Ekoteologi
Rekonsiliasi Relasi Manusia, Tuhan, dan Alam dalam
Perspektif Filosofis, Teologis, dan Etis
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Ekoteologi
sebagai suatu paradigma teologis-filosofis yang berupaya menjembatani iman keagamaan
dengan tanggung jawab ekologis manusia terhadap ciptaan. Krisis ekologis
global—seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketimpangan
sosial—tidak hanya dipahami sebagai persoalan teknis, tetapi juga sebagai
krisis spiritual dan moral yang berakar pada cara manusia memandang dirinya
dalam relasi dengan Tuhan dan alam. Dalam kerangka ini, ekoteologi menawarkan
pendekatan integratif yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, etis,
metodologis, dan praksis.
Secara ontologis, ekoteologi menegaskan
kesatuan eksistensial antara Tuhan, manusia, dan alam—bahwa seluruh ciptaan
adalah partisipasi dalam keberadaan Ilahi. Secara epistemologis,
pengetahuan tentang Tuhan dan alam tidak dapat dipisahkan, karena wahyu dan
pengalaman alam sama-sama menjadi sumber kebenaran spiritual. Dari sisi etika,
ekoteologi memperluas horizon moral manusia menuju solidaritas kosmik dan
keadilan ekologis, dengan kasih sebagai prinsip dasar. Sedangkan dalam metodologi,
ekoteologi memadukan hermeneutika ekologis terhadap teks-teks suci dengan
pendekatan interdisipliner dan praksis transformatif.
Artikel ini juga menelaah kritik-kritik utama
terhadap ekoteologi—termasuk tuduhan sinkretisme, risiko panteisme, bias Barat,
serta kelemahan praksis—dan menunjukkan bagaimana kritik tersebut justru
memperkaya dinamika reflektif ekoteologi menuju teologi yang lebih kontekstual,
inklusif, dan dialogis. Pada bagian sintesis, ekoteologi dipahami sebagai teologi
kosmik yang mengintegrasikan iman, rasio, dan spiritualitas dalam horizon
keberlanjutan ciptaan. Akhirnya, artikel ini menegaskan relevansi
kontemporer ekoteologi sebagai fondasi teologis bagi gerakan keadilan
ekologis, pendidikan lingkungan berbasis spiritualitas, serta reformasi gaya
hidup berkelanjutan. Melalui pendekatan ini, iman tidak lagi dipisahkan dari
bumi, melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata untuk merawat dan memperbaharui
ciptaan Tuhan.
Kata Kunci: Ekoteologi; Teologi Lingkungan; Spiritualitas
Ekologis; Etika Kosmik; Hermeneutika Ekologis; Keadilan Lingkungan;
Keberlanjutan; Iman dan Alam.
PEMBAHASAN
Ekoteologi dan Urgensinya dalam Konteks Teologi
Kontemporer
1.          
Pendahuluan
Krisis ekologis global yang melanda dunia dewasa
ini telah menjadi salah satu tantangan paling mendesak dalam sejarah peradaban
manusia. Pemanasan global, deforestasi, pencemaran air dan udara, serta
kepunahan spesies bukan lagi fenomena lokal, melainkan realitas universal yang
mengancam keberlangsungan seluruh sistem kehidupan di bumi. Situasi ini
menandakan bahwa paradigma antroposentris yang telah mendominasi pola pikir
modern—yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam—telah gagal
menjaga keseimbangan ekologis yang mendasar.¹ Dalam konteks ini, muncul
kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali relasi ontologis, epistemologis, dan
etis antara manusia, Tuhan, dan alam semesta. Salah satu pendekatan yang
menawarkan jalan reflektif dan transformatif terhadap persoalan ini adalah ekoteologi,
yaitu suatu bidang kajian yang berupaya memahami keterkaitan mendalam antara
iman keagamaan dan tanggung jawab ekologis manusia terhadap ciptaan.
Istilah “ekoteologi” berasal dari dua kata: oikos
(rumah tangga, alam semesta) dan theos (Tuhan). Secara konseptual,
ekoteologi dapat dipahami sebagai refleksi teologis mengenai relasi antara
Tuhan, manusia, dan alam dalam kerangka keberlanjutan ciptaan.² Ia berangkat
dari kesadaran bahwa alam bukanlah sekadar objek eksploitasi, melainkan bagian
integral dari ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik.³ Dengan demikian,
ekoteologi berupaya membangun pemahaman baru tentang spiritualitas
ekologis—yakni kesadaran religius yang menempatkan seluruh makhluk hidup
sebagai bagian dari komunitas kosmis yang saling bergantung dan terhubung
secara ontologis.⁴
Dalam sejarah intelektual Barat, terutama setelah
era Pencerahan, teologi sering kali terpisah dari alam. Rasionalisme modern
menekankan otonomi manusia dan kemampuan rasional untuk menguasai alam melalui
ilmu pengetahuan dan teknologi.⁵ Paradigma ini, meskipun menghasilkan kemajuan
material luar biasa, juga menimbulkan konsekuensi ekologis yang parah. Sejumlah
teolog dan filsuf, seperti Lynn White Jr., menilai bahwa krisis lingkungan
sebagian berakar pada interpretasi teologis yang menempatkan manusia sebagai
penguasa mutlak atas alam, sebagaimana ditafsirkan dari teks Kejadian dalam
tradisi Yudeo-Kristen.⁶ Dalam konteks ini, White menyerukan perlunya
reformulasi teologi yang tidak lagi mendukung dominasi manusia atas alam,
melainkan mendorong munculnya etika tanggung jawab ekologis.⁷
Di sisi lain, dalam tradisi Islam, konsep khalifah
(perwakilan Tuhan di bumi) dan amanah (tanggung jawab moral) menegaskan
posisi manusia bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai penjaga yang harus
memelihara keseimbangan ciptaan.⁸ Sementara dalam tradisi Timur seperti
Buddhisme dan Hindu, hubungan manusia dengan alam dipahami secara
non-dualistis—di mana kesadaran akan keterhubungan (interbeing) menjadi
dasar moralitas ekologis.⁹ Keberagaman pandangan ini menunjukkan bahwa setiap
tradisi keagamaan memiliki potensi internal untuk mengembangkan etika ekologis
yang berakar pada ajaran spiritualnya sendiri.
Pendekatan ekoteologis bersifat intrinsik
interdisipliner. Ia tidak hanya memadukan dimensi teologis dan filosofis,
tetapi juga berdialog dengan ilmu pengetahuan alam, sosiologi, dan ekologi
politik. Dengan cara ini, ekoteologi tidak sekadar berbicara tentang keindahan
ciptaan Tuhan secara metaforis, tetapi juga mengkaji secara kritis bagaimana
sistem sosial, ekonomi, dan budaya manusia berperan dalam merusak atau
memulihkan bumi.¹⁰ Pendekatan semacam ini menuntut sikap reflektif, kritis, dan
empatik terhadap realitas ekologis yang tengah dihadapi, serta menegaskan
perlunya reformasi paradigma spiritual yang menempatkan keberlanjutan kehidupan
sebagai ekspresi iman yang otentik.
Rumusan masalah utama dalam kajian ini dapat
dirangkum dalam beberapa pertanyaan kunci: (1) bagaimana relasi ontologis
antara Tuhan, manusia, dan alam dipahami dalam kerangka ekoteologi?; (2)
bagaimana epistemologi teologis dapat berkontribusi terhadap pengetahuan
ekologis kontemporer?; (3) sejauh mana ekoteologi mampu menawarkan dasar etis
dan praksis bagi transformasi sosial yang berkeadilan ekologis? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, kajian ini menggunakan pendekatan
filosofis-teologis yang bersifat reflektif, kontekstual, dan hermeneutis.¹¹
Melalui kerangka ini, ekoteologi tidak hanya dipahami sebagai teori keagamaan
tentang alam, tetapi juga sebagai praksis spiritual yang mendorong perubahan
pola pikir, gaya hidup, dan struktur sosial menuju harmoni kosmis.
Dengan demikian, bagian pendahuluan ini berfungsi
sebagai fondasi konseptual yang menegaskan bahwa ekoteologi bukan sekadar
cabang teologi baru, melainkan paradigma kritis yang menantang cara lama manusia
memahami dirinya di hadapan Tuhan dan alam. Ia mengajukan pandangan bahwa
spiritualitas sejati tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab ekologis—bahwa
menyembah Tuhan berarti juga menjaga ciptaan-Nya.¹² Dengan kesadaran ini,
ekoteologi membuka ruang bagi transformasi teologis yang lebih inklusif,
relasional, dan ekologis; suatu upaya untuk merekonsiliasi iman dan bumi dalam
satu kesatuan kosmos yang sakral dan hidup.
Footnotes
[1]               
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 3–5.
[2]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London:
Darton, Longman and Todd, 2008), 12.
[3]               
Rosemary Radford Ruether, Gaia and God: An
Ecofeminist Theology of Earth Healing (San Francisco: HarperCollins, 1992),
15.
[4]               
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 101.
[5]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our
Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–07.
[6]               
Ibid., 1205.
[7]               
Ibid., 1206.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 87–89.
[9]               
Thích Nhất Hạnh, The Heart of Understanding:
Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press,
1988), 45.
[10]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 22–25.
[11]            
Ernst Conradie, An Ecological Christian
Anthropology: At Home on Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 9.
[12]            
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological
Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 32.
2.          
Landasan
Historis Ekoteologi
Gagasan tentang
keterkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan bukanlah hal baru dalam sejarah
pemikiran keagamaan. Sejak masa awal peradaban, berbagai tradisi spiritual dan
filosofis telah menempatkan alam sebagai bagian integral dari tatanan kosmik
yang sakral. Namun, cara pandang terhadap alam tersebut mengalami transformasi
signifikan seiring perkembangan zaman—dari pemahaman kosmos sebagai entitas
ilahi, menuju paradigma modern yang memandang alam sebagai objek mekanistik dan
netral secara spiritual.¹ Evolusi pandangan ini menjadi dasar historis bagi
lahirnya ekoteologi
sebagai respons terhadap krisis ekologis dan krisis spiritual yang melanda
dunia modern.
2.1.       Akar Religius dan Kosmologis Kuno
Dalam tradisi kuno,
manusia tidak pernah memisahkan dirinya dari alam. Bagi masyarakat pra-Yunani
dan masyarakat pribumi, alam dipahami sebagai makhluk hidup yang memiliki jiwa
(anima
mundi).² Pandangan animistik dan politeistik seperti ini
menumbuhkan rasa hormat dan keterhubungan spiritual terhadap seluruh unsur
alam. Di Mesopotamia dan Mesir Kuno, dewa-dewi sering kali dikaitkan dengan
unsur alam—matahari, air, bumi, dan langit—sebagai manifestasi kehadiran
ilahi.³ Hal serupa juga ditemukan dalam tradisi Asia Timur dan Nusantara, di
mana gunung, sungai, dan pohon memiliki dimensi sakral yang menandai kesadaran
ekologis primordial manusia.⁴
Dalam filsafat
Yunani klasik, terutama pada masa pra-Sokratik, alam (physis)
dipahami sebagai tatanan kosmik yang memiliki prinsip rasional dan spiritual.
Thales, Anaximenes, dan Herakleitos melihat alam bukan sekadar materi,
melainkan sumber kehidupan yang memiliki logos ilahi di dalamnya.⁵ Namun,
seiring berkembangnya rasionalisme Platonik dan Aristotelian, kosmos mulai
dilihat secara hierarkis, di mana manusia menempati posisi tertinggi dalam
tatanan makhluk hidup.⁶ Meski demikian, Plato tetap menekankan kesatuan kosmos
sebagai ciptaan rasional yang indah (kosmos noetos), sementara Aristoteles
menganggap alam sebagai sistem teleologis yang memiliki tujuan intrinsik.⁷
Pandangan ini menjadi dasar bagi teologi alam (natural theology) pada masa-masa
berikutnya.
2.2.       Tradisi Ibrani-Kristen dan Islam: Alam sebagai
Ciptaan Ilahi
Dalam tradisi
Ibrani, alam diciptakan oleh Tuhan dan dinyatakan “baik” dalam Kitab
Kejadian (Kejadian 1:31).⁸ Pemahaman ini menegaskan kesakralan ciptaan, namun
juga memunculkan ambiguitas teologis dalam tafsirnya. Frasa “taklukkanlah
bumi dan berkuasalah atasnya” (Kejadian 1:28) kemudian sering ditafsirkan
secara antroposentris, yang memberi legitimasi religius terhadap eksploitasi
alam.⁹ Namun, sejumlah teolog kontemporer menegaskan bahwa mandat tersebut
harus dibaca dalam konteks etika tanggung jawab (stewardship), bukan dominasi.¹⁰
Pandangan ini berupaya memulihkan pemahaman bahwa manusia adalah pengelola
ciptaan, bukan penguasa yang absolut.
Dalam teologi
Kristen awal, tokoh seperti St. Fransiskus dari Assisi menonjolkan
spiritualitas ekologis yang mendalam. Ia melihat semua makhluk sebagai “saudara”
dalam ciptaan Tuhan, sebagaimana tampak dalam Canticle of the Sun yang memuji
Tuhan melalui matahari, bulan, air, dan bumi.¹¹ Namun, warisan spiritual ini
kemudian meredup ketika teologi skolastik dan modern menekankan pemisahan
antara jiwa dan materi.¹² Pada Abad Pertengahan, terutama dengan pengaruh
Augustinus dan Thomas Aquinas, alam dipahami sebagai simbol atau sarana bagi
penyingkapan Tuhan, tetapi kehilangan dimensi sakral intrinsiknya.¹³
Dalam Islam, hubungan
antara Tuhan, manusia, dan alam didasarkan pada konsep tawḥīd
(keesaan Ilahi). Alam bukan entitas otonom, melainkan tanda-tanda (āyāt)
kebesaran Tuhan.¹⁴ Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa seluruh ciptaan
bertasbih memuji Tuhan (QS. Al-Isrā’ [17] ayat 44), dan manusia diberi amanah
untuk menjaga keseimbangan (mīzān) alam.¹⁵ Para pemikir Islam
klasik seperti al-Ghazālī, Ibn ‘Arabī, dan Ikhwan al-Ṣafā’ menekankan kesatuan
ontologis seluruh ciptaan dalam realitas Ilahi.¹⁶ Dalam pandangan ini, merusak
alam berarti menyalahi kehendak Tuhan, karena alam merupakan manifestasi dari tajallī
(penyingkapan) Ilahi.¹⁷
2.3.       Perubahan Paradigma pada Era Modern
Transformasi besar
terjadi pada masa Renaisans dan Pencerahan. Revolusi ilmiah yang dipelopori
oleh Copernicus, Galileo, dan Newton menggeser pemahaman tentang alam dari
tatanan spiritual menjadi sistem mekanistik.¹⁸ Alam tidak lagi dilihat sebagai
makhluk hidup yang suci, tetapi sebagai mesin yang tunduk pada hukum-hukum
fisika.¹⁹ Francis Bacon bahkan menegaskan bahwa ilmu harus digunakan untuk “menaklukkan
alam” demi kemajuan manusia.²⁰ Pemisahan ini menghasilkan apa yang disebut
Lynn White Jr. sebagai “akar historis krisis ekologis,” di mana teologi
Barat ikut berkontribusi pada lahirnya paradigma antroposentris yang
destruktif.²¹
Dalam konteks
modernitas inilah ekoteologi muncul sebagai gerakan korektif.²² Sejak dekade
1960-an, muncul kesadaran baru dalam dunia teologi bahwa krisis ekologi bukan
sekadar masalah ilmiah, tetapi juga krisis spiritual dan moral.²³ Gerakan “Green
Theology,” Creation Spirituality (Matthew
Fox), dan Process
Theology (John Cobb, Alfred North Whitehead) berusaha
merehabilitasi pandangan teologis terhadap alam sebagai ciptaan yang memiliki
nilai sakral dan otonomi moral.²⁴ Sementara itu, di dunia Islam, pemikir
seperti Seyyed Hossein Nasr dan Fazlun Khalid memelopori Islamic
Environmentalism dengan mengembalikan kesadaran kosmik dalam ajaran
tauhid dan keseimbangan alam.²⁵
Sintesis Historis: Dari Kosmologi Sakral ke Teologi Ekologis
Dari perjalanan
panjang ini, tampak bahwa ekoteologi tidak lahir dari ruang hampa, melainkan
merupakan rekonstruksi kritis terhadap tradisi spiritual dan filsafat alam yang
telah tereduksi oleh modernitas.²⁶ Ia berupaya menghidupkan kembali pandangan
dunia (worldview)
yang mengakui kesatuan eksistensial antara manusia dan alam dalam horizon
transendensi. Dengan demikian, ekoteologi dapat dipandang sebagai upaya
rekonsiliasi historis antara iman dan kosmos—antara spiritualitas yang hilang
dan ekologi yang terluka.²⁷ Melalui refleksi historis ini, kita memahami bahwa
setiap tradisi keagamaan, ketika dibaca ulang dengan hermeneutika ekologis,
memiliki potensi untuk memperkaya paradigma keberlanjutan spiritual dan
ekologis umat manusia.²⁸
Footnotes
[1]               
Ernst Haeckel, The Riddle of the Universe (New York: Harper
& Brothers, 1900), 12–14.
[2]               
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion
(New York: Harcourt, 1957), 93.
[3]               
Jan Assmann, The Search for God in Ancient Egypt (Ithaca:
Cornell University Press, 2001), 45.
[4]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28.
[5]               
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London:
Routledge, 1982), 37–40.
[6]               
David Sedley, Creationism and Its Critics in Antiquity
(Berkeley: University of California Press, 2007), 54.
[7]               
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye
(Oxford: Clarendon Press, 1930), 198b–200a.
[8]               
The Holy Bible, Genesis
1:31.
[9]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1203–07.
[10]            
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 25–27.
[11]            
St. Francis of Assisi, Canticle of the Sun, in The Writings
of St. Francis of Assisi, trans. Paschal Robinson (Philadelphia: Dolphin
Press, 1905), 88.
[12]            
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame,
IN: University of Notre Dame Press, 1991), 72.
[13]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 45, a. 1.
[14]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New
York: Oxford University Press, 1996), 56.
[15]            
Al-Qur’an, Surah Al-Isrā’ [17] ayat 44; Al-Rahman [55] ayat 7–9.
[16]            
William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 101–03.
[17]            
Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender
Relationships in Islamic Thought (Albany: SUNY Press, 1992), 143.
[18]            
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 42.
[19]            
Ibid., 45.
[20]            
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 129.
[21]            
White, “Historical Roots,” 1205.
[22]            
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 19.
[23]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 17.
[24]            
John B. Cobb Jr. and David Griffin, Process Theology: An
Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 64–67.
[25]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 93–94.
[26]            
Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on
Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 6.
[27]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 102–04.
[28]            
Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and
Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 15.
3.          
 Genealogi dan Tipologi Pemikiran Ekoteologi
Perkembangan
ekoteologi sebagai disiplin teologis modern tidak terjadi secara linear,
melainkan melalui proses genealogis yang kompleks dan berlapis. Ia lahir dari
pertemuan antara refleksi teologis tradisional, kritik terhadap
antroposentrisme modern, dan kesadaran ekologis yang muncul dari krisis
lingkungan global abad ke-20.¹ Genealogi ekoteologi dapat ditelusuri dari
akar-akar historisnya dalam tradisi keagamaan dan filsafat alam kuno, menuju
bentuk-bentuk refleksi baru yang menekankan hubungan interdependen antara
Tuhan, manusia, dan alam. Dari sinilah berkembang berbagai tipologi
pemikiran ekoteologi, yang merepresentasikan perbedaan fokus
ontologis dan epistemologis dalam memahami keterkaitan tersebut.
3.1.       Akar Genealogis: Dari Teologi Alam ke Kesadaran
Ekologis Modern
Sebelum istilah “ekoteologi”
dikenal luas, sudah ada tradisi teologi alam (natural theology) yang berusaha
mengenali Tuhan melalui ciptaan-Nya.² Pada masa pra-modern, teologi alam
menekankan bahwa keindahan dan keteraturan kosmos merupakan refleksi dari
kebijaksanaan ilahi.³ Tokoh seperti Thomas Aquinas dan Meister Eckhart
memandang bahwa keberadaan alam adalah manifestasi dari kebaikan Tuhan yang tak
terbatas.⁴ Namun, tradisi ini perlahan melemah setelah munculnya rasionalisme
dan sains mekanistik pada abad ke-17 dan ke-18. Alam tidak lagi dilihat sebagai
“kitab kedua” selain wahyu, melainkan sekadar sumber daya yang dapat
dikendalikan manusia.
Kebangkitan kembali
refleksi teologis terhadap alam mulai menguat setelah Lynn
White Jr. mempublikasikan artikelnya yang berpengaruh berjudul “The
Historical Roots of Our Ecologic Crisis” pada tahun 1967.⁵ White
menuduh tradisi Yudeo-Kristen sebagai salah satu penyebab utama krisis ekologi
modern karena tafsirnya yang antroposentris terhadap mandat manusia untuk
“menaklukkan bumi.”⁶ Meski menimbulkan kontroversi, tesis White memicu
perdebatan mendalam di kalangan teolog dan filsuf agama tentang perlunya
pembaruan cara pandang terhadap hubungan manusia dan alam.⁷ Dari sinilah muncul
gerakan awal Green Theology di Barat dan
refleksi paralel di dunia Islam, Hindu, dan Buddhis yang mencari dasar teologis
bagi tanggung jawab ekologis manusia.⁸
3.2.       Tipologi Pemikiran Ekoteologi
Secara konseptual,
pemikiran ekoteologi berkembang dalam berbagai arus dan tipologi, yang dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bentuk utama: antroposentris moderat, teosentris,
dan kosmosentris.
Ketiganya memiliki titik tolak yang berbeda dalam memahami relasi Tuhan,
manusia, dan alam, meskipun sering beririsan dan saling memengaruhi.
3.2.1.   
Ekoteologi Antroposentris Moderat
Aliran ini tidak
sepenuhnya menolak posisi manusia sebagai pusat moral, tetapi menekankan
tanggung jawab etis manusia terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan. Pendekatan ini
banyak diwakili oleh teologi stewardship dalam tradisi Kristen
dan konsep khalīfah
dalam Islam.⁹ Dalam paradigma ini, manusia dilihat sebagai pengelola, bukan
penguasa alam.¹⁰ Jürgen Moltmann, misalnya, mengembangkan gagasan God in
Creation yang menegaskan bahwa manusia harus berpartisipasi dalam
perawatan ciptaan sebagai wujud kasih terhadap Tuhan.¹¹ Dalam konteks Islam,
Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis ekologi merupakan akibat dari
kehilangan kesadaran spiritual tentang kesatuan kosmos dalam tauhid.¹²
Pendekatan ini berupaya memulihkan etika keagamaan yang bertanggung jawab tanpa
menafikan martabat manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.
3.2.2.   
Ekoteologi Teosentris
Tipologi ini
berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan adalah pusat kosmos dan seluruh ciptaan
memiliki nilai karena berpartisipasi dalam keberadaan Ilahi.¹³ Alam bukan
sekadar latar tempat manusia beraktivitas, melainkan ekspresi diri Tuhan yang
hidup. Tokoh penting seperti Thomas Berry dan Sallie
McFague memandang dunia sebagai “tubuh Tuhan” (The Body
of God), di mana Tuhan hadir dan bekerja di dalam setiap unsur
kehidupan.¹⁴ Pendekatan ini juga dipengaruhi oleh Process Theology Alfred North
Whitehead dan John Cobb, yang menekankan bahwa realitas bersifat dinamis dan
saling berproses dalam kehadiran Ilahi.¹⁵ Ekoteologi teosentris menolak
dualisme transenden-imanen dan menggantikannya dengan teologi relasional yang
mengakui kesakralan imanen alam.¹⁶
3.2.3.   
Ekoteologi Kosmosentris
Dalam tipologi ini,
alam ditempatkan sebagai pusat refleksi teologis dan spiritualitas. Alam tidak
hanya dianggap sebagai ciptaan Tuhan, tetapi juga sebagai subjek
teologis yang memiliki makna, nilai, dan hak-hak intrinsik.¹⁷
Gagasan ini banyak dikembangkan oleh teologi kontekstual dan spiritualitas
Timur seperti Buddhisme, Taoisme, dan juga oleh gerakan Deep
Ecology yang dipelopori oleh Arne Næss.¹⁸ Konsep interbeing
Thích Nhất Hạnh dan pandangan Gaia James Lovelock menegaskan bahwa kehidupan
adalah jaringan saling ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan.¹⁹ Ekoteologi
kosmosentris menggeser fokus teologi dari keselamatan manusia menuju
penyelamatan seluruh ciptaan (salus mundi), sehingga etika
ekologinya bersifat inklusif dan universal.²⁰
3.3.       Tokoh dan Tradisi Pemikiran Lintas Agama
Genealogi ekoteologi
tidak dapat dilepaskan dari kontribusi berbagai tradisi keagamaan dan pemikiran
lintas budaya. Dalam Kekristenan, selain Moltmann dan McFague, tokoh seperti Leonardo
Boff mengembangkan eco-liberation theology yang
menggabungkan teologi pembebasan dan keadilan ekologis.²¹ Dalam Buddhisme, Thích Nhất
Hạnh mempromosikan kesadaran ekologis melalui meditasi dan
praktik hidup sederhana yang berlandaskan pada interkoneksi kosmik.²² Dalam
Hinduisme, Satish Kumar menegaskan prinsip
ahimsa
(tanpa kekerasan) sebagai dasar spiritualitas ekologis.²³ Sementara dalam
Islam, Fazlun
Khalid dan Ziauddin Sardar mengusung
pendekatan ekologis berbasis sharī‘ah al-bi’ah (hukum lingkungan
Islam) untuk menyeimbangkan hubungan manusia dan alam.²⁴
Keberagaman ini
menunjukkan bahwa ekoteologi bersifat pluralistik dan lintas tradisi.²⁵ Ia
bukan monopoli suatu agama, melainkan hasil refleksi kolektif umat manusia
terhadap krisis ekologis global.²⁶ Setiap tradisi agama membawa nilai khas yang
memperkaya wacana ekoteologis: Islam dengan tauhid dan mīzān,
Kristen dengan teologi inkarnasional, Hindu dan Buddha dengan kesadaran non-dualistik,
serta kepercayaan lokal dengan spiritualitas kosmiknya.²⁷
3.4.       Integrasi dan Perkembangan Mutakhir
Dalam perkembangan
kontemporer, kecenderungan menuju sintesis antara ketiga tipologi tersebut
semakin kuat. Para teolog berupaya mengintegrasikan etika tanggung jawab
manusia (antroposentris moderat), kesadaran kehadiran Tuhan di alam
(teosentris), dan spiritualitas kesatuan kosmos (kosmosentris).²⁸ Gerakan
seperti ecumenical
eco-theology, eco-feminism, dan interfaith
environmental ethics menjadi wadah bagi dialog lintas agama untuk
membangun paradigma ekologis global yang spiritual dan praksis.²⁹ Dengan
demikian, ekoteologi kini tidak hanya menjadi bidang refleksi teoretis, tetapi
juga gerakan transformasional yang menghubungkan iman, pengetahuan, dan
tindakan untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama (oikos tou theou).³⁰
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 22.
[2]               
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of
Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 18.
[3]               
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 11–13.
[4]               
Bernard McGinn, The Essential Writings of Christian Mysticism
(New York: Modern Library, 2006), 78.
[5]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1203–07.
[6]               
Ibid., 1205.
[7]               
Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on
Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 8–9.
[8]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 14–16.
[9]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 67.
[10]            
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
[11]            
Moltmann, God in Creation, 23–25.
[12]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 90.
[13]            
John B. Cobb Jr. and David Griffin, Process Theology: An
Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 71.
[14]            
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 29.
[15]            
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 342.
[16]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 104.
[17]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 49.
[18]            
Arne Næss, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.
[19]            
Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth (Berkeley: Parallax
Press, 2013), 17.
[20]            
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford:
Oxford University Press, 1979), 98.
[21]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 26.
[22]            
Thích Nhất Hạnh, The World We Have: A Buddhist Approach to Peace
and Ecology (Berkeley: Parallax Press, 2008), 31.
[23]            
Satish Kumar, You Are, Therefore I Am: A Declaration of Dependence
(Totnes: Green Books, 2002), 54.
[24]            
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 2002), 8–10.
[25]            
Tucker and Grim, Ecology and Religion, 62.
[26]            
Ernst Haeckel, The Riddle of the Universe (New York: Harper
& Brothers, 1900), 20.
[27]            
Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford
University Press, 1996), 78.
[28]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 98–100.
[29]            
Rosemary Radford Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization,
and World Religions (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005), 12–13.
[30]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 105.
4.          
Ontologi:
Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam
Ontologi ekoteologi
berangkat dari kesadaran bahwa realitas kosmos tidak dapat dipahami sebagai
sekumpulan entitas yang terpisah, melainkan sebagai jaringan kehidupan yang
saling bergantung dalam kehadiran Ilahi.¹ Dalam konteks ini, hubungan antara
Tuhan, manusia, dan alam bukanlah relasi yang bersifat hierarkis dan dualistik,
tetapi bersifat relasional dan partisipatoris.
Ontologi ekoteologis menolak dikotomi tajam antara yang sakral dan profan, roh
dan materi, atau manusia dan alam—sebuah dikotomi yang menjadi ciri khas
metafisika modern pasca-Descartes.² Sebaliknya, ia menegaskan bahwa seluruh
ciptaan merupakan manifestasi dan partisipasi dalam keberadaan Tuhan (being-within-being),
di mana setiap wujud memiliki nilai intrinsik dan makna spiritual yang tak
terpisahkan dari totalitas kosmos.³
4.1.       Kritik terhadap Dualisme Klasik dan Ontologi
Mekanistik
Dalam tradisi
filsafat Barat, terutama sejak Descartes, alam dipandang sebagai res
extensa—benda yang dapat diukur, dimanipulasi, dan dikuasai.⁴
Sementara manusia ditempatkan sebagai res cogitans, subjek rasional yang
eksis secara terpisah dari alam. Paradigma ini menghasilkan ontologi dualistik
yang memisahkan manusia dari lingkungannya dan menempatkan alam semata-mata
sebagai objek material.⁵ Dalam kerangka modernitas, ontologi tersebut kemudian
mendasari kapitalisme industri dan sains positivistik, yang secara
epistemologis menyingkirkan dimensi spiritual dari alam.⁶ Carolyn Merchant
menyebut pergeseran ini sebagai “kematian alam” (the
death of nature), di mana dunia kehilangan maknanya sebagai
organisme hidup dan menjadi mesin mati tanpa kesucian.⁷
Ontologi ekoteologis
muncul sebagai kritik terhadap reduksi tersebut. Ia berupaya membalik paradigma
mekanistik menjadi paradigma organis—di mana alam kembali dipahami sebagai
sistem hidup yang bersifat interrelasional.⁸ Dalam pandangan ini, manusia tidak
berada di luar alam, melainkan di dalamnya sebagai bagian integral dari
keseluruhan ciptaan. Relasi ontologis semacam ini menuntut pemahaman baru
tentang eksistensi yang bersifat dialogis dan ko-eksistensial, bukan
dominatif.⁹
4.2.       Ontologi Relasional dan Partisipatif: Dari
Panenteisme ke Interbeing
Dalam teologi
kontemporer, konsep ontologi relasional banyak dikembangkan melalui gagasan panenteisme—bahwa
Tuhan “meliputi” alam semesta tetapi tidak identik dengannya.¹⁰
Panenteisme berbeda dari panteisme yang menganggap Tuhan dan alam sebagai satu
dan sama; panenteisme memandang bahwa seluruh ciptaan berada di dalam Tuhan,
namun Tuhan juga melampaui ciptaan itu.¹¹ Pandangan ini ditemukan dalam Process
Theology Alfred North Whitehead dan John B. Cobb Jr., yang
menekankan bahwa realitas bersifat dinamis dan setiap entitas berpartisipasi
dalam proses kreatif Ilahi (creative advance).¹² Thomas Berry
menyebut pandangan ini sebagai sacred cosmology, yakni bahwa alam
semesta adalah perwujudan cinta dan kesadaran Ilahi yang terus berkembang.¹³
Dalam tradisi Timur,
ontologi relasional diungkapkan melalui konsep interbeing (Thích Nhất Hạnh), yang
menekankan bahwa segala sesuatu saling mengada (to inter-be)—tidak ada entitas yang
eksis secara independen.¹⁴ Dalam kerangka ini, manusia, alam, dan Tuhan
bukanlah tiga entitas terpisah, melainkan dimensi saling menembus dari satu
realitas kosmik yang menyatu. Buddhisme, Taoisme, dan bahkan mistisisme Islam
(tasawuf) memiliki pandangan serupa, di mana Tuhan dipahami sebagai wujūd
mutlaq (realitas absolut) yang menjadi dasar dan penopang seluruh
eksistensi.¹⁵ Ibn ‘Arabī menyebut hubungan ini sebagai wahdat
al-wujūd—kesatuan keberadaan yang menegaskan bahwa segala sesuatu
adalah manifestasi dari Tuhan, namun tidak pernah identik dengan-Nya.¹⁶
Ontologi semacam ini menumbuhkan kesadaran ekologis yang mendalam, sebab
menghancurkan alam berarti menodai kehadiran Ilahi dalam ciptaan.¹⁷
4.3.       Ontologi Ekoteologis dalam Tradisi Abrahamik dan
Timur
Dalam tradisi
Kristen, Jürgen Moltmann dan Sallie McFague menawarkan reinterpretasi terhadap
konsep penciptaan dalam Kitab Kejadian. Moltmann menolak pandangan bahwa Tuhan
menciptakan dunia “dari luar,” dan menekankan bahwa Tuhan senantiasa
hadir di dalam ciptaan melalui Roh Kudus.¹⁸ McFague, dalam karyanya The Body
of God, mengusulkan metafora teologis baru: dunia adalah tubuh
Tuhan.¹⁹ Dengan memahami dunia sebagai tubuh Ilahi, maka tindakan merusak alam
sama dengan melukai tubuh Tuhan sendiri.²⁰ Pandangan ini membawa dimensi etis
yang kuat, karena menuntut manusia untuk memperlakukan alam dengan kasih dan
penghormatan spiritual.
Dalam Islam, ontologi
ekoteologis bertumpu pada prinsip tawḥīd (keesaan Ilahi) dan mīzān
(keseimbangan).²¹ Alam dipandang sebagai sistem tanda-tanda Ilahi (āyāt
Allāh) yang saling berhubungan dan tunduk pada hukum keseimbangan
kosmik.²² Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa seluruh ciptaan memiliki “kedudukan
ontologis” yang sakral karena memantulkan cahaya Ilahi.²³ Oleh karena itu,
tindakan ekologis bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan ibadah kosmik
yang menegaskan kesetiaan manusia pada prinsip tauhid.²⁴ Pandangan ini
menunjukkan bahwa dalam Islam, ontologi ekologis tidak terpisah dari teologi,
karena keberadaan seluruh makhluk berpangkal pada satu sumber wujud: Tuhan.
4.4.       Ontologi Alam sebagai Ruang Sakral
Salah satu ciri khas
ontologi ekoteologis adalah pemulihan kesakralan alam.²⁵ Alam bukanlah “benda”
yang berdiri di luar kesadaran religius, melainkan ruang teofanik—tempat
kehadiran Tuhan termanifestasi.²⁶ Dalam pandangan Mircea Eliade, ruang alam
yang sakral menandai keterhubungan manusia dengan pusat kosmos; dengan
demikian, kehidupan ekologis juga merupakan kehidupan spiritual.²⁷ Ontologi
semacam ini tidak hanya menolak reduksi materialistik, tetapi juga membuka
kembali makna metafisik dari keberadaan alam.²⁸ Alam menjadi “ikon”
Tuhan, bukan “alat” bagi manusia.²⁹
Pemulihan ontologi
sakral ini memiliki implikasi besar bagi ekoteologi kontemporer. Ia mendorong
manusia untuk memandang dirinya bukan sebagai penguasa bumi, tetapi sebagai
bagian dari jaringan kosmis yang dijiwai oleh Roh Ilahi.³⁰ Ontologi demikian
mengubah paradigma eksistensial: dari “ada untuk menguasai” menjadi “ada
untuk merawat.”³¹ Dalam tatanan ini, relasi Tuhan, manusia, dan alam
membentuk kesatuan ontologis yang dinamis, di mana seluruh wujud berpartisipasi
dalam harmoni keberadaan yang suci dan tak terbagi.³²
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 34.
[2]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 28.
[3]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 73.
[4]               
Descartes, Meditations, 42–43.
[5]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 25.
[6]               
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 11–12.
[7]               
Merchant, The Death of Nature, 41.
[8]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 31–32.
[9]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 19.
[10]            
John B. Cobb Jr. and David Griffin, Process Theology: An
Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 74.
[11]            
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 342.
[12]            
Ibid., 348–349.
[13]            
Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club
Books, 1988), 104.
[14]            
Thích Nhất Hạnh, The Heart of Understanding: Commentaries on the
Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press, 1988), 45.
[15]            
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 57.
[16]            
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. E. Affifi (Cairo: Dar
al-Kutub al-Misriyya, 1946), 87–88.
[17]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 92.
[18]            
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 28–30.
[19]            
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 28.
[20]            
Ibid., 30.
[21]            
Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford
University Press, 1996), 56.
[22]            
Al-Qur’an, Surah Al-Rahman [55] ayat 7–9.
[23]            
Nasr, Man and Nature, 85.
[24]            
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1991), 63.
[25]            
Berry, The Great Work, 77.
[26]            
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion
(New York: Harcourt, 1957), 21.
[27]            
Ibid., 23.
[28]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 40.
[29]            
Thomas Merton, New Seeds of Contemplation (New York: New
Directions, 1961), 87.
[30]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 34.
[31]            
Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and
Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 18.
[32]            
Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins,
1992), 125.
5.          
Epistemologi
Ekoteologi
Epistemologi
ekoteologi berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan alam
tidak dapat dipisahkan satu sama lain.¹ Jika dalam paradigma modern Barat
pengetahuan cenderung dipahami secara dualistik—antara subjek yang mengetahui
dan objek yang diketahui—maka epistemologi ekoteologis mengajukan pemahaman
relasional di mana manusia, alam, dan Tuhan saling terjalin dalam jejaring
kebenaran yang hidup (living truth).² Dalam konteks ini,
mengetahui bukan sekadar tindakan intelektual, melainkan partisipasi
eksistensial dan spiritual dalam realitas Ilahi.³ Ekoteologi dengan demikian
menawarkan kerangka epistemologis yang menyatukan pengalaman spiritual, wahyu,
rasionalitas, dan kepekaan ekologis dalam satu horizon kesadaran kosmik.
5.1.       Dari Rasionalisme Modern ke Pengetahuan Relasional
Salah satu akar
krisis ekologi terletak pada epistemologi modern yang bersifat objektif
dan instrumental, sebagaimana dikembangkan oleh Francis Bacon,
René Descartes, dan Isaac Newton.⁴ Alam diperlakukan sebagai objek pasif yang
dapat dikuasai melalui metode ilmiah; pengetahuan menjadi alat kekuasaan, bukan
sarana kebijaksanaan.⁵ Paradigma ini menghasilkan “epistemologi dominatif,”
yang berupaya menundukkan alam dalam kerangka eksploitasi ekonomi dan
teknologis.⁶ Carolyn Merchant menyebut pergeseran ini sebagai “maskulinisasi
pengetahuan,” karena menggantikan relasi simbiotik dengan relasi kontrol.⁷
Sebagai reaksi
terhadap dominasi rasionalisme tersebut, epistemologi ekoteologi mengajukan
model pengetahuan yang dialogis, empatik, dan kontemplatif.⁸
Pengetahuan bukan hasil dominasi atas alam, melainkan keterlibatan yang penuh
kasih terhadapnya.⁹ Dengan kata lain, manusia tidak dapat “mengetahui”
alam tanpa terlebih dahulu “menyatu” dengannya secara spiritual.
Pengetahuan sejati bersumber dari kesadaran partisipatif—mengetahui berarti
ikut serta dalam kehidupan Ilahi yang menjiwai seluruh ciptaan.¹⁰
5.2.       Wahyu, Alam, dan Pengalaman sebagai Sumber
Pengetahuan
Dalam kerangka
teologis, epistemologi ekoteologis tidak hanya berlandaskan rasio, tetapi juga
pada wahyu
(revelation), alam (creation), dan pengalaman
spiritual (experience). Ketiganya saling melengkapi dalam
proses mengenal Tuhan dan memahami realitas kosmik.
Dalam tradisi
Kristen, konsep natural revelation menegaskan bahwa
alam merupakan wahyu pertama Tuhan sebelum firman tertulis.¹¹ Mazmur 19:2
menyatakan, “Langit menceritakan kemuliaan Allah.” Pandangan ini
menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dapat diperoleh melalui kontemplasi
terhadap ciptaan.¹² Thomas Aquinas juga berpendapat bahwa hukum alam adalah
partisipasi manusia dalam hukum abadi Tuhan (lex naturalis).¹³
Dalam Islam,
epistemologi ekoteologis didasarkan pada prinsip bahwa alam adalah ayat
kauniyyah—tanda-tanda Tuhan di dunia fenomenal.¹⁴ Al-Qur’an
mengajak manusia untuk “merenungkan ciptaan langit dan bumi” (QS. Ali
Imran [3] ayat 191) sebagai sarana untuk mengenal Sang Pencipta.¹⁵ Dengan
demikian, pengetahuan ekologis bukanlah sekadar observasi empiris, melainkan
juga perenungan teologis. Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa pengetahuan
sejati tentang alam hanya dapat dicapai jika manusia memandang dunia melalui “mata
hati” (‘ayn
al-qalb), bukan semata-mata dengan akal empiris.¹⁶
Pengalaman religius
juga memainkan peran epistemik penting. Dalam spiritualitas Buddhis dan Taois,
kesadaran ekologis muncul dari pengalaman langsung akan keterhubungan segala
makhluk (interbeing).¹⁷
Thích Nhất Hạnh menekankan bahwa memahami alam berarti mengalami kesatuan diri
dengan semua makhluk hidup.¹⁸ Pengetahuan demikian bersifat transformatif
karena tidak hanya mengubah cara berpikir, tetapi juga cara hidup.
5.3.       Dialog antara Teologi dan Sains Lingkungan
Epistemologi
ekoteologi menolak dikotomi antara teologi dan sains. Alih-alih menentang
sains, ia justru menyerukan dialog kreatif antara pengetahuan ilmiah dan
kebijaksanaan spiritual.¹⁹ Pandangan ini sejalan dengan semangat integrative
epistemology, di mana ilmu dan iman berkolaborasi dalam memahami
kompleksitas realitas ekologis.²⁰
Fritjof Capra, dalam
kerangka sains sistemik, menunjukkan bahwa alam bekerja sebagai jaringan relasi
yang kompleks dan dinamis—suatu sistem kehidupan yang terorganisir secara
holistik.²¹ Pemahaman ini selaras dengan gagasan teologis tentang kesatuan
ciptaan (unity of
creation).²² Dalam konteks ini, pengetahuan ilmiah yang terbuka
terhadap nilai spiritual dapat menjadi sarana pewahyuan Ilahi yang baru, di
mana sains tidak lagi berfungsi untuk menguasai, tetapi untuk melayani
kehidupan.²³
Di sinilah
epistemologi ekoteologi memperluas batas tradisional antara “iman” dan “pengetahuan.”
Kebenaran tidak lagi dipahami sebagai kesesuaian semata antara pikiran dan
realitas (adaequatio
intellectus ad rem), tetapi sebagai keselarasan antara pikiran,
hati, dan alam (harmonia mentis et naturae).²⁴
Dengan demikian, pengetahuan ekologis sejati adalah pengetahuan yang etis dan
spiritual sekaligus.
5.4.       Ekoteologi sebagai Epistemologi Praksis
Epistemologi
ekoteologi bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga praksis.²⁵ Mengetahui
berarti bertindak sesuai dengan kebenaran ekologis.²⁶ Dalam hal ini,
pengetahuan tidak berhenti pada ranah konseptual, melainkan diwujudkan dalam
tindakan konkret menjaga keberlanjutan ciptaan.²⁷ Leonardo Boff menyebutnya
sebagai praxis
ekologis—perpaduan antara refleksi iman dan tindakan sosial untuk
menyelamatkan bumi.²⁸
Epistemologi praksis
ini juga terlihat dalam teologi pembebasan ekologis yang memandang bahwa
pengetahuan sejati muncul dari pengalaman bersama yang tertindas—termasuk alam
yang dieksploitasi.²⁹ Dalam paradigma ini, pengetahuan bersifat dialogis dan
kolektif, lahir dari relasi kasih antara manusia dan seluruh ciptaan.³⁰ Oleh
karena itu, epistemologi ekoteologis mengandung dimensi etis yang kuat: ia menuntut
konversi ekologis (ecological conversion) dan
transformasi kesadaran menuju kehidupan yang berkelanjutan.³¹
5.5.       Menuju Kesadaran Epistemologis Kosmik
Epistemologi
ekoteologi berujung pada kesadaran kosmik, yakni pemahaman bahwa seluruh
ciptaan merupakan medan pengetahuan Ilahi yang terus terbuka.³² Dalam kosmologi
Thomas Berry, alam semesta adalah “kitab wahyu ketiga” setelah Kitab
Suci dan pengalaman mistik.³³ Melalui alam, manusia diajak untuk membaca narasi
besar kosmos—sebuah kisah penciptaan yang masih berlangsung.³⁴ Pengetahuan
dalam kerangka ini bukanlah penguasaan, tetapi partisipasi dalam evolusi
spiritual alam semesta.³⁵
Dengan demikian,
epistemologi ekoteologi menegaskan bahwa mengetahui adalah bentuk cinta: cinta
kepada Tuhan, kepada sesama, dan kepada bumi.³⁶ Ia melampaui batas metodologis
sains dan dogmatisme agama, menuju suatu horizon kesadaran holistik di mana
iman, rasio, dan alam saling menerangi.³⁷ Di sinilah ekoteologi menemukan
jiwanya sebagai epistemologi yang menyatukan sapientia (kebijaksanaan) dan scientia
(pengetahuan) dalam satu kesadaran ekologis Ilahi.³⁸
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 57.
[2]               
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 21.
[3]               
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 88.
[4]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 35.
[5]               
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald Cress
(Indianapolis: Hackett, 1998), 28.
[6]               
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 27.
[7]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41.
[8]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 28.
[9]               
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 37.
[10]            
Thomas Merton, New Seeds of Contemplation (New York: New
Directions, 1961), 82.
[11]            
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of
Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 22.
[12]            
The Holy Bible, Psalm 19:2.
[13]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 91, a. 2.
[14]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New
York: Oxford University Press, 1996), 54.
[15]            
Al-Qur’an, Surah Ali Imran [3] ayat191.
[16]            
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(Chicago: ABC International Group, 1997), 95.
[17]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self (Berkeley: Parallax
Press, 2007), 12.
[18]            
Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth (Berkeley: Parallax
Press, 2013), 18.
[19]            
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(London: SPCK, 1998), 9.
[20]            
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 39.
[21]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 49.
[22]            
Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 36.
[23]            
Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 91.
[24]            
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 64.
[25]            
Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on
Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 19.
[26]            
Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and
Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 10.
[27]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 42.
[28]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 44.
[29]            
Rosemary Radford Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization,
and World Religions (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005), 16.
[30]            
Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and
Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 25.
[31]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 217.
[32]            
Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins,
1992), 134.
[33]            
Ibid., 135.
[34]            
Berry, The Great Work, 89.
[35]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 102.
[36]            
Thích Nhất Hạnh, Peace Is Every Step (New York: Bantam, 1992),
73.
[37]            
Panikkar, The Rhythm of Being, 118.
[38]            
Nasr, Religion and the Order of Nature, 112.
6.          
Etika
dan Moralitas Ekologis
Etika dan moralitas
ekologis dalam kerangka ekoteologi berakar pada kesadaran bahwa tanggung jawab
manusia terhadap alam bukan sekadar persoalan praktis, tetapi juga dimensi
spiritual dan teologis.¹ Jika ontologi ekoteologi menjelaskan relasi
eksistensial antara Tuhan, manusia, dan alam, maka etika ekologis merupakan
perwujudan praktis dari relasi tersebut dalam tindakan moral. Etika ini
menuntut pergeseran paradigma dari etika antroposentris menuju etika
kosmosentris dan teosentris, di mana nilai moral
tidak hanya diberikan kepada manusia, tetapi juga kepada seluruh ciptaan
sebagai partisipan dalam kehidupan Ilahi.²
Dalam konteks ini,
ekoteologi berupaya membangun dasar normatif baru bagi kehidupan ekologis yang
berkeadilan, dengan menekankan tanggung jawab, solidaritas, dan kasih terhadap
seluruh makhluk hidup.³ Alam tidak lagi dipandang sebagai sumber daya untuk
dimanfaatkan, tetapi sebagai komunitas moral (moral community) yang layak dihormati
karena keberadaannya mencerminkan kebesaran Tuhan.⁴
6.1.       Krisis Moral dan Paradigma Antroposentris
Sebagian besar
krisis lingkungan dewasa ini merupakan konsekuensi dari paradigma moral
antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai dan ukuran segala
sesuatu.⁵ Dalam pandangan ini, alam hanya memiliki nilai instrumental, bukan
nilai intrinsik.⁶ Hal tersebut terlihat dalam warisan modernitas yang
dipengaruhi oleh rasionalisme Cartesian dan kapitalisme industri, yang
memisahkan moralitas manusia dari tanggung jawab ekologis.⁷ Etika demikian
memperlakukan alam sebagai “objek non-moral,” yang berarti tidak
memiliki hak, martabat, atau tujuan di luar kegunaan bagi manusia.⁸
Lynn White Jr.
menegaskan bahwa akar krisis ekologi terletak pada kesalahan teologis dalam
interpretasi teks-teks suci yang memberi legitimasi kepada dominasi manusia
atas alam.⁹ Pandangan ini kemudian dikritik oleh para teolog seperti Jürgen
Moltmann dan Sallie McFague, yang menyerukan perlunya metanoia
ekologis—pertobatan moral menuju kesadaran baru bahwa manusia
adalah bagian dari ciptaan, bukan penguasanya.¹⁰ Dalam pengertian ini, krisis
ekologis adalah juga krisis etis dan spiritual.¹¹
6.2.       Dasar Teologis Etika Ekologis
Etika ekologis
berakar pada pandangan bahwa seluruh ciptaan adalah baik dan berharga di
hadapan Tuhan.¹² Dalam tradisi Kristen, prinsip ini bersumber dari narasi
penciptaan: “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya, sungguh amat baik
adanya” (Kejadian 1:31).¹³ Dari ayat ini muncul gagasan bahwa setiap makhluk
hidup memiliki nilai intrinsik sebagai refleksi kasih dan kehendak Tuhan.¹⁴
Oleh karena itu, etika ekologis menuntut manusia untuk menghormati dan
melindungi integritas ciptaan sebagai bagian dari ibadah kepada Sang
Pencipta.¹⁵
Dalam tradisi Islam,
etika ekologis didasarkan pada dua konsep kunci: khalīfah (perwalian manusia) dan mīzān
(keseimbangan).¹⁶ Al-Qur’an menegaskan bahwa Tuhan menempatkan manusia di bumi
“untuk memakmurkannya” (QS. Hud [11] ayat 61), bukan untuk
menghancurkannya.¹⁷ Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa perusakan lingkungan
adalah bentuk pelanggaran terhadap amanah Ilahi, karena alam merupakan tajallī
(manifestasi) dari kehadiran Tuhan.¹⁸ Dengan demikian, menjaga keseimbangan
ekologis merupakan tanggung jawab spiritual yang memiliki dimensi moral dan
metafisik.¹⁹
Tradisi Buddhis dan
Hindu juga menawarkan dasar etis yang kuat untuk menghargai kehidupan
non-manusia. Prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) dan
kesadaran interbeing
menekankan bahwa setiap makhluk memiliki hak untuk hidup karena semuanya
terhubung dalam jaringan karma dan kehidupan kosmis.²⁰ Etika ekologis dalam
konteks ini bersifat universal dan kosmis, melampaui batas agama dan
kebudayaan.²¹
6.3.       Prinsip-prinsip Moralitas Ekologis
Etika ekologis yang
bersumber dari ekoteologi dapat dirumuskan dalam beberapa prinsip moral utama:
6.3.1.   
Prinsip Sakralitas Ciptaan
Segala yang ada
merupakan ekspresi dari kehendak dan kehadiran Ilahi; karena itu, ciptaan harus
diperlakukan dengan hormat dan kasih.²² Etika ini berlawanan dengan eksploitasi
yang didorong oleh paradigma utilitarianisme.²³
6.3.2.   
Prinsip Keadilan Ekologis
Keadilan tidak hanya
berlaku di antara manusia, tetapi juga mencakup relasi manusia dengan alam.²⁴
Konsep eco-justice
menekankan tanggung jawab sosial terhadap dampak ekologis, terutama terhadap
komunitas miskin dan rentan yang paling menderita akibat kerusakan
lingkungan.²⁵ Leonardo Boff menggabungkan prinsip keadilan sosial dengan
keadilan ekologis, menyebut bumi sebagai “subjek penderitaan” yang
menuntut pembebasan.²⁶
6.3.3.   
Prinsip Solidaritas Kosmik
Solidaritas tidak
terbatas pada sesama manusia, melainkan meluas pada seluruh ciptaan.²⁷ Dalam
pandangan ini, manusia diundang untuk hidup dalam kasih dan harmoni dengan
seluruh makhluk sebagai sesama penghuni rumah Tuhan (oikos tou
theou).²⁸
6.3.4.   
Prinsip Tanggung Jawab dan
Keberlanjutan
Hans Jonas
menegaskan perlunya “imperatif tanggung jawab” (Prinzip
Verantwortung) sebagai landasan etika masa depan.²⁹ Tindakan
manusia harus mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan di bumi bagi generasi
mendatang.³⁰ Dalam konteks ekoteologi, prinsip ini dipahami sebagai bentuk
kasih aktif terhadap ciptaan Tuhan.³¹
6.4.       Etika Ekofeminisme dan Spiritualitas Perawatan
Dimensi etis
ekoteologi juga diperkaya oleh perspektif ekofeminisme, yang menyoroti
keterkaitan antara penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap
alam.³² Rosemary Radford Ruether berpendapat bahwa sistem patriarkal dan
antroposentris yang menguasai alam juga menindas perempuan, karena keduanya
dikaitkan dengan “naturalisme” yang dianggap inferior.³³ Etika ekologis,
karenanya, perlu mengintegrasikan spiritualitas perawatan (ethic of
care) yang menekankan empati, kasih, dan kepedulian sebagai fondasi
moral baru.³⁴
Ekofeminisme
mengajarkan bahwa moralitas sejati tidak didasarkan pada dominasi dan hierarki,
tetapi pada relasi saling memberi kehidupan.³⁵ Etika perawatan ini melahirkan
moralitas ekologis yang lembut namun tegas—suatu etika yang menumbuhkan
kesadaran bahwa memelihara bumi sama halnya dengan memelihara dimensi ilahi dalam
diri manusia dan seluruh ciptaan.³⁶
6.5.       Dimensi Spiritualitas dan Pertobatan Ekologis
Akhirnya, moralitas
ekologis bukan hanya soal aturan etika, tetapi transformasi spiritual.³⁷ Paus
Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menegaskan perlunya pertobatan
ekologis (ecological conversion), yakni
perubahan hati yang mengarah pada gaya hidup berkelanjutan, sederhana, dan
penuh kasih terhadap bumi.³⁸ Etika ekologis menuntut kesadaran baru bahwa
spiritualitas sejati tidak terpisah dari tindakan etis terhadap alam.³⁹ Dalam
kerangka ini, ekoteologi menjadi jalan menuju penyatuan antara iman dan
moralitas ekologis—sebuah spiritualitas bumi yang menyatukan cinta kepada Tuhan
dengan cinta kepada seluruh ciptaan.⁴⁰
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 111.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 98.
[3]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 36.
[4]               
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 42.
[5]               
Max Oelschlaeger, The Idea of Wilderness: From Prehistory to the
Age of Ecology (New Haven: Yale University Press, 1991), 14.
[6]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New
York: Oxford University Press, 1991), 27.
[7]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 58.
[8]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 3.
[9]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1203–07.
[10]            
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 25.
[11]            
Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and
Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 19.
[12]            
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of
Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 33.
[13]            
The Holy Bible, Genesis
1:31.
[14]            
Rosemary Radford Ruether, Gaia and God: An Ecofeminist Theology of
Earth Healing (San Francisco: HarperCollins, 1992), 45.
[15]            
Moltmann, God in Creation, 27.
[16]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 88.
[17]            
Al-Qur’an, Surah Hud [11] ayat61.
[18]            
Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford
University Press, 1996), 54.
[19]            
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy
of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of
Science, 1991), 70.
[20]            
Thích Nhất Hạnh, The World We Have: A Buddhist Approach to Peace
and Ecology (Berkeley: Parallax Press, 2008), 29.
[21]            
Satish Kumar, You Are, Therefore I Am: A Declaration of Dependence
(Totnes: Green Books, 2002), 67.
[22]            
Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club
Books, 1988), 112.
[23]            
Rolston, Environmental Ethics, 23.
[24]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 43.
[25]            
Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY:
Orbis Books, 2006), 56.
[26]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 49.
[27]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 72.
[28]            
McFague, The Body of God, 51.
[29]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11.
[30]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 19.
[31]            
Berry, The Great Work, 112.
[32]            
Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization, and World
Religions (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005), 21.
[33]            
Ruether, Gaia and God, 69.
[34]            
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on
What It Is and Why It Matters (Lanham, MD: Rowman & Littlefield,
2000), 45.
[35]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 14.
[36]            
Sallie McFague, Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for
a Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 63.
[37]            
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 128.
[38]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 217.
[39]            
Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco:
HarperCollins, 1992), 145.
[40]            
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 117.
7.          
Metodologi
Ekoteologi
Metodologi
ekoteologi merupakan kerangka konseptual dan praktis yang menjembatani antara
iman, refleksi teologis, dan tanggung jawab ekologis.¹ Ia tidak hanya berfungsi
sebagai alat analisis akademik, tetapi juga sebagai pendekatan spiritual dan
etis yang menyatukan teori dengan praksis.² Dalam pengertian ini, metodologi
ekoteologi bersifat interdisipliner, hermeneutik,
dan transformasional,
karena melibatkan dialog antara teks-teks keagamaan, tradisi teologis, ilmu
pengetahuan lingkungan, serta pengalaman konkret manusia dalam konteks krisis
ekologi.³
Berbeda dari teologi
klasik yang cenderung bersifat spekulatif dan sistematis, ekoteologi
mengembangkan metodologi yang reflektif dan praksis: memahami alam bukan hanya
melalui penalaran konseptual, melainkan melalui keterlibatan nyata dalam dunia
sebagai ciptaan Tuhan yang hidup.⁴
7.1.       Pendekatan Hermeneutik Ekologis terhadap Teks Suci
Hermeneutika
ekologis merupakan fondasi utama metodologi ekoteologi.⁵ Pendekatan ini
berusaha menafsirkan kembali teks-teks suci dari perspektif ekologis, dengan
asumsi bahwa wahyu ilahi tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi juga tentang relasi manusia dengan seluruh ciptaan.⁶
Dalam tradisi
Kristen, reinterpretasi ini dilakukan terhadap Kitab Kejadian, khususnya
perintah untuk “berkuasa atas bumi” (Kejadian 1:28), yang selama
berabad-abad telah disalahartikan secara antroposentris.⁷ Melalui pendekatan
hermeneutik ekologis, teks tersebut dibaca ulang sebagai panggilan untuk stewardship—yakni
tanggung jawab merawat ciptaan, bukan menaklukkannya.⁸ Jürgen Moltmann
menegaskan bahwa tugas hermeneutik ekoteologis bukan hanya membaca teks, tetapi
juga membaca “tanda-tanda zaman ekologis” dalam terang Roh Kudus yang
bekerja di dalam dunia.⁹
Dalam Islam,
hermeneutika ekologis menafsirkan ayat-ayat kauniyyah—tanda-tanda Ilahi dalam
alam semesta—sebagai sumber epistemologis yang setara dengan ayat-ayat qauliyyah
(wahyu tekstual).¹⁰ Hal ini berarti bahwa memahami alam merupakan bagian dari
proses tafsir terhadap wahyu itu sendiri.¹¹ Seyyed Hossein Nasr menegaskan
bahwa hermeneutika Islam harus mengembalikan makna ayat sebagai simbol transenden yang
menghubungkan manusia dengan Tuhan melalui keindahan dan keteraturan alam.¹²
Dengan demikian,
pendekatan hermeneutik ekologis membuka ruang baru bagi pembacaan spiritual
yang kontekstual, di mana teks suci dipahami sebagai narasi ekologis yang
mengandung pesan kosmik dan etis.¹³
7.2.       Pendekatan Interdisipliner dan Dialog Ilmu
Metodologi
ekoteologi juga bersifat interdisipliner, karena melibatkan dialog kreatif
antara teologi, filsafat, etika, ekologi, antropologi, dan ilmu sosial.¹⁴
Pendekatan ini menolak dikotomi antara iman dan sains, dan sebaliknya melihat
keduanya sebagai mitra dalam memahami realitas ciptaan.¹⁵
Fritjof Capra, dalam
kerangka sains sistemik, menegaskan bahwa alam adalah jaringan kehidupan yang
saling berhubungan dan tidak dapat dipahami melalui analisis reduksionis.¹⁶
Pemikiran ini sejalan dengan pandangan teologis tentang kesatuan ciptaan, di
mana segala sesuatu memiliki makna dalam konteks relasional.¹⁷ John
Polkinghorne, seorang fisikawan dan teolog, mengusulkan model epistemologi “critical
realism”—yakni keterbukaan terhadap kebenaran ilmiah tanpa
menafikan misteri Ilahi yang tak terukur secara empiris.¹⁸
Pendekatan
interdisipliner juga membuka kemungkinan kolaborasi antara ilmu ekologi dan
spiritualitas, di mana data ilmiah tentang perubahan iklim, deforestasi, dan
kepunahan spesies dipahami bukan hanya secara teknis, tetapi juga teologis.¹⁹
Melalui pendekatan ini, ekoteologi menempatkan diri sebagai “ilmu penghubung”
(bridge
discipline) antara pengetahuan objektif dan kebijaksanaan
religius.²⁰
7.3.       Teologi Kontekstual dan Dimensi Sosio-Ekologis
Metodologi
ekoteologi menekankan bahwa refleksi teologis harus berakar dalam konteks
kehidupan nyata, terutama dalam realitas sosial dan ekologis yang sedang
dihadapi umat manusia.²¹ Pendekatan ini disebut teologi kontekstual ekologis,
yang menekankan pentingnya membaca pengalaman ekologis sebagai locus
theologicus—tempat di mana Tuhan berfirman melalui realitas dunia.²²
Leonardo Boff dan
Gustavo Gutiérrez memelopori pendekatan ini melalui teologi pembebasan ekologis, yang
melihat keterkaitan antara eksploitasi terhadap manusia dan eksploitasi
terhadap alam.²³ Dalam kerangka ini, keadilan ekologis (eco-justice)
menjadi bagian dari keadilan sosial, karena kemiskinan dan degradasi lingkungan
sering kali saling berkaitan.²⁴
Teologi kontekstual
juga mengakui pluralitas budaya dan agama sebagai sumber kebijaksanaan
ekologis.²⁵ Tradisi spiritual pribumi, seperti kearifan lokal Nusantara atau
spiritualitas Gaia dalam teologi Barat, dipandang sebagai bentuk lain dari
kesadaran ekologis yang perlu diintegrasikan dalam refleksi teologis global.²⁶
Dengan demikian, metodologi ekoteologi menuntut keterbukaan hermeneutik
terhadap pengalaman lintas budaya dan lintas agama.²⁷
7.4.       Pendekatan Kritis dan Teologi Praksis
Salah satu ciri
metodologis terpenting dari ekoteologi adalah sifatnya yang kritis
dan praksis.²⁸ Ia tidak berhenti pada tataran konseptual,
tetapi diarahkan pada transformasi kesadaran dan tindakan sosial.²⁹ Hal ini
dipengaruhi oleh tradisi praxis-reflection dalam teologi
pembebasan, yang menekankan bahwa refleksi teologis sejati hanya mungkin
terjadi dalam keterlibatan aktif terhadap realitas dunia.³⁰
Metodologi praksis
ini menekankan tiga tahap utama: (1) analisis realitas ekologis secara kritis;
(2) refleksi teologis berdasarkan iman dan tradisi; dan (3) tindakan
transformatif dalam konteks sosial dan ekologis.³¹ Dengan demikian, ekoteologi
menjadi teologi yang hidup (living theology), karena bersumber
dari pengalaman konkret dan bertujuan membentuk praksis yang membebaskan.³²
Dalam hal ini, Leonardo
Boff menegaskan bahwa metodologi ekoteologis adalah “jalan spiritual menuju
tindakan,” di mana kontemplasi terhadap alam harus melahirkan etika
perawatan terhadap bumi.³³ Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ juga menekankan
pentingnya spiritualitas ekologis yang berujung pada perubahan gaya hidup dan
kebijakan sosial yang berkelanjutan.³⁴
7.5.       Metodologi Reflektif-Transformatif dan Kesadaran
Kosmik
Metodologi
ekoteologi mencapai puncaknya dalam pendekatan reflektif-transformatif, yang
memadukan kesadaran spiritual, refleksi intelektual, dan tindakan ekologis.³⁵
Thomas Berry menyebutnya sebagai cosmological method, yaitu cara
berpikir yang memandang manusia sebagai bagian dari sejarah alam semesta yang
sakral.³⁶ Dalam kerangka ini, teologi tidak hanya berbicara tentang Tuhan,
tetapi juga tentang “kosmos yang berbicara tentang Tuhan.”³⁷
Metodologi
reflektif-transformatif bertujuan membentuk kesadaran kosmik—sebuah
paradigma baru di mana pengetahuan, iman, dan tindakan menyatu dalam pelayanan
terhadap kehidupan.³⁸ Dengan demikian, metodologi ekoteologi bukan hanya alat
akademik, tetapi juga disiplin spiritual yang mengubah cara manusia memahami
dan memperlakukan dunia.³⁹
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 141.
[2]               
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra
Club Books, 1988), 112.
[3]               
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 43.
[4]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 37.
[5]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 145.
[6]               
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of
Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 31.
[7]               
The Holy Bible, Genesis
1:28.
[8]               
Jürgen Moltmann, God in Creation, 45.
[9]               
Ibid., 47.
[10]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New
York: Oxford University Press, 1996), 59.
[11]            
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1991), 65.
[12]            
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(Chicago: ABC International Group, 1997), 89.
[13]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 54.
[14]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 49.
[15]            
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(London: SPCK, 1998), 8.
[16]            
Capra, The Web of Life, 50.
[17]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 92.
[18]            
Polkinghorne, Science and Theology, 12.
[19]            
Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY:
Orbis Books, 2006), 44.
[20]            
Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on
Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 22.
[21]            
Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and
Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 9.
[22]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 48.
[23]            
Ibid., 52.
[24]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 43.
[25]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 73.
[26]            
Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins,
1992), 123.
[27]            
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 102.
[28]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 152.
[29]            
Boff, Ecology and Liberation, 55.
[30]            
Gutiérrez, A Theology of Liberation, 13.
[31]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 48.
[32]            
McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis:
Fortress Press, 1993), 39.
[33]            
Boff, Ecology and Liberation, 62.
[34]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 217.
[35]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 158.
[36]            
Berry, The Great Work, 103.
[37]            
Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 75.
[38]            
Berry, The Universe Story, 127.
[39]            
Sallie McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and
Global Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 30.
8.          
Kritik
terhadap Ekoteologi
Walaupun ekoteologi
telah menjadi salah satu wacana teologis yang paling berpengaruh dalam respons
terhadap krisis ekologis global, pendekatan ini tidak luput dari kritik baik
secara internal (dari dalam tradisi keagamaan itu sendiri) maupun eksternal
(dari disiplin filsafat, sains, dan teori sosial).¹ Kritik terhadap ekoteologi
seringkali berfokus pada persoalan metodologis, metafisik, dan praksis, yang
meliputi: kecenderungan sinkretisme religius, kaburnya batas antara teologi dan
spiritualitas alam, kelemahan dalam menawarkan solusi konkret terhadap sistem
ekonomi-politik, serta potensi romantisasi terhadap alam.² Dengan mengkaji
kritik-kritik ini secara mendalam, kita dapat memahami keterbatasan sekaligus
kemungkinan pembaruan ekoteologi di masa depan.
8.1.       Kritik Internal: Sinkretisme, Teosentrisme Kabur,
dan Krisis Dogmatik
Kritik internal
terhadap ekoteologi muncul dari kalangan teolog ortodoks dan tradisional yang
menilai bahwa ekoteologi berisiko menyimpang dari ortodoksi iman karena
kecenderungannya memadukan konsep-konsep spiritual lintas agama secara bebas.³
Dalam pandangan mereka, pendekatan ini mengaburkan batas antara iman
monoteistik dan panteisme.⁴
Beberapa pemikir
seperti Wolfhart Pannenberg dan Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) menilai
bahwa sebagian bentuk ekoteologi, terutama yang berbasis pada panenteisme
dan “spiritualitas bumi,” berpotensi menggeser pusat iman dari Tuhan
yang transenden menuju kosmos yang imanen.⁵ Akibatnya, relasi teologis antara Pencipta
dan ciptaan bisa menjadi kabur dan berpotensi jatuh ke dalam bentuk baru dari
naturalisme religius.⁶
Kritik lainnya
adalah bahwa ekoteologi terlalu menekankan aspek pengalaman spiritual terhadap
alam sehingga mengabaikan fondasi dogmatik dan soteriologis dari agama-agama
besar.⁷ Dalam teologi Kristen, misalnya, keselamatan dipahami sebagai
rekonsiliasi manusia dengan Tuhan melalui Kristus, bukan semata-mata
rekonsiliasi ekologis dengan alam.⁸ Oleh karena itu, beberapa teolog menuduh
bahwa ekoteologi, dalam bentuk radikalnya, telah menggeser makna soteriologi ke
dalam dimensi ekologis murni dan kehilangan karakter eskatologisnya.⁹
Kritik ini
menunjukkan ketegangan epistemologis dalam ekoteologi antara keinginan untuk
membangun paradigma teologis baru dan kewajiban untuk mempertahankan
kontinuitas iman tradisional.¹⁰
8.2.       Kritik Filsafat dan Teologi Klasik: Risiko
Panteisme dan Romantisisme Alam
Kritik dari
perspektif filsafat dan teologi klasik menyoroti kecenderungan ekoteologi untuk
meromantisasi alam.¹¹ Dengan menganggap alam sebagai entitas sakral atau “tubuh
Tuhan,” sebagian varian ekoteologi dianggap menghapus jarak ontologis
antara Sang Pencipta dan ciptaan.¹²
Alister McGrath
memperingatkan bahwa penggunaan metafora “alam sebagai tubuh Tuhan” (The Body
of God) oleh Sallie McFague, meskipun inspiratif, dapat menimbulkan
kebingungan teologis: jika dunia adalah tubuh Tuhan, bagaimana menjelaskan
kehadiran kejahatan alam seperti bencana atau penyakit?¹³ Pertanyaan ini
menimbulkan dilema teodise baru yang belum dijawab secara memadai dalam wacana
ekoteologis.¹⁴
Selain itu, beberapa
filsuf seperti Paul Ricoeur dan Richard Kearney mengingatkan bahwa terlalu
menekankan immanensi Tuhan di dalam alam dapat mereduksi transendensi Ilahi
menjadi sekadar energi kosmik atau kesadaran ekologis kolektif.¹⁵ Dalam
pandangan klasik teistik, Tuhan tetap sepenuhnya berbeda (totally
other) dari ciptaan, meskipun hadir dan memelihara dunia.¹⁶
Kritik semacam ini
mengingatkan bahwa meskipun ekoteologi berusaha membangun spiritualitas
ekologis, ia harus tetap berhati-hati agar tidak terjerumus dalam panteisme
atau spiritualitas kosmik yang menghapus dimensi personal Tuhan.¹⁷
8.3.       Kritik Eksternal: Sains, Materialisme, dan
Posthumanisme
Dari perspektif
eksternal, beberapa ilmuwan dan filsuf sekuler memandang ekoteologi sebagai
upaya metafisik yang tidak relevan dengan realitas ilmiah.¹⁸ Richard Dawkins,
misalnya, berpendapat bahwa pendekatan religius terhadap alam sering kali
mengaburkan urgensi empiris penanganan krisis lingkungan yang semestinya
berbasis sains dan kebijakan publik, bukan moralitas teologis.¹⁹
Selain itu, filsafat
posthumanis seperti Rosi Braidotti dan Donna Haraway mengkritik ekoteologi
karena masih mempertahankan hierarki manusia dalam relasi kosmik.²⁰ Meskipun
ekoteologi mengklaim menolak antroposentrisme, sebagian besar refleksinya masih
berpusat pada manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab atas alam,
bukan pada alam sebagai entitas otonom yang memiliki haknya sendiri.²¹ Dalam
kerangka posthumanisme, justru semua makhluk—manusia, hewan, bahkan benda
non-hidup—dipandang sebagai aktor dalam jaringan kehidupan yang saling
memengaruhi tanpa memerlukan legitimasi teologis.²²
Di sisi lain, teori
ekologi politik (misalnya, Bruno Latour dan Jason W. Moore) menilai bahwa
ekoteologi cenderung idealistik karena tidak menyentuh akar struktural krisis
ekologis, yakni kapitalisme global dan ketimpangan ekonomi.²³ Menurut mereka,
ekoteologi gagal mengartikulasikan strategi ekonomi dan politik konkret untuk
melawan sistem eksploitasi yang menghancurkan bumi.²⁴ Dengan kata lain,
ekoteologi dianggap “spiritual tetapi tidak strategis.”²⁵
Kritik ini
menegaskan tantangan besar bagi ekoteologi modern: bagaimana menggabungkan
spiritualitas ekologis dengan kesadaran politik dan ekonomi yang realistis?²⁶
8.4.       Kritik Hermeneutik dan Tantangan Kontekstual
Beberapa teolog
postkolonial mengkritik ekoteologi karena bias epistemologisnya yang terlalu
berakar pada tradisi Barat.²⁷ Banyak model ekoteologi lahir dari konteks
Eropa-Amerika, sehingga kurang sensitif terhadap spiritualitas lokal dan
kearifan ekologi masyarakat adat.²⁸ Hal ini berpotensi menciptakan bentuk baru
dari “kolonialisme teologis,” di mana konsep ekoteologis Barat
mendominasi wacana global tanpa mempertimbangkan pluralitas kosmologi
non-Barat.²⁹
Dalam konteks ini,
teolog seperti Laurel Dykstra dan Musa W. Dube menyerukan dekolonisasi
ekoteologi—yakni pembacaan ulang terhadap tradisi lokal, teks suci,
dan pengalaman ekologis dari perspektif masyarakat yang tertindas secara ekologis
maupun sosial.³⁰ Pendekatan ini membuka ruang bagi munculnya eco-theology
of the South, yang berfokus pada keadilan lingkungan, kemiskinan,
dan spiritualitas bumi yang berpijak pada pengalaman komunitas lokal.³¹
Kritik hermeneutik
ini memperlihatkan bahwa ekoteologi perlu lebih terbuka terhadap keberagaman
konteks budaya dan religius agar tidak terjebak dalam universalitas yang
abstrak.³²
8.5.       Kritik terhadap Praksis dan Efektivitas Ekoteologi
Kritik lain yang
cukup kuat datang dari kalangan aktivis dan ilmuwan lingkungan yang menilai
bahwa ekoteologi, meskipun kaya secara konseptual, sering kali miskin dalam
penerapan praksis.³³ Banyak gereja, lembaga keagamaan, atau pesantren masih
menjadikan ekoteologi sebatas wacana moral, bukan gerakan transformasional.³⁴
Ernst Conradie
menilai bahwa salah satu kelemahan metodologis ekoteologi adalah
ketidaksanggupannya mengartikulasikan strategi konkret untuk perubahan
sosial-ekologis yang sistemik.³⁵ Sementara Thomas Berry menegaskan bahwa tanpa
perubahan spiritual yang radikal, reformasi struktural apa pun akan kehilangan
ruh dan arah moralnya.³⁶ Oleh karena itu, kritik praksis menuntut ekoteologi
untuk tidak berhenti pada tataran reflektif, melainkan mengembangkan model aksi
nyata: pendidikan ekologis, ekonomi hijau berbasis spiritualitas, dan advokasi
lingkungan lintas agama.³⁷
Sintesis Kritik: Antara Refleksi dan Reformasi
Kritik-kritik di
atas menunjukkan bahwa ekoteologi masih berada dalam proses dialektis antara
idealisme spiritual dan realitas empiris.³⁸ Ia menghadapi tantangan untuk
menyeimbangkan antara dimensi teologis, filosofis, dan praksis, agar tidak
terjebak dalam romantisisme kosmik atau abstraksi moral.³⁹
Namun demikian,
kritik juga memiliki nilai konstruktif: ia mendorong ekoteologi untuk memperdalam
akar spiritualnya, memperluas dialognya dengan ilmu pengetahuan dan politik,
serta memperkaya pendekatannya dengan perspektif global dan lokal.⁴⁰ Dalam hal
ini, kritik terhadap ekoteologi bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari
dinamika intelektual yang menjadikannya disiplin terbuka dan berkembang.⁴¹
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 171.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 118.
[3]               
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 67.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 92.
[5]               
Joseph Ratzinger, In the Beginning…: A Catholic Understanding of
the Story of Creation and the Fall (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 56.
[6]               
Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, vol. 2 (Grand
Rapids: Eerdmans, 1994), 201.
[7]               
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of
Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 61.
[8]               
Moltmann, God in Creation, 72.
[9]               
Deane-Drummond, Eco-Theology, 174.
[10]            
Ibid., 176.
[11]            
McGrath, The Reenchantment of Nature, 63.
[12]            
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 42.
[13]            
McGrath, The Reenchantment of Nature, 65.
[14]            
Ibid., 66.
[15]            
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press,
1967), 219.
[16]            
Richard Kearney, The God Who May Be: A Hermeneutics of Religion
(Bloomington: Indiana University Press, 2001), 104.
[17]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 77.
[18]            
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press,
2006), 112.
[19]            
Ibid., 115.
[20]            
Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the
Chthulucene (Durham, NC: Duke University Press, 2016), 30.
[21]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
55.
[22]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 72.
[23]            
Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the
Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 34.
[24]            
Latour, Facing Gaia, 89.
[25]            
Moore, Capitalism in the Web of Life, 38.
[26]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 179.
[27]            
Musa W. Dube, “Toward a Postcolonial Feminist Interpretation of the
Bible,” Semeia 78 (1997): 14.
[28]            
Laurel Dykstra, Set Them Free: The Other Side of Exodus
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2002), 66.
[29]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 95.
[30]            
Dube, “Toward a Postcolonial Feminist Interpretation,” 19.
[31]            
Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco:
HarperCollins, 1992), 138.
[32]            
Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 104.
[33]            
Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on
Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 29.
[34]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 180.
[35]            
Conradie, An Ecological Christian Anthropology, 30.
[36]            
Berry, The Great Work, 121.
[37]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 55.
[38]            
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 182.
[39]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1997), 53.
[40]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 81.
[41]            
Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club
Books, 1988), 119.
9.          
Sintesis
Filosofis dan Teologis
Sintesis filosofis
dan teologis dalam ekoteologi bertujuan untuk menyatukan beragam dimensi
refleksi yang telah berkembang—ontologis, epistemologis, etis, dan metodologis—ke
dalam suatu paradigma teologis yang utuh tentang hubungan antara Tuhan,
manusia, dan alam.¹ Sintesis ini tidak bermaksud menghapus perbedaan
pendekatan, melainkan membangun kesatuan yang dinamis (dynamic
unity) antara spiritualitas, rasionalitas, dan praksis ekologis.²
Dengan kata lain, ekoteologi tidak hanya menjadi cabang teologi baru, tetapi
juga suatu weltanschauung
(pandangan hidup) yang memadukan iman dan kesadaran ekologis dalam horizon
kosmik.³
Sintesis ini berangkat
dari kesadaran filosofis bahwa realitas merupakan jaringan eksistensial yang
saling menembus, serta dari keyakinan teologis bahwa seluruh ciptaan adalah
partisipasi dalam kasih dan kebijaksanaan Ilahi.⁴ Dalam kerangka ini, Tuhan
bukanlah penguasa jauh yang mengatur alam dari luar, melainkan sumber kehidupan
yang menjiwai seluruh eksistensi.⁵
9.1.       Kesatuan Ontologis: Tuhan sebagai Dasar Keberadaan
Secara filosofis,
sintesis ekoteologis menegaskan kembali prinsip ontologis kesatuan wujud—bahwa
seluruh makhluk memperoleh keberadaannya dari Tuhan sebagai ipsum
esse subsistens (Ada yang mutlak).⁶ Pandangan ini menemukan
resonansi dalam tradisi teologi Islam (wahdat al-wujūd) maupun dalam process
theology yang menekankan Tuhan sebagai kekuatan kreatif yang imanen.⁷
Dalam perspektif
Thomas Aquinas, seluruh ciptaan partisipatif terhadap keberadaan Tuhan tanpa
menjadi identik dengan-Nya: “Creatura non est Deus, sed est a Deo”—ciptaan
bukanlah Tuhan, tetapi berasal dari Tuhan.⁸ Sementara dalam pandangan Ibn
‘Arabī, Tuhan adalah Wujud Mutlak, dan seluruh makhluk adalah penampakan (tajallī)
dari-Nya dalam berbagai bentuk.⁹ Kedua pandangan ini, meski berasal dari
tradisi berbeda, sama-sama menegaskan keterhubungan ontologis yang mendalam
antara Tuhan dan dunia.
Ontologi relasional
semacam ini menjadi dasar bagi kesadaran ekologis teologis: jika seluruh wujud
berakar pada Tuhan, maka menghormati ciptaan berarti menghormati sumber
eksistensi itu sendiri.¹⁰ Dengan demikian, sintesis ekoteologis menyatukan
metafisika keesaan Ilahi dengan kesadaran ekologis universal, di mana alam
bukan sekadar “ciptaan Tuhan,” tetapi “partisipasi dalam keberadaan
Ilahi.”¹¹
9.2.       Kesatuan Epistemologis: Iman, Rasio, dan Pengalaman
Alam
Dalam tataran
epistemologis, sintesis ekoteologi berupaya mendamaikan rasionalitas ilmiah
dengan intuisi spiritual.¹² Pengetahuan tentang Tuhan dan alam tidak lagi
dipahami sebagai dua ranah terpisah, melainkan sebagai dua sisi dari satu
realitas yang sama. Raimon Panikkar menyebut kesatuan ini sebagai cosmotheandric
unity—hubungan tak terpisahkan antara kosmos (alam), theos (Tuhan),
dan anthropos (manusia).¹³
Paradigma ini
berupaya melampaui dualisme antara wahyu dan sains, antara iman dan
empirisitas.¹⁴ Fritjof Capra menegaskan bahwa pemahaman ilmiah tentang sistem
kehidupan menemukan maknanya ketika dipadukan dengan kebijaksanaan spiritual
yang mengakui keterhubungan semua makhluk.¹⁵ Sementara John Polkinghorne
menambahkan bahwa iman dan ilmu adalah dua “jendela menuju satu dunia,”
keduanya sama-sama mencari kebenaran, hanya melalui bahasa yang berbeda.¹⁶
Epistemologi
integratif ini memungkinkan dialog antara teologi dan ekologi ilmiah, sehingga
kebenaran tidak lagi dimonopoli oleh agama maupun sains, tetapi dihasilkan
melalui hubungan dialektis antara keduanya.¹⁷ Dalam kerangka sintesis ini, alam
bukan sekadar objek pengetahuan, melainkan subjek wahyu yang mengajar manusia
tentang Tuhan melalui harmoni ciptaan.¹⁸
9.3.       Kesatuan Etis: Spiritualitas Kasih dan Tanggung
Jawab Kosmik
Dimensi etis dalam
sintesis ekoteologis menempatkan kasih (agape) dan tanggung jawab ekologis
sebagai prinsip moral universal.¹⁹ Leonardo Boff menegaskan bahwa etika
ekologis sejati hanya mungkin jika didasarkan pada kasih terhadap bumi sebagai
“ibu” dan “rumah bersama” umat manusia.²⁰ Spiritualitas ini
menekankan bahwa keadilan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial,
sebab keduanya lahir dari kasih Ilahi yang menyatukan semua ciptaan dalam
solidaritas kosmis.²¹
Dalam tradisi
Kristen, kasih terhadap alam dipandang sebagai bentuk partisipasi dalam kasih
Tuhan terhadap dunia (caritas Dei).²² Dalam Islam, etika
ekologis didasarkan pada prinsip rahmah (kasih sayang universal),
yang menjadi cermin nama Tuhan, al-Rahmān al-Rahīm.²³ Sementara
dalam Buddhisme, prinsip karuṇā (welas asih) menjadi fondasi
moral untuk menghargai semua makhluk hidup.²⁴
Sintesis ini
membentuk ethos
ekologis global—suatu moralitas lintas agama yang menegaskan bahwa
spiritualitas sejati harus diwujudkan dalam tindakan konkret menjaga
kehidupan.²⁵ Dengan demikian, kasih Ilahi tidak lagi dipahami secara abstrak,
tetapi hadir dalam bentuk kepedulian ekologis dan keadilan bumi.²⁶
9.4.       Kesatuan Metodologis: Hermeneutika Transformatif
dan Praksis Spiritual
Secara metodologis,
sintesis ekoteologi menegaskan perlunya pendekatan hermeneutik yang
transformatif.²⁷ Hermeneutika ini tidak hanya menafsirkan teks suci, tetapi
juga realitas ekologis sebagai “teks kedua” yang mengandung pesan
Ilahi.²⁸ Dengan demikian, alam dibaca bukan hanya sebagai latar teologi,
melainkan sebagai partisipan dalam pewahyuan.²⁹
Metodologi
reflektif-praksis yang digunakan dalam teologi pembebasan juga menjadi bagian
integral dari sintesis ekoteologis.³⁰ Refleksi iman harus melahirkan tindakan
konkret untuk merawat bumi dan memperjuangkan keadilan ekologis.³¹ Spiritualitas
ekologis yang sejati lahir dari tindakan yang mencerminkan kesadaran akan
kehadiran Tuhan di dalam seluruh makhluk hidup.³²
Selain itu, sintesis
metodologis menuntut pendekatan interreligius dan interdisipliner, karena
persoalan ekologis melampaui batas agama maupun ilmu tertentu.³³ Dalam kerangka
ini, teologi, sains, filsafat, dan etika tidak lagi berdiri sendiri, tetapi
bekerja bersama dalam visi spiritual yang menyatukan iman dan keberlanjutan.³⁴
9.5.       Kesatuan Eskatologis: Harapan bagi Ciptaan
Sintesis filosofis
dan teologis dalam ekoteologi berpuncak pada dimensi eskatologis: harapan akan
pembaruan seluruh ciptaan (renewal of creation).³⁵ Eskatologi
ekologis tidak lagi berorientasi pada penyelamatan manusia secara individual,
melainkan pada penyelamatan kosmos secara menyeluruh.³⁶ Jürgen Moltmann
menyebutnya sebagai eschatology of the Spirit—suatu
harapan bahwa Roh Kudus bekerja untuk memperbarui bumi, bukan
menghancurkannya.³⁷
Pandangan ini
selaras dengan ajaran Al-Qur’an tentang “langit dan bumi yang diperbaharui”
(QS. Ibrahim [14] ayat 48), serta visi New Creation dalam Kitab Wahyu
21:1.³⁸ Dengan demikian, harapan eskatologis dalam ekoteologi bersifat
universal dan imanen—bukan sekadar penantian akan akhir dunia, tetapi
keterlibatan aktif dalam memperbarui bumi di sini dan sekarang.³⁹
Sintesis ekoteologis
ini menutup lingkaran refleksi dengan visi spiritual baru: bahwa iman sejati
tidak hanya membawa manusia ke surga, tetapi juga menuntun manusia untuk
menjadikan bumi sebagai tempat yang layak bagi kehidupan.⁴⁰
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 187.
[2]               
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 73.
[3]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 126.
[4]               
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 91.
[5]               
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 46.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 4, a. 2.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 95.
[8]               
Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 44, a. 1.
[9]               
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. E. Affifi (Cairo: Dar
al-Kutub al-Misriyya, 1946), 92.
[10]            
Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford
University Press, 1996), 81.
[11]            
Berry, The Universe Story (San Francisco: HarperCollins,
1992), 128.
[12]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 191.
[13]            
Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 75.
[14]            
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(London: SPCK, 1998), 17.
[15]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 51.
[16]            
Polkinghorne, Science and Theology, 22.
[17]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 57.
[18]            
Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books,
1988), 113.
[19]            
McFague, The Body of God, 49.
[20]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1997), 54.
[21]            
Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY:
Orbis Books, 2006), 68.
[22]            
Jürgen Moltmann, Ethics of Hope (Minneapolis: Fortress Press,
2012), 33.
[23]            
Nasr, Man and Nature, 101.
[24]            
Thích Nhất Hạnh, The World We Have: A Buddhist Approach to Peace
and Ecology (Berkeley: Parallax Press, 2008), 25.
[25]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 96.
[26]            
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 121.
[27]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 196.
[28]            
McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of Religion and
the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 38.
[29]            
Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 77.
[30]            
Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and
Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 11.
[31]            
Boff, Ecology and Liberation, 61.
[32]            
McFague, Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a
Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 58.
[33]            
Tucker and Grim, Ecology and Religion, 104.
[34]            
Capra, The Web of Life, 56.
[35]            
Moltmann, God in Creation, 144.
[36]            
Berry, The Great Work, 129.
[37]            
Moltmann, Ethics of Hope, 38.
[38]            
The Holy Bible, Revelation
21:1; Al-Qur’an, Surah Ibrahim [14] ayat48.
[39]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 221.
[40]            
Berry, The Dream of the Earth, 120.
10.       Relevansi dan Aplikasi Kontemporer
Ekoteologi, yang
semula muncul sebagai refleksi teologis atas krisis ekologis modern, kini telah
berkembang menjadi paradigma spiritual, etis, dan praksis yang memiliki
relevansi luas dalam konteks sosial, politik, dan budaya kontemporer.¹ Dalam
dunia yang ditandai oleh pemanasan global, ketimpangan ekonomi, dan krisis
spiritualitas, ekoteologi hadir sebagai jembatan antara iman dan tanggung jawab
ekologis.² Ia tidak hanya menuntut perubahan cara berpikir (conversion
of mind), tetapi juga perubahan gaya hidup (conversion
of life) dan struktur sosial (conversion of systems).³
Relevansi ekoteologi
dapat dipahami dalam tiga ranah besar: (1) konteks global dan kebijakan
lingkungan, (2) praksis komunitas religius dan pendidikan, serta (3)
kebangkitan spiritualitas ekologis lintas agama. Masing-masing ranah
memperlihatkan bagaimana ekoteologi diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang
berkontribusi terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi.
10.1.    Ekoteologi dalam Konteks Global: Krisis Iklim dan
Keadilan Lingkungan
Krisis iklim global
adalah tantangan moral dan spiritual terbesar abad ke-21.⁴ Dalam konteks ini,
ekoteologi berperan penting dalam membangun kesadaran bahwa kerusakan ekosistem
bukan sekadar kegagalan teknis, tetapi dosa struktural terhadap ciptaan Tuhan.⁵
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menyebut krisis
ekologis sebagai “jeritan bumi dan jeritan kaum miskin,” karena mereka
yang paling rentan adalah yang paling terdampak oleh degradasi lingkungan.⁶
Ekoteologi mendorong
munculnya etika eco-justice—keadilan ekologis yang
menuntut tanggung jawab sosial global terhadap dampak lingkungan.⁷ Konsep ini
menegaskan keterkaitan antara eksploitasi alam dan ketimpangan ekonomi:
keduanya lahir dari paradigma antroposentris yang memisahkan manusia dari
alam.⁸ Leonardo Boff menyebutnya sebagai “ekologi integral,” yakni visi
dunia di mana keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis saling terkait.⁹
Dalam konteks
kebijakan global, ekoteologi berkontribusi pada agenda keberlanjutan dunia
seperti Sustainable
Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan 13 (Aksi Iklim) dan
Tujuan 15 (Menjaga Ekosistem Daratan).¹⁰ Namun, pendekatan ekoteologi
menambahkan dimensi moral dan spiritual terhadap tujuan-tujuan tersebut, dengan
menekankan bahwa pelestarian bumi bukan hanya kewajiban politis, tetapi juga
panggilan iman.¹¹
10.2.    Aplikasi dalam Komunitas Keagamaan dan Pendidikan
Salah satu wujud
paling konkret dari ekoteologi kontemporer adalah implementasinya dalam
komunitas religius dan lembaga pendidikan.¹² Gereja, masjid, vihara, dan kuil
di berbagai belahan dunia mulai mengembangkan program-program eco-spirituality
dan green
faith untuk menanamkan kesadaran ekologis sebagai bagian dari
praktik iman.¹³
Dalam tradisi
Kristen, misalnya, gerakan Season of Creation memperingati
bulan September sebagai waktu liturgi untuk merenungkan ciptaan dan melakukan
aksi ekologis.¹⁴ Gereja Katolik, melalui dokumen Laudato Si’ Action Platform,
mendorong paroki dan lembaga pendidikan Katolik di seluruh dunia untuk
menerapkan prinsip keberlanjutan ekologis dalam liturgi, manajemen energi, dan
kurikulum.¹⁵
Dalam Islam, gerakan
eco-masjid
dan green
pesantren di Indonesia menegaskan dimensi ekologis dari konsep khalīfah
dan amanah.¹⁶
Program seperti “Pesantren Hijau” yang diinisiasi oleh Lembaga Pemuliaan
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA) Muhammadiyah menanamkan ajaran
Islam ekologis melalui praktik penanaman pohon, energi terbarukan, dan
pengelolaan sampah berbasis komunitas.¹⁷
Dalam ranah
pendidikan tinggi, teologi dan studi agama semakin mengintegrasikan ekoteologi
dalam kurikulum, memadukan teologi sistematis dengan etika lingkungan dan sains
ekologi.¹⁸ Pendidikan ekoteologis bertujuan membentuk kesadaran ekologis yang
berakar pada spiritualitas, etika, dan tanggung jawab sosial.¹⁹ Seperti
ditegaskan oleh Celia Deane-Drummond, pendidikan teologis masa kini harus
menjadi “laboratorium spiritualitas ekologis,” di mana iman diuji dan
dihidupkan melalui tindakan ekologis.²⁰
10.3.    Ekoteologi Lintas Agama dan Spiritualitas Kosmik
Dalam era pluralitas
global, ekoteologi juga menjadi ruang dialog lintas agama.²¹ Krisis lingkungan
telah menyatukan komunitas-komunitas religius dalam upaya bersama untuk menjaga
bumi sebagai rumah bersama (common home).²² Forum internasional
seperti Parliament
of the World’s Religions dan Faith for Earth Initiative (UNEP)
memperlihatkan bahwa kesadaran ekologis dapat menjadi fondasi spiritual
universal yang melampaui batas doktrin.²³
Raimon Panikkar
mengembangkan gagasan cosmotheandric spirituality, di
mana hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam dipahami secara mutualistik.²⁴
Dalam semangat ini, ekoteologi menjadi platform spiritualitas kosmik: suatu
kesadaran bahwa kehidupan tidak dapat dipisahkan dari jaringan keberadaan
universal yang sakral.²⁵ Dalam Buddhisme, konsep interbeing (saling keberadaan)
menegaskan prinsip yang serupa—bahwa setiap tindakan manusia berdampak pada
seluruh kosmos.²⁶
Spiritualitas kosmik
yang lahir dari ekoteologi juga membuka ruang bagi teologi interreligius, di
mana iman terhadap Tuhan diwujudkan dalam cinta terhadap bumi dan sesama
makhluk.²⁷ Spiritualitas semacam ini menjadi sumber harapan baru di tengah
krisis global, menawarkan visi “keselamatan ekologis” (ecological
salvation) yang bersifat holistik dan lintas iman.²⁸
10.4.    Relevansi bagi Kebijakan, Ekonomi, dan Gaya Hidup
Ekoteologi tidak
berhenti di level refleksi religius; ia memiliki implikasi langsung terhadap
kebijakan ekonomi dan pola hidup manusia modern.²⁹ Dalam ekonomi, paradigma
ekoteologis menolak logika pertumbuhan tanpa batas dan mendorong ekonomi
berkelanjutan yang berakar pada prinsip keseimbangan dan keadilan
distributif.³⁰
Konsep eco-ethics
dari Hans Jonas dan integral ecology dari Paus
Fransiskus menunjukkan bahwa ekonomi modern harus diarahkan pada pelayanan
kehidupan, bukan eksploitasi.³¹ Dalam Islam, prinsip adl
(keadilan) dan ihsan (kebajikan) menjadi dasar
etika produksi dan konsumsi yang selaras dengan alam.³²
Pada level individu,
ekoteologi mendorong gaya hidup sederhana (eco-simplicity)—pengurangan
konsumsi, penghormatan terhadap alam, dan keterlibatan aktif dalam
konservasi.³³ Gerakan spiritual ecology yang berkembang
di berbagai komunitas religius menunjukkan bahwa perubahan ekologis sejati
bermula dari transformasi batin manusia.³⁴
10.5.    Menuju Teologi Keberlanjutan Global
Relevansi ekoteologi
mencapai puncaknya dalam upayanya membentuk theology of sustainability—suatu
visi teologis yang menempatkan keberlanjutan sebagai panggilan iman
universal.³⁵ Dalam paradigma ini, kehidupan di bumi dipahami sebagai tanggung
jawab bersama seluruh umat manusia, melampaui batas agama, bangsa, atau ras.³⁶
Teologi
keberlanjutan menuntut integrasi antara iman dan ilmu pengetahuan, antara
kebijakan publik dan spiritualitas pribadi.³⁷ Thomas Berry menyebutnya sebagai
“era ekologi” (ecological age), yaitu fase baru
dalam sejarah kesadaran manusia di mana bumi bukan lagi dipandang sebagai
sumber daya, melainkan komunitas moral yang sakral.³⁸
Dengan demikian,
relevansi ekoteologi di era kontemporer tidak hanya terletak pada wacana
akademik atau teologis, tetapi pada kemampuannya untuk mentransformasi
kesadaran global menuju spiritualitas ekologis yang hidup, aktif, dan
berkeadilan.³⁹ Ia menjadi panggilan universal bagi seluruh tradisi iman: untuk
“berteologi dengan bumi,” bukan sekadar berbicara tentangnya.⁴⁰
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman
and Todd, 2008), 201.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 132.
[3]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 1997), 59.
[4]               
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 23.
[5]               
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and
the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 142.
[6]               
Francis, Laudato Si’, 49.
[7]               
Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith (Maryknoll, NY:
Orbis Books, 2006), 70.
[8]               
Max Oelschlaeger, The Idea of Wilderness: From Prehistory to the
Age of Ecology (New Haven: Yale University Press, 1991), 61.
[9]               
Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm (Maryknoll, NY:
Orbis Books, 1995), 64.
[10]            
United Nations, Sustainable Development Goals Report 2023 (New
York: United Nations Publications, 2023), 17.
[11]            
Francis, Laudato Si’, 217.
[12]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 204.
[13]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 111.
[14]            
Ruth Valerio, Saying Yes to Life (London: SPCK, 2020), 15.
[15]            
Laudato Si’ Action Platform,
Vatican Dicastery for Promoting Integral Human Development (2022).
[16]            
Fachruddin M. Mangunjaya, Mengembangkan Etika Lingkungan dan
Ekoteologi Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), 53.
[17]            
Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA)
Muhammadiyah, Panduan Pesantren Hijau (Yogyakarta: Majelis Lingkungan
Hidup, 2021), 12.
[18]            
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature: The Denial of
Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday, 2002), 47.
[19]            
Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith, 78.
[20]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 208.
[21]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 81.
[22]            
Thomas Berry, The Universe Story (San Francisco:
HarperCollins, 1992), 139.
[23]            
Faith for Earth Initiative,
United Nations Environment Programme (Nairobi: UNEP, 2022).
[24]            
Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 119.
[25]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 59.
[26]            
Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth (Berkeley: Parallax
Press, 2013), 20.
[27]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion, 128.
[28]            
Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, 66.
[29]            
Ernst Conradie, An Ecological Christian Anthropology: At Home on
Earth? (Aldershot: Ashgate, 2005), 33.
[30]            
Herman Daly and John Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the
Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future
(Boston: Beacon Press, 1989), 45.
[31]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 19.
[32]            
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy
of Science, 1991), 71.
[33]            
McFague, Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a
Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 61.
[34]            
Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club
Books, 1988), 121.
[35]            
Deane-Drummond, Eco-Theology, 213.
[36]            
Tucker and Grim, Ecology and Religion, 132.
[37]            
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(London: SPCK, 1998), 26.
[38]            
Berry, The Great Work, 136.
[39]            
McFague, A New Climate for Theology: God, the World, and Global
Warming (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 42.
[40]            
Berry, The Dream of the Earth, 122.
11.       Kesimpulan
Ekoteologi merupakan respons teologis, filosofis,
dan spiritual terhadap krisis ekologis yang melanda dunia modern. Ia lahir dari
kesadaran mendalam bahwa kerusakan lingkungan bukan semata-mata problem teknis
atau ilmiah, melainkan juga persoalan moral, ontologis, dan teologis yang
berakar pada cara manusia memahami dirinya di hadapan Tuhan dan alam.¹ Dengan
demikian, ekoteologi menegaskan bahwa penyembuhan bumi menuntut bukan hanya reformasi
kebijakan, tetapi juga pertobatan spiritual dan intelektual—sebuah
revolusi kesadaran yang mengembalikan manusia ke dalam jejaring kehidupan
Ilahi.²
Melalui kajian ontologis, epistemologis, etis, dan
metodologis, ekoteologi memperlihatkan paradigma baru dalam memahami realitas.
Secara ontologis, alam dipahami bukan sebagai objek mati, melainkan sebagai
partisipasi hidup dalam keberadaan Tuhan; suatu manifestasi (tajallī)
dari kebaikan dan kasih-Nya.³ Secara epistemologis, pengetahuan tentang alam tidak
lagi terbatas pada observasi empiris, tetapi menjadi pengalaman spiritual yang
menghubungkan manusia dengan sumber kebenaran Ilahi.⁴ Secara etis, ekoteologi
mengajarkan bahwa kasih, tanggung jawab, dan solidaritas kosmik adalah fondasi
moralitas ekologis.⁵ Dan secara metodologis, ekoteologi menuntut pendekatan
hermeneutik, praksis, dan reflektif yang melibatkan seluruh aspek kehidupan
manusia dalam hubungan dengan ciptaan.⁶
Dari perspektif filosofis, ekoteologi menolak
dikotomi modern antara subjek dan objek, antara iman dan rasio, serta antara
manusia dan alam.⁷ Ia mengusulkan sintesis kosmik yang memandang realitas
sebagai kesatuan holistik (unitas vitae), di mana Tuhan, manusia, dan
alam saling terjalin dalam keutuhan eksistensial.⁸ Paradigma ini menandai
pergeseran dari pandangan mekanistik menuju pandangan relasional—dari dominasi
menuju partisipasi, dari eksploitasi menuju perawatan (care), dan dari
individualisme menuju solidaritas ekologis.⁹
Dalam konteks teologis, ekoteologi menjadi titik
temu antara iman dan ilmu pengetahuan.¹⁰ Ia menegaskan bahwa teologi yang
relevan pada abad ke-21 tidak dapat terlepas dari realitas bumi, karena
keselamatan tidak lagi dapat dipahami secara eksklusif antroposentris, tetapi
harus bersifat kosmosentris dan integratif.¹¹ Tuhan tidak hanya
menyelamatkan manusia, tetapi seluruh ciptaan.¹² Hal ini ditegaskan oleh Jürgen
Moltmann dalam gagasannya tentang “penciptaan baru” (new creation),
di mana Roh Kudus bekerja bukan untuk menghancurkan bumi, melainkan
memperbaruinya.¹³
Secara praksis, ekoteologi mengandung dimensi
transformatif. Ia menuntun manusia untuk mereformasi gaya hidup, sistem
ekonomi, dan orientasi spiritual menuju harmoni dengan alam.¹⁴ Spiritualitas
ekologis bukan sekadar ekspresi religius, melainkan praksis kasih terhadap bumi
sebagai rumah bersama (common home).¹⁵ Seperti ditegaskan oleh Paus
Fransiskus dalam Laudato Si’, setiap tindakan kecil yang mencerminkan
cinta terhadap bumi merupakan “tindakan iman” dalam konteks zaman
ekologis ini.¹⁶
Ekoteologi juga memiliki relevansi sosial dan
politis yang kuat. Ia mengajak komunitas global untuk memandang krisis iklim
sebagai krisis moral dan eksistensial yang menuntut solidaritas universal.¹⁷
Dalam hal ini, teologi tidak lagi menjadi ruang eksklusif perenungan spiritual,
tetapi medan praksis pembebasan ekologis.¹⁸ Ekoteologi membuka jalan menuju
teologi keberlanjutan global (theology of sustainability), di mana iman,
keadilan, dan kelestarian bersatu dalam misi spiritual menjaga kehidupan.¹⁹
Akhirnya, ekoteologi menawarkan visi spiritual baru
bagi peradaban manusia—sebuah metanoia ekologis yang mengubah cara kita
berpikir, beriman, dan hidup di dunia.²⁰ Ia memulihkan pandangan sakral
terhadap bumi, menghidupkan kembali rasa kagum (awe) dan rasa syukur (gratitude)
terhadap kehidupan.²¹ Dalam visi ini, teologi tidak lagi berbicara tentang
Tuhan yang jauh di langit, tetapi tentang Tuhan yang hadir di setiap helai
daun, setiap hembusan angin, dan setiap makhluk yang bernafas.²²
Dengan demikian, ekoteologi menegaskan kembali
hakikat iman sebagai relatio vitae—hubungan hidup antara Tuhan, manusia,
dan alam.²³ Melalui paradigma ini, manusia diundang bukan untuk menguasai,
melainkan untuk merawat; bukan untuk memisahkan diri, melainkan untuk berpartisipasi
dalam karya Ilahi menjaga kehidupan.²⁴ Di tengah ancaman ekologis global,
ekoteologi menjadi panggilan spiritual bagi umat manusia untuk menemukan
kembali makna keberadaannya sebagai penjaga bumi, sahabat ciptaan, dan rekan
kerja Tuhan dalam proses penciptaan yang terus berlangsung.²⁵
Footnotes
[1]               
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London:
Darton, Longman and Todd, 2008), 221.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 140.
[3]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 92.
[4]               
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience:
Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 75.
[5]               
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 61.
[6]               
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology
of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985),
99.
[7]               
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature:
The Denial of Religion and the Ecological Crisis (New York: Doubleday,
2002), 53.
[8]               
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The
Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 123.
[9]               
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 117.
[10]            
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(London: SPCK, 1998), 31.
[11]            
Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2006), 84.
[12]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 83.
[13]            
Jürgen Moltmann, Ethics of Hope
(Minneapolis: Fortress Press, 2012), 35.
[14]            
Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New
Paradigm (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 65.
[15]            
Sallie McFague, Life Abundant: Rethinking
Theology and Economy for a Planet in Peril (Minneapolis: Fortress Press,
2001), 68.
[16]            
Francis, Laudato Si’, 217.
[17]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 124.
[18]            
Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation:
History, Politics, and Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 13.
[19]            
Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 225.
[20]            
Thomas Berry, The Universe Story (San
Francisco: HarperCollins, 1992), 146.
[21]            
Thích Nhất Hạnh, Love Letter to the Earth
(Berkeley: Parallax Press, 2013), 33.
[22]            
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological
Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 54.
[23]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience,
83.
[24]            
Nasr, Religion and the Order of Nature (New
York: Oxford University Press, 1996), 97.
[25]            
Berry, The Great Work, 145.
Daftar Pustaka 
Aquinas, T. (1981). Summa Theologiae (Vols.
I–II). Christian Classics.
Bakar, O. (1991). Tawhid and science: Essays on
the history and philosophy of Islamic science. Kuala Lumpur: Secretariat
for Islamic Philosophy of Science.
Berry, T. (1988). The dream of the Earth.
San Francisco, CA: Sierra Club Books.
Berry, T. (1992). The universe story. San
Francisco, CA: HarperCollins.
Berry, T. (1999). The great work: Our way into
the future. New York, NY: Bell Tower.
Boff, L. (1995). Ecology and liberation: A new
paradigm. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Boff, L. (1997). Cry of the Earth, cry of the
poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Braidotti, R. (2013). The posthuman.
Cambridge, UK: Polity Press.
Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific
understanding of living systems. New York, NY: Anchor Books.
Conradie, E. M. (2005). An ecological Christian
anthropology: At home on Earth? Aldershot, UK: Ashgate.
Daly, H., & Cobb, J. B. (1989). For the
common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and a
sustainable future. Boston, MA: Beacon Press.
Dawkins, R. (2006). The God delusion.
London, UK: Bantam Press.
Deane-Drummond, C. (2008). Eco-theology.
London, UK: Darton, Longman and Todd.
Dube, M. W. (1997). Toward a postcolonial feminist
interpretation of the Bible. Semeia, 78, 11–26.
Edwards, D. (2006). Ecology at the heart of
faith. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Fachruddin, M. M. (2014). Mengembangkan etika
lingkungan dan ekoteologi Islam. Jakarta, Indonesia: Yayasan Obor
Indonesia.
Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On care for
our common home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.
Gutiérrez, G. (1973). A theology of liberation:
History, politics, and salvation. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The fate of
humans in the Anthropocene. Cambridge, UK: Polity Press.
Haraway, D. (2016). Staying with the trouble:
Making kin in the Chthulucene. Durham, NC: Duke University Press.
Hạnh, T. N. (1988). The heart of understanding:
Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Berkeley, CA: Parallax
Press.
Hạnh, T. N. (2008). The world we have: A
Buddhist approach to peace and ecology. Berkeley, CA: Parallax Press.
Hạnh, T. N. (2013). Love letter to the Earth.
Berkeley, CA: Parallax Press.
Hạnh, T. N. (1992). Peace is every step. New
York, NY: Bantam Books.
Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam (A. E.
Affifi, Ed.). Cairo, Egypt: Dar al-Kutub al-Misriyya.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago,
IL: University of Chicago Press.
Kearney, R. (2001). The God who may be: A
hermeneutics of religion. Bloomington, IN: Indiana University Press.
Kumar, S. (2002). You are, therefore I am: A
declaration of dependence. Totnes, UK: Green Books.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures
on the new climatic regime. Cambridge, UK: Polity Press.
Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya
Alam (LPLH SDA) Muhammadiyah. (2021). Panduan pesantren hijau.
Yogyakarta, Indonesia: Majelis Lingkungan Hidup.
Macy, J. (2007). World as lover, world as self.
Berkeley, CA: Parallax Press.
Mangunjaya, F. M. (2014). Mengembangkan etika
lingkungan dan ekoteologi Islam. Jakarta, Indonesia: Yayasan Obor
Indonesia.
McFague, S. (1993). The body of God: An
ecological theology. Minneapolis, MN: Fortress Press.
McFague, S. (2001). Life abundant: Rethinking
theology and economy for a planet in peril. Minneapolis, MN: Fortress
Press.
McFague, S. (2008). A new climate for theology:
God, the world, and global warming. Minneapolis, MN: Fortress Press.
McGrath, A. (2002). The reenchantment of nature:
The denial of religion and the ecological crisis. New York, NY: Doubleday.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. San Francisco, CA: Harper &
Row.
Merton, T. (1961). New seeds of contemplation.
New York, NY: New Directions.
Moltmann, J. (1985). God in creation: A new
theology of creation and the Spirit of God. San Francisco, CA: Harper &
Row.
Moltmann, J. (2012). Ethics of hope.
Minneapolis, MN: Fortress Press.
Moore, J. W. (2015). Capitalism in the web of
life: Ecology and the accumulation of capital. London, UK: Verso.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. New York, NY: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. Chicago, IL: ABC International Group.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. New York, NY: Oxford University Press.
Oelschlaeger, M. (1991). The idea of wilderness:
From prehistory to the age of ecology. New Haven, CT: Yale University
Press.
Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric
experience: Emerging religious consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Panikkar, R. (2010). The rhythm of being: The
Gifford lectures. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Pannenberg, W. (1994). Systematic theology
(Vol. 2). Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Polkinghorne, J. (1998). Science and theology:
An introduction. London, UK: SPCK.
Ratzinger, J. (1995). In the beginning…: A
Catholic understanding of the story of creation and the fall. Grand Rapids,
MI: Eerdmans.
Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil.
Boston, MA: Beacon Press.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Philadelphia, PA: Temple
University Press.
Ruether, R. R. (1992). Gaia and God: An
ecofeminist theology of Earth healing. San Francisco, CA: HarperCollins.
Ruether, R. R. (2005). Integrating ecofeminism,
globalization, and world religions. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology,
and development. London, UK: Zed Books.
Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology
and religion. Washington, DC: Island Press.
United Nations. (2023). The sustainable
development goals report 2023. New York, NY: United Nations Publications.
Valerio, R. (2020). Saying yes to life.
London, UK: SPCK.
Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A
Western perspective on what it is and why it matters. Lanham, MD: Rowman
& Littlefield.
Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). New York, NY: Scribner.
White, L. Jr. (1967). The historical roots of our
ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar