Paradigma Ilmiah
Struktur, Perubahan, dan Implikasinya dalam Filsafat
Ilmu
Alihkan ke: Filsafat Ilmu.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep paradigma
ilmiah sebagai salah satu isu sentral dalam filsafat ilmu, dengan menelaah
landasan historis, struktur ontologis, dasar epistemologis, serta dimensi
aksiologis dan etisnya. Berangkat dari pemikiran Thomas S. Kuhn dalam The
Structure of Scientific Revolutions (1962), paradigma ilmiah dipahami
sebagai kerangka konseptual yang membimbing komunitas ilmiah dalam menentukan
apa yang dianggap sebagai pengetahuan sahih. Pembahasan ini menunjukkan bahwa
ilmu tidak berkembang secara kumulatif, melainkan melalui revolusi yang
disebabkan oleh krisis dan pergeseran paradigma.
Secara ontologis, paradigma ilmiah mengandaikan
bahwa realitas ilmiah tidak netral, tetapi dipahami melalui struktur konseptual
dan sosial tertentu. Secara epistemologis, paradigma menegaskan bahwa kebenaran
ilmiah bersifat kontekstual dan historis, bergantung pada kerangka metodologis
dan nilai-nilai komunitas ilmiah. Dari sisi aksiologis, paradigma ilmiah
menyingkap keterlibatan nilai dan tanggung jawab moral dalam aktivitas ilmiah,
menantang asumsi positivistik tentang ilmu yang bebas nilai.
Relevansi konsep paradigma ilmiah di era
kontemporer semakin nyata seiring dengan munculnya revolusi digital,
interdisiplinaritas, dan krisis global seperti perubahan iklim dan bioetika.
Paradigma kini tidak hanya menjadi kerangka berpikir ilmiah, tetapi juga medan
etis dan kultural bagi refleksi manusia tentang dunia dan dirinya. Melalui
sintesis filosofisnya, artikel ini menegaskan bahwa paradigma ilmiah bukan
sekadar struktur metodologis, melainkan cermin dinamika rasionalitas manusia
dalam mencari kebenaran yang kritis, reflektif, dan humanistik.
Kata Kunci: Paradigma ilmiah; filsafat ilmu; Thomas S. Kuhn;
epistemologi; ontologi; aksiologi; etika ilmiah; rasionalitas; revolusi ilmiah;
ilmu pengetahuan kontemporer.
PEMBAHASAN
Konsep Paradigma dalam Konteks Filsafat Ilmu
1.          
Pendahuluan
Dalam filsafat ilmu, konsep paradigma ilmiah
merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh dalam memahami dinamika
perkembangan pengetahuan manusia. Paradigma tidak hanya berfungsi sebagai
kerangka konseptual yang mengarahkan penelitian ilmiah, tetapi juga sebagai
sistem nilai dan asumsi dasar yang membentuk cara ilmuwan memandang realitas,
menentukan metode yang sahih, serta menilai kebenaran ilmiah. Dengan demikian,
paradigma ilmiah berperan sebagai “lensa epistemologis” yang memediasi
antara dunia empiris dan teori ilmiah yang dikonstruksi oleh manusia.¹
Perdebatan mengenai bagaimana ilmu berkembang telah
lama menjadi isu sentral dalam filsafat ilmu. Sebelum munculnya gagasan
paradigma, pandangan umum yang dominan adalah bahwa ilmu berkembang secara kumulatif—yakni
melalui penambahan pengetahuan yang semakin mendekati kebenaran objektif.
Pandangan ini diwakili oleh tradisi positivisme logis, yang menganggap
bahwa ilmu adalah hasil observasi empiris yang bebas nilai dan terverifikasi
melalui metode induktif.² Namun, pemikiran Thomas S. Kuhn menantang asumsi
tersebut dengan mengajukan pandangan bahwa perkembangan ilmu bersifat revolusioner,
bukan linier. Menurut Kuhn, setiap tahap perkembangan ilmu dibingkai oleh
paradigma tertentu yang menentukan apa yang dianggap sebagai masalah ilmiah
yang sah, metode yang tepat, dan hasil yang valid.³
Paradigma dalam pengertian Kuhn bukan sekadar teori
ilmiah, melainkan keseluruhan struktur konseptual dan sosial yang menopang praktik
ilmiah dalam suatu komunitas. Ia mencakup cara pandang terhadap dunia (worldview),
norma, metode, serta contoh konkret (exemplars) dari pemecahan masalah
ilmiah.⁴ Ketika anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma lama
menumpuk, terjadilah krisis yang membuka jalan bagi revolusi ilmiah—pergantian
paradigma secara menyeluruh.⁵
Isu ini menjadi sangat penting untuk dibahas dalam
konteks filsafat ilmu karena menunjukkan bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi
fakta objektif, tetapi juga hasil dari konstruksi historis dan sosial yang
dinamis. Pemahaman terhadap paradigma ilmiah membuka kesadaran bahwa ilmu
bersifat terbuka terhadap revisi, kritik, dan perubahan, serta bahwa kebenaran
ilmiah tidak terlepas dari konteks budaya dan komunitas ilmiah yang mendukungnya.⁶
Dengan demikian, pembahasan mengenai paradigma ilmiah menjadi fondasi untuk
memahami hakikat ilmu, metodologi, dan etika ilmiah dalam konteks modern yang
semakin pluralistik dan interdisipliner.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.
[2]               
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 31–34.
[3]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 52–65.
[4]               
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 29.
[5]               
Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of
Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge,
ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 91–92.
[6]               
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 15–17.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Paradigma Ilmiah
Konsep paradigma ilmiah berakar dari
perdebatan panjang dalam filsafat ilmu mengenai hakikat perkembangan pengetahuan.
Istilah “paradigma” sendiri berasal dari bahasa Yunani paradeigma,
yang berarti “pola” atau “model.” Dalam konteks klasik, istilah
ini digunakan oleh Plato untuk menunjuk pada bentuk ideal yang menjadi dasar
bagi segala manifestasi di dunia empiris.¹ Namun, dalam filsafat ilmu modern,
istilah ini mengalami pergeseran makna menjadi kerangka konseptual yang
mengatur bagaimana ilmu dipraktikkan dan dikembangkan.
Pemaknaan modern terhadap paradigma mencapai bentuk
sistematisnya melalui karya monumental Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (1962). Kuhn memperkenalkan gagasan bahwa ilmu tidak
berkembang secara linier atau kumulatif, melainkan melalui fase-fase yang
ditandai oleh periode stabil (normal science) dan periode krisis yang
berujung pada revolusi ilmiah.² Paradigma, menurut Kuhn, merupakan himpunan
keyakinan, nilai, dan teknik yang dianut oleh komunitas ilmiah tertentu, yang
berfungsi sebagai acuan untuk memecahkan teka-teki ilmiah (puzzle-solving).³
Sebelum Kuhn, gagasan tentang perkembangan ilmu
telah dibahas oleh para pemikir seperti Karl Popper, yang menekankan prinsip falsifikasionisme
sebagai dasar kemajuan ilmiah. Menurut Popper, ilmu maju melalui proses
penolakan terhadap teori yang salah, bukan melalui verifikasi kumulatif.⁴
Meskipun demikian, Kuhn menilai bahwa Popper gagal menjelaskan mengapa
komunitas ilmiah sering kali tetap setia pada paradigma lama meskipun
dihadapkan pada anomali.⁵ Dengan demikian, teori Kuhn memperluas perspektif
epistemologis menjadi historis dan sosiologis, menunjukkan bahwa perkembangan
ilmu melibatkan faktor manusiawi dan kontekstual yang kompleks.
Imre Lakatos kemudian mencoba menggabungkan
pandangan Kuhn dan Popper melalui konsep research programmes, yakni
sistem teori ilmiah yang berkembang melalui modifikasi progresif tanpa
kehilangan inti metodologisnya.⁶ Sementara itu, Paul Feyerabend memberikan
kritik lebih radikal dengan menyatakan bahwa tidak ada metode ilmiah yang
universal; bagi Feyerabend, sejarah ilmu menunjukkan bahwa kemajuan sering
terjadi karena pelanggaran terhadap aturan metodologis yang mapan.⁷
Dari segi genealogis, teori paradigma ilmiah juga
tidak dapat dilepaskan dari perubahan mendasar dalam pandangan dunia (Weltanschauung)
ilmuwan sejak zaman Renaisans hingga modernitas. Revolusi Kopernikan, misalnya,
menandai pergeseran paradigma dari kosmologi geosentris ke heliosentris, yang
kemudian membuka jalan bagi metode eksperimental Galileo dan mekanika Newton.⁸
Pada abad ke-20, revolusi relativitas dan mekanika kuantum sekali lagi
menunjukkan bahwa paradigma lama tidak mampu menampung realitas baru yang
ditemukan melalui eksperimen dan teori.⁹
Dengan demikian, sejarah paradigma ilmiah
mencerminkan perjalanan panjang filsafat ilmu dalam memahami hakikat kebenaran
ilmiah. Ia menyingkap bahwa ilmu tidak sekadar proses logis, melainkan juga
praksis historis dan sosial yang melibatkan komunitas, nilai, serta perubahan
cara pandang terhadap dunia.¹⁰ Paradigma bukan hanya kerangka metodologis,
melainkan juga ekspresi kultural dari dinamika rasionalitas manusia dalam
mencari kebenaran.
Footnotes
[1]               
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 29a–30b.
[2]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 6–9.
[3]               
Ibid., 10–11.
[4]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 33–37.
[5]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
77–78.
[6]               
Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of
Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge,
ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 91–92.
[7]               
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 15–17.
[8]               
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 45–48.
[9]               
Albert Einstein, Relativity: The Special and the
General Theory (New York: Crown, 1961), 132–135.
[10]            
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 25–27.
3.          
Ontologi
Paradigma Ilmiah
Ontologi paradigma ilmiah membahas hakikat realitas
sebagaimana dipahami, dikonstruksi, dan diinterpretasikan dalam suatu kerangka
ilmiah tertentu. Paradigma, dalam pengertian ontologis, bukan hanya kumpulan
teori atau metode, tetapi juga representasi mendasar tentang apa yang nyata,
bagaimana realitas itu tersusun, serta hubungan antara subjek dan
objek pengetahuan.¹ Dengan demikian, setiap paradigma ilmiah membawa asumsi
ontologis yang khas—yakni cara tertentu dalam memandang keberadaan (being)
dan struktur dunia.
Dalam paradigma realisme klasik, yang
berkembang sejak era Newtonian dan Cartesian, realitas dipahami sebagai entitas
yang objektif, tetap, dan dapat diukur secara empiris.² Dunia dipandang sebagai
mesin raksasa yang tunduk pada hukum sebab-akibat yang deterministik. Ontologi
ini menjadi dasar bagi positivisme, yang berkeyakinan bahwa ilmu bertujuan
menemukan hukum-hukum alam universal melalui observasi dan eksperimentasi.³
Dalam kerangka ini, subjek ilmuwan dianggap netral, sedangkan objek penelitian
bersifat independen dari kesadaran manusia.
Namun, paradigma ini mengalami tantangan besar
seiring munculnya revolusi ilmiah abad ke-20. Fisika relativitas
Einstein dan mekanika kuantum mengguncang pandangan ontologis klasik dengan
menunjukkan bahwa realitas tidak bersifat tetap, melainkan bergantung pada
kerangka acuan pengamat.⁴ Dalam mekanika kuantum, misalnya, keberadaan partikel
subatomik tidak dapat dipisahkan dari proses pengukuran, yang berarti bahwa subjek
dan objek pengetahuan saling berinteraksi dalam menciptakan realitas ilmiah.⁵
Ontologi ilmiah pun beralih dari determinisme menuju probabilisme dan konstruktivisme.
Konstruktivisme menegaskan bahwa apa yang disebut “realitas
ilmiah” adalah hasil konstruksi konseptual dan sosial dari komunitas
ilmiah.⁶ Dalam pandangan ini, fakta ilmiah bukanlah refleksi langsung dari
dunia objektif, melainkan hasil negosiasi makna dalam suatu paradigma. Sejalan
dengan ini, Thomas Kuhn menekankan bahwa dunia yang “dilihat” ilmuwan
dipengaruhi oleh paradigma yang mereka anut. Pergantian paradigma tidak sekadar
mengganti teori, melainkan mengubah dunia yang dapat dipahami oleh
komunitas ilmiah tersebut.⁷
Sementara itu, aliran realisme kritis, yang
dikembangkan oleh Roy Bhaskar, mencoba menjembatani antara realisme dan
konstruktivisme. Bhaskar berargumen bahwa realitas memang ada secara independen
dari kesadaran manusia, tetapi pengetahuan tentangnya selalu bersifat mediatif
dan historis.⁸ Dengan demikian, paradigma ilmiah tidak menciptakan realitas,
melainkan memberikan akses interpretatif terhadapnya. Ontologi ilmiah
dalam kerangka ini bersifat stratifikatif: terdapat perbedaan antara
dunia empiris (yang dialami), dunia aktual (yang terjadi), dan dunia nyata
(struktur kausal yang mendasari keduanya).⁹
Perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan juga
mencerminkan transformasi ontologis yang lebih luas: dari pandangan dunia
mekanistik menuju pandangan sistemik, dari reduksionisme menuju holisme, dan
dari kepastian menuju ketidakpastian.¹⁰ Paradigma ilmiah modern tidak lagi
memahami realitas sebagai kumpulan entitas terpisah, melainkan sebagai jaringan
relasional yang dinamis. Oleh karena itu, ontologi paradigma ilmiah mengajarkan
bahwa setiap ilmu tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga membentuk
cara manusia berada di dalam dunia.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 94–95.
[2]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35–36.
[3]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 25–27.
[4]               
Albert Einstein, Relativity: The Special and the
General Theory (New York: Crown, 1961), 130–132.
[5]               
Niels Bohr, “Discussion with Einstein on
Epistemological Problems in Atomic Physics,” dalam Albert Einstein:
Philosopher–Scientist, ed. Paul Arthur Schilpp (Evanston: Open Court,
1949), 210–211.
[6]               
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 33–36.
[7]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
111–112.
[8]               
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(Leeds: Leeds Books, 1975), 56–59.
[9]               
Ibid., 65–68.
[10]            
Fritjof Capra, The Turning Point: Science,
Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982),
55–58.
4.          
Epistemologi
Paradigma Ilmiah
Epistemologi paradigma ilmiah berfokus pada cara
manusia memperoleh, menafsirkan, dan menjustifikasi pengetahuan dalam kerangka
ilmiah tertentu. Dalam filsafat ilmu, epistemologi tidak sekadar menanyakan apa
yang diketahui, tetapi juga bagaimana sesuatu dapat diketahui serta apa
yang menjamin validitas pengetahuan tersebut. Paradigma ilmiah, sebagaimana
dijelaskan oleh Thomas S. Kuhn, menyediakan landasan epistemologis yang
mengatur bagaimana komunitas ilmiah memahami dunia, menentukan metode yang
sahih, dan menilai kebenaran ilmiah.¹ Dengan demikian, setiap paradigma tidak
hanya memuat teori dan metode, tetapi juga sistem kriteria epistemik yang
menentukan apa yang disebut “ilmu” dan apa yang dianggap “bukan ilmu.”
Dalam paradigma positivisme klasik, yang
berakar pada pemikiran Auguste Comte dan para tokoh Vienna Circle,
pengetahuan dianggap valid bila dapat diverifikasi secara empiris melalui
observasi dan eksperimentasi.² Ilmu, menurut pandangan ini, merupakan hasil
akumulasi fakta yang bebas nilai dan dapat diuji secara objektif.³ Hubungan
antara subjek dan objek pengetahuan bersifat terpisah: subjek ilmuwan berfungsi
sebagai pengamat netral, sementara objek realitas berdiri sendiri tanpa
intervensi nilai atau konteks sosial. Epistemologi ini menekankan prinsip verifikasi,
induksi, dan replikasi sebagai syarat utama bagi kebenaran
ilmiah.
Akan tetapi, paradigma positivistik mulai
dipertanyakan pada abad ke-20. Karl Popper mengajukan kritik tajam terhadap
prinsip verifikasi dengan menggantinya melalui konsep falsifikasionisme,
yakni bahwa teori ilmiah harus selalu dapat diuji dan berpotensi disangkal.⁴
Menurut Popper, kemajuan ilmu tidak ditentukan oleh konfirmasi empiris,
melainkan oleh kemampuan teori untuk bertahan dari upaya falsifikasi.⁵ Meski
demikian, pendekatan ini tetap berasumsi bahwa pengetahuan ilmiah bersifat
objektif dan rasional secara universal.
Kuhn menantang pandangan tersebut dengan menekankan
dimensi historis dan sosial dari epistemologi ilmu. Baginya, pengetahuan ilmiah
tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dibentuk oleh komunitas ilmiah
yang bekerja dalam paradigma tertentu.⁶ Paradigma menentukan apa yang dapat
dianggap sebagai fakta, bagaimana eksperimen dirancang, dan bagaimana hasil
penelitian ditafsirkan. Dengan demikian, epistemologi ilmu bersifat paradigm-dependent:
apa yang dianggap “benar” atau “rasional” selalu ditentukan oleh
konteks paradigma yang berlaku.⁷
Kuhn juga memperkenalkan konsep normal science,
yakni aktivitas ilmiah yang berlangsung dalam kerangka paradigma dominan dan
bertujuan memecahkan teka-teki ilmiah yang relevan dengan paradigma tersebut.⁸
Namun, ketika anomali ilmiah tidak lagi dapat dijelaskan, maka terjadilah crisis
science yang dapat memicu scientific revolution—pergantian paradigma
secara menyeluruh.⁹ Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat
historis dan tidak sepenuhnya kumulatif; ia bergeser melalui lompatan
konseptual yang disebut incommensurability, yaitu ketidakbandingan
antara dua paradigma yang berbeda.¹⁰
Dari perspektif epistemologi kontemporer, gagasan
Kuhn membuka jalan bagi pluralisme ilmiah, di mana rasionalitas ilmiah tidak
lagi tunggal, tetapi jamak.¹¹ Ilmu dipahami sebagai sistem dinamis yang
dihasilkan oleh interaksi antara teori, observasi, dan nilai-nilai sosial.
Dalam konteks ini, epistemologi paradigma ilmiah menegaskan bahwa objektivitas
tidak berarti bebas dari nilai, melainkan keterbukaan terhadap kritik, revisi,
dan dialog antarparadigma.¹² Dengan demikian, pengetahuan ilmiah tidak bersifat
absolut, melainkan fallibilistik—selalu terbuka untuk dikoreksi dan
dikembangkan seiring perubahan paradigma dan pengalaman manusia.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.
[2]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 22–24.
[3]               
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 31–33.
[4]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 40–41.
[5]               
Ibid., 61–63.
[6]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
52–54.
[7]               
Ibid., 111–112.
[8]               
Ibid., 23–24.
[9]               
Ibid., 66–68.
[10]            
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 223–225.
[11]            
Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of
Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge,
ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 91–93.
[12]            
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 29–31.
5.          
Aksiologi
dan Etika Ilmiah
Aksiologi paradigma ilmiah membahas dimensi nilai
dan etika yang terkandung dalam kegiatan ilmiah. Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi
berupaya menjawab pertanyaan: untuk apa ilmu pengetahuan dikembangkan, nilai
apa yang mendasarinya, dan bagaimana tanggung jawab moral ilmuwan terhadap
penggunaannya.¹ Dengan demikian, aksiologi tidak dapat dipisahkan dari
epistemologi dan ontologi karena cara kita memahami realitas dan memperoleh
pengetahuan selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai tertentu, baik eksplisit maupun
implisit.
Pada masa positivisme klasik, ilmu dipandang
bebas nilai (value-free science).² Auguste Comte dan para positivis logis
meyakini bahwa tujuan utama ilmu adalah menjelaskan fenomena melalui
hukum-hukum universal tanpa melibatkan pertimbangan moral, politik, atau
agama.³ Objektivitas dianggap sebagai nilai tertinggi yang menjamin netralitas
ilmiah. Namun, pandangan ini dikritik oleh banyak filsuf setelah abad ke-20,
karena mengabaikan fakta bahwa proses ilmiah selalu terjadi dalam konteks
sosial, politik, dan budaya tertentu.⁴
Thomas S. Kuhn menunjukkan bahwa paradigma ilmiah
tidak hanya mencakup teori dan metode, tetapi juga norma, nilai, dan komitmen
bersama dalam komunitas ilmiah.⁵ Nilai-nilai seperti konsistensi,
kesederhanaan, keluasan penjelasan, dan daya prediktif berperan dalam
menentukan apakah sebuah teori diterima atau ditolak.⁶ Artinya, pilihan ilmiah
tidak semata-mata didasarkan pada logika empiris, tetapi juga pada pertimbangan
aksiologis dan estetis tertentu yang bersifat intersubjektif. Dalam pengertian
ini, ilmu bukanlah aktivitas netral, melainkan praksis manusia yang sarat
dengan nilai-nilai budaya.⁷
Lebih jauh, aksiologi ilmu menyentuh persoalan tanggung
jawab etis ilmuwan terhadap implikasi sosial penemuan ilmiah. Perkembangan
teknologi nuklir, rekayasa genetika, kecerdasan buatan, dan eksploitasi sumber
daya alam menunjukkan bahwa ilmu dapat membawa manfaat sekaligus ancaman bagi
kehidupan manusia.⁸ Oleh karena itu, etika ilmiah menjadi landasan moral yang
mengatur bagaimana pengetahuan digunakan dan dikembangkan. Hans Jonas, dalam The
Imperative of Responsibility, menegaskan perlunya etika baru yang berorientasi
pada masa depan dan keberlanjutan umat manusia (future-oriented ethics).⁹
Dalam paradigma kontemporer, muncul kesadaran bahwa
ilmu harus diarahkan tidak hanya untuk kebenaran, tetapi juga untuk kebaikan
dan keadilan.¹⁰ Fritjof Capra dan para pemikir ekologi sistem menekankan
bahwa ilmu perlu kembali ke prinsip keseimbangan dan harmoni antara manusia dan
alam.¹¹ Sementara itu, filsuf feminis seperti Sandra Harding menyoroti
pentingnya “strong objectivity,” yakni objektivitas yang dihasilkan dari
refleksi kritis terhadap posisi sosial dan bias gender dalam praktik ilmiah.¹²
Dengan demikian, paradigma ilmiah tidak dapat
dilepaskan dari dimensi aksiologis dan etisnya. Ilmu yang bertanggung jawab
bukanlah yang mengejar kebenaran secara buta, tetapi yang mengintegrasikan
dimensi moral, sosial, dan ekologis dalam setiap tahap penelitiannya. Aksiologi
dan etika ilmiah, dalam konteks ini, bukanlah pembatas ilmu, melainkan penuntun
bagi kemanusiaan agar pengetahuan tidak menjauh dari tujuan utamanya: meningkatkan
martabat, kebebasan, dan keberlanjutan kehidupan manusia di dunia.¹³
Footnotes
[1]               
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy
(New York: Ronald Press, 1953), 312–314.
[2]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 25–27.
[3]               
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 42–43.
[4]               
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value
Dichotomy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 5–7.
[5]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 108–110.
[6]               
Ibid., 185–187.
[7]               
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 30–31.
[8]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 9–10.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–12.
[10]            
Nicholas Rescher, Scientific Progress: A
Philosophical Essay on the Economics of Research in Natural Science
(Oxford: Blackwell, 1978), 98–99.
[11]            
Fritjof Capra, The Turning Point: Science,
Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982),
205–206.
[12]            
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
138–140.
[13]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
28–29.
6.          
Kritik
terhadap Konsep Paradigma Ilmiah
Konsep paradigma ilmiah yang diperkenalkan
oleh Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962)
merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh sekaligus paling kontroversial
dalam filsafat ilmu. Meskipun gagasan ini berhasil mengguncang fondasi
positivisme dan mengubah cara pandang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
banyak filsuf kemudian mengajukan kritik terhadap ambiguitas, relativisme, dan
implikasi epistemologis yang muncul dari teori paradigma.¹
6.1.      
Kritik terhadap Relativisme
Epistemologis
Salah satu kritik utama terhadap Kuhn datang dari Karl
Popper, yang menolak pandangan bahwa ilmu berkembang melalui revolusi
yang tidak dapat dibandingkan secara rasional. Popper berpendapat bahwa teori
Kuhn berpotensi menjerumuskan filsafat ilmu ke dalam relativisme
epistemologis, di mana kriteria kebenaran bergantung pada paradigma yang
berlaku, bukan pada rasionalitas universal.² Menurut Popper, ilmu tidak
bergerak melalui “pergantian dunia konseptual” seperti yang dijelaskan
Kuhn, tetapi melalui proses conjecture and refutation—hipotesis diajukan
dan diuji secara kritis berdasarkan bukti empiris.³ Dengan demikian, bagi
Popper, rasionalitas ilmiah bersifat lintas-paradigma, karena falsifikasi
memungkinkan dialog kritis antara teori yang berbeda.
6.2.      
Kritik terhadap
Ketidakbandingan (Incommensurability)
Kuhn menegaskan bahwa paradigma yang berbeda
bersifat incommensurable—tidak dapat dibandingkan karena menggunakan
bahasa, metode, dan kriteria kebenaran yang berbeda.⁴ Namun, kritik tajam
muncul dari Imre Lakatos, yang menilai bahwa konsep ini terlalu ekstrem.
Lakatos berargumen bahwa meskipun paradigma berbeda, tetap ada dasar rasional
yang memungkinkan perbandingan metodologis antarprogram penelitian.⁵ Dalam
kerangka research programmes, ilmu tidak berkembang melalui revolusi
total, tetapi melalui proses modifikasi bertahap, di mana teori lama dapat
direvisi tanpa sepenuhnya ditinggalkan.⁶ Dengan cara ini, Lakatos mencoba
menyelamatkan rasionalitas ilmiah dari relativisme Kuhnian.
Selain itu, Paul Feyerabend—meskipun
terinspirasi oleh Kuhn—melontarkan kritik radikal bahwa bahkan teori Kuhn masih
terlalu “tertib.” Dalam Against Method, Feyerabend menolak ide
bahwa ada satu cara ilmiah yang sah, karena sejarah sains menunjukkan bahwa
pelanggaran terhadap aturan metodologis sering kali justru menghasilkan
kemajuan.⁷ Ia menegaskan prinsip “anything goes” sebagai refleksi atas
pluralisme dan kebebasan metodologis dalam ilmu pengetahuan.⁸
6.3.      
Kritik terhadap Aspek
Sosiologis dan Psikologis Paradigma
Kritikus lain menyoroti dimensi sosiologis paradigma
ilmiah. Kuhn dianggap terlalu menekankan faktor sosial dan psikologis dalam
menentukan perubahan paradigma, sehingga mengaburkan peran rasionalitas dan
bukti empiris.⁹ Beberapa pemikir, seperti Larry Laudan, menilai bahwa
pergeseran paradigma tidak harus dipahami sebagai revolusi sosial, tetapi dapat
dianalisis melalui konsep research traditions yang menggabungkan aspek
rasional dan historis.¹⁰ Dengan demikian, perubahan ilmiah dapat dijelaskan
tanpa mengorbankan objektivitas epistemologis.
Selain itu, pendekatan Kuhn juga dianggap
menimbulkan kesulitan dalam memahami peran bukti ilmiah dalam konflik
paradigma. Jika setiap paradigma memiliki kriterianya sendiri, bagaimana
mungkin ilmuwan dapat menilai paradigma lain secara kritis?¹¹ Pertanyaan ini
menimbulkan dilema epistemologis antara rasionalitas dan relativisme yang belum
sepenuhnya terpecahkan dalam kerangka Kuhnian.
6.4.      
Kritik terhadap Implikasi
Historis dan Relevansi Kontemporer
Secara historis, beberapa peneliti menganggap bahwa
model “revolusi ilmiah” Kuhn terlalu menyederhanakan kompleksitas
perkembangan ilmu.¹² Perubahan ilmiah sering kali tidak bersifat revolusioner,
melainkan gradual dan interdisipliner. Dalam konteks ilmu kontemporer—seperti
ekologi sistem, ilmu komputer, dan bioteknologi—perubahan paradigma tidak
selalu menggantikan yang lama, tetapi cenderung berkoeksistensi dalam
bentuk pluralisme paradigma.¹³
Lebih jauh, dalam era open science dan
kolaborasi global, konsep Kuhn dianggap kurang mampu menjelaskan dinamika
pengetahuan di luar komunitas ilmiah tertutup.¹⁴ Paradigma kini bukan hanya
milik ilmuwan, tetapi juga dipengaruhi oleh politik, ekonomi, dan budaya
digital. Dengan demikian, meskipun teori Kuhn tetap relevan secara historis,
banyak filsuf kontemporer menilai perlunya reinterpretasi paradigma ilmiah agar
selaras dengan epistemologi sains abad ke-21.¹⁵
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), ix–xii.
[2]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33–34.
[3]               
Ibid., 47–49.
[4]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
111–113.
[5]               
Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of
Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge,
ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 91–92.
[6]               
Ibid., 96–97.
[7]               
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 17–18.
[8]               
Ibid., 23–24.
[9]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical
History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 65–67.
[10]            
Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward
a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press,
1977), 59–60.
[11]            
Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 79–80.
[12]            
Margaret Masterman, “The Nature of a Paradigm,”
dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos dan Alan
Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 61–65.
[13]            
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–46.
[14]            
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow
Scientists and Engineers Through Society (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1987), 122–124.
[15]            
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 15–16.
7.          
Relevansi
Paradigma Ilmiah dalam Konteks Kontemporer
Konsep paradigma ilmiah yang diperkenalkan
oleh Thomas S. Kuhn pada pertengahan abad ke-20 tetap memiliki relevansi
mendalam dalam memahami dinamika ilmu pengetahuan kontemporer. Dalam era
globalisasi, digitalisasi, dan kompleksitas multidisipliner, paradigma ilmiah
tidak hanya menjadi kerangka epistemologis, tetapi juga alat reflektif untuk
menilai bagaimana ilmu beradaptasi terhadap perubahan sosial, teknologi, dan
budaya.¹ Paradigma kini tidak lagi dipahami sebagai sistem tertutup milik
komunitas ilmiah tertentu, melainkan sebagai jaringan pengetahuan terbuka yang
terus berinteraksi dengan konteks global dan nilai-nilai kemanusiaan.
7.1.      
Perubahan Paradigma dalam
Era Digital dan Teknologi
Kemunculan revolusi digital dan kecerdasan
buatan (AI) telah menggeser paradigma klasik tentang ilmu dan rasionalitas.
Dalam paradigma sains modern, pengetahuan ilmiah dibangun melalui observasi dan
eksperimen langsung; namun kini, data besar (big data) dan simulasi
komputer menjadi sumber utama pembentukan teori.² Perubahan ini menandai
pergeseran dari paradigma empiris menuju paradigma komputasional dan
algoritmik, di mana pengetahuan tidak hanya ditemukan, tetapi juga “diciptakan”
melalui pemodelan matematis dan pembelajaran mesin.³
Kondisi ini menghadirkan pertanyaan baru tentang
epistemologi dan etika ilmu. Jika kebenaran ilmiah ditentukan oleh algoritma
dan kecerdasan buatan, siapakah yang memiliki otoritas epistemik? Kuhn
menekankan bahwa kebenaran ilmiah bergantung pada konsensus komunitas ilmiah,
tetapi di era digital, konsensus ini mulai dipengaruhi oleh sistem otomatis,
data bias, dan logika korporasi teknologi.⁴ Oleh karena itu, paradigma ilmiah
kontemporer harus memperluas cakupannya untuk memasukkan dimensi teknologi dan
politik pengetahuan.⁵
7.2.      
Paradigma Interdisipliner
dan Kompleksitas Pengetahuan
Salah satu implikasi paling penting dari teori Kuhn
adalah kesadarannya terhadap pluralitas paradigma. Dalam ilmu
kontemporer, pluralitas ini semakin nyata melalui pendekatan interdisipliner
dan transdisipliner. Ilmu lingkungan, bioetika, ilmu komputer, ekonomi
perilaku, dan studi budaya kini saling beririsan, menciptakan bentuk
pengetahuan yang tidak lagi tunduk pada batas-batas paradigma tunggal.⁶ Hal ini
sejalan dengan pandangan Edgar Morin tentang “pensée complexe” —
pemikiran kompleks yang menolak reduksionisme dan menekankan keterkaitan antara
bagian dan keseluruhan.⁷
Paradigma ilmiah kini bergerak menuju integrasi
epistemologis, di mana kebenaran tidak dicapai melalui keseragaman
metodologis, tetapi melalui dialog antara berbagai perspektif. Dengan demikian,
paradigma ilmiah dalam konteks kontemporer menuntut sikap epistemik yang
terbuka, reflektif, dan kolaboratif.⁸
7.3.      
Pergeseran Paradigma dalam
Ilmu Sosial dan Humaniora
Dalam ilmu sosial dan humaniora, teori paradigma
telah membantu mengungkap bagaimana ilmu dipengaruhi oleh kekuasaan, ideologi,
dan konteks budaya. Michel Foucault, misalnya, menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan selalu berhubungan dengan struktur kekuasaan (power/ knowledge).⁹
Paradigma tidak netral, melainkan terlibat dalam pembentukan norma sosial dan
struktur pengetahuan. Dalam konteks ini, teori Kuhn berkontribusi pada
munculnya kritik terhadap “objektivitas” sains modern yang sering
menyembunyikan bias ideologis dan kolonial.¹⁰
Gerakan postnormal science, seperti yang
dikemukakan oleh Silvio Funtowicz dan Jerome Ravetz, memperluas gagasan Kuhn
dengan menekankan bahwa sains modern kini berhadapan dengan ketidakpastian
tinggi, nilai-nilai yang dipertaruhkan, dan urgensi keputusan publik.¹¹ Dengan
demikian, paradigma ilmiah masa kini harus mencakup dimensi etika, politik, dan
partisipasi sosial dalam proses pengetahuan.
7.4.      
Paradigma Ilmiah dan Krisis
Global
Dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan
iklim, pandemi, dan krisis ekologi, paradigma ilmiah berperan penting sebagai
kerangka interpretatif dan normatif. Krisis-krisis ini menunjukkan bahwa model
sains reduksionis dan mekanistik tidak lagi memadai.¹² Paradigma baru yang
menekankan ekosistem, keberlanjutan, dan keadilan planet kini sedang muncul.¹³
Kuhn menyebut bahwa revolusi ilmiah terjadi ketika paradigma lama gagal
menjawab masalah baru—dan situasi ekologis global saat ini merupakan contoh
konkret dari kondisi semacam itu.¹⁴
Ilmu kontemporer dituntut untuk mengembangkan
paradigma yang lebih holistik dan humanistik, di mana kebenaran ilmiah
tidak dipisahkan dari tanggung jawab moral terhadap kehidupan.¹⁵ Dengan
demikian, teori paradigma tetap relevan karena memberikan kerangka konseptual
untuk memahami transformasi ilmu pengetahuan dalam menghadapi kompleksitas
dunia modern.
7.5.      
Menuju Paradigma Ilmiah
yang Terbuka dan Humanistik
Relevansi paradigma ilmiah di era kontemporer terletak
pada kemampuannya untuk memadukan antara rasionalitas dan refleksivitas.
Paradigma kini bukan hanya sistem pengetahuan, tetapi juga praktik sosial yang
melibatkan nilai, keadilan, dan keberlanjutan.¹⁶ Ilmu tidak lagi dilihat
sebagai pencarian kebenaran semata, melainkan sebagai proses kolaboratif untuk
menciptakan dunia yang lebih manusiawi.
Dengan demikian, warisan pemikiran Kuhn tetap
signifikan bukan karena ia memberikan jawaban final, tetapi karena membuka
ruang bagi filsafat ilmu yang lebih dialogis, plural, dan etis—sebuah
paradigma baru tentang ilmu yang senantiasa terbuka terhadap koreksi,
kompleksitas, dan kemanusiaan.¹⁷
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–168.
[2]               
Sabina Leonelli, Data-Centric Biology: A
Philosophical Study (Chicago: University of Chicago Press, 2016), 12–14.
[3]               
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the
Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press,
2014), 32–33.
[4]               
Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention:
Technology and the Human Future (New York: W.W. Norton, 2016), 25–27.
[5]               
Steve Fuller, Kuhn vs. Popper: The Struggle for
the Soul of Science (Cambridge: Icon Books, 2003), 191–192.
[6]               
Basarab Nicolescu, Manifesto of
Transdisciplinarity, trans. Karen-Claire Voss (Albany: SUNY Press, 2002),
41–42.
[7]               
Edgar Morin, La Méthode: La Nature de la Nature
(Paris: Seuil, 1977), 27–29.
[8]               
Helga Nowotny, Peter Scott, dan Michael Gibbons, Re-Thinking
Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge:
Polity Press, 2001), 55–57.
[9]               
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 198–199.
[10]            
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
12–13.
[11]            
Silvio O. Funtowicz dan Jerome R. Ravetz, “Science
for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.
[12]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections:
Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life into a
Science of Sustainability (New York: Doubleday, 2002), 45–46.
[13]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 92–94.
[14]            
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
92–94.
[15]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 36–38.
[16]            
Helga Nowotny, The Cunning of Uncertainty
(Cambridge: Polity Press, 2015), 112–113.
[17]            
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 220–222.
8.          
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis dari gagasan paradigma ilmiah
berupaya mengintegrasikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari
perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Paradigma
bukan hanya sistem pengetahuan, melainkan juga struktur makna yang
menghubungkan manusia dengan dunia, rasionalitas dengan nilai, serta fakta
dengan makna eksistensial.¹ Dengan demikian, paradigma ilmiah dapat dipahami
sebagai medan dialektis tempat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan moralitas
saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan dinamis.
8.1.      
Integrasi Ontologis:
Realitas sebagai Struktur Relasional
Secara ontologis, paradigma ilmiah menolak
pemahaman realitas sebagai entitas statis dan tertutup. Dalam tradisi modern,
realitas dipandang sebagai sistem mekanistik yang tunduk pada hukum
sebab-akibat; namun paradigma kontemporer mengajarkan bahwa realitas bersifat relasional,
dinamis, dan berlapis.² Perspektif ini sejalan dengan ontologi sistem
terbuka yang dikemukakan oleh Roy Bhaskar, di mana dunia terdiri dari struktur
kausal yang saling berinteraksi pada berbagai tingkatan keberadaan.³ Dengan
kata lain, paradigma ilmiah membentuk cara manusia mengalami dunia:
bukan sekadar mengamati, tetapi turut membangun dunia melalui kerangka
konseptual dan praksis ilmiahnya.
Sintesis ini menegaskan bahwa realitas ilmiah
bersifat co-constituted—dibentuk secara timbal balik antara subjek dan
objek. Pemahaman ini mengatasi dikotomi klasik antara realisme dan
konstruktivisme dengan menempatkan realitas sebagai proses dialogis
antara manusia dan alam.⁴
8.2.      
Integrasi Epistemologis:
Pengetahuan sebagai Proses Historis dan Dialogis
Dari segi epistemologi, paradigma ilmiah menolak
klaim absolutisme rasional sekaligus relativisme radikal. Pengetahuan ilmiah
tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, historis, dan budaya, namun tetap
tunduk pada prinsip rasionalitas yang bersifat terbuka dan komunikatif.⁵
Epistemologi ini bersandar pada prinsip fallibilisme—bahwa setiap klaim
kebenaran bersifat sementara dan dapat direvisi melalui dialog antarparadigma.
Jürgen Habermas menawarkan konsep rasionalitas
komunikatif sebagai bentuk rasionalitas pasca-Kuhnian, di mana kebenaran ilmiah
diperoleh melalui konsensus argumentatif yang rasional, bukan sekadar
kesepakatan komunitas tertutup.⁶ Dengan demikian, epistemologi paradigma ilmiah
yang disintesiskan bersifat reflektif dan intersubjektif, menempatkan ilmu dalam
horizon komunikasi antara manusia dan realitas.
8.3.      
Integrasi Aksiologis: Ilmu
sebagai Praksis Etis dan Humanistik
Secara aksiologis, paradigma ilmiah menuntut
tanggung jawab moral terhadap dampak sosial dan ekologis dari kegiatan ilmiah.
Paradigma bukan hanya menentukan cara berpikir, tetapi juga cara bertindak.
Filsafat Hans Jonas menekankan imperatif tanggung jawab sebagai dasar
etika ilmu dalam menghadapi ancaman teknologi modern: tindakan ilmiah harus
selalu mempertimbangkan kelestarian kehidupan.⁷
Dalam kerangka ini, paradigma ilmiah tidak lagi
dipandang netral, melainkan sarat nilai—ia membawa visi tertentu tentang
kebaikan, kemajuan, dan kemanusiaan.⁸ Fritjof Capra menegaskan bahwa ilmu masa
kini membutuhkan paradigma ekologis, di mana keberlanjutan dan
keseimbangan menjadi nilai utama.⁹ Maka, sintesis aksiologis menempatkan
paradigma ilmiah sebagai sarana menuju kebijaksanaan (sapientia), bukan
sekadar pengetahuan (scientia).
8.4.      
Menuju Filsafat Ilmu yang
Transformatif
Sintesis filosofis dari paradigma ilmiah membuka
kemungkinan bagi lahirnya filsafat ilmu yang transformatif: suatu
filsafat yang tidak berhenti pada analisis metodologis, tetapi juga berperan
aktif dalam menata kembali relasi manusia, pengetahuan, dan dunia.¹⁰ Paradigma
ilmiah, dalam pengertian ini, menjadi medan refleksi bagi kesadaran ilmiah
modern agar lebih kritis, inklusif, dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, sintesis paradigma ilmiah
menegaskan bahwa ilmu bukanlah sekadar akumulasi teori, melainkan gerak
reflektif manusia dalam memahami dan mengubah dunia. Ia adalah ruang perjumpaan
antara rasionalitas dan nilai, antara fakta dan makna, antara sains dan
filsafat.¹¹ Paradigma ilmiah, pada akhirnya, menjadi simbol dari kemampuan
manusia untuk berpikir secara terbuka, mengakui keterbatasannya, dan sekaligus
terus memperjuangkan kebenaran yang memanusiakan.¹²
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 208–210.
[2]               
Fritjof Capra, The Turning Point: Science,
Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982),
41–43.
[3]               
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(Leeds: Leeds Books, 1975), 65–68.
[4]               
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 33–34.
[5]               
Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward
a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press,
1977), 110–112.
[6]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[7]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 28–30.
[8]               
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value
Dichotomy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–60.
[9]               
Fritjof Capra, The Hidden Connections:
Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life into a
Science of Sustainability (New York: Doubleday, 2002), 96–98.
[10]            
Basarab Nicolescu, Manifesto of
Transdisciplinarity, trans. Karen-Claire Voss (Albany: SUNY Press, 2002),
53–55.
[11]            
Edgar Morin, La Méthode: La Nature de la Nature
(Paris: Seuil, 1977), 121–123.
[12]            
Helga Nowotny, The Cunning of Uncertainty
(Cambridge: Polity Press, 2015), 154–156.
9.          
Kesimpulan
Konsep paradigma ilmiah yang diperkenalkan
oleh Thomas S. Kuhn telah merevolusi cara kita memahami perkembangan ilmu
pengetahuan. Paradigma bukan sekadar teori ilmiah, melainkan keseluruhan
struktur konseptual, metodologis, dan nilai-nilai yang menopang praktik ilmiah
dalam komunitas tertentu.¹ Dengan demikian, ilmu tidak lagi dipandang sebagai
akumulasi linear dari fakta objektif, melainkan sebagai proses historis dan
sosial yang diwarnai oleh perubahan perspektif, krisis, dan revolusi
konseptual.²
Dari sudut ontologis, paradigma ilmiah
menunjukkan bahwa realitas ilmiah bukanlah entitas yang berdiri sendiri dan
bebas dari interpretasi manusia. Realitas dipahami melalui kerangka konseptual
tertentu yang memediasi hubungan antara subjek dan objek pengetahuan.³ Dengan
kata lain, dunia ilmiah yang “dilihat” manusia senantiasa ditentukan
oleh paradigma yang berlaku—setiap revolusi ilmiah mengubah bukan hanya teori,
tetapi juga dunia yang dipahami oleh ilmuwan.⁴
Secara epistemologis, paradigma ilmiah
menegaskan bahwa kebenaran ilmiah bersifat paradigm-dependent. Kriteria
rasionalitas, metode, dan validitas ilmiah tidak bersifat universal, melainkan
bergantung pada konteks paradigma yang dominan.⁵ Namun demikian, hal ini tidak
berarti jatuh ke dalam relativisme total. Kuhn membuka ruang bagi pemahaman
rasionalitas yang bersifat historis dan komunikatif, di mana ilmu berkembang
melalui dinamika komunitas yang terbuka terhadap kritik dan revisi.⁶
Dari sisi aksiologis, paradigma ilmiah
menyingkap bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Setiap aktivitas ilmiah
membawa konsekuensi moral dan sosial, baik terhadap manusia maupun alam.⁷ Ilmu
yang bertanggung jawab harus mempertimbangkan tujuan etis dari penggunaannya
serta dampaknya terhadap keberlanjutan kehidupan. Dalam konteks ini, etika
ilmiah sebagaimana dikemukakan Hans Jonas menjadi relevan: ilmu bukan hanya
sarana untuk menguasai alam, tetapi juga panggilan untuk melindunginya.⁸
Dalam konteks kontemporer, paradigma ilmiah
tetap memiliki relevansi yang tinggi. Era digital, bioteknologi, dan kecerdasan
buatan menuntut refleksi epistemologis baru mengenai bagaimana pengetahuan
diproduksi dan divalidasi.⁹ Paradigma ilmiah juga mendorong kita untuk melihat
ilmu sebagai praktik kolaboratif lintas disiplin yang mengintegrasikan aspek
teknis, sosial, dan moral.¹⁰ Dengan demikian, paradigma tidak lagi dipahami
sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai jaringan pengetahuan yang bersifat
dinamis dan terbuka terhadap koreksi.
Secara filosofis, paradigma ilmiah menawarkan
pelajaran penting: bahwa ilmu tidak hanya tentang menemukan kebenaran, tetapi
juga tentang memahami keterbatasan manusia dalam menafsirkan realitas.¹¹
Paradigma ilmiah mengajarkan sikap epistemik yang rendah hati (epistemic
humility), kritis, dan reflektif—suatu sikap yang sangat dibutuhkan dalam
menghadapi kompleksitas dunia modern.
Oleh karena itu, sintesis dari seluruh pembahasan
ini menegaskan bahwa paradigma ilmiah adalah jantung dari filsafat ilmu modern:
ia menyatukan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam satu kerangka
reflektif yang dinamis.¹² Ilmu, dalam pengertian yang sejati, bukan sekadar
sistem pengetahuan, melainkan upaya manusia untuk memahami dan memaknai
dunia secara bertanggung jawab.¹³ Paradigma ilmiah mengajak kita untuk
tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi bergerak menuju kebijaksanaan—suatu
bentuk pengetahuan yang sadar akan batasnya, terbuka terhadap perbedaan, dan
berorientasi pada kemanusiaan.¹⁴
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.
[2]               
Ibid., 92–94.
[3]               
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 33–34.
[4]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
111–112.
[5]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–46.
[6]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[7]               
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value
Dichotomy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–60.
[8]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 28–30.
[9]               
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the
Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press,
2014), 42–44.
[10]            
Helga Nowotny, Peter Scott, dan Michael Gibbons, Re-Thinking
Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge:
Polity Press, 2001), 55–57.
[11]            
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(Leeds: Leeds Books, 1975), 65–67.
[12]            
Fritjof Capra, The Turning Point: Science,
Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982),
51–52.
[13]            
Edgar Morin, La Méthode: La Nature de la Nature
(Paris: Seuil, 1977), 121–123.
[14]            
Helga Nowotny, The Cunning of Uncertainty
(Cambridge: Polity Press, 2015), 154–156.
Daftar Pustaka 
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
London: Gollancz.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The
social construction of reality. New York: Anchor Books.
Bhaskar, R. (1975). A realist theory of science.
Leeds: Leeds Books.
Bohr, N. (1949). Discussion with Einstein on
epistemological problems in atomic physics. In P. A. Schilpp (Ed.), Albert
Einstein: Philosopher–scientist (pp. 210–211). Evanston: Open Court.
Capra, F. (1982). The turning point: Science,
society, and the rising culture. New York: Simon & Schuster.
Capra, F. (2002). The hidden connections:
Integrating the biological, cognitive, and social dimensions of life into a
science of sustainability. New York: Doubleday.
Comte, A. (1896). The positive philosophy
(H. Martineau, Trans.). London: George Bell & Sons.
Descartes, R. (1998). Discourse on method
(D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Einstein, A. (1961). Relativity: The special and
the general theory. New York: Crown.
Feyerabend, P. (1975). Against method.
London: Verso.
Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How
the infosphere is reshaping human reality. Oxford: Oxford University Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). New York: Pantheon Books.
Fuller, S. (2000). Thomas Kuhn: A philosophical
history for our times. Chicago: University of Chicago Press.
Fuller, S. (2003). Kuhn vs. Popper: The struggle
for the soul of science. Cambridge: Icon Books.
Funtowicz, S. O., & Ravetz, J. R. (1993).
Science for the post-normal age. Futures, 25(7), 739–755.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.
Hacking, I. (1983). Representing and intervening.
Cambridge: Cambridge University Press.
Harding, S. (1991). Whose science? Whose
knowledge? Thinking from women’s lives. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago:
University of Chicago Press.
Jasanoff, S. (2016). The ethics of invention:
Technology and the human future. New York: W. W. Norton.
Kattsoff, L. O. (1953). Elements of philosophy.
New York: Ronald Press.
Koyré, A. (1957). From the closed world to the
infinite universe. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1970). Falsification and the
methodology of scientific research programmes. In I. Lakatos & A. Musgrave
(Eds.), Criticism and the growth of knowledge (pp. 91–97). Cambridge:
Cambridge University Press.
Laudan, L. (1977). Progress and its problems:
Toward a theory of scientific growth. Berkeley: University of California
Press.
Latour, B. (1987). Science in action: How to
follow scientists and engineers through society. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures
on the new climatic regime. Cambridge: Polity Press.
Leonelli, S. (2016). Data-centric biology: A
philosophical study. Chicago: University of Chicago Press.
Masterman, M. (1970). The nature of a paradigm. In
I. Lakatos & A. Musgrave (Eds.), Criticism and the growth of knowledge
(pp. 61–65). Cambridge: Cambridge University Press.
Morin, E. (1977). La méthode: La nature de la
nature. Paris: Seuil.
Nicolescu, B. (2002). Manifesto of
transdisciplinarity (K.-C. Voss, Trans.). Albany: SUNY Press.
Nowotny, H. (2015). The cunning of uncertainty.
Cambridge: Polity Press.
Nowotny, H., Scott, P., & Gibbons, M. (2001). Re-thinking
science: Knowledge and the public in an age of uncertainty. Cambridge:
Polity Press.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery. London: Routledge.
Popper, K. (1963). Conjectures and refutations:
The growth of scientific knowledge. London: Routledge.
Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history.
Cambridge: Cambridge University Press.
Putnam, H. (2002). The collapse of the
fact/value dichotomy. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rescher, N. (1978). Scientific progress: A
philosophical essay on the economics of research in natural science.
Oxford: Blackwell.
Suppe, F. (1974). The structure of scientific
theories. Urbana: University of Illinois Press.
Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Oxford: Clarendon Press.
Zeyl, D. J. (Trans.). (2000). In Plato, Timaeus.
Indianapolis: Hackett Publishing.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar