Jumat, 28 Maret 2025

Hikmah Muta‘aliyah: Sintesis Filsafat, Irfan, dan Syari’ah dalam Tradisi Islam

Hikmah Muta‘aliyah

Sintesis Filsafat, Irfan, dan Syari’ah dalam Tradisi Islam


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif sistem filsafat Hikmah Muta‘aliyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī), seorang filsuf besar Islam dari abad ke-17. Dalam karya-karyanya, Sadra menyajikan sintesis kreatif antara filsafat peripatetis, filsafat iluminatif, irfan teoretis, dan ajaran syari’ah Islam. Artikel ini mengulas latar belakang intelektual dan biografi Sadra, serta menelaah prinsip-prinsip utama pemikirannya seperti asālat al-wujūd, tasykīk al-wujūd, ḥarakah jawhariyyah, dan wahdat al-wujūd. Dengan pendekatan integratifnya, Sadra tidak hanya merumuskan sistem metafisika Islam yang mendalam, tetapi juga memberikan dasar epistemologis dan spiritual yang relevan untuk menjawab tantangan modernitas, krisis spiritualitas, serta fragmentasi pengetahuan di era kontemporer. Artikel ini juga mengkaji berbagai kritik terhadap Hikmah Muta‘aliyah, baik dari sudut pandang teologis, rasionalis, maupun modernis. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa pemikiran Mulla Sadra memiliki posisi penting dalam revitalisasi filsafat Islam dan pengembangan paradigma keilmuan Islam yang holistik dan transformatif.

Kata Kunci: Mulla Sadra, Hikmah Muta‘aliyah, filsafat Islam, irfan, syari’ah, ontologi Islam, epistemologi Islam, metafisika, tasawuf falsafi, pendidikan Islam, krisis spiritualitas.


PEMBAHASAN

Hikmah Muta‘aliyah Mulla Sadra


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan warisan intelektual yang dinamis, berkembang sejak masa penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 dan mencapai puncak awalnya melalui pemikiran tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Namun demikian, perkembangan filsafat Islam tidak berhenti pada fase rasionalistis tersebut. Pada abad ke-12 dan 13, muncul arus filsafat iluminatif (hikmah isyraqiyyah) yang digagas oleh Shihabuddin Suhrawardi, yang menekankan peran intuisi dan cahaya dalam pencapaian pengetahuan metafisis. Tradisi ini kemudian menjadi salah satu fondasi bagi transformasi besar dalam filsafat Islam yang terjadi pada abad ke-17 melalui sosok Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī, w. 1640 M).1

Mulla Sadra dikenal sebagai pemikir yang berhasil menyintesiskan berbagai arus besar pemikiran Islam—yakni filsafat rasional peripatetis (mashsha’iyyah) ala Ibnu Sina, filsafat iluminatif (isyraqiyyah) ala Suhrawardi, spiritualitas irfan teoritis dari Ibn ‘Arabi, serta prinsip-prinsip syari’ah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan hadis—ke dalam suatu sistem filsafat transenden yang ia sebut sebagai Hikmah Muta‘aliyah atau Transcendent Theosophy.2 Konsep ini bukan hanya merepresentasikan pencapaian puncak dalam sistematika filsafat Islam, tetapi juga menandai suatu paradigma baru yang menyatukan antara akal dan intuisi, antara metafisika dan spiritualitas, antara rasio dan wahyu.

Kemunculan Mulla Sadra terjadi pada masa Dinasti Safawiyah di Persia, suatu era yang mendukung kebangkitan keilmuan dan spiritualitas Syiah di wilayah tersebut. Lingkungan intelektual di Isfahan—yang kala itu menjadi pusat filsafat dan teologi—memberi ruang bagi Sadra untuk mengembangkan pandangan-pandangan filosofis yang orisinal. Ia menolak dikotomi antara wahyu dan filsafat yang sering dipertentangkan dalam tradisi Islam, dan justru mengintegrasikan keduanya dalam pendekatan yang mendalam, kontemplatif, dan komprehensif terhadap realitas.3

Dalam konteks modern, pemikiran Mulla Sadra kembali memperoleh perhatian serius dari kalangan filsuf Muslim kontemporer karena relevansinya dalam menjawab tantangan krisis spiritual dan dikotomi antara ilmu dan agama. Sistemnya yang integratif menawarkan alternatif terhadap pendekatan positivistik Barat yang cenderung memisahkan antara aspek rasional dan spiritual manusia.4 Oleh karena itu, kajian terhadap Hikmah Muta‘aliyah tidak hanya penting sebagai warisan intelektual Islam, tetapi juga sebagai landasan bagi pengembangan paradigma keilmuan Islam yang holistik dan transformatif di masa kini.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 144–146.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 57.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 15–17.

[4]                Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 4–5.


2.           Biografi Singkat Mulla Sadra

Mulla Sadra, yang memiliki nama lengkap Ṣadr al-Dīn Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Qawāmī al-Shīrāzī, lahir pada tahun 979 H/1571 M di kota Shiraz, Persia, dalam keluarga terpandang dan religius.1 Ayahnya, Ibrahim Qawami, adalah pejabat tinggi yang saleh dan dikenal sebagai dermawan yang mendukung kegiatan keilmuan. Sejak kecil, Sadra telah menunjukkan kecerdasan luar biasa dan ketertarikan mendalam pada studi keagamaan dan filsafat. Ia kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Isfahan, yang saat itu merupakan pusat intelektual paling maju di bawah perlindungan Dinasti Safawi.

Di Isfahan, Sadra menimba ilmu dari sejumlah guru besar yang berpengaruh dalam pemikiran filsafat dan keislaman. Dua guru utamanya yang sangat membentuk pemikiran Sadra adalah Mir Damad (w. 1631), seorang tokoh utama dalam filsafat iluminatif, dan Shaykh Baha’ī (w. 1621), ulama serba bisa yang menguasai berbagai bidang ilmu, termasuk fikih, tafsir, dan matematika.2 Dari keduanya, Sadra tidak hanya memperoleh dasar-dasar filsafat rasional dan spiritual, tetapi juga metode integratif yang akan menjadi ciri khas pemikiran filsafat transendennya.

Meski telah mencapai kedudukan intelektual tinggi di Isfahan, Sadra kemudian memilih untuk mengasingkan diri ke desa Kahak, dekat Qom. Di sana ia menjalani masa kontemplatif yang panjang, menyelami ilmu-ilmu spiritual dan menyempurnakan pemikirannya yang orisinal. Menurut sejumlah riwayat, masa uzlah ini merupakan periode penting dalam pembentukan gagasan-gagasan metafisisnya, termasuk teori gerak substansial (harakah jawhariyyah) dan eksistensi sebagai realitas utama (asalat al-wujud).3

Setelah kembali dari pengasingannya, Sadra mengajar di berbagai madrasah dan kemudian menetap kembali di Shiraz, di mana ia diangkat sebagai kepala madrasah oleh penguasa lokal. Di madrasah tersebut, ia mengajarkan filsafat, tafsir Al-Qur’an, hadis, dan irfan kepada murid-muridnya, di antaranya terdapat tokoh penting seperti Mulla Muhsin Faydh al-Kashani dan ‘Abd al-Razzaq Lahiji.4

Mulla Sadra wafat pada tahun 1050 H/1640 M dalam perjalanan haji ke Makkah. Ia meninggalkan warisan pemikiran yang sangat luas dalam bentuk karya-karya tulis monumental. Di antara karya terbesarnya adalah Al-Asfar al-Arba‘ah (“Empat Perjalanan Intelektual”), sebuah ensiklopedia filsafat Islam yang mengintegrasikan rasionalisme, iluminasi, dan intuisi spiritual dalam struktur pemikiran yang sistematis dan mendalam.5 Karya-karya lainnya mencakup Mafatih al-Ghayb, Sharh Usul al-Kafi, dan Tafsir al-Qur’an al-Karim, yang menunjukkan keluasan bidang keilmuan Sadra dari filsafat murni hingga tafsir Al-Qur’an dan irfan.


Footnotes

[1]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 59–60.

[2]                Hossein Ziai, “Mīr Dāmād and the Epistemology of Sadrian Metaphysics,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 417.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 22–23.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 150–151.

[5]                Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics (Richmond: Curzon Press, 1997), 41–43.


3.           Konsep Dasar Hikmah Muta‘aliyah

Istilah Hikmah Muta‘aliyah secara harfiah berarti "kebijaksanaan yang transenden" atau "filsafat yang tinggi (agung)". Mulla Sadra menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sistem filsafatnya yang tidak hanya mengandalkan akal sebagai sumber kebenaran, tetapi juga mengintegrasikan intuisi spiritual (dzawq), pengalaman mistis (kasyf), dan petunjuk wahyu syar’i sebagai sumber pengetahuan metafisis yang sahih dan otentik.1 Dalam kerangka ini, hikmah bukan sekadar aktivitas rasional-intelektual, melainkan merupakan bentuk penyempurnaan jiwa menuju kebenaran sejati melalui sintesis antara akal, spiritualitas, dan wahyu.

Mulla Sadra sendiri mendefinisikan filsafat sebagai “kesempurnaan akhir manusia sebagai manusia, yang diperoleh melalui pengetahuan esensial tentang realitas-realitas sebagaimana adanya, sejauh kemampuan manusia.”_2 Definisi ini menempatkan filsafat sebagai jalan penyempurnaan eksistensial, bukan sekadar pengumpulan proposisi logis. Di sinilah letak perbedaan antara filsafat Sadra dan pendekatan-pendekatan sebelumnya. Jika filsafat mashsha’iyyah (peripatetis) seperti dalam tradisi Ibnu Sina menekankan deduksi logis dan sistematika rasional, dan filsafat isyraqiyyah (iluminatif) ala Suhrawardi menekankan intuisi dan simbol cahaya, maka hikmah muta‘aliyah menyatukan keduanya dalam kerangka metafisika eksistensial yang mendalam dan menyeluruh.3

Salah satu aspek penting dari pendekatan hikmah muta‘aliyah adalah penekanannya pada eksistensi (wujud) sebagai realitas primer dalam metafisika. Sadra menyatakan bahwa keberadaan lebih fundamental daripada esensi (mahiyyah), suatu pendirian yang disebut sebagai teori asalat al-wujud (keprimordian eksistensi). Ia menentang pandangan filsuf-filsuf sebelumnya yang menganggap esensi sebagai landasan ontologis segala sesuatu. Dengan menjadikan wujud sebagai dasar realitas, Sadra membuka jalan bagi pendekatan metafisika dinamis yang memungkinkan pemahaman gradasi realitas, transformasi spiritual, dan keterhubungan kosmos dengan Tuhan secara langsung.4

Di samping itu, pendekatan Sadra juga mencerminkan pengaruh kuat dari tradisi irfan Ibn ‘Arabi. Sadra mengadopsi konsep spiritualitas sebagai medium penyingkapan kebenaran tertinggi, tetapi tetap memberikan porsi penting pada argumen rasional dan metodologi filsafat sistematik. Ia percaya bahwa intuisi mistis yang sahih tidak akan bertentangan dengan akal sehat dan argumentasi logis, tetapi justru saling menguatkan. Dalam konteks ini, hikmah muta‘aliyah mencerminkan visi epistemologi Islam yang inklusif—yang mengakui validitas burhan (argumen rasional), kasyf (penyingkapan spiritual), dan wahyu (syari‘ah).5

Dengan demikian, hikmah muta‘aliyah bukan sekadar sistem filsafat dalam pengertian teknis, tetapi sebuah pendekatan komprehensif terhadap hakikat realitas dan kehidupan. Ia menawarkan kerangka pemikiran yang menyatukan dimensi intelektual, eksistensial, dan spiritual manusia, menjadikannya sebagai jalan penyempurnaan diri menuju realitas tertinggi—yaitu Tuhan. Konsep ini tidak hanya relevan dalam kerangka pemikiran metafisis, tetapi juga memberikan dasar yang kuat bagi pemikiran etika, kosmologi, dan teologi dalam Islam.


Footnotes

[1]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 67.

[2]                Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics (Richmond: Curzon Press, 1997), 51.

[3]                Hossein Ziai, “Suhrawardi and the School of Illumination,” dalam History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London: Routledge, 1996), 456–459.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 42–45.

[5]                Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 13–16.


4.           Prinsip-Prinsip Filsafat Mulla Sadra dalam Hikmah Muta‘aliyah

Sistem filsafat Mulla Sadra yang dikenal sebagai Hikmah Muta‘aliyah dibangun di atas empat prinsip utama yang menjadi pilar pemikirannya. Keempat prinsip tersebut bukan sekadar konsep-konsep abstrak, melainkan fondasi ontologis dan epistemologis yang memungkinkan penggabungan antara filsafat rasional, spiritualitas irfan, dan syari’ah Islam dalam satu kerangka yang kohesif dan menyeluruh.

4.1.       Asālat al-Wujūd (Keberadaan sebagai Realitas Pokok)

Salah satu kontribusi paling revolusioner dari Mulla Sadra adalah gagasan bahwa wujud (eksistensi) adalah realitas utama dan fundamental, bukan mahiyyah (esensi). Dalam filsafat Islam sebelumnya, terutama dalam tradisi peripatetik Ibnu Sina, perdebatan tentang mana yang lebih mendasar antara wujud dan mahiyyah telah lama menjadi isu sentral. Sadra menegaskan bahwa esensi hanyalah sesuatu yang dikonstruksi dalam pikiran, sementara wujud adalah realitas aktual dan konkret.1

Pandangan ini membalikkan orientasi metafisika klasik dan menjadi dasar bagi sistem ontologi dinamis Sadra, di mana realitas bukanlah sekumpulan esensi statis, tetapi eksistensi yang hidup dan bertingkat. Dengan prinsip ini, Sadra membangun jembatan antara wahdatul wujud dalam irfan Ibn ‘Arabi dan logika metafisika filosofis yang ketat.2

4.2.       Tasykīk al-Wujūd (Gradasi Eksistensi)

Bersandar pada asālat al-wujūd, Sadra mengembangkan teori tasykīk al-wujūd atau gradasi eksistensi. Menurutnya, eksistensi bukan hanya satu dan universal, tetapi juga memiliki tingkatan kualitas yang beragam. Artinya, segala sesuatu yang ada memiliki wujud, namun pada level intensitas dan kesempurnaan yang berbeda-beda.

Dalam sistem ini, Tuhan adalah puncak eksistensi yang paling sempurna, sedangkan makhluk-makhluk berada dalam gradasi yang lebih rendah sesuai dengan kapasitas ontologisnya.3 Konsep ini juga memungkinkan penggabungan antara tauhid metafisis dan pluralitas kosmis, yang mencerminkan pandangan spiritual Islam bahwa semua makhluk berasal dari dan kembali kepada Tuhan.

4.3.       Ḥarakah Jawhariyyah (Gerak Substansial)

Salah satu teori orisinal Sadra yang tidak ditemukan dalam filsafat sebelumnya adalah konsep gerak substansial. Berbeda dengan gerak aksidental (perubahan dalam kuantitas, kualitas, tempat), Sadra berpendapat bahwa seluruh realitas berada dalam keadaan gerak terus-menerus pada tingkat substansi. Dengan kata lain, eksistensi tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan progresif.4

Implikasi penting dari teori ini adalah pandangan tentang kosmos sebagai sistem evolusioner spiritual—segala sesuatu menuju penyempurnaan dan aktualisasi diri dalam wujudnya yang tertinggi, yaitu Tuhan. Ini juga menjelaskan perkembangan jiwa manusia sebagai perjalanan spiritual dari bentuk material menuju realitas rohaniah yang abadi.5

4.4.       Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Eksistensi)

Meski bukan penggagas pertama, Sadra mengafirmasi dan memformulasikan ulang doktrin wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi) dalam kerangka filosofis yang ketat. Ia mengambil inspirasi dari irfan Ibn ‘Arabi tetapi memberinya justifikasi rasional melalui teori gradasi dan eksistensi. Bagi Sadra, tidak ada eksistensi yang benar-benar independen kecuali Tuhan; segala yang lain hanyalah pancaran dan manifestasi dari eksistensi-Nya yang mutlak.6

Namun, berbeda dengan pendekatan irfan murni yang lebih simbolik dan intuitif, Sadra menjelaskan doktrin ini dalam bahasa filosofis yang memungkinkan pemahaman rasional dan konseptual. Dengan demikian, ia menjembatani dunia filsafat dan tasawuf dalam satu sintesis yang harmonis.


Footnotes

[1]                Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics (Richmond: Curzon Press, 1997), 74–76.

[2]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 88–89.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 61–63.

[4]                Hossein Ziai, “Sadra’s Theory of Substantial Motion,” dalam The Routledge History of Islamic Philosophy, ed. Nasr dan Leaman (London: Routledge, 1996), 635–637.

[5]                Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 37–39.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn 'Arabi (Delmar: Caravan Books, 1975), 130–133.


5.           Sintesis antara Filsafat, Irfan, dan Syari’ah

Salah satu aspek paling khas dan mendalam dari Hikmah Muta‘aliyah Mulla Sadra adalah kemampuannya dalam menyintesiskan tiga ranah epistemologi utama dalam Islam: rasionalitas filsafat (falsafah), pengalaman mistis (‘irfān), dan wahyu syari’ah (al-sharī‘ah). Dalam pandangan Sadra, kebenaran tidak dimonopoli oleh salah satu pendekatan tersebut, melainkan harus dicapai melalui penggabungan akal, intuisi spiritual, dan bimbingan wahyu yang saling menyempurnakan.1

5.1.       Filsafat: Jalan Rasionalitas dan Argumentasi

Mulla Sadra tidak menolak pendekatan rasional sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan sufi atau tradisionalis. Sebaliknya, ia mengakui keabsahan burhān (demonstrasi logis) sebagai metode yang sah dalam pencapaian kebenaran. Namun, ia juga menyadari bahwa akal memiliki keterbatasan, terutama dalam menyentuh realitas metafisis tertinggi seperti zat Tuhan dan hakikat akhir kehidupan. Oleh karena itu, filsafat dalam sistem Sadra bukan merupakan tujuan akhir, melainkan salah satu tahapan dalam proses epistemologis yang lebih luas.2

5.2.       Irfan: Jalan Intuisi dan Penyingkapan Spiritual

Sadra sangat dipengaruhi oleh tradisi irfan falsafi yang berkembang melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Ibn ‘Arabi dan Qunawi. Ia mengakui bahwa kasyf dan syuhūd (penyingkapan batin dan penyaksian spiritual) merupakan sarana sah dalam memahami hakikat realitas. Namun berbeda dari pendekatan mistik murni yang bersifat simbolik dan personal, Sadra berusaha memberikan kerangka konseptual dan filosofis bagi pengalaman mistis tersebut, menjadikannya dapat dianalisis dan diajarkan secara sistematis dalam ruang keilmuan.3

Dalam Al-Asfār al-Arba‘ah, Sadra membagi perjalanan intelektual dan spiritual manusia ke dalam empat perjalanan utama: (1) dari makhluk menuju Tuhan, (2) dalam Tuhan, (3) dari Tuhan kembali kepada makhluk, dan (4) bersama Tuhan dalam makhluk. Skema ini menunjukkan struktur irfan teoritis yang digabungkan dengan rasionalitas filsafat dan nilai-nilai kenabian dalam syari’ah.4

5.3.       Syari’ah: Jalan Wahyu sebagai Otoritas Tertinggi

Meski menjunjung tinggi filsafat dan irfan, Mulla Sadra tidak pernah mengesampingkan peran syari’ah Islam sebagai fondasi utama kehidupan spiritual dan intelektual. Dalam pandangannya, ajaran-ajaran wahyu dalam Al-Qur’an dan hadis adalah sumber kebenaran tertinggi yang tidak boleh dikalahkan oleh hasil rasio atau intuisi semata. Bahkan, banyak konsep metafisika dan kosmologi dalam karyanya bersumber dari penafsiran filosofis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, seperti konsep gerak substansial yang diilhami dari tafsir terhadap QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 30 dan QS. Al-Nur [24] ayat 35.5

Sadra juga menulis tafsir filosofis terhadap Al-Qur’an, yang menunjukkan kemampuannya menyeimbangkan antara keilmuan filosofis dan kepatuhan terhadap teks wahyu. Dalam karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim, ia menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya secara lahiriah, tetapi juga dengan pendekatan batiniah, irfani, dan filosofis, menjadikan wahyu sebagai cahaya pemandu bagi akal dan intuisi.6

5.4.       Harmonisasi Tiga Epistemologi

Sadra memandang bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai ketika tiga sumber pengetahuan ini—akal, intuisi, dan wahyu—bekerja dalam harmoni. Ia mengkritik para filsuf yang terlalu mengandalkan rasio dan menolak intuisi serta wahyu, sebagaimana ia juga mengkritik para sufi ekstrem yang mengabaikan rasionalitas dan struktur syari’ah. Dengan demikian, Hikmah Muta‘aliyah menjadi model epistemologi integratif, yang merepresentasikan cita-cita Islam tentang keseimbangan antara dimensi intelektual, spiritual, dan syariat dalam kehidupan manusia.7


Footnotes

[1]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 112–114.

[2]                Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics (Richmond: Curzon Press, 1997), 91–93.

[3]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany, NY: SUNY Press, 1998), 7–9.

[4]                Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. dan trans. Ibrahim Kalin, dalam Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 27–29.

[5]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 89–92.

[6]                Mulla Sadra, Tafsir al-Qur’an al-Karim, ed. Muhammad Khwansari (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2001), vol. 1, 45–48.

[7]                Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 65–67.


6.           Kontribusi Hikmah Muta‘aliyah terhadap Filsafat Islam

Hikmah Muta‘aliyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra merupakan tonggak penting dalam sejarah filsafat Islam. Sistem filsafat ini tidak hanya menyempurnakan warisan intelektual sebelumnya, tetapi juga memberikan arah baru bagi pengembangan metafisika Islam, epistemologi, kosmologi, dan spiritualitas. Kontribusinya terbentang dari aspek metodologis hingga dampak institusional dan historis, menjadikannya salah satu sistem filsafat Islam yang paling berpengaruh di era pascaklasik hingga kontemporer.

6.1.       Peneguhan Ontologi Eksistensialis dalam Islam

Konsep asālat al-wujūd (keprimordian eksistensi) merupakan kontribusi Sadra yang paling berpengaruh dalam tradisi metafisika Islam. Dengan menjadikan wujud sebagai dasar segala realitas dan bukan mahiyyah (esensi), Sadra menggeser paradigma filsafat Islam dari pendekatan esensialis menuju pendekatan eksistensialis. Hal ini memperkaya khazanah pemikiran ontologis Islam dengan perspektif yang lebih dinamis, terbuka terhadap perkembangan dan transformasi.1 Gagasannya ini telah memengaruhi banyak pemikir setelahnya, baik dalam konteks filsafat tradisional maupun dalam upaya membangun kembali filsafat Islam di era modern.

6.2.       Integrasi Epistemologi Rasional dan Intuitif

Sadra berhasil mengembangkan sistem epistemologi yang memadukan antara ‘ilm al-husūlī (pengetahuan representasional) dan ‘ilm al-hudūrī (pengetahuan dengan kehadiran langsung).2 Ini merupakan lompatan besar dalam teori pengetahuan Islam karena menyatukan dimensi akal dan intuisi spiritual dalam satu kesatuan epistemik yang utuh. Pendekatan ini kemudian menjadi acuan penting bagi filsuf-filsuf Syiah kontemporer, seperti Allamah Thabathaba’i dan Murtadha Mutahhari, yang berusaha menjawab tantangan modernitas dengan mengembangkan epistemologi Islam yang tidak terjebak dalam rasionalisme Barat yang kering atau mistisisme yang eksklusif.

6.3.       Pembentukan Mazhab Filsafat di Qom dan Hauzah Ilmiyah

Kontribusi institusional dari Hikmah Muta‘aliyah terlihat jelas dalam pengaruhnya terhadap madrasah-madrasah filsafat di wilayah Persia, khususnya di Qom dan Isfahan. Sadra dianggap sebagai pendiri mazhab filsafat Syiah pascaklasik, yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti Mulla Faydh al-Kāshānī dan ‘Abd al-Razzāq al-Lāhijī.3 Tradisi ini berlanjut dan berkembang hingga abad ke-20, ketika tokoh-tokoh seperti Imam Khomeini, Muhammad Husain Tabataba’i, dan Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani menjadikan Hikmah Muta‘aliyah sebagai kerangka dasar dalam pendidikan filsafat di hauzah-hauzah ilmiah.

6.4.       Kontribusi terhadap Filsafat Ketuhanan dan Jiwa

Dalam Al-Asfār al-Arba‘ah, Sadra menjelaskan teori tentang Tuhan, jiwa, dan penciptaan yang menggabungkan pendekatan Ibn Sina, Ibn ‘Arabi, dan Suhrawardi. Ia menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud murni dan sumber segala realitas, sementara jiwa manusia mengalami gerak substansial menuju kesempurnaan. Konsep ini mengokohkan pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk spiritual yang terus berkembang menuju Tuhan, dan memberikan sumbangan besar terhadap filsafat ketuhanan (ilahiyyāt) dan antropologi spiritual Islam.4

6.5.       Pengaruh terhadap Pemikiran Filsafat Islam Kontemporer

Relevansi Hikmah Muta‘aliyah tidak berhenti pada masa klasik. Dalam konteks modern, pemikiran Sadra banyak diadopsi dan dikembangkan ulang untuk menjawab tantangan filosofis dan spiritual umat Islam di era kontemporer. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, menjadikan Sadra sebagai inspirasi utama dalam proyek pemulihan filsafat Islam yang integral dan sakral sebagai respons terhadap sekularisme modern.5 Gagasan Sadra juga menjadi rujukan dalam filsafat Islam transformatif yang berusaha membangun sains Islam, etika sosial, dan pendidikan berbasis tauhid.


Footnotes

[1]                Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics (Richmond: Curzon Press, 1997), 105–107.

[2]                Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 25–28.

[3]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 153–154.

[4]                Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. dan trans. Ibrahim Kalin, dalam Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 74–79.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany, NY: SUNY Press, 1993), 91–93.


7.           Kritik terhadap Hikmah Muta‘aliyah

Meskipun Hikmah Muta‘aliyah Mulla Sadra dianggap sebagai salah satu puncak pencapaian dalam filsafat Islam, sistem ini tidak luput dari kritik, baik dari kalangan teolog ortodoks, filosof rasionalis, maupun sarjana modern. Kritik-kritik ini biasanya menyasar pada aspek metafisika eksistensial Sadra, integrasi antara filsafat dan irfan, serta pendekatan batiniah terhadap wahyu. Kajian terhadap kritik ini penting agar pemahaman terhadap Hikmah Muta‘aliyah tetap bersifat objektif dan kritis.

7.1.       Kritik Teologis: Kekhawatiran terhadap Paham Wahdat al-Wujūd

Salah satu kritik utama datang dari kalangan teolog (mutakallimūn), baik Sunni maupun Syiah, terhadap gagasan Sadra mengenai wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi). Mereka menilai bahwa konsep ini berpotensi menimbulkan pemahaman yang mengaburkan batas antara Khalik dan makhluk. Dalam pandangan mereka, doktrin tersebut bisa mendekati bentuk pantheisme, yang secara teologis bertentangan dengan prinsip tanzīh (penyucian Tuhan dari segala keserupaan).1

Meskipun Sadra sendiri berusaha merumuskan wahdat al-wujūd secara filosofis dan menjauhi ekspresi mistik ekstrem, sebagian ulama tetap memandang pendekatannya terlalu dekat dengan pandangan Ibn ‘Arabi yang kontroversial. Bahkan, beberapa ulama kontemporer Syiah lebih memilih pendekatan tashkīk al-wujūd Sadra (gradasi eksistensi) sebagai alternatif yang lebih moderat dibanding afirmasi penuh terhadap wahdat al-wujūd.2

7.2.       Kritik Rasionalis: Ketegangan antara Filsafat dan Irfan

Kalangan rasionalis dan filosof skolastik mengkritik integrasi antara filsafat dan irfan yang dilakukan Sadra sebagai bentuk “ketidakdisiplinan metodologis.” Mereka berpendapat bahwa filsafat, jika ingin tetap ilmiah dan rasional, harus dibatasi pada kerangka logis dan argumen deduktif, bukan pada pengetahuan intuitif atau pengalaman mistik yang subjektif.3 Dalam pandangan ini, penggunaan kasyf dan dzawq sebagai sumber epistemologis dianggap rawan bias dan tidak dapat diverifikasi secara rasional.

Sebaliknya, Sadra justru meyakini bahwa kebenaran tidak dapat dijangkau sepenuhnya hanya melalui logika formal. Oleh karena itu, ia menggabungkan pengalaman spiritual sebagai instrumen pengetahuan yang otentik, suatu posisi yang tidak diterima oleh kalangan rasionalis murni dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam filsafat modern sekuler.

7.3.       Kritik dari Perspektif Hermeneutika Teks

Pendekatan tafsir batiniah (ta’wīl) Sadra terhadap Al-Qur’an juga menimbulkan kritik dari beberapa kalangan ahli tafsir. Mereka menilai bahwa tafsir filosofis dan irfani Sadra terlalu menekankan makna esoterik ayat, sehingga dikhawatirkan mengaburkan makna zahir (eksoterik) yang menjadi landasan hukum syar‘i.4 Sebagai contoh, ketika menafsirkan ayat-ayat tentang cahaya dan penciptaan, Sadra cenderung memaknai secara metaforis dan simbolis dalam kerangka ontologi dan spiritualitas.

Sebagian ulama khawatir bahwa pendekatan seperti ini dapat membuka pintu bagi pemaknaan bebas yang tidak terikat pada konsensus tafsir klasik. Kendati Sadra tetap mematuhi prinsip-prinsip syari’ah, sensitivitas terhadap metodologi penafsiran membuat sebagian cendekiawan menilainya melampaui batas kebolehan tafsir filosofis.

7.4.       Tantangan Kontekstualisasi di Era Modern

Beberapa kritik kontemporer terhadap Hikmah Muta‘aliyah datang dari pemikir Muslim modernis dan reformis yang menilai bahwa sistem Sadra terlalu metafisis dan tidak cukup memberikan jawaban terhadap persoalan sosial, politik, dan ekonomi umat Islam masa kini.5 Karena fokus Sadra adalah pada realitas transenden dan perjalanan spiritual individu, ia dianggap belum memberikan rumusan praktis tentang etika sosial, keadilan ekonomi, atau sistem pemerintahan Islami.

Namun demikian, para pendukung Sadra membantah kritik ini dengan menyatakan bahwa Hikmah Muta‘aliyah justru dapat menjadi landasan spiritual dan filosofis bagi peradaban Islam yang lebih utuh dan berakar pada tauhid. Filsafat transendennya tidak harus dikontraskan dengan praksis sosial, melainkan dapat menjadi kerangka dasar untuk pembangunan manusia paripurna.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany, NY: SUNY Press, 1989), 17–19.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 134–135.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 101–103.

[4]                Mulla Sadra, Tafsir al-Qur’an al-Karim, ed. Muhammad Khwansari (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2001), vol. 2, 112–115.

[5]                Nader El-Bizri, “The Hermeneutics of Islamic Philosophy: Mulla Sadra and the Perils of Exegetical Eclecticism,” Comparative Philosophy 1, no. 2 (2010): 3–5.


8.           Relevansi Hikmah Muta‘aliyah di Era Kontemporer

Di tengah krisis multidimensional yang melanda dunia modern—baik dalam aspek moral, epistemologis, maupun spiritual—pemikiran Mulla Sadra dalam kerangka Hikmah Muta‘aliyah kembali memperoleh perhatian dari para pemikir Islam kontemporer. Sistem filsafat transenden Sadra menawarkan alternatif terhadap fragmentasi pengetahuan modern yang memisahkan antara sains, etika, dan spiritualitas. Pendekatan integratif Sadra membuka jalan menuju paradigma keilmuan dan keberagamaan yang holistik, yang sangat dibutuhkan dalam era global yang serba mekanistik dan materialistik.

8.1.       Kritik terhadap Sekularisasi Pengetahuan

Salah satu kontribusi besar Hikmah Muta‘aliyah dalam konteks modern adalah kemampuannya menolak dikotomi antara akal dan wahyu, antara ilmu dan iman. Sadra memandang bahwa pengetahuan sejati harus mencakup dimensi akal rasional, intuisi spiritual, dan petunjuk wahyu. Ini bertolak belakang dengan paradigma sekular Barat yang membatasi pengetahuan pada aspek empiris-rasional dan menyingkirkan unsur metafisis serta spiritualitas.1

Seyyed Hossein Nasr, salah satu sarjana terkemuka yang menghidupkan kembali warisan Sadra di abad ke-20, menyatakan bahwa filsafat Sadra dapat menjadi landasan untuk membangun kembali “ilmu sakral” (sacred science) dalam Islam, yaitu pengetahuan yang berakar pada tauhid dan kesadaran akan realitas transenden.2

8.2.       Kerangka Filsafat Pendidikan Islam yang Integral

Dalam dunia pendidikan, pemikiran Sadra menawarkan kerangka filosofis untuk membangun pendidikan Islam yang menyeluruh—yakni pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga membentuk akhlak dan menyucikan jiwa. Konsep harakah jawhariyyah (gerak substansial) dapat ditafsirkan sebagai model perkembangan manusia secara bertahap dari dimensi material menuju dimensi spiritual dan ilahiah.3

Dengan demikian, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai transfer pengetahuan, melainkan sebagai proses transformasi eksistensial yang menjadikan manusia sadar akan tujuan penciptaannya. Hal ini sejalan dengan misi pendidikan Islam yang bertujuan membentuk insan kāmil (manusia paripurna), bukan sekadar insan profesional.

8.3.       Solusi bagi Krisis Spiritualitas Modern

Dalam konteks sosial, Hikmah Muta‘aliyah relevan untuk menjawab krisis spiritualitas yang melanda manusia modern, yang mengalami kekosongan makna akibat dominasi konsumsi, hedonisme, dan sekularisme. Dengan mengajarkan bahwa eksistensi manusia memiliki dimensi transenden yang tak dapat dipuaskan oleh materi, filsafat Sadra menawarkan jalan spiritual yang rasional—yakni kembalinya manusia kepada Tuhan melalui penyempurnaan eksistensinya.4

Berbeda dengan spiritualitas populer yang dangkal dan sinkretik, Sadra menawarkan spiritualitas yang berbasis wahyu dan dibangun di atas kerangka filsafat dan irfan yang mendalam. Hal ini membuatnya sangat relevan bagi generasi Muslim terpelajar yang mencari kedalaman spiritual tanpa harus meninggalkan rasionalitas dan ortodoksi Islam.

8.4.       Filsafat Islam sebagai Pilar Peradaban

Secara lebih luas, Hikmah Muta‘aliyah dapat menjadi pondasi filsafat peradaban Islam yang menjawab tantangan modernitas tanpa harus tunduk pada nilai-nilai Barat. Pendekatan Sadra yang sintetik dan inklusif—menggabungkan ilmu, iman, dan amal—menawarkan model epistemologi dan aksiologi Islam yang dapat diaktualisasikan dalam bidang-bidang strategis seperti politik etis, ekonomi spiritual, dan teknologi beradab.5

Para pemikir kontemporer seperti Muhammad Legenhausen dan Reza Shah-Kazemi bahkan menekankan bahwa pendekatan Sadra sangat berguna untuk menjembatani dialog antaragama dan membangun fondasi teologis bagi perdamaian berbasis nilai-nilai metafisis universal, tanpa kehilangan akar Islamnya.6


Footnotes

[1]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 135–137.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany, NY: SUNY Press, 1993), 111–113.

[3]                Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics (Richmond: Curzon Press, 1997), 142–144.

[4]                Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany, NY: SUNY Press, 1992), 59–61.

[5]                Muhammad Legenhausen, “Philosophy and the Quest for Unity: Mulla Sadra's Approach,” Islamic Studies 39, no. 3 (2000): 409–412.

[6]                Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington, IN: World Wisdom, 2006), 77–79.


9.           Kesimpulan

Mulla Sadra merupakan salah satu pemikir paling monumental dalam sejarah filsafat Islam. Melalui sistem filsafatnya yang dikenal sebagai Hikmah Muta‘aliyah (Filsafat Transenden), ia berhasil menyatukan secara harmonis tiga elemen utama dalam khazanah keilmuan Islam: filsafat rasional, irfan (mistisisme), dan syari’ah (wahyu Ilahi). Sintesis ini tidak hanya mencerminkan keluasan keilmuan dan spiritualitas Sadra, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak umat Islam pada zamannya—dan bahkan hingga kini—akan suatu sistem pemikiran yang menyeluruh, integratif, dan transformatif.

Prinsip-prinsip utama Hikmah Muta‘aliyah seperti asālat al-wujūd (keprimordian eksistensi), tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi), ḥarakah jawhariyyah (gerak substansial), dan wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi) telah merevolusi orientasi metafisika Islam dari pendekatan esensialis dan statis ke arah pandangan eksistensialis dan dinamis. Sadra tidak sekadar menggabungkan warisan pemikiran sebelumnya, tetapi menciptakan sintesis kreatif yang menjadi sistem filsafat baru dan berdiri kokoh dalam tradisi Islam.1

Kontribusinya bukan hanya bersifat teoretis, tetapi juga sangat berpengaruh secara institusional dan praktis. Sekolah filsafat di Qom, Isfahan, dan Hauzah Ilmiyah modern banyak mengambil inspirasi dari Hikmah Muta‘aliyah, baik dalam kajian filsafat murni, tafsir Al-Qur’an, maupun pendidikan Islam. Para pemikir besar seperti Allamah Thabathaba’i, Murtadha Mutahhari, dan Imam Khomeini merupakan penerus langsung warisan Sadra dalam upaya revitalisasi keilmuan Islam kontemporer.2

Meskipun tidak luput dari kritik—baik dari kalangan teolog ortodoks, rasionalis murni, maupun kaum modernis—pemikiran Sadra tetap relevan dan bahkan semakin mendapatkan tempat di tengah krisis spiritualitas dan fragmentasi pengetahuan di era modern. Sistem filsafatnya menawarkan pendekatan integral terhadap realitas yang menggabungkan kekuatan akal, kedalaman ruhani, dan ketaatan syar‘i dalam satu kesatuan yang utuh dan konsisten.

Sebagai warisan intelektual, Hikmah Muta‘aliyah merupakan sumbangan terbesar peradaban Islam dalam bidang filsafat metafisika, sekaligus model epistemologi alternatif yang sangat dibutuhkan di zaman sekarang. Ia menunjukkan bahwa Islam memiliki sumber daya intelektual yang luar biasa untuk membangun sistem pengetahuan dan peradaban yang tidak hanya rasional dan ilmiah, tetapi juga spiritual dan ilahiah. Dalam kata-kata Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra adalah filsuf Islam terakhir yang besar dalam pengertian klasik, dan sistemnya adalah puncak dari perjalanan panjang filsafat Islam.”_3


Footnotes

[1]                Mehdi Amin Razavi, Mulla Sadra and the Problem of Metaphysics (Richmond: Curzon Press, 1997), 145–147.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 2nd ed. (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 153–154.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), xvi.


Daftar Pustaka

Amin Razavi, M. (1997). Mulla Sadra and the problem of metaphysics. Curzon Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. State University of New York Press.

El-Bizri, N. (2010). The hermeneutics of Islamic philosophy: Mulla Sadra and the perils of exegetical eclecticism. Comparative Philosophy, 1(2), 1–15.

Hairi Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. State University of New York Press.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Legenhausen, M. (2000). Philosophy and the quest for unity: Mulla Sadra's approach. Islamic Studies, 39(3), 407–425.

Leaman, O. (2009). A brief introduction to Islamic philosophy (2nd ed.). Blackwell Publishing.

Nasr, S. H. (1975). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi. Caravan Books.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his transcendent theosophy: Background, life and works. Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. State University of New York Press.

Sadra, M. (2001). Tafsir al-Qur’an al-Karim (M. Khwansari, Ed.). Sadra Islamic Philosophy Research Institute.

Sadra, M. (2010). Al-Asfar al-Arba‘ah (I. Kalin, Ed. & Trans.). In I. Kalin, Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition (pp. 27–79). Oxford University Press.

Shah-Kazemi, R. (2006). Paths to transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart. World Wisdom.

Ziai, H. (1996). Sadra’s theory of substantial motion. In S. H. Nasr & O. Leaman (Eds.), The Routledge history of Islamic philosophy (pp. 635–637). Routledge.

Ziai, H. (2005). Mīr Dāmād and the epistemology of Sadrian metaphysics. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 415–432). Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar