Pemikiran Suhrawardī
Cahaya dan Wujud
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran
Shihāb al-Dīn Yaḥyā Suhrawardī dalam karyanya Hikmah al-Isyraq (Filsafat
Iluminasi), dengan fokus pada integrasi antara filsafat dan tasawuf dalam
sistem ontologi dan epistemologi yang ia bangun. Suhrawardī menawarkan
paradigma filsafat yang unik, menjadikan cahaya sebagai hakikat ontologis
tertinggi dan sumber pengetahuan sejati. Dalam filsafatnya, rasionalitas tidak
dihapuskan, tetapi dilampaui melalui iluminasi batin (isyraq), yang hanya dapat
dicapai melalui penyucian jiwa dan intuisi spiritual. Artikel ini menelusuri
dasar-dasar ontologi cahaya, kosmologi hirarkis yang bercorak simbolik, serta
epistemologi yang menggabungkan akal dan kehadiran intuitif (ilmu ḥudhūrī).
Dengan meneliti pengaruh Suhrawardī terhadap pemikir-pemikir besar seperti
Mulla Ṣadrā dan para sufi, tulisan ini menunjukkan bahwa Hikmah al-Isyraq
bukan sekadar sistem metafisik, melainkan juga jalan transformatif menuju
kebenaran ilahiah. Studi ini menegaskan relevansi pemikiran Suhrawardī dalam
menjembatani antara intelektualisme filsafat dan kedalaman spiritualitas Islam,
sekaligus menawarkan model pengetahuan yang holistik dalam konteks tantangan
modernitas.
Kata Kunci: Suhrawardī,
Hikmah al-Isyraq, filsafat Islam, ontologi cahaya, intuisi, iluminasi, tasawuf
falsafi, ilmu ḥudhūrī, Mulla Ṣadrā.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif terhadap Pemikiran Hikmah al-Isyraq
Suhrawardī dalam Integrasi Filsafat dan Tasawuf
1.
Pendahuluan
Sejarah pemikiran
Islam memperlihatkan dinamika intelektual yang sangat kaya, khususnya dalam hal
dialektika antara wahyu dan akal, serta antara filsafat dan tasawuf. Dalam kerangka
ini, upaya integratif antara dimensi rasionalitas filosofis dan spiritualitas
mistik telah menjadi perhatian utama bagi sejumlah tokoh besar. Salah satu
figur penting dalam tradisi tersebut adalah Shihāb al-Dīn Yaḥyā Suhrawardī
(w. 1191 M), yang dikenal sebagai pendiri aliran Hikmah al-Isyraq (filsafat
iluminasi). Suhrawardī menghadirkan sebuah sistem filsafat yang berakar pada
metafisika cahaya, yang menyatukan warisan filsafat Yunani, neoplatonisme, dan
spiritualitas Islam, khususnya dalam bentuk pengalaman intuitif para sufi.¹
Karya-karya
Suhrawardī tidak hanya memperkaya khazanah filsafat Islam, tetapi juga menandai
pergeseran metodologis dari dominasi pendekatan peripatetik (mashā’iyyah) ala
Ibn Sina menuju pendekatan isyrāqī yang menekankan penyingkapan batin (kasyf)
dan iluminasi
ruhani.² Dengan mengintegrasikan rasionalitas filsafat dan dimensi
kasyf tasawuf, Suhrawardī berhasil membentuk sintesis pemikiran yang tidak
semata-mata spekulatif, tetapi juga eksistensial dan transformasional. Filsafat
bagi Suhrawardī bukan hanya hasil pemikiran logis, tetapi buah dari pengalaman
penyucian jiwa dan penyaksian terhadap hakikat-hakikat cahaya.³
Dalam Hikmah
al-Isyraq, Suhrawardī menyusun kosmologi metafisik berbasis
intensitas cahaya yang menurun dari Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala
cahaya) hingga ke realitas-material yang paling gelap. Hirarki wujud ini
mencerminkan struktur ontologis yang paralel dengan maqāmāt dalam tasawuf, yang
menggambarkan jenjang-jenjang spiritual menuju Tuhan.⁴ Dengan demikian,
pendekatan filsafat isyrāqiyyah ini tidak hanya menyentuh aspek teoritis,
tetapi juga membimbing transformasi eksistensial seorang pencari kebenaran (sālik).
Integrasi filsafat dan tasawuf yang dikembangkan Suhrawardī menjadi bentuk
filsafat yang hidup, yang menggabungkan penalaran intelektual dan penyaksian
batin secara harmonis.⁵
Telaah terhadap
pemikiran Suhrawardī menjadi semakin penting dalam konteks kontemporer,
terutama untuk memahami bagaimana filsafat Islam mampu menjawab
persoalan-persoalan metafisika, epistemologi, dan spiritualitas dengan
pendekatan integratif. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam
pemikiran Hikmah al-Isyraq Suhrawardī, khususnya bagaimana integrasi antara
filsafat dan tasawuf dibangun melalui konsep-konsep seperti cahaya, intuisi,
dan hierarki wujud.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 75–78.
[2]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the
Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001),
34–36.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 152–153.
[4]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 89–91.
[5]
Nasr, Three Muslim Sages, 85–88.
2.
Biografi
Singkat Suhrawardī
Shihāb
al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash Suhrawardī, yang dikenal dengan gelar "al-Maqtūl"
karena kematiannya yang tragis, adalah seorang filsuf Muslim Persia yang lahir
pada tahun 549 H/1155 M di kota Suhraward, dekat Zanjān, Persia barat laut
(kini wilayah Iran).⁽¹⁾ Ia merupakan tokoh penting dalam sejarah filsafat Islam
karena mendirikan mazhab filsafat iluminasi (Hikmah al-Isyraq), suatu sistem
filsafat yang mengintegrasikan unsur rasionalitas Yunani (khususnya
Neoplatonisme) dengan dimensi spiritualitas Islam yang mendalam.
Pendidikan awal
Suhrawardī dimulai di wilayah kelahirannya, kemudian ia melanjutkan studi ke Marāghah
dan Isfahān, dua pusat keilmuan utama di Persia kala itu. Di Isfahān, ia
mempelajari filsafat peripatetik (mashā’iyyah) berdasarkan tradisi Ibn Sina,
sekaligus menaruh minat besar pada logika, fisika, metafisika, dan teologi.
Namun, ketertarikannya terhadap dimensi batin Islam juga membuatnya berguru
pada para sufi dan menempuh jalur kehidupan asketik.⁽²⁾ Dengan perpaduan latar
belakang tersebut, Suhrawardī akhirnya mengembangkan pendekatan filosofis yang
menekankan pentingnya intuisi (kasyf), pengalaman ruhani, dan
pencerahan (iluminasi) dalam memperoleh
pengetahuan sejati, berseberangan dengan metode rasional formalistik semata.
Perjalanan
intelektual dan spiritual Suhrawardī membawanya ke kota-kota besar seperti
Aleppo, Damaskus, dan mungkin juga Mekkah. Namun, pemikirannya yang dianggap
menyimpang dari pandangan ortodoks kala itu, serta pengaruh besarnya terhadap
kaum terpelajar dan penguasa, menjadikan dirinya sebagai sosok yang
dicurigai.⁽³⁾ Suhrawardī kemudian diundang oleh Malik Zāhir, putra Sultan
Salahuddin al-Ayyubi, ke istananya di Aleppo. Di sana, ia sempat mengajar dan
menulis, tetapi tekanan dari ulama konservatif menyebabkan ia difatwa sebagai
sesat. Dengan persetujuan tidak langsung dari Sultan, ia dihukum mati dalam
usia yang sangat muda, sekitar 38 tahun, pada tahun 587 H/1191 M.⁽⁴⁾
Meskipun masa
hidupnya singkat, warisan intelektual Suhrawardī sangat luas dan mendalam. Ia
meninggalkan lebih dari 50 karya, baik dalam bahasa Arab maupun Persia,
termasuk Ḥikmat
al-Isyrāq, Talwīḥāt, dan karya alegoris-mistik
seperti ʿAql
al-Mutahhar dan Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah.
Pemikiran-pemikirannya memberi pengaruh besar pada perkembangan filsafat Islam
Timur, terutama di Iran dan dunia Syiah, dan menjadi fondasi penting bagi
filsafat transenden (ḥikmah mutaʿāliyyah) yang kemudian dikembangkan oleh Mulla
Ṣadrā.⁽⁵⁾
Footnotes
[1]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 1–3.
[2]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 137–139.
[3]
John Walbridge, The Leaven of the Ancients: Suhrawardī and the
Heritage of the Greeks (Albany: State University of New York Press, 2000),
67–70.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 90.
[5]
Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Study of
Suhrawardī’s Illuminationist Political Doctrine,” The Muslim World 84,
no. 1–2 (1994): 134–137.
3.
Dasar-Dasar
Filsafat Cahaya (Hikmah al-Isyraq)
Filsafat Hikmah
al-Isyraq (Filsafat Iluminasi) yang dikembangkan oleh Suhrawardī
merupakan sebuah sintesis orisinal antara warisan filsafat Yunani (terutama
neoplatonisme), tradisi peripatetik Islam (mashā’iyyah), dan pengalaman mistik
dari tasawuf. Akar dari sistem filsafat ini terletak pada konsep cahaya
(nūr)
sebagai hakikat ontologis dan epistemologis tertinggi. Dalam kerangka ini,
Suhrawardī tidak hanya menawarkan pandangan metafisik yang inovatif, tetapi
juga menyusun suatu metodologi filosofis yang memadukan rasionalitas dan
iluminasi batin.¹
Konsep utama dari
filsafat iluminasi adalah cahaya sebagai realitas primer dan tunggal,
dari mana seluruh bentuk wujud lainnya berasal. Suhrawardī menyebut hakikat
tertinggi ini sebagai Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala
cahaya), yang menjadi sumber dari seluruh eksistensi.² Cahaya ini tidak
bergantung pada apa pun selain dirinya, dan segala sesuatu yang lain memiliki
eksistensi karena intensitas, kedekatan, atau keterjauhan mereka dari sumber
cahaya tersebut. Konsepsi ini mencerminkan struktur hierarkis wujud yang
bertingkat dari cahaya murni menuju kegelapan murni, yakni dari realitas
ilahiyah hingga materi paling bawah.³
Suhrawardī membagi
wujud-wujud menjadi dua: cahaya dan kegelapan.
Cahaya adalah substansi yang berdiri sendiri, sementara kegelapan hanyalah
ketiadaan cahaya atau bentuk-bentuk cahaya yang sangat lemah.⁴ Oleh karena itu,
hierarki kosmik dalam filsafat isyraqiyyah tidak dibangun atas kategori
kuantitatif, melainkan berdasarkan tingkatan intensitas ontologis
dari cahaya—semakin dekat dengan Nūr al-Anwār, semakin tinggi
derajat wujudnya. Hal ini sekaligus menjadi landasan bagi sistem kosmologi dan
psikologi spiritual dalam pemikiran Suhrawardī.
Dalam sistem ini,
Suhrawardī juga membedakan antara cahaya yang tidak tergantung (cahaya mandiri)
dan cahaya
tergantung (cahaya yang terikat materi). Cahaya yang tidak
tergantung adalah entitas-entitas immateri seperti akal-akal suci (malaikat),
sedangkan cahaya tergantung merujuk pada jiwa manusia yang masih terkait dengan
dunia fisik. Jiwa manusia, menurut Suhrawardī, pada hakikatnya adalah cahaya
yang terpenjara dalam tubuh dan berupaya kembali kepada sumber cahayanya
melalui penyucian dan iluminasi.⁵
Sebagai kritik
terhadap tradisi peripatetik Ibn Sīnā, Suhrawardī menolak abstraksi
logis sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran metafisik. Ia
mengusulkan metode isyraq (pencerahan batin) yang
menuntut latihan spiritual dan intuisi sebagai syarat untuk memperoleh
pengetahuan yang benar.⁶ Dengan demikian, epistemologi dalam Hikmah
al-Isyraq menolak dikotomi antara rasio dan intuisi, serta
mengintegrasikan keduanya dalam pencarian hakikat. Proses filsafat bagi
Suhrawardī tidak cukup hanya melalui silogisme, tetapi juga melalui pengalaman
kasyf, zikir, dan kontemplasi mendalam.
Aspek lain yang khas
dari filsafat ini adalah penggunaan simbolisme dan bahasa alegoris. Banyak
karya Suhrawardī, seperti Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah,
menggunakan kisah-kisah simbolik untuk menggambarkan perjalanan jiwa manusia
dalam pencarian cahaya.⁷ Hal ini memperlihatkan bagaimana filsafat dan tasawuf
tidak diposisikan secara dualistik, tetapi justru saling melengkapi dalam satu
sistem pemikiran yang holistik.
Dengan mengangkat
cahaya sebagai prinsip dasar eksistensi dan pengetahuan, Suhrawardī tidak hanya
menghadirkan paradigma ontologis baru, tetapi juga membangun jembatan antara
logos filsafat dan nur tasawuf. Filsafat Isyraqiyyah menjadi landasan penting
dalam mengembangkan pendekatan transenden terhadap realitas, yang kelak
memengaruhi filsafat-filsafat besar di Timur, termasuk pemikiran Mulla Ṣadrā
dan tradisi hikmah mutaʿāliyyah.⁸
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 12–14.
[2]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 54–56.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 165–167.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 83–84.
[5]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the
Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001),
44–47.
[6]
Ziai, Knowledge and Illumination, 98–101.
[7]
William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat
al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 15–19.
[8]
Nasr, Three Muslim Sages, 86–87.
4.
Integrasi
Filsafat dan Tasawuf dalam Pemikiran Suhrawardī
Pemikiran Suhrawardī
dalam Hikmah
al-Isyraq tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memperhatikan
keberhasilannya dalam menyatukan dua tradisi besar dalam khazanah keilmuan
Islam: filsafat dan tasawuf. Integrasi ini bukanlah upaya eklektik, melainkan
merupakan bentuk sintesis kreatif yang melampaui batas-batas formalisme logis
peripatetik dan mistisisme eksklusif kaum sufi. Suhrawardī menyusun suatu
kerangka filsafat yang berbasis ontologi cahaya dan epistemologi iluminatif,
yang sekaligus berfungsi sebagai jalan spiritual menuju realitas tertinggi.¹
Bagi Suhrawardī, hakikat
pengetahuan sejati tidak cukup diperoleh melalui proses rasionalitas logis
semata sebagaimana dalam tradisi peripatetik. Ia menekankan pentingnya intuisi
ruhani (dzauq) dan penyingkapan batin (kasyf) sebagai sarana
untuk memahami realitas terdalam dari wujud.² Pendekatan ini sejajar dengan
metode dalam tasawuf, di mana pengalaman eksistensial melalui tazkiyah al-nafs
(penyucian jiwa) dan muraqabah (kontemplasi) menjadi jalan menuju makrifat
(gnosis). Oleh karena itu, filsafat bagi Suhrawardī bukan sekadar kegiatan
intelektual, tetapi jalan penyaksian (mushāhadah) terhadap kebenaran
hakiki yang bersifat transenden.³
Integrasi tersebut
tampak dalam struktur epistemologis dan ontologis Hikmah al-Isyraq, yang
memperlihatkan paralelisme antara hierarki cahaya dan maqāmāt
tasawuf. Setiap tingkatan cahaya dalam kosmologi isyraqiyyah
merepresentasikan jenjang spiritual yang mesti dilalui oleh jiwa manusia dalam
perjalanannya menuju Nūr al-Anwār, yang oleh kaum sufi
diidentifikasi sebagai al-Ḥaqq atau Tuhan.⁴ Dalam hal ini, pencapaian
pengetahuan tertinggi hanya mungkin bila jiwa telah terlepas dari kegelapan
nafsu dan dunia material, serta menyatu dengan intensitas cahaya ilahi.
Suhrawardī
mengajukan konsep “filosof-‘ārif” sebagai ideal
manusia sempurna: sosok yang menggabungkan ketajaman intelektual dengan
kedalaman spiritual.⁵ Dalam pandangannya, filsuf sejati adalah juga seorang
sufi yang telah mengalami pencerahan batin, karena kebenaran tertinggi tidak
mungkin dicapai tanpa penyucian jiwa. Hal ini menjadikan filsafat tidak hanya
sebagai disiplin rasional, tetapi sebagai hikmah dzawqiyyah (kebijaksanaan
yang dialami secara langsung).
Dalam karya-karya
alegorisnya seperti Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah dan
ʿAql
al-Mutahhar, Suhrawardī menyampaikan ide-ide filsafatnya melalui
narasi simbolik yang sarat dengan makna spiritual.⁶ Pendekatan ini
memperlihatkan bagaimana simbolisme digunakan untuk menembus batas-batas
diskursif dan mengantarkan pembaca pada pengalaman mistik. Jalan kembalinya
jiwa dari dunia kegelapan menuju cahaya keabadian digambarkan sebagai
perjalanan spiritual yang juga merupakan proses filsafat iluminasi.
Aspek paling khas
dari integrasi filsafat dan tasawuf dalam pemikiran Suhrawardī adalah bahwa ilmu
yang hakiki bukan hanya “diketahui” tapi harus “dihidupi”.⁷
Oleh karena itu, filsafat tidak bisa dipisahkan dari asketisme dan latihan
spiritual. Jalan menuju kebenaran menuntut transformasi eksistensial, bukan
sekadar akumulasi argumen logis. Dengan demikian, Hikmah al-Isyraq menjelma sebagai
bentuk filsafat yang “berdoa” dan tasawuf yang “berpikir”.
Integrasi ini juga
memberi kontribusi penting terhadap lahirnya filsafat transenden (ḥikmah
mutaʿāliyyah) yang kemudian dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā, di mana
aspek rasional dan intuitif, wujud dan nur, akal dan qalb disatukan dalam satu
sistem metafisika dan epistemologi yang utuh.⁸ Suhrawardī menjadi pelopor jalan
filsafat Islam Timur yang spiritualistik, berbeda dari logisisme Barat dan literalitas
skolastik.
Footnotes
[1]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 105–108.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 117–120.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 182–185.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 87–88.
[5]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the
Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001),
58–59.
[6]
William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat
al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 22–23.
[7]
Ziai, Knowledge and Illumination, 125.
[8]
Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The
Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 183–185.
5.
Ontologi
dan Kosmologi Isyraqiyyah
Salah satu
kontribusi utama Suhrawardī dalam filsafat Islam adalah pengembangan sistem ontologi
dan kosmologi yang berbasis metafisika cahaya, yang dikenal
dengan sebutan Hikmah al-Isyraq. Berbeda dari
pendekatan peripatetik yang menekankan kategori-kategori Aristotelian dan
substansi-materi, Suhrawardī menyusun teori wujud yang berakar pada gradualitas
intensitas cahaya sebagai dasar segala eksistensi.¹ Dalam
sistem ini, seluruh realitas dipandang sebagai spektrum hierarkis dari “cahaya
murni” hingga “kegelapan mutlak”, dengan setiap tingkat memiliki
kedekatan atau kejauhan metafisik terhadap sumber tertinggi, yaitu Nūr
al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya).²
5.1.
Ontologi Cahaya: Wujud
sebagai Intensitas
Menurut Suhrawardī, wujud adalah
cahaya dan cahaya adalah wujud. Tidak ada entitas yang lebih
mendasar dari cahaya, karena ia bersifat nirkekurangan, mandiri, dan tidak
memerlukan definisi melalui lawan atau batas.³ Oleh karena itu, cahaya menjadi
metafora dan realitas ontologis utama. Segala bentuk eksistensi lain—termasuk
akal, jiwa, bahkan materi—adalah refleksi atau bayangan dari intensitas cahaya
yang lebih tinggi. Dalam kosmologi ini, cahaya bukan hanya prinsip metaforis,
tetapi juga prinsip ontologis dan kosmologis.⁴
Al-Nūr al-Aqdas
(Cahaya Paling Suci), yakni realitas tertinggi, merupakan sumber dari seluruh
tatanan kosmik. Ia memancarkan cahaya-cahaya mandiri (anwār
muqahharah), yaitu entitas-entitas intelektual non-materi (malaikat), yang
kemudian mengatur dunia bawah.⁵ Dari cahaya-cahaya intelektual ini, muncul jiwa-jiwa
tergantung (anwār mudabbirah), seperti ruh manusia yang
terhubung dengan tubuh, dan dari situ berkembang realitas-realitas di alam
fisik.
5.2.
Hirarki Kosmos: Dari
Cahaya ke Kegelapan
Kosmologi
Isyraqiyyah menggambarkan dunia sebagai struktur berlapis-lapis yang
terdiri dari:
1)
Tingkatan tertinggi
(al-nūr al-qayyūm): Cahaya yang tidak disebabkan, abadi, dan mutlak.
Ia adalah sumber pertama dari segala yang ada.
2)
Tingkatan cahaya-cahaya
murni (al-anwār al-mujarradah): Akal-akal kosmik atau malaikat yang
tidak berhubungan dengan materi.
3)
Tingkatan jiwa-jiwa
tergantung (al-anwār al-mudabbirah): Jiwa manusia, hewan, dan entitas
lain yang berada di antara dunia cahaya dan dunia materi.
4)
Tingkatan bayangan (ẓilāl)
dan bentuk-bentuk gelap (ashbāh): Materi dan bentuk fisik yang berada
dalam zona paling redup dari cahaya.⁶
Struktur ini paralel
dengan kosmologi neoplatonik, tetapi ditafsirkan melalui simbolisme cahaya yang
khas. Hirarki ini tidak hanya menggambarkan struktur ontologis alam semesta,
tetapi juga jalur naik-mendaki jiwa manusia
dari dunia bawah menuju asal cahayanya. Proses ini disebut sebagai “perjalanan
kembalinya jiwa” (safar al-rūḥ) dan menjadi dasar
spiritualitas filsafat isyraqiyyah.
5.3.
Dunia Mitsal (ʿĀlam al-Mithāl)
Salah satu
kontribusi penting Suhrawardī dalam kosmologi adalah pengembangan konsep ʿālam
al-mithāl atau alam citra arketipal, yaitu
dunia pertengahan antara alam fisik dan alam intelektual.⁷ Dunia ini berisi
bentuk-bentuk citra (imaginal forms) yang tidak bersifat fisik namun juga bukan
entitas murni akliah. Di sinilah pengalaman mimpi, visi spiritual, dan
simbol-simbol mistik bersemayam. Konsep ini menjadi fondasi bagi teori ʿālam
al-khayāl yang kemudian berpengaruh besar dalam pemikiran filsuf-filsuf
Timur seperti Mulla Ṣadrā dan juga dalam tafsir simbolik oleh para sufi seperti
Ibn ʿArabī.⁸
Dengan demikian,
sistem ontologi Suhrawardī bukan sekadar teori metafisik, melainkan peta
ontologis dan spiritual yang menjembatani antara wujud intelektual dan
eksistensi batin manusia. Keseluruhan kosmologi ini dimaksudkan tidak hanya
untuk menjelaskan struktur realitas, tetapi juga sebagai panduan
perjalanan spiritual menuju iluminasi tertinggi.
Footnotes
[1]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 91–94.
[2]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 170–172.
[3]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 85–86.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 84–85.
[5]
John Walbridge, The Leaven of the Ancients: Suhrawardī and the
Heritage of the Greeks (Albany: State University of New York Press, 2000),
71–74.
[6]
William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat
al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 24–26.
[7]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 10–12.
[8]
Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The
Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 182–184.
6.
Epistemologi
Isyraqiyyah: Akal, Intuisi, dan Iluminasi
Salah satu
keistimewaan filsafat Hikmah al-Isyraq adalah cara
pandangnya yang khas terhadap sumber dan proses perolehan pengetahuan.
Suhrawardī tidak membatasi epistemologi pada analisis rasional dan demonstratif
sebagaimana dilakukan oleh filsuf peripatetik seperti Ibn Sīnā. Sebaliknya, ia
menyatukan antara aktivitas intelektual (akal)
dan pengalaman
spiritual (intuisi dan iluminasi) sebagai dua jalur integral
untuk mencapai kebenaran.¹ Pendekatan ini menghasilkan bentuk epistemologi yang
transrasional, yang mengakui bahwa realitas tertinggi tidak dapat sepenuhnya
ditangkap oleh logika, tetapi menuntut penyingkapan batiniah yang mendalam (kasyf).
6.1.
Akal: Peran
Rasionalitas dalam Isyraqiyyah
Suhrawardī tidak
menolak akal, tetapi ia mengkritisi kecenderungan filsafat rasionalistik yang
menjadikan logika sebagai satu-satunya jalan menuju pengetahuan metafisik.²
Bagi Suhrawardī, akal bersifat penting dalam tahap awal pencarian kebenaran,
terutama dalam menyusun argumen dasar dan menghindari kesalahan berpikir.
Namun, untuk mencapai hakikat yang lebih tinggi dan esoterik, seperti
pengetahuan tentang jiwa, malaikat, dan realitas cahaya murni, akal tidak
memadai. Ia menyebut metode rasional sebagai bagian dari "hikmah bahsiyyah"
(kebijaksanaan diskursif), yang harus dilampaui menuju "hikmah
dzauqiyyah" (kebijaksanaan rasa batin).³
6.2.
Intuisi dan Iluminasi:
Jalan Penyingkapan Hakikat
Konsep kunci dalam
epistemologi isyraqiyyah adalah iluminasi (isyraq), yakni
proses di mana kebenaran disingkap langsung kepada jiwa melalui cahaya batin.⁴
Iluminasi bukan sekadar analogi metaforis, tetapi merupakan proses spiritual
yang riil, di mana pengetahuan diperoleh melalui hubungan langsung antara
subjek pengetahuan (jiwa) dan objeknya (realitas cahaya). Dalam kerangka ini,
pengetahuan hakiki bersifat "hudhūrī", yaitu
kehadiran langsung objek dalam kesadaran subjek, bukan hasil perantara
representasi atau definisi.⁵
Suhrawardī membagi pengetahuan menjadi dua bentuk utama:
1)
Ilmu ḥuṣūlī
(representasional)
Pengetahuan yang diperoleh melalui konsep,
simbol, dan definisi. Jenis ini mendominasi dalam filsafat peripatetik.
2)
Ilmu ḥudhūrī (presensial)
Pengetahuan yang muncul dari kehadiran langsung
objek dalam jiwa, tanpa perantara simbol atau representasi. Ini adalah bentuk
pengetahuan iluminatif.⁶
Bagi Suhrawardī,
semakin tinggi derajat spiritual seseorang, semakin kuat kemampuan
iluminatifnya. Oleh sebab itu, proses memperoleh ilmu menjadi erat kaitannya
dengan tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa), mujahadah, dan kontemplasi. Proses
ini sejalan dengan tahapan maqāmāt dalam tasawuf, yang berujung pada kasyf
(penyingkapan) dan mushāhadah (penyaksian).
6.3.
Epistemologi
Integratif: Rasional dan Transrasional
Model epistemologi
yang ditawarkan Suhrawardī dapat disebut sebagai epistemologi
integratif, karena menggabungkan kekuatan nalar dan kedalaman
spiritual. Filsuf isyraqiyyah idealnya adalah orang yang menguasai
logika namun juga mampu mengalami iluminasi.⁷ Ia
tidak berhenti pada spekulasi rasional, tetapi menempuh jalan transenden menuju
penyaksian kebenaran. Dalam konteks ini, ilmu bukan hanya know-that,
tetapi know-by-being
— yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan menjadi bagian dari realitas yang
diketahui.
Epistemologi ini memiliki
dampak besar terhadap tradisi filsafat Timur Islam, terutama dalam sistem ḥikmah
mutaʿāliyyah yang dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā, yang juga
mengadopsi konsep ilmu hudhūrī sebagai bentuk tertinggi dari pengetahuan.⁸
Dengan demikian,
epistemologi Hikmah al-Isyraq bukan hanya teori
pengetahuan, tetapi juga merupakan kerangka spiritual untuk transformasi
eksistensial manusia. Ia menuntut kesiapan intelektual dan kemurnian jiwa
sebagai syarat mutlak untuk memperoleh pengetahuan sejati.
Footnotes
[1]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 106–110.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 55–59.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 180–181.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 86–87.
[5]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the
Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001),
59–62.
[6]
Ziai, Knowledge and Illumination, 98–101.
[7]
William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat
al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 28–29.
[8]
Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The
Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 187–189.
7.
Pengaruh
dan Warisan Pemikiran Suhrawardī
Meskipun masa hidup
Suhrawardī relatif singkat dan berakhir tragis, warisan intelektualnya terbukti
sangat berpengaruh dalam perkembangan filsafat Islam pascaklasik, khususnya di
kawasan Persia dan wilayah-wilayah dunia Islam bagian Timur. Melalui sistem Hikmah
al-Isyraq, Suhrawardī tidak hanya memperkenalkan paradigma filsafat
baru berbasis ontologi cahaya dan epistemologi iluminatif, tetapi juga
menciptakan jembatan antara tradisi filsafat rasional (mashā’iyyah) dan
spiritualitas mistik (tasawuf).¹ Warisan ini diteruskan, dikembangkan, dan
dimurnikan oleh sejumlah pemikir besar dalam tradisi hikmah (kebijaksanaan
filsafat Islam), yang menjadikan Suhrawardī sebagai figur sentral dalam peta
pemikiran Islam Timur.
7.1.
Pengaruh terhadap
Tradisi Hikmah di Dunia Islam Timur
Pengaruh paling
menonjol dari pemikiran Suhrawardī dapat dilacak dalam filsafat
transenden (ḥikmah mutaʿāliyyah) yang dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā
(w. 1640), salah satu filsuf terbesar dalam tradisi Islam. Mulla Ṣadrā secara eksplisit
menggabungkan aspek-aspek kunci dari filsafat isyraqiyyah dengan
prinsip-prinsip peripatetik dan sufistik. Ia menerima kerangka ontologi cahaya
dari Suhrawardī dan menyempurnakannya melalui konsep ashālat
al-wujūd (primordialitas wujud), yang merupakan penggabungan antara
ontologi transenden dan epistemologi presensial.² Konsep ʿilm ḥudhūrī
(ilmu kehadiran langsung) dari Suhrawardī juga menjadi elemen utama dalam
sistem pengetahuan Mulla Ṣadrā.³
Selain Mulla Ṣadrā,
para pemikir dalam mazhab Isfahan seperti Mir
Dāmād dan Qāḍī Saʿīd Qummī juga sangat dipengaruhi oleh pendekatan
isyraqiyyah.⁴ Tradisi ini kemudian menjadi arus utama dalam pendidikan dan
diskursus filsafat Islam di dunia Syiah, terutama di pusat-pusat keilmuan
seperti Qom dan Najaf.
7.2.
Pengaruh terhadap
Tasawuf dan Simbolisme Spiritual
Di luar lingkup
filsafat formal, pengaruh Suhrawardī juga terasa kuat dalam tradisi
tasawuf dan gnostisisme Islam. Melalui gagasannya tentang ʿālam
al-mithāl (alam citra) dan penekanan terhadap pengalaman iluminatif
(kasyf),
Suhrawardī menawarkan kerangka ontologis dan epistemologis yang sangat dekat
dengan pengalaman mistik para sufi.⁵ Ibn ʿArabī, meskipun tidak secara langsung
mewarisi sistem Suhrawardī, menunjukkan pemikiran yang paralel dalam banyak
hal, terutama dalam hal simbolisme cahaya, hirarki realitas, dan perjalanan
ruhani.
Pemikiran Suhrawardī
juga memengaruhi pendekatan tafsir isyārī (tafsir simbolik)
atas Al-Qur'an yang berkembang di kalangan sufi dan filsuf.⁶ Dalam hal ini,
karya-karya alegoris Suhrawardī seperti Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah
menjadi model klasik dalam menyampaikan ide-ide filsafat metafisis melalui
simbol dan narasi spiritual.
7.3.
Revivalisme Modern dan
Studi Barat
Minat terhadap
Suhrawardī tidak hanya bertahan di dunia Islam, tetapi juga mengalami
kebangkitan melalui karya para orientalis dan filsuf modern,
terutama di Eropa dan Iran. Henry Corbin, filsuf dan orientalis Prancis, adalah
salah satu tokoh utama dalam menghidupkan kembali warisan Suhrawardī di abad
ke-20. Melalui karya monumentalnya En Islam Iranien, Corbin
menempatkan Suhrawardī sebagai tokoh utama dalam tradisi filsafat Iran
spiritualistik, dan menyebutnya sebagai “imam kedua filsafat” setelah Ibn
Sina.⁷
Di Iran modern,
pemikiran Suhrawardī tetap menjadi bagian penting dalam kurikulum filsafat di
hawzah-hawzah Syiah dan universitas-universitas filsafat Islam. Suhrawardī
dianggap sebagai tokoh yang menghidupkan kembali hikmah al-falsafiyyah al-ilāhiyyah,
yaitu filsafat ilahiah yang menyatukan akal, wahyu, dan intuisi.⁸
7.4.
Warisan sebagai Model
Integratif
Secara keseluruhan,
warisan Suhrawardī terletak pada kemampuannya mengintegrasikan rasionalitas filosofis,
kepekaan mistik, dan orientasi spiritual dalam satu kerangka pemikiran yang
koheren. Dalam konteks kontemporer, pendekatan ini relevan
untuk menjawab tantangan sekularisme rasional dan formalisme keagamaan, karena
ia menawarkan model pengetahuan yang holistik: meliputi akal, qalb, dan ruh.
Suhrawardī mewariskan bukan hanya sistem filsafat, tetapi visi
eksistensial tentang manusia dan realitas, yang terus
menginspirasi pemikiran Islam hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 198–200.
[2]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 124–128.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 89–91.
[4]
Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The
Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 190–192.
[5]
William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat
al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 30–32.
[6]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 115–117.
[7]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), xxiii–xxv.
[8]
Nasr, Three Muslim Sages, 92–93.
8.
Kritik
dan Apresiasi terhadap Pemikiran Suhrawardī
Pemikiran Suhrawardī
dalam Hikmah
al-Isyraq telah memperoleh tempat yang istimewa dalam sejarah
filsafat Islam. Ia dipandang sebagai pemikir revolusioner yang berani menantang
dominasi filsafat peripatetik dengan menawarkan model epistemologis dan
ontologis baru berbasis pada konsep cahaya dan intuisi. Namun demikian, sistem
pemikirannya juga tidak luput dari kritik, baik dari kalangan rasionalis, teolog
ortodoks, maupun sebagian pemikir sufi. Sebaliknya, ia juga memperoleh
apresiasi tinggi dari kalangan filsuf spiritual dan sarjana modern yang melihat
pemikirannya sebagai sintesis cemerlang antara akal dan ruh.
8.1.
Kritik dari Tradisi
Peripatetik dan Rasionalis
Dari perspektif filsuf
peripatetik, pemikiran Suhrawardī dianggap terlalu menekankan
aspek mistik dan intuisi, sehingga kurang memenuhi standar ketat rasionalitas
dan logika formal. Mereka mengkritik pendekatan isyraqiyyah karena dinilai tidak sistematis
secara silogistik dan tidak dapat diuji secara rasional semata,
sebagaimana kerangka yang dibangun oleh Ibn Sīnā.¹ Para pengikut
Aristotelianisme dalam Islam memandang metode pengetahuan melalui kasyf
dan dzauq
sebagai bentuk subjektivisme yang berpotensi menjauh dari objektivitas
filsafat.
Selain itu, sebagian
teolog
ortodoks juga mengkritik Suhrawardī karena penggunaan
terminologi filsafat Yunani dan orientasi kosmologi yang mengandalkan akal dan
simbolisme. Pandangan bahwa cahaya adalah substansi ontologis utama yang
memancar dari sumber non-materi dianggap bertentangan dengan konsep penciptaan
ex nihilo dalam teologi Islam tradisional.² Ketertarikan Suhrawardī pada
simbolisme Zoroastrian dan Neoplatonik juga sempat memunculkan tuduhan sinkretisme
oleh sebagian ulama pada masanya.
8.2.
Apresiasi dari Tradisi
Hikmah dan Tasawuf
Sebaliknya,
Suhrawardī mendapat apresiasi luas dari kalangan hikmah Timur
(filsafat Islam Persia) yang melihat sistem Hikmah al-Isyraq sebagai
penyempurna filsafat Islam. Pemikir seperti Mulla Ṣadrā menilai pendekatan
Suhrawardī sebagai bentuk "hikmah dzauqiyyah"
yang menggabungkan ketajaman logika dengan pengalaman ruhani.³ Mulla Ṣadrā
bahkan menyatakan bahwa pengetahuan yang sahih adalah yang diperoleh melalui
kehadiran langsung (ilmu ḥudhūrī), suatu ide yang pertama kali dikembangkan
secara sistematis oleh Suhrawardī.
Di sisi lain, para mystik
dan sufi memandang Suhrawardī sebagai sosok yang menjembatani
antara filsafat dan pengalaman spiritual. Konsep-konsep seperti ʿālam
al-mithāl, iluminasi, dan pencerahan ruhani sangat dekat dengan
tradisi kasyf dan syuhūd dalam tasawuf.⁴ Dalam hal ini, Suhrawardī bukan hanya
seorang filsuf, tetapi juga seorang ʿārif, yaitu pencari kebenaran
melalui pengenalan batin.
8.3.
Apresiasi dari Sarjana
Modern
Dalam studi filsafat
Islam kontemporer, Suhrawardī memperoleh tempat yang sangat istimewa, terutama
berkat kontribusi Henry Corbin, orientalis
Prancis yang memperkenalkan Suhrawardī ke dunia akademik Barat. Corbin menyebut
Suhrawardī sebagai pembaharu filsafat profetik
yang menghidupkan kembali dimensi imajinasi kreatif dalam spiritualitas Islam.⁵
Ia menekankan bahwa hikmah al-Isyraq bukan sekadar
sistem rasional, tetapi juga merupakan jalan pencerahan bagi jiwa modern
yang kehilangan kontak dengan realitas spiritual.
Sementara itu, Seyyed
Hossein Nasr melihat Suhrawardī sebagai perwakilan filsafat
Islam sejati, yaitu filsafat yang tidak terpisah dari dimensi transenden,
wahyu, dan pengalaman mistik.⁶ Nasr menilai bahwa pemikiran Suhrawardī sangat
relevan untuk menjawab krisis pengetahuan modern yang tereduksi hanya pada akal
dan empirisisme.
Kesimpulan
Dari kritik dan
apresiasi yang muncul, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Suhrawardī menempati
posisi unik dalam sejarah intelektual Islam: menggabungkan filsafat, mistik, dan simbolisme
metafisik dalam satu kerangka iluminatif yang orisinal. Ia
melampaui sekadar filsafat spekulatif, karena menawarkan sebuah sistem
pengetahuan yang menyentuh aspek eksistensial manusia. Meskipun menghadapi
resistensi pada zamannya, warisan Suhrawardī terus hidup dan menjadi inspirasi
bagi berbagai aliran pemikiran spiritual, baik di dunia Islam maupun dalam
filsafat perennial modern.
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 67–70.
[2]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 116–119.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 92.
[4]
William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat
al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 33–34.
[5]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 40–43.
[6]
Nasr, Three Muslim Sages, 94–95.
9.
Kesimpulan
Pemikiran Suhrawardī
melalui sistem Hikmah al-Isyraq merupakan salah
satu puncak pencapaian filsafat Islam yang berhasil menyatukan rasionalitas
intelektual dan kedalaman spiritualitas. Berbeda dari pendekatan peripatetik
yang menekankan pada logika dan deduksi rasional, Suhrawardī membangun sebuah
paradigma ontologis dan epistemologis yang berakar pada realitas
cahaya sebagai prinsip wujud dan iluminasi
sebagai cara memperoleh pengetahuan hakiki.¹ Dengan menjadikan
cahaya sebagai metafisika utama, ia memperkenalkan kerangka baru dalam memahami
struktur realitas dan relasi manusia dengan yang Ilahi.
Filsafat Suhrawardī
tidak hanya menantang model filsafat skolastik-rasionalis, tetapi juga menawarkan
jalan menuju pemahaman metafisik melalui integrasi akal,
intuisi, dan pengalaman mistik. Dalam epistemologi isyraqiyyah,
pengetahuan tidak berhenti pada representasi simbolik, tetapi menuntut
penyaksian langsung melalui kasyf dan mushāhadah.²
Ini menjadikan filsafat tidak sekadar sebagai wacana teoritis, tetapi sebagai
jalan transformasi eksistensial yang sangat dekat dengan praktik tasawuf. Oleh
karena itu, Hikmah al-Isyraq dapat disebut
sebagai bentuk tasawuf filosofis, atau
sebaliknya, filsafat yang ditransendenkan oleh nur mistik.
Kontribusi
Suhrawardī juga sangat signifikan dalam membentuk arus besar filsafat
Islam Timur, khususnya di Iran dan dunia Syiah. Melalui
pengaruhnya terhadap Mulla Ṣadrā dan para filsuf hikmah lainnya, ide-ide
Suhrawardī tetap hidup dalam tradisi keilmuan Islam hingga masa kini.³ Tidak
hanya itu, dalam kajian kontemporer, pemikirannya menjadi bahan refleksi
penting dalam menjawab tantangan modernitas yang cenderung mereduksi
pengetahuan pada dimensi empiris dan rasional semata. Model integratif yang
ditawarkannya antara akal dan qalb, antara ilmu dan makrifat, menjadi tawaran
epistemologis yang kaya makna.
Suhrawardī berhasil
membangun sistem filsafat yang orisinal, simbolik, dan spiritualistik, yang
melampaui sekadar hasil dari logika Aristotelian. Ia menawarkan suatu ontologi
cahaya yang menghidupkan, dan epistemologi iluminasi yang menyucikan,
dengan puncak tertingginya berupa penyatuan wujud manusia dengan sumber cahaya
sejati: Nūr
al-Anwār.⁴ Inilah hakikat dari integrasi filsafat dan tasawuf dalam
pemikiran Suhrawardī—sebuah warisan intelektual yang tidak hanya menjelaskan
hakikat realitas, tetapi juga menuntun manusia untuk menjadi
bagian darinya.
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 115–118.
[2]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 121–124.
[3]
Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The
Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 192–194.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 94–96.
Daftar Pustaka
Aminrazavi, M. (1997). Suhrawardi and the school
of illumination. Richmond: Curzon Press.
Chittick, W. C. (1990). The anthropology of light
in Suhrawardi’s Hikmat al-Ishrāq. Islamic Studies, 29(1), 15–34.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary
recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Corbin, H. (1971). En Islam iranien. Tome II:
Suhrawardî et les Platoniciens de Perse. Paris: Gallimard.
Corbin, H. (1969). Creative imagination in the
Sufism of Ibn 'Arabi (R. Manheim, Trans.). Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Kalin, I. (2016). Suhrawardī and the philosophy of
illumination. In K. El-Rouayheb & S. Schmidtke (Eds.), The Oxford
handbook of Islamic philosophy (pp. 181–194). Oxford: Oxford University
Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Walbridge, J. (2000). The leaven of the
ancients: Suhrawardī and the heritage of the Greeks. Albany, NY: State
University of New York Press.
Walbridge, J. (2001). The wisdom of the mystic
East: Suhrawardī and the Platonic tradition. Albany, NY: State University
of New York Press.
Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A
study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq. Atlanta, GA: Scholars Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar