Sabtu, 11 Oktober 2025

Filsafat Islam Modern: Konsep, Sejarah, Tokoh, Isu, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Islam Modern

Konsep, Sejarah, Tokoh, Isu, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan Filsafat Islam Modern sebagai upaya intelektual umat Islam dalam merespons tantangan kolonialisme, modernitas, dan globalisasi. Melalui pendekatan historis-filosofis, kajian ini menelusuri konsep dasar, latar belakang kemunculan, tokoh-tokoh utama, aliran pemikiran, serta isu dan kritik yang mengiringi dinamika filsafat Islam modern. Tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, dan Syed Naquib al-Attas ditampilkan sebagai representasi keragaman corak pemikiran yang berusaha menjembatani tradisi klasik dengan tuntutan zaman.

Artikel ini juga menyoroti relasi filsafat Islam modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta relevansinya dalam menghadapi isu kontemporer seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, gender, dan etika global. Dari analisis tersebut, tampak bahwa filsafat Islam modern tidak hanya bersifat reaktif terhadap modernitas Barat, melainkan juga proaktif dalam merekonstruksi paradigma Islam yang kritis, rasional, dan kontekstual. Sintesis yang ditawarkan memperlihatkan bahwa filsafat Islam modern memiliki potensi besar sebagai fondasi filosofis untuk membangun peradaban Islam yang berkelanjutan, adil, dan relevan dengan kebutuhan dunia kontemporer.

Kata Kunci: Filsafat Islam Modern; Modernisme Islam; Reformisme; Neo-Modernisme; Islamisasi Ilmu; Hermeneutika; Globalisasi; Tokoh Pemikir Islam; Relevansi Kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, Tokoh, Isu, dan Relevansi Filsafat Islam Modern


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam modern merupakan suatu medan intelektual yang lahir dari pertemuan antara warisan intelektual Islam klasik dengan tantangan modernitas yang berkembang sejak abad ke-19 hingga masa kontemporer. Pada masa ini, umat Islam dihadapkan pada krisis multidimensional: kemunduran politik setelah kejatuhan kekhalifahan, penetrasi kolonialisme Barat yang mengguncang tatanan sosial dan ekonomi, serta arus pemikiran modern yang dibawa oleh sains, sekularisme, dan ideologi Barat lainnya. Dalam konteks ini, filsafat Islam modern muncul sebagai upaya reflektif dan kritis untuk menjawab pertanyaan besar mengenai posisi Islam dalam dunia yang berubah dengan cepat, tanpa kehilangan identitasnya yang khas sebagai agama wahyu dengan tradisi intelektual panjang.¹

Latar belakang historis lahirnya filsafat Islam modern erat kaitannya dengan periode kolonialisme. Penetrasi politik dan militer Barat ke dunia Islam tidak hanya membawa dominasi teritorial, melainkan juga memaksakan hegemoni epistemologis melalui pendidikan, hukum, dan budaya.² Hal ini memunculkan kesadaran di kalangan intelektual Muslim bahwa kebangkitan umat Islam tidak mungkin dicapai hanya dengan kekuatan politik, melainkan harus dimulai dari reformasi pemikiran, pendidikan, dan filsafat. Oleh karena itu, para pemikir modern seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan kemudian Fazlur Rahman menekankan pentingnya ijtihad, rasionalitas, serta keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan sebagai fondasi untuk membangun peradaban Islam yang relevan dengan zaman.³

Masalah pokok yang dihadapi dalam filsafat Islam modern adalah bagaimana menjaga kontinuitas tradisi keilmuan Islam sembari melakukan pembaruan agar ajaran Islam dapat menjawab tantangan kontemporer. Tantangan tersebut meliputi pertanyaan filosofis dan praktis tentang hubungan agama dengan sains, posisi wahyu di tengah pluralitas nilai, perdebatan mengenai demokrasi dan hak asasi manusia, hingga isu-isu gender dan etika global.⁴ Dalam kerangka ini, filsafat Islam modern berusaha mencari titik temu antara warisan tradisi yang dianggap sakral dan otoritatif dengan tuntutan modernitas yang bersifat dinamis dan sekuler.

Rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi: (1) bagaimana konsep filsafat Islam modern didefinisikan dan dibedakan dari filsafat Islam klasik serta kontemporer; (2) faktor-faktor historis yang melatarbelakangi kemunculannya; (3) tokoh-tokoh utama beserta gagasan mereka yang memberikan arah baru bagi pemikiran Islam; (4) isu-isu filosofis dan kritis yang berkembang dalam diskursus filsafat Islam modern; dan (5) relevansi serta kontribusinya bagi kehidupan intelektual, sosial, dan budaya umat Islam di era globalisasi.

Tujuan utama kajian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang sistematis mengenai dinamika filsafat Islam modern, tidak hanya sebagai sebuah wacana akademik, tetapi juga sebagai suatu gerakan intelektual yang mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam hingga saat ini.⁵ Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat menjembatani pemahaman antara generasi Muslim masa kini dengan warisan filsafat Islam yang terus bertransformasi, sekaligus menyoroti relevansinya dalam menghadapi tantangan dunia modern.

Signifikansi kajian ini terletak pada relevansinya dalam menjawab kebutuhan umat Islam untuk menemukan landasan filosofis yang kokoh di tengah perubahan global. Pertama, filsafat Islam modern menyediakan perangkat konseptual untuk memahami modernitas tanpa harus tercerabut dari akar tradisi Islam. Kedua, ia menawarkan pendekatan kritis terhadap berbagai tantangan intelektual, sosial, dan etis yang dihadapi umat Islam. Ketiga, kajian ini dapat memberikan kontribusi pada diskursus global mengenai dialog antarperadaban, etika ilmu pengetahuan, dan keberlanjutan moralitas di era teknologi. Dengan landasan tersebut, filsafat Islam modern menjadi bukan sekadar refleksi akademis, melainkan sebuah praksis intelektual yang berupaya merekonstruksi peradaban Islam dalam kerangka universalitas nilai-nilai kemanusiaan.⁶


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 214.

[2]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–20.

[3]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 37–42.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 285.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–10.

[6]                Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 97–102.


2.           Konsep dan Definisi Filsafat Islam Modern

Filsafat Islam modern merupakan suatu istilah yang mengacu pada dinamika pemikiran Islam yang muncul sejak abad ke-19, ketika umat Islam mulai berhadapan langsung dengan tantangan kolonialisme, modernitas Barat, serta problem internal yang menuntut reformasi. Konsep ini tidak hanya sekadar kelanjutan dari filsafat Islam klasik, melainkan merupakan suatu bentuk rekonstruksi pemikiran yang berusaha menjembatani nilai-nilai tradisi Islam dengan tuntutan perubahan zaman.¹

Secara konseptual, filsafat Islam modern dapat dipahami sebagai suatu refleksi filosofis yang berusaha menjawab problem aktual masyarakat Muslim dengan menggunakan pendekatan kritis, rasional, dan kontekstual, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar Islam.² Dalam hal ini, filsafat Islam modern berbeda dari filsafat klasik yang cenderung menekankan pada sintesis antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Jika filsafat klasik menekankan pada ontologi, kosmologi, dan epistemologi universal, maka filsafat modern lebih berorientasi pada persoalan sosial, politik, pendidikan, serta hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan kontemporer.³

Perbedaan lain yang signifikan antara filsafat Islam klasik dan modern terletak pada konteks lahirnya. Filsafat klasik berkembang dalam atmosfer kejayaan peradaban Islam, khususnya pada masa Abbasiyah, ketika terjadi dialog kreatif antara Islam dan kebudayaan asing, terutama filsafat Yunani. Sebaliknya, filsafat Islam modern lahir dalam kondisi kemunduran politik, hegemoni kolonial, serta krisis epistemologis yang dihadapi dunia Islam.⁴ Hal ini menjadikan corak filsafat Islam modern lebih reformatif, dengan semangat pembaruan dan kritik terhadap realitas sosial serta tradisi keilmuan yang stagnan.

Karakteristik utama filsafat Islam modern dapat dijelaskan dalam beberapa poin. Pertama, adanya orientasi rasionalitas, yakni penekanan pada kemampuan akal dan ijtihad sebagai sarana untuk memahami ajaran Islam dalam konteks modern.⁵ Kedua, kritis-reformatif, yang berarti adanya upaya untuk merevisi atau menafsirkan ulang warisan keilmuan Islam agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Ketiga, dialogis dan kontekstual, karena filsafat Islam modern berusaha berdialog dengan pemikiran Barat modern, termasuk gagasan tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan ilmu pengetahuan, sekaligus menolak sekularisasi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.⁶

Secara epistemologis, filsafat Islam modern berupaya mencari keseimbangan antara wahyu dan akal. Jika kalangan tradisionalis lebih menekankan otoritas teks suci, sedangkan modernis menekankan pada kebebasan rasio, maka filsafat Islam modern mencoba menghadirkan integrasi keduanya.⁷ Ontologinya berpijak pada pandangan Islam tentang Tuhan, manusia, dan alam sebagai realitas yang saling terkait, sementara aksiologinya diarahkan pada pembentukan masyarakat yang adil, berilmu, dan bermoral. Dengan demikian, filsafat Islam modern tidak hanya sekadar wacana intelektual, melainkan juga memiliki dimensi praksis yang nyata dalam membentuk etika sosial, politik, dan budaya umat Islam.

Dari definisi dan karakteristik tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam modern merupakan usaha reflektif umat Islam untuk meneguhkan identitas keagamaannya di tengah arus modernitas, tanpa terjebak pada dua ekstrem: fundamentalisme yang menolak modernitas sama sekali, atau sekularisme yang menafikan otoritas agama.⁸ Filsafat ini menjadi ruang sintesis, dialog, dan rekonstruksi, yang berfungsi tidak hanya menjaga kontinuitas tradisi intelektual Islam, tetapi juga memproyeksikan visi peradaban Islam yang relevan dengan era kontemporer.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 210–215.

[2]                M. Saeed Sheikh, Studies in Islamic Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1974), 183.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 349–352.

[4]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.

[5]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 45.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 288–290.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9.

[8]                Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 103–108.


3.           Latar Historis Kemunculan Filsafat Islam Modern

Kemunculan filsafat Islam modern tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah global pada abad ke-18 dan ke-19, ketika dunia Islam mengalami guncangan besar akibat kolonialisme, kemunduran politik, dan arus modernitas Barat. Periode ini menandai peralihan penting dari masa klasik menuju dinamika baru dalam pemikiran Islam yang lebih berorientasi pada reformasi sosial, politik, dan intelektual.¹

3.1.       Pengaruh Kolonialisme dan Kemunduran Politik Islam

Sejak abad ke-18, kekuatan kolonial Barat mulai menancapkan pengaruh yang sangat kuat di dunia Islam, khususnya di wilayah Asia dan Afrika. Kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah yang semakin melemah di satu sisi, serta dominasi Inggris, Perancis, dan Belanda di sisi lain, menempatkan umat Islam dalam posisi subordinat secara politik maupun ekonomi.² Kolonialisme tidak hanya merampas kekuasaan, melainkan juga memperkenalkan sistem pendidikan, hukum, dan administrasi yang sarat dengan nilai-nilai sekuler Barat. Kondisi ini menimbulkan krisis identitas dan kesadaran di kalangan umat Islam bahwa peradaban mereka berada dalam ancaman serius.³

3.2.       Kebangkitan Kesadaran Intelektual Islam

Sebagai respons terhadap krisis tersebut, lahirlah upaya-upaya pembaruan yang dipelopori oleh tokoh-tokoh intelektual Muslim. Tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani menekankan pentingnya solidaritas Pan-Islamisme sebagai kekuatan melawan dominasi kolonial.⁴ Sementara itu, Muhammad Abduh mengembangkan gagasan reformasi pendidikan dan rasionalisasi ajaran Islam untuk menjawab tantangan modern.⁵ Di India, Sir Sayyid Ahmad Khan menginisiasi gerakan Aligarh, yang berusaha mengintegrasikan pendidikan Islam dengan ilmu modern Barat.⁶ Gagasan-gagasan ini menandai lahirnya suatu paradigma baru yang tidak hanya bertujuan mempertahankan identitas Islam, tetapi juga membangun daya saing umat Islam di era modern.

3.3.       Pertemuan Islam dengan Modernitas Barat

Selain kolonialisme, faktor lain yang melatarbelakangi kemunculan filsafat Islam modern adalah penetrasi gagasan modernitas Barat, termasuk ide-ide tentang demokrasi, hak asasi manusia, sekularisme, dan ilmu pengetahuan empiris.⁷ Umat Islam menghadapi dilema: di satu sisi modernitas membawa kemajuan teknologi dan ilmu yang tak terbantahkan, namun di sisi lain ia menantang posisi agama dalam ruang publik. Para pemikir Islam modern berusaha mencari sintesis dengan cara menafsirkan kembali ajaran Islam agar kompatibel dengan modernitas, tanpa harus kehilangan esensi teologisnya.

3.4.       Krisis Epistemologis dalam Dunia Islam

Kemunculan filsafat Islam modern juga dipengaruhi oleh krisis epistemologis. Tradisi intelektual Islam pasca-abad ke-13 mengalami stagnasi karena dominasi taqlid (pengulangan tanpa kritik) dan melemahnya semangat ijtihad.⁸ Hal ini membuat umat Islam sulit merespons perkembangan zaman. Reformasi yang digagas oleh para pemikir modern bertujuan untuk menghidupkan kembali tradisi ijtihad, menolak stagnasi intelektual, dan mengembangkan pendekatan baru dalam memahami teks-teks Islam. Fazlur Rahman, misalnya, menekankan pentingnya hermeneutika Al-Qur’an untuk menjawab tantangan sosial kontemporer.⁹

3.5.       Globalisasi dan Dialog Antarperadaban

Latar historis filsafat Islam modern juga dipengaruhi oleh meningkatnya interaksi antara peradaban. Revolusi industri di Barat membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dan pertukaran ilmu pengetahuan. Para pemikir Islam mulai menyadari perlunya keterlibatan aktif dalam dialog peradaban, baik untuk mempertahankan eksistensi Islam maupun untuk berkontribusi terhadap perkembangan dunia modern.¹⁰

Secara keseluruhan, latar historis filsafat Islam modern memperlihatkan adanya dinamika dialektis antara warisan tradisi Islam dengan tantangan kolonialisme dan modernitas. Dari sinilah lahir gagasan-gagasan filosofis baru yang tidak hanya berorientasi pada pemeliharaan identitas Islam, tetapi juga pada rekonstruksi pemikiran yang relevan dengan kebutuhan zaman. Dengan demikian, filsafat Islam modern dapat dipahami sebagai sebuah jawaban historis sekaligus proyek intelektual yang terus berkembang.


Footnotes

[1]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 12–16.

[2]                William Cleveland dan Martin Bunton, A History of the Modern Middle East (Boulder: Westview Press, 2016), 97–101.

[3]                Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din “al-Afghani” (Berkeley: University of California Press, 1968), 4–7.

[4]                P. J. Vatikiotis, Islam and the State (London: Routledge, 1987), 45–48.

[5]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 39–43.

[6]                Francis Robinson, Islam and Muslim History in South Asia (New Delhi: Oxford University Press, 2000), 128–132.

[7]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 22–25.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–11.

[9]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 55–58.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 289–292.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Filsafat Islam Modern

Perkembangan filsafat Islam modern sangat erat kaitannya dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual yang menjadi motor penggerak reformasi pemikiran Islam pada abad ke-19 hingga abad ke-20. Mereka hadir dengan gagasan-gagasan baru yang berupaya menjembatani antara warisan tradisi Islam dengan tuntutan zaman modern. Masing-masing tokoh memiliki corak pemikiran yang berbeda, namun semuanya berkontribusi pada terbentuknya wajah baru filsafat Islam dalam konteks modernitas.

4.1.       Jamaluddin al-Afghani (1838–1897)

Al-Afghani dikenal sebagai pelopor gerakan Pan-Islamisme dan tokoh yang sangat kritis terhadap kolonialisme Barat. Ia menyerukan pentingnya persatuan umat Islam sebagai jalan untuk melawan dominasi politik dan militer Barat.¹ Pemikirannya tidak hanya berorientasi politik, tetapi juga filosofis, terutama dalam upaya membangkitkan kesadaran umat Islam untuk kembali pada kekuatan rasionalitas dan ijtihad.² Al-Afghani menekankan bahwa kemunduran Islam bukan karena ajaran agama, melainkan karena stagnasi intelektual dan penolakan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.³

4.2.       Muhammad Abduh (1849–1905)

Abduh adalah murid sekaligus kolaborator al-Afghani yang kemudian dikenal sebagai tokoh besar reformasi pemikiran Islam di Mesir. Ia mengembangkan gagasan tentang tajdid (pembaruan) dengan fokus pada reformasi pendidikan, pembaruan hukum Islam, dan rasionalisasi ajaran agama.⁴ Abduh berpendapat bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan akal dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, stagnasi umat Islam dapat diatasi dengan menghidupkan kembali semangat ijtihad.⁵ Pemikiran Abduh menjadi fondasi penting bagi munculnya reformisme Islam modern, sekaligus memengaruhi tokoh-tokoh berikutnya seperti Rasyid Ridha.⁶

4.3.       Rasyid Ridha (1865–1935)

Sebagai murid Abduh, Rasyid Ridha melanjutkan gagasan gurunya, namun dengan corak yang lebih konservatif. Ia menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam rangka melakukan pembaruan, tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar syariat.⁷ Melalui majalah al-Manar, Ridha menyebarkan ide-ide reformisme Islam ke seluruh dunia Muslim.⁸ Pemikirannya memadukan semangat rasionalitas Abduh dengan sikap kritis terhadap modernitas yang berlebihan, sehingga ia sering dianggap sebagai jembatan antara modernisme Islam dan gerakan salafiyah kontemporer.⁹

4.4.       Muhammad Iqbal (1877–1938)

Dikenal sebagai “penyair filsuf dari Timur,” Muhammad Iqbal berusaha merekonstruksi filsafat Islam dalam menghadapi tantangan modernitas. Karya monumentalnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menekankan perlunya reinterpretasi ajaran Islam dengan memanfaatkan filsafat Barat modern, terutama filsafat eksistensialisme dan idealisme.¹⁰ Iqbal melihat bahwa umat Islam harus menghidupkan kembali dinamika intelektual dengan menggabungkan spiritualitas Islam dan rasionalitas modern.¹¹ Pandangannya mengenai khudi (ego kreatif) mendorong umat Islam untuk aktif, kreatif, dan mandiri dalam membangun peradaban.¹²

4.5.       Fazlur Rahman (1919–1988)

Fazlur Rahman adalah salah satu tokoh neo-modernisme Islam yang lahir di Pakistan dan kemudian berkarya di Barat. Melalui karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, ia menekankan perlunya metodologi baru dalam memahami Al-Qur’an, yakni hermeneutika ganda yang berusaha memahami konteks historis teks sekaligus relevansi maknanya di era modern.¹³ Fazlur Rahman menolak baik fundamentalisme tekstual maupun sekularisme radikal, dan memilih jalan integratif yang berusaha menghubungkan wahyu dengan rasionalitas modern.¹⁴

4.6.       Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931– )

Sebagai seorang pemikir asal Malaysia, al-Attas dikenal luas dengan gagasannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan.¹⁵ Ia menekankan bahwa krisis umat Islam bukan hanya bersifat politik atau ekonomi, tetapi juga epistemologis. Ilmu pengetahuan modern yang sekuler dianggap telah mencabut nilai spiritual dari ilmu itu sendiri.¹⁶ Oleh karena itu, Islamisasi ilmu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan dimensi transendental ke dalam ilmu pengetahuan. Gagasannya berpengaruh luas di dunia Muslim, khususnya dalam bidang pendidikan tinggi Islam.¹⁷


Tokoh-Tokoh Lain

Selain tokoh-tokoh di atas, terdapat pula pemikir lain yang turut mewarnai filsafat Islam modern. Misalnya, Mohammed Arkoun (1928–2010) dengan pendekatan kritis-historis terhadap teks-teks Islam; Seyyed Hossein Nasr (1933– ) dengan filsafat perennialisme dan kritik terhadap sekularisasi; serta Hasan Hanafi (1935–2021) dengan proyek al-Turath wa al-Tajdid (tradisi dan pembaruan).¹⁸ Tokoh-tokoh ini menambahkan variasi metodologis dan perspektif filosofis yang semakin memperkaya diskursus filsafat Islam modern.


Kesimpulan

Para tokoh sentral dalam filsafat Islam modern memiliki corak pemikiran yang beragam, mulai dari politik (al-Afghani), reformasi pendidikan dan hukum (Abduh, Ridha), rekonstruksi filosofis (Iqbal), metodologi hermeneutika (Fazlur Rahman), hingga Islamisasi ilmu (al-Attas). Namun, benang merah dari pemikiran mereka adalah upaya mengintegrasikan Islam dengan modernitas, tanpa kehilangan identitas Islam itu sendiri. Hal ini menjadikan filsafat Islam modern sebagai wacana yang dinamis, plural, dan terus berkembang sesuai tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din “al-Afghani” (Berkeley: University of California Press, 1968), 12–15.

[2]                P. J. Vatikiotis, Islam and the State (London: Routledge, 1987), 49–51.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 103–105.

[4]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 56–59.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 220.

[6]                Malcolm Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of California Press, 1966), 72–76.

[7]                Hourani, Arabic Thought, 209–212.

[8]                Kerr, Islamic Reform, 118–122.

[9]                Yasir Qadhi, Reviving the Balance: The Authority of the Qur’an and the Role of Reason in Rashid Rida’s Thought (London: Routledge, 2018), 54–59.

[10]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 2–6.

[11]             Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 145–149.

[12]             Schimmel, Gabriel’s Wing, 210–213.

[13]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–12.

[14]             Ebrahim Moosa, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 96–99.

[15]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 42–46.

[16]             Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 102–105.

[17]             Wan Daud, The Educational Philosophy, 189–193.

[18]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 34–39; Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 81–83; Hasan Hanafi, Religion, Ideology and Development (Cairo: Anglo-Egyptian Press, 1981), 12–15.


5.           Aliran dan Corak Pemikiran dalam Filsafat Islam Modern

Filsafat Islam modern tidak hadir dalam bentuk tunggal yang homogen, melainkan berkembang melalui beragam aliran dan corak pemikiran. Perbedaan ini dipengaruhi oleh konteks sosial-politik, latar budaya, serta interaksi dengan pemikiran Barat modern. Keragaman aliran ini justru memperkaya khazanah intelektual Islam modern, sekaligus menunjukkan upaya umat Islam untuk merespons tantangan zaman dengan strategi filosofis yang berbeda-beda.¹

5.1.       Modernisme Islam

Modernisme Islam merupakan aliran yang berusaha mendamaikan Islam dengan nilai-nilai modernitas, seperti rasionalitas, demokrasi, dan sains.² Modernis berargumen bahwa Islam pada hakikatnya kompatibel dengan akal dan ilmu pengetahuan, sehingga umat Islam tidak perlu menolak modernitas secara total. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Sir Sayyid Ahmad Khan adalah representasi aliran ini. Mereka menekankan pentingnya ijtihad, reformasi pendidikan, serta reinterpretasi teks-teks Islam agar sesuai dengan konteks zaman.³

5.2.       Reformisme Islam

Berbeda dengan modernisme yang lebih akomodatif terhadap modernitas, reformisme Islam menekankan perlunya pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik tradisi yang dianggap menyimpang.⁴ Aliran ini dipengaruhi oleh gagasan salafiyah yang mengajak kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan utama, namun tetap memberi ruang bagi pembaruan sosial dan politik. Rasyid Ridha adalah tokoh kunci dalam corak reformisme, yang mencoba memadukan rasionalitas modern dengan sikap tegas terhadap otoritas teks agama.⁵

5.3.       Neo-Modernisme

Neo-modernisme lahir pada pertengahan abad ke-20 sebagai respons terhadap keterbatasan modernisme Islam yang dianggap terlalu akomodatif dan reformisme yang dianggap terlalu tekstualis.⁶ Fazlur Rahman adalah salah satu tokoh sentral aliran ini. Ia mengembangkan pendekatan hermeneutika ganda terhadap Al-Qur’an: memahami teks dalam konteks historis sekaligus menafsirkan maknanya untuk konteks kontemporer.⁷ Neo-modernisme berusaha mengintegrasikan nilai-nilai tradisi Islam dengan pemikiran modern melalui metodologi kritis yang lebih mendalam, sehingga mampu menghadapi isu-isu seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme.

5.4.       Post-Modernisme Islam

Seiring dengan perkembangan wacana post-modernisme di Barat, sejumlah pemikir Muslim mengadopsi pendekatan kritis terhadap modernitas itu sendiri. Tokoh seperti Mohammed Arkoun mengusulkan rethinking Islam dengan membongkar mitos, ideologi, dan konstruksi epistemologis yang dianggap membatasi kebebasan berpikir dalam Islam.⁸ Post-modernisme Islam menolak klaim objektivitas absolut, menekankan pluralitas penafsiran, serta mengkritisi hegemoni tradisi ulama klasik maupun modern. Corak ini menimbulkan perdebatan sengit karena dianggap terlalu liberal oleh sebagian kalangan.⁹

5.5.       Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Salah satu corak paling khas dalam filsafat Islam modern adalah gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Gerakan ini dipelopori oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan kemudian dikembangkan oleh Ismail Raji al-Faruqi.¹⁰ Aliran ini berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan modern bersifat sekuler dan memisahkan diri dari nilai-nilai spiritual, sehingga perlu direkonstruksi agar selaras dengan pandangan dunia Islam.¹¹ Islamisasi ilmu dimaknai sebagai upaya menanamkan kembali nilai-nilai tauhid dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan, sehingga ilmu tidak kehilangan dimensi etis dan transendental.

5.6.       Hermeneutika dan Tafsir Modern

Corak lain yang berkembang adalah penggunaan hermeneutika dalam penafsiran teks suci Islam.¹² Aliran ini muncul dari kesadaran bahwa teks Al-Qur’an selalu berinteraksi dengan konteks sosial-historis pembacanya. Tokoh seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Abdullah Saeed menekankan pentingnya metodologi baru yang mampu menjawab tantangan kontemporer, misalnya isu gender, hak asasi manusia, dan pluralisme agama.¹³ Meski mendapat kritik keras dari kalangan konservatif, pendekatan ini memperlihatkan dinamika filsafat Islam modern yang semakin terbuka terhadap metodologi ilmu humaniora kontemporer.


Kesimpulan

Aliran-aliran dalam filsafat Islam modern memperlihatkan adanya spektrum pemikiran yang luas: dari modernisme yang akomodatif, reformisme yang puritan, neo-modernisme yang integratif, post-modernisme yang dekonstruktif, hingga gerakan Islamisasi ilmu dan hermeneutika modern yang metodologis. Variasi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam modern bukanlah wacana tunggal, melainkan arena dialektika intelektual yang terus bergerak. Dengan keragaman tersebut, filsafat Islam modern berfungsi sebagai wadah refleksi kritis sekaligus praksis, yang berupaya menjawab tantangan modernitas dan memproyeksikan masa depan peradaban Islam yang relevan dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 211–215.

[2]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 44–48.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 360–362.

[4]                Malcolm Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of California Press, 1966), 118–120.

[5]                Yasir Qadhi, Reviving the Balance: The Authority of the Qur’an and the Role of Reason in Rashid Rida’s Thought (London: Routledge, 2018), 54–59.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–11.

[7]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 57–60.

[8]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 23–29.

[9]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 88–92.

[10]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 45–48.

[11]             Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1982), 9–13.

[12]             Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 33–37.

[13]             Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London: Routledge, 2006), 101–105.


6.           Hubungan Filsafat Islam Modern dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Salah satu isu sentral dalam filsafat Islam modern adalah hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Isu ini muncul dari kesadaran historis bahwa salah satu faktor kemunduran dunia Islam pasca-abad ke-13 adalah melemahnya tradisi ilmiah dan dominasi sikap taqlid yang mengekang ijtihad.¹ Sementara itu, modernitas Barat justru ditopang oleh kemajuan sains dan revolusi teknologi yang pada akhirnya menghasilkan hegemoni global. Pertanyaan filosofis yang muncul kemudian adalah bagaimana Islam dapat merekonsiliasi ajaran wahyu dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern tanpa kehilangan jati diri spiritualnya.

6.1.       Respons terhadap Sains Modern dan Sekularisasi Ilmu

Para pemikir Islam modern menyadari bahwa ilmu pengetahuan modern lahir dalam tradisi sekuler, yang memisahkan dimensi empiris dari landasan metafisik dan spiritual.² Hal ini menimbulkan tantangan epistemologis: apakah umat Islam harus menerima sains modern apa adanya, ataukah merekonstruksinya agar selaras dengan pandangan dunia Islam? Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam pada dasarnya kompatibel dengan sains, karena Al-Qur’an mendorong penggunaan akal dan pengamatan empiris.³ Sementara itu, pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr mengkritik sains modern yang dianggap reduksionis dan kehilangan dimensi sakral, sehingga ia menekankan pentingnya sacred science berbasis tauhid.⁴

6.2.       Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Salah satu corak penting dalam filsafat Islam modern adalah gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi menegaskan bahwa krisis umat Islam bukan hanya bersifat politik atau ekonomi, melainkan epistemologis.⁵ Ilmu pengetahuan modern dianggap membawa worldview sekuler yang menyingkirkan nilai-nilai keagamaan. Islamisasi ilmu dimaknai sebagai upaya untuk membersihkan ilmu dari pengaruh sekularisme sekaligus menanamkan kembali prinsip-prinsip tauhid dalam seluruh cabang ilmu.⁶ Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga sarat dengan dimensi etis dan spiritual.

6.3.       Etika Ilmu dan Teknologi

Selain persoalan epistemologi, filsafat Islam modern juga menaruh perhatian pada dimensi etika ilmu dan teknologi. Kemajuan teknologi yang tidak terkendali dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial, hingga krisis moral.⁷ Tokoh seperti Fazlur Rahman menekankan perlunya etika Qur’ani yang mampu memberikan kerangka normatif bagi pemanfaatan ilmu dan teknologi.⁸ Dalam perspektif Islam, sains dan teknologi seharusnya diarahkan untuk mencapai maslahah (kebaikan umum) dan keadilan sosial, bukan sekadar eksploitasi atau dominasi. Dengan demikian, filsafat Islam modern memberikan kerangka kritis terhadap penggunaan teknologi agar tidak terlepas dari tanggung jawab moral.

6.4.       Integrasi Ilmu, Agama, dan Peradaban

Filsafat Islam modern memandang bahwa integrasi antara agama, ilmu pengetahuan, dan peradaban merupakan kunci bagi kebangkitan Islam. Pemikir seperti Muhammad Iqbal menekankan perlunya rekonstruksi pemikiran keagamaan agar Islam mampu menyerap ilmu pengetahuan modern tanpa kehilangan spiritualitasnya.⁹ Bagi Iqbal, wahyu tidak bertentangan dengan akal, melainkan memberikan orientasi moral bagi pengembangan ilmu.¹⁰ Dengan demikian, filsafat Islam modern menawarkan paradigma integratif, di mana ilmu pengetahuan menjadi sarana untuk memperkuat peradaban Islam, sementara nilai-nilai agama memberikan arah dan tujuan etis bagi perkembangan ilmu dan teknologi.


Kesimpulan

Hubungan filsafat Islam modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi menunjukkan adanya dialektika antara penerimaan, kritik, dan rekonstruksi. Di satu sisi, umat Islam didorong untuk menguasai sains modern sebagai sarana kemajuan; di sisi lain, sains perlu diletakkan dalam kerangka etis dan spiritual Islam. Melalui gagasan seperti Islamisasi ilmu, sacred science, dan rekonstruksi pemikiran keagamaan, filsafat Islam modern berusaha menghadirkan alternatif epistemologis yang mampu menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan transendensi. Dengan demikian, filsafat Islam modern tidak hanya berfungsi sebagai wacana akademis, tetapi juga sebagai strategi peradaban dalam menghadapi arus globalisasi ilmu dan teknologi.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–9.

[2]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 45–47.

[3]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 62–65.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 81–83.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 45–49.

[6]                Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1982), 12–15.

[7]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 190–194.

[8]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 34–37.

[9]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 3–6.

[10]             Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 142–145.


7.           Isu dan Kritik dalam Filsafat Islam Modern

Filsafat Islam modern tidak lahir tanpa tantangan. Sejak kemunculannya pada abad ke-19, aliran-aliran pemikiran yang berkembang dalam tubuh filsafat Islam modern memunculkan berbagai isu sekaligus menuai kritik, baik dari kalangan internal umat Islam maupun dari luar. Perdebatan ini menunjukkan bahwa filsafat Islam modern merupakan ruang dialektika yang dinamis, di mana ide-ide tentang reformasi, modernitas, dan tradisi diuji dalam konteks sosial, politik, dan epistemologis.

7.1.       Kritik terhadap Modernisme: Westernisasi dan Sekularisasi

Salah satu kritik paling tajam terhadap modernisme Islam adalah tuduhan bahwa ia terlalu dekat dengan proyek Westernisasi.¹ Modernis dianggap terlalu akomodatif terhadap nilai-nilai Barat, khususnya rasionalisme, demokrasi, dan sekularisme, sehingga berisiko melemahkan otoritas wahyu. Kalangan tradisionalis menilai bahwa gagasan reformasi yang ditawarkan tokoh seperti Muhammad Abduh dan Sir Sayyid Ahmad Khan lebih banyak dipengaruhi paradigma Barat daripada murni bersumber dari Islam.² Kritik ini memunculkan dilema: sejauh mana umat Islam dapat mengadopsi modernitas tanpa kehilangan identitas religiusnya.

7.2.       Tantangan Pluralisme, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia

Filsafat Islam modern juga menghadapi isu mengenai kompatibilitas Islam dengan gagasan demokrasi, pluralisme agama, dan hak asasi manusia.³ Sebagian pemikir modern menegaskan bahwa nilai-nilai tersebut dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip Islam, seperti shura (musyawarah), adl (keadilan), dan hurriyah (kebebasan). Namun, kalangan konservatif menolak pandangan ini dengan alasan bahwa konsep-konsep tersebut berakar pada tradisi liberal Barat yang asing bagi Islam.⁴ Debat ini semakin intens ketika menyangkut isu gender dan kesetaraan hak perempuan dalam masyarakat Muslim.

7.3.       Perdebatan antara Tradisionalis, Modernis, dan Post-Modernis

Filsafat Islam modern juga menjadi arena kontestasi antara berbagai arus pemikiran. Tradisionalis menekankan pada pentingnya menjaga keaslian ajaran Islam dengan meminimalisasi pengaruh luar. Modernis berusaha mengharmoniskan Islam dengan modernitas, sedangkan post-modernis, seperti Mohammed Arkoun, justru mendekonstruksi tradisi Islam klasik dan modern dengan pendekatan kritis.⁵ Perbedaan tajam ini sering kali menimbulkan ketegangan intelektual yang membuat filsafat Islam modern terpecah dalam spektrum yang luas.

7.4.       Isu Gender dan Feminisme Islam

Perkembangan filsafat Islam modern juga bersinggungan dengan isu feminisme Islam. Pemikir seperti Amina Wadud dan Fatima Mernissi berupaya menafsirkan ulang teks-teks Islam dengan perspektif kesetaraan gender.⁶ Mereka berargumen bahwa subordinasi perempuan dalam masyarakat Muslim lebih banyak berasal dari interpretasi patriarkal daripada dari teks suci itu sendiri. Namun, pendekatan ini sering menuai kritik keras dari kalangan konservatif yang menuduhnya sebagai bentuk liberalisasi yang mengancam kemurnian ajaran Islam.⁷

7.5.       Kritik Internal terhadap Metodologi

Selain isu tematik, filsafat Islam modern juga menghadapi kritik metodologis. Hermeneutika Qur’ani yang dikembangkan Fazlur Rahman, misalnya, dianggap oleh sebagian ulama terlalu menekankan aspek historis sehingga melemahkan dimensi sakral teks.⁸ Demikian pula gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang dikemukakan al-Attas dan al-Faruqi menuai kritik karena dinilai terlalu idealis dan sulit diterapkan secara praktis dalam dunia akademik global.⁹ Kritik-kritik ini memperlihatkan bahwa filsafat Islam modern masih mencari bentuk metodologis yang stabil dan dapat diterima secara luas.


Kesimpulan

Isu dan kritik dalam filsafat Islam modern memperlihatkan kompleksitas wacana yang terus berkembang. Di satu sisi, filsafat ini membuka ruang baru bagi dialog antara Islam dan modernitas; di sisi lain, ia menghadapi tantangan serius terkait akomodasi nilai-nilai Barat, isu gender, demokrasi, serta metodologi keilmuan. Kritik internal dan eksternal tersebut justru menegaskan bahwa filsafat Islam modern adalah proyek yang belum selesai, yang terus bergerak dalam dialektika antara tradisi, reformasi, dan konteks global kontemporer. Dengan demikian, kritik tidak hanya melemahkan, melainkan juga memperkaya dan menguji daya tahan filsafat Islam modern sebagai wacana filosofis sekaligus praksis.


Footnotes

[1]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 211–214.

[2]                Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din “al-Afghani” (Berkeley: University of California Press, 1968), 23–26.

[3]                Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a (Cambridge: Harvard University Press, 2008), 45–49.

[4]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 90–93.

[5]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 33–37.

[6]                Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 12–15.

[7]                Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam (Reading, MA: Addison-Wesley, 1991), 19–23.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9–12.

[9]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 48–52.


8.           Relevansi Filsafat Islam Modern dalam Dunia Kontemporer

Filsafat Islam modern bukanlah sekadar wacana intelektual yang berhenti pada abad ke-19 atau ke-20, melainkan sebuah proyek pemikiran yang terus hidup dan berevolusi hingga hari ini. Dinamika globalisasi, perkembangan teknologi digital, isu-isu etika global, serta krisis spiritual masyarakat modern menempatkan filsafat Islam modern pada posisi yang relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer.¹ Relevansi tersebut dapat dilihat dalam berbagai dimensi: pendidikan, sosial-politik, etika ilmu pengetahuan, serta dialog antaragama dan peradaban.

8.1.       Filsafat Islam Modern dan Tantangan Globalisasi

Globalisasi menghadirkan arus pertukaran budaya, nilai, dan informasi yang sangat cepat, sehingga menimbulkan persoalan identitas bagi masyarakat Muslim.² Dalam konteks ini, filsafat Islam modern memberikan kerangka filosofis untuk menjaga integritas identitas Islam tanpa menutup diri dari interaksi global. Gagasan-gagasan tokoh seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, yang menekankan pada sintesis antara tradisi Islam dengan dinamika modern, relevan untuk membantu umat Islam beradaptasi dengan modernitas global tanpa kehilangan akar transendentalnya.³

8.2.       Relevansi terhadap Pendidikan Islam

Salah satu kontribusi terbesar filsafat Islam modern adalah dalam bidang pendidikan. Gerakan reformasi pendidikan yang digagas oleh Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan, dan al-Attas masih penting hingga kini. Pendidikan Islam dituntut untuk tidak hanya berorientasi pada hafalan teks, tetapi juga pada pengembangan rasionalitas, kreativitas, dan etika.⁴ Melalui gagasan Islamisasi ilmu, filsafat Islam modern menekankan bahwa pendidikan harus membentuk manusia seutuhnya—rasional, spiritual, dan bermoral—sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern sekaligus menjaga nilai-nilai Islam.⁵

8.3.       Etika Sosial, Politik, dan Keadilan Global

Dalam ranah sosial-politik, filsafat Islam modern memberikan kontribusi terhadap isu-isu kontemporer seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.⁶ Meskipun perdebatan tentang kompatibilitas Islam dengan demokrasi masih berlangsung, banyak pemikir modernis dan neo-modernis menegaskan bahwa prinsip-prinsip Islam seperti shura (musyawarah), adl (keadilan), dan hurriyah (kebebasan) dapat menjadi dasar bagi sistem politik yang demokratis dan partisipatif.⁷ Dengan demikian, filsafat Islam modern menawarkan perspektif alternatif yang mampu menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kebutuhan sistem politik global yang inklusif.

8.4.       Filsafat Islam Modern dan Isu Etika Ilmu Pengetahuan serta Teknologi

Perkembangan teknologi digital, bioteknologi, dan kecerdasan buatan memunculkan pertanyaan etis yang mendesak.⁸ Filsafat Islam modern menyediakan kerangka normatif berbasis wahyu dan rasionalitas yang dapat menuntun pemanfaatan ilmu dan teknologi agar tidak merusak kemanusiaan dan lingkungan. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, menekankan pentingnya sacred science yang mampu mengembalikan dimensi spiritual dalam ilmu pengetahuan modern.⁹ Hal ini sangat relevan ketika dunia menghadapi krisis etika dalam penggunaan teknologi, seperti manipulasi genetika atau penyalahgunaan teknologi digital.

8.5.       Kontribusi pada Dialog Antaragama dan Peradaban

Dalam dunia yang plural dan saling terhubung, dialog antaragama menjadi sangat penting. Pemikir seperti Mohammed Arkoun dan Fazlur Rahman mendorong keterbukaan hermeneutis yang memungkinkan Islam berdialog dengan tradisi agama lain tanpa kehilangan jati diri.¹⁰ Dengan demikian, filsafat Islam modern tidak hanya berperan dalam internal umat Islam, tetapi juga dalam membangun jembatan peradaban yang berkontribusi pada perdamaian global.¹¹


Kesimpulan

Relevansi filsafat Islam modern dalam dunia kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menghadirkan sintesis antara tradisi Islam dan tantangan global. Dari pendidikan hingga etika ilmu, dari politik hingga dialog antaragama, filsafat Islam modern menawarkan paradigma integratif yang memadukan spiritualitas, rasionalitas, dan kemanusiaan. Ia hadir bukan hanya sebagai respon terhadap modernitas, melainkan juga sebagai tawaran solusi filosofis untuk krisis moral, sosial, dan spiritual umat manusia di abad ke-21. Dengan demikian, filsafat Islam modern tetap menjadi salah satu instrumen penting dalam pembentukan peradaban Islam yang berkelanjutan dan relevan bagi dunia global.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 288–291.

[2]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 112–115.

[3]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 3–6.

[4]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 62–65.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 51–55.

[6]                Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a (Cambridge: Harvard University Press, 2008), 77–82.

[7]                John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 15–18.

[8]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 93–96.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 91–95.

[10]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 41–45.

[11]             Hans Küng, Islam: Past, Present and Future (Oxford: Oneworld, 2007), 546–549.


9.           Sintesis dan Refleksi Filosofis

Filsafat Islam modern, sebagaimana telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, merupakan hasil dialektika panjang antara warisan intelektual Islam dengan tantangan modernitas dan globalisasi. Ia bukan sekadar kelanjutan dari filsafat Islam klasik, melainkan sebuah usaha rekonstruksi pemikiran yang bersifat kritis, reflektif, dan kontekstual. Pada tahap ini, penting untuk menyajikan sintesis sekaligus refleksi filosofis yang dapat menggambarkan arah dan prospek filsafat Islam modern dalam dunia kontemporer.

9.1.       Sintesis antara Tradisi Klasik, Modernitas, dan Kontemporer

Filsafat Islam modern berupaya mengintegrasikan kekuatan rasionalitas filsafat klasik dengan semangat reformasi modern, sekaligus membuka diri terhadap tantangan kontemporer.¹ Tradisi klasik memberikan fondasi ontologis dan epistemologis yang kokoh; modernisme menyumbangkan kesadaran akan pentingnya ijtihad dan pembaruan; sedangkan pemikiran kontemporer menghadirkan metodologi kritis seperti hermeneutika dan pendekatan interdisipliner.² Sintesis ini menunjukkan bahwa filsafat Islam modern tidak berjalan secara linear, melainkan bersifat spiral, selalu kembali ke tradisi, namun dengan horizon baru yang lebih luas.

9.2.       Refleksi Filosofis terhadap Peran Akal dan Wahyu

Dalam refleksi filosofis, filsafat Islam modern menegaskan kembali relasi harmonis antara wahyu dan akal.³ Di tengah hegemoni sekularisme yang menyingkirkan agama dari ruang publik, filsafat Islam modern menunjukkan bahwa wahyu tetap relevan sebagai sumber nilai normatif, sementara akal berfungsi sebagai sarana interpretasi dan aplikasinya dalam konteks sosial. Fazlur Rahman dengan hermeneutika gandanya, maupun Iqbal dengan filsafat khudi, sama-sama menegaskan pentingnya peran akal yang kreatif tanpa harus menegasikan wahyu.⁴

9.3.       Prospek Integrasi Ilmu, Etika, dan Spiritualitas

Refleksi filosofis juga menyoroti masa depan integrasi antara ilmu, etika, dan spiritualitas. Di tengah kemajuan teknologi yang kerap menimbulkan krisis etika, filsafat Islam modern menawarkan paradigma normatif yang menyeimbangkan kemajuan material dengan nilai-nilai transendental.⁵ Konsep Islamisasi ilmu dari al-Attas dan al-Faruqi, maupun gagasan sacred science dari Nasr, merepresentasikan usaha menjaga agar ilmu pengetahuan tidak terlepas dari prinsip tauhid.⁶ Dengan demikian, filsafat Islam modern berfungsi sebagai kritik epistemologis sekaligus etis terhadap dominasi sains sekuler.

9.4.       Konsep Islam sebagai Peradaban Modern yang Berkelanjutan

Refleksi terakhir menggarisbawahi bahwa filsafat Islam modern bukan hanya diskursus akademik, melainkan juga sebuah visi peradaban. Islam dipandang bukan sekadar agama ritual, tetapi sebagai peradaban yang mampu berdialog, beradaptasi, dan berkontribusi dalam tatanan global.⁷ Tokoh-tokoh modern seperti Abduh, Iqbal, hingga Rahman menekankan bahwa kebangkitan Islam harus dimulai dari reformasi pemikiran dan pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan peradaban modern yang berkelanjutan.⁸ Dengan demikian, filsafat Islam modern bukanlah proyek sementara, melainkan sebuah gerakan intelektual jangka panjang untuk membangun peradaban yang adil, berilmu, dan berakhlak.


Kesimpulan

Bab ini menegaskan bahwa filsafat Islam modern adalah sebuah ruang sintesis yang dinamis: ia menghubungkan tradisi dengan modernitas, wahyu dengan akal, serta ilmu dengan etika. Refleksi filosofis atas perjalanan panjangnya menunjukkan bahwa filsafat Islam modern bukan sekadar respons reaktif terhadap modernitas Barat, melainkan sebuah upaya kreatif untuk membentuk paradigma Islam yang relevan, kritis, dan transformatif. Dengan kerangka inilah, filsafat Islam modern berpotensi menjadi fondasi filosofis bagi peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan global abad ke-21.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 372–375.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 221–224.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 215–219.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 11–15.

[5]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 93–97.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 89–92.

[7]                John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 20–23.

[8]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 152–156.


10.       Penutup

Filsafat Islam modern merupakan sebuah ikhtiar intelektual yang lahir dari pertemuan historis antara tradisi Islam dengan tantangan modernitas. Sejak abad ke-19, para pemikir Muslim berusaha merumuskan paradigma baru yang dapat menjawab krisis sosial, politik, dan epistemologis yang melanda dunia Islam.¹ Dari Jamaluddin al-Afghani yang menekankan kebangkitan politik dan kesadaran intelektual, Muhammad Abduh dengan reformasi pendidikan dan hukum Islam, hingga Fazlur Rahman dan al-Attas yang menawarkan kerangka hermeneutika dan Islamisasi ilmu, filsafat Islam modern membuktikan dirinya sebagai sebuah tradisi pemikiran yang dinamis dan progresif.²

Melalui pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam modern tidak hanya berfungsi sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan modernitas Barat, tetapi juga sebagai proyek rekonstruksi intelektual untuk membangun peradaban Islam yang relevan dengan zaman.³ Ia memperlihatkan keragaman corak—mulai dari modernisme, reformisme, neo-modernisme, post-modernisme Islam, hingga gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan—yang menunjukkan keluasan spektrum pemikiran umat Islam. Keragaman ini bukan tanda perpecahan, melainkan refleksi dari kekayaan metodologis yang terus mencari bentuk ideal bagi peradaban Islam kontemporer.⁴

Isu-isu kritis yang muncul, seperti perdebatan mengenai demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan gender, memperlihatkan bahwa filsafat Islam modern tidak steril dari kontroversi. Namun, justru di sinilah terletak vitalitasnya: filsafat ini terus diuji oleh realitas, dikritik, dipertanyakan, dan diperbarui.⁵ Kritik internal maupun eksternal menjadi katalis bagi pengembangan lebih lanjut, agar filsafat Islam modern tidak berhenti pada dogmatisme baru, melainkan selalu terbuka terhadap perkembangan ilmu, budaya, dan tantangan global.

Dalam konteks kontemporer, relevansi filsafat Islam modern semakin nyata. Globalisasi, revolusi digital, serta krisis moral dan lingkungan menuntut paradigma filosofis yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dengan rasionalitas modern. Filsafat Islam modern, dengan kerangka normatifnya yang berakar pada wahyu, serta keterbukaannya terhadap metodologi rasional dan ilmiah, mampu memberikan arah bagi pembangunan peradaban Islam yang adil, berkelanjutan, dan humanis.⁶

Akhirnya, filsafat Islam modern dapat dipandang sebagai jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan umat Islam. Ia menjaga kesinambungan tradisi klasik, mengkritisi modernitas Barat, sekaligus menawarkan horizon baru bagi perkembangan pemikiran Islam di era global. Dengan demikian, filsafat Islam modern bukan hanya wacana akademis, tetapi juga praksis peradaban yang terus bergerak, membentuk, dan merekonstruksi kehidupan umat manusia sesuai dengan nilai-nilai universal Islam.⁷


Footnotes

[1]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 210–213.

[2]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 58–62.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–20.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 371–375.

[5]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 37–41.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 92–95.

[7]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 145–148.


Daftar Pustaka

Adams, C. C. (1933). Islam and modernism in Egypt. Oxford University Press.

al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and secularism. ABIM.

al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of knowledge: General principles and workplan. International Institute of Islamic Thought.

An-Na’im, A. A. (2008). Islam and the secular state: Negotiating the future of Shari’a. Harvard University Press.

Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common questions, uncommon answers. Westview Press.

Bakar, O. (1992). Classification of knowledge in Islam. ISTAC.

Cleveland, W., & Bunton, M. (2016). A history of the modern Middle East. Westview Press.

Esposito, J. L., & Voll, J. O. (1996). Islam and democracy. Oxford University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age, 1798–1939. Cambridge University Press.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Sh. Muhammad Ashraf.

Keddie, N. R. (1968). An Islamic response to imperialism: Political and religious writings of Sayyid Jamal ad-Din “al-Afghani”. University of California Press.

Kerr, M. (1966). Islamic reform: The political and legal theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida. University of California Press.

Küng, H. (2007). Islam: Past, present and future. Oneworld.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Mernissi, F. (1991). The veil and the male elite: A feminist interpretation of women’s rights in Islam. Addison-Wesley.

Moosa, E. (2003). Revival and reform in Islam: A study of Islamic fundamentalism. Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. State University of New York Press.

Qadhi, Y. (2018). Reviving the balance: The authority of the Qur’an and the role of reason in Rashid Rida’s thought. Routledge.

Rahman, F. (1980). Major themes of the Qur’an. Bibliotheca Islamica.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Robinson, F. (2000). Islam and Muslim history in South Asia. Oxford University Press.

Roy, O. (2004). Globalized Islam: The search for a new ummah. Columbia University Press.

Saeed, A. (2006). Islamic thought: An introduction. Routledge.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach. Routledge.

Sardar, Z. (1985). Islamic futures: The shape of ideas to come. Mansell.

Schimmel, A. (1963). Gabriel’s wing: A study into the religious ideas of Sir Muhammad Iqbal. Brill.

Sheikh, M. S. (1974). Studies in Islamic philosophy. Institute of Islamic Culture.

Vatikiotis, P. J. (1987). Islam and the state. Routledge.

Wadud, A. (1999). Qur’an and woman: Rereading the sacred text from a woman’s perspective. Oxford University Press.

Wan Daud, W. M. N. (1998). The educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas. ISTAC.

Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic thought in a radical age: Religious authority and internal criticism. Cambridge University Press.

Zayd, N. H. A. (2004). Rethinking the Qur’an: Towards a humanistic hermeneutics. Humanistics University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar