Teori Gerak Substansial
Kajian atas Pemikiran Mulla Shadra: Al-Harakah
Al-Jawhariyyah
Abstrak
Artikel ini membahas teori gerak substansial
(al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang dikembangkan oleh Mulla Shadra, salah
satu filsuf terbesar dalam tradisi filsafat Islam. Melalui pendekatan analitis
dan historis, kajian ini mengurai konteks kelahiran teori tersebut sebagai
respon terhadap pandangan filsuf peripatetik seperti Aristoteles dan Ibn Sina
yang menolak kemungkinan perubahan bertahap dalam substansi. Dengan mendasarkan
pemikirannya pada prinsip asalat al-wujūd (primordialitas eksistensi)
dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), Mulla Shadra menawarkan suatu
pemahaman baru tentang wujud sebagai realitas yang dinamis dan senantiasa
mengalami transformasi ontologis. Artikel ini juga menelusuri implikasi dari
teori ini dalam aspek kosmologi, antropologi filosofis, spiritualitas, serta
relevansinya dengan pemikiran filsafat modern, seperti filsafat proses dan
teori evolusi. Teori ini diposisikan sebagai sintesis unggul antara
rasionalisme, intuisi spiritual, dan warisan teologis Islam yang menjawab
kebutuhan pemikiran metafisik secara komprehensif.
Kata Kunci: Mulla Shadra, gerak substansial, filsafat Islam,
al-ḥarakah al-jawhariyyah, ontologi, tashkīk al-wujūd, eksistensi, transformasi
metafisik.
PEMBAHASAN
Membongkar Hakikat Gerak Substansial dalam Filsafat
Islam
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam
merupakan salah satu bidang pemikiran yang sangat kaya dengan eksplorasi
metafisika, kosmologi, dan ontologi. Di antara tema penting dalam filsafat
Islam adalah konsep gerak (ḥarakah), yang telah menjadi bahan perdebatan sejak
masa para filsuf klasik seperti Aristoteles hingga para filsuf Muslim besar
seperti Ibn Sina dan al-Farabi. Konsep gerak tidak hanya berkaitan dengan perubahan
fisik semata, tetapi juga menyentuh dimensi ontologis tentang bagaimana sesuatu
mengalami transformasi dari satu keadaan menuju keadaan yang lain dalam rangka
menuju kesempurnaan atau aktualisasi wujud.
Dalam tradisi
filsafat Islam, gerak umumnya dipahami sebagai perubahan yang terjadi pada
aksiden, bukan pada substansi. Ini sejalan dengan pemahaman Aristotelian yang
menganggap bahwa substansi bersifat tetap dan hanya aksidenlah yang berubah
seiring waktu. Namun, teori ini kemudian mengalami pembaruan mendalam ketika
Mulla Shadra (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī), seorang filsuf Persia terkemuka abad
ke-17, memperkenalkan teori gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah)
sebagai bagian dari sintesis besar dalam sistem filsafatnya yang dikenal
sebagai al-ḥikmah
al-muta‘āliyah atau "filsafat transenden".¹
Menurut Mulla
Shadra, gerak tidak hanya terjadi pada tataran aksiden (seperti kualitas,
kuantitas, atau posisi), tetapi juga menyentuh substansi itu sendiri. Dalam
pandangannya, seluruh wujud di alam semesta ini berada dalam keadaan menjadi (ṣayrūrah)
secara terus-menerus—bergerak dari potensialitas menuju aktualitas dalam
lintasan wujud yang dinamis.² Ini berarti bahwa alam semesta bukanlah realitas
statis, melainkan realitas yang terus berubah secara mendasar dalam inti
substansinya. Teori ini sekaligus menjadi kritik terhadap pandangan peripatetik
(mashā’ī) yang menolak kemungkinan perubahan substansial secara gradual dan
berkesinambungan.³
Pengembangan teori
gerak substansial oleh Mulla Shadra tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep
kunci dalam filsafatnya, seperti tashkīk al-wujūd (gradasi
eksistensi), asalat al-wujūd (primordialitas
eksistensi), dan ittihad al-‘āqil wa al-ma‘qūl
(kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan).⁴ Melalui pendekatan ini, Mulla Shadra
memberikan fondasi baru dalam memahami hubungan antara perubahan kosmis, jiwa
manusia, dan realitas transenden.
Studi ini bertujuan
untuk membongkar hakikat teori gerak substansial dalam filsafat Mulla Shadra
secara sistematis, dengan menelaah dasar-dasar pemikirannya, landasan
argumentatifnya, serta implikasi filosofis yang ditimbulkannya dalam kerangka
filsafat Islam. Selain itu, pembahasan ini juga akan membandingkan posisi
teoritis ini dengan pandangan para filsuf terdahulu serta mengevaluasi relevansinya
dengan perkembangan pemikiran modern.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. dan trans. Muhammad
Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 63–65.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 115–116.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 144–147.
[4]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 56–58.
2.
Konteks
Historis dan Filsafat
2.1.
Gerak dalam Filsafat Klasik (Yunani dan Islam
Awal)
Gagasan tentang
gerak merupakan tema sentral dalam filsafat klasik, terutama dalam sistem
filsafat Aristoteles. Dalam Physics, Aristoteles mendefinisikan
gerak sebagai “the actuality of the potential as such”—yakni, perwujudan
dari potensi yang ada dalam suatu entitas menuju keadaan aktual.¹ Gerak,
menurutnya, merupakan proses perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain, dan
hanya terjadi pada aksiden seperti tempat, bentuk, jumlah, dan kualitas.
Sementara substansi, sebagai esensi dari suatu entitas, dianggap tetap dan
tidak mengalami gerak secara esensial.²
Pandangan
Aristoteles ini sangat berpengaruh dalam pemikiran filsuf Muslim awal seperti
al-Farabi dan Ibn Sina (Avicenna). Mereka menerima distingsi antara substansi
dan aksiden serta menolak kemungkinan adanya gerak dalam substansi itu sendiri.
Ibn Sina, misalnya, menyatakan bahwa substansi hanya mengalami perubahan ketika
berganti jenis atau spesies melalui generasi dan korupsi (al-kawn
wa al-fasād), bukan melalui gerak bertahap sebagaimana yang terjadi
dalam aksiden.³
Lebih jauh, sistem
kosmologi Ibn Sina didasarkan pada struktur hierarkis wujud dengan konsep al-‘aql
al-awwal (akal pertama) dan gerak langit sebagai penggerak utama
realitas dunia bawah. Gerak dalam dunia materi dipahami sebagai hasil dari
pancaran (fayḍ)
dari akal-akal aktif, yang kemudian menyebabkan perubahan pada dunia sublunar.
Dalam kerangka ini, realitas tetap statis dalam tingkat substansi dan dinamis
hanya dalam aspek aksidennya.⁴
2.2.
Kritik dan Pembaruan oleh Mulla Shadra
Pemikiran para
filsuf peripatetik seperti Ibn Sina, meskipun sangat berpengaruh, tidak
memuaskan bagi sebagian pemikir kemudian, terutama mereka yang terpengaruh oleh
tasawuf falsafi dan filsafat iluminatif (ishrāqī). Salah satu tokoh pembaru
yang paling signifikan dalam tradisi filsafat Islam adalah Mulla
Shadra (1571–1640), yang dikenal sebagai pelopor al-ḥikmah
al-muta‘āliyah (filsafat transenden).
Mulla Shadra
mengkritik gagasan klasik tentang keabadian substansi dengan menunjukkan bahwa
seluruh realitas materi—termasuk substansinya—berada dalam keadaan
terus-menerus mengalami perubahan dan gerak. Berbeda dari filsuf sebelumnya, ia
menegaskan bahwa gerak bukan hanya terjadi pada aksiden, tetapi juga dalam
substansi secara bertahap dan berkesinambungan. Pandangan ini dikenal sebagai teori
gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah).⁵
Shadra memadukan
pendekatan rasional filsafat peripatetik, pengalaman intuitif para sufi, dan
pemikiran iluminatif Suhrawardi untuk membentuk sistem filsafat baru yang
berlandaskan pada prinsip asalat al-wujūd (eksistensi sebagai
dasar realitas).⁶ Dalam kerangka ini, wujud bukanlah entitas yang statis,
tetapi entitas yang bergradasi, berjenjang, dan senantiasa dalam proses
aktualisasi dari bentuk yang lebih rendah ke bentuk yang lebih tinggi. Karena
itu, gerak dalam substansi tidak hanya mungkin, tetapi merupakan keniscayaan
ontologis.
Teori gerak
substansial ini lahir sebagai sintesis kreatif atas ketegangan antara pandangan
peripatetik yang cenderung statis dan pandangan mistik yang dinamis. Shadra
memandang bahwa realitas hakiki dari eksistensi bukanlah keberadaan yang diam,
melainkan keberadaan yang "mengalir" (dynamic being).⁷
Pandangan inilah yang membuka ruang bagi reinterpretasi terhadap berbagai
persoalan metafisika, kosmologi, dan psikologi filosofis dalam tradisi Islam.
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. Robin Waterfield (Oxford: Oxford
University Press, 1996), Book III, 201a10.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY
Press, 1975), 5–7.
[3]
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ṭabī‘iyyāt, ed. Ibrāhīm Madkūr (Cairo:
Dār al-Kātib al-‘Arabī, 1952), 162–164.
[4]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 30–35.
[5]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi
(Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, 72–74.
[6]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 42–45.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(London: World Wisdom, 2001), 113.
3.
Pengertian
dan Pokok-Pokok Teori Gerak Substansial
3.1.
Definisi Gerak Substansial
Secara umum, gerak (ḥarakah)
dalam filsafat dipahami sebagai perubahan bertahap (taġayyur tadrījī) yang berlangsung
dari potensi menuju aktual dalam kerangka waktu. Dalam filsafat peripatetik,
perubahan ini dikaitkan dengan aspek aksidensial, seperti tempat, jumlah,
kualitas, atau posisi. Namun, Mulla Shadra melangkah lebih
jauh dengan menyatakan bahwa substansi itu sendiri dapat mengalami gerak
secara bertahap dan berkesinambungan, suatu gagasan yang belum
pernah dikemukakan secara sistematis oleh para filsuf sebelumnya.¹
Gerak substansial (al-ḥarakah
al-jawhariyyah) adalah proses perubahan internal dalam inti wujud
suatu benda atau makhluk, yang tidak hanya mengubah sifat-sifat
lahiriahnya (aksiden), tetapi juga merombak struktur eksistensialnya dari
dalam. Mulla Shadra berpendapat bahwa substansi material bukanlah entitas statis,
melainkan berada dalam keadaan senantiasa menjadi (ṣayrūrah).²
Ia menolak pandangan yang membedakan tajam antara substansi yang tetap dan
aksiden yang berubah, dengan mengajukan bahwa keduanya dapat mengalami
perubahan—terutama substansi—karena seluruh realitas materi bersifat dinamis
secara ontologis.
3.2.
Prinsip-Prinsip Dasar Teori
3.2.1.
Wujud sebagai
Realitas Dinamis
Teori gerak
substansial berakar pada prinsip asalat al-wujūd (primordialitas
eksistensi) yang merupakan salah satu pijakan utama dalam filsafat transenden
Mulla Shadra. Dalam pandangannya, eksistensi (wujūd) adalah sesuatu yang riil,
dan seluruh entitas yang ada di dunia ini hanyalah manifestasi dari
tingkatan-tingkatan eksistensi. Karena eksistensi itu sendiri bersifat
bertingkat dan memiliki gradasi (tashkīk al-wujūd), maka setiap
makhluk mengalami peningkatan eksistensial secara bertahap melalui gerak
substansial._³
Eksistensi tidak
bersifat statis, melainkan senantiasa berubah dan berkembang menuju tingkat
eksistensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, gerak tidak sekadar bersifat
mekanistik, tetapi memiliki arah teleologis—yakni menuju kesempurnaan
ontologis.
3.2.2.
Satu Kesatuan antara
Materi dan Gerak
Mulla Shadra juga
memandang bahwa materi dan gerak adalah satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Materi pertama (al-hayūlā al-ūlā), yang bersifat
potensial murni, tidak pernah statis karena keberadaannya terikat pada
aktualisasi terus-menerus melalui bentuk-bentuk baru. Gerak substansial adalah cara bagaimana
materi itu sendiri berkembang secara bertingkat, dari bentuk
sederhana menuju bentuk yang lebih sempurna.⁴
Dengan kata lain,
gerak substansial bukan sesuatu yang ditambahkan pada materi dari luar,
melainkan inheren dalam eksistensi materi itu sendiri. Gerak ini adalah
manifestasi internal dari kecenderungan ontologis semua makhluk untuk terus
"menjadi".
3.2.3.
Kausalitas dan
Kesempurnaan (Istikmāl)
Salah satu aspek
penting dari gerak substansial adalah bahwa ia memiliki arah dan
tujuan (telos). Setiap perubahan dalam substansi bertujuan
untuk mencapai istikmāl—yakni kesempurnaan
bentuknya.⁵ Gerak substansial tidak terjadi secara acak, tetapi merupakan
bagian dari rencana kosmis di mana setiap entitas bergerak menuju realitas
tertinggi, yakni Tuhan sebagai sumber eksistensi mutlak.
Konsep ini juga
menjelaskan bahwa jiwa manusia pun mengalami evolusi ontologis,
dari jiwa vegetatif, ke jiwa hewani, dan kemudian ke jiwa rasional, bahkan
sampai pada kesempurnaan ruhani dalam pengalaman mistis atau intelektual.⁶
Dengan demikian, teori ini memiliki implikasi yang luas tidak hanya dalam
metafisika, tetapi juga dalam antropologi filsafat dan spiritualitas Islam.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi
(Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 72–76.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 65.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 150–153.
[4]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY
Press, 1975), 108–109.
[5]
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 124.
[6]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 169–171.
4.
Analisis
Filsafat atas Gerak Substansial
4.1.
Argumentasi Rasional Mulla Shadra
Teori gerak
substansial yang diajukan Mulla Shadra tidak muncul begitu saja
sebagai spekulasi metafisis belaka, melainkan dibangun di atas argumen rasional
yang kuat. Salah satu dasar argumentatifnya adalah bahwa substansi
merupakan dasar bagi semua aksiden, dan karena aksiden
senantiasa berubah, maka substansi yang menopangnya pun harus berubah pula,
meskipun dalam taraf yang lebih mendalam dan tersembunyi.¹
Shadra menyusun
argumen ini sebagai berikut: (1) Perubahan dalam aksiden tidak mungkin terjadi
kecuali dengan perubahan dalam substansi yang menjadi wadahnya. (2) Karena
perubahan aksiden berlangsung secara terus-menerus, maka secara logis,
substansi pun mengalami perubahan yang kontinyu. (3) Maka, substansi
pun memiliki gerak internal yang berkesinambungan, meskipun
perubahan itu tidak selalu terindra.²
Ia juga membantah
keberatan para filsuf peripatetik yang berpendapat bahwa perubahan substansi
hanya bisa terjadi secara instan (dengan pergantian total, bukan bertahap).
Mulla Shadra menegaskan bahwa perubahan instan dalam substansi hanya berlaku
dalam konteks transisi jenis (seperti api menjadi asap), sedangkan dalam
realitas eksistensial, substansi mengalami perubahan bertahap dari potensi menuju aktual
dalam tingkatan eksistensi.³
4.2.
Relevansi dengan Konsep Wujud
Gerak substansial
tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami fondasi ontologis Mulla Shadra,
yaitu teori
tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi). Dalam teori ini,
eksistensi tidak bersifat homogen, melainkan bertingkat dari yang paling rendah hingga
paling sempurna, yaitu Tuhan sebagai Wujud Mutlak.⁴
Karena eksistensi
itu bertingkat, maka makhluk-makhluk di dunia ini senantiasa bergerak naik
dalam hirarki eksistensi. Inilah yang dimaksud Mulla Shadra ketika menyebut
bahwa seluruh realitas bersifat ḥarakī (bergerak). Setiap substansi
yang eksistensinya lemah, secara alamiah terdorong untuk mencapai eksistensi
yang lebih kuat.⁵ Gerak substansial dengan demikian menjadi mekanisme
metafisik untuk menjelaskan dinamika keberadaan di antara
berbagai level wujud.
4.3.
Konsekuensi Ontologis dan Kosmologis
Implikasi dari teori
gerak substansial sangat luas, baik dalam aspek ontologis maupun kosmologis.
Dalam aspek ontologis, teori ini menghapus dikotomi antara “ada” dan “menjadi”
dalam pengertian eksistensi. Wujud bukan sesuatu yang selesai begitu ia ada,
tetapi senantiasa
dalam proses menjadi (ṣayrūrah).⁶ Dengan demikian, eksistensi
adalah proses, bukan hasil akhir.
Dalam aspek
kosmologis, teori ini menunjukkan bahwa alam semesta tidak
statis atau kekal dalam bentuknya, tetapi mengalami tajaddud
al-khalq (pembaruan penciptaan) secara terus-menerus.⁷ Artinya,
penciptaan bukan hanya suatu peristiwa masa lalu, tetapi peristiwa yang
senantiasa terjadi. Ini membuka ruang teologis untuk memahami kehadiran
Tuhan secara terus-menerus dalam proses penciptaan, bukan hanya
sebagai sebab pertama (prime mover), tetapi sebagai wujud yang hadir secara
langsung dalam setiap momen eksistensi makhluk.
Selain itu, gerak
substansial juga mengintegrasikan pandangan mistik tentang pendakian
ruhani manusia menuju Tuhan. Manusia, sebagai substansi yang
memiliki jiwa rasional, mengalami gerak substansial yang membawanya dari
kondisi biologis menuju puncak intelektual dan spiritual.⁸ Gerak ini tidak
semata-mata moral atau etis, tetapi juga ontologis—yaitu perubahan dalam
kualitas eksistensinya.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi
(Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 77–79.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY
Press, 1975), 110–112.
[3]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 60–63.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 150–152.
[5]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 158–160.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(London: World Wisdom, 2001), 121.
[7]
Mulla Sadra, al-Shawahid al-Rububiyyah, ed. Jalal al-Din
Ashtiyani (Tehran: Iranian Academy of Philosophy, 1976), 245–247.
[8]
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi,
126–128.
5.
Dampak
dan Implikasi Teori dalam Pemikiran Islam
5.1.
Konsep Jiwa dan Kehidupan
Salah satu implikasi
paling signifikan dari teori gerak substansial dalam filsafat Mulla Shadra
adalah pada konsep jiwa (nafs) dan
perkembangannya. Shadra berpendapat bahwa jiwa manusia tidak diciptakan sebagai entitas
spiritual yang lengkap sejak awal, melainkan tumbuh dan
berkembang melalui gerak substansial.¹ Jiwa awalnya muncul sebagai potensi
dalam bentuk materi biologis, kemudian mengalami evolusi melalui tahapan
vegetatif, hewani, hingga mencapai tingkat rasional dan spiritual.
Dalam kerangka ini,
manusia tidak langsung menjadi makhluk berpikir, tetapi melalui
perjalanan eksistensial yang panjang, yang mencerminkan gerak
substansial dari substansi tubuh menuju kesempurnaan spiritual.² Oleh karena
itu, perkembangan akal dan kesadaran manusia bukan hanya akibat pendidikan atau
lingkungan, tetapi bagian dari dinamika metafisik eksistensinya.
Pandangan ini
memiliki kesamaan dengan gagasan dalam tasawuf tentang suluk
atau perjalanan ruhani. Bedanya, jika para sufi menekankan aspek etis dan
spiritual, maka Mulla Shadra memperkuatnya dengan landasan ontologis bahwa gerak
menuju kesempurnaan adalah bagian hakiki dari eksistensi jiwa itu sendiri.
5.2.
Hubungan antara Materi dan Ruh
Teori gerak
substansial juga mengubah cara pandang tentang relasi antara materi dan ruh.
Dalam filsafat peripatetik, jiwa dipandang sebagai bentuk (ṣūrah)
dari tubuh, dan ketika tubuh hancur, jiwa tetap ada. Namun, Mulla Shadra
memperluas pengertian ini dengan menyatakan bahwa jiwa
tumbuh dari dalam materi melalui proses gerak substansial,
sehingga ia bukan entitas asing yang disisipkan ke dalam tubuh, melainkan hasil
evolusi eksistensial tubuh itu sendiri._³
Dengan demikian, materi
bukanlah lawan dari ruh, tetapi justru menjadi medium awal bagi
munculnya eksistensi ruhani. Hal ini memberikan pijakan filosofis bagi
pemahaman spiritualitas Islam yang tidak mendikotomikan tubuh dan ruh secara
ekstrem, tetapi memandang keduanya sebagai satu kesatuan dalam proses
penyempurnaan wujud.
5.3.
Perspektif Etika dan Mistisisme
Teori gerak
substansial juga berimplikasi besar dalam etika dan spiritualitas Islam.
Karena setiap entitas berada dalam gerak menuju kesempurnaan, maka tugas
manusia adalah mengarahkan gerak eksistensialnya secara sadar dan bermakna.
Perbuatan baik, pengetahuan, dan penyucian jiwa bukan sekadar kewajiban moral,
tetapi merupakan sarana akselerasi gerak substansial menuju kesempurnaan
ruhani._⁴
Dalam konteks
tasawuf falsafi, gagasan ini memberikan justifikasi rasional bagi
praktik-praktik spiritual, seperti mujahadah, riyāḍah,
dan tazkiyat
al-nafs, sebagai bagian dari gerak internal substansi jiwa. Hal ini
menjadikan Mulla Shadra sebagai jembatan antara filsafat dan tasawuf, dua tradisi
intelektual yang sebelumnya sering dikontraskan.⁵
Di sisi lain, teori
ini juga memberikan landasan bagi etika kosmis, yaitu bahwa setiap makhluk
memiliki arah dan tujuan dalam geraknya menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, perilaku
etis tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga selaras dengan tatanan
wujud secara keseluruhan._⁶ Dalam kerangka ini, kebaikan bukan hanya
norma sosial atau moral, melainkan bagian dari keharmonisan metafisis.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi
(Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 8, hlm. 13–17.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 115–117.
[3]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY
Press, 1975), 136–138.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 174–176.
[5]
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 127–129.
[6]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 168–171.
6.
Perbandingan
dengan Pemikiran Lain
6.1.
Bandingan dengan Aristoteles dan Ibn Sina
Teori gerak
substansial yang dikembangkan Mulla Shadra menandai pergeseran paradigma besar
dari pandangan filsafat peripatetik yang diwariskan oleh Aristoteles dan
dilanjutkan oleh Ibn Sina. Dalam sistem Aristotelian, gerak dipahami sebagai aktualisasi
dari potensi dalam ranah aksiden, yang mencakup kategori
tempat, kuantitas, kualitas, dan posisi.¹ Substansi, menurut Aristoteles, tidak
mengalami gerak secara gradual, melainkan hanya berubah secara
instan ketika terjadi pergantian bentuk substansial dalam konteks kawn wa
fasād (generasi dan korupsi).²
Ibn Sina mengikuti
jejak Aristoteles dalam hal ini. Ia menganggap bahwa perubahan substansial
tidak dapat terjadi secara bertahap karena substansi adalah prinsip esensial
yang tetap, sedangkan perubahan hanya mungkin terjadi pada aksiden yang melekat
padanya.³ Akibatnya, dalam filsafat Avicennian, perubahan ontologis bersifat
terbatas dan tidak dapat menjelaskan proses transendensi makhluk menuju
kesempurnaan spiritual secara rasional.
Mulla Shadra
mematahkan paradigma ini dengan menunjukkan bahwa substansi
pun mengalami perubahan bertahap dalam proses eksistensialnya,
bukan hanya saat terjadi kemunculan atau kehancuran total.⁴ Pandangan ini
memperluas cakrawala ontologi dengan memberikan penjelasan yang lebih
menyeluruh tentang dinamika alam dan jiwa manusia.
6.2.
Bandingan dengan Filsafat Modern (Contoh:
Proses dan Evolusi)
Secara mengejutkan,
gagasan Shadra tentang eksistensi yang dinamis dan bertahap
menunjukkan titik temu dengan pemikiran filsafat modern, terutama dalam aliran process
philosophy yang dipelopori oleh Alfred North Whitehead. Dalam Process
and Reality, Whitehead mengemukakan bahwa realitas
terdiri atas peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung, bukan
benda-benda statis.⁵ Ini sangat mirip dengan pandangan Mulla Shadra bahwa
realitas adalah "wujud dalam gerak" (being in motion), yang mengalami
perubahan terus-menerus dalam rangka mencapai aktualitas yang lebih tinggi.
Selain itu, teori
gerak substansial juga sejajar secara analogis dengan gagasan evolusi
dalam ilmu biologi, walaupun basis epistemologinya berbeda.
Shadra tidak membicarakan evolusi dalam kerangka seleksi alam atau mutasi
genetik, tetapi ia mengemukakan bahwa substansi material dapat berkembang dari bentuk
eksistensi yang lebih rendah menuju bentuk eksistensi yang lebih tinggi,
termasuk dalam konteks jiwa manusia.⁶
Perbedaan yang
mencolok adalah bahwa filsafat modern cenderung bersifat imanen dan tidak
selalu menyertakan dimensi metafisika atau transenden, sementara Shadra
menempatkan proses perubahan dalam kerangka ontologis dan teologis
yang diarahkan menuju Tuhan sebagai sumber dan tujuan akhir dari segala gerak
substansial.⁷
6.3.
Kritik dan Dukungan dari Filsuf Kontemporer
Teori gerak
substansial Mulla Shadra mendapatkan banyak perhatian dari filsuf kontemporer
Islam. Seyyed
Hossein Nasr, misalnya, memuji teori ini sebagai salah
satu pencapaian metafisik tertinggi dalam filsafat Islam,
karena mampu mengintegrasikan logika filsafat dengan intuisi spiritual.⁸ Ibrahim
Kalin menyebutnya sebagai sistem filsafat yang memiliki ontological
depth karena dapat menjelaskan dinamika eksistensial dengan
kerangka metafisis yang konsisten.⁹
Namun, kritik juga
muncul, terutama dari kalangan filsuf yang lebih empiris atau positivis.
Beberapa menganggap teori gerak substansial terlalu spekulatif dan tidak dapat
dibuktikan secara eksperimental. Kendati demikian, pendekatan filosofis Shadra
tetap dihargai karena mampu menjembatani antara rasionalitas filosofis,
pengalaman spiritual, dan warisan keilmuan Islam klasik secara harmonis.
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. Robin Waterfield (Oxford: Oxford
University Press, 1996), Book III, 201a10.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY
Press, 1975), 94–96.
[3]
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ṭabī‘iyyāt, ed. Ibrāhīm Madkūr (Cairo:
Dār al-Kātib al-‘Arabī, 1952), 154–155.
[4]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi
(Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 77–79.
[5]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1979), 22–23.
[6]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 102–103.
[7]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 162–164.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 129–131.
[9]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 172–174.
7.
Kesimpulan
Teori gerak
substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang dikembangkan oleh Mulla
Shadra merupakan salah satu terobosan paling penting dalam
sejarah filsafat Islam. Berangkat dari kritik terhadap pemikiran peripatetik
yang menganggap substansi bersifat tetap dan hanya aksiden yang dapat berubah,
Shadra membangun argumentasi rasional dan metafisik bahwa substansi pun
mengalami perubahan bertahap dan kontinyu sebagai bagian dari proses
eksistensial._¹
Teori ini bertumpu
pada prinsip asalat al-wujūd (primordialitas
eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi
eksistensi), yang menyatakan bahwa wujud bersifat dinamis dan berjenjang.²
Karena itu, realitas bukan entitas statis, melainkan proses
menjadi yang berlangsung secara terus-menerus, baik dalam level
kosmik maupun eksistensi manusia. Gerak substansial bukanlah sekadar
perpindahan fisik, tetapi proses transformasi ontologis yang mengarahkan setiap
entitas menuju kesempurnaan wujud.
Implikasi dari teori
ini sangat luas. Dalam aspek antropologi filsafat, teori ini
menjelaskan bahwa jiwa manusia tumbuh secara bertahap dari materi
menuju bentuk rasional, bahkan spiritual, melalui gerak
substansial.³ Dalam aspek kosmologi, ia menyatakan bahwa
penciptaan tidak pernah berhenti, melainkan terjadi secara berulang dan
berkesinambungan (tajaddud al-khalq).⁴ Dalam aspek etika
dan spiritualitas, teori ini meletakkan dasar bahwa amal
saleh dan penyucian jiwa mempercepat gerak eksistensial manusia menuju Tuhan._⁵
Lebih jauh, teori
ini juga menunjukkan daya lenting intelektual filsafat Islam dalam menanggapi
berbagai tantangan filsafat sebelumnya dan bahkan memberi ruang untuk dialog
dengan filsafat modern, seperti filsafat proses.⁶ Meskipun tidak bersifat
ilmiah dalam arti empiris-positivistik, teori ini memiliki nilai filosofis
tinggi karena mampu mengintegrasikan nalar metafisik dengan spiritualitas Islam
secara harmonis.
Dengan demikian, teori
gerak substansial bukan hanya kontribusi besar dalam khazanah filsafat Islam,
tetapi juga tawaran epistemologis dan ontologis bagi pemahaman
yang lebih dalam tentang alam semesta, manusia, dan Tuhan.⁷ Sebagai suatu
sistem filsafat, ia memperlihatkan kekuatan sintesis antara wahyu, akal, dan
intuisi yang menjadi ciri khas utama al-ḥikmah al-muta‘āliyah.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi
(Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 72–79.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 42–45.
[3]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY
Press, 1975), 136–138.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 169–171.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 127–129.
[6]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1979), 22–23.
[7]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 172–174.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1996). Physics (R. Waterfield,
Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 350 B.C.E.)
Izutsu, T. (2007). The concept and reality of
existence. Islamic Book Trust.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford
University Press.
Mulla Sadra. (1981). Al-Asfar al-Arba‘ah (M.
Khwajawi, Ed.). Tehran: Sadr Foundation.
Mulla Sadra. (1976). Al-Shawahid al-Rububiyyah
(J. A. Ashtiyani, Ed.). Tehran: Iranian Academy of Philosophy.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (2001). Islamic science: An
illustrated study. World Wisdom.
Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra.
State University of New York Press.
Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and
metaphysics: Modulation of being. Routledge.
Whitehead, A. N. (1979). Process and reality
(D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press. (Original work
published 1929)
Ibn Sina. (1952). Al-Shifa’: Al-Ṭabī‘iyyāt
(I. Madkūr, Ed.). Cairo: Dār al-Kātib al-‘Arabī.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary
recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar