Sabtu, 18 Oktober 2025

Eksistensialisme Ateistik: Kebebasan, Absurd, dan Makna dalam Ketiadaan Tuhan

Eksistensialisme Ateistik

Kebebasan, Absurd, dan Makna dalam Ketiadaan Tuhan


Alihkan ke: Filsafat Eksistensialisme.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara sistematis dan komprehensif salah satu cabang utama filsafat eksistensialis, yaitu eksistensialisme ateistik, yang menolak landasan teologis dalam memahami eksistensi manusia dan menggantinya dengan fondasi kebebasan serta tanggung jawab individual. Kajian ini menelusuri akar historis dan genealogisnya, mulai dari pemikiran Nietzsche tentang “kematian Tuhan” hingga pengembangan konsep eksistensi, kebebasan, dan absurditas dalam filsafat Sartre, Heidegger, dan Camus. Dengan pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual, artikel ini menyoroti aspek ontologis (keberadaan tanpa Tuhan), epistemologis (pengetahuan melalui pengalaman eksistensial), etis (kebebasan dan tanggung jawab moral), serta estetis-humanistik (seni dan penciptaan makna di tengah absurditas).

Eksistensialisme ateistik menegaskan bahwa ketiadaan Tuhan tidak berujung pada nihilisme destruktif, melainkan membuka ruang bagi nihilisme kreatif dan humanisme eksistensial—suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pencipta nilai dan makna dalam dunia yang tidak memiliki fondasi metafisik. Dalam konteks kontemporer, filsafat ini memiliki relevansi kuat terhadap krisis makna, alienasi teknologi, dan pluralisme moral modern. Melalui kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab, manusia dituntut untuk membangun makna hidupnya sendiri secara autentik, tanpa bersandar pada transendensi. Dengan demikian, eksistensialisme ateistik bukanlah filsafat keputusasaan, melainkan filsafat keberanian dan afirmasi terhadap kehidupan yang absurd.

Kata Kunci: Eksistensialisme Ateistik, Kebebasan, Absurditas, Nihilisme, Humanisme, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Ontologi Eksistensial, Makna Hidup, Spiritualitas Sekuler.


PEMBAHASAN

Signifikansi filsafat eksistensialisme ateistik dalam konteks kontemporer


1.           Pendahuluan

Filsafat eksistensialisme ateistik muncul sebagai salah satu respons paling radikal terhadap krisis makna yang melanda modernitas. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan sekularisasi nilai, manusia modern mendapati dirinya terlepas dari fondasi metafisik tradisional yang selama berabad-abad menjadi sumber makna dan orientasi hidup. Friedrich Nietzsche dengan provokatif menyatakan bahwa “Tuhan telah mati,” sebuah pernyataan yang bukan hanya menandai hilangnya keyakinan religius, tetapi juga keruntuhan struktur nilai yang menopang kebudayaan Barat sejak masa klasik hingga abad pertengahan.¹ Dalam konteks inilah, eksistensialisme ateistik lahir sebagai upaya memahami kembali eksistensi manusia tanpa bergantung pada transendensi ilahi.

Eksistensialisme ateistik menolak gagasan bahwa makna hidup bersumber dari entitas metafisis di luar diri manusia. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence), yang berarti manusia pertama-tama ada, baru kemudian menentukan dirinya melalui pilihan-pilihan bebas.² Dengan demikian, manusia tidak memiliki hakikat bawaan yang ditetapkan oleh Tuhan atau kodrat alamiah; ia sendiri yang menciptakan esensinya melalui tindakan. Pandangan ini menempatkan kebebasan dan tanggung jawab sebagai inti dari eksistensi manusia. Kebebasan bukanlah anugerah, melainkan kutukan yang menuntut manusia untuk senantiasa memilih dan menanggung konsekuensi dari pilihannya.³

Namun, kebebasan yang radikal ini membawa manusia pada kesadaran akan absurditas hidup. Albert Camus menulis bahwa dunia tidak memberikan jawaban terhadap kerinduan manusia akan makna, dan justru di sanalah absurditas lahir—dari konfrontasi antara pencarian makna dan kesunyian alam semesta.⁴ Dalam ketiadaan Tuhan, hidup menjadi tanpa makna objektif, tetapi justru di situ terletak ruang bagi penciptaan makna yang autentik. Eksistensialisme ateistik dengan demikian tidak berhenti pada nihilisme pasif, melainkan berupaya menegaskan nilai dan makna melalui tindakan manusia itu sendiri.⁵

Di sisi lain, eksistensialisme ateistik juga merupakan bentuk kritik terhadap sistem rasionalistik dan positivistik modern yang berusaha menjelaskan manusia semata-mata sebagai objek pengetahuan ilmiah.⁶ Heidegger, meskipun tidak secara eksplisit ateistik, menunjukkan bahwa keberadaan manusia (Dasein) tidak dapat direduksi menjadi fakta empiris, sebab ia senantiasa berada-dalam-dunia (being-in-the-world) dengan kesadaran akan keterlemparan dan kematian.⁷ Eksistensialisme, dalam pengertian ini, mengembalikan manusia kepada pengalaman eksistensial yang konkret dan penuh keterbatasan.

Kajian ini bertujuan untuk menelaah secara sistematis struktur pemikiran eksistensialisme ateistik, meliputi dimensi ontologis, epistemologis, dan etisnya. Dengan menelusuri akar historisnya dari Nietzsche hingga Sartre dan Camus, artikel ini berusaha menunjukkan bagaimana eksistensialisme ateistik tidak sekadar menolak Tuhan, tetapi juga berupaya menegaskan kembali martabat dan kebebasan manusia di tengah kehampaan metafisis.⁸ Dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai oleh sekularisasi, alienasi, dan krisis identitas, filsafat ini tetap relevan sebagai kerangka reflektif untuk memahami bagaimana manusia dapat hidup secara autentik dalam dunia tanpa fondasi transendental.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555.

[4]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28.

[5]                Ibid., 54.

[6]                Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason: Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 33–34.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 237.

[8]                Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 115.


2.           Landasan Historis Eksistensialisme Ateistik

Eksistensialisme ateistik tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil perkembangan panjang dalam sejarah filsafat Barat yang mengalami pergeseran dari teosentrisme menuju antroposentrisme. Akar pemikirannya dapat ditelusuri sejak masa filsafat modern awal, ketika subjektivitas manusia mulai mengambil peran utama dalam struktur pengetahuan dan moralitas. Namun, eksistensialisme dalam bentuknya yang ateistik baru menemukan momentumnya pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, ketika kepercayaan terhadap Tuhan dan nilai-nilai metafisis mulai terguncang oleh kemajuan sains, rasionalisme, dan sekularisasi.¹

2.1.       Dari Eksistensialisme Religius ke Sekuler

Cikal bakal eksistensialisme dapat ditemukan dalam pemikiran Søren Kierkegaard (1813–1855), yang dikenal sebagai “bapak eksistensialisme.” Kierkegaard mengkritik sistem rasionalisme Hegelian yang meniadakan individu konkret, dan menekankan pentingnya eksistensi pribadi di hadapan Tuhan.² Namun, bagi Kierkegaard, eksistensi manusia hanya menemukan maknanya dalam relasi dengan Yang Ilahi. Eksistensialisme dalam pengertian Kierkegaard masih bersifat teistik, karena berpuncak pada “lompatan iman” (leap of faith) menuju Tuhan sebagai sumber makna.³

Sebaliknya, ketika Nietzsche (1844–1900) mengumumkan “kematian Tuhan,” ia menutup bab teologis dalam sejarah metafisika Barat.⁴ Baginya, hilangnya kepercayaan terhadap Tuhan berarti hilangnya fondasi bagi sistem nilai, moralitas, dan kebenaran absolut. Dunia yang ditinggalkan Tuhan adalah dunia nihilisme, di mana tidak ada tujuan atau makna universal. Dalam konteks inilah, eksistensialisme ateistik menemukan ruang ontologisnya: manusia tidak lagi didefinisikan oleh sesuatu yang transenden, melainkan harus menciptakan dirinya sendiri di tengah kehampaan nilai.⁵ Nietzsche memandang kehancuran nilai lama bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai peluang bagi munculnya manusia baru—Übermensch—yang mampu menegaskan kehendak hidupnya tanpa sandaran metafisis.⁶

2.2.       Krisis Modernitas dan Sekularisasi Nilai

Setelah Nietzsche, Eropa modern mengalami guncangan besar yang mempercepat krisis keagamaan dan moral. Perang Dunia I dan II menghancurkan optimisme rasional abad ke-19, sekaligus memperlihatkan absurditas dan kehancuran yang dihasilkan oleh manusia sendiri.⁷ Di tengah kehancuran tersebut, filsuf seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus mencoba memahami kembali hakikat manusia dalam dunia tanpa Tuhan. Heidegger, meskipun tidak secara eksplisit menyatakan dirinya ateis, menolak konsep Tuhan sebagai dasar ontologi; ia menggantinya dengan analisis tentang keberadaan manusia (Dasein) yang sadar akan kefanaannya.⁸

Sartre melanjutkan arus ini dengan mengartikulasikan eksistensialisme dalam kerangka ateistik yang eksplisit. Dalam L’Être et le Néant (Being and Nothingness), ia menyatakan bahwa tanpa Tuhan, tidak ada hakikat manusia yang telah ditentukan sebelumnya—manusia “terkutuk untuk bebas.”⁹ Kebebasan ini membawa konsekuensi etis dan eksistensial yang besar: manusia tidak dapat lagi menyalahkan kehendak ilahi, melainkan harus bertanggung jawab penuh atas keberadaannya. Sementara itu, Camus melihat ketegangan antara pencarian makna dan kebisuan dunia sebagai bentuk absurditas yang tak terhindarkan. Dalam Le Mythe de Sisyphe, ia menggambarkan manusia modern sebagai Sisyphus yang sadar bahwa hidupnya sia-sia, namun tetap memilih untuk menggulirkan batu dengan semangat pemberontakan.¹⁰

2.3.       Evolusi dari Metafisika ke Humanisme Eksistensial

Landasan historis eksistensialisme ateistik menunjukkan pergeseran fundamental dari metafisika ke humanisme. Bila sebelumnya manusia dianggap sebagai ciptaan Tuhan dengan tujuan ilahi, maka eksistensialisme ateistik menegaskan manusia sebagai pencipta makna bagi dirinya sendiri.¹¹ Humanisme ini bukan sekadar glorifikasi manusia, melainkan kesadaran akan tanggung jawab radikal yang menyertai kebebasan. Sartre dalam Existentialism Is a Humanism menyatakan bahwa meskipun Tuhan tidak ada, nilai-nilai kemanusiaan tetap dapat ditegakkan melalui tindakan manusia yang autentik dan sadar.¹² Dengan demikian, eksistensialisme ateistik menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat modern, karena berupaya menegaskan kembali makna eksistensi dalam dunia yang kehilangan fondasi transendentalnya.


Footnotes

[1]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (Garden City, NY: Doubleday Anchor, 1958), 12–15.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 78–80.

[3]                Ibid., 190.

[4]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Penguin, 1954), 125.

[5]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 23–24.

[6]                Ibid., 270–271.

[7]                Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre (New York: Meridian, 1956), 11–12.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 229–233.

[9]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555–557.

[10]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 120–122.

[11]             Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 105–108.

[12]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 51–52.


3.           Genealogi Konsep “Kematian Tuhan”

Konsep “kematian Tuhan” (der Tod Gottes) merupakan salah satu deklarasi paling revolusioner dalam sejarah filsafat modern. Ungkapan yang diperkenalkan oleh Friedrich Nietzsche bukan sekadar pernyataan teologis, melainkan diagnosis budaya terhadap perubahan fundamental dalam kesadaran manusia Barat.¹ Ia tidak bermaksud menyatakan bahwa Tuhan secara literal telah tiada, melainkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan—sebagai sumber nilai, kebenaran, dan makna universal—telah kehilangan kekuatannya dalam kesadaran kolektif manusia modern.² “Kematian Tuhan” adalah simbol dari keruntuhan fondasi metafisika Barat yang telah menopang moralitas, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan selama lebih dari dua milenium.

3.1.       Nietzsche dan Kelahiran Nihilisme

Dalam The Gay Science (Die fröhliche Wissenschaft), Nietzsche menulis: “Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kitalah yang membunuh-Nya.”³ Pernyataan ini muncul dalam bentuk parabola “Orang Gila” (Der tolle Mensch), yang mengekspresikan tragedi kesadaran modern: manusia telah menolak Tuhan, tetapi belum siap menerima konsekuensinya.⁴ Nietzsche menilai bahwa filsafat modern, dengan penekanannya pada rasionalitas dan ilmiah, secara tidak sadar telah menghapus kebutuhan akan Tuhan, sementara struktur nilai moral masih bergantung pada warisan religius yang sama.⁵ Inilah bentuk awal dari nihilisme, yaitu kesadaran bahwa “tidak ada nilai tertinggi” yang dapat dijadikan pegangan.⁶

Bagi Nietzsche, nihilisme adalah fase transisi: kehancuran nilai lama membuka peluang bagi penciptaan nilai baru. “Kematian Tuhan” bukan akhir, melainkan awal bagi manusia untuk menegaskan kehendak hidupnya (der Wille zur Macht).⁷ Manusia dituntut menjadi Übermensch—figur simbolik yang mampu menciptakan nilai secara otonom tanpa bergantung pada metafisika.⁸ Dengan demikian, genealogi gagasan ini tidak hanya menggambarkan keruntuhan religiusitas, tetapi juga lahirnya paradigma baru yang menempatkan manusia sebagai pencipta makna dalam dunia yang kehilangan fondasi absolut.

3.2.       Transvaluasi Nilai dan Krisis Moral Modern

Konsekuensi dari kematian Tuhan adalah Umwertung aller Werte—transvaluasi semua nilai.⁹ Seluruh sistem etika yang berakar pada teologi Kristen kehilangan legitimasi metafisiknya. Nietzsche menolak moralitas asketis yang mengekang kehendak hidup dan menilai penderitaan sebagai kebajikan.¹⁰ Baginya, moralitas semacam itu adalah bentuk ressentiment—reaksi dendam yang muncul dari kelemahan dan ketidakmampuan untuk menegaskan kehidupan.¹¹ Dengan menolak moralitas tradisional, Nietzsche mengajak manusia untuk menilai kembali seluruh horizon nilai dengan keberanian dan afirmasi terhadap eksistensi duniawi.

Namun, proyek transvaluasi ini juga membuka persoalan baru: bagaimana membangun nilai tanpa landasan absolut? Nietzsche menyadari bahaya nihilisme pasif, yakni sikap menyerah terhadap ketiadaan makna.¹² Untuk menghindarinya, ia menekankan pentingnya afirmasi kehidupan (amor fati), yaitu penerimaan penuh terhadap realitas sebagaimana adanya, termasuk penderitaan dan keterbatasan.¹³ Di sinilah filsafatnya berpindah dari destruksi metafisika menuju penciptaan nilai baru, menjadikan manusia bukan sekadar pewaris makna, tetapi sumber makna itu sendiri.

3.3.       Implikasi Metafisik dan Eksistensial

Secara metafisik, “kematian Tuhan” menandai berakhirnya paradigma teosentris yang mendominasi filsafat Barat sejak Plato hingga Hegel. Dalam tradisi ini, Tuhan atau “Yang Ada” dianggap sebagai prinsip tertinggi yang menjamin keteraturan dunia dan rasionalitas keberadaan.¹⁴ Dengan hilangnya pusat itu, dunia menjadi “tanpa arah” (entgöttlicht), dan manusia menghadapi kekosongan ontologis.¹⁵ Heidegger membaca Nietzsche sebagai “filsuf metafisika terakhir” karena ia masih beroperasi dalam horizon pertanyaan tentang makna keberadaan, meski dengan menggantikan Tuhan dengan kehendak kuasa.¹⁶ Artinya, “kematian Tuhan” bukan akhir dari metafisika, melainkan transformasi radikalnya.

Dalam konteks eksistensial, gagasan ini menjadi titik tolak bagi filsuf seperti Sartre dan Camus untuk memahami manusia sebagai makhluk yang “dilempar ke dunia” tanpa tujuan atau esensi yang telah ditentukan.¹⁷ Sartre mengambil implikasi etisnya secara langsung: tanpa Tuhan, manusia tidak memiliki alasan untuk membenarkan tindakannya selain kebebasan dan tanggung jawabnya sendiri.¹⁸ Sementara Camus menafsirkan “kematian Tuhan” sebagai kesadaran akan absurditas eksistensi: dunia tidak lagi memiliki makna yang diberikan, tetapi manusia tetap mencari makna itu dalam pemberontakan dan solidaritas.¹⁹ Dengan demikian, genealoginya menjembatani peralihan dari metafisika ke eksistensialisme modern—dari kehilangan Tuhan menuju afirmasi terhadap keberadaan manusia.


Footnotes

[1]                Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the Eternal Recurrence of the Same, trans. J. Harvey Lomax (Berkeley: University of California Press, 1997), 4–5.

[2]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. 1, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 61–62.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[4]                Ibid., 182–183.

[5]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 46–47.

[6]                Ibid., 200.

[7]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 12.

[8]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Penguin, 1954), 125–126.

[9]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Classics, 1990), 54–55.

[10]             Ibid., 67.

[11]             Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1969), 34–35.

[12]             Ibid., 162.

[13]             Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 258–259.

[14]             Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 98.

[15]             Ibid., 102–103.

[16]             Martin Heidegger, Nietzsche, vol. 2, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1984), 203–205.

[17]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 21.

[18]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[19]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 54–55.


4.           Ontologi Eksistensi tanpa Tuhan

Eksistensialisme ateistik mengajukan pertanyaan ontologis yang paling mendasar: apa arti menjadi manusia ketika Tuhan tiada? Dalam sistem metafisika klasik, keberadaan manusia diturunkan dari hakikat universal atau rencana ilahi. Namun, bagi filsafat eksistensialis ateistik, manusia bukanlah akibat dari ide atau desain kosmik—ia sekadar “ada,” dan keberadaannya mendahului segala definisi tentang dirinya.¹ Ontologi semacam ini menolak asumsi bahwa ada “esensi” yang tetap dan apriori menentukan siapa manusia itu. Sebaliknya, eksistensi adalah proyek terbuka, dan manusia menjadi melalui tindakannya.²

4.1.       Sartre dan Eksistensi sebagai Kebebasan

Jean-Paul Sartre, tokoh utama eksistensialisme ateistik, menolak dualisme metafisik antara esensi dan eksistensi sebagaimana diwariskan oleh tradisi skolastik dan idealisme. Dalam Being and Nothingness, ia menulis bahwa “manusia pertama-tama ada, menjumpai dirinya, muncul di dunia—dan baru kemudian mendefinisikan dirinya.”³ Pandangan ini menegaskan bahwa tanpa Tuhan, tidak ada konsep kodrati yang mendahului eksistensi manusia. “Eksistensi mendahului esensi” berarti manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pembentukan dirinya sendiri.⁴

Sartre memandang kesadaran (conscience) sebagai bentuk “tidak-ada” (néant) yang memungkinkan manusia untuk menegasi dan melampaui keadaan faktualnya.⁵ Dalam hal ini, manusia bukanlah entitas statis, melainkan être-pour-soi (ada-untuk-dirinya-sendiri) yang selalu dalam proses menjadi.⁶ Berbeda dari benda mati (être-en-soi) yang tertutup dalam keberadaannya, manusia memiliki kapasitas untuk menyadari keterbatasannya dan memilih arah hidupnya.⁷ Namun, kebebasan radikal ini bukan tanpa beban: tanpa Tuhan, tidak ada pembenaran eksternal bagi tindakan manusia. Ia “terkutuk untuk bebas,” karena tak ada yang dapat menanggung tanggung jawab moral selain dirinya sendiri.⁸

4.2.       Heidegger dan Keberadaan sebagai Keterlemparan

Meskipun Martin Heidegger tidak secara eksplisit memposisikan dirinya sebagai ateis, analisis ontologisnya dalam Being and Time memberi landasan bagi pemikiran eksistensialis non-teistik. Heidegger memulai bukan dari Tuhan, melainkan dari Dasein—manusia sebagai makhluk yang “ada-di-dunia” (In-der-Welt-sein).⁹ Dasein tidak memahami keberadaannya melalui refleksi abstrak, melainkan melalui keterlibatan praktis dalam dunia yang telah ia masuki.¹⁰ Konsep “keterlemparan” (Geworfenheit) menandakan bahwa manusia tidak memilih untuk ada; ia menemukan dirinya sudah berada dalam situasi historis dan faktual tertentu.¹¹

Kesadaran akan keterlemparan ini memuncak dalam pengalaman akan kematian (Sein-zum-Tode), yang bagi Heidegger menjadi momen ontologis tertinggi: manusia menyadari kefanaannya dan sekaligus potensi untuk hidup secara autentik.¹² Dalam menghadapi kematian, semua fondasi eksternal—termasuk kepercayaan religius—runtuh, dan yang tersisa hanyalah eksistensi telanjang.¹³ Dengan demikian, meskipun Heidegger tidak mengumumkan “kematian Tuhan,” analisisnya membuka ruang bagi ontologi yang otonom dari teologi.¹⁴

4.3.       Camus dan Absurditas Keberadaan

Albert Camus melangkah lebih jauh dengan menolak setiap usaha untuk mengembalikan makna melalui metafisika atau iman. Bagi Camus, keberadaan manusia adalah absurd karena terdapat ketegangan abadi antara kerinduan manusia akan makna dan kebisuan dunia yang tak memberikannya.¹⁵ Dalam The Myth of Sisyphus, ia menggambarkan manusia sebagai Sisyphus yang sadar akan kesia-siaan tindakannya, namun tetap bergulat dengan batu keberadaannya tanpa menyerah.¹⁶

Absurditas bukanlah alasan untuk keputusasaan, melainkan titik awal bagi pemberontakan eksistensial. Camus menulis: “Yang penting bukanlah menemukan makna hidup, melainkan hidup dengan penuh kesadaran akan ketiadaan makna itu.”¹⁷ Pemberontakan ini merupakan bentuk afirmasi terhadap kehidupan tanpa ilusi transendensi. Dalam dunia tanpa Tuhan, kesadaran dan tindakan menjadi satu-satunya sumber legitimasi moral dan eksistensial.¹⁸

4.4.       Ontologi Kebebasan dan Tanggung Jawab

Dari Sartre, Heidegger, dan Camus, eksistensialisme ateistik menampilkan ontologi yang berpusat pada kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab. Tanpa Tuhan, manusia tidak memiliki “peta moral” yang tetap; namun justru karena itu, ia sepenuhnya bertanggung jawab atas makna yang diciptakannya. Sartre menolak pandangan deterministik yang menganggap manusia ditentukan oleh kondisi biologis atau sosial; kebebasan tetap hadir bahkan dalam situasi keterbatasan.¹⁹ “Manusia,” tulis Sartre, “tidak lain adalah apa yang ia buat dari dirinya sendiri.”²⁰

Dengan demikian, ontologi eksistensialisme ateistik adalah ontologi tindakan—bukan kontemplasi metafisis. Ia menempatkan manusia di tengah dunia yang tanpa makna apriori, namun memberikan kemungkinan tak terbatas bagi penciptaan makna melalui eksistensi yang autentik. Dunia tanpa Tuhan bukanlah akhir dari filsafat, melainkan awal dari tanggung jawab manusia terhadap keberadaannya sendiri.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–13.

[2]                Robert C. Solomon, Existentialism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 45–46.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 21.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[5]                Sartre, Being and Nothingness, 23–24.

[6]                Ibid., 92.

[7]                Ibid., 101–103.

[8]                Ibid., 555.

[9]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67.

[10]             Ibid., 78–80.

[11]             Ibid., 174.

[12]             Ibid., 294–311.

[13]             Ibid., 323.

[14]             Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 212–213.

[15]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28.

[16]             Ibid., 120.

[17]             Ibid., 54.

[18]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 45.

[19]             Sartre, Being and Nothingness, 481.

[20]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 28.


5.           Epistemologi Eksistensialisme Ateistik

Epistemologi eksistensialisme ateistik berangkat dari penolakan terhadap klaim objektivitas absolut yang diwariskan oleh rasionalisme dan positivisme modern. Dalam pandangan ini, pengetahuan bukanlah hasil dari refleksi intelektual yang netral, melainkan muncul dari keterlibatan eksistensial subjek dalam dunia.¹ Subjek bukan pengamat pasif, tetapi makhluk yang mengalami, merasa, dan berjuang untuk menemukan makna dalam kondisi keterbatasan. Tanpa Tuhan sebagai sumber kebenaran transendental, pengetahuan menjadi sesuatu yang bersifat situasional, historis, dan personal—tergantung pada posisi dan kesadaran manusia dalam dunia.²

5.1.       Pengetahuan sebagai Pengalaman Eksistensial

Bagi Sartre dan para eksistensialis ateistik lainnya, kebenaran tidak ditemukan melalui abstraksi metafisis atau prosedur empiris yang kaku, tetapi melalui pengalaman langsung atas eksistensi.³ Pengetahuan menjadi ekspresi kesadaran diri yang sadar akan keterlemparannya di dunia. Manusia mengetahui bukan karena ia berjarak dari dunia, tetapi karena ia ada-di-dunia dan terlibat di dalamnya.⁴ Dengan demikian, epistemologi eksistensialis menolak dikotomi subjek–objek yang menjadi dasar epistemologi modern; antara manusia dan dunia tidak ada jarak ontologis yang tegas. Kesadaran selalu bersifat intensional—selalu “menuju sesuatu.”⁵

Jean-Paul Sartre mengembangkan gagasan ini dalam analisis fenomenologisnya yang terinspirasi oleh Edmund Husserl. Namun berbeda dari Husserl yang berupaya menemukan struktur esensial kesadaran, Sartre menekankan keterbukaan dan ketegangan dalam kesadaran manusia.⁶ Kesadaran adalah “tidak-ada” (néant) yang memungkinkan manusia menegasi kenyataan dan melampaui faktisitas dirinya.⁷ Pengetahuan, dalam pengertian ini, bukan representasi pasif terhadap dunia, tetapi tindakan aktif yang melibatkan kebebasan dan proyek eksistensial manusia.⁸

5.2.       Penolakan terhadap Epistemologi Metafisik dan Teologis

Eksistensialisme ateistik menolak pandangan bahwa pengetahuan memiliki dasar transendental atau ilahi. Nietzsche, sebagai pelopor pemikiran ini, menyatakan bahwa setiap klaim kebenaran hanyalah interpretasi yang ditopang oleh kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).⁹ Tidak ada “pandangan dari tempat netral” (view from nowhere); setiap pengetahuan terikat pada perspektif dan kepentingan manusia.¹⁰ Dengan demikian, kebenaran tidak bersifat korespondensial terhadap realitas yang tetap, tetapi konstruksi dinamis yang selalu dapat ditafsir ulang.¹¹

Camus juga menolak epistemologi religius yang berusaha menemukan makna objektif dalam dunia. Bagi Camus, manusia tidak dapat mengetahui “mengapa” dunia ada, sebab dunia itu sendiri diam.¹² Upaya metafisis untuk menjawab pertanyaan tentang makna akhir kehidupan justru menimbulkan absurditas.¹³ Oleh karena itu, satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah kesadaran akan keterbatasan itu sendiri: bahwa manusia memahami dirinya melalui pengalaman hidup yang absurd dan tanpa jaminan makna objektif.¹⁴

Heidegger menegaskan dimensi ini dengan menggantikan epistemologi tradisional—yang berpusat pada subjek yang mengetahui—dengan ontologi eksistensial. Dalam Being and Time, ia menyatakan bahwa pertanyaan “bagaimana kita mengetahui” harus digantikan oleh pertanyaan “apa arti menjadi.”¹⁵ Dengan memprioritaskan eksistensi atas pengetahuan, Heidegger mengubah cara kita memahami epistemologi: mengetahui bukanlah aktivitas mental yang mengabstraksi dunia, tetapi cara berada yang mengungkap dunia melalui keterlibatan praktis dan historis.¹⁶

5.3.       Subjektivitas, Autentisitas, dan Kebenaran

Tanpa Tuhan sebagai landasan epistemik, kebenaran dalam eksistensialisme ateistik bersifat subjektif—namun bukan dalam arti relativisme dangkal.¹⁷ Subjektivitas di sini adalah bentuk keterlibatan eksistensial yang otentik. Sartre menulis bahwa manusia menemukan kebenaran melalui tindakannya, bukan melalui dogma atau ide yang sudah ada.¹⁸ Dalam tindakan yang bebas dan sadar, manusia menegaskan nilai dan makna yang ia ciptakan sendiri. Dengan demikian, kebenaran eksistensial bersifat performatif: ia terjadi ketika seseorang hidup setia pada pilihan dan komitmennya.¹⁹

Kierkegaard—meski berasal dari tradisi religius—telah lebih dahulu menegaskan bahwa “kebenaran adalah subjektivitas,” yakni pengalaman pribadi dalam menghadapi eksistensi.²⁰ Sartre dan Camus mengadopsi gagasan ini ke dalam konteks sekuler: kebenaran bukan tentang kepastian metafisik, melainkan tentang kejujuran eksistensial terhadap diri sendiri.²¹ Dalam dunia tanpa Tuhan, pengetahuan sejati bukanlah yang memberikan kepastian, tetapi yang menyingkapkan kondisi keberadaan manusia secara autentik.²²


Footnotes

[1]                Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 113.

[2]                Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason: Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 45–47.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 21–22.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–80.

[5]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 201–202.

[6]                Sartre, Being and Nothingness, 91–92.

[7]                Ibid., 63–64.

[8]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 24–25.

[9]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 46.

[10]             Ibid., 47.

[11]             Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 12–13.

[12]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–30.

[13]             Ibid., 53.

[14]             Ibid., 54–55.

[15]             Heidegger, Being and Time, 98–100.

[16]             Martin Heidegger, The Essence of Truth, trans. Ted Sadler (London: Continuum, 2002), 25–26.

[17]             Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University Press, 1986), 211–213.

[18]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 44.

[19]             Ibid., 47.

[20]             Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 203.

[21]             Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 48–49.

[22]             Solomon, From Rationalism to Existentialism, 118–119.


6.           Etika dan Kebebasan Radikal

Dalam eksistensialisme ateistik, etika tidak lagi berakar pada hukum ilahi, melainkan pada kebebasan manusia itu sendiri. Tanpa Tuhan, tidak ada “hukum moral abadi” yang diturunkan dari sumber transendental; namun hal ini bukan berarti bahwa moralitas kehilangan maknanya. Sebaliknya, bagi para eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, justru ketiadaan Tuhan membuka kemungkinan etika yang lebih autentik—sebuah etika yang berakar pada kebebasan, tanggung jawab, dan kesadaran akan absurditas hidup.¹

6.1.       Kebebasan sebagai Fondasi Etika

Sartre menegaskan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas.”² Pernyataan paradoksal ini menunjukkan bahwa kebebasan bukan sekadar hak, melainkan beban eksistensial. Karena tidak ada Tuhan yang menentukan hakikat manusia, setiap individu bertanggung jawab penuh untuk menentukan dirinya dan tindakannya.³ Kebebasan tidak dapat dihindari; bahkan ketika seseorang mencoba menghindar atau tunduk pada sistem moral eksternal, ia tetap melakukannya sebagai tindakan bebas.⁴ Dengan demikian, kebebasan adalah struktur ontologis manusia—ia bukan pilihan, melainkan kondisi keberadaannya.

Dalam Being and Nothingness, Sartre membedakan antara être-pour-soi (ada-untuk-dirinya-sendiri) yang sadar dan bebas, dengan être-en-soi (ada-pada-dirinya-sendiri) yang pasif seperti benda.⁵ Manusia sebagai pour-soi memiliki kemampuan untuk menegasi realitas, menolak keadaan, dan memilih arah hidupnya. Namun, kebebasan ini menuntut tanggung jawab radikal: setiap keputusan menciptakan nilai yang sekaligus mengikat seluruh umat manusia.⁶ Dalam istilah Sartre, “ketika saya memilih untuk diri saya sendiri, saya memilih untuk seluruh manusia.”⁷ Maka, etika eksistensialis bukan relativisme, melainkan universalisme yang dihasilkan dari komitmen individual yang sadar dan autentik.

6.2.       Bad Faith dan Autentisitas Moral

Salah satu aspek etika eksistensialis yang paling penting adalah kritik terhadap bad faith (mauvaise foi)—sikap menipu diri untuk menghindari kebebasan dan tanggung jawab.⁸ Individu yang hidup dalam bad faith bersembunyi di balik peran sosial, tradisi, atau dogma moral demi mengelak dari kecemasan eksistensial yang timbul karena kebebasannya.⁹ Misalnya, seorang pelayan kafe yang bertingkah seperti “pelayan sejati” (dalam analisis Sartre) berusaha mengidentifikasi dirinya sepenuhnya dengan peran tersebut, seolah-olah ia hanyalah benda yang ditentukan oleh fungsinya.¹⁰

Sebaliknya, hidup yang autentik berarti menerima kebebasan dengan segala konsekuensinya.¹¹ Autentisitas bukan berarti menuruti keinginan sesaat, melainkan kesediaan untuk mengakui bahwa nilai-nilai moral tidak datang dari luar, tetapi diciptakan melalui tindakan sadar.¹² Hidup autentik berarti hidup dalam kesadaran bahwa “tidak ada penebusan” selain tindakan manusia itu sendiri.¹³ Dalam dunia tanpa Tuhan, kejujuran terhadap diri menjadi bentuk tertinggi dari moralitas.¹⁴

6.3.       Etika Absurditas dan Solidaritas Manusia

Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus dan The Rebel, mengembangkan etika yang berangkat dari kesadaran akan absurditas. Menurutnya, jika kehidupan tidak memiliki makna objektif, maka tindakan etis bukanlah upaya mencari tujuan akhir, melainkan cara untuk menegaskan keberadaan manusia di tengah absurditas itu sendiri.¹⁵ Ia menolak bunuh diri sebagai solusi terhadap absurditas karena hal itu berarti menyerah pada kehampaan.¹⁶ Sebaliknya, manusia yang sadar akan absurditas harus “membayangkan Sisyphus bahagia”—terus menggulirkan batu hidupnya dengan semangat perlawanan.¹⁷

Etika Camus bersifat humanistik dan kolektif. Dalam The Rebel, ia menyatakan bahwa “aku memberontak, maka kita ada.”¹⁸ Pemberontakan eksistensial bukanlah egoisme, melainkan solidaritas universal di antara manusia yang sama-sama terlempar ke dunia tanpa makna transendental.¹⁹ Dari kesadaran akan absurditas lahirlah empati, karena setiap manusia menghadapi kondisi eksistensial yang sama.²⁰ Etika tanpa Tuhan, bagi Camus, bukan nihilisme moral, tetapi solidaritas aktif yang berpijak pada penderitaan bersama dan keberanian untuk hidup dengan sadar.²¹

6.4.       Tanggung Jawab dan Humanisme Eksistensial

Eksistensialisme ateistik menolak pandangan bahwa moralitas membutuhkan landasan teologis. Bagi Sartre, justru dengan ketiadaan Tuhan manusia menjadi benar-benar bertanggung jawab.²² Dalam Existentialism Is a Humanism, ia menulis bahwa jika Tuhan tidak ada, maka segala sesuatu diperbolehkan—tetapi sekaligus, manusia bertanggung jawab penuh atas apa yang diperbolehkan itu.²³ Tanggung jawab ini bersifat total dan tidak dapat dialihkan, karena tidak ada otoritas di luar diri yang dapat menanggung beban keputusan moral seseorang.²⁴

Etika eksistensialis karenanya berakar pada humanisme radikal: manusia sebagai satu-satunya sumber nilai.²⁵ Nilai moral lahir dari tindakan sadar yang menegaskan kebebasan dan keberadaan manusia lain. Dengan demikian, kebebasan tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab terhadap sesama.²⁶ Sartre menolak etika individualistik; bagi dia, kebebasan seseorang hanya bermakna sejauh ia menghormati kebebasan orang lain.²⁷ Dalam hal ini, eksistensialisme ateistik membangun etika yang rasional, humanistik, dan otonom—sebuah etika tanpa Tuhan yang justru lebih menuntut kejujuran, keberanian, dan solidaritas antar manusia.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 45–47.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29.

[3]                Ibid., 22–23.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555.

[5]                Ibid., 19–21.

[6]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, 31.

[7]                Ibid., 33.

[8]                Sartre, Being and Nothingness, 86–87.

[9]                Ibid., 89.

[10]             Ibid., 102–103.

[11]             Robert C. Solomon, Living with Nietzsche: What the Great "Immoralist" Has to Teach Us (Oxford: Oxford University Press, 2003), 58–59.

[12]             Thomas Anderson, The Ethics of Authenticity in Sartre’s Existentialism (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1993), 72–73.

[13]             Sartre, Being and Nothingness, 477.

[14]             Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason: Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 65.

[15]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 52.

[16]             Ibid., 55–56.

[17]             Ibid., 123.

[18]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 13.

[19]             Ibid., 22–23.

[20]             Ibid., 47.

[21]             Ibid., 251.

[22]             Sartre, Being and Nothingness, 480.

[23]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 31.

[24]             Ibid., 34–35.

[25]             Jean-Paul Sartre, Search for a Method, trans. Hazel E. Barnes (New York: Vintage, 1968), 11.

[26]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–73.

[27]             Sartre, Being and Nothingness, 481–483.


7.           Dimensi Estetika dan Humanisme Eksistensial

Eksistensialisme ateistik tidak hanya menyoal metafisika dan etika, tetapi juga memiliki dimensi estetika yang mendalam—yakni bagaimana manusia menanggapi absurditas hidup melalui penciptaan, ekspresi, dan makna artistik. Dalam dunia tanpa Tuhan, seni menjadi ruang di mana manusia menegaskan keberadaannya, menciptakan makna dari ketiadaan, dan merayakan kebebasan.¹ Di sisi lain, estetika eksistensialis juga menjadi bentuk humanisme baru: bukan humanisme metafisik yang menempatkan manusia sebagai “gambaran Tuhan,” tetapi humanisme eksistensial yang menegaskan manusia sebagai pencipta makna di tengah kehampaan kosmik.²

7.1.       Estetika Eksistensial: Penciptaan sebagai Tindakan Ontologis

Bagi para eksistensialis ateistik, penciptaan artistik adalah manifestasi dari kebebasan. Sartre menulis bahwa tindakan kreatif adalah bentuk proyek eksistensial yang menegaskan manusia sebagai “makhluk yang melampaui dirinya sendiri.”³ Dalam What Is Literature?, ia menegaskan bahwa menulis adalah tindakan etis sekaligus ontologis—penulis mengungkap dunia, menyingkap kemungkinan, dan memberi bentuk pada pengalaman manusia yang absurd.⁴ Dengan demikian, estetika eksistensial menolak pandangan seni sebagai pelarian dari realitas; sebaliknya, ia merupakan cara manusia untuk meneguhkan eksistensinya di dalam realitas itu sendiri.

Seni, menurut Sartre, adalah “komitmen kebebasan.”⁵ Dalam mencipta, manusia bertanggung jawab atas makna yang ia hasilkan, sebab dalam dunia tanpa Tuhan, setiap karya adalah cermin dari kebebasan penciptanya.⁶ Estetika semacam ini menolak konsep keindahan yang bersifat absolut; keindahan lahir dari tindakan kreatif yang sadar, bukan dari tatanan metafisis yang telah ada. Nietzsche telah lebih awal mengartikulasikan hal ini dalam The Birth of Tragedy, di mana ia melihat seni sebagai “pembenaran eksistensi”—satu-satunya cara manusia untuk menanggung absurditas hidup.⁷ Melalui seni, manusia tidak melarikan diri dari dunia, tetapi menegaskannya.

7.2.       Humanisme Eksistensial dan Penegasan Nilai Manusia

Eksistensialisme ateistik sering disalahpahami sebagai filsafat pesimistik atau nihilistik, padahal justru sebaliknya: ia adalah bentuk tertinggi dari humanisme. Sartre dalam kuliah terkenalnya Existentialism Is a Humanism menolak tuduhan bahwa eksistensialisme meniadakan nilai moral. Ia menulis, “meskipun Tuhan tidak ada, manusia tetap memiliki nilai, karena ia adalah makhluk yang memilih dirinya sendiri.”⁸ Humanisme eksistensial menempatkan manusia sebagai satu-satunya sumber nilai dan makna dalam dunia tanpa tatanan transendental.

Namun, humanisme Sartre bukanlah antroposentrisme yang menempatkan manusia di atas segalanya, melainkan pengakuan akan keterbatasan dan tanggung jawabnya.⁹ Manusia menciptakan dirinya melalui tindakan, dan dalam setiap tindakan itu ia menegaskan keberadaan manusia lain.¹⁰ Dengan demikian, kebebasan individual tidak pernah terlepas dari kebebasan kolektif. Simone de Beauvoir, dalam The Ethics of Ambiguity, menegaskan bahwa menjadi manusia berarti mengakui “ambiguitas keberadaan”—yakni bahwa kita bebas, tetapi kebebasan kita terwujud hanya dalam relasi dengan orang lain.¹¹

Humanisme eksistensial karenanya bersifat dinamis, terbuka, dan dialogis. Ia menolak konsep “hakikat manusia” yang tetap, sebab manusia adalah proyek yang senantiasa menjadi.¹² Nilai manusia tidak diberikan, melainkan diciptakan terus-menerus melalui praksis kebebasan.¹³ Dalam dunia tanpa Tuhan, humanisme ini menjadi bentuk baru dari spiritualitas sekuler—sebuah pencarian makna yang tidak berakar pada transendensi, melainkan pada keberanian untuk hidup dengan sadar di tengah absurditas.

7.3.       Estetika Absurditas dan Pemberontakan Kreatif

Albert Camus melihat seni sebagai salah satu bentuk “pemberontakan” terhadap absurditas hidup. Dalam The Rebel, ia menulis bahwa tindakan kreatif adalah bentuk penegasan kehidupan yang paling luhur: “Untuk mencipta, seseorang harus menolak realitas apa adanya, namun juga tidak melarikan diri darinya.”¹⁴ Bagi Camus, pencipta adalah pemberontak yang sadar akan keterbatasannya, tetapi terus berupaya menciptakan harmoni dalam dunia yang kacau.¹⁵

Seni, bagi Camus, bukan jalan menuju keabadian, melainkan cara untuk menghadapi kefanaan dengan martabat.¹⁶ Melalui seni, manusia mengubah penderitaan menjadi bentuk keindahan, bukan untuk meniadakannya, tetapi untuk memaknainya.¹⁷ Estetika absurditas ini menolak pelarian metafisis; ia adalah afirmasi terhadap eksistensi duniawi. Nietzsche menggambarkan hal ini sebagai “seni tragis,” di mana penderitaan manusia tidak dihapuskan, melainkan diterima dan diubah menjadi kekuatan kreatif.¹⁸

Dengan demikian, baik Sartre maupun Camus sepakat bahwa penciptaan artistik dan humanisme eksistensial merupakan dua sisi dari kebebasan manusia. Seni menjadi bukti bahwa dalam dunia tanpa Tuhan, manusia masih dapat mencipta makna, nilai, dan keindahan. Estetika eksistensial menegaskan bahwa kebebasan bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga tindakan kreatif yang menghidupkan makna dalam absurditas hidup.


Footnotes

[1]                Robert C. Solomon, Existentialism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 94.

[2]                Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason: Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 83–84.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 91.

[4]                Jean-Paul Sartre, What Is Literature?, trans. Bernard Frechtman (London: Methuen, 1950), 38.

[5]                Ibid., 48.

[6]                Sartre, Being and Nothingness, 555.

[7]                Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 42–43.

[8]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 52.

[9]                Ibid., 59–60.

[10]             Sartre, Being and Nothingness, 480.

[11]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 129–130.

[12]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), 516.

[13]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 70–71.

[14]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 239.

[15]             Ibid., 251.

[16]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 120–121.

[17]             Ibid., 122.

[18]             Nietzsche, The Birth of Tragedy, 60–61.


8.           Kritik terhadap Eksistensialisme Ateistik

Eksistensialisme ateistik, meskipun menjadi salah satu arus pemikiran paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, tidak lepas dari kritik yang datang dari berbagai arah—baik dari eksistensialis religius, positivisme ilmiah, strukturalisme, maupun postmodernisme. Kritik-kritik tersebut berpusat pada pertanyaan mendasar: apakah mungkin membangun makna, nilai, dan etika yang sahih dalam dunia tanpa Tuhan? Apakah kebebasan yang mutlak benar-benar dapat dijalankan tanpa jatuh ke dalam relativisme moral atau nihilisme baru?

8.1.       Kritik dari Eksistensialisme Religius

Eksistensialis religius seperti Søren Kierkegaard dan Gabriel Marcel menganggap eksistensialisme ateistik sebagai bentuk pemisahan diri yang tragis dari akar spiritual manusia. Kierkegaard menilai bahwa tanpa relasi dengan Tuhan, kebebasan manusia akan berubah menjadi kecemasan yang tidak terarah.¹ Bagi Kierkegaard, kebebasan sejati hanya dapat dimaknai sebagai “kebebasan di hadapan Tuhan”—yakni kebebasan untuk beriman meskipun iman itu sendiri absurd.² Dengan menolak dimensi religius, Sartre dan Camus dianggap menutup kemungkinan bagi penyelesaian eksistensial yang lebih mendalam.

Gabriel Marcel menambahkan bahwa eksistensialisme ateistik terjebak dalam “abstraksi tentang keberadaan manusia.”³ Menurutnya, Sartre gagal memahami dimensi relasional dan kasih sebagai dasar ontologi manusia. Dalam The Mystery of Being, Marcel menegaskan bahwa eksistensi manusia tidak bisa direduksi menjadi proyek individual yang otonom, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang “ada bersama” (being-with).⁴ Dengan menyingkirkan Tuhan, eksistensialisme ateistik kehilangan ruang bagi pengalaman cinta, harapan, dan kesetiaan yang melampaui batas rasionalitas manusia.

8.2.       Kritik dari Positivisme dan Rasionalisme Ilmiah

Dari sisi lain, kaum positivis logis seperti A.J. Ayer dan Rudolf Carnap menganggap eksistensialisme sebagai wacana yang tidak ilmiah dan penuh ambiguitas linguistik. Ayer, dalam Language, Truth and Logic, menyebut pernyataan-pernyataan eksistensialis tentang “kebebasan,” “absurditas,” atau “makna” sebagai kalimat tanpa makna empiris yang dapat diverifikasi.⁵ Bagi kaum positivis, filsafat seharusnya membatasi diri pada analisis logis terhadap bahasa dan fakta, bukan pada perasaan eksistensial yang tak dapat diuji.⁶

Kritik ini menyoroti bahwa eksistensialisme ateistik, dengan penolakannya terhadap rasionalitas universal, justru kehilangan landasan objektif bagi pengetahuan. Sartre dituduh mempersonifikasikan kesadaran manusia secara berlebihan dan menjadikannya sumber makna tunggal, tanpa menjelaskan bagaimana kesadaran itu dapat berhubungan dengan dunia objektif secara ilmiah.⁷ Dalam konteks ini, eksistensialisme ateistik dianggap tidak mampu memberikan epistemologi yang konsisten antara kebebasan subjektif dan dunia empiris.⁸

8.3.       Kritik dari Strukturalisme dan Post-Strukturalisme

Pada dekade 1960-an, muncul kritik baru terhadap eksistensialisme dari kalangan strukturalis seperti Claude Lévi-Strauss dan Michel Foucault. Mereka menolak gagasan tentang subjek otonom yang menjadi pusat makna sebagaimana diasumsikan oleh Sartre. Bagi Lévi-Strauss, manusia tidak menciptakan makna dari kebebasannya, melainkan menjadi bagian dari sistem tanda dan struktur budaya yang mendahuluinya.⁹ Foucault bahkan menyatakan “kematian manusia” sebagai subjek filsafat modern, sebagai paralel terhadap “kematian Tuhan” Nietzsche.¹⁰ Ia menilai bahwa eksistensialisme masih mempertahankan mitos tentang kesadaran dan kebebasan individu yang universal, padahal realitas sosial dan diskursif justru membentuk manusia dari luar dirinya.¹¹

Jacques Derrida melanjutkan kritik ini melalui pendekatan dekonstruktif, menunjukkan bahwa setiap klaim tentang makna dan autentisitas dalam eksistensialisme selalu bergantung pada oposisi biner yang tidak stabil.¹² Dengan demikian, proyek Sartre dan Camus untuk menemukan makna dalam dunia tanpa Tuhan dianggap masih terjebak dalam metafisika kehadiran, yaitu keinginan untuk menemukan fondasi makna yang tetap di tengah ketidakpastian.¹³

8.4.       Kritik Internal: Nihilisme Baru dan Ketegangan Etis

Selain dari luar, eksistensialisme ateistik juga menghadapi kritik internal terkait konsistensinya sendiri. Beberapa filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Karl Jaspers menilai bahwa kebebasan radikal Sartre berisiko mengarah pada nihilisme moral.¹⁴ Jika manusia bebas menentukan nilainya sendiri, maka tidak ada dasar normatif untuk menilai tindakan selain preferensi pribadi. Sartre berusaha menjawab ini dengan konsep tanggung jawab universal, tetapi para pengkritiknya menilai argumen itu tidak memadai tanpa landasan ontologis yang transenden.¹⁵

Selain itu, beberapa pengamat menilai bahwa Camus, meski menolak nihilisme, tidak pernah berhasil menjelaskan mengapa pemberontakan terhadap absurditas harus diarahkan pada solidaritas dan bukan pada keputusasaan.¹⁶ Dalam The Rebel, Camus menyerukan solidaritas manusia, tetapi alasan filosofisnya tampak lebih etis daripada ontologis.¹⁷ Dengan demikian, kritik internal ini menyoroti adanya ketegangan antara kehampaan metafisis dan tuntutan etis dalam eksistensialisme ateistik.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 45–47.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 67–68.

[3]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol. 1, trans. G.S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1960), 91–93.

[4]                Ibid., 104.

[5]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 32–33.

[6]                Rudolf Carnap, Philosophy and Logical Syntax (London: Kegan Paul, 1935), 9.

[7]                J.P. Stern, Sartre: His Philosophy and His Style (London: Methuen, 1973), 45–46.

[8]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 57–58.

[9]                Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind, trans. George Weidenfeld (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 245–247.

[10]             Michel Foucault, The Order of Things, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1994), 386.

[11]             Ibid., 421.

[12]             Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–279.

[13]             Ibid., 285.

[14]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 43–44.

[15]             Karl Jaspers, Philosophy, vol. 2, trans. E.B. Ashton (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 125–126.

[16]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 212–213.

[17]             Ibid., 250.


9.           Sintesis Filosofis: Antara Nihilisme dan Humanisme

Eksistensialisme ateistik menempati posisi unik dalam sejarah filsafat modern karena berupaya menjembatani dua ekstrem: di satu sisi, nihilisme yang menolak segala makna dan nilai objektif; di sisi lain, humanisme yang menegaskan martabat dan kebebasan manusia. Dalam sintesis filosofis ini, eksistensialisme ateistik berusaha menunjukkan bahwa ketiadaan Tuhan tidak harus berujung pada keputusasaan, tetapi justru membuka ruang bagi penciptaan makna yang otonom dan autentik.¹

9.1.       Dari Nihilisme Destruktif ke Nihilisme Kreatif

Friedrich Nietzsche merupakan titik awal bagi sintesis ini. Ia menyadari bahwa “kematian Tuhan” menandai krisis nilai tertinggi dalam kebudayaan Barat, tetapi bukan sebagai akhir dari makna, melainkan sebagai kesempatan untuk menciptakan makna baru.² Dalam The Will to Power, Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai “tahapan transisi”—sebuah proses destruksi terhadap nilai-nilai lama yang memungkinkan lahirnya nilai-nilai baru yang berakar pada kehidupan itu sendiri.³ Dengan demikian, nihilisme bukanlah keadaan pasif, melainkan gerak menuju afirmasi.

Eksistensialisme ateistik mengambil warisan Nietzsche ini, tetapi menempatkannya dalam horizon eksistensial. Sartre, misalnya, menolak nihilisme pasif dengan menegaskan bahwa meskipun tidak ada esensi manusia yang telah ditentukan, manusia tetap bertanggung jawab untuk menciptakan nilai melalui tindakannya.⁴ “Manusia tidak lain adalah apa yang ia buat dari dirinya sendiri,” tulisnya.⁵ Dengan demikian, nihilisme diatasi bukan melalui kembalinya metafisika, tetapi melalui tindakan kreatif yang menegaskan kebebasan manusia sebagai sumber makna.

Albert Camus menafsirkan langkah ini sebagai “nihilisme yang sadar” (conscious nihilism)—kesadaran akan absurditas hidup tanpa menyerah pada keputusasaan.⁶ Dalam The Myth of Sisyphus, ia menggambarkan manusia sebagai makhluk yang mengetahui bahwa hidupnya tanpa makna kosmis, tetapi tetap memilih untuk hidup, mencipta, dan memberontak.⁷ Bagi Camus, justru dalam penerimaan terhadap absurditas, manusia menemukan ruang bagi pemberontakan kreatif, yang menjadi bentuk tertinggi dari kebebasan dan tanggung jawab moral.⁸

9.2.       Humanisme Tanpa Metafisika

Sartre menegaskan bahwa eksistensialisme ateistik adalah bentuk baru dari humanisme—sebuah “humanisme tanpa Tuhan.”⁹ Humanisme tradisional, yang berakar pada teologi atau rasionalisme klasik, selalu mengandaikan bahwa martabat manusia bergantung pada keserupaan dengan Tuhan atau rasionalitas universal. Namun, Sartre membalik paradigma ini: manusia memiliki nilai justru karena ia bebas, bukan karena ia diciptakan menurut citra sesuatu yang lebih tinggi.¹⁰

Humanisme Sartre menolak setiap konsep “hakikat manusia” yang tetap, karena manusia adalah proyek yang terus-menerus menjadi melalui pilihan dan tindakan.¹¹ Dalam Existentialism Is a Humanism, ia menulis bahwa “manusia berada di tengah-tengah dunia tanpa alasan, tanpa pembenaran, tetapi bertanggung jawab untuk memberi alasan bagi keberadaannya sendiri.”¹² Pandangan ini menegaskan otonomi etis dan eksistensial manusia, namun sekaligus menolak egosentrisme. Sartre menekankan bahwa kebebasan sejati tidak dapat dipisahkan dari pengakuan atas kebebasan orang lain—setiap tindakan manusia adalah tindakan universal yang menegaskan nilai kemanusiaan secara keseluruhan.¹³

Simone de Beauvoir memperdalam dimensi ini melalui gagasan “etika ambiguitas.”¹⁴ Menurutnya, kondisi manusia adalah paradoks antara keterbatasan dan kebebasan, antara fakta dan proyek. Etika eksistensial, karenanya, harus lahir dari kesadaran akan ambiguitas ini: manusia tidak bisa menjadi Tuhan, tetapi juga tidak bisa berhenti menjadi manusia.¹⁵ Humanisme eksistensial adalah pengakuan atas martabat manusia justru dalam keterbatasannya.

9.3.       Kesadaran Eksistensial dan Tanggung Jawab Universal

Sintesis antara nihilisme dan humanisme dalam eksistensialisme ateistik berakar pada kesadaran eksistensial. Kesadaran ini bukan sekadar refleksi intelektual, tetapi pengalaman mendalam akan keberadaan yang tanpa dasar. Heidegger menyebut pengalaman ini sebagai “ketiadaan yang membuka keberadaan.”¹⁶ Ketiadaan Tuhan tidak berarti ketiadaan makna, tetapi keterbukaan terhadap kemungkinan menjadi yang baru. Dalam horizon ini, manusia menemukan tanggung jawab ontologis terhadap dirinya dan dunia.

Bagi Sartre, tanggung jawab ini bersifat total: setiap tindakan individu menegaskan visi tentang manusia secara keseluruhan.¹⁷ Manusia tidak dapat mengelak dari kebebasannya, karena bahkan penolakan terhadap kebebasan adalah tindakan bebas. Di sini, nihilisme berubah menjadi etika tanggung jawab: justru karena tidak ada Tuhan, manusia harus bertanggung jawab terhadap makna yang ia ciptakan.¹⁸

Camus melengkapi sintesis ini dengan penegasan bahwa tanggung jawab manusia bukan hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi juga terhadap sesama.¹⁹ Dalam The Rebel, ia menulis bahwa “pemberontakan sejati adalah tindakan solidaritas”—yakni pengakuan bahwa semua manusia berbagi dalam absurditas dan penderitaan yang sama.²⁰ Dengan demikian, pemberontakan menjadi dasar etika humanistik yang tidak memerlukan legitimasi transendental.

9.4.       Menuju Onto-Humanisme Baru

Sintesis eksistensialis ini pada akhirnya mengarah pada apa yang dapat disebut onto-humanisme—pandangan bahwa makna keberadaan manusia terletak dalam keterbukaannya terhadap dunia dan sesamanya.²¹ Heidegger menolak humanisme dalam arti klasik, tetapi membuka ruang bagi pemahaman manusia sebagai penjaga makna (the shepherd of Being).²² Sementara Sartre dan Camus menegaskan manusia sebagai pencipta makna, Heidegger menempatkannya sebagai pengungkap makna.²³ Dalam keduanya, terdapat kesadaran baru bahwa humanisme tanpa metafisika tidak harus berujung pada nihilisme, melainkan dapat menjadi fondasi bagi spiritualitas sekuler yang menegaskan keberanian, tanggung jawab, dan solidaritas manusia.

Dengan demikian, eksistensialisme ateistik membentuk jembatan antara kehampaan dan makna, antara kebebasan dan tanggung jawab. Ia tidak menghapus Tuhan demi menggantinya dengan ketiadaan, melainkan membuka ruang bagi manusia untuk menjadi sumber makna itu sendiri. Dalam dunia yang telah kehilangan kepastian metafisik, filsafat ini menawarkan cara untuk tetap hidup secara autentik—mencipta, mencintai, dan bertanggung jawab—di tengah absurditas yang tak terhindarkan.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 61.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 23–24.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28.

[6]                Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 11–12.

[7]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 54–55.

[8]                Ibid., 121–122.

[9]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, 50–52.

[10]             Ibid., 59–60.

[11]             Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 115.

[12]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 62.

[13]             Sartre, Being and Nothingness, 480–481.

[14]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–74.

[15]             Ibid., 91–92.

[16]             Martin Heidegger, What Is Metaphysics?, trans. David Farrell Krell (New Haven: Yale University Press, 1959), 93.

[17]             Sartre, Being and Nothingness, 481.

[18]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 64–65.

[19]             Camus, The Rebel, 252–253.

[20]             Ibid., 255.

[21]             Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 308.

[22]             Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi (New York: Harper & Row, 1977), 210–212.

[23]             Ibid., 213.


10.       Relevansi Kontemporer

Eksistensialisme ateistik tetap memiliki relevansi mendalam dalam konteks intelektual dan sosial kontemporer, terutama di tengah krisis makna yang melanda manusia modern. Dunia saat ini ditandai oleh sekularisasi nilai, kemajuan teknologi yang cepat, alienasi digital, serta ketegangan etis yang muncul dari pluralisme dan relativisme moral. Dalam situasi tersebut, eksistensialisme ateistik menawarkan kerangka filosofis untuk memahami kembali makna keberadaan, kebebasan, dan tanggung jawab manusia tanpa merujuk pada fondasi metafisik atau religius.¹

10.1.    Krisis Makna di Era Sekular dan Teknologis

Modernitas akhir ditandai oleh apa yang disebut Charles Taylor sebagai “kehilangan horizon transendensi” (loss of transcendence horizon).² Manusia modern hidup dalam dunia yang serba rasional, ilmiah, dan efisien, namun kehilangan dimensi makna eksistensial. Jean Baudrillard bahkan menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai “masyarakat simulakra,” di mana realitas digantikan oleh citra dan representasi tanpa kedalaman.³ Dalam konteks ini, manusia mengalami bentuk baru dari absurditas: bukan lagi absurditas metafisik seperti dalam pemikiran Camus, melainkan absurditas eksistensial akibat kehilangan orientasi dalam dunia yang penuh informasi tetapi miskin makna.

Eksistensialisme ateistik menawarkan respons terhadap krisis ini melalui gagasan tentang kesadaran diri dan tanggung jawab personal. Sartre menegaskan bahwa di dunia tanpa Tuhan, manusia tidak dapat lagi bersembunyi di balik sistem, ideologi, atau teknologi; ia harus memilih dan bertindak dengan kesadaran penuh.⁴ Dengan demikian, etika eksistensial menjadi landasan bagi otonomi moral di tengah kebingungan nilai yang dihasilkan oleh globalisasi dan modernitas digital.

10.2.    Eksistensialisme dan Psikologi Modern

Relevansi eksistensialisme ateistik juga terasa dalam bidang psikologi dan terapi eksistensial. Viktor E. Frankl, meskipun tidak sepenuhnya ateistik, mengadopsi prinsip-prinsip eksistensial dalam logoterapi—yakni bahwa manusia selalu mencari makna bahkan dalam penderitaan.⁵ Dalam konteks sekuler, gagasan ini dikembangkan oleh Rollo May dan Irvin Yalom, yang menegaskan bahwa krisis psikologis modern tidak hanya berasal dari trauma eksternal, tetapi dari kesadaran akan kehampaan dan absurditas hidup.⁶

Pendekatan eksistensial menekankan bahwa penyembuhan tidak datang dari adaptasi sosial semata, tetapi dari keberanian untuk menghadapi kebebasan dan kecemasan eksistensial secara sadar.⁷ Ini selaras dengan etika Sartre dan Camus yang menolak penyerahan diri pada determinisme biologis atau sosial. Dalam dunia pasca-religius, terapi eksistensial menjadi bentuk penerapan praktis dari humanisme ateistik: membantu individu menciptakan makna melalui tindakan yang sadar dan autentik.⁸

10.3.    Dimensi Sosial dan Politik Eksistensialisme

Eksistensialisme ateistik juga memiliki dampak signifikan dalam teori sosial dan politik. Sartre memandang kebebasan bukan hanya persoalan pribadi, tetapi juga struktur sosial yang menentukan kondisi keberadaan manusia.⁹ Dalam Critique of Dialectical Reason, ia berusaha menyatukan eksistensialisme dengan marxisme melalui gagasan “praktiko-inert,” yaitu kondisi sosial yang dapat membatasi, namun sekaligus memungkinkan, kebebasan individu.¹⁰

Di sisi lain, Camus menolak ideologi totalitarian yang mengklaim makna tunggal atas sejarah manusia.¹¹ Ia menegaskan bahwa “setiap revolusi yang menjadi dogma berakhir sebagai tirani.”¹² Dengan demikian, eksistensialisme ateistik mendorong bentuk politik yang terbuka, plural, dan humanistik—politik yang mengakui keterbatasan manusia sekaligus kebebasannya untuk bertanggung jawab terhadap sesama. Dalam dunia global yang dipenuhi ekstremisme ideologis, prinsip-prinsip ini tetap menjadi landasan etis bagi demokrasi dan kebebasan berpikir.¹³

10.4.    Eksistensialisme di Era Teknologi dan Kecerdasan Buatan

Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan tantangan baru bagi filsafat eksistensial. Ketika algoritme mulai menentukan preferensi, perilaku, bahkan keputusan moral manusia, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebebasan dan autentisitas masih mungkin?¹⁴ Heidegger telah mengantisipasi problem ini melalui konsep Gestell—cara teknologi memandang dunia dan manusia sebagai “sumber daya” (standing-reserve).¹⁵

Dalam konteks ini, eksistensialisme ateistik menyerukan perlunya kesadaran eksistensial terhadap hubungan manusia dengan teknologi. Sartre mengingatkan bahwa manusia tidak pernah menjadi objek murni dari kondisi apa pun; bahkan dalam keterbatasan struktural, ia tetap bebas untuk memberi makna pada tindakannya.¹⁶ Dengan demikian, eksistensialisme menjadi bentuk resistensi filosofis terhadap dehumanisasi digital—ia menegaskan bahwa teknologi harus menjadi sarana untuk mengungkap kemanusiaan, bukan menggantikannya.¹⁷

10.5.    Spiritualitas Sekuler dan Makna Hidup

Dalam dunia pasca-agama, eksistensialisme ateistik juga memberi ruang bagi apa yang disebut spiritualitas sekuler. Spiritualitas ini bukan keyakinan pada entitas adikodrati, tetapi kesadaran mendalam akan keterhubungan manusia dengan sesamanya dan dengan dunia.¹⁸ Camus menulis bahwa “kebesaran manusia terletak pada kesadarannya akan absurditas.”¹⁹ Dalam kesadaran tersebut, manusia tidak menemukan Tuhan, tetapi menemukan kemanusiaannya.

Dengan demikian, eksistensialisme ateistik menawarkan bentuk spiritualitas tanpa dogma: kehidupan yang penuh makna justru karena manusia sadar akan kefanaannya.²⁰ Dalam zaman yang ditandai oleh disorientasi moral dan keletihan spiritual, filsafat ini menjadi ajakan untuk hidup dengan keberanian, mencipta makna, dan menegaskan martabat manusia tanpa memerlukan jaminan transendensi.²¹


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 77–78.

[2]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 548–550.

[3]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–3.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 45–47.

[5]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–105.

[6]                Rollo May, Existence: A New Dimension in Psychiatry and Psychology (New York: Basic Books, 1958), 13–14.

[7]                Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic Books, 1980), 8–9.

[8]                Ibid., 11–12.

[9]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 45–46.

[10]             Ibid., 78–79.

[11]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 233.

[12]             Ibid., 249.

[13]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 154–156.

[14]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 18–20.

[15]             Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 19–20.

[16]             Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555–556.

[17]             Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 341.

[18]             Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 11–13.

[19]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 90.

[20]             Ibid., 123.

[21]             Susan Neiman, Moral Clarity: A Guide for Grown-Up Idealists (New York: Harcourt, 2008), 276–277.


11.       Kesimpulan

Eksistensialisme ateistik merupakan salah satu tonggak paling penting dalam sejarah filsafat modern karena menawarkan kerangka berpikir baru tentang makna hidup di dunia tanpa Tuhan. Ia tidak berhenti pada penolakan terhadap agama atau metafisika, tetapi berupaya menggali makna positif dari kondisi manusia yang terbebas dari fondasi transendental. Sejak Nietzsche mengumumkan “kematian Tuhan,” Sartre menegaskan kebebasan manusia yang mutlak, dan Camus menafsirkan absurditas sebagai kondisi universal keberadaan, eksistensialisme ateistik telah menjadi cermin bagi kegelisahan dan keberanian manusia modern untuk hidup tanpa jaminan makna objektif.¹

11.1.    Eksistensi sebagai Proyek Kebebasan

Inti dari filsafat eksistensialisme ateistik terletak pada pengakuan bahwa eksistensi mendahului esensi.² Manusia tidak memiliki hakikat yang ditentukan sebelumnya—ia adalah makhluk yang senantiasa membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan. Kebebasan ini bukanlah sekadar peluang, melainkan tanggung jawab yang radikal.³ Dengan menolak Tuhan sebagai sumber moralitas, eksistensialisme ateistik memindahkan pusat makna dari transendensi ke dalam eksistensi manusia sendiri.⁴

Namun, kebebasan ini juga menghadirkan kecemasan dan kesepian eksistensial. Sartre menggambarkan kebebasan manusia sebagai “kutukan,” karena tanpa Tuhan tidak ada yang dapat dijadikan alasan bagi tindakannya.⁵ Di sinilah etika eksistensial menemukan bentuknya: bukan sebagai hukum yang dipaksakan dari luar, tetapi sebagai komitmen autentik terhadap tindakan yang sadar dan bertanggung jawab. Manusia tidak dapat menghindari kebebasan; bahkan penolakannya terhadap kebebasan pun adalah pilihan bebas yang memiliki konsekuensi etis.⁶

11.2.    Dari Nihilisme Menuju Afirmasi Makna

Eksistensialisme ateistik berangkat dari nihilisme Nietzschean, tetapi tidak berhenti pada kehampaan.⁷ Dengan menggantikan Tuhan dengan manusia sebagai pencipta makna, filsafat ini menawarkan nihilisme positif—yakni kesadaran akan ketiadaan makna objektif yang justru mendorong penciptaan makna personal dan kolektif.⁸ Camus menegaskan bahwa kesadaran akan absurditas bukanlah akhir, melainkan awal dari kebebasan sejati. “Manusia,” tulisnya, “menemukan kebahagiaan bukan karena dunia bermakna, tetapi karena ia sadar dan menerima absurditasnya.”⁹

Dengan demikian, eksistensialisme ateistik menolak baik pesimisme metafisik maupun dogmatisme religius. Ia menawarkan jalan tengah antara keputusasaan dan ilusi: kesadaran yang jujur terhadap kehampaan, namun juga keberanian untuk menegaskan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam dunia yang kehilangan Tuhan, manusia tidak kehilangan segalanya; justru ia memperoleh otonomi untuk menjadi sumber makna itu sendiri.¹⁰

11.3.    Etika, Estetika, dan Humanisme Baru

Secara etis, eksistensialisme ateistik menegaskan tanggung jawab universal manusia terhadap tindakannya. Sartre dan Beauvoir melihat bahwa kebebasan individual hanya bermakna sejauh ia menghormati kebebasan orang lain.¹¹ Etika eksistensialis bukanlah relativisme moral, melainkan universalitas eksistensial—setiap tindakan individu merepresentasikan visi tentang manusia secara keseluruhan.¹²

Secara estetis, eksistensialisme ateistik menemukan ekspresi dalam seni dan sastra yang menggambarkan penderitaan, absurditas, dan keberanian untuk hidup tanpa kepastian. Nietzsche memandang seni sebagai pembenaran eksistensi, dan Camus melihat penciptaan artistik sebagai bentuk tertinggi pemberontakan manusia terhadap absurditas.¹³ Estetika eksistensial dengan demikian menjadi sarana untuk meneguhkan kehidupan, bukan untuk melarikan diri darinya.

Humanisme yang lahir dari eksistensialisme ateistik bukanlah humanisme metafisik, melainkan humanisme eksistensial—sebuah penghormatan terhadap manusia sebagai makhluk yang sadar akan keterbatasannya namun tetap bertanggung jawab untuk menciptakan makna.¹⁴ Dalam dunia yang kehilangan fondasi teologis, filsafat ini menjadi pembela martabat manusia yang tetap dapat berpikir, bertindak, dan mencintai secara autentik.

11.4.    Relevansi dan Harapan

Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh sekularisasi, krisis moral, dan alienasi digital, eksistensialisme ateistik memberikan refleksi filosofis yang mendalam. Ia mengajarkan bahwa makna hidup tidak ditemukan di luar diri manusia, tetapi diciptakan melalui komitmen, kerja, dan solidaritas.¹⁵ Dalam dunia yang terus berubah, kesadaran eksistensial menjadi bentuk spiritualitas sekuler yang menggantikan fungsi iman tradisional: bukan untuk menenangkan, tetapi untuk membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab.¹⁶

Akhirnya, eksistensialisme ateistik menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang ada di tengah absurditas, namun mampu menegaskan makna melalui kebebasan dan tindakan. Ia adalah filsafat keberanian—keberanian untuk hidup tanpa kepastian, untuk mencipta dalam kehampaan, dan untuk mencintai dalam dunia tanpa Tuhan.¹⁷ Dengan demikian, filsafat ini tetap relevan sebagai panduan etis dan spiritual bagi manusia modern yang mencari makna di tengah dunia yang kehilangan pusatnya.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 480–481.

[4]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 52–53.

[5]                Sartre, Being and Nothingness, 555.

[6]                Ibid., 557.

[7]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 23.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 53–54.

[9]                Ibid., 123.

[10]             Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 115–116.

[11]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–73.

[12]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 34–35.

[13]             Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 60–61.

[14]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 64.

[15]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 549–550.

[16]             Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 12–13.

[17]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1992), 255.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Beauvoir, S. de. (1976). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.

Camus, A. (1992). The rebel (A. Bower, Trans.). Vintage International.

Carnap, R. (1935). Philosophy and logical syntax. Kegan Paul.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time. MIT Press.

Dworkin, R. (2013). Religion without God. Harvard University Press.

Flynn, T. (1997). Sartre, Foucault, and historical reason: Toward an existentialist theory of history. University of Chicago Press.

Flynn, T. (2006). Existentialism: A very short introduction. Oxford University Press.

Foucault, M. (1994). The order of things (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Heidegger, M. (1959). What is metaphysics? (D. F. Krell, Trans.). Yale University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). Letter on humanism (F. A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1979). Nietzsche (Vol. 1, D. F. Krell, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1984). Nietzsche (Vol. 2, D. F. Krell, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (2000). Introduction to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). Yale University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Jaspers, K. (1971). Philosophy (Vol. 2, E. B. Ashton, Trans.). University of Chicago Press.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press.

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Classics.

Lévi-Strauss, C. (1966). The savage mind (G. Weidenfeld, Trans.). University of Chicago Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Marcel, G. (1960). The mystery of being (Vol. 1, G. S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.

May, R. (1958). Existence: A new dimension in psychiatry and psychology. Basic Books.

Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford University Press.

Neiman, S. (2008). Moral clarity: A guide for grown-up idealists. Harcourt.

Nietzsche, F. (1954). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Viking Penguin.

Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1967). The birth of tragedy (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1968). The will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1969). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1990). Twilight of the idols (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Classics.

Sartre, J.-P. (1950). What is literature? (B. Frechtman, Trans.). Methuen.

Sartre, J.-P. (1968). Search for a method (H. E. Barnes, Trans.). Vintage.

Sartre, J.-P. (2003). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Routledge.

Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Solomon, R. C. (2001). From rationalism to existentialism: The existentialists and their nineteenth-century backgrounds. Rowman & Littlefield.

Solomon, R. C. (2005). Existentialism. Oxford University Press.

Solomon, R. C. (2003). Living with Nietzsche: What the great "immoralist" has to teach us. Oxford University Press.

Stern, J. P. (1973). Sartre: His philosophy and his style. Methuen.

Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. Basic Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar