Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)
Sejarah, Konsep, dan Aplikasi
dalam Praktik Psikoterapi Modern
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT), sebuah pendekatan psikoterapi yang dikembangkan
oleh Albert Ellis pada pertengahan abad ke-20 dan menjadi salah satu fondasi
penting terapi kognitif-perilaku modern. Kajian diawali dengan tinjauan sejarah
lahirnya REBT, konteks pemikiran Albert Ellis, serta transformasi terminologi
dan institusionalisasi pendekatan ini. Secara filosofis, REBT berakar pada
tradisi Stoa dan General Semantics yang menekankan peran penilaian rasional
dalam membentuk pengalaman emosional. Konsep inti REBT, termasuk pembedaan
keyakinan rasional dan irasional, model ABC/ABCDE, distorsi kognitif,
serta prinsip unconditional acceptance, menjadi landasan utama bagi
intervensi terapeutik.
Artikel ini juga menguraikan strategi intervensi yang
mencakup teknik kognitif, emotif, dan behavioral, dengan peran aktif terapis sebagai
fasilitator dalam proses restrukturisasi keyakinan klien. Bukti empiris dari
studi kasus, uji klinis, dan meta-analisis menunjukkan efektivitas REBT dalam
mengatasi gangguan emosional seperti kecemasan, depresi, adiksi, serta
meningkatkan resiliensi dalam pendidikan, organisasi, dan olahraga. Namun, REBT
menghadapi kritik filosofis (rasionalistik dan direktif), metodologis (kurang
penelitian komparatif berskala besar), serta tantangan kultural dan
spiritualitas.
Dalam konteks kontemporer, REBT tetap relevan dengan
integrasinya dalam kerangka CBT modern, pemanfaatannya dalam terapi
digital, serta kontribusinya pada psikologi positif. Artikel ini menegaskan
bahwa REBT bukan hanya intervensi klinis, melainkan juga filosofi praktis
kehidupan yang menekankan tanggung jawab pribadi, penerimaan tanpa syarat, dan
pemikiran rasional sebagai fondasi kesehatan mental.
Kata kunci: Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Albert Ellis,
psikoterapi kognitif-perilaku, keyakinan rasional dan irasional, model ABC,
disputasi kognitif, psikologi positif, terapi digital.
PEMBAHASAN
Rational Emotive Behavior
Therapy (REBT)
1.          
Pendahuluan
Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT) diperkenalkan oleh Albert
Ellis pada pertengahan 1950-an sebagai salah satu pionir psikoterapi
kognitif-behavioral modern. Pada mulanya Ellis menyebut pendekatannya “rational
therapy,” kemudian “rational emotive therapy (RET),”
dan akhirnya pada 1990-an ia menegaskan komponen perilaku dengan nama REBT.¹
Perubahan nomenklatur ini mencerminkan pergeseran dari sekadar disputasi
kognitif menuju strategi yang secara eksplisit menargetkan emosi dan perilaku
sebagai keluaran klinis.² Di dalam sejarah terapi kognitif-perilaku, REBT kerap
diposisikan sebagai bentuk paling awal yang, bersama terapi kognitif Aaron T.
Beck, meletakkan fondasi bagi rumpun CBT kontemporer.³ 
Secara filosofis,
REBT bertolak dari premis klasik bahwa manusia tidak diguncang oleh peristiwa
eksternal itu sendiri, melainkan oleh keyakinan/penilaiannya terhadap
peristiwa tersebut—sebuah gagasan yang jejaknya tampak jelas pada etika Stoa
(misalnya Epictetus, Enchiridion,
bab 5).⁴ Ellis memformulasikan premis ini ke dalam model
ABC: A (activating event), B
(belief),
dan C
(consequence—emosi
dan perilaku). Dengan demikian, tugas terapi adalah mengidentifikasi dan
melemahkan keyakinan irasional yang kaku,
ekstrem, dan tidak logis, sembari menumbuhkan keyakinan rasional yang
fleksibel dan sejalan dengan realitas, agar konsekuensi emosional-perilaku
menjadi lebih adaptif.⁵ Pendekatan ini tidak hanya menyatukan kerja kognitif,
emotif, dan behavioral dalam satu kerangka, melainkan juga memberi fokus khas
pada evaluative
beliefs (bukan sekadar pikiran deskriptif), yang menjadi
pembeda utama REBT dari bentuk CBT lainnya.⁶ 
Sejak publikasi
awal—mulai dari makalah 1955–1956 hingga monograf klasik Reason
and Emotion in Psychotherapy (1962)—Ellis menekankan bahwa
perubahan emosi dan perilaku yang berkelanjutan menuntut restrukturisasi
keyakinan yang mendasarinya melalui disputasi (menantang B),
pemodelan respons emosional yang sehat, serta eksperimen perilaku terarah.⁷
Melalui strategi-strategi itu, REBT ditujukan bukan semata “menghilangkan
gejala,” tetapi mengembangkan ketahanan rasional (rational
resilience) berbasis tanggung jawab pribadi dan penerimaan tanpa syarat
terhadap diri.⁸ 
Dalam
perkembangannya, bukti ilmiah terhadap REBT semakin mapan. Meta-analisis
komprehensif selama 50 tahun penelitian menunjukkan efek
sedang (medium) REBT terhadap berbagai luaran klinis (d ≈
0,56–0,58) serta terhadap penurunan keyakinan irasional (d ≈
0,61–0,70) pada post-test dan follow-up.⁹
Tinjauan sistematis terbaru (disaring hingga Desember 2023) kembali
menegaskan bahwa intervensi REBT secara konsisten mengurangi
keyakinan irasional, meningkatkan keyakinan rasional, dan memperbaiki luaran
kesehatan mental (mis. depresi dan kecemasan), dengan hasil
yang cenderung lebih baik bila mengikuti kerangka ABC, dipandu praktisi
terlatih, dan berdurasi lebih panjang.¹⁰ Temuan-temuan ini
menempatkan REBT sebagai intervensi berbasis bukti yang relevan lintas
domain—klinik, pendidikan, organisasi, coaching, hingga konseling—serta
selaras dengan lompatan metodologis CBT yang lebih luas.¹¹ 
Meskipun demikian,
agenda riset dan praktik REBT kontemporer masih menuntut penguatan pada mediasi
mekanisme perubahan (apakah perbaikan luaran klinis memang “digerakkan”
oleh modifikasi keyakinan), pelaporan standar protokol,
serta adaptasi
lintas budaya dan ranah spiritual/keagamaan dalam implementasi
praktik.¹² Kerangka artikel ini, karenanya, akan menelusuri (1) sejarah dan
landasan teoretis REBT; (2) konsep-konsep intinya (rasional vs. irasional,
model ABC, dan mekanisme perubahan); (3) teknik intervensi (kognitif, emotif,
dan behavioral) beserta peran terapis; (4) peta bukti efektivitas dan aplikasi
lintas konteks; (5) kritik dan tantangan mutakhir; serta (6) relevansi
kontemporer REBT pada era psikologi positif dan layanan psikologis berbasis
teknologi.
Footnotes
[1]               
Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” American Psychologist
(manuskrip kuliah, 1956); versi PDF, Albert Ellis Institute, diakses 27 Agustus
2025, Rational-Psychotherapy.pdf. (albertellis.org)
[2]               
Howard E. Tinsley, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT): Theory
and Practice,” dalam Counseling and Psychotherapy Theories in Context and
Practice, ed. John Sommers-Flanagan dkk., (Thousand Oaks, CA: SAGE, 2015),
9–10 (naskah bab PDF), diakses 27 Agustus 2025. (SAGE Publications)
[3]               
Daniel David dkk., “50 Years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal
of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, jclp.22514; lihat juga bagian pengantar artikel versi akses
terbuka. (PMC)
[4]               
Epictetus, The Enchiridion (Manual), bab 5, edisi daring
Wikisource, diakses 27 Agustus 2025, The_Encheiridion,_or_Manual. (Wikisource)
[5]               
Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational
and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in
Psychology 7 (2016): 1423, doi.org. (Frontiers, PMC)
[6]               
David dkk., “50 Years of REBT…,” 306–308 (pembedaan evaluative
beliefs dalam REBT), versi akses terbuka. (PMC)
[7]               
Albert Ellis, “New Approaches to Psychotherapy Techniques,” Journal
of Clinical Psychology 11, no. 3 (1955): 207–260; serta Albert Ellis, Reason
and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962). Rincian
bibliografis edisi 1962 dapat ditelusuri pada katalog/indeks buku. (PubMed, Google Books)
[8]               
Windy Dryden dan Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive
Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer/Albert Ellis Institute,
2001/2003); lihat rilis produk institusi untuk uraian struktur praktik. (albertellis.org,
Springer Publishing Company)
[9]               
David dkk., “50 Years of REBT…,” Journal of Clinical Psychology
74, no. 3 (2018): ringkasan hasil efek sedang pada luaran klinis dan keyakinan
(lihat abstrak dan tabel). (PMC)
[10]            
A. M. King dkk., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of
Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7
(2024): e0299726 (PMCID: PMC11232995), diakses 27 Agustus 2025. (PMC)
[11]            
David dkk., “50 Years of REBT…,” bagian praktik lintas domain (klinik,
pendidikan, organisasi, konseling). (PMC)
[12]            
King dkk., “Systematic Review…,” bagian Introduction dan Conclusions
(kebutuhan metodologis ke depan). (PMC)
2.          
Sejarah dan Latar Belakang REBT
2.1.      
Konteks Historis
Lahirnya REBT (1950–1960-an)
REBT lahir dari
kegelisahan Albert Ellis terhadap dominasi pendekatan psikoanalitik pascaperang
yang dinilai terlalu panjang, retrospektif, dan kurang berorientasi pada
perubahan yang terukur. Sejak pertengahan 1950-an Ellis mulai memformulasikan
teknik aktif-direktif
yang mendorong partisipasi klien, ia rangkum dalam monograf “New
Approaches to Psychotherapy Techniques” (1955) dan makalah kunci “Rational
Psychotherapy” (1956).¹² Gagasan-gagasan ini kemudian
dipublikasikan lebih sistematis dalam artikel jurnal (1958) dan mencapai bentuk
monumental melalui buku Reason and Emotion in Psychotherapy
(1962), yang menegaskan integrasi proses kognitif, emotif, dan perilaku dalam
perubahan psikologis.³⁴ 
2.2.      
Evolusi Terminologi
dan Institusionalisasi
Secara nomenklatur,
pendekatan Ellis berawal dari rational therapy (RT),
berkembang menjadi rational emotive therapy (RET),
lalu—untuk menegaskan komponen perilaku—resmi diubah menjadi rational
emotive behavior therapy (REBT) pada 1995. Keputusan ini
dijelaskan sendiri oleh Ellis dalam artikel “Changing Rational-Emotive
Therapy (RET) to Rational Emotive Behavior Therapy (REBT).”⁵ Di tingkat
kelembagaan, penyebaran praktik dan pelatihan REBT difasilitasi oleh berdirinya
Institute
for Rational Living (kini Albert Ellis Institute, AEI)
yang dilegalisir
2 April 1959 di New York; institusi ini menjadi pusat
penelitian, pelatihan, dan layanan berbasis REBT.⁶ 
2.3.      
Landasan Konseptual
dan Falsafati
Inti doktrin REBT
dirangkum dalam model ABC—A
(activating
event), B (belief), C
(consequence
berupa emosi & perilaku)—serta ekspansinya menjadi ABCDE
dengan D
(disputation) dan E (effective new belief/ philosophy).
Rumusan ini menempatkan evaluative beliefs (keyakinan
penilai) sebagai penggerak utama reaksi emosional-perilaku; dengan demikian
terapi memfokuskan diri pada identifikasi-disputasi keyakinan irasional yang
kaku, ekstrem, dan tidak logis.⁷ Model tersebut berakar pada pandangan
Stoik—terutama Epictetus—bahwa manusia tidak
diguncang oleh peristiwa itu sendiri, melainkan oleh penilaiannya atas
peristiwa (lihat Enchiridion).⁸ Pengaruh Stoik pada
REBT juga dicatat dalam riset sejarah terapi kognitif modern, termasuk telaah
kontemporer mengenai tradisi klasik dalam psikologi.⁹ Di luar Stoik, Ellis
mengakui General Semantics Alfred
Korzybski sebagai pengaruh epistemik (bahasa-makna) yang memperkaya fokus REBT
pada cara orang “memberi makna” terhadap kejadian.¹⁰¹¹ 
2.4.      
Posisi REBT dalam
Genealogi CBT dan Diferensiasinya
Dalam sejarah cognitive-behavioral
therapies (CBT), REBT kerap dipandang sebagai pilar
awal berdampingan dengan Cognitive Therapy (CT) dari
Aaron T. Beck. Tinjauan sistematis selama setengah abad penelitian menunjukkan
REBT berperan sentral dalam memetakan mekanisme perubahan melalui modifikasi
keyakinan—dengan efek klinis yang konsisten pada beragam luaran.¹² Di sisi
perbedaan, literatur mutakhir menekankan bahwa REBT lebih menarget keyakinan
irasional yang bersifat filosofis-evaluatif (mis., demandingness,
awfulizing),
sedangkan CT lebih menekankan automatic thoughts dan skema
spesifik gangguan; pendekatan terapetik REBT juga relatif lebih
direktif-persuasif.¹³ 
2.5.      
Penelitian Awal,
Konsolidasi, dan Perkembangan Lanjut
Sejak 1957 Ellis
mulai melaporkan hasil awal penggunaan teknik
rasional-emotif dalam Journal of Clinical Psychology,
disusul serial publikasi yang memperluas fondasi teoretis dan praktis (1958,
1962, dan seterusnya).¹⁴¹⁵¹⁶ Ulasan akademik atas karya 1962 menegaskan
ciri-ciri yang masih relevan hingga kini: kesaling-terkaitan
kognisi-emosi-perilaku, peran sentral kognisi dalam gangguan psikologis, serta
penekanan pada self-acceptance yang rasional.¹⁷
Seiring institusionalisasi AEI dan berkembangnya pelatihan klinis, REBT
dikembangkan dan diadaptasi lintas domain (klinik, pendidikan, organisasi),
hingga—dalam peta riset modern—diakui sebagai intervensi berbasis bukti yang
tetap berevolusi.¹² 
Footnotes
[1]               
Albert Ellis, “New Approaches to Psychotherapy Techniques,” Journal
of Clinical Psychology 11, no. 3 (1955): 207–260. (PubMed, Wiley Online Library)
[2]               
Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” naskah presentasi APA, 31
Agustus 1956 (PDF, Albert Ellis Institute). (albertellis.org)
[3]               
Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General
Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49.. (PubMed)
[4]               
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York:
Lyle Stuart, 1962). (Internet Archive)
[5]               
Albert Ellis, “Changing Rational-Emotive Therapy (RET) to Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT),” Journal of Rational-Emotive &
Cognitive-Behavior Therapy 13 (1995): 85–89. (SpringerLink)
[6]               
Albert Ellis Institute, “Organizational History,” diakses 27 Agustus
2025. (Pencatatan pendirian 2 April 1959). (albertellis.org)
[7]               
Albert Ellis, “Emotional Disturbance and Its Treatment in a Nutshell:
The ABCs,” PDF, Albert Ellis Institute. (albertellis.org)
[8]               
Epictetus, Enchiridion, terj. edisi daring (MIT Classics). (Internet
Classics Archive)
[9]               
Andrea E. Cavanna, “The Western Origins of Mindfulness Therapy in
Ancient Rome,” Behavioral Sciences 13, no. 6 (2023): 479. (Menautkan
pengaruh Epictetus pada REBT). (PMC)
[10]            
“The Role of General Semantics in REBT,” Albert Ellis Institute (blog),
2014. (albertellis.org)
[11]            
Martin H. Levinson, “Alfred Korzybski and Rational Emotive Behavior
Therapy,” ETC: A Review of General Semantics 67, no. 1 (2010): 55–63.
(JSTOR)
[12]            
Daniel David et al., “50 Years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal
of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318. (Versi akses terbuka di
PubMed Central). (PMC, Wiley Online Library)
[13]            
P. Young, “To iB or Not to iB, That is the Question: On the Differences
Between Ellis’ REBT and Beck’s CT,” The Cognitive Behaviour Therapist
16 (2023): e32. (Cambridge University Press & Assessment)
[14]            
Albert Ellis, “Outcome of Employing Three Techniques of Psychotherapy,”
Journal of Clinical Psychology 13, no. 4 (1957): 344–350. (Wiley Online Library)
[15]            
Lihat juga kompilasi rujukan primer sekunder dalam J. C. Overholser,
“Rational-Emotive Behavior Therapy: An Interview with Dr. Albert Ellis,” Journal
of Contemporary Psychotherapy 33 (2003): 187–196. (SpringerLink)
[16]            
W. Dryden, “Reason and Emotion in Psychotherapy: Albert Ellis,” Psychotherapy
and Psychosomatics 61, no. 3–4 (1994): ulasan ringkas (PubMed). (PubMed)
3.          
Landasan Filosofis dan Teoretis REBT
3.1.      
Prinsip Dasar
Rasionalitas dan Irasionalitas
Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk
berpikir (homo
sapiens) sekaligus makhluk emosional. Albert Ellis menegaskan bahwa
penderitaan psikologis terutama berasal dari beliefs (keyakinan) yang
irasional—keyakinan absolut, dogmatis, dan tidak logis yang memengaruhi respons
emosional dan perilaku.¹ Dengan kata lain, problem psikologis tidak ditentukan
oleh peristiwa (activating event) itu sendiri, tetapi
oleh interpretasi atau penilaian seseorang atas peristiwa tersebut.²
Ellis membedakan dua
kategori utama keyakinan: rasional dan irasional.
Keyakinan rasional bersifat fleksibel, logis, dan sesuai realitas, sehingga
menghasilkan emosi sehat (healthy negative emotions) seperti
kesedihan, penyesalan, atau kekecewaan. Sebaliknya, keyakinan irasional
bersifat absolutistik (misalnya, “saya harus selalu berhasil” atau “orang
lain tidak boleh mengecewakan saya”), yang memunculkan emosi
disfungsional seperti depresi, kemarahan patologis, atau kecemasan berlebihan.³
3.2.      
Model ABC dan Ekspansi
ke ABCDE
Konseptualisasi
teoretis REBT terletak pada Model ABC. Ellis merumuskannya
sebagai:
·                    
A (Activating
Event): peristiwa pemicu;
·                    
B (Belief):
keyakinan individu terhadap peristiwa tersebut;
·                    
C (Consequence):
konsekuensi emosional dan perilaku.
Kemudian model ini
diperluas menjadi ABCDE, di mana D
(Disputation) merujuk pada proses menantang keyakinan
irasional, dan E (Effective new philosophy)
menandai keyakinan baru yang lebih sehat.⁴ Model ini menekankan bahwa inti
terapi bukan hanya menyadarkan klien akan adanya keyakinan disfungsional,
tetapi juga mengubahnya secara aktif melalui teknik disputasi.
3.3.      
Akar Filsafat Stoa
Landasan filosofis
REBT banyak dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Ellis mengutip Enchiridion
karya Epictetus,
yang menyatakan bahwa manusia tidak terganggu oleh peristiwa itu sendiri,
tetapi oleh opini mereka tentang peristiwa tersebut (“Men are
disturbed not by things, but by the views which they take of things”).⁵
Prinsip inilah yang diadaptasi Ellis ke dalam kerangka psikoterapi modern.
Pengaruh Stoik bukan
hanya soal kognisi, tetapi juga aspek etika. Stoa mengajarkan pentingnya ataraxia
(ketenangan batin) melalui pengendalian diri dan pemikiran rasional. Hal ini sejalan
dengan tujuan REBT untuk mengajarkan klien menerima kenyataan, mengurangi “demandingness,”
dan mengembangkan sikap toleransi frustrasi.⁶
3.4.      
Pengaruh General
Semantics dan Filsafat Bahasa
Selain Stoa, Ellis
juga terinspirasi oleh General Semantics Alfred
Korzybski, yang menekankan hubungan antara bahasa, makna, dan perilaku.⁷
Korzybski menyatakan bahwa bahasa dapat membatasi atau membebaskan cara manusia
memandang realitas, sehingga penyalahgunaan bahasa dapat memperkuat keyakinan
irasional.⁸ Dalam REBT, hal ini diwujudkan melalui perhatian khusus pada bahasa
internal (self-talk).
Misalnya, penggunaan istilah “harus” (musturbation, menurut Ellis)
dianggap sebagai bentuk absolutisme linguistik yang menumbuhkan penderitaan
emosional.⁹
3.5.      
Teori Emosi dan
Perilaku
Secara teoretis,
REBT memandang emosi, kognisi, dan perilaku sebagai sistem yang saling
terkait.¹⁰ Hal ini berbeda dengan pendekatan psikoanalisis yang lebih
menekankan dinamika bawah sadar, atau behaviorisme murni yang menekankan
stimulus-respons. REBT menegaskan bahwa perubahan psikologis harus mencakup
tiga dimensi: restrukturisasi kognisi, regulasi emosi, dan modifikasi
perilaku.¹¹
3.6.      
Posisi dalam Kerangka
Cognitive-Behavioral Therapy
Dalam genealogi Cognitive
Behavioral Therapy (CBT), REBT sering dianggap sebagai salah
satu pionir yang mendahului Cognitive Therapy (CT) Aaron T.
Beck. Bedanya, REBT lebih menekankan evaluative beliefs yang
bersifat filosofis (misalnya, awfulizing, demandingness,
dan low
frustration tolerance), sedangkan CT lebih fokus pada automatic
thoughts dan skema kognitif spesifik.¹² Oleh karena itu, REBT dapat
dikatakan lebih normatif-filosofis, sedangkan CT lebih empiris-klinis.¹³
Footnotes
[1]               
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York:
Lyle Stuart, 1962), 54–57.
[2]               
Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General
Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49. doi.org.
[3]               
Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational
and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in
Psychology 7 (2016): 1423. doi.org.
[4]               
Windy Dryden and Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive
Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 11–15.
[5]               
Epictetus, Enchiridion, trans. W.A. Oldfather (Cambridge:
Harvard University Press, 1925), §5.
[6]               
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London:
Teach Yourself, 2013), 78–85.
[7]               
Alfred Korzybski, Science and Sanity: An Introduction to
Non-Aristotelian Systems and General Semantics, 5th ed. (Brooklyn, NY:
Institute of General Semantics, 1994).
[8]               
Martin H. Levinson, “Alfred Korzybski and Rational Emotive Behavior
Therapy,” ETC: A Review of General Semantics 67, no. 1 (2010): 55–63.
[9]               
Albert Ellis, How to Stubbornly Refuse to Make Yourself Miserable
about Anything—Yes, Anything! (Secaucus, NJ: Lyle Stuart, 1988), 23–25.
[10]            
Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and
Irrational Beliefs: A Historical and Conceptual Perspective,” Journal of
Cognitive Psychotherapy 24, no. 3 (2010): 179–192.
[11]            
Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A
Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New
York: Oxford University Press, 2014), 27–30.
[12]            
Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal
of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318. doi.org.
[13]            
Paul Young, “To iB or Not to iB, That is the Question: On the
Differences Between Ellis’ REBT and Beck’s CT,” The Cognitive Behaviour
Therapist 16 (2023): e32.
4.          
Konsep Inti dalam REBT
4.1.      
Keyakinan Rasional dan
Irasional
Salah satu konsep
inti REBT adalah pembedaan antara keyakinan rasional (rational
beliefs) dan keyakinan irasional (irrational
beliefs). Menurut Albert Ellis, keyakinan rasional bersifat
fleksibel, logis, sesuai dengan realitas, serta mendukung pencapaian tujuan
hidup jangka panjang.¹ Sebaliknya, keyakinan irasional bersifat absolutistik,
dogmatis, dan tidak realistis, yang biasanya diekspresikan melalui pola pikir “harus”
(must),
“seharusnya” (should), atau “tidak boleh”
(must not).²
Keyakinan irasional inilah yang menghasilkan emosi disfungsional, seperti
kecemasan ekstrem, depresi berat, atau kemarahan patologis.³
Ellis
mengidentifikasi sejumlah “irrational beliefs” umum,
misalnya: (1) tuntutan absolut untuk selalu dicintai dan diterima; (2)
keyakinan bahwa seseorang harus selalu sempurna; (3) persepsi bahwa kegagalan
adalah bencana; dan (4) intoleransi terhadap frustrasi.⁴ Keyakinan semacam ini
menjadi inti dari problem psikologis yang dialami klien dan menjadi target
utama dalam terapi.
4.2.      
Distorsi Kognitif dan
Pola Pikir Disfungsional
Dalam REBT, distorsi
kognitif bukan sekadar kesalahan berpikir, tetapi refleksi dari keyakinan
evaluatif yang irasional.⁵ Di antara distorsi kognitif yang khas adalah:
·                    
Demandingness:
keyakinan absolut, misalnya “Saya harus selalu berhasil.”
·                    
Awfulizing:
kecenderungan melebih-lebihkan keburukan situasi (“Ini benar-benar bencana
besar”).
·                    
Low Frustration
Tolerance (LFT): keyakinan bahwa seseorang tidak sanggup menanggung
kesulitan (“Saya tidak bisa hidup bila gagal”).
·                    
Global Evaluation
of Self/Other/Life: menilai diri, orang lain, atau kehidupan secara
keseluruhan dengan label negatif (“Saya orang gagal total”).⁶
Pola pikir ini
melahirkan emosi disfungsional dan perilaku maladaptif. Oleh karena itu, REBT
menekankan pentingnya mengidentifikasi, menantang, dan mengganti distorsi
kognitif tersebut dengan keyakinan yang lebih rasional.⁷
4.3.      
Self-Talk dan Dialog
Internal
Komponen penting
lain dalam REBT adalah self-talk atau dialog internal.
Ellis menegaskan bahwa sebagian besar gangguan emosional dipelihara oleh
monolog internal yang irasional, yang terus-menerus memperkuat keyakinan
disfungsional.⁸ Misalnya, pernyataan diri seperti “Saya harus selalu disukai”
atau “Saya tidak boleh gagal” menjadi bentuk self-talk yang memperburuk
kecemasan dan harga diri rendah.
Melalui proses
terapi, klien diajarkan untuk menyadari self-talk irasional ini, kemudian
melatih self-talk
rasional yang lebih adaptif. Proses ini tidak hanya melibatkan restrukturisasi
kognitif, tetapi juga praktik perilaku (misalnya, shame-attacking exercises) untuk
menantang keyakinan disfungsional dalam kehidupan nyata.⁹
4.4.      
Peran Nilai, Tanggung
Jawab Pribadi, dan Kebebasan Pilihan
Selain fokus pada
kognisi, REBT juga menekankan aspek filosofis berupa tanggung
jawab pribadi dan pilihan bebas. Ellis
berpendapat bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengevaluasi dan mengubah
keyakinannya secara sadar.¹⁰ Oleh karena itu, terapi bukan sekadar mengurangi
gejala, melainkan juga membekali individu dengan filosofi hidup yang lebih
rasional, humanistik, dan realistis.
Ellis juga
menekankan konsep unconditional self-acceptance (USA),
unconditional
other-acceptance (UOA), dan unconditional life-acceptance (ULA).¹¹
Ketiga prinsip ini membantu klien untuk menerima diri, orang lain, dan realitas
kehidupan apa adanya, tanpa tuntutan absolut atau penilaian global yang
ekstrem. Hal ini membedakan REBT dari bentuk terapi kognitif lain yang lebih
menekankan skema atau pikiran otomatis.
Footnotes
[1]               
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York:
Lyle Stuart, 1962), 54–57.
[2]               
Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General
Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49, doi.org.
[3]               
Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A
Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New
York: Oxford University Press, 2014), 28–30.
[4]               
Albert Ellis and Windy Dryden, The Practice of Rational Emotive
Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 25–27.
[5]               
Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and
Irrational Beliefs: A Historical and Conceptual Perspective,” Journal of
Cognitive Psychotherapy 24, no. 3 (2010): 179–192.
[6]               
Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive
Features (London: Routledge, 2009), 17–22.
[7]               
Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational
and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in
Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.
[8]               
Albert Ellis, How to Stubbornly Refuse to Make Yourself Miserable
about Anything—Yes, Anything! (Secaucus, NJ: Lyle Stuart, 1988), 19–21.
[9]               
DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT,
32–35.
[10]            
Ellis and Dryden, The Practice of REBT, 30–32.
[11]            
Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and
Irrational Beliefs…,” 185–187.
5.          
Teknik dan Strategi Intervensi
5.1.      
Pendekatan Umum dalam
REBT
Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) menekankan intervensi aktif-direktif yang
difasilitasi oleh terapis untuk membantu klien mengidentifikasi, menantang, dan
mengganti keyakinan irasional dengan keyakinan rasional.¹ Ellis berpendapat
bahwa terapi yang hanya berfokus pada eksplorasi masa lalu atau pemahaman bawah
sadar tidak cukup untuk membawa perubahan, sehingga REBT dikembangkan dengan
kombinasi teknik kognitif, emotif, dan behavioral.² Pendekatan integratif ini
bertujuan menghasilkan perubahan menyeluruh dalam pikiran, emosi, dan
tindakan.³
5.2.      
Teknik Kognitif
Komponen kognitif
menjadi jantung REBT. Teknik ini difokuskan pada restrukturisasi keyakinan
irasional melalui disputasi (disputation).⁴
Terapis berperan sebagai fasilitator aktif yang menantang klien dengan
pertanyaan-pertanyaan kritis seperti:
·                    
Apakah keyakinan ini logis
atau ilmiah?
·                    
Apakah keyakinan ini
bermanfaat dalam jangka panjang?
·                    
Apakah ada bukti nyata
mendukung keyakinan tersebut?
Beberapa strategi
kognitif yang khas antara lain:
·                    
Socratic
questioning: penggunaan pertanyaan sistematis untuk mengevaluasi
validitas keyakinan.
·                    
Reframing:
mengubah perspektif klien terhadap peristiwa agar lebih adaptif.
·                    
Bibliotherapy:
penggunaan bacaan rasional atau tulisan terapis untuk mendukung perubahan
kognitif.⁵
Teknik kognitif ini
membantu klien memahami bahwa keyakinan absolut seperti “saya
harus selalu disukai” tidak realistis, dan dapat diganti dengan
keyakinan yang lebih rasional seperti “saya ingin disukai, tetapi saya tetap bisa menerima diri meski ada orang
yang tidak menyukai saya.”⁶
5.3.      
Teknik Emotif
Selain
restrukturisasi kognitif, REBT juga menekankan pentingnya latihan
emotif untuk membantu klien mengalami perubahan emosional
secara langsung. Ellis menilai bahwa perubahan rasional semata sering tidak
cukup bila tidak diinternalisasi pada level emosional.⁷ Teknik emotif mencakup:
·                    
Role playing:
klien memainkan peran dalam situasi tertentu untuk mengeksplorasi respons
emosional baru.
·                    
Imagery techniques:
membayangkan situasi menantang sambil mempraktikkan respons rasional.
·                    
Shame-attacking
exercises: klien sengaja melakukan tindakan kecil yang memalukan untuk
menurunkan sensitivitas terhadap penilaian sosial.⁸
Latihan emotif ini
bertujuan membantu klien tidak hanya “berpikir rasional” tetapi juga “merasakan”
secara rasional, sehingga keyakinan baru benar-benar melekat dalam pengalaman
emosional mereka.⁹
5.4.      
Teknik Behavioral
REBT menegaskan
bahwa perubahan keyakinan dan emosi harus diwujudkan dalam perilaku nyata.
Karena itu, berbagai teknik behavioral digunakan, antara lain:
·                    
Homework
assignments: tugas praktik di luar sesi terapi untuk menguji keyakinan
rasional dalam kehidupan sehari-hari.
·                    
Behavioral
rehearsal: melatih perilaku baru melalui simulasi.
·                    
Exposure:
menghadapi situasi yang ditakuti untuk mengurangi kecemasan.
·                    
Reinforcement:
memberikan penguatan positif ketika klien berhasil menerapkan perilaku baru.¹⁰
Integrasi teknik ini
memastikan klien tidak hanya memahami konsep rasional secara abstrak, tetapi
juga menginternalisasinya melalui praktik nyata.¹¹
5.5.      
Peran Terapis dalam
REBT
Dalam REBT, terapis
berperan sebagai pendidik dan fasilitator, bukan
sekadar pendengar pasif. Ellis menyebut pendekatan ini sebagai “didactic-educational”,
karena terapis secara eksplisit mengajarkan klien cara berpikir lebih
rasional.¹² Terapis aktif memberikan umpan balik, menantang keyakinan,
mengajarkan teknik disputasi, dan memberi tugas perilaku. Namun demikian,
tujuan akhir bukanlah ketergantungan pada terapis, melainkan agar klien mampu
menjadi “filosof pribadi” yang mandiri dalam mengelola pikiran dan emosinya.¹³
5.6.      
Integrasi Teknik
Kognitif, Emotif, dan Behavioral
Efektivitas REBT
bergantung pada integrasi ketiga dimensi teknik tersebut. Kognitif membantu
mengubah cara berpikir, emotif memperkuat perubahan pada level afektif, dan
behavioral memastikan perubahan terwujud dalam tindakan nyata.¹⁴ Pendekatan
integratif ini menjadikan REBT sebagai salah satu bentuk terapi yang
komprehensif, efektif dalam berbagai gangguan seperti kecemasan, depresi, dan
gangguan kepribadian.¹⁵
Footnotes
[1]               
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York:
Lyle Stuart, 1962), 35–40.
[2]               
Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General
Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49, doi.org.
[3]               
Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A
Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New
York: Oxford University Press, 2014), 41–43.
[4]               
Windy Dryden and Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive
Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 15–18.
[5]               
Raymond DiGiuseppe and Kristene Doyle, “Cognitive Techniques in REBT,”
in Cognitive-Behavioral Theories of Counseling (New York: Springer,
2013), 102–105.
[6]               
Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational
and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in
Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.
[7]               
Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and
Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst,
NY: Prometheus Books, 2001), 60–65.
[8]               
Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive
Features (London: Routledge, 2009), 45–47.
[9]               
DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT,
50–53.
[10]            
Albert Ellis and Raymond DiGiuseppe, “Are Homework Assignments
Necessary in REBT?” Cognitive Therapy and Research 17, no. 2 (1993):
111–120.
[11]            
Dryden and Ellis, The Practice of REBT, 35–38.
[12]            
Albert Ellis, How to Stubbornly Refuse to Make Yourself Miserable
about Anything—Yes, Anything! (Secaucus, NJ: Lyle Stuart, 1988), 90–92.
[13]            
DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT,
58–60.
[14]            
Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and
Irrational Beliefs: A Historical and Conceptual Perspective,” Journal of
Cognitive Psychotherapy 24, no. 3 (2010): 179–192.
[15]            
Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal
of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.
6.          
Efektivitas dan Aplikasi REBT
6.1.      
Efektivitas dalam
Konteks Klinis
Selama lebih dari
enam dekade, Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)
telah diuji melalui penelitian eksperimental, studi kasus, serta meta-analisis.
Secara umum, bukti ilmiah menunjukkan bahwa REBT memiliki efek
sedang hingga tinggi dalam mengurangi berbagai gangguan
psikologis, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan stres.¹ Meta-analisis
komprehensif selama 50 tahun riset menunjukkan bahwa REBT konsisten efektif
dalam mengurangi keyakinan irasional,
meningkatkan keyakinan rasional, serta
memperbaiki kesejahteraan emosional, dengan nilai efek Cohen’s
d sekitar 0,56–0,70 pada berbagai luaran klinis.²
Secara khusus, REBT
terbukti efektif pada gangguan kecemasan sosial, fobia, depresi klinis, serta
kecemasan kinerja.³ Selain itu, penelitian pada populasi atlet menunjukkan
bahwa intervensi REBT dapat menurunkan kecemasan kompetitif dan meningkatkan
ketahanan psikologis.⁴ Hal ini memperlihatkan fleksibilitas REBT dalam
menangani masalah emosional baik dalam konteks klinis maupun performatif.
6.2.      
Aplikasi dalam
Pendidikan
Di bidang pendidikan,
REBT telah diadaptasi dalam konseling sekolah untuk membantu siswa mengatasi
stres akademik, meningkatkan regulasi emosi, dan mengurangi perilaku
maladaptif.⁵ Prinsip REBT seperti unconditional self-acceptance
dan low
frustration tolerance training digunakan untuk membangun daya
tahan siswa terhadap kegagalan dan kritik.
Studi terbaru juga
menunjukkan bahwa penerapan REBT dalam program bimbingan konseling mampu
meningkatkan self-efficacy akademik serta
menurunkan tingkat kecemasan menghadapi ujian.⁶ Guru dan konselor sekolah dapat
menggunakan model REBT sebagai pendekatan preventif untuk memperkuat kesehatan
mental siswa, sehingga REBT memiliki kontribusi signifikan terhadap dunia
pendidikan.
6.3.      
Aplikasi dalam
Organisasi dan Dunia Kerja
Selain dalam ranah
klinis dan pendidikan, REBT juga diaplikasikan dalam organisasi dan tempat
kerja. Program pelatihan berbasis REBT digunakan untuk meningkatkan manajemen
stres, kecerdasan emosional, dan resiliensi
karyawan.⁷
Misalnya, latihan disputasi
kognitif dapat membantu pekerja mengurangi keyakinan irasional
terkait tekanan kerja, sementara teknik shame-attacking dapat
menurunkan rasa takut terhadap kritik atau kegagalan.⁸ Studi intervensi pada
manajer perusahaan menunjukkan bahwa REBT mampu menurunkan tingkat burnout
serta meningkatkan kepuasan kerja.⁹ Dengan demikian, REBT dapat dianggap
sebagai intervensi transformatif tidak hanya di ranah klinis, tetapi juga dalam
occupational
health psychology.
6.4.      
Aplikasi pada Isu
Adiksi dan Perilaku Risiko
REBT juga digunakan
dalam menangani perilaku adiktif seperti
penyalahgunaan zat, alkohol, serta perilaku adiksi non-substansi. Terapi
diarahkan pada identifikasi keyakinan irasional yang menopang perilaku adiksi,
misalnya “Saya
tidak bisa hidup tanpa zat ini” atau “Saya harus segera merasa
tenang dengan cara instan.”¹⁰ Melalui disputasi dan latihan perilaku, klien
diajak mengembangkan pola pikir rasional untuk menahan dorongan dan menghadapi
rasa frustrasi.
Program rehabilitasi
berbasis REBT telah menunjukkan hasil positif dalam meningkatkan kemampuan
regulasi diri serta menurunkan relapse.¹¹ Pendekatan ini menegaskan
fleksibilitas REBT dalam menghadapi berbagai bentuk maladaptasi perilaku.
6.5.      
Efektivitas REBT dalam
Perspektif Bukti Ilmiah Mutakhir
Tinjauan sistematis
terbaru (hingga Desember 2023) kembali menegaskan konsistensi REBT sebagai evidence-based
practice. Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa REBT efektif
bila dilakukan dengan: (1) kerangka ABC yang jelas; (2) dipandu praktisi
terlatih; dan (3) dilakukan dalam durasi yang cukup panjang.¹² Namun, para
peneliti juga menyoroti kebutuhan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme
perubahan (apakah perbaikan luaran benar-benar dimediasi oleh
perubahan keyakinan), serta adaptasi REBT dalam konteks budaya non-Barat.¹³
Footnotes
[1]               
Albert Ellis and Raymond DiGiuseppe, Theories of Personality: Case
Studies and Applications (New York: Harper & Row, 1990), 215–220.
[2]               
Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal
of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.
[3]               
Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive
Features (London: Routledge, 2009), 59–62.
[4]               
Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational
and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in
Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.
[5]               
Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A
Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New
York: Oxford University Press, 2014), 241–245.
[6]               
Maryam Rahimi and Ali Saadatmand, “Effectiveness of Rational Emotive
Behavior Therapy on Academic Self-Efficacy and Test Anxiety in Students,” Journal
of Education and Learning 9, no. 4 (2020): 50–58.
[7]               
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London:
Routledge, 2010), 121–124.
[8]               
Windy Dryden and Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive
Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 132–136.
[9]               
George W. Burns, “Applying REBT in the Workplace: Enhancing Resilience
and Reducing Stress,” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior
Therapy 27, no. 3 (2009): 141–157.
[10]            
Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and
Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst,
NY: Prometheus Books, 2001), 212–220.
[11]            
Nicholas Tarrier and Judith Barrowclough, Treating Addiction:
Cognitive Behavioural Approaches (London: Routledge, 2010), 89–95.
[12]            
A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of
Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7
(2024): e0299726, doi.org.
[13]            
King et al., “Systematic Review of REBT Interventions,” PLOS ONE
(2024), 15–17.
7.          
Kritik dan Tantangan REBT
7.1.      
Kritik Filosofis
Sejak awal
pengembangannya, REBT mendapat kritik karena dianggap terlalu rasionalistik.
Para pengkritik berpendapat bahwa fokus Ellis pada disputasi kognitif dan
argumentasi logis mengabaikan dimensi non-rasional dari manusia, seperti aspek
eksistensial, spiritual, dan budaya.¹ Pendekatan ini juga dituding terlalu direktif
dan dogmatis, karena terapis berperan sebagai pendidik yang “mengoreksi”
pikiran klien, sehingga berpotensi mengurangi otonomi klien.² Bahkan ada yang
menilai bahwa REBT terlalu menekankan “akal sehat” (common sense
philosophy) sehingga terkesan simplistik dalam menjelaskan kompleksitas
kepribadian dan psikopatologi.³
7.2.      
Kritik Metodologis
Dari sisi
metodologis, penelitian mengenai REBT kadang dikritik karena:
1)                 
Variasi kualitas
penelitian – tidak semua studi memenuhi standar metodologi
eksperimental yang ketat, sehingga hasilnya bervariasi.⁴
2)                 
Kurangnya fokus pada
mekanisme perubahan – meskipun banyak studi menunjukkan efektivitas
REBT, masih diperdebatkan apakah perubahan klinis benar-benar dimediasi oleh
modifikasi keyakinan irasional, atau justru oleh faktor non-spesifik seperti
aliansi terapeutik.⁵
3)                 
Keterbatasan komparatif
– dibandingkan dengan Cognitive Therapy (CT) Aaron Beck, REBT relatif kurang
diteliti secara luas, terutama dalam konteks uji coba acak berskala besar.⁶
Kritik ini
memunculkan seruan agar penelitian REBT ke depan menggunakan desain
eksperimental yang lebih ketat dan memeriksa variabel mediator
serta moderator secara sistematis.⁷
7.3.      
Kritik Kultural dan
Konteks Sosial
Salah satu tantangan
terbesar REBT adalah konteks budaya. Ellis
mengembangkan REBT di Amerika Serikat pada era 1950–1960-an, yang berakar pada
nilai individualistik, kebebasan personal, dan rasionalitas Barat.⁸ Penerapan
REBT di masyarakat dengan nilai kolektivistik (misalnya Asia atau Timur Tengah)
menghadapi tantangan, karena konsep seperti unconditional self-acceptance atau assertiveness
kadang berbenturan dengan norma sosial yang menekankan harmoni kelompok.⁹
Selain itu, REBT
dikritik kurang memperhatikan dimensi spiritualitas dan agama,
padahal bagi banyak individu keyakinan religius merupakan sumber utama regulasi
emosi.¹⁰ Upaya integrasi REBT dengan nilai agama masih terbatas, meskipun
sejumlah penelitian belakangan mulai mengeksplorasi adaptasi ini.¹¹
7.4.      
Tantangan Implementasi
di Era Kontemporer
Di era terapi
digital dan kesehatan mental berbasis teknologi, REBT menghadapi beberapa
tantangan baru:
·                    
Adaptasi ke format
online/teletherapy – meski studi awal menunjukkan potensi positif,
diperlukan riset lebih lanjut mengenai efektivitas REBT dalam platform
daring.¹²
·                    
Integrasi dengan
terapi berbasis bukti lain – misalnya Mindfulness-Based Cognitive
Therapy (MBCT) atau Acceptance and Commitment Therapy (ACT) yang kini populer,
sementara REBT masih dipandang lebih “tradisional.”¹³
·                    
Standardisasi
protokol – belum ada panduan universal untuk praktik REBT yang
memudahkan replikasi, sehingga kualitas intervensi bisa berbeda
antarpraktisi.¹⁴
7.5.      
Arah Masa Depan:
Antara Kritik dan Relevansi
Meskipun dikritik,
REBT tetap relevan karena menawarkan kerangka teoretis sederhana dan fleksibel.
Tantangan utama adalah mengembangkan bukti ilmiah yang lebih kuat,
memperluas aplikasi lintas budaya, serta
menemukan cara untuk mengintegrasikan REBT dengan pendekatan kontemporer yang
lebih menekankan pada konteks, penerimaan, dan nilai-nilai subjektif klien.¹⁵
Footnotes
[1]               
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London:
Routledge, 2010), 102–104.
[2]               
Michael Neenan and Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour
Therapy: Advances in Theory and Practice (London: Routledge, 2004), 47–49.
[3]               
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,
10th ed. (Boston: Cengage, 2017), 291–293.
[4]               
Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal
of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.
[5]               
A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of
Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7
(2024): e0299726, doi.org.
[6]               
Paul Young, “To iB or Not to iB, That Is the Question: On the
Differences Between Ellis’ REBT and Beck’s CT,” The Cognitive Behaviour
Therapist 16 (2023): e32.
[7]               
Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A
Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New
York: Oxford University Press, 2014), 401–403.
[8]               
Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and
Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst, NY:
Prometheus Books, 2001), 15–17.
[9]               
Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive
Features (London: Routledge, 2009), 77–80.
[10]            
P. C. Watkins, “Religion and Rational Emotive Behavior Therapy: An
Uneasy Alliance?” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior
Therapy 21, no. 2 (2003): 159–170.
[11]            
Kristene Doyle and Ray DiGiuseppe, “Religion, Spirituality, and
Rational Emotive Behavior Therapy,” dalam Rational Emotive Behavior
Therapy: Theoretical Developments (New York: Routledge, 2019), 214–228.
[12]            
Mark Griffiths and Daria Kuss, “Online Interventions and REBT:
Opportunities and Challenges,” Journal of Technology in Behavioral Science
5, no. 3 (2020): 210–218.
[13]            
Steven C. Hayes, Kirk Strosahl, and Kelly G. Wilson, Acceptance and
Commitment Therapy: The Process and Practice of Mindful Change, 2nd ed.
(New York: Guilford, 2012), 25–27.
[14]            
DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT,
403–405.
[15]            
King et al., “Systematic Review of REBT Interventions,” PLOS ONE
(2024), 15–17.
8.          
Relevansi Kontemporer
8.1.      
Integrasi dengan
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) memiliki posisi penting dalam sejarah Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) modern. Banyak prinsip REBT, terutama
mengenai peran evaluative beliefs, menjadi dasar
bagi perkembangan terapi kognitif Aaron Beck pada 1960–1970-an.¹ Namun,
meskipun CBT kini lebih dikenal secara luas, REBT tetap relevan karena
menyajikan dimensi filosofis yang lebih eksplisit—seperti unconditional
self-acceptance (USA), unconditional other-acceptance
(UOA), dan unconditional
life-acceptance (ULA)—yang tidak terlalu ditekankan dalam CT Beck.²
Peneliti kontemporer menilai bahwa REBT dan CBT dapat saling melengkapi: CBT
membawa presisi metodologis dan protokol gangguan-spesifik, sementara REBT
menambahkan landasan filosofis yang lebih universal.³
8.2.      
REBT dalam Terapi
Berbasis Teknologi
Perkembangan
teknologi kesehatan mental, termasuk teletherapy, aplikasi digital,
dan terapi berbasis kecerdasan buatan, membuka peluang baru bagi REBT.⁴ Studi
awal menunjukkan bahwa modul daring REBT dapat efektif menurunkan stres dan
kecemasan, terutama pada populasi muda yang lebih akrab dengan teknologi.⁵
Tantangan utama adalah bagaimana mempertahankan aspek disputasi aktif dan
keterlibatan emosional dalam platform digital, tanpa mengurangi kualitas
interaksi terapeutik.⁶
Selain itu,
pengembangan self-help programs berbasis
REBT—misalnya online bibliotherapy dan interactive
CBT apps—menunjukkan potensi besar dalam menjangkau populasi yang
belum terlayani layanan psikologis tradisional.⁷
8.3.      
REBT dan Psikologi
Positif
Dalam dua dekade
terakhir, psikologi positif menekankan
pentingnya pembangunan kekuatan personal, resiliensi, dan well-being.
Prinsip REBT sejalan dengan hal ini, khususnya melalui ajaran toleransi
frustrasi dan penerimaan tanpa syarat.⁸ Ellis
menegaskan bahwa kebahagiaan tidak hanya bergantung pada pencapaian eksternal,
tetapi pada kemampuan individu berpikir secara rasional dan fleksibel.⁹
REBT juga
berkontribusi terhadap pengembangan resilience training dalam
organisasi, pendidikan, dan olahraga.¹⁰ Misalnya, intervensi REBT pada atlet
telah terbukti meningkatkan daya tahan mental, mengurangi kecemasan performa,
dan memperkuat motivasi.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa REBT tidak hanya efektif
dalam mengatasi gangguan, tetapi juga dalam membangun potensi positif individu.
8.4.      
Relevansi Lintas
Budaya dan Spiritualitas
Kritik terhadap REBT
yang dianggap terlalu individualistik dan Barat mendorong penyesuaian lintas
budaya.¹² Dalam beberapa konteks, konselor mengintegrasikan REBT dengan
nilai-nilai lokal, spiritualitas, atau ajaran agama, untuk meningkatkan
penerimaan klien.¹³ Integrasi ini terlihat dalam penelitian yang menggabungkan
REBT dengan konseling berbasis agama, yang menunjukkan efektivitas lebih tinggi
dalam mengurangi kecemasan pada individu beragama dibandingkan REBT murni.¹⁴
Hal ini
mengindikasikan bahwa meskipun REBT lahir dari filsafat rasional Barat, pendekatannya
dapat dimodifikasi agar tetap relevan di masyarakat dengan orientasi
kolektivistik atau religius.
8.5.      
Prospek Masa Depan
Ke depan, REBT
dihadapkan pada tiga agenda besar:
1)                 
Penguatan basis ilmiah
melalui penelitian dengan desain eksperimental ketat.
2)                 
Adaptasi ke era digital,
termasuk aplikasi seluler dan terapi berbasis AI.
3)                 
Integrasi lintas paradigma,
misalnya menggabungkan REBT dengan mindfulness, Acceptance and Commitment
Therapy (ACT), dan pendekatan berbasis nilai budaya atau religius.¹⁵
Dengan demikian,
REBT tetap menjadi bagian penting dari terapi kognitif-perilaku, bukan hanya
sebagai warisan historis, tetapi juga sebagai model terapi yang dinamis,
relevan, dan adaptif terhadap tantangan psikologis kontemporer.
Footnotes
[1]               
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York:
Lyle Stuart, 1962), 34–38.
[2]               
Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A
Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New
York: Oxford University Press, 2014), 305–307.
[3]               
Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal
of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.
[4]               
Mark Griffiths and Daria Kuss, “Online Interventions and REBT:
Opportunities and Challenges,” Journal of Technology in Behavioral Science
5, no. 3 (2020): 210–218.
[5]               
A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of
Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7
(2024): e0299726, doi.org.
[6]               
Griffiths and Kuss, “Online Interventions and REBT,” 213–215.
[7]               
Windy Dryden, How to Use REBT in Coaching (London: Routledge,
2012), 99–102.
[8]               
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London:
Routledge, 2010), 121–125.
[9]               
Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and
Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst,
NY: Prometheus Books, 2001), 75–78.
[10]            
George W. Burns, “Applying REBT in the Workplace: Enhancing Resilience
and Reducing Stress,” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior
Therapy 27, no. 3 (2009): 141–157.
[11]            
Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational
and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in
Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.
[12]            
Michael Neenan and Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour
Therapy: Advances in Theory and Practice (London: Routledge, 2004), 67–69.
[13]            
Kristene Doyle and Raymond DiGiuseppe, “Religion, Spirituality, and
Rational Emotive Behavior Therapy,” dalam Rational Emotive Behavior
Therapy: Theoretical Developments (New York: Routledge, 2019), 214–228.
[14]            
P. C. Watkins, “Religion and Rational Emotive Behavior Therapy: An
Uneasy Alliance?” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior
Therapy 21, no. 2 (2003): 159–170.
[15]            
Steven C. Hayes, Kirk Strosahl, and Kelly G. Wilson, Acceptance and
Commitment Therapy: The Process and Practice of Mindful Change, 2nd ed.
(New York: Guilford, 2012), 25–27.
9.          
Penutup
Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) yang diperkenalkan oleh Albert Ellis pada pertengahan
abad ke-20 merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah psikoterapi
modern.¹ Sebagai pionir terapi kognitif-perilaku, REBT menekankan peran keyakinan
irasional dalam memunculkan emosi disfungsional dan perilaku
maladaptif, serta menawarkan pendekatan sistematis melalui model
ABC/ABCDE untuk mengidentifikasi, menantang, dan mengganti
keyakinan tersebut dengan alternatif yang lebih rasional.²
Landasan filosofis
REBT yang berakar pada Stoikisme dan pengaruh General
Semantics memberikan dimensi unik yang membedakannya dari
bentuk Cognitive Therapy (CT) Aaron Beck.³ Sementara CT cenderung fokus pada
pikiran otomatis dan skema, REBT menekankan evaluative beliefs yang
bersifat filosofis, seperti demandingness, awfulizing,
dan low
frustration tolerance.⁴ Dimensi filosofis inilah yang menjadikan
REBT tidak hanya sekadar intervensi klinis, tetapi juga kerangka hidup rasional
untuk mencapai kesehatan emosional jangka panjang.
Dari perspektif
empiris, berbagai studi dan meta-analisis telah menunjukkan efektivitas REBT
dalam mengatasi beragam kondisi, termasuk kecemasan, depresi, fobia, adiksi,
hingga permasalahan kinerja dalam pendidikan dan olahraga.⁵ REBT juga terbukti
relevan di luar ranah klinis, seperti pendidikan, organisasi, dan dunia kerja,
dengan memberikan kontribusi pada pengembangan resiliensi, regulasi emosi, dan unconditional
acceptance.⁶ Dengan demikian, REBT tidak hanya berfungsi
sebagai intervensi terapeutik, tetapi juga sebagai pendekatan preventif dan
promotif bagi kesehatan mental.
Meski demikian,
kritik tetap ada. Beberapa pihak menilai REBT terlalu rasionalistik
dan direktif,
serta kurang memperhatikan dimensi kultural dan spiritualitas.⁷ Tantangan
metodologis juga muncul, terutama terkait kebutuhan penelitian dengan standar
yang lebih ketat untuk menegaskan mekanisme perubahan dalam
REBT.⁸ Namun, kritik-kritik ini justru mendorong pengembangan REBT ke arah yang
lebih adaptif, inklusif, dan berbasis bukti.
Dalam konteks
kontemporer, REBT masih memiliki relevansi yang besar. Integrasinya dengan CBT
modern, pemanfaatannya dalam terapi digital, serta
konvergensinya dengan psikologi positif menunjukkan
bahwa REBT tetap mampu menjawab kebutuhan psikologis masyarakat modern.⁹ Masa
depan REBT terletak pada kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan ilmu
psikologi, teknologi, dan keragaman budaya, tanpa kehilangan inti filosofisnya:
keyakinan bahwa manusia dapat memilih untuk berpikir lebih rasional, merasakan
lebih sehat, dan bertindak lebih adaptif.¹⁰
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa REBT bukan sekadar warisan historis, melainkan model
psikoterapi yang hidup dan berkembang. Ia tetap
relevan, baik sebagai terapi klinis maupun sebagai filsafat praktis kehidupan,
yang mengajarkan pentingnya penerimaan, tanggung jawab pribadi, dan
rasionalitas dalam menghadapi tantangan hidup.
Footnotes
[1]               
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York:
Lyle Stuart, 1962), 34–38.
[2]               
Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A
Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New
York: Oxford University Press, 2014), 41–45.
[3]               
Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy
(CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London:
Routledge, 2010), 101–105.
[4]               
Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive
Features (London: Routledge, 2009), 17–22.
[5]               
Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral
Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical
Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.
[6]               
Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational
and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in
Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.
[7]               
Michael Neenan and Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour
Therapy: Advances in Theory and Practice (London: Routledge, 2004), 47–49.
[8]               
A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of
Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7
(2024): e0299726, doi.org.
[9]               
Mark Griffiths and Daria Kuss, “Online Interventions and REBT:
Opportunities and Challenges,” Journal of Technology in Behavioral Science
5, no. 3 (2020): 210–218.
[10]            
Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and Behaviors: New
Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst, NY: Prometheus
Books, 2001), 75–78.
Daftar Pustaka
Burns, G. W. (2009).
Applying REBT in the workplace: Enhancing resilience and reducing stress. Journal
of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy, 27(3), 141–157. doi.org
Corey, G. (2017). Theory
and practice of counseling and psychotherapy (10th ed.). Boston, MA:
Cengage.
David, D., Lynn, S. J.,
& Ellis, A. (2010). Rational and irrational beliefs: A historical and
conceptual perspective. Journal of Cognitive Psychotherapy, 24(3),
179–192. doi.org
David, D., Szentagotai, A.,
Eva, K., & Macavei, B. (2018). Fifty years of Rational-Emotive and
Cognitive-Behavioral Therapy: A systematic review and meta-analysis. Journal
of Clinical Psychology, 74(3), 304–318. doi.org
DiGiuseppe, R., Doyle, K.,
& Dryden, W. (2014). A practitioner’s guide to Rational-Emotive
Behavior Therapy (3rd ed.). New York, NY: Oxford University Press.
DiGiuseppe, R., &
Doyle, K. (2013). Cognitive techniques in REBT. In R. DiGiuseppe, K. Doyle,
& W. Dryden (Eds.), Cognitive-behavioral theories of counseling
(pp. 101–120). New York, NY: Springer.
Ellis, A. (1955). New
approaches to psychotherapy techniques. Journal of Clinical Psychology, 11(3),
207–260. doi.org
Ellis, A. (1957). Outcome
of employing three techniques of psychotherapy. Journal of Clinical
Psychology, 13(4), 344–350. doi.org
Ellis, A. (1958). Rational
psychotherapy. Journal of General Psychology, 59(1), 35–49. doi.org
Ellis, A. (1962). Reason
and emotion in psychotherapy. New York, NY: Lyle Stuart.
Ellis, A. (1988). How
to stubbornly refuse to make yourself miserable about anything—Yes, anything!
Secaucus, NJ: Lyle Stuart.
Ellis, A. (1995). Changing
Rational-Emotive Therapy (RET) to Rational Emotive Behavior Therapy (REBT). Journal
of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy, 13(2), 85–89. doi.org
Ellis, A. (2001). Overcoming
destructive beliefs, feelings, and behaviors: New directions for Rational
Emotive Behavior Therapy. Amherst, NY: Prometheus Books.
Ellis, A., &
DiGiuseppe, R. (1993). Are homework assignments necessary in REBT? Cognitive
Therapy and Research, 17(2), 111–120. doi.org
Ellis, A., & Dryden, W.
(2001). The practice of Rational Emotive Behavior Therapy (2nd ed.).
New York, NY: Springer.
Ellis, A., &
DiGiuseppe, R. (1990). Theories of personality: Case studies and
applications. New York, NY: Harper & Row.
Griffiths, M., & Kuss,
D. (2020). Online interventions and REBT: Opportunities and challenges. Journal
of Technology in Behavioral Science, 5(3), 210–218. doi.org
Hayes, S. C., Strosahl, K.,
& Wilson, K. G. (2012). Acceptance and Commitment Therapy: The process
and practice of mindful change (2nd ed.). New York, NY: Guilford Press.
King, A. M., Ollis, J.,
Glazebrook, K., & McHugh, C. (2024). A systematic review of the nature and
efficacy of Rational Emotive Behaviour Therapy interventions. PLOS ONE, 19(7),
e0299726. doi.org
Korzybski, A. (1994). Science
and sanity: An introduction to non-Aristotelian systems and General Semantics
(5th ed.). Brooklyn, NY: Institute of General Semantics.
Levinson, M. H. (2010).
Alfred Korzybski and Rational Emotive Behavior Therapy. ETC: A Review of
General Semantics, 67(1), 55–63.
Neenan, M., & Dryden,
W. (2004). Rational Emotive Behaviour Therapy: Advances in theory and
practice. London, UK: Routledge.
Rahimi, M., &
Saadatmand, A. (2020). Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy on
academic self-efficacy and test anxiety in students. Journal of Education
and Learning, 9(4), 50–58. doi.org
Robertson, D. (2010). The
philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic philosophy as rational
and cognitive psychotherapy. London, UK: Routledge.
Robertson, D. (2013). Stoicism
and the art of happiness. London, UK: Teach Yourself.
Tarrier, N., & Barrowclough,
J. (2010). Treating addiction: Cognitive behavioural approaches.
London, UK: Routledge.
Turner, M. J. (2016).
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), irrational and rational beliefs, and
the mental health of athletes. Frontiers in Psychology, 7, 1423. doi.org
Watkins, P. C. (2003).
Religion and Rational Emotive Behavior Therapy: An uneasy alliance? Journal
of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy, 21(2), 159–170. doi.org
Young, P. (2023). To iB or
not to iB, that is the question: On the differences between Ellis’ REBT and
Beck’s CT. The Cognitive Behaviour Therapist, 16, e32. doi.org

Tidak ada komentar:
Posting Komentar