Jumat, 10 Oktober 2025

Filsafat Perenial: Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Perenial

Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas filsafat perenial (philosophia perennis) sebagai suatu aliran pemikiran yang menekankan adanya kebijaksanaan abadi (sophia perennis) yang melintasi ruang, waktu, dan tradisi keagamaan. Kajian dimulai dengan penjelasan konsep dasar, prinsip ontologis, epistemologis, dan aksiologis filsafat perenial, kemudian dilanjutkan dengan penelusuran sejarah dari akar-akar kuno hingga perkembangan sistematisnya pada abad ke-20 melalui Gerakan Tradisionalis. Tokoh-tokoh utama seperti René Guénon, Frithjof Schuon, Ananda Coomaraswamy, dan Seyyed Hossein Nasr dikaji secara mendalam untuk melihat kontribusi mereka dalam membangun landasan metafisis, kritik modernitas, serta upaya membangun dialog antaragama.

Artikel ini juga menyoroti kritik yang dialamatkan kepada filsafat perenial, baik dari kalangan teologi ortodoks, filsafat modern dan posmodern, maupun dari perbedaan tafsir internal antarperenialis. Kendati demikian, filsafat perenial tetap relevan dalam konteks kontemporer, khususnya dalam menjawab krisis modernitas, kerusakan lingkungan, dan kebutuhan akan pendidikan holistik serta perdamaian antaragama. Sintesis dan refleksi filosofis yang ditawarkan menegaskan bahwa filsafat perenial, meskipun memiliki keterbatasan, tetap dapat diposisikan sebagai salah satu fondasi penting dalam pengembangan filsafat agama, studi perbandingan agama, dan pembangunan peradaban yang lebih manusiawi dan spiritual.

Kata Kunci: Filsafat Perenial, Sophia Perennis, Tradisionalisme, René Guénon, Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr, Pluralisme Agama, Dialog Antaragama, Krisis Modernitas, Sains Sakral.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Filsafat Perenial


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Perkembangan pemikiran modern ditandai oleh kemajuan sains dan teknologi yang luar biasa, tetapi juga menghadirkan problem mendasar: krisis spiritual, degradasi moral, dan hilangnya orientasi transendental dalam kehidupan manusia. Modernitas yang dibangun atas dasar rasionalitas instrumental dan sekularisasi cenderung menyingkirkan dimensi sakral dari realitas, sehingga manusia modern sering mengalami kekosongan makna hidup.¹ Dalam konteks inilah, filsafat perenial (philosophia perennis) hadir sebagai sebuah arus pemikiran yang menawarkan kebijaksanaan abadi (sophia perennis) yang diyakini melintasi batas ruang, waktu, dan tradisi keagamaan.²

Filsafat perenial menegaskan adanya kebenaran universal yang menjadi inti dari berbagai agama besar dunia.³ Dengan demikian, filsafat ini tidak sekadar menjadi suatu sistem filosofis abstrak, melainkan juga sebuah pandangan hidup yang menolak relativisme modern sekaligus menolak eksklusivisme agama yang kaku. Ia berusaha merangkul perbedaan dalam kerangka kesatuan transendental.

1.2.       Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Kajian mengenai filsafat perenial dalam artikel ini berfokus pada beberapa pertanyaan pokok:

1)                  Apa yang dimaksud dengan filsafat perenial dan apa prinsip-prinsip dasarnya?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan filsafat perenial dari masa klasik hingga kontemporer?

3)                  Siapa saja tokoh utama yang menjadi pelopor dan pengembangannya?

4)                  Bagaimana kritik yang diarahkan terhadap filsafat perenial baik dari perspektif teologi maupun filsafat modern?

5)                  Apa relevansi filsafat perenial dalam menjawab krisis spiritual, budaya, dan peradaban di era kontemporer?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Kajian

Artikel ini bertujuan:

·                     Untuk menjelaskan secara sistematis konsep, prinsip, dan fondasi filsafat perenial.

·                     Untuk menelusuri sejarah dan tokoh-tokoh utama yang membentuk tradisi ini.

·                     Untuk mengkaji kritik yang muncul terhadap filsafat perenial.

·                     Untuk menganalisis relevansinya dalam konteks kehidupan kontemporer, baik dalam bidang spiritualitas, ekologi, maupun dialog antaragama.

Secara akademis, kajian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah filsafat agama dan perbandingan agama, serta memberi sumbangan bagi upaya membangun paradigma lintas budaya yang berakar pada nilai-nilai kebijaksanaan universal.

1.4.       Metodologi Kajian

Metodologi yang digunakan dalam artikel ini adalah pendekatan filosofis-historis dan komparatif. Pendekatan filosofis digunakan untuk menggali prinsip-prinsip dasar filsafat perenial, sementara pendekatan historis menelusuri jejak perkembangan pemikiran ini dari masa klasik hingga kontemporer. Pendekatan komparatif digunakan untuk membandingkan posisi filsafat perenial dengan filsafat modern, postmodern, dan pemikiran keagamaan kontemporer.

Dengan metodologi tersebut, artikel ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang utuh, kritis, dan reflektif terhadap filsafat perenial serta mengkaji potensi dan keterbatasannya dalam menjawab problem kehidupan manusia modern.⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 5–7.

[2]                Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New York: Harper & Brothers, 1945), vii–x.

[3]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 2–3.

[4]                René Guénon, The Crisis of the Modern World (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 15–18.


2.           Konsep Dasar Filsafat Perenial

2.1.       Definisi dan Makna Perenial

Istilah filsafat perenial (philosophia perennis) pertama kali dipopulerkan oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz pada abad ke-17, meskipun akar konsepnya dapat ditelusuri hingga ke tradisi filsafat kuno.¹ Secara etimologis, kata perenial berarti “abadi” atau “tak lekang oleh waktu”, sehingga filsafat perenial dipahami sebagai filsafat kebijaksanaan yang bersifat universal, transhistoris, dan transkultural.²

Dalam pengertian ini, filsafat perenial bukanlah sekadar sebuah aliran filsafat formal, melainkan suatu pandangan metafisis yang menegaskan adanya inti kebenaran tunggal di balik keragaman bentuk-bentuk religius dan filosofis.³

2.2.       Prinsip-Prinsip Utama Filsafat Perenial

Terdapat beberapa prinsip yang menjadi fondasi filsafat perenial:

·                     Kesatuan Kebenaran Transenden

Semua agama dan tradisi autentik diyakini bersumber dari satu kebenaran metafisis yang sama, meskipun terungkap melalui simbol dan bahasa yang berbeda.⁴ Prinsip ini dikenal dengan istilah transcendent unity of religions.

·                     Dikotomi Eksoteris dan Esoteris

Filsafat perenial membedakan antara aspek lahiriah (eksoteris) agama—seperti dogma, ritual, dan hukum—dengan aspek batiniah (esoteris) yang berhubungan langsung dengan realitas transenden.⁵ Aspek esoteris inilah yang dianggap sebagai inti perenial dalam setiap agama.

·                     Kebijaksanaan Abadi (Sophia Perennis)

Pengetahuan metafisis yang bersifat abadi diyakini hadir dalam setiap tradisi, terutama melalui tokoh suci, nabi, dan bijak yang mewariskan kebenaran universal.⁶

2.3.       Dasar Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

Secara ontologis, filsafat perenial menekankan realitas transenden sebagai sumber segala eksistensi. Segala fenomena duniawi dipandang sebagai refleksi atau manifestasi dari prinsip metafisis tertinggi.⁷

Secara epistemologis, filsafat perenial mengakui adanya cara memperoleh pengetahuan yang melampaui rasio diskursif, yaitu melalui intuisi intelektual atau pengalaman mistis. Pengetahuan ini tidak meniadakan akal, tetapi melampauinya dalam kerangka gnosis.⁸

Secara aksiologis, filsafat perenial menekankan pentingnya orientasi hidup manusia kepada Yang Absolut. Etika dan spiritualitas dipandang sebagai wujud praksis yang menghubungkan manusia dengan sumber kebenaran abadi.⁹ Dengan demikian, filsafat perenial tidak berhenti pada spekulasi metafisis, tetapi juga membimbing tindakan dan transformasi spiritual.


Footnotes

[1]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Philosophical Papers and Letters, ed. Leroy E. Loemker (Dordrecht: D. Reidel Publishing, 1969), 55–57.

[2]                Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New York: Harper & Brothers, 1945), vii–x.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 6–7.

[4]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 4–6.

[5]                René Guénon, Introduction to the Study of the Hindu Doctrines (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 13–14.

[6]                Ananda K. Coomaraswamy, Hinduism and Buddhism (New York: Philosophical Library, 1943), 7–9.

[7]                Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 11–12.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 21–23.

[9]                Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.


3.           Sejarah dan Perkembangan Filsafat Perenial

3.1.       Akar Awal: Dunia Kuno dan Tradisi Mistis

Gagasan tentang kebenaran abadi yang melampaui ruang dan waktu bukanlah konsep baru dalam sejarah pemikiran manusia. Dalam filsafat Yunani kuno, Plato mengajarkan tentang dunia ide sebagai realitas transenden yang bersifat abadi, sementara Plotinus melalui filsafat Neoplatonisme menekankan prinsip “Yang Esa” (the One) sebagai sumber segala realitas.¹ Dalam tradisi India, ajaran Sanātana Dharma dalam Hindu menegaskan adanya prinsip kekal (Brahman) yang menjadi inti segala fenomena.² Demikian pula dalam Buddhisme dan Taoisme, terdapat ajaran mengenai jalan batin yang menghubungkan manusia dengan prinsip kosmis universal.³

Di dunia Islam, tradisi filsafat dan tasawuf juga menyuarakan gagasan serupa. Ibn ‘Arabi, misalnya, mengembangkan doktrin wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi) yang menekankan kesatuan realitas di balik keragaman fenomena.⁴ Semua ini memperlihatkan bahwa benih-benih filsafat perenial telah hadir dalam berbagai tradisi spiritual dan filosofis sebelum istilahnya dipopulerkan di Barat.

3.2.       Masa Renaissance dan Abad Modern Awal

Gagasan filsafat perenial menemukan momentum baru pada masa Renaissance di Eropa. Giovanni Pico della Mirandola (1463–1494) dalam Oratio de hominis dignitate menegaskan adanya kesatuan kebenaran dalam berbagai tradisi agama dan filsafat, mulai dari Platonisme hingga Kabbalah Yahudi.⁵ Ia meyakini bahwa semua bentuk pengetahuan yang autentik mengarah pada sumber kebijaksanaan yang sama.

Pada abad ke-17, filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz menggunakan istilah philosophia perennis untuk merujuk pada tradisi kebijaksanaan universal yang diyakininya selalu hadir dalam sejarah umat manusia.⁶ Baginya, filsafat perenial adalah filsafat “abadi” yang tidak bergantung pada ruang dan waktu, melainkan mengandung inti kebenaran yang sama di setiap peradaban.

3.3.       Perkembangan Abad ke-20: Gerakan Tradisionalis

Pada abad ke-20, filsafat perenial mendapat bentuk sistematis melalui Gerakan Tradisionalis. René Guénon (1886–1951) menjadi tokoh sentral dengan kritiknya terhadap modernitas yang dianggap telah menyingkirkan dimensi sakral dalam kehidupan. Dalam The Crisis of the Modern World (1927), ia menegaskan pentingnya kembali pada tradisi primordial sebagai sumber kebenaran transenden.⁷

Frithjof Schuon (1907–1998) kemudian mengembangkan lebih jauh gagasan Guénon dengan menekankan prinsip transcendent unity of religions.⁸ Sementara itu, Ananda Coomaraswamy menyoroti pentingnya seni sakral sebagai ekspresi dari kebijaksanaan abadi.⁹ Dalam konteks dunia Islam, Seyyed Hossein Nasr menekankan dimensi sakral dalam sains dan pentingnya filsafat perenial untuk mengatasi krisis ekologi dan spiritualitas modern.¹⁰

Dengan demikian, abad ke-20 menandai fase institusionalisasi filsafat perenial sebagai suatu tradisi intelektual yang terstruktur dan memiliki pengaruh signifikan dalam wacana filsafat, teologi, dan perbandingan agama.


Footnotes

[1]                Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966), 45–47.

[2]                Radhakrishnan, Sarvepalli, Indian Philosophy, Vol. I (Oxford: Oxford University Press, 1923), 34–36.

[3]                Wing-tsit Chan, A Source Book in Chinese Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 1963), 77–79.

[4]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 90–92.

[5]                Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Regnery, 1956), 3–5.

[6]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Philosophical Papers and Letters, ed. Leroy E. Loemker (Dordrecht: D. Reidel Publishing, 1969), 55–57.

[7]                René Guénon, The Crisis of the Modern World (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 15–18.

[8]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 2–4.

[9]                Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of Nature in Art (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 9–11.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.


4.           Tokoh-Tokoh Utama Filsafat Perenial

4.1.       René Guénon (1886–1951)

René Guénon dianggap sebagai pelopor filsafat perenial modern dan tokoh utama Gerakan Tradisionalis. Dalam karya-karyanya seperti The Crisis of the Modern World (1927) dan The Reign of Quantity and the Signs of the Times (1945), ia mengkritik keras modernitas yang menurutnya didasarkan pada rasionalisme, materialisme, dan relativisme.¹ Bagi Guénon, dunia modern mengalami “keterputusan” dari prinsip metafisis, sehingga hanya dengan kembali kepada tradisi primordial umat manusia dapat menemukan kembali keseimbangan spiritualnya.² Ia menekankan pentingnya inisiasi dan pengetahuan esoteris sebagai jalan menuju realitas transenden.³

4.2.       Frithjof Schuon (1907–1998)

Frithjof Schuon mengembangkan pemikiran Guénon dengan lebih menekankan pada kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions).⁴ Dalam karyanya The Transcendent Unity of Religions (1948), Schuon menegaskan bahwa setiap agama memiliki aspek eksoteris (lahiriah) dan esoteris (batiniah). Eksoteris mungkin berbeda secara doktrinal, tetapi esoteris mengarah pada kebenaran yang sama.⁵ Schuon juga dikenal sebagai seorang metafisikus yang menekankan pentingnya simbolisme dalam agama dan seni sakral sebagai jembatan menuju realitas ilahi.⁶

4.3.       Ananda Coomaraswamy (1877–1947)

Sejarawan seni dan filsuf asal Sri Lanka ini memberikan kontribusi penting dalam membangun filsafat perenial melalui studi tentang seni tradisional. Dalam karyanya The Transformation of Nature in Art, ia menegaskan bahwa seni tradisional bukan sekadar ekspresi estetika, melainkan manifestasi dari prinsip metafisis.⁷ Coomaraswamy melihat bahwa seni sakral menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan abadi (sophia perennis), sehingga hilangnya seni tradisional merupakan bagian dari krisis spiritual modern.⁸

4.4.       Seyyed Hossein Nasr (1933–)

Sebagai tokoh kontemporer, Seyyed Hossein Nasr menjadi jembatan antara filsafat perenial dengan wacana modern, khususnya dalam bidang sains dan ekologi. Dalam Knowledge and the Sacred (1981) dan Man and Nature (1968), Nasr menyoroti krisis ekologis sebagai akibat dari pandangan dunia modern yang memisahkan manusia dari alam.⁹ Ia mengajukan konsep sains sakral, yaitu ilmu pengetahuan yang diintegrasikan dengan prinsip metafisis dan spiritual.¹⁰ Nasr menegaskan bahwa solusi atas krisis modern harus melibatkan kembalinya manusia kepada kesadaran kosmologis yang sakral.¹¹


Tokoh Lain: Huston Smith dan William Stoddart

Selain tokoh-tokoh utama di atas, beberapa intelektual lain turut memperkaya wacana filsafat perenial. Huston Smith (1919–2016), seorang sarjana agama-agama, dalam The World’s Religions (1958) dan Forgotten Truth (1976), menekankan dimensi universal dari agama-agama besar dunia.¹² William Stoddart, melalui karya-karyanya seperti Remembering in a World of Forgetting, berperan sebagai penyebar gagasan perenialis di kalangan pembaca modern.¹³


Footnotes

[1]                René Guénon, The Crisis of the Modern World (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 3–5.

[2]                René Guénon, The Reign of Quantity and the Signs of the Times (Baltimore: Penguin Books, 1972), 12–14.

[3]                René Guénon, Perspectives on Initiation (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 21–22.

[4]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 1–3.

[5]                Ibid., 6–8.

[6]                Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 15–17.

[7]                Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of Nature in Art (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 9–11.

[8]                Ibid., 12–14.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–25.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 7–9.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 19–20.

[12]             Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.

[13]             William Stoddart, Remembering in a World of Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 5–7.


5.           Filsafat Perenial dalam Konteks Perbandingan Agama

5.1.       Pluralisme dan Kesatuan Transendental Agama

Salah satu kontribusi paling menonjol dari filsafat perenial dalam studi perbandingan agama adalah gagasan mengenai kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions). Frithjof Schuon menegaskan bahwa agama-agama besar dunia meskipun berbeda dalam aspek eksoteris—yakni ritual, doktrin, dan hukum—pada hakikatnya bertemu dalam aspek esoteris yang sama, yaitu pengalaman langsung terhadap Yang Transenden.¹ Dengan demikian, filsafat perenial menolak dua kutub ekstrem: relativisme yang menganggap semua agama sama tanpa perbedaan, dan eksklusivisme yang mengklaim hanya satu agama yang benar.²

5.2.       Persamaan Esoteris dalam Agama-Agama Dunia

Para perenialis menekankan bahwa inti dari agama-agama dunia dapat ditemukan dalam ajaran mistik atau tradisi esoterisnya. Dalam Islam, misalnya, tasawuf memandang pencapaian tertinggi sebagai penyatuan dengan kehendak Ilahi.³ Dalam Kristen, tradisi mistik seperti Meister Eckhart berbicara tentang “pengosongan diri” demi berjumpa dengan Tuhan.⁴ Dalam Hindu, filsafat Advaita Vedanta mengajarkan non-dualisme yang menekankan identitas antara Atman dan Brahman.⁵ Kesamaan-kesamaan ini dipahami sebagai bukti adanya inti metafisis tunggal yang melintasi sekat doktrinal.

5.3.       Kontribusi terhadap Dialog Antaragama

Filsafat perenial berperan penting dalam mendorong dialog antaragama modern. Huston Smith, seorang tokoh perenialis, melalui karya The World’s Religions, menyajikan pemahaman simpatik terhadap berbagai agama dengan menekankan dimensi transendentalnya.⁶ Seyyed Hossein Nasr juga menekankan pentingnya filsafat perenial untuk mengatasi konflik antaragama dan membangun kesadaran bahwa setiap tradisi autentik merupakan jalan yang sah menuju kebenaran.⁷ Dengan demikian, filsafat perenial memberikan landasan filosofis bagi dialog antaragama yang tulus, bukan sekadar kompromi sosial-politik, melainkan pengakuan ontologis atas nilai sakral setiap tradisi.

5.4.       Implikasi dalam Studi Perbandingan Agama

Dalam studi akademis, filsafat perenial menghadirkan pendekatan yang berbeda dari fenomenologi agama atau pendekatan historis-kritis. Jika pendekatan fenomenologi berfokus pada deskripsi pengalaman religius dan pendekatan historis-kritis menekankan dimensi historis serta sosial, maka filsafat perenial justru menggarisbawahi dimensi metafisis yang dianggap permanen.⁸ Hal ini memungkinkan perenialisme untuk melihat agama bukan hanya sebagai fenomena historis, melainkan juga sebagai ekspresi abadi dari kebijaksanaan universal.


Footnotes

[1]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 4–6.

[2]                René Guénon, Introduction to the Study of the Hindu Doctrines (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 13–15.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 120–122.

[4]                Meister Eckhart, Selected Writings, trans. Oliver Davies (London: Penguin, 1994), 33–35.

[5]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. II (Oxford: Oxford University Press, 1927), 456–458.

[6]                Huston Smith, The World’s Religions (San Francisco: Harper & Row, 1958), 9–11.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 17–18.

[8]                Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.


6.           Kritik terhadap Filsafat Perenial

6.1.       Kritik dari Kalangan Teolog Ortodoks

Filsafat perenial sering dituduh merelatifkan klaim kebenaran eksklusif yang dimiliki oleh agama-agama tertentu. Dalam konteks Kristen, misalnya, teolog seperti Gavin D’Costa menilai bahwa gagasan kesatuan transendental agama-agama mengaburkan klaim unik tentang Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.¹ Kritik serupa juga muncul dalam Islam, di mana sebagian ulama menilai pandangan perenialis berpotensi melemahkan prinsip finalitas kenabian Muhammad Saw serta superioritas al-Qur’an sebagai wahyu terakhir.² Oleh karena itu, filsafat perenial dipandang bermasalah karena membuka pintu pada sinkretisme dan menantang fondasi eksklusivitas teologis.

6.2.       Kritik dari Filsafat Modern dan Posmodern

Dari perspektif filsafat modern dan posmodern, perenialisme dipandang problematis secara epistemologis. Karl Rahner, seorang teolog modern, mengakui adanya “Kristen anonim” dalam tradisi non-Kristen, tetapi ia tetap menolak kesetaraan metafisis semua agama sebagaimana diklaim oleh para perenialis.³ Sementara itu, pemikir posmodern seperti Jacques Derrida menilai klaim tentang adanya kebenaran universal abadi sebagai bentuk metanarasi yang justru bertentangan dengan pluralitas dan diferensiasi radikal dalam pengalaman manusia.⁴ Dengan demikian, filsafat perenial dianggap mengabaikan dimensi historis, sosial, dan linguistik agama.

6.3.       Kritik Internal: Perbedaan Tafsir Sesama Perenialis

Selain kritik eksternal, terdapat pula perbedaan pandangan di antara para perenialis sendiri. René Guénon, misalnya, lebih menekankan pentingnya tradisi primordial yang bersifat hierarkis dan eksklusif terhadap bentuk-bentuk modernitas.⁵ Sebaliknya, Frithjof Schuon menekankan universalitas agama secara lebih inklusif dengan menyoroti kesatuan esoteris di balik perbedaan eksoteris.⁶ Perbedaan ini menunjukkan adanya ketegangan internal dalam upaya mendefinisikan ruang lingkup filsafat perenial: apakah ia bersifat eksklusif (elit esoteris) ataukah lebih terbuka pada dialog universal.

6.4.       Kritik Akademis Kontemporer

Dalam studi agama-agama kontemporer, filsafat perenial sering dikritik karena terlalu normatif dan apologetik. Steven Katz, misalnya, menolak pandangan bahwa pengalaman mistik bersifat universal dan transkultural. Baginya, setiap pengalaman mistik selalu dimediasi oleh konteks linguistik dan kultural tertentu.⁷ Kritik ini melemahkan klaim perenialisme tentang adanya inti metafisis tunggal di balik semua tradisi. Lebih jauh, sebagian akademisi menilai filsafat perenial terlalu idealis dan kurang memberi perhatian pada dinamika historis, politik, dan sosial dalam kehidupan beragama.⁸


Footnotes

[1]                Gavin D’Costa, The Meeting of Religions and the Trinity (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2000), 24–26.

[2]                Osman Bakar, Islam and the Perennial Philosophy (London: World Wisdom, 1999), 41–43.

[3]                Karl Rahner, Theological Investigations, Vol. 5 (Baltimore: Helicon Press, 1966), 115–117.

[4]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.

[5]                René Guénon, The Crisis of the Modern World (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 12–15.

[6]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 3–5.

[7]                Steven T. Katz, ed., Mysticism and Philosophical Analysis (New York: Oxford University Press, 1978), 26–28.

[8]                Robert Gimello, “Mysticism and Meditation,” dalam Mysticism and Philosophical Analysis, ed. Steven T. Katz (New York: Oxford University Press, 1978), 170–172.


7.           Relevansi Kontemporer Filsafat Perenial

7.1.       Menjawab Krisis Modernitas

Filsafat perenial hadir sebagai respons terhadap krisis modernitas yang ditandai oleh sekularisasi, nihilisme, dan dominasi materialisme. René Guénon menilai bahwa dunia modern kehilangan orientasi spiritual akibat terputus dari prinsip metafisis yang abadi.¹ Dalam hal ini, filsafat perenial memberikan kerangka untuk memahami kembali keteraturan kosmik dan menegaskan pentingnya dimensi sakral dalam kehidupan manusia.² Kehadirannya mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengabaikan dimensi transenden yang menjadi fondasi makna hidup.

7.2.       Kontribusi pada Isu Lingkungan dan Ekologi

Salah satu kontribusi penting filsafat perenial dalam konteks kontemporer adalah pemikirannya mengenai krisis ekologi. Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa kerusakan alam tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga spiritual, karena modernitas telah mengubah pandangan manusia tentang alam dari sesuatu yang sakral menjadi sekadar objek eksploitasi.³ Melalui konsep sains sakral, filsafat perenial mengajukan paradigma baru yang memandang alam sebagai manifestasi dari realitas transenden, sehingga hubungan manusia dengan alam harus dilandasi kesadaran kosmologis dan etika spiritual.⁴

7.3.       Relevansi dalam Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam dunia pendidikan, filsafat perenial menekankan pentingnya integrasi antara pengetahuan rasional dan kebijaksanaan spiritual. Huston Smith, misalnya, berpendapat bahwa pendidikan modern cenderung reduksionis karena menyingkirkan dimensi transendental.⁵ Dengan menempatkan sophia perennis sebagai landasan, pendidikan dapat diarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya—yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara moral dan spiritual. Dalam bidang kebudayaan, pendekatan perenial mendorong apresiasi terhadap seni dan tradisi sakral sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan yang Ilahi.⁶

7.4.       Dialog Antaragama dan Perdamaian Dunia

Filsafat perenial juga memberikan sumbangan penting dalam membangun kerangka dialog antaragama. Dengan menegaskan adanya inti esoteris yang sama dalam setiap agama, filsafat perenial membuka ruang toleransi yang mendalam tanpa harus menghapus identitas keagamaan.⁷ Prinsip ini dapat menjadi dasar bagi terciptanya perdamaian dunia, terutama dalam konteks global yang rentan konflik antaragama. Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa tanpa kesadaran perenial, dialog antaragama hanya akan bersifat formal dan superfisial, bukan dialog yang lahir dari pengakuan atas kesucian tradisi lain.⁸


Refleksi Filosofis: Potensi dan Tantangan

Meskipun menghadapi kritik dari teologi ortodoks maupun posmodernisme, filsafat perenial tetap menawarkan kerangka yang relevan untuk memahami pluralitas agama, krisis ekologi, dan kebutuhan spiritual manusia modern. Namun, tantangannya terletak pada bagaimana prinsip-prinsip metafisis tersebut dapat diterjemahkan ke dalam praksis sosial dan politik tanpa kehilangan kedalaman esoterisnya. Dengan demikian, relevansi filsafat perenial di era kontemporer tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis dalam membangun kehidupan manusia yang lebih harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.⁹


Footnotes

[1]                René Guénon, The Crisis of the Modern World (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 7–9.

[2]                Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 12–14.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 15–17.

[5]                Huston Smith, Forgotten Truth: The Primordial Tradition (San Francisco: Harper & Row, 1976), 10–12.

[6]                Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of Nature in Art (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 13–15.

[7]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 5–7.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 9–11.

[9]                William Stoddart, Remembering in a World of Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 20–22.


8.           Sintesis dan Refleksi Filosofis

8.1.       Filsafat Perenial sebagai Filsafat Perbandingan

Filsafat perenial dapat dipahami sebagai sebuah kerangka filsafat perbandingan yang mencoba mengintegrasikan beragam tradisi spiritual dalam satu horizon metafisis. Dengan mengakui adanya sophia perennis yang hadir di balik keragaman doktrin keagamaan, pendekatan ini menawarkan perspektif yang lebih dalam dibandingkan fenomenologi agama yang cenderung deskriptif.¹ Filsafat perenial tidak hanya membandingkan agama dalam tataran fenomena, melainkan menekankan kesatuan hakikat transenden yang mendasari semuanya.²

8.2.       Potensi Filsafat Perenial dalam Menjawab Tantangan Zaman

Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh pluralitas, globalisasi, dan krisis ekologis, filsafat perenial memiliki potensi besar sebagai jembatan pemikiran. Dengan penekanannya pada kesatuan transendental agama, perenialisme dapat menjadi dasar filosofis bagi terciptanya toleransi mendalam antarumat beragama.³ Selain itu, dengan konsep sains sakral, filsafat perenial mampu menawarkan paradigma alternatif bagi krisis lingkungan, yakni memandang alam sebagai realitas sakral, bukan sekadar objek eksploitasi.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat perenial relevan tidak hanya dalam ranah teoretis, tetapi juga praktis.

8.3.       Keterbatasan dan Tantangan Filosofis

Meski demikian, filsafat perenial tidak lepas dari keterbatasan. Kritik akademis menegaskan bahwa klaim adanya kebenaran universal sering kali mengabaikan dimensi historis, sosial, dan kultural dari pengalaman beragama.⁵ Selain itu, pendekatan perenial kadang dianggap terlalu elitis karena lebih menekankan aspek esoteris yang hanya dapat diakses oleh segelintir pencari kebenaran.⁶ Dalam konteks ini, refleksi filosofis perlu diarahkan untuk mencari cara agar prinsip-prinsip perenialis dapat diterjemahkan dalam kerangka yang lebih inklusif tanpa kehilangan kedalaman metafisisnya.


Refleksi bagi Pemikiran Keislaman dan Dunia Akademik

Dalam konteks Islam, filsafat perenial dapat berfungsi sebagai sarana untuk meneguhkan posisi tasawuf dan filsafat Islam sebagai bagian integral dari khazanah kebijaksanaan universal. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, berusaha menunjukkan bahwa Islam memiliki dimensi esoteris yang selaras dengan prinsip perenialis dan dapat berkontribusi pada dialog antaragama global.⁷ Sementara itu, dalam dunia akademik, filsafat perenial mengajak para sarjana untuk tidak berhenti pada analisis kritis semata, tetapi juga berani mengakui dimensi transenden yang menjadi inti dari agama.⁸ Dengan demikian, refleksi filosofis ini memperlihatkan bahwa filsafat perenial dapat memperkaya studi agama sekaligus memberi kontribusi nyata bagi pembangunan peradaban yang lebih manusiawi dan spiritual.


Footnotes

[1]                Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New York: Harper & Brothers, 1945), viii–ix.

[2]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 4–6.

[3]                Huston Smith, The World’s Religions (San Francisco: Harper & Row, 1958), 10–12.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.

[5]                Steven T. Katz, ed., Mysticism and Philosophical Analysis (New York: Oxford University Press, 1978), 25–28.

[6]                René Guénon, Perspectives on Initiation (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2004), 19–21.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 8–10.

[8]                William Stoddart, Remembering in a World of Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 20–22.


9.           Penutup

Filsafat perenial (philosophia perennis) hadir sebagai sebuah arus pemikiran yang berupaya menjawab krisis modernitas dengan menegaskan kembali adanya kebijaksanaan abadi (sophia perennis) yang melampaui batas ruang, waktu, dan tradisi keagamaan.¹ Dari akar-akar kuno dalam filsafat Yunani, Hindu, Buddhisme, Taoisme, hingga mistisisme Islam dan Kristen, gagasan ini kemudian mendapatkan bentuk sistematis dalam pemikiran tokoh-tokoh modern seperti René Guénon, Frithjof Schuon, Ananda Coomaraswamy, dan Seyyed Hossein Nasr.² Mereka menegaskan pentingnya dimensi esoteris agama sebagai inti universal di balik keragaman bentuk eksoteris.³

Di sisi lain, filsafat perenial tidak lepas dari kritik, baik dari kalangan teolog ortodoks yang menilai bahwa perenialisme mengaburkan klaim eksklusif agama tertentu, maupun dari kalangan filsafat modern dan posmodern yang menolak klaim universalitas dan menekankan partikularitas pengalaman religius.⁴ Kritik internal di antara sesama perenialis juga memperlihatkan adanya perbedaan penekanan antara tradisi yang lebih eksklusif (seperti Guénon) dan yang lebih inklusif (seperti Schuon).⁵

Meskipun demikian, filsafat perenial tetap menawarkan kontribusi yang signifikan dalam menjawab problem-problem kontemporer. Dengan pendekatan metafisis yang mendalam, ia memberikan landasan filosofis bagi dialog antaragama, pendidikan holistik, serta etika ekologis berbasis spiritualitas.⁶ Relevansinya semakin tampak dalam dunia global yang ditandai oleh pluralisme agama, krisis lingkungan, dan pencarian makna di tengah sekularisasi.

Sebagai refleksi akhir, filsafat perenial bukanlah jawaban tunggal atas seluruh problem manusia modern, tetapi ia membuka cakrawala pemikiran tentang pentingnya keterhubungan antara kebenaran universal dan praksis kehidupan.⁷ Dengan demikian, kajian ini menegaskan bahwa filsafat perenial dapat diposisikan sebagai salah satu fondasi filosofis yang memperkaya wacana filsafat agama, perbandingan agama, dan pembangunan peradaban yang lebih manusiawi serta berakar pada kesadaran transenden.⁸


Footnotes

[1]                Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New York: Harper & Brothers, 1945), vii–x.

[2]                Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966), 45–47; Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Regnery, 1956), 3–5.

[3]                Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Quest Books, 1993), 2–4.

[4]                Gavin D’Costa, The Meeting of Religions and the Trinity (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2000), 24–26; Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.

[5]                René Guénon, The Crisis of the Modern World (Hillsdale, NY: Sophia Perennis, 2001), 12–15; Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000), 15–17.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23–26.

[7]                Steven T. Katz, ed., Mysticism and Philosophical Analysis (New York: Oxford University Press, 1978), 25–28.

[8]                William Stoddart, Remembering in a World of Forgetting (Bloomington: World Wisdom, 2008), 20–22.


Daftar Pustaka

Coomaraswamy, A. K. (1934). The transformation of nature in art. Harvard University Press.

Coomaraswamy, A. K. (1943). Hinduism and Buddhism. Philosophical Library.

Chan, W. (1963). A source book in Chinese philosophy. Princeton University Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

D’Costa, G. (2000). The meeting of religions and the Trinity. Orbis Books.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Eckhart, M. (1994). Selected writings (O. Davies, Trans.). Penguin.

Guénon, R. (2001). The crisis of the modern world. Sophia Perennis.

Guénon, R. (1972). The reign of quantity and the signs of the times. Penguin Books.

Guénon, R. (2004). Introduction to the study of the Hindu doctrines. Sophia Perennis.

Guénon, R. (2004). Perspectives on initiation. Sophia Perennis.

Huxley, A. (1945). The perennial philosophy. Harper & Brothers.

Katz, S. T. (Ed.). (1978). Mysticism and philosophical analysis. Oxford University Press.

Leibniz, G. W. (1969). Philosophical papers and letters (L. E. Loemker, Ed.). D. Reidel Publishing.

Mirandola, G. P. della. (1956). Oration on the dignity of man (A. R. Caponigri, Trans.). Regnery.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis in modern man. George Allen and Unwin.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present. State University of New York Press.

Plotinus. (1966). The Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.

Rahner, K. (1966). Theological investigations (Vol. 5). Helicon Press.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy (Vol. I). Oxford University Press.

Radhakrishnan, S. (1927). Indian philosophy (Vol. II). Oxford University Press.

Schuon, F. (1993). The transcendent unity of religions. Quest Books.

Schuon, F. (2000). Survey of metaphysics and esoterism. World Wisdom.

Smith, H. (1958). The world’s religions. Harper & Row.

Smith, H. (1976). Forgotten truth: The primordial tradition. Harper & Row.

Stoddart, W. (2008). Remembering in a world of forgetting. World Wisdom.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar