Kamis, 09 Oktober 2025

Stoikisme dan CBT: Pengaruh Stoikisme terhadap Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Stoikisme dan CBT

Pengaruh Stoikisme terhadap Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas pengaruh Stoikisme terhadap perkembangan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), salah satu pendekatan psikoterapi paling dominan dalam praktik klinis modern. Stoikisme, khususnya ajaran Epictetus, menekankan bahwa penderitaan manusia bersumber bukan dari peristiwa eksternal, melainkan dari penilaian subjektif atas peristiwa tersebut. Prinsip ini menemukan resonansinya dalam model kognitif CBT yang dikembangkan oleh Albert Ellis melalui Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) dan Aaron T. Beck melalui Cognitive Therapy. Artikel ini menguraikan konsep dasar Stoikisme dan praktik etis-rasionalnya, kemudian menelusuri latar historis lahirnya CBT di abad ke-20, serta memetakan persinggungan keduanya dalam aspek prinsip, metodologi, dan orientasi. Selanjutnya, dibahas pula aplikasi kontemporer CBT dalam psikologi klinis dan popularitas Stoikisme dalam literatur self-help modern, sekaligus peluang integrasi antara keduanya dalam terapi berbasis nilai. Analisis ini menegaskan bahwa meski Stoikisme dan CBT berbeda orientasi—filsafat etis vs. intervensi klinis—keduanya saling melengkapi: Stoikisme menawarkan kerangka kebajikan dan makna hidup, sementara CBT menyediakan metode empiris untuk restrukturisasi kognitif dan pengurangan gejala psikologis. Artikel ini juga menyoroti kritik dan tantangan, seperti risiko reduksionisme pada CBT dan simplifikasi Stoikisme, sekaligus membuka prospek integrasi multidisipliner. Dengan demikian, dialog antara Stoa dan klinik modern menunjukkan kesinambungan lintas zaman dalam upaya manusia mengelola penderitaan dan mencapai kehidupan yang sehat serta bermakna.

Kata kunci: Stoikisme, Epictetus, Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Aaron T. Beck, Albert Ellis, psikoterapi modern, filsafat praktis.


PEMBAHASAN

Kontribusi Stoa terhadap Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


1.           Pendahuluan

Hubungan antara filsafat kuno dan psikoterapi modern bukan sekadar anekdot intelektual, melainkan jembatan metodologis dan konseptual yang dapat dilacak secara historis. Salah satu jembatan yang paling berpengaruh ialah Stoikisme—terutama ajaran Epictetus—yang menegaskan bahwa manusia tidak diganggu oleh peristiwa itu sendiri, melainkan oleh penilaiannya atas peristiwa tersebut: “Men are disturbed, not by things, but by the principles and notions which they form concerning things.”¹ Prinsip ini selaras dengan asumsi kognitif yang menjadi dasar Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yakni bahwa emosi dan perilaku terutama dimediasi oleh interpretasi dan keyakinan individu, bukan oleh kejadian eksternal belaka.² ³

Secara historis, pengembangan CBT pada 1960–1970-an dipelopori Aaron T. Beck, sementara Albert Ellis merumuskan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) sejak pertengahan 1950-an—dua arus yang kemudian berkonvergensi dalam tradisi kognitif-behavioral.⁴ ⁵ Beck menegaskan model relasi pikiran-emosi-perilaku melalui konsep automatic thoughts dan cognitive distortions, sedangkan Ellis memusatkan perhatian pada “keyakinan irasional” yang memicu gangguan emosional.⁶ ⁷ Di titik ini, banyak penafsir—termasuk praktisi CBT sendiri—mengakui bahwa Stoikisme (khususnya Epictetus) memberi “asal-usul filosofis” bagi terapi kognitif modern, baik sebagai inspirasi prinsip maupun sebagai prototipe latihan mental.⁸

Secara teoretis, jantung persinggungan Stoikisme–CBT terletak pada klaim epistemik-evaluatif: emosi negatif dipertahankan oleh cara kita menafsirkan realitas. Stoikisme menuntun pada disiplin menilai (krisis) sehingga penilaian yang keliru—misalnya menganggap sesuatu yang di luar kendali sebagai “buruk”—dapat dikoreksi.¹ Dalam CBT, proposisi ini mengambil bentuk model kognitif yang sistematis: gejala psikologis dipelihara oleh pikiran otomatis yang menyimpang (distorsi kognitif) serta skema keyakinan yang maladaptif; intervensi klinis memusat pada identifikasi, pengujian, dan restrukturisasi pikiran/ kepercayaan tersebut.³ ⁶ Dengan kata lain, apa yang bagi Epictetus adalah latihan etis-rasional, dalam CBT menjadi protokol klinis yang dapat diuji.

Signifikansi akademik dan praktis dari relasi ini juga ditopang oleh bukti empiris yang luas. Tinjauan meta-analitik besar menunjukkan basis evidensi CBT “sangat kuat”, khususnya untuk gangguan kecemasan, meski kebutuhan riset berkualitas tinggi tetap ada di sejumlah area.⁹ Di level sejarah disiplin, ringkasan modern menyebut CBT telah teruji pada >2.000 uji klinis lintas kondisi, menegaskan statusnya sebagai psikoterapi yang paling banyak diteliti dan dipraktikkan secara global.² Temuan-temuan ini memberi alasan kuat untuk menelusuri akar konseptual CBT dalam Stoikisme secara cermat—bukan untuk mereduksi sumbangan ilmu klinis modern, tetapi untuk memperjelas kontinuitas gagasan yang berguna bagi penyempurnaan teori dan teknik.

Artikel ini berupaya: (1) memetakan genealogi ide dari Epictetus (dan praktik Stoik) menuju asumsi kognitif CBT; (2) menganalisis kesetaraan dan perbedaan tujuan—Stoikisme berorientasi etika-eudaimonia, CBT berorientasi klinis-keberfungsian—serta implikasinya bagi metode; dan (3) mengevaluasi bagaimana latihan Stoik seperti premeditatio malorum, jurnal reflektif, dan cognitive distancing beresonansi dengan teknik CBT seperti thought record dan cognitive restructuring.⁸ Dengan fokus tersebut, pembahasan menimbang manfaat dialog lintas-zaman ini sambil menghindari anahronisme (misalnya menyamakan begitu saja latihan kebajikan Stoik dengan intervensi berprotokol klinis).

Akhirnya, kontribusi kajian ini bersifat ganda: secara historis-filosofis, ia menempatkan CBT dalam tradisi panjang therapy of the mind yang telah dikerjakan para Stoa; secara klinis-praktis, ia menunjukkan peluang integrasi refleksi keutamaan (virtue-based) ke dalam rasionalitas terapeutik kontemporer—tanpa mengaburkan batas antara filsafat hidup dan evidence-based psychotherapy.⁸ ⁹ (Taylor & Francis)


Footnotes

[1]                Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, diakses di The Internet Classics Archive (Cambridge, MA: MIT), epicench.html.

[2]                Judith S. Beck dan Sarah Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck, MD, and Cognitive Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3, no. 2 (2021): e6701, doi.org.

[3]                Suma P. Chand, Daniel P. Kuckel, dan Martin R. Huecker, “Cognitive Behavior Therapy,” dalam StatPearls (Treasure Island, FL: StatPearls Publishing, 2025), versi diperbarui 23 Mei 2023, books.

[4]                Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976).

[5]                Windy Dryden, “Reason and Emotion in Psychotherapy: Albert Ellis (1962),” British Journal of Guidance & Counselling 22, no. 2 (1994): 245–246. Lihat juga Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962).

[6]                Ibid.; serta Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders.

[7]                Lihat uraian model keyakinan irasional dalam REBT pada ringkasan akademik: J. Tinsley, “Rational Emotive Behavior Therapy: Theory and Practice,” dalam Counseling Theories (SAGE, 2015), pratinjau bab 9, PDF.

[8]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, ed. ke-2 (London: Routledge, 2019), doi.org.

[9]                Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy: A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5 (2012): 427–440, tersedia open-access di PubMed Central, articles.


2.           Konsep Dasar Stoikisme dan Ajaran Epictetus

2.1.       Stoikisme sebagai Filsafat Praktis: Rasionalitas, Kebajikan, dan “Hidup sesuai Alam

Stoikisme adalah filsafat praktis yang memadukan logika, fisika (pandangan tentang alam semesta), dan etika dalam satu sistem terpadu, dengan etika sebagai puncaknya: tujuan manusia adalah mencapai eudaimonia (kehidupan baik) melalui kebajikan rasional.¹ Dalam kerangka ini, kebaikan sejati terletak pada karakter dan penilaian—bukan pada hal-hal eksternal—sehingga kebahagiaan bergantung pada bagaimana kita menilai dan merespons peristiwa, bukan pada peristiwanya sendiri.² Di tradisi Stoa, emosi (pathē) dipahami sebagai penilaian keliru terhadap nilai suatu hal; sebaliknya, “emosi sehat” (eupatheiai) muncul dari penilaian rasional yang benar.³ Pendekatan kognitif-etis seperti ini menjelaskan daya tarik Stoikisme sebagai “filsafat untuk dijalani”, bukan sekadar wacana teoretis.⁴

2.2.       Epictetus: Orientasi Etis dan Psikologi Praktik

Epictetus (±50–135 M), murid Musonius Rufus, mengajar di Nikopolis dan menempatkan latihan etis sebagai inti pendidikan filsafat. Karya-karyanya—Discourses dan Enchiridion—(dihimpun oleh Arrian) memperlihatkan pedagogi dialogis yang menekankan otonomi moral dan integritas (integrity).⁵ ⁶ Di tangan Epictetus, Stoikisme tampil sebagai “pedagogi prohairesis”—pembinaan tekad rasional—yang membentuk cara kita memberi assent (persetujuan) pada kesan (phantasia) sebelum berubah menjadi keyakinan dan tindakan.⁷ Dengan demikian, pembelajaran filsafat baginya adalah latihan mental yang berkesinambungan, bukan hafalan doktrin.⁴ ⁶

2.3.       Dikotomi Kendali (Dichotomy of Control) dan Prohairesis

Ajaran pembuka Enchiridion menegaskan tesis yang paling terkenal: “Sebagian hal berada dalam kendali kita, sebagian lagi tidak.” (≤25 kata).⁸ Prinsip ini menyusun dikotomi kendali: yang “eph’ hēmin” (tergantung kita) adalah opini, dorongan, kehendak, dan tindakan kita; yang bukan adalah tubuh, harta, reputasi, dan peristiwa luar.⁸ Dalam Discourses, Epictetus menguraikan pusat moral manusia sebagai prohairesis (tekad/ kehendak rasional)—fakultas yang menentukan apakah kita memberi persetujuan pada suatu kesan.⁹ ¹⁰ Menjaga prohairesis tetap selaras dengan akal budi (logos) adalah “hukum batin” Stoik: nilai (baik/ buruk) melekat pada cara kita menilai dan memilih, bukan pada hal luar.²

2.4.       Kesan (Phantasia), Persetujuan (Sunkatathesis), dan Penilaian Emosional

Model kognitif Stoa—yang disorot kembali oleh Epictetus—berangkat dari phantasia (kesan awal), lalu sunkatathesis (persetujuan rasional) yang membentuk keyakinan dan mendorong tindakan.³ Emosi negatif (pathē) dipahami sebagai konsekuensi penilaian keliru—misalnya, menganggap sesuatu yang berada di luar kendali sebagai “buruk mutlak”.³ Ini sejalan dengan pernyataan Epictetus yang sering dikutip: “Manusia tidak terganggu oleh peristiwa, melainkan oleh pandangan mereka tentang peristiwa itu” (≤25 kata).¹¹ Kerangka ini menegaskan bahwa disiplin penilaian (menginterupsi—memeriksa—mengoreksi) adalah kunci ketenangan batin dan kebebasan moral.³ ⁹

2.5.       Latihan-Latihan Stoa: Dari “Pemeriksaan Diri” ke Premeditatio Malorum

Epictetus mengajarkan seperangkat askēsis (latihan) untuk menanamkan sikap Stoik sehari-hari: (a) prosoche (perhatian waspada) pada arus pikiran; (b) “jeda kognitif” sebelum memberi persetujuan; (c) peringatan diri akan dikotomi kendali (memento bahwa hal luar adalah “indiferens”); dan (d) visualisasi antisipatif atas kemalangan (premeditatio malorum) untuk membiasakan nalar menerima variabilitas peristiwa.⁴ ¹² Latihan-latihan ini dirancang sebagai “teknologi diri”—disiplin repetitif yang mengukuhkan prohairesis agar konsisten dengan kebajikan rasional.⁴

2.6.       Nilai, “Indiferens”, dan Tujuan Etis

Bagi Stoa, hanya kebajikan (kearifan, keadilan, keberanian, pengendalian diri) yang benar-benar baik; penyakit, kemiskinan, atau ketenaran termasuk “yang tidak berada dalam kendali” dan secara moral “indiferens” (meski beberapa—kesehatan, kemakmuran—bisa “lebih disukai”).¹ ³ Ini bukan relativisme nilai, melainkan rekonstruksi locus nilai: pusatnya adalah kehendak yang bernalar—prohairesis—yang menilai sesuai dengan logos.¹ ³ ⁹ Posisi ini memungkinkan stabilitas emosi dan ketahanan (resiliensi) karena evaluasi dipandu norma rasional, bukan fluktuasi eksternal.¹

2.7.       Signifikansi bagi Psikologi Kognitif Modern (Pengantar Singkat)

Walau fokus bab ini adalah fondasi Stoik, patut dicatat bahwa model kesan–persetujuan–keyakinan beserta dikotomi kendali telah menginspirasi pendekatan kognitif modern: reinterpretasi peristiwa (restrukturisasi penilaian) memodifikasi emosi-perilaku.³ Refleksi ini, dieksplorasi luas dalam literatur modern, menjadi salah satu jembatan konseptual yang menghubungkan praktik Epictetus dengan protokol rasional-kognitif kontemporer.¹³


Footnotes

[1]                “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, rev. 2023, stoicism. (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[2]                Ibid.; lihat juga penekanan Stoik bahwa nilai melekat pada keputusan rasional, bukan hal luar.

[3]                “Stoicism,” SEP; serta “Ancient, Medieval and Renaissance Theories of the Emotions,” SEP, emotions. (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[4]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995). Versi arsip/open access: Internet Archive, diakses 27 Agustus 2025, philosophy-as-a-way-of-life-spiritual-exercises-from-socrates-to-foucault-pierre-hadot. (Internet Archive)

[5]                A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life (Oxford: Oxford University Press, 2002). Lihat katalog OUP, epictetus. (Oxford University Press)

[6]                A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life; cuplikan/preview Google Books, Epictetus. (Google Books)

[7]                Untuk penjelasan istilah prohairesis dan variasi penerjemahannya, lihat diskusi praktis-terjemahan pada Greg Sadler, “A Curious Passage From Epictetus’ Enchiridion,” Modern Stoicism (7 Mei 2022), a-curious-passage-from-epictetus-enchiridion-by-greg-sadler. (Modern Stoicism)

[8]                Epictetus, Enchiridion, §1, terj. komparatif di “Enchiridion – translation comparison,” diakses 27 Agustus 2025, https://enchiridion.tasuki.org/; lihat juga edisi MIT Classics (terj. Elizabeth Carter), epicench.html. (Enchiridion, Internet Classics Archive)

[9]                Epictetus, Discourses 1.1 (ed. & terj. W. A. Oldfather), Wikisource/Loeb Classical Library, diakses 27 Agustus 2025, Epictetus, the Discourses as reported by Arrian, the Manual, and Fragments. (Wikisource)

[10]             Diskusi akademik tentang prohairesis dan kebebasan kehendak pada Epictetus: M. Christodoulou, “The Question of the Freedom of Will in Epictetus,” PhilArchive (2009), hlm. rujukan pada Discourses 1.1.12, 1.17, 3.22, archive. (PhilArchive)

[11]             Epictetus, Enchiridion §5, terj. Elizabeth Carter, MIT Classics, epicench.html. (Internet Classics Archive)

[12]             Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life; bandingkan Donald J. Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed. (London: Routledge, 2019), doi:10.4324/9780429268700. (Taylor & Francis)

[13]          Donald J. Robertson, “Stoic Philosophy as a Cognitive-Behavioral Therapy,” The Behavior Therapist 42, no. 2 (Februari 2019), versi repositori di blog penulis, stoic-philosophy-as-a-cognitive-behavioral-therapy-2. (Donald J. Robertson)


3.           Latar Historis Perkembangan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

3.1.       Akar Psikoterapi Modern dan Konteks Munculnya CBT

Perkembangan psikoterapi modern pada abad ke-20 ditandai oleh lahirnya beragam pendekatan: psikoanalisis (Sigmund Freud), behaviorisme (B.F. Skinner), dan pendekatan humanistik (Carl Rogers).¹ Namun, menjelang pertengahan abad ke-20, keterbatasan psikoanalisis dalam menjelaskan hubungan langsung antara pikiran dan gejala emosional, serta keterbatasan behaviorisme yang terlalu fokus pada perilaku yang dapat diamati, membuka ruang bagi pendekatan baru yang memadukan dimensi kognitif dan perilaku.² Dari konteks inilah lahir terapi kognitif dan perilaku kognitif yang kelak disebut Cognitive Behavioral Therapy (CBT).³

3.2.       Albert Ellis dan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)

Pionir pertama yang menempatkan aspek kognitif sebagai inti psikoterapi modern adalah Albert Ellis (1913–2007). Pada 1955 ia memperkenalkan Rational Therapy yang kemudian dikenal sebagai Rational Emotive Behavior Therapy (REBT).⁴ Ellis berangkat dari premis bahwa gangguan emosional muncul akibat “keyakinan irasional” yang dianut individu, bukan semata-mata akibat peristiwa eksternal.⁵ Dengan model ABCActivating event, Belief, Consequence—ia menjelaskan bahwa keyakinan (B) memediasi peristiwa (A) dan respons emosional (C).⁶ Terapi diarahkan untuk mengidentifikasi dan menggantikan keyakinan irasional dengan keyakinan yang lebih rasional dan adaptif.⁷ Prinsip ini jelas mencerminkan gagasan Epictetus, yakni bahwa penderitaan manusia bersumber dari interpretasi, bukan dari peristiwa itu sendiri.⁸

3.3.       Aaron T. Beck dan Terapi Kognitif

Secara paralel, Aaron T. Beck (1921–2021) mengembangkan Cognitive Therapy pada 1960-an, terutama untuk menangani depresi.⁹ Beck menemukan bahwa pasien depresi sering terjebak dalam “pikiran otomatis” (automatic thoughts) yang negatif dan menyimpang dari realitas.¹⁰ Ia memperkenalkan konsep cognitive distortions (distorsi kognitif) seperti generalisasi berlebihan, pemikiran hitam-putih, dan penyimpulan arbitrer yang memperkuat depresi dan kecemasan.¹¹ Terapi kognitif Beck berfokus pada identifikasi, evaluasi, dan modifikasi pikiran otomatis tersebut melalui dialog sokratis, eksperimen perilaku, dan restrukturisasi kognitif.¹² Dengan pendekatan empiris-klinis, Beck berhasil memberikan dasar ilmiah yang kuat bagi intervensi berbasis kognisi.¹³

3.4.       Integrasi Kognitif dan Behaviorisme

Meskipun Ellis dan Beck menekankan peran keyakinan dan pikiran, perkembangan terapi kognitif juga dipengaruhi oleh pendekatan perilaku. Tokoh-tokoh seperti Joseph Wolpe memperkenalkan teknik desensitisasi sistematis untuk mengatasi kecemasan, sementara Skinner dan para behaviorist lain menekankan peran pengondisian dalam membentuk perilaku.¹⁴ Integrasi aspek kognitif dan perilaku melahirkan pendekatan komprehensif: pikiran dapat diubah melalui restrukturisasi kognitif, dan perilaku dapat dimodifikasi melalui latihan atau eksposur.¹⁵ Istilah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) mulai dipopulerkan pada 1970-an dan sejak saat itu menjadi paradigma dominan dalam psikoterapi.¹⁶

3.5.       CBT sebagai “Gold Standard” Psikoterapi

Sejak 1980-an hingga kini, CBT berkembang menjadi salah satu psikoterapi yang paling banyak diteliti. Meta-analisis menunjukkan efektivitasnya dalam menangani depresi, gangguan kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), hingga gangguan makan.¹⁷ ¹⁸ Keunggulan CBT terletak pada struktur yang sistematis, durasi terapi yang relatif singkat, serta fokus pada keterampilan praktis yang dapat dipelajari pasien.¹⁹ Dengan lebih dari 2.000 uji klinis yang mendukung, CBT sering disebut sebagai “gold standard” psikoterapi modern.²⁰ Meski demikian, kritik tetap muncul, terutama bahwa CBT cenderung terlalu berfokus pada gejala kognitif-perilaku sehingga mengabaikan dimensi eksistensial atau spiritual.²¹


Footnotes

[1]                Andrew R. Fuller, Psychotherapy: Approaches and Theories (London: Routledge, 2019), 33–35.

[2]                David H. Barlow, Clinical Handbook of Psychological Disorders, 6th ed. (New York: Guilford Press, 2021), 5–7.

[3]                Suma P. Chand, Daniel P. Kuckel, dan Martin R. Huecker, “Cognitive Behavior Therapy,” dalam StatPearls (Treasure Island, FL: StatPearls Publishing, 2025), diperbarui 23 Mei 2023, books.

[4]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962).

[5]                Windy Dryden, “Albert Ellis and Rational Emotive Behaviour Therapy,” dalam The Handbook of Counselling Psychology, ed. Ray Woolfe dkk. (London: SAGE, 2010), 199–201.

[6]                Ibid.

[7]                Albert Ellis dan Debbie Joffe Ellis, Rational Emotive Behavior Therapy (Washington, DC: American Psychological Association, 2019), 45–46.

[8]                Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, MIT Classics, epicench.html.

[9]                Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976).

[10]             Judith S. Beck, Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond, 3rd ed. (New York: Guilford Press, 2020), 7–10.

[11]             Aaron T. Beck, A. John Rush, Brian F. Shaw, dan Gary Emery, Cognitive Therapy of Depression (New York: Guilford Press, 1979), 34–38.

[12]             Ibid., 41–43.

[13]             Judith S. Beck dan Sarah Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck, MD, and Cognitive Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3, no. 2 (2021): e6701, cpe.6701.

[14]             Joseph Wolpe, Psychotherapy by Reciprocal Inhibition (Stanford: Stanford University Press, 1958).

[15]             David Clark, Cognitive Behavioural Therapy for Anxiety Disorders: Science and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 14–17.

[16]             Chand, Kuckel, dan Huecker, “Cognitive Behavior Therapy,” StatPearls.

[17]             Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy: A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5 (2012): 427–440, articles.

[18]             National Institute for Health and Care Excellence (NICE), “Depression in Adults: Recognition and Management,” Clinical Guideline CG90 (London: NICE, 2022).

[19]             Chand, Kuckel, dan Huecker, “Cognitive Behavior Therapy,” StatPearls.

[20]             Beck dan Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck, MD, and Cognitive Behavior Therapy.”

[21]             Mick Cooper, Existential Therapies (London: SAGE, 2016), 112–115.


4.           Persinggungan Stoikisme dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

4.1.       Kesamaan Prinsip Dasar: Pikiran sebagai Mediator Emosi

Baik Stoikisme maupun CBT sama-sama menegaskan bahwa penderitaan manusia lebih banyak ditentukan oleh interpretasi subjektif terhadap peristiwa, bukan oleh peristiwa itu sendiri. Epictetus menyatakan bahwa “manusia tidak terganggu oleh peristiwa, melainkan oleh pandangan mereka tentang peristiwa tersebut.”¹ Pernyataan ini selaras dengan model kognitif dalam CBT, di mana keyakinan dan pikiran otomatis memediasi pengalaman emosional.² Dengan demikian, keduanya berbagi asumsi fundamental: persepsi dan evaluasi kognitif menjadi pusat pengendali respons emosional.³

4.2.       Kesamaan Metodologis: Latihan Rasional dan Restrukturisasi Kognitif

Para Stoa mengembangkan askēsis (latihan filsafat) untuk menumbuhkan sikap rasional, misalnya premeditatio malorum (antisipasi kemungkinan buruk), refleksi harian, dan pengendalian diri sebelum memberi persetujuan terhadap kesan (phantasia).⁴ Teknik ini sejajar dengan strategi CBT seperti thought record, cognitive restructuring, dan exposure yang menolong pasien menantang dan mengganti keyakinan disfungsional.⁵ Donald Robertson, seorang psikoterapis sekaligus peneliti Stoikisme, menekankan bahwa praktik Stoik dapat dipandang sebagai “cikal bakal prototipe terapi kognitif modern.”⁶

4.3.       Perbedaan Orientasi: Etika vs. Klinik

Meskipun ada kemiripan struktural, terdapat perbedaan mendasar dalam orientasi keduanya. Stoikisme adalah filsafat hidup yang menekankan kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati, dengan tujuan akhir eudaimonia (kehidupan baik sesuai alam).⁷ CBT, sebaliknya, lahir sebagai metode klinis dengan tujuan pragmatis: mengurangi gejala psikologis dan meningkatkan fungsi sehari-hari.⁸ Dengan kata lain, Stoikisme berorientasi normatif-etis, sedangkan CBT berorientasi empiris-klinikal.⁹ Namun, justru perbedaan inilah yang memungkinkan CBT memanfaatkan dimensi Stoik secara selektif tanpa harus mengadopsi seluruh kerangka metafisiknya.¹⁰

4.4.       Relasi Dialektis: Filosofi sebagai Inspirasi, Sains sebagai Validasi

Stoikisme memberi inspirasi filosofis bagi kerangka berpikir CBT, sementara CBT menyediakan validasi ilmiah terhadap klaim kognitif Stoa. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa perubahan keyakinan disfungsional menghasilkan perbaikan gejala depresi dan kecemasan, mendukung intuisi Epictetus mengenai peran interpretasi dalam penderitaan manusia.¹¹ ¹² Sebaliknya, popularitas Stoikisme dalam konteks self-help modern sering kali mengandalkan terminologi CBT untuk menegaskan relevansi praktik klasik bagi kesehatan mental.¹³ Dengan demikian, terdapat hubungan dialektis: Stoikisme menyumbangkan kerangka konseptual, CBT menyumbangkan metodologi empiris.

4.5.       Konvergensi Kontemporer

Dalam praktik modern, sejumlah terapis mulai mengintegrasikan latihan Stoik (misalnya jurnal refleksi dan meditasi rasional) sebagai pelengkap CBT.¹⁴ Pendekatan ini memperkaya terapi dengan dimensi filosofis yang lebih luas, seraya mempertahankan efektivitas klinis yang telah terbukti.¹⁵ Hal ini menunjukkan bahwa dialog lintas zaman antara filsafat kuno dan psikologi modern bukan sekadar retorika, melainkan potensi nyata untuk menciptakan metode terapi yang lebih utuh—baik secara etis maupun klinis.


Footnotes

[1]                Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, MIT Classics, epicench.html.

[2]                Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976), 11–13.

[3]                Judith S. Beck, Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond, 3rd ed. (New York: Guilford Press, 2020), 7–10.

[4]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995), 83–86.

[5]                Aaron T. Beck, A. John Rush, Brian F. Shaw, dan Gary Emery, Cognitive Therapy of Depression (New York: Guilford Press, 1979), 34–38.

[6]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed. (London: Routledge, 2019), 25–27.

[7]                “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, rev. 2023, stoicism.

[8]                Suma P. Chand, Daniel P. Kuckel, dan Martin R. Huecker, “Cognitive Behavior Therapy,” dalam StatPearls (Treasure Island, FL: StatPearls Publishing, 2025), diperbarui 23 Mei 2023, books.

[9]                Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy, 43–45.

[10]             John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 112–115.

[11]             Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy: A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5 (2012): 427–440, articles.

[12]             Beck dan Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck, MD, and Cognitive Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3, no. 2 (2021): e6701, cpe.6701.

[13]             Donald Robertson, “Stoic Philosophy as a Cognitive-Behavioral Therapy,” The Behavior Therapist 42, no. 2 (2019), repositori penulis, stoic-philosophy-as-a-cognitive-behavioral-therapy-2.

[14]             Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations (London: Rider, 2012), 105–107.

[15]             Clark, David, Cognitive Behavioural Therapy for Anxiety Disorders: Science and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 14–17.


5.           Aplikasi Kontemporer

5.1.       CBT dalam Praktik Psikologi Klinis

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) telah menjadi salah satu pendekatan psikoterapi yang paling banyak digunakan di dunia modern. Sejak 1980-an, berbagai uji klinis menunjukkan efektivitas CBT dalam menangani depresi, gangguan kecemasan, fobia, gangguan makan, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).¹ ² Struktur CBT yang sistematis—berbasis sesi mingguan dengan teknik restrukturisasi kognitif, eksperimen perilaku, serta latihan rumah—menjadikannya terapi yang relatif singkat, terukur, dan terstandar.³ Oleh karena itu, lembaga seperti National Institute for Health and Care Excellence (NICE) di Inggris merekomendasikan CBT sebagai terapi lini pertama untuk depresi dan kecemasan umum.⁴

5.2.       Resonansi Stoikisme dalam Kehidupan Modern

Di luar ranah klinis, Stoikisme mengalami kebangkitan besar dalam dua dekade terakhir. Filsafat ini diadopsi dalam literatur self-help, program pelatihan mental, bahkan dalam dunia bisnis dan kepemimpinan.⁵ Tokoh-tokoh publik seperti Ryan Holiday mempopulerkan gagasan Stoikisme sebagai “filsafat hidup praktis” untuk menghadapi ketidakpastian dan tekanan hidup.⁶ Prinsip dichotomy of control (membedakan hal yang dapat kita kendalikan dan yang tidak) menjadi strategi populer untuk membangun ketahanan psikologis (resilience) dan emotional regulation di tengah kompleksitas kehidupan modern.⁷ Dalam hal ini, resonansi Stoikisme dengan CBT terletak pada penekanan keduanya terhadap regulasi penilaian dan restrukturisasi kognitif sebagai cara mengatasi penderitaan.⁸

5.3.       Integrasi Praktik Stoik dalam CBT Modern

Sejumlah terapis mulai mengintegrasikan latihan Stoik klasik dalam kerangka CBT.⁹ Misalnya, latihan premeditatio malorum (antisipasi kemungkinan buruk) memiliki kemiripan dengan teknik exposure dan stress inoculation training dalam CBT, di mana pasien dilatih menghadapi kemungkinan skenario terburuk untuk mengurangi sensitivitas emosional.¹⁰ Latihan refleksi harian ala Stoik, seperti menulis jurnal moral (misalnya yang dipraktikkan Marcus Aurelius), diadopsi dalam bentuk thought record pada CBT, yang memungkinkan pasien melacak pikiran otomatis dan respons emosionalnya.¹¹ Dengan demikian, praktik kuno Stoikisme memberi nuansa filosofis dan eksistensial pada metode CBT yang lebih teknis.

5.4.       Pengaruh dalam Konteks Sosial dan Pendidikan

Di luar terapi individual, prinsip Stoikisme dan CBT juga diterapkan dalam bidang pendidikan dan manajemen stres di organisasi. Program pelatihan berbasis CBT, seperti Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), memanfaatkan strategi kognitif untuk meningkatkan kesadaran diri, sementara literatur Stoik modern digunakan dalam kurikulum ketahanan mental bagi siswa dan karyawan.¹² ¹³ Beberapa sekolah di Eropa bahkan memperkenalkan filsafat praktis Stoikisme sebagai bagian dari program pendidikan karakter, menunjukkan potensi integrasi filosofis-psikologis di ranah non-klinis.¹⁴

5.5.       Tantangan dan Prospek Integrasi

Meskipun ada banyak resonansi, integrasi Stoikisme dan CBT juga menghadapi tantangan. Stoikisme berakar pada kerangka metafisik dan etika yang komprehensif, sedangkan CBT berfokus pada efektivitas klinis dan reduksi gejala.¹⁵ Oleh karena itu, adopsi Stoikisme ke dalam praktik terapi modern memerlukan selektivitas agar tidak mereduksi filsafat menjadi sekadar teknik, tetapi juga tidak mengaburkan standar empiris CBT. Namun, prospeknya cukup menjanjikan: Stoikisme dapat memberi dimensi normatif tentang kebajikan, sementara CBT menyediakan kerangka metodologis yang dapat diuji secara ilmiah.¹⁶


Footnotes

[1]                Aaron T. Beck, A. John Rush, Brian F. Shaw, dan Gary Emery, Cognitive Therapy of Depression (New York: Guilford Press, 1979), 34–38.

[2]                Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy: A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5 (2012): 427–440, articles.

[3]                Judith S. Beck, Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond, 3rd ed. (New York: Guilford Press, 2020), 15–17.

[4]                National Institute for Health and Care Excellence (NICE), “Depression in Adults: Recognition and Management,” Clinical Guideline CG90 (London: NICE, 2022).

[5]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 145–148.

[6]                Ryan Holiday, The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living (New York: Portfolio/Penguin, 2016), xiii–xvi.

[7]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness, rev. ed. (London: Teach Yourself, 2018), 67–70.

[8]                Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed. (London: Routledge, 2019), 43–45.

[9]                Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations (London: Rider, 2012), 105–107.

[10]             Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy, 65–68.

[11]             Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995), 83–86.

[12]             Zindel V. Segal, J. Mark G. Williams, dan John D. Teasdale, Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression, 2nd ed. (New York: Guilford Press, 2013), 5–7.

[13]             Stephen Palmer, “Applications of Cognitive Behavioural Therapy in the Workplace,” Journal of Occupational and Organizational Psychology 76, no. 1 (2003): 99–120.

[14]             Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 201–204.

[15]             Sellars, Stoicism, 149–150.

[16]             Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy, 201–203.


6.           Kritik dan Tantangan

6.1.       Keterbatasan Stoikisme dalam Konteks Psikoterapi

Meskipun Stoikisme memberikan kerangka filosofis yang kuat mengenai regulasi kognitif dan emosi, ia lahir sebagai filsafat etis, bukan intervensi klinis.¹ Tujuannya adalah mencapai kebajikan dan eudaimonia, bukan mengurangi gejala gangguan psikologis spesifik.² Karena itu, ketika prinsip-prinsip Stoik diterapkan secara langsung dalam terapi modern, ada risiko simplifikasi: misalnya, dikotomi kendali dapat ditafsirkan terlalu kaku sehingga menimbulkan sikap fatalistik, bukan resiliensi.³ Beberapa kritikus juga menilai bahwa penerapan Stoikisme dalam psikologi modern cenderung mengabaikan kompleksitas psikopatologi dan faktor biologis yang turut memengaruhi kondisi mental individu.⁴

6.2.       Kritik terhadap CBT: Reduksionisme Kognitif dan Fokus Gejala

Di sisi lain, CBT meski dianggap sebagai gold standard psikoterapi, tidak lepas dari kritik. Beberapa peneliti menilai bahwa CBT terlalu menekankan pada restrukturisasi kognitif dan pengurangan gejala, sehingga mengabaikan aspek eksistensial, spiritual, dan relasional yang juga penting bagi kesejahteraan manusia.⁵ Mick Cooper, misalnya, menunjukkan bahwa terapi berbasis eksistensial lebih menekankan makna dan nilai, sesuatu yang sering kali tidak cukup ditangani CBT.⁶ Selain itu, ada pula kritik bahwa efektivitas CBT mungkin dilebih-lebihkan karena banyak studi dilakukan dalam konteks terkontrol dengan sampel tertentu, sementara di praktik sehari-hari hasilnya bisa lebih bervariasi.⁷ ⁸

6.3.       Tantangan Integrasi Filosofi dan Sains

Integrasi Stoikisme dan CBT menghadapi tantangan metodologis: Stoikisme berakar pada kerangka metafisik dan kosmologis (logos, hidup sesuai alam), sedangkan CBT hanya menerima metode yang dapat diuji secara empiris.⁹ John Sellars menekankan bahwa setiap usaha menghidupkan kembali Stoikisme harus selektif, agar relevansi modernnya tidak dipaksakan.¹⁰ Donald Robertson menambahkan bahwa meskipun ada kesamaan konseptual, Stoikisme tetaplah sistem filsafat normatif yang lebih luas daripada sekadar terapi kognitif.¹¹ Tantangan terletak pada menjaga keseimbangan: bagaimana memanfaatkan Stoikisme untuk memperkaya praktik CBT tanpa mengorbankan standar bukti ilmiah maupun reduksi filosofi menjadi teknik belaka.

6.4.       Prospek Integrasi Multidisipliner

Kritik-kritik di atas membuka peluang untuk mengembangkan pendekatan multidisipliner. Integrasi antara CBT dengan elemen Stoikisme dapat dilakukan dengan menambahkan dimensi refleksi etis dan kebajikan dalam praktik terapi, seraya mempertahankan standar ilmiah.¹² Beberapa penulis mengusulkan bahwa virtue ethics dari Stoikisme dapat memberikan kerangka nilai jangka panjang bagi pasien, sementara CBT menyediakan teknik praktis jangka pendek untuk mengatasi gejala.¹³ Dengan demikian, alih-alih saling menggantikan, Stoikisme dan CBT dapat saling melengkapi: filsafat memberikan arah dan makna, terapi klinis memberikan metode dan alat ukur.


Footnotes

[1]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 145–150.

[2]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995), 83–86.

[3]                Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 92–95.

[4]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 317–320.

[5]                Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy: A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5 (2012): 427–440, articles.

[6]                Mick Cooper, Existential Therapies (London: SAGE, 2016), 112–115.

[7]                Bruce E. Wampold, The Great Psychotherapy Debate: Models, Methods, and Findings (New York: Routledge, 2015), 78–81.

[8]                James C. Coyne, “CBT: The Gold Standard? Issues of Efficacy and Effectiveness,” Psychotherapy and Psychosomatics 77, no. 3 (2008): 165–166.

[9]                Sellars, Stoicism, 149–150.

[10]             Ibid., 151–152.

[11]             Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed. (London: Routledge, 2019), 43–45.

[12]             Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations (London: Rider, 2012), 105–107.

[13]             Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy, 201–203.


7.           Penutup

Kajian mengenai pengaruh Stoikisme terhadap Cognitive Behavioral Therapy (CBT) menunjukkan bahwa terdapat garis kesinambungan konseptual antara filsafat kuno dan psikoterapi modern. Epictetus menegaskan bahwa penderitaan manusia bersumber dari interpretasi terhadap peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri—prinsip yang kini menjadi inti dalam model kognitif CBT.¹ Dengan kata lain, apa yang awalnya merupakan ajaran etis-filosofis untuk mencapai eudaimonia telah menemukan ekspresi barunya dalam bentuk intervensi klinis yang terstruktur, terukur, dan berbasis bukti.²

Dari sisi Stoikisme, kontribusinya terletak pada penekanan rasionalitas, pengendalian diri, dan disiplin penilaian (krisis) yang melatih individu untuk menguji keyakinan sebelum memberi persetujuan.³ Dari sisi CBT, kekuatan utamanya adalah keberhasilan memformalisasi intuisi Stoik ke dalam metodologi ilmiah yang dapat diuji melalui uji klinis.⁴ Karena itu, meskipun berbeda orientasi—Stoikisme berfokus pada kebajikan, sementara CBT berfokus pada pengurangan gejala—keduanya bertemu dalam gagasan dasar bahwa cara berpikir menentukan kondisi emosional dan kualitas hidup seseorang.⁵

Namun, persinggungan ini tidak lepas dari kritik. Stoikisme berpotensi disalahpahami jika direduksi hanya menjadi teknik psikologis, sementara CBT menghadapi kritik karena cenderung terlalu sempit dalam menargetkan gejala tanpa memperhatikan dimensi makna dan nilai hidup.⁶ ⁷ Tantangan ini membuka peluang integrasi multidisipliner: Stoikisme dapat memperkaya CBT dengan horizon etis dan eksistensial, sementara CBT memberikan alat empiris yang dapat memverifikasi efektivitas latihan mental ala Stoa.⁸

Pada akhirnya, relasi antara Stoikisme dan CBT memperlihatkan relevansi lintas zaman dari upaya manusia memahami dan mengelola penderitaan. Stoikisme membuktikan dirinya bukan sekadar warisan filsafat kuno, tetapi sumber inspirasi abadi bagi praktik psikoterapi modern. Sementara itu, CBT meneguhkan bahwa intuisi filosofis dapat diterjemahkan menjadi terapi empiris yang membawa manfaat nyata bagi kesehatan mental jutaan orang di dunia.⁹ Dengan demikian, dialog antara Stoa dan klinik modern bukan hanya narasi sejarah intelektual, melainkan peluang berharga untuk menciptakan pendekatan yang lebih utuh—yang memadukan kebijaksanaan kuno dengan metodologi ilmiah—demi membimbing manusia menuju kehidupan yang sehat, bermakna, dan penuh kebajikan.¹⁰


Footnotes

[1]                Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, MIT Classics, epicench.html.

[2]                Judith S. Beck dan Sarah Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck, MD, and Cognitive Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3, no. 2 (2021): e6701, cpe.6701.

[3]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995), 83–86.

[4]                Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976), 11–13.

[5]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed. (London: Routledge, 2019), 25–27.

[6]                Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 92–95.

[7]                Mick Cooper, Existential Therapies (London: SAGE, 2016), 112–115.

[8]                Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations (London: Rider, 2012), 105–107.

[9]                Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy: A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5 (2012): 427–440, articles.

[10]             John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 149–152.


Daftar Pustaka

Barlow, D. H. (2021). Clinical handbook of psychological disorders (6th ed.). Guilford Press.

Beck, A. T. (1976). Cognitive therapy and the emotional disorders. International Universities Press.

Beck, A. T., Rush, A. J., Shaw, B. F., & Emery, G. (1979). Cognitive therapy of depression. Guilford Press.

Beck, J. S. (2020). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (3rd ed.). Guilford Press.

Beck, J. S., & Fleming, S. (2021). A brief history of Aaron T. Beck, MD, and cognitive behavior therapy. Clinical Psychology in Europe, 3(2), e6701. cpe.6701

Chand, S. P., Kuckel, D. P., & Huecker, M. R. (2023). Cognitive behavior therapy. In StatPearls. StatPearls Publishing. books

Clark, D. (2011). Cognitive behavioural therapy for anxiety disorders: Science and practice. Oxford University Press.

Cooper, M. (2016). Existential therapies. SAGE Publications.

Coyne, J. C. (2008). CBT: The gold standard? Issues of efficacy and effectiveness. Psychotherapy and Psychosomatics, 77(3), 165–166. doi.org

Dryden, W. (1994). Reason and emotion in psychotherapy: Albert Ellis (1962). British Journal of Guidance & Counselling, 22(2), 245–246. doi.org

Dryden, W. (2010). Albert Ellis and rational emotive behaviour therapy. In R. Woolfe, S. Strawbridge, B. Douglas, & W. Dryden (Eds.), The handbook of counselling psychology (pp. 199–201). SAGE Publications.

Ellis, A. (1962). Reason and emotion in psychotherapy. Lyle Stuart.

Ellis, A., & Ellis, D. J. (2019). Rational emotive behavior therapy. American Psychological Association.

Epictetus. (n.d.). Enchiridion (E. Carter, Trans.). The Internet Classics Archive. epicench.html

Evans, J. (2012). Philosophy for life and other dangerous situations. Rider.

Fuller, A. R. (2019). Psychotherapy: Approaches and theories. Routledge.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life: Spiritual exercises from Socrates to Foucault (A. I. Davidson, Ed.). Blackwell.

Holiday, R. (2016). The daily stoic: 366 meditations on wisdom, perseverance, and the art of living. Portfolio/Penguin.

Hofmann, S. G., Asnaani, A., Vonk, I. J., Sawyer, A. T., & Fang, A. (2012). The efficacy of cognitive behavioral therapy: A review of meta-analyses. Cognitive Therapy and Research, 36(5), 427–440. articles

Long, A. A. (2002). Epictetus: A Stoic and Socratic guide to life. Oxford University Press.

National Institute for Health and Care Excellence. (2022). Depression in adults: Recognition and management (Clinical Guideline CG90). NICE.

Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.

Palmer, S. (2003). Applications of cognitive behavioural therapy in the workplace. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 76(1), 99–120. doi.org

Pigliucci, M. (2017). How to be a stoic: Using ancient philosophy to live a modern life. Basic Books.

Robertson, D. (2018). Stoicism and the art of happiness (Rev. ed.). Teach Yourself.

Robertson, D. (2019). The philosophy of cognitive-behavioural therapy (CBT): Stoic philosophy as rational and cognitive psychotherapy (2nd ed.). Routledge. doi.org

Segal, Z. V., Williams, J. M. G., & Teasdale, J. D. (2013). Mindfulness-based cognitive therapy for depression (2nd ed.). Guilford Press.

Sellars, J. (2006). Stoicism. University of California Press.

Stanford Encyclopedia of Philosophy. (2023). Stoicism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2023 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University. stoicism

Wampold, B. E. (2015). The great psychotherapy debate: Models, methods, and findings. Routledge.

Wolpe, J. (1958). Psychotherapy by reciprocal inhibition. Stanford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar