Etika dan Filsafat Moral Islam
Fondasi, Perkembangan, dan Relevansi Kontemporer
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif landasan konseptual,
perkembangan historis, teori, dan relevansi kontemporer etika dalam tradisi
Islam. Kajian ini menegaskan bahwa etika Islam merupakan dimensi fundamental
dari ajaran Islam yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga filosofis,
teologis, dan spiritual. Sejak awal, Al-Qur’an dan Sunnah telah menempatkan
moralitas sebagai inti risalah kenabian, yang kemudian diperkaya oleh
kontribusi filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf.
Dalam aspek historis, etika Islam berkembang melalui interaksi dengan
filsafat Yunani, perdebatan teologis antara Mu‘tazilah, Asy‘ariyah, dan
Maturidiyah, serta tradisi sufistik yang menekankan transformasi batin. Dari
segi teori, etika Islam berdiri di atas tiga pilar utama: etika teonom
(berbasis wahyu), etika kebajikan (pembentukan akhlak mulia), dan etika
tanggung jawab serta keadilan. Ketiga dimensi ini menghasilkan sistem moral
yang holistik, mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan
lingkungan.
Dalam konteks sosial dan politik, etika Islam menekankan prinsip
keadilan, musyawarah, solidaritas, serta distribusi ekonomi yang adil. Di era
kontemporer, etika Islam memiliki relevansi dalam menjawab tantangan global
seperti krisis moral, sekularisasi, relativisme nilai, bioetika, hak asasi
manusia, serta isu ekologi. Dengan kerangka rahmatan lil-‘ālamīn, etika
Islam menawarkan kontribusi signifikan terhadap pembangunan tata nilai global
yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berbasis spiritualitas transenden.
Kata Kunci: Etika Islam;
Filsafat Moral; Akhlak; Teologi Islam; Tasawuf; Keadilan; Maqāṣid al-Sharī‘ah;
Kontemporer.
PEMBAHASAN
Etika dan Filsafat Moral Islam
1.          
Pendahuluan
Etika merupakan salah satu bidang
terpenting dalam filsafat, karena berhubungan langsung dengan dasar-dasar
penilaian baik dan buruk, benar dan salah, serta bagaimana manusia seharusnya
bertindak. Dalam tradisi Islam, pembahasan etika memiliki posisi yang sangat
sentral, bukan hanya dalam ranah filsafat, tetapi juga dalam teologi (‘ilm
al-kalām), hukum (fiqh), dan tasawuf. Hal ini dikarenakan Islam,
sejak wahyu pertama, menekankan dimensi moral sebagai inti dari risalah
kenabian. Nabi Muhammad Saw. bahkan menegaskan bahwa tujuan utama diutusnya
beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (makārim al-akhlāq)¹.
Secara terminologis, istilah etika
dalam khazanah Islam sering dipadankan dengan akhlaq (jamak: khuluq),
yang merujuk pada sifat-sifat batin manusia yang melahirkan tindakan lahiriah².
Berbeda dengan moralitas dalam tradisi Barat yang seringkali bersifat sekuler
dan filosofis murni, etika Islam bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah),
dengan tetap membuka ruang bagi rasionalitas dan pengalaman manusia³. Dengan
demikian, etika Islam memiliki dimensi teonomis (berbasis pada kehendak Ilahi),
sekaligus dimensi humanistik (berbasis pada pengalaman dan akal budi).
Perkembangan filsafat moral Islam tidak
dapat dilepaskan dari interaksinya dengan tradisi filsafat Yunani, Persia, dan
India. Sejak masa penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato pada era
Dinasti Abbasiyah, para filsuf Muslim seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn
Miskawayh mulai mengintegrasikan konsep-konsep etika kebajikan (virtue
ethics) ke dalam kerangka Islam⁴. Ibn Miskawayh, misalnya, dalam karyanya Tahdzīb
al-Akhlāq, menekankan pentingnya moderasi jiwa sebagai jalan menuju
kebajikan moral, seraya menyelaraskan ajaran Aristotelian dengan nilai-nilai
Islam⁵.
Selain filsafat, diskursus etika juga
berkembang dalam ranah ilmu kalam. Kaum Mu‘tazilah berpendapat bahwa akal
manusia mampu mengetahui baik dan buruk secara independen dari wahyu, sementara
Asy‘ariyah menekankan bahwa penilaian moral sepenuhnya bergantung pada kehendak
Allah⁶. Perdebatan ini menunjukkan adanya pluralitas pandangan etis dalam
Islam, yang memperkaya tradisi pemikiran moral Islam sepanjang sejarah.
Dalam dimensi sufistik, al-Ghazali
menghubungkan etika dengan pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs) dan
pengendalian hawa nafsu. Baginya, etika bukan hanya urusan lahiriah, tetapi
juga berkaitan dengan transformasi batin yang mengantarkan manusia menuju
kebahagiaan sejati (sa‘ādah)⁷. Dengan demikian, tradisi etika Islam
memperlihatkan keragaman wajah: filosofis, teologis, dan spiritual.
Kajian tentang etika dan filsafat moral
Islam menjadi semakin relevan dalam konteks kontemporer. Dunia modern diwarnai
oleh krisis moral global, relativisme nilai, dan tantangan etis baru yang
muncul dari perkembangan sains, teknologi, serta globalisasi. Dalam konteks
ini, etika Islam dapat memberikan kontribusi penting sebagai kerangka moral
yang berakar pada nilai transendental, tetapi tetap terbuka untuk dialog dengan
tradisi etika universal⁸.
Oleh karena itu, artikel ini berusaha
mengkaji fondasi, perkembangan, dan relevansi kontemporer etika dan filsafat
moral Islam, dengan mengintegrasikan perspektif historis, normatif, dan
filosofis. Dengan cara ini, diharapkan dapat ditunjukkan bahwa etika Islam
bukan hanya warisan normatif, melainkan juga sebuah tradisi intelektual yang
hidup, dinamis, dan berdaya guna dalam menjawab persoalan moral umat manusia
sepanjang zaman.
Footnotes
[1]               
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 273.
[2]               
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dār Ṣādir,
1990), 2:166.
[3]               
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 1989), 34–36.
[4]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 158–160.
[5]               
Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq,
ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–25.
[6]               
George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics
of ‘Abd al-Jabbār (Oxford: Clarendon Press, 1971), 41–43.
[7]               
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
(Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:58–60.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern
Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 102–105.
2.          
Landasan Konseptual
Etika Islam
2.1.      
Pengertian Etika dan
Akhlak dalam Islam
Etika dalam perspektif umum sering
dipahami sebagai cabang filsafat yang membahas tentang dasar-dasar penilaian
moral: apa yang baik dan buruk, benar dan salah, serta bagaimana manusia
seharusnya bertindak. Dalam tradisi Islam, istilah yang paling dekat dengan
“etika” adalah akhlaq, yang secara etimologis berasal dari kata khuluq
yang berarti tabiat, budi pekerti, atau kebiasaan batin yang menetap dalam jiwa
sehingga melahirkan perbuatan secara spontan tanpa dipaksakan¹. Dengan
demikian, etika Islam bukan hanya berkaitan dengan perilaku lahiriah, melainkan
juga dengan disposisi batin yang mendasarinya.
Sejumlah ulama klasik seperti
al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai “suatu kondisi dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
terlebih dahulu”². Definisi ini menunjukkan bahwa etika Islam menekankan
internalisasi nilai dalam kepribadian seseorang, sehingga moralitas menjadi
bagian integral dari karakter manusia, bukan sekadar kepatuhan eksternal
terhadap aturan.
2.2.      
Dasar Normatif Etika
Islam
Etika Islam memiliki fondasi normatif
yang kuat pada wahyu. Al-Qur’an menegaskan prinsip-prinsip moral
universal seperti keadilan (al-‘adl), kebaikan (al-ihsan), dan
larangan terhadap perbuatan keji (al-fahsha’)³. Ayat-ayat Al-Qur’an
bukan hanya berfungsi sebagai hukum legal, tetapi juga sebagai pedoman moral
yang menekankan dimensi etis dari setiap tindakan.
Selain Al-Qur’an, Sunnah Nabi
berperan sebagai sumber praktis yang menjelaskan implementasi nilai-nilai moral
dalam kehidupan sehari-hari. Hadis yang menyatakan bahwa Nabi diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulia (innamā bu‘itstu liutammima makārim al-akhlaq)
menjadi dasar utama bahwa risalah Islam memiliki dimensi etis yang sangat
kuat⁴.
Di samping dua sumber utama tersebut, ijtihad
ulama melalui akal juga memiliki peranan dalam merumuskan prinsip-prinsip
etika, terutama dalam menghadapi persoalan baru yang tidak ditemukan secara
eksplisit dalam nash. Dalam kerangka ini, etika Islam tidak semata-mata
dogmatis, tetapi juga rasional dan kontekstual⁵.
2.3.      
Tujuan Moral dalam
Islam
Etika Islam berorientasi pada
tercapainya al-khayr (kebaikan), al-‘adl (keadilan), dan al-ihsan
(keutamaan). Prinsip-prinsip moral ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait
erat dengan konsep maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat) yang
menekankan perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta⁶. Dengan kata
lain, tujuan moral Islam adalah menjaga martabat manusia sekaligus mengarahkan
umat pada kesejahteraan kolektif (maslahah).
Konsep kebahagiaan sejati (sa‘ādah)
juga menjadi tujuan utama dalam etika Islam. Ibn Sina, misalnya, menekankan
bahwa kebahagiaan tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual, yakni
tercapainya kesempurnaan jiwa melalui pengetahuan dan kedekatan dengan Allah⁷.
Hal ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali yang menekankan bahwa kebahagiaan
tertinggi manusia adalah kebahagiaan ukhrawi yang diperoleh melalui pembersihan
jiwa dan ketaatan kepada Allah⁸.
Dengan demikian, landasan konseptual
etika Islam menunjukkan perpaduan antara dimensi normatif (wahyu), dimensi
rasional (akal), dan dimensi spiritual (jiwa). Etika Islam tidak hanya
berbicara tentang aturan moral, tetapi juga mengenai pembentukan karakter,
tujuan hidup manusia, dan hubungan transendental dengan Tuhan.
Footnotes
[1]               
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dār Ṣādir,
1990), 2:166.
[2]               
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
(Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:58.
[3]               
QS. al-Naḥl [16] ayat 90.
[4]               
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 273.
[5]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
15–17.
[6]               
Abū Isḥāq al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl
al-Sharī‘ah (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 2:8–10.
[7]               
Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Muhammad Taqi
Danishpazhuh (Teheran: Dānishgāh Teherān, 1985), 323–325.
[8]               
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Kairo:
al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003), 211–213.
3.          
Sejarah Perkembangan
Pemikiran Etika Islam
3.1.      
Etika pada Masa
Klasik: Filsafat dan Integrasi Yunani
Perkembangan etika Islam pada masa
klasik ditandai oleh interaksi intelektual dengan filsafat Yunani, khususnya
melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato ke dalam bahasa Arab
pada era Dinasti Abbasiyah. Al-Farabi (w. 950 M) mengadopsi gagasan
Aristotelian tentang kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi manusia, tetapi
menafsirkan kebahagiaan itu dalam kerangka Islam, yakni kebahagiaan yang sejati
hanya dapat diraih melalui penyatuan akal dengan realitas ilahi¹.
Ibn Sina (w. 1037 M) melanjutkan
warisan ini dengan mengaitkan etika dengan filsafat jiwa. Menurutnya, kebajikan
adalah hasil dari keseimbangan kekuatan jiwa: rasional, irascible (amarah), dan
appetitive (syahwat). Kebahagiaan manusia (sa‘ādah) tercapai bila ketiga
kekuatan ini seimbang dan diarahkan menuju pengetahuan Allah².
Ibn Miskawayh (w. 1030 M) dalam
karyanya Tahdzīb al-Akhlāq mengembangkan teori etika kebajikan (virtue
ethics) yang berakar pada filsafat Aristotelian, tetapi diselaraskan dengan
nilai Islam. Ia menekankan pentingnya moderasi (al-i‘tidāl) sebagai kunci
tercapainya karakter mulia, serta menegaskan bahwa akhlak dapat dibentuk
melalui pendidikan dan kebiasaan³.
3.2.      
Etika dalam Teologi
Islam (Ilmu Kalam)
Selain tradisi filsafat, perkembangan
etika Islam juga berlangsung dalam perdebatan ilmu kalam. Kaum Mu‘tazilah
berpendapat bahwa akal manusia memiliki kapasitas independen untuk mengetahui
baik dan buruk, bahkan sebelum adanya wahyu. Bagi mereka, keadilan Tuhan (‘adl)
mensyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan moral untuk memilih, sehingga
tanggung jawab etis sepenuhnya berada pada individu⁴.
Sebaliknya, aliran Asy‘ariyah
menekankan bahwa penilaian moral sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah.
Menurut al-Asy‘ari, tidak ada sesuatu yang baik atau buruk secara inheren,
kecuali karena Allah menentukannya demikian. Pandangan ini dikenal sebagai
voluntarisme ilahi⁵. Adapun al-Maturidiyah mencoba mengambil jalan tengah
dengan menekankan bahwa akal memang dapat mengetahui sebagian aspek kebaikan
dan keburukan, tetapi kepastian moral tetap membutuhkan bimbingan wahyu⁶.
Perdebatan kalam ini membentuk fondasi
penting dalam sejarah pemikiran moral Islam, karena memperlihatkan ketegangan
antara rasionalisme dan teonomisme yang terus menjadi isu etis hingga era
modern.
3.3.      
Etika dalam Tradisi
Sufi
Dimensi etika Islam juga berkembang
secara mendalam dalam tradisi tasawuf. Para sufi memandang bahwa moralitas
sejati hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan
pembentukan maqāmāt (tahapan spiritual) seperti sabar, syukur, tawakal, dan
ikhlas. Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa
akhlak yang baik bukan hanya hasil dari latihan intelektual, tetapi juga buah
dari transformasi batin yang berkesinambungan⁷.
Sufi lain seperti Jalaluddin Rumi (w.
1273 M) menekankan cinta (maḥabbah) sebagai prinsip etika tertinggi,
yang melampaui aturan-aturan formal dan mengarahkan manusia kepada penyatuan
dengan kehendak ilahi⁸. Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) bahkan mengembangkan konsep akhlaq
ilahi (etika ketuhanan), di mana manusia ideal adalah mereka yang
meneladani sifat-sifat Allah (al-asmā’ al-ḥusnā) dalam kehidupan
sehari-hari⁹.
Etika sufistik ini menambahkan dimensi
eksistensial pada etika Islam, yakni menekankan bukan hanya apa yang harus
dilakukan manusia, tetapi juga bagaimana manusia menjadi pribadi yang saleh
secara batiniah.
Sintesis Historis
Sejarah pemikiran etika Islam dengan demikian
menunjukkan tiga arus besar:
1)                 
Filosofis, yang
berfokus pada integrasi antara etika Yunani dan Islam.
2)                 
Teologis, yang
menekankan perdebatan antara rasionalisme Mu‘tazilah dan voluntarisme
Asy‘ariyah.
3)                 
Sufistik, yang
berorientasi pada pembentukan karakter batin dan kedekatan dengan Tuhan.
Ketiga tradisi ini seringkali saling
melengkapi, meskipun tidak jarang juga menampilkan perbedaan tajam. Namun, dari
perpaduan ketiganya, etika Islam berkembang menjadi tradisi yang kaya, plural,
dan tetap relevan untuk menjawab tantangan moral di setiap zaman.
Footnotes
[1]               
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 112–115.
[2]               
Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Nafs, ed. Avicenna
Committee (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah, 1952), 240–243.
[3]               
Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq,
ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–27.
[4]               
George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics
of ‘Abd al-Jabbār (Oxford: Clarendon Press, 1971), 41–43.
[5]               
Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System:
Al-Ghazali and Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 87–89.
[6]               
Ulrich Rudolph, Al-Māturīdī and the Development of
Sunnī Theology in Samarqand, terj. Rodrigo Adem (Leiden: Brill, 2015),
233–235.
[7]               
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
(Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:55–60.
[8]               
Jalāl al-Dīn Rūmī, Mathnawī al-Ma‘nawī, ed.
Reynold A. Nicholson (London: E. J. W. Gibb Memorial, 1925), 2:112–114.
[9]               
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-‘Alā
Afīfī (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 65–67.
4.          
Teori dan Prinsip
Etika dalam Islam
4.1.      
Etika Teonom:
Moralitas sebagai Perintah Ilahi
Salah satu prinsip mendasar dalam etika
Islam adalah bahwa sumber utama moralitas adalah kehendak Allah. Konsep ini
sering dipadankan dengan teori perintah ilahi (divine command theory)
dalam filsafat moral Barat, meskipun dalam Islam konsep ini lebih kaya karena
terkait langsung dengan wahyu Al-Qur’an dan Sunnah. Kebaikan (al-khayr)
dan keburukan (al-sharr) bukan sekadar hasil konsensus sosial, melainkan
ditentukan oleh Allah sebagai Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil¹.
Kaum Asy‘ariyah menekankan bahwa tidak
ada tindakan yang baik atau buruk secara inheren; baik dan buruk ditentukan
karena Allah memerintahkannya atau melarangnya². Dengan demikian, ketaatan
kepada perintah Ilahi menjadi fondasi utama etika Islam. Akan tetapi, para
pemikir Islam juga mengingatkan bahwa kehendak Ilahi selalu terkait dengan
kebijaksanaan (ḥikmah) dan keadilan (‘adl), sehingga perintah
Allah bukanlah arbitrer, melainkan sejalan dengan kemaslahatan manusia³.
4.2.      
Etika Kebajikan:
Akhlak dan Pembentukan Karakter
Selain dimensi teonom, etika Islam juga
menekankan pentingnya kebajikan (faḍīlah) sebagai dasar moralitas.
Pandangan ini sejalan dengan tradisi virtue ethics Aristotelian, tetapi
diberi muatan religius dan spiritual. Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq
menekankan pentingnya moderasi jiwa, yakni keseimbangan antara akal, nafsu, dan
amarah, sebagai jalan untuk mencapai karakter mulia⁴.
Al-Ghazali melanjutkan tradisi ini
dengan menegaskan bahwa kebajikan bukan hanya hasil dari pendidikan rasional,
tetapi juga dari latihan spiritual dan pembersihan jiwa. Ia membagi akhlak
terpuji dalam kategori seperti sabar, syukur, tawakal, dan ikhlas, yang
semuanya diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah⁵. Dengan demikian, etika
Islam tidak sekadar membicarakan “aturan” tetapi juga pembentukan habitus moral
dan transformasi kepribadian.
4.3.      
Etika Tanggung Jawab
dan Keadilan
Prinsip penting lainnya dalam etika
Islam adalah tanggung jawab moral (taklīf). Konsep ini menegaskan bahwa
setiap manusia adalah subjek moral yang bebas dan bertanggung jawab atas
tindakannya. Al-Qur’an menegaskan bahwa “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya”
(QS. al-Muddatsir [74] ayat 38)⁶. Dengan demikian, kebebasan dan
pertanggungjawaban menjadi pilar utama dalam struktur moral Islam.
Selain itu, keadilan (al-‘adl)
menempati posisi sentral dalam prinsip etika Islam. Al-Qur’an secara konsisten
menekankan bahwa keadilan adalah landasan hubungan sosial dan politik: “Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. al-Mā’idah [5] ayat 8)⁷.
Etika Islam tidak hanya menekankan keadilan distributif dalam ekonomi, tetapi
juga keadilan prosedural dan sosial dalam relasi kemasyarakatan.
Prinsip keadilan ini erat kaitannya
dengan tujuan syariat (maqāṣid al-sharī‘ah) yang bertujuan menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, etika Islam bersifat
integral: ia tidak hanya mengatur relasi vertikal manusia dengan Tuhan, tetapi
juga relasi horizontal antar manusia dan dengan lingkungan hidup⁸.
Sintesis Prinsip Etika Islam
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa
etika Islam berdiri di atas tiga pilar utama:
1)                 
Etika Teonom, yang
menekankan kepatuhan terhadap kehendak Ilahi sebagai sumber moralitas.
2)                 
Etika Kebajikan,
yang menekankan pembentukan akhlak mulia sebagai habitus jiwa.
3)                 
Etika Tanggung Jawab dan
Keadilan, yang menekankan kebebasan moral manusia dan pentingnya
menciptakan masyarakat yang adil.
Ketiga prinsip ini menjadikan etika
Islam sebagai sistem yang menyeluruh (holistic), karena memadukan
orientasi transendental, pembentukan karakter individual, dan tanggung jawab
sosial. Dengan demikian, etika Islam tidak hanya normatif tetapi juga praksis,
karena menuntut implementasi nyata dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Footnotes
[1]               
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 1989), 34–36.
[2]               
Richard M. Frank, Al-Ghazālī and the Ash‘arite
School (Durham, NC: Duke University Press, 1994), 56–58.
[3]               
George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic
Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 15–17.
[4]               
Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq,
ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 25–27.
[5]               
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
(Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:59–61.
[6]               
QS. al-Muddatsir [74] ayat 38.
[7]               
QS. al-Mā’idah [5] ayat 8.
[8]               
Abū Isḥāq al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl
al-Sharī‘ah (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 2:10–13.
5.          
Etika Islam dalam
Perbandingan Filsafat Moral
5.1.      
Etika Islam dan
Etika Yunani Klasik
Sejak masa penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani pada era Abbasiyah, pemikir Muslim telah berinteraksi dengan
gagasan etika klasik, khususnya Aristoteles dan Plato. Aristoteles menekankan
bahwa kebajikan (virtue) adalah habitus yang dibentuk melalui latihan
dan moderasi, di mana manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan) dengan
hidup sesuai rasio¹. Ibn Miskawayh dan al-Farabi mengadopsi gagasan ini, tetapi
mengaitkannya dengan dimensi transendental: kebahagiaan tertinggi bukan hanya
kesejahteraan duniawi, melainkan kebahagiaan ukhrawi yang diperoleh melalui
kedekatan dengan Allah².
Perbedaan mendasar antara etika Yunani
dan Islam terletak pada sumber moralitas. Bagi filsafat Yunani, moralitas
berakar pada akal budi manusia dan pencarian harmoni sosial, sementara dalam
Islam moralitas pada akhirnya bersumber dari wahyu Ilahi. Meski demikian,
integrasi gagasan Aristotelian dalam etika Islam memperkaya tradisi filsafat
moral Islam, khususnya dalam bidang teori kebajikan³.
5.2.      
Etika Islam dan
Etika Barat Modern
Dalam perkembangan modern, filsafat
moral Barat menampilkan berbagai pendekatan, di antaranya deontologi Kant,
utilitarianisme Bentham dan Mill, serta etika diskursus Habermas.
Pertama, etika Kant menekankan
imperatif kategoris: tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan
berdasarkan kewajiban universal, bukan sekadar akibat atau tujuan. Prinsip ini
memiliki kesamaan dengan konsep taklīf dalam Islam, yakni kewajiban
moral manusia sebagai subjek yang bertanggung jawab. Namun, berbeda dengan Kant
yang mendasarkan moralitas pada rasio otonom, Islam mendasarkan kewajiban moral
pada ketaatan kepada Allah⁴.
Kedua, utilitarianisme menilai
tindakan berdasarkan konsekuensinya: semakin besar manfaat dan kebahagiaan yang
dihasilkan bagi banyak orang, semakin bermoral tindakan itu. Islam pun mengenal
prinsip maslahah (kemaslahatan) dalam hukum dan etika, namun berbeda
dengan utilitarianisme yang cenderung relatif, maslahah dalam Islam tetap
dibatasi oleh norma wahyu⁵.
Ketiga, etika diskursus Habermas
mengedepankan komunikasi rasional dan konsensus sebagai dasar legitimasi moral.
Pandangan ini memiliki resonansi dengan prinsip syura (musyawarah) dalam Islam,
di mana keputusan etis dan politik sebaiknya diambil melalui proses
deliberatif. Akan tetapi, dalam Islam musyawarah tetap berada dalam bingkai
nilai transenden yang diturunkan dari Al-Qur’an dan Sunnah⁶.
5.3.      
Etika Islam dalam
Diskursus Global
Etika Islam, jika dibandingkan dengan
filsafat moral Barat, memperlihatkan kekhasan pada integrasi tiga dimensi:
transendental (wahyu), rasional (akal), dan spiritual (jiwa). Inilah yang
membedakannya dari banyak teori etika sekuler yang cenderung menekankan satu
dimensi saja.
Dalam konteks etika global, Islam
menawarkan perspektif alternatif terhadap krisis moral modern. Misalnya, ketika
sekularisasi cenderung mengurangi peran agama dalam ruang publik, etika Islam
menekankan perlunya fondasi spiritual sebagai basis moralitas. Pandangan ini
sejalan dengan analisis Seyyed Hossein Nasr yang menilai bahwa krisis etika
modern lahir dari keterputusan manusia dengan yang sakral⁷.
Oleh karena itu, etika Islam tidak
sekadar merupakan sistem normatif untuk umat Muslim, tetapi juga berpotensi
memberikan kontribusi signifikan terhadap wacana etika universal, khususnya
dalam isu-isu global seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, bioetika, dan
ekologi.
Footnotes
[1]               
Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1106a–1107a.
[2]               
Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq,
ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 29–32.
[3]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 159–162.
[4]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
421–423.
[5]               
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 115–117.
[6]               
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, terj. Christian Lenhardt dan Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–69.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern
Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 102–105.
6.          
Etika Islam dalam
Konteks Sosial dan Politik
6.1.      
Etika dalam Relasi
Individu dan Masyarakat
Etika Islam tidak hanya berorientasi
pada kesalehan pribadi, tetapi juga membentuk kerangka moral yang mengatur
hubungan antarindividu dalam masyarakat. Al-Qur’an menekankan pentingnya
prinsip al-‘adl (keadilan) dan al-ihsan (kebaikan) sebagai
landasan interaksi sosial: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan
berbuat kebajikan” (QS. al-Naḥl [16] ayat 90)¹. Prinsip ini menuntut bahwa
hubungan sosial tidak hanya berlandaskan kontrak legal, melainkan juga pada
komitmen etis yang bersifat spiritual.
Konsep ukhūwah islāmiyyah
(persaudaraan Islam) memperkuat relasi sosial dengan semangat solidaritas dan
kepedulian. Nabi Muhammad Saw. menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara
bagi Muslim lainnya; ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya
sengsara². Prinsip ini menunjukkan bahwa etika Islam berfungsi menjaga kohesi
sosial melalui sikap tolong-menolong (ta‘āwun) dan menjauhi konflik yang
tidak adil.
6.2.      
Etika dalam Ekonomi
Islam
Dalam ranah ekonomi, etika Islam
berperan penting dalam mengatur transaksi, distribusi kekayaan, dan tanggung
jawab sosial. Islam menekankan kejujuran (ṣidq), keadilan dalam transaksi
(‘adl fī al-mu‘āmalah), serta larangan terhadap riba, penipuan, dan
eksploitasi³. Nabi Muhammad Saw. menyatakan bahwa pedagang yang jujur akan
ditempatkan bersama para nabi, orang-orang benar, dan para syuhada pada hari
kiamat⁴.
Etika ekonomi Islam juga menekankan
prinsip zakat, infak, dan sadaqah sebagai instrumen
distribusi sosial. Tujuan utamanya adalah menciptakan keseimbangan dan mencegah
penumpukan kekayaan di kalangan segelintir orang (QS. al-Ḥasyr [59] ayat 7)⁵.
Dengan demikian, etika Islam menolak sistem ekonomi yang eksploitatif dan
mendorong terwujudnya kesejahteraan kolektif (maslahah ‘āmmah).
6.3.      
Etika Politik:
Musyawarah, Keadilan, dan Amanah
Etika Islam juga membentuk dasar moral
bagi kehidupan politik. Konsep syūrā (musyawarah) sebagaimana ditegaskan
dalam QS. al-Shūrā [42] ayat 38 menjadi salah satu prinsip utama tata kelola
masyarakat Islam⁶. Musyawarah tidak sekadar proses politik, melainkan kewajiban
moral untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Keadilan (al-‘adl) dalam politik
merupakan amanah yang harus dijaga. Rasulullah Saw. bersabda bahwa seorang
pemimpin adalah penggembala bagi rakyatnya, dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya⁷. Etika politik Islam menekankan bahwa
kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab yang harus dijalankan
dengan integritas, transparansi, dan orientasi pada kesejahteraan rakyat.
Etika Islam juga menolak absolutisme
kekuasaan. Para ulama klasik seperti al-Mawardi dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah
menekankan bahwa legitimasi politik harus berdasarkan keadilan dan pelaksanaan
syariat. Kekuasaan yang menindas atau melanggar prinsip keadilan dianggap
kehilangan legitimasinya⁸.
6.4.      
Etika Islam dalam
Isu Kontemporer
Dalam konteks modern, etika Islam
menawarkan perspektif moral terhadap isu-isu politik global, seperti hak asasi
manusia, demokrasi, dan keadilan sosial. Meski konsep HAM sering dianggap lahir
dari Barat, banyak prinsip universal dalam Islam yang sejalan dengan nilai
kemanusiaan, seperti perlindungan jiwa, kebebasan beragama, dan hak atas
keadilan⁹.
Selain itu, etika Islam memberikan
kontribusi penting dalam diskursus tata kelola global, khususnya dalam
menghadapi krisis korupsi, ketidakadilan ekonomi, dan konflik politik. Prinsip al-amānah
(kejujuran dan pertanggungjawaban) menjadi kunci utama dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan bermoral. Dalam hal ini, etika Islam dapat menjadi
alternatif untuk membangun tata masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan
berorientasi pada nilai kemanusiaan yang transenden¹⁰.
Footnotes
[1]               
QS. al-Naḥl [16] ayat 90.
[2]               
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), ḥadīth no. 2564.
[3]               
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 45–47.
[4]               
Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Ash‘ath, Sunan Abī Dāwūd
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), ḥadīth no. 3443.
[5]               
QS. al-Ḥasyr [59] ayat 7.
[6]               
QS. al-Shūrā [42] ayat 38.
[7]               
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 893.
[8]               
Al-Māwardī, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 25–27.
[9]               
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights:
Tradition and Politics (Boulder, CO: Westview Press, 2013), 89–91.
[10]            
John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and
Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 102–105.
7.          
Relevansi
Kontemporer Etika Islam
7.1.      
Etika Islam dalam
Era Globalisasi dan Pluralisme
Dalam konteks globalisasi, dunia
mengalami interaksi budaya dan agama yang semakin intens. Hal ini menimbulkan
tantangan etis berupa relativisme moral, konflik identitas, dan krisis
solidaritas. Etika Islam menawarkan kerangka moral yang berlandaskan nilai
transenden tetapi sekaligus universal, seperti prinsip keadilan (al-‘adl),
kasih sayang (raḥmah), dan kemaslahatan (maṣlaḥah).
Prinsip-prinsip ini memungkinkan Islam berkontribusi pada pembentukan etika
global yang menghargai perbedaan tanpa meniadakan nilai absolut¹.
Selain itu, konsep rahmatan
lil-‘ālamīn (rahmat bagi seluruh alam) menegaskan dimensi inklusif etika
Islam dalam relasi antarumat beragama. Sebagaimana ditegaskan oleh Fazlur
Rahman, Al-Qur’an tidak hanya berbicara kepada komunitas Muslim, tetapi juga
mengajarkan prinsip moral universal yang relevan bagi seluruh umat manusia².
7.2.      
Etika Islam dan
Tantangan Modernitas
Modernitas membawa perkembangan sains,
teknologi, dan industrialisasi yang berdampak pada perubahan nilai moral. Di
satu sisi, modernitas menawarkan kemajuan rasionalitas dan kebebasan; namun di
sisi lain, ia memunculkan sekularisasi yang menggeser agama dari ruang publik.
Akibatnya, banyak masyarakat modern menghadapi krisis spiritual dan etis³.
Etika Islam dapat berfungsi sebagai
korektif terhadap problem modernitas dengan menegaskan kembali keterhubungan
antara moralitas dan spiritualitas. Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa krisis
modern sejatinya adalah krisis spiritual yang lahir dari keterputusan manusia
dengan Yang Ilahi⁴. Dengan basis wahyu dan tradisi intelektual, etika Islam
mampu menghadirkan keseimbangan antara kemajuan material dan kebutuhan
spiritual.
7.3.      
Etika Islam terhadap
Isu Kontemporer Global
Dalam ranah isu global, etika Islam
memiliki relevansi pada sejumlah bidang penting:
·                    
Hak Asasi Manusia (HAM)
Meskipun wacana HAM modern sering diasosiasikan dengan
Barat, Islam sejak awal menekankan perlindungan jiwa, akal, agama, keturunan,
dan harta melalui maqāṣid al-sharī‘ah. Konsep ini sejalan dengan tujuan HAM,
meski diletakkan dalam kerangka transendental⁵.
·                    
Bioetika dan Teknologi
Etika Islam memberikan pedoman moral dalam menghadapi
isu-isu biomedis kontemporer seperti transplantasi organ, rekayasa genetika,
dan euthanasia. Prinsip ḥifẓ al-nafs (perlindungan jiwa) menjadi pijakan
utama dalam menentukan kebolehan atau larangan praktik medis tertentu⁶.
·                    
Lingkungan dan Ekologi
Etika Islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi yang
bertanggung jawab menjaga keseimbangan ekosistem. Al-Qur’an mengutuk kerusakan
lingkungan akibat ulah manusia (QS. al-Rūm [30] ayat 41). Oleh karena itu,
etika Islam dapat menjadi landasan moral bagi gerakan ekologi global⁷.
·                    
Ekonomi dan Keadilan
Sosial
Dalam menghadapi ketimpangan ekonomi global, etika Islam
menekankan prinsip distribusi adil, zakat, dan larangan riba sebagai instrumen
moral untuk mengurangi kesenjangan⁸.
7.4.      
Etika Islam sebagai
Alternatif Krisis Moral Global
Dunia kontemporer menghadapi krisis
moral yang ditandai oleh meningkatnya hedonisme, individualisme, dan
relativisme nilai. Dalam situasi ini, etika Islam dapat menjadi alternatif yang
menyeimbangkan antara norma transendental dan kebutuhan praktis masyarakat.
Oliver Leaman menegaskan bahwa filsafat Islam memiliki kapasitas untuk
berkontribusi dalam diskursus etika global, terutama karena sifatnya yang
integratif antara rasio, wahyu, dan spiritualitas⁹.
Dengan menawarkan paradigma etika yang
bersumber dari nilai-nilai universal Al-Qur’an dan Sunnah, Islam mampu
meneguhkan dirinya sebagai sistem moral yang relevan di tengah tantangan
modernitas. Konsep rahmatan lil-‘ālamīn dapat menjadi visi etik
universal untuk membangun peradaban yang adil, berkelanjutan, dan berlandaskan
nilai kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening
(New York: Oxford University Press, 2012), 44–46.
[2]               
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 1989), 35–37.
[3]               
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford:
Blackwell, 1993), 2–4.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern
Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 103–105.
[5]               
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights:
Tradition and Politics (Boulder, CO: Westview Press, 2013), 90–92.
[6]               
Abdulaziz Sachedina, Islamic Biomedical Ethics:
Principles and Application (New York: Oxford University Press, 2009),
55–58.
[7]               
Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of
Islam (Cambridge: Lutterworth Press, 2000), 23–25.
[8]               
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 48–50.
[9]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 161–163.
8.          
Penutup
Kajian tentang etika dan filsafat moral
Islam menunjukkan bahwa dimensi moral dalam Islam merupakan fondasi utama dari
keseluruhan ajaran agama. Sejak awal, Al-Qur’an dan Sunnah menegaskan bahwa
tujuan risalah kenabian adalah penyempurnaan akhlak mulia (makārim al-akhlāq)¹.
Dengan demikian, etika Islam bukan sekadar sistem normatif, melainkan juga
paradigma hidup yang menuntun manusia menuju kebahagiaan sejati (sa‘ādah)
di dunia dan akhirat.
Sejarah perkembangan pemikiran etika
Islam memperlihatkan keragaman wajah: dari filsafat klasik yang
mengintegrasikan etika Yunani (al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawayh), perdebatan
teologis antara Mu‘tazilah, Asy‘ariyah, dan Maturidiyah, hingga dimensi
sufistik yang menekankan transformasi batin (al-Ghazali, Rumi, Ibn ‘Arabi)².
Perkayaan ini membuktikan bahwa etika Islam adalah tradisi intelektual yang
dinamis, terbuka pada interaksi dengan berbagai filsafat, tetapi tetap berakar
kuat pada wahyu.
Dari sisi teoretis, etika Islam
berlandaskan tiga prinsip utama: (1) etika teonom, yang menegaskan bahwa
kebaikan dan keburukan bersumber dari kehendak Allah³; (2) etika kebajikan,
yang menekankan pembentukan karakter dan akhlak mulia sebagai habitus moral⁴;
dan (3) etika tanggung jawab dan keadilan, yang menggarisbawahi
kebebasan manusia serta pentingnya menciptakan masyarakat yang adil⁵. Ketiga
pilar ini membentuk suatu sistem etika yang menyeluruh dan integratif.
Dalam konteks sosial-politik, etika
Islam menegaskan pentingnya persaudaraan, keadilan ekonomi, musyawarah, serta
amanah dalam kepemimpinan. Prinsip-prinsip tersebut menjadikan etika Islam
relevan bagi tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam skala lokal
maupun global⁶. Di era kontemporer, etika Islam juga mampu menjawab tantangan
modernitas: krisis moral, relativisme nilai, isu HAM, bioetika, lingkungan, dan
ketidakadilan global. Etika Islam menawarkan visi alternatif yang mengintegrasikan
spiritualitas, rasionalitas, dan transendensi dalam satu kesatuan etis yang
kohesif⁷.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa etika dan filsafat moral Islam memiliki signifikansi ganda:
pertama, sebagai pedoman moral normatif bagi umat Islam; kedua, sebagai
kontribusi intelektual terhadap wacana etika global. Dalam dunia yang sedang
menghadapi krisis moral universal, konsep rahmatan lil-‘ālamīn dapat
dijadikan paradigma etika universal yang menekankan keseimbangan antara
individu, masyarakat, dan Tuhan⁸.
Ke depan, pengembangan kajian etika
Islam perlu diarahkan pada dialog yang lebih intensif dengan filsafat moral
kontemporer, bioetika, serta etika lingkungan, agar tradisi moral Islam tidak
hanya menjadi warisan, tetapi juga kekuatan transformatif yang relevan dengan
tantangan zaman. Dengan demikian, etika Islam dapat terus memainkan perannya
sebagai sumber inspirasi moral yang menyatukan dimensi transenden dan praksis,
sekaligus berkontribusi pada peradaban manusia yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]               
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 273.
[2]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 158–162.
[3]               
Richard M. Frank, Al-Ghazālī and the Ash‘arite
School (Durham, NC: Duke University Press, 1994), 56–58.
[4]               
Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq,
ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–27.
[5]               
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
(Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:59–61.
[6]               
Al-Māwardī, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 25–27.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern
Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 102–105.
[8]               
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 1989), 35–37.
Daftar Pustaka
Al-Farabi. (1986). Ara’ ahl
al-madīnah al-fāḍilah. Beirut: Dār al-Mashriq.
Al-Ghazālī, A. Ḥ. (2003). Mi‘yār
al-‘ilm. Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah.
Al-Ghazālī, A. Ḥ. (2004). Iḥyā’
‘ulūm al-dīn (Vol. 3). Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah.
Al-Māwardī. (1996). al-Aḥkām
al-sulṭāniyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Shāṭibī, A. I. (1997). al-Muwāfaqāt
fī uṣūl al-sharī‘ah (Vol. 2). Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.
Bauman, Z. (1993). Postmodern
ethics. Oxford: Blackwell.
Al-Bukhārī, M. I. (1987). Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī. Beirut: Dār Ibn Kathīr.
Chapra, M. U. (1992). Islam and
the economic challenge. Leicester: The Islamic Foundation.
Dien, M. I. (2000). The
environmental dimensions of Islam. Cambridge: Lutterworth Press.
Esposito, J. L., & Voll, J. O.
(1996). Islam and democracy. New York, NY: Oxford University Press.
Frank, R. M. (1992). Creation and
the cosmic system: Al-Ghazali and Avicenna. Heidelberg: Carl Winter.
Frank, R. M. (1994). Al-Ghazālī
and the Ash‘arite school. Durham, NC: Duke University Press.
Habermas, J. (1990). Moral
consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen,
Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.
Hourani, G. F. (1971). Islamic
rationalism: The ethics of ‘Abd al-Jabbār. Oxford: Clarendon Press.
Hourani, G. F. (1985). Reason and
tradition in Islamic ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam
(A. A. Afīfī, Ed.). Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.
Ibn Manẓūr. (1990). Lisān al-‘Arab
(Vol. 2). Beirut: Dār Ṣādir.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb
al-akhlāq wa taṭhīr al-a‘rāq (C. K. Zurayk, Ed.). Beirut: American
University of Beirut.
Ibn Sīnā. (1952). al-Shifā’:
al-nafs. Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah.
Ibn Sīnā. (1985). al-Najāt (M.
T. Danishpazhuh, Ed.). Teheran: Dānishgāh Teherān.
Izutsu, T. (2008). Ethico-religious
concepts in the Qur’an. Montreal: McGill-Queen’s University Press.
(Tambahan sebagai rujukan pendukung standar dalam literatur).
Kant, I. (1997). Groundwork of the
metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Leaman, O. (2001). An introduction
to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Mayer, A. E. (2013). Islam and
human rights: Tradition and politics (5th ed.). Boulder, CO: Westview
Press.
Muslim ibn al-Ḥajjāj. (1991). Ṣaḥīḥ
Muslim. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Nasr, S. H. (1975). Islam and the
plight of modern man. London: Routledge & Kegan Paul.
Rahman, F. (1982). Islam and
modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Rahman, F. (1989). Major themes of
the Qur’an. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Ramadan, T. (2012). Islam and the
Arab awakening. New York, NY: Oxford University Press.
Rūmī, J. al-D. (1925). Mathnawī
al-ma‘nawī (R. A. Nicholson, Ed.). London: E. J. W. Gibb Memorial.
Sachedina, A. (2009). Islamic
biomedical ethics: Principles and application. New York, NY: Oxford
University Press.
Sunan Abī Dāwūd. (1990). Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Rudolph, U. (2015). Al-Māturīdī
and the development of Sunnī theology in Samarqand (R. Adem, Trans.).
Leiden: Brill.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar