Jumat, 24 Oktober 2025

Paradigma Ilmiah: Struktur, Perubahan, dan Implikasinya dalam Filsafat Ilmu

Paradigma Ilmiah

Struktur, Perubahan, dan Implikasinya dalam Filsafat Ilmu


Alihkan ke: Filsafat Ilmu.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep paradigma ilmiah sebagai salah satu isu sentral dalam filsafat ilmu, dengan menelaah landasan historis, struktur ontologis, dasar epistemologis, serta dimensi aksiologis dan etisnya. Berangkat dari pemikiran Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962), paradigma ilmiah dipahami sebagai kerangka konseptual yang membimbing komunitas ilmiah dalam menentukan apa yang dianggap sebagai pengetahuan sahih. Pembahasan ini menunjukkan bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif, melainkan melalui revolusi yang disebabkan oleh krisis dan pergeseran paradigma.

Secara ontologis, paradigma ilmiah mengandaikan bahwa realitas ilmiah tidak netral, tetapi dipahami melalui struktur konseptual dan sosial tertentu. Secara epistemologis, paradigma menegaskan bahwa kebenaran ilmiah bersifat kontekstual dan historis, bergantung pada kerangka metodologis dan nilai-nilai komunitas ilmiah. Dari sisi aksiologis, paradigma ilmiah menyingkap keterlibatan nilai dan tanggung jawab moral dalam aktivitas ilmiah, menantang asumsi positivistik tentang ilmu yang bebas nilai.

Relevansi konsep paradigma ilmiah di era kontemporer semakin nyata seiring dengan munculnya revolusi digital, interdisiplinaritas, dan krisis global seperti perubahan iklim dan bioetika. Paradigma kini tidak hanya menjadi kerangka berpikir ilmiah, tetapi juga medan etis dan kultural bagi refleksi manusia tentang dunia dan dirinya. Melalui sintesis filosofisnya, artikel ini menegaskan bahwa paradigma ilmiah bukan sekadar struktur metodologis, melainkan cermin dinamika rasionalitas manusia dalam mencari kebenaran yang kritis, reflektif, dan humanistik.

Kata Kunci: Paradigma ilmiah; filsafat ilmu; Thomas S. Kuhn; epistemologi; ontologi; aksiologi; etika ilmiah; rasionalitas; revolusi ilmiah; ilmu pengetahuan kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep Paradigma dalam Konteks Filsafat Ilmu


1.           Pendahuluan

Dalam filsafat ilmu, konsep paradigma ilmiah merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh dalam memahami dinamika perkembangan pengetahuan manusia. Paradigma tidak hanya berfungsi sebagai kerangka konseptual yang mengarahkan penelitian ilmiah, tetapi juga sebagai sistem nilai dan asumsi dasar yang membentuk cara ilmuwan memandang realitas, menentukan metode yang sahih, serta menilai kebenaran ilmiah. Dengan demikian, paradigma ilmiah berperan sebagai “lensa epistemologis” yang memediasi antara dunia empiris dan teori ilmiah yang dikonstruksi oleh manusia.¹

Perdebatan mengenai bagaimana ilmu berkembang telah lama menjadi isu sentral dalam filsafat ilmu. Sebelum munculnya gagasan paradigma, pandangan umum yang dominan adalah bahwa ilmu berkembang secara kumulatif—yakni melalui penambahan pengetahuan yang semakin mendekati kebenaran objektif. Pandangan ini diwakili oleh tradisi positivisme logis, yang menganggap bahwa ilmu adalah hasil observasi empiris yang bebas nilai dan terverifikasi melalui metode induktif.² Namun, pemikiran Thomas S. Kuhn menantang asumsi tersebut dengan mengajukan pandangan bahwa perkembangan ilmu bersifat revolusioner, bukan linier. Menurut Kuhn, setiap tahap perkembangan ilmu dibingkai oleh paradigma tertentu yang menentukan apa yang dianggap sebagai masalah ilmiah yang sah, metode yang tepat, dan hasil yang valid.³

Paradigma dalam pengertian Kuhn bukan sekadar teori ilmiah, melainkan keseluruhan struktur konseptual dan sosial yang menopang praktik ilmiah dalam suatu komunitas. Ia mencakup cara pandang terhadap dunia (worldview), norma, metode, serta contoh konkret (exemplars) dari pemecahan masalah ilmiah.⁴ Ketika anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma lama menumpuk, terjadilah krisis yang membuka jalan bagi revolusi ilmiah—pergantian paradigma secara menyeluruh.⁵

Isu ini menjadi sangat penting untuk dibahas dalam konteks filsafat ilmu karena menunjukkan bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi fakta objektif, tetapi juga hasil dari konstruksi historis dan sosial yang dinamis. Pemahaman terhadap paradigma ilmiah membuka kesadaran bahwa ilmu bersifat terbuka terhadap revisi, kritik, dan perubahan, serta bahwa kebenaran ilmiah tidak terlepas dari konteks budaya dan komunitas ilmiah yang mendukungnya.⁶ Dengan demikian, pembahasan mengenai paradigma ilmiah menjadi fondasi untuk memahami hakikat ilmu, metodologi, dan etika ilmiah dalam konteks modern yang semakin pluralistik dan interdisipliner.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[2]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–34.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 52–65.

[4]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 29.

[5]                Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–92.

[6]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 15–17.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Paradigma Ilmiah

Konsep paradigma ilmiah berakar dari perdebatan panjang dalam filsafat ilmu mengenai hakikat perkembangan pengetahuan. Istilah “paradigma” sendiri berasal dari bahasa Yunani paradeigma, yang berarti “pola” atau “model.” Dalam konteks klasik, istilah ini digunakan oleh Plato untuk menunjuk pada bentuk ideal yang menjadi dasar bagi segala manifestasi di dunia empiris.¹ Namun, dalam filsafat ilmu modern, istilah ini mengalami pergeseran makna menjadi kerangka konseptual yang mengatur bagaimana ilmu dipraktikkan dan dikembangkan.

Pemaknaan modern terhadap paradigma mencapai bentuk sistematisnya melalui karya monumental Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (1962). Kuhn memperkenalkan gagasan bahwa ilmu tidak berkembang secara linier atau kumulatif, melainkan melalui fase-fase yang ditandai oleh periode stabil (normal science) dan periode krisis yang berujung pada revolusi ilmiah.² Paradigma, menurut Kuhn, merupakan himpunan keyakinan, nilai, dan teknik yang dianut oleh komunitas ilmiah tertentu, yang berfungsi sebagai acuan untuk memecahkan teka-teki ilmiah (puzzle-solving).³

Sebelum Kuhn, gagasan tentang perkembangan ilmu telah dibahas oleh para pemikir seperti Karl Popper, yang menekankan prinsip falsifikasionisme sebagai dasar kemajuan ilmiah. Menurut Popper, ilmu maju melalui proses penolakan terhadap teori yang salah, bukan melalui verifikasi kumulatif.⁴ Meskipun demikian, Kuhn menilai bahwa Popper gagal menjelaskan mengapa komunitas ilmiah sering kali tetap setia pada paradigma lama meskipun dihadapkan pada anomali.⁵ Dengan demikian, teori Kuhn memperluas perspektif epistemologis menjadi historis dan sosiologis, menunjukkan bahwa perkembangan ilmu melibatkan faktor manusiawi dan kontekstual yang kompleks.

Imre Lakatos kemudian mencoba menggabungkan pandangan Kuhn dan Popper melalui konsep research programmes, yakni sistem teori ilmiah yang berkembang melalui modifikasi progresif tanpa kehilangan inti metodologisnya.⁶ Sementara itu, Paul Feyerabend memberikan kritik lebih radikal dengan menyatakan bahwa tidak ada metode ilmiah yang universal; bagi Feyerabend, sejarah ilmu menunjukkan bahwa kemajuan sering terjadi karena pelanggaran terhadap aturan metodologis yang mapan.⁷

Dari segi genealogis, teori paradigma ilmiah juga tidak dapat dilepaskan dari perubahan mendasar dalam pandangan dunia (Weltanschauung) ilmuwan sejak zaman Renaisans hingga modernitas. Revolusi Kopernikan, misalnya, menandai pergeseran paradigma dari kosmologi geosentris ke heliosentris, yang kemudian membuka jalan bagi metode eksperimental Galileo dan mekanika Newton.⁸ Pada abad ke-20, revolusi relativitas dan mekanika kuantum sekali lagi menunjukkan bahwa paradigma lama tidak mampu menampung realitas baru yang ditemukan melalui eksperimen dan teori.⁹

Dengan demikian, sejarah paradigma ilmiah mencerminkan perjalanan panjang filsafat ilmu dalam memahami hakikat kebenaran ilmiah. Ia menyingkap bahwa ilmu tidak sekadar proses logis, melainkan juga praksis historis dan sosial yang melibatkan komunitas, nilai, serta perubahan cara pandang terhadap dunia.¹⁰ Paradigma bukan hanya kerangka metodologis, melainkan juga ekspresi kultural dari dinamika rasionalitas manusia dalam mencari kebenaran.


Footnotes

[1]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 29a–30b.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 6–9.

[3]                Ibid., 10–11.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 33–37.

[5]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 77–78.

[6]                Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–92.

[7]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 15–17.

[8]                Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 45–48.

[9]                Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory (New York: Crown, 1961), 132–135.

[10]             Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 25–27.


3.           Ontologi Paradigma Ilmiah

Ontologi paradigma ilmiah membahas hakikat realitas sebagaimana dipahami, dikonstruksi, dan diinterpretasikan dalam suatu kerangka ilmiah tertentu. Paradigma, dalam pengertian ontologis, bukan hanya kumpulan teori atau metode, tetapi juga representasi mendasar tentang apa yang nyata, bagaimana realitas itu tersusun, serta hubungan antara subjek dan objek pengetahuan.¹ Dengan demikian, setiap paradigma ilmiah membawa asumsi ontologis yang khas—yakni cara tertentu dalam memandang keberadaan (being) dan struktur dunia.

Dalam paradigma realisme klasik, yang berkembang sejak era Newtonian dan Cartesian, realitas dipahami sebagai entitas yang objektif, tetap, dan dapat diukur secara empiris.² Dunia dipandang sebagai mesin raksasa yang tunduk pada hukum sebab-akibat yang deterministik. Ontologi ini menjadi dasar bagi positivisme, yang berkeyakinan bahwa ilmu bertujuan menemukan hukum-hukum alam universal melalui observasi dan eksperimentasi.³ Dalam kerangka ini, subjek ilmuwan dianggap netral, sedangkan objek penelitian bersifat independen dari kesadaran manusia.

Namun, paradigma ini mengalami tantangan besar seiring munculnya revolusi ilmiah abad ke-20. Fisika relativitas Einstein dan mekanika kuantum mengguncang pandangan ontologis klasik dengan menunjukkan bahwa realitas tidak bersifat tetap, melainkan bergantung pada kerangka acuan pengamat.⁴ Dalam mekanika kuantum, misalnya, keberadaan partikel subatomik tidak dapat dipisahkan dari proses pengukuran, yang berarti bahwa subjek dan objek pengetahuan saling berinteraksi dalam menciptakan realitas ilmiah.⁵ Ontologi ilmiah pun beralih dari determinisme menuju probabilisme dan konstruktivisme.

Konstruktivisme menegaskan bahwa apa yang disebut “realitas ilmiah” adalah hasil konstruksi konseptual dan sosial dari komunitas ilmiah.⁶ Dalam pandangan ini, fakta ilmiah bukanlah refleksi langsung dari dunia objektif, melainkan hasil negosiasi makna dalam suatu paradigma. Sejalan dengan ini, Thomas Kuhn menekankan bahwa dunia yang “dilihat” ilmuwan dipengaruhi oleh paradigma yang mereka anut. Pergantian paradigma tidak sekadar mengganti teori, melainkan mengubah dunia yang dapat dipahami oleh komunitas ilmiah tersebut.⁷

Sementara itu, aliran realisme kritis, yang dikembangkan oleh Roy Bhaskar, mencoba menjembatani antara realisme dan konstruktivisme. Bhaskar berargumen bahwa realitas memang ada secara independen dari kesadaran manusia, tetapi pengetahuan tentangnya selalu bersifat mediatif dan historis.⁸ Dengan demikian, paradigma ilmiah tidak menciptakan realitas, melainkan memberikan akses interpretatif terhadapnya. Ontologi ilmiah dalam kerangka ini bersifat stratifikatif: terdapat perbedaan antara dunia empiris (yang dialami), dunia aktual (yang terjadi), dan dunia nyata (struktur kausal yang mendasari keduanya).⁹

Perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan juga mencerminkan transformasi ontologis yang lebih luas: dari pandangan dunia mekanistik menuju pandangan sistemik, dari reduksionisme menuju holisme, dan dari kepastian menuju ketidakpastian.¹⁰ Paradigma ilmiah modern tidak lagi memahami realitas sebagai kumpulan entitas terpisah, melainkan sebagai jaringan relasional yang dinamis. Oleh karena itu, ontologi paradigma ilmiah mengajarkan bahwa setiap ilmu tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga membentuk cara manusia berada di dalam dunia.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 94–95.

[2]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35–36.

[3]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 25–27.

[4]                Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory (New York: Crown, 1961), 130–132.

[5]                Niels Bohr, “Discussion with Einstein on Epistemological Problems in Atomic Physics,” dalam Albert Einstein: Philosopher–Scientist, ed. Paul Arthur Schilpp (Evanston: Open Court, 1949), 210–211.

[6]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 33–36.

[7]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 111–112.

[8]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (Leeds: Leeds Books, 1975), 56–59.

[9]                Ibid., 65–68.

[10]             Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982), 55–58.


4.           Epistemologi Paradigma Ilmiah

Epistemologi paradigma ilmiah berfokus pada cara manusia memperoleh, menafsirkan, dan menjustifikasi pengetahuan dalam kerangka ilmiah tertentu. Dalam filsafat ilmu, epistemologi tidak sekadar menanyakan apa yang diketahui, tetapi juga bagaimana sesuatu dapat diketahui serta apa yang menjamin validitas pengetahuan tersebut. Paradigma ilmiah, sebagaimana dijelaskan oleh Thomas S. Kuhn, menyediakan landasan epistemologis yang mengatur bagaimana komunitas ilmiah memahami dunia, menentukan metode yang sahih, dan menilai kebenaran ilmiah.¹ Dengan demikian, setiap paradigma tidak hanya memuat teori dan metode, tetapi juga sistem kriteria epistemik yang menentukan apa yang disebut “ilmu” dan apa yang dianggap “bukan ilmu.”

Dalam paradigma positivisme klasik, yang berakar pada pemikiran Auguste Comte dan para tokoh Vienna Circle, pengetahuan dianggap valid bila dapat diverifikasi secara empiris melalui observasi dan eksperimentasi.² Ilmu, menurut pandangan ini, merupakan hasil akumulasi fakta yang bebas nilai dan dapat diuji secara objektif.³ Hubungan antara subjek dan objek pengetahuan bersifat terpisah: subjek ilmuwan berfungsi sebagai pengamat netral, sementara objek realitas berdiri sendiri tanpa intervensi nilai atau konteks sosial. Epistemologi ini menekankan prinsip verifikasi, induksi, dan replikasi sebagai syarat utama bagi kebenaran ilmiah.

Akan tetapi, paradigma positivistik mulai dipertanyakan pada abad ke-20. Karl Popper mengajukan kritik tajam terhadap prinsip verifikasi dengan menggantinya melalui konsep falsifikasionisme, yakni bahwa teori ilmiah harus selalu dapat diuji dan berpotensi disangkal.⁴ Menurut Popper, kemajuan ilmu tidak ditentukan oleh konfirmasi empiris, melainkan oleh kemampuan teori untuk bertahan dari upaya falsifikasi.⁵ Meski demikian, pendekatan ini tetap berasumsi bahwa pengetahuan ilmiah bersifat objektif dan rasional secara universal.

Kuhn menantang pandangan tersebut dengan menekankan dimensi historis dan sosial dari epistemologi ilmu. Baginya, pengetahuan ilmiah tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dibentuk oleh komunitas ilmiah yang bekerja dalam paradigma tertentu.⁶ Paradigma menentukan apa yang dapat dianggap sebagai fakta, bagaimana eksperimen dirancang, dan bagaimana hasil penelitian ditafsirkan. Dengan demikian, epistemologi ilmu bersifat paradigm-dependent: apa yang dianggap “benar” atau “rasional” selalu ditentukan oleh konteks paradigma yang berlaku.⁷

Kuhn juga memperkenalkan konsep normal science, yakni aktivitas ilmiah yang berlangsung dalam kerangka paradigma dominan dan bertujuan memecahkan teka-teki ilmiah yang relevan dengan paradigma tersebut.⁸ Namun, ketika anomali ilmiah tidak lagi dapat dijelaskan, maka terjadilah crisis science yang dapat memicu scientific revolution—pergantian paradigma secara menyeluruh.⁹ Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat historis dan tidak sepenuhnya kumulatif; ia bergeser melalui lompatan konseptual yang disebut incommensurability, yaitu ketidakbandingan antara dua paradigma yang berbeda.¹⁰

Dari perspektif epistemologi kontemporer, gagasan Kuhn membuka jalan bagi pluralisme ilmiah, di mana rasionalitas ilmiah tidak lagi tunggal, tetapi jamak.¹¹ Ilmu dipahami sebagai sistem dinamis yang dihasilkan oleh interaksi antara teori, observasi, dan nilai-nilai sosial. Dalam konteks ini, epistemologi paradigma ilmiah menegaskan bahwa objektivitas tidak berarti bebas dari nilai, melainkan keterbukaan terhadap kritik, revisi, dan dialog antarparadigma.¹² Dengan demikian, pengetahuan ilmiah tidak bersifat absolut, melainkan fallibilistik—selalu terbuka untuk dikoreksi dan dikembangkan seiring perubahan paradigma dan pengalaman manusia.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[2]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 22–24.

[3]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–33.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 40–41.

[5]                Ibid., 61–63.

[6]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 52–54.

[7]                Ibid., 111–112.

[8]                Ibid., 23–24.

[9]                Ibid., 66–68.

[10]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 223–225.

[11]             Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–93.

[12]             Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 29–31.


5.           Aksiologi dan Etika Ilmiah

Aksiologi paradigma ilmiah membahas dimensi nilai dan etika yang terkandung dalam kegiatan ilmiah. Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi berupaya menjawab pertanyaan: untuk apa ilmu pengetahuan dikembangkan, nilai apa yang mendasarinya, dan bagaimana tanggung jawab moral ilmuwan terhadap penggunaannya.¹ Dengan demikian, aksiologi tidak dapat dipisahkan dari epistemologi dan ontologi karena cara kita memahami realitas dan memperoleh pengetahuan selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai tertentu, baik eksplisit maupun implisit.

Pada masa positivisme klasik, ilmu dipandang bebas nilai (value-free science).² Auguste Comte dan para positivis logis meyakini bahwa tujuan utama ilmu adalah menjelaskan fenomena melalui hukum-hukum universal tanpa melibatkan pertimbangan moral, politik, atau agama.³ Objektivitas dianggap sebagai nilai tertinggi yang menjamin netralitas ilmiah. Namun, pandangan ini dikritik oleh banyak filsuf setelah abad ke-20, karena mengabaikan fakta bahwa proses ilmiah selalu terjadi dalam konteks sosial, politik, dan budaya tertentu.⁴

Thomas S. Kuhn menunjukkan bahwa paradigma ilmiah tidak hanya mencakup teori dan metode, tetapi juga norma, nilai, dan komitmen bersama dalam komunitas ilmiah.⁵ Nilai-nilai seperti konsistensi, kesederhanaan, keluasan penjelasan, dan daya prediktif berperan dalam menentukan apakah sebuah teori diterima atau ditolak.⁶ Artinya, pilihan ilmiah tidak semata-mata didasarkan pada logika empiris, tetapi juga pada pertimbangan aksiologis dan estetis tertentu yang bersifat intersubjektif. Dalam pengertian ini, ilmu bukanlah aktivitas netral, melainkan praksis manusia yang sarat dengan nilai-nilai budaya.⁷

Lebih jauh, aksiologi ilmu menyentuh persoalan tanggung jawab etis ilmuwan terhadap implikasi sosial penemuan ilmiah. Perkembangan teknologi nuklir, rekayasa genetika, kecerdasan buatan, dan eksploitasi sumber daya alam menunjukkan bahwa ilmu dapat membawa manfaat sekaligus ancaman bagi kehidupan manusia.⁸ Oleh karena itu, etika ilmiah menjadi landasan moral yang mengatur bagaimana pengetahuan digunakan dan dikembangkan. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menegaskan perlunya etika baru yang berorientasi pada masa depan dan keberlanjutan umat manusia (future-oriented ethics).⁹

Dalam paradigma kontemporer, muncul kesadaran bahwa ilmu harus diarahkan tidak hanya untuk kebenaran, tetapi juga untuk kebaikan dan keadilan.¹⁰ Fritjof Capra dan para pemikir ekologi sistem menekankan bahwa ilmu perlu kembali ke prinsip keseimbangan dan harmoni antara manusia dan alam.¹¹ Sementara itu, filsuf feminis seperti Sandra Harding menyoroti pentingnya “strong objectivity,” yakni objektivitas yang dihasilkan dari refleksi kritis terhadap posisi sosial dan bias gender dalam praktik ilmiah.¹²

Dengan demikian, paradigma ilmiah tidak dapat dilepaskan dari dimensi aksiologis dan etisnya. Ilmu yang bertanggung jawab bukanlah yang mengejar kebenaran secara buta, tetapi yang mengintegrasikan dimensi moral, sosial, dan ekologis dalam setiap tahap penelitiannya. Aksiologi dan etika ilmiah, dalam konteks ini, bukanlah pembatas ilmu, melainkan penuntun bagi kemanusiaan agar pengetahuan tidak menjauh dari tujuan utamanya: meningkatkan martabat, kebebasan, dan keberlanjutan kehidupan manusia di dunia.¹³


Footnotes

[1]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy (New York: Ronald Press, 1953), 312–314.

[2]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 25–27.

[3]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 42–43.

[4]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 5–7.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 108–110.

[6]                Ibid., 185–187.

[7]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 30–31.

[8]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 9–10.

[9]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–12.

[10]             Nicholas Rescher, Scientific Progress: A Philosophical Essay on the Economics of Research in Natural Science (Oxford: Blackwell, 1978), 98–99.

[11]             Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982), 205–206.

[12]             Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 138–140.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 28–29.


6.           Kritik terhadap Konsep Paradigma Ilmiah

Konsep paradigma ilmiah yang diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh sekaligus paling kontroversial dalam filsafat ilmu. Meskipun gagasan ini berhasil mengguncang fondasi positivisme dan mengubah cara pandang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak filsuf kemudian mengajukan kritik terhadap ambiguitas, relativisme, dan implikasi epistemologis yang muncul dari teori paradigma.¹

6.1.       Kritik terhadap Relativisme Epistemologis

Salah satu kritik utama terhadap Kuhn datang dari Karl Popper, yang menolak pandangan bahwa ilmu berkembang melalui revolusi yang tidak dapat dibandingkan secara rasional. Popper berpendapat bahwa teori Kuhn berpotensi menjerumuskan filsafat ilmu ke dalam relativisme epistemologis, di mana kriteria kebenaran bergantung pada paradigma yang berlaku, bukan pada rasionalitas universal.² Menurut Popper, ilmu tidak bergerak melalui “pergantian dunia konseptual” seperti yang dijelaskan Kuhn, tetapi melalui proses conjecture and refutation—hipotesis diajukan dan diuji secara kritis berdasarkan bukti empiris.³ Dengan demikian, bagi Popper, rasionalitas ilmiah bersifat lintas-paradigma, karena falsifikasi memungkinkan dialog kritis antara teori yang berbeda.

6.2.       Kritik terhadap Ketidakbandingan (Incommensurability)

Kuhn menegaskan bahwa paradigma yang berbeda bersifat incommensurable—tidak dapat dibandingkan karena menggunakan bahasa, metode, dan kriteria kebenaran yang berbeda.⁴ Namun, kritik tajam muncul dari Imre Lakatos, yang menilai bahwa konsep ini terlalu ekstrem. Lakatos berargumen bahwa meskipun paradigma berbeda, tetap ada dasar rasional yang memungkinkan perbandingan metodologis antarprogram penelitian.⁵ Dalam kerangka research programmes, ilmu tidak berkembang melalui revolusi total, tetapi melalui proses modifikasi bertahap, di mana teori lama dapat direvisi tanpa sepenuhnya ditinggalkan.⁶ Dengan cara ini, Lakatos mencoba menyelamatkan rasionalitas ilmiah dari relativisme Kuhnian.

Selain itu, Paul Feyerabend—meskipun terinspirasi oleh Kuhn—melontarkan kritik radikal bahwa bahkan teori Kuhn masih terlalu “tertib.” Dalam Against Method, Feyerabend menolak ide bahwa ada satu cara ilmiah yang sah, karena sejarah sains menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap aturan metodologis sering kali justru menghasilkan kemajuan.⁷ Ia menegaskan prinsip “anything goes” sebagai refleksi atas pluralisme dan kebebasan metodologis dalam ilmu pengetahuan.⁸

6.3.       Kritik terhadap Aspek Sosiologis dan Psikologis Paradigma

Kritikus lain menyoroti dimensi sosiologis paradigma ilmiah. Kuhn dianggap terlalu menekankan faktor sosial dan psikologis dalam menentukan perubahan paradigma, sehingga mengaburkan peran rasionalitas dan bukti empiris.⁹ Beberapa pemikir, seperti Larry Laudan, menilai bahwa pergeseran paradigma tidak harus dipahami sebagai revolusi sosial, tetapi dapat dianalisis melalui konsep research traditions yang menggabungkan aspek rasional dan historis.¹⁰ Dengan demikian, perubahan ilmiah dapat dijelaskan tanpa mengorbankan objektivitas epistemologis.

Selain itu, pendekatan Kuhn juga dianggap menimbulkan kesulitan dalam memahami peran bukti ilmiah dalam konflik paradigma. Jika setiap paradigma memiliki kriterianya sendiri, bagaimana mungkin ilmuwan dapat menilai paradigma lain secara kritis?¹¹ Pertanyaan ini menimbulkan dilema epistemologis antara rasionalitas dan relativisme yang belum sepenuhnya terpecahkan dalam kerangka Kuhnian.

6.4.       Kritik terhadap Implikasi Historis dan Relevansi Kontemporer

Secara historis, beberapa peneliti menganggap bahwa model “revolusi ilmiah” Kuhn terlalu menyederhanakan kompleksitas perkembangan ilmu.¹² Perubahan ilmiah sering kali tidak bersifat revolusioner, melainkan gradual dan interdisipliner. Dalam konteks ilmu kontemporer—seperti ekologi sistem, ilmu komputer, dan bioteknologi—perubahan paradigma tidak selalu menggantikan yang lama, tetapi cenderung berkoeksistensi dalam bentuk pluralisme paradigma.¹³

Lebih jauh, dalam era open science dan kolaborasi global, konsep Kuhn dianggap kurang mampu menjelaskan dinamika pengetahuan di luar komunitas ilmiah tertutup.¹⁴ Paradigma kini bukan hanya milik ilmuwan, tetapi juga dipengaruhi oleh politik, ekonomi, dan budaya digital. Dengan demikian, meskipun teori Kuhn tetap relevan secara historis, banyak filsuf kontemporer menilai perlunya reinterpretasi paradigma ilmiah agar selaras dengan epistemologi sains abad ke-21.¹⁵


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), ix–xii.

[2]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33–34.

[3]                Ibid., 47–49.

[4]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 111–113.

[5]                Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–92.

[6]                Ibid., 96–97.

[7]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 17–18.

[8]                Ibid., 23–24.

[9]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 65–67.

[10]             Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 59–60.

[11]             Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 79–80.

[12]             Margaret Masterman, “The Nature of a Paradigm,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 61–65.

[13]             Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–46.

[14]             Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers Through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 122–124.

[15]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 15–16.


7.           Relevansi Paradigma Ilmiah dalam Konteks Kontemporer

Konsep paradigma ilmiah yang diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn pada pertengahan abad ke-20 tetap memiliki relevansi mendalam dalam memahami dinamika ilmu pengetahuan kontemporer. Dalam era globalisasi, digitalisasi, dan kompleksitas multidisipliner, paradigma ilmiah tidak hanya menjadi kerangka epistemologis, tetapi juga alat reflektif untuk menilai bagaimana ilmu beradaptasi terhadap perubahan sosial, teknologi, dan budaya.¹ Paradigma kini tidak lagi dipahami sebagai sistem tertutup milik komunitas ilmiah tertentu, melainkan sebagai jaringan pengetahuan terbuka yang terus berinteraksi dengan konteks global dan nilai-nilai kemanusiaan.

7.1.       Perubahan Paradigma dalam Era Digital dan Teknologi

Kemunculan revolusi digital dan kecerdasan buatan (AI) telah menggeser paradigma klasik tentang ilmu dan rasionalitas. Dalam paradigma sains modern, pengetahuan ilmiah dibangun melalui observasi dan eksperimen langsung; namun kini, data besar (big data) dan simulasi komputer menjadi sumber utama pembentukan teori.² Perubahan ini menandai pergeseran dari paradigma empiris menuju paradigma komputasional dan algoritmik, di mana pengetahuan tidak hanya ditemukan, tetapi juga “diciptakan” melalui pemodelan matematis dan pembelajaran mesin.³

Kondisi ini menghadirkan pertanyaan baru tentang epistemologi dan etika ilmu. Jika kebenaran ilmiah ditentukan oleh algoritma dan kecerdasan buatan, siapakah yang memiliki otoritas epistemik? Kuhn menekankan bahwa kebenaran ilmiah bergantung pada konsensus komunitas ilmiah, tetapi di era digital, konsensus ini mulai dipengaruhi oleh sistem otomatis, data bias, dan logika korporasi teknologi.⁴ Oleh karena itu, paradigma ilmiah kontemporer harus memperluas cakupannya untuk memasukkan dimensi teknologi dan politik pengetahuan.⁵

7.2.       Paradigma Interdisipliner dan Kompleksitas Pengetahuan

Salah satu implikasi paling penting dari teori Kuhn adalah kesadarannya terhadap pluralitas paradigma. Dalam ilmu kontemporer, pluralitas ini semakin nyata melalui pendekatan interdisipliner dan transdisipliner. Ilmu lingkungan, bioetika, ilmu komputer, ekonomi perilaku, dan studi budaya kini saling beririsan, menciptakan bentuk pengetahuan yang tidak lagi tunduk pada batas-batas paradigma tunggal.⁶ Hal ini sejalan dengan pandangan Edgar Morin tentang “pensée complexe” — pemikiran kompleks yang menolak reduksionisme dan menekankan keterkaitan antara bagian dan keseluruhan.⁷

Paradigma ilmiah kini bergerak menuju integrasi epistemologis, di mana kebenaran tidak dicapai melalui keseragaman metodologis, tetapi melalui dialog antara berbagai perspektif. Dengan demikian, paradigma ilmiah dalam konteks kontemporer menuntut sikap epistemik yang terbuka, reflektif, dan kolaboratif.⁸

7.3.       Pergeseran Paradigma dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Dalam ilmu sosial dan humaniora, teori paradigma telah membantu mengungkap bagaimana ilmu dipengaruhi oleh kekuasaan, ideologi, dan konteks budaya. Michel Foucault, misalnya, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan selalu berhubungan dengan struktur kekuasaan (power/ knowledge).⁹ Paradigma tidak netral, melainkan terlibat dalam pembentukan norma sosial dan struktur pengetahuan. Dalam konteks ini, teori Kuhn berkontribusi pada munculnya kritik terhadap “objektivitas” sains modern yang sering menyembunyikan bias ideologis dan kolonial.¹⁰

Gerakan postnormal science, seperti yang dikemukakan oleh Silvio Funtowicz dan Jerome Ravetz, memperluas gagasan Kuhn dengan menekankan bahwa sains modern kini berhadapan dengan ketidakpastian tinggi, nilai-nilai yang dipertaruhkan, dan urgensi keputusan publik.¹¹ Dengan demikian, paradigma ilmiah masa kini harus mencakup dimensi etika, politik, dan partisipasi sosial dalam proses pengetahuan.

7.4.       Paradigma Ilmiah dan Krisis Global

Dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, pandemi, dan krisis ekologi, paradigma ilmiah berperan penting sebagai kerangka interpretatif dan normatif. Krisis-krisis ini menunjukkan bahwa model sains reduksionis dan mekanistik tidak lagi memadai.¹² Paradigma baru yang menekankan ekosistem, keberlanjutan, dan keadilan planet kini sedang muncul.¹³ Kuhn menyebut bahwa revolusi ilmiah terjadi ketika paradigma lama gagal menjawab masalah baru—dan situasi ekologis global saat ini merupakan contoh konkret dari kondisi semacam itu.¹⁴

Ilmu kontemporer dituntut untuk mengembangkan paradigma yang lebih holistik dan humanistik, di mana kebenaran ilmiah tidak dipisahkan dari tanggung jawab moral terhadap kehidupan.¹⁵ Dengan demikian, teori paradigma tetap relevan karena memberikan kerangka konseptual untuk memahami transformasi ilmu pengetahuan dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.

7.5.       Menuju Paradigma Ilmiah yang Terbuka dan Humanistik

Relevansi paradigma ilmiah di era kontemporer terletak pada kemampuannya untuk memadukan antara rasionalitas dan refleksivitas. Paradigma kini bukan hanya sistem pengetahuan, tetapi juga praktik sosial yang melibatkan nilai, keadilan, dan keberlanjutan.¹⁶ Ilmu tidak lagi dilihat sebagai pencarian kebenaran semata, melainkan sebagai proses kolaboratif untuk menciptakan dunia yang lebih manusiawi.

Dengan demikian, warisan pemikiran Kuhn tetap signifikan bukan karena ia memberikan jawaban final, tetapi karena membuka ruang bagi filsafat ilmu yang lebih dialogis, plural, dan etis—sebuah paradigma baru tentang ilmu yang senantiasa terbuka terhadap koreksi, kompleksitas, dan kemanusiaan.¹⁷


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–168.

[2]                Sabina Leonelli, Data-Centric Biology: A Philosophical Study (Chicago: University of Chicago Press, 2016), 12–14.

[3]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 32–33.

[4]                Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention: Technology and the Human Future (New York: W.W. Norton, 2016), 25–27.

[5]                Steve Fuller, Kuhn vs. Popper: The Struggle for the Soul of Science (Cambridge: Icon Books, 2003), 191–192.

[6]                Basarab Nicolescu, Manifesto of Transdisciplinarity, trans. Karen-Claire Voss (Albany: SUNY Press, 2002), 41–42.

[7]                Edgar Morin, La Méthode: La Nature de la Nature (Paris: Seuil, 1977), 27–29.

[8]                Helga Nowotny, Peter Scott, dan Michael Gibbons, Re-Thinking Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge: Polity Press, 2001), 55–57.

[9]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 198–199.

[10]             Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 12–13.

[11]             Silvio O. Funtowicz dan Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.

[12]             Fritjof Capra, The Hidden Connections: Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life into a Science of Sustainability (New York: Doubleday, 2002), 45–46.

[13]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 92–94.

[14]             Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 92–94.

[15]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 36–38.

[16]             Helga Nowotny, The Cunning of Uncertainty (Cambridge: Polity Press, 2015), 112–113.

[17]             Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 220–222.


8.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis dari gagasan paradigma ilmiah berupaya mengintegrasikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Paradigma bukan hanya sistem pengetahuan, melainkan juga struktur makna yang menghubungkan manusia dengan dunia, rasionalitas dengan nilai, serta fakta dengan makna eksistensial.¹ Dengan demikian, paradigma ilmiah dapat dipahami sebagai medan dialektis tempat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan moralitas saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan dinamis.

8.1.       Integrasi Ontologis: Realitas sebagai Struktur Relasional

Secara ontologis, paradigma ilmiah menolak pemahaman realitas sebagai entitas statis dan tertutup. Dalam tradisi modern, realitas dipandang sebagai sistem mekanistik yang tunduk pada hukum sebab-akibat; namun paradigma kontemporer mengajarkan bahwa realitas bersifat relasional, dinamis, dan berlapis.² Perspektif ini sejalan dengan ontologi sistem terbuka yang dikemukakan oleh Roy Bhaskar, di mana dunia terdiri dari struktur kausal yang saling berinteraksi pada berbagai tingkatan keberadaan.³ Dengan kata lain, paradigma ilmiah membentuk cara manusia mengalami dunia: bukan sekadar mengamati, tetapi turut membangun dunia melalui kerangka konseptual dan praksis ilmiahnya.

Sintesis ini menegaskan bahwa realitas ilmiah bersifat co-constituted—dibentuk secara timbal balik antara subjek dan objek. Pemahaman ini mengatasi dikotomi klasik antara realisme dan konstruktivisme dengan menempatkan realitas sebagai proses dialogis antara manusia dan alam.⁴

8.2.       Integrasi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Proses Historis dan Dialogis

Dari segi epistemologi, paradigma ilmiah menolak klaim absolutisme rasional sekaligus relativisme radikal. Pengetahuan ilmiah tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, historis, dan budaya, namun tetap tunduk pada prinsip rasionalitas yang bersifat terbuka dan komunikatif.⁵ Epistemologi ini bersandar pada prinsip fallibilisme—bahwa setiap klaim kebenaran bersifat sementara dan dapat direvisi melalui dialog antarparadigma.

Jürgen Habermas menawarkan konsep rasionalitas komunikatif sebagai bentuk rasionalitas pasca-Kuhnian, di mana kebenaran ilmiah diperoleh melalui konsensus argumentatif yang rasional, bukan sekadar kesepakatan komunitas tertutup.⁶ Dengan demikian, epistemologi paradigma ilmiah yang disintesiskan bersifat reflektif dan intersubjektif, menempatkan ilmu dalam horizon komunikasi antara manusia dan realitas.

8.3.       Integrasi Aksiologis: Ilmu sebagai Praksis Etis dan Humanistik

Secara aksiologis, paradigma ilmiah menuntut tanggung jawab moral terhadap dampak sosial dan ekologis dari kegiatan ilmiah. Paradigma bukan hanya menentukan cara berpikir, tetapi juga cara bertindak. Filsafat Hans Jonas menekankan imperatif tanggung jawab sebagai dasar etika ilmu dalam menghadapi ancaman teknologi modern: tindakan ilmiah harus selalu mempertimbangkan kelestarian kehidupan.⁷

Dalam kerangka ini, paradigma ilmiah tidak lagi dipandang netral, melainkan sarat nilai—ia membawa visi tertentu tentang kebaikan, kemajuan, dan kemanusiaan.⁸ Fritjof Capra menegaskan bahwa ilmu masa kini membutuhkan paradigma ekologis, di mana keberlanjutan dan keseimbangan menjadi nilai utama.⁹ Maka, sintesis aksiologis menempatkan paradigma ilmiah sebagai sarana menuju kebijaksanaan (sapientia), bukan sekadar pengetahuan (scientia).

8.4.       Menuju Filsafat Ilmu yang Transformatif

Sintesis filosofis dari paradigma ilmiah membuka kemungkinan bagi lahirnya filsafat ilmu yang transformatif: suatu filsafat yang tidak berhenti pada analisis metodologis, tetapi juga berperan aktif dalam menata kembali relasi manusia, pengetahuan, dan dunia.¹⁰ Paradigma ilmiah, dalam pengertian ini, menjadi medan refleksi bagi kesadaran ilmiah modern agar lebih kritis, inklusif, dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, sintesis paradigma ilmiah menegaskan bahwa ilmu bukanlah sekadar akumulasi teori, melainkan gerak reflektif manusia dalam memahami dan mengubah dunia. Ia adalah ruang perjumpaan antara rasionalitas dan nilai, antara fakta dan makna, antara sains dan filsafat.¹¹ Paradigma ilmiah, pada akhirnya, menjadi simbol dari kemampuan manusia untuk berpikir secara terbuka, mengakui keterbatasannya, dan sekaligus terus memperjuangkan kebenaran yang memanusiakan.¹²


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 208–210.

[2]                Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982), 41–43.

[3]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (Leeds: Leeds Books, 1975), 65–68.

[4]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 33–34.

[5]                Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 110–112.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 28–30.

[8]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–60.

[9]                Fritjof Capra, The Hidden Connections: Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life into a Science of Sustainability (New York: Doubleday, 2002), 96–98.

[10]             Basarab Nicolescu, Manifesto of Transdisciplinarity, trans. Karen-Claire Voss (Albany: SUNY Press, 2002), 53–55.

[11]             Edgar Morin, La Méthode: La Nature de la Nature (Paris: Seuil, 1977), 121–123.

[12]             Helga Nowotny, The Cunning of Uncertainty (Cambridge: Polity Press, 2015), 154–156.


9.           Kesimpulan

Konsep paradigma ilmiah yang diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn telah merevolusi cara kita memahami perkembangan ilmu pengetahuan. Paradigma bukan sekadar teori ilmiah, melainkan keseluruhan struktur konseptual, metodologis, dan nilai-nilai yang menopang praktik ilmiah dalam komunitas tertentu.¹ Dengan demikian, ilmu tidak lagi dipandang sebagai akumulasi linear dari fakta objektif, melainkan sebagai proses historis dan sosial yang diwarnai oleh perubahan perspektif, krisis, dan revolusi konseptual.²

Dari sudut ontologis, paradigma ilmiah menunjukkan bahwa realitas ilmiah bukanlah entitas yang berdiri sendiri dan bebas dari interpretasi manusia. Realitas dipahami melalui kerangka konseptual tertentu yang memediasi hubungan antara subjek dan objek pengetahuan.³ Dengan kata lain, dunia ilmiah yang “dilihat” manusia senantiasa ditentukan oleh paradigma yang berlaku—setiap revolusi ilmiah mengubah bukan hanya teori, tetapi juga dunia yang dipahami oleh ilmuwan.⁴

Secara epistemologis, paradigma ilmiah menegaskan bahwa kebenaran ilmiah bersifat paradigm-dependent. Kriteria rasionalitas, metode, dan validitas ilmiah tidak bersifat universal, melainkan bergantung pada konteks paradigma yang dominan.⁵ Namun demikian, hal ini tidak berarti jatuh ke dalam relativisme total. Kuhn membuka ruang bagi pemahaman rasionalitas yang bersifat historis dan komunikatif, di mana ilmu berkembang melalui dinamika komunitas yang terbuka terhadap kritik dan revisi.⁶

Dari sisi aksiologis, paradigma ilmiah menyingkap bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Setiap aktivitas ilmiah membawa konsekuensi moral dan sosial, baik terhadap manusia maupun alam.⁷ Ilmu yang bertanggung jawab harus mempertimbangkan tujuan etis dari penggunaannya serta dampaknya terhadap keberlanjutan kehidupan. Dalam konteks ini, etika ilmiah sebagaimana dikemukakan Hans Jonas menjadi relevan: ilmu bukan hanya sarana untuk menguasai alam, tetapi juga panggilan untuk melindunginya.⁸

Dalam konteks kontemporer, paradigma ilmiah tetap memiliki relevansi yang tinggi. Era digital, bioteknologi, dan kecerdasan buatan menuntut refleksi epistemologis baru mengenai bagaimana pengetahuan diproduksi dan divalidasi.⁹ Paradigma ilmiah juga mendorong kita untuk melihat ilmu sebagai praktik kolaboratif lintas disiplin yang mengintegrasikan aspek teknis, sosial, dan moral.¹⁰ Dengan demikian, paradigma tidak lagi dipahami sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai jaringan pengetahuan yang bersifat dinamis dan terbuka terhadap koreksi.

Secara filosofis, paradigma ilmiah menawarkan pelajaran penting: bahwa ilmu tidak hanya tentang menemukan kebenaran, tetapi juga tentang memahami keterbatasan manusia dalam menafsirkan realitas.¹¹ Paradigma ilmiah mengajarkan sikap epistemik yang rendah hati (epistemic humility), kritis, dan reflektif—suatu sikap yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.

Oleh karena itu, sintesis dari seluruh pembahasan ini menegaskan bahwa paradigma ilmiah adalah jantung dari filsafat ilmu modern: ia menyatukan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam satu kerangka reflektif yang dinamis.¹² Ilmu, dalam pengertian yang sejati, bukan sekadar sistem pengetahuan, melainkan upaya manusia untuk memahami dan memaknai dunia secara bertanggung jawab.¹³ Paradigma ilmiah mengajak kita untuk tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi bergerak menuju kebijaksanaan—suatu bentuk pengetahuan yang sadar akan batasnya, terbuka terhadap perbedaan, dan berorientasi pada kemanusiaan.¹⁴


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[2]                Ibid., 92–94.

[3]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 33–34.

[4]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 111–112.

[5]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–46.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[7]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–60.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 28–30.

[9]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 42–44.

[10]             Helga Nowotny, Peter Scott, dan Michael Gibbons, Re-Thinking Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge: Polity Press, 2001), 55–57.

[11]             Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (Leeds: Leeds Books, 1975), 65–67.

[12]             Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture (New York: Simon & Schuster, 1982), 51–52.

[13]             Edgar Morin, La Méthode: La Nature de la Nature (Paris: Seuil, 1977), 121–123.

[14]             Helga Nowotny, The Cunning of Uncertainty (Cambridge: Polity Press, 2015), 154–156.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality. New York: Anchor Books.

Bhaskar, R. (1975). A realist theory of science. Leeds: Leeds Books.

Bohr, N. (1949). Discussion with Einstein on epistemological problems in atomic physics. In P. A. Schilpp (Ed.), Albert Einstein: Philosopher–scientist (pp. 210–211). Evanston: Open Court.

Capra, F. (1982). The turning point: Science, society, and the rising culture. New York: Simon & Schuster.

Capra, F. (2002). The hidden connections: Integrating the biological, cognitive, and social dimensions of life into a science of sustainability. New York: Doubleday.

Comte, A. (1896). The positive philosophy (H. Martineau, Trans.). London: George Bell & Sons.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Einstein, A. (1961). Relativity: The special and the general theory. New York: Crown.

Feyerabend, P. (1975). Against method. London: Verso.

Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). New York: Pantheon Books.

Fuller, S. (2000). Thomas Kuhn: A philosophical history for our times. Chicago: University of Chicago Press.

Fuller, S. (2003). Kuhn vs. Popper: The struggle for the soul of science. Cambridge: Icon Books.

Funtowicz, S. O., & Ravetz, J. R. (1993). Science for the post-normal age. Futures, 25(7), 739–755.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening. Cambridge: Cambridge University Press.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago: University of Chicago Press.

Jasanoff, S. (2016). The ethics of invention: Technology and the human future. New York: W. W. Norton.

Kattsoff, L. O. (1953). Elements of philosophy. New York: Ronald Press.

Koyré, A. (1957). From the closed world to the infinite universe. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1970). Falsification and the methodology of scientific research programmes. In I. Lakatos & A. Musgrave (Eds.), Criticism and the growth of knowledge (pp. 91–97). Cambridge: Cambridge University Press.

Laudan, L. (1977). Progress and its problems: Toward a theory of scientific growth. Berkeley: University of California Press.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime. Cambridge: Polity Press.

Leonelli, S. (2016). Data-centric biology: A philosophical study. Chicago: University of Chicago Press.

Masterman, M. (1970). The nature of a paradigm. In I. Lakatos & A. Musgrave (Eds.), Criticism and the growth of knowledge (pp. 61–65). Cambridge: Cambridge University Press.

Morin, E. (1977). La méthode: La nature de la nature. Paris: Seuil.

Nicolescu, B. (2002). Manifesto of transdisciplinarity (K.-C. Voss, Trans.). Albany: SUNY Press.

Nowotny, H. (2015). The cunning of uncertainty. Cambridge: Polity Press.

Nowotny, H., Scott, P., & Gibbons, M. (2001). Re-thinking science: Knowledge and the public in an age of uncertainty. Cambridge: Polity Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Popper, K. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. London: Routledge.

Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history. Cambridge: Cambridge University Press.

Putnam, H. (2002). The collapse of the fact/value dichotomy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rescher, N. (1978). Scientific progress: A philosophical essay on the economics of research in natural science. Oxford: Blackwell.

Suppe, F. (1974). The structure of scientific theories. Urbana: University of Illinois Press.

Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Oxford: Clarendon Press.

Zeyl, D. J. (Trans.). (2000). In Plato, Timaeus. Indianapolis: Hackett Publishing.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar