Filsafat Komunikasi
Fondasi Konseptual, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan
Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat komunikasi sebagai
disiplin reflektif yang menelaah hakikat komunikasi dari dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Kajian dimulai dengan menyoroti konsep dasar
filsafat komunikasi yang membedakannya dari ilmu komunikasi, yakni dengan fokus
pada pertanyaan filosofis tentang bahasa, makna, dan etika. Selanjutnya,
artikel menguraikan sejarah perkembangan filsafat komunikasi mulai dari tradisi
klasik Yunani, kontribusi filsafat Timur dan Islam, hingga pemikiran modern dan
kontemporer seperti filsafat bahasa, hermeneutika, teori kritis, semiotika,
serta dekonstruksi.
Pembahasan dilengkapi dengan analisis tokoh-tokoh sentral—Plato,
Aristoteles, Cicero, Kant, Hegel, Peirce, Dewey, Habermas, Gadamer, Derrida,
Foucault, hingga pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibn
Khaldun—yang memberikan sumbangan fundamental bagi kerangka filsafat
komunikasi. Artikel ini juga mengidentifikasi tema-tema pokok seperti bahasa
dan makna, diskursus dan kekuasaan, rasionalitas komunikatif, komunikasi dan
kebudayaan, serta etika komunikasi. Berbagai kritik terhadap filsafat
komunikasi, termasuk kritik terhadap retorika tradisional, positivisme, serta
rasionalitas komunikatif, turut dibahas, terutama dalam konteks media digital,
propaganda, dan hoaks.
Sebagai kontribusi praktis, artikel ini menekankan relevansi filsafat
komunikasi dalam menjawab tantangan kontemporer, mulai dari etika komunikasi
digital, demokrasi deliberatif, dialog lintas budaya dan antaragama, hingga
peran komunikasi dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pada
akhirnya, filsafat komunikasi direfleksikan sebagai disiplin integratif yang
tidak hanya memberikan pemahaman teoretis, tetapi juga menghadirkan orientasi
etis untuk membangun komunikasi yang lebih manusiawi, inklusif, dan berkeadilan
di era globalisasi dan digitalisasi.
Kata Kunci: Filsafat
Komunikasi; Bahasa; Makna; Etika; Diskursus; Rasionalitas; Hermeneutika; Teori
Kritis; Media Digital; Globalisasi.
PEMBAHASAN
Fondasi Konseptual, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan
Relevansi Filsafat Komunikasi
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Komunikasi merupakan salah satu dimensi
fundamental dari eksistensi manusia. Sejak awal peradaban, manusia tidak hanya
dipandang sebagai homo sapiens—makhluk yang berpikir—tetapi juga sebagai
homo loquens, yakni makhluk yang berbicara dan berkomunikasi.¹ Proses
komunikasi tidak sekadar menyampaikan pesan, melainkan juga membentuk realitas
sosial, budaya, politik, dan bahkan spiritual.² Dengan demikian, filsafat
komunikasi lahir sebagai upaya untuk memahami hakikat komunikasi dalam dimensi
ontologis (apa itu komunikasi), epistemologis (bagaimana kita mengetahui
sesuatu melalui komunikasi), dan aksiologis (nilai-nilai apa yang terkandung di
dalam komunikasi).³
Dalam perkembangan modern, studi
komunikasi banyak dikaji melalui perspektif ilmiah-empiris yang berfokus pada
efektivitas penyampaian pesan, media, dan dampaknya.⁴ Namun, aspek filosofis
komunikasi—yakni pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna, kebenaran,
etika, serta hubungan antara bahasa dan realitas—sering kali terpinggirkan. Di
sinilah filsafat komunikasi hadir, untuk menjembatani pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang tidak dapat dijawab hanya dengan pendekatan teknis atau
instrumental.⁵
1.2.      
Rumusan Masalah
Artikel ini berangkat dari sejumlah
pertanyaan filosofis:
1)                 
Apa hakikat komunikasi
dalam dimensi filosofis?
2)                 
Bagaimana sejarah perkembangan
gagasan tentang komunikasi dalam tradisi filsafat Timur dan Barat?
3)                 
Siapa saja tokoh-tokoh
penting yang memberikan kontribusi dalam membentuk kerangka filsafat
komunikasi?
4)                 
Bagaimana kritik-kritik
filosofis terhadap praktik komunikasi modern, khususnya dalam konteks media,
politik, dan budaya?
5)                 
Apa relevansi filsafat
komunikasi dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti globalisasi,
digitalisasi, dan pluralisme budaya?
1.3.      
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk:
1)                 
Menguraikan fondasi
konseptual filsafat komunikasi.
2)                 
Melacak sejarah dan
perkembangan filsafat komunikasi dari era klasik hingga kontemporer.
3)                 
Membahas tokoh-tokoh yang
berpengaruh dalam tradisi filsafat komunikasi.
4)                 
Menyajikan kritik terhadap
reduksi komunikasi menjadi sekadar instrumen teknis.
5)                 
Menunjukkan relevansi
filsafat komunikasi dalam menjawab problematika komunikasi di era modern.
1.4.      
Metode Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan
filsafat kritis dan hermeneutis, dengan menelaah teks-teks klasik maupun
kontemporer yang berkaitan dengan filsafat komunikasi. Analisis dilakukan
secara historis-filosofis untuk memahami perkembangan gagasan, serta
reflektif-kritis untuk menguji relevansinya dengan situasi komunikasi dewasa
ini.⁶
1.5.      
Kerangka Pikir
Filsafat komunikasi dipandang sebagai
disiplin yang berupaya memahami komunikasi bukan hanya sebagai praktik teknis,
tetapi juga sebagai fenomena eksistensial yang terkait dengan bahasa, makna,
kekuasaan, dan etika. Dalam kerangka ini, pemikiran para filsuf seperti Plato
dan Aristoteles tentang retorika, Wittgenstein tentang bahasa, hingga Habermas
tentang tindakan komunikatif akan menjadi landasan kajian.⁷ Dengan demikian,
artikel ini tidak hanya memetakan filsafat komunikasi sebagai sebuah cabang
pengetahuan, melainkan juga merefleksikan implikasinya bagi kehidupan
kontemporer.
Footnotes
[1]               
Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans.
Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 45.
[2]               
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 33.
[3]               
John Durham Peters, Speaking into the Air: A
History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press,
1999), 5.
[4]               
Denis McQuail, Mass Communication Theory: An
Introduction (London: Sage Publications, 2010), 21.
[5]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[6]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.
(New York: Continuum, 2004), 295.
[7]               
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Komunikasi
2.1.      
Definisi dan Ruang
Lingkup
Filsafat komunikasi merupakan kajian
reflektif dan kritis mengenai hakikat komunikasi, melampaui dimensi teknis dan
instrumentalnya. Jika ilmu komunikasi lebih banyak berfokus pada proses,
saluran, serta efek dari penyampaian pesan, maka filsafat komunikasi
mengarahkan perhatiannya pada pertanyaan-pertanyaan mendasar: apa itu
komunikasi, bagaimana komunikasi memungkinkan terjadinya pemahaman, serta nilai
apa yang terkandung dalam setiap praktik komunikasi.¹
Komunikasi dalam perspektif filosofis
tidak hanya dimaknai sebagai pertukaran pesan, tetapi juga sebagai dasar
eksistensi manusia yang bersifat dialogis. Dalam kerangka ini, komunikasi
dipahami sebagai proses pembentukan makna bersama (intersubjectivity)
yang memungkinkan kehidupan sosial berlangsung.² Oleh karena itu, ruang lingkup
filsafat komunikasi mencakup dimensi ontologis (hakikat keberadaan komunikasi),
epistemologis (cara pengetahuan diproduksi dan disebarkan melalui komunikasi),
dan aksiologis (nilai moral yang melekat pada komunikasi).³
2.2.      
Filsafat Bahasa dan
Komunikasi
Bahasa merupakan medium utama
komunikasi dan menjadi pusat perhatian filsafat komunikasi. Ludwig Wittgenstein
dalam Philosophical Investigations menyatakan bahwa makna bahasa
bergantung pada penggunaannya dalam praktik kehidupan sehari-hari (language
games).⁴ Artinya, komunikasi tidak pernah netral, melainkan selalu terikat
pada konteks sosial-budaya yang melingkupinya.
Selain itu, filsafat hermeneutika
seperti yang dikembangkan Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa komunikasi adalah
proses penafsiran yang bersifat dialogis.⁵ Dalam dialog, bukan hanya pesan yang
disampaikan, melainkan horizon pemahaman yang saling bertemu. Dengan demikian,
komunikasi adalah jalan menuju pemahaman, tetapi juga dapat menjadi arena
distorsi dan kesalahpahaman.
2.3.      
Dimensi Etika dan
Moral dalam Komunikasi
Filsafat komunikasi tidak bisa
dilepaskan dari dimensi etika. Komunikasi yang otentik menuntut adanya
kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab. Jürgen Habermas melalui konsep tindakan
komunikatif menyatakan bahwa komunikasi sejati hanya mungkin terjadi
apabila para partisipan terlibat dalam situasi percakapan yang bebas dari
dominasi dan distorsi, sehingga yang dicapai adalah konsensus rasional.⁶
Dalam konteks kontemporer, etika
komunikasi semakin penting karena perkembangan media digital seringkali
melahirkan manipulasi informasi, propaganda, dan hoaks.⁷ Oleh karena itu,
filsafat komunikasi menekankan perlunya integrasi nilai-nilai moral dalam
setiap bentuk komunikasi, baik interpersonal, publik, maupun digital.
2.4.      
Komunikasi sebagai
Fenomena Intersubjektif
Salah satu pokok penting dalam filsafat
komunikasi adalah pandangan bahwa komunikasi merupakan fenomena intersubjektif.
Martin Buber dalam konsep I and Thou menegaskan bahwa komunikasi yang
sejati lahir dari relasi dialogis yang tulus, di mana manusia saling mengakui
keberadaan satu sama lain sebagai subjek, bukan objek.⁸
Dengan demikian, komunikasi tidak
sekadar mekanisme transfer informasi, melainkan juga sarana pembentukan relasi
kemanusiaan yang otentik. Inilah yang membedakan filsafat komunikasi dari
pendekatan lain, sebab ia menekankan dimensi eksistensial komunikasi sebagai
dasar kehidupan bersama.
Footnotes
[1]               
John Durham Peters, Speaking into the Air: A
History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press,
1999), 6.
[2]               
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 33.
[3]               
James W. Carey, Communication as Culture: Essays on
Media and Society (Boston: Unwin Hyman, 1989), 15.
[4]               
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.
[5]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.
(New York: Continuum, 2004), 305.
[6]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[7]               
Manuel Castells, Communication Power (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 55.
[8]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.
3.          
Sejarah dan
Perkembangan Filsafat Komunikasi
3.1.      
Akar Kuno dan Klasik
Filsafat komunikasi memiliki akar yang
kuat dalam tradisi filsafat kuno, khususnya di Yunani. Plato menekankan peran
dialog sebagai jalan menuju kebenaran, meskipun ia mengkritik retorika karena
dianggap rentan dimanipulasi demi kepentingan persuasif semata.¹ Sebaliknya,
Aristoteles menempatkan retorika sebagai seni komunikasi yang rasional, dengan
menekankan pentingnya logos, ethos, dan pathos dalam
menyampaikan pesan.² Retorika kemudian menjadi salah satu fondasi penting dalam
perkembangan studi komunikasi di Barat.
Selain tradisi Yunani, filsafat Timur
juga memberikan kontribusi yang signifikan. Dalam ajaran Konfusius, komunikasi
dipandang sebagai sarana menjaga harmoni sosial, dengan menekankan pentingnya
penggunaan bahasa yang tepat dan bermoral.³ Sementara itu, dalam tradisi Islam
klasik, komunikasi erat kaitannya dengan konsep etika dan penyampaian kebenaran
(tabligh), sebagaimana terlihat dalam karya-karya Al-Farabi tentang
bahasa dan logika, serta Al-Ghazali yang menekankan dimensi moral komunikasi.⁴
3.2.      
Abad Pertengahan dan
Modern Awal
Pada Abad Pertengahan, filsafat
komunikasi berkembang dalam bingkai skolastik. Thomas Aquinas, misalnya,
menekankan hubungan erat antara bahasa, kebenaran, dan wahyu ilahi.⁵ Komunikasi
dalam konteks ini tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga teologis, karena
dianggap sebagai sarana menyampaikan kebenaran transenden.
Memasuki era modern awal, perubahan
paradigma komunikasi mulai tampak. Periode Pencerahan melahirkan pandangan baru
tentang rasionalitas, kebebasan, dan ruang publik. Tokoh seperti John Locke
menekankan fungsi bahasa dalam menyampaikan ide dan membangun pengetahuan,⁶
sementara Immanuel Kant menekankan pentingnya penggunaan rasio dalam membangun
komunikasi yang universal dan bermoral.⁷ Pada masa ini, komunikasi mulai
dipahami sebagai bagian dari perkembangan rasionalitas manusia.
3.3.      
Era Modern dan
Kontemporer
Pada abad ke-20, filsafat komunikasi
mengalami perkembangan signifikan dengan munculnya filsafat bahasa. Ludwig
Wittgenstein melalui konsep language games menunjukkan bahwa makna
bahasa tidak ditentukan oleh referensi tetap, tetapi oleh penggunaannya dalam praktik
sosial.⁸ Hal ini menggeser pemahaman komunikasi dari sekadar alat representasi
menuju praktik sosial yang kontekstual.
Selain itu, filsafat hermeneutika yang
dipelopori Hans-Georg Gadamer menekankan komunikasi sebagai proses pemahaman
yang dialogis, di mana horizon makna saling bertemu.⁹ Dalam konteks teori
kritis, Jürgen Habermas mengembangkan konsep tindakan komunikatif yang
menekankan pentingnya komunikasi bebas dominasi sebagai dasar demokrasi
deliberatif.¹⁰
Di sisi lain, pemikiran postmodern
seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault memberikan kritik mendalam terhadap
asumsi netralitas komunikasi. Derrida menekankan dekonstruksi bahasa sebagai
sesuatu yang tidak pernah stabil,¹¹ sementara Foucault menunjukkan bagaimana
komunikasi berhubungan erat dengan struktur kekuasaan dan wacana sosial.¹²
Dengan demikian, filsafat komunikasi kontemporer tidak hanya membicarakan makna
dan pemahaman, tetapi juga menyoroti relasi kuasa, ideologi, dan politik dalam
praktik komunikasi.
Footnotes
[1]               
Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London:
Penguin Classics, 2004), 45.
[2]               
Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts
(Mineola, NY: Dover Publications, 2004), 25.
[3]               
Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley
(New York: Vintage, 1989), 13.
[4]               
Al-Farabi, Book of Letters, trans. Muhsin Mahdi
(Albany: SUNY Press, 1990), 55; Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, vol. 2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 112.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
Q.16.
[6]               
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 507.
[7]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 102.
[8]               
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.
[9]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.
(New York: Continuum, 2004), 305.
[10]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[11]            
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158.
[12]            
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.
4.          
Tokoh-Tokoh Sentral
dalam Filsafat Komunikasi
4.1.      
Tokoh Klasik: Plato,
Aristoteles, dan Cicero
Tradisi filsafat komunikasi berakar
kuat pada pemikiran filsuf Yunani klasik. Plato memandang komunikasi
sebagai sarana mencapai kebenaran, tetapi ia curiga terhadap retorika karena
dianggap berpotensi menipu. Dalam dialog Gorgias, Plato menegaskan bahwa
retorika tanpa landasan etis hanya menjadi instrumen persuasi yang bisa
mengaburkan realitas.¹ Ia mengkritik kaum sofis yang menggunakan kata-kata
untuk membujuk tanpa memperhatikan kebenaran.
Berbeda dengan gurunya, Aristoteles
memberikan tempat penting bagi retorika. Dalam Rhetoric, ia memandang
komunikasi sebagai seni menemukan cara terbaik untuk meyakinkan audiens melalui
tiga dimensi utama: logos (logika dan argumen rasional), ethos
(karakter dan kredibilitas komunikator), dan pathos (daya tarik
emosional).² Aristoteles menempatkan komunikasi sebagai keterampilan praktis
yang dapat dipelajari, sekaligus sebagai sarana deliberasi dalam politik dan
kehidupan publik.
Sementara itu, Cicero dari
tradisi Romawi menekankan komunikasi dalam bentuk orasi publik. Ia
menggabungkan retorika dengan filsafat moral, menegaskan bahwa seorang
komunikator sejati harus menguasai logika, etika, dan kemampuan berbicara.³
Dengan demikian, Cicero memandang komunikasi bukan hanya seni teknis, melainkan
instrumen pembentukan tatanan sosial-politik yang adil.
4.2.      
Tokoh Modern: Kant,
Hegel, Peirce, dan Dewey
Dalam era modern, filsafat komunikasi
dipengaruhi oleh filsafat bahasa, epistemologi, dan pragmatisme. Immanuel
Kant menekankan pentingnya komunikasi dalam kerangka penggunaan rasio
publik. Dalam esainya What is Enlightenment?, Kant menegaskan kebebasan
berkomunikasi sebagai syarat utama pencerahan, di mana individu menggunakan
akalnya secara terbuka di ruang publik.⁴
G.W.F. Hegel memandang
komunikasi sebagai bagian dari dialektika roh (Geist), yaitu proses
historis di mana kesadaran manusia berkembang melalui interaksi sosial dan
budaya. Komunikasi bagi Hegel bukan sekadar pertukaran informasi, melainkan
sarana pembentukan kesadaran kolektif.⁵
Dalam tradisi Amerika, Charles
Sanders Peirce mengembangkan teori semiotika yang menjadi fondasi penting
bagi filsafat komunikasi modern. Menurut Peirce, komunikasi tidak dapat
dipisahkan dari proses tanda (sign), objek, dan interpretan, yang secara
triadik memungkinkan lahirnya makna.⁶ Pemikiran ini kemudian menjadi dasar
kajian semiotika dalam komunikasi kontemporer.
John Dewey, tokoh pragmatisme,
menekankan komunikasi sebagai basis demokrasi. Dalam karyanya Democracy and
Education, Dewey menegaskan bahwa komunikasi adalah syarat terbentuknya
masyarakat demokratis karena melalui komunikasi, nilai, pengetahuan, dan
pengalaman dibagikan.⁷ Dengan demikian, komunikasi dipandang sebagai perekat
kehidupan sosial.
4.3.      
Tokoh Kontemporer:
Habermas, Gadamer, Derrida, dan Foucault
Dalam filsafat komunikasi kontemporer,
sejumlah tokoh memainkan peran penting. Jürgen Habermas mengembangkan
teori tindakan komunikatif (communicative action), yang
menekankan pentingnya komunikasi bebas dominasi sebagai basis legitimasi sosial
dan politik. Menurutnya, konsensus rasional hanya dapat tercapai bila
partisipan terlibat dalam diskursus yang terbuka dan setara.⁸
Hans-Georg Gadamer, melalui
hermeneutikanya, memandang komunikasi sebagai pertemuan horizon makna (fusion
of horizons).⁹ Ia menolak anggapan bahwa komunikasi adalah proses mekanis,
melainkan sebuah dialog yang penuh penafsiran, di mana setiap pihak
berpartisipasi dalam membangun pemahaman bersama.
Berbeda dengan Gadamer dan Habermas, Jacques
Derrida menyoroti instabilitas bahasa. Dalam kerangka dekonstruksi,
ia menekankan bahwa makna dalam komunikasi selalu tertunda (différance)
dan tidak pernah final.¹⁰ Hal ini mengimplikasikan bahwa komunikasi selalu
terbuka terhadap interpretasi baru, dan oleh karena itu tidak bisa dilepaskan
dari potensi ambiguitas.
Sementara itu, Michel Foucault
menyoroti hubungan erat antara komunikasi, wacana, dan kekuasaan. Baginya,
komunikasi bukan hanya pertukaran makna, tetapi juga arena di mana relasi kuasa
bekerja.¹¹ Konsep wacana Foucault membantu kita memahami bagaimana bahasa dapat
membentuk struktur pengetahuan sekaligus menormalisasi praktik sosial tertentu.
4.4.      
Tokoh dalam Tradisi
Islam: Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun
Dalam khazanah Islam, pemikiran tentang
komunikasi juga berkembang. Al-Farabi dalam Kitab al-Huruf
membahas hubungan antara bahasa, logika, dan realitas.¹² Ia melihat komunikasi
sebagai sarana untuk menghubungkan pemikiran abstrak dengan realitas sosial.
Al-Ghazali menekankan dimensi
etis komunikasi. Dalam Ihya Ulum al-Din, ia menulis tentang pentingnya
menjaga lisan, kejujuran, serta bahaya dusta dan fitnah.¹³ Pemikirannya
menunjukkan bahwa komunikasi memiliki tanggung jawab moral yang mendalam.
Ibn Khaldun, melalui Muqaddimah,
membahas peran komunikasi dalam pembentukan solidaritas sosial (‘asabiyyah).¹⁴
Baginya, komunikasi merupakan instrumen fundamental dalam membangun peradaban,
karena melalui bahasa dan simbol, identitas kolektif masyarakat terbentuk.
Sintesis Peran Tokoh
Tokoh-tokoh di atas, baik dari tradisi
Barat maupun Islam, menunjukkan bahwa filsafat komunikasi berkembang melalui
berbagai perspektif: retorika dan etika (Plato, Aristoteles, Cicero,
Al-Ghazali), rasionalitas dan kebebasan (Kant, Dewey, Habermas), hermeneutika
dan makna (Gadamer), semiotika dan tanda (Peirce), hingga kritik terhadap
bahasa dan kuasa (Derrida, Foucault). Keseluruhan pemikiran ini membentuk
fondasi filsafat komunikasi sebagai disiplin reflektif yang kompleks, dinamis,
dan lintas tradisi.
Footnotes
[1]               
Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London:
Penguin Classics, 2004), 45.
[2]               
Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts
(Mineola, NY: Dover Publications, 2004), 25.
[3]               
Cicero, On the Ideal Orator (De Oratore),
trans. James M. May and Jakob Wisse (Oxford: Oxford University Press, 2001),
13.
[4]               
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is
Enlightenment?” in Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 17.
[5]               
G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 112.
[6]               
Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles
Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1931–35), 2.228.
[7]               
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 87.
[8]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[9]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.
(New York: Continuum, 2004), 305.
[10]            
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158.
[11]            
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.
[12]            
Al-Farabi, Book of Letters, trans. Muhsin Mahdi
(Albany: SUNY Press, 1990), 55.
[13]            
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, vol. 2 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 112.
[14]            
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
1967), 101.
5.          
Tema-tema Pokok
dalam Filsafat Komunikasi
5.1.      
Bahasa dan Makna
Bahasa merupakan fondasi utama
komunikasi dan salah satu tema paling sentral dalam filsafat komunikasi. Ludwig
Wittgenstein menegaskan bahwa makna bahasa tidak ditentukan oleh referensinya
terhadap dunia semata, tetapi oleh penggunaannya dalam praktik kehidupan
sehari-hari yang ia sebut sebagai language games.¹ Dengan demikian,
komunikasi adalah aktivitas yang selalu kontekstual dan tidak bisa dilepaskan
dari praktik sosial.
Selain itu, Hans-Georg Gadamer
menyoroti dimensi hermeneutis bahasa. Menurutnya, setiap komunikasi melibatkan
proses penafsiran, dan pemahaman hanya dapat tercapai melalui dialog di mana
horizon makna saling bertemu (fusion of horizons).² Hal ini menjadikan
komunikasi bukan sekadar transfer informasi, melainkan arena dialektis yang
membuka kemungkinan munculnya pemahaman baru.
5.2.      
Diskursus dan
Kekuasaan
Filsafat komunikasi juga menyoroti
hubungan antara bahasa, komunikasi, dan kekuasaan. Michel Foucault menunjukkan
bahwa wacana bukan hanya sarana komunikasi, melainkan juga instrumen kekuasaan
yang membentuk struktur pengetahuan dan mengatur perilaku sosial.³ Komunikasi
dalam kerangka ini bukanlah sesuatu yang netral, tetapi penuh dengan relasi
kuasa yang menentukan siapa yang boleh berbicara, bagaimana cara berbicara, dan
makna apa yang dilegitimasi.
Dalam konteks modern, analisis wacana
memperlihatkan bagaimana media, politik, dan institusi menggunakan komunikasi
untuk membangun narasi hegemonik.⁴ Oleh karena itu, tema diskursus dan
kekuasaan menjadi penting dalam filsafat komunikasi karena ia menyingkap sisi
ideologis dari praktik komunikasi.
5.3.      
Rasionalitas dan
Tindakan Komunikatif
Tema penting lain dalam filsafat
komunikasi adalah rasionalitas yang diwujudkan melalui komunikasi. Jürgen
Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif yang menegaskan bahwa
komunikasi ideal harus bebas dari distorsi dan dominasi, sehingga para
partisipan dapat mencapai konsensus rasional.⁵ Habermas membedakan antara
komunikasi strategis—yang berorientasi pada manipulasi dan keberhasilan
teknis—dengan komunikasi komunikatif—yang berorientasi pada saling pengertian.⁶
Dalam pandangan ini, komunikasi bukan
sekadar alat, melainkan medium untuk membangun masyarakat demokratis.
Rasionalitas komunikatif menuntut keterbukaan, kejujuran, dan kesetaraan
antarpartisipan dalam diskursus publik.
5.4.      
Komunikasi dan
Kebudayaan
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan, karena setiap bentuk komunikasi selalu dibentuk oleh simbol, nilai,
dan praktik budaya. Clifford Geertz menegaskan bahwa budaya adalah “jaringan
makna” yang ditenun manusia, dan komunikasi adalah cara manusia menafsirkan
serta menghidupi jaringan tersebut.⁷ Dengan demikian, komunikasi berfungsi
sebagai sarana utama dalam reproduksi kebudayaan.
Dalam era globalisasi, tema komunikasi
dan kebudayaan menjadi semakin relevan karena interaksi lintas budaya
melahirkan dialog, negosiasi identitas, sekaligus potensi konflik. Filsafat
komunikasi di sini menekankan pentingnya kesadaran interkultural, toleransi,
serta keterbukaan terhadap perbedaan.
5.5.      
Etika dan Moralitas
Komunikasi
Etika komunikasi merupakan tema pokok
yang tidak terpisahkan dari filsafat komunikasi. Martin Buber menekankan
pentingnya relasi dialogis I–Thou, di mana komunikasi sejati hanya
terjadi jika kedua belah pihak saling menghargai sebagai subjek, bukan objek.⁸
Perspektif ini menegaskan bahwa komunikasi memiliki tanggung jawab moral dalam
membangun hubungan kemanusiaan yang otentik.
Selain itu, etika komunikasi menjadi
semakin penting di era digital. Fenomena disinformasi, ujaran kebencian, dan
propaganda politik menunjukkan bahwa komunikasi tidak hanya persoalan teknis,
tetapi juga persoalan moral. Filsafat komunikasi menuntut agar komunikasi
dipraktikkan dengan kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial.⁹
Sintesis Tema-tema Pokok
Tema-tema pokok dalam filsafat
komunikasi—bahasa dan makna, diskursus dan kekuasaan, rasionalitas komunikatif,
komunikasi dan kebudayaan, serta etika komunikasi—saling berkaitan dan
membentuk kerangka komprehensif untuk memahami komunikasi sebagai fenomena
multidimensional. Dari bahasa hingga etika, dari rasionalitas hingga kekuasaan,
filsafat komunikasi memperlihatkan bahwa komunikasi bukan hanya alat praktis,
melainkan inti dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, kultural, dan
moral.
Footnotes
[1]               
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.
[2]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.
(New York: Continuum, 2004), 305.
[3]               
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.
[4]               
Norman Fairclough, Discourse and Social Change
(Cambridge: Polity Press, 1992), 55.
[5]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[6]               
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 58.
[7]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[8]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.
[9]               
Manuel Castells, Communication Power (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 103.
6.          
Kritik dalam
Filsafat Komunikasi
6.1.      
Kritik terhadap
Retorika Tradisional
Retorika sebagai fondasi awal filsafat
komunikasi telah dikritik sejak masa Plato. Dalam Gorgias, Plato menilai
retorika hanya sebagai seni persuasi tanpa landasan kebenaran, sehingga
berisiko dimanfaatkan untuk manipulasi.¹ Kritik ini menyoroti persoalan etis
bahwa komunikasi tidak boleh hanya dilihat dari keberhasilannya memengaruhi
audiens, melainkan harus mengandung orientasi pada kebenaran.
Namun, Aristoteles mencoba
mengembalikan martabat retorika dengan menekankan peran logika (logos),
kredibilitas (ethos), dan emosi (pathos).² Meski demikian, kritik
Plato tetap relevan hingga kini, khususnya ketika komunikasi digunakan secara
manipulatif dalam propaganda politik dan iklan komersial.
6.2.      
Kritik terhadap Positivisme
dalam Ilmu Komunikasi
Perkembangan ilmu komunikasi pada abad
ke-20 banyak dipengaruhi positivisme, yang menekankan pengukuran kuantitatif,
efektivitas penyampaian pesan, dan dampaknya terhadap perilaku.³ Kritik
filosofis terhadap pendekatan ini menyoroti bahwa reduksi komunikasi menjadi
sekadar proses mekanis (pengirim, pesan, penerima) mengabaikan dimensi makna,
konteks, dan nilai.
John Durham Peters misalnya,
berpendapat bahwa model mekanistik komunikasi gagal menjelaskan aspek
eksistensial dan dialogis dari komunikasi manusia.⁴ Dengan demikian, kritik
terhadap positivisme mendorong perlunya pendekatan interpretatif, hermeneutis,
dan kritis dalam memahami komunikasi.
6.3.      
Kritik Postmodern
terhadap Rasionalitas Komunikatif
Teori tindakan komunikatif Jürgen
Habermas banyak dipuji karena menekankan komunikasi sebagai basis rasionalitas
dan demokrasi deliberatif. Namun, para pemikir postmodern seperti Michel
Foucault dan Jacques Derrida memberikan kritik tajam. Foucault menilai asumsi
komunikasi bebas dominasi terlalu utopis, karena setiap wacana selalu berada
dalam jaringan kekuasaan.⁵ Derrida, melalui konsep différance,
menunjukkan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah stabil dan selalu
tertunda, sehingga konsensus rasional ala Habermas sulit dicapai.⁶
Kritik ini menekankan keterbatasan
ideal komunikasi yang rasional dan harmonis, serta membuka ruang bagi pemahaman
bahwa komunikasi sering kali dipenuhi ketegangan, konflik, dan ambiguitas.
6.4.      
Kritik Etis:
Propaganda, Hoaks, dan Distorsi Makna
Dalam dunia kontemporer, kritik
terhadap komunikasi semakin mengemuka seiring munculnya masalah etis:
propaganda, disinformasi, ujaran kebencian, dan hoaks.⁷ Perkembangan teknologi
digital memperkuat potensi distorsi makna karena komunikasi menjadi cepat,
masif, dan seringkali tanpa filter etis.
Kritik etis ini menekankan bahwa
komunikasi tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral. Martin Buber
menegaskan bahwa komunikasi sejati hanya mungkin terwujud dalam relasi I–Thou,
bukan I–It.⁸ Ketika komunikasi tereduksi menjadi sekadar alat
manipulasi, ia kehilangan sifatnya yang otentik sebagai jalan menuju pemahaman
manusiawi.
6.5.      
Kritik atas
Netralitas Media
Selain isu individu, kritik filsafat
komunikasi juga diarahkan pada media massa dan teknologi. Marshall McLuhan
menegaskan bahwa “medium is the message,” artinya media tidak netral,
melainkan membentuk cara berpikir dan berperilaku masyarakat.⁹ Media digital,
dengan algoritme dan logikanya sendiri, seringkali memperkuat polarisasi dan echo
chamber dalam ruang publik.¹⁰
Dengan demikian, kritik filosofis
terhadap media mengingatkan bahwa komunikasi tidak bisa dipandang sebagai
sarana netral. Media berperan aktif dalam membentuk makna, wacana, dan bahkan
struktur kekuasaan.
Sintesis Kritik
Kritik dalam filsafat komunikasi
menunjukkan bahwa:
1)                 
Retorika berpotensi
manipulatif jika tidak berlandaskan etika.
2)                 
Positivisme gagal menangkap
kompleksitas makna komunikasi.
3)                 
Rasionalitas komunikatif
Habermas menghadapi keterbatasan ketika berhadapan dengan kritik postmodern.
4)                 
Etika komunikasi semakin
penting di tengah fenomena propaganda dan hoaks.
5)                 
Media dan teknologi tidak
netral, tetapi membentuk realitas sosial.
Dengan demikian, kritik ini memperkaya
filsafat komunikasi, sekaligus mengingatkan bahwa komunikasi bukan hanya
persoalan teknis, melainkan medan etis, politis, dan eksistensial yang
kompleks.
Footnotes
[1]               
Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London:
Penguin Classics, 2004), 45.
[2]               
Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts
(Mineola, NY: Dover Publications, 2004), 25.
[3]               
Denis McQuail, Mass Communication Theory: An
Introduction (London: Sage Publications, 2010), 21.
[4]               
John Durham Peters, Speaking into the Air: A
History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press,
1999), 6.
[5]               
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.
[6]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158.
[7]               
Manuel Castells, Communication Power (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 103.
[8]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.
[9]               
Marshall McLuhan, Understanding Media: The
Extensions of Man (New York: McGraw-Hill, 1964), 7.
[10]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 112.
7.          
Relevansi Filsafat
Komunikasi dalam Dunia Kontemporer
7.1.      
Komunikasi Digital
dan Media Sosial
Perkembangan teknologi digital telah
mengubah lanskap komunikasi secara radikal. Media sosial menghadirkan ruang
baru di mana interaksi berlangsung secara cepat, masif, dan global. Namun,
perkembangan ini sekaligus menghadirkan problem etis: maraknya disinformasi,
polarisasi, dan manipulasi algoritmik.¹ Filsafat komunikasi dalam konteks ini
menyoroti perlunya etika komunikasi digital yang menekankan kejujuran, tanggung
jawab, serta kesadaran kritis terhadap peran teknologi.
Marshall McLuhan menyebut bahwa the
medium is the message, artinya media itu sendiri membentuk pola pikir
manusia.² Dalam era digital, medium algoritmik tidak sekadar menyalurkan pesan,
tetapi juga menentukan apa yang dilihat, dipahami, dan dipercayai audiens.
Maka, filsafat komunikasi mengajak kita untuk merefleksikan kembali bagaimana
teknologi memengaruhi struktur makna dan kesadaran manusia.
7.2.      
Komunikasi Politik
dan Demokrasi
Komunikasi merupakan fondasi demokrasi.
Dalam kerangka Habermas, ruang publik yang sehat hanya mungkin tercipta jika
terdapat komunikasi yang rasional, bebas dominasi, dan terbuka.³ Namun dalam
kenyataannya, komunikasi politik kontemporer sering didominasi oleh retorika
populis, propaganda, dan kampanye berbasis big data.⁴
Filsafat komunikasi relevan untuk
mengkritisi praktik komunikasi politik yang manipulatif sekaligus mendorong
hadirnya komunikasi deliberatif. Hal ini sangat penting bagi demokrasi di era
informasi, di mana opini publik dapat dibentuk bukan hanya oleh argumen
rasional, tetapi juga oleh narasi emosional dan visual yang tersebar melalui
media digital.
7.3.      
Komunikasi Lintas Budaya
dan Globalisasi
Globalisasi memperluas interaksi lintas
budaya dan mempertemukan beragam sistem nilai, bahasa, serta cara pandang.
Clifford Geertz menekankan bahwa budaya adalah jaringan makna yang ditenun
manusia, dan komunikasi menjadi kunci untuk menafsirkan serta menghidupi
jaringan tersebut.⁵ Dalam konteks ini, filsafat komunikasi berperan untuk
mengembangkan kesadaran interkultural, toleransi, serta keterbukaan terhadap
perbedaan.
Selain itu, dialog antarbudaya
memerlukan refleksi filosofis tentang bahasa dan makna. Hermeneutika Gadamer
dapat digunakan untuk memahami bahwa komunikasi antarbudaya bukanlah sekadar
pertukaran pesan, melainkan proses penafsiran di mana horizon makna yang
berbeda saling bertemu.⁶
7.4.      
Komunikasi Spiritual
dan Keagamaan
Di tengah arus sekularisasi dan
pluralisme, filsafat komunikasi tetap relevan dalam membahas komunikasi
spiritual dan keagamaan. Komunikasi antariman, misalnya, tidak hanya menuntut
penyampaian doktrin, tetapi juga keterbukaan dialogis. Martin Buber menekankan
relasi I–Thou sebagai dasar komunikasi otentik, di mana setiap pihak
saling menghargai dalam kedalaman spiritual.⁷
Filsafat komunikasi membantu memahami
bagaimana bahasa keagamaan bekerja sebagai simbol yang tidak hanya informatif,
tetapi juga performatif, yakni membentuk kesadaran dan identitas komunitas
beriman. Dalam konteks global, refleksi filosofis ini mendukung terciptanya
komunikasi antaragama yang lebih damai dan saling menghormati.
7.5.      
Komunikasi dalam
Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Komunikasi memiliki peran penting dalam
penyebaran pengetahuan. John Dewey menekankan bahwa pendidikan sejati hanya
dapat terjadi melalui proses komunikasi, di mana pengalaman dibagikan dan
dimaknai bersama.⁸ Dalam dunia akademik, komunikasi ilmiah tidak hanya tentang
penyampaian informasi, tetapi juga tentang membangun komunitas epistemik yang
berbasis pada kejujuran, keterbukaan, dan kritik rasional.
Dalam konteks pendidikan kontemporer,
filsafat komunikasi mengingatkan bahwa pengajaran bukanlah proses satu arah,
melainkan dialog reflektif yang memungkinkan siswa dan guru bersama-sama
membangun makna. Hal ini menjadi semakin penting di era digital, di mana akses
informasi melimpah tetapi kemampuan kritis dalam menafsirkan informasi menjadi
kunci utama.
Sintesis Relevansi Kontemporer
Dari uraian di atas, jelas bahwa
filsafat komunikasi memiliki relevansi besar dalam dunia kontemporer. Ia
membantu kita:
1)                 
Menghadapi tantangan
komunikasi digital yang sarat dengan manipulasi dan distorsi makna.
2)                 
Mengkritisi komunikasi
politik yang cenderung manipulatif dan populis.
3)                 
Memperkuat kesadaran
interkultural dalam era globalisasi.
4)                 
Membangun dialog spiritual
dan antariman yang lebih inklusif.
5)                 
Meneguhkan komunikasi
sebagai fondasi pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, filsafat komunikasi
tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang
mendalam bagi kehidupan sosial, politik, budaya, spiritual, dan akademik di era
kontemporer.
Footnotes
[1]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 112.
[2]               
Marshall McLuhan, Understanding Media: The
Extensions of Man (New York: McGraw-Hill, 1964), 7.
[3]               
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of
the Public Sphere, trans. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1991),
85.
[4]               
Yochai Benkler, Robert Faris, and Hal Roberts, Network
Propaganda: Manipulation, Disinformation, and Radicalization in American
Politics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 14.
[5]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[6]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.
(New York: Continuum, 2004), 305.
[7]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.
[8]               
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 87.
8.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
8.1.      
Komunikasi sebagai
Dasar Kehidupan Sosial
Dari tinjauan historis dan konseptual,
dapat disimpulkan bahwa komunikasi bukan sekadar instrumen teknis untuk
menyampaikan pesan, tetapi fondasi utama kehidupan sosial. Aristoteles telah
menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon, makhluk yang hanya dapat
hidup bermasyarakat melalui bahasa dan interaksi.¹ Dengan komunikasi, manusia
membangun pengetahuan, membentuk norma, dan merawat solidaritas sosial. Refleksi
ini memperlihatkan bahwa tanpa komunikasi, tidak mungkin ada kebudayaan,
peradaban, maupun persekutuan politik.
8.2.      
Perpaduan Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
Filsafat komunikasi memperlihatkan
adanya tiga dimensi yang saling terkait. Dimensi ontologis menanyakan hakikat
komunikasi: apakah ia sekadar transfer informasi, atau fenomena eksistensial
yang membentuk realitas sosial?² Dimensi epistemologis mengkaji bagaimana
pengetahuan diproduksi, ditafsirkan, dan didistribusikan melalui komunikasi.³
Sedangkan dimensi aksiologis menekankan pentingnya nilai-nilai etis dalam
komunikasi: kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap martabat
manusia.⁴
Ketiga dimensi ini membentuk kerangka
komprehensif yang memungkinkan kita memahami komunikasi tidak hanya sebagai
fenomena praktis, tetapi juga sebagai refleksi filosofis yang mendalam.
8.3.      
Dialektika Konsensus
dan Konflik
Filsafat komunikasi modern, khususnya
teori tindakan komunikatif Habermas, menekankan pentingnya konsensus rasional.⁵
Namun, kritik dari Foucault dan Derrida menunjukkan bahwa komunikasi juga sarat
dengan relasi kuasa, konflik, dan ambiguitas makna.⁶ Refleksi filosofis di sini
menuntut kita untuk mengakui bahwa komunikasi selalu berada dalam dialektika
antara konsensus dan konflik, antara keteraturan dan ketidakstabilan makna.
Dengan demikian, filsafat komunikasi
tidak boleh jatuh pada utopia konsensus mutlak, tetapi juga tidak menyerah pada
relativisme radikal. Ia harus mampu menempatkan komunikasi sebagai medan
perjuangan antara kebenaran, kekuasaan, dan pemaknaan yang terus berlangsung.
8.4.      
Komunikasi sebagai
Jalan Menuju Kemanusiaan Universal
Martin Buber, melalui konsep I–Thou,
mengingatkan bahwa komunikasi otentik terjadi ketika manusia memperlakukan
sesamanya sebagai subjek yang setara, bukan objek yang dimanipulasi.⁷ Pandangan
ini memberi inspirasi bagi refleksi bahwa komunikasi dapat menjadi jalan menuju
kemanusiaan universal.
Dalam konteks kontemporer, filsafat
komunikasi menawarkan paradigma dialogis yang mampu menembus batas-batas
ideologi, budaya, dan agama.⁸ Dengan demikian, komunikasi dapat menjadi sarana
rekonsiliasi, perdamaian, dan penguatan solidaritas global. Refleksi ini
memperlihatkan bahwa filsafat komunikasi bukan hanya disiplin akademik, tetapi
juga praksis moral yang relevan untuk masa depan umat manusia.
8.5.      
Visi Integratif bagi
Masa Depan
Sebagai sintesis akhir, filsafat
komunikasi perlu dipandang sebagai disiplin integratif yang menghubungkan
teori, praktik, dan etika. Ia merangkul warisan klasik dari Plato dan
Aristoteles, kebijaksanaan etis dari Al-Ghazali dan Buber, refleksi hermeneutis
dari Gadamer, hingga kritik radikal dari Derrida dan Foucault. Keseluruhan
warisan ini membentuk mosaik pemikiran yang membantu kita memahami kompleksitas
komunikasi dalam dunia modern.
Refleksi filosofis atas komunikasi juga
membuka visi masa depan: membangun komunikasi yang lebih inklusif, adil, dan
manusiawi, baik dalam ranah politik, media, pendidikan, maupun kehidupan
antarbudaya. Dengan demikian, filsafat komunikasi bukanlah sekadar kajian
normatif, tetapi kontribusi nyata bagi pembentukan dunia yang lebih beradab.
Footnotes
[1]               
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a.
[2]               
John Durham Peters, Speaking into the Air: A History
of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999),
5.
[3]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[4]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.
[5]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[6]               
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45; Jacques Derrida, Of
Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1976), 158.
[7]               
Martin Buber, I and Thou, 56.
[8]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.
(New York: Continuum, 2004), 305.
9.          
Penutup
9.1.      
Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan, jelas bahwa
filsafat komunikasi merupakan bidang kajian yang multidimensional, menyatukan
refleksi ontologis, epistemologis, dan aksiologis mengenai komunikasi. Sejak
tradisi klasik Yunani, retorika telah menjadi medium untuk meneguhkan kehidupan
sosial dan politik, sementara tradisi Timur dan Islam menekankan dimensi etis
dan spiritual komunikasi.¹ Perkembangan modern menghadirkan filsafat bahasa,
hermeneutika, semiotika, hingga teori kritis, yang memperkaya horizon kajian
komunikasi sebagai fenomena mendasar kehidupan manusia.²
Filsafat komunikasi menegaskan bahwa
komunikasi bukan hanya alat teknis, melainkan dasar bagi pembentukan realitas
sosial, budaya, dan politik. Ia mengajarkan bahwa makna tidak pernah tunggal,
melainkan selalu dinegosiasikan dalam interaksi sosial, dan bahwa komunikasi
sejati harus berpijak pada nilai etis: kejujuran, tanggung jawab, dan
penghargaan terhadap martabat manusia.³
9.2.      
Implikasi Teoretis
Secara teoretis, filsafat komunikasi
memberikan kontribusi penting bagi ilmu komunikasi dan filsafat itu sendiri. Ia
memperluas kerangka ilmu komunikasi yang sering terjebak dalam positivisme,
dengan menekankan aspek interpretatif, kritis, dan normatif.⁴ Filsafat
komunikasi juga memperlihatkan bahwa bahasa dan simbol bukanlah cermin pasif
realitas, melainkan konstruksi aktif yang membentuk pengetahuan dan kesadaran
sosial.⁵ Dengan demikian, filsafat komunikasi mempertemukan analisis filosofis
dengan teori komunikasi kontemporer dalam suatu kerangka interdisipliner.
9.3.      
Implikasi Praktis
Dalam ranah praktis, filsafat
komunikasi memiliki relevansi luas. Pertama, ia dapat menjadi landasan etis
dalam praktik komunikasi publik, baik dalam politik, pendidikan, maupun media.
Kedua, filsafat komunikasi membantu mengembangkan kesadaran kritis terhadap
fenomena kontemporer seperti disinformasi, ujaran kebencian, dan algoritmisasi
media digital.⁶ Ketiga, ia berfungsi sebagai dasar pengembangan dialog
antarbudaya dan antaragama, yang sangat dibutuhkan di era globalisasi.⁷
Dengan demikian, filsafat komunikasi
tidak berhenti pada tataran akademik, tetapi berkontribusi nyata dalam
membangun masyarakat yang lebih adil, terbuka, dan manusiawi.
9.4.      
Saran untuk Kajian
Lanjutan
Filsafat komunikasi masih menyisakan
ruang luas untuk penelitian selanjutnya. Pertama, diperlukan kajian mendalam tentang
komunikasi digital dalam perspektif filosofis, khususnya menyangkut etika dan
relasi kuasa di era big data. Kedua, perlu dikembangkan filsafat
komunikasi yang berakar pada tradisi lokal dan non-Barat, termasuk khazanah
Islam, Asia, dan Afrika, agar tidak terjebak dalam dominasi paradigma Barat.⁸
Ketiga, penelitian ke depan dapat menekankan integrasi filsafat komunikasi
dengan ilmu kognitif, psikologi, dan studi media agar menghasilkan pemahaman
yang lebih holistik.
Penutup Reflektif
Akhirnya, filsafat komunikasi
mengingatkan kita bahwa komunikasi adalah inti eksistensi manusia sebagai
makhluk sosial, budaya, dan spiritual. Tanpa komunikasi, tidak ada pemahaman,
tidak ada kebudayaan, dan tidak ada peradaban. Refleksi filosofis ini mendorong
kita untuk menghayati komunikasi bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan
sebagai tanggung jawab moral dalam membangun dunia yang lebih manusiawi.
Sebagaimana ditegaskan Martin Buber, komunikasi sejati adalah perjumpaan
antar-subjek, bukan sekadar hubungan instrumental.⁹ Oleh karena itu, filsafat
komunikasi layak menjadi fondasi intelektual dan etis dalam menghadapi
tantangan zaman.
Footnotes
[1]               
Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London:
Penguin Classics, 2004), 45; Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, vol. 2 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 112.
[2]               
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23; Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.
[3]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[4]               
Denis McQuail, Mass Communication Theory: An
Introduction (London: Sage Publications, 2010), 21.
[5]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[6]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 112.
[7]               
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 57.
[8]               
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 133.
[9]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam
and secularism. Kuala Lumpur: ABIM.
Al-Farabi. (1990). Book of letters
(M. Mahdi, Trans.). Albany: State University of New York Press.
Al-Ghazali. (1997). Ihya Ulum
al-Din (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Aristotle. (2004). Rhetoric
(W. R. Roberts, Trans.). Mineola, NY: Dover Publications.
Aristotle. (1885). Politics
(B. Jowett, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Berger, P. L., & Luckmann, T.
(1966). The social construction of reality. New York: Anchor Books.
Benkler, Y., Faris, R., &
Roberts, H. (2018). Network propaganda: Manipulation, disinformation, and radicalization
in American politics. Oxford: Oxford University Press.
Buber, M. (1970). I and thou
(W. Kaufmann, Trans.). New York: Charles Scribner’s Sons.
Carey, J. W. (1989). Communication
as culture: Essays on media and society. Boston: Unwin Hyman.
Castells, M. (2009). Communication
power. Oxford: Oxford University Press.
Cicero. (2001). On the ideal
orator (De oratore) (J. M. May & J. Wisse, Trans.). Oxford: Oxford
University Press.
Confucius. (1989). The analects
(A. Waley, Trans.). New York: Vintage.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University
Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and
education. New York: Macmillan.
Fairclough, N. (1992). Discourse
and social change. Cambridge: Polity Press.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge (A. M. S. Smith, Trans.). New York: Pantheon.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and
method (2nd ed.). New York: Continuum.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. New York: Basic Books.
Habermas, J. (1984). The theory of
communicative action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral
consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen,
Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (1991). The
structural transformation of the public sphere (T. Burger, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Hegel, G. W. F. (1977). The
phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University
Press.
Ibn Khaldun. (1967). The
muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton,
NJ: Princeton University Press.
Jaspers, K. (1971). Philosophy of
existence (R. F. Grabau, Trans.). Philadelphia: University of Pennsylvania
Press.
Kant, I. (1929). Critique of pure
reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.
Kant, I. (1996). An answer to the
question: What is enlightenment? In M. J. Gregor (Ed.), Practical philosophy
(pp. 11–22). Cambridge: Cambridge University Press.
Küng, H. (1991). Global
responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.
Locke, J. (1975). An essay
concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Clarendon
Press.
McLuhan, M. (1964). Understanding
media: The extensions of man. New York: McGraw-Hill.
McQuail, D. (2010). Mass
communication theory: An introduction. London: Sage Publications.
Peters, J. D. (1999). Speaking
into the air: A history of the idea of communication. Chicago: University
of Chicago Press.
Peirce, C. S. (1931–1935). Collected
papers of Charles Sanders Peirce (C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.).
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Plato. (2004). Gorgias (W.
Hamilton, Trans.). London: Penguin Classics.
Thomas Aquinas. (1947). Summa
theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York:
Benziger Bros.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Zuboff, S. (2019). The age of
surveillance capitalism. New York: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar