Eksistensialisme Ateistik
Kebebasan, Absurd, dan Makna dalam Ketiadaan Tuhan
Alihkan ke: Filsafat Eksistensialisme.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara sistematis dan
komprehensif salah satu cabang utama filsafat eksistensialis, yaitu eksistensialisme
ateistik, yang menolak landasan teologis dalam memahami eksistensi manusia
dan menggantinya dengan fondasi kebebasan serta tanggung jawab individual.
Kajian ini menelusuri akar historis dan genealogisnya, mulai dari pemikiran
Nietzsche tentang “kematian Tuhan” hingga pengembangan konsep
eksistensi, kebebasan, dan absurditas dalam filsafat Sartre, Heidegger, dan
Camus. Dengan pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual, artikel
ini menyoroti aspek ontologis (keberadaan tanpa Tuhan), epistemologis
(pengetahuan melalui pengalaman eksistensial), etis (kebebasan dan tanggung
jawab moral), serta estetis-humanistik (seni dan penciptaan makna di tengah
absurditas).
Eksistensialisme ateistik menegaskan bahwa
ketiadaan Tuhan tidak berujung pada nihilisme destruktif, melainkan membuka
ruang bagi nihilisme kreatif dan humanisme eksistensial—suatu
pandangan yang menempatkan manusia sebagai pencipta nilai dan makna dalam dunia
yang tidak memiliki fondasi metafisik. Dalam konteks kontemporer, filsafat ini
memiliki relevansi kuat terhadap krisis makna, alienasi teknologi, dan
pluralisme moral modern. Melalui kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab,
manusia dituntut untuk membangun makna hidupnya sendiri secara autentik, tanpa
bersandar pada transendensi. Dengan demikian, eksistensialisme ateistik
bukanlah filsafat keputusasaan, melainkan filsafat keberanian dan afirmasi
terhadap kehidupan yang absurd.
Kata Kunci: Eksistensialisme Ateistik, Kebebasan, Absurditas,
Nihilisme, Humanisme, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Friedrich Nietzsche,
Martin Heidegger, Ontologi Eksistensial, Makna Hidup, Spiritualitas Sekuler.
PEMBAHASAN
Signifikansi filsafat eksistensialisme ateistik dalam
konteks kontemporer
1.          
Pendahuluan
Filsafat eksistensialisme ateistik muncul sebagai
salah satu respons paling radikal terhadap krisis makna yang melanda
modernitas. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan sekularisasi nilai, manusia
modern mendapati dirinya terlepas dari fondasi metafisik tradisional yang
selama berabad-abad menjadi sumber makna dan orientasi hidup. Friedrich
Nietzsche dengan provokatif menyatakan bahwa “Tuhan telah mati,” sebuah
pernyataan yang bukan hanya menandai hilangnya keyakinan religius, tetapi juga
keruntuhan struktur nilai yang menopang kebudayaan Barat sejak masa klasik
hingga abad pertengahan.¹ Dalam konteks inilah, eksistensialisme ateistik lahir
sebagai upaya memahami kembali eksistensi manusia tanpa bergantung pada
transendensi ilahi.
Eksistensialisme ateistik menolak gagasan bahwa
makna hidup bersumber dari entitas metafisis di luar diri manusia. Jean-Paul
Sartre menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (existence
precedes essence), yang berarti manusia pertama-tama ada, baru kemudian
menentukan dirinya melalui pilihan-pilihan bebas.² Dengan demikian, manusia
tidak memiliki hakikat bawaan yang ditetapkan oleh Tuhan atau kodrat alamiah;
ia sendiri yang menciptakan esensinya melalui tindakan. Pandangan ini
menempatkan kebebasan dan tanggung jawab sebagai inti dari eksistensi manusia.
Kebebasan bukanlah anugerah, melainkan kutukan yang menuntut manusia untuk
senantiasa memilih dan menanggung konsekuensi dari pilihannya.³
Namun, kebebasan yang radikal ini membawa manusia
pada kesadaran akan absurditas hidup. Albert Camus menulis bahwa dunia tidak
memberikan jawaban terhadap kerinduan manusia akan makna, dan justru di sanalah
absurditas lahir—dari konfrontasi antara pencarian makna dan kesunyian alam
semesta.⁴ Dalam ketiadaan Tuhan, hidup menjadi tanpa makna objektif, tetapi
justru di situ terletak ruang bagi penciptaan makna yang autentik.
Eksistensialisme ateistik dengan demikian tidak berhenti pada nihilisme pasif,
melainkan berupaya menegaskan nilai dan makna melalui tindakan manusia itu
sendiri.⁵
Di sisi lain, eksistensialisme ateistik juga
merupakan bentuk kritik terhadap sistem rasionalistik dan positivistik modern
yang berusaha menjelaskan manusia semata-mata sebagai objek pengetahuan
ilmiah.⁶ Heidegger, meskipun tidak secara eksplisit ateistik, menunjukkan bahwa
keberadaan manusia (Dasein) tidak dapat direduksi menjadi fakta empiris,
sebab ia senantiasa berada-dalam-dunia (being-in-the-world) dengan
kesadaran akan keterlemparan dan kematian.⁷ Eksistensialisme, dalam pengertian
ini, mengembalikan manusia kepada pengalaman eksistensial yang konkret dan
penuh keterbatasan.
Kajian ini bertujuan untuk menelaah secara
sistematis struktur pemikiran eksistensialisme ateistik, meliputi dimensi
ontologis, epistemologis, dan etisnya. Dengan menelusuri akar historisnya dari
Nietzsche hingga Sartre dan Camus, artikel ini berusaha menunjukkan bagaimana
eksistensialisme ateistik tidak sekadar menolak Tuhan, tetapi juga berupaya
menegaskan kembali martabat dan kebebasan manusia di tengah kehampaan
metafisis.⁸ Dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai oleh sekularisasi,
alienasi, dan krisis identitas, filsafat ini tetap relevan sebagai kerangka
reflektif untuk memahami bagaimana manusia dapat hidup secara autentik dalam
dunia tanpa fondasi transendental.
Footnotes
[1]               
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.
[2]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555.
[4]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28.
[5]               
Ibid., 54.
[6]               
Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical
Reason: Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of
Chicago Press, 1997), 33–34.
[7]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 237.
[8]               
Robert C. Solomon, From Rationalism to
Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 115.
2.          
Landasan
Historis Eksistensialisme Ateistik
Eksistensialisme ateistik tidak muncul secara
tiba-tiba, melainkan merupakan hasil perkembangan panjang dalam sejarah filsafat
Barat yang mengalami pergeseran dari teosentrisme menuju antroposentrisme. Akar
pemikirannya dapat ditelusuri sejak masa filsafat modern awal, ketika
subjektivitas manusia mulai mengambil peran utama dalam struktur pengetahuan
dan moralitas. Namun, eksistensialisme dalam bentuknya yang ateistik baru
menemukan momentumnya pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, ketika
kepercayaan terhadap Tuhan dan nilai-nilai metafisis mulai terguncang oleh
kemajuan sains, rasionalisme, dan sekularisasi.¹
2.1.      
Dari Eksistensialisme
Religius ke Sekuler
Cikal bakal eksistensialisme dapat ditemukan dalam
pemikiran Søren Kierkegaard (1813–1855), yang dikenal sebagai “bapak
eksistensialisme.” Kierkegaard mengkritik sistem rasionalisme Hegelian yang
meniadakan individu konkret, dan menekankan pentingnya eksistensi pribadi di
hadapan Tuhan.² Namun, bagi Kierkegaard, eksistensi manusia hanya menemukan
maknanya dalam relasi dengan Yang Ilahi. Eksistensialisme dalam pengertian
Kierkegaard masih bersifat teistik, karena berpuncak pada “lompatan iman”
(leap of faith) menuju Tuhan sebagai sumber makna.³
Sebaliknya, ketika Nietzsche (1844–1900)
mengumumkan “kematian Tuhan,” ia menutup bab teologis dalam sejarah
metafisika Barat.⁴ Baginya, hilangnya kepercayaan terhadap Tuhan berarti
hilangnya fondasi bagi sistem nilai, moralitas, dan kebenaran absolut. Dunia
yang ditinggalkan Tuhan adalah dunia nihilisme, di mana tidak ada tujuan atau
makna universal. Dalam konteks inilah, eksistensialisme ateistik menemukan
ruang ontologisnya: manusia tidak lagi didefinisikan oleh sesuatu yang
transenden, melainkan harus menciptakan dirinya sendiri di tengah kehampaan
nilai.⁵ Nietzsche memandang kehancuran nilai lama bukan sebagai tragedi, tetapi
sebagai peluang bagi munculnya manusia baru—Übermensch—yang mampu
menegaskan kehendak hidupnya tanpa sandaran metafisis.⁶
2.2.      
Krisis Modernitas dan
Sekularisasi Nilai
Setelah Nietzsche, Eropa modern mengalami guncangan
besar yang mempercepat krisis keagamaan dan moral. Perang Dunia I dan II menghancurkan
optimisme rasional abad ke-19, sekaligus memperlihatkan absurditas dan
kehancuran yang dihasilkan oleh manusia sendiri.⁷ Di tengah kehancuran
tersebut, filsuf seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus
mencoba memahami kembali hakikat manusia dalam dunia tanpa Tuhan. Heidegger,
meskipun tidak secara eksplisit menyatakan dirinya ateis, menolak konsep Tuhan
sebagai dasar ontologi; ia menggantinya dengan analisis tentang keberadaan
manusia (Dasein) yang sadar akan kefanaannya.⁸
Sartre melanjutkan arus ini dengan
mengartikulasikan eksistensialisme dalam kerangka ateistik yang eksplisit.
Dalam L’Être et le Néant (Being and Nothingness), ia menyatakan
bahwa tanpa Tuhan, tidak ada hakikat manusia yang telah ditentukan
sebelumnya—manusia “terkutuk untuk bebas.”⁹ Kebebasan ini membawa
konsekuensi etis dan eksistensial yang besar: manusia tidak dapat lagi
menyalahkan kehendak ilahi, melainkan harus bertanggung jawab penuh atas
keberadaannya. Sementara itu, Camus melihat ketegangan antara pencarian makna
dan kebisuan dunia sebagai bentuk absurditas yang tak terhindarkan. Dalam Le
Mythe de Sisyphe, ia menggambarkan manusia modern sebagai Sisyphus yang
sadar bahwa hidupnya sia-sia, namun tetap memilih untuk menggulirkan batu
dengan semangat pemberontakan.¹⁰
2.3.      
Evolusi dari Metafisika ke
Humanisme Eksistensial
Landasan historis eksistensialisme ateistik
menunjukkan pergeseran fundamental dari metafisika ke humanisme. Bila
sebelumnya manusia dianggap sebagai ciptaan Tuhan dengan tujuan ilahi, maka eksistensialisme
ateistik menegaskan manusia sebagai pencipta makna bagi dirinya sendiri.¹¹
Humanisme ini bukan sekadar glorifikasi manusia, melainkan kesadaran akan
tanggung jawab radikal yang menyertai kebebasan. Sartre dalam Existentialism
Is a Humanism menyatakan bahwa meskipun Tuhan tidak ada, nilai-nilai
kemanusiaan tetap dapat ditegakkan melalui tindakan manusia yang autentik dan
sadar.¹² Dengan demikian, eksistensialisme ateistik menjadi tonggak penting
dalam sejarah filsafat modern, karena berupaya menegaskan kembali makna
eksistensi dalam dunia yang kehilangan fondasi transendentalnya.
Footnotes
[1]               
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (Garden City, NY: Doubleday Anchor, 1958), 12–15.
[2]               
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton
University Press, 1941), 78–80.
[3]               
Ibid., 190.
[4]               
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Penguin, 1954), 125.
[5]               
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 23–24.
[6]               
Ibid., 270–271.
[7]               
Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky
to Sartre (New York: Meridian, 1956), 11–12.
[8]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
229–233.
[9]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555–557.
[10]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 120–122.
[11]            
Robert C. Solomon, From Rationalism to
Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 105–108.
[12]            
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 51–52.
3.          
Genealogi
Konsep “Kematian Tuhan”
Konsep “kematian Tuhan” (der Tod Gottes)
merupakan salah satu deklarasi paling revolusioner dalam sejarah filsafat
modern. Ungkapan yang diperkenalkan oleh Friedrich Nietzsche bukan sekadar
pernyataan teologis, melainkan diagnosis budaya terhadap perubahan fundamental
dalam kesadaran manusia Barat.¹ Ia tidak bermaksud menyatakan bahwa Tuhan
secara literal telah tiada, melainkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan—sebagai
sumber nilai, kebenaran, dan makna universal—telah kehilangan kekuatannya dalam
kesadaran kolektif manusia modern.² “Kematian Tuhan” adalah simbol dari keruntuhan
fondasi metafisika Barat yang telah menopang moralitas, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan selama lebih dari dua milenium.
3.1.      
Nietzsche dan Kelahiran
Nihilisme
Dalam The Gay Science (Die fröhliche
Wissenschaft), Nietzsche menulis: “Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati.
Dan kitalah yang membunuh-Nya.”³ Pernyataan ini muncul dalam bentuk
parabola “Orang Gila” (Der tolle Mensch), yang mengekspresikan
tragedi kesadaran modern: manusia telah menolak Tuhan, tetapi belum siap
menerima konsekuensinya.⁴ Nietzsche menilai bahwa filsafat modern, dengan
penekanannya pada rasionalitas dan ilmiah, secara tidak sadar telah menghapus
kebutuhan akan Tuhan, sementara struktur nilai moral masih bergantung pada
warisan religius yang sama.⁵ Inilah bentuk awal dari nihilisme, yaitu
kesadaran bahwa “tidak ada nilai tertinggi” yang dapat dijadikan
pegangan.⁶
Bagi Nietzsche, nihilisme adalah fase transisi:
kehancuran nilai lama membuka peluang bagi penciptaan nilai baru. “Kematian
Tuhan” bukan akhir, melainkan awal bagi manusia untuk menegaskan kehendak
hidupnya (der Wille zur Macht).⁷ Manusia dituntut menjadi Übermensch—figur
simbolik yang mampu menciptakan nilai secara otonom tanpa bergantung pada
metafisika.⁸ Dengan demikian, genealogi gagasan ini tidak hanya menggambarkan keruntuhan
religiusitas, tetapi juga lahirnya paradigma baru yang menempatkan manusia
sebagai pencipta makna dalam dunia yang kehilangan fondasi absolut.
3.2.      
Transvaluasi Nilai dan
Krisis Moral Modern
Konsekuensi dari kematian Tuhan adalah Umwertung
aller Werte—transvaluasi semua nilai.⁹ Seluruh sistem etika yang berakar
pada teologi Kristen kehilangan legitimasi metafisiknya. Nietzsche menolak
moralitas asketis yang mengekang kehendak hidup dan menilai penderitaan sebagai
kebajikan.¹⁰ Baginya, moralitas semacam itu adalah bentuk ressentiment—reaksi
dendam yang muncul dari kelemahan dan ketidakmampuan untuk menegaskan
kehidupan.¹¹ Dengan menolak moralitas tradisional, Nietzsche mengajak manusia
untuk menilai kembali seluruh horizon nilai dengan keberanian dan afirmasi
terhadap eksistensi duniawi.
Namun, proyek transvaluasi ini juga membuka
persoalan baru: bagaimana membangun nilai tanpa landasan absolut? Nietzsche
menyadari bahaya nihilisme pasif, yakni sikap menyerah terhadap ketiadaan
makna.¹² Untuk menghindarinya, ia menekankan pentingnya afirmasi kehidupan (amor
fati), yaitu penerimaan penuh terhadap realitas sebagaimana adanya,
termasuk penderitaan dan keterbatasan.¹³ Di sinilah filsafatnya berpindah dari
destruksi metafisika menuju penciptaan nilai baru, menjadikan manusia bukan
sekadar pewaris makna, tetapi sumber makna itu sendiri.
3.3.      
Implikasi Metafisik dan
Eksistensial
Secara metafisik, “kematian Tuhan” menandai
berakhirnya paradigma teosentris yang mendominasi filsafat Barat sejak Plato
hingga Hegel. Dalam tradisi ini, Tuhan atau “Yang Ada” dianggap sebagai
prinsip tertinggi yang menjamin keteraturan dunia dan rasionalitas
keberadaan.¹⁴ Dengan hilangnya pusat itu, dunia menjadi “tanpa arah” (entgöttlicht),
dan manusia menghadapi kekosongan ontologis.¹⁵ Heidegger membaca Nietzsche
sebagai “filsuf metafisika terakhir” karena ia masih beroperasi dalam
horizon pertanyaan tentang makna keberadaan, meski dengan menggantikan Tuhan
dengan kehendak kuasa.¹⁶ Artinya, “kematian Tuhan” bukan akhir dari
metafisika, melainkan transformasi radikalnya.
Dalam konteks eksistensial, gagasan ini menjadi
titik tolak bagi filsuf seperti Sartre dan Camus untuk memahami manusia sebagai
makhluk yang “dilempar ke dunia” tanpa tujuan atau esensi yang telah
ditentukan.¹⁷ Sartre mengambil implikasi etisnya secara langsung: tanpa Tuhan,
manusia tidak memiliki alasan untuk membenarkan tindakannya selain kebebasan
dan tanggung jawabnya sendiri.¹⁸ Sementara Camus menafsirkan “kematian Tuhan”
sebagai kesadaran akan absurditas eksistensi: dunia tidak lagi memiliki makna
yang diberikan, tetapi manusia tetap mencari makna itu dalam pemberontakan dan
solidaritas.¹⁹ Dengan demikian, genealoginya menjembatani peralihan dari
metafisika ke eksistensialisme modern—dari kehilangan Tuhan menuju afirmasi
terhadap keberadaan manusia.
Footnotes
[1]               
Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the
Eternal Recurrence of the Same, trans. J. Harvey Lomax (Berkeley:
University of California Press, 1997), 4–5.
[2]               
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. 1, trans.
David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 61–62.
[3]               
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.
[4]               
Ibid., 182–183.
[5]               
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 46–47.
[6]               
Ibid., 200.
[7]               
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 12.
[8]               
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Penguin, 1954), 125–126.
[9]               
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols,
trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Classics, 1990), 54–55.
[10]            
Ibid., 67.
[11]            
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1969), 34–35.
[12]            
Ibid., 162.
[13]            
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 258–259.
[14]            
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
98.
[15]            
Ibid., 102–103.
[16]            
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. 2, trans.
David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1984), 203–205.
[17]            
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 21.
[18]            
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[19]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 54–55.
4.          
Ontologi
Eksistensi tanpa Tuhan
Eksistensialisme ateistik mengajukan pertanyaan
ontologis yang paling mendasar: apa arti menjadi manusia ketika Tuhan tiada?
Dalam sistem metafisika klasik, keberadaan manusia diturunkan dari hakikat
universal atau rencana ilahi. Namun, bagi filsafat eksistensialis ateistik,
manusia bukanlah akibat dari ide atau desain kosmik—ia sekadar “ada,”
dan keberadaannya mendahului segala definisi tentang dirinya.¹ Ontologi semacam
ini menolak asumsi bahwa ada “esensi” yang tetap dan apriori menentukan
siapa manusia itu. Sebaliknya, eksistensi adalah proyek terbuka, dan manusia
menjadi melalui tindakannya.²
4.1.      
Sartre dan Eksistensi
sebagai Kebebasan
Jean-Paul Sartre, tokoh utama eksistensialisme
ateistik, menolak dualisme metafisik antara esensi dan eksistensi sebagaimana
diwariskan oleh tradisi skolastik dan idealisme. Dalam Being and Nothingness,
ia menulis bahwa “manusia pertama-tama ada, menjumpai dirinya, muncul di
dunia—dan baru kemudian mendefinisikan dirinya.”³ Pandangan ini menegaskan
bahwa tanpa Tuhan, tidak ada konsep kodrati yang mendahului eksistensi manusia.
“Eksistensi mendahului esensi” berarti manusia bertanggung jawab
sepenuhnya atas pembentukan dirinya sendiri.⁴
Sartre memandang kesadaran (conscience)
sebagai bentuk “tidak-ada” (néant) yang memungkinkan manusia
untuk menegasi dan melampaui keadaan faktualnya.⁵ Dalam hal ini, manusia
bukanlah entitas statis, melainkan être-pour-soi
(ada-untuk-dirinya-sendiri) yang selalu dalam proses menjadi.⁶ Berbeda dari
benda mati (être-en-soi) yang tertutup dalam keberadaannya, manusia
memiliki kapasitas untuk menyadari keterbatasannya dan memilih arah hidupnya.⁷
Namun, kebebasan radikal ini bukan tanpa beban: tanpa Tuhan, tidak ada
pembenaran eksternal bagi tindakan manusia. Ia “terkutuk untuk bebas,” karena
tak ada yang dapat menanggung tanggung jawab moral selain dirinya sendiri.⁸
4.2.      
Heidegger dan Keberadaan
sebagai Keterlemparan
Meskipun Martin Heidegger tidak secara eksplisit
memposisikan dirinya sebagai ateis, analisis ontologisnya dalam Being and
Time memberi landasan bagi pemikiran eksistensialis non-teistik. Heidegger
memulai bukan dari Tuhan, melainkan dari Dasein—manusia sebagai makhluk
yang “ada-di-dunia” (In-der-Welt-sein).⁹ Dasein tidak memahami
keberadaannya melalui refleksi abstrak, melainkan melalui keterlibatan praktis
dalam dunia yang telah ia masuki.¹⁰ Konsep “keterlemparan” (Geworfenheit)
menandakan bahwa manusia tidak memilih untuk ada; ia menemukan dirinya sudah
berada dalam situasi historis dan faktual tertentu.¹¹
Kesadaran akan keterlemparan ini memuncak dalam pengalaman
akan kematian (Sein-zum-Tode), yang bagi Heidegger menjadi momen
ontologis tertinggi: manusia menyadari kefanaannya dan sekaligus potensi untuk
hidup secara autentik.¹² Dalam menghadapi kematian, semua fondasi
eksternal—termasuk kepercayaan religius—runtuh, dan yang tersisa hanyalah
eksistensi telanjang.¹³ Dengan demikian, meskipun Heidegger tidak mengumumkan “kematian
Tuhan,” analisisnya membuka ruang bagi ontologi yang otonom dari teologi.¹⁴
4.3.      
Camus dan Absurditas
Keberadaan
Albert Camus melangkah lebih jauh dengan menolak
setiap usaha untuk mengembalikan makna melalui metafisika atau iman. Bagi
Camus, keberadaan manusia adalah absurd karena terdapat ketegangan abadi antara
kerinduan manusia akan makna dan kebisuan dunia yang tak memberikannya.¹⁵ Dalam
The Myth of Sisyphus, ia menggambarkan manusia sebagai Sisyphus yang
sadar akan kesia-siaan tindakannya, namun tetap bergulat dengan batu
keberadaannya tanpa menyerah.¹⁶
Absurditas bukanlah alasan untuk keputusasaan,
melainkan titik awal bagi pemberontakan eksistensial. Camus menulis: “Yang
penting bukanlah menemukan makna hidup, melainkan hidup dengan penuh kesadaran
akan ketiadaan makna itu.”¹⁷ Pemberontakan ini merupakan bentuk afirmasi
terhadap kehidupan tanpa ilusi transendensi. Dalam dunia tanpa Tuhan, kesadaran
dan tindakan menjadi satu-satunya sumber legitimasi moral dan eksistensial.¹⁸
4.4.      
Ontologi Kebebasan dan
Tanggung Jawab
Dari Sartre, Heidegger, dan Camus, eksistensialisme
ateistik menampilkan ontologi yang berpusat pada kebebasan, kesadaran, dan
tanggung jawab. Tanpa Tuhan, manusia tidak memiliki “peta moral” yang
tetap; namun justru karena itu, ia sepenuhnya bertanggung jawab atas makna yang
diciptakannya. Sartre menolak pandangan deterministik yang menganggap manusia
ditentukan oleh kondisi biologis atau sosial; kebebasan tetap hadir bahkan
dalam situasi keterbatasan.¹⁹ “Manusia,” tulis Sartre, “tidak lain
adalah apa yang ia buat dari dirinya sendiri.”²⁰
Dengan demikian, ontologi eksistensialisme ateistik
adalah ontologi tindakan—bukan kontemplasi metafisis. Ia menempatkan manusia di
tengah dunia yang tanpa makna apriori, namun memberikan kemungkinan tak
terbatas bagi penciptaan makna melalui eksistensi yang autentik. Dunia tanpa
Tuhan bukanlah akhir dari filsafat, melainkan awal dari tanggung jawab manusia
terhadap keberadaannya sendiri.
Footnotes
[1]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–13.
[2]               
Robert C. Solomon, Existentialism (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 45–46.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 21.
[4]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[5]               
Sartre, Being and Nothingness, 23–24.
[6]               
Ibid., 92.
[7]               
Ibid., 101–103.
[8]               
Ibid., 555.
[9]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67.
[10]            
Ibid., 78–80.
[11]            
Ibid., 174.
[12]            
Ibid., 294–311.
[13]            
Ibid., 323.
[14]            
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
212–213.
[15]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28.
[16]            
Ibid., 120.
[17]            
Ibid., 54.
[18]            
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony
Bower (New York: Vintage International, 1992), 45.
[19]            
Sartre, Being and Nothingness, 481.
[20]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 28.
5.          
Epistemologi
Eksistensialisme Ateistik
Epistemologi eksistensialisme ateistik berangkat
dari penolakan terhadap klaim objektivitas absolut yang diwariskan oleh
rasionalisme dan positivisme modern. Dalam pandangan ini, pengetahuan bukanlah
hasil dari refleksi intelektual yang netral, melainkan muncul dari keterlibatan
eksistensial subjek dalam dunia.¹ Subjek bukan pengamat pasif, tetapi makhluk
yang mengalami, merasa, dan berjuang untuk menemukan makna dalam kondisi
keterbatasan. Tanpa Tuhan sebagai sumber kebenaran transendental, pengetahuan
menjadi sesuatu yang bersifat situasional, historis, dan personal—tergantung
pada posisi dan kesadaran manusia dalam dunia.²
5.1.      
Pengetahuan sebagai
Pengalaman Eksistensial
Bagi Sartre dan para eksistensialis ateistik
lainnya, kebenaran tidak ditemukan melalui abstraksi metafisis atau prosedur
empiris yang kaku, tetapi melalui pengalaman langsung atas eksistensi.³
Pengetahuan menjadi ekspresi kesadaran diri yang sadar akan keterlemparannya di
dunia. Manusia mengetahui bukan karena ia berjarak dari dunia, tetapi karena ia
ada-di-dunia dan terlibat di dalamnya.⁴ Dengan demikian, epistemologi
eksistensialis menolak dikotomi subjek–objek yang menjadi dasar epistemologi
modern; antara manusia dan dunia tidak ada jarak ontologis yang tegas.
Kesadaran selalu bersifat intensional—selalu “menuju sesuatu.”⁵
Jean-Paul Sartre mengembangkan gagasan ini dalam
analisis fenomenologisnya yang terinspirasi oleh Edmund Husserl. Namun berbeda
dari Husserl yang berupaya menemukan struktur esensial kesadaran, Sartre
menekankan keterbukaan dan ketegangan dalam kesadaran manusia.⁶ Kesadaran
adalah “tidak-ada” (néant) yang memungkinkan manusia menegasi
kenyataan dan melampaui faktisitas dirinya.⁷ Pengetahuan, dalam pengertian ini,
bukan representasi pasif terhadap dunia, tetapi tindakan aktif yang melibatkan
kebebasan dan proyek eksistensial manusia.⁸
5.2.      
Penolakan terhadap
Epistemologi Metafisik dan Teologis
Eksistensialisme ateistik menolak pandangan bahwa
pengetahuan memiliki dasar transendental atau ilahi. Nietzsche, sebagai pelopor
pemikiran ini, menyatakan bahwa setiap klaim kebenaran hanyalah interpretasi
yang ditopang oleh kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).⁹ Tidak
ada “pandangan dari tempat netral” (view from nowhere); setiap
pengetahuan terikat pada perspektif dan kepentingan manusia.¹⁰ Dengan demikian,
kebenaran tidak bersifat korespondensial terhadap realitas yang tetap, tetapi
konstruksi dinamis yang selalu dapat ditafsir ulang.¹¹
Camus juga menolak epistemologi religius yang
berusaha menemukan makna objektif dalam dunia. Bagi Camus, manusia tidak dapat
mengetahui “mengapa” dunia ada, sebab dunia itu sendiri diam.¹² Upaya
metafisis untuk menjawab pertanyaan tentang makna akhir kehidupan justru
menimbulkan absurditas.¹³ Oleh karena itu, satu-satunya pengetahuan yang
mungkin adalah kesadaran akan keterbatasan itu sendiri: bahwa manusia memahami
dirinya melalui pengalaman hidup yang absurd dan tanpa jaminan makna
objektif.¹⁴
Heidegger menegaskan dimensi ini dengan
menggantikan epistemologi tradisional—yang berpusat pada subjek yang mengetahui—dengan
ontologi eksistensial. Dalam Being and Time, ia menyatakan bahwa
pertanyaan “bagaimana kita mengetahui” harus digantikan oleh pertanyaan “apa
arti menjadi.”¹⁵ Dengan memprioritaskan eksistensi atas pengetahuan,
Heidegger mengubah cara kita memahami epistemologi: mengetahui bukanlah
aktivitas mental yang mengabstraksi dunia, tetapi cara berada yang mengungkap
dunia melalui keterlibatan praktis dan historis.¹⁶
5.3.      
Subjektivitas,
Autentisitas, dan Kebenaran
Tanpa Tuhan sebagai landasan epistemik, kebenaran
dalam eksistensialisme ateistik bersifat subjektif—namun bukan dalam arti
relativisme dangkal.¹⁷ Subjektivitas di sini adalah bentuk keterlibatan
eksistensial yang otentik. Sartre menulis bahwa manusia menemukan kebenaran
melalui tindakannya, bukan melalui dogma atau ide yang sudah ada.¹⁸ Dalam
tindakan yang bebas dan sadar, manusia menegaskan nilai dan makna yang ia
ciptakan sendiri. Dengan demikian, kebenaran eksistensial bersifat performatif:
ia terjadi ketika seseorang hidup setia pada pilihan dan komitmennya.¹⁹
Kierkegaard—meski berasal dari tradisi
religius—telah lebih dahulu menegaskan bahwa “kebenaran adalah subjektivitas,”
yakni pengalaman pribadi dalam menghadapi eksistensi.²⁰ Sartre dan Camus
mengadopsi gagasan ini ke dalam konteks sekuler: kebenaran bukan tentang
kepastian metafisik, melainkan tentang kejujuran eksistensial terhadap diri
sendiri.²¹ Dalam dunia tanpa Tuhan, pengetahuan sejati bukanlah yang memberikan
kepastian, tetapi yang menyingkapkan kondisi keberadaan manusia secara
autentik.²²
Footnotes
[1]               
Robert C. Solomon, From Rationalism to
Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 113.
[2]               
Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason:
Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of Chicago
Press, 1997), 45–47.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 21–22.
[4]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–80.
[5]               
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 201–202.
[6]               
Sartre, Being and Nothingness, 91–92.
[7]               
Ibid., 63–64.
[8]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 24–25.
[9]               
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 46.
[10]            
Ibid., 47.
[11]            
Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 12–13.
[12]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–30.
[13]            
Ibid., 53.
[14]            
Ibid., 54–55.
[15]            
Heidegger, Being and Time, 98–100.
[16]            
Martin Heidegger, The Essence of Truth,
trans. Ted Sadler (London: Continuum, 2002), 25–26.
[17]            
Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford:
Oxford University Press, 1986), 211–213.
[18]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 44.
[19]            
Ibid., 47.
[20]            
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton
University Press, 1941), 203.
[21]            
Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New
York: Vintage International, 1992), 48–49.
[22]            
Solomon, From Rationalism to Existentialism,
118–119.
6.          
Etika
dan Kebebasan Radikal
Dalam eksistensialisme ateistik, etika tidak lagi
berakar pada hukum ilahi, melainkan pada kebebasan manusia itu sendiri. Tanpa
Tuhan, tidak ada “hukum moral abadi” yang diturunkan dari sumber
transendental; namun hal ini bukan berarti bahwa moralitas kehilangan maknanya.
Sebaliknya, bagi para eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus,
justru ketiadaan Tuhan membuka kemungkinan etika yang lebih autentik—sebuah
etika yang berakar pada kebebasan, tanggung jawab, dan kesadaran akan
absurditas hidup.¹
6.1.      
Kebebasan sebagai Fondasi
Etika
Sartre menegaskan bahwa “manusia dikutuk untuk
bebas.”² Pernyataan paradoksal ini menunjukkan bahwa kebebasan bukan
sekadar hak, melainkan beban eksistensial. Karena tidak ada Tuhan yang
menentukan hakikat manusia, setiap individu bertanggung jawab penuh untuk
menentukan dirinya dan tindakannya.³ Kebebasan tidak dapat dihindari; bahkan
ketika seseorang mencoba menghindar atau tunduk pada sistem moral eksternal, ia
tetap melakukannya sebagai tindakan bebas.⁴ Dengan demikian, kebebasan adalah
struktur ontologis manusia—ia bukan pilihan, melainkan kondisi keberadaannya.
Dalam Being and Nothingness, Sartre
membedakan antara être-pour-soi (ada-untuk-dirinya-sendiri) yang sadar
dan bebas, dengan être-en-soi (ada-pada-dirinya-sendiri) yang pasif
seperti benda.⁵ Manusia sebagai pour-soi memiliki kemampuan untuk
menegasi realitas, menolak keadaan, dan memilih arah hidupnya. Namun, kebebasan
ini menuntut tanggung jawab radikal: setiap keputusan menciptakan nilai yang
sekaligus mengikat seluruh umat manusia.⁶ Dalam istilah Sartre, “ketika saya
memilih untuk diri saya sendiri, saya memilih untuk seluruh manusia.”⁷
Maka, etika eksistensialis bukan relativisme, melainkan universalisme yang
dihasilkan dari komitmen individual yang sadar dan autentik.
6.2.      
Bad Faith dan Autentisitas
Moral
Salah satu aspek etika eksistensialis yang paling
penting adalah kritik terhadap bad faith (mauvaise foi)—sikap
menipu diri untuk menghindari kebebasan dan tanggung jawab.⁸ Individu yang
hidup dalam bad faith bersembunyi di balik peran sosial, tradisi, atau
dogma moral demi mengelak dari kecemasan eksistensial yang timbul karena
kebebasannya.⁹ Misalnya, seorang pelayan kafe yang bertingkah seperti “pelayan
sejati” (dalam analisis Sartre) berusaha mengidentifikasi dirinya
sepenuhnya dengan peran tersebut, seolah-olah ia hanyalah benda yang ditentukan
oleh fungsinya.¹⁰
Sebaliknya, hidup yang autentik berarti menerima
kebebasan dengan segala konsekuensinya.¹¹ Autentisitas bukan berarti menuruti
keinginan sesaat, melainkan kesediaan untuk mengakui bahwa nilai-nilai moral
tidak datang dari luar, tetapi diciptakan melalui tindakan sadar.¹² Hidup
autentik berarti hidup dalam kesadaran bahwa “tidak ada penebusan”
selain tindakan manusia itu sendiri.¹³ Dalam dunia tanpa Tuhan, kejujuran
terhadap diri menjadi bentuk tertinggi dari moralitas.¹⁴
6.3.      
Etika Absurditas dan
Solidaritas Manusia
Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus dan
The Rebel, mengembangkan etika yang berangkat dari kesadaran akan
absurditas. Menurutnya, jika kehidupan tidak memiliki makna objektif, maka
tindakan etis bukanlah upaya mencari tujuan akhir, melainkan cara untuk
menegaskan keberadaan manusia di tengah absurditas itu sendiri.¹⁵ Ia menolak
bunuh diri sebagai solusi terhadap absurditas karena hal itu berarti menyerah
pada kehampaan.¹⁶ Sebaliknya, manusia yang sadar akan absurditas harus “membayangkan
Sisyphus bahagia”—terus menggulirkan batu hidupnya dengan semangat
perlawanan.¹⁷
Etika Camus bersifat humanistik dan kolektif. Dalam
The Rebel, ia menyatakan bahwa “aku memberontak, maka kita ada.”¹⁸
Pemberontakan eksistensial bukanlah egoisme, melainkan solidaritas universal di
antara manusia yang sama-sama terlempar ke dunia tanpa makna transendental.¹⁹
Dari kesadaran akan absurditas lahirlah empati, karena setiap manusia
menghadapi kondisi eksistensial yang sama.²⁰ Etika tanpa Tuhan, bagi Camus,
bukan nihilisme moral, tetapi solidaritas aktif yang berpijak pada penderitaan
bersama dan keberanian untuk hidup dengan sadar.²¹
6.4.      
Tanggung Jawab dan
Humanisme Eksistensial
Eksistensialisme ateistik menolak pandangan bahwa
moralitas membutuhkan landasan teologis. Bagi Sartre, justru dengan ketiadaan
Tuhan manusia menjadi benar-benar bertanggung jawab.²² Dalam Existentialism
Is a Humanism, ia menulis bahwa jika Tuhan tidak ada, maka segala sesuatu
diperbolehkan—tetapi sekaligus, manusia bertanggung jawab penuh atas apa yang
diperbolehkan itu.²³ Tanggung jawab ini bersifat total dan tidak dapat
dialihkan, karena tidak ada otoritas di luar diri yang dapat menanggung beban
keputusan moral seseorang.²⁴
Etika eksistensialis karenanya berakar pada
humanisme radikal: manusia sebagai satu-satunya sumber nilai.²⁵ Nilai moral
lahir dari tindakan sadar yang menegaskan kebebasan dan keberadaan manusia
lain. Dengan demikian, kebebasan tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab
terhadap sesama.²⁶ Sartre menolak etika individualistik; bagi dia, kebebasan
seseorang hanya bermakna sejauh ia menghormati kebebasan orang lain.²⁷ Dalam
hal ini, eksistensialisme ateistik membangun etika yang rasional, humanistik,
dan otonom—sebuah etika tanpa Tuhan yang justru lebih menuntut kejujuran,
keberanian, dan solidaritas antar manusia.
Footnotes
[1]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 45–47.
[2]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29.
[3]               
Ibid., 22–23.
[4]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555.
[5]               
Ibid., 19–21.
[6]               
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 31.
[7]               
Ibid., 33.
[8]               
Sartre, Being and Nothingness, 86–87.
[9]               
Ibid., 89.
[10]            
Ibid., 102–103.
[11]            
Robert C. Solomon, Living with Nietzsche: What
the Great "Immoralist" Has to Teach Us (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 58–59.
[12]            
Thomas Anderson, The Ethics of Authenticity in
Sartre’s Existentialism (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1993),
72–73.
[13]            
Sartre, Being and Nothingness, 477.
[14]            
Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason:
Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of Chicago
Press, 1997), 65.
[15]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 52.
[16]            
Ibid., 55–56.
[17]            
Ibid., 123.
[18]            
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony
Bower (New York: Vintage International, 1992), 13.
[19]            
Ibid., 22–23.
[20]            
Ibid., 47.
[21]            
Ibid., 251.
[22]            
Sartre, Being and Nothingness, 480.
[23]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 31.
[24]            
Ibid., 34–35.
[25]            
Jean-Paul Sartre, Search for a Method,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Vintage, 1968), 11.
[26]            
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–73.
[27]            
Sartre, Being and Nothingness, 481–483.
7.          
Dimensi
Estetika dan Humanisme Eksistensial
Eksistensialisme ateistik tidak hanya menyoal
metafisika dan etika, tetapi juga memiliki dimensi estetika yang mendalam—yakni
bagaimana manusia menanggapi absurditas hidup melalui penciptaan, ekspresi, dan
makna artistik. Dalam dunia tanpa Tuhan, seni menjadi ruang di mana manusia
menegaskan keberadaannya, menciptakan makna dari ketiadaan, dan merayakan
kebebasan.¹ Di sisi lain, estetika eksistensialis juga menjadi bentuk humanisme
baru: bukan humanisme metafisik yang menempatkan manusia sebagai “gambaran
Tuhan,” tetapi humanisme eksistensial yang menegaskan manusia sebagai
pencipta makna di tengah kehampaan kosmik.²
7.1.      
Estetika Eksistensial:
Penciptaan sebagai Tindakan Ontologis
Bagi para eksistensialis ateistik, penciptaan
artistik adalah manifestasi dari kebebasan. Sartre menulis bahwa tindakan
kreatif adalah bentuk proyek eksistensial yang menegaskan manusia sebagai “makhluk
yang melampaui dirinya sendiri.”³ Dalam What Is Literature?, ia
menegaskan bahwa menulis adalah tindakan etis sekaligus ontologis—penulis
mengungkap dunia, menyingkap kemungkinan, dan memberi bentuk pada pengalaman
manusia yang absurd.⁴ Dengan demikian, estetika eksistensial menolak pandangan
seni sebagai pelarian dari realitas; sebaliknya, ia merupakan cara manusia
untuk meneguhkan eksistensinya di dalam realitas itu sendiri.
Seni, menurut Sartre, adalah “komitmen kebebasan.”⁵
Dalam mencipta, manusia bertanggung jawab atas makna yang ia hasilkan, sebab
dalam dunia tanpa Tuhan, setiap karya adalah cermin dari kebebasan
penciptanya.⁶ Estetika semacam ini menolak konsep keindahan yang bersifat
absolut; keindahan lahir dari tindakan kreatif yang sadar, bukan dari tatanan
metafisis yang telah ada. Nietzsche telah lebih awal mengartikulasikan hal ini
dalam The Birth of Tragedy, di mana ia melihat seni sebagai “pembenaran
eksistensi”—satu-satunya cara manusia untuk menanggung absurditas hidup.⁷
Melalui seni, manusia tidak melarikan diri dari dunia, tetapi menegaskannya.
7.2.      
Humanisme Eksistensial dan
Penegasan Nilai Manusia
Eksistensialisme ateistik sering disalahpahami
sebagai filsafat pesimistik atau nihilistik, padahal justru sebaliknya: ia
adalah bentuk tertinggi dari humanisme. Sartre dalam kuliah terkenalnya Existentialism
Is a Humanism menolak tuduhan bahwa eksistensialisme meniadakan nilai
moral. Ia menulis, “meskipun Tuhan tidak ada, manusia tetap memiliki nilai,
karena ia adalah makhluk yang memilih dirinya sendiri.”⁸ Humanisme
eksistensial menempatkan manusia sebagai satu-satunya sumber nilai dan makna
dalam dunia tanpa tatanan transendental.
Namun, humanisme Sartre bukanlah antroposentrisme
yang menempatkan manusia di atas segalanya, melainkan pengakuan akan
keterbatasan dan tanggung jawabnya.⁹ Manusia menciptakan dirinya melalui
tindakan, dan dalam setiap tindakan itu ia menegaskan keberadaan manusia
lain.¹⁰ Dengan demikian, kebebasan individual tidak pernah terlepas dari
kebebasan kolektif. Simone de Beauvoir, dalam The Ethics of Ambiguity,
menegaskan bahwa menjadi manusia berarti mengakui “ambiguitas keberadaan”—yakni
bahwa kita bebas, tetapi kebebasan kita terwujud hanya dalam relasi dengan
orang lain.¹¹
Humanisme eksistensial karenanya bersifat dinamis,
terbuka, dan dialogis. Ia menolak konsep “hakikat manusia” yang tetap,
sebab manusia adalah proyek yang senantiasa menjadi.¹² Nilai manusia tidak
diberikan, melainkan diciptakan terus-menerus melalui praksis kebebasan.¹³
Dalam dunia tanpa Tuhan, humanisme ini menjadi bentuk baru dari spiritualitas
sekuler—sebuah pencarian makna yang tidak berakar pada transendensi, melainkan
pada keberanian untuk hidup dengan sadar di tengah absurditas.
7.3.      
Estetika Absurditas dan
Pemberontakan Kreatif
Albert Camus melihat seni sebagai salah satu bentuk
“pemberontakan” terhadap absurditas hidup. Dalam The Rebel, ia
menulis bahwa tindakan kreatif adalah bentuk penegasan kehidupan yang paling
luhur: “Untuk mencipta, seseorang harus menolak realitas apa adanya, namun
juga tidak melarikan diri darinya.”¹⁴ Bagi Camus, pencipta adalah pemberontak
yang sadar akan keterbatasannya, tetapi terus berupaya menciptakan harmoni
dalam dunia yang kacau.¹⁵
Seni, bagi Camus, bukan jalan menuju keabadian,
melainkan cara untuk menghadapi kefanaan dengan martabat.¹⁶ Melalui seni,
manusia mengubah penderitaan menjadi bentuk keindahan, bukan untuk
meniadakannya, tetapi untuk memaknainya.¹⁷ Estetika absurditas ini menolak
pelarian metafisis; ia adalah afirmasi terhadap eksistensi duniawi. Nietzsche
menggambarkan hal ini sebagai “seni tragis,” di mana penderitaan manusia
tidak dihapuskan, melainkan diterima dan diubah menjadi kekuatan kreatif.¹⁸
Dengan demikian, baik Sartre maupun Camus sepakat
bahwa penciptaan artistik dan humanisme eksistensial merupakan dua sisi dari
kebebasan manusia. Seni menjadi bukti bahwa dalam dunia tanpa Tuhan, manusia
masih dapat mencipta makna, nilai, dan keindahan. Estetika eksistensial
menegaskan bahwa kebebasan bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga
tindakan kreatif yang menghidupkan makna dalam absurditas hidup.
Footnotes
[1]               
Robert C. Solomon, Existentialism (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 94.
[2]               
Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical
Reason: Toward an Existentialist Theory of History (Chicago: University of
Chicago Press, 1997), 83–84.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 91.
[4]               
Jean-Paul Sartre, What Is Literature?,
trans. Bernard Frechtman (London: Methuen, 1950), 38.
[5]               
Ibid., 48.
[6]               
Sartre, Being and Nothingness, 555.
[7]               
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 42–43.
[8]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 52.
[9]               
Ibid., 59–60.
[10]            
Sartre, Being and Nothingness, 480.
[11]            
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 129–130.
[12]            
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), 516.
[13]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 70–71.
[14]            
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony
Bower (New York: Vintage International, 1992), 239.
[15]            
Ibid., 251.
[16]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 120–121.
[17]            
Ibid., 122.
[18]            
Nietzsche, The Birth of Tragedy, 60–61.
8.          
Kritik
terhadap Eksistensialisme Ateistik
Eksistensialisme ateistik, meskipun menjadi salah
satu arus pemikiran paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, tidak lepas
dari kritik yang datang dari berbagai arah—baik dari eksistensialis religius,
positivisme ilmiah, strukturalisme, maupun postmodernisme. Kritik-kritik
tersebut berpusat pada pertanyaan mendasar: apakah mungkin membangun makna,
nilai, dan etika yang sahih dalam dunia tanpa Tuhan? Apakah kebebasan yang
mutlak benar-benar dapat dijalankan tanpa jatuh ke dalam relativisme moral atau
nihilisme baru?
8.1.      
Kritik dari
Eksistensialisme Religius
Eksistensialis religius seperti Søren Kierkegaard
dan Gabriel Marcel menganggap eksistensialisme ateistik sebagai bentuk
pemisahan diri yang tragis dari akar spiritual manusia. Kierkegaard menilai
bahwa tanpa relasi dengan Tuhan, kebebasan manusia akan berubah menjadi
kecemasan yang tidak terarah.¹ Bagi Kierkegaard, kebebasan sejati hanya dapat
dimaknai sebagai “kebebasan di hadapan Tuhan”—yakni kebebasan untuk
beriman meskipun iman itu sendiri absurd.² Dengan menolak dimensi religius,
Sartre dan Camus dianggap menutup kemungkinan bagi penyelesaian eksistensial
yang lebih mendalam.
Gabriel Marcel menambahkan bahwa eksistensialisme
ateistik terjebak dalam “abstraksi tentang keberadaan manusia.”³
Menurutnya, Sartre gagal memahami dimensi relasional dan kasih sebagai dasar
ontologi manusia. Dalam The Mystery of Being, Marcel menegaskan bahwa
eksistensi manusia tidak bisa direduksi menjadi proyek individual yang otonom,
karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang “ada bersama” (being-with).⁴
Dengan menyingkirkan Tuhan, eksistensialisme ateistik kehilangan ruang bagi
pengalaman cinta, harapan, dan kesetiaan yang melampaui batas rasionalitas
manusia.
8.2.      
Kritik dari Positivisme dan
Rasionalisme Ilmiah
Dari sisi lain, kaum positivis logis seperti A.J.
Ayer dan Rudolf Carnap menganggap eksistensialisme sebagai wacana yang tidak
ilmiah dan penuh ambiguitas linguistik. Ayer, dalam Language, Truth and
Logic, menyebut pernyataan-pernyataan eksistensialis tentang “kebebasan,”
“absurditas,” atau “makna” sebagai kalimat tanpa makna empiris
yang dapat diverifikasi.⁵ Bagi kaum positivis, filsafat seharusnya membatasi
diri pada analisis logis terhadap bahasa dan fakta, bukan pada perasaan
eksistensial yang tak dapat diuji.⁶
Kritik ini menyoroti bahwa eksistensialisme
ateistik, dengan penolakannya terhadap rasionalitas universal, justru
kehilangan landasan objektif bagi pengetahuan. Sartre dituduh
mempersonifikasikan kesadaran manusia secara berlebihan dan menjadikannya
sumber makna tunggal, tanpa menjelaskan bagaimana kesadaran itu dapat
berhubungan dengan dunia objektif secara ilmiah.⁷ Dalam konteks ini,
eksistensialisme ateistik dianggap tidak mampu memberikan epistemologi yang
konsisten antara kebebasan subjektif dan dunia empiris.⁸
8.3.      
Kritik dari Strukturalisme
dan Post-Strukturalisme
Pada dekade 1960-an, muncul kritik baru terhadap
eksistensialisme dari kalangan strukturalis seperti Claude Lévi-Strauss dan
Michel Foucault. Mereka menolak gagasan tentang subjek otonom yang menjadi
pusat makna sebagaimana diasumsikan oleh Sartre. Bagi Lévi-Strauss, manusia
tidak menciptakan makna dari kebebasannya, melainkan menjadi bagian dari sistem
tanda dan struktur budaya yang mendahuluinya.⁹ Foucault bahkan menyatakan “kematian
manusia” sebagai subjek filsafat modern, sebagai paralel terhadap “kematian
Tuhan” Nietzsche.¹⁰ Ia menilai bahwa eksistensialisme masih mempertahankan
mitos tentang kesadaran dan kebebasan individu yang universal, padahal realitas
sosial dan diskursif justru membentuk manusia dari luar dirinya.¹¹
Jacques Derrida melanjutkan kritik ini melalui
pendekatan dekonstruktif, menunjukkan bahwa setiap klaim tentang makna dan
autentisitas dalam eksistensialisme selalu bergantung pada oposisi biner yang
tidak stabil.¹² Dengan demikian, proyek Sartre dan Camus untuk menemukan makna
dalam dunia tanpa Tuhan dianggap masih terjebak dalam metafisika kehadiran,
yaitu keinginan untuk menemukan fondasi makna yang tetap di tengah
ketidakpastian.¹³
8.4.      
Kritik Internal: Nihilisme
Baru dan Ketegangan Etis
Selain dari luar, eksistensialisme ateistik juga
menghadapi kritik internal terkait konsistensinya sendiri. Beberapa filsuf
seperti Emmanuel Levinas dan Karl Jaspers menilai bahwa kebebasan radikal
Sartre berisiko mengarah pada nihilisme moral.¹⁴ Jika manusia bebas menentukan
nilainya sendiri, maka tidak ada dasar normatif untuk menilai tindakan selain
preferensi pribadi. Sartre berusaha menjawab ini dengan konsep tanggung jawab
universal, tetapi para pengkritiknya menilai argumen itu tidak memadai tanpa
landasan ontologis yang transenden.¹⁵
Selain itu, beberapa pengamat menilai bahwa Camus,
meski menolak nihilisme, tidak pernah berhasil menjelaskan mengapa
pemberontakan terhadap absurditas harus diarahkan pada solidaritas dan bukan
pada keputusasaan.¹⁶ Dalam The Rebel, Camus menyerukan solidaritas
manusia, tetapi alasan filosofisnya tampak lebih etis daripada ontologis.¹⁷
Dengan demikian, kritik internal ini menyoroti adanya ketegangan antara
kehampaan metafisis dan tuntutan etis dalam eksistensialisme ateistik.
Footnotes
[1]               
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 45–47.
[2]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 67–68.
[3]               
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol.
1, trans. G.S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1960), 91–93.
[4]               
Ibid., 104.
[5]               
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 32–33.
[6]               
Rudolf Carnap, Philosophy and Logical Syntax
(London: Kegan Paul, 1935), 9.
[7]               
J.P. Stern, Sartre: His Philosophy and His Style
(London: Methuen, 1973), 45–46.
[8]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 57–58.
[9]               
Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind, trans.
George Weidenfeld (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 245–247.
[10]            
Michel Foucault, The Order of Things, trans.
Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1994), 386.
[11]            
Ibid., 421.
[12]            
Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–279.
[13]            
Ibid., 285.
[14]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 43–44.
[15]            
Karl Jaspers, Philosophy, vol. 2, trans.
E.B. Ashton (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 125–126.
[16]            
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony
Bower (New York: Vintage International, 1992), 212–213.
[17]            
Ibid., 250.
9.          
Sintesis
Filosofis: Antara Nihilisme dan Humanisme
Eksistensialisme ateistik menempati posisi unik
dalam sejarah filsafat modern karena berupaya menjembatani dua ekstrem: di satu
sisi, nihilisme yang menolak segala makna dan nilai objektif; di sisi lain, humanisme
yang menegaskan martabat dan kebebasan manusia. Dalam sintesis filosofis ini,
eksistensialisme ateistik berusaha menunjukkan bahwa ketiadaan Tuhan tidak
harus berujung pada keputusasaan, tetapi justru membuka ruang bagi penciptaan
makna yang otonom dan autentik.¹
9.1.      
Dari Nihilisme Destruktif
ke Nihilisme Kreatif
Friedrich Nietzsche merupakan titik awal bagi
sintesis ini. Ia menyadari bahwa “kematian Tuhan” menandai krisis nilai
tertinggi dalam kebudayaan Barat, tetapi bukan sebagai akhir dari makna,
melainkan sebagai kesempatan untuk menciptakan makna baru.² Dalam The Will
to Power, Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai “tahapan transisi”—sebuah
proses destruksi terhadap nilai-nilai lama yang memungkinkan lahirnya
nilai-nilai baru yang berakar pada kehidupan itu sendiri.³ Dengan demikian,
nihilisme bukanlah keadaan pasif, melainkan gerak menuju afirmasi.
Eksistensialisme ateistik mengambil warisan
Nietzsche ini, tetapi menempatkannya dalam horizon eksistensial. Sartre,
misalnya, menolak nihilisme pasif dengan menegaskan bahwa meskipun tidak ada
esensi manusia yang telah ditentukan, manusia tetap bertanggung jawab untuk
menciptakan nilai melalui tindakannya.⁴ “Manusia tidak lain adalah apa yang
ia buat dari dirinya sendiri,” tulisnya.⁵ Dengan demikian, nihilisme
diatasi bukan melalui kembalinya metafisika, tetapi melalui tindakan kreatif
yang menegaskan kebebasan manusia sebagai sumber makna.
Albert Camus menafsirkan langkah ini sebagai “nihilisme
yang sadar” (conscious nihilism)—kesadaran akan absurditas hidup
tanpa menyerah pada keputusasaan.⁶ Dalam The Myth of Sisyphus, ia
menggambarkan manusia sebagai makhluk yang mengetahui bahwa hidupnya tanpa
makna kosmis, tetapi tetap memilih untuk hidup, mencipta, dan memberontak.⁷
Bagi Camus, justru dalam penerimaan terhadap absurditas, manusia menemukan
ruang bagi pemberontakan kreatif, yang menjadi bentuk tertinggi dari kebebasan
dan tanggung jawab moral.⁸
9.2.      
Humanisme Tanpa Metafisika
Sartre menegaskan bahwa eksistensialisme ateistik
adalah bentuk baru dari humanisme—sebuah “humanisme tanpa Tuhan.”⁹
Humanisme tradisional, yang berakar pada teologi atau rasionalisme klasik,
selalu mengandaikan bahwa martabat manusia bergantung pada keserupaan dengan
Tuhan atau rasionalitas universal. Namun, Sartre membalik paradigma ini:
manusia memiliki nilai justru karena ia bebas, bukan karena ia diciptakan
menurut citra sesuatu yang lebih tinggi.¹⁰
Humanisme Sartre menolak setiap konsep “hakikat
manusia” yang tetap, karena manusia adalah proyek yang terus-menerus menjadi
melalui pilihan dan tindakan.¹¹ Dalam Existentialism Is a Humanism, ia
menulis bahwa “manusia berada di tengah-tengah dunia tanpa alasan, tanpa
pembenaran, tetapi bertanggung jawab untuk memberi alasan bagi keberadaannya
sendiri.”¹² Pandangan ini menegaskan otonomi etis dan eksistensial manusia,
namun sekaligus menolak egosentrisme. Sartre menekankan bahwa kebebasan sejati
tidak dapat dipisahkan dari pengakuan atas kebebasan orang lain—setiap tindakan
manusia adalah tindakan universal yang menegaskan nilai kemanusiaan secara
keseluruhan.¹³
Simone de Beauvoir memperdalam dimensi ini melalui
gagasan “etika ambiguitas.”¹⁴ Menurutnya, kondisi manusia adalah
paradoks antara keterbatasan dan kebebasan, antara fakta dan proyek. Etika
eksistensial, karenanya, harus lahir dari kesadaran akan ambiguitas ini:
manusia tidak bisa menjadi Tuhan, tetapi juga tidak bisa berhenti menjadi
manusia.¹⁵ Humanisme eksistensial adalah pengakuan atas martabat manusia justru
dalam keterbatasannya.
9.3.      
Kesadaran Eksistensial dan
Tanggung Jawab Universal
Sintesis antara nihilisme dan humanisme dalam
eksistensialisme ateistik berakar pada kesadaran eksistensial. Kesadaran ini
bukan sekadar refleksi intelektual, tetapi pengalaman mendalam akan keberadaan
yang tanpa dasar. Heidegger menyebut pengalaman ini sebagai “ketiadaan yang
membuka keberadaan.”¹⁶ Ketiadaan Tuhan tidak berarti ketiadaan makna,
tetapi keterbukaan terhadap kemungkinan menjadi yang baru. Dalam horizon ini,
manusia menemukan tanggung jawab ontologis terhadap dirinya dan dunia.
Bagi Sartre, tanggung jawab ini bersifat total:
setiap tindakan individu menegaskan visi tentang manusia secara keseluruhan.¹⁷
Manusia tidak dapat mengelak dari kebebasannya, karena bahkan penolakan
terhadap kebebasan adalah tindakan bebas. Di sini, nihilisme berubah menjadi
etika tanggung jawab: justru karena tidak ada Tuhan, manusia harus bertanggung
jawab terhadap makna yang ia ciptakan.¹⁸
Camus melengkapi sintesis ini dengan penegasan
bahwa tanggung jawab manusia bukan hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi juga
terhadap sesama.¹⁹ Dalam The Rebel, ia menulis bahwa “pemberontakan
sejati adalah tindakan solidaritas”—yakni pengakuan bahwa semua manusia
berbagi dalam absurditas dan penderitaan yang sama.²⁰ Dengan demikian,
pemberontakan menjadi dasar etika humanistik yang tidak memerlukan legitimasi
transendental.
9.4.      
Menuju Onto-Humanisme Baru
Sintesis eksistensialis ini pada akhirnya mengarah
pada apa yang dapat disebut onto-humanisme—pandangan bahwa makna
keberadaan manusia terletak dalam keterbukaannya terhadap dunia dan
sesamanya.²¹ Heidegger menolak humanisme dalam arti klasik, tetapi membuka
ruang bagi pemahaman manusia sebagai penjaga makna (the shepherd of Being).²²
Sementara Sartre dan Camus menegaskan manusia sebagai pencipta makna, Heidegger
menempatkannya sebagai pengungkap makna.²³ Dalam keduanya, terdapat kesadaran
baru bahwa humanisme tanpa metafisika tidak harus berujung pada nihilisme,
melainkan dapat menjadi fondasi bagi spiritualitas sekuler yang menegaskan
keberanian, tanggung jawab, dan solidaritas manusia.
Dengan demikian, eksistensialisme ateistik
membentuk jembatan antara kehampaan dan makna, antara kebebasan dan tanggung
jawab. Ia tidak menghapus Tuhan demi menggantinya dengan ketiadaan, melainkan
membuka ruang bagi manusia untuk menjadi sumber makna itu sendiri. Dalam dunia
yang telah kehilangan kepastian metafisik, filsafat ini menawarkan cara untuk
tetap hidup secara autentik—mencipta, mencintai, dan bertanggung jawab—di
tengah absurditas yang tak terhindarkan.
Footnotes
[1]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 61.
[2]               
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.
[3]               
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 23–24.
[4]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555.
[5]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28.
[6]               
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony
Bower (New York: Vintage International, 1992), 11–12.
[7]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 54–55.
[8]               
Ibid., 121–122.
[9]               
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 50–52.
[10]            
Ibid., 59–60.
[11]            
Robert C. Solomon, From Rationalism to
Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 115.
[12]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 62.
[13]            
Sartre, Being and Nothingness, 480–481.
[14]            
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–74.
[15]            
Ibid., 91–92.
[16]            
Martin Heidegger, What Is Metaphysics?,
trans. David Farrell Krell (New Haven: Yale University Press, 1959), 93.
[17]            
Sartre, Being and Nothingness, 481.
[18]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 64–65.
[19]            
Camus, The Rebel, 252–253.
[20]            
Ibid., 255.
[21]            
Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary
on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 308.
[22]            
Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans.
Frank A. Capuzzi (New York: Harper & Row, 1977), 210–212.
[23]            
Ibid., 213.
10.       Relevansi Kontemporer
Eksistensialisme ateistik tetap memiliki relevansi
mendalam dalam konteks intelektual dan sosial kontemporer, terutama di tengah
krisis makna yang melanda manusia modern. Dunia saat ini ditandai oleh
sekularisasi nilai, kemajuan teknologi yang cepat, alienasi digital, serta
ketegangan etis yang muncul dari pluralisme dan relativisme moral. Dalam
situasi tersebut, eksistensialisme ateistik menawarkan kerangka filosofis untuk
memahami kembali makna keberadaan, kebebasan, dan tanggung jawab manusia tanpa
merujuk pada fondasi metafisik atau religius.¹
10.1.   
Krisis Makna di Era Sekular
dan Teknologis
Modernitas akhir ditandai oleh apa yang disebut
Charles Taylor sebagai “kehilangan horizon transendensi” (loss of
transcendence horizon).² Manusia modern hidup dalam dunia yang serba
rasional, ilmiah, dan efisien, namun kehilangan dimensi makna eksistensial.
Jean Baudrillard bahkan menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai “masyarakat
simulakra,” di mana realitas digantikan oleh citra dan representasi tanpa
kedalaman.³ Dalam konteks ini, manusia mengalami bentuk baru dari absurditas:
bukan lagi absurditas metafisik seperti dalam pemikiran Camus, melainkan
absurditas eksistensial akibat kehilangan orientasi dalam dunia yang penuh
informasi tetapi miskin makna.
Eksistensialisme ateistik menawarkan respons
terhadap krisis ini melalui gagasan tentang kesadaran diri dan tanggung jawab
personal. Sartre menegaskan bahwa di dunia tanpa Tuhan, manusia tidak dapat
lagi bersembunyi di balik sistem, ideologi, atau teknologi; ia harus memilih
dan bertindak dengan kesadaran penuh.⁴ Dengan demikian, etika eksistensial
menjadi landasan bagi otonomi moral di tengah kebingungan nilai yang dihasilkan
oleh globalisasi dan modernitas digital.
10.2.   
Eksistensialisme dan
Psikologi Modern
Relevansi eksistensialisme ateistik juga terasa
dalam bidang psikologi dan terapi eksistensial. Viktor E. Frankl, meskipun
tidak sepenuhnya ateistik, mengadopsi prinsip-prinsip eksistensial dalam logoterapi—yakni
bahwa manusia selalu mencari makna bahkan dalam penderitaan.⁵ Dalam konteks
sekuler, gagasan ini dikembangkan oleh Rollo May dan Irvin Yalom, yang
menegaskan bahwa krisis psikologis modern tidak hanya berasal dari trauma
eksternal, tetapi dari kesadaran akan kehampaan dan absurditas hidup.⁶
Pendekatan eksistensial menekankan bahwa
penyembuhan tidak datang dari adaptasi sosial semata, tetapi dari keberanian
untuk menghadapi kebebasan dan kecemasan eksistensial secara sadar.⁷ Ini
selaras dengan etika Sartre dan Camus yang menolak penyerahan diri pada
determinisme biologis atau sosial. Dalam dunia pasca-religius, terapi eksistensial
menjadi bentuk penerapan praktis dari humanisme ateistik: membantu individu
menciptakan makna melalui tindakan yang sadar dan autentik.⁸
10.3.   
Dimensi Sosial dan Politik
Eksistensialisme
Eksistensialisme ateistik juga memiliki dampak
signifikan dalam teori sosial dan politik. Sartre memandang kebebasan bukan
hanya persoalan pribadi, tetapi juga struktur sosial yang menentukan kondisi
keberadaan manusia.⁹ Dalam Critique of Dialectical Reason, ia berusaha
menyatukan eksistensialisme dengan marxisme melalui gagasan “praktiko-inert,”
yaitu kondisi sosial yang dapat membatasi, namun sekaligus memungkinkan,
kebebasan individu.¹⁰
Di sisi lain, Camus menolak ideologi totalitarian
yang mengklaim makna tunggal atas sejarah manusia.¹¹ Ia menegaskan bahwa “setiap
revolusi yang menjadi dogma berakhir sebagai tirani.”¹² Dengan demikian,
eksistensialisme ateistik mendorong bentuk politik yang terbuka, plural, dan
humanistik—politik yang mengakui keterbatasan manusia sekaligus kebebasannya
untuk bertanggung jawab terhadap sesama. Dalam dunia global yang dipenuhi
ekstremisme ideologis, prinsip-prinsip ini tetap menjadi landasan etis bagi
demokrasi dan kebebasan berpikir.¹³
10.4.   
Eksistensialisme di Era
Teknologi dan Kecerdasan Buatan
Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan
buatan (AI) menghadirkan tantangan baru bagi filsafat eksistensial. Ketika
algoritme mulai menentukan preferensi, perilaku, bahkan keputusan moral
manusia, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebebasan dan autentisitas masih
mungkin?¹⁴ Heidegger telah mengantisipasi problem ini melalui konsep Gestell—cara
teknologi memandang dunia dan manusia sebagai “sumber daya” (standing-reserve).¹⁵
Dalam konteks ini, eksistensialisme ateistik
menyerukan perlunya kesadaran eksistensial terhadap hubungan manusia dengan
teknologi. Sartre mengingatkan bahwa manusia tidak pernah menjadi objek murni
dari kondisi apa pun; bahkan dalam keterbatasan struktural, ia tetap bebas
untuk memberi makna pada tindakannya.¹⁶ Dengan demikian, eksistensialisme
menjadi bentuk resistensi filosofis terhadap dehumanisasi digital—ia menegaskan
bahwa teknologi harus menjadi sarana untuk mengungkap kemanusiaan, bukan
menggantikannya.¹⁷
10.5.   
Spiritualitas Sekuler dan
Makna Hidup
Dalam dunia pasca-agama, eksistensialisme ateistik
juga memberi ruang bagi apa yang disebut spiritualitas sekuler.
Spiritualitas ini bukan keyakinan pada entitas adikodrati, tetapi kesadaran
mendalam akan keterhubungan manusia dengan sesamanya dan dengan dunia.¹⁸ Camus
menulis bahwa “kebesaran manusia terletak pada kesadarannya akan absurditas.”¹⁹
Dalam kesadaran tersebut, manusia tidak menemukan Tuhan, tetapi menemukan
kemanusiaannya.
Dengan demikian, eksistensialisme ateistik
menawarkan bentuk spiritualitas tanpa dogma: kehidupan yang penuh makna justru
karena manusia sadar akan kefanaannya.²⁰ Dalam zaman yang ditandai oleh
disorientasi moral dan keletihan spiritual, filsafat ini menjadi ajakan untuk
hidup dengan keberanian, mencipta makna, dan menegaskan martabat manusia tanpa
memerlukan jaminan transendensi.²¹
Footnotes
[1]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 77–78.
[2]               
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Belknap Press, 2007), 548–550.
[3]               
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–3.
[4]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 45–47.
[5]               
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–105.
[6]               
Rollo May, Existence: A New Dimension in
Psychiatry and Psychology (New York: Basic Books, 1958), 13–14.
[7]               
Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy
(New York: Basic Books, 1980), 8–9.
[8]               
Ibid., 11–12.
[9]               
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason,
trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 45–46.
[10]            
Ibid., 78–79.
[11]            
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony
Bower (New York: Vintage International, 1992), 233.
[12]            
Ibid., 249.
[13]            
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 154–156.
[14]            
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 18–20.
[15]            
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977),
19–20.
[16]            
Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
E. Barnes (London: Routledge, 2003), 555–556.
[17]            
Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary
on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 341.
[18]            
Ronald Dworkin, Religion without God
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 11–13.
[19]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 90.
[20]            
Ibid., 123.
[21]            
Susan Neiman, Moral Clarity: A Guide for
Grown-Up Idealists (New York: Harcourt, 2008), 276–277.
11.       Kesimpulan
Eksistensialisme ateistik merupakan salah satu
tonggak paling penting dalam sejarah filsafat modern karena menawarkan kerangka
berpikir baru tentang makna hidup di dunia tanpa Tuhan. Ia tidak berhenti pada
penolakan terhadap agama atau metafisika, tetapi berupaya menggali makna
positif dari kondisi manusia yang terbebas dari fondasi transendental. Sejak
Nietzsche mengumumkan “kematian Tuhan,” Sartre menegaskan kebebasan
manusia yang mutlak, dan Camus menafsirkan absurditas sebagai kondisi universal
keberadaan, eksistensialisme ateistik telah menjadi cermin bagi kegelisahan dan
keberanian manusia modern untuk hidup tanpa jaminan makna objektif.¹
11.1.   
Eksistensi sebagai Proyek
Kebebasan
Inti dari filsafat eksistensialisme ateistik
terletak pada pengakuan bahwa eksistensi mendahului esensi.² Manusia
tidak memiliki hakikat yang ditentukan sebelumnya—ia adalah makhluk yang
senantiasa membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan. Kebebasan ini
bukanlah sekadar peluang, melainkan tanggung jawab yang radikal.³ Dengan
menolak Tuhan sebagai sumber moralitas, eksistensialisme ateistik memindahkan
pusat makna dari transendensi ke dalam eksistensi manusia sendiri.⁴
Namun, kebebasan ini juga menghadirkan kecemasan
dan kesepian eksistensial. Sartre menggambarkan kebebasan manusia sebagai “kutukan,”
karena tanpa Tuhan tidak ada yang dapat dijadikan alasan bagi tindakannya.⁵ Di
sinilah etika eksistensial menemukan bentuknya: bukan sebagai hukum yang
dipaksakan dari luar, tetapi sebagai komitmen autentik terhadap tindakan yang
sadar dan bertanggung jawab. Manusia tidak dapat menghindari kebebasan; bahkan
penolakannya terhadap kebebasan pun adalah pilihan bebas yang memiliki
konsekuensi etis.⁶
11.2.   
Dari Nihilisme Menuju
Afirmasi Makna
Eksistensialisme ateistik berangkat dari nihilisme
Nietzschean, tetapi tidak berhenti pada kehampaan.⁷ Dengan menggantikan Tuhan
dengan manusia sebagai pencipta makna, filsafat ini menawarkan nihilisme
positif—yakni kesadaran akan ketiadaan makna objektif yang justru mendorong
penciptaan makna personal dan kolektif.⁸ Camus menegaskan bahwa kesadaran akan
absurditas bukanlah akhir, melainkan awal dari kebebasan sejati. “Manusia,”
tulisnya, “menemukan kebahagiaan bukan karena dunia bermakna, tetapi karena
ia sadar dan menerima absurditasnya.”⁹
Dengan demikian, eksistensialisme ateistik menolak
baik pesimisme metafisik maupun dogmatisme religius. Ia menawarkan jalan tengah
antara keputusasaan dan ilusi: kesadaran yang jujur terhadap kehampaan, namun
juga keberanian untuk menegaskan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam dunia yang
kehilangan Tuhan, manusia tidak kehilangan segalanya; justru ia memperoleh
otonomi untuk menjadi sumber makna itu sendiri.¹⁰
11.3.   
Etika, Estetika, dan
Humanisme Baru
Secara etis, eksistensialisme ateistik menegaskan
tanggung jawab universal manusia terhadap tindakannya. Sartre dan Beauvoir
melihat bahwa kebebasan individual hanya bermakna sejauh ia menghormati
kebebasan orang lain.¹¹ Etika eksistensialis bukanlah relativisme moral,
melainkan universalitas eksistensial—setiap tindakan individu
merepresentasikan visi tentang manusia secara keseluruhan.¹²
Secara estetis, eksistensialisme ateistik menemukan
ekspresi dalam seni dan sastra yang menggambarkan penderitaan, absurditas, dan
keberanian untuk hidup tanpa kepastian. Nietzsche memandang seni sebagai
pembenaran eksistensi, dan Camus melihat penciptaan artistik sebagai bentuk
tertinggi pemberontakan manusia terhadap absurditas.¹³ Estetika eksistensial
dengan demikian menjadi sarana untuk meneguhkan kehidupan, bukan untuk
melarikan diri darinya.
Humanisme yang lahir dari eksistensialisme ateistik
bukanlah humanisme metafisik, melainkan humanisme eksistensial—sebuah
penghormatan terhadap manusia sebagai makhluk yang sadar akan keterbatasannya
namun tetap bertanggung jawab untuk menciptakan makna.¹⁴ Dalam dunia yang
kehilangan fondasi teologis, filsafat ini menjadi pembela martabat manusia yang
tetap dapat berpikir, bertindak, dan mencintai secara autentik.
11.4.   
Relevansi dan Harapan
Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh
sekularisasi, krisis moral, dan alienasi digital, eksistensialisme ateistik
memberikan refleksi filosofis yang mendalam. Ia mengajarkan bahwa makna hidup
tidak ditemukan di luar diri manusia, tetapi diciptakan melalui komitmen,
kerja, dan solidaritas.¹⁵ Dalam dunia yang terus berubah, kesadaran
eksistensial menjadi bentuk spiritualitas sekuler yang menggantikan fungsi iman
tradisional: bukan untuk menenangkan, tetapi untuk membangkitkan kesadaran dan
tanggung jawab.¹⁶
Akhirnya, eksistensialisme ateistik menegaskan
bahwa manusia adalah makhluk yang ada di tengah absurditas, namun mampu
menegaskan makna melalui kebebasan dan tindakan. Ia adalah filsafat keberanian—keberanian
untuk hidup tanpa kepastian, untuk mencipta dalam kehampaan, dan untuk
mencintai dalam dunia tanpa Tuhan.¹⁷ Dengan demikian, filsafat ini tetap
relevan sebagai panduan etis dan spiritual bagi manusia modern yang mencari
makna di tengah dunia yang kehilangan pusatnya.
Footnotes
[1]               
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.
[2]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 480–481.
[4]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 52–53.
[5]               
Sartre, Being and Nothingness, 555.
[6]               
Ibid., 557.
[7]               
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 23.
[8]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 53–54.
[9]               
Ibid., 123.
[10]            
Robert C. Solomon, From Rationalism to
Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001), 115–116.
[11]            
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–73.
[12]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 34–35.
[13]            
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 60–61.
[14]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 64.
[15]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Belknap Press, 2007), 549–550.
[16]            
Ronald Dworkin, Religion without God
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 12–13.
[17]            
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony
Bower (New York: Vintage International, 1992), 255.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
Dover Publications.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Beauvoir, S. de. (1976). The ethics of ambiguity
(B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage International.
Camus, A. (1992). The rebel (A. Bower,
Trans.). Vintage International.
Carnap, R. (1935). Philosophy and logical syntax.
Kegan Paul.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and Time. MIT Press.
Dworkin, R. (2013). Religion without God.
Harvard University Press.
Flynn, T. (1997). Sartre, Foucault, and
historical reason: Toward an existentialist theory of history. University
of Chicago Press.
Flynn, T. (2006). Existentialism: A very short
introduction. Oxford University Press.
Foucault, M. (1994). The order of things (A.
Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Heidegger, M. (1959). What is metaphysics?
(D. F. Krell, Trans.). Yale University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). Letter on humanism (F.
A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1979). Nietzsche (Vol. 1, D.
F. Krell, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1984). Nietzsche (Vol. 2, D.
F. Krell, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (2000). Introduction to
metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). Yale University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Jaspers, K. (1971). Philosophy (Vol. 2, E.
B. Ashton, Trans.). University of Chicago Press.
Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific
postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University
Press.
Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety
(R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin Classics.
Lévi-Strauss, C. (1966). The savage mind (G.
Weidenfeld, Trans.). University of Chicago Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity
(A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Marcel, G. (1960). The mystery of being
(Vol. 1, G. S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.
May, R. (1958). Existence: A new dimension in
psychiatry and psychology. Basic Books.
Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Nagel, T. (1986). The view from nowhere.
Oxford University Press.
Neiman, S. (2008). Moral clarity: A guide for
grown-up idealists. Harcourt.
Nietzsche, F. (1954). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). Viking Penguin.
Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1967). The birth of tragedy
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1968). The will to power (W.
Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1969). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1990). Twilight of the idols
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Classics.
Sartre, J.-P. (1950). What is literature?
(B. Frechtman, Trans.). Methuen.
Sartre, J.-P. (1968). Search for a method
(H. E. Barnes, Trans.). Vintage.
Sartre, J.-P. (2003). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Routledge.
Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical
reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Solomon, R. C. (2001). From rationalism to
existentialism: The existentialists and their nineteenth-century backgrounds.
Rowman & Littlefield.
Solomon, R. C. (2005). Existentialism.
Oxford University Press.
Solomon, R. C. (2003). Living with Nietzsche:
What the great "immoralist" has to teach us. Oxford University
Press.
Stern, J. P. (1973). Sartre: His philosophy and
his style. Methuen.
Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap
Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. Basic Books.
Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy.
Basic Books.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar