Prinsip Keseimbangan (Balance)
Fondasi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis bagi
Keharmonisan Ekologis dan Kemanusiaan
Alihkan ke: Etika Lingkungan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif Prinsip
Keseimbangan (Balance) sebagai salah satu fondasi utama dalam etika lingkungan
kontemporer. Prinsip ini dipahami tidak hanya sebagai gagasan moral tentang
harmoni antara manusia dan alam, tetapi juga sebagai paradigma filosofis yang
mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis kehidupan. Melalui
pendekatan historis dan genealogis, artikel ini menelusuri akar konseptual
prinsip keseimbangan sejak pemikiran kosmologis Yunani dan Timur kuno hingga
refleksi modern dalam filsafat ekologi. Dalam dimensi ontologis, keseimbangan
dipahami sebagai struktur dinamis yang menopang realitas ekologis, di mana
kehidupan bergantung pada keterhubungan dan saling ketergantungan antarunsur
alam. Secara epistemologis, keseimbangan menolak pandangan dualistik antara
subjek dan objek, menegaskan perlunya kesadaran ekologis yang partisipatif dan
reflektif.
Pada tataran aksiologis, prinsip keseimbangan
mengandung nilai moral universal seperti moderasi, tanggung jawab, dan
keharmonisan. Ia menjadi pedoman etis untuk membangun hubungan yang adil antara
manusia, masyarakat, dan ekosistem. Lebih lanjut, artikel ini menyoroti dimensi
sosial, ekonomi, dan politik dari keseimbangan sebagai dasar bagi pembangunan
berkelanjutan, keadilan ekologis, serta tata kelola demokratis yang berwawasan
lingkungan. Namun, prinsip ini juga tidak luput dari kritik, terutama karena
kecenderungannya untuk dipahami secara statis dan idealistik. Melalui refleksi
sintesis filosofis, artikel ini menawarkan reinterpretasi prinsip keseimbangan
sebagai etika yang integral dan humanistik—sebuah kerangka moral yang menegaskan
keterpaduan antara martabat manusia dan martabat alam. Prinsip keseimbangan
pada akhirnya dipandang sebagai paradigma baru bagi peradaban ekologis (eco-civilization),
yang menuntut keselarasan antara ilmu, moralitas, dan spiritualitas dalam
menjaga keberlanjutan kehidupan di bumi.
Kata Kunci: Etika
lingkungan; prinsip keseimbangan; ontologi ekologis; epistemologi partisipatif;
aksiologi ekologi; keadilan ekologis; humanisme ekologis; keberlanjutan;
ekosentrisme; etika integral.
PEMBAHASAN
Prinsip Keseimbangan (Balance) dalam Etika Lingkungan
1.          
Pendahuluan
Krisis ekologis global yang
melanda dunia saat ini bukan sekadar fenomena lingkungan, tetapi merupakan
krisis peradaban dan nilai yang mengguncang fondasi etika manusia modern. Perubahan
iklim, deforestasi, polusi, dan kehilangan keanekaragaman hayati menjadi
manifestasi nyata dari ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dan kemampuan
alam menopang kehidupan. Dalam konteks inilah, prinsip keseimbangan
(balance) menjadi salah satu pilar utama dalam etika lingkungan yang
berupaya menata ulang relasi manusia dengan alam semesta secara moral dan
filosofis. Prinsip ini tidak sekadar menyerukan harmoni ekologis, melainkan
menegaskan kembali keterpaduan antara dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis kehidupan—yakni antara keberadaan (being), pengetahuan (knowing),
dan nilai (valuing) dalam jaringan kehidupan yang saling terkait.¹
Keseimbangan secara filosofis
mengandung makna keselarasan antara berbagai unsur yang membentuk kosmos. Dalam
pandangan klasik, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, mesotes
atau jalan tengah merupakan prinsip moral yang menjaga manusia dari
ekstremitas—baik dalam tindakan maupun dalam relasi dengan dunia sekitar.²
Dalam tradisi Timur, khususnya dalam filsafat Tiongkok kuno, keseimbangan
diartikulasikan melalui konsep Yin-Yang, yang menekankan bahwa segala
sesuatu di alam semesta saling melengkapi dan membentuk kesatuan dinamis.³
Sementara dalam kosmologi Islam, keseimbangan (mīzān) dipahami sebagai hukum
Tuhan yang menata keteraturan semesta, sehingga pelanggaran terhadap
keseimbangan berarti pula pelanggaran terhadap tatanan moral Ilahi.⁴ Dengan
demikian, prinsip keseimbangan merupakan nilai lintas budaya dan lintas zaman
yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan ekologis umat manusia.
Dalam dunia modern,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat seringkali mendorong
paradigma antroposentris yang memandang alam semata-mata sebagai objek
eksploitasi demi kemajuan manusia. Pandangan ini menciptakan ilusi bahwa
keseimbangan dapat dikorbankan demi efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Namun,
ketika dampak ekologis mulai mengancam keberlangsungan hidup manusia itu
sendiri, kesadaran baru mulai muncul bahwa keseimbangan ekologis bukanlah
penghalang bagi kemajuan, melainkan prasyarat keberlanjutan kehidupan.⁵ Prinsip
keseimbangan kemudian menjadi panggilan etis untuk meninjau ulang paradigma
pembangunan dan hubungan manusia dengan bumi, agar berpijak pada nilai
keberlanjutan dan tanggung jawab antar-generasi.
Dari perspektif
ekologis-filosofis, keseimbangan tidak dapat dipahami sebagai kondisi statis,
melainkan sebagai proses dinamis yang terus-menerus terjadi di dalam sistem
kehidupan. Ekolog Fritjof Capra menegaskan bahwa alam adalah jaringan hubungan
kompleks di mana setiap bagian memengaruhi dan dipengaruhi oleh bagian lain
secara timbal balik.⁶ Oleh karena itu, menjaga keseimbangan berarti menjaga
keberlanjutan proses kehidupan melalui kesadaran akan keterhubungan
eksistensial antara manusia dan seluruh makhluk hidup. Prinsip ini sejalan
dengan pandangan deep ecology dari Arne Naess yang menolak hierarki
nilai antara manusia dan alam, menegaskan bahwa semua entitas ekologis memiliki
nilai intrinsik yang layak dihormati.⁷
Masalah utama yang menjadi fokus
kajian ini adalah bagaimana prinsip keseimbangan dapat dijadikan dasar normatif
dalam etika lingkungan, dan bagaimana ia mampu menjawab dilema moral antara
kebutuhan manusia dan batas-batas ekologis. Kajian ini bertujuan untuk
menguraikan fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari prinsip
keseimbangan, menelaah dimensi sosial-ekonomi dan politiknya, serta merumuskan
sintesis filosofis menuju etika lingkungan yang integral dan humanistik. Dengan
pendekatan interdisipliner—menggabungkan filsafat, ekologi, dan etika
terapan—kajian ini berupaya menawarkan pemahaman menyeluruh mengenai bagaimana
keseimbangan dapat berfungsi sebagai prinsip moral yang menuntun manusia untuk
hidup selaras dengan alam tanpa kehilangan martabat dan kebebasannya.⁸
Kajian tentang prinsip
keseimbangan ini menjadi semakin relevan dalam konteks kontemporer, ketika umat
manusia berada di ambang krisis antropocene—era di mana aktivitas manusia
menjadi kekuatan geologis yang mengubah sistem bumi.⁹ Dalam situasi ini,
keseimbangan bukan hanya ideal filosofis, melainkan kebutuhan eksistensial bagi
kelangsungan hidup manusia dan planetnya. Etika lingkungan berbasis
keseimbangan menuntut perubahan paradigma dari dominasi menuju partisipasi,
dari eksploitasi menuju koeksistensi, dan dari fragmentasi menuju integrasi
ekologis. Dengan demikian, prinsip keseimbangan hadir bukan sekadar sebagai
wacana moral, tetapi sebagai panggilan filosofis untuk membangun kembali relasi
manusia dan alam secara berkeadilan, harmonis, dan berkelanjutan.¹⁰
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 24.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D.
Ross (Oxford: Oxford University Press, 1954), 1106b36–1107a7.
[3]               
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau
(London: Penguin Classics, 1963), 42.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 87.
[5]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 204.
[6]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29.
[7]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 80.
[8]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (Oxford: Oxford University Press, 1991), 15–18.
[9]               
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 5–9.
[10]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 201–203.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan memiliki
akar historis yang sangat panjang dalam sejarah pemikiran manusia, mencakup
lintasan lintas peradaban yang menunjukkan betapa mendasarnya gagasan harmoni,
proporsi, dan keteraturan dalam memahami kehidupan dan kosmos. Sejak awal,
manusia menyadari bahwa alam semesta bukanlah entitas yang statis, melainkan
suatu sistem yang bergerak dalam keteraturan dinamis. Kesadaran inilah yang
kemudian melahirkan berbagai sistem filsafat dan etika yang menempatkan
keseimbangan sebagai fondasi kehidupan moral dan kosmik.¹
2.1.      
Keseimbangan dalam Filsafat Alam Kuno
Dalam filsafat Yunani kuno,
prinsip keseimbangan diartikulasikan melalui konsep kosmos—sebuah
tatanan universal yang harmonis di mana segala sesuatu memiliki tempat dan
proporsinya sendiri. Heraclitus (540–480 SM) mengemukakan bahwa dunia ini
bergerak melalui ketegangan antara yang berlawanan (polemos), namun
justru dari ketegangan inilah tercipta harmoni.² Ia menulis, “harmoni
tersembunyi lebih baik daripada harmoni yang tampak,” menegaskan bahwa
keseimbangan bukanlah ketiadaan konflik, melainkan keteraturan yang muncul dari
dinamika pertentangan.³
Aristoteles kemudian mengembangkan
gagasan ini melalui prinsip mesotes—jalan tengah sebagai inti dari
kebajikan moral. Bagi Aristoteles, setiap kebajikan terletak di antara dua
ekstrem: kelebihan dan kekurangan. Dalam konteks ekologi moral, prinsip ini
dapat ditafsirkan sebagai pengingat agar manusia tidak bersikap berlebihan
dalam mengeksploitasi alam, namun juga tidak bersikap pasif terhadap kebutuhan
hidupnya.⁴ Sementara itu, Pythagoras dan para pengikutnya memahami keseimbangan
sebagai ekspresi matematis dari harmoni semesta: alam semesta adalah tatanan
angka yang berirama, dan pelanggaran terhadap harmoni tersebut berarti
pelanggaran terhadap hukum kosmik.⁵
Dalam tradisi Helenistik,
Stoisisme menempatkan logos—rasio kosmik—sebagai prinsip yang menjaga
keseimbangan antara manusia dan alam. Hidup selaras dengan logos
berarti hidup sesuai dengan alam (living according to nature), suatu
pandangan yang sangat dekat dengan gagasan ekologis kontemporer tentang hidup
berkelanjutan.⁶
2.2.      
Keseimbangan dalam Tradisi Filsafat Timur
Sementara itu, dalam tradisi
Timur, gagasan keseimbangan telah menjadi pusat pemikiran metafisis dan moral
sejak ribuan tahun lalu. Dalam filsafat Tiongkok kuno, Daoisme melalui
ajaran Lao Tzu dalam Tao Te Ching menegaskan bahwa alam beroperasi
berdasarkan prinsip Dao—jalan kosmik yang memelihara keteraturan tanpa
paksaan (wu wei).⁷ Prinsip Yin dan Yang
menggambarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta saling berlawanan namun
saling melengkapi; keseimbangan tercapai ketika dualitas ini hidup dalam
keselarasan dinamis, bukan dalam dominasi satu atas yang lain.⁸
Dalam ajaran Hindu, prinsip
keseimbangan termanifestasi dalam konsep Dharma—tatanan moral dan
kosmik yang menopang alam semesta.⁹ Pelanggaran terhadap Dharma
berarti menciptakan adharma, yaitu kekacauan dan penderitaan. Prinsip
ini erat kaitannya dengan gagasan rita dalam Weda, yang menggambarkan
keteraturan universal yang harus dijaga oleh manusia.¹⁰ Dalam Buddhisme,
keseimbangan diwujudkan melalui Jalan Tengah (Majjhima Patipada),
yang menghindari ekstremitas dalam asketisme maupun hedonisme.¹¹ Prinsip ini
mengandung makna ekologis mendalam: bahwa kebahagiaan sejati lahir dari
keselarasan dengan alam, bukan dari penguasaan atasnya.
Di dunia Islam, keseimbangan
(mīzān) menjadi bagian integral dari kosmologi Qur’ani. Allah
menciptakan alam dengan ukuran dan proporsi yang tepat, dan manusia
diperintahkan untuk tidak melampaui batas-batas itu.¹² Al-Qur’an menegaskan: “Dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan keseimbangan, supaya kamu
jangan merusak keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman [55] ayat 7–8). Konsep
ini menegaskan bahwa keseimbangan bukan sekadar hukum fisik, melainkan juga
norma etis yang mengatur perilaku manusia terhadap lingkungan.¹³
2.3.      
Keseimbangan dalam Filsafat Modern dan
Ekologisme Kontemporer
Memasuki era modern, prinsip
keseimbangan mengalami transformasi seiring dengan berkembangnya sains dan
rasionalisme. Filsafat Descartes dan Bacon menandai lahirnya pandangan
mekanistik terhadap alam: dunia dianggap sebagai mesin yang dapat dikontrol dan
dimanfaatkan melalui akal manusia.¹⁴ Paradigma ini menimbulkan
ketidakseimbangan antara manusia dan alam, karena memisahkan subjek (manusia)
dari objek (alam). Namun, pada abad ke-19 dan ke-20, muncul gerakan pemikiran
baru yang menegaskan kembali pentingnya keseimbangan ekologis.
Aldo Leopold dalam A Sand
County Almanac memperkenalkan Land Ethic—pandangan bahwa manusia
adalah bagian dari komunitas ekologis, bukan penguasa atasnya.¹⁵ Prinsip
keseimbangan di sini berarti hidup dengan rasa hormat terhadap seluruh anggota
komunitas biotik. Fritjof Capra kemudian memperluas gagasan ini melalui teori
sistem dan ecological holism, yang memandang kehidupan sebagai
jaringan hubungan timbal balik.¹⁶ Keseimbangan ekologis dipahami sebagai
stabilitas dinamis yang harus terus dipelihara melalui kesadaran akan
interdependensi kehidupan.
Dalam filsafat deep
ecology Arne Naess, keseimbangan memperoleh dimensi eksistensial. Ia
menolak pandangan antroposentris dan mengusulkan ekosofi—suatu
kebijaksanaan hidup yang menempatkan semua makhluk pada posisi yang setara
dalam jaringan eksistensi.¹⁷ Prinsip keseimbangan, dalam pandangan ini, menjadi
fondasi bagi etika ekologis yang tidak hanya normatif tetapi juga spiritual. Ia
menuntut transformasi kesadaran manusia menuju kesadaran ekologis yang utuh dan
inklusif.
2.4.      
Makna Genealogis Prinsip Keseimbangan
Secara genealogis,
perkembangan prinsip keseimbangan menunjukkan adanya kesinambungan gagasan
tentang keteraturan alam yang melintasi batas budaya dan zaman. Dari harmonia
Yunani hingga mīzān Islam, dari Yin-Yang hingga Dharma,
semuanya menegaskan bahwa keseimbangan merupakan hukum universal yang menuntun
manusia memahami tempatnya dalam kosmos.¹⁸ Evolusi makna keseimbangan dari
metafisika menuju etika menunjukkan transformasi dari kesadaran kosmik menuju
kesadaran moral: dari upaya memahami keteraturan alam menjadi upaya menjaga
keberlangsungan hidup.
Dengan demikian, prinsip
keseimbangan bukan sekadar konsep filosofis yang bersifat abstrak, tetapi
merupakan hasil akumulasi refleksi peradaban tentang cara hidup yang benar (the
right way of living). Dalam konteks etika lingkungan modern, prinsip ini
menjadi dasar normatif bagi upaya membangun hubungan baru antara manusia dan
alam yang bersifat holistik, partisipatif, dan bertanggung jawab.¹⁹
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 12–15.
[2]               
Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto:
University of Toronto Press, 1987), fr. 53.
[3]               
Ibid., fr. 54.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford:
Oxford University Press, 1954), 1106b36–1107a7.
[5]               
Philolaus, Fragments, in The Pythagorean Sourcebook and Library,
ed. Kenneth Sylvan Guthrie (Grand Rapids: Phanes Press, 1987), 71.
[6]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), 5.30.
[7]               
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin
Classics, 1963), 16.
[8]               
Chang Chung-yuan, Creativity and Taoism: A Study of Chinese
Philosophy, Art, and Poetry (New York: Harper & Row, 1963), 42.
[9]               
Radhakrishnan, S., Indian Philosophy, vol. 1 (London: George
Allen & Unwin, 1923), 124.
[10]            
Raimon Panikkar, The Vedic Experience: Mantramañjari (Berkeley:
University of California Press, 1977), 55.
[11]            
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press,
1974), 45.
[12]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: Allen & Unwin, 1968), 87.
[13]            
Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55]: 7–8.
[14]            
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (London:
George Routledge and Sons, 1900), 67–70.
[15]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 204.
[16]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 30.
[17]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 80–83.
[18]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 195–198.
[19]            
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 24–27.
3.          
Ontologi
Keseimbangan: Struktur dan Realitas Kehidupan Ekologis
Ontologi keseimbangan
berupaya menyingkap hakikat terdalam dari realitas ekologis, yakni struktur
keberadaan yang bersifat saling bergantung, dinamis, dan integral. Dalam
konteks filsafat lingkungan, ontologi tidak sekadar membahas “apa yang ada”
(being), tetapi juga “bagaimana sesuatu itu ada” dalam jejaring
relasi kehidupan. Dengan demikian, prinsip keseimbangan bukan hanya norma moral
atau panduan etis, melainkan fondasi ontologis yang menegaskan bahwa seluruh
entitas di alam semesta memiliki posisi, nilai, dan fungsi dalam tatanan kosmos
yang saling menopang.¹
3.1.      
Alam sebagai Jaringan Keberadaan yang Saling
Bergantung
Dalam pandangan ekologi
modern, alam bukanlah kumpulan benda-benda terpisah, melainkan jaringan
kehidupan yang saling bergantung secara sistemik. Fritjof Capra, dalam The
Web of Life, menyatakan bahwa semua makhluk hidup merupakan simpul-simpul
dalam jejaring hubungan yang kompleks dan terus berubah; tidak ada entitas yang
eksis secara terisolasi.² Pandangan ini menggambarkan realitas ekologis sebagai
web of interbeing, di mana keseimbangan bukan berarti kesetimbangan
mekanis, melainkan harmoni dinamis yang terus beradaptasi terhadap perubahan.
Konsepsi ini memiliki akar
dalam pemikiran klasik Aristotelian yang memandang alam sebagai sistem organik
yang bergerak menuju tujuan tertentu (teleologis).³ Bagi Aristoteles,
keteraturan dan keseimbangan merupakan ciri dari physis (alam), di
mana segala sesuatu memiliki kecenderungan untuk mencapai kesempurnaan
kodratinya. Dengan demikian, prinsip keseimbangan menjadi bagian inheren dari
struktur ontologis alam itu sendiri—bukan hasil ciptaan manusia, tetapi hukum
yang melekat dalam eksistensi.⁴
Dalam konteks Timur, Taoisme
juga memberikan pemahaman ontologis yang mendalam terhadap keseimbangan. Tao,
sebagai jalan kosmik, mengandung prinsip bahwa realitas sejati bersifat dinamis
dan saling melengkapi. Konsep Yin-Yang menggambarkan bahwa segala
fenomena di dunia adalah hasil interaksi dua kekuatan berlawanan yang bersifat
relatif, bukan mutlak.⁵ Keseimbangan bukanlah titik akhir, tetapi proses keberlangsungan
yang memungkinkan dunia tetap hidup dalam keteraturan.
3.2.      
Struktur Ontologis: Keterhubungan dan
Interdependensi
Ontologi keseimbangan menolak
dikotomi klasik antara subjek dan objek yang telah mendominasi filsafat Barat
sejak Descartes. Pandangan dualistik yang memisahkan manusia dari alam telah
menciptakan paradigma eksploitatif dan antroposentris, di mana realitas
dipahami sebagai “sesuatu yang dihadapi” oleh subjek rasional.⁶
Sebaliknya, dalam pandangan ekologis kontemporer, eksistensi manusia dipahami
sebagai bagian integral dari sistem ekologis yang lebih besar.
Holmes Rolston III menegaskan
bahwa alam tidak hanya menyediakan kondisi material bagi keberadaan manusia,
tetapi juga mengandung nilai intrinsik yang tidak bergantung pada kegunaannya
bagi manusia.⁷ Dengan demikian, prinsip keseimbangan memiliki landasan
ontologis dalam struktur nilai realitas itu sendiri: dunia bukanlah sekadar
sumber daya, melainkan komunitas moral yang hidup.
Dalam kerangka sistem
ekologis, keseimbangan tercapai melalui mekanisme umpan balik (feedback
loops) yang mempertahankan stabilitas dinamis.⁸ Ekosistem bekerja
berdasarkan prinsip keterkaitan dan adaptasi, di mana gangguan pada satu elemen
dapat memengaruhi keseluruhan sistem. Hal ini memperkuat pandangan bahwa keseimbangan
bukanlah keadaan statis, melainkan hasil dari proses keberlanjutan yang
melibatkan semua entitas ekologis. Prinsip ini paralel dengan teori sistem
terbuka Ludwig von Bertalanffy, yang menekankan bahwa kehidupan hanya mungkin
berlangsung melalui pertukaran energi, informasi, dan materi secara seimbang.⁹
3.3.      
Keseimbangan sebagai Prinsip Ontologis
Ekosentris
Secara filosofis,
keseimbangan merupakan prinsip ontologis yang menegaskan bahwa realitas
ekologis bersifat ekosentris, bukan antroposentris. Arne Naess melalui deep
ecology mengembangkan pandangan bahwa seluruh makhluk hidup memiliki nilai
eksistensial yang sama dan merupakan bagian dari “diri ekologis” manusia
yang lebih luas.¹⁰ Dalam kerangka ini, keseimbangan berarti kesadaran
eksistensial bahwa diri manusia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan lainnya;
penghancuran alam berarti penghancuran diri.
Sementara itu, Thomas Berry
memandang alam sebagai “komunitas subjek,” bukan kumpulan objek.¹¹ Dalam
perspektif ini, setiap elemen ekologis memiliki keberadaan yang partisipatif
dalam jaringan kehidupan. Ontologi keseimbangan menolak gagasan dominasi
hierarkis dan menggantikannya dengan prinsip ko-eksistensi yang setara. Maka,
menjaga keseimbangan berarti menjaga keberlanjutan dialog eksistensial antara manusia
dan semesta.
Whitehead melalui filsafat
prosesnya memperdalam pandangan ini dengan menegaskan bahwa realitas terdiri
atas peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan, bukan substansi yang berdiri
sendiri.¹² Keseimbangan, dalam konteks ini, adalah kontinuitas proses kreatif
alam yang melibatkan keteraturan dan kebaruan secara bersamaan. Ontologi proses
ini memberikan dasar metafisik yang kuat bagi pemahaman keseimbangan ekologis
sebagai gerak keberlanjutan yang dinamis, bukan kondisi yang beku.
3.4.      
Keseimbangan dan Keberlanjutan Hidup
Keseimbangan ontologis juga
menjadi dasar bagi konsep keberlanjutan (sustainability) dalam ekologi
modern. Dalam sistem ekologis, kehidupan bertahan karena adanya keseimbangan
energi dan interaksi yang efisien antara organisme dan lingkungannya.¹³ Ketika
keseimbangan terganggu—misalnya melalui overeksploitasi sumber daya atau
polusi—sistem ekologis akan memasuki fase ketidakteraturan (entropy)
yang berpotensi menghancurkan keseluruhan jaringan kehidupan.
Dari perspektif etika lingkungan,
kesadaran akan keseimbangan ontologis menuntun manusia untuk memahami dirinya
sebagai bagian dari proses kosmik yang lebih luas. Ia tidak lagi menjadi pusat
nilai, melainkan peserta dalam drama ekologis semesta.¹⁴ Keseimbangan, dengan
demikian, bukan hanya struktur keberadaan, tetapi juga panggilan moral bagi
manusia untuk menyesuaikan tindakannya dengan hukum kehidupan.
3.5.      
Ontologi Keseimbangan sebagai Fondasi Etika
Ekologis
Pada akhirnya, prinsip
keseimbangan menempati posisi fundamental dalam struktur ontologi ekologi. Ia
berfungsi sebagai dasar bagi etika lingkungan yang menghargai
kesalingterkaitan, menghormati batas-batas alam, dan menumbuhkan kesadaran
kolektif terhadap keberlanjutan hidup. Dalam pandangan ini, keseimbangan
bukanlah sekadar hubungan eksternal antar entitas, melainkan struktur batin
dari realitas itu sendiri—sebuah kesatuan organis yang memungkinkan
keberlangsungan kehidupan.¹⁵
Dengan demikian, memahami
keseimbangan secara ontologis berarti memahami kehidupan sebagai totalitas yang
hidup, di mana keberadaan setiap makhluk tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan sistem. Ontologi keseimbangan memulihkan makna spiritual dan etis
dari keberadaan: bahwa manusia dipanggil untuk hidup bukan sebagai penguasa
atas alam, tetapi sebagai penjaga keteraturan kosmik yang menopang segala
kehidupan.¹⁶
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 20–24.
[2]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29.
[3]               
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye
(Oxford: Clarendon Press, 1930), 199b–201a.
[4]               
Ibid., 201b.
[5]               
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin
Classics, 1963), 16–17.
[6]               
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35.
[7]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 24.
[8]               
Eugene Odum, Fundamentals of Ecology, 3rd ed. (Philadelphia:
W. B. Saunders, 1971), 87–89.
[9]               
Ludwig von Bertalanffy, General System Theory: Foundations,
Development, Applications (New York: George Braziller, 1968), 39–42.
[10]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 84–86.
[11]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 195.
[12]            
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York:
Macmillan, 1929), 50–53.
[13]            
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford:
Oxford University Press, 1979), 105–110.
[14]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 223.
[15]            
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 43–45.
[16]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 73–75.
4.          
Epistemologi
Keseimbangan: Pengetahuan dan Kesadaran Ekologis
Epistemologi keseimbangan
berfokus pada bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan menghayati
keteraturan ekologis yang menjadi dasar kehidupan. Jika ontologi keseimbangan
membahas hakikat realitas yang saling berhubungan, maka epistemologi
keseimbangan mengkaji bagaimana pengetahuan tentang relasi tersebut dibangun,
dihayati, dan dikembangkan menjadi kesadaran ekologis yang autentik. Dalam
konteks ini, pengetahuan bukanlah sekadar akumulasi data tentang alam, tetapi
merupakan bentuk keterlibatan manusia secara reflektif dan etis dalam jejaring
kehidupan.¹
4.1.      
Krisis Epistemik dan Paradigma Cartesian
Sejak munculnya modernitas,
relasi manusia dengan alam telah dikonstruksi oleh paradigma epistemologis yang
bersifat dualistis dan mekanistik. René Descartes dan Francis
Bacon menjadi simbol dari cara berpikir yang memisahkan subjek (manusia) dari
objek (alam).² Dalam pandangan ini, alam direduksi menjadi sesuatu yang dapat
diukur, dikontrol, dan dieksploitasi demi kemajuan manusia.³ Paradigma ini
melahirkan ilmu pengetahuan yang kuat secara teknologis, tetapi lemah dalam
dimensi etis dan spiritualnya.
Krisis ekologi kontemporer,
menurut banyak pemikir, bukan hanya akibat kesalahan teknis dalam pengelolaan
sumber daya, tetapi merupakan krisis epistemologis—yakni kesalahan
dalam cara kita memandang dan mengetahui dunia.⁴ Alam dipersepsi sebagai “mesin”
tanpa makna intrinsik, sementara manusia menempatkan diri sebagai pengamat
eksternal yang bebas dari hukum alam. Fritjof Capra menegaskan bahwa krisis
global saat ini berakar pada “cara berpikir yang terpisah” (fragmented
thinking) yang mengabaikan keterhubungan fundamental antara semua bentuk
kehidupan.⁵
4.2.      
Dari Pengetahuan Mekanistik ke Pengetahuan
Holistik
Epistemologi keseimbangan
menuntut perubahan paradigma dari cara berpikir reduksionis menuju cara
berpikir sistemik dan holistik. Dalam paradigma baru ini, pengetahuan tidak
lagi dipahami sebagai cerminan pasif atas realitas, melainkan sebagai proses
dinamis yang melibatkan hubungan timbal balik antara pengamat dan yang
diamati.⁶ Dalam teori sistem yang dikembangkan Ludwig von Bertalanffy, setiap
fenomena alam dipahami dalam konteks keterkaitannya dengan keseluruhan, bukan
sebagai entitas terpisah.⁷
Ilmu pengetahuan modern yang
bersifat kuantitatif dan fragmentatif perlu dilengkapi dengan pendekatan yang
bersifat reflektif, intersubjektif, dan ekofenomenologis. Edmund Husserl dan
Maurice Merleau-Ponty membuka jalan bagi pemahaman fenomenologis terhadap alam,
di mana pengalaman ekologis manusia tidak dapat dipisahkan dari tubuh dan
kesadarannya yang tertanam dalam dunia (being-in-the-world).⁸
Merleau-Ponty menekankan bahwa persepsi terhadap alam selalu bersifat
partisipatif—kita bukan pengamat luar, tetapi bagian dari lanskap hidup yang
kita hayati.⁹
Dalam konteks ini,
pengetahuan ekologis bersifat relasional: ia muncul dari keterlibatan,
bukan dominasi. Prinsip keseimbangan epistemologis menolak klaim absolut atas
kebenaran tunggal dan menggantinya dengan kesadaran pluralistik bahwa setiap
bentuk kehidupan memiliki “cara mengetahui” (mode of knowing)
yang khas.¹⁰ Epistemologi semacam ini membuka ruang bagi dialog antara ilmu
modern, kebijaksanaan lokal, dan spiritualitas ekologis yang selama ini
terpinggirkan oleh rasionalitas teknologis Barat.
4.3.      
Kesadaran Ekologis dan Transformasi Diri
Epistemologi keseimbangan
tidak berhenti pada aspek teoretis, melainkan mengarah pada transformasi
kesadaran manusia. Arne Naess melalui konsep deep ecology menegaskan
bahwa pengetahuan sejati tentang alam hanya dapat dicapai melalui identifikasi
ekologis—proses di mana individu menyadari dirinya sebagai bagian integral
dari alam, bukan entitas yang terpisah.¹¹ Kesadaran ekologis adalah bentuk
pengetahuan eksistensial, bukan sekadar kognitif. Ia menuntut perubahan
perspektif dari “aku berpikir” menuju “aku berpartisipasi.”
Kesadaran ekologis juga
mengandung dimensi etis: semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap
keterhubungan ekologis, semakin besar pula tanggung jawab moralnya terhadap
kelestarian kehidupan.¹² Dalam filsafat Timur, terutama Taoisme dan Buddhisme,
pengetahuan sejati lahir dari keheningan batin dan keterbukaan terhadap ritme
alam. Wu wei (bertindak tanpa paksaan) dalam Taoisme adalah bentuk
kebijaksanaan epistemologis yang selaras dengan prinsip keseimbangan:
mengetahui melalui harmoni, bukan dominasi.¹³
Kesadaran ekologis juga
bersifat kolektif. Dalam konteks sosial, ia berkembang menjadi ecological
literacy—kemampuan memahami pola dan proses ekologis secara komprehensif
untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. David Orr menyebutnya sebagai “pendidikan
untuk planet bumi,” di mana pengetahuan tidak hanya berfungsi untuk
menguasai alam, tetapi untuk hidup bersama alam dengan rasa hormat dan tanggung
jawab.¹⁴
4.4.      
Pengetahuan Interdisipliner dan Ekologi
Integral
Epistemologi keseimbangan
juga menuntut pengintegrasian antara berbagai disiplin ilmu. Fritjof Capra
menyebut pendekatan ini sebagai ecological thinking, yaitu cara
berpikir yang menghubungkan biologi, fisika, ekonomi, dan etika ke dalam satu
sistem pemahaman yang utuh.¹⁵ Dalam konteks ini, keseimbangan epistemik berarti
menolak fragmentasi pengetahuan yang memisahkan aspek empiris dari aspek moral
dan spiritual.
Pierre Teilhard de Chardin
bahkan melihat evolusi kesadaran manusia sebagai bagian dari proses kosmik
menuju kesatuan spiritual universal (noosphere).¹⁶ Pengetahuan, dalam
pengertian ini, bukan sekadar aktivitas rasional, tetapi juga partisipasi
kosmik di mana manusia menjadi sadar akan peran ontologisnya sebagai penjaga
keseimbangan semesta. Pandangan ini menemukan gema dalam pemikiran Thomas Berry
tentang “ecological cosmology,” di mana alam dipahami sebagai wahyu
hidup yang mengajarkan manusia tentang keteraturan dan kebijaksanaan.¹⁷
Dengan demikian, epistemologi
keseimbangan berupaya melampaui dualisme klasik antara ilmu dan nilai, rasio
dan spiritualitas, manusia dan alam. Ia mengajarkan bahwa mengetahui berarti
berelasi; memahami berarti menghormati; dan pengetahuan sejati adalah yang
menghidupkan, bukan yang menguasai.
4.5.      
Menuju Etika Pengetahuan yang Seimbang
Epistemologi keseimbangan
akhirnya menuntun pada terbentuknya etika pengetahuan—sebuah tanggung
jawab moral dalam cara manusia mencari, menggunakan, dan mengembangkan
pengetahuan. Kesadaran ekologis mengubah epistemologi menjadi praxis: dari
sekadar mengetahui menuju tindakan bijak yang menjaga keseimbangan kehidupan.¹⁸
Dalam pandangan ini, ilmu pengetahuan yang sejati bukanlah yang menaklukkan
alam, melainkan yang mampu mendengarkan dan belajar dari kebijaksanaan alam.
Maka, epistemologi
keseimbangan bukan hanya sebuah teori pengetahuan, melainkan paradigma
kesadaran ekologis yang meneguhkan keterpaduan antara mengetahui, mencintai,
dan menjaga. Ia menjadi jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara
sains dan etika, serta antara manusia dan bumi sebagai satu kesatuan kosmik
yang saling menghidupi.¹⁹
Footnotes
[1]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 26.
[2]               
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35.
[3]               
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (London:
George Routledge and Sons, 1900), 67–70.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: Allen & Unwin, 1968), 15–18.
[5]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 25.
[6]               
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 110–115.
[7]               
Ludwig von Bertalanffy, General System Theory: Foundations,
Development, Applications (New York: George Braziller, 1968), 36–40.
[8]               
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press,
1970), 47–50.
[9]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 89–92.
[10]            
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago:
University of Chicago Press, 1972), 460–465.
[11]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 88.
[12]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 223–224.
[13]            
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin
Classics, 1963), 37.
[14]            
David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the
Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994), 83–86.
[15]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 45–47.
[16]            
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York:
Harper & Row, 1959), 257–259.
[17]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 202–205.
[18]            
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 35–38.
[19]            
Erazim Kohák, The Embers and the Stars: A Philosophical Inquiry
into the Moral Sense of Nature (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 51–54.
5.          
Aksiologi
dan Prinsip Moral Keseimbangan
Aksiologi keseimbangan
berfokus pada nilai-nilai moral yang mendasari relasi manusia dengan alam,
serta bagaimana prinsip keseimbangan menjadi pedoman etis dalam tindakan
ekologis. Dalam kerangka etika lingkungan, prinsip keseimbangan tidak hanya dimengerti
sebagai hukum alam, tetapi juga sebagai nilai moral yang menuntut tanggung
jawab, moderasi, dan keharmonisan antara kebutuhan manusia dan daya dukung
bumi.¹ Prinsip ini menegaskan bahwa tindakan manusia yang baik bukanlah yang
memaksimalkan keuntungan material, melainkan yang menjaga harmoni kehidupan
secara menyeluruh—antara manusia, makhluk hidup lainnya, dan sistem ekologis
yang menopang keduanya.
5.1.      
Nilai-Nilai Moral dalam Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan
mengandung nilai-nilai moral universal yang melintasi batas agama dan budaya.
Dalam tradisi Yunani kuno, Aristoteles mengajarkan konsep mesotes,
yakni kebajikan moral yang terletak di antara dua ekstrem—kelebihan dan
kekurangan.² Dalam konteks ekologi, kebajikan ini mengingatkan manusia agar
tidak jatuh ke dalam sikap ekstrem: eksploitasi berlebihan terhadap alam di
satu sisi, atau pengabaian terhadap kebutuhan manusia di sisi lain.
Keseimbangan, dengan demikian, menjadi prinsip moral moderasi yang memelihara
keharmonisan antara kepentingan manusia dan keberlangsungan ekosistem.
Dalam filsafat Timur,
keseimbangan juga menjadi inti kebajikan moral. Ajaran Taoisme melalui konsep Yin-Yang
menggambarkan moralitas sebagai harmoni antara kekuatan-kekuatan yang saling
bertentangan namun saling melengkapi.³ Sementara dalam Buddhisme, Jalan
Tengah (Majjhima Patipada) merupakan prinsip moral untuk
menghindari ekstremitas—baik dalam asketisme maupun hedonisme—sehingga tercapai
keseimbangan batin dan lingkungan.⁴ Pandangan ini beresonansi dengan etika ekologis
modern, di mana manusia dipanggil untuk menempuh “jalan tengah” antara
kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologis.
Dalam Islam, nilai
keseimbangan (mīzān) menjadi dasar moralitas kosmik yang diatur oleh
hukum Tuhan.⁵ Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah telah menegakkan keseimbangan
dalam penciptaan, dan manusia diperintahkan untuk tidak melanggarnya: “Dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan keseimbangan, supaya kamu
jangan merusak keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman [55] ayat 7–8).⁶ Prinsip
ini memberikan dasar teologis bagi etika ekologis Islam, di mana menjaga
keseimbangan berarti menunaikan amanah sebagai khalifah di bumi.
5.2.      
Keseimbangan sebagai Prinsip Tanggung Jawab
Moral
Secara aksiologis, keseimbangan
mengandung dimensi tanggung jawab moral terhadap seluruh bentuk kehidupan.
Holmes Rolston III menekankan bahwa tanggung jawab etis manusia tidak hanya
terbatas pada sesama manusia, tetapi juga meluas kepada seluruh komunitas
biotik.⁷ Prinsip keseimbangan, dalam konteks ini, menjadi pedoman moral untuk
menghindari perilaku destruktif yang merusak keteraturan ekologis. Tindakan
moral yang benar adalah tindakan yang mempertahankan integritas sistem
kehidupan dan menghindari gangguan terhadap mekanisme keseimbangan alam.
Tanggung jawab ini memiliki
dua dimensi: pertama, tanggung jawab horizontal terhadap makhluk hidup lain di
bumi; dan kedua, tanggung jawab vertikal terhadap generasi mendatang. Hans
Jonas dalam The Imperative of Responsibility mengemukakan bahwa
tindakan moral modern harus memperhitungkan dampaknya terhadap keberlangsungan
kehidupan masa depan.⁸ Dengan demikian, prinsip keseimbangan berfungsi sebagai
dasar moral bagi keadilan antar-generasi—bahwa generasi kini tidak berhak
merusak sistem ekologis yang menjadi hak hidup generasi mendatang.
Aksiologi keseimbangan juga
menuntut adanya sikap rendah hati ekologis (ecological humility).
Sikap ini lahir dari kesadaran bahwa manusia hanyalah salah satu bagian dari
jaringan kehidupan, bukan pusat atau penguasa tunggalnya.⁹ Kerendahan hati
ekologis berarti mengakui keterbatasan pengetahuan dan kekuasaan manusia
terhadap kompleksitas sistem alam, serta menghormati nilai intrinsik yang
dimiliki setiap makhluk hidup.
5.3.      
Prinsip Moral Keseimbangan dalam Etika Lingkungan
Dalam kerangka etika
lingkungan, prinsip keseimbangan dapat dijabarkan dalam tiga pilar moral:
moderasi, keharmonisan, dan tanggung jawab.
5.3.1.     
Moderasi
(temperantia)
Prinsip ini menolak pandangan
hedonistik dan konsumeristik yang mendominasi budaya modern. Manusia yang hidup
seimbang mengendalikan keinginan ekonominya sesuai dengan daya dukung ekologis
bumi. Filsuf Stoik seperti Seneca telah menekankan bahwa kebahagiaan sejati
bukan berasal dari akumulasi materi, tetapi dari hidup yang selaras dengan
alam.¹⁰
5.3.2.     
Keharmonisan
(harmonia)
Prinsip ini menekankan
hubungan kooperatif antara manusia dan lingkungan. Menurut Aldo Leopold dalam A
Sand County Almanac, etika ekologis sejati menuntut manusia untuk “memperluas
batas komunitas moral” sehingga mencakup tanah, air, tumbuhan, dan hewan.¹¹
Prinsip keharmonisan ini mengubah paradigma moral dari “hak atas alam”
menjadi “partisipasi dalam alam.”
5.3.3.   
Tanggung
jawab (responsibilitas)
Prinsip ini mengandung
komitmen untuk menjaga kelestarian ekologis sebagai kewajiban moral universal.
Dalam konteks global, tanggung jawab ini meluas menjadi etika keberlanjutan (sustainability
ethics) yang menuntut keseimbangan antara pembangunan ekonomi, keadilan
sosial, dan pelestarian lingkungan.¹² Dengan demikian, moralitas keseimbangan
menjadi dasar bagi tindakan ekologis yang berorientasi pada keberlangsungan
kehidupan bersama.
5.4.      
Relasi antara Keseimbangan, Keadilan, dan
Keberlanjutan
Nilai keseimbangan tidak
dapat dipisahkan dari konsep keadilan ekologis. Dalam pandangan ekologis integral,
keadilan bukan hanya menyangkut distribusi sumber daya antarmanusia, tetapi
juga keadilan terhadap makhluk hidup lain dan ekosistem.¹³ Thomas Berry
menegaskan bahwa keadilan ekologis adalah perwujudan konkret dari keseimbangan
kosmik; ketika keseimbangan terganggu, keadilan pun terlanggar.¹⁴ Oleh karena
itu, menjaga keseimbangan berarti menegakkan keadilan ekologis, yang mencakup
penghormatan terhadap hak hidup semua makhluk.
Prinsip keseimbangan juga
menjadi inti dari gagasan keberlanjutan (sustainability). Menurut
Fritjof Capra, sistem kehidupan yang berkelanjutan adalah sistem yang
mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan dan regenerasi, konsumsi dan
pelestarian.¹⁵ Dengan demikian, nilai moral keseimbangan tidak hanya mengatur
tindakan individu, tetapi juga menjadi dasar kebijakan publik yang berorientasi
pada pembangunan berkelanjutan.
5.5.      
Keseimbangan sebagai Kebajikan Ekologis
Aksiologi keseimbangan
berpuncak pada pemahaman bahwa keseimbangan adalah kebajikan ekologis (ecological
virtue). Ia melampaui moralitas instrumental dan memasuki ranah moralitas
karakter.¹⁶ Individu yang berkepribadian seimbang tidak hanya memahami
keteraturan alam secara rasional, tetapi juga meneladaninya dalam cara hidup:
sederhana, berempati, dan penuh kasih terhadap seluruh kehidupan.
Dalam pandangan etika
kebajikan (virtue ethics), keseimbangan berfungsi sebagai kebajikan
pengatur (virtus moderatrix) yang menuntun kebajikan lain agar tidak melampaui
batas.¹⁷ Dengan demikian, keseimbangan bukan hanya hasil dari tindakan moral
yang benar, tetapi juga sumber dari segala kebajikan yang menjaga
keberlangsungan hidup bersama di bumi.
Akhirnya, prinsip moral
keseimbangan dapat dipahami sebagai panggilan etis untuk mengembalikan manusia
ke posisi ontologisnya yang semula—sebagai penjaga dan peserta dalam drama
kehidupan kosmik. Dengan hidup dalam keseimbangan, manusia tidak hanya
menemukan keharmonisan ekologis, tetapi juga kedamaian eksistensial yang
mendalam: keseimbangan antara akal dan hati, kebebasan dan tanggung jawab, serta
manusia dan alam.¹⁸
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 42.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford:
Oxford University Press, 1954), 1106b36–1107a7.
[3]               
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin
Classics, 1963), 42.
[4]               
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press,
1974), 45.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: Allen & Unwin, 1968), 87.
[6]               
Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55]: 7–8.
[7]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 24.
[8]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11–13.
[9]               
Erazim Kohák, The Embers and the Stars: A Philosophical Inquiry
into the Moral Sense of Nature (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 51–52.
[10]            
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London:
Penguin Classics, 1969), Letter XVI.
[11]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224.
[12]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 202.
[13]            
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists, 65–68.
[14]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 195.
[15]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 45–47.
[16]            
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 55.
[17]            
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 145.
[18]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 74.
6.          
Dimensi
Sosial, Ekonomi, dan Politik Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan tidak
hanya berdimensi metafisis dan moral, tetapi juga memiliki implikasi langsung
terhadap struktur sosial, sistem ekonomi, dan tatanan politik manusia. Dalam
konteks ini, keseimbangan menjadi paradigma normatif bagi masyarakat yang
berkeadilan ekologis, berkelanjutan secara ekonomi, dan demokratis secara
politik.¹ Prinsip ini menegaskan bahwa kehidupan sosial yang ideal bukanlah
yang didorong oleh pertumbuhan tanpa batas atau kekuasaan yang hegemonik,
tetapi yang berpijak pada harmoni antara kebutuhan manusia, kesejahteraan
sosial, dan kelestarian alam.² Dengan demikian, keseimbangan ekologis harus
dipahami pula sebagai keseimbangan sosial-politik dan ekonomi—sebuah tatanan
integral yang menyatukan manusia dan alam dalam struktur keadilan yang dinamis.
6.1.      
Dimensi Sosial: Harmoni, Solidaritas, dan
Keadilan Ekologis
Dalam ranah sosial, prinsip
keseimbangan menuntun masyarakat untuk hidup dalam harmoni dengan sesama
manusia dan dengan lingkungan yang menopang keberadaannya. Kehidupan sosial
yang seimbang menolak bentuk-bentuk ketimpangan ekstrem—baik antara kaya dan
miskin, antara negara maju dan berkembang, maupun antara generasi kini dan
generasi mendatang.³
Keseimbangan sosial ekologis
mengandaikan bahwa keadilan sosial tidak dapat dipisahkan dari keadilan
ekologis. Menurut John Rawls, prinsip keadilan harus mencakup kondisi material
yang memungkinkan semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk hidup bermartabat.⁴
Namun dalam perspektif ekologis, hal ini diperluas: keadilan sejati tidak hanya
berlaku antar-manusia, tetapi juga antara manusia dan makhluk lain.⁵ Oleh
karena itu, distribusi sumber daya alam harus mempertimbangkan daya dukung
ekosistem serta hak hidup entitas non-manusia.
Dalam konteks masyarakat
modern, prinsip keseimbangan menuntut pembentukan budaya ekologis (ecological
culture) yang berbasis pada nilai-nilai solidaritas, kesederhanaan, dan
tanggung jawab bersama.⁶ Seperti ditegaskan oleh Thomas Berry, masyarakat
ekologis adalah masyarakat yang “tidak lagi melihat bumi sebagai sumber
daya, melainkan sebagai komunitas kehidupan yang harus dijaga.”⁷
Solidaritas ekologis bukan hanya ekspresi moral, tetapi juga kebutuhan sosial
yang mendasar bagi kelangsungan peradaban manusia.
6.2.      
Dimensi Ekonomi: Ekonomi Ekologis dan Prinsip
Keberlanjutan
Dalam bidang ekonomi, prinsip
keseimbangan berfungsi sebagai kritik terhadap paradigma ekonomi konvensional
yang berlandaskan pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi sumber daya alam.
Sistem ekonomi modern seringkali mengabaikan batas-batas ekologis, sehingga
menciptakan ketidakseimbangan antara akumulasi kapital dan keberlanjutan
kehidupan. Nicholas Georgescu-Roegen menegaskan bahwa ekonomi konvensional
bersifat entropik: ia mengonsumsi sumber daya alam tanpa
memperhitungkan kemampuan regeneratif bumi.⁸
Sebaliknya, ekonomi
ekologis berupaya menempatkan keseimbangan sebagai prinsip utama. Herman
Daly mengusulkan konsep steady-state economy, yakni sistem ekonomi yang
menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan regenerasi ekologis.⁹ Prinsip ini
menekankan tiga nilai pokok: (1) keberlanjutan (sustainability), (2)
efisiensi ekologis (ecological efficiency), dan (3) keadilan
distribusi (equitable distribution).¹⁰ Ekonomi yang seimbang bukanlah
ekonomi yang menolak kemajuan, melainkan yang mengintegrasikan pertumbuhan
dengan tanggung jawab terhadap ekosistem.
Dalam kerangka ini, konsumsi
dan produksi tidak boleh dilihat sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai bagian
dari siklus kehidupan yang harus dipertahankan dalam keseimbangan. Erazim Kohák
menyebut hal ini sebagai “moralitas sederhana,” yaitu sikap yang menolak
kerakusan ekonomi dan menggantinya dengan rasa syukur dan cukup terhadap apa
yang disediakan alam.¹¹ Keseimbangan ekonomi menuntut perubahan paradigma dari
model take–make–waste menuju circular economy, di mana limbah
dipandang sebagai sumber daya baru yang dapat didaur ulang dalam sistem
tertutup.¹²
Lebih jauh, keseimbangan
ekonomi juga berkaitan erat dengan konsep ekonomi solidaritas—yakni
ekonomi yang menempatkan manusia dan komunitas di atas logika keuntungan. Dalam
model ini, nilai keseimbangan diwujudkan melalui kerja sama, gotong royong, dan
keadilan dalam akses terhadap sumber daya alam.¹³ Dengan demikian, ekonomi
seimbang bukan hanya bersifat ekologis, tetapi juga humanistik.
6.3.      
Dimensi Politik: Ekodemokrasi dan Tata Kelola
Berkeadilan
Dalam ranah politik, prinsip
keseimbangan menjadi dasar bagi tata kelola ekologis (ecological governance)
yang menekankan partisipasi, keadilan, dan keberlanjutan. Fritjof Capra
berpendapat bahwa sistem politik yang sehat harus meniru prinsip-prinsip
ekologi: keterhubungan, keberagaman, dan adaptasi.¹⁴ Seperti ekosistem yang
stabil hanya dapat bertahan melalui keseimbangan antara spesies dan
lingkungannya, demikian pula masyarakat politik memerlukan keseimbangan antara
kebebasan individu dan kepentingan kolektif, antara pembangunan dan konservasi.
Prinsip keseimbangan menuntut
lahirnya apa yang disebut “ekodemokrasi”—suatu bentuk demokrasi
ekologis di mana kebijakan publik tidak hanya mencerminkan kehendak manusia,
tetapi juga memperhitungkan hak-hak ekologis bumi.¹⁵ Dalam sistem
ekodemokratis, keputusan politik harus didasarkan pada prinsip partisipatif,
transparansi ekologis, dan keadilan antargenerasi. Etika kebijakan publik di
sini tidak lagi semata-mata utilitarian, tetapi ekosentris: mempertimbangkan
kesejahteraan seluruh komunitas kehidupan.
Di tingkat global,
keseimbangan politik juga tercermin dalam prinsip common but differentiated
responsibilities (CBDR) yang digunakan dalam perjanjian iklim
internasional seperti Paris Agreement (2015).¹⁶ Prinsip ini mengakui
bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab bersama dalam menjaga keseimbangan
iklim, namun dengan porsi yang berbeda sesuai dengan kapasitas dan sejarah
kontribusinya terhadap krisis ekologis. Dengan demikian, keseimbangan menjadi
prinsip moral dan politik dalam tata kelola global yang berkeadilan ekologis.
6.4.      
Integrasi Sosial-Ekonomi-Politik dalam
Paradigma Ekologis
Keseimbangan sosial, ekonomi,
dan politik tidak dapat dipisahkan dari struktur ekologis yang menopang
kehidupan. Sistem sosial tanpa keseimbangan ekologis akan melahirkan
ketimpangan; sistem ekonomi tanpa keseimbangan ekologis akan menuju kehancuran;
dan sistem politik tanpa keseimbangan ekologis akan menghasilkan dominasi dan
ketidakadilan.¹⁷ Karena itu, prinsip keseimbangan menjadi dasar integratif bagi
seluruh dimensi kehidupan manusia.
Thomas Berry menekankan bahwa
masyarakat masa depan harus dibangun di atas “ecological wisdom,”
yakni kesadaran bahwa kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dari
kesejahteraan bumi.¹⁸ Dalam pandangan ini, keseimbangan bukan sekadar strategi
adaptif, tetapi norma etis dan kosmologis yang membentuk arah peradaban.
Masyarakat yang adil secara sosial, berkelanjutan secara ekonomi, dan
demokratis secara politik hanya dapat terwujud jika didasarkan pada pengakuan
mendalam akan kesalingtergantungan kehidupan.
Dengan demikian, prinsip
keseimbangan menjadi fondasi moral bagi transisi peradaban manusia menuju eco-civilization—suatu
tatanan yang tidak lagi menempatkan manusia di atas alam, tetapi di dalam alam
sebagai bagian dari kesatuan kosmik yang hidup dan bernilai.¹⁹
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 42–45.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 203.
[3]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 287.
[4]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 302–305.
[5]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 35.
[6]               
David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the
Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994), 90–93.
[7]               
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 195–197.
[8]               
Nicholas Georgescu-Roegen, The Entropy Law and the Economic Process
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 23–25.
[9]               
Herman E. Daly, Steady-State Economics: The Economics of
Biophysical Equilibrium and Moral Growth (San Francisco: W. H. Freeman,
1977), 15–20.
[10]            
Ibid., 35–40.
[11]            
Erazim Kohák, The Embers and the Stars: A Philosophical Inquiry
into the Moral Sense of Nature (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 52–54.
[12]            
Ellen MacArthur Foundation, Towards the Circular Economy
(Cowes: EMF Publishing, 2013), 14–18.
[13]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 221–224.
[14]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 59–62.
[15]            
Andrew Dobson, Green Political Thought (London: Routledge,
1995), 120–123.
[16]            
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris
Agreement (2015), Article 2.
[17]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 225.
[18]            
Thomas Berry, The Great Work, 207–209.
[19]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 382–385.
7.          
Kritik
terhadap Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan,
meskipun memiliki posisi penting dalam etika lingkungan dan filsafat ekologi,
tidak luput dari kritik. Sejumlah filsuf, ilmuwan, dan teoritikus sosial
mempertanyakan validitas ontologis, relevansi epistemologis, serta efektivitas
aksiologis dari prinsip ini dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.
Kritik-kritik tersebut muncul dari berbagai sudut pandang—mulai dari
postmodernisme, ekologi politik, hingga teori sistem—yang menilai bahwa gagasan
keseimbangan sering kali bersifat idealistik, normatif, dan terlalu statis
untuk menjelaskan dinamika ekologis dan sosial yang nyata.¹
7.1.      
Kritik terhadap Asumsi Statika dan Idealitas
Keseimbangan
Salah satu kritik paling
mendasar terhadap prinsip keseimbangan adalah tuduhan bahwa konsep ini
berasumsi statis terhadap alam. Dalam ekologi klasik, keseimbangan sering
dipahami sebagai homeostasis—kondisi stabil di mana sistem ekologis
cenderung kembali ke keadaan semula setelah mengalami gangguan.² Namun, teori
ekologi modern menunjukkan bahwa sistem kehidupan sebenarnya bersifat non-linear
dan dinamis; ia tidak selalu kembali ke titik semula, melainkan berevolusi
menuju konfigurasi baru yang adaptif.³
Stephen Jay Gould menolak
pandangan keseimbangan sebagai keadaan tetap dan memperkenalkan konsep punctuated
equilibrium, yakni evolusi yang berlangsung melalui lompatan-lompatan
perubahan mendadak dan bukan proses gradual yang stabil.⁴ Demikian pula, Ilya
Prigogine dalam Order Out of Chaos menjelaskan bahwa sistem alam
bersifat dissipative—ia menciptakan keteraturan melalui
ketidakteraturan, dan justru ketidakseimbanganlah yang menjadi sumber evolusi.⁵
Dengan demikian, kritik ini
menegaskan bahwa “keseimbangan” dalam arti statis justru bertentangan dengan
hakikat dinamis dari kehidupan itu sendiri. Alam tidak mencari keseimbangan
mutlak, melainkan keberlanjutan dalam perubahan. Prinsip keseimbangan, dalam bentuknya
yang tradisional, dianggap terlalu normatif dan tidak mencerminkan sifat
kompleks dari sistem ekologis yang terus beradaptasi terhadap gangguan.
7.2.      
Kritik dari Perspektif Ekologi Politik:
Keseimbangan dan Ketimpangan Kekuasaan
Kritik lain datang dari perspektif
ekologi politik, yang menyoroti dimensi sosial dan kekuasaan di balik
wacana keseimbangan. Menurut Murray Bookchin, gagasan tentang “keseimbangan
alam” sering kali dimanfaatkan secara ideologis oleh kelompok dominan untuk
mempertahankan status quo sosial dan ekonomi.⁶ Dengan mengedepankan narasi
harmoni dan stabilitas, prinsip keseimbangan dapat menutupi ketidakadilan
struktural yang sesungguhnya menjadi sumber krisis ekologis.
Bookchin berargumen bahwa
ketidakseimbangan ekologis berakar dari ketidakseimbangan sosial—yakni
hierarki, kapitalisme, dan dominasi manusia atas manusia lain.⁷ Oleh karena
itu, berbicara tentang keseimbangan ekologis tanpa membahas relasi kekuasaan
sama halnya dengan menutupi akar masalah ekologis. Dalam pandangan ini, prinsip
keseimbangan hanya akan menjadi slogan moral yang tidak menyentuh persoalan
sosial yang nyata.
Kritik ini juga diperkuat
oleh teori ecofeminism, seperti yang dikemukakan oleh Vandana Shiva
dan Carolyn Merchant. Mereka menilai bahwa konsep keseimbangan yang dirumuskan
dalam tradisi patriarkal cenderung memposisikan alam sebagai entitas pasif yang
harus “dipelihara” oleh manusia.⁸ Perspektif ini mengabaikan agensi alam
sebagai subjek yang hidup dan meneguhkan struktur dominasi gender dalam
diskursus ekologis.⁹ Dengan demikian, prinsip keseimbangan dianggap masih
terperangkap dalam paradigma hierarkis yang sama dengan sistem sosial yang
menindas.
7.3.      
Kritik Epistemologis: Relativitas dan
Ambiguitas Keseimbangan
Secara epistemologis, kritik
terhadap prinsip keseimbangan diarahkan pada sifatnya yang ambigu dan sulit
diukur. Apa yang dimaksud dengan “seimbang” berbeda tergantung pada
konteks ekologis, sosial, dan nilai budaya masyarakat tertentu.¹⁰ Misalnya,
bagi ekonomi industri, keseimbangan mungkin berarti pertumbuhan berkelanjutan;
sedangkan bagi masyarakat adat, keseimbangan berarti keselarasan spiritual
dengan tanah dan leluhur.¹¹
Gregory Bateson mengingatkan
bahwa dalam sistem kompleks, keseimbangan tidak selalu dapat dicapai melalui
kontrol atau intervensi manusia.¹² Upaya manusia untuk “mengatur”
keseimbangan sering kali menghasilkan efek yang berlawanan—yakni
ketidakseimbangan baru akibat intervensi berlebihan. Dalam hal ini,
keseimbangan bukanlah kondisi objektif yang dapat ditentukan secara universal,
tetapi konstruksi epistemik yang bergantung pada kerangka nilai dan kekuasaan
pengetahuan yang digunakan.
Selain itu, para postmodernis
seperti Bruno Latour mengkritik kecenderungan filsafat lingkungan untuk
menggunakan kategori universal seperti “alam,” “keseimbangan,”
atau “keharmonisan” tanpa memperhitungkan pluralitas realitas
ekologis.¹³ Dalam pandangan Latour, tidak ada satu “alam” tunggal, melainkan
banyak “alam” yang dikonstruksi melalui jaringan relasi manusia
dan non-manusia (assemblages).¹⁴ Prinsip keseimbangan, dengan
demikian, menjadi terlalu totalistik karena berusaha memaksakan kesatuan di
mana yang ada sebenarnya adalah keragaman.
7.4.      
Kritik Aksiologis: Antara Ideal Moral dan
Realitas Praktis
Dari sisi aksiologi, prinsip
keseimbangan sering dianggap terlalu ideal dan kurang operasional dalam praktik
kebijakan lingkungan. Kritik ini muncul terutama dari kalangan ekonom dan
ilmuwan kebijakan publik yang menilai bahwa konsep keseimbangan sulit
diterjemahkan ke dalam indikator kebijakan yang konkret.¹⁵ Misalnya, bagaimana
mengukur “keseimbangan ekologis” dalam konteks pembangunan
infrastruktur, energi, atau pangan? Prinsip ini sering berhenti pada tataran
moral, tanpa panduan implementatif yang memadai.
Lebih jauh, beberapa pemikir
seperti Bryan Norton menilai bahwa penekanan berlebihan pada keseimbangan dapat
berbahaya jika menimbulkan ilusi bahwa alam memiliki keadaan “ideal”
yang harus dipertahankan.¹⁶ Padahal, sistem ekologis terus berubah, dan manusia
harus belajar beradaptasi dengan perubahan itu. Dengan kata lain, etika
lingkungan seharusnya lebih berfokus pada resilience (ketangguhan)
daripada balance (keseimbangan).¹⁷
Aksiologi keseimbangan juga
dikritik karena potensi bias antropomorfik—yakni kecenderungan menafsirkan alam
berdasarkan kategori moral manusia.¹⁸ Alam tidak memiliki “niat” untuk
seimbang dalam pengertian moral; keseimbangan hanyalah metafora normatif yang
digunakan manusia untuk mengatur tindakannya. Kritik ini mengingatkan bahwa
prinsip keseimbangan harus dipahami secara reflektif, bukan dogmatis.
7.5.      
Menuju Reinterpretasi Keseimbangan yang Dinamis
dan Relasional
Meskipun banyak kritik
dilontarkan, prinsip keseimbangan tidak harus ditinggalkan, melainkan
direinterpretasikan. Fritjof Capra dan Pier Luigi Luisi menekankan bahwa
keseimbangan sebaiknya dipahami sebagai “keseimbangan dinamis”—suatu
proses keteraturan dalam perubahan yang bersifat adaptif dan terbuka.¹⁹ Dalam
pengertian ini, keseimbangan bukan berarti ketiadaan konflik atau gangguan,
tetapi kemampuan sistem untuk menjaga keberlanjutan melalui transformasi
terus-menerus.
Pendekatan ini sejalan dengan
pandangan ecological resilience, yang menilai bahwa sistem ekologis
yang sehat bukan yang stabil, melainkan yang mampu pulih dari gangguan dan
beradaptasi terhadap perubahan.²⁰ Dengan demikian, kritik terhadap prinsip
keseimbangan membuka peluang bagi pengembangan paradigma etika ekologis yang
lebih kontekstual, pluralistik, dan dinamis—di mana keseimbangan tidak lagi
dipahami sebagai keadaan akhir, melainkan sebagai proses moral yang terus
diperjuangkan di tengah ketegangan antara manusia dan alam.
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 56–58.
[2]               
Eugene Odum, Fundamentals of Ecology, 3rd ed. (Philadelphia:
W. B. Saunders, 1971), 85–86.
[3]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 31–33.
[4]               
Stephen Jay Gould, The Structure of Evolutionary Theory
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 749–751.
[5]               
Ilya Prigogine and Isabelle Stengers, Order Out of Chaos: Man’s New
Dialogue with Nature (New York: Bantam Books, 1984), 12–15.
[6]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 279–281.
[7]               
Ibid., 288–290.
[8]               
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development
(London: Zed Books, 1989), 42–44.
[9]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 132–134.
[10]            
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem
Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 72–75.
[11]            
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace
(Cambridge, MA: South End Press, 2005), 21–23.
[12]            
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago:
University of Chicago Press, 1972), 460–463.
[13]            
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 99–101.
[14]            
Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring the Sciences into
Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 76–78.
[15]            
Herman E. Daly, Steady-State Economics (San Francisco: W. H.
Freeman, 1977), 23–26.
[16]            
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists, 62–65.
[17]            
C. S. Holling, “Resilience and Stability of Ecological Systems,” Annual
Review of Ecology and Systematics 4 (1973): 1–23.
[18]            
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 49–50.
[19]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 305–308.
[20]            
Brian Walker and David Salt, Resilience Thinking: Sustaining
Ecosystems and People in a Changing World (Washington, DC: Island Press,
2006), 10–12.
8.          
Relevansi
Kontemporer Prinsip Keseimbangan
Dalam era krisis ekologis
global saat ini—yang ditandai oleh perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman
hayati, degradasi tanah, dan polusi lintas batas—prinsip
keseimbangan memperoleh makna yang semakin mendesak dan
eksistensial. Ia tidak lagi sekadar konsep moral-filosofis, tetapi telah
menjadi kerangka etis dan normatif bagi peradaban manusia dalam menghadapi
tantangan ekologis, sosial, dan teknologi abad ke-21.¹ Prinsip keseimbangan
menawarkan panduan etis untuk membangun relasi baru antara manusia dan alam
yang tidak berbasis dominasi, melainkan partisipasi dan koeksistensi.
8.1.      
Krisis Ekologis Global dan Kehilangan
Keseimbangan Alam
Krisis lingkungan dewasa ini
merupakan bukti konkret dari hilangnya keseimbangan ekologis akibat paradigma
antroposentris dan mekanistik yang telah mendominasi selama tiga abad
terakhir.² Perubahan iklim global yang disebabkan oleh peningkatan emisi gas
rumah kaca telah mengganggu stabilitas sistem iklim bumi, menimbulkan
ketidakseimbangan antara siklus energi, air, dan karbon.³ Menurut laporan Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC, 2023), suhu global telah meningkat lebih
dari 1,1°C dibandingkan era praindustri, dan hal ini mengancam keberlanjutan
ekosistem di seluruh dunia.⁴
Fenomena tersebut bukan
sekadar masalah ilmiah, tetapi juga krisis moral. Seyyed Hossein Nasr
menegaskan bahwa akar krisis ekologis adalah hilangnya kesadaran spiritual
manusia terhadap kesakralan alam.⁵ Alam tidak lagi dipandang sebagai “tanda
Tuhan” (ayatullah), tetapi sebagai objek eksploitasi ekonomi.
Dengan demikian, prinsip keseimbangan hadir sebagai panggilan untuk
mengembalikan kesadaran metafisik dan moral manusia terhadap keterpaduan
eksistensial dengan seluruh ciptaan.
8.2.      
Relevansi bagi Pembangunan Berkelanjutan dan
Ekonomi Hijau
Dalam ranah ekonomi dan
kebijakan publik, prinsip keseimbangan menjadi fondasi konseptual bagi gagasan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Laporan Our Common
Future oleh Komisi Brundtland (1987) memperkenalkan pembangunan berkelanjutan
sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.”⁶
Prinsip keseimbangan di sini menjadi poros moral bagi integrasi antara tiga
pilar keberlanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ekonomi hijau (green
economy) dan ekonomi sirkular (circular economy) juga berakar
pada paradigma keseimbangan. Herman Daly melalui konsep steady-state
economy menegaskan bahwa ekonomi yang sehat bukanlah yang tumbuh tanpa
batas, melainkan yang mempertahankan keseimbangan antara produksi, konsumsi,
dan daya regeneratif alam.⁷ Dalam konteks ini, keseimbangan berfungsi sebagai
pengingat moral terhadap keterbatasan sumber daya bumi dan sebagai panduan
kebijakan untuk mendorong efisiensi ekologis serta keadilan distributif.
Selain itu, konsep degrowth
(penurunan pertumbuhan) yang dipelopori oleh Serge Latouche menafsirkan
kembali keseimbangan dalam konteks modern sebagai kritik terhadap paradigma
pertumbuhan ekonomi tanpa henti.⁸ Ia menekankan bahwa keseimbangan sejati
berarti “cukup untuk semua, bukan lebih untuk sebagian.” Dengan
demikian, prinsip keseimbangan memberikan kerangka filosofis bagi transisi
menuju model ekonomi yang lebih etis dan ekologis.
8.3.      
Keseimbangan dalam Etika Teknologi dan Revolusi
Digital
Prinsip keseimbangan juga
memiliki relevansi mendalam dalam menghadapi perkembangan teknologi modern,
terutama di era digital dan bioteknologi. Meskipun kemajuan teknologi membawa
manfaat besar bagi efisiensi dan konektivitas global, ia juga memunculkan
ancaman baru terhadap keseimbangan ekologis dan sosial: konsumsi energi
digital, e-waste, ketimpangan akses teknologi, serta dominasi algoritma
terhadap perilaku manusia.⁹
Menurut Andrew Feenberg,
teknologi tidak bersifat netral; ia mencerminkan nilai-nilai sosial dan politik
yang melandasinya.¹⁰ Oleh karena itu, etika teknologi harus berlandaskan
prinsip keseimbangan antara efisiensi teknologis dan tanggung jawab moral.
Dalam konteks ini, keseimbangan bukan hanya berarti kontrol terhadap dampak
teknologi, tetapi juga pengembangan kesadaran etis untuk menggunakan teknologi
demi memperkuat harmoni manusia dan alam.
Fritjof Capra menambahkan
bahwa sistem teknologi harus ditata berdasarkan prinsip ecological design—yakni
desain yang meniru pola-pola alami dalam keberlanjutan dan regenerasi.¹¹ Dengan
demikian, teknologi seimbang adalah teknologi yang tidak merusak jaringan
kehidupan, melainkan memperluas kapasitas manusia untuk hidup selaras dengan
sistem ekologis yang lebih besar.
8.4.      
Keseimbangan dan Keadilan Iklim Global
Dalam konteks global,
relevansi prinsip keseimbangan semakin kuat dalam diskursus keadilan
iklim (climate justice). Krisis iklim tidak berdampak secara
merata; negara-negara miskin sering menanggung akibat paling parah meski mereka
berkontribusi paling sedikit terhadap emisi karbon.¹² Prinsip keseimbangan
menuntut adanya koreksi etis terhadap ketimpangan ini melalui redistribusi
tanggung jawab dan solidaritas global.
Prinsip common but
differentiated responsibilities (CBDR) dalam Paris Agreement
(2015) merupakan perwujudan politis dari gagasan keseimbangan global.¹³ Ia
mengakui bahwa keseimbangan ekologis dunia tidak dapat dicapai tanpa
keseimbangan keadilan antarbangsa. Dalam hal ini, prinsip keseimbangan menjelma
menjadi prinsip keadilan ekologis yang universal—menuntut solidaritas lintas
generasi, lintas bangsa, dan lintas spesies.
Paus Fransiskus dalam Laudato
Si’ (2015) menegaskan bahwa krisis iklim adalah “krisis relasi,” di
mana keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan bumi telah rusak.¹⁴ Solusi
terhadap krisis tersebut, menurutnya, bukan semata bersifat teknis, tetapi
spiritual: membangun kembali ecological conversion, yakni perubahan
hati dan kesadaran ekologis yang bersumber dari cinta terhadap kehidupan itu
sendiri.¹⁵ Prinsip keseimbangan, dengan demikian, bukan hanya tuntutan etis,
tetapi juga panggilan spiritual universal.
8.5.      
Pendidikan, Budaya, dan Spiritualitas Ekologis
Relevansi prinsip
keseimbangan juga terwujud dalam pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan ekologis
yang sejati tidak sekadar mengajarkan pengetahuan ilmiah tentang alam, tetapi
menumbuhkan kepekaan moral dan kesadaran batin terhadap keterhubungan semua
makhluk.¹⁶ David Orr menyebutnya ecological literacy—kemampuan untuk “membaca
dunia” sebagai sistem kehidupan yang saling bergantung.¹⁷
Dalam dimensi budaya, prinsip
keseimbangan dapat ditemukan dalam kearifan lokal masyarakat adat. Banyak
tradisi tradisional, seperti Tri Hita Karana di Bali atau Ubuntu
di Afrika, memandang keseimbangan sebagai inti dari kehidupan sosial dan
spiritual.¹⁸ Nilai-nilai ini mengajarkan bahwa manusia tidak dapat hidup
sejahtera tanpa menjaga keseimbangan dengan lingkungan dan komunitasnya.
Sementara itu, dalam ranah
spiritualitas kontemporer, keseimbangan menjadi simbol kesatuan antara dimensi
material dan transenden kehidupan. Thomas Berry menegaskan bahwa krisis modern
hanyalah gejala dari “keterputusan spiritual manusia dari bumi.”¹⁹ Dalam
semangat itu, prinsip keseimbangan berfungsi sebagai jembatan antara ilmu,
etika, dan spiritualitas—menyatukan kembali rasionalitas modern dengan
kebijaksanaan kosmik yang lebih luas.
8.6.      
Prinsip Keseimbangan sebagai Paradigma Global
Baru
Akhirnya, dalam konteks
peradaban global, prinsip keseimbangan dapat dilihat sebagai paradigma baru
yang menentang dualisme modern dan menggantinya dengan visi ekologis integral.
Fritjof Capra dan Pier Luigi Luisi menyebut paradigma ini sebagai systems
view of life—pandangan yang memahami kehidupan sebagai jaringan relasi
kompleks yang hanya dapat bertahan melalui keseimbangan dinamis.²⁰
Dalam kerangka ini, prinsip
keseimbangan tidak lagi hanya bersifat etis atau ekologis, tetapi menjadi
prinsip ontologis bagi keberlanjutan peradaban manusia. Ia menawarkan dasar
konseptual bagi transformasi global menuju eco-civilization—peradaban
yang menghormati batas-batas bumi, mengutamakan keadilan ekologis, dan
menempatkan manusia sebagai penjaga keseimbangan kosmik.²¹
Dengan demikian, relevansi
kontemporer prinsip keseimbangan terletak pada kemampuannya untuk menjadi
jembatan antara sains dan spiritualitas, antara pembangunan dan pelestarian,
serta antara manusia dan bumi. Ia bukan sekadar ideal moral, melainkan fondasi
filosofis bagi tatanan dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan penuh kasih
terhadap seluruh kehidupan.
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 68–70.
[2]               
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35.
[3]               
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford:
Oxford University Press, 1979), 106.
[4]               
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), AR6 Synthesis
Report: Climate Change 2023 (Geneva: IPCC, 2023), 5–6.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: Allen & Unwin, 1968), 15.
[6]               
World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common
Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
[7]               
Herman E. Daly, Steady-State Economics: The Economics of
Biophysical Equilibrium and Moral Growth (San Francisco: W. H. Freeman,
1977), 25–30.
[8]               
Serge Latouche, Farewell to Growth, trans. David Macey
(Cambridge: Polity Press, 2009), 32–35.
[9]               
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary
Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021),
112–115.
[10]            
Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory
Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 73.
[11]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 109–111.
[12]            
Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for
a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 56–58.
[13]            
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris
Agreement (2015), Article 2.
[14]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 20–22.
[15]            
Ibid., 216–219.
[16]            
David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the
Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994), 92.
[17]            
Ibid., 94–96.
[18]            
I Ketut Gobyah, “Tri Hita Karana: Landasan Filosofis Pembangunan Bali,”
Jurnal Filsafat dan Budaya 15, no. 2 (2010): 133–137.
[19]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 198–200.
[20]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 306–309.
[21]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 204–207.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Etika Keseimbangan yang Integral dan Humanistik
Sintesis filosofis dari
prinsip keseimbangan menempatkannya bukan sekadar sebagai teori normatif atau
ideal moral, melainkan sebagai fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis
bagi paradigma baru hubungan manusia dengan alam. Dalam kerangka ini, etika
keseimbangan dipahami sebagai sistem nilai yang integral dan
humanistik—menggabungkan kebijaksanaan ekologis, tanggung jawab moral, serta
kesadaran spiritual tentang keterpaduan seluruh ciptaan.¹ Prinsip ini tidak
hanya menuntun cara manusia berperilaku terhadap alam, tetapi juga mengubah
cara manusia memahami dirinya sebagai bagian dari tatanan kosmik yang lebih
luas.
9.1.      
Sintesis Ontologis: Keterhubungan sebagai Dasar
Keberadaan
Secara ontologis,
keseimbangan menegaskan bahwa realitas kehidupan bersifat relasional, bukan
atomistik. Fritjof Capra menekankan bahwa hakikat keberadaan bukanlah entitas
yang berdiri sendiri, tetapi jejaring proses yang saling terkait dan saling
menopang.² Alam bukanlah “latar” bagi manusia, melainkan komunitas
eksistensial yang menampung seluruh bentuk kehidupan. Dengan demikian,
keseimbangan bukan keadaan pasif, melainkan struktur dinamis yang menopang
eksistensi seluruh makhluk.
Dalam perspektif metafisika
proses Alfred North Whitehead, dunia dipahami sebagai becoming, bukan being:
setiap peristiwa merupakan hasil dari hubungan yang saling menciptakan.³
Prinsip keseimbangan dalam konteks ini berarti keselarasan antara stabilitas
dan perubahan, antara keberlanjutan dan kreativitas. Kehidupan berlangsung
karena adanya keseimbangan dinamis antara keteraturan dan kebaruan.⁴ Oleh
karena itu, etika keseimbangan ontologis menolak pandangan dualistik antara
manusia dan alam, serta menggantikannya dengan prinsip interbeing—sebuah
gagasan yang juga dipertegas oleh Thich Nhat Hanh bahwa “hidup adalah hidup
bersama.”⁵
Keseimbangan, dengan
demikian, bukan sekadar hubungan ekologis, tetapi juga pengakuan ontologis
terhadap kesatuan kosmik: manusia, alam, dan Tuhan berada dalam satu tatanan
realitas yang saling meneguhkan. Hal ini menggemakan pandangan tradisi
spiritual Timur maupun tasawuf Islam, yang memandang alam sebagai cermin
kehadiran Ilahi—tempat harmoni eksistensial diwujudkan dalam keseimbangan
antara ciptaan dan Sang Pencipta.⁶
9.2.      
Sintesis Epistemologis: Kesadaran Relasional
dan Pengetahuan Partisipatif
Secara epistemologis, etika
keseimbangan menolak paradigma positivistik yang memisahkan subjek dari objek
pengetahuan. Pengetahuan ekologis sejati lahir dari keterlibatan eksistensial
manusia dalam jaringan kehidupan.⁷ Gregory Bateson menegaskan bahwa “pikiran”
tidak hanya terdapat di dalam otak manusia, tetapi juga di seluruh sistem
ekologis yang berkomunikasi dan berinteraksi.⁸ Pengetahuan yang seimbang
berarti pengetahuan yang partisipatif—di mana manusia memahami alam
bukan sebagai sesuatu yang dihadapi, melainkan sebagai sesuatu yang dihayati.
Epistemologi keseimbangan
juga menuntut pluralitas dan integrasi antara ilmu pengetahuan modern dan
kebijaksanaan tradisional. Vandana Shiva menekankan bahwa krisis ekologi bukan
hanya akibat kekeliruan ilmiah, tetapi juga akibat “kolonisasi epistemik”
yang menyingkirkan bentuk-bentuk pengetahuan lokal.⁹ Oleh karena itu,
keseimbangan epistemik berarti membuka ruang dialog antara rasionalitas modern
dan kearifan ekologis lokal—antara logos dan mythos.
Pengetahuan yang berimbang
tidak sekadar menjelaskan realitas, tetapi juga menghidupinya. Ia mengandung
dimensi etis dan estetis: mengenal berarti menghormati, memahami berarti
merawat.¹⁰ Dengan demikian, epistemologi keseimbangan melahirkan bentuk
kesadaran ekologis yang baru, di mana mengetahui dan bertanggung jawab menjadi
dua sisi dari satu tindakan moral yang utuh.
9.3.      
Sintesis Aksiologis: Keseimbangan sebagai
Kebajikan dan Tanggung Jawab
Dalam dimensi aksiologis,
prinsip keseimbangan berfungsi sebagai kebajikan moral yang menuntun tindakan
manusia terhadap diri sendiri, sesama, dan alam.¹¹ Ia menggabungkan tiga pilar
nilai: temperantia (moderasi), harmonia (keharmonisan), dan responsibilitas
(tanggung jawab). Ketiganya menjadikan keseimbangan bukan sekadar keadaan,
tetapi cara hidup (modus vivendi).
Hans Jonas dalam The
Imperative of Responsibility menegaskan bahwa tindakan etis pada era
teknologi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan kehidupan di
masa depan.¹² Prinsip keseimbangan, dengan demikian, bukan hanya menuntut
tindakan benar, tetapi juga tindakan berjangka panjang yang memelihara
kehidupan. Ia menuntut manusia untuk bertindak dalam kesadaran bahwa setiap
keputusan ekonomi, politik, dan ilmiah adalah keputusan ekologis.
Aksiologi keseimbangan juga
mengandung aspek spiritual: manusia tidak hanya bertanggung jawab secara moral
terhadap alam, tetapi juga secara ontologis terhadap sumber keberadaannya.
Seyyed Hossein Nasr menggambarkan tanggung jawab ini sebagai amanah kosmik—tugas
manusia untuk menjaga tatanan Ilahi melalui keselarasan antara akal, jiwa, dan
alam.¹³ Dengan demikian, keseimbangan moral menjadi bentuk ibadah ekologis:
menjaga bumi berarti menjaga refleksi Tuhan dalam ciptaan.
9.4.      
Integrasi Sosial-Politik: Etika Keseimbangan
sebagai Etika Keadilan dan Keberlanjutan
Etika keseimbangan tidak
hanya bersifat individual, tetapi juga sistemik. Ia menjadi dasar moral bagi
pembangunan masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan demokratis secara ekologis.
Fritjof Capra menyatakan bahwa sistem sosial yang sehat harus meniru prinsip
jaringan kehidupan: keberagaman, kerja sama, dan umpan balik yang berimbang.¹⁴
Dalam konteks politik global,
etika keseimbangan dapat menjadi paradigma alternatif terhadap kapitalisme
neoliberal yang menimbulkan krisis ketimpangan dan degradasi lingkungan. Murray
Bookchin melalui social ecology menegaskan bahwa krisis ekologis
berakar dari struktur sosial yang hirarkis.¹⁵ Maka, etika keseimbangan menuntut
keadilan ekologis yang tidak hanya mengatur relasi manusia dengan alam, tetapi
juga relasi antar-manusia dalam distribusi sumber daya dan kekuasaan.
Etika keseimbangan
sosial-politik berarti menggantikan logika kompetisi dengan solidaritas
ekologis; menggantikan paradigma dominasi dengan partisipasi.¹⁶ Dalam sistem
demokrasi ekologis (ecodemocracy), keseimbangan menjadi prinsip tata
kelola yang memastikan bahwa keputusan politik menghormati batas-batas ekologis
dan memperhatikan suara generasi mendatang.
9.5.      
Humanisme Ekologis: Rekonsiliasi antara
Martabat Manusia dan Martabat Alam
Sintesis filosofis prinsip
keseimbangan berpuncak pada humanisme ekologis—pandangan
bahwa martabat manusia hanya dapat ditegakkan melalui penghormatan terhadap
martabat alam.¹⁷ Dalam pandangan ini, manusia bukan lagi penguasa kosmos,
melainkan penjaga (steward) yang memiliki tanggung jawab etis terhadap
kelangsungan hidup seluruh ciptaan.
Thomas Berry menegaskan bahwa
masa depan umat manusia tergantung pada kemampuannya untuk “berpindah dari
antroposentrisme menuju kosmosentrisme.”¹⁸ Humanisme baru ini bukan berarti
meniadakan peran manusia, tetapi menempatkan manusia sebagai subjek moral yang
sadar akan keterikatannya dalam jaringan ekologis. Dengan demikian, manusia
menemukan kembali kemanusiaannya melalui kesadaran ekologis—kesadaran bahwa
hidupnya bergantung pada keseimbangan kehidupan lain.
Etika keseimbangan yang
integral dan humanistik menjadi dasar bagi peradaban baru: peradaban ekologis (eco-civilization).
Dalam tatanan ini, ilmu, moral, dan spiritualitas berpadu untuk membangun dunia
yang tidak hanya berkeadilan bagi manusia, tetapi juga bagi bumi.¹⁹
Keseimbangan bukan sekadar cita-cita moral, melainkan cara manusia menegakkan
kehidupan dalam kebenaran dan kasih universal.
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 71–73.
[2]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28–30.
[3]               
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York:
Macmillan, 1929), 50–53.
[4]               
Ibid., 87–89.
[5]               
Thich Nhat Hanh, The Heart of Understanding: Commentaries on the
Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press, 1988), 22.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 73–75.
[7]               
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-Than-Human World (New York: Pantheon Books, 1996), 45–47.
[8]               
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago:
University of Chicago Press, 1972), 465–468.
[9]               
Vandana Shiva, Monocultures of the Mind: Perspectives on
Biodiversity and Biotechnology (London: Zed Books, 1993), 12–15.
[10]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 45.
[11]            
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 145–148.
[12]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 36–39.
[13]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: Allen & Unwin, 1968), 88–90.
[14]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 59–62.
[15]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 285–288.
[16]            
Andrew Dobson, Green Political Thought (London: Routledge,
1995), 121–123.
[17]            
Erazim Kohák, The Embers and the Stars: A Philosophical Inquiry
into the Moral Sense of Nature (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 54–57.
[18]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 207–210.
[19]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 310–312.
10.       Kesimpulan
Prinsip keseimbangan (principium
aequilibrium) merupakan inti dari etika lingkungan yang berupaya menata
kembali relasi manusia dengan alam semesta secara filosofis, moral, dan
spiritual. Ia tidak sekadar menawarkan suatu konsep normatif tentang harmoni,
tetapi membentuk kerangka komprehensif yang mencakup dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis kehidupan.¹ Dalam seluruh pembahasan sebelumnya,
tampak jelas bahwa keseimbangan bukanlah kondisi statis, melainkan dinamika
relasional yang terus bergerak antara keteraturan dan perubahan, antara
kebebasan manusia dan batas-batas ekologis bumi.
10.1.   
Keseimbangan sebagai Dasar Ontologis Keberadaan
Secara ontologis, prinsip
keseimbangan menegaskan bahwa seluruh realitas kehidupan saling terhubung dalam
jaringan ekologis yang kompleks.² Alam bukanlah kumpulan objek mati yang dapat
dieksploitasi tanpa batas, melainkan sistem kehidupan yang hidup, berirama, dan
memiliki struktur keteraturan yang melekat. Fritjof Capra menggambarkan
realitas ekologis ini sebagai web of life—suatu jaringan kehidupan
yang di dalamnya setiap makhluk berperan dalam menjaga stabilitas dan
regenerasi keseluruhan sistem.³ Dengan demikian, keseimbangan adalah hukum
eksistensial yang menjamin keberlangsungan kehidupan; pelanggaran terhadapnya
berarti mengganggu dasar ontologis alam itu sendiri.
Keseimbangan ontologis juga
mengajarkan bahwa manusia tidak dapat berdiri di luar alam, sebab keberadaannya
merupakan bagian integral dari tatanan kosmik.⁴ Dalam pandangan metafisika
Islam sebagaimana diuraikan oleh Seyyed Hossein Nasr, manusia adalah
mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos—ia bukan penguasa, melainkan penjaga
(steward) dari keseimbangan Ilahi.⁵ Oleh sebab itu, tindakan manusia
yang melanggar prinsip keseimbangan berarti mengingkari hakikat ontologisnya
sendiri sebagai makhluk yang hidup di bawah hukum keteraturan universal (mīzān).
10.2.   
Keseimbangan sebagai Jalan Epistemologis Menuju
Kesadaran Ekologis
Dari sisi epistemologi,
keseimbangan menjadi jalan bagi pembentukan kesadaran ekologis yang
partisipatif dan reflektif. Epistemologi keseimbangan menolak pemisahan antara
subjek dan objek sebagaimana diwariskan oleh paradigma Cartesian, dan
menggantikannya dengan kesadaran akan interbeing—yakni saling
keterikatan semua eksistensi.⁶ Mengetahui berarti berpartisipasi dalam
kehidupan; memahami berarti menghormati keteraturan alam yang menjadi sumber
kehidupan itu sendiri.
Pengetahuan ekologis sejati
tidak bersifat dominatif, tetapi relasional dan dialogis.⁷ Ia mempersatukan
ilmu dan kebijaksanaan, rasionalitas dan spiritualitas, sehingga manusia dapat
memandang alam bukan sebagai sesuatu yang asing, melainkan sebagai bagian dari
dirinya yang lebih luas. Dengan demikian, keseimbangan epistemologis melahirkan
etika pengetahuan yang bertanggung jawab: pengetahuan yang diarahkan bukan
untuk menguasai, melainkan untuk memelihara dan memperdalam makna hidup bersama
alam.⁸
10.3.   
Keseimbangan sebagai Prinsip Moral dan
Aksiologis Kehidupan
Secara aksiologis, prinsip
keseimbangan mengandung nilai moral universal yang menegaskan pentingnya
moderasi, keharmonisan, dan tanggung jawab.⁹ Ia mengajarkan bahwa tindakan baik
adalah tindakan yang menjaga keteraturan kehidupan, menghindari ekstremitas,
dan menegakkan keadilan ekologis.¹⁰ Prinsip ini menolak etika eksploitasi yang
berakar pada antroposentrisme dan menggantinya dengan etika partisipasi yang
berakar pada ekosentrisme dan biosentrisme.
Dalam hal ini, keseimbangan
juga berfungsi sebagai dasar moral bagi keberlanjutan dan keadilan
antar-generasi.¹¹ Hans Jonas menegaskan bahwa tanggung jawab moral pada era
teknologi modern harus diperluas agar mencakup “yang belum lahir” (the
not yet born).¹² Prinsip keseimbangan, dengan demikian, mengikat manusia
dalam lingkaran moral yang melampaui batas waktu—menjaga kehidupan kini
sekaligus menjamin keberlanjutan masa depan.
10.4.   
Relevansi Sosial, Ekonomi, dan Politik
Keseimbangan
Etika keseimbangan juga
memiliki dimensi sosial dan politis yang kuat. Dalam konteks sosial, ia
mengajarkan solidaritas ekologis—kesadaran bahwa kesejahteraan manusia
bergantung pada kesejahteraan lingkungan.¹³ Dalam bidang ekonomi, ia menolak
paradigma pertumbuhan tanpa batas dan menggantikannya dengan model steady-state
economy yang menekankan regenerasi dan distribusi yang adil.¹⁴
Sementara dalam ranah
politik, keseimbangan menjadi dasar bagi demokrasi ekologis (ecodemocracy),
yakni tata kelola publik yang menghormati batas-batas ekologis dan
memperhitungkan suara generasi mendatang.¹⁵ Prinsip common but
differentiated responsibilities dalam perjanjian iklim internasional
mencerminkan manifestasi politik dari prinsip keseimbangan global: setiap pihak
memiliki tanggung jawab yang berbeda, tetapi terikat pada tujuan moral yang
sama—yakni menjaga keberlanjutan bumi.¹⁶
10.5.   
Menuju Etika Keseimbangan yang Integral dan
Humanistik
Sintesis filosofis dari
seluruh dimensi tersebut melahirkan etika keseimbangan yang
integral dan humanistik—sebuah paradigma moral yang menyatukan
manusia dan alam dalam kesatuan etis, ontologis, dan spiritual. Thomas Berry
menyebutnya sebagai “ecozoic consciousness,” yaitu kesadaran baru di
mana manusia memahami dirinya bukan sebagai penguasa dunia, melainkan bagian
dari komunitas kehidupan yang lebih besar.¹⁷
Etika keseimbangan yang
humanistik menegaskan bahwa martabat manusia hanya dapat ditegakkan dalam
martabat bumi.¹⁸ Dalam kesadaran ini, tindakan ekologis menjadi ekspresi dari
kemanusiaan yang sejati: mengasihi kehidupan berarti mempertahankan
keseimbangannya. Keseimbangan antara teknologi dan moralitas, antara kebebasan
dan tanggung jawab, serta antara individu dan komunitas menjadi fondasi bagi
peradaban ekologis (eco-civilization) yang baru.
Dengan demikian, prinsip
keseimbangan bukan hanya cita-cita moral, tetapi visi filosofis bagi masa depan
umat manusia. Ia mengajak manusia untuk hidup tidak melawan alam, tetapi
bersama alam; tidak di atas kehidupan, tetapi di dalam kehidupan.¹⁹ Dalam
keseimbangan, manusia menemukan kembali arti terdalam dari kebijaksanaan: bahwa
kehidupan yang benar adalah kehidupan yang menjaga harmoni antara akal, jiwa,
dan bumi.
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 74–76.
[2]               
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 59.
[3]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–30.
[4]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 80–83.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 74–75.
[6]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 89–92.
[7]               
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago:
University of Chicago Press, 1972), 465.
[8]               
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-Than-Human World (New York: Pantheon Books, 1996), 46–48.
[9]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford:
Oxford University Press, 1954), 1106b36–1107a7.
[10]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224–226.
[11]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 198–200.
[12]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 36–39.
[13]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 285–287.
[14]            
Herman E. Daly, Steady-State Economics: The Economics of
Biophysical Equilibrium and Moral Growth (San Francisco: W. H. Freeman,
1977), 25–30.
[15]            
Andrew Dobson, Green Political Thought (London: Routledge,
1995), 121–123.
[16]            
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris
Agreement (2015), Article 2.
[17]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 207–210.
[18]            
Erazim Kohák, The Embers and the Stars: A Philosophical Inquiry
into the Moral Sense of Nature (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 54–57.
[19]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 310–312.
Daftar Pustaka
Abram, D. (1996). The spell of the sensuous:
Perception and language in a more-than-human world. Pantheon Books.
Aristotle. (1954). Nicomachean ethics (W. D.
Ross, Trans.). Oxford University Press.
Berry, T. (1988). The dream of the Earth.
Sierra Club Books.
Berry, T. (1999). The great work: Our way into
the future. Bell Tower.
Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The
emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.
Bateson, G. (1972). Steps to an ecology of mind.
University of Chicago Press.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. Anchor Books.
Capra, F. (2002). The hidden connections: A
science for sustainable living. Anchor Books.
Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The
systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.
Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power,
politics, and the planetary costs of artificial intelligence. Yale
University Press.
Daly, H. E. (1977). Steady-state economics: The
economics of biophysical equilibrium and moral growth. W. H. Freeman.
Descartes, R. (1998). Discourse on the method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Dobson, A. (1995). Green political thought.
Routledge.
Feenberg, A. (2002). Transforming technology: A
critical theory revisited. Oxford University Press.
Georgescu-Roegen, N. (1971). The entropy law and
the economic process. Harvard University Press.
Gobya, I. K. (2010). Tri Hita Karana: Landasan
filosofis pembangunan Bali. Jurnal Filsafat dan Budaya, 15(2), 133–137.
Gould, S. J. (2002). The structure of
evolutionary theory. Harvard University Press.
Holling, C. S. (1973). Resilience and stability of
ecological systems. Annual Review of Ecology and Systematics, 4(1),
1–23.
Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics.
Oxford University Press.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
(2023). AR6 synthesis report: Climate change 2023. IPCC.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Latouche, S. (2009). Farewell to growth (D.
Macey, Trans.). Polity Press.
Latour, B. (1993). We have never been modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Latour, B. (2004). Politics of nature: How to
bring the sciences into democracy. Harvard University Press.
Lao Tzu. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau,
Trans.). Penguin Classics.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
Oxford University Press.
Lovelock, J. (1979). Gaia: A new look at life on
Earth. Oxford University Press.
MacArthur Foundation, E. (2013). Towards the
circular economy. EMF Publishing.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy. Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. Allen & Unwin.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. Oxford University Press.
Nhat Hanh, T. (1988). The heart of
understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Parallax
Press.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A
philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.
Odum, E. (1971). Fundamentals of ecology
(3rd ed.). W. B. Saunders.
Orr, D. W. (1994). Earth in mind: On education,
environment, and the human prospect. Island Press.
Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Prigogine, I., & Stengers, I. (1984). Order
out of chaos: Man’s new dialogue with nature. Bantam Books.
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught.
Grove Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Robinson, M. (2018). Climate justice: Hope, resilience,
and the fight for a sustainable future. Bloomsbury.
Rolston, H. III. (1986). Philosophy gone wild:
Essays in environmental ethics. Prometheus Books.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Temple University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology
and development. Zed Books.
Shiva, V. (1993). Monocultures of the mind:
Perspectives on biodiversity and biotechnology. Zed Books.
Shiva, V. (2005). Earth democracy: Justice,
sustainability, and peace. South End Press.
Whitehead, A. N. (1929). Process and reality.
Macmillan.
World Commission on Environment and Development
(WCED). (1987). Our common future. Oxford University Press.
Walker, B., & Salt, D. (2006). Resilience
thinking: Sustaining ecosystems and people in a changing world. Island
Press.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar