Kamis, 16 Oktober 2025

Ekoteologi: Rekonsiliasi Relasi Manusia, Tuhan, dan Alam dalam Perspektif Filosofis, Teologis, dan Etis

Ekoteologi

Rekonsiliasi Relasi Manusia, Tuhan, dan Alam dalam Perspektif Filosofis, Teologis, dan Etis


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Ekoteologi sebagai suatu paradigma teologis-filosofis yang berupaya menjembatani iman keagamaan dengan tanggung jawab ekologis manusia terhadap ciptaan. Krisis ekologis global—seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketimpangan sosial—tidak hanya dipahami sebagai persoalan teknis, tetapi juga sebagai krisis spiritual dan moral yang berakar pada cara manusia memandang dirinya dalam relasi dengan Tuhan dan alam. Dalam kerangka ini, ekoteologi menawarkan pendekatan integratif yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, etis, metodologis, dan praksis.

Secara ontologis, ekoteologi menegaskan kesatuan eksistensial antara Tuhan, manusia, dan alam—bahwa seluruh ciptaan adalah partisipasi dalam keberadaan Ilahi. Secara epistemologis, pengetahuan tentang Tuhan dan alam tidak dapat dipisahkan, karena wahyu dan pengalaman alam sama-sama menjadi sumber kebenaran spiritual. Dari sisi etika, ekoteologi memperluas horizon moral manusia menuju solidaritas kosmik dan keadilan ekologis, dengan kasih sebagai prinsip dasar. Sedangkan dalam metodologi, ekoteologi memadukan hermeneutika ekologis terhadap teks-teks suci dengan pendekatan interdisipliner dan praksis transformatif.

Artikel ini juga menelaah kritik-kritik utama terhadap ekoteologi—termasuk tuduhan sinkretisme, risiko panteisme, bias Barat, serta kelemahan praksis—dan menunjukkan bagaimana kritik tersebut justru memperkaya dinamika reflektif ekoteologi menuju teologi yang lebih kontekstual, inklusif, dan dialogis. Pada bagian sintesis, ekoteologi dipahami sebagai teologi kosmik yang mengintegrasikan iman, rasio, dan spiritualitas dalam horizon keberlanjutan ciptaan. Akhirnya, artikel ini menegaskan relevansi kontemporer ekoteologi sebagai fondasi teologis bagi gerakan keadilan ekologis, pendidikan lingkungan berbasis spiritualitas, serta reformasi gaya hidup berkelanjutan. Melalui pendekatan ini, iman tidak lagi dipisahkan dari bumi, melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata untuk merawat dan memperbaharui ciptaan Tuhan.

Kata Kunci: Ekoteologi; Teologi Lingkungan; Spiritualitas Ekologis; Etika Kosmik; Hermeneutika Ekologis; Keadilan Lingkungan; Keberlanjutan; Iman dan Alam.


PEMBAHASAN

Ekoteologi dan Urgensinya dalam Konteks Teologi Kontemporer


1.           Pendahuluan

Krisis ekologis global yang melanda dunia dewasa ini telah menjadi salah satu tantangan paling mendesak dalam sejarah peradaban manusia. Pemanasan global, deforestasi, pencemaran air dan udara, serta kepunahan spesies bukan lagi fenomena lokal, melainkan realitas universal yang mengancam keberlangsungan seluruh sistem kehidupan di bumi. Situasi ini menandakan bahwa paradigma antroposentris yang telah mendominasi pola pikir modern—yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam—telah gagal menjaga keseimbangan ekologis yang mendasar.¹ Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali relasi ontologis, epistemologis, dan etis antara manusia, Tuhan, dan alam semesta. Salah satu pendekatan yang menawarkan jalan reflektif dan transformatif terhadap persoalan ini adalah ekoteologi, yaitu suatu bidang kajian yang berupaya memahami keterkaitan mendalam antara iman keagamaan dan tanggung jawab ekologis manusia terhadap ciptaan.

Istilah “ekoteologi” berasal dari dua kata: oikos (rumah tangga, alam semesta) dan theos (Tuhan). Secara konseptual, ekoteologi dapat dipahami sebagai refleksi teologis mengenai relasi antara Tuhan, manusia, dan alam dalam kerangka keberlanjutan ciptaan.² Ia berangkat dari kesadaran bahwa alam bukanlah sekadar objek eksploitasi, melainkan bagian integral dari ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik.³ Dengan demikian, ekoteologi berupaya membangun pemahaman baru tentang spiritualitas ekologis—yakni kesadaran religius yang menempatkan seluruh makhluk hidup sebagai bagian dari komunitas kosmis yang saling bergantung dan terhubung secara ontologis.⁴

Dalam sejarah intelektual Barat, terutama setelah era Pencerahan, teologi sering kali terpisah dari alam. Rasionalisme modern menekankan otonomi manusia dan kemampuan rasional untuk menguasai alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.⁵ Paradigma ini, meskipun menghasilkan kemajuan material luar biasa, juga menimbulkan konsekuensi ekologis yang parah. Sejumlah teolog dan filsuf, seperti Lynn White Jr., menilai bahwa krisis lingkungan sebagian berakar pada interpretasi teologis yang menempatkan manusia sebagai penguasa mutlak atas alam, sebagaimana ditafsirkan dari teks Kejadian dalam tradisi Yudeo-Kristen.⁶ Dalam konteks ini, White menyerukan perlunya reformulasi teologi yang tidak lagi mendukung dominasi manusia atas alam, melainkan mendorong munculnya etika tanggung jawab ekologis.⁷

Di sisi lain, dalam tradisi Islam, konsep khalifah (perwakilan Tuhan di bumi) dan amanah (tanggung jawab moral) menegaskan posisi manusia bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai penjaga yang harus memelihara keseimbangan ciptaan.⁸ Sementara dalam tradisi Timur seperti Buddhisme dan Hindu, hubungan manusia dengan alam dipahami secara non-dualistis—di mana kesadaran akan keterhubungan (interbeing) menjadi dasar moralitas ekologis.⁹ Keberagaman pandangan ini menunjukkan bahwa setiap tradisi keagamaan memiliki potensi internal untuk mengembangkan etika ekologis yang berakar pada ajaran spiritualnya sendiri.

Pendekatan ekoteologis bersifat intrinsik interdisipliner. Ia tidak hanya memadukan dimensi teologis dan filosofis, tetapi juga berdialog dengan ilmu pengetahuan alam, sosiologi, dan ekologi politik. Dengan cara ini, ekoteologi tidak sekadar berbicara tentang keindahan ciptaan Tuhan secara metaforis, tetapi juga mengkaji secara kritis bagaimana sistem sosial, ekonomi, dan budaya manusia berperan dalam merusak atau memulihkan bumi.¹⁰ Pendekatan semacam ini menuntut sikap reflektif, kritis, dan empatik terhadap realitas ekologis yang tengah dihadapi, serta menegaskan perlunya reformasi paradigma spiritual yang menempatkan keberlanjutan kehidupan sebagai ekspresi iman yang otentik.

Rumusan masalah utama dalam kajian ini dapat dirangkum dalam beberapa pertanyaan kunci: (1) bagaimana relasi ontologis antara Tuhan, manusia, dan alam dipahami dalam kerangka ekoteologi?; (2) bagaimana epistemologi teologis dapat berkontribusi terhadap pengetahuan ekologis kontemporer?; (3) sejauh mana ekoteologi mampu menawarkan dasar etis dan praksis bagi transformasi sosial yang berkeadilan ekologis? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kajian ini menggunakan pendekatan filosofis-teologis yang bersifat reflektif, kontekstual, dan hermeneutis.¹¹ Melalui kerangka ini, ekoteologi tidak hanya dipahami sebagai teori keagamaan tentang alam, tetapi juga sebagai praksis spiritual yang mendorong perubahan pola pikir, gaya hidup, dan struktur sosial menuju harmoni kosmis.

Dengan demikian, bagian pendahuluan ini berfungsi sebagai fondasi konseptual yang menegaskan bahwa ekoteologi bukan sekadar cabang teologi baru, melainkan paradigma kritis yang menantang cara lama manusia memahami dirinya di hadapan Tuhan dan alam. Ia mengajukan pandangan bahwa spiritualitas sejati tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab ekologis—bahwa menyembah Tuhan berarti juga menjaga ciptaan-Nya.¹² Dengan kesadaran ini, ekoteologi membuka ruang bagi transformasi teologis yang lebih inklusif, relasional, dan ekologis; suatu upaya untuk merekonsiliasi iman dan bumi dalam satu kesatuan kosmos yang sakral dan hidup.


Footnotes

[1]                Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 3–5.

[2]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 12.

[3]                Rosemary Radford Ruether, Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing (San Francisco: HarperCollins, 1992), 15.

[4]                Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 101.

[5]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–07.

[6]                Ibid., 1205.

[7]                Ibid., 1206.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 87–89.

[9]                Thích Nhất Hạnh, The Heart of Understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press, 1988), 45.

[10]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 22–25.

[11]             Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 9.

[12]             Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 32.


2.           Landasan Historis Ekoteologi

Gagasan tentang keterkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan bukanlah hal baru dalam sejarah pemikiran keagamaan. Sejak masa awal peradaban, berbagai tradisi spiritual dan filosofis telah menempatkan alam sebagai bagian integral dari tatanan kosmik yang sakral. Namun, cara pandang terhadap alam tersebut mengalami transformasi signifikan seiring perkembangan zaman—dari pemahaman kosmos sebagai entitas ilahi, menuju paradigma modern yang memandang alam sebagai objek mekanistik dan netral secara spiritual.¹ Evolusi pandangan ini menjadi dasar historis bagi lahirnya ekoteologi sebagai respons terhadap krisis ekologis dan krisis spiritual yang melanda dunia modern.

2.1.       Akar Religius dan Kosmologis Kuno

Dalam tradisi kuno, manusia tidak pernah memisahkan dirinya dari alam. Bagi masyarakat pra-Yunani dan masyarakat pribumi, alam dipahami sebagai makhluk hidup yang memiliki jiwa (anima mundi).² Pandangan animistik dan politeistik seperti ini menumbuhkan rasa hormat dan keterhubungan spiritual terhadap seluruh unsur alam. Di Mesopotamia dan Mesir Kuno, dewa-dewi sering kali dikaitkan dengan unsur alam—matahari, air, bumi, dan langit—sebagai manifestasi kehadiran ilahi.³ Hal serupa juga ditemukan dalam tradisi Asia Timur dan Nusantara, di mana gunung, sungai, dan pohon memiliki dimensi sakral yang menandai kesadaran ekologis primordial manusia.⁴

Dalam filsafat Yunani klasik, terutama pada masa pra-Sokratik, alam (physis) dipahami sebagai tatanan kosmik yang memiliki prinsip rasional dan spiritual. Thales, Anaximenes, dan Herakleitos melihat alam bukan sekadar materi, melainkan sumber kehidupan yang memiliki logos ilahi di dalamnya.⁵ Namun, seiring berkembangnya rasionalisme Platonik dan Aristotelian, kosmos mulai dilihat secara hierarkis, di mana manusia menempati posisi tertinggi dalam tatanan makhluk hidup.⁶ Meski demikian, Plato tetap menekankan kesatuan kosmos sebagai ciptaan rasional yang indah (kosmos noetos), sementara Aristoteles menganggap alam sebagai sistem teleologis yang memiliki tujuan intrinsik.⁷ Pandangan ini menjadi dasar bagi teologi alam (natural theology) pada masa-masa berikutnya.

2.2.       Tradisi Ibrani-Kristen dan Islam: Alam sebagai Ciptaan Ilahi

Dalam tradisi Ibrani, alam diciptakan oleh Tuhan dan dinyatakan “baik” dalam Kitab Kejadian (Kejadian 1:31).⁸ Pemahaman ini menegaskan kesakralan ciptaan, namun juga memunculkan ambiguitas teologis dalam tafsirnya. Frasa “taklukkanlah bumi dan berkuasalah atasnya” (Kejadian 1:28) kemudian sering ditafsirkan secara antroposentris, yang memberi legitimasi religius terhadap eksploitasi alam.⁹ Namun, sejumlah teolog kontemporer menegaskan bahwa mandat tersebut harus dibaca dalam konteks etika tanggung jawab (stewardship), bukan dominasi.¹⁰ Pandangan ini berupaya memulihkan pemahaman bahwa manusia adalah pengelola ciptaan, bukan penguasa yang absolut.

Dalam teologi Kristen awal, tokoh seperti St. Fransiskus dari Assisi menonjolkan spiritualitas ekologis yang mendalam. Ia melihat semua makhluk sebagai “saudara” dalam ciptaan Tuhan, sebagaimana tampak dalam Canticle of the Sun yang memuji Tuhan melalui matahari, bulan, air, dan bumi.¹¹ Namun, warisan spiritual ini kemudian meredup ketika teologi skolastik dan modern menekankan pemisahan antara jiwa dan materi.¹² Pada Abad Pertengahan, terutama dengan pengaruh Augustinus dan Thomas Aquinas, alam dipahami sebagai simbol atau sarana bagi penyingkapan Tuhan, tetapi kehilangan dimensi sakral intrinsiknya.¹³

Dalam Islam, hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam didasarkan pada konsep tawḥīd (keesaan Ilahi). Alam bukan entitas otonom, melainkan tanda-tanda (āyāt) kebesaran Tuhan.¹⁴ Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa seluruh ciptaan bertasbih memuji Tuhan (QS. Al-Isrā’ [17] ayat 44), dan manusia diberi amanah untuk menjaga keseimbangan (mīzān) alam.¹⁵ Para pemikir Islam klasik seperti al-Ghazālī, Ibn ‘Arabī, dan Ikhwan al-Ṣafā’ menekankan kesatuan ontologis seluruh ciptaan dalam realitas Ilahi.¹⁶ Dalam pandangan ini, merusak alam berarti menyalahi kehendak Tuhan, karena alam merupakan manifestasi dari tajallī (penyingkapan) Ilahi.¹⁷

2.3.       Perubahan Paradigma pada Era Modern

Transformasi besar terjadi pada masa Renaisans dan Pencerahan. Revolusi ilmiah yang dipelopori oleh Copernicus, Galileo, dan Newton menggeser pemahaman tentang alam dari tatanan spiritual menjadi sistem mekanistik.¹⁸ Alam tidak lagi dilihat sebagai makhluk hidup yang suci, tetapi sebagai mesin yang tunduk pada hukum-hukum fisika.¹⁹ Francis Bacon bahkan menegaskan bahwa ilmu harus digunakan untuk “menaklukkan alam” demi kemajuan manusia.²⁰ Pemisahan ini menghasilkan apa yang disebut Lynn White Jr. sebagai “akar historis krisis ekologis,” di mana teologi Barat ikut berkontribusi pada lahirnya paradigma antroposentris yang destruktif.²¹

Dalam konteks modernitas inilah ekoteologi muncul sebagai gerakan korektif.²² Sejak dekade 1960-an, muncul kesadaran baru dalam dunia teologi bahwa krisis ekologi bukan sekadar masalah ilmiah, tetapi juga krisis spiritual dan moral.²³ Gerakan “Green Theology,” Creation Spirituality (Matthew Fox), dan Process Theology (John Cobb, Alfred North Whitehead) berusaha merehabilitasi pandangan teologis terhadap alam sebagai ciptaan yang memiliki nilai sakral dan otonomi moral.²⁴ Sementara itu, di dunia Islam, pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Fazlun Khalid memelopori Islamic Environmentalism dengan mengembalikan kesadaran kosmik dalam ajaran tauhid dan keseimbangan alam.²⁵


Sintesis Historis: Dari Kosmologi Sakral ke Teologi Ekologis

Dari perjalanan panjang ini, tampak bahwa ekoteologi tidak lahir dari ruang hampa, melainkan merupakan rekonstruksi kritis terhadap tradisi spiritual dan filsafat alam yang telah tereduksi oleh modernitas.²⁶ Ia berupaya menghidupkan kembali pandangan dunia (worldview) yang mengakui kesatuan eksistensial antara manusia dan alam dalam horizon transendensi. Dengan demikian, ekoteologi dapat dipandang sebagai upaya rekonsiliasi historis antara iman dan kosmos—antara spiritualitas yang hilang dan ekologi yang terluka.²⁷ Melalui refleksi historis ini, kita memahami bahwa setiap tradisi keagamaan, ketika dibaca ulang dengan hermeneutika ekologis, memiliki potensi untuk memperkaya paradigma keberlanjutan spiritual dan ekologis umat manusia.²⁸


Footnotes

[1]                Ernst Haeckel, The Riddle of the Universe (New York: Harper & Brothers, 1900), 12–14.

[2]                Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion (New York: Harcourt, 1957), 93.

[3]                Jan Assmann, The Search for God in Ancient Egypt (Ithaca: Cornell University Press, 2001), 45.

[4]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28.

[5]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 37–40.

[6]                David Sedley, Creationism and Its Critics in Antiquity (Berkeley: University of California Press, 2007), 54.

[7]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 198b–200a.

[8]                The Holy Bible, Genesis 1:31.

[9]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–07.

[10]             Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 25–27.

[11]             St. Francis of Assisi, Canticle of the Sun, in The Writings of St. Francis of Assisi, trans. Paschal Robinson (Philadelphia: Dolphin Press, 1905), 88.

[12]             Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 72.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 45, a. 1.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 56.

[15]             Al-Qur’an, Surah Al-Isrā’ [17] ayat 44; Al-Rahman [55] ayat 7–9.

[16]             William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 101–03.

[17]             Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought (Albany: SUNY Press, 1992), 143.

[18]             Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 42.

[19]             Ibid., 45.

[20]             Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 129.

[21]             White, “Historical Roots,” 1205.

[22]             Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 19.

[23]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 17.

[24]             John B. Cobb Jr. and David Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 64–67.

[25]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 93–94.

[26]             Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 6.

[27]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 102–04.

[28]             Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 15.


3.            Genealogi dan Tipologi Pemikiran Ekoteologi

Perkembangan ekoteologi sebagai disiplin teologis modern tidak terjadi secara linear, melainkan melalui proses genealogis yang kompleks dan berlapis. Ia lahir dari pertemuan antara refleksi teologis tradisional, kritik terhadap antroposentrisme modern, dan kesadaran ekologis yang muncul dari krisis lingkungan global abad ke-20.¹ Genealogi ekoteologi dapat ditelusuri dari akar-akar historisnya dalam tradisi keagamaan dan filsafat alam kuno, menuju bentuk-bentuk refleksi baru yang menekankan hubungan interdependen antara Tuhan, manusia, dan alam. Dari sinilah berkembang berbagai tipologi pemikiran ekoteologi, yang merepresentasikan perbedaan fokus ontologis dan epistemologis dalam memahami keterkaitan tersebut.

3.1.       Akar Genealogis: Dari Teologi Alam ke Kesadaran Ekologis Modern

Sebelum istilah “ekoteologi” dikenal luas, sudah ada tradisi teologi alam (natural theology) yang berusaha mengenali Tuhan melalui ciptaan-Nya.² Pada masa pra-modern, teologi alam menekankan bahwa keindahan dan keteraturan kosmos merupakan refleksi dari kebijaksanaan ilahi.³ Tokoh seperti Thomas Aquinas dan Meister Eckhart memandang bahwa keberadaan alam adalah manifestasi dari kebaikan Tuhan yang tak terbatas.⁴ Namun, tradisi ini perlahan melemah setelah munculnya rasionalisme dan sains mekanistik pada abad ke-17 dan ke-18. Alam tidak lagi dilihat sebagai “kitab kedua” selain wahyu, melainkan sekadar sumber daya yang dapat dikendalikan manusia.

Kebangkitan kembali refleksi teologis terhadap alam mulai menguat setelah Lynn White Jr. mempublikasikan artikelnya yang berpengaruh berjudul “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis” pada tahun 1967.⁵ White menuduh tradisi Yudeo-Kristen sebagai salah satu penyebab utama krisis ekologi modern karena tafsirnya yang antroposentris terhadap mandat manusia untuk “menaklukkan bumi.”⁶ Meski menimbulkan kontroversi, tesis White memicu perdebatan mendalam di kalangan teolog dan filsuf agama tentang perlunya pembaruan cara pandang terhadap hubungan manusia dan alam.⁷ Dari sinilah muncul gerakan awal Green Theology di Barat dan refleksi paralel di dunia Islam, Hindu, dan Buddhis yang mencari dasar teologis bagi tanggung jawab ekologis manusia.⁸

3.2.       Tipologi Pemikiran Ekoteologi

Secara konseptual, pemikiran ekoteologi berkembang dalam berbagai arus dan tipologi, yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk utama: antroposentris moderat, teosentris, dan kosmosentris. Ketiganya memiliki titik tolak yang berbeda dalam memahami relasi Tuhan, manusia, dan alam, meskipun sering beririsan dan saling memengaruhi.

3.2.1.    Ekoteologi Antroposentris Moderat

Aliran ini tidak sepenuhnya menolak posisi manusia sebagai pusat moral, tetapi menekankan tanggung jawab etis manusia terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan. Pendekatan ini banyak diwakili oleh teologi stewardship dalam tradisi Kristen dan konsep khalīfah dalam Islam.⁹ Dalam paradigma ini, manusia dilihat sebagai pengelola, bukan penguasa alam.¹⁰ Jürgen Moltmann, misalnya, mengembangkan gagasan God in Creation yang menegaskan bahwa manusia harus berpartisipasi dalam perawatan ciptaan sebagai wujud kasih terhadap Tuhan.¹¹ Dalam konteks Islam, Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis ekologi merupakan akibat dari kehilangan kesadaran spiritual tentang kesatuan kosmos dalam tauhid.¹² Pendekatan ini berupaya memulihkan etika keagamaan yang bertanggung jawab tanpa menafikan martabat manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.

3.2.2.    Ekoteologi Teosentris

Tipologi ini berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan adalah pusat kosmos dan seluruh ciptaan memiliki nilai karena berpartisipasi dalam keberadaan Ilahi.¹³ Alam bukan sekadar latar tempat manusia beraktivitas, melainkan ekspresi diri Tuhan yang hidup. Tokoh penting seperti Thomas Berry dan Sallie McFague memandang dunia sebagai “tubuh Tuhan” (The Body of God), di mana Tuhan hadir dan bekerja di dalam setiap unsur kehidupan.¹⁴ Pendekatan ini juga dipengaruhi oleh Process Theology Alfred North Whitehead dan John Cobb, yang menekankan bahwa realitas bersifat dinamis dan saling berproses dalam kehadiran Ilahi.¹⁵ Ekoteologi teosentris menolak dualisme transenden-imanen dan menggantikannya dengan teologi relasional yang mengakui kesakralan imanen alam.¹⁶

3.2.3.    Ekoteologi Kosmosentris

Dalam tipologi ini, alam ditempatkan sebagai pusat refleksi teologis dan spiritualitas. Alam tidak hanya dianggap sebagai ciptaan Tuhan, tetapi juga sebagai subjek teologis yang memiliki makna, nilai, dan hak-hak intrinsik.¹⁷ Gagasan ini banyak dikembangkan oleh teologi kontekstual dan spiritualitas Timur seperti Buddhisme, Taoisme, dan juga oleh gerakan Deep Ecology yang dipelopori oleh Arne Næss.¹⁸ Konsep interbeing Thích Nhất Hạnh dan pandangan Gaia James Lovelock menegaskan bahwa kehidupan adalah jaringan saling ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan.¹⁹ Ekoteologi kosmosentris menggeser fokus teologi dari keselamatan manusia menuju penyelamatan seluruh ciptaan (salus mundi), sehingga etika ekologinya bersifat inklusif dan universal.²⁰

3.3.       Tokoh dan Tradisi Pemikiran Lintas Agama

Genealogi ekoteologi tidak dapat dilepaskan dari kontribusi berbagai tradisi keagamaan dan pemikiran lintas budaya. Dalam Kekristenan, selain Moltmann dan McFague, tokoh seperti Leonardo Boff mengembangkan eco-liberation theology yang menggabungkan teologi pembebasan dan keadilan ekologis.²¹ Dalam Buddhisme, Thích Nhất Hạnh mempromosikan kesadaran ekologis melalui meditasi dan praktik hidup sederhana yang berlandaskan pada interkoneksi kosmik.²² Dalam Hinduisme, Satish Kumar menegaskan prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) sebagai dasar spiritualitas ekologis.²³ Sementara dalam Islam, Fazlun Khalid dan Ziauddin Sardar mengusung pendekatan ekologis berbasis sharī‘ah al-bi’ah (hukum lingkungan Islam) untuk menyeimbangkan hubungan manusia dan alam.²⁴

Keberagaman ini menunjukkan bahwa ekoteologi bersifat pluralistik dan lintas tradisi.²⁵ Ia bukan monopoli suatu agama, melainkan hasil refleksi kolektif umat manusia terhadap krisis ekologis global.²⁶ Setiap tradisi agama membawa nilai khas yang memperkaya wacana ekoteologis: Islam dengan tauhid dan mīzān, Kristen dengan teologi inkarnasional, Hindu dan Buddha dengan kesadaran non-dualistik, serta kepercayaan lokal dengan spiritualitas kosmiknya.²⁷

3.4.       Integrasi dan Perkembangan Mutakhir

Dalam perkembangan kontemporer, kecenderungan menuju sintesis antara ketiga tipologi tersebut semakin kuat. Para teolog berupaya mengintegrasikan etika tanggung jawab manusia (antroposentris moderat), kesadaran kehadiran Tuhan di alam (teosentris), dan spiritualitas kesatuan kosmos (kosmosentris).²⁸ Gerakan seperti ecumenical eco-theology, eco-feminism, dan interfaith environmental ethics menjadi wadah bagi dialog lintas agama untuk membangun paradigma ekologis global yang spiritual dan praksis.²⁹ Dengan demikian, ekoteologi kini tidak hanya menjadi bidang refleksi teoretis, tetapi juga gerakan transformasional yang menghubungkan iman, pengetahuan, dan tindakan untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama (oikos tou theou).³⁰


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 22.

[2]                Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 18.

[3]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 11–13.

[4]                Bernard McGinn, The Essential Writings of Christian Mysticism (New York: Modern Library, 2006), 78.

[5]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–07.

[6]                Ibid., 1205.

[7]                Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 8–9.

[8]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 14–16.

[9]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 67.

[10]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.

[11]             Moltmann, God in Creation, 23–25.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 90.

[13]             John B. Cobb Jr. and David Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 71.

[14]             Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 29.

[15]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 342.

[16]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 104.

[17]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 49.

[18]             Arne Næss, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.

[19]             Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth (Berkeley: Parallax Press, 2013), 17.

[20]             James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford: Oxford University Press, 1979), 98.

[21]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 26.

[22]             Thích Nhất Hạnh, The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology (Berkeley: Parallax Press, 2008), 31.

[23]             Satish Kumar, You Are, Therefore I Am: A Declaration of Dependence (Totnes: Green Books, 2002), 54.

[24]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 8–10.

[25]             Tucker and Grim, Ecology and Religion, 62.

[26]             Ernst Haeckel, The Riddle of the Universe (New York: Harper & Brothers, 1900), 20.

[27]             Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 78.

[28]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 98–100.

[29]             Rosemary Radford Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization, and World Religions (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005), 12–13.

[30]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 105.


4.           Ontologi: Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam

Ontologi ekoteologi berangkat dari kesadaran bahwa realitas kosmos tidak dapat dipahami sebagai sekumpulan entitas yang terpisah, melainkan sebagai jaringan kehidupan yang saling bergantung dalam kehadiran Ilahi.¹ Dalam konteks ini, hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam bukanlah relasi yang bersifat hierarkis dan dualistik, tetapi bersifat relasional dan partisipatoris. Ontologi ekoteologis menolak dikotomi tajam antara yang sakral dan profan, roh dan materi, atau manusia dan alam—sebuah dikotomi yang menjadi ciri khas metafisika modern pasca-Descartes.² Sebaliknya, ia menegaskan bahwa seluruh ciptaan merupakan manifestasi dan partisipasi dalam keberadaan Tuhan (being-within-being), di mana setiap wujud memiliki nilai intrinsik dan makna spiritual yang tak terpisahkan dari totalitas kosmos.³

4.1.       Kritik terhadap Dualisme Klasik dan Ontologi Mekanistik

Dalam tradisi filsafat Barat, terutama sejak Descartes, alam dipandang sebagai res extensa—benda yang dapat diukur, dimanipulasi, dan dikuasai.⁴ Sementara manusia ditempatkan sebagai res cogitans, subjek rasional yang eksis secara terpisah dari alam. Paradigma ini menghasilkan ontologi dualistik yang memisahkan manusia dari lingkungannya dan menempatkan alam semata-mata sebagai objek material.⁵ Dalam kerangka modernitas, ontologi tersebut kemudian mendasari kapitalisme industri dan sains positivistik, yang secara epistemologis menyingkirkan dimensi spiritual dari alam.⁶ Carolyn Merchant menyebut pergeseran ini sebagai “kematian alam” (the death of nature), di mana dunia kehilangan maknanya sebagai organisme hidup dan menjadi mesin mati tanpa kesucian.⁷

Ontologi ekoteologis muncul sebagai kritik terhadap reduksi tersebut. Ia berupaya membalik paradigma mekanistik menjadi paradigma organis—di mana alam kembali dipahami sebagai sistem hidup yang bersifat interrelasional.⁸ Dalam pandangan ini, manusia tidak berada di luar alam, melainkan di dalamnya sebagai bagian integral dari keseluruhan ciptaan. Relasi ontologis semacam ini menuntut pemahaman baru tentang eksistensi yang bersifat dialogis dan ko-eksistensial, bukan dominatif.⁹

4.2.       Ontologi Relasional dan Partisipatif: Dari Panenteisme ke Interbeing

Dalam teologi kontemporer, konsep ontologi relasional banyak dikembangkan melalui gagasan panenteisme—bahwa Tuhan “meliputi” alam semesta tetapi tidak identik dengannya.¹⁰ Panenteisme berbeda dari panteisme yang menganggap Tuhan dan alam sebagai satu dan sama; panenteisme memandang bahwa seluruh ciptaan berada di dalam Tuhan, namun Tuhan juga melampaui ciptaan itu.¹¹ Pandangan ini ditemukan dalam Process Theology Alfred North Whitehead dan John B. Cobb Jr., yang menekankan bahwa realitas bersifat dinamis dan setiap entitas berpartisipasi dalam proses kreatif Ilahi (creative advance).¹² Thomas Berry menyebut pandangan ini sebagai sacred cosmology, yakni bahwa alam semesta adalah perwujudan cinta dan kesadaran Ilahi yang terus berkembang.¹³

Dalam tradisi Timur, ontologi relasional diungkapkan melalui konsep interbeing (Thích Nhất Hạnh), yang menekankan bahwa segala sesuatu saling mengada (to inter-be)—tidak ada entitas yang eksis secara independen.¹⁴ Dalam kerangka ini, manusia, alam, dan Tuhan bukanlah tiga entitas terpisah, melainkan dimensi saling menembus dari satu realitas kosmik yang menyatu. Buddhisme, Taoisme, dan bahkan mistisisme Islam (tasawuf) memiliki pandangan serupa, di mana Tuhan dipahami sebagai wujūd mutlaq (realitas absolut) yang menjadi dasar dan penopang seluruh eksistensi.¹⁵ Ibn ‘Arabī menyebut hubungan ini sebagai wahdat al-wujūd—kesatuan keberadaan yang menegaskan bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari Tuhan, namun tidak pernah identik dengan-Nya.¹⁶ Ontologi semacam ini menumbuhkan kesadaran ekologis yang mendalam, sebab menghancurkan alam berarti menodai kehadiran Ilahi dalam ciptaan.¹⁷

4.3.       Ontologi Ekoteologis dalam Tradisi Abrahamik dan Timur

Dalam tradisi Kristen, Jürgen Moltmann dan Sallie McFague menawarkan reinterpretasi terhadap konsep penciptaan dalam Kitab Kejadian. Moltmann menolak pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia “dari luar,” dan menekankan bahwa Tuhan senantiasa hadir di dalam ciptaan melalui Roh Kudus.¹⁸ McFague, dalam karyanya The Body of God, mengusulkan metafora teologis baru: dunia adalah tubuh Tuhan.¹⁹ Dengan memahami dunia sebagai tubuh Ilahi, maka tindakan merusak alam sama dengan melukai tubuh Tuhan sendiri.²⁰ Pandangan ini membawa dimensi etis yang kuat, karena menuntut manusia untuk memperlakukan alam dengan kasih dan penghormatan spiritual.

Dalam Islam, ontologi ekoteologis bertumpu pada prinsip tawḥīd (keesaan Ilahi) dan mīzān (keseimbangan).²¹ Alam dipandang sebagai sistem tanda-tanda Ilahi (āyāt Allāh) yang saling berhubungan dan tunduk pada hukum keseimbangan kosmik.²² Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa seluruh ciptaan memiliki “kedudukan ontologis” yang sakral karena memantulkan cahaya Ilahi.²³ Oleh karena itu, tindakan ekologis bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan ibadah kosmik yang menegaskan kesetiaan manusia pada prinsip tauhid.²⁴ Pandangan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ontologi ekologis tidak terpisah dari teologi, karena keberadaan seluruh makhluk berpangkal pada satu sumber wujud: Tuhan.

4.4.       Ontologi Alam sebagai Ruang Sakral

Salah satu ciri khas ontologi ekoteologis adalah pemulihan kesakralan alam.²⁵ Alam bukanlah “benda” yang berdiri di luar kesadaran religius, melainkan ruang teofanik—tempat kehadiran Tuhan termanifestasi.²⁶ Dalam pandangan Mircea Eliade, ruang alam yang sakral menandai keterhubungan manusia dengan pusat kosmos; dengan demikian, kehidupan ekologis juga merupakan kehidupan spiritual.²⁷ Ontologi semacam ini tidak hanya menolak reduksi materialistik, tetapi juga membuka kembali makna metafisik dari keberadaan alam.²⁸ Alam menjadi “ikon” Tuhan, bukan “alat” bagi manusia.²⁹

Pemulihan ontologi sakral ini memiliki implikasi besar bagi ekoteologi kontemporer. Ia mendorong manusia untuk memandang dirinya bukan sebagai penguasa bumi, tetapi sebagai bagian dari jaringan kosmis yang dijiwai oleh Roh Ilahi.³⁰ Ontologi demikian mengubah paradigma eksistensial: dari “ada untuk menguasai” menjadi “ada untuk merawat.”³¹ Dalam tatanan ini, relasi Tuhan, manusia, dan alam membentuk kesatuan ontologis yang dinamis, di mana seluruh wujud berpartisipasi dalam harmoni keberadaan yang suci dan tak terbagi.³²


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 34.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 28.

[3]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 73.

[4]                Descartes, Meditations, 42–43.

[5]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 25.

[6]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 11–12.

[7]                Merchant, The Death of Nature, 41.

[8]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 31–32.

[9]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 19.

[10]             John B. Cobb Jr. and David Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 74.

[11]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 342.

[12]             Ibid., 348–349.

[13]             Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 104.

[14]             Thích Nhất Hạnh, The Heart of Understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press, 1988), 45.

[15]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 57.

[16]             Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. E. Affifi (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyya, 1946), 87–88.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 92.

[18]             Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 28–30.

[19]             Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 28.

[20]             Ibid., 30.

[21]             Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 56.

[22]             Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.

[23]             Nasr, Man and Nature, 85.

[24]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 63.

[25]             Berry, The Great Work, 77.

[26]             Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion (New York: Harcourt, 1957), 21.

[27]             Ibid., 23.

[28]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 40.

[29]             Thomas Merton, New Seeds of Contemplation (New York: New Directions, 1961), 87.

[30]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 34.

[31]             Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 18.

[32]             Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 125.


5.           Epistemologi Ekoteologi

Epistemologi ekoteologi berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan alam tidak dapat dipisahkan satu sama lain.¹ Jika dalam paradigma modern Barat pengetahuan cenderung dipahami secara dualistik—antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui—maka epistemologi ekoteologis mengajukan pemahaman relasional di mana manusia, alam, dan Tuhan saling terjalin dalam jejaring kebenaran yang hidup (living truth).² Dalam konteks ini, mengetahui bukan sekadar tindakan intelektual, melainkan partisipasi eksistensial dan spiritual dalam realitas Ilahi.³ Ekoteologi dengan demikian menawarkan kerangka epistemologis yang menyatukan pengalaman spiritual, wahyu, rasionalitas, dan kepekaan ekologis dalam satu horizon kesadaran kosmik.

5.1.       Dari Rasionalisme Modern ke Pengetahuan Relasional

Salah satu akar krisis ekologi terletak pada epistemologi modern yang bersifat objektif dan instrumental, sebagaimana dikembangkan oleh Francis Bacon, René Descartes, dan Isaac Newton.⁴ Alam diperlakukan sebagai objek pasif yang dapat dikuasai melalui metode ilmiah; pengetahuan menjadi alat kekuasaan, bukan sarana kebijaksanaan.⁵ Paradigma ini menghasilkan “epistemologi dominatif,” yang berupaya menundukkan alam dalam kerangka eksploitasi ekonomi dan teknologis.⁶ Carolyn Merchant menyebut pergeseran ini sebagai “maskulinisasi pengetahuan,” karena menggantikan relasi simbiotik dengan relasi kontrol.⁷

Sebagai reaksi terhadap dominasi rasionalisme tersebut, epistemologi ekoteologi mengajukan model pengetahuan yang dialogis, empatik, dan kontemplatif.⁸ Pengetahuan bukan hasil dominasi atas alam, melainkan keterlibatan yang penuh kasih terhadapnya.⁹ Dengan kata lain, manusia tidak dapat “mengetahui” alam tanpa terlebih dahulu “menyatu” dengannya secara spiritual. Pengetahuan sejati bersumber dari kesadaran partisipatif—mengetahui berarti ikut serta dalam kehidupan Ilahi yang menjiwai seluruh ciptaan.¹⁰

5.2.       Wahyu, Alam, dan Pengalaman sebagai Sumber Pengetahuan

Dalam kerangka teologis, epistemologi ekoteologis tidak hanya berlandaskan rasio, tetapi juga pada wahyu (revelation), alam (creation), dan pengalaman spiritual (experience). Ketiganya saling melengkapi dalam proses mengenal Tuhan dan memahami realitas kosmik.

Dalam tradisi Kristen, konsep natural revelation menegaskan bahwa alam merupakan wahyu pertama Tuhan sebelum firman tertulis.¹¹ Mazmur 19:2 menyatakan, “Langit menceritakan kemuliaan Allah.” Pandangan ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dapat diperoleh melalui kontemplasi terhadap ciptaan.¹² Thomas Aquinas juga berpendapat bahwa hukum alam adalah partisipasi manusia dalam hukum abadi Tuhan (lex naturalis).¹³

Dalam Islam, epistemologi ekoteologis didasarkan pada prinsip bahwa alam adalah ayat kauniyyah—tanda-tanda Tuhan di dunia fenomenal.¹⁴ Al-Qur’an mengajak manusia untuk “merenungkan ciptaan langit dan bumi” (QS. Ali Imran [3] ayat 191) sebagai sarana untuk mengenal Sang Pencipta.¹⁵ Dengan demikian, pengetahuan ekologis bukanlah sekadar observasi empiris, melainkan juga perenungan teologis. Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa pengetahuan sejati tentang alam hanya dapat dicapai jika manusia memandang dunia melalui “mata hati” (‘ayn al-qalb), bukan semata-mata dengan akal empiris.¹⁶

Pengalaman religius juga memainkan peran epistemik penting. Dalam spiritualitas Buddhis dan Taois, kesadaran ekologis muncul dari pengalaman langsung akan keterhubungan segala makhluk (interbeing).¹⁷ Thích Nhất Hạnh menekankan bahwa memahami alam berarti mengalami kesatuan diri dengan semua makhluk hidup.¹⁸ Pengetahuan demikian bersifat transformatif karena tidak hanya mengubah cara berpikir, tetapi juga cara hidup.

5.3.       Dialog antara Teologi dan Sains Lingkungan

Epistemologi ekoteologi menolak dikotomi antara teologi dan sains. Alih-alih menentang sains, ia justru menyerukan dialog kreatif antara pengetahuan ilmiah dan kebijaksanaan spiritual.¹⁹ Pandangan ini sejalan dengan semangat integrative epistemology, di mana ilmu dan iman berkolaborasi dalam memahami kompleksitas realitas ekologis.²⁰

Fritjof Capra, dalam kerangka sains sistemik, menunjukkan bahwa alam bekerja sebagai jaringan relasi yang kompleks dan dinamis—suatu sistem kehidupan yang terorganisir secara holistik.²¹ Pemahaman ini selaras dengan gagasan teologis tentang kesatuan ciptaan (unity of creation).²² Dalam konteks ini, pengetahuan ilmiah yang terbuka terhadap nilai spiritual dapat menjadi sarana pewahyuan Ilahi yang baru, di mana sains tidak lagi berfungsi untuk menguasai, tetapi untuk melayani kehidupan.²³

Di sinilah epistemologi ekoteologi memperluas batas tradisional antara “iman” dan “pengetahuan.” Kebenaran tidak lagi dipahami sebagai kesesuaian semata antara pikiran dan realitas (adaequatio intellectus ad rem), tetapi sebagai keselarasan antara pikiran, hati, dan alam (harmonia mentis et naturae).²⁴ Dengan demikian, pengetahuan ekologis sejati adalah pengetahuan yang etis dan spiritual sekaligus.

5.4.       Ekoteologi sebagai Epistemologi Praksis

Epistemologi ekoteologi bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga praksis.²⁵ Mengetahui berarti bertindak sesuai dengan kebenaran ekologis.²⁶ Dalam hal ini, pengetahuan tidak berhenti pada ranah konseptual, melainkan diwujudkan dalam tindakan konkret menjaga keberlanjutan ciptaan.²⁷ Leonardo Boff menyebutnya sebagai praxis ekologis—perpaduan antara refleksi iman dan tindakan sosial untuk menyelamatkan bumi.²⁸

Epistemologi praksis ini juga terlihat dalam teologi pembebasan ekologis yang memandang bahwa pengetahuan sejati muncul dari pengalaman bersama yang tertindas—termasuk alam yang dieksploitasi.²⁹ Dalam paradigma ini, pengetahuan bersifat dialogis dan kolektif, lahir dari relasi kasih antara manusia dan seluruh ciptaan.³⁰ Oleh karena itu, epistemologi ekoteologis mengandung dimensi etis yang kuat: ia menuntut konversi ekologis (ecological conversion) dan transformasi kesadaran menuju kehidupan yang berkelanjutan.³¹

5.5.       Menuju Kesadaran Epistemologis Kosmik

Epistemologi ekoteologi berujung pada kesadaran kosmik, yakni pemahaman bahwa seluruh ciptaan merupakan medan pengetahuan Ilahi yang terus terbuka.³² Dalam kosmologi Thomas Berry, alam semesta adalah “kitab wahyu ketiga” setelah Kitab Suci dan pengalaman mistik.³³ Melalui alam, manusia diajak untuk membaca narasi besar kosmos—sebuah kisah penciptaan yang masih berlangsung.³⁴ Pengetahuan dalam kerangka ini bukanlah penguasaan, tetapi partisipasi dalam evolusi spiritual alam semesta.³⁵

Dengan demikian, epistemologi ekoteologi menegaskan bahwa mengetahui adalah bentuk cinta: cinta kepada Tuhan, kepada sesama, dan kepada bumi.³⁶ Ia melampaui batas metodologis sains dan dogmatisme agama, menuju suatu horizon kesadaran holistik di mana iman, rasio, dan alam saling menerangi.³⁷ Di sinilah ekoteologi menemukan jiwanya sebagai epistemologi yang menyatukan sapientia (kebijaksanaan) dan scientia (pengetahuan) dalam satu kesadaran ekologis Ilahi.³⁸


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 57.

[2]                Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 21.

[3]                Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 88.

[4]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 35.

[5]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 28.

[6]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 27.

[7]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41.

[8]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 28.

[9]                Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 37.

[10]             Thomas Merton, New Seeds of Contemplation (New York: New Directions, 1961), 82.

[11]             Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 22.

[12]             The Holy Bible, Psalm 19:2.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 91, a. 2.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 54.

[15]             Al-Qur’an, Surah Ali Imran [3] ayat191.

[16]             Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 95.

[17]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self (Berkeley: Parallax Press, 2007), 12.

[18]             Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth (Berkeley: Parallax Press, 2013), 18.

[19]             John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (London: SPCK, 1998), 9.

[20]             Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 39.

[21]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 49.

[22]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 36.

[23]             Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 91.

[24]             Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 64.

[25]             Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 19.

[26]             Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 10.

[27]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 42.

[28]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 44.

[29]             Rosemary Radford Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization, and World Religions (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005), 16.

[30]             Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 25.

[31]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 217.

[32]             Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 134.

[33]             Ibid., 135.

[34]             Berry, The Great Work, 89.

[35]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 102.

[36]             Thích Nhất Hạnh, Peace Is Every Step (New York: Bantam, 1992), 73.

[37]             Panikkar, The Rhythm of Being, 118.

[38]             Nasr, Religion and the Order of Nature, 112.


6.           Etika dan Moralitas Ekologis

Etika dan moralitas ekologis dalam kerangka ekoteologi berakar pada kesadaran bahwa tanggung jawab manusia terhadap alam bukan sekadar persoalan praktis, tetapi juga dimensi spiritual dan teologis.¹ Jika ontologi ekoteologi menjelaskan relasi eksistensial antara Tuhan, manusia, dan alam, maka etika ekologis merupakan perwujudan praktis dari relasi tersebut dalam tindakan moral. Etika ini menuntut pergeseran paradigma dari etika antroposentris menuju etika kosmosentris dan teosentris, di mana nilai moral tidak hanya diberikan kepada manusia, tetapi juga kepada seluruh ciptaan sebagai partisipan dalam kehidupan Ilahi.²

Dalam konteks ini, ekoteologi berupaya membangun dasar normatif baru bagi kehidupan ekologis yang berkeadilan, dengan menekankan tanggung jawab, solidaritas, dan kasih terhadap seluruh makhluk hidup.³ Alam tidak lagi dipandang sebagai sumber daya untuk dimanfaatkan, tetapi sebagai komunitas moral (moral community) yang layak dihormati karena keberadaannya mencerminkan kebesaran Tuhan.⁴

6.1.       Krisis Moral dan Paradigma Antroposentris

Sebagian besar krisis lingkungan dewasa ini merupakan konsekuensi dari paradigma moral antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai dan ukuran segala sesuatu.⁵ Dalam pandangan ini, alam hanya memiliki nilai instrumental, bukan nilai intrinsik.⁶ Hal tersebut terlihat dalam warisan modernitas yang dipengaruhi oleh rasionalisme Cartesian dan kapitalisme industri, yang memisahkan moralitas manusia dari tanggung jawab ekologis.⁷ Etika demikian memperlakukan alam sebagai “objek non-moral,” yang berarti tidak memiliki hak, martabat, atau tujuan di luar kegunaan bagi manusia.⁸

Lynn White Jr. menegaskan bahwa akar krisis ekologi terletak pada kesalahan teologis dalam interpretasi teks-teks suci yang memberi legitimasi kepada dominasi manusia atas alam.⁹ Pandangan ini kemudian dikritik oleh para teolog seperti Jürgen Moltmann dan Sallie McFague, yang menyerukan perlunya metanoia ekologis—pertobatan moral menuju kesadaran baru bahwa manusia adalah bagian dari ciptaan, bukan penguasanya.¹⁰ Dalam pengertian ini, krisis ekologis adalah juga krisis etis dan spiritual.¹¹

6.2.       Dasar Teologis Etika Ekologis

Etika ekologis berakar pada pandangan bahwa seluruh ciptaan adalah baik dan berharga di hadapan Tuhan.¹² Dalam tradisi Kristen, prinsip ini bersumber dari narasi penciptaan: “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya, sungguh amat baik adanya” (Kejadian 1:31).¹³ Dari ayat ini muncul gagasan bahwa setiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik sebagai refleksi kasih dan kehendak Tuhan.¹⁴ Oleh karena itu, etika ekologis menuntut manusia untuk menghormati dan melindungi integritas ciptaan sebagai bagian dari ibadah kepada Sang Pencipta.¹⁵

Dalam tradisi Islam, etika ekologis didasarkan pada dua konsep kunci: khalīfah (perwalian manusia) dan mīzān (keseimbangan).¹⁶ Al-Qur’an menegaskan bahwa Tuhan menempatkan manusia di bumi “untuk memakmurkannya” (QS. Hud [11] ayat 61), bukan untuk menghancurkannya.¹⁷ Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa perusakan lingkungan adalah bentuk pelanggaran terhadap amanah Ilahi, karena alam merupakan tajallī (manifestasi) dari kehadiran Tuhan.¹⁸ Dengan demikian, menjaga keseimbangan ekologis merupakan tanggung jawab spiritual yang memiliki dimensi moral dan metafisik.¹⁹

Tradisi Buddhis dan Hindu juga menawarkan dasar etis yang kuat untuk menghargai kehidupan non-manusia. Prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) dan kesadaran interbeing menekankan bahwa setiap makhluk memiliki hak untuk hidup karena semuanya terhubung dalam jaringan karma dan kehidupan kosmis.²⁰ Etika ekologis dalam konteks ini bersifat universal dan kosmis, melampaui batas agama dan kebudayaan.²¹

6.3.       Prinsip-prinsip Moralitas Ekologis

Etika ekologis yang bersumber dari ekoteologi dapat dirumuskan dalam beberapa prinsip moral utama:

6.3.1.    Prinsip Sakralitas Ciptaan

Segala yang ada merupakan ekspresi dari kehendak dan kehadiran Ilahi; karena itu, ciptaan harus diperlakukan dengan hormat dan kasih.²² Etika ini berlawanan dengan eksploitasi yang didorong oleh paradigma utilitarianisme.²³

6.3.2.    Prinsip Keadilan Ekologis

Keadilan tidak hanya berlaku di antara manusia, tetapi juga mencakup relasi manusia dengan alam.²⁴ Konsep eco-justice menekankan tanggung jawab sosial terhadap dampak ekologis, terutama terhadap komunitas miskin dan rentan yang paling menderita akibat kerusakan lingkungan.²⁵ Leonardo Boff menggabungkan prinsip keadilan sosial dengan keadilan ekologis, menyebut bumi sebagai “subjek penderitaan” yang menuntut pembebasan.²⁶

6.3.3.    Prinsip Solidaritas Kosmik

Solidaritas tidak terbatas pada sesama manusia, melainkan meluas pada seluruh ciptaan.²⁷ Dalam pandangan ini, manusia diundang untuk hidup dalam kasih dan harmoni dengan seluruh makhluk sebagai sesama penghuni rumah Tuhan (oikos tou theou).²⁸

6.3.4.    Prinsip Tanggung Jawab dan Keberlanjutan

Hans Jonas menegaskan perlunya “imperatif tanggung jawab” (Prinzip Verantwortung) sebagai landasan etika masa depan.²⁹ Tindakan manusia harus mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan di bumi bagi generasi mendatang.³⁰ Dalam konteks ekoteologi, prinsip ini dipahami sebagai bentuk kasih aktif terhadap ciptaan Tuhan.³¹

6.4.       Etika Ekofeminisme dan Spiritualitas Perawatan

Dimensi etis ekoteologi juga diperkaya oleh perspektif ekofeminisme, yang menyoroti keterkaitan antara penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap alam.³² Rosemary Radford Ruether berpendapat bahwa sistem patriarkal dan antroposentris yang menguasai alam juga menindas perempuan, karena keduanya dikaitkan dengan “naturalisme” yang dianggap inferior.³³ Etika ekologis, karenanya, perlu mengintegrasikan spiritualitas perawatan (ethic of care) yang menekankan empati, kasih, dan kepedulian sebagai fondasi moral baru.³⁴

Ekofeminisme mengajarkan bahwa moralitas sejati tidak didasarkan pada dominasi dan hierarki, tetapi pada relasi saling memberi kehidupan.³⁵ Etika perawatan ini melahirkan moralitas ekologis yang lembut namun tegas—suatu etika yang menumbuhkan kesadaran bahwa memelihara bumi sama halnya dengan memelihara dimensi ilahi dalam diri manusia dan seluruh ciptaan.³⁶

6.5.       Dimensi Spiritualitas dan Pertobatan Ekologis

Akhirnya, moralitas ekologis bukan hanya soal aturan etika, tetapi transformasi spiritual.³⁷ Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menegaskan perlunya pertobatan ekologis (ecological conversion), yakni perubahan hati yang mengarah pada gaya hidup berkelanjutan, sederhana, dan penuh kasih terhadap bumi.³⁸ Etika ekologis menuntut kesadaran baru bahwa spiritualitas sejati tidak terpisah dari tindakan etis terhadap alam.³⁹ Dalam kerangka ini, ekoteologi menjadi jalan menuju penyatuan antara iman dan moralitas ekologis—sebuah spiritualitas bumi yang menyatukan cinta kepada Tuhan dengan cinta kepada seluruh ciptaan.⁴⁰


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 111.

[2]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 98.

[3]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 36.

[4]                Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 42.

[5]                Max Oelschlaeger, The Idea of Wilderness: From Prehistory to the Age of Ecology (New Haven: Yale University Press, 1991), 14.

[6]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 27.

[7]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 58.

[8]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 3.

[9]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–07.

[10]             Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 25.

[11]             Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 19.

[12]             Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 33.

[13]             The Holy Bible, Genesis 1:31.

[14]             Rosemary Radford Ruether, Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing (San Francisco: HarperCollins, 1992), 45.

[15]             Moltmann, God in Creation, 27.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 88.

[17]             Al-Qur’an, Surah Hud [11] ayat61.

[18]             Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 54.

[19]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 70.

[20]             Thích Nhất Hạnh, The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology (Berkeley: Parallax Press, 2008), 29.

[21]             Satish Kumar, You Are, Therefore I Am: A Declaration of Dependence (Totnes: Green Books, 2002), 67.

[22]             Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 112.

[23]             Rolston, Environmental Ethics, 23.

[24]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 43.

[25]             Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2006), 56.

[26]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 49.

[27]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 72.

[28]             McFague, The Body of God, 51.

[29]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11.

[30]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 19.

[31]             Berry, The Great Work, 112.

[32]             Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization, and World Religions (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005), 21.

[33]             Ruether, Gaia and God, 69.

[34]             Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000), 45.

[35]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 14.

[36]             Sallie McFague, Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 63.

[37]             Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 128.

[38]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 217.

[39]             Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 145.

[40]             Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 117.


7.           Metodologi Ekoteologi

Metodologi ekoteologi merupakan kerangka konseptual dan praktis yang menjembatani antara iman, refleksi teologis, dan tanggung jawab ekologis.¹ Ia tidak hanya berfungsi sebagai alat analisis akademik, tetapi juga sebagai pendekatan spiritual dan etis yang menyatukan teori dengan praksis.² Dalam pengertian ini, metodologi ekoteologi bersifat interdisipliner, hermeneutik, dan transformasional, karena melibatkan dialog antara teks-teks keagamaan, tradisi teologis, ilmu pengetahuan lingkungan, serta pengalaman konkret manusia dalam konteks krisis ekologi.³

Berbeda dari teologi klasik yang cenderung bersifat spekulatif dan sistematis, ekoteologi mengembangkan metodologi yang reflektif dan praksis: memahami alam bukan hanya melalui penalaran konseptual, melainkan melalui keterlibatan nyata dalam dunia sebagai ciptaan Tuhan yang hidup.⁴

7.1.       Pendekatan Hermeneutik Ekologis terhadap Teks Suci

Hermeneutika ekologis merupakan fondasi utama metodologi ekoteologi.⁵ Pendekatan ini berusaha menafsirkan kembali teks-teks suci dari perspektif ekologis, dengan asumsi bahwa wahyu ilahi tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga tentang relasi manusia dengan seluruh ciptaan.⁶

Dalam tradisi Kristen, reinterpretasi ini dilakukan terhadap Kitab Kejadian, khususnya perintah untuk “berkuasa atas bumi” (Kejadian 1:28), yang selama berabad-abad telah disalahartikan secara antroposentris.⁷ Melalui pendekatan hermeneutik ekologis, teks tersebut dibaca ulang sebagai panggilan untuk stewardship—yakni tanggung jawab merawat ciptaan, bukan menaklukkannya.⁸ Jürgen Moltmann menegaskan bahwa tugas hermeneutik ekoteologis bukan hanya membaca teks, tetapi juga membaca “tanda-tanda zaman ekologis” dalam terang Roh Kudus yang bekerja di dalam dunia.⁹

Dalam Islam, hermeneutika ekologis menafsirkan ayat-ayat kauniyyah—tanda-tanda Ilahi dalam alam semesta—sebagai sumber epistemologis yang setara dengan ayat-ayat qauliyyah (wahyu tekstual).¹⁰ Hal ini berarti bahwa memahami alam merupakan bagian dari proses tafsir terhadap wahyu itu sendiri.¹¹ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa hermeneutika Islam harus mengembalikan makna ayat sebagai simbol transenden yang menghubungkan manusia dengan Tuhan melalui keindahan dan keteraturan alam.¹²

Dengan demikian, pendekatan hermeneutik ekologis membuka ruang baru bagi pembacaan spiritual yang kontekstual, di mana teks suci dipahami sebagai narasi ekologis yang mengandung pesan kosmik dan etis.¹³

7.2.       Pendekatan Interdisipliner dan Dialog Ilmu

Metodologi ekoteologi juga bersifat interdisipliner, karena melibatkan dialog kreatif antara teologi, filsafat, etika, ekologi, antropologi, dan ilmu sosial.¹⁴ Pendekatan ini menolak dikotomi antara iman dan sains, dan sebaliknya melihat keduanya sebagai mitra dalam memahami realitas ciptaan.¹⁵

Fritjof Capra, dalam kerangka sains sistemik, menegaskan bahwa alam adalah jaringan kehidupan yang saling berhubungan dan tidak dapat dipahami melalui analisis reduksionis.¹⁶ Pemikiran ini sejalan dengan pandangan teologis tentang kesatuan ciptaan, di mana segala sesuatu memiliki makna dalam konteks relasional.¹⁷ John Polkinghorne, seorang fisikawan dan teolog, mengusulkan model epistemologi “critical realism”—yakni keterbukaan terhadap kebenaran ilmiah tanpa menafikan misteri Ilahi yang tak terukur secara empiris.¹⁸

Pendekatan interdisipliner juga membuka kemungkinan kolaborasi antara ilmu ekologi dan spiritualitas, di mana data ilmiah tentang perubahan iklim, deforestasi, dan kepunahan spesies dipahami bukan hanya secara teknis, tetapi juga teologis.¹⁹ Melalui pendekatan ini, ekoteologi menempatkan diri sebagai “ilmu penghubung” (bridge discipline) antara pengetahuan objektif dan kebijaksanaan religius.²⁰

7.3.       Teologi Kontekstual dan Dimensi Sosio-Ekologis

Metodologi ekoteologi menekankan bahwa refleksi teologis harus berakar dalam konteks kehidupan nyata, terutama dalam realitas sosial dan ekologis yang sedang dihadapi umat manusia.²¹ Pendekatan ini disebut teologi kontekstual ekologis, yang menekankan pentingnya membaca pengalaman ekologis sebagai locus theologicus—tempat di mana Tuhan berfirman melalui realitas dunia.²²

Leonardo Boff dan Gustavo Gutiérrez memelopori pendekatan ini melalui teologi pembebasan ekologis, yang melihat keterkaitan antara eksploitasi terhadap manusia dan eksploitasi terhadap alam.²³ Dalam kerangka ini, keadilan ekologis (eco-justice) menjadi bagian dari keadilan sosial, karena kemiskinan dan degradasi lingkungan sering kali saling berkaitan.²⁴

Teologi kontekstual juga mengakui pluralitas budaya dan agama sebagai sumber kebijaksanaan ekologis.²⁵ Tradisi spiritual pribumi, seperti kearifan lokal Nusantara atau spiritualitas Gaia dalam teologi Barat, dipandang sebagai bentuk lain dari kesadaran ekologis yang perlu diintegrasikan dalam refleksi teologis global.²⁶ Dengan demikian, metodologi ekoteologi menuntut keterbukaan hermeneutik terhadap pengalaman lintas budaya dan lintas agama.²⁷

7.4.       Pendekatan Kritis dan Teologi Praksis

Salah satu ciri metodologis terpenting dari ekoteologi adalah sifatnya yang kritis dan praksis.²⁸ Ia tidak berhenti pada tataran konseptual, tetapi diarahkan pada transformasi kesadaran dan tindakan sosial.²⁹ Hal ini dipengaruhi oleh tradisi praxis-reflection dalam teologi pembebasan, yang menekankan bahwa refleksi teologis sejati hanya mungkin terjadi dalam keterlibatan aktif terhadap realitas dunia.³⁰

Metodologi praksis ini menekankan tiga tahap utama: (1) analisis realitas ekologis secara kritis; (2) refleksi teologis berdasarkan iman dan tradisi; dan (3) tindakan transformatif dalam konteks sosial dan ekologis.³¹ Dengan demikian, ekoteologi menjadi teologi yang hidup (living theology), karena bersumber dari pengalaman konkret dan bertujuan membentuk praksis yang membebaskan.³²

Dalam hal ini, Leonardo Boff menegaskan bahwa metodologi ekoteologis adalah “jalan spiritual menuju tindakan,” di mana kontemplasi terhadap alam harus melahirkan etika perawatan terhadap bumi.³³ Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ juga menekankan pentingnya spiritualitas ekologis yang berujung pada perubahan gaya hidup dan kebijakan sosial yang berkelanjutan.³⁴

7.5.       Metodologi Reflektif-Transformatif dan Kesadaran Kosmik

Metodologi ekoteologi mencapai puncaknya dalam pendekatan reflektif-transformatif, yang memadukan kesadaran spiritual, refleksi intelektual, dan tindakan ekologis.³⁵ Thomas Berry menyebutnya sebagai cosmological method, yaitu cara berpikir yang memandang manusia sebagai bagian dari sejarah alam semesta yang sakral.³⁶ Dalam kerangka ini, teologi tidak hanya berbicara tentang Tuhan, tetapi juga tentang “kosmos yang berbicara tentang Tuhan.”³⁷

Metodologi reflektif-transformatif bertujuan membentuk kesadaran kosmik—sebuah paradigma baru di mana pengetahuan, iman, dan tindakan menyatu dalam pelayanan terhadap kehidupan.³⁸ Dengan demikian, metodologi ekoteologi bukan hanya alat akademik, tetapi juga disiplin spiritual yang mengubah cara manusia memahami dan memperlakukan dunia.³⁹


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 141.

[2]                Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 112.

[3]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 43.

[4]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 37.

[5]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 145.

[6]                Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 31.

[7]                The Holy Bible, Genesis 1:28.

[8]                Jürgen Moltmann, God in Creation, 45.

[9]                Ibid., 47.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 59.

[11]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 65.

[12]             Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 89.

[13]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 54.

[14]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 49.

[15]             John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (London: SPCK, 1998), 8.

[16]             Capra, The Web of Life, 50.

[17]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 92.

[18]             Polkinghorne, Science and Theology, 12.

[19]             Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2006), 44.

[20]             Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 22.

[21]             Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 9.

[22]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 48.

[23]             Ibid., 52.

[24]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 43.

[25]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 73.

[26]             Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 123.

[27]             Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 102.

[28]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 152.

[29]             Boff, Ecology and Liberation, 55.

[30]             Gutiérrez, A Theology of Liberation, 13.

[31]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 48.

[32]             McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 39.

[33]             Boff, Ecology and Liberation, 62.

[34]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 217.

[35]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 158.

[36]             Berry, The Great Work, 103.

[37]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 75.

[38]             Berry, The Universe Story, 127.

[39]             Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 30.


8.           Kritik terhadap Ekoteologi

Walaupun ekoteologi telah menjadi salah satu wacana teologis yang paling berpengaruh dalam respons terhadap krisis ekologis global, pendekatan ini tidak luput dari kritik baik secara internal (dari dalam tradisi keagamaan itu sendiri) maupun eksternal (dari disiplin filsafat, sains, dan teori sosial).¹ Kritik terhadap ekoteologi seringkali berfokus pada persoalan metodologis, metafisik, dan praksis, yang meliputi: kecenderungan sinkretisme religius, kaburnya batas antara teologi dan spiritualitas alam, kelemahan dalam menawarkan solusi konkret terhadap sistem ekonomi-politik, serta potensi romantisasi terhadap alam.² Dengan mengkaji kritik-kritik ini secara mendalam, kita dapat memahami keterbatasan sekaligus kemungkinan pembaruan ekoteologi di masa depan.

8.1.       Kritik Internal: Sinkretisme, Teosentrisme Kabur, dan Krisis Dogmatik

Kritik internal terhadap ekoteologi muncul dari kalangan teolog ortodoks dan tradisional yang menilai bahwa ekoteologi berisiko menyimpang dari ortodoksi iman karena kecenderungannya memadukan konsep-konsep spiritual lintas agama secara bebas.³ Dalam pandangan mereka, pendekatan ini mengaburkan batas antara iman monoteistik dan panteisme.⁴

Beberapa pemikir seperti Wolfhart Pannenberg dan Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) menilai bahwa sebagian bentuk ekoteologi, terutama yang berbasis pada panenteisme dan “spiritualitas bumi,” berpotensi menggeser pusat iman dari Tuhan yang transenden menuju kosmos yang imanen.⁵ Akibatnya, relasi teologis antara Pencipta dan ciptaan bisa menjadi kabur dan berpotensi jatuh ke dalam bentuk baru dari naturalisme religius.⁶

Kritik lainnya adalah bahwa ekoteologi terlalu menekankan aspek pengalaman spiritual terhadap alam sehingga mengabaikan fondasi dogmatik dan soteriologis dari agama-agama besar.⁷ Dalam teologi Kristen, misalnya, keselamatan dipahami sebagai rekonsiliasi manusia dengan Tuhan melalui Kristus, bukan semata-mata rekonsiliasi ekologis dengan alam.⁸ Oleh karena itu, beberapa teolog menuduh bahwa ekoteologi, dalam bentuk radikalnya, telah menggeser makna soteriologi ke dalam dimensi ekologis murni dan kehilangan karakter eskatologisnya.⁹

Kritik ini menunjukkan ketegangan epistemologis dalam ekoteologi antara keinginan untuk membangun paradigma teologis baru dan kewajiban untuk mempertahankan kontinuitas iman tradisional.¹⁰

8.2.       Kritik Filsafat dan Teologi Klasik: Risiko Panteisme dan Romantisisme Alam

Kritik dari perspektif filsafat dan teologi klasik menyoroti kecenderungan ekoteologi untuk meromantisasi alam.¹¹ Dengan menganggap alam sebagai entitas sakral atau “tubuh Tuhan,” sebagian varian ekoteologi dianggap menghapus jarak ontologis antara Sang Pencipta dan ciptaan.¹²

Alister McGrath memperingatkan bahwa penggunaan metafora “alam sebagai tubuh Tuhan” (The Body of God) oleh Sallie McFague, meskipun inspiratif, dapat menimbulkan kebingungan teologis: jika dunia adalah tubuh Tuhan, bagaimana menjelaskan kehadiran kejahatan alam seperti bencana atau penyakit?¹³ Pertanyaan ini menimbulkan dilema teodise baru yang belum dijawab secara memadai dalam wacana ekoteologis.¹⁴

Selain itu, beberapa filsuf seperti Paul Ricoeur dan Richard Kearney mengingatkan bahwa terlalu menekankan immanensi Tuhan di dalam alam dapat mereduksi transendensi Ilahi menjadi sekadar energi kosmik atau kesadaran ekologis kolektif.¹⁵ Dalam pandangan klasik teistik, Tuhan tetap sepenuhnya berbeda (totally other) dari ciptaan, meskipun hadir dan memelihara dunia.¹⁶

Kritik semacam ini mengingatkan bahwa meskipun ekoteologi berusaha membangun spiritualitas ekologis, ia harus tetap berhati-hati agar tidak terjerumus dalam panteisme atau spiritualitas kosmik yang menghapus dimensi personal Tuhan.¹⁷

8.3.       Kritik Eksternal: Sains, Materialisme, dan Posthumanisme

Dari perspektif eksternal, beberapa ilmuwan dan filsuf sekuler memandang ekoteologi sebagai upaya metafisik yang tidak relevan dengan realitas ilmiah.¹⁸ Richard Dawkins, misalnya, berpendapat bahwa pendekatan religius terhadap alam sering kali mengaburkan urgensi empiris penanganan krisis lingkungan yang semestinya berbasis sains dan kebijakan publik, bukan moralitas teologis.¹⁹

Selain itu, filsafat posthumanis seperti Rosi Braidotti dan Donna Haraway mengkritik ekoteologi karena masih mempertahankan hierarki manusia dalam relasi kosmik.²⁰ Meskipun ekoteologi mengklaim menolak antroposentrisme, sebagian besar refleksinya masih berpusat pada manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab atas alam, bukan pada alam sebagai entitas otonom yang memiliki haknya sendiri.²¹ Dalam kerangka posthumanisme, justru semua makhluk—manusia, hewan, bahkan benda non-hidup—dipandang sebagai aktor dalam jaringan kehidupan yang saling memengaruhi tanpa memerlukan legitimasi teologis.²²

Di sisi lain, teori ekologi politik (misalnya, Bruno Latour dan Jason W. Moore) menilai bahwa ekoteologi cenderung idealistik karena tidak menyentuh akar struktural krisis ekologis, yakni kapitalisme global dan ketimpangan ekonomi.²³ Menurut mereka, ekoteologi gagal mengartikulasikan strategi ekonomi dan politik konkret untuk melawan sistem eksploitasi yang menghancurkan bumi.²⁴ Dengan kata lain, ekoteologi dianggap “spiritual tetapi tidak strategis.”²⁵

Kritik ini menegaskan tantangan besar bagi ekoteologi modern: bagaimana menggabungkan spiritualitas ekologis dengan kesadaran politik dan ekonomi yang realistis?²⁶

8.4.       Kritik Hermeneutik dan Tantangan Kontekstual

Beberapa teolog postkolonial mengkritik ekoteologi karena bias epistemologisnya yang terlalu berakar pada tradisi Barat.²⁷ Banyak model ekoteologi lahir dari konteks Eropa-Amerika, sehingga kurang sensitif terhadap spiritualitas lokal dan kearifan ekologi masyarakat adat.²⁸ Hal ini berpotensi menciptakan bentuk baru dari “kolonialisme teologis,” di mana konsep ekoteologis Barat mendominasi wacana global tanpa mempertimbangkan pluralitas kosmologi non-Barat.²⁹

Dalam konteks ini, teolog seperti Laurel Dykstra dan Musa W. Dube menyerukan dekolonisasi ekoteologi—yakni pembacaan ulang terhadap tradisi lokal, teks suci, dan pengalaman ekologis dari perspektif masyarakat yang tertindas secara ekologis maupun sosial.³⁰ Pendekatan ini membuka ruang bagi munculnya eco-theology of the South, yang berfokus pada keadilan lingkungan, kemiskinan, dan spiritualitas bumi yang berpijak pada pengalaman komunitas lokal.³¹

Kritik hermeneutik ini memperlihatkan bahwa ekoteologi perlu lebih terbuka terhadap keberagaman konteks budaya dan religius agar tidak terjebak dalam universalitas yang abstrak.³²

8.5.       Kritik terhadap Praksis dan Efektivitas Ekoteologi

Kritik lain yang cukup kuat datang dari kalangan aktivis dan ilmuwan lingkungan yang menilai bahwa ekoteologi, meskipun kaya secara konseptual, sering kali miskin dalam penerapan praksis.³³ Banyak gereja, lembaga keagamaan, atau pesantren masih menjadikan ekoteologi sebatas wacana moral, bukan gerakan transformasional.³⁴

Ernst Conradie menilai bahwa salah satu kelemahan metodologis ekoteologi adalah ketidaksanggupannya mengartikulasikan strategi konkret untuk perubahan sosial-ekologis yang sistemik.³⁵ Sementara Thomas Berry menegaskan bahwa tanpa perubahan spiritual yang radikal, reformasi struktural apa pun akan kehilangan ruh dan arah moralnya.³⁶ Oleh karena itu, kritik praksis menuntut ekoteologi untuk tidak berhenti pada tataran reflektif, melainkan mengembangkan model aksi nyata: pendidikan ekologis, ekonomi hijau berbasis spiritualitas, dan advokasi lingkungan lintas agama.³⁷


Sintesis Kritik: Antara Refleksi dan Reformasi

Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa ekoteologi masih berada dalam proses dialektis antara idealisme spiritual dan realitas empiris.³⁸ Ia menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan antara dimensi teologis, filosofis, dan praksis, agar tidak terjebak dalam romantisisme kosmik atau abstraksi moral.³⁹

Namun demikian, kritik juga memiliki nilai konstruktif: ia mendorong ekoteologi untuk memperdalam akar spiritualnya, memperluas dialognya dengan ilmu pengetahuan dan politik, serta memperkaya pendekatannya dengan perspektif global dan lokal.⁴⁰ Dalam hal ini, kritik terhadap ekoteologi bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari dinamika intelektual yang menjadikannya disiplin terbuka dan berkembang.⁴¹


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 171.

[2]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 118.

[3]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 67.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 92.

[5]                Joseph Ratzinger, In the Beginning…: A Catholic Understanding of the Story of Creation and the Fall (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 56.

[6]                Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, vol. 2 (Grand Rapids: Eerdmans, 1994), 201.

[7]                Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 61.

[8]                Moltmann, God in Creation, 72.

[9]                Deane-Drummond, Eco-Theology, 174.

[10]             Ibid., 176.

[11]             McGrath, The Reenchantment of Nature, 63.

[12]             Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 42.

[13]             McGrath, The Reenchantment of Nature, 65.

[14]             Ibid., 66.

[15]             Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 219.

[16]             Richard Kearney, The God Who May Be: A Hermeneutics of Religion (Bloomington: Indiana University Press, 2001), 104.

[17]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 77.

[18]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 112.

[19]             Ibid., 115.

[20]             Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham, NC: Duke University Press, 2016), 30.

[21]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 55.

[22]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 72.

[23]             Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 34.

[24]             Latour, Facing Gaia, 89.

[25]             Moore, Capitalism in the Web of Life, 38.

[26]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 179.

[27]             Musa W. Dube, “Toward a Postcolonial Feminist Interpretation of the Bible,” Semeia 78 (1997): 14.

[28]             Laurel Dykstra, Set Them Free: The Other Side of Exodus (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2002), 66.

[29]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 95.

[30]             Dube, “Toward a Postcolonial Feminist Interpretation,” 19.

[31]             Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 138.

[32]             Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 104.

[33]             Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 29.

[34]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 180.

[35]             Conradie, An Ecological Christian Anthropology, 30.

[36]             Berry, The Great Work, 121.

[37]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 55.

[38]             Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 182.

[39]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 53.

[40]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 81.

[41]             Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 119.


9.           Sintesis Filosofis dan Teologis

Sintesis filosofis dan teologis dalam ekoteologi bertujuan untuk menyatukan beragam dimensi refleksi yang telah berkembang—ontologis, epistemologis, etis, dan metodologis—ke dalam suatu paradigma teologis yang utuh tentang hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam.¹ Sintesis ini tidak bermaksud menghapus perbedaan pendekatan, melainkan membangun kesatuan yang dinamis (dynamic unity) antara spiritualitas, rasionalitas, dan praksis ekologis.² Dengan kata lain, ekoteologi tidak hanya menjadi cabang teologi baru, tetapi juga suatu weltanschauung (pandangan hidup) yang memadukan iman dan kesadaran ekologis dalam horizon kosmik.³

Sintesis ini berangkat dari kesadaran filosofis bahwa realitas merupakan jaringan eksistensial yang saling menembus, serta dari keyakinan teologis bahwa seluruh ciptaan adalah partisipasi dalam kasih dan kebijaksanaan Ilahi.⁴ Dalam kerangka ini, Tuhan bukanlah penguasa jauh yang mengatur alam dari luar, melainkan sumber kehidupan yang menjiwai seluruh eksistensi.⁵

9.1.       Kesatuan Ontologis: Tuhan sebagai Dasar Keberadaan

Secara filosofis, sintesis ekoteologis menegaskan kembali prinsip ontologis kesatuan wujud—bahwa seluruh makhluk memperoleh keberadaannya dari Tuhan sebagai ipsum esse subsistens (Ada yang mutlak).⁶ Pandangan ini menemukan resonansi dalam tradisi teologi Islam (wahdat al-wujūd) maupun dalam process theology yang menekankan Tuhan sebagai kekuatan kreatif yang imanen.⁷

Dalam perspektif Thomas Aquinas, seluruh ciptaan partisipatif terhadap keberadaan Tuhan tanpa menjadi identik dengan-Nya: “Creatura non est Deus, sed est a Deo”—ciptaan bukanlah Tuhan, tetapi berasal dari Tuhan.⁸ Sementara dalam pandangan Ibn ‘Arabī, Tuhan adalah Wujud Mutlak, dan seluruh makhluk adalah penampakan (tajallī) dari-Nya dalam berbagai bentuk.⁹ Kedua pandangan ini, meski berasal dari tradisi berbeda, sama-sama menegaskan keterhubungan ontologis yang mendalam antara Tuhan dan dunia.

Ontologi relasional semacam ini menjadi dasar bagi kesadaran ekologis teologis: jika seluruh wujud berakar pada Tuhan, maka menghormati ciptaan berarti menghormati sumber eksistensi itu sendiri.¹⁰ Dengan demikian, sintesis ekoteologis menyatukan metafisika keesaan Ilahi dengan kesadaran ekologis universal, di mana alam bukan sekadar “ciptaan Tuhan,” tetapi “partisipasi dalam keberadaan Ilahi.”¹¹

9.2.       Kesatuan Epistemologis: Iman, Rasio, dan Pengalaman Alam

Dalam tataran epistemologis, sintesis ekoteologi berupaya mendamaikan rasionalitas ilmiah dengan intuisi spiritual.¹² Pengetahuan tentang Tuhan dan alam tidak lagi dipahami sebagai dua ranah terpisah, melainkan sebagai dua sisi dari satu realitas yang sama. Raimon Panikkar menyebut kesatuan ini sebagai cosmotheandric unity—hubungan tak terpisahkan antara kosmos (alam), theos (Tuhan), dan anthropos (manusia).¹³

Paradigma ini berupaya melampaui dualisme antara wahyu dan sains, antara iman dan empirisitas.¹⁴ Fritjof Capra menegaskan bahwa pemahaman ilmiah tentang sistem kehidupan menemukan maknanya ketika dipadukan dengan kebijaksanaan spiritual yang mengakui keterhubungan semua makhluk.¹⁵ Sementara John Polkinghorne menambahkan bahwa iman dan ilmu adalah dua “jendela menuju satu dunia,” keduanya sama-sama mencari kebenaran, hanya melalui bahasa yang berbeda.¹⁶

Epistemologi integratif ini memungkinkan dialog antara teologi dan ekologi ilmiah, sehingga kebenaran tidak lagi dimonopoli oleh agama maupun sains, tetapi dihasilkan melalui hubungan dialektis antara keduanya.¹⁷ Dalam kerangka sintesis ini, alam bukan sekadar objek pengetahuan, melainkan subjek wahyu yang mengajar manusia tentang Tuhan melalui harmoni ciptaan.¹⁸

9.3.       Kesatuan Etis: Spiritualitas Kasih dan Tanggung Jawab Kosmik

Dimensi etis dalam sintesis ekoteologis menempatkan kasih (agape) dan tanggung jawab ekologis sebagai prinsip moral universal.¹⁹ Leonardo Boff menegaskan bahwa etika ekologis sejati hanya mungkin jika didasarkan pada kasih terhadap bumi sebagai “ibu” dan “rumah bersama” umat manusia.²⁰ Spiritualitas ini menekankan bahwa keadilan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial, sebab keduanya lahir dari kasih Ilahi yang menyatukan semua ciptaan dalam solidaritas kosmis.²¹

Dalam tradisi Kristen, kasih terhadap alam dipandang sebagai bentuk partisipasi dalam kasih Tuhan terhadap dunia (caritas Dei).²² Dalam Islam, etika ekologis didasarkan pada prinsip rahmah (kasih sayang universal), yang menjadi cermin nama Tuhan, al-Rahmān al-Rahīm.²³ Sementara dalam Buddhisme, prinsip karuṇā (welas asih) menjadi fondasi moral untuk menghargai semua makhluk hidup.²⁴

Sintesis ini membentuk ethos ekologis global—suatu moralitas lintas agama yang menegaskan bahwa spiritualitas sejati harus diwujudkan dalam tindakan konkret menjaga kehidupan.²⁵ Dengan demikian, kasih Ilahi tidak lagi dipahami secara abstrak, tetapi hadir dalam bentuk kepedulian ekologis dan keadilan bumi.²⁶

9.4.       Kesatuan Metodologis: Hermeneutika Transformatif dan Praksis Spiritual

Secara metodologis, sintesis ekoteologi menegaskan perlunya pendekatan hermeneutik yang transformatif.²⁷ Hermeneutika ini tidak hanya menafsirkan teks suci, tetapi juga realitas ekologis sebagai “teks kedua” yang mengandung pesan Ilahi.²⁸ Dengan demikian, alam dibaca bukan hanya sebagai latar teologi, melainkan sebagai partisipan dalam pewahyuan.²⁹

Metodologi reflektif-praksis yang digunakan dalam teologi pembebasan juga menjadi bagian integral dari sintesis ekoteologis.³⁰ Refleksi iman harus melahirkan tindakan konkret untuk merawat bumi dan memperjuangkan keadilan ekologis.³¹ Spiritualitas ekologis yang sejati lahir dari tindakan yang mencerminkan kesadaran akan kehadiran Tuhan di dalam seluruh makhluk hidup.³²

Selain itu, sintesis metodologis menuntut pendekatan interreligius dan interdisipliner, karena persoalan ekologis melampaui batas agama maupun ilmu tertentu.³³ Dalam kerangka ini, teologi, sains, filsafat, dan etika tidak lagi berdiri sendiri, tetapi bekerja bersama dalam visi spiritual yang menyatukan iman dan keberlanjutan.³⁴

9.5.       Kesatuan Eskatologis: Harapan bagi Ciptaan

Sintesis filosofis dan teologis dalam ekoteologi berpuncak pada dimensi eskatologis: harapan akan pembaruan seluruh ciptaan (renewal of creation).³⁵ Eskatologi ekologis tidak lagi berorientasi pada penyelamatan manusia secara individual, melainkan pada penyelamatan kosmos secara menyeluruh.³⁶ Jürgen Moltmann menyebutnya sebagai eschatology of the Spirit—suatu harapan bahwa Roh Kudus bekerja untuk memperbarui bumi, bukan menghancurkannya.³⁷

Pandangan ini selaras dengan ajaran Al-Qur’an tentang “langit dan bumi yang diperbaharui” (QS. Ibrahim [14] ayat 48), serta visi New Creation dalam Kitab Wahyu 21:1.³⁸ Dengan demikian, harapan eskatologis dalam ekoteologi bersifat universal dan imanen—bukan sekadar penantian akan akhir dunia, tetapi keterlibatan aktif dalam memperbarui bumi di sini dan sekarang.³⁹

Sintesis ekoteologis ini menutup lingkaran refleksi dengan visi spiritual baru: bahwa iman sejati tidak hanya membawa manusia ke surga, tetapi juga menuntun manusia untuk menjadikan bumi sebagai tempat yang layak bagi kehidupan.⁴⁰


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 187.

[2]                Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 73.

[3]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 126.

[4]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 91.

[5]                Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 46.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 4, a. 2.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 95.

[8]                Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 44, a. 1.

[9]                Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. E. Affifi (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyya, 1946), 92.

[10]             Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 81.

[11]             Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 128.

[12]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 191.

[13]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 75.

[14]             John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (London: SPCK, 1998), 17.

[15]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 51.

[16]             Polkinghorne, Science and Theology, 22.

[17]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 57.

[18]             Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 113.

[19]             McFague, The Body of God, 49.

[20]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 54.

[21]             Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2006), 68.

[22]             Jürgen Moltmann, Ethics of Hope (Minneapolis: Fortress Press, 2012), 33.

[23]             Nasr, Man and Nature, 101.

[24]             Thích Nhất Hạnh, The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology (Berkeley: Parallax Press, 2008), 25.

[25]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 96.

[26]             Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 121.

[27]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 196.

[28]             McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 38.

[29]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 77.

[30]             Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 11.

[31]             Boff, Ecology and Liberation, 61.

[32]             McFague, Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 58.

[33]             Tucker and Grim, Ecology and Religion, 104.

[34]             Capra, The Web of Life, 56.

[35]             Moltmann, God in Creation, 144.

[36]             Berry, The Great Work, 129.

[37]             Moltmann, Ethics of Hope, 38.

[38]             The Holy Bible, Revelation 21:1; Al-Qur’an, Surah Ibrahim [14] ayat48.

[39]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 221.

[40]             Berry, The Dream of the Earth, 120.


10.       Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

Ekoteologi, yang semula muncul sebagai refleksi teologis atas krisis ekologis modern, kini telah berkembang menjadi paradigma spiritual, etis, dan praksis yang memiliki relevansi luas dalam konteks sosial, politik, dan budaya kontemporer.¹ Dalam dunia yang ditandai oleh pemanasan global, ketimpangan ekonomi, dan krisis spiritualitas, ekoteologi hadir sebagai jembatan antara iman dan tanggung jawab ekologis.² Ia tidak hanya menuntut perubahan cara berpikir (conversion of mind), tetapi juga perubahan gaya hidup (conversion of life) dan struktur sosial (conversion of systems).³

Relevansi ekoteologi dapat dipahami dalam tiga ranah besar: (1) konteks global dan kebijakan lingkungan, (2) praksis komunitas religius dan pendidikan, serta (3) kebangkitan spiritualitas ekologis lintas agama. Masing-masing ranah memperlihatkan bagaimana ekoteologi diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang berkontribusi terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi.

10.1.    Ekoteologi dalam Konteks Global: Krisis Iklim dan Keadilan Lingkungan

Krisis iklim global adalah tantangan moral dan spiritual terbesar abad ke-21.⁴ Dalam konteks ini, ekoteologi berperan penting dalam membangun kesadaran bahwa kerusakan ekosistem bukan sekadar kegagalan teknis, tetapi dosa struktural terhadap ciptaan Tuhan.⁵ Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menyebut krisis ekologis sebagai “jeritan bumi dan jeritan kaum miskin,” karena mereka yang paling rentan adalah yang paling terdampak oleh degradasi lingkungan.⁶

Ekoteologi mendorong munculnya etika eco-justice—keadilan ekologis yang menuntut tanggung jawab sosial global terhadap dampak lingkungan.⁷ Konsep ini menegaskan keterkaitan antara eksploitasi alam dan ketimpangan ekonomi: keduanya lahir dari paradigma antroposentris yang memisahkan manusia dari alam.⁸ Leonardo Boff menyebutnya sebagai “ekologi integral,” yakni visi dunia di mana keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis saling terkait.⁹

Dalam konteks kebijakan global, ekoteologi berkontribusi pada agenda keberlanjutan dunia seperti Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan 13 (Aksi Iklim) dan Tujuan 15 (Menjaga Ekosistem Daratan).¹⁰ Namun, pendekatan ekoteologi menambahkan dimensi moral dan spiritual terhadap tujuan-tujuan tersebut, dengan menekankan bahwa pelestarian bumi bukan hanya kewajiban politis, tetapi juga panggilan iman.¹¹

10.2.    Aplikasi dalam Komunitas Keagamaan dan Pendidikan

Salah satu wujud paling konkret dari ekoteologi kontemporer adalah implementasinya dalam komunitas religius dan lembaga pendidikan.¹² Gereja, masjid, vihara, dan kuil di berbagai belahan dunia mulai mengembangkan program-program eco-spirituality dan green faith untuk menanamkan kesadaran ekologis sebagai bagian dari praktik iman.¹³

Dalam tradisi Kristen, misalnya, gerakan Season of Creation memperingati bulan September sebagai waktu liturgi untuk merenungkan ciptaan dan melakukan aksi ekologis.¹⁴ Gereja Katolik, melalui dokumen Laudato Si’ Action Platform, mendorong paroki dan lembaga pendidikan Katolik di seluruh dunia untuk menerapkan prinsip keberlanjutan ekologis dalam liturgi, manajemen energi, dan kurikulum.¹⁵

Dalam Islam, gerakan eco-masjid dan green pesantren di Indonesia menegaskan dimensi ekologis dari konsep khalīfah dan amanah.¹⁶ Program seperti “Pesantren Hijau” yang diinisiasi oleh Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA) Muhammadiyah menanamkan ajaran Islam ekologis melalui praktik penanaman pohon, energi terbarukan, dan pengelolaan sampah berbasis komunitas.¹⁷

Dalam ranah pendidikan tinggi, teologi dan studi agama semakin mengintegrasikan ekoteologi dalam kurikulum, memadukan teologi sistematis dengan etika lingkungan dan sains ekologi.¹⁸ Pendidikan ekoteologis bertujuan membentuk kesadaran ekologis yang berakar pada spiritualitas, etika, dan tanggung jawab sosial.¹⁹ Seperti ditegaskan oleh Celia Deane-Drummond, pendidikan teologis masa kini harus menjadi “laboratorium spiritualitas ekologis,” di mana iman diuji dan dihidupkan melalui tindakan ekologis.²⁰

10.3.    Ekoteologi Lintas Agama dan Spiritualitas Kosmik

Dalam era pluralitas global, ekoteologi juga menjadi ruang dialog lintas agama.²¹ Krisis lingkungan telah menyatukan komunitas-komunitas religius dalam upaya bersama untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama (common home).²² Forum internasional seperti Parliament of the World’s Religions dan Faith for Earth Initiative (UNEP) memperlihatkan bahwa kesadaran ekologis dapat menjadi fondasi spiritual universal yang melampaui batas doktrin.²³

Raimon Panikkar mengembangkan gagasan cosmotheandric spirituality, di mana hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam dipahami secara mutualistik.²⁴ Dalam semangat ini, ekoteologi menjadi platform spiritualitas kosmik: suatu kesadaran bahwa kehidupan tidak dapat dipisahkan dari jaringan keberadaan universal yang sakral.²⁵ Dalam Buddhisme, konsep interbeing (saling keberadaan) menegaskan prinsip yang serupa—bahwa setiap tindakan manusia berdampak pada seluruh kosmos.²⁶

Spiritualitas kosmik yang lahir dari ekoteologi juga membuka ruang bagi teologi interreligius, di mana iman terhadap Tuhan diwujudkan dalam cinta terhadap bumi dan sesama makhluk.²⁷ Spiritualitas semacam ini menjadi sumber harapan baru di tengah krisis global, menawarkan visi “keselamatan ekologis” (ecological salvation) yang bersifat holistik dan lintas iman.²⁸

10.4.    Relevansi bagi Kebijakan, Ekonomi, dan Gaya Hidup

Ekoteologi tidak berhenti di level refleksi religius; ia memiliki implikasi langsung terhadap kebijakan ekonomi dan pola hidup manusia modern.²⁹ Dalam ekonomi, paradigma ekoteologis menolak logika pertumbuhan tanpa batas dan mendorong ekonomi berkelanjutan yang berakar pada prinsip keseimbangan dan keadilan distributif.³⁰

Konsep eco-ethics dari Hans Jonas dan integral ecology dari Paus Fransiskus menunjukkan bahwa ekonomi modern harus diarahkan pada pelayanan kehidupan, bukan eksploitasi.³¹ Dalam Islam, prinsip adl (keadilan) dan ihsan (kebajikan) menjadi dasar etika produksi dan konsumsi yang selaras dengan alam.³²

Pada level individu, ekoteologi mendorong gaya hidup sederhana (eco-simplicity)—pengurangan konsumsi, penghormatan terhadap alam, dan keterlibatan aktif dalam konservasi.³³ Gerakan spiritual ecology yang berkembang di berbagai komunitas religius menunjukkan bahwa perubahan ekologis sejati bermula dari transformasi batin manusia.³⁴

10.5.    Menuju Teologi Keberlanjutan Global

Relevansi ekoteologi mencapai puncaknya dalam upayanya membentuk theology of sustainability—suatu visi teologis yang menempatkan keberlanjutan sebagai panggilan iman universal.³⁵ Dalam paradigma ini, kehidupan di bumi dipahami sebagai tanggung jawab bersama seluruh umat manusia, melampaui batas agama, bangsa, atau ras.³⁶

Teologi keberlanjutan menuntut integrasi antara iman dan ilmu pengetahuan, antara kebijakan publik dan spiritualitas pribadi.³⁷ Thomas Berry menyebutnya sebagai “era ekologi” (ecological age), yaitu fase baru dalam sejarah kesadaran manusia di mana bumi bukan lagi dipandang sebagai sumber daya, melainkan komunitas moral yang sakral.³⁸

Dengan demikian, relevansi ekoteologi di era kontemporer tidak hanya terletak pada wacana akademik atau teologis, tetapi pada kemampuannya untuk mentransformasi kesadaran global menuju spiritualitas ekologis yang hidup, aktif, dan berkeadilan.³⁹ Ia menjadi panggilan universal bagi seluruh tradisi iman: untuk “berteologi dengan bumi,” bukan sekadar berbicara tentangnya.⁴⁰


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 201.

[2]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 132.

[3]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 59.

[4]                Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 23.

[5]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 142.

[6]                Francis, Laudato Si’, 49.

[7]                Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2006), 70.

[8]                Max Oelschlaeger, The Idea of Wilderness: From Prehistory to the Age of Ecology (New Haven: Yale University Press, 1991), 61.

[9]                Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 64.

[10]             United Nations, Sustainable Development Goals Report 2023 (New York: United Nations Publications, 2023), 17.

[11]             Francis, Laudato Si’, 217.

[12]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 204.

[13]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 111.

[14]             Ruth Valerio, Saying Yes to Life (London: SPCK, 2020), 15.

[15]             Laudato Si’ Action Platform, Vatican Dicastery for Promoting Integral Human Development (2022).

[16]             Fachruddin M. Mangunjaya, Mengembangkan Etika Lingkungan dan Ekoteologi Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), 53.

[17]             Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA) Muhammadiyah, Panduan Pesantren Hijau (Yogyakarta: Majelis Lingkungan Hidup, 2021), 12.

[18]             Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 47.

[19]             Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith, 78.

[20]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 208.

[21]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 81.

[22]             Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 139.

[23]             Faith for Earth Initiative, United Nations Environment Programme (Nairobi: UNEP, 2022).

[24]             Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 119.

[25]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 59.

[26]             Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth (Berkeley: Parallax Press, 2013), 20.

[27]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion, 128.

[28]             Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 66.

[29]             Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 33.

[30]             Herman Daly and John Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 45.

[31]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 19.

[32]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 71.

[33]             McFague, Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 61.

[34]             Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 121.

[35]             Deane-Drummond, Eco-Theology, 213.

[36]             Tucker and Grim, Ecology and Religion, 132.

[37]             John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (London: SPCK, 1998), 26.

[38]             Berry, The Great Work, 136.

[39]             McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 42.

[40]             Berry, The Dream of the Earth, 122.


11.       Kesimpulan

Ekoteologi merupakan respons teologis, filosofis, dan spiritual terhadap krisis ekologis yang melanda dunia modern. Ia lahir dari kesadaran mendalam bahwa kerusakan lingkungan bukan semata-mata problem teknis atau ilmiah, melainkan juga persoalan moral, ontologis, dan teologis yang berakar pada cara manusia memahami dirinya di hadapan Tuhan dan alam.¹ Dengan demikian, ekoteologi menegaskan bahwa penyembuhan bumi menuntut bukan hanya reformasi kebijakan, tetapi juga pertobatan spiritual dan intelektual—sebuah revolusi kesadaran yang mengembalikan manusia ke dalam jejaring kehidupan Ilahi.²

Melalui kajian ontologis, epistemologis, etis, dan metodologis, ekoteologi memperlihatkan paradigma baru dalam memahami realitas. Secara ontologis, alam dipahami bukan sebagai objek mati, melainkan sebagai partisipasi hidup dalam keberadaan Tuhan; suatu manifestasi (tajallī) dari kebaikan dan kasih-Nya.³ Secara epistemologis, pengetahuan tentang alam tidak lagi terbatas pada observasi empiris, tetapi menjadi pengalaman spiritual yang menghubungkan manusia dengan sumber kebenaran Ilahi.⁴ Secara etis, ekoteologi mengajarkan bahwa kasih, tanggung jawab, dan solidaritas kosmik adalah fondasi moralitas ekologis.⁵ Dan secara metodologis, ekoteologi menuntut pendekatan hermeneutik, praksis, dan reflektif yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia dalam hubungan dengan ciptaan.⁶

Dari perspektif filosofis, ekoteologi menolak dikotomi modern antara subjek dan objek, antara iman dan rasio, serta antara manusia dan alam.⁷ Ia mengusulkan sintesis kosmik yang memandang realitas sebagai kesatuan holistik (unitas vitae), di mana Tuhan, manusia, dan alam saling terjalin dalam keutuhan eksistensial.⁸ Paradigma ini menandai pergeseran dari pandangan mekanistik menuju pandangan relasional—dari dominasi menuju partisipasi, dari eksploitasi menuju perawatan (care), dan dari individualisme menuju solidaritas ekologis.⁹

Dalam konteks teologis, ekoteologi menjadi titik temu antara iman dan ilmu pengetahuan.¹⁰ Ia menegaskan bahwa teologi yang relevan pada abad ke-21 tidak dapat terlepas dari realitas bumi, karena keselamatan tidak lagi dapat dipahami secara eksklusif antroposentris, tetapi harus bersifat kosmosentris dan integratif.¹¹ Tuhan tidak hanya menyelamatkan manusia, tetapi seluruh ciptaan.¹² Hal ini ditegaskan oleh Jürgen Moltmann dalam gagasannya tentang “penciptaan baru” (new creation), di mana Roh Kudus bekerja bukan untuk menghancurkan bumi, melainkan memperbaruinya.¹³

Secara praksis, ekoteologi mengandung dimensi transformatif. Ia menuntun manusia untuk mereformasi gaya hidup, sistem ekonomi, dan orientasi spiritual menuju harmoni dengan alam.¹⁴ Spiritualitas ekologis bukan sekadar ekspresi religius, melainkan praksis kasih terhadap bumi sebagai rumah bersama (common home).¹⁵ Seperti ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, setiap tindakan kecil yang mencerminkan cinta terhadap bumi merupakan “tindakan iman” dalam konteks zaman ekologis ini.¹⁶

Ekoteologi juga memiliki relevansi sosial dan politis yang kuat. Ia mengajak komunitas global untuk memandang krisis iklim sebagai krisis moral dan eksistensial yang menuntut solidaritas universal.¹⁷ Dalam hal ini, teologi tidak lagi menjadi ruang eksklusif perenungan spiritual, tetapi medan praksis pembebasan ekologis.¹⁸ Ekoteologi membuka jalan menuju teologi keberlanjutan global (theology of sustainability), di mana iman, keadilan, dan kelestarian bersatu dalam misi spiritual menjaga kehidupan.¹⁹

Akhirnya, ekoteologi menawarkan visi spiritual baru bagi peradaban manusia—sebuah metanoia ekologis yang mengubah cara kita berpikir, beriman, dan hidup di dunia.²⁰ Ia memulihkan pandangan sakral terhadap bumi, menghidupkan kembali rasa kagum (awe) dan rasa syukur (gratitude) terhadap kehidupan.²¹ Dalam visi ini, teologi tidak lagi berbicara tentang Tuhan yang jauh di langit, tetapi tentang Tuhan yang hadir di setiap helai daun, setiap hembusan angin, dan setiap makhluk yang bernafas.²²

Dengan demikian, ekoteologi menegaskan kembali hakikat iman sebagai relatio vitae—hubungan hidup antara Tuhan, manusia, dan alam.²³ Melalui paradigma ini, manusia diundang bukan untuk menguasai, melainkan untuk merawat; bukan untuk memisahkan diri, melainkan untuk berpartisipasi dalam karya Ilahi menjaga kehidupan.²⁴ Di tengah ancaman ekologis global, ekoteologi menjadi panggilan spiritual bagi umat manusia untuk menemukan kembali makna keberadaannya sebagai penjaga bumi, sahabat ciptaan, dan rekan kerja Tuhan dalam proses penciptaan yang terus berlangsung.²⁵


Footnotes

[1]                Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 221.

[2]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 140.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 92.

[4]                Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 75.

[5]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 61.

[6]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 99.

[7]                Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 53.

[8]                Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 123.

[9]                Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 117.

[10]             John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (London: SPCK, 1998), 31.

[11]             Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2006), 84.

[12]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 83.

[13]             Jürgen Moltmann, Ethics of Hope (Minneapolis: Fortress Press, 2012), 35.

[14]             Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 65.

[15]             Sallie McFague, Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 68.

[16]             Francis, Laudato Si’, 217.

[17]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 124.

[18]             Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 13.

[19]             Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 225.

[20]             Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins, 1992), 146.

[21]             Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth (Berkeley: Parallax Press, 2013), 33.

[22]             Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 54.

[23]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 83.

[24]             Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 97.

[25]             Berry, The Great Work, 145.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1981). Summa Theologiae (Vols. I–II). Christian Classics.

Bakar, O. (1991). Tawhid and science: Essays on the history and philosophy of Islamic science. Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science.

Berry, T. (1988). The dream of the Earth. San Francisco, CA: Sierra Club Books.

Berry, T. (1992). The universe story. San Francisco, CA: HarperCollins.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. New York, NY: Bell Tower.

Boff, L. (1995). Ecology and liberation: A new paradigm. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Boff, L. (1997). Cry of the Earth, cry of the poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Cambridge, UK: Polity Press.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. New York, NY: Anchor Books.

Conradie, E. M. (2005). An ecological Christian anthropology: At home on Earth? Aldershot, UK: Ashgate.

Daly, H., & Cobb, J. B. (1989). For the common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and a sustainable future. Boston, MA: Beacon Press.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. London, UK: Bantam Press.

Deane-Drummond, C. (2008). Eco-theology. London, UK: Darton, Longman and Todd.

Dube, M. W. (1997). Toward a postcolonial feminist interpretation of the Bible. Semeia, 78, 11–26.

Edwards, D. (2006). Ecology at the heart of faith. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Fachruddin, M. M. (2014). Mengembangkan etika lingkungan dan ekoteologi Islam. Jakarta, Indonesia: Yayasan Obor Indonesia.

Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Gutiérrez, G. (1973). A theology of liberation: History, politics, and salvation. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The fate of humans in the Anthropocene. Cambridge, UK: Polity Press.

Haraway, D. (2016). Staying with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Durham, NC: Duke University Press.

Hạnh, T. N. (1988). The heart of understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Berkeley, CA: Parallax Press.

Hạnh, T. N. (2008). The world we have: A Buddhist approach to peace and ecology. Berkeley, CA: Parallax Press.

Hạnh, T. N. (2013). Love letter to the Earth. Berkeley, CA: Parallax Press.

Hạnh, T. N. (1992). Peace is every step. New York, NY: Bantam Books.

Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam (A. E. Affifi, Ed.). Cairo, Egypt: Dar al-Kutub al-Misriyya.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Kearney, R. (2001). The God who may be: A hermeneutics of religion. Bloomington, IN: Indiana University Press.

Kumar, S. (2002). You are, therefore I am: A declaration of dependence. Totnes, UK: Green Books.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime. Cambridge, UK: Polity Press.

Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA) Muhammadiyah. (2021). Panduan pesantren hijau. Yogyakarta, Indonesia: Majelis Lingkungan Hidup.

Macy, J. (2007). World as lover, world as self. Berkeley, CA: Parallax Press.

Mangunjaya, F. M. (2014). Mengembangkan etika lingkungan dan ekoteologi Islam. Jakarta, Indonesia: Yayasan Obor Indonesia.

McFague, S. (1993). The body of God: An ecological theology. Minneapolis, MN: Fortress Press.

McFague, S. (2001). Life abundant: Rethinking theology and economy for a planet in peril. Minneapolis, MN: Fortress Press.

McFague, S. (2008). A new climate for theology: God, the world, and global warming. Minneapolis, MN: Fortress Press.

McGrath, A. (2002). The reenchantment of nature: The denial of religion and the ecological crisis. New York, NY: Doubleday.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. San Francisco, CA: Harper & Row.

Merton, T. (1961). New seeds of contemplation. New York, NY: New Directions.

Moltmann, J. (1985). God in creation: A new theology of creation and the Spirit of God. San Francisco, CA: Harper & Row.

Moltmann, J. (2012). Ethics of hope. Minneapolis, MN: Fortress Press.

Moore, J. W. (2015). Capitalism in the web of life: Ecology and the accumulation of capital. London, UK: Verso.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. New York, NY: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Chicago, IL: ABC International Group.

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. New York, NY: Oxford University Press.

Oelschlaeger, M. (1991). The idea of wilderness: From prehistory to the age of ecology. New Haven, CT: Yale University Press.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Panikkar, R. (2010). The rhythm of being: The Gifford lectures. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Pannenberg, W. (1994). Systematic theology (Vol. 2). Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Polkinghorne, J. (1998). Science and theology: An introduction. London, UK: SPCK.

Ratzinger, J. (1995). In the beginning…: A Catholic understanding of the story of creation and the fall. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil. Boston, MA: Beacon Press.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Philadelphia, PA: Temple University Press.

Ruether, R. R. (1992). Gaia and God: An ecofeminist theology of Earth healing. San Francisco, CA: HarperCollins.

Ruether, R. R. (2005). Integrating ecofeminism, globalization, and world religions. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology, and development. London, UK: Zed Books.

Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology and religion. Washington, DC: Island Press.

United Nations. (2023). The sustainable development goals report 2023. New York, NY: United Nations Publications.

Valerio, R. (2020). Saying yes to life. London, UK: SPCK.

Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A Western perspective on what it is and why it matters. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). New York, NY: Scribner.

White, L. Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar