Prinsip Keadilan Antar Generasi
Fondasi Filosofis dan Tantangan Ekologis Kontemporer
Alihkan ke: Etika Lingkungan.
Abstrak
Krisis ekologis global di era Anthropocene
menuntut suatu paradigma etika baru yang melampaui batas waktu dan generasi.
Artikel ini mengkaji secara sistematis prinsip Keadilan Antar Generasi
(Intergenerational Justice) sebagai salah satu pilar utama dalam etika
lingkungan kontemporer, dengan pendekatan filosofis yang meliputi dimensi
ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, politik, dan praksis. Secara ontologis,
prinsip ini berakar pada pemahaman manusia sebagai makhluk temporal dan
ekologis yang eksistensinya terjalin dalam kesinambungan kehidupan. Secara epistemologis,
keadilan antar generasi menuntut bentuk pengetahuan moral yang reflektif dan
prognostik, yang mempertimbangkan dampak tindakan manusia terhadap masa depan
yang belum hadir. Secara aksiologis, ia menegaskan nilai-nilai universal
seperti tanggung jawab, solidaritas lintas waktu, dan keberlanjutan sebagai
dasar moral bagi eksistensi manusia dan bumi.
Analisis dalam artikel ini juga menyoroti dimensi sosial,
ekonomi, dan politik dari prinsip tersebut—mulai dari distribusi tanggung
jawab ekologis global, kritik terhadap paradigma pertumbuhan ekonomi tanpa batas,
hingga urgensi demokrasi ekologis yang memberi representasi moral bagi generasi
yang belum lahir. Dalam bagian kritis, dibahas berbagai tantangan ontologis dan
epistemologis seperti non-identity problem, keterbatasan pengetahuan
prediktif, serta bahaya antroposentrisme terselubung dalam wacana keadilan
lintas waktu. Melalui sintesis filosofis, artikel ini menawarkan arah menuju etika
lintas generasi yang integral dan humanistik, yakni suatu paradigma moral
yang menyatukan dimensi tanggung jawab eksistensial, kebijaksanaan ekologis,
dan nilai-nilai humanisme kosmik.
Akhirnya, keadilan antar generasi dipahami bukan
sekadar norma hukum atau kebijakan pembangunan, tetapi sebagai fondasi etika
peradaban berkelanjutan—sebuah panggilan moral bagi umat manusia untuk
hidup secara adil terhadap waktu, terhadap sesama, dan terhadap bumi.
Kata Kunci: Keadilan antar generasi; etika lingkungan; tanggung
jawab moral; keberlanjutan; solidaritas temporal; etika ekologis; humanisme
ekologis; filsafat keberlanjutan; etika lintas waktu; etika integral-humanistik.
PEMBAHASAN
Prinsip Keadilan Antar Generasi dalam Etika Lingkungan
1.          
Pendahuluan
Krisis ekologis global yang kian mendalam telah
menimbulkan kesadaran baru tentang keterbatasan paradigma pembangunan modern
yang antroposentris dan eksploitatif. Perubahan iklim, degradasi tanah,
hilangnya keanekaragaman hayati, serta pencemaran udara dan laut menunjukkan
bahwa aktivitas manusia abad ke-21 telah melampaui batas daya dukung bumi (planetary
boundaries) dan mengancam kelangsungan kehidupan generasi mendatang.¹ Dalam
konteks ini, muncul tuntutan moral yang melampaui ruang dan waktu: bagaimana
generasi sekarang bertanggung jawab terhadap generasi yang belum lahir, baik
secara ekologis, sosial, maupun eksistensial.²
Prinsip keadilan antar generasi
(intergenerational justice) lahir dari kesadaran bahwa keadilan tidak hanya
menyangkut relasi horizontal—antara individu atau kelompok dalam satu
masa—melainkan juga relasi vertikal antar waktu.³ Ia memperluas horizon etika
tradisional yang berpusat pada relasi kontemporer menuju kesadaran temporal
yang mencakup masa depan. Prinsip ini menegaskan bahwa generasi sekarang
memiliki kewajiban moral untuk memastikan kondisi ekologis dan sosial yang
layak bagi kehidupan generasi mendatang, sehingga keberlanjutan (sustainability)
bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan kewajiban etis yang fundamental.⁴
Dalam wacana internasional, konsep ini mendapat
legitimasi kuat sejak terbitnya Laporan Brundtland berjudul Our Common
Future (1987), yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan
yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.”⁵ Prinsip tersebut
kemudian menjadi fondasi bagi berbagai deklarasi lingkungan global, seperti Rio
Declaration on Environment and Development (1992), Kyoto Protocol
(1997), dan Paris Agreement (2015).⁶ Namun, di balik legitimasi politis
itu, tersimpan persoalan filosofis yang kompleks: apakah generasi masa depan
dapat menjadi subjek moral? Bagaimana menilai keadilan terhadap entitas yang
belum eksis secara empiris? Dan sejauh mana tanggung jawab moral dapat
melampaui batas temporal kehidupan manusia saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita pada
wilayah filsafat moral dan etika lingkungan, di mana refleksi tentang
waktu, tanggung jawab, dan keberlanjutan saling berjalin. Hans Jonas dalam The
Imperative of Responsibility (1979) menegaskan bahwa kemajuan teknologi
modern telah memperluas jangkauan tindakan manusia sedemikian rupa sehingga
konsekuensinya tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu kini, melainkan
berdampak pada eksistensi masa depan umat manusia.⁷ Oleh karena itu, etika
modern harus disesuaikan untuk mencakup tanggung jawab terhadap generasi yang
belum lahir, karena keputusan yang diambil hari ini menentukan bentuk dunia
yang mereka warisi esok.⁸
Kajian mengenai prinsip keadilan antar generasi
menjadi semakin penting dalam konteks era Anthropocene, ketika manusia menjadi
kekuatan geologis yang mengubah sistem bumi secara mendalam.⁹ Dalam era ini,
relasi moral tidak lagi dapat dipisahkan dari ekologi: setiap tindakan ekonomi,
politik, dan sosial membawa implikasi ekologis lintas waktu. Maka dari itu,
keadilan antar generasi tidak hanya merupakan isu normatif, tetapi juga
ontologis—menyangkut hakikat manusia sebagai makhluk temporal dan ekologis yang
hidup dalam jaringan keberlanjutan.¹⁰
Artikel ini berupaya mengkaji prinsip keadilan
antar generasi secara filosofis dengan pendekatan ontologis, epistemologis,
dan aksiologis, serta menelusuri relevansinya terhadap dinamika sosial,
ekonomi, dan politik kontemporer. Melalui pendekatan ini, diharapkan muncul
pemahaman yang lebih integral tentang keadilan lintas waktu—sebagai fondasi
moral bagi etika lingkungan yang berorientasi pada keberlanjutan, solidaritas,
dan martabat kehidupan di bumi.
Footnotes
[1]               
Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for
Humanity,” Nature 461, no. 7263 (2009): 472–475.
[2]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
18.
[3]               
Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A
Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Law 15,
no. 1 (1985): 128–136.
[4]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 32–34.
[5]               
World Commission on Environment and Development
(WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
[6]               
United Nations, Rio Declaration on Environment
and Development (New York: UN, 1992).
[7]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 6–8.
[8]               
Larry L. Rasmussen, Earth Community, Earth
Ethics (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1996), 57–59.
[9]               
Paul J. Crutzen, “The Geology of Mankind,” Nature
415, no. 6867 (2002): 23.
[10]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 71–73.
2.          
Landasan
Historis dan Konseptual
Gagasan keadilan antar generasi (intergenerational
justice) memiliki akar yang panjang dalam tradisi filsafat moral dan
politik Barat, namun baru mendapatkan artikulasi eksplisit dalam konteks etika
lingkungan modern. Sejak masa Yunani Kuno, filsafat moral telah mengaitkan
keadilan dengan keteraturan kosmos dan hubungan timbal balik antara individu
dan polis. Bagi Aristoteles, keadilan adalah “kebajikan sempurna”
karena mencakup relasi dengan orang lain dan menuntut keseimbangan antara hak
dan kewajiban.¹ Namun, konsepsi tersebut masih berorientasi pada relasi sosial
kontemporer—antara manusia yang hidup pada masa yang sama—tanpa
mempertimbangkan konsekuensi moral terhadap generasi masa depan.
Perkembangan pemikiran modern membawa dimensi baru
dalam refleksi tentang keadilan. John Locke melalui teori hak milik
dalam Second Treatise of Government menekankan bahwa hak atas sumber daya
alam dibatasi oleh prinsip “enough and as good,” yakni setiap orang
berhak mengambil dari alam sejauh tidak mengurangi kesempatan orang lain untuk
memperoleh hal yang sama.² Prinsip ini secara implisit membuka ruang bagi
gagasan tanggung jawab terhadap yang belum lahir, karena eksploitasi alam hari
ini dapat menghilangkan hak yang sama bagi mereka di masa depan.³ Namun, baru
pada abad ke-20, refleksi eksplisit tentang keadilan lintas waktu memperoleh
bentuk sistematis melalui teori-teori moral kontemporer.
2.1.      
Teori Keadilan dalam Filsafat Modern
Dalam filsafat politik modern, John Rawls
memberikan sumbangan mendasar melalui A Theory of Justice (1971), yang
memperkenalkan gagasan tentang “tabir ketidaktahuan” (veil of
ignorance).⁴ Jika seseorang tidak mengetahui posisi generasionalnya—apakah
ia hidup sekarang atau di masa depan—maka rasional baginya untuk menyetujui
prinsip-prinsip yang menjamin keadilan antar generasi. Rawls menyebut prinsip
ini sebagai “just savings principle”, yakni kewajiban generasi kini
untuk menyimpan dan mewariskan kondisi sosial serta sumber daya yang
memungkinkan generasi berikutnya menikmati institusi yang adil.⁵
Namun, Rawls dikritik karena belum memberikan
justifikasi metafisik yang cukup mengenai status moral generasi masa depan. Brian
Barry dan Derek Parfit memperdalam perdebatan ini dengan menyoroti
paradoks identitas (non-identity problem), yaitu kesulitan logis dalam
mengatakan bahwa tindakan tertentu merugikan individu yang tidak akan ada tanpa
tindakan tersebut.⁶ Dengan demikian, diskursus keadilan antar generasi menuntut
peninjauan ulang atas asumsi dasar etika modern yang cenderung mengandalkan
prinsip utilitarian atau kontraktual.
2.2.      
Transposisi Etika ke Ranah Ekologis
Masuknya gagasan keadilan ke dalam ranah ekologis
terjadi seiring dengan perubahan cara pandang terhadap alam. Revolusi industri
dan kemajuan teknologi menimbulkan kesadaran baru bahwa tindakan manusia
memiliki dampak jangka panjang terhadap sistem bumi. Dalam konteks inilah
muncul pemikiran Hans Jonas, yang menegaskan bahwa tanggung jawab etis
manusia kini melampaui batas ruang dan waktu karena kekuatan teknologi modern
dapat mengubah kondisi eksistensial kehidupan di bumi.⁷ Imperatif etis Jonas—“Act
so that the effects of your action are compatible with the permanence of
genuine human life on Earth”—menjadi dasar bagi bentuk etika baru yang
berorientasi pada masa depan.⁸
Selain Jonas, Aldo Leopold melalui The
Land Ethic (1949) memperluas horizon moral dari komunitas manusia menuju
komunitas ekologis. Bagi Leopold, manusia adalah bagian dari “komunitas biotik”
yang lebih luas, sehingga kewajiban moral tidak hanya berlaku terhadap sesama
manusia, tetapi juga terhadap tanah, air, dan makhluk hidup lain.⁹ Etika tanah
ini menjadi dasar bagi pemikiran lingkungan yang melihat generasi mendatang
bukan hanya sebagai pewaris, tetapi juga sebagai anggota lanjutan dari
komunitas ekologis tersebut.¹⁰
2.3.      
Konteks Hukum dan Kebijakan Global
Gagasan filosofis tersebut menemukan ekspresinya
dalam kebijakan dan hukum internasional sejak paruh akhir abad ke-20. Laporan
Brundtland (1987) menjadi tonggak penting dalam memperkenalkan istilah sustainable
development, yang menggabungkan dimensi keadilan sosial dan ekologis antar
generasi.¹¹ Setelah itu, Rio Declaration on Environment and Development
(1992) menegaskan prinsip keadilan antar generasi sebagai bagian integral dari
pembangunan berkelanjutan, disusul oleh United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) yang menempatkan “equity and responsibility” sebagai
dasar moral bagi aksi global terhadap perubahan iklim.¹²
Selain itu, Edith Brown Weiss mengembangkan
kerangka hukum intergenerational equity, yang menekankan tiga prinsip
utama: conservation of options (melestarikan pilihan bagi generasi
mendatang), conservation of quality (menjaga kualitas lingkungan), dan conservation
of access (menjamin akses yang adil terhadap sumber daya alam).¹³ Kerangka
ini menegaskan bahwa keadilan antar generasi bukan sekadar tanggung jawab
moral, tetapi juga prinsip normatif dalam hukum internasional lingkungan.
2.4.      
Evolusi Konseptual Menuju Etika
Lintas Waktu
Dengan demikian, prinsip keadilan antar generasi
berevolusi dari refleksi moral tentang hubungan antar manusia menuju paradigma
etika lintas waktu dan ekologis. Ia menuntut pergeseran cara pandang dari keadilan
distributif (berbagi sumber daya di antara manusia yang hidup sekarang)
menuju keadilan temporal (mempertanggungjawabkan dampak tindakan
terhadap masa depan).¹⁴ Dalam kerangka etika lingkungan, prinsip ini berfungsi
sebagai jembatan antara nilai keberlanjutan (sustainability) dan
tanggung jawab moral (responsibility).¹⁵
Kontekstualisasi historis dan konseptual ini
menunjukkan bahwa keadilan antar generasi bukanlah gagasan normatif yang
terisolasi, melainkan hasil evolusi panjang dari tradisi etika klasik, modern,
dan ekologis. Prinsip ini memperluas horizon moral manusia dari ruang ke waktu,
dari individu ke komunitas ekologis, dan dari kepentingan kini menuju
keberlangsungan kehidupan bersama di masa depan.
Footnotes
[1]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129a–1131a.
[2]               
John Locke, Second Treatise of Government
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 27–33.
[3]               
Henry Shue, “Environmental Change and the Varieties
of Justice,” in The International Politics of the Environment, ed.
Andrew Hurrell and Benedict Kingsbury (Oxford: Clarendon Press, 1992), 380–382.
[4]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 118–123.
[5]               
Ibid., 285–293.
[6]               
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 351–379.
[7]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 6–8.
[8]               
Ibid., 11.
[9]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And
Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 201–204.
[10]            
J. Baird Callicott, “The Land Ethic,” in Companion
to Environmental Philosophy, ed. Dale Jamieson (Oxford: Blackwell, 2001),
182–184.
[11]            
World Commission on Environment and Development
(WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
[12]            
United Nations, Rio Declaration on Environment
and Development (New York: UN, 1992), Principle 3.
[13]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University Press, 1989), 37–42.
[14]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 40–43.
[15]            
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
24–25.
3.          
Ontologi
Keadilan Antar Generasi
Pembahasan ontologis mengenai keadilan antar
generasi menuntut pemahaman mendalam tentang hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk temporal dan ekologis. Keadilan antar generasi tidak dapat direduksi
hanya pada norma moral atau kebijakan publik; ia berakar pada struktur
eksistensial manusia yang hidup dalam arus waktu dan dalam keterikatan
ontologis dengan alam.¹ Dengan demikian, prinsip ini menyingkap dimensi
terdalam dari keberadaan manusia: bahwa eksistensi bukanlah entitas statis,
melainkan relasi dinamis antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.²
3.1.      
Manusia sebagai Makhluk Temporal dan
Historis
Dalam perspektif ontologi eksistensial, waktu bukan
sekadar urutan kronologis, melainkan dimensi konstitutif keberadaan manusia. Martin
Heidegger dalam Being and Time menegaskan bahwa manusia (Dasein)
selalu “menjadi” (Sein-zum-Sein), bukan “ada” secara
tetap.³ Eksistensi manusia dipahami sebagai being-toward-future—suatu
keterarahan menuju kemungkinan-kemungkinan yang belum terwujud. Dengan
demikian, tanggung jawab terhadap generasi mendatang bukan sekadar tindakan
moral tambahan, tetapi bagian dari struktur ontologis eksistensi manusia yang
sadar akan kesinambungan waktu.⁴
Dalam konteks etika lingkungan, kesadaran temporal
ini mengandung implikasi ontologis yang mendalam: manusia bukan hanya subjek
yang hidup “di dalam” alam, melainkan bagian dari proses keberlanjutan
kehidupan yang melampaui eksistensinya sendiri. Hans Jonas menyebut hal
ini sebagai ontologi tanggung jawab—bahwa kekuatan manusia modern untuk
mengubah alam menimbulkan kewajiban eksistensial untuk menjaga keberlangsungan
kehidupan.⁵ Keberadaan manusia, karenanya, hanya dapat dimaknai dalam relasinya
dengan keberadaan yang akan datang.
3.2.      
Relasi Ontologis Manusia dan Alam
Keadilan antar generasi menuntut pemahaman tentang
keterhubungan antara manusia dan alam sebagai entitas ontologis yang
ko-eksistensial. Dalam kerangka ini, alam tidak lagi dipahami sebagai objek
eksternal yang dapat dimiliki atau dikendalikan, tetapi sebagai medium
keberadaan manusia itu sendiri.⁶ Maurice Merleau-Ponty menggambarkan
hubungan ini melalui konsep la chair du monde (the flesh of the
world)—bahwa tubuh manusia dan dunia saling menubuh, saling membentuk dalam
kesalingbergantungan ontologis.⁷ Maka, merusak alam berarti mengoyak jaringan
eksistensial yang menopang kehidupan masa kini dan masa depan.
Pemikiran serupa hadir dalam tradisi Timur dan
kosmologi pribumi yang melihat manusia sebagai bagian integral dari siklus
kosmik. Dalam pandangan ini, hubungan antar generasi tidak terputus oleh waktu,
melainkan disatukan oleh kontinuitas eksistensial antara leluhur, manusia kini,
dan keturunan masa depan.⁸ Ontologi ekologis demikian menegaskan bahwa keadilan
antar generasi bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga ekspresi dari
kesadaran ontologis akan keutuhan makhluk hidup dalam jejaring kosmos.
3.3.      
Ontologi Waktu dan Tanggung Jawab
Dimensi waktu memainkan peran sentral dalam
ontologi keadilan antar generasi. Paul Ricoeur dalam Time and
Narrative menjelaskan bahwa manusia memahami dirinya melalui narasi
waktu—menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan dalam struktur makna yang
utuh.⁹ Dalam konteks ini, tanggung jawab terhadap generasi mendatang dapat
dipahami sebagai tindakan naratif: generasi kini menulis bab awal bagi kisah
keberlanjutan yang akan diteruskan oleh generasi berikutnya.¹⁰ Dengan demikian,
keadilan antar generasi adalah bentuk etika naratif yang menempatkan waktu
sebagai ruang tanggung jawab moral.
Selain itu, waktu dalam perspektif ontologis tidak
bersifat netral; ia membawa arah (teleologi) kehidupan. Emmanuel
Levinas menafsirkan waktu sebagai perjumpaan dengan “yang lain” (l’Autre)
yang belum hadir—suatu bentuk keterbukaan etis terhadap masa depan.¹¹ Generasi
mendatang, dalam pengertian Levinasian, adalah l’autre du temps, yakni “yang
lain” yang menuntut tanggung jawab tanpa kontrak, tanpa timbal balik.¹²
Maka, keadilan antar generasi adalah wujud paling murni dari etika alteritas:
bertanggung jawab terhadap mereka yang bahkan belum dapat membalas kebaikan
kita.
3.4.      
Ontologi Keberlanjutan dan
Eksistensi Kolektif
Dalam kerangka ekologis, keberlanjutan (sustainability)
merupakan kategori ontologis yang mendefinisikan cara manusia “ada” di dunia
bersama yang terus berubah.¹³ Keberlanjutan bukan hanya strategi kebijakan,
melainkan modus eksistensi yang menegaskan bahwa keberadaan manusia bersifat
kolektif dan temporal. Holmes Rolston III menulis bahwa manusia adalah “penyambung
kehidupan” (life continuer), makhluk yang eksistensinya bertujuan
untuk memastikan kelanjutan kehidupan lain.¹⁴
Dengan demikian, prinsip keadilan antar generasi
berakar pada pengakuan ontologis bahwa keberadaan manusia tidak otonom,
melainkan selalu berada dalam jejaring ekologis dan temporal yang lebih besar.
Manusia yang adil adalah manusia yang sadar bahwa keberadaannya menuntut
kesinambungan—bahwa hidup hari ini hanya bermakna sejauh ia menjamin
kemungkinan hidup bagi hari esok.¹⁵
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
21–23.
[2]               
David E. Cooper, Philosophy and the Environment
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 15–16.
[3]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
274–276.
[4]               
Ibid., 325–328.
[5]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 8–10.
[6]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 54–57.
[7]               
Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the
Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1968), 130–133.
[8]               
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 42–44.
[9]               
Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 52–55.
[10]            
Ibid., 65–67.
[11]            
Emmanuel Levinas, Time and the Other, trans.
Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1987), 41–44.
[12]            
Ibid., 58.
[13]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 501–503.
[14]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 70–72.
[15]            
J. Baird Callicott, Thinking Like a Planet: The
Land Ethic and the Earth Ethic (Oxford: Oxford University Press, 2013),
25–27.
4.          
Epistemologi
Keadilan Antar Generasi
Pertanyaan epistemologis dalam keadilan antar
generasi berpusat pada dasar pengetahuan dan justifikasi moral yang
memungkinkan kita mengetahui, memahami, dan menilai kewajiban terhadap generasi
yang belum lahir. Jika ontologi keadilan antar generasi berbicara tentang mengapa
manusia bertanggung jawab secara eksistensial terhadap masa depan, maka
epistemologinya menelaah bagaimana manusia dapat mengetahui dan menalar
tanggung jawab itu.¹ Dengan kata lain, epistemologi keadilan antar generasi
berusaha menjembatani kesenjangan antara pengalaman empiris masa kini dan
kemungkinan moral masa depan.
4.1.      
Masalah Pengetahuan tentang Generasi
Mendatang
Secara epistemologis, generasi mendatang
menghadirkan problem unik: mereka belum ada secara aktual, sehingga segala
penilaian tentang kepentingan, hak, atau penderitaan mereka bersifat
inferensial.² Derek Parfit menyebut dilema ini sebagai non-identity
problem—bahwa tindakan kita saat ini tidak merugikan individu tertentu,
karena tanpa tindakan tersebut mereka tidak akan eksis.³ Namun, dari perspektif
epistemologi moral, ketidaktahuan tentang identitas generasi mendatang tidak
meniadakan kewajiban kita terhadap mereka. Henry Shue berpendapat bahwa
prinsip keadilan lingkungan dapat dibangun atas dasar probabilistik: meskipun
kita tidak mengetahui siapa mereka, kita mengetahui bahwa tindakan kita akan
memengaruhi kemungkinan mereka untuk hidup layak.⁴
Dengan demikian, pengetahuan moral tentang generasi
mendatang tidak memerlukan informasi identitas individual, melainkan pemahaman
rasional tentang keterkaitan sebab-akibat ekologis antara tindakan kini dan
dampak masa depan.⁵ Prinsip ini menyerupai epistemologi tindakan dalam Immanuel
Kant yang berlandaskan universalizability: bahwa suatu tindakan
dapat dikatakan bermoral bila dapat dijadikan prinsip universal tanpa
kontradiksi logis.⁶ Dalam konteks keadilan antar generasi, tindakan yang
merusak keberlanjutan kehidupan adalah bentuk kontradiksi moral terhadap
prinsip universal keberadaan manusia itu sendiri.
4.2.      
Rasionalitas dan Moralitas dalam
Horizon Waktu
Keadilan antar generasi juga menuntut perluasan
rasionalitas moral melampaui waktu kini. John Rawls mengusulkan prinsip just
savings, yang secara epistemologis dibangun di atas “tabir ketidaktahuan”
(veil of ignorance), di mana individu yang rasional tidak mengetahui
posisi temporalnya: apakah ia termasuk generasi sekarang atau generasi
mendatang.⁷ Dengan demikian, rasionalitas murni akan menuntun pada kesimpulan
bahwa manusia harus menetapkan prinsip yang menguntungkan semua generasi secara
adil.⁸
Namun, pandangan Rawls dikritik oleh Stephen
Gardiner, yang berargumen bahwa struktur pengetahuan moral kita cenderung
bias terhadap waktu kini (temporal bias).⁹ Menurutnya, ketidakadilan
iklim dan eksploitasi ekologis menunjukkan adanya intergenerational moral
corruption, di mana struktur epistemik masyarakat modern gagal
memperhitungkan konsekuensi jangka panjang karena dikendalikan oleh kepentingan
ekonomi dan politik jangka pendek.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi keadilan
antar generasi menuntut transformasi cara berpikir: dari rasionalitas
instrumental menuju rasionalitas reflektif yang mampu menimbang akibat moral
lintas waktu.
4.3.      
Pengetahuan Ekologis dan Moralitas
Prognostik
Salah satu karakteristik khas epistemologi keadilan
antar generasi adalah sifatnya yang prognostik, yakni berorientasi pada
prediksi dan antisipasi.¹¹ Hans Jonas menegaskan bahwa etika masa kini
harus didasarkan pada pengetahuan tentang kemungkinan (knowledge of
possibilities)—sebuah kesadaran bahwa tindakan manusia modern membawa
potensi destruktif yang belum pernah ada sebelumnya.¹² Oleh karena itu,
kewajiban moral muncul bukan dari kepastian empiris, tetapi dari kesadaran
terhadap kemungkinan bahaya eksistensial yang ditimbulkan oleh tindakan
manusia.¹³
Pengetahuan ekologis modern memperkuat pandangan
ini melalui pemahaman ilmiah tentang sistem bumi yang kompleks dan saling
bergantung. Dalam konteks epistemologi lingkungan, tindakan moral yang
berkeadilan antar generasi berakar pada prinsip precautionary knowledge—yaitu
bertindak hati-hati berdasarkan kemungkinan risiko ekologis, meskipun bukti
empiris belum sepenuhnya lengkap.¹⁴ Dengan demikian, etika lingkungan
memerlukan epistemologi yang bersifat anticipatory dan adaptive,
bukan sekadar deskriptif.
4.4.      
Epistemologi Interdisipliner: Dari
Sains ke Hermeneutika
Epistemologi keadilan antar generasi bersifat
interdisipliner karena menggabungkan dimensi ilmiah, etis, dan hermeneutik.
Dari sisi ilmiah, sains ekologi dan klimatologi menyediakan dasar pengetahuan
empiris tentang dampak jangka panjang dari aktivitas manusia. Dari sisi etis,
filsafat moral menilai nilai-nilai dan kewajiban yang terkandung di dalamnya.
Namun, aspek hermeneutik berperan penting dalam menafsirkan makna keberlanjutan
sebagai narasi moral lintas waktu.¹⁵
Paul Ricoeur menekankan bahwa memahami tindakan manusia berarti memahami konteks
waktu dan maknanya.¹⁶ Dengan demikian, epistemologi keadilan antar generasi
bukan hanya soal mengetahui fakta ekologis, tetapi juga menafsirkan tanggung
jawab manusia dalam horizon sejarah dan masa depan. Holmes Rolston III
menambahkan bahwa ilmu pengetahuan ekologis harus dibingkai oleh kesadaran
moral—pengetahuan tanpa nilai hanya akan memperkuat dominasi teknologis yang
destruktif.¹⁷ Oleh karena itu, epistemologi etika lingkungan harus bersifat
reflektif, integratif, dan berorientasi pada kebijaksanaan ekologis (ecological
wisdom).
4.5.      
Rasionalitas Moral dalam
Ketidaktahuan Temporal
Akhirnya, keadilan antar generasi menegaskan
perlunya epistemologi moral yang tetap rasional meski beroperasi dalam
ketidaktahuan temporal.¹⁸ Jürgen Habermas melalui teori tindakan
komunikatif menunjukkan bahwa validitas moral dapat dicapai melalui
rasionalitas intersubjektif—yaitu melalui diskursus etis yang terbuka antar
warga moral.¹⁹ Jika prinsip ini diterapkan pada konteks lintas generasi, maka
generasi sekarang bertugas menjadi “juru bicara” bagi generasi mendatang
yang tidak dapat berpartisipasi dalam diskursus.²⁰ Maka, epistemologi keadilan
antar generasi adalah epistemologi partisipatif yang memperluas suara moral
melampaui batas waktu.
Dengan demikian, epistemologi keadilan antar
generasi tidak hanya menjelaskan bagaimana kita mengetahui kewajiban
moral terhadap masa depan, tetapi juga bagaimana kita menghayatinya
secara reflektif dan rasional. Ia menuntut bentuk pengetahuan yang tidak
berhenti pada fakta, melainkan menembus ke wilayah kebijaksanaan—sebuah
pengetahuan yang mengarahkan tindakan manusia pada keberlanjutan kehidupan.
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
33–34.
[2]               
Henry Shue, “Environmental Change and the Varieties
of Justice,” in The International Politics of the Environment, ed.
Andrew Hurrell and Benedict Kingsbury (Oxford: Clarendon Press, 1992), 381.
[3]               
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 351–355.
[4]               
Henry Shue, “Global Environment and International
Inequality,” International Affairs 75, no. 3 (1999): 531–545.
[5]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014),
67–69.
[6]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
42–44.
[7]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 285–293.
[8]               
Ibid., 295.
[9]               
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The
Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011),
398–401.
[10]            
Ibid., 406–408.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 6–8.
[12]            
Ibid., 11–12.
[13]            
Ibid., 36–38.
[14]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 508–511.
[15]            
Bryan G. Norton, “Intergenerational Equity and
Environmental Decisions: A Model Using Habermas’s Discourse Ethics,” Ecological
Economics 19, no. 1 (1996): 59–70.
[16]            
Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 64–65.
[17]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 80–83.
[18]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 53–55.
[19]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[20]            
Ibid., 90–92.
5.          
Aksiologi
dan Prinsip Moral Keadilan Antar Generasi
Jika ontologi keadilan antar generasi menyingkap
dasar keberadaan manusia sebagai makhluk temporal dan ekologis, maka
aksiologinya berfokus pada nilai-nilai moral yang memberi makna, arah, dan
motivasi bagi tanggung jawab lintas waktu tersebut. Aksiologi keadilan antar
generasi mengandung dimensi normatif yang menegaskan apa yang baik, apa
yang bernilai, dan apa yang seharusnya dijaga bagi kelangsungan
hidup manusia dan alam.¹ Dengan demikian, prinsip moral keadilan antar generasi
menjadi bentuk konkret dari etika keberlanjutan (ethics of sustainability)
yang menuntut integrasi antara nilai tanggung jawab, solidaritas, dan keutuhan
ekologis.
5.1.      
Nilai Tanggung Jawab
(Responsibility) sebagai Imperatif Moral
Nilai paling mendasar dalam aksiologi keadilan
antar generasi adalah tanggung jawab moral terhadap kehidupan yang akan
datang. Hans Jonas menyatakan bahwa kemajuan teknologi modern telah mengubah
struktur tindakan manusia: tindakan kini memiliki akibat yang tak terbayangkan
pada masa depan.² Karena itu, muncul imperatif baru: “Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga akibat dari tindakanmu selaras dengan keberlanjutan
kehidupan manusia di bumi.”³ Dalam pengertian ini, tanggung jawab bukan
sekadar kewajiban sosial, melainkan imperatif ontologis yang mengikat
manusia karena kemampuannya memengaruhi kondisi eksistensi generasi mendatang.⁴
Tanggung jawab demikian bersifat asimetris—kita
memiliki kewajiban terhadap mereka yang tidak memiliki kemampuan membalas atau
menuntut.⁵ Dalam konteks ini, prinsip keadilan antar generasi memperluas
cakrawala moral menuju masa depan, menuntut kita bertindak dengan kesadaran
bahwa setiap keputusan ekologis hari ini merupakan warisan moral bagi dunia
esok. Paul Ricoeur menafsirkan tanggung jawab ini sebagai bentuk kesetiaan
naratif terhadap sejarah kemanusiaan, yakni kesediaan untuk menjadi penjaga
keberlanjutan kisah hidup umat manusia.⁶
5.2.      
Solidaritas Lintas Waktu (Temporal
Solidarity)
Selain tanggung jawab, keadilan antar generasi
berakar pada nilai solidaritas—yaitu pengakuan akan keterhubungan etis
antara manusia masa kini dan masa depan. Solidaritas lintas waktu mencerminkan
kesadaran bahwa kesejahteraan generasi mendatang tidak dapat dipisahkan dari
tindakan kolektif generasi sekarang. Karl-Otto Apel menegaskan bahwa
etika komunikatif harus meluas menjadi etika transgenerasional, di mana
tindakan moral dipertanggungjawabkan di hadapan komunitas komunikasi yang mencakup
juga generasi yang belum lahir.⁷
Solidaritas temporal berarti memperlakukan generasi
mendatang sebagai bagian dari komunitas moral universal yang memiliki
hak atas keberlanjutan hidup dan sumber daya alam.⁸ Edith Brown Weiss
menegaskan bahwa solidaritas tersebut mengandung tiga prinsip keadilan
ekologis: conservation of options, conservation of quality, dan conservation
of access—yakni menjaga agar generasi mendatang memiliki pilihan, kualitas
lingkungan, dan akses yang sama seperti generasi sekarang.⁹ Dengan demikian,
solidaritas antar generasi bukan sekadar simpati moral, tetapi struktur
normatif yang mengatur distribusi hak dan tanggung jawab ekologis di sepanjang
waktu.
Solidaritas ini juga menuntut perubahan paradigma
dari individualisme menuju etika komunitarian ekologis. Dalam kerangka
komunitarianisme ekologis, generasi kini dilihat sebagai bagian dari rantai
kehidupan yang saling berkelanjutan, bukan entitas terpisah yang berdaulat atas
sumber daya alam.¹⁰ Prinsip ini melahirkan kesadaran etis bahwa keberlanjutan
kehidupan manusia hanya dapat dijamin melalui solidaritas dengan mereka yang
akan mewarisi dunia ini.
5.3.      
Keberlanjutan (Sustainability)
sebagai Nilai Moral Dasar
Nilai ketiga yang menjadi fondasi aksiologi
keadilan antar generasi adalah keberlanjutan. Dalam wacana moral,
keberlanjutan tidak hanya berarti menjaga sumber daya alam agar tidak habis,
tetapi juga menjamin kemungkinan moral untuk hidup baik di masa depan.¹¹
Bryan Norton menyebut keberlanjutan sebagai moral relationship
extended in time—relasi etis yang mempertahankan nilai kehidupan lintas
generasi.¹²
Keberlanjutan juga merupakan bentuk keseimbangan
antara tiga dimensi nilai: ekologis, sosial, dan eksistensial.¹³ Secara
ekologis, ia menuntut kelestarian sistem bumi; secara sosial, ia menuntut
keadilan distribusi antar generasi; dan secara eksistensial, ia menegaskan
martabat manusia sebagai penjaga kehidupan (steward of life).¹⁴ Dalam
kerangka ini, prinsip keberlanjutan menjadi nilai instrumental sekaligus intrinsik:
ia bernilai karena menjaga kehidupan, dan bernilai pada dirinya sendiri karena
mencerminkan keteraturan etis alam semesta.¹⁵
Aldo Leopold menggambarkan hal ini secara puitis dalam The Land Ethic: “Sesuatu
dianggap benar bila ia cenderung menjaga integritas, stabilitas, dan keindahan
komunitas biotik; dianggap salah bila sebaliknya.”¹⁶ Pandangan Leopold
memperluas batas etika dari manusia ke alam, dan dari waktu kini ke masa
depan—menjadikan keberlanjutan bukan sekadar kebijakan, melainkan kebaikan moral
itu sendiri.
5.4.      
Prinsip-Prinsip Moral dalam Keadilan
Antar Generasi
Berdasarkan nilai-nilai di atas, dapat dirumuskan
beberapa prinsip moral utama yang membentuk kerangka aksiologis keadilan
antar generasi:
1)                 
Prinsip Tanggung Jawab Eksistensial – 
Generasi
kini memiliki kewajiban moral untuk tidak melakukan tindakan yang mengancam
keberadaan kehidupan masa depan.¹⁷
2)                 
Prinsip Solidaritas Temporal – 
Generasi
sekarang dan mendatang merupakan satu komunitas moral yang saling bergantung
dalam kesinambungan ekosistem bumi.¹⁸
3)                 
Prinsip Keberlanjutan Intrinsik – 
Alam dan
kehidupan memiliki nilai intrinsik yang harus dijaga terlepas dari manfaatnya
bagi manusia.¹⁹
4)                 
Prinsip Amanah (Trusteeship) – 
Generasi
kini bertindak sebagai penjaga (trustee) bumi bagi generasi yang akan
datang, bukan pemilik absolut sumber daya alam.²⁰
Prinsip-prinsip tersebut membentuk struktur moral
yang integral dan koheren, menghubungkan tanggung jawab personal, keadilan
sosial, dan harmoni ekologis dalam horizon temporal yang luas. Melalui kerangka
aksiologis ini, keadilan antar generasi bukan hanya norma hukum atau politik,
tetapi panggilan etis untuk hidup secara bertanggung jawab dalam jaringan
kehidupan yang berkelanjutan.
5.5.      
Moralitas Waktu dan Cakrawala Etika
Aksiologi keadilan antar generasi juga memuat dimensi
temporal moralitas—bahwa nilai-nilai moral memiliki cakrawala waktu yang
luas. Emmanuel Levinas menyatakan bahwa tanggung jawab sejati selalu
tertuju pada “yang lain” yang belum hadir (the Other who is to come).²¹
Dalam pengertian ini, generasi mendatang adalah wajah masa depan yang menatap
kita dengan diam, menuntut kita bertindak adil meski mereka belum ada untuk
berbicara.²²
Dengan demikian, moralitas waktu menuntut bentuk imajinasi
etis yang mampu menembus batas temporal.²³ Hanya dengan memperluas
cakrawala etika ke masa depan, manusia dapat memulihkan keseimbangan antara hak
kini dan hak yang akan datang. Aksiologi keadilan antar generasi, karenanya,
adalah proyek moral untuk memperpanjang ruang etika hingga mencakup
keberlanjutan kehidupan itu sendiri.
Footnotes
[1]               
David E. Cooper, Philosophy and the Environment
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 22–24.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 4–6.
[3]               
Ibid., 11.
[4]               
Ibid., 19–21.
[5]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 245–247.
[6]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 165–167.
[7]               
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy, trans. Glyn Adey and David Frisby (London: Routledge, 1980),
283–285.
[8]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 61–63.
[9]               
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University Press, 1989), 40–44.
[10]            
John B. Cobb Jr. and Herman Daly, For the Common
Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 159–161.
[11]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014),
85–87.
[12]            
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
43–45.
[13]            
Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 92–94.
[14]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 71–73.
[15]            
Ibid., 75–76.
[16]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And
Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
[17]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
27–29.
[18]            
Bryan G. Norton, “Intergenerational Equity and
Environmental Decisions: A Model Using Habermas’s Discourse Ethics,” Ecological
Economics 19, no. 1 (1996): 65–66.
[19]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 70–72.
[20]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 48–49.
[21]            
Emmanuel Levinas, Time and the Other, trans.
Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1987), 42–45.
[22]            
Ibid., 58–59.
[23]            
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The
Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011),
412–415.
6.          
Dimensi
Sosial, Ekonomi, dan Politik Keadilan Antar Generasi
Keadilan antar generasi tidak hanya berakar pada
refleksi moral dan ontologis, tetapi juga memiliki implikasi sosial, ekonomi,
dan politik yang sangat luas. Dalam konteks globalisasi dan krisis ekologi
kontemporer, keadilan lintas waktu harus diwujudkan melalui struktur sosial
yang inklusif, sistem ekonomi yang berkelanjutan, serta tata politik yang
berorientasi pada keberlanjutan kehidupan bersama.¹ Prinsip ini menuntut agar
tanggung jawab moral terhadap masa depan diterjemahkan ke dalam kebijakan
publik, praktik ekonomi, dan tata kelola politik yang adil bagi semua generasi.
6.1.      
Dimensi Sosial: Tanggung Jawab
Kolektif dan Keadilan Komunitas
Secara sosial, keadilan antar generasi menegaskan
bahwa keberlanjutan kehidupan bukan hanya urusan individu, tetapi tanggung
jawab kolektif umat manusia.² Ketimpangan sosial-ekologis saat ini menunjukkan
bahwa generasi sekarang tidak hanya mewariskan kemajuan teknologi, tetapi juga
beban ekologis dan ketidakadilan struktural.³ Ketimpangan ini tampak dalam
distribusi risiko lingkungan—di mana komunitas miskin dan negara berkembang
menanggung dampak terbesar dari degradasi ekosistem, meskipun kontribusi mereka
terhadap penyebabnya relatif kecil.⁴
Dalam kerangka etika sosial, prinsip keadilan antar
generasi mengandung gagasan tentang solidaritas lintas kelompok dan lintas
waktu. Andrew Dobson menyebut ini sebagai extended community of
justice, yakni perluasan komunitas moral melampaui batas ruang dan
generasi.⁵ Artinya, tindakan sosial yang berkeadilan harus mempertimbangkan
konsekuensinya tidak hanya bagi sesama manusia saat ini, tetapi juga bagi
mereka yang akan datang. Kesadaran ini melahirkan moral community of
continuity—komunitas yang menjamin keberlanjutan sosial, ekologis, dan
kultural dalam jangka panjang.⁶
Selain itu, pendidikan ekologi dan etika publik
menjadi instrumen penting dalam membangun kesadaran sosial lintas generasi.⁷
Melalui pendidikan yang menanamkan nilai tanggung jawab ekologis dan kesetaraan
temporal, masyarakat dapat membentuk habitus moral yang menolak gaya hidup
eksploitatif dan menumbuhkan empati terhadap generasi mendatang.⁸ Dengan
demikian, keadilan antar generasi secara sosial menuntut rekonstruksi budaya
yang mengintegrasikan keberlanjutan sebagai nilai dasar peradaban.
6.2.      
Dimensi Ekonomi: Paradigma
Pertumbuhan vs. Keberlanjutan
Dimensi ekonomi keadilan antar generasi terletak
pada konflik mendasar antara paradigma pertumbuhan (growth paradigm) dan
paradigma keberlanjutan (sustainability paradigm). Sistem ekonomi global
modern dibangun di atas logika akumulasi, eksploitasi sumber daya, dan konsumsi
tanpa batas, yang secara struktural bertentangan dengan prinsip keadilan lintas
waktu.⁹ Herman Daly, pelopor ekonomi ekologi, mengkritik bahwa ekonomi
konvensional mengabaikan fakta bahwa bumi adalah sistem tertutup dengan sumber
daya terbatas.¹⁰ Ia menegaskan perlunya model steady-state economy—ekonomi
berimbang yang menyesuaikan produksi dan konsumsi dengan kapasitas regeneratif
bumi.¹¹
Prinsip keadilan antar generasi menuntut
transformasi ekonomi menuju paradigma eco-justice economy, di mana
tujuan utama bukan lagi pertumbuhan kuantitatif, tetapi kesejahteraan
kualitatif dan keberlanjutan ekologis.¹² Transformasi ini mencakup:
·                    
Internalisasi biaya lingkungan (internalization of environmental costs) dalam harga barang dan
jasa.
·                    
Investasi jangka panjang dalam energi terbarukan, konservasi, dan inovasi hijau.
·                    
Redistribusi sumber daya alam agar manfaatnya tidak terpusat pada generasi kini semata.¹³
Amartya Sen menambahkan bahwa keadilan ekonomi lintas generasi harus berorientasi
pada capability approach—yakni memastikan bahwa setiap generasi memiliki
kemampuan nyata (capabilities) untuk hidup bermartabat.¹⁴ Pendekatan ini
menggeser fokus dari akumulasi material ke perluasan kebebasan manusia,
sehingga keberlanjutan dipahami sebagai pemeliharaan kemampuan dasar manusia
untuk hidup dan berkembang di masa depan.¹⁵
6.3.      
Dimensi Politik: Tanggung Jawab
Demokratis dan Tata Kelola Lingkungan Global
Secara politik, keadilan antar generasi menuntut
pembentukan tata kelola (governance) yang mampu menyeimbangkan
kepentingan masa kini dengan kepentingan masa depan. Tantangan utamanya adalah
bahwa generasi mendatang tidak memiliki representasi politik yang langsung;
mereka tidak dapat memilih, memprotes, atau menuntut keadilan atas keputusan
yang diambil sekarang.¹⁶ Oleh karena itu, dibutuhkan mekanisme demokrasi
ekologis yang mampu “memberi suara” bagi generasi yang belum lahir.¹⁷
Jürgen Habermas dalam kerangka discourse ethics menegaskan bahwa legitimasi
politik hanya dapat diperoleh melalui partisipasi rasional dalam diskursus
publik yang inklusif.¹⁸ Jika prinsip ini diperluas, maka demokrasi ekologis
harus membuka ruang deliberasi di mana kepentingan generasi mendatang diwakili
melalui kebijakan yang berbasis bukti ilmiah, etika tanggung jawab, dan prinsip
keberlanjutan.¹⁹ Dalam praktiknya, hal ini mencakup pembentukan lembaga-lembaga
seperti ombudsman for future generations (seperti di Hungaria) atau
mekanisme intergenerational councils yang berfungsi menilai kebijakan
berdasarkan dampak jangka panjangnya.²⁰
Pada tingkat global, United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris Agreement (2015), dan Sustainable
Development Goals (SDGs) menjadi manifestasi politik dari prinsip keadilan
antar generasi.²¹ Namun, kesenjangan antara retorika dan implementasi
menunjukkan adanya moral deficit dalam tata kelola global—negara-negara
maju sering gagal memenuhi komitmen pendanaan iklim dan transfer teknologi yang
dibutuhkan negara berkembang.²² Maka, keadilan antar generasi secara politik
menuntut reformasi etis dalam sistem internasional: menjadikan
keberlanjutan bukan sekadar diplomasi, tetapi prinsip konstitutif dari keadilan
global.²³
6.4.      
Integrasi Sosial-Ekonomi-Politik
dalam Etika Lintas Generasi
Ketiga dimensi—sosial, ekonomi, dan politik—tidak
dapat dipisahkan; semuanya saling berinteraksi dalam membentuk struktur etika
lintas generasi.²⁴ Secara sosial, keadilan antar generasi menumbuhkan
solidaritas dan kesadaran kolektif; secara ekonomi, ia mengarahkan sistem
produksi dan konsumsi ke arah keseimbangan ekologis; secara politik, ia
membangun mekanisme representasi moral bagi masa depan.²⁵
Dengan demikian, keadilan antar generasi tidak
hanya menuntut reformasi kebijakan, tetapi transformasi paradigma—dari etika
utilitarian menuju etika keberlanjutan (sustainability ethics), dari
politik jangka pendek menuju politik tanggung jawab, dan dari ekonomi
eksploitatif menuju ekonomi ekologis.²⁶ Dalam konteks ini, etika lingkungan
menjadi jembatan antara moralitas individu dan struktur sosial-politik global
yang menentukan nasib kehidupan di masa depan.
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
47–48.
[2]               
Henry Shue, “Global Environment and International
Inequality,” International Affairs 75, no. 3 (1999): 531–545.
[3]               
Clive L. Hamilton, Requiem for a Species: Why We
Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 56–59.
[4]               
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 95–98.
[5]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 89–91.
[6]               
Ibid., 94–96.
[7]               
David Orr, Earth in Mind: On Education,
Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994),
27–29.
[8]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 103–106.
[9]               
Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of
Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 11–14.
[10]            
Ibid., 35–38.
[11]            
Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological
Economics: Principles and Applications (Washington, DC: Island Press,
2011), 18–21.
[12]            
Tim Jackson, Prosperity without Growth:
Economics for a Finite Planet (London: Earthscan, 2009), 72–75.
[13]            
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 121–123.
[14]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Knopf, 1999), 74–78.
[15]            
Ibid., 87.
[16]            
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The
Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011),
397–401.
[17]            
Ibid., 404–406.
[18]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 89–92.
[19]            
Andrew Light and Avner de-Shalit, eds., Moral
and Political Reasoning in Environmental Practice (Cambridge, MA: MIT
Press, 2003), 153–156.
[20]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University Press, 1989), 51–52.
[21]            
United Nations, Paris Agreement (New York:
UN, 2015), Preamble, Article 2.
[22]            
Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 102–104.
[23]            
Mary Robinson, Climate Justice: Hope,
Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury,
2018), 144–147.
[24]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014),
96–99.
[25]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 115–118.
[26]            
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy, trans. Glyn Adey and David Frisby (London: Routledge, 1980),
288–291.
7.          
Kritik
terhadap Prinsip Keadilan Antar Generasi
Meskipun prinsip keadilan antar generasi
telah menjadi salah satu pilar utama dalam etika lingkungan dan filsafat
politik kontemporer, konsep ini tidak luput dari kritik serius baik secara
ontologis, epistemologis, maupun politis. Kritik-kritik tersebut berakar pada
pertanyaan mendasar: dapatkah kita benar-benar memiliki kewajiban moral
terhadap entitas yang belum ada?; bagaimana menilai keadilan terhadap
generasi yang identitasnya belum dapat ditentukan?; dan bagaimana
prinsip moral ini dapat diterapkan dalam sistem ekonomi dan politik global yang
berorientasi jangka pendek? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa
keadilan antar generasi bukanlah konsep yang bebas dari paradoks, melainkan
medan refleksi etis yang menuntut klarifikasi filosofis lebih lanjut.¹
7.1.      
Kritik Ontologis: Status Moral
Generasi yang Belum Lahir
Kritik pertama diarahkan pada status ontologis
generasi mendatang. Dalam pandangan skeptis, generasi yang belum lahir tidak
dapat menjadi subjek moral karena mereka belum memiliki eksistensi aktual.² Jan
Narveson berpendapat bahwa kewajiban moral hanya berlaku terhadap entitas
yang eksis atau pernah eksis; dengan demikian, berbicara tentang kewajiban terhadap
individu masa depan adalah nonsens.³ Menurut logika ini, prinsip keadilan antar
generasi kehilangan fondasi ontologisnya karena tidak ada “penerima” konkret
dari kewajiban tersebut.
Namun, pandangan ini dikritik oleh para etikus
lingkungan seperti Hans Jonas, yang menegaskan bahwa justru karena
generasi masa depan belum ada, tanggung jawab moral terhadap mereka menjadi
lebih mendesak.⁴ Dalam The Imperative of Responsibility, Jonas
berargumen bahwa kekuasaan manusia modern untuk memengaruhi kehidupan masa
depan menuntut perluasan lingkup moral melampaui yang hadir kini.⁵ Meski
demikian, perdebatan ini mengungkapkan dilema fundamental: apakah moralitas
dapat berlaku terhadap kemungkinan (potential beings) atau hanya
terhadap aktualitas (actual beings)? Ontologi klasik cenderung menolak
eksistensi yang bersifat potensial sebagai subjek moral, sementara ontologi
ekologis modern berusaha memperluas horizon eksistensi hingga mencakup yang
belum lahir sebagai “kemungkinan yang menuntut penjagaan.”⁶
7.2.      
Kritik Epistemologis: Masalah
Ketidaktahuan dan Identitas
Dimensi epistemologis dari kritik ini berpusat pada
apa yang disebut Derek Parfit sebagai non-identity problem.⁷
Menurut Parfit, tindakan kita hari ini menentukan siapa yang akan lahir di masa
depan. Jika, misalnya, kita memilih kebijakan lingkungan yang merusak, maka
generasi masa depan yang hidup dalam dunia rusak itu tidak dapat dikatakan “dirugikan,”
karena tanpa tindakan itu, mereka mungkin tidak akan ada sama sekali.⁸ Artinya,
sulit secara logis untuk mengklaim bahwa kita telah bertindak tidak adil
terhadap individu tertentu yang belum dapat ditentukan identitasnya.
Kritik ini menimbulkan persoalan epistemologis
serius: jika kita tidak tahu siapa generasi mendatang itu, bagaimana kita bisa
tahu apa yang “adil” bagi mereka?⁹ Brian Barry mencoba menjawab
dengan pendekatan rasional-probabilistik—bahwa ketidakpastian identitas tidak
meniadakan kewajiban moral, karena kita dapat mengetahui secara umum bahwa
generasi mendatang akan memiliki kebutuhan dasar yang sama dengan kita: air,
udara bersih, ekosistem sehat, dan kondisi sosial yang stabil.¹⁰ Namun, kritik
Parfit tetap menunjukkan bahwa keadilan antar generasi beroperasi dalam
epistemologi prediktif yang rapuh, karena didasarkan pada dugaan, bukan pengetahuan
aktual.¹¹
Selain itu, para epistemolog lingkungan
mengingatkan bahwa kemampuan manusia untuk meramalkan masa depan sangat
terbatas. Kompleksitas sistem ekologis membuat setiap intervensi menghasilkan
konsekuensi yang tak terduga (ecological uncertainty).¹² Dengan
demikian, pengetahuan moral tentang masa depan selalu bersifat tentatif dan
terbuka untuk koreksi.¹³ Hal ini menimbulkan risiko epistemologis: prinsip
keadilan antar generasi dapat tergelincir menjadi moralitas spekulatif yang
tidak operasional.
7.3.      
Kritik Politis: Representasi dan
Demokrasi Antar Waktu
Kritik lain yang penting adalah kritik politis,
yakni persoalan representasi generasi masa depan dalam sistem demokrasi modern.
Demokrasi kontemporer umumnya beroperasi dalam kerangka short-termism—keputusan
politik diambil berdasarkan kepentingan elektoral jangka pendek, bukan visi
jangka panjang.¹⁴ Stephen Gardiner menyebut fenomena ini sebagai intergenerational
moral corruption, yaitu kegagalan sistem politik untuk menegakkan keadilan
lintas waktu karena struktur institusionalnya didesain untuk merespons tekanan
kini, bukan masa depan.¹⁵
Generasi mendatang, karena tidak memiliki suara
dalam pemilu atau forum politik, menjadi kelompok tanpa representasi (the
voiceless constituency).¹⁶ Upaya untuk mengatasi masalah ini melalui
lembaga seperti ombudsman for future generations (di Hungaria dan Wales)
masih menghadapi dilema legitimasi: siapa yang berhak berbicara atas nama
mereka, dan sejauh mana representasi itu sah secara moral dan politis?¹⁷
Selain itu, politik global memperlihatkan
ketimpangan kekuasaan antara negara kaya dan miskin yang turut melahirkan
ketidakadilan antar generasi. Negara maju telah menikmati manfaat dari
industrialisasi selama dua abad, sedangkan negara berkembang kini menanggung
dampak ekologisnya.¹⁸ Naomi Klein mengkritik bahwa dalam konteks
kapitalisme global, wacana keadilan antar generasi seringkali digunakan sebagai
retorika moral tanpa perubahan struktural yang berarti dalam sistem ekonomi dan
politik dunia.¹⁹ Kritik ini menyoroti bahaya reduksi etika menjadi simbol
retoris yang justru menutupi akar ketimpangan global.
7.4.      
Kritik Ideologis dan
Antroposentrisme Terselubung
Beberapa pemikir ekofilosofis juga menilai bahwa
keadilan antar generasi masih mengandung bias antroposentris, karena
fokusnya tetap pada kesejahteraan manusia masa depan, bukan keberlanjutan
seluruh komunitas biotik.²⁰ Val Plumwood dan Arne Naess
mengingatkan bahwa konsep keadilan antar generasi sering gagal memperhitungkan
nilai intrinsik alam—ia hanya memperluas jangkauan moral manusia ke masa depan,
tanpa menggeser pusat etika dari manusia ke ekosistem.²¹ Dalam pandangan ini,
prinsip keadilan antar generasi memerlukan decentering of the human,
yakni desentralisasi manusia sebagai pusat nilai moral agar etika lintas waktu
menjadi benar-benar ekologis.²²
Selain itu, ada kritik ideologis bahwa gagasan
keadilan antar generasi mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik dan ekonomi
global.²³ Pemerintah atau korporasi sering menggunakan retorika “demi masa
depan anak cucu kita” untuk melegitimasi proyek pembangunan yang justru
merusak lingkungan atau menyingkirkan masyarakat lokal.²⁴ Dengan demikian,
konsep ini berisiko mengalami moral co-optation—yakni diambil alih oleh
kekuasaan hegemonik dan kehilangan substansi kritisnya.²⁵
Refleksi
Kritis: Antara Ideal Normatif dan Realitas Struktural
Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa prinsip
keadilan antar generasi menghadapi ketegangan antara ideal normatif dan
realitas empiris. Secara moral, prinsip ini sangat kuat karena berlandaskan
tanggung jawab dan solidaritas lintas waktu. Namun secara praktis, ia
berhadapan dengan struktur ekonomi-politik yang berorientasi pada keuntungan
jangka pendek, serta keterbatasan epistemologis manusia dalam memahami masa
depan.²⁶
Maka, refleksi kritis terhadap keadilan antar
generasi bukanlah penolakan terhadap prinsip tersebut, melainkan upaya untuk
memperdalam fondasinya agar lebih realistis, inklusif, dan ekologis.²⁷ Kritik
justru memperkuat nilai normatifnya, dengan menuntut pengembangan etika lintas
waktu yang tidak berhenti pada humanisme moral, tetapi berkembang menjadi ekohumanisme
tanggung jawab—etika yang menempatkan manusia sebagai penjaga, bukan
penguasa, kehidupan masa depan.²⁸
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
61–62.
[2]               
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 351–355.
[3]               
Jan Narveson, “Moral Problems of Population,” The
Monist 57, no. 1 (1973): 62–86.
[4]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 4–6.
[5]               
Ibid., 11–12.
[6]               
David E. Cooper, Philosophy and the Environment
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 29–30.
[7]               
Parfit, Reasons and Persons, 356–358.
[8]               
Ibid., 361–363.
[9]               
Henry Shue, “Global Environment and International
Inequality,” International Affairs 75, no. 3 (1999): 535–538.
[10]            
Brian Barry, Sustainability and
Intergenerational Justice, in Fairness and Futurity, ed. Andrew
Dobson (Oxford: Oxford University Press, 1999), 93–94.
[11]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 504–506.
[12]            
Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 100–101.
[13]            
Bryan G. Norton, Sustainability, 65–66.
[14]            
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The
Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011),
397–401.
[15]            
Ibid., 405–407.
[16]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University Press, 1989), 52–54.
[17]            
Jörg Tremmel, A Theory of Intergenerational
Justice (London: Earthscan, 2009), 122–124.
[18]            
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 53–54.
[19]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 204–205.
[20]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 78–81.
[21]            
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), 85–87.
[22]            
Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature,
84–86.
[23]            
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political
Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 133–136.
[24]            
Naomi Klein, This Changes Everything,
297–299.
[25]            
Clive L. Hamilton, Requiem for a Species: Why We
Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 142–144.
[26]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 103–104.
[27]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 120–123.
[28]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 54–55.
8.          
Relevansi
Kontemporer
Prinsip keadilan antar generasi menjadi
semakin relevan dalam konteks krisis ekologis dan sosial yang menandai abad
ke-21. Dunia kini hidup di era Anthropocene, di mana aktivitas manusia
telah menjadi kekuatan geologis yang mengubah sistem bumi secara mendasar—dari
perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga krisis sumber daya air
dan pangan.¹ Fenomena ini menimbulkan pertanyaan moral yang mendalam: bagaimana
generasi sekarang dapat hidup secara adil tanpa merampas kemungkinan hidup bagi
generasi yang akan datang? Prinsip keadilan antar generasi menawarkan kerangka
normatif untuk menjawab tantangan ini, sekaligus menjadi fondasi moral bagi
pembangunan berkelanjutan, etika kebijakan publik, dan transformasi budaya
global.
8.1.      
Era Anthropocene dan Tanggung Jawab
Moral Global
Era Anthropocene memperlihatkan bahwa hubungan
manusia dengan bumi tidak lagi bersifat pasif, melainkan transformasional.²
Manusia kini memiliki kapasitas untuk menentukan arah masa depan planet ini,
baik menuju kelestarian maupun kehancuran. Dalam situasi demikian, keadilan
antar generasi menjadi imperatif etis global yang menuntut tanggung
jawab kolektif terhadap keberlanjutan biosfer.³ Hans Jonas menegaskan
bahwa tindakan manusia modern telah melampaui skala moral tradisional; etika
yang dulu terbatas pada interaksi antar manusia kini harus meluas ke tanggung
jawab terhadap eksistensi kehidupan di masa depan.⁴
Prinsip ini menemukan relevansinya dalam berbagai
forum global, seperti Paris Agreement (2015) dan United Nations
Sustainable Development Goals (SDGs), yang menempatkan keberlanjutan antar
generasi sebagai tujuan utama pembangunan global.⁵ Namun, sebagaimana dikritik
oleh Stephen Gardiner, dunia masih menghadapi moral corruption of
climate politics—yakni ketidakmampuan politik internasional untuk
menegakkan keadilan lintas waktu akibat kepentingan ekonomi jangka pendek dan
distribusi tanggung jawab yang tidak merata.⁶ Dalam konteks ini, keadilan antar
generasi menegaskan kembali pentingnya etika global yang tidak tunduk pada
logika pasar, melainkan berakar pada kesadaran moral tentang keterhubungan
ekologis seluruh umat manusia.⁷
8.2.      
Keadilan Antar Generasi dan
Kebijakan Iklim Kontemporer
Dalam kebijakan iklim, prinsip keadilan antar
generasi menjadi dasar bagi komitmen untuk membatasi pemanasan global di bawah
1,5°C sebagaimana disepakati dalam Paris Agreement.⁸ Namun
implementasinya masih menghadapi dilema moral: negara-negara maju memiliki
tanggung jawab historis atas emisi karbon, sementara negara berkembang
memerlukan ruang pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan.⁹ Hal ini
menciptakan ketegangan antara keadilan intergenerasional (antar waktu)
dan keadilan intragenerasional (antar kelompok manusia pada masa
kini).¹⁰
Nicholas Stern dalam The Economics of Climate Change menegaskan bahwa setiap
kebijakan iklim harus mempertimbangkan discount rate yang adil, yaitu
bagaimana kita menilai kesejahteraan masa depan dibandingkan dengan manfaat
ekonomi saat ini.¹¹ Menurut Stern, jika nilai masa depan terlalu “didiskon”,
maka kita secara moral telah gagal menghargai hak generasi mendatang untuk
hidup dalam lingkungan yang layak.¹² Oleh karena itu, relevansi prinsip ini
tidak hanya teoretis, tetapi juga praktis—ia menjadi pedoman bagi perancangan
kebijakan fiskal, energi, dan industri yang memperhitungkan dampak ekologis
jangka panjang.¹³
Selain itu, Amartya Sen menekankan
pentingnya capability approach dalam menilai keadilan antar generasi:
keadilan sejati bukan hanya memastikan sumber daya yang sama, tetapi menjamin
kemampuan setiap generasi untuk hidup bermartabat.¹⁴ Perspektif ini mendorong
kebijakan publik yang berfokus pada pemerataan akses pendidikan, kesehatan, dan
lingkungan bersih sebagai prasyarat bagi keberlanjutan hidup generasi
mendatang.¹⁵
8.3.      
Transformasi Budaya dan Etika
Keberlanjutan
Keadilan antar generasi tidak dapat direduksi pada
persoalan hukum atau ekonomi; ia menuntut transformasi budaya dan kesadaran
etis. Krisis ekologis kontemporer pada dasarnya adalah krisis nilai—krisis
cara manusia memahami dirinya dalam hubungannya dengan alam.¹⁶ Thomas Berry
menyebutnya sebagai “krisis cerita” (the crisis of the story):
umat manusia kehilangan narasi kosmik yang mempersatukan dirinya dengan alam
semesta.¹⁷ Oleh karena itu, relevansi prinsip keadilan antar generasi juga
terletak pada upayanya untuk membangun kembali narasi moral yang menempatkan
manusia sebagai bagian dari komunitas kehidupan, bukan penguasa atasnya.¹⁸
Gerakan global seperti Earth Charter (2000)
dan Laudato Si’ (2015) karya Paus Fransiskus merepresentasikan
kebangkitan kesadaran ekologis spiritual yang menegaskan keterpaduan antara
keadilan sosial dan keadilan ekologis.¹⁹ Dalam konteks ini, keadilan antar
generasi bukan hanya proyek politik, tetapi juga panggilan moral lintas iman
dan peradaban.²⁰ Ia mengundang manusia modern untuk mengembangkan rasa
hormat (reverence for life), kesederhanaan (simplicity), dan
tanggung jawab (stewardship) sebagai gaya hidup etis baru.²¹
Selain itu, dalam masyarakat digital dan kapitalisme
konsumeristik, prinsip ini menantang budaya instan yang berorientasi pada
kepuasan segera (presentism).²² Dengan menanamkan kesadaran temporal
yang panjang, keadilan antar generasi menjadi antitesis terhadap “ekonomi
cepat” dan “politik instan” yang menunda tanggung jawab moral.²³
Relevansinya terletak pada kemampuannya mengembalikan nilai waktu sebagai ruang
tanggung jawab, bukan sekadar ruang produksi.²⁴
8.4.      
Perspektif Lokal dan Kearifan
Ekologis
Dalam konteks lokal, keadilan antar generasi
memperoleh relevansi melalui revitalisasi kearifan ekologis tradisional.
Berbagai budaya adat di Nusantara dan Asia memiliki konsep tanggung jawab
lintas generasi yang hidup dalam ritual, hukum adat, dan kosmologi.²⁵ Misalnya,
falsafah Tri Hita Karana di Bali, prinsip kaseimbangan alam dan
leluhur dalam budaya Minangkabau, atau manunggaling kawula lan Gusti
dalam tradisi Jawa, semuanya mengandung pandangan bahwa manusia hidup dalam
jaringan tanggung jawab kosmik yang melintasi waktu.²⁶
Kearifan-kearifan ini menunjukkan bahwa keadilan
antar generasi bukan gagasan baru Barat, melainkan resonansi universal dari
kesadaran ekologis manusia.²⁷ Mary Evelyn Tucker dan John Grim
menyebutnya sebagai ecological wisdom traditions—sumber nilai yang dapat
memperkaya etika lingkungan global.²⁸ Dengan mengintegrasikan kearifan lokal
dan sains modern, prinsip keadilan antar generasi dapat diwujudkan dalam bentuk
ecological humanism, yakni humanisme ekologis yang menghormati martabat
manusia sekaligus martabat bumi.²⁹
8.5.      
Etika Digital dan Generasi Masa
Depan
Relevansi kontemporer prinsip ini juga meluas ke
ranah baru, yaitu etika digital dan teknologi. Kemajuan kecerdasan
buatan, bioteknologi, dan teknologi informasi menciptakan perubahan
sosial-ekologis yang akan sangat menentukan masa depan umat manusia.³⁰ Hans
Jonas telah memperingatkan bahwa kekuatan teknologi menimbulkan kewajiban
baru untuk berhati-hati dalam menciptakan dunia yang akan diwarisi oleh
generasi mendatang.³¹ Maka, keadilan antar generasi di era digital harus
mencakup etika data, privasi, dan keberlanjutan infrastruktur digital agar
kemajuan teknologi tidak menjadi beban ekologis baru.³²
Konsep digital sustainability dan green
technology mencerminkan penerapan konkret prinsip ini: generasi kini harus
memastikan bahwa inovasi teknologi mendukung kelestarian lingkungan, bukan
mempercepat kerusakannya.³³ Oleh karena itu, relevansi keadilan antar generasi
kini melampaui batas fisik bumi menuju ruang siber, menuntut ekologi digital
yang humanistik dan bertanggung jawab.³⁴
Relevansi
Etis Global: Dari Kesadaran ke Tindakan
Akhirnya, prinsip keadilan antar generasi memiliki
relevansi universal sebagai etos moral global. Ia memanggil manusia
untuk melampaui individualisme dan nasionalisme menuju solidaritas planet.³⁵
Sebagaimana dinyatakan dalam Earth Charter, “Kami adalah satu
komunitas bumi dengan tanggung jawab bersama terhadap kesejahteraan umat
manusia dan seluruh makhluk hidup.”³⁶ Prinsip ini menegaskan kembali bahwa
etika lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial, perdamaian, dan
hak asasi manusia.³⁷
Dalam konteks ini, keadilan antar generasi bukan
sekadar norma moral, tetapi proyek peradaban—usaha kolektif untuk menjadikan
keberlanjutan sebagai fondasi martabat manusia.³⁸ Relevansinya terletak pada
kemampuannya membentuk kesadaran etis baru: bahwa hidup adil berarti hidup
selaras dengan waktu, dengan sesama, dan dengan bumi.³⁹
Footnotes
[1]               
Paul J. Crutzen, “The Geology of Mankind,” Nature
415, no. 6867 (2002): 23.
[2]               
Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 45–47.
[3]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
72–74.
[4]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 8–10.
[5]               
United Nations, Paris Agreement (New York:
UN, 2015), Article 2; United Nations, Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development (New York: UN, 2015).
[6]               
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The
Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011),
397–401.
[7]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 121–123.
[8]               
United Nations, Paris Agreement, Article 2.
[9]               
Henry Shue, “Climate Hope: Implementing the Exit
Strategy,” Oxford Energy Forum 99 (2015): 10–13.
[10]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014),
102–103.
[11]            
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 45–46.
[12]            
Ibid., 52–53.
[13]            
Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological
Economics: Principles and Applications (Washington, DC: Island Press,
2011), 88–90.
[14]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Knopf, 1999), 84–86.
[15]            
Ibid., 90–91.
[16]            
Clive L. Hamilton, Requiem for a Species: Why We
Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 140–142.
[17]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 3–5.
[18]            
Ibid., 87–90.
[19]            
Earth Charter Commission, The Earth Charter
(San José, Costa Rica: Earth Charter International, 2000); Pope Francis, Laudato
Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana,
2015), 13–16.
[20]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 51–53.
[21]            
Albert Schweitzer, Reverence for Life (New
York: Irvington, 1982), 95–97.
[22]            
Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans.
Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 28–31.
[23]            
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm,
408–410.
[24]            
Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 64–66.
[25]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 301–304.
[26]            
Agus R. Sarjono, Filsafat Lingkungan dan
Kearifan Lokal Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), 45–49.
[27]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Worldviews and
Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1994), 71–73.
[28]            
Ibid., 80–81.
[29]            
David E. Cooper, Philosophy and the Environment
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54–55.
[30]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and
the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University
Press, 2021), 10–12.
[31]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
35–37.
[32]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 102–104.
[33]            
Sarah Spiekermann, Ethical IT Innovation: A
Value-Based System Design Approach (Boca Raton, FL: CRC Press, 2016),
89–91.
[34]            
Mark Coeckelbergh, AI Ethics (Cambridge, MA:
MIT Press, 2020), 122–124.
[35]            
Mary Robinson, Climate Justice: Hope,
Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury,
2018), 155–157.
[36]            
Earth Charter Commission, The Earth Charter,
Preamble.
[37]            
Robin Attfield, Environmental Ethics,
109–111.
[38]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 130–132.
[39]            
Thomas Berry, The Great Work, 202–205.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Etika Lintas Generasi yang Integral dan Humanistik
Sintesis filosofis atas prinsip keadilan antar
generasi menuntut penyatuan antara tiga pilar utama filsafat moral—ontologi,
epistemologi, dan aksiologi—ke dalam kerangka etika yang bersifat integral
dan humanistik. Dalam arti integral, keadilan antar generasi tidak
sekadar dipahami sebagai teori normatif, tetapi sebagai paradigma
eksistensial yang menyatukan manusia, alam, dan waktu dalam satu kesatuan
moral yang tak terpisahkan. Sementara dalam arti humanistik, ia menegaskan
kembali martabat manusia bukan sebagai penguasa atas masa depan, tetapi sebagai
penjaga kehidupan (guardian of life) yang bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan eksistensi di bumi.¹
Etika lintas generasi yang integral dan humanistik
berfungsi sebagai jembatan antara moralitas individu dan struktur global,
antara tanggung jawab etis dan tindakan ekologis, antara logos dan ethos.²
Melalui integrasi tersebut, filsafat keadilan antar generasi menjadi bukan
hanya wacana reflektif, melainkan dasar ontologis bagi peradaban ekologis yang
berkelanjutan.
9.1.      
Integrasi Ontologis: Manusia sebagai
Makhluk Temporal dan Ekologis
Secara ontologis, manusia adalah makhluk yang
eksistensinya ditentukan oleh relasi dengan waktu dan alam.³ Prinsip keadilan antar
generasi berakar pada kesadaran bahwa eksistensi manusia bersifat
temporal—selalu berada dalam gerak antara kelahiran dan warisan, antara
menerima dan memberi.⁴ Oleh karena itu, tindakan moral manusia tidak dapat
dilepaskan dari tanggung jawab terhadap kesinambungan kehidupan. Hans Jonas
menyebut hal ini sebagai ontologi tanggung jawab, yakni pandangan bahwa
eksistensi manusia hanya bermakna bila menjamin kelanjutan eksistensi yang
lain.⁵
Integrasi ontologis ini juga memerlukan perluasan
kategori “manusia” dalam horizon etika: manusia bukan entitas otonom,
melainkan bagian dari jaringan ekologis (ecological web of being).⁶
Dalam perspektif ini, keadilan antar generasi tidak hanya berlaku antar
manusia, tetapi juga antar spesies dan antar bentuk kehidupan.⁷ Kesadaran
ekologis demikian menandai peralihan dari antroposentrisme menuju eko-humanisme,
yakni pengakuan bahwa martabat manusia sejati justru terwujud dalam tanggung
jawabnya terhadap seluruh makhluk.⁸
9.2.      
Integrasi Epistemologis: Dari
Rasionalitas Kalkulatif ke Kebijaksanaan Ekologis
Epistemologi keadilan antar generasi menuntut
transisi dari rasionalitas kalkulatif menuju kebijaksanaan ekologis
(ecological wisdom).⁹ Pengetahuan modern yang reduksionis dan instrumental
cenderung mengukur nilai kehidupan berdasarkan utilitas dan efisiensi,
sementara etika lintas generasi memerlukan rationality of care—rasionalitas
yang berlandaskan perhatian dan kehati-hatian terhadap kehidupan yang rentan.¹⁰
Paul Ricoeur menegaskan bahwa pengetahuan moral tidak hanya bersifat konseptual,
tetapi juga naratif: manusia memahami tanggung jawabnya melalui cerita dan
makna yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan.¹¹ Dengan demikian,
epistemologi etika lintas generasi bukanlah epistemologi abstrak, melainkan
epistemologi hermeneutik yang menafsirkan keberadaan manusia sebagai bagian
dari alur sejarah ekologis yang panjang.
Dalam konteks ini, sains dan teknologi tetap
penting, tetapi harus tunduk pada prinsip tanggung jawab moral.¹² Jonas
memperingatkan bahwa pengetahuan tanpa tanggung jawab akan membawa kehancuran,
sebab kekuasaan teknologi melampaui kapasitas etis manusia untuk
mengendalikannya.¹³ Oleh karena itu, sintesis epistemologis menuntut
rekonsiliasi antara sains dan etika—antara knowing dan caring—untuk
membangun paradigma kebijaksanaan ekologis yang sejati.¹⁴
9.3.      
Integrasi Aksiologis: Tanggung
Jawab, Solidaritas, dan Keberlanjutan sebagai Nilai Universal
Dari sisi aksiologi, prinsip keadilan antar
generasi memanifestasikan tiga nilai universal: tanggung jawab, solidaritas,
dan keberlanjutan. Ketiganya membentuk struktur nilai yang saling
menopang.¹⁵
·                    
Tanggung jawab (responsibility) merupakan inti moral yang mengikat manusia terhadap konsekuensi
tindakannya terhadap masa depan.¹⁶
·                    
Solidaritas (solidarity) menegaskan bahwa semua generasi merupakan bagian dari satu komunitas
moral lintas waktu.¹⁷
·                    
Keberlanjutan (sustainability) menjadi horizon nilai yang menjamin kelangsungan kehidupan manusia dan
bumi secara harmonis.¹⁸
Dalam kerangka integral, ketiga nilai ini tidak
berdiri sendiri, tetapi bersatu dalam dinamika etis yang menegaskan relasi
timbal balik antara manusia dan alam.¹⁹ Aldo Leopold merumuskannya dalam
The Land Ethic: “Sesuatu dianggap benar bila ia menjaga integritas,
stabilitas, dan keindahan komunitas biotik; salah bila sebaliknya.”²⁰ Etika
lintas generasi menghidupkan kembali semangat ini dalam konteks
waktu—menjadikan keberlanjutan bukan hanya prinsip ekologis, tetapi kewajiban
moral universal.²¹
9.4.      
Integrasi Sosial dan Politik: Etika
sebagai Fondasi Peradaban Berkelanjutan
Sintesis filosofis tidak akan utuh tanpa dimensi
sosial-politik. Keadilan antar generasi hanya dapat terwujud melalui sistem
sosial dan politik yang berlandaskan pada etika keberlanjutan.²² Dalam konteks
ini, Jürgen Habermas menawarkan model diskursus etis di mana
rasionalitas komunikatif memungkinkan keputusan moral yang inklusif dan
berorientasi pada kepentingan bersama lintas generasi.²³ Demokrasi ekologis
yang sejati harus mengakui hak generasi mendatang melalui kebijakan, lembaga,
dan pendidikan publik yang menanamkan tanggung jawab ekologis.²⁴
Secara sosial, sintesis etika lintas generasi
menuntut perubahan budaya: dari konsumsi menuju konservasi, dari eksploitasi
menuju pemeliharaan.²⁵ Dalam pengertian ini, keadilan antar generasi bukan
sekadar proyek politik, tetapi revolusi kesadaran moral yang melibatkan
transformasi nilai di semua tingkat kehidupan manusia.²⁶
9.5.      
Menuju Paradigma Etika
Integral-Humanistik
Paradigma etika integral-humanistik lahir
dari pertemuan antara rasionalitas modern dan spiritualitas ekologis.²⁷ Ia
menggabungkan refleksi filosofis dengan dimensi eksistensial dan spiritual
kehidupan, sehingga etika tidak berhenti pada norma, tetapi menjadi cara
hidup (ethos of being).²⁸ Dalam kerangka ini, manusia bukan sekadar
agen moral, tetapi juga pelayan kosmik yang bertanggung jawab menjaga kesatuan
ciptaan.²⁹
Etika integral-humanistik mengandaikan visi
kosmologis baru: bahwa keadilan bagi manusia kini tidak dapat dipisahkan dari
keadilan bagi generasi mendatang dan bagi bumi itu sendiri.³⁰ Sebagaimana
ditegaskan oleh Thomas Berry, “kita bukanlah penonton alam semesta,
tetapi bagian dari komunitas kosmik yang sedang berkembang.”³¹ Prinsip
keadilan antar generasi, dalam arti terdalamnya, menjadi panggilan untuk
memulihkan kesadaran ekologis umat manusia dan membangun peradaban yang berakar
pada cinta, tanggung jawab, dan keberlanjutan kehidupan.³²
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 9–11.
[2]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
81–83.
[3]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
325–328.
[4]               
Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 65–67.
[5]               
Jonas, The Imperative of Responsibility,
20–21.
[6]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 54–57.
[7]               
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 85–87.
[8]               
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 56–58.
[9]               
David E. Cooper, Philosophy and the Environment
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–34.
[10]            
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The
Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011),
403–405.
[11]            
Ricoeur, Time and Narrative, 70–72.
[12]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 80–83.
[13]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
36–38.
[14]            
Bryan G. Norton, Sustainability, 85–86.
[15]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 120–122.
[16]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
27–29.
[17]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University Press, 1989), 41–44.
[18]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014),
105–107.
[19]            
J. Baird Callicott, Thinking Like a Planet: The
Land Ethic and the Earth Ethic (Oxford: Oxford University Press, 2013),
25–27.
[20]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And
Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
[21]            
Callicott, Thinking Like a Planet, 30–31.
[22]            
Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans
in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 106–108.
[23]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 90–92.
[24]            
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm,
411–412.
[25]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 96–99.
[26]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Worldviews and
Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1994), 82–84.
[27]            
David E. Cooper, The Measure of Things:
Humanism, Humility, and Mystery (Oxford: Clarendon Press, 2002), 44–46.
[28]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 171–173.
[29]            
Tucker and Grim, Ecology and Religion,
62–63.
[30]            
Robin Attfield, Environmental Ethics,
115–117.
[31]            
Berry, The Great Work, 201–203.
[32]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics,
134–136.
10.       Kesimpulan
Prinsip keadilan antar generasi
(intergenerational justice) merupakan salah satu puncak refleksi etis
manusia modern terhadap krisis ekologis dan moralitas waktu. Ia menghadirkan
kesadaran baru bahwa keadilan bukan hanya relasi horizontal—antara individu,
kelompok, atau bangsa—melainkan juga relasi vertikal yang melampaui
batas waktu, menghubungkan generasi masa kini dengan generasi yang akan
datang.¹ Melalui pendekatan filosofis yang integral, prinsip ini memperluas
horizon tanggung jawab manusia dari the here and now menuju the there
and then, mengajak manusia untuk menata peradaban dalam kerangka
keberlanjutan moral dan ekologis.
10.1.   
Rekapitulasi Argumentatif
Kajian ini menunjukkan bahwa keadilan antar
generasi memiliki tiga landasan filosofis utama: ontologis, epistemologis,
dan aksiologis.
·                    
Secara ontologis, manusia dipahami sebagai makhluk temporal dan
ekologis yang eksistensinya bergantung pada kesinambungan kehidupan.²
Eksistensi manusia tidak dapat dilepaskan dari jaringan ekologis yang melintasi
waktu, di mana kehidupan kini merupakan hasil dari warisan masa lalu dan sumber
bagi masa depan.³
·                    
Secara epistemologis, keadilan antar generasi memerlukan cara
berpikir baru tentang pengetahuan moral, yaitu pengetahuan yang bersifat
prognostik dan reflektif, yang mampu memperhitungkan konsekuensi tindakan dalam
jangka panjang.⁴
·                    
Secara aksiologis, prinsip ini menegaskan nilai-nilai moral
universal seperti tanggung jawab (responsibility), solidaritas
(solidarity), dan keberlanjutan (sustainability) sebagai fondasi
etik bagi eksistensi manusia dan alam.⁵
Ketiga dimensi ini saling menguatkan: tanggung
jawab lahir dari kesadaran ontologis, dijustifikasi secara epistemologis, dan
diwujudkan secara aksiologis dalam tindakan etis dan kebijakan publik.
10.2.   
Prinsip Moral dan Implikasi Etis
Keadilan antar generasi menuntut perubahan paradigma
dari etika yang berorientasi kini menuju etika yang berorientasi masa depan.
Prinsip moralnya dapat dirumuskan dalam empat bentuk utama:
1)                 
Prinsip Amanah (Trusteeship): generasi kini hanyalah pengelola sementara bumi, bukan pemilik
absolutnya.⁶
2)                 
Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle): tindakan apa pun yang berpotensi menimbulkan
kerusakan permanen terhadap sistem ekologis harus dihindari meski bukti empiris
belum lengkap.⁷
3)                 
Prinsip Keberlanjutan (Sustainability): setiap kebijakan harus mempertimbangkan kemampuan
generasi mendatang untuk hidup layak di bumi yang sehat.⁸
4)                 
Prinsip Martabat Ekologis (Ecological Dignity): hak untuk hidup bermartabat tidak hanya milik
manusia kini, tetapi juga generasi masa depan serta seluruh makhluk hidup
lainnya.⁹
Prinsip-prinsip ini menegaskan bahwa tanggung jawab
moral lintas waktu merupakan bentuk tertinggi dari etika keberlanjutan—sebuah imperatif
ekologis yang melampaui kepentingan politik dan ekonomi sesaat.
10.3.   
Tantangan dan Harapan
Meski secara normatif kuat, penerapan keadilan
antar generasi menghadapi hambatan serius dalam realitas sosial dan politik
global. Struktur ekonomi kapitalistik dan sistem demokrasi elektoral sering
kali memperkuat short-termism—logika jangka pendek yang mengabaikan masa
depan.¹⁰ Selain itu, ketimpangan global antara negara kaya dan miskin
memperumit upaya menciptakan kebijakan iklim dan pembangunan berkelanjutan yang
adil.¹¹
Namun demikian, muncul pula tanda-tanda kesadaran
baru. Gerakan seperti Fridays for Future, Earth Charter, dan Laudato
Si’ menunjukkan bahwa generasi muda kini menjadi aktor moral yang menuntut
keadilan ekologis lintas waktu.¹² Teknologi hijau, pendidikan ekologi, dan
gerakan spiritual ekologis menjadi sarana bagi transformasi nilai menuju
peradaban yang berkelanjutan.¹³
Dengan demikian, keadilan antar generasi bukan
hanya ideal moral, tetapi juga agenda praktis umat manusia di abad
Anthropocene—sebuah panggilan untuk bertindak dengan tanggung jawab dan
solidaritas lintas waktu.¹⁴
10.4.   
Sintesis Filosofis dan Arah
Humanistik
Keadilan antar generasi menuntun filsafat moral
menuju paradigma baru: etika lintas waktu yang integral-humanistik.
Dalam paradigma ini, manusia tidak diposisikan sebagai penguasa atas masa
depan, tetapi sebagai penjaga kehidupan (custodian of existence).¹⁵
Etika humanistik semacam ini tidak menolak teknologi atau kemajuan, tetapi
menundukkannya pada prinsip tanggung jawab eksistensial dan keberlanjutan
ekologis.¹⁶
Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Berry, “masa
depan bumi tergantung pada kemampuan manusia untuk hidup sebagai bagian dari
komunitas kehidupan, bukan sebagai penguasa atasnya.”¹⁷ Paradigma ini
mengajak manusia modern untuk menyeimbangkan pengetahuan ilmiah dengan
kebijaksanaan ekologis, menggabungkan rasionalitas dengan empati kosmik, dan
memulihkan kesadaran bahwa keberlanjutan adalah bentuk tertinggi dari
keadilan.¹⁸
Penutup:
Menuju Etika Kehidupan yang Berkelanjutan
Akhirnya, prinsip keadilan antar generasi
mengajarkan bahwa keberadaan manusia memperoleh maknanya hanya jika ia mampu
melanjutkan kehidupan.¹⁹ Keadilan yang sejati adalah keadilan yang berpihak
pada waktu—yang menghormati masa lalu, bertanggung jawab atas masa kini, dan
memberi ruang bagi masa depan untuk bernapas.²⁰ Dalam arti ini, etika lintas generasi
bukan sekadar teori moral, tetapi visi peradaban baru yang berakar pada
kesadaran ekologis, solidaritas planet, dan martabat kemanusiaan yang
universal.²¹
Sebagaimana peringatan Jonas, “masa depan kini
menjadi tugas moral.”²² Maka, tanggung jawab kita terhadap generasi
mendatang bukanlah beban, melainkan bentuk tertinggi dari cinta terhadap
kehidupan itu sendiri.²³
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 140–142.
[2]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
325–328.
[3]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 9–11.
[4]               
Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The
Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011),
398–401.
[5]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014),
115–117.
[6]               
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University Press, 1989), 41–44.
[7]               
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 508–510.
[8]               
Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological
Economics: Principles and Applications (Washington, DC: Island Press,
2011), 93–95.
[9]               
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 62–64.
[10]            
Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 107–109.
[11]            
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 46–47.
[12]            
Mary Robinson, Climate Justice: Hope,
Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury,
2018), 148–151.
[13]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13–16.
[14]            
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
85–86.
[15]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 165–167.
[16]            
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics:
The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 130–132.
[17]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 98–100.
[18]            
David E. Cooper, The Measure of Things:
Humanism, Humility, and Mystery (Oxford: Clarendon Press, 2002), 46–47.
[19]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And
Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
[20]            
Emmanuel Levinas, Time and the Other, trans.
Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1987), 58–59.
[21]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Worldviews and
Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1994), 81–83.
[22]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
36–38.
[23]            
Thomas Berry, The Great Work, 205–207.
Daftar Pustaka 
Attfield, R. (2014). Environmental
ethics: An overview for the twenty-first century. Polity Press.
Barry, B. (1999). Sustainability
and intergenerational justice. In A. Dobson (Ed.), Fairness and
futurity (pp. 93–117). Oxford University Press.
Berry, T. (1999). The
great work: Our way into the future. Bell Tower.
Brown Weiss, E. (1989). In
fairness to future generations: International law, common patrimony, and
intergenerational equity. United Nations University Press.
Byung-Chul, H. (2015). The
burnout society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.
Callicott, J. B. (2013). Thinking
like a planet: The land ethic and the Earth ethic. Oxford University
Press.
Capra, F., & Luisi, P.
L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge
University Press.
Cobb, J. B., Jr., &
Daly, H. (1989). For the common good: Redirecting the economy toward
community, the environment, and a sustainable future. Beacon Press.
Coeckelbergh, M. (2020). AI
ethics. MIT Press.
Cooper, D. E. (1998). Philosophy
and the environment. Cambridge University Press.
Cooper, D. E. (2002). The
measure of things: Humanism, humility, and mystery. Clarendon Press.
Crutzen, P. J. (2002). The
geology of mankind. Nature, 415(6867), 23. doi.org
Daly, H. E. (1996). Beyond
growth: The economics of sustainable development. Beacon Press.
Daly, H. E., & Farley,
J. (2011). Ecological economics: Principles and applications. Island
Press.
Dobson, A. (1998). Justice
and the environment: Conceptions of environmental sustainability and dimensions
of social justice. Oxford University Press.
Eckersley, R. (1992). Environmentalism
and political theory: Toward an ecocentric approach. SUNY Press.
Earth Charter Commission.
(2000). The Earth Charter. Earth Charter International.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Gardiner, S. M. (2011). A
perfect moral storm: The ethical tragedy of climate change. Oxford
University Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of
society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Hamilton, C. L. (2010). Requiem
for a species: Why we resist the truth about climate change. Earthscan.
Hamilton, C. L. (2017). Defiant
Earth: The fate of humans in the Anthropocene. Polity Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Jonas, H. (1979). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Jackson, T. (2009). Prosperity
without growth: Economics for a finite planet. Earthscan.
Klein, N. (2014). This
changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Leopold, A. (1949). A
sand county almanac: And sketches here and there. Oxford University Press.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press.
Levinas, E. (1987). Time
and the other (R. A. Cohen, Trans.). Duquesne University Press.
Light, A., & Rolston,
H. III (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Blackwell.
Light, A., & de-Shalit,
A. (Eds.). (2003). Moral and political reasoning in environmental practice.
MIT Press.
Narveson, J. (1973). Moral
problems of population. The Monist, 57(1), 62–86. monist
Naess, A. (1989). Ecology,
community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.).
Cambridge University Press.
Norton, B. G. (1996).
Intergenerational equity and environmental decisions: A model using Habermas’s
discourse ethics. Ecological Economics, 19(1), 59–68. doi.org
Norton, B. G. (2005). Sustainability:
A philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago
Press.
Orr, D. (1994). Earth
in mind: On education, environment, and the human prospect. Island Press.
Parfit, D. (1984). Reasons
and persons. Clarendon Press.
Plumwood, V. (1993). Feminism
and the mastery of nature. Routledge.
Pope Francis. (2015). Laudato
Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Ricoeur, P. (1984). Time
and narrative, Vol. 1 (K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.).
University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself
as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Robinson, M. (2018). Climate
justice: Hope, resilience, and the fight for a sustainable future.
Bloomsbury.
Rolston, H. III. (2012). A
new environmental ethics: The next millennium for life on Earth.
Routledge.
Sarjono, A. R. (2018). Filsafat
lingkungan dan kearifan lokal Nusantara. Pustaka Pelajar.
Schweitzer, A. (1982). Reverence
for life. Irvington.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. Knopf.
Shue, H. (1999). Global
environment and international inequality. International Affairs, 75(3),
531–545. doi.org
Shue, H. (2015). Climate
hope: Implementing the exit strategy. Oxford Energy Forum, 99, 10–13.
Spiekermann, S. (2016). Ethical
IT innovation: A value-based system design approach. CRC Press.
Stern, N. (2007). The
economics of climate change: The Stern review. Cambridge University Press.
Tremmel, J. (2009). A
theory of intergenerational justice. Earthscan.
Tucker, M. E., & Grim,
J. (1994). Worldviews and ecology: Religion, philosophy, and the
environment. Orbis Books.
Tucker, M. E., & Grim,
J. (2014). Ecology and religion. Island Press.
United Nations. (2015a). Paris
Agreement. United Nations.
the-paris-agreement
United Nations. (2015b). Transforming
our world: The 2030 Agenda for sustainable development. United Nations.
sdgs.un.org/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar