Sumpah Pemuda
Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa – Indonesia
Alihkan ke: Negara Kesatuan Republic Indonesia (NKRI).
Sejarah Sumpah Pemuda, Makna Sumpah Pemuda bagi Bangsa Indonesia,
Relevansi Sumpah Pemuda bagi Masa Depan Indonesia.
Orasi
Saudara-saudaraku, para pemuda dan pemudi bangsa,
Hari ini kita menundukkan kepala dengan penuh
hormat kepada para pendahulu yang pada 28 Oktober 1928 menorehkan sejarah
dengan tiga kalimat suci: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa –
Indonesia! Namun, sumpah itu bukan sekadar teks sejarah; ia adalah getaran
jiwa yang menuntut untuk terus dihidupkan dalam kesadaran eksistensial kita
hari ini.
Pemuda sejati bukan hanya tubuh yang muda, tetapi
jiwa yang menyala oleh kesadaran akan makna keberadaan. Eksistensialisme
mengajarkan kita bahwa manusia bukanlah makhluk yang pasif; kita adalah ada
yang memilih, ada yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Tetapi dalam perspektif religius—khususnya dalam nafas Islam—eksistensi itu
menemukan arah dan tujuan sejatinya: bukan sekadar menjadi ada untuk diri
sendiri, melainkan ada karena Allah, untuk Allah, dan menuju kepada
Allah.
Pemuda yang berkesadaran eksistensial-religius
adalah ia yang sadar bahwa hidup bukan kebetulan, tetapi amanah. Ia mengisi
kebebasan bukan dengan kesia-siaan, tetapi dengan pengabdian. Ia merdeka bukan
karena bebas dari nilai, melainkan karena tunduk pada nilai ilahiah yang
menuntun langkahnya.
Saudara-saudaraku,
Di era digital, di tengah derasnya arus informasi
dan gempuran nihilisme, Sumpah Pemuda harus kita gemakan kembali bukan hanya
dalam seremonial, tetapi dalam tindakan nyata—dengan menegakkan integritas,
menumbuhkan empati, dan membangun bangsa ini atas dasar cinta dan tanggung
jawab.
Marilah kita bersumpah sekali lagi, bukan hanya di
bibir, tetapi dalam eksistensi kita:
·                    
Bahwa kita adalah pemuda yang berpikir, beriman, dan berbuat;
·                    
Bahwa kita akan menjaga kemerdekaan bukan hanya dari penjajahan fisik,
tetapi dari penjajahan batin dan moral;
·                    
Bahwa kita akan menjadikan iman sebagai dasar, ilmu sebagai cahaya, dan
cinta tanah air sebagai penggerak sejarah baru bangsa ini.
Hidup Pemuda Indonesia!
Hidup semangat Sumpah Pemuda!
Takbir! Allahu Akbar!
PEMBAHASAN
Sumpah Pemuda dan Kesadaran Eksistensial Religius
1.          
Pembukaan:
Seruan dari Sejarah
Saudara-saudaraku, para pemuda dan pemudi
Indonesia,
Ketika kita menatap kembali lembar sejarah bangsa,
ada satu tanggal yang selalu bergetar di dasar nurani kita: 28 Oktober 1928.
Di hari itu, sekelompok pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berdiri tegak,
melampaui sekat suku, agama, dan bahasa, untuk mengikrarkan satu janji sakral: “Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.”
Sumpah itu bukan sekadar kata, bukan sekadar teks
yang dibacakan dalam kongres—ia adalah tindakan eksistensial. Dalam
detik itu, para pemuda menyatakan diri untuk ada—untuk hadir secara
sadar dalam sejarah bangsanya. Mereka menolak hidup dalam penindasan dan
kebisuan kolonial, lalu memilih kebermaknaan: memilih menjadi manusia merdeka
yang sadar akan jati dirinya sebagai bangsa.
Sumpah Pemuda adalah seruan dari sejarah. Ia
memanggil setiap generasi agar tak kehilangan arah dalam perjalanan zaman. Ia
bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan panggilan untuk bertanggung
jawab terhadap eksistensi kita sendiri sebagai bangsa dan sebagai manusia.
Namun, pertanyaan yang harus kita ajukan hari ini
adalah: Apakah semangat itu masih hidup dalam dada para pemuda masa kini?
Apakah kita masih memiliki keberanian untuk menyatakan “aku ada” dengan makna
yang sejati—bukan hanya sebagai individu yang tenggelam dalam kenyamanan
digital, tetapi sebagai insan yang sadar akan tanggung jawab spiritual, sosial,
dan moral?
Sebab sejatinya, Sumpah Pemuda bukanlah peninggalan
masa lalu, melainkan tugas abadi. Ia adalah api yang diwariskan, yang
menunggu untuk dinyalakan kembali oleh generasi sekarang. Dan api itu hanya
akan menyala jika pemuda hari ini bangkit dengan kesadaran baru—kesadaran yang
tidak hanya historis dan nasionalis, tetapi juga eksistensial dan religius.
Dalam kesadaran itulah kita menemukan makna
terdalam dari Sumpah Pemuda: bahwa menjadi pemuda Indonesia bukan sekadar
persoalan kebangsaan, tetapi juga panggilan iman dan keberadaan. Bahwa
dalam setiap denyut nadi perjuangan, kita mendengar gema tauhid: La ilaha
illallah—tiada tuhan selain Allah, dan karena itu tiada kehinaan bagi
manusia yang beriman dan berilmu.
Maka hari ini, marilah kita dengarkan kembali
seruan dari sejarah itu. Seruan yang memanggil kita bukan hanya untuk
mengenang, tetapi untuk menghidupkan kembali sumpah itu dalam eksistensi
kita—dalam pikiran, dalam tindakan, dan dalam keimanan yang membimbing arah
hidup kita menuju kemerdekaan sejati.
2.          
Api
yang Tak Padam: Makna Filosofis Sumpah Pemuda
Saudara-saudaraku,
Sumpah Pemuda bukanlah sekadar fragmen sejarah yang
membeku di buku pelajaran. Ia adalah api yang tak pernah padam—api
kesadaran yang menyala di dada para pemuda yang berani menolak keterasingan dan
kebisuan penjajahan. Api itu menyinari jalan dari kegelapan menuju kebebasan,
dari keterpecahan menuju kesatuan, dari kejumudan menuju kesadaran akan
“ada”-nya sebagai bangsa yang bermakna.
Jika kita merenungkan lebih dalam, Sumpah Pemuda
adalah tindakan eksistensial—sebuah keputusan sadar untuk menjadi.
Para pemuda 1928 tidak sekadar mendeklarasikan politik identitas, tetapi
mengafirmasi eksistensi mereka dalam dunia yang menindas. Dalam bahasa
filsafat, mereka menolak absurditas sejarah kolonial yang menafikan makna
manusia, dan dengan keberanian mereka, menciptakan makna baru: Indonesia.
Sumpah Pemuda adalah bentuk dari apa yang disebut
oleh para filsuf eksistensialis sebagai choice of being—pilihan untuk ada
secara autentik. Mereka memilih untuk hidup bukan dalam determinasi
penjajah, tetapi dalam kebebasan yang disertai tanggung jawab. Dalam pilihan
itulah, eksistensi bangsa Indonesia dilahirkan. Maka, di balik tiga kalimat
sumpah itu, terdapat gema filosofis yang mendalam: manusia—dalam hal ini,
pemuda—dapat mengubah arah sejarah ketika ia sadar akan kebebasannya dan berani
mengambil tanggung jawab atas keberadaannya.
Namun, kebebasan yang dipahami oleh para pemuda
1928 bukanlah kebebasan tanpa arah. Kebebasan mereka terikat pada nilai—pada
cinta tanah air, pada rasa kemanusiaan, pada kesadaran akan Tuhan yang menjiwai
perjuangan mereka. Inilah yang menjadikan Sumpah Pemuda tidak hanya peristiwa
politik, tetapi juga peristiwa spiritual. Ia adalah bentuk “iman sosial”
yang meneguhkan bahwa keberadaan manusia menemukan maknanya hanya ketika ia
berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Dari sudut pandang filosofis, Sumpah Pemuda adalah
simbol dari transendensi eksistensial: manusia melampaui dirinya untuk
menemukan kebenaran yang lebih tinggi—baik dalam makna kebangsaan maupun
keimanan. Ia adalah tindakan melampaui “aku” menuju “kita”, dan lebih jauh lagi,
menuju Dia, sumber segala makna.
Api itu masih menyala, saudara-saudaraku. Tapi
kini, ia menunggu bahan bakar baru—yakni kesadaran eksistensial para pemuda
zaman ini. Sebab jika Sumpah Pemuda dahulu melahirkan bangsa dari keterjajahan
fisik, maka hari ini ia harus melahirkan bangsa dari keterjajahan makna: dari
egoisme, dari nihilisme, dari kehilangan arah spiritual.
Oleh karena itu, memahami Sumpah Pemuda bukan hanya
mengenang masa lalu, tetapi menyalakan kembali api eksistensi yang sadar,
bebas, dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan sejarah. Sebab selama api
itu tetap hidup di dada pemuda-pemudi Indonesia, selama itu pula bangsa ini
tidak akan pernah padam.
3.          
Pemuda
dan Krisis Eksistensi di Era Kini
Saudara-saudaraku, para pewaris Sumpah Pemuda,
Kita hidup di zaman yang berbeda dari tahun 1928—zaman
di mana senjata bukan lagi bedil penjajah, tetapi kebingungan makna. Di
era digital ini, kita menyaksikan pemuda yang tampak bebas, namun sesungguhnya terbelenggu
oleh kehampaan eksistensial. Dunia maya menjanjikan ruang tanpa batas,
tetapi di balik layar terang itu, jiwa manusia sering kali terjerat dalam
kegelapan yang sunyi: kehilangan arah, kehilangan makna, kehilangan jati diri.
Krisis eksistensi pemuda masa kini bukan terletak
pada kurangnya informasi, melainkan melimpahnya informasi tanpa orientasi.
Dalam derasnya arus data, identitas menjadi cair, nilai menjadi relatif, dan
kebenaran menjadi kabur. Pemuda zaman ini dapat berbicara dengan dunia dalam
sekejap, tetapi sering kali gagal berbicara dengan dirinya sendiri. Kita hidup
dalam paradoks: semakin terhubung secara digital, semakin terputus secara
spiritual.
Inilah bentuk baru dari penjajahan—penjajahan yang
halus, yang meninabobokan kesadaran dan menumpulkan kepekaan. Hedonisme
menjelma sebagai bentuk pelarian; popularitas menggantikan substansi; citra
menelan realitas. Pemuda yang dahulu berikrar untuk satu tanah air, kini banyak
yang kehilangan tanah eksistensinya sendiri—tidak tahu untuk apa ia hidup,
tidak tahu ke mana ia menuju.
Pertanyaannya, saudara-saudaraku: Apakah
kebebasan yang kita rayakan hari ini benar-benar membuat kita merdeka?
Ataukah kita hanya mengganti rantai penjajahan
fisik dengan belenggu psikologis dan spiritual yang lebih halus?
Di tengah krisis ini, kita perlu kembali
menafsirkan makna “ada” sebagaimana para pemuda 1928 menafsirkan makna
“Indonesia.” Sebab menjadi pemuda sejati bukan sekadar soal usia, tetapi soal kesadaran
untuk memilih dan bertanggung jawab atas keberadaan diri. Dalam bahasa
eksistensialisme, manusia disebut “ada” ketika ia sadar bahwa hidupnya bukan
kebetulan, melainkan panggilan untuk mencipta makna.
Namun bagi pemuda beriman, kebebasan itu tidak
berakhir pada diri. Ia menemukan arah dalam kesadaran religius—kesadaran
bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan yang bertanggung jawab di hadapan Allah.
Dalam pandangan Islam, manusia bukan sekadar makhluk yang berpikir (homo
sapiens), melainkan makhluk yang bertanggung jawab (homo amānah).
Ia memikul beban kebebasan yang tidak nihil, melainkan berorientasi pada makna
ilahiah.
Krisis eksistensi hanya dapat disembuhkan dengan iman
yang berpikir dan pemikiran yang beriman. Pemuda tidak cukup hanya kritis
terhadap sistem sosial, ia juga harus jujur kepada dirinya sendiri: Apakah aku
hidup sekadar untuk eksis di dunia, atau untuk bermakna di hadapan Tuhan?
Sumpah Pemuda hari ini harus dihidupkan kembali
dalam bentuk sumpah kesadaran: bahwa kita tidak akan membiarkan diri
kita menjadi generasi tanpa arah; bahwa kita akan menolak hidup tanpa nilai;
bahwa kita akan menegakkan eksistensi bukan di atas kesia-siaan, melainkan di
atas iman, ilmu, dan tanggung jawab moral.
Saudara-saudaraku, inilah panggilan zaman kita:
bukan lagi mengangkat senjata melawan penjajah, tetapi mengangkat kesadaran
melawan kehampaan. Sebab musuh terbesar pemuda hari ini bukanlah kekuasaan
asing, tetapi ketiadaan makna di dalam diri sendiri.
Dan hanya mereka yang berani menghadapi kekosongan
itu dengan iman dan refleksi, yang akan menjadi pemuda sejati—pemuda yang mampu
mengubah krisis menjadi panggilan, dan panggilan menjadi gerakan yang bermakna
bagi umat dan bangsa.
4.          
Eksistensialisme
Religius: Makna Ada dalam Kerangka Iman
Saudara-saudaraku, para pemuda yang berpikir dan
beriman,
Di antara segala bentuk pencarian makna dalam
kehidupan manusia, filsafat eksistensialisme menempatkan ada
(eksistensi) sebagai pusat perenungan. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak
ditentukan semata oleh kodrat, tetapi oleh pilihan, kesadaran, dan tanggung
jawabnya terhadap keberadaan. Manusia menjadi dirinya bukan karena ia
sekadar “hidup”, melainkan karena ia memilih untuk “hidup secara autentik.”
Namun, dalam bingkai religius—terutama dalam pandangan Islam—eksistensi manusia
tidak berhenti pada kebebasan individual. Ia menemukan arah, makna, dan
tujuannya dalam iman kepada Allah.
Eksistensialisme religius mengajarkan bahwa
kebebasan manusia bukan kebebasan mutlak tanpa batas, tetapi kebebasan yang
mengakar dalam kesadaran ilahiah. Islam memandang manusia sebagai makhluk
merdeka yang diberi amanah—bukan makhluk yang hidup dalam kehampaan,
melainkan dalam tanggung jawab di hadapan Tuhan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan, 
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa berat; lalu
dipikullah amanah itu oleh manusia.” (QS. Al-Ahzab [33] ayat 72). 
Ayat ini menegaskan dimensi eksistensial manusia:
ia adalah makhluk yang memilih untuk memikul makna, bukan melarikan diri
darinya.
Dalam kerangka ini, eksistensi sejati bukanlah
kebebasan tanpa arah, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab—kebebasan
untuk memilih yang baik, untuk menegakkan keadilan, dan untuk mengabdi kepada
Sang Pencipta. Iman dalam Islam tidak meniadakan kebebasan, melainkan memberinya
arah dan makna. Jika eksistensialisme sekuler berbicara tentang manusia
yang menciptakan maknanya sendiri, maka eksistensialisme religius berbicara
tentang manusia yang menemukan maknanya dalam relasi dengan Allah.
Saudara-saudaraku,
Dalam kesadaran tauhid, manusia memahami bahwa
“ada”-nya bukanlah kebetulan, melainkan kehendak ilahi yang menuntut
tanggung jawab eksistensial. Setiap nafas adalah panggilan untuk menjadi khalifah
fil ardh—wakil Tuhan di bumi—yang menjaga kehidupan, menegakkan keadilan,
dan memelihara keseimbangan. Tugas ini bukan beban, tetapi pembuktian
eksistensi sejati manusia.
Karena itu, kebebasan dalam pandangan Islam
bukanlah anarki moral, melainkan bentuk tertinggi dari tanggung jawab
spiritual. Pemuda yang bebas sejati bukanlah yang menolak nilai, melainkan yang
sadar bahwa nilai ilahiah adalah peta bagi kebebasan dirinya. Ia tidak tunduk
pada hawa nafsu, tetapi tunduk kepada Allah yang memerdekakannya dari
perbudakan dunia. Dalam makna ini, eksistensi dan iman tidak bertentangan,
tetapi saling melengkapi dalam kesatuan makna hidup.
Para filsuf Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan
terutama Al-Ghazali menegaskan bahwa keberadaan manusia mencapai puncaknya
ketika akal dan iman bersatu dalam kesadaran transendental. Thomas Aquinas
dalam tradisi lain juga menandaskan bahwa kebebasan tanpa kebenaran akan
melahirkan kekosongan, sedangkan kebebasan yang berakar pada kebenaran adalah
bentuk tertinggi dari kemanusiaan.
Maka, saudara-saudaraku, eksistensialisme
religius Islam bukanlah filsafat pasrah, melainkan filsafat keberanian
untuk menjadi diri sendiri di hadapan Allah. Ia menolak determinisme
yang meniadakan kebebasan, tetapi juga menolak nihilisme yang meniadakan arah.
Ia adalah jalan tengah yang memadukan kebebasan dan iman, rasionalitas dan
spiritualitas, refleksi dan pengabdian.
Dalam kerangka ini, pemuda Muslim sejati adalah
mereka yang memahami eksistensinya sebagai amanah dan ibadah. Ia
berpikir dengan akal yang merdeka, tetapi hatinya tetap terikat pada nilai
ilahiah. Ia berani berkata “aku ada,” tetapi juga sadar bahwa “aku ada karena
Allah, untuk Allah, dan menuju kepada Allah.”
Saudara-saudaraku,
Inilah makna terdalam dari kesadaran eksistensial
religius: bahwa keberadaan manusia menjadi berarti ketika ia menyadari
asalnya, tanggung jawabnya, dan tujuannya. Dari Allah kita datang, kepada
Allah kita kembali—dan di antara dua titik itu, kita diminta untuk hidup dengan
makna, iman, dan amal.
5.          
Sumpah
Pemuda sebagai Manifestasi Iman dan Tanggung Jawab
Saudara-saudaraku,
para pemuda pewaris amanah sejarah,
Ketika kita menatap
kembali tiga kalimat suci dari Sumpah Pemuda, kita akan menemukan bahwa di
balik kata-kata itu tersimpan makna yang jauh melampaui dimensi politik dan
nasionalisme. Ia bukan sekadar deklarasi kebangsaan, tetapi juga manifestasi
iman dan tanggung jawab eksistensial manusia di hadapan Tuhan dan sejarah.
Pada 28 Oktober
1928, para pemuda Indonesia melakukan sesuatu yang secara filosofis amat
mendalam: mereka menegaskan eksistensi kolektif
bangsa yang belum sepenuhnya lahir. Dalam ikrar mereka, terdapat getaran
iman—iman pada kemanusiaan, pada persaudaraan, dan pada takdir Ilahi yang
menghendaki keadilan dan kebebasan. Dengan demikian, Sumpah Pemuda bukan hanya
tindakan politik, melainkan tindakan spiritual dan eksistensial
yang menegaskan pilihan untuk hidup dengan makna dan tanggung jawab.
5.1.      
“Satu Nusa”: Kesadaran Ruang dan Amanah
Keberlangsungan
Kalimat pertama, “Kami
putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia,” bukan sekadar pengakuan geografis. Ia adalah pengakuan
eksistensial akan ruang keberadaan bersama—sebuah tanah yang
bukan hanya dimiliki, tetapi juga harus dijaga dan dimuliakan.
Dalam pandangan
Islam, bumi bukanlah sekadar tempat tinggal, melainkan amanah
Allah. Manusia diperintahkan untuk menjadi khalifah
fil ardh—penjaga dan pemelihara kehidupan di bumi. Maka, ketika
para pemuda 1928 bersumpah tentang satu nusa, sejatinya mereka juga sedang
menegaskan tanggung jawab spiritual: menjaga keseimbangan, keadilan, dan
kelestarian ciptaan.
Kesatuan tanah air
bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi mengakui bahwa seluruh bentang
Nusantara adalah ruang sakral yang mengikat manusia dengan tanggung jawab
ekologis dan moral. Dalam arti ini, Satu Nusa adalah bentuk tauhid
ruang—pengakuan bahwa seluruh ciptaan berasal dari satu sumber,
dan karena itu harus dijaga dalam kesatuan makna.
5.2.      
“Satu Bangsa”: Solidaritas dan Persaudaraan
Kemanusiaan
Kalimat kedua, “Kami
putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia,”
adalah penegasan tentang kesadaran kemanusiaan. Ia
menolak segala bentuk kesukuan, kedaerahan, dan egoisme yang memecah belah
manusia. Di sini, para pemuda 1928 melampaui identitas partikular menuju identitas
universal yang dilandasi nilai iman: inna akramakum ‘indallāhi atqākum — “Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat [49] ayat 13).
Dalam kerangka
eksistensial religius, Satu Bangsa berarti menegakkan
solidaritas sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Pemuda sejati bukan hanya
warga negara, tetapi juga warga moral dunia, yang
menyadari bahwa eksistensinya bermakna sejauh ia berbuat bagi sesama. Kesatuan
bangsa adalah wujud ukhuwah insaniyyah—persaudaraan
manusia dalam iman, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial.
Maka, bersatu
bukanlah sekadar strategi politik, tetapi ibadah sosial; dan mencintai
bangsa bukan sekadar nasionalisme, melainkan bagian dari keimanan. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.”
(Hubbul wathan minal iman). Dari cinta itulah tumbuh tanggung jawab: untuk
menegakkan keadilan, memelihara perdamaian, dan melawan segala bentuk
penindasan yang menodai martabat manusia.
5.3.      
“Satu Bahasa”: Kesatuan Makna dan Komunikasi
Spiritual
Kalimat ketiga, “Kami
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” menandai dimensi
simbolik yang sangat dalam. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan sarana
eksistensial untuk menyatakan diri dan membangun makna bersama.
Bahasa adalah ruang
di mana manusia “ada” dan “mengada” bersama yang lain. Melalui bahasa, manusia
menegaskan eksistensinya, mengungkapkan nilai-nilai, dan menautkan hatinya
dengan yang lain. Maka, ketika para pemuda 1928 mengikrarkan bahasa persatuan,
mereka sedang menegakkan kesatuan makna dan kesadaran.
Dalam pandangan
Islam, kata (kalimah) memiliki kekuatan
spiritual. Allah menciptakan alam dengan firman, dan manusia diberi kemampuan
berbicara agar dapat menyampaikan kebenaran. Satu Bahasa berarti menjaga bahasa
dari kebohongan, kebencian, dan kehancuran moral. Ia mengandung tanggung jawab
etis untuk menggunakan kata sebagai sarana kebaikan dan persaudaraan.
Bahasa persatuan
adalah bahasa
yang memanusiakan, bukan yang memecah-belah. Ia adalah bahasa
kejujuran, cinta, dan doa. Maka, sumpah untuk menjunjung bahasa Indonesia
sejatinya adalah sumpah untuk menjaga kesucian makna dalam setiap kata yang
diucapkan.
5.4.      
Sumpah sebagai Doa, Iman sebagai Api yang
Menghidupkan
Ketiga ikrar Sumpah
Pemuda, bila direnungkan secara eksistensial-religius, membentuk satu kesatuan
spiritual: ruang, kemanusiaan, dan makna. Tiga dimensi itu melukiskan
perjalanan manusia dari ada di dunia menuju ada
untuk Tuhan. Dengan demikian, Sumpah Pemuda adalah doa yang
diucapkan dalam bahasa sejarah—doa yang meneguhkan iman melalui
tindakan nyata.
Iman tidak hanya
diucapkan dalam zikir, tetapi juga diwujudkan dalam tanggung jawab sosial. Para
pemuda 1928 mengajarkan bahwa mencintai bangsa adalah bentuk ibadah; bahwa
membela keadilan adalah manifestasi tauhid; dan bahwa bersatu dalam perbedaan
adalah cerminan rahmat Allah yang meliputi seluruh ciptaan-Nya.
Saudara-saudaraku,
Sumpah Pemuda adalah
amanah
eksistensial dan religius yang diwariskan kepada kita. Ia
menuntut agar kita tidak hanya menghafalnya, tetapi menghidupkannya—dalam
kerja, dalam ilmu, dalam integritas, dan dalam iman.
Ketika kita mengucap
“Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,” sejatinya kita sedang bersyahadat
dalam konteks kebangsaan: mengakui kesatuan dalam keberagaman, dan menjadikan
iman sebagai dasar dari setiap perjuangan.
6.          
Pemuda
Islam dan Spirit Kebebasan yang Bertanggung Jawab
Saudara-saudaraku,
para pemuda Muslim yang berpikir dan beriman,
Dalam sejarah
peradaban manusia, tidak ada kekuatan yang lebih besar dari jiwa
muda yang sadar akan makna kebebasannya. Pemuda adalah energi
kehidupan, mata air perubahan, dan penggerak zaman. Namun, sebagaimana api
dapat memberi terang atau membakar, kebebasan juga dapat memerdekakan atau
menyesatkan—tergantung pada bagaimana manusia memaknai dan menanggungnya.
Dalam pandangan
Islam, kebebasan bukan sekadar kemampuan untuk memilih, melainkan kemampuan
untuk memilih yang benar. Kebebasan yang sejati adalah
kebebasan yang berpijak pada nilai dan iman—kebebasan yang sadar akan tanggung
jawab moral dan spiritual. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara kebebasan
eksistensial yang nihilistik dan kebebasan
eksistensial yang religius.
6.1.      
Kebebasan sebagai Amanah, Bukan Anarki
Islam tidak pernah
menolak kebebasan. Justru Islam memandang kebebasan sebagai fitrah
ilahiah yang melekat pada manusia sejak awal penciptaan. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua
jalan (kebaikan dan kejahatan).”
(QS. Al-Balad [90] ayat 10).
Ayat ini menegaskan
bahwa manusia adalah makhluk yang bebas—ia memiliki kebebasan untuk memilih,
namun juga memikul konsekuensi dari pilihannya. Kebebasan itu bukanlah anarki
moral, melainkan ruang tanggung jawab eksistensial
di hadapan Allah.
Pemuda Muslim sejati
bukanlah mereka yang menolak nilai-nilai moral atas nama kebebasan, tetapi
mereka yang menjaga kebebasan dengan disiplin spiritual dan
akal sehat. Ia bebas bukan karena ingin berbuat semaunya,
tetapi karena sadar bahwa setiap tindakannya memiliki makna di mata Tuhan.
6.2.      
Nabi Muhammad Saw: Teladan Pemuda Eksistensial
Dalam sejarah Islam,
sosok Nabi Muhammad Saw adalah contoh tertinggi pemuda yang menghayati
kebebasan dalam iman dan tanggung jawab. Sejak muda, beliau
telah hidup di tengah masyarakat yang rusak moralnya, namun tidak larut di
dalamnya. Ia memilih jalan kejujuran, integritas, dan pengabdian kepada
kebenaran—suatu pilihan eksistensial yang menandakan kesadaran akan misi
hidupnya.
Ketika wahyu pertama
turun di Gua Hira, beliau menerima panggilan eksistensial yang paling dalam: “Iqra’!”—bacalah.
Perintah itu bukan sekadar perintah intelektual, tetapi perintah untuk menyadari
eksistensi, menafsirkan makna hidup, dan menghubungkan akal dengan iman.
Dari sinilah kebebasan Nabi Muhammad Saw menemukan arah dan tujuan: bukan bebas
untuk diri, melainkan bebas untuk membebaskan manusia lain dari kebodohan dan
penindasan.
Pemuda Islam masa
kini harus belajar dari teladan ini—bahwa kebebasan tanpa misi adalah
kesia-siaan, dan misi tanpa iman adalah kesombongan. Nabi menunjukkan bahwa
keberanian sejati bukanlah menolak batas, tetapi menegakkan kebenaran meski
harus menanggung risiko.
6.3.      
Kebebasan yang Berakar pada Tauhid
Tauhid adalah pusat
gravitasi kebebasan dalam Islam. Ia menegaskan bahwa tidak
ada yang berhak menguasai manusia selain Allah. Dari kesadaran
ini, lahirlah pemahaman bahwa tunduk kepada Allah justru adalah bentuk
tertinggi dari kemerdekaan.
Manusia yang tidak
tunduk pada Tuhan akan tunduk pada hawa nafsu, pada opini publik, pada
kekuasaan, atau pada sistem yang menindas. Tetapi manusia yang menundukkan
dirinya kepada Allah, sejatinya bebas dari segala bentuk perbudakan dunia.
Inilah makna
filosofis dari kalimat La ilaha illallah—tiada tuhan
selain Allah. Ia bukan hanya syahadat keimanan, tetapi juga manifesto
kebebasan eksistensial. Pemuda yang menghayati tauhid tidak
akan menjual integritasnya untuk kepentingan sesaat, tidak akan tunduk pada
tekanan moral dunia maya, dan tidak akan kehilangan arah di tengah gelombang
modernitas.
6.4.      
Tanggung Jawab sebagai Bukti Keberimanan
Kebebasan tanpa
tanggung jawab adalah kekosongan. Iman tanpa tanggung jawab adalah kepalsuan.
Dalam Islam, keduanya tidak dapat dipisahkan. Rasulullah Saw bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Pemuda adalah
pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia harus menuntun akalnya, menjaga hatinya, dan
mengarahkan tindakannya agar selalu selaras dengan nilai kebenaran. Tanggung jawab
eksistensial ini mencakup seluruh aspek kehidupan: terhadap Tuhan, terhadap
sesama manusia, dan terhadap alam semesta.
Di tengah dunia yang
cenderung menilai manusia dari penampilan dan prestise, pemuda Muslim sejati
harus menegaskan identitasnya: bahwa keberhasilan sejati bukanlah ketika ia
dipuja dunia, tetapi ketika ia mampu bertanggung jawab atas eksistensinya di hadapan
Allah.
6.5.      
Spirit Kebebasan yang Membangun, Bukan Merusak
Saudara-saudaraku,
Kebebasan yang sejati
adalah kebebasan yang menciptakan makna, bukan menghapusnya.
Ia melahirkan kreativitas, bukan keputusasaan; membangun peradaban, bukan
meniadakan nilai.
Pemuda Islam harus
menjadi pembawa cahaya kebebasan itu—kebebasan yang mencerdaskan, yang berakar pada
ilmu, yang berbuah pada amal. Kebebasan yang membebaskan manusia dari
kejumudan, tetapi tidak mencabutnya dari akar moralitas.
Sumpah Pemuda di
tahun 1928 adalah bukti bahwa kebebasan bisa berwujud tanggung jawab. Dan bagi
pemuda Muslim masa kini, kebebasan harus menjadi jembatan
antara iman dan kemanusiaan, antara spiritualitas dan
solidaritas sosial.
Saudara-saudaraku,
Kita tidak
diciptakan untuk hidup dalam kebebasan yang hampa, tetapi dalam kebebasan
yang bermakna—bebas untuk beriman, untuk berpikir, untuk
berbuat baik, dan untuk menegakkan keadilan.
Maka marilah kita
warisi semangat Sumpah Pemuda bukan hanya dengan kata, tetapi dengan kesadaran:
bahwa kebebasan adalah anugerah, dan tanggung jawab adalah ibadah.
Pemuda Islam sejati adalah ia yang
merdeka dalam pikiran, beriman dalam hati, dan bertanggung jawab dalam
tindakan.
7.          
Tanggung
Jawab Eksistensial Pemuda di Era Digital
Saudara-saudaraku,
para pemuda penerus amanah zaman,
Kita hidup di sebuah
era yang belum pernah dialami generasi sebelumnya—era
digital, di mana dunia nyata dan dunia maya saling berkelindan,
membentuk realitas baru yang nyaris tanpa batas. Zaman ini membawa peluang yang
luar biasa: pengetahuan yang terbuka, komunikasi yang cepat, dan ruang kreasi
tanpa dinding. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula ancaman baru terhadap jati
diri, moralitas, dan makna keberadaan manusia.
Era digital adalah
ruang kebebasan yang luas, tetapi juga ruang ujian bagi kesadaran eksistensial.
Pemuda kini bisa menulis, berbicara, dan mencipta di hadapan dunia hanya dengan
ujung jarinya; tetapi ironisnya, banyak yang kehilangan arah terhadap siapa
dirinya dan untuk apa ia hidup. Dalam banjir informasi dan pencitraan diri,
eksistensi sering kali tereduksi menjadi sekadar “tampilan” — bukan keberadaan
yang otentik.
7.1.      
Eksistensi dalam Dunia Maya: Antara Diri yang
Nyata dan Diri yang Digital
Pemuda masa kini
hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia fisik dan dunia digital. Dunia maya
menjanjikan kebebasan berekspresi, tetapi juga menjerat manusia dalam jebakan
“eksistensi semu” — di mana nilai diri diukur dari likes, followers, dan popularitas. Dalam
kondisi ini, eksistensi bergeser dari menjadi kepada tampil,
dari makna kepada citra.
Inilah paradoks
zaman kita: teknologi yang seharusnya memperluas kesadaran, justru dapat
mempersempitnya ketika digunakan tanpa refleksi. Banyak pemuda yang merasa
hadir di ruang digital, tetapi sejatinya absen dari dirinya sendiri — tidak
lagi bertanya siapa ia sebenarnya, dan apa tanggung jawabnya terhadap dunia.
Dari perspektif
eksistensialisme religius, keadaan ini mencerminkan alienasi
spiritual — keterasingan manusia dari dirinya dan dari Tuhan.
Dalam Islam, manusia diajarkan untuk muhasabah (introspeksi), bukan
sekadar menunjukkan
dirinya. Oleh karena itu, tanggung jawab pertama pemuda digital adalah menjaga
keotentikan eksistensinya: menjadi dirinya yang sejati, bukan
sekadar bayangan yang disukai orang lain.
7.2.      
Tanggung Jawab Moral dan Etika Digital
Teknologi adalah
anugerah, tetapi setiap anugerah menuntut amanah. Dunia digital bukan ruang
tanpa nilai, melainkan ruang di mana etika dan akhlak Islam harus diterapkan secara
sadar. Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Sabda ini relevan
dalam konteks digital: setiap kata yang kita tulis, setiap gambar yang kita
sebarkan, setiap opini yang kita bagikan—semuanya adalah jejak
eksistensial dan tanggung jawab moral. Dunia maya mungkin tidak
memiliki hakim, tetapi Allah tetap menjadi saksi.
Tanggung jawab
eksistensial pemuda Muslim di era digital adalah menegakkan adab
komunikasi:
·                    
Menggunakan kebebasan
berbicara untuk menyebarkan kebenaran dan kebaikan.
·                    
Menolak hoaks, ujaran
kebencian, dan fitnah yang merusak martabat manusia.
·                    
Menggunakan teknologi untuk
ta’dib (pendidikan jiwa), bukan untuk tasyabbuh (peniruan
tanpa makna).
Dalam makna ini,
etika digital bukan sekadar sopan santun daring, tetapi ibadah
intelektual dan moral—pengamalan tauhid dalam ruang komunikasi
modern.
7.3.      
Jihad Intelektual di Dunia Digital
Di era klasik,
pemuda berjihad dengan pena dan pedang; di era kini, jihad pemuda adalah jihad
intelektual dan digital. Dunia maya menjadi medan baru
perjuangan ide, nilai, dan kebenaran. Informasi yang salah dapat menyesatkan
jutaan pikiran, sementara satu gagasan yang benar dapat menginspirasi perubahan
global.
Pemuda Islam
dituntut menjadi mujahid pengetahuan—yang berjuang
melawan kebodohan, disinformasi, dan ketidakadilan dengan ilmu dan integritas.
Al-Qur’an mengajarkan:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39] ayat 9).
Ayat ini menjadi
panggilan bagi generasi digital untuk tidak menjadi konsumen pasif informasi,
tetapi pengolah
makna dan penggerak perubahan. Menguasai teknologi adalah
keharusan, tetapi menguasai diri dalam menggunakannya adalah kemuliaan.
7.4.      
Krisis Makna dan Kebutuhan akan Spiritualitas
Teknologi modern
sering mengubah cara kita berinteraksi, tetapi tidak selalu memberi jawaban
bagi pertanyaan terdalam manusia: Siapa aku? Untuk apa aku hidup? Ke mana aku
menuju? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti dari filsafat
eksistensial dan ajaran Islam.
Dalam dunia yang
serba cepat dan dangkal, spiritualitas menjadi jangkar eksistensi. Dzikir,
tafakur, dan ibadah bukanlah pelarian dari dunia digital, melainkan cara
untuk meneguhkan makna dalam dunia yang cair. Pemuda yang
beriman tidak menolak teknologi, tetapi menaklukkannya dengan kesadaran: bahwa
setiap inovasi harus berakar pada nilai ilahiah dan kemaslahatan umat.
Maka, di tengah
derasnya algoritma dan kecerdasan buatan, pemuda beriman harus menjadi penjaga
“kecerdasan ruhani.” Sebab kemajuan tanpa kesadaran akan Tuhan hanyalah mempercepat
kehancuran.
7.5.      
Etika Tauhid dan Tanggung Jawab Global
Era digital
menjadikan dunia satu ruang bersama; batas negara menjadi kabur, dan umat
manusia hidup dalam interkoneksi universal. Dalam konteks ini, tauhid
bukan hanya prinsip teologis, tetapi juga fondasi etika global.
Pemuda Islam harus
menanamkan kesadaran bahwa seluruh ciptaan adalah satu kesatuan yang saling
bergantung. Apa yang dilakukan di satu sudut dunia digital dapat berdampak pada
moral, sosial, dan ekologis di tempat lain. Kesadaran ini menuntut tanggung jawab:
untuk menebar kebaikan lintas batas, menghormati keberagaman, dan menjadikan
teknologi sebagai alat pemersatu, bukan pemecah.
Saudara-saudaraku,
Era digital bukanlah
ancaman, melainkan ladang ujian bagi kesadaran eksistensial dan
religius kita. Pemuda yang hanya menikmati teknologi tanpa
refleksi akan tenggelam dalam arusnya; tetapi pemuda yang menggunakannya dengan
iman, ilmu, dan akhlak akan menjadi pelita zaman.
Karena itu, marilah
kita jadikan dunia digital sebagai ruang dakwah dan peradaban—tempat
di mana iman berjumpa dengan inovasi, dan kebebasan berpadu dengan tanggung
jawab.
Pemuda Islam di era
digital harus berani berkata:
“Aku ada di dunia maya, tetapi aku tidak maya
dalam keberadaanku.”
“Aku hadir di ruang digital, tetapi imanku tetap
menjadi arahku.”
Inilah wajah baru
pemuda eksistensial religius: berjiwa bebas, berpikir kritis, beriman teguh,
dan bertanggung jawab terhadap dunia yang ia ciptakan sendiri.
8.          
Seruan
dan Ajakan
Saudara-saudaraku,
para pemuda dan pemudi Indonesia,
Telah kita dengarkan
gema sejarah yang memanggil dari masa lalu; telah kita renungi makna
eksistensial dari Sumpah Pemuda; telah kita sadari pula tantangan besar yang
menanti di hadapan kita — zaman digital, globalisasi, krisis moral, dan
kegamangan makna. Kini tibalah saatnya kita menjawab panggilan itu.
Sebab sejarah tidak
menunggu mereka yang ragu, dan masa depan tidak akan lahir dari mereka yang
diam. Seperti para pemuda tahun 1928 yang berani menyatakan “Kami putra dan
putri Indonesia,” maka kini kita harus berani menyatakan ulang dengan kesadaran
baru:
“Kami adalah pemuda yang beriman,
berpikir, dan bertanggung jawab atas eksistensi kami di hadapan Tuhan dan
bangsa.”
8.1.      
Seruan untuk Menyadari Kembali Makna Kebebasan
Kebebasan bukan
berarti hidup tanpa arah, tetapi kemampuan untuk memilih jalan yang benar.
Dunia menawarkan seribu kemungkinan, tetapi hanya iman yang memberi arah. Maka,
jadilah pemuda yang bebas dalam berpikir, tetapi tetap tunduk pada nilai-nilai
ilahiah. Jadilah pemuda yang merdeka dalam bertindak, tetapi sadar bahwa setiap
tindakan adalah amanah.
Kita harus menolak
dua ekstrem: ketertundukan yang membunuh kreativitas, dan kebebasan yang
meniadakan moralitas. Islam mengajarkan keseimbangan — antara akal dan
wahyu, kebebasan dan tanggung jawab, eksistensi dan iman. Inilah
kebebasan yang sejati: kebebasan yang berakar pada tauhid.
8.2.      
Seruan untuk Menghidupkan Kembali Ikrar Sumpah
Pemuda
Saudara-saudaraku,
Sumpah Pemuda bukan
hanya teks sejarah yang kita baca setiap 28 Oktober. Ia adalah perjanjian
eksistensial antara manusia dengan Tuhannya, antara individu
dengan bangsanya. Maka, mari kita hidupkan kembali tiga ikrar itu dalam konteks
hari ini:
·                    
Satu Nusa —
berarti menjaga bumi Indonesia dari kerakusan, perpecahan, dan kerusakan moral.
·                    
Satu Bangsa —
berarti memperkuat solidaritas, menolak kebencian, dan memperjuangkan keadilan
sosial.
·                    
Satu Bahasa —
berarti menuturkan kata-kata yang membangun, bukan yang memecah; menyebarkan
kebenaran, bukan kebohongan.
Sumpah itu bukan
sekadar diucapkan, tetapi harus dihidupkan dalam kesadaran, diwujudkan dalam
tindakan, dan dibuktikan dalam tanggung jawab moral.
8.3.      
Seruan untuk Menjadi Pemuda
Eksistensial-Religius
Pemuda sejati
bukanlah yang hanya kuat secara fisik, tetapi yang tangguh
dalam makna. Ia tidak sekadar mengejar keberhasilan duniawi,
tetapi juga kesempurnaan jiwa. Ia berani menatap dunia, tetapi tidak buta
terhadap akhirat.
Pemuda
eksistensial-religius adalah ia yang hidup dengan kesadaran:
“Aku ada karena Allah, aku hidup untuk sesama,
dan aku bertanggung jawab atas setiap detik keberadaanku.”
Ia berpikir kritis
tanpa kehilangan keimanan; ia beriman tanpa menutup nalar. Ia menolak menjadi
korban zaman, tetapi memilih menjadi penafsir zaman — menghadirkan nilai-nilai
ilahiah di tengah dunia modern yang sering kehilangan arah.
8.4.      
Seruan untuk Menghadirkan Iman di Tengah
Perubahan
Saudara-saudaraku,
Teknologi akan terus
berubah, dunia akan terus berlari, tetapi iman adalah kompas yang abadi.
Jangan biarkan perubahan membuat kita kehilangan arah. Jadikan ilmu sebagai
pelita, iman sebagai pemandu, dan akhlak sebagai langkah.
Pemuda Islam masa
kini harus menjadi generasi yang bukan hanya melek digital, tetapi juga melek
spiritual. Ia harus mampu menulis di dunia maya dengan kejujuran,
berpikir dalam kesunyian dengan keikhlasan, dan berbuat di dunia nyata dengan
kasih sayang.
Inilah jihad zaman
modern: jihad untuk menjadi manusia yang utuh — berakal
sehat, berhati bening, dan berjiwa beriman.
8.5.      
Ajakan untuk Meneguhkan Kembali Semangat Iman,
Ilmu, dan Cinta Tanah Air
Sumpah Pemuda adalah
panggilan iman, bukan sekadar nasionalisme. Maka mari kita teguhkan:
·                    
Iman yang membimbing akal.
·                    
Ilmu yang mengarahkan tindakan.
·                    
Cinta tanah air yang
memuliakan kemanusiaan.
Kita tidak akan
menjadi bangsa besar tanpa iman, tidak akan menjadi umat yang kuat tanpa ilmu,
dan tidak akan menjadi manusia yang utuh tanpa cinta.
Sebagaimana
Rasulullah Saw membangun peradaban Madinah dengan iman dan ilmu, demikian pula
kita harus membangun Indonesia dengan keteguhan spiritual dan kejernihan intelektual.
Saudara-saudaraku,
Kini saatnya kita
mengikrarkan Sumpah Pemuda Baru — bukan
menggantikan, tetapi menghidupkan semangat lamanya
dalam bahasa zaman ini:
“Kami, pemuda dan pemudi Indonesia, bersumpah
untuk beriman kepada Allah, berjuang dengan ilmu, dan berbakti kepada tanah
air.”
“Kami bersumpah untuk menjaga kebenaran di dunia
nyata maupun dunia maya.”
“Kami bersumpah untuk menjadi manusia yang
merdeka dalam berpikir, bermoral dalam bertindak, dan beriman dalam seluruh
keberadaan kami.”
Saudara-saudaraku,
Inilah saatnya kita
menjadikan Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan, tetapi kesadaran
hidup. Marilah kita kobarkan kembali api itu — api yang
menyalakan akal, menghangatkan hati, dan menerangi jalan bangsa menuju masa
depan yang lebih bermartabat.
Bangkitlah, pemuda Indonesia!
Hiduplah dengan iman, berpikirlah dengan
kebebasan, dan bertindaklah dengan tanggung jawab!
Takbir! Allahu Akbar!
Hidup Pemuda Indonesia!
Hidup semangat Sumpah Pemuda!
9.          
Penutup:
Sumpah yang Dihidupkan
Saudara-saudaraku,
para pemuda dan pemudi Indonesia yang dirahmati Allah,
Telah kita ziarahi
bersama perjalanan panjang makna — dari sejarah menuju kesadaran, dari ikrar
menuju iman, dari kebebasan menuju tanggung jawab. Kini tibalah kita pada saat
paling hening dari setiap perjuangan: saat untuk merenung, menyadari, dan
menghidupkan kembali sumpah itu di dalam diri.
Sebab, Sumpah Pemuda
bukan sekadar peringatan yang diucapkan setahun sekali. Ia adalah roh yang
harus dihembuskan ke dalam nadi setiap generasi. Ia hidup
ketika seorang pemuda menolak menyerah pada keputusasaan; ia menyala ketika
seorang pemudi menegakkan kebenaran di tengah godaan kemunafikan; ia bangkit
ketika ada satu jiwa yang berkata, “Aku beriman, aku bertanggung jawab, dan aku
akan berjuang.”
9.1.      
Sumpah sebagai Ziarah Spiritual Bangsa
Sumpah Pemuda adalah
ziarah
spiritual bangsa — perjalanan kesadaran kolektif menuju makna
keberadaan. Ia lahir dari iman yang menyala dalam dada para pemuda 1928, iman
bahwa persatuan bukanlah ide, tetapi amanah Tuhan. Ketika mereka bersatu atas
nama satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, mereka sesungguhnya sedang meneguhkan
syahadat kebangsaan: bahwa Indonesia ada bukan karena kebetulan, tetapi karena
kehendak dan rahmat Allah.
Maka, mengingat
Sumpah Pemuda adalah ibadah intelektual sekaligus spiritual. Ia mengajak kita
untuk bersujud di hadapan sejarah — bukan untuk memuja masa lalu, melainkan
untuk memetik
nyala iman dari para pendahulu.
9.2.      
Menghidupkan Kembali Api Kesadaran
Saudara-saudaraku,
Api Sumpah Pemuda
tidak akan padam, kecuali jika kita membiarkannya redup dalam diri kita
sendiri. Dunia boleh berubah, teknologi boleh maju, tetapi panggilan itu tetap
sama: jadilah
manusia yang sadar akan keberadaannya, dan bertanggung jawab atas kebebasannya.
Hari ini, tanggung
jawab itu bukan lagi melawan penjajahan fisik, tetapi melawan
penjajahan batin dan moral. Melawan kemalasan berpikir,
kemunafikan sosial, dan kekosongan spiritual. Kita dituntut untuk menyalakan
kembali semangat reflektif dan iman aktif — untuk menegakkan keadilan,
memperjuangkan kebenaran, dan menumbuhkan kasih sayang di tengah dunia yang
dingin dan tergesa-gesa.
Sumpah Pemuda hanya
akan hidup jika kita menghidupkannya. Ia tidak tinggal di teks, tetapi di
tindakan; tidak sekadar di upacara, tetapi di kesungguhan diri.
9.3.      
Sintesis Eksistensial: Dari “Aku” Menuju “Kita”
dan “Dia”
Dalam makna
terdalamnya, Sumpah Pemuda adalah perjalanan eksistensial — dari aku yang
terpisah, menuju kita yang bersatu, hingga Dia yang
menjadi sumber makna. Inilah puncak kesadaran religius-ekistensial:
bahwa kehidupan baru bernilai ketika manusia sadar akan keterhubungannya dengan
sesama dan dengan Sang Pencipta.
Ketika pemuda
mengucapkan sumpahnya, ia sedang menyatukan “ada”-nya dengan “ada” yang lain —
membangun solidaritas di bumi, sembari meneguhkan pengabdian di langit. Ia
menegaskan bahwa eksistensi manusia sejati bukanlah keberadaan yang egoistik,
melainkan keberadaan yang berakar pada cinta, iman, dan
tanggung jawab.
9.4.      
Seruan Terakhir: Dari Kata ke Laku, dari Ikrar
ke Amal
Saudara-saudaraku,
Kita telah mewarisi
kata-kata agung itu. Kini tugas kita adalah menjadikannya kehidupan. Jangan
biarkan Sumpah Pemuda tinggal sebagai arsip sejarah. Jadikan ia kesadaran
moral yang menuntun langkah dalam belajar, bekerja, berkarya,
dan berjuang.
Hiduplah dengan
semangat mereka yang berani memikul makna. Jadilah pemuda yang memeluk zaman
tanpa kehilangan Tuhan. Jadilah insan yang berpikir modern tetapi berhati
spiritual; yang mencintai bangsanya tanpa melupakan asalnya; yang berjuang di
dunia tanpa melupakan akhiratnya.
Karena di ujung
segala perjalanan, hanya satu yang akan ditanyakan:
“Apa yang kau lakukan dengan kebebasan dan iman
yang telah Aku titipkan kepadamu?”
Maka, sebelum
sejarah menjawabnya untuk kita, marilah kita jawab dengan tindakan, dengan
pengabdian, dan dengan cinta.
Saudara-saudaraku,
Marilah kita akhiri
orasi ini bukan dengan kata perpisahan, tetapi dengan ikrar
pembaruan diri:
“Kami, pemuda dan pemudi Indonesia, bersumpah
untuk menjaga iman dalam hati, akal dalam kepala, dan kejujuran dalam
tindakan.”
“Kami bersumpah untuk menjadi penjaga nilai,
pembangun peradaban, dan pengabdi bagi kemanusiaan.”
“Kami bersumpah bahwa api Sumpah Pemuda akan
terus hidup — di dada kami, di karya kami, dan di sejarah bangsa kami.”
Bangkitlah, wahai pemuda Indonesia!
Hiduplah dengan iman yang menyala, berpikirlah
dengan kebebasan yang bertanggung jawab, dan bertindaklah dengan cinta yang
memanusiakan!
Takbir! Allahu Akbar!
Hidup Pemuda Indonesia!
Hidup semangat Sumpah Pemuda!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar