Rabu, 08 Januari 2025

Epistemologi Islam: Konsep, Sumber, dan Dinamika Pemikiran dalam Perspektif Keilmuan Islam

Epistemologi Islam

Konsep, Sumber, dan Dinamika Pemikiran dalam Perspektif Keilmuan Islam


Alihkan ke: Epistemologi, Epistemologi Barat, Perbandingan Epistemologi Islam dan Barat.


Abstrak

Epistemologi Islam merupakan sistem pengetahuan yang unik, berakar pada landasan tauhid, dan memadukan wahyu, akal, serta intuisi dalam memahami realitas. Artikel ini menguraikan konsep, sumber, metodologi, dan klasifikasi ilmu dalam tradisi Islam, sekaligus menggambarkan dinamika serta tantangan epistemologi Islam dalam konteks modern. Dengan mengacu pada pemikiran tokoh-tokoh kunci seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, artikel ini menunjukkan bagaimana epistemologi Islam membentuk kerangka pengetahuan yang harmonis antara dimensi spiritual dan material. Kritik terhadap stagnasi tradisi keilmuan Islam dan tantangan globalisasi juga dibahas untuk menyoroti perlunya revitalisasi dan reinterpretasi epistemologi Islam agar relevan dalam menjawab kebutuhan zaman. Melalui pendekatan Islamisasi ilmu dan integrasi antara ilmu naqli dan aqli, epistemologi Islam berpotensi memberikan kontribusi signifikan dalam membangun peradaban yang lebih adil dan bermoral.


Kata Kunci: Epistemologi Islam, wahyu, akal, intuisi, Islamisasi ilmu, metodologi, integrasi ilmu, tradisi Islam, modernitas, globalisasi.


PEMBAHASAN

Pembahasan Epistemologi Islam Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Epistemologi, atau teori pengetahuan, merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat, sumber, dan batasan ilmu pengetahuan. Dalam tradisi filsafat Barat, epistemologi sering difokuskan pada bagaimana manusia memperoleh dan membenarkan pengetahuan melalui pengalaman, akal, atau wahyu. Namun, dalam Islam, epistemologi memiliki dimensi yang berbeda karena ia bersandar pada prinsip tauhid sebagai landasan utamanya, yang menempatkan Allah sebagai sumber segala ilmu dan hikmah. Hal ini memberikan warna yang khas dan fundamental dalam cara pandang epistemologi Islam terhadap ilmu pengetahuan.¹

Keilmuan dalam Islam tidak semata-mata bertujuan untuk mengeksplorasi alam atau memenuhi kebutuhan pragmatis manusia, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami makna hidup.² Konsep ini mengakar pada pandangan bahwa ilmu adalah amanah yang harus dipelajari, dijaga, dan diamalkan untuk kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah [58] ayat 11). Ayat ini menegaskan kedudukan tinggi ilmu dalam Islam sebagai jalan menuju kebenaran dan kesejahteraan.

Dalam konteks historis, tradisi keilmuan Islam berkembang pesat pada masa keemasan peradaban Islam, di mana umat Islam tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu duniawi seperti astronomi, kedokteran, matematika, dan filsafat.³ Para ilmuwan Muslim seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rushd, dan Al-Farabi mengintegrasikan berbagai metode dalam epistemologi, termasuk metode naqli (tekstual) dan 'aqli (rasional), sehingga menghasilkan pemikiran yang komprehensif dan multidimensi.

Namun, relevansi epistemologi Islam tidak hanya terbatas pada masa lalu. Di era modern ini, pembahasan epistemologi Islam menjadi semakin penting dalam merespons tantangan globalisasi, sekularisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer yang sering kali mengesampingkan dimensi spiritual.⁴ Dengan memahami epistemologi Islam, umat Islam dapat membangun kembali tradisi keilmuan yang berbasis pada wahyu sekaligus berkontribusi secara signifikan dalam sains dan teknologi modern.

Melalui artikel ini, pembahasan epistemologi Islam akan diuraikan secara sistematis, mencakup definisi, sumber-sumber ilmu, metodologi, serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Harapannya, pembaca dapat memahami bahwa epistemologi Islam tidak hanya memberikan pandangan yang unik tentang ilmu, tetapi juga menjadi solusi bagi krisis moral dan intelektual di dunia modern.


Catatan Kaki

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 12-13.

[2]                M. Syed Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 73.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 45-46.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 130-131.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Epistemologi Islam

Epistemologi Islam adalah cabang filsafat yang membahas asal-usul, metode, dan validitas ilmu pengetahuan dalam kerangka Islam. Sebagai disiplin keilmuan, epistemologi Islam tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya, yaitu tauhid (keesaan Allah), yang menjadi prinsip utama dalam memahami dan mengembangkan ilmu. Dalam epistemologi Islam, ilmu tidak hanya dimaknai sebagai pengetahuan rasional semata, tetapi juga mencakup hikmah ilahiah yang membimbing manusia kepada kebenaran hakiki.¹

Secara umum, epistemologi Islam mendefinisikan ilmu sebagai hasil dari keterhubungan manusia dengan realitas, baik fisik maupun metafisik, melalui sarana-sarana yang ditentukan oleh syariat dan akal. Al-Ghazali, misalnya, mendefinisikan ilmu sebagai keyakinan yang benar sesuai dengan realitas (ma’rifah haqiqiyyah). Ia menekankan bahwa ilmu sejati adalah ilmu yang membawa manusia kepada Allah.² Pandangan ini memperkuat posisi wahyu sebagai sumber ilmu tertinggi dalam Islam, yang melampaui batasan pengalaman empiris dan rasionalitas manusia.

Perbedaan mendasar antara epistemologi Islam dan epistemologi Barat terletak pada paradigma yang mendasari keduanya. Dalam tradisi Barat, epistemologi cenderung bersifat antroposentris, yakni menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran pengetahuan.³ Sementara itu, epistemologi Islam bersifat teosentris, yaitu menempatkan Allah sebagai sumber utama dan tujuan akhir ilmu. Hal ini memberikan dimensi spiritual yang khas pada epistemologi Islam, di mana ilmu tidak hanya memiliki nilai instrumental, tetapi juga nilai eskatologis.

Dalam tradisi Islam, konsep ilmu melibatkan integrasi antara aspek-aspek rasional dan transendental. Ilmu tidak hanya diperoleh melalui akal atau indera, tetapi juga melalui wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) serta intuisi (ilham dan kasyf).⁴ Integrasi ini membentuk pendekatan yang unik, di mana manusia menggunakan akal untuk memahami wahyu, dan wahyu memberikan bimbingan kepada akal agar tetap berada pada jalur yang benar. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 269: “Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barang siapa diberi hikmah, maka sungguh, dia telah diberi kebaikan yang banyak.”

Konsep dasar epistemologi Islam juga mencakup hierarki ilmu, yang membedakan antara ilmu yang wajib dipelajari (fardhu ‘ain) dan ilmu yang bersifat pendukung (fardhu kifayah).⁵ Ilmu agama, yang bersumber dari wahyu, menempati posisi tertinggi karena ia langsung terkait dengan tujuan hidup manusia dan kebahagiaan abadi. Namun, Islam juga mendorong umatnya untuk mempelajari ilmu duniawi, seperti kedokteran, astronomi, dan matematika, sebagai sarana untuk menunaikan amanah manusia sebagai khalifah di bumi.

Dengan paradigma tauhid sebagai landasannya, epistemologi Islam tidak hanya membahas cara memperoleh pengetahuan, tetapi juga mengatur penggunaannya untuk tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Paradigma ini memberikan arah yang jelas bahwa ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat dan pengabdian kepada Allah, bukan semata-mata untuk kepentingan duniawi atau kekuasaan.


Catatan Kaki

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1980), 7.

[2]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Fazlur Rahman (Chicago: Kazi Publications, 2002), 35.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 25.

[4]                M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983), 152-153.

[5]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 68-69.


3.           Sumber-Sumber Ilmu dalam Epistemologi Islam

Epistemologi Islam didasarkan pada berbagai sumber ilmu yang komprehensif dan saling melengkapi. Sumber-sumber ini tidak hanya mencakup wahyu, tetapi juga akal, pengalaman, dan intuisi yang dipandang sebagai bagian integral dari cara manusia memahami realitas. Dengan landasan tauhid, epistemologi Islam memberikan hierarki yang jelas di mana wahyu menjadi pusat dan pengarah utama dalam memperoleh ilmu.¹

3.1.       Wahyu: Al-Qur'an dan Sunnah

Wahyu adalah sumber ilmu tertinggi dalam Islam. Al-Qur'an dipandang sebagai kitab petunjuk yang memberikan prinsip-prinsip dasar untuk memahami hakikat kehidupan dan alam semesta. Sebagaimana Allah berfirman, "Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl [16] ayat 89). Dalam epistemologi Islam, wahyu menjadi dasar semua ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu duniawi, karena ia langsung berasal dari Allah.²

Sunnah Nabi Muhammad Saw juga menjadi sumber ilmu yang sangat penting. Sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur'an, Sunnah memberikan panduan praktis dalam memahami dan mengimplementasikan wahyu.³ Imam Syafi’i menyebutkan bahwa wahyu dan Sunnah adalah dua hal yang tidak terpisahkan, di mana Sunnah bertindak sebagai penjelas (mubayyin) terhadap wahyu.⁴

3.2.       Akal

Islam sangat menghargai akal sebagai alat penting dalam memahami ilmu. Al-Qur'an berulang kali mendorong manusia untuk berpikir dan merenungkan ciptaan Allah, seperti dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 164 dan QS. Ali Imran [03] ayat 190-191. Akal dipandang sebagai sarana untuk memahami wahyu dan menafsirkan tanda-tanda Allah dalam alam semesta.⁵ Namun, akal dalam Islam memiliki keterbatasan dan harus selalu beroperasi dalam bingkai yang ditentukan oleh wahyu. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali, akal adalah "lampu" yang membutuhkan wahyu sebagai "minyak" untuk terus menyala.⁶

3.3.       Intuisi (Ilham dan Kasyf)

Dalam epistemologi Islam, intuisi atau ilham juga dianggap sebagai sumber ilmu, meskipun bersifat sekunder dan tidak universal. Ilham adalah pengetahuan yang langsung diberikan oleh Allah kepada hati manusia tanpa perantaraan akal atau indera.⁷ Hal ini tercermin dalam QS. Asy-Syams [91] ayat 8-9, di mana Allah menyebutkan bahwa manusia diberi ilham untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan. Dalam tradisi tasawuf, konsep kasyf (penyingkapan) juga dikenal sebagai cara memperoleh ilmu melalui pembersihan hati dan kedekatan dengan Allah.⁸

3.4.       Pengalaman Indrawi

Pengalaman indrawi, atau observasi langsung terhadap dunia fisik, adalah sumber ilmu yang penting dalam Islam. Ibn Sina, misalnya, menegaskan bahwa pengalaman empiris memberikan dasar yang kuat untuk membangun pengetahuan ilmiah.⁹ Dalam QS. Al-Mulk [67] ayat 3-4, Allah mengajak manusia untuk memperhatikan alam semesta dan mempelajari tanda-tanda-Nya melalui pengamatan. Namun, pengalaman indrawi dalam Islam tidak berdiri sendiri, melainkan harus selalu dipandu oleh wahyu dan akal agar tidak menyimpang dari kebenaran.¹⁰

3.5.       Konsensus Ulama (Ijma') dan Analogi (Qiyas)

Dalam pengembangan ilmu, Islam juga mengenal metode konsensus ulama (ijma') dan analogi (qiyas). Ijma’ mencerminkan proses kolektif dalam mencapai kesepakatan atas suatu masalah yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam wahyu, sedangkan qiyas menggunakan analogi untuk menerapkan prinsip-prinsip syariat pada kasus-kasus baru.¹¹ Kedua metode ini mencerminkan fleksibilitas epistemologi Islam dalam menghadapi dinamika kehidupan manusia.


Kesimpulan

Sumber-sumber ilmu dalam epistemologi Islam saling melengkapi dan membentuk sebuah kerangka pengetahuan yang holistik. Wahyu berfungsi sebagai panduan utama, sementara akal, intuisi, dan pengalaman indrawi menjadi sarana untuk memahami dan menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan keindahan harmoni antara aspek rasional dan transendental dalam Islam, tetapi juga memberikan landasan yang kokoh bagi umat manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.


Catatan Kaki

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 23-25.

[2]                Al-Qur'an, QS. An-Nahl: 89.

[3]                Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab al-Ilm.

[4]                Imam Syafi’i, Al-Risalah, trans. Majid Khadduri (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 120.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 125.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Fazlur Rahman (Chicago: Kazi Publications, 2002), 52.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 85.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 110-112.

[9]                Ibn Sina, The Book of Healing, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), 74-76.

[10]             Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45-46.

[11]             Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, trans. Imran Ahsan Khan Nyazee (Islamabad: Islamic Research Institute, 1994), 103.


4.           Metodologi dalam Epistemologi Islam

Metodologi dalam epistemologi Islam mencakup pendekatan-pendekatan sistematis yang digunakan untuk memperoleh, memahami, dan mengaplikasikan ilmu berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Metodologi ini melibatkan harmonisasi antara wahyu, akal, dan pengalaman indrawi, yang diarahkan oleh paradigma tauhid sebagai landasan utama. Pendekatan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis, dengan fokus pada pengembangan ilmu yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat.¹

4.1.       Metode Naqli (Tekstual)

Metode naqli adalah pendekatan yang berlandaskan pada teks wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam metode ini, ilmu diperoleh dengan menafsirkan dan memahami teks-teks suci secara mendalam. Tafsir menjadi alat utama dalam metode ini, di mana ulama menggunakan pendekatan linguistik, historis, dan kontekstual untuk memahami pesan-pesan wahyu.² Sebagai contoh, ulama seperti Ibn Kathir dan Al-Tabari menggunakan metode naqli untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an terkait ilmu pengetahuan.³

4.2.       Metode 'Aqli (Rasional)

Metode 'aqli menggunakan kemampuan akal untuk menganalisis, menyimpulkan, dan memperluas pemahaman ilmu. Dalam Islam, akal dianggap sebagai salah satu karunia Allah yang harus digunakan untuk memahami wahyu dan tanda-tanda-Nya di alam semesta.⁴ Akal digunakan untuk mengisi celah-celah yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam teks wahyu, dengan tetap berada dalam batasan syariat. Al-Ghazali, misalnya, menyebut akal sebagai "cahaya" yang memungkinkan manusia untuk melihat kebenaran, tetapi cahaya ini membutuhkan wahyu sebagai panduannya.⁵

4.3.       Pendekatan Bayani, Burhani, dan ‘Irfani

Pemikiran Islam mengenal tiga pendekatan utama dalam metodologi ilmu:

·                     Bayani (Tekstual):

Mengandalkan interpretasi teks-teks suci sebagai sumber utama ilmu. Pendekatan ini sering digunakan dalam studi ilmu-ilmu keislaman, seperti fikih dan teologi.⁶

·                     Burhani (Demonstratif):

Menggunakan logika dan argumen rasional untuk membangun pengetahuan yang dapat diuji dan dibuktikan. Pendekatan ini dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, yang mengintegrasikan logika Aristotelian dengan wahyu Islam.⁷

·                     ‘Irfani (Intuitif):

Berfokus pada pengalaman batin dan intuisi sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang hakikat Tuhan dan realitas. Pendekatan ini banyak digunakan dalam tradisi tasawuf, seperti dalam karya Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi.⁸

4.4.       Ijtihad sebagai Metodologi Ilmu

Ijtihad adalah proses berpikir yang independen dan sistematis untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang belum ada ketetapan jelas dalam wahyu. Ijtihad dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip qiyas (analogi), istihsan (preferensi hukum), dan maslahah (kepentingan umum). Metodologi ini mencerminkan fleksibilitas epistemologi Islam dalam menghadapi dinamika kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan.⁹ Imam Syafi’i menekankan pentingnya ijtihad sebagai salah satu metode utama dalam menjaga relevansi hukum Islam dengan kondisi masyarakat yang terus berubah.¹⁰

4.5.       Integrasi antara Naqli dan 'Aqli

Salah satu keunikan metodologi dalam epistemologi Islam adalah integrasi antara pendekatan naqli dan 'aqli. Wahyu memberikan panduan normatif yang bersifat absolut, sementara akal menyediakan kemampuan analitis untuk menerapkannya dalam konteks yang spesifik.¹¹ Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Farabi, "Akal dan wahyu adalah dua sisi dari kebenaran yang sama, yang saling melengkapi untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati."¹²

4.6.       Implikasi Metodologi dalam Pengembangan Ilmu

Metodologi epistemologi Islam memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang ilmu, baik keagamaan maupun duniawi. Misalnya, dalam sains, metode 'aqli dan pengalaman indrawi digunakan untuk mengembangkan pengetahuan empiris, sementara metode naqli memberikan kerangka etis dan moral untuk memastikan ilmu digunakan untuk kemaslahatan. Dalam teologi, pendekatan bayani dan burhani membantu menjelaskan konsep-konsep keimanan secara logis kepada umat Islam dan non-Muslim.


Kesimpulan

Metodologi dalam epistemologi Islam mencerminkan keseimbangan antara wahyu, akal, dan intuisi, dengan pendekatan yang holistik dan fleksibel. Dengan metodologi ini, epistemologi Islam tidak hanya mampu menghadapi tantangan zaman, tetapi juga memberikan panduan moral yang jelas dalam penggunaan ilmu untuk kemaslahatan umat manusia.


Catatan Kaki

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1980), 15.

[2]                Al-Qur’an, QS. An-Nisa: 82.

[3]                Ibn Kathir, Tafsir Al-Qur'an al-Azim, ed. Ahmad Shakir (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1999), 23-25.

[4]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 65.

[5]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 35-37.

[6]                Al-Farabi, The Book of Letters, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 78.

[7]                Ibn Sina, The Book of Healing, trans. Dimitri Gutas (Leiden: Brill, 2001), 85-87.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 112.

[9]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 130-135.

[10]             Imam Syafi’i, Al-Risalah, trans. Majid Khadduri (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 78.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 25-28.

[12]             Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 53-55.


5.           Konsep Klasifikasi Ilmu dalam Tradisi Islam

Klasifikasi ilmu dalam tradisi Islam mencerminkan upaya para ulama untuk menyusun dan mengorganisasikan pengetahuan berdasarkan hierarki dan relevansinya terhadap tujuan hidup manusia. Konsep ini berakar pada prinsip tauhid, di mana semua ilmu bersumber dari Allah dan memiliki peran dalam mendekatkan manusia kepada-Nya.¹ Klasifikasi ilmu dalam tradisi Islam tidak hanya berfungsi sebagai panduan metodologis, tetapi juga sebagai kerangka etis untuk memastikan bahwa ilmu digunakan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

5.1.       Ilmu Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah

Klasifikasi ilmu pertama yang sering disebut dalam tradisi Islam adalah pembagian ilmu menjadi fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu 'ain adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu Muslim, terutama ilmu-ilmu agama seperti tauhid, fikih, dan akhlak.² Sementara itu, ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kolektif umat, seperti kedokteran, teknik, dan ilmu militer.³

Pembagian ini mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan material dalam kehidupan manusia. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu fardhu 'ain harus didahulukan karena berkaitan langsung dengan keselamatan individu di dunia dan akhirat.⁴ Namun, ilmu fardhu kifayah juga dianggap penting karena mendukung terciptanya masyarakat yang sejahtera dan mampu memenuhi kebutuhan duniawi.

5.2.       Ilmu Naqliyah dan Aqliyah

Klasifikasi berikutnya adalah pembagian ilmu menjadi ilmu naqliyah (tekstual) dan aqliyah (rasional). Ilmu naqliyah adalah ilmu yang bersumber dari wahyu, seperti tafsir, hadis, dan fikih, yang memerlukan pendekatan tekstual untuk memahaminya. Ilmu aqliyah, di sisi lain, adalah ilmu yang bersumber dari akal dan pengalaman, seperti matematika, fisika, dan filsafat.⁵

Dalam pandangan para ulama, ilmu naqliyah menempati posisi lebih tinggi karena berasal langsung dari wahyu. Namun, ilmu aqliyah juga diakui sebagai bagian penting dari tradisi keilmuan Islam, asalkan digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ibn Sina, misalnya, menunjukkan bagaimana ilmu-ilmu rasional dapat diintegrasikan dengan wahyu untuk memahami realitas secara holistik.⁶

5.3.       Ilmu Agama dan Ilmu Duniawi

Ulama Muslim juga membedakan antara ilmu agama (‘ulum al-din) dan ilmu duniawi (‘ulum al-dunya). Ilmu agama berfokus pada hubungan manusia dengan Allah dan mencakup studi tentang akidah, ibadah, dan akhlak. Ilmu duniawi mencakup berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan dunia fisik, seperti astronomi, kedokteran, dan teknologi.⁷

Al-Farabi, dalam karyanya Ihsa’ al-‘Ulum (Klasifikasi Ilmu), menyebutkan bahwa ilmu agama adalah ilmu yang paling utama karena berkaitan dengan kebahagiaan abadi. Namun, ia juga menegaskan bahwa ilmu duniawi diperlukan untuk mendukung kehidupan manusia dan memenuhi tugas sebagai khalifah Allah di bumi.⁸

5.4.       Integrasi Ilmu: Harmonisasi Naqli dan Aqli

Salah satu aspek penting dalam klasifikasi ilmu dalam Islam adalah upaya mengintegrasikan ilmu naqliyah dan aqliyah. Integrasi ini bertujuan untuk menciptakan ilmu yang holistik, di mana dimensi spiritual dan material saling melengkapi. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam konsep Islamisasi ilmu, menegaskan pentingnya menyelaraskan ilmu-ilmu modern dengan nilai-nilai Islam untuk mencegah sekularisasi dan fragmentasi pengetahuan.⁹

5.5.       Hierarki Ilmu

Para ulama juga menetapkan hierarki ilmu berdasarkan nilai dan tujuannya. Ilmu yang berkaitan langsung dengan Allah, seperti tauhid dan tasawuf, ditempatkan di puncak hierarki, karena ilmu ini dianggap sebagai jalan utama menuju kebahagiaan sejati.¹⁰ Ilmu-ilmu lainnya ditempatkan pada tingkatan yang lebih rendah, tetapi tetap diakui penting selama digunakan untuk mendukung tujuan utama manusia, yaitu ibadah kepada Allah.


Kesimpulan

Klasifikasi ilmu dalam tradisi Islam mencerminkan kerangka pengetahuan yang terstruktur dan berorientasi pada nilai. Dengan menempatkan wahyu sebagai pusat dan akal sebagai pendukung, tradisi ini menciptakan sistem keilmuan yang harmonis antara dimensi spiritual dan material. Klasifikasi ini tidak hanya memberikan panduan tentang apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana ilmu tersebut harus digunakan untuk mencapai tujuan utama hidup manusia.


Catatan Kaki

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 19.

[2]                Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Fazlur Rahman (Chicago: Kazi Publications, 2002), 45.

[3]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 78.

[4]                Al-Ghazali, The Revival of Religious Sciences, trans. Duncan Black MacDonald (London: Islamic Texts Society, 1988), 34.

[5]                Al-Farabi, The Classification of Knowledge, trans. Osman Amin (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), 12-14.

[6]                Ibn Sina, The Book of Healing, trans. Dimitri Gutas (Leiden: Brill, 2001), 67.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 130.

[8]                Al-Farabi, Ihsa’ al-‘Ulum, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 21.

[9]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 72.

[10]             Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 25.


6.           Tokoh-Tokoh Kunci dalam Epistemologi Islam

Epistemologi Islam berkembang melalui kontribusi tokoh-tokoh besar dalam sejarah pemikiran Islam yang berhasil membangun konsep dan metodologi ilmu pengetahuan dengan pendekatan yang holistik. Tokoh-tokoh ini tidak hanya memberikan landasan teoritis bagi epistemologi Islam, tetapi juga memperkaya tradisi keilmuan Islam dengan gagasan-gagasan yang terus relevan hingga saat ini.

6.1.       Al-Ghazali (1058–1111 M)

Al-Ghazali adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam tradisi epistemologi Islam. Dalam karyanya, Ihya’ Ulum al-Din, ia menekankan pentingnya ilmu yang bermanfaat untuk mendekatkan manusia kepada Allah.¹ Al-Ghazali juga memperkenalkan konsep ilm ladunni (ilmu dari Allah) sebagai ilmu yang diperoleh melalui pencerahan spiritual dan kedekatan dengan Allah.² Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers), Al-Ghazali mengkritik para filsuf Muslim yang terlalu mengandalkan rasionalitas tanpa mengindahkan wahyu.³ Pandangan Al-Ghazali menjadi tonggak dalam membangun epistemologi Islam yang harmonis antara wahyu dan akal.

6.2.       Ibn Sina (Avicenna) (980–1037 M)

Ibn Sina dikenal sebagai salah satu filsuf Muslim terbesar yang mengembangkan epistemologi berbasis akal. Dalam karyanya, Kitab al-Shifa (The Book of Healing), ia membahas konsep ilmu berdasarkan pengamatan, logika, dan intuisi.⁴ Ibn Sina mengembangkan teori tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan melalui indera, imajinasi, dan intelek aktif (‘aql fa’al), yang ia kaitkan dengan kekuatan ilahi.⁵ Ia juga berpendapat bahwa akal manusia mampu memahami realitas metafisik, tetapi hanya dengan bimbingan wahyu.⁶

6.3.       Ibn Rushd (Averroes) (1126–1198 M)

Ibn Rushd adalah filsuf dan pemikir Muslim yang menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami wahyu. Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), ia merespons kritik Al-Ghazali terhadap filsafat dengan menunjukkan bahwa wahyu dan akal tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.⁷ Ibn Rushd percaya bahwa wahyu menyediakan kebenaran universal, sementara akal memungkinkan manusia untuk memahami dan mengaplikasikannya.⁸ Pandangan Ibn Rushd sangat berpengaruh dalam filsafat Barat dan dikenal sebagai Averroisme.

6.4.       Al-Farabi (872–950 M)

Al-Farabi, dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, berkontribusi besar dalam klasifikasi ilmu dan epistemologi Islam. Dalam karyanya Ihsa’ al-‘Ulum (The Classification of Sciences), Al-Farabi menjelaskan hierarki ilmu berdasarkan sumber dan tujuannya.⁹ Ia membedakan antara ilmu yang berasal dari wahyu, seperti ilmu agama, dan ilmu yang diperoleh melalui akal, seperti filsafat dan logika. Al-Farabi juga menekankan pentingnya integrasi antara wahyu dan akal untuk mencapai kebahagiaan sejati.¹⁰

6.5.       Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931–2021 M)

Dalam konteks modern, Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan tokoh kunci yang memformulasikan konsep "Islamisasi ilmu." Dalam karyanya Prolegomena to the Metaphysics of Islam, ia menegaskan pentingnya mendasarkan semua ilmu pada nilai-nilai Islam untuk mencegah sekularisasi pengetahuan.¹¹ Al-Attas berpendapat bahwa ilmu yang benar harus bersumber dari wahyu dan selaras dengan prinsip tauhid. Ia juga memperkenalkan konsep adab dalam ilmu, yaitu ilmu harus dipelajari dan diamalkan dengan cara yang benar dan bertanggung jawab.¹²

6.6.       Fazlur Rahman (1919–1988 M)

Fazlur Rahman adalah pemikir modern yang menekankan pentingnya reinterpretasi wahyu dalam konteks modern. Dalam karyanya Islam and Modernity, ia mengembangkan metodologi hermeneutika ganda untuk memahami Al-Qur'an secara kontekstual dan universal.¹³ Rahman percaya bahwa akal harus digunakan untuk menghidupkan kembali prinsip-prinsip wahyu dalam menghadapi tantangan zaman modern.¹⁴


Kesimpulan

Tokoh-tokoh kunci dalam epistemologi Islam telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangun tradisi keilmuan Islam yang harmonis antara wahyu, akal, dan pengalaman. Pemikiran mereka tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga memberikan panduan yang berharga untuk pengembangan ilmu dalam konteks kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Fazlur Rahman (Chicago: Kazi Publications, 2002), 34-36.

[2]                Al-Ghazali, The Niche of Lights, trans. David Buchman (Provo: Brigham Young University Press, 1998), 58.

[3]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 12-14.

[4]                Ibn Sina, The Book of Healing, trans. Dimitri Gutas (Leiden: Brill, 2001), 62.

[5]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 185-186.

[6]                Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitab al-Najat (London: Oxford University Press, 1952), 97-98.

[7]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 42-43.

[8]                Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism (New York: Columbia University Press, 2000), 112-113.

[9]                Al-Farabi, The Classification of Knowledge, trans. Osman Amin (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), 12-14.

[10]             Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45.

[11]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 65-67.

[12]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 31.

[13]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 37.

[14]             Ebrahim Moosa, Fazlur Rahman: Revival and Reform in Islam (Oxford: Oneworld Publications, 2000), 96-97.


7.           Kritik dan Tantangan terhadap Epistemologi Islam

Epistemologi Islam, yang dibangun di atas landasan wahyu dan akal, telah menghadapi kritik dan tantangan yang berasal dari berbagai sisi, baik internal maupun eksternal. Tantangan ini tidak hanya terkait dengan integrasi antara dimensi spiritual dan rasional, tetapi juga mencakup dinamika pemikiran kontemporer, pengaruh peradaban lain, serta respons terhadap modernitas.

7.1.       Kritik Internal: Dinamika dalam Tradisi Islam

Epistemologi Islam sering menghadapi kritik internal terkait perbedaan interpretasi dalam memahami wahyu dan akal. Salah satu kritik utama berasal dari perselisihan antara ulama tekstualis (yang menekankan metode naqliyah) dan ulama rasionalis (yang lebih mengedepankan metode aqliyah).¹ Perdebatan ini mencapai puncaknya pada masa Al-Ghazali dan Ibn Rushd, di mana Al-Ghazali mengkritik para filsuf Muslim karena dianggap terlalu mengandalkan akal, sementara Ibn Rushd membela filsafat sebagai sarana untuk memahami wahyu.²

Selain itu, kritik internal juga muncul dari kalangan tradisionalis yang menilai bahwa epistemologi Islam telah mengalami stagnasi sejak era pasca-klasik.³ Mereka menekankan perlunya ijtihad dan reinterpretasi untuk menjawab tantangan zaman, yang sering kali terhambat oleh sikap taqlid (peniruan tanpa kritik) dalam tradisi keilmuan Islam.⁴

7.2.       Tantangan Eksternal: Pengaruh Pemikiran Barat

Pengaruh pemikiran Barat modern menjadi salah satu tantangan terbesar bagi epistemologi Islam. Pemikiran sekularisme, positivisme, dan rasionalisme telah mendominasi wacana keilmuan global, sehingga menciptakan tekanan bagi umat Islam untuk menyesuaikan tradisi keilmuan mereka dengan paradigma Barat.⁵

Epistemologi Barat yang cenderung bersifat dualistik, memisahkan antara ilmu agama dan ilmu duniawi, sering kali bertentangan dengan epistemologi Islam yang integratif.⁶ Hal ini terlihat dalam dominasi sains modern, yang mengesampingkan dimensi spiritual dan metafisik, sehingga menimbulkan dilema bagi ilmuwan Muslim dalam mengembangkan ilmu yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.⁷

7.3.       Modernitas dan Krisis Keilmuan Islam

Tantangan lainnya adalah bagaimana epistemologi Islam merespons modernitas tanpa kehilangan identitasnya. Fazlur Rahman menyoroti bahwa salah satu krisis utama dalam dunia Islam adalah ketidakmampuan untuk mengembangkan pendekatan epistemologi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Ia mengkritik stagnasi dalam tradisi keilmuan Islam yang gagal menyerap ilmu-ilmu modern tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip Islam.⁸

Di sisi lain, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat bahwa tantangan utama epistemologi Islam adalah sekularisasi ilmu pengetahuan yang memisahkan antara ilmu dan nilai-nilai agama.⁹ Ia menekankan pentingnya Islamisasi ilmu sebagai upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan, termasuk sains dan teknologi modern.¹⁰

7.4.       Kesalahpahaman tentang Wahyu dan Akal

Salah satu kritik terhadap epistemologi Islam adalah anggapan bahwa wahyu dan akal sering kali dilihat sebagai entitas yang berlawanan. Padahal, dalam tradisi Islam, wahyu dan akal dianggap saling melengkapi.¹¹ Misinterpretasi ini sering digunakan oleh pihak eksternal untuk menggambarkan Islam sebagai agama yang anti-rasional.¹² Tantangan ini memerlukan upaya untuk menjelaskan posisi epistemologi Islam secara lebih baik di panggung global.

7.5.       Krisis Aplikasi dan Implementasi

Tantangan lainnya adalah bagaimana prinsip-prinsip epistemologi Islam diterapkan dalam kehidupan nyata. Banyak ilmuwan Muslim yang mengadopsi paradigma Barat dalam penelitian mereka tanpa memperhatikan kerangka epistemologi Islam.¹³ Hal ini mengarah pada fragmentasi ilmu dan hilangnya dimensi spiritual dalam berbagai disiplin ilmu.¹⁴


Kesimpulan

Kritik dan tantangan terhadap epistemologi Islam menunjukkan perlunya revitalisasi dan pembaruan dalam tradisi keilmuan Islam. Dengan mengintegrasikan warisan intelektual Islam dan menghadapi tantangan modern secara konstruktif, epistemologi Islam dapat memainkan peran yang signifikan dalam membangun peradaban yang harmonis antara ilmu, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan.


Catatan Kaki

[1]                Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 57-58.

[2]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 15-17.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 55.

[4]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 145.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 45-47.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 21-22.

[7]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 135.

[8]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 28-29.

[9]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 65.

[10]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 37-38.

[11]             Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism (New York: Columbia University Press, 2000), 92.

[12]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early 'Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 153-154.

[13]             Ebrahim Moosa, What Is a Madrasa? (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2015), 112.

[14]             Ziauddin Sardar, Re-Thinking Islam and Science (London: Grey Seal Books, 1991), 29-31.


8.           Dinamika Kontemporer dan Arah Pengembangan Epistemologi Islam

Epistemologi Islam di era kontemporer menghadapi tantangan besar akibat globalisasi, sekularisasi, dan dominasi paradigma Barat dalam ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain, tantangan ini juga menjadi peluang untuk mengembangkan kembali epistemologi Islam agar relevan dengan kebutuhan zaman. Pendekatan baru yang mengintegrasikan tradisi keilmuan Islam dengan ilmu modern mulai muncul sebagai solusi untuk membangun sistem pengetahuan yang holistik dan berorientasi pada nilai.

8.1.       Dinamika Epistemologi Islam di Era Globalisasi

Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada epistemologi Barat cenderung bersifat materialistik dan sekular. Hal ini sering kali bertentangan dengan epistemologi Islam yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan moral dalam ilmu.¹

Banyak pemikir Muslim kontemporer, seperti Seyyed Hossein Nasr, mengkritik paradigma Barat yang memisahkan ilmu dari etika dan agama.² Nasr menekankan pentingnya kembali kepada epistemologi Islam yang berbasis wahyu untuk menghadirkan solusi terhadap krisis spiritual yang dihadapi dunia modern.³

8.2.       Usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi salah satu respons utama terhadap tantangan modernitas. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pelopor dalam gerakan ini, yang bertujuan untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu modern dengan nilai-nilai Islam. Dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam, al-Attas menyatakan bahwa Islamisasi ilmu bukan hanya memasukkan istilah-istilah Islam dalam sains, tetapi juga mereformulasi dasar-dasar ilmu pengetahuan agar selaras dengan prinsip tauhid.⁴

Pendekatan ini telah diadopsi di berbagai lembaga pendidikan Islam di dunia, seperti International Islamic University Malaysia (IIUM), yang menjadikan integrasi ilmu sebagai landasan dalam kurikulum mereka.⁵

8.3.       Reinterpretasi Wahyu dalam Konteks Modern

Pemikir seperti Fazlur Rahman menekankan pentingnya reinterpretasi wahyu dalam konteks modern untuk menjawab tantangan zaman.⁶ Dalam karyanya Islam and Modernity, Rahman memperkenalkan metodologi hermeneutika ganda, di mana teks Al-Qur'an ditafsirkan berdasarkan konteks historisnya, tetapi juga diterapkan secara universal dalam konteks kontemporer.⁷ Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga relevansi epistemologi Islam tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasarnya.

8.4.       Integrasi Ilmu Naqli dan Aqli

Integrasi antara ilmu naqli (wahyu) dan aqli (rasional) menjadi fokus utama dalam pengembangan epistemologi Islam kontemporer. Pendekatan ini bertujuan untuk menghindari dikotomi antara ilmu agama dan ilmu duniawi, sebagaimana terjadi dalam tradisi keilmuan Barat.⁸ Ziauddin Sardar, dalam karyanya Islam, Postmodernism, and Other Futures, menekankan bahwa integrasi ini harus berbasis pada nilai-nilai Islam yang universal, seperti keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan umat.⁹

8.5.       Kontribusi terhadap Ilmu Modern

Epistemologi Islam memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi dalam ilmu modern, termasuk sains, teknologi, dan humaniora. Misalnya, dalam bidang etika bio-medis, prinsip-prinsip Islam dapat menjadi pedoman dalam menghadapi isu-isu seperti kloning, euthanasia, dan rekayasa genetika.¹⁰ Dalam bidang ekonomi, konsep ekonomi Islam telah berkembang menjadi alternatif yang signifikan terhadap sistem kapitalis dan sosialis.¹¹

8.6.       Tantangan Implementasi

Meskipun memiliki potensi besar, pengembangan epistemologi Islam menghadapi berbagai tantangan implementasi. Dominasi paradigma Barat dalam pendidikan dan penelitian sering kali menghambat upaya integrasi ilmu. Selain itu, kurangnya dukungan politik dan finansial dari negara-negara Muslim juga menjadi kendala utama.¹² Untuk mengatasi ini, diperlukan kerja sama antara ulama, akademisi, dan pemerintah dalam membangun institusi pendidikan dan penelitian yang berbasis pada epistemologi Islam.


Kesimpulan

Dinamika kontemporer menuntut epistemologi Islam untuk terus berkembang agar dapat menjawab tantangan zaman. Dengan mengintegrasikan tradisi keilmuan Islam dengan ilmu modern, epistemologi Islam dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangun peradaban global yang lebih adil, harmonis, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.


Catatan Kaki

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 25.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom Books, 1976), 45.

[3]                Ibid., 52.

[4]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 35-36.

[5]                Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 98.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 42.

[7]                Ibid., 48-49.

[8]                Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 77.

[9]                Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism, and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader (London: Pluto Press, 2003), 145-147.

[10]             Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 119.

[11]             Muhammad Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 35-36.

[12]             George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 210.


9.           Kesimpulan

Epistemologi Islam merupakan sistem keilmuan yang unik dan holistik, mengintegrasikan wahyu, akal, dan intuisi dalam upaya memahami realitas dan tujuan hidup manusia. Dengan landasan tauhid, epistemologi Islam memberikan panduan normatif dan etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yang tidak hanya bertujuan untuk memahami dunia fisik, tetapi juga untuk mendekatkan manusia kepada Allah.¹

Klasifikasi ilmu dalam tradisi Islam menunjukkan keseimbangan antara dimensi spiritual dan material. Ilmu naqliyah (tekstual) dan aqliyah (rasional), serta ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, memberikan kerangka sistematis dalam memahami prioritas ilmu.² Pendekatan ini mengarahkan manusia untuk mengembangkan ilmu yang bermanfaat bagi individu maupun masyarakat, sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.³

Namun, epistemologi Islam tidak terlepas dari kritik dan tantangan, baik dari dalam tradisi Islam itu sendiri maupun dari pengaruh luar. Perdebatan antara wahyu dan akal, stagnasi tradisi keilmuan, serta dominasi paradigma Barat dalam ilmu pengetahuan adalah beberapa isu yang memerlukan perhatian serius.⁴ Pemikiran kontemporer, seperti gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan reinterpretasi wahyu oleh Fazlur Rahman, menunjukkan upaya untuk menjawab tantangan ini dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip Islam.⁵

Dalam konteks global, epistemologi Islam memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap sains, teknologi, dan humaniora. Prinsip-prinsip etika dan spiritual Islam dapat menjadi pedoman dalam menghadapi krisis moral, lingkungan, dan sosial yang dihadapi dunia saat ini.⁶ Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa epistemologi Islam, dengan pendekatannya yang harmonis, dapat menjadi solusi bagi krisis spiritual yang disebabkan oleh sekularisme dan materialisme modern.⁷

Di masa depan, pengembangan epistemologi Islam memerlukan integrasi yang lebih mendalam antara tradisi keilmuan Islam dan ilmu modern. Hal ini melibatkan pembaruan kurikulum pendidikan Islam, penelitian berbasis nilai, serta kerja sama lintas disiplin untuk menciptakan ilmu yang holistik dan relevan dengan kebutuhan zaman.⁸ Dengan demikian, epistemologi Islam tidak hanya menjadi warisan intelektual, tetapi juga alat yang dinamis untuk membangun peradaban yang lebih adil, bermoral, dan berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.


Catatan Kaki

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 25.

[2]                Al-Farabi, The Classification of Knowledge, trans. Osman Amin (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), 14.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 37.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 55.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 35.

[6]                Muhammad Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 21.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom Books, 1976), 45.

[8]                Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 112.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1968). The Classification of Knowledge (Trans. Osman Amin). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Ghazali. (2000). The Incoherence of the Philosophers (Trans. Michael Marmura). Provo: Brigham Young University Press.

Al-Ghazali. (2002). Ihya’ Ulum al-Din (Trans. Fazlur Rahman). Chicago: Kazi Publications.

Al-Ghazali. (1998). The Niche of Lights (Trans. David Buchman). Provo: Brigham Young University Press.

Al-Ghazali. (1988). The Revival of Religious Sciences (Trans. Duncan Black MacDonald). London: Islamic Texts Society.

Al-Ghazali. (1994). Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul (Trans. Imran Ahsan Khan Nyazee). Islamabad: Islamic Research Institute.

Al-Qur’an. (n.d.). Al-Qur'an and Its Translations. Various editions.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the Economic Challenge. Leicester: Islamic Foundation.

Esack, F. (1997). Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications.

Fakhry, M. (2000). Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism. New York: Columbia University Press.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian Tradition. Leiden: Brill.

Gutas, D. (2001). The Book of Healing (Trans. Dimitri Gutas). Leiden: Brill.

Hallaq, W. B. (2005). The Origins and Evolution of Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2013). The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament. New York: Columbia University Press.

Ibn Kathir. (1999). Tafsir Al-Qur'an al-Azim (Ed. Ahmad Shakir). Cairo: Dar al-Ma’rifah.

Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (Trans. Simon van den Bergh). London: Luzac.

Moosa, E. (2015). What Is a Madrasa? Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1976). Islamic Science: An Illustrated Study. London: World Wisdom Books.

Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur'an. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Sardar, Z. (1991). Re-Thinking Islam and Science. London: Grey Seal Books.

Sardar, Z. (2003). Islam, Postmodernism, and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader. London: Pluto Press.

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. Cambridge: MIT Press.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1980). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1978). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM.

Van den Bergh, S. (Trans.). (1954). Tahafut al-Tahafut (Incoherence of the Incoherence). London: Luzac.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar