Iluminasionisme (Suhrawardī)
Cahaya sebagai Realitas Tertinggi
Alihkan ke: Metafisika Islam.
Abstrak
Filsafat Iluminasionisme (Ḥikmat al-Isyrāq)
yang dikembangkan oleh Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī (1154–1191 M) merupakan
salah satu sistem metafisika paling orisinal dalam khazanah filsafat Islam.
Berbeda dari paradigma peripatetik Avicennian yang menekankan wujūd
(eksistensi) sebagai kategori tertinggi, Suhrawardī mengajukan nūr
(cahaya) sebagai prinsip universal realitas, kesadaran, dan nilai. Melalui
konsep ini, ia membangun suatu hierarki ontologis bercahaya yang menjelaskan
struktur kosmos sebagai pancaran dari Nūr al-Anwār (Cahaya Mutlak).
Artikel ini menelusuri bangunan konseptual Iluminasionisme melalui pendekatan
sistematik—meliputi dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis,
mistis, sosial, hingga relevansi kontemporernya.
Epistemologi Suhrawardī berpusat pada ʿilm
ḥuḍūrī (pengetahuan hadiriah), yakni bentuk pengetahuan presensial di mana
subjek dan objek tidak lagi terpisah, melainkan bersatu dalam kesadaran
bercahaya. Etika Iluminatifnya menempatkan pencerahan batin sebagai dasar
moralitas dan kebaikan, dengan kegelapan dipahami bukan sebagai entitas jahat,
melainkan ketiadaan cahaya. Melalui sintesis antara rasionalitas dan intuisi,
antara filsafat Yunani dan kebijaksanaan Timur, Suhrawardī membangun sistem
filsafat yang integratif dan simbolik.
Relevansi kontemporer Ḥikmat al-Isyrāq
tampak dalam tiga ranah utama: pertama, sebagai alternatif epistemologi
non-dualistis yang mengatasi krisis reduksionisme rasional modern; kedua,
sebagai landasan etika spiritual dan ekologis yang menegaskan kesatuan manusia
dengan kosmos; dan ketiga, sebagai paradigma dialog antarperadaban yang
menyatukan rasio dan iman, sains dan metafisika. Dengan demikian,
Iluminasionisme Suhrawardī bukan sekadar warisan metafisik klasik, tetapi model
filsafat kesadaran integral yang menjadikan “cahaya” sebagai prinsip universal
kebenaran dan eksistensi.
Kata Kunci: Iluminasionisme; Suhrawardī; Ḥikmat al-Isyrāq;
Ontologi Cahaya; ʿIlm Ḥuḍūrī; Epistemologi Presensial; Etika Iluminatif;
Filsafat Islam; Rasionalitas dan Intuisi; Kesadaran Transendental.
PEMBAHASAN
Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis atas Iluminasionisme
Suhrawardī
1.
Pendahuluan
Filsafat Iluminasionisme (Ḥikmat al-Isyrāq)
yang digagas oleh Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī (1154–1191 M)
menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah pemikiran Islam. Ia hadir
sebagai sintesis antara rasionalisme peripatetik yang diwarisi dari Ibn Sīnā
(Avicenna) dan dimensi intuisionis-spiritual yang diilhami oleh tradisi mistik
Islam serta neoplatonisme Yunani. Dalam sistem Suhrawardī, “cahaya” (nūr)
menjadi prinsip metafisik tertinggi dan kategori ontologis paling fundamental
yang menjelaskan realitas, pengetahuan, dan etika manusia. Semua wujud,
menurutnya, adalah pancaran dari Cahaya Mutlak (Nūr al-Anwār),
yang menjadi sumber segala eksistensi dan kesadaran.¹
Kelahiran gagasan Iluminasionisme tidak bisa
dilepaskan dari konteks intelektual abad ke-12 yang ditandai oleh kejenuhan
terhadap rasionalisme kaku mazhab peripatetik (mashsha’ī). Dalam iklim
intelektual itu, Suhrawardī berusaha mengembalikan filsafat kepada akar
simboliknya sebagai “jalan pencerahan,” yakni pengalaman langsung terhadap
kebenaran yang tidak semata dicapai melalui deduksi logis, tetapi melalui penyingkapan
(kashf) dan penyinaran batin (ishrāq).² Ilmu bagi
Suhrawardī bukan sekadar hasil konseptualisasi rasional, melainkan pengetahuan
hadiriah (ʿilm ḥuḍūrī)—suatu pengetahuan yang diperoleh karena
subjek dan objeknya bersatu dalam terang kesadaran.³
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menelusuri
dasar-dasar filosofis Iluminasionisme secara sistematis melalui tiga dimensi
utama: ontologi cahaya, epistemologi iluminatif, dan aksiologi
moral-spiritual. Ketiga ranah ini akan dianalisis dalam kaitannya dengan
gagasan Suhrawardī tentang hierarki cahaya, mekanisme pengetahuan langsung, dan
orientasi etis terhadap kebaikan sebagai intensitas eksistensial. Melalui
pendekatan historis-filosofis dan hermeneutika konseptual, artikel ini berusaha
menunjukkan bahwa Iluminasionisme bukan hanya sistem metafisika, melainkan juga
paradigma integral yang menyatukan rasionalitas, spiritualitas, dan moralitas.⁴
Secara metodologis, penelitian ini memadukan analisis
historis terhadap konteks kelahiran Ḥikmat al-Isyrāq dengan analisis
konseptual terhadap kategori-kategori kunci seperti nūr, ẓulmah,
ḥuḍūr, dan isyraq. Pendekatan ini juga memperhatikan aspek hermeneutik-simbolik,
mengingat Suhrawardī sering menyampaikan pemikirannya melalui alegori mistik
seperti kisah Burung Barat (Qiṣṣat al-Ghurba al-Gharbiyyah) atau
simbol matahari terbit sebagai metafora pencerahan akal dan jiwa.⁵ Dengan
demikian, pembahasan tentang Iluminasionisme tidak hanya mengungkap sistem
rasional-metafisik, tetapi juga dimensi eksistensial dan simbolik yang
memperkaya warisan filsafat Islam.
Melalui pembahasan ini, diharapkan muncul pemahaman
bahwa Ḥikmat al-Isyrāq tidak hanya relevan bagi studi sejarah pemikiran
Islam, tetapi juga memiliki nilai kontemporer dalam diskursus filsafat
kesadaran dan etika modern. Prinsip iluminasi Suhrawardī, bila ditafsirkan
secara filosofis, dapat menjadi jembatan antara metafisika klasik dan
fenomenologi modern—antara cahaya metafisis dan kesadaran
transendental—sehingga membuka ruang dialog antara Timur dan Barat dalam
pencarian makna kebenaran yang lebih utuh.⁶
Footnotes
[1]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq,
ed. Henry Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 12–14.
[2]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1978), 46–49.
[3]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
27–31.
[4]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East:
Suhrawardī and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 63–70.
[5]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Qiṣṣat al-Ghurba
al-Gharbiyyah, dalam Majmūʿat Muṣannafāt Suhrawardī, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 222–228.
[6]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY
Press, 1992), 104–109.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
2.1. Konteks Intelektual Dunia Islam Abad ke-12
Abad ke-12 merupakan
masa transisi besar dalam sejarah intelektual Islam. Tradisi rasional-filosofis
yang dikembangkan oleh Ibn Sīnā (Avicenna) mulai mengalami kejenuhan
intelektual akibat rigiditas logika dan sistem metafisika peripatetik yang
menekankan deduksi rasional atas dasar kategori Aristotelian.¹ Pada saat yang
sama, arus spiritualitas Islam melalui tasawuf filosofis semakin menguat,
dipengaruhi oleh gagasan al-Ghazālī yang menegaskan keterbatasan akal dalam menjangkau
hakikat realitas Ilahi.² Dalam konteks inilah, Suhrawardī muncul sebagai tokoh
yang berusaha mengembalikan filsafat kepada dimensi intuitif dan simbolik,
yakni ḥikmah isyrāqiyyah—“kebijaksanaan
pencerahan.”³
Suhrawardī
menyaksikan pergeseran paradigma dari rasionalisme menuju mistisisme dan
berupaya menyintesiskan keduanya. Ia memandang bahwa filsafat sejati harus
menggabungkan dua jalan: rasionalitas argumentatif dan iluminasi batin (dhawq).
Dengan demikian, sistem Ḥikmat al-Isyrāq menjadi respons
kreatif terhadap stagnasi intelektual kala itu serta upaya untuk menegakkan
kembali harmoni antara akal (ʿaql) dan intuisi spiritual (mukāshafah).⁴
2.2. Genealogi Pemikiran Suhrawardī
Secara genealogis,
Iluminasionisme Suhrawardī berakar pada sintesis antara filsafat Yunani,
spiritualitas Iran kuno, dan warisan Islam. Dari Plato dan Plotinus, ia
mewarisi struktur hierarki realitas dan gagasan tentang emanasi
cahaya, yang ia adaptasi menjadi teori “tingkat-tingkat cahaya”
(marātib
al-anwār).⁵ Dari Zoroastrianisme, ia menyerap simbolisme kosmis
antara terang dan gelap, bukan sebagai dualisme moral, tetapi sebagai perbedaan
ontologis antara wujud dan ketiadaan.⁶ Sedangkan dari Ibn Sīnā, ia mengambil
konsep wujūd
(eksistensi) dan ma‘qūlāt (inteleksi), lalu
menafsirkannya kembali melalui kerangka iluminatif di mana pengetahuan bukan
hasil abstraksi, melainkan hasil penyinaran kesadaran.⁷
Selain itu,
Suhrawardī menempatkan dirinya sebagai pewaris “hikmah kuno” (al-ḥikmah
al-ladunniyyah), yakni kebijaksanaan primordial yang ia yakini
pernah dipraktikkan oleh para “bijak Timur” (ḥukamāʾ al-furs) dan nabi-nabi
terdahulu.⁸ Ia menulis bahwa cahaya kebijaksanaan itu berpindah dari Hermes,
Pythagoras, Plato, hingga para sufi besar Islam.⁹ Konsep ini memperlihatkan
orientasi “perennial” dalam sistemnya: filsafat bukan sekadar diskursus
rasional, tetapi jalan pewarisan cahaya kebenaran dari zaman ke zaman.
2.3. Karya-Karya Utama Suhrawardī
Magnum opus-nya, Ḥikmat
al-Isyrāq (Kebijaksanaan Iluminasi), ditulis sekitar tahun 1186 M
di Aleppo, merupakan puncak sintesis antara rasionalitas Avicennian dan intuisi
mistik.¹⁰ Dalam karya tersebut, Suhrawardī membangun sistem metafisika cahaya
yang menyeluruh—menjelaskan realitas, pengetahuan, dan jiwa melalui struktur
kosmos bercahaya. Karya lainnya seperti Talwīḥāt, Muṭārahāt,
dan Hayākil
al-Nūr menunjukkan pendekatan pedagogis yang memadukan dialog
rasional dengan simbolisme alegoris.¹¹ Melalui gaya penulisan yang penuh
metafora cahaya, ia tidak hanya menyusun sistem logika baru, tetapi juga “kosmologi
cahaya” yang menjembatani filsafat dan spiritualitas.
2.4. Perbandingan dengan Mazhab Peripatetik
Mazhab peripatetik (al-mashsha’iyyūn),
yang diasaskan oleh Ibn Sīnā, menempatkan wujūd sebagai prinsip tertinggi dan
menjelaskan pengetahuan melalui proses abstraksi intelektual. Dalam sistem ini,
pengetahuan adalah representasi mental atas realitas eksternal.¹² Sebaliknya,
Suhrawardī menolak pandangan representasional tersebut dan menggantinya dengan
teori pengetahuan
hadiriah (ʿilm ḥuḍūrī), di mana subjek dan
objek pengetahuan hadir secara langsung dalam cahaya kesadaran tanpa perantara
konsep.¹³
Jika dalam
Avicennianisme wujud bersifat analogis dan ditangkap oleh akal aktif, maka
dalam Iluminasionisme wujud ditafsirkan sebagai intensitas cahaya yang
bervariasi dari Cahaya Mutlak hingga kegelapan materi.¹⁴ Dengan demikian,
Suhrawardī tidak sekadar merevisi sistem metafisika Ibn Sīnā, tetapi
mentransformasikannya menjadi ontologi iluminatif yang menegaskan kehadiran
langsung Tuhan sebagai sumber segala pancaran eksistensi.
Kesimpulan Sementara
Landasan historis
dan genealogis Iluminasionisme menunjukkan bahwa Suhrawardī bukan hanya
inovator metafisika, melainkan juga jembatan antara berbagai tradisi
kebijaksanaan. Ia berhasil merumuskan hikmah isyrāqiyyah sebagai
“filsafat Timur” yang memadukan warisan Yunani, Persia, dan Islam ke dalam
suatu sistem pencerahan universal.¹⁵ Dengan fondasi inilah, Iluminasionisme
berkembang menjadi mazhab besar dalam filsafat Islam pasca-Avicenna, dan kelak
memengaruhi tokoh-tokoh seperti Shahrazūrī, Qutb al-Dīn al-Shīrāzī, hingga
Mulla Ṣadrā.¹⁶
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 148–150.
[2]
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1927), 201–205.
[3]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 207–211.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 63–66.
[5]
Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1966), V.1.6.
[6]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les Platoniciens
de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 52–54.
[7]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 41–44.
[8]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 5–7.
[9]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 33–37.
[10]
Corbin, History of Islamic Philosophy, 212–215.
[11]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 22–25.
[12]
Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hayʾah al-ʿĀmmah, 1960), 278–282.
[13]
Ziai, Knowledge and Illumination, 50–54.
[14]
Nasr, Three Muslim Sages, 70–72.
[15]
Corbin, En Islam Iranien, 60–65.
[16]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 15–17.
3.
Ontologi
Cahaya
3.1. Cahaya sebagai Wujud Primer (Nūr al-Anwār)
Dalam sistem
filsafat Suhrawardī, “cahaya” (nūr) merupakan realitas metafisik
paling fundamental dan bersifat primer. Tidak seperti filsafat
peripatetik yang menjadikan wujūd (eksistensi) sebagai kategori
ontologis tertinggi, Suhrawardī menggantinya dengan nūr al-anwār—“Cahaya dari segala cahaya”—sebagai
sumber realitas dan keberadaan.¹ Segala sesuatu, baik yang bersifat material
maupun immaterial, memperoleh eksistensinya dari pancaran dan partisipasi
terhadap cahaya tersebut. Dalam kerangka ini, “cahaya” bukan sekadar
fenomena fisik, melainkan prinsip ontologis universal yang menandai ada-nya
segala sesuatu.
Menurut Suhrawardī, nūr
memiliki dua sifat utama: kesadaran-diri (self-manifestation)
dan manifestasi
terhadap yang lain (illumination).² Karena itu, hanya nūr
yang benar-benar memiliki being dalam pengertian ontologis
yang penuh; sedangkan kegelapan (ẓulmah) hanyalah ketiadaan
pancaran, atau bentuk non-ada yang tidak memiliki realitas positif.³ Pandangan
ini membentuk suatu ontologi non-dualistis, sebab “gelap”
bukan lawan dari cahaya secara substansial, melainkan taraf terendah dari
intensitas wujud.
3.2. Tingkat-Tingkat Kebercahayaan (Marātib al-Anwār)
Suhrawardī membangun
kosmologi hierarkis berdasarkan prinsip tingkat kebercahayaan (marātib
al-anwār).⁴ Pada puncak hierarki terdapat Nūr
al-Anwār, sumber dari segala pancaran eksistensial. Dari-Nya
terpancar “cahaya-cahaya suci” (al-anwār al-mujarradah) yang
identik dengan intelek-intelek aktif (ʿuqūl), kemudian diikuti oleh anwār
qāhirah (cahaya-cahaya pengendali), dan akhirnya cahaya-cahaya
partikular yang mengatur dunia materi.⁵
Struktur ini
menggambarkan kosmos sebagai rantai emanasi cahaya (silsilat
al-nūr), yang mengalir dari yang paling terang menuju yang paling
redup. Hubungan antara tingkatan-tingkatan ini bersifat “vertikal” dan “kontinu,”
tanpa ada pemisahan substansial.⁶ Dengan demikian, seluruh realitas bersatu
dalam satu sistem ontologis yang bergradasi menurut intensitas cahaya—suatu
struktur yang mirip dengan teori emanasi Plotinus, tetapi dengan
makna spiritual yang lebih personal dan intuitif.⁷
3.3. Relasi Antara Cahaya dan Kegelapan
Dalam Ḥikmat
al-Isyrāq, Suhrawardī menegaskan bahwa kegelapan (ẓulmah)
bukanlah entitas mandiri, melainkan “ketiadaan penyinaran” dari sumber
cahaya.⁸ Ia menolak dualisme kosmologis Zoroastrian yang menempatkan terang dan
gelap sebagai dua prinsip ontologis yang setara. Dalam pandangannya, hanya nūr
yang memiliki hakikat sejati, sedangkan ẓulmah hanyalah derajat minim dari
wujud.⁹ Karena itu, seluruh eksistensi pada hakikatnya merupakan “tingkatan
cahaya” yang berbeda intensitasnya, bukan realitas yang saling berlawanan
secara substansial.
Pemikiran ini
membawa implikasi metafisis yang mendalam: segala sesuatu pada dasarnya adalah manifestasi
Ilahi yang tergradasi. Dunia material bukanlah realitas yang
terpisah dari Tuhan, tetapi refleksi paling redup dari Cahaya
Mutlak.¹⁰ Dengan demikian, konsep “cahaya” dalam sistem Suhrawardī
memadukan aspek ontologis, kosmologis, dan teologis ke dalam satu kesatuan
hierarki wujud.
3.4. Implikasi Ontologis terhadap Kosmos dan Jiwa
Konsepsi cahaya
sebagai hakikat realitas memiliki konsekuensi besar bagi pemahaman tentang jiwa
manusia dan struktur kosmos. Jiwa manusia, menurut Suhrawardī,
merupakan entitas bercahaya yang terperangkap dalam tubuh gelap.¹¹ Oleh karena
itu, kehidupan spiritual adalah proses penyinaran kembali—kembalinya jiwa
kepada sumber cahayanya melalui kontemplasi dan penyucian batin. Proses ini
digambarkan sebagai “pendakian vertikal” dari kegelapan menuju puncak
cahaya, atau dari dunia mulk (materi) ke dunia malakūt
(spiritual).¹²
Kosmos pun
ditafsirkan sebagai sistem iluminatif di mana setiap entitas menempati
posisinya berdasarkan derajat partisipasi terhadap cahaya Ilahi.¹³ Tidak ada
entitas yang sepenuhnya gelap, karena bahkan materi sekalipun masih menyimpan
sisa-sisa pancaran cahaya. Dengan demikian, ontologi Suhrawardī bukan hanya
metafisika eksistensi, tetapi juga kosmologi kesadaran—sebuah
pandangan di mana seluruh alam semesta merupakan jaringan kebercahayaan yang
saling menerangi.¹⁴
Kesimpulan Sementara
Ontologi cahaya
Suhrawardī menawarkan paradigma baru dalam metafisika Islam. Ia menggeser fokus
dari “eksistensi” ke “manifestasi,” dari substansi ke intensitas,
dari rasionalitas ke pencerahan batin. Cahaya menjadi metafora sekaligus
realitas metafisik yang menjelaskan hakikat keberadaan, pengetahuan, dan
spiritualitas. Dengan membangun sistem hierarki cahaya yang bersifat inklusif,
Suhrawardī menghadirkan kosmologi yang menolak dualisme dan menegaskan bahwa
seluruh wujud adalah partisipasi dalam satu realitas tunggal: Nūr
al-Anwār, Cahaya dari segala cahaya.¹⁵
Footnotes
[1]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 12–15.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 58–61.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 81–83.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 69–71.
[5]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, 33–37.
[6]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 82–85.
[7]
Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1966), V.2.1–3.
[8]
Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, 41–43.
[9]
Corbin, En Islam Iranien, 88–90.
[10]
Nasr, Three Muslim Sages, 75–77.
[11]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 43–45.
[12]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1978), 112–115.
[13]
Ziai, Knowledge and Illumination, 67–69.
[14]
Walbridge, The Wisdom of the Mystic East, 90–94.
[15]
Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard
and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 220–223.
4.
Epistemologi
Iluminatif
4.1. Pengetahuan sebagai Pencerahan (ʿIlm Ḥuḍūrī)
Dalam sistem
filsafat Suhrawardī, pengetahuan (ʿilm) tidak dipahami sebagai
representasi konseptual dari realitas, melainkan sebagai pencerahan
langsung (ʿilm ḥuḍūrī)—yakni kehadiran
realitas yang diketahui di hadapan subjek yang mengetahui.¹ Dalam model ini,
subjek tidak menciptakan gambaran mental tentang objek, tetapi mengalami
kehadiran objek itu sendiri dalam cahaya kesadarannya. Pengetahuan, dengan
demikian, bersifat langsung, intuitif, dan ontologis, bukan sekadar kognitif.
Menurut Suhrawardī,
bentuk tertinggi dari pengetahuan adalah pengetahuan-diri (maʿrifah
bi al-dhāt), karena kesadaran-diri adalah bentuk paling murni dari kehadiran
cahaya terhadap dirinya sendiri.² Dalam kesadaran ini, tidak ada
jarak epistemologis antara yang mengetahui dan yang diketahui, sebab keduanya
bersatu dalam satu intensitas kebercahayaan.³ Oleh karena itu, “mengetahui”
tidak berbeda dari “menjadi,” karena pengetahuan adalah wujud itu
sendiri dalam modus manifestasinya yang sadar.
Epistemologi ini
menolak dualisme antara subjek dan objek yang menjadi dasar epistemologi
Aristotelian dan Avicennian. Dalam sistem peripatetik, pengetahuan dihasilkan
melalui abstraksi intelektual (taʿaqqul), sedangkan dalam
Iluminasionisme, pengetahuan adalah hasil penyingkapan (kashf)
dan penyinaran
batin (ishrāq).⁴
4.2. Perbandingan dengan Epistemologi Aristotelian
Epistemologi
iluminatif Suhrawardī menandai pergeseran mendasar dari paradigma
representasional menuju paradigma kehadiran. Jika dalam epistemologi
Aristotelian pengetahuan dipahami sebagai form yang ditransfer dari objek ke
intelek, maka dalam pandangan Suhrawardī, pengetahuan adalah cahaya
objek itu sendiri yang hadir pada subjek.⁵ Dengan demikian,
hubungan epistemik bukanlah relasi simbolik, tetapi relasi ontologis—suatu
korespondensi eksistensial yang menyatukan yang mengetahui dan yang diketahui.⁶
Lebih jauh,
Suhrawardī menolak teori species intelligibilis yang
diajukan oleh Ibn Sīnā, karena baginya pengetahuan tidak membutuhkan
representasi formal dalam intelek.⁷ Pengetahuan yang sejati bersifat presensial
(ḥuḍūrī),
bukan representasional
(ṣūrī).
Contoh tertinggi dari pengetahuan presensial adalah kesadaran seseorang
terhadap dirinya sendiri, yang tidak memerlukan perantara konsep atau citra.⁸
Dengan demikian,
epistemologi iluminatif Suhrawardī mengubah struktur klasik epistemologi Islam:
dari pengetahuan yang diperoleh melalui proses logis menjadi pengetahuan yang
muncul dari pencerahan eksistensial.
4.3. Peran Intuisi dan Penyucian Jiwa
Pengetahuan
iluminatif hanya mungkin dicapai oleh jiwa yang telah disucikan
dari kegelapan material. Bagi Suhrawardī, penyucian jiwa (tazkiyat
al-nafs) adalah syarat epistemologis, bukan sekadar moral.⁹ Cahaya
pengetahuan tidak dapat memancar dalam jiwa yang tertutup oleh tabir nafsu dan
keserakahan duniawi. Dalam konteks ini, filsafat bukan hanya latihan
intelektual, melainkan juga askese spiritual.
Proses penyucian
jiwa menciptakan kesiapan batin untuk menerima pencerahan Ilahi. Ketika jiwa
mencapai tingkat kesucian tertentu, ia akan disinari oleh cahaya
intelek aktif (al-ʿaql al-faʿʿāl), dan memperoleh
pengetahuan langsung tanpa proses diskursif.¹⁰ Dengan demikian, epistemologi
Suhrawardī bersifat integratif antara rasionalitas
dan mistisisme—akal dan intuisi bukan dua jalan yang bertentangan, melainkan
dua aspek dari satu proses iluminatif.¹¹
4.4. Simbolisme Cahaya dalam Aktualitas Pengetahuan
Simbol cahaya
memainkan peran epistemologis yang sentral dalam karya-karya Suhrawardī. Dalam Ḥikmat
al-Isyrāq, ia menyebut bahwa “segala pengetahuan adalah pancaran
cahaya atas cahaya.”¹² Setiap tingkat pengetahuan merepresentasikan tingkat
kebercahayaan
kesadaran yang berbeda. Intelek yang tinggi ibarat cahaya yang
terang-benderang, sedangkan jiwa yang belum tercerahkan ibarat cermin yang
berdebu.
Metafor cahaya juga
mengungkap struktur relasional antara Tuhan dan manusia: Nūr
al-Anwār adalah sumber pengetahuan mutlak, sedangkan manusia
memperoleh pengetahuan melalui partisipasi dalam intensitas cahaya tersebut.¹³
Karena itu, epistemologi iluminatif tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia
mengetahui sesuatu, tetapi juga menjelaskan bagaimana manusia berpartisipasi dalam realitas
itu sendiri melalui pengetahuan.¹⁴
Dalam konteks ini,
kebenaran bukan hasil korespondensi antara pikiran dan realitas, melainkan keserentakan
penyinaran antara wujud yang mengetahui dan wujud yang diketahui.¹⁵
Kesimpulan Sementara
Epistemologi
iluminatif Suhrawardī merupakan upaya untuk menegakkan kembali kesatuan antara
ontologi dan epistemologi, antara “ada” dan “mengetahui.” Dengan
menggantikan konsep pengetahuan representasional dengan pengetahuan
hadiriah, Suhrawardī membangun paradigma baru di mana pengetahuan
adalah mode keberadaan itu sendiri.
Epistemologi ini
tidak hanya berimplikasi pada teori pengetahuan, tetapi juga pada dimensi etika
dan spiritual, karena pengetahuan sejati hanya mungkin bila jiwa mencapai
kebeningan cahaya. Dengan demikian, Ḥikmat al-Isyrāq menyatukan
rasionalitas filosofis dengan pengalaman mistik, dan menjadikan “iluminasi”
sebagai jalan untuk mencapai kebenaran yang tertinggi dan paling otentik.¹⁶
Footnotes
[1]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 50–53.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 72–76.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 97–100.
[4]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 55–57.
[5]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 95–98.
[6]
Ziai, Knowledge and Illumination, 78–81.
[7]
Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Nafs, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hayʾah al-ʿĀmmah, 1968), 154–156.
[8]
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 78–80.
[9]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1978), 117–120.
[10]
Ziai, Knowledge and Illumination, 82–85.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: George
Allen and Unwin, 1981), 144–147.
[12]
Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, 60–62.
[13]
Corbin, En Islam Iranien, 103–106.
[14]
Walbridge, The Wisdom of the Mystic East, 102–104.
[15]
Ziai, Knowledge and Illumination, 88–90.
[16]
Nasr, Three Muslim Sages, 83–85.
5.
Aksiologi
dan Etika Iluminatif
5.1. Cahaya dan Kebaikan
Dalam sistem
filsafat Suhrawardī, cahaya tidak hanya berfungsi
sebagai kategori ontologis dan epistemologis, tetapi juga memiliki makna aksiologis,
yakni sebagai prinsip nilai dan kebaikan. Segala sesuatu yang bercahaya lebih
tinggi derajatnya daripada yang gelap, sehingga intensitas cahaya identik dengan intensitas
kebaikan.¹ Kebaikan (khayr) dalam kerangka
Iluminasionisme bukanlah konsep moral yang bersifat normatif, melainkan
realitas ontologis yang berpijak pada kedekatan terhadap Nūr
al-Anwār (Cahaya Mutlak). Dengan demikian, nilai moral tertinggi
adalah partisipasi tertinggi dalam kebercahayaan eksistensial.²
Suhrawardī
menyatakan bahwa Cahaya Mutlak adalah sumber seluruh
kebaikan karena Ia adalah wujud yang paling sempurna, paling terang, dan paling
sadar.³ Kegelapan atau keburukan tidak memiliki eksistensi mandiri—ia hanya
merupakan “kekurangan cahaya,” sebagaimana ketidaktahuan merupakan
ketiadaan pengetahuan.⁴ Dalam konteks ini, Suhrawardī membangun sistem nilai
non-dualistis: kebaikan dan keburukan bukan dua prinsip yang saling berlawanan,
melainkan perbedaan gradasi dalam tingkat partisipasi terhadap realitas cahaya.
5.2. Etika Penyinaran (Takhalluq bi al-Anwār)
Suhrawardī
menegaskan bahwa manusia yang ingin mencapai kesempurnaan moral harus meniru
pola kosmis cahaya, yaitu bergerak dari kegelapan menuju pencerahan. Proses ini
disebut etika penyinaran (takhalluq
bi al-anwār)—yakni usaha meneladani sifat-sifat Cahaya Ilahi dalam
tindakan, kesadaran, dan kepribadian.⁵ Jiwa manusia pada dasarnya adalah
entitas bercahaya yang terperangkap dalam tubuh material, sehingga tugas etis
manusia adalah membebaskan diri dari kegelapan material melalui penyucian
batin (tazkiyat al-nafs) dan kontemplasi
iluminatif.⁶
Bagi Suhrawardī,
akhlak bukan sekadar ketaatan terhadap norma, melainkan transformasi
ontologis.⁷ Semakin seseorang berperilaku dengan penuh kebijaksanaan, kasih
sayang, dan keadilan, semakin besar pula pancaran cahayanya. Etika iluminatif
menolak moralitas yang mekanis dan legalistik; ia menggantinya dengan model
etika transformatif di mana kebaikan adalah hasil dari pencerahan
eksistensial.⁸ Dengan demikian, kebaikan moral sejati tidak dapat dicapai hanya
dengan akal rasional, tetapi menuntut penyinaran spiritual yang bersumber
dari Nūr
al-Anwār.
5.3. Hubungan antara Pengetahuan, Cinta, dan Cahaya
Suhrawardī
menegaskan adanya kesatuan antara pengetahuan, cinta, dan kebaikan.⁹
Pengetahuan sejati (ʿilm ḥuḍūrī) selalu melahirkan
cinta (maḥabbah)
kepada sumber segala cahaya, karena setiap entitas yang mengenal Cahaya Mutlak
akan tertarik kepadanya sebagaimana api kecil menuju api besar.¹⁰ Cinta dalam
konteks ini bukan emosi, tetapi gerak eksistensial menuju kesempurnaan, suatu “eros
metafisik” yang mendorong jiwa untuk berpartisipasi lebih dalam dalam
kebercahayaan Ilahi.¹¹
Etika iluminatif
Suhrawardī dengan demikian berakar pada epistemologi dan ontologinya:
mengetahui kebenaran berarti mencintai cahaya, dan mencintai cahaya berarti
menjadi baik.¹² Pengetahuan dan etika bukan dua ranah yang terpisah, melainkan
dua ekspresi dari proses pencerahan yang sama. Manusia yang tercerahkan secara
intelektual tetapi tidak secara moral dianggap “cahaya yang redup,”
karena pencerahan sejati hanya tercapai bila kesadaran, kehendak, dan tindakan
manusia terintegrasi dalam harmoni kosmis cahaya.¹³
5.4. Implikasi bagi Etika Sosial
Etika iluminatif
Suhrawardī tidak berhenti pada tataran individual, tetapi juga memiliki dimensi
sosial. Ia menekankan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang
bercahaya—yakni komunitas di mana setiap individu berpartisipasi dalam
memantulkan cahaya kebenaran dan kebaikan sesuai tingkat kebercahayaan
mereka.¹⁴ Dalam kerangka ini, keadilan sosial dipahami
sebagai keteraturan hierarkis yang meniru tatanan kosmos, di mana setiap
entitas menempati posisinya sesuai kadar partisipasinya terhadap cahaya
Ilahi.¹⁵
Pemimpin atau
penguasa ideal (al-ḥākim al-nūrānī) dalam sistem
ini bukanlah sekadar administrator rasional, tetapi “manusia bercahaya” yang
menyalurkan hikmah Ilahi kepada masyarakat.¹⁶ Etika kepemimpinan dalam Ḥikmat
al-Isyrāq menuntut kemampuan intuitif dan kebijaksanaan spiritual,
karena hanya yang telah tercerahkan dapat menjadi sumber cahaya bagi yang
lain.¹⁷ Konsep ini menjadikan nūrānīyah (pencerahan
moral-spiritual) sebagai prinsip dasar tata nilai politik dan sosial yang
humanistik.
Kesimpulan Sementara
Aksiologi
Iluminasionisme Suhrawardī menunjukkan bahwa nilai, moralitas, dan kebaikan
berakar pada realitas metafisik cahaya. Kebaikan bukanlah kategori normatif
yang ditentukan oleh hukum eksternal, melainkan tingkat partisipasi
eksistensial terhadap Cahaya Mutlak. Etika iluminatif menggabungkan
pengetahuan, cinta, dan penyucian jiwa sebagai jalan menuju kesempurnaan moral.
Dengan memandang tindakan etis sebagai refleksi dari kebercahayaan batin,
Suhrawardī membangun paradigma moral yang menyatukan rasionalitas,
spiritualitas, dan kosmologi dalam satu sistem nilai yang transenden.¹⁸
Footnotes
[1]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 70–73.
[2]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 121–123.
[3]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 95–97.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 86–88.
[5]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Hayākil al-Nūr, dalam Majmūʿat
Muṣannafāt Suhrawardī, ed. Henry Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien,
1952), 215–218.
[6]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 63–65.
[7]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1978), 127–130.
[8]
Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen and
Unwin, 1981), 151–154.
[9]
Ziai, Knowledge and Illumination, 101–103.
[10]
Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, 76–78.
[11]
Corbin, En Islam Iranien, 125–128.
[12]
Nasr, Three Muslim Sages, 90–92.
[13]
Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and Platonic
Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 110–112.
[14]
Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard
and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 225–227.
[15]
Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination, 70–72.
[16]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism, 133–136.
[17]
Nasr, Islamic Life and Thought, 155–157.
[18]
Ziai, Knowledge and Illumination, 108–111.
6.
Dimensi
Mistis dan Metaforik
6.1. Simbolisme dalam Ḥikmat al-Isyrāq
Dimensi mistis dan
simbolik merupakan salah satu ciri paling khas dalam sistem filsafat
Suhrawardī. Ia tidak hanya menulis dalam bentuk argumentasi rasional, tetapi
juga dalam bahasa simbol dan alegori,
terutama dalam karya Ḥikmat al-Isyrāq dan
risalah-risalah mistisnya seperti Qiṣṣat al-Ghurba
al-Gharbiyyah (“Kisah Keterasingan di Barat”).¹ Bagi
Suhrawardī, simbol bukan sekadar ornamen sastra, melainkan medium
epistemologis dan ontologis untuk menyingkap realitas spiritual
yang tak dapat dijangkau melalui diskursus logis semata.²
Simbol utama dalam
sistemnya adalah cahaya (nūr), yang melambangkan wujud,
kesadaran, dan kebenaran. Ia menggunakan metafora “timur” sebagai arah
pencerahan spiritual dan “barat” sebagai dunia kegelapan material, tempat
jiwa manusia terasing.³ Dengan demikian, perjalanan filosofis menuju
kebijaksanaan adalah perjalanan dari barat menuju timur, yaitu dari
keterasingan eksistensial menuju penyatuan kembali dengan sumber cahaya ilahi.⁴
Melalui simbolisme
ini, Suhrawardī berusaha menyatukan logika rasional dan pengalaman intuitif.
Bahasa simbolik menjadi jembatan antara filsafat dan mistisisme, memungkinkan
pembaca untuk “merasakan” kebenaran sebagaimana ia “mengetahui”-nya.⁵
6.2. Metode Isyrāqī dalam Ekspresi Filosofis
Metode isyrāqī
(iluminatif) yang dikembangkan Suhrawardī menggabungkan dua bentuk penyataan
kebenaran: burhān
(demonstrasi rasional) dan kashf (penyingkapan intuitif).⁶ Ia
meyakini bahwa rasionalitas diperlukan untuk memurnikan pemahaman, tetapi
intuisi diperlukan untuk menyaksikan realitas secara
langsung. Karena itu, gaya penulisannya mengandung dua lapisan makna—lapisan eksoterik
(rasional-diskursif) dan esoterik (simbolik-mistis).⁷
Suhrawardī
memanfaatkan alegori sebagai cara untuk mengkomunikasikan pengalaman spiritual
tanpa menyalahi batas bahasa rasional. Kisah-kisah seperti Risālat
al-Ṭayr (Risalah Burung) dan Al-ʿAql al-Asghar menampilkan
pencarian jiwa yang terpenjara dalam kegelapan tubuh, berjuang menuju cahaya
pengetahuan.⁸ Dalam kisah-kisah itu, burung melambangkan jiwa, perjalanan
melambangkan pendakian spiritual, dan cahaya melambangkan pengetahuan
presensial.
Metode alegoris ini
mencerminkan keyakinan Suhrawardī bahwa kebenaran metafisis harus diungkap melalui
“bahasa cahaya” yang lebih luas dari sekadar logika.⁹ Dengan
demikian, dimensi mistis dalam Hikmat al-Isyrāq bukan sekadar
ekspresi religius, tetapi merupakan bentuk epistemologi alternatif—gnosis
bercahaya (maʿrifah nūrāniyyah)—yang
menyatukan rasio dan intuisi dalam satu pengalaman iluminatif.¹⁰
6.3. Korelasi antara Filsafat dan Tasawuf
Filsafat Suhrawardī
sering digambarkan sebagai jembatan antara hikmah falsafiyyah
(filsafat rasional) dan hikmah ʿirfāniyyah (pengetahuan
mistik).¹¹ Ia memandang para sufi sejati sebagai “filosof bercahaya”
(ḥukamāʾ
al-nūr), karena mereka mencapai pengetahuan bukan melalui
silogisme, tetapi melalui penyinaran batin yang langsung. Dalam kerangka ini,
Suhrawardī mengintegrasikan dimensi intelektual dan spiritual ke dalam satu
kesatuan pengalaman pengetahuan.¹²
Tasawuf baginya
bukan jalan terpisah dari filsafat, melainkan puncak tertinggi dari kegiatan
filosofis itu sendiri.¹³ Seorang ḥakīm isyrāqī (filsuf iluminatif)
tidak cukup hanya berpikir benar, tetapi harus juga menjadi terang—yakni mengalami
pencerahan spiritual yang mengubah hakikat dirinya.¹⁴ Karena itu, perjalanan
mistik dalam sistem Suhrawardī bersifat ontologis dan epistemologis sekaligus:
pendakian jiwa menuju Tuhan identik dengan peningkatan intensitas pengetahuan
dan kebercahayaan.¹⁵
6.4. Fungsi Mistis dalam Metafor Cahaya
Simbol cahaya dalam
karya Suhrawardī tidak sekadar analogi, tetapi struktur pengalaman spiritual itu sendiri.
Cahaya adalah wujud, pengetahuan, dan cinta dalam satu kesatuan realitas.¹⁶
Dalam pengalaman mistik, jiwa manusia “disinari” oleh Cahaya Mutlak, dan
penyinaran itu sekaligus menjadi proses pembersihan dan penyingkapan diri.¹⁷
Suhrawardī menyebut
pengalaman ini sebagai isyraq—yakni momen penyinaran batin
ketika tabir dunia material tersingkap dan realitas Ilahi hadir secara langsung
dalam kesadaran.¹⁸ Pengalaman ini tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan
logika, tetapi dapat “ditunjukkan” melalui simbol-simbol yang menggugah
pemahaman intuitif. Oleh karena itu, metafora cahaya dalam Ḥikmat
al-Isyrāq berfungsi ganda: sebagai struktur ontologis realitas dan
metode
mistik untuk menyingkap kebenaran.¹⁹
Kesimpulan Sementara
Dimensi mistis dan
metaforik dalam sistem Suhrawardī menunjukkan bahwa Ḥikmat al-Isyrāq bukan sekadar
teori metafisika, tetapi juga panduan eksistensial bagi
perjalanan jiwa menuju sumber cahaya. Bahasa simbolik dan alegoris yang
digunakannya tidak mengurangi rasionalitas filsafat, melainkan memperluas
cakrawala epistemologi hingga mencakup pengalaman spiritual. Dengan menjadikan
cahaya sebagai metafora sekaligus medium pencerahan, Suhrawardī menghadirkan
filsafat yang hidup—filsafat yang tidak hanya berpikir tentang kebenaran,
tetapi menghidupinya.²⁰
Footnotes
[1]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 79–82.
[2]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 132–135.
[3]
Suhrawardī, Qiṣṣat al-Ghurba al-Gharbiyyah, dalam Majmūʿat
Muṣannafāt Suhrawardī, ed. Henry Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien,
1952), 222–225.
[4]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 113–115.
[5]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 116–118.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 96–99.
[7]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1978), 142–145.
[8]
Suhrawardī, Risālat al-Ṭayr, dalam Majmūʿat Muṣannafāt
Suhrawardī, 230–233.
[9]
Ziai, Knowledge and Illumination, 118–120.
[10]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 79–81.
[11]
Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen and
Unwin, 1981), 160–162.
[12]
Corbin, En Islam Iranien, 139–141.
[13]
Walbridge, The Wisdom of the Mystic East, 122–124.
[14]
Ziai, Knowledge and Illumination, 124–126.
[15]
Nasr, Three Muslim Sages, 101–103.
[16]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism, 147–150.
[17]
Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination, 83–85.
[18]
Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, 84–86.
[19]
Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard
and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 229–231.
[20]
Nasr, Islamic Life and Thought, 165–167.
7.
Dimensi
Sosial dan Kultural
7.1. Pengaruh Iluminasionisme terhadap Peradaban Islam
Filsafat
Iluminasionisme (Ḥikmat al-Isyrāq) karya Suhrawardī
tidak berhenti pada ranah metafisika dan epistemologi semata; ia juga
meninggalkan pengaruh yang luas terhadap kehidupan intelektual dan kebudayaan
Islam, khususnya di dunia Persia, Anatolia, dan Asia Tengah.¹ Setelah kematian
tragis Suhrawardī di Aleppo tahun 1191 M, gagasannya disebarluaskan oleh
murid-murid dan komentatornya, seperti Shams al-Dīn Shahrazūrī dan Qutb al-Dīn
al-Shīrāzī, yang kemudian menjadikannya bagian integral dari tradisi filsafat
Islam Timur.²
Mazhab isyrāqī
berkontribusi besar terhadap pembentukan sintesis antara filsafat, tasawuf, dan teologi
dalam dunia Islam. Di madrasah-madrasah Persia dan Syiraz, karya Suhrawardī
menjadi teks penting yang diajarkan bersama tulisan-tulisan Ibn Sīnā dan
al-Ghazālī.³ Dalam konteks sosial, filsafat ini membantu menumbuhkan pandangan
dunia (weltanschauung)
yang menekankan kesatuan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara
pencarian intelektual dan pengalaman batin.⁴ Dengan demikian, Ḥikmat
al-Isyrāq memperluas cakrawala peradaban Islam dari sekadar
rasionalisme skolastik menuju visi integral yang mencakup dimensi mistis,
moral, dan sosial.
7.2. Warisan Intelektual: Dari Shahrazūrī hingga Mulla
Ṣadrā
Penerus pertama
Suhrawardī, Shams al-Dīn Shahrazūrī (w. 1288 M), menulis komentar atas Ḥikmat
al-Isyrāq yang menjadi rujukan utama dalam tradisi isyrāqiyyah.⁵
Ia memperluas sistem metafisika cahaya dengan menambahkan dimensi psikologis
dan kosmologis, menjelaskan hubungan antara cahaya intelektual dan transformasi
spiritual. Qutb al-Dīn al-Shīrāzī (1236–1311 M), tokoh lainnya, berperan
penting dalam mensistematisasi gagasan Suhrawardī dengan menafsirkan iluminasi
sebagai struktur pengetahuan dan kosmos yang harmonis.⁶
Namun, puncak
pengaruh sosial dan kultural isyrāqiyyah tampak pada abad ke-17
melalui filsafat Mulla Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī), yang mengembangkan
sistem ḥikmah mutaʿāliyah (“filsafat transenden”).⁷
Mulla Ṣadrā menyatukan iluminasi Suhrawardī, eksistensialisme Ibn Sīnā, dan
mistisisme Ibn ʿArabī ke dalam suatu sintesis metafisik yang menekankan gerak
substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) dan kesatuan
wujud.⁸ Dalam sistemnya, iluminasi menjadi dinamika eksistensial
seluruh realitas—menandai keberlanjutan semangat Suhrawardī dalam menjembatani
filsafat, agama, dan pengalaman spiritual.
7.3. Relevansi Kultural dan Intelektual di Dunia Islam
Timur
Dalam konteks budaya
Persia dan Islam Timur, filsafat Suhrawardī berperan sebagai jantung “renaissance
intelektual” yang menekankan spiritualitas rasional dan
humanisme teosofis.⁹ Ḥikmat al-Isyrāq memberi bahasa
simbolik bagi puisi, seni, dan arsitektur Islam, di mana motif cahaya dan
bayangan menjadi lambang kehadiran Ilahi di dunia fana.¹⁰ Unsur “cahaya”
ini juga menjadi tema penting dalam estetika sufistik, terutama pada karya
Jalāl al-Dīn Rūmī dan Ḥāfiẓ, yang menggambarkan pencerahan jiwa melalui metafor
sinar dan nyala cinta.¹¹
Lebih jauh, isyrāqiyyah
juga memberi inspirasi bagi munculnya pandangan kosmologis yang holistik,
di mana manusia dipandang bukan sekadar makhluk rasional, tetapi mikrokosmos
yang memantulkan struktur kebercahayaan Ilahi.¹² Dengan pandangan seperti itu,
Suhrawardī turut memperkuat identitas budaya Islam Timur yang menolak dikotomi
antara akal dan intuisi, antara ilmu dan spiritualitas.
7.4. Respon terhadap Modernitas dan Rasionalisme Sekular
Dalam konteks
modern, terutama sejak abad ke-20, pemikiran Suhrawardī mengalami kebangkitan
melalui karya-karya Henry Corbin dan Hossein Ziai yang menafsirkan
Iluminasionisme sebagai antitesis terhadap modernitas sekular Barat.¹³
Corbin melihat Ḥikmat al-Isyrāq sebagai upaya
menghidupkan kembali dimensi imajinal (ʿālam al-mithāl)—sebuah “alam
antara” yang menjembatani spiritual dan material, metafisika dan sejarah.¹⁴
Dalam pandangan ini, Suhrawardī memberikan alternatif epistemologis terhadap
reduksionisme rasional modern dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati mencakup
pengalaman simbolik dan mistik.¹⁵
Secara kultural,
gagasan Suhrawardī menawarkan jalan tengah antara tradisi dan modernitas. Ia
mengajarkan bahwa kemajuan tidak harus diartikan sebagai sekularisasi,
melainkan sebagai pencerahan kembali (reillumination) terhadap
nilai-nilai spiritual yang menjadi dasar peradaban manusia.¹⁶ Dalam hal ini,
Iluminasionisme memiliki relevansi etis dan kultural dalam membangun dialog
antarperadaban serta mengembalikan dimensi sakral dalam kehidupan sosial
modern.
Kesimpulan Sementara
Dimensi sosial dan
kultural Iluminasionisme Suhrawardī memperlihatkan bahwa Ḥikmat
al-Isyrāq bukan sekadar doktrin metafisika, tetapi sebuah visi
peradaban. Dengan menegaskan kesatuan rasio dan spiritualitas, Suhrawardī
menanamkan dasar bagi kebudayaan Islam yang bercorak iluminatif—di mana
pengetahuan, seni, etika, dan masyarakat berakar pada kesadaran akan cahaya
Ilahi. Tradisi isyrāqiyyah kemudian menjelma
menjadi jaringan pemikiran yang menembus batas disiplin dan masa, membentuk
wajah humanisme Islam Timur yang rasional, simbolik, dan mistik sekaligus.¹⁷
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 105–108.
[2]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 155–158.
[3]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 128–131.
[4]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 126–128.
[5]
Shams al-Dīn Shahrazūrī, Sharḥ Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 12–16.
[6]
Qutb al-Dīn al-Shīrāzī, Sharḥ Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Hossein
Ziai (Teheran: Iranian Academy of Philosophy, 1993), 44–48.
[7]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 18–21.
[8]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 122–126.
[9]
Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard
and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 233–236.
[10]
Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987),
43–46.
[11]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1978), 156–159.
[12]
Ziai, Knowledge and Illumination, 134–137.
[13]
Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 98–101.
[14]
Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1969), 220–223.
[15]
Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen and
Unwin, 1981), 171–173.
[16]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 88–91.
[17]
Corbin, En Islam Iranien, 162–165.
8.
Perbandingan
Filosofis
8.1. Suhrawardī dan Neoplatonisme
Suhrawardī sering
dianggap sebagai penerus dan penafsir kreatif dari tradisi Neoplatonisme,
terutama pemikiran Plotinus.¹ Kedua sistem ini sama-sama menekankan konsep emanasi
(pancaran) dari prinsip tertinggi menuju realitas yang lebih rendah. Dalam
Neoplatonisme, The One memancarkan Nous
dan Psyche,
sedangkan dalam Iluminasionisme, Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala
cahaya) memancarkan hierarki anwār (cahaya-cahaya) yang menyusun
tatanan kosmos.² Namun, Suhrawardī memberikan tafsir baru yang teologis-mistik:
pancaran bukanlah proses mekanis atau fisik, melainkan hubungan cinta dan
kesadaran antara sumber cahaya dan manifestasinya.³
Selain itu,
Suhrawardī menggantikan terminologi metafisika Plotinus yang abstrak dengan bahasa
simbolik cahaya yang lebih spiritual.⁴ Di sini terjadi
transformasi besar: metafisika emanatif Plotinus menjadi metafisika iluminatif,
di mana realitas dipahami bukan hanya sebagai turunan dari “Yang Satu”,
tetapi juga sebagai “tingkatan kesadaran” yang semakin dekat atau jauh
dari Cahaya Mutlak. Dengan demikian, Ḥikmat al-Isyrāq adalah
reinterpretasi Neoplatonisme dalam kerangka Islam yang menekankan pengalaman
mistik dan penyinaran batin.⁵
8.2. Suhrawardī dan Avicennianisme
Perbandingan antara
Suhrawardī dan Ibn Sīnā memperlihatkan transisi paradigmatik dari
filsafat peripatetik menuju filsafat iluminatif. Ibn Sīnā menekankan konsep wujūd
(eksistensi) sebagai kategori ontologis tertinggi, sedangkan Suhrawardī menolak
primasi wujūd
dan menggantikannya dengan nūr (cahaya) sebagai prinsip
metafisik yang lebih konkret dan intuitif.⁶ Ia menganggap bahwa wujūd
hanyalah konsep abstrak, sedangkan nūr adalah realitas aktual yang
dapat disaksikan secara presensial.⁷
Epistemologinya pun
berbeda: Ibn Sīnā memahami pengetahuan sebagai hasil abstraksi
intelektual, sedangkan Suhrawardī memahami pengetahuan sebagai kehadiran
langsung (ʿilm ḥuḍūrī).⁸ Meskipun demikian, Suhrawardī tidak
memutuskan diri sepenuhnya dari Avicennianisme. Ia masih menggunakan struktur
logika Aristotelian-Avicennian dalam argumen-argumen dasarnya, namun
menafsirkannya secara simbolik dan intuitif.⁹ Dengan demikian, Suhrawardī dapat
dianggap sebagai “Avicenna mistik”, yang menyinergikan logika rasional
dengan intuisi iluminatif.¹⁰
8.3. Suhrawardī dan Filsafat Barat Modern
Meskipun terpisah
oleh jarak waktu dan konteks budaya, gagasan Suhrawardī memiliki resonansi
mendalam dengan filsafat Barat modern, khususnya fenomenologi
Husserl dan eksistensialisme Heidegger.¹¹ Konsep ʿilm ḥuḍūrī dalam Iluminasionisme
memiliki kemiripan dengan gagasan Husserl tentang intuition of essence (Wesensschau)
— pengetahuan langsung yang bebas dari representasi.¹² Baik Suhrawardī maupun
Husserl menolak dualisme antara subjek dan objek dalam proses mengetahui, dan
menekankan “kehadiran” sebagai kondisi dasar kesadaran.
Demikian pula,
pemikiran Heidegger tentang aletheia (penyingkapan kebenaran)
memiliki kedekatan konseptual dengan isyraq (pencerahan batin).¹³ Dalam
kedua sistem ini, kebenaran bukanlah hasil korespondensi logis, melainkan
peristiwa penyingkapan eksistensial. Perbedaannya terletak pada orientasi
teologis: Suhrawardī mengaitkan pencerahan dengan sumber Ilahi, sementara
Heidegger tetap berada pada horizon ontologis manusia.¹⁴ Dengan demikian,
Iluminasionisme dapat dilihat sebagai fenomenologi sakral yang
menggabungkan kesadaran dan transendensi.¹⁵
8.4. Suhrawardī dan Filsafat Timur (Hindu-Buddha)
Korelasi juga dapat
ditemukan antara Iluminasionisme dan filsafat Timur, khususnya tradisi Vedānta
dan Buddhisme
Mahāyāna.¹⁶ Dalam Upaniṣad, Brahman sering
digambarkan sebagai “Cahaya yang menyinari segala sesuatu,” sementara
dalam Hikmat
al-Isyrāq, Nūr al-Anwār menempati fungsi
ontologis yang serupa.¹⁷ Kedua tradisi ini mengandaikan bahwa realitas
tertinggi adalah kesadaran murni yang menyingkap segala sesuatu tanpa menjadi
terikat padanya.
Sementara itu, dalam
Buddhisme Mahāyāna, terutama melalui doktrin Prajñāpāramitā dan Buddha-dhātu,
kita menemukan pandangan bahwa pencerahan (bodhi) merupakan penyingkapan
kesadaran terhadap “cahaya batin” yang tak terhingga.¹⁸ Perbandingan ini
menunjukkan adanya konvergensi epistemologis: pengetahuan sejati adalah penerangan
langsung terhadap hakikat realitas. Namun, Suhrawardī menegaskan
bahwa pencerahan itu bukan hasil meditasi kosong, tetapi hasil penyinaran Ilahi
yang melibatkan cinta dan partisipasi ontologis.¹⁹
Kesimpulan Sementara
Dari berbagai
perbandingan di atas, tampak bahwa filsafat Suhrawardī berdiri di persimpangan
antara rasionalisme dan mistisisme, antara Timur dan Barat, antara metafisika
dan fenomenologi. Ia mewarisi struktur intelektual dari Avicenna, daya simbolik
dari Plato dan Plotinus, dan dimensi spiritual yang sejajar dengan tradisi
Vedānta maupun Buddhisme. Iluminasionisme bukan hanya filsafat
cahaya dalam pengertian metaforis, tetapi paradigma universal
tentang kesadaran dan keberadaan.²⁰
Melalui integrasi
rasionalitas, intuisi, dan spiritualitas, Suhrawardī memperlihatkan bahwa
filsafat sejati harus menjadi perjalanan penyinaran — sebuah
proses menjadi terang, di mana manusia tidak hanya memahami realitas, tetapi
juga berpartisipasi di dalamnya.²¹
Footnotes
[1]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 175–178.
[2]
Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1966), V.1.6–9.
[3]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 140–142.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 113–115.
[5]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 132–135.
[6]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 92–95.
[7]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 90–94.
[8]
Ziai, Knowledge and Illumination, 146–148.
[9]
Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen and
Unwin, 1981), 180–182.
[10]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1978), 163–165.
[11]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 241–244.
[12]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W. R. Boyce Gibson (London: George Allen and Unwin, 1931), 68–70.
[13]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 212–215.
[14]
Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 105–108.
[15]
Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987),
57–59.
[16]
Bina Gupta, An Introduction to Indian Philosophy: Perspectives on
Reality, Knowledge, and Freedom (New York: Routledge, 2012), 203–205.
[17]
Radhakrishnan, The Principal Upaniṣads (London: George Allen
and Unwin, 1953), 66–69.
[18]
Edward Conze, Buddhist Thought in India (London: George Allen
and Unwin, 1962), 114–117.
[19]
Ziai, Knowledge and Illumination, 150–153.
[20]
Corbin, En Islam Iranien, 184–186.
[21]
Nasr, Three Muslim Sages, 118–120.
9.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
9.1. Kritik Ontologis terhadap Konsep Cahaya sebagai
Prinsip Realitas
Salah satu kritik
utama terhadap sistem Suhrawardī berkaitan dengan status ontologis cahaya
(nūr)
sebagai kategori metafisik universal. Bagi sebagian filsuf peripatetik, seperti
Ibn Rushd (Averroes), konsep nūr dianggap terlalu simbolik dan
tidak memenuhi syarat sebagai prinsip ontologis rasional yang dapat
diverifikasi secara logis.¹ Dalam pandangan mereka, mengganti wujūd
(eksistensi) dengan nūr mengaburkan batas antara
metafisika dan mistisisme.²
Namun, Suhrawardī
menolak kritik ini dengan menegaskan bahwa nūr bukan sekadar metafora fisikal,
melainkan realitas yang paling jelas (aẓhar al-ashyāʾ),
sebab segala sesuatu yang diketahui hanya dapat diketahui melalui manifestasi
cahaya.³ Dengan demikian, nūr memiliki keunggulan ontologis
dibandingkan wujūd, karena ia menjelaskan tidak
hanya keberadaan, tetapi juga kehadiran dan kesadaran.⁴
Meski demikian, para
pemikir kontemporer seperti Mehdi Ha’iri Yazdi mengingatkan bahwa ontologi
cahaya Suhrawardī cenderung menyingkirkan aspek eksistensial yang
lebih luas, karena menyamakan seluruh wujud dengan intensitas kebercahayaan
bisa menimbulkan problem analogi ontologis.⁵ Pertanyaan filosofis pun muncul:
apakah segala bentuk eksistensi benar-benar dapat direduksi menjadi satu
kategori metafisik tunggal, yakni cahaya?
9.2. Kritik Epistemologis terhadap Pengetahuan Hadiriah
(ʿIlm Ḥuḍūrī)
Epistemologi
iluminatif Suhrawardī, yang menegaskan bahwa pengetahuan adalah kehadiran
langsung (ʿilm ḥuḍūrī)
tanpa perantara konsep, juga mengundang kritik. Dalam perspektif rasionalis
klasik, seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā, pengetahuan harus memiliki bentuk
intelektual yang dapat diartikulasikan secara logis dan universal.⁶ Suhrawardī
dianggap menggantikan epistemologi proposisional dengan pengalaman mistik yang
subjektif dan sulit diverifikasi.⁷
Namun, pembela
Suhrawardī—terutama Hossein Ziai—menegaskan bahwa ʿilm ḥuḍūrī bukanlah bentuk
pengetahuan yang irasional, melainkan model epistemologi presensial yang mendahului
representasi kognitif.⁸ Ia menawarkan alternatif terhadap epistemologi
diskursif, di mana kesadaran tidak lagi dipahami sebagai pengamat eksternal,
melainkan sebagai partisipan aktif dalam realitas. Meski demikian, persoalan
validasi pengetahuan intuitif tetap menjadi isu terbuka, terutama dalam konteks
metodologi ilmiah modern yang mensyaratkan verifikasi intersubjektif.⁹
9.3. Klarifikasi Konseptual: Antara Simbol Cahaya dan
Realitas Cahaya
Sebagian
interpretasi Barat terhadap Suhrawardī, terutama oleh Henry Corbin, cenderung
menempatkan nūr dalam kerangka simbolik dan
fenomenologis belaka—yakni sebagai bahasa puitis yang menggambarkan pengalaman
spiritual.¹⁰ Pendekatan ini, meskipun memperkaya sisi mistik filsafat
Suhrawardī, berisiko mengabaikan dimensi rasionalnya.
Klarifikasi penting
perlu dilakukan di sini: bagi Suhrawardī, “cahaya” bukan hanya metafora
spiritual, tetapi entitas metafisik aktual yang
mendasari segala eksistensi.¹¹ Artinya, simbolisme cahaya dalam Ḥikmat
al-Isyrāq memiliki dua lapisan makna:
1)
Lapisan ontologis,
di mana nūr adalah prinsip keberadaan itu sendiri; dan
2)
Lapisan hermeneutik,
di mana bahasa cahaya menjadi sarana penyampaian kebenaran kepada akal dan
intuisi secara bersamaan.¹²
Klarifikasi ini
menegaskan bahwa Iluminasionisme bukan sekadar
mistisisme simbolik, melainkan sistem rasional-mistik yang menyatukan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi dalam satu paradigma kesadaran bercahaya.¹³
9.4. Kritik Hermeneutik dan Tantangan Interpretatif
Pendekatan
hermeneutik terhadap karya Suhrawardī menghadapi tantangan kompleks karena gaya
penulisannya yang dualistik—rasional sekaligus alegoris. Para sarjana modern
terbagi menjadi dua kubu: kubu pertama (Corbin, Nasr) menekankan sisi mistik
dan esoterik, sedangkan kubu kedua (Ziai, Walbridge) menyoroti sisi
rasional-filosofisnya.¹⁴
Kritik terhadap
pendekatan Corbin adalah bahwa ia terlalu menonjolkan aspek “orientalisme
spiritual”, menjadikan Suhrawardī lebih sebagai visioner teosofis ketimbang filosof
sistematis.¹⁵ Sebaliknya, kritik terhadap pendekatan Ziai dan
Walbridge adalah kecenderungan mereka merasionalisasi gagasan Suhrawardī secara
berlebihan, sehingga mengabaikan fungsi simbolik dan pengalaman batin yang
menjadi inti isyrāq.¹⁶
Klarifikasi
filosofis yang seimbang harus mengakui bahwa karya Suhrawardī mengandung dialektika
antara pengetahuan dan pengungkapan, antara logos dan kashf.¹⁷
Filsafat iluminatif, dengan demikian, tidak dapat direduksi sepenuhnya ke dalam
kategori logika ataupun mistik, melainkan berdiri di antara keduanya sebagai “filsafat
pencerahan”.
Kesimpulan Sementara
Kritik dan
klarifikasi filosofis terhadap Ḥikmat al-Isyrāq menunjukkan bahwa
sistem Suhrawardī adalah medan dialog antara rasionalisme dan mistisisme.
Kritik ontologis menguji dasar metafisika cahaya; kritik epistemologis
mempertanyakan validitas pengetahuan hadiriah; dan kritik hermeneutik menyoroti
ambiguitas simbolik dalam teks-teksnya. Namun, justru dalam kompleksitas inilah
kekuatan Iluminasionisme terletak: ia menawarkan sintesis
filosofis yang hidup, di mana pengetahuan, keberadaan, dan
nilai bersatu dalam pengalaman pencerahan.¹⁸
Dengan menjadikan “cahaya”
sebagai metafora sekaligus prinsip realitas, Suhrawardī mengajarkan bahwa
kebenaran bukan hanya sesuatu yang dipikirkan, tetapi juga sesuatu yang
dihidupi dan disaksikan.¹⁹
Footnotes
[1]
Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van den Bergh
(London: Luzac & Co., 1954), 118–120.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 176–179.
[3]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 101–103.
[4]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 158–161.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 138–142.
[6]
Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Nafs, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hayʾah al-ʿĀmmah, 1968), 174–176.
[7]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 193–195.
[8]
Ziai, Knowledge and Illumination, 164–167.
[9]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 142–144.
[10]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1978), 171–174.
[11]
Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, 105–107.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: George
Allen and Unwin, 1981), 189–191.
[13]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 98–100.
[14]
Walbridge, The Wisdom of the Mystic East, 145–148.
[15]
Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard
and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 248–250.
[16]
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 122–124.
[17]
Ziai, Knowledge and Illumination, 170–173.
[18]
Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987),
64–66.
[19]
Corbin, En Islam Iranien, 198–200.
10. Relevansi Kontemporer
10.1. Dalam Filsafat Pengetahuan: Reaktualisasi
Epistemologi Presensial
Gagasan Suhrawardī
tentang pengetahuan
hadiriah (ʿilm ḥuḍūrī) menawarkan alternatif
penting bagi epistemologi modern yang cenderung representasional dan materialistik.¹
Dalam konteks filsafat kontemporer, paradigma Suhrawardī dapat dipahami sebagai
bentuk epistemologi
kesadaran langsung yang menolak dikotomi subjek–objek
sebagaimana ditemukan dalam positivisme dan empirisme.²
Gagasan ini
beresonansi dengan pendekatan fenomenologi Husserl dan filsafat kesadaran
Merleau-Ponty, yang menekankan intensionalitas pengalaman dan
kehadiran fenomen dalam kesadaran.³ Namun, keunggulan Suhrawardī terletak pada
dimensi transendentalnya: ia tidak hanya menyingkap fenomen, tetapi juga
menautkannya pada sumber metafisik kesadaran—Cahaya Mutlak. Dengan demikian,
epistemologi iluminatif dapat memberikan fondasi spiritual bagi teori pengetahuan modern,
mengintegrasikan rasionalitas dan intuisi sebagai dua aspek dari satu kesadaran
yang pencerahannya bersifat ontologis.⁴
10.2. Dalam Filsafat Eksistensi dan Etika
Iluminasionisme juga
memiliki relevansi mendalam dalam konteks filsafat eksistensial dan etika kontemporer.
Dalam pandangan Suhrawardī, manusia bukan hanya makhluk berpikir (animal
rationale), tetapi makhluk bercahaya (nūrānī)
yang secara eksistensial berpartisipasi dalam sumber wujud.⁵ Ini mengingatkan
pada konsep eksistensialisme transendental, di mana keberadaan manusia
diartikan sebagai kesadaran-diri yang terbuka terhadap kehadiran yang lebih
tinggi.
Konsep takhalluq
bi al-anwār—yakni meneladani sifat-sifat cahaya—dapat diaktualkan
dalam etika modern sebagai prinsip transformasi moral berbasis kesadaran diri.⁶
Etika Suhrawardī menekankan bahwa tindakan baik bukan hanya hasil pertimbangan
rasional, tetapi pancaran dari jiwa yang tercerahkan. Dalam dunia yang diwarnai
relativisme moral dan krisis makna, pendekatan iluminatif dapat menjadi dasar
bagi etika spiritual-humanistik yang menyeimbangkan rasionalitas dengan
kesadaran etis.⁷
10.3. Dalam Dialog Antarperadaban dan Spiritualitas
Global
Relevansi
Iluminasionisme juga tampak dalam konteks dialog antarperadaban,
khususnya antara tradisi filsafat Islam, Barat, dan Timur. Henry Corbin
menafsirkan Suhrawardī sebagai simbol dari philosophia perennis—suatu
kebijaksanaan universal yang menembus batas agama dan kebudayaan.⁸ Ia
menempatkan Iluminasionisme sebagai jembatan hermeneutik antara
filsafat Yunani, teosofi Iran, mistisisme Islam, dan bahkan tradisi Vedānta
serta Buddhisme.⁹
Dalam konteks
globalisasi spiritual abad ke-21, paradigma isyrāqī mampu memberikan kerangka
transrasional untuk dialog antartradisi. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak
monopolis, tetapi bersinar dalam berbagai bentuk kesadaran yang berbeda
intensitasnya.¹⁰ Prinsip Cahaya Mutlak yang menjadi dasar
sistem Suhrawardī dapat menjadi metafor filosofis bagi pluralitas spiritual
yang tetap berakar pada satu sumber kebenaran universal.¹¹
10.4. Dalam Filsafat Ekologi dan Etika Lingkungan
Salah satu aspek
yang jarang dibahas namun relevan dalam konteks kontemporer adalah dimensi ekologis
dari metafisika cahaya. Dalam pandangan Suhrawardī, seluruh
wujud merupakan pancaran dari Cahaya Ilahi, dan karenanya setiap entitas
memiliki dimensi spiritual.¹² Hal ini berimplikasi pada etika ekologis yang
menolak eksploitasi alam sebagai objek semata, karena alam sendiri adalah manifestasi
cahaya Tuhan yang harus dihormati.
Pendekatan ini
beresonansi dengan gerakan deep ecology modern yang menekankan
keterhubungan intrinsik antara manusia dan kosmos.¹³ Suhrawardī secara
filosofis mendahului konsep ekologis kontemporer dengan menawarkan kerangka kosmologi
iluminatif di mana manusia bukan penguasa, tetapi penjaga
pancaran cahaya Ilahi di alam.¹⁴ Dengan demikian, Iluminasionisme menyediakan
dasar spiritual bagi etika lingkungan yang memandang keberlanjutan ekologis
sebagai bentuk ibadah dan penyinaran moral.
10.5. Dalam Krisis Kesadaran Modern
Krisis eksistensial
dan spiritual manusia modern—alienasi, nihilisme, dan kehilangan
makna—menunjukkan kebutuhan akan paradigma yang memulihkan kesadaran
integral. Suhrawardī menawarkan jalan keluar melalui gagasan
bahwa pencerahan sejati hanya terjadi bila manusia kembali kepada sumber
cahayanya, yaitu realitas Ilahi yang menjadi fondasi semua eksistensi.¹⁵
Dalam kerangka
psikologi kontemporer, seperti psikologi transpersonal dan teori kesadaran
integral, gagasan Suhrawardī dapat dianggap sebagai bentuk awal dari metafisika
kesadaran, di mana dimensi spiritual bukan pelarian dari dunia,
melainkan dasar bagi transformasi batin dan sosial.¹⁶ Ia mengajarkan bahwa
pencerahan bukanlah kondisi eksklusif para mistikus, melainkan potensi
universal manusia sebagai makhluk bercahaya.
Kesimpulan Sementara
Relevansi
kontemporer Iluminasionisme Suhrawardī terletak pada kemampuannya menjembatani
berbagai dikotomi modern: antara rasionalitas dan spiritualitas, antara ilmu
dan nilai, antara individu dan kosmos. Ia menawarkan paradigma holistik-transendental
yang mengintegrasikan kesadaran, moralitas, dan keberadaan dalam satu struktur
cahaya.¹⁷
Dalam konteks
global, Iluminasionisme memberikan arah bagi pembentukan filsafat
pencerahan baru—bukan dalam arti sekularisasi rasional seperti
pada Enlightenment
Eropa, tetapi sebagai reillumination, kebangkitan kembali
cahaya spiritual dalam ilmu, budaya, dan etika manusia.¹⁸
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 174–176.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: George
Allen and Unwin, 1981), 195–197.
[3]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W. R. Boyce Gibson (London: George Allen and Unwin, 1931), 70–74.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 254–256.
[5]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 102–105.
[6]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 109–112.
[7]
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 126–129.
[8]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 205–208.
[9]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 150–152.
[10]
Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 113–116.
[11]
Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987),
68–70.
[12]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, 178–180.
[13]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 45–47.
[14]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(London: George Allen and Unwin, 1968), 88–91.
[15]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1978), 176–179.
[16]
Ken Wilber, The Spectrum of Consciousness (Wheaton, IL:
Theosophical Publishing House, 1977), 132–134.
[17]
Ziai, Knowledge and Illumination, 183–186.
[18]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
211–214.
11. Sintesis Filosofis
11.1. Integrasi Rasionalitas dan Intuisi
Filsafat
Iluminasionisme Suhrawardī merupakan usaha monumental untuk menyatukan
dua jalur pengetahuan yang selama ini dianggap berlawanan:
rasionalitas diskursif dan intuisi mistik.¹ Suhrawardī menolak dikotomi yang
tajam antara akal dan hati, atau antara logika dan kasyf (penyingkapan
batin). Ia menganggap keduanya sebagai dua sayap dari satu gerak
intelektual menuju kebenaran.²
Dalam kerangka ini,
rasionalitas berfungsi sebagai jalan menuju penjernihan konsep, sementara
intuisi bertugas mengaktualkan makna melalui kehadiran langsung dalam
kesadaran.³ Suhrawardī tidak menolak metode silogistik Aristotelian, tetapi
menggunakannya sebagai alat untuk mencapai “iluminasi intelek.” Hal ini
menunjukkan bahwa sistem Ḥikmat al-Isyrāq adalah filsafat
sintesis, bukan antitesis terhadap peripatetik.⁴ Ia
menghidupkan kembali dimensi spiritual yang telah terabaikan dalam logika
formal dengan menegaskan bahwa puncak rasionalitas adalah pencerahan—bukan
sekadar deduksi.⁵
11.2. Model Onto-Epistemik Cahaya
Dalam sistem
Suhrawardī, ontologi dan epistemologi bukan dua bidang yang terpisah, melainkan
dua aspek dari satu realitas bercahaya.⁶ “Mengetahui”
berarti “menjadi terang,” dan “wujud” berarti “menyinari.”
Dengan demikian, realitas tidak dibagi antara pikiran dan dunia, melainkan
dipersatukan oleh prinsip nūr sebagai medium
universal kesadaran.⁷
Struktur ini
melahirkan apa yang dapat disebut sebagai model onto-epistemik cahaya, di
mana eksistensi, pengetahuan, dan kesadaran berjalin dalam hierarki yang sama.
Setiap entitas adalah bentuk partisipasi terhadap Cahaya Mutlak (Nūr
al-Anwār), sehingga semua pengetahuan pada hakikatnya adalah pengalaman
kehadiran eksistensial.⁸ Pandangan ini membuka jalan bagi konsepsi
kesatuan antara subjek dan objek tanpa menghapus perbedaan, karena keduanya
merupakan intensitas yang berbeda dari satu sumber cahaya yang sama.⁹
Secara filosofis,
gagasan ini menjadi dasar bagi apa yang kemudian dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā
dalam ḥikmah
mutaʿāliyah—yakni bahwa pengetahuan sejati adalah mode eksistensi (wujūd
ʿilmī).¹⁰ Dengan demikian, Suhrawardī dapat dianggap sebagai pionir
dalam membangun epistemologi eksistensial yang menghubungkan metafisika dengan
pengalaman batin.
11.3. Kesatuan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Salah satu kekuatan
sistem Suhrawardī adalah kemampuannya untuk menyatukan tiga
poros utama filsafat—ontologi (ada), epistemologi (tahu), dan
aksiologi (nilai)—ke dalam satu struktur cahaya.¹¹ Dalam kerangka iluminatif, “ada”
adalah cahaya, “mengetahui” adalah penyinaran, dan “berbuat baik”
adalah peningkatan intensitas kebercahayaan. Dengan demikian, tindakan etis
menjadi konsekuensi ontologis dari kesadaran yang tercerahkan.¹²
Keterpaduan ini
menjadikan Iluminasionisme bukan hanya sistem metafisika, tetapi juga filsafat
hidup. Suhrawardī membuktikan bahwa moralitas sejati tidak
dapat dipisahkan dari ontologi cahaya: semakin seseorang memahami hakikat
realitas, semakin tinggi pula tingkat kebaikan dan kebijaksanaannya.¹³ Ia
menolak pemisahan antara teori dan praksis, karena pengetahuan sejati menuntut
perubahan eksistensial—dari kegelapan menuju pencerahan.¹⁴
11.4. Sintesis Timur dan Barat: Hikmah sebagai Jembatan
Dalam tataran
historis, Suhrawardī memosisikan Ḥikmat al-Isyrāq sebagai hikmah
timur (ḥikmat al-mashriqiyyah)—sebuah
sintesis antara filsafat Yunani (Barat) dan kebijaksanaan Iran-Kuno serta Islam
(Timur).¹⁵ Ia menafsirkan Plato dan Plotinus bukan sekadar sebagai rasionalis,
tetapi sebagai “nabi-nabi hikmah” yang mengalami pencerahan. Sementara
dari tradisi Islam, ia menyerap spirit kenabian dan konsep nūr
Muhammadī sebagai sumber iluminasi spiritual.¹⁶
Dengan menggabungkan
dua tradisi besar tersebut, Suhrawardī membangun jembatan konseptual antara logos
Barat dan gnosis Timur.¹⁷ Dalam dunia modern yang kerap
terpecah antara sains dan spiritualitas, rasio dan iman, sintesis ini menjadi
landasan penting bagi dialog lintas peradaban. Ia memperlihatkan bahwa
rasionalitas tidak harus bertentangan dengan mistisisme; justru keduanya saling
menyempurnakan dalam pencarian makna yang utuh.¹⁸
11.5. Arah Pengembangan Baru: Filsafat Kesadaran
Iluminatif
Dalam konteks
filsafat kontemporer, sistem Suhrawardī dapat dikembangkan menjadi metafisika
kesadaran iluminatif, yakni kerangka yang menjelaskan realitas
sebagai spektrum kesadaran yang bertingkat.¹⁹ Gagasan ini memiliki implikasi
terhadap berbagai bidang, seperti psikologi kesadaran, filsafat sains, hingga
teologi lingkungan.
Filsafat iluminatif
menawarkan paradigma integratif di tengah krisis fragmentasi ilmu pengetahuan
modern. Ia mengusulkan bahwa setiap pengetahuan ilmiah, moral, dan estetis
harus berakar pada kesadaran bercahaya—sebuah
kesadaran yang menempatkan manusia, alam, dan Tuhan dalam relasi ontologis yang
saling menyinari.²⁰ Dengan demikian, sintesis Suhrawardī membuka kemungkinan
munculnya renaissance spiritual-filosofis
yang relevan bagi zaman post-sekular.²¹
Kesimpulan Sementara
Sintesis filosofis
Suhrawardī adalah usaha untuk menghidupkan kembali filsafat sebagai jalan
pencerahan total—menyatukan berpikir, mengalami, dan menjadi. Dengan menjadikan
cahaya sebagai kategori ontologis, epistemologis, dan aksiologis, ia menegaskan
bahwa realitas tertinggi bukanlah konsep abstrak, melainkan kehadiran yang
disadari.²²
Paradigma isyrāqī
dengan demikian menjadi jembatan antara rasionalisme Avicennian dan
spiritualisme Ibn ʿArabī, antara metafisika Yunani dan gnosis Islam, serta antara
filsafat klasik dan kesadaran modern. Dalam terang Suhrawardī, filsafat kembali
pada makna asalnya: philo-sophia—cinta akan
kebijaksanaan yang memancar dari Cahaya Mutlak.²³
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 188–190.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 131–133.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2: Sohrawardī et les
Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 211–213.
[4]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 114–116.
[5]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East: Suhrawardī and
Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 156–158.
[6]
Ziai, Knowledge and Illumination, 193–195.
[7]
Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1978), 182–184.
[8]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination
(London: Routledge, 1997), 107–109.
[9]
Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen and
Unwin, 1981), 199–201.
[10]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 25–28.
[11]
Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard
and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 259–261.
[12]
Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987),
73–75.
[13]
Aminrazavi, Suhrawardī and the School of Illumination,
110–112.
[14]
Walbridge, The Wisdom of the Mystic East, 160–162.
[15]
Corbin, En Islam Iranien, 215–218.
[16]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
220–223.
[17]
Ziai, Knowledge and Illumination, 197–199.
[18]
Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 121–124.
[19]
Ken Wilber, The Spectrum of Consciousness (Wheaton, IL:
Theosophical Publishing House, 1977), 142–145.
[20]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(London: George Allen and Unwin, 1968), 95–97.
[21]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1960), 289–291.
[22]
Ziai, Knowledge and Illumination, 201–203.
[23]
Nasr, Three Muslim Sages, 136–138.
12. Kesimpulan
Filsafat Iluminasionisme (Ḥikmat al-Isyrāq)
karya Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī merupakan salah satu tonggak terpenting dalam
sejarah filsafat Islam karena berhasil menyatukan dimensi rasional, mistik,
dan metafisik ke dalam satu sistem yang koheren dan integral.¹ Ia
mengajukan paradigma yang tidak sekadar menjelaskan realitas, tetapi juga
menghidupkannya—melalui konsep cahaya (nūr) sebagai prinsip
ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang menyeluruh.
Suhrawardī memulai dengan menggantikan wujūd
(eksistensi) peripatetik dengan nūr sebagai kategori realitas
tertinggi.² Melalui itu, ia membangun hierarki kosmos bercahaya yang mencakup
seluruh wujud: dari Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya) hingga
dunia materi yang paling redup.³ Pandangan ini menghapus dualisme antara Tuhan
dan dunia, antara roh dan materi, karena segala sesuatu merupakan manifestasi
bergradasi dari Cahaya Ilahi. Ontologi iluminatif ini menjadikan dunia bukan
sekadar ciptaan pasif, tetapi refleksi aktif dari sumber ketuhanan.⁴
Dalam epistemologi, Suhrawardī menegaskan bahwa pengetahuan
sejati adalah kehadiran (ḥuḍūr), bukan representasi.⁵ Melalui konsep ʿilm
ḥuḍūrī (pengetahuan hadiriah), ia memperkenalkan model pengetahuan yang
menyatukan subjek dan objek dalam intensitas kesadaran yang sama. Ini bukan
pengetahuan tentang sesuatu, melainkan kehadiran sesuatu dalam kesadaran itu
sendiri.⁶ Model ini memberi dasar bagi epistemologi non-dualistis dan
fenomenologi spiritual yang melampaui logika proposisional.
Dari sisi aksiologi, Suhrawardī menegaskan bahwa kebaikan
adalah intensitas kebercahayaan, sedangkan kejahatan hanyalah ketiadaan
sinar.⁷ Etika iluminatifnya menempatkan transformasi batin sebagai inti
moralitas. Kebaikan tidak lagi diukur melalui norma eksternal, tetapi melalui
kedalaman pencerahan eksistensial. Dengan demikian, etika menjadi bagian
integral dari ontologi: semakin terang suatu jiwa, semakin dekat ia kepada
Kebaikan Mutlak.⁸
Secara historis dan kultural, pengaruh
Iluminasionisme meluas jauh melampaui masa hidup Suhrawardī. Tradisi ini
diteruskan oleh Shahrazūrī dan Qutb al-Dīn al-Shīrāzī, kemudian mencapai puncak
sintesisnya pada Mulla Ṣadrā dalam ḥikmah mutaʿāliyah.⁹ Melalui mereka, isyrāqiyyah
menjadi bagian penting dari peradaban intelektual Persia, India, dan dunia
Islam Timur. Pada masa modern, Henry Corbin dan Hossein Ziai menghidupkan
kembali nilai filosofis Iluminasionisme sebagai alternatif bagi rasionalisme
sekular dan positivisme Barat.¹⁰
Secara konseptual, sistem
Suhrawardī mengandung tiga prinsip fundamental
yang menjelaskan daya tahannya lintas zaman:
1)
Ontologi iluminatif, yang
menyatukan Tuhan, alam, dan manusia dalam jaringan kesadaran bercahaya.
2)
Epistemologi presensial, yang mengembalikan pengetahuan pada pengalaman langsung dan kesadaran
diri.
3)
Aksiologi spiritual, yang
menjadikan pencerahan batin sebagai dasar moralitas dan keadilan kosmik.¹¹
Dengan ketiga fondasi tersebut, Iluminasionisme
bukan hanya sistem filsafat klasik, melainkan visi universal tentang
kesadaran dan eksistensi. Ia menolak reduksionisme materialistik dan
menawarkan paradigma integral yang menghubungkan rasionalitas dengan wahyu,
logika dengan cinta, dan manusia dengan sumber ilahinya.¹²
Dalam konteks kontemporer, Ḥikmat al-Isyrāq
relevan sebagai model filsafat pencerahan integral yang mengatasi krisis
spiritual modern. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati adalah perjalanan
menuju kehadiran, dan kehadiran sejati adalah partisipasi dalam Cahaya
Mutlak.¹³ Filsafat Suhrawardī menutup lingkaran antara berpikir, mengetahui,
dan menjadi; menjadikan filsafat bukan sekadar pencarian intelektual, tetapi
proses penyinaran diri menuju hakikat eksistensi.¹⁴
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Iluminasionisme
adalah sintesis abadi antara rasio dan intuisi, antara logos dan nūr,
yang menjadikan filsafat Islam tidak hanya rasional dan sistematis, tetapi juga
transformatif dan hidup. Dalam pandangan Suhrawardī, kebenaran bukanlah ide
yang dipikirkan, melainkan cahaya yang disaksikan.¹⁵
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1964), 140–142.
[2]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq,
ed. Henry Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1952), 121–123.
[3]
Henry Corbin, En Islam Iranien, vol. 2:
Sohrawardī et les Platoniciens de Perse (Paris: Gallimard, 1971), 225–228.
[4]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
204–206.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY
Press, 1992), 150–152.
[6]
Nasr, Islamic Life and Thought (London:
George Allen and Unwin, 1981), 203–205.
[7]
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Hayākil al-Nūr,
dalam Majmūʿat Muṣannafāt Suhrawardī, ed. Henry Corbin (Teheran:
Institut Franco-Iranien, 1952), 217–219.
[8]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1978), 184–187.
[9]
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 30–33.
[10]
Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993),
263–265.
[11]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardī and the School of
Illumination (London: Routledge, 1997), 115–118.
[12]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 225–228.
[13]
John Walbridge, The Wisdom of the Mystic East:
Suhrawardī and Platonic Orientalism (Albany: SUNY Press, 2001), 164–167.
[14]
Corbin, Temple and Contemplation (London:
KPI, 1986), 126–129.
[15]
Ziai, Knowledge and Illumination, 209–211.
Daftar Pustaka
Aminrazavi, M. (1997). Suhrawardī and the School
of Illumination. London, UK: Routledge.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the Visionary
Recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Corbin, H. (1969). Creative Imagination in the
Sufism of Ibn ʿArabī. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Corbin, H. (1971). En Islam Iranien, vol. 2:
Sohrawardī et les Platoniciens de Perse. Paris, France: Gallimard.
Corbin, H. (1978). The Man of Light in Iranian
Sufism. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Corbin, H. (1986). Temple and Contemplation.
London, UK: KPI.
Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London, UK: Kegan Paul International.
Conze, E. (1962). Buddhist Thought in India.
London, UK: George Allen and Unwin.
Gupta, B. (2012). An Introduction to Indian
Philosophy: Perspectives on Reality, Knowledge, and Freedom. New York, NY:
Routledge.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Albany, NY:
State University of New York Press.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Husserl, E. (1931). Ideas: General Introduction
to Pure Phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). London, UK: George Allen
and Unwin.
Ibn Rushd (Averroes). (1954). Tahāfut al-Tahāfut
(S. van den Bergh, Ed.). London, UK: Luzac & Co.
Ibn Sīnā (Avicenna). (1960). Al-Shifāʾ:
Ilāhiyyāt (I. Madkour, Ed.). Cairo, Egypt: al-Hayʾah al-ʿĀmmah.
Ibn Sīnā (Avicenna). (1968). Al-Shifāʾ: Al-Nafs
(I. Madkour, Ed.). Cairo, Egypt: al-Hayʾah al-ʿĀmmah.
Leaman, O. (2002). An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Naess, A. (1989). Ecology, Community, and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man. London, UK: George Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1981). Islamic Life and Thought.
London, UK: George Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1987). Islamic Art and Spirituality.
Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Plotinus. (1966). The Enneads (A. H.
Armstrong, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Qutb al-Dīn al-Shīrāzī. (1993). Sharḥ Ḥikmat
al-Isyrāq (H. Ziai, Ed.). Teheran, Iran: Iranian Academy of Philosophy.
Radhakrishnan, S. (1953). The Principal
Upaniṣads. London, UK: George Allen and Unwin.
Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and
Metaphysics: Modulation of Being. London, UK: Routledge.
Shahrazūrī, S. al-D. (1952). Sharḥ Ḥikmat
al-Isyrāq (H. Corbin, Ed.). Teheran, Iran: Institut Franco-Iranien.
Suhrawardī, S. al-D. (1952). Ḥikmat al-Isyrāq
(H. Corbin, Ed.). Teheran, Iran: Institut Franco-Iranien.
Suhrawardī, S. al-D. (1952). Hayākil al-Nūr,
dalam Majmūʿat Muṣannafāt Suhrawardī (H. Corbin, Ed.). Teheran, Iran:
Institut Franco-Iranien.
Suhrawardī, S. al-D. (1952). Qiṣṣat al-Ghurba
al-Gharbiyyah, dalam Majmūʿat Muṣannafāt Suhrawardī (H. Corbin,
Ed.). Teheran, Iran: Institut Franco-Iranien.
Suhrawardī, S. al-D. (1952). Risālat al-Ṭayr,
dalam Majmūʿat Muṣannafāt Suhrawardī (H. Corbin, Ed.). Teheran, Iran:
Institut Franco-Iranien.
Walbridge, J. (2001). The Wisdom of the Mystic
East: Suhrawardī and Platonic Orientalism. Albany, NY: State University of
New York Press.
Wilber, K. (1977). The Spectrum of Consciousness.
Wheaton, IL: Theosophical Publishing House.
Ziai, H. (1990). Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq. Atlanta, GA: Scholars Press.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar