Kamis, 16 Oktober 2025

Tashkīk Al-Wujūd: Suatu Kajian tentang Gradasi Eksistensi dan Implikasi Metafisiknya

Tashkīk Al-Wujūd

Suatu Kajian tentang Gradasi Eksistensi dan Implikasi Metafisiknya


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi) dalam filsafat Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī), yang menjadi inti dari sistem metafisika al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah atau Filsafat Transenden. Konsep ini menegaskan bahwa eksistensi (wujūd) merupakan realitas tunggal yang bergradasi secara intensional, dari Wujud Mutlak (Tuhan) hingga entitas partikular di alam material. Dengan prinsip aṣālat al-wujūd (keprimordialan eksistensi), Mullā Ṣadrā membalik paradigma klasik yang menempatkan māhiyyah (esensi) sebagai dasar realitas, dan menegaskan bahwa hanya eksistensi yang benar-benar nyata secara ontologis. Kajian ini menguraikan latar historis dan filosofis lahirnya teori tashkīk al-wujūd, hubungan antara wujūd dan māhiyyah, serta implikasi teologis, kosmologis, dan epistemologisnya. Selain itu, artikel ini menyoroti kritik dari kalangan peripatetik, iluminasi, dan teologi kalām, serta menampilkan bagaimana Ṣadrā berhasil mensintesiskan rasionalisme, intuisionisme, dan mistisisme dalam satu sistem metafisika yang koheren. Hasil kajian menunjukkan bahwa tashkīk al-wujūd bukan hanya teori ontologis, tetapi juga landasan etis, kosmologis, dan spiritual yang relevan dengan tantangan pemikiran modern, terutama dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan, filsafat, dan spiritualitas. Filsafat Ṣadrā dengan demikian menawarkan paradigma eksistensial yang dinamis dan holistik, yang menjembatani antara rasio dan intuisi, antara transendensi dan immanensi, serta antara Tuhan dan kosmos dalam kesatuan gradasional eksistensi.

Kata Kunci: Mullā Ṣadrā; Tashkīk al-Wujūd; Gradasi Eksistensi; Aṣālat al-Wujūd; Metafisika Islam; Ontologi; Teologi; Kosmologi; Filsafat Transenden.


PEMBAHASAN

Konsep Tashkīk al-Wujūd dalam Filsafat Mullā Ṣadrā


1.           Pendahuluan

Kajian metafisika Islam mencapai puncak kedalaman konseptualnya pada masa Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī, 1571–1640 M), seorang filsuf besar dari era Safawi yang berhasil menyintesiskan berbagai tradisi intelektual sebelumnya—yakni falsafah peripatetik (Ibn Sīnā), iluminasi (Suhrawardī), dan tasawuf falsafi (Ibn ‘Arabī)—ke dalam sistem baru yang ia sebut al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Transenden).¹ Melalui sistem ini, Mullā Ṣadrā memperkenalkan suatu pandangan baru tentang realitas, di mana wujūd (eksistensi) bukan hanya entitas metafisik tertinggi, tetapi juga realitas yang dinamis, bertingkat, dan memiliki gradasi ontologis yang disebut tashkīk al-wujūd

Sebelum munculnya pemikiran Ṣadrā, filsafat Islam masih didominasi oleh perdebatan antara dua kutub utama: kaum peripatetik (mashshā’ī) yang menekankan esensi (māhiyyah) sebagai dasar realitas, dan kaum iluminasionis (ishrāqī) yang melihat realitas sebagai pancaran cahaya dengan derajat intensitas berbeda.³ Namun, Ṣadrā membalik paradigma ini dengan menegaskan bahwa bukan esensi, melainkan eksistensi yang merupakan hakikat sejati dari segala sesuatu—sebuah pandangan yang dikenal sebagai aṣālat al-wujūd (primasi eksistensi).⁴ Dengan demikian, eksistensi dipahami bukan secara statis dan tunggal, melainkan secara bertingkat dan dinamis, dari Wujud Mutlak (Tuhan) hingga wujud partikular di alam material.⁵

Konsep tashkīk al-wujūd menjadi inti dari filsafat Mullā Ṣadrā karena di dalamnya ia berupaya menjembatani kesenjangan antara kesatuan dan keragaman realitas. Ia menolak dikotomi kaku antara wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi) dan katsrat al-mawjūdāt (kejamakan yang ada), dengan menawarkan struktur hierarkis realitas yang bersumber dari Wujud Mutlak namun menampakkan diri dalam berbagai tingkat intensitas.⁶ Dengan kata lain, wujud adalah satu secara esensial, tetapi beragam secara intensional. Pandangan ini tidak hanya memberikan fondasi ontologis bagi seluruh realitas, tetapi juga membuka kemungkinan dialog antara rasionalitas filosofis dan pengalaman mistis.⁷

Kajian terhadap konsep tashkīk al-wujūd menjadi sangat penting dalam konteks filsafat Islam kontemporer karena menawarkan paradigma integratif yang melampaui dikotomi klasik antara filsafat, teologi, dan tasawuf. Melalui teori ini, Ṣadrā menghadirkan kerangka berpikir yang mampu menafsirkan eksistensi sebagai sesuatu yang bersifat kontinu dan berjenjang, bukan sebagai entitas terpisah atau kategoris.⁸ Dengan demikian, pembahasan ini bertujuan untuk menelusuri dasar-dasar metafisis dari konsep tashkīk al-wujūd, latar filosofis kelahirannya, serta relevansinya dalam memahami hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia.

Rumusan masalah yang akan dijawab dalam kajian ini meliputi:

(1)               bagaimana Mullā Ṣadrā mendefinisikan dan memaknai tashkīk al-wujūd;

(2)               bagaimana teori ini berbeda dari pendekatan ontologis para filsuf sebelumnya; dan

(3)               apa implikasi metafisik serta teologis dari gradasi eksistensi ini terhadap struktur realitas.

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan studi metafisika Islam yang lebih komprehensif dan relevan dengan wacana filsafat modern.⁹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 105–106.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 28.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 322–324.

[4]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 47–48.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 55–56.

[6]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 72–74.

[7]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 118–119.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 219–220.

[9]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 2–3.


2.           Landasan Historis dan Filosofis

2.1.       Konteks Intelektual dan Sosial Era Safawi

Pemikiran Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī, 1571–1640 M) tumbuh dalam konteks intelektual yang sangat dinamis di bawah Dinasti Safawi, sebuah masa yang ditandai oleh kebangkitan spiritualitas Syi‘ah dan penyatuan antara ilmu rasional (‘aqlī) dan ilmu keagamaan (naqlī).¹ Pada masa ini, kota Isfahan menjadi pusat intelektual dunia Islam, tempat berkumpulnya para filsuf, teolog, dan sufi.² Kondisi tersebut memberi ruang bagi munculnya sintesis antara tradisi falsafah peripatetik (Ibn Sīnā), iluminasi (Suhrawardī), dan gnosis sufistik (Ibn ‘Arabī), yang semuanya berpadu dalam sistem filsafat transenden Mullā Ṣadrā (al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah).³

Mullā Ṣadrā sendiri hidup dalam situasi intelektual yang penuh dengan ketegangan antara kaum rasionalis dan kaum tekstualis. Para ulama teolog tradisional menolak kecenderungan filsafat yang dianggap terlalu spekulatif, sedangkan para filsuf menganggap pendekatan tekstual sebagai hambatan bagi pencapaian pengetahuan hakiki.⁴ Dalam konteks inilah Ṣadrā berusaha mendamaikan keduanya dengan menegaskan bahwa kebenaran sejati tidak dapat dicapai hanya melalui argumentasi rasional, tetapi juga melalui intuisi dan pengalaman spiritual yang autentik.⁵

2.2.       Pengaruh Filsuf dan Tradisi Sebelumnya

Dalam membangun sistem metafisiknya, Mullā Ṣadrā banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Sīnā (Avicenna), Suhrawardī, dan Ibn ‘Arabī. Dari Ibn Sīnā, Ṣadrā mewarisi kerangka logis dan metafisika peripatetik, terutama mengenai pembedaan antara wujūd dan māhiyyah.⁶ Namun, ia mengkritik Avicenna yang dianggap memposisikan esensi sebagai elemen utama dalam struktur realitas.⁷ Dari Suhrawardī, Ṣadrā mengambil inspirasi dari filsafat iluminasi (ishrāqiyyah), terutama gagasan bahwa realitas bersifat bertingkat dan dapat dianalogikan dengan cahaya yang memiliki intensitas berbeda.⁸ Sementara dari Ibn ‘Arabī, Ṣadrā menyerap visi metafisis tentang kesatuan eksistensi (wahdat al-wujūd) yang menekankan bahwa seluruh realitas merupakan manifestasi dari Wujud Mutlak.⁹

Melalui integrasi ketiga tradisi tersebut, Ṣadrā mengembangkan konsep tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), yaitu pandangan bahwa eksistensi adalah satu hakikat yang memiliki derajat intensitas berbeda—mulai dari wujud Tuhan yang absolut hingga wujud material yang lemah.¹⁰ Konsep ini memungkinkan Ṣadrā menjelaskan keragaman realitas tanpa meniadakan kesatuan ontologisnya. Dengan demikian, ia mengatasi problem klasik antara pluralitas (katsrah) dan kesatuan (wahdah) dalam metafisika Islam.¹¹

2.3.       Sumber-Sumber Utama Filsafat Mullā Ṣadrā

Karya utama Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah fī al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (“Empat Perjalanan dalam Filsafat Transenden”), menjadi fondasi sistematis dari seluruh pemikirannya.¹² Dalam karya monumental ini, ia memetakan perjalanan intelektual dan spiritual manusia menuju realitas wujud sejati melalui empat tahapan: (1) perjalanan dari makhluk menuju Tuhan, (2) perjalanan dalam Tuhan, (3) perjalanan dari Tuhan menuju makhluk, dan (4) perjalanan bersama Tuhan dalam ciptaan.¹³ Struktur empat perjalanan ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga epistemologis—mewakili tahapan evolutif kesadaran manusia dalam memahami eksistensi.¹⁴

Selain Asfār, Ṣadrā juga menulis karya-karya penting lainnya seperti Al-Mashā‘ir (tentang realitas eksistensi), Sharḥ Uṣūl al-Kāfī (komentar teologis dan metafisik), serta Al-Shawāhid al-Rubūbiyyah (tentang bukti-bukti ketuhanan).¹⁵ Dalam seluruh karyanya, terlihat bahwa teori aṣālat al-wujūd (primasi eksistensi) dan tashkīk al-wujūd menjadi poros utama bagi seluruh struktur pemikiran metafisisnya.¹⁶ Kedua konsep ini menjelaskan bahwa eksistensi bukanlah kategori abstrak, tetapi realitas konkret yang bergradasi dan terus bergerak menuju kesempurnaan.¹⁷

Dengan demikian, landasan historis dan filosofis pemikiran Mullā Ṣadrā menunjukkan kesinambungan dan pembaruan sekaligus. Ia bukan sekadar penerus tradisi Avicennian atau Suhrawardian, tetapi seorang inovator metafisis yang berhasil mengintegrasikan akal, intuisi, dan wahyu dalam satu sistem filosofis yang utuh.¹⁸ Melalui konsep tashkīk al-wujūd, Ṣadrā membuka jalan bagi pemahaman baru tentang realitas sebagai suatu kesatuan dinamis dan hierarkis, yang menempatkan Tuhan sebagai sumber segala eksistensi dan tujuan akhir seluruh gerak ontologis.¹⁹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 33–34.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 321.

[3]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 21–23.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 210.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 104–105.

[6]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 12–15.

[7]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 40–41.

[8]                Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1952), 118–120.

[9]                Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 55–57.

[10]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 61–63.

[11]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 75–76.

[12]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 41.

[13]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 88–90.

[14]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 81–82.

[15]             Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 19–20.

[16]             Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 109.

[17]             Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1960), 22–24.

[18]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 328–329.

[19]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 125.


3.           Ontologi Mullā Ṣadrā: Primasi Wujud atas Esensi

3.1.       Prinsip Aṣālat al-Wujūd (Keadian Eksistensi)

Salah satu kontribusi paling fundamental Mullā Ṣadrā terhadap metafisika Islam adalah konsep aṣālat al-wujūd, atau primasi eksistensi, yang menegaskan bahwa eksistensi (wujūd) adalah realitas objektif yang sejati, sedangkan esensi (māhiyyah) hanyalah konsep mental yang tidak memiliki keberadaan di luar pikiran.¹ Dalam pandangan Mullā Ṣadrā, seluruh yang ada di alam semesta adalah manifestasi dari satu hakikat eksistensi yang bergradasi, bukan sekadar kumpulan esensi-esensi yang terpisah.² Dengan demikian, wujūd bukanlah atribut dari sesuatu, melainkan substansi ontologis itu sendiri—ia adalah dasar dari segala sesuatu yang nyata.³

Konsep ini merupakan pergeseran paradigma besar dari metafisika Avicennian, di mana Ibn Sīnā masih memberikan peran yang signifikan kepada māhiyyah sebagai prinsip diferensiasi antar-entitas.⁴ Ṣadrā menolak pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa apa yang nyata secara eksternal hanyalah eksistensi, sedangkan esensi hanyalah batas konseptual yang dibentuk oleh akal manusia.⁵ Dengan kata lain, esensi tidak memiliki realitas mandiri; ia hanya merupakan abstraksi dari eksistensi yang konkret.⁶

Bagi Mullā Ṣadrā, keadilan eksistensi bukan hanya persoalan logis atau linguistik, melainkan sebuah prinsip ontologis yang menjelaskan seluruh struktur realitas. Wujūd adalah fondasi segala yang ada, dan segala bentuk keberagaman yang tampak di dunia hanyalah perbedaan intensitas dalam manifestasi eksistensi itu sendiri.⁷ Prinsip inilah yang kemudian melandasi teori tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), di mana realitas dipandang sebagai satu kesatuan hierarkis yang mencakup seluruh tingkat wujud, dari Tuhan hingga makhluk paling rendah.⁸

3.2.       Argumentasi Filosofis atas Aṣālat al-Wujūd

Ṣadrā membangun argumentasi logis yang kuat untuk mendukung keadilan eksistensi. Ia mengemukakan bahwa esensi tidak mungkin memiliki realitas objektif, karena esensi tidak pernah muncul tanpa eksistensi.⁹ Ketika kita mengatakan bahwa “manusia ada,” yang memberi kenyataan bukanlah konsep “manusia” itu sendiri, melainkan fakta keberadaannya.¹⁰ Tanpa wujūd, tidak ada sesuatu pun yang dapat dikatakan nyata, bahkan konsep esensi pun tidak dapat terbayangkan tanpa terlebih dahulu mengandaikan eksistensi.¹¹

Lebih jauh, Mullā Ṣadrā menunjukkan bahwa segala perubahan, gerak, dan kontinuitas dalam realitas hanya mungkin dijelaskan bila eksistensi dianggap sebagai prinsip yang dinamis.¹² Bila yang nyata adalah esensi, maka perubahan tidak mungkin terjadi, karena esensi bersifat tetap dan tidak berubah.¹³ Sebaliknya, jika yang nyata adalah eksistensi, maka perubahan dapat dipahami sebagai intensifikasi atau pelemahan eksistensi itu sendiri.¹⁴ Inilah yang kemudian melahirkan doktrin al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial), yaitu gagasan bahwa substansi realitas senantiasa bergerak menuju kesempurnaan eksistensial.¹⁵

Argumentasi ini menunjukkan bahwa eksistensi tidak hanya bersifat aktual tetapi juga memiliki dimensi gradatif, yang menjelaskan hierarki realitas tanpa menafikan kesatuan ontologisnya.¹⁶ Dengan demikian, Mullā Ṣadrā berhasil menggabungkan antara aspek metafisis, logis, dan empiris dalam satu kerangka ontologis yang koheren.¹⁷

3.3.       Konsekuensi Metafisik Aṣālat al-Wujūd

Konsepsi aṣālat al-wujūd memiliki konsekuensi mendalam terhadap seluruh bidang metafisika Islam. Pertama, ia mengubah cara pandang terhadap kausalitas: sebab dan akibat bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan dua tingkat dari intensitas eksistensi yang sama.¹⁸ Dengan demikian, hubungan sebab-akibat tidak bersifat eksternal, tetapi merupakan relasi internal antara dua tingkat wujud yang berbeda. Kedua, dalam konteks teologi, Tuhan dipahami sebagai Wujūd Mutlak yang tidak bergradasi—sumber segala eksistensi, sedangkan makhluk adalah manifestasi terbatas dari realitas Ilahi.¹⁹

Ketiga, konsep ini juga memiliki konsekuensi terhadap epistemologi: pengetahuan manusia tentang sesuatu pada dasarnya adalah penyingkapan terhadap eksistensi, bukan sekadar pengenalan terhadap esensi.²⁰ Hal ini melahirkan teori ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan melalui kehadiran), di mana subjek dan objek pengetahuan berinteraksi dalam satu realitas eksistensial yang sama.²¹ Dalam pandangan ini, pengetahuan tidak bersifat representasional, melainkan partisipatif—suatu bentuk penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui.²²

Akhirnya, dalam konteks kosmologi, dunia dipahami sebagai jejaring gradasional wujud yang saling berhubungan secara hierarkis.²³ Setiap tingkat realitas merupakan manifestasi dari eksistensi yang lebih tinggi, sehingga alam semesta secara keseluruhan mencerminkan kesatuan dalam keragaman eksistensi.²⁴ Dengan demikian, prinsip aṣālat al-wujūd tidak hanya menjelaskan hakikat realitas, tetapi juga memberikan dasar metafisik bagi seluruh struktur kosmos.²⁵


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 28–30.

[2]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 65.

[3]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 47.

[4]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 12–13.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 323.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 54.

[7]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 32.

[8]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 22–23.

[9]                Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1960), 25–26.

[10]             Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 112.

[11]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 35.

[12]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 71–72.

[13]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 327.

[14]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 58.

[15]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 93–94.

[16]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 117–118.

[17]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 83.

[18]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 122.

[19]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 66.

[20]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 131.

[21]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 4, 15.

[22]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 29.

[23]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 330.

[24]             Nasr, Three Muslim Sages, 118.

[25]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 127.


4.           Konsep Tashkīk al-Wujūd (Gradasi Eksistensi)

4.1.       Definisi dan Etimologi Tashkīk

Istilah tashkīk secara etimologis berasal dari akar kata Arab shakkaka–yushakkiku, yang berarti “membedakan” atau “membuat beragam.”¹ Dalam konteks filsafat Islam, istilah ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat “satu dalam makna, tetapi memiliki perbedaan dalam intensitas atau derajat.”² Dengan demikian, tashkīk al-wujūd berarti bahwa eksistensi memiliki hakikat tunggal, namun manifestasinya berbeda-beda dalam tingkat kesempurnaan dan kekuatannya.³ Mullā Ṣadrā menjelaskan bahwa eksistensi bukanlah sesuatu yang terpotong-potong, melainkan suatu realitas kontinu dan bertingkat yang dapat dianalogikan dengan cahaya—satu sumber, tetapi memiliki intensitas yang bervariasi.⁴

Konsep ini menjadi inti dari metafisika Mullā Ṣadrā karena memungkinkan integrasi antara kesatuan ontologis dan pluralitas empiris. Ia menolak pandangan esensialis yang melihat realitas sebagai kumpulan entitas terpisah, dan sebaliknya menegaskan bahwa perbedaan di dunia hanyalah perbedaan derajat dalam wujud yang sama.⁵ Dengan demikian, tashkīk al-wujūd menjembatani problem klasik dalam metafisika Islam antara kesatuan (wahdah) dan kejamakan (katsrah).⁶

4.2.       Struktur Hirarkis Wujud

Bagi Mullā Ṣadrā, eksistensi merupakan satu hakikat yang terealisasi dalam berbagai tingkatan ontologis yang saling berkaitan secara hierarkis.⁷ Pada puncak hierarki ini terdapat Wujūd Mutlak (eksistensi absolut) yang merupakan Tuhan—Realitas Murni tanpa batas, tidak berderajat, dan tidak bergantung pada apa pun.⁸ Dari-Nya terpancar seluruh eksistensi lainnya yang memiliki derajat keterbatasan tertentu sesuai dengan kapasitas ontologisnya.⁹ Dengan kata lain, setiap wujud selain Tuhan merupakan partisipasi terbatas dalam eksistensi absolut.¹⁰

Dalam struktur ini, realitas dunia tidak dipahami sebagai sekumpulan entitas terpisah, tetapi sebagai rangkaian kontinu eksistensi yang menurun secara gradasional dari yang tertinggi menuju yang terendah.¹¹ Setiap tingkat wujud memiliki kesempurnaan yang proporsional dengan kedekatannya terhadap Wujud Mutlak.¹² Dalam pandangan ini, makhluk spiritual seperti malaikat memiliki tingkat eksistensi lebih tinggi daripada dunia material, sementara manusia menempati posisi unik karena dapat naik atau turun dalam hierarki eksistensi sesuai dengan kesadaran dan kesempurnaan ruhaniahnya.¹³

Melalui struktur hirarkis ini, Mullā Ṣadrā berhasil menyatukan antara konsep kausalitas metafisik (emanasi) dengan gradasi ontologis.¹⁴ Segala sesuatu yang ada bukan hasil penciptaan eks nihilo dalam arti mutlak, melainkan emanasi dari eksistensi tertinggi yang memancarkan wujud-wujud lain secara bertingkat.¹⁵ Dengan demikian, realitas semesta dipandang sebagai cerminan dari Wujud Ilahi dalam berbagai tingkat kemanifestasian.¹⁶

4.3.       Analogi Cahaya dan Derajat Eksistensi

Untuk menjelaskan konsep tashkīk al-wujūd, Mullā Ṣadrā sering menggunakan analogi cahaya (nūr), yang sebelumnya juga digunakan oleh Suhrawardī.¹⁷ Cahaya memiliki hakikat yang sama di mana pun ia muncul, tetapi berbeda dalam tingkat intensitas: cahaya matahari lebih kuat daripada cahaya lilin, meskipun keduanya tetap disebut “cahaya.”¹⁸ Begitu pula eksistensi: ia adalah satu hakikat universal yang menampakkan diri dalam berbagai tingkat kekuatan ontologis.¹⁹

Analogi ini berfungsi untuk menghindari kesalahpahaman bahwa perbedaan tingkat eksistensi berarti perbedaan esensi.²⁰ Dalam tashkīk, tidak ada multiplikasi substansi wujud, melainkan hanya perbedaan intensitas dan kesempurnaan dalam hakikat tunggal.²¹ Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa segala sesuatu yang lebih tinggi dalam gradasi eksistensi memiliki cakupan ontologis yang lebih sempurna dan lebih inklusif daripada yang berada di bawahnya.²²

Dengan analogi ini, Ṣadrā memberikan pemahaman metaforis yang mendalam tentang relasi antara Tuhan dan ciptaan. Tuhan bagaikan sumber cahaya absolut, sedangkan segala makhluk adalah pantulan dan refleksi dari-Nya dalam berbagai intensitas.²³ Namun, pantulan ini tidak pernah memisahkan diri dari sumbernya; seluruh eksistensi tetap berakar pada Wujud Mutlak.²⁴

4.4.       Kesatuan dan Keragaman Realitas

Konsep tashkīk al-wujūd juga menjawab problem klasik tentang bagaimana kesatuan dan keragaman dapat eksis secara bersamaan.²⁵ Dalam sistem Mullā Ṣadrā, kesatuan realitas tidak meniadakan pluralitas, karena keragaman hanyalah ekspresi dari satu wujud yang bergradasi.²⁶ Ia menolak paham dualistik yang memisahkan Tuhan dan alam sebagai dua realitas berbeda, sekaligus menghindari panteisme yang menyamakan keduanya secara absolut.²⁷ Bagi Ṣadrā, hubungan antara Tuhan dan alam adalah hubungan antara realitas mutlak dan manifestasi relatif.²⁸

Kesatuan realitas ini juga memiliki dimensi epistemologis: setiap bentuk pengetahuan pada dasarnya adalah penyatuan tingkat wujud antara subjek dan objek.²⁹ Semakin tinggi tingkat eksistensi seseorang, semakin luas pula cakupan pengetahuannya terhadap realitas.³⁰ Dengan demikian, kesempurnaan pengetahuan manusia bergantung pada intensifikasi eksistensinya, bukan sekadar akumulasi informasi rasional.³¹

Akhirnya, tashkīk al-wujūd memungkinkan terciptanya sistem metafisika yang inklusif dan integratif.³² Ia menjelaskan bahwa segala yang ada—dari yang paling spiritual hingga yang paling material—terhubung dalam satu rantai ontologis yang mengalir dari dan menuju Wujud Mutlak.³³ Dalam struktur ini, tidak ada “keterputusan” antara Tuhan dan dunia, antara roh dan materi, antara yang abadi dan yang fana. Semuanya adalah manifestasi dari eksistensi yang satu, yang terus bergerak menuju kesempurnaan ontologisnya.³⁴


Footnotes

[1]                Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, vol. 10 (Beirut: Dār Ṣādir, 1955), 248.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 41.

[3]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 72.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 59.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 329.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 221.

[7]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 44.

[8]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 51–52.

[9]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 113.

[10]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 78.

[11]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 115.

[12]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 49.

[13]             Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 34.

[14]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 63.

[15]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 331.

[16]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 83.

[17]             Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1952), 132.

[18]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 52.

[19]             Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1960), 28.

[20]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 67.

[21]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 37.

[22]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 85.

[23]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 334.

[24]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 56.

[25]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 118.

[26]             Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 224.

[27]             Nasr, Three Muslim Sages, 117.

[28]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 4 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 22.

[29]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 91.

[30]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 121.

[31]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 58.

[32]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 39.

[33]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 70.

[34]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 336.


5.           Hubungan antara Wujud dan Māhiyyah dalam Kerangka Tashkīk

5.1.       Relasi Ontologis antara Wujud dan Māhiyyah

Dalam sistem metafisika Mullā Ṣadrā, hubungan antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (esensi) merupakan kunci untuk memahami struktur realitas. Ia menegaskan bahwa yang memiliki realitas objektif hanyalah wujūd, sedangkan māhiyyah hanyalah konstruksi konseptual yang terbentuk dalam pikiran manusia.¹ Dengan demikian, māhiyyah tidak berdiri sendiri di luar pikiran, melainkan muncul sebagai abstraksi dari wujūd yang konkret.²

Mullā Ṣadrā menolak pandangan Ibn Sīnā yang memisahkan antara eksistensi dan esensi secara tajam.³ Menurut Ibn Sīnā, esensi suatu benda dapat dibayangkan tanpa keberadaannya; misalnya, kita dapat memahami konsep “manusia” tanpa harus menganggap manusia itu ada secara aktual.⁴ Ṣadrā mengkritik pendekatan ini dengan menegaskan bahwa yang nyata secara eksternal hanyalah wujūd, sedangkan māhiyyah hanya muncul dalam pikiran ketika manusia mencoba memahami realitas tersebut.⁵ Oleh karena itu, māhiyyah tidak memiliki realitas independen; ia bergantung sepenuhnya pada eksistensi untuk menjadi nyata.⁶

Hubungan ini bersifat ontologis dan hierarkis: wujūd adalah prinsip aktif yang memberikan aktualitas kepada māhiyyah, sementara māhiyyah berfungsi sebagai batas konseptual atau determinasi dari eksistensi.⁷ Dengan kata lain, māhiyyah adalah “topeng” yang dikenakan oleh wujūd dalam berbagai bentuk penampakan empiris.⁸ Pandangan ini menegaskan bahwa eksistensi adalah realitas dinamis yang menembus semua tingkat keberadaan, sementara esensi hanyalah manifestasi statisnya.⁹

5.2.       Māhiyyah sebagai Konsep Mental dan Fungsi Epistemologisnya

Bagi Mullā Ṣadrā, māhiyyah memiliki fungsi penting dalam wilayah epistemologi, meskipun tidak memiliki realitas eksternal.¹⁰ Ia berfungsi sebagai instrumen konseptual yang membantu manusia mengenali dan mengklasifikasikan berbagai fenomena yang muncul dari realitas eksistensial.¹¹ Dalam kerangka tashkīk al-wujūd, pemahaman terhadap māhiyyah memungkinkan manusia membedakan antara tingkatan-tingkatan wujūd, tanpa terjebak pada asumsi bahwa perbedaan tersebut bersifat esensial.¹²

Dengan demikian, māhiyyah memainkan peran epistemik yang signifikan dalam proses pengetahuan. Namun, pengetahuan sejati (al-‘ilm al-ḥaqīqī) bagi Ṣadrā bukanlah pengenalan terhadap māhiyyah, melainkan penyaksian langsung terhadap wujūd.¹³ Dalam konteks ini, ia mengembangkan teori ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan melalui kehadiran), di mana subjek mengetahui objek bukan melalui representasi konseptual, melainkan melalui partisipasi dalam eksistensi yang sama.¹⁴ Oleh karena itu, pengetahuan yang bersifat konseptual hanyalah bayangan dari pengetahuan eksistensial yang hakiki.¹⁵

Hubungan antara māhiyyah dan wujūd dalam tataran epistemologis dapat diibaratkan seperti hubungan antara peta dan wilayah yang sebenarnya: peta membantu orientasi, tetapi tidak mewakili realitas yang hidup dan dinamis dari wilayah itu sendiri.¹⁶ Dengan cara pandang ini, Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa pengetahuan yang mendalam hanya dapat dicapai melalui transformasi eksistensial, bukan sekadar abstraksi logis.¹⁷

5.3.       Implikasi Metafisik terhadap Penciptaan dan Kontinuitas Wujud

Konsep tashkīk al-wujūd juga membawa implikasi penting terhadap pemahaman penciptaan (al-ḥudūth) dan kontinuitas eksistensi. Dalam sistem Ṣadrā, penciptaan bukanlah tindakan Tuhan yang menciptakan sesuatu dari ketiadaan mutlak (ex nihilo), melainkan emanasi berjenjang dari Wujūd Mutlak menuju bentuk-bentuk eksistensi yang lebih rendah.¹⁸ Karena itu, māhiyyah tidak muncul sebagai entitas baru yang diciptakan secara terpisah, tetapi sebagai bentuk manifestasi wujūd dalam level ontologis tertentu.¹⁹

Hal ini berarti bahwa seluruh alam semesta merupakan refleksi dari eksistensi Ilahi dalam berbagai gradasi.²⁰ Tuhan, sebagai al-Wujūd al-Muṭlaq, tidak menciptakan dunia dari luar, tetapi menampakkan diri-Nya melalui tahapan-tahapan wujūd yang beraneka.²¹ Dengan demikian, keberadaan makhluk tidak mengurangi kesempurnaan Tuhan, melainkan menjadi bukti dari keluasan eksistensi-Nya.²²

Implikasi lain dari pandangan ini adalah bahwa segala bentuk perubahan dan gerak dalam alam semesta merupakan ekspresi dari dinamika wujūd itu sendiri.²³ Gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang diajukan Ṣadrā menunjukkan bahwa setiap māhiyyah berada dalam proses transformasi eksistensial menuju tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi.²⁴ Dalam hal ini, realitas dipahami bukan sebagai struktur statis, tetapi sebagai arus eksistensi yang terus mengalir dari Wujud Tertinggi menuju bentuk-bentuk aktualisasi yang beragam.²⁵

Dengan demikian, māhiyyah dalam kerangka tashkīk bukanlah entitas yang membatasi eksistensi, melainkan medium konseptual untuk memahami intensitas dan arah gerak eksistensi.²⁶ Relasi antara keduanya bukan dualistik, tetapi komplementer: wujūd memberi realitas, sementara māhiyyah memberi bentuk pengenalan manusia terhadap realitas itu.²⁷ Konsep ini memperlihatkan kedalaman integrasi antara ontologi dan epistemologi dalam filsafat Mullā Ṣadrā, yang menjadikan sistemnya sebagai sintesis paripurna antara rasionalisme, intuisionisme, dan mistisisme.²⁸


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 61–62.

[2]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 93.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 323–324.

[4]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 17.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 72.

[6]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 63.

[7]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 83–84.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 228.

[9]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 119.

[10]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 65.

[11]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 125.

[12]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 95–96.

[13]             Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1960), 32–33.

[14]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 129.

[15]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 69.

[16]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 77.

[17]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 98.

[18]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 331.

[19]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2, 54–55.

[20]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 71.

[21]             Nasr, Three Muslim Sages, 123.

[22]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 42.

[23]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3, 90–91.

[24]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 134.

[25]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 102.

[26]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 74.

[27]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 80.

[28]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 336.


6.           Implikasi Teologis dan Kosmologis

6.1.       Tashkīk al-Wujūd dan Konsep Ketuhanan

Konsep tashkīk al-wujūd memiliki implikasi teologis yang mendalam dalam pemikiran Mullā Ṣadrā, terutama dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam. Dalam pandangan Ṣadrā, Tuhan adalah al-Wujūd al-Muṭlaq—eksistensi murni yang tidak bergradasi, tidak terbatas, dan tidak bergantung kepada apa pun.¹ Ia merupakan sumber dari seluruh realitas, sebagaimana cahaya matahari menjadi asal dari seluruh bentuk cahaya lainnya.² Semua eksistensi selain Tuhan hanyalah partisipasi dalam eksistensi-Nya yang mutlak, dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas ontologis masing-masing.³

Dengan demikian, hubungan antara Tuhan dan makhluk bukanlah hubungan eksternal sebagaimana pandangan dualistik antara pencipta dan ciptaan, melainkan hubungan internal yang bersifat emanatif.⁴ Alam semesta tidak diciptakan dari ketiadaan mutlak (ex nihilo), melainkan “mengalir” dari Tuhan sebagai pancaran dari Wujud Absolut.⁵ Namun, aliran ini tidak berarti bahwa alam setara dengan Tuhan—karena setiap eksistensi terbatas hanyalah manifestasi simbolik dari realitas Ilahi yang tak terbatas.⁶

Implikasi teologis ini menegaskan tauhid wujūdī, yaitu bahwa seluruh realitas bersumber dari satu Wujud yang sama, namun tidak menghapus perbedaan ontologis antara Tuhan dan makhluk.⁷ Dengan memandang Tuhan sebagai Wujud Mutlak, Ṣadrā berhasil mengharmonikan antara konsep transendensi (tanzīh) dan immanensi (tashbīh) Tuhan.⁸ Ia menolak panteisme ekstrem yang menyamakan Tuhan dengan dunia, sekaligus menolak teisme dualistik yang memisahkan Tuhan dari ciptaan-Nya.⁹ Dalam sistemnya, Tuhan hadir di setiap tingkatan eksistensi tanpa kehilangan kesempurnaan keesaan-Nya.¹⁰

6.2.       Kosmologi Gradasional: Alam sebagai Manifestasi Wujud

Dalam kerangka tashkīk al-wujūd, Mullā Ṣadrā memandang alam semesta sebagai sistem hierarkis yang tersusun berdasarkan gradasi eksistensi.¹¹ Setiap entitas memiliki derajat wujud yang berbeda, dari yang tertinggi hingga yang terendah, membentuk suatu struktur kosmos yang berlapis-lapis.¹² Pada tingkat tertinggi terdapat ‘Ālam al-‘Aql (dunia intelektual), diikuti ‘Ālam al-Nafs (dunia jiwa), kemudian ‘Ālam al-Māddah (dunia material).¹³ Ketiga ranah ini bukan entitas terpisah, melainkan tahapan-tahapan intensitas eksistensi yang saling berhubungan.¹⁴

Struktur kosmos ini menunjukkan bahwa seluruh ciptaan berpartisipasi dalam wujud Ilahi sesuai dengan kapasitas ontologisnya.¹⁵ Semakin tinggi tingkat eksistensi suatu entitas, semakin besar pula kemampuannya untuk memantulkan kesempurnaan Tuhan.¹⁶ Alam material, meskipun berada pada tingkat paling rendah, tetap merupakan manifestasi dari al-Wujūd al-Muṭlaq dalam bentuk paling terbatas.¹⁷ Oleh karena itu, dunia fisik tidak terpisah dari realitas spiritual, tetapi merupakan bagian dari jaringan kosmik yang berakar pada Tuhan.¹⁸

Dalam kosmologi Ṣadrā, hubungan antara tingkat-tingkat eksistensi bersifat dinamis. Melalui doktrin al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial), ia menjelaskan bahwa seluruh realitas sedang bergerak dari potensi menuju aktualitas, dari bentuk eksistensi yang lemah menuju kesempurnaan yang lebih tinggi.¹⁹ Dengan demikian, alam semesta bukanlah ciptaan statis, melainkan suatu proses ontologis yang terus berlangsung (process of being).²⁰ Pandangan ini menempatkan kosmos sebagai ekspresi evolutif dari Wujud Absolut yang senantiasa menyingkapkan diri-Nya.²¹

6.3.       Manusia sebagai Mikrokosmos Eksistensi

Dalam hierarki eksistensi, manusia memiliki posisi yang sangat istimewa karena ia merupakan mikrokosmos (‘ālam ṣaghīr) yang mencerminkan seluruh tingkatan realitas.²² Tubuh manusia merepresentasikan dunia material, jiwanya mencerminkan dunia psikik, sementara akalnya berhubungan dengan dunia intelektual dan Ilahi.²³ Oleh karena itu, manusia berpotensi untuk menapaki seluruh gradasi wujud hingga mencapai penyatuan dengan sumber eksistensi tertinggi.²⁴

Proses spiritual manusia dalam pandangan Mullā Ṣadrā adalah perjalanan eksistensial dari wujud rendah menuju wujud tinggi, yang diwujudkan melalui penyempurnaan jiwa dan penyingkapan kesadaran terhadap realitas Ilahi.²⁵ Semakin manusia menyucikan dirinya, semakin ia “menguatkan” intensitas eksistensinya dan semakin dekat dengan Wujud Mutlak.²⁶ Dengan demikian, tujuan akhir manusia bukan hanya pengetahuan tentang Tuhan secara konseptual, tetapi realisasi eksistensial dalam Tuhan itu sendiri.²⁷

Posisi manusia sebagai mikrokosmos juga memiliki implikasi etis dan spiritual. Karena seluruh eksistensi berakar pada Tuhan, maka setiap tindakan manusia yang merusak alam berarti melemahkan harmoni kosmik yang bersumber dari-Nya.²⁸ Kesadaran terhadap kesatuan eksistensi ini menjadi dasar bagi etika spiritual yang mengajarkan penghormatan terhadap seluruh bentuk kehidupan sebagai manifestasi dari Wujud Ilahi.²⁹


Integrasi Teologi dan Kosmologi dalam Sistem Ṣadrā

Konsep tashkīk al-wujūd memungkinkan integrasi menyeluruh antara teologi dan kosmologi. Tuhan sebagai Wujud Absolut bukan entitas yang jauh dari ciptaan, melainkan realitas yang menjiwai dan menopang seluruh alam.³⁰ Kosmos bukanlah ciptaan eksternal, tetapi medan manifestasi Wujud Ilahi yang bergradasi.³¹ Dengan demikian, seluruh sistem metafisika Ṣadrā bersifat monistik dalam hakikatnya, tetapi pluralistik dalam penampakannya.³²

Melalui sintesis ini, Mullā Ṣadrā membangun teologi kosmik yang bersifat rasional sekaligus mistis.³³ Ia menggabungkan argumentasi filosofis Aristotelian dengan intuisi spiritual Ibn ‘Arabī, menghasilkan suatu pandangan dunia yang menempatkan seluruh eksistensi dalam satu kesatuan ontologis.³⁴ Dalam kerangka ini, penciptaan, keberagaman, dan gerak kosmik tidak lain adalah proses penyingkapan Wujud Mutlak dalam berbagai derajat realitas.³⁵ Dengan demikian, filsafat Ṣadrā tidak hanya memberikan fondasi rasional bagi doktrin tauhid, tetapi juga menghadirkan kosmologi spiritual yang menegaskan kehadiran Tuhan di setiap lapisan eksistensi.³⁶


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 85.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 90.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 109.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 340.

[5]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 58–59.

[6]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 123.

[7]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 88.

[8]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 94.

[9]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 342.

[10]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 113.

[11]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 92.

[12]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 102.

[13]             Nasr, Three Muslim Sages, 125.

[14]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 45.

[15]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 117.

[16]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 95.

[17]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 98.

[18]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 345.

[19]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3, 112–113.

[20]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 140.

[21]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 99.

[22]             Nasr, Three Muslim Sages, 128.

[23]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 48.

[24]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 120.

[25]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 103.

[26]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 101.

[27]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 347.

[28]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 125.

[29]             Nasr, Three Muslim Sages, 130.

[30]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 108.

[31]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 349.

[32]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 105.

[33]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 144.

[34]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 51.

[35]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 129.

[36]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 112.


7.           Kritik dan Perdebatan Filosofis

7.1.       Kritik dari Tradisi Peripatetik dan Teologi Kalām

Konsep tashkīk al-wujūd yang diperkenalkan Mullā Ṣadrā tidak diterima begitu saja oleh seluruh kalangan intelektual Islam. Para filsuf peripatetik (mashshā’ī) yang mengikuti sistem Ibn Sīnā menilai bahwa teori ini menyulitkan dalam menjelaskan pembedaan substansial antar-entitas.¹ Dalam sistem Avicennian, setiap benda memiliki māhiyyah (esensi) yang menentukan identitasnya, sementara eksistensi hanya menjadi aksiden yang menempel padanya.² Oleh karena itu, bagi para peripatetik, jika eksistensi dianggap sebagai hakikat tunggal yang bergradasi, maka perbedaan antar-entitas akan kehilangan dasar rasionalnya.³

Selain itu, para teolog Islam (khususnya dari kalangan mutakallimūn Asy‘ariyyah) juga mengkritik teori Ṣadrā karena dianggap mengaburkan perbedaan antara Tuhan dan makhluk.⁴ Mereka menilai bahwa pandangan tentang kesatuan eksistensi berpotensi menimbulkan konsekuensi panteistik, yakni penyamaan antara Tuhan dan ciptaan-Nya.⁵ Dalam teologi kalām, Tuhan dipandang sebagai pencipta yang transenden dan terpisah secara ontologis dari ciptaan.⁶ Karena itu, pandangan Ṣadrā yang menegaskan bahwa eksistensi Tuhan dan makhluk berada dalam satu kontinuitas ontologis—meskipun dengan derajat berbeda—dipandang berbahaya bagi konsep tanzīh (transendensi mutlak Tuhan).⁷

Mullā Ṣadrā menjawab kritik ini dengan membedakan secara tegas antara “kesatuan gradasional eksistensi” dan “kesatuan numerik eksistensi.”⁸ Kesatuan numerik berarti tidak adanya perbedaan apa pun, sedangkan kesatuan gradasional (tashkīk) mengakui adanya tingkatan dalam kesatuan.⁹ Dengan demikian, Tuhan dan makhluk tidak identik secara substansial, melainkan berhubungan sebagai realitas tertinggi dan refleksinya pada tingkat eksistensi yang lebih rendah.¹⁰ Pandangan ini, menurut Ṣadrā, justru mempertahankan transendensi Tuhan sekaligus menjelaskan immanensi-Nya secara filosofis.¹¹

7.2.       Kritik dari Filsafat Illuminasionis dan Sufi

Sementara itu, kalangan iluminasionis (ishrāqiyyūn) yang mengikuti pemikiran Suhrawardī memberikan kritik berbeda. Mereka menilai bahwa tashkīk al-wujūd terlalu menekankan eksistensi sebagai prinsip rasional dan mengabaikan dimensi cahaya (nūr) sebagai simbol ontologis utama.¹² Suhrawardī berpendapat bahwa realitas terdiri atas hierarki cahaya, bukan eksistensi yang bergradasi secara abstrak.¹³ Bagi kaum ishrāqī, nūr lebih fundamental daripada wujūd, karena mencakup aspek intuitif dan spiritual yang tidak dapat direduksi ke dalam kategori metafisika rasional.¹⁴

Mullā Ṣadrā menjawabnya dengan mengintegrasikan gagasan cahaya ke dalam kerangka eksistensialnya. Ia menyatakan bahwa cahaya dan eksistensi pada hakikatnya identik, karena keduanya menunjukkan derajat manifestasi realitas yang sama.¹⁵ Dengan demikian, teori tashkīk al-wujūd justru memperluas simbolisme nūr Suhrawardī dengan memberikan dasar ontologis yang lebih sistematis.¹⁶

Selain kritik dari kalangan iluminasionis, sebagian sufi yang mengikuti Ibn ‘Arabī juga menilai bahwa pendekatan Mullā Ṣadrā terlalu rasional dalam memahami kesatuan wujud.¹⁷ Ibn ‘Arabī menekankan wahdat al-wujūd sebagai pengalaman intuitif mistik, sedangkan Ṣadrā mencoba menjelaskan kesatuan itu melalui argumentasi filosofis.¹⁸ Namun, bagi Ṣadrā, pengalaman mistik tanpa dasar rasional rentan terhadap kesalahan penafsiran, sehingga perlu kerangka metafisis yang ketat untuk menjaganya dari penyimpangan.¹⁹ Ia menyatukan rasionalisme dan intuisionisme dengan menegaskan bahwa “akal dan kasyf (penyingkapan batin)” adalah dua jalan menuju satu realitas yang sama.²⁰

7.3.       Kritik dan Respon dari Perspektif Modern

Dalam filsafat kontemporer, teori tashkīk al-wujūd juga menimbulkan perdebatan baru, terutama dalam dialog antara filsafat Islam dan metafisika Barat. Beberapa pemikir modern seperti Henry Corbin dan Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa sistem Ṣadrā memberikan alternatif penting terhadap ontologi modern yang cenderung materialistik.²¹ Namun, sejumlah sarjana Barat lainnya, seperti Oliver Leaman, menganggap konsep gradasi eksistensi terlalu abstrak dan sulit diuji secara empiris.²² Leaman menilai bahwa tashkīk lebih cocok sebagai metafor religius daripada teori filosofis yang dapat diverifikasi secara rasional.²³

Sebaliknya, para filsuf Muslim kontemporer seperti Muhammad Kamal dan Ibrahim Kalin membela Ṣadrā dengan menyatakan bahwa tashkīk al-wujūd justru memiliki nilai rasional tinggi karena mampu menjelaskan hubungan antara ontologi dan epistemologi secara integratif.²⁴ Menurut mereka, sistem ini tidak bertujuan menjelaskan realitas empiris semata, tetapi memberikan kerangka konseptual bagi pemahaman transenden tentang keberadaan.²⁵ Dengan demikian, kritik bahwa konsep tersebut “tidak ilmiah” dianggap tidak relevan, karena filsafat Ṣadrā beroperasi pada tataran metafisis, bukan fisik.²⁶


Evaluasi Kritis dan Signifikansi Filsafat Tashkīk

Dari berbagai kritik di atas, tampak bahwa teori tashkīk al-wujūd menempati posisi unik dalam sejarah metafisika Islam. Ia berusaha mengatasi keterbatasan rasionalisme Avicennian yang terlalu menekankan esensi, sekaligus menyempurnakan intuisionisme Ibn ‘Arabī yang bersifat mistikal.²⁷ Ṣadrā menciptakan sintesis antara akal, intuisi, dan wahyu yang menghasilkan sistem ontologis yang fleksibel namun tetap rasional.²⁸ Kritik terhadapnya sering kali berakar dari perbedaan metodologis—antara yang menuntut kepastian logis dan yang menekankan pengalaman spiritual.²⁹

Dari perspektif epistemologis, tashkīk al-wujūd tetap relevan dalam menjembatani diskursus antara metafisika dan sains modern.³⁰ Ia menegaskan bahwa realitas tidak bisa direduksi pada materi, tetapi memiliki dimensi intensional yang tak terukur.³¹ Secara teologis, sistem Ṣadrā menegaskan transendensi Tuhan tanpa menafikan kehadiran-Nya di dalam alam, sehingga menawarkan jalan tengah antara rasionalisme kering dan mistisisme ekstrem.³² Dengan demikian, meskipun menerima banyak kritik, teori tashkīk al-wujūd tetap menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat Islam dan terus menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan metafisika kontemporer.³³


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 115.

[2]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 25.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 108.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 348.

[5]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 118.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 236.

[7]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 127.

[8]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 92–93.

[9]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 121.

[10]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 110.

[11]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 133.

[12]             Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1952), 145.

[13]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 350.

[14]             Nasr, Three Muslim Sages, 130.

[15]             Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1960), 36–37.

[16]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 55.

[17]             Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 61.

[18]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 351.

[19]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 124.

[20]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 113.

[21]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 354.

[22]             Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 238.

[23]             Ibid., 239.

[24]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 136–137.

[25]             Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 59.

[26]             Nasr, Three Muslim Sages, 133.

[27]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 128.

[28]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 139.

[29]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 116.

[30]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 356.

[31]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 63.

[32]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 130.

[33]             Nasr, Three Muslim Sages, 136.


8.           Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

8.1.       Kontribusi terhadap Filsafat Islam Modern

Pemikiran Mullā Ṣadrā mengenai tashkīk al-wujūd tetap relevan bagi perkembangan filsafat Islam modern karena menawarkan suatu paradigma ontologis yang mampu menjembatani perbedaan antara rasionalitas dan spiritualitas.¹ Dalam konteks kontemporer, filsafatnya menjadi alternatif terhadap reduksionisme materialistik yang mendominasi ilmu pengetahuan modern.² Sementara sains modern cenderung membatasi realitas pada aspek empiris dan terukur, konsep tashkīk al-wujūd menunjukkan bahwa realitas bersifat bertingkat—dari yang material hingga yang spiritual—dan bahwa dimensi eksistensial yang lebih tinggi tidak dapat direduksi pada yang lebih rendah.³

Melalui kerangka ini, filsafat Mullā Ṣadrā menawarkan suatu bentuk “realisme transenden”, yakni pandangan bahwa realitas yang tampak bukanlah satu-satunya wujud yang eksis, melainkan bagian dari struktur eksistensi yang lebih luas dan bertingkat.⁴ Pandangan ini menghidupkan kembali gagasan bahwa ilmu pengetahuan harus disertai kesadaran metafisik tentang kedudukan manusia dan alam dalam keseluruhan kosmos.⁵ Dalam hal ini, pemikiran Ṣadrā dapat dipandang sebagai landasan bagi upaya Islamisasi ilmu pengetahuan yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan intuisi dalam memahami realitas.⁶

8.2.       Implikasi terhadap Dialog antara Filsafat Islam dan Filsafat Barat

Dalam ranah filsafat perbandingan, tashkīk al-wujūd membuka ruang dialog antara tradisi Islam dan Barat, khususnya dalam konteks ontologi dan eksistensialisme. Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa eksistensi adalah realitas primer dan dinamis, bukan sekadar konsep statis.⁷ Pandangan ini memiliki kesamaan metodologis dengan eksistensialisme Heideggerian, yang juga menempatkan “being” sebagai tema utama filsafat, meskipun dalam horizon berbeda.⁸ Jika Heidegger berbicara tentang Sein yang terungkap melalui eksistensi manusia (Dasein), maka Ṣadrā berbicara tentang wujūd yang terealisasi dalam seluruh tatanan realitas.⁹

Kesamaan orientasi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak tertinggal dari diskursus metafisika Barat modern.¹⁰ Bahkan, teori tashkīk al-wujūd dapat memperkaya pemikiran eksistensialis dengan menambahkan dimensi teologis dan kosmologis yang absen dalam eksistensialisme sekuler.¹¹ Dalam dialog lintas tradisi ini, tashkīk al-wujūd dapat berperan sebagai model konseptual yang menegaskan keterhubungan antara Tuhan, manusia, dan alam, bukan dalam kerangka antropocentris, tetapi dalam kerangka ontocentris—yaitu berpusat pada eksistensi sebagai realitas tunggal yang inklusif.¹²

Selain itu, gagasan Ṣadrā mengenai gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) memiliki resonansi dengan filsafat proses (process philosophy) Alfred North Whitehead.¹³ Keduanya menolak pandangan statis tentang realitas dan menegaskan bahwa segala sesuatu berada dalam proses menjadi (becoming).¹⁴ Bedanya, bagi Whitehead proses adalah hubungan peristiwa temporal, sedangkan bagi Ṣadrā proses adalah intensifikasi ontologis menuju kesempurnaan eksistensi.¹⁵ Perbandingan ini menunjukkan bahwa filsafat Islam klasik memiliki relevansi dengan metafisika modern yang berorientasi pada dinamika realitas.¹⁶

8.3.       Dimensi Etis dan Ekologis dari Gradasi Eksistensi

Selain relevansi filosofis, konsep tashkīk al-wujūd juga memiliki implikasi etis dan ekologis yang signifikan. Dalam pandangan Ṣadrā, seluruh alam semesta adalah manifestasi dari satu eksistensi Ilahi yang sama, sehingga setiap makhluk memiliki nilai ontologis yang inheren.¹⁷ Kesadaran terhadap kesatuan eksistensi ini menuntun manusia untuk memperlakukan alam dan sesama makhluk dengan rasa hormat dan tanggung jawab spiritual.¹⁸ Dengan demikian, tashkīk al-wujūd memberikan dasar ontologis bagi etika lingkungan yang berakar pada kesadaran kosmik, bukan sekadar utilitarianisme pragmatis.¹⁹

Pandangan ini juga mengoreksi sikap antroposentris modern yang menempatkan manusia sebagai pusat eksistensi dan mengabaikan dimensi spiritual alam.²⁰ Dalam kerangka tashkīk, manusia bukanlah penguasa alam, tetapi bagian dari jaringan eksistensi yang saling terkait.²¹ Setiap tindakan manusia terhadap alam akan mempengaruhi keseimbangan kosmik karena semua wujud terikat dalam satu kesatuan ontologis.²² Oleh karena itu, kesadaran metafisik tentang gradasi wujud dapat melahirkan etika ekologis yang berlandaskan spiritualitas dan cinta terhadap seluruh ciptaan.²³


Relevansi Mistikal dan Transformatif dalam Kehidupan Spiritual

Dalam konteks spiritualitas kontemporer, teori tashkīk al-wujūd memiliki nilai transformatif karena menegaskan bahwa perjalanan manusia menuju Tuhan adalah proses peningkatan intensitas eksistensi.²⁴ Kesempurnaan spiritual tidak dipahami sebagai pelarian dari dunia, melainkan sebagai pendalaman realitas wujud dalam seluruh aspeknya.²⁵ Dengan menyadari bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari Wujud Ilahi, manusia akan mengalami bentuk kesadaran eksistensial baru—yakni al-ḥuḍūr al-ilāhī (kehadiran Ilahi) dalam setiap dimensi kehidupan.²⁶

Implikasi ini menjadikan tashkīk al-wujūd relevan bagi spiritualitas modern yang sering kali kehilangan dasar metafisiknya.²⁷ Filsafat Ṣadrā mengajarkan bahwa kesucian hidup terwujud melalui peningkatan eksistensial yang terus menerus, di mana pengetahuan, amal, dan pengalaman mistik bersatu dalam perjalanan menuju kesempurnaan wujud.²⁸ Dalam dunia yang dipenuhi fragmentasi dan krisis makna, pemikiran Ṣadrā menawarkan visi spiritual yang menyatukan: manusia, Tuhan, dan kosmos dalam satu kesatuan eksistensi yang bertingkat namun harmonis.²⁹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 122.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 134.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 145.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 358.

[5]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 140.

[6]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 67.

[7]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 137.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 38.

[9]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 360.

[10]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 127.

[11]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 148.

[12]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 70.

[13]             Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 45.

[14]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 140.

[15]             Nasr, Three Muslim Sages, 143.

[16]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 151.

[17]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 363.

[18]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 132.

[19]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 145.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 78.

[21]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 74.

[22]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 154.

[23]             Nasr, Three Muslim Sages, 146.

[24]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 149.

[25]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 365.

[26]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 136.

[27]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 157.

[28]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 79.

[29]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 152.


9.           Sintesis Filosofis

9.1.       Integrasi antara Rasionalisme, Intuisionisme, dan Mistisisme

Filsafat Mullā Ṣadrā mencapai puncaknya dalam bentuk sintesis filosofis yang menyatukan tiga arus besar dalam tradisi intelektual Islam: rasionalisme (falsafah mashshā’iyyah), intuisionisme (ishrāqiyyah), dan mistisisme (‘irfān).¹ Ia berhasil mengintegrasikan metode logis Aristotelian, iluminasi spiritual Suhrawardī, dan pengalaman mistik Ibn ‘Arabī dalam satu sistem metafisika yang utuh, yang dikenal sebagai al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Transenden).² Melalui sintesis ini, Mullā Ṣadrā menolak reduksi realitas pada salah satu dimensi pengetahuan—baik rasional semata maupun intuitif semata—dan menegaskan bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui penyatuan antara akal, intuisi, dan wahyu.³

Dalam kerangka ini, tashkīk al-wujūd menjadi prinsip ontologis yang memungkinkan tercapainya kesatuan epistemologis.⁴ Rasio memberikan struktur dan koherensi bagi pemahaman eksistensi, intuisi menyingkap kedalaman maknanya, sedangkan wahyu mengarahkan keduanya pada kebenaran tertinggi.⁵ Dengan demikian, sistem Ṣadrā tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga spiritual dan teologis, menandai suatu bentuk filsafat yang hidup (living philosophy) yang menuntun manusia pada transformasi eksistensial.⁶

9.2.       Kesatuan Ontologis sebagai Prinsip Universal

Dalam sintesis filosofis Ṣadrā, tashkīk al-wujūd berfungsi sebagai prinsip universal yang menjelaskan kesatuan seluruh realitas.⁷ Kesatuan ini tidak berarti penyeragaman, melainkan keterhubungan organik di antara seluruh tingkatan eksistensi.⁸ Realitas tunggal menampakkan diri dalam bentuk-bentuk yang beragam sesuai dengan kapasitas ontologisnya, tetapi semua tetap berakar pada sumber yang sama: al-Wujūd al-Muṭlaq.⁹

Dengan demikian, konsep kesatuan ontologis Ṣadrā berbeda dari paham monisme Barat yang bersifat materialistik, karena di dalamnya terdapat dimensi hierarkis dan spiritual.¹⁰ Kesatuan ini juga melampaui dualisme Cartesian antara roh dan materi, sebab keduanya hanyalah dua tingkatan dari intensitas eksistensi yang sama.¹¹ Dalam kerangka ini, realitas dipahami bukan secara dikotomik, tetapi sebagai jaringan wujud yang bertingkat dan saling menembus.¹²

Selain itu, kesatuan ontologis ini memiliki implikasi epistemologis penting: pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai representasi abstrak tentang objek, tetapi sebagai partisipasi langsung dalam realitas wujud.¹³ Proses mengetahui bukanlah aktivitas mental semata, melainkan tindakan eksistensial di mana subjek dan objek berjumpa dalam satu tataran eksistensi.¹⁴ Maka, epistemologi Ṣadrā berakar pada ontologi, dan ontologi berakar pada spiritualitas.¹⁵

9.3.       Sintesis Teologis dan Kosmologis

Sintesis filosofis Mullā Ṣadrā juga terlihat dalam cara ia mengharmonikan teologi dan kosmologi. Tuhan, sebagai Wujud Mutlak, bukan entitas yang jauh dari ciptaan, melainkan realitas yang menembus seluruh struktur wujud.¹⁶ Kosmos, pada gilirannya, bukan entitas terpisah, melainkan medan manifestasi Ilahi yang bertingkat.¹⁷ Dalam perspektif ini, setiap fenomena alam adalah tanda (āyah) dari eksistensi Tuhan, dan setiap wujud merupakan partisipasi dalam keberadaan-Nya.¹⁸

Konsep ini mengandung implikasi teologis yang mendalam: ia memungkinkan pemahaman tentang Tuhan yang transenden sekaligus imanen.¹⁹ Melalui tashkīk al-wujūd, Ṣadrā menjelaskan bahwa transendensi Tuhan tidak meniadakan kehadiran-Nya dalam ciptaan, karena seluruh eksistensi merupakan cerminan dari Wujud-Nya yang mutlak.²⁰ Dengan demikian, sistem teologinya bersifat “transendental-immanen,” suatu posisi tengah antara dualisme kalām dan panteisme sufi.²¹

Lebih jauh, sintesis kosmologis Ṣadrā menjelaskan bahwa seluruh alam semesta berada dalam gerak evolutif menuju kesempurnaan eksistensi, yang berpuncak pada Tuhan.²² Doktrin al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial) menggambarkan realitas sebagai proses kosmik yang berkesinambungan dari potensi menuju aktualitas.²³ Proses ini bukan sekadar perubahan fisik, tetapi transformasi eksistensial yang menandakan bahwa seluruh ciptaan sedang “kembali” (rujū‘) kepada sumber wujudnya.²⁴


Signifikansi Sintesis Mullā Ṣadrā dalam Konteks Filosofis Global

Sintesis filosofis yang dikembangkan Mullā Ṣadrā memiliki makna universal karena menjawab krisis metafisika yang masih relevan hingga masa kini.²⁵ Dalam konteks modern, filsafat Barat mengalami fragmentasi antara rasio, etika, dan spiritualitas, sedangkan filsafat Ṣadrā menunjukkan bagaimana ketiganya dapat diintegrasikan secara ontologis.²⁶ Ia membangun metafisika yang dinamis dan terbuka, yang mampu menjembatani antara sains, teologi, dan pengalaman mistik tanpa menegasikan otonomi masing-masing.²⁷

Pemikiran Ṣadrā juga menantang paradigma sekular modern yang memisahkan fakta dan makna, materi dan jiwa.²⁸ Dalam sistemnya, fakta dan makna tidak dapat dipisahkan karena keduanya berakar pada realitas eksistensi yang sama, hanya berbeda dalam tingkat intensitas dan kesadaran.²⁹ Dengan demikian, filsafat tashkīk al-wujūd bukan hanya doktrin metafisis, tetapi juga tawaran metodologis untuk membangun kembali sintesis antara ilmu, filsafat, dan spiritualitas.³⁰

Akhirnya, sistem Ṣadrā dapat dipandang sebagai filsafat integratif yang tidak berhenti pada pengetahuan teoretis, tetapi menuntun manusia pada transformasi eksistensial.³¹ Dalam kesatuan rasio dan intuisi, ia menegaskan bahwa kebenaran sejati bukan sekadar proposisi intelektual, melainkan kesatuan ontologis antara yang mengetahui dan yang diketahui.³² Dengan demikian, sintesis filosofis Mullā Ṣadrā menjadi warisan yang tidak hanya penting bagi filsafat Islam, tetapi juga bagi wacana filsafat universal yang mencari jalan menuju kesatuan makna dan keberadaan.³³


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 155.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 141.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 367.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 163.

[5]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 158.

[6]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 149.

[7]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 369.

[8]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 145.

[9]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 97.

[10]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 161.

[11]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 168.

[12]             Nasr, Three Muslim Sages, 152.

[13]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 150.

[14]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 84.

[15]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 171.

[16]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 164.

[17]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 148.

[18]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 371.

[19]             Nasr, Three Muslim Sages, 155.

[20]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 61.

[21]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 167.

[22]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 173.

[23]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 119–120.

[24]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 152.

[25]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 373.

[26]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 170.

[27]             Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 87.

[28]             Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 82.

[29]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 176.

[30]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 155.

[31]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 375.

[32]             Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 157.

[33]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 175.


10.       Kesimpulan

Filsafat Mullā Ṣadrā menghadirkan suatu revolusi konseptual dalam sejarah metafisika Islam melalui gagasan tentang tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi).¹ Teori ini menegaskan bahwa realitas bukan sekadar kumpulan entitas terpisah, melainkan suatu kesatuan eksistensial yang bertingkat dari Wujud Mutlak hingga wujud partikular.² Dalam kerangka ini, eksistensi bukan hanya prinsip ontologis, tetapi juga fondasi epistemologis dan teologis yang menyatukan seluruh dimensi pengetahuan manusia tentang realitas.³

Melalui prinsip aṣālat al-wujūd (keprimordialan eksistensi), Mullā Ṣadrā membalik paradigma klasik filsafat Islam yang sebelumnya lebih menekankan māhiyyah (esensi).⁴ Ia menunjukkan bahwa yang nyata secara objektif hanyalah eksistensi, sedangkan esensi hanyalah konsep mental yang terbentuk dalam kesadaran manusia.⁵ Dari sini lahirlah pandangan bahwa semua entitas di alam semesta merupakan manifestasi dari satu hakikat wujud yang sama, berbeda hanya dalam derajat intensitas dan kesempurnaan ontologisnya.⁶

Dalam dimensi teologis, tashkīk al-wujūd menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam secara harmonis. Tuhan, sebagai al-Wujūd al-Muṭlaq, merupakan realitas tunggal dan absolut, sedangkan alam semesta adalah pancaran atau manifestasi bertingkat dari eksistensi-Nya.⁷ Pandangan ini menolak panteisme yang menyamakan Tuhan dengan dunia, sekaligus mengoreksi dualisme teologis yang memisahkan Tuhan dari ciptaan.⁸ Dengan demikian, sistem metafisika Ṣadrā menghadirkan keseimbangan antara transendensi (tanzīh) dan immanensi (tashbīh) Ilahi.⁹

Konsep ini juga membawa konsekuensi kosmologis dan antropologis yang signifikan. Dunia tidak lagi dipahami sebagai ciptaan statis, melainkan sebagai realitas yang senantiasa bergerak menuju kesempurnaan eksistensial melalui al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial).¹⁰ Manusia, dalam hal ini, menempati posisi istimewa sebagai mikrokosmos yang merefleksikan seluruh tingkat wujud dan memiliki potensi untuk menempuh perjalanan eksistensial menuju kesatuan dengan sumber wujud tertinggi.¹¹ Kesempurnaan manusia bukanlah akumulasi pengetahuan rasional semata, tetapi peningkatan intensitas eksistensi yang mengarah pada penyatuan spiritual dengan Tuhan.¹²

Dari sisi epistemologi, tashkīk al-wujūd mengandung gagasan bahwa pengetahuan bukanlah representasi abstrak, melainkan bentuk partisipasi eksistensial dalam realitas yang diketahui.¹³ Melalui teori ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan melalui kehadiran), Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa antara subjek dan objek pengetahuan terdapat kesatuan ontologis.¹⁴ Dalam kerangka ini, mengetahui berarti “menjadi”—yakni proses peningkatan wujud subjek dalam menyingkap realitas.¹⁵

Secara filosofis, sistem Mullā Ṣadrā merupakan sintesis paripurna antara rasionalisme, intuisionisme, dan mistisisme.¹⁶ Ia menggabungkan kekuatan argumentasi logis Ibn Sīnā, pencerahan spiritual Suhrawardī, dan kedalaman metafisis Ibn ‘Arabī, untuk membangun filsafat transenden (al-ḥikmah al-muta‘āliyah) yang menyatukan akal, wahyu, dan pengalaman batin.¹⁷ Melalui pendekatan integratif ini, Ṣadrā berhasil menjembatani perdebatan klasik antara filsafat, teologi, dan tasawuf, serta membuka ruang bagi dialog antara tradisi Islam dan filsafat modern.¹⁸

Dalam konteks kontemporer, tashkīk al-wujūd memiliki relevansi mendalam. Ia menawarkan paradigma metafisik yang menolak fragmentasi modern antara sains dan spiritualitas, serta memberikan dasar ontologis bagi etika ekologis dan kesadaran kosmik.¹⁹ Dengan memandang seluruh wujud sebagai manifestasi dari eksistensi Ilahi, manusia diajak untuk hidup selaras dengan tatanan kosmos dan menghormati seluruh bentuk kehidupan sebagai bagian dari kesatuan eksistensial.²⁰

Akhirnya, teori tashkīk al-wujūd menegaskan bahwa seluruh realitas merupakan perjalanan eksistensial dari potensi menuju aktualitas, dari yang terbatas menuju yang mutlak.²¹ Dalam perjalanan ini, manusia memiliki tanggung jawab ontologis untuk mengaktualkan wujudnya menuju kesempurnaan.²² Dengan demikian, filsafat Mullā Ṣadrā tidak berhenti pada tataran konseptual, tetapi menjadi jalan hidup filosofis dan spiritual yang mengantarkan manusia menuju pemahaman mendalam tentang hakikat keberadaan—sebuah pencapaian yang merupakan puncak dari al-ḥikmah al-muta‘āliyah.²³


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 175.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 160.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 180.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 376.

[5]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 178.

[6]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 157.

[7]                Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 182.

[8]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 379.

[9]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 163.

[10]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1981), 125–126.

[11]             Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham: Ashgate, 2010), 91.

[12]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 184.

[13]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 160.

[14]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 186.

[15]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 166.

[16]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 382.

[17]             Nasr, Three Muslim Sages, 160.

[18]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 187.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 89.

[20]             Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 189.

[21]             Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī, 1960), 40.

[22]             Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 170.

[23]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 385.


Daftar Pustaka

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. State University of New York Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam (A. A. ‘Afīfī, Ed.). Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (I. Madkour, Ed.). al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Kamal, M. (2010). Mulla Sadra’s transcendent philosophy. Ashgate.

Manẓūr, I. (1955). Lisān al-‘Arab (Vol. 10). Dār Ṣādir.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. George Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his transcendent theosophy. Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Rahman, F. (1975). The philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī). State University of New York Press.

Suhrawardī, S. al-D. (1952). Ḥikmat al-Ishrāq (H. Corbin, Ed.). Institute Franco-Iranien.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.

Ṣadrā, M. (1981). Al-Asfār al-Arbaʿah (Vols. 1–4). Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī.

Ṣadrā, M. (1960). Al-Mashāʿir. Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar