Stoikisme dan CBT
Pengaruh Stoikisme terhadap
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas pengaruh Stoikisme terhadap
perkembangan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), salah satu pendekatan
psikoterapi paling dominan dalam praktik klinis modern. Stoikisme, khususnya
ajaran Epictetus, menekankan bahwa penderitaan manusia bersumber bukan dari
peristiwa eksternal, melainkan dari penilaian subjektif atas peristiwa
tersebut. Prinsip ini menemukan resonansinya dalam model kognitif CBT yang
dikembangkan oleh Albert Ellis melalui Rational Emotive Behavior Therapy
(REBT) dan Aaron T. Beck melalui Cognitive Therapy. Artikel ini
menguraikan konsep dasar Stoikisme dan praktik etis-rasionalnya, kemudian
menelusuri latar historis lahirnya CBT di abad ke-20, serta memetakan
persinggungan keduanya dalam aspek prinsip, metodologi, dan orientasi.
Selanjutnya, dibahas pula aplikasi kontemporer CBT dalam psikologi klinis dan
popularitas Stoikisme dalam literatur self-help modern, sekaligus
peluang integrasi antara keduanya dalam terapi berbasis nilai. Analisis ini
menegaskan bahwa meski Stoikisme dan CBT berbeda orientasi—filsafat etis vs.
intervensi klinis—keduanya saling melengkapi: Stoikisme menawarkan kerangka
kebajikan dan makna hidup, sementara CBT menyediakan metode empiris untuk
restrukturisasi kognitif dan pengurangan gejala psikologis. Artikel ini juga
menyoroti kritik dan tantangan, seperti risiko reduksionisme pada CBT dan
simplifikasi Stoikisme, sekaligus membuka prospek integrasi multidisipliner.
Dengan demikian, dialog antara Stoa dan klinik modern menunjukkan kesinambungan
lintas zaman dalam upaya manusia mengelola penderitaan dan mencapai kehidupan
yang sehat serta bermakna.
Kata kunci: Stoikisme, Epictetus, Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT), Aaron T. Beck, Albert Ellis,
psikoterapi modern, filsafat praktis.
PEMBAHASAN
Kontribusi Stoa terhadap Cognitive
Behavioral Therapy (CBT)
1.          
Pendahuluan
Hubungan antara
filsafat kuno dan psikoterapi modern bukan sekadar anekdot intelektual,
melainkan jembatan metodologis dan konseptual yang dapat dilacak secara
historis. Salah satu jembatan yang paling berpengaruh ialah Stoikisme—terutama
ajaran Epictetus—yang menegaskan bahwa manusia tidak diganggu oleh peristiwa
itu sendiri, melainkan oleh penilaiannya atas peristiwa tersebut: “Men are
disturbed, not by things, but by the principles and notions which they form
concerning things.”¹ Prinsip ini selaras dengan asumsi kognitif
yang menjadi dasar Cognitive Behavioral Therapy (CBT),
yakni bahwa emosi dan perilaku terutama dimediasi oleh interpretasi dan
keyakinan individu, bukan oleh kejadian eksternal belaka.² ³
Secara historis,
pengembangan CBT pada 1960–1970-an dipelopori Aaron T. Beck, sementara Albert
Ellis merumuskan Rational Emotive Behavior Therapy
(REBT) sejak pertengahan 1950-an—dua arus yang kemudian berkonvergensi dalam
tradisi kognitif-behavioral.⁴ ⁵ Beck menegaskan model relasi
pikiran-emosi-perilaku melalui konsep automatic thoughts dan cognitive
distortions, sedangkan Ellis memusatkan perhatian pada “keyakinan
irasional” yang memicu gangguan emosional.⁶ ⁷ Di titik ini, banyak
penafsir—termasuk praktisi CBT sendiri—mengakui bahwa Stoikisme (khususnya
Epictetus) memberi “asal-usul filosofis” bagi terapi kognitif modern,
baik sebagai inspirasi prinsip maupun sebagai prototipe latihan mental.⁸
Secara teoretis,
jantung persinggungan Stoikisme–CBT terletak pada klaim epistemik-evaluatif:
emosi negatif dipertahankan oleh cara kita menafsirkan realitas. Stoikisme
menuntun pada disiplin menilai (krisis) sehingga penilaian yang
keliru—misalnya menganggap sesuatu yang di luar kendali sebagai “buruk”—dapat
dikoreksi.¹ Dalam CBT, proposisi ini mengambil bentuk model kognitif yang
sistematis: gejala psikologis dipelihara oleh pikiran otomatis yang menyimpang
(distorsi kognitif) serta skema keyakinan yang maladaptif; intervensi klinis
memusat pada identifikasi, pengujian, dan restrukturisasi pikiran/ kepercayaan
tersebut.³ ⁶ Dengan kata lain, apa yang bagi Epictetus adalah latihan
etis-rasional, dalam CBT menjadi protokol klinis yang dapat diuji.
Signifikansi
akademik dan praktis dari relasi ini juga ditopang oleh bukti empiris yang
luas. Tinjauan meta-analitik besar menunjukkan basis evidensi CBT “sangat
kuat”, khususnya untuk gangguan kecemasan, meski kebutuhan riset
berkualitas tinggi tetap ada di sejumlah area.⁹ Di level sejarah disiplin,
ringkasan modern menyebut CBT telah teruji pada >2.000 uji klinis lintas
kondisi, menegaskan statusnya sebagai psikoterapi yang paling banyak diteliti
dan dipraktikkan secara global.² Temuan-temuan ini memberi alasan kuat untuk
menelusuri akar konseptual CBT dalam Stoikisme secara cermat—bukan untuk
mereduksi sumbangan ilmu klinis modern, tetapi untuk memperjelas kontinuitas
gagasan yang berguna bagi penyempurnaan teori dan teknik.
Artikel ini
berupaya: (1) memetakan genealogi ide dari Epictetus (dan praktik Stoik) menuju
asumsi kognitif CBT; (2) menganalisis kesetaraan dan perbedaan tujuan—Stoikisme
berorientasi etika-eudaimonia, CBT berorientasi klinis-keberfungsian—serta
implikasinya bagi metode; dan (3) mengevaluasi bagaimana latihan Stoik seperti premeditatio
malorum, jurnal reflektif, dan cognitive distancing beresonansi
dengan teknik CBT seperti thought record dan cognitive
restructuring.⁸ Dengan fokus tersebut, pembahasan menimbang manfaat
dialog lintas-zaman ini sambil menghindari anahronisme (misalnya menyamakan
begitu saja latihan kebajikan Stoik dengan intervensi berprotokol klinis).
Akhirnya, kontribusi
kajian ini bersifat ganda: secara historis-filosofis, ia menempatkan CBT dalam
tradisi panjang therapy of the mind yang telah
dikerjakan para Stoa; secara klinis-praktis, ia menunjukkan peluang integrasi
refleksi keutamaan (virtue-based) ke dalam rasionalitas terapeutik
kontemporer—tanpa mengaburkan batas antara filsafat hidup dan evidence-based
psychotherapy.⁸ ⁹ (Taylor
& Francis)
Footnotes
[1]               
Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, diakses di
The Internet Classics Archive (Cambridge, MA: MIT), epicench.html.
[2]               
Judith S. Beck dan Sarah Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck,
MD, and Cognitive Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3,
no. 2 (2021): e6701, doi.org.
[3]               
Suma P. Chand, Daniel P. Kuckel, dan Martin R. Huecker, “Cognitive
Behavior Therapy,” dalam StatPearls (Treasure Island, FL: StatPearls
Publishing, 2025), versi diperbarui 23 Mei 2023, books.
[4]               
Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders
(New York: International Universities Press, 1976).
[5]               
Windy Dryden, “Reason and Emotion in Psychotherapy: Albert Ellis
(1962),” British Journal of Guidance & Counselling 22, no. 2
(1994): 245–246. Lihat juga Albert Ellis, Reason and Emotion in
Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962).
[6]               
Ibid.; serta Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders.
[7]               
Lihat uraian model keyakinan irasional dalam REBT pada ringkasan
akademik: J. Tinsley, “Rational Emotive Behavior Therapy: Theory and Practice,”
dalam Counseling Theories (SAGE, 2015), pratinjau bab 9, PDF.
[8]               
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, ed. ke-2
(London: Routledge, 2019), doi.org.
[9]               
Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy:
A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5
(2012): 427–440, tersedia open-access di PubMed Central, articles.
2.          
Konsep Dasar Stoikisme
dan Ajaran Epictetus
2.1.       Stoikisme sebagai
Filsafat Praktis: Rasionalitas, Kebajikan, dan “Hidup sesuai Alam”
Stoikisme adalah
filsafat praktis yang memadukan logika, fisika (pandangan tentang alam
semesta), dan etika dalam satu sistem terpadu, dengan etika sebagai puncaknya:
tujuan manusia adalah mencapai eudaimonia (kehidupan baik) melalui
kebajikan rasional.¹ Dalam kerangka ini, kebaikan sejati terletak pada karakter
dan penilaian—bukan pada hal-hal eksternal—sehingga kebahagiaan bergantung pada
bagaimana kita menilai dan merespons peristiwa, bukan pada peristiwanya
sendiri.² Di tradisi Stoa, emosi (pathē) dipahami sebagai penilaian
keliru terhadap nilai suatu hal; sebaliknya, “emosi sehat” (eupatheiai)
muncul dari penilaian rasional yang benar.³ Pendekatan kognitif-etis seperti
ini menjelaskan daya tarik Stoikisme sebagai “filsafat untuk dijalani”, bukan
sekadar wacana teoretis.⁴
2.2.       Epictetus: Orientasi Etis
dan Psikologi Praktik
Epictetus (±50–135
M), murid Musonius Rufus, mengajar di Nikopolis dan menempatkan latihan etis
sebagai inti pendidikan filsafat. Karya-karyanya—Discourses dan Enchiridion—(dihimpun
oleh Arrian) memperlihatkan pedagogi dialogis yang menekankan otonomi moral dan
integritas (integrity).⁵ ⁶ Di tangan Epictetus,
Stoikisme tampil sebagai “pedagogi prohairesis”—pembinaan tekad
rasional—yang membentuk cara kita memberi assent (persetujuan) pada kesan (phantasia)
sebelum berubah menjadi keyakinan dan tindakan.⁷ Dengan demikian, pembelajaran
filsafat baginya adalah latihan mental yang berkesinambungan, bukan hafalan
doktrin.⁴ ⁶
2.3.       Dikotomi Kendali
(Dichotomy of Control) dan Prohairesis
Ajaran pembuka Enchiridion
menegaskan tesis yang paling terkenal: “Sebagian hal berada dalam kendali kita,
sebagian lagi tidak.” (≤25 kata).⁸ Prinsip ini menyusun dikotomi kendali: yang
“eph’
hēmin” (tergantung kita) adalah opini, dorongan, kehendak, dan
tindakan kita; yang bukan adalah tubuh, harta, reputasi, dan peristiwa luar.⁸
Dalam Discourses,
Epictetus menguraikan pusat moral manusia sebagai prohairesis (tekad/ kehendak
rasional)—fakultas yang menentukan apakah kita memberi persetujuan pada suatu
kesan.⁹ ¹⁰ Menjaga prohairesis tetap selaras dengan
akal budi (logos) adalah “hukum batin” Stoik: nilai (baik/ buruk)
melekat pada cara kita menilai dan memilih, bukan pada hal luar.²
2.4.       Kesan (Phantasia),
Persetujuan (Sunkatathesis), dan Penilaian Emosional
Model kognitif
Stoa—yang disorot kembali oleh Epictetus—berangkat dari phantasia
(kesan awal), lalu sunkatathesis (persetujuan rasional)
yang membentuk keyakinan dan mendorong tindakan.³ Emosi negatif (pathē)
dipahami sebagai konsekuensi penilaian keliru—misalnya, menganggap sesuatu yang
berada di luar kendali sebagai “buruk mutlak”.³ Ini sejalan dengan
pernyataan Epictetus yang sering dikutip: “Manusia tidak terganggu oleh
peristiwa, melainkan oleh pandangan mereka tentang peristiwa itu” (≤25
kata).¹¹ Kerangka ini menegaskan bahwa disiplin penilaian
(menginterupsi—memeriksa—mengoreksi) adalah kunci ketenangan batin dan
kebebasan moral.³ ⁹
2.5.       Latihan-Latihan Stoa:
Dari “Pemeriksaan Diri” ke Premeditatio Malorum
Epictetus
mengajarkan seperangkat askēsis (latihan) untuk menanamkan
sikap Stoik sehari-hari: (a) prosoche (perhatian waspada) pada
arus pikiran; (b) “jeda kognitif” sebelum memberi persetujuan; (c)
peringatan diri akan dikotomi kendali (memento bahwa hal luar adalah “indiferens”);
dan (d) visualisasi antisipatif atas kemalangan (premeditatio malorum) untuk
membiasakan nalar menerima variabilitas peristiwa.⁴ ¹² Latihan-latihan ini dirancang
sebagai “teknologi diri”—disiplin repetitif yang mengukuhkan prohairesis
agar konsisten dengan kebajikan rasional.⁴
2.6.       Nilai, “Indiferens”,
dan Tujuan Etis
Bagi Stoa, hanya
kebajikan (kearifan, keadilan, keberanian, pengendalian diri) yang benar-benar
baik; penyakit, kemiskinan, atau ketenaran termasuk “yang tidak berada dalam
kendali” dan secara moral “indiferens” (meski beberapa—kesehatan,
kemakmuran—bisa “lebih disukai”).¹ ³ Ini bukan relativisme nilai,
melainkan rekonstruksi locus nilai: pusatnya adalah kehendak yang bernalar—prohairesis—yang
menilai sesuai dengan logos.¹ ³ ⁹ Posisi ini memungkinkan stabilitas emosi dan
ketahanan (resiliensi) karena evaluasi dipandu norma rasional, bukan fluktuasi
eksternal.¹
2.7.       Signifikansi bagi
Psikologi Kognitif Modern (Pengantar Singkat)
Walau fokus bab ini
adalah fondasi Stoik, patut dicatat bahwa model kesan–persetujuan–keyakinan
beserta dikotomi kendali telah menginspirasi pendekatan kognitif modern:
reinterpretasi peristiwa (restrukturisasi penilaian) memodifikasi
emosi-perilaku.³ Refleksi ini, dieksplorasi luas dalam literatur modern,
menjadi salah satu jembatan konseptual yang menghubungkan praktik Epictetus
dengan protokol rasional-kognitif kontemporer.¹³
Footnotes
[1]               
“Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N.
Zalta, rev. 2023, stoicism. (Stanford
Encyclopedia of Philosophy)
[2]               
Ibid.; lihat juga penekanan Stoik bahwa nilai melekat pada keputusan
rasional, bukan hal luar.
[3]               
“Stoicism,” SEP; serta “Ancient, Medieval and Renaissance
Theories of the Emotions,” SEP, emotions. (Stanford
Encyclopedia of Philosophy)
[4]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995).
Versi arsip/open access: Internet Archive, diakses 27 Agustus 2025, philosophy-as-a-way-of-life-spiritual-exercises-from-socrates-to-foucault-pierre-hadot. (Internet Archive)
[5]               
A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life
(Oxford: Oxford University Press, 2002). Lihat katalog OUP, epictetus. (Oxford University Press)
[6]               
A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life;
cuplikan/preview Google Books, Epictetus. (Google Books)
[7]               
Untuk penjelasan istilah prohairesis dan variasi
penerjemahannya, lihat diskusi praktis-terjemahan pada Greg Sadler, “A Curious
Passage From Epictetus’ Enchiridion,” Modern Stoicism (7 Mei 2022), a-curious-passage-from-epictetus-enchiridion-by-greg-sadler. (Modern Stoicism)
[8]               
Epictetus, Enchiridion, §1, terj. komparatif di “Enchiridion –
translation comparison,” diakses 27 Agustus 2025, https://enchiridion.tasuki.org/; lihat juga edisi MIT Classics (terj. Elizabeth
Carter), epicench.html. (Enchiridion, Internet Classics Archive)
[9]               
Epictetus, Discourses 1.1 (ed. & terj. W. A. Oldfather),
Wikisource/Loeb Classical Library, diakses 27 Agustus 2025, Epictetus, the Discourses as reported by Arrian, the Manual, and
Fragments. (Wikisource)
[10]            
Diskusi akademik tentang prohairesis dan kebebasan kehendak
pada Epictetus: M. Christodoulou, “The Question of the Freedom of Will in
Epictetus,” PhilArchive (2009), hlm. rujukan pada Discourses
1.1.12, 1.17, 3.22, archive. (PhilArchive)
[11]            
Epictetus, Enchiridion §5, terj. Elizabeth Carter, MIT
Classics, epicench.html. (Internet Classics Archive)
[12]            
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life; bandingkan Donald
J. Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic
Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed. (London:
Routledge, 2019), doi:10.4324/9780429268700. (Taylor & Francis)
[13]         
Donald
J. Robertson, “Stoic Philosophy as a Cognitive-Behavioral Therapy,” The
Behavior Therapist 42, no. 2 (Februari 2019), versi repositori di blog
penulis, stoic-philosophy-as-a-cognitive-behavioral-therapy-2. (Donald J. Robertson)
3.          
Latar Historis Perkembangan
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
3.1.       Akar Psikoterapi Modern
dan Konteks Munculnya CBT
Perkembangan
psikoterapi modern pada abad ke-20 ditandai oleh lahirnya beragam pendekatan:
psikoanalisis (Sigmund Freud), behaviorisme (B.F. Skinner), dan pendekatan
humanistik (Carl Rogers).¹ Namun, menjelang pertengahan abad ke-20,
keterbatasan psikoanalisis dalam menjelaskan hubungan langsung antara pikiran
dan gejala emosional, serta keterbatasan behaviorisme yang terlalu fokus pada
perilaku yang dapat diamati, membuka ruang bagi pendekatan baru yang memadukan
dimensi kognitif dan perilaku.² Dari konteks inilah lahir terapi kognitif dan
perilaku kognitif yang kelak disebut Cognitive Behavioral Therapy
(CBT).³
3.2.       Albert Ellis dan Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT)
Pionir pertama yang
menempatkan aspek kognitif sebagai inti psikoterapi modern adalah Albert Ellis
(1913–2007). Pada 1955 ia memperkenalkan Rational Therapy yang kemudian
dikenal sebagai Rational Emotive Behavior Therapy
(REBT).⁴ Ellis berangkat dari premis bahwa gangguan emosional muncul akibat “keyakinan
irasional” yang dianut individu, bukan semata-mata akibat peristiwa
eksternal.⁵ Dengan model ABC—Activating event, Belief, Consequence—ia
menjelaskan bahwa keyakinan (B) memediasi peristiwa (A) dan respons emosional
(C).⁶ Terapi diarahkan untuk mengidentifikasi dan menggantikan keyakinan
irasional dengan keyakinan yang lebih rasional dan adaptif.⁷ Prinsip ini jelas
mencerminkan gagasan Epictetus, yakni bahwa penderitaan manusia bersumber dari
interpretasi, bukan dari peristiwa itu sendiri.⁸
3.3.       Aaron T. Beck dan Terapi
Kognitif
Secara paralel,
Aaron T. Beck (1921–2021) mengembangkan Cognitive Therapy pada 1960-an,
terutama untuk menangani depresi.⁹ Beck menemukan bahwa pasien depresi sering
terjebak dalam “pikiran otomatis” (automatic thoughts) yang negatif
dan menyimpang dari realitas.¹⁰ Ia memperkenalkan konsep cognitive
distortions (distorsi kognitif) seperti generalisasi berlebihan,
pemikiran hitam-putih, dan penyimpulan arbitrer yang memperkuat depresi dan
kecemasan.¹¹ Terapi kognitif Beck berfokus pada identifikasi, evaluasi, dan
modifikasi pikiran otomatis tersebut melalui dialog sokratis, eksperimen
perilaku, dan restrukturisasi kognitif.¹² Dengan pendekatan empiris-klinis,
Beck berhasil memberikan dasar ilmiah yang kuat bagi intervensi berbasis
kognisi.¹³
3.4.       Integrasi Kognitif dan
Behaviorisme
Meskipun Ellis dan
Beck menekankan peran keyakinan dan pikiran, perkembangan terapi kognitif juga
dipengaruhi oleh pendekatan perilaku. Tokoh-tokoh seperti Joseph Wolpe
memperkenalkan teknik desensitisasi sistematis untuk mengatasi kecemasan,
sementara Skinner dan para behaviorist lain menekankan peran
pengondisian dalam membentuk perilaku.¹⁴ Integrasi aspek kognitif dan perilaku
melahirkan pendekatan komprehensif: pikiran dapat diubah melalui
restrukturisasi kognitif, dan perilaku dapat dimodifikasi melalui latihan atau
eksposur.¹⁵ Istilah Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
mulai dipopulerkan pada 1970-an dan sejak saat itu menjadi paradigma dominan
dalam psikoterapi.¹⁶
3.5.       CBT sebagai “Gold
Standard” Psikoterapi
Sejak 1980-an hingga
kini, CBT berkembang menjadi salah satu psikoterapi yang paling banyak
diteliti. Meta-analisis menunjukkan efektivitasnya dalam menangani depresi,
gangguan kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), hingga gangguan makan.¹⁷
¹⁸ Keunggulan CBT terletak pada struktur yang sistematis, durasi terapi yang
relatif singkat, serta fokus pada keterampilan praktis yang dapat dipelajari
pasien.¹⁹ Dengan lebih dari 2.000 uji klinis yang mendukung, CBT sering disebut
sebagai “gold
standard” psikoterapi modern.²⁰ Meski demikian, kritik tetap
muncul, terutama bahwa CBT cenderung terlalu berfokus pada gejala
kognitif-perilaku sehingga mengabaikan dimensi eksistensial atau spiritual.²¹
Footnotes
[1]               
Andrew R. Fuller, Psychotherapy: Approaches and Theories
(London: Routledge, 2019), 33–35.
[2]               
David H. Barlow, Clinical Handbook of Psychological Disorders,
6th ed. (New York: Guilford Press, 2021), 5–7.
[3]               
Suma P. Chand, Daniel P. Kuckel, dan Martin R. Huecker, “Cognitive
Behavior Therapy,” dalam StatPearls (Treasure Island, FL: StatPearls
Publishing, 2025), diperbarui 23 Mei 2023, books.
[4]               
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York:
Lyle Stuart, 1962).
[5]               
Windy Dryden, “Albert Ellis and Rational Emotive Behaviour Therapy,”
dalam The Handbook of Counselling Psychology, ed. Ray Woolfe dkk.
(London: SAGE, 2010), 199–201.
[6]               
Ibid.
[7]               
Albert Ellis dan Debbie Joffe Ellis, Rational Emotive Behavior
Therapy (Washington, DC: American Psychological Association, 2019), 45–46.
[8]               
Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, MIT
Classics, epicench.html.
[9]               
Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders
(New York: International Universities Press, 1976).
[10]            
Judith S. Beck, Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond,
3rd ed. (New York: Guilford Press, 2020), 7–10.
[11]            
Aaron T. Beck, A. John Rush, Brian F. Shaw, dan Gary Emery, Cognitive
Therapy of Depression (New York: Guilford Press, 1979), 34–38.
[12]            
Ibid., 41–43.
[13]            
Judith S. Beck dan Sarah Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck,
MD, and Cognitive Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3,
no. 2 (2021): e6701, cpe.6701.
[14]            
Joseph Wolpe, Psychotherapy by Reciprocal Inhibition
(Stanford: Stanford University Press, 1958).
[15]            
David Clark, Cognitive Behavioural Therapy for Anxiety Disorders:
Science and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 14–17.
[16]            
Chand, Kuckel, dan Huecker, “Cognitive Behavior Therapy,” StatPearls.
[17]            
Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy:
A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5 (2012):
427–440, articles.
[18]            
National Institute for Health and Care Excellence (NICE), “Depression
in Adults: Recognition and Management,” Clinical Guideline CG90 (London: NICE,
2022).
[19]            
Chand, Kuckel, dan Huecker, “Cognitive Behavior Therapy,” StatPearls.
[20]            
Beck dan Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck, MD, and Cognitive
Behavior Therapy.”
[21]            
Mick Cooper, Existential Therapies (London: SAGE, 2016),
112–115.
4.          
Persinggungan
Stoikisme dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
4.1.       Kesamaan Prinsip Dasar:
Pikiran sebagai Mediator Emosi
Baik Stoikisme
maupun CBT sama-sama menegaskan bahwa penderitaan manusia lebih banyak
ditentukan oleh interpretasi subjektif terhadap peristiwa, bukan oleh peristiwa
itu sendiri. Epictetus menyatakan bahwa “manusia tidak terganggu oleh
peristiwa, melainkan oleh pandangan mereka tentang peristiwa tersebut.”¹
Pernyataan ini selaras dengan model kognitif dalam CBT, di mana keyakinan dan
pikiran otomatis memediasi pengalaman emosional.² Dengan demikian, keduanya
berbagi asumsi fundamental: persepsi dan evaluasi kognitif menjadi pusat
pengendali respons emosional.³
4.2.       Kesamaan Metodologis:
Latihan Rasional dan Restrukturisasi Kognitif
Para Stoa
mengembangkan askēsis (latihan filsafat) untuk
menumbuhkan sikap rasional, misalnya premeditatio malorum (antisipasi
kemungkinan buruk), refleksi harian, dan pengendalian diri sebelum memberi
persetujuan terhadap kesan (phantasia).⁴ Teknik ini sejajar
dengan strategi CBT seperti thought record, cognitive
restructuring, dan exposure yang menolong pasien
menantang dan mengganti keyakinan disfungsional.⁵ Donald Robertson, seorang
psikoterapis sekaligus peneliti Stoikisme, menekankan bahwa praktik Stoik dapat
dipandang sebagai “cikal bakal prototipe terapi kognitif modern.”⁶
4.3.       Perbedaan Orientasi:
Etika vs. Klinik
Meskipun ada
kemiripan struktural, terdapat perbedaan mendasar dalam orientasi keduanya.
Stoikisme adalah filsafat hidup yang menekankan kebajikan sebagai satu-satunya
kebaikan sejati, dengan tujuan akhir eudaimonia (kehidupan baik sesuai
alam).⁷ CBT, sebaliknya, lahir sebagai metode klinis dengan tujuan pragmatis:
mengurangi gejala psikologis dan meningkatkan fungsi sehari-hari.⁸ Dengan kata
lain, Stoikisme berorientasi normatif-etis, sedangkan CBT berorientasi
empiris-klinikal.⁹ Namun, justru perbedaan inilah yang memungkinkan CBT
memanfaatkan dimensi Stoik secara selektif tanpa harus mengadopsi seluruh
kerangka metafisiknya.¹⁰
4.4.       Relasi Dialektis:
Filosofi sebagai Inspirasi, Sains sebagai Validasi
Stoikisme memberi
inspirasi filosofis bagi kerangka berpikir CBT, sementara CBT menyediakan
validasi ilmiah terhadap klaim kognitif Stoa. Misalnya, penelitian menunjukkan
bahwa perubahan keyakinan disfungsional menghasilkan perbaikan gejala depresi
dan kecemasan, mendukung intuisi Epictetus mengenai peran interpretasi dalam
penderitaan manusia.¹¹ ¹² Sebaliknya, popularitas Stoikisme dalam konteks self-help
modern sering kali mengandalkan terminologi CBT untuk menegaskan relevansi
praktik klasik bagi kesehatan mental.¹³ Dengan demikian, terdapat hubungan
dialektis: Stoikisme menyumbangkan kerangka konseptual, CBT menyumbangkan
metodologi empiris.
4.5.       Konvergensi Kontemporer
Dalam praktik
modern, sejumlah terapis mulai mengintegrasikan latihan Stoik (misalnya jurnal
refleksi dan meditasi rasional) sebagai pelengkap CBT.¹⁴ Pendekatan ini
memperkaya terapi dengan dimensi filosofis yang lebih luas, seraya
mempertahankan efektivitas klinis yang telah terbukti.¹⁵ Hal ini menunjukkan
bahwa dialog lintas zaman antara filsafat kuno dan psikologi modern bukan
sekadar retorika, melainkan potensi nyata untuk menciptakan metode terapi yang
lebih utuh—baik secara etis maupun klinis.
Footnotes
[1]               
Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, MIT
Classics, epicench.html.
[2]               
Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders
(New York: International Universities Press, 1976), 11–13.
[3]               
Judith S. Beck, Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond,
3rd ed. (New York: Guilford Press, 2020), 7–10.
[4]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995),
83–86.
[5]               
Aaron T. Beck, A. John Rush, Brian F. Shaw, dan Gary Emery, Cognitive
Therapy of Depression (New York: Guilford Press, 1979), 34–38.
[6]               
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed.
(London: Routledge, 2019), 25–27.
[7]               
“Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N.
Zalta, rev. 2023, stoicism.
[8]               
Suma P. Chand, Daniel P. Kuckel, dan Martin R. Huecker, “Cognitive
Behavior Therapy,” dalam StatPearls (Treasure Island, FL: StatPearls
Publishing, 2025), diperbarui 23 Mei 2023, books.
[9]               
Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy,
43–45.
[10]            
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 112–115.
[11]            
Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy:
A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5
(2012): 427–440, articles.
[12]            
Beck dan Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck, MD, and Cognitive
Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3, no. 2 (2021):
e6701, cpe.6701.
[13]            
Donald Robertson, “Stoic Philosophy as a Cognitive-Behavioral Therapy,”
The Behavior Therapist 42, no. 2 (2019), repositori penulis, stoic-philosophy-as-a-cognitive-behavioral-therapy-2.
[14]            
Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations
(London: Rider, 2012), 105–107.
[15]            
Clark, David, Cognitive Behavioural Therapy for Anxiety Disorders:
Science and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 14–17.
5.          
Aplikasi Kontemporer
5.1.       CBT dalam Praktik
Psikologi Klinis
Cognitive Behavioral
Therapy (CBT) telah menjadi salah satu pendekatan psikoterapi yang paling banyak
digunakan di dunia modern. Sejak 1980-an, berbagai uji klinis menunjukkan
efektivitas CBT dalam menangani depresi, gangguan kecemasan, fobia, gangguan
makan, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).¹ ² Struktur CBT yang
sistematis—berbasis sesi mingguan dengan teknik restrukturisasi kognitif,
eksperimen perilaku, serta latihan rumah—menjadikannya terapi yang relatif
singkat, terukur, dan terstandar.³ Oleh karena itu, lembaga seperti National
Institute for Health and Care Excellence (NICE) di Inggris merekomendasikan
CBT sebagai terapi lini pertama untuk depresi dan kecemasan umum.⁴
5.2.       Resonansi Stoikisme dalam
Kehidupan Modern
Di luar ranah
klinis, Stoikisme mengalami kebangkitan besar dalam dua dekade terakhir.
Filsafat ini diadopsi dalam literatur self-help, program pelatihan
mental, bahkan dalam dunia bisnis dan kepemimpinan.⁵ Tokoh-tokoh publik seperti
Ryan Holiday mempopulerkan gagasan Stoikisme sebagai “filsafat hidup praktis”
untuk menghadapi ketidakpastian dan tekanan hidup.⁶ Prinsip dichotomy
of control (membedakan hal yang dapat kita kendalikan dan yang
tidak) menjadi strategi populer untuk membangun ketahanan psikologis
(resilience) dan emotional regulation di tengah
kompleksitas kehidupan modern.⁷ Dalam hal ini, resonansi Stoikisme dengan CBT
terletak pada penekanan keduanya terhadap regulasi penilaian dan
restrukturisasi kognitif sebagai cara mengatasi penderitaan.⁸
5.3.       Integrasi Praktik Stoik
dalam CBT Modern
Sejumlah terapis
mulai mengintegrasikan latihan Stoik klasik dalam kerangka CBT.⁹ Misalnya,
latihan premeditatio
malorum (antisipasi kemungkinan buruk) memiliki kemiripan dengan
teknik exposure
dan stress
inoculation training dalam CBT, di mana pasien dilatih menghadapi
kemungkinan skenario terburuk untuk mengurangi sensitivitas emosional.¹⁰
Latihan refleksi harian ala Stoik, seperti menulis jurnal moral (misalnya yang
dipraktikkan Marcus Aurelius), diadopsi dalam bentuk thought
record pada CBT, yang memungkinkan pasien melacak pikiran otomatis
dan respons emosionalnya.¹¹ Dengan demikian, praktik kuno Stoikisme memberi
nuansa filosofis dan eksistensial pada metode CBT yang lebih teknis.
5.4.       Pengaruh dalam Konteks
Sosial dan Pendidikan
Di luar terapi
individual, prinsip Stoikisme dan CBT juga diterapkan dalam bidang pendidikan
dan manajemen stres di organisasi. Program pelatihan berbasis CBT, seperti Mindfulness-Based
Cognitive Therapy (MBCT), memanfaatkan strategi kognitif untuk
meningkatkan kesadaran diri, sementara literatur Stoik modern digunakan dalam
kurikulum ketahanan mental bagi siswa dan karyawan.¹² ¹³ Beberapa sekolah di
Eropa bahkan memperkenalkan filsafat praktis Stoikisme sebagai bagian dari
program pendidikan karakter, menunjukkan potensi integrasi filosofis-psikologis
di ranah non-klinis.¹⁴
5.5.       Tantangan dan Prospek
Integrasi
Meskipun ada banyak
resonansi, integrasi Stoikisme dan CBT juga menghadapi tantangan. Stoikisme
berakar pada kerangka metafisik dan etika yang komprehensif, sedangkan CBT
berfokus pada efektivitas klinis dan reduksi gejala.¹⁵ Oleh karena itu, adopsi
Stoikisme ke dalam praktik terapi modern memerlukan selektivitas agar tidak
mereduksi filsafat menjadi sekadar teknik, tetapi juga tidak mengaburkan
standar empiris CBT. Namun, prospeknya cukup menjanjikan: Stoikisme dapat
memberi dimensi normatif tentang kebajikan, sementara CBT menyediakan kerangka
metodologis yang dapat diuji secara ilmiah.¹⁶
Footnotes
[1]               
Aaron T. Beck, A. John Rush, Brian F. Shaw, dan Gary Emery, Cognitive
Therapy of Depression (New York: Guilford Press, 1979), 34–38.
[2]               
Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy:
A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5
(2012): 427–440, articles.
[3]               
Judith S. Beck, Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond,
3rd ed. (New York: Guilford Press, 2020), 15–17.
[4]               
National Institute for Health and Care Excellence (NICE), “Depression
in Adults: Recognition and Management,” Clinical Guideline CG90 (London: NICE,
2022).
[5]               
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 145–148.
[6]               
Ryan Holiday, The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom,
Perseverance, and the Art of Living (New York: Portfolio/Penguin, 2016),
xiii–xvi.
[7]               
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness, rev. ed.
(London: Teach Yourself, 2018), 67–70.
[8]               
Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT):
Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed. (London:
Routledge, 2019), 43–45.
[9]               
Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations
(London: Rider, 2012), 105–107.
[10]            
Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy,
65–68.
[11]            
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995),
83–86.
[12]            
Zindel V. Segal, J. Mark G. Williams, dan John D. Teasdale, Mindfulness-Based
Cognitive Therapy for Depression, 2nd ed. (New York: Guilford Press,
2013), 5–7.
[13]            
Stephen Palmer, “Applications of Cognitive Behavioural Therapy in the
Workplace,” Journal of Occupational and Organizational Psychology 76,
no. 1 (2003): 99–120.
[14]            
Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to
Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 201–204.
[15]            
Sellars, Stoicism, 149–150.
[16]            
Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy,
201–203.
6.          
Kritik dan Tantangan
6.1.       Keterbatasan Stoikisme
dalam Konteks Psikoterapi
Meskipun Stoikisme
memberikan kerangka filosofis yang kuat mengenai regulasi kognitif dan emosi,
ia lahir sebagai filsafat etis, bukan intervensi klinis.¹ Tujuannya adalah
mencapai kebajikan dan eudaimonia, bukan mengurangi gejala
gangguan psikologis spesifik.² Karena itu, ketika prinsip-prinsip Stoik
diterapkan secara langsung dalam terapi modern, ada risiko simplifikasi:
misalnya, dikotomi kendali dapat ditafsirkan terlalu kaku sehingga menimbulkan
sikap fatalistik, bukan resiliensi.³ Beberapa kritikus juga menilai bahwa
penerapan Stoikisme dalam psikologi modern cenderung mengabaikan kompleksitas
psikopatologi dan faktor biologis yang turut memengaruhi kondisi mental
individu.⁴
6.2.       Kritik terhadap CBT:
Reduksionisme Kognitif dan Fokus Gejala
Di sisi lain, CBT
meski dianggap sebagai gold standard psikoterapi, tidak
lepas dari kritik. Beberapa peneliti menilai bahwa CBT terlalu menekankan pada
restrukturisasi kognitif dan pengurangan gejala, sehingga mengabaikan aspek
eksistensial, spiritual, dan relasional yang juga penting bagi kesejahteraan
manusia.⁵ Mick Cooper, misalnya, menunjukkan bahwa terapi berbasis eksistensial
lebih menekankan makna dan nilai, sesuatu yang sering kali tidak cukup
ditangani CBT.⁶ Selain itu, ada pula kritik bahwa efektivitas CBT mungkin
dilebih-lebihkan karena banyak studi dilakukan dalam konteks terkontrol dengan
sampel tertentu, sementara di praktik sehari-hari hasilnya bisa lebih
bervariasi.⁷ ⁸
6.3.       Tantangan Integrasi
Filosofi dan Sains
Integrasi Stoikisme
dan CBT menghadapi tantangan metodologis: Stoikisme berakar pada kerangka
metafisik dan kosmologis (logos, hidup sesuai alam), sedangkan CBT hanya
menerima metode yang dapat diuji secara empiris.⁹ John Sellars menekankan bahwa
setiap usaha menghidupkan kembali Stoikisme harus selektif, agar relevansi
modernnya tidak dipaksakan.¹⁰ Donald Robertson menambahkan bahwa meskipun ada
kesamaan konseptual, Stoikisme tetaplah sistem filsafat normatif yang lebih
luas daripada sekadar terapi kognitif.¹¹ Tantangan terletak pada menjaga
keseimbangan: bagaimana memanfaatkan Stoikisme untuk memperkaya praktik CBT
tanpa mengorbankan standar bukti ilmiah maupun reduksi filosofi menjadi teknik
belaka.
6.4.       Prospek Integrasi
Multidisipliner
Kritik-kritik di
atas membuka peluang untuk mengembangkan pendekatan multidisipliner. Integrasi
antara CBT dengan elemen Stoikisme dapat dilakukan dengan menambahkan dimensi
refleksi etis dan kebajikan dalam praktik terapi, seraya mempertahankan standar
ilmiah.¹² Beberapa penulis mengusulkan bahwa virtue ethics dari Stoikisme dapat
memberikan kerangka nilai jangka panjang bagi pasien, sementara CBT menyediakan
teknik praktis jangka pendek untuk mengatasi gejala.¹³ Dengan demikian,
alih-alih saling menggantikan, Stoikisme dan CBT dapat saling melengkapi:
filsafat memberikan arah dan makna, terapi klinis memberikan metode dan alat
ukur.
Footnotes
[1]               
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 145–150.
[2]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995),
83–86.
[3]               
Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to
Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 92–95.
[4]               
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 317–320.
[5]               
Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy:
A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5
(2012): 427–440, articles.
[6]               
Mick Cooper, Existential Therapies (London: SAGE, 2016),
112–115.
[7]               
Bruce E. Wampold, The Great Psychotherapy Debate: Models, Methods,
and Findings (New York: Routledge, 2015), 78–81.
[8]               
James C. Coyne, “CBT: The Gold Standard? Issues of Efficacy and
Effectiveness,” Psychotherapy and Psychosomatics 77, no. 3 (2008):
165–166.
[9]               
Sellars, Stoicism, 149–150.
[10]            
Ibid., 151–152.
[11]            
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed.
(London: Routledge, 2019), 43–45.
[12]            
Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations
(London: Rider, 2012), 105–107.
[13]            
Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy,
201–203.
7.          
Penutup
Kajian mengenai
pengaruh Stoikisme terhadap Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
menunjukkan bahwa terdapat garis kesinambungan konseptual antara filsafat kuno
dan psikoterapi modern. Epictetus menegaskan bahwa penderitaan manusia
bersumber dari interpretasi terhadap peristiwa, bukan peristiwa itu
sendiri—prinsip yang kini menjadi inti dalam model kognitif CBT.¹ Dengan kata
lain, apa yang awalnya merupakan ajaran etis-filosofis untuk mencapai eudaimonia
telah menemukan ekspresi barunya dalam bentuk intervensi klinis yang
terstruktur, terukur, dan berbasis bukti.²
Dari sisi Stoikisme,
kontribusinya terletak pada penekanan rasionalitas, pengendalian diri, dan
disiplin penilaian (krisis) yang melatih individu untuk
menguji keyakinan sebelum memberi persetujuan.³ Dari sisi CBT, kekuatan
utamanya adalah keberhasilan memformalisasi intuisi Stoik ke dalam metodologi
ilmiah yang dapat diuji melalui uji klinis.⁴ Karena itu, meskipun berbeda
orientasi—Stoikisme berfokus pada kebajikan, sementara CBT berfokus pada
pengurangan gejala—keduanya bertemu dalam gagasan dasar bahwa cara berpikir
menentukan kondisi emosional dan kualitas hidup seseorang.⁵
Namun, persinggungan
ini tidak lepas dari kritik. Stoikisme berpotensi disalahpahami jika direduksi
hanya menjadi teknik psikologis, sementara CBT menghadapi kritik karena
cenderung terlalu sempit dalam menargetkan gejala tanpa memperhatikan dimensi
makna dan nilai hidup.⁶ ⁷ Tantangan ini membuka peluang integrasi
multidisipliner: Stoikisme dapat memperkaya CBT dengan horizon etis dan
eksistensial, sementara CBT memberikan alat empiris yang dapat memverifikasi
efektivitas latihan mental ala Stoa.⁸
Pada akhirnya,
relasi antara Stoikisme dan CBT memperlihatkan relevansi lintas zaman dari
upaya manusia memahami dan mengelola penderitaan. Stoikisme membuktikan dirinya
bukan sekadar warisan filsafat kuno, tetapi sumber inspirasi abadi bagi praktik
psikoterapi modern. Sementara itu, CBT meneguhkan bahwa intuisi filosofis dapat
diterjemahkan menjadi terapi empiris yang membawa manfaat nyata bagi kesehatan
mental jutaan orang di dunia.⁹ Dengan demikian, dialog antara Stoa dan klinik
modern bukan hanya narasi sejarah intelektual, melainkan peluang berharga untuk
menciptakan pendekatan yang lebih utuh—yang memadukan kebijaksanaan kuno dengan
metodologi ilmiah—demi membimbing manusia menuju kehidupan yang sehat,
bermakna, dan penuh kebajikan.¹⁰
Footnotes
[1]               
Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, MIT
Classics, epicench.html.
[2]               
Judith S. Beck dan Sarah Fleming, “A Brief History of Aaron T. Beck,
MD, and Cognitive Behavior Therapy,” Clinical Psychology in Europe 3,
no. 2 (2021): e6701, cpe.6701.
[3]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995),
83–86.
[4]               
Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders
(New York: International Universities Press, 1976), 11–13.
[5]               
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy, 2nd ed.
(London: Routledge, 2019), 25–27.
[6]               
Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to
Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 92–95.
[7]               
Mick Cooper, Existential Therapies (London: SAGE, 2016),
112–115.
[8]               
Jules Evans, Philosophy for Life and Other Dangerous Situations
(London: Rider, 2012), 105–107.
[9]               
Stefan G. Hofmann dkk., “The Efficacy of Cognitive Behavioral Therapy:
A Review of Meta-Analyses,” Cognitive Therapy and Research 36, no. 5
(2012): 427–440, articles.
[10]            
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 149–152.
Daftar
Pustaka
Barlow, D. H. (2021). Clinical
handbook of psychological disorders (6th ed.). Guilford Press.
Beck, A. T. (1976). Cognitive
therapy and the emotional disorders. International Universities Press.
Beck, A. T., Rush, A. J.,
Shaw, B. F., & Emery, G. (1979). Cognitive therapy of depression.
Guilford Press.
Beck, J. S. (2020). Cognitive
behavior therapy: Basics and beyond (3rd ed.). Guilford Press.
Beck, J. S., & Fleming,
S. (2021). A brief history of Aaron T. Beck, MD, and cognitive behavior
therapy. Clinical Psychology in Europe, 3(2), e6701. cpe.6701
Chand, S. P., Kuckel, D.
P., & Huecker, M. R. (2023). Cognitive behavior therapy. In StatPearls.
StatPearls Publishing. books
Clark, D. (2011). Cognitive
behavioural therapy for anxiety disorders: Science and practice. Oxford
University Press.
Cooper, M. (2016). Existential
therapies. SAGE Publications.
Coyne, J. C. (2008). CBT:
The gold standard? Issues of efficacy and effectiveness. Psychotherapy and
Psychosomatics, 77(3), 165–166. doi.org
Dryden, W. (1994). Reason
and emotion in psychotherapy: Albert Ellis (1962). British Journal of
Guidance & Counselling, 22(2), 245–246. doi.org
Dryden, W. (2010). Albert
Ellis and rational emotive behaviour therapy. In R. Woolfe, S. Strawbridge, B.
Douglas, & W. Dryden (Eds.), The handbook of counselling psychology
(pp. 199–201). SAGE Publications.
Ellis, A. (1962). Reason
and emotion in psychotherapy. Lyle Stuart.
Ellis, A., & Ellis, D.
J. (2019). Rational emotive behavior therapy. American Psychological
Association.
Epictetus. (n.d.). Enchiridion
(E. Carter, Trans.). The Internet Classics Archive. epicench.html
Evans, J. (2012). Philosophy
for life and other dangerous situations. Rider.
Fuller, A. R. (2019). Psychotherapy:
Approaches and theories. Routledge.
Hadot, P. (1995). Philosophy
as a way of life: Spiritual exercises from Socrates to Foucault (A. I.
Davidson, Ed.). Blackwell.
Holiday, R. (2016). The
daily stoic: 366 meditations on wisdom, perseverance, and the art of living.
Portfolio/Penguin.
Hofmann, S. G., Asnaani,
A., Vonk, I. J., Sawyer, A. T., & Fang, A. (2012). The efficacy of
cognitive behavioral therapy: A review of meta-analyses. Cognitive Therapy
and Research, 36(5), 427–440. articles
Long, A. A. (2002). Epictetus:
A Stoic and Socratic guide to life. Oxford University Press.
National Institute for
Health and Care Excellence. (2022). Depression in adults: Recognition and
management (Clinical Guideline CG90). NICE.
Nussbaum, M. C. (1994). The
therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton
University Press.
Palmer, S. (2003).
Applications of cognitive behavioural therapy in the workplace. Journal of
Occupational and Organizational Psychology, 76(1), 99–120. doi.org
Pigliucci, M. (2017). How
to be a stoic: Using ancient philosophy to live a modern life. Basic
Books.
Robertson, D. (2018). Stoicism
and the art of happiness (Rev. ed.). Teach Yourself.
Robertson, D. (2019). The
philosophy of cognitive-behavioural therapy (CBT): Stoic philosophy as rational
and cognitive psychotherapy (2nd ed.). Routledge. doi.org
Segal, Z. V., Williams, J.
M. G., & Teasdale, J. D. (2013). Mindfulness-based cognitive therapy
for depression (2nd ed.). Guilford Press.
Sellars, J. (2006). Stoicism.
University of California Press.
Stanford Encyclopedia of
Philosophy. (2023). Stoicism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Fall 2023 Edition). Metaphysics Research Lab,
Stanford University. stoicism
Wampold, B. E. (2015). The
great psychotherapy debate: Models, methods, and findings. Routledge.
Wolpe, J. (1958). Psychotherapy
by reciprocal inhibition. Stanford University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar