Selasa, 14 Oktober 2025

Teori Pilihan Rasional: Paradigma Penjelasan Perilaku Individu dan Kolektif

Teori Pilihan Rasional

Paradigma Penjelasan Perilaku Individu dan Kolektif


Alihkan ke: Ilmu Sosial.

Apakah Seseorang Hanya Akan Memilih Sesuatu yang Belum Ia Miliki dari Sebuah Penawaran?


Abstrak

Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory, RCT) merupakan salah satu paradigma fundamental dalam ilmu sosial yang berupaya menjelaskan tindakan manusia berdasarkan prinsip rasionalitas dan kalkulasi utilitas. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif landasan konseptual, perkembangan historis, aplikasi lintas disiplin, serta kritik dan arah pengembangan kontemporer dari teori tersebut. Melalui pendekatan analisis teoritik dan studi pustaka, penelitian ini menemukan bahwa RCT memiliki kontribusi signifikan dalam membangun kerangka penjelasan yang sistematis terhadap perilaku individu dan kolektif, terutama dalam ekonomi, sosiologi, ilmu politik, dan psikologi sosial.

Namun, teori ini tidak luput dari kritik epistemologis, metodologis, dan ontologis—terutama atas asumsi individualisme metodologis dan rasionalitas sempurna yang sering kali tidak sejalan dengan realitas sosial yang kompleks. Perkembangan terbaru menunjukkan adanya integrasi RCT dengan teori jaringan sosial, teori institusional, psikologi kognitif, dan neurosains, yang melahirkan paradigma baru seperti bounded rationality, behavioral rationality, serta computational rationality. Integrasi ini menandai transformasi penting dari rasionalitas yang bersifat kalkulatif menuju rasionalitas yang reflektif, adaptif, dan kontekstual.

Artikel ini menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap tindakan sosial tidak dapat dilepaskan dari interaksi antara rasionalitas instrumental, normatif, dan moral. Oleh karena itu, RCT di era kontemporer tidak hanya berfungsi sebagai teori ekonomi atau sosial semata, tetapi juga sebagai kerangka interdisipliner yang menjelaskan bagaimana manusia mengambil keputusan dalam dunia yang dinamis, plural, dan berjejaring.

Kata Kunci: Rasionalitas, Teori Pilihan Rasional, Rasionalitas Terbatas, Teori Sosial, Keputusan Sosial, Behavioral Economics, Rasionalitas Kontekstual, Paradigma Interdisipliner.


PEMBAHASAN

Analisis Komprehensif atas Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Dalam dinamika ilmu sosial modern, rasionalitas telah menjadi salah satu konsep fundamental yang digunakan untuk memahami tindakan dan keputusan manusia. Berangkat dari asumsi bahwa manusia bertindak untuk memaksimalkan kepuasan atau keuntungan tertentu, Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) menawarkan suatu kerangka penjelasan yang menekankan peran kalkulasi logis dan pertimbangan utilitas dalam setiap tindakan sosial.¹ Teori ini menganggap bahwa perilaku manusia bukan hasil kebetulan atau dorongan emosional semata, melainkan produk dari keputusan yang disengaja, rasional, dan berdasarkan pada penilaian terhadap konsekuensi tindakan.

Secara historis, akar pemikiran rasionalitas dapat ditelusuri hingga filsafat utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, di mana manusia dipandang sebagai agen yang mengejar kebahagiaan terbesar bagi dirinya.² Dalam perkembangannya, paradigma ini diadopsi secara luas oleh ekonomi neoklasik dan kemudian diadaptasi oleh ilmu sosial lain seperti sosiologi, ilmu politik, dan kriminologi untuk menjelaskan tindakan individu maupun kolektif dalam konteks sosial yang kompleks.³

Relevansi teori ini semakin menonjol di era modern yang ditandai oleh meningkatnya individualisme, rasionalisasi sistem sosial, dan transformasi ekonomi pasar global. Dalam konteks tersebut, perilaku manusia seringkali dianalisis melalui lensa kalkulasi kepentingan, strategi, serta pemilihan alternatif tindakan yang dianggap paling menguntungkan.⁴ Meskipun demikian, teori ini juga menghadapi tantangan signifikan dalam menjelaskan perilaku yang dipengaruhi oleh moralitas, norma sosial, emosi, dan konteks budaya.⁵ Oleh karena itu, pembahasan mengenai Teori Pilihan Rasional tidak hanya penting sebagai upaya memahami perilaku sosial dari perspektif kalkulatif, tetapi juga sebagai pintu masuk untuk mengkaji keterbatasan dan kemungkinan integrasi teori ini dengan paradigma sosial lain.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa persoalan mendasar yang perlu dikaji, yaitu:

1)                  Bagaimana prinsip dasar Teori Pilihan Rasional menjelaskan perilaku manusia dalam konteks sosial?

2)                  Apa kelebihan dan keterbatasan teori ini dalam memberikan pemahaman terhadap dinamika tindakan sosial?

3)                  Bagaimana posisi Teori Pilihan Rasional dalam interaksinya dengan teori-teori sosial lain yang menekankan dimensi struktur, norma, dan emosi?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan dasar-dasar epistemologis dan ontologis dari Teori Pilihan Rasional dalam ilmu sosial.

2)                  Menelaah kekuatan dan kelemahan pendekatan ini dalam menjelaskan perilaku individu dan kolektif.

3)                  Menawarkan sintesis teoretis yang memungkinkan pengembangan teori rasionalitas yang lebih kontekstual dan multidimensional.

Secara akademik, kajian ini bermanfaat untuk memperluas pemahaman terhadap peran rasionalitas dalam tindakan sosial serta membuka ruang dialog antara teori ekonomi rasional dan teori sosiologis-kultural. Dalam konteks praktis, analisis ini dapat membantu pengambil kebijakan, peneliti sosial, maupun akademisi dalam memahami pola pengambilan keputusan manusia dalam masyarakat kontemporer.

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan analisis teoritik kualitatif berbasis studi pustaka (library research). Sumber-sumber utama mencakup karya klasik dari tokoh-tokoh utama seperti James S. Coleman, Gary Becker, dan Jon Elster, serta literatur kontemporer yang mengembangkan atau mengkritik teori ini.⁶ Analisis dilakukan dengan metode komparatif dan kritis, yaitu membandingkan argumen-argumen rasionalitas dengan pendekatan sosial lain seperti struktural-fungsionalisme, teori pertukaran sosial, dan teori tindakan komunikatif. Tujuannya adalah menghasilkan pemahaman yang komprehensif, logis, dan metodologis mengenai posisi Teori Pilihan Rasional dalam peta besar teori sosial modern.

1.5.       Signifikansi Ilmiah (Kebaruan/Novelty)

Kontribusi ilmiah dari kajian ini terletak pada upayanya untuk meninjau ulang Teori Pilihan Rasional dengan mempertimbangkan dimensi rasionalitas yang lebih luas dan kompleks—yakni rasionalitas yang tidak semata-mata ekonomis, tetapi juga sosial, emosional, dan normatif. Dengan demikian, penelitian ini berupaya memperkaya wacana ilmiah mengenai bagaimana rasionalitas dapat dipahami secara kontekstual dalam dunia yang semakin kompleks dan digital, di mana keputusan manusia sering kali berada di antara kalkulasi logis dan pengaruh sosial.⁷


Footnotes

[1]                James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 13–15.

[2]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 2–3.

[3]                Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5–6.

[4]                Jon Elster, Rational Choice (Oxford: Basil Blackwell, 1986), 12.

[5]                Herbert A. Simon, Models of Man: Social and Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 198–200.

[6]                Mancur Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1965), 28.

[7]                Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 32–33.


2.           Landasan Konseptual dan Historis Teori Pilihan Rasional

2.1.       Akar Historis Rasionalitas dalam Pemikiran Sosial

Pemahaman tentang rasionalitas manusia memiliki akar panjang dalam sejarah filsafat Barat. Pemikiran rasional sebagai dasar tindakan manusia telah dibahas sejak era klasik, terutama dalam pandangan filsuf-filsuf seperti Thomas Hobbes dan Adam Smith. Hobbes, dalam Leviathan, menggambarkan manusia sebagai makhluk yang secara alami didorong oleh kepentingan diri sendiri untuk mempertahankan hidupnya, dan bahwa tatanan sosial hanya dapat muncul melalui kontrak sosial yang rasional demi keamanan bersama.¹ Sementara itu, Adam Smith, melalui konsep invisible hand, memperkenalkan gagasan bahwa tindakan individual yang dilandasi kepentingan pribadi dapat menghasilkan kesejahteraan kolektif tanpa disadari.²

Selanjutnya, rasionalitas memperoleh bentuk sistematis dalam pemikiran ekonomi klasik dan neoklasik yang menempatkan manusia sebagai homo economicus—agen rasional yang selalu berupaya memaksimalkan utilitasnya.³ Tradisi ini kemudian melahirkan utilitarianism Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, yang menegaskan bahwa moralitas tindakan manusia dapat dinilai berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.⁴

Dalam konteks ilmu sosial modern, pemikiran rasionalitas dihidupkan kembali melalui karya Max Weber yang membedakan antara rasionalitas instrumental (zweckrational) dan rasionalitas nilai (wertrational).⁵ Weber menegaskan bahwa tindakan sosial tidak hanya digerakkan oleh tujuan ekonomis, tetapi juga oleh nilai-nilai dan norma yang diinternalisasi oleh individu. Distingsi ini menjadi dasar bagi lahirnya teori pilihan rasional dalam versi sosiologis yang lebih luas dan kritis terhadap reduksionisme ekonomi.

2.2.       Konsep Dasar Teori Pilihan Rasional

Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory atau RCT) berangkat dari asumsi bahwa individu adalah agen yang rasional dan memiliki preferensi yang stabil serta konsisten dalam memilih tindakan yang dianggap paling menguntungkan baginya.⁶ Setiap tindakan dipandang sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan yang mempertimbangkan manfaat (benefit) dan biaya (cost) yang mungkin timbul. Dengan demikian, manusia bertindak bukan secara impulsif, melainkan berdasarkan kalkulasi untuk memaksimalkan utility atau kepuasan.

Dalam versi paling sederhana, RCT mengasumsikan tiga komponen pokok: (1) agen memiliki preferensi yang terurut (ordered preferences); (2) agen mengevaluasi alternatif tindakan berdasarkan konsekuensi; dan (3) agen memilih tindakan yang memberikan hasil paling optimal menurut sistem preferensinya.⁷ Prinsip ini kemudian menjadi dasar bagi teori ekonomi neoklasik serta diaplikasikan secara luas dalam berbagai disiplin, seperti sosiologi, ilmu politik, dan kriminologi.

James S. Coleman, salah satu tokoh sentral dalam pengembangan RCT dalam sosiologi, berupaya menjembatani mikro–makro dengan menekankan bahwa struktur sosial terbentuk dari hasil interaksi pilihan individu yang rasional.⁸ Sementara Gary S. Becker memperluas penerapan teori ini ke bidang non-ekonomi seperti keluarga, pendidikan, dan kriminalitas.⁹ Adapun Jon Elster menekankan aspek rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) dan pentingnya konteks sosial serta motif non-ekonomis dalam menjelaskan perilaku manusia.¹⁰

2.3.       Rasionalitas dan Prinsip Utilitas

Konsep utility maximization atau maksimalisasi utilitas menjadi landasan normatif bagi teori ini. Dalam konteks ekonomi, utilitas diartikan sebagai tingkat kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil konsumsi atau tindakan tertentu. Namun, dalam sosiologi rasional, konsep ini diperluas menjadi berbagai bentuk kepuasan sosial, seperti pengakuan, reputasi, atau kepentingan moral.¹¹

Rasionalitas dalam konteks RCT bukan berarti bahwa individu selalu membuat keputusan “benar” secara objektif, tetapi bahwa mereka menggunakan informasi yang tersedia untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara subjektif.¹² Dengan demikian, teori ini bersifat instrumental rationality—menekankan hubungan logis antara tujuan dan sarana yang digunakan untuk mencapainya.

Pendekatan ini kemudian dikembangkan dalam bentuk model matematis dan teori permainan (game theory) yang menjelaskan interaksi strategis antara individu dalam situasi tertentu.¹³ Melalui model ini, pilihan rasional tidak hanya dipahami sebagai keputusan individual, tetapi juga sebagai hasil dari proses negosiasi, ekspektasi, dan strategi antaraktor dalam suatu sistem sosial.

2.4.       Rasionalitas dalam Konteks Sosial dan Kritis terhadap Reduksionisme

Meskipun Teori Pilihan Rasional menawarkan model penjelasan yang logis dan elegan, berbagai kritik diarahkan terhadap reduksionisme individualistiknya. Kritik tersebut menilai bahwa teori ini cenderung mengabaikan dimensi moral, afektif, dan struktural yang turut membentuk perilaku sosial.¹⁴ Dalam kenyataannya, tindakan manusia tidak selalu bersifat kalkulatif, tetapi seringkali dipengaruhi oleh norma, kebiasaan, dan struktur kekuasaan.

Herbert A. Simon memperkenalkan konsep bounded rationality untuk menjelaskan bahwa kapasitas manusia dalam mengambil keputusan terbatas oleh informasi, waktu, dan kemampuan kognitif.¹⁵ Oleh karena itu, rasionalitas manusia harus dipahami secara kontekstual, bukan absolut. Perspektif ini membuka ruang bagi dialog antara teori pilihan rasional dengan pendekatan psikologi kognitif dan teori sosial kritis.


Kontribusi Tokoh-Tokoh Kunci

·                     Gary Becker (1976): Menerapkan prinsip ekonomi rasional ke semua bentuk perilaku manusia, termasuk dalam konteks sosial dan keluarga.¹⁶

·                     James S. Coleman (1990): Menjelaskan hubungan antara tindakan individu dan struktur sosial melalui mekanisme pertukaran rasional.¹⁷

·                     Jon Elster (1986): Mengkritisi asumsi rasionalitas absolut dan memperkenalkan konsep motivasi sosial serta emosi dalam pilihan.¹⁸

·                     Mancur Olson (1965): Mengembangkan teori tindakan kolektif dan problem free rider dalam organisasi sosial.¹⁹

·                     Herbert Simon (1957): Menawarkan konsep bounded rationality sebagai alternatif terhadap model homo economicus.²⁰

Tokoh-tokoh tersebut memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk kerangka konseptual yang menjadikan Teori Pilihan Rasional tidak hanya sebagai teori ekonomi, tetapi juga sebagai paradigma lintas disiplin dalam memahami tindakan manusia.


Footnotes

[1]                Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1960), 82–85.

[2]                Adam Smith, The Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 45.

[3]                Lionel Robbins, An Essay on the Nature and Significance of Economic Science (London: Macmillan, 1932), 12.

[4]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 3–5.

[5]                Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 24–26.

[6]                James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 17.

[7]                Jon Elster, Rational Choice (Oxford: Basil Blackwell, 1986), 14.

[8]                Ibid., 21–22.

[9]                Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 9.

[10]             Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 38.

[11]             Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 75.

[12]             Raymond Boudon, Beyond Rational Choice Theory (Annual Review of Sociology 29, 2003): 8–9.

[13]             John von Neumann and Oskar Morgenstern, Theory of Games and Economic Behavior (Princeton: Princeton University Press, 1944), 50.

[14]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 116–118.

[15]             Herbert A. Simon, Models of Man: Social and Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 199.

[16]             Becker, The Economic Approach to Human Behavior, 15.

[17]             Coleman, Foundations of Social Theory, 30–32.

[18]             Elster, Rational Choice, 19.

[19]             Mancur Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1965), 35–37.

[20]             Simon, Models of Man, 203.


3.           Rasionalitas dan Model Pengambilan Keputusan

3.1.       Rasionalitas Formal dan Substantif

Konsep rasionalitas merupakan fondasi utama dalam Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory/RCT), namun pemaknaannya tidak tunggal. Max Weber membedakan dua bentuk rasionalitas: rasionalitas formal (formal rationality) dan rasionalitas substantif (substantive rationality).¹ Rasionalitas formal berkaitan dengan konsistensi logis dari tindakan terhadap seperangkat aturan atau logika internal tertentu, sedangkan rasionalitas substantif menilai tindakan berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut mencapai tujuan yang bernilai secara sosial atau moral.²

Dalam konteks ini, rasionalitas formal lebih dekat dengan model ekonomi neoklasik yang menekankan efisiensi dan kalkulasi objektif, sementara rasionalitas substantif memberi ruang bagi nilai, etika, dan norma sosial dalam keputusan manusia.³ Dengan demikian, meskipun tindakan manusia tampak rasional dalam arti formal, belum tentu tindakan tersebut rasional secara substantif jika bertentangan dengan nilai kemanusiaan atau kepentingan sosial yang lebih luas.

Perdebatan mengenai batasan rasionalitas ini juga muncul dalam karya Herbert Simon yang memperkenalkan konsep “bounded rationality”, yakni gagasan bahwa kemampuan manusia dalam berpikir rasional dibatasi oleh informasi, waktu, dan kapasitas kognitif.⁴ Simon menegaskan bahwa manusia tidak selalu mencari hasil terbaik (maximizing), melainkan hasil yang cukup memuaskan (satisficing) dalam kondisi keterbatasan informasi.⁵ Konsep ini memperluas pandangan RCT dengan memasukkan unsur realistis dari perilaku manusia yang seringkali tidak sepenuhnya kalkulatif.

3.2.       Model Matematis dan Teori Permainan (Game Theory)

Dalam tradisi RCT, keputusan individu seringkali dianalisis menggunakan model matematis yang dikenal sebagai teori permainan (game theory). Teori ini pertama kali diformulasikan oleh John von Neumann dan Oskar Morgenstern dalam karya monumental mereka Theory of Games and Economic Behavior (1944).⁶ Model ini menggambarkan bagaimana individu atau aktor rasional berinteraksi dalam situasi strategis di mana hasil tindakan seseorang bergantung pada tindakan orang lain.

Teori permainan memandang tindakan manusia sebagai strategi rasional dalam menghadapi interdependensi sosial. Salah satu bentuk paling terkenal adalah Prisoner’s Dilemma, yang menunjukkan bahwa dua aktor rasional dapat mengambil keputusan yang sub-optimal karena mereka bertindak demi kepentingan pribadi dan tidak mempercayai kerja sama pihak lain.⁷ Model ini membuktikan bahwa tindakan rasional individual tidak selalu menghasilkan hasil yang rasional secara kolektif.

Dalam konteks sosial, teori permainan menjelaskan berbagai fenomena seperti kerja sama, konflik, negosiasi, dan altruisme. James Coleman menggunakan kerangka ini untuk menjelaskan interaksi sosial sebagai bentuk social exchange yang didasarkan pada kepentingan timbal balik.⁸ Sementara itu, Mancur Olson menerapkannya dalam The Logic of Collective Action (1965) untuk menunjukkan bahwa individu cenderung enggan berpartisipasi dalam tindakan kolektif jika manfaatnya dapat dinikmati tanpa kontribusi langsung—sebuah fenomena yang dikenal sebagai free rider problem.⁹

Model matematis dalam teori permainan menggabungkan logika dan probabilitas untuk memprediksi perilaku sosial dalam situasi kompleks. Pendekatan ini menguatkan posisi RCT sebagai teori yang tidak hanya deskriptif tetapi juga prediktif, sekaligus membuka jalan bagi penerapan dalam ilmu politik, kebijakan publik, dan ekonomi perilaku.

3.3.       Rasionalitas Terbatas, Emosi, dan Konteks Sosial

Meskipun teori rasionalitas menekankan kalkulasi logis, penelitian empiris menunjukkan bahwa emosi dan konteks sosial memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Amartya Sen, dalam Rationality and Freedom (2002), berpendapat bahwa rasionalitas tidak dapat dipisahkan dari nilai dan pertimbangan moral.¹⁰ Ia mengkritik pandangan utilitarian klasik yang menganggap manusia sebagai makhluk yang hanya mengejar kepuasan pribadi. Menurut Sen, tindakan rasional justru melibatkan kemampuan reflektif untuk mempertimbangkan keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial.¹¹

Demikian pula, Jon Elster menegaskan bahwa rasionalitas harus dipahami secara context-dependent, karena pilihan individu tidak hanya didorong oleh kalkulasi utilitas, tetapi juga oleh norma sosial, kebanggaan, rasa malu, dan solidaritas.¹² Dalam banyak kasus, keputusan “tidak rasional” secara ekonomi dapat justru rasional secara sosial—misalnya ketika seseorang menolong orang lain tanpa imbalan karena mempertimbangkan nilai moral atau identitas kelompoknya.

Konsep bounded rationality yang dikembangkan Simon dan diperluas oleh Daniel Kahneman melalui teori prospect theory menunjukkan bahwa manusia seringkali mengambil keputusan berdasarkan heuristik dan persepsi risiko, bukan perhitungan matematis yang ketat.¹³ Dengan demikian, rasionalitas dalam pengambilan keputusan lebih tepat dipahami sebagai proses adaptif—suatu mekanisme di mana individu menggunakan keterbatasan kognitifnya untuk menavigasi kompleksitas lingkungan sosial.

3.4.       Sintesis Model Rasional dan Non-Rasional

Perkembangan terbaru dalam ilmu sosial menunjukkan upaya untuk menyintesiskan model rasional dengan pendekatan psikologis dan sosiologis. Pendekatan ini melahirkan apa yang disebut sebagai “behavioral rationality” atau rasionalitas perilaku.¹⁴ Pendekatan ini menolak dikotomi kaku antara rasional dan irasional, serta menekankan bahwa keputusan manusia merupakan hasil interaksi antara logika, kebiasaan, dan struktur sosial.

Rasionalitas dalam tindakan sosial kini tidak lagi dipahami secara sempit sebagai kemampuan kalkulatif, melainkan sebagai kemampuan reflektif dan adaptif yang memperhitungkan nilai, norma, dan konsekuensi moral dari setiap keputusan.¹⁵ Oleh karena itu, model pengambilan keputusan yang komprehensif harus mempertimbangkan dimensi rasional, emosional, dan sosial secara simultan.


Kesimpulan Sementara Bagian III

Bagian ini menegaskan bahwa rasionalitas bukanlah konsep tunggal dan kaku, melainkan multidimensional dan kontekstual. Model pengambilan keputusan dalam Teori Pilihan Rasional berkembang dari paradigma kalkulatif menuju pendekatan adaptif dan intersubjektif yang lebih realistis. Penggabungan teori permainan, rasionalitas terbatas, serta dimensi moral dan emosional memperkaya pemahaman kita terhadap tindakan sosial manusia yang kompleks dan dinamis.


Footnotes

[1]                Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 24–25.

[2]                Ibid., 27.

[3]                Raymond Boudon, The Origin of Values: Sociology and Philosophy of Beliefs (New Brunswick: Transaction Publishers, 2001), 43.

[4]                Herbert A. Simon, Administrative Behavior: A Study of Decision-Making Processes in Administrative Organizations (New York: Macmillan, 1947), 88.

[5]                Herbert A. Simon, Models of Man: Social and Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 198.

[6]                John von Neumann and Oskar Morgenstern, Theory of Games and Economic Behavior (Princeton: Princeton University Press, 1944), 50.

[7]                Anatol Rapoport and Albert M. Chammah, Prisoner’s Dilemma: A Study in Conflict and Cooperation (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1965), 3–5.

[8]                James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 32–33.

[9]                Mancur Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1965), 43.

[10]             Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 22–25.

[11]             Ibid., 32–33.

[12]             Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 45–46.

[13]             Daniel Kahneman and Amos Tversky, Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk, Econometrica 47, no. 2 (1979): 263–291.

[14]             Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 6–7.

[15]             Sen, Rationality and Freedom, 40.


4.           Aplikasi Teori Pilihan Rasional dalam Ilmu Sosial

4.1.       Dalam Ilmu Ekonomi: Paradigma Utilitas dan Efisiensi

Dalam bidang ekonomi, Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory, RCT) memiliki akar yang paling kuat dan menjadi dasar bagi hampir seluruh analisis mikroekonomi. Paradigma ini menempatkan individu sebagai agen rasional (homo economicus) yang bertujuan memaksimalkan utilitas di bawah keterbatasan sumber daya.¹ Menurut Gary S. Becker, tindakan ekonomi dapat dijelaskan dengan prinsip utility maximization dan cost-benefit analysis yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk yang tampak “non-ekonomis,” seperti keluarga, pendidikan, dan kriminalitas.²

Dalam konteks pasar, rasionalitas dianggap sebagai mekanisme yang menghasilkan keseimbangan melalui interaksi permintaan dan penawaran.³ Keputusan konsumen dalam memilih barang atau jasa, serta keputusan produsen dalam menentukan harga dan jumlah produksi, semuanya diasumsikan mengikuti logika optimalisasi.⁴ Dengan demikian, pasar dipandang sebagai arena di mana individu rasional secara tidak sadar menciptakan keteraturan sosial melalui tindakan egoistik mereka—sebuah gagasan yang telah dikemukakan oleh Adam Smith melalui metafora the invisible hand.⁵

Namun, pendekatan ini tidak lepas dari kritik, terutama karena mengabaikan faktor psikologis dan sosial dalam proses pengambilan keputusan ekonomi. Kritik tersebut kemudian melahirkan bidang baru yaitu ekonomi perilaku (behavioral economics) yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Richard Thaler, yang menunjukkan bahwa keputusan ekonomi sering kali dipengaruhi oleh bias kognitif, emosi, dan konteks sosial.⁶

4.2.       Dalam Sosiologi: Rasionalitas, Interaksi, dan Tindakan Kolektif

Dalam sosiologi, RCT digunakan untuk menjelaskan bagaimana tindakan individu dapat membentuk struktur sosial melalui mekanisme interaksi dan pertukaran. James S. Coleman berperan penting dalam mentransformasikan teori ini menjadi kerangka makro–mikro yang menjelaskan hubungan antara individu dan institusi sosial.⁷ Ia menegaskan bahwa struktur sosial bukan entitas otonom, melainkan hasil dari agregasi keputusan rasional individu.

Konsep ini tampak jelas dalam analisis tindakan kolektif (collective action). Mancur Olson dalam The Logic of Collective Action (1965) menjelaskan bahwa individu cenderung enggan berpartisipasi dalam kegiatan kolektif karena manfaat publik dapat diperoleh tanpa kontribusi pribadi—fenomena yang dikenal sebagai free rider problem.⁸ Misalnya, dalam konteks organisasi sosial atau gerakan politik, seseorang mungkin enggan ikut serta karena hasilnya (misalnya keadilan sosial atau kebijakan publik) dapat ia nikmati tanpa harus menanggung biaya partisipasi.⁹

RCT juga berperan dalam menjelaskan interaksi sosial melalui teori pertukaran sosial (social exchange theory). Dalam pandangan ini, hubungan sosial dilihat sebagai transaksi timbal balik di mana aktor menimbang keuntungan dan kerugian dari setiap interaksi.¹⁰ George Homans dan Peter Blau mengadopsi pendekatan rasional dalam menjelaskan struktur kekuasaan dan ketergantungan dalam hubungan sosial.¹¹

Meskipun demikian, banyak sosiolog mengkritik reduksionisme RCT karena dianggap mengabaikan norma, solidaritas, dan emosi sebagai pendorong tindakan sosial.¹² Kritik ini kemudian memunculkan model rasionalitas kontekstual yang menggabungkan unsur normatif dan simbolik dalam analisis tindakan manusia.

4.3.       Dalam Ilmu Politik: Pemilih Rasional dan Teori Pilihan Publik

RCT juga memiliki pengaruh besar dalam ilmu politik, terutama dalam memahami perilaku pemilih, pembuat kebijakan, dan aktor politik. Teori pemilih rasional (rational voter theory) berasumsi bahwa individu memilih kandidat atau kebijakan yang memberikan manfaat terbesar baginya berdasarkan informasi yang tersedia.¹³ Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy (1957) menjelaskan bahwa perilaku politik dapat dipahami sebagai perhitungan biaya dan manfaat terhadap pilihan politik tertentu.¹⁴

Pendekatan ini juga mendasari lahirnya teori pilihan publik (public choice theory) yang dikembangkan oleh James Buchanan dan Gordon Tullock.¹⁵ Teori ini mengasumsikan bahwa pejabat publik, politisi, dan birokrat bertindak berdasarkan kepentingan pribadi, bukan semata-mata demi kepentingan umum. Dengan demikian, kebijakan publik merupakan hasil dari kompromi rasional antara aktor-aktor yang memiliki preferensi dan kepentingan berbeda.

Model rasional dalam politik telah digunakan untuk menjelaskan pembentukan koalisi, strategi kampanye, perilaku legislator, serta proses tawar-menawar dalam sistem pemerintahan.¹⁶ Namun, sebagaimana dalam ekonomi dan sosiologi, pendekatan ini menghadapi kritik karena terlalu mengedepankan kalkulasi individualistik dan mengabaikan pengaruh ideologi, nilai, serta struktur kekuasaan.¹⁷

4.4.       Dalam Psikologi Sosial dan Kriminologi: Rasionalitas dalam Perilaku Menyimpang

RCT juga memiliki penerapan luas dalam psikologi sosial dan kriminologi. Dalam konteks ini, teori tersebut digunakan untuk menjelaskan perilaku menyimpang dan kejahatan sebagai hasil dari kalkulasi rasional atas risiko dan keuntungan. Ronald V. Clarke dan Derek B. Cornish mengembangkan Rational Choice Criminology, yang berpendapat bahwa pelaku kejahatan bertindak berdasarkan pertimbangan rasional mengenai peluang keberhasilan dan kemungkinan hukuman.¹⁸

Menurut model ini, tindakan kriminal bukan sekadar hasil impuls emosional, tetapi merupakan keputusan yang dipengaruhi oleh situasi, kesempatan, dan persepsi risiko.¹⁹ Dengan demikian, pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan mengubah struktur peluang melalui kebijakan pengawasan, pengurangan akses, atau peningkatan biaya sosial dari perilaku kriminal.²⁰

Dalam psikologi sosial, teori pilihan rasional digunakan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan interpersonal, termasuk dalam hubungan sosial, moralitas, dan kepatuhan terhadap norma.²¹ Misalnya, teori ini dapat menjelaskan mengapa seseorang memilih untuk bekerja sama atau bersaing dalam kelompok berdasarkan evaluasi terhadap manfaat dan biaya sosial dari tindakan tersebut.

Namun, banyak psikolog menekankan bahwa keputusan manusia tidak sepenuhnya didasarkan pada logika utilitarian.²² Faktor-faktor seperti empati, rasa bersalah, dan moralitas sering kali berperan lebih kuat daripada kalkulasi rasional. Oleh karena itu, pendekatan modern menggabungkan teori rasional dengan pendekatan afektif dan kognitif, menghasilkan kerangka baru seperti dual-process theory yang menjelaskan adanya dua sistem berpikir: sistem cepat dan emosional (intuisi), serta sistem lambat dan rasional (refleksi).²³


Refleksi Umum atas Aplikasi RCT

Dari berbagai disiplin ilmu di atas, tampak bahwa Teori Pilihan Rasional berfungsi sebagai kerangka lintas-disiplin yang mampu menjelaskan beragam fenomena sosial melalui prinsip rasionalitas, utilitas, dan pilihan strategis. Namun, kekuatan teorinya terletak bukan hanya pada kemampuannya menjelaskan perilaku kalkulatif, melainkan pada potensinya untuk dikombinasikan dengan teori sosial lainnya.

Dalam konteks modern, integrasi antara RCT dan teori perilaku (behavioral theories) menunjukkan arah perkembangan baru menuju paradigma yang lebih realistis—yaitu rasionalitas terbatas, kontekstual, dan reflektif.²⁴ Pendekatan ini menegaskan bahwa rasionalitas manusia tidak bersifat absolut, tetapi adaptif terhadap lingkungan sosial, budaya, dan moral tempat individu berada.


Footnotes

[1]                Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5.

[2]                Ibid., 10.

[3]                Lionel Robbins, An Essay on the Nature and Significance of Economic Science (London: Macmillan, 1932), 18.

[4]                Paul A. Samuelson, Foundations of Economic Analysis (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1947), 22.

[5]                Adam Smith, The Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 45.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 8.

[7]                James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 24.

[8]                Mancur Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1965), 35.

[9]                Ibid., 40.

[10]             Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life (New York: John Wiley & Sons, 1964), 6.

[11]             George C. Homans, Social Behavior: Its Elementary Forms (New York: Harcourt, Brace & World, 1961), 15.

[12]             Raymond Boudon, Beyond Rational Choice Theory, Annual Review of Sociology 29 (2003): 1–2.

[13]             Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy (New York: Harper & Row, 1957), 35.

[14]             Ibid., 40.

[15]             James M. Buchanan and Gordon Tullock, The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1962), 5.

[16]             William H. Riker, The Theory of Political Coalitions (New Haven: Yale University Press, 1962), 12.

[17]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 118.

[18]             Derek B. Cornish and Ronald V. Clarke, “The Reasoning Criminal: Rational Choice Perspectives on Offending,” in The Reasoning Criminal (New York: Springer-Verlag, 1986), 1–2.

[19]             Ibid., 5.

[20]             Ronald V. Clarke, Situational Crime Prevention: Successful Case Studies (Albany, NY: Harrow and Heston, 1997), 10.

[21]             Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 53.

[22]             Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 40–41.

[23]             Jonathan Evans and Keith Frankish, eds., In Two Minds: Dual Processes and Beyond (Oxford: Oxford University Press, 2009), 9.

[24]             Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 11.


5.           Kritik dan Keterbatasan Teori Pilihan Rasional

5.1.       Kritik Epistemologis dan Ontologis: Individualisme dan Reduksionisme

Salah satu kritik paling mendasar terhadap Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory, RCT) terletak pada aspek epistemologis dan ontologisnya. Teori ini didasarkan pada individualisme metodologis, yakni asumsi bahwa seluruh fenomena sosial dapat dijelaskan melalui tindakan dan pilihan individu.¹ Meskipun pendekatan ini memberikan kejelasan analitis, banyak ilmuwan sosial berpendapat bahwa ia menyederhanakan kompleksitas realitas sosial yang sebenarnya bersifat intersubjektif dan struktural.

Pierre Bourdieu, misalnya, menolak pandangan bahwa tindakan manusia sepenuhnya dapat dijelaskan melalui kalkulasi utilitas. Ia menegaskan bahwa tindakan sosial juga ditentukan oleh habitus, yaitu sistem disposisi yang dibentuk oleh pengalaman sosial dan struktur kekuasaan.² Dengan demikian, pilihan individu tidak pernah sepenuhnya “bebas” atau “rasional” dalam arti netral, tetapi selalu dibentuk oleh konteks sosial dan simbolik yang mengitarinya.

Selain itu, kritik ontologis juga datang dari kalangan teori kritis seperti Jürgen Habermas yang menilai bahwa RCT mengabaikan dimensi komunikasi dan rasionalitas moral.³ Menurutnya, manusia bukan hanya makhluk instrumental yang mengejar efisiensi, tetapi juga makhluk komunikatif yang mencari pemahaman dan legitimasi melalui interaksi sosial.⁴ Oleh sebab itu, teori ini dianggap terlalu sempit untuk menjelaskan fenomena sosial yang melibatkan norma, etika, dan kesadaran kolektif.

5.2.       Kritik Metodologis: Asumsi Rasionalitas Sempurna dan Homogenitas Preferensi

Kritik kedua berkaitan dengan asumsi rasionalitas sempurna (perfect rationality) yang mendasari model RCT. Teori ini mengasumsikan bahwa individu memiliki informasi lengkap, preferensi yang konsisten, dan kemampuan untuk memaksimalkan utilitas secara logis.⁵ Namun, penelitian empiris dalam psikologi sosial dan ekonomi perilaku menunjukkan bahwa manusia sering kali bertindak secara tidak rasional karena keterbatasan kognitif, bias persepsi, dan pengaruh emosi.⁶

Herbert Simon memperkenalkan konsep bounded rationality untuk menggantikan pandangan idealis tersebut.⁷ Ia menegaskan bahwa individu dalam kenyataan hanya mencari solusi yang “cukup baik” (satisficing), bukan solusi terbaik (maximizing), karena keterbatasan informasi dan kapasitas berpikir.⁸

Kritik metodologis lainnya menyasar asumsi homogenitas preferensi, yakni anggapan bahwa semua individu memiliki struktur nilai dan tujuan yang dapat dibandingkan secara rasional.⁹ Dalam masyarakat pluralistik, preferensi sering kali bersifat heterogen dan dipengaruhi oleh budaya, agama, dan pengalaman sosial. Dengan demikian, model rasional universal dianggap tidak mampu menjelaskan variasi tindakan manusia di berbagai konteks sosial dan budaya.¹⁰

Selain itu, pendekatan RCT sering dikritik karena menggunakan model matematis yang terlalu abstrak dan terlepas dari realitas empiris.¹¹ Model ini efektif untuk menjelaskan perilaku pasar, tetapi sering gagal menangkap dinamika sosial seperti solidaritas, loyalitas, dan moralitas yang tidak dapat direduksi menjadi perhitungan utilitas.

5.3.       Kritik dari Perspektif Teori Sosial Alternatif

5.3.1.    Perspektif Struktural-Fungsional dan Durkheimian

Émile Durkheim menentang asumsi individualisme dalam RCT dengan menekankan bahwa fenomena sosial memiliki eksistensi objektif dan kekuatan koersif terhadap individu.¹² Dalam pandangannya, perilaku manusia dibentuk oleh norma, tradisi, dan nilai kolektif, bukan hanya hasil pilihan pribadi. Tindakan sosial harus dipahami sebagai fungsi dari struktur sosial yang lebih luas, bukan sekadar hasil kalkulasi logis individu.

5.3.2.    Perspektif Konstruktivisme Sosial dan Postmodern

Kritik konstruktivis menyoroti bahwa rasionalitas bukanlah kategori universal, melainkan konstruksi sosial yang bergantung pada budaya dan bahasa.¹³ Michel Foucault berargumen bahwa apa yang dianggap “rasional” sering kali merupakan produk dari rezim pengetahuan dan kekuasaan, bukan hasil perhitungan objektif.¹⁴ Oleh karena itu, RCT dinilai gagal menyadari bahwa “rasionalitas” itu sendiri dapat menjadi alat dominasi ideologis dalam masyarakat modern.

5.3.3.    Perspektif Feminisme

Dari perspektif feminis, RCT dikritik karena berlandaskan pada pandangan androcentris yang menekankan kompetisi, egoisme, dan individualisme—nilai-nilai yang sering diasosiasikan dengan maskulinitas Barat.¹⁵ Teori ini dianggap mengabaikan nilai empati, perawatan (care), dan hubungan afektif yang juga berperan penting dalam tindakan sosial.¹⁶ Pendekatan rasional dianggap terlalu menekankan logika efisiensi, padahal dalam praktik sosial, banyak keputusan yang dilandasi oleh relasi dan kepedulian antarindividu.

5.3.4.    Perspektif Teori Kritis dan Komunikatif

Jürgen Habermas melalui The Theory of Communicative Action menegaskan bahwa rasionalitas sejati tidak terletak pada keberhasilan mencapai tujuan, melainkan pada kemampuan mencapai saling pengertian (mutual understanding) melalui komunikasi bebas dominasi.¹⁷ Dengan demikian, tindakan rasional seharusnya mencakup rasionalitas instrumental dan komunikatif. Kritik ini menggeser pemahaman tentang manusia dari makhluk yang sekadar mengejar keuntungan menjadi makhluk yang berupaya membangun legitimasi sosial dan moral dalam kehidupan bersama.

5.4.       Keterbatasan Aplikasi Empiris dan Konteks Sosial

Dalam praktiknya, penerapan RCT sering menghadapi kesulitan empiris. Model matematisnya sulit diuji secara langsung karena mengasumsikan variabel yang tidak teramati seperti preferensi dan ekspektasi subjektif.¹⁸ Di samping itu, teori ini kurang mampu menjelaskan fenomena sosial yang bersifat altruistik, seperti pengorbanan diri, solidaritas sosial, atau tindakan moral yang tidak memberikan keuntungan pribadi.¹⁹

Misalnya, tindakan seseorang yang menolong orang lain dalam situasi berbahaya tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh logika utilitas, sebab tindakan tersebut justru mengandung risiko dan kerugian pribadi.²⁰ Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa manusia sering bertindak atas dasar nilai moral, kasih sayang, atau kewajiban etis yang tidak sejalan dengan kalkulasi keuntungan rasional.

Selain itu, dalam masyarakat non-Barat, konsep rasionalitas sering kali memiliki makna yang berbeda.²¹ Dalam budaya kolektivistik, keputusan diambil bukan semata-mata berdasarkan preferensi individu, tetapi juga mempertimbangkan harmoni sosial dan kepentingan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi universalisme rasionalitas dalam RCT tidak sepenuhnya berlaku lintas budaya.

5.5.       Upaya Sintesis dan Reformulasi

Meskipun banyak kritik diarahkan kepada RCT, sebagian ilmuwan sosial berupaya melakukan reformulasi untuk memperluas cakupan teorinya. Amartya Sen, misalnya, memperkenalkan konsep “rationality as reasoned scrutiny”, yakni rasionalitas sebagai proses reflektif yang mempertimbangkan alasan moral dan sosial, bukan hanya kalkulasi utilitas.²²

Begitu pula Jon Elster mengusulkan agar rasionalitas dipahami sebagai fenomena yang mencakup emotion-driven rationality, di mana perasaan seperti rasa malu, bangga, atau cinta dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional secara kontekstual.²³

Pendekatan interdisipliner ini menunjukkan bahwa meskipun RCT memiliki keterbatasan, ia tetap relevan sebagai kerangka dasar untuk memahami tindakan manusia, selama dikombinasikan dengan perspektif kultural, moral, dan psikologis yang lebih luas.


Kesimpulan Sementara Bagian V

Kritik terhadap Teori Pilihan Rasional menunjukkan bahwa teori ini, meskipun kuat secara logis dan metodologis, tidak dapat berdiri sendiri dalam menjelaskan kompleksitas tindakan sosial manusia. Rasionalitas manusia bukan hanya bersifat instrumental dan egoistik, tetapi juga komunikatif, moral, dan emosional. Dengan demikian, pengembangan teori sosial modern menuntut pendekatan yang lebih holistik, yang mengintegrasikan rasionalitas dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial-budaya.


Footnotes

[1]                James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 19.

[2]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285.

[4]                Ibid., 290.

[5]                Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 10–11.

[7]                Herbert A. Simon, Administrative Behavior: A Study of Decision-Making Processes in Administrative Organizations (New York: Macmillan, 1947), 88.

[8]                Herbert A. Simon, Models of Man: Social and Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 199.

[9]                Raymond Boudon, Beyond Rational Choice Theory, Annual Review of Sociology 29 (2003): 4.

[10]             Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 40.

[11]             Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 56.

[12]             Émile Durkheim, The Rules of Sociological Method (New York: Free Press, 1982), 50.

[13]             Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 37.

[14]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison (New York: Pantheon Books, 1977), 194.

[15]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 24.

[16]             Nancy Chodorow, The Reproduction of Mothering: Psychoanalysis and the Sociology of Gender (Berkeley: University of California Press, 1978), 39.

[17]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 294.

[18]             Mancur Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1965), 42.

[19]             Becker, The Economic Approach to Human Behavior, 12.

[20]             Sen, Rationality and Freedom, 48.

[21]             Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations Across Nations (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2001), 89.

[22]             Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford: Blackwell, 1987), 76.

[23]             Jon Elster, Rational Choice (Oxford: Basil Blackwell, 1986), 13.


6.           Pengembangan dan Sintesis Teoretis Kontemporer

6.1.       Integrasi dengan Teori Sosial Modern

Perkembangan ilmu sosial kontemporer menunjukkan bahwa Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory, RCT) tidak lagi dipahami sebagai paradigma yang eksklusif dan tertutup, melainkan sebagai kerangka analisis yang dapat diintegrasikan dengan teori-teori sosial lainnya. Integrasi ini muncul sebagai respons terhadap kritik atas reduksionisme dan asumsi rasionalitas sempurna yang melekat pada RCT klasik.¹

Salah satu arah integrasi penting adalah dengan Teori Jaringan Sosial (Social Network Theory), yang menekankan bahwa pilihan individu dipengaruhi oleh posisi dan relasi sosialnya dalam jaringan.² Mark Granovetter memperkenalkan konsep embeddedness, yaitu gagasan bahwa tindakan ekonomi dan sosial tertanam dalam struktur hubungan sosial yang memengaruhi akses informasi, kepercayaan, dan peluang.³ Dalam konteks ini, keputusan rasional tidak hanya bersumber dari preferensi pribadi, tetapi juga dari interaksi sosial yang membentuk ekspektasi dan norma perilaku.

Integrasi lain dilakukan melalui Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) yang dikembangkan oleh Peter Blau dan George Homans.⁴ Pendekatan ini memadukan prinsip rasionalitas dengan dimensi normatif, menunjukkan bahwa tindakan sosial melibatkan pertimbangan timbal balik dan keadilan, bukan sekadar perhitungan utilitas individual. Dalam kerangka ini, nilai sosial seperti kepercayaan dan reputasi menjadi bagian dari modal rasional yang memengaruhi keputusan individu.⁵

Selain itu, teori institusional baru atau Rational Institutionalism berupaya menjembatani RCT dengan teori kelembagaan.⁶ Menurut James March dan Johan Olsen, individu tidak hanya bertindak berdasarkan preferensi pribadi, tetapi juga sesuai dengan “logika kepantasan” (logic of appropriateness) yang dibentuk oleh norma dan struktur institusional.⁷ Rasionalitas, dengan demikian, tidak bersifat universal, melainkan kontekstual terhadap aturan sosial dan budaya tempat individu beroperasi.

6.2.       Pendekatan Interdisipliner dan Evolusi Rasionalitas

RCT kontemporer berkembang melalui pendekatan interdisipliner dengan mengadopsi temuan dari psikologi kognitif, neurosains, dan ilmu perilaku. Pendekatan ini menolak pandangan bahwa manusia sepenuhnya rasional dalam arti kalkulatif, dan menggantinya dengan pemahaman tentang rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan rasionalitas adaptif (adaptive rationality).⁸

Dalam psikologi kognitif, Daniel Kahneman dan Amos Tversky mengembangkan Prospect Theory, yang menunjukkan bahwa manusia menilai keuntungan dan kerugian secara relatif terhadap titik acuan (reference point), bukan berdasarkan nilai absolut.⁹ Teori ini mengguncang fondasi RCT tradisional dengan memperlihatkan bahwa individu sering kali mengambil keputusan yang tidak konsisten dengan logika utilitas, terutama ketika berhadapan dengan risiko dan ketidakpastian.

Sementara itu, ilmu perilaku dan ekonomi eksperimental memperluas RCT ke dalam studi empiris tentang keputusan sehari-hari. Richard Thaler dan Cass Sunstein memperkenalkan konsep “nudge”, yaitu intervensi halus dalam lingkungan pengambilan keputusan yang membantu individu membuat pilihan yang lebih baik tanpa membatasi kebebasan mereka.¹⁰ Misalnya, menempatkan makanan sehat di posisi yang mudah dijangkau dalam kafetaria merupakan bentuk nudge untuk mendorong perilaku rasional yang lebih sehat.

Di sisi lain, integrasi dengan neurosains sosial mengarah pada konsep rational-emotional integration, yang menegaskan bahwa proses rasional dan emosional bekerja secara simultan dalam otak manusia.¹¹ Antonio Damasio, melalui studi tentang pengambilan keputusan neurologis, menemukan bahwa emosi tidak mengganggu rasionalitas, melainkan berfungsi sebagai panduan adaptif dalam konteks sosial yang kompleks.¹²

Dengan demikian, RCT modern bergerak menuju paradigma rasionalitas yang lebih pluralistik: rasionalitas yang bersifat biologis, kognitif, sosial, dan normatif sekaligus.

6.3.       Arah Kebaruan (Novelty) dalam Konteks Sosial Kontemporer

Dalam era globalisasi dan digitalisasi, teori pilihan rasional memperoleh relevansi baru dalam menganalisis perilaku manusia di dunia yang semakin kompleks, cepat berubah, dan berbasis informasi. Perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) memperkenalkan bentuk baru dari rasionalitas komputasional (computational rationality), yaitu model pengambilan keputusan yang disimulasikan melalui algoritma dan data besar (big data).¹³

Model ini digunakan untuk memahami bagaimana manusia maupun mesin membuat keputusan dalam situasi yang dinamis dan penuh ketidakpastian.¹⁴ Dalam konteks ini, rasionalitas tidak lagi dipandang sebagai kemampuan individual, melainkan sebagai proses sistemik yang terjadi dalam jaringan sosial dan teknologi.

Selain itu, muncul pula gagasan tentang rasionalitas kontekstual (contextual rationality) yang menekankan bahwa apa yang dianggap “rasional” tergantung pada konteks sosial, budaya, dan moral di mana keputusan itu dibuat.¹⁵ Dalam masyarakat yang beragam dan plural, nilai-nilai lokal, kepercayaan, serta norma sosial memiliki peran besar dalam membentuk kerangka berpikir rasionalitas.

Kebaruan lainnya adalah penerapan RCT dalam studi keberlanjutan (sustainability studies) dan etika lingkungan, di mana individu dipandang sebagai agen rasional yang mempertimbangkan tidak hanya keuntungan pribadi, tetapi juga manfaat kolektif dan ekologis jangka panjang.¹⁶ Model ini dikenal sebagai “pro-social rationality”, yaitu bentuk rasionalitas yang mempertimbangkan kepentingan sosial, moral, dan ekologis secara bersamaan.

Dengan demikian, pengembangan teori pilihan rasional menuju abad ke-21 ditandai oleh transformasi paradigma dari rasionalitas egoistik menuju rasionalitas kolaboratif dan ekologis.

6.4.       Menuju Sintesis Teoretis Baru: Rasionalitas sebagai Sistem Terbuka

Pendekatan kontemporer terhadap RCT tidak lagi menempatkan rasionalitas sebagai atribut tunggal individu, tetapi sebagai sistem terbuka yang berinteraksi dengan dimensi sosial, budaya, dan psikologis.¹⁷ Sintesis ini dikenal sebagai Integrative Rationality Framework, di mana manusia dilihat sebagai aktor reflektif yang menavigasi berbagai sistem nilai dan batas rasionalitas dalam lingkungannya.

Jon Elster menyebut bahwa rasionalitas harus dipahami sebagai proses reflektif yang dinamis, bukan sebagai kondisi tetap.¹⁸ Rasionalitas bukan sekadar kalkulasi matematis, melainkan hasil dari dialog antara logika, emosi, dan nilai moral. Pendekatan ini membuka kemungkinan bagi ilmu sosial untuk mengembangkan model rasionalitas yang lebih manusiawi dan kontekstual.

Selain itu, teori pilihan rasional modern juga berupaya membangun jembatan dengan teori komunikasi Habermas, dengan menekankan bahwa keputusan rasional memerlukan validitas normatif yang diperoleh melalui proses komunikasi bebas dominasi.¹⁹ Melalui integrasi ini, rasionalitas dipahami sebagai proses sosial yang melibatkan pertukaran argumen, justifikasi moral, dan pertimbangan intersubjektif.

Dengan demikian, arah sintesis teoretis kontemporer tidak meniadakan rasionalitas klasik, tetapi menyempurnakannya dengan memasukkan unsur moralitas, konteks sosial, dan keterbatasan manusia sebagai bagian integral dari teori tindakan sosial.


Kesimpulan Sementara Bagian VI

Evolusi Teori Pilihan Rasional menunjukkan pergeseran dari paradigma kalkulatif menuju paradigma reflektif, adaptif, dan sosial. Pengembangan integratif yang menggabungkan teori jaringan, psikologi kognitif, institusionalisme, dan neurosains memperlihatkan bahwa rasionalitas manusia bersifat multidimensional dan terus berkembang.
Dengan memadukan aspek logika, emosi, nilai, dan konteks sosial, RCT modern berpotensi menjadi kerangka analisis universal yang mampu menjelaskan perilaku manusia secara lebih utuh dalam dunia yang semakin kompleks.


Footnotes

[1]                James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 17.

[2]                Peter J. Carrington, John Scott, dan Stanley Wasserman, Models and Methods in Social Network Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 4.

[3]                Mark Granovetter, “Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness,” American Journal of Sociology 91, no. 3 (1985): 481–510.

[4]                Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life (New York: John Wiley & Sons, 1964), 88.

[5]                George C. Homans, Social Behavior: Its Elementary Forms (New York: Harcourt, Brace & World, 1961), 23.

[6]                Paul DiMaggio dan Walter W. Powell, “The Iron Cage Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields,” American Sociological Review 48, no. 2 (1983): 147–160.

[7]                James G. March dan Johan P. Olsen, Rediscovering Institutions: The Organizational Basis of Politics (New York: Free Press, 1989), 23–24.

[8]                Herbert A. Simon, Models of Man: Social and Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 201.

[9]                Daniel Kahneman dan Amos Tversky, “Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk,” Econometrica 47, no. 2 (1979): 263–291.

[10]             Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 6–7.

[11]             Ralph Adolphs, “The Social Brain: Neural Basis of Social Knowledge,” Annual Review of Psychology 60 (2009): 693–716.

[12]             Antonio R. Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1994), 173.

[13]             Nick Chater dan Mike Oaksford, The Rational Analysis of Cognition (Oxford: Oxford University Press, 1999), 12.

[14]             Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach, 4th ed. (Boston: Pearson, 2020), 25.

[15]             Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 38–39.

[16]             Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 41.

[17]             Raymond Boudon, The Origin of Values: Sociology and Philosophy of Beliefs (New Brunswick: Transaction Publishers, 2001), 53.

[18]             Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 61.

[19]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 295.


7.           Kesimpulan

7.1.       Sintesis Temuan Kajian

Kajian terhadap Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory, RCT) menunjukkan bahwa teori ini telah menjadi salah satu paradigma paling berpengaruh dalam upaya memahami tindakan manusia. Sejak akar pemikirannya dalam ekonomi klasik hingga pengembangannya dalam ilmu sosial kontemporer, RCT menegaskan bahwa manusia adalah agen rasional yang berupaya memaksimalkan manfaat (utility) berdasarkan preferensi, informasi, dan pertimbangan terhadap konsekuensi tindakannya.¹

Rasionalitas dalam teori ini pada dasarnya bersifat instrumental, yaitu berfokus pada hubungan antara tujuan dan cara mencapainya.² Namun, perkembangan teori dan kritik lintas disiplin menunjukkan bahwa rasionalitas tidak bisa direduksi hanya pada kalkulasi logis semata.³ Tindakan manusia, dalam kenyataannya, dipengaruhi pula oleh norma sosial, nilai moral, emosi, dan konteks budaya.⁴ Oleh karena itu, pemahaman tentang rasionalitas harus mencakup dimensi substansial, normatif, dan kontekstual.

Sintesis teoretis kontemporer memperlihatkan bahwa rasionalitas modern bukan lagi rasionalitas “sempurna”, tetapi rasionalitas reflektif dan adaptif—yakni kemampuan manusia untuk menyesuaikan keputusan dengan keterbatasan kognitif dan norma sosial yang mengitarinya.⁵ Dengan demikian, Teori Pilihan Rasional kini bergerak dari paradigma deterministik menuju paradigma integratif yang menggabungkan aspek psikologis, sosial, dan moral dalam menjelaskan perilaku manusia.

7.2.       Implikasi Teoretis

Secara teoretis, RCT telah memberikan fondasi penting bagi analisis sosial modern dengan menjelaskan bagaimana struktur sosial muncul dari interaksi rasional antarindividu.⁶ Dalam sosiologi, teori ini membantu menjembatani hubungan antara tingkat mikro (tindakan individu) dan makro (struktur sosial), sebagaimana dirumuskan oleh James S. Coleman melalui konsep “building blocks of social theory.”⁷

Namun, implikasi penting dari kajian ini adalah bahwa teori sosial masa kini tidak dapat lagi bersandar pada rasionalitas tunggal. RCT perlu dikontekstualisasikan dalam kerangka interdisipliner agar mampu menjelaskan tindakan manusia dalam dunia yang kompleks.⁸ Integrasi dengan teori jaringan, teori institusional, dan psikologi kognitif memberikan arah baru bagi pengembangan teori sosial yang lebih realistik dan humanistik.⁹

Dengan kata lain, rasionalitas manusia tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai, budaya, dan komunikasi sosial.¹⁰ Sebagaimana diungkapkan Habermas, rasionalitas sejati adalah rasionalitas komunikatif yang melibatkan dialog, argumentasi, dan saling pengertian antaraktor sosial.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa RCT, ketika disinergikan dengan teori komunikasi dan moralitas, dapat berfungsi sebagai kerangka analisis yang lebih luas dan etis dalam memahami tindakan sosial.

7.3.       Implikasi Praktis

Secara praktis, pemahaman tentang rasionalitas memiliki relevansi langsung dalam berbagai bidang kebijakan publik, ekonomi, dan perilaku sosial. Dalam kebijakan publik, prinsip RCT digunakan untuk merancang sistem insentif yang mendorong keputusan rasional warga negara, seperti dalam kebijakan pajak, lingkungan, dan kesehatan.¹² Namun, pendekatan behavioral economics menegaskan pentingnya mempertimbangkan bias kognitif dan konteks sosial agar intervensi kebijakan lebih efektif.¹³

Dalam bidang sosial dan politik, teori ini dapat membantu menjelaskan perilaku kolektif seperti partisipasi pemilih, solidaritas sosial, atau kepatuhan terhadap norma hukum.¹⁴ Melalui pemahaman atas motif rasional dan non-rasional, pembuat kebijakan dapat merancang strategi yang lebih empatik dan berorientasi pada kebutuhan manusia nyata, bukan sekadar model matematis ideal.¹⁵

Lebih jauh, pemahaman atas rasionalitas juga dapat diterapkan dalam konteks transformasi digital dan kecerdasan buatan (AI). Model rasionalitas komputasional memungkinkan analisis terhadap algoritma pengambilan keputusan dan etika dalam sistem otomatis yang meniru perilaku manusia.¹⁶ Dengan demikian, RCT berperan dalam membangun kesadaran etis tentang bagaimana teknologi harus diarahkan untuk kepentingan manusia, bukan sekadar efisiensi algoritmik.

7.4.       Arah Pengembangan dan Saran Kajian Lanjutan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa arah pengembangan yang dapat dilakukan untuk memperkaya RCT:

1)                  Pendekatan lintas budaya (cross-cultural rationality): diperlukan penelitian empiris lintas masyarakat untuk memahami bagaimana nilai budaya memengaruhi definisi rasionalitas.¹⁷

2)                  Integrasi rasionalitas moral dan ekologis: pengembangan model “rasionalitas berkelanjutan” yang memperhitungkan dimensi etika dan lingkungan dalam pengambilan keputusan.¹⁸

3)                  Penerapan model eksperimental dan simulatif: pemanfaatan computational modeling dan agent-based simulation untuk menguji dinamika keputusan sosial secara lebih realistis.¹⁹

4)                  Dialog interdisipliner: penguatan kolaborasi antara sosiologi, psikologi, filsafat, dan ilmu komputer untuk membentuk teori rasionalitas yang lebih komprehensif.²⁰

Dengan arah tersebut, pengembangan RCT dapat menghasilkan paradigma yang tidak hanya menjelaskan perilaku manusia, tetapi juga memandu arah kebijakan sosial dan teknologi yang berkeadaban.


Penutup

Pada akhirnya, Teori Pilihan Rasional tetap menjadi pilar utama teori sosial modern karena kemampuannya menyediakan kerangka logis untuk memahami keputusan manusia. Namun, teori ini hanya akan relevan jika terus terbuka terhadap kritik dan integrasi dengan temuan empiris dan moralitas sosial.²¹

Rasionalitas sejati bukanlah sekadar kemampuan untuk menghitung untung-rugi, melainkan kapasitas untuk mempertimbangkan nilai, norma, dan kemanusiaan dalam setiap keputusan.²² Dengan demikian, evolusi Teori Pilihan Rasional menuju bentuk reflektif, komunikatif, dan beretika merupakan langkah penting dalam membangun teori sosial yang tidak hanya rasional secara ilmiah, tetapi juga bermakna secara moral dan humanistik.


Footnotes

[1]                Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 5.

[2]                Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 25.

[3]                Raymond Boudon, The Origin of Values: Sociology and Philosophy of Beliefs (New Brunswick: Transaction Publishers, 2001), 42.

[4]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 78.

[5]                Herbert A. Simon, Models of Man: Social and Rational (New York: John Wiley & Sons, 1957), 200.

[6]                James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 30.

[7]                Ibid., 35.

[8]                Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life (New York: John Wiley & Sons, 1964), 88.

[9]                Daniel Kahneman dan Amos Tversky, “Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk,” Econometrica 47, no. 2 (1979): 264.

[10]             Amartya Sen, Rationality and Freedom (Cambridge, MA: Belknap Press, 2002), 39.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.

[12]             Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 10.

[13]             Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–21.

[14]             Mancur Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1965), 44.

[15]             Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 65.

[16]             Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach, 4th ed. (Boston: Pearson, 2020), 23.

[17]             Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations Across Nations (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2001), 92.

[18]             Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 41–42.

[19]             Nick Chater dan Mike Oaksford, The Rational Analysis of Cognition (Oxford: Oxford University Press, 1999), 15.

[20]             Antonio R. Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1994), 172.

[21]             Sen, Rationality and Freedom, 48.

[22]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 295.


Daftar Pustaka

Adolphs, R. (2009). The social brain: Neural basis of social knowledge. Annual Review of Psychology, 60, 693–716. annurev.psych

Becker, G. S. (1976). The economic approach to human behavior. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. New York, NY: Anchor Books.

Blau, P. M. (1964). Exchange and power in social life. New York, NY: John Wiley & Sons.

Boudon, R. (2001). The origin of values: Sociology and philosophy of beliefs. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers.

Boudon, R. (2003). Beyond rational choice theory. Annual Review of Sociology, 29(1), 1–21. annurev.soc

Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Buchanan, J. M., & Tullock, G. (1962). The calculus of consent: Logical foundations of constitutional democracy. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.

Carrington, P. J., Scott, J., & Wasserman, S. (2005). Models and methods in social network analysis. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Chater, N., & Oaksford, M. (1999). The rational analysis of cognition. Oxford, UK: Oxford University Press.

Chodorow, N. (1978). The reproduction of mothering: Psychoanalysis and the sociology of gender. Berkeley, CA: University of California Press.

Clarke, R. V. (1997). Situational crime prevention: Successful case studies. Albany, NY: Harrow and Heston.

Coleman, J. S. (1990). Foundations of social theory. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Cornish, D. B., & Clarke, R. V. (1986). The reasoning criminal: Rational choice perspectives on offending. New York, NY: Springer-Verlag.

Damasio, A. R. (1994). Descartes’ error: Emotion, reason, and the human brain. New York, NY: G.P. Putnam’s Sons.

DiMaggio, P. J., & Powell, W. W. (1983). The iron cage revisited: Institutional isomorphism and collective rationality in organizational fields. American Sociological Review, 48(2), 147–160. doi.org

Downs, A. (1957). An economic theory of democracy. New York, NY: Harper & Row.

Durkheim, É. (1982). The rules of sociological method. New York, NY: Free Press.

Elster, J. (1986). Rational choice. Oxford, UK: Basil Blackwell.

Elster, J. (2007). Explaining social behavior: More nuts and bolts for the social sciences. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Evans, J. S. B. T., & Frankish, K. (Eds.). (2009). In two minds: Dual processes and beyond. Oxford, UK: Oxford University Press.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison. New York, NY: Pantheon Books.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Granovetter, M. (1985). Economic action and social structure: The problem of embeddedness. American Journal of Sociology, 91(3), 481–510. doi.org

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Boston, MA: Beacon Press.

Hobbes, T. (1960). Leviathan. Oxford, UK: Clarendon Press.

Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations across nations (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Homans, G. C. (1961). Social behavior: Its elementary forms. New York, NY: Harcourt, Brace & World.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. New York, NY: Farrar, Straus and Giroux.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect theory: An analysis of decision under risk. Econometrica, 47(2), 263–291. doi.org

March, J. G., & Olsen, J. P. (1989). Rediscovering institutions: The organizational basis of politics. New York, NY: Free Press.

Olson, M. (1965). The logic of collective action: Public goods and the theory of groups. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ostrom, E. (1990). Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Rapoport, A., & Chammah, A. M. (1965). Prisoner’s dilemma: A study in conflict and cooperation. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.

Riker, W. H. (1962). The theory of political coalitions. New Haven, CT: Yale University Press.

Robbins, L. (1932). An essay on the nature and significance of economic science. London, UK: Macmillan.

Russell, S., & Norvig, P. (2020). Artificial intelligence: A modern approach (4th ed.). Boston, MA: Pearson.

Samuelson, P. A. (1947). Foundations of economic analysis. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sen, A. (1987). On ethics and economics. Oxford, UK: Blackwell.

Sen, A. (2002). Rationality and freedom. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.

Simon, H. A. (1947). Administrative behavior: A study of decision-making processes in administrative organizations. New York, NY: Macmillan.

Simon, H. A. (1957). Models of man: Social and rational. New York, NY: John Wiley & Sons.

Smith, A. (1776). The wealth of nations. London, UK: W. Strahan and T. Cadell.

Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2008). Nudge: Improving decisions about health, wealth, and happiness. New Haven, CT: Yale University Press.

von Neumann, J., & Morgenstern, O. (1944). Theory of games and economic behavior. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Trans.). Berkeley, CA: University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar