Rabu, 08 Oktober 2025

Filsafat Politik Islam: Fondasi, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Politik Islam

Fondasi, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif perkembangan filsafat politik Islam mulai dari fondasi normatif dalam Al-Qur’an dan Sunnah, perumusan konseptual oleh para pemikir klasik, hingga transformasinya dalam menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi. Kajian diawali dengan penguraian konsep dasar filsafat politik Islam yang menekankan prinsip keadilan, musyawarah, kemaslahatan, dan kepemimpinan sebagai fondasi normatif-politik. Pada masa klasik, tokoh-tokoh seperti al-Farabi, al-Mawardi, dan Ibn Khaldun menghadirkan visi politik yang utopis, normatif, maupun sosiologis. Abad pertengahan ditandai dengan pergeseran ke arah diskursus teologis dan yuridis, di mana ulama, fuqaha, dan mutakallimun memainkan peran penting dalam perdebatan mengenai khilafah, imamah, serta legitimasi kekuasaan. Memasuki era modern, filsafat politik Islam bertransformasi melalui gerakan reformis, perdebatan sekularisme versus Islamisme, serta wacana demokrasi dan hak asasi manusia. Pada konteks kontemporer, diskursus filsafat politik Islam merambah isu-isu global seperti pluralisme, keadilan sosial, kesetaraan gender, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kajian ini menyimpulkan bahwa filsafat politik Islam bersifat dinamis, adaptif, dan terus relevan dalam memberikan kontribusi etis dan normatif terhadap diskursus politik global, sekaligus memperkaya percakapan tentang tata kelola pemerintahan yang adil dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan universal.

Kata kunci: Filsafat Politik Islam, keadilan, musyawarah, khilafah, demokrasi Islam, hak asasi manusia, pluralisme, keadilan sosial, globalisasi.


PEMBAHASAN

Filsafat Politik Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat politik Islam merupakan salah satu cabang penting dalam tradisi intelektual Islam yang berusaha menjawab pertanyaan fundamental mengenai legitimasi kekuasaan, tujuan pemerintahan, serta hubungan antara agama dan negara. Sejak awal munculnya peradaban Islam, persoalan politik tidak pernah terpisahkan dari dimensi keagamaan, karena Al-Qur’an dan Sunnah tidak hanya mengatur urusan ibadah, tetapi juga memberi pedoman tentang keadilan, musyawarah (syûrâ), dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.¹ Dengan demikian, filsafat politik Islam berdiri pada persimpangan antara wahyu dan akal, antara norma transendental dan realitas sosial.

Kajian filsafat politik Islam berakar pada pertemuan antara tradisi Islam dengan filsafat Yunani dan warisan politik Persia, Romawi, serta tradisi hukum lokal.² Pemikiran ini menemukan bentuk awalnya dalam karya-karya para filosof Muslim klasik seperti al-Farabi, yang dalam al-Madina al-Fadhila menguraikan visi tentang negara utama yang dipimpin oleh seorang filsuf-raja yang bijaksana, serta al-Mawardi dengan al-Ahkâm al-Sultâniyyah yang menyusun teori tentang kekuasaan khalifah dan otoritas politik.³ Sementara itu, Ibn Khaldun melalui Muqaddimah memperkaya khazanah filsafat politik Islam dengan analisis sosiologis tentang kekuasaan, solidaritas sosial (‘asabiyyah), dan siklus peradaban.⁴

Seiring perkembangan sejarah, filsafat politik Islam tidak berhenti pada pemikiran klasik, tetapi terus mengalami transformasi sejalan dengan tantangan zaman. Pada abad modern, kolonialisme dan masuknya gagasan Barat melahirkan diskursus baru tentang sekularisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Rida berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan modernitas, sementara pemikir kontroversial seperti Ali Abdul Raziq dalam al-Islâm wa Ushûl al-Hukm menolak klaim bahwa khilafah adalah institusi religius yang diwajibkan.⁵ Debat-debat tersebut menunjukkan bahwa filsafat politik Islam bukan sekadar wacana historis, tetapi medan perdebatan intelektual yang terus hidup.

Di era kontemporer, filsafat politik Islam menemukan relevansinya dalam menjawab persoalan global seperti demokratisasi, pluralisme, keadilan sosial, dan hak-hak warga negara. Sejumlah sarjana modern, baik Muslim maupun non-Muslim, menegaskan bahwa filsafat politik Islam dapat memberi kontribusi penting dalam membangun tata politik yang berkeadilan, partisipatif, dan berbasis nilai-nilai moral universal.⁶ Oleh karena itu, memahami fondasi, sejarah, dan relevansi kontemporer filsafat politik Islam merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkaya wacana politik global sekaligus memperkuat identitas politik umat Islam dalam konteks modern.


Footnotes

[1]                Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), 12–15.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 181–183.

[3]                Al-Farabi, al-Madina al-Fadhila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1995); al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah (Kairo: Dar al-Hadith, 1994).

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 89–95.

[5]                Ali Abdul Raziq, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1925).

[6]                John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 22–27.


2.           Konsep Dasar Filsafat Politik Islam

Filsafat politik Islam lahir dari interaksi antara prinsip-prinsip wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan perenungan rasional para intelektual Muslim terhadap realitas sosial dan politik. Sebagai sebuah disiplin, filsafat politik Islam berusaha merumuskan landasan normatif, etis, dan rasional mengenai legitimasi kekuasaan, tujuan negara, serta relasi antara individu, masyarakat, dan pemerintahan.¹ Dengan demikian, ia tidak semata-mata merupakan teori hukum (fiqh siyasah) ataupun praktik politik, melainkan sebuah refleksi filosofis atas dasar dan arah kehidupan politik umat Islam.

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup

Secara umum, filsafat politik dapat dipahami sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat kekuasaan, keadilan, hukum, serta organisasi masyarakat.² Dalam konteks Islam, filsafat politik tidak hanya membahas bentuk institusi politik, tetapi juga nilai-nilai moral dan spiritual yang menjadi fondasinya. Al-Qur’an, misalnya, menekankan pentingnya keadilan (al-‘adl) sebagai prinsip dasar kehidupan bernegara (QS. an-Nahl [16]:90), serta musyawarah (syûrâ) sebagai mekanisme pengambilan keputusan kolektif (QS. asy-Syûrâ [42]:38).³ Oleh karena itu, filsafat politik Islam mengandung dimensi teologis, etis, dan praktis sekaligus.

2.2.       Sumber-Sumber Utama

Ada tiga sumber utama dalam filsafat politik Islam. Pertama, Al-Qur’an dan Sunnah, yang memberikan pedoman normatif tentang keadilan, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial.⁴ Kedua, ijtihad rasional para filosof dan ulama yang menginterpretasikan teks wahyu sesuai konteks zamannya, misalnya al-Farabi dengan konsep negara utama (al-Madina al-Fadhila).⁵ Ketiga, pengalaman historis politik Islam, mulai dari masa Khulafâ’ al-Râsyidîn hingga kerajaan-kerajaan Islam, yang memperkaya perdebatan mengenai praktik kekuasaan, legitimasi, dan hukum publik.⁶

2.3.       Prinsip-Prinsip Dasar

Filsafat politik Islam dibangun atas sejumlah prinsip utama yang menjadi rujukan dalam teori maupun praktik:

·                     Keadilan (al-‘Adl)

Keadilan dipandang sebagai tujuan utama dari keberadaan negara. Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa “Allah menegakkan negara yang adil meski kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim meski Muslim.”⁷ Prinsip ini menunjukkan bahwa legitimasi politik terletak pada keadilan, bukan semata identitas keagamaan.

·                     Musyawarah (Syûrâ)

Musyawarah adalah mekanisme partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Al-Mawardi menegaskan pentingnya syura dalam pemilihan imam/khalifah, meski bentuk praktisnya bervariasi sepanjang sejarah.⁸

·                     Maslahah (Kemaslahatan Umum)

Konsep maslahah digunakan untuk menilai kebijakan politik berdasarkan manfaatnya bagi umat. Al-Ghazali menempatkan maslahah sebagai tujuan utama syariah (maqâshid al-sharî‘ah), yang mencakup perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.⁹

·                     Imamah/ Kepemimpinan

Dalam tradisi Sunni klasik, kepemimpinan politik (imamah) dianggap sebagai keharusan untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Al-Mawardi menguraikan tugas-tugas imam mencakup menegakkan hukum, menjaga keamanan, dan melindungi rakyat.¹⁰

2.4.       Karakteristik Filsafat Politik Islam

Berbeda dengan filsafat politik Barat yang lebih sekuler, filsafat politik Islam menekankan keterpaduan antara agama dan politik. Namun, keterpaduan ini tidak selalu berarti teokrasi dalam arti Barat, melainkan keselarasan antara hukum Ilahi dan kepentingan manusia.¹¹ Selain itu, filsafat politik Islam bersifat dinamis—ia senantiasa beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa melepaskan prinsip-prinsip normatifnya.

Dengan demikian, konsep dasar filsafat politik Islam memperlihatkan bahwa ia adalah disiplin yang berakar pada wahyu, tetapi sekaligus membuka ruang bagi penalaran filosofis dan pengalaman historis. Prinsip keadilan, musyawarah, maslahat, dan kepemimpinan menjadi poros utama dalam diskursus politik Islam yang terus berkembang dari masa klasik hingga kontemporer.


Footnotes

[1]                Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), 7–10.

[2]                Leo Strauss, What Is Political Philosophy? (Chicago: University of Chicago Press, 1959), 9.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 37–40.

[4]                Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 25–27.

[5]                Al-Farabi, al-Madina al-Fadhila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1995), 65–70.

[6]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 132–140.

[7]                Ibn Taymiyyah, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1998), 13.

[8]                Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah (Kairo: Dar al-Hadith, 1994), 5–10.

[9]                Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usul (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 286–288.

[10]             Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah, 17–22.

[11]             John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 18–21.


3.           Filsafat Politik dalam Pemikiran Klasik

Periode klasik Islam (abad ke-8 hingga ke-14 M) menandai berkembangnya perdebatan filsafat politik yang kaya, dipengaruhi oleh teks-teks wahyu, warisan politik Islam awal, serta interaksi dengan filsafat Yunani dan sistem pemerintahan Persia-Romawi. Para pemikir Muslim berusaha merumuskan teori tentang negara, legitimasi kekuasaan, dan tujuan pemerintahan dengan memadukan syariah, akal, dan pengalaman historis umat Islam.¹

3.1.       Al-Farabi dan Konsep al-Madina al-Fadhila

Al-Farabi (w. 950 M) sering disebut sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, karena pengaruh besar filsafat Yunani dalam karyanya. Dalam al-Madina al-Fadhila (Kota Utama), ia menguraikan gagasan tentang negara ideal yang dipimpin oleh seorang filsuf-raja, yaitu pemimpin yang memiliki kesempurnaan akal dan moral serta mampu menuntun rakyat menuju kebahagiaan tertinggi.² Konsep ini jelas dipengaruhi oleh Republic Plato, namun dimodifikasi dalam kerangka Islam: pemimpin ideal juga berfungsi sebagai penerus misi kenabian (imamah).³ Menurut Al-Farabi, negara utama tidak hanya berorientasi pada kepentingan duniawi, tetapi juga tujuan transendental, yakni kebahagiaan akhirat.⁴

3.2.       Al-Mawardi dan Teori Kekuasaan Khalifah

Berbeda dengan Al-Farabi yang filosofis-utopis, al-Mawardi (w. 1058 M) menulis dengan pendekatan lebih praktis dalam al-Ahkâm al-Sultâniyyah. Ia menekankan pentingnya imamah (kepemimpinan politik) sebagai institusi yang wajib untuk menegakkan agama dan mengatur dunia.⁵ Menurutnya, khalifah harus memenuhi syarat moral dan intelektual tertentu, seperti adil, berilmu, dan mampu menegakkan hukum.⁶ Al-Mawardi juga merinci fungsi-fungsi pemerintahan: menjaga agama, melindungi negara, menegakkan keadilan, mengelola harta publik, serta memastikan kesejahteraan rakyat.⁷ Pemikirannya menunjukkan bahwa legitimasi politik dalam Islam tidak hanya bersumber dari teks, tetapi juga dari efektivitas pemimpin dalam menjaga maslahat publik.

3.3.       Ibn Khaldun dan Teori ‘Asabiyyah

Ibn Khaldun (w. 1406 M) menghadirkan perspektif baru yang bersifat sosiologis dalam al-Muqaddimah. Ia melihat kekuasaan bukan semata produk legitimasi agama, tetapi juga hasil solidaritas sosial (‘asabiyyah), yaitu ikatan kelompok yang memungkinkan terbentuknya kekuatan politik.⁸ Menurutnya, setiap dinasti lahir, berkembang, dan runtuh melalui siklus historis yang relatif tetap: dimulai dari semangat solidaritas, lalu mencapai kejayaan, kemudian mengalami kemewahan dan kemerosotan moral, hingga akhirnya melemah dan digantikan dinasti lain.⁹ Ibn Khaldun menekankan pentingnya hukum dan syariah dalam menjaga stabilitas, namun ia juga realistis bahwa politik sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial-ekonomi.¹⁰

3.4.       Perbandingan dengan Filsafat Politik Yunani

Para pemikir Muslim klasik banyak berinteraksi dengan karya Plato, Aristoteles, dan filsuf Yunani lainnya melalui terjemahan dalam bahasa Arab. Al-Farabi, misalnya, mengadaptasi gagasan tentang negara ideal Plato, sementara Ibn Rushd (Averroes) menulis komentar atas Politics Aristoteles.¹¹ Namun, meski terpengaruh, filsafat politik Islam memiliki ciri khas: negara dipandang bukan sekadar entitas rasional untuk keteraturan sosial, melainkan sarana untuk mencapai tujuan moral dan spiritual sesuai ajaran Islam.¹²


Dengan demikian, pemikiran klasik dalam filsafat politik Islam menunjukkan dinamika yang kaya: dari visi utopis-transendental (al-Farabi), pendekatan praktis-normatif (al-Mawardi), hingga analisis historis-sosiologis (Ibn Khaldun). Masing-masing memberikan kontribusi berbeda, namun kesemuanya berangkat dari satu keyakinan bahwa politik adalah instrumen untuk mewujudkan keadilan dan kebahagiaan umat.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 181–186.

[2]                Al-Farabi, al-Madina al-Fadhila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1995), 45–50.

[3]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 72.

[4]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 129–134.

[5]                Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah (Kairo: Dar al-Hadith, 1994), 5–7.

[6]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 135.

[7]                Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah, 12–18.

[8]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 89–93.

[9]                Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 49–52.

[10]             Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 101–105.

[11]             Charles E. Butterworth, Averroes’ Three Short Commentaries on Aristotle’s “Topics,” “Rhetoric,” and “Poetics” (Albany: SUNY Press, 1977), 11–14.

[12]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 97–100.


4.           Pemikiran Politik Islam pada Abad Pertengahan

Abad pertengahan Islam (abad ke-11 hingga ke-15 M) merupakan fase penting dalam perkembangan filsafat politik Islam. Pada periode ini, perdebatan politik mengalami pergeseran: dari diskursus filosofis-utopis yang dipelopori oleh al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd menuju pembahasan yang lebih normatif, yuridis, dan teologis. Hal ini terkait dengan dinamika sejarah: melemahnya kekhalifahan Abbasiyah, munculnya dinasti-dinasti regional, serta meningkatnya peran fuqaha dan teolog dalam mengisi ruang legitimasi politik.¹

4.1.       Peran Ulama dan Fuqaha dalam Politik

Para ulama dan fuqaha memainkan peran sentral dalam merumuskan konsep politik pada abad pertengahan. Mereka menekankan bahwa kekuasaan politik harus dijalankan sesuai syariah, sementara khalifah atau sultan bertindak sebagai pelaksana hukum Allah di bumi.² Teori politik yang mereka bangun berfokus pada legitimasi kepemimpinan, tata kelola pemerintahan, serta relasi antara penguasa dan rakyat. Abu Ya‘la al-Farra’ (w. 1066 M), misalnya, menulis al-Ahkâm al-Sultâniyyah versi Hanbali yang menegaskan kewajiban taat kepada imam selama tidak melakukan kekufuran nyata.³

4.2.       Perdebatan Kalam tentang Legitimasi Kekuasaan

Selain fuqaha, teolog (mutakallimun) juga memberikan kontribusi besar. Kaum Khawarij berpendapat bahwa pemimpin harus dipilih berdasarkan ketaqwaan dan keadilannya, dan seorang imam yang zalim boleh digulingkan.⁴ Sebaliknya, kaum Murji’ah menekankan pentingnya stabilitas dengan menunda penilaian moral terhadap penguasa, sementara Syi’ah mengembangkan doktrin imamah yang menempatkan kepemimpinan sebagai hak eksklusif Ahl al-Bayt.⁵ Di sisi lain, Ahlus Sunnah berusaha mengambil posisi tengah dengan menegaskan kewajiban adanya imam demi menjaga agama dan dunia, namun tetap menekankan prinsip keadilan serta batas-batas ketaatan kepada penguasa.⁶

4.3.       Teori Khilafah dan Kedaulatan

Diskursus tentang khilafah menjadi tema sentral pada abad pertengahan. Para pemikir Sunni menekankan bahwa khilafah merupakan institusi yang bersifat daruri (keharusan praktis), bukan semata keharusan syar‘i.⁷ Al-Juwayni (w. 1085 M) dalam Ghiyâth al-Umam membahas kondisi darurat jika umat Islam tidak memiliki imam, dan bahkan membuka kemungkinan transisi bentuk pemerintahan selama maslahat umat tetap terjaga.⁸ Pemikir seperti al-Ghazali (w. 1111 M) juga berpendapat bahwa legitimasi politik pada akhirnya bergantung pada kemampuan penguasa menjaga agama dan dunia, meski terkadang kompromistis terhadap dominasi militer yang kuat, seperti dalam relasi khalifah dengan sultan Seljuk.⁹

4.4.       Pemikiran Politik dalam Dunia Sufi

Dimensi lain dari politik abad pertengahan muncul dalam tradisi tasawuf. Para sufi memandang kekuasaan bukan hanya sebagai urusan duniawi, tetapi juga sebagai amanah spiritual. Konsep “raja adil” sering kali dikaitkan dengan simbolisasi khalifah sebagai bayangan Tuhan di bumi.¹⁰ Pemikiran ini terlihat dalam karya-karya sufi besar seperti al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, yang menekankan pentingnya kebersihan hati pemimpin sebagai syarat legitimasi moral kekuasaan.¹¹

4.5.       Transisi Menuju Politik Dinasti dan Regional

Dalam praktiknya, abad pertengahan juga ditandai oleh munculnya kekuasaan dinasti regional seperti Seljuk, Ayyubiyah, Mamluk, hingga Turki Utsmani. Legitimasi khalifah di Baghdad semakin melemah, sementara para sultan memperoleh kekuasaan de facto. Para pemikir abad pertengahan berusaha menyesuaikan teori politik mereka dengan realitas tersebut, dengan menekankan pentingnya maslahat dan stabilitas sebagai dasar keberlangsungan negara, meskipun struktur formal khilafah tetap dipertahankan secara simbolis.¹²


Dengan demikian, pemikiran politik Islam pada abad pertengahan mencerminkan pergeseran dari idealisme filosofis menuju realisme normatif-teologis. Para fuqaha, mutakallimun, dan sufi memberikan kerangka legitimasi yang lebih fleksibel, sehingga politik Islam dapat bertahan menghadapi fragmentasi kekuasaan. Perdebatan tentang khilafah, imamah, dan ketaatan kepada penguasa tetap menjadi tema utama, sekaligus membuka jalan bagi transformasi pemikiran politik Islam pada era modern.


Footnotes

[1]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 167–172.

[2]                Wael B. Hallaq, Authority, Continuity, and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 41–45.

[3]                Abu Ya‘la al-Farra’, al-Ahkâm al-Sultâniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 19–22.

[4]                Patricia Crone and Fritz Zimmermann, The Epistle of Salim ibn Dhakwan (Oxford: Oxford University Press, 2001), 56–59.

[5]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam (New Haven: Yale University Press, 1985), 178–184.

[6]                Al-Baqillani, al-Tamhîd fî Usûl al-Dîn (Beirut: Dar al-Mashriq, 1957), 276–280.

[7]                Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 49–51.

[8]                Al-Juwayni, Ghiyâth al-Umam fî Iltiyâth al-Zulam (Kairo: Dar al-Minhaj, 1997), 85–92.

[9]                Al-Ghazali, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), 150–155.

[10]             Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam (Oxford: Oxford University Press, 1981), 95–98.

[11]             William C. Chittick, Ibn ‘Arabi: Heir to the Prophets (Oxford: Oneworld, 2005), 122–127.

[12]             Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates, 2nd ed. (Harlow: Longman, 2004), 281–285.


5.           Transformasi Filsafat Politik Islam di Era Modern

Memasuki era modern (abad ke-19 hingga abad ke-20), filsafat politik Islam mengalami transformasi mendasar seiring dengan guncangan yang ditimbulkan oleh kolonialisme Barat, kemunduran politik umat Islam, dan tantangan modernitas. Jika pada abad pertengahan diskursus politik Islam masih berpusat pada teori khilafah, imamah, dan legitimasi teologis, maka di era modern muncul persoalan baru: bagaimana menafsirkan ulang prinsip-prinsip politik Islam dalam menghadapi negara-bangsa, demokrasi, hak asasi manusia, serta sekularisme.¹

5.1.       Tantangan Kolonialisme dan Krisis Kekuasaan

Kolonialisme Barat membawa dampak politik yang besar bagi dunia Islam. Kekhalifahan Utsmani sebagai simbol persatuan politik Islam semakin melemah hingga akhirnya runtuh pada tahun 1924.² Kondisi ini menimbulkan krisis otoritas politik dan memunculkan pertanyaan mendasar: apakah khilafah merupakan institusi yang wajib secara syar‘i ataukah hanya produk sejarah?³ Sejumlah ulama tradisional masih mempertahankan legitimasi khilafah, tetapi intelektual modernis mulai mencari format baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

5.2.       Gerakan Reformis dan Pemikiran Pembaruan

Tokoh-tokoh reformis seperti Jamal al-Din al-Afghani (1838–1897), Muhammad Abduh (1849–1905), dan Rashid Rida (1865–1935) berusaha membangkitkan kembali vitalitas politik umat Islam dengan menekankan pentingnya ijtihad, pendidikan, serta pembaruan institusi politik.⁴ Al-Afghani menekankan perlunya persatuan umat Islam (pan-Islamisme) untuk melawan imperialisme Barat, sementara Abduh mendorong rekonsiliasi antara Islam dan rasionalitas modern.⁵ Rashid Rida dalam al-Khilafah aw al-Imamah al-‘Uzma berusaha menghidupkan kembali konsep khilafah dengan penyesuaian terhadap konteks modern.⁶ Pemikiran mereka menunjukkan bahwa filsafat politik Islam tidak lagi sekadar bersifat defensif, melainkan proaktif dalam merespons tantangan modernitas.

5.3.       Perdebatan Sekularisme dan Islamisme

Salah satu perdebatan besar di era modern adalah mengenai hubungan agama dan negara. Ali Abdul Raziq (1888–1966) melalui karyanya al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (1925) mengemukakan pandangan radikal bahwa Islam tidak menetapkan bentuk negara tertentu, termasuk khilafah. Menurutnya, Nabi Muhammad hanya berfungsi sebagai rasul, bukan kepala negara, sehingga sistem politik bersifat ijtihadi dan terbuka bagi variasi.⁷ Pandangan ini menimbulkan kontroversi besar, ditentang oleh banyak ulama, namun membuka jalan bagi wacana sekularisme politik dalam Islam.

Di sisi lain, muncul kelompok Islamis seperti Hasan al-Banna (1906–1949) dengan Ikhwanul Muslimin yang menekankan bahwa Islam adalah sistem komprehensif yang mencakup politik, hukum, dan sosial.⁸ Pemikiran ini kemudian berkembang dalam berbagai bentuk gerakan Islam politik yang menuntut penerapan syariah sebagai dasar negara.

5.4.       Gagasan Demokrasi Islam, Hak Asasi, dan Pluralisme

Era modern juga melahirkan perdebatan tentang kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Pemikir seperti Fazlur Rahman (1919–1988) menegaskan bahwa prinsip syura, keadilan, dan persamaan dalam Islam dapat dijadikan dasar bagi praktik demokrasi modern.⁹ John L. Esposito dan John O. Voll bahkan menyebutkan bahwa demokrasi Islam memiliki potensi sebagai model alternatif tata kelola politik yang memadukan nilai religius dan partisipasi rakyat.¹⁰ Di samping itu, isu-isu hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan pluralisme juga masuk ke dalam agenda filsafat politik Islam modern, meskipun sering menimbulkan ketegangan antara interpretasi tradisional dan tuntutan kontemporer.


Dengan demikian, transformasi filsafat politik Islam di era modern memperlihatkan dinamika yang kompleks: dari perlawanan terhadap kolonialisme, pembaruan pemikiran, perdebatan sekularisme vs Islamisme, hingga wacana demokrasi dan hak asasi manusia. Keseluruhan perkembangan ini menegaskan bahwa filsafat politik Islam tetap hidup, adaptif, dan relevan dalam merespons perubahan zaman sekaligus mempertahankan identitas normatifnya.


Footnotes

[1]                Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 31–35.

[2]                Hugh Kennedy, The Caliphate: A Pelican Introduction (London: Pelican, 2016), 207–209.

[3]                Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 106.

[4]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 135–140.

[5]                Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani" (Berkeley: University of California Press, 1983), 22–25.

[6]                Rashid Rida, al-Khilafah aw al-Imamah al-‘Uzma (Kairo: al-Manar, 1922), 11–18.

[7]                Ali Abdul Raziq, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1925), 25–29.

[8]                Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers (London: Oxford University Press, 1969), 12–16.

[9]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45–47.

[10]             John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 23–25.


6.           Tema-Tema Kontemporer dalam Filsafat Politik Islam

Memasuki abad ke-21, filsafat politik Islam menghadapi tantangan dan peluang baru yang dipengaruhi oleh globalisasi, perkembangan demokrasi, isu hak asasi manusia, serta dinamika negara-bangsa modern. Diskursus kontemporer tidak lagi hanya membahas legitimasi khilafah atau hubungan agama dan negara, melainkan juga menyentuh tema-tema pluralisme, keadilan sosial, kesetaraan gender, dan tata kelola pemerintahan.¹

6.1.       Islam dan Demokrasi: Kompatibilitas atau Kontradiksi?

Pertanyaan utama yang terus mengemuka adalah apakah Islam kompatibel dengan demokrasi. Sebagian kalangan menganggap Islam memiliki prinsip dasar yang sejalan dengan demokrasi, seperti syura (musyawarah), keadilan, dan persamaan di hadapan hukum.² Fazlur Rahman berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut dapat dijadikan fondasi demokrasi dalam konteks Muslim modern.³ John L. Esposito dan John O. Voll menambahkan bahwa fenomena “demokrasi Islam” merupakan hasil adaptasi kreatif antara nilai-nilai politik modern dan prinsip-prinsip Islam.⁴ Namun, kelompok Islamis tertentu menolak demokrasi karena dianggap produk Barat yang bertentangan dengan syariah, sehingga mereka menawarkan model “hakimiyyah” (kedaulatan Tuhan) sebagaimana dipopulerkan Sayyid Qutb.⁵

6.2.       Negara-Bangsa dan Khilafah Universal

Pembentukan negara-bangsa modern setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmani menimbulkan perdebatan tentang relasi antara identitas nasional dan visi khilafah universal. Banyak pemikir kontemporer menerima negara-bangsa sebagai realitas politik yang sah, selama tetap berlandaskan prinsip keadilan dan maslahat.⁶ Namun, sebagian kelompok revivalis, seperti Hizb ut-Tahrir, tetap menekankan kewajiban menegakkan kembali khilafah sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan Islam yang absah.⁷ Perdebatan ini menunjukkan ketegangan antara ideal normatif dan realitas geopolitik modern.

6.3.       Hak Asasi Manusia dan Politik Islam

Isu hak asasi manusia (HAM) menjadi tantangan besar dalam filsafat politik Islam kontemporer. Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam (1990) merupakan upaya dunia Muslim untuk merespons Deklarasi Universal HAM dengan memberikan perspektif Islam.⁸ Meski demikian, perdebatan tetap muncul, khususnya terkait kebebasan beragama, hak perempuan, dan kebebasan berekspresi. Abdullahi An-Na‘im, misalnya, berargumen bahwa Islam dapat mendukung HAM universal jika dilakukan reinterpretasi atas teks syariah dengan pendekatan kontekstual.⁹

6.4.       Pluralisme dan Hubungan Agama-Negara

Dalam konteks masyarakat multikultural, isu pluralisme agama menjadi semakin penting. Nurcholish Madjid menekankan bahwa prinsip tauhid mengajarkan pengakuan atas keragaman manusia dan menuntut adanya toleransi dalam kehidupan berbangsa.¹⁰ Pemikiran ini berkontribusi pada perdebatan mengenai bagaimana negara Muslim dapat menjamin hak-hak minoritas agama tanpa kehilangan identitas Islam. Diskursus kontemporer juga menyoal sejauh mana agama dan negara harus dipisahkan atau dipadukan, dengan berbagai model diterapkan di negara-negara Muslim seperti Turki, Iran, dan Indonesia.¹¹

6.5.       Keadilan Sosial, Gender, dan Tata Kelola

Tema penting lain adalah keadilan sosial dan kesetaraan gender. Pemikir seperti Amina Wadud dan Fatima Mernissi menekankan bahwa interpretasi patriarkal dalam tradisi politik Islam harus ditinjau ulang agar sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan yang diajarkan Al-Qur’an.¹² Dalam konteks tata kelola pemerintahan, wacana good governance menjadi bagian dari filsafat politik Islam kontemporer, di mana nilai-nilai akuntabilitas, transparansi, dan anti-korupsi dipandang selaras dengan ajaran syariah.¹³


Dengan demikian, tema-tema kontemporer dalam filsafat politik Islam memperlihatkan keterbukaan terhadap isu-isu global sekaligus kesetiaan pada prinsip-prinsip normatif Islam. Diskursus mengenai demokrasi, negara-bangsa, hak asasi manusia, pluralisme, keadilan sosial, dan gender menunjukkan bahwa filsafat politik Islam tidak stagnan, tetapi terus bertransformasi mengikuti dinamika zaman.


Footnotes

[1]                Wael B. Hallaq, Islamic Political Thought: An Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 215–220.

[2]                Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2004), 12–15.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45–47.

[4]                John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 18–22.

[5]                Sayyid Qutb, Ma‘alim fi al-Tariq (Kairo: Dar al-Shuruq, 1964), 54–60.

[6]                Noah Feldman, The Fall and Rise of the Islamic State (Princeton: Princeton University Press, 2008), 89–92.

[7]                Hizb ut-Tahrir, The Method to Re-establish the Caliphate (London: al-Khilafah Publications, 1999), 5–10.

[8]                Organization of Islamic Cooperation (OIC), The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Cairo: OIC, 1990).

[9]                Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a (Cambridge: Harvard University Press, 2008), 72–76.

[10]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), 421–425.

[11]             Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1990), 54–59.

[12]             Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 83–87; Fatima Mernissi, Islam and Democracy: Fear of the Modern World (Reading, MA: Addison-Wesley, 1992), 65–70.

[13]             Abdulaziz Sachedina, Islam and the Challenge of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 101–105.


7.           Relevansi Filsafat Politik Islam bagi Dunia Global

Dalam era globalisasi dan kompleksitas politik internasional dewasa ini, filsafat politik Islam tidak hanya relevan bagi masyarakat Muslim, tetapi juga memberi kontribusi signifikan terhadap percakapan politik global. Relevansinya terletak pada kemampuannya menawarkan perspektif alternatif mengenai legitimasi kekuasaan, keadilan sosial, tata kelola pemerintahan, serta etika politik yang berakar pada nilai-nilai spiritual.¹

7.1.       Kontribusi dalam Diskursus Politik Global

Filsafat politik Islam menghadirkan pandangan bahwa politik tidak semata-mata urusan kekuasaan dan distribusi sumber daya, melainkan juga terkait dengan tanggung jawab moral dan spiritual.² Dalam konteks global, pandangan ini memberikan alternatif bagi krisis legitimasi politik modern yang seringkali terjebak dalam pragmatisme dan materialisme.³ Nilai-nilai seperti syura (musyawarah), maslahah (kepentingan umum), dan ‘adl (keadilan) dapat diposisikan sebagai prinsip universal yang relevan bagi tata kelola global yang lebih adil dan partisipatif.⁴

7.2.       Dialog dengan Filsafat Politik Barat

Filsafat politik Islam memiliki potensi besar untuk berdialog dengan tradisi politik Barat modern, baik liberalisme, sosialisme, maupun teori demokrasi deliberatif.⁵ Para sarjana kontemporer menekankan bahwa dialog ini bukan sekadar perbandingan, melainkan juga peluang untuk mengkritisi keterbatasan filsafat politik Barat—misalnya kegagalannya mengatasi krisis etika dalam politik modern.⁶ Dengan demikian, filsafat politik Islam berperan dalam membangun jembatan konseptual antara dunia Islam dan Barat melalui nilai keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab sosial.

7.3.       Relevansi terhadap Isu-Isu Kontemporer

Isu-isu global seperti ketidaksetaraan ekonomi, konflik geopolitik, terorisme, perubahan iklim, dan krisis kemanusiaan menuntut perspektif moral yang kuat dalam politik. Prinsip maslahah dalam filsafat politik Islam dapat dijadikan dasar etis untuk merumuskan kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh.⁷ Dalam konteks lingkungan, misalnya, konsep amanah (trusteeship) dalam Islam menegaskan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.⁸

7.4.       Menjawab Tantangan Globalisasi dan Identitas

Globalisasi menimbulkan dilema bagi masyarakat Muslim: di satu sisi membuka peluang integrasi, tetapi di sisi lain menimbulkan ancaman homogenisasi budaya dan hilangnya identitas. Filsafat politik Islam dapat memberikan jawaban melalui gagasan kosmopolitanisme Islam, yang menekankan keterbukaan terhadap nilai-nilai universal sekaligus mempertahankan prinsip-prinsip normatif Islam.⁹ Dengan cara ini, Islam mampu menjadi kekuatan moral yang menjaga keseimbangan antara globalitas dan lokalitas.

7.5.       Membangun Tata Politik Berkeadilan di Dunia Multipolar

Dalam dunia multipolar saat ini, filsafat politik Islam menawarkan konsep solidaritas transnasional yang berakar pada prinsip ukhuwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).¹⁰ Prinsip ini dapat memperkuat tata politik global yang lebih berkeadilan, terutama di tengah ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang. Lebih jauh, filsafat politik Islam juga menantang dominasi wacana sekular dalam politik internasional dengan menghadirkan dimensi etis-religius yang sering diabaikan.¹¹


Dengan demikian, relevansi filsafat politik Islam bagi dunia global bukanlah sekadar nostalgia terhadap kejayaan peradaban Islam klasik, melainkan kontribusi nyata dalam membentuk paradigma politik yang lebih etis, inklusif, dan berorientasi pada keadilan. Kehadirannya dalam diskursus internasional membantu menjawab tantangan global sekaligus memperkaya khazanah filsafat politik dunia.


Footnotes

[1]                Wael B. Hallaq, Islamic Political Thought: An Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 230–234.

[2]                Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), 15–17.

[3]                Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening (Oxford: Oxford University Press, 2012), 92–95.

[4]                John L. Esposito, The Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2010), 121–125.

[5]                Roxanne L. Euben and Muhammad Qasim Zaman, eds., Princeton Readings in Islamist Thought (Princeton: Princeton University Press, 2009), 9–11.

[6]                Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2004), 102–105.

[7]                Abdulaziz Sachedina, Islam and the Challenge of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 97–100.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 85–88.

[9]                Farish A. Noor, Islam on the Move: The Tablighi Jama’at in Southeast Asia (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2012), 57–60.

[10]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), 439–442.

[11]             Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (London: Routledge, 1992), 75–78.


8.           Penutup

Kajian mengenai filsafat politik Islam memperlihatkan dinamika intelektual yang kaya, mulai dari fondasi normatif dalam Al-Qur’an dan Sunnah, perumusan konseptual oleh para filosof klasik, hingga transformasi pemikiran dalam menghadapi modernitas dan globalisasi. Sejak awal, politik dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai urusan praktis mengenai kekuasaan, melainkan juga sebagai instrumen moral dan spiritual untuk mewujudkan al-‘adl (keadilan) dan maslahah (kesejahteraan umum).¹

Pada periode klasik, pemikiran politik Islam ditandai oleh sintesis antara tradisi Islam dan filsafat Yunani, sebagaimana terlihat dalam karya al-Farabi, al-Mawardi, dan Ibn Khaldun.² Abad pertengahan memperlihatkan pergeseran ke arah perdebatan teologis dan yuridis yang lebih menekankan legitimasi kekuasaan, stabilitas, serta peran fuqaha dan mutakallimun dalam menjaga otoritas politik.³ Memasuki era modern, filsafat politik Islam diuji oleh kolonialisme, sekularisme, dan lahirnya negara-bangsa. Tokoh-tokoh pembaruan seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Ali Abdul Raziq menghadirkan paradigma baru yang menunjukkan adanya keterbukaan Islam terhadap reinterpretasi politik sesuai konteks zaman.⁴

Dalam diskursus kontemporer, filsafat politik Islam semakin relevan dalam merespons isu-isu global seperti demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan tata kelola pemerintahan.⁵ Nilai-nilai fundamental Islam—seperti musyawarah, keadilan, dan tanggung jawab sosial—menawarkan kerangka alternatif yang dapat memperkaya percakapan global tentang politik dan etika publik. Dengan demikian, filsafat politik Islam tidak stagnan dalam kerangka historis, tetapi senantiasa bergerak adaptif, kritis, dan konstruktif.

Pada akhirnya, memahami filsafat politik Islam penting bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi dunia global. Ia menyediakan perspektif etis yang menyeimbangkan antara realitas politik dan nilai-nilai moral transendental, sesuatu yang kerap diabaikan dalam politik modern yang cenderung pragmatis.⁶ Dengan kontribusinya terhadap wacana global, filsafat politik Islam berpotensi menjadi sumber inspirasi dalam membangun tata dunia yang lebih adil, partisipatif, dan berlandaskan nilai kemanusiaan universal.⁷


Footnotes

[1]                Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), 12–15.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 181–186.

[3]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 167–172.

[4]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 135–140.

[5]                Wael B. Hallaq, Islamic Political Thought: An Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 215–220.

[6]                Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening (Oxford: Oxford University Press, 2012), 92–95.

[7]                John L. Esposito, The Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2010), 121–125.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2004). Islam and the challenge of democracy. Princeton University Press.

al-Farabi. (1995). al-Madina al-Fadhila. Dar al-Mashriq.

al-Ghazali. (1995). al-Iqtishad fi al-I‘tiqad. Dar al-Fikr.

al-Ghazali. (1997). al-Mustashfa min ‘ilm al-usul. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Juwayni. (1997). Ghiyath al-Umam fi iltiyath al-Zulam. Dar al-Minhaj.

al-Mawardi. (1994). al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dar al-Hadith.

al-Taymiyyah, I. (1998). al-Siyasah al-Shar‘iyyah. Maktabah al-Rusyd.

al-Farra’, A. Y. (1983). al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ali Abdul Raziq. (1925). al-Islam wa ushul al-hukm. Dar al-Ma‘arif.

An-Na‘im, A. A. (1990). Toward an Islamic reformation: Civil liberties, human rights, and international law. Syracuse University Press.

An-Na‘im, A. A. (2008). Islam and the secular state: Negotiating the future of shari‘a. Harvard University Press.

Asad, M. (1961). The principles of state and government in Islam. University of California Press.

Azmeh, A. al-. (1982). Ibn Khaldun in modern scholarship. Routledge.

Baqillani, al-. (1957). al-Tamhid fi usul al-din. Dar al-Mashriq.

Butterworth, C. E. (1977). Averroes’ three short commentaries on Aristotle’s “Topics,” “Rhetoric,” and “Poetics”. State University of New York Press.

Chittick, W. C. (2005). Ibn ‘Arabi: Heir to the prophets. Oneworld.

Crone, P. (2004). Medieval Islamic political thought. Edinburgh University Press.

Crone, P., & Zimmermann, F. (2001). The epistle of Salim ibn Dhakwan. Oxford University Press.

Esposito, J. L. (2010). The future of Islam. Oxford University Press.

Esposito, J. L., & Voll, J. O. (1996). Islam and democracy. Oxford University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Feldman, N. (2008). The fall and rise of the Islamic state. Princeton University Press.

Gellner, E. (1981). Muslim society. Cambridge University Press.

Gellner, E. (1992). Postmodernism, reason and religion. Routledge.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.

Hizb ut-Tahrir. (1999). The method to re-establish the caliphate. al-Khilafah Publications.

Hugh Kennedy. (2004). The prophet and the age of the caliphates (2nd ed.). Longman.

Hugh Kennedy. (2016). The caliphate: A Pelican introduction. Pelican.

Hallaq, W. B. (2001). Authority, continuity, and change in Islamic law. Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2010). Islamic political thought: An introduction. Edinburgh University Press.

Hallaq, W. B. (2013). The impossible state: Islam, politics, and modernity’s moral predicament. Columbia University Press.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.

Keddie, N. R. (1983). An Islamic response to imperialism: Political and religious writings of Sayyid Jamal ad-Din “al-Afghani”. University of California Press.

Lambton, A. K. S. (1981). State and government in medieval Islam. Oxford University Press.

Lapidus, I. M. (2002). A history of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge University Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Lewis, B. (1988). The political language of Islam. University of Chicago Press.

Madjid, N. (1987). Islam, kemodernan dan keindonesiaan. Mizan.

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of Islamic political philosophy. University of Chicago Press.

Mernissi, F. (1992). Islam and democracy: Fear of the modern world. Addison-Wesley.

Mitchell, R. P. (1969). The society of the Muslim Brothers. Oxford University Press.

Momen, M. (1985). An introduction to Shi‘i Islam. Yale University Press.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. George Allen & Unwin.

Noor, F. A. (2012). Islam on the move: The Tablighi Jama’at in Southeast Asia. Amsterdam University Press.

Organization of Islamic Cooperation. (1990). The Cairo declaration on human rights in Islam. OIC.

Qutb, S. (1964). Ma‘alim fi al-tariq. Dar al-Shuruq.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Ramadan, T. (2012). Islam and the Arab awakening. Oxford University Press.

Rashid Rida. (1922). al-Khilafah aw al-Imamah al-‘Uzma. al-Manar.

Rosenthal, E. I. J. (1958). Political thought in medieval Islam. Cambridge University Press.

Rosenthal, F. (1967). The Muqaddimah: An introduction to history (Trans.). Princeton University Press.

Sachedina, A. (2009). Islam and the challenge of human rights. Oxford University Press.

Strauss, L. (1959). What is political philosophy? University of Chicago Press.

Taylor, C. (2004). Modern social imaginaries. Duke University Press.

Wadud, A. (1999). Qur’an and woman: Rereading the sacred text from a woman’s perspective. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar