Hikmah Muta‘aliyah
Sintesis Filsafat, Irfan, dan Syari’ah dalam Tradisi
Islam
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif sistem
filsafat Hikmah Muta‘aliyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra (Ṣadr
al-Dīn al-Shīrāzī), seorang filsuf besar Islam dari abad ke-17. Dalam
karya-karyanya, Sadra menyajikan sintesis kreatif antara filsafat peripatetis,
filsafat iluminatif, irfan teoretis, dan ajaran syari’ah Islam. Artikel ini
mengulas latar belakang intelektual dan biografi Sadra, serta menelaah
prinsip-prinsip utama pemikirannya seperti asālat al-wujūd, tasykīk
al-wujūd, ḥarakah jawhariyyah, dan wahdat al-wujūd. Dengan
pendekatan integratifnya, Sadra tidak hanya merumuskan sistem metafisika Islam
yang mendalam, tetapi juga memberikan dasar epistemologis dan spiritual yang
relevan untuk menjawab tantangan modernitas, krisis spiritualitas, serta
fragmentasi pengetahuan di era kontemporer. Artikel ini juga mengkaji berbagai
kritik terhadap Hikmah Muta‘aliyah, baik dari sudut pandang teologis,
rasionalis, maupun modernis. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa
pemikiran Mulla Sadra memiliki posisi penting dalam revitalisasi filsafat Islam
dan pengembangan paradigma keilmuan Islam yang holistik dan transformatif.
Kata Kunci: Mulla Sadra, Hikmah Muta‘aliyah, filsafat Islam,
irfan, syari’ah, ontologi Islam, epistemologi Islam, metafisika, tasawuf
falsafi, pendidikan Islam, krisis spiritualitas.
PEMBAHASAN
Hikmah Muta‘aliyah Mulla Sadra
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan
warisan intelektual yang dinamis, berkembang sejak masa penerjemahan
karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 dan mencapai puncak
awalnya melalui pemikiran tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Namun demikian, perkembangan filsafat Islam tidak berhenti pada fase
rasionalistis tersebut. Pada abad ke-12 dan 13, muncul arus filsafat iluminatif
(hikmah isyraqiyyah) yang digagas oleh Shihabuddin Suhrawardi, yang menekankan
peran intuisi dan cahaya dalam pencapaian pengetahuan metafisis. Tradisi ini
kemudian menjadi salah satu fondasi bagi transformasi besar dalam filsafat
Islam yang terjadi pada abad ke-17 melalui sosok Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī, w. 1640 M).1
Mulla Sadra dikenal sebagai
pemikir yang berhasil menyintesiskan berbagai arus besar pemikiran Islam—yakni
filsafat rasional peripatetis (mashsha’iyyah) ala Ibnu Sina, filsafat
iluminatif (isyraqiyyah) ala Suhrawardi, spiritualitas irfan teoritis dari Ibn
‘Arabi, serta prinsip-prinsip syari’ah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan hadis—ke
dalam suatu sistem filsafat transenden yang ia sebut sebagai Hikmah
Muta‘aliyah atau Transcendent Theosophy.2
Konsep ini bukan hanya merepresentasikan pencapaian puncak dalam sistematika
filsafat Islam, tetapi juga menandai suatu paradigma baru yang menyatukan
antara akal dan intuisi, antara metafisika dan spiritualitas, antara rasio dan
wahyu.
Kemunculan Mulla Sadra
terjadi pada masa Dinasti Safawiyah di Persia, suatu era yang mendukung
kebangkitan keilmuan dan spiritualitas Syiah di wilayah tersebut. Lingkungan
intelektual di Isfahan—yang kala itu menjadi pusat filsafat dan teologi—memberi
ruang bagi Sadra untuk mengembangkan pandangan-pandangan filosofis yang
orisinal. Ia menolak dikotomi antara wahyu dan filsafat yang sering
dipertentangkan dalam tradisi Islam, dan justru mengintegrasikan keduanya dalam
pendekatan yang mendalam, kontemplatif, dan komprehensif terhadap realitas.3
Dalam konteks modern,
pemikiran Mulla Sadra kembali memperoleh perhatian serius dari kalangan filsuf
Muslim kontemporer karena relevansinya dalam menjawab tantangan krisis
spiritual dan dikotomi antara ilmu dan agama. Sistemnya yang integratif
menawarkan alternatif terhadap pendekatan positivistik Barat yang cenderung
memisahkan antara aspek rasional dan spiritual manusia.4 Oleh karena
itu, kajian terhadap Hikmah Muta‘aliyah tidak hanya penting sebagai
warisan intelektual Islam, tetapi juga sebagai landasan bagi pengembangan
paradigma keilmuan Islam yang holistik dan transformatif di masa kini.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 144–146.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 57.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 15–17.
[4]
Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 4–5.
2.
Biografi Singkat
Mulla Sadra
Mulla Sadra, yang memiliki
nama lengkap Ṣadr al-Dīn Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Qawāmī al-Shīrāzī, lahir pada tahun
979 H/1571 M di kota Shiraz, Persia, dalam keluarga terpandang dan religius.1
Ayahnya, Ibrahim Qawami, adalah pejabat tinggi yang saleh dan dikenal sebagai
dermawan yang mendukung kegiatan keilmuan. Sejak kecil, Sadra telah menunjukkan
kecerdasan luar biasa dan ketertarikan mendalam pada studi keagamaan dan
filsafat. Ia kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Isfahan, yang saat
itu merupakan pusat intelektual paling maju di bawah perlindungan Dinasti
Safawi.
Di Isfahan, Sadra menimba
ilmu dari sejumlah guru besar yang berpengaruh dalam pemikiran filsafat dan
keislaman. Dua guru utamanya yang sangat membentuk pemikiran Sadra adalah Mir
Damad (w. 1631), seorang tokoh utama dalam filsafat iluminatif,
dan Shaykh Baha’ī (w. 1621), ulama serba bisa yang
menguasai berbagai bidang ilmu, termasuk fikih, tafsir, dan matematika.2
Dari keduanya, Sadra tidak hanya memperoleh dasar-dasar filsafat rasional dan
spiritual, tetapi juga metode integratif yang akan menjadi ciri khas pemikiran
filsafat transendennya.
Meski telah mencapai
kedudukan intelektual tinggi di Isfahan, Sadra kemudian memilih untuk
mengasingkan diri ke desa Kahak, dekat Qom. Di sana ia menjalani masa
kontemplatif yang panjang, menyelami ilmu-ilmu spiritual dan menyempurnakan
pemikirannya yang orisinal. Menurut sejumlah riwayat, masa uzlah ini merupakan
periode penting dalam pembentukan gagasan-gagasan metafisisnya, termasuk teori
gerak substansial (harakah jawhariyyah) dan eksistensi sebagai
realitas utama (asalat al-wujud).3
Setelah kembali dari
pengasingannya, Sadra mengajar di berbagai madrasah dan kemudian menetap
kembali di Shiraz, di mana ia diangkat sebagai kepala madrasah oleh penguasa
lokal. Di madrasah tersebut, ia mengajarkan filsafat, tafsir Al-Qur’an, hadis,
dan irfan kepada murid-muridnya, di antaranya terdapat tokoh penting seperti
Mulla Muhsin Faydh al-Kashani dan ‘Abd al-Razzaq Lahiji.4
Mulla Sadra wafat pada tahun
1050 H/1640 M dalam perjalanan haji ke Makkah. Ia meninggalkan warisan
pemikiran yang sangat luas dalam bentuk karya-karya tulis monumental. Di antara
karya terbesarnya adalah Al-Asfar al-Arba‘ah (“Empat
Perjalanan Intelektual”), sebuah ensiklopedia filsafat Islam yang
mengintegrasikan rasionalisme, iluminasi, dan intuisi spiritual dalam struktur
pemikiran yang sistematis dan mendalam.5 Karya-karya lainnya
mencakup Mafatih al-Ghayb, Sharh Usul al-Kafi, dan Tafsir
al-Qur’an al-Karim, yang menunjukkan keluasan bidang keilmuan Sadra dari
filsafat murni hingga tafsir Al-Qur’an dan irfan.
Footnotes
[1]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy:
Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 59–60.
[2]
Hossein Ziai, “Mīr Dāmād and the Epistemology of Sadrian Metaphysics,”
dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson
dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 417.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 22–23.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 150–151.
[5]
Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics
(Richmond: Curzon Press, 1997), 41–43.
3.
Konsep Dasar Hikmah
Muta‘aliyah
Istilah Hikmah
Muta‘aliyah secara harfiah berarti "kebijaksanaan yang
transenden" atau "filsafat yang tinggi (agung)". Mulla Sadra
menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sistem filsafatnya yang tidak hanya
mengandalkan akal sebagai sumber kebenaran, tetapi juga mengintegrasikan
intuisi spiritual (dzawq), pengalaman mistis (kasyf), dan
petunjuk wahyu syar’i sebagai sumber pengetahuan metafisis yang sahih dan
otentik.1 Dalam kerangka ini, hikmah bukan sekadar
aktivitas rasional-intelektual, melainkan merupakan bentuk penyempurnaan jiwa
menuju kebenaran sejati melalui sintesis antara akal, spiritualitas, dan wahyu.
Mulla Sadra sendiri
mendefinisikan filsafat sebagai “kesempurnaan akhir manusia sebagai manusia,
yang diperoleh melalui pengetahuan esensial tentang realitas-realitas
sebagaimana adanya, sejauh kemampuan manusia.”_2 Definisi ini
menempatkan filsafat sebagai jalan penyempurnaan eksistensial, bukan sekadar
pengumpulan proposisi logis. Di sinilah letak perbedaan antara filsafat Sadra
dan pendekatan-pendekatan sebelumnya. Jika filsafat mashsha’iyyah
(peripatetis) seperti dalam tradisi Ibnu Sina menekankan deduksi logis dan
sistematika rasional, dan filsafat isyraqiyyah (iluminatif) ala
Suhrawardi menekankan intuisi dan simbol cahaya, maka hikmah muta‘aliyah
menyatukan keduanya dalam kerangka metafisika eksistensial yang mendalam dan
menyeluruh.3
Salah satu aspek penting dari
pendekatan hikmah muta‘aliyah adalah penekanannya pada eksistensi (wujud)
sebagai realitas primer dalam metafisika. Sadra menyatakan bahwa keberadaan
lebih fundamental daripada esensi (mahiyyah), suatu pendirian yang
disebut sebagai teori asalat al-wujud (keprimordian eksistensi). Ia
menentang pandangan filsuf-filsuf sebelumnya yang menganggap esensi sebagai
landasan ontologis segala sesuatu. Dengan menjadikan wujud sebagai
dasar realitas, Sadra membuka jalan bagi pendekatan metafisika dinamis yang
memungkinkan pemahaman gradasi realitas, transformasi spiritual, dan
keterhubungan kosmos dengan Tuhan secara langsung.4
Di samping itu, pendekatan
Sadra juga mencerminkan pengaruh kuat dari tradisi irfan Ibn ‘Arabi. Sadra
mengadopsi konsep spiritualitas sebagai medium penyingkapan kebenaran
tertinggi, tetapi tetap memberikan porsi penting pada argumen rasional dan
metodologi filsafat sistematik. Ia percaya bahwa intuisi mistis yang sahih
tidak akan bertentangan dengan akal sehat dan argumentasi logis, tetapi justru
saling menguatkan. Dalam konteks ini, hikmah muta‘aliyah mencerminkan
visi epistemologi Islam yang inklusif—yang mengakui validitas burhan
(argumen rasional), kasyf (penyingkapan spiritual), dan wahyu
(syari‘ah).5
Dengan demikian, hikmah
muta‘aliyah bukan sekadar sistem filsafat dalam pengertian teknis, tetapi
sebuah pendekatan komprehensif terhadap hakikat realitas dan kehidupan. Ia menawarkan
kerangka pemikiran yang menyatukan dimensi intelektual, eksistensial, dan
spiritual manusia, menjadikannya sebagai jalan penyempurnaan diri menuju
realitas tertinggi—yaitu Tuhan. Konsep ini tidak hanya relevan dalam kerangka
pemikiran metafisis, tetapi juga memberikan dasar yang kuat bagi pemikiran
etika, kosmologi, dan teologi dalam Islam.
Footnotes
[1]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy:
Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 67.
[2]
Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics
(Richmond: Curzon Press, 1997), 51.
[3]
Hossein Ziai, “Suhrawardi and the School of Illumination,” dalam History
of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London:
Routledge, 1996), 456–459.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 42–45.
[5]
Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 13–16.
4.
Prinsip-Prinsip
Filsafat Mulla Sadra dalam Hikmah Muta‘aliyah
Sistem filsafat Mulla Sadra
yang dikenal sebagai Hikmah Muta‘aliyah dibangun di atas empat prinsip
utama yang menjadi pilar pemikirannya. Keempat prinsip tersebut bukan sekadar
konsep-konsep abstrak, melainkan fondasi ontologis dan epistemologis yang
memungkinkan penggabungan antara filsafat rasional, spiritualitas irfan, dan
syari’ah Islam dalam satu kerangka yang kohesif dan menyeluruh.
4.1.
Asālat al-Wujūd
(Keberadaan sebagai Realitas Pokok)
Salah satu kontribusi paling
revolusioner dari Mulla Sadra adalah gagasan bahwa wujud (eksistensi)
adalah realitas utama dan fundamental, bukan mahiyyah (esensi). Dalam
filsafat Islam sebelumnya, terutama dalam tradisi peripatetik Ibnu Sina,
perdebatan tentang mana yang lebih mendasar antara wujud dan mahiyyah
telah lama menjadi isu sentral. Sadra menegaskan bahwa esensi hanyalah sesuatu
yang dikonstruksi dalam pikiran, sementara wujud adalah realitas
aktual dan konkret.1
Pandangan ini membalikkan
orientasi metafisika klasik dan menjadi dasar bagi sistem ontologi dinamis
Sadra, di mana realitas bukanlah sekumpulan esensi statis, tetapi eksistensi
yang hidup dan bertingkat. Dengan prinsip ini, Sadra membangun jembatan antara
wahdatul wujud dalam irfan Ibn ‘Arabi dan logika metafisika filosofis yang
ketat.2
4.2.
Tasykīk al-Wujūd
(Gradasi Eksistensi)
Bersandar pada asālat al-wujūd, Sadra mengembangkan teori tasykīk al-wujūd atau gradasi
eksistensi. Menurutnya, eksistensi bukan hanya satu dan universal, tetapi juga
memiliki tingkatan kualitas yang beragam. Artinya, segala sesuatu yang ada
memiliki wujud, namun pada level intensitas dan kesempurnaan yang
berbeda-beda.
Dalam sistem ini, Tuhan
adalah puncak eksistensi yang paling sempurna, sedangkan makhluk-makhluk berada
dalam gradasi yang lebih rendah sesuai dengan kapasitas ontologisnya.3
Konsep ini juga memungkinkan penggabungan antara tauhid metafisis dan
pluralitas kosmis, yang mencerminkan pandangan spiritual Islam bahwa semua
makhluk berasal dari dan kembali kepada Tuhan.
4.3.
Ḥarakah Jawhariyyah
(Gerak Substansial)
Salah satu teori orisinal
Sadra yang tidak ditemukan dalam filsafat sebelumnya adalah konsep gerak
substansial. Berbeda dengan gerak aksidental (perubahan dalam kuantitas,
kualitas, tempat), Sadra berpendapat bahwa seluruh realitas berada dalam
keadaan gerak terus-menerus pada tingkat substansi. Dengan kata lain,
eksistensi tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan progresif.4
Implikasi penting dari teori
ini adalah pandangan tentang kosmos sebagai sistem evolusioner spiritual—segala
sesuatu menuju penyempurnaan dan aktualisasi diri dalam wujudnya yang
tertinggi, yaitu Tuhan. Ini juga menjelaskan perkembangan jiwa manusia sebagai
perjalanan spiritual dari bentuk material menuju realitas rohaniah yang abadi.5
4.4.
Wahdat al-Wujūd
(Kesatuan Eksistensi)
Meski bukan penggagas
pertama, Sadra mengafirmasi dan memformulasikan ulang doktrin wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi) dalam kerangka filosofis yang ketat. Ia
mengambil inspirasi dari irfan Ibn ‘Arabi tetapi memberinya justifikasi
rasional melalui teori gradasi dan eksistensi. Bagi Sadra, tidak ada eksistensi
yang benar-benar independen kecuali Tuhan; segala yang lain hanyalah pancaran
dan manifestasi dari eksistensi-Nya yang mutlak.6
Namun, berbeda dengan
pendekatan irfan murni yang lebih simbolik dan intuitif, Sadra menjelaskan
doktrin ini dalam bahasa filosofis yang memungkinkan pemahaman rasional dan
konseptual. Dengan demikian, ia menjembatani dunia filsafat dan tasawuf dalam
satu sintesis yang harmonis.
Footnotes
[1]
Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics
(Richmond: Curzon Press, 1997), 74–76.
[2]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy:
Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 88–89.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 61–63.
[4]
Hossein Ziai, “Sadra’s Theory of Substantial Motion,” dalam The
Routledge History of Islamic Philosophy, ed. Nasr dan Leaman (London:
Routledge, 1996), 635–637.
[5]
Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 37–39.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
'Arabi (Delmar: Caravan Books, 1975), 130–133.
5.
Sintesis antara
Filsafat, Irfan, dan Syari’ah
Salah satu aspek paling khas
dan mendalam dari Hikmah Muta‘aliyah Mulla Sadra adalah kemampuannya
dalam menyintesiskan tiga ranah epistemologi
utama dalam Islam: rasionalitas filsafat (falsafah),
pengalaman mistis (‘irfān), dan wahyu syari’ah (al-sharī‘ah).
Dalam pandangan Sadra, kebenaran tidak dimonopoli oleh salah satu pendekatan
tersebut, melainkan harus dicapai melalui penggabungan akal,
intuisi spiritual, dan bimbingan wahyu yang saling
menyempurnakan.1
5.1.
Filsafat: Jalan
Rasionalitas dan Argumentasi
Mulla Sadra tidak menolak
pendekatan rasional sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan sufi atau
tradisionalis. Sebaliknya, ia mengakui keabsahan
burhān (demonstrasi logis) sebagai metode yang sah dalam
pencapaian kebenaran. Namun, ia juga menyadari bahwa akal memiliki
keterbatasan, terutama dalam menyentuh realitas metafisis tertinggi seperti zat
Tuhan dan hakikat akhir kehidupan. Oleh karena itu, filsafat dalam sistem Sadra
bukan merupakan tujuan akhir, melainkan salah satu tahapan
dalam proses epistemologis yang lebih luas.2
5.2.
Irfan: Jalan Intuisi
dan Penyingkapan Spiritual
Sadra sangat dipengaruhi oleh
tradisi irfan falsafi yang berkembang melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Ibn
‘Arabi dan Qunawi. Ia mengakui bahwa kasyf dan syuhūd
(penyingkapan batin dan penyaksian spiritual) merupakan sarana sah dalam
memahami hakikat realitas. Namun berbeda dari pendekatan mistik murni yang
bersifat simbolik dan personal, Sadra berusaha memberikan kerangka
konseptual dan filosofis bagi pengalaman mistis tersebut,
menjadikannya dapat dianalisis dan diajarkan secara sistematis dalam ruang
keilmuan.3
Dalam Al-Asfār al-Arba‘ah,
Sadra membagi perjalanan intelektual dan spiritual manusia ke dalam empat
perjalanan utama: (1) dari makhluk menuju Tuhan, (2) dalam
Tuhan, (3) dari Tuhan kembali kepada makhluk, dan (4) bersama Tuhan dalam
makhluk. Skema ini menunjukkan struktur irfan teoritis yang digabungkan dengan
rasionalitas filsafat dan nilai-nilai kenabian dalam syari’ah.4
5.3.
Syari’ah: Jalan
Wahyu sebagai Otoritas Tertinggi
Meski menjunjung tinggi
filsafat dan irfan, Mulla Sadra tidak pernah mengesampingkan peran syari’ah
Islam sebagai fondasi utama kehidupan spiritual dan intelektual.
Dalam pandangannya, ajaran-ajaran wahyu dalam Al-Qur’an dan hadis adalah sumber
kebenaran tertinggi yang tidak boleh dikalahkan oleh hasil
rasio atau intuisi semata. Bahkan, banyak konsep metafisika dan kosmologi dalam
karyanya bersumber dari penafsiran filosofis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,
seperti konsep gerak substansial yang diilhami dari tafsir terhadap QS.
Al-Anbiya’ [21] ayat 30 dan QS. Al-Nur [24] ayat 35.5
Sadra juga menulis tafsir
filosofis terhadap Al-Qur’an, yang menunjukkan kemampuannya
menyeimbangkan antara keilmuan filosofis dan kepatuhan terhadap teks wahyu.
Dalam karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim, ia menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an tidak hanya secara lahiriah, tetapi juga dengan pendekatan batiniah,
irfani, dan filosofis, menjadikan wahyu sebagai cahaya pemandu bagi akal dan
intuisi.6
5.4.
Harmonisasi Tiga
Epistemologi
Sadra memandang bahwa kebenaran
sejati hanya dapat dicapai ketika tiga sumber pengetahuan ini—akal, intuisi,
dan wahyu—bekerja dalam harmoni. Ia mengkritik para filsuf yang
terlalu mengandalkan rasio dan menolak intuisi serta wahyu, sebagaimana ia juga
mengkritik para sufi ekstrem yang mengabaikan rasionalitas dan struktur
syari’ah. Dengan demikian, Hikmah Muta‘aliyah menjadi model
epistemologi integratif, yang merepresentasikan cita-cita Islam
tentang keseimbangan antara dimensi intelektual, spiritual, dan syariat dalam
kehidupan manusia.7
Footnotes
[1]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy:
Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 112–114.
[2]
Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics
(Richmond: Curzon Press, 1997), 91–93.
[3]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabi’s Cosmology (Albany, NY: SUNY Press, 1998), 7–9.
[4]
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. dan trans. Ibrahim
Kalin, dalam Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 27–29.
[5]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 89–92.
[6]
Mulla Sadra, Tafsir al-Qur’an al-Karim, ed. Muhammad Khwansari
(Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2001), vol. 1, 45–48.
[7]
Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 65–67.
6.
Kontribusi Hikmah
Muta‘aliyah terhadap Filsafat Islam
Hikmah Muta‘aliyah
yang dikembangkan oleh Mulla Sadra merupakan tonggak penting dalam sejarah
filsafat Islam. Sistem filsafat ini tidak hanya menyempurnakan warisan
intelektual sebelumnya, tetapi juga memberikan arah baru bagi pengembangan
metafisika Islam, epistemologi, kosmologi, dan spiritualitas. Kontribusinya
terbentang dari aspek metodologis hingga dampak institusional dan historis,
menjadikannya salah satu sistem filsafat Islam yang paling berpengaruh di era
pascaklasik hingga kontemporer.
6.1.
Peneguhan Ontologi
Eksistensialis dalam Islam
Konsep asālat al-wujūd
(keprimordian eksistensi) merupakan kontribusi Sadra yang paling berpengaruh
dalam tradisi metafisika Islam. Dengan menjadikan wujud sebagai dasar
segala realitas dan bukan mahiyyah (esensi), Sadra menggeser paradigma
filsafat Islam dari pendekatan esensialis menuju pendekatan eksistensialis. Hal
ini memperkaya khazanah pemikiran ontologis Islam dengan perspektif yang lebih
dinamis, terbuka terhadap perkembangan dan transformasi.1
Gagasannya ini telah memengaruhi banyak pemikir setelahnya, baik dalam konteks
filsafat tradisional maupun dalam upaya membangun kembali filsafat Islam di era
modern.
6.2.
Integrasi
Epistemologi Rasional dan Intuitif
Sadra berhasil mengembangkan
sistem epistemologi yang memadukan antara ‘ilm al-husūlī (pengetahuan
representasional) dan ‘ilm al-hudūrī (pengetahuan dengan kehadiran
langsung).2 Ini merupakan lompatan
besar dalam teori pengetahuan Islam karena menyatukan dimensi akal dan intuisi
spiritual dalam satu kesatuan epistemik yang utuh. Pendekatan ini kemudian
menjadi acuan penting bagi filsuf-filsuf Syiah kontemporer, seperti Allamah
Thabathaba’i dan Murtadha Mutahhari, yang berusaha menjawab tantangan
modernitas dengan mengembangkan epistemologi Islam yang tidak terjebak dalam
rasionalisme Barat yang kering atau mistisisme yang eksklusif.
6.3.
Pembentukan Mazhab Filsafat
di Qom dan Hauzah Ilmiyah
Kontribusi institusional dari
Hikmah Muta‘aliyah terlihat jelas dalam pengaruhnya terhadap
madrasah-madrasah filsafat di wilayah Persia, khususnya di Qom dan Isfahan.
Sadra dianggap sebagai pendiri mazhab filsafat Syiah pascaklasik, yang kemudian
dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti Mulla Faydh al-Kāshānī dan ‘Abd
al-Razzāq al-Lāhijī.3 Tradisi ini berlanjut dan
berkembang hingga abad ke-20, ketika tokoh-tokoh seperti Imam Khomeini,
Muhammad Husain Tabataba’i, dan Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani menjadikan Hikmah
Muta‘aliyah sebagai kerangka dasar dalam pendidikan filsafat di
hauzah-hauzah ilmiah.
6.4.
Kontribusi terhadap
Filsafat Ketuhanan dan Jiwa
Dalam Al-Asfār al-Arba‘ah,
Sadra menjelaskan teori tentang Tuhan, jiwa, dan penciptaan yang menggabungkan
pendekatan Ibn Sina, Ibn ‘Arabi, dan Suhrawardi. Ia menegaskan bahwa Tuhan
adalah wujud murni dan sumber segala realitas, sementara jiwa manusia
mengalami gerak substansial menuju kesempurnaan. Konsep ini mengokohkan
pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk spiritual yang terus berkembang
menuju Tuhan, dan memberikan sumbangan besar terhadap filsafat ketuhanan
(ilahiyyāt) dan antropologi spiritual Islam.4
6.5.
Pengaruh terhadap
Pemikiran Filsafat Islam Kontemporer
Relevansi Hikmah
Muta‘aliyah tidak berhenti pada masa klasik. Dalam konteks modern,
pemikiran Sadra banyak diadopsi dan dikembangkan ulang untuk menjawab tantangan
filosofis dan spiritual umat Islam di era kontemporer. Seyyed Hossein Nasr,
misalnya, menjadikan Sadra sebagai inspirasi utama dalam proyek pemulihan
filsafat Islam yang integral dan sakral sebagai respons terhadap sekularisme
modern.5 Gagasan Sadra juga menjadi rujukan dalam filsafat
Islam transformatif yang berusaha membangun sains Islam, etika sosial, dan
pendidikan berbasis tauhid.
Footnotes
[1]
Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics
(Richmond: Curzon Press, 1997), 105–107.
[2]
Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 25–28.
[3]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 153–154.
[4]
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. dan trans. Ibrahim
Kalin, dalam Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 74–79.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany,
NY: SUNY Press, 1993), 91–93.
7.
Kritik terhadap Hikmah
Muta‘aliyah
Meskipun Hikmah
Muta‘aliyah Mulla Sadra dianggap sebagai salah satu puncak pencapaian
dalam filsafat Islam, sistem ini tidak luput dari kritik, baik dari kalangan
teolog ortodoks, filosof rasionalis, maupun sarjana modern. Kritik-kritik ini
biasanya menyasar pada aspek metafisika eksistensial Sadra, integrasi antara
filsafat dan irfan, serta pendekatan batiniah terhadap wahyu. Kajian terhadap
kritik ini penting agar pemahaman terhadap Hikmah Muta‘aliyah tetap
bersifat objektif dan kritis.
7.1.
Kritik Teologis:
Kekhawatiran terhadap Paham Wahdat al-Wujūd
Salah satu kritik utama
datang dari kalangan teolog (mutakallimūn), baik Sunni maupun Syiah, terhadap
gagasan Sadra mengenai wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi). Mereka
menilai bahwa konsep ini berpotensi menimbulkan pemahaman yang mengaburkan
batas antara Khalik dan makhluk. Dalam pandangan mereka, doktrin tersebut bisa
mendekati bentuk pantheisme, yang secara teologis bertentangan dengan
prinsip tanzīh (penyucian Tuhan dari segala keserupaan).1
Meskipun Sadra sendiri
berusaha merumuskan wahdat al-wujūd secara filosofis dan menjauhi
ekspresi mistik ekstrem, sebagian ulama tetap memandang pendekatannya terlalu
dekat dengan pandangan Ibn ‘Arabi yang kontroversial. Bahkan, beberapa ulama
kontemporer Syiah lebih memilih pendekatan tashkīk al-wujūd Sadra
(gradasi eksistensi) sebagai alternatif yang lebih moderat dibanding afirmasi
penuh terhadap wahdat al-wujūd.2
7.2.
Kritik Rasionalis:
Ketegangan antara Filsafat dan Irfan
Kalangan rasionalis dan
filosof skolastik mengkritik integrasi antara filsafat dan irfan yang dilakukan
Sadra sebagai bentuk “ketidakdisiplinan metodologis.” Mereka berpendapat bahwa
filsafat, jika ingin tetap ilmiah dan rasional, harus dibatasi pada kerangka
logis dan argumen deduktif, bukan pada pengetahuan intuitif atau pengalaman
mistik yang subjektif.3 Dalam pandangan ini, penggunaan kasyf
dan dzawq sebagai sumber epistemologis dianggap rawan bias dan tidak
dapat diverifikasi secara rasional.
Sebaliknya, Sadra justru
meyakini bahwa kebenaran tidak dapat dijangkau sepenuhnya hanya melalui logika
formal. Oleh karena itu, ia menggabungkan pengalaman spiritual sebagai
instrumen pengetahuan yang otentik, suatu posisi yang tidak diterima oleh
kalangan rasionalis murni dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam filsafat
modern sekuler.
7.3.
Kritik dari
Perspektif Hermeneutika Teks
Pendekatan tafsir batiniah (ta’wīl)
Sadra terhadap Al-Qur’an juga menimbulkan kritik dari beberapa kalangan ahli
tafsir. Mereka menilai bahwa tafsir filosofis dan irfani Sadra terlalu
menekankan makna esoterik ayat, sehingga dikhawatirkan mengaburkan makna zahir
(eksoterik) yang menjadi landasan hukum syar‘i.4 Sebagai contoh,
ketika menafsirkan ayat-ayat tentang cahaya dan penciptaan, Sadra cenderung
memaknai secara metaforis dan simbolis dalam kerangka ontologi dan spiritualitas.
Sebagian ulama khawatir bahwa
pendekatan seperti ini dapat membuka pintu bagi pemaknaan bebas yang tidak
terikat pada konsensus tafsir klasik. Kendati Sadra tetap mematuhi
prinsip-prinsip syari’ah, sensitivitas terhadap metodologi penafsiran membuat
sebagian cendekiawan menilainya melampaui batas kebolehan tafsir filosofis.
7.4.
Tantangan
Kontekstualisasi di Era Modern
Beberapa kritik kontemporer
terhadap Hikmah Muta‘aliyah datang dari pemikir Muslim modernis dan
reformis yang menilai bahwa sistem Sadra terlalu metafisis dan tidak cukup
memberikan jawaban terhadap persoalan sosial, politik, dan ekonomi umat Islam
masa kini.5 Karena fokus Sadra adalah pada realitas transenden dan
perjalanan spiritual individu, ia dianggap belum memberikan rumusan praktis
tentang etika sosial, keadilan ekonomi, atau sistem pemerintahan Islami.
Namun demikian, para
pendukung Sadra membantah kritik ini dengan menyatakan bahwa Hikmah
Muta‘aliyah justru dapat menjadi landasan spiritual dan filosofis bagi
peradaban Islam yang lebih utuh dan berakar pada tauhid. Filsafat transendennya
tidak harus dikontraskan dengan praksis sosial, melainkan dapat menjadi
kerangka dasar untuk pembangunan manusia paripurna.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany, NY: SUNY Press, 1989), 17–19.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 134–135.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 101–103.
[4]
Mulla Sadra, Tafsir al-Qur’an al-Karim, ed. Muhammad Khwansari
(Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2001), vol. 2, 112–115.
[5]
Nader El-Bizri, “The Hermeneutics of Islamic Philosophy: Mulla Sadra
and the Perils of Exegetical Eclecticism,” Comparative Philosophy 1,
no. 2 (2010): 3–5.
8.
Relevansi Hikmah
Muta‘aliyah di Era Kontemporer
Di tengah krisis
multidimensional yang melanda dunia modern—baik dalam aspek moral,
epistemologis, maupun spiritual—pemikiran Mulla Sadra dalam kerangka Hikmah
Muta‘aliyah kembali memperoleh perhatian dari para pemikir Islam
kontemporer. Sistem filsafat transenden Sadra menawarkan alternatif terhadap
fragmentasi pengetahuan modern yang memisahkan antara sains, etika, dan
spiritualitas. Pendekatan integratif Sadra membuka jalan menuju paradigma
keilmuan dan keberagamaan yang holistik, yang sangat dibutuhkan dalam era
global yang serba mekanistik dan materialistik.
8.1.
Kritik terhadap
Sekularisasi Pengetahuan
Salah satu kontribusi besar Hikmah
Muta‘aliyah dalam konteks modern adalah kemampuannya menolak
dikotomi antara akal dan wahyu, antara ilmu dan iman. Sadra
memandang bahwa pengetahuan sejati harus mencakup dimensi akal rasional,
intuisi spiritual, dan petunjuk wahyu. Ini bertolak belakang dengan paradigma
sekular Barat yang membatasi pengetahuan pada aspek empiris-rasional dan
menyingkirkan unsur metafisis serta spiritualitas.1
Seyyed Hossein Nasr, salah
satu sarjana terkemuka yang menghidupkan kembali warisan Sadra di abad ke-20,
menyatakan bahwa filsafat Sadra dapat menjadi landasan untuk membangun kembali
“ilmu sakral” (sacred science) dalam Islam, yaitu pengetahuan
yang berakar pada tauhid dan kesadaran akan realitas transenden.2
8.2.
Kerangka Filsafat
Pendidikan Islam yang Integral
Dalam dunia pendidikan,
pemikiran Sadra menawarkan kerangka filosofis untuk membangun
pendidikan Islam yang menyeluruh—yakni pendidikan yang tidak
hanya mencerdaskan akal, tetapi juga membentuk akhlak dan menyucikan jiwa.
Konsep harakah jawhariyyah (gerak substansial) dapat ditafsirkan
sebagai model perkembangan manusia secara bertahap dari dimensi material menuju
dimensi spiritual dan ilahiah.3
Dengan demikian, pendidikan
tidak hanya dimaknai sebagai transfer pengetahuan, melainkan sebagai proses
transformasi eksistensial yang menjadikan manusia sadar akan tujuan
penciptaannya. Hal ini sejalan dengan misi pendidikan Islam yang bertujuan
membentuk insan kāmil (manusia paripurna), bukan sekadar insan
profesional.
8.3.
Solusi bagi Krisis
Spiritualitas Modern
Dalam konteks sosial, Hikmah
Muta‘aliyah relevan untuk menjawab krisis spiritualitas
yang melanda manusia modern, yang mengalami kekosongan makna
akibat dominasi konsumsi, hedonisme, dan sekularisme. Dengan mengajarkan bahwa
eksistensi manusia memiliki dimensi transenden yang tak dapat dipuaskan oleh
materi, filsafat Sadra menawarkan jalan spiritual yang rasional—yakni
kembalinya manusia kepada Tuhan melalui penyempurnaan eksistensinya.4
Berbeda dengan spiritualitas
populer yang dangkal dan sinkretik, Sadra menawarkan spiritualitas yang
berbasis wahyu dan dibangun di atas kerangka filsafat dan irfan yang mendalam.
Hal ini membuatnya sangat relevan bagi generasi Muslim terpelajar yang mencari
kedalaman spiritual tanpa harus meninggalkan rasionalitas dan ortodoksi Islam.
8.4.
Filsafat Islam
sebagai Pilar Peradaban
Secara lebih luas, Hikmah
Muta‘aliyah dapat menjadi pondasi filsafat
peradaban Islam yang menjawab tantangan modernitas tanpa harus
tunduk pada nilai-nilai Barat. Pendekatan Sadra yang sintetik dan
inklusif—menggabungkan ilmu, iman, dan amal—menawarkan model epistemologi dan aksiologi
Islam yang dapat diaktualisasikan dalam bidang-bidang strategis seperti politik
etis, ekonomi spiritual, dan teknologi beradab.5
Para pemikir kontemporer
seperti Muhammad Legenhausen dan Reza Shah-Kazemi bahkan menekankan bahwa pendekatan
Sadra sangat berguna untuk menjembatani dialog antaragama dan membangun fondasi
teologis bagi perdamaian berbasis nilai-nilai metafisis universal, tanpa
kehilangan akar Islamnya.6
Footnotes
[1]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 135–137.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany,
NY: SUNY Press, 1993), 111–113.
[3]
Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics
(Richmond: Curzon Press, 1997), 142–144.
[4]
Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 59–61.
[5]
Muhammad Legenhausen, “Philosophy and the Quest for Unity: Mulla
Sadra's Approach,” Islamic Studies 39, no. 3 (2000): 409–412.
[6]
Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara,
Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington, IN: World Wisdom, 2006),
77–79.
9.
Kesimpulan
Mulla Sadra
merupakan salah satu pemikir paling monumental dalam sejarah filsafat Islam.
Melalui sistem filsafatnya yang dikenal sebagai Hikmah Muta‘aliyah
(Filsafat Transenden), ia berhasil menyatukan secara harmonis tiga elemen utama
dalam khazanah keilmuan Islam: filsafat rasional,
irfan (mistisisme), dan syari’ah
(wahyu Ilahi). Sintesis ini tidak hanya mencerminkan keluasan
keilmuan dan spiritualitas Sadra, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak umat
Islam pada zamannya—dan bahkan hingga kini—akan suatu sistem pemikiran yang
menyeluruh, integratif, dan transformatif.
Prinsip-prinsip utama Hikmah
Muta‘aliyah seperti asālat al-wujūd (keprimordian eksistensi), tasykīk
al-wujūd (gradasi eksistensi), ḥarakah jawhariyyah (gerak
substansial), dan wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi) telah
merevolusi orientasi metafisika Islam dari pendekatan esensialis dan statis ke
arah pandangan eksistensialis dan dinamis. Sadra tidak sekadar menggabungkan
warisan pemikiran sebelumnya, tetapi menciptakan sintesis kreatif yang menjadi
sistem filsafat baru dan berdiri kokoh dalam tradisi Islam.1
Kontribusinya bukan hanya
bersifat teoretis, tetapi juga sangat berpengaruh secara institusional dan
praktis. Sekolah filsafat di Qom, Isfahan, dan Hauzah Ilmiyah modern banyak
mengambil inspirasi dari Hikmah Muta‘aliyah, baik dalam kajian
filsafat murni, tafsir Al-Qur’an, maupun pendidikan Islam. Para pemikir besar
seperti Allamah Thabathaba’i, Murtadha Mutahhari, dan Imam Khomeini merupakan
penerus langsung warisan Sadra dalam upaya revitalisasi keilmuan Islam
kontemporer.2
Meskipun tidak luput dari
kritik—baik dari kalangan teolog ortodoks, rasionalis murni, maupun kaum
modernis—pemikiran Sadra tetap relevan dan bahkan semakin mendapatkan tempat di
tengah krisis spiritualitas dan fragmentasi pengetahuan di era modern. Sistem
filsafatnya menawarkan pendekatan integral terhadap realitas yang menggabungkan
kekuatan akal, kedalaman ruhani, dan ketaatan syar‘i dalam satu kesatuan yang
utuh dan konsisten.
Sebagai warisan intelektual, Hikmah
Muta‘aliyah merupakan sumbangan terbesar peradaban Islam dalam bidang
filsafat metafisika, sekaligus model epistemologi alternatif
yang sangat dibutuhkan di zaman sekarang. Ia menunjukkan bahwa Islam memiliki
sumber daya intelektual yang luar biasa untuk membangun sistem pengetahuan dan
peradaban yang tidak hanya rasional dan ilmiah, tetapi juga spiritual dan
ilahiah. Dalam kata-kata Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra adalah filsuf
Islam terakhir yang besar dalam pengertian klasik, dan sistemnya adalah puncak
dari perjalanan panjang filsafat Islam.”_3
Footnotes
[1]
Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics
(Richmond: Curzon Press, 1997), 145–147.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 153–154.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), xvi.
Daftar Pustaka
Amin Razavi, M. (1997). Mulla Sadra and the
problem of metaphysics. Curzon Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. State University of New York
Press.
El-Bizri, N. (2010). The hermeneutics of Islamic
philosophy: Mulla Sadra and the perils of exegetical eclecticism. Comparative
Philosophy, 1(2), 1–15.
Hairi Yazdi, M. (1992). The principles of
epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. State University
of New York Press.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford
University Press.
Legenhausen, M. (2000). Philosophy and the quest
for unity: Mulla Sadra's approach. Islamic Studies, 39(3), 407–425.
Leaman, O. (2009). A brief introduction to
Islamic philosophy (2nd ed.). Blackwell Publishing.
Nasr, S. H. (1975). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi. Caravan Books.
Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his
transcendent theosophy: Background, life and works. Imperial Iranian
Academy of Philosophy.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred
science. State University of New York Press.
Sadra, M. (2001). Tafsir al-Qur’an al-Karim
(M. Khwansari, Ed.). Sadra Islamic Philosophy Research Institute.
Sadra, M. (2010). Al-Asfar al-Arba‘ah (I.
Kalin, Ed. & Trans.). In I. Kalin, Knowledge in later Islamic
philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition (pp. 27–79).
Oxford University Press.
Shah-Kazemi, R. (2006). Paths to transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart. World Wisdom.
Ziai, H. (1996). Sadra’s theory of substantial
motion. In S. H. Nasr & O. Leaman (Eds.), The Routledge history of
Islamic philosophy (pp. 635–637). Routledge.
Ziai, H. (2005). Mīr Dāmād and the epistemology of
Sadrian metaphysics. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge
companion to Arabic philosophy (pp. 415–432). Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar