Filsafat Perenial
Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi
Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas filsafat perenial (philosophia perennis)
sebagai suatu aliran pemikiran yang menekankan adanya kebijaksanaan abadi (sophia
perennis) yang melintasi ruang, waktu, dan tradisi keagamaan. Kajian
dimulai dengan penjelasan konsep dasar, prinsip ontologis, epistemologis, dan
aksiologis filsafat perenial, kemudian dilanjutkan dengan penelusuran sejarah
dari akar-akar kuno hingga perkembangan sistematisnya pada abad ke-20 melalui
Gerakan Tradisionalis. Tokoh-tokoh utama seperti René Guénon, Frithjof Schuon,
Ananda Coomaraswamy, dan Seyyed Hossein Nasr dikaji secara mendalam untuk
melihat kontribusi mereka dalam membangun landasan metafisis, kritik
modernitas, serta upaya membangun dialog antaragama.
Artikel ini juga menyoroti kritik yang dialamatkan kepada filsafat
perenial, baik dari kalangan teologi ortodoks, filsafat modern dan posmodern,
maupun dari perbedaan tafsir internal antarperenialis. Kendati demikian,
filsafat perenial tetap relevan dalam konteks kontemporer, khususnya dalam
menjawab krisis modernitas, kerusakan lingkungan, dan kebutuhan akan pendidikan
holistik serta perdamaian antaragama. Sintesis dan refleksi filosofis yang
ditawarkan menegaskan bahwa filsafat perenial, meskipun memiliki keterbatasan,
tetap dapat diposisikan sebagai salah satu fondasi penting dalam pengembangan
filsafat agama, studi perbandingan agama, dan pembangunan peradaban yang lebih
manusiawi dan spiritual.
Kata Kunci: Filsafat
Perenial, Sophia Perennis, Tradisionalisme, René Guénon, Frithjof Schuon,
Seyyed Hossein Nasr, Pluralisme Agama, Dialog Antaragama, Krisis Modernitas,
Sains Sakral.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Filsafat
Perenial
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Masalah
Perkembangan pemikiran modern ditandai
oleh kemajuan sains dan teknologi yang luar biasa, tetapi juga menghadirkan
problem mendasar: krisis spiritual, degradasi moral, dan hilangnya orientasi
transendental dalam kehidupan manusia. Modernitas yang dibangun atas dasar
rasionalitas instrumental dan sekularisasi cenderung menyingkirkan dimensi sakral
dari realitas, sehingga manusia modern sering mengalami kekosongan makna
hidup.¹ Dalam konteks inilah, filsafat perenial (philosophia perennis)
hadir sebagai sebuah arus pemikiran yang menawarkan kebijaksanaan abadi (sophia
perennis) yang diyakini melintasi batas ruang, waktu, dan tradisi
keagamaan.²
Filsafat perenial menegaskan adanya
kebenaran universal yang menjadi inti dari berbagai agama besar dunia.³ Dengan
demikian, filsafat ini tidak sekadar menjadi suatu sistem filosofis abstrak,
melainkan juga sebuah pandangan hidup yang menolak relativisme modern sekaligus
menolak eksklusivisme agama yang kaku. Ia berusaha merangkul perbedaan dalam
kerangka kesatuan transendental.
1.2.      
Rumusan Masalah dan
Pertanyaan Penelitian
Kajian mengenai filsafat perenial dalam
artikel ini berfokus pada beberapa pertanyaan pokok:
1)                 
Apa yang dimaksud dengan
filsafat perenial dan apa prinsip-prinsip dasarnya?
2)                 
Bagaimana sejarah
perkembangan filsafat perenial dari masa klasik hingga kontemporer?
3)                 
Siapa saja tokoh utama yang
menjadi pelopor dan pengembangannya?
4)                 
Bagaimana kritik yang
diarahkan terhadap filsafat perenial baik dari perspektif teologi maupun
filsafat modern?
5)                 
Apa relevansi filsafat
perenial dalam menjawab krisis spiritual, budaya, dan peradaban di era
kontemporer?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat
Kajian
Artikel ini bertujuan:
·                    
Untuk menjelaskan secara
sistematis konsep, prinsip, dan fondasi filsafat perenial.
·                    
Untuk menelusuri sejarah
dan tokoh-tokoh utama yang membentuk tradisi ini.
·                    
Untuk mengkaji kritik yang
muncul terhadap filsafat perenial.
·                    
Untuk menganalisis
relevansinya dalam konteks kehidupan kontemporer, baik dalam bidang
spiritualitas, ekologi, maupun dialog antaragama.
Secara akademis, kajian ini diharapkan
dapat memperkaya khazanah filsafat agama dan perbandingan agama, serta memberi
sumbangan bagi upaya membangun paradigma lintas budaya yang berakar pada
nilai-nilai kebijaksanaan universal.
1.4.      
Metodologi Kajian
Metodologi yang digunakan dalam artikel
ini adalah pendekatan filosofis-historis dan komparatif. Pendekatan filosofis digunakan
untuk menggali prinsip-prinsip dasar filsafat perenial, sementara pendekatan
historis menelusuri jejak perkembangan pemikiran ini dari masa klasik hingga
kontemporer. Pendekatan komparatif digunakan untuk membandingkan posisi
filsafat perenial dengan filsafat modern, postmodern, dan pemikiran keagamaan
kontemporer.
Dengan metodologi tersebut, artikel ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman yang utuh, kritis, dan reflektif terhadap
filsafat perenial serta mengkaji potensi dan keterbatasannya dalam menjawab
problem kehidupan manusia modern.⁴
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 5–7.
[2]               
Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New
York: Harper & Brothers, 1945), vii–x.
[3]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 2–3.
[4]               
René Guénon, The Crisis of the Modern World
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 15–18.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Perenial
2.1.      
Definisi dan Makna
Perenial
Istilah filsafat perenial (philosophia
perennis) pertama kali dipopulerkan oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm
Leibniz pada abad ke-17, meskipun akar konsepnya dapat ditelusuri hingga ke
tradisi filsafat kuno.¹ Secara etimologis, kata perenial berarti “abadi”
atau “tak lekang oleh waktu”, sehingga filsafat perenial dipahami
sebagai filsafat kebijaksanaan yang bersifat universal, transhistoris, dan
transkultural.²
Dalam pengertian ini, filsafat perenial
bukanlah sekadar sebuah aliran filsafat formal, melainkan suatu pandangan
metafisis yang menegaskan adanya inti kebenaran tunggal di balik keragaman
bentuk-bentuk religius dan filosofis.³
2.2.      
Prinsip-Prinsip
Utama Filsafat Perenial
Terdapat beberapa prinsip yang menjadi
fondasi filsafat perenial:
·                    
Kesatuan Kebenaran
Transenden
Semua agama dan tradisi autentik diyakini bersumber dari
satu kebenaran metafisis yang sama, meskipun terungkap melalui simbol dan
bahasa yang berbeda.⁴ Prinsip ini dikenal dengan istilah transcendent unity
of religions.
·                    
Dikotomi Eksoteris dan
Esoteris
Filsafat perenial membedakan antara aspek lahiriah (eksoteris)
agama—seperti dogma, ritual, dan hukum—dengan aspek batiniah (esoteris)
yang berhubungan langsung dengan realitas transenden.⁵ Aspek esoteris inilah
yang dianggap sebagai inti perenial dalam setiap agama.
·                    
Kebijaksanaan Abadi (Sophia
Perennis)
Pengetahuan metafisis yang bersifat abadi diyakini hadir
dalam setiap tradisi, terutama melalui tokoh suci, nabi, dan bijak yang
mewariskan kebenaran universal.⁶
2.3.      
Dasar Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis
Secara ontologis, filsafat
perenial menekankan realitas transenden sebagai sumber segala eksistensi.
Segala fenomena duniawi dipandang sebagai refleksi atau manifestasi dari
prinsip metafisis tertinggi.⁷
Secara epistemologis, filsafat
perenial mengakui adanya cara memperoleh pengetahuan yang melampaui rasio
diskursif, yaitu melalui intuisi intelektual atau pengalaman mistis.
Pengetahuan ini tidak meniadakan akal, tetapi melampauinya dalam kerangka gnosis.⁸
Secara aksiologis, filsafat
perenial menekankan pentingnya orientasi hidup manusia kepada Yang Absolut.
Etika dan spiritualitas dipandang sebagai wujud praksis yang menghubungkan
manusia dengan sumber kebenaran abadi.⁹ Dengan demikian, filsafat perenial
tidak berhenti pada spekulasi metafisis, tetapi juga membimbing tindakan dan
transformasi spiritual.
Footnotes
[1]               
Gottfried Wilhelm Leibniz, Philosophical Papers and
Letters, ed. Leroy E. Loemker (Dordrecht: D. Reidel Publishing, 1969),
55–57.
[2]               
Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New
York: Harper & Brothers, 1945), vii–x.
[3]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 6–7.
[4]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 4–6.
[5]               
René Guénon, Introduction to the Study of the Hindu
Doctrines (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 13–14.
[6]               
Ananda K. Coomaraswamy, Hinduism and Buddhism
(New York: Philosophical Library, 1943), 7–9.
[7]               
Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and
Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 11–12.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006),
21–23.
[9]               
Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial
Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.
3.          
Sejarah dan
Perkembangan Filsafat Perenial
3.1.      
Akar Awal: Dunia
Kuno dan Tradisi Mistis
Gagasan tentang kebenaran abadi yang
melampaui ruang dan waktu bukanlah konsep baru dalam sejarah pemikiran manusia.
Dalam filsafat Yunani kuno, Plato mengajarkan tentang dunia ide sebagai
realitas transenden yang bersifat abadi, sementara Plotinus melalui filsafat
Neoplatonisme menekankan prinsip “Yang Esa” (the One) sebagai sumber
segala realitas.¹ Dalam tradisi India, ajaran Sanātana Dharma dalam
Hindu menegaskan adanya prinsip kekal (Brahman) yang menjadi inti segala
fenomena.² Demikian pula dalam Buddhisme dan Taoisme, terdapat ajaran mengenai
jalan batin yang menghubungkan manusia dengan prinsip kosmis universal.³
Di dunia Islam, tradisi filsafat dan tasawuf
juga menyuarakan gagasan serupa. Ibn ‘Arabi, misalnya, mengembangkan doktrin wahdat
al-wujud (kesatuan eksistensi) yang menekankan kesatuan realitas di balik
keragaman fenomena.⁴ Semua ini memperlihatkan bahwa benih-benih filsafat
perenial telah hadir dalam berbagai tradisi spiritual dan filosofis sebelum
istilahnya dipopulerkan di Barat.
3.2.      
Masa Renaissance dan
Abad Modern Awal
Gagasan filsafat perenial menemukan
momentum baru pada masa Renaissance di Eropa. Giovanni Pico della Mirandola
(1463–1494) dalam Oratio de hominis dignitate menegaskan adanya kesatuan
kebenaran dalam berbagai tradisi agama dan filsafat, mulai dari Platonisme
hingga Kabbalah Yahudi.⁵ Ia meyakini bahwa semua bentuk pengetahuan yang
autentik mengarah pada sumber kebijaksanaan yang sama.
Pada abad ke-17, filsuf Jerman
Gottfried Wilhelm Leibniz menggunakan istilah philosophia perennis untuk
merujuk pada tradisi kebijaksanaan universal yang diyakininya selalu hadir
dalam sejarah umat manusia.⁶ Baginya, filsafat perenial adalah filsafat “abadi”
yang tidak bergantung pada ruang dan waktu, melainkan mengandung inti kebenaran
yang sama di setiap peradaban.
3.3.      
Perkembangan Abad
ke-20: Gerakan Tradisionalis
Pada abad ke-20, filsafat perenial
mendapat bentuk sistematis melalui Gerakan Tradisionalis. René Guénon
(1886–1951) menjadi tokoh sentral dengan kritiknya terhadap modernitas yang
dianggap telah menyingkirkan dimensi sakral dalam kehidupan. Dalam The
Crisis of the Modern World (1927), ia menegaskan pentingnya kembali pada
tradisi primordial sebagai sumber kebenaran transenden.⁷
Frithjof Schuon (1907–1998) kemudian
mengembangkan lebih jauh gagasan Guénon dengan menekankan prinsip transcendent
unity of religions.⁸ Sementara itu, Ananda Coomaraswamy menyoroti
pentingnya seni sakral sebagai ekspresi dari kebijaksanaan abadi.⁹ Dalam
konteks dunia Islam, Seyyed Hossein Nasr menekankan dimensi sakral dalam sains
dan pentingnya filsafat perenial untuk mengatasi krisis ekologi dan
spiritualitas modern.¹⁰
Dengan demikian, abad ke-20 menandai
fase institusionalisasi filsafat perenial sebagai suatu tradisi intelektual
yang terstruktur dan memiliki pengaruh signifikan dalam wacana filsafat,
teologi, dan perbandingan agama.
Footnotes
[1]               
Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966), 45–47.
[2]               
Radhakrishnan, Sarvepalli, Indian Philosophy,
Vol. I (Oxford: Oxford University Press, 1923), 34–36.
[3]               
Wing-tsit Chan, A Source Book in Chinese Philosophy
(Princeton: Princeton University Press, 1963), 77–79.
[4]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 90–92.
[5]               
Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the
Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Regnery, 1956), 3–5.
[6]               
Gottfried Wilhelm Leibniz, Philosophical Papers and
Letters, ed. Leroy E. Loemker (Dordrecht: D. Reidel Publishing, 1969),
55–57.
[7]               
René Guénon, The Crisis of the Modern World
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 15–18.
[8]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 2–4.
[9]               
Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of
Nature in Art (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 9–11.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.
4.          
Tokoh-Tokoh Utama
Filsafat Perenial
4.1.      
René Guénon
(1886–1951)
René Guénon dianggap sebagai pelopor
filsafat perenial modern dan tokoh utama Gerakan Tradisionalis. Dalam
karya-karyanya seperti The Crisis of the Modern World (1927) dan The
Reign of Quantity and the Signs of the Times (1945), ia mengkritik keras
modernitas yang menurutnya didasarkan pada rasionalisme, materialisme, dan
relativisme.¹ Bagi Guénon, dunia modern mengalami “keterputusan” dari
prinsip metafisis, sehingga hanya dengan kembali kepada tradisi primordial umat
manusia dapat menemukan kembali keseimbangan spiritualnya.² Ia menekankan
pentingnya inisiasi dan pengetahuan esoteris sebagai jalan menuju realitas
transenden.³
4.2.      
Frithjof Schuon
(1907–1998)
Frithjof Schuon mengembangkan pemikiran
Guénon dengan lebih menekankan pada kesatuan transendental agama-agama (transcendent
unity of religions).⁴ Dalam karyanya The Transcendent Unity of Religions
(1948), Schuon menegaskan bahwa setiap agama memiliki aspek eksoteris
(lahiriah) dan esoteris (batiniah). Eksoteris mungkin berbeda secara doktrinal,
tetapi esoteris mengarah pada kebenaran yang sama.⁵ Schuon juga dikenal sebagai
seorang metafisikus yang menekankan pentingnya simbolisme dalam agama dan seni
sakral sebagai jembatan menuju realitas ilahi.⁶
4.3.      
Ananda Coomaraswamy
(1877–1947)
Sejarawan seni dan filsuf asal Sri
Lanka ini memberikan kontribusi penting dalam membangun filsafat perenial
melalui studi tentang seni tradisional. Dalam karyanya The Transformation of
Nature in Art, ia menegaskan bahwa seni tradisional bukan sekadar ekspresi
estetika, melainkan manifestasi dari prinsip metafisis.⁷ Coomaraswamy melihat
bahwa seni sakral menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan abadi (sophia
perennis), sehingga hilangnya seni tradisional merupakan bagian dari krisis
spiritual modern.⁸
4.4.      
Seyyed Hossein Nasr
(1933–)
Sebagai tokoh kontemporer, Seyyed
Hossein Nasr menjadi jembatan antara filsafat perenial dengan wacana modern,
khususnya dalam bidang sains dan ekologi. Dalam Knowledge and the Sacred
(1981) dan Man and Nature (1968), Nasr menyoroti krisis ekologis sebagai
akibat dari pandangan dunia modern yang memisahkan manusia dari alam.⁹ Ia
mengajukan konsep sains sakral, yaitu ilmu pengetahuan yang diintegrasikan
dengan prinsip metafisis dan spiritual.¹⁰ Nasr menegaskan bahwa solusi atas
krisis modern harus melibatkan kembalinya manusia kepada kesadaran kosmologis
yang sakral.¹¹
Tokoh Lain: Huston Smith dan William Stoddart
Selain tokoh-tokoh utama di atas,
beberapa intelektual lain turut memperkaya wacana filsafat perenial. Huston
Smith (1919–2016), seorang sarjana agama-agama, dalam The World’s Religions
(1958) dan Forgotten Truth (1976), menekankan dimensi universal dari
agama-agama besar dunia.¹² William Stoddart, melalui karya-karyanya seperti Remembering
in a World of Forgetting, berperan sebagai penyebar gagasan perenialis di
kalangan pembaca modern.¹³
Footnotes
[1]               
René Guénon, The Crisis of the Modern World
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 3–5.
[2]               
René Guénon, The Reign of Quantity and the Signs of
the Times (Baltimore: Penguin Books, 1972), 12–14.
[3]               
René Guénon, Perspectives on Initiation
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 21–22.
[4]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 1–3.
[5]               
Ibid., 6–8.
[6]               
Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and
Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 15–17.
[7]               
Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of
Nature in Art (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 9–11.
[8]               
Ibid., 12–14.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–25.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 7–9.
[11]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 19–20.
[12]            
Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial
Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.
[13]            
William Stoddart, Remembering in a World of
Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 5–7.
5.          
Filsafat Perenial
dalam Konteks Perbandingan Agama
5.1.      
Pluralisme dan
Kesatuan Transendental Agama
Salah satu kontribusi paling menonjol
dari filsafat perenial dalam studi perbandingan agama adalah gagasan mengenai
kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions).
Frithjof Schuon menegaskan bahwa agama-agama besar dunia meskipun berbeda dalam
aspek eksoteris—yakni ritual, doktrin, dan hukum—pada hakikatnya bertemu dalam
aspek esoteris yang sama, yaitu pengalaman langsung terhadap Yang Transenden.¹
Dengan demikian, filsafat perenial menolak dua kutub ekstrem: relativisme yang
menganggap semua agama sama tanpa perbedaan, dan eksklusivisme yang mengklaim
hanya satu agama yang benar.²
5.2.      
Persamaan Esoteris
dalam Agama-Agama Dunia
Para perenialis menekankan bahwa inti
dari agama-agama dunia dapat ditemukan dalam ajaran mistik atau tradisi
esoterisnya. Dalam Islam, misalnya, tasawuf memandang pencapaian tertinggi
sebagai penyatuan dengan kehendak Ilahi.³ Dalam Kristen, tradisi mistik seperti
Meister Eckhart berbicara tentang “pengosongan diri” demi berjumpa
dengan Tuhan.⁴ Dalam Hindu, filsafat Advaita Vedanta mengajarkan non-dualisme
yang menekankan identitas antara Atman dan Brahman.⁵
Kesamaan-kesamaan ini dipahami sebagai bukti adanya inti metafisis tunggal yang
melintasi sekat doktrinal.
5.3.      
Kontribusi terhadap
Dialog Antaragama
Filsafat perenial berperan penting
dalam mendorong dialog antaragama modern. Huston Smith, seorang tokoh
perenialis, melalui karya The World’s Religions, menyajikan pemahaman
simpatik terhadap berbagai agama dengan menekankan dimensi transendentalnya.⁶
Seyyed Hossein Nasr juga menekankan pentingnya filsafat perenial untuk
mengatasi konflik antaragama dan membangun kesadaran bahwa setiap tradisi
autentik merupakan jalan yang sah menuju kebenaran.⁷ Dengan demikian, filsafat
perenial memberikan landasan filosofis bagi dialog antaragama yang tulus, bukan
sekadar kompromi sosial-politik, melainkan pengakuan ontologis atas nilai sakral
setiap tradisi.
5.4.      
Implikasi dalam
Studi Perbandingan Agama
Dalam studi akademis, filsafat perenial
menghadirkan pendekatan yang berbeda dari fenomenologi agama atau pendekatan
historis-kritis. Jika pendekatan fenomenologi berfokus pada deskripsi
pengalaman religius dan pendekatan historis-kritis menekankan dimensi historis
serta sosial, maka filsafat perenial justru menggarisbawahi dimensi metafisis
yang dianggap permanen.⁸ Hal ini memungkinkan perenialisme untuk melihat agama
bukan hanya sebagai fenomena historis, melainkan juga sebagai ekspresi abadi
dari kebijaksanaan universal.
Footnotes
[1]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 4–6.
[2]               
René Guénon, Introduction to the Study of the Hindu
Doctrines (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 13–15.
[3]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 120–122.
[4]               
Meister Eckhart, Selected Writings, trans.
Oliver Davies (London: Penguin, 1994), 33–35.
[5]               
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy,
Vol. II (Oxford: Oxford University Press, 1927), 456–458.
[6]               
Huston Smith, The World’s Religions (San
Francisco: Harper & Row, 1958), 9–11.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature
(New York: Oxford University Press, 1996), 17–18.
[8]               
Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial
Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.
6.          
Kritik terhadap
Filsafat Perenial
6.1.      
Kritik dari Kalangan
Teolog Ortodoks
Filsafat perenial sering dituduh
merelatifkan klaim kebenaran eksklusif yang dimiliki oleh agama-agama tertentu.
Dalam konteks Kristen, misalnya, teolog seperti Gavin D’Costa menilai bahwa
gagasan kesatuan transendental agama-agama mengaburkan klaim unik tentang Yesus
Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.¹ Kritik serupa juga muncul
dalam Islam, di mana sebagian ulama menilai pandangan perenialis berpotensi
melemahkan prinsip finalitas kenabian Muhammad Saw serta superioritas al-Qur’an
sebagai wahyu terakhir.² Oleh karena itu, filsafat perenial dipandang
bermasalah karena membuka pintu pada sinkretisme dan menantang fondasi
eksklusivitas teologis.
6.2.      
Kritik dari Filsafat
Modern dan Posmodern
Dari perspektif filsafat modern dan
posmodern, perenialisme dipandang problematis secara epistemologis. Karl
Rahner, seorang teolog modern, mengakui adanya “Kristen anonim” dalam
tradisi non-Kristen, tetapi ia tetap menolak kesetaraan metafisis semua agama
sebagaimana diklaim oleh para perenialis.³ Sementara itu, pemikir posmodern
seperti Jacques Derrida menilai klaim tentang adanya kebenaran universal abadi
sebagai bentuk metanarasi yang justru bertentangan dengan pluralitas dan
diferensiasi radikal dalam pengalaman manusia.⁴ Dengan demikian, filsafat
perenial dianggap mengabaikan dimensi historis, sosial, dan linguistik agama.
6.3.      
Kritik Internal:
Perbedaan Tafsir Sesama Perenialis
Selain kritik eksternal, terdapat pula
perbedaan pandangan di antara para perenialis sendiri. René Guénon, misalnya,
lebih menekankan pentingnya tradisi primordial yang bersifat hierarkis dan
eksklusif terhadap bentuk-bentuk modernitas.⁵ Sebaliknya, Frithjof Schuon
menekankan universalitas agama secara lebih inklusif dengan menyoroti kesatuan
esoteris di balik perbedaan eksoteris.⁶ Perbedaan ini menunjukkan adanya ketegangan
internal dalam upaya mendefinisikan ruang lingkup filsafat perenial: apakah ia
bersifat eksklusif (elit esoteris) ataukah lebih terbuka pada dialog universal.
6.4.      
Kritik Akademis
Kontemporer
Dalam studi agama-agama kontemporer,
filsafat perenial sering dikritik karena terlalu normatif dan apologetik.
Steven Katz, misalnya, menolak pandangan bahwa pengalaman mistik bersifat
universal dan transkultural. Baginya, setiap pengalaman mistik selalu dimediasi
oleh konteks linguistik dan kultural tertentu.⁷ Kritik ini melemahkan klaim
perenialisme tentang adanya inti metafisis tunggal di balik semua tradisi.
Lebih jauh, sebagian akademisi menilai filsafat perenial terlalu idealis dan
kurang memberi perhatian pada dinamika historis, politik, dan sosial dalam
kehidupan beragama.⁸
Footnotes
[1]               
Gavin D’Costa, The Meeting of Religions and the
Trinity (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2000), 24–26.
[2]               
Osman Bakar, Islam and the Perennial Philosophy
(London: World Wisdom, 1999), 41–43.
[3]               
Karl Rahner, Theological Investigations, Vol. 5
(Baltimore: Helicon Press, 1966), 115–117.
[4]               
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans.
Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.
[5]               
René Guénon, The Crisis of the Modern World
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 12–15.
[6]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 3–5.
[7]               
Steven T. Katz, ed., Mysticism and Philosophical
Analysis (New York: Oxford University Press, 1978), 26–28.
[8]               
Robert Gimello, “Mysticism and Meditation,” dalam Mysticism
and Philosophical Analysis, ed. Steven T. Katz (New York: Oxford University
Press, 1978), 170–172.
7.          
Relevansi
Kontemporer Filsafat Perenial
7.1.      
Menjawab Krisis
Modernitas
Filsafat perenial hadir sebagai respons
terhadap krisis modernitas yang ditandai oleh sekularisasi, nihilisme, dan
dominasi materialisme. René Guénon menilai bahwa dunia modern kehilangan
orientasi spiritual akibat terputus dari prinsip metafisis yang abadi.¹ Dalam
hal ini, filsafat perenial memberikan kerangka untuk memahami kembali
keteraturan kosmik dan menegaskan pentingnya dimensi sakral dalam kehidupan
manusia.² Kehadirannya mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh
mengabaikan dimensi transenden yang menjadi fondasi makna hidup.
7.2.      
Kontribusi pada Isu
Lingkungan dan Ekologi
Salah satu kontribusi penting filsafat
perenial dalam konteks kontemporer adalah pemikirannya mengenai krisis ekologi.
Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa kerusakan alam tidak hanya bersifat
ekologis, tetapi juga spiritual, karena modernitas telah mengubah pandangan
manusia tentang alam dari sesuatu yang sakral menjadi sekadar objek
eksploitasi.³ Melalui konsep sains sakral, filsafat perenial mengajukan
paradigma baru yang memandang alam sebagai manifestasi dari realitas
transenden, sehingga hubungan manusia dengan alam harus dilandasi kesadaran
kosmologis dan etika spiritual.⁴
7.3.      
Relevansi dalam
Pendidikan dan Kebudayaan
Dalam dunia pendidikan, filsafat
perenial menekankan pentingnya integrasi antara pengetahuan rasional dan
kebijaksanaan spiritual. Huston Smith, misalnya, berpendapat bahwa pendidikan
modern cenderung reduksionis karena menyingkirkan dimensi transendental.⁵
Dengan menempatkan sophia perennis sebagai landasan, pendidikan dapat
diarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya—yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga bijak secara moral dan spiritual. Dalam bidang
kebudayaan, pendekatan perenial mendorong apresiasi terhadap seni dan tradisi
sakral sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan yang Ilahi.⁶
7.4.      
Dialog Antaragama
dan Perdamaian Dunia
Filsafat perenial juga memberikan
sumbangan penting dalam membangun kerangka dialog antaragama. Dengan menegaskan
adanya inti esoteris yang sama dalam setiap agama, filsafat perenial membuka
ruang toleransi yang mendalam tanpa harus menghapus identitas keagamaan.⁷
Prinsip ini dapat menjadi dasar bagi terciptanya perdamaian dunia, terutama
dalam konteks global yang rentan konflik antaragama. Seyyed Hossein Nasr
menekankan bahwa tanpa kesadaran perenial, dialog antaragama hanya akan bersifat
formal dan superfisial, bukan dialog yang lahir dari pengakuan atas kesucian
tradisi lain.⁸
Refleksi Filosofis: Potensi dan Tantangan
Meskipun menghadapi kritik dari teologi
ortodoks maupun posmodernisme, filsafat perenial tetap menawarkan kerangka yang
relevan untuk memahami pluralitas agama, krisis ekologi, dan kebutuhan
spiritual manusia modern. Namun, tantangannya terletak pada bagaimana
prinsip-prinsip metafisis tersebut dapat diterjemahkan ke dalam praksis sosial
dan politik tanpa kehilangan kedalaman esoterisnya. Dengan demikian, relevansi
filsafat perenial di era kontemporer tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga
praktis dalam membangun kehidupan manusia yang lebih harmonis dengan Tuhan,
sesama, dan alam semesta.⁹
Footnotes
[1]               
René Guénon, The Crisis of the Modern World
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 7–9.
[2]               
Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and
Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 12–14.
[3]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 15–17.
[5]               
Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial
Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.
[6]               
Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of
Nature in Art (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 13–15.
[7]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 5–7.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 9–11.
[9]               
William Stoddart, Remembering in a World of
Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 20–22.
8.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
8.1.      
Filsafat Perenial
sebagai Filsafat Perbandingan
Filsafat perenial dapat dipahami
sebagai sebuah kerangka filsafat perbandingan yang mencoba mengintegrasikan
beragam tradisi spiritual dalam satu horizon metafisis. Dengan mengakui adanya sophia
perennis yang hadir di balik keragaman doktrin keagamaan, pendekatan ini
menawarkan perspektif yang lebih dalam dibandingkan fenomenologi agama yang
cenderung deskriptif.¹ Filsafat perenial tidak hanya membandingkan agama dalam
tataran fenomena, melainkan menekankan kesatuan hakikat transenden yang
mendasari semuanya.²
8.2.      
Potensi Filsafat Perenial
dalam Menjawab Tantangan Zaman
Dalam dunia kontemporer yang ditandai
oleh pluralitas, globalisasi, dan krisis ekologis, filsafat perenial memiliki
potensi besar sebagai jembatan pemikiran. Dengan penekanannya pada kesatuan
transendental agama, perenialisme dapat menjadi dasar filosofis bagi
terciptanya toleransi mendalam antarumat beragama.³ Selain itu, dengan konsep sains
sakral, filsafat perenial mampu menawarkan paradigma alternatif bagi krisis
lingkungan, yakni memandang alam sebagai realitas sakral, bukan sekadar objek
eksploitasi.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat perenial relevan tidak hanya
dalam ranah teoretis, tetapi juga praktis.
8.3.      
Keterbatasan dan
Tantangan Filosofis
Meski demikian, filsafat perenial tidak
lepas dari keterbatasan. Kritik akademis menegaskan bahwa klaim adanya
kebenaran universal sering kali mengabaikan dimensi historis, sosial, dan
kultural dari pengalaman beragama.⁵ Selain itu, pendekatan perenial kadang
dianggap terlalu elitis karena lebih menekankan aspek esoteris yang hanya dapat
diakses oleh segelintir pencari kebenaran.⁶ Dalam konteks ini, refleksi
filosofis perlu diarahkan untuk mencari cara agar prinsip-prinsip perenialis
dapat diterjemahkan dalam kerangka yang lebih inklusif tanpa kehilangan
kedalaman metafisisnya.
Refleksi bagi Pemikiran Keislaman dan Dunia Akademik
Dalam konteks Islam, filsafat perenial
dapat berfungsi sebagai sarana untuk meneguhkan posisi tasawuf dan filsafat
Islam sebagai bagian integral dari khazanah kebijaksanaan universal. Seyyed
Hossein Nasr, misalnya, berusaha menunjukkan bahwa Islam memiliki dimensi
esoteris yang selaras dengan prinsip perenialis dan dapat berkontribusi pada
dialog antaragama global.⁷ Sementara itu, dalam dunia akademik, filsafat
perenial mengajak para sarjana untuk tidak berhenti pada analisis kritis
semata, tetapi juga berani mengakui dimensi transenden yang menjadi inti dari
agama.⁸ Dengan demikian, refleksi filosofis ini memperlihatkan bahwa filsafat
perenial dapat memperkaya studi agama sekaligus memberi kontribusi nyata bagi
pembangunan peradaban yang lebih manusiawi dan spiritual.
Footnotes
[1]               
Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New
York: Harper & Brothers, 1945), viii–ix.
[2]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 4–6.
[3]               
Huston Smith, The World’s Religions (San
Francisco: Harper & Row, 1958), 10–12.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.
[5]               
Steven T. Katz, ed., Mysticism and Philosophical
Analysis (New York: Oxford University Press, 1978), 25–28.
[6]               
René Guénon, Perspectives on Initiation
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 19–21.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 8–10.
[8]               
William Stoddart, Remembering in a World of
Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 20–22.
9.          
Penutup
Filsafat perenial (philosophia
perennis) hadir sebagai sebuah arus pemikiran yang berupaya menjawab krisis
modernitas dengan menegaskan kembali adanya kebijaksanaan abadi (sophia
perennis) yang melampaui batas ruang, waktu, dan tradisi keagamaan.¹ Dari
akar-akar kuno dalam filsafat Yunani, Hindu, Buddhisme, Taoisme, hingga
mistisisme Islam dan Kristen, gagasan ini kemudian mendapatkan bentuk sistematis
dalam pemikiran tokoh-tokoh modern seperti René Guénon, Frithjof Schuon, Ananda
Coomaraswamy, dan Seyyed Hossein Nasr.² Mereka menegaskan pentingnya dimensi
esoteris agama sebagai inti universal di balik keragaman bentuk eksoteris.³
Di sisi lain, filsafat perenial tidak
lepas dari kritik, baik dari kalangan teolog ortodoks yang menilai bahwa
perenialisme mengaburkan klaim eksklusif agama tertentu, maupun dari kalangan
filsafat modern dan posmodern yang menolak klaim universalitas dan menekankan
partikularitas pengalaman religius.⁴ Kritik internal di antara sesama
perenialis juga memperlihatkan adanya perbedaan penekanan antara tradisi yang
lebih eksklusif (seperti Guénon) dan yang lebih inklusif (seperti Schuon).⁵
Meskipun demikian, filsafat perenial tetap
menawarkan kontribusi yang signifikan dalam menjawab problem-problem
kontemporer. Dengan pendekatan metafisis yang mendalam, ia memberikan landasan
filosofis bagi dialog antaragama, pendidikan holistik, serta etika ekologis
berbasis spiritualitas.⁶ Relevansinya semakin tampak dalam dunia global yang
ditandai oleh pluralisme agama, krisis lingkungan, dan pencarian makna di
tengah sekularisasi.
Sebagai refleksi akhir, filsafat
perenial bukanlah jawaban tunggal atas seluruh problem manusia modern, tetapi ia
membuka cakrawala pemikiran tentang pentingnya keterhubungan antara kebenaran
universal dan praksis kehidupan.⁷ Dengan demikian, kajian ini menegaskan bahwa
filsafat perenial dapat diposisikan sebagai salah satu fondasi filosofis yang
memperkaya wacana filsafat agama, perbandingan agama, dan pembangunan peradaban
yang lebih manusiawi serta berakar pada kesadaran transenden.⁸
Footnotes
[1]               
Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New
York: Harper & Brothers, 1945), vii–x.
[2]               
Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966), 45–47; Giovanni Pico della
Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri
(Chicago: Regnery, 1956), 3–5.
[3]               
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 2–4.
[4]               
Gavin D’Costa, The Meeting of Religions and the
Trinity (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2000), 24–26; Jacques Derrida, Writing
and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press,
1978), 278–280.
[5]               
René Guénon, The Crisis of the Modern World
(Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 12–15; Frithjof Schuon, Survey of
Metaphysics and Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 15–17.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.
[7]               
Steven T. Katz, ed., Mysticism and Philosophical
Analysis (New York: Oxford University Press, 1978), 25–28.
[8]               
William Stoddart, Remembering in a World of
Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 20–22.
Daftar Pustaka
Coomaraswamy, A. K. (1934). The
transformation of nature in art. Harvard University Press.
Coomaraswamy, A. K. (1943). Hinduism
and Buddhism. Philosophical Library.
Chan, W. (1963). A source book in
Chinese philosophy. Princeton University Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi
path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State
University of New York Press.
D’Costa, G. (2000). The meeting of
religions and the Trinity. Orbis Books.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Eckhart, M. (1994). Selected
writings (O. Davies, Trans.). Penguin.
Guénon, R. (2001). The crisis of
the modern world. Sophia Perennis.
Guénon, R. (1972). The reign of
quantity and the signs of the times. Penguin Books.
Guénon, R. (2004). Introduction to
the study of the Hindu doctrines. Sophia Perennis.
Guénon, R. (2004). Perspectives on
initiation. Sophia Perennis.
Huxley, A. (1945). The perennial
philosophy. Harper & Brothers.
Katz, S. T. (Ed.). (1978). Mysticism
and philosophical analysis. Oxford University Press.
Leibniz, G. W. (1969). Philosophical
papers and letters (L. E. Loemker, Ed.). D. Reidel Publishing.
Mirandola, G. P. della. (1956). Oration
on the dignity of man (A. R. Caponigri, Trans.). Regnery.
Nasr, S. H. (1968). Man and
nature: The spiritual crisis in modern man. George Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and
the sacred. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and
the order of nature. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic
philosophy from its origin to the present. State University of New York
Press.
Plotinus. (1966). The Enneads
(A. H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.
Rahner, K. (1966). Theological
investigations (Vol. 5). Helicon Press.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian
philosophy (Vol. I). Oxford University Press.
Radhakrishnan, S. (1927). Indian
philosophy (Vol. II). Oxford University Press.
Schuon, F. (1993). The
transcendent unity of religions. Quest Books.
Schuon, F. (2000). Survey of
metaphysics and esoterism. World Wisdom.
Smith, H. (1958). The world’s
religions. Harper & Row.
Smith, H. (1976). Forgotten truth:
The primordial tradition. Harper & Row.
Stoddart, W. (2008). Remembering
in a world of forgetting. World Wisdom.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar