Jumat, 24 Oktober 2025

Orasi Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa – Indonesia

Sumpah Pemuda

Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa – Indonesia


Alihkan ke: Negara Kesatuan Republic Indonesia (NKRI).

Sejarah Sumpah Pemuda, Makna Sumpah Pemuda bagi Bangsa Indonesia, Relevansi Sumpah Pemuda bagi Masa Depan Indonesia.


Orasi

Saudara-saudaraku, para pemuda dan pemudi bangsa,

Hari ini kita menundukkan kepala dengan penuh hormat kepada para pendahulu yang pada 28 Oktober 1928 menorehkan sejarah dengan tiga kalimat suci: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa – Indonesia! Namun, sumpah itu bukan sekadar teks sejarah; ia adalah getaran jiwa yang menuntut untuk terus dihidupkan dalam kesadaran eksistensial kita hari ini.

Pemuda sejati bukan hanya tubuh yang muda, tetapi jiwa yang menyala oleh kesadaran akan makna keberadaan. Eksistensialisme mengajarkan kita bahwa manusia bukanlah makhluk yang pasif; kita adalah ada yang memilih, ada yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tetapi dalam perspektif religius—khususnya dalam nafas Islam—eksistensi itu menemukan arah dan tujuan sejatinya: bukan sekadar menjadi ada untuk diri sendiri, melainkan ada karena Allah, untuk Allah, dan menuju kepada Allah.

Pemuda yang berkesadaran eksistensial-religius adalah ia yang sadar bahwa hidup bukan kebetulan, tetapi amanah. Ia mengisi kebebasan bukan dengan kesia-siaan, tetapi dengan pengabdian. Ia merdeka bukan karena bebas dari nilai, melainkan karena tunduk pada nilai ilahiah yang menuntun langkahnya.

Saudara-saudaraku,

Di era digital, di tengah derasnya arus informasi dan gempuran nihilisme, Sumpah Pemuda harus kita gemakan kembali bukan hanya dalam seremonial, tetapi dalam tindakan nyata—dengan menegakkan integritas, menumbuhkan empati, dan membangun bangsa ini atas dasar cinta dan tanggung jawab.

Marilah kita bersumpah sekali lagi, bukan hanya di bibir, tetapi dalam eksistensi kita:

·                     Bahwa kita adalah pemuda yang berpikir, beriman, dan berbuat;

·                     Bahwa kita akan menjaga kemerdekaan bukan hanya dari penjajahan fisik, tetapi dari penjajahan batin dan moral;

·                     Bahwa kita akan menjadikan iman sebagai dasar, ilmu sebagai cahaya, dan cinta tanah air sebagai penggerak sejarah baru bangsa ini.

Hidup Pemuda Indonesia!

Hidup semangat Sumpah Pemuda!

Takbir! Allahu Akbar!


PEMBAHASAN

Sumpah Pemuda dan Kesadaran Eksistensial Religius


1.           Pembukaan: Seruan dari Sejarah

Saudara-saudaraku, para pemuda dan pemudi Indonesia,

Ketika kita menatap kembali lembar sejarah bangsa, ada satu tanggal yang selalu bergetar di dasar nurani kita: 28 Oktober 1928. Di hari itu, sekelompok pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berdiri tegak, melampaui sekat suku, agama, dan bahasa, untuk mengikrarkan satu janji sakral: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Sumpah itu bukan sekadar kata, bukan sekadar teks yang dibacakan dalam kongres—ia adalah tindakan eksistensial. Dalam detik itu, para pemuda menyatakan diri untuk ada—untuk hadir secara sadar dalam sejarah bangsanya. Mereka menolak hidup dalam penindasan dan kebisuan kolonial, lalu memilih kebermaknaan: memilih menjadi manusia merdeka yang sadar akan jati dirinya sebagai bangsa.

Sumpah Pemuda adalah seruan dari sejarah. Ia memanggil setiap generasi agar tak kehilangan arah dalam perjalanan zaman. Ia bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab terhadap eksistensi kita sendiri sebagai bangsa dan sebagai manusia.

Namun, pertanyaan yang harus kita ajukan hari ini adalah: Apakah semangat itu masih hidup dalam dada para pemuda masa kini? Apakah kita masih memiliki keberanian untuk menyatakan “aku ada” dengan makna yang sejati—bukan hanya sebagai individu yang tenggelam dalam kenyamanan digital, tetapi sebagai insan yang sadar akan tanggung jawab spiritual, sosial, dan moral?

Sebab sejatinya, Sumpah Pemuda bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan tugas abadi. Ia adalah api yang diwariskan, yang menunggu untuk dinyalakan kembali oleh generasi sekarang. Dan api itu hanya akan menyala jika pemuda hari ini bangkit dengan kesadaran baru—kesadaran yang tidak hanya historis dan nasionalis, tetapi juga eksistensial dan religius.

Dalam kesadaran itulah kita menemukan makna terdalam dari Sumpah Pemuda: bahwa menjadi pemuda Indonesia bukan sekadar persoalan kebangsaan, tetapi juga panggilan iman dan keberadaan. Bahwa dalam setiap denyut nadi perjuangan, kita mendengar gema tauhid: La ilaha illallah—tiada tuhan selain Allah, dan karena itu tiada kehinaan bagi manusia yang beriman dan berilmu.

Maka hari ini, marilah kita dengarkan kembali seruan dari sejarah itu. Seruan yang memanggil kita bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk menghidupkan kembali sumpah itu dalam eksistensi kita—dalam pikiran, dalam tindakan, dan dalam keimanan yang membimbing arah hidup kita menuju kemerdekaan sejati.


2.           Api yang Tak Padam: Makna Filosofis Sumpah Pemuda

Saudara-saudaraku,

Sumpah Pemuda bukanlah sekadar fragmen sejarah yang membeku di buku pelajaran. Ia adalah api yang tak pernah padam—api kesadaran yang menyala di dada para pemuda yang berani menolak keterasingan dan kebisuan penjajahan. Api itu menyinari jalan dari kegelapan menuju kebebasan, dari keterpecahan menuju kesatuan, dari kejumudan menuju kesadaran akan “ada”-nya sebagai bangsa yang bermakna.

Jika kita merenungkan lebih dalam, Sumpah Pemuda adalah tindakan eksistensial—sebuah keputusan sadar untuk menjadi. Para pemuda 1928 tidak sekadar mendeklarasikan politik identitas, tetapi mengafirmasi eksistensi mereka dalam dunia yang menindas. Dalam bahasa filsafat, mereka menolak absurditas sejarah kolonial yang menafikan makna manusia, dan dengan keberanian mereka, menciptakan makna baru: Indonesia.

Sumpah Pemuda adalah bentuk dari apa yang disebut oleh para filsuf eksistensialis sebagai choice of being—pilihan untuk ada secara autentik. Mereka memilih untuk hidup bukan dalam determinasi penjajah, tetapi dalam kebebasan yang disertai tanggung jawab. Dalam pilihan itulah, eksistensi bangsa Indonesia dilahirkan. Maka, di balik tiga kalimat sumpah itu, terdapat gema filosofis yang mendalam: manusia—dalam hal ini, pemuda—dapat mengubah arah sejarah ketika ia sadar akan kebebasannya dan berani mengambil tanggung jawab atas keberadaannya.

Namun, kebebasan yang dipahami oleh para pemuda 1928 bukanlah kebebasan tanpa arah. Kebebasan mereka terikat pada nilai—pada cinta tanah air, pada rasa kemanusiaan, pada kesadaran akan Tuhan yang menjiwai perjuangan mereka. Inilah yang menjadikan Sumpah Pemuda tidak hanya peristiwa politik, tetapi juga peristiwa spiritual. Ia adalah bentuk “iman sosial” yang meneguhkan bahwa keberadaan manusia menemukan maknanya hanya ketika ia berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Dari sudut pandang filosofis, Sumpah Pemuda adalah simbol dari transendensi eksistensial: manusia melampaui dirinya untuk menemukan kebenaran yang lebih tinggi—baik dalam makna kebangsaan maupun keimanan. Ia adalah tindakan melampaui “aku” menuju “kita”, dan lebih jauh lagi, menuju Dia, sumber segala makna.

Api itu masih menyala, saudara-saudaraku. Tapi kini, ia menunggu bahan bakar baru—yakni kesadaran eksistensial para pemuda zaman ini. Sebab jika Sumpah Pemuda dahulu melahirkan bangsa dari keterjajahan fisik, maka hari ini ia harus melahirkan bangsa dari keterjajahan makna: dari egoisme, dari nihilisme, dari kehilangan arah spiritual.

Oleh karena itu, memahami Sumpah Pemuda bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi menyalakan kembali api eksistensi yang sadar, bebas, dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan sejarah. Sebab selama api itu tetap hidup di dada pemuda-pemudi Indonesia, selama itu pula bangsa ini tidak akan pernah padam.


3.           Pemuda dan Krisis Eksistensi di Era Kini

Saudara-saudaraku, para pewaris Sumpah Pemuda,

Kita hidup di zaman yang berbeda dari tahun 1928—zaman di mana senjata bukan lagi bedil penjajah, tetapi kebingungan makna. Di era digital ini, kita menyaksikan pemuda yang tampak bebas, namun sesungguhnya terbelenggu oleh kehampaan eksistensial. Dunia maya menjanjikan ruang tanpa batas, tetapi di balik layar terang itu, jiwa manusia sering kali terjerat dalam kegelapan yang sunyi: kehilangan arah, kehilangan makna, kehilangan jati diri.

Krisis eksistensi pemuda masa kini bukan terletak pada kurangnya informasi, melainkan melimpahnya informasi tanpa orientasi. Dalam derasnya arus data, identitas menjadi cair, nilai menjadi relatif, dan kebenaran menjadi kabur. Pemuda zaman ini dapat berbicara dengan dunia dalam sekejap, tetapi sering kali gagal berbicara dengan dirinya sendiri. Kita hidup dalam paradoks: semakin terhubung secara digital, semakin terputus secara spiritual.

Inilah bentuk baru dari penjajahan—penjajahan yang halus, yang meninabobokan kesadaran dan menumpulkan kepekaan. Hedonisme menjelma sebagai bentuk pelarian; popularitas menggantikan substansi; citra menelan realitas. Pemuda yang dahulu berikrar untuk satu tanah air, kini banyak yang kehilangan tanah eksistensinya sendiri—tidak tahu untuk apa ia hidup, tidak tahu ke mana ia menuju.

Pertanyaannya, saudara-saudaraku: Apakah kebebasan yang kita rayakan hari ini benar-benar membuat kita merdeka?

Ataukah kita hanya mengganti rantai penjajahan fisik dengan belenggu psikologis dan spiritual yang lebih halus?

Di tengah krisis ini, kita perlu kembali menafsirkan makna “ada” sebagaimana para pemuda 1928 menafsirkan makna “Indonesia.” Sebab menjadi pemuda sejati bukan sekadar soal usia, tetapi soal kesadaran untuk memilih dan bertanggung jawab atas keberadaan diri. Dalam bahasa eksistensialisme, manusia disebut “ada” ketika ia sadar bahwa hidupnya bukan kebetulan, melainkan panggilan untuk mencipta makna.

Namun bagi pemuda beriman, kebebasan itu tidak berakhir pada diri. Ia menemukan arah dalam kesadaran religius—kesadaran bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Dalam pandangan Islam, manusia bukan sekadar makhluk yang berpikir (homo sapiens), melainkan makhluk yang bertanggung jawab (homo amānah). Ia memikul beban kebebasan yang tidak nihil, melainkan berorientasi pada makna ilahiah.

Krisis eksistensi hanya dapat disembuhkan dengan iman yang berpikir dan pemikiran yang beriman. Pemuda tidak cukup hanya kritis terhadap sistem sosial, ia juga harus jujur kepada dirinya sendiri: Apakah aku hidup sekadar untuk eksis di dunia, atau untuk bermakna di hadapan Tuhan?

Sumpah Pemuda hari ini harus dihidupkan kembali dalam bentuk sumpah kesadaran: bahwa kita tidak akan membiarkan diri kita menjadi generasi tanpa arah; bahwa kita akan menolak hidup tanpa nilai; bahwa kita akan menegakkan eksistensi bukan di atas kesia-siaan, melainkan di atas iman, ilmu, dan tanggung jawab moral.

Saudara-saudaraku, inilah panggilan zaman kita: bukan lagi mengangkat senjata melawan penjajah, tetapi mengangkat kesadaran melawan kehampaan. Sebab musuh terbesar pemuda hari ini bukanlah kekuasaan asing, tetapi ketiadaan makna di dalam diri sendiri.

Dan hanya mereka yang berani menghadapi kekosongan itu dengan iman dan refleksi, yang akan menjadi pemuda sejati—pemuda yang mampu mengubah krisis menjadi panggilan, dan panggilan menjadi gerakan yang bermakna bagi umat dan bangsa.


4.           Eksistensialisme Religius: Makna Ada dalam Kerangka Iman

Saudara-saudaraku, para pemuda yang berpikir dan beriman,

Di antara segala bentuk pencarian makna dalam kehidupan manusia, filsafat eksistensialisme menempatkan ada (eksistensi) sebagai pusat perenungan. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak ditentukan semata oleh kodrat, tetapi oleh pilihan, kesadaran, dan tanggung jawabnya terhadap keberadaan. Manusia menjadi dirinya bukan karena ia sekadar “hidup”, melainkan karena ia memilih untuk “hidup secara autentik.” Namun, dalam bingkai religius—terutama dalam pandangan Islam—eksistensi manusia tidak berhenti pada kebebasan individual. Ia menemukan arah, makna, dan tujuannya dalam iman kepada Allah.

Eksistensialisme religius mengajarkan bahwa kebebasan manusia bukan kebebasan mutlak tanpa batas, tetapi kebebasan yang mengakar dalam kesadaran ilahiah. Islam memandang manusia sebagai makhluk merdeka yang diberi amanah—bukan makhluk yang hidup dalam kehampaan, melainkan dalam tanggung jawab di hadapan Tuhan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa berat; lalu dipikullah amanah itu oleh manusia.” (QS. Al-Ahzab [33] ayat 72).

Ayat ini menegaskan dimensi eksistensial manusia: ia adalah makhluk yang memilih untuk memikul makna, bukan melarikan diri darinya.

Dalam kerangka ini, eksistensi sejati bukanlah kebebasan tanpa arah, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab—kebebasan untuk memilih yang baik, untuk menegakkan keadilan, dan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Iman dalam Islam tidak meniadakan kebebasan, melainkan memberinya arah dan makna. Jika eksistensialisme sekuler berbicara tentang manusia yang menciptakan maknanya sendiri, maka eksistensialisme religius berbicara tentang manusia yang menemukan maknanya dalam relasi dengan Allah.

Saudara-saudaraku,

Dalam kesadaran tauhid, manusia memahami bahwa “ada”-nya bukanlah kebetulan, melainkan kehendak ilahi yang menuntut tanggung jawab eksistensial. Setiap nafas adalah panggilan untuk menjadi khalifah fil ardh—wakil Tuhan di bumi—yang menjaga kehidupan, menegakkan keadilan, dan memelihara keseimbangan. Tugas ini bukan beban, tetapi pembuktian eksistensi sejati manusia.

Karena itu, kebebasan dalam pandangan Islam bukanlah anarki moral, melainkan bentuk tertinggi dari tanggung jawab spiritual. Pemuda yang bebas sejati bukanlah yang menolak nilai, melainkan yang sadar bahwa nilai ilahiah adalah peta bagi kebebasan dirinya. Ia tidak tunduk pada hawa nafsu, tetapi tunduk kepada Allah yang memerdekakannya dari perbudakan dunia. Dalam makna ini, eksistensi dan iman tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi dalam kesatuan makna hidup.

Para filsuf Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan terutama Al-Ghazali menegaskan bahwa keberadaan manusia mencapai puncaknya ketika akal dan iman bersatu dalam kesadaran transendental. Thomas Aquinas dalam tradisi lain juga menandaskan bahwa kebebasan tanpa kebenaran akan melahirkan kekosongan, sedangkan kebebasan yang berakar pada kebenaran adalah bentuk tertinggi dari kemanusiaan.

Maka, saudara-saudaraku, eksistensialisme religius Islam bukanlah filsafat pasrah, melainkan filsafat keberanian untuk menjadi diri sendiri di hadapan Allah. Ia menolak determinisme yang meniadakan kebebasan, tetapi juga menolak nihilisme yang meniadakan arah. Ia adalah jalan tengah yang memadukan kebebasan dan iman, rasionalitas dan spiritualitas, refleksi dan pengabdian.

Dalam kerangka ini, pemuda Muslim sejati adalah mereka yang memahami eksistensinya sebagai amanah dan ibadah. Ia berpikir dengan akal yang merdeka, tetapi hatinya tetap terikat pada nilai ilahiah. Ia berani berkata “aku ada,” tetapi juga sadar bahwa “aku ada karena Allah, untuk Allah, dan menuju kepada Allah.”

Saudara-saudaraku,

Inilah makna terdalam dari kesadaran eksistensial religius: bahwa keberadaan manusia menjadi berarti ketika ia menyadari asalnya, tanggung jawabnya, dan tujuannya. Dari Allah kita datang, kepada Allah kita kembali—dan di antara dua titik itu, kita diminta untuk hidup dengan makna, iman, dan amal.


5.           Sumpah Pemuda sebagai Manifestasi Iman dan Tanggung Jawab

Saudara-saudaraku, para pemuda pewaris amanah sejarah,

Ketika kita menatap kembali tiga kalimat suci dari Sumpah Pemuda, kita akan menemukan bahwa di balik kata-kata itu tersimpan makna yang jauh melampaui dimensi politik dan nasionalisme. Ia bukan sekadar deklarasi kebangsaan, tetapi juga manifestasi iman dan tanggung jawab eksistensial manusia di hadapan Tuhan dan sejarah.

Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia melakukan sesuatu yang secara filosofis amat mendalam: mereka menegaskan eksistensi kolektif bangsa yang belum sepenuhnya lahir. Dalam ikrar mereka, terdapat getaran iman—iman pada kemanusiaan, pada persaudaraan, dan pada takdir Ilahi yang menghendaki keadilan dan kebebasan. Dengan demikian, Sumpah Pemuda bukan hanya tindakan politik, melainkan tindakan spiritual dan eksistensial yang menegaskan pilihan untuk hidup dengan makna dan tanggung jawab.

5.1.       “Satu Nusa”: Kesadaran Ruang dan Amanah Keberlangsungan

Kalimat pertama, “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia,” bukan sekadar pengakuan geografis. Ia adalah pengakuan eksistensial akan ruang keberadaan bersama—sebuah tanah yang bukan hanya dimiliki, tetapi juga harus dijaga dan dimuliakan.

Dalam pandangan Islam, bumi bukanlah sekadar tempat tinggal, melainkan amanah Allah. Manusia diperintahkan untuk menjadi khalifah fil ardh—penjaga dan pemelihara kehidupan di bumi. Maka, ketika para pemuda 1928 bersumpah tentang satu nusa, sejatinya mereka juga sedang menegaskan tanggung jawab spiritual: menjaga keseimbangan, keadilan, dan kelestarian ciptaan.

Kesatuan tanah air bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi mengakui bahwa seluruh bentang Nusantara adalah ruang sakral yang mengikat manusia dengan tanggung jawab ekologis dan moral. Dalam arti ini, Satu Nusa adalah bentuk tauhid ruang—pengakuan bahwa seluruh ciptaan berasal dari satu sumber, dan karena itu harus dijaga dalam kesatuan makna.

5.2.       “Satu Bangsa”: Solidaritas dan Persaudaraan Kemanusiaan

Kalimat kedua, “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia,” adalah penegasan tentang kesadaran kemanusiaan. Ia menolak segala bentuk kesukuan, kedaerahan, dan egoisme yang memecah belah manusia. Di sini, para pemuda 1928 melampaui identitas partikular menuju identitas universal yang dilandasi nilai iman: inna akramakum ‘indallāhi atqākum — “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49] ayat 13).

Dalam kerangka eksistensial religius, Satu Bangsa berarti menegakkan solidaritas sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Pemuda sejati bukan hanya warga negara, tetapi juga warga moral dunia, yang menyadari bahwa eksistensinya bermakna sejauh ia berbuat bagi sesama. Kesatuan bangsa adalah wujud ukhuwah insaniyyah—persaudaraan manusia dalam iman, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial.

Maka, bersatu bukanlah sekadar strategi politik, tetapi ibadah sosial; dan mencintai bangsa bukan sekadar nasionalisme, melainkan bagian dari keimanan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” (Hubbul wathan minal iman). Dari cinta itulah tumbuh tanggung jawab: untuk menegakkan keadilan, memelihara perdamaian, dan melawan segala bentuk penindasan yang menodai martabat manusia.

5.3.       “Satu Bahasa”: Kesatuan Makna dan Komunikasi Spiritual

Kalimat ketiga, “Kami menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” menandai dimensi simbolik yang sangat dalam. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan sarana eksistensial untuk menyatakan diri dan membangun makna bersama.

Bahasa adalah ruang di mana manusia “ada” dan “mengada” bersama yang lain. Melalui bahasa, manusia menegaskan eksistensinya, mengungkapkan nilai-nilai, dan menautkan hatinya dengan yang lain. Maka, ketika para pemuda 1928 mengikrarkan bahasa persatuan, mereka sedang menegakkan kesatuan makna dan kesadaran.

Dalam pandangan Islam, kata (kalimah) memiliki kekuatan spiritual. Allah menciptakan alam dengan firman, dan manusia diberi kemampuan berbicara agar dapat menyampaikan kebenaran. Satu Bahasa berarti menjaga bahasa dari kebohongan, kebencian, dan kehancuran moral. Ia mengandung tanggung jawab etis untuk menggunakan kata sebagai sarana kebaikan dan persaudaraan.

Bahasa persatuan adalah bahasa yang memanusiakan, bukan yang memecah-belah. Ia adalah bahasa kejujuran, cinta, dan doa. Maka, sumpah untuk menjunjung bahasa Indonesia sejatinya adalah sumpah untuk menjaga kesucian makna dalam setiap kata yang diucapkan.

5.4.       Sumpah sebagai Doa, Iman sebagai Api yang Menghidupkan

Ketiga ikrar Sumpah Pemuda, bila direnungkan secara eksistensial-religius, membentuk satu kesatuan spiritual: ruang, kemanusiaan, dan makna. Tiga dimensi itu melukiskan perjalanan manusia dari ada di dunia menuju ada untuk Tuhan. Dengan demikian, Sumpah Pemuda adalah doa yang diucapkan dalam bahasa sejarah—doa yang meneguhkan iman melalui tindakan nyata.

Iman tidak hanya diucapkan dalam zikir, tetapi juga diwujudkan dalam tanggung jawab sosial. Para pemuda 1928 mengajarkan bahwa mencintai bangsa adalah bentuk ibadah; bahwa membela keadilan adalah manifestasi tauhid; dan bahwa bersatu dalam perbedaan adalah cerminan rahmat Allah yang meliputi seluruh ciptaan-Nya.

Saudara-saudaraku,

Sumpah Pemuda adalah amanah eksistensial dan religius yang diwariskan kepada kita. Ia menuntut agar kita tidak hanya menghafalnya, tetapi menghidupkannya—dalam kerja, dalam ilmu, dalam integritas, dan dalam iman.

Ketika kita mengucap “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,” sejatinya kita sedang bersyahadat dalam konteks kebangsaan: mengakui kesatuan dalam keberagaman, dan menjadikan iman sebagai dasar dari setiap perjuangan.


6.           Pemuda Islam dan Spirit Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Saudara-saudaraku, para pemuda Muslim yang berpikir dan beriman,

Dalam sejarah peradaban manusia, tidak ada kekuatan yang lebih besar dari jiwa muda yang sadar akan makna kebebasannya. Pemuda adalah energi kehidupan, mata air perubahan, dan penggerak zaman. Namun, sebagaimana api dapat memberi terang atau membakar, kebebasan juga dapat memerdekakan atau menyesatkan—tergantung pada bagaimana manusia memaknai dan menanggungnya.

Dalam pandangan Islam, kebebasan bukan sekadar kemampuan untuk memilih, melainkan kemampuan untuk memilih yang benar. Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang berpijak pada nilai dan iman—kebebasan yang sadar akan tanggung jawab moral dan spiritual. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara kebebasan eksistensial yang nihilistik dan kebebasan eksistensial yang religius.

6.1.       Kebebasan sebagai Amanah, Bukan Anarki

Islam tidak pernah menolak kebebasan. Justru Islam memandang kebebasan sebagai fitrah ilahiah yang melekat pada manusia sejak awal penciptaan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan).” (QS. Al-Balad [90] ayat 10).

Ayat ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas—ia memiliki kebebasan untuk memilih, namun juga memikul konsekuensi dari pilihannya. Kebebasan itu bukanlah anarki moral, melainkan ruang tanggung jawab eksistensial di hadapan Allah.

Pemuda Muslim sejati bukanlah mereka yang menolak nilai-nilai moral atas nama kebebasan, tetapi mereka yang menjaga kebebasan dengan disiplin spiritual dan akal sehat. Ia bebas bukan karena ingin berbuat semaunya, tetapi karena sadar bahwa setiap tindakannya memiliki makna di mata Tuhan.

6.2.       Nabi Muhammad Saw: Teladan Pemuda Eksistensial

Dalam sejarah Islam, sosok Nabi Muhammad Saw adalah contoh tertinggi pemuda yang menghayati kebebasan dalam iman dan tanggung jawab. Sejak muda, beliau telah hidup di tengah masyarakat yang rusak moralnya, namun tidak larut di dalamnya. Ia memilih jalan kejujuran, integritas, dan pengabdian kepada kebenaran—suatu pilihan eksistensial yang menandakan kesadaran akan misi hidupnya.

Ketika wahyu pertama turun di Gua Hira, beliau menerima panggilan eksistensial yang paling dalam: “Iqra’!”—bacalah. Perintah itu bukan sekadar perintah intelektual, tetapi perintah untuk menyadari eksistensi, menafsirkan makna hidup, dan menghubungkan akal dengan iman. Dari sinilah kebebasan Nabi Muhammad Saw menemukan arah dan tujuan: bukan bebas untuk diri, melainkan bebas untuk membebaskan manusia lain dari kebodohan dan penindasan.

Pemuda Islam masa kini harus belajar dari teladan ini—bahwa kebebasan tanpa misi adalah kesia-siaan, dan misi tanpa iman adalah kesombongan. Nabi menunjukkan bahwa keberanian sejati bukanlah menolak batas, tetapi menegakkan kebenaran meski harus menanggung risiko.

6.3.       Kebebasan yang Berakar pada Tauhid

Tauhid adalah pusat gravitasi kebebasan dalam Islam. Ia menegaskan bahwa tidak ada yang berhak menguasai manusia selain Allah. Dari kesadaran ini, lahirlah pemahaman bahwa tunduk kepada Allah justru adalah bentuk tertinggi dari kemerdekaan.

Manusia yang tidak tunduk pada Tuhan akan tunduk pada hawa nafsu, pada opini publik, pada kekuasaan, atau pada sistem yang menindas. Tetapi manusia yang menundukkan dirinya kepada Allah, sejatinya bebas dari segala bentuk perbudakan dunia.

Inilah makna filosofis dari kalimat La ilaha illallah—tiada tuhan selain Allah. Ia bukan hanya syahadat keimanan, tetapi juga manifesto kebebasan eksistensial. Pemuda yang menghayati tauhid tidak akan menjual integritasnya untuk kepentingan sesaat, tidak akan tunduk pada tekanan moral dunia maya, dan tidak akan kehilangan arah di tengah gelombang modernitas.

6.4.       Tanggung Jawab sebagai Bukti Keberimanan

Kebebasan tanpa tanggung jawab adalah kekosongan. Iman tanpa tanggung jawab adalah kepalsuan. Dalam Islam, keduanya tidak dapat dipisahkan. Rasulullah Saw bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pemuda adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia harus menuntun akalnya, menjaga hatinya, dan mengarahkan tindakannya agar selalu selaras dengan nilai kebenaran. Tanggung jawab eksistensial ini mencakup seluruh aspek kehidupan: terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam semesta.

Di tengah dunia yang cenderung menilai manusia dari penampilan dan prestise, pemuda Muslim sejati harus menegaskan identitasnya: bahwa keberhasilan sejati bukanlah ketika ia dipuja dunia, tetapi ketika ia mampu bertanggung jawab atas eksistensinya di hadapan Allah.

6.5.       Spirit Kebebasan yang Membangun, Bukan Merusak

Saudara-saudaraku,

Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang menciptakan makna, bukan menghapusnya. Ia melahirkan kreativitas, bukan keputusasaan; membangun peradaban, bukan meniadakan nilai.

Pemuda Islam harus menjadi pembawa cahaya kebebasan itu—kebebasan yang mencerdaskan, yang berakar pada ilmu, yang berbuah pada amal. Kebebasan yang membebaskan manusia dari kejumudan, tetapi tidak mencabutnya dari akar moralitas.

Sumpah Pemuda di tahun 1928 adalah bukti bahwa kebebasan bisa berwujud tanggung jawab. Dan bagi pemuda Muslim masa kini, kebebasan harus menjadi jembatan antara iman dan kemanusiaan, antara spiritualitas dan solidaritas sosial.


Saudara-saudaraku,

Kita tidak diciptakan untuk hidup dalam kebebasan yang hampa, tetapi dalam kebebasan yang bermakna—bebas untuk beriman, untuk berpikir, untuk berbuat baik, dan untuk menegakkan keadilan.

Maka marilah kita warisi semangat Sumpah Pemuda bukan hanya dengan kata, tetapi dengan kesadaran: bahwa kebebasan adalah anugerah, dan tanggung jawab adalah ibadah.

Pemuda Islam sejati adalah ia yang merdeka dalam pikiran, beriman dalam hati, dan bertanggung jawab dalam tindakan.


7.           Tanggung Jawab Eksistensial Pemuda di Era Digital

Saudara-saudaraku, para pemuda penerus amanah zaman,

Kita hidup di sebuah era yang belum pernah dialami generasi sebelumnya—era digital, di mana dunia nyata dan dunia maya saling berkelindan, membentuk realitas baru yang nyaris tanpa batas. Zaman ini membawa peluang yang luar biasa: pengetahuan yang terbuka, komunikasi yang cepat, dan ruang kreasi tanpa dinding. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula ancaman baru terhadap jati diri, moralitas, dan makna keberadaan manusia.

Era digital adalah ruang kebebasan yang luas, tetapi juga ruang ujian bagi kesadaran eksistensial. Pemuda kini bisa menulis, berbicara, dan mencipta di hadapan dunia hanya dengan ujung jarinya; tetapi ironisnya, banyak yang kehilangan arah terhadap siapa dirinya dan untuk apa ia hidup. Dalam banjir informasi dan pencitraan diri, eksistensi sering kali tereduksi menjadi sekadar “tampilan” — bukan keberadaan yang otentik.

7.1.       Eksistensi dalam Dunia Maya: Antara Diri yang Nyata dan Diri yang Digital

Pemuda masa kini hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia fisik dan dunia digital. Dunia maya menjanjikan kebebasan berekspresi, tetapi juga menjerat manusia dalam jebakan “eksistensi semu” — di mana nilai diri diukur dari likes, followers, dan popularitas. Dalam kondisi ini, eksistensi bergeser dari menjadi kepada tampil, dari makna kepada citra.

Inilah paradoks zaman kita: teknologi yang seharusnya memperluas kesadaran, justru dapat mempersempitnya ketika digunakan tanpa refleksi. Banyak pemuda yang merasa hadir di ruang digital, tetapi sejatinya absen dari dirinya sendiri — tidak lagi bertanya siapa ia sebenarnya, dan apa tanggung jawabnya terhadap dunia.

Dari perspektif eksistensialisme religius, keadaan ini mencerminkan alienasi spiritual — keterasingan manusia dari dirinya dan dari Tuhan. Dalam Islam, manusia diajarkan untuk muhasabah (introspeksi), bukan sekadar menunjukkan dirinya. Oleh karena itu, tanggung jawab pertama pemuda digital adalah menjaga keotentikan eksistensinya: menjadi dirinya yang sejati, bukan sekadar bayangan yang disukai orang lain.

7.2.       Tanggung Jawab Moral dan Etika Digital

Teknologi adalah anugerah, tetapi setiap anugerah menuntut amanah. Dunia digital bukan ruang tanpa nilai, melainkan ruang di mana etika dan akhlak Islam harus diterapkan secara sadar. Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabda ini relevan dalam konteks digital: setiap kata yang kita tulis, setiap gambar yang kita sebarkan, setiap opini yang kita bagikan—semuanya adalah jejak eksistensial dan tanggung jawab moral. Dunia maya mungkin tidak memiliki hakim, tetapi Allah tetap menjadi saksi.

Tanggung jawab eksistensial pemuda Muslim di era digital adalah menegakkan adab komunikasi:

·                     Menggunakan kebebasan berbicara untuk menyebarkan kebenaran dan kebaikan.

·                     Menolak hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah yang merusak martabat manusia.

·                     Menggunakan teknologi untuk ta’dib (pendidikan jiwa), bukan untuk tasyabbuh (peniruan tanpa makna).

Dalam makna ini, etika digital bukan sekadar sopan santun daring, tetapi ibadah intelektual dan moral—pengamalan tauhid dalam ruang komunikasi modern.

7.3.       Jihad Intelektual di Dunia Digital

Di era klasik, pemuda berjihad dengan pena dan pedang; di era kini, jihad pemuda adalah jihad intelektual dan digital. Dunia maya menjadi medan baru perjuangan ide, nilai, dan kebenaran. Informasi yang salah dapat menyesatkan jutaan pikiran, sementara satu gagasan yang benar dapat menginspirasi perubahan global.

Pemuda Islam dituntut menjadi mujahid pengetahuan—yang berjuang melawan kebodohan, disinformasi, dan ketidakadilan dengan ilmu dan integritas. Al-Qur’an mengajarkan:

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39] ayat 9).

Ayat ini menjadi panggilan bagi generasi digital untuk tidak menjadi konsumen pasif informasi, tetapi pengolah makna dan penggerak perubahan. Menguasai teknologi adalah keharusan, tetapi menguasai diri dalam menggunakannya adalah kemuliaan.

7.4.       Krisis Makna dan Kebutuhan akan Spiritualitas

Teknologi modern sering mengubah cara kita berinteraksi, tetapi tidak selalu memberi jawaban bagi pertanyaan terdalam manusia: Siapa aku? Untuk apa aku hidup? Ke mana aku menuju? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti dari filsafat eksistensial dan ajaran Islam.

Dalam dunia yang serba cepat dan dangkal, spiritualitas menjadi jangkar eksistensi. Dzikir, tafakur, dan ibadah bukanlah pelarian dari dunia digital, melainkan cara untuk meneguhkan makna dalam dunia yang cair. Pemuda yang beriman tidak menolak teknologi, tetapi menaklukkannya dengan kesadaran: bahwa setiap inovasi harus berakar pada nilai ilahiah dan kemaslahatan umat.

Maka, di tengah derasnya algoritma dan kecerdasan buatan, pemuda beriman harus menjadi penjaga “kecerdasan ruhani.” Sebab kemajuan tanpa kesadaran akan Tuhan hanyalah mempercepat kehancuran.

7.5.       Etika Tauhid dan Tanggung Jawab Global

Era digital menjadikan dunia satu ruang bersama; batas negara menjadi kabur, dan umat manusia hidup dalam interkoneksi universal. Dalam konteks ini, tauhid bukan hanya prinsip teologis, tetapi juga fondasi etika global.

Pemuda Islam harus menanamkan kesadaran bahwa seluruh ciptaan adalah satu kesatuan yang saling bergantung. Apa yang dilakukan di satu sudut dunia digital dapat berdampak pada moral, sosial, dan ekologis di tempat lain. Kesadaran ini menuntut tanggung jawab: untuk menebar kebaikan lintas batas, menghormati keberagaman, dan menjadikan teknologi sebagai alat pemersatu, bukan pemecah.


Saudara-saudaraku,

Era digital bukanlah ancaman, melainkan ladang ujian bagi kesadaran eksistensial dan religius kita. Pemuda yang hanya menikmati teknologi tanpa refleksi akan tenggelam dalam arusnya; tetapi pemuda yang menggunakannya dengan iman, ilmu, dan akhlak akan menjadi pelita zaman.

Karena itu, marilah kita jadikan dunia digital sebagai ruang dakwah dan peradaban—tempat di mana iman berjumpa dengan inovasi, dan kebebasan berpadu dengan tanggung jawab.

Pemuda Islam di era digital harus berani berkata:

“Aku ada di dunia maya, tetapi aku tidak maya dalam keberadaanku.”

“Aku hadir di ruang digital, tetapi imanku tetap menjadi arahku.”

Inilah wajah baru pemuda eksistensial religius: berjiwa bebas, berpikir kritis, beriman teguh, dan bertanggung jawab terhadap dunia yang ia ciptakan sendiri.


8.           Seruan dan Ajakan

Saudara-saudaraku, para pemuda dan pemudi Indonesia,

Telah kita dengarkan gema sejarah yang memanggil dari masa lalu; telah kita renungi makna eksistensial dari Sumpah Pemuda; telah kita sadari pula tantangan besar yang menanti di hadapan kita — zaman digital, globalisasi, krisis moral, dan kegamangan makna. Kini tibalah saatnya kita menjawab panggilan itu.

Sebab sejarah tidak menunggu mereka yang ragu, dan masa depan tidak akan lahir dari mereka yang diam. Seperti para pemuda tahun 1928 yang berani menyatakan “Kami putra dan putri Indonesia,” maka kini kita harus berani menyatakan ulang dengan kesadaran baru:

“Kami adalah pemuda yang beriman, berpikir, dan bertanggung jawab atas eksistensi kami di hadapan Tuhan dan bangsa.”

8.1.       Seruan untuk Menyadari Kembali Makna Kebebasan

Kebebasan bukan berarti hidup tanpa arah, tetapi kemampuan untuk memilih jalan yang benar. Dunia menawarkan seribu kemungkinan, tetapi hanya iman yang memberi arah. Maka, jadilah pemuda yang bebas dalam berpikir, tetapi tetap tunduk pada nilai-nilai ilahiah. Jadilah pemuda yang merdeka dalam bertindak, tetapi sadar bahwa setiap tindakan adalah amanah.

Kita harus menolak dua ekstrem: ketertundukan yang membunuh kreativitas, dan kebebasan yang meniadakan moralitas. Islam mengajarkan keseimbangan — antara akal dan wahyu, kebebasan dan tanggung jawab, eksistensi dan iman. Inilah kebebasan yang sejati: kebebasan yang berakar pada tauhid.

8.2.       Seruan untuk Menghidupkan Kembali Ikrar Sumpah Pemuda

Saudara-saudaraku,

Sumpah Pemuda bukan hanya teks sejarah yang kita baca setiap 28 Oktober. Ia adalah perjanjian eksistensial antara manusia dengan Tuhannya, antara individu dengan bangsanya. Maka, mari kita hidupkan kembali tiga ikrar itu dalam konteks hari ini:

·                     Satu Nusa — berarti menjaga bumi Indonesia dari kerakusan, perpecahan, dan kerusakan moral.

·                     Satu Bangsa — berarti memperkuat solidaritas, menolak kebencian, dan memperjuangkan keadilan sosial.

·                     Satu Bahasa — berarti menuturkan kata-kata yang membangun, bukan yang memecah; menyebarkan kebenaran, bukan kebohongan.

Sumpah itu bukan sekadar diucapkan, tetapi harus dihidupkan dalam kesadaran, diwujudkan dalam tindakan, dan dibuktikan dalam tanggung jawab moral.

8.3.       Seruan untuk Menjadi Pemuda Eksistensial-Religius

Pemuda sejati bukanlah yang hanya kuat secara fisik, tetapi yang tangguh dalam makna. Ia tidak sekadar mengejar keberhasilan duniawi, tetapi juga kesempurnaan jiwa. Ia berani menatap dunia, tetapi tidak buta terhadap akhirat.

Pemuda eksistensial-religius adalah ia yang hidup dengan kesadaran:

“Aku ada karena Allah, aku hidup untuk sesama, dan aku bertanggung jawab atas setiap detik keberadaanku.”

Ia berpikir kritis tanpa kehilangan keimanan; ia beriman tanpa menutup nalar. Ia menolak menjadi korban zaman, tetapi memilih menjadi penafsir zaman — menghadirkan nilai-nilai ilahiah di tengah dunia modern yang sering kehilangan arah.

8.4.       Seruan untuk Menghadirkan Iman di Tengah Perubahan

Saudara-saudaraku,

Teknologi akan terus berubah, dunia akan terus berlari, tetapi iman adalah kompas yang abadi. Jangan biarkan perubahan membuat kita kehilangan arah. Jadikan ilmu sebagai pelita, iman sebagai pemandu, dan akhlak sebagai langkah.

Pemuda Islam masa kini harus menjadi generasi yang bukan hanya melek digital, tetapi juga melek spiritual. Ia harus mampu menulis di dunia maya dengan kejujuran, berpikir dalam kesunyian dengan keikhlasan, dan berbuat di dunia nyata dengan kasih sayang.

Inilah jihad zaman modern: jihad untuk menjadi manusia yang utuh — berakal sehat, berhati bening, dan berjiwa beriman.

8.5.       Ajakan untuk Meneguhkan Kembali Semangat Iman, Ilmu, dan Cinta Tanah Air

Sumpah Pemuda adalah panggilan iman, bukan sekadar nasionalisme. Maka mari kita teguhkan:

·                     Iman yang membimbing akal.

·                     Ilmu yang mengarahkan tindakan.

·                     Cinta tanah air yang memuliakan kemanusiaan.

Kita tidak akan menjadi bangsa besar tanpa iman, tidak akan menjadi umat yang kuat tanpa ilmu, dan tidak akan menjadi manusia yang utuh tanpa cinta.

Sebagaimana Rasulullah Saw membangun peradaban Madinah dengan iman dan ilmu, demikian pula kita harus membangun Indonesia dengan keteguhan spiritual dan kejernihan intelektual.


Saudara-saudaraku,

Kini saatnya kita mengikrarkan Sumpah Pemuda Baru — bukan menggantikan, tetapi menghidupkan semangat lamanya dalam bahasa zaman ini:

“Kami, pemuda dan pemudi Indonesia, bersumpah untuk beriman kepada Allah, berjuang dengan ilmu, dan berbakti kepada tanah air.”

“Kami bersumpah untuk menjaga kebenaran di dunia nyata maupun dunia maya.”

“Kami bersumpah untuk menjadi manusia yang merdeka dalam berpikir, bermoral dalam bertindak, dan beriman dalam seluruh keberadaan kami.”


Saudara-saudaraku,

Inilah saatnya kita menjadikan Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan, tetapi kesadaran hidup. Marilah kita kobarkan kembali api itu — api yang menyalakan akal, menghangatkan hati, dan menerangi jalan bangsa menuju masa depan yang lebih bermartabat.

Bangkitlah, pemuda Indonesia!

Hiduplah dengan iman, berpikirlah dengan kebebasan, dan bertindaklah dengan tanggung jawab!

Takbir! Allahu Akbar!

Hidup Pemuda Indonesia!

Hidup semangat Sumpah Pemuda!


9.           Penutup: Sumpah yang Dihidupkan

Saudara-saudaraku, para pemuda dan pemudi Indonesia yang dirahmati Allah,

Telah kita ziarahi bersama perjalanan panjang makna — dari sejarah menuju kesadaran, dari ikrar menuju iman, dari kebebasan menuju tanggung jawab. Kini tibalah kita pada saat paling hening dari setiap perjuangan: saat untuk merenung, menyadari, dan menghidupkan kembali sumpah itu di dalam diri.

Sebab, Sumpah Pemuda bukan sekadar peringatan yang diucapkan setahun sekali. Ia adalah roh yang harus dihembuskan ke dalam nadi setiap generasi. Ia hidup ketika seorang pemuda menolak menyerah pada keputusasaan; ia menyala ketika seorang pemudi menegakkan kebenaran di tengah godaan kemunafikan; ia bangkit ketika ada satu jiwa yang berkata, “Aku beriman, aku bertanggung jawab, dan aku akan berjuang.”

9.1.       Sumpah sebagai Ziarah Spiritual Bangsa

Sumpah Pemuda adalah ziarah spiritual bangsa — perjalanan kesadaran kolektif menuju makna keberadaan. Ia lahir dari iman yang menyala dalam dada para pemuda 1928, iman bahwa persatuan bukanlah ide, tetapi amanah Tuhan. Ketika mereka bersatu atas nama satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, mereka sesungguhnya sedang meneguhkan syahadat kebangsaan: bahwa Indonesia ada bukan karena kebetulan, tetapi karena kehendak dan rahmat Allah.

Maka, mengingat Sumpah Pemuda adalah ibadah intelektual sekaligus spiritual. Ia mengajak kita untuk bersujud di hadapan sejarah — bukan untuk memuja masa lalu, melainkan untuk memetik nyala iman dari para pendahulu.

9.2.       Menghidupkan Kembali Api Kesadaran

Saudara-saudaraku,

Api Sumpah Pemuda tidak akan padam, kecuali jika kita membiarkannya redup dalam diri kita sendiri. Dunia boleh berubah, teknologi boleh maju, tetapi panggilan itu tetap sama: jadilah manusia yang sadar akan keberadaannya, dan bertanggung jawab atas kebebasannya.

Hari ini, tanggung jawab itu bukan lagi melawan penjajahan fisik, tetapi melawan penjajahan batin dan moral. Melawan kemalasan berpikir, kemunafikan sosial, dan kekosongan spiritual. Kita dituntut untuk menyalakan kembali semangat reflektif dan iman aktif — untuk menegakkan keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan menumbuhkan kasih sayang di tengah dunia yang dingin dan tergesa-gesa.

Sumpah Pemuda hanya akan hidup jika kita menghidupkannya. Ia tidak tinggal di teks, tetapi di tindakan; tidak sekadar di upacara, tetapi di kesungguhan diri.

9.3.       Sintesis Eksistensial: Dari “Aku” Menuju “Kita” dan “Dia”

Dalam makna terdalamnya, Sumpah Pemuda adalah perjalanan eksistensial — dari aku yang terpisah, menuju kita yang bersatu, hingga Dia yang menjadi sumber makna. Inilah puncak kesadaran religius-ekistensial: bahwa kehidupan baru bernilai ketika manusia sadar akan keterhubungannya dengan sesama dan dengan Sang Pencipta.

Ketika pemuda mengucapkan sumpahnya, ia sedang menyatukan “ada”-nya dengan “ada” yang lain — membangun solidaritas di bumi, sembari meneguhkan pengabdian di langit. Ia menegaskan bahwa eksistensi manusia sejati bukanlah keberadaan yang egoistik, melainkan keberadaan yang berakar pada cinta, iman, dan tanggung jawab.

9.4.       Seruan Terakhir: Dari Kata ke Laku, dari Ikrar ke Amal

Saudara-saudaraku,

Kita telah mewarisi kata-kata agung itu. Kini tugas kita adalah menjadikannya kehidupan. Jangan biarkan Sumpah Pemuda tinggal sebagai arsip sejarah. Jadikan ia kesadaran moral yang menuntun langkah dalam belajar, bekerja, berkarya, dan berjuang.

Hiduplah dengan semangat mereka yang berani memikul makna. Jadilah pemuda yang memeluk zaman tanpa kehilangan Tuhan. Jadilah insan yang berpikir modern tetapi berhati spiritual; yang mencintai bangsanya tanpa melupakan asalnya; yang berjuang di dunia tanpa melupakan akhiratnya.

Karena di ujung segala perjalanan, hanya satu yang akan ditanyakan:

“Apa yang kau lakukan dengan kebebasan dan iman yang telah Aku titipkan kepadamu?”

Maka, sebelum sejarah menjawabnya untuk kita, marilah kita jawab dengan tindakan, dengan pengabdian, dan dengan cinta.


Saudara-saudaraku,

Marilah kita akhiri orasi ini bukan dengan kata perpisahan, tetapi dengan ikrar pembaruan diri:

“Kami, pemuda dan pemudi Indonesia, bersumpah untuk menjaga iman dalam hati, akal dalam kepala, dan kejujuran dalam tindakan.”

“Kami bersumpah untuk menjadi penjaga nilai, pembangun peradaban, dan pengabdi bagi kemanusiaan.”

“Kami bersumpah bahwa api Sumpah Pemuda akan terus hidup — di dada kami, di karya kami, dan di sejarah bangsa kami.”


Bangkitlah, wahai pemuda Indonesia!

Hiduplah dengan iman yang menyala, berpikirlah dengan kebebasan yang bertanggung jawab, dan bertindaklah dengan cinta yang memanusiakan!

Takbir! Allahu Akbar!

Hidup Pemuda Indonesia!

Hidup semangat Sumpah Pemuda!


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar