Rabu, 08 Oktober 2025

Etika dan Filsafat Moral Islam: Fondasi, Perkembangan, dan Relevansi Kontemporer

Etika dan Filsafat Moral Islam

Fondasi, Perkembangan, dan Relevansi Kontemporer


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif landasan konseptual, perkembangan historis, teori, dan relevansi kontemporer etika dalam tradisi Islam. Kajian ini menegaskan bahwa etika Islam merupakan dimensi fundamental dari ajaran Islam yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga filosofis, teologis, dan spiritual. Sejak awal, Al-Qur’an dan Sunnah telah menempatkan moralitas sebagai inti risalah kenabian, yang kemudian diperkaya oleh kontribusi filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf.

Dalam aspek historis, etika Islam berkembang melalui interaksi dengan filsafat Yunani, perdebatan teologis antara Mu‘tazilah, Asy‘ariyah, dan Maturidiyah, serta tradisi sufistik yang menekankan transformasi batin. Dari segi teori, etika Islam berdiri di atas tiga pilar utama: etika teonom (berbasis wahyu), etika kebajikan (pembentukan akhlak mulia), dan etika tanggung jawab serta keadilan. Ketiga dimensi ini menghasilkan sistem moral yang holistik, mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.

Dalam konteks sosial dan politik, etika Islam menekankan prinsip keadilan, musyawarah, solidaritas, serta distribusi ekonomi yang adil. Di era kontemporer, etika Islam memiliki relevansi dalam menjawab tantangan global seperti krisis moral, sekularisasi, relativisme nilai, bioetika, hak asasi manusia, serta isu ekologi. Dengan kerangka rahmatan lil-‘ālamīn, etika Islam menawarkan kontribusi signifikan terhadap pembangunan tata nilai global yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berbasis spiritualitas transenden.

Kata Kunci: Etika Islam; Filsafat Moral; Akhlak; Teologi Islam; Tasawuf; Keadilan; Maqāṣid al-Sharī‘ah; Kontemporer.


PEMBAHASAN

Etika dan Filsafat Moral Islam


1.           Pendahuluan

Etika merupakan salah satu bidang terpenting dalam filsafat, karena berhubungan langsung dengan dasar-dasar penilaian baik dan buruk, benar dan salah, serta bagaimana manusia seharusnya bertindak. Dalam tradisi Islam, pembahasan etika memiliki posisi yang sangat sentral, bukan hanya dalam ranah filsafat, tetapi juga dalam teologi (‘ilm al-kalām), hukum (fiqh), dan tasawuf. Hal ini dikarenakan Islam, sejak wahyu pertama, menekankan dimensi moral sebagai inti dari risalah kenabian. Nabi Muhammad Saw. bahkan menegaskan bahwa tujuan utama diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (makārim al-akhlāq)¹.

Secara terminologis, istilah etika dalam khazanah Islam sering dipadankan dengan akhlaq (jamak: khuluq), yang merujuk pada sifat-sifat batin manusia yang melahirkan tindakan lahiriah². Berbeda dengan moralitas dalam tradisi Barat yang seringkali bersifat sekuler dan filosofis murni, etika Islam bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), dengan tetap membuka ruang bagi rasionalitas dan pengalaman manusia³. Dengan demikian, etika Islam memiliki dimensi teonomis (berbasis pada kehendak Ilahi), sekaligus dimensi humanistik (berbasis pada pengalaman dan akal budi).

Perkembangan filsafat moral Islam tidak dapat dilepaskan dari interaksinya dengan tradisi filsafat Yunani, Persia, dan India. Sejak masa penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato pada era Dinasti Abbasiyah, para filsuf Muslim seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Miskawayh mulai mengintegrasikan konsep-konsep etika kebajikan (virtue ethics) ke dalam kerangka Islam⁴. Ibn Miskawayh, misalnya, dalam karyanya Tahdzīb al-Akhlāq, menekankan pentingnya moderasi jiwa sebagai jalan menuju kebajikan moral, seraya menyelaraskan ajaran Aristotelian dengan nilai-nilai Islam⁵.

Selain filsafat, diskursus etika juga berkembang dalam ranah ilmu kalam. Kaum Mu‘tazilah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui baik dan buruk secara independen dari wahyu, sementara Asy‘ariyah menekankan bahwa penilaian moral sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah⁶. Perdebatan ini menunjukkan adanya pluralitas pandangan etis dalam Islam, yang memperkaya tradisi pemikiran moral Islam sepanjang sejarah.

Dalam dimensi sufistik, al-Ghazali menghubungkan etika dengan pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pengendalian hawa nafsu. Baginya, etika bukan hanya urusan lahiriah, tetapi juga berkaitan dengan transformasi batin yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan sejati (sa‘ādah)⁷. Dengan demikian, tradisi etika Islam memperlihatkan keragaman wajah: filosofis, teologis, dan spiritual.

Kajian tentang etika dan filsafat moral Islam menjadi semakin relevan dalam konteks kontemporer. Dunia modern diwarnai oleh krisis moral global, relativisme nilai, dan tantangan etis baru yang muncul dari perkembangan sains, teknologi, serta globalisasi. Dalam konteks ini, etika Islam dapat memberikan kontribusi penting sebagai kerangka moral yang berakar pada nilai transendental, tetapi tetap terbuka untuk dialog dengan tradisi etika universal⁸.

Oleh karena itu, artikel ini berusaha mengkaji fondasi, perkembangan, dan relevansi kontemporer etika dan filsafat moral Islam, dengan mengintegrasikan perspektif historis, normatif, dan filosofis. Dengan cara ini, diharapkan dapat ditunjukkan bahwa etika Islam bukan hanya warisan normatif, melainkan juga sebuah tradisi intelektual yang hidup, dinamis, dan berdaya guna dalam menjawab persoalan moral umat manusia sepanjang zaman.


Footnotes

[1]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 273.

[2]                Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dār Ṣādir, 1990), 2:166.

[3]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 34–36.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 158–160.

[5]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–25.

[6]                George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-Jabbār (Oxford: Clarendon Press, 1971), 41–43.

[7]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:58–60.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 102–105.


2.           Landasan Konseptual Etika Islam

2.1.       Pengertian Etika dan Akhlak dalam Islam

Etika dalam perspektif umum sering dipahami sebagai cabang filsafat yang membahas tentang dasar-dasar penilaian moral: apa yang baik dan buruk, benar dan salah, serta bagaimana manusia seharusnya bertindak. Dalam tradisi Islam, istilah yang paling dekat dengan “etika” adalah akhlaq, yang secara etimologis berasal dari kata khuluq yang berarti tabiat, budi pekerti, atau kebiasaan batin yang menetap dalam jiwa sehingga melahirkan perbuatan secara spontan tanpa dipaksakan¹. Dengan demikian, etika Islam bukan hanya berkaitan dengan perilaku lahiriah, melainkan juga dengan disposisi batin yang mendasarinya.

Sejumlah ulama klasik seperti al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai “suatu kondisi dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu”². Definisi ini menunjukkan bahwa etika Islam menekankan internalisasi nilai dalam kepribadian seseorang, sehingga moralitas menjadi bagian integral dari karakter manusia, bukan sekadar kepatuhan eksternal terhadap aturan.

2.2.       Dasar Normatif Etika Islam

Etika Islam memiliki fondasi normatif yang kuat pada wahyu. Al-Qur’an menegaskan prinsip-prinsip moral universal seperti keadilan (al-‘adl), kebaikan (al-ihsan), dan larangan terhadap perbuatan keji (al-fahsha’)³. Ayat-ayat Al-Qur’an bukan hanya berfungsi sebagai hukum legal, tetapi juga sebagai pedoman moral yang menekankan dimensi etis dari setiap tindakan.

Selain Al-Qur’an, Sunnah Nabi berperan sebagai sumber praktis yang menjelaskan implementasi nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Hadis yang menyatakan bahwa Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia (innamā bu‘itstu liutammima makārim al-akhlaq) menjadi dasar utama bahwa risalah Islam memiliki dimensi etis yang sangat kuat⁴.

Di samping dua sumber utama tersebut, ijtihad ulama melalui akal juga memiliki peranan dalam merumuskan prinsip-prinsip etika, terutama dalam menghadapi persoalan baru yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam nash. Dalam kerangka ini, etika Islam tidak semata-mata dogmatis, tetapi juga rasional dan kontekstual⁵.

2.3.       Tujuan Moral dalam Islam

Etika Islam berorientasi pada tercapainya al-khayr (kebaikan), al-‘adl (keadilan), dan al-ihsan (keutamaan). Prinsip-prinsip moral ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan konsep maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat) yang menekankan perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta⁶. Dengan kata lain, tujuan moral Islam adalah menjaga martabat manusia sekaligus mengarahkan umat pada kesejahteraan kolektif (maslahah).

Konsep kebahagiaan sejati (sa‘ādah) juga menjadi tujuan utama dalam etika Islam. Ibn Sina, misalnya, menekankan bahwa kebahagiaan tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual, yakni tercapainya kesempurnaan jiwa melalui pengetahuan dan kedekatan dengan Allah⁷. Hal ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali yang menekankan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia adalah kebahagiaan ukhrawi yang diperoleh melalui pembersihan jiwa dan ketaatan kepada Allah⁸.

Dengan demikian, landasan konseptual etika Islam menunjukkan perpaduan antara dimensi normatif (wahyu), dimensi rasional (akal), dan dimensi spiritual (jiwa). Etika Islam tidak hanya berbicara tentang aturan moral, tetapi juga mengenai pembentukan karakter, tujuan hidup manusia, dan hubungan transendental dengan Tuhan.


Footnotes

[1]                Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dār Ṣādir, 1990), 2:166.

[2]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:58.

[3]                QS. al-Naḥl [16] ayat 90.

[4]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 273.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–17.

[6]                Abū Isḥāq al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 2:8–10.

[7]                Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Muhammad Taqi Danishpazhuh (Teheran: Dānishgāh Teherān, 1985), 323–325.

[8]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003), 211–213.


3.           Sejarah Perkembangan Pemikiran Etika Islam

3.1.       Etika pada Masa Klasik: Filsafat dan Integrasi Yunani

Perkembangan etika Islam pada masa klasik ditandai oleh interaksi intelektual dengan filsafat Yunani, khususnya melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato ke dalam bahasa Arab pada era Dinasti Abbasiyah. Al-Farabi (w. 950 M) mengadopsi gagasan Aristotelian tentang kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi manusia, tetapi menafsirkan kebahagiaan itu dalam kerangka Islam, yakni kebahagiaan yang sejati hanya dapat diraih melalui penyatuan akal dengan realitas ilahi¹.

Ibn Sina (w. 1037 M) melanjutkan warisan ini dengan mengaitkan etika dengan filsafat jiwa. Menurutnya, kebajikan adalah hasil dari keseimbangan kekuatan jiwa: rasional, irascible (amarah), dan appetitive (syahwat). Kebahagiaan manusia (sa‘ādah) tercapai bila ketiga kekuatan ini seimbang dan diarahkan menuju pengetahuan Allah².

Ibn Miskawayh (w. 1030 M) dalam karyanya Tahdzīb al-Akhlāq mengembangkan teori etika kebajikan (virtue ethics) yang berakar pada filsafat Aristotelian, tetapi diselaraskan dengan nilai Islam. Ia menekankan pentingnya moderasi (al-i‘tidāl) sebagai kunci tercapainya karakter mulia, serta menegaskan bahwa akhlak dapat dibentuk melalui pendidikan dan kebiasaan³.

3.2.       Etika dalam Teologi Islam (Ilmu Kalam)

Selain tradisi filsafat, perkembangan etika Islam juga berlangsung dalam perdebatan ilmu kalam. Kaum Mu‘tazilah berpendapat bahwa akal manusia memiliki kapasitas independen untuk mengetahui baik dan buruk, bahkan sebelum adanya wahyu. Bagi mereka, keadilan Tuhan (‘adl) mensyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan moral untuk memilih, sehingga tanggung jawab etis sepenuhnya berada pada individu⁴.

Sebaliknya, aliran Asy‘ariyah menekankan bahwa penilaian moral sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah. Menurut al-Asy‘ari, tidak ada sesuatu yang baik atau buruk secara inheren, kecuali karena Allah menentukannya demikian. Pandangan ini dikenal sebagai voluntarisme ilahi⁵. Adapun al-Maturidiyah mencoba mengambil jalan tengah dengan menekankan bahwa akal memang dapat mengetahui sebagian aspek kebaikan dan keburukan, tetapi kepastian moral tetap membutuhkan bimbingan wahyu⁶.

Perdebatan kalam ini membentuk fondasi penting dalam sejarah pemikiran moral Islam, karena memperlihatkan ketegangan antara rasionalisme dan teonomisme yang terus menjadi isu etis hingga era modern.

3.3.       Etika dalam Tradisi Sufi

Dimensi etika Islam juga berkembang secara mendalam dalam tradisi tasawuf. Para sufi memandang bahwa moralitas sejati hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pembentukan maqāmāt (tahapan spiritual) seperti sabar, syukur, tawakal, dan ikhlas. Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa akhlak yang baik bukan hanya hasil dari latihan intelektual, tetapi juga buah dari transformasi batin yang berkesinambungan⁷.

Sufi lain seperti Jalaluddin Rumi (w. 1273 M) menekankan cinta (maḥabbah) sebagai prinsip etika tertinggi, yang melampaui aturan-aturan formal dan mengarahkan manusia kepada penyatuan dengan kehendak ilahi⁸. Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) bahkan mengembangkan konsep akhlaq ilahi (etika ketuhanan), di mana manusia ideal adalah mereka yang meneladani sifat-sifat Allah (al-asmā’ al-ḥusnā) dalam kehidupan sehari-hari⁹.

Etika sufistik ini menambahkan dimensi eksistensial pada etika Islam, yakni menekankan bukan hanya apa yang harus dilakukan manusia, tetapi juga bagaimana manusia menjadi pribadi yang saleh secara batiniah.


Sintesis Historis

Sejarah pemikiran etika Islam dengan demikian menunjukkan tiga arus besar:

1)                  Filosofis, yang berfokus pada integrasi antara etika Yunani dan Islam.

2)                  Teologis, yang menekankan perdebatan antara rasionalisme Mu‘tazilah dan voluntarisme Asy‘ariyah.

3)                  Sufistik, yang berorientasi pada pembentukan karakter batin dan kedekatan dengan Tuhan.

Ketiga tradisi ini seringkali saling melengkapi, meskipun tidak jarang juga menampilkan perbedaan tajam. Namun, dari perpaduan ketiganya, etika Islam berkembang menjadi tradisi yang kaya, plural, dan tetap relevan untuk menjawab tantangan moral di setiap zaman.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 112–115.

[2]                Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Nafs, ed. Avicenna Committee (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah, 1952), 240–243.

[3]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–27.

[4]                George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-Jabbār (Oxford: Clarendon Press, 1971), 41–43.

[5]                Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali and Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 87–89.

[6]                Ulrich Rudolph, Al-Māturīdī and the Development of Sunnī Theology in Samarqand, terj. Rodrigo Adem (Leiden: Brill, 2015), 233–235.

[7]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:55–60.

[8]                Jalāl al-Dīn Rūmī, Mathnawī al-Ma‘nawī, ed. Reynold A. Nicholson (London: E. J. W. Gibb Memorial, 1925), 2:112–114.

[9]                Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-‘Alā Afīfī (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 65–67.


4.           Teori dan Prinsip Etika dalam Islam

4.1.       Etika Teonom: Moralitas sebagai Perintah Ilahi

Salah satu prinsip mendasar dalam etika Islam adalah bahwa sumber utama moralitas adalah kehendak Allah. Konsep ini sering dipadankan dengan teori perintah ilahi (divine command theory) dalam filsafat moral Barat, meskipun dalam Islam konsep ini lebih kaya karena terkait langsung dengan wahyu Al-Qur’an dan Sunnah. Kebaikan (al-khayr) dan keburukan (al-sharr) bukan sekadar hasil konsensus sosial, melainkan ditentukan oleh Allah sebagai Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil¹.

Kaum Asy‘ariyah menekankan bahwa tidak ada tindakan yang baik atau buruk secara inheren; baik dan buruk ditentukan karena Allah memerintahkannya atau melarangnya². Dengan demikian, ketaatan kepada perintah Ilahi menjadi fondasi utama etika Islam. Akan tetapi, para pemikir Islam juga mengingatkan bahwa kehendak Ilahi selalu terkait dengan kebijaksanaan (ḥikmah) dan keadilan (‘adl), sehingga perintah Allah bukanlah arbitrer, melainkan sejalan dengan kemaslahatan manusia³.

4.2.       Etika Kebajikan: Akhlak dan Pembentukan Karakter

Selain dimensi teonom, etika Islam juga menekankan pentingnya kebajikan (faḍīlah) sebagai dasar moralitas. Pandangan ini sejalan dengan tradisi virtue ethics Aristotelian, tetapi diberi muatan religius dan spiritual. Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq menekankan pentingnya moderasi jiwa, yakni keseimbangan antara akal, nafsu, dan amarah, sebagai jalan untuk mencapai karakter mulia⁴.

Al-Ghazali melanjutkan tradisi ini dengan menegaskan bahwa kebajikan bukan hanya hasil dari pendidikan rasional, tetapi juga dari latihan spiritual dan pembersihan jiwa. Ia membagi akhlak terpuji dalam kategori seperti sabar, syukur, tawakal, dan ikhlas, yang semuanya diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah⁵. Dengan demikian, etika Islam tidak sekadar membicarakan “aturan” tetapi juga pembentukan habitus moral dan transformasi kepribadian.

4.3.       Etika Tanggung Jawab dan Keadilan

Prinsip penting lainnya dalam etika Islam adalah tanggung jawab moral (taklīf). Konsep ini menegaskan bahwa setiap manusia adalah subjek moral yang bebas dan bertanggung jawab atas tindakannya. Al-Qur’an menegaskan bahwa “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya” (QS. al-Muddatsir [74] ayat 38)⁶. Dengan demikian, kebebasan dan pertanggungjawaban menjadi pilar utama dalam struktur moral Islam.

Selain itu, keadilan (al-‘adl) menempati posisi sentral dalam prinsip etika Islam. Al-Qur’an secara konsisten menekankan bahwa keadilan adalah landasan hubungan sosial dan politik: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. al-Mā’idah [5] ayat 8)⁷. Etika Islam tidak hanya menekankan keadilan distributif dalam ekonomi, tetapi juga keadilan prosedural dan sosial dalam relasi kemasyarakatan.

Prinsip keadilan ini erat kaitannya dengan tujuan syariat (maqāṣid al-sharī‘ah) yang bertujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, etika Islam bersifat integral: ia tidak hanya mengatur relasi vertikal manusia dengan Tuhan, tetapi juga relasi horizontal antar manusia dan dengan lingkungan hidup⁸.


Sintesis Prinsip Etika Islam

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa etika Islam berdiri di atas tiga pilar utama:

1)                  Etika Teonom, yang menekankan kepatuhan terhadap kehendak Ilahi sebagai sumber moralitas.

2)                  Etika Kebajikan, yang menekankan pembentukan akhlak mulia sebagai habitus jiwa.

3)                  Etika Tanggung Jawab dan Keadilan, yang menekankan kebebasan moral manusia dan pentingnya menciptakan masyarakat yang adil.

Ketiga prinsip ini menjadikan etika Islam sebagai sistem yang menyeluruh (holistic), karena memadukan orientasi transendental, pembentukan karakter individual, dan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, etika Islam tidak hanya normatif tetapi juga praksis, karena menuntut implementasi nyata dalam kehidupan individu dan masyarakat.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 34–36.

[2]                Richard M. Frank, Al-Ghazālī and the Ash‘arite School (Durham, NC: Duke University Press, 1994), 56–58.

[3]                George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 15–17.

[4]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 25–27.

[5]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:59–61.

[6]                QS. al-Muddatsir [74] ayat 38.

[7]                QS. al-Mā’idah [5] ayat 8.

[8]                Abū Isḥāq al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 2:10–13.


5.           Etika Islam dalam Perbandingan Filsafat Moral

5.1.       Etika Islam dan Etika Yunani Klasik

Sejak masa penerjemahan karya-karya filsafat Yunani pada era Abbasiyah, pemikir Muslim telah berinteraksi dengan gagasan etika klasik, khususnya Aristoteles dan Plato. Aristoteles menekankan bahwa kebajikan (virtue) adalah habitus yang dibentuk melalui latihan dan moderasi, di mana manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan) dengan hidup sesuai rasio¹. Ibn Miskawayh dan al-Farabi mengadopsi gagasan ini, tetapi mengaitkannya dengan dimensi transendental: kebahagiaan tertinggi bukan hanya kesejahteraan duniawi, melainkan kebahagiaan ukhrawi yang diperoleh melalui kedekatan dengan Allah².

Perbedaan mendasar antara etika Yunani dan Islam terletak pada sumber moralitas. Bagi filsafat Yunani, moralitas berakar pada akal budi manusia dan pencarian harmoni sosial, sementara dalam Islam moralitas pada akhirnya bersumber dari wahyu Ilahi. Meski demikian, integrasi gagasan Aristotelian dalam etika Islam memperkaya tradisi filsafat moral Islam, khususnya dalam bidang teori kebajikan³.

5.2.       Etika Islam dan Etika Barat Modern

Dalam perkembangan modern, filsafat moral Barat menampilkan berbagai pendekatan, di antaranya deontologi Kant, utilitarianisme Bentham dan Mill, serta etika diskursus Habermas.

Pertama, etika Kant menekankan imperatif kategoris: tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban universal, bukan sekadar akibat atau tujuan. Prinsip ini memiliki kesamaan dengan konsep taklīf dalam Islam, yakni kewajiban moral manusia sebagai subjek yang bertanggung jawab. Namun, berbeda dengan Kant yang mendasarkan moralitas pada rasio otonom, Islam mendasarkan kewajiban moral pada ketaatan kepada Allah⁴.

Kedua, utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya: semakin besar manfaat dan kebahagiaan yang dihasilkan bagi banyak orang, semakin bermoral tindakan itu. Islam pun mengenal prinsip maslahah (kemaslahatan) dalam hukum dan etika, namun berbeda dengan utilitarianisme yang cenderung relatif, maslahah dalam Islam tetap dibatasi oleh norma wahyu⁵.

Ketiga, etika diskursus Habermas mengedepankan komunikasi rasional dan konsensus sebagai dasar legitimasi moral. Pandangan ini memiliki resonansi dengan prinsip syura (musyawarah) dalam Islam, di mana keputusan etis dan politik sebaiknya diambil melalui proses deliberatif. Akan tetapi, dalam Islam musyawarah tetap berada dalam bingkai nilai transenden yang diturunkan dari Al-Qur’an dan Sunnah⁶.

5.3.       Etika Islam dalam Diskursus Global

Etika Islam, jika dibandingkan dengan filsafat moral Barat, memperlihatkan kekhasan pada integrasi tiga dimensi: transendental (wahyu), rasional (akal), dan spiritual (jiwa). Inilah yang membedakannya dari banyak teori etika sekuler yang cenderung menekankan satu dimensi saja.

Dalam konteks etika global, Islam menawarkan perspektif alternatif terhadap krisis moral modern. Misalnya, ketika sekularisasi cenderung mengurangi peran agama dalam ruang publik, etika Islam menekankan perlunya fondasi spiritual sebagai basis moralitas. Pandangan ini sejalan dengan analisis Seyyed Hossein Nasr yang menilai bahwa krisis etika modern lahir dari keterputusan manusia dengan yang sakral⁷.

Oleh karena itu, etika Islam tidak sekadar merupakan sistem normatif untuk umat Muslim, tetapi juga berpotensi memberikan kontribusi signifikan terhadap wacana etika universal, khususnya dalam isu-isu global seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, bioetika, dan ekologi.


Footnotes

[1]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1106a–1107a.

[2]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 29–32.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 159–162.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–423.

[5]                Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 115–117.

[6]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, terj. Christian Lenhardt dan Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–69.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 102–105.


6.           Etika Islam dalam Konteks Sosial dan Politik

6.1.       Etika dalam Relasi Individu dan Masyarakat

Etika Islam tidak hanya berorientasi pada kesalehan pribadi, tetapi juga membentuk kerangka moral yang mengatur hubungan antarindividu dalam masyarakat. Al-Qur’an menekankan pentingnya prinsip al-‘adl (keadilan) dan al-ihsan (kebaikan) sebagai landasan interaksi sosial: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS. al-Naḥl [16] ayat 90)¹. Prinsip ini menuntut bahwa hubungan sosial tidak hanya berlandaskan kontrak legal, melainkan juga pada komitmen etis yang bersifat spiritual.

Konsep ukhūwah islāmiyyah (persaudaraan Islam) memperkuat relasi sosial dengan semangat solidaritas dan kepedulian. Nabi Muhammad Saw. menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya sengsara². Prinsip ini menunjukkan bahwa etika Islam berfungsi menjaga kohesi sosial melalui sikap tolong-menolong (ta‘āwun) dan menjauhi konflik yang tidak adil.

6.2.       Etika dalam Ekonomi Islam

Dalam ranah ekonomi, etika Islam berperan penting dalam mengatur transaksi, distribusi kekayaan, dan tanggung jawab sosial. Islam menekankan kejujuran (ṣidq), keadilan dalam transaksi (‘adl fī al-mu‘āmalah), serta larangan terhadap riba, penipuan, dan eksploitasi³. Nabi Muhammad Saw. menyatakan bahwa pedagang yang jujur akan ditempatkan bersama para nabi, orang-orang benar, dan para syuhada pada hari kiamat⁴.

Etika ekonomi Islam juga menekankan prinsip zakat, infak, dan sadaqah sebagai instrumen distribusi sosial. Tujuan utamanya adalah menciptakan keseimbangan dan mencegah penumpukan kekayaan di kalangan segelintir orang (QS. al-Ḥasyr [59] ayat 7)⁵. Dengan demikian, etika Islam menolak sistem ekonomi yang eksploitatif dan mendorong terwujudnya kesejahteraan kolektif (maslahah ‘āmmah).

6.3.       Etika Politik: Musyawarah, Keadilan, dan Amanah

Etika Islam juga membentuk dasar moral bagi kehidupan politik. Konsep syūrā (musyawarah) sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Shūrā [42] ayat 38 menjadi salah satu prinsip utama tata kelola masyarakat Islam⁶. Musyawarah tidak sekadar proses politik, melainkan kewajiban moral untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Keadilan (al-‘adl) dalam politik merupakan amanah yang harus dijaga. Rasulullah Saw. bersabda bahwa seorang pemimpin adalah penggembala bagi rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya⁷. Etika politik Islam menekankan bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan integritas, transparansi, dan orientasi pada kesejahteraan rakyat.

Etika Islam juga menolak absolutisme kekuasaan. Para ulama klasik seperti al-Mawardi dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah menekankan bahwa legitimasi politik harus berdasarkan keadilan dan pelaksanaan syariat. Kekuasaan yang menindas atau melanggar prinsip keadilan dianggap kehilangan legitimasinya⁸.

6.4.       Etika Islam dalam Isu Kontemporer

Dalam konteks modern, etika Islam menawarkan perspektif moral terhadap isu-isu politik global, seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sosial. Meski konsep HAM sering dianggap lahir dari Barat, banyak prinsip universal dalam Islam yang sejalan dengan nilai kemanusiaan, seperti perlindungan jiwa, kebebasan beragama, dan hak atas keadilan⁹.

Selain itu, etika Islam memberikan kontribusi penting dalam diskursus tata kelola global, khususnya dalam menghadapi krisis korupsi, ketidakadilan ekonomi, dan konflik politik. Prinsip al-amānah (kejujuran dan pertanggungjawaban) menjadi kunci utama dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bermoral. Dalam hal ini, etika Islam dapat menjadi alternatif untuk membangun tata masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada nilai kemanusiaan yang transenden¹⁰.


Footnotes

[1]                QS. al-Naḥl [16] ayat 90.

[2]                Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), ḥadīth no. 2564.

[3]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 45–47.

[4]                Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Ash‘ath, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), ḥadīth no. 3443.

[5]                QS. al-Ḥasyr [59] ayat 7.

[6]                QS. al-Shūrā [42] ayat 38.

[7]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 893.

[8]                Al-Māwardī, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 25–27.

[9]                Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Tradition and Politics (Boulder, CO: Westview Press, 2013), 89–91.

[10]             John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 102–105.


7.           Relevansi Kontemporer Etika Islam

7.1.       Etika Islam dalam Era Globalisasi dan Pluralisme

Dalam konteks globalisasi, dunia mengalami interaksi budaya dan agama yang semakin intens. Hal ini menimbulkan tantangan etis berupa relativisme moral, konflik identitas, dan krisis solidaritas. Etika Islam menawarkan kerangka moral yang berlandaskan nilai transenden tetapi sekaligus universal, seperti prinsip keadilan (al-‘adl), kasih sayang (raḥmah), dan kemaslahatan (maṣlaḥah). Prinsip-prinsip ini memungkinkan Islam berkontribusi pada pembentukan etika global yang menghargai perbedaan tanpa meniadakan nilai absolut¹.

Selain itu, konsep rahmatan lil-‘ālamīn (rahmat bagi seluruh alam) menegaskan dimensi inklusif etika Islam dalam relasi antarumat beragama. Sebagaimana ditegaskan oleh Fazlur Rahman, Al-Qur’an tidak hanya berbicara kepada komunitas Muslim, tetapi juga mengajarkan prinsip moral universal yang relevan bagi seluruh umat manusia².

7.2.       Etika Islam dan Tantangan Modernitas

Modernitas membawa perkembangan sains, teknologi, dan industrialisasi yang berdampak pada perubahan nilai moral. Di satu sisi, modernitas menawarkan kemajuan rasionalitas dan kebebasan; namun di sisi lain, ia memunculkan sekularisasi yang menggeser agama dari ruang publik. Akibatnya, banyak masyarakat modern menghadapi krisis spiritual dan etis³.

Etika Islam dapat berfungsi sebagai korektif terhadap problem modernitas dengan menegaskan kembali keterhubungan antara moralitas dan spiritualitas. Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa krisis modern sejatinya adalah krisis spiritual yang lahir dari keterputusan manusia dengan Yang Ilahi⁴. Dengan basis wahyu dan tradisi intelektual, etika Islam mampu menghadirkan keseimbangan antara kemajuan material dan kebutuhan spiritual.

7.3.       Etika Islam terhadap Isu Kontemporer Global

Dalam ranah isu global, etika Islam memiliki relevansi pada sejumlah bidang penting:

·                     Hak Asasi Manusia (HAM)

Meskipun wacana HAM modern sering diasosiasikan dengan Barat, Islam sejak awal menekankan perlindungan jiwa, akal, agama, keturunan, dan harta melalui maqāṣid al-sharī‘ah. Konsep ini sejalan dengan tujuan HAM, meski diletakkan dalam kerangka transendental⁵.

·                     Bioetika dan Teknologi

Etika Islam memberikan pedoman moral dalam menghadapi isu-isu biomedis kontemporer seperti transplantasi organ, rekayasa genetika, dan euthanasia. Prinsip ḥifẓ al-nafs (perlindungan jiwa) menjadi pijakan utama dalam menentukan kebolehan atau larangan praktik medis tertentu⁶.

·                     Lingkungan dan Ekologi

Etika Islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan ekosistem. Al-Qur’an mengutuk kerusakan lingkungan akibat ulah manusia (QS. al-Rūm [30] ayat 41). Oleh karena itu, etika Islam dapat menjadi landasan moral bagi gerakan ekologi global⁷.

·                     Ekonomi dan Keadilan Sosial

Dalam menghadapi ketimpangan ekonomi global, etika Islam menekankan prinsip distribusi adil, zakat, dan larangan riba sebagai instrumen moral untuk mengurangi kesenjangan⁸.

7.4.       Etika Islam sebagai Alternatif Krisis Moral Global

Dunia kontemporer menghadapi krisis moral yang ditandai oleh meningkatnya hedonisme, individualisme, dan relativisme nilai. Dalam situasi ini, etika Islam dapat menjadi alternatif yang menyeimbangkan antara norma transendental dan kebutuhan praktis masyarakat. Oliver Leaman menegaskan bahwa filsafat Islam memiliki kapasitas untuk berkontribusi dalam diskursus etika global, terutama karena sifatnya yang integratif antara rasio, wahyu, dan spiritualitas⁹.

Dengan menawarkan paradigma etika yang bersumber dari nilai-nilai universal Al-Qur’an dan Sunnah, Islam mampu meneguhkan dirinya sebagai sistem moral yang relevan di tengah tantangan modernitas. Konsep rahmatan lil-‘ālamīn dapat menjadi visi etik universal untuk membangun peradaban yang adil, berkelanjutan, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening (New York: Oxford University Press, 2012), 44–46.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 35–37.

[3]                Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 2–4.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 103–105.

[5]                Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Tradition and Politics (Boulder, CO: Westview Press, 2013), 90–92.

[6]                Abdulaziz Sachedina, Islamic Biomedical Ethics: Principles and Application (New York: Oxford University Press, 2009), 55–58.

[7]                Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of Islam (Cambridge: Lutterworth Press, 2000), 23–25.

[8]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 48–50.

[9]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 161–163.


8.           Penutup

Kajian tentang etika dan filsafat moral Islam menunjukkan bahwa dimensi moral dalam Islam merupakan fondasi utama dari keseluruhan ajaran agama. Sejak awal, Al-Qur’an dan Sunnah menegaskan bahwa tujuan risalah kenabian adalah penyempurnaan akhlak mulia (makārim al-akhlāq)¹. Dengan demikian, etika Islam bukan sekadar sistem normatif, melainkan juga paradigma hidup yang menuntun manusia menuju kebahagiaan sejati (sa‘ādah) di dunia dan akhirat.

Sejarah perkembangan pemikiran etika Islam memperlihatkan keragaman wajah: dari filsafat klasik yang mengintegrasikan etika Yunani (al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawayh), perdebatan teologis antara Mu‘tazilah, Asy‘ariyah, dan Maturidiyah, hingga dimensi sufistik yang menekankan transformasi batin (al-Ghazali, Rumi, Ibn ‘Arabi)². Perkayaan ini membuktikan bahwa etika Islam adalah tradisi intelektual yang dinamis, terbuka pada interaksi dengan berbagai filsafat, tetapi tetap berakar kuat pada wahyu.

Dari sisi teoretis, etika Islam berlandaskan tiga prinsip utama: (1) etika teonom, yang menegaskan bahwa kebaikan dan keburukan bersumber dari kehendak Allah³; (2) etika kebajikan, yang menekankan pembentukan karakter dan akhlak mulia sebagai habitus moral⁴; dan (3) etika tanggung jawab dan keadilan, yang menggarisbawahi kebebasan manusia serta pentingnya menciptakan masyarakat yang adil⁵. Ketiga pilar ini membentuk suatu sistem etika yang menyeluruh dan integratif.

Dalam konteks sosial-politik, etika Islam menegaskan pentingnya persaudaraan, keadilan ekonomi, musyawarah, serta amanah dalam kepemimpinan. Prinsip-prinsip tersebut menjadikan etika Islam relevan bagi tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam skala lokal maupun global⁶. Di era kontemporer, etika Islam juga mampu menjawab tantangan modernitas: krisis moral, relativisme nilai, isu HAM, bioetika, lingkungan, dan ketidakadilan global. Etika Islam menawarkan visi alternatif yang mengintegrasikan spiritualitas, rasionalitas, dan transendensi dalam satu kesatuan etis yang kohesif⁷.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa etika dan filsafat moral Islam memiliki signifikansi ganda: pertama, sebagai pedoman moral normatif bagi umat Islam; kedua, sebagai kontribusi intelektual terhadap wacana etika global. Dalam dunia yang sedang menghadapi krisis moral universal, konsep rahmatan lil-‘ālamīn dapat dijadikan paradigma etika universal yang menekankan keseimbangan antara individu, masyarakat, dan Tuhan⁸.

Ke depan, pengembangan kajian etika Islam perlu diarahkan pada dialog yang lebih intensif dengan filsafat moral kontemporer, bioetika, serta etika lingkungan, agar tradisi moral Islam tidak hanya menjadi warisan, tetapi juga kekuatan transformatif yang relevan dengan tantangan zaman. Dengan demikian, etika Islam dapat terus memainkan perannya sebagai sumber inspirasi moral yang menyatukan dimensi transenden dan praksis, sekaligus berkontribusi pada peradaban manusia yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), ḥadīth no. 273.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 158–162.

[3]                Richard M. Frank, Al-Ghazālī and the Ash‘arite School (Durham, NC: Duke University Press, 1994), 56–58.

[4]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–27.

[5]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2004), 3:59–61.

[6]                Al-Māwardī, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 25–27.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 102–105.

[8]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 35–37.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1986). Ara’ ahl al-madīnah al-fāḍilah. Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Ghazālī, A. Ḥ. (2003). Mi‘yār al-‘ilm. Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah.

Al-Ghazālī, A. Ḥ. (2004). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (Vol. 3). Kairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah.

Al-Māwardī. (1996). al-Aḥkām al-sulṭāniyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Shāṭibī, A. I. (1997). al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-sharī‘ah (Vol. 2). Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.

Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Oxford: Blackwell.

Al-Bukhārī, M. I. (1987). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ibn Kathīr.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Leicester: The Islamic Foundation.

Dien, M. I. (2000). The environmental dimensions of Islam. Cambridge: Lutterworth Press.

Esposito, J. L., & Voll, J. O. (1996). Islam and democracy. New York, NY: Oxford University Press.

Frank, R. M. (1992). Creation and the cosmic system: Al-Ghazali and Avicenna. Heidelberg: Carl Winter.

Frank, R. M. (1994). Al-Ghazālī and the Ash‘arite school. Durham, NC: Duke University Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Hourani, G. F. (1971). Islamic rationalism: The ethics of ‘Abd al-Jabbār. Oxford: Clarendon Press.

Hourani, G. F. (1985). Reason and tradition in Islamic ethics. Cambridge: Cambridge University Press.

Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam (A. A. Afīfī, Ed.). Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Ibn Manẓūr. (1990). Lisān al-‘Arab (Vol. 2). Beirut: Dār Ṣādir.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb al-akhlāq wa taṭhīr al-a‘rāq (C. K. Zurayk, Ed.). Beirut: American University of Beirut.

Ibn Sīnā. (1952). al-Shifā’: al-nafs. Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah.

Ibn Sīnā. (1985). al-Najāt (M. T. Danishpazhuh, Ed.). Teheran: Dānishgāh Teherān.

Izutsu, T. (2008). Ethico-religious concepts in the Qur’an. Montreal: McGill-Queen’s University Press. (Tambahan sebagai rujukan pendukung standar dalam literatur).

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Mayer, A. E. (2013). Islam and human rights: Tradition and politics (5th ed.). Boulder, CO: Westview Press.

Muslim ibn al-Ḥajjāj. (1991). Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Nasr, S. H. (1975). Islam and the plight of modern man. London: Routledge & Kegan Paul.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Rahman, F. (1989). Major themes of the Qur’an. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Ramadan, T. (2012). Islam and the Arab awakening. New York, NY: Oxford University Press.

Rūmī, J. al-D. (1925). Mathnawī al-ma‘nawī (R. A. Nicholson, Ed.). London: E. J. W. Gibb Memorial.

Sachedina, A. (2009). Islamic biomedical ethics: Principles and application. New York, NY: Oxford University Press.

Sunan Abī Dāwūd. (1990). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Rudolph, U. (2015). Al-Māturīdī and the development of Sunnī theology in Samarqand (R. Adem, Trans.). Leiden: Brill.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar