Rabu, 29 Oktober 2025

Prinsip Keadilan Antar Generasi: Fondasi Filosofis dan Tantangan Ekologis Kontemporer

Prinsip Keadilan Antar Generasi

Fondasi Filosofis dan Tantangan Ekologis Kontemporer


Alihkan ke: Etika Lingkungan.


Abstrak

Krisis ekologis global di era Anthropocene menuntut suatu paradigma etika baru yang melampaui batas waktu dan generasi. Artikel ini mengkaji secara sistematis prinsip Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Justice) sebagai salah satu pilar utama dalam etika lingkungan kontemporer, dengan pendekatan filosofis yang meliputi dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, politik, dan praksis. Secara ontologis, prinsip ini berakar pada pemahaman manusia sebagai makhluk temporal dan ekologis yang eksistensinya terjalin dalam kesinambungan kehidupan. Secara epistemologis, keadilan antar generasi menuntut bentuk pengetahuan moral yang reflektif dan prognostik, yang mempertimbangkan dampak tindakan manusia terhadap masa depan yang belum hadir. Secara aksiologis, ia menegaskan nilai-nilai universal seperti tanggung jawab, solidaritas lintas waktu, dan keberlanjutan sebagai dasar moral bagi eksistensi manusia dan bumi.

Analisis dalam artikel ini juga menyoroti dimensi sosial, ekonomi, dan politik dari prinsip tersebut—mulai dari distribusi tanggung jawab ekologis global, kritik terhadap paradigma pertumbuhan ekonomi tanpa batas, hingga urgensi demokrasi ekologis yang memberi representasi moral bagi generasi yang belum lahir. Dalam bagian kritis, dibahas berbagai tantangan ontologis dan epistemologis seperti non-identity problem, keterbatasan pengetahuan prediktif, serta bahaya antroposentrisme terselubung dalam wacana keadilan lintas waktu. Melalui sintesis filosofis, artikel ini menawarkan arah menuju etika lintas generasi yang integral dan humanistik, yakni suatu paradigma moral yang menyatukan dimensi tanggung jawab eksistensial, kebijaksanaan ekologis, dan nilai-nilai humanisme kosmik.

Akhirnya, keadilan antar generasi dipahami bukan sekadar norma hukum atau kebijakan pembangunan, tetapi sebagai fondasi etika peradaban berkelanjutan—sebuah panggilan moral bagi umat manusia untuk hidup secara adil terhadap waktu, terhadap sesama, dan terhadap bumi.

Kata Kunci: Keadilan antar generasi; etika lingkungan; tanggung jawab moral; keberlanjutan; solidaritas temporal; etika ekologis; humanisme ekologis; filsafat keberlanjutan; etika lintas waktu; etika integral-humanistik.


PEMBAHASAN

Prinsip Keadilan Antar Generasi dalam Etika Lingkungan


1.           Pendahuluan

Krisis ekologis global yang kian mendalam telah menimbulkan kesadaran baru tentang keterbatasan paradigma pembangunan modern yang antroposentris dan eksploitatif. Perubahan iklim, degradasi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, serta pencemaran udara dan laut menunjukkan bahwa aktivitas manusia abad ke-21 telah melampaui batas daya dukung bumi (planetary boundaries) dan mengancam kelangsungan kehidupan generasi mendatang.¹ Dalam konteks ini, muncul tuntutan moral yang melampaui ruang dan waktu: bagaimana generasi sekarang bertanggung jawab terhadap generasi yang belum lahir, baik secara ekologis, sosial, maupun eksistensial.²

Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational justice) lahir dari kesadaran bahwa keadilan tidak hanya menyangkut relasi horizontal—antara individu atau kelompok dalam satu masa—melainkan juga relasi vertikal antar waktu.³ Ia memperluas horizon etika tradisional yang berpusat pada relasi kontemporer menuju kesadaran temporal yang mencakup masa depan. Prinsip ini menegaskan bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban moral untuk memastikan kondisi ekologis dan sosial yang layak bagi kehidupan generasi mendatang, sehingga keberlanjutan (sustainability) bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan kewajiban etis yang fundamental.⁴

Dalam wacana internasional, konsep ini mendapat legitimasi kuat sejak terbitnya Laporan Brundtland berjudul Our Common Future (1987), yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.”⁵ Prinsip tersebut kemudian menjadi fondasi bagi berbagai deklarasi lingkungan global, seperti Rio Declaration on Environment and Development (1992), Kyoto Protocol (1997), dan Paris Agreement (2015).⁶ Namun, di balik legitimasi politis itu, tersimpan persoalan filosofis yang kompleks: apakah generasi masa depan dapat menjadi subjek moral? Bagaimana menilai keadilan terhadap entitas yang belum eksis secara empiris? Dan sejauh mana tanggung jawab moral dapat melampaui batas temporal kehidupan manusia saat ini?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita pada wilayah filsafat moral dan etika lingkungan, di mana refleksi tentang waktu, tanggung jawab, dan keberlanjutan saling berjalin. Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1979) menegaskan bahwa kemajuan teknologi modern telah memperluas jangkauan tindakan manusia sedemikian rupa sehingga konsekuensinya tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu kini, melainkan berdampak pada eksistensi masa depan umat manusia.⁷ Oleh karena itu, etika modern harus disesuaikan untuk mencakup tanggung jawab terhadap generasi yang belum lahir, karena keputusan yang diambil hari ini menentukan bentuk dunia yang mereka warisi esok.⁸

Kajian mengenai prinsip keadilan antar generasi menjadi semakin penting dalam konteks era Anthropocene, ketika manusia menjadi kekuatan geologis yang mengubah sistem bumi secara mendalam.⁹ Dalam era ini, relasi moral tidak lagi dapat dipisahkan dari ekologi: setiap tindakan ekonomi, politik, dan sosial membawa implikasi ekologis lintas waktu. Maka dari itu, keadilan antar generasi tidak hanya merupakan isu normatif, tetapi juga ontologis—menyangkut hakikat manusia sebagai makhluk temporal dan ekologis yang hidup dalam jaringan keberlanjutan.¹⁰

Artikel ini berupaya mengkaji prinsip keadilan antar generasi secara filosofis dengan pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, serta menelusuri relevansinya terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan politik kontemporer. Melalui pendekatan ini, diharapkan muncul pemahaman yang lebih integral tentang keadilan lintas waktu—sebagai fondasi moral bagi etika lingkungan yang berorientasi pada keberlanjutan, solidaritas, dan martabat kehidupan di bumi.


Footnotes

[1]                Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for Humanity,” Nature 461, no. 7263 (2009): 472–475.

[2]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 18.

[3]                Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Law 15, no. 1 (1985): 128–136.

[4]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 32–34.

[5]                World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.

[6]                United Nations, Rio Declaration on Environment and Development (New York: UN, 1992).

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 6–8.

[8]                Larry L. Rasmussen, Earth Community, Earth Ethics (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1996), 57–59.

[9]                Paul J. Crutzen, “The Geology of Mankind,” Nature 415, no. 6867 (2002): 23.

[10]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 71–73.


2.           Landasan Historis dan Konseptual

Gagasan keadilan antar generasi (intergenerational justice) memiliki akar yang panjang dalam tradisi filsafat moral dan politik Barat, namun baru mendapatkan artikulasi eksplisit dalam konteks etika lingkungan modern. Sejak masa Yunani Kuno, filsafat moral telah mengaitkan keadilan dengan keteraturan kosmos dan hubungan timbal balik antara individu dan polis. Bagi Aristoteles, keadilan adalah “kebajikan sempurna” karena mencakup relasi dengan orang lain dan menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban.¹ Namun, konsepsi tersebut masih berorientasi pada relasi sosial kontemporer—antara manusia yang hidup pada masa yang sama—tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral terhadap generasi masa depan.

Perkembangan pemikiran modern membawa dimensi baru dalam refleksi tentang keadilan. John Locke melalui teori hak milik dalam Second Treatise of Government menekankan bahwa hak atas sumber daya alam dibatasi oleh prinsip “enough and as good,” yakni setiap orang berhak mengambil dari alam sejauh tidak mengurangi kesempatan orang lain untuk memperoleh hal yang sama.² Prinsip ini secara implisit membuka ruang bagi gagasan tanggung jawab terhadap yang belum lahir, karena eksploitasi alam hari ini dapat menghilangkan hak yang sama bagi mereka di masa depan.³ Namun, baru pada abad ke-20, refleksi eksplisit tentang keadilan lintas waktu memperoleh bentuk sistematis melalui teori-teori moral kontemporer.

2.1.       Teori Keadilan dalam Filsafat Modern

Dalam filsafat politik modern, John Rawls memberikan sumbangan mendasar melalui A Theory of Justice (1971), yang memperkenalkan gagasan tentang “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorance).⁴ Jika seseorang tidak mengetahui posisi generasionalnya—apakah ia hidup sekarang atau di masa depan—maka rasional baginya untuk menyetujui prinsip-prinsip yang menjamin keadilan antar generasi. Rawls menyebut prinsip ini sebagai “just savings principle”, yakni kewajiban generasi kini untuk menyimpan dan mewariskan kondisi sosial serta sumber daya yang memungkinkan generasi berikutnya menikmati institusi yang adil.⁵

Namun, Rawls dikritik karena belum memberikan justifikasi metafisik yang cukup mengenai status moral generasi masa depan. Brian Barry dan Derek Parfit memperdalam perdebatan ini dengan menyoroti paradoks identitas (non-identity problem), yaitu kesulitan logis dalam mengatakan bahwa tindakan tertentu merugikan individu yang tidak akan ada tanpa tindakan tersebut.⁶ Dengan demikian, diskursus keadilan antar generasi menuntut peninjauan ulang atas asumsi dasar etika modern yang cenderung mengandalkan prinsip utilitarian atau kontraktual.

2.2.       Transposisi Etika ke Ranah Ekologis

Masuknya gagasan keadilan ke dalam ranah ekologis terjadi seiring dengan perubahan cara pandang terhadap alam. Revolusi industri dan kemajuan teknologi menimbulkan kesadaran baru bahwa tindakan manusia memiliki dampak jangka panjang terhadap sistem bumi. Dalam konteks inilah muncul pemikiran Hans Jonas, yang menegaskan bahwa tanggung jawab etis manusia kini melampaui batas ruang dan waktu karena kekuatan teknologi modern dapat mengubah kondisi eksistensial kehidupan di bumi.⁷ Imperatif etis Jonas—“Act so that the effects of your action are compatible with the permanence of genuine human life on Earth”—menjadi dasar bagi bentuk etika baru yang berorientasi pada masa depan.⁸

Selain Jonas, Aldo Leopold melalui The Land Ethic (1949) memperluas horizon moral dari komunitas manusia menuju komunitas ekologis. Bagi Leopold, manusia adalah bagian dari “komunitas biotik” yang lebih luas, sehingga kewajiban moral tidak hanya berlaku terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap tanah, air, dan makhluk hidup lain.⁹ Etika tanah ini menjadi dasar bagi pemikiran lingkungan yang melihat generasi mendatang bukan hanya sebagai pewaris, tetapi juga sebagai anggota lanjutan dari komunitas ekologis tersebut.¹⁰

2.3.       Konteks Hukum dan Kebijakan Global

Gagasan filosofis tersebut menemukan ekspresinya dalam kebijakan dan hukum internasional sejak paruh akhir abad ke-20. Laporan Brundtland (1987) menjadi tonggak penting dalam memperkenalkan istilah sustainable development, yang menggabungkan dimensi keadilan sosial dan ekologis antar generasi.¹¹ Setelah itu, Rio Declaration on Environment and Development (1992) menegaskan prinsip keadilan antar generasi sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan, disusul oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang menempatkan “equity and responsibility” sebagai dasar moral bagi aksi global terhadap perubahan iklim.¹²

Selain itu, Edith Brown Weiss mengembangkan kerangka hukum intergenerational equity, yang menekankan tiga prinsip utama: conservation of options (melestarikan pilihan bagi generasi mendatang), conservation of quality (menjaga kualitas lingkungan), dan conservation of access (menjamin akses yang adil terhadap sumber daya alam).¹³ Kerangka ini menegaskan bahwa keadilan antar generasi bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga prinsip normatif dalam hukum internasional lingkungan.

2.4.       Evolusi Konseptual Menuju Etika Lintas Waktu

Dengan demikian, prinsip keadilan antar generasi berevolusi dari refleksi moral tentang hubungan antar manusia menuju paradigma etika lintas waktu dan ekologis. Ia menuntut pergeseran cara pandang dari keadilan distributif (berbagi sumber daya di antara manusia yang hidup sekarang) menuju keadilan temporal (mempertanggungjawabkan dampak tindakan terhadap masa depan).¹⁴ Dalam kerangka etika lingkungan, prinsip ini berfungsi sebagai jembatan antara nilai keberlanjutan (sustainability) dan tanggung jawab moral (responsibility).¹⁵

Kontekstualisasi historis dan konseptual ini menunjukkan bahwa keadilan antar generasi bukanlah gagasan normatif yang terisolasi, melainkan hasil evolusi panjang dari tradisi etika klasik, modern, dan ekologis. Prinsip ini memperluas horizon moral manusia dari ruang ke waktu, dari individu ke komunitas ekologis, dan dari kepentingan kini menuju keberlangsungan kehidupan bersama di masa depan.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129a–1131a.

[2]                John Locke, Second Treatise of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 27–33.

[3]                Henry Shue, “Environmental Change and the Varieties of Justice,” in The International Politics of the Environment, ed. Andrew Hurrell and Benedict Kingsbury (Oxford: Clarendon Press, 1992), 380–382.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118–123.

[5]                Ibid., 285–293.

[6]                Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 351–379.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 6–8.

[8]                Ibid., 11.

[9]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 201–204.

[10]             J. Baird Callicott, “The Land Ethic,” in Companion to Environmental Philosophy, ed. Dale Jamieson (Oxford: Blackwell, 2001), 182–184.

[11]             World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.

[12]             United Nations, Rio Declaration on Environment and Development (New York: UN, 1992), Principle 3.

[13]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 37–42.

[14]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 40–43.

[15]             Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 24–25.


3.           Ontologi Keadilan Antar Generasi

Pembahasan ontologis mengenai keadilan antar generasi menuntut pemahaman mendalam tentang hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk temporal dan ekologis. Keadilan antar generasi tidak dapat direduksi hanya pada norma moral atau kebijakan publik; ia berakar pada struktur eksistensial manusia yang hidup dalam arus waktu dan dalam keterikatan ontologis dengan alam.¹ Dengan demikian, prinsip ini menyingkap dimensi terdalam dari keberadaan manusia: bahwa eksistensi bukanlah entitas statis, melainkan relasi dinamis antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.²

3.1.       Manusia sebagai Makhluk Temporal dan Historis

Dalam perspektif ontologi eksistensial, waktu bukan sekadar urutan kronologis, melainkan dimensi konstitutif keberadaan manusia. Martin Heidegger dalam Being and Time menegaskan bahwa manusia (Dasein) selalu “menjadi” (Sein-zum-Sein), bukan “ada” secara tetap.³ Eksistensi manusia dipahami sebagai being-toward-future—suatu keterarahan menuju kemungkinan-kemungkinan yang belum terwujud. Dengan demikian, tanggung jawab terhadap generasi mendatang bukan sekadar tindakan moral tambahan, tetapi bagian dari struktur ontologis eksistensi manusia yang sadar akan kesinambungan waktu.⁴

Dalam konteks etika lingkungan, kesadaran temporal ini mengandung implikasi ontologis yang mendalam: manusia bukan hanya subjek yang hidup “di dalam” alam, melainkan bagian dari proses keberlanjutan kehidupan yang melampaui eksistensinya sendiri. Hans Jonas menyebut hal ini sebagai ontologi tanggung jawab—bahwa kekuatan manusia modern untuk mengubah alam menimbulkan kewajiban eksistensial untuk menjaga keberlangsungan kehidupan.⁵ Keberadaan manusia, karenanya, hanya dapat dimaknai dalam relasinya dengan keberadaan yang akan datang.

3.2.       Relasi Ontologis Manusia dan Alam

Keadilan antar generasi menuntut pemahaman tentang keterhubungan antara manusia dan alam sebagai entitas ontologis yang ko-eksistensial. Dalam kerangka ini, alam tidak lagi dipahami sebagai objek eksternal yang dapat dimiliki atau dikendalikan, tetapi sebagai medium keberadaan manusia itu sendiri.⁶ Maurice Merleau-Ponty menggambarkan hubungan ini melalui konsep la chair du monde (the flesh of the world)—bahwa tubuh manusia dan dunia saling menubuh, saling membentuk dalam kesalingbergantungan ontologis.⁷ Maka, merusak alam berarti mengoyak jaringan eksistensial yang menopang kehidupan masa kini dan masa depan.

Pemikiran serupa hadir dalam tradisi Timur dan kosmologi pribumi yang melihat manusia sebagai bagian integral dari siklus kosmik. Dalam pandangan ini, hubungan antar generasi tidak terputus oleh waktu, melainkan disatukan oleh kontinuitas eksistensial antara leluhur, manusia kini, dan keturunan masa depan.⁸ Ontologi ekologis demikian menegaskan bahwa keadilan antar generasi bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga ekspresi dari kesadaran ontologis akan keutuhan makhluk hidup dalam jejaring kosmos.

3.3.       Ontologi Waktu dan Tanggung Jawab

Dimensi waktu memainkan peran sentral dalam ontologi keadilan antar generasi. Paul Ricoeur dalam Time and Narrative menjelaskan bahwa manusia memahami dirinya melalui narasi waktu—menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan dalam struktur makna yang utuh.⁹ Dalam konteks ini, tanggung jawab terhadap generasi mendatang dapat dipahami sebagai tindakan naratif: generasi kini menulis bab awal bagi kisah keberlanjutan yang akan diteruskan oleh generasi berikutnya.¹⁰ Dengan demikian, keadilan antar generasi adalah bentuk etika naratif yang menempatkan waktu sebagai ruang tanggung jawab moral.

Selain itu, waktu dalam perspektif ontologis tidak bersifat netral; ia membawa arah (teleologi) kehidupan. Emmanuel Levinas menafsirkan waktu sebagai perjumpaan dengan “yang lain” (l’Autre) yang belum hadir—suatu bentuk keterbukaan etis terhadap masa depan.¹¹ Generasi mendatang, dalam pengertian Levinasian, adalah l’autre du temps, yakni “yang lain” yang menuntut tanggung jawab tanpa kontrak, tanpa timbal balik.¹² Maka, keadilan antar generasi adalah wujud paling murni dari etika alteritas: bertanggung jawab terhadap mereka yang bahkan belum dapat membalas kebaikan kita.

3.4.       Ontologi Keberlanjutan dan Eksistensi Kolektif

Dalam kerangka ekologis, keberlanjutan (sustainability) merupakan kategori ontologis yang mendefinisikan cara manusia “ada” di dunia bersama yang terus berubah.¹³ Keberlanjutan bukan hanya strategi kebijakan, melainkan modus eksistensi yang menegaskan bahwa keberadaan manusia bersifat kolektif dan temporal. Holmes Rolston III menulis bahwa manusia adalah “penyambung kehidupan” (life continuer), makhluk yang eksistensinya bertujuan untuk memastikan kelanjutan kehidupan lain.¹⁴

Dengan demikian, prinsip keadilan antar generasi berakar pada pengakuan ontologis bahwa keberadaan manusia tidak otonom, melainkan selalu berada dalam jejaring ekologis dan temporal yang lebih besar. Manusia yang adil adalah manusia yang sadar bahwa keberadaannya menuntut kesinambungan—bahwa hidup hari ini hanya bermakna sejauh ia menjamin kemungkinan hidup bagi hari esok.¹⁵


Footnotes

[1]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 21–23.

[2]                David E. Cooper, Philosophy and the Environment (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 15–16.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 274–276.

[4]                Ibid., 325–328.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 8–10.

[6]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 54–57.

[7]                Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1968), 130–133.

[8]                Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 42–44.

[9]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 52–55.

[10]             Ibid., 65–67.

[11]             Emmanuel Levinas, Time and the Other, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1987), 41–44.

[12]             Ibid., 58.

[13]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 501–503.

[14]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 70–72.

[15]             J. Baird Callicott, Thinking Like a Planet: The Land Ethic and the Earth Ethic (Oxford: Oxford University Press, 2013), 25–27.


4.           Epistemologi Keadilan Antar Generasi

Pertanyaan epistemologis dalam keadilan antar generasi berpusat pada dasar pengetahuan dan justifikasi moral yang memungkinkan kita mengetahui, memahami, dan menilai kewajiban terhadap generasi yang belum lahir. Jika ontologi keadilan antar generasi berbicara tentang mengapa manusia bertanggung jawab secara eksistensial terhadap masa depan, maka epistemologinya menelaah bagaimana manusia dapat mengetahui dan menalar tanggung jawab itu.¹ Dengan kata lain, epistemologi keadilan antar generasi berusaha menjembatani kesenjangan antara pengalaman empiris masa kini dan kemungkinan moral masa depan.

4.1.       Masalah Pengetahuan tentang Generasi Mendatang

Secara epistemologis, generasi mendatang menghadirkan problem unik: mereka belum ada secara aktual, sehingga segala penilaian tentang kepentingan, hak, atau penderitaan mereka bersifat inferensial.² Derek Parfit menyebut dilema ini sebagai non-identity problem—bahwa tindakan kita saat ini tidak merugikan individu tertentu, karena tanpa tindakan tersebut mereka tidak akan eksis.³ Namun, dari perspektif epistemologi moral, ketidaktahuan tentang identitas generasi mendatang tidak meniadakan kewajiban kita terhadap mereka. Henry Shue berpendapat bahwa prinsip keadilan lingkungan dapat dibangun atas dasar probabilistik: meskipun kita tidak mengetahui siapa mereka, kita mengetahui bahwa tindakan kita akan memengaruhi kemungkinan mereka untuk hidup layak.⁴

Dengan demikian, pengetahuan moral tentang generasi mendatang tidak memerlukan informasi identitas individual, melainkan pemahaman rasional tentang keterkaitan sebab-akibat ekologis antara tindakan kini dan dampak masa depan.⁵ Prinsip ini menyerupai epistemologi tindakan dalam Immanuel Kant yang berlandaskan universalizability: bahwa suatu tindakan dapat dikatakan bermoral bila dapat dijadikan prinsip universal tanpa kontradiksi logis.⁶ Dalam konteks keadilan antar generasi, tindakan yang merusak keberlanjutan kehidupan adalah bentuk kontradiksi moral terhadap prinsip universal keberadaan manusia itu sendiri.

4.2.       Rasionalitas dan Moralitas dalam Horizon Waktu

Keadilan antar generasi juga menuntut perluasan rasionalitas moral melampaui waktu kini. John Rawls mengusulkan prinsip just savings, yang secara epistemologis dibangun di atas “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorance), di mana individu yang rasional tidak mengetahui posisi temporalnya: apakah ia termasuk generasi sekarang atau generasi mendatang.⁷ Dengan demikian, rasionalitas murni akan menuntun pada kesimpulan bahwa manusia harus menetapkan prinsip yang menguntungkan semua generasi secara adil.⁸

Namun, pandangan Rawls dikritik oleh Stephen Gardiner, yang berargumen bahwa struktur pengetahuan moral kita cenderung bias terhadap waktu kini (temporal bias).⁹ Menurutnya, ketidakadilan iklim dan eksploitasi ekologis menunjukkan adanya intergenerational moral corruption, di mana struktur epistemik masyarakat modern gagal memperhitungkan konsekuensi jangka panjang karena dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi keadilan antar generasi menuntut transformasi cara berpikir: dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas reflektif yang mampu menimbang akibat moral lintas waktu.

4.3.       Pengetahuan Ekologis dan Moralitas Prognostik

Salah satu karakteristik khas epistemologi keadilan antar generasi adalah sifatnya yang prognostik, yakni berorientasi pada prediksi dan antisipasi.¹¹ Hans Jonas menegaskan bahwa etika masa kini harus didasarkan pada pengetahuan tentang kemungkinan (knowledge of possibilities)—sebuah kesadaran bahwa tindakan manusia modern membawa potensi destruktif yang belum pernah ada sebelumnya.¹² Oleh karena itu, kewajiban moral muncul bukan dari kepastian empiris, tetapi dari kesadaran terhadap kemungkinan bahaya eksistensial yang ditimbulkan oleh tindakan manusia.¹³

Pengetahuan ekologis modern memperkuat pandangan ini melalui pemahaman ilmiah tentang sistem bumi yang kompleks dan saling bergantung. Dalam konteks epistemologi lingkungan, tindakan moral yang berkeadilan antar generasi berakar pada prinsip precautionary knowledge—yaitu bertindak hati-hati berdasarkan kemungkinan risiko ekologis, meskipun bukti empiris belum sepenuhnya lengkap.¹⁴ Dengan demikian, etika lingkungan memerlukan epistemologi yang bersifat anticipatory dan adaptive, bukan sekadar deskriptif.

4.4.       Epistemologi Interdisipliner: Dari Sains ke Hermeneutika

Epistemologi keadilan antar generasi bersifat interdisipliner karena menggabungkan dimensi ilmiah, etis, dan hermeneutik. Dari sisi ilmiah, sains ekologi dan klimatologi menyediakan dasar pengetahuan empiris tentang dampak jangka panjang dari aktivitas manusia. Dari sisi etis, filsafat moral menilai nilai-nilai dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Namun, aspek hermeneutik berperan penting dalam menafsirkan makna keberlanjutan sebagai narasi moral lintas waktu.¹⁵

Paul Ricoeur menekankan bahwa memahami tindakan manusia berarti memahami konteks waktu dan maknanya.¹⁶ Dengan demikian, epistemologi keadilan antar generasi bukan hanya soal mengetahui fakta ekologis, tetapi juga menafsirkan tanggung jawab manusia dalam horizon sejarah dan masa depan. Holmes Rolston III menambahkan bahwa ilmu pengetahuan ekologis harus dibingkai oleh kesadaran moral—pengetahuan tanpa nilai hanya akan memperkuat dominasi teknologis yang destruktif.¹⁷ Oleh karena itu, epistemologi etika lingkungan harus bersifat reflektif, integratif, dan berorientasi pada kebijaksanaan ekologis (ecological wisdom).

4.5.       Rasionalitas Moral dalam Ketidaktahuan Temporal

Akhirnya, keadilan antar generasi menegaskan perlunya epistemologi moral yang tetap rasional meski beroperasi dalam ketidaktahuan temporal.¹⁸ Jürgen Habermas melalui teori tindakan komunikatif menunjukkan bahwa validitas moral dapat dicapai melalui rasionalitas intersubjektif—yaitu melalui diskursus etis yang terbuka antar warga moral.¹⁹ Jika prinsip ini diterapkan pada konteks lintas generasi, maka generasi sekarang bertugas menjadi “juru bicara” bagi generasi mendatang yang tidak dapat berpartisipasi dalam diskursus.²⁰ Maka, epistemologi keadilan antar generasi adalah epistemologi partisipatif yang memperluas suara moral melampaui batas waktu.

Dengan demikian, epistemologi keadilan antar generasi tidak hanya menjelaskan bagaimana kita mengetahui kewajiban moral terhadap masa depan, tetapi juga bagaimana kita menghayatinya secara reflektif dan rasional. Ia menuntut bentuk pengetahuan yang tidak berhenti pada fakta, melainkan menembus ke wilayah kebijaksanaan—sebuah pengetahuan yang mengarahkan tindakan manusia pada keberlanjutan kehidupan.


Footnotes

[1]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 33–34.

[2]                Henry Shue, “Environmental Change and the Varieties of Justice,” in The International Politics of the Environment, ed. Andrew Hurrell and Benedict Kingsbury (Oxford: Clarendon Press, 1992), 381.

[3]                Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 351–355.

[4]                Henry Shue, “Global Environment and International Inequality,” International Affairs 75, no. 3 (1999): 531–545.

[5]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 67–69.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 42–44.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 285–293.

[8]                Ibid., 295.

[9]                Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011), 398–401.

[10]             Ibid., 406–408.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 6–8.

[12]             Ibid., 11–12.

[13]             Ibid., 36–38.

[14]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 508–511.

[15]             Bryan G. Norton, “Intergenerational Equity and Environmental Decisions: A Model Using Habermas’s Discourse Ethics,” Ecological Economics 19, no. 1 (1996): 59–70.

[16]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 64–65.

[17]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 80–83.

[18]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 53–55.

[19]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[20]             Ibid., 90–92.


5.           Aksiologi dan Prinsip Moral Keadilan Antar Generasi

Jika ontologi keadilan antar generasi menyingkap dasar keberadaan manusia sebagai makhluk temporal dan ekologis, maka aksiologinya berfokus pada nilai-nilai moral yang memberi makna, arah, dan motivasi bagi tanggung jawab lintas waktu tersebut. Aksiologi keadilan antar generasi mengandung dimensi normatif yang menegaskan apa yang baik, apa yang bernilai, dan apa yang seharusnya dijaga bagi kelangsungan hidup manusia dan alam.¹ Dengan demikian, prinsip moral keadilan antar generasi menjadi bentuk konkret dari etika keberlanjutan (ethics of sustainability) yang menuntut integrasi antara nilai tanggung jawab, solidaritas, dan keutuhan ekologis.

5.1.       Nilai Tanggung Jawab (Responsibility) sebagai Imperatif Moral

Nilai paling mendasar dalam aksiologi keadilan antar generasi adalah tanggung jawab moral terhadap kehidupan yang akan datang. Hans Jonas menyatakan bahwa kemajuan teknologi modern telah mengubah struktur tindakan manusia: tindakan kini memiliki akibat yang tak terbayangkan pada masa depan.² Karena itu, muncul imperatif baru: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat dari tindakanmu selaras dengan keberlanjutan kehidupan manusia di bumi.”³ Dalam pengertian ini, tanggung jawab bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan imperatif ontologis yang mengikat manusia karena kemampuannya memengaruhi kondisi eksistensi generasi mendatang.⁴

Tanggung jawab demikian bersifat asimetris—kita memiliki kewajiban terhadap mereka yang tidak memiliki kemampuan membalas atau menuntut.⁵ Dalam konteks ini, prinsip keadilan antar generasi memperluas cakrawala moral menuju masa depan, menuntut kita bertindak dengan kesadaran bahwa setiap keputusan ekologis hari ini merupakan warisan moral bagi dunia esok. Paul Ricoeur menafsirkan tanggung jawab ini sebagai bentuk kesetiaan naratif terhadap sejarah kemanusiaan, yakni kesediaan untuk menjadi penjaga keberlanjutan kisah hidup umat manusia.⁶

5.2.       Solidaritas Lintas Waktu (Temporal Solidarity)

Selain tanggung jawab, keadilan antar generasi berakar pada nilai solidaritas—yaitu pengakuan akan keterhubungan etis antara manusia masa kini dan masa depan. Solidaritas lintas waktu mencerminkan kesadaran bahwa kesejahteraan generasi mendatang tidak dapat dipisahkan dari tindakan kolektif generasi sekarang. Karl-Otto Apel menegaskan bahwa etika komunikatif harus meluas menjadi etika transgenerasional, di mana tindakan moral dipertanggungjawabkan di hadapan komunitas komunikasi yang mencakup juga generasi yang belum lahir.⁷

Solidaritas temporal berarti memperlakukan generasi mendatang sebagai bagian dari komunitas moral universal yang memiliki hak atas keberlanjutan hidup dan sumber daya alam.⁸ Edith Brown Weiss menegaskan bahwa solidaritas tersebut mengandung tiga prinsip keadilan ekologis: conservation of options, conservation of quality, dan conservation of access—yakni menjaga agar generasi mendatang memiliki pilihan, kualitas lingkungan, dan akses yang sama seperti generasi sekarang.⁹ Dengan demikian, solidaritas antar generasi bukan sekadar simpati moral, tetapi struktur normatif yang mengatur distribusi hak dan tanggung jawab ekologis di sepanjang waktu.

Solidaritas ini juga menuntut perubahan paradigma dari individualisme menuju etika komunitarian ekologis. Dalam kerangka komunitarianisme ekologis, generasi kini dilihat sebagai bagian dari rantai kehidupan yang saling berkelanjutan, bukan entitas terpisah yang berdaulat atas sumber daya alam.¹⁰ Prinsip ini melahirkan kesadaran etis bahwa keberlanjutan kehidupan manusia hanya dapat dijamin melalui solidaritas dengan mereka yang akan mewarisi dunia ini.

5.3.       Keberlanjutan (Sustainability) sebagai Nilai Moral Dasar

Nilai ketiga yang menjadi fondasi aksiologi keadilan antar generasi adalah keberlanjutan. Dalam wacana moral, keberlanjutan tidak hanya berarti menjaga sumber daya alam agar tidak habis, tetapi juga menjamin kemungkinan moral untuk hidup baik di masa depan.¹¹ Bryan Norton menyebut keberlanjutan sebagai moral relationship extended in time—relasi etis yang mempertahankan nilai kehidupan lintas generasi.¹²

Keberlanjutan juga merupakan bentuk keseimbangan antara tiga dimensi nilai: ekologis, sosial, dan eksistensial.¹³ Secara ekologis, ia menuntut kelestarian sistem bumi; secara sosial, ia menuntut keadilan distribusi antar generasi; dan secara eksistensial, ia menegaskan martabat manusia sebagai penjaga kehidupan (steward of life).¹⁴ Dalam kerangka ini, prinsip keberlanjutan menjadi nilai instrumental sekaligus intrinsik: ia bernilai karena menjaga kehidupan, dan bernilai pada dirinya sendiri karena mencerminkan keteraturan etis alam semesta.¹⁵

Aldo Leopold menggambarkan hal ini secara puitis dalam The Land Ethic: “Sesuatu dianggap benar bila ia cenderung menjaga integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik; dianggap salah bila sebaliknya.”¹⁶ Pandangan Leopold memperluas batas etika dari manusia ke alam, dan dari waktu kini ke masa depan—menjadikan keberlanjutan bukan sekadar kebijakan, melainkan kebaikan moral itu sendiri.

5.4.       Prinsip-Prinsip Moral dalam Keadilan Antar Generasi

Berdasarkan nilai-nilai di atas, dapat dirumuskan beberapa prinsip moral utama yang membentuk kerangka aksiologis keadilan antar generasi:

1)                  Prinsip Tanggung Jawab Eksistensial

Generasi kini memiliki kewajiban moral untuk tidak melakukan tindakan yang mengancam keberadaan kehidupan masa depan.¹⁷

2)                  Prinsip Solidaritas Temporal

Generasi sekarang dan mendatang merupakan satu komunitas moral yang saling bergantung dalam kesinambungan ekosistem bumi.¹⁸

3)                  Prinsip Keberlanjutan Intrinsik

Alam dan kehidupan memiliki nilai intrinsik yang harus dijaga terlepas dari manfaatnya bagi manusia.¹⁹

4)                  Prinsip Amanah (Trusteeship)

Generasi kini bertindak sebagai penjaga (trustee) bumi bagi generasi yang akan datang, bukan pemilik absolut sumber daya alam.²⁰

Prinsip-prinsip tersebut membentuk struktur moral yang integral dan koheren, menghubungkan tanggung jawab personal, keadilan sosial, dan harmoni ekologis dalam horizon temporal yang luas. Melalui kerangka aksiologis ini, keadilan antar generasi bukan hanya norma hukum atau politik, tetapi panggilan etis untuk hidup secara bertanggung jawab dalam jaringan kehidupan yang berkelanjutan.

5.5.       Moralitas Waktu dan Cakrawala Etika

Aksiologi keadilan antar generasi juga memuat dimensi temporal moralitas—bahwa nilai-nilai moral memiliki cakrawala waktu yang luas. Emmanuel Levinas menyatakan bahwa tanggung jawab sejati selalu tertuju pada “yang lain” yang belum hadir (the Other who is to come).²¹ Dalam pengertian ini, generasi mendatang adalah wajah masa depan yang menatap kita dengan diam, menuntut kita bertindak adil meski mereka belum ada untuk berbicara.²²

Dengan demikian, moralitas waktu menuntut bentuk imajinasi etis yang mampu menembus batas temporal.²³ Hanya dengan memperluas cakrawala etika ke masa depan, manusia dapat memulihkan keseimbangan antara hak kini dan hak yang akan datang. Aksiologi keadilan antar generasi, karenanya, adalah proyek moral untuk memperpanjang ruang etika hingga mencakup keberlanjutan kehidupan itu sendiri.


Footnotes

[1]                David E. Cooper, Philosophy and the Environment (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 22–24.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 4–6.

[3]                Ibid., 11.

[4]                Ibid., 19–21.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 245–247.

[6]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 165–167.

[7]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy, trans. Glyn Adey and David Frisby (London: Routledge, 1980), 283–285.

[8]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 61–63.

[9]                Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 40–44.

[10]             John B. Cobb Jr. and Herman Daly, For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 159–161.

[11]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 85–87.

[12]             Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 43–45.

[13]             Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 92–94.

[14]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 71–73.

[15]             Ibid., 75–76.

[16]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.

[17]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 27–29.

[18]             Bryan G. Norton, “Intergenerational Equity and Environmental Decisions: A Model Using Habermas’s Discourse Ethics,” Ecological Economics 19, no. 1 (1996): 65–66.

[19]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 70–72.

[20]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 48–49.

[21]             Emmanuel Levinas, Time and the Other, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1987), 42–45.

[22]             Ibid., 58–59.

[23]             Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011), 412–415.


6.           Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Politik Keadilan Antar Generasi

Keadilan antar generasi tidak hanya berakar pada refleksi moral dan ontologis, tetapi juga memiliki implikasi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat luas. Dalam konteks globalisasi dan krisis ekologi kontemporer, keadilan lintas waktu harus diwujudkan melalui struktur sosial yang inklusif, sistem ekonomi yang berkelanjutan, serta tata politik yang berorientasi pada keberlanjutan kehidupan bersama.¹ Prinsip ini menuntut agar tanggung jawab moral terhadap masa depan diterjemahkan ke dalam kebijakan publik, praktik ekonomi, dan tata kelola politik yang adil bagi semua generasi.

6.1.       Dimensi Sosial: Tanggung Jawab Kolektif dan Keadilan Komunitas

Secara sosial, keadilan antar generasi menegaskan bahwa keberlanjutan kehidupan bukan hanya urusan individu, tetapi tanggung jawab kolektif umat manusia.² Ketimpangan sosial-ekologis saat ini menunjukkan bahwa generasi sekarang tidak hanya mewariskan kemajuan teknologi, tetapi juga beban ekologis dan ketidakadilan struktural.³ Ketimpangan ini tampak dalam distribusi risiko lingkungan—di mana komunitas miskin dan negara berkembang menanggung dampak terbesar dari degradasi ekosistem, meskipun kontribusi mereka terhadap penyebabnya relatif kecil.⁴

Dalam kerangka etika sosial, prinsip keadilan antar generasi mengandung gagasan tentang solidaritas lintas kelompok dan lintas waktu. Andrew Dobson menyebut ini sebagai extended community of justice, yakni perluasan komunitas moral melampaui batas ruang dan generasi.⁵ Artinya, tindakan sosial yang berkeadilan harus mempertimbangkan konsekuensinya tidak hanya bagi sesama manusia saat ini, tetapi juga bagi mereka yang akan datang. Kesadaran ini melahirkan moral community of continuity—komunitas yang menjamin keberlanjutan sosial, ekologis, dan kultural dalam jangka panjang.⁶

Selain itu, pendidikan ekologi dan etika publik menjadi instrumen penting dalam membangun kesadaran sosial lintas generasi.⁷ Melalui pendidikan yang menanamkan nilai tanggung jawab ekologis dan kesetaraan temporal, masyarakat dapat membentuk habitus moral yang menolak gaya hidup eksploitatif dan menumbuhkan empati terhadap generasi mendatang.⁸ Dengan demikian, keadilan antar generasi secara sosial menuntut rekonstruksi budaya yang mengintegrasikan keberlanjutan sebagai nilai dasar peradaban.

6.2.       Dimensi Ekonomi: Paradigma Pertumbuhan vs. Keberlanjutan

Dimensi ekonomi keadilan antar generasi terletak pada konflik mendasar antara paradigma pertumbuhan (growth paradigm) dan paradigma keberlanjutan (sustainability paradigm). Sistem ekonomi global modern dibangun di atas logika akumulasi, eksploitasi sumber daya, dan konsumsi tanpa batas, yang secara struktural bertentangan dengan prinsip keadilan lintas waktu.⁹ Herman Daly, pelopor ekonomi ekologi, mengkritik bahwa ekonomi konvensional mengabaikan fakta bahwa bumi adalah sistem tertutup dengan sumber daya terbatas.¹⁰ Ia menegaskan perlunya model steady-state economy—ekonomi berimbang yang menyesuaikan produksi dan konsumsi dengan kapasitas regeneratif bumi.¹¹

Prinsip keadilan antar generasi menuntut transformasi ekonomi menuju paradigma eco-justice economy, di mana tujuan utama bukan lagi pertumbuhan kuantitatif, tetapi kesejahteraan kualitatif dan keberlanjutan ekologis.¹² Transformasi ini mencakup:

·                     Internalisasi biaya lingkungan (internalization of environmental costs) dalam harga barang dan jasa.

·                     Investasi jangka panjang dalam energi terbarukan, konservasi, dan inovasi hijau.

·                     Redistribusi sumber daya alam agar manfaatnya tidak terpusat pada generasi kini semata.¹³

Amartya Sen menambahkan bahwa keadilan ekonomi lintas generasi harus berorientasi pada capability approach—yakni memastikan bahwa setiap generasi memiliki kemampuan nyata (capabilities) untuk hidup bermartabat.¹⁴ Pendekatan ini menggeser fokus dari akumulasi material ke perluasan kebebasan manusia, sehingga keberlanjutan dipahami sebagai pemeliharaan kemampuan dasar manusia untuk hidup dan berkembang di masa depan.¹⁵

6.3.       Dimensi Politik: Tanggung Jawab Demokratis dan Tata Kelola Lingkungan Global

Secara politik, keadilan antar generasi menuntut pembentukan tata kelola (governance) yang mampu menyeimbangkan kepentingan masa kini dengan kepentingan masa depan. Tantangan utamanya adalah bahwa generasi mendatang tidak memiliki representasi politik yang langsung; mereka tidak dapat memilih, memprotes, atau menuntut keadilan atas keputusan yang diambil sekarang.¹⁶ Oleh karena itu, dibutuhkan mekanisme demokrasi ekologis yang mampu “memberi suara” bagi generasi yang belum lahir.¹⁷

Jürgen Habermas dalam kerangka discourse ethics menegaskan bahwa legitimasi politik hanya dapat diperoleh melalui partisipasi rasional dalam diskursus publik yang inklusif.¹⁸ Jika prinsip ini diperluas, maka demokrasi ekologis harus membuka ruang deliberasi di mana kepentingan generasi mendatang diwakili melalui kebijakan yang berbasis bukti ilmiah, etika tanggung jawab, dan prinsip keberlanjutan.¹⁹ Dalam praktiknya, hal ini mencakup pembentukan lembaga-lembaga seperti ombudsman for future generations (seperti di Hungaria) atau mekanisme intergenerational councils yang berfungsi menilai kebijakan berdasarkan dampak jangka panjangnya.²⁰

Pada tingkat global, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris Agreement (2015), dan Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi manifestasi politik dari prinsip keadilan antar generasi.²¹ Namun, kesenjangan antara retorika dan implementasi menunjukkan adanya moral deficit dalam tata kelola global—negara-negara maju sering gagal memenuhi komitmen pendanaan iklim dan transfer teknologi yang dibutuhkan negara berkembang.²² Maka, keadilan antar generasi secara politik menuntut reformasi etis dalam sistem internasional: menjadikan keberlanjutan bukan sekadar diplomasi, tetapi prinsip konstitutif dari keadilan global.²³

6.4.       Integrasi Sosial-Ekonomi-Politik dalam Etika Lintas Generasi

Ketiga dimensi—sosial, ekonomi, dan politik—tidak dapat dipisahkan; semuanya saling berinteraksi dalam membentuk struktur etika lintas generasi.²⁴ Secara sosial, keadilan antar generasi menumbuhkan solidaritas dan kesadaran kolektif; secara ekonomi, ia mengarahkan sistem produksi dan konsumsi ke arah keseimbangan ekologis; secara politik, ia membangun mekanisme representasi moral bagi masa depan.²⁵

Dengan demikian, keadilan antar generasi tidak hanya menuntut reformasi kebijakan, tetapi transformasi paradigma—dari etika utilitarian menuju etika keberlanjutan (sustainability ethics), dari politik jangka pendek menuju politik tanggung jawab, dan dari ekonomi eksploitatif menuju ekonomi ekologis.²⁶ Dalam konteks ini, etika lingkungan menjadi jembatan antara moralitas individu dan struktur sosial-politik global yang menentukan nasib kehidupan di masa depan.


Footnotes

[1]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 47–48.

[2]                Henry Shue, “Global Environment and International Inequality,” International Affairs 75, no. 3 (1999): 531–545.

[3]                Clive L. Hamilton, Requiem for a Species: Why We Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 56–59.

[4]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 95–98.

[5]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 89–91.

[6]                Ibid., 94–96.

[7]                David Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994), 27–29.

[8]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 103–106.

[9]                Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 11–14.

[10]             Ibid., 35–38.

[11]             Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles and Applications (Washington, DC: Island Press, 2011), 18–21.

[12]             Tim Jackson, Prosperity without Growth: Economics for a Finite Planet (London: Earthscan, 2009), 72–75.

[13]             Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 121–123.

[14]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 74–78.

[15]             Ibid., 87.

[16]             Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011), 397–401.

[17]             Ibid., 404–406.

[18]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 89–92.

[19]             Andrew Light and Avner de-Shalit, eds., Moral and Political Reasoning in Environmental Practice (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 153–156.

[20]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 51–52.

[21]             United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), Preamble, Article 2.

[22]             Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 102–104.

[23]             Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 144–147.

[24]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 96–99.

[25]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 115–118.

[26]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy, trans. Glyn Adey and David Frisby (London: Routledge, 1980), 288–291.


7.           Kritik terhadap Prinsip Keadilan Antar Generasi

Meskipun prinsip keadilan antar generasi telah menjadi salah satu pilar utama dalam etika lingkungan dan filsafat politik kontemporer, konsep ini tidak luput dari kritik serius baik secara ontologis, epistemologis, maupun politis. Kritik-kritik tersebut berakar pada pertanyaan mendasar: dapatkah kita benar-benar memiliki kewajiban moral terhadap entitas yang belum ada?; bagaimana menilai keadilan terhadap generasi yang identitasnya belum dapat ditentukan?; dan bagaimana prinsip moral ini dapat diterapkan dalam sistem ekonomi dan politik global yang berorientasi jangka pendek? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa keadilan antar generasi bukanlah konsep yang bebas dari paradoks, melainkan medan refleksi etis yang menuntut klarifikasi filosofis lebih lanjut.¹

7.1.       Kritik Ontologis: Status Moral Generasi yang Belum Lahir

Kritik pertama diarahkan pada status ontologis generasi mendatang. Dalam pandangan skeptis, generasi yang belum lahir tidak dapat menjadi subjek moral karena mereka belum memiliki eksistensi aktual.² Jan Narveson berpendapat bahwa kewajiban moral hanya berlaku terhadap entitas yang eksis atau pernah eksis; dengan demikian, berbicara tentang kewajiban terhadap individu masa depan adalah nonsens.³ Menurut logika ini, prinsip keadilan antar generasi kehilangan fondasi ontologisnya karena tidak ada “penerima” konkret dari kewajiban tersebut.

Namun, pandangan ini dikritik oleh para etikus lingkungan seperti Hans Jonas, yang menegaskan bahwa justru karena generasi masa depan belum ada, tanggung jawab moral terhadap mereka menjadi lebih mendesak.⁴ Dalam The Imperative of Responsibility, Jonas berargumen bahwa kekuasaan manusia modern untuk memengaruhi kehidupan masa depan menuntut perluasan lingkup moral melampaui yang hadir kini.⁵ Meski demikian, perdebatan ini mengungkapkan dilema fundamental: apakah moralitas dapat berlaku terhadap kemungkinan (potential beings) atau hanya terhadap aktualitas (actual beings)? Ontologi klasik cenderung menolak eksistensi yang bersifat potensial sebagai subjek moral, sementara ontologi ekologis modern berusaha memperluas horizon eksistensi hingga mencakup yang belum lahir sebagai “kemungkinan yang menuntut penjagaan.”⁶

7.2.       Kritik Epistemologis: Masalah Ketidaktahuan dan Identitas

Dimensi epistemologis dari kritik ini berpusat pada apa yang disebut Derek Parfit sebagai non-identity problem.⁷ Menurut Parfit, tindakan kita hari ini menentukan siapa yang akan lahir di masa depan. Jika, misalnya, kita memilih kebijakan lingkungan yang merusak, maka generasi masa depan yang hidup dalam dunia rusak itu tidak dapat dikatakan “dirugikan,” karena tanpa tindakan itu, mereka mungkin tidak akan ada sama sekali.⁸ Artinya, sulit secara logis untuk mengklaim bahwa kita telah bertindak tidak adil terhadap individu tertentu yang belum dapat ditentukan identitasnya.

Kritik ini menimbulkan persoalan epistemologis serius: jika kita tidak tahu siapa generasi mendatang itu, bagaimana kita bisa tahu apa yang “adil” bagi mereka?⁹ Brian Barry mencoba menjawab dengan pendekatan rasional-probabilistik—bahwa ketidakpastian identitas tidak meniadakan kewajiban moral, karena kita dapat mengetahui secara umum bahwa generasi mendatang akan memiliki kebutuhan dasar yang sama dengan kita: air, udara bersih, ekosistem sehat, dan kondisi sosial yang stabil.¹⁰ Namun, kritik Parfit tetap menunjukkan bahwa keadilan antar generasi beroperasi dalam epistemologi prediktif yang rapuh, karena didasarkan pada dugaan, bukan pengetahuan aktual.¹¹

Selain itu, para epistemolog lingkungan mengingatkan bahwa kemampuan manusia untuk meramalkan masa depan sangat terbatas. Kompleksitas sistem ekologis membuat setiap intervensi menghasilkan konsekuensi yang tak terduga (ecological uncertainty).¹² Dengan demikian, pengetahuan moral tentang masa depan selalu bersifat tentatif dan terbuka untuk koreksi.¹³ Hal ini menimbulkan risiko epistemologis: prinsip keadilan antar generasi dapat tergelincir menjadi moralitas spekulatif yang tidak operasional.

7.3.       Kritik Politis: Representasi dan Demokrasi Antar Waktu

Kritik lain yang penting adalah kritik politis, yakni persoalan representasi generasi masa depan dalam sistem demokrasi modern. Demokrasi kontemporer umumnya beroperasi dalam kerangka short-termism—keputusan politik diambil berdasarkan kepentingan elektoral jangka pendek, bukan visi jangka panjang.¹⁴ Stephen Gardiner menyebut fenomena ini sebagai intergenerational moral corruption, yaitu kegagalan sistem politik untuk menegakkan keadilan lintas waktu karena struktur institusionalnya didesain untuk merespons tekanan kini, bukan masa depan.¹⁵

Generasi mendatang, karena tidak memiliki suara dalam pemilu atau forum politik, menjadi kelompok tanpa representasi (the voiceless constituency).¹⁶ Upaya untuk mengatasi masalah ini melalui lembaga seperti ombudsman for future generations (di Hungaria dan Wales) masih menghadapi dilema legitimasi: siapa yang berhak berbicara atas nama mereka, dan sejauh mana representasi itu sah secara moral dan politis?¹⁷

Selain itu, politik global memperlihatkan ketimpangan kekuasaan antara negara kaya dan miskin yang turut melahirkan ketidakadilan antar generasi. Negara maju telah menikmati manfaat dari industrialisasi selama dua abad, sedangkan negara berkembang kini menanggung dampak ekologisnya.¹⁸ Naomi Klein mengkritik bahwa dalam konteks kapitalisme global, wacana keadilan antar generasi seringkali digunakan sebagai retorika moral tanpa perubahan struktural yang berarti dalam sistem ekonomi dan politik dunia.¹⁹ Kritik ini menyoroti bahaya reduksi etika menjadi simbol retoris yang justru menutupi akar ketimpangan global.

7.4.       Kritik Ideologis dan Antroposentrisme Terselubung

Beberapa pemikir ekofilosofis juga menilai bahwa keadilan antar generasi masih mengandung bias antroposentris, karena fokusnya tetap pada kesejahteraan manusia masa depan, bukan keberlanjutan seluruh komunitas biotik.²⁰ Val Plumwood dan Arne Naess mengingatkan bahwa konsep keadilan antar generasi sering gagal memperhitungkan nilai intrinsik alam—ia hanya memperluas jangkauan moral manusia ke masa depan, tanpa menggeser pusat etika dari manusia ke ekosistem.²¹ Dalam pandangan ini, prinsip keadilan antar generasi memerlukan decentering of the human, yakni desentralisasi manusia sebagai pusat nilai moral agar etika lintas waktu menjadi benar-benar ekologis.²²

Selain itu, ada kritik ideologis bahwa gagasan keadilan antar generasi mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik dan ekonomi global.²³ Pemerintah atau korporasi sering menggunakan retorika “demi masa depan anak cucu kita” untuk melegitimasi proyek pembangunan yang justru merusak lingkungan atau menyingkirkan masyarakat lokal.²⁴ Dengan demikian, konsep ini berisiko mengalami moral co-optation—yakni diambil alih oleh kekuasaan hegemonik dan kehilangan substansi kritisnya.²⁵


Refleksi Kritis: Antara Ideal Normatif dan Realitas Struktural

Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa prinsip keadilan antar generasi menghadapi ketegangan antara ideal normatif dan realitas empiris. Secara moral, prinsip ini sangat kuat karena berlandaskan tanggung jawab dan solidaritas lintas waktu. Namun secara praktis, ia berhadapan dengan struktur ekonomi-politik yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek, serta keterbatasan epistemologis manusia dalam memahami masa depan.²⁶

Maka, refleksi kritis terhadap keadilan antar generasi bukanlah penolakan terhadap prinsip tersebut, melainkan upaya untuk memperdalam fondasinya agar lebih realistis, inklusif, dan ekologis.²⁷ Kritik justru memperkuat nilai normatifnya, dengan menuntut pengembangan etika lintas waktu yang tidak berhenti pada humanisme moral, tetapi berkembang menjadi ekohumanisme tanggung jawab—etika yang menempatkan manusia sebagai penjaga, bukan penguasa, kehidupan masa depan.²⁸


Footnotes

[1]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 61–62.

[2]                Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 351–355.

[3]                Jan Narveson, “Moral Problems of Population,” The Monist 57, no. 1 (1973): 62–86.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 4–6.

[5]                Ibid., 11–12.

[6]                David E. Cooper, Philosophy and the Environment (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 29–30.

[7]                Parfit, Reasons and Persons, 356–358.

[8]                Ibid., 361–363.

[9]                Henry Shue, “Global Environment and International Inequality,” International Affairs 75, no. 3 (1999): 535–538.

[10]             Brian Barry, Sustainability and Intergenerational Justice, in Fairness and Futurity, ed. Andrew Dobson (Oxford: Oxford University Press, 1999), 93–94.

[11]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 504–506.

[12]             Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 100–101.

[13]             Bryan G. Norton, Sustainability, 65–66.

[14]             Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011), 397–401.

[15]             Ibid., 405–407.

[16]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 52–54.

[17]             Jörg Tremmel, A Theory of Intergenerational Justice (London: Earthscan, 2009), 122–124.

[18]             Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 53–54.

[19]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 204–205.

[20]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 78–81.

[21]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 85–87.

[22]             Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature, 84–86.

[23]             Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 133–136.

[24]             Naomi Klein, This Changes Everything, 297–299.

[25]             Clive L. Hamilton, Requiem for a Species: Why We Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 142–144.

[26]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 103–104.

[27]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 120–123.

[28]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 54–55.


8.           Relevansi Kontemporer

Prinsip keadilan antar generasi menjadi semakin relevan dalam konteks krisis ekologis dan sosial yang menandai abad ke-21. Dunia kini hidup di era Anthropocene, di mana aktivitas manusia telah menjadi kekuatan geologis yang mengubah sistem bumi secara mendasar—dari perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga krisis sumber daya air dan pangan.¹ Fenomena ini menimbulkan pertanyaan moral yang mendalam: bagaimana generasi sekarang dapat hidup secara adil tanpa merampas kemungkinan hidup bagi generasi yang akan datang? Prinsip keadilan antar generasi menawarkan kerangka normatif untuk menjawab tantangan ini, sekaligus menjadi fondasi moral bagi pembangunan berkelanjutan, etika kebijakan publik, dan transformasi budaya global.

8.1.       Era Anthropocene dan Tanggung Jawab Moral Global

Era Anthropocene memperlihatkan bahwa hubungan manusia dengan bumi tidak lagi bersifat pasif, melainkan transformasional.² Manusia kini memiliki kapasitas untuk menentukan arah masa depan planet ini, baik menuju kelestarian maupun kehancuran. Dalam situasi demikian, keadilan antar generasi menjadi imperatif etis global yang menuntut tanggung jawab kolektif terhadap keberlanjutan biosfer.³ Hans Jonas menegaskan bahwa tindakan manusia modern telah melampaui skala moral tradisional; etika yang dulu terbatas pada interaksi antar manusia kini harus meluas ke tanggung jawab terhadap eksistensi kehidupan di masa depan.⁴

Prinsip ini menemukan relevansinya dalam berbagai forum global, seperti Paris Agreement (2015) dan United Nations Sustainable Development Goals (SDGs), yang menempatkan keberlanjutan antar generasi sebagai tujuan utama pembangunan global.⁵ Namun, sebagaimana dikritik oleh Stephen Gardiner, dunia masih menghadapi moral corruption of climate politics—yakni ketidakmampuan politik internasional untuk menegakkan keadilan lintas waktu akibat kepentingan ekonomi jangka pendek dan distribusi tanggung jawab yang tidak merata.⁶ Dalam konteks ini, keadilan antar generasi menegaskan kembali pentingnya etika global yang tidak tunduk pada logika pasar, melainkan berakar pada kesadaran moral tentang keterhubungan ekologis seluruh umat manusia.⁷

8.2.       Keadilan Antar Generasi dan Kebijakan Iklim Kontemporer

Dalam kebijakan iklim, prinsip keadilan antar generasi menjadi dasar bagi komitmen untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C sebagaimana disepakati dalam Paris Agreement.⁸ Namun implementasinya masih menghadapi dilema moral: negara-negara maju memiliki tanggung jawab historis atas emisi karbon, sementara negara berkembang memerlukan ruang pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan.⁹ Hal ini menciptakan ketegangan antara keadilan intergenerasional (antar waktu) dan keadilan intragenerasional (antar kelompok manusia pada masa kini).¹⁰

Nicholas Stern dalam The Economics of Climate Change menegaskan bahwa setiap kebijakan iklim harus mempertimbangkan discount rate yang adil, yaitu bagaimana kita menilai kesejahteraan masa depan dibandingkan dengan manfaat ekonomi saat ini.¹¹ Menurut Stern, jika nilai masa depan terlalu “didiskon”, maka kita secara moral telah gagal menghargai hak generasi mendatang untuk hidup dalam lingkungan yang layak.¹² Oleh karena itu, relevansi prinsip ini tidak hanya teoretis, tetapi juga praktis—ia menjadi pedoman bagi perancangan kebijakan fiskal, energi, dan industri yang memperhitungkan dampak ekologis jangka panjang.¹³

Selain itu, Amartya Sen menekankan pentingnya capability approach dalam menilai keadilan antar generasi: keadilan sejati bukan hanya memastikan sumber daya yang sama, tetapi menjamin kemampuan setiap generasi untuk hidup bermartabat.¹⁴ Perspektif ini mendorong kebijakan publik yang berfokus pada pemerataan akses pendidikan, kesehatan, dan lingkungan bersih sebagai prasyarat bagi keberlanjutan hidup generasi mendatang.¹⁵

8.3.       Transformasi Budaya dan Etika Keberlanjutan

Keadilan antar generasi tidak dapat direduksi pada persoalan hukum atau ekonomi; ia menuntut transformasi budaya dan kesadaran etis. Krisis ekologis kontemporer pada dasarnya adalah krisis nilai—krisis cara manusia memahami dirinya dalam hubungannya dengan alam.¹⁶ Thomas Berry menyebutnya sebagai “krisis cerita” (the crisis of the story): umat manusia kehilangan narasi kosmik yang mempersatukan dirinya dengan alam semesta.¹⁷ Oleh karena itu, relevansi prinsip keadilan antar generasi juga terletak pada upayanya untuk membangun kembali narasi moral yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas kehidupan, bukan penguasa atasnya.¹⁸

Gerakan global seperti Earth Charter (2000) dan Laudato Si’ (2015) karya Paus Fransiskus merepresentasikan kebangkitan kesadaran ekologis spiritual yang menegaskan keterpaduan antara keadilan sosial dan keadilan ekologis.¹⁹ Dalam konteks ini, keadilan antar generasi bukan hanya proyek politik, tetapi juga panggilan moral lintas iman dan peradaban.²⁰ Ia mengundang manusia modern untuk mengembangkan rasa hormat (reverence for life), kesederhanaan (simplicity), dan tanggung jawab (stewardship) sebagai gaya hidup etis baru.²¹

Selain itu, dalam masyarakat digital dan kapitalisme konsumeristik, prinsip ini menantang budaya instan yang berorientasi pada kepuasan segera (presentism).²² Dengan menanamkan kesadaran temporal yang panjang, keadilan antar generasi menjadi antitesis terhadap “ekonomi cepat” dan “politik instan” yang menunda tanggung jawab moral.²³ Relevansinya terletak pada kemampuannya mengembalikan nilai waktu sebagai ruang tanggung jawab, bukan sekadar ruang produksi.²⁴

8.4.       Perspektif Lokal dan Kearifan Ekologis

Dalam konteks lokal, keadilan antar generasi memperoleh relevansi melalui revitalisasi kearifan ekologis tradisional. Berbagai budaya adat di Nusantara dan Asia memiliki konsep tanggung jawab lintas generasi yang hidup dalam ritual, hukum adat, dan kosmologi.²⁵ Misalnya, falsafah Tri Hita Karana di Bali, prinsip kaseimbangan alam dan leluhur dalam budaya Minangkabau, atau manunggaling kawula lan Gusti dalam tradisi Jawa, semuanya mengandung pandangan bahwa manusia hidup dalam jaringan tanggung jawab kosmik yang melintasi waktu.²⁶

Kearifan-kearifan ini menunjukkan bahwa keadilan antar generasi bukan gagasan baru Barat, melainkan resonansi universal dari kesadaran ekologis manusia.²⁷ Mary Evelyn Tucker dan John Grim menyebutnya sebagai ecological wisdom traditions—sumber nilai yang dapat memperkaya etika lingkungan global.²⁸ Dengan mengintegrasikan kearifan lokal dan sains modern, prinsip keadilan antar generasi dapat diwujudkan dalam bentuk ecological humanism, yakni humanisme ekologis yang menghormati martabat manusia sekaligus martabat bumi.²⁹

8.5.       Etika Digital dan Generasi Masa Depan

Relevansi kontemporer prinsip ini juga meluas ke ranah baru, yaitu etika digital dan teknologi. Kemajuan kecerdasan buatan, bioteknologi, dan teknologi informasi menciptakan perubahan sosial-ekologis yang akan sangat menentukan masa depan umat manusia.³⁰ Hans Jonas telah memperingatkan bahwa kekuatan teknologi menimbulkan kewajiban baru untuk berhati-hati dalam menciptakan dunia yang akan diwarisi oleh generasi mendatang.³¹ Maka, keadilan antar generasi di era digital harus mencakup etika data, privasi, dan keberlanjutan infrastruktur digital agar kemajuan teknologi tidak menjadi beban ekologis baru.³²

Konsep digital sustainability dan green technology mencerminkan penerapan konkret prinsip ini: generasi kini harus memastikan bahwa inovasi teknologi mendukung kelestarian lingkungan, bukan mempercepat kerusakannya.³³ Oleh karena itu, relevansi keadilan antar generasi kini melampaui batas fisik bumi menuju ruang siber, menuntut ekologi digital yang humanistik dan bertanggung jawab.³⁴


Relevansi Etis Global: Dari Kesadaran ke Tindakan

Akhirnya, prinsip keadilan antar generasi memiliki relevansi universal sebagai etos moral global. Ia memanggil manusia untuk melampaui individualisme dan nasionalisme menuju solidaritas planet.³⁵ Sebagaimana dinyatakan dalam Earth Charter, “Kami adalah satu komunitas bumi dengan tanggung jawab bersama terhadap kesejahteraan umat manusia dan seluruh makhluk hidup.”³⁶ Prinsip ini menegaskan kembali bahwa etika lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial, perdamaian, dan hak asasi manusia.³⁷

Dalam konteks ini, keadilan antar generasi bukan sekadar norma moral, tetapi proyek peradaban—usaha kolektif untuk menjadikan keberlanjutan sebagai fondasi martabat manusia.³⁸ Relevansinya terletak pada kemampuannya membentuk kesadaran etis baru: bahwa hidup adil berarti hidup selaras dengan waktu, dengan sesama, dan dengan bumi.³⁹


Footnotes

[1]                Paul J. Crutzen, “The Geology of Mankind,” Nature 415, no. 6867 (2002): 23.

[2]                Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 45–47.

[3]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 72–74.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 8–10.

[5]                United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), Article 2; United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: UN, 2015).

[6]                Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011), 397–401.

[7]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 121–123.

[8]                United Nations, Paris Agreement, Article 2.

[9]                Henry Shue, “Climate Hope: Implementing the Exit Strategy,” Oxford Energy Forum 99 (2015): 10–13.

[10]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 102–103.

[11]             Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 45–46.

[12]             Ibid., 52–53.

[13]             Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles and Applications (Washington, DC: Island Press, 2011), 88–90.

[14]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 84–86.

[15]             Ibid., 90–91.

[16]             Clive L. Hamilton, Requiem for a Species: Why We Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 140–142.

[17]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 3–5.

[18]             Ibid., 87–90.

[19]             Earth Charter Commission, The Earth Charter (San José, Costa Rica: Earth Charter International, 2000); Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13–16.

[20]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 51–53.

[21]             Albert Schweitzer, Reverence for Life (New York: Irvington, 1982), 95–97.

[22]             Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 28–31.

[23]             Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm, 408–410.

[24]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 64–66.

[25]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 301–304.

[26]             Agus R. Sarjono, Filsafat Lingkungan dan Kearifan Lokal Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), 45–49.

[27]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1994), 71–73.

[28]             Ibid., 80–81.

[29]             David E. Cooper, Philosophy and the Environment (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54–55.

[30]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 10–12.

[31]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 35–37.

[32]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 102–104.

[33]             Sarah Spiekermann, Ethical IT Innovation: A Value-Based System Design Approach (Boca Raton, FL: CRC Press, 2016), 89–91.

[34]             Mark Coeckelbergh, AI Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 122–124.

[35]             Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 155–157.

[36]             Earth Charter Commission, The Earth Charter, Preamble.

[37]             Robin Attfield, Environmental Ethics, 109–111.

[38]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 130–132.

[39]             Thomas Berry, The Great Work, 202–205.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Etika Lintas Generasi yang Integral dan Humanistik

Sintesis filosofis atas prinsip keadilan antar generasi menuntut penyatuan antara tiga pilar utama filsafat moral—ontologi, epistemologi, dan aksiologi—ke dalam kerangka etika yang bersifat integral dan humanistik. Dalam arti integral, keadilan antar generasi tidak sekadar dipahami sebagai teori normatif, tetapi sebagai paradigma eksistensial yang menyatukan manusia, alam, dan waktu dalam satu kesatuan moral yang tak terpisahkan. Sementara dalam arti humanistik, ia menegaskan kembali martabat manusia bukan sebagai penguasa atas masa depan, tetapi sebagai penjaga kehidupan (guardian of life) yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan eksistensi di bumi.¹

Etika lintas generasi yang integral dan humanistik berfungsi sebagai jembatan antara moralitas individu dan struktur global, antara tanggung jawab etis dan tindakan ekologis, antara logos dan ethos.² Melalui integrasi tersebut, filsafat keadilan antar generasi menjadi bukan hanya wacana reflektif, melainkan dasar ontologis bagi peradaban ekologis yang berkelanjutan.

9.1.       Integrasi Ontologis: Manusia sebagai Makhluk Temporal dan Ekologis

Secara ontologis, manusia adalah makhluk yang eksistensinya ditentukan oleh relasi dengan waktu dan alam.³ Prinsip keadilan antar generasi berakar pada kesadaran bahwa eksistensi manusia bersifat temporal—selalu berada dalam gerak antara kelahiran dan warisan, antara menerima dan memberi.⁴ Oleh karena itu, tindakan moral manusia tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab terhadap kesinambungan kehidupan. Hans Jonas menyebut hal ini sebagai ontologi tanggung jawab, yakni pandangan bahwa eksistensi manusia hanya bermakna bila menjamin kelanjutan eksistensi yang lain.⁵

Integrasi ontologis ini juga memerlukan perluasan kategori “manusia” dalam horizon etika: manusia bukan entitas otonom, melainkan bagian dari jaringan ekologis (ecological web of being).⁶ Dalam perspektif ini, keadilan antar generasi tidak hanya berlaku antar manusia, tetapi juga antar spesies dan antar bentuk kehidupan.⁷ Kesadaran ekologis demikian menandai peralihan dari antroposentrisme menuju eko-humanisme, yakni pengakuan bahwa martabat manusia sejati justru terwujud dalam tanggung jawabnya terhadap seluruh makhluk.⁸

9.2.       Integrasi Epistemologis: Dari Rasionalitas Kalkulatif ke Kebijaksanaan Ekologis

Epistemologi keadilan antar generasi menuntut transisi dari rasionalitas kalkulatif menuju kebijaksanaan ekologis (ecological wisdom).⁹ Pengetahuan modern yang reduksionis dan instrumental cenderung mengukur nilai kehidupan berdasarkan utilitas dan efisiensi, sementara etika lintas generasi memerlukan rationality of care—rasionalitas yang berlandaskan perhatian dan kehati-hatian terhadap kehidupan yang rentan.¹⁰

Paul Ricoeur menegaskan bahwa pengetahuan moral tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga naratif: manusia memahami tanggung jawabnya melalui cerita dan makna yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan.¹¹ Dengan demikian, epistemologi etika lintas generasi bukanlah epistemologi abstrak, melainkan epistemologi hermeneutik yang menafsirkan keberadaan manusia sebagai bagian dari alur sejarah ekologis yang panjang.

Dalam konteks ini, sains dan teknologi tetap penting, tetapi harus tunduk pada prinsip tanggung jawab moral.¹² Jonas memperingatkan bahwa pengetahuan tanpa tanggung jawab akan membawa kehancuran, sebab kekuasaan teknologi melampaui kapasitas etis manusia untuk mengendalikannya.¹³ Oleh karena itu, sintesis epistemologis menuntut rekonsiliasi antara sains dan etika—antara knowing dan caring—untuk membangun paradigma kebijaksanaan ekologis yang sejati.¹⁴

9.3.       Integrasi Aksiologis: Tanggung Jawab, Solidaritas, dan Keberlanjutan sebagai Nilai Universal

Dari sisi aksiologi, prinsip keadilan antar generasi memanifestasikan tiga nilai universal: tanggung jawab, solidaritas, dan keberlanjutan. Ketiganya membentuk struktur nilai yang saling menopang.¹⁵

·                     Tanggung jawab (responsibility) merupakan inti moral yang mengikat manusia terhadap konsekuensi tindakannya terhadap masa depan.¹⁶

·                     Solidaritas (solidarity) menegaskan bahwa semua generasi merupakan bagian dari satu komunitas moral lintas waktu.¹⁷

·                     Keberlanjutan (sustainability) menjadi horizon nilai yang menjamin kelangsungan kehidupan manusia dan bumi secara harmonis.¹⁸

Dalam kerangka integral, ketiga nilai ini tidak berdiri sendiri, tetapi bersatu dalam dinamika etis yang menegaskan relasi timbal balik antara manusia dan alam.¹⁹ Aldo Leopold merumuskannya dalam The Land Ethic: “Sesuatu dianggap benar bila ia menjaga integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik; salah bila sebaliknya.”²⁰ Etika lintas generasi menghidupkan kembali semangat ini dalam konteks waktu—menjadikan keberlanjutan bukan hanya prinsip ekologis, tetapi kewajiban moral universal.²¹

9.4.       Integrasi Sosial dan Politik: Etika sebagai Fondasi Peradaban Berkelanjutan

Sintesis filosofis tidak akan utuh tanpa dimensi sosial-politik. Keadilan antar generasi hanya dapat terwujud melalui sistem sosial dan politik yang berlandaskan pada etika keberlanjutan.²² Dalam konteks ini, Jürgen Habermas menawarkan model diskursus etis di mana rasionalitas komunikatif memungkinkan keputusan moral yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan bersama lintas generasi.²³ Demokrasi ekologis yang sejati harus mengakui hak generasi mendatang melalui kebijakan, lembaga, dan pendidikan publik yang menanamkan tanggung jawab ekologis.²⁴

Secara sosial, sintesis etika lintas generasi menuntut perubahan budaya: dari konsumsi menuju konservasi, dari eksploitasi menuju pemeliharaan.²⁵ Dalam pengertian ini, keadilan antar generasi bukan sekadar proyek politik, tetapi revolusi kesadaran moral yang melibatkan transformasi nilai di semua tingkat kehidupan manusia.²⁶

9.5.       Menuju Paradigma Etika Integral-Humanistik

Paradigma etika integral-humanistik lahir dari pertemuan antara rasionalitas modern dan spiritualitas ekologis.²⁷ Ia menggabungkan refleksi filosofis dengan dimensi eksistensial dan spiritual kehidupan, sehingga etika tidak berhenti pada norma, tetapi menjadi cara hidup (ethos of being).²⁸ Dalam kerangka ini, manusia bukan sekadar agen moral, tetapi juga pelayan kosmik yang bertanggung jawab menjaga kesatuan ciptaan.²⁹

Etika integral-humanistik mengandaikan visi kosmologis baru: bahwa keadilan bagi manusia kini tidak dapat dipisahkan dari keadilan bagi generasi mendatang dan bagi bumi itu sendiri.³⁰ Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Berry, “kita bukanlah penonton alam semesta, tetapi bagian dari komunitas kosmik yang sedang berkembang.”³¹ Prinsip keadilan antar generasi, dalam arti terdalamnya, menjadi panggilan untuk memulihkan kesadaran ekologis umat manusia dan membangun peradaban yang berakar pada cinta, tanggung jawab, dan keberlanjutan kehidupan.³²


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 9–11.

[2]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 81–83.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 325–328.

[4]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 65–67.

[5]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 20–21.

[6]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 54–57.

[7]                Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 85–87.

[8]                Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 56–58.

[9]                David E. Cooper, Philosophy and the Environment (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–34.

[10]             Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011), 403–405.

[11]             Ricoeur, Time and Narrative, 70–72.

[12]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 80–83.

[13]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 36–38.

[14]             Bryan G. Norton, Sustainability, 85–86.

[15]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 120–122.

[16]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 27–29.

[17]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 41–44.

[18]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 105–107.

[19]             J. Baird Callicott, Thinking Like a Planet: The Land Ethic and the Earth Ethic (Oxford: Oxford University Press, 2013), 25–27.

[20]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.

[21]             Callicott, Thinking Like a Planet, 30–31.

[22]             Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 106–108.

[23]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 90–92.

[24]             Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm, 411–412.

[25]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 96–99.

[26]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1994), 82–84.

[27]             David E. Cooper, The Measure of Things: Humanism, Humility, and Mystery (Oxford: Clarendon Press, 2002), 44–46.

[28]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 171–173.

[29]             Tucker and Grim, Ecology and Religion, 62–63.

[30]             Robin Attfield, Environmental Ethics, 115–117.

[31]             Berry, The Great Work, 201–203.

[32]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics, 134–136.


10.       Kesimpulan

Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational justice) merupakan salah satu puncak refleksi etis manusia modern terhadap krisis ekologis dan moralitas waktu. Ia menghadirkan kesadaran baru bahwa keadilan bukan hanya relasi horizontal—antara individu, kelompok, atau bangsa—melainkan juga relasi vertikal yang melampaui batas waktu, menghubungkan generasi masa kini dengan generasi yang akan datang.¹ Melalui pendekatan filosofis yang integral, prinsip ini memperluas horizon tanggung jawab manusia dari the here and now menuju the there and then, mengajak manusia untuk menata peradaban dalam kerangka keberlanjutan moral dan ekologis.

10.1.    Rekapitulasi Argumentatif

Kajian ini menunjukkan bahwa keadilan antar generasi memiliki tiga landasan filosofis utama: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

·                     Secara ontologis, manusia dipahami sebagai makhluk temporal dan ekologis yang eksistensinya bergantung pada kesinambungan kehidupan.² Eksistensi manusia tidak dapat dilepaskan dari jaringan ekologis yang melintasi waktu, di mana kehidupan kini merupakan hasil dari warisan masa lalu dan sumber bagi masa depan.³

·                     Secara epistemologis, keadilan antar generasi memerlukan cara berpikir baru tentang pengetahuan moral, yaitu pengetahuan yang bersifat prognostik dan reflektif, yang mampu memperhitungkan konsekuensi tindakan dalam jangka panjang.⁴

·                     Secara aksiologis, prinsip ini menegaskan nilai-nilai moral universal seperti tanggung jawab (responsibility), solidaritas (solidarity), dan keberlanjutan (sustainability) sebagai fondasi etik bagi eksistensi manusia dan alam.⁵

Ketiga dimensi ini saling menguatkan: tanggung jawab lahir dari kesadaran ontologis, dijustifikasi secara epistemologis, dan diwujudkan secara aksiologis dalam tindakan etis dan kebijakan publik.

10.2.    Prinsip Moral dan Implikasi Etis

Keadilan antar generasi menuntut perubahan paradigma dari etika yang berorientasi kini menuju etika yang berorientasi masa depan. Prinsip moralnya dapat dirumuskan dalam empat bentuk utama:

1)                  Prinsip Amanah (Trusteeship): generasi kini hanyalah pengelola sementara bumi, bukan pemilik absolutnya.⁶

2)                  Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle): tindakan apa pun yang berpotensi menimbulkan kerusakan permanen terhadap sistem ekologis harus dihindari meski bukti empiris belum lengkap.⁷

3)                  Prinsip Keberlanjutan (Sustainability): setiap kebijakan harus mempertimbangkan kemampuan generasi mendatang untuk hidup layak di bumi yang sehat.⁸

4)                  Prinsip Martabat Ekologis (Ecological Dignity): hak untuk hidup bermartabat tidak hanya milik manusia kini, tetapi juga generasi masa depan serta seluruh makhluk hidup lainnya.⁹

Prinsip-prinsip ini menegaskan bahwa tanggung jawab moral lintas waktu merupakan bentuk tertinggi dari etika keberlanjutan—sebuah imperatif ekologis yang melampaui kepentingan politik dan ekonomi sesaat.

10.3.    Tantangan dan Harapan

Meski secara normatif kuat, penerapan keadilan antar generasi menghadapi hambatan serius dalam realitas sosial dan politik global. Struktur ekonomi kapitalistik dan sistem demokrasi elektoral sering kali memperkuat short-termism—logika jangka pendek yang mengabaikan masa depan.¹⁰ Selain itu, ketimpangan global antara negara kaya dan miskin memperumit upaya menciptakan kebijakan iklim dan pembangunan berkelanjutan yang adil.¹¹

Namun demikian, muncul pula tanda-tanda kesadaran baru. Gerakan seperti Fridays for Future, Earth Charter, dan Laudato Si’ menunjukkan bahwa generasi muda kini menjadi aktor moral yang menuntut keadilan ekologis lintas waktu.¹² Teknologi hijau, pendidikan ekologi, dan gerakan spiritual ekologis menjadi sarana bagi transformasi nilai menuju peradaban yang berkelanjutan.¹³

Dengan demikian, keadilan antar generasi bukan hanya ideal moral, tetapi juga agenda praktis umat manusia di abad Anthropocene—sebuah panggilan untuk bertindak dengan tanggung jawab dan solidaritas lintas waktu.¹⁴

10.4.    Sintesis Filosofis dan Arah Humanistik

Keadilan antar generasi menuntun filsafat moral menuju paradigma baru: etika lintas waktu yang integral-humanistik. Dalam paradigma ini, manusia tidak diposisikan sebagai penguasa atas masa depan, tetapi sebagai penjaga kehidupan (custodian of existence).¹⁵ Etika humanistik semacam ini tidak menolak teknologi atau kemajuan, tetapi menundukkannya pada prinsip tanggung jawab eksistensial dan keberlanjutan ekologis.¹⁶

Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Berry, “masa depan bumi tergantung pada kemampuan manusia untuk hidup sebagai bagian dari komunitas kehidupan, bukan sebagai penguasa atasnya.”¹⁷ Paradigma ini mengajak manusia modern untuk menyeimbangkan pengetahuan ilmiah dengan kebijaksanaan ekologis, menggabungkan rasionalitas dengan empati kosmik, dan memulihkan kesadaran bahwa keberlanjutan adalah bentuk tertinggi dari keadilan.¹⁸


Penutup: Menuju Etika Kehidupan yang Berkelanjutan

Akhirnya, prinsip keadilan antar generasi mengajarkan bahwa keberadaan manusia memperoleh maknanya hanya jika ia mampu melanjutkan kehidupan.¹⁹ Keadilan yang sejati adalah keadilan yang berpihak pada waktu—yang menghormati masa lalu, bertanggung jawab atas masa kini, dan memberi ruang bagi masa depan untuk bernapas.²⁰ Dalam arti ini, etika lintas generasi bukan sekadar teori moral, tetapi visi peradaban baru yang berakar pada kesadaran ekologis, solidaritas planet, dan martabat kemanusiaan yang universal.²¹

Sebagaimana peringatan Jonas, “masa depan kini menjadi tugas moral.”²² Maka, tanggung jawab kita terhadap generasi mendatang bukanlah beban, melainkan bentuk tertinggi dari cinta terhadap kehidupan itu sendiri.²³


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 140–142.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 325–328.

[3]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 9–11.

[4]                Stephen M. Gardiner, A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change (Oxford: Oxford University Press, 2011), 398–401.

[5]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 115–117.

[6]                Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 41–44.

[7]                Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 508–510.

[8]                Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles and Applications (Washington, DC: Island Press, 2011), 93–95.

[9]                Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 62–64.

[10]             Clive L. Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 107–109.

[11]             Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 46–47.

[12]             Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 148–151.

[13]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13–16.

[14]             Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 85–86.

[15]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 165–167.

[16]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 130–132.

[17]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 98–100.

[18]             David E. Cooper, The Measure of Things: Humanism, Humility, and Mystery (Oxford: Clarendon Press, 2002), 46–47.

[19]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac: And Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.

[20]             Emmanuel Levinas, Time and the Other, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1987), 58–59.

[21]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1994), 81–83.

[22]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 36–38.

[23]             Thomas Berry, The Great Work, 205–207.


Daftar Pustaka

Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An overview for the twenty-first century. Polity Press.

Barry, B. (1999). Sustainability and intergenerational justice. In A. Dobson (Ed.), Fairness and futurity (pp. 93–117). Oxford University Press.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. Bell Tower.

Brown Weiss, E. (1989). In fairness to future generations: International law, common patrimony, and intergenerational equity. United Nations University Press.

Byung-Chul, H. (2015). The burnout society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Callicott, J. B. (2013). Thinking like a planet: The land ethic and the Earth ethic. Oxford University Press.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.

Cobb, J. B., Jr., & Daly, H. (1989). For the common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and a sustainable future. Beacon Press.

Coeckelbergh, M. (2020). AI ethics. MIT Press.

Cooper, D. E. (1998). Philosophy and the environment. Cambridge University Press.

Cooper, D. E. (2002). The measure of things: Humanism, humility, and mystery. Clarendon Press.

Crutzen, P. J. (2002). The geology of mankind. Nature, 415(6867), 23. doi.org

Daly, H. E. (1996). Beyond growth: The economics of sustainable development. Beacon Press.

Daly, H. E., & Farley, J. (2011). Ecological economics: Principles and applications. Island Press.

Dobson, A. (1998). Justice and the environment: Conceptions of environmental sustainability and dimensions of social justice. Oxford University Press.

Eckersley, R. (1992). Environmentalism and political theory: Toward an ecocentric approach. SUNY Press.

Earth Charter Commission. (2000). The Earth Charter. Earth Charter International.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Gardiner, S. M. (2011). A perfect moral storm: The ethical tragedy of climate change. Oxford University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Hamilton, C. L. (2010). Requiem for a species: Why we resist the truth about climate change. Earthscan.

Hamilton, C. L. (2017). Defiant Earth: The fate of humans in the Anthropocene. Polity Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Jonas, H. (1979). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Jackson, T. (2009). Prosperity without growth: Economics for a finite planet. Earthscan.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac: And sketches here and there. Oxford University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Levinas, E. (1987). Time and the other (R. A. Cohen, Trans.). Duquesne University Press.

Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Blackwell.

Light, A., & de-Shalit, A. (Eds.). (2003). Moral and political reasoning in environmental practice. MIT Press.

Narveson, J. (1973). Moral problems of population. The Monist, 57(1), 62–86. monist

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Norton, B. G. (1996). Intergenerational equity and environmental decisions: A model using Habermas’s discourse ethics. Ecological Economics, 19(1), 59–68. doi.org

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.

Orr, D. (1994). Earth in mind: On education, environment, and the human prospect. Island Press.

Parfit, D. (1984). Reasons and persons. Clarendon Press.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of nature. Routledge.

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative, Vol. 1 (K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Robinson, M. (2018). Climate justice: Hope, resilience, and the fight for a sustainable future. Bloomsbury.

Rolston, H. III. (2012). A new environmental ethics: The next millennium for life on Earth. Routledge.

Sarjono, A. R. (2018). Filsafat lingkungan dan kearifan lokal Nusantara. Pustaka Pelajar.

Schweitzer, A. (1982). Reverence for life. Irvington.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Knopf.

Shue, H. (1999). Global environment and international inequality. International Affairs, 75(3), 531–545. doi.org

Shue, H. (2015). Climate hope: Implementing the exit strategy. Oxford Energy Forum, 99, 10–13.

Spiekermann, S. (2016). Ethical IT innovation: A value-based system design approach. CRC Press.

Stern, N. (2007). The economics of climate change: The Stern review. Cambridge University Press.

Tremmel, J. (2009). A theory of intergenerational justice. Earthscan.

Tucker, M. E., & Grim, J. (1994). Worldviews and ecology: Religion, philosophy, and the environment. Orbis Books.

Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology and religion. Island Press.

United Nations. (2015a). Paris Agreement. United Nations.
the-paris-agreement

United Nations. (2015b). Transforming our world: The 2030 Agenda for sustainable development. United Nations.
sdgs.un.org/


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar