Tashkīk Al-Wujūd
Suatu Kajian tentang Gradasi Eksistensi dan Implikasi
Metafisiknya
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep tashkīk
al-wujūd (gradasi eksistensi) dalam filsafat Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī), yang menjadi inti dari sistem metafisika al-Ḥikmah
al-Muta‘āliyah atau Filsafat Transenden. Konsep ini menegaskan bahwa
eksistensi (wujūd) merupakan realitas tunggal yang bergradasi secara
intensional, dari Wujud Mutlak (Tuhan) hingga entitas partikular di alam material.
Dengan prinsip aṣālat al-wujūd (keprimordialan eksistensi), Mullā Ṣadrā
membalik paradigma klasik yang menempatkan māhiyyah (esensi) sebagai
dasar realitas, dan menegaskan bahwa hanya eksistensi yang benar-benar nyata
secara ontologis. Kajian ini menguraikan latar historis dan filosofis lahirnya
teori tashkīk al-wujūd, hubungan antara wujūd dan māhiyyah,
serta implikasi teologis, kosmologis, dan epistemologisnya. Selain itu, artikel
ini menyoroti kritik dari kalangan peripatetik, iluminasi, dan teologi kalām,
serta menampilkan bagaimana Ṣadrā berhasil mensintesiskan rasionalisme,
intuisionisme, dan mistisisme dalam satu sistem metafisika yang koheren. Hasil
kajian menunjukkan bahwa tashkīk al-wujūd bukan hanya teori ontologis,
tetapi juga landasan etis, kosmologis, dan spiritual yang relevan dengan
tantangan pemikiran modern, terutama dalam upaya mengintegrasikan ilmu
pengetahuan, filsafat, dan spiritualitas. Filsafat Ṣadrā dengan demikian
menawarkan paradigma eksistensial yang dinamis dan holistik, yang menjembatani
antara rasio dan intuisi, antara transendensi dan immanensi, serta antara Tuhan
dan kosmos dalam kesatuan gradasional eksistensi.
Kata Kunci: Mullā Ṣadrā; Tashkīk al-Wujūd; Gradasi
Eksistensi; Aṣālat al-Wujūd; Metafisika Islam; Ontologi; Teologi;
Kosmologi; Filsafat Transenden.
PEMBAHASAN
Konsep Tashkīk al-Wujūd dalam Filsafat Mullā Ṣadrā
1.          
Pendahuluan
Kajian metafisika
Islam mencapai puncak kedalaman konseptualnya pada masa Mullā Ṣadrā (Ṣadr
al-Dīn al-Shīrāzī, 1571–1640 M), seorang filsuf besar dari era Safawi yang
berhasil menyintesiskan berbagai tradisi intelektual sebelumnya—yakni falsafah
peripatetik (Ibn Sīnā), iluminasi (Suhrawardī), dan tasawuf falsafi (Ibn
‘Arabī)—ke dalam sistem baru yang ia sebut al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat
Transenden).¹ Melalui sistem ini, Mullā Ṣadrā memperkenalkan suatu pandangan
baru tentang realitas, di mana wujūd (eksistensi) bukan hanya
entitas metafisik tertinggi, tetapi juga realitas yang dinamis, bertingkat, dan
memiliki gradasi ontologis yang disebut tashkīk al-wujūd.²
Sebelum munculnya
pemikiran Ṣadrā, filsafat Islam masih didominasi oleh perdebatan antara dua
kutub utama: kaum peripatetik (mashshā’ī) yang menekankan esensi (māhiyyah)
sebagai dasar realitas, dan kaum iluminasionis (ishrāqī) yang melihat realitas
sebagai pancaran cahaya dengan derajat intensitas berbeda.³ Namun, Ṣadrā
membalik paradigma ini dengan menegaskan bahwa bukan esensi, melainkan
eksistensi yang merupakan hakikat sejati dari segala sesuatu—sebuah pandangan
yang dikenal sebagai aṣālat al-wujūd (primasi
eksistensi).⁴ Dengan demikian, eksistensi dipahami bukan secara statis dan
tunggal, melainkan secara bertingkat dan dinamis, dari Wujud Mutlak (Tuhan)
hingga wujud partikular di alam material.⁵
Konsep tashkīk
al-wujūd menjadi inti dari filsafat Mullā Ṣadrā karena di dalamnya
ia berupaya menjembatani kesenjangan antara kesatuan dan keragaman realitas. Ia
menolak dikotomi kaku antara wahdat al-wujūd (kesatuan
eksistensi) dan katsrat al-mawjūdāt (kejamakan yang
ada), dengan menawarkan struktur hierarkis realitas yang bersumber dari Wujud
Mutlak namun menampakkan diri dalam berbagai tingkat intensitas.⁶ Dengan kata
lain, wujud adalah satu secara esensial, tetapi beragam secara intensional.
Pandangan ini tidak hanya memberikan fondasi ontologis bagi seluruh realitas,
tetapi juga membuka kemungkinan dialog antara rasionalitas filosofis dan
pengalaman mistis.⁷
Kajian terhadap
konsep tashkīk
al-wujūd menjadi sangat penting dalam konteks filsafat Islam kontemporer
karena menawarkan paradigma integratif yang melampaui dikotomi klasik antara
filsafat, teologi, dan tasawuf. Melalui teori ini, Ṣadrā menghadirkan kerangka
berpikir yang mampu menafsirkan eksistensi sebagai sesuatu yang bersifat
kontinu dan berjenjang, bukan sebagai entitas terpisah atau kategoris.⁸ Dengan
demikian, pembahasan ini bertujuan untuk menelusuri dasar-dasar metafisis dari
konsep tashkīk
al-wujūd, latar filosofis kelahirannya, serta relevansinya dalam
memahami hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Rumusan masalah yang
akan dijawab dalam kajian ini meliputi:
(1)              
bagaimana Mullā Ṣadrā
mendefinisikan dan memaknai tashkīk al-wujūd;
(2)              
bagaimana teori ini berbeda dari
pendekatan ontologis para filsuf sebelumnya; dan
(3)              
apa implikasi metafisik serta
teologis dari gradasi eksistensi ini terhadap struktur realitas.
Dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan studi metafisika Islam yang lebih komprehensif
dan relevan dengan wacana filsafat modern.⁹
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 105–106.
[2]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 28.
[3]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 322–324.
[4]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 47–48.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 55–56.
[6]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 72–74.
[7]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 118–119.
[8]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 219–220.
[9]               
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Farnham: Ashgate, 2010), 2–3.
2.          
Landasan Historis dan Filosofis
2.1.      
Konteks Intelektual
dan Sosial Era Safawi
Pemikiran Mullā Ṣadrā
(Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī, 1571–1640 M) tumbuh dalam konteks intelektual yang
sangat dinamis di bawah Dinasti Safawi, sebuah masa yang ditandai oleh
kebangkitan spiritualitas Syi‘ah dan penyatuan antara ilmu rasional (‘aqlī)
dan ilmu keagamaan (naqlī).¹ Pada masa ini, kota
Isfahan menjadi pusat intelektual dunia Islam, tempat berkumpulnya para filsuf,
teolog, dan sufi.² Kondisi tersebut memberi ruang bagi munculnya sintesis
antara tradisi falsafah peripatetik (Ibn Sīnā), iluminasi (Suhrawardī), dan
gnosis sufistik (Ibn ‘Arabī), yang semuanya berpadu dalam sistem filsafat
transenden Mullā Ṣadrā (al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah).³
Mullā Ṣadrā sendiri
hidup dalam situasi intelektual yang penuh dengan ketegangan antara kaum
rasionalis dan kaum tekstualis. Para ulama teolog tradisional menolak
kecenderungan filsafat yang dianggap terlalu spekulatif, sedangkan para filsuf
menganggap pendekatan tekstual sebagai hambatan bagi pencapaian pengetahuan
hakiki.⁴ Dalam konteks inilah Ṣadrā berusaha mendamaikan keduanya dengan
menegaskan bahwa kebenaran sejati tidak dapat dicapai hanya melalui argumentasi
rasional, tetapi juga melalui intuisi dan pengalaman spiritual yang autentik.⁵
2.2.      
Pengaruh Filsuf dan
Tradisi Sebelumnya
Dalam membangun
sistem metafisiknya, Mullā Ṣadrā banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Sīnā
(Avicenna), Suhrawardī, dan Ibn
‘Arabī. Dari Ibn Sīnā, Ṣadrā mewarisi kerangka logis dan
metafisika peripatetik, terutama mengenai pembedaan antara wujūd
dan māhiyyah.⁶
Namun, ia mengkritik Avicenna yang dianggap memposisikan esensi sebagai elemen
utama dalam struktur realitas.⁷ Dari Suhrawardī, Ṣadrā mengambil inspirasi dari
filsafat iluminasi (ishrāqiyyah), terutama gagasan
bahwa realitas bersifat bertingkat dan dapat dianalogikan dengan cahaya yang
memiliki intensitas berbeda.⁸ Sementara dari Ibn ‘Arabī, Ṣadrā menyerap visi
metafisis tentang kesatuan eksistensi (wahdat al-wujūd) yang menekankan
bahwa seluruh realitas merupakan manifestasi dari Wujud Mutlak.⁹
Melalui integrasi
ketiga tradisi tersebut, Ṣadrā mengembangkan konsep tashkīk al-wujūd (gradasi
eksistensi), yaitu pandangan bahwa eksistensi adalah satu hakikat yang memiliki
derajat intensitas berbeda—mulai dari wujud Tuhan yang absolut hingga wujud
material yang lemah.¹⁰ Konsep ini memungkinkan Ṣadrā menjelaskan keragaman
realitas tanpa meniadakan kesatuan ontologisnya. Dengan demikian, ia mengatasi
problem klasik antara pluralitas (katsrah) dan kesatuan (wahdah)
dalam metafisika Islam.¹¹
2.3.      
Sumber-Sumber Utama
Filsafat Mullā Ṣadrā
Karya utama Mullā Ṣadrā,
Al-Asfār
al-Arba‘ah fī al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (“Empat Perjalanan dalam
Filsafat Transenden”), menjadi fondasi sistematis dari seluruh pemikirannya.¹²
Dalam karya monumental ini, ia memetakan perjalanan intelektual dan spiritual
manusia menuju realitas wujud sejati melalui empat tahapan: (1) perjalanan dari
makhluk menuju Tuhan, (2) perjalanan dalam Tuhan, (3) perjalanan dari Tuhan
menuju makhluk, dan (4) perjalanan bersama Tuhan dalam ciptaan.¹³ Struktur
empat perjalanan ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga epistemologis—mewakili
tahapan evolutif kesadaran manusia dalam memahami eksistensi.¹⁴
Selain Asfār,
Ṣadrā juga menulis karya-karya penting lainnya seperti Al-Mashā‘ir
(tentang realitas eksistensi), Sharḥ Uṣūl al-Kāfī (komentar
teologis dan metafisik), serta Al-Shawāhid al-Rubūbiyyah (tentang
bukti-bukti ketuhanan).¹⁵ Dalam seluruh karyanya, terlihat bahwa teori aṣālat
al-wujūd (primasi eksistensi) dan tashkīk al-wujūd menjadi poros
utama bagi seluruh struktur pemikiran metafisisnya.¹⁶ Kedua konsep ini
menjelaskan bahwa eksistensi bukanlah kategori abstrak, tetapi realitas konkret
yang bergradasi dan terus bergerak menuju kesempurnaan.¹⁷
Dengan demikian,
landasan historis dan filosofis pemikiran Mullā Ṣadrā menunjukkan kesinambungan
dan pembaruan sekaligus. Ia bukan sekadar penerus tradisi Avicennian atau
Suhrawardian, tetapi seorang inovator metafisis yang berhasil mengintegrasikan
akal, intuisi, dan wahyu dalam satu sistem filosofis yang utuh.¹⁸ Melalui
konsep tashkīk
al-wujūd, Ṣadrā membuka jalan bagi pemahaman baru tentang realitas
sebagai suatu kesatuan dinamis dan hierarkis, yang menempatkan Tuhan sebagai
sumber segala eksistensi dan tujuan akhir seluruh gerak ontologis.¹⁹
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 33–34.
[2]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 321.
[3]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 21–23.
[4]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 210.
[5]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 104–105.
[6]               
Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 12–15.
[7]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 40–41.
[8]               
Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Institute Franco-Iranien, 1952), 118–120.
[9]               
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 55–57.
[10]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 61–63.
[11]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 75–76.
[12]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 41.
[13]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 88–90.
[14]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 81–82.
[15]            
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Farnham: Ashgate, 2010), 19–20.
[16]            
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 109.
[17]            
Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth
al-Islāmī, 1960), 22–24.
[18]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 328–329.
[19]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 125.
3.          
Ontologi Mullā Ṣadrā: Primasi Wujud atas Esensi
3.1.      
Prinsip Aṣālat
al-Wujūd (Keadian Eksistensi)
Salah satu
kontribusi paling fundamental Mullā Ṣadrā terhadap metafisika Islam adalah
konsep aṣālat
al-wujūd, atau primasi eksistensi, yang menegaskan
bahwa eksistensi (wujūd) adalah realitas objektif
yang sejati, sedangkan esensi (māhiyyah) hanyalah konsep mental
yang tidak memiliki keberadaan di luar pikiran.¹ Dalam pandangan Mullā Ṣadrā,
seluruh yang ada di alam semesta adalah manifestasi dari satu hakikat
eksistensi yang bergradasi, bukan sekadar kumpulan esensi-esensi yang
terpisah.² Dengan demikian, wujūd bukanlah atribut dari
sesuatu, melainkan substansi ontologis itu sendiri—ia adalah dasar dari segala
sesuatu yang nyata.³
Konsep ini merupakan
pergeseran paradigma besar dari metafisika Avicennian, di mana Ibn Sīnā masih
memberikan peran yang signifikan kepada māhiyyah sebagai prinsip
diferensiasi antar-entitas.⁴ Ṣadrā menolak pandangan tersebut dengan menyatakan
bahwa apa yang nyata secara eksternal hanyalah eksistensi, sedangkan esensi
hanyalah batas konseptual yang dibentuk oleh akal manusia.⁵ Dengan kata lain,
esensi tidak memiliki realitas mandiri; ia hanya merupakan abstraksi dari
eksistensi yang konkret.⁶
Bagi Mullā Ṣadrā,
keadilan eksistensi bukan hanya persoalan logis atau linguistik, melainkan
sebuah prinsip ontologis yang menjelaskan seluruh struktur realitas. Wujūd
adalah fondasi segala yang ada, dan segala bentuk keberagaman yang tampak di
dunia hanyalah perbedaan intensitas dalam manifestasi eksistensi itu sendiri.⁷
Prinsip inilah yang kemudian melandasi teori tashkīk al-wujūd (gradasi
eksistensi), di mana realitas dipandang sebagai satu kesatuan hierarkis yang
mencakup seluruh tingkat wujud, dari Tuhan hingga makhluk paling rendah.⁸
3.2.      
Argumentasi Filosofis atas
Aṣālat al-Wujūd
Ṣadrā membangun
argumentasi logis yang kuat untuk mendukung keadilan eksistensi. Ia
mengemukakan bahwa esensi tidak mungkin memiliki realitas objektif, karena
esensi tidak pernah muncul tanpa eksistensi.⁹ Ketika kita mengatakan bahwa “manusia
ada,” yang memberi kenyataan bukanlah konsep “manusia” itu sendiri,
melainkan fakta keberadaannya.¹⁰ Tanpa wujūd, tidak ada sesuatu pun yang
dapat dikatakan nyata, bahkan konsep esensi pun tidak dapat terbayangkan tanpa
terlebih dahulu mengandaikan eksistensi.¹¹
Lebih jauh, Mullā Ṣadrā
menunjukkan bahwa segala perubahan, gerak, dan kontinuitas dalam realitas hanya
mungkin dijelaskan bila eksistensi dianggap sebagai prinsip yang dinamis.¹²
Bila yang nyata adalah esensi, maka perubahan tidak mungkin terjadi, karena
esensi bersifat tetap dan tidak berubah.¹³ Sebaliknya, jika yang nyata adalah
eksistensi, maka perubahan dapat dipahami sebagai intensifikasi atau pelemahan
eksistensi itu sendiri.¹⁴ Inilah yang kemudian melahirkan doktrin al-ḥarakah
al-jawhariyyah (gerak substansial), yaitu gagasan bahwa substansi
realitas senantiasa bergerak menuju kesempurnaan eksistensial.¹⁵
Argumentasi ini
menunjukkan bahwa eksistensi tidak hanya bersifat aktual tetapi juga memiliki
dimensi gradatif, yang menjelaskan hierarki realitas tanpa menafikan kesatuan
ontologisnya.¹⁶ Dengan demikian, Mullā Ṣadrā berhasil menggabungkan antara
aspek metafisis, logis, dan empiris dalam satu kerangka ontologis yang
koheren.¹⁷
3.3.      
Konsekuensi Metafisik
Aṣālat al-Wujūd
Konsepsi aṣālat
al-wujūd memiliki konsekuensi mendalam terhadap seluruh bidang
metafisika Islam. Pertama, ia mengubah cara pandang terhadap kausalitas:
sebab dan akibat bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan dua tingkat dari
intensitas eksistensi yang sama.¹⁸ Dengan demikian, hubungan sebab-akibat tidak
bersifat eksternal, tetapi merupakan relasi internal antara dua tingkat wujud
yang berbeda. Kedua, dalam konteks teologi, Tuhan dipahami sebagai
Wujūd
Mutlak yang tidak bergradasi—sumber segala eksistensi, sedangkan
makhluk adalah manifestasi terbatas dari realitas Ilahi.¹⁹
Ketiga, konsep ini
juga memiliki konsekuensi terhadap epistemologi: pengetahuan
manusia tentang sesuatu pada dasarnya adalah penyingkapan terhadap eksistensi,
bukan sekadar pengenalan terhadap esensi.²⁰ Hal ini melahirkan teori ‘ilm ḥuḍūrī
(pengetahuan melalui kehadiran), di mana subjek dan objek pengetahuan
berinteraksi dalam satu realitas eksistensial yang sama.²¹ Dalam pandangan ini,
pengetahuan tidak bersifat representasional, melainkan partisipatif—suatu
bentuk penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui.²²
Akhirnya, dalam
konteks kosmologi, dunia dipahami
sebagai jejaring gradasional wujud yang saling berhubungan secara hierarkis.²³
Setiap tingkat realitas merupakan manifestasi dari eksistensi yang lebih
tinggi, sehingga alam semesta secara keseluruhan mencerminkan kesatuan dalam
keragaman eksistensi.²⁴ Dengan demikian, prinsip aṣālat al-wujūd tidak hanya
menjelaskan hakikat realitas, tetapi juga memberikan dasar metafisik bagi
seluruh struktur kosmos.²⁵
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 28–30.
[2]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 65.
[3]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 47.
[4]               
Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 12–13.
[5]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 323.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 54.
[7]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 32.
[8]               
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Farnham: Ashgate, 2010), 22–23.
[9]               
Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth
al-Islāmī, 1960), 25–26.
[10]            
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 112.
[11]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 35.
[12]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 71–72.
[13]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 327.
[14]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 58.
[15]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 93–94.
[16]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 117–118.
[17]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 83.
[18]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 122.
[19]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 66.
[20]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,
131.
[21]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 4, 15.
[22]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 29.
[23]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 330.
[24]            
Nasr, Three Muslim Sages, 118.
[25]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 127.
4.          
Konsep Tashkīk al-Wujūd (Gradasi
Eksistensi)
4.1.      
Definisi dan Etimologi
Tashkīk
Istilah tashkīk
secara etimologis berasal dari akar kata Arab shakkaka–yushakkiku, yang berarti “membedakan”
atau “membuat beragam.”¹ Dalam konteks filsafat Islam, istilah
ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat “satu dalam makna,
tetapi memiliki perbedaan dalam intensitas atau derajat.”² Dengan demikian,
tashkīk
al-wujūd berarti bahwa eksistensi memiliki hakikat tunggal, namun
manifestasinya berbeda-beda dalam tingkat kesempurnaan dan kekuatannya.³ Mullā Ṣadrā
menjelaskan bahwa eksistensi bukanlah sesuatu yang terpotong-potong, melainkan
suatu realitas kontinu dan bertingkat yang dapat dianalogikan dengan
cahaya—satu sumber, tetapi memiliki intensitas yang bervariasi.⁴
Konsep ini menjadi
inti dari metafisika Mullā Ṣadrā karena memungkinkan integrasi antara kesatuan
ontologis dan pluralitas empiris. Ia menolak pandangan esensialis yang melihat
realitas sebagai kumpulan entitas terpisah, dan sebaliknya menegaskan bahwa
perbedaan di dunia hanyalah perbedaan derajat dalam wujud yang sama.⁵ Dengan
demikian, tashkīk
al-wujūd menjembatani problem klasik dalam metafisika Islam antara
kesatuan (wahdah)
dan kejamakan (katsrah).⁶
4.2.      
Struktur Hirarkis
Wujud
Bagi Mullā Ṣadrā,
eksistensi merupakan satu hakikat yang terealisasi dalam berbagai tingkatan
ontologis yang saling berkaitan secara hierarkis.⁷ Pada puncak hierarki ini
terdapat Wujūd
Mutlak (eksistensi absolut) yang merupakan Tuhan—Realitas Murni
tanpa batas, tidak berderajat, dan tidak bergantung pada apa pun.⁸ Dari-Nya
terpancar seluruh eksistensi lainnya yang memiliki derajat keterbatasan
tertentu sesuai dengan kapasitas ontologisnya.⁹ Dengan kata lain, setiap wujud
selain Tuhan merupakan partisipasi terbatas dalam eksistensi absolut.¹⁰
Dalam struktur ini,
realitas dunia tidak dipahami sebagai sekumpulan entitas terpisah, tetapi
sebagai rangkaian kontinu eksistensi yang menurun secara gradasional dari yang
tertinggi menuju yang terendah.¹¹ Setiap tingkat wujud memiliki kesempurnaan
yang proporsional dengan kedekatannya terhadap Wujud Mutlak.¹² Dalam pandangan
ini, makhluk spiritual seperti malaikat memiliki tingkat eksistensi lebih
tinggi daripada dunia material, sementara manusia menempati posisi unik karena
dapat naik atau turun dalam hierarki eksistensi sesuai dengan kesadaran dan
kesempurnaan ruhaniahnya.¹³
Melalui struktur
hirarkis ini, Mullā Ṣadrā berhasil menyatukan antara konsep kausalitas
metafisik (emanasi) dengan gradasi ontologis.¹⁴ Segala sesuatu yang ada bukan
hasil penciptaan eks nihilo dalam arti mutlak, melainkan emanasi dari
eksistensi tertinggi yang memancarkan wujud-wujud lain secara bertingkat.¹⁵
Dengan demikian, realitas semesta dipandang sebagai cerminan dari Wujud Ilahi
dalam berbagai tingkat kemanifestasian.¹⁶
4.3.      
Analogi Cahaya dan
Derajat Eksistensi
Untuk menjelaskan
konsep tashkīk
al-wujūd, Mullā Ṣadrā sering menggunakan analogi
cahaya (nūr), yang sebelumnya juga digunakan oleh Suhrawardī.¹⁷
Cahaya memiliki hakikat yang sama di mana pun ia muncul, tetapi berbeda dalam
tingkat intensitas: cahaya matahari lebih kuat daripada cahaya lilin, meskipun
keduanya tetap disebut “cahaya.”¹⁸ Begitu pula eksistensi: ia adalah
satu hakikat universal yang menampakkan diri dalam berbagai tingkat kekuatan
ontologis.¹⁹
Analogi ini
berfungsi untuk menghindari kesalahpahaman bahwa perbedaan tingkat eksistensi
berarti perbedaan esensi.²⁰ Dalam tashkīk, tidak ada multiplikasi
substansi wujud, melainkan hanya perbedaan intensitas dan kesempurnaan dalam
hakikat tunggal.²¹ Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa segala sesuatu yang
lebih tinggi dalam gradasi eksistensi memiliki cakupan ontologis yang lebih
sempurna dan lebih inklusif daripada yang berada di bawahnya.²²
Dengan analogi ini, Ṣadrā
memberikan pemahaman metaforis yang mendalam tentang relasi antara Tuhan dan
ciptaan. Tuhan bagaikan sumber cahaya absolut, sedangkan segala makhluk adalah
pantulan dan refleksi dari-Nya dalam berbagai intensitas.²³ Namun, pantulan ini
tidak pernah memisahkan diri dari sumbernya; seluruh eksistensi tetap berakar
pada Wujud Mutlak.²⁴
4.4.      
Kesatuan dan Keragaman
Realitas
Konsep tashkīk
al-wujūd juga menjawab problem klasik tentang bagaimana kesatuan
dan keragaman dapat eksis secara bersamaan.²⁵ Dalam sistem Mullā Ṣadrā,
kesatuan realitas tidak meniadakan pluralitas, karena keragaman hanyalah
ekspresi dari satu wujud yang bergradasi.²⁶ Ia menolak paham dualistik yang
memisahkan Tuhan dan alam sebagai dua realitas berbeda, sekaligus menghindari
panteisme yang menyamakan keduanya secara absolut.²⁷ Bagi Ṣadrā, hubungan
antara Tuhan dan alam adalah hubungan antara realitas mutlak dan manifestasi
relatif.²⁸
Kesatuan realitas
ini juga memiliki dimensi epistemologis: setiap bentuk pengetahuan pada
dasarnya adalah penyatuan tingkat wujud antara subjek dan objek.²⁹ Semakin
tinggi tingkat eksistensi seseorang, semakin luas pula cakupan pengetahuannya
terhadap realitas.³⁰ Dengan demikian, kesempurnaan pengetahuan manusia
bergantung pada intensifikasi eksistensinya, bukan sekadar akumulasi informasi
rasional.³¹
Akhirnya, tashkīk
al-wujūd memungkinkan terciptanya sistem metafisika yang inklusif
dan integratif.³² Ia menjelaskan bahwa segala yang ada—dari yang paling
spiritual hingga yang paling material—terhubung dalam satu rantai ontologis
yang mengalir dari dan menuju Wujud Mutlak.³³ Dalam struktur ini, tidak ada “keterputusan”
antara Tuhan dan dunia, antara roh dan materi, antara yang abadi dan yang fana.
Semuanya adalah manifestasi dari eksistensi yang satu, yang terus bergerak
menuju kesempurnaan ontologisnya.³⁴
Footnotes
[1]               
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, vol. 10 (Beirut: Dār Ṣādir, 1955),
248.
[2]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 41.
[3]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 72.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 59.
[5]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 329.
[6]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 221.
[7]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 44.
[8]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 51–52.
[9]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 113.
[10]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 78.
[11]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 115.
[12]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 49.
[13]            
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Farnham: Ashgate, 2010), 34.
[14]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 63.
[15]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 331.
[16]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 83.
[17]            
Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Institute Franco-Iranien, 1952), 132.
[18]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 52.
[19]            
Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth
al-Islāmī, 1960), 28.
[20]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 67.
[21]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 37.
[22]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 85.
[23]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 334.
[24]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 56.
[25]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,
118.
[26]            
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 224.
[27]            
Nasr, Three Muslim Sages, 117.
[28]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 4 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 22.
[29]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 91.
[30]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,
121.
[31]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 58.
[32]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 39.
[33]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 70.
[34]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 336.
5.          
Hubungan antara Wujud dan Māhiyyah dalam
Kerangka Tashkīk
5.1.      
Relasi Ontologis
antara Wujud dan Māhiyyah
Dalam sistem
metafisika Mullā Ṣadrā, hubungan antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah
(esensi) merupakan kunci untuk memahami struktur realitas. Ia menegaskan bahwa
yang memiliki realitas objektif hanyalah wujūd, sedangkan māhiyyah
hanyalah konstruksi konseptual yang terbentuk dalam pikiran manusia.¹ Dengan
demikian, māhiyyah
tidak berdiri sendiri di luar pikiran, melainkan muncul sebagai abstraksi dari wujūd
yang konkret.²
Mullā Ṣadrā menolak
pandangan Ibn Sīnā yang memisahkan antara eksistensi dan esensi secara tajam.³
Menurut Ibn Sīnā, esensi suatu benda dapat dibayangkan tanpa keberadaannya;
misalnya, kita dapat memahami konsep “manusia” tanpa harus menganggap
manusia itu ada secara aktual.⁴ Ṣadrā mengkritik pendekatan ini dengan
menegaskan bahwa yang nyata secara eksternal hanyalah wujūd,
sedangkan māhiyyah
hanya muncul dalam pikiran ketika manusia mencoba memahami realitas tersebut.⁵
Oleh karena itu, māhiyyah tidak memiliki realitas
independen; ia bergantung sepenuhnya pada eksistensi untuk menjadi nyata.⁶
Hubungan ini
bersifat ontologis dan hierarkis: wujūd adalah prinsip aktif yang
memberikan aktualitas kepada māhiyyah, sementara māhiyyah
berfungsi sebagai batas konseptual atau determinasi dari eksistensi.⁷ Dengan
kata lain, māhiyyah
adalah “topeng” yang dikenakan oleh wujūd dalam berbagai bentuk
penampakan empiris.⁸ Pandangan ini menegaskan bahwa eksistensi adalah realitas
dinamis yang menembus semua tingkat keberadaan, sementara esensi hanyalah
manifestasi statisnya.⁹
5.2.      
Māhiyyah sebagai
Konsep Mental dan Fungsi Epistemologisnya
Bagi Mullā Ṣadrā, māhiyyah
memiliki fungsi penting dalam wilayah epistemologi, meskipun tidak memiliki
realitas eksternal.¹⁰ Ia berfungsi sebagai instrumen konseptual yang membantu
manusia mengenali dan mengklasifikasikan berbagai fenomena yang muncul dari
realitas eksistensial.¹¹ Dalam kerangka tashkīk al-wujūd, pemahaman
terhadap māhiyyah
memungkinkan manusia membedakan antara tingkatan-tingkatan wujūd,
tanpa terjebak pada asumsi bahwa perbedaan tersebut bersifat esensial.¹²
Dengan demikian, māhiyyah
memainkan peran epistemik yang signifikan dalam proses pengetahuan. Namun,
pengetahuan sejati (al-‘ilm al-ḥaqīqī) bagi Ṣadrā
bukanlah pengenalan terhadap māhiyyah, melainkan penyaksian
langsung terhadap wujūd.¹³ Dalam konteks ini, ia
mengembangkan teori ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan melalui
kehadiran), di mana subjek mengetahui objek bukan melalui representasi
konseptual, melainkan melalui partisipasi dalam eksistensi yang sama.¹⁴ Oleh
karena itu, pengetahuan yang bersifat konseptual hanyalah bayangan dari
pengetahuan eksistensial yang hakiki.¹⁵
Hubungan antara māhiyyah
dan wujūd
dalam tataran epistemologis dapat diibaratkan seperti hubungan antara peta dan
wilayah yang sebenarnya: peta membantu orientasi, tetapi tidak mewakili
realitas yang hidup dan dinamis dari wilayah itu sendiri.¹⁶ Dengan cara pandang
ini, Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa pengetahuan yang mendalam hanya dapat dicapai
melalui transformasi eksistensial, bukan sekadar abstraksi logis.¹⁷
5.3.      
Implikasi Metafisik
terhadap Penciptaan dan Kontinuitas Wujud
Konsep tashkīk
al-wujūd juga membawa implikasi penting terhadap pemahaman
penciptaan (al-ḥudūth) dan kontinuitas
eksistensi. Dalam sistem Ṣadrā, penciptaan bukanlah tindakan Tuhan yang
menciptakan sesuatu dari ketiadaan mutlak (ex nihilo), melainkan emanasi
berjenjang dari Wujūd Mutlak menuju bentuk-bentuk
eksistensi yang lebih rendah.¹⁸ Karena itu, māhiyyah tidak muncul sebagai
entitas baru yang diciptakan secara terpisah, tetapi sebagai bentuk manifestasi
wujūd
dalam level ontologis tertentu.¹⁹
Hal ini berarti
bahwa seluruh alam semesta merupakan refleksi dari eksistensi Ilahi dalam
berbagai gradasi.²⁰ Tuhan, sebagai al-Wujūd al-Muṭlaq, tidak
menciptakan dunia dari luar, tetapi menampakkan diri-Nya melalui
tahapan-tahapan wujūd yang beraneka.²¹ Dengan
demikian, keberadaan makhluk tidak mengurangi kesempurnaan Tuhan, melainkan
menjadi bukti dari keluasan eksistensi-Nya.²²
Implikasi lain dari
pandangan ini adalah bahwa segala bentuk perubahan dan gerak dalam alam semesta
merupakan ekspresi dari dinamika wujūd itu sendiri.²³ Gerak
substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang
diajukan Ṣadrā menunjukkan bahwa setiap māhiyyah berada dalam proses
transformasi eksistensial menuju tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi.²⁴
Dalam hal ini, realitas dipahami bukan sebagai struktur statis, tetapi sebagai
arus eksistensi yang terus mengalir dari Wujud Tertinggi menuju bentuk-bentuk
aktualisasi yang beragam.²⁵
Dengan demikian, māhiyyah
dalam kerangka tashkīk bukanlah entitas yang
membatasi eksistensi, melainkan medium konseptual untuk memahami intensitas dan
arah gerak eksistensi.²⁶ Relasi antara keduanya bukan dualistik, tetapi
komplementer: wujūd memberi realitas, sementara māhiyyah
memberi bentuk pengenalan manusia terhadap realitas itu.²⁷ Konsep ini
memperlihatkan kedalaman integrasi antara ontologi dan epistemologi dalam
filsafat Mullā Ṣadrā, yang menjadikan sistemnya sebagai sintesis paripurna
antara rasionalisme, intuisionisme, dan mistisisme.²⁸
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 61–62.
[2]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 93.
[3]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 323–324.
[4]               
Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 17.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 72.
[6]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 63.
[7]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 83–84.
[8]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 228.
[9]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 119.
[10]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 65.
[11]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 125.
[12]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 95–96.
[13]            
Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth
al-Islāmī, 1960), 32–33.
[14]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,
129.
[15]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 69.
[16]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 77.
[17]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 98.
[18]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 331.
[19]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2, 54–55.
[20]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 71.
[21]            
Nasr, Three Muslim Sages, 123.
[22]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham:
Ashgate, 2010), 42.
[23]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3, 90–91.
[24]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,
134.
[25]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 102.
[26]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 74.
[27]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 80.
[28]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 336.
6.          
Implikasi Teologis dan Kosmologis
6.1.      
Tashkīk al-Wujūd dan
Konsep Ketuhanan
Konsep tashkīk
al-wujūd memiliki implikasi teologis yang mendalam dalam pemikiran
Mullā Ṣadrā, terutama dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam. Dalam
pandangan Ṣadrā, Tuhan adalah al-Wujūd al-Muṭlaq—eksistensi murni
yang tidak bergradasi, tidak terbatas, dan tidak bergantung kepada apa pun.¹ Ia
merupakan sumber dari seluruh realitas, sebagaimana cahaya matahari menjadi
asal dari seluruh bentuk cahaya lainnya.² Semua eksistensi selain Tuhan
hanyalah partisipasi dalam eksistensi-Nya yang mutlak, dengan tingkat
intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas ontologis masing-masing.³
Dengan demikian,
hubungan antara Tuhan dan makhluk bukanlah hubungan eksternal sebagaimana
pandangan dualistik antara pencipta dan ciptaan, melainkan hubungan internal
yang bersifat emanatif.⁴ Alam semesta tidak diciptakan dari ketiadaan mutlak (ex
nihilo), melainkan “mengalir” dari Tuhan sebagai pancaran
dari Wujud Absolut.⁵ Namun, aliran ini tidak berarti bahwa alam setara dengan
Tuhan—karena setiap eksistensi terbatas hanyalah manifestasi simbolik dari
realitas Ilahi yang tak terbatas.⁶
Implikasi teologis
ini menegaskan tauhid wujūdī, yaitu bahwa seluruh
realitas bersumber dari satu Wujud yang sama, namun tidak menghapus perbedaan
ontologis antara Tuhan dan makhluk.⁷ Dengan memandang Tuhan sebagai Wujud
Mutlak, Ṣadrā berhasil mengharmonikan antara konsep transendensi (tanzīh)
dan immanensi (tashbīh) Tuhan.⁸ Ia menolak
panteisme ekstrem yang menyamakan Tuhan dengan dunia, sekaligus menolak teisme
dualistik yang memisahkan Tuhan dari ciptaan-Nya.⁹ Dalam sistemnya, Tuhan hadir
di setiap tingkatan eksistensi tanpa kehilangan kesempurnaan keesaan-Nya.¹⁰
6.2.      
Kosmologi Gradasional:
Alam sebagai Manifestasi Wujud
Dalam kerangka tashkīk
al-wujūd, Mullā Ṣadrā memandang alam semesta sebagai sistem
hierarkis yang tersusun berdasarkan gradasi eksistensi.¹¹ Setiap entitas
memiliki derajat wujud yang berbeda, dari yang tertinggi hingga yang terendah,
membentuk suatu struktur kosmos yang berlapis-lapis.¹² Pada tingkat tertinggi
terdapat ‘Ālam
al-‘Aql (dunia intelektual), diikuti ‘Ālam al-Nafs (dunia jiwa),
kemudian ‘Ālam
al-Māddah (dunia material).¹³ Ketiga ranah ini bukan entitas
terpisah, melainkan tahapan-tahapan intensitas eksistensi yang saling
berhubungan.¹⁴
Struktur kosmos ini
menunjukkan bahwa seluruh ciptaan berpartisipasi dalam wujud Ilahi sesuai
dengan kapasitas ontologisnya.¹⁵ Semakin tinggi tingkat eksistensi suatu
entitas, semakin besar pula kemampuannya untuk memantulkan kesempurnaan
Tuhan.¹⁶ Alam material, meskipun berada pada tingkat paling rendah, tetap
merupakan manifestasi dari al-Wujūd al-Muṭlaq dalam bentuk
paling terbatas.¹⁷ Oleh karena itu, dunia fisik tidak terpisah dari realitas
spiritual, tetapi merupakan bagian dari jaringan kosmik yang berakar pada
Tuhan.¹⁸
Dalam kosmologi Ṣadrā,
hubungan antara tingkat-tingkat eksistensi bersifat dinamis. Melalui doktrin al-ḥarakah
al-jawhariyyah (gerak substansial), ia menjelaskan bahwa seluruh
realitas sedang bergerak dari potensi menuju aktualitas, dari bentuk eksistensi
yang lemah menuju kesempurnaan yang lebih tinggi.¹⁹ Dengan demikian, alam
semesta bukanlah ciptaan statis, melainkan suatu proses ontologis yang terus
berlangsung (process of being).²⁰ Pandangan ini
menempatkan kosmos sebagai ekspresi evolutif dari Wujud Absolut yang senantiasa
menyingkapkan diri-Nya.²¹
6.3.      
Manusia sebagai
Mikrokosmos Eksistensi
Dalam hierarki
eksistensi, manusia memiliki posisi yang sangat istimewa karena ia merupakan
mikrokosmos (‘ālam ṣaghīr) yang mencerminkan
seluruh tingkatan realitas.²² Tubuh manusia merepresentasikan dunia material,
jiwanya mencerminkan dunia psikik, sementara akalnya berhubungan dengan dunia
intelektual dan Ilahi.²³ Oleh karena itu, manusia berpotensi untuk menapaki
seluruh gradasi wujud hingga mencapai penyatuan dengan sumber eksistensi
tertinggi.²⁴
Proses spiritual
manusia dalam pandangan Mullā Ṣadrā adalah perjalanan eksistensial dari wujud
rendah menuju wujud tinggi, yang diwujudkan melalui penyempurnaan jiwa dan
penyingkapan kesadaran terhadap realitas Ilahi.²⁵ Semakin manusia menyucikan
dirinya, semakin ia “menguatkan” intensitas eksistensinya dan semakin
dekat dengan Wujud Mutlak.²⁶ Dengan demikian, tujuan akhir manusia bukan hanya
pengetahuan tentang Tuhan secara konseptual, tetapi realisasi eksistensial
dalam Tuhan itu sendiri.²⁷
Posisi manusia
sebagai mikrokosmos juga memiliki implikasi etis dan spiritual. Karena seluruh
eksistensi berakar pada Tuhan, maka setiap tindakan manusia yang merusak alam
berarti melemahkan harmoni kosmik yang bersumber dari-Nya.²⁸ Kesadaran terhadap
kesatuan eksistensi ini menjadi dasar bagi etika spiritual yang mengajarkan
penghormatan terhadap seluruh bentuk kehidupan sebagai manifestasi dari Wujud
Ilahi.²⁹
Integrasi
Teologi dan Kosmologi dalam Sistem Ṣadrā
Konsep tashkīk
al-wujūd memungkinkan integrasi menyeluruh antara teologi dan
kosmologi. Tuhan sebagai Wujud Absolut bukan entitas yang jauh dari ciptaan, melainkan
realitas yang menjiwai dan menopang seluruh alam.³⁰ Kosmos bukanlah ciptaan
eksternal, tetapi medan manifestasi Wujud Ilahi yang bergradasi.³¹ Dengan
demikian, seluruh sistem metafisika Ṣadrā bersifat monistik dalam hakikatnya,
tetapi pluralistik dalam penampakannya.³²
Melalui sintesis
ini, Mullā Ṣadrā membangun teologi kosmik yang bersifat rasional sekaligus
mistis.³³ Ia menggabungkan argumentasi filosofis Aristotelian dengan intuisi
spiritual Ibn ‘Arabī, menghasilkan suatu pandangan dunia yang menempatkan
seluruh eksistensi dalam satu kesatuan ontologis.³⁴ Dalam kerangka ini,
penciptaan, keberagaman, dan gerak kosmik tidak lain adalah proses penyingkapan
Wujud Mutlak dalam berbagai derajat realitas.³⁵ Dengan demikian, filsafat Ṣadrā
tidak hanya memberikan fondasi rasional bagi doktrin tauhid, tetapi juga
menghadirkan kosmologi spiritual yang menegaskan kehadiran Tuhan di setiap
lapisan eksistensi.³⁶
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 85.
[2]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 90.
[3]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on
Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 109.
[4]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 340.
[5]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 58–59.
[6]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 123.
[7]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 88.
[8]               
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 94.
[9]               
Corbin, History of Islamic Philosophy, 342.
[10]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 113.
[11]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 92.
[12]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 102.
[13]            
Nasr, Three Muslim Sages, 125.
[14]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham:
Ashgate, 2010), 45.
[15]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 117.
[16]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 95.
[17]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 98.
[18]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 345.
[19]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3, 112–113.
[20]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy:
Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 140.
[21]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 99.
[22]            
Nasr, Three Muslim Sages, 128.
[23]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 48.
[24]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 120.
[25]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 103.
[26]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 101.
[27]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 347.
[28]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 125.
[29]            
Nasr, Three Muslim Sages, 130.
[30]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 108.
[31]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 349.
[32]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 105.
[33]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,
144.
[34]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 51.
[35]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 129.
[36]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 112.
7.          
Kritik dan Perdebatan Filosofis
7.1.      
Kritik dari Tradisi
Peripatetik dan Teologi Kalām
Konsep tashkīk
al-wujūd yang diperkenalkan Mullā Ṣadrā tidak diterima begitu saja
oleh seluruh kalangan intelektual Islam. Para filsuf peripatetik (mashshā’ī)
yang mengikuti sistem Ibn Sīnā menilai bahwa teori ini menyulitkan dalam
menjelaskan pembedaan substansial antar-entitas.¹ Dalam sistem Avicennian,
setiap benda memiliki māhiyyah (esensi) yang menentukan
identitasnya, sementara eksistensi hanya menjadi aksiden yang menempel
padanya.² Oleh karena itu, bagi para peripatetik, jika eksistensi dianggap
sebagai hakikat tunggal yang bergradasi, maka perbedaan antar-entitas akan
kehilangan dasar rasionalnya.³
Selain itu, para
teolog Islam (khususnya dari kalangan mutakallimūn Asy‘ariyyah) juga
mengkritik teori Ṣadrā karena dianggap mengaburkan perbedaan antara Tuhan dan
makhluk.⁴ Mereka menilai bahwa pandangan tentang kesatuan eksistensi berpotensi
menimbulkan konsekuensi panteistik, yakni penyamaan antara Tuhan dan
ciptaan-Nya.⁵ Dalam teologi kalām, Tuhan dipandang sebagai pencipta yang
transenden dan terpisah secara ontologis dari ciptaan.⁶ Karena itu, pandangan Ṣadrā
yang menegaskan bahwa eksistensi Tuhan dan makhluk berada dalam satu
kontinuitas ontologis—meskipun dengan derajat berbeda—dipandang berbahaya bagi
konsep tanzīh
(transendensi mutlak Tuhan).⁷
Mullā Ṣadrā menjawab
kritik ini dengan membedakan secara tegas antara “kesatuan gradasional
eksistensi” dan “kesatuan numerik eksistensi.”⁸ Kesatuan numerik
berarti tidak adanya perbedaan apa pun, sedangkan kesatuan gradasional (tashkīk)
mengakui adanya tingkatan dalam kesatuan.⁹ Dengan demikian, Tuhan dan makhluk
tidak identik secara substansial, melainkan berhubungan sebagai realitas
tertinggi dan refleksinya pada tingkat eksistensi yang lebih rendah.¹⁰
Pandangan ini, menurut Ṣadrā, justru mempertahankan transendensi Tuhan
sekaligus menjelaskan immanensi-Nya secara filosofis.¹¹
7.2.      
Kritik dari Filsafat
Illuminasionis dan Sufi
Sementara itu,
kalangan iluminasionis (ishrāqiyyūn) yang mengikuti
pemikiran Suhrawardī memberikan kritik berbeda. Mereka menilai bahwa tashkīk
al-wujūd terlalu menekankan eksistensi sebagai prinsip rasional dan
mengabaikan dimensi cahaya (nūr) sebagai simbol ontologis
utama.¹² Suhrawardī berpendapat bahwa realitas terdiri atas hierarki cahaya,
bukan eksistensi yang bergradasi secara abstrak.¹³ Bagi kaum ishrāqī, nūr
lebih fundamental daripada wujūd, karena mencakup aspek
intuitif dan spiritual yang tidak dapat direduksi ke dalam kategori metafisika
rasional.¹⁴
Mullā Ṣadrā
menjawabnya dengan mengintegrasikan gagasan cahaya ke dalam kerangka
eksistensialnya. Ia menyatakan bahwa cahaya dan eksistensi pada hakikatnya
identik, karena keduanya menunjukkan derajat manifestasi realitas yang sama.¹⁵
Dengan demikian, teori tashkīk al-wujūd justru memperluas
simbolisme nūr
Suhrawardī dengan memberikan dasar ontologis yang lebih sistematis.¹⁶
Selain kritik dari
kalangan iluminasionis, sebagian sufi yang mengikuti Ibn ‘Arabī juga menilai
bahwa pendekatan Mullā Ṣadrā terlalu rasional dalam memahami kesatuan wujud.¹⁷
Ibn ‘Arabī menekankan wahdat al-wujūd sebagai pengalaman
intuitif mistik, sedangkan Ṣadrā mencoba menjelaskan kesatuan itu melalui
argumentasi filosofis.¹⁸ Namun, bagi Ṣadrā, pengalaman mistik tanpa dasar
rasional rentan terhadap kesalahan penafsiran, sehingga perlu kerangka
metafisis yang ketat untuk menjaganya dari penyimpangan.¹⁹ Ia menyatukan
rasionalisme dan intuisionisme dengan menegaskan bahwa “akal dan kasyf
(penyingkapan batin)” adalah dua jalan menuju satu realitas yang sama.²⁰
7.3.      
Kritik dan Respon dari
Perspektif Modern
Dalam filsafat
kontemporer, teori tashkīk al-wujūd juga menimbulkan
perdebatan baru, terutama dalam dialog antara filsafat Islam dan metafisika
Barat. Beberapa pemikir modern seperti Henry Corbin dan Seyyed Hossein Nasr
menilai bahwa sistem Ṣadrā memberikan alternatif penting terhadap ontologi
modern yang cenderung materialistik.²¹ Namun, sejumlah sarjana Barat lainnya,
seperti Oliver Leaman, menganggap konsep gradasi eksistensi terlalu abstrak dan
sulit diuji secara empiris.²² Leaman menilai bahwa tashkīk lebih cocok sebagai metafor
religius daripada teori filosofis yang dapat diverifikasi secara rasional.²³
Sebaliknya, para
filsuf Muslim kontemporer seperti Muhammad Kamal dan Ibrahim Kalin membela Ṣadrā
dengan menyatakan bahwa tashkīk al-wujūd justru memiliki
nilai rasional tinggi karena mampu menjelaskan hubungan antara ontologi dan
epistemologi secara integratif.²⁴ Menurut mereka, sistem ini tidak bertujuan
menjelaskan realitas empiris semata, tetapi memberikan kerangka konseptual bagi
pemahaman transenden tentang keberadaan.²⁵ Dengan demikian, kritik bahwa konsep
tersebut “tidak ilmiah” dianggap tidak relevan, karena filsafat Ṣadrā
beroperasi pada tataran metafisis, bukan fisik.²⁶
Evaluasi
Kritis dan Signifikansi Filsafat Tashkīk
Dari berbagai kritik
di atas, tampak bahwa teori tashkīk al-wujūd menempati posisi
unik dalam sejarah metafisika Islam. Ia berusaha mengatasi keterbatasan
rasionalisme Avicennian yang terlalu menekankan esensi, sekaligus
menyempurnakan intuisionisme Ibn ‘Arabī yang bersifat mistikal.²⁷ Ṣadrā
menciptakan sintesis antara akal, intuisi, dan wahyu yang menghasilkan sistem
ontologis yang fleksibel namun tetap rasional.²⁸ Kritik terhadapnya sering kali
berakar dari perbedaan metodologis—antara yang menuntut kepastian logis dan
yang menekankan pengalaman spiritual.²⁹
Dari perspektif
epistemologis, tashkīk al-wujūd tetap relevan
dalam menjembatani diskursus antara metafisika dan sains modern.³⁰ Ia
menegaskan bahwa realitas tidak bisa direduksi pada materi, tetapi memiliki
dimensi intensional yang tak terukur.³¹ Secara teologis, sistem Ṣadrā
menegaskan transendensi Tuhan tanpa menafikan kehadiran-Nya di dalam alam,
sehingga menawarkan jalan tengah antara rasionalisme kering dan mistisisme
ekstrem.³² Dengan demikian, meskipun menerima banyak kritik, teori tashkīk
al-wujūd tetap menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat Islam
dan terus menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan metafisika kontemporer.³³
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 115.
[2]               
Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 25.
[3]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 108.
[4]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 348.
[5]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 118.
[6]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 236.
[7]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 127.
[8]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 92–93.
[9]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 121.
[10]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 110.
[11]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on
Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 133.
[12]            
Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin
(Tehran: Institute Franco-Iranien, 1952), 145.
[13]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 350.
[14]            
Nasr, Three Muslim Sages, 130.
[15]            
Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth
al-Islāmī, 1960), 36–37.
[16]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham:
Ashgate, 2010), 55.
[17]            
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 61.
[18]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 351.
[19]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 124.
[20]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 113.
[21]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 354.
[22]            
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 238.
[23]            
Ibid., 239.
[24]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 136–137.
[25]            
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Farnham: Ashgate, 2010), 59.
[26]            
Nasr, Three Muslim Sages, 133.
[27]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 128.
[28]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 139.
[29]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 116.
[30]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 356.
[31]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 63.
[32]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 130.
[33]            
Nasr, Three Muslim Sages, 136.
8.          
Relevansi dan Aplikasi Kontemporer
8.1.      
Kontribusi terhadap
Filsafat Islam Modern
Pemikiran Mullā Ṣadrā
mengenai tashkīk
al-wujūd tetap relevan bagi perkembangan filsafat Islam modern
karena menawarkan suatu paradigma ontologis yang mampu menjembatani perbedaan
antara rasionalitas dan spiritualitas.¹ Dalam konteks kontemporer, filsafatnya
menjadi alternatif terhadap reduksionisme materialistik yang mendominasi ilmu
pengetahuan modern.² Sementara sains modern cenderung membatasi realitas pada
aspek empiris dan terukur, konsep tashkīk al-wujūd menunjukkan bahwa
realitas bersifat bertingkat—dari yang material hingga yang spiritual—dan bahwa
dimensi eksistensial yang lebih tinggi tidak dapat direduksi pada yang lebih
rendah.³
Melalui kerangka
ini, filsafat Mullā Ṣadrā menawarkan suatu bentuk “realisme
transenden”, yakni pandangan bahwa realitas yang tampak
bukanlah satu-satunya wujud yang eksis, melainkan bagian dari struktur
eksistensi yang lebih luas dan bertingkat.⁴ Pandangan ini menghidupkan kembali
gagasan bahwa ilmu pengetahuan harus disertai kesadaran metafisik tentang
kedudukan manusia dan alam dalam keseluruhan kosmos.⁵ Dalam hal ini, pemikiran Ṣadrā
dapat dipandang sebagai landasan bagi upaya Islamisasi ilmu pengetahuan yang
mengintegrasikan akal, wahyu, dan intuisi dalam memahami realitas.⁶
8.2.      
Implikasi terhadap
Dialog antara Filsafat Islam dan Filsafat Barat
Dalam ranah filsafat
perbandingan, tashkīk al-wujūd membuka ruang
dialog antara tradisi Islam dan Barat, khususnya dalam konteks ontologi dan
eksistensialisme. Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa eksistensi adalah realitas
primer dan dinamis, bukan sekadar konsep statis.⁷ Pandangan ini memiliki
kesamaan metodologis dengan eksistensialisme Heideggerian, yang juga
menempatkan “being” sebagai tema utama filsafat, meskipun dalam horizon
berbeda.⁸ Jika Heidegger berbicara tentang Sein yang terungkap melalui
eksistensi manusia (Dasein), maka Ṣadrā berbicara
tentang wujūd
yang terealisasi dalam seluruh tatanan realitas.⁹
Kesamaan orientasi
ini menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak tertinggal dari diskursus metafisika
Barat modern.¹⁰ Bahkan, teori tashkīk al-wujūd dapat memperkaya
pemikiran eksistensialis dengan menambahkan dimensi teologis dan kosmologis
yang absen dalam eksistensialisme sekuler.¹¹ Dalam dialog lintas tradisi ini, tashkīk
al-wujūd dapat berperan sebagai model konseptual yang menegaskan
keterhubungan antara Tuhan, manusia, dan alam, bukan dalam kerangka
antropocentris, tetapi dalam kerangka ontocentris—yaitu berpusat pada
eksistensi sebagai realitas tunggal yang inklusif.¹²
Selain itu, gagasan Ṣadrā
mengenai gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) memiliki
resonansi dengan filsafat proses (process philosophy) Alfred North Whitehead.¹³
Keduanya menolak pandangan statis tentang realitas dan menegaskan bahwa segala
sesuatu berada dalam proses menjadi (becoming).¹⁴ Bedanya, bagi
Whitehead proses adalah hubungan peristiwa temporal, sedangkan bagi Ṣadrā
proses adalah intensifikasi ontologis menuju kesempurnaan eksistensi.¹⁵
Perbandingan ini menunjukkan bahwa filsafat Islam klasik memiliki relevansi
dengan metafisika modern yang berorientasi pada dinamika realitas.¹⁶
8.3.      
Dimensi Etis dan
Ekologis dari Gradasi Eksistensi
Selain relevansi
filosofis, konsep tashkīk al-wujūd juga memiliki
implikasi etis dan ekologis yang signifikan. Dalam pandangan Ṣadrā, seluruh
alam semesta adalah manifestasi dari satu eksistensi Ilahi yang sama, sehingga
setiap makhluk memiliki nilai ontologis yang inheren.¹⁷ Kesadaran terhadap
kesatuan eksistensi ini menuntun manusia untuk memperlakukan alam dan sesama
makhluk dengan rasa hormat dan tanggung jawab spiritual.¹⁸ Dengan demikian, tashkīk
al-wujūd memberikan dasar ontologis bagi etika lingkungan yang
berakar pada kesadaran kosmik, bukan sekadar utilitarianisme pragmatis.¹⁹
Pandangan ini juga
mengoreksi sikap antroposentris modern yang menempatkan manusia sebagai pusat
eksistensi dan mengabaikan dimensi spiritual alam.²⁰ Dalam kerangka tashkīk,
manusia bukanlah penguasa alam, tetapi bagian dari jaringan eksistensi yang
saling terkait.²¹ Setiap tindakan manusia terhadap alam akan mempengaruhi
keseimbangan kosmik karena semua wujud terikat dalam satu kesatuan ontologis.²²
Oleh karena itu, kesadaran metafisik tentang gradasi wujud dapat melahirkan
etika ekologis yang berlandaskan spiritualitas dan cinta terhadap seluruh
ciptaan.²³
Relevansi
Mistikal dan Transformatif dalam Kehidupan Spiritual
Dalam konteks
spiritualitas kontemporer, teori tashkīk al-wujūd memiliki nilai
transformatif karena menegaskan bahwa perjalanan manusia menuju Tuhan adalah
proses peningkatan intensitas eksistensi.²⁴ Kesempurnaan spiritual tidak
dipahami sebagai pelarian dari dunia, melainkan sebagai pendalaman realitas
wujud dalam seluruh aspeknya.²⁵ Dengan menyadari bahwa segala sesuatu adalah
manifestasi dari Wujud Ilahi, manusia akan mengalami bentuk kesadaran
eksistensial baru—yakni al-ḥuḍūr al-ilāhī (kehadiran Ilahi)
dalam setiap dimensi kehidupan.²⁶
Implikasi ini
menjadikan tashkīk
al-wujūd relevan bagi spiritualitas modern yang sering kali
kehilangan dasar metafisiknya.²⁷ Filsafat Ṣadrā mengajarkan bahwa kesucian
hidup terwujud melalui peningkatan eksistensial yang terus menerus, di mana
pengetahuan, amal, dan pengalaman mistik bersatu dalam perjalanan menuju
kesempurnaan wujud.²⁸ Dalam dunia yang dipenuhi fragmentasi dan krisis makna,
pemikiran Ṣadrā menawarkan visi spiritual yang menyatukan: manusia, Tuhan, dan
kosmos dalam satu kesatuan eksistensi yang bertingkat namun harmonis.²⁹
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 122.
[2]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 134.
[3]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 145.
[4]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 358.
[5]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 140.
[6]               
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham:
Ashgate, 2010), 67.
[7]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 137.
[8]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 38.
[9]               
Corbin, History of Islamic Philosophy, 360.
[10]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 127.
[11]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 148.
[12]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 70.
[13]            
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 45.
[14]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 140.
[15]            
Nasr, Three Muslim Sages, 143.
[16]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 151.
[17]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 363.
[18]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 132.
[19]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 145.
[20]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 78.
[21]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 74.
[22]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 154.
[23]            
Nasr, Three Muslim Sages, 146.
[24]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 149.
[25]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 365.
[26]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 136.
[27]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 157.
[28]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 79.
[29]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 152.
9.          
Sintesis Filosofis
9.1.      
Integrasi antara
Rasionalisme, Intuisionisme, dan Mistisisme
Filsafat Mullā Ṣadrā
mencapai puncaknya dalam bentuk sintesis filosofis yang menyatukan tiga arus
besar dalam tradisi intelektual Islam: rasionalisme (falsafah
mashshā’iyyah), intuisionisme (ishrāqiyyah), dan mistisisme (‘irfān).¹
Ia berhasil mengintegrasikan metode logis Aristotelian, iluminasi spiritual
Suhrawardī, dan pengalaman mistik Ibn ‘Arabī dalam satu sistem metafisika yang
utuh, yang dikenal sebagai al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat
Transenden).² Melalui sintesis ini, Mullā Ṣadrā menolak reduksi realitas pada
salah satu dimensi pengetahuan—baik rasional semata maupun intuitif semata—dan
menegaskan bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui penyatuan antara
akal, intuisi, dan wahyu.³
Dalam kerangka ini, tashkīk
al-wujūd menjadi prinsip ontologis yang memungkinkan tercapainya
kesatuan epistemologis.⁴ Rasio memberikan struktur dan koherensi bagi pemahaman
eksistensi, intuisi menyingkap kedalaman maknanya, sedangkan wahyu mengarahkan
keduanya pada kebenaran tertinggi.⁵ Dengan demikian, sistem Ṣadrā tidak hanya
bersifat filosofis, tetapi juga spiritual dan teologis, menandai suatu bentuk
filsafat yang hidup (living philosophy) yang menuntun
manusia pada transformasi eksistensial.⁶
9.2.      
Kesatuan Ontologis
sebagai Prinsip Universal
Dalam sintesis
filosofis Ṣadrā, tashkīk al-wujūd berfungsi sebagai
prinsip universal yang menjelaskan kesatuan seluruh realitas.⁷ Kesatuan ini
tidak berarti penyeragaman, melainkan keterhubungan organik di antara seluruh
tingkatan eksistensi.⁸ Realitas tunggal menampakkan diri dalam bentuk-bentuk
yang beragam sesuai dengan kapasitas ontologisnya, tetapi semua tetap berakar
pada sumber yang sama: al-Wujūd al-Muṭlaq.⁹
Dengan demikian,
konsep kesatuan ontologis Ṣadrā berbeda dari paham monisme Barat yang bersifat
materialistik, karena di dalamnya terdapat dimensi hierarkis dan spiritual.¹⁰
Kesatuan ini juga melampaui dualisme Cartesian antara roh dan materi, sebab
keduanya hanyalah dua tingkatan dari intensitas eksistensi yang sama.¹¹ Dalam
kerangka ini, realitas dipahami bukan secara dikotomik, tetapi sebagai jaringan
wujud yang bertingkat dan saling menembus.¹²
Selain itu, kesatuan
ontologis ini memiliki implikasi epistemologis penting: pengetahuan tidak lagi
dipandang sebagai representasi abstrak tentang objek, tetapi sebagai
partisipasi langsung dalam realitas wujud.¹³ Proses mengetahui bukanlah
aktivitas mental semata, melainkan tindakan eksistensial di mana subjek dan
objek berjumpa dalam satu tataran eksistensi.¹⁴ Maka, epistemologi Ṣadrā
berakar pada ontologi, dan ontologi berakar pada spiritualitas.¹⁵
9.3.      
Sintesis Teologis dan
Kosmologis
Sintesis filosofis
Mullā Ṣadrā juga terlihat dalam cara ia mengharmonikan teologi dan kosmologi.
Tuhan, sebagai Wujud Mutlak, bukan entitas yang jauh dari ciptaan, melainkan
realitas yang menembus seluruh struktur wujud.¹⁶ Kosmos, pada gilirannya, bukan
entitas terpisah, melainkan medan manifestasi Ilahi yang bertingkat.¹⁷ Dalam
perspektif ini, setiap fenomena alam adalah tanda (āyah) dari eksistensi Tuhan, dan
setiap wujud merupakan partisipasi dalam keberadaan-Nya.¹⁸
Konsep ini
mengandung implikasi teologis yang mendalam: ia memungkinkan pemahaman tentang
Tuhan yang transenden sekaligus imanen.¹⁹ Melalui tashkīk al-wujūd, Ṣadrā menjelaskan
bahwa transendensi Tuhan tidak meniadakan kehadiran-Nya dalam ciptaan, karena
seluruh eksistensi merupakan cerminan dari Wujud-Nya yang mutlak.²⁰ Dengan demikian,
sistem teologinya bersifat “transendental-immanen,” suatu posisi tengah
antara dualisme kalām dan panteisme sufi.²¹
Lebih jauh, sintesis
kosmologis Ṣadrā menjelaskan bahwa seluruh alam semesta berada dalam gerak
evolutif menuju kesempurnaan eksistensi, yang berpuncak pada Tuhan.²² Doktrin al-ḥarakah
al-jawhariyyah (gerak substansial) menggambarkan realitas sebagai
proses kosmik yang berkesinambungan dari potensi menuju aktualitas.²³ Proses
ini bukan sekadar perubahan fisik, tetapi transformasi eksistensial yang
menandakan bahwa seluruh ciptaan sedang “kembali” (rujū‘)
kepada sumber wujudnya.²⁴
Signifikansi
Sintesis Mullā Ṣadrā dalam Konteks Filosofis Global
Sintesis filosofis
yang dikembangkan Mullā Ṣadrā memiliki makna universal karena menjawab krisis
metafisika yang masih relevan hingga masa kini.²⁵ Dalam konteks modern,
filsafat Barat mengalami fragmentasi antara rasio, etika, dan spiritualitas,
sedangkan filsafat Ṣadrā menunjukkan bagaimana ketiganya dapat diintegrasikan
secara ontologis.²⁶ Ia membangun metafisika yang dinamis dan terbuka, yang
mampu menjembatani antara sains, teologi, dan pengalaman mistik tanpa
menegasikan otonomi masing-masing.²⁷
Pemikiran Ṣadrā juga
menantang paradigma sekular modern yang memisahkan fakta dan makna, materi dan
jiwa.²⁸ Dalam sistemnya, fakta dan makna tidak dapat dipisahkan karena keduanya
berakar pada realitas eksistensi yang sama, hanya berbeda dalam tingkat
intensitas dan kesadaran.²⁹ Dengan demikian, filsafat tashkīk
al-wujūd bukan hanya doktrin metafisis, tetapi juga tawaran
metodologis untuk membangun kembali sintesis antara ilmu, filsafat, dan
spiritualitas.³⁰
Akhirnya, sistem Ṣadrā
dapat dipandang sebagai filsafat integratif yang tidak
berhenti pada pengetahuan teoretis, tetapi menuntun manusia pada transformasi
eksistensial.³¹ Dalam kesatuan rasio dan intuisi, ia menegaskan bahwa kebenaran
sejati bukan sekadar proposisi intelektual, melainkan kesatuan ontologis antara
yang mengetahui dan yang diketahui.³² Dengan demikian, sintesis filosofis Mullā
Ṣadrā menjadi warisan yang tidak hanya penting bagi filsafat Islam, tetapi juga
bagi wacana filsafat universal yang mencari jalan menuju kesatuan makna dan
keberadaan.³³
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 155.
[2]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 141.
[3]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 367.
[4]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 163.
[5]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 158.
[6]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 149.
[7]               
Corbin, History of Islamic Philosophy, 369.
[8]               
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 145.
[9]               
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 97.
[10]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 161.
[11]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 168.
[12]            
Nasr, Three Muslim Sages, 152.
[13]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 150.
[14]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Farnham:
Ashgate, 2010), 84.
[15]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 171.
[16]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 164.
[17]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 148.
[18]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 371.
[19]            
Nasr, Three Muslim Sages, 155.
[20]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 2 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 61.
[21]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 167.
[22]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 173.
[23]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 119–120.
[24]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 152.
[25]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 373.
[26]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 170.
[27]            
Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, 87.
[28]            
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(London: George Allen & Unwin, 1968), 82.
[29]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 176.
[30]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 155.
[31]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 375.
[32]            
Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,
157.
[33]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 175.
10.      
Kesimpulan
Filsafat Mullā Ṣadrā
menghadirkan suatu revolusi konseptual dalam sejarah metafisika Islam melalui
gagasan tentang tashkīk al-wujūd (gradasi
eksistensi).¹ Teori ini menegaskan bahwa realitas bukan sekadar kumpulan
entitas terpisah, melainkan suatu kesatuan eksistensial yang bertingkat dari
Wujud Mutlak hingga wujud partikular.² Dalam kerangka ini, eksistensi bukan
hanya prinsip ontologis, tetapi juga fondasi epistemologis dan teologis yang
menyatukan seluruh dimensi pengetahuan manusia tentang realitas.³
Melalui prinsip aṣālat
al-wujūd (keprimordialan eksistensi), Mullā Ṣadrā membalik
paradigma klasik filsafat Islam yang sebelumnya lebih menekankan māhiyyah
(esensi).⁴ Ia menunjukkan bahwa yang nyata secara objektif hanyalah eksistensi,
sedangkan esensi hanyalah konsep mental yang terbentuk dalam kesadaran
manusia.⁵ Dari sini lahirlah pandangan bahwa semua entitas di alam semesta
merupakan manifestasi dari satu hakikat wujud yang sama, berbeda hanya dalam
derajat intensitas dan kesempurnaan ontologisnya.⁶
Dalam dimensi
teologis, tashkīk
al-wujūd menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam secara
harmonis. Tuhan, sebagai al-Wujūd al-Muṭlaq, merupakan
realitas tunggal dan absolut, sedangkan alam semesta adalah pancaran atau
manifestasi bertingkat dari eksistensi-Nya.⁷ Pandangan ini menolak panteisme
yang menyamakan Tuhan dengan dunia, sekaligus mengoreksi dualisme teologis yang
memisahkan Tuhan dari ciptaan.⁸ Dengan demikian, sistem metafisika Ṣadrā
menghadirkan keseimbangan antara transendensi (tanzīh) dan immanensi (tashbīh)
Ilahi.⁹
Konsep ini juga
membawa konsekuensi kosmologis dan antropologis yang signifikan. Dunia tidak
lagi dipahami sebagai ciptaan statis, melainkan sebagai realitas yang
senantiasa bergerak menuju kesempurnaan eksistensial melalui al-ḥarakah
al-jawhariyyah (gerak substansial).¹⁰ Manusia, dalam hal ini,
menempati posisi istimewa sebagai mikrokosmos yang merefleksikan seluruh
tingkat wujud dan memiliki potensi untuk menempuh perjalanan eksistensial
menuju kesatuan dengan sumber wujud tertinggi.¹¹ Kesempurnaan manusia bukanlah
akumulasi pengetahuan rasional semata, tetapi peningkatan intensitas eksistensi
yang mengarah pada penyatuan spiritual dengan Tuhan.¹²
Dari sisi
epistemologi, tashkīk al-wujūd mengandung gagasan
bahwa pengetahuan bukanlah representasi abstrak, melainkan bentuk partisipasi
eksistensial dalam realitas yang diketahui.¹³ Melalui teori ‘ilm ḥuḍūrī
(pengetahuan melalui kehadiran), Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa antara subjek dan
objek pengetahuan terdapat kesatuan ontologis.¹⁴ Dalam kerangka ini, mengetahui
berarti “menjadi”—yakni proses peningkatan wujud subjek dalam menyingkap
realitas.¹⁵
Secara filosofis,
sistem Mullā Ṣadrā merupakan sintesis paripurna antara rasionalisme,
intuisionisme, dan mistisisme.¹⁶ Ia menggabungkan kekuatan argumentasi logis
Ibn Sīnā, pencerahan spiritual Suhrawardī, dan kedalaman metafisis Ibn ‘Arabī,
untuk membangun filsafat transenden (al-ḥikmah al-muta‘āliyah) yang
menyatukan akal, wahyu, dan pengalaman batin.¹⁷ Melalui pendekatan integratif
ini, Ṣadrā berhasil menjembatani perdebatan klasik antara filsafat, teologi,
dan tasawuf, serta membuka ruang bagi dialog antara tradisi Islam dan filsafat
modern.¹⁸
Dalam konteks
kontemporer, tashkīk al-wujūd memiliki relevansi
mendalam. Ia menawarkan paradigma metafisik yang menolak fragmentasi modern
antara sains dan spiritualitas, serta memberikan dasar ontologis bagi etika
ekologis dan kesadaran kosmik.¹⁹ Dengan memandang seluruh wujud sebagai
manifestasi dari eksistensi Ilahi, manusia diajak untuk hidup selaras dengan
tatanan kosmos dan menghormati seluruh bentuk kehidupan sebagai bagian dari
kesatuan eksistensial.²⁰
Akhirnya, teori tashkīk
al-wujūd menegaskan bahwa seluruh realitas merupakan perjalanan
eksistensial dari potensi menuju aktualitas, dari yang terbatas menuju yang
mutlak.²¹ Dalam perjalanan ini, manusia memiliki tanggung jawab ontologis untuk
mengaktualkan wujudnya menuju kesempurnaan.²² Dengan demikian, filsafat Mullā Ṣadrā
tidak berhenti pada tataran konseptual, tetapi menjadi jalan hidup filosofis dan
spiritual yang mengantarkan manusia menuju pemahaman mendalam tentang hakikat
keberadaan—sebuah pencapaian yang merupakan puncak dari al-ḥikmah
al-muta‘āliyah.²³
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī) (Albany: State University of New York Press, 1975), 175.
[2]               
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 160.
[3]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 180.
[4]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 376.
[5]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 178.
[6]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 157.
[7]               
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 182.
[8]               
Corbin, History of Islamic Philosophy, 379.
[9]               
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 163.
[10]            
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 3 (Tehran: Dār al-Iḥyā’
al-Turāth al-Islāmī, 1981), 125–126.
[11]            
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Farnham: Ashgate, 2010), 91.
[12]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 184.
[13]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 160.
[14]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 186.
[15]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 166.
[16]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 382.
[17]            
Nasr, Three Muslim Sages, 160.
[18]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 187.
[19]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 89.
[20]            
Rahman, The Philosophy of Mullā Ṣadrā, 189.
[21]            
Mullā Ṣadrā, Al-Mashā‘ir (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth
al-Islāmī, 1960), 40.
[22]            
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 170.
[23]            
Corbin, History of Islamic Philosophy, 385.
Daftar Pustaka 
Corbin, H. (1993). History
of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul
International.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The
principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence.
State University of New York Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ
al-Ḥikam (A. A. ‘Afīfī, Ed.). Dār al-Kitāb al-‘Arabī.
Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifā’:
Al-Ilāhiyyāt (I. Madkour, Ed.). al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘
al-Amīriyyah.
Kalin, I. (2010). Knowledge
in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and
intuition. Oxford University Press.
Kamal, M. (2010). Mulla
Sadra’s transcendent philosophy. Ashgate.
Manẓūr, I. (1955). Lisān
al-‘Arab (Vol. 10). Dār Ṣādir.
Nasr, S. H. (1964). Three
Muslim sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Man
and nature: The spiritual crisis of modern man. George Allen & Unwin.
Nasr, S. H. (1978). Sadr
al-Din Shirazi and his transcendent theosophy. Imperial Iranian Academy of
Philosophy.
Leaman, O. (2002). An
introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge
University Press.
Rahman, F. (1975). The
philosophy of Mullā Ṣadrā (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī). State University of
New York Press.
Suhrawardī, S. al-D.
(1952). Ḥikmat al-Ishrāq (H. Corbin, Ed.). Institute Franco-Iranien.
Whitehead, A. N. (1978). Process
and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
Ṣadrā, M. (1981). Al-Asfār
al-Arbaʿah (Vols. 1–4). Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī.
Ṣadrā, M. (1960). Al-Mashāʿir.
Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-Islāmī.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar