Selasa, 15 April 2025

Pemikiran Suhrawardī: Cahaya dan Wujud

Pemikiran Suhrawardī

Cahaya dan Wujud


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran Shihāb al-Dīn Yaḥyā Suhrawardī dalam karyanya Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi), dengan fokus pada integrasi antara filsafat dan tasawuf dalam sistem ontologi dan epistemologi yang ia bangun. Suhrawardī menawarkan paradigma filsafat yang unik, menjadikan cahaya sebagai hakikat ontologis tertinggi dan sumber pengetahuan sejati. Dalam filsafatnya, rasionalitas tidak dihapuskan, tetapi dilampaui melalui iluminasi batin (isyraq), yang hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa dan intuisi spiritual. Artikel ini menelusuri dasar-dasar ontologi cahaya, kosmologi hirarkis yang bercorak simbolik, serta epistemologi yang menggabungkan akal dan kehadiran intuitif (ilmu ḥudhūrī). Dengan meneliti pengaruh Suhrawardī terhadap pemikir-pemikir besar seperti Mulla Ṣadrā dan para sufi, tulisan ini menunjukkan bahwa Hikmah al-Isyraq bukan sekadar sistem metafisik, melainkan juga jalan transformatif menuju kebenaran ilahiah. Studi ini menegaskan relevansi pemikiran Suhrawardī dalam menjembatani antara intelektualisme filsafat dan kedalaman spiritualitas Islam, sekaligus menawarkan model pengetahuan yang holistik dalam konteks tantangan modernitas.

Kata Kunci: Suhrawardī, Hikmah al-Isyraq, filsafat Islam, ontologi cahaya, intuisi, iluminasi, tasawuf falsafi, ilmu ḥudhūrī, Mulla Ṣadrā.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif terhadap Pemikiran Hikmah al-Isyraq Suhrawardī dalam Integrasi Filsafat dan Tasawuf


1.           Pendahuluan

Sejarah pemikiran Islam memperlihatkan dinamika intelektual yang sangat kaya, khususnya dalam hal dialektika antara wahyu dan akal, serta antara filsafat dan tasawuf. Dalam kerangka ini, upaya integratif antara dimensi rasionalitas filosofis dan spiritualitas mistik telah menjadi perhatian utama bagi sejumlah tokoh besar. Salah satu figur penting dalam tradisi tersebut adalah Shihāb al-Dīn Yaḥyā Suhrawardī (w. 1191 M), yang dikenal sebagai pendiri aliran Hikmah al-Isyraq (filsafat iluminasi). Suhrawardī menghadirkan sebuah sistem filsafat yang berakar pada metafisika cahaya, yang menyatukan warisan filsafat Yunani, neoplatonisme, dan spiritualitas Islam, khususnya dalam bentuk pengalaman intuitif para sufi.¹

Karya-karya Suhrawardī tidak hanya memperkaya khazanah filsafat Islam, tetapi juga menandai pergeseran metodologis dari dominasi pendekatan peripatetik (mashā’iyyah) ala Ibn Sina menuju pendekatan isyrāqī yang menekankan penyingkapan batin (kasyf) dan iluminasi ruhani.² Dengan mengintegrasikan rasionalitas filsafat dan dimensi kasyf tasawuf, Suhrawardī berhasil membentuk sintesis pemikiran yang tidak semata-mata spekulatif, tetapi juga eksistensial dan transformasional. Filsafat bagi Suhrawardī bukan hanya hasil pemikiran logis, tetapi buah dari pengalaman penyucian jiwa dan penyaksian terhadap hakikat-hakikat cahaya.³

Dalam Hikmah al-Isyraq, Suhrawardī menyusun kosmologi metafisik berbasis intensitas cahaya yang menurun dari Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya) hingga ke realitas-material yang paling gelap. Hirarki wujud ini mencerminkan struktur ontologis yang paralel dengan maqāmāt dalam tasawuf, yang menggambarkan jenjang-jenjang spiritual menuju Tuhan.⁴ Dengan demikian, pendekatan filsafat isyrāqiyyah ini tidak hanya menyentuh aspek teoritis, tetapi juga membimbing transformasi eksistensial seorang pencari kebenaran (sālik). Integrasi filsafat dan tasawuf yang dikembangkan Suhrawardī menjadi bentuk filsafat yang hidup, yang menggabungkan penalaran intelektual dan penyaksian batin secara harmonis.⁵

Telaah terhadap pemikiran Suhrawardī menjadi semakin penting dalam konteks kontemporer, terutama untuk memahami bagaimana filsafat Islam mampu menjawab persoalan-persoalan metafisika, epistemologi, dan spiritualitas dengan pendekatan integratif. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam pemikiran Hikmah al-Isyraq Suhrawardī, khususnya bagaimana integrasi antara filsafat dan tasawuf dibangun melalui konsep-konsep seperti cahaya, intuisi, dan hierarki wujud.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 75–78.

[2]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001), 34–36.

[3]                Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardī et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 152–153.

[4]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 89–91.

[5]                Nasr, Three Muslim Sages, 85–88.


2.           Biografi Singkat Suhrawardī

Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash Suhrawardī, yang dikenal dengan gelar "al-Maqtūl" karena kematiannya yang tragis, adalah seorang filsuf Muslim Persia yang lahir pada tahun 549 H/1155 M di kota Suhraward, dekat Zanjān, Persia barat laut (kini wilayah Iran).⁽¹⁾ Ia merupakan tokoh penting dalam sejarah filsafat Islam karena mendirikan mazhab filsafat iluminasi (Hikmah al-Isyraq), suatu sistem filsafat yang mengintegrasikan unsur rasionalitas Yunani (khususnya Neoplatonisme) dengan dimensi spiritualitas Islam yang mendalam.

Pendidikan awal Suhrawardī dimulai di wilayah kelahirannya, kemudian ia melanjutkan studi ke Marāghah dan Isfahān, dua pusat keilmuan utama di Persia kala itu. Di Isfahān, ia mempelajari filsafat peripatetik (mashā’iyyah) berdasarkan tradisi Ibn Sina, sekaligus menaruh minat besar pada logika, fisika, metafisika, dan teologi. Namun, ketertarikannya terhadap dimensi batin Islam juga membuatnya berguru pada para sufi dan menempuh jalur kehidupan asketik.⁽²⁾ Dengan perpaduan latar belakang tersebut, Suhrawardī akhirnya mengembangkan pendekatan filosofis yang menekankan pentingnya intuisi (kasyf), pengalaman ruhani, dan pencerahan (iluminasi) dalam memperoleh pengetahuan sejati, berseberangan dengan metode rasional formalistik semata.

Perjalanan intelektual dan spiritual Suhrawardī membawanya ke kota-kota besar seperti Aleppo, Damaskus, dan mungkin juga Mekkah. Namun, pemikirannya yang dianggap menyimpang dari pandangan ortodoks kala itu, serta pengaruh besarnya terhadap kaum terpelajar dan penguasa, menjadikan dirinya sebagai sosok yang dicurigai.⁽³⁾ Suhrawardī kemudian diundang oleh Malik Zāhir, putra Sultan Salahuddin al-Ayyubi, ke istananya di Aleppo. Di sana, ia sempat mengajar dan menulis, tetapi tekanan dari ulama konservatif menyebabkan ia difatwa sebagai sesat. Dengan persetujuan tidak langsung dari Sultan, ia dihukum mati dalam usia yang sangat muda, sekitar 38 tahun, pada tahun 587 H/1191 M.⁽⁴⁾

Meskipun masa hidupnya singkat, warisan intelektual Suhrawardī sangat luas dan mendalam. Ia meninggalkan lebih dari 50 karya, baik dalam bahasa Arab maupun Persia, termasuk Ḥikmat al-Isyrāq, Talwīḥāt, dan karya alegoris-mistik seperti ʿAql al-Mutahhar dan Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah. Pemikiran-pemikirannya memberi pengaruh besar pada perkembangan filsafat Islam Timur, terutama di Iran dan dunia Syiah, dan menjadi fondasi penting bagi filsafat transenden (ḥikmah mutaʿāliyyah) yang kemudian dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā.⁽⁵⁾


Footnotes

[1]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 1–3.

[2]                Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 137–139.

[3]                John Walbridge, The Leaven of the Ancients: Suhrawardī and the Heritage of the Greeks (Albany: State University of New York Press, 2000), 67–70.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 90.

[5]                Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Study of Suhrawardī’s Illuminationist Political Doctrine,” The Muslim World 84, no. 1–2 (1994): 134–137.


3.           Dasar-Dasar Filsafat Cahaya (Hikmah al-Isyraq)

Filsafat Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi) yang dikembangkan oleh Suhrawardī merupakan sebuah sintesis orisinal antara warisan filsafat Yunani (terutama neoplatonisme), tradisi peripatetik Islam (mashā’iyyah), dan pengalaman mistik dari tasawuf. Akar dari sistem filsafat ini terletak pada konsep cahaya (nūr) sebagai hakikat ontologis dan epistemologis tertinggi. Dalam kerangka ini, Suhrawardī tidak hanya menawarkan pandangan metafisik yang inovatif, tetapi juga menyusun suatu metodologi filosofis yang memadukan rasionalitas dan iluminasi batin.¹

Konsep utama dari filsafat iluminasi adalah cahaya sebagai realitas primer dan tunggal, dari mana seluruh bentuk wujud lainnya berasal. Suhrawardī menyebut hakikat tertinggi ini sebagai Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya), yang menjadi sumber dari seluruh eksistensi.² Cahaya ini tidak bergantung pada apa pun selain dirinya, dan segala sesuatu yang lain memiliki eksistensi karena intensitas, kedekatan, atau keterjauhan mereka dari sumber cahaya tersebut. Konsepsi ini mencerminkan struktur hierarkis wujud yang bertingkat dari cahaya murni menuju kegelapan murni, yakni dari realitas ilahiyah hingga materi paling bawah.³

Suhrawardī membagi wujud-wujud menjadi dua: cahaya dan kegelapan. Cahaya adalah substansi yang berdiri sendiri, sementara kegelapan hanyalah ketiadaan cahaya atau bentuk-bentuk cahaya yang sangat lemah.⁴ Oleh karena itu, hierarki kosmik dalam filsafat isyraqiyyah tidak dibangun atas kategori kuantitatif, melainkan berdasarkan tingkatan intensitas ontologis dari cahaya—semakin dekat dengan Nūr al-Anwār, semakin tinggi derajat wujudnya. Hal ini sekaligus menjadi landasan bagi sistem kosmologi dan psikologi spiritual dalam pemikiran Suhrawardī.

Dalam sistem ini, Suhrawardī juga membedakan antara cahaya yang tidak tergantung (cahaya mandiri) dan cahaya tergantung (cahaya yang terikat materi). Cahaya yang tidak tergantung adalah entitas-entitas immateri seperti akal-akal suci (malaikat), sedangkan cahaya tergantung merujuk pada jiwa manusia yang masih terkait dengan dunia fisik. Jiwa manusia, menurut Suhrawardī, pada hakikatnya adalah cahaya yang terpenjara dalam tubuh dan berupaya kembali kepada sumber cahayanya melalui penyucian dan iluminasi.⁵

Sebagai kritik terhadap tradisi peripatetik Ibn Sīnā, Suhrawardī menolak abstraksi logis sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran metafisik. Ia mengusulkan metode isyraq (pencerahan batin) yang menuntut latihan spiritual dan intuisi sebagai syarat untuk memperoleh pengetahuan yang benar.⁶ Dengan demikian, epistemologi dalam Hikmah al-Isyraq menolak dikotomi antara rasio dan intuisi, serta mengintegrasikan keduanya dalam pencarian hakikat. Proses filsafat bagi Suhrawardī tidak cukup hanya melalui silogisme, tetapi juga melalui pengalaman kasyf, zikir, dan kontemplasi mendalam.

Aspek lain yang khas dari filsafat ini adalah penggunaan simbolisme dan bahasa alegoris. Banyak karya Suhrawardī, seperti Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah, menggunakan kisah-kisah simbolik untuk menggambarkan perjalanan jiwa manusia dalam pencarian cahaya.⁷ Hal ini memperlihatkan bagaimana filsafat dan tasawuf tidak diposisikan secara dualistik, tetapi justru saling melengkapi dalam satu sistem pemikiran yang holistik.

Dengan mengangkat cahaya sebagai prinsip dasar eksistensi dan pengetahuan, Suhrawardī tidak hanya menghadirkan paradigma ontologis baru, tetapi juga membangun jembatan antara logos filsafat dan nur tasawuf. Filsafat Isyraqiyyah menjadi landasan penting dalam mengembangkan pendekatan transenden terhadap realitas, yang kelak memengaruhi filsafat-filsafat besar di Timur, termasuk pemikiran Mulla Ṣadrā dan tradisi hikmah mutaʿāliyyah.⁸


Footnotes

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 12–14.

[2]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 54–56.

[3]                Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 165–167.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 83–84.

[5]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001), 44–47.

[6]                Ziai, Knowledge and Illumination, 98–101.

[7]                William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 15–19.

[8]                Nasr, Three Muslim Sages, 86–87.


4.           Integrasi Filsafat dan Tasawuf dalam Pemikiran Suhrawardī

Pemikiran Suhrawardī dalam Hikmah al-Isyraq tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memperhatikan keberhasilannya dalam menyatukan dua tradisi besar dalam khazanah keilmuan Islam: filsafat dan tasawuf. Integrasi ini bukanlah upaya eklektik, melainkan merupakan bentuk sintesis kreatif yang melampaui batas-batas formalisme logis peripatetik dan mistisisme eksklusif kaum sufi. Suhrawardī menyusun suatu kerangka filsafat yang berbasis ontologi cahaya dan epistemologi iluminatif, yang sekaligus berfungsi sebagai jalan spiritual menuju realitas tertinggi.¹

Bagi Suhrawardī, hakikat pengetahuan sejati tidak cukup diperoleh melalui proses rasionalitas logis semata sebagaimana dalam tradisi peripatetik. Ia menekankan pentingnya intuisi ruhani (dzauq) dan penyingkapan batin (kasyf) sebagai sarana untuk memahami realitas terdalam dari wujud.² Pendekatan ini sejajar dengan metode dalam tasawuf, di mana pengalaman eksistensial melalui tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dan muraqabah (kontemplasi) menjadi jalan menuju makrifat (gnosis). Oleh karena itu, filsafat bagi Suhrawardī bukan sekadar kegiatan intelektual, tetapi jalan penyaksian (mushāhadah) terhadap kebenaran hakiki yang bersifat transenden.³

Integrasi tersebut tampak dalam struktur epistemologis dan ontologis Hikmah al-Isyraq, yang memperlihatkan paralelisme antara hierarki cahaya dan maqāmāt tasawuf. Setiap tingkatan cahaya dalam kosmologi isyraqiyyah merepresentasikan jenjang spiritual yang mesti dilalui oleh jiwa manusia dalam perjalanannya menuju Nūr al-Anwār, yang oleh kaum sufi diidentifikasi sebagai al-Ḥaqq atau Tuhan.⁴ Dalam hal ini, pencapaian pengetahuan tertinggi hanya mungkin bila jiwa telah terlepas dari kegelapan nafsu dan dunia material, serta menyatu dengan intensitas cahaya ilahi.

Suhrawardī mengajukan konsep “filosof-‘ārif” sebagai ideal manusia sempurna: sosok yang menggabungkan ketajaman intelektual dengan kedalaman spiritual.⁵ Dalam pandangannya, filsuf sejati adalah juga seorang sufi yang telah mengalami pencerahan batin, karena kebenaran tertinggi tidak mungkin dicapai tanpa penyucian jiwa. Hal ini menjadikan filsafat tidak hanya sebagai disiplin rasional, tetapi sebagai hikmah dzawqiyyah (kebijaksanaan yang dialami secara langsung).

Dalam karya-karya alegorisnya seperti Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah dan ʿAql al-Mutahhar, Suhrawardī menyampaikan ide-ide filsafatnya melalui narasi simbolik yang sarat dengan makna spiritual.⁶ Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana simbolisme digunakan untuk menembus batas-batas diskursif dan mengantarkan pembaca pada pengalaman mistik. Jalan kembalinya jiwa dari dunia kegelapan menuju cahaya keabadian digambarkan sebagai perjalanan spiritual yang juga merupakan proses filsafat iluminasi.

Aspek paling khas dari integrasi filsafat dan tasawuf dalam pemikiran Suhrawardī adalah bahwa ilmu yang hakiki bukan hanya “diketahui” tapi harus “dihidupi”.⁷ Oleh karena itu, filsafat tidak bisa dipisahkan dari asketisme dan latihan spiritual. Jalan menuju kebenaran menuntut transformasi eksistensial, bukan sekadar akumulasi argumen logis. Dengan demikian, Hikmah al-Isyraq menjelma sebagai bentuk filsafat yang “berdoa” dan tasawuf yang “berpikir”.

Integrasi ini juga memberi kontribusi penting terhadap lahirnya filsafat transenden (ḥikmah mutaʿāliyyah) yang kemudian dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā, di mana aspek rasional dan intuitif, wujud dan nur, akal dan qalb disatukan dalam satu sistem metafisika dan epistemologi yang utuh.⁸ Suhrawardī menjadi pelopor jalan filsafat Islam Timur yang spiritualistik, berbeda dari logisisme Barat dan literalitas skolastik.


Footnotes

[1]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 105–108.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 117–120.

[3]                Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 182–185.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 87–88.

[5]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001), 58–59.

[6]                William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 22–23.

[7]                Ziai, Knowledge and Illumination, 125.

[8]                Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 183–185.


5.           Ontologi dan Kosmologi Isyraqiyyah

Salah satu kontribusi utama Suhrawardī dalam filsafat Islam adalah pengembangan sistem ontologi dan kosmologi yang berbasis metafisika cahaya, yang dikenal dengan sebutan Hikmah al-Isyraq. Berbeda dari pendekatan peripatetik yang menekankan kategori-kategori Aristotelian dan substansi-materi, Suhrawardī menyusun teori wujud yang berakar pada gradualitas intensitas cahaya sebagai dasar segala eksistensi.¹ Dalam sistem ini, seluruh realitas dipandang sebagai spektrum hierarkis dari “cahaya murni” hingga “kegelapan mutlak”, dengan setiap tingkat memiliki kedekatan atau kejauhan metafisik terhadap sumber tertinggi, yaitu Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya).²

5.1.       Ontologi Cahaya: Wujud sebagai Intensitas

Menurut Suhrawardī, wujud adalah cahaya dan cahaya adalah wujud. Tidak ada entitas yang lebih mendasar dari cahaya, karena ia bersifat nirkekurangan, mandiri, dan tidak memerlukan definisi melalui lawan atau batas.³ Oleh karena itu, cahaya menjadi metafora dan realitas ontologis utama. Segala bentuk eksistensi lain—termasuk akal, jiwa, bahkan materi—adalah refleksi atau bayangan dari intensitas cahaya yang lebih tinggi. Dalam kosmologi ini, cahaya bukan hanya prinsip metaforis, tetapi juga prinsip ontologis dan kosmologis.⁴

Al-Nūr al-Aqdas (Cahaya Paling Suci), yakni realitas tertinggi, merupakan sumber dari seluruh tatanan kosmik. Ia memancarkan cahaya-cahaya mandiri (anwār muqahharah), yaitu entitas-entitas intelektual non-materi (malaikat), yang kemudian mengatur dunia bawah.⁵ Dari cahaya-cahaya intelektual ini, muncul jiwa-jiwa tergantung (anwār mudabbirah), seperti ruh manusia yang terhubung dengan tubuh, dan dari situ berkembang realitas-realitas di alam fisik.

5.2.       Hirarki Kosmos: Dari Cahaya ke Kegelapan

Kosmologi Isyraqiyyah menggambarkan dunia sebagai struktur berlapis-lapis yang terdiri dari:

1)             Tingkatan tertinggi (al-nūr al-qayyūm): Cahaya yang tidak disebabkan, abadi, dan mutlak. Ia adalah sumber pertama dari segala yang ada.

2)             Tingkatan cahaya-cahaya murni (al-anwār al-mujarradah): Akal-akal kosmik atau malaikat yang tidak berhubungan dengan materi.

3)             Tingkatan jiwa-jiwa tergantung (al-anwār al-mudabbirah): Jiwa manusia, hewan, dan entitas lain yang berada di antara dunia cahaya dan dunia materi.

4)             Tingkatan bayangan (ẓilāl) dan bentuk-bentuk gelap (ashbāh): Materi dan bentuk fisik yang berada dalam zona paling redup dari cahaya.⁶

Struktur ini paralel dengan kosmologi neoplatonik, tetapi ditafsirkan melalui simbolisme cahaya yang khas. Hirarki ini tidak hanya menggambarkan struktur ontologis alam semesta, tetapi juga jalur naik-mendaki jiwa manusia dari dunia bawah menuju asal cahayanya. Proses ini disebut sebagai “perjalanan kembalinya jiwa” (safar al-rūḥ) dan menjadi dasar spiritualitas filsafat isyraqiyyah.

5.3.       Dunia Mitsal (ʿĀlam al-Mithāl)

Salah satu kontribusi penting Suhrawardī dalam kosmologi adalah pengembangan konsep ʿālam al-mithāl atau alam citra arketipal, yaitu dunia pertengahan antara alam fisik dan alam intelektual.⁷ Dunia ini berisi bentuk-bentuk citra (imaginal forms) yang tidak bersifat fisik namun juga bukan entitas murni akliah. Di sinilah pengalaman mimpi, visi spiritual, dan simbol-simbol mistik bersemayam. Konsep ini menjadi fondasi bagi teori ʿālam al-khayāl yang kemudian berpengaruh besar dalam pemikiran filsuf-filsuf Timur seperti Mulla Ṣadrā dan juga dalam tafsir simbolik oleh para sufi seperti Ibn ʿArabī.⁸

Dengan demikian, sistem ontologi Suhrawardī bukan sekadar teori metafisik, melainkan peta ontologis dan spiritual yang menjembatani antara wujud intelektual dan eksistensi batin manusia. Keseluruhan kosmologi ini dimaksudkan tidak hanya untuk menjelaskan struktur realitas, tetapi juga sebagai panduan perjalanan spiritual menuju iluminasi tertinggi.


Footnotes

[1]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 91–94.

[2]                Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 170–172.

[3]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 85–86.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 84–85.

[5]                John Walbridge, The Leaven of the Ancients: Suhrawardī and the Heritage of the Greeks (Albany: State University of New York Press, 2000), 71–74.

[6]                William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 24–26.

[7]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 10–12.

[8]                Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 182–184.


6.           Epistemologi Isyraqiyyah: Akal, Intuisi, dan Iluminasi

Salah satu keistimewaan filsafat Hikmah al-Isyraq adalah cara pandangnya yang khas terhadap sumber dan proses perolehan pengetahuan. Suhrawardī tidak membatasi epistemologi pada analisis rasional dan demonstratif sebagaimana dilakukan oleh filsuf peripatetik seperti Ibn Sīnā. Sebaliknya, ia menyatukan antara aktivitas intelektual (akal) dan pengalaman spiritual (intuisi dan iluminasi) sebagai dua jalur integral untuk mencapai kebenaran.¹ Pendekatan ini menghasilkan bentuk epistemologi yang transrasional, yang mengakui bahwa realitas tertinggi tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh logika, tetapi menuntut penyingkapan batiniah yang mendalam (kasyf).

6.1.       Akal: Peran Rasionalitas dalam Isyraqiyyah

Suhrawardī tidak menolak akal, tetapi ia mengkritisi kecenderungan filsafat rasionalistik yang menjadikan logika sebagai satu-satunya jalan menuju pengetahuan metafisik.² Bagi Suhrawardī, akal bersifat penting dalam tahap awal pencarian kebenaran, terutama dalam menyusun argumen dasar dan menghindari kesalahan berpikir. Namun, untuk mencapai hakikat yang lebih tinggi dan esoterik, seperti pengetahuan tentang jiwa, malaikat, dan realitas cahaya murni, akal tidak memadai. Ia menyebut metode rasional sebagai bagian dari "hikmah bahsiyyah" (kebijaksanaan diskursif), yang harus dilampaui menuju "hikmah dzauqiyyah" (kebijaksanaan rasa batin).³

6.2.       Intuisi dan Iluminasi: Jalan Penyingkapan Hakikat

Konsep kunci dalam epistemologi isyraqiyyah adalah iluminasi (isyraq), yakni proses di mana kebenaran disingkap langsung kepada jiwa melalui cahaya batin.⁴ Iluminasi bukan sekadar analogi metaforis, tetapi merupakan proses spiritual yang riil, di mana pengetahuan diperoleh melalui hubungan langsung antara subjek pengetahuan (jiwa) dan objeknya (realitas cahaya). Dalam kerangka ini, pengetahuan hakiki bersifat "hudhūrī", yaitu kehadiran langsung objek dalam kesadaran subjek, bukan hasil perantara representasi atau definisi.⁵

Suhrawardī membagi pengetahuan menjadi dua bentuk utama:

1)                  Ilmu ḥuṣūlī (representasional)

Pengetahuan yang diperoleh melalui konsep, simbol, dan definisi. Jenis ini mendominasi dalam filsafat peripatetik.

2)                  Ilmu ḥudhūrī (presensial)

Pengetahuan yang muncul dari kehadiran langsung objek dalam jiwa, tanpa perantara simbol atau representasi. Ini adalah bentuk pengetahuan iluminatif.⁶

Bagi Suhrawardī, semakin tinggi derajat spiritual seseorang, semakin kuat kemampuan iluminatifnya. Oleh sebab itu, proses memperoleh ilmu menjadi erat kaitannya dengan tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa), mujahadah, dan kontemplasi. Proses ini sejalan dengan tahapan maqāmāt dalam tasawuf, yang berujung pada kasyf (penyingkapan) dan mushāhadah (penyaksian).

6.3.       Epistemologi Integratif: Rasional dan Transrasional

Model epistemologi yang ditawarkan Suhrawardī dapat disebut sebagai epistemologi integratif, karena menggabungkan kekuatan nalar dan kedalaman spiritual. Filsuf isyraqiyyah idealnya adalah orang yang menguasai logika namun juga mampu mengalami iluminasi.⁷ Ia tidak berhenti pada spekulasi rasional, tetapi menempuh jalan transenden menuju penyaksian kebenaran. Dalam konteks ini, ilmu bukan hanya know-that, tetapi know-by-being — yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan menjadi bagian dari realitas yang diketahui.

Epistemologi ini memiliki dampak besar terhadap tradisi filsafat Timur Islam, terutama dalam sistem ḥikmah mutaʿāliyyah yang dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā, yang juga mengadopsi konsep ilmu hudhūrī sebagai bentuk tertinggi dari pengetahuan.⁸

Dengan demikian, epistemologi Hikmah al-Isyraq bukan hanya teori pengetahuan, tetapi juga merupakan kerangka spiritual untuk transformasi eksistensial manusia. Ia menuntut kesiapan intelektual dan kemurnian jiwa sebagai syarat mutlak untuk memperoleh pengetahuan sejati.


Footnotes

[1]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 106–110.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 55–59.

[3]                Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 180–181.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 86–87.

[5]                John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and the Platonic Tradition (Albany: State University of New York Press, 2001), 59–62.

[6]                Ziai, Knowledge and Illumination, 98–101.

[7]                William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 28–29.

[8]                Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 187–189.


7.           Pengaruh dan Warisan Pemikiran Suhrawardī

Meskipun masa hidup Suhrawardī relatif singkat dan berakhir tragis, warisan intelektualnya terbukti sangat berpengaruh dalam perkembangan filsafat Islam pascaklasik, khususnya di kawasan Persia dan wilayah-wilayah dunia Islam bagian Timur. Melalui sistem Hikmah al-Isyraq, Suhrawardī tidak hanya memperkenalkan paradigma filsafat baru berbasis ontologi cahaya dan epistemologi iluminatif, tetapi juga menciptakan jembatan antara tradisi filsafat rasional (mashā’iyyah) dan spiritualitas mistik (tasawuf).¹ Warisan ini diteruskan, dikembangkan, dan dimurnikan oleh sejumlah pemikir besar dalam tradisi hikmah (kebijaksanaan filsafat Islam), yang menjadikan Suhrawardī sebagai figur sentral dalam peta pemikiran Islam Timur.

7.1.       Pengaruh terhadap Tradisi Hikmah di Dunia Islam Timur

Pengaruh paling menonjol dari pemikiran Suhrawardī dapat dilacak dalam filsafat transenden (ḥikmah mutaʿāliyyah) yang dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā (w. 1640), salah satu filsuf terbesar dalam tradisi Islam. Mulla Ṣadrā secara eksplisit menggabungkan aspek-aspek kunci dari filsafat isyraqiyyah dengan prinsip-prinsip peripatetik dan sufistik. Ia menerima kerangka ontologi cahaya dari Suhrawardī dan menyempurnakannya melalui konsep ashālat al-wujūd (primordialitas wujud), yang merupakan penggabungan antara ontologi transenden dan epistemologi presensial.² Konsep ʿilm ḥudhūrī (ilmu kehadiran langsung) dari Suhrawardī juga menjadi elemen utama dalam sistem pengetahuan Mulla Ṣadrā.³

Selain Mulla Ṣadrā, para pemikir dalam mazhab Isfahan seperti Mir Dāmād dan Qāḍī Saʿīd Qummī juga sangat dipengaruhi oleh pendekatan isyraqiyyah.⁴ Tradisi ini kemudian menjadi arus utama dalam pendidikan dan diskursus filsafat Islam di dunia Syiah, terutama di pusat-pusat keilmuan seperti Qom dan Najaf.

7.2.       Pengaruh terhadap Tasawuf dan Simbolisme Spiritual

Di luar lingkup filsafat formal, pengaruh Suhrawardī juga terasa kuat dalam tradisi tasawuf dan gnostisisme Islam. Melalui gagasannya tentang ʿālam al-mithāl (alam citra) dan penekanan terhadap pengalaman iluminatif (kasyf), Suhrawardī menawarkan kerangka ontologis dan epistemologis yang sangat dekat dengan pengalaman mistik para sufi.⁵ Ibn ʿArabī, meskipun tidak secara langsung mewarisi sistem Suhrawardī, menunjukkan pemikiran yang paralel dalam banyak hal, terutama dalam hal simbolisme cahaya, hirarki realitas, dan perjalanan ruhani.

Pemikiran Suhrawardī juga memengaruhi pendekatan tafsir isyārī (tafsir simbolik) atas Al-Qur'an yang berkembang di kalangan sufi dan filsuf.⁶ Dalam hal ini, karya-karya alegoris Suhrawardī seperti Qissah al-Ghurbat al-Gharbiyyah menjadi model klasik dalam menyampaikan ide-ide filsafat metafisis melalui simbol dan narasi spiritual.

7.3.       Revivalisme Modern dan Studi Barat

Minat terhadap Suhrawardī tidak hanya bertahan di dunia Islam, tetapi juga mengalami kebangkitan melalui karya para orientalis dan filsuf modern, terutama di Eropa dan Iran. Henry Corbin, filsuf dan orientalis Prancis, adalah salah satu tokoh utama dalam menghidupkan kembali warisan Suhrawardī di abad ke-20. Melalui karya monumentalnya En Islam Iranien, Corbin menempatkan Suhrawardī sebagai tokoh utama dalam tradisi filsafat Iran spiritualistik, dan menyebutnya sebagai “imam kedua filsafat” setelah Ibn Sina.⁷

Di Iran modern, pemikiran Suhrawardī tetap menjadi bagian penting dalam kurikulum filsafat di hawzah-hawzah Syiah dan universitas-universitas filsafat Islam. Suhrawardī dianggap sebagai tokoh yang menghidupkan kembali hikmah al-falsafiyyah al-ilāhiyyah, yaitu filsafat ilahiah yang menyatukan akal, wahyu, dan intuisi.⁸

7.4.       Warisan sebagai Model Integratif

Secara keseluruhan, warisan Suhrawardī terletak pada kemampuannya mengintegrasikan rasionalitas filosofis, kepekaan mistik, dan orientasi spiritual dalam satu kerangka pemikiran yang koheren. Dalam konteks kontemporer, pendekatan ini relevan untuk menjawab tantangan sekularisme rasional dan formalisme keagamaan, karena ia menawarkan model pengetahuan yang holistik: meliputi akal, qalb, dan ruh. Suhrawardī mewariskan bukan hanya sistem filsafat, tetapi visi eksistensial tentang manusia dan realitas, yang terus menginspirasi pemikiran Islam hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. II: Suhrawardî et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 198–200.

[2]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 124–128.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 89–91.

[4]                Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 190–192.

[5]                William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 30–32.

[6]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 115–117.

[7]                Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), xxiii–xxv.

[8]                Nasr, Three Muslim Sages, 92–93.


8.           Kritik dan Apresiasi terhadap Pemikiran Suhrawardī

Pemikiran Suhrawardī dalam Hikmah al-Isyraq telah memperoleh tempat yang istimewa dalam sejarah filsafat Islam. Ia dipandang sebagai pemikir revolusioner yang berani menantang dominasi filsafat peripatetik dengan menawarkan model epistemologis dan ontologis baru berbasis pada konsep cahaya dan intuisi. Namun demikian, sistem pemikirannya juga tidak luput dari kritik, baik dari kalangan rasionalis, teolog ortodoks, maupun sebagian pemikir sufi. Sebaliknya, ia juga memperoleh apresiasi tinggi dari kalangan filsuf spiritual dan sarjana modern yang melihat pemikirannya sebagai sintesis cemerlang antara akal dan ruh.

8.1.       Kritik dari Tradisi Peripatetik dan Rasionalis

Dari perspektif filsuf peripatetik, pemikiran Suhrawardī dianggap terlalu menekankan aspek mistik dan intuisi, sehingga kurang memenuhi standar ketat rasionalitas dan logika formal. Mereka mengkritik pendekatan isyraqiyyah karena dinilai tidak sistematis secara silogistik dan tidak dapat diuji secara rasional semata, sebagaimana kerangka yang dibangun oleh Ibn Sīnā.¹ Para pengikut Aristotelianisme dalam Islam memandang metode pengetahuan melalui kasyf dan dzauq sebagai bentuk subjektivisme yang berpotensi menjauh dari objektivitas filsafat.

Selain itu, sebagian teolog ortodoks juga mengkritik Suhrawardī karena penggunaan terminologi filsafat Yunani dan orientasi kosmologi yang mengandalkan akal dan simbolisme. Pandangan bahwa cahaya adalah substansi ontologis utama yang memancar dari sumber non-materi dianggap bertentangan dengan konsep penciptaan ex nihilo dalam teologi Islam tradisional.² Ketertarikan Suhrawardī pada simbolisme Zoroastrian dan Neoplatonik juga sempat memunculkan tuduhan sinkretisme oleh sebagian ulama pada masanya.

8.2.       Apresiasi dari Tradisi Hikmah dan Tasawuf

Sebaliknya, Suhrawardī mendapat apresiasi luas dari kalangan hikmah Timur (filsafat Islam Persia) yang melihat sistem Hikmah al-Isyraq sebagai penyempurna filsafat Islam. Pemikir seperti Mulla Ṣadrā menilai pendekatan Suhrawardī sebagai bentuk "hikmah dzauqiyyah" yang menggabungkan ketajaman logika dengan pengalaman ruhani.³ Mulla Ṣadrā bahkan menyatakan bahwa pengetahuan yang sahih adalah yang diperoleh melalui kehadiran langsung (ilmu ḥudhūrī), suatu ide yang pertama kali dikembangkan secara sistematis oleh Suhrawardī.

Di sisi lain, para mystik dan sufi memandang Suhrawardī sebagai sosok yang menjembatani antara filsafat dan pengalaman spiritual. Konsep-konsep seperti ʿālam al-mithāl, iluminasi, dan pencerahan ruhani sangat dekat dengan tradisi kasyf dan syuhūd dalam tasawuf.⁴ Dalam hal ini, Suhrawardī bukan hanya seorang filsuf, tetapi juga seorang ʿārif, yaitu pencari kebenaran melalui pengenalan batin.

8.3.       Apresiasi dari Sarjana Modern

Dalam studi filsafat Islam kontemporer, Suhrawardī memperoleh tempat yang sangat istimewa, terutama berkat kontribusi Henry Corbin, orientalis Prancis yang memperkenalkan Suhrawardī ke dunia akademik Barat. Corbin menyebut Suhrawardī sebagai pembaharu filsafat profetik yang menghidupkan kembali dimensi imajinasi kreatif dalam spiritualitas Islam.⁵ Ia menekankan bahwa hikmah al-Isyraq bukan sekadar sistem rasional, tetapi juga merupakan jalan pencerahan bagi jiwa modern yang kehilangan kontak dengan realitas spiritual.

Sementara itu, Seyyed Hossein Nasr melihat Suhrawardī sebagai perwakilan filsafat Islam sejati, yaitu filsafat yang tidak terpisah dari dimensi transenden, wahyu, dan pengalaman mistik.⁶ Nasr menilai bahwa pemikiran Suhrawardī sangat relevan untuk menjawab krisis pengetahuan modern yang tereduksi hanya pada akal dan empirisisme.


Kesimpulan

Dari kritik dan apresiasi yang muncul, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Suhrawardī menempati posisi unik dalam sejarah intelektual Islam: menggabungkan filsafat, mistik, dan simbolisme metafisik dalam satu kerangka iluminatif yang orisinal. Ia melampaui sekadar filsafat spekulatif, karena menawarkan sebuah sistem pengetahuan yang menyentuh aspek eksistensial manusia. Meskipun menghadapi resistensi pada zamannya, warisan Suhrawardī terus hidup dan menjadi inspirasi bagi berbagai aliran pemikiran spiritual, baik di dunia Islam maupun dalam filsafat perennial modern.


Footnotes

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 67–70.

[2]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 116–119.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 92.

[4]                William C. Chittick, “The Anthropology of Light in Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 33–34.

[5]                Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 40–43.

[6]                Nasr, Three Muslim Sages, 94–95.


9.           Kesimpulan

Pemikiran Suhrawardī melalui sistem Hikmah al-Isyraq merupakan salah satu puncak pencapaian filsafat Islam yang berhasil menyatukan rasionalitas intelektual dan kedalaman spiritualitas. Berbeda dari pendekatan peripatetik yang menekankan pada logika dan deduksi rasional, Suhrawardī membangun sebuah paradigma ontologis dan epistemologis yang berakar pada realitas cahaya sebagai prinsip wujud dan iluminasi sebagai cara memperoleh pengetahuan hakiki.¹ Dengan menjadikan cahaya sebagai metafisika utama, ia memperkenalkan kerangka baru dalam memahami struktur realitas dan relasi manusia dengan yang Ilahi.

Filsafat Suhrawardī tidak hanya menantang model filsafat skolastik-rasionalis, tetapi juga menawarkan jalan menuju pemahaman metafisik melalui integrasi akal, intuisi, dan pengalaman mistik. Dalam epistemologi isyraqiyyah, pengetahuan tidak berhenti pada representasi simbolik, tetapi menuntut penyaksian langsung melalui kasyf dan mushāhadah.² Ini menjadikan filsafat tidak sekadar sebagai wacana teoritis, tetapi sebagai jalan transformasi eksistensial yang sangat dekat dengan praktik tasawuf. Oleh karena itu, Hikmah al-Isyraq dapat disebut sebagai bentuk tasawuf filosofis, atau sebaliknya, filsafat yang ditransendenkan oleh nur mistik.

Kontribusi Suhrawardī juga sangat signifikan dalam membentuk arus besar filsafat Islam Timur, khususnya di Iran dan dunia Syiah. Melalui pengaruhnya terhadap Mulla Ṣadrā dan para filsuf hikmah lainnya, ide-ide Suhrawardī tetap hidup dalam tradisi keilmuan Islam hingga masa kini.³ Tidak hanya itu, dalam kajian kontemporer, pemikirannya menjadi bahan refleksi penting dalam menjawab tantangan modernitas yang cenderung mereduksi pengetahuan pada dimensi empiris dan rasional semata. Model integratif yang ditawarkannya antara akal dan qalb, antara ilmu dan makrifat, menjadi tawaran epistemologis yang kaya makna.

Suhrawardī berhasil membangun sistem filsafat yang orisinal, simbolik, dan spiritualistik, yang melampaui sekadar hasil dari logika Aristotelian. Ia menawarkan suatu ontologi cahaya yang menghidupkan, dan epistemologi iluminasi yang menyucikan, dengan puncak tertingginya berupa penyatuan wujud manusia dengan sumber cahaya sejati: Nūr al-Anwār.⁴ Inilah hakikat dari integrasi filsafat dan tasawuf dalam pemikiran Suhrawardī—sebuah warisan intelektual yang tidak hanya menjelaskan hakikat realitas, tetapi juga menuntun manusia untuk menjadi bagian darinya.


Footnotes

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 115–118.

[2]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 121–124.

[3]                Ibrahim Kalin, “Suhrawardī and the Philosophy of Illumination,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 192–194.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 94–96.


Daftar Pustaka

Aminrazavi, M. (1997). Suhrawardi and the school of illumination. Richmond: Curzon Press.

Chittick, W. C. (1990). The anthropology of light in Suhrawardi’s Hikmat al-Ishrāq. Islamic Studies, 29(1), 15–34.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Corbin, H. (1971). En Islam iranien. Tome II: Suhrawardî et les Platoniciens de Perse. Paris: Gallimard.

Corbin, H. (1969). Creative imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (R. Manheim, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Kalin, I. (2016). Suhrawardī and the philosophy of illumination. In K. El-Rouayheb & S. Schmidtke (Eds.), The Oxford handbook of Islamic philosophy (pp. 181–194). Oxford: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Walbridge, J. (2000). The leaven of the ancients: Suhrawardī and the heritage of the Greeks. Albany, NY: State University of New York Press.

Walbridge, J. (2001). The wisdom of the mystic East: Suhrawardī and the Platonic tradition. Albany, NY: State University of New York Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq. Atlanta, GA: Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar