Filsafat Politik Islam
Fondasi, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif perkembangan filsafat politik
Islam mulai dari fondasi normatif dalam Al-Qur’an dan Sunnah, perumusan
konseptual oleh para pemikir klasik, hingga transformasinya dalam menghadapi
tantangan modernitas dan globalisasi. Kajian diawali dengan penguraian konsep
dasar filsafat politik Islam yang menekankan prinsip keadilan, musyawarah,
kemaslahatan, dan kepemimpinan sebagai fondasi normatif-politik. Pada masa
klasik, tokoh-tokoh seperti al-Farabi, al-Mawardi, dan Ibn Khaldun menghadirkan
visi politik yang utopis, normatif, maupun sosiologis. Abad pertengahan
ditandai dengan pergeseran ke arah diskursus teologis dan yuridis, di mana ulama,
fuqaha, dan mutakallimun memainkan peran penting dalam perdebatan mengenai
khilafah, imamah, serta legitimasi kekuasaan. Memasuki era modern, filsafat
politik Islam bertransformasi melalui gerakan reformis, perdebatan sekularisme
versus Islamisme, serta wacana demokrasi dan hak asasi manusia. Pada konteks
kontemporer, diskursus filsafat politik Islam merambah isu-isu global seperti
pluralisme, keadilan sosial, kesetaraan gender, dan tata kelola pemerintahan
yang baik. Kajian ini menyimpulkan bahwa filsafat politik Islam bersifat
dinamis, adaptif, dan terus relevan dalam memberikan kontribusi etis dan
normatif terhadap diskursus politik global, sekaligus memperkaya percakapan
tentang tata kelola pemerintahan yang adil dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan
universal.
Kata kunci: Filsafat
Politik Islam, keadilan, musyawarah, khilafah, demokrasi Islam, hak asasi
manusia, pluralisme, keadilan sosial, globalisasi.
PEMBAHASAN
Filsafat Politik Islam
1.          
Pendahuluan
Filsafat politik Islam merupakan salah
satu cabang penting dalam tradisi intelektual Islam yang berusaha menjawab
pertanyaan fundamental mengenai legitimasi kekuasaan, tujuan pemerintahan,
serta hubungan antara agama dan negara. Sejak awal munculnya peradaban Islam,
persoalan politik tidak pernah terpisahkan dari dimensi keagamaan, karena
Al-Qur’an dan Sunnah tidak hanya mengatur urusan ibadah, tetapi juga memberi
pedoman tentang keadilan, musyawarah (syûrâ), dan tanggung jawab sosial
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.¹ Dengan demikian, filsafat politik
Islam berdiri pada persimpangan antara wahyu dan akal, antara norma
transendental dan realitas sosial.
Kajian filsafat politik Islam berakar
pada pertemuan antara tradisi Islam dengan filsafat Yunani dan warisan politik
Persia, Romawi, serta tradisi hukum lokal.² Pemikiran ini menemukan bentuk
awalnya dalam karya-karya para filosof Muslim klasik seperti al-Farabi, yang
dalam al-Madina al-Fadhila menguraikan visi tentang negara utama yang
dipimpin oleh seorang filsuf-raja yang bijaksana, serta al-Mawardi dengan al-Ahkâm
al-Sultâniyyah yang menyusun teori tentang kekuasaan khalifah dan otoritas
politik.³ Sementara itu, Ibn Khaldun melalui Muqaddimah memperkaya
khazanah filsafat politik Islam dengan analisis sosiologis tentang kekuasaan,
solidaritas sosial (‘asabiyyah), dan siklus peradaban.⁴
Seiring perkembangan sejarah, filsafat
politik Islam tidak berhenti pada pemikiran klasik, tetapi terus mengalami
transformasi sejalan dengan tantangan zaman. Pada abad modern, kolonialisme dan
masuknya gagasan Barat melahirkan diskursus baru tentang sekularisme,
demokrasi, dan hak asasi manusia. Tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rashid Rida berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam
dengan modernitas, sementara pemikir kontroversial seperti Ali Abdul Raziq
dalam al-Islâm wa Ushûl al-Hukm menolak klaim bahwa khilafah adalah
institusi religius yang diwajibkan.⁵ Debat-debat tersebut menunjukkan bahwa
filsafat politik Islam bukan sekadar wacana historis, tetapi medan perdebatan
intelektual yang terus hidup.
Di era kontemporer, filsafat politik
Islam menemukan relevansinya dalam menjawab persoalan global seperti
demokratisasi, pluralisme, keadilan sosial, dan hak-hak warga negara. Sejumlah
sarjana modern, baik Muslim maupun non-Muslim, menegaskan bahwa filsafat
politik Islam dapat memberi kontribusi penting dalam membangun tata politik
yang berkeadilan, partisipatif, dan berbasis nilai-nilai moral universal.⁶ Oleh
karena itu, memahami fondasi, sejarah, dan relevansi kontemporer filsafat
politik Islam merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkaya wacana politik
global sekaligus memperkuat identitas politik umat Islam dalam konteks modern.
Footnotes
[1]               
Muhammad Asad, The Principles of State and
Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961),
12–15.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 181–183.
[3]               
Al-Farabi, al-Madina al-Fadhila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1995); al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah (Kairo: Dar
al-Hadith, 1994).
[4]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 89–95.
[5]               
Ali Abdul Raziq, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm
(Kairo: Dar al-Ma’arif, 1925).
[6]               
John L. Esposito and John O. Voll, Islam and
Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 22–27.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Politik Islam
Filsafat politik Islam lahir dari
interaksi antara prinsip-prinsip wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan perenungan
rasional para intelektual Muslim terhadap realitas sosial dan politik. Sebagai
sebuah disiplin, filsafat politik Islam berusaha merumuskan landasan
normatif, etis, dan rasional mengenai legitimasi kekuasaan, tujuan negara,
serta relasi antara individu, masyarakat, dan pemerintahan.¹ Dengan demikian,
ia tidak semata-mata merupakan teori hukum (fiqh siyasah) ataupun praktik
politik, melainkan sebuah refleksi filosofis atas dasar dan arah kehidupan
politik umat Islam.
2.1.      
Definisi dan Ruang
Lingkup
Secara umum, filsafat politik dapat
dipahami sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat kekuasaan, keadilan,
hukum, serta organisasi masyarakat.² Dalam konteks Islam, filsafat politik
tidak hanya membahas bentuk institusi politik, tetapi juga nilai-nilai moral dan
spiritual yang menjadi fondasinya. Al-Qur’an, misalnya, menekankan pentingnya
keadilan (al-‘adl) sebagai prinsip dasar kehidupan bernegara (QS.
an-Nahl [16]:90), serta musyawarah (syûrâ) sebagai mekanisme pengambilan
keputusan kolektif (QS. asy-Syûrâ [42]:38).³ Oleh karena itu, filsafat politik
Islam mengandung dimensi teologis, etis, dan praktis sekaligus.
2.2.      
Sumber-Sumber Utama
Ada tiga sumber utama dalam filsafat
politik Islam. Pertama, Al-Qur’an dan Sunnah, yang memberikan pedoman
normatif tentang keadilan, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial.⁴ Kedua, ijtihad
rasional para filosof dan ulama yang menginterpretasikan teks wahyu sesuai
konteks zamannya, misalnya al-Farabi dengan konsep negara utama (al-Madina
al-Fadhila).⁵ Ketiga, pengalaman historis politik Islam, mulai dari
masa Khulafâ’ al-Râsyidîn hingga kerajaan-kerajaan Islam, yang memperkaya
perdebatan mengenai praktik kekuasaan, legitimasi, dan hukum publik.⁶
2.3.      
Prinsip-Prinsip
Dasar
Filsafat politik Islam dibangun atas
sejumlah prinsip utama yang menjadi rujukan dalam teori maupun praktik:
·                    
Keadilan (al-‘Adl)
Keadilan dipandang sebagai tujuan utama dari keberadaan
negara. Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa “Allah menegakkan negara yang adil
meski kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim meski Muslim.”⁷ Prinsip
ini menunjukkan bahwa legitimasi politik terletak pada keadilan, bukan semata
identitas keagamaan.
·                    
Musyawarah (Syûrâ)
Musyawarah adalah mekanisme partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan. Al-Mawardi menegaskan pentingnya syura dalam pemilihan
imam/khalifah, meski bentuk praktisnya bervariasi sepanjang sejarah.⁸
·                    
Maslahah (Kemaslahatan
Umum)
Konsep maslahah digunakan untuk menilai kebijakan politik
berdasarkan manfaatnya bagi umat. Al-Ghazali menempatkan maslahah sebagai
tujuan utama syariah (maqâshid al-sharî‘ah), yang mencakup perlindungan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.⁹
·                    
Imamah/ Kepemimpinan
Dalam tradisi Sunni klasik, kepemimpinan politik (imamah)
dianggap sebagai keharusan untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia.
Al-Mawardi menguraikan tugas-tugas imam mencakup menegakkan hukum, menjaga
keamanan, dan melindungi rakyat.¹⁰
2.4.      
Karakteristik
Filsafat Politik Islam
Berbeda dengan filsafat politik Barat
yang lebih sekuler, filsafat politik Islam menekankan keterpaduan antara
agama dan politik. Namun, keterpaduan ini tidak selalu berarti teokrasi
dalam arti Barat, melainkan keselarasan antara hukum Ilahi dan kepentingan
manusia.¹¹ Selain itu, filsafat politik Islam bersifat dinamis—ia senantiasa
beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa melepaskan prinsip-prinsip
normatifnya.
Dengan demikian, konsep dasar filsafat
politik Islam memperlihatkan bahwa ia adalah disiplin yang berakar pada wahyu,
tetapi sekaligus membuka ruang bagi penalaran filosofis dan pengalaman
historis. Prinsip keadilan, musyawarah, maslahat, dan kepemimpinan menjadi
poros utama dalam diskursus politik Islam yang terus berkembang dari masa
klasik hingga kontemporer.
Footnotes
[1]               
Muhammad Asad, The Principles of State and
Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), 7–10.
[2]               
Leo Strauss, What Is Political Philosophy?
(Chicago: University of Chicago Press, 1959), 9.
[3]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
37–40.
[4]               
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam,
Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University
Press, 2013), 25–27.
[5]               
Al-Farabi, al-Madina al-Fadhila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1995), 65–70.
[6]               
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 132–140.
[7]               
Ibn Taymiyyah, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah
(Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1998), 13.
[8]               
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah (Kairo: Dar
al-Hadith, 1994), 5–10.
[9]               
Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usul
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 286–288.
[10]            
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah, 17–22.
[11]            
John L. Esposito and John O. Voll, Islam and
Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 18–21.
3.          
Filsafat Politik
dalam Pemikiran Klasik
Periode klasik Islam (abad ke-8 hingga
ke-14 M) menandai berkembangnya perdebatan filsafat politik yang kaya,
dipengaruhi oleh teks-teks wahyu, warisan politik Islam awal, serta interaksi
dengan filsafat Yunani dan sistem pemerintahan Persia-Romawi. Para pemikir
Muslim berusaha merumuskan teori tentang negara, legitimasi kekuasaan, dan
tujuan pemerintahan dengan memadukan syariah, akal, dan pengalaman historis
umat Islam.¹
3.1.      
Al-Farabi dan Konsep
al-Madina al-Fadhila
Al-Farabi (w. 950 M) sering disebut
sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, karena pengaruh besar
filsafat Yunani dalam karyanya. Dalam al-Madina al-Fadhila (Kota Utama),
ia menguraikan gagasan tentang negara ideal yang dipimpin oleh seorang
filsuf-raja, yaitu pemimpin yang memiliki kesempurnaan akal dan moral serta
mampu menuntun rakyat menuju kebahagiaan tertinggi.² Konsep ini jelas
dipengaruhi oleh Republic Plato, namun dimodifikasi dalam kerangka
Islam: pemimpin ideal juga berfungsi sebagai penerus misi kenabian (imamah).³
Menurut Al-Farabi, negara utama tidak hanya berorientasi pada kepentingan
duniawi, tetapi juga tujuan transendental, yakni kebahagiaan akhirat.⁴
3.2.      
Al-Mawardi dan Teori
Kekuasaan Khalifah
Berbeda dengan Al-Farabi yang
filosofis-utopis, al-Mawardi (w. 1058 M) menulis dengan pendekatan lebih
praktis dalam al-Ahkâm al-Sultâniyyah. Ia menekankan pentingnya imamah
(kepemimpinan politik) sebagai institusi yang wajib untuk menegakkan agama dan
mengatur dunia.⁵ Menurutnya, khalifah harus memenuhi syarat moral dan
intelektual tertentu, seperti adil, berilmu, dan mampu menegakkan hukum.⁶
Al-Mawardi juga merinci fungsi-fungsi pemerintahan: menjaga agama, melindungi
negara, menegakkan keadilan, mengelola harta publik, serta memastikan
kesejahteraan rakyat.⁷ Pemikirannya menunjukkan bahwa legitimasi politik dalam
Islam tidak hanya bersumber dari teks, tetapi juga dari efektivitas pemimpin
dalam menjaga maslahat publik.
3.3.      
Ibn Khaldun dan
Teori ‘Asabiyyah
Ibn Khaldun (w. 1406 M) menghadirkan
perspektif baru yang bersifat sosiologis dalam al-Muqaddimah. Ia melihat
kekuasaan bukan semata produk legitimasi agama, tetapi juga hasil solidaritas
sosial (‘asabiyyah), yaitu ikatan kelompok yang memungkinkan
terbentuknya kekuatan politik.⁸ Menurutnya, setiap dinasti lahir, berkembang,
dan runtuh melalui siklus historis yang relatif tetap: dimulai dari semangat
solidaritas, lalu mencapai kejayaan, kemudian mengalami kemewahan dan
kemerosotan moral, hingga akhirnya melemah dan digantikan dinasti lain.⁹ Ibn
Khaldun menekankan pentingnya hukum dan syariah dalam menjaga stabilitas, namun
ia juga realistis bahwa politik sangat dipengaruhi oleh dinamika
sosial-ekonomi.¹⁰
3.4.      
Perbandingan dengan
Filsafat Politik Yunani
Para pemikir Muslim klasik banyak
berinteraksi dengan karya Plato, Aristoteles, dan filsuf Yunani lainnya melalui
terjemahan dalam bahasa Arab. Al-Farabi, misalnya, mengadaptasi gagasan tentang
negara ideal Plato, sementara Ibn Rushd (Averroes) menulis komentar atas Politics
Aristoteles.¹¹ Namun, meski terpengaruh, filsafat politik Islam memiliki ciri
khas: negara dipandang bukan sekadar entitas rasional untuk keteraturan sosial,
melainkan sarana untuk mencapai tujuan moral dan spiritual sesuai ajaran
Islam.¹²
Dengan demikian, pemikiran klasik dalam
filsafat politik Islam menunjukkan dinamika yang kaya: dari visi
utopis-transendental (al-Farabi), pendekatan praktis-normatif (al-Mawardi),
hingga analisis historis-sosiologis (Ibn Khaldun). Masing-masing memberikan
kontribusi berbeda, namun kesemuanya berangkat dari satu keyakinan bahwa
politik adalah instrumen untuk mewujudkan keadilan dan kebahagiaan umat.
Footnotes
[1]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 181–186.
[2]               
Al-Farabi, al-Madina al-Fadhila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1995), 45–50.
[3]               
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 72.
[4]               
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of
Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001),
129–134.
[5]               
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah (Kairo: Dar
al-Hadith, 1994), 5–7.
[6]               
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 135.
[7]               
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah, 12–18.
[8]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 89–93.
[9]               
Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), 49–52.
[10]            
Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship
(London: Routledge, 1982), 101–105.
[11]            
Charles E. Butterworth, Averroes’ Three Short
Commentaries on Aristotle’s “Topics,” “Rhetoric,” and “Poetics” (Albany:
SUNY Press, 1977), 11–14.
[12]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 97–100.
4.          
Pemikiran Politik
Islam pada Abad Pertengahan
Abad pertengahan Islam (abad ke-11
hingga ke-15 M) merupakan fase penting dalam perkembangan filsafat politik
Islam. Pada periode ini, perdebatan politik mengalami pergeseran: dari diskursus
filosofis-utopis yang dipelopori oleh al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd menuju
pembahasan yang lebih normatif, yuridis, dan teologis. Hal ini terkait dengan
dinamika sejarah: melemahnya kekhalifahan Abbasiyah, munculnya dinasti-dinasti
regional, serta meningkatnya peran fuqaha dan teolog dalam mengisi ruang
legitimasi politik.¹
4.1.      
Peran Ulama dan
Fuqaha dalam Politik
Para ulama dan fuqaha memainkan peran
sentral dalam merumuskan konsep politik pada abad pertengahan. Mereka
menekankan bahwa kekuasaan politik harus dijalankan sesuai syariah, sementara
khalifah atau sultan bertindak sebagai pelaksana hukum Allah di bumi.² Teori
politik yang mereka bangun berfokus pada legitimasi kepemimpinan, tata kelola
pemerintahan, serta relasi antara penguasa dan rakyat. Abu Ya‘la al-Farra’ (w.
1066 M), misalnya, menulis al-Ahkâm al-Sultâniyyah versi Hanbali yang
menegaskan kewajiban taat kepada imam selama tidak melakukan kekufuran nyata.³
4.2.      
Perdebatan Kalam
tentang Legitimasi Kekuasaan
Selain fuqaha, teolog (mutakallimun)
juga memberikan kontribusi besar. Kaum Khawarij berpendapat bahwa
pemimpin harus dipilih berdasarkan ketaqwaan dan keadilannya, dan seorang imam
yang zalim boleh digulingkan.⁴ Sebaliknya, kaum Murji’ah menekankan
pentingnya stabilitas dengan menunda penilaian moral terhadap penguasa,
sementara Syi’ah mengembangkan doktrin imamah yang menempatkan
kepemimpinan sebagai hak eksklusif Ahl al-Bayt.⁵ Di sisi lain, Ahlus Sunnah
berusaha mengambil posisi tengah dengan menegaskan kewajiban adanya imam demi
menjaga agama dan dunia, namun tetap menekankan prinsip keadilan serta
batas-batas ketaatan kepada penguasa.⁶
4.3.      
Teori Khilafah dan
Kedaulatan
Diskursus tentang khilafah menjadi tema
sentral pada abad pertengahan. Para pemikir Sunni menekankan bahwa khilafah
merupakan institusi yang bersifat daruri (keharusan praktis), bukan
semata keharusan syar‘i.⁷ Al-Juwayni (w. 1085 M) dalam Ghiyâth al-Umam
membahas kondisi darurat jika umat Islam tidak memiliki imam, dan bahkan
membuka kemungkinan transisi bentuk pemerintahan selama maslahat umat tetap
terjaga.⁸ Pemikir seperti al-Ghazali (w. 1111 M) juga berpendapat bahwa
legitimasi politik pada akhirnya bergantung pada kemampuan penguasa menjaga
agama dan dunia, meski terkadang kompromistis terhadap dominasi militer yang
kuat, seperti dalam relasi khalifah dengan sultan Seljuk.⁹
4.4.      
Pemikiran Politik
dalam Dunia Sufi
Dimensi lain dari politik abad
pertengahan muncul dalam tradisi tasawuf. Para sufi memandang kekuasaan bukan
hanya sebagai urusan duniawi, tetapi juga sebagai amanah spiritual. Konsep
“raja adil” sering kali dikaitkan dengan simbolisasi khalifah sebagai bayangan
Tuhan di bumi.¹⁰ Pemikiran ini terlihat dalam karya-karya sufi besar seperti
al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, yang menekankan pentingnya kebersihan hati pemimpin
sebagai syarat legitimasi moral kekuasaan.¹¹
4.5.      
Transisi Menuju
Politik Dinasti dan Regional
Dalam praktiknya, abad pertengahan juga
ditandai oleh munculnya kekuasaan dinasti regional seperti Seljuk, Ayyubiyah,
Mamluk, hingga Turki Utsmani. Legitimasi khalifah di Baghdad semakin melemah,
sementara para sultan memperoleh kekuasaan de facto. Para pemikir abad
pertengahan berusaha menyesuaikan teori politik mereka dengan realitas
tersebut, dengan menekankan pentingnya maslahat dan stabilitas sebagai dasar keberlangsungan
negara, meskipun struktur formal khilafah tetap dipertahankan secara
simbolis.¹²
Dengan demikian, pemikiran politik
Islam pada abad pertengahan mencerminkan pergeseran dari idealisme filosofis
menuju realisme normatif-teologis. Para fuqaha, mutakallimun, dan sufi
memberikan kerangka legitimasi yang lebih fleksibel, sehingga politik Islam
dapat bertahan menghadapi fragmentasi kekuasaan. Perdebatan tentang khilafah,
imamah, dan ketaatan kepada penguasa tetap menjadi tema utama, sekaligus membuka
jalan bagi transformasi pemikiran politik Islam pada era modern.
Footnotes
[1]               
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 167–172.
[2]               
Wael B. Hallaq, Authority, Continuity, and Change
in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 41–45.
[3]               
Abu Ya‘la al-Farra’, al-Ahkâm al-Sultâniyyah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 19–22.
[4]               
Patricia Crone and Fritz Zimmermann, The Epistle of
Salim ibn Dhakwan (Oxford: Oxford University Press, 2001), 56–59.
[5]               
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam
(New Haven: Yale University Press, 1985), 178–184.
[6]               
Al-Baqillani, al-Tamhîd fî Usûl al-Dîn (Beirut:
Dar al-Mashriq, 1957), 276–280.
[7]               
Bernard Lewis, The Political Language of Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1988), 49–51.
[8]               
Al-Juwayni, Ghiyâth al-Umam fî Iltiyâth al-Zulam
(Kairo: Dar al-Minhaj, 1997), 85–92.
[9]               
Al-Ghazali, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), 150–155.
[10]            
Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval
Islam (Oxford: Oxford University Press, 1981), 95–98.
[11]            
William C. Chittick, Ibn ‘Arabi: Heir to the
Prophets (Oxford: Oneworld, 2005), 122–127.
[12]            
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the
Caliphates, 2nd ed. (Harlow: Longman, 2004), 281–285.
5.          
Transformasi
Filsafat Politik Islam di Era Modern
Memasuki era modern (abad ke-19 hingga
abad ke-20), filsafat politik Islam mengalami transformasi mendasar seiring
dengan guncangan yang ditimbulkan oleh kolonialisme Barat, kemunduran politik
umat Islam, dan tantangan modernitas. Jika pada abad pertengahan diskursus
politik Islam masih berpusat pada teori khilafah, imamah, dan legitimasi
teologis, maka di era modern muncul persoalan baru: bagaimana menafsirkan ulang
prinsip-prinsip politik Islam dalam menghadapi negara-bangsa, demokrasi, hak
asasi manusia, serta sekularisme.¹
5.1.      
Tantangan
Kolonialisme dan Krisis Kekuasaan
Kolonialisme Barat membawa dampak
politik yang besar bagi dunia Islam. Kekhalifahan Utsmani sebagai simbol
persatuan politik Islam semakin melemah hingga akhirnya runtuh pada tahun
1924.² Kondisi ini menimbulkan krisis otoritas politik dan memunculkan
pertanyaan mendasar: apakah khilafah merupakan institusi yang wajib secara
syar‘i ataukah hanya produk sejarah?³ Sejumlah ulama tradisional masih mempertahankan
legitimasi khilafah, tetapi intelektual modernis mulai mencari format baru yang
sesuai dengan perkembangan zaman.
5.2.      
Gerakan Reformis dan
Pemikiran Pembaruan
Tokoh-tokoh reformis seperti Jamal
al-Din al-Afghani (1838–1897), Muhammad Abduh (1849–1905), dan Rashid Rida
(1865–1935) berusaha membangkitkan kembali vitalitas politik umat Islam dengan
menekankan pentingnya ijtihad, pendidikan, serta pembaruan institusi
politik.⁴ Al-Afghani menekankan perlunya persatuan umat Islam (pan-Islamisme)
untuk melawan imperialisme Barat, sementara Abduh mendorong rekonsiliasi antara
Islam dan rasionalitas modern.⁵ Rashid Rida dalam al-Khilafah aw al-Imamah
al-‘Uzma berusaha menghidupkan kembali konsep khilafah dengan penyesuaian
terhadap konteks modern.⁶ Pemikiran mereka menunjukkan bahwa filsafat politik
Islam tidak lagi sekadar bersifat defensif, melainkan proaktif dalam merespons
tantangan modernitas.
5.3.      
Perdebatan
Sekularisme dan Islamisme
Salah satu perdebatan besar di era
modern adalah mengenai hubungan agama dan negara. Ali Abdul Raziq (1888–1966)
melalui karyanya al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (1925) mengemukakan pandangan
radikal bahwa Islam tidak menetapkan bentuk negara tertentu, termasuk khilafah.
Menurutnya, Nabi Muhammad hanya berfungsi sebagai rasul, bukan kepala negara,
sehingga sistem politik bersifat ijtihadi dan terbuka bagi variasi.⁷ Pandangan
ini menimbulkan kontroversi besar, ditentang oleh banyak ulama, namun membuka
jalan bagi wacana sekularisme politik dalam Islam.
Di sisi lain, muncul kelompok Islamis
seperti Hasan al-Banna (1906–1949) dengan Ikhwanul Muslimin yang menekankan
bahwa Islam adalah sistem komprehensif yang mencakup politik, hukum, dan
sosial.⁸ Pemikiran ini kemudian berkembang dalam berbagai bentuk gerakan Islam
politik yang menuntut penerapan syariah sebagai dasar negara.
5.4.      
Gagasan Demokrasi
Islam, Hak Asasi, dan Pluralisme
Era modern juga melahirkan perdebatan
tentang kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Pemikir seperti Fazlur
Rahman (1919–1988) menegaskan bahwa prinsip syura, keadilan, dan persamaan
dalam Islam dapat dijadikan dasar bagi praktik demokrasi modern.⁹ John L.
Esposito dan John O. Voll bahkan menyebutkan bahwa demokrasi Islam memiliki
potensi sebagai model alternatif tata kelola politik yang memadukan nilai
religius dan partisipasi rakyat.¹⁰ Di samping itu, isu-isu hak asasi manusia,
kebebasan beragama, dan pluralisme juga masuk ke dalam agenda filsafat politik
Islam modern, meskipun sering menimbulkan ketegangan antara interpretasi
tradisional dan tuntutan kontemporer.
Dengan demikian, transformasi filsafat
politik Islam di era modern memperlihatkan dinamika yang kompleks: dari
perlawanan terhadap kolonialisme, pembaruan pemikiran, perdebatan sekularisme
vs Islamisme, hingga wacana demokrasi dan hak asasi manusia. Keseluruhan
perkembangan ini menegaskan bahwa filsafat politik Islam tetap hidup, adaptif,
dan relevan dalam merespons perubahan zaman sekaligus mempertahankan identitas
normatifnya.
Footnotes
[1]               
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam,
Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University
Press, 2013), 31–35.
[2]               
Hugh Kennedy, The Caliphate: A Pelican Introduction
(London: Pelican, 2016), 207–209.
[3]               
Bernard Lewis, The Political Language of Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1988), 106.
[4]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 135–140.
[5]               
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to
Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din
"al-Afghani" (Berkeley: University of California Press, 1983),
22–25.
[6]               
Rashid Rida, al-Khilafah aw al-Imamah al-‘Uzma
(Kairo: al-Manar, 1922), 11–18.
[7]               
Ali Abdul Raziq, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm
(Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1925), 25–29.
[8]               
Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers
(London: Oxford University Press, 1969), 12–16.
[9]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
45–47.
[10]            
John L. Esposito and John O. Voll, Islam and
Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 23–25.
6.          
Tema-Tema
Kontemporer dalam Filsafat Politik Islam
Memasuki abad ke-21, filsafat politik
Islam menghadapi tantangan dan peluang baru yang dipengaruhi oleh globalisasi,
perkembangan demokrasi, isu hak asasi manusia, serta dinamika negara-bangsa
modern. Diskursus kontemporer tidak lagi hanya membahas legitimasi khilafah
atau hubungan agama dan negara, melainkan juga menyentuh tema-tema pluralisme,
keadilan sosial, kesetaraan gender, dan tata kelola pemerintahan.¹
6.1.      
Islam dan Demokrasi:
Kompatibilitas atau Kontradiksi?
Pertanyaan utama yang terus mengemuka
adalah apakah Islam kompatibel dengan demokrasi. Sebagian kalangan menganggap
Islam memiliki prinsip dasar yang sejalan dengan demokrasi, seperti syura
(musyawarah), keadilan, dan persamaan di hadapan hukum.² Fazlur Rahman
berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut dapat dijadikan fondasi demokrasi dalam
konteks Muslim modern.³ John L. Esposito dan John O. Voll menambahkan bahwa
fenomena “demokrasi Islam” merupakan hasil adaptasi kreatif antara nilai-nilai
politik modern dan prinsip-prinsip Islam.⁴ Namun, kelompok Islamis tertentu
menolak demokrasi karena dianggap produk Barat yang bertentangan dengan
syariah, sehingga mereka menawarkan model “hakimiyyah” (kedaulatan Tuhan) sebagaimana
dipopulerkan Sayyid Qutb.⁵
6.2.      
Negara-Bangsa dan
Khilafah Universal
Pembentukan negara-bangsa modern
setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmani menimbulkan perdebatan tentang relasi
antara identitas nasional dan visi khilafah universal. Banyak pemikir
kontemporer menerima negara-bangsa sebagai realitas politik yang sah, selama
tetap berlandaskan prinsip keadilan dan maslahat.⁶ Namun, sebagian kelompok
revivalis, seperti Hizb ut-Tahrir, tetap menekankan kewajiban menegakkan kembali
khilafah sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan Islam yang absah.⁷ Perdebatan
ini menunjukkan ketegangan antara ideal normatif dan realitas geopolitik
modern.
6.3.      
Hak Asasi Manusia
dan Politik Islam
Isu hak asasi manusia (HAM) menjadi
tantangan besar dalam filsafat politik Islam kontemporer. Deklarasi Kairo
tentang HAM dalam Islam (1990) merupakan upaya dunia Muslim untuk merespons
Deklarasi Universal HAM dengan memberikan perspektif Islam.⁸ Meski demikian,
perdebatan tetap muncul, khususnya terkait kebebasan beragama, hak perempuan,
dan kebebasan berekspresi. Abdullahi An-Na‘im, misalnya, berargumen bahwa Islam
dapat mendukung HAM universal jika dilakukan reinterpretasi atas teks syariah
dengan pendekatan kontekstual.⁹
6.4.      
Pluralisme dan
Hubungan Agama-Negara
Dalam konteks masyarakat multikultural,
isu pluralisme agama menjadi semakin penting. Nurcholish Madjid menekankan
bahwa prinsip tauhid mengajarkan pengakuan atas keragaman manusia dan menuntut
adanya toleransi dalam kehidupan berbangsa.¹⁰ Pemikiran ini berkontribusi pada
perdebatan mengenai bagaimana negara Muslim dapat menjamin hak-hak minoritas
agama tanpa kehilangan identitas Islam. Diskursus kontemporer juga menyoal
sejauh mana agama dan negara harus dipisahkan atau dipadukan, dengan berbagai
model diterapkan di negara-negara Muslim seperti Turki, Iran, dan Indonesia.¹¹
6.5.      
Keadilan Sosial,
Gender, dan Tata Kelola
Tema penting lain adalah keadilan
sosial dan kesetaraan gender. Pemikir seperti Amina Wadud dan Fatima Mernissi
menekankan bahwa interpretasi patriarkal dalam tradisi politik Islam harus
ditinjau ulang agar sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan yang
diajarkan Al-Qur’an.¹² Dalam konteks tata kelola pemerintahan, wacana good
governance menjadi bagian dari filsafat politik Islam kontemporer, di mana
nilai-nilai akuntabilitas, transparansi, dan anti-korupsi dipandang selaras
dengan ajaran syariah.¹³
Dengan demikian, tema-tema kontemporer
dalam filsafat politik Islam memperlihatkan keterbukaan terhadap isu-isu global
sekaligus kesetiaan pada prinsip-prinsip normatif Islam. Diskursus mengenai
demokrasi, negara-bangsa, hak asasi manusia, pluralisme, keadilan sosial, dan
gender menunjukkan bahwa filsafat politik Islam tidak stagnan, tetapi terus
bertransformasi mengikuti dinamika zaman.
Footnotes
[1]               
Wael B. Hallaq, Islamic Political Thought: An
Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 215–220.
[2]               
Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of
Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2004), 12–15.
[3]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
45–47.
[4]               
John L. Esposito and John O. Voll, Islam and
Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 18–22.
[5]               
Sayyid Qutb, Ma‘alim fi al-Tariq (Kairo: Dar
al-Shuruq, 1964), 54–60.
[6]               
Noah Feldman, The Fall and Rise of the Islamic
State (Princeton: Princeton University Press, 2008), 89–92.
[7]               
Hizb ut-Tahrir, The Method to Re-establish the
Caliphate (London: al-Khilafah Publications, 1999), 5–10.
[8]               
Organization of Islamic Cooperation (OIC), The
Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Cairo: OIC, 1990).
[9]               
Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular
State: Negotiating the Future of Shari‘a (Cambridge: Harvard University
Press, 2008), 72–76.
[10]            
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), 421–425.
[11]            
Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Toward an Islamic
Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law
(Syracuse: Syracuse University Press, 1990), 54–59.
[12]            
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred
Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999),
83–87; Fatima Mernissi, Islam and Democracy: Fear of the Modern World
(Reading, MA: Addison-Wesley, 1992), 65–70.
[13]            
Abdulaziz Sachedina, Islam and the Challenge of
Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 101–105.
7.          
Relevansi Filsafat
Politik Islam bagi Dunia Global
Dalam era globalisasi dan kompleksitas
politik internasional dewasa ini, filsafat politik Islam tidak hanya relevan
bagi masyarakat Muslim, tetapi juga memberi kontribusi signifikan terhadap
percakapan politik global. Relevansinya terletak pada kemampuannya menawarkan
perspektif alternatif mengenai legitimasi kekuasaan, keadilan sosial, tata
kelola pemerintahan, serta etika politik yang berakar pada nilai-nilai
spiritual.¹
7.1.      
Kontribusi dalam
Diskursus Politik Global
Filsafat politik Islam menghadirkan
pandangan bahwa politik tidak semata-mata urusan kekuasaan dan distribusi
sumber daya, melainkan juga terkait dengan tanggung jawab moral dan spiritual.²
Dalam konteks global, pandangan ini memberikan alternatif bagi krisis
legitimasi politik modern yang seringkali terjebak dalam pragmatisme dan
materialisme.³ Nilai-nilai seperti syura (musyawarah), maslahah
(kepentingan umum), dan ‘adl (keadilan) dapat diposisikan sebagai
prinsip universal yang relevan bagi tata kelola global yang lebih adil dan
partisipatif.⁴
7.2.      
Dialog dengan
Filsafat Politik Barat
Filsafat politik Islam memiliki potensi
besar untuk berdialog dengan tradisi politik Barat modern, baik liberalisme,
sosialisme, maupun teori demokrasi deliberatif.⁵ Para sarjana kontemporer
menekankan bahwa dialog ini bukan sekadar perbandingan, melainkan juga peluang
untuk mengkritisi keterbatasan filsafat politik Barat—misalnya kegagalannya
mengatasi krisis etika dalam politik modern.⁶ Dengan demikian, filsafat politik
Islam berperan dalam membangun jembatan konseptual antara dunia Islam dan Barat
melalui nilai keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab sosial.
7.3.      
Relevansi terhadap
Isu-Isu Kontemporer
Isu-isu global seperti ketidaksetaraan
ekonomi, konflik geopolitik, terorisme, perubahan iklim, dan krisis kemanusiaan
menuntut perspektif moral yang kuat dalam politik. Prinsip maslahah
dalam filsafat politik Islam dapat dijadikan dasar etis untuk merumuskan
kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan umat manusia secara
menyeluruh.⁷ Dalam konteks lingkungan, misalnya, konsep amanah (trusteeship)
dalam Islam menegaskan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi untuk
menjaga keseimbangan ekosistem.⁸
7.4.      
Menjawab Tantangan
Globalisasi dan Identitas
Globalisasi menimbulkan dilema bagi
masyarakat Muslim: di satu sisi membuka peluang integrasi, tetapi di sisi lain
menimbulkan ancaman homogenisasi budaya dan hilangnya identitas. Filsafat
politik Islam dapat memberikan jawaban melalui gagasan kosmopolitanisme Islam,
yang menekankan keterbukaan terhadap nilai-nilai universal sekaligus
mempertahankan prinsip-prinsip normatif Islam.⁹ Dengan cara ini, Islam mampu
menjadi kekuatan moral yang menjaga keseimbangan antara globalitas dan
lokalitas.
7.5.      
Membangun Tata
Politik Berkeadilan di Dunia Multipolar
Dalam dunia multipolar saat ini,
filsafat politik Islam menawarkan konsep solidaritas transnasional yang berakar
pada prinsip ukhuwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).¹⁰ Prinsip ini dapat
memperkuat tata politik global yang lebih berkeadilan, terutama di tengah
ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang. Lebih jauh, filsafat
politik Islam juga menantang dominasi wacana sekular dalam politik
internasional dengan menghadirkan dimensi etis-religius yang sering
diabaikan.¹¹
Dengan demikian, relevansi filsafat
politik Islam bagi dunia global bukanlah sekadar nostalgia terhadap kejayaan
peradaban Islam klasik, melainkan kontribusi nyata dalam membentuk paradigma
politik yang lebih etis, inklusif, dan berorientasi pada keadilan. Kehadirannya
dalam diskursus internasional membantu menjawab tantangan global sekaligus memperkaya
khazanah filsafat politik dunia.
Footnotes
[1]               
Wael B. Hallaq, Islamic Political Thought: An
Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 230–234.
[2]               
Muhammad Asad, The Principles of State and
Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961),
15–17.
[3]               
Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening
(Oxford: Oxford University Press, 2012), 92–95.
[4]               
John L. Esposito, The Future of Islam (New
York: Oxford University Press, 2010), 121–125.
[5]               
Roxanne L. Euben and Muhammad Qasim Zaman, eds., Princeton
Readings in Islamist Thought (Princeton: Princeton University Press, 2009),
9–11.
[6]               
Charles Taylor, Modern Social Imaginaries
(Durham: Duke University Press, 2004), 102–105.
[7]               
Abdulaziz Sachedina, Islam and the Challenge of
Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 97–100.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 85–88.
[9]               
Farish A. Noor, Islam on the Move: The Tablighi
Jama’at in Southeast Asia (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2012),
57–60.
[10]            
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), 439–442.
[11]            
Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion
(London: Routledge, 1992), 75–78.
8.          
Penutup
Kajian mengenai filsafat politik Islam
memperlihatkan dinamika intelektual yang kaya, mulai dari fondasi normatif
dalam Al-Qur’an dan Sunnah, perumusan konseptual oleh para filosof klasik,
hingga transformasi pemikiran dalam menghadapi modernitas dan globalisasi.
Sejak awal, politik dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai urusan praktis
mengenai kekuasaan, melainkan juga sebagai instrumen moral dan spiritual untuk
mewujudkan al-‘adl (keadilan) dan maslahah (kesejahteraan umum).¹
Pada periode klasik, pemikiran politik
Islam ditandai oleh sintesis antara tradisi Islam dan filsafat Yunani,
sebagaimana terlihat dalam karya al-Farabi, al-Mawardi, dan Ibn Khaldun.² Abad
pertengahan memperlihatkan pergeseran ke arah perdebatan teologis dan yuridis
yang lebih menekankan legitimasi kekuasaan, stabilitas, serta peran fuqaha dan
mutakallimun dalam menjaga otoritas politik.³ Memasuki era modern, filsafat
politik Islam diuji oleh kolonialisme, sekularisme, dan lahirnya negara-bangsa.
Tokoh-tokoh pembaruan seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Ali
Abdul Raziq menghadirkan paradigma baru yang menunjukkan adanya keterbukaan
Islam terhadap reinterpretasi politik sesuai konteks zaman.⁴
Dalam diskursus kontemporer, filsafat
politik Islam semakin relevan dalam merespons isu-isu global seperti demokrasi,
hak asasi manusia, pluralisme, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan tata
kelola pemerintahan.⁵ Nilai-nilai fundamental Islam—seperti musyawarah,
keadilan, dan tanggung jawab sosial—menawarkan kerangka alternatif yang dapat memperkaya
percakapan global tentang politik dan etika publik. Dengan demikian, filsafat
politik Islam tidak stagnan dalam kerangka historis, tetapi senantiasa bergerak
adaptif, kritis, dan konstruktif.
Pada akhirnya, memahami filsafat
politik Islam penting bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi dunia
global. Ia menyediakan perspektif etis yang menyeimbangkan antara realitas
politik dan nilai-nilai moral transendental, sesuatu yang kerap diabaikan dalam
politik modern yang cenderung pragmatis.⁶ Dengan kontribusinya terhadap wacana
global, filsafat politik Islam berpotensi menjadi sumber inspirasi dalam
membangun tata dunia yang lebih adil, partisipatif, dan berlandaskan nilai
kemanusiaan universal.⁷
Footnotes
[1]               
Muhammad Asad, The Principles of State and
Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961),
12–15.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 181–186.
[3]               
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 167–172.
[4]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 135–140.
[5]               
Wael B. Hallaq, Islamic Political Thought: An
Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 215–220.
[6]               
Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening
(Oxford: Oxford University Press, 2012), 92–95.
[7]               
John L. Esposito, The Future of Islam (New
York: Oxford University Press, 2010), 121–125.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2004). Islam and
the challenge of democracy. Princeton University Press.
al-Farabi. (1995). al-Madina
al-Fadhila. Dar al-Mashriq.
al-Ghazali. (1995). al-Iqtishad fi
al-I‘tiqad. Dar al-Fikr.
al-Ghazali. (1997). al-Mustashfa
min ‘ilm al-usul. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Juwayni. (1997). Ghiyath
al-Umam fi iltiyath al-Zulam. Dar al-Minhaj.
al-Mawardi. (1994). al-Ahkam
al-Sultaniyyah. Dar al-Hadith.
al-Taymiyyah, I. (1998). al-Siyasah
al-Shar‘iyyah. Maktabah al-Rusyd.
al-Farra’, A. Y. (1983). al-Ahkam
al-Sultaniyyah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ali Abdul Raziq. (1925). al-Islam
wa ushul al-hukm. Dar al-Ma‘arif.
An-Na‘im, A. A. (1990). Toward an
Islamic reformation: Civil liberties, human rights, and international law.
Syracuse University Press.
An-Na‘im, A. A. (2008). Islam and
the secular state: Negotiating the future of shari‘a. Harvard University
Press.
Asad, M. (1961). The principles of
state and government in Islam. University of California Press.
Azmeh, A. al-. (1982). Ibn Khaldun
in modern scholarship. Routledge.
Baqillani, al-. (1957). al-Tamhid
fi usul al-din. Dar al-Mashriq.
Butterworth, C. E. (1977). Averroes’
three short commentaries on Aristotle’s “Topics,” “Rhetoric,” and “Poetics”.
State University of New York Press.
Chittick, W. C. (2005). Ibn
‘Arabi: Heir to the prophets. Oneworld.
Crone, P. (2004). Medieval Islamic
political thought. Edinburgh University Press.
Crone, P., & Zimmermann, F.
(2001). The epistle of Salim ibn Dhakwan. Oxford University Press.
Esposito, J. L. (2010). The future
of Islam. Oxford University Press.
Esposito, J. L., & Voll, J. O.
(1996). Islam and democracy. Oxford University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of
Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Feldman, N. (2008). The fall and
rise of the Islamic state. Princeton University Press.
Gellner, E. (1981). Muslim society.
Cambridge University Press.
Gellner, E. (1992). Postmodernism,
reason and religion. Routledge.
Hourani, A. (1983). Arabic thought
in the liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.
Hizb ut-Tahrir. (1999). The method
to re-establish the caliphate. al-Khilafah Publications.
Hugh Kennedy. (2004). The prophet
and the age of the caliphates (2nd ed.). Longman.
Hugh Kennedy. (2016). The
caliphate: A Pelican introduction. Pelican.
Hallaq, W. B. (2001). Authority,
continuity, and change in Islamic law. Cambridge University Press.
Hallaq, W. B. (2010). Islamic
political thought: An introduction. Edinburgh University Press.
Hallaq, W. B. (2013). The
impossible state: Islam, politics, and modernity’s moral predicament.
Columbia University Press.
Hourani, A. (1983). Arabic thought
in the liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.
Keddie, N. R. (1983). An Islamic
response to imperialism: Political and religious writings of Sayyid Jamal
ad-Din “al-Afghani”. University of California Press.
Lambton, A. K. S. (1981). State
and government in medieval Islam. Oxford University Press.
Lapidus, I. M. (2002). A history
of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge University Press.
Leaman, O. (1999). A brief
introduction to Islamic philosophy. Polity Press.
Lewis, B. (1988). The political
language of Islam. University of Chicago Press.
Madjid, N. (1987). Islam,
kemodernan dan keindonesiaan. Mizan.
Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the
foundation of Islamic political philosophy. University of Chicago Press.
Mernissi, F. (1992). Islam and
democracy: Fear of the modern world. Addison-Wesley.
Mitchell, R. P. (1969). The
society of the Muslim Brothers. Oxford University Press.
Momen, M. (1985). An introduction
to Shi‘i Islam. Yale University Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and
nature: The spiritual crisis of modern man. George Allen & Unwin.
Noor, F. A. (2012). Islam on the
move: The Tablighi Jama’at in Southeast Asia. Amsterdam University Press.
Organization of Islamic Cooperation.
(1990). The Cairo declaration on human rights in Islam. OIC.
Qutb, S. (1964). Ma‘alim fi
al-tariq. Dar al-Shuruq.
Rahman, F. (1982). Islam and
modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of
Chicago Press.
Ramadan, T. (2012). Islam and the
Arab awakening. Oxford University Press.
Rashid Rida. (1922). al-Khilafah
aw al-Imamah al-‘Uzma. al-Manar.
Rosenthal, E. I. J. (1958). Political
thought in medieval Islam. Cambridge University Press.
Rosenthal, F. (1967). The
Muqaddimah: An introduction to history (Trans.). Princeton University
Press.
Sachedina, A. (2009). Islam and
the challenge of human rights. Oxford University Press.
Strauss, L. (1959). What is
political philosophy? University of Chicago Press.
Taylor, C. (2004). Modern social
imaginaries. Duke University Press.
Wadud, A. (1999). Qur’an and
woman: Rereading the sacred text from a woman’s perspective. Oxford
University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar