Jumat, 17 Oktober 2025

Aliran Pragmatis-Instrumental: Analisis Epistemologis, Sosial, dan Historis Pemikiran Ibnu Khaldun

Aliran Pragmatis-Instrumental

Analisis Epistemologis, Sosial, dan Historis Pemikiran Ibnu Khaldun


Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran Pragmatis-Instrumental dalam filsafat Islam yang diwujudkan dalam pemikiran Ibnu Khaldun (1332–1406 M), melalui analisis historis, epistemologis, dan aksiologis terhadap karya monumentalnya al-Muqaddimah. Ibnu Khaldun dipahami bukan sekadar sebagai sejarawan atau sosiolog, melainkan sebagai filsuf yang membangun sistem pengetahuan integratif yang menyatukan akal, pengalaman empiris, dan nilai teologis. Melalui pendekatan pragmatis-instrumental, pengetahuan (ʿilm) tidak dianggap sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat (instrumentum) untuk memahami, menata, dan memperbaiki realitas sosial (ʿumrān). Epistemologi ini menekankan fungsi sosial ilmu, rasionalitas empiris, serta relevansi moral dalam kerangka maṣlaḥah (kemaslahatan umum).

Kajian ini menunjukkan bahwa ontologi sosial Ibnu Khaldun berpijak pada konsep ʿumrān sebagai entitas dinamis dan asabiyyah sebagai prinsip eksistensial yang menjelaskan siklus kebangkitan dan keruntuhan peradaban. Secara aksiologis, ilmu berfungsi untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan sosial, sementara secara metodologis, Ibnu Khaldun menegaskan pentingnya observasi empiris, verifikasi rasional, dan analisis kausal dalam memahami fenomena sejarah. Melalui sintesis antara dimensi teologis, empiris, dan sosial, Ibnu Khaldun berhasil mengembangkan filsafat sosial Islam yang humanistik dan realistis, sekaligus menawarkan paradigma epistemologis yang relevan bagi rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam kontemporer.

Secara konseptual, artikel ini menegaskan bahwa aliran Pragmatis-Instrumental Ibnu Khaldun menampilkan corak realisme dinamis Islam, yang menolak spekulasi metafisik murni sekaligus menghindari empirisme sekuler. Dalam konteks modern, pemikirannya memberikan landasan filosofis untuk integrasi antara ilmu, nilai, dan tindakan dalam pembangunan peradaban Islam. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Khaldun menjadi salah satu model paling signifikan bagi revitalisasi filsafat Islam yang kontekstual, rasional, dan berbasis kemaslahatan sosial.

Kata Kunci: Ibnu Khaldun; Pragmatis-Instrumental; Filsafat Islam; Epistemologi Sosial; Asabiyyah; ʿUmrān; Kemaslahatan; Filsafat Ilmu Islam.


PEMBAHASAN

Aliran Pragmatis-Instrumental dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam tidak hanya merupakan produk rasionalitas metafisik yang diwarisi dari Yunani, tetapi juga hasil dialektika antara wahyu, akal, dan realitas sosial-historis umat Islam. Dalam kerangka ini, Ibnu Khaldun (1332–1406 M) menempati posisi yang unik dan penting. Ia tidak hanya dikenal sebagai sejarawan dan sosiolog, tetapi juga sebagai seorang filsuf yang mengembangkan corak berpikir yang dapat disebut sebagai pragmatis-instrumental—yakni pendekatan yang menilai pengetahuan berdasarkan fungsi dan kegunaannya dalam kehidupan sosial serta pembentukan peradaban manusia.¹ Dengan demikian, pemikiran Ibnu Khaldun membuka horizon baru dalam filsafat Islam yang berorientasi empiris, dinamis, dan fungsional, berbeda dari arus utama metafisika skolastik atau teosofi mistik yang dominan pada masanya.²

Secara historis, kemunculan gagasan-gagasan Ibnu Khaldun tidak dapat dilepaskan dari situasi krisis sosial dan politik dunia Islam pada abad ke-14 M, terutama di kawasan Maghrib dan Andalusia.³ Disintegrasi politik, kemunduran ekonomi, serta kemerosotan moral dan intelektual masyarakat mendorong Ibnu Khaldun untuk mencari dasar rasional-empiris bagi pemahaman sejarah dan masyarakat.⁴ Dalam konteks inilah Muqaddimah-nya menjadi tonggak revolusioner: ia bukan sekadar pendahulu ilmu sejarah, tetapi juga merupakan teks filsafat sosial yang mendasarkan pengetahuan pada keteraturan empiris dan kausalitas duniawi (sunan al-kawn).⁵

Pendekatan pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun dapat dipahami sebagai upaya menjembatani antara dua kutub besar pemikiran Islam: teologis-normatif di satu sisi dan rasional-filosofis di sisi lain. Bagi Ibnu Khaldun, pengetahuan tidak bersifat kontemplatif semata, tetapi memiliki nilai praktis sebagai alat untuk memahami dinamika sosial dan membangun tatanan peradaban.⁶ Dengan demikian, epistemologi Khaldunian berorientasi pada kegunaan (utility), bukan sekadar pada kebenaran abstrak. Hal ini mendekati semangat pragmatisme modern yang kemudian dikembangkan oleh Charles S. Peirce dan John Dewey, meskipun dalam konteks ontologis dan teologis yang berbeda.⁷

Secara filosofis, kajian ini penting karena menampilkan Ibnu Khaldun bukan hanya sebagai pelopor sosiologi empiris, tetapi juga sebagai representasi aliran filsafat Islam yang memadukan pragmatisme dan instrumentalisme dengan dimensi teologis dan moral.⁸ Dengan membaca pemikirannya dalam kerangka aliran Pragmatis-Instrumental, kita dapat menafsirkan kembali epistemologi Islam dari perspektif fungsional, yang menempatkan ilmu sebagai sarana pembentukan ‘umrān (peradaban) dan kesejahteraan manusia.⁹

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam landasan ontologis, epistemologis, aksiologis, dan metodologis dari aliran pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun. Pendekatan yang digunakan bersifat historis-hermeneutik, dengan menafsirkan teks Muqaddimah dan karya-karya sekunder dalam konteks genealogi intelektual Islam serta perbandingannya dengan filsafat Barat modern. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat dihasilkan sintesis filosofis yang menunjukkan relevansi pemikiran Ibnu Khaldun terhadap problem pengetahuan, masyarakat, dan moralitas kontemporer.¹⁰


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 45–47.

[2]                Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989), 224.

[3]                Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 13–16.

[4]                Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 72–76.

[5]                Rosenthal, The Muqaddimah, 72–74.

[6]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 59.

[7]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 18–20.

[8]                Arkoun, Mohammed, Pour une critique de la raison islamique (Paris: Maisonneuve et Larose, 1984), 132.

[9]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 65.

[10]             Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 103–106.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Pemikiran Ibnu Khaldun tidak muncul dalam kevakuman intelektual; ia merupakan hasil dari dialektika panjang antara tradisi keilmuan Islam dan realitas sosial-politik yang kompleks pada abad ke-14 M.¹ Dalam konteks sejarahnya, dunia Islam sedang berada dalam masa transisi besar: pusat-pusat intelektual seperti Baghdad telah runtuh, sementara dinasti-dinasti di wilayah Maghrib dan Andalusia tengah berjuang mempertahankan eksistensinya.² Ibnu Khaldun lahir di Tunis pada tahun 1332 M, di tengah suasana ketidakstabilan politik dan fragmentasi sosial yang melanda dunia Islam bagian barat.³ Kondisi inilah yang kemudian membentuk kesadarannya akan pentingnya ʿumrān (peradaban) dan asabiyyah (solidaritas sosial) sebagai dasar bagi keberlangsungan dan kehancuran masyarakat.⁴

2.1.       Konteks Sosial-Politik Maghrib dan Mashriq

Pada abad ke-14, kawasan Maghrib (Afrika Utara) mengalami dinamika sosial yang sangat intens. Persaingan antara dinasti Hafsiyah, Marinid, dan Zayyanid menciptakan ketidakstabilan politik berkepanjangan.⁵ Ibnu Khaldun yang hidup di tengah pusaran politik tersebut memiliki pengalaman langsung dengan dunia birokrasi dan kekuasaan, sehingga memahami secara empiris sifat pragmatis manusia dalam mempertahankan struktur sosial.⁶ Pengalamannya sebagai diplomat dan pejabat negara memberinya pandangan realistis tentang bagaimana kepentingan politik, ekonomi, dan moral berkelindan dalam membentuk sejarah peradaban.⁷

Berbeda dengan Mashriq (Timur Islam) yang masih mempertahankan tradisi teologis dan filsafat rasional dalam corak skolastik, wilayah Maghrib cenderung mengembangkan pendekatan empiris dan sosiologis.⁸ Hal ini karena masyarakat Maghrib hidup dalam kondisi sosial yang lebih keras dan mobil, di mana kekuasaan bergantung pada solidaritas kesukuan.⁹ Dalam konteks ini, gagasan Ibnu Khaldun tentang asabiyyah tidak hanya bersifat sosiologis, tetapi juga merupakan refleksi filosofis tentang dasar ontologis kehidupan manusia yang berkelompok.¹⁰

2.2.       Pengaruh Teologis, Sufistik, dan Rasionalistik

Ibnu Khaldun tumbuh dalam lingkungan intelektual yang kaya dengan tradisi teologis (kalām) dan mistik (taṣawwuf). Ia mempelajari ajaran-ajaran al-Ashʿari dan al-Ghazali, tetapi kemudian mengembangkan sikap kritis terhadap spekulasi teologis yang dianggapnya tidak memiliki landasan empiris.¹¹ Dalam Muqaddimah, ia menegaskan bahwa banyak sejarawan dan ahli kalam telah terjebak dalam “kesalahan interpretasi sebab akibat” karena terlalu mengandalkan rasio spekulatif tanpa memperhatikan data empiris.¹²

Meskipun mengkritik mistisisme, Ibnu Khaldun tetap mengakui dimensi spiritual dalam realitas sosial.¹³ Ia melihat moralitas dan keimanan sebagai energi pengikat dalam struktur asabiyyah. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa ia menyintesiskan antara etika sufistik dengan rasionalitas empiris.¹⁴

Sementara dari tradisi rasionalistik, terutama pengaruh Aristoteles dan Ibn Rushd, Ibnu Khaldun mewarisi semangat rasional dan analisis kausalitas.¹⁵ Namun berbeda dari Ibn Rushd yang menempatkan rasio sebagai jalan menuju kebenaran universal, Ibnu Khaldun memposisikan rasio sebagai alat (instrumentum) untuk memahami realitas sosial yang konkret dan berubah.¹⁶ Di sinilah letak pergeseran epistemologis dari rasionalisme teoretis menuju instrumentalisme pragmatis.

2.3.       Relasi dengan Tradisi Empirisme dan Realisme Islam Klasik

Genealogi intelektual Ibnu Khaldun juga dapat ditelusuri ke arah tradisi empirisme dalam filsafat Islam. Tokoh-tokoh seperti al-Razi, Ibn Sina, dan al-Biruni telah memperkenalkan pentingnya observasi dan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan.¹⁷ Namun, Ibnu Khaldun melangkah lebih jauh dengan menerapkan prinsip tersebut pada realitas sosial dan sejarah manusia.¹⁸ Ia memandang sejarah sebagai laboratorium empiris bagi ilmu pengetahuan—suatu pendekatan yang kemudian menjadi dasar bagi lahirnya sosiologi modern.¹⁹

Selain itu, Ibnu Khaldun juga mengembangkan bentuk realisme dinamis, di mana realitas sosial dianggap memiliki pola-pola objektif yang dapat dipahami melalui rasio, namun tetap bersifat berubah sesuai konteks.²⁰ Realitas bagi Ibnu Khaldun tidak statis, melainkan tunduk pada hukum-hukum perubahan dan kausalitas sosial.²¹

2.4.       Pembentukan Kerangka Pragmatis-Instrumental dari Pengalaman Sejarah

Dari seluruh pengalaman hidupnya—sebagai ulama, pejabat, diplomat, dan pengasingan intelektual di Qalʿat Banu Salamah—Ibnu Khaldun membentuk pandangan dunia yang sangat empiris dan fungsional.²² Ia melihat pengetahuan sebagai alat untuk memahami, mengatur, dan menata masyarakat.²³ Dalam konteks inilah filsafatnya menjadi pragmatis: kebenaran tidak hanya diukur dari kesesuaian dengan realitas metafisik, tetapi dari keberhasilannya menjelaskan dan memperbaiki kondisi sosial.²⁴

Dengan demikian, landasan historis dan genealogis pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa aliran Pragmatis-Instrumental dalam filsafat Islam lahir dari kombinasi antara pengalaman empiris, tradisi intelektual Islam klasik, dan refleksi kritis terhadap realitas sosial.²⁵ Ia menandai peralihan dari filsafat yang bersifat kontemplatif menuju filsafat yang aktif dan terlibat dalam realitas manusia.²⁶


Footnotes

[1]                Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 21.

[2]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2: The Expansion of Islam in the Middle Periods (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 231.

[3]                Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 14.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 89.

[5]                H. R. Idris, La Berbérie orientale sous les Hafsides (Paris: Adrien Maisonneuve, 1962), 301–305.

[6]                Walter Fischel, “Ibn Khaldun in Egypt,” Journal of the American Oriental Society 57, no. 3 (1937): 338.

[7]                Cheddadi, Ibn Khaldun, 65–67.

[8]                Muhammad Abed al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 187.

[9]                Rosenthal, The Muqaddimah, 103.

[10]             Franz Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1958), 219.

[11]             Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, 233–236.

[12]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 72–74.

[13]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 117.

[14]             Syed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 193.

[15]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 168.

[16]             Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 98–100.

[17]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 145.

[18]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 121.

[19]             Arnold Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 322.

[20]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, 224.

[21]             Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship, 89–90.

[22]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 112.

[23]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 143.

[24]             John Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 41–42.

[25]             Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 105.

[26]             Mohammed Arkoun, Pour une critique de la raison islamique (Paris: Maisonneuve et Larose, 1984), 137.


3.           Ontologi Sosial dalam Pemikiran Ibnu Khaldun

Ontologi sosial Ibnu Khaldun berangkat dari pandangan bahwa realitas manusia tidak dapat dipahami secara terpisah dari dimensi sosialnya.¹ Ia menolak pandangan atomistik yang melihat individu sebagai entitas terisolasi, dan sebaliknya menegaskan bahwa eksistensi manusia hanya bermakna dalam konteks kolektivitas yang disebut ʿumrān—yakni kehidupan sosial yang terorganisir dan dinamis.² Bagi Ibnu Khaldun, ʿumrān bukan sekadar struktur sosial, melainkan wujud eksistensial yang menegaskan hakikat manusia sebagai makhluk sosial (madani bi al-ṭabʿ).³ Dengan demikian, filsafatnya mengandung basis ontologis yang realistis dan relasional: realitas sosial adalah fakta keberadaan yang aktual, empiris, dan sekaligus bernilai moral.⁴

3.1.       Hakikat Realitas Sosial sebagai Entitas Dinamis (ʿUmrān)

Konsep ʿumrān menempati posisi sentral dalam sistem pemikiran Ibnu Khaldun. Ia menggambarkannya sebagai jaringan hubungan yang menumbuhkan kebudayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.⁵ Dalam pandangan ini, masyarakat memiliki hukum-hukum objektif (sunan al-kawn) yang mengatur pertumbuhan dan kemunduran peradaban.⁶ Pandangan tersebut menegaskan bahwa realitas sosial memiliki ontologi yang otonom dan dapat dipelajari secara ilmiah, tanpa harus selalu dijelaskan melalui intervensi metafisik.⁷

Namun, ontologi sosial Ibnu Khaldun tidak bersifat materialistis. ʿUmrān bagi beliau bukanlah sekadar kumpulan individu atau struktur ekonomi, tetapi sebuah totalitas organis di mana aspek spiritual, moral, dan material saling berkelindan.⁸ Realitas sosial bukan hasil mekanistik, melainkan proses historis yang mencerminkan kehendak Ilahi dalam dinamika manusia.⁹ Dengan demikian, ʿumrān menjadi medan di mana manusia mewujudkan potensi eksistensialnya sebagai khalifah di bumi.¹⁰

3.2.       Konsep Asabiyyah sebagai Prinsip Eksistensial Masyarakat

Dalam ontologi sosial Ibnu Khaldun, asabiyyah berfungsi sebagai energi penggerak peradaban.¹¹ Istilah ini tidak hanya mengacu pada solidaritas kesukuan, tetapi juga pada kekuatan ontologis yang menyatukan manusia dalam struktur sosial tertentu.¹² Ia menulis bahwa asabiyyah adalah “daya yang membuat suatu kelompok mampu bertahan, berkembang, dan menegakkan kekuasaan.”¹³ Dengan demikian, asabiyyah tidak sekadar konsep sosiologis, melainkan metafisika sosial yang menjelaskan bagaimana realitas kolektif terbentuk, bertahan, dan berubah.

Ibnu Khaldun melihat asabiyyah sebagai bentuk energi moral dan spiritual yang menjiwai tatanan sosial.¹⁴ Ia bersifat temporer dan historis: ketika semangat solidaritas melemah, maka peradaban pun akan mengalami disintegrasi.¹⁵ Karena itu, keberlangsungan masyarakat tergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan antara asabiyyah (energi sosial) dan ʿaql (rasionalitas).¹⁶ Dengan kerangka ini, Ibnu Khaldun secara ontologis memandang masyarakat sebagai organisme hidup yang memiliki siklus kelahiran, perkembangan, dan kematian.¹⁷

3.3.       Hubungan antara Manusia, Masyarakat, dan Sejarah

Bagi Ibnu Khaldun, manusia adalah makhluk yang kodratnya memerlukan kebersamaan, sehingga masyarakat muncul sebagai konsekuensi ontologis dari fitrah manusia.¹⁸ Hubungan antara manusia dan masyarakat bersifat simbiotik: individu tidak dapat hidup tanpa struktur sosial, dan struktur sosial tidak dapat bertahan tanpa individu yang berpartisipasi.¹⁹ Dalam konteks ini, sejarah bukan sekadar narasi peristiwa, melainkan ekspresi konkret dari dinamika ontologis manusia dalam masyarakat.²⁰

Sejarah, menurut Ibnu Khaldun, memiliki hukum-hukum sebab-akibat yang serupa dengan hukum alam.²¹ Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa pengetahuan tentang sejarah harus bersandar pada pengamatan terhadap realitas sosial, bukan pada mitos atau dogma.²² Ontologi sosialnya dengan demikian melampaui sekadar filsafat spekulatif: ia menjadi dasar bagi epistemologi empiris yang menafsirkan fakta sosial secara rasional dan teleologis.²³

3.4.       Kesalingterkaitan antara Kehendak Ilahi dan Determinasi Sosial

Meskipun menekankan kausalitas sosial, Ibnu Khaldun tidak mengabaikan peran Tuhan dalam sejarah.²⁴ Ia memandang hukum-hukum sosial sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi yang bekerja melalui sebab-sebab alamiah.²⁵ Dalam pandangan ini, sunan Allāh fī al-kawn (hukum-hukum Tuhan di alam) adalah prinsip ontologis yang menjamin keteraturan realitas sosial.²⁶ Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara teologi dan sosiologi, melainkan relasi hierarkis di mana kehendak Ilahi menjadi dasar bagi rasionalitas empiris manusia.²⁷

Pandangan ini menghasilkan suatu teologi sosial empiris: manusia bertanggung jawab untuk memahami dan mengelola dunia sosialnya melalui ilmu dan tindakan, tetapi tetap menyadari bahwa seluruh tatanan sosial berada dalam lingkup kehendak Tuhan.²⁸ Di sini tampak bahwa ontologi Ibnu Khaldun bersifat integratif—menggabungkan dimensi metafisik, sosial, dan historis dalam satu sistem koheren yang menjelaskan realitas manusia secara menyeluruh.²⁹

Dengan demikian, ontologi sosial Ibnu Khaldun menghadirkan visi filosofis yang khas: manusia adalah makhluk historis yang keberadaannya bermakna melalui partisipasi dalam masyarakat dan sejarah, sementara realitas sosial itu sendiri merupakan cerminan dari keteraturan Ilahi yang dapat dipahami secara empiris dan rasional.³⁰


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 45.

[2]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 76–78.

[3]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 89.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 171.

[5]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 89–90.

[6]                Rosenthal, The Muqaddimah, 101.

[7]                Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 98.

[8]                Syed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 197.

[9]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 123.

[10]             Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 110.

[11]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 117.

[12]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 115.

[13]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 118.

[14]             Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 95–97.

[15]             Arnold Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 331.

[16]             Rosenthal, The Muqaddimah, 120.

[17]             Al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 199.

[18]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 48.

[19]             Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 174.

[20]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 135.

[21]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1958), 228.

[22]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 75.

[23]             Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship, 107.

[24]             Nasr, Islamic Cosmological Doctrines, 203.

[25]             Osman, The Islamic Thought, 113.

[26]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 126.

[27]             Arkoun, Mohammed, Pour une critique de la raison islamique (Paris: Maisonneuve et Larose, 1984), 139.

[28]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 65.

[29]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 141.

[30]             Rosenthal, The Muqaddimah, 130.


4.           Epistemologi Pragmatis-Instrumental

Epistemologi Ibnu Khaldun berakar pada pemahaman bahwa pengetahuan (ʿilm) tidak berdiri sendiri sebagai abstraksi intelektual, tetapi berfungsi sebagai instrumen untuk memahami dan menata realitas sosial.¹ Dalam pandangan ini, pengetahuan tidak diukur berdasarkan validitas logis semata, melainkan melalui kegunaannya (utility) dalam menjelaskan dan memecahkan persoalan kehidupan manusia.² Konsepsi ini menandai pergeseran dari epistemologi spekulatif menuju paradigma pragmatis-instrumental, di mana kebenaran dianggap bermakna sejauh ia memiliki daya guna praktis dalam konteks sosial dan historis.³

4.1.       Pengetahuan sebagai Instrumen bagi Keberlangsungan Sosial

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa manusia memperoleh pengetahuan karena kebutuhan eksistensialnya sebagai makhluk sosial.⁴ Pengetahuan timbul dari interaksi manusia dengan lingkungannya dan berkembang seiring dengan kemajuan peradaban.⁵ Dalam Muqaddimah, ia menyatakan bahwa “ilmu adalah hasil pengalaman sosial dan politik manusia yang tumbuh bersama kemajuan masyarakat.”⁶ Dengan demikian, ilmu tidak bersifat kontemplatif atau metafisik semata, tetapi merupakan produk praksis yang melayani kebutuhan kehidupan kolektif.

Epistemologi Khaldunian ini menempatkan pengetahuan sebagai sarana bagi ʿumrān (peradaban).⁷ Ilmu memiliki fungsi ganda: pertama, sebagai alat memahami hukum-hukum sosial (sunan al-kawn al-ijtimaʿi); kedua, sebagai perangkat untuk menjaga keseimbangan moral dan spiritual masyarakat.⁸ Oleh karena itu, epistemologi Ibnu Khaldun bersifat integratif—menggabungkan rasionalitas empiris dengan nilai-nilai etis dan religius.⁹

4.2.       Konsep ʿIlm dan Fungsi Praktisnya dalam Muqaddimah

Dalam sistem pemikiran Ibnu Khaldun, ʿilm memiliki hierarki berdasarkan manfaatnya bagi kehidupan manusia.¹⁰ Ia membedakan antara ilmu rasional, ilmu keagamaan, dan ilmu instrumental.¹¹ Ilmu rasional (ʿulūm ʿaqliyyah) mencakup logika, matematika, dan fisika, yang berfungsi melatih akal manusia.¹² Ilmu keagamaan (ʿulūm naqliyyah) menuntun moral dan spiritualitas.¹³ Sedangkan ilmu instrumental seperti bahasa, tata negara, dan sejarah memiliki peran praktis dalam menata kehidupan sosial.¹⁴

Pandangan ini menunjukkan bahwa bagi Ibnu Khaldun, pengetahuan tidak bersifat hierarkis secara absolut, tetapi relatif terhadap fungsinya.¹⁵ Ia menolak dikotomi antara ilmu duniawi dan ukhrawi karena keduanya sama-sama berperan dalam menjaga keteraturan sosial dan moral.¹⁶ Dengan demikian, epistemologinya mencerminkan semangat teleologi pragmatis, yakni bahwa ilmu bernilai sejauh ia mengantarkan manusia menuju kemaslahatan dan keadilan sosial.¹⁷

4.3.       Rasionalitas Empiris dan Observasi Sejarah sebagai Sumber Pengetahuan

Ibnu Khaldun adalah salah satu pemikir Islam pertama yang menegaskan pentingnya observasi empiris dalam proses pengetahuan.¹⁸ Ia menolak spekulasi metafisik yang tidak memiliki dasar pengalaman.¹⁹ Menurutnya, pengamatan terhadap fakta sejarah dan sosial merupakan jalan menuju pemahaman hakikat hukum-hukum masyarakat.²⁰ Oleh karena itu, ia mengembangkan metode kritik historis (naqd al-akhbār) untuk menilai kebenaran laporan sejarah melalui bukti empiris dan rasionalitas kausal.²¹

Epistemologi semacam ini menegaskan rasionalitas yang bersifat instrumental: akal tidak digunakan untuk membangun sistem metafisika abstrak, tetapi sebagai alat untuk menguji realitas dan menafsirkan gejala sosial.²² Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mendahului semangat empirisme modern dan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat, jauh sebelum Auguste Comte atau Émile Durkheim.²³

4.4.       Kritik terhadap Spekulasi Metafisik dan Dogmatisme Skolastik

Ibnu Khaldun mengkritik keras kecenderungan para teolog dan filsuf skolastik yang mengabaikan dimensi empiris dalam pencarian kebenaran.²⁴ Ia menilai bahwa “para mutakallimīn telah melampaui batas rasionalitas dengan mengandalkan premis metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.”²⁵ Baginya, pengetahuan sejati harus memiliki dasar pengalaman dan relevansi praktis terhadap kehidupan sosial.²⁶ Kritik ini menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun menolak paradigma epistemologis yang menjadikan akal sebagai tujuan pada dirinya sendiri.²⁷

Dengan demikian, epistemologi pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun menolak dua ekstrem: rasionalisme absolut yang menafikan pengalaman, dan empirisme naif yang menolak peran akal.²⁸ Ia menegaskan bahwa kebenaran adalah hasil interaksi dinamis antara rasio, pengalaman, dan kebutuhan sosial.²⁹

4.5.       Perbandingan dengan Pragmatisme Modern

Meskipun Ibnu Khaldun hidup berabad-abad sebelum Charles S. Peirce, William James, atau John Dewey, terdapat kesesuaian konseptual antara epistemologi Khaldunian dan pragmatisme modern.³⁰ Keduanya sama-sama memandang kebenaran sebagai proses, bukan entitas statis.³¹ Bagi Ibnu Khaldun, kebenaran ilmu ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menjelaskan fenomena sosial dan memelihara keteraturan masyarakat.³² Hal ini sejalan dengan pandangan Dewey bahwa “pengetahuan adalah alat untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan memperbaiki kehidupan manusia.”³³

Namun, perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada fondasi metafisiknya. Jika pragmatisme Barat berakar pada naturalisme, maka pragmatisme Ibnu Khaldun berakar pada teologi Islam.³⁴ Ia menganggap bahwa hukum-hukum sosial dan alamiah adalah manifestasi kehendak Tuhan, sehingga aktivitas intelektual manusia merupakan bentuk partisipasi dalam sunan Allāh fī al-kawn (tatanan Ilahi di alam semesta).³⁵ Dengan demikian, epistemologi pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun bukan sekadar metode ilmiah, tetapi juga ekspresi dari spiritualitas rasional yang integral.³⁶


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 45.

[2]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 121.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 176.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 50.

[5]                Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 89.

[6]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 61.

[7]                Rosenthal, The Muqaddimah, 103.

[8]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 115.

[9]                Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 211.

[10]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 428.

[11]             Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 112.

[12]             Rosenthal, The Muqaddimah, 433.

[13]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 94.

[14]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 442.

[15]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 127.

[16]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 68.

[17]             Osman, The Islamic Thought, 113.

[18]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 73.

[19]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 133.

[20]             Rosenthal, The Muqaddimah, 75.

[21]             Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 106.

[22]             Leaman, Classical Islamic Philosophy, 179.

[23]             Arnold Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 333.

[24]             Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 204.

[25]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 74.

[26]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1958), 229.

[27]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 139.

[28]             John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 22.

[29]             Osman Bakar, Classification of Knowledge, 118.

[30]             Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 36.

[31]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45.

[32]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 79.

[33]             Dewey, Experience and Nature, 37.

[34]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 217.

[35]             Al-Attas, Islam and Secularism, 70.

[36]             Osman, The Islamic Thought, 116.


5.           Aksiologi dan Tujuan Pengetahuan

Aksiologi Ibnu Khaldun, sebagaimana tercermin dalam Muqaddimah, berangkat dari pemahaman bahwa nilai pengetahuan tidak hanya diukur melalui kebenaran logis atau rasionalitas formal, melainkan melalui kontribusinya terhadap kemaslahatan manusia dan keberlanjutan peradaban (ʿumrān).¹ Bagi Ibnu Khaldun, ilmu merupakan sarana etis dan fungsional untuk menegakkan keteraturan sosial, memperkuat moralitas kolektif, dan menunaikan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.² Dengan demikian, epistemologi pragmatis-instrumental yang telah dibangun sebelumnya menemukan orientasi aksionalnya dalam kerangka aksiologi yang menempatkan ilmu sebagai instrumen moral dan sosial.³

5.1.       Nilai Kebenaran dalam Kerangka Kegunaan Sosial dan Moral

Ibnu Khaldun menolak pandangan bahwa pengetahuan adalah tujuan pada dirinya sendiri.⁴ Ia menegaskan bahwa kebenaran harus memiliki implikasi terhadap kemajuan moral dan kesejahteraan sosial.⁵ Dalam kerangka ini, pengetahuan memperoleh nilai bukan karena abstraksinya, tetapi karena kemampuannya menciptakan keteraturan dan keadilan di tengah masyarakat.⁶ Pandangan ini mendekati prinsip pragmatisme moral yang kemudian dikembangkan oleh John Dewey, di mana kebenaran diukur berdasarkan akibat praktisnya bagi kehidupan manusia.⁷

Menurut Ibnu Khaldun, pengetahuan yang tidak berujung pada tindakan moral dan sosial adalah bentuk kesia-siaan intelektual.⁸ Ia menulis, “Ilmu yang tidak memperbaiki manusia adalah ilusi dari akal yang terputus dari amal.”⁹ Oleh karena itu, ilmu memiliki fungsi ganda: membimbing akal agar memahami realitas sosial dan mengarahkan kehendak manusia menuju kebaikan kolektif.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi pragmatis-instrumental menjadi dasar bagi aksiologi yang berorientasi pada nilai moral dan sosial.

5.2.       Orientasi Pengetahuan terhadap Kemaslahatan (Maṣlaḥah)

Konsep maṣlaḥah dalam pemikiran Ibnu Khaldun bukan hanya prinsip hukum Islam (uṣūl al-fiqh), tetapi juga prinsip aksiologis yang mengarahkan orientasi ilmu.¹¹ Setiap bentuk pengetahuan harus bermuara pada kemanfaatan dan kesejahteraan umat.¹² Ia menegaskan bahwa ilmu politik, ekonomi, dan sosial harus diarahkan untuk menjaga keadilan, keseimbangan, dan ketertiban masyarakat.¹³ Dalam pandangannya, pengetahuan yang tidak memberi manfaat adalah pengetahuan yang kehilangan legitimasi etis.¹⁴

Orientasi pada maṣlaḥah juga menunjukkan bahwa ilmu bagi Ibnu Khaldun bersifat teleologis: setiap upaya intelektual harus diarahkan kepada tujuan moral yang lebih tinggi.¹⁵ Prinsip ini sekaligus menjadi pembeda antara pragmatisme Khaldunian dan pragmatisme Barat modern, di mana utilitas sosial tidak dapat dilepaskan dari landasan spiritual dan teologis.¹⁶ Kegunaan (utility) bukan sekadar efisiensi, melainkan ekspresi dari nilai ilahiah yang bekerja dalam struktur sosial manusia.¹⁷

5.3.       Etika Sosial dan Tanggung Jawab Ilmuwan

Dalam pandangan Ibnu Khaldun, ilmuwan memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat.¹⁸ Pengetahuan tidak boleh menjadi alat legitimasi kekuasaan atau kepentingan duniawi, tetapi harus menjadi sarana pencerahan dan keadilan sosial.¹⁹ Ia mengingatkan bahwa “ilmuwan yang menukar ilmunya dengan kedudukan telah mengkhianati amanat pengetahuan.”²⁰ Etika sosial ini menjadikan pengetahuan sebagai bagian dari ibadah intelektual, di mana akal bekerja dalam batas moral dan spiritualitas.²¹

Dalam kerangka aksiologi ini, ilmuwan dituntut untuk bersikap objektif sekaligus bertanggung jawab.²² Objektivitas bukan berarti bebas nilai, tetapi kesetiaan terhadap prinsip keadilan dan keseimbangan.²³ Dengan demikian, aktivitas ilmiah bagi Ibnu Khaldun bersifat etico-pragmatic—menghubungkan rasionalitas empiris dengan kesadaran moral.²⁴

5.4.       Instrumentalisme Moral dalam Pembentukan Peradaban

Ibnu Khaldun memandang bahwa kemajuan peradaban tidak hanya ditentukan oleh kekuatan material, tetapi juga oleh kualitas moral dan intelektual masyarakat.²⁵ Asabiyyah yang kuat tanpa moralitas akan berubah menjadi tirani, sementara moralitas tanpa ilmu akan menghasilkan stagnasi.²⁶ Oleh karena itu, ilmu dan moralitas harus bersinergi sebagai dua instrumen pembentuk ʿumrān.²⁷

Dalam konteks ini, ilmu berperan sebagai instrumentum moralis, yaitu sarana bagi terbentuknya masyarakat yang berkeadilan dan berbudaya.²⁸ Ibnu Khaldun memandang moralitas bukan sebagai sistem normatif abstrak, melainkan sebagai hasil dari proses sosial yang berakar pada pengetahuan praktis.²⁹ Inilah ciri khas aksiologi Khaldunian: integrasi antara nilai, rasio, dan tindakan sosial.³⁰

Dengan demikian, aksiologi Ibnu Khaldun menegaskan bahwa pengetahuan tidak memiliki makna jika terpisah dari tujuan moral dan sosialnya.³¹ Kebenaran bukanlah hasil akhir dari proses berpikir semata, tetapi juga cermin dari komitmen manusia terhadap tatanan Ilahi dan kemaslahatan umat.³² Dalam kerangka ini, epistemologi pragmatis-instrumental menjadi dasar bagi etika sosial yang memandang ilmu sebagai sarana pembebasan dan pembangunan peradaban.³³


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 51.

[2]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 142.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 181.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 63.

[5]                Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 105.

[6]                Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 118.

[7]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 40.

[8]                Muhammad Abed al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 214.

[9]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 64.

[10]             Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 223.

[11]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 120.

[12]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 430.

[13]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 108.

[14]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 145.

[15]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 119.

[16]             Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 48.

[17]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 72.

[18]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 447.

[19]             Al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi, 217.

[20]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 448.

[21]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 229.

[22]             Leaman, Classical Islamic Philosophy, 183.

[23]             Rosenthal, The Muqaddimah, 432.

[24]             Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 114.

[25]             Arnold Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 337.

[26]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 122.

[27]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 151.

[28]             Osman, The Islamic Thought, 121.

[29]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 113.

[30]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 231.

[31]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 450.

[32]             Al-Attas, Islam and Secularism, 74.

[33]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 123.


6.           Metodologi Historis dan Empiris

Metodologi Ibnu Khaldun menandai revolusi dalam tradisi intelektual Islam karena menggeser pendekatan ilmu dari spekulasi metafisik menuju analisis empiris dan historis.¹ Ia menolak pengetahuan yang hanya bersandar pada otoritas teks atau deduksi rasional semata, dan menegaskan pentingnya observasi serta verifikasi fakta sosial.² Melalui karya monumentalnya, al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun memperkenalkan kerangka metodologis yang memadukan rasionalitas (ʿaql) dengan pengalaman (tajrībah), sehingga menghasilkan suatu model ilmu sosial yang berakar pada realitas konkret namun tetap selaras dengan prinsip teologis.³

6.1.       Prinsip-Prinsip Metodologis dalam Muqaddimah

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun memformulasikan sejumlah prinsip metodologis yang menegaskan pendekatan empiris terhadap sejarah dan masyarakat. Ia menulis bahwa “sejarah tidak boleh diterima hanya karena diceritakan, tetapi harus ditimbang dengan ukuran akal dan pengalaman.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa setiap laporan historis harus diverifikasi melalui penalaran kritis dan bukti empiris.⁵

Prinsip pertama metodologinya adalah kritik sumber (naqd al-akhbār), yaitu evaluasi terhadap keandalan dan konteks suatu informasi.⁶ Kedua, kausalitas sosial (al-ʿilal al-ijtimāʿiyyah), yakni penjelasan sebab-musabab di balik peristiwa sejarah yang harus dicari dalam faktor manusia, bukan semata kehendak supranatural.⁷ Ketiga, regularitas sosial (al-sunan al-ijtimāʿiyyah), yakni keyakinan bahwa masyarakat tunduk pada hukum-hukum universal sebagaimana alam tunduk pada hukum fisika.⁸ Melalui tiga prinsip ini, Ibnu Khaldun membangun sains sosial Islam yang otonom dan sistematis.⁹

6.2.       Ilmu Sejarah sebagai Laboratorium Sosial

Bagi Ibnu Khaldun, sejarah bukanlah sekadar kumpulan narasi masa lalu, tetapi laboratorium empiris bagi analisis sosial.¹⁰ Ia melihat sejarah sebagai cermin hukum-hukum peradaban, di mana pengulangan pola-pola sosial memungkinkan manusia memahami dinamika masyarakat.¹¹ Pandangannya ini menandai peralihan dari historiografi deskriptif menuju historiologi analitis—suatu pendekatan yang mencari hukum universal di balik fakta sejarah.¹²

Dalam kerangka ini, Ibnu Khaldun menolak kecenderungan para penulis sejarah yang hanya mengandalkan otoritas tradisi.¹³ Ia menegaskan bahwa banyak kisah sejarah klasik “tidak lain hanyalah hasil imajinasi yang diperkuat oleh kebiasaan mendengar tanpa memverifikasi.”¹⁴ Oleh karena itu, metodologi historisnya bersifat kritis dan reflektif: setiap fakta harus dihubungkan dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik yang melahirkannya.¹⁵

Pendekatan ini menjadikan Ibnu Khaldun pelopor dalam apa yang kini disebut hermeneutika sejarah—yaitu upaya memahami makna peristiwa dengan memperhitungkan hubungan antara teks (narasi sejarah) dan konteks (struktur sosial).¹⁶ Ia bukan hanya merekam sejarah, tetapi menafsirkan sejarah sebagai sistem kausal yang rasional dan empiris.¹⁷

6.3.       Pengetahuan Empiris dan Analisis Kausalitas

Ibnu Khaldun menempatkan pengalaman empiris sebagai fondasi epistemologis ilmu sosial.¹⁸ Dalam pandangannya, pengetahuan yang benar adalah hasil interaksi antara observasi dan akal.¹⁹ Ia menolak pandangan skolastik yang memisahkan teori dari pengalaman, dan sebaliknya mengusulkan metode yang menyeimbangkan keduanya.²⁰

Kausalitas (sababiyyah) menjadi prinsip sentral dalam analisisnya: setiap perubahan sosial memiliki sebab dan akibat yang dapat dipahami melalui rasio dan pengalaman.²¹ Misalnya, muncul dan runtuhnya dinasti tidak disebabkan oleh takdir semata, tetapi oleh melemahnya asabiyyah dan moralitas penguasa.²² Dengan demikian, Ibnu Khaldun memperkenalkan pendekatan nomologis terhadap sejarah—yakni pencarian hukum umum yang menjelaskan fenomena sosial.²³

Selain itu, ia menegaskan pentingnya generalisasi empiris (istiqrāʾ)—yakni menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap banyak kasus.²⁴ Metode ini menjadikannya pendahulu bagi metodologi ilmiah modern yang dikembangkan oleh Francis Bacon dan Auguste Comte.²⁵ Namun, berbeda dengan positivisme Barat, pendekatan empiris Ibnu Khaldun tidak mengabaikan dimensi nilai dan spiritualitas.²⁶ Ia menegaskan bahwa hukum-hukum sosial merupakan bagian dari sunan Allāh fī al-kawn (ketetapan Tuhan dalam alam).²⁷

6.4.       Keterpaduan antara Analisis Rasional dan Data Empiris

Metode Ibnu Khaldun bukan sekadar empirisme, melainkan empirisme rasional—suatu pendekatan yang menggabungkan observasi dengan penalaran kausal.²⁸ Ia menyatakan bahwa data empiris tanpa rasio hanyalah “pengumpulan fakta yang tidak bermakna,” sementara rasio tanpa pengalaman akan “tersesat dalam spekulasi.”²⁹ Dengan demikian, ilmu harus berfungsi sebagai dialog antara akal dan realitas.³⁰

Keterpaduan ini mencerminkan pandangan holistik Ibnu Khaldun terhadap ilmu: rasionalitas adalah sarana untuk menafsirkan fakta empiris, sedangkan pengalaman adalah bahan mentah bagi rasionalitas.³¹ Melalui sintesis ini, ia berhasil memformulasikan metodologi ilmiah yang bersifat integratif—mendasarkan diri pada bukti, tetapi tetap berorientasi pada makna moral dan teleologis.³²

Dengan demikian, metodologi historis dan empiris Ibnu Khaldun melampaui sekadar analisis kronologis peristiwa; ia merupakan sistem pengetahuan yang menjadikan sejarah sebagai ruang ilmiah untuk memahami hukum-hukum sosial yang universal.³³ Pendekatan ini membentuk fondasi bagi kelahiran sosiologi, ilmu politik, dan ekonomi Islam modern, serta menegaskan posisi Ibnu Khaldun sebagai pelopor metodologi ilmiah dalam tradisi filsafat Islam.³⁴


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 72.

[2]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 155.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 188.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 76.

[5]                Rosenthal, The Muqaddimah, 79.

[6]                Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 118.

[7]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 85.

[8]                Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 125.

[9]                Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 121.

[10]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 92.

[11]             Rosenthal, The Muqaddimah, 93.

[12]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 160.

[13]             Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 219.

[14]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 94.

[15]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 122.

[16]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 130.

[17]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 165.

[18]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 100.

[19]             Nasr, Syed Hossein, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 239.

[20]             Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1958), 232.

[21]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 103.

[22]             Toynbee, Arnold, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 343.

[23]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 171.

[24]             Leaman, Classical Islamic Philosophy, 192.

[25]             Dewey, John, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 48.

[26]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 243.

[27]             Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 78.

[28]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 105.

[29]             Rosenthal, The Muqaddimah, 107.

[30]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 175.

[31]             Osman, The Islamic Thought, 128.

[32]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 127.

[33]             Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship, 125.

[34]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 129.


7.           Teori Peradaban dan Ilmu Sosial Islam

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang peradaban (ʿumrān) merupakan inti dari filsafat sosial Islam yang dikembangkannya. Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana masyarakat terbentuk dan berkembang, tetapi juga mengidentifikasi hukum-hukum universal yang mengatur dinamika peradaban manusia.¹ Melalui analisis historis dan empirisnya, Ibnu Khaldun mengonstruksi teori sosial yang menempatkan manusia, moralitas, dan lingkungan sosial sebagai faktor-faktor determinan dalam siklus kebangkitan dan kejatuhan masyarakat.² Teorinya ini menjadikannya pelopor ilmu sosial Islam sekaligus pendahulu bagi sosiologi modern.³

7.1.       Evolusi Masyarakat: Lahir, Berkembang, dan Runtuhnya Peradaban

Ibnu Khaldun memandang peradaban sebagai organisme hidup yang melalui siklus kelahiran (nashʾah), pertumbuhan (numūw), kematangan (istiwāʾ), dan kemunduran (inhithāṭ).⁴ Setiap peradaban lahir dari asabiyyah, yaitu solidaritas sosial yang memberi energi kolektif untuk membangun tatanan politik dan sosial.⁵ Ketika asabiyyah melemah akibat kemewahan dan korupsi moral, maka peradaban memasuki fase kemerosotan.⁶

Menurut Ibnu Khaldun, “kekuatan dan kemakmuran melahirkan kelemahan moral, dan kelemahan moral melahirkan kehancuran.”⁷ Pandangan ini menunjukkan bahwa sebab utama keruntuhan suatu peradaban bukan faktor eksternal, tetapi degradasi internal nilai-nilai etis dan sosial.⁸ Dalam konteks ini, teori peradaban Khaldunian menampilkan karakter moralistik: kemajuan sosial tidak dapat dipisahkan dari kualitas spiritual manusia.⁹

7.2.       Fungsi Ekonomi, Politik, dan Budaya dalam Kerangka Pragmatis

Ibnu Khaldun mengembangkan teori multifaktorial tentang struktur peradaban. Ia menempatkan ekonomi sebagai fondasi material dari masyarakat, politik sebagai sistem pengatur, dan budaya sebagai ekspresi moral kolektif.¹⁰ Namun, ketiga aspek ini saling berinteraksi dalam kerangka pragmatis—masing-masing berfungsi sejauh mendukung keberlangsungan sosial dan kemaslahatan umum (maṣlaḥah ʿāmmah).¹¹

Ekonomi, menurut Ibnu Khaldun, memiliki dimensi moral: kerja (kasb) bukan sekadar aktivitas produktif, tetapi juga wujud tanggung jawab sosial.¹² Ia menolak pandangan fatalistik tentang rezeki dan menegaskan pentingnya usaha rasional dalam menciptakan kesejahteraan.¹³ Sementara itu, politik berperan menjaga keadilan dan stabilitas, bukan untuk kekuasaan itu sendiri.¹⁴ Kekuasaan tanpa moralitas akan menimbulkan tirani dan mempercepat kehancuran peradaban.¹⁵

Budaya dan ilmu pengetahuan berfungsi sebagai sarana pemelihara ʿumrān.¹⁶ Ketika ilmu berkembang, maka masyarakat mencapai puncak peradabannya. Namun, ketika ilmu terlepas dari tujuan moral dan kemaslahatan sosial, maka degenerasi intelektual akan mengikuti.¹⁷ Dengan demikian, Ibnu Khaldun mengajukan konsep integratif tentang kemajuan, di mana ekonomi, politik, dan ilmu harus diarahkan kepada tujuan moral yang sama.¹⁸

7.3.       Sumbangan Ibnu Khaldun terhadap Embrio Ilmu Sosial Modern

Ibnu Khaldun sering disebut sebagai bapak sosiologi karena kontribusinya dalam menjelaskan hukum-hukum sosial melalui pendekatan empiris.¹⁹ Ia adalah pemikir pertama yang mengidentifikasi struktur sosial sebagai objek ilmiah yang dapat dianalisis secara rasional.²⁰ Kajiannya tentang asabiyyah, ekonomi, dan dinamika kekuasaan menjadikan Muqaddimah bukan hanya karya sejarah, tetapi juga teks teoritis yang menandai lahirnya ilmu sosial Islam.²¹

Berbeda dengan sejarawan tradisional yang hanya mencatat peristiwa, Ibnu Khaldun berusaha memahami pola umum yang mengatur peristiwa-peristiwa itu.²² Pendekatan ini melahirkan apa yang kini dikenal sebagai teori sistem sosial, di mana perubahan masyarakat dijelaskan melalui interaksi antara struktur dan agen.²³ Dalam konteks modern, pendekatan Khaldunian memiliki kesamaan konseptual dengan teori siklus peradaban Arnold Toynbee atau civilizational dynamics Oswald Spengler, meskipun keduanya muncul berabad-abad kemudian.²⁴

Selain itu, gagasan Ibnu Khaldun tentang kerja dan produksi mendahului prinsip dasar ekonomi klasik.²⁵ Ia menulis bahwa kemakmuran masyarakat bergantung pada distribusi hasil kerja yang adil dan keseimbangan antara konsumsi serta produksi.²⁶ Hal ini menunjukkan bahwa dalam kerangka ʿumrān, ekonomi bukan sekadar sistem material, tetapi bagian dari etika sosial.²⁷

7.4.       Keterkaitan antara Teori Peradaban dan Epistemologi Instrumental

Teori peradaban Ibnu Khaldun berakar pada epistemologi pragmatis-instrumental yang telah ia bangun sebelumnya.²⁸ Baginya, pengetahuan tidak hanya menjelaskan realitas sosial, tetapi juga berperan aktif dalam mengarahkan dinamika sejarah.²⁹ Ilmu berfungsi sebagai alat (instrumentum) bagi pembangunan peradaban; kebenaran suatu teori sosial diukur dari sejauh mana ia dapat menata masyarakat menuju keadilan dan kemaslahatan.³⁰

Keterkaitan antara pengetahuan dan peradaban ini menunjukkan pandangan teleologis Ibnu Khaldun tentang ilmu: ilmu harus memiliki orientasi sosial dan moral.³¹ Ia menolak pengetahuan yang steril dari tanggung jawab kemanusiaan, karena “ilmu tanpa amal adalah beban, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”³² Dengan demikian, teori peradaban Khaldunian bersifat fungsional—menyatukan aspek empiris, rasional, dan etis dalam satu sistem filosofis yang utuh.³³


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 101.

[2]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 185.

[3]                Arnold Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 347.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 110.

[5]                Rosenthal, The Muqaddimah, 115.

[6]                Cheddadi, Abdesselam, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 128.

[7]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 118.

[8]                Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 132.

[9]                Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 251.

[10]             Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 130.

[11]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 121.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 137.

[13]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 125.

[14]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 188.

[15]             Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 226.

[16]             Rosenthal, The Muqaddimah, 432.

[17]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 133.

[18]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 255.

[19]             Toynbee, A Study of History, 350.

[20]             Leaman, Oliver, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 197.

[21]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 190.

[22]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 132.

[23]             Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship, 135.

[24]             Toynbee, A Study of History, 352; Oswald Spengler, The Decline of the West (New York: Knopf, 1926), 89.

[25]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 141.

[26]             Rosenthal, The Muqaddimah, 143.

[27]             Osman, The Islamic Thought, 136.

[28]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 192.

[29]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 147.

[30]             Leaman, Classical Islamic Philosophy, 201.

[31]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 258.

[32]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 150.

[33]             Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 82.


8.           Kritik dan Perbandingan Filsafat

Meskipun pemikiran Ibnu Khaldun telah dipuji sebagai tonggak rasionalisme empiris dalam Islam, pandangan filosofisnya juga memunculkan berbagai perdebatan dan kritik.¹ Sebagai pemikir yang menolak spekulasi metafisik dan menekankan pendekatan fungsional terhadap ilmu dan masyarakat, Ibnu Khaldun sering dianggap melampaui kerangka filsafat klasik Islam.² Namun, di sisi lain, ia juga dikritik karena dianggap terlalu reduksionis dalam memahami realitas sosial dan karena kecenderungannya menafsirkan moralitas dalam kerangka kausalitas historis.³ Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis komparatif antara Ibnu Khaldun dan para filsuf besar lain seperti al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rushd, serta dibandingkan dengan pragmatisme modern untuk menilai posisi uniknya dalam peta filsafat Islam.⁴

8.1.       Kritik terhadap Idealisme dan Mistisisme Spekulatif

Ibnu Khaldun mengajukan kritik tajam terhadap para filsuf dan sufi yang menempatkan hakikat pengetahuan dalam dimensi metafisik yang tidak dapat diverifikasi.⁵ Ia menilai bahwa “para ahli hikmah terlalu jauh mencari kebenaran dalam alam ide, sementara realitas yang lebih dekat dan konkret justru terabaikan.”⁶ Pandangan ini jelas bertentangan dengan idealisme teoretis yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibn Sina, yang menempatkan akal aktif (ʿaql faʿʿāl) sebagai sumber kebenaran mutlak.⁷

Sebaliknya, Ibnu Khaldun menekankan bahwa kebenaran harus diturunkan dari pengalaman sosial dan empiris.⁸ Ia memandang bahwa setiap pengetahuan memiliki konteks historis dan sosial, sehingga tak ada bentuk pengetahuan yang benar secara mutlak tanpa memperhatikan kondisi masyarakat.⁹ Kritiknya terhadap mistisisme juga tampak dalam penilaiannya terhadap kaum sufi yang “mengabaikan hukum-hukum alam demi mencari penyatuan dengan Tuhan tanpa landasan rasional.”¹⁰ Dengan demikian, Ibnu Khaldun menolak model epistemologi transenden yang terlepas dari empirisme sosial.¹¹

Namun demikian, beberapa sarjana menilai kritik Ibnu Khaldun terlalu keras terhadap dimensi spiritual.¹² Syed Hossein Nasr, misalnya, berpendapat bahwa Khaldunian empiricism—meski revolusioner—cenderung mengabaikan aspek intuisi intelektual yang menjadi pilar epistemologi Islam klasik.¹³ Kritik ini menunjukkan adanya ketegangan antara semangat empiris Ibnu Khaldun dan tradisi intelektual teosofis yang menekankan hierarki pengetahuan spiritual.¹⁴

8.2.       Perbandingan dengan al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rushd

Dibandingkan dengan al-Farabi, yang menekankan struktur ideal negara dan hubungan antara filsafat serta wahyu, Ibnu Khaldun lebih bersifat realis dan historis.¹⁵ Jika al-Farabi membangun madīnah al-fāḍilah berdasarkan tatanan normatif, Ibnu Khaldun menjelaskan ʿumrān sebagai hasil interaksi dinamis antara manusia dan lingkungannya.¹⁶ Peradaban, bagi Ibnu Khaldun, bukanlah cita-cita moral abstrak, melainkan realitas sosial yang tunduk pada hukum perubahan.¹⁷

Sementara itu, al-Ghazali menempatkan pengetahuan dalam kerangka etis dan religius dengan menekankan hubungan langsung antara akal dan wahyu.¹⁸ Ibnu Khaldun setuju dengan dimensi moralitas pengetahuan, tetapi menolak metode intuisionis yang tidak dapat diuji secara empiris.¹⁹ Ia membangun rasionalitas religius yang bersifat fungsional: wahyu dan akal bekerja secara komplementer dalam memahami dunia sosial.²⁰

Dengan Ibn Rushd, Ibnu Khaldun memiliki kedekatan dalam hal komitmen terhadap rasionalitas dan kausalitas, namun berbeda dalam objek kajiannya.²¹ Ibn Rushd fokus pada relasi antara akal dan hukum kosmis, sedangkan Ibnu Khaldun mengalihkan rasionalitas tersebut ke ranah sosial dan historis.²² Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun meng-“sosiologisasi” filsafat Ibn Rushd dan menurunkannya ke level empiris yang dapat diamati.²³

8.3.       Dialog antara Pragmatisme Ibnu Khaldun dan Pragmatisme Barat

Terdapat sejumlah paralel menarik antara epistemologi Ibnu Khaldun dan pragmatisme modern, terutama dalam pemikiran John Dewey dan William James.²⁴ Keduanya sama-sama menekankan fungsi pengetahuan sebagai alat untuk memecahkan masalah manusia dan memperbaiki kehidupan sosial.²⁵ Namun, pragmatisme Ibnu Khaldun memiliki basis teologis yang kuat: kebenaran bersumber dari keteraturan Ilahi (sunan Allāh fī al-kawn), bukan dari relativisme manusia.²⁶

Ibnu Khaldun memandang pengetahuan sebagai alat yang diberikan Tuhan agar manusia mampu mengatur kehidupannya sesuai hukum alam dan moral.²⁷ Dalam hal ini, ia menolak pandangan relativistik William James yang mengukur kebenaran hanya berdasarkan kepuasan psikologis atau keberhasilan praktis.²⁸ Bagi Ibnu Khaldun, kegunaan sosial pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari kebenaran teologisnya.²⁹ Dengan demikian, epistemologi pragmatis-instrumentalnya bersifat teonomik, bukan sekularistik.³⁰

Namun demikian, para sarjana modern seperti Aziz al-Azmeh menilai bahwa kerangka Ibnu Khaldun justru membuka ruang bagi rasionalitas otonom, karena ia menempatkan hukum-hukum sosial sebagai manifestasi Tuhan yang dapat diakses melalui akal manusia.³¹ Pandangan ini menjadikan Ibnu Khaldun jembatan antara rasionalitas Islam dan empirisme modern—sebuah sintesis antara wahyu, rasio, dan realitas sosial.³²

8.4.       Respons terhadap Tuduhan Reduksionisme Sosial

Beberapa pengkritik modern menuduh bahwa pemikiran Ibnu Khaldun bersifat reduksionis karena menafsirkan fenomena moral dan spiritual semata-mata dalam kerangka sosial.³³ Akan tetapi, tuduhan ini dapat dianggap tidak sepenuhnya tepat.³⁴ Ibnu Khaldun memang menjelaskan perubahan moral dalam kaitannya dengan asabiyyah dan struktur sosial, tetapi ia tidak pernah meniadakan peran transendensi.³⁵ Justru, dalam kerangka teologisnya, hukum sosial adalah bagian dari kehendak Tuhan yang bekerja melalui sebab-sebab empiris.³⁶

Dengan demikian, pendekatan Ibnu Khaldun bukanlah reduksionisme sosial, melainkan realime teologis empiris: suatu pandangan bahwa realitas sosial adalah medan di mana kehendak Ilahi termanifestasi secara kausal dan dapat dipelajari melalui ilmu.³⁷ Ia menegaskan bahwa memahami hukum sosial berarti memahami sebagian dari kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam.³⁸ Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berhasil memadukan filsafat, teologi, dan sosiologi dalam satu sistem pemikiran yang koheren.³⁹


Footnotes

[1]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 195.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 205.

[3]                Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 140.

[4]                Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 137.

[5]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 72.

[6]                Ibid., 74.

[7]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 32.

[8]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 85.

[9]                Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 198.

[10]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 90.

[11]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 142.

[12]             Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 261.

[13]             Ibid., 263.

[14]             Nasr, Islamic Life and Thought (London: Allen and Unwin, 1981), 177.

[15]             Al-Farabi, Political Regime (Istanbul: IRCICA, 1986), 45.

[16]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 102.

[17]             Cheddadi, Abdesselam, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 139.

[18]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1957), 21.

[19]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 104.

[20]             Osman, The Islamic Thought, 145.

[21]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 178.

[22]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 202.

[23]             Leaman, Classical Islamic Philosophy, 209.

[24]             John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 54.

[25]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 67.

[26]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 107.

[27]             Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 84.

[28]             James, Pragmatism, 89.

[29]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 265.

[30]             Osman, The Islamic Thought, 148.

[31]             Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship, 140.

[32]             Toynbee, Arnold, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 356.

[33]             Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 230.

[34]             Rosenthal, Franz, Political Thought in Medieval Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1958), 236.

[35]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 109.

[36]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 146.

[37]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 208.

[38]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 268.

[39]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 149.


9.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis dalam pemikiran Ibnu Khaldun merupakan hasil dari integrasi antara tiga dimensi utama: rasionalitas empiris, kesadaran teologis, dan etika sosial.¹ Ia bukan sekadar ahli sejarah atau sosiolog, tetapi seorang filsuf yang berupaya membangun sistem pengetahuan yang menyatukan akal dan wahyu dalam kerangka fungsional dan realistis.² Melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun memperlihatkan bahwa filsafat tidak harus terjebak dalam spekulasi metafisik, melainkan dapat berfungsi sebagai perangkat untuk memahami dan memperbaiki kondisi manusia dalam sejarah.³ Dengan demikian, sintesis filsafatnya merupakan rasionalisme teologis-pragmatis yang menjembatani antara empirisme dan spiritualitas.⁴

9.1.       Integrasi antara Dimensi Teologis, Empiris, dan Sosial

Ibnu Khaldun membangun suatu epistemologi yang tidak menolak wahyu, tetapi menempatkannya dalam hubungan dialektis dengan akal dan pengalaman.⁵ Ia menganggap bahwa hukum-hukum sosial yang ditemukan melalui observasi adalah bagian dari sunan Allāh fī al-kawn—tatanan Ilahi dalam realitas duniawi.⁶ Dengan demikian, pengetahuan empiris tidak bertentangan dengan keimanan, melainkan memperkuatnya.⁷

Dalam kerangka sosial, sintesis ini terlihat dalam cara Ibnu Khaldun menjelaskan peradaban sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan melalui hukum-hukum sosial.⁸ Ia menulis bahwa “setiap transformasi sejarah adalah bagian dari rencana Ilahi yang dijalankan melalui sebab-sebab alami.”⁹ Dengan cara ini, ia menyatukan teologi dengan sosiologi, tanpa menafikan rasionalitas empiris.¹⁰

Selain itu, Ibnu Khaldun mengembangkan konsep manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual.¹¹ Akal memungkinkan manusia memahami pola sosial dan hukum kausalitas, sedangkan wahyu memberikan arah moral terhadap tindakan manusia.¹² Dalam perspektif ini, ilmu berfungsi ganda: menjelaskan realitas dan mengarahkan manusia menuju kebaikan.¹³

9.2.       Pragmatisme sebagai Bentuk Realisme Dinamis Islam

Salah satu kontribusi terbesar Ibnu Khaldun adalah penerapannya terhadap pragmatisme dalam kerangka Islam.¹⁴ Baginya, pengetahuan tidak bernilai jika tidak menghasilkan manfaat sosial atau moral.¹⁵ Pandangan ini tidak identik dengan utilitarianisme sekular, sebab nilai guna dalam sistem Khaldunian selalu terikat pada tujuan Ilahi (ghāyah ilāhiyyah).¹⁶

Ia menolak baik idealisme statis yang berfokus pada hakikat tetap maupun empirisme materialistis yang mengabaikan dimensi spiritual.¹⁷ Sebaliknya, Ibnu Khaldun menawarkan bentuk realisme dinamis—suatu pandangan bahwa realitas sosial bersifat konkret, berubah, dan tunduk pada hukum-hukum yang dapat diketahui melalui observasi serta refleksi moral.¹⁸ Dengan demikian, pragmatisme Ibnu Khaldun adalah alat untuk mencapai kesempurnaan sosial dalam batas kehendak Ilahi.¹⁹

Konsep ini menempatkan Ibnu Khaldun sebagai salah satu tokoh penting dalam tradisi Islamic humanism, karena ia memandang pengetahuan sebagai sarana untuk meningkatkan martabat manusia dalam masyarakat.²⁰ Bagi Ibnu Khaldun, filsafat sejati bukanlah kontemplasi abstrak, tetapi keterlibatan aktif dalam realitas sosial demi keadilan dan kemaslahatan.²¹

9.3.       Menuju Filsafat Sosial Islam yang Berbasis Aksi-Nilai

Melalui sistem pemikirannya, Ibnu Khaldun berhasil membangun kerangka filsafat sosial yang berbasis aksi dan nilai (action-value oriented philosophy).²² Ia menegaskan bahwa teori tanpa praksis adalah kemandulan intelektual, dan praksis tanpa nilai adalah kehampaan moral.²³ Oleh karena itu, filsafat harus menuntun tindakan manusia menuju pembentukan ʿumrān ṣāliḥ—peradaban yang berkeadilan dan beradab.²⁴

Dalam konteks ini, ilmu sosial Islam yang digagasnya tidak sekadar deskriptif, tetapi juga normatif.²⁵ Ia tidak hanya menjelaskan apa adanya masyarakat, tetapi juga mengajarkan bagaimana seharusnya masyarakat itu dibangun berdasarkan prinsip keseimbangan, kerja, dan solidaritas.²⁶ Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun mendahului model integratif ilmu-ilmu sosial modern yang menggabungkan analisis empiris dengan visi etis.²⁷

Filsafat sosial Khaldunian dengan demikian memancarkan sintesis antara fakta dan nilai (fact and value), antara ilmu dan amal, antara rasio dan iman.²⁸ Sistem ini tidak hanya relevan dalam konteks abad ke-14, tetapi juga menawarkan paradigma filosofis yang mendalam bagi rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer.²⁹

9.4.       Relevansi Sintesis Khaldunian bagi Filsafat Islam Kontemporer

Sintesis filosofis Ibnu Khaldun memberikan kerangka konseptual bagi pembangunan kembali filsafat Islam modern yang sering terpecah antara teologi normatif dan rasionalisme Barat.³⁰ Pemikir seperti Muhammad Iqbal dan Syed Naquib al-Attas kemudian melanjutkan semangat ini dengan mengintegrasikan empirisme dengan spiritualitas Islam.³¹ Iqbal, misalnya, memuji Ibnu Khaldun sebagai “pemikir Islam pertama yang memahami sejarah sebagai proses kreatif yang diarahkan oleh kehendak moral manusia di bawah hukum Tuhan.”³²

Relevansi sintesis Khaldunian terlihat dalam berbagai disiplin kontemporer: dalam epistemologi, ia menawarkan model integratif antara empirisme dan wahyu; dalam etika, ia menegaskan pentingnya tanggung jawab sosial ilmuwan; dan dalam politik, ia mengajarkan keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas.³³ Filsafat Ibnu Khaldun dengan demikian merupakan model integratif-civilizational paradigm, di mana pengetahuan, etika, dan masyarakat menyatu dalam satu kesadaran Ilahiah.³⁴

Dengan sintesis ini, Ibnu Khaldun memperlihatkan bahwa filsafat Islam tidak harus berkutat pada metafisika statis, tetapi dapat berkembang menjadi ilmu tentang realitas hidup manusia yang empiris, dinamis, dan bermoral.³⁵ Ia mengajarkan bahwa hakikat filsafat bukanlah pencarian spekulatif terhadap hakikat yang jauh, melainkan refleksi kritis dan kreatif terhadap kehidupan nyata sebagai manifestasi dari kebenaran Ilahi.³⁶


Footnotes

[1]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 210.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 212.

[3]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 112.

[4]                Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 152.

[5]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 120.

[6]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 86.

[7]                Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 272.

[8]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 125.

[9]                Ibid., 126.

[10]             Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 146.

[11]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 213.

[12]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 276.

[13]             Osman, The Islamic Thought, 153.

[14]             Oliver Leaman, Classical Islamic Philosophy, 215.

[15]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 132.

[16]             Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 145.

[17]             Nasr, Islamic Life and Thought (London: Allen and Unwin, 1981), 182.

[18]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 216.

[19]             Osman, The Islamic Thought, 155.

[20]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 156.

[21]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 150.

[22]             Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 238.

[23]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 139.

[24]             Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 279.

[25]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 150.

[26]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 218.

[27]             Oliver Leaman, Classical Islamic Philosophy, 218.

[28]             Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship, 147.

[29]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 92.

[30]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 158.

[31]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1934), 64.

[32]             Ibid., 67.

[33]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 283.

[34]             Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 94.

[35]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 221.

[36]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 142.


10.       Relevansi Kontemporer

Pemikiran Ibnu Khaldun tetap memiliki daya hidup dan relevansi yang luar biasa dalam konteks intelektual dan sosial kontemporer.¹ Di tengah krisis epistemologis, moral, dan peradaban global, konsep-konsep seperti ʿumrān, asabiyyah, dan hukum-hukum sosial yang ia rumuskan dalam Muqaddimah menghadirkan paradigma alternatif yang mampu menjembatani antara agama, ilmu, dan realitas sosial.² Relevansi pemikiran Ibnu Khaldun tidak terbatas pada ranah teori sosial Islam, tetapi juga pada rekonstruksi epistemologi, etika publik, dan politik pembangunan modern.³

10.1.    Penerapan Prinsip Pragmatis-Instrumental dalam Studi Sosial Modern

Dalam dunia akademik modern, pendekatan empiris Ibnu Khaldun telah menginspirasi metodologi ilmu sosial dan historiografi kritis.⁴ Prinsip pragmatis-instrumental-nya, yang menilai pengetahuan berdasarkan fungsinya dalam memperbaiki kehidupan sosial, sejalan dengan pendekatan critical realism dan sociological functionalism dalam ilmu kontemporer.⁵

Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa masyarakat tunduk pada hukum-hukum rasional dan empiris yang dapat diteliti tanpa menanggalkan nilai moral dan spiritual.⁶ Pandangan ini sangat relevan dalam konteks krisis metodologis modern, di mana ilmu sosial sering terjebak antara positivisme kering dan relativisme nilai.⁷ Dengan mengintegrasikan dimensi teologis dan empiris, epistemologi Khaldunian menawarkan keseimbangan antara fakta dan makna dalam penelitian sosial.⁸

Pendekatan ini telah diadopsi dalam teori pembangunan berkelanjutan dan kajian sosiologi Islam kontemporer, terutama dalam upaya mengaitkan nilai-nilai keagamaan dengan kebijakan publik.⁹ Dalam bidang ekonomi, misalnya, prinsip Ibnu Khaldun tentang kerja (kasb), keadilan, dan distribusi sosial menjadi inspirasi bagi teori ekonomi Islam modern.¹⁰

10.2.    Kontribusi terhadap Filsafat Ilmu dan Epistemologi Islam

Relevansi epistemologi Ibnu Khaldun terletak pada kemampuannya menawarkan sintesis antara wahyu, akal, dan pengalaman.¹¹ Ia memperlihatkan bahwa ilmu tidak harus sekular untuk menjadi empiris, dan tidak harus metafisis untuk bersifat spiritual.¹² Pendekatan integratif ini menjadi dasar bagi pembaharuan epistemologi Islam kontemporer, sebagaimana dikembangkan oleh para pemikir seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ziauddin Sardar.¹³

Dalam konteks modern, epistemologi Khaldunian dapat digunakan untuk mengatasi dikotomi ilmu agama dan ilmu dunia.¹⁴ Ia menolak pandangan bahwa kebenaran ilmiah berdiri terpisah dari nilai-nilai etis dan transenden.¹⁵ Oleh karena itu, paradigma Khaldunian mengajarkan bahwa ilmu harus diarahkan pada maṣlaḥah (kemaslahatan), bukan sekadar utility material.¹⁶

Selain itu, model pengetahuan Ibnu Khaldun yang berbasis pada rasionalitas empiris dan moralitas sosial dapat menjadi fondasi bagi Islamic philosophy of science.¹⁷ Dalam kerangka ini, pengetahuan dipahami sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan dan harmoni, bukan sekadar alat untuk eksploitasi atau dominasi alam.¹⁸ Dengan demikian, filsafat ilmu Islam dapat direvitalisasi dengan semangat pragmatis dan teonomik sebagaimana yang digagas oleh Ibnu Khaldun.¹⁹

10.3.    Relevansi Politik dan Peradaban dalam Konteks Globalisasi

Teori asabiyyah dan siklus peradaban Ibnu Khaldun memberikan kerangka analisis yang tajam untuk memahami dinamika politik global.²⁰ Dalam dunia yang ditandai oleh polarisasi ideologis, konflik identitas, dan krisis solidaritas, konsep asabiyyah mengajarkan pentingnya kesadaran kolektif, keadilan sosial, dan kohesi moral sebagai fondasi peradaban.²¹

Ibnu Khaldun memperingatkan bahwa peradaban akan hancur ketika elit politik kehilangan orientasi moral dan masyarakat terjebak dalam kemewahan material.²² Analisis ini menemukan pantulannya dalam realitas modern—mulai dari krisis demokrasi, korupsi, hingga degradasi nilai dalam masyarakat konsumtif.²³ Dalam konteks ini, teori sosial Ibnu Khaldun bukan hanya relevan, tetapi juga profetik, karena ia menggabungkan deskripsi ilmiah dengan peringatan moral.²⁴

Selain itu, model historis Ibnu Khaldun tentang ʿumrān dapat diterapkan untuk membaca globalisasi sebagai fenomena yang memiliki siklus: fase ekspansi, kejayaan, dan disintegrasi.²⁵ Relevansi ini membuat Ibnu Khaldun menjadi acuan penting dalam kajian geopolitik dan teori peradaban modern seperti karya Samuel Huntington maupun Immanuel Wallerstein.²⁶

10.4.    Reaktualisasi Nilai-Nilai Khaldunian untuk Dunia Islam Kontemporer

Dunia Islam modern menghadapi tantangan epistemologis dan sosial yang mirip dengan situasi pada masa Ibnu Khaldun: disintegrasi politik, lemahnya solidaritas sosial, dan ketergantungan pada model pengetahuan eksternal.²⁷ Dalam konteks ini, reaktualisasi pemikiran Khaldunian dapat menjadi langkah strategis menuju pembaruan peradaban Islam.²⁸

Nilai-nilai seperti asabiyyah, kerja keras, keadilan, dan keseimbangan antara ilmu dan moral perlu dihidupkan kembali sebagai basis reformasi sosial.²⁹ Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa kekuatan umat tidak bergantung pada dogma, tetapi pada kemampuan mengintegrasikan iman dengan kerja dan rasionalitas.³⁰ Pandangan ini relevan untuk membangun paradigma pembangunan Islam yang berakar pada nilai-nilai spiritual, bukan sekadar imitasi sistem sekuler.³¹

Lebih jauh lagi, pemikiran Ibnu Khaldun dapat membantu dunia Islam membangun kembali kesadaran historisnya.³² Ia menekankan pentingnya memahami sejarah bukan untuk nostalgia, tetapi sebagai cermin bagi perencanaan masa depan.³³ Dalam hal ini, Muqaddimah bukan hanya kitab masa lalu, tetapi manual konseptual bagi rekonstruksi peradaban Islam abad ke-21.³⁴


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 221.

[2]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 110.

[3]                Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 160.

[4]                Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 153.

[5]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 57.

[6]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 124.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 89.

[8]                Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 285.

[9]                Fathi Osman, The Islamic Thought, 162.

[10]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 140.

[11]             Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 225.

[12]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 287.

[13]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 96.

[14]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 155.

[15]             Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 151.

[16]             Al-Attas, Islam and Secularism, 90.

[17]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 289.

[18]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 164.

[19]             Leaman, Classical Islamic Philosophy, 224.

[20]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 145.

[21]             Toynbee, Arnold, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 359.

[22]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 118.

[23]             Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 241.

[24]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 228.

[25]             Spengler, Oswald, The Decline of the West (New York: Knopf, 1926), 103.

[26]             Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 1996), 48.

[27]             Osman, The Islamic Thought, 166.

[28]             Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 98.

[29]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 147.

[30]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 291.

[31]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 168.

[32]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 158.

[33]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 150.

[34]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 230.


11.       Kesimpulan

Pemikiran Ibnu Khaldun merepresentasikan salah satu puncak sintesis intelektual dalam sejarah filsafat Islam. Ia berhasil memadukan antara rasionalitas empiris, dimensi teologis, dan orientasi moral dalam satu sistem pemikiran yang koheren dan fungsional.¹ Melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun tidak hanya membangun teori sejarah atau sosiologi, tetapi merumuskan filsafat sosial Islam yang menempatkan manusia sebagai subjek rasional sekaligus makhluk spiritual yang hidup dalam tatanan Ilahi.² Sistemnya menghadirkan keseimbangan antara realitas empiris dan transendensi, antara hukum sosial dan kehendak Tuhan.³

Dari perspektif epistemologi, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa pengetahuan adalah instrumen, bukan tujuan akhir.⁴ Nilainya terletak pada kemampuannya menjelaskan dan memperbaiki kondisi manusia serta masyarakat.⁵ Epistemologi ini melahirkan paradigma pragmatis-instrumental, di mana ilmu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai maṣlaḥah (kemaslahatan umum) dan kemajuan peradaban (ʿumrān).⁶ Ia menolak dualisme antara ilmu agama dan ilmu dunia, menegaskan bahwa keduanya adalah bagian dari satu kesatuan ontologis dalam kehendak Tuhan.⁷

Dalam bidang ontologi sosial, Ibnu Khaldun memandang masyarakat sebagai organisme hidup yang tunduk pada hukum-hukum objektif.⁸ Asabiyyah menjadi energi eksistensial yang menggerakkan sejarah dan membentuk siklus kehidupan peradaban.⁹ Dengan demikian, realitas sosial bersifat dinamis, dan manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memahami serta mengelolanya.¹⁰ Ontologi Khaldunian tidak bersifat deterministik; ia membuka ruang bagi kehendak bebas manusia sebagai mitra dalam kehendak Ilahi.¹¹

Aksiologi pemikiran Ibnu Khaldun berpijak pada pandangan bahwa ilmu dan moralitas harus bersinergi dalam membangun masyarakat beradab.¹² Ia menolak pengetahuan yang steril dari nilai, sebagaimana menolak moralitas yang buta terhadap realitas.¹³ Dalam konteks ini, pengetahuan menjadi instrumen etis—alat untuk membangun keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial.¹⁴

Dari segi metodologi, Ibnu Khaldun menegaskan pentingnya observasi, verifikasi, dan analisis kausal dalam memahami sejarah.¹⁵ Ia menolak mitos, dogma, dan taklid, menggantinya dengan kritik historis dan empirisme rasional.¹⁶ Pendekatan ini tidak hanya menandai lahirnya scientia socialis dalam Islam, tetapi juga membuka jalan bagi tradisi ilmiah modern yang berbasis bukti dan refleksi moral.¹⁷

Pada level filosofis, sintesis Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa filsafat Islam dapat bersifat dinamis dan progresif tanpa kehilangan basis teologisnya.¹⁸ Ia membuktikan bahwa rasionalitas tidak harus bertentangan dengan wahyu, dan empirisme tidak harus mengarah pada sekularisme.¹⁹ Dalam pandangannya, seluruh aspek realitas—alam, sejarah, dan masyarakat—adalah cerminan dari keteraturan Ilahi (sunan Allāh fī al-kawn) yang dapat dipahami melalui akal.²⁰

Relevansi pemikiran Ibnu Khaldun di era kontemporer semakin nyata.²¹ Di tengah fragmentasi pengetahuan dan krisis moral global, sistem Khaldunian menawarkan paradigma integratif yang menyatukan ilmu, nilai, dan tindakan.²² Dalam konteks pembangunan peradaban Islam modern, pemikirannya memberikan dasar filosofis untuk rekonstruksi epistemologi yang berorientasi pada kemaslahatan manusia.²³

Dengan demikian, aliran Pragmatis-Instrumental yang diwakili oleh Ibnu Khaldun merupakan bentuk filsafat Islam yang paling historis dan kontekstual.²⁴ Ia tidak hanya berbicara tentang hakikat pengetahuan, tetapi juga tentang tanggung jawab manusia terhadap realitas sosial dan moralnya.²⁵ Melalui sintesis rasional, empiris, dan teologis, Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa filsafat Islam bukanlah warisan masa lalu yang beku, melainkan sistem hidup yang terus relevan untuk menjawab tantangan zaman.²⁶


Footnotes

[1]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin, 1957), 230.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 227.

[3]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 150.

[4]                Ibid., 51.

[5]                Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 172.

[6]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 92.

[7]                Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 295.

[8]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 105.

[9]                Ibid., 118.

[10]             Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 158.

[11]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 233.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 163.

[13]             Oliver Leaman, Classical Islamic Philosophy, 228.

[14]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 125.

[15]             Ibid., 76.

[16]             Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern Scholarship (London: Routledge, 1982), 154.

[17]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 298.

[18]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 174.

[19]             Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 100.

[20]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 132.

[21]             Toynbee, Arnold, A Study of History (London: Oxford University Press, 1934), 361.

[22]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 301.

[23]             Al-Attas, Islam and Secularism, 94.

[24]             Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, 236.

[25]             Cheddadi, Ibn Khaldun, 161.

[26]             Fathi Osman, The Islamic Thought, 176.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and secularism. Kuala Lumpur: ABIM.

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Azmeh, A. (1982). Ibn Khaldun in modern scholarship. London: Routledge.

Al-Farabi. (1968). Ara’ ahl al-madinah al-fadilah. Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Farabi. (1986). Political regime. Istanbul: IRCICA.

Al-Ghazali. (1957). Ihya’ ‘ulum al-din. Cairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Jabiri, M. A. (1989). Bunyah al-‘aql al-‘arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah.

Al-Jabiri, M. A. (1990). Naqd al-‘aql al-‘arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah.

Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Cheddadi, A. (2006). Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien de la civilisation musulmane. Paris: Gallimard.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Chicago: Open Court.

Dewey, J. (1929). The quest for certainty. New York: Minton, Balch & Company.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam: The expansion of Islam in the middle periods (Vol. 2). Chicago: University of Chicago Press.

Idris, H. R. (1962). La Berbérie orientale sous les Hafsides. Paris: Adrien Maisonneuve.

Iqbal, M. (1934). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-tahafut (S. van den Bergh, Trans.). London: Luzac.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. New York: Longmans, Green, and Co.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Mahdi, M. (1957). Ibn Khaldun’s philosophy of history. London: George Allen and Unwin.

Nasr, S. H. (1964). An introduction to Islamic cosmological doctrines. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought. London: Allen and Unwin.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Osman, F. (1998). The Islamic thought: Reform and renewal. Los Angeles: MVI Publications.

Rosenthal, F. (1958). Political thought in medieval Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Spengler, O. (1926). The decline of the West. New York: Knopf.

Toynbee, A. (1934). A study of history. London: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar