Teori Pilihan Rasional
Paradigma Penjelasan Perilaku Individu dan
Kolektif
Alihkan ke: Ilmu Sosial.
Apakah Seseorang Hanya Akan Memilih Sesuatu yang
Belum Ia Miliki dari Sebuah Penawaran?
Abstrak
Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory, RCT) merupakan
salah satu paradigma fundamental dalam ilmu sosial yang berupaya menjelaskan
tindakan manusia berdasarkan prinsip rasionalitas dan kalkulasi utilitas.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif landasan konseptual,
perkembangan historis, aplikasi lintas disiplin, serta kritik dan arah
pengembangan kontemporer dari teori tersebut. Melalui pendekatan analisis
teoritik dan studi pustaka, penelitian ini menemukan bahwa RCT memiliki
kontribusi signifikan dalam membangun kerangka penjelasan yang sistematis
terhadap perilaku individu dan kolektif, terutama dalam ekonomi, sosiologi,
ilmu politik, dan psikologi sosial.
Namun, teori ini tidak luput dari kritik
epistemologis, metodologis, dan ontologis—terutama atas asumsi individualisme
metodologis dan rasionalitas sempurna yang sering kali tidak sejalan dengan
realitas sosial yang kompleks. Perkembangan terbaru menunjukkan adanya
integrasi RCT dengan teori jaringan sosial, teori institusional, psikologi
kognitif, dan neurosains, yang melahirkan paradigma baru seperti bounded
rationality, behavioral rationality, serta computational
rationality. Integrasi ini menandai transformasi penting dari rasionalitas
yang bersifat kalkulatif menuju rasionalitas yang reflektif, adaptif, dan
kontekstual.
Artikel ini menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap
tindakan sosial tidak dapat dilepaskan dari interaksi antara rasionalitas
instrumental, normatif, dan moral. Oleh karena itu, RCT di era kontemporer
tidak hanya berfungsi sebagai teori ekonomi atau sosial semata, tetapi juga
sebagai kerangka interdisipliner yang menjelaskan bagaimana manusia mengambil
keputusan dalam dunia yang dinamis, plural, dan berjejaring.
Kata Kunci: Rasionalitas, Teori Pilihan Rasional, Rasionalitas
Terbatas, Teori Sosial, Keputusan Sosial, Behavioral Economics, Rasionalitas
Kontekstual, Paradigma Interdisipliner.
PEMBAHASAN
Analisis Komprehensif atas Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Masalah
Dalam dinamika ilmu sosial modern, rasionalitas
telah menjadi salah satu konsep fundamental yang digunakan untuk memahami
tindakan dan keputusan manusia. Berangkat dari asumsi bahwa manusia bertindak
untuk memaksimalkan kepuasan atau keuntungan tertentu, Teori Pilihan
Rasional (Rational Choice Theory) menawarkan suatu kerangka
penjelasan yang menekankan peran kalkulasi logis dan pertimbangan utilitas
dalam setiap tindakan sosial.¹ Teori ini menganggap bahwa perilaku manusia
bukan hasil kebetulan atau dorongan emosional semata, melainkan produk dari keputusan
yang disengaja, rasional, dan berdasarkan pada penilaian terhadap konsekuensi
tindakan.
Secara historis, akar pemikiran rasionalitas dapat
ditelusuri hingga filsafat utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill, di mana manusia dipandang sebagai agen yang
mengejar kebahagiaan terbesar bagi dirinya.² Dalam perkembangannya, paradigma
ini diadopsi secara luas oleh ekonomi neoklasik dan kemudian diadaptasi oleh
ilmu sosial lain seperti sosiologi, ilmu politik, dan kriminologi untuk
menjelaskan tindakan individu maupun kolektif dalam konteks sosial yang
kompleks.³
Relevansi teori ini semakin menonjol di era modern
yang ditandai oleh meningkatnya individualisme, rasionalisasi sistem sosial,
dan transformasi ekonomi pasar global. Dalam konteks tersebut, perilaku manusia
seringkali dianalisis melalui lensa kalkulasi kepentingan, strategi, serta
pemilihan alternatif tindakan yang dianggap paling menguntungkan.⁴ Meskipun
demikian, teori ini juga menghadapi tantangan signifikan dalam menjelaskan
perilaku yang dipengaruhi oleh moralitas, norma sosial, emosi, dan konteks
budaya.⁵ Oleh karena itu, pembahasan mengenai Teori Pilihan Rasional
tidak hanya penting sebagai upaya memahami perilaku sosial dari perspektif
kalkulatif, tetapi juga sebagai pintu masuk untuk mengkaji keterbatasan dan
kemungkinan integrasi teori ini dengan paradigma sosial lain.
1.2.      
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa
persoalan mendasar yang perlu dikaji, yaitu:
1)                 
Bagaimana prinsip dasar Teori Pilihan Rasional menjelaskan
perilaku manusia dalam konteks sosial?
2)                 
Apa kelebihan dan keterbatasan teori ini dalam memberikan pemahaman
terhadap dinamika tindakan sosial?
3)                 
Bagaimana posisi Teori Pilihan Rasional dalam interaksinya dengan
teori-teori sosial lain yang menekankan dimensi struktur, norma, dan emosi?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat Kajian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)                 
Menguraikan dasar-dasar epistemologis dan ontologis dari Teori
Pilihan Rasional dalam ilmu sosial.
2)                 
Menelaah kekuatan dan kelemahan pendekatan ini dalam menjelaskan
perilaku individu dan kolektif.
3)                 
Menawarkan sintesis teoretis yang memungkinkan pengembangan teori
rasionalitas yang lebih kontekstual dan multidimensional.
Secara akademik, kajian ini bermanfaat untuk
memperluas pemahaman terhadap peran rasionalitas dalam tindakan sosial serta
membuka ruang dialog antara teori ekonomi rasional dan teori
sosiologis-kultural. Dalam konteks praktis, analisis ini dapat membantu
pengambil kebijakan, peneliti sosial, maupun akademisi dalam memahami pola
pengambilan keputusan manusia dalam masyarakat kontemporer.
1.4.      
Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan analisis
teoritik kualitatif berbasis studi pustaka (library research).
Sumber-sumber utama mencakup karya klasik dari tokoh-tokoh utama seperti James
S. Coleman, Gary Becker, dan Jon Elster, serta literatur kontemporer yang
mengembangkan atau mengkritik teori ini.⁶ Analisis dilakukan dengan metode komparatif
dan kritis, yaitu membandingkan argumen-argumen rasionalitas dengan
pendekatan sosial lain seperti struktural-fungsionalisme, teori pertukaran
sosial, dan teori tindakan komunikatif. Tujuannya adalah menghasilkan pemahaman
yang komprehensif, logis, dan metodologis mengenai posisi Teori Pilihan
Rasional dalam peta besar teori sosial modern.
1.5.      
Signifikansi Ilmiah
(Kebaruan/Novelty)
Kontribusi ilmiah dari kajian ini terletak pada
upayanya untuk meninjau ulang Teori Pilihan Rasional dengan
mempertimbangkan dimensi rasionalitas yang lebih luas dan kompleks—yakni
rasionalitas yang tidak semata-mata ekonomis, tetapi juga sosial, emosional,
dan normatif. Dengan demikian, penelitian ini berupaya memperkaya wacana ilmiah
mengenai bagaimana rasionalitas dapat dipahami secara kontekstual dalam dunia
yang semakin kompleks dan digital, di mana keputusan manusia sering kali berada
di antara kalkulasi logis dan pengaruh sosial.⁷
Footnotes
[1]               
James S. Coleman, Foundations of Social Theory
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 13–15.
[2]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 2–3.
[3]               
Gary S. Becker, The Economic Approach to Human
Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5–6.
[4]               
Jon Elster, Rational Choice (Oxford: Basil
Blackwell, 1986), 12.
[5]               
Herbert A. Simon, Models of Man: Social and
Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 198–200.
[6]               
Mancur Olson, The Logic of Collective Action:
Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1965), 28.
[7]               
Amartya Sen, Rationality and Freedom
(Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 32–33.
2.          
Landasan Konseptual dan Historis Teori Pilihan
Rasional
2.1.      
Akar Historis Rasionalitas
dalam Pemikiran Sosial
Pemahaman tentang rasionalitas manusia memiliki
akar panjang dalam sejarah filsafat Barat. Pemikiran rasional sebagai dasar
tindakan manusia telah dibahas sejak era klasik, terutama dalam pandangan
filsuf-filsuf seperti Thomas Hobbes dan Adam Smith. Hobbes, dalam Leviathan,
menggambarkan manusia sebagai makhluk yang secara alami didorong oleh
kepentingan diri sendiri untuk mempertahankan hidupnya, dan bahwa tatanan
sosial hanya dapat muncul melalui kontrak sosial yang rasional demi keamanan
bersama.¹ Sementara itu, Adam Smith, melalui konsep invisible hand,
memperkenalkan gagasan bahwa tindakan individual yang dilandasi kepentingan
pribadi dapat menghasilkan kesejahteraan kolektif tanpa disadari.²
Selanjutnya, rasionalitas memperoleh bentuk
sistematis dalam pemikiran ekonomi klasik dan neoklasik yang menempatkan
manusia sebagai homo economicus—agen rasional yang selalu berupaya
memaksimalkan utilitasnya.³ Tradisi ini kemudian melahirkan utilitarianism
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, yang menegaskan bahwa moralitas tindakan
manusia dapat dinilai berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.⁴
Dalam konteks ilmu sosial modern, pemikiran rasionalitas
dihidupkan kembali melalui karya Max Weber yang membedakan antara rasionalitas
instrumental (zweckrational) dan rasionalitas nilai (wertrational).⁵
Weber menegaskan bahwa tindakan sosial tidak hanya digerakkan oleh tujuan
ekonomis, tetapi juga oleh nilai-nilai dan norma yang diinternalisasi oleh
individu. Distingsi ini menjadi dasar bagi lahirnya teori pilihan rasional
dalam versi sosiologis yang lebih luas dan kritis terhadap reduksionisme
ekonomi.
2.2.      
Konsep Dasar Teori Pilihan
Rasional
Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory atau RCT) berangkat
dari asumsi bahwa individu adalah agen yang rasional dan memiliki preferensi
yang stabil serta konsisten dalam memilih tindakan yang dianggap paling
menguntungkan baginya.⁶ Setiap tindakan dipandang sebagai hasil dari proses
pengambilan keputusan yang mempertimbangkan manfaat (benefit) dan biaya (cost)
yang mungkin timbul. Dengan demikian, manusia bertindak bukan secara impulsif,
melainkan berdasarkan kalkulasi untuk memaksimalkan utility atau
kepuasan.
Dalam versi paling sederhana, RCT mengasumsikan
tiga komponen pokok: (1) agen memiliki preferensi yang terurut (ordered
preferences); (2) agen mengevaluasi alternatif tindakan berdasarkan
konsekuensi; dan (3) agen memilih tindakan yang memberikan hasil paling optimal
menurut sistem preferensinya.⁷ Prinsip ini kemudian menjadi dasar bagi teori
ekonomi neoklasik serta diaplikasikan secara luas dalam berbagai disiplin,
seperti sosiologi, ilmu politik, dan kriminologi.
James S. Coleman, salah satu tokoh sentral dalam
pengembangan RCT dalam sosiologi, berupaya menjembatani mikro–makro dengan
menekankan bahwa struktur sosial terbentuk dari hasil interaksi pilihan
individu yang rasional.⁸ Sementara Gary S. Becker memperluas penerapan teori
ini ke bidang non-ekonomi seperti keluarga, pendidikan, dan kriminalitas.⁹
Adapun Jon Elster menekankan aspek rasionalitas yang terbatas (bounded
rationality) dan pentingnya konteks sosial serta motif non-ekonomis dalam
menjelaskan perilaku manusia.¹⁰
2.3.      
Rasionalitas dan Prinsip
Utilitas
Konsep utility maximization atau
maksimalisasi utilitas menjadi landasan normatif bagi teori ini. Dalam konteks
ekonomi, utilitas diartikan sebagai tingkat kepuasan yang diperoleh seseorang
dari hasil konsumsi atau tindakan tertentu. Namun, dalam sosiologi rasional,
konsep ini diperluas menjadi berbagai bentuk kepuasan sosial, seperti
pengakuan, reputasi, atau kepentingan moral.¹¹
Rasionalitas dalam konteks RCT bukan berarti bahwa
individu selalu membuat keputusan “benar” secara objektif, tetapi bahwa
mereka menggunakan informasi yang tersedia untuk mencapai tujuan yang
diinginkan secara subjektif.¹² Dengan demikian, teori ini bersifat instrumental
rationality—menekankan hubungan logis antara tujuan dan sarana yang
digunakan untuk mencapainya.
Pendekatan ini kemudian dikembangkan dalam bentuk
model matematis dan teori permainan (game theory) yang menjelaskan
interaksi strategis antara individu dalam situasi tertentu.¹³ Melalui model
ini, pilihan rasional tidak hanya dipahami sebagai keputusan individual, tetapi
juga sebagai hasil dari proses negosiasi, ekspektasi, dan strategi antaraktor
dalam suatu sistem sosial.
2.4.      
Rasionalitas dalam Konteks
Sosial dan Kritis terhadap Reduksionisme
Meskipun Teori Pilihan Rasional menawarkan
model penjelasan yang logis dan elegan, berbagai kritik diarahkan terhadap
reduksionisme individualistiknya. Kritik tersebut menilai bahwa teori ini
cenderung mengabaikan dimensi moral, afektif, dan struktural yang turut
membentuk perilaku sosial.¹⁴ Dalam kenyataannya, tindakan manusia tidak selalu
bersifat kalkulatif, tetapi seringkali dipengaruhi oleh norma, kebiasaan, dan
struktur kekuasaan.
Herbert A. Simon memperkenalkan konsep bounded
rationality untuk menjelaskan bahwa kapasitas manusia dalam mengambil
keputusan terbatas oleh informasi, waktu, dan kemampuan kognitif.¹⁵ Oleh karena
itu, rasionalitas manusia harus dipahami secara kontekstual, bukan absolut.
Perspektif ini membuka ruang bagi dialog antara teori pilihan rasional dengan
pendekatan psikologi kognitif dan teori sosial kritis.
Kontribusi
Tokoh-Tokoh Kunci
·                    
Gary Becker (1976): Menerapkan
prinsip ekonomi rasional ke semua bentuk perilaku manusia, termasuk dalam
konteks sosial dan keluarga.¹⁶
·                    
James S. Coleman (1990): Menjelaskan hubungan antara tindakan individu dan struktur sosial
melalui mekanisme pertukaran rasional.¹⁷
·                    
Jon Elster (1986):
Mengkritisi asumsi rasionalitas absolut dan memperkenalkan konsep motivasi
sosial serta emosi dalam pilihan.¹⁸
·                    
Mancur Olson (1965):
Mengembangkan teori tindakan kolektif dan problem free rider dalam
organisasi sosial.¹⁹
·                    
Herbert Simon (1957): Menawarkan
konsep bounded rationality sebagai alternatif terhadap model homo
economicus.²⁰
Tokoh-tokoh tersebut memberikan kontribusi
signifikan dalam membentuk kerangka konseptual yang menjadikan Teori Pilihan
Rasional tidak hanya sebagai teori ekonomi, tetapi juga sebagai paradigma
lintas disiplin dalam memahami tindakan manusia.
Footnotes
[1]               
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon
Press, 1960), 82–85.
[2]               
Adam Smith, The Wealth of Nations (London:
W. Strahan and T. Cadell, 1776), 45.
[3]               
Lionel Robbins, An Essay on the Nature and
Significance of Economic Science (London: Macmillan, 1932), 12.
[4]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 3–5.
[5]               
Max Weber, Economy and Society, trans.
Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press,
1978), 24–26.
[6]               
James S. Coleman, Foundations of Social Theory
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 17.
[7]               
Jon Elster, Rational Choice (Oxford: Basil
Blackwell, 1986), 14.
[8]               
Ibid., 21–22.
[9]               
Gary S. Becker, The Economic Approach to Human
Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 9.
[10]            
Jon Elster, Explaining Social Behavior: More
Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), 38.
[11]            
Amartya Sen, Rationality and Freedom
(Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 75.
[12]            
Raymond Boudon, Beyond Rational Choice Theory
(Annual Review of Sociology 29, 2003): 8–9.
[13]            
John von Neumann and Oskar Morgenstern, Theory
of Games and Economic Behavior (Princeton: Princeton University Press,
1944), 50.
[14]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 116–118.
[15]            
Herbert A. Simon, Models of Man: Social and
Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 199.
[16]            
Becker, The Economic Approach to Human Behavior,
15.
[17]            
Coleman, Foundations of Social Theory,
30–32.
[18]            
Elster, Rational Choice, 19.
[19]            
Mancur Olson, The Logic of Collective Action:
Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1965), 35–37.
[20]            
Simon, Models of Man, 203.
3.          
Rasionalitas dan Model Pengambilan Keputusan
3.1.      
Rasionalitas Formal dan
Substantif
Konsep rasionalitas merupakan fondasi utama dalam Teori
Pilihan Rasional (Rational Choice Theory/RCT), namun pemaknaannya tidak
tunggal. Max Weber membedakan dua bentuk rasionalitas: rasionalitas formal
(formal rationality) dan rasionalitas substantif (substantive
rationality).¹ Rasionalitas formal berkaitan dengan konsistensi logis dari
tindakan terhadap seperangkat aturan atau logika internal tertentu, sedangkan
rasionalitas substantif menilai tindakan berdasarkan sejauh mana tindakan
tersebut mencapai tujuan yang bernilai secara sosial atau moral.²
Dalam konteks ini, rasionalitas formal lebih dekat
dengan model ekonomi neoklasik yang menekankan efisiensi dan kalkulasi
objektif, sementara rasionalitas substantif memberi ruang bagi nilai, etika,
dan norma sosial dalam keputusan manusia.³ Dengan demikian, meskipun tindakan
manusia tampak rasional dalam arti formal, belum tentu tindakan tersebut
rasional secara substantif jika bertentangan dengan nilai kemanusiaan atau
kepentingan sosial yang lebih luas.
Perdebatan mengenai batasan rasionalitas ini juga
muncul dalam karya Herbert Simon yang memperkenalkan konsep “bounded
rationality”, yakni gagasan bahwa kemampuan manusia dalam berpikir rasional
dibatasi oleh informasi, waktu, dan kapasitas kognitif.⁴ Simon menegaskan bahwa
manusia tidak selalu mencari hasil terbaik (maximizing), melainkan hasil
yang cukup memuaskan (satisficing) dalam kondisi keterbatasan
informasi.⁵ Konsep ini memperluas pandangan RCT dengan memasukkan unsur
realistis dari perilaku manusia yang seringkali tidak sepenuhnya kalkulatif.
3.2.      
Model Matematis dan Teori
Permainan (Game Theory)
Dalam tradisi RCT, keputusan individu seringkali
dianalisis menggunakan model matematis yang dikenal sebagai teori permainan
(game theory). Teori ini pertama kali diformulasikan oleh John von Neumann
dan Oskar Morgenstern dalam karya monumental mereka Theory of Games and
Economic Behavior (1944).⁶ Model ini menggambarkan bagaimana individu atau
aktor rasional berinteraksi dalam situasi strategis di mana hasil tindakan
seseorang bergantung pada tindakan orang lain.
Teori permainan memandang tindakan manusia sebagai
strategi rasional dalam menghadapi interdependensi sosial. Salah satu bentuk
paling terkenal adalah Prisoner’s Dilemma, yang menunjukkan bahwa dua
aktor rasional dapat mengambil keputusan yang sub-optimal karena mereka
bertindak demi kepentingan pribadi dan tidak mempercayai kerja sama pihak
lain.⁷ Model ini membuktikan bahwa tindakan rasional individual tidak selalu
menghasilkan hasil yang rasional secara kolektif.
Dalam konteks sosial, teori permainan menjelaskan
berbagai fenomena seperti kerja sama, konflik, negosiasi, dan altruisme. James
Coleman menggunakan kerangka ini untuk menjelaskan interaksi sosial sebagai
bentuk social exchange yang didasarkan pada kepentingan timbal balik.⁸
Sementara itu, Mancur Olson menerapkannya dalam The Logic of Collective
Action (1965) untuk menunjukkan bahwa individu cenderung enggan
berpartisipasi dalam tindakan kolektif jika manfaatnya dapat dinikmati tanpa
kontribusi langsung—sebuah fenomena yang dikenal sebagai free rider problem.⁹
Model matematis dalam teori permainan menggabungkan
logika dan probabilitas untuk memprediksi perilaku sosial dalam situasi
kompleks. Pendekatan ini menguatkan posisi RCT sebagai teori yang tidak hanya
deskriptif tetapi juga prediktif, sekaligus membuka jalan bagi penerapan dalam
ilmu politik, kebijakan publik, dan ekonomi perilaku.
3.3.      
Rasionalitas Terbatas,
Emosi, dan Konteks Sosial
Meskipun teori rasionalitas menekankan kalkulasi
logis, penelitian empiris menunjukkan bahwa emosi dan konteks sosial
memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Amartya Sen, dalam Rationality
and Freedom (2002), berpendapat bahwa rasionalitas tidak dapat dipisahkan
dari nilai dan pertimbangan moral.¹⁰ Ia mengkritik pandangan utilitarian klasik
yang menganggap manusia sebagai makhluk yang hanya mengejar kepuasan pribadi.
Menurut Sen, tindakan rasional justru melibatkan kemampuan reflektif untuk
mempertimbangkan keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial.¹¹
Demikian pula, Jon Elster menegaskan bahwa
rasionalitas harus dipahami secara context-dependent, karena pilihan
individu tidak hanya didorong oleh kalkulasi utilitas, tetapi juga oleh norma
sosial, kebanggaan, rasa malu, dan solidaritas.¹² Dalam banyak kasus, keputusan
“tidak rasional” secara ekonomi dapat justru rasional secara
sosial—misalnya ketika seseorang menolong orang lain tanpa imbalan karena
mempertimbangkan nilai moral atau identitas kelompoknya.
Konsep bounded rationality yang dikembangkan
Simon dan diperluas oleh Daniel Kahneman melalui teori prospect theory
menunjukkan bahwa manusia seringkali mengambil keputusan berdasarkan heuristik
dan persepsi risiko, bukan perhitungan matematis yang ketat.¹³ Dengan demikian,
rasionalitas dalam pengambilan keputusan lebih tepat dipahami sebagai proses
adaptif—suatu mekanisme di mana individu menggunakan keterbatasan
kognitifnya untuk menavigasi kompleksitas lingkungan sosial.
3.4.      
Sintesis Model Rasional dan
Non-Rasional
Perkembangan terbaru dalam ilmu sosial menunjukkan
upaya untuk menyintesiskan model rasional dengan pendekatan psikologis dan
sosiologis. Pendekatan ini melahirkan apa yang disebut sebagai “behavioral
rationality” atau rasionalitas perilaku.¹⁴ Pendekatan ini menolak dikotomi
kaku antara rasional dan irasional, serta menekankan bahwa keputusan manusia
merupakan hasil interaksi antara logika, kebiasaan, dan struktur sosial.
Rasionalitas dalam tindakan sosial kini tidak lagi
dipahami secara sempit sebagai kemampuan kalkulatif, melainkan sebagai
kemampuan reflektif dan adaptif yang memperhitungkan nilai, norma, dan
konsekuensi moral dari setiap keputusan.¹⁵ Oleh karena itu, model pengambilan
keputusan yang komprehensif harus mempertimbangkan dimensi rasional, emosional,
dan sosial secara simultan.
Kesimpulan Sementara
Bagian III
Bagian ini menegaskan bahwa rasionalitas bukanlah
konsep tunggal dan kaku, melainkan multidimensional dan kontekstual. Model
pengambilan keputusan dalam Teori Pilihan Rasional berkembang dari
paradigma kalkulatif menuju pendekatan adaptif dan intersubjektif yang lebih
realistis. Penggabungan teori permainan, rasionalitas terbatas, serta dimensi
moral dan emosional memperkaya pemahaman kita terhadap tindakan sosial manusia
yang kompleks dan dinamis.
Footnotes
[1]               
Max Weber, Economy and Society, trans.
Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press,
1978), 24–25.
[2]               
Ibid., 27.
[3]               
Raymond Boudon, The Origin of Values: Sociology
and Philosophy of Beliefs (New Brunswick: Transaction Publishers, 2001),
43.
[4]               
Herbert A. Simon, Administrative Behavior: A
Study of Decision-Making Processes in Administrative Organizations (New
York: Macmillan, 1947), 88.
[5]               
Herbert A. Simon, Models of Man: Social and
Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 198.
[6]               
John von Neumann and Oskar Morgenstern, Theory
of Games and Economic Behavior (Princeton: Princeton University Press,
1944), 50.
[7]               
Anatol Rapoport and Albert M. Chammah, Prisoner’s
Dilemma: A Study in Conflict and Cooperation (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1965), 3–5.
[8]               
James S. Coleman, Foundations of Social Theory
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 32–33.
[9]               
Mancur Olson, The Logic of Collective Action:
Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1965), 43.
[10]            
Amartya Sen, Rationality and Freedom
(Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 22–25.
[11]            
Ibid., 32–33.
[12]            
Jon Elster, Explaining Social Behavior: More
Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), 45–46.
[13]            
Daniel Kahneman and Amos Tversky, Prospect
Theory: An Analysis of Decision under Risk, Econometrica 47, no. 2
(1979): 263–291.
[14]            
Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge:
Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale
University Press, 2008), 6–7.
[15]            
Sen, Rationality and Freedom, 40.
4.          
Aplikasi Teori Pilihan Rasional dalam Ilmu
Sosial
4.1.      
Dalam Ilmu Ekonomi:
Paradigma Utilitas dan Efisiensi
Dalam bidang ekonomi, Teori Pilihan Rasional
(Rational Choice Theory, RCT) memiliki akar yang paling kuat dan menjadi dasar
bagi hampir seluruh analisis mikroekonomi. Paradigma ini menempatkan individu
sebagai agen rasional (homo economicus) yang bertujuan memaksimalkan
utilitas di bawah keterbatasan sumber daya.¹ Menurut Gary S. Becker, tindakan
ekonomi dapat dijelaskan dengan prinsip utility maximization dan cost-benefit
analysis yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk yang tampak
“non-ekonomis,” seperti keluarga, pendidikan, dan kriminalitas.²
Dalam konteks pasar, rasionalitas dianggap sebagai
mekanisme yang menghasilkan keseimbangan melalui interaksi permintaan dan
penawaran.³ Keputusan konsumen dalam memilih barang atau jasa, serta keputusan
produsen dalam menentukan harga dan jumlah produksi, semuanya diasumsikan
mengikuti logika optimalisasi.⁴ Dengan demikian, pasar dipandang sebagai arena
di mana individu rasional secara tidak sadar menciptakan keteraturan sosial
melalui tindakan egoistik mereka—sebuah gagasan yang telah dikemukakan oleh
Adam Smith melalui metafora the invisible hand.⁵
Namun, pendekatan ini tidak lepas dari kritik, terutama
karena mengabaikan faktor psikologis dan sosial dalam proses pengambilan
keputusan ekonomi. Kritik tersebut kemudian melahirkan bidang baru yaitu ekonomi
perilaku (behavioral economics) yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan
Richard Thaler, yang menunjukkan bahwa keputusan ekonomi sering kali
dipengaruhi oleh bias kognitif, emosi, dan konteks sosial.⁶
4.2.      
Dalam Sosiologi:
Rasionalitas, Interaksi, dan Tindakan Kolektif
Dalam sosiologi, RCT digunakan untuk menjelaskan
bagaimana tindakan individu dapat membentuk struktur sosial melalui mekanisme
interaksi dan pertukaran. James S. Coleman berperan penting dalam
mentransformasikan teori ini menjadi kerangka makro–mikro yang menjelaskan
hubungan antara individu dan institusi sosial.⁷ Ia menegaskan bahwa struktur
sosial bukan entitas otonom, melainkan hasil dari agregasi keputusan rasional
individu.
Konsep ini tampak jelas dalam analisis tindakan
kolektif (collective action). Mancur Olson dalam The Logic of Collective
Action (1965) menjelaskan bahwa individu cenderung enggan berpartisipasi
dalam kegiatan kolektif karena manfaat publik dapat diperoleh tanpa kontribusi
pribadi—fenomena yang dikenal sebagai free rider problem.⁸ Misalnya,
dalam konteks organisasi sosial atau gerakan politik, seseorang mungkin enggan
ikut serta karena hasilnya (misalnya keadilan sosial atau kebijakan publik)
dapat ia nikmati tanpa harus menanggung biaya partisipasi.⁹
RCT juga berperan dalam menjelaskan interaksi
sosial melalui teori pertukaran sosial (social exchange theory). Dalam
pandangan ini, hubungan sosial dilihat sebagai transaksi timbal balik di mana
aktor menimbang keuntungan dan kerugian dari setiap interaksi.¹⁰ George Homans
dan Peter Blau mengadopsi pendekatan rasional dalam menjelaskan struktur
kekuasaan dan ketergantungan dalam hubungan sosial.¹¹
Meskipun demikian, banyak sosiolog mengkritik
reduksionisme RCT karena dianggap mengabaikan norma, solidaritas, dan emosi
sebagai pendorong tindakan sosial.¹² Kritik ini kemudian memunculkan model
rasionalitas kontekstual yang menggabungkan unsur normatif dan simbolik dalam
analisis tindakan manusia.
4.3.      
Dalam Ilmu Politik: Pemilih
Rasional dan Teori Pilihan Publik
RCT juga memiliki pengaruh besar dalam ilmu
politik, terutama dalam memahami perilaku pemilih, pembuat kebijakan, dan
aktor politik. Teori pemilih rasional (rational voter theory) berasumsi
bahwa individu memilih kandidat atau kebijakan yang memberikan manfaat terbesar
baginya berdasarkan informasi yang tersedia.¹³ Anthony Downs dalam An
Economic Theory of Democracy (1957) menjelaskan bahwa perilaku politik
dapat dipahami sebagai perhitungan biaya dan manfaat terhadap pilihan politik
tertentu.¹⁴
Pendekatan ini juga mendasari lahirnya teori
pilihan publik (public choice theory) yang dikembangkan oleh James Buchanan
dan Gordon Tullock.¹⁵ Teori ini mengasumsikan bahwa pejabat publik, politisi,
dan birokrat bertindak berdasarkan kepentingan pribadi, bukan semata-mata demi
kepentingan umum. Dengan demikian, kebijakan publik merupakan hasil dari
kompromi rasional antara aktor-aktor yang memiliki preferensi dan kepentingan
berbeda.
Model rasional dalam politik telah digunakan untuk
menjelaskan pembentukan koalisi, strategi kampanye, perilaku legislator, serta
proses tawar-menawar dalam sistem pemerintahan.¹⁶ Namun, sebagaimana dalam
ekonomi dan sosiologi, pendekatan ini menghadapi kritik karena terlalu
mengedepankan kalkulasi individualistik dan mengabaikan pengaruh ideologi,
nilai, serta struktur kekuasaan.¹⁷
4.4.      
Dalam Psikologi Sosial dan
Kriminologi: Rasionalitas dalam Perilaku Menyimpang
RCT juga memiliki penerapan luas dalam psikologi
sosial dan kriminologi. Dalam konteks ini, teori tersebut digunakan
untuk menjelaskan perilaku menyimpang dan kejahatan sebagai hasil dari
kalkulasi rasional atas risiko dan keuntungan. Ronald V. Clarke dan Derek B.
Cornish mengembangkan Rational Choice Criminology, yang berpendapat
bahwa pelaku kejahatan bertindak berdasarkan pertimbangan rasional mengenai
peluang keberhasilan dan kemungkinan hukuman.¹⁸
Menurut model ini, tindakan kriminal bukan sekadar
hasil impuls emosional, tetapi merupakan keputusan yang dipengaruhi oleh
situasi, kesempatan, dan persepsi risiko.¹⁹ Dengan demikian, pencegahan kejahatan
dapat dilakukan dengan mengubah struktur peluang melalui kebijakan pengawasan,
pengurangan akses, atau peningkatan biaya sosial dari perilaku kriminal.²⁰
Dalam psikologi sosial, teori pilihan rasional
digunakan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan interpersonal,
termasuk dalam hubungan sosial, moralitas, dan kepatuhan terhadap norma.²¹
Misalnya, teori ini dapat menjelaskan mengapa seseorang memilih untuk bekerja
sama atau bersaing dalam kelompok berdasarkan evaluasi terhadap manfaat dan biaya
sosial dari tindakan tersebut.
Namun, banyak psikolog menekankan bahwa keputusan
manusia tidak sepenuhnya didasarkan pada logika utilitarian.²² Faktor-faktor
seperti empati, rasa bersalah, dan moralitas sering kali berperan lebih kuat
daripada kalkulasi rasional. Oleh karena itu, pendekatan modern menggabungkan
teori rasional dengan pendekatan afektif dan kognitif, menghasilkan kerangka
baru seperti dual-process theory yang menjelaskan adanya dua sistem
berpikir: sistem cepat dan emosional (intuisi), serta sistem lambat dan
rasional (refleksi).²³
Refleksi Umum atas
Aplikasi RCT
Dari berbagai disiplin ilmu di atas, tampak bahwa Teori
Pilihan Rasional berfungsi sebagai kerangka lintas-disiplin yang
mampu menjelaskan beragam fenomena sosial melalui prinsip rasionalitas,
utilitas, dan pilihan strategis. Namun, kekuatan teorinya terletak bukan hanya
pada kemampuannya menjelaskan perilaku kalkulatif, melainkan pada potensinya
untuk dikombinasikan dengan teori sosial lainnya.
Dalam konteks modern, integrasi antara RCT dan
teori perilaku (behavioral theories) menunjukkan arah perkembangan baru
menuju paradigma yang lebih realistis—yaitu rasionalitas terbatas,
kontekstual, dan reflektif.²⁴ Pendekatan ini menegaskan bahwa rasionalitas
manusia tidak bersifat absolut, tetapi adaptif terhadap lingkungan sosial,
budaya, dan moral tempat individu berada.
Footnotes
[1]               
Gary S. Becker, The Economic Approach to Human
Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5.
[2]               
Ibid., 10.
[3]               
Lionel Robbins, An Essay on the Nature and
Significance of Economic Science (London: Macmillan, 1932), 18.
[4]               
Paul A. Samuelson, Foundations of Economic
Analysis (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1947), 22.
[5]               
Adam Smith, The Wealth of Nations (London:
W. Strahan and T. Cadell, 1776), 45.
[6]               
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 8.
[7]               
James S. Coleman, Foundations of Social Theory
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 24.
[8]               
Mancur Olson, The Logic of Collective Action:
Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1965), 35.
[9]               
Ibid., 40.
[10]            
Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life
(New York: John Wiley & Sons, 1964), 6.
[11]            
George C. Homans, Social Behavior: Its
Elementary Forms (New York: Harcourt, Brace & World, 1961), 15.
[12]            
Raymond Boudon, Beyond Rational Choice Theory,
Annual Review of Sociology 29 (2003): 1–2.
[13]            
Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy
(New York: Harper & Row, 1957), 35.
[14]            
Ibid., 40.
[15]            
James M. Buchanan and Gordon Tullock, The
Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (Ann
Arbor: University of Michigan Press, 1962), 5.
[16]            
William H. Riker, The Theory of Political
Coalitions (New Haven: Yale University Press, 1962), 12.
[17]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 118.
[18]            
Derek B. Cornish and Ronald V. Clarke, “The
Reasoning Criminal: Rational Choice Perspectives on Offending,” in The
Reasoning Criminal (New York: Springer-Verlag, 1986), 1–2.
[19]            
Ibid., 5.
[20]            
Ronald V. Clarke, Situational Crime Prevention:
Successful Case Studies (Albany, NY: Harrow and Heston, 1997), 10.
[21]            
Jon Elster, Explaining Social Behavior: More
Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), 53.
[22]            
Amartya Sen, Rationality and Freedom
(Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 40–41.
[23]            
Jonathan Evans and Keith Frankish, eds., In Two
Minds: Dual Processes and Beyond (Oxford: Oxford University Press, 2009),
9.
[24]            
Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge:
Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale
University Press, 2008), 11.
5.          
Kritik dan Keterbatasan Teori Pilihan Rasional
5.1.      
Kritik Epistemologis dan
Ontologis: Individualisme dan Reduksionisme
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap Teori Pilihan Rasional (Rational
Choice Theory, RCT) terletak pada aspek epistemologis dan ontologisnya. Teori
ini didasarkan pada individualisme metodologis,
yakni asumsi bahwa seluruh fenomena sosial dapat dijelaskan melalui tindakan
dan pilihan individu.¹ Meskipun pendekatan ini memberikan kejelasan analitis,
banyak ilmuwan sosial berpendapat bahwa ia menyederhanakan kompleksitas
realitas sosial yang sebenarnya bersifat intersubjektif dan struktural.
Pierre Bourdieu,
misalnya, menolak pandangan bahwa tindakan manusia sepenuhnya dapat dijelaskan
melalui kalkulasi utilitas. Ia menegaskan bahwa tindakan sosial juga ditentukan
oleh habitus,
yaitu sistem disposisi yang dibentuk oleh pengalaman sosial dan struktur
kekuasaan.² Dengan demikian, pilihan individu tidak pernah sepenuhnya “bebas”
atau “rasional” dalam arti netral, tetapi selalu dibentuk oleh konteks sosial
dan simbolik yang mengitarinya.
Selain itu, kritik
ontologis juga datang dari kalangan teori kritis seperti Jürgen
Habermas yang menilai bahwa RCT mengabaikan dimensi komunikasi dan rasionalitas
moral.³ Menurutnya, manusia bukan hanya makhluk instrumental yang mengejar
efisiensi, tetapi juga makhluk komunikatif yang mencari pemahaman dan
legitimasi melalui interaksi sosial.⁴ Oleh sebab itu, teori ini dianggap
terlalu sempit untuk menjelaskan fenomena sosial yang melibatkan norma, etika,
dan kesadaran kolektif.
5.2.      
Kritik Metodologis: Asumsi
Rasionalitas Sempurna dan Homogenitas Preferensi
Kritik kedua
berkaitan dengan asumsi rasionalitas sempurna (perfect
rationality) yang mendasari model RCT. Teori ini mengasumsikan
bahwa individu memiliki informasi lengkap, preferensi yang konsisten, dan
kemampuan untuk memaksimalkan utilitas secara logis.⁵ Namun, penelitian empiris
dalam psikologi sosial dan ekonomi perilaku menunjukkan bahwa manusia sering
kali bertindak secara tidak rasional karena keterbatasan kognitif, bias
persepsi, dan pengaruh emosi.⁶
Herbert Simon
memperkenalkan konsep bounded rationality untuk
menggantikan pandangan idealis tersebut.⁷ Ia menegaskan bahwa individu dalam
kenyataan hanya mencari solusi yang “cukup baik” (satisficing), bukan solusi terbaik
(maximizing),
karena keterbatasan informasi dan kapasitas berpikir.⁸
Kritik metodologis
lainnya menyasar asumsi homogenitas preferensi,
yakni anggapan bahwa semua individu memiliki struktur nilai dan tujuan yang
dapat dibandingkan secara rasional.⁹ Dalam masyarakat pluralistik, preferensi
sering kali bersifat heterogen dan dipengaruhi oleh budaya, agama, dan
pengalaman sosial. Dengan demikian, model rasional universal dianggap tidak
mampu menjelaskan variasi tindakan manusia di berbagai konteks sosial dan
budaya.¹⁰
Selain itu,
pendekatan RCT sering dikritik karena menggunakan model matematis yang terlalu
abstrak dan terlepas dari realitas empiris.¹¹ Model ini efektif untuk
menjelaskan perilaku pasar, tetapi sering gagal menangkap dinamika sosial
seperti solidaritas, loyalitas, dan moralitas yang tidak dapat direduksi
menjadi perhitungan utilitas.
5.3.      
Kritik dari Perspektif
Teori Sosial Alternatif
5.3.1.   
Perspektif
Struktural-Fungsional dan Durkheimian
Émile Durkheim
menentang asumsi individualisme dalam RCT dengan menekankan bahwa fenomena
sosial memiliki eksistensi objektif dan kekuatan koersif terhadap individu.¹²
Dalam pandangannya, perilaku manusia dibentuk oleh norma, tradisi, dan nilai
kolektif, bukan hanya hasil pilihan pribadi. Tindakan sosial harus dipahami
sebagai fungsi dari struktur sosial yang lebih luas, bukan sekadar hasil
kalkulasi logis individu.
5.3.2.   
Perspektif
Konstruktivisme Sosial dan Postmodern
Kritik konstruktivis
menyoroti bahwa rasionalitas bukanlah kategori universal, melainkan konstruksi
sosial yang bergantung pada budaya dan bahasa.¹³ Michel Foucault berargumen
bahwa apa yang dianggap “rasional” sering kali merupakan produk dari rezim
pengetahuan dan kekuasaan, bukan hasil perhitungan objektif.¹⁴
Oleh karena itu, RCT dinilai gagal menyadari bahwa “rasionalitas” itu sendiri
dapat menjadi alat dominasi ideologis dalam masyarakat modern.
5.3.3.   
Perspektif Feminisme
Dari perspektif
feminis, RCT dikritik karena berlandaskan pada pandangan androcentris yang
menekankan kompetisi, egoisme, dan individualisme—nilai-nilai yang sering
diasosiasikan dengan maskulinitas Barat.¹⁵ Teori ini dianggap mengabaikan nilai
empati, perawatan (care), dan hubungan afektif yang
juga berperan penting dalam tindakan sosial.¹⁶ Pendekatan rasional dianggap
terlalu menekankan logika efisiensi, padahal dalam praktik sosial, banyak
keputusan yang dilandasi oleh relasi dan kepedulian antarindividu.
5.3.4.   
Perspektif Teori
Kritis dan Komunikatif
Jürgen Habermas
melalui The
Theory of Communicative Action menegaskan bahwa rasionalitas sejati
tidak terletak pada keberhasilan mencapai tujuan, melainkan pada kemampuan
mencapai saling pengertian (mutual understanding) melalui
komunikasi bebas dominasi.¹⁷ Dengan demikian, tindakan rasional seharusnya
mencakup rasionalitas instrumental dan komunikatif. Kritik ini menggeser
pemahaman tentang manusia dari makhluk yang sekadar mengejar keuntungan menjadi
makhluk yang berupaya membangun legitimasi sosial dan moral dalam kehidupan
bersama.
5.4.      
Keterbatasan Aplikasi
Empiris dan Konteks Sosial
Dalam praktiknya,
penerapan RCT sering menghadapi kesulitan empiris. Model matematisnya sulit
diuji secara langsung karena mengasumsikan variabel yang tidak teramati seperti
preferensi dan ekspektasi subjektif.¹⁸ Di samping itu, teori ini kurang mampu
menjelaskan fenomena sosial yang bersifat altruistik, seperti pengorbanan diri,
solidaritas sosial, atau tindakan moral yang tidak memberikan keuntungan
pribadi.¹⁹
Misalnya, tindakan
seseorang yang menolong orang lain dalam situasi berbahaya tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh logika utilitas, sebab tindakan tersebut justru
mengandung risiko dan kerugian pribadi.²⁰ Fenomena semacam ini menunjukkan
bahwa manusia sering bertindak atas dasar nilai moral, kasih sayang, atau
kewajiban etis yang tidak sejalan dengan kalkulasi keuntungan rasional.
Selain itu, dalam
masyarakat non-Barat, konsep rasionalitas sering kali memiliki makna yang
berbeda.²¹ Dalam budaya kolektivistik, keputusan diambil bukan semata-mata
berdasarkan preferensi individu, tetapi juga mempertimbangkan harmoni sosial
dan kepentingan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi universalisme
rasionalitas dalam RCT tidak sepenuhnya berlaku lintas budaya.
5.5.      
Upaya Sintesis dan
Reformulasi
Meskipun banyak
kritik diarahkan kepada RCT, sebagian ilmuwan sosial berupaya melakukan reformulasi
untuk memperluas cakupan teorinya. Amartya Sen, misalnya, memperkenalkan konsep
“rationality
as reasoned scrutiny”, yakni rasionalitas sebagai proses
reflektif yang mempertimbangkan alasan moral dan sosial, bukan hanya kalkulasi
utilitas.²²
Begitu pula Jon
Elster mengusulkan agar rasionalitas dipahami sebagai fenomena yang mencakup emotion-driven
rationality, di mana perasaan seperti rasa malu, bangga, atau cinta
dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional secara
kontekstual.²³
Pendekatan
interdisipliner ini menunjukkan bahwa meskipun RCT memiliki keterbatasan, ia
tetap relevan sebagai kerangka dasar untuk memahami tindakan manusia,
selama dikombinasikan dengan perspektif kultural, moral, dan psikologis yang
lebih luas.
Kesimpulan Sementara
Bagian V
Kritik terhadap Teori
Pilihan Rasional menunjukkan bahwa teori ini, meskipun kuat secara
logis dan metodologis, tidak dapat berdiri sendiri dalam menjelaskan
kompleksitas tindakan sosial manusia. Rasionalitas manusia bukan hanya bersifat
instrumental dan egoistik, tetapi juga komunikatif, moral, dan emosional.
Dengan demikian, pengembangan teori sosial modern menuntut pendekatan yang
lebih holistik, yang mengintegrasikan rasionalitas dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan konteks sosial-budaya.
Footnotes
[1]               
James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1990), 19.
[2]               
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge:
Cambridge University Press, 1977), 72.
[3]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 285.
[4]               
Ibid., 290.
[5]               
Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior
(Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5.
[6]               
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 10–11.
[7]               
Herbert A. Simon, Administrative Behavior: A Study of
Decision-Making Processes in Administrative Organizations (New York:
Macmillan, 1947), 88.
[8]               
Herbert A. Simon, Models of Man: Social and Rational (New
York: John Wiley & Sons, 1957), 199.
[9]               
Raymond Boudon, Beyond Rational Choice Theory, Annual
Review of Sociology 29 (2003): 4.
[10]            
Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap
Press, 2002), 40.
[11]            
Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the
Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 56.
[12]            
Émile Durkheim, The Rules of Sociological Method (New York:
Free Press, 1982), 50.
[13]            
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books,
1966), 37.
[14]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison
(New York: Pantheon Books, 1977), 194.
[15]            
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 24.
[16]            
Nancy Chodorow, The Reproduction of Mothering: Psychoanalysis and
the Sociology of Gender (Berkeley: University of California Press, 1978),
39.
[17]            
Habermas, The Theory of Communicative Action, 294.
[18]            
Mancur Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and the
Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1965), 42.
[19]            
Becker, The Economic Approach to Human Behavior, 12.
[20]            
Sen, Rationality and Freedom, 48.
[21]            
Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors,
Institutions and Organizations Across Nations (Thousand Oaks, CA: Sage
Publications, 2001), 89.
[22]            
Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford: Blackwell,
1987), 76.
[23]            
Jon Elster, Rational Choice (Oxford: Basil Blackwell, 1986),
13.
6.          
Pengembangan dan Sintesis Teoretis Kontemporer
6.1.      
Integrasi dengan Teori
Sosial Modern
Perkembangan ilmu sosial kontemporer menunjukkan
bahwa Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory, RCT) tidak lagi
dipahami sebagai paradigma yang eksklusif dan tertutup, melainkan sebagai
kerangka analisis yang dapat diintegrasikan dengan teori-teori sosial
lainnya. Integrasi ini muncul sebagai respons terhadap kritik atas
reduksionisme dan asumsi rasionalitas sempurna yang melekat pada RCT klasik.¹
Salah satu arah integrasi penting adalah dengan Teori
Jaringan Sosial (Social Network Theory), yang menekankan bahwa pilihan
individu dipengaruhi oleh posisi dan relasi sosialnya dalam jaringan.² Mark
Granovetter memperkenalkan konsep embeddedness, yaitu gagasan bahwa
tindakan ekonomi dan sosial tertanam dalam struktur hubungan sosial yang
memengaruhi akses informasi, kepercayaan, dan peluang.³ Dalam konteks ini,
keputusan rasional tidak hanya bersumber dari preferensi pribadi, tetapi juga
dari interaksi sosial yang membentuk ekspektasi dan norma perilaku.
Integrasi lain dilakukan melalui Teori
Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) yang dikembangkan oleh Peter
Blau dan George Homans.⁴ Pendekatan ini memadukan prinsip rasionalitas dengan
dimensi normatif, menunjukkan bahwa tindakan sosial melibatkan pertimbangan
timbal balik dan keadilan, bukan sekadar perhitungan utilitas individual. Dalam
kerangka ini, nilai sosial seperti kepercayaan dan reputasi menjadi bagian dari
modal rasional yang memengaruhi keputusan individu.⁵
Selain itu, teori institusional baru atau Rational
Institutionalism berupaya menjembatani RCT dengan teori kelembagaan.⁶
Menurut James March dan Johan Olsen, individu tidak hanya bertindak berdasarkan
preferensi pribadi, tetapi juga sesuai dengan “logika kepantasan” (logic of
appropriateness) yang dibentuk oleh norma dan struktur institusional.⁷
Rasionalitas, dengan demikian, tidak bersifat universal, melainkan kontekstual
terhadap aturan sosial dan budaya tempat individu beroperasi.
6.2.      
Pendekatan Interdisipliner
dan Evolusi Rasionalitas
RCT kontemporer berkembang melalui pendekatan
interdisipliner dengan mengadopsi temuan dari psikologi kognitif, neurosains,
dan ilmu perilaku. Pendekatan ini menolak pandangan bahwa manusia sepenuhnya
rasional dalam arti kalkulatif, dan menggantinya dengan pemahaman tentang rasionalitas
terbatas (bounded rationality) dan rasionalitas adaptif (adaptive
rationality).⁸
Dalam psikologi kognitif, Daniel Kahneman dan Amos
Tversky mengembangkan Prospect Theory, yang menunjukkan bahwa manusia
menilai keuntungan dan kerugian secara relatif terhadap titik acuan (reference
point), bukan berdasarkan nilai absolut.⁹ Teori ini mengguncang fondasi RCT
tradisional dengan memperlihatkan bahwa individu sering kali mengambil
keputusan yang tidak konsisten dengan logika utilitas, terutama ketika
berhadapan dengan risiko dan ketidakpastian.
Sementara itu, ilmu perilaku dan ekonomi
eksperimental memperluas RCT ke dalam studi empiris tentang keputusan
sehari-hari. Richard Thaler dan Cass Sunstein memperkenalkan konsep “nudge”,
yaitu intervensi halus dalam lingkungan pengambilan keputusan yang membantu
individu membuat pilihan yang lebih baik tanpa membatasi kebebasan mereka.¹⁰
Misalnya, menempatkan makanan sehat di posisi yang mudah dijangkau dalam
kafetaria merupakan bentuk nudge untuk mendorong perilaku rasional yang
lebih sehat.
Di sisi lain, integrasi dengan neurosains sosial
mengarah pada konsep rational-emotional integration, yang menegaskan
bahwa proses rasional dan emosional bekerja secara simultan dalam otak
manusia.¹¹ Antonio Damasio, melalui studi tentang pengambilan keputusan
neurologis, menemukan bahwa emosi tidak mengganggu rasionalitas, melainkan
berfungsi sebagai panduan adaptif dalam konteks sosial yang kompleks.¹²
Dengan demikian, RCT modern bergerak menuju
paradigma rasionalitas yang lebih pluralistik: rasionalitas yang bersifat
biologis, kognitif, sosial, dan normatif sekaligus.
6.3.      
Arah Kebaruan (Novelty)
dalam Konteks Sosial Kontemporer
Dalam era globalisasi dan digitalisasi, teori
pilihan rasional memperoleh relevansi baru dalam menganalisis perilaku manusia
di dunia yang semakin kompleks, cepat berubah, dan berbasis informasi.
Perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) memperkenalkan bentuk baru
dari rasionalitas komputasional (computational rationality), yaitu model
pengambilan keputusan yang disimulasikan melalui algoritma dan data besar (big
data).¹³
Model ini digunakan untuk memahami bagaimana
manusia maupun mesin membuat keputusan dalam situasi yang dinamis dan penuh
ketidakpastian.¹⁴ Dalam konteks ini, rasionalitas tidak lagi dipandang sebagai
kemampuan individual, melainkan sebagai proses sistemik yang terjadi dalam
jaringan sosial dan teknologi.
Selain itu, muncul pula gagasan tentang rasionalitas
kontekstual (contextual rationality) yang menekankan bahwa apa yang
dianggap “rasional” tergantung pada konteks sosial, budaya, dan moral di mana
keputusan itu dibuat.¹⁵ Dalam masyarakat yang beragam dan plural, nilai-nilai
lokal, kepercayaan, serta norma sosial memiliki peran besar dalam membentuk
kerangka berpikir rasionalitas.
Kebaruan lainnya adalah penerapan RCT dalam studi keberlanjutan
(sustainability studies) dan etika lingkungan, di mana individu
dipandang sebagai agen rasional yang mempertimbangkan tidak hanya keuntungan
pribadi, tetapi juga manfaat kolektif dan ekologis jangka panjang.¹⁶ Model ini
dikenal sebagai “pro-social rationality”, yaitu bentuk rasionalitas yang
mempertimbangkan kepentingan sosial, moral, dan ekologis secara bersamaan.
Dengan demikian, pengembangan teori pilihan
rasional menuju abad ke-21 ditandai oleh transformasi paradigma dari
rasionalitas egoistik menuju rasionalitas kolaboratif dan ekologis.
6.4.      
Menuju Sintesis Teoretis
Baru: Rasionalitas sebagai Sistem Terbuka
Pendekatan kontemporer terhadap RCT tidak lagi
menempatkan rasionalitas sebagai atribut tunggal individu, tetapi sebagai sistem
terbuka yang berinteraksi dengan dimensi sosial, budaya, dan psikologis.¹⁷
Sintesis ini dikenal sebagai Integrative Rationality Framework, di mana
manusia dilihat sebagai aktor reflektif yang menavigasi berbagai sistem nilai
dan batas rasionalitas dalam lingkungannya.
Jon Elster menyebut bahwa rasionalitas harus
dipahami sebagai proses reflektif yang dinamis, bukan sebagai kondisi
tetap.¹⁸ Rasionalitas bukan sekadar kalkulasi matematis, melainkan hasil dari
dialog antara logika, emosi, dan nilai moral. Pendekatan ini membuka kemungkinan
bagi ilmu sosial untuk mengembangkan model rasionalitas yang lebih manusiawi
dan kontekstual.
Selain itu, teori pilihan rasional modern juga
berupaya membangun jembatan dengan teori komunikasi Habermas, dengan
menekankan bahwa keputusan rasional memerlukan validitas normatif yang
diperoleh melalui proses komunikasi bebas dominasi.¹⁹ Melalui integrasi ini,
rasionalitas dipahami sebagai proses sosial yang melibatkan pertukaran argumen,
justifikasi moral, dan pertimbangan intersubjektif.
Dengan demikian, arah sintesis teoretis kontemporer
tidak meniadakan rasionalitas klasik, tetapi menyempurnakannya dengan
memasukkan unsur moralitas, konteks sosial, dan keterbatasan manusia sebagai
bagian integral dari teori tindakan sosial.
Kesimpulan Sementara
Bagian VI
Evolusi Teori Pilihan Rasional menunjukkan
pergeseran dari paradigma kalkulatif menuju paradigma reflektif, adaptif, dan
sosial. Pengembangan integratif yang menggabungkan teori jaringan, psikologi
kognitif, institusionalisme, dan neurosains memperlihatkan bahwa rasionalitas
manusia bersifat multidimensional dan terus berkembang.
Dengan memadukan aspek logika, emosi, nilai, dan konteks sosial, RCT modern
berpotensi menjadi kerangka analisis universal yang mampu menjelaskan
perilaku manusia secara lebih utuh dalam dunia yang semakin kompleks.
Footnotes
[1]               
James S. Coleman, Foundations of Social Theory
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 17.
[2]               
Peter J. Carrington, John Scott, dan Stanley
Wasserman, Models and Methods in Social Network Analysis (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 4.
[3]               
Mark Granovetter, “Economic Action and Social
Structure: The Problem of Embeddedness,” American Journal of Sociology
91, no. 3 (1985): 481–510.
[4]               
Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life
(New York: John Wiley & Sons, 1964), 88.
[5]               
George C. Homans, Social Behavior: Its
Elementary Forms (New York: Harcourt, Brace & World, 1961), 23.
[6]               
Paul DiMaggio dan Walter W. Powell, “The Iron Cage
Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in
Organizational Fields,” American Sociological Review 48, no. 2 (1983):
147–160.
[7]               
James G. March dan Johan P. Olsen, Rediscovering
Institutions: The Organizational Basis of Politics (New York: Free Press,
1989), 23–24.
[8]               
Herbert A. Simon, Models of Man: Social and
Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 201.
[9]               
Daniel Kahneman dan Amos Tversky, “Prospect Theory:
An Analysis of Decision under Risk,” Econometrica 47, no. 2 (1979):
263–291.
[10]            
Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein, Nudge:
Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale
University Press, 2008), 6–7.
[11]            
Ralph Adolphs, “The Social Brain: Neural Basis of
Social Knowledge,” Annual Review of Psychology 60 (2009): 693–716.
[12]            
Antonio R. Damasio, Descartes’ Error: Emotion,
Reason, and the Human Brain (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1994), 173.
[13]            
Nick Chater dan Mike Oaksford, The Rational
Analysis of Cognition (Oxford: Oxford University Press, 1999), 12.
[14]            
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial
Intelligence: A Modern Approach, 4th ed. (Boston: Pearson, 2020), 25.
[15]            
Amartya Sen, Rationality and Freedom
(Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 38–39.
[16]            
Elinor Ostrom, Governing the Commons: The
Evolution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge
University Press, 1990), 41.
[17]            
Raymond Boudon, The Origin of Values: Sociology
and Philosophy of Beliefs (New Brunswick: Transaction Publishers, 2001),
53.
[18]            
Jon Elster, Explaining Social Behavior: More
Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), 61.
[19]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 295.
7.          
Kesimpulan
7.1.      
Sintesis Temuan Kajian
Kajian terhadap Teori Pilihan Rasional
(Rational Choice Theory, RCT) menunjukkan bahwa teori ini telah menjadi salah
satu paradigma paling berpengaruh dalam upaya memahami tindakan manusia. Sejak
akar pemikirannya dalam ekonomi klasik hingga pengembangannya dalam ilmu sosial
kontemporer, RCT menegaskan bahwa manusia adalah agen rasional yang
berupaya memaksimalkan manfaat (utility) berdasarkan preferensi,
informasi, dan pertimbangan terhadap konsekuensi tindakannya.¹
Rasionalitas dalam teori ini pada dasarnya bersifat
instrumental, yaitu berfokus pada hubungan antara tujuan dan cara
mencapainya.² Namun, perkembangan teori dan kritik lintas disiplin menunjukkan
bahwa rasionalitas tidak bisa direduksi hanya pada kalkulasi logis semata.³
Tindakan manusia, dalam kenyataannya, dipengaruhi pula oleh norma sosial, nilai
moral, emosi, dan konteks budaya.⁴ Oleh karena itu, pemahaman tentang
rasionalitas harus mencakup dimensi substansial, normatif, dan kontekstual.
Sintesis teoretis kontemporer memperlihatkan bahwa
rasionalitas modern bukan lagi rasionalitas “sempurna”, tetapi rasionalitas
reflektif dan adaptif—yakni kemampuan manusia untuk menyesuaikan keputusan
dengan keterbatasan kognitif dan norma sosial yang mengitarinya.⁵ Dengan
demikian, Teori Pilihan Rasional kini bergerak dari paradigma
deterministik menuju paradigma integratif yang menggabungkan aspek psikologis,
sosial, dan moral dalam menjelaskan perilaku manusia.
7.2.      
Implikasi Teoretis
Secara teoretis, RCT telah memberikan fondasi penting
bagi analisis sosial modern dengan menjelaskan bagaimana struktur sosial muncul
dari interaksi rasional antarindividu.⁶ Dalam sosiologi, teori ini membantu
menjembatani hubungan antara tingkat mikro (tindakan individu) dan makro
(struktur sosial), sebagaimana dirumuskan oleh James S. Coleman melalui konsep
“building blocks of social theory.”⁷
Namun, implikasi penting dari kajian ini adalah
bahwa teori sosial masa kini tidak dapat lagi bersandar pada rasionalitas
tunggal. RCT perlu dikontekstualisasikan dalam kerangka interdisipliner
agar mampu menjelaskan tindakan manusia dalam dunia yang kompleks.⁸ Integrasi
dengan teori jaringan, teori institusional, dan psikologi kognitif memberikan
arah baru bagi pengembangan teori sosial yang lebih realistik dan humanistik.⁹
Dengan kata lain, rasionalitas manusia tidak dapat
dilepaskan dari sistem nilai, budaya, dan komunikasi sosial.¹⁰ Sebagaimana
diungkapkan Habermas, rasionalitas sejati adalah rasionalitas komunikatif yang
melibatkan dialog, argumentasi, dan saling pengertian antaraktor sosial.¹¹ Hal
ini menunjukkan bahwa RCT, ketika disinergikan dengan teori komunikasi dan
moralitas, dapat berfungsi sebagai kerangka analisis yang lebih luas dan etis
dalam memahami tindakan sosial.
7.3.      
Implikasi Praktis
Secara praktis, pemahaman tentang rasionalitas
memiliki relevansi langsung dalam berbagai bidang kebijakan publik, ekonomi,
dan perilaku sosial. Dalam kebijakan publik, prinsip RCT digunakan untuk
merancang sistem insentif yang mendorong keputusan rasional warga negara,
seperti dalam kebijakan pajak, lingkungan, dan kesehatan.¹² Namun, pendekatan behavioral
economics menegaskan pentingnya mempertimbangkan bias kognitif dan konteks
sosial agar intervensi kebijakan lebih efektif.¹³
Dalam bidang sosial dan politik, teori ini dapat
membantu menjelaskan perilaku kolektif seperti partisipasi pemilih, solidaritas
sosial, atau kepatuhan terhadap norma hukum.¹⁴ Melalui pemahaman atas motif
rasional dan non-rasional, pembuat kebijakan dapat merancang strategi yang
lebih empatik dan berorientasi pada kebutuhan manusia nyata, bukan sekadar
model matematis ideal.¹⁵
Lebih jauh, pemahaman atas rasionalitas juga dapat
diterapkan dalam konteks transformasi digital dan kecerdasan buatan (AI).
Model rasionalitas komputasional memungkinkan analisis terhadap algoritma
pengambilan keputusan dan etika dalam sistem otomatis yang meniru perilaku
manusia.¹⁶ Dengan demikian, RCT berperan dalam membangun kesadaran etis tentang
bagaimana teknologi harus diarahkan untuk kepentingan manusia, bukan sekadar
efisiensi algoritmik.
7.4.      
Arah Pengembangan dan Saran
Kajian Lanjutan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, terdapat
beberapa arah pengembangan yang dapat dilakukan untuk memperkaya RCT:
1)                 
Pendekatan lintas budaya (cross-cultural rationality): diperlukan penelitian empiris lintas masyarakat
untuk memahami bagaimana nilai budaya memengaruhi definisi rasionalitas.¹⁷
2)                 
Integrasi rasionalitas moral dan ekologis: pengembangan model “rasionalitas berkelanjutan”
yang memperhitungkan dimensi etika dan lingkungan dalam pengambilan
keputusan.¹⁸
3)                 
Penerapan model eksperimental dan simulatif: pemanfaatan computational modeling dan agent-based
simulation untuk menguji dinamika keputusan sosial secara lebih
realistis.¹⁹
4)                 
Dialog interdisipliner: penguatan kolaborasi antara sosiologi, psikologi, filsafat, dan ilmu
komputer untuk membentuk teori rasionalitas yang lebih komprehensif.²⁰
Dengan arah tersebut, pengembangan RCT dapat
menghasilkan paradigma yang tidak hanya menjelaskan perilaku manusia, tetapi
juga memandu arah kebijakan sosial dan teknologi yang berkeadaban.
Penutup
Pada akhirnya, Teori Pilihan Rasional tetap
menjadi pilar utama teori sosial modern karena kemampuannya menyediakan
kerangka logis untuk memahami keputusan manusia. Namun, teori ini hanya akan
relevan jika terus terbuka terhadap kritik dan integrasi dengan temuan empiris
dan moralitas sosial.²¹
Rasionalitas sejati bukanlah sekadar kemampuan
untuk menghitung untung-rugi, melainkan kapasitas untuk mempertimbangkan
nilai, norma, dan kemanusiaan dalam setiap keputusan.²² Dengan demikian,
evolusi Teori Pilihan Rasional menuju bentuk reflektif, komunikatif, dan
beretika merupakan langkah penting dalam membangun teori sosial yang tidak
hanya rasional secara ilmiah, tetapi juga bermakna secara moral dan
humanistik.
Footnotes
[1]               
Gary S. Becker, The Economic Approach to Human
Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5.
[2]               
Max Weber, Economy and Society, trans.
Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press,
1978), 25.
[3]               
Raymond Boudon, The Origin of Values: Sociology
and Philosophy of Beliefs (New Brunswick: Transaction Publishers, 2001),
42.
[4]               
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice
(Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 78.
[5]               
Herbert A. Simon, Models of Man: Social and
Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 200.
[6]               
James S. Coleman, Foundations of Social Theory
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 30.
[7]               
Ibid., 35.
[8]               
Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life
(New York: John Wiley & Sons, 1964), 88.
[9]               
Daniel Kahneman dan Amos Tversky, “Prospect Theory:
An Analysis of Decision under Risk,” Econometrica 47, no. 2 (1979): 264.
[10]            
Amartya Sen, Rationality and Freedom
(Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 39.
[11]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.
[12]            
Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein, Nudge:
Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale
University Press, 2008), 10.
[13]            
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–21.
[14]            
Mancur Olson, The Logic of Collective Action:
Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1965), 44.
[15]            
Jon Elster, Explaining Social Behavior: More
Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), 65.
[16]            
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial
Intelligence: A Modern Approach, 4th ed. (Boston: Pearson, 2020), 23.
[17]            
Geert Hofstede, Culture’s Consequences:
Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations Across Nations
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2001), 92.
[18]            
Elinor Ostrom, Governing the Commons: The
Evolution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge
University Press, 1990), 41–42.
[19]            
Nick Chater dan Mike Oaksford, The Rational
Analysis of Cognition (Oxford: Oxford University Press, 1999), 15.
[20]            
Antonio R. Damasio, Descartes’ Error: Emotion,
Reason, and the Human Brain (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1994), 172.
[21]            
Sen, Rationality and Freedom, 48.
[22]            
Habermas, The Theory of Communicative Action,
295.
Daftar Pustaka
Adolphs, R. (2009). The
social brain: Neural basis of social knowledge. Annual Review of
Psychology, 60, 693–716. annurev.psych
Becker, G. S. (1976). The
economic approach to human behavior. Chicago, IL: University of Chicago
Press.
Berger, P. L., &
Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the
sociology of knowledge. New York, NY: Anchor Books.
Blau, P. M. (1964). Exchange
and power in social life. New York, NY: John Wiley & Sons.
Boudon, R. (2001). The
origin of values: Sociology and philosophy of beliefs. New Brunswick, NJ:
Transaction Publishers.
Boudon, R. (2003). Beyond
rational choice theory. Annual Review of Sociology, 29(1), 1–21. annurev.soc
Bourdieu, P. (1977). Outline
of a theory of practice. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Buchanan, J. M., &
Tullock, G. (1962). The calculus of consent: Logical foundations of
constitutional democracy. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.
Carrington, P. J., Scott,
J., & Wasserman, S. (2005). Models and methods in social network
analysis. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Chater, N., & Oaksford,
M. (1999). The rational analysis of cognition. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Chodorow, N. (1978). The
reproduction of mothering: Psychoanalysis and the sociology of gender.
Berkeley, CA: University of California Press.
Clarke, R. V. (1997). Situational
crime prevention: Successful case studies. Albany, NY: Harrow and Heston.
Coleman, J. S. (1990). Foundations
of social theory. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Cornish, D. B., &
Clarke, R. V. (1986). The reasoning criminal: Rational choice perspectives
on offending. New York, NY: Springer-Verlag.
Damasio, A. R. (1994). Descartes’
error: Emotion, reason, and the human brain. New York, NY: G.P. Putnam’s
Sons.
DiMaggio, P. J., &
Powell, W. W. (1983). The iron cage revisited: Institutional isomorphism and
collective rationality in organizational fields. American Sociological
Review, 48(2), 147–160. doi.org
Downs, A. (1957). An
economic theory of democracy. New York, NY: Harper & Row.
Durkheim, É. (1982). The
rules of sociological method. New York, NY: Free Press.
Elster, J. (1986). Rational
choice. Oxford, UK: Basil Blackwell.
Elster, J. (2007). Explaining
social behavior: More nuts and bolts for the social sciences. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
Evans, J. S. B. T., &
Frankish, K. (Eds.). (2009). In two minds: Dual processes and beyond. Oxford,
UK: Oxford University Press.
Foucault, M. (1977). Discipline
and punish: The birth of the prison. New York, NY: Pantheon Books.
Gilligan, C. (1982). In
a different voice: Psychological theory and women’s development.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Granovetter, M. (1985).
Economic action and social structure: The problem of embeddedness. American
Journal of Sociology, 91(3), 481–510. doi.org
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (Vol. 1). Boston, MA: Beacon Press.
Hobbes, T. (1960). Leviathan.
Oxford, UK: Clarendon Press.
Hofstede, G. (2001). Culture’s
consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations
across nations (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Homans, G. C. (1961). Social
behavior: Its elementary forms. New York, NY: Harcourt, Brace & World.
Kahneman, D. (2011). Thinking,
fast and slow. New York, NY: Farrar, Straus and Giroux.
Kahneman, D., &
Tversky, A. (1979). Prospect theory: An analysis of decision under risk. Econometrica,
47(2), 263–291. doi.org
March, J. G., & Olsen,
J. P. (1989). Rediscovering institutions: The organizational basis of
politics. New York, NY: Free Press.
Olson, M. (1965). The
logic of collective action: Public goods and the theory of groups.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Ostrom, E. (1990). Governing
the commons: The evolution of institutions for collective action.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Rapoport, A., &
Chammah, A. M. (1965). Prisoner’s dilemma: A study in conflict and
cooperation. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.
Riker, W. H. (1962). The
theory of political coalitions. New Haven, CT: Yale University Press.
Robbins, L. (1932). An
essay on the nature and significance of economic science. London, UK:
Macmillan.
Russell, S., & Norvig,
P. (2020). Artificial intelligence: A modern approach (4th ed.).
Boston, MA: Pearson.
Samuelson, P. A. (1947). Foundations
of economic analysis. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Sen, A. (1987). On
ethics and economics. Oxford, UK: Blackwell.
Sen, A. (2002). Rationality
and freedom. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.
Simon, H. A. (1947). Administrative
behavior: A study of decision-making processes in administrative organizations.
New York, NY: Macmillan.
Simon, H. A. (1957). Models
of man: Social and rational. New York, NY: John Wiley & Sons.
Smith, A. (1776). The
wealth of nations. London, UK: W. Strahan and T. Cadell.
Thaler, R. H., &
Sunstein, C. R. (2008). Nudge: Improving decisions about health, wealth,
and happiness. New Haven, CT: Yale University Press.
von Neumann, J., &
Morgenstern, O. (1944). Theory of games and economic behavior.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Weber, M. (1978). Economy
and society (G. Roth & C. Wittich, Trans.). Berkeley, CA: University
of California Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar