Kamis, 27 Maret 2025

Teori Gerak Substansial (Al-Ḥarakah al-Jawhariyyah)

Teori Gerak Substansial

Kajian atas Pemikiran Mulla Shadra: Al-Harakah Al-Jawhariyyah


Abstrak

Artikel ini membahas teori gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang dikembangkan oleh Mulla Shadra, salah satu filsuf terbesar dalam tradisi filsafat Islam. Melalui pendekatan analitis dan historis, kajian ini mengurai konteks kelahiran teori tersebut sebagai respon terhadap pandangan filsuf peripatetik seperti Aristoteles dan Ibn Sina yang menolak kemungkinan perubahan bertahap dalam substansi. Dengan mendasarkan pemikirannya pada prinsip asalat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), Mulla Shadra menawarkan suatu pemahaman baru tentang wujud sebagai realitas yang dinamis dan senantiasa mengalami transformasi ontologis. Artikel ini juga menelusuri implikasi dari teori ini dalam aspek kosmologi, antropologi filosofis, spiritualitas, serta relevansinya dengan pemikiran filsafat modern, seperti filsafat proses dan teori evolusi. Teori ini diposisikan sebagai sintesis unggul antara rasionalisme, intuisi spiritual, dan warisan teologis Islam yang menjawab kebutuhan pemikiran metafisik secara komprehensif.

Kata Kunci: Mulla Shadra, gerak substansial, filsafat Islam, al-ḥarakah al-jawhariyyah, ontologi, tashkīk al-wujūd, eksistensi, transformasi metafisik.


PEMBAHASAN

Membongkar Hakikat Gerak Substansial dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan salah satu bidang pemikiran yang sangat kaya dengan eksplorasi metafisika, kosmologi, dan ontologi. Di antara tema penting dalam filsafat Islam adalah konsep gerak (ḥarakah), yang telah menjadi bahan perdebatan sejak masa para filsuf klasik seperti Aristoteles hingga para filsuf Muslim besar seperti Ibn Sina dan al-Farabi. Konsep gerak tidak hanya berkaitan dengan perubahan fisik semata, tetapi juga menyentuh dimensi ontologis tentang bagaimana sesuatu mengalami transformasi dari satu keadaan menuju keadaan yang lain dalam rangka menuju kesempurnaan atau aktualisasi wujud.

Dalam tradisi filsafat Islam, gerak umumnya dipahami sebagai perubahan yang terjadi pada aksiden, bukan pada substansi. Ini sejalan dengan pemahaman Aristotelian yang menganggap bahwa substansi bersifat tetap dan hanya aksidenlah yang berubah seiring waktu. Namun, teori ini kemudian mengalami pembaruan mendalam ketika Mulla Shadra (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī), seorang filsuf Persia terkemuka abad ke-17, memperkenalkan teori gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) sebagai bagian dari sintesis besar dalam sistem filsafatnya yang dikenal sebagai al-ḥikmah al-muta‘āliyah atau "filsafat transenden".¹

Menurut Mulla Shadra, gerak tidak hanya terjadi pada tataran aksiden (seperti kualitas, kuantitas, atau posisi), tetapi juga menyentuh substansi itu sendiri. Dalam pandangannya, seluruh wujud di alam semesta ini berada dalam keadaan menjadi (ṣayrūrah) secara terus-menerus—bergerak dari potensialitas menuju aktualitas dalam lintasan wujud yang dinamis.² Ini berarti bahwa alam semesta bukanlah realitas statis, melainkan realitas yang terus berubah secara mendasar dalam inti substansinya. Teori ini sekaligus menjadi kritik terhadap pandangan peripatetik (mashā’ī) yang menolak kemungkinan perubahan substansial secara gradual dan berkesinambungan.³

Pengembangan teori gerak substansial oleh Mulla Shadra tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep kunci dalam filsafatnya, seperti tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), asalat al-wujūd (primordialitas eksistensi), dan ittihad al-‘āqil wa al-ma‘qūl (kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan).⁴ Melalui pendekatan ini, Mulla Shadra memberikan fondasi baru dalam memahami hubungan antara perubahan kosmis, jiwa manusia, dan realitas transenden.

Studi ini bertujuan untuk membongkar hakikat teori gerak substansial dalam filsafat Mulla Shadra secara sistematis, dengan menelaah dasar-dasar pemikirannya, landasan argumentatifnya, serta implikasi filosofis yang ditimbulkannya dalam kerangka filsafat Islam. Selain itu, pembahasan ini juga akan membandingkan posisi teoritis ini dengan pandangan para filsuf terdahulu serta mengevaluasi relevansinya dengan perkembangan pemikiran modern.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. dan trans. Muhammad Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 63–65.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 115–116.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 144–147.

[4]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 56–58.


2.           Konteks Historis dan Filsafat

2.1.       Gerak dalam Filsafat Klasik (Yunani dan Islam Awal)

Gagasan tentang gerak merupakan tema sentral dalam filsafat klasik, terutama dalam sistem filsafat Aristoteles. Dalam Physics, Aristoteles mendefinisikan gerak sebagai “the actuality of the potential as such”—yakni, perwujudan dari potensi yang ada dalam suatu entitas menuju keadaan aktual.¹ Gerak, menurutnya, merupakan proses perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain, dan hanya terjadi pada aksiden seperti tempat, bentuk, jumlah, dan kualitas. Sementara substansi, sebagai esensi dari suatu entitas, dianggap tetap dan tidak mengalami gerak secara esensial.²

Pandangan Aristoteles ini sangat berpengaruh dalam pemikiran filsuf Muslim awal seperti al-Farabi dan Ibn Sina (Avicenna). Mereka menerima distingsi antara substansi dan aksiden serta menolak kemungkinan adanya gerak dalam substansi itu sendiri. Ibn Sina, misalnya, menyatakan bahwa substansi hanya mengalami perubahan ketika berganti jenis atau spesies melalui generasi dan korupsi (al-kawn wa al-fasād), bukan melalui gerak bertahap sebagaimana yang terjadi dalam aksiden.³

Lebih jauh, sistem kosmologi Ibn Sina didasarkan pada struktur hierarkis wujud dengan konsep al-‘aql al-awwal (akal pertama) dan gerak langit sebagai penggerak utama realitas dunia bawah. Gerak dalam dunia materi dipahami sebagai hasil dari pancaran (fayḍ) dari akal-akal aktif, yang kemudian menyebabkan perubahan pada dunia sublunar. Dalam kerangka ini, realitas tetap statis dalam tingkat substansi dan dinamis hanya dalam aspek aksidennya.⁴

2.2.       Kritik dan Pembaruan oleh Mulla Shadra

Pemikiran para filsuf peripatetik seperti Ibn Sina, meskipun sangat berpengaruh, tidak memuaskan bagi sebagian pemikir kemudian, terutama mereka yang terpengaruh oleh tasawuf falsafi dan filsafat iluminatif (ishrāqī). Salah satu tokoh pembaru yang paling signifikan dalam tradisi filsafat Islam adalah Mulla Shadra (1571–1640), yang dikenal sebagai pelopor al-ḥikmah al-muta‘āliyah (filsafat transenden).

Mulla Shadra mengkritik gagasan klasik tentang keabadian substansi dengan menunjukkan bahwa seluruh realitas materi—termasuk substansinya—berada dalam keadaan terus-menerus mengalami perubahan dan gerak. Berbeda dari filsuf sebelumnya, ia menegaskan bahwa gerak bukan hanya terjadi pada aksiden, tetapi juga dalam substansi secara bertahap dan berkesinambungan. Pandangan ini dikenal sebagai teori gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah).⁵

Shadra memadukan pendekatan rasional filsafat peripatetik, pengalaman intuitif para sufi, dan pemikiran iluminatif Suhrawardi untuk membentuk sistem filsafat baru yang berlandaskan pada prinsip asalat al-wujūd (eksistensi sebagai dasar realitas).⁶ Dalam kerangka ini, wujud bukanlah entitas yang statis, tetapi entitas yang bergradasi, berjenjang, dan senantiasa dalam proses aktualisasi dari bentuk yang lebih rendah ke bentuk yang lebih tinggi. Karena itu, gerak dalam substansi tidak hanya mungkin, tetapi merupakan keniscayaan ontologis.

Teori gerak substansial ini lahir sebagai sintesis kreatif atas ketegangan antara pandangan peripatetik yang cenderung statis dan pandangan mistik yang dinamis. Shadra memandang bahwa realitas hakiki dari eksistensi bukanlah keberadaan yang diam, melainkan keberadaan yang "mengalir" (dynamic being).⁷ Pandangan inilah yang membuka ruang bagi reinterpretasi terhadap berbagai persoalan metafisika, kosmologi, dan psikologi filosofis dalam tradisi Islam.


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. Robin Waterfield (Oxford: Oxford University Press, 1996), Book III, 201a10.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 5–7.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ṭabī‘iyyāt, ed. Ibrāhīm Madkūr (Cairo: Dār al-Kātib al-‘Arabī, 1952), 162–164.

[4]                Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 30–35.

[5]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, 72–74.

[6]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 42–45.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2001), 113.


3.           Pengertian dan Pokok-Pokok Teori Gerak Substansial

3.1.       Definisi Gerak Substansial

Secara umum, gerak (ḥarakah) dalam filsafat dipahami sebagai perubahan bertahap (taġayyur tadrījī) yang berlangsung dari potensi menuju aktual dalam kerangka waktu. Dalam filsafat peripatetik, perubahan ini dikaitkan dengan aspek aksidensial, seperti tempat, jumlah, kualitas, atau posisi. Namun, Mulla Shadra melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa substansi itu sendiri dapat mengalami gerak secara bertahap dan berkesinambungan, suatu gagasan yang belum pernah dikemukakan secara sistematis oleh para filsuf sebelumnya.¹

Gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) adalah proses perubahan internal dalam inti wujud suatu benda atau makhluk, yang tidak hanya mengubah sifat-sifat lahiriahnya (aksiden), tetapi juga merombak struktur eksistensialnya dari dalam. Mulla Shadra berpendapat bahwa substansi material bukanlah entitas statis, melainkan berada dalam keadaan senantiasa menjadi (ṣayrūrah).² Ia menolak pandangan yang membedakan tajam antara substansi yang tetap dan aksiden yang berubah, dengan mengajukan bahwa keduanya dapat mengalami perubahan—terutama substansi—karena seluruh realitas materi bersifat dinamis secara ontologis.

3.2.       Prinsip-Prinsip Dasar Teori

3.2.1.    Wujud sebagai Realitas Dinamis

Teori gerak substansial berakar pada prinsip asalat al-wujūd (primordialitas eksistensi) yang merupakan salah satu pijakan utama dalam filsafat transenden Mulla Shadra. Dalam pandangannya, eksistensi (wujūd) adalah sesuatu yang riil, dan seluruh entitas yang ada di dunia ini hanyalah manifestasi dari tingkatan-tingkatan eksistensi. Karena eksistensi itu sendiri bersifat bertingkat dan memiliki gradasi (tashkīk al-wujūd), maka setiap makhluk mengalami peningkatan eksistensial secara bertahap melalui gerak substansial._³

Eksistensi tidak bersifat statis, melainkan senantiasa berubah dan berkembang menuju tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, gerak tidak sekadar bersifat mekanistik, tetapi memiliki arah teleologis—yakni menuju kesempurnaan ontologis.

3.2.2.    Satu Kesatuan antara Materi dan Gerak

Mulla Shadra juga memandang bahwa materi dan gerak adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Materi pertama (al-hayūlā al-ūlā), yang bersifat potensial murni, tidak pernah statis karena keberadaannya terikat pada aktualisasi terus-menerus melalui bentuk-bentuk baru. Gerak substansial adalah cara bagaimana materi itu sendiri berkembang secara bertingkat, dari bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih sempurna.⁴

Dengan kata lain, gerak substansial bukan sesuatu yang ditambahkan pada materi dari luar, melainkan inheren dalam eksistensi materi itu sendiri. Gerak ini adalah manifestasi internal dari kecenderungan ontologis semua makhluk untuk terus "menjadi".

3.2.3.    Kausalitas dan Kesempurnaan (Istikmāl)

Salah satu aspek penting dari gerak substansial adalah bahwa ia memiliki arah dan tujuan (telos). Setiap perubahan dalam substansi bertujuan untuk mencapai istikmāl—yakni kesempurnaan bentuknya.⁵ Gerak substansial tidak terjadi secara acak, tetapi merupakan bagian dari rencana kosmis di mana setiap entitas bergerak menuju realitas tertinggi, yakni Tuhan sebagai sumber eksistensi mutlak.

Konsep ini juga menjelaskan bahwa jiwa manusia pun mengalami evolusi ontologis, dari jiwa vegetatif, ke jiwa hewani, dan kemudian ke jiwa rasional, bahkan sampai pada kesempurnaan ruhani dalam pengalaman mistis atau intelektual.⁶ Dengan demikian, teori ini memiliki implikasi yang luas tidak hanya dalam metafisika, tetapi juga dalam antropologi filsafat dan spiritualitas Islam.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 72–76.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 65.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 150–153.

[4]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 108–109.

[5]                Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 124.

[6]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 169–171.


4.           Analisis Filsafat atas Gerak Substansial

4.1.       Argumentasi Rasional Mulla Shadra

Teori gerak substansial yang diajukan Mulla Shadra tidak muncul begitu saja sebagai spekulasi metafisis belaka, melainkan dibangun di atas argumen rasional yang kuat. Salah satu dasar argumentatifnya adalah bahwa substansi merupakan dasar bagi semua aksiden, dan karena aksiden senantiasa berubah, maka substansi yang menopangnya pun harus berubah pula, meskipun dalam taraf yang lebih mendalam dan tersembunyi.¹

Shadra menyusun argumen ini sebagai berikut: (1) Perubahan dalam aksiden tidak mungkin terjadi kecuali dengan perubahan dalam substansi yang menjadi wadahnya. (2) Karena perubahan aksiden berlangsung secara terus-menerus, maka secara logis, substansi pun mengalami perubahan yang kontinyu. (3) Maka, substansi pun memiliki gerak internal yang berkesinambungan, meskipun perubahan itu tidak selalu terindra.²

Ia juga membantah keberatan para filsuf peripatetik yang berpendapat bahwa perubahan substansi hanya bisa terjadi secara instan (dengan pergantian total, bukan bertahap). Mulla Shadra menegaskan bahwa perubahan instan dalam substansi hanya berlaku dalam konteks transisi jenis (seperti api menjadi asap), sedangkan dalam realitas eksistensial, substansi mengalami perubahan bertahap dari potensi menuju aktual dalam tingkatan eksistensi

4.2.       Relevansi dengan Konsep Wujud

Gerak substansial tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami fondasi ontologis Mulla Shadra, yaitu teori tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi). Dalam teori ini, eksistensi tidak bersifat homogen, melainkan bertingkat dari yang paling rendah hingga paling sempurna, yaitu Tuhan sebagai Wujud Mutlak.⁴

Karena eksistensi itu bertingkat, maka makhluk-makhluk di dunia ini senantiasa bergerak naik dalam hirarki eksistensi. Inilah yang dimaksud Mulla Shadra ketika menyebut bahwa seluruh realitas bersifat ḥarakī (bergerak). Setiap substansi yang eksistensinya lemah, secara alamiah terdorong untuk mencapai eksistensi yang lebih kuat.⁵ Gerak substansial dengan demikian menjadi mekanisme metafisik untuk menjelaskan dinamika keberadaan di antara berbagai level wujud.

4.3.       Konsekuensi Ontologis dan Kosmologis

Implikasi dari teori gerak substansial sangat luas, baik dalam aspek ontologis maupun kosmologis. Dalam aspek ontologis, teori ini menghapus dikotomi antara “ada” dan “menjadi” dalam pengertian eksistensi. Wujud bukan sesuatu yang selesai begitu ia ada, tetapi senantiasa dalam proses menjadi (ṣayrūrah).⁶ Dengan demikian, eksistensi adalah proses, bukan hasil akhir.

Dalam aspek kosmologis, teori ini menunjukkan bahwa alam semesta tidak statis atau kekal dalam bentuknya, tetapi mengalami tajaddud al-khalq (pembaruan penciptaan) secara terus-menerus.⁷ Artinya, penciptaan bukan hanya suatu peristiwa masa lalu, tetapi peristiwa yang senantiasa terjadi. Ini membuka ruang teologis untuk memahami kehadiran Tuhan secara terus-menerus dalam proses penciptaan, bukan hanya sebagai sebab pertama (prime mover), tetapi sebagai wujud yang hadir secara langsung dalam setiap momen eksistensi makhluk.

Selain itu, gerak substansial juga mengintegrasikan pandangan mistik tentang pendakian ruhani manusia menuju Tuhan. Manusia, sebagai substansi yang memiliki jiwa rasional, mengalami gerak substansial yang membawanya dari kondisi biologis menuju puncak intelektual dan spiritual.⁸ Gerak ini tidak semata-mata moral atau etis, tetapi juga ontologis—yaitu perubahan dalam kualitas eksistensinya.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 77–79.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 110–112.

[3]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 60–63.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 150–152.

[5]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 158–160.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2001), 121.

[7]                Mulla Sadra, al-Shawahid al-Rububiyyah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani (Tehran: Iranian Academy of Philosophy, 1976), 245–247.

[8]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi, 126–128.


5.           Dampak dan Implikasi Teori dalam Pemikiran Islam

5.1.       Konsep Jiwa dan Kehidupan

Salah satu implikasi paling signifikan dari teori gerak substansial dalam filsafat Mulla Shadra adalah pada konsep jiwa (nafs) dan perkembangannya. Shadra berpendapat bahwa jiwa manusia tidak diciptakan sebagai entitas spiritual yang lengkap sejak awal, melainkan tumbuh dan berkembang melalui gerak substansial.¹ Jiwa awalnya muncul sebagai potensi dalam bentuk materi biologis, kemudian mengalami evolusi melalui tahapan vegetatif, hewani, hingga mencapai tingkat rasional dan spiritual.

Dalam kerangka ini, manusia tidak langsung menjadi makhluk berpikir, tetapi melalui perjalanan eksistensial yang panjang, yang mencerminkan gerak substansial dari substansi tubuh menuju kesempurnaan spiritual.² Oleh karena itu, perkembangan akal dan kesadaran manusia bukan hanya akibat pendidikan atau lingkungan, tetapi bagian dari dinamika metafisik eksistensinya.

Pandangan ini memiliki kesamaan dengan gagasan dalam tasawuf tentang suluk atau perjalanan ruhani. Bedanya, jika para sufi menekankan aspek etis dan spiritual, maka Mulla Shadra memperkuatnya dengan landasan ontologis bahwa gerak menuju kesempurnaan adalah bagian hakiki dari eksistensi jiwa itu sendiri.

5.2.       Hubungan antara Materi dan Ruh

Teori gerak substansial juga mengubah cara pandang tentang relasi antara materi dan ruh. Dalam filsafat peripatetik, jiwa dipandang sebagai bentuk (ṣūrah) dari tubuh, dan ketika tubuh hancur, jiwa tetap ada. Namun, Mulla Shadra memperluas pengertian ini dengan menyatakan bahwa jiwa tumbuh dari dalam materi melalui proses gerak substansial, sehingga ia bukan entitas asing yang disisipkan ke dalam tubuh, melainkan hasil evolusi eksistensial tubuh itu sendiri._³

Dengan demikian, materi bukanlah lawan dari ruh, tetapi justru menjadi medium awal bagi munculnya eksistensi ruhani. Hal ini memberikan pijakan filosofis bagi pemahaman spiritualitas Islam yang tidak mendikotomikan tubuh dan ruh secara ekstrem, tetapi memandang keduanya sebagai satu kesatuan dalam proses penyempurnaan wujud.

5.3.       Perspektif Etika dan Mistisisme

Teori gerak substansial juga berimplikasi besar dalam etika dan spiritualitas Islam. Karena setiap entitas berada dalam gerak menuju kesempurnaan, maka tugas manusia adalah mengarahkan gerak eksistensialnya secara sadar dan bermakna. Perbuatan baik, pengetahuan, dan penyucian jiwa bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan sarana akselerasi gerak substansial menuju kesempurnaan ruhani._⁴

Dalam konteks tasawuf falsafi, gagasan ini memberikan justifikasi rasional bagi praktik-praktik spiritual, seperti mujahadah, riyāḍah, dan tazkiyat al-nafs, sebagai bagian dari gerak internal substansi jiwa. Hal ini menjadikan Mulla Shadra sebagai jembatan antara filsafat dan tasawuf, dua tradisi intelektual yang sebelumnya sering dikontraskan.⁵

Di sisi lain, teori ini juga memberikan landasan bagi etika kosmis, yaitu bahwa setiap makhluk memiliki arah dan tujuan dalam geraknya menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, perilaku etis tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga selaras dengan tatanan wujud secara keseluruhan._⁶ Dalam kerangka ini, kebaikan bukan hanya norma sosial atau moral, melainkan bagian dari keharmonisan metafisis.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 8, hlm. 13–17.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 115–117.

[3]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 136–138.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 174–176.

[5]                Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 127–129.

[6]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 168–171.


6.           Perbandingan dengan Pemikiran Lain

6.1.       Bandingan dengan Aristoteles dan Ibn Sina

Teori gerak substansial yang dikembangkan Mulla Shadra menandai pergeseran paradigma besar dari pandangan filsafat peripatetik yang diwariskan oleh Aristoteles dan dilanjutkan oleh Ibn Sina. Dalam sistem Aristotelian, gerak dipahami sebagai aktualisasi dari potensi dalam ranah aksiden, yang mencakup kategori tempat, kuantitas, kualitas, dan posisi.¹ Substansi, menurut Aristoteles, tidak mengalami gerak secara gradual, melainkan hanya berubah secara instan ketika terjadi pergantian bentuk substansial dalam konteks kawn wa fasād (generasi dan korupsi).²

Ibn Sina mengikuti jejak Aristoteles dalam hal ini. Ia menganggap bahwa perubahan substansial tidak dapat terjadi secara bertahap karena substansi adalah prinsip esensial yang tetap, sedangkan perubahan hanya mungkin terjadi pada aksiden yang melekat padanya.³ Akibatnya, dalam filsafat Avicennian, perubahan ontologis bersifat terbatas dan tidak dapat menjelaskan proses transendensi makhluk menuju kesempurnaan spiritual secara rasional.

Mulla Shadra mematahkan paradigma ini dengan menunjukkan bahwa substansi pun mengalami perubahan bertahap dalam proses eksistensialnya, bukan hanya saat terjadi kemunculan atau kehancuran total.⁴ Pandangan ini memperluas cakrawala ontologi dengan memberikan penjelasan yang lebih menyeluruh tentang dinamika alam dan jiwa manusia.

6.2.       Bandingan dengan Filsafat Modern (Contoh: Proses dan Evolusi)

Secara mengejutkan, gagasan Shadra tentang eksistensi yang dinamis dan bertahap menunjukkan titik temu dengan pemikiran filsafat modern, terutama dalam aliran process philosophy yang dipelopori oleh Alfred North Whitehead. Dalam Process and Reality, Whitehead mengemukakan bahwa realitas terdiri atas peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung, bukan benda-benda statis.⁵ Ini sangat mirip dengan pandangan Mulla Shadra bahwa realitas adalah "wujud dalam gerak" (being in motion), yang mengalami perubahan terus-menerus dalam rangka mencapai aktualitas yang lebih tinggi.

Selain itu, teori gerak substansial juga sejajar secara analogis dengan gagasan evolusi dalam ilmu biologi, walaupun basis epistemologinya berbeda. Shadra tidak membicarakan evolusi dalam kerangka seleksi alam atau mutasi genetik, tetapi ia mengemukakan bahwa substansi material dapat berkembang dari bentuk eksistensi yang lebih rendah menuju bentuk eksistensi yang lebih tinggi, termasuk dalam konteks jiwa manusia.⁶

Perbedaan yang mencolok adalah bahwa filsafat modern cenderung bersifat imanen dan tidak selalu menyertakan dimensi metafisika atau transenden, sementara Shadra menempatkan proses perubahan dalam kerangka ontologis dan teologis yang diarahkan menuju Tuhan sebagai sumber dan tujuan akhir dari segala gerak substansial.⁷

6.3.       Kritik dan Dukungan dari Filsuf Kontemporer

Teori gerak substansial Mulla Shadra mendapatkan banyak perhatian dari filsuf kontemporer Islam. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, memuji teori ini sebagai salah satu pencapaian metafisik tertinggi dalam filsafat Islam, karena mampu mengintegrasikan logika filsafat dengan intuisi spiritual.⁸ Ibrahim Kalin menyebutnya sebagai sistem filsafat yang memiliki ontological depth karena dapat menjelaskan dinamika eksistensial dengan kerangka metafisis yang konsisten.⁹

Namun, kritik juga muncul, terutama dari kalangan filsuf yang lebih empiris atau positivis. Beberapa menganggap teori gerak substansial terlalu spekulatif dan tidak dapat dibuktikan secara eksperimental. Kendati demikian, pendekatan filosofis Shadra tetap dihargai karena mampu menjembatani antara rasionalitas filosofis, pengalaman spiritual, dan warisan keilmuan Islam klasik secara harmonis.


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. Robin Waterfield (Oxford: Oxford University Press, 1996), Book III, 201a10.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 94–96.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ṭabī‘iyyāt, ed. Ibrāhīm Madkūr (Cairo: Dār al-Kātib al-‘Arabī, 1952), 154–155.

[4]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 77–79.

[5]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1979), 22–23.

[6]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 102–103.

[7]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 162–164.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 129–131.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 172–174.


7.           Kesimpulan

Teori gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang dikembangkan oleh Mulla Shadra merupakan salah satu terobosan paling penting dalam sejarah filsafat Islam. Berangkat dari kritik terhadap pemikiran peripatetik yang menganggap substansi bersifat tetap dan hanya aksiden yang dapat berubah, Shadra membangun argumentasi rasional dan metafisik bahwa substansi pun mengalami perubahan bertahap dan kontinyu sebagai bagian dari proses eksistensial.

Teori ini bertumpu pada prinsip asalat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), yang menyatakan bahwa wujud bersifat dinamis dan berjenjang.² Karena itu, realitas bukan entitas statis, melainkan proses menjadi yang berlangsung secara terus-menerus, baik dalam level kosmik maupun eksistensi manusia. Gerak substansial bukanlah sekadar perpindahan fisik, tetapi proses transformasi ontologis yang mengarahkan setiap entitas menuju kesempurnaan wujud.

Implikasi dari teori ini sangat luas. Dalam aspek antropologi filsafat, teori ini menjelaskan bahwa jiwa manusia tumbuh secara bertahap dari materi menuju bentuk rasional, bahkan spiritual, melalui gerak substansial.³ Dalam aspek kosmologi, ia menyatakan bahwa penciptaan tidak pernah berhenti, melainkan terjadi secara berulang dan berkesinambungan (tajaddud al-khalq).⁴ Dalam aspek etika dan spiritualitas, teori ini meletakkan dasar bahwa amal saleh dan penyucian jiwa mempercepat gerak eksistensial manusia menuju Tuhan._⁵

Lebih jauh, teori ini juga menunjukkan daya lenting intelektual filsafat Islam dalam menanggapi berbagai tantangan filsafat sebelumnya dan bahkan memberi ruang untuk dialog dengan filsafat modern, seperti filsafat proses.⁶ Meskipun tidak bersifat ilmiah dalam arti empiris-positivistik, teori ini memiliki nilai filosofis tinggi karena mampu mengintegrasikan nalar metafisik dengan spiritualitas Islam secara harmonis.

Dengan demikian, teori gerak substansial bukan hanya kontribusi besar dalam khazanah filsafat Islam, tetapi juga tawaran epistemologis dan ontologis bagi pemahaman yang lebih dalam tentang alam semesta, manusia, dan Tuhan.⁷ Sebagai suatu sistem filsafat, ia memperlihatkan kekuatan sintesis antara wahyu, akal, dan intuisi yang menjadi ciri khas utama al-ḥikmah al-muta‘āliyah.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Sadr Foundation, 1981), jilid 3, hlm. 72–79.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 42–45.

[3]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 136–138.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 169–171.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 127–129.

[6]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1979), 22–23.

[7]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 172–174.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1996). Physics (R. Waterfield, Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 350 B.C.E.)

Izutsu, T. (2007). The concept and reality of existence. Islamic Book Trust.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Mulla Sadra. (1981). Al-Asfar al-Arba‘ah (M. Khwajawi, Ed.). Tehran: Sadr Foundation.

Mulla Sadra. (1976). Al-Shawahid al-Rububiyyah (J. A. Ashtiyani, Ed.). Tehran: Iranian Academy of Philosophy.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (2001). Islamic science: An illustrated study. World Wisdom.

Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra. State University of New York Press.

Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and metaphysics: Modulation of being. Routledge.

Whitehead, A. N. (1979). Process and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press. (Original work published 1929)

Ibn Sina. (1952). Al-Shifa’: Al-Ṭabī‘iyyāt (I. Madkūr, Ed.). Cairo: Dār al-Kātib al-‘Arabī.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar