Filsafat Islam Modern
Konsep, Sejarah, Tokoh, Isu, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan Filsafat Islam
Modern sebagai upaya intelektual umat Islam dalam merespons tantangan
kolonialisme, modernitas, dan globalisasi. Melalui pendekatan
historis-filosofis, kajian ini menelusuri konsep dasar, latar belakang
kemunculan, tokoh-tokoh utama, aliran pemikiran, serta isu dan kritik yang
mengiringi dinamika filsafat Islam modern. Tokoh-tokoh seperti Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, dan
Syed Naquib al-Attas ditampilkan sebagai representasi keragaman corak pemikiran
yang berusaha menjembatani tradisi klasik dengan tuntutan zaman.
Artikel ini juga menyoroti relasi filsafat Islam modern dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta relevansinya dalam menghadapi isu kontemporer
seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, gender, dan etika global.
Dari analisis tersebut, tampak bahwa filsafat Islam modern tidak hanya bersifat
reaktif terhadap modernitas Barat, melainkan juga proaktif dalam merekonstruksi
paradigma Islam yang kritis, rasional, dan kontekstual. Sintesis yang
ditawarkan memperlihatkan bahwa filsafat Islam modern memiliki potensi besar
sebagai fondasi filosofis untuk membangun peradaban Islam yang berkelanjutan,
adil, dan relevan dengan kebutuhan dunia kontemporer.
Kata Kunci: Filsafat
Islam Modern; Modernisme Islam; Reformisme; Neo-Modernisme; Islamisasi Ilmu;
Hermeneutika; Globalisasi; Tokoh Pemikir Islam; Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Tokoh, Isu, dan Relevansi Filsafat
Islam Modern
1.          
Pendahuluan
Filsafat Islam modern merupakan suatu
medan intelektual yang lahir dari pertemuan antara warisan intelektual Islam
klasik dengan tantangan modernitas yang berkembang sejak abad ke-19 hingga masa
kontemporer. Pada masa ini, umat Islam dihadapkan pada krisis multidimensional:
kemunduran politik setelah kejatuhan kekhalifahan, penetrasi kolonialisme Barat
yang mengguncang tatanan sosial dan ekonomi, serta arus pemikiran modern yang
dibawa oleh sains, sekularisme, dan ideologi Barat lainnya. Dalam konteks ini,
filsafat Islam modern muncul sebagai upaya reflektif dan kritis untuk menjawab
pertanyaan besar mengenai posisi Islam dalam dunia yang berubah dengan cepat,
tanpa kehilangan identitasnya yang khas sebagai agama wahyu dengan tradisi intelektual
panjang.¹
Latar belakang historis lahirnya
filsafat Islam modern erat kaitannya dengan periode kolonialisme. Penetrasi
politik dan militer Barat ke dunia Islam tidak hanya membawa dominasi
teritorial, melainkan juga memaksakan hegemoni epistemologis melalui
pendidikan, hukum, dan budaya.² Hal ini memunculkan kesadaran di kalangan
intelektual Muslim bahwa kebangkitan umat Islam tidak mungkin dicapai hanya
dengan kekuatan politik, melainkan harus dimulai dari reformasi pemikiran,
pendidikan, dan filsafat. Oleh karena itu, para pemikir modern seperti
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan kemudian Fazlur Rahman menekankan
pentingnya ijtihad, rasionalitas, serta keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan
sebagai fondasi untuk membangun peradaban Islam yang relevan dengan zaman.³
Masalah pokok yang dihadapi dalam
filsafat Islam modern adalah bagaimana menjaga kontinuitas tradisi keilmuan
Islam sembari melakukan pembaruan agar ajaran Islam dapat menjawab tantangan
kontemporer. Tantangan tersebut meliputi pertanyaan filosofis dan praktis
tentang hubungan agama dengan sains, posisi wahyu di tengah pluralitas nilai,
perdebatan mengenai demokrasi dan hak asasi manusia, hingga isu-isu gender dan
etika global.⁴ Dalam kerangka ini, filsafat Islam modern berusaha mencari titik
temu antara warisan tradisi yang dianggap sakral dan otoritatif dengan tuntutan
modernitas yang bersifat dinamis dan sekuler.
Rumusan masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini meliputi: (1) bagaimana konsep filsafat Islam modern didefinisikan
dan dibedakan dari filsafat Islam klasik serta kontemporer; (2) faktor-faktor
historis yang melatarbelakangi kemunculannya; (3) tokoh-tokoh utama beserta
gagasan mereka yang memberikan arah baru bagi pemikiran Islam; (4) isu-isu
filosofis dan kritis yang berkembang dalam diskursus filsafat Islam modern; dan
(5) relevansi serta kontribusinya bagi kehidupan intelektual, sosial, dan
budaya umat Islam di era globalisasi.
Tujuan utama kajian ini adalah untuk
memberikan pemahaman yang sistematis mengenai dinamika filsafat Islam modern,
tidak hanya sebagai sebuah wacana akademik, tetapi juga sebagai suatu gerakan
intelektual yang mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam hingga saat ini.⁵
Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat menjembatani pemahaman antara
generasi Muslim masa kini dengan warisan filsafat Islam yang terus
bertransformasi, sekaligus menyoroti relevansinya dalam menghadapi tantangan
dunia modern.
Signifikansi kajian ini terletak pada
relevansinya dalam menjawab kebutuhan umat Islam untuk menemukan landasan
filosofis yang kokoh di tengah perubahan global. Pertama, filsafat Islam modern
menyediakan perangkat konseptual untuk memahami modernitas tanpa harus
tercerabut dari akar tradisi Islam. Kedua, ia menawarkan pendekatan kritis
terhadap berbagai tantangan intelektual, sosial, dan etis yang dihadapi umat
Islam. Ketiga, kajian ini dapat memberikan kontribusi pada diskursus global
mengenai dialog antarperadaban, etika ilmu pengetahuan, dan keberlanjutan
moralitas di era teknologi. Dengan landasan tersebut, filsafat Islam modern
menjadi bukan sekadar refleksi akademis, melainkan sebuah praksis intelektual
yang berupaya merekonstruksi peradaban Islam dalam kerangka universalitas
nilai-nilai kemanusiaan.⁶
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 214.
[2]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–20.
[3]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 37–42.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 285.
[5]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
3–10.
[6]               
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a
Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge:
Cambridge University Press, 2012), 97–102.
2.          
Konsep dan Definisi
Filsafat Islam Modern
Filsafat Islam modern merupakan suatu
istilah yang mengacu pada dinamika pemikiran Islam yang muncul sejak abad
ke-19, ketika umat Islam mulai berhadapan langsung dengan tantangan
kolonialisme, modernitas Barat, serta problem internal yang menuntut reformasi.
Konsep ini tidak hanya sekadar kelanjutan dari filsafat Islam klasik, melainkan
merupakan suatu bentuk rekonstruksi pemikiran yang berusaha menjembatani
nilai-nilai tradisi Islam dengan tuntutan perubahan zaman.¹
Secara konseptual, filsafat Islam
modern dapat dipahami sebagai suatu refleksi filosofis yang berusaha menjawab
problem aktual masyarakat Muslim dengan menggunakan pendekatan kritis,
rasional, dan kontekstual, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar Islam.²
Dalam hal ini, filsafat Islam modern berbeda dari filsafat klasik yang
cenderung menekankan pada sintesis antara ajaran Islam dan filsafat Yunani.
Jika filsafat klasik menekankan pada ontologi, kosmologi, dan epistemologi
universal, maka filsafat modern lebih berorientasi pada persoalan sosial,
politik, pendidikan, serta hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan kontemporer.³
Perbedaan lain yang signifikan antara
filsafat Islam klasik dan modern terletak pada konteks lahirnya. Filsafat
klasik berkembang dalam atmosfer kejayaan peradaban Islam, khususnya pada masa
Abbasiyah, ketika terjadi dialog kreatif antara Islam dan kebudayaan asing,
terutama filsafat Yunani. Sebaliknya, filsafat Islam modern lahir dalam kondisi
kemunduran politik, hegemoni kolonial, serta krisis epistemologis yang dihadapi
dunia Islam.⁴ Hal ini menjadikan corak filsafat Islam modern lebih reformatif,
dengan semangat pembaruan dan kritik terhadap realitas sosial serta tradisi
keilmuan yang stagnan.
Karakteristik utama filsafat Islam
modern dapat dijelaskan dalam beberapa poin. Pertama, adanya orientasi
rasionalitas, yakni penekanan pada kemampuan akal dan ijtihad sebagai
sarana untuk memahami ajaran Islam dalam konteks modern.⁵ Kedua, kritis-reformatif,
yang berarti adanya upaya untuk merevisi atau menafsirkan ulang warisan
keilmuan Islam agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Ketiga, dialogis
dan kontekstual, karena filsafat Islam modern berusaha berdialog dengan
pemikiran Barat modern, termasuk gagasan tentang demokrasi, hak asasi manusia,
dan ilmu pengetahuan, sekaligus menolak sekularisasi yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam.⁶
Secara epistemologis, filsafat Islam
modern berupaya mencari keseimbangan antara wahyu dan akal. Jika kalangan
tradisionalis lebih menekankan otoritas teks suci, sedangkan modernis
menekankan pada kebebasan rasio, maka filsafat Islam modern mencoba
menghadirkan integrasi keduanya.⁷ Ontologinya berpijak pada pandangan Islam
tentang Tuhan, manusia, dan alam sebagai realitas yang saling terkait, sementara
aksiologinya diarahkan pada pembentukan masyarakat yang adil, berilmu, dan
bermoral. Dengan demikian, filsafat Islam modern tidak hanya sekadar wacana
intelektual, melainkan juga memiliki dimensi praksis yang nyata dalam membentuk
etika sosial, politik, dan budaya umat Islam.
Dari definisi dan karakteristik
tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam modern merupakan usaha
reflektif umat Islam untuk meneguhkan identitas keagamaannya di tengah arus
modernitas, tanpa terjebak pada dua ekstrem: fundamentalisme yang menolak
modernitas sama sekali, atau sekularisme yang menafikan otoritas agama.⁸
Filsafat ini menjadi ruang sintesis, dialog, dan rekonstruksi, yang berfungsi
tidak hanya menjaga kontinuitas tradisi intelektual Islam, tetapi juga
memproyeksikan visi peradaban Islam yang relevan dengan era kontemporer.
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 210–215.
[2]               
M. Saeed Sheikh, Studies in Islamic Philosophy
(Lahore: Institute of Islamic Culture, 1974), 183.
[3]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 349–352.
[4]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.
[5]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 45.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 288–290.
[7]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
6–9.
[8]               
Muhammad Qasim Zaman, Modern Islamic Thought in a
Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism (Cambridge:
Cambridge University Press, 2012), 103–108.
3.          
Latar Historis
Kemunculan Filsafat Islam Modern
Kemunculan filsafat Islam modern tidak
dapat dilepaskan dari konteks sejarah global pada abad ke-18 dan ke-19, ketika
dunia Islam mengalami guncangan besar akibat kolonialisme, kemunduran politik,
dan arus modernitas Barat. Periode ini menandai peralihan penting dari masa
klasik menuju dinamika baru dalam pemikiran Islam yang lebih berorientasi pada
reformasi sosial, politik, dan intelektual.¹
3.1.      
Pengaruh
Kolonialisme dan Kemunduran Politik Islam
Sejak abad ke-18, kekuatan kolonial
Barat mulai menancapkan pengaruh yang sangat kuat di dunia Islam, khususnya di
wilayah Asia dan Afrika. Kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah yang semakin melemah
di satu sisi, serta dominasi Inggris, Perancis, dan Belanda di sisi lain,
menempatkan umat Islam dalam posisi subordinat secara politik maupun ekonomi.²
Kolonialisme tidak hanya merampas kekuasaan, melainkan juga memperkenalkan
sistem pendidikan, hukum, dan administrasi yang sarat dengan nilai-nilai
sekuler Barat. Kondisi ini menimbulkan krisis identitas dan kesadaran di
kalangan umat Islam bahwa peradaban mereka berada dalam ancaman serius.³
3.2.      
Kebangkitan
Kesadaran Intelektual Islam
Sebagai respons terhadap krisis
tersebut, lahirlah upaya-upaya pembaruan yang dipelopori oleh tokoh-tokoh
intelektual Muslim. Tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani menekankan pentingnya
solidaritas Pan-Islamisme sebagai kekuatan melawan dominasi kolonial.⁴
Sementara itu, Muhammad Abduh mengembangkan gagasan reformasi pendidikan dan
rasionalisasi ajaran Islam untuk menjawab tantangan modern.⁵ Di India, Sir
Sayyid Ahmad Khan menginisiasi gerakan Aligarh, yang berusaha mengintegrasikan
pendidikan Islam dengan ilmu modern Barat.⁶ Gagasan-gagasan ini menandai
lahirnya suatu paradigma baru yang tidak hanya bertujuan mempertahankan
identitas Islam, tetapi juga membangun daya saing umat Islam di era modern.
3.3.      
Pertemuan Islam
dengan Modernitas Barat
Selain kolonialisme, faktor lain yang melatarbelakangi
kemunculan filsafat Islam modern adalah penetrasi gagasan modernitas Barat,
termasuk ide-ide tentang demokrasi, hak asasi manusia, sekularisme, dan ilmu
pengetahuan empiris.⁷ Umat Islam menghadapi dilema: di satu sisi modernitas
membawa kemajuan teknologi dan ilmu yang tak terbantahkan, namun di sisi lain
ia menantang posisi agama dalam ruang publik. Para pemikir Islam modern
berusaha mencari sintesis dengan cara menafsirkan kembali ajaran Islam agar
kompatibel dengan modernitas, tanpa harus kehilangan esensi teologisnya.
3.4.      
Krisis Epistemologis
dalam Dunia Islam
Kemunculan filsafat Islam modern juga
dipengaruhi oleh krisis epistemologis. Tradisi intelektual Islam pasca-abad
ke-13 mengalami stagnasi karena dominasi taqlid (pengulangan tanpa kritik) dan
melemahnya semangat ijtihad.⁸ Hal ini membuat umat Islam sulit merespons
perkembangan zaman. Reformasi yang digagas oleh para pemikir modern bertujuan
untuk menghidupkan kembali tradisi ijtihad, menolak stagnasi intelektual, dan
mengembangkan pendekatan baru dalam memahami teks-teks Islam. Fazlur Rahman,
misalnya, menekankan pentingnya hermeneutika Al-Qur’an untuk menjawab tantangan
sosial kontemporer.⁹
3.5.      
Globalisasi dan
Dialog Antarperadaban
Latar historis filsafat Islam modern
juga dipengaruhi oleh meningkatnya interaksi antara peradaban. Revolusi
industri di Barat membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dan pertukaran ilmu
pengetahuan. Para pemikir Islam mulai menyadari perlunya keterlibatan aktif
dalam dialog peradaban, baik untuk mempertahankan eksistensi Islam maupun untuk
berkontribusi terhadap perkembangan dunia modern.¹⁰
Secara keseluruhan, latar historis
filsafat Islam modern memperlihatkan adanya dinamika dialektis antara warisan
tradisi Islam dengan tantangan kolonialisme dan modernitas. Dari sinilah lahir
gagasan-gagasan filosofis baru yang tidak hanya berorientasi pada pemeliharaan
identitas Islam, tetapi juga pada rekonstruksi pemikiran yang relevan dengan
kebutuhan zaman. Dengan demikian, filsafat Islam modern dapat dipahami sebagai
sebuah jawaban historis sekaligus proyek intelektual yang terus berkembang.
Footnotes
[1]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 12–16.
[2]               
William Cleveland dan Martin Bunton, A History of
the Modern Middle East (Boulder: Westview Press, 2016), 97–101.
[3]               
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to
Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din
“al-Afghani” (Berkeley: University of California Press, 1968), 4–7.
[4]               
P. J. Vatikiotis, Islam and the State (London:
Routledge, 1987), 45–48.
[5]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 39–43.
[6]               
Francis Robinson, Islam and Muslim History in South
Asia (New Delhi: Oxford University Press, 2000), 128–132.
[7]               
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New
Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 22–25.
[8]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
7–11.
[9]               
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 55–58.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 289–292.
4.          
Tokoh-Tokoh Sentral
dalam Filsafat Islam Modern
Perkembangan filsafat Islam modern
sangat erat kaitannya dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual yang menjadi
motor penggerak reformasi pemikiran Islam pada abad ke-19 hingga abad ke-20.
Mereka hadir dengan gagasan-gagasan baru yang berupaya menjembatani antara
warisan tradisi Islam dengan tuntutan zaman modern. Masing-masing tokoh
memiliki corak pemikiran yang berbeda, namun semuanya berkontribusi pada
terbentuknya wajah baru filsafat Islam dalam konteks modernitas.
4.1.      
Jamaluddin
al-Afghani (1838–1897)
Al-Afghani dikenal sebagai pelopor
gerakan Pan-Islamisme dan tokoh yang sangat kritis terhadap kolonialisme Barat.
Ia menyerukan pentingnya persatuan umat Islam sebagai jalan untuk melawan
dominasi politik dan militer Barat.¹ Pemikirannya tidak hanya berorientasi
politik, tetapi juga filosofis, terutama dalam upaya membangkitkan kesadaran
umat Islam untuk kembali pada kekuatan rasionalitas dan ijtihad.² Al-Afghani
menekankan bahwa kemunduran Islam bukan karena ajaran agama, melainkan karena
stagnasi intelektual dan penolakan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.³
4.2.      
Muhammad Abduh
(1849–1905)
Abduh adalah murid sekaligus
kolaborator al-Afghani yang kemudian dikenal sebagai tokoh besar reformasi
pemikiran Islam di Mesir. Ia mengembangkan gagasan tentang tajdid
(pembaruan) dengan fokus pada reformasi pendidikan, pembaruan hukum Islam, dan
rasionalisasi ajaran agama.⁴ Abduh berpendapat bahwa Islam adalah agama yang
selaras dengan akal dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, stagnasi umat Islam
dapat diatasi dengan menghidupkan kembali semangat ijtihad.⁵ Pemikiran Abduh
menjadi fondasi penting bagi munculnya reformisme Islam modern, sekaligus
memengaruhi tokoh-tokoh berikutnya seperti Rasyid Ridha.⁶
4.3.      
Rasyid Ridha (1865–1935)
Sebagai murid Abduh, Rasyid Ridha
melanjutkan gagasan gurunya, namun dengan corak yang lebih konservatif. Ia
menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam rangka
melakukan pembaruan, tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar
syariat.⁷ Melalui majalah al-Manar, Ridha menyebarkan ide-ide reformisme
Islam ke seluruh dunia Muslim.⁸ Pemikirannya memadukan semangat rasionalitas
Abduh dengan sikap kritis terhadap modernitas yang berlebihan, sehingga ia
sering dianggap sebagai jembatan antara modernisme Islam dan gerakan salafiyah
kontemporer.⁹
4.4.      
Muhammad Iqbal
(1877–1938)
Dikenal sebagai “penyair filsuf dari
Timur,” Muhammad Iqbal berusaha merekonstruksi filsafat Islam dalam
menghadapi tantangan modernitas. Karya monumentalnya, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, menekankan perlunya reinterpretasi ajaran Islam
dengan memanfaatkan filsafat Barat modern, terutama filsafat eksistensialisme
dan idealisme.¹⁰ Iqbal melihat bahwa umat Islam harus menghidupkan kembali
dinamika intelektual dengan menggabungkan spiritualitas Islam dan rasionalitas
modern.¹¹ Pandangannya mengenai khudi (ego kreatif) mendorong umat Islam
untuk aktif, kreatif, dan mandiri dalam membangun peradaban.¹²
4.5.      
Fazlur Rahman
(1919–1988)
Fazlur Rahman adalah salah satu tokoh
neo-modernisme Islam yang lahir di Pakistan dan kemudian berkarya di Barat.
Melalui karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, ia menekankan perlunya metodologi baru dalam memahami Al-Qur’an,
yakni hermeneutika ganda yang berusaha memahami konteks historis teks sekaligus
relevansi maknanya di era modern.¹³ Fazlur Rahman menolak baik fundamentalisme
tekstual maupun sekularisme radikal, dan memilih jalan integratif yang berusaha
menghubungkan wahyu dengan rasionalitas modern.¹⁴
4.6.      
Syed Muhammad Naquib
al-Attas (1931– )
Sebagai seorang pemikir asal Malaysia,
al-Attas dikenal luas dengan gagasannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan.¹⁵
Ia menekankan bahwa krisis umat Islam bukan hanya bersifat politik atau
ekonomi, tetapi juga epistemologis. Ilmu pengetahuan modern yang sekuler
dianggap telah mencabut nilai spiritual dari ilmu itu sendiri.¹⁶ Oleh karena
itu, Islamisasi ilmu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan dimensi
transendental ke dalam ilmu pengetahuan. Gagasannya berpengaruh luas di dunia
Muslim, khususnya dalam bidang pendidikan tinggi Islam.¹⁷
Tokoh-Tokoh Lain
Selain tokoh-tokoh di atas, terdapat
pula pemikir lain yang turut mewarnai filsafat Islam modern. Misalnya, Mohammed
Arkoun (1928–2010) dengan pendekatan kritis-historis terhadap teks-teks Islam;
Seyyed Hossein Nasr (1933– ) dengan filsafat perennialisme dan kritik terhadap
sekularisasi; serta Hasan Hanafi (1935–2021) dengan proyek al-Turath wa
al-Tajdid (tradisi dan pembaruan).¹⁸ Tokoh-tokoh ini menambahkan variasi
metodologis dan perspektif filosofis yang semakin memperkaya diskursus filsafat
Islam modern.
Kesimpulan
Para tokoh sentral dalam filsafat Islam
modern memiliki corak pemikiran yang beragam, mulai dari politik (al-Afghani),
reformasi pendidikan dan hukum (Abduh, Ridha), rekonstruksi filosofis (Iqbal),
metodologi hermeneutika (Fazlur Rahman), hingga Islamisasi ilmu (al-Attas).
Namun, benang merah dari pemikiran mereka adalah upaya mengintegrasikan Islam
dengan modernitas, tanpa kehilangan identitas Islam itu sendiri. Hal ini
menjadikan filsafat Islam modern sebagai wacana yang dinamis, plural, dan terus
berkembang sesuai tantangan zaman.
Footnotes
[1]               
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to
Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din
“al-Afghani” (Berkeley: University of California Press, 1968), 12–15.
[2]               
P. J. Vatikiotis, Islam and the State (London:
Routledge, 1987), 49–51.
[3]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 103–105.
[4]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 56–59.
[5]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 220.
[6]               
Malcolm Kerr, Islamic Reform: The Political and
Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of
California Press, 1966), 72–76.
[7]               
Hourani, Arabic Thought, 209–212.
[8]               
Kerr, Islamic Reform, 118–122.
[9]               
Yasir Qadhi, Reviving the Balance: The Authority of
the Qur’an and the Role of Reason in Rashid Rida’s Thought (London:
Routledge, 2018), 54–59.
[10]            
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 2–6.
[11]            
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into
the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 145–149.
[12]            
Schimmel, Gabriel’s Wing, 210–213.
[13]            
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–12.
[14]            
Ebrahim Moosa, Revival and Reform in Islam: A Study
of Islamic Fundamentalism (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
96–99.
[15]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 42–46.
[16]            
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy
and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998),
102–105.
[17]            
Wan Daud, The Educational Philosophy, 189–193.
[18]            
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 34–39; Seyyed
Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
81–83; Hasan Hanafi, Religion, Ideology and Development (Cairo:
Anglo-Egyptian Press, 1981), 12–15.
5.          
Aliran dan Corak
Pemikiran dalam Filsafat Islam Modern
Filsafat Islam modern tidak hadir dalam
bentuk tunggal yang homogen, melainkan berkembang melalui beragam aliran dan
corak pemikiran. Perbedaan ini dipengaruhi oleh konteks sosial-politik, latar
budaya, serta interaksi dengan pemikiran Barat modern. Keragaman aliran ini
justru memperkaya khazanah intelektual Islam modern, sekaligus menunjukkan
upaya umat Islam untuk merespons tantangan zaman dengan strategi filosofis yang
berbeda-beda.¹
5.1.      
Modernisme Islam
Modernisme Islam merupakan aliran yang
berusaha mendamaikan Islam dengan nilai-nilai modernitas, seperti rasionalitas,
demokrasi, dan sains.² Modernis berargumen bahwa Islam pada hakikatnya
kompatibel dengan akal dan ilmu pengetahuan, sehingga umat Islam tidak perlu
menolak modernitas secara total. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Sir
Sayyid Ahmad Khan adalah representasi aliran ini. Mereka menekankan pentingnya
ijtihad, reformasi pendidikan, serta reinterpretasi teks-teks Islam agar sesuai
dengan konteks zaman.³
5.2.      
Reformisme Islam
Berbeda dengan modernisme yang lebih
akomodatif terhadap modernitas, reformisme Islam menekankan perlunya pemurnian
ajaran Islam dari praktik-praktik tradisi yang dianggap menyimpang.⁴ Aliran ini
dipengaruhi oleh gagasan salafiyah yang mengajak kembali pada Al-Qur’an dan
Sunnah sebagai landasan utama, namun tetap memberi ruang bagi pembaruan sosial
dan politik. Rasyid Ridha adalah tokoh kunci dalam corak reformisme, yang
mencoba memadukan rasionalitas modern dengan sikap tegas terhadap otoritas teks
agama.⁵
5.3.      
Neo-Modernisme
Neo-modernisme lahir pada pertengahan
abad ke-20 sebagai respons terhadap keterbatasan modernisme Islam yang dianggap
terlalu akomodatif dan reformisme yang dianggap terlalu tekstualis.⁶ Fazlur
Rahman adalah salah satu tokoh sentral aliran ini. Ia mengembangkan pendekatan
hermeneutika ganda terhadap Al-Qur’an: memahami teks dalam konteks historis
sekaligus menafsirkan maknanya untuk konteks kontemporer.⁷ Neo-modernisme
berusaha mengintegrasikan nilai-nilai tradisi Islam dengan pemikiran modern
melalui metodologi kritis yang lebih mendalam, sehingga mampu menghadapi
isu-isu seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme.
5.4.      
Post-Modernisme
Islam
Seiring dengan perkembangan wacana
post-modernisme di Barat, sejumlah pemikir Muslim mengadopsi pendekatan kritis
terhadap modernitas itu sendiri. Tokoh seperti Mohammed Arkoun mengusulkan rethinking
Islam dengan membongkar mitos, ideologi, dan konstruksi epistemologis yang
dianggap membatasi kebebasan berpikir dalam Islam.⁸ Post-modernisme Islam
menolak klaim objektivitas absolut, menekankan pluralitas penafsiran, serta
mengkritisi hegemoni tradisi ulama klasik maupun modern. Corak ini menimbulkan
perdebatan sengit karena dianggap terlalu liberal oleh sebagian kalangan.⁹
5.5.      
Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Salah satu corak paling khas dalam
filsafat Islam modern adalah gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Gerakan ini
dipelopori oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan kemudian dikembangkan oleh
Ismail Raji al-Faruqi.¹⁰ Aliran ini berangkat dari asumsi bahwa ilmu
pengetahuan modern bersifat sekuler dan memisahkan diri dari nilai-nilai
spiritual, sehingga perlu direkonstruksi agar selaras dengan pandangan dunia
Islam.¹¹ Islamisasi ilmu dimaknai sebagai upaya menanamkan kembali nilai-nilai
tauhid dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan, sehingga ilmu tidak kehilangan
dimensi etis dan transendental.
5.6.      
Hermeneutika dan
Tafsir Modern
Corak lain yang berkembang adalah
penggunaan hermeneutika dalam penafsiran teks suci Islam.¹² Aliran ini muncul
dari kesadaran bahwa teks Al-Qur’an selalu berinteraksi dengan konteks
sosial-historis pembacanya. Tokoh seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd,
dan Abdullah Saeed menekankan pentingnya metodologi baru yang mampu menjawab
tantangan kontemporer, misalnya isu gender, hak asasi manusia, dan pluralisme
agama.¹³ Meski mendapat kritik keras dari kalangan konservatif, pendekatan ini
memperlihatkan dinamika filsafat Islam modern yang semakin terbuka terhadap
metodologi ilmu humaniora kontemporer.
Kesimpulan
Aliran-aliran dalam filsafat Islam
modern memperlihatkan adanya spektrum pemikiran yang luas: dari modernisme yang
akomodatif, reformisme yang puritan, neo-modernisme yang integratif,
post-modernisme yang dekonstruktif, hingga gerakan Islamisasi ilmu dan
hermeneutika modern yang metodologis. Variasi ini menunjukkan bahwa filsafat
Islam modern bukanlah wacana tunggal, melainkan arena dialektika intelektual
yang terus bergerak. Dengan keragaman tersebut, filsafat Islam modern berfungsi
sebagai wadah refleksi kritis sekaligus praksis, yang berupaya menjawab
tantangan modernitas dan memproyeksikan masa depan peradaban Islam yang relevan
dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 211–215.
[2]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 44–48.
[3]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 360–362.
[4]               
Malcolm Kerr, Islamic Reform: The Political and
Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of
California Press, 1966), 118–120.
[5]               
Yasir Qadhi, Reviving the Balance: The Authority of
the Qur’an and the Role of Reason in Rashid Rida’s Thought (London:
Routledge, 2018), 54–59.
[6]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of
an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
7–11.
[7]               
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 57–60.
[8]               
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 23–29.
[9]               
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New
Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 88–92.
[10]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 45–48.
[11]            
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge:
General Principles and Workplan (Herndon: International Institute of
Islamic Thought, 1982), 9–13.
[12]            
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards
a Humanistic Hermeneutics (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004),
33–37.
[13]            
Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction
(London: Routledge, 2006), 101–105.
6.          
Hubungan Filsafat
Islam Modern dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Salah satu isu sentral dalam filsafat
Islam modern adalah hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Isu ini muncul dari kesadaran historis bahwa salah satu faktor
kemunduran dunia Islam pasca-abad ke-13 adalah melemahnya tradisi ilmiah dan
dominasi sikap taqlid yang mengekang ijtihad.¹ Sementara itu, modernitas Barat
justru ditopang oleh kemajuan sains dan revolusi teknologi yang pada akhirnya
menghasilkan hegemoni global. Pertanyaan filosofis yang muncul kemudian adalah
bagaimana Islam dapat merekonsiliasi ajaran wahyu dengan perkembangan ilmu
pengetahuan modern tanpa kehilangan jati diri spiritualnya.
6.1.      
Respons terhadap
Sains Modern dan Sekularisasi Ilmu
Para pemikir Islam modern menyadari
bahwa ilmu pengetahuan modern lahir dalam tradisi sekuler, yang memisahkan
dimensi empiris dari landasan metafisik dan spiritual.² Hal ini menimbulkan
tantangan epistemologis: apakah umat Islam harus menerima sains modern apa
adanya, ataukah merekonstruksinya agar selaras dengan pandangan dunia Islam?
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam pada dasarnya kompatibel dengan sains,
karena Al-Qur’an mendorong penggunaan akal dan pengamatan empiris.³ Sementara
itu, pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr mengkritik sains modern yang dianggap
reduksionis dan kehilangan dimensi sakral, sehingga ia menekankan pentingnya sacred
science berbasis tauhid.⁴
6.2.      
Gagasan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Salah satu corak penting dalam filsafat
Islam modern adalah gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Syed Muhammad Naquib
al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi menegaskan bahwa krisis umat Islam bukan
hanya bersifat politik atau ekonomi, melainkan epistemologis.⁵ Ilmu pengetahuan
modern dianggap membawa worldview sekuler yang menyingkirkan nilai-nilai
keagamaan. Islamisasi ilmu dimaknai sebagai upaya untuk membersihkan ilmu dari
pengaruh sekularisme sekaligus menanamkan kembali prinsip-prinsip tauhid dalam
seluruh cabang ilmu.⁶ Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat
fungsional, tetapi juga sarat dengan dimensi etis dan spiritual.
6.3.      
Etika Ilmu dan
Teknologi
Selain persoalan epistemologi, filsafat
Islam modern juga menaruh perhatian pada dimensi etika ilmu dan teknologi.
Kemajuan teknologi yang tidak terkendali dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan, kesenjangan sosial, hingga krisis moral.⁷ Tokoh seperti Fazlur
Rahman menekankan perlunya etika Qur’ani yang mampu memberikan kerangka
normatif bagi pemanfaatan ilmu dan teknologi.⁸ Dalam perspektif Islam, sains
dan teknologi seharusnya diarahkan untuk mencapai maslahah (kebaikan
umum) dan keadilan sosial, bukan sekadar eksploitasi atau dominasi. Dengan
demikian, filsafat Islam modern memberikan kerangka kritis terhadap penggunaan
teknologi agar tidak terlepas dari tanggung jawab moral.
6.4.      
Integrasi Ilmu,
Agama, dan Peradaban
Filsafat Islam modern memandang bahwa
integrasi antara agama, ilmu pengetahuan, dan peradaban merupakan kunci bagi
kebangkitan Islam. Pemikir seperti Muhammad Iqbal menekankan perlunya
rekonstruksi pemikiran keagamaan agar Islam mampu menyerap ilmu pengetahuan
modern tanpa kehilangan spiritualitasnya.⁹ Bagi Iqbal, wahyu tidak bertentangan
dengan akal, melainkan memberikan orientasi moral bagi pengembangan ilmu.¹⁰
Dengan demikian, filsafat Islam modern menawarkan paradigma integratif, di mana
ilmu pengetahuan menjadi sarana untuk memperkuat peradaban Islam, sementara
nilai-nilai agama memberikan arah dan tujuan etis bagi perkembangan ilmu dan
teknologi.
Kesimpulan
Hubungan filsafat Islam modern dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi menunjukkan adanya dialektika antara penerimaan,
kritik, dan rekonstruksi. Di satu sisi, umat Islam didorong untuk menguasai
sains modern sebagai sarana kemajuan; di sisi lain, sains perlu diletakkan
dalam kerangka etis dan spiritual Islam. Melalui gagasan seperti Islamisasi
ilmu, sacred science, dan rekonstruksi pemikiran keagamaan, filsafat
Islam modern berusaha menghadirkan alternatif epistemologis yang mampu
menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
transendensi. Dengan demikian, filsafat Islam modern tidak hanya berfungsi
sebagai wacana akademis, tetapi juga sebagai strategi peradaban dalam
menghadapi arus globalisasi ilmu dan teknologi.
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
7–9.
[2]               
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of
Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 45–47.
[3]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 62–65.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 81–83.
[5]               
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 45–49.
[6]               
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge:
General Principles and Workplan (Herndon: International Institute of
Islamic Thought, 1982), 12–15.
[7]               
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 190–194.
[8]               
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 34–37.
[9]               
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 3–6.
[10]            
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into
the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 142–145.
7.          
Isu dan Kritik dalam
Filsafat Islam Modern
Filsafat Islam modern tidak lahir tanpa
tantangan. Sejak kemunculannya pada abad ke-19, aliran-aliran pemikiran yang
berkembang dalam tubuh filsafat Islam modern memunculkan berbagai isu sekaligus
menuai kritik, baik dari kalangan internal umat Islam maupun dari luar.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa filsafat Islam modern merupakan ruang
dialektika yang dinamis, di mana ide-ide tentang reformasi, modernitas, dan
tradisi diuji dalam konteks sosial, politik, dan epistemologis.
7.1.      
Kritik terhadap
Modernisme: Westernisasi dan Sekularisasi
Salah satu kritik paling tajam terhadap
modernisme Islam adalah tuduhan bahwa ia terlalu dekat dengan proyek
Westernisasi.¹ Modernis dianggap terlalu akomodatif terhadap nilai-nilai Barat,
khususnya rasionalisme, demokrasi, dan sekularisme, sehingga berisiko
melemahkan otoritas wahyu. Kalangan tradisionalis menilai bahwa gagasan
reformasi yang ditawarkan tokoh seperti Muhammad Abduh dan Sir Sayyid Ahmad
Khan lebih banyak dipengaruhi paradigma Barat daripada murni bersumber dari
Islam.² Kritik ini memunculkan dilema: sejauh mana umat Islam dapat mengadopsi
modernitas tanpa kehilangan identitas religiusnya.
7.2.      
Tantangan
Pluralisme, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia
Filsafat Islam modern juga menghadapi
isu mengenai kompatibilitas Islam dengan gagasan demokrasi, pluralisme agama,
dan hak asasi manusia.³ Sebagian pemikir modern menegaskan bahwa nilai-nilai
tersebut dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip Islam, seperti shura
(musyawarah), adl (keadilan), dan hurriyah (kebebasan). Namun,
kalangan konservatif menolak pandangan ini dengan alasan bahwa konsep-konsep
tersebut berakar pada tradisi liberal Barat yang asing bagi Islam.⁴ Debat ini
semakin intens ketika menyangkut isu gender dan kesetaraan hak perempuan dalam
masyarakat Muslim.
7.3.      
Perdebatan antara
Tradisionalis, Modernis, dan Post-Modernis
Filsafat Islam modern juga menjadi
arena kontestasi antara berbagai arus pemikiran. Tradisionalis menekankan pada
pentingnya menjaga keaslian ajaran Islam dengan meminimalisasi pengaruh luar.
Modernis berusaha mengharmoniskan Islam dengan modernitas, sedangkan
post-modernis, seperti Mohammed Arkoun, justru mendekonstruksi tradisi Islam
klasik dan modern dengan pendekatan kritis.⁵ Perbedaan tajam ini sering kali
menimbulkan ketegangan intelektual yang membuat filsafat Islam modern terpecah
dalam spektrum yang luas.
7.4.      
Isu Gender dan Feminisme
Islam
Perkembangan filsafat Islam modern juga
bersinggungan dengan isu feminisme Islam. Pemikir seperti Amina Wadud dan
Fatima Mernissi berupaya menafsirkan ulang teks-teks Islam dengan perspektif
kesetaraan gender.⁶ Mereka berargumen bahwa subordinasi perempuan dalam
masyarakat Muslim lebih banyak berasal dari interpretasi patriarkal daripada
dari teks suci itu sendiri. Namun, pendekatan ini sering menuai kritik keras
dari kalangan konservatif yang menuduhnya sebagai bentuk liberalisasi yang
mengancam kemurnian ajaran Islam.⁷
7.5.      
Kritik Internal
terhadap Metodologi
Selain isu tematik, filsafat Islam
modern juga menghadapi kritik metodologis. Hermeneutika Qur’ani yang
dikembangkan Fazlur Rahman, misalnya, dianggap oleh sebagian ulama terlalu menekankan
aspek historis sehingga melemahkan dimensi sakral teks.⁸ Demikian pula gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan yang dikemukakan al-Attas dan al-Faruqi menuai
kritik karena dinilai terlalu idealis dan sulit diterapkan secara praktis dalam
dunia akademik global.⁹ Kritik-kritik ini memperlihatkan bahwa filsafat Islam
modern masih mencari bentuk metodologis yang stabil dan dapat diterima secara
luas.
Kesimpulan
Isu dan kritik dalam filsafat Islam
modern memperlihatkan kompleksitas wacana yang terus berkembang. Di satu sisi,
filsafat ini membuka ruang baru bagi dialog antara Islam dan modernitas; di
sisi lain, ia menghadapi tantangan serius terkait akomodasi nilai-nilai Barat,
isu gender, demokrasi, serta metodologi keilmuan. Kritik internal dan eksternal
tersebut justru menegaskan bahwa filsafat Islam modern adalah proyek yang belum
selesai, yang terus bergerak dalam dialektika antara tradisi, reformasi, dan
konteks global kontemporer. Dengan demikian, kritik tidak hanya melemahkan,
melainkan juga memperkaya dan menguji daya tahan filsafat Islam modern sebagai
wacana filosofis sekaligus praksis.
Footnotes
[1]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 211–214.
[2]               
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to
Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din
“al-Afghani” (Berkeley: University of California Press, 1968), 23–26.
[3]               
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and the Secular
State: Negotiating the Future of Shari’a (Cambridge: Harvard University
Press, 2008), 45–49.
[4]               
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New
Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 90–93.
[5]               
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 33–37.
[6]               
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred
Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999),
12–15.
[7]               
Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elite: A
Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam (Reading, MA:
Addison-Wesley, 1991), 19–23.
[8]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
9–12.
[9]               
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of
Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 48–52.
8.          
Relevansi Filsafat
Islam Modern dalam Dunia Kontemporer
Filsafat Islam modern bukanlah sekadar
wacana intelektual yang berhenti pada abad ke-19 atau ke-20, melainkan sebuah
proyek pemikiran yang terus hidup dan berevolusi hingga hari ini. Dinamika
globalisasi, perkembangan teknologi digital, isu-isu etika global, serta krisis
spiritual masyarakat modern menempatkan filsafat Islam modern pada posisi yang
relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer.¹ Relevansi tersebut dapat
dilihat dalam berbagai dimensi: pendidikan, sosial-politik, etika ilmu
pengetahuan, serta dialog antaragama dan peradaban.
8.1.      
Filsafat Islam
Modern dan Tantangan Globalisasi
Globalisasi menghadirkan arus
pertukaran budaya, nilai, dan informasi yang sangat cepat, sehingga menimbulkan
persoalan identitas bagi masyarakat Muslim.² Dalam konteks ini, filsafat Islam
modern memberikan kerangka filosofis untuk menjaga integritas identitas Islam
tanpa menutup diri dari interaksi global. Gagasan-gagasan tokoh seperti
Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, yang menekankan pada sintesis antara tradisi
Islam dengan dinamika modern, relevan untuk membantu umat Islam beradaptasi
dengan modernitas global tanpa kehilangan akar transendentalnya.³
8.2.      
Relevansi terhadap
Pendidikan Islam
Salah satu kontribusi terbesar filsafat
Islam modern adalah dalam bidang pendidikan. Gerakan reformasi pendidikan yang
digagas oleh Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan, dan al-Attas masih penting hingga
kini. Pendidikan Islam dituntut untuk tidak hanya berorientasi pada hafalan
teks, tetapi juga pada pengembangan rasionalitas, kreativitas, dan etika.⁴
Melalui gagasan Islamisasi ilmu, filsafat Islam modern menekankan bahwa
pendidikan harus membentuk manusia seutuhnya—rasional, spiritual, dan
bermoral—sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern sekaligus menjaga
nilai-nilai Islam.⁵
8.3.      
Etika Sosial,
Politik, dan Keadilan Global
Dalam ranah sosial-politik, filsafat
Islam modern memberikan kontribusi terhadap isu-isu kontemporer seperti
demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.⁶ Meskipun perdebatan tentang
kompatibilitas Islam dengan demokrasi masih berlangsung, banyak pemikir
modernis dan neo-modernis menegaskan bahwa prinsip-prinsip Islam seperti shura
(musyawarah), adl (keadilan), dan hurriyah (kebebasan) dapat menjadi
dasar bagi sistem politik yang demokratis dan partisipatif.⁷ Dengan demikian,
filsafat Islam modern menawarkan perspektif alternatif yang mampu menggabungkan
nilai-nilai Islam dengan kebutuhan sistem politik global yang inklusif.
8.4.      
Filsafat Islam
Modern dan Isu Etika Ilmu Pengetahuan serta Teknologi
Perkembangan teknologi digital,
bioteknologi, dan kecerdasan buatan memunculkan pertanyaan etis yang mendesak.⁸
Filsafat Islam modern menyediakan kerangka normatif berbasis wahyu dan
rasionalitas yang dapat menuntun pemanfaatan ilmu dan teknologi agar tidak
merusak kemanusiaan dan lingkungan. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, menekankan
pentingnya sacred science yang mampu mengembalikan dimensi spiritual
dalam ilmu pengetahuan modern.⁹ Hal ini sangat relevan ketika dunia menghadapi
krisis etika dalam penggunaan teknologi, seperti manipulasi genetika atau
penyalahgunaan teknologi digital.
8.5.      
Kontribusi pada
Dialog Antaragama dan Peradaban
Dalam dunia yang plural dan saling
terhubung, dialog antaragama menjadi sangat penting. Pemikir seperti Mohammed
Arkoun dan Fazlur Rahman mendorong keterbukaan hermeneutis yang memungkinkan
Islam berdialog dengan tradisi agama lain tanpa kehilangan jati diri.¹⁰ Dengan
demikian, filsafat Islam modern tidak hanya berperan dalam internal umat Islam,
tetapi juga dalam membangun jembatan peradaban yang berkontribusi pada
perdamaian global.¹¹
Kesimpulan
Relevansi filsafat Islam modern dalam
dunia kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menghadirkan sintesis antara
tradisi Islam dan tantangan global. Dari pendidikan hingga etika ilmu, dari
politik hingga dialog antaragama, filsafat Islam modern menawarkan paradigma
integratif yang memadukan spiritualitas, rasionalitas, dan kemanusiaan. Ia
hadir bukan hanya sebagai respon terhadap modernitas, melainkan juga sebagai
tawaran solusi filosofis untuk krisis moral, sosial, dan spiritual umat manusia
di abad ke-21. Dengan demikian, filsafat Islam modern tetap menjadi salah satu
instrumen penting dalam pembentukan peradaban Islam yang berkelanjutan dan
relevan bagi dunia global.
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 288–291.
[2]               
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New
Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 112–115.
[3]               
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 3–6.
[4]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 62–65.
[5]               
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 51–55.
[6]               
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and the Secular
State: Negotiating the Future of Shari’a (Cambridge: Harvard University Press,
2008), 77–82.
[7]               
John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and
Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 15–18.
[8]               
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of
Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 93–96.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 91–95.
[10]            
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 41–45.
[11]            
Hans Küng, Islam: Past, Present and Future
(Oxford: Oneworld, 2007), 546–549.
9.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
Filsafat Islam modern, sebagaimana
telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, merupakan hasil dialektika panjang
antara warisan intelektual Islam dengan tantangan modernitas dan globalisasi.
Ia bukan sekadar kelanjutan dari filsafat Islam klasik, melainkan sebuah usaha
rekonstruksi pemikiran yang bersifat kritis, reflektif, dan kontekstual. Pada
tahap ini, penting untuk menyajikan sintesis sekaligus refleksi filosofis yang
dapat menggambarkan arah dan prospek filsafat Islam modern dalam dunia
kontemporer.
9.1.      
Sintesis antara
Tradisi Klasik, Modernitas, dan Kontemporer
Filsafat Islam modern berupaya
mengintegrasikan kekuatan rasionalitas filsafat klasik dengan semangat
reformasi modern, sekaligus membuka diri terhadap tantangan kontemporer.¹
Tradisi klasik memberikan fondasi ontologis dan epistemologis yang kokoh;
modernisme menyumbangkan kesadaran akan pentingnya ijtihad dan pembaruan;
sedangkan pemikiran kontemporer menghadirkan metodologi kritis seperti hermeneutika
dan pendekatan interdisipliner.² Sintesis ini menunjukkan bahwa filsafat Islam
modern tidak berjalan secara linear, melainkan bersifat spiral, selalu kembali
ke tradisi, namun dengan horizon baru yang lebih luas.
9.2.      
Refleksi Filosofis
terhadap Peran Akal dan Wahyu
Dalam refleksi filosofis, filsafat
Islam modern menegaskan kembali relasi harmonis antara wahyu dan akal.³ Di
tengah hegemoni sekularisme yang menyingkirkan agama dari ruang publik,
filsafat Islam modern menunjukkan bahwa wahyu tetap relevan sebagai sumber
nilai normatif, sementara akal berfungsi sebagai sarana interpretasi dan
aplikasinya dalam konteks sosial. Fazlur Rahman dengan hermeneutika gandanya,
maupun Iqbal dengan filsafat khudi, sama-sama menegaskan pentingnya
peran akal yang kreatif tanpa harus menegasikan wahyu.⁴
9.3.      
Prospek Integrasi
Ilmu, Etika, dan Spiritualitas
Refleksi filosofis juga menyoroti masa
depan integrasi antara ilmu, etika, dan spiritualitas. Di tengah kemajuan
teknologi yang kerap menimbulkan krisis etika, filsafat Islam modern menawarkan
paradigma normatif yang menyeimbangkan kemajuan material dengan nilai-nilai
transendental.⁵ Konsep Islamisasi ilmu dari al-Attas dan al-Faruqi, maupun
gagasan sacred science dari Nasr, merepresentasikan usaha menjaga agar
ilmu pengetahuan tidak terlepas dari prinsip tauhid.⁶ Dengan demikian, filsafat
Islam modern berfungsi sebagai kritik epistemologis sekaligus etis terhadap
dominasi sains sekuler.
9.4.      
Konsep Islam sebagai
Peradaban Modern yang Berkelanjutan
Refleksi terakhir menggarisbawahi bahwa
filsafat Islam modern bukan hanya diskursus akademik, melainkan juga sebuah
visi peradaban. Islam dipandang bukan sekadar agama ritual, tetapi sebagai
peradaban yang mampu berdialog, beradaptasi, dan berkontribusi dalam tatanan
global.⁷ Tokoh-tokoh modern seperti Abduh, Iqbal, hingga Rahman menekankan
bahwa kebangkitan Islam harus dimulai dari reformasi pemikiran dan pendidikan,
yang pada gilirannya akan melahirkan peradaban modern yang berkelanjutan.⁸
Dengan demikian, filsafat Islam modern bukanlah proyek sementara, melainkan
sebuah gerakan intelektual jangka panjang untuk membangun peradaban yang adil,
berilmu, dan berakhlak.
Kesimpulan
Bab ini menegaskan bahwa filsafat Islam
modern adalah sebuah ruang sintesis yang dinamis: ia menghubungkan tradisi dengan
modernitas, wahyu dengan akal, serta ilmu dengan etika. Refleksi filosofis atas
perjalanan panjangnya menunjukkan bahwa filsafat Islam modern bukan sekadar
respons reaktif terhadap modernitas Barat, melainkan sebuah upaya kreatif untuk
membentuk paradigma Islam yang relevan, kritis, dan transformatif. Dengan
kerangka inilah, filsafat Islam modern berpotensi menjadi fondasi filosofis
bagi peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan global abad ke-21.
Footnotes
[1]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 372–375.
[2]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 221–224.
[3]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 215–219.
[4]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
11–15.
[5]               
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of
Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 93–97.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 89–92.
[7]               
John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and
Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 20–23.
[8]               
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into
the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 152–156.
10.      
Penutup
Filsafat Islam modern merupakan sebuah
ikhtiar intelektual yang lahir dari pertemuan historis antara tradisi Islam
dengan tantangan modernitas. Sejak abad ke-19, para pemikir Muslim berusaha
merumuskan paradigma baru yang dapat menjawab krisis sosial, politik, dan
epistemologis yang melanda dunia Islam.¹ Dari Jamaluddin al-Afghani yang
menekankan kebangkitan politik dan kesadaran intelektual, Muhammad Abduh dengan
reformasi pendidikan dan hukum Islam, hingga Fazlur Rahman dan al-Attas yang
menawarkan kerangka hermeneutika dan Islamisasi ilmu, filsafat Islam modern
membuktikan dirinya sebagai sebuah tradisi pemikiran yang dinamis dan progresif.²
Melalui pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam modern tidak hanya berfungsi
sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan modernitas Barat, tetapi juga sebagai
proyek rekonstruksi intelektual untuk membangun peradaban Islam yang relevan
dengan zaman.³ Ia memperlihatkan keragaman corak—mulai dari modernisme,
reformisme, neo-modernisme, post-modernisme Islam, hingga gerakan Islamisasi
ilmu pengetahuan—yang menunjukkan keluasan spektrum pemikiran umat Islam.
Keragaman ini bukan tanda perpecahan, melainkan refleksi dari kekayaan
metodologis yang terus mencari bentuk ideal bagi peradaban Islam kontemporer.⁴
Isu-isu kritis yang muncul, seperti
perdebatan mengenai demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan gender,
memperlihatkan bahwa filsafat Islam modern tidak steril dari kontroversi.
Namun, justru di sinilah terletak vitalitasnya: filsafat ini terus diuji oleh
realitas, dikritik, dipertanyakan, dan diperbarui.⁵ Kritik internal maupun
eksternal menjadi katalis bagi pengembangan lebih lanjut, agar filsafat Islam
modern tidak berhenti pada dogmatisme baru, melainkan selalu terbuka terhadap
perkembangan ilmu, budaya, dan tantangan global.
Dalam konteks kontemporer, relevansi
filsafat Islam modern semakin nyata. Globalisasi, revolusi digital, serta
krisis moral dan lingkungan menuntut paradigma filosofis yang mampu
mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dengan rasionalitas modern. Filsafat
Islam modern, dengan kerangka normatifnya yang berakar pada wahyu, serta
keterbukaannya terhadap metodologi rasional dan ilmiah, mampu memberikan arah
bagi pembangunan peradaban Islam yang adil, berkelanjutan, dan humanis.⁶
Akhirnya, filsafat Islam modern dapat
dipandang sebagai jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan umat
Islam. Ia menjaga kesinambungan tradisi klasik, mengkritisi modernitas Barat,
sekaligus menawarkan horizon baru bagi perkembangan pemikiran Islam di era
global. Dengan demikian, filsafat Islam modern bukan hanya wacana akademis,
tetapi juga praksis peradaban yang terus bergerak, membentuk, dan
merekonstruksi kehidupan umat manusia sesuai dengan nilai-nilai universal
Islam.⁷
Footnotes
[1]               
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age,
1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 210–213.
[2]               
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 58–62.
[3]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
15–20.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 371–375.
[5]               
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 37–41.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 92–95.
[7]               
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 145–148.
Daftar Pustaka
Adams, C. C. (1933). Islam and
modernism in Egypt. Oxford University Press.
al-Attas, S. M. N. (1978). Islam
and secularism. ABIM.
al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization
of knowledge: General principles and workplan. International Institute of
Islamic Thought.
An-Na’im, A. A. (2008). Islam and
the secular state: Negotiating the future of Shari’a. Harvard University
Press.
Arkoun, M. (1994). Rethinking
Islam: Common questions, uncommon answers. Westview Press.
Bakar, O. (1992). Classification
of knowledge in Islam. ISTAC.
Cleveland, W., & Bunton, M.
(2016). A history of the modern Middle East. Westview Press.
Esposito, J. L., & Voll, J. O.
(1996). Islam and democracy. Oxford University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of
Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Hourani, A. (1983). Arabic thought
in the liberal age, 1798–1939. Cambridge University Press.
Iqbal, M. (1930). The
reconstruction of religious thought in Islam. Sh. Muhammad Ashraf.
Keddie, N. R. (1968). An Islamic response
to imperialism: Political and religious writings of Sayyid Jamal ad-Din
“al-Afghani”. University of California Press.
Kerr, M. (1966). Islamic reform:
The political and legal theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida.
University of California Press.
Küng, H. (2007). Islam: Past,
present and future. Oneworld.
Leaman, O. (2001). An introduction
to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Mernissi, F. (1991). The veil and
the male elite: A feminist interpretation of women’s rights in Islam.
Addison-Wesley.
Moosa, E. (2003). Revival and
reform in Islam: A study of Islamic fundamentalism. Cambridge University
Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and
the sacred. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic
philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy.
State University of New York Press.
Qadhi, Y. (2018). Reviving the
balance: The authority of the Qur’an and the role of reason in Rashid Rida’s
thought. Routledge.
Rahman, F. (1980). Major themes of
the Qur’an. Bibliotheca Islamica.
Rahman, F. (1982). Islam and
modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of
Chicago Press.
Robinson, F. (2000). Islam and
Muslim history in South Asia. Oxford University Press.
Roy, O. (2004). Globalized Islam:
The search for a new ummah. Columbia University Press.
Saeed, A. (2006). Islamic thought:
An introduction. Routledge.
Saeed, A. (2006). Interpreting the
Qur’an: Towards a contemporary approach. Routledge.
Sardar, Z. (1985). Islamic
futures: The shape of ideas to come. Mansell.
Schimmel, A. (1963). Gabriel’s
wing: A study into the religious ideas of Sir Muhammad Iqbal. Brill.
Sheikh, M. S. (1974). Studies in
Islamic philosophy. Institute of Islamic Culture.
Vatikiotis, P. J. (1987). Islam
and the state. Routledge.
Wadud, A. (1999). Qur’an and
woman: Rereading the sacred text from a woman’s perspective. Oxford
University Press.
Wan Daud, W. M. N. (1998). The
educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas.
ISTAC.
Zaman, M. Q. (2012). Modern
Islamic thought in a radical age: Religious authority and internal criticism.
Cambridge University Press.
Zayd, N. H. A. (2004). Rethinking
the Qur’an: Towards a humanistic hermeneutics. Humanistics University
Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar