Sabtu, 11 Oktober 2025

Filsafat Komunikasi: Fondasi Konseptual, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Komunikasi

Fondasi Konseptual, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat komunikasi sebagai disiplin reflektif yang menelaah hakikat komunikasi dari dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kajian dimulai dengan menyoroti konsep dasar filsafat komunikasi yang membedakannya dari ilmu komunikasi, yakni dengan fokus pada pertanyaan filosofis tentang bahasa, makna, dan etika. Selanjutnya, artikel menguraikan sejarah perkembangan filsafat komunikasi mulai dari tradisi klasik Yunani, kontribusi filsafat Timur dan Islam, hingga pemikiran modern dan kontemporer seperti filsafat bahasa, hermeneutika, teori kritis, semiotika, serta dekonstruksi.

Pembahasan dilengkapi dengan analisis tokoh-tokoh sentral—Plato, Aristoteles, Cicero, Kant, Hegel, Peirce, Dewey, Habermas, Gadamer, Derrida, Foucault, hingga pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun—yang memberikan sumbangan fundamental bagi kerangka filsafat komunikasi. Artikel ini juga mengidentifikasi tema-tema pokok seperti bahasa dan makna, diskursus dan kekuasaan, rasionalitas komunikatif, komunikasi dan kebudayaan, serta etika komunikasi. Berbagai kritik terhadap filsafat komunikasi, termasuk kritik terhadap retorika tradisional, positivisme, serta rasionalitas komunikatif, turut dibahas, terutama dalam konteks media digital, propaganda, dan hoaks.

Sebagai kontribusi praktis, artikel ini menekankan relevansi filsafat komunikasi dalam menjawab tantangan kontemporer, mulai dari etika komunikasi digital, demokrasi deliberatif, dialog lintas budaya dan antaragama, hingga peran komunikasi dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, filsafat komunikasi direfleksikan sebagai disiplin integratif yang tidak hanya memberikan pemahaman teoretis, tetapi juga menghadirkan orientasi etis untuk membangun komunikasi yang lebih manusiawi, inklusif, dan berkeadilan di era globalisasi dan digitalisasi.

Kata Kunci: Filsafat Komunikasi; Bahasa; Makna; Etika; Diskursus; Rasionalitas; Hermeneutika; Teori Kritis; Media Digital; Globalisasi.


PEMBAHASAN

Fondasi Konseptual, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Filsafat Komunikasi


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Komunikasi merupakan salah satu dimensi fundamental dari eksistensi manusia. Sejak awal peradaban, manusia tidak hanya dipandang sebagai homo sapiens—makhluk yang berpikir—tetapi juga sebagai homo loquens, yakni makhluk yang berbicara dan berkomunikasi.¹ Proses komunikasi tidak sekadar menyampaikan pesan, melainkan juga membentuk realitas sosial, budaya, politik, dan bahkan spiritual.² Dengan demikian, filsafat komunikasi lahir sebagai upaya untuk memahami hakikat komunikasi dalam dimensi ontologis (apa itu komunikasi), epistemologis (bagaimana kita mengetahui sesuatu melalui komunikasi), dan aksiologis (nilai-nilai apa yang terkandung di dalam komunikasi).³

Dalam perkembangan modern, studi komunikasi banyak dikaji melalui perspektif ilmiah-empiris yang berfokus pada efektivitas penyampaian pesan, media, dan dampaknya.⁴ Namun, aspek filosofis komunikasi—yakni pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna, kebenaran, etika, serta hubungan antara bahasa dan realitas—sering kali terpinggirkan. Di sinilah filsafat komunikasi hadir, untuk menjembatani pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak dapat dijawab hanya dengan pendekatan teknis atau instrumental.⁵

1.2.       Rumusan Masalah

Artikel ini berangkat dari sejumlah pertanyaan filosofis:

1)                  Apa hakikat komunikasi dalam dimensi filosofis?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan gagasan tentang komunikasi dalam tradisi filsafat Timur dan Barat?

3)                  Siapa saja tokoh-tokoh penting yang memberikan kontribusi dalam membentuk kerangka filsafat komunikasi?

4)                  Bagaimana kritik-kritik filosofis terhadap praktik komunikasi modern, khususnya dalam konteks media, politik, dan budaya?

5)                  Apa relevansi filsafat komunikasi dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti globalisasi, digitalisasi, dan pluralisme budaya?

1.3.       Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan fondasi konseptual filsafat komunikasi.

2)                  Melacak sejarah dan perkembangan filsafat komunikasi dari era klasik hingga kontemporer.

3)                  Membahas tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam tradisi filsafat komunikasi.

4)                  Menyajikan kritik terhadap reduksi komunikasi menjadi sekadar instrumen teknis.

5)                  Menunjukkan relevansi filsafat komunikasi dalam menjawab problematika komunikasi di era modern.

1.4.       Metode Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat kritis dan hermeneutis, dengan menelaah teks-teks klasik maupun kontemporer yang berkaitan dengan filsafat komunikasi. Analisis dilakukan secara historis-filosofis untuk memahami perkembangan gagasan, serta reflektif-kritis untuk menguji relevansinya dengan situasi komunikasi dewasa ini.⁶

1.5.       Kerangka Pikir

Filsafat komunikasi dipandang sebagai disiplin yang berupaya memahami komunikasi bukan hanya sebagai praktik teknis, tetapi juga sebagai fenomena eksistensial yang terkait dengan bahasa, makna, kekuasaan, dan etika. Dalam kerangka ini, pemikiran para filsuf seperti Plato dan Aristoteles tentang retorika, Wittgenstein tentang bahasa, hingga Habermas tentang tindakan komunikatif akan menjadi landasan kajian.⁷ Dengan demikian, artikel ini tidak hanya memetakan filsafat komunikasi sebagai sebuah cabang pengetahuan, melainkan juga merefleksikan implikasinya bagi kehidupan kontemporer.


Footnotes

[1]                Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 45.

[2]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 33.

[3]                John Durham Peters, Speaking into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 5.

[4]                Denis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction (London: Sage Publications, 2010), 21.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 295.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.


2.           Konsep Dasar Filsafat Komunikasi

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup

Filsafat komunikasi merupakan kajian reflektif dan kritis mengenai hakikat komunikasi, melampaui dimensi teknis dan instrumentalnya. Jika ilmu komunikasi lebih banyak berfokus pada proses, saluran, serta efek dari penyampaian pesan, maka filsafat komunikasi mengarahkan perhatiannya pada pertanyaan-pertanyaan mendasar: apa itu komunikasi, bagaimana komunikasi memungkinkan terjadinya pemahaman, serta nilai apa yang terkandung dalam setiap praktik komunikasi

Komunikasi dalam perspektif filosofis tidak hanya dimaknai sebagai pertukaran pesan, tetapi juga sebagai dasar eksistensi manusia yang bersifat dialogis. Dalam kerangka ini, komunikasi dipahami sebagai proses pembentukan makna bersama (intersubjectivity) yang memungkinkan kehidupan sosial berlangsung.² Oleh karena itu, ruang lingkup filsafat komunikasi mencakup dimensi ontologis (hakikat keberadaan komunikasi), epistemologis (cara pengetahuan diproduksi dan disebarkan melalui komunikasi), dan aksiologis (nilai moral yang melekat pada komunikasi).³

2.2.       Filsafat Bahasa dan Komunikasi

Bahasa merupakan medium utama komunikasi dan menjadi pusat perhatian filsafat komunikasi. Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations menyatakan bahwa makna bahasa bergantung pada penggunaannya dalam praktik kehidupan sehari-hari (language games).⁴ Artinya, komunikasi tidak pernah netral, melainkan selalu terikat pada konteks sosial-budaya yang melingkupinya.

Selain itu, filsafat hermeneutika seperti yang dikembangkan Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa komunikasi adalah proses penafsiran yang bersifat dialogis.⁵ Dalam dialog, bukan hanya pesan yang disampaikan, melainkan horizon pemahaman yang saling bertemu. Dengan demikian, komunikasi adalah jalan menuju pemahaman, tetapi juga dapat menjadi arena distorsi dan kesalahpahaman.

2.3.       Dimensi Etika dan Moral dalam Komunikasi

Filsafat komunikasi tidak bisa dilepaskan dari dimensi etika. Komunikasi yang otentik menuntut adanya kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab. Jürgen Habermas melalui konsep tindakan komunikatif menyatakan bahwa komunikasi sejati hanya mungkin terjadi apabila para partisipan terlibat dalam situasi percakapan yang bebas dari dominasi dan distorsi, sehingga yang dicapai adalah konsensus rasional.⁶

Dalam konteks kontemporer, etika komunikasi semakin penting karena perkembangan media digital seringkali melahirkan manipulasi informasi, propaganda, dan hoaks.⁷ Oleh karena itu, filsafat komunikasi menekankan perlunya integrasi nilai-nilai moral dalam setiap bentuk komunikasi, baik interpersonal, publik, maupun digital.

2.4.       Komunikasi sebagai Fenomena Intersubjektif

Salah satu pokok penting dalam filsafat komunikasi adalah pandangan bahwa komunikasi merupakan fenomena intersubjektif. Martin Buber dalam konsep I and Thou menegaskan bahwa komunikasi yang sejati lahir dari relasi dialogis yang tulus, di mana manusia saling mengakui keberadaan satu sama lain sebagai subjek, bukan objek.⁸

Dengan demikian, komunikasi tidak sekadar mekanisme transfer informasi, melainkan juga sarana pembentukan relasi kemanusiaan yang otentik. Inilah yang membedakan filsafat komunikasi dari pendekatan lain, sebab ia menekankan dimensi eksistensial komunikasi sebagai dasar kehidupan bersama.


Footnotes

[1]                John Durham Peters, Speaking into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 6.

[2]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 33.

[3]                James W. Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (Boston: Unwin Hyman, 1989), 15.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[7]                Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 55.

[8]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.


3.           Sejarah dan Perkembangan Filsafat Komunikasi

3.1.       Akar Kuno dan Klasik

Filsafat komunikasi memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat kuno, khususnya di Yunani. Plato menekankan peran dialog sebagai jalan menuju kebenaran, meskipun ia mengkritik retorika karena dianggap rentan dimanipulasi demi kepentingan persuasif semata.¹ Sebaliknya, Aristoteles menempatkan retorika sebagai seni komunikasi yang rasional, dengan menekankan pentingnya logos, ethos, dan pathos dalam menyampaikan pesan.² Retorika kemudian menjadi salah satu fondasi penting dalam perkembangan studi komunikasi di Barat.

Selain tradisi Yunani, filsafat Timur juga memberikan kontribusi yang signifikan. Dalam ajaran Konfusius, komunikasi dipandang sebagai sarana menjaga harmoni sosial, dengan menekankan pentingnya penggunaan bahasa yang tepat dan bermoral.³ Sementara itu, dalam tradisi Islam klasik, komunikasi erat kaitannya dengan konsep etika dan penyampaian kebenaran (tabligh), sebagaimana terlihat dalam karya-karya Al-Farabi tentang bahasa dan logika, serta Al-Ghazali yang menekankan dimensi moral komunikasi.⁴

3.2.       Abad Pertengahan dan Modern Awal

Pada Abad Pertengahan, filsafat komunikasi berkembang dalam bingkai skolastik. Thomas Aquinas, misalnya, menekankan hubungan erat antara bahasa, kebenaran, dan wahyu ilahi.⁵ Komunikasi dalam konteks ini tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga teologis, karena dianggap sebagai sarana menyampaikan kebenaran transenden.

Memasuki era modern awal, perubahan paradigma komunikasi mulai tampak. Periode Pencerahan melahirkan pandangan baru tentang rasionalitas, kebebasan, dan ruang publik. Tokoh seperti John Locke menekankan fungsi bahasa dalam menyampaikan ide dan membangun pengetahuan,⁶ sementara Immanuel Kant menekankan pentingnya penggunaan rasio dalam membangun komunikasi yang universal dan bermoral.⁷ Pada masa ini, komunikasi mulai dipahami sebagai bagian dari perkembangan rasionalitas manusia.

3.3.       Era Modern dan Kontemporer

Pada abad ke-20, filsafat komunikasi mengalami perkembangan signifikan dengan munculnya filsafat bahasa. Ludwig Wittgenstein melalui konsep language games menunjukkan bahwa makna bahasa tidak ditentukan oleh referensi tetap, tetapi oleh penggunaannya dalam praktik sosial.⁸ Hal ini menggeser pemahaman komunikasi dari sekadar alat representasi menuju praktik sosial yang kontekstual.

Selain itu, filsafat hermeneutika yang dipelopori Hans-Georg Gadamer menekankan komunikasi sebagai proses pemahaman yang dialogis, di mana horizon makna saling bertemu.⁹ Dalam konteks teori kritis, Jürgen Habermas mengembangkan konsep tindakan komunikatif yang menekankan pentingnya komunikasi bebas dominasi sebagai dasar demokrasi deliberatif.¹⁰

Di sisi lain, pemikiran postmodern seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault memberikan kritik mendalam terhadap asumsi netralitas komunikasi. Derrida menekankan dekonstruksi bahasa sebagai sesuatu yang tidak pernah stabil,¹¹ sementara Foucault menunjukkan bagaimana komunikasi berhubungan erat dengan struktur kekuasaan dan wacana sosial.¹² Dengan demikian, filsafat komunikasi kontemporer tidak hanya membicarakan makna dan pemahaman, tetapi juga menyoroti relasi kuasa, ideologi, dan politik dalam praktik komunikasi.


Footnotes

[1]                Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London: Penguin Classics, 2004), 45.

[2]                Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (Mineola, NY: Dover Publications, 2004), 25.

[3]                Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley (New York: Vintage, 1989), 13.

[4]                Al-Farabi, Book of Letters, trans. Muhsin Mahdi (Albany: SUNY Press, 1990), 55; Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 112.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.16.

[6]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 507.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 102.

[8]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.

[9]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[11]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.

[12]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Filsafat Komunikasi

4.1.       Tokoh Klasik: Plato, Aristoteles, dan Cicero

Tradisi filsafat komunikasi berakar kuat pada pemikiran filsuf Yunani klasik. Plato memandang komunikasi sebagai sarana mencapai kebenaran, tetapi ia curiga terhadap retorika karena dianggap berpotensi menipu. Dalam dialog Gorgias, Plato menegaskan bahwa retorika tanpa landasan etis hanya menjadi instrumen persuasi yang bisa mengaburkan realitas.¹ Ia mengkritik kaum sofis yang menggunakan kata-kata untuk membujuk tanpa memperhatikan kebenaran.

Berbeda dengan gurunya, Aristoteles memberikan tempat penting bagi retorika. Dalam Rhetoric, ia memandang komunikasi sebagai seni menemukan cara terbaik untuk meyakinkan audiens melalui tiga dimensi utama: logos (logika dan argumen rasional), ethos (karakter dan kredibilitas komunikator), dan pathos (daya tarik emosional).² Aristoteles menempatkan komunikasi sebagai keterampilan praktis yang dapat dipelajari, sekaligus sebagai sarana deliberasi dalam politik dan kehidupan publik.

Sementara itu, Cicero dari tradisi Romawi menekankan komunikasi dalam bentuk orasi publik. Ia menggabungkan retorika dengan filsafat moral, menegaskan bahwa seorang komunikator sejati harus menguasai logika, etika, dan kemampuan berbicara.³ Dengan demikian, Cicero memandang komunikasi bukan hanya seni teknis, melainkan instrumen pembentukan tatanan sosial-politik yang adil.

4.2.       Tokoh Modern: Kant, Hegel, Peirce, dan Dewey

Dalam era modern, filsafat komunikasi dipengaruhi oleh filsafat bahasa, epistemologi, dan pragmatisme. Immanuel Kant menekankan pentingnya komunikasi dalam kerangka penggunaan rasio publik. Dalam esainya What is Enlightenment?, Kant menegaskan kebebasan berkomunikasi sebagai syarat utama pencerahan, di mana individu menggunakan akalnya secara terbuka di ruang publik.⁴

G.W.F. Hegel memandang komunikasi sebagai bagian dari dialektika roh (Geist), yaitu proses historis di mana kesadaran manusia berkembang melalui interaksi sosial dan budaya. Komunikasi bagi Hegel bukan sekadar pertukaran informasi, melainkan sarana pembentukan kesadaran kolektif.⁵

Dalam tradisi Amerika, Charles Sanders Peirce mengembangkan teori semiotika yang menjadi fondasi penting bagi filsafat komunikasi modern. Menurut Peirce, komunikasi tidak dapat dipisahkan dari proses tanda (sign), objek, dan interpretan, yang secara triadik memungkinkan lahirnya makna.⁶ Pemikiran ini kemudian menjadi dasar kajian semiotika dalam komunikasi kontemporer.

John Dewey, tokoh pragmatisme, menekankan komunikasi sebagai basis demokrasi. Dalam karyanya Democracy and Education, Dewey menegaskan bahwa komunikasi adalah syarat terbentuknya masyarakat demokratis karena melalui komunikasi, nilai, pengetahuan, dan pengalaman dibagikan.⁷ Dengan demikian, komunikasi dipandang sebagai perekat kehidupan sosial.

4.3.       Tokoh Kontemporer: Habermas, Gadamer, Derrida, dan Foucault

Dalam filsafat komunikasi kontemporer, sejumlah tokoh memainkan peran penting. Jürgen Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif (communicative action), yang menekankan pentingnya komunikasi bebas dominasi sebagai basis legitimasi sosial dan politik. Menurutnya, konsensus rasional hanya dapat tercapai bila partisipan terlibat dalam diskursus yang terbuka dan setara.⁸

Hans-Georg Gadamer, melalui hermeneutikanya, memandang komunikasi sebagai pertemuan horizon makna (fusion of horizons).⁹ Ia menolak anggapan bahwa komunikasi adalah proses mekanis, melainkan sebuah dialog yang penuh penafsiran, di mana setiap pihak berpartisipasi dalam membangun pemahaman bersama.

Berbeda dengan Gadamer dan Habermas, Jacques Derrida menyoroti instabilitas bahasa. Dalam kerangka dekonstruksi, ia menekankan bahwa makna dalam komunikasi selalu tertunda (différance) dan tidak pernah final.¹⁰ Hal ini mengimplikasikan bahwa komunikasi selalu terbuka terhadap interpretasi baru, dan oleh karena itu tidak bisa dilepaskan dari potensi ambiguitas.

Sementara itu, Michel Foucault menyoroti hubungan erat antara komunikasi, wacana, dan kekuasaan. Baginya, komunikasi bukan hanya pertukaran makna, tetapi juga arena di mana relasi kuasa bekerja.¹¹ Konsep wacana Foucault membantu kita memahami bagaimana bahasa dapat membentuk struktur pengetahuan sekaligus menormalisasi praktik sosial tertentu.

4.4.       Tokoh dalam Tradisi Islam: Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun

Dalam khazanah Islam, pemikiran tentang komunikasi juga berkembang. Al-Farabi dalam Kitab al-Huruf membahas hubungan antara bahasa, logika, dan realitas.¹² Ia melihat komunikasi sebagai sarana untuk menghubungkan pemikiran abstrak dengan realitas sosial.

Al-Ghazali menekankan dimensi etis komunikasi. Dalam Ihya Ulum al-Din, ia menulis tentang pentingnya menjaga lisan, kejujuran, serta bahaya dusta dan fitnah.¹³ Pemikirannya menunjukkan bahwa komunikasi memiliki tanggung jawab moral yang mendalam.

Ibn Khaldun, melalui Muqaddimah, membahas peran komunikasi dalam pembentukan solidaritas sosial (‘asabiyyah).¹⁴ Baginya, komunikasi merupakan instrumen fundamental dalam membangun peradaban, karena melalui bahasa dan simbol, identitas kolektif masyarakat terbentuk.


Sintesis Peran Tokoh

Tokoh-tokoh di atas, baik dari tradisi Barat maupun Islam, menunjukkan bahwa filsafat komunikasi berkembang melalui berbagai perspektif: retorika dan etika (Plato, Aristoteles, Cicero, Al-Ghazali), rasionalitas dan kebebasan (Kant, Dewey, Habermas), hermeneutika dan makna (Gadamer), semiotika dan tanda (Peirce), hingga kritik terhadap bahasa dan kuasa (Derrida, Foucault). Keseluruhan pemikiran ini membentuk fondasi filsafat komunikasi sebagai disiplin reflektif yang kompleks, dinamis, dan lintas tradisi.


Footnotes

[1]                Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London: Penguin Classics, 2004), 45.

[2]                Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (Mineola, NY: Dover Publications, 2004), 25.

[3]                Cicero, On the Ideal Orator (De Oratore), trans. James M. May and Jakob Wisse (Oxford: Oxford University Press, 2001), 13.

[4]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” in Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[5]                G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 112.

[6]                Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931–35), 2.228.

[7]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[9]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.

[10]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.

[11]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.

[12]             Al-Farabi, Book of Letters, trans. Muhsin Mahdi (Albany: SUNY Press, 1990), 55.

[13]             Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 112.

[14]             Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 101.


5.           Tema-tema Pokok dalam Filsafat Komunikasi

5.1.       Bahasa dan Makna

Bahasa merupakan fondasi utama komunikasi dan salah satu tema paling sentral dalam filsafat komunikasi. Ludwig Wittgenstein menegaskan bahwa makna bahasa tidak ditentukan oleh referensinya terhadap dunia semata, tetapi oleh penggunaannya dalam praktik kehidupan sehari-hari yang ia sebut sebagai language games.¹ Dengan demikian, komunikasi adalah aktivitas yang selalu kontekstual dan tidak bisa dilepaskan dari praktik sosial.

Selain itu, Hans-Georg Gadamer menyoroti dimensi hermeneutis bahasa. Menurutnya, setiap komunikasi melibatkan proses penafsiran, dan pemahaman hanya dapat tercapai melalui dialog di mana horizon makna saling bertemu (fusion of horizons).² Hal ini menjadikan komunikasi bukan sekadar transfer informasi, melainkan arena dialektis yang membuka kemungkinan munculnya pemahaman baru.

5.2.       Diskursus dan Kekuasaan

Filsafat komunikasi juga menyoroti hubungan antara bahasa, komunikasi, dan kekuasaan. Michel Foucault menunjukkan bahwa wacana bukan hanya sarana komunikasi, melainkan juga instrumen kekuasaan yang membentuk struktur pengetahuan dan mengatur perilaku sosial.³ Komunikasi dalam kerangka ini bukanlah sesuatu yang netral, tetapi penuh dengan relasi kuasa yang menentukan siapa yang boleh berbicara, bagaimana cara berbicara, dan makna apa yang dilegitimasi.

Dalam konteks modern, analisis wacana memperlihatkan bagaimana media, politik, dan institusi menggunakan komunikasi untuk membangun narasi hegemonik.⁴ Oleh karena itu, tema diskursus dan kekuasaan menjadi penting dalam filsafat komunikasi karena ia menyingkap sisi ideologis dari praktik komunikasi.

5.3.       Rasionalitas dan Tindakan Komunikatif

Tema penting lain dalam filsafat komunikasi adalah rasionalitas yang diwujudkan melalui komunikasi. Jürgen Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif yang menegaskan bahwa komunikasi ideal harus bebas dari distorsi dan dominasi, sehingga para partisipan dapat mencapai konsensus rasional.⁵ Habermas membedakan antara komunikasi strategis—yang berorientasi pada manipulasi dan keberhasilan teknis—dengan komunikasi komunikatif—yang berorientasi pada saling pengertian.⁶

Dalam pandangan ini, komunikasi bukan sekadar alat, melainkan medium untuk membangun masyarakat demokratis. Rasionalitas komunikatif menuntut keterbukaan, kejujuran, dan kesetaraan antarpartisipan dalam diskursus publik.

5.4.       Komunikasi dan Kebudayaan

Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena setiap bentuk komunikasi selalu dibentuk oleh simbol, nilai, dan praktik budaya. Clifford Geertz menegaskan bahwa budaya adalah “jaringan makna” yang ditenun manusia, dan komunikasi adalah cara manusia menafsirkan serta menghidupi jaringan tersebut.⁷ Dengan demikian, komunikasi berfungsi sebagai sarana utama dalam reproduksi kebudayaan.

Dalam era globalisasi, tema komunikasi dan kebudayaan menjadi semakin relevan karena interaksi lintas budaya melahirkan dialog, negosiasi identitas, sekaligus potensi konflik. Filsafat komunikasi di sini menekankan pentingnya kesadaran interkultural, toleransi, serta keterbukaan terhadap perbedaan.

5.5.       Etika dan Moralitas Komunikasi

Etika komunikasi merupakan tema pokok yang tidak terpisahkan dari filsafat komunikasi. Martin Buber menekankan pentingnya relasi dialogis I–Thou, di mana komunikasi sejati hanya terjadi jika kedua belah pihak saling menghargai sebagai subjek, bukan objek.⁸ Perspektif ini menegaskan bahwa komunikasi memiliki tanggung jawab moral dalam membangun hubungan kemanusiaan yang otentik.

Selain itu, etika komunikasi menjadi semakin penting di era digital. Fenomena disinformasi, ujaran kebencian, dan propaganda politik menunjukkan bahwa komunikasi tidak hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan moral. Filsafat komunikasi menuntut agar komunikasi dipraktikkan dengan kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial.⁹


Sintesis Tema-tema Pokok

Tema-tema pokok dalam filsafat komunikasi—bahasa dan makna, diskursus dan kekuasaan, rasionalitas komunikatif, komunikasi dan kebudayaan, serta etika komunikasi—saling berkaitan dan membentuk kerangka komprehensif untuk memahami komunikasi sebagai fenomena multidimensional. Dari bahasa hingga etika, dari rasionalitas hingga kekuasaan, filsafat komunikasi memperlihatkan bahwa komunikasi bukan hanya alat praktis, melainkan inti dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, kultural, dan moral.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.

[3]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.

[4]                Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 55.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[6]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 58.

[7]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.

[8]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.

[9]                Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 103.


6.           Kritik dalam Filsafat Komunikasi

6.1.       Kritik terhadap Retorika Tradisional

Retorika sebagai fondasi awal filsafat komunikasi telah dikritik sejak masa Plato. Dalam Gorgias, Plato menilai retorika hanya sebagai seni persuasi tanpa landasan kebenaran, sehingga berisiko dimanfaatkan untuk manipulasi.¹ Kritik ini menyoroti persoalan etis bahwa komunikasi tidak boleh hanya dilihat dari keberhasilannya memengaruhi audiens, melainkan harus mengandung orientasi pada kebenaran.

Namun, Aristoteles mencoba mengembalikan martabat retorika dengan menekankan peran logika (logos), kredibilitas (ethos), dan emosi (pathos).² Meski demikian, kritik Plato tetap relevan hingga kini, khususnya ketika komunikasi digunakan secara manipulatif dalam propaganda politik dan iklan komersial.

6.2.       Kritik terhadap Positivisme dalam Ilmu Komunikasi

Perkembangan ilmu komunikasi pada abad ke-20 banyak dipengaruhi positivisme, yang menekankan pengukuran kuantitatif, efektivitas penyampaian pesan, dan dampaknya terhadap perilaku.³ Kritik filosofis terhadap pendekatan ini menyoroti bahwa reduksi komunikasi menjadi sekadar proses mekanis (pengirim, pesan, penerima) mengabaikan dimensi makna, konteks, dan nilai.

John Durham Peters misalnya, berpendapat bahwa model mekanistik komunikasi gagal menjelaskan aspek eksistensial dan dialogis dari komunikasi manusia.⁴ Dengan demikian, kritik terhadap positivisme mendorong perlunya pendekatan interpretatif, hermeneutis, dan kritis dalam memahami komunikasi.

6.3.       Kritik Postmodern terhadap Rasionalitas Komunikatif

Teori tindakan komunikatif Jürgen Habermas banyak dipuji karena menekankan komunikasi sebagai basis rasionalitas dan demokrasi deliberatif. Namun, para pemikir postmodern seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida memberikan kritik tajam. Foucault menilai asumsi komunikasi bebas dominasi terlalu utopis, karena setiap wacana selalu berada dalam jaringan kekuasaan.⁵ Derrida, melalui konsep différance, menunjukkan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah stabil dan selalu tertunda, sehingga konsensus rasional ala Habermas sulit dicapai.⁶

Kritik ini menekankan keterbatasan ideal komunikasi yang rasional dan harmonis, serta membuka ruang bagi pemahaman bahwa komunikasi sering kali dipenuhi ketegangan, konflik, dan ambiguitas.

6.4.       Kritik Etis: Propaganda, Hoaks, dan Distorsi Makna

Dalam dunia kontemporer, kritik terhadap komunikasi semakin mengemuka seiring munculnya masalah etis: propaganda, disinformasi, ujaran kebencian, dan hoaks.⁷ Perkembangan teknologi digital memperkuat potensi distorsi makna karena komunikasi menjadi cepat, masif, dan seringkali tanpa filter etis.

Kritik etis ini menekankan bahwa komunikasi tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral. Martin Buber menegaskan bahwa komunikasi sejati hanya mungkin terwujud dalam relasi I–Thou, bukan I–It.⁸ Ketika komunikasi tereduksi menjadi sekadar alat manipulasi, ia kehilangan sifatnya yang otentik sebagai jalan menuju pemahaman manusiawi.

6.5.       Kritik atas Netralitas Media

Selain isu individu, kritik filsafat komunikasi juga diarahkan pada media massa dan teknologi. Marshall McLuhan menegaskan bahwa “medium is the message,” artinya media tidak netral, melainkan membentuk cara berpikir dan berperilaku masyarakat.⁹ Media digital, dengan algoritme dan logikanya sendiri, seringkali memperkuat polarisasi dan echo chamber dalam ruang publik.¹⁰

Dengan demikian, kritik filosofis terhadap media mengingatkan bahwa komunikasi tidak bisa dipandang sebagai sarana netral. Media berperan aktif dalam membentuk makna, wacana, dan bahkan struktur kekuasaan.


Sintesis Kritik

Kritik dalam filsafat komunikasi menunjukkan bahwa:

1)                  Retorika berpotensi manipulatif jika tidak berlandaskan etika.

2)                  Positivisme gagal menangkap kompleksitas makna komunikasi.

3)                  Rasionalitas komunikatif Habermas menghadapi keterbatasan ketika berhadapan dengan kritik postmodern.

4)                  Etika komunikasi semakin penting di tengah fenomena propaganda dan hoaks.

5)                  Media dan teknologi tidak netral, tetapi membentuk realitas sosial.

Dengan demikian, kritik ini memperkaya filsafat komunikasi, sekaligus mengingatkan bahwa komunikasi bukan hanya persoalan teknis, melainkan medan etis, politis, dan eksistensial yang kompleks.


Footnotes

[1]                Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London: Penguin Classics, 2004), 45.

[2]                Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (Mineola, NY: Dover Publications, 2004), 25.

[3]                Denis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction (London: Sage Publications, 2010), 21.

[4]                John Durham Peters, Speaking into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 6.

[5]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.

[7]                Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 103.

[8]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.

[9]                Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (New York: McGraw-Hill, 1964), 7.

[10]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 112.


7.           Relevansi Filsafat Komunikasi dalam Dunia Kontemporer

7.1.       Komunikasi Digital dan Media Sosial

Perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap komunikasi secara radikal. Media sosial menghadirkan ruang baru di mana interaksi berlangsung secara cepat, masif, dan global. Namun, perkembangan ini sekaligus menghadirkan problem etis: maraknya disinformasi, polarisasi, dan manipulasi algoritmik.¹ Filsafat komunikasi dalam konteks ini menyoroti perlunya etika komunikasi digital yang menekankan kejujuran, tanggung jawab, serta kesadaran kritis terhadap peran teknologi.

Marshall McLuhan menyebut bahwa the medium is the message, artinya media itu sendiri membentuk pola pikir manusia.² Dalam era digital, medium algoritmik tidak sekadar menyalurkan pesan, tetapi juga menentukan apa yang dilihat, dipahami, dan dipercayai audiens. Maka, filsafat komunikasi mengajak kita untuk merefleksikan kembali bagaimana teknologi memengaruhi struktur makna dan kesadaran manusia.

7.2.       Komunikasi Politik dan Demokrasi

Komunikasi merupakan fondasi demokrasi. Dalam kerangka Habermas, ruang publik yang sehat hanya mungkin tercipta jika terdapat komunikasi yang rasional, bebas dominasi, dan terbuka.³ Namun dalam kenyataannya, komunikasi politik kontemporer sering didominasi oleh retorika populis, propaganda, dan kampanye berbasis big data.⁴

Filsafat komunikasi relevan untuk mengkritisi praktik komunikasi politik yang manipulatif sekaligus mendorong hadirnya komunikasi deliberatif. Hal ini sangat penting bagi demokrasi di era informasi, di mana opini publik dapat dibentuk bukan hanya oleh argumen rasional, tetapi juga oleh narasi emosional dan visual yang tersebar melalui media digital.

7.3.       Komunikasi Lintas Budaya dan Globalisasi

Globalisasi memperluas interaksi lintas budaya dan mempertemukan beragam sistem nilai, bahasa, serta cara pandang. Clifford Geertz menekankan bahwa budaya adalah jaringan makna yang ditenun manusia, dan komunikasi menjadi kunci untuk menafsirkan serta menghidupi jaringan tersebut.⁵ Dalam konteks ini, filsafat komunikasi berperan untuk mengembangkan kesadaran interkultural, toleransi, serta keterbukaan terhadap perbedaan.

Selain itu, dialog antarbudaya memerlukan refleksi filosofis tentang bahasa dan makna. Hermeneutika Gadamer dapat digunakan untuk memahami bahwa komunikasi antarbudaya bukanlah sekadar pertukaran pesan, melainkan proses penafsiran di mana horizon makna yang berbeda saling bertemu.⁶

7.4.       Komunikasi Spiritual dan Keagamaan

Di tengah arus sekularisasi dan pluralisme, filsafat komunikasi tetap relevan dalam membahas komunikasi spiritual dan keagamaan. Komunikasi antariman, misalnya, tidak hanya menuntut penyampaian doktrin, tetapi juga keterbukaan dialogis. Martin Buber menekankan relasi I–Thou sebagai dasar komunikasi otentik, di mana setiap pihak saling menghargai dalam kedalaman spiritual.⁷

Filsafat komunikasi membantu memahami bagaimana bahasa keagamaan bekerja sebagai simbol yang tidak hanya informatif, tetapi juga performatif, yakni membentuk kesadaran dan identitas komunitas beriman. Dalam konteks global, refleksi filosofis ini mendukung terciptanya komunikasi antaragama yang lebih damai dan saling menghormati.

7.5.       Komunikasi dalam Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan

Komunikasi memiliki peran penting dalam penyebaran pengetahuan. John Dewey menekankan bahwa pendidikan sejati hanya dapat terjadi melalui proses komunikasi, di mana pengalaman dibagikan dan dimaknai bersama.⁸ Dalam dunia akademik, komunikasi ilmiah tidak hanya tentang penyampaian informasi, tetapi juga tentang membangun komunitas epistemik yang berbasis pada kejujuran, keterbukaan, dan kritik rasional.

Dalam konteks pendidikan kontemporer, filsafat komunikasi mengingatkan bahwa pengajaran bukanlah proses satu arah, melainkan dialog reflektif yang memungkinkan siswa dan guru bersama-sama membangun makna. Hal ini menjadi semakin penting di era digital, di mana akses informasi melimpah tetapi kemampuan kritis dalam menafsirkan informasi menjadi kunci utama.


Sintesis Relevansi Kontemporer

Dari uraian di atas, jelas bahwa filsafat komunikasi memiliki relevansi besar dalam dunia kontemporer. Ia membantu kita:

1)                  Menghadapi tantangan komunikasi digital yang sarat dengan manipulasi dan distorsi makna.

2)                  Mengkritisi komunikasi politik yang cenderung manipulatif dan populis.

3)                  Memperkuat kesadaran interkultural dalam era globalisasi.

4)                  Membangun dialog spiritual dan antariman yang lebih inklusif.

5)                  Meneguhkan komunikasi sebagai fondasi pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, filsafat komunikasi tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang mendalam bagi kehidupan sosial, politik, budaya, spiritual, dan akademik di era kontemporer.


Footnotes

[1]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 112.

[2]                Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (New York: McGraw-Hill, 1964), 7.

[3]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, trans. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 85.

[4]                Yochai Benkler, Robert Faris, and Hal Roberts, Network Propaganda: Manipulation, Disinformation, and Radicalization in American Politics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 14.

[5]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.

[7]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.

[8]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87.


8.           Sintesis dan Refleksi Filosofis

8.1.       Komunikasi sebagai Dasar Kehidupan Sosial

Dari tinjauan historis dan konseptual, dapat disimpulkan bahwa komunikasi bukan sekadar instrumen teknis untuk menyampaikan pesan, tetapi fondasi utama kehidupan sosial. Aristoteles telah menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon, makhluk yang hanya dapat hidup bermasyarakat melalui bahasa dan interaksi.¹ Dengan komunikasi, manusia membangun pengetahuan, membentuk norma, dan merawat solidaritas sosial. Refleksi ini memperlihatkan bahwa tanpa komunikasi, tidak mungkin ada kebudayaan, peradaban, maupun persekutuan politik.

8.2.       Perpaduan Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

Filsafat komunikasi memperlihatkan adanya tiga dimensi yang saling terkait. Dimensi ontologis menanyakan hakikat komunikasi: apakah ia sekadar transfer informasi, atau fenomena eksistensial yang membentuk realitas sosial?² Dimensi epistemologis mengkaji bagaimana pengetahuan diproduksi, ditafsirkan, dan didistribusikan melalui komunikasi.³ Sedangkan dimensi aksiologis menekankan pentingnya nilai-nilai etis dalam komunikasi: kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap martabat manusia.⁴

Ketiga dimensi ini membentuk kerangka komprehensif yang memungkinkan kita memahami komunikasi tidak hanya sebagai fenomena praktis, tetapi juga sebagai refleksi filosofis yang mendalam.

8.3.       Dialektika Konsensus dan Konflik

Filsafat komunikasi modern, khususnya teori tindakan komunikatif Habermas, menekankan pentingnya konsensus rasional.⁵ Namun, kritik dari Foucault dan Derrida menunjukkan bahwa komunikasi juga sarat dengan relasi kuasa, konflik, dan ambiguitas makna.⁶ Refleksi filosofis di sini menuntut kita untuk mengakui bahwa komunikasi selalu berada dalam dialektika antara konsensus dan konflik, antara keteraturan dan ketidakstabilan makna.

Dengan demikian, filsafat komunikasi tidak boleh jatuh pada utopia konsensus mutlak, tetapi juga tidak menyerah pada relativisme radikal. Ia harus mampu menempatkan komunikasi sebagai medan perjuangan antara kebenaran, kekuasaan, dan pemaknaan yang terus berlangsung.

8.4.       Komunikasi sebagai Jalan Menuju Kemanusiaan Universal

Martin Buber, melalui konsep I–Thou, mengingatkan bahwa komunikasi otentik terjadi ketika manusia memperlakukan sesamanya sebagai subjek yang setara, bukan objek yang dimanipulasi.⁷ Pandangan ini memberi inspirasi bagi refleksi bahwa komunikasi dapat menjadi jalan menuju kemanusiaan universal.

Dalam konteks kontemporer, filsafat komunikasi menawarkan paradigma dialogis yang mampu menembus batas-batas ideologi, budaya, dan agama.⁸ Dengan demikian, komunikasi dapat menjadi sarana rekonsiliasi, perdamaian, dan penguatan solidaritas global. Refleksi ini memperlihatkan bahwa filsafat komunikasi bukan hanya disiplin akademik, tetapi juga praksis moral yang relevan untuk masa depan umat manusia.

8.5.       Visi Integratif bagi Masa Depan

Sebagai sintesis akhir, filsafat komunikasi perlu dipandang sebagai disiplin integratif yang menghubungkan teori, praktik, dan etika. Ia merangkul warisan klasik dari Plato dan Aristoteles, kebijaksanaan etis dari Al-Ghazali dan Buber, refleksi hermeneutis dari Gadamer, hingga kritik radikal dari Derrida dan Foucault. Keseluruhan warisan ini membentuk mosaik pemikiran yang membantu kita memahami kompleksitas komunikasi dalam dunia modern.

Refleksi filosofis atas komunikasi juga membuka visi masa depan: membangun komunikasi yang lebih inklusif, adil, dan manusiawi, baik dalam ranah politik, media, pendidikan, maupun kehidupan antarbudaya. Dengan demikian, filsafat komunikasi bukanlah sekadar kajian normatif, tetapi kontribusi nyata bagi pembentukan dunia yang lebih beradab.


Footnotes

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a.

[2]                John Durham Peters, Speaking into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 5.

[3]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.

[4]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[6]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 45; Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.

[7]                Martin Buber, I and Thou, 56.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.


9.           Penutup

9.1.       Kesimpulan

Dari seluruh pembahasan, jelas bahwa filsafat komunikasi merupakan bidang kajian yang multidimensional, menyatukan refleksi ontologis, epistemologis, dan aksiologis mengenai komunikasi. Sejak tradisi klasik Yunani, retorika telah menjadi medium untuk meneguhkan kehidupan sosial dan politik, sementara tradisi Timur dan Islam menekankan dimensi etis dan spiritual komunikasi.¹ Perkembangan modern menghadirkan filsafat bahasa, hermeneutika, semiotika, hingga teori kritis, yang memperkaya horizon kajian komunikasi sebagai fenomena mendasar kehidupan manusia.²

Filsafat komunikasi menegaskan bahwa komunikasi bukan hanya alat teknis, melainkan dasar bagi pembentukan realitas sosial, budaya, dan politik. Ia mengajarkan bahwa makna tidak pernah tunggal, melainkan selalu dinegosiasikan dalam interaksi sosial, dan bahwa komunikasi sejati harus berpijak pada nilai etis: kejujuran, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap martabat manusia.³

9.2.       Implikasi Teoretis

Secara teoretis, filsafat komunikasi memberikan kontribusi penting bagi ilmu komunikasi dan filsafat itu sendiri. Ia memperluas kerangka ilmu komunikasi yang sering terjebak dalam positivisme, dengan menekankan aspek interpretatif, kritis, dan normatif.⁴ Filsafat komunikasi juga memperlihatkan bahwa bahasa dan simbol bukanlah cermin pasif realitas, melainkan konstruksi aktif yang membentuk pengetahuan dan kesadaran sosial.⁵ Dengan demikian, filsafat komunikasi mempertemukan analisis filosofis dengan teori komunikasi kontemporer dalam suatu kerangka interdisipliner.

9.3.       Implikasi Praktis

Dalam ranah praktis, filsafat komunikasi memiliki relevansi luas. Pertama, ia dapat menjadi landasan etis dalam praktik komunikasi publik, baik dalam politik, pendidikan, maupun media. Kedua, filsafat komunikasi membantu mengembangkan kesadaran kritis terhadap fenomena kontemporer seperti disinformasi, ujaran kebencian, dan algoritmisasi media digital.⁶ Ketiga, ia berfungsi sebagai dasar pengembangan dialog antarbudaya dan antaragama, yang sangat dibutuhkan di era globalisasi.⁷

Dengan demikian, filsafat komunikasi tidak berhenti pada tataran akademik, tetapi berkontribusi nyata dalam membangun masyarakat yang lebih adil, terbuka, dan manusiawi.

9.4.       Saran untuk Kajian Lanjutan

Filsafat komunikasi masih menyisakan ruang luas untuk penelitian selanjutnya. Pertama, diperlukan kajian mendalam tentang komunikasi digital dalam perspektif filosofis, khususnya menyangkut etika dan relasi kuasa di era big data. Kedua, perlu dikembangkan filsafat komunikasi yang berakar pada tradisi lokal dan non-Barat, termasuk khazanah Islam, Asia, dan Afrika, agar tidak terjebak dalam dominasi paradigma Barat.⁸ Ketiga, penelitian ke depan dapat menekankan integrasi filsafat komunikasi dengan ilmu kognitif, psikologi, dan studi media agar menghasilkan pemahaman yang lebih holistik.


Penutup Reflektif

Akhirnya, filsafat komunikasi mengingatkan kita bahwa komunikasi adalah inti eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, budaya, dan spiritual. Tanpa komunikasi, tidak ada pemahaman, tidak ada kebudayaan, dan tidak ada peradaban. Refleksi filosofis ini mendorong kita untuk menghayati komunikasi bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan sebagai tanggung jawab moral dalam membangun dunia yang lebih manusiawi. Sebagaimana ditegaskan Martin Buber, komunikasi sejati adalah perjumpaan antar-subjek, bukan sekadar hubungan instrumental.⁹ Oleh karena itu, filsafat komunikasi layak menjadi fondasi intelektual dan etis dalam menghadapi tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton (London: Penguin Classics, 2004), 45; Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 112.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 23; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 305.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[4]                Denis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction (London: Sage Publications, 2010), 21.

[5]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 112.

[7]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 57.

[8]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 133.

[9]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and secularism. Kuala Lumpur: ABIM.

Al-Farabi. (1990). Book of letters (M. Mahdi, Trans.). Albany: State University of New York Press.

Al-Ghazali. (1997). Ihya Ulum al-Din (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Aristotle. (2004). Rhetoric (W. R. Roberts, Trans.). Mineola, NY: Dover Publications.

Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality. New York: Anchor Books.

Benkler, Y., Faris, R., & Roberts, H. (2018). Network propaganda: Manipulation, disinformation, and radicalization in American politics. Oxford: Oxford University Press.

Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann, Trans.). New York: Charles Scribner’s Sons.

Carey, J. W. (1989). Communication as culture: Essays on media and society. Boston: Unwin Hyman.

Castells, M. (2009). Communication power. Oxford: Oxford University Press.

Cicero. (2001). On the ideal orator (De oratore) (J. M. May & J. Wisse, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Confucius. (1989). The analects (A. Waley, Trans.). New York: Vintage.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York: Macmillan.

Fairclough, N. (1992). Discourse and social change. Cambridge: Polity Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. S. Smith, Trans.). New York: Pantheon.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd ed.). New York: Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1991). The structural transformation of the public sphere (T. Burger, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Hegel, G. W. F. (1977). The phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Ibn Khaldun. (1967). The muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence (R. F. Grabau, Trans.). Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.

Kant, I. (1996). An answer to the question: What is enlightenment? In M. J. Gregor (Ed.), Practical philosophy (pp. 11–22). Cambridge: Cambridge University Press.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

McLuhan, M. (1964). Understanding media: The extensions of man. New York: McGraw-Hill.

McQuail, D. (2010). Mass communication theory: An introduction. London: Sage Publications.

Peters, J. D. (1999). Speaking into the air: A history of the idea of communication. Chicago: University of Chicago Press.

Peirce, C. S. (1931–1935). Collected papers of Charles Sanders Peirce (C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Plato. (2004). Gorgias (W. Hamilton, Trans.). London: Penguin Classics.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. New York: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar