Standarisasi Mushaf Al-Qur’an di Mesir
Kajian Historis, Filologis, dan Institusional atas
Edisi Kairo 1924
Alihkan ke: Ulumul
Qur’an.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif proses penyeragaman
Mushaf Al-Qur’an di Mesir yang mencapai puncaknya melalui penerbitan Edisi
Kairo 1924, sebuah tonggak penting dalam sejarah percetakan dan
standardisasi teks suci Islam modern. Melalui pendekatan historis, filologis,
hermeneutis, dan institusional, penelitian ini menelusuri latar belakang
sosial-politik Mesir awal abad ke-20 di bawah pemerintahan Raja Fu’ad I,
yang bersama ulama Al-Azhar menginisiasi proyek monumental tersebut.
Artikel ini menunjukkan bahwa standarisasi Mushaf
Kairo bukan sekadar proyek teknis atau politik, melainkan tindakan
epistemologis yang merefleksikan hubungan dinamis antara wahyu, otoritas
keilmuan, dan modernitas teknologi. Proses penyusunan dan percetakan yang
melibatkan komisi ulama Al-Azhar memperlihatkan kolaborasi antara tradisi rasm
‘Utsmānī, disiplin qirā’at, dan metodologi verifikasi filologis (tahqīq
al-nuṣūṣ), menghasilkan mushaf yang sahih, indah, dan ilmiah.
Selain menelusuri konteks sejarah dan peran
lembaga-lembaga terkait, artikel ini juga menyoroti dampak global Mushaf
Kairo terhadap percetakan Al-Qur’an di dunia Islam, pengaruhnya dalam
pendidikan Islam, serta posisinya sebagai basis otoritas teks Qur’ani hingga
era digital. Dalam dimensi hermeneutis, Mushaf Kairo dipahami sebagai bentuk ta’wīl
fi‘li—penafsiran dalam tindakan—yang meneguhkan kesucian teks melalui
materialisasi modernnya.
Dengan demikian, Mushaf Kairo 1924 dapat dilihat
sebagai simbol keberhasilan Islam dalam mengharmonikan tradisi spiritual dengan
rasionalitas modern. Ia bukan hanya artefak sejarah, tetapi juga paradigma
epistemologis Islam modern, yang memastikan kontinuitas wahyu di tengah
perubahan sosial, politik, dan teknologi global.
Kata Kunci: Mushaf Kairo 1924; Al-Azhar; Raja Fu’ad I; Filologi
Qur’ani; Hermeneutika Islam; Standarisasi teks suci; Modernitas Islam;
Percetakan Al-Qur’an; Rasm ‘Utsmānī; Qira’at Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim.
PEMBAHASAN
Standarisasi Mushaf Al-Qur’an di Mesir
1.          
Pendahuluan
Penyeragaman Mushaf
Al-Qur’an di Mesir melalui penerbitan Edisi Kairo 1924 menandai
tonggak penting dalam sejarah filologi dan percetakan teks suci Islam.
Peristiwa ini bukan hanya merupakan capaian teknis dalam dunia penerbitan,
melainkan juga peristiwa epistemologis dan institusional yang mencerminkan
upaya ulama dan otoritas politik untuk menjaga kemurnian teks wahyu di tengah
dinamika modernitas. Inisiatif ini muncul pada masa pemerintahan Raja
Fu’ad I, di mana Universitas Al-Azhar berperan
sebagai lembaga otoritatif dalam memastikan validitas dan keseragaman teks
Al-Qur’an yang akan dicetak secara massal. Dengan demikian, Mushaf Kairo 1924
menjadi edisi pertama yang disahkan secara resmi oleh otoritas keagamaan dan
politik di dunia Islam modern, sekaligus menjadi model bagi edisi-edisi cetak
berikutnya di berbagai negara Muslim.¹
Sebelum proyek ini
dilaksanakan, tradisi penyalinan dan percetakan Al-Qur’an di dunia Islam masih
memperlihatkan keragaman bentuk, baik dari segi rasm, tanda
baca, maupun qirā’at (variasi bacaan yang
sahih). Perbedaan tersebut, meskipun diakui secara teologis dalam kerangka
qirā’at mutawātirah, telah menimbulkan kesulitan dalam praktik pendidikan dan
distribusi mushaf di era modern, terutama di lembaga-lembaga pendidikan
Al-Azhar dan sekolah-sekolah negeri Mesir.² Oleh karena itu, kebutuhan akan
satu versi standar yang dapat menjadi acuan universal menjadi semakin mendesak,
baik demi kemudahan pedagogis maupun stabilitas teologis.
Proyek penyeragaman
mushaf ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks modernisasi Mesir awal abad
ke-20, di mana percetakan, pendidikan, dan lembaga keagamaan mulai berinteraksi
erat dengan otoritas politik.³ Raja Fu’ad I memandang pentingnya legitimasi religius
bagi kekuasaannya, sementara Al-Azhar berusaha mempertahankan otoritas keilmuan
di tengah perubahan sosial dan politik yang cepat. Kolaborasi keduanya
menghasilkan sebuah mushaf yang tidak hanya memiliki nilai religius dan
estetis, tetapi juga simbolik—yakni sebagai representasi otoritas Islam di era
modern yang berupaya mengharmonikan tradisi dengan teknologi baru.⁴
Dalam konteks
historiografi modern, Edisi Kairo 1924 sering disebut
sebagai titik awal bagi “standardisasi teks Al-Qur’an” dalam bentuk
cetak.⁵ Namun, istilah “standardisasi” di sini perlu dipahami secara
hati-hati: bukan dalam arti penyatuan dogmatis atas seluruh varian qirā’at,
melainkan sebagai proses kodifikasi administratif terhadap
satu bentuk bacaan yang dipilih—yakni riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim—yang dianggap
paling luas digunakan di dunia Islam Sunni.⁶ Proyek ini kemudian memiliki
implikasi luas terhadap studi filologi Al-Qur’an modern, pendidikan Islam, dan
bahkan terhadap persepsi global mengenai “teks resmi” wahyu Islam.
Dengan demikian,
penelitian terhadap Mushaf Kairo 1924 tidak semata-mata merupakan studi sejarah
percetakan, tetapi juga analisis mendalam atas interaksi antara otoritas, teks, dan modernitas.
Melalui kajian historis, filologis, dan institusional, artikel ini berupaya
menelusuri latar belakang, proses, serta dampak dari upaya standarisasi mushaf
tersebut, guna memahami bagaimana teks suci dipelihara, disahkan, dan
disebarluaskan dalam kerangka epistemologi Islam modern.
Footnotes
[1]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 213–215.
[2]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 179–182.
[3]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 152–155.
[4]               
Malika Zeghal, “Religion and Politics in Egypt: The Ulema of al-Azhar,
Radical Islam, and the State (1952–94),” International Journal of Middle
East Studies 31, no. 3 (1999): 371–399.
[5]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 89–91.
[6]               
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 1–30.
2.          
Konteks
Historis dan Sosio-Politik Mesir Awal Abad ke-20
Awal abad ke-20
merupakan masa transformasi besar bagi Mesir dalam bidang politik,
sosial, dan keagamaan. Setelah berada di bawah kekuasaan nominal Kekaisaran
Ottoman, Mesir secara de facto berada di bawah kendali kolonial
Inggris
sejak tahun 1882, meskipun secara formal tetap mempertahankan statusnya sebagai
wilayah yang diperintah oleh seorang Khedive dari dinasti Muhammad
‘Ali.¹ Keadaan ini menciptakan ketegangan identitas nasional dan religius yang
kompleks: di satu sisi, Mesir terpengaruh oleh modernisasi dan tekanan kolonial
Barat; di sisi lain, muncul aspirasi untuk meneguhkan otoritas keagamaan dan
budaya Islam sebagai bagian dari gerakan kebangkitan (nahdah).²
Ketika Raja
Fu’ad I naik tahta pada tahun 1922, Mesir baru saja memperoleh
pengakuan kemerdekaan formal dari Inggris, meskipun dalam praktiknya masih
berada dalam pengaruh politik dan ekonomi kolonial.³ Fu’ad berupaya
mengonsolidasikan kekuasaannya melalui simbol-simbol keagamaan dan kebudayaan
Islam. Dalam konteks ini, Universitas Al-Azhar memainkan
peran penting sebagai lembaga keilmuan Islam tertua dan paling berpengaruh di
dunia Muslim Sunni.⁴ Hubungan antara monarki dan Al-Azhar pada masa itu
bersifat simbiotik: raja membutuhkan legitimasi religius bagi kekuasaannya,
sementara Al-Azhar memerlukan dukungan politik dan dana untuk mempertahankan
otonomi serta otoritas moralnya di tengah arus sekularisasi dan modernisasi
yang semakin kuat.⁵
Dalam bidang
pendidikan dan percetakan, Mesir telah menjadi pusat produksi ilmiah Islam
sejak akhir abad ke-19. Modernisasi sistem pendidikan Al-Azhar dan berdirinya
percetakan-percetakan besar seperti Matba‘at al-Būlāq membuka jalan
bagi penyebaran luas karya-karya klasik dan naskah-naskah keagamaan.⁶ Namun,
pada saat yang sama, perkembangan ini juga menimbulkan persoalan baru: keragaman
mushaf Al-Qur’an yang beredar di berbagai wilayah Mesir
menunjukkan variasi dalam rasm (ortografi), tanda baca, dan bacaan (qirā’at).
Ketidakseragaman ini menimbulkan kebingungan di kalangan pelajar dan qāri’
(pembaca), terutama di lembaga-lembaga pendidikan yang mulai menggunakan mushaf
cetak sebagai bahan ajar utama.⁷
Selain faktor
keilmuan, dinamika politik turut mendorong perlunya standardisasi mushaf. Raja
Fu’ad I menyadari bahwa penyatuan teks suci dapat berfungsi sebagai simbol
persatuan nasional dan stabilitas moral di tengah fragmentasi sosial yang
diwariskan oleh kolonialisme.⁸ Proyek penyeragaman ini, yang kemudian
melahirkan Edisi Kairo 1924, merupakan
manifestasi dari perpaduan antara semangat nasionalisme Islam dan agenda
modernisasi birokratis kerajaan. Dengan mengatasnamakan keaslian teks wahyu,
negara dan ulama berhasil membangun proyek bersama yang mempertemukan dimensi
spiritual dan administratif dalam bentuk mushaf resmi yang diakui secara
internasional.⁹
Dengan demikian,
konteks historis dan sosio-politik Mesir awal abad ke-20 menunjukkan bahwa
penerbitan Mushaf Kairo 1924 bukan sekadar
hasil inisiatif keagamaan, tetapi merupakan produk dari suatu konjungtur
historis: ketika modernitas kolonial, otoritas keagamaan, dan
ambisi politik berinteraksi dalam membentuk ulang cara umat Islam berhubungan
dengan teks suci mereka.¹⁰
Footnotes
[1]               
Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot, A History of Egypt: From the Arab
Conquest to the Present (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
107–109.
[2]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 145–150.
[3]               
Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld
& Nicolson, 1971), 212–216.
[4]               
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 24–27.
[5]               
Jakob Skovgaard-Petersen, Defining Islam for the Egyptian State:
Muftis and Fatwas of the Dār al-Iftā (Leiden: Brill, 1997), 39–42.
[6]               
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 39–59.
[7]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 178–180.
[8]               
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 102–105.
[9]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 89–90.
[10]            
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 1–3.
3.          
Latar
Belakang Filologis dan Qira’at dalam Tradisi Islam
Kajian terhadap
latar belakang filologis dan qira’at dalam tradisi Islam merupakan kunci untuk
memahami signifikansi proyek standarisasi Mushaf Al-Qur’an di Mesir tahun 1924.
Sejak awal pewahyuan, teks Al-Qur’an telah mengalami proses transmisi yang ketat,
baik secara lisan (tawātur) maupun tulisan (rasm),
di mana setiap varian bacaan yang sahih diterima melalui rantai periwayatan
yang dapat diverifikasi.¹ Oleh sebab itu, qira’at bukanlah hasil kesalahan
penyalinan atau perbedaan interpretasi, melainkan manifestasi dari
fleksibilitas fonetik dan dialektal yang diakomodasi oleh wahyu untuk
memudahkan umat dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an.²
Tradisi Islam
mengenal sejumlah besar varian qira’at, namun sejak masa klasik, para ulama
telah berupaya mengklasifikasikan dan menyeleksi bacaan yang memenuhi syarat
keotentikan. Ibn Mujāhid (w. 936 M), seorang ulama qira’at besar di Baghdad,
dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menyeleksi tujuh qira’at yang diakui (al-qirā’āt
al-sab‘), berdasarkan tiga kriteria utama: kesesuaian dengan rasm
‘Utsmānī, kesahihan sanad, dan kebenaran linguistik Arab.³ Seleksi ini kemudian
menjadi acuan dalam pembakuan qira’at di seluruh dunia Islam. Namun, dalam
praktiknya, setiap wilayah memiliki kecenderungan memilih satu atau dua riwayat
yang paling umum digunakan. Di wilayah Mesir dan sekitarnya, riwayat Ḥafṣ
‘an ‘Āṣim menjadi yang paling dominan karena kemudahannya dan
tradisi pengajaran Al-Azhar yang menggunakannya sebagai standar bacaan.⁴
Dari sisi filologis,
penulisan mushaf juga mengalami perkembangan signifikan. Rasm
‘Utsmānī sebagai sistem ortografi awal Al-Qur’an mempertahankan
sejumlah konvensi ejaan yang tidak sepenuhnya mengikuti tata bahasa Arab
standar, misalnya dalam hal penghilangan huruf hidup (alif) atau variasi dalam
penulisan hamzah.⁵
Ketika mushaf mulai disalin dan dicetak di berbagai wilayah, variasi dalam rasm
dan tanda baca ini sering menimbulkan perbedaan dalam bacaan, bahkan dalam hal
makhraj dan tajwīd. Oleh karena itu, kehadiran percetakan modern membawa
tantangan baru: bagaimana menjaga kesetiaan terhadap rasm
‘Utsmānī yang tradisional sambil memastikan konsistensi fonetik dan
visual dalam format cetak.⁶
Selain masalah
ortografi, aspek fonetik dan semiotik dari bacaan Al-Qur’an juga memainkan
peran penting dalam disiplin qira’at. Setiap qira’at memiliki sistem penekanan
suara, panjang bacaan (madd), dan pola pengucapan yang
khas. Dalam konteks pedagogis, keragaman ini sering kali memperkaya pengalaman
spiritual dan linguistik umat Islam. Namun, di sisi lain, variasi tersebut
dapat menimbulkan kebingungan di kalangan pelajar yang belajar melalui mushaf
cetak tanpa guru yang membimbing secara langsung.⁷ Hal inilah yang menjadi
salah satu alasan utama ulama Al-Azhar pada awal abad ke-20 untuk mendorong
penyeragaman satu bentuk bacaan yang dianggap paling representatif dan mudah
diajarkan di lembaga pendidikan Islam modern.
Filologi Qur’ani
juga berhubungan dengan upaya menjaga otentisitas wahyu dalam dimensi materialnya.
Dalam pandangan klasik Islam, wahyu bukan sekadar makna yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad, tetapi juga bunyi dan struktur linguistik yang harus dipelihara
secara tepat.⁸ Oleh karena itu, setiap usaha kodifikasi atau percetakan teks
suci selalu dipandang sebagai tindakan yang sangat serius dan harus melibatkan
otoritas ulama, bukan semata ahli bahasa atau teknisi percetakan. Dalam konteks
inilah Mushaf Kairo 1924 memperoleh legitimasi kuat: ia berfungsi sebagai
jembatan antara tradisi filologis klasik dengan kebutuhan administratif dan
teknologis dunia modern.⁹
Dengan demikian,
latar belakang filologis dan qira’at dalam tradisi Islam menunjukkan bahwa
proyek standarisasi mushaf tidak dapat dipahami sekadar sebagai tindakan teknis
atau politik, melainkan sebagai manifestasi epistemologi Qur’ani
yang menyeimbangkan antara keutuhan teks dan adaptasi terhadap konteks
historis. Filologi Al-Qur’an bukan hanya disiplin akademis, melainkan juga
sarana pemeliharaan spiritual terhadap wahyu yang diwahyukan “bi-lisān
‘arabiyy mubīn” — dalam bahasa Arab yang jelas dan hidup dalam sejarah.¹⁰
Footnotes
[1]               
Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an
(Leiden: Brill, 1937), 5–7.
[2]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 67–70.
[3]               
Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the
Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the
Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press,
1988), 33–36.
[4]               
François Déroche, La transmission écrite du Coran dans les débuts
de l’islam: Le codex Parisino-petropolitanus (Leiden: Brill, 2009), 91–93.
[5]               
Devin J. Stewart, “Sajʿ in the Qur’an: Prosody and Structure,” Journal
of Arabic Literature 21, no. 2 (1990): 103–104.
[6]               
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 41–44.
[7]               
Nicolai Sinai, “Orality, Literacy, and the ‘Seven Aḥruf’ Hadith,” Bulletin
of the School of Oriental and African Studies 83, no. 1 (2020): 35–38.
[8]               
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community:
Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press,
2014), 121–124.
[9]               
Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur’an
(London: Routledge, 2016), 95–97.
[10]            
Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The
Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 15–18.
4.          
Inisiatif
dan Peran Raja Fu’ad I dalam Proyek Standarisasi
Inisiatif
penyeragaman Mushaf Al-Qur’an di Mesir pada tahun 1924 tidak dapat dilepaskan
dari visi dan kebijakan Raja Fu’ad I (berkuasa
1922–1936), yang berusaha menggabungkan legitimasi politik modern dengan
otoritas religius tradisional. Dalam konteks Mesir pasca-proklamasi kemerdekaan
formal dari Inggris (1922), Fu’ad I menghadapi kebutuhan untuk memperkuat simbol-simbol
kesatuan nasional dan religius guna menstabilkan kekuasaannya di tengah
ketegangan sosial dan politik.¹ Upaya menerbitkan edisi resmi Mushaf Al-Qur’an
menjadi salah satu proyek simbolik paling strategis dalam memperlihatkan
kepemimpinan raja sebagai pelindung agama (ḥāmī al-dīn) sekaligus promotor
kemajuan modern.²
Raja Fu’ad I
memiliki kesadaran politik yang tajam bahwa Al-Azhar, sebagai pusat otoritas
keilmuan dan keagamaan di dunia Islam Sunni, memiliki peran sentral dalam
menentukan legitimasi religius kebijakan negara.³ Oleh karena itu, ia membangun
hubungan sinergis dengan para ulama Al-Azhar, terutama melalui proyek-proyek
yang memperlihatkan perhatian kerajaan terhadap pelestarian warisan Islam
klasik. Salah satu langkah pentingnya adalah mendukung pembentukan komisi
ulama khusus di bawah supervisi langsung Al-Azhar untuk
meninjau, menyeleksi, dan menetapkan teks Al-Qur’an yang akan digunakan sebagai
standar resmi dalam percetakan nasional.⁴
Komisi ini terdiri
atas para ahli qira’at, filolog, dan kaligrafer yang dipilih secara ketat oleh
otoritas Al-Azhar. Di antara tokoh-tokoh penting tersebut terdapat Syekh
Muhammad ibn ‘Ali al-Husaini al-Damirdash al-Mahalli (penulis kaligrafi
mushaf), Syekh ‘Ali Muhammad al-Dabbā‘ (ahli qira’at), dan sejumlah ulama
terkemuka lainnya yang dikenal karena ketelitian filologis dan reputasi
akademiknya.⁵ Tugas komisi ini adalah meneliti berbagai varian mushaf yang
beredar, menyesuaikannya dengan prinsip rasm ‘Utsmānī, dan memastikan bahwa
mushaf yang akan dicetak sesuai dengan riwayat bacaan Ḥafṣ ‘an
‘Āṣim, yang telah lama menjadi tradisi dominan di Mesir.⁶
Raja Fu’ad I secara
pribadi memberikan dukungan finansial dan administratif yang besar terhadap
proyek ini. Percetakan dilakukan di Matba‘at al-Amīrīyah (Percetakan
Pemerintah) di Būlāq, yang pada saat itu merupakan percetakan paling maju di
dunia Arab.⁷ Peralatan modern, termasuk mesin linotype dan sistem koreksi
tipografis baru, digunakan untuk memastikan ketepatan visual dan fonetik teks.
Setiap tahap percetakan diawasi secara langsung oleh anggota komisi Al-Azhar
untuk mencegah kesalahan yang mungkin timbul akibat proses mekanis. Setelah
selesai, mushaf tersebut diserahkan kembali kepada Raja Fu’ad I untuk
mendapatkan persetujuan dan tanda tangan simbolis sebelum diterbitkan secara
resmi.⁸
Selain aspek
religius dan teknis, proyek ini juga memiliki dimensi politik yang kuat.
Melalui penerbitan Edisi Kairo 1924, Fu’ad I
berhasil menampilkan dirinya sebagai pemimpin Muslim modern yang berkomitmen
pada pelestarian wahyu Islam di tengah perubahan zaman.⁹ Tindakan ini
memperkuat posisinya di mata rakyat Mesir dan dunia Islam, sekaligus menegaskan
klaim Mesir sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Islam yang sah. Dalam
pengertian yang lebih luas, inisiatif Raja Fu’ad I tidak hanya melahirkan
mushaf cetak pertama yang diakui secara resmi, tetapi juga membentuk model
relasi baru antara negara modern dan otoritas keagamaan,
di mana teks suci menjadi medan kolaborasi antara kekuasaan politik dan
epistemologi keagamaan.¹⁰
Dengan demikian,
peran Raja Fu’ad I dalam proyek standarisasi mushaf dapat dipahami sebagai
wujud integrasi antara kekuasaan simbolik dan rasionalitas administrasi modern.
Ia tidak hanya memfasilitasi lahirnya teks Al-Qur’an yang seragam secara teknis,
tetapi juga memperkokoh posisi Mesir sebagai penjaga utama tradisi Qur’ani
dalam dunia Islam modern.
Footnotes
[1]               
Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld
& Nicolson, 1971), 217–220.
[2]               
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 31–33.
[3]               
Jakob Skovgaard-Petersen, Defining Islam for the Egyptian State:
Muftis and Fatwas of the Dār al-Iftā (Leiden: Brill, 1997), 44–47.
[4]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 92–93.
[5]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 182–184.
[6]               
Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the
Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the
Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press,
1988), 36–38.
[7]               
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 45–47.
[8]               
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 5–7.
[9]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 154–156.
[10]            
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 106–108.
5.          
Peran
Ulama Al-Azhar dan Proses Editorial Mushaf
Keberhasilan proyek standarisasi
Mushaf Al-Qur’an Edisi Kairo 1924 tidak terlepas dari peran
sentral ulama Al-Azhar sebagai otoritas
keilmuan yang mengawasi secara ketat seluruh tahapan penyusunan, penyalinan,
dan pencetakan mushaf. Dalam tradisi Islam, Al-Azhar memiliki reputasi sebagai
lembaga yang menjaga kesinambungan keilmuan (isnād) dan validitas teks-teks suci
melalui metodologi ilmiah yang berbasis pada transmisi dan verifikasi.¹ Oleh
karena itu, keterlibatan para ulama Al-Azhar dalam proyek ini memberikan
legitimasi religius sekaligus memastikan bahwa setiap huruf, harakat, dan tanda
baca dalam mushaf dicetak sesuai dengan standar yang telah disepakati secara
teologis dan filologis.²
Raja Fu’ad I,
setelah menyetujui pembentukan komisi penyusun, menyerahkan pengawasan langsung
kepada Al-Azhar.³ Komisi tersebut dipimpin oleh sejumlah ulama besar qira’at
dan ahli bahasa, di antaranya Syekh al-Maqāri’īn (Ketua Qira’at), Syekh ‘Ali Muhammad
al-Dabbā‘, dan kaligrafer terkemuka Syekh Muhammad ibn ‘Ali al-Husaini
al-Damirdash al-Mahalli.⁴ Mereka bertugas meneliti berbagai naskah dan mushaf
yang beredar di Mesir dan wilayah Islam lainnya, untuk kemudian
membandingkannya dengan sumber-sumber klasik dalam ilmu qira’at dan rasm
‘Utsmānī.
Langkah pertama yang
dilakukan oleh komisi adalah penetapan riwayat bacaan yang akan dijadikan
dasar mushaf. Setelah melalui diskusi panjang, disepakati bahwa
yang digunakan adalah riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim, karena
merupakan bacaan yang paling umum di Mesir dan banyak wilayah Islam Timur.⁵
Pemilihan ini juga didasarkan pada pertimbangan pedagogis: riwayat Ḥafṣ
dianggap paling mudah untuk diajarkan dan memiliki tradisi oral yang paling
konsisten di lembaga-lembaga tahfidz dan pendidikan Al-Azhar.⁶
Tahap berikutnya
adalah verifikasi
filologis dan ortografis terhadap seluruh teks mushaf. Para
ulama Al-Azhar meneliti kesesuaian rasm (tulisan) dengan aturan ‘Utsmānī yang
diwariskan dari masa khalifah ketiga, serta memastikan bahwa tanda baca, titik,
dan harakat ditulis sesuai dengan prinsip ilmu dabt al-Qur’ān yang telah
dikodifikasi sejak abad pertengahan.⁷ Setiap halaman mushaf ditelaah secara
berulang dan dibandingkan dengan manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di
perpustakaan Al-Azhar dan Dar al-Kutub al-Miṣriyyah. Proses koreksi dilakukan
secara berlapis: pertama oleh tim penulis dan kaligrafer, kemudian diverifikasi
oleh komisi ulama qira’at, dan akhirnya disahkan oleh Syekh al-Azhar sebagai
bentuk pengakuan resmi.⁸
Dalam proses
percetakan, ulama Al-Azhar juga berperan sebagai penjaga
integritas tipografis. Mereka mendampingi teknisi percetakan
Matba‘at al-Amīriyyah untuk memastikan bahwa setiap huruf tercetak dengan
benar, tanpa cacat bentuk atau pergeseran fonetik yang dapat memengaruhi
makna.⁹ Setiap lembar yang selesai dicetak diuji bacanya (tahqīq
al-tilāwah) secara lisan oleh para qāri’ senior Al-Azhar, sehingga
proses validasi tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga oral, sesuai tradisi
transmisi Qur’ani.¹⁰
Menarik untuk
dicatat bahwa dalam komisi ini terdapat perdebatan internal di kalangan ulama
terkait penerapan tanda baca modern (tashkīl)
dan sistem numerasi ayat. Sebagian ulama konservatif menolak perubahan kecil
pada tanda waqf
dan sajdah,
karena dianggap menyimpang dari mushaf klasik.¹¹ Namun, mayoritas anggota
komisi berpendapat bahwa perubahan tersebut bersifat teknis dan tidak
memengaruhi aspek teologis teks, melainkan justru memudahkan pembaca awam
memahami struktur dan intonasi bacaan.¹² Keputusan akhirnya adalah
mempertahankan sistem klasik rasm ‘Utsmānī dengan penyesuaian minimal pada tashkīl
dan tanda baca untuk tujuan pedagogis.
Proses editorial
Mushaf Kairo 1924 ini berlangsung dengan disiplin ilmiah yang luar biasa dan
menjadi preseden penting dalam sejarah percetakan teks suci Islam.¹³ Dengan
pengawasan ketat Al-Azhar, mushaf tersebut tidak hanya menjadi standar
filologis, tetapi juga simbol konsensus epistemik antara tradisi lisan dan
tulisan. Dalam perspektif sejarah ilmu Qur’an, peran ulama Al-Azhar dalam
proyek ini memperlihatkan bahwa otoritas keagamaan dan teknologi modern
dapat bersinergi untuk menjaga keotentikan teks wahyu tanpa kehilangan
sakralitasnya.¹⁴
Footnotes
[1]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 210–213.
[2]               
François Déroche, La transmission écrite du Coran dans les débuts
de l’islam: Le codex Parisino-petropolitanus (Leiden: Brill, 2009),
115–118.
[3]               
Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld
& Nicolson, 1971), 219–220.
[4]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 94–95.
[5]               
Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the
Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the
Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press,
1988), 36–37.
[6]               
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 7–9.
[7]               
Devin J. Stewart, “Sajʿ in the Qur’an: Prosody and Structure,” Journal
of Arabic Literature 21, no. 2 (1990): 101–103.
[8]               
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 48–51.
[9]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 185–187.
[10]            
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 34–36.
[11]            
Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The
Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 23–24.
[12]            
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 109–111.
[13]            
François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo
Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 29–32.
[14]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a
Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford
University Press, 2014), 125–127.
6.          
Proses
Percetakan dan Distribusi Edisi Kairo 1924
Proses percetakan Mushaf
Kairo 1924 merupakan momen monumental dalam sejarah
materialisasi teks suci Islam. Ia menandai peralihan penting dari tradisi
manuskrip (naskh
al-yadawī) menuju teknologi cetak modern yang diatur dan
disupervisi langsung oleh lembaga keagamaan tertinggi, Al-Azhar,
dengan dukungan penuh dari kerajaan Mesir di bawah Raja
Fu’ad I.¹ Penerbitan ini dilakukan di Matba‘at
al-Amīriyyah, atau Percetakan Pemerintah Mesir di Būlāq, yang
telah lama dikenal sebagai pusat percetakan paling maju di dunia Arab sejak
abad ke-19.²
6.1.      
Infrastruktur Percetakan dan Teknologi
Tipografi
Percetakan Mushaf
Kairo 1924 menggunakan mesin linotype dan teknologi
tipografi logam yang memungkinkan pencetakan huruf Arab dengan presisi tinggi.³
Meskipun teknologi ini awalnya dikembangkan untuk bahasa Latin, insinyur Mesir
berhasil memodifikasinya agar sesuai dengan kompleksitas huruf Arab, terutama
dalam konteks Al-Qur’an yang membutuhkan akurasi tinggi dalam tanda baca (tashkīl)
dan sistem waqf.⁴
Setiap halaman mushaf dirancang dengan tata letak yang seimbang antara
keindahan kaligrafi dan keterbacaan, mengikuti prinsip estetika Islam yang
menekankan harmoni antara bentuk dan makna.
Kaligrafi mushaf
ditulis tangan terlebih dahulu oleh Syekh Muhammad ibn ‘Ali al-Husaini al-Damirdash
al-Mahalli, seorang kaligrafer terkemuka Al-Azhar.⁵ Naskah
kaligrafi tersebut kemudian difoto dan direproduksi menjadi pelat logam untuk
proses pencetakan massal. Proses ini menggabungkan keahlian tradisional (khatt
Qur’ani) dengan teknologi modern dalam cara yang belum pernah
dilakukan sebelumnya di dunia Islam. Sebelum setiap pelat digunakan, dilakukan
proses verifikasi oleh para qāri’ dan ulama Al-Azhar guna memastikan tidak ada
kesalahan dalam satu huruf pun, karena setiap kekeliruan tipografis dapat
berdampak teologis dan filologis serius.⁶
6.2.      
Standarisasi Tipografi dan Ortografi
Salah satu
pencapaian penting dari Edisi Kairo 1924 adalah penerapan sistem tipografi dan
ortografi yang terstandar. Komisi ulama menetapkan format baku untuk jumlah
baris per halaman (15 baris), ukuran teks, sistem tanda ayat,
serta pembagian juz, hizb, dan rub‘ al-hizb.⁷ Selain itu, sistem tashkīl
dan waqf
diperbarui dengan penyesuaian minimal untuk meningkatkan keterbacaan bagi
pembaca awam tanpa mengubah substansi bacaan.⁸ Misalnya, tanda saktah,
wasl,
dan madd
dicetak dengan tinta yang sedikit berbeda untuk membedakan fungsi fonetik dan
tata bahasa. Dengan demikian, Mushaf Kairo tidak hanya menjadi teks yang sahih
secara teologis, tetapi juga menjadi karya tipografi Qur’ani paling presisi dan
terindeks dalam sejarah modern.
Dalam proses ini,
percetakan juga harus menyesuaikan antara keindahan visual dan ketepatan fonetik.
Huruf-huruf seperti ṣād, ḍād, ṭā’, dan ẓā’
dicetak dengan bentuk kaligrafis khas Kufik-Naskhi yang menonjolkan simetri dan
ketegasan bentuk.⁹ Proses koreksi dilakukan berlapis: setiap halaman diperiksa
oleh kaligrafer, diverifikasi oleh ahli qira’at, kemudian disahkan secara resmi
oleh Syekh al-Azhar sebelum dicetak massal.¹⁰
6.3.      
Publikasi dan Distribusi Internasional
Setelah percetakan
selesai, mushaf pertama diserahkan secara simbolis kepada Raja
Fu’ad I dan Syekh al-Azhar sebagai tanda
pengesahan resmi.¹¹ Distribusi pertama dilakukan di seluruh Mesir, terutama ke
sekolah-sekolah Al-Azhar, masjid-masjid besar, dan lembaga pendidikan Islam.
Pemerintah Mesir juga mengirimkan sejumlah salinan ke berbagai negara Islam,
seperti Hijaz (Arab Saudi), Sudan, Suriah, dan India, sebagai bagian dari
diplomasi budaya dan keagamaan.¹²
Penerimaan terhadap
Edisi Kairo 1924 sangat luas. Di banyak wilayah Islam, terutama Afrika Utara
dan Asia Selatan, mushaf ini segera dijadikan rujukan utama dalam sistem
pendidikan Al-Qur’an.¹³ Bahkan di Turki dan dunia Melayu, di mana sebelumnya
digunakan mushaf cetak Istanbul dan Bombay, Edisi Kairo secara bertahap
menggantikan versi-versi tersebut karena reputasi keilmiahan dan legitimasi
Al-Azhar.¹⁴ Keberhasilan distribusi ini juga diperkuat oleh teknologi
percetakan modern yang memungkinkan replikasi cepat dan murah tanpa menurunkan
kualitas keakuratan teks.
Signifikansi Historis dan Tekstual
Proses percetakan
dan distribusi Mushaf Kairo 1924 bukan hanya peristiwa teknis, melainkan tonggak
epistemologis dalam sejarah teks Qur’ani modern. Untuk pertama
kalinya, sebuah lembaga Islam resmi mengintegrasikan tradisi tahqīq
(verifikasi ilmiah teks) dengan teknologi industri.¹⁵ Standarisasi ini
menciptakan bentuk material teks Al-Qur’an yang kemudian menjadi acuan bagi
mushaf cetak internasional, termasuk edisi-edisi berikutnya yang diterbitkan di
Madinah (1985) dan Istanbul (1989).¹⁶
Dengan demikian,
Mushaf Kairo 1924 bukan sekadar dokumen religius, melainkan simbol keberhasilan
modernisasi
Islam berbasis tradisi, di mana ulama dan teknologi
berkolaborasi untuk melestarikan wahyu dalam bentuk yang paling sahih, indah,
dan universal.¹⁷
Footnotes
[1]               
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 38–39.
[2]               
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 39–41.
[3]               
Peter Mansfield, The British in Egypt (London: Weidenfeld
& Nicolson, 1971), 223–225.
[4]               
Devin J. Stewart, “Arabic Script and the Challenges of Printing the
Qur’an,” Journal of Islamic Manuscripts 6, no. 2 (2015): 145–148.
[5]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 186–188.
[6]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 97–99.
[7]               
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 9–12.
[8]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 217–219.
[9]               
François Déroche, La transmission écrite du Coran dans les débuts
de l’islam: Le codex Parisino-petropolitanus (Leiden: Brill, 2009),
119–121.
[10]            
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 46–48.
[11]            
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam, 40–42.
[12]            
Peter Mandaville, Transnational Muslim Politics: Reimagining the
Umma (London: Routledge, 2001), 77–79.
[13]            
François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo
Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 33–36.
[14]            
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 312–314.
[15]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a
Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford
University Press, 2014), 128–130.
[16]            
Andrew Rippin, The Qur’an and Its Interpretative Tradition
(Aldershot: Ashgate, 2001), 95–97.
[17]            
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 112–114.
7.          
Dampak
dan Pengaruh terhadap Dunia Islam
Penerbitan Mushaf
Kairo 1924 membawa dampak yang luar biasa terhadap perkembangan
filologi Qur’ani, pendidikan Islam, dan otoritas keagamaan di dunia Islam
modern. Ia tidak hanya menjadi tonggak sejarah percetakan mushaf yang paling
otentik dan sistematis, tetapi juga menjadi model epistemologis dan simbol legitimasi
keagamaan bagi umat Islam di berbagai wilayah.¹ Sejak awal
distribusinya, mushaf ini segera memperoleh pengakuan luas karena keterlibatan
langsung Al-Azhar dalam proses
penyusunan dan pengesahan, menjadikannya mushaf pertama dalam sejarah Islam
yang memiliki legitimasi institusional, teologis, dan politik secara
bersamaan.²
7.1.      
Pengaruh terhadap Standardisasi Mushaf Global
Salah satu dampak
utama dari Mushaf Kairo adalah terciptanya standar global bagi teks cetak Al-Qur’an.³
Sebelum 1924, dunia Islam mengenal beragam edisi mushaf yang bervariasi dalam rasm,
tanda baca, dan sistem tashkīl. Percetakan Istanbul (1874)
dan Bombay (1890-an) misalnya, telah menghasilkan mushaf-mushaf populer di
kalangan umat Islam, tetapi belum memiliki satu otoritas keagamaan tunggal yang
menyetujuinya.⁴ Setelah edisi Kairo diterbitkan, mushaf tersebut menjadi
rujukan utama dalam percetakan Al-Qur’an di banyak negara Muslim, termasuk Arab
Saudi, Suriah, India, Pakistan, dan Indonesia.⁵
Di Arab Saudi,
misalnya, proyek Mushaf Madinah yang diterbitkan
oleh Majma‘
al-Malik Fahd pada tahun 1985 secara eksplisit mengacu pada Mushaf
Kairo 1924 sebagai basis filologisnya, terutama dalam aspek ortografi dan
sistem penulisan ayat.⁶ Demikian pula, percetakan Al-Qur’an di Turki dan
Pakistan mengadopsi format Kairo dalam pembagian halaman, jumlah baris, serta
struktur tanda baca. Pengaruh ini menciptakan keseragaman internasional dalam
penulisan dan pembacaan Al-Qur’an yang sebelumnya belum pernah dicapai dalam sejarah
Islam modern.⁷
7.2.      
Dampak terhadap Pendidikan dan Hafalan
Al-Qur’an
Di bidang pendidikan
Islam, Mushaf Kairo 1924 membawa revolusi pedagogis dalam metode
pengajaran dan hafalan Al-Qur’an.⁸ Sebelum standarisasi ini, perbedaan dalam
qira’at dan tanda baca sering menimbulkan kebingungan di kalangan pelajar,
terutama di lembaga pendidikan yang tidak memiliki pengajar bersanad langsung.
Setelah edisi Kairo diterbitkan, Al-Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan di
dunia Islam mulai menggunakan mushaf ini sebagai rujukan utama dalam kurikulum
tahfidz dan tajwid.⁹
Dengan konsistensi
ortografi dan struktur halaman yang seragam, metode hafalan menjadi lebih mudah
karena pelajar di seluruh dunia mengacu pada format mushaf yang sama.¹⁰
Fenomena ini memperkuat kesatuan liturgis dalam ibadah dan pembacaan Al-Qur’an
di berbagai mazhab Islam Sunni, tanpa menghapus keberagaman qira’at yang sahih.
Dalam konteks ini, Mushaf Kairo menjadi simbol persatuan epistemik dunia Islam
melalui teks wahyu yang seragam dalam bentuk materialnya, meskipun tetap plural
dalam tradisi bacaan.¹¹
7.3.      
Pengaruh terhadap Studi Filologi dan Kritik
Teks Modern
Dari perspektif
akademik, Mushaf Kairo 1924 juga menjadi titik rujukan utama bagi studi filologi
Qur’ani modern. Para orientalis dan filolog Barat seperti
Arthur Jeffery, Régis Blachère, dan François Déroche menggunakan edisi ini
sebagai base
text dalam penelitian komparatif terhadap manuskrip-manuskrip
Qur’an awal.¹² Meskipun beberapa sarjana Barat mengkritik upaya standardisasi
ini karena dianggap menghapus keragaman historis teks, sebagian besar ilmuwan
Muslim justru memandangnya sebagai pencapaian monumental dalam konservasi
wahyu.¹³
Dalam konteks ini,
Mushaf Kairo menjadi medan pertemuan antara tradisi Islam dan studi
akademik modern. Ia memperlihatkan bagaimana ilmu qirā’at,
rasm
‘Utsmānī, dan ‘ulūm al-Qur’ān dapat dikaji dengan
pendekatan ilmiah tanpa menanggalkan aspek spiritual dan sakralitas teks.¹⁴
Bahkan hingga kini, Mushaf Kairo 1924 menjadi sumber rujukan utama bagi
lembaga-lembaga penelitian Qur’an internasional seperti Dar
al-Ifta al-Misriyyah, Majma‘ al-Malik Fahd, dan Institut
du Monde Arabe di Paris.¹⁵
7.4.      
Dimensi Politik dan Kultural
Selain pengaruh
keilmuan, penerbitan Mushaf Kairo 1924 juga memiliki dimensi
politik dan kultural yang luas. Mesir, melalui proyek ini,
berhasil meneguhkan posisinya sebagai pusat otoritas Islam internasional
pada era modern.¹⁶ Dalam konteks geopolitik Islam pasca-Khilafah Utsmaniyah,
edisi ini berfungsi sebagai instrumen diplomasi religius yang memperkuat klaim
Mesir atas kepemimpinan kultural dan spiritual dunia Islam.¹⁷ Dengan
menyebarkan mushaf yang diakui oleh Al-Azhar, Mesir tidak hanya mengekspor teks
suci, tetapi juga mengekspor otoritas keagamaannya.
Penyebaran mushaf
ini juga mempengaruhi produksi dan estetika mushaf di berbagai wilayah Muslim.
Di Asia Tenggara, misalnya, mushaf terbitan Indonesia dan Malaysia sejak
pertengahan abad ke-20 meniru tata letak dan sistem tashkīl Mushaf Kairo, bahkan dalam
penggunaan ornamen geometris dan iluminasi halaman.¹⁸ Hal ini menunjukkan bahwa
Mushaf Kairo bukan hanya teks religius, tetapi juga artefak
budaya global yang memengaruhi estetika Islam lintas bangsa.¹⁹
Kesimpulan Sementara
Secara keseluruhan,
dampak Mushaf Kairo 1924 melampaui ranah percetakan dan teks. Ia meneguhkan
Al-Qur’an sebagai teks yang mampu bertahan dalam transformasi teknologi dan
geopolitik modern, tanpa kehilangan otoritas teologisnya. Proyek ini membentuk sintesis
antara tradisi keagamaan dan modernitas teknologis, menjadikan
teks suci Islam bukan hanya simbol iman, tetapi juga simbol peradaban yang
mampu beradaptasi dengan zaman.²⁰
Footnotes
[1]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 190–193.
[2]               
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 44–45.
[3]               
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 12–14.
[4]               
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 49–51.
[5]               
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 115–117.
[6]               
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a
Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University
Press, 2014), 130–131.
[7]               
Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the
Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the
Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press,
1988), 38–40.
[8]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 221–223.
[9]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 100–102.
[10]            
François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo
Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 33–35.
[11]            
Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The
Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 26–27.
[12]            
Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an
(Leiden: Brill, 1937), 15–18.
[13]            
Régis Blachère, Introduction au Coran (Paris: G.P.
Maisonneuve, 1959), 99–101.
[14]            
Andrew Rippin, The Qur’an and Its Interpretative Tradition
(Aldershot: Ashgate, 2001), 97–99.
[15]            
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,”
15–17.
[16]            
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 160–162.
[17]            
Peter Mandaville, Transnational Muslim Politics: Reimagining the
Umma (London: Routledge, 2001), 80–83.
[18]            
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 315–317.
[19]            
Iik Arifin Mansurnoor, “The Transmission of Qur’anic Orthography to the
Malay World,” Studia Islamika 5, no. 3 (1998): 65–67.
[20]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
134–136.
8.          
Kritik
dan Kontroversi Akademik
Meskipun Mushaf
Kairo 1924 dianggap sebagai pencapaian monumental dalam sejarah
tekstual Al-Qur’an, proyek standarisasi ini tidak luput dari kritik dan
perdebatan akademik. Kritik tersebut datang dari dua arah utama: pertama, dari
kalangan orientalis dan filolog Barat,
yang mempertanyakan implikasi historis dan tekstual dari upaya standardisasi;
kedua, dari sebagian ulama dan intelektual Muslim,
yang menyoroti aspek ideologis dan politik di balik keterlibatan negara dalam
urusan keagamaan.¹
8.1.      
Kritik Filologis dan Orientalis Barat
Para sarjana Barat
seperti Arthur Jeffery, John
Wansbrough, dan Régis Blachère memandang Edisi
Kairo 1924 sebagai bentuk kanonisasi institusional yang
menutupi keragaman tradisi tekstual Al-Qur’an yang sebelumnya eksis.² Jeffery,
dalam karya monumentalnya Materials for the History of the Text of the
Qur’an, menegaskan bahwa edisi ini menghapus keberagaman ortografi
dan varian bacaan (qirā’āt shādhah) yang sebenarnya
menjadi bagian dari sejarah perkembangan naskah.³ Menurutnya, standardisasi tersebut
lebih merupakan tindakan administratif daripada refleksi autentik dari sejarah
pewarisan teks.⁴
Kritik serupa
dikemukakan oleh John Wansbrough, yang memandang proyek Mushaf Kairo sebagai
bukti dari proses textual closure—yakni penutupan
ruang interpretasi tekstual yang sebelumnya terbuka dalam tradisi tafsir dan
qira’at.⁵ Dalam kerangka teori scripturalization, ia berargumen
bahwa modernisasi percetakan telah memaksa teks wahyu untuk menyesuaikan diri
dengan paradigma modern tentang “teks final”, yang secara historis asing bagi
tradisi Islam yang bersifat lisan dan pluriform.⁶ Dengan demikian, menurut
sebagian filolog Barat, Mushaf Kairo 1924 menandai transisi dari oral
scripture menuju printed scripture, yang membawa
implikasi epistemologis signifikan terhadap cara umat Islam memahami wahyu.⁷
Namun, kritik ini
tidak lepas dari bias epistemologis kolonial. Banyak sarjana Muslim menilai
bahwa pandangan orientalis cenderung mengabaikan dimensi spiritual dan teologis
dari teks wahyu, serta peran aktif ulama dalam menjaga transmisi Al-Qur’an
secara ilmiah dan berkesinambungan.⁸ Dalam konteks ini, Mushaf Kairo justru
dipandang bukan sebagai bentuk “penyempitan”, melainkan sebagai penegasan
otoritas sanad dalam format modern yang sesuai dengan tuntutan zaman.⁹
8.2.      
Kritik Intelektual Muslim dan Isu Politik
Keagamaan
Dari kalangan
intelektual Muslim sendiri, kritik terhadap proyek ini umumnya berkisar pada dimensi
politik dan ideologis. Sebagian ulama kontemporer, seperti
Rashid Rida, menilai bahwa keterlibatan langsung kerajaan dalam proyek mushaf
berpotensi menimbulkan campur tangan politik terhadap otoritas keagamaan.¹⁰
Mereka khawatir bahwa tindakan ini dapat menjadi preseden bagi negara untuk
mengontrol wacana keagamaan melalui legitimasi institusional terhadap teks
suci.¹¹
Selain itu, muncul
pula kritik terhadap pemilihan tunggal qira’at Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim
sebagai dasar edisi resmi. Meskipun pilihan ini didasarkan pada pertimbangan
praktis dan tradisi lokal Mesir, beberapa ulama dari Afrika Utara dan
Maghrib—yang menggunakan riwayat Warsh—menganggap keputusan ini sebagai bentuk
marginalisasi tradisi bacaan lain yang sah dalam kerangka qira’at
mutawātirah.¹² Kritik ini terutama mengemuka di kalangan ulama Maroko dan
Aljazair, yang menilai bahwa hegemonisasi bacaan Ḥafṣ mencerminkan dominasi
budaya Mesir dalam dunia Islam modern.¹³
Kritik internal ini
kemudian berkembang dalam diskursus hermeneutis yang lebih luas mengenai otoritas
teks dan makna. Beberapa sarjana Muslim modernis, seperti Nasr
Hamid Abu Zayd, menyoroti bahwa proses standarisasi telah menjadikan teks
Al-Qur’an semakin “tertutup” terhadap pembacaan kontekstual.¹⁴ Dalam
pandangannya, Mushaf Kairo merepresentasikan tekstualisasi wahyu—yakni penguatan
status Al-Qur’an sebagai objek tertulis dan final—yang berdampak pada
menurunnya ruang tafsir yang dinamis sebagaimana hidup dalam tradisi klasik
Islam.¹⁵
8.3.      
Respons Akademik dan Rehabilitasi Perspektif
Meskipun demikian,
mayoritas sarjana Muslim kontemporer memandang proyek ini secara positif,
dengan menekankan keseimbangan antara tradisi dan modernitas.¹⁶ Menurut Yasir
Qadhi, standardisasi Mushaf Kairo bukanlah bentuk penyederhanaan teologis,
melainkan mekanisme tahqīq (verifikasi ilmiah) terhadap
teks wahyu dengan memanfaatkan teknologi cetak tanpa menyalahi prinsip
otentisitas sanad.¹⁷ François Déroche bahkan menyebutnya sebagai “the most
scientifically supervised Qur’anic publication in modern history,” yang
berhasil menggabungkan otoritas keilmuan klasik dengan metodologi teknologis
baru.¹⁸
Dengan demikian,
kontroversi akademik seputar Mushaf Kairo 1924 memperlihatkan bahwa proyek ini
merupakan arena epistemologis antara tradisi, modernitas,
dan otoritas. Kritik-kritik yang muncul, baik dari luar maupun
dari dalam dunia Islam, justru memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana teks
suci dipelihara, dimaknai, dan dilegitimasi dalam konteks sejarah modern.
Proyek ini menjadi cermin dari ketegangan abadi antara keinginan untuk menjaga
kemurnian wahyu dan kebutuhan untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman.¹⁹
Footnotes
[1]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 193–195.
[2]               
Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an
(Leiden: Brill, 1937), 5–7.
[3]               
Ibid., 12–14.
[4]               
Régis Blachère, Introduction au Coran (Paris: G.P.
Maisonneuve, 1959), 102–104.
[5]               
John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of
Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1977), 43–45.
[6]               
Ibid., 49–52.
[7]               
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a
Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford
University Press, 2014), 138–140.
[8]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 225–227.
[9]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 104–106.
[10]            
Rashid Rida, Al-Manār, vol. 25 (Cairo: Matba‘at al-Manār,
1925), 55–58.
[11]            
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 46–48.
[12]            
François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo
Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 36–38.
[13]            
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 118–120.
[14]            
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 17–20.
[15]            
Ibid., 24–26.
[16]            
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 18–20.
[17]            
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” 107–108.
[18]            
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction,
196–197.
[19]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
142–143.
9.          
Analisis
Hermeneutis dan Filologis
Kajian terhadap Mushaf
Kairo 1924 tidak hanya relevan dari perspektif sejarah dan
politik, tetapi juga membuka ruang bagi analisis hermeneutis
dan filologis
yang mendalam. Dari sisi hermeneutika, mushaf ini menjadi titik temu antara
teks suci sebagai wahyu transenden dan teks tertulis sebagai konstruksi
historis. Sementara dari sisi filologi, edisi ini merepresentasikan puncak
usaha ilmiah untuk menata bentuk material Al-Qur’an berdasarkan prinsip rasm
‘Utsmānī yang diwariskan secara turun-temurun.¹ Dengan demikian,
Mushaf Kairo menjadi cermin bagi dua lapisan epistemologis dalam studi Qur’ani:
lapisan spiritual yang tak terpisahkan dari wahyu, dan lapisan
linguistik-material yang tunduk pada kaidah filologis manusiawi.²
9.1.      
Hermeneutika Otoritas dan Tekstualitas
Dalam perspektif
hermeneutika Islam, teks Al-Qur’an tidak pernah berdiri sebagai “objek
tertutup” melainkan selalu hidup melalui relasi antara wahyu, pembaca, dan
tradisi penafsiran (tafsīr).³ Penerbitan Mushaf Kairo
1924 menandai suatu bentuk hermeneutika institusional, di
mana otoritas penafsiran dan penentuan bentuk teks tidak lagi sepenuhnya
bersifat individual atau komunitarian, tetapi dimediasi oleh lembaga formal
seperti Al-Azhar.⁴ Proyek ini, dengan demikian, bukan hanya tindakan filologis,
melainkan juga tindakan hermeneutis—sebuah upaya menegaskan “makna yang sah”
melalui pemilihan bentuk teks yang dianggap paling representatif terhadap
kesatuan wahyu.
Angelika Neuwirth
mengemukakan bahwa tindakan semacam ini memperlihatkan perubahan mendasar dalam
cara umat Islam memahami wahyu: dari wahyu yang hidup dalam performativitas oral
menuju wahyu yang mengendap dalam bentuk tertulis dan
institusional.⁵ Namun, dalam tradisi Islam sendiri, perubahan ini
tidak dipandang sebagai desakralisasi, melainkan sebagai pematangan
historis teks suci—sebuah bentuk ijtihād kolektif yang memperluas
otoritas spiritual ke ranah administratif.⁶ Dengan demikian, Mushaf Kairo
merepresentasikan sebuah bentuk ta’wīl fi‘li (penafsiran dalam
tindakan), di mana penyusunan teks menjadi bagian dari proses peneguhan makna
wahyu di era modern.⁷
9.2.      
Filologi Qur’ani dan Rekonstruksi Tekstual
Dari perspektif
filologi, Mushaf Kairo 1924 merupakan hasil penerapan prinsip tahqīq
al-nuṣūṣ—yakni proses verifikasi ilmiah atas teks berdasarkan
rujukan naskah-naskah otoritatif terdahulu.⁸ Para ulama Al-Azhar yang terlibat
menggunakan pendekatan filologis yang cermat: membandingkan varian manuskrip
kuno, menyesuaikan ortografi dengan rasm ‘Utsmānī, dan menstandardisasi
sistem tanda baca agar sesuai dengan riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim.⁹ Dalam hal ini,
Mushaf Kairo dapat dianggap sebagai edisi kritis (critical edition) dalam tradisi
Islam, yang meskipun tidak mengakui konsep “rekonstruksi historis” seperti
dalam filologi Barat, tetap mengandung semangat yang sama: menjaga integritas
teks berdasarkan disiplin ilmiah dan sanad yang sah.¹⁰
François Déroche
mencatat bahwa proyek ini berhasil menggabungkan kritik tekstual internal
(berdasarkan ilmu qira’at) dan kritik tekstual eksternal
(berdasarkan naskah dan ortografi), menghasilkan edisi yang tidak hanya indah
secara visual, tetapi juga paling stabil secara filologis di antara mushaf
modern.¹¹ Melalui Mushaf Kairo, para ulama Al-Azhar menunjukkan bahwa filologi
Qur’ani tidak sekadar bersifat teknis, melainkan juga spiritual: setiap huruf
diverifikasi bukan hanya oleh pembaca profesional, tetapi juga oleh qāri’ yang
memiliki sanad bacaan yang berujung pada Nabi.¹² Dengan demikian, filologi
Qur’ani berfungsi sebagai jembatan epistemologis antara disiplin rasional dan
tradisi wahyu.
9.3.      
Hermeneutika Material dan Visualitas Mushaf
Aspek lain yang
penting adalah hermeneutika material, yakni
pemahaman terhadap bagaimana bentuk fisik teks berperan dalam mengonstruksi
makna spiritual. Mushaf Kairo 1924 tidak hanya menampilkan teks Al-Qur’an
secara rapi dan terstandar, tetapi juga menghadirkan estetika yang
merefleksikan konsep tanzīl (turunnya wahyu secara
bertahap).¹³ Struktur halaman, keteraturan baris, dan iluminasi sederhana tanpa
ornamen berlebihan menunjukkan upaya menyeimbangkan kesakralan dengan
keterbacaan modern. Dalam hal ini, materialitas mushaf menjadi bagian dari
makna itu sendiri—visualitas yang mengandung teologi keteraturan dan keindahan
ilahi.¹⁴
Pendekatan ini
sejalan dengan pandangan hermeneutika Islam klasik yang menegaskan bahwa bentuk
(ṣūrah)
dan makna (ma‘nā)
tidak dapat dipisahkan secara mutlak.¹⁵ Setiap penataan huruf dan halaman
merupakan bentuk tafsir non-verbal terhadap pesan ilahi. Oleh sebab itu, Mushaf
Kairo tidak hanya berfungsi sebagai teks, tetapi juga sebagai objek
simbolik yang mengandung interpretasi tersirat atas
kesempurnaan wahyu.¹⁶
Integrasi antara Tradisi dan Modernitas
Analisis hermeneutis
dan filologis atas Mushaf Kairo 1924 memperlihatkan bahwa proyek ini berhasil mengintegrasikan
tradisi Islam klasik dengan metodologi modern. Ia
mempertahankan otoritas sanad dan prinsip kesucian teks, sambil mengadopsi
teknik percetakan, sistem tipografi, dan metodologi editorial yang lahir dari
modernitas industri.¹⁷ Dalam hal ini, Mushaf Kairo menjadi paradigma modernitas
Islam, yakni modernitas yang tidak memutus kontinuitas dengan
tradisi, melainkan mengekspresikan tradisi dalam bentuk baru yang relevan
dengan zamannya.¹⁸
Dengan demikian,
analisis hermeneutis dan filologis terhadap Mushaf Kairo menegaskan bahwa
proyek 1924 bukanlah sekadar usaha teknis untuk menyeragamkan bacaan, tetapi
merupakan tindakan epistemologis dan spiritual:
upaya manusiawi untuk menjaga wahyu dalam batas-batas historisnya, tanpa
menguranginya dari dimensi ilahinya.¹⁹
Footnotes
[1]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 197–199.
[2]               
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a
Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford
University Press, 2014), 145–147.
[3]               
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 31–34.
[4]               
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 50–51.
[5]               
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
149–150.
[6]               
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 121–123.
[7]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 109–111.
[8]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 228–230.
[9]               
François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo
Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 39–41.
[10]            
Adrian Brockett, “The Value of the Hafs and Warsh Transmissions for the
Textual History of the Qur’an,” in Approaches to the History of the
Interpretation of the Qur’an, ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press,
1988), 40–42.
[11]            
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction,
200–201.
[12]            
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam, 52–53.
[13]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
152–154.
[14]            
Devin J. Stewart, “The Aesthetics of Qur’anic Manuscripts,” Journal
of Qur’anic Studies 14, no. 2 (2012): 25–28.
[15]            
Al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah (Cairo: al-Maktabah al-Kubrā,
1952), 77–79.
[16]            
Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The
Qur’an Commentary of al-Thaʿlabī,” Qur’anic Studies Series 1 (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 30–32.
[17]            
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 21–23.
[18]            
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age,
124–125.
[19]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
156–157.
10.       Relevansi Kontemporer
Lebih dari satu abad
setelah penerbitannya, Mushaf Kairo 1924 tetap
memegang posisi sentral dalam studi Qur’ani, pendidikan Islam, dan konstruksi
identitas keagamaan di dunia Muslim modern. Proyek ini, yang awalnya
dimaksudkan untuk menyeragamkan bacaan dan tulisan Al-Qur’an di Mesir, kini
telah melampaui batas geografisnya dan menjadi model global bagi otoritas teks keagamaan di
era digital.¹ Dalam konteks kontemporer, relevansi Mushaf Kairo
tidak hanya terletak pada statusnya sebagai teks cetak resmi, tetapi juga pada
kemampuannya menavigasi ketegangan antara tradisi dan modernitas, serta antara
sakralitas wahyu dan reproduksi teknologi.²
10.1.   
Otoritas Al-Azhar dan Legitimasi Keagamaan
Global
Edisi Kairo telah
meneguhkan Al-Azhar sebagai pusat otoritas
Qur’ani dunia Islam modern. Dengan mushaf tersebut, Al-Azhar tidak hanya
berperan sebagai lembaga pendidikan dan fatwa, tetapi juga sebagai penjaga
keaslian teks wahyu dalam skala internasional.³ Dalam era
globalisasi, ketika teks Al-Qur’an beredar secara bebas dalam bentuk digital
dan daring, legitimasi Al-Azhar terhadap edisi Kairo menjadi tolok ukur
keabsahan bagi banyak penerbit dan lembaga keagamaan di seluruh dunia.⁴
Bahkan dalam
percetakan Al-Qur’an di Madinah (Majma‘ al-Malik Fahd), Turki,
Pakistan, hingga Indonesia, Mushaf Kairo tetap menjadi referensi utama dalam
penetapan struktur halaman, sistem tashkīl, dan tanda waqf.⁵
Dengan demikian, otoritas Al-Azhar melalui Mushaf Kairo telah melampaui batas
politik nasional dan menjadi bentuk otoritas epistemik transnasional,
yang menyatukan umat Islam dalam keseragaman teks tanpa menafikan pluralitas
budaya dan mazhab.⁶
10.2.   
Mushaf Kairo dalam Era Digital dan Teknologi
Informasi
Memasuki abad ke-21,
Mushaf Kairo menghadapi tantangan baru dalam bentuk digitalisasi
dan globalisasi teks suci.⁷ Perkembangan perangkat lunak
Qur’ani, aplikasi ponsel, dan platform daring seperti Quran.com
atau Tanzil.net
menunjukkan bahwa reproduksi digital teks Al-Qur’an hampir seluruhnya mengacu
pada edisi Kairo 1924.⁸ Keberadaan file teks Unicode Qur’ani dan standar
internasional dalam tipografi Arab (misalnya Uthmanic Script Unicode Standard)
juga diambil dari struktur ortografis mushaf ini.⁹
Dalam hal ini,
Mushaf Kairo berfungsi sebagai arsitektur digital wahyu—sebuah
format referensial yang menjamin konsistensi antara teks cetak dan teks
daring.¹⁰ Namun, digitalisasi ini juga memunculkan tantangan hermeneutis baru:
ketika akses terhadap teks suci menjadi lebih mudah dan masif, kontrol terhadap
interpretasi menjadi semakin longgar.¹¹ Al-Azhar dan lembaga keagamaan lain
kini dihadapkan pada kebutuhan untuk mengembangkan model verifikasi baru
terhadap versi-versi digital Al-Qur’an agar tidak terjadi distorsi teks, baik
karena kesalahan tipografi maupun manipulasi ideologis.¹²
10.3.   
Tantangan Global: Pluralitas, Komersialisasi,
dan Otoritas
Dalam konteks
global, Mushaf Kairo 1924 juga memiliki relevansi sebagai standar
etis dan teologis di tengah pluralitas mazhab Islam.¹³ Dengan
menetapkan bacaan Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim sebagai dasar, mushaf ini secara tidak
langsung mengukuhkan konsensus Sunni, meskipun tetap membuka ruang toleransi
terhadap qira’at lain. Di tengah meningkatnya sektarianisme dan komersialisasi
religius, keberadaan edisi standar ini menjadi simbol kesatuan teologis yang
relatif stabil.¹⁴
Namun, pada saat
yang sama, reproduksi mushaf secara massal juga menimbulkan persoalan baru
terkait komodifikasi teks suci.¹⁵
Penerbitan Al-Qur’an dalam berbagai format (dari mushaf mewah hingga versi
digital berbayar) menimbulkan pertanyaan etis tentang batas antara penyebaran
ilmu dan komersialisasi wahyu.¹⁶ Mushaf Kairo, dalam hal ini, menjadi pengingat
bahwa teks suci harus dijaga tidak hanya secara filologis, tetapi juga secara
moral: bahwa wahyu bukanlah produk pasar, melainkan sumber nilai yang menuntut
tanggung jawab spiritual.¹⁷
10.4.   
Relevansi Akademik dan Dialog Antarperadaban
Dalam dunia
akademik, Mushaf Kairo 1924 juga terus berperan sebagai rujukan
primer dalam studi filologi dan hermeneutika Qur’ani.¹⁸ Edisi
ini memungkinkan penelitian lintas disiplin antara ilmu agama, filologi, dan
teknologi teks, serta memperkuat dialog antara sarjana Muslim dan non-Muslim
dalam studi kritis Al-Qur’an. François Déroche dan Angelika Neuwirth, misalnya,
menekankan bahwa Mushaf Kairo adalah contoh ideal dari kolaborasi antara
tradisi oral Islam dan metodologi filologi modern.¹⁹ Dalam konteks dialog
antarperadaban, keberadaan edisi ini memperlihatkan bahwa Islam tidak menolak
modernitas, melainkan mengintegrasikannya dengan tradisi keilmuan yang
mendalam.²⁰
10.5.   
Peneguhan Relevansi Spiritual di Era Global
Akhirnya, relevansi
Mushaf Kairo 1924 juga bersifat spiritual. Dalam dunia yang serba digital, di
mana teks dapat disalin tanpa batas dan konteks sering kali terabaikan, Mushaf
Kairo mengingatkan bahwa otentisitas wahyu bukan hanya persoalan teks,
tetapi juga persoalan sanad, niat, dan adab dalam membaca.²¹ Ia
menjadi simbol kontinuitas antara masa klasik dan modern, antara hafalan dan
cetakan, antara suara dan huruf.²²
Dengan demikian,
Mushaf Kairo tidak hanya warisan sejarah atau dokumen filologis, melainkan manifestasi
epistemologi Islam yang dinamis—yang mampu menjaga kesucian
teks sambil beradaptasi dengan teknologi dan kebutuhan zaman.²³ Ia mengajarkan
bahwa modernisasi Islam bukanlah sekularisasi, melainkan penegasan kembali
nilai-nilai wahyu dalam ruang sosial dan ilmiah yang terus berubah.²⁴
Footnotes
[1]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 201–203.
[2]               
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 126–128.
[3]               
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 54–56.
[4]               
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 112–114.
[5]               
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 24–26.
[6]               
Peter Mandaville, Transnational Muslim Politics: Reimagining the
Umma (London: Routledge, 2001), 85–87.
[7]               
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a
Community: Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford
University Press, 2014), 157–159.
[8]               
Hussein Abdul-Raof, Theological Approaches to Qur’anic Exegesis: A
Practical Comparative-Contrastive Analysis (London: Routledge, 2012),
173–175.
[9]               
Mustafa Shah, “The Arabic Script and Its Digital Standardization,” Journal
of Qur’anic Studies 18, no. 1 (2016): 65–68.
[10]            
Devin J. Stewart, “The Aesthetics of Qur’anic Manuscripts,” Journal
of Qur’anic Studies 14, no. 2 (2012): 29–31.
[11]            
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 41–44.
[12]            
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 232–234.
[13]            
François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo
Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 41–43.
[14]            
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age,
128–130.
[15]            
Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of
Power in Christianity and Islam (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1993), 205–207.
[16]            
Walter Armbrust, “Islamic Commercial Aesthetics in Egypt,” Visual
Anthropology Review 16, no. 2 (2000): 29–32.
[17]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
161–162.
[18]            
Andrew Rippin, The Qur’an and Its Interpretative Tradition
(Aldershot: Ashgate, 2001), 99–101.
[19]            
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction,
205–207.
[20]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
163–165.
[21]            
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” 115–117.
[22]            
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam, 57–58.
[23]            
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text,
235–237.
[24]            
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,”
27–28.
11.       Kesimpulan
Penerbitan Mushaf
Kairo 1924 merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam
sejarah intelektual dan keagamaan Islam modern. Ia bukan hanya proyek
percetakan semata, tetapi juga manifestasi dari sintesis antara tradisi dan modernitas,
antara otoritas ulama dan kekuasaan negara, serta antara dimensi spiritual
wahyu dan rasionalitas filologis manusia.¹ Melalui inisiatif Raja Fu’ad I dan
pengawasan ketat ulama Al-Azhar, Mushaf ini berhasil
mewujudkan standar teks Al-Qur’an yang tidak hanya sahih secara teologis,
tetapi juga akurat secara filologis, sekaligus mampu menjawab tantangan
teknologi percetakan modern.²
Secara historis,
Mushaf Kairo 1924 lahir dalam konteks Mesir awal abad ke-20, di mana modernisasi
politik dan sosial menuntut legitimasi religius yang baru.³ Al-Azhar berperan
sebagai jembatan epistemologis antara otoritas wahyu dan modernitas
institusional, menjadikan proyek ini sebagai model kolaborasi
organik antara ulama dan negara.⁴ Dengan dukungan infrastruktur
percetakan Matba‘at al-Amīriyyah dan penggunaan teknologi linotype, mushaf ini
menandai fase baru dalam materialitas teks Qur’ani: dari tradisi manuskrip yang
beragam menuju edisi cetak yang terstandar dan dapat direplikasi secara global.⁵
Dari perspektif
filologis, Mushaf Kairo 1924 merupakan bentuk edisi kritis Qur’ani pertama
dalam sejarah Islam modern.⁶ Ia menggabungkan prinsip rasm
‘Utsmānī, disiplin ilmu qirā’at, serta metode verifikasi
tekstual (tahqīq
al-nuṣūṣ) yang telah lama berkembang dalam tradisi keilmuan Islam.⁷
Hasilnya adalah teks Al-Qur’an yang secara visual, fonetik, dan ortografis
mencapai tingkat keseragaman yang belum pernah dicapai sebelumnya. Dalam
konteks global, mushaf ini kemudian menjadi dasar bagi penerbitan mushaf di
Madinah, Turki, Pakistan, dan Asia Tenggara, memperlihatkan pengaruh epistemik
Mesir yang luas di dunia Islam.⁸
Dari perspektif
hermeneutika, Mushaf Kairo 1924 dapat dibaca sebagai tindakan
penafsiran kolektif (ta’wīl jamā‘ī). Pemilihan riwayat Ḥafṣ
‘an ‘Āṣim, penetapan format halaman, dan penyempurnaan tanda baca bukan hanya
keputusan teknis, tetapi ekspresi makna yang bersumber dari tradisi kesucian
teks itu sendiri.⁹ Ia menegaskan prinsip bahwa wahyu, meskipun abadi, selalu
memerlukan bentuk material yang kontekstual agar dapat terus hidup dalam
sejarah manusia.¹⁰ Dalam hal ini, proyek 1924 menjadi model “hermeneutika
tindakan” di mana upaya menjaga teks suci menjadi bagian dari ibadah kolektif
umat Islam terhadap wahyu Tuhan.¹¹
Dalam konteks kontemporer,
Mushaf Kairo tetap memainkan peran strategis di tengah perkembangan teknologi
dan pluralitas global.¹² Digitalisasi teks suci, meskipun membuka akses yang
luas, juga membawa risiko distorsi dan fragmentasi otoritas. Oleh karena itu,
edisi Kairo berfungsi sebagai penopang integritas teks Qur’an di era digital,
menjadi acuan bagi sistem Unicode Arab, aplikasi Al-Qur’an daring, dan program
pendidikan Islam di seluruh dunia.¹³ Dengan demikian, ia bukan hanya artefak
sejarah, tetapi juga model epistemologis bagi stabilitas teks wahyu
di tengah percepatan modernitas.¹⁴
Akhirnya,
signifikansi Mushaf Kairo 1924 tidak semata terletak pada substansi
tekstualnya, melainkan pada maknanya sebagai proyek peradaban Islam modern.¹⁵
Ia menampilkan wajah Islam yang mampu menggabungkan ketelitian ilmiah,
keindahan estetis, dan kedalaman spiritual dalam satu kesatuan. Melalui mushaf
ini, umat Islam menemukan jalan tengah antara kesetiaan terhadap tradisi dan
keterbukaan terhadap inovasi, menjadikan Al-Qur’an bukan hanya kitab suci yang
dibaca, tetapi juga fondasi pengetahuan, kesatuan, dan kontinuitas
sejarah umat manusia.¹⁶
Footnotes
[1]               
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2019), 208–210.
[2]               
Malika Zeghal, Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans
l’Égypte contemporaine (Paris: Presses de Sciences Po, 1996), 60–62.
[3]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 164–166.
[4]               
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age:
Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2012), 131–133.
[5]               
Geoffrey Roper, “Printing the Qur’an: A Preliminary Survey,” Journal
of Qur’anic Studies 1, no. 1 (1999): 52–54.
[6]               
François Déroche, “The Standardization of the Qur’an: The Cairo
Edition,” Manuscripta Orientalia 15, no. 3 (2009): 44–46.
[7]               
Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’ānic Text: From
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 239–242.
[8]               
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 318–320.
[9]               
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community:
Reading the Qur’an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press,
2014), 166–168.
[10]            
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1990), 47–49.
[11]            
Yasir Qadhi, “An Introduction to the Sciences of the Qur’an,” in Qur’anic
Studies Today, ed. Angelika Neuwirth (London: Routledge, 2016), 118–120.
[12]            
Nicolai Sinai, “The Cairo Edition of the Qur’an and Its History,” Journal
of Qur’anic Studies 20, no. 2 (2018): 28–30.
[13]            
Mustafa Shah, “The Arabic Script and Its Digital Standardization,” Journal
of Qur’anic Studies 18, no. 1 (2016): 70–72.
[14]            
Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry, and the Making of a Community,
170–172.
[15]            
Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of
Power in Christianity and Islam (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1993), 211–214.
[16]            
François Déroche, The Qur’an: A Historical-Critical Introduction,
211–213.
Daftar Pustaka 
Abu Zayd, N. H. (1990). Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut:
al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī.
al-A‘zami, M. M. (2003). The History of the Qur’ānic Text: From Revelation to
Compilation. Leicester: UK Islamic Academy.
al-Jurjānī. (1952). Asrār al-Balāghah. Cairo: al-Maktabah al-Kubrā.
Armbrust, W. (2000). Islamic commercial aesthetics in Egypt. Visual Anthropology
Review, 16(2), 29–32.
Asad, T. (1993). Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in
Christianity and Islam. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII. Jakarta: Kencana.
Blachère, R. (1959). Introduction au Coran. Paris: G.P. Maisonneuve.
Brockett, A. (1988). The value of the Hafs and Warsh transmissions for the textual
history of the Qur’an. In A. Rippin (Ed.), Approaches to the History of the
Interpretation of the Qur’an (pp. 33–42). Oxford: Clarendon Press.
Déroche, F. (2009). The standardization of the Qur’an: The Cairo edition. Manuscripta
Orientalia, 15(3), 29–46.
Déroche, F. (2019). The Qur’an: A Historical-Critical Introduction.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Déroche, F. (2009). La transmission écrite du Coran dans les débuts de l’islam:
Le codex Parisino-petropolitanus. Leiden: Brill.
Hourani, A. (1983). Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939. Cambridge:
Cambridge University Press.
Jeffery, A. (1937). Materials for the History of the Text of the Qur’an.
Leiden: Brill.
Mansfield, P. (1971). The British in Egypt. London: Weidenfeld & Nicolson.
Mansurnoor, I. A. (1998). The transmission of Qur’anic orthography to the Malay world. Studia
Islamika, 5(3), 65–67.
Mandaville, P. (2001). Transnational Muslim Politics: Reimagining the Umma.
London: Routledge.
Marsot, A. L. al-S. (2007). A History of Egypt: From the Arab
Conquest to the Present. Cambridge: Cambridge University Press.
Neuwirth, A. (2014). Scripture, Poetry, and the Making of a Community: Reading
the Qur’an as a Literary Text. Oxford: Oxford University Press.
Qadhi, Y. (2016). An introduction to the sciences of the Qur’an. In A. Neuwirth
(Ed.), Qur’anic Studies Today (pp. 89–120). London: Routledge.
Rida, R. (1925). Al-Manār (Vol. 25). Cairo: Matba‘at al-Manār.
Roper, G. (1999). Printing the Qur’an: A preliminary survey. Journal of
Qur’anic Studies, 1(1), 39–59.
Saleh, W. A. (2004). The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qur’an
Commentary of al-Thaʿlabī. Oxford: Oxford University Press.
Shah, M. (2016). The Arabic script and its digital standardization. Journal
of Qur’anic Studies, 18(1), 65–72.
Sinai, N. (2018). The Cairo edition of the Qur’an and its history. Journal of
Qur’anic Studies, 20(2), 1–30.
Skovgaard-Petersen, J. (1997). Defining Islam for the Egyptian State:
Muftis and Fatwas of the Dār al-Iftā. Leiden: Brill.
Stewart, D. J. (1990). Sajʿ in the Qur’an: Prosody and structure. Journal of Arabic
Literature, 21(2), 101–104.
Stewart, D. J. (2012). The aesthetics of Qur’anic manuscripts. Journal of Qur’anic
Studies, 14(2), 25–31.
Wansbrough, J. (1977). Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation. Oxford: Oxford University Press.
Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority
and Internal Criticism. Cambridge: Cambridge University Press.
Zeghal, M. (1996). Gardiens de l’Islam: Les oulémas d’Al-Azhar dans l’Égypte
contemporaine. Paris: Presses de Sciences Po.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar