Kamis, 16 Oktober 2025

Standarisasi Mushaf Al-Qur’an di Mesir: Kajian Historis, Filologis, dan Institusional atas Edisi Kairo 1924

Standarisasi Mushaf Al-Qur’an di Mesir

Kajian Historis, Filologis, dan Institusional atas Edisi Kairo 1924


Alihkan ke: Ulumul Qur’an.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif proses penyeragaman Mushaf Al-Qur’an di Mesir yang mencapai puncaknya melalui penerbitan Edisi Kairo 1924, sebuah tonggak penting dalam sejarah percetakan dan standardisasi teks suci Islam modern. Melalui pendekatan historis, filologis, hermeneutis, dan institusional, penelitian ini menelusuri latar belakang sosial-politik Mesir awal abad ke-20 di bawah pemerintahan Raja Fu’ad I, yang bersama ulama Al-Azhar menginisiasi proyek monumental tersebut.

Artikel ini menunjukkan bahwa standarisasi Mushaf Kairo bukan sekadar proyek teknis atau politik, melainkan tindakan epistemologis yang merefleksikan hubungan dinamis antara wahyu, otoritas keilmuan, dan modernitas teknologi. Proses penyusunan dan percetakan yang melibatkan komisi ulama Al-Azhar memperlihatkan kolaborasi antara tradisi rasm ‘Utsmānī, disiplin qirā’at, dan metodologi verifikasi filologis (tahqīq al-nuṣūṣ), menghasilkan mushaf yang sahih, indah, dan ilmiah.

Selain menelusuri konteks sejarah dan peran lembaga-lembaga terkait, artikel ini juga menyoroti dampak global Mushaf Kairo terhadap percetakan Al-Qur’an di dunia Islam, pengaruhnya dalam pendidikan Islam, serta posisinya sebagai basis otoritas teks Qur’ani hingga era digital. Dalam dimensi hermeneutis, Mushaf Kairo dipahami sebagai bentuk ta’wīl fi‘li—penafsiran dalam tindakan—yang meneguhkan kesucian teks melalui materialisasi modernnya.

Dengan demikian, Mushaf Kairo 1924 dapat dilihat sebagai simbol keberhasilan Islam dalam mengharmonikan tradisi spiritual dengan rasionalitas modern. Ia bukan hanya artefak sejarah, tetapi juga paradigma epistemologis Islam modern, yang memastikan kontinuitas wahyu di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi global.

Kata Kunci: Mushaf Kairo 1924; Al-Azhar; Raja Fu’ad I; Filologi Qur’ani; Hermeneutika Islam; Standarisasi teks suci; Modernitas Islam; Percetakan Al-Qur’an; Rasm ‘Utsmānī; Qira’at Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim.


PEMBAHASAN

Standarisasi Mushaf Al-Qur’an di Mesir


1.           Pendahuluan

Penyeragaman Mushaf Al-Qur’an di Mesir melalui penerbitan Edisi Kairo 1924 menandai tonggak penting dalam sejarah filologi dan percetakan teks suci Islam. Peristiwa ini bukan hanya merupakan capaian teknis dalam dunia penerbitan, melainkan juga peristiwa epistemologis dan institusional yang mencerminkan upaya ulama dan otoritas politik untuk menjaga kemurnian teks wahyu di tengah dinamika modernitas. Inisiatif ini muncul pada masa pemerintahan Raja Fu’ad I, di mana Universitas Al-Azhar berperan sebagai lembaga otoritatif dalam memastikan validitas dan keseragaman teks Al-Qur’an yang akan dicetak secara massal. Dengan demikian, Mushaf Kairo 1924 menjadi edisi pertama yang disahkan secara resmi oleh otoritas keagamaan dan politik di dunia Islam modern, sekaligus menjadi model bagi edisi-edisi cetak berikutnya di berbagai negara Muslim.¹

Sebelum proyek ini dilaksanakan, tradisi penyalinan dan percetakan Al-Qur’an di dunia Islam masih memperlihatkan keragaman bentuk, baik dari segi rasm, tanda baca, maupun qirā’at (variasi bacaan yang sahih). Perbedaan tersebut, meskipun diakui secara teologis dalam kerangka qirā’at mutawātirah, telah menimbulkan kesulitan dalam praktik pendidikan dan distribusi mushaf di era modern, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Al-Azhar dan sekolah-sekolah negeri Mesir.² Oleh karena itu, kebutuhan akan satu versi standar yang dapat menjadi acuan universal menjadi semakin mendesak, baik demi kemudahan pedagogis maupun stabilitas teologis.

Proyek penyeragaman mushaf ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks modernisasi Mesir awal abad ke-20, di mana percetakan, pendidikan, dan lembaga keagamaan mulai berinteraksi erat dengan otoritas politik.³ Raja Fu’ad I memandang pentingnya legitimasi religius bagi kekuasaannya, sementara Al-Azhar berusaha mempertahankan otoritas keilmuan di tengah perubahan sosial dan politik yang cepat. Kolaborasi keduanya menghasilkan sebuah mushaf yang tidak hanya memiliki nilai religius dan estetis, tetapi juga simbolik—yakni sebagai representasi otoritas Islam di era modern yang berupaya mengharmonikan tradisi dengan teknologi baru.⁴

Dalam konteks historiografi modern, Edisi Kairo 1924 sering disebut sebagai titik awal bagi “standardisasi teks Al-Qur’an” dalam bentuk cetak.⁵ Namun, istilah “standardisasi” di sini perlu dipahami secara hati-hati: bukan dalam arti penyatuan dogmatis atas seluruh varian qirā’at, melainkan sebagai proses kodifikasi administratif terhadap satu bentuk bacaan yang dipilih—yakni riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim—yang dianggap paling luas digunakan di dunia Islam Sunni.⁶ Proyek ini kemudian memiliki implikasi luas terhadap studi filologi Al-Qur’an modern, pendidikan Islam, dan bahkan terhadap persepsi global mengenai “teks resmi” wahyu Islam.

Dengan demikian, penelitian terhadap Mushaf Kairo 1924 tidak semata-mata merupakan studi sejarah percetakan, tetapi juga analisis mendalam atas interaksi antara otoritas, teks, dan modernitas. Melalui kajian historis, filologis, dan institusional, artikel ini berupaya menelusuri latar belakang, proses, serta dampak dari upaya standarisasi mushaf tersebut, guna memahami bagaimana teks suci dipelihara, disahkan, dan disebarluaskan dalam kerangka epistemologi Islam modern.


Footnotes

[1]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 213–215.

[2]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 179–182.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 152–155.

[4]                Malika Zeghal, “Religion and Politics in Egypt: The Ulema of al-Azhar, Radical Islam, and the State (1952–94),” International Journal of Middle East Studies 31, no. 3 (1999): 371–399.

[5]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 89–91.

[6]                Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 1–30.


2.           Konteks Historis dan Sosio-Politik Mesir Awal Abad ke-20

Awal abad ke-20 merupakan masa transformasi besar bagi Mesir dalam bidang politik, sosial, dan keagamaan. Setelah berada di bawah kekuasaan nominal Kekaisaran Ottoman, Mesir secara de facto berada di bawah kendali kolonial Inggris sejak tahun 1882, meskipun secara formal tetap mempertahankan statusnya sebagai wilayah yang diperintah oleh seorang Khedive dari dinasti Muhammad ‘Ali.¹ Keadaan ini menciptakan ketegangan identitas nasional dan religius yang kompleks: di satu sisi, Mesir terpengaruh oleh modernisasi dan tekanan kolonial Barat; di sisi lain, muncul aspirasi untuk meneguhkan otoritas keagamaan dan budaya Islam sebagai bagian dari gerakan kebangkitan (nahdah).²

Ketika Raja Fu’ad I naik tahta pada tahun 1922, Mesir baru saja memperoleh pengakuan kemerdekaan formal dari Inggris, meskipun dalam praktiknya masih berada dalam pengaruh politik dan ekonomi kolonial.³ Fu’ad berupaya mengonsolidasikan kekuasaannya melalui simbol-simbol keagamaan dan kebudayaan Islam. Dalam konteks ini, Universitas Al-Azhar memainkan peran penting sebagai lembaga keilmuan Islam tertua dan paling berpengaruh di dunia Muslim Sunni.⁴ Hubungan antara monarki dan Al-Azhar pada masa itu bersifat simbiotik: raja membutuhkan legitimasi religius bagi kekuasaannya, sementara Al-Azhar memerlukan dukungan politik dan dana untuk mempertahankan otonomi serta otoritas moralnya di tengah arus sekularisasi dan modernisasi yang semakin kuat.⁵

Dalam bidang pendidikan dan percetakan, Mesir telah menjadi pusat produksi ilmiah Islam sejak akhir abad ke-19. Modernisasi sistem pendidikan Al-Azhar dan berdirinya percetakan-percetakan besar seperti Matba‘at al-Būlāq membuka jalan bagi penyebaran luas karya-karya klasik dan naskah-naskah keagamaan.⁶ Namun, pada saat yang sama, perkembangan ini juga menimbulkan persoalan baru: keragaman mushaf Al-Qur’an yang beredar di berbagai wilayah Mesir menunjukkan variasi dalam rasm (ortografi), tanda baca, dan bacaan (qirā’at). Ketidakseragaman ini menimbulkan kebingungan di kalangan pelajar dan qāri’ (pembaca), terutama di lembaga-lembaga pendidikan yang mulai menggunakan mushaf cetak sebagai bahan ajar utama.⁷

Selain faktor keilmuan, dinamika politik turut mendorong perlunya standardisasi mushaf. Raja Fu’ad I menyadari bahwa penyatuan teks suci dapat berfungsi sebagai simbol persatuan nasional dan stabilitas moral di tengah fragmentasi sosial yang diwariskan oleh kolonialisme.⁸ Proyek penyeragaman ini, yang kemudian melahirkan Edisi Kairo 1924, merupakan manifestasi dari perpaduan antara semangat nasionalisme Islam dan agenda modernisasi birokratis kerajaan. Dengan mengatasnamakan keaslian teks wahyu, negara dan ulama berhasil membangun proyek bersama yang mempertemukan dimensi spiritual dan administratif dalam bentuk mushaf resmi yang diakui secara internasional.⁹

Dengan demikian, konteks historis dan sosio-politik Mesir awal abad ke-20 menunjukkan bahwa penerbitan Mushaf Kairo 1924 bukan sekadar hasil inisiatif keagamaan, tetapi merupakan produk dari suatu konjungtur historis: ketika modernitas kolonial, otoritas keagamaan, dan ambisi politik berinteraksi dalam membentuk ulang cara umat Islam berhubungan dengan teks suci mereka.¹⁰


Footnotes

[1]                Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot, A History of Egypt: From the Arab Conquest to the Present (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 107–109.

[2]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 145–150.

[3]                Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld & Nicolson, 1971), 212–216.

[4]                Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 24–27.

[5]                Jakob Skovgaard-Petersen, Defining Islam for the Egyptian State: Muftis and Fatwas of the Dār al-Iftā (Leiden: Brill, 1997), 39–42.

[6]                Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 39–59.

[7]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 178–180.

[8]                Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 102–105.

[9]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 89–90.

[10]             Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 1–3.


3.           Latar Belakang Filologis dan Qira’at dalam Tradisi Islam

Kajian terhadap latar belakang filologis dan qira’at dalam tradisi Islam merupakan kunci untuk memahami signifikansi proyek standarisasi Mushaf Al-Qur’an di Mesir tahun 1924. Sejak awal pewahyuan, teks Al-Qur’an telah mengalami proses transmisi yang ketat, baik secara lisan (tawātur) maupun tulisan (rasm), di mana setiap varian bacaan yang sahih diterima melalui rantai periwayatan yang dapat diverifikasi.¹ Oleh sebab itu, qira’at bukanlah hasil kesalahan penyalinan atau perbedaan interpretasi, melainkan manifestasi dari fleksibilitas fonetik dan dialektal yang diakomodasi oleh wahyu untuk memudahkan umat dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an.²

Tradisi Islam mengenal sejumlah besar varian qira’at, namun sejak masa klasik, para ulama telah berupaya mengklasifikasikan dan menyeleksi bacaan yang memenuhi syarat keotentikan. Ibn Mujāhid (w. 936 M), seorang ulama qira’at besar di Baghdad, dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menyeleksi tujuh qira’at yang diakui (al-qirā’āt al-sab‘), berdasarkan tiga kriteria utama: kesesuaian dengan rasm ‘Utsmānī, kesahihan sanad, dan kebenaran linguistik Arab.³ Seleksi ini kemudian menjadi acuan dalam pembakuan qira’at di seluruh dunia Islam. Namun, dalam praktiknya, setiap wilayah memiliki kecenderungan memilih satu atau dua riwayat yang paling umum digunakan. Di wilayah Mesir dan sekitarnya, riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim menjadi yang paling dominan karena kemudahannya dan tradisi pengajaran Al-Azhar yang menggunakannya sebagai standar bacaan.⁴

Dari sisi filologis, penulisan mushaf juga mengalami perkembangan signifikan. Rasm ‘Utsmānī sebagai sistem ortografi awal Al-Qur’an mempertahankan sejumlah konvensi ejaan yang tidak sepenuhnya mengikuti tata bahasa Arab standar, misalnya dalam hal penghilangan huruf hidup (alif) atau variasi dalam penulisan hamzah.⁵ Ketika mushaf mulai disalin dan dicetak di berbagai wilayah, variasi dalam rasm dan tanda baca ini sering menimbulkan perbedaan dalam bacaan, bahkan dalam hal makhraj dan tajwīd. Oleh karena itu, kehadiran percetakan modern membawa tantangan baru: bagaimana menjaga kesetiaan terhadap rasm ‘Utsmānī yang tradisional sambil memastikan konsistensi fonetik dan visual dalam format cetak.⁶

Selain masalah ortografi, aspek fonetik dan semiotik dari bacaan Al-Qur’an juga memainkan peran penting dalam disiplin qira’at. Setiap qira’at memiliki sistem penekanan suara, panjang bacaan (madd), dan pola pengucapan yang khas. Dalam konteks pedagogis, keragaman ini sering kali memperkaya pengalaman spiritual dan linguistik umat Islam. Namun, di sisi lain, variasi tersebut dapat menimbulkan kebingungan di kalangan pelajar yang belajar melalui mushaf cetak tanpa guru yang membimbing secara langsung.⁷ Hal inilah yang menjadi salah satu alasan utama ulama Al-Azhar pada awal abad ke-20 untuk mendorong penyeragaman satu bentuk bacaan yang dianggap paling representatif dan mudah diajarkan di lembaga pendidikan Islam modern.

Filologi Qur’ani juga berhubungan dengan upaya menjaga otentisitas wahyu dalam dimensi materialnya. Dalam pandangan klasik Islam, wahyu bukan sekadar makna yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, tetapi juga bunyi dan struktur linguistik yang harus dipelihara secara tepat.⁸ Oleh karena itu, setiap usaha kodifikasi atau percetakan teks suci selalu dipandang sebagai tindakan yang sangat serius dan harus melibatkan otoritas ulama, bukan semata ahli bahasa atau teknisi percetakan. Dalam konteks inilah Mushaf Kairo 1924 memperoleh legitimasi kuat: ia berfungsi sebagai jembatan antara tradisi filologis klasik dengan kebutuhan administratif dan teknologis dunia modern.⁹

Dengan demikian, latar belakang filologis dan qira’at dalam tradisi Islam menunjukkan bahwa proyek standarisasi mushaf tidak dapat dipahami sekadar sebagai tindakan teknis atau politik, melainkan sebagai manifestasi epistemologi Qur’ani yang menyeimbangkan antara keutuhan teks dan adaptasi terhadap konteks historis. Filologi Al-Qur’an bukan hanya disiplin akademis, melainkan juga sarana pemeliharaan spiritual terhadap wahyu yang diwahyukan “bi-lisān ‘arabiyy mubīn” — dalam bahasa Arab yang jelas dan hidup dalam sejarah.¹⁰


Footnotes

[1]                Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an (Leiden: Brill, 1937), 5–7.

[2]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 67–70.

[3]                Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 33–36.

[4]                François Déroche, La transmission écrite du Coran dans les débuts de l’islam: Le codex Parisino-petropolitanus (Leiden: Brill, 2009), 91–93.

[5]                Devin J. Stewart, “Sajʿ in the Qur’an: Prosody and Structure,” Journal of Arabic Literature 21, no. 2 (1990): 103–104.

[6]                Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 41–44.

[7]                Nicolai Sinai, “Orality, Literacy, and the ‘Seven Aḥruf’ Hadith,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 83, no. 1 (2020): 35–38.

[8]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 121–124.

[9]                Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur’an (London: Routledge, 2016), 95–97.

[10]             Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 15–18.


4.           Inisiatif dan Peran Raja Fu’ad I dalam Proyek Standarisasi

Inisiatif penyeragaman Mushaf Al-Qur’an di Mesir pada tahun 1924 tidak dapat dilepaskan dari visi dan kebijakan Raja Fu’ad I (berkuasa 1922–1936), yang berusaha menggabungkan legitimasi politik modern dengan otoritas religius tradisional. Dalam konteks Mesir pasca-proklamasi kemerdekaan formal dari Inggris (1922), Fu’ad I menghadapi kebutuhan untuk memperkuat simbol-simbol kesatuan nasional dan religius guna menstabilkan kekuasaannya di tengah ketegangan sosial dan politik.¹ Upaya menerbitkan edisi resmi Mushaf Al-Qur’an menjadi salah satu proyek simbolik paling strategis dalam memperlihatkan kepemimpinan raja sebagai pelindung agama (ḥāmī al-dīn) sekaligus promotor kemajuan modern.²

Raja Fu’ad I memiliki kesadaran politik yang tajam bahwa Al-Azhar, sebagai pusat otoritas keilmuan dan keagamaan di dunia Islam Sunni, memiliki peran sentral dalam menentukan legitimasi religius kebijakan negara.³ Oleh karena itu, ia membangun hubungan sinergis dengan para ulama Al-Azhar, terutama melalui proyek-proyek yang memperlihatkan perhatian kerajaan terhadap pelestarian warisan Islam klasik. Salah satu langkah pentingnya adalah mendukung pembentukan komisi ulama khusus di bawah supervisi langsung Al-Azhar untuk meninjau, menyeleksi, dan menetapkan teks Al-Qur’an yang akan digunakan sebagai standar resmi dalam percetakan nasional.⁴

Komisi ini terdiri atas para ahli qira’at, filolog, dan kaligrafer yang dipilih secara ketat oleh otoritas Al-Azhar. Di antara tokoh-tokoh penting tersebut terdapat Syekh Muhammad ibn ‘Ali al-Husaini al-Damirdash al-Mahalli (penulis kaligrafi mushaf), Syekh ‘Ali Muhammad al-Dabbā‘ (ahli qira’at), dan sejumlah ulama terkemuka lainnya yang dikenal karena ketelitian filologis dan reputasi akademiknya.⁵ Tugas komisi ini adalah meneliti berbagai varian mushaf yang beredar, menyesuaikannya dengan prinsip rasm ‘Utsmānī, dan memastikan bahwa mushaf yang akan dicetak sesuai dengan riwayat bacaan Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim, yang telah lama menjadi tradisi dominan di Mesir.⁶

Raja Fu’ad I secara pribadi memberikan dukungan finansial dan administratif yang besar terhadap proyek ini. Percetakan dilakukan di Matba‘at al-Amīrīyah (Percetakan Pemerintah) di Būlāq, yang pada saat itu merupakan percetakan paling maju di dunia Arab.⁷ Peralatan modern, termasuk mesin linotype dan sistem koreksi tipografis baru, digunakan untuk memastikan ketepatan visual dan fonetik teks. Setiap tahap percetakan diawasi secara langsung oleh anggota komisi Al-Azhar untuk mencegah kesalahan yang mungkin timbul akibat proses mekanis. Setelah selesai, mushaf tersebut diserahkan kembali kepada Raja Fu’ad I untuk mendapatkan persetujuan dan tanda tangan simbolis sebelum diterbitkan secara resmi.⁸

Selain aspek religius dan teknis, proyek ini juga memiliki dimensi politik yang kuat. Melalui penerbitan Edisi Kairo 1924, Fu’ad I berhasil menampilkan dirinya sebagai pemimpin Muslim modern yang berkomitmen pada pelestarian wahyu Islam di tengah perubahan zaman.⁹ Tindakan ini memperkuat posisinya di mata rakyat Mesir dan dunia Islam, sekaligus menegaskan klaim Mesir sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Islam yang sah. Dalam pengertian yang lebih luas, inisiatif Raja Fu’ad I tidak hanya melahirkan mushaf cetak pertama yang diakui secara resmi, tetapi juga membentuk model relasi baru antara negara modern dan otoritas keagamaan, di mana teks suci menjadi medan kolaborasi antara kekuasaan politik dan epistemologi keagamaan.¹⁰

Dengan demikian, peran Raja Fu’ad I dalam proyek standarisasi mushaf dapat dipahami sebagai wujud integrasi antara kekuasaan simbolik dan rasionalitas administrasi modern. Ia tidak hanya memfasilitasi lahirnya teks Al-Qur’an yang seragam secara teknis, tetapi juga memperkokoh posisi Mesir sebagai penjaga utama tradisi Qur’ani dalam dunia Islam modern.


Footnotes

[1]                Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld & Nicolson, 1971), 217–220.

[2]                Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 31–33.

[3]                Jakob Skovgaard-Petersen, Defining Islam for the Egyptian State: Muftis and Fatwas of the Dār al-Iftā (Leiden: Brill, 1997), 44–47.

[4]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 92–93.

[5]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 182–184.

[6]                Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 36–38.

[7]                Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 45–47.

[8]                Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 5–7.

[9]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 154–156.

[10]             Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 106–108.


5.           Peran Ulama Al-Azhar dan Proses Editorial Mushaf

Keberhasilan proyek standarisasi Mushaf Al-Qur’an Edisi Kairo 1924 tidak terlepas dari peran sentral ulama Al-Azhar sebagai otoritas keilmuan yang mengawasi secara ketat seluruh tahapan penyusunan, penyalinan, dan pencetakan mushaf. Dalam tradisi Islam, Al-Azhar memiliki reputasi sebagai lembaga yang menjaga kesinambungan keilmuan (isnād) dan validitas teks-teks suci melalui metodologi ilmiah yang berbasis pada transmisi dan verifikasi.¹ Oleh karena itu, keterlibatan para ulama Al-Azhar dalam proyek ini memberikan legitimasi religius sekaligus memastikan bahwa setiap huruf, harakat, dan tanda baca dalam mushaf dicetak sesuai dengan standar yang telah disepakati secara teologis dan filologis.²

Raja Fu’ad I, setelah menyetujui pembentukan komisi penyusun, menyerahkan pengawasan langsung kepada Al-Azhar.³ Komisi tersebut dipimpin oleh sejumlah ulama besar qira’at dan ahli bahasa, di antaranya Syekh al-Maqāri’īn (Ketua Qira’at), Syekh ‘Ali Muhammad al-Dabbā‘, dan kaligrafer terkemuka Syekh Muhammad ibn ‘Ali al-Husaini al-Damirdash al-Mahalli.⁴ Mereka bertugas meneliti berbagai naskah dan mushaf yang beredar di Mesir dan wilayah Islam lainnya, untuk kemudian membandingkannya dengan sumber-sumber klasik dalam ilmu qira’at dan rasm ‘Utsmānī.

Langkah pertama yang dilakukan oleh komisi adalah penetapan riwayat bacaan yang akan dijadikan dasar mushaf. Setelah melalui diskusi panjang, disepakati bahwa yang digunakan adalah riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim, karena merupakan bacaan yang paling umum di Mesir dan banyak wilayah Islam Timur.⁵ Pemilihan ini juga didasarkan pada pertimbangan pedagogis: riwayat Ḥafṣ dianggap paling mudah untuk diajarkan dan memiliki tradisi oral yang paling konsisten di lembaga-lembaga tahfidz dan pendidikan Al-Azhar.⁶

Tahap berikutnya adalah verifikasi filologis dan ortografis terhadap seluruh teks mushaf. Para ulama Al-Azhar meneliti kesesuaian rasm (tulisan) dengan aturan ‘Utsmānī yang diwariskan dari masa khalifah ketiga, serta memastikan bahwa tanda baca, titik, dan harakat ditulis sesuai dengan prinsip ilmu dabt al-Qur’ān yang telah dikodifikasi sejak abad pertengahan.⁷ Setiap halaman mushaf ditelaah secara berulang dan dibandingkan dengan manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di perpustakaan Al-Azhar dan Dar al-Kutub al-Miṣriyyah. Proses koreksi dilakukan secara berlapis: pertama oleh tim penulis dan kaligrafer, kemudian diverifikasi oleh komisi ulama qira’at, dan akhirnya disahkan oleh Syekh al-Azhar sebagai bentuk pengakuan resmi.⁸

Dalam proses percetakan, ulama Al-Azhar juga berperan sebagai penjaga integritas tipografis. Mereka mendampingi teknisi percetakan Matba‘at al-Amīriyyah untuk memastikan bahwa setiap huruf tercetak dengan benar, tanpa cacat bentuk atau pergeseran fonetik yang dapat memengaruhi makna.⁹ Setiap lembar yang selesai dicetak diuji bacanya (tahqīq al-tilāwah) secara lisan oleh para qāri’ senior Al-Azhar, sehingga proses validasi tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga oral, sesuai tradisi transmisi Qur’ani.¹⁰

Menarik untuk dicatat bahwa dalam komisi ini terdapat perdebatan internal di kalangan ulama terkait penerapan tanda baca modern (tashkīl) dan sistem numerasi ayat. Sebagian ulama konservatif menolak perubahan kecil pada tanda waqf dan sajdah, karena dianggap menyimpang dari mushaf klasik.¹¹ Namun, mayoritas anggota komisi berpendapat bahwa perubahan tersebut bersifat teknis dan tidak memengaruhi aspek teologis teks, melainkan justru memudahkan pembaca awam memahami struktur dan intonasi bacaan.¹² Keputusan akhirnya adalah mempertahankan sistem klasik rasm ‘Utsmānī dengan penyesuaian minimal pada tashkīl dan tanda baca untuk tujuan pedagogis.

Proses editorial Mushaf Kairo 1924 ini berlangsung dengan disiplin ilmiah yang luar biasa dan menjadi preseden penting dalam sejarah percetakan teks suci Islam.¹³ Dengan pengawasan ketat Al-Azhar, mushaf tersebut tidak hanya menjadi standar filologis, tetapi juga simbol konsensus epistemik antara tradisi lisan dan tulisan. Dalam perspektif sejarah ilmu Qur’an, peran ulama Al-Azhar dalam proyek ini memperlihatkan bahwa otoritas keagamaan dan teknologi modern dapat bersinergi untuk menjaga keotentikan teks wahyu tanpa kehilangan sakralitasnya.¹⁴


Footnotes

[1]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 210–213.

[2]                François Déroche, La transmission écrite du Coran dans les débuts de l’islam: Le codex Parisino-petropolitanus (Leiden: Brill, 2009), 115–118.

[3]                Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld & Nicolson, 1971), 219–220.

[4]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 94–95.

[5]                Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 36–37.

[6]                Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 7–9.

[7]                Devin J. Stewart, “Sajʿ in the Qur’an: Prosody and Structure,” Journal of Arabic Literature 21, no. 2 (1990): 101–103.

[8]                Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 48–51.

[9]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 185–187.

[10]             Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 34–36.

[11]             Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 23–24.

[12]             Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 109–111.

[13]             François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 29–32.

[14]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 125–127.


6.           Proses Percetakan dan Distribusi Edisi Kairo 1924

Proses percetakan Mushaf Kairo 1924 merupakan momen monumental dalam sejarah materialisasi teks suci Islam. Ia menandai peralihan penting dari tradisi manuskrip (naskh al-yadawī) menuju teknologi cetak modern yang diatur dan disupervisi langsung oleh lembaga keagamaan tertinggi, Al-Azhar, dengan dukungan penuh dari kerajaan Mesir di bawah Raja Fu’ad I.¹ Penerbitan ini dilakukan di Matba‘at al-Amīriyyah, atau Percetakan Pemerintah Mesir di Būlāq, yang telah lama dikenal sebagai pusat percetakan paling maju di dunia Arab sejak abad ke-19.²

6.1.       Infrastruktur Percetakan dan Teknologi Tipografi

Percetakan Mushaf Kairo 1924 menggunakan mesin linotype dan teknologi tipografi logam yang memungkinkan pencetakan huruf Arab dengan presisi tinggi.³ Meskipun teknologi ini awalnya dikembangkan untuk bahasa Latin, insinyur Mesir berhasil memodifikasinya agar sesuai dengan kompleksitas huruf Arab, terutama dalam konteks Al-Qur’an yang membutuhkan akurasi tinggi dalam tanda baca (tashkīl) dan sistem waqf.⁴ Setiap halaman mushaf dirancang dengan tata letak yang seimbang antara keindahan kaligrafi dan keterbacaan, mengikuti prinsip estetika Islam yang menekankan harmoni antara bentuk dan makna.

Kaligrafi mushaf ditulis tangan terlebih dahulu oleh Syekh Muhammad ibn ‘Ali al-Husaini al-Damirdash al-Mahalli, seorang kaligrafer terkemuka Al-Azhar.⁵ Naskah kaligrafi tersebut kemudian difoto dan direproduksi menjadi pelat logam untuk proses pencetakan massal. Proses ini menggabungkan keahlian tradisional (khatt Qur’ani) dengan teknologi modern dalam cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya di dunia Islam. Sebelum setiap pelat digunakan, dilakukan proses verifikasi oleh para qāri’ dan ulama Al-Azhar guna memastikan tidak ada kesalahan dalam satu huruf pun, karena setiap kekeliruan tipografis dapat berdampak teologis dan filologis serius.⁶

6.2.       Standarisasi Tipografi dan Ortografi

Salah satu pencapaian penting dari Edisi Kairo 1924 adalah penerapan sistem tipografi dan ortografi yang terstandar. Komisi ulama menetapkan format baku untuk jumlah baris per halaman (15 baris), ukuran teks, sistem tanda ayat, serta pembagian juz, hizb, dan rub‘ al-hizb.⁷ Selain itu, sistem tashkīl dan waqf diperbarui dengan penyesuaian minimal untuk meningkatkan keterbacaan bagi pembaca awam tanpa mengubah substansi bacaan.⁸ Misalnya, tanda saktah, wasl, dan madd dicetak dengan tinta yang sedikit berbeda untuk membedakan fungsi fonetik dan tata bahasa. Dengan demikian, Mushaf Kairo tidak hanya menjadi teks yang sahih secara teologis, tetapi juga menjadi karya tipografi Qur’ani paling presisi dan terindeks dalam sejarah modern.

Dalam proses ini, percetakan juga harus menyesuaikan antara keindahan visual dan ketepatan fonetik. Huruf-huruf seperti ṣād, ḍād, ṭā’, dan ẓā’ dicetak dengan bentuk kaligrafis khas Kufik-Naskhi yang menonjolkan simetri dan ketegasan bentuk.⁹ Proses koreksi dilakukan berlapis: setiap halaman diperiksa oleh kaligrafer, diverifikasi oleh ahli qira’at, kemudian disahkan secara resmi oleh Syekh al-Azhar sebelum dicetak massal.¹⁰

6.3.       Publikasi dan Distribusi Internasional

Setelah percetakan selesai, mushaf pertama diserahkan secara simbolis kepada Raja Fu’ad I dan Syekh al-Azhar sebagai tanda pengesahan resmi.¹¹ Distribusi pertama dilakukan di seluruh Mesir, terutama ke sekolah-sekolah Al-Azhar, masjid-masjid besar, dan lembaga pendidikan Islam. Pemerintah Mesir juga mengirimkan sejumlah salinan ke berbagai negara Islam, seperti Hijaz (Arab Saudi), Sudan, Suriah, dan India, sebagai bagian dari diplomasi budaya dan keagamaan.¹²

Penerimaan terhadap Edisi Kairo 1924 sangat luas. Di banyak wilayah Islam, terutama Afrika Utara dan Asia Selatan, mushaf ini segera dijadikan rujukan utama dalam sistem pendidikan Al-Qur’an.¹³ Bahkan di Turki dan dunia Melayu, di mana sebelumnya digunakan mushaf cetak Istanbul dan Bombay, Edisi Kairo secara bertahap menggantikan versi-versi tersebut karena reputasi keilmiahan dan legitimasi Al-Azhar.¹⁴ Keberhasilan distribusi ini juga diperkuat oleh teknologi percetakan modern yang memungkinkan replikasi cepat dan murah tanpa menurunkan kualitas keakuratan teks.


Signifikansi Historis dan Tekstual

Proses percetakan dan distribusi Mushaf Kairo 1924 bukan hanya peristiwa teknis, melainkan tonggak epistemologis dalam sejarah teks Qur’ani modern. Untuk pertama kalinya, sebuah lembaga Islam resmi mengintegrasikan tradisi tahqīq (verifikasi ilmiah teks) dengan teknologi industri.¹⁵ Standarisasi ini menciptakan bentuk material teks Al-Qur’an yang kemudian menjadi acuan bagi mushaf cetak internasional, termasuk edisi-edisi berikutnya yang diterbitkan di Madinah (1985) dan Istanbul (1989).¹⁶

Dengan demikian, Mushaf Kairo 1924 bukan sekadar dokumen religius, melainkan simbol keberhasilan modernisasi Islam berbasis tradisi, di mana ulama dan teknologi berkolaborasi untuk melestarikan wahyu dalam bentuk yang paling sahih, indah, dan universal.¹⁷


Footnotes

[1]                Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 38–39.

[2]                Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 39–41.

[3]                Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld & Nicolson, 1971), 223–225.

[4]                Devin J. Stewart, “Arabic Script and the Challenges of Printing the Qur’an,” Journal of Islamic Manuscripts 6, no. 2 (2015): 145–148.

[5]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 186–188.

[6]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 97–99.

[7]                Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 9–12.

[8]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 217–219.

[9]                François Déroche, La transmission écrite du Coran dans les débuts de l’islam: Le codex Parisino-petropolitanus (Leiden: Brill, 2009), 119–121.

[10]             Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 46–48.

[11]             Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam, 40–42.

[12]             Peter Mandaville, Transnational Muslim Politics: Reimagining the Umma (London: Routledge, 2001), 77–79.

[13]             François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 33–36.

[14]             Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 312–314.

[15]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 128–130.

[16]             Andrew Rippin, The Qur’an and Its Interpretative Tradition (Aldershot: Ashgate, 2001), 95–97.

[17]             Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 112–114.


7.           Dampak dan Pengaruh terhadap Dunia Islam

Penerbitan Mushaf Kairo 1924 membawa dampak yang luar biasa terhadap perkembangan filologi Qur’ani, pendidikan Islam, dan otoritas keagamaan di dunia Islam modern. Ia tidak hanya menjadi tonggak sejarah percetakan mushaf yang paling otentik dan sistematis, tetapi juga menjadi model epistemologis dan simbol legitimasi keagamaan bagi umat Islam di berbagai wilayah.¹ Sejak awal distribusinya, mushaf ini segera memperoleh pengakuan luas karena keterlibatan langsung Al-Azhar dalam proses penyusunan dan pengesahan, menjadikannya mushaf pertama dalam sejarah Islam yang memiliki legitimasi institusional, teologis, dan politik secara bersamaan.²

7.1.       Pengaruh terhadap Standardisasi Mushaf Global

Salah satu dampak utama dari Mushaf Kairo adalah terciptanya standar global bagi teks cetak Al-Qur’an.³ Sebelum 1924, dunia Islam mengenal beragam edisi mushaf yang bervariasi dalam rasm, tanda baca, dan sistem tashkīl. Percetakan Istanbul (1874) dan Bombay (1890-an) misalnya, telah menghasilkan mushaf-mushaf populer di kalangan umat Islam, tetapi belum memiliki satu otoritas keagamaan tunggal yang menyetujuinya.⁴ Setelah edisi Kairo diterbitkan, mushaf tersebut menjadi rujukan utama dalam percetakan Al-Qur’an di banyak negara Muslim, termasuk Arab Saudi, Suriah, India, Pakistan, dan Indonesia.⁵

Di Arab Saudi, misalnya, proyek Mushaf Madinah yang diterbitkan oleh Majma‘ al-Malik Fahd pada tahun 1985 secara eksplisit mengacu pada Mushaf Kairo 1924 sebagai basis filologisnya, terutama dalam aspek ortografi dan sistem penulisan ayat.⁶ Demikian pula, percetakan Al-Qur’an di Turki dan Pakistan mengadopsi format Kairo dalam pembagian halaman, jumlah baris, serta struktur tanda baca. Pengaruh ini menciptakan keseragaman internasional dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an yang sebelumnya belum pernah dicapai dalam sejarah Islam modern.⁷

7.2.       Dampak terhadap Pendidikan dan Hafalan Al-Qur’an

Di bidang pendidikan Islam, Mushaf Kairo 1924 membawa revolusi pedagogis dalam metode pengajaran dan hafalan Al-Qur’an.⁸ Sebelum standarisasi ini, perbedaan dalam qira’at dan tanda baca sering menimbulkan kebingungan di kalangan pelajar, terutama di lembaga pendidikan yang tidak memiliki pengajar bersanad langsung. Setelah edisi Kairo diterbitkan, Al-Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan di dunia Islam mulai menggunakan mushaf ini sebagai rujukan utama dalam kurikulum tahfidz dan tajwid.⁹

Dengan konsistensi ortografi dan struktur halaman yang seragam, metode hafalan menjadi lebih mudah karena pelajar di seluruh dunia mengacu pada format mushaf yang sama.¹⁰ Fenomena ini memperkuat kesatuan liturgis dalam ibadah dan pembacaan Al-Qur’an di berbagai mazhab Islam Sunni, tanpa menghapus keberagaman qira’at yang sahih. Dalam konteks ini, Mushaf Kairo menjadi simbol persatuan epistemik dunia Islam melalui teks wahyu yang seragam dalam bentuk materialnya, meskipun tetap plural dalam tradisi bacaan.¹¹

7.3.       Pengaruh terhadap Studi Filologi dan Kritik Teks Modern

Dari perspektif akademik, Mushaf Kairo 1924 juga menjadi titik rujukan utama bagi studi filologi Qur’ani modern. Para orientalis dan filolog Barat seperti Arthur Jeffery, Régis Blachère, dan François Déroche menggunakan edisi ini sebagai base text dalam penelitian komparatif terhadap manuskrip-manuskrip Qur’an awal.¹² Meskipun beberapa sarjana Barat mengkritik upaya standardisasi ini karena dianggap menghapus keragaman historis teks, sebagian besar ilmuwan Muslim justru memandangnya sebagai pencapaian monumental dalam konservasi wahyu.¹³

Dalam konteks ini, Mushaf Kairo menjadi medan pertemuan antara tradisi Islam dan studi akademik modern. Ia memperlihatkan bagaimana ilmu qirā’at, rasm ‘Utsmānī, dan ‘ulūm al-Qur’ān dapat dikaji dengan pendekatan ilmiah tanpa menanggalkan aspek spiritual dan sakralitas teks.¹⁴ Bahkan hingga kini, Mushaf Kairo 1924 menjadi sumber rujukan utama bagi lembaga-lembaga penelitian Qur’an internasional seperti Dar al-Ifta al-Misriyyah, Majma‘ al-Malik Fahd, dan Institut du Monde Arabe di Paris.¹⁵

7.4.       Dimensi Politik dan Kultural

Selain pengaruh keilmuan, penerbitan Mushaf Kairo 1924 juga memiliki dimensi politik dan kultural yang luas. Mesir, melalui proyek ini, berhasil meneguhkan posisinya sebagai pusat otoritas Islam internasional pada era modern.¹⁶ Dalam konteks geopolitik Islam pasca-Khilafah Utsmaniyah, edisi ini berfungsi sebagai instrumen diplomasi religius yang memperkuat klaim Mesir atas kepemimpinan kultural dan spiritual dunia Islam.¹⁷ Dengan menyebarkan mushaf yang diakui oleh Al-Azhar, Mesir tidak hanya mengekspor teks suci, tetapi juga mengekspor otoritas keagamaannya.

Penyebaran mushaf ini juga mempengaruhi produksi dan estetika mushaf di berbagai wilayah Muslim. Di Asia Tenggara, misalnya, mushaf terbitan Indonesia dan Malaysia sejak pertengahan abad ke-20 meniru tata letak dan sistem tashkīl Mushaf Kairo, bahkan dalam penggunaan ornamen geometris dan iluminasi halaman.¹⁸ Hal ini menunjukkan bahwa Mushaf Kairo bukan hanya teks religius, tetapi juga artefak budaya global yang memengaruhi estetika Islam lintas bangsa.¹⁹


Kesimpulan Sementara

Secara keseluruhan, dampak Mushaf Kairo 1924 melampaui ranah percetakan dan teks. Ia meneguhkan Al-Qur’an sebagai teks yang mampu bertahan dalam transformasi teknologi dan geopolitik modern, tanpa kehilangan otoritas teologisnya. Proyek ini membentuk sintesis antara tradisi keagamaan dan modernitas teknologis, menjadikan teks suci Islam bukan hanya simbol iman, tetapi juga simbol peradaban yang mampu beradaptasi dengan zaman.²⁰


Footnotes

[1]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 190–193.

[2]                Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 44–45.

[3]                Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 12–14.

[4]                Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 49–51.

[5]                Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 115–117.

[6]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 130–131.

[7]                Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 38–40.

[8]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 221–223.

[9]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 100–102.

[10]             François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 33–35.

[11]             Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 26–27.

[12]             Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an (Leiden: Brill, 1937), 15–18.

[13]             Régis Blachère, Introduction au Coran (Paris: G.P. Maisonneuve, 1959), 99–101.

[14]             Andrew Rippin, The Qur’an and Its Interpretative Tradition (Aldershot: Ashgate, 2001), 97–99.

[15]             Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” 15–17.

[16]             Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 160–162.

[17]             Peter Mandaville, Transnational Muslim Politics: Reimagining the Umma (London: Routledge, 2001), 80–83.

[18]             Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 315–317.

[19]             Iik Arifin Mansurnoor, “The Transmission of Qur’anic Orthography to the Malay World,” Studia Islamika 5, no. 3 (1998): 65–67.

[20]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 134–136.


8.           Kritik dan Kontroversi Akademik

Meskipun Mushaf Kairo 1924 dianggap sebagai pencapaian monumental dalam sejarah tekstual Al-Qur’an, proyek standarisasi ini tidak luput dari kritik dan perdebatan akademik. Kritik tersebut datang dari dua arah utama: pertama, dari kalangan orientalis dan filolog Barat, yang mempertanyakan implikasi historis dan tekstual dari upaya standardisasi; kedua, dari sebagian ulama dan intelektual Muslim, yang menyoroti aspek ideologis dan politik di balik keterlibatan negara dalam urusan keagamaan.¹

8.1.       Kritik Filologis dan Orientalis Barat

Para sarjana Barat seperti Arthur Jeffery, John Wansbrough, dan Régis Blachère memandang Edisi Kairo 1924 sebagai bentuk kanonisasi institusional yang menutupi keragaman tradisi tekstual Al-Qur’an yang sebelumnya eksis.² Jeffery, dalam karya monumentalnya Materials for the History of the Text of the Qur’an, menegaskan bahwa edisi ini menghapus keberagaman ortografi dan varian bacaan (qirā’āt shādhah) yang sebenarnya menjadi bagian dari sejarah perkembangan naskah.³ Menurutnya, standardisasi tersebut lebih merupakan tindakan administratif daripada refleksi autentik dari sejarah pewarisan teks.⁴

Kritik serupa dikemukakan oleh John Wansbrough, yang memandang proyek Mushaf Kairo sebagai bukti dari proses textual closure—yakni penutupan ruang interpretasi tekstual yang sebelumnya terbuka dalam tradisi tafsir dan qira’at.⁵ Dalam kerangka teori scripturalization, ia berargumen bahwa modernisasi percetakan telah memaksa teks wahyu untuk menyesuaikan diri dengan paradigma modern tentang “teks final”, yang secara historis asing bagi tradisi Islam yang bersifat lisan dan pluriform.⁶ Dengan demikian, menurut sebagian filolog Barat, Mushaf Kairo 1924 menandai transisi dari oral scripture menuju printed scripture, yang membawa implikasi epistemologis signifikan terhadap cara umat Islam memahami wahyu.⁷

Namun, kritik ini tidak lepas dari bias epistemologis kolonial. Banyak sarjana Muslim menilai bahwa pandangan orientalis cenderung mengabaikan dimensi spiritual dan teologis dari teks wahyu, serta peran aktif ulama dalam menjaga transmisi Al-Qur’an secara ilmiah dan berkesinambungan.⁸ Dalam konteks ini, Mushaf Kairo justru dipandang bukan sebagai bentuk “penyempitan”, melainkan sebagai penegasan otoritas sanad dalam format modern yang sesuai dengan tuntutan zaman.⁹

8.2.       Kritik Intelektual Muslim dan Isu Politik Keagamaan

Dari kalangan intelektual Muslim sendiri, kritik terhadap proyek ini umumnya berkisar pada dimensi politik dan ideologis. Sebagian ulama kontemporer, seperti Rashid Rida, menilai bahwa keterlibatan langsung kerajaan dalam proyek mushaf berpotensi menimbulkan campur tangan politik terhadap otoritas keagamaan.¹⁰ Mereka khawatir bahwa tindakan ini dapat menjadi preseden bagi negara untuk mengontrol wacana keagamaan melalui legitimasi institusional terhadap teks suci.¹¹

Selain itu, muncul pula kritik terhadap pemilihan tunggal qira’at Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim sebagai dasar edisi resmi. Meskipun pilihan ini didasarkan pada pertimbangan praktis dan tradisi lokal Mesir, beberapa ulama dari Afrika Utara dan Maghrib—yang menggunakan riwayat Warsh—menganggap keputusan ini sebagai bentuk marginalisasi tradisi bacaan lain yang sah dalam kerangka qira’at mutawātirah.¹² Kritik ini terutama mengemuka di kalangan ulama Maroko dan Aljazair, yang menilai bahwa hegemonisasi bacaan Ḥafṣ mencerminkan dominasi budaya Mesir dalam dunia Islam modern.¹³

Kritik internal ini kemudian berkembang dalam diskursus hermeneutis yang lebih luas mengenai otoritas teks dan makna. Beberapa sarjana Muslim modernis, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, menyoroti bahwa proses standarisasi telah menjadikan teks Al-Qur’an semakin “tertutup” terhadap pembacaan kontekstual.¹⁴ Dalam pandangannya, Mushaf Kairo merepresentasikan tekstualisasi wahyu—yakni penguatan status Al-Qur’an sebagai objek tertulis dan final—yang berdampak pada menurunnya ruang tafsir yang dinamis sebagaimana hidup dalam tradisi klasik Islam.¹⁵

8.3.       Respons Akademik dan Rehabilitasi Perspektif

Meskipun demikian, mayoritas sarjana Muslim kontemporer memandang proyek ini secara positif, dengan menekankan keseimbangan antara tradisi dan modernitas.¹⁶ Menurut Yasir Qadhi, standardisasi Mushaf Kairo bukanlah bentuk penyederhanaan teologis, melainkan mekanisme tahqīq (verifikasi ilmiah) terhadap teks wahyu dengan memanfaatkan teknologi cetak tanpa menyalahi prinsip otentisitas sanad.¹⁷ François Déroche bahkan menyebutnya sebagai “the most scientifically supervised Qur’anic publication in modern history,” yang berhasil menggabungkan otoritas keilmuan klasik dengan metodologi teknologis baru.¹⁸

Dengan demikian, kontroversi akademik seputar Mushaf Kairo 1924 memperlihatkan bahwa proyek ini merupakan arena epistemologis antara tradisi, modernitas, dan otoritas. Kritik-kritik yang muncul, baik dari luar maupun dari dalam dunia Islam, justru memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana teks suci dipelihara, dimaknai, dan dilegitimasi dalam konteks sejarah modern. Proyek ini menjadi cermin dari ketegangan abadi antara keinginan untuk menjaga kemurnian wahyu dan kebutuhan untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman.¹⁹


Footnotes

[1]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 193–195.

[2]                Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an (Leiden: Brill, 1937), 5–7.

[3]                Ibid., 12–14.

[4]                Régis Blachère, Introduction au Coran (Paris: G.P. Maisonneuve, 1959), 102–104.

[5]                John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1977), 43–45.

[6]                Ibid., 49–52.

[7]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 138–140.

[8]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 225–227.

[9]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 104–106.

[10]             Rashid Rida, Al-Manār, vol. 25 (Cairo: Matba‘at al-Manār, 1925), 55–58.

[11]             Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 46–48.

[12]             François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 36–38.

[13]             Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 118–120.

[14]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 17–20.

[15]             Ibid., 24–26.

[16]             Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 18–20.

[17]             Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” 107–108.

[18]             François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction, 196–197.

[19]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 142–143.


9.           Analisis Hermeneutis dan Filologis

Kajian terhadap Mushaf Kairo 1924 tidak hanya relevan dari perspektif sejarah dan politik, tetapi juga membuka ruang bagi analisis hermeneutis dan filologis yang mendalam. Dari sisi hermeneutika, mushaf ini menjadi titik temu antara teks suci sebagai wahyu transenden dan teks tertulis sebagai konstruksi historis. Sementara dari sisi filologi, edisi ini merepresentasikan puncak usaha ilmiah untuk menata bentuk material Al-Qur’an berdasarkan prinsip rasm ‘Utsmānī yang diwariskan secara turun-temurun.¹ Dengan demikian, Mushaf Kairo menjadi cermin bagi dua lapisan epistemologis dalam studi Qur’ani: lapisan spiritual yang tak terpisahkan dari wahyu, dan lapisan linguistik-material yang tunduk pada kaidah filologis manusiawi.²

9.1.       Hermeneutika Otoritas dan Tekstualitas

Dalam perspektif hermeneutika Islam, teks Al-Qur’an tidak pernah berdiri sebagai “objek tertutup” melainkan selalu hidup melalui relasi antara wahyu, pembaca, dan tradisi penafsiran (tafsīr).³ Penerbitan Mushaf Kairo 1924 menandai suatu bentuk hermeneutika institusional, di mana otoritas penafsiran dan penentuan bentuk teks tidak lagi sepenuhnya bersifat individual atau komunitarian, tetapi dimediasi oleh lembaga formal seperti Al-Azhar.⁴ Proyek ini, dengan demikian, bukan hanya tindakan filologis, melainkan juga tindakan hermeneutis—sebuah upaya menegaskan “makna yang sah” melalui pemilihan bentuk teks yang dianggap paling representatif terhadap kesatuan wahyu.

Angelika Neuwirth mengemukakan bahwa tindakan semacam ini memperlihatkan perubahan mendasar dalam cara umat Islam memahami wahyu: dari wahyu yang hidup dalam performativitas oral menuju wahyu yang mengendap dalam bentuk tertulis dan institusional.⁵ Namun, dalam tradisi Islam sendiri, perubahan ini tidak dipandang sebagai desakralisasi, melainkan sebagai pematangan historis teks suci—sebuah bentuk ijtihād kolektif yang memperluas otoritas spiritual ke ranah administratif.⁶ Dengan demikian, Mushaf Kairo merepresentasikan sebuah bentuk ta’wīl fi‘li (penafsiran dalam tindakan), di mana penyusunan teks menjadi bagian dari proses peneguhan makna wahyu di era modern.⁷

9.2.       Filologi Qur’ani dan Rekonstruksi Tekstual

Dari perspektif filologi, Mushaf Kairo 1924 merupakan hasil penerapan prinsip tahqīq al-nuṣūṣ—yakni proses verifikasi ilmiah atas teks berdasarkan rujukan naskah-naskah otoritatif terdahulu.⁸ Para ulama Al-Azhar yang terlibat menggunakan pendekatan filologis yang cermat: membandingkan varian manuskrip kuno, menyesuaikan ortografi dengan rasm ‘Utsmānī, dan menstandardisasi sistem tanda baca agar sesuai dengan riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim.⁹ Dalam hal ini, Mushaf Kairo dapat dianggap sebagai edisi kritis (critical edition) dalam tradisi Islam, yang meskipun tidak mengakui konsep “rekonstruksi historis” seperti dalam filologi Barat, tetap mengandung semangat yang sama: menjaga integritas teks berdasarkan disiplin ilmiah dan sanad yang sah.¹⁰

François Déroche mencatat bahwa proyek ini berhasil menggabungkan kritik tekstual internal (berdasarkan ilmu qira’at) dan kritik tekstual eksternal (berdasarkan naskah dan ortografi), menghasilkan edisi yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga paling stabil secara filologis di antara mushaf modern.¹¹ Melalui Mushaf Kairo, para ulama Al-Azhar menunjukkan bahwa filologi Qur’ani tidak sekadar bersifat teknis, melainkan juga spiritual: setiap huruf diverifikasi bukan hanya oleh pembaca profesional, tetapi juga oleh qāri’ yang memiliki sanad bacaan yang berujung pada Nabi.¹² Dengan demikian, filologi Qur’ani berfungsi sebagai jembatan epistemologis antara disiplin rasional dan tradisi wahyu.

9.3.       Hermeneutika Material dan Visualitas Mushaf

Aspek lain yang penting adalah hermeneutika material, yakni pemahaman terhadap bagaimana bentuk fisik teks berperan dalam mengonstruksi makna spiritual. Mushaf Kairo 1924 tidak hanya menampilkan teks Al-Qur’an secara rapi dan terstandar, tetapi juga menghadirkan estetika yang merefleksikan konsep tanzīl (turunnya wahyu secara bertahap).¹³ Struktur halaman, keteraturan baris, dan iluminasi sederhana tanpa ornamen berlebihan menunjukkan upaya menyeimbangkan kesakralan dengan keterbacaan modern. Dalam hal ini, materialitas mushaf menjadi bagian dari makna itu sendiri—visualitas yang mengandung teologi keteraturan dan keindahan ilahi.¹⁴

Pendekatan ini sejalan dengan pandangan hermeneutika Islam klasik yang menegaskan bahwa bentuk (ṣūrah) dan makna (ma‘nā) tidak dapat dipisahkan secara mutlak.¹⁵ Setiap penataan huruf dan halaman merupakan bentuk tafsir non-verbal terhadap pesan ilahi. Oleh sebab itu, Mushaf Kairo tidak hanya berfungsi sebagai teks, tetapi juga sebagai objek simbolik yang mengandung interpretasi tersirat atas kesempurnaan wahyu.¹⁶


Integrasi antara Tradisi dan Modernitas

Analisis hermeneutis dan filologis atas Mushaf Kairo 1924 memperlihatkan bahwa proyek ini berhasil mengintegrasikan tradisi Islam klasik dengan metodologi modern. Ia mempertahankan otoritas sanad dan prinsip kesucian teks, sambil mengadopsi teknik percetakan, sistem tipografi, dan metodologi editorial yang lahir dari modernitas industri.¹⁷ Dalam hal ini, Mushaf Kairo menjadi paradigma modernitas Islam, yakni modernitas yang tidak memutus kontinuitas dengan tradisi, melainkan mengekspresikan tradisi dalam bentuk baru yang relevan dengan zamannya.¹⁸

Dengan demikian, analisis hermeneutis dan filologis terhadap Mushaf Kairo menegaskan bahwa proyek 1924 bukanlah sekadar usaha teknis untuk menyeragamkan bacaan, tetapi merupakan tindakan epistemologis dan spiritual: upaya manusiawi untuk menjaga wahyu dalam batas-batas historisnya, tanpa menguranginya dari dimensi ilahinya.¹⁹


Footnotes

[1]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 197–199.

[2]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 145–147.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 31–34.

[4]                Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 50–51.

[5]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 149–150.

[6]                Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 121–123.

[7]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 109–111.

[8]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 228–230.

[9]                François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 39–41.

[10]             Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 40–42.

[11]             François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction, 200–201.

[12]             Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam, 52–53.

[13]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 152–154.

[14]             Devin J. Stewart, “The Aesthetics of Qur’anic Manuscripts,” Journal of Qur’anic Studies 14, no. 2 (2012): 25–28.

[15]             Al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah (Cairo: al-Maktabah al-Kubrā, 1952), 77–79.

[16]             Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 30–32.

[17]             Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 21–23.

[18]             Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age, 124–125.

[19]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 156–157.


10.       Relevansi Kontemporer

Lebih dari satu abad setelah penerbitannya, Mushaf Kairo 1924 tetap memegang posisi sentral dalam studi Qur’ani, pendidikan Islam, dan konstruksi identitas keagamaan di dunia Muslim modern. Proyek ini, yang awalnya dimaksudkan untuk menyeragamkan bacaan dan tulisan Al-Qur’an di Mesir, kini telah melampaui batas geografisnya dan menjadi model global bagi otoritas teks keagamaan di era digital.¹ Dalam konteks kontemporer, relevansi Mushaf Kairo tidak hanya terletak pada statusnya sebagai teks cetak resmi, tetapi juga pada kemampuannya menavigasi ketegangan antara tradisi dan modernitas, serta antara sakralitas wahyu dan reproduksi teknologi.²

10.1.    Otoritas Al-Azhar dan Legitimasi Keagamaan Global

Edisi Kairo telah meneguhkan Al-Azhar sebagai pusat otoritas Qur’ani dunia Islam modern. Dengan mushaf tersebut, Al-Azhar tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan dan fatwa, tetapi juga sebagai penjaga keaslian teks wahyu dalam skala internasional.³ Dalam era globalisasi, ketika teks Al-Qur’an beredar secara bebas dalam bentuk digital dan daring, legitimasi Al-Azhar terhadap edisi Kairo menjadi tolok ukur keabsahan bagi banyak penerbit dan lembaga keagamaan di seluruh dunia.⁴

Bahkan dalam percetakan Al-Qur’an di Madinah (Majma‘ al-Malik Fahd), Turki, Pakistan, hingga Indonesia, Mushaf Kairo tetap menjadi referensi utama dalam penetapan struktur halaman, sistem tashkīl, dan tanda waqf.⁵ Dengan demikian, otoritas Al-Azhar melalui Mushaf Kairo telah melampaui batas politik nasional dan menjadi bentuk otoritas epistemik transnasional, yang menyatukan umat Islam dalam keseragaman teks tanpa menafikan pluralitas budaya dan mazhab.⁶

10.2.    Mushaf Kairo dalam Era Digital dan Teknologi Informasi

Memasuki abad ke-21, Mushaf Kairo menghadapi tantangan baru dalam bentuk digitalisasi dan globalisasi teks suci.⁷ Perkembangan perangkat lunak Qur’ani, aplikasi ponsel, dan platform daring seperti Quran.com atau Tanzil.net menunjukkan bahwa reproduksi digital teks Al-Qur’an hampir seluruhnya mengacu pada edisi Kairo 1924.⁸ Keberadaan file teks Unicode Qur’ani dan standar internasional dalam tipografi Arab (misalnya Uthmanic Script Unicode Standard) juga diambil dari struktur ortografis mushaf ini.⁹

Dalam hal ini, Mushaf Kairo berfungsi sebagai arsitektur digital wahyu—sebuah format referensial yang menjamin konsistensi antara teks cetak dan teks daring.¹⁰ Namun, digitalisasi ini juga memunculkan tantangan hermeneutis baru: ketika akses terhadap teks suci menjadi lebih mudah dan masif, kontrol terhadap interpretasi menjadi semakin longgar.¹¹ Al-Azhar dan lembaga keagamaan lain kini dihadapkan pada kebutuhan untuk mengembangkan model verifikasi baru terhadap versi-versi digital Al-Qur’an agar tidak terjadi distorsi teks, baik karena kesalahan tipografi maupun manipulasi ideologis.¹²

10.3.    Tantangan Global: Pluralitas, Komersialisasi, dan Otoritas

Dalam konteks global, Mushaf Kairo 1924 juga memiliki relevansi sebagai standar etis dan teologis di tengah pluralitas mazhab Islam.¹³ Dengan menetapkan bacaan Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim sebagai dasar, mushaf ini secara tidak langsung mengukuhkan konsensus Sunni, meskipun tetap membuka ruang toleransi terhadap qira’at lain. Di tengah meningkatnya sektarianisme dan komersialisasi religius, keberadaan edisi standar ini menjadi simbol kesatuan teologis yang relatif stabil.¹⁴

Namun, pada saat yang sama, reproduksi mushaf secara massal juga menimbulkan persoalan baru terkait komodifikasi teks suci.¹⁵ Penerbitan Al-Qur’an dalam berbagai format (dari mushaf mewah hingga versi digital berbayar) menimbulkan pertanyaan etis tentang batas antara penyebaran ilmu dan komersialisasi wahyu.¹⁶ Mushaf Kairo, dalam hal ini, menjadi pengingat bahwa teks suci harus dijaga tidak hanya secara filologis, tetapi juga secara moral: bahwa wahyu bukanlah produk pasar, melainkan sumber nilai yang menuntut tanggung jawab spiritual.¹⁷

10.4.    Relevansi Akademik dan Dialog Antarperadaban

Dalam dunia akademik, Mushaf Kairo 1924 juga terus berperan sebagai rujukan primer dalam studi filologi dan hermeneutika Qur’ani.¹⁸ Edisi ini memungkinkan penelitian lintas disiplin antara ilmu agama, filologi, dan teknologi teks, serta memperkuat dialog antara sarjana Muslim dan non-Muslim dalam studi kritis Al-Qur’an. François Déroche dan Angelika Neuwirth, misalnya, menekankan bahwa Mushaf Kairo adalah contoh ideal dari kolaborasi antara tradisi oral Islam dan metodologi filologi modern.¹⁹ Dalam konteks dialog antarperadaban, keberadaan edisi ini memperlihatkan bahwa Islam tidak menolak modernitas, melainkan mengintegrasikannya dengan tradisi keilmuan yang mendalam.²⁰

10.5.    Peneguhan Relevansi Spiritual di Era Global

Akhirnya, relevansi Mushaf Kairo 1924 juga bersifat spiritual. Dalam dunia yang serba digital, di mana teks dapat disalin tanpa batas dan konteks sering kali terabaikan, Mushaf Kairo mengingatkan bahwa otentisitas wahyu bukan hanya persoalan teks, tetapi juga persoalan sanad, niat, dan adab dalam membaca.²¹ Ia menjadi simbol kontinuitas antara masa klasik dan modern, antara hafalan dan cetakan, antara suara dan huruf.²²

Dengan demikian, Mushaf Kairo tidak hanya warisan sejarah atau dokumen filologis, melainkan manifestasi epistemologi Islam yang dinamis—yang mampu menjaga kesucian teks sambil beradaptasi dengan teknologi dan kebutuhan zaman.²³ Ia mengajarkan bahwa modernisasi Islam bukanlah sekularisasi, melainkan penegasan kembali nilai-nilai wahyu dalam ruang sosial dan ilmiah yang terus berubah.²⁴


Footnotes

[1]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 201–203.

[2]                Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 126–128.

[3]                Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 54–56.

[4]                Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 112–114.

[5]                Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 24–26.

[6]                Peter Mandaville, Transnational Muslim Politics: Reimagining the Umma (London: Routledge, 2001), 85–87.

[7]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 157–159.

[8]                Hussein Abdul-Raof, Theological Approaches to Qur’anic Exegesis: A Practical Comparative-Contrastive Analysis (London: Routledge, 2012), 173–175.

[9]                Mustafa Shah, “The Arabic Script and Its Digital Standardization,” Journal of Qur’anic Studies 18, no. 1 (2016): 65–68.

[10]             Devin J. Stewart, “The Aesthetics of Qur’anic Manuscripts,” Journal of Qur’anic Studies 14, no. 2 (2012): 29–31.

[11]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 41–44.

[12]             Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 232–234.

[13]             François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 41–43.

[14]             Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age, 128–130.

[15]             Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 205–207.

[16]             Walter Armbrust, “Islamic Commercial Aesthetics in Egypt,” Visual Anthropology Review 16, no. 2 (2000): 29–32.

[17]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 161–162.

[18]             Andrew Rippin, The Qur’an and Its Interpretative Tradition (Aldershot: Ashgate, 2001), 99–101.

[19]             François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction, 205–207.

[20]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 163–165.

[21]             Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” 115–117.

[22]             Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam, 57–58.

[23]             Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text, 235–237.

[24]             Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” 27–28.


11.       Kesimpulan

Penerbitan Mushaf Kairo 1924 merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah intelektual dan keagamaan Islam modern. Ia bukan hanya proyek percetakan semata, tetapi juga manifestasi dari sintesis antara tradisi dan modernitas, antara otoritas ulama dan kekuasaan negara, serta antara dimensi spiritual wahyu dan rasionalitas filologis manusia.¹ Melalui inisiatif Raja Fu’ad I dan pengawasan ketat ulama Al-Azhar, Mushaf ini berhasil mewujudkan standar teks Al-Qur’an yang tidak hanya sahih secara teologis, tetapi juga akurat secara filologis, sekaligus mampu menjawab tantangan teknologi percetakan modern.²

Secara historis, Mushaf Kairo 1924 lahir dalam konteks Mesir awal abad ke-20, di mana modernisasi politik dan sosial menuntut legitimasi religius yang baru.³ Al-Azhar berperan sebagai jembatan epistemologis antara otoritas wahyu dan modernitas institusional, menjadikan proyek ini sebagai model kolaborasi organik antara ulama dan negara.⁴ Dengan dukungan infrastruktur percetakan Matba‘at al-Amīriyyah dan penggunaan teknologi linotype, mushaf ini menandai fase baru dalam materialitas teks Qur’ani: dari tradisi manuskrip yang beragam menuju edisi cetak yang terstandar dan dapat direplikasi secara global.⁵

Dari perspektif filologis, Mushaf Kairo 1924 merupakan bentuk edisi kritis Qur’ani pertama dalam sejarah Islam modern.⁶ Ia menggabungkan prinsip rasm ‘Utsmānī, disiplin ilmu qirā’at, serta metode verifikasi tekstual (tahqīq al-nuṣūṣ) yang telah lama berkembang dalam tradisi keilmuan Islam.⁷ Hasilnya adalah teks Al-Qur’an yang secara visual, fonetik, dan ortografis mencapai tingkat keseragaman yang belum pernah dicapai sebelumnya. Dalam konteks global, mushaf ini kemudian menjadi dasar bagi penerbitan mushaf di Madinah, Turki, Pakistan, dan Asia Tenggara, memperlihatkan pengaruh epistemik Mesir yang luas di dunia Islam.⁸

Dari perspektif hermeneutika, Mushaf Kairo 1924 dapat dibaca sebagai tindakan penafsiran kolektif (ta’wīl jamā‘ī). Pemilihan riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim, penetapan format halaman, dan penyempurnaan tanda baca bukan hanya keputusan teknis, tetapi ekspresi makna yang bersumber dari tradisi kesucian teks itu sendiri.⁹ Ia menegaskan prinsip bahwa wahyu, meskipun abadi, selalu memerlukan bentuk material yang kontekstual agar dapat terus hidup dalam sejarah manusia.¹⁰ Dalam hal ini, proyek 1924 menjadi model “hermeneutika tindakan” di mana upaya menjaga teks suci menjadi bagian dari ibadah kolektif umat Islam terhadap wahyu Tuhan.¹¹

Dalam konteks kontemporer, Mushaf Kairo tetap memainkan peran strategis di tengah perkembangan teknologi dan pluralitas global.¹² Digitalisasi teks suci, meskipun membuka akses yang luas, juga membawa risiko distorsi dan fragmentasi otoritas. Oleh karena itu, edisi Kairo berfungsi sebagai penopang integritas teks Qur’an di era digital, menjadi acuan bagi sistem Unicode Arab, aplikasi Al-Qur’an daring, dan program pendidikan Islam di seluruh dunia.¹³ Dengan demikian, ia bukan hanya artefak sejarah, tetapi juga model epistemologis bagi stabilitas teks wahyu di tengah percepatan modernitas.¹⁴

Akhirnya, signifikansi Mushaf Kairo 1924 tidak semata terletak pada substansi tekstualnya, melainkan pada maknanya sebagai proyek peradaban Islam modern.¹⁵ Ia menampilkan wajah Islam yang mampu menggabungkan ketelitian ilmiah, keindahan estetis, dan kedalaman spiritual dalam satu kesatuan. Melalui mushaf ini, umat Islam menemukan jalan tengah antara kesetiaan terhadap tradisi dan keterbukaan terhadap inovasi, menjadikan Al-Qur’an bukan hanya kitab suci yang dibaca, tetapi juga fondasi pengetahuan, kesatuan, dan kontinuitas sejarah umat manusia.¹⁶


Footnotes

[1]                François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 208–210.

[2]                Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 60–62.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 164–166.

[4]                Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 131–133.

[5]                Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 52–54.

[6]                François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 44–46.

[7]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 239–242.

[8]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 318–320.

[9]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 166–168.

[10]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 47–49.

[11]             Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 118–120.

[12]             Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 28–30.

[13]             Mustafa Shah, “The Arabic Script and Its Digital Standardization,” Journal of Qur’anic Studies 18, no. 1 (2016): 70–72.

[14]             Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community, 170–172.

[15]             Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 211–214.

[16]             François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction, 211–213.


Daftar Pustaka

Abu Zayd, N. H. (1990). Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī.

al-A‘zami, M. M. (2003). The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to Compilation. Leicester: UK Islamic Academy.

al-Jurjānī. (1952). Asrār al-Balāghah. Cairo: al-Maktabah al-Kubrā.

Armbrust, W. (2000). Islamic commercial aesthetics in Egypt. Visual Anthropology Review, 16(2), 29–32.

Asad, T. (1993). Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana.

Blachère, R. (1959). Introduction au Coran. Paris: G.P. Maisonneuve.

Brockett, A. (1988). The value of the Hafs and Warsh transmissions for the textual history of the Qur’an. In A. Rippin (Ed.), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an (pp. 33–42). Oxford: Clarendon Press.

Déroche, F. (2009). The standardization of the Qur’an: The Cairo edition. Manuscripta Orientalia, 15(3), 29–46.

Déroche, F. (2019). The Qur’an: A Historical-Critical Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Déroche, F. (2009). La transmission écrite du Coran dans les débuts de l’islam: Le codex Parisino-petropolitanus. Leiden: Brill.

Hourani, A. (1983). Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939. Cambridge: Cambridge University Press.

Jeffery, A. (1937). Materials for the History of the Text of the Qur’an. Leiden: Brill.

Mansfield, P. (1971). The British in Egypt. London: Weidenfeld & Nicolson.

Mansurnoor, I. A. (1998). The transmission of Qur’anic orthography to the Malay world. Studia Islamika, 5(3), 65–67.

Mandaville, P. (2001). Transnational Muslim Politics: Reimagining the Umma. London: Routledge.

Marsot, A. L. al-S. (2007). A History of Egypt: From the Arab Conquest to the Present. Cambridge: Cambridge University Press.

Neuwirth, A. (2014). Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading the Qur’an as a Literary Text. Oxford: Oxford University Press.

Qadhi, Y. (2016). An introduction to the sciences of the Qur’an. In A. Neuwirth (Ed.), Qur’anic Studies Today (pp. 89–120). London: Routledge.

Rida, R. (1925). Al-Manār (Vol. 25). Cairo: Matba‘at al-Manār.

Roper, G. (1999). Printing the Qur’an: A preliminary survey. Journal of Qur’anic Studies, 1(1), 39–59.

Saleh, W. A. (2004). The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī. Oxford: Oxford University Press.

Shah, M. (2016). The Arabic script and its digital standardization. Journal of Qur’anic Studies, 18(1), 65–72.

Sinai, N. (2018). The Cairo edition of the Qur’an and its history. Journal of Qur’anic Studies, 20(2), 1–30.

Skovgaard-Petersen, J. (1997). Defining Islam for the Egyptian State: Muftis and Fatwas of the Dār al-Iftā. Leiden: Brill.

Stewart, D. J. (1990). Sajʿ in the Qur’an: Prosody and structure. Journal of Arabic Literature, 21(2), 101–104.

Stewart, D. J. (2012). The aesthetics of Qur’anic manuscripts. Journal of Qur’anic Studies, 14(2), 25–31.

Wansbrough, J. (1977). Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation. Oxford: Oxford University Press.

Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism. Cambridge: Cambridge University Press.

Zeghal, M. (1996). Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte contemporaine. Paris: Presses de Sciences Po.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar