Sabtu, 05 April 2025

Tasykik al-Wujud: Gradasi Eksistensi dalam Filsafat Islam

Gradasi Eksistensi

Telaah atas Konsep Tasykīk al-Wujūd Mulla Sadra


Alihkan ke: Hikmah Muta’aliyah,


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi) dalam filsafat al-ḥikmah al-muta‘āliyyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra, seorang filsuf besar Islam dari era Safawi. Berangkat dari prinsip asālat al-wujūd (keaslian eksistensi), Mulla Sadra merumuskan suatu pandangan ontologis yang menyatakan bahwa eksistensi bersifat tunggal secara hakiki namun bertingkat dalam intensitas dan kesempurnaannya. Kajian ini mengeksplorasi struktur realitas menurut Sadra yang bersifat hierarkis, serta implikasi kosmologis dan epistemologis dari gradasi eksistensi. Selain itu, dibahas pula kritik terhadap pemikirannya serta pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat Islam klasik dan kontemporer, baik di dunia Islam maupun di Barat. Pendekatan Sadra mempertemukan rasionalisme filosofis, iluminasi mistik, dan spiritualitas Qur’ani dalam satu sistem metafisik yang integral. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tasykīk al-wujūd tidak hanya menjadi kerangka metafisika yang khas dalam filsafat Islam, tetapi juga memberikan kontribusi universal bagi wacana ontologi dan epistemologi lintas tradisi.

Kata Kunci: Mulla Sadra, tasykīk al-wujūd, gradasi eksistensi, asālat al-wujūd, filsafat Islam, ontologi, epistemologi, ḥikmah muta‘āliyyah.


PEMBAHASAN

Gradasi Eksistensi dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam klasik telah menyumbangkan berbagai konsep fundamental dalam bidang metafisika yang masih terus dikaji hingga hari ini. Di antara konsep paling monumental adalah wacana tentang eksistensi (wujūd) yang mencapai puncak elaborasi sistematis dalam pemikiran Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī atau yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra (1572–1640), seorang filsuf Persia dari era Safawi. Mulla Sadra dikenal luas sebagai pelopor al-ḥikmah al-muta‘āliyyah atau filsafat teosofi transenden, yang mengintegrasikan unsur rasionalisme Ibnu Sina, iluminasionisme Suhrawardi, dan intuisionisme mistik Ibnu Arabi dalam satu kerangka metafisik yang kohesif dan inovatif.¹

Salah satu pilar utama filsafat Mulla Sadra adalah gagasan tentang asālat al-wujūd (keaslian eksistensi), yang secara radikal menegaskan bahwa realitas sejati adalah eksistensi itu sendiri, bukan esensi (māhiyyah) sebagaimana diyakini oleh banyak filosof sebelumnya.² Dari prinsip dasar ini, ia mengembangkan konsep tasykīk al-wujūd atau gradasi eksistensi, yang menyatakan bahwa eksistensi bersifat satu, namun bertingkat dalam intensitas dan kesempurnaannya.³ Konsep ini bukan sekadar gagasan metafisis, tetapi juga menjembatani antara filsafat, teologi, dan spiritualitas, memberikan kerangka pemikiran yang dinamis tentang hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia.

Konsep tasykīk al-wujūd menjadi salah satu elemen paling krusial dalam menjelaskan struktur ontologis realitas menurut Mulla Sadra. Ia tidak memandang eksistensi sebagai entitas diskret dan terpisah-pisah, melainkan sebagai realitas bertingkat (mutashaqqik), di mana wujud Tuhan berada pada puncak gradasi, sedangkan seluruh ciptaan berada pada tingkatan-tingkatan di bawahnya sesuai dengan intensitas keberadaannya.⁴ Ini berimplikasi tidak hanya pada metafisika, tetapi juga pada epistemologi dan kosmologi, karena pengetahuan dan pengalaman spiritual manusia juga dianggap sebagai bagian dari intensifikasi eksistensi itu sendiri.⁵

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam konsep tasykīk al-wujūd dengan mengacu pada pemikiran Mulla Sadra sebagaimana tertuang dalam karya utamanya al-Asfār al-Arba‘ah dan dianalisis oleh berbagai sarjana kontemporer. Kajian ini penting, sebab pemahaman atas gradasi eksistensi tidak hanya membuka cakrawala baru dalam metafisika Islam, tetapi juga memberikan kontribusi berarti bagi wacana filsafat secara universal, khususnya dalam menjawab persoalan relasi antara Yang Absolut dan yang relatif.


Footnotes

[1]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 45–47.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 28.

[3]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 389.

[4]                Ibrahim Kalin, “Between Physics and Metaphysics: Mulla Sadra on Nature and Motion,” Islamic Studies 42, no. 3 (2003): 392–394.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 97.


2.           Biografi Intelektual Mulla Sadra

Ṣadr al-Dīn Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Shīrāzī, yang lebih dikenal dengan sebutan Mulla Sadra, lahir pada tahun 979 H/1571–1572 M di kota Shiraz, Persia, pada masa dinasti Safawi yang tengah mengalami perkembangan intelektual dan spiritual yang pesat.¹ Ayahnya adalah seorang pejabat dan dermawan yang sangat mendorong pendidikan anaknya. Mulla Sadra tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya filsafat, kalam, dan tasawuf.²

Pendidikan awalnya ia jalani di kota kelahirannya, namun kemudian ia hijrah ke Isfahan, yang saat itu merupakan pusat keilmuan utama di bawah perlindungan Shah Abbas I. Di sana, Mulla Sadra berguru kepada para tokoh besar seperti Mir Damad, tokoh utama aliran hikmah ilāhiyyah, dan Baha’ al-Din al-‘Amili, seorang ulama dan arsitek terkenal.³ Mir Damad, yang dikenal sebagai pemikir yang mencoba mensintesiskan filsafat Peripatetik (Aristotelian) dan iluminatif (Ishrāqī), memberikan pengaruh mendalam pada pandangan metafisik Mulla Sadra, terutama dalam pengembangan konsep waktu, gerak, dan esensi.⁴

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Mulla Sadra mulai menunjukkan pemikiran-pemikiran yang orisinal dan terkadang kontroversial. Karena pemikirannya dianggap menyimpang oleh sebagian ulama konservatif, ia mengasingkan diri ke sebuah desa kecil bernama Kahak, dekat Qom. Dalam masa penyendiriannya ini, ia mengalami fase kontemplatif dan mistikal yang memperdalam dimensi spiritual dari filsafatnya.⁵ Di sinilah ia mulai merumuskan gagasan-gagasan filosofis yang kemudian menjadi dasar dari filsafatnya, seperti asālat al-wujūd, tasykīk al-wujūd, dan harakah jawhariyyah (gerak substansial).⁶

Sekitar pertengahan hidupnya, Mulla Sadra dipanggil kembali ke Shiraz oleh penguasa Safawi untuk mengajar di madrasah Khan School, yang memang dibangun khusus untuknya. Ia menulis karya-karya monumentalnya selama berada di sana, yang paling terkenal adalah al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah fī al-Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (The Transcendent Philosophy in the Four Intellectual Journeys), karya magnum opus yang mencerminkan keseluruhan sistem pemikirannya.⁷

Mulla Sadra wafat pada tahun 1050 H/1640 M saat dalam perjalanan haji. Ia meninggalkan warisan intelektual yang sangat besar, dan pemikirannya menjadi tonggak utama dalam perkembangan filsafat Islam pascaklasik.⁸ Di Iran, pemikiran Mulla Sadra menjadi kurikulum resmi dalam pendidikan tinggi filsafat hingga saat ini, menjadikannya sebagai figur paling berpengaruh dalam filsafat Islam modern.⁹


Footnotes

[1]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 3–4.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 112.

[3]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 15.

[4]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra's Realist Ontology of the Intelligibles,” Islamic Studies 40, no. 1 (2001): 31.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 89.

[6]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 395.

[7]                James W. Morris, “The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of Mulla Sadra,” Journal of the American Oriental Society 102, no. 1 (1982): 122–125.

[8]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 95.

[9]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 2012), 4.


3.           Asālat al-Wujūd sebagai Landasan Ontologis

Salah satu gagasan paling fundamental dalam sistem filsafat Mulla Sadra adalah doktrin asālat al-wujūd, yang berarti “keaslian eksistensi.” Gagasan ini menjadi fondasi ontologis dari seluruh sistem al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat hikmah transenden) yang ia bangun. Dalam pemikiran Sadra, antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (esensi) terdapat perbedaan mendasar: wujūd adalah realitas sejati, sementara māhiyyah hanyalah konsep mental yang tidak memiliki keberadaan di luar pikiran kecuali dalam wujūd

Doktrin ini lahir sebagai sintesis kritis atas perdebatan panjang dalam filsafat Islam sebelumnya. Para filsuf seperti Ibnu Sina menekankan pembedaan antara esensi dan eksistensi, di mana esensi sesuatu tidak mengharuskan keberadaannya secara aktual.² Namun, mereka belum secara tegas menetapkan apakah esensi atau eksistensi yang lebih fundamental secara ontologis. Di sisi lain, para iluminasionis seperti Suhrawardi berpandangan bahwa esensi lebih mendasar daripada eksistensi, yang mereka anggap sebagai suatu kualitas sekunder atau bahkan “abstrak”.³ Mulla Sadra menolak pandangan ini dan menyatakan bahwa hanya eksistensilah yang memiliki realitas objektif.

Menurut Sadra, wujūd adalah satu-satunya entitas yang benar-benar ada secara independen. Sementara itu, māhiyyah hanya muncul sebagai bentuk konseptual dalam pikiran manusia atau sebagai batasan tertentu dari eksistensi.⁴ Ia menyatakan: “al-wujūd ḥaqīqah wāḥidah lā majāz fīhā” – eksistensi adalah realitas yang tunggal dan tidak mengandung kiasan.⁵ Dengan demikian, setiap realitas partikular yang kita lihat di dunia ini tidak lain adalah manifestasi dari satu realitas eksistensial yang tunggal namun termodulasi dalam berbagai bentuk dan tingkatan.

Landasan asālat al-wujūd juga memiliki dimensi epistemologis dan spiritual. Dalam pandangan Sadra, eksistensi bukan hanya objek bagi akal, tetapi juga dapat dihayati secara langsung melalui pengetahuan kehadiran (‘ilm ḥuḍūrī).⁶ Maka, pemahaman terhadap eksistensi tidak hanya melalui proses rasional, tetapi juga dapat diperoleh melalui pengalaman batin dan pencerahan spiritual. Hal ini menunjukkan adanya kesatuan antara akal, wahyu, dan intuisi dalam kerangka filsafat Sadra.

Implikasi dari doktrin ini sangat luas. Dengan menjadikan eksistensi sebagai prinsip pertama realitas, Sadra mampu membangun sistem filsafat yang dinamis dan hirarkis, yang membuka jalan bagi teori tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi). Jika eksistensi adalah realitas yang tunggal dan fundamental, maka seluruh entitas di alam semesta hanyalah diferensiasi intensional dari eksistensi yang satu.⁷ Pandangan ini tidak hanya memperkaya diskursus metafisika Islam, tetapi juga mempertemukan berbagai kecenderungan dalam filsafat, teologi, dan tasawuf ke dalam satu sintesis pemikiran yang utuh.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 27–29.

[2]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 30–32.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 228.

[4]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 114–116.

[5]                Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Ahmad Ahmadi (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 1:44.

[6]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 103.

[7]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 24–26.


4.           Konsep Dasar Tasykīk al-Wujūd

Konsep tasykīk al-wujūd atau gradasi eksistensi merupakan pilar utama dalam sistem filsafat Mulla Sadra dan menjadi kelanjutan logis dari prinsip asālat al-wujūd (keaslian eksistensi). Jika eksistensi adalah realitas yang sejati dan satu, maka bagaimana mungkin terdapat keragaman entitas di alam ini? Untuk menjawab dilema ini, Mulla Sadra mengembangkan konsep tasykīk, yakni bahwa eksistensi itu bersifat tunggal secara hakiki, tetapi bertingkat secara intensional dan kualitatif

Secara etimologis, kata tasykīk berasal dari akar kata Arab sh-k-k, yang berarti “ambigu” atau “memiliki keserupaan sebagian”. Namun, dalam konteks filsafat, tasykīk memiliki makna teknis sebagai kesatuan konseptual yang memiliki realitas multilevel, berbeda dari tawāṭu’ (keseragaman mutlak) dan ishtirāk lafẓī (kesamaan istilah belaka).² Dengan demikian, eksistensi dalam pandangan Sadra bukanlah sesuatu yang sepenuhnya seragam atau sepenuhnya berbeda, melainkan bersifat hierarkis: satu dalam hakikatnya, tetapi berbeda dalam intensitas, kedalaman, dan kesempurnaannya.

Mulla Sadra menyatakan bahwa setiap bentuk eksistensi merupakan manifestasi dari satu eksistensi utama, yakni wujud Tuhan sebagai eksistensi absolut dan paling sempurna. Semua makhluk lainnya memperoleh wujudnya dari-Nya, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah.³ Dalam konteks ini, realitas tidak dipandang sebagai kumpulan entitas yang setara, melainkan sebagai kesatuan bergradasi – seperti cahaya yang memancar dari sumbernya, tetapi menurun dalam intensitas seiring jaraknya dari pusat.⁴

Konsep tasykīk al-wujūd memiliki akar dalam pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, terutama Ibnu Sina dan Suhrawardi, namun Sadra memberikan kedalaman dan sistematisasi yang lebih kuat. Ibnu Sina, misalnya, telah mengisyaratkan adanya hierarki eksistensial dalam konsep nūr (cahaya), tetapi belum mengembangkan kerangka konseptual yang menyeluruh.⁵ Sementara Suhrawardi berbicara tentang nūr al-anwār dan anwār muqahhirah, Sadra mengambil ide tersebut dan mengintegrasikannya dengan logika asālat al-wujūd.⁶

Melalui tasykīk, Sadra menjelaskan bahwa meskipun eksistensi bersifat satu secara hakiki, ia mengalami intensifikasi atau penurunan tingkat realitas dalam bentuk-bentuk partikularnya. Misalnya, wujud malaikat lebih tinggi dibanding manusia, dan wujud manusia lebih tinggi dibandingkan binatang.⁷ Bahkan dalam diri manusia sendiri terdapat gradasi eksistensial: dari tubuh jasmani ke jiwa, dari jiwa ke akal, dan dari akal ke intuisi spiritual.⁸

Penegasan tasykīk ini memungkinkan Sadra menjelaskan relasi antara Yang Mutlak (Allah) dengan makhluk-Nya tanpa menafikan keesaan Tuhan dan tanpa menyamakan makhluk dengan-Nya. Ia memberikan jalan tengah antara panteisme yang menyamakan segala sesuatu dengan Tuhan, dan teisme keras yang memutus total hubungan antara Tuhan dan ciptaan.⁹ Dengan demikian, tasykīk al-wujūd tidak hanya menjadi konsep metafisika teknis, tetapi juga menjadi jembatan antara filsafat dan spiritualitas Islam.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 31–33.

[2]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles,” Islamic Studies 40, no. 1 (2001): 33–34.

[3]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 123.

[4]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 27–29.

[5]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 45.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 229–230.

[7]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 400.

[8]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 110.

[9]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 125.


5.           Struktur Realitas menurut Mulla Sadra

Dalam sistem filsafat Mulla Sadra, struktur realitas tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan hierarkis, dibangun atas asas asālat al-wujūd (keaslian eksistensi) dan dijelaskan melalui mekanisme tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi). Realitas, menurut Sadra, adalah satu dan mutlak—yakni wujūd itu sendiri—tetapi mewujud dalam berbagai tingkat intensitas, mulai dari wujud yang paling lemah hingga wujud yang paling sempurna, yaitu Tuhan.¹

Sadra menolak pandangan dualistik yang memisahkan realitas antara dunia fisik dan metafisik secara tajam. Ia memandang seluruh eksistensi sebagai bagian dari kontinuum wujūd, dari materi terendah hingga entitas spiritual tertinggi.² Dalam hal ini, ia menciptakan struktur realitas yang bersifat vertikal dan bertingkat (hierarki ontologis), di mana setiap makhluk berada pada posisi tertentu dalam skala eksistensi sesuai dengan kadar intensitas keberadaannya.³

Puncak dari struktur ini adalah Allah SWT, sebagai wujūd muthlaq (eksistensi mutlak), yang tidak memiliki keterbatasan, tidak tergantung pada selain-Nya, dan merupakan sumber dari semua wujud.⁴ Di bawah Tuhan, terdapat berbagai tingkatan realitas seperti:

1)                  ʿAql al-Awwal (akal pertama),

2)                  Nufūs (jiwa-jiwa),

3)                  Alam Mitsal (alam imajinatif/spiritual), dan

4)                  Alam Mulk (alam materi),
masing-masing merupakan manifestasi eksistensi dengan tingkat kesempurnaan yang menurun.⁵

Untuk menjelaskan dinamika dalam struktur ini, Mulla Sadra juga memperkenalkan konsep ḥarakah jawhariyyah (gerak substansial), yakni bahwa segala sesuatu di alam ini tidak hanya berubah secara aksidental (misalnya dari panas ke dingin), tetapi juga secara substansial, artinya wujud suatu entitas mengalami transformasi eksistensial ke arah kesempurnaan.⁶ Gerak ini bukanlah sekadar perpindahan, tetapi proses evolutif spiritual dan ontologis, dari potensi menuju aktualisasi yang lebih tinggi.

Struktur realitas dalam filsafat Sadra tidak hanya menjelaskan keberagaman kosmik, tetapi juga menempatkan manusia dalam posisi yang strategis. Sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan jiwa spiritual, manusia memiliki potensi untuk naik dalam hierarki eksistensi, dari realitas material menuju realitas immaterial, bahkan menuju al-insān al-kāmil (manusia sempurna).⁷ Hal ini menjadikan struktur realitas bersifat teleologis, yakni bertujuan dan berorientasi pada kesempurnaan eksistensial.

Korelasi antara tasykīk dan struktur realitas juga berimplikasi pada bagaimana Sadra memandang kesatuan ontologis segala sesuatu. Tidak ada entitas yang sepenuhnya terputus dari yang lain, karena semuanya merupakan bentuk-bentuk bergradasi dari eksistensi yang satu. Ini berbanding terbalik dengan pendekatan fragmentatif dalam metafisika Barat yang cenderung memisahkan antara subjek dan objek, pencipta dan ciptaan, jasmani dan rohani.⁸

Dengan struktur realitas seperti ini, Mulla Sadra memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran metafisika Islam: ia berhasil menyatukan berbagai pendekatan filsafat sebelumnya—peripatetik, iluminatif, dan irfan—ke dalam satu sistem yang integratif, dinamis, dan spiritual.⁹


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 38–39.

[2]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 127.

[3]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 30.

[4]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 405.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 239–240.

[6]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra on Existence, Essence, and Substantial Motion,” Islamic Studies 41, no. 3 (2002): 427.

[7]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 120.

[8]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 129.

[9]                James W. Morris, “The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of Mulla Sadra,” Journal of the American Oriental Society 102, no. 1 (1982): 126.


6.           Tasykīk al-Wujūd dan Implikasi Kosmologis

Konsep tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi) dalam filsafat Mulla Sadra tidak hanya berfungsi sebagai teori metafisika, tetapi juga memiliki konsekuensi kosmologis yang sangat luas. Melalui prinsip ini, Sadra menawarkan kerangka ontologis yang menjelaskan bagaimana seluruh alam semesta tersusun dalam tatanan hierarkis yang berasal dari satu sumber eksistensi: Tuhan sebagai wujūd muthlaq (eksistensi mutlak).¹

Dalam kosmologi tradisional Islam, yang banyak dipengaruhi oleh Neoplatonisme, realitas dipahami melalui proses emanasi (fayḍ), yaitu pemancaran wujud dari Tuhan kepada makhluk melalui berbagai tingkatan.² Sadra tidak menolak gagasan ini, tetapi menafsirkannya ulang dalam kerangka tasykīk: eksistensi yang terpancar dari Tuhan tidak terdiri dari entitas-entitas terpisah secara mutlak, melainkan sebagai gradasi dari eksistensi yang satu.³ Ini berarti seluruh kosmos adalah manifestasi bertingkat dari satu wujud, dengan intensitas eksistensial yang menurun dari atas ke bawah.⁴

Implikasi kosmologis dari tasykīk adalah bahwa realitas kosmik merupakan jaringan keterkaitan vertikal, bukan sekadar kumpulan entitas horizontal. Di puncak hierarki terdapat ʿaql al-awwal (akal pertama), disusul oleh jiwa universal, bentuk-bentuk immaterial, dan akhirnya dunia materi.⁵ Semakin dekat suatu entitas kepada Tuhan, semakin tinggi intensitas eksistensialnya; sebaliknya, semakin jauh, maka tingkat eksistensinya semakin lemah dan terbatas.⁶

Sadra juga mengembangkan konsep ḥarakah jawhariyyah (gerak substansial) dalam konteks kosmologis untuk menjelaskan bahwa alam semesta bukan entitas statis, melainkan bergerak secara internal menuju bentuk eksistensial yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa seluruh kosmos tidak hanya diciptakan dalam hierarki, tetapi juga berproses dalam arah yang teleologis, yakni menuju kesempurnaan eksistensi.⁷ Gerak ini bersifat ontologis, bukan mekanistik; ia berlangsung dalam inti substansi makhluk, mengarahkan seluruh alam menuju Tuhan sebagai tujuan akhir.

Dengan demikian, tasykīk al-wujūd memberikan fondasi kosmologis yang dinamis dan integral: tidak hanya menjelaskan asal-usul dan tatanan alam, tetapi juga arah dan tujuan eksistensialnya. Setiap makhluk menjadi bagian dari sistem kosmik yang hidup, berkembang, dan bertujuan, bukan sekadar hadir dalam ruang dan waktu tanpa makna.⁸

Selain itu, implikasi dari tasykīk dalam kosmologi juga berdampak pada pandangan ekologis dan spiritual terhadap alam. Karena seluruh realitas merupakan partisipasi dalam wujud Tuhan, maka alam semesta bukan hanya objek material, tetapi juga tanda-tanda (āyāt) dari Yang Maha Ada.⁹ Ini memperkuat pandangan dunia Islam yang mengajarkan bahwa mengenali realitas kosmos secara mendalam adalah jalan menuju pengenalan terhadap Sang Pencipta.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 41–43.

[2]                Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 94.

[3]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 34.

[4]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 135.

[5]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 408.

[6]                Ibrahim Kalin, “Between Physics and Metaphysics: Mulla Sadra on Nature and Motion,” Islamic Studies 42, no. 3 (2003): 394.

[7]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 122–123.

[8]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 136.

[9]                Chittick, The Self-Disclosure of God, 412.


7.           Tasykīk al-Wujūd dan Dimensi Epistemologis

Salah satu keunikan filsafat Mulla Sadra adalah keberhasilannya menjembatani antara ontologi dan epistemologi, antara keberadaan dan pengetahuan. Dalam sistem metafisikanya, eksistensi bukan hanya dasar realitas, tetapi juga merupakan dasar pengetahuan.⁽¹⁾ Di sinilah tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi) memperoleh dimensi epistemologis yang mendalam: semakin tinggi tingkatan eksistensi suatu entitas, semakin besar pula kapasitasnya untuk mengetahui dan diketahui.

Mulla Sadra mengembangkan teori ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan dengan kehadiran), yang berbeda dari ‘ilm ḥuṣūlī (pengetahuan representasional atau konseptual). Pengetahuan dengan kehadiran adalah jenis pengetahuan yang langsung, intuitif, dan tanpa perantara konsep atau representasi mental, sebagaimana pengetahuan jiwa terhadap dirinya sendiri.⁽²⁾ Pengetahuan jenis ini, menurut Sadra, hanya mungkin terjadi ketika subjek dan objek pengetahuan berada dalam satu spektrum eksistensial, yaitu dalam struktur tasykīk.⁽³⁾

Dalam kerangka tasykīk al-wujūd, hubungan antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) tidak bersifat dualistik, melainkan kontinu. Artinya, karena semua hal adalah derivasi dari satu realitas wujūd, maka pengetahuan tidak terjadi antara dua entitas yang sepenuhnya terpisah, tetapi antara dua tingkatan wujūd yang berbeda intensitas.⁽⁴⁾ Dengan demikian, semakin tinggi eksistensi seseorang (misalnya melalui penyucian jiwa atau intensifikasi spiritual), semakin murni dan intuitif pula bentuk pengetahuannya.

Sadra juga menyatakan bahwa realitas eksistensial memiliki sifat kognitif secara intrinsik: wujūd tidak hanya “ada”, tetapi juga “menampakkan diri” (tajallī) dan “dapat dikenal”.⁽⁵⁾ Dalam konteks ini, tasykīk al-wujūd memberikan penjelasan filosofis tentang kemungkinan pengetahuan intuitif terhadap hakikat-hakikat metafisik, termasuk pengetahuan terhadap Tuhan. Pengetahuan terhadap Tuhan, dalam filsafat Sadra, tidak bisa diperoleh semata melalui argumen logis, tetapi melalui keserupaan eksistensial yang dicapai dengan menyempurnakan eksistensi diri sendiri.⁽⁶⁾

Dimensi epistemologis dari gradasi eksistensi ini menunjukkan bahwa pengetahuan bukan hanya akumulasi informasi, tetapi merupakan bagian dari perjalanan eksistensial manusia. Dalam sistem Sadra, filsafat dan spiritualitas menyatu: mengetahui berarti menjadi—yakni meningkatkan kualitas wujūd untuk mendekati sumber eksistensi tertinggi.⁽⁷⁾ Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat Sadra sangat terkait erat dengan etika dan asketisme.

Lebih jauh, implikasi dari pandangan ini menegaskan bahwa tingkatan pengetahuan tidak dapat disamakan antara satu orang dengan yang lain, sebab setiap individu berada dalam tingkatan eksistensial yang berbeda dalam struktur tasykīk. Ini menjadi dasar bagi pendekatan holistik dalam pendidikan dan pengembangan akal spiritual, di mana pengetahuan bukan sekadar rasional, tetapi juga transenden dan intuitif.


Footnotes

[1]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 38–39.

[2]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 55–58.

[3]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 414.

[4]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 141–143.

[5]                James W. Morris, “The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of Mulla Sadra,” Journal of the American Oriental Society 102, no. 1 (1982): 128.

[6]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra on the Problem of Knowledge and Existence,” Islamic Studies 42, no. 3 (2003): 396.

[7]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 57.


8.           Kritik dan Pengaruh Pemikiran Mulla Sadra

Pemikiran Mulla Sadra, khususnya konsep tasykīk al-wujūd, mendapat sambutan yang beragam di kalangan filsuf, teolog, dan cendekiawan Muslim. Di satu sisi, ia dipuji sebagai pemikir paling orisinal dalam sejarah filsafat Islam pascaklasik; di sisi lain, beberapa gagasannya menuai kritik, terutama dari kalangan yang lebih berorientasi tekstual atau skolastik dalam teologi Islam.

Kritik terhadap Pemikiran Mulla Sadra

Salah satu kritik utama berasal dari sebagian ulama kalam, khususnya dari aliran Ahlussunnah Asy‘ariyyah, yang menganggap pendekatan Sadra terlalu dipengaruhi oleh spekulasi filsafat dan mistisisme. Mereka menilai bahwa konsep asālat al-wujūd dan tasykīk al-wujūd tidak memiliki dasar yang eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh karena itu berpotensi menyimpang dari prinsip dasar tauhid jika tidak dipahami secara hati-hati.¹

Kritik lainnya diarahkan pada implikasi ontologis dari tasykīk, yang oleh sebagian penafsir konservatif dianggap menyerempet kepada panteisme. Meskipun Sadra secara eksplisit menolak penyamaan mutlak antara Tuhan dan ciptaan,² struktur gradasional eksistensi yang ia usung dinilai oleh sebagian pihak dapat membuka celah bagi pemahaman monistik yang rawan disalahartikan.³

Selain itu, pendekatan Sadra yang menggabungkan filsafat, irfan (mistisisme), dan teologi dianggap terlalu kompleks dan sulit diakses oleh masyarakat awam.⁴ Hal ini menyebabkan sebagian ulama lebih memilih pendekatan filsafat Peripatetik atau iluminatif yang dianggap lebih sistematis dan “aman” secara doktrinal.

Pengaruh Pemikiran Mulla Sadra

Terlepas dari kritik tersebut, pengaruh Mulla Sadra dalam dunia Islam sangat besar dan terus berkembang. Di Iran, pemikirannya menjadi fondasi kurikulum filsafat Islam di hawzah-hawzah ilmiah, khususnya di Qom.⁵ Bahkan, revolusi intelektual dalam filsafat Islam modern banyak dipengaruhi oleh revitalisasi pemikiran Sadra oleh tokoh-tokoh seperti Allamah Thabathaba’i, Murtadha Mutahhari, dan Mahmoud Taleghani.⁶

Dalam konteks global, pemikiran Mulla Sadra menarik perhatian para sarjana Barat seperti Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan William Chittick, yang melihat Sadra sebagai jembatan antara rasionalisme filsafat dan kedalaman spiritualitas Islam.⁷ Karya-karyanya, terutama al-Asfār al-Arba‘ah, telah diterjemahkan dan dikaji dalam berbagai bahasa, menandakan relevansi universal dari gagasan-gagasannya, termasuk tasykīk al-wujūd.

Lebih jauh lagi, sistem filsafat Sadra juga memberi kontribusi terhadap wacana filsafat perennial, yaitu pandangan bahwa kebenaran metafisik mendasar dapat ditemukan dalam semua tradisi agama besar dunia.⁸ Konsep tasykīk dipandang kompatibel dengan ide tentang spektrum eksistensi dalam filsafat Vedanta, Neoplatonisme, dan mistisisme Kristen, sehingga membuka ruang dialog antarperadaban secara filosofis dan spiritual.

Dengan demikian, meskipun pemikiran Mulla Sadra tidak luput dari kritik, ia tetap menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam, yang berhasil mengembangkan kerangka metafisika yang menyatukan akal, intuisi, dan wahyu dalam satu sistem filosofis yang kokoh.


Footnotes

[1]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra and the Problem of Freedom and Determinism: A Study of the Risalah fi al-Qada’ wa al-Qadar,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 618.

[2]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 35–37.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 234–235.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 151.

[5]                Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 152.

[6]                Hamid Dabashi, Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic Revolution in Iran (New York: New York University Press, 1993), 102–103.

[7]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 417.

[8]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 71–72.


9.           Kesimpulan

Konsep tasykīk al-wujūd atau gradasi eksistensi merupakan inti dari sistem filsafat Mulla Sadra, dan sekaligus menjadi salah satu pencapaian paling signifikan dalam sejarah filsafat Islam. Dengan berangkat dari prinsip asālat al-wujūd (keaslian eksistensi), Sadra membangun sebuah struktur ontologis yang tidak hanya menjelaskan kesatuan realitas, tetapi juga keragamannya dalam bentuk tingkatan keberadaan.¹ Pemikiran ini memberikan solusi terhadap berbagai problem metafisika klasik mengenai hubungan antara Tuhan dan makhluk, antara yang mutlak dan yang terbatas, antara dunia materi dan dunia spiritual.

Melalui kerangka tasykīk, Mulla Sadra menolak dikotomi absolut antara subjek dan objek, antara pencipta dan ciptaan, serta antara eksistensi dan pengetahuan. Ia menggantinya dengan suatu model kontinuum eksistensial, di mana seluruh makhluk merupakan manifestasi dari eksistensi yang satu namun beragam intensitasnya.² Hal ini memungkinkan pendekatan holistik terhadap realitas, di mana kosmologi, epistemologi, dan spiritualitas saling terkait dan saling memperkuat.

Implikasi dari konsep ini tidak terbatas pada bidang filsafat metafisika semata. Dalam kosmologi, tasykīk menjelaskan tatanan vertikal alam semesta sebagai pancaran bertingkat dari wujud Tuhan.³ Dalam epistemologi, konsep ini menjadi dasar bagi teori ‘ilm ḥuḍūrī atau pengetahuan langsung, di mana pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada kedekatan eksistensial dengan realitas tersebut.⁴ Dan dalam spiritualitas Islam, tasykīk mengandung dimensi praksis, karena menyiratkan bahwa manusia dapat naik dalam hierarki eksistensi melalui penyempurnaan spiritual dan intelektual.

Walaupun gagasan Mulla Sadra mendapat kritik, khususnya dari kalangan teolog konservatif yang mengkhawatirkan nuansa monistik atau spekulatif dalam filsafatnya,⁵ pengaruh pemikirannya terbukti kuat dan meluas. Sadra tidak hanya menjadi tokoh sentral dalam tradisi filsafat Islam Syiah, tetapi juga dikenal luas di dunia akademik Barat dan Timur sebagai simbol integrasi antara akal, wahyu, dan intuisi.⁶

Dengan demikian, tasykīk al-wujūd dapat dipandang sebagai sumbangan besar terhadap filsafat perennial, karena membuka jalan bagi pemahaman eksistensi yang inklusif dan transendental. Ia menyatukan keragaman menjadi kesatuan tanpa menafikan perbedaan, dan menempatkan manusia dalam sebuah perjalanan eksistensial menuju realitas tertinggi, yaitu al-Ḥaqq (Yang Maha Ada).⁷


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 28–29.

[2]                Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 38.

[3]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 135–137.

[4]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 55–58.

[5]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra and the Problem of Freedom and Determinism,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 618.

[6]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 415.

[7]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 73.


Daftar Pustaka

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s cosmology. Albany, NY: State University of New York Press.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul.

Dabashi, H. (1993). The theology of discontent: The ideological foundation of the Islamic revolution in Iran. New York, NY: New York University Press.

Ibn Sina (Avicenna). (2005). The metaphysics of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.

Kalin, I. (2001). Mulla Sadra’s realist ontology of the intelligibles. Islamic Studies, 40(1), 31–45.

Kalin, I. (2002). Mulla Sadra and the problem of freedom and determinism: A study of the Risalah fi al-Qada’ wa al-Qadar. Islamic Studies, 41(4), 611–628.

Kalin, I. (2003). Between physics and metaphysics: Mulla Sadra on nature and motion. Islamic Studies, 42(3), 391–409.

Morris, J. W. (1982). The wisdom of the throne: An introduction to the philosophy of Mulla Sadra. Journal of the American Oriental Society, 102(1), 121–132.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his transcendent theosophy: Background, life and works. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra. Albany, NY: State University of New York Press.

Rustom, M. (2012). The triumph of mercy: Philosophy and scripture in Mulla Sadra. Albany, NY: State University of New York Press.

Yazdi, M. H. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. Albany, NY: State University of New York Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar