digitalisasi kehidupan.⁶ Filsafat sains membantu memastikan bahwa pengembangan ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari nilai-nilai etika, keberlanjutan, dan keadilan sosial. Ia menegaskan bahwa sains harus berorientasi pada kemaslahatan manusia, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau kekuasaan.⁷

10.3.    Rekomendasi Kajian Lanjutan

Penutup ini juga menggarisbawahi pentingnya pengembangan kajian filsafat sains di masa depan. Ada tiga rekomendasi utama:

1)                  Pendalaman interdisipliner – Kajian filsafat sains perlu terus melibatkan dialog dengan disiplin lain seperti etika, politik, teologi, dan ekologi, agar refleksinya lebih menyeluruh.⁸

2)                  Kritik teknologi digital – Era algoritma, big data, dan kecerdasan buatan menuntut filsafat sains untuk menilai kembali batas-batas rasionalitas ilmiah dan potensi bias dalam konstruksi pengetahuan.⁹

3)                  Perspektif global dan non-Barat – Kajian filsafat sains perlu mengakomodasi tradisi intelektual di luar Barat, termasuk warisan Islam, Asia, dan Afrika, agar tidak terjebak pada paradigma Euro-sentris.¹⁰

10.4.    Penutup Reflektif

Akhirnya, filsafat sains bukanlah disiplin yang hanya berurusan dengan abstraksi akademis. Ia adalah refleksi kritis yang memiliki implikasi langsung bagi kehidupan manusia. Dengan menelaah dasar-dasar epistemologis, ontologis, dan aksiologis ilmu, filsafat sains berfungsi sebagai kompas yang menjaga agar kemajuan pengetahuan tidak melenceng dari orientasi kemanusiaan. Sebagaimana ditegaskan Popper, sains tumbuh melalui kritik dan koreksi tanpa akhir; dan sebagaimana ditekankan Kuhn, ia selalu dipengaruhi oleh konteks historis dan sosial.¹¹ Dengan kesadaran itu, filsafat sains mengajarkan bahwa ilmu adalah pencarian terbuka, sebuah dialog yang tak pernah selesai antara akal, pengalaman, dan nilai-nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–91.

[2]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–60.

[3]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 21–45.

[4]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–328.

[5]                Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called Science? 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2013), 1–8.

[6]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 77–92.

[7]                Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of Dignity: The Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books, 2002), 3–18.

[8]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 77–104.

[9]                Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 9–27.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 17–35.

[11]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–52; Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92–110.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Bacon, F. (1960). Novum organum (F. H. Anderson, Ed.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.

Barbour, I. G. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. San Francisco: HarperCollins.

Barnes, J. (2001). Early Greek philosophy. London: Penguin.

Chadwick, R. (1994). Ethics and biotechnology. London: Routledge.

Chalmers, A. F. (2013). What is this thing called science? (4th ed.). Maidenhead: Open University Press.

Comte, A. (1896). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). London: George Bell.

Copernicus, N. (1992). On the revolutions of the heavenly spheres (E. Rosen, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Feyerabend, P. (1993). Against method. London: Verso.

Fuller, S. (2000). Thomas Kuhn: A philosophical history for our times. Chicago: University of Chicago Press.

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual biography. Oxford: Oxford University Press.

Ghazali, A. (1997). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition. Leiden: Brill.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1988). On the logic of the social sciences (S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.). Cambridge: MIT Press.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science. Cambridge: Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). New York: Harper.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. New York: Harper.

Howson, C., & Urbach, P. (1993). Scientific reasoning: The Bayesian approach. La Salle: Open Court.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.

Kass, L. R. (2002). Life, liberty, and the defense of dignity: The challenge for bioethics. San Francisco: Encounter Books.

Kitcher, P. (2001). Science, truth, and democracy. Oxford: Oxford University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1978). The methodology of scientific research programmes: Philosophical papers. Cambridge: Cambridge University Press.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Cambridge: Harvard University Press.

Latour, B., & Woolgar, S. (1986). Laboratory life: The construction of scientific facts. Princeton: Princeton University Press.

Longino, H. (1990). Science as social knowledge: Values and objectivity in scientific inquiry. Princeton: Princeton University Press.

Martineau, H. (Trans.). (1896). The positive philosophy of Auguste Comte. London: George Bell.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. San Francisco: Harper & Row.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Newton, I. (1934). Philosophiae naturalis principia mathematica (A. Motte, Trans.). Berkeley: University of California Press.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. Chicago: University of Chicago Press.

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. New York: Crown.

Pickering, M. (1993). Auguste Comte: An intellectual biography. Cambridge: Cambridge University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. Garden City: Doubleday.

Popper, K. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. London: Routledge.

Popper, K. (1972). Objective knowledge: An evolutionary approach. Oxford: Clarendon Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Psillos, S. (1999). Scientific realism: How science tracks truth. London: Routledge.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Salmon, W. C. (1967). The foundations of scientific inference. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

Toulmin, S. (1961). Foresight and understanding: An enquiry into the aims of science. Bloomington: Indiana University Press.

Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Oxford: Clarendon Press.

Van Fraassen, B. C. (1989). Laws and symmetry. Oxford: Clarendon Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford: Oxford University Press.

Vickers, B. (1992). Francis Bacon and the progress of knowledge. London: Routledge.

Weber, M. (1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Trans.). Berkeley: University of California Press.

Winner, L. (1986). The whale and the reactor: A search for limits in an age of high technology. Chicago: University of Chicago Press.

Worrall, J. (1980). Scientific realism and scientific change. Philosophical Quarterly, 30(121), 201–231.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar