Aliran Pragmatis-Instrumental
Analisis Epistemologis, Sosial, dan Historis Pemikiran
Ibnu Khaldun
Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran Pragmatis-Instrumental
dalam filsafat Islam yang diwujudkan dalam pemikiran Ibnu Khaldun
(1332–1406 M), melalui analisis historis, epistemologis, dan aksiologis
terhadap karya monumentalnya al-Muqaddimah. Ibnu Khaldun dipahami bukan
sekadar sebagai sejarawan atau sosiolog, melainkan sebagai filsuf yang
membangun sistem pengetahuan integratif yang menyatukan akal, pengalaman
empiris, dan nilai teologis. Melalui pendekatan pragmatis-instrumental,
pengetahuan (ʿilm) tidak dianggap sebagai tujuan akhir, melainkan
sebagai alat (instrumentum) untuk memahami, menata, dan memperbaiki
realitas sosial (ʿumrān). Epistemologi ini menekankan fungsi sosial
ilmu, rasionalitas empiris, serta relevansi moral dalam kerangka maṣlaḥah
(kemaslahatan umum).
Kajian ini menunjukkan bahwa ontologi sosial Ibnu
Khaldun berpijak pada konsep ʿumrān sebagai entitas dinamis dan asabiyyah
sebagai prinsip eksistensial yang menjelaskan siklus kebangkitan dan keruntuhan
peradaban. Secara aksiologis, ilmu berfungsi untuk menegakkan keadilan dan
keseimbangan sosial, sementara secara metodologis, Ibnu Khaldun menegaskan
pentingnya observasi empiris, verifikasi rasional, dan analisis kausal
dalam memahami fenomena sejarah. Melalui sintesis antara dimensi teologis,
empiris, dan sosial, Ibnu Khaldun berhasil mengembangkan filsafat sosial
Islam yang humanistik dan realistis, sekaligus menawarkan paradigma
epistemologis yang relevan bagi rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam
kontemporer.
Secara konseptual, artikel ini menegaskan bahwa
aliran Pragmatis-Instrumental Ibnu Khaldun menampilkan corak realisme
dinamis Islam, yang menolak spekulasi metafisik murni sekaligus menghindari
empirisme sekuler. Dalam konteks modern, pemikirannya memberikan landasan
filosofis untuk integrasi antara ilmu, nilai, dan tindakan dalam
pembangunan peradaban Islam. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Khaldun menjadi
salah satu model paling signifikan bagi revitalisasi filsafat Islam yang
kontekstual, rasional, dan berbasis kemaslahatan sosial.
Kata Kunci: Ibnu Khaldun; Pragmatis-Instrumental; Filsafat
Islam; Epistemologi Sosial; Asabiyyah; ʿUmrān; Kemaslahatan; Filsafat Ilmu
Islam.
PEMBAHASAN
Aliran Pragmatis-Instrumental dalam Filsafat Islam
1.          
Pendahuluan
Filsafat Islam tidak hanya merupakan produk
rasionalitas metafisik yang diwarisi dari Yunani, tetapi juga hasil dialektika
antara wahyu, akal, dan realitas sosial-historis umat Islam. Dalam kerangka
ini, Ibnu Khaldun (1332–1406 M) menempati posisi yang unik dan penting. Ia
tidak hanya dikenal sebagai sejarawan dan sosiolog, tetapi juga sebagai seorang
filsuf yang mengembangkan corak berpikir yang dapat disebut sebagai pragmatis-instrumental—yakni
pendekatan yang menilai pengetahuan berdasarkan fungsi dan kegunaannya dalam
kehidupan sosial serta pembentukan peradaban manusia.¹ Dengan demikian,
pemikiran Ibnu Khaldun membuka horizon baru dalam filsafat Islam yang
berorientasi empiris, dinamis, dan fungsional, berbeda dari arus utama
metafisika skolastik atau teosofi mistik yang dominan pada masanya.²
Secara historis, kemunculan gagasan-gagasan Ibnu
Khaldun tidak dapat dilepaskan dari situasi krisis sosial dan politik dunia
Islam pada abad ke-14 M, terutama di kawasan Maghrib dan Andalusia.³
Disintegrasi politik, kemunduran ekonomi, serta kemerosotan moral dan
intelektual masyarakat mendorong Ibnu Khaldun untuk mencari dasar rasional-empiris
bagi pemahaman sejarah dan masyarakat.⁴ Dalam konteks inilah Muqaddimah-nya
menjadi tonggak revolusioner: ia bukan sekadar pendahulu ilmu sejarah, tetapi
juga merupakan teks filsafat sosial yang mendasarkan pengetahuan pada
keteraturan empiris dan kausalitas duniawi (sunan al-kawn).⁵
Pendekatan pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun
dapat dipahami sebagai upaya menjembatani antara dua kutub besar pemikiran
Islam: teologis-normatif di satu sisi dan rasional-filosofis di sisi lain. Bagi
Ibnu Khaldun, pengetahuan tidak bersifat kontemplatif semata, tetapi memiliki
nilai praktis sebagai alat untuk memahami dinamika sosial dan membangun tatanan
peradaban.⁶ Dengan demikian, epistemologi Khaldunian berorientasi pada kegunaan
(utility), bukan sekadar pada kebenaran abstrak. Hal ini mendekati
semangat pragmatisme modern yang kemudian dikembangkan oleh Charles S. Peirce
dan John Dewey, meskipun dalam konteks ontologis dan teologis yang berbeda.⁷
Secara filosofis, kajian ini penting karena
menampilkan Ibnu Khaldun bukan hanya sebagai pelopor sosiologi empiris, tetapi
juga sebagai representasi aliran filsafat Islam yang memadukan pragmatisme dan
instrumentalisme dengan dimensi teologis dan moral.⁸ Dengan membaca
pemikirannya dalam kerangka aliran Pragmatis-Instrumental, kita dapat
menafsirkan kembali epistemologi Islam dari perspektif fungsional, yang
menempatkan ilmu sebagai sarana pembentukan ‘umrān (peradaban) dan
kesejahteraan manusia.⁹
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam
landasan ontologis, epistemologis, aksiologis, dan metodologis dari aliran
pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun. Pendekatan yang digunakan bersifat
historis-hermeneutik, dengan menafsirkan teks Muqaddimah dan karya-karya
sekunder dalam konteks genealogi intelektual Islam serta perbandingannya dengan
filsafat Barat modern. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat dihasilkan
sintesis filosofis yang menunjukkan relevansi pemikiran Ibnu Khaldun terhadap
problem pengetahuan, masyarakat, dan moralitas kontemporer.¹⁰
Footnotes
[1]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 45–47.
[2]               
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql
al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989), 224.
[3]               
Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship
(London: Routledge, 1982), 13–16.
[4]               
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 72–76.
[5]               
Rosenthal, The Muqaddimah, 72–74.
[6]               
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 59.
[7]               
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 18–20.
[8]               
Arkoun, Mohammed, Pour une critique de la raison
islamique (Paris: Maisonneuve et Larose, 1984), 132.
[9]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 65.
[10]            
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 103–106.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
Pemikiran Ibnu Khaldun tidak muncul dalam kevakuman
intelektual; ia merupakan hasil dari dialektika panjang antara tradisi keilmuan
Islam dan realitas sosial-politik yang kompleks pada abad ke-14 M.¹ Dalam
konteks sejarahnya, dunia Islam sedang berada dalam masa transisi besar:
pusat-pusat intelektual seperti Baghdad telah runtuh, sementara dinasti-dinasti
di wilayah Maghrib dan Andalusia tengah berjuang mempertahankan eksistensinya.²
Ibnu Khaldun lahir di Tunis pada tahun 1332 M, di tengah suasana
ketidakstabilan politik dan fragmentasi sosial yang melanda dunia Islam bagian
barat.³ Kondisi inilah yang kemudian membentuk kesadarannya akan pentingnya ʿumrān
(peradaban) dan asabiyyah (solidaritas sosial) sebagai dasar bagi
keberlangsungan dan kehancuran masyarakat.⁴
2.1.      
Konteks Sosial-Politik
Maghrib dan Mashriq
Pada abad ke-14, kawasan Maghrib (Afrika Utara)
mengalami dinamika sosial yang sangat intens. Persaingan antara dinasti
Hafsiyah, Marinid, dan Zayyanid menciptakan ketidakstabilan politik
berkepanjangan.⁵ Ibnu Khaldun yang hidup di tengah pusaran politik tersebut
memiliki pengalaman langsung dengan dunia birokrasi dan kekuasaan, sehingga
memahami secara empiris sifat pragmatis manusia dalam mempertahankan struktur
sosial.⁶ Pengalamannya sebagai diplomat dan pejabat negara memberinya pandangan
realistis tentang bagaimana kepentingan politik, ekonomi, dan moral berkelindan
dalam membentuk sejarah peradaban.⁷
Berbeda dengan Mashriq (Timur Islam) yang masih
mempertahankan tradisi teologis dan filsafat rasional dalam corak skolastik,
wilayah Maghrib cenderung mengembangkan pendekatan empiris dan sosiologis.⁸ Hal
ini karena masyarakat Maghrib hidup dalam kondisi sosial yang lebih keras dan
mobil, di mana kekuasaan bergantung pada solidaritas kesukuan.⁹ Dalam konteks
ini, gagasan Ibnu Khaldun tentang asabiyyah tidak hanya bersifat
sosiologis, tetapi juga merupakan refleksi filosofis tentang dasar ontologis
kehidupan manusia yang berkelompok.¹⁰
2.2.      
Pengaruh Teologis,
Sufistik, dan Rasionalistik
Ibnu Khaldun tumbuh dalam lingkungan intelektual
yang kaya dengan tradisi teologis (kalām) dan mistik (taṣawwuf).
Ia mempelajari ajaran-ajaran al-Ashʿari dan al-Ghazali, tetapi kemudian
mengembangkan sikap kritis terhadap spekulasi teologis yang dianggapnya tidak
memiliki landasan empiris.¹¹ Dalam Muqaddimah, ia menegaskan bahwa banyak
sejarawan dan ahli kalam telah terjebak dalam “kesalahan interpretasi sebab
akibat” karena terlalu mengandalkan rasio spekulatif tanpa memperhatikan
data empiris.¹²
Meskipun mengkritik mistisisme, Ibnu Khaldun tetap
mengakui dimensi spiritual dalam realitas sosial.¹³ Ia melihat moralitas dan
keimanan sebagai energi pengikat dalam struktur asabiyyah. Dalam hal
ini, dapat dikatakan bahwa ia menyintesiskan antara etika sufistik dengan
rasionalitas empiris.¹⁴
Sementara dari tradisi rasionalistik, terutama pengaruh
Aristoteles dan Ibn Rushd, Ibnu Khaldun mewarisi semangat rasional dan analisis
kausalitas.¹⁵ Namun berbeda dari Ibn Rushd yang menempatkan rasio sebagai jalan
menuju kebenaran universal, Ibnu Khaldun memposisikan rasio sebagai alat (instrumentum)
untuk memahami realitas sosial yang konkret dan berubah.¹⁶ Di sinilah letak
pergeseran epistemologis dari rasionalisme teoretis menuju instrumentalisme
pragmatis.
2.3.      
Relasi dengan Tradisi
Empirisme dan Realisme Islam Klasik
Genealogi intelektual Ibnu Khaldun juga dapat
ditelusuri ke arah tradisi empirisme dalam filsafat Islam. Tokoh-tokoh seperti
al-Razi, Ibn Sina, dan al-Biruni telah memperkenalkan pentingnya observasi dan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan.¹⁷ Namun, Ibnu Khaldun melangkah lebih
jauh dengan menerapkan prinsip tersebut pada realitas sosial dan sejarah
manusia.¹⁸ Ia memandang sejarah sebagai laboratorium empiris bagi ilmu
pengetahuan—suatu pendekatan yang kemudian menjadi dasar bagi lahirnya
sosiologi modern.¹⁹
Selain itu, Ibnu Khaldun juga mengembangkan bentuk realisme
dinamis, di mana realitas sosial dianggap memiliki pola-pola objektif yang
dapat dipahami melalui rasio, namun tetap bersifat berubah sesuai konteks.²⁰
Realitas bagi Ibnu Khaldun tidak statis, melainkan tunduk pada hukum-hukum
perubahan dan kausalitas sosial.²¹
2.4.      
Pembentukan Kerangka
Pragmatis-Instrumental dari Pengalaman Sejarah
Dari seluruh pengalaman hidupnya—sebagai ulama,
pejabat, diplomat, dan pengasingan intelektual di Qalʿat Banu Salamah—Ibnu
Khaldun membentuk pandangan dunia yang sangat empiris dan fungsional.²² Ia
melihat pengetahuan sebagai alat untuk memahami, mengatur, dan menata
masyarakat.²³ Dalam konteks inilah filsafatnya menjadi pragmatis: kebenaran
tidak hanya diukur dari kesesuaian dengan realitas metafisik, tetapi dari
keberhasilannya menjelaskan dan memperbaiki kondisi sosial.²⁴
Dengan demikian, landasan historis dan
genealogis pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa aliran Pragmatis-Instrumental
dalam filsafat Islam lahir dari kombinasi antara pengalaman empiris, tradisi
intelektual Islam klasik, dan refleksi kritis terhadap realitas sosial.²⁵ Ia
menandai peralihan dari filsafat yang bersifat kontemplatif menuju filsafat
yang aktif dan terlibat dalam realitas manusia.²⁶
Footnotes
[1]               
Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship
(London: Routledge, 1982), 21.
[2]               
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam,
Vol. 2: The Expansion of Islam in the Middle Periods (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 231.
[3]               
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 14.
[4]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967),
89.
[5]               
H. R. Idris, La Berbérie orientale sous les
Hafsides (Paris: Adrien Maisonneuve, 1962), 301–305.
[6]               
Walter Fischel, “Ibn Khaldun in Egypt,” Journal
of the American Oriental Society 57, no. 3 (1937): 338.
[7]               
Cheddadi, Ibn Khaldun, 65–67.
[8]               
Muhammad Abed al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 187.
[9]               
Rosenthal, The Muqaddimah, 103.
[10]            
Franz Rosenthal, Political Thought in Medieval
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1958), 219.
[11]            
Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi,
233–236.
[12]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 72–74.
[13]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 117.
[14]            
Syed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 193.
[15]            
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 168.
[16]            
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 98–100.
[17]            
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 1998), 145.
[18]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
121.
[19]            
Arnold Toynbee, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 322.
[20]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam,
224.
[21]            
Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship,
89–90.
[22]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 112.
[23]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 143.
[24]            
John Dewey, The Quest for Certainty (New
York: Minton, Balch & Company, 1929), 41–42.
[25]            
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 105.
[26]            
Mohammed Arkoun, Pour une critique de la raison
islamique (Paris: Maisonneuve et Larose, 1984), 137.
3.          
Ontologi
Sosial dalam Pemikiran Ibnu Khaldun
Ontologi sosial Ibnu Khaldun berangkat dari
pandangan bahwa realitas manusia tidak dapat dipahami secara terpisah dari
dimensi sosialnya.¹ Ia menolak pandangan atomistik yang melihat individu
sebagai entitas terisolasi, dan sebaliknya menegaskan bahwa eksistensi manusia
hanya bermakna dalam konteks kolektivitas yang disebut ʿumrān—yakni
kehidupan sosial yang terorganisir dan dinamis.² Bagi Ibnu Khaldun, ʿumrān
bukan sekadar struktur sosial, melainkan wujud eksistensial yang menegaskan
hakikat manusia sebagai makhluk sosial (madani bi al-ṭabʿ).³ Dengan
demikian, filsafatnya mengandung basis ontologis yang realistis dan relasional:
realitas sosial adalah fakta keberadaan yang aktual, empiris, dan sekaligus
bernilai moral.⁴
3.1.      
Hakikat Realitas Sosial
sebagai Entitas Dinamis (ʿUmrān)
Konsep ʿumrān menempati posisi sentral dalam
sistem pemikiran Ibnu Khaldun. Ia menggambarkannya sebagai jaringan hubungan
yang menumbuhkan kebudayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.⁵ Dalam pandangan ini,
masyarakat memiliki hukum-hukum objektif (sunan al-kawn) yang mengatur
pertumbuhan dan kemunduran peradaban.⁶ Pandangan tersebut menegaskan bahwa
realitas sosial memiliki ontologi yang otonom dan dapat dipelajari secara
ilmiah, tanpa harus selalu dijelaskan melalui intervensi metafisik.⁷
Namun, ontologi sosial Ibnu Khaldun tidak bersifat
materialistis. ʿUmrān bagi beliau bukanlah sekadar kumpulan individu
atau struktur ekonomi, tetapi sebuah totalitas organis di mana aspek spiritual,
moral, dan material saling berkelindan.⁸ Realitas sosial bukan hasil
mekanistik, melainkan proses historis yang mencerminkan kehendak Ilahi dalam dinamika
manusia.⁹ Dengan demikian, ʿumrān menjadi medan di mana manusia
mewujudkan potensi eksistensialnya sebagai khalifah di bumi.¹⁰
3.2.      
Konsep Asabiyyah sebagai
Prinsip Eksistensial Masyarakat
Dalam ontologi sosial Ibnu Khaldun, asabiyyah
berfungsi sebagai energi penggerak peradaban.¹¹ Istilah ini tidak hanya mengacu
pada solidaritas kesukuan, tetapi juga pada kekuatan ontologis yang menyatukan
manusia dalam struktur sosial tertentu.¹² Ia menulis bahwa asabiyyah
adalah “daya yang membuat suatu kelompok mampu bertahan, berkembang, dan
menegakkan kekuasaan.”¹³ Dengan demikian, asabiyyah tidak sekadar
konsep sosiologis, melainkan metafisika sosial yang menjelaskan bagaimana
realitas kolektif terbentuk, bertahan, dan berubah.
Ibnu Khaldun melihat asabiyyah sebagai
bentuk energi moral dan spiritual yang menjiwai tatanan sosial.¹⁴ Ia bersifat
temporer dan historis: ketika semangat solidaritas melemah, maka peradaban pun
akan mengalami disintegrasi.¹⁵ Karena itu, keberlangsungan masyarakat
tergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan antara asabiyyah (energi
sosial) dan ʿaql (rasionalitas).¹⁶ Dengan kerangka ini, Ibnu Khaldun
secara ontologis memandang masyarakat sebagai organisme hidup yang memiliki
siklus kelahiran, perkembangan, dan kematian.¹⁷
3.3.      
Hubungan antara Manusia,
Masyarakat, dan Sejarah
Bagi Ibnu Khaldun, manusia adalah makhluk yang
kodratnya memerlukan kebersamaan, sehingga masyarakat muncul sebagai
konsekuensi ontologis dari fitrah manusia.¹⁸ Hubungan antara manusia dan
masyarakat bersifat simbiotik: individu tidak dapat hidup tanpa struktur
sosial, dan struktur sosial tidak dapat bertahan tanpa individu yang
berpartisipasi.¹⁹ Dalam konteks ini, sejarah bukan sekadar narasi peristiwa,
melainkan ekspresi konkret dari dinamika ontologis manusia dalam masyarakat.²⁰
Sejarah, menurut Ibnu Khaldun, memiliki hukum-hukum
sebab-akibat yang serupa dengan hukum alam.²¹ Oleh karena itu, ia berpendapat
bahwa pengetahuan tentang sejarah harus bersandar pada pengamatan terhadap
realitas sosial, bukan pada mitos atau dogma.²² Ontologi sosialnya dengan
demikian melampaui sekadar filsafat spekulatif: ia menjadi dasar bagi
epistemologi empiris yang menafsirkan fakta sosial secara rasional dan
teleologis.²³
3.4.      
Kesalingterkaitan antara
Kehendak Ilahi dan Determinasi Sosial
Meskipun menekankan kausalitas sosial, Ibnu Khaldun
tidak mengabaikan peran Tuhan dalam sejarah.²⁴ Ia memandang hukum-hukum sosial
sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi yang bekerja melalui sebab-sebab
alamiah.²⁵ Dalam pandangan ini, sunan Allāh fī al-kawn (hukum-hukum
Tuhan di alam) adalah prinsip ontologis yang menjamin keteraturan realitas
sosial.²⁶ Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara teologi dan sosiologi,
melainkan relasi hierarkis di mana kehendak Ilahi menjadi dasar bagi
rasionalitas empiris manusia.²⁷
Pandangan ini menghasilkan suatu teologi sosial
empiris: manusia bertanggung jawab untuk memahami dan mengelola dunia
sosialnya melalui ilmu dan tindakan, tetapi tetap menyadari bahwa seluruh
tatanan sosial berada dalam lingkup kehendak Tuhan.²⁸ Di sini tampak bahwa
ontologi Ibnu Khaldun bersifat integratif—menggabungkan dimensi metafisik,
sosial, dan historis dalam satu sistem koheren yang menjelaskan realitas
manusia secara menyeluruh.²⁹
Dengan demikian, ontologi sosial Ibnu Khaldun
menghadirkan visi filosofis yang khas: manusia adalah makhluk historis yang
keberadaannya bermakna melalui partisipasi dalam masyarakat dan sejarah,
sementara realitas sosial itu sendiri merupakan cerminan dari keteraturan Ilahi
yang dapat dipahami secara empiris dan rasional.³⁰
Footnotes
[1]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 45.
[2]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 76–78.
[3]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 89.
[4]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 171.
[5]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 89–90.
[6]               
Rosenthal, The Muqaddimah, 101.
[7]               
Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship
(London: Routledge, 1982), 98.
[8]               
Syed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 197.
[9]               
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 123.
[10]            
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 110.
[11]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 117.
[12]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
115.
[13]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 118.
[14]            
Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le théoricien
de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 95–97.
[15]            
Arnold Toynbee, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 331.
[16]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 120.
[17]            
Al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi (Beirut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 199.
[18]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 48.
[19]            
Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 174.
[20]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
135.
[21]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1958), 228.
[22]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 75.
[23]            
Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship,
107.
[24]            
Nasr, Islamic Cosmological Doctrines, 203.
[25]            
Osman, The Islamic Thought, 113.
[26]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 126.
[27]            
Arkoun, Mohammed, Pour une critique de la raison
islamique (Paris: Maisonneuve et Larose, 1984), 139.
[28]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 65.
[29]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
141.
[30]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 130.
4.          
Epistemologi
Pragmatis-Instrumental
Epistemologi Ibnu Khaldun berakar pada pemahaman
bahwa pengetahuan (ʿilm) tidak berdiri sendiri sebagai abstraksi
intelektual, tetapi berfungsi sebagai instrumen untuk memahami dan menata
realitas sosial.¹ Dalam pandangan ini, pengetahuan tidak diukur berdasarkan
validitas logis semata, melainkan melalui kegunaannya (utility) dalam
menjelaskan dan memecahkan persoalan kehidupan manusia.² Konsepsi ini menandai
pergeseran dari epistemologi spekulatif menuju paradigma pragmatis-instrumental,
di mana kebenaran dianggap bermakna sejauh ia memiliki daya guna praktis dalam
konteks sosial dan historis.³
4.1.      
Pengetahuan sebagai
Instrumen bagi Keberlangsungan Sosial
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa manusia memperoleh
pengetahuan karena kebutuhan eksistensialnya sebagai makhluk sosial.⁴
Pengetahuan timbul dari interaksi manusia dengan lingkungannya dan berkembang
seiring dengan kemajuan peradaban.⁵ Dalam Muqaddimah, ia menyatakan
bahwa “ilmu adalah hasil pengalaman sosial dan politik manusia yang tumbuh
bersama kemajuan masyarakat.”⁶ Dengan demikian, ilmu tidak bersifat
kontemplatif atau metafisik semata, tetapi merupakan produk praksis yang
melayani kebutuhan kehidupan kolektif.
Epistemologi Khaldunian ini menempatkan pengetahuan
sebagai sarana bagi ʿumrān (peradaban).⁷ Ilmu memiliki fungsi ganda:
pertama, sebagai alat memahami hukum-hukum sosial (sunan al-kawn al-ijtimaʿi);
kedua, sebagai perangkat untuk menjaga keseimbangan moral dan spiritual
masyarakat.⁸ Oleh karena itu, epistemologi Ibnu Khaldun bersifat
integratif—menggabungkan rasionalitas empiris dengan nilai-nilai etis dan
religius.⁹
4.2.      
Konsep ʿIlm dan Fungsi
Praktisnya dalam Muqaddimah
Dalam sistem pemikiran Ibnu Khaldun, ʿilm
memiliki hierarki berdasarkan manfaatnya bagi kehidupan manusia.¹⁰ Ia
membedakan antara ilmu rasional, ilmu keagamaan, dan ilmu instrumental.¹¹ Ilmu
rasional (ʿulūm ʿaqliyyah) mencakup logika, matematika, dan fisika, yang
berfungsi melatih akal manusia.¹² Ilmu keagamaan (ʿulūm naqliyyah)
menuntun moral dan spiritualitas.¹³ Sedangkan ilmu instrumental seperti bahasa,
tata negara, dan sejarah memiliki peran praktis dalam menata kehidupan
sosial.¹⁴
Pandangan ini menunjukkan bahwa bagi Ibnu Khaldun,
pengetahuan tidak bersifat hierarkis secara absolut, tetapi relatif terhadap
fungsinya.¹⁵ Ia menolak dikotomi antara ilmu duniawi dan ukhrawi karena
keduanya sama-sama berperan dalam menjaga keteraturan sosial dan moral.¹⁶
Dengan demikian, epistemologinya mencerminkan semangat teleologi pragmatis,
yakni bahwa ilmu bernilai sejauh ia mengantarkan manusia menuju kemaslahatan
dan keadilan sosial.¹⁷
4.3.      
Rasionalitas Empiris dan
Observasi Sejarah sebagai Sumber Pengetahuan
Ibnu Khaldun adalah salah satu pemikir Islam
pertama yang menegaskan pentingnya observasi empiris dalam proses
pengetahuan.¹⁸ Ia menolak spekulasi metafisik yang tidak memiliki dasar
pengalaman.¹⁹ Menurutnya, pengamatan terhadap fakta sejarah dan sosial
merupakan jalan menuju pemahaman hakikat hukum-hukum masyarakat.²⁰ Oleh karena
itu, ia mengembangkan metode kritik historis (naqd al-akhbār) untuk
menilai kebenaran laporan sejarah melalui bukti empiris dan rasionalitas
kausal.²¹
Epistemologi semacam ini menegaskan rasionalitas
yang bersifat instrumental: akal tidak digunakan untuk membangun sistem
metafisika abstrak, tetapi sebagai alat untuk menguji realitas dan menafsirkan
gejala sosial.²² Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mendahului semangat empirisme
modern dan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat, jauh sebelum Auguste Comte
atau Émile Durkheim.²³
4.4.      
Kritik terhadap Spekulasi
Metafisik dan Dogmatisme Skolastik
Ibnu Khaldun mengkritik keras kecenderungan para
teolog dan filsuf skolastik yang mengabaikan dimensi empiris dalam pencarian
kebenaran.²⁴ Ia menilai bahwa “para mutakallimīn telah melampaui batas
rasionalitas dengan mengandalkan premis metafisik yang tidak dapat diverifikasi
secara empiris.”²⁵ Baginya, pengetahuan sejati harus memiliki dasar
pengalaman dan relevansi praktis terhadap kehidupan sosial.²⁶ Kritik ini
menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun menolak paradigma epistemologis yang menjadikan
akal sebagai tujuan pada dirinya sendiri.²⁷
Dengan demikian, epistemologi
pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun menolak dua ekstrem: rasionalisme absolut
yang menafikan pengalaman, dan empirisme naif yang menolak peran akal.²⁸ Ia
menegaskan bahwa kebenaran adalah hasil interaksi dinamis antara rasio, pengalaman,
dan kebutuhan sosial.²⁹
4.5.      
Perbandingan dengan
Pragmatisme Modern
Meskipun Ibnu Khaldun hidup berabad-abad sebelum
Charles S. Peirce, William James, atau John Dewey, terdapat kesesuaian
konseptual antara epistemologi Khaldunian dan pragmatisme modern.³⁰ Keduanya
sama-sama memandang kebenaran sebagai proses, bukan entitas statis.³¹ Bagi Ibnu
Khaldun, kebenaran ilmu ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menjelaskan
fenomena sosial dan memelihara keteraturan masyarakat.³² Hal ini sejalan dengan
pandangan Dewey bahwa “pengetahuan adalah alat untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan dan memperbaiki kehidupan manusia.”³³
Namun, perbedaan mendasar antara keduanya terletak
pada fondasi metafisiknya. Jika pragmatisme Barat berakar pada naturalisme,
maka pragmatisme Ibnu Khaldun berakar pada teologi Islam.³⁴ Ia menganggap bahwa
hukum-hukum sosial dan alamiah adalah manifestasi kehendak Tuhan, sehingga
aktivitas intelektual manusia merupakan bentuk partisipasi dalam sunan Allāh
fī al-kawn (tatanan Ilahi di alam semesta).³⁵ Dengan demikian, epistemologi
pragmatis-instrumental Ibnu Khaldun bukan sekadar metode ilmiah, tetapi juga
ekspresi dari spiritualitas rasional yang integral.³⁶
Footnotes
[1]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 45.
[2]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 121.
[3]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 176.
[4]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 50.
[5]               
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 89.
[6]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 61.
[7]               
Rosenthal, The Muqaddimah, 103.
[8]               
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 115.
[9]               
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 211.
[10]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 428.
[11]            
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 112.
[12]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 433.
[13]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 94.
[14]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 442.
[15]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
127.
[16]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 68.
[17]            
Osman, The Islamic Thought, 113.
[18]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 73.
[19]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
133.
[20]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 75.
[21]            
Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern
Scholarship (London: Routledge, 1982), 106.
[22]            
Leaman, Classical Islamic Philosophy, 179.
[23]            
Arnold Toynbee, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 333.
[24]            
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 204.
[25]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 74.
[26]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1958), 229.
[27]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
139.
[28]            
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 22.
[29]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge,
118.
[30]            
Dewey, The Quest for Certainty (New York:
Minton, Balch & Company, 1929), 36.
[31]            
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45.
[32]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 79.
[33]            
Dewey, Experience and Nature, 37.
[34]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 217.
[35]            
Al-Attas, Islam and Secularism, 70.
[36]            
Osman, The Islamic Thought, 116.
5.          
Aksiologi
dan Tujuan Pengetahuan
Aksiologi Ibnu Khaldun, sebagaimana tercermin dalam
Muqaddimah, berangkat dari pemahaman bahwa nilai pengetahuan tidak hanya
diukur melalui kebenaran logis atau rasionalitas formal, melainkan melalui
kontribusinya terhadap kemaslahatan manusia dan keberlanjutan peradaban
(ʿumrān).¹ Bagi Ibnu Khaldun, ilmu merupakan sarana etis dan fungsional
untuk menegakkan keteraturan sosial, memperkuat moralitas kolektif, dan
menunaikan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.² Dengan demikian,
epistemologi pragmatis-instrumental yang telah dibangun sebelumnya menemukan orientasi
aksionalnya dalam kerangka aksiologi yang menempatkan ilmu sebagai instrumen
moral dan sosial.³
5.1.      
Nilai Kebenaran dalam
Kerangka Kegunaan Sosial dan Moral
Ibnu Khaldun menolak pandangan bahwa pengetahuan
adalah tujuan pada dirinya sendiri.⁴ Ia menegaskan bahwa kebenaran harus
memiliki implikasi terhadap kemajuan moral dan kesejahteraan sosial.⁵ Dalam
kerangka ini, pengetahuan memperoleh nilai bukan karena abstraksinya, tetapi
karena kemampuannya menciptakan keteraturan dan keadilan di tengah masyarakat.⁶
Pandangan ini mendekati prinsip pragmatisme moral yang kemudian dikembangkan
oleh John Dewey, di mana kebenaran diukur berdasarkan akibat praktisnya bagi
kehidupan manusia.⁷
Menurut Ibnu Khaldun, pengetahuan yang tidak
berujung pada tindakan moral dan sosial adalah bentuk kesia-siaan intelektual.⁸
Ia menulis, “Ilmu yang tidak memperbaiki manusia adalah ilusi dari akal yang
terputus dari amal.”⁹ Oleh karena itu, ilmu memiliki fungsi ganda:
membimbing akal agar memahami realitas sosial dan mengarahkan kehendak manusia
menuju kebaikan kolektif.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi
pragmatis-instrumental menjadi dasar bagi aksiologi yang berorientasi pada
nilai moral dan sosial.
5.2.      
Orientasi Pengetahuan
terhadap Kemaslahatan (Maṣlaḥah)
Konsep maṣlaḥah dalam pemikiran Ibnu Khaldun
bukan hanya prinsip hukum Islam (uṣūl al-fiqh), tetapi juga prinsip
aksiologis yang mengarahkan orientasi ilmu.¹¹ Setiap bentuk pengetahuan harus
bermuara pada kemanfaatan dan kesejahteraan umat.¹² Ia menegaskan bahwa ilmu
politik, ekonomi, dan sosial harus diarahkan untuk menjaga keadilan,
keseimbangan, dan ketertiban masyarakat.¹³ Dalam pandangannya, pengetahuan yang
tidak memberi manfaat adalah pengetahuan yang kehilangan legitimasi etis.¹⁴
Orientasi pada maṣlaḥah juga menunjukkan bahwa
ilmu bagi Ibnu Khaldun bersifat teleologis: setiap upaya intelektual harus
diarahkan kepada tujuan moral yang lebih tinggi.¹⁵ Prinsip ini sekaligus
menjadi pembeda antara pragmatisme Khaldunian dan pragmatisme Barat modern, di
mana utilitas sosial tidak dapat dilepaskan dari landasan spiritual dan
teologis.¹⁶ Kegunaan (utility) bukan sekadar efisiensi, melainkan
ekspresi dari nilai ilahiah yang bekerja dalam struktur sosial manusia.¹⁷
5.3.      
Etika Sosial dan Tanggung
Jawab Ilmuwan
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, ilmuwan memiliki
tanggung jawab moral terhadap masyarakat.¹⁸ Pengetahuan tidak boleh menjadi
alat legitimasi kekuasaan atau kepentingan duniawi, tetapi harus menjadi sarana
pencerahan dan keadilan sosial.¹⁹ Ia mengingatkan bahwa “ilmuwan yang
menukar ilmunya dengan kedudukan telah mengkhianati amanat pengetahuan.”²⁰
Etika sosial ini menjadikan pengetahuan sebagai bagian dari ibadah intelektual,
di mana akal bekerja dalam batas moral dan spiritualitas.²¹
Dalam kerangka aksiologi ini, ilmuwan dituntut untuk
bersikap objektif sekaligus bertanggung jawab.²² Objektivitas bukan berarti
bebas nilai, tetapi kesetiaan terhadap prinsip keadilan dan keseimbangan.²³
Dengan demikian, aktivitas ilmiah bagi Ibnu Khaldun bersifat etico-pragmatic—menghubungkan
rasionalitas empiris dengan kesadaran moral.²⁴
5.4.      
Instrumentalisme Moral
dalam Pembentukan Peradaban
Ibnu Khaldun memandang bahwa kemajuan peradaban
tidak hanya ditentukan oleh kekuatan material, tetapi juga oleh kualitas moral
dan intelektual masyarakat.²⁵ Asabiyyah yang kuat tanpa moralitas akan
berubah menjadi tirani, sementara moralitas tanpa ilmu akan menghasilkan
stagnasi.²⁶ Oleh karena itu, ilmu dan moralitas harus bersinergi sebagai dua
instrumen pembentuk ʿumrān.²⁷
Dalam konteks ini, ilmu berperan sebagai instrumentum
moralis, yaitu sarana bagi terbentuknya masyarakat yang berkeadilan dan
berbudaya.²⁸ Ibnu Khaldun memandang moralitas bukan sebagai sistem normatif
abstrak, melainkan sebagai hasil dari proses sosial yang berakar pada
pengetahuan praktis.²⁹ Inilah ciri khas aksiologi Khaldunian: integrasi antara
nilai, rasio, dan tindakan sosial.³⁰
Dengan demikian, aksiologi Ibnu Khaldun menegaskan
bahwa pengetahuan tidak memiliki makna jika terpisah dari tujuan moral dan
sosialnya.³¹ Kebenaran bukanlah hasil akhir dari proses berpikir semata, tetapi
juga cermin dari komitmen manusia terhadap tatanan Ilahi dan kemaslahatan
umat.³² Dalam kerangka ini, epistemologi pragmatis-instrumental menjadi dasar
bagi etika sosial yang memandang ilmu sebagai sarana pembebasan dan pembangunan
peradaban.³³
Footnotes
[1]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 51.
[2]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 142.
[3]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 181.
[4]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 63.
[5]               
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 105.
[6]               
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 118.
[7]               
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 40.
[8]               
Muhammad Abed al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 214.
[9]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 64.
[10]            
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 223.
[11]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 120.
[12]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 430.
[13]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 108.
[14]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
145.
[15]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 119.
[16]            
Dewey, The Quest for Certainty (New York:
Minton, Balch & Company, 1929), 48.
[17]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 72.
[18]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 447.
[19]            
Al-Jabiri, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi, 217.
[20]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 448.
[21]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 229.
[22]            
Leaman, Classical Islamic Philosophy, 183.
[23]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 432.
[24]            
Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern
Scholarship (London: Routledge, 1982), 114.
[25]            
Arnold Toynbee, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 337.
[26]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 122.
[27]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
151.
[28]            
Osman, The Islamic Thought, 121.
[29]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 113.
[30]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 231.
[31]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 450.
[32]            
Al-Attas, Islam and Secularism, 74.
[33]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam, 123.
6.          
Metodologi
Historis dan Empiris
Metodologi Ibnu Khaldun menandai revolusi dalam
tradisi intelektual Islam karena menggeser pendekatan ilmu dari spekulasi
metafisik menuju analisis empiris dan historis.¹ Ia menolak pengetahuan yang
hanya bersandar pada otoritas teks atau deduksi rasional semata, dan menegaskan
pentingnya observasi serta verifikasi fakta sosial.² Melalui karya
monumentalnya, al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun memperkenalkan kerangka
metodologis yang memadukan rasionalitas (ʿaql) dengan pengalaman (tajrībah),
sehingga menghasilkan suatu model ilmu sosial yang berakar pada realitas
konkret namun tetap selaras dengan prinsip teologis.³
6.1.      
Prinsip-Prinsip Metodologis
dalam Muqaddimah
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun
memformulasikan sejumlah prinsip metodologis yang menegaskan pendekatan empiris
terhadap sejarah dan masyarakat. Ia menulis bahwa “sejarah tidak boleh
diterima hanya karena diceritakan, tetapi harus ditimbang dengan ukuran akal
dan pengalaman.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa setiap laporan historis
harus diverifikasi melalui penalaran kritis dan bukti empiris.⁵
Prinsip pertama metodologinya adalah kritik
sumber (naqd al-akhbār), yaitu evaluasi terhadap keandalan dan
konteks suatu informasi.⁶ Kedua, kausalitas sosial (al-ʿilal
al-ijtimāʿiyyah), yakni penjelasan sebab-musabab di balik peristiwa sejarah
yang harus dicari dalam faktor manusia, bukan semata kehendak supranatural.⁷
Ketiga, regularitas sosial (al-sunan al-ijtimāʿiyyah), yakni
keyakinan bahwa masyarakat tunduk pada hukum-hukum universal sebagaimana alam
tunduk pada hukum fisika.⁸ Melalui tiga prinsip ini, Ibnu Khaldun membangun
sains sosial Islam yang otonom dan sistematis.⁹
6.2.      
Ilmu Sejarah sebagai
Laboratorium Sosial
Bagi Ibnu Khaldun, sejarah bukanlah sekadar
kumpulan narasi masa lalu, tetapi laboratorium empiris bagi analisis sosial.¹⁰ Ia
melihat sejarah sebagai cermin hukum-hukum peradaban, di mana pengulangan
pola-pola sosial memungkinkan manusia memahami dinamika masyarakat.¹¹
Pandangannya ini menandai peralihan dari historiografi deskriptif menuju
historiologi analitis—suatu pendekatan yang mencari hukum universal di
balik fakta sejarah.¹²
Dalam kerangka ini, Ibnu Khaldun menolak
kecenderungan para penulis sejarah yang hanya mengandalkan otoritas tradisi.¹³
Ia menegaskan bahwa banyak kisah sejarah klasik “tidak lain hanyalah hasil
imajinasi yang diperkuat oleh kebiasaan mendengar tanpa memverifikasi.”¹⁴
Oleh karena itu, metodologi historisnya bersifat kritis dan reflektif: setiap
fakta harus dihubungkan dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik yang
melahirkannya.¹⁵
Pendekatan ini menjadikan Ibnu Khaldun pelopor
dalam apa yang kini disebut hermeneutika sejarah—yaitu upaya memahami
makna peristiwa dengan memperhitungkan hubungan antara teks (narasi sejarah)
dan konteks (struktur sosial).¹⁶ Ia bukan hanya merekam sejarah, tetapi menafsirkan
sejarah sebagai sistem kausal yang rasional dan empiris.¹⁷
6.3.      
Pengetahuan Empiris dan
Analisis Kausalitas
Ibnu Khaldun menempatkan pengalaman empiris sebagai
fondasi epistemologis ilmu sosial.¹⁸ Dalam pandangannya, pengetahuan yang benar
adalah hasil interaksi antara observasi dan akal.¹⁹ Ia menolak pandangan
skolastik yang memisahkan teori dari pengalaman, dan sebaliknya mengusulkan
metode yang menyeimbangkan keduanya.²⁰
Kausalitas (sababiyyah) menjadi prinsip
sentral dalam analisisnya: setiap perubahan sosial memiliki sebab dan akibat
yang dapat dipahami melalui rasio dan pengalaman.²¹ Misalnya, muncul dan
runtuhnya dinasti tidak disebabkan oleh takdir semata, tetapi oleh melemahnya asabiyyah
dan moralitas penguasa.²² Dengan demikian, Ibnu Khaldun memperkenalkan
pendekatan nomologis terhadap sejarah—yakni pencarian hukum umum yang
menjelaskan fenomena sosial.²³
Selain itu, ia menegaskan pentingnya generalisasi
empiris (istiqrāʾ)—yakni menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap
banyak kasus.²⁴ Metode ini menjadikannya pendahulu bagi metodologi ilmiah
modern yang dikembangkan oleh Francis Bacon dan Auguste Comte.²⁵ Namun, berbeda
dengan positivisme Barat, pendekatan empiris Ibnu Khaldun tidak mengabaikan
dimensi nilai dan spiritualitas.²⁶ Ia menegaskan bahwa hukum-hukum sosial
merupakan bagian dari sunan Allāh fī al-kawn (ketetapan Tuhan dalam
alam).²⁷
6.4.      
Keterpaduan antara Analisis
Rasional dan Data Empiris
Metode Ibnu Khaldun bukan sekadar empirisme,
melainkan empirisme rasional—suatu pendekatan yang menggabungkan
observasi dengan penalaran kausal.²⁸ Ia menyatakan bahwa data empiris tanpa
rasio hanyalah “pengumpulan fakta yang tidak bermakna,” sementara rasio
tanpa pengalaman akan “tersesat dalam spekulasi.”²⁹ Dengan demikian,
ilmu harus berfungsi sebagai dialog antara akal dan realitas.³⁰
Keterpaduan ini mencerminkan pandangan holistik
Ibnu Khaldun terhadap ilmu: rasionalitas adalah sarana untuk menafsirkan fakta
empiris, sedangkan pengalaman adalah bahan mentah bagi rasionalitas.³¹ Melalui
sintesis ini, ia berhasil memformulasikan metodologi ilmiah yang bersifat
integratif—mendasarkan diri pada bukti, tetapi tetap berorientasi pada makna
moral dan teleologis.³²
Dengan demikian, metodologi historis dan empiris
Ibnu Khaldun melampaui sekadar analisis kronologis peristiwa; ia merupakan
sistem pengetahuan yang menjadikan sejarah sebagai ruang ilmiah untuk memahami
hukum-hukum sosial yang universal.³³ Pendekatan ini membentuk fondasi bagi
kelahiran sosiologi, ilmu politik, dan ekonomi Islam modern, serta menegaskan
posisi Ibnu Khaldun sebagai pelopor metodologi ilmiah dalam tradisi filsafat
Islam.³⁴
Footnotes
[1]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 72.
[2]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 155.
[3]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 188.
[4]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 76.
[5]               
Rosenthal, The Muqaddimah, 79.
[6]               
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 118.
[7]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 85.
[8]               
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 125.
[9]               
Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern
Scholarship (London: Routledge, 1982), 121.
[10]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 92.
[11]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 93.
[12]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
160.
[13]            
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 219.
[14]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 94.
[15]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 122.
[16]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 130.
[17]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
165.
[18]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 100.
[19]            
Nasr, Syed Hossein, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 239.
[20]            
Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1958), 232.
[21]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 103.
[22]            
Toynbee, Arnold, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 343.
[23]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
171.
[24]            
Leaman, Classical Islamic Philosophy, 192.
[25]            
Dewey, John, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 48.
[26]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 243.
[27]            
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 78.
[28]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 105.
[29]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 107.
[30]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
175.
[31]            
Osman, The Islamic Thought, 128.
[32]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 127.
[33]            
Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship,
125.
[34]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 129.
7.          
Teori
Peradaban dan Ilmu Sosial Islam
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang peradaban (ʿumrān)
merupakan inti dari filsafat sosial Islam yang dikembangkannya. Ia tidak hanya
menjelaskan bagaimana masyarakat terbentuk dan berkembang, tetapi juga
mengidentifikasi hukum-hukum universal yang mengatur dinamika peradaban
manusia.¹ Melalui analisis historis dan empirisnya, Ibnu Khaldun mengonstruksi
teori sosial yang menempatkan manusia, moralitas, dan lingkungan sosial sebagai
faktor-faktor determinan dalam siklus kebangkitan dan kejatuhan masyarakat.²
Teorinya ini menjadikannya pelopor ilmu sosial Islam sekaligus pendahulu bagi
sosiologi modern.³
7.1.      
Evolusi Masyarakat: Lahir,
Berkembang, dan Runtuhnya Peradaban
Ibnu Khaldun memandang peradaban sebagai organisme
hidup yang melalui siklus kelahiran (nashʾah), pertumbuhan (numūw),
kematangan (istiwāʾ), dan kemunduran (inhithāṭ).⁴ Setiap
peradaban lahir dari asabiyyah, yaitu solidaritas sosial yang memberi
energi kolektif untuk membangun tatanan politik dan sosial.⁵ Ketika asabiyyah
melemah akibat kemewahan dan korupsi moral, maka peradaban memasuki fase
kemerosotan.⁶
Menurut Ibnu Khaldun, “kekuatan dan kemakmuran
melahirkan kelemahan moral, dan kelemahan moral melahirkan kehancuran.”⁷
Pandangan ini menunjukkan bahwa sebab utama keruntuhan suatu peradaban bukan
faktor eksternal, tetapi degradasi internal nilai-nilai etis dan sosial.⁸ Dalam
konteks ini, teori peradaban Khaldunian menampilkan karakter moralistik:
kemajuan sosial tidak dapat dipisahkan dari kualitas spiritual manusia.⁹
7.2.      
Fungsi Ekonomi, Politik,
dan Budaya dalam Kerangka Pragmatis
Ibnu Khaldun mengembangkan teori multifaktorial
tentang struktur peradaban. Ia menempatkan ekonomi sebagai fondasi material
dari masyarakat, politik sebagai sistem pengatur, dan budaya sebagai ekspresi
moral kolektif.¹⁰ Namun, ketiga aspek ini saling berinteraksi dalam kerangka
pragmatis—masing-masing berfungsi sejauh mendukung keberlangsungan sosial dan
kemaslahatan umum (maṣlaḥah ʿāmmah).¹¹
Ekonomi, menurut Ibnu Khaldun, memiliki dimensi
moral: kerja (kasb) bukan sekadar aktivitas produktif, tetapi juga wujud
tanggung jawab sosial.¹² Ia menolak pandangan fatalistik tentang rezeki dan
menegaskan pentingnya usaha rasional dalam menciptakan kesejahteraan.¹³
Sementara itu, politik berperan menjaga keadilan dan stabilitas, bukan untuk
kekuasaan itu sendiri.¹⁴ Kekuasaan tanpa moralitas akan menimbulkan tirani dan
mempercepat kehancuran peradaban.¹⁵
Budaya dan ilmu pengetahuan berfungsi sebagai
sarana pemelihara ʿumrān.¹⁶ Ketika ilmu berkembang, maka masyarakat
mencapai puncak peradabannya. Namun, ketika ilmu terlepas dari tujuan moral dan
kemaslahatan sosial, maka degenerasi intelektual akan mengikuti.¹⁷ Dengan
demikian, Ibnu Khaldun mengajukan konsep integratif tentang kemajuan, di mana
ekonomi, politik, dan ilmu harus diarahkan kepada tujuan moral yang sama.¹⁸
7.3.      
Sumbangan Ibnu Khaldun
terhadap Embrio Ilmu Sosial Modern
Ibnu Khaldun sering disebut sebagai bapak
sosiologi karena kontribusinya dalam menjelaskan hukum-hukum sosial melalui
pendekatan empiris.¹⁹ Ia adalah pemikir pertama yang mengidentifikasi struktur
sosial sebagai objek ilmiah yang dapat dianalisis secara rasional.²⁰ Kajiannya
tentang asabiyyah, ekonomi, dan dinamika kekuasaan menjadikan Muqaddimah
bukan hanya karya sejarah, tetapi juga teks teoritis yang menandai lahirnya
ilmu sosial Islam.²¹
Berbeda dengan sejarawan tradisional yang hanya
mencatat peristiwa, Ibnu Khaldun berusaha memahami pola umum yang mengatur
peristiwa-peristiwa itu.²² Pendekatan ini melahirkan apa yang kini dikenal
sebagai teori sistem sosial, di mana perubahan masyarakat dijelaskan melalui
interaksi antara struktur dan agen.²³ Dalam konteks modern, pendekatan
Khaldunian memiliki kesamaan konseptual dengan teori siklus peradaban Arnold
Toynbee atau civilizational dynamics Oswald Spengler, meskipun keduanya
muncul berabad-abad kemudian.²⁴
Selain itu, gagasan Ibnu Khaldun tentang kerja dan
produksi mendahului prinsip dasar ekonomi klasik.²⁵ Ia menulis bahwa kemakmuran
masyarakat bergantung pada distribusi hasil kerja yang adil dan keseimbangan
antara konsumsi serta produksi.²⁶ Hal ini menunjukkan bahwa dalam kerangka ʿumrān,
ekonomi bukan sekadar sistem material, tetapi bagian dari etika sosial.²⁷
7.4.      
Keterkaitan antara Teori
Peradaban dan Epistemologi Instrumental
Teori peradaban Ibnu Khaldun berakar pada
epistemologi pragmatis-instrumental yang telah ia bangun sebelumnya.²⁸ Baginya,
pengetahuan tidak hanya menjelaskan realitas sosial, tetapi juga berperan aktif
dalam mengarahkan dinamika sejarah.²⁹ Ilmu berfungsi sebagai alat (instrumentum)
bagi pembangunan peradaban; kebenaran suatu teori sosial diukur dari sejauh
mana ia dapat menata masyarakat menuju keadilan dan kemaslahatan.³⁰
Keterkaitan antara pengetahuan dan peradaban ini
menunjukkan pandangan teleologis Ibnu Khaldun tentang ilmu: ilmu harus memiliki
orientasi sosial dan moral.³¹ Ia menolak pengetahuan yang steril dari tanggung
jawab kemanusiaan, karena “ilmu tanpa amal adalah beban, dan amal tanpa ilmu
adalah kesesatan.”³² Dengan demikian, teori peradaban Khaldunian bersifat
fungsional—menyatukan aspek empiris, rasional, dan etis dalam satu sistem
filosofis yang utuh.³³
Footnotes
[1]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 101.
[2]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 185.
[3]               
Arnold Toynbee, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 347.
[4]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 110.
[5]               
Rosenthal, The Muqaddimah, 115.
[6]               
Cheddadi, Abdesselam, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 128.
[7]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 118.
[8]               
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 132.
[9]               
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 251.
[10]            
Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern
Scholarship (London: Routledge, 1982), 130.
[11]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 121.
[12]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 137.
[13]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 125.
[14]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
188.
[15]            
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 226.
[16]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 432.
[17]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 133.
[18]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 255.
[19]            
Toynbee, A Study of History, 350.
[20]            
Leaman, Oliver, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 197.
[21]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
190.
[22]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 132.
[23]            
Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship,
135.
[24]            
Toynbee, A Study of History, 352; Oswald
Spengler, The Decline of the West (New York: Knopf, 1926), 89.
[25]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 141.
[26]            
Rosenthal, The Muqaddimah, 143.
[27]            
Osman, The Islamic Thought, 136.
[28]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
192.
[29]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 147.
[30]            
Leaman, Classical Islamic Philosophy, 201.
[31]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 258.
[32]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 150.
[33]            
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 82.
8.          
Kritik
dan Perbandingan Filsafat
Meskipun pemikiran Ibnu Khaldun telah dipuji
sebagai tonggak rasionalisme empiris dalam Islam, pandangan filosofisnya juga
memunculkan berbagai perdebatan dan kritik.¹ Sebagai pemikir yang menolak
spekulasi metafisik dan menekankan pendekatan fungsional terhadap ilmu dan
masyarakat, Ibnu Khaldun sering dianggap melampaui kerangka filsafat klasik
Islam.² Namun, di sisi lain, ia juga dikritik karena dianggap terlalu
reduksionis dalam memahami realitas sosial dan karena kecenderungannya
menafsirkan moralitas dalam kerangka kausalitas historis.³ Oleh sebab itu,
perlu dilakukan analisis komparatif antara Ibnu Khaldun dan para filsuf besar
lain seperti al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rushd, serta dibandingkan dengan
pragmatisme modern untuk menilai posisi uniknya dalam peta filsafat Islam.⁴
8.1.      
Kritik terhadap Idealisme
dan Mistisisme Spekulatif
Ibnu Khaldun mengajukan kritik tajam terhadap para
filsuf dan sufi yang menempatkan hakikat pengetahuan dalam dimensi metafisik
yang tidak dapat diverifikasi.⁵ Ia menilai bahwa “para ahli hikmah terlalu
jauh mencari kebenaran dalam alam ide, sementara realitas yang lebih dekat dan
konkret justru terabaikan.”⁶ Pandangan ini jelas bertentangan dengan
idealisme teoretis yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibn Sina, yang
menempatkan akal aktif (ʿaql faʿʿāl) sebagai sumber kebenaran mutlak.⁷
Sebaliknya, Ibnu Khaldun menekankan bahwa kebenaran
harus diturunkan dari pengalaman sosial dan empiris.⁸ Ia memandang bahwa setiap
pengetahuan memiliki konteks historis dan sosial, sehingga tak ada bentuk
pengetahuan yang benar secara mutlak tanpa memperhatikan kondisi masyarakat.⁹
Kritiknya terhadap mistisisme juga tampak dalam penilaiannya terhadap kaum sufi
yang “mengabaikan hukum-hukum alam demi mencari penyatuan dengan Tuhan tanpa
landasan rasional.”¹⁰ Dengan demikian, Ibnu Khaldun menolak model
epistemologi transenden yang terlepas dari empirisme sosial.¹¹
Namun demikian, beberapa sarjana menilai kritik
Ibnu Khaldun terlalu keras terhadap dimensi spiritual.¹² Syed Hossein Nasr,
misalnya, berpendapat bahwa Khaldunian empiricism—meski revolusioner—cenderung
mengabaikan aspek intuisi intelektual yang menjadi pilar epistemologi Islam
klasik.¹³ Kritik ini menunjukkan adanya ketegangan antara semangat empiris Ibnu
Khaldun dan tradisi intelektual teosofis yang menekankan hierarki pengetahuan
spiritual.¹⁴
8.2.      
Perbandingan dengan
al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rushd
Dibandingkan dengan al-Farabi, yang menekankan
struktur ideal negara dan hubungan antara filsafat serta wahyu, Ibnu Khaldun
lebih bersifat realis dan historis.¹⁵ Jika al-Farabi membangun madīnah
al-fāḍilah berdasarkan tatanan normatif, Ibnu Khaldun menjelaskan ʿumrān
sebagai hasil interaksi dinamis antara manusia dan lingkungannya.¹⁶ Peradaban,
bagi Ibnu Khaldun, bukanlah cita-cita moral abstrak, melainkan realitas sosial
yang tunduk pada hukum perubahan.¹⁷
Sementara itu, al-Ghazali menempatkan pengetahuan
dalam kerangka etis dan religius dengan menekankan hubungan langsung antara
akal dan wahyu.¹⁸ Ibnu Khaldun setuju dengan dimensi moralitas pengetahuan,
tetapi menolak metode intuisionis yang tidak dapat diuji secara empiris.¹⁹ Ia
membangun rasionalitas religius yang bersifat fungsional: wahyu dan akal
bekerja secara komplementer dalam memahami dunia sosial.²⁰
Dengan Ibn Rushd, Ibnu Khaldun memiliki kedekatan
dalam hal komitmen terhadap rasionalitas dan kausalitas, namun berbeda dalam
objek kajiannya.²¹ Ibn Rushd fokus pada relasi antara akal dan hukum kosmis,
sedangkan Ibnu Khaldun mengalihkan rasionalitas tersebut ke ranah sosial dan
historis.²² Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun meng-“sosiologisasi”
filsafat Ibn Rushd dan menurunkannya ke level empiris yang dapat diamati.²³
8.3.      
Dialog antara Pragmatisme
Ibnu Khaldun dan Pragmatisme Barat
Terdapat sejumlah paralel menarik antara
epistemologi Ibnu Khaldun dan pragmatisme modern, terutama dalam pemikiran John
Dewey dan William James.²⁴ Keduanya sama-sama menekankan fungsi pengetahuan
sebagai alat untuk memecahkan masalah manusia dan memperbaiki kehidupan
sosial.²⁵ Namun, pragmatisme Ibnu Khaldun memiliki basis teologis yang kuat:
kebenaran bersumber dari keteraturan Ilahi (sunan Allāh fī al-kawn),
bukan dari relativisme manusia.²⁶
Ibnu Khaldun memandang pengetahuan sebagai alat
yang diberikan Tuhan agar manusia mampu mengatur kehidupannya sesuai hukum alam
dan moral.²⁷ Dalam hal ini, ia menolak pandangan relativistik William James
yang mengukur kebenaran hanya berdasarkan kepuasan psikologis atau keberhasilan
praktis.²⁸ Bagi Ibnu Khaldun, kegunaan sosial pengetahuan tidak dapat
dipisahkan dari kebenaran teologisnya.²⁹ Dengan demikian, epistemologi
pragmatis-instrumentalnya bersifat teonomik, bukan sekularistik.³⁰
Namun demikian, para sarjana modern seperti Aziz
al-Azmeh menilai bahwa kerangka Ibnu Khaldun justru membuka ruang bagi
rasionalitas otonom, karena ia menempatkan hukum-hukum sosial sebagai
manifestasi Tuhan yang dapat diakses melalui akal manusia.³¹ Pandangan ini
menjadikan Ibnu Khaldun jembatan antara rasionalitas Islam dan empirisme
modern—sebuah sintesis antara wahyu, rasio, dan realitas sosial.³²
8.4.      
Respons terhadap Tuduhan
Reduksionisme Sosial
Beberapa pengkritik modern menuduh bahwa pemikiran
Ibnu Khaldun bersifat reduksionis karena menafsirkan fenomena moral dan
spiritual semata-mata dalam kerangka sosial.³³ Akan tetapi, tuduhan ini dapat
dianggap tidak sepenuhnya tepat.³⁴ Ibnu Khaldun memang menjelaskan perubahan
moral dalam kaitannya dengan asabiyyah dan struktur sosial, tetapi ia
tidak pernah meniadakan peran transendensi.³⁵ Justru, dalam kerangka
teologisnya, hukum sosial adalah bagian dari kehendak Tuhan yang bekerja
melalui sebab-sebab empiris.³⁶
Dengan demikian, pendekatan Ibnu Khaldun bukanlah
reduksionisme sosial, melainkan realime teologis empiris: suatu
pandangan bahwa realitas sosial adalah medan di mana kehendak Ilahi
termanifestasi secara kausal dan dapat dipelajari melalui ilmu.³⁷ Ia menegaskan
bahwa memahami hukum sosial berarti memahami sebagian dari kebijaksanaan Tuhan
dalam mengatur alam.³⁸ Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berhasil memadukan filsafat,
teologi, dan sosiologi dalam satu sistem pemikiran yang koheren.³⁹
Footnotes
[1]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 195.
[2]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 205.
[3]               
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 140.
[4]               
Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship
(London: Routledge, 1982), 137.
[5]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 72.
[6]               
Ibid., 74.
[7]               
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 32.
[8]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 85.
[9]               
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
198.
[10]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 90.
[11]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 142.
[12]            
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 261.
[13]            
Ibid., 263.
[14]            
Nasr, Islamic Life and Thought (London:
Allen and Unwin, 1981), 177.
[15]            
Al-Farabi, Political Regime (Istanbul:
IRCICA, 1986), 45.
[16]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 102.
[17]            
Cheddadi, Abdesselam, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 139.
[18]            
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1957), 21.
[19]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 104.
[20]            
Osman, The Islamic Thought, 145.
[21]            
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon
van den Bergh (London: Luzac, 1954), 178.
[22]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
202.
[23]            
Leaman, Classical Islamic Philosophy, 209.
[24]            
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 54.
[25]            
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 67.
[26]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 107.
[27]            
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 84.
[28]            
James, Pragmatism, 89.
[29]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 265.
[30]            
Osman, The Islamic Thought, 148.
[31]            
Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship,
140.
[32]            
Toynbee, Arnold, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 356.
[33]            
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 230.
[34]            
Rosenthal, Franz, Political Thought in Medieval
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1958), 236.
[35]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 109.
[36]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam, 146.
[37]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
208.
[38]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 268.
[39]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 149.
9.          
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis dalam pemikiran Ibnu Khaldun
merupakan hasil dari integrasi antara tiga dimensi utama: rasionalitas empiris,
kesadaran teologis, dan etika sosial.¹ Ia bukan sekadar ahli sejarah atau
sosiolog, tetapi seorang filsuf yang berupaya membangun sistem pengetahuan yang
menyatukan akal dan wahyu dalam kerangka fungsional dan realistis.² Melalui Muqaddimah,
Ibnu Khaldun memperlihatkan bahwa filsafat tidak harus terjebak dalam spekulasi
metafisik, melainkan dapat berfungsi sebagai perangkat untuk memahami dan
memperbaiki kondisi manusia dalam sejarah.³ Dengan demikian, sintesis
filsafatnya merupakan rasionalisme teologis-pragmatis yang menjembatani
antara empirisme dan spiritualitas.⁴
9.1.      
Integrasi antara Dimensi
Teologis, Empiris, dan Sosial
Ibnu Khaldun membangun suatu epistemologi yang
tidak menolak wahyu, tetapi menempatkannya dalam hubungan dialektis dengan akal
dan pengalaman.⁵ Ia menganggap bahwa hukum-hukum sosial yang ditemukan melalui
observasi adalah bagian dari sunan Allāh fī al-kawn—tatanan Ilahi dalam
realitas duniawi.⁶ Dengan demikian, pengetahuan empiris tidak bertentangan
dengan keimanan, melainkan memperkuatnya.⁷
Dalam kerangka sosial, sintesis ini terlihat dalam
cara Ibnu Khaldun menjelaskan peradaban sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan
melalui hukum-hukum sosial.⁸ Ia menulis bahwa “setiap transformasi sejarah
adalah bagian dari rencana Ilahi yang dijalankan melalui sebab-sebab alami.”⁹
Dengan cara ini, ia menyatukan teologi dengan sosiologi, tanpa menafikan
rasionalitas empiris.¹⁰
Selain itu, Ibnu Khaldun mengembangkan konsep
manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual.¹¹ Akal memungkinkan
manusia memahami pola sosial dan hukum kausalitas, sedangkan wahyu memberikan
arah moral terhadap tindakan manusia.¹² Dalam perspektif ini, ilmu berfungsi
ganda: menjelaskan realitas dan mengarahkan manusia menuju kebaikan.¹³
9.2.      
Pragmatisme sebagai Bentuk
Realisme Dinamis Islam
Salah satu kontribusi terbesar Ibnu Khaldun adalah
penerapannya terhadap pragmatisme dalam kerangka Islam.¹⁴ Baginya, pengetahuan
tidak bernilai jika tidak menghasilkan manfaat sosial atau moral.¹⁵ Pandangan
ini tidak identik dengan utilitarianisme sekular, sebab nilai guna dalam sistem
Khaldunian selalu terikat pada tujuan Ilahi (ghāyah ilāhiyyah).¹⁶
Ia menolak baik idealisme statis yang berfokus pada
hakikat tetap maupun empirisme materialistis yang mengabaikan dimensi
spiritual.¹⁷ Sebaliknya, Ibnu Khaldun menawarkan bentuk realisme dinamis—suatu
pandangan bahwa realitas sosial bersifat konkret, berubah, dan tunduk pada
hukum-hukum yang dapat diketahui melalui observasi serta refleksi moral.¹⁸
Dengan demikian, pragmatisme Ibnu Khaldun adalah alat untuk mencapai kesempurnaan
sosial dalam batas kehendak Ilahi.¹⁹
Konsep ini menempatkan Ibnu Khaldun sebagai salah
satu tokoh penting dalam tradisi Islamic humanism, karena ia memandang
pengetahuan sebagai sarana untuk meningkatkan martabat manusia dalam
masyarakat.²⁰ Bagi Ibnu Khaldun, filsafat sejati bukanlah kontemplasi abstrak,
tetapi keterlibatan aktif dalam realitas sosial demi keadilan dan
kemaslahatan.²¹
9.3.      
Menuju Filsafat Sosial
Islam yang Berbasis Aksi-Nilai
Melalui sistem pemikirannya, Ibnu Khaldun berhasil
membangun kerangka filsafat sosial yang berbasis aksi dan nilai (action-value
oriented philosophy).²² Ia menegaskan bahwa teori tanpa praksis adalah
kemandulan intelektual, dan praksis tanpa nilai adalah kehampaan moral.²³ Oleh
karena itu, filsafat harus menuntun tindakan manusia menuju pembentukan ʿumrān
ṣāliḥ—peradaban yang berkeadilan dan beradab.²⁴
Dalam konteks ini, ilmu sosial Islam yang
digagasnya tidak sekadar deskriptif, tetapi juga normatif.²⁵ Ia tidak hanya
menjelaskan apa adanya masyarakat, tetapi juga mengajarkan bagaimana seharusnya
masyarakat itu dibangun berdasarkan prinsip keseimbangan, kerja, dan
solidaritas.²⁶ Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun mendahului model
integratif ilmu-ilmu sosial modern yang menggabungkan analisis empiris dengan
visi etis.²⁷
Filsafat sosial Khaldunian dengan demikian
memancarkan sintesis antara fakta dan nilai (fact and value),
antara ilmu dan amal, antara rasio dan iman.²⁸
Sistem ini tidak hanya relevan dalam konteks abad ke-14, tetapi juga menawarkan
paradigma filosofis yang mendalam bagi rekonstruksi epistemologi Islam
kontemporer.²⁹
9.4.      
Relevansi Sintesis
Khaldunian bagi Filsafat Islam Kontemporer
Sintesis filosofis Ibnu Khaldun memberikan kerangka
konseptual bagi pembangunan kembali filsafat Islam modern yang sering terpecah
antara teologi normatif dan rasionalisme Barat.³⁰ Pemikir seperti Muhammad
Iqbal dan Syed Naquib al-Attas kemudian melanjutkan semangat ini dengan
mengintegrasikan empirisme dengan spiritualitas Islam.³¹ Iqbal, misalnya,
memuji Ibnu Khaldun sebagai “pemikir Islam pertama yang memahami sejarah
sebagai proses kreatif yang diarahkan oleh kehendak moral manusia di bawah
hukum Tuhan.”³²
Relevansi sintesis Khaldunian terlihat dalam
berbagai disiplin kontemporer: dalam epistemologi, ia menawarkan model
integratif antara empirisme dan wahyu; dalam etika, ia menegaskan pentingnya
tanggung jawab sosial ilmuwan; dan dalam politik, ia mengajarkan keseimbangan
antara kekuasaan dan moralitas.³³ Filsafat Ibnu Khaldun dengan demikian
merupakan model integratif-civilizational paradigm, di mana pengetahuan,
etika, dan masyarakat menyatu dalam satu kesadaran Ilahiah.³⁴
Dengan sintesis ini, Ibnu Khaldun memperlihatkan
bahwa filsafat Islam tidak harus berkutat pada metafisika statis, tetapi dapat
berkembang menjadi ilmu tentang realitas hidup manusia yang empiris,
dinamis, dan bermoral.³⁵ Ia mengajarkan bahwa hakikat filsafat bukanlah
pencarian spekulatif terhadap hakikat yang jauh, melainkan refleksi kritis dan
kreatif terhadap kehidupan nyata sebagai manifestasi dari kebenaran Ilahi.³⁶
Footnotes
[1]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 210.
[2]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 212.
[3]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 112.
[4]               
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 152.
[5]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 120.
[6]               
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 86.
[7]               
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 272.
[8]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 125.
[9]               
Ibid., 126.
[10]            
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 146.
[11]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
213.
[12]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 276.
[13]            
Osman, The Islamic Thought, 153.
[14]            
Oliver Leaman, Classical Islamic Philosophy,
215.
[15]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 132.
[16]            
Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern
Scholarship (London: Routledge, 1982), 145.
[17]            
Nasr, Islamic Life and Thought (London:
Allen and Unwin, 1981), 182.
[18]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
216.
[19]            
Osman, The Islamic Thought, 155.
[20]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 156.
[21]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 150.
[22]            
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 238.
[23]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 139.
[24]            
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred,
279.
[25]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 150.
[26]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
218.
[27]            
Oliver Leaman, Classical Islamic Philosophy,
218.
[28]            
Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship,
147.
[29]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to
the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 92.
[30]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 158.
[31]            
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1934), 64.
[32]            
Ibid., 67.
[33]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 283.
[34]            
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam, 94.
[35]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
221.
[36]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 142.
10.       Relevansi Kontemporer
Pemikiran Ibnu Khaldun tetap memiliki daya hidup
dan relevansi yang luar biasa dalam konteks intelektual dan sosial
kontemporer.¹ Di tengah krisis epistemologis, moral, dan peradaban global,
konsep-konsep seperti ʿumrān, asabiyyah, dan hukum-hukum sosial
yang ia rumuskan dalam Muqaddimah menghadirkan paradigma alternatif yang
mampu menjembatani antara agama, ilmu, dan realitas sosial.² Relevansi
pemikiran Ibnu Khaldun tidak terbatas pada ranah teori sosial Islam, tetapi
juga pada rekonstruksi epistemologi, etika publik, dan politik pembangunan modern.³
10.1.   
Penerapan Prinsip
Pragmatis-Instrumental dalam Studi Sosial Modern
Dalam dunia akademik modern, pendekatan empiris
Ibnu Khaldun telah menginspirasi metodologi ilmu sosial dan historiografi
kritis.⁴ Prinsip pragmatis-instrumental-nya, yang menilai pengetahuan
berdasarkan fungsinya dalam memperbaiki kehidupan sosial, sejalan dengan
pendekatan critical realism dan sociological functionalism dalam
ilmu kontemporer.⁵
Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa masyarakat tunduk
pada hukum-hukum rasional dan empiris yang dapat diteliti tanpa menanggalkan
nilai moral dan spiritual.⁶ Pandangan ini sangat relevan dalam konteks krisis
metodologis modern, di mana ilmu sosial sering terjebak antara positivisme
kering dan relativisme nilai.⁷ Dengan mengintegrasikan dimensi teologis dan
empiris, epistemologi Khaldunian menawarkan keseimbangan antara fakta
dan makna dalam penelitian sosial.⁸
Pendekatan ini telah diadopsi dalam teori
pembangunan berkelanjutan dan kajian sosiologi Islam kontemporer, terutama
dalam upaya mengaitkan nilai-nilai keagamaan dengan kebijakan publik.⁹ Dalam
bidang ekonomi, misalnya, prinsip Ibnu Khaldun tentang kerja (kasb),
keadilan, dan distribusi sosial menjadi inspirasi bagi teori ekonomi Islam
modern.¹⁰
10.2.   
Kontribusi terhadap
Filsafat Ilmu dan Epistemologi Islam
Relevansi epistemologi Ibnu Khaldun terletak pada
kemampuannya menawarkan sintesis antara wahyu, akal, dan pengalaman.¹¹ Ia
memperlihatkan bahwa ilmu tidak harus sekular untuk menjadi empiris, dan tidak
harus metafisis untuk bersifat spiritual.¹² Pendekatan integratif ini menjadi
dasar bagi pembaharuan epistemologi Islam kontemporer, sebagaimana dikembangkan
oleh para pemikir seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ziauddin Sardar.¹³
Dalam konteks modern, epistemologi Khaldunian dapat
digunakan untuk mengatasi dikotomi ilmu agama dan ilmu dunia.¹⁴ Ia menolak
pandangan bahwa kebenaran ilmiah berdiri terpisah dari nilai-nilai etis dan
transenden.¹⁵ Oleh karena itu, paradigma Khaldunian mengajarkan bahwa ilmu
harus diarahkan pada maṣlaḥah (kemaslahatan), bukan sekadar utility
material.¹⁶
Selain itu, model pengetahuan Ibnu Khaldun yang
berbasis pada rasionalitas empiris dan moralitas sosial dapat menjadi fondasi
bagi Islamic philosophy of science.¹⁷ Dalam kerangka ini, pengetahuan
dipahami sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan dan harmoni, bukan sekadar
alat untuk eksploitasi atau dominasi alam.¹⁸ Dengan demikian, filsafat ilmu
Islam dapat direvitalisasi dengan semangat pragmatis dan teonomik sebagaimana
yang digagas oleh Ibnu Khaldun.¹⁹
10.3.   
Relevansi Politik dan
Peradaban dalam Konteks Globalisasi
Teori asabiyyah dan siklus peradaban Ibnu
Khaldun memberikan kerangka analisis yang tajam untuk memahami dinamika politik
global.²⁰ Dalam dunia yang ditandai oleh polarisasi ideologis, konflik
identitas, dan krisis solidaritas, konsep asabiyyah mengajarkan
pentingnya kesadaran kolektif, keadilan sosial, dan kohesi moral sebagai
fondasi peradaban.²¹
Ibnu Khaldun memperingatkan bahwa peradaban akan
hancur ketika elit politik kehilangan orientasi moral dan masyarakat terjebak
dalam kemewahan material.²² Analisis ini menemukan pantulannya dalam realitas
modern—mulai dari krisis demokrasi, korupsi, hingga degradasi nilai dalam
masyarakat konsumtif.²³ Dalam konteks ini, teori sosial Ibnu Khaldun bukan
hanya relevan, tetapi juga profetik, karena ia menggabungkan deskripsi ilmiah
dengan peringatan moral.²⁴
Selain itu, model historis Ibnu Khaldun tentang ʿumrān
dapat diterapkan untuk membaca globalisasi sebagai fenomena yang memiliki
siklus: fase ekspansi, kejayaan, dan disintegrasi.²⁵ Relevansi ini membuat Ibnu
Khaldun menjadi acuan penting dalam kajian geopolitik dan teori peradaban
modern seperti karya Samuel Huntington maupun Immanuel Wallerstein.²⁶
10.4.   
Reaktualisasi Nilai-Nilai
Khaldunian untuk Dunia Islam Kontemporer
Dunia Islam modern menghadapi tantangan
epistemologis dan sosial yang mirip dengan situasi pada masa Ibnu Khaldun:
disintegrasi politik, lemahnya solidaritas sosial, dan ketergantungan pada
model pengetahuan eksternal.²⁷ Dalam konteks ini, reaktualisasi pemikiran
Khaldunian dapat menjadi langkah strategis menuju pembaruan peradaban Islam.²⁸
Nilai-nilai seperti asabiyyah, kerja keras,
keadilan, dan keseimbangan antara ilmu dan moral perlu dihidupkan kembali
sebagai basis reformasi sosial.²⁹ Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa kekuatan umat
tidak bergantung pada dogma, tetapi pada kemampuan mengintegrasikan iman dengan
kerja dan rasionalitas.³⁰ Pandangan ini relevan untuk membangun paradigma
pembangunan Islam yang berakar pada nilai-nilai spiritual, bukan sekadar imitasi
sistem sekuler.³¹
Lebih jauh lagi, pemikiran Ibnu Khaldun dapat
membantu dunia Islam membangun kembali kesadaran historisnya.³² Ia menekankan
pentingnya memahami sejarah bukan untuk nostalgia, tetapi sebagai cermin bagi
perencanaan masa depan.³³ Dalam hal ini, Muqaddimah bukan hanya kitab
masa lalu, tetapi manual konseptual bagi rekonstruksi peradaban Islam abad
ke-21.³⁴
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 221.
[2]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 110.
[3]               
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 160.
[4]               
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 153.
[5]               
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 57.
[6]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 124.
[7]               
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 89.
[8]               
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 285.
[9]               
Fathi Osman, The Islamic Thought, 162.
[10]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 140.
[11]            
Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 225.
[12]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 287.
[13]            
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to
the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 96.
[14]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 155.
[15]            
Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern
Scholarship (London: Routledge, 1982), 151.
[16]            
Al-Attas, Islam and Secularism, 90.
[17]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 289.
[18]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 164.
[19]            
Leaman, Classical Islamic Philosophy, 224.
[20]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 145.
[21]            
Toynbee, Arnold, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 359.
[22]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 118.
[23]            
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Naqd al-ʿAql al-ʿArabi
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-ʿArabiyyah, 1990), 241.
[24]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
228.
[25]            
Spengler, Oswald, The Decline of the West
(New York: Knopf, 1926), 103.
[26]            
Huntington, Samuel P., The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon &
Schuster, 1996), 48.
[27]            
Osman, The Islamic Thought, 166.
[28]            
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam, 98.
[29]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 147.
[30]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 291.
[31]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 168.
[32]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 158.
[33]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 150.
[34]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
230.
11.       Kesimpulan
Pemikiran Ibnu Khaldun merepresentasikan salah satu
puncak sintesis intelektual dalam sejarah filsafat Islam. Ia berhasil memadukan
antara rasionalitas empiris, dimensi teologis, dan orientasi moral dalam satu
sistem pemikiran yang koheren dan fungsional.¹ Melalui Muqaddimah, Ibnu
Khaldun tidak hanya membangun teori sejarah atau sosiologi, tetapi merumuskan filsafat
sosial Islam yang menempatkan manusia sebagai subjek rasional sekaligus
makhluk spiritual yang hidup dalam tatanan Ilahi.² Sistemnya menghadirkan
keseimbangan antara realitas empiris dan transendensi, antara hukum sosial dan
kehendak Tuhan.³
Dari perspektif epistemologi, Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa pengetahuan adalah instrumen, bukan tujuan akhir.⁴ Nilainya
terletak pada kemampuannya menjelaskan dan memperbaiki kondisi manusia serta
masyarakat.⁵ Epistemologi ini melahirkan paradigma pragmatis-instrumental,
di mana ilmu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai maṣlaḥah
(kemaslahatan umum) dan kemajuan peradaban (ʿumrān).⁶ Ia menolak
dualisme antara ilmu agama dan ilmu dunia, menegaskan bahwa keduanya adalah
bagian dari satu kesatuan ontologis dalam kehendak Tuhan.⁷
Dalam bidang ontologi sosial, Ibnu Khaldun
memandang masyarakat sebagai organisme hidup yang tunduk pada hukum-hukum
objektif.⁸ Asabiyyah menjadi energi eksistensial yang menggerakkan
sejarah dan membentuk siklus kehidupan peradaban.⁹ Dengan demikian, realitas
sosial bersifat dinamis, dan manusia memiliki tanggung jawab moral untuk
memahami serta mengelolanya.¹⁰ Ontologi Khaldunian tidak bersifat deterministik;
ia membuka ruang bagi kehendak bebas manusia sebagai mitra dalam kehendak
Ilahi.¹¹
Aksiologi pemikiran Ibnu Khaldun berpijak pada
pandangan bahwa ilmu dan moralitas harus bersinergi dalam membangun masyarakat
beradab.¹² Ia menolak pengetahuan yang steril dari nilai, sebagaimana menolak
moralitas yang buta terhadap realitas.¹³ Dalam konteks ini, pengetahuan menjadi
instrumen etis—alat untuk membangun keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab
sosial.¹⁴
Dari segi metodologi, Ibnu Khaldun menegaskan
pentingnya observasi, verifikasi, dan analisis kausal dalam memahami sejarah.¹⁵
Ia menolak mitos, dogma, dan taklid, menggantinya dengan kritik historis dan
empirisme rasional.¹⁶ Pendekatan ini tidak hanya menandai lahirnya scientia
socialis dalam Islam, tetapi juga membuka jalan bagi tradisi ilmiah modern
yang berbasis bukti dan refleksi moral.¹⁷
Pada level filosofis, sintesis Ibnu Khaldun
menunjukkan bahwa filsafat Islam dapat bersifat dinamis dan progresif tanpa
kehilangan basis teologisnya.¹⁸ Ia membuktikan bahwa rasionalitas tidak harus
bertentangan dengan wahyu, dan empirisme tidak harus mengarah pada
sekularisme.¹⁹ Dalam pandangannya, seluruh aspek realitas—alam, sejarah, dan
masyarakat—adalah cerminan dari keteraturan Ilahi (sunan Allāh fī al-kawn)
yang dapat dipahami melalui akal.²⁰
Relevansi pemikiran Ibnu Khaldun di era kontemporer
semakin nyata.²¹ Di tengah fragmentasi pengetahuan dan krisis moral global,
sistem Khaldunian menawarkan paradigma integratif yang menyatukan ilmu, nilai,
dan tindakan.²² Dalam konteks pembangunan peradaban Islam modern, pemikirannya
memberikan dasar filosofis untuk rekonstruksi epistemologi yang berorientasi
pada kemaslahatan manusia.²³
Dengan demikian, aliran Pragmatis-Instrumental
yang diwakili oleh Ibnu Khaldun merupakan bentuk filsafat Islam yang paling
historis dan kontekstual.²⁴ Ia tidak hanya berbicara tentang hakikat
pengetahuan, tetapi juga tentang tanggung jawab manusia terhadap realitas
sosial dan moralnya.²⁵ Melalui sintesis rasional, empiris, dan teologis, Ibnu
Khaldun menunjukkan bahwa filsafat Islam bukanlah warisan masa lalu yang beku,
melainkan sistem hidup yang terus relevan untuk menjawab tantangan zaman.²⁶
Footnotes
[1]               
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (London: George Allen and Unwin, 1957), 230.
[2]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 227.
[3]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 150.
[4]               
Ibid., 51.
[5]               
Fathi Osman, The Islamic Thought: Reform and
Renewal (Los Angeles: MVI Publications, 1998), 172.
[6]               
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 92.
[7]               
Syed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 295.
[8]               
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 105.
[9]               
Ibid., 118.
[10]            
Abdesselam Cheddadi, Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane (Paris: Gallimard, 2006), 158.
[11]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
233.
[12]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 163.
[13]            
Oliver Leaman, Classical Islamic Philosophy,
228.
[14]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 125.
[15]            
Ibid., 76.
[16]            
Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun in Modern
Scholarship (London: Routledge, 1982), 154.
[17]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 298.
[18]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 174.
[19]            
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 100.
[20]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 132.
[21]            
Toynbee, Arnold, A Study of History (London:
Oxford University Press, 1934), 361.
[22]            
Nasr, Knowledge and the Sacred, 301.
[23]            
Al-Attas, Islam and Secularism, 94.
[24]            
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
236.
[25]            
Cheddadi, Ibn Khaldun, 161.
[26]            
Fathi Osman, The Islamic Thought, 176.
Daftar Pustaka 
Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and secularism.
Kuala Lumpur: ABIM.
Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the
metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the
worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Azmeh, A. (1982). Ibn Khaldun in modern
scholarship. London: Routledge.
Al-Farabi. (1968). Ara’ ahl al-madinah
al-fadilah. Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Farabi. (1986). Political regime.
Istanbul: IRCICA.
Al-Ghazali. (1957). Ihya’ ‘ulum al-din.
Cairo: Dar al-Ma‘arif.
Al-Jabiri, M. A. (1989). Bunyah al-‘aql
al-‘arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah.
Al-Jabiri, M. A. (1990). Naqd al-‘aql al-‘arabi.
Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah.
Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in
Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Cheddadi, A. (2006). Ibn Khaldun: L’homme et le
théoricien de la civilisation musulmane. Paris: Gallimard.
Dewey, J. (1925). Experience and nature.
Chicago: Open Court.
Dewey, J. (1929). The quest for certainty.
New York: Minton, Balch & Company.
Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam:
The expansion of Islam in the middle periods (Vol. 2). Chicago: University
of Chicago Press.
Idris, H. R. (1962). La Berbérie orientale sous
les Hafsides. Paris: Adrien Maisonneuve.
Iqbal, M. (1934). The reconstruction of religious
thought in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An
introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-tahafut (S.
van den Bergh, Trans.). London: Luzac.
James, W. (1907). Pragmatism: A new name for
some old ways of thinking. New York: Longmans, Green, and Co.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Mahdi, M. (1957). Ibn Khaldun’s philosophy of
history. London: George Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1964). An introduction to Islamic
cosmological doctrines. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought.
London: Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Osman, F. (1998). The Islamic thought: Reform
and renewal. Los Angeles: MVI Publications.
Rosenthal, F. (1958). Political thought in
medieval Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Spengler, O. (1926). The decline of the West.
New York: Knopf.
Toynbee, A. (1934). A study of history.
London: Oxford University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar