Kamis, 09 Oktober 2025

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT): Sejarah, Konsep, dan Aplikasi dalam Praktik Psikoterapi Modern

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)

Sejarah, Konsep, dan Aplikasi dalam Praktik Psikoterapi Modern


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), sebuah pendekatan psikoterapi yang dikembangkan oleh Albert Ellis pada pertengahan abad ke-20 dan menjadi salah satu fondasi penting terapi kognitif-perilaku modern. Kajian diawali dengan tinjauan sejarah lahirnya REBT, konteks pemikiran Albert Ellis, serta transformasi terminologi dan institusionalisasi pendekatan ini. Secara filosofis, REBT berakar pada tradisi Stoa dan General Semantics yang menekankan peran penilaian rasional dalam membentuk pengalaman emosional. Konsep inti REBT, termasuk pembedaan keyakinan rasional dan irasional, model ABC/ABCDE, distorsi kognitif, serta prinsip unconditional acceptance, menjadi landasan utama bagi intervensi terapeutik.

Artikel ini juga menguraikan strategi intervensi yang mencakup teknik kognitif, emotif, dan behavioral, dengan peran aktif terapis sebagai fasilitator dalam proses restrukturisasi keyakinan klien. Bukti empiris dari studi kasus, uji klinis, dan meta-analisis menunjukkan efektivitas REBT dalam mengatasi gangguan emosional seperti kecemasan, depresi, adiksi, serta meningkatkan resiliensi dalam pendidikan, organisasi, dan olahraga. Namun, REBT menghadapi kritik filosofis (rasionalistik dan direktif), metodologis (kurang penelitian komparatif berskala besar), serta tantangan kultural dan spiritualitas.

Dalam konteks kontemporer, REBT tetap relevan dengan integrasinya dalam kerangka CBT modern, pemanfaatannya dalam terapi digital, serta kontribusinya pada psikologi positif. Artikel ini menegaskan bahwa REBT bukan hanya intervensi klinis, melainkan juga filosofi praktis kehidupan yang menekankan tanggung jawab pribadi, penerimaan tanpa syarat, dan pemikiran rasional sebagai fondasi kesehatan mental.

Kata kunci: Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Albert Ellis, psikoterapi kognitif-perilaku, keyakinan rasional dan irasional, model ABC, disputasi kognitif, psikologi positif, terapi digital.


PEMBAHASAN

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)


1.           Pendahuluan

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) diperkenalkan oleh Albert Ellis pada pertengahan 1950-an sebagai salah satu pionir psikoterapi kognitif-behavioral modern. Pada mulanya Ellis menyebut pendekatannya “rational therapy,” kemudian “rational emotive therapy (RET),” dan akhirnya pada 1990-an ia menegaskan komponen perilaku dengan nama REBT.¹ Perubahan nomenklatur ini mencerminkan pergeseran dari sekadar disputasi kognitif menuju strategi yang secara eksplisit menargetkan emosi dan perilaku sebagai keluaran klinis.² Di dalam sejarah terapi kognitif-perilaku, REBT kerap diposisikan sebagai bentuk paling awal yang, bersama terapi kognitif Aaron T. Beck, meletakkan fondasi bagi rumpun CBT kontemporer.³

Secara filosofis, REBT bertolak dari premis klasik bahwa manusia tidak diguncang oleh peristiwa eksternal itu sendiri, melainkan oleh keyakinan/penilaiannya terhadap peristiwa tersebut—sebuah gagasan yang jejaknya tampak jelas pada etika Stoa (misalnya Epictetus, Enchiridion, bab 5).⁴ Ellis memformulasikan premis ini ke dalam model ABC: A (activating event), B (belief), dan C (consequence—emosi dan perilaku). Dengan demikian, tugas terapi adalah mengidentifikasi dan melemahkan keyakinan irasional yang kaku, ekstrem, dan tidak logis, sembari menumbuhkan keyakinan rasional yang fleksibel dan sejalan dengan realitas, agar konsekuensi emosional-perilaku menjadi lebih adaptif.⁵ Pendekatan ini tidak hanya menyatukan kerja kognitif, emotif, dan behavioral dalam satu kerangka, melainkan juga memberi fokus khas pada evaluative beliefs (bukan sekadar pikiran deskriptif), yang menjadi pembeda utama REBT dari bentuk CBT lainnya.⁶

Sejak publikasi awal—mulai dari makalah 1955–1956 hingga monograf klasik Reason and Emotion in Psychotherapy (1962)—Ellis menekankan bahwa perubahan emosi dan perilaku yang berkelanjutan menuntut restrukturisasi keyakinan yang mendasarinya melalui disputasi (menantang B), pemodelan respons emosional yang sehat, serta eksperimen perilaku terarah.⁷ Melalui strategi-strategi itu, REBT ditujukan bukan semata “menghilangkan gejala,” tetapi mengembangkan ketahanan rasional (rational resilience) berbasis tanggung jawab pribadi dan penerimaan tanpa syarat terhadap diri.⁸

Dalam perkembangannya, bukti ilmiah terhadap REBT semakin mapan. Meta-analisis komprehensif selama 50 tahun penelitian menunjukkan efek sedang (medium) REBT terhadap berbagai luaran klinis (d ≈ 0,56–0,58) serta terhadap penurunan keyakinan irasional (d ≈ 0,61–0,70) pada post-test dan follow-up.⁹ Tinjauan sistematis terbaru (disaring hingga Desember 2023) kembali menegaskan bahwa intervensi REBT secara konsisten mengurangi keyakinan irasional, meningkatkan keyakinan rasional, dan memperbaiki luaran kesehatan mental (mis. depresi dan kecemasan), dengan hasil yang cenderung lebih baik bila mengikuti kerangka ABC, dipandu praktisi terlatih, dan berdurasi lebih panjang.¹⁰ Temuan-temuan ini menempatkan REBT sebagai intervensi berbasis bukti yang relevan lintas domain—klinik, pendidikan, organisasi, coaching, hingga konseling—serta selaras dengan lompatan metodologis CBT yang lebih luas.¹¹

Meskipun demikian, agenda riset dan praktik REBT kontemporer masih menuntut penguatan pada mediasi mekanisme perubahan (apakah perbaikan luaran klinis memang “digerakkan” oleh modifikasi keyakinan), pelaporan standar protokol, serta adaptasi lintas budaya dan ranah spiritual/keagamaan dalam implementasi praktik.¹² Kerangka artikel ini, karenanya, akan menelusuri (1) sejarah dan landasan teoretis REBT; (2) konsep-konsep intinya (rasional vs. irasional, model ABC, dan mekanisme perubahan); (3) teknik intervensi (kognitif, emotif, dan behavioral) beserta peran terapis; (4) peta bukti efektivitas dan aplikasi lintas konteks; (5) kritik dan tantangan mutakhir; serta (6) relevansi kontemporer REBT pada era psikologi positif dan layanan psikologis berbasis teknologi.


Footnotes

[1]                Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” American Psychologist (manuskrip kuliah, 1956); versi PDF, Albert Ellis Institute, diakses 27 Agustus 2025, Rational-Psychotherapy.pdf. (albertellis.org)

[2]                Howard E. Tinsley, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT): Theory and Practice,” dalam Counseling and Psychotherapy Theories in Context and Practice, ed. John Sommers-Flanagan dkk., (Thousand Oaks, CA: SAGE, 2015), 9–10 (naskah bab PDF), diakses 27 Agustus 2025. (SAGE Publications)

[3]                Daniel David dkk., “50 Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, jclp.22514; lihat juga bagian pengantar artikel versi akses terbuka. (PMC)

[4]                Epictetus, The Enchiridion (Manual), bab 5, edisi daring Wikisource, diakses 27 Agustus 2025, The_Encheiridion,_or_Manual. (Wikisource)

[5]                Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in Psychology 7 (2016): 1423, doi.org. (Frontiers, PMC)

[6]                David dkk., “50 Years of REBT…,” 306–308 (pembedaan evaluative beliefs dalam REBT), versi akses terbuka. (PMC)

[7]                Albert Ellis, “New Approaches to Psychotherapy Techniques,” Journal of Clinical Psychology 11, no. 3 (1955): 207–260; serta Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962). Rincian bibliografis edisi 1962 dapat ditelusuri pada katalog/indeks buku. (PubMed, Google Books)

[8]                Windy Dryden dan Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer/Albert Ellis Institute, 2001/2003); lihat rilis produk institusi untuk uraian struktur praktik. (albertellis.org, Springer Publishing Company)

[9]                David dkk., “50 Years of REBT…,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): ringkasan hasil efek sedang pada luaran klinis dan keyakinan (lihat abstrak dan tabel). (PMC)

[10]             A. M. King dkk., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7 (2024): e0299726 (PMCID: PMC11232995), diakses 27 Agustus 2025. (PMC)

[11]             David dkk., “50 Years of REBT…,” bagian praktik lintas domain (klinik, pendidikan, organisasi, konseling). (PMC)

[12]             King dkk., “Systematic Review…,” bagian Introduction dan Conclusions (kebutuhan metodologis ke depan). (PMC)


2.           Sejarah dan Latar Belakang REBT

2.1.       Konteks Historis Lahirnya REBT (1950–1960-an)

REBT lahir dari kegelisahan Albert Ellis terhadap dominasi pendekatan psikoanalitik pascaperang yang dinilai terlalu panjang, retrospektif, dan kurang berorientasi pada perubahan yang terukur. Sejak pertengahan 1950-an Ellis mulai memformulasikan teknik aktif-direktif yang mendorong partisipasi klien, ia rangkum dalam monograf “New Approaches to Psychotherapy Techniques” (1955) dan makalah kunci “Rational Psychotherapy” (1956).¹² Gagasan-gagasan ini kemudian dipublikasikan lebih sistematis dalam artikel jurnal (1958) dan mencapai bentuk monumental melalui buku Reason and Emotion in Psychotherapy (1962), yang menegaskan integrasi proses kognitif, emotif, dan perilaku dalam perubahan psikologis.³⁴

2.2.       Evolusi Terminologi dan Institusionalisasi

Secara nomenklatur, pendekatan Ellis berawal dari rational therapy (RT), berkembang menjadi rational emotive therapy (RET), lalu—untuk menegaskan komponen perilaku—resmi diubah menjadi rational emotive behavior therapy (REBT) pada 1995. Keputusan ini dijelaskan sendiri oleh Ellis dalam artikel “Changing Rational-Emotive Therapy (RET) to Rational Emotive Behavior Therapy (REBT).”⁵ Di tingkat kelembagaan, penyebaran praktik dan pelatihan REBT difasilitasi oleh berdirinya Institute for Rational Living (kini Albert Ellis Institute, AEI) yang dilegalisir 2 April 1959 di New York; institusi ini menjadi pusat penelitian, pelatihan, dan layanan berbasis REBT.⁶

2.3.       Landasan Konseptual dan Falsafati

Inti doktrin REBT dirangkum dalam model ABCA (activating event), B (belief), C (consequence berupa emosi & perilaku)—serta ekspansinya menjadi ABCDE dengan D (disputation) dan E (effective new belief/ philosophy). Rumusan ini menempatkan evaluative beliefs (keyakinan penilai) sebagai penggerak utama reaksi emosional-perilaku; dengan demikian terapi memfokuskan diri pada identifikasi-disputasi keyakinan irasional yang kaku, ekstrem, dan tidak logis.⁷ Model tersebut berakar pada pandangan Stoik—terutama Epictetus—bahwa manusia tidak diguncang oleh peristiwa itu sendiri, melainkan oleh penilaiannya atas peristiwa (lihat Enchiridion).⁸ Pengaruh Stoik pada REBT juga dicatat dalam riset sejarah terapi kognitif modern, termasuk telaah kontemporer mengenai tradisi klasik dalam psikologi.⁹ Di luar Stoik, Ellis mengakui General Semantics Alfred Korzybski sebagai pengaruh epistemik (bahasa-makna) yang memperkaya fokus REBT pada cara orang “memberi makna” terhadap kejadian.¹⁰¹¹

2.4.       Posisi REBT dalam Genealogi CBT dan Diferensiasinya

Dalam sejarah cognitive-behavioral therapies (CBT), REBT kerap dipandang sebagai pilar awal berdampingan dengan Cognitive Therapy (CT) dari Aaron T. Beck. Tinjauan sistematis selama setengah abad penelitian menunjukkan REBT berperan sentral dalam memetakan mekanisme perubahan melalui modifikasi keyakinan—dengan efek klinis yang konsisten pada beragam luaran.¹² Di sisi perbedaan, literatur mutakhir menekankan bahwa REBT lebih menarget keyakinan irasional yang bersifat filosofis-evaluatif (mis., demandingness, awfulizing), sedangkan CT lebih menekankan automatic thoughts dan skema spesifik gangguan; pendekatan terapetik REBT juga relatif lebih direktif-persuasif.¹³

2.5.       Penelitian Awal, Konsolidasi, dan Perkembangan Lanjut

Sejak 1957 Ellis mulai melaporkan hasil awal penggunaan teknik rasional-emotif dalam Journal of Clinical Psychology, disusul serial publikasi yang memperluas fondasi teoretis dan praktis (1958, 1962, dan seterusnya).¹⁴¹⁵¹⁶ Ulasan akademik atas karya 1962 menegaskan ciri-ciri yang masih relevan hingga kini: kesaling-terkaitan kognisi-emosi-perilaku, peran sentral kognisi dalam gangguan psikologis, serta penekanan pada self-acceptance yang rasional.¹⁷ Seiring institusionalisasi AEI dan berkembangnya pelatihan klinis, REBT dikembangkan dan diadaptasi lintas domain (klinik, pendidikan, organisasi), hingga—dalam peta riset modern—diakui sebagai intervensi berbasis bukti yang tetap berevolusi.¹²


Footnotes

[1]                Albert Ellis, “New Approaches to Psychotherapy Techniques,” Journal of Clinical Psychology 11, no. 3 (1955): 207–260. (PubMed, Wiley Online Library)

[2]                Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” naskah presentasi APA, 31 Agustus 1956 (PDF, Albert Ellis Institute). (albertellis.org)

[3]                Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49.. (PubMed)

[4]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962). (Internet Archive)

[5]                Albert Ellis, “Changing Rational-Emotive Therapy (RET) to Rational Emotive Behavior Therapy (REBT),” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy 13 (1995): 85–89. (SpringerLink)

[6]                Albert Ellis Institute, “Organizational History,” diakses 27 Agustus 2025. (Pencatatan pendirian 2 April 1959). (albertellis.org)

[7]                Albert Ellis, “Emotional Disturbance and Its Treatment in a Nutshell: The ABCs,” PDF, Albert Ellis Institute. (albertellis.org)

[8]                Epictetus, Enchiridion, terj. edisi daring (MIT Classics). (Internet Classics Archive)

[9]                Andrea E. Cavanna, “The Western Origins of Mindfulness Therapy in Ancient Rome,” Behavioral Sciences 13, no. 6 (2023): 479. (Menautkan pengaruh Epictetus pada REBT). (PMC)

[10]             “The Role of General Semantics in REBT,” Albert Ellis Institute (blog), 2014. (albertellis.org)

[11]             Martin H. Levinson, “Alfred Korzybski and Rational Emotive Behavior Therapy,” ETC: A Review of General Semantics 67, no. 1 (2010): 55–63. (JSTOR)

[12]             Daniel David et al., “50 Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318. (Versi akses terbuka di PubMed Central). (PMC, Wiley Online Library)

[13]             P. Young, “To iB or Not to iB, That is the Question: On the Differences Between Ellis’ REBT and Beck’s CT,” The Cognitive Behaviour Therapist 16 (2023): e32. (Cambridge University Press & Assessment)

[14]             Albert Ellis, “Outcome of Employing Three Techniques of Psychotherapy,” Journal of Clinical Psychology 13, no. 4 (1957): 344–350. (Wiley Online Library)

[15]             Lihat juga kompilasi rujukan primer sekunder dalam J. C. Overholser, “Rational-Emotive Behavior Therapy: An Interview with Dr. Albert Ellis,” Journal of Contemporary Psychotherapy 33 (2003): 187–196. (SpringerLink)

[16]             W. Dryden, “Reason and Emotion in Psychotherapy: Albert Ellis,” Psychotherapy and Psychosomatics 61, no. 3–4 (1994): ulasan ringkas (PubMed). (PubMed)


3.           Landasan Filosofis dan Teoretis REBT

3.1.       Prinsip Dasar Rasionalitas dan Irasionalitas

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk berpikir (homo sapiens) sekaligus makhluk emosional. Albert Ellis menegaskan bahwa penderitaan psikologis terutama berasal dari beliefs (keyakinan) yang irasional—keyakinan absolut, dogmatis, dan tidak logis yang memengaruhi respons emosional dan perilaku.¹ Dengan kata lain, problem psikologis tidak ditentukan oleh peristiwa (activating event) itu sendiri, tetapi oleh interpretasi atau penilaian seseorang atas peristiwa tersebut.²

Ellis membedakan dua kategori utama keyakinan: rasional dan irasional. Keyakinan rasional bersifat fleksibel, logis, dan sesuai realitas, sehingga menghasilkan emosi sehat (healthy negative emotions) seperti kesedihan, penyesalan, atau kekecewaan. Sebaliknya, keyakinan irasional bersifat absolutistik (misalnya, “saya harus selalu berhasil” atau “orang lain tidak boleh mengecewakan saya”), yang memunculkan emosi disfungsional seperti depresi, kemarahan patologis, atau kecemasan berlebihan.³

3.2.       Model ABC dan Ekspansi ke ABCDE

Konseptualisasi teoretis REBT terletak pada Model ABC. Ellis merumuskannya sebagai:

·                     A (Activating Event): peristiwa pemicu;

·                     B (Belief): keyakinan individu terhadap peristiwa tersebut;

·                     C (Consequence): konsekuensi emosional dan perilaku.

Kemudian model ini diperluas menjadi ABCDE, di mana D (Disputation) merujuk pada proses menantang keyakinan irasional, dan E (Effective new philosophy) menandai keyakinan baru yang lebih sehat.⁴ Model ini menekankan bahwa inti terapi bukan hanya menyadarkan klien akan adanya keyakinan disfungsional, tetapi juga mengubahnya secara aktif melalui teknik disputasi.

3.3.       Akar Filsafat Stoa

Landasan filosofis REBT banyak dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Ellis mengutip Enchiridion karya Epictetus, yang menyatakan bahwa manusia tidak terganggu oleh peristiwa itu sendiri, tetapi oleh opini mereka tentang peristiwa tersebut (“Men are disturbed not by things, but by the views which they take of things”).⁵ Prinsip inilah yang diadaptasi Ellis ke dalam kerangka psikoterapi modern.

Pengaruh Stoik bukan hanya soal kognisi, tetapi juga aspek etika. Stoa mengajarkan pentingnya ataraxia (ketenangan batin) melalui pengendalian diri dan pemikiran rasional. Hal ini sejalan dengan tujuan REBT untuk mengajarkan klien menerima kenyataan, mengurangi “demandingness,” dan mengembangkan sikap toleransi frustrasi.⁶

3.4.       Pengaruh General Semantics dan Filsafat Bahasa

Selain Stoa, Ellis juga terinspirasi oleh General Semantics Alfred Korzybski, yang menekankan hubungan antara bahasa, makna, dan perilaku.⁷ Korzybski menyatakan bahwa bahasa dapat membatasi atau membebaskan cara manusia memandang realitas, sehingga penyalahgunaan bahasa dapat memperkuat keyakinan irasional.⁸ Dalam REBT, hal ini diwujudkan melalui perhatian khusus pada bahasa internal (self-talk). Misalnya, penggunaan istilah “harus” (musturbation, menurut Ellis) dianggap sebagai bentuk absolutisme linguistik yang menumbuhkan penderitaan emosional.⁹

3.5.       Teori Emosi dan Perilaku

Secara teoretis, REBT memandang emosi, kognisi, dan perilaku sebagai sistem yang saling terkait.¹⁰ Hal ini berbeda dengan pendekatan psikoanalisis yang lebih menekankan dinamika bawah sadar, atau behaviorisme murni yang menekankan stimulus-respons. REBT menegaskan bahwa perubahan psikologis harus mencakup tiga dimensi: restrukturisasi kognisi, regulasi emosi, dan modifikasi perilaku.¹¹

3.6.       Posisi dalam Kerangka Cognitive-Behavioral Therapy

Dalam genealogi Cognitive Behavioral Therapy (CBT), REBT sering dianggap sebagai salah satu pionir yang mendahului Cognitive Therapy (CT) Aaron T. Beck. Bedanya, REBT lebih menekankan evaluative beliefs yang bersifat filosofis (misalnya, awfulizing, demandingness, dan low frustration tolerance), sedangkan CT lebih fokus pada automatic thoughts dan skema kognitif spesifik.¹² Oleh karena itu, REBT dapat dikatakan lebih normatif-filosofis, sedangkan CT lebih empiris-klinis.¹³


Footnotes

[1]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 54–57.

[2]                Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49. doi.org.

[3]                Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in Psychology 7 (2016): 1423. doi.org.

[4]                Windy Dryden and Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 11–15.

[5]                Epictetus, Enchiridion, trans. W.A. Oldfather (Cambridge: Harvard University Press, 1925), §5.

[6]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Teach Yourself, 2013), 78–85.

[7]                Alfred Korzybski, Science and Sanity: An Introduction to Non-Aristotelian Systems and General Semantics, 5th ed. (Brooklyn, NY: Institute of General Semantics, 1994).

[8]                Martin H. Levinson, “Alfred Korzybski and Rational Emotive Behavior Therapy,” ETC: A Review of General Semantics 67, no. 1 (2010): 55–63.

[9]                Albert Ellis, How to Stubbornly Refuse to Make Yourself Miserable about Anything—Yes, Anything! (Secaucus, NJ: Lyle Stuart, 1988), 23–25.

[10]             Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and Irrational Beliefs: A Historical and Conceptual Perspective,” Journal of Cognitive Psychotherapy 24, no. 3 (2010): 179–192.

[11]             Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 27–30.

[12]             Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318. doi.org.

[13]             Paul Young, “To iB or Not to iB, That is the Question: On the Differences Between Ellis’ REBT and Beck’s CT,” The Cognitive Behaviour Therapist 16 (2023): e32.


4.           Konsep Inti dalam REBT

4.1.       Keyakinan Rasional dan Irasional

Salah satu konsep inti REBT adalah pembedaan antara keyakinan rasional (rational beliefs) dan keyakinan irasional (irrational beliefs). Menurut Albert Ellis, keyakinan rasional bersifat fleksibel, logis, sesuai dengan realitas, serta mendukung pencapaian tujuan hidup jangka panjang.¹ Sebaliknya, keyakinan irasional bersifat absolutistik, dogmatis, dan tidak realistis, yang biasanya diekspresikan melalui pola pikir “harus” (must), “seharusnya” (should), atau “tidak boleh” (must not).² Keyakinan irasional inilah yang menghasilkan emosi disfungsional, seperti kecemasan ekstrem, depresi berat, atau kemarahan patologis.³

Ellis mengidentifikasi sejumlah “irrational beliefs” umum, misalnya: (1) tuntutan absolut untuk selalu dicintai dan diterima; (2) keyakinan bahwa seseorang harus selalu sempurna; (3) persepsi bahwa kegagalan adalah bencana; dan (4) intoleransi terhadap frustrasi.⁴ Keyakinan semacam ini menjadi inti dari problem psikologis yang dialami klien dan menjadi target utama dalam terapi.

4.2.       Distorsi Kognitif dan Pola Pikir Disfungsional

Dalam REBT, distorsi kognitif bukan sekadar kesalahan berpikir, tetapi refleksi dari keyakinan evaluatif yang irasional.⁵ Di antara distorsi kognitif yang khas adalah:

·                     Demandingness: keyakinan absolut, misalnya “Saya harus selalu berhasil.

·                     Awfulizing: kecenderungan melebih-lebihkan keburukan situasi (“Ini benar-benar bencana besar”).

·                     Low Frustration Tolerance (LFT): keyakinan bahwa seseorang tidak sanggup menanggung kesulitan (“Saya tidak bisa hidup bila gagal”).

·                     Global Evaluation of Self/Other/Life: menilai diri, orang lain, atau kehidupan secara keseluruhan dengan label negatif (“Saya orang gagal total”).⁶

Pola pikir ini melahirkan emosi disfungsional dan perilaku maladaptif. Oleh karena itu, REBT menekankan pentingnya mengidentifikasi, menantang, dan mengganti distorsi kognitif tersebut dengan keyakinan yang lebih rasional.⁷

4.3.       Self-Talk dan Dialog Internal

Komponen penting lain dalam REBT adalah self-talk atau dialog internal. Ellis menegaskan bahwa sebagian besar gangguan emosional dipelihara oleh monolog internal yang irasional, yang terus-menerus memperkuat keyakinan disfungsional.⁸ Misalnya, pernyataan diri seperti “Saya harus selalu disukai” atau “Saya tidak boleh gagal” menjadi bentuk self-talk yang memperburuk kecemasan dan harga diri rendah.

Melalui proses terapi, klien diajarkan untuk menyadari self-talk irasional ini, kemudian melatih self-talk rasional yang lebih adaptif. Proses ini tidak hanya melibatkan restrukturisasi kognitif, tetapi juga praktik perilaku (misalnya, shame-attacking exercises) untuk menantang keyakinan disfungsional dalam kehidupan nyata.⁹

4.4.       Peran Nilai, Tanggung Jawab Pribadi, dan Kebebasan Pilihan

Selain fokus pada kognisi, REBT juga menekankan aspek filosofis berupa tanggung jawab pribadi dan pilihan bebas. Ellis berpendapat bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengevaluasi dan mengubah keyakinannya secara sadar.¹⁰ Oleh karena itu, terapi bukan sekadar mengurangi gejala, melainkan juga membekali individu dengan filosofi hidup yang lebih rasional, humanistik, dan realistis.

Ellis juga menekankan konsep unconditional self-acceptance (USA), unconditional other-acceptance (UOA), dan unconditional life-acceptance (ULA).¹¹ Ketiga prinsip ini membantu klien untuk menerima diri, orang lain, dan realitas kehidupan apa adanya, tanpa tuntutan absolut atau penilaian global yang ekstrem. Hal ini membedakan REBT dari bentuk terapi kognitif lain yang lebih menekankan skema atau pikiran otomatis.


Footnotes

[1]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 54–57.

[2]                Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49, doi.org.

[3]                Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 28–30.

[4]                Albert Ellis and Windy Dryden, The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 25–27.

[5]                Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and Irrational Beliefs: A Historical and Conceptual Perspective,” Journal of Cognitive Psychotherapy 24, no. 3 (2010): 179–192.

[6]                Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive Features (London: Routledge, 2009), 17–22.

[7]                Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.

[8]                Albert Ellis, How to Stubbornly Refuse to Make Yourself Miserable about Anything—Yes, Anything! (Secaucus, NJ: Lyle Stuart, 1988), 19–21.

[9]                DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT, 32–35.

[10]             Ellis and Dryden, The Practice of REBT, 30–32.

[11]             Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and Irrational Beliefs…,” 185–187.


5.           Teknik dan Strategi Intervensi

5.1.       Pendekatan Umum dalam REBT

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) menekankan intervensi aktif-direktif yang difasilitasi oleh terapis untuk membantu klien mengidentifikasi, menantang, dan mengganti keyakinan irasional dengan keyakinan rasional.¹ Ellis berpendapat bahwa terapi yang hanya berfokus pada eksplorasi masa lalu atau pemahaman bawah sadar tidak cukup untuk membawa perubahan, sehingga REBT dikembangkan dengan kombinasi teknik kognitif, emotif, dan behavioral.² Pendekatan integratif ini bertujuan menghasilkan perubahan menyeluruh dalam pikiran, emosi, dan tindakan.³

5.2.       Teknik Kognitif

Komponen kognitif menjadi jantung REBT. Teknik ini difokuskan pada restrukturisasi keyakinan irasional melalui disputasi (disputation).⁴ Terapis berperan sebagai fasilitator aktif yang menantang klien dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti:

·                     Apakah keyakinan ini logis atau ilmiah?

·                     Apakah keyakinan ini bermanfaat dalam jangka panjang?

·                     Apakah ada bukti nyata mendukung keyakinan tersebut?

Beberapa strategi kognitif yang khas antara lain:

·                     Socratic questioning: penggunaan pertanyaan sistematis untuk mengevaluasi validitas keyakinan.

·                     Reframing: mengubah perspektif klien terhadap peristiwa agar lebih adaptif.

·                     Bibliotherapy: penggunaan bacaan rasional atau tulisan terapis untuk mendukung perubahan kognitif.⁵

Teknik kognitif ini membantu klien memahami bahwa keyakinan absolut seperti “saya harus selalu disukai” tidak realistis, dan dapat diganti dengan keyakinan yang lebih rasional seperti “saya ingin disukai, tetapi saya tetap bisa menerima diri meski ada orang yang tidak menyukai saya.”⁶

5.3.       Teknik Emotif

Selain restrukturisasi kognitif, REBT juga menekankan pentingnya latihan emotif untuk membantu klien mengalami perubahan emosional secara langsung. Ellis menilai bahwa perubahan rasional semata sering tidak cukup bila tidak diinternalisasi pada level emosional.⁷ Teknik emotif mencakup:

·                     Role playing: klien memainkan peran dalam situasi tertentu untuk mengeksplorasi respons emosional baru.

·                     Imagery techniques: membayangkan situasi menantang sambil mempraktikkan respons rasional.

·                     Shame-attacking exercises: klien sengaja melakukan tindakan kecil yang memalukan untuk menurunkan sensitivitas terhadap penilaian sosial.⁸

Latihan emotif ini bertujuan membantu klien tidak hanya “berpikir rasional” tetapi juga “merasakan” secara rasional, sehingga keyakinan baru benar-benar melekat dalam pengalaman emosional mereka.⁹

5.4.       Teknik Behavioral

REBT menegaskan bahwa perubahan keyakinan dan emosi harus diwujudkan dalam perilaku nyata. Karena itu, berbagai teknik behavioral digunakan, antara lain:

·                     Homework assignments: tugas praktik di luar sesi terapi untuk menguji keyakinan rasional dalam kehidupan sehari-hari.

·                     Behavioral rehearsal: melatih perilaku baru melalui simulasi.

·                     Exposure: menghadapi situasi yang ditakuti untuk mengurangi kecemasan.

·                     Reinforcement: memberikan penguatan positif ketika klien berhasil menerapkan perilaku baru.¹⁰

Integrasi teknik ini memastikan klien tidak hanya memahami konsep rasional secara abstrak, tetapi juga menginternalisasinya melalui praktik nyata.¹¹

5.5.       Peran Terapis dalam REBT

Dalam REBT, terapis berperan sebagai pendidik dan fasilitator, bukan sekadar pendengar pasif. Ellis menyebut pendekatan ini sebagai “didactic-educational”, karena terapis secara eksplisit mengajarkan klien cara berpikir lebih rasional.¹² Terapis aktif memberikan umpan balik, menantang keyakinan, mengajarkan teknik disputasi, dan memberi tugas perilaku. Namun demikian, tujuan akhir bukanlah ketergantungan pada terapis, melainkan agar klien mampu menjadi “filosof pribadi” yang mandiri dalam mengelola pikiran dan emosinya.¹³

5.6.       Integrasi Teknik Kognitif, Emotif, dan Behavioral

Efektivitas REBT bergantung pada integrasi ketiga dimensi teknik tersebut. Kognitif membantu mengubah cara berpikir, emotif memperkuat perubahan pada level afektif, dan behavioral memastikan perubahan terwujud dalam tindakan nyata.¹⁴ Pendekatan integratif ini menjadikan REBT sebagai salah satu bentuk terapi yang komprehensif, efektif dalam berbagai gangguan seperti kecemasan, depresi, dan gangguan kepribadian.¹⁵


Footnotes

[1]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 35–40.

[2]                Albert Ellis, “Rational Psychotherapy,” Journal of General Psychology 59, no. 1 (1958): 35–49, doi.org.

[3]                Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 41–43.

[4]                Windy Dryden and Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 15–18.

[5]                Raymond DiGiuseppe and Kristene Doyle, “Cognitive Techniques in REBT,” in Cognitive-Behavioral Theories of Counseling (New York: Springer, 2013), 102–105.

[6]                Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.

[7]                Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst, NY: Prometheus Books, 2001), 60–65.

[8]                Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive Features (London: Routledge, 2009), 45–47.

[9]                DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT, 50–53.

[10]             Albert Ellis and Raymond DiGiuseppe, “Are Homework Assignments Necessary in REBT?” Cognitive Therapy and Research 17, no. 2 (1993): 111–120.

[11]             Dryden and Ellis, The Practice of REBT, 35–38.

[12]             Albert Ellis, How to Stubbornly Refuse to Make Yourself Miserable about Anything—Yes, Anything! (Secaucus, NJ: Lyle Stuart, 1988), 90–92.

[13]             DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT, 58–60.

[14]             Daniel David, Steven Jay Lynn, and Albert Ellis, “Rational and Irrational Beliefs: A Historical and Conceptual Perspective,” Journal of Cognitive Psychotherapy 24, no. 3 (2010): 179–192.

[15]             Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.


6.           Efektivitas dan Aplikasi REBT

6.1.       Efektivitas dalam Konteks Klinis

Selama lebih dari enam dekade, Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) telah diuji melalui penelitian eksperimental, studi kasus, serta meta-analisis. Secara umum, bukti ilmiah menunjukkan bahwa REBT memiliki efek sedang hingga tinggi dalam mengurangi berbagai gangguan psikologis, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan stres.¹ Meta-analisis komprehensif selama 50 tahun riset menunjukkan bahwa REBT konsisten efektif dalam mengurangi keyakinan irasional, meningkatkan keyakinan rasional, serta memperbaiki kesejahteraan emosional, dengan nilai efek Cohen’s d sekitar 0,56–0,70 pada berbagai luaran klinis.²

Secara khusus, REBT terbukti efektif pada gangguan kecemasan sosial, fobia, depresi klinis, serta kecemasan kinerja.³ Selain itu, penelitian pada populasi atlet menunjukkan bahwa intervensi REBT dapat menurunkan kecemasan kompetitif dan meningkatkan ketahanan psikologis.⁴ Hal ini memperlihatkan fleksibilitas REBT dalam menangani masalah emosional baik dalam konteks klinis maupun performatif.

6.2.       Aplikasi dalam Pendidikan

Di bidang pendidikan, REBT telah diadaptasi dalam konseling sekolah untuk membantu siswa mengatasi stres akademik, meningkatkan regulasi emosi, dan mengurangi perilaku maladaptif.⁵ Prinsip REBT seperti unconditional self-acceptance dan low frustration tolerance training digunakan untuk membangun daya tahan siswa terhadap kegagalan dan kritik.

Studi terbaru juga menunjukkan bahwa penerapan REBT dalam program bimbingan konseling mampu meningkatkan self-efficacy akademik serta menurunkan tingkat kecemasan menghadapi ujian.⁶ Guru dan konselor sekolah dapat menggunakan model REBT sebagai pendekatan preventif untuk memperkuat kesehatan mental siswa, sehingga REBT memiliki kontribusi signifikan terhadap dunia pendidikan.

6.3.       Aplikasi dalam Organisasi dan Dunia Kerja

Selain dalam ranah klinis dan pendidikan, REBT juga diaplikasikan dalam organisasi dan tempat kerja. Program pelatihan berbasis REBT digunakan untuk meningkatkan manajemen stres, kecerdasan emosional, dan resiliensi karyawan.⁷

Misalnya, latihan disputasi kognitif dapat membantu pekerja mengurangi keyakinan irasional terkait tekanan kerja, sementara teknik shame-attacking dapat menurunkan rasa takut terhadap kritik atau kegagalan.⁸ Studi intervensi pada manajer perusahaan menunjukkan bahwa REBT mampu menurunkan tingkat burnout serta meningkatkan kepuasan kerja.⁹ Dengan demikian, REBT dapat dianggap sebagai intervensi transformatif tidak hanya di ranah klinis, tetapi juga dalam occupational health psychology.

6.4.       Aplikasi pada Isu Adiksi dan Perilaku Risiko

REBT juga digunakan dalam menangani perilaku adiktif seperti penyalahgunaan zat, alkohol, serta perilaku adiksi non-substansi. Terapi diarahkan pada identifikasi keyakinan irasional yang menopang perilaku adiksi, misalnya “Saya tidak bisa hidup tanpa zat ini” atau “Saya harus segera merasa tenang dengan cara instan.”¹⁰ Melalui disputasi dan latihan perilaku, klien diajak mengembangkan pola pikir rasional untuk menahan dorongan dan menghadapi rasa frustrasi.

Program rehabilitasi berbasis REBT telah menunjukkan hasil positif dalam meningkatkan kemampuan regulasi diri serta menurunkan relapse.¹¹ Pendekatan ini menegaskan fleksibilitas REBT dalam menghadapi berbagai bentuk maladaptasi perilaku.

6.5.       Efektivitas REBT dalam Perspektif Bukti Ilmiah Mutakhir

Tinjauan sistematis terbaru (hingga Desember 2023) kembali menegaskan konsistensi REBT sebagai evidence-based practice. Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa REBT efektif bila dilakukan dengan: (1) kerangka ABC yang jelas; (2) dipandu praktisi terlatih; dan (3) dilakukan dalam durasi yang cukup panjang.¹² Namun, para peneliti juga menyoroti kebutuhan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme perubahan (apakah perbaikan luaran benar-benar dimediasi oleh perubahan keyakinan), serta adaptasi REBT dalam konteks budaya non-Barat.¹³


Footnotes

[1]                Albert Ellis and Raymond DiGiuseppe, Theories of Personality: Case Studies and Applications (New York: Harper & Row, 1990), 215–220.

[2]                Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.

[3]                Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive Features (London: Routledge, 2009), 59–62.

[4]                Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.

[5]                Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 241–245.

[6]                Maryam Rahimi and Ali Saadatmand, “Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy on Academic Self-Efficacy and Test Anxiety in Students,” Journal of Education and Learning 9, no. 4 (2020): 50–58.

[7]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Routledge, 2010), 121–124.

[8]                Windy Dryden and Albert Ellis, The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy, 2nd ed. (New York: Springer, 2001), 132–136.

[9]                George W. Burns, “Applying REBT in the Workplace: Enhancing Resilience and Reducing Stress,” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy 27, no. 3 (2009): 141–157.

[10]             Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst, NY: Prometheus Books, 2001), 212–220.

[11]             Nicholas Tarrier and Judith Barrowclough, Treating Addiction: Cognitive Behavioural Approaches (London: Routledge, 2010), 89–95.

[12]             A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7 (2024): e0299726, doi.org.

[13]             King et al., “Systematic Review of REBT Interventions,” PLOS ONE (2024), 15–17.


7.           Kritik dan Tantangan REBT

7.1.       Kritik Filosofis

Sejak awal pengembangannya, REBT mendapat kritik karena dianggap terlalu rasionalistik. Para pengkritik berpendapat bahwa fokus Ellis pada disputasi kognitif dan argumentasi logis mengabaikan dimensi non-rasional dari manusia, seperti aspek eksistensial, spiritual, dan budaya.¹ Pendekatan ini juga dituding terlalu direktif dan dogmatis, karena terapis berperan sebagai pendidik yang “mengoreksi” pikiran klien, sehingga berpotensi mengurangi otonomi klien.² Bahkan ada yang menilai bahwa REBT terlalu menekankan “akal sehat” (common sense philosophy) sehingga terkesan simplistik dalam menjelaskan kompleksitas kepribadian dan psikopatologi.³

7.2.       Kritik Metodologis

Dari sisi metodologis, penelitian mengenai REBT kadang dikritik karena:

1)                  Variasi kualitas penelitian – tidak semua studi memenuhi standar metodologi eksperimental yang ketat, sehingga hasilnya bervariasi.⁴

2)                  Kurangnya fokus pada mekanisme perubahan – meskipun banyak studi menunjukkan efektivitas REBT, masih diperdebatkan apakah perubahan klinis benar-benar dimediasi oleh modifikasi keyakinan irasional, atau justru oleh faktor non-spesifik seperti aliansi terapeutik.⁵

3)                  Keterbatasan komparatif – dibandingkan dengan Cognitive Therapy (CT) Aaron Beck, REBT relatif kurang diteliti secara luas, terutama dalam konteks uji coba acak berskala besar.⁶

Kritik ini memunculkan seruan agar penelitian REBT ke depan menggunakan desain eksperimental yang lebih ketat dan memeriksa variabel mediator serta moderator secara sistematis.⁷

7.3.       Kritik Kultural dan Konteks Sosial

Salah satu tantangan terbesar REBT adalah konteks budaya. Ellis mengembangkan REBT di Amerika Serikat pada era 1950–1960-an, yang berakar pada nilai individualistik, kebebasan personal, dan rasionalitas Barat.⁸ Penerapan REBT di masyarakat dengan nilai kolektivistik (misalnya Asia atau Timur Tengah) menghadapi tantangan, karena konsep seperti unconditional self-acceptance atau assertiveness kadang berbenturan dengan norma sosial yang menekankan harmoni kelompok.⁹

Selain itu, REBT dikritik kurang memperhatikan dimensi spiritualitas dan agama, padahal bagi banyak individu keyakinan religius merupakan sumber utama regulasi emosi.¹⁰ Upaya integrasi REBT dengan nilai agama masih terbatas, meskipun sejumlah penelitian belakangan mulai mengeksplorasi adaptasi ini.¹¹

7.4.       Tantangan Implementasi di Era Kontemporer

Di era terapi digital dan kesehatan mental berbasis teknologi, REBT menghadapi beberapa tantangan baru:

·                     Adaptasi ke format online/teletherapy – meski studi awal menunjukkan potensi positif, diperlukan riset lebih lanjut mengenai efektivitas REBT dalam platform daring.¹²

·                     Integrasi dengan terapi berbasis bukti lain – misalnya Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) atau Acceptance and Commitment Therapy (ACT) yang kini populer, sementara REBT masih dipandang lebih “tradisional.”¹³

·                     Standardisasi protokol – belum ada panduan universal untuk praktik REBT yang memudahkan replikasi, sehingga kualitas intervensi bisa berbeda antarpraktisi.¹⁴

7.5.       Arah Masa Depan: Antara Kritik dan Relevansi

Meskipun dikritik, REBT tetap relevan karena menawarkan kerangka teoretis sederhana dan fleksibel. Tantangan utama adalah mengembangkan bukti ilmiah yang lebih kuat, memperluas aplikasi lintas budaya, serta menemukan cara untuk mengintegrasikan REBT dengan pendekatan kontemporer yang lebih menekankan pada konteks, penerimaan, dan nilai-nilai subjektif klien.¹⁵


Footnotes

[1]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Routledge, 2010), 102–104.

[2]                Michael Neenan and Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Advances in Theory and Practice (London: Routledge, 2004), 47–49.

[3]                Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, 10th ed. (Boston: Cengage, 2017), 291–293.

[4]                Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.

[5]                A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7 (2024): e0299726, doi.org.

[6]                Paul Young, “To iB or Not to iB, That Is the Question: On the Differences Between Ellis’ REBT and Beck’s CT,” The Cognitive Behaviour Therapist 16 (2023): e32.

[7]                Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 401–403.

[8]                Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst, NY: Prometheus Books, 2001), 15–17.

[9]                Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive Features (London: Routledge, 2009), 77–80.

[10]             P. C. Watkins, “Religion and Rational Emotive Behavior Therapy: An Uneasy Alliance?” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy 21, no. 2 (2003): 159–170.

[11]             Kristene Doyle and Ray DiGiuseppe, “Religion, Spirituality, and Rational Emotive Behavior Therapy,” dalam Rational Emotive Behavior Therapy: Theoretical Developments (New York: Routledge, 2019), 214–228.

[12]             Mark Griffiths and Daria Kuss, “Online Interventions and REBT: Opportunities and Challenges,” Journal of Technology in Behavioral Science 5, no. 3 (2020): 210–218.

[13]             Steven C. Hayes, Kirk Strosahl, and Kelly G. Wilson, Acceptance and Commitment Therapy: The Process and Practice of Mindful Change, 2nd ed. (New York: Guilford, 2012), 25–27.

[14]             DiGiuseppe, Doyle, and Dryden, Practitioner’s Guide to REBT, 403–405.

[15]             King et al., “Systematic Review of REBT Interventions,” PLOS ONE (2024), 15–17.


8.           Relevansi Kontemporer

8.1.       Integrasi dengan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) memiliki posisi penting dalam sejarah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) modern. Banyak prinsip REBT, terutama mengenai peran evaluative beliefs, menjadi dasar bagi perkembangan terapi kognitif Aaron Beck pada 1960–1970-an.¹ Namun, meskipun CBT kini lebih dikenal secara luas, REBT tetap relevan karena menyajikan dimensi filosofis yang lebih eksplisit—seperti unconditional self-acceptance (USA), unconditional other-acceptance (UOA), dan unconditional life-acceptance (ULA)—yang tidak terlalu ditekankan dalam CT Beck.² Peneliti kontemporer menilai bahwa REBT dan CBT dapat saling melengkapi: CBT membawa presisi metodologis dan protokol gangguan-spesifik, sementara REBT menambahkan landasan filosofis yang lebih universal.³

8.2.       REBT dalam Terapi Berbasis Teknologi

Perkembangan teknologi kesehatan mental, termasuk teletherapy, aplikasi digital, dan terapi berbasis kecerdasan buatan, membuka peluang baru bagi REBT.⁴ Studi awal menunjukkan bahwa modul daring REBT dapat efektif menurunkan stres dan kecemasan, terutama pada populasi muda yang lebih akrab dengan teknologi.⁵ Tantangan utama adalah bagaimana mempertahankan aspek disputasi aktif dan keterlibatan emosional dalam platform digital, tanpa mengurangi kualitas interaksi terapeutik.⁶

Selain itu, pengembangan self-help programs berbasis REBT—misalnya online bibliotherapy dan interactive CBT apps—menunjukkan potensi besar dalam menjangkau populasi yang belum terlayani layanan psikologis tradisional.⁷

8.3.       REBT dan Psikologi Positif

Dalam dua dekade terakhir, psikologi positif menekankan pentingnya pembangunan kekuatan personal, resiliensi, dan well-being. Prinsip REBT sejalan dengan hal ini, khususnya melalui ajaran toleransi frustrasi dan penerimaan tanpa syarat.⁸ Ellis menegaskan bahwa kebahagiaan tidak hanya bergantung pada pencapaian eksternal, tetapi pada kemampuan individu berpikir secara rasional dan fleksibel.⁹

REBT juga berkontribusi terhadap pengembangan resilience training dalam organisasi, pendidikan, dan olahraga.¹⁰ Misalnya, intervensi REBT pada atlet telah terbukti meningkatkan daya tahan mental, mengurangi kecemasan performa, dan memperkuat motivasi.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa REBT tidak hanya efektif dalam mengatasi gangguan, tetapi juga dalam membangun potensi positif individu.

8.4.       Relevansi Lintas Budaya dan Spiritualitas

Kritik terhadap REBT yang dianggap terlalu individualistik dan Barat mendorong penyesuaian lintas budaya.¹² Dalam beberapa konteks, konselor mengintegrasikan REBT dengan nilai-nilai lokal, spiritualitas, atau ajaran agama, untuk meningkatkan penerimaan klien.¹³ Integrasi ini terlihat dalam penelitian yang menggabungkan REBT dengan konseling berbasis agama, yang menunjukkan efektivitas lebih tinggi dalam mengurangi kecemasan pada individu beragama dibandingkan REBT murni.¹⁴

Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun REBT lahir dari filsafat rasional Barat, pendekatannya dapat dimodifikasi agar tetap relevan di masyarakat dengan orientasi kolektivistik atau religius.

8.5.       Prospek Masa Depan

Ke depan, REBT dihadapkan pada tiga agenda besar:

1)                  Penguatan basis ilmiah melalui penelitian dengan desain eksperimental ketat.

2)                  Adaptasi ke era digital, termasuk aplikasi seluler dan terapi berbasis AI.

3)                  Integrasi lintas paradigma, misalnya menggabungkan REBT dengan mindfulness, Acceptance and Commitment Therapy (ACT), dan pendekatan berbasis nilai budaya atau religius.¹⁵

Dengan demikian, REBT tetap menjadi bagian penting dari terapi kognitif-perilaku, bukan hanya sebagai warisan historis, tetapi juga sebagai model terapi yang dinamis, relevan, dan adaptif terhadap tantangan psikologis kontemporer.


Footnotes

[1]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 34–38.

[2]                Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 305–307.

[3]                Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.

[4]                Mark Griffiths and Daria Kuss, “Online Interventions and REBT: Opportunities and Challenges,” Journal of Technology in Behavioral Science 5, no. 3 (2020): 210–218.

[5]                A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7 (2024): e0299726, doi.org.

[6]                Griffiths and Kuss, “Online Interventions and REBT,” 213–215.

[7]                Windy Dryden, How to Use REBT in Coaching (London: Routledge, 2012), 99–102.

[8]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Routledge, 2010), 121–125.

[9]                Albert Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst, NY: Prometheus Books, 2001), 75–78.

[10]             George W. Burns, “Applying REBT in the Workplace: Enhancing Resilience and Reducing Stress,” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy 27, no. 3 (2009): 141–157.

[11]             Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.

[12]             Michael Neenan and Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Advances in Theory and Practice (London: Routledge, 2004), 67–69.

[13]             Kristene Doyle and Raymond DiGiuseppe, “Religion, Spirituality, and Rational Emotive Behavior Therapy,” dalam Rational Emotive Behavior Therapy: Theoretical Developments (New York: Routledge, 2019), 214–228.

[14]             P. C. Watkins, “Religion and Rational Emotive Behavior Therapy: An Uneasy Alliance?” Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy 21, no. 2 (2003): 159–170.

[15]             Steven C. Hayes, Kirk Strosahl, and Kelly G. Wilson, Acceptance and Commitment Therapy: The Process and Practice of Mindful Change, 2nd ed. (New York: Guilford, 2012), 25–27.


9.           Penutup

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) yang diperkenalkan oleh Albert Ellis pada pertengahan abad ke-20 merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah psikoterapi modern.¹ Sebagai pionir terapi kognitif-perilaku, REBT menekankan peran keyakinan irasional dalam memunculkan emosi disfungsional dan perilaku maladaptif, serta menawarkan pendekatan sistematis melalui model ABC/ABCDE untuk mengidentifikasi, menantang, dan mengganti keyakinan tersebut dengan alternatif yang lebih rasional.²

Landasan filosofis REBT yang berakar pada Stoikisme dan pengaruh General Semantics memberikan dimensi unik yang membedakannya dari bentuk Cognitive Therapy (CT) Aaron Beck.³ Sementara CT cenderung fokus pada pikiran otomatis dan skema, REBT menekankan evaluative beliefs yang bersifat filosofis, seperti demandingness, awfulizing, dan low frustration tolerance.⁴ Dimensi filosofis inilah yang menjadikan REBT tidak hanya sekadar intervensi klinis, tetapi juga kerangka hidup rasional untuk mencapai kesehatan emosional jangka panjang.

Dari perspektif empiris, berbagai studi dan meta-analisis telah menunjukkan efektivitas REBT dalam mengatasi beragam kondisi, termasuk kecemasan, depresi, fobia, adiksi, hingga permasalahan kinerja dalam pendidikan dan olahraga.⁵ REBT juga terbukti relevan di luar ranah klinis, seperti pendidikan, organisasi, dan dunia kerja, dengan memberikan kontribusi pada pengembangan resiliensi, regulasi emosi, dan unconditional acceptance.⁶ Dengan demikian, REBT tidak hanya berfungsi sebagai intervensi terapeutik, tetapi juga sebagai pendekatan preventif dan promotif bagi kesehatan mental.

Meski demikian, kritik tetap ada. Beberapa pihak menilai REBT terlalu rasionalistik dan direktif, serta kurang memperhatikan dimensi kultural dan spiritualitas.⁷ Tantangan metodologis juga muncul, terutama terkait kebutuhan penelitian dengan standar yang lebih ketat untuk menegaskan mekanisme perubahan dalam REBT.⁸ Namun, kritik-kritik ini justru mendorong pengembangan REBT ke arah yang lebih adaptif, inklusif, dan berbasis bukti.

Dalam konteks kontemporer, REBT masih memiliki relevansi yang besar. Integrasinya dengan CBT modern, pemanfaatannya dalam terapi digital, serta konvergensinya dengan psikologi positif menunjukkan bahwa REBT tetap mampu menjawab kebutuhan psikologis masyarakat modern.⁹ Masa depan REBT terletak pada kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan ilmu psikologi, teknologi, dan keragaman budaya, tanpa kehilangan inti filosofisnya: keyakinan bahwa manusia dapat memilih untuk berpikir lebih rasional, merasakan lebih sehat, dan bertindak lebih adaptif.¹⁰

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa REBT bukan sekadar warisan historis, melainkan model psikoterapi yang hidup dan berkembang. Ia tetap relevan, baik sebagai terapi klinis maupun sebagai filsafat praktis kehidupan, yang mengajarkan pentingnya penerimaan, tanggung jawab pribadi, dan rasionalitas dalam menghadapi tantangan hidup.


Footnotes

[1]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 34–38.

[2]                Raymond DiGiuseppe, Kristene Doyle, and Windy Dryden, A Practitioner’s Guide to Rational-Emotive Behavior Therapy, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 41–45.

[3]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Routledge, 2010), 101–105.

[4]                Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Distinctive Features (London: Routledge, 2009), 17–22.

[5]                Daniel David et al., “Fifty Years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Journal of Clinical Psychology 74, no. 3 (2018): 304–318, doi.org.

[6]                Martin J. Turner, “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes,” Frontiers in Psychology 7 (2016): 1423, doi.org.

[7]                Michael Neenan and Windy Dryden, Rational Emotive Behaviour Therapy: Advances in Theory and Practice (London: Routledge, 2004), 47–49.

[8]                A. M. King et al., “A Systematic Review of the Nature and Efficacy of Rational Emotive Behaviour Therapy Interventions,” PLOS ONE 19, no. 7 (2024): e0299726, doi.org.

[9]                Mark Griffiths and Daria Kuss, “Online Interventions and REBT: Opportunities and Challenges,” Journal of Technology in Behavioral Science 5, no. 3 (2020): 210–218.

[10]             Ellis, Overcoming Destructive Beliefs, Feelings, and Behaviors: New Directions for Rational Emotive Behavior Therapy (Amherst, NY: Prometheus Books, 2001), 75–78.


Daftar Pustaka

Burns, G. W. (2009). Applying REBT in the workplace: Enhancing resilience and reducing stress. Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy, 27(3), 141–157. doi.org

Corey, G. (2017). Theory and practice of counseling and psychotherapy (10th ed.). Boston, MA: Cengage.

David, D., Lynn, S. J., & Ellis, A. (2010). Rational and irrational beliefs: A historical and conceptual perspective. Journal of Cognitive Psychotherapy, 24(3), 179–192. doi.org

David, D., Szentagotai, A., Eva, K., & Macavei, B. (2018). Fifty years of Rational-Emotive and Cognitive-Behavioral Therapy: A systematic review and meta-analysis. Journal of Clinical Psychology, 74(3), 304–318. doi.org

DiGiuseppe, R., Doyle, K., & Dryden, W. (2014). A practitioner’s guide to Rational-Emotive Behavior Therapy (3rd ed.). New York, NY: Oxford University Press.

DiGiuseppe, R., & Doyle, K. (2013). Cognitive techniques in REBT. In R. DiGiuseppe, K. Doyle, & W. Dryden (Eds.), Cognitive-behavioral theories of counseling (pp. 101–120). New York, NY: Springer.

Ellis, A. (1955). New approaches to psychotherapy techniques. Journal of Clinical Psychology, 11(3), 207–260. doi.org

Ellis, A. (1957). Outcome of employing three techniques of psychotherapy. Journal of Clinical Psychology, 13(4), 344–350. doi.org

Ellis, A. (1958). Rational psychotherapy. Journal of General Psychology, 59(1), 35–49. doi.org

Ellis, A. (1962). Reason and emotion in psychotherapy. New York, NY: Lyle Stuart.

Ellis, A. (1988). How to stubbornly refuse to make yourself miserable about anything—Yes, anything! Secaucus, NJ: Lyle Stuart.

Ellis, A. (1995). Changing Rational-Emotive Therapy (RET) to Rational Emotive Behavior Therapy (REBT). Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy, 13(2), 85–89. doi.org

Ellis, A. (2001). Overcoming destructive beliefs, feelings, and behaviors: New directions for Rational Emotive Behavior Therapy. Amherst, NY: Prometheus Books.

Ellis, A., & DiGiuseppe, R. (1993). Are homework assignments necessary in REBT? Cognitive Therapy and Research, 17(2), 111–120. doi.org

Ellis, A., & Dryden, W. (2001). The practice of Rational Emotive Behavior Therapy (2nd ed.). New York, NY: Springer.

Ellis, A., & DiGiuseppe, R. (1990). Theories of personality: Case studies and applications. New York, NY: Harper & Row.

Griffiths, M., & Kuss, D. (2020). Online interventions and REBT: Opportunities and challenges. Journal of Technology in Behavioral Science, 5(3), 210–218. doi.org

Hayes, S. C., Strosahl, K., & Wilson, K. G. (2012). Acceptance and Commitment Therapy: The process and practice of mindful change (2nd ed.). New York, NY: Guilford Press.

King, A. M., Ollis, J., Glazebrook, K., & McHugh, C. (2024). A systematic review of the nature and efficacy of Rational Emotive Behaviour Therapy interventions. PLOS ONE, 19(7), e0299726. doi.org

Korzybski, A. (1994). Science and sanity: An introduction to non-Aristotelian systems and General Semantics (5th ed.). Brooklyn, NY: Institute of General Semantics.

Levinson, M. H. (2010). Alfred Korzybski and Rational Emotive Behavior Therapy. ETC: A Review of General Semantics, 67(1), 55–63.

Neenan, M., & Dryden, W. (2004). Rational Emotive Behaviour Therapy: Advances in theory and practice. London, UK: Routledge.

Rahimi, M., & Saadatmand, A. (2020). Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy on academic self-efficacy and test anxiety in students. Journal of Education and Learning, 9(4), 50–58. doi.org

Robertson, D. (2010). The philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic philosophy as rational and cognitive psychotherapy. London, UK: Routledge.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. London, UK: Teach Yourself.

Tarrier, N., & Barrowclough, J. (2010). Treating addiction: Cognitive behavioural approaches. London, UK: Routledge.

Turner, M. J. (2016). Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), irrational and rational beliefs, and the mental health of athletes. Frontiers in Psychology, 7, 1423. doi.org

Watkins, P. C. (2003). Religion and Rational Emotive Behavior Therapy: An uneasy alliance? Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy, 21(2), 159–170. doi.org

Young, P. (2023). To iB or not to iB, that is the question: On the differences between Ellis’ REBT and Beck’s CT. The Cognitive Behaviour Therapist, 16, e32. doi.org


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar