Gradasi Eksistensi
Telaah atas Konsep Tasykīk al-Wujūd Mulla Sadra
Alihkan ke: Hikmah
Muta’aliyah,
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep tasykīk
al-wujūd (gradasi eksistensi) dalam filsafat al-ḥikmah
al-muta‘āliyyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra, seorang filsuf
besar Islam dari era Safawi. Berangkat dari prinsip asālat al-wujūd
(keaslian eksistensi), Mulla Sadra merumuskan suatu pandangan ontologis yang
menyatakan bahwa eksistensi bersifat tunggal secara hakiki namun bertingkat dalam
intensitas dan kesempurnaannya. Kajian ini mengeksplorasi struktur realitas
menurut Sadra yang bersifat hierarkis, serta implikasi kosmologis dan
epistemologis dari gradasi eksistensi. Selain itu, dibahas pula kritik terhadap
pemikirannya serta pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat Islam klasik dan
kontemporer, baik di dunia Islam maupun di Barat. Pendekatan Sadra
mempertemukan rasionalisme filosofis, iluminasi mistik, dan spiritualitas
Qur’ani dalam satu sistem metafisik yang integral. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa tasykīk al-wujūd tidak hanya menjadi kerangka metafisika yang khas
dalam filsafat Islam, tetapi juga memberikan kontribusi universal bagi wacana
ontologi dan epistemologi lintas tradisi.
Kata Kunci: Mulla Sadra, tasykīk al-wujūd, gradasi
eksistensi, asālat al-wujūd, filsafat Islam, ontologi, epistemologi, ḥikmah
muta‘āliyyah.
PEMBAHASAN
Gradasi Eksistensi dalam Filsafat Islam
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam
klasik telah menyumbangkan berbagai konsep fundamental dalam bidang metafisika
yang masih terus dikaji hingga hari ini. Di antara konsep paling monumental
adalah wacana tentang eksistensi (wujūd)
yang mencapai puncak elaborasi sistematis dalam pemikiran Ṣadr
al-Dīn al-Shīrāzī atau yang lebih dikenal sebagai Mulla
Sadra (1572–1640), seorang filsuf Persia dari era Safawi. Mulla
Sadra dikenal luas sebagai pelopor al-ḥikmah al-muta‘āliyyah atau
filsafat teosofi transenden, yang mengintegrasikan unsur rasionalisme Ibnu
Sina, iluminasionisme Suhrawardi, dan intuisionisme mistik Ibnu Arabi dalam
satu kerangka metafisik yang kohesif dan inovatif.¹
Salah satu pilar
utama filsafat Mulla Sadra adalah gagasan tentang asālat
al-wujūd (keaslian eksistensi), yang secara radikal menegaskan
bahwa realitas sejati adalah eksistensi itu sendiri, bukan esensi (māhiyyah)
sebagaimana diyakini oleh banyak filosof sebelumnya.² Dari prinsip dasar ini,
ia mengembangkan konsep tasykīk al-wujūd atau gradasi
eksistensi, yang menyatakan bahwa eksistensi bersifat satu, namun
bertingkat dalam intensitas dan kesempurnaannya.³ Konsep ini bukan sekadar
gagasan metafisis, tetapi juga menjembatani antara filsafat, teologi, dan
spiritualitas, memberikan kerangka pemikiran yang dinamis tentang hubungan
antara Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Konsep tasykīk
al-wujūd menjadi salah satu elemen paling krusial dalam menjelaskan struktur
ontologis realitas menurut Mulla Sadra. Ia tidak memandang eksistensi sebagai
entitas diskret dan terpisah-pisah, melainkan sebagai realitas bertingkat (mutashaqqik),
di mana wujud Tuhan berada pada puncak gradasi, sedangkan seluruh ciptaan
berada pada tingkatan-tingkatan di bawahnya sesuai dengan intensitas
keberadaannya.⁴ Ini berimplikasi tidak hanya pada metafisika, tetapi juga pada
epistemologi dan kosmologi, karena pengetahuan dan pengalaman spiritual manusia
juga dianggap sebagai bagian dari intensifikasi eksistensi itu sendiri.⁵
Tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji secara mendalam konsep tasykīk al-wujūd dengan mengacu
pada pemikiran Mulla Sadra sebagaimana tertuang dalam karya utamanya al-Asfār
al-Arba‘ah dan dianalisis oleh berbagai sarjana kontemporer. Kajian
ini penting, sebab pemahaman atas gradasi eksistensi tidak hanya membuka
cakrawala baru dalam metafisika Islam, tetapi juga memberikan kontribusi berarti
bagi wacana filsafat secara universal, khususnya dalam menjawab persoalan
relasi antara Yang Absolut dan yang relatif.
Footnotes
[1]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy:
Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 45–47.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 28.
[3]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 389.
[4]
Ibrahim Kalin, “Between Physics and Metaphysics: Mulla Sadra on Nature
and Motion,” Islamic Studies 42, no. 3 (2003): 392–394.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 97.
2.
Biografi Intelektual Mulla Sadra
Ṣadr
al-Dīn Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Shīrāzī, yang lebih dikenal
dengan sebutan Mulla Sadra, lahir pada tahun
979 H/1571–1572 M di kota Shiraz, Persia, pada masa dinasti Safawi yang tengah
mengalami perkembangan intelektual dan spiritual yang pesat.¹ Ayahnya adalah
seorang pejabat dan dermawan yang sangat mendorong pendidikan anaknya. Mulla
Sadra tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan ilmu-ilmu keislaman,
khususnya filsafat, kalam, dan tasawuf.²
Pendidikan awalnya
ia jalani di kota kelahirannya, namun kemudian ia hijrah ke Isfahan, yang saat
itu merupakan pusat keilmuan utama di bawah perlindungan Shah Abbas I. Di sana,
Mulla Sadra berguru kepada para tokoh besar seperti Mir
Damad, tokoh utama aliran hikmah ilāhiyyah, dan Baha’
al-Din al-‘Amili, seorang ulama dan arsitek terkenal.³ Mir
Damad, yang dikenal sebagai pemikir yang mencoba mensintesiskan filsafat
Peripatetik (Aristotelian) dan iluminatif (Ishrāqī), memberikan pengaruh
mendalam pada pandangan metafisik Mulla Sadra, terutama dalam pengembangan
konsep waktu, gerak, dan esensi.⁴
Setelah
menyelesaikan pendidikannya, Mulla Sadra mulai menunjukkan pemikiran-pemikiran
yang orisinal dan terkadang kontroversial. Karena pemikirannya dianggap
menyimpang oleh sebagian ulama konservatif, ia mengasingkan diri ke sebuah desa
kecil bernama Kahak, dekat Qom. Dalam masa penyendiriannya ini, ia mengalami
fase kontemplatif dan mistikal yang memperdalam dimensi spiritual dari filsafatnya.⁵
Di sinilah ia mulai merumuskan gagasan-gagasan filosofis yang kemudian menjadi
dasar dari filsafatnya, seperti asālat al-wujūd, tasykīk
al-wujūd, dan harakah jawhariyyah (gerak
substansial).⁶
Sekitar pertengahan
hidupnya, Mulla Sadra dipanggil kembali ke Shiraz oleh penguasa Safawi untuk
mengajar di madrasah Khan School, yang memang dibangun khusus untuknya. Ia
menulis karya-karya monumentalnya selama berada di sana, yang paling terkenal
adalah al-Ḥikmah
al-Muta‘āliyyah fī al-Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (The
Transcendent Philosophy in the Four Intellectual Journeys), karya
magnum opus yang mencerminkan keseluruhan sistem pemikirannya.⁷
Mulla Sadra wafat
pada tahun 1050 H/1640 M saat dalam perjalanan haji. Ia meninggalkan warisan
intelektual yang sangat besar, dan pemikirannya menjadi tonggak utama dalam
perkembangan filsafat Islam pascaklasik.⁸ Di Iran, pemikiran Mulla Sadra
menjadi kurikulum resmi dalam pendidikan tinggi filsafat hingga saat ini,
menjadikannya sebagai figur paling berpengaruh dalam filsafat Islam modern.⁹
Footnotes
[1]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy:
Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 3–4.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 112.
[3]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 15.
[4]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra's Realist Ontology of the Intelligibles,” Islamic
Studies 40, no. 1 (2001): 31.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 89.
[6]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 395.
[7]
James W. Morris, “The Wisdom of the Throne: An Introduction to the
Philosophy of Mulla Sadra,” Journal of the American Oriental Society
102, no. 1 (1982): 122–125.
[8]
Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 95.
[9]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 2012), 4.
3.
Asālat al-Wujūd sebagai Landasan Ontologis
Salah satu gagasan
paling fundamental dalam sistem filsafat Mulla Sadra adalah doktrin asālat
al-wujūd, yang berarti “keaslian eksistensi.” Gagasan ini menjadi fondasi ontologis
dari seluruh sistem al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat
hikmah transenden) yang ia bangun. Dalam pemikiran Sadra, antara wujūd
(eksistensi) dan māhiyyah (esensi) terdapat
perbedaan mendasar: wujūd adalah realitas sejati,
sementara māhiyyah
hanyalah konsep mental yang tidak memiliki keberadaan di luar pikiran kecuali
dalam wujūd.¹
Doktrin ini lahir
sebagai sintesis kritis atas perdebatan panjang dalam filsafat Islam
sebelumnya. Para filsuf seperti Ibnu Sina menekankan pembedaan
antara esensi dan eksistensi, di mana esensi sesuatu tidak mengharuskan
keberadaannya secara aktual.² Namun, mereka belum secara tegas menetapkan
apakah esensi atau eksistensi yang lebih fundamental secara ontologis. Di sisi
lain, para iluminasionis seperti Suhrawardi berpandangan bahwa
esensi lebih mendasar daripada eksistensi, yang mereka anggap sebagai suatu
kualitas sekunder atau bahkan “abstrak”.³ Mulla Sadra menolak pandangan
ini dan menyatakan bahwa hanya eksistensilah yang memiliki realitas objektif.
Menurut Sadra, wujūd
adalah satu-satunya entitas yang benar-benar ada secara independen. Sementara
itu, māhiyyah
hanya muncul sebagai bentuk konseptual dalam pikiran manusia atau sebagai
batasan tertentu dari eksistensi.⁴ Ia menyatakan: “al-wujūd
ḥaqīqah wāḥidah lā majāz fīhā” – eksistensi adalah realitas
yang tunggal dan tidak mengandung kiasan.⁵ Dengan demikian, setiap realitas
partikular yang kita lihat di dunia ini tidak lain adalah manifestasi dari satu
realitas eksistensial yang tunggal namun termodulasi dalam berbagai bentuk dan
tingkatan.
Landasan asālat
al-wujūd juga memiliki dimensi epistemologis dan spiritual. Dalam
pandangan Sadra, eksistensi bukan hanya objek bagi akal, tetapi juga dapat
dihayati secara langsung melalui pengetahuan kehadiran (‘ilm ḥuḍūrī).⁶
Maka, pemahaman terhadap eksistensi tidak hanya melalui proses rasional, tetapi
juga dapat diperoleh melalui pengalaman batin dan pencerahan spiritual. Hal ini
menunjukkan adanya kesatuan antara akal, wahyu, dan intuisi dalam kerangka
filsafat Sadra.
Implikasi dari
doktrin ini sangat luas. Dengan menjadikan eksistensi sebagai prinsip pertama
realitas, Sadra mampu membangun sistem filsafat yang dinamis dan hirarkis, yang
membuka jalan bagi teori tasykīk al-wujūd (gradasi
eksistensi). Jika eksistensi adalah realitas yang tunggal dan fundamental, maka
seluruh entitas di alam semesta hanyalah diferensiasi intensional dari
eksistensi yang satu.⁷ Pandangan ini tidak hanya memperkaya diskursus
metafisika Islam, tetapi juga mempertemukan berbagai kecenderungan dalam
filsafat, teologi, dan tasawuf ke dalam satu sintesis pemikiran yang utuh.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 27–29.
[2]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 30–32.
[3]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 228.
[4]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy:
Background, Life and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 114–116.
[5]
Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Ahmad Ahmadi (Tehran:
Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 1:44.
[6]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 103.
[7]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 24–26.
4.
Konsep Dasar Tasykīk al-Wujūd
Konsep tasykīk
al-wujūd atau gradasi eksistensi merupakan pilar
utama dalam sistem filsafat Mulla Sadra dan menjadi
kelanjutan logis dari prinsip asālat al-wujūd (keaslian
eksistensi). Jika eksistensi adalah realitas yang sejati dan satu, maka
bagaimana mungkin terdapat keragaman entitas di alam ini? Untuk menjawab dilema
ini, Mulla Sadra mengembangkan konsep tasykīk, yakni bahwa eksistensi
itu bersifat tunggal secara hakiki, tetapi bertingkat
secara intensional dan kualitatif.¹
Secara etimologis,
kata tasykīk
berasal dari akar kata Arab sh-k-k, yang berarti “ambigu”
atau “memiliki keserupaan sebagian”. Namun, dalam konteks filsafat, tasykīk
memiliki makna teknis sebagai kesatuan konseptual yang memiliki realitas
multilevel, berbeda dari tawāṭu’ (keseragaman mutlak) dan ishtirāk
lafẓī (kesamaan istilah belaka).² Dengan demikian, eksistensi dalam
pandangan Sadra bukanlah sesuatu yang sepenuhnya seragam atau sepenuhnya
berbeda, melainkan bersifat hierarkis: satu dalam hakikatnya, tetapi berbeda
dalam intensitas, kedalaman, dan kesempurnaannya.
Mulla Sadra
menyatakan bahwa setiap bentuk eksistensi merupakan manifestasi dari satu
eksistensi utama, yakni wujud Tuhan sebagai eksistensi
absolut dan paling sempurna. Semua makhluk lainnya memperoleh wujudnya
dari-Nya, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah.³ Dalam konteks ini, realitas
tidak dipandang sebagai kumpulan entitas yang setara, melainkan sebagai kesatuan
bergradasi – seperti cahaya yang memancar dari sumbernya,
tetapi menurun dalam intensitas seiring jaraknya dari pusat.⁴
Konsep tasykīk
al-wujūd memiliki akar dalam pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya,
terutama Ibnu Sina dan Suhrawardi,
namun Sadra memberikan kedalaman dan sistematisasi yang lebih kuat. Ibnu Sina,
misalnya, telah mengisyaratkan adanya hierarki eksistensial dalam konsep nūr
(cahaya), tetapi belum mengembangkan kerangka konseptual yang menyeluruh.⁵
Sementara Suhrawardi berbicara tentang nūr al-anwār dan anwār
muqahhirah, Sadra mengambil ide tersebut dan mengintegrasikannya
dengan logika asālat al-wujūd.⁶
Melalui tasykīk,
Sadra menjelaskan bahwa meskipun eksistensi bersifat satu secara hakiki, ia
mengalami intensifikasi atau penurunan tingkat realitas
dalam bentuk-bentuk partikularnya. Misalnya, wujud malaikat lebih tinggi
dibanding manusia, dan wujud manusia lebih tinggi dibandingkan binatang.⁷
Bahkan dalam diri manusia sendiri terdapat gradasi eksistensial: dari tubuh
jasmani ke jiwa, dari jiwa ke akal, dan dari akal ke intuisi spiritual.⁸
Penegasan tasykīk
ini memungkinkan Sadra menjelaskan relasi antara Yang
Mutlak (Allah) dengan makhluk-Nya tanpa menafikan keesaan Tuhan
dan tanpa menyamakan makhluk dengan-Nya. Ia memberikan jalan tengah antara
panteisme yang menyamakan segala sesuatu dengan Tuhan, dan teisme keras yang
memutus total hubungan antara Tuhan dan ciptaan.⁹ Dengan demikian, tasykīk
al-wujūd tidak hanya menjadi konsep metafisika teknis, tetapi juga
menjadi jembatan antara filsafat dan spiritualitas Islam.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 31–33.
[2]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles,” Islamic
Studies 40, no. 1 (2001): 33–34.
[3]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 123.
[4]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 27–29.
[5]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 45.
[6]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 229–230.
[7]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 400.
[8]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 110.
[9]
Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 125.
5.
Struktur Realitas menurut Mulla Sadra
Dalam sistem
filsafat Mulla Sadra, struktur realitas
tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan hierarkis, dibangun
atas asas asālat al-wujūd (keaslian
eksistensi) dan dijelaskan melalui mekanisme tasykīk al-wujūd (gradasi
eksistensi). Realitas, menurut Sadra, adalah satu dan mutlak—yakni wujūd
itu sendiri—tetapi mewujud dalam berbagai tingkat intensitas, mulai dari wujud
yang paling lemah hingga wujud yang paling sempurna, yaitu Tuhan.¹
Sadra menolak
pandangan dualistik yang memisahkan realitas antara dunia fisik dan metafisik
secara tajam. Ia memandang seluruh eksistensi sebagai bagian dari kontinuum
wujūd, dari materi terendah hingga entitas spiritual
tertinggi.² Dalam hal ini, ia menciptakan struktur realitas yang bersifat vertikal
dan bertingkat (hierarki ontologis), di mana setiap makhluk
berada pada posisi tertentu dalam skala eksistensi sesuai dengan kadar
intensitas keberadaannya.³
Puncak dari struktur
ini adalah Allah SWT, sebagai wujūd
muthlaq (eksistensi mutlak), yang tidak memiliki keterbatasan,
tidak tergantung pada selain-Nya, dan merupakan sumber dari semua wujud.⁴ Di
bawah Tuhan, terdapat berbagai tingkatan realitas seperti:
1)
ʿAql al-Awwal
(akal pertama),
2)
Nufūs
(jiwa-jiwa),
3)
Alam Mitsal
(alam imajinatif/spiritual), dan
4)
Alam Mulk
(alam materi),
masing-masing merupakan manifestasi eksistensi dengan tingkat kesempurnaan yang
menurun.⁵
Untuk menjelaskan
dinamika dalam struktur ini, Mulla Sadra juga memperkenalkan konsep ḥarakah
jawhariyyah (gerak substansial), yakni bahwa segala sesuatu di
alam ini tidak hanya berubah secara aksidental (misalnya dari panas ke dingin),
tetapi juga secara substansial, artinya wujud suatu entitas mengalami transformasi
eksistensial ke arah kesempurnaan.⁶ Gerak ini bukanlah sekadar
perpindahan, tetapi proses evolutif spiritual dan ontologis, dari potensi
menuju aktualisasi yang lebih tinggi.
Struktur realitas
dalam filsafat Sadra tidak hanya menjelaskan keberagaman kosmik, tetapi juga
menempatkan manusia dalam posisi yang strategis. Sebagai makhluk yang
dianugerahi akal dan jiwa spiritual, manusia memiliki potensi
untuk naik dalam hierarki eksistensi, dari realitas material
menuju realitas immaterial, bahkan menuju al-insān al-kāmil (manusia
sempurna).⁷ Hal ini menjadikan struktur realitas bersifat teleologis,
yakni bertujuan dan berorientasi pada kesempurnaan eksistensial.
Korelasi antara
tasykīk dan struktur realitas juga berimplikasi pada bagaimana Sadra memandang kesatuan
ontologis segala sesuatu. Tidak ada entitas yang sepenuhnya
terputus dari yang lain, karena semuanya merupakan bentuk-bentuk bergradasi
dari eksistensi yang satu. Ini berbanding terbalik dengan pendekatan
fragmentatif dalam metafisika Barat yang cenderung memisahkan antara subjek dan
objek, pencipta dan ciptaan, jasmani dan rohani.⁸
Dengan struktur
realitas seperti ini, Mulla Sadra memberikan kontribusi besar terhadap
pemikiran metafisika Islam: ia berhasil menyatukan berbagai pendekatan filsafat
sebelumnya—peripatetik, iluminatif, dan irfan—ke dalam satu sistem yang
integratif, dinamis, dan spiritual.⁹
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 38–39.
[2]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 127.
[3]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 30.
[4]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 405.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 239–240.
[6]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra on Existence, Essence, and Substantial
Motion,” Islamic Studies 41, no. 3 (2002): 427.
[7]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 120.
[8]
Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 129.
[9]
James W. Morris, “The Wisdom of the Throne: An Introduction to the
Philosophy of Mulla Sadra,” Journal of the American Oriental Society
102, no. 1 (1982): 126.
6.
Tasykīk al-Wujūd dan Implikasi Kosmologis
Konsep tasykīk
al-wujūd (gradasi eksistensi) dalam filsafat Mulla
Sadra tidak hanya berfungsi sebagai teori metafisika, tetapi
juga memiliki konsekuensi kosmologis yang
sangat luas. Melalui prinsip ini, Sadra menawarkan kerangka
ontologis yang menjelaskan bagaimana seluruh alam semesta
tersusun dalam tatanan hierarkis yang berasal dari satu sumber eksistensi:
Tuhan sebagai wujūd muthlaq (eksistensi mutlak).¹
Dalam kosmologi
tradisional Islam, yang banyak dipengaruhi oleh Neoplatonisme, realitas
dipahami melalui proses emanasi (fayḍ),
yaitu pemancaran wujud dari Tuhan kepada makhluk melalui berbagai tingkatan.²
Sadra tidak menolak gagasan ini, tetapi menafsirkannya ulang dalam kerangka tasykīk:
eksistensi yang terpancar dari Tuhan tidak terdiri dari entitas-entitas
terpisah secara mutlak, melainkan sebagai gradasi dari eksistensi yang satu.³
Ini berarti seluruh kosmos adalah manifestasi bertingkat dari satu wujud,
dengan intensitas eksistensial yang menurun dari atas ke bawah.⁴
Implikasi kosmologis
dari tasykīk adalah bahwa realitas kosmik merupakan jaringan keterkaitan
vertikal, bukan sekadar kumpulan entitas horizontal. Di puncak
hierarki terdapat ʿaql al-awwal (akal pertama),
disusul oleh jiwa universal, bentuk-bentuk immaterial, dan akhirnya dunia
materi.⁵ Semakin dekat suatu entitas kepada Tuhan, semakin tinggi intensitas eksistensialnya;
sebaliknya, semakin jauh, maka tingkat eksistensinya semakin lemah dan
terbatas.⁶
Sadra juga
mengembangkan konsep ḥarakah jawhariyyah (gerak
substansial) dalam konteks kosmologis untuk menjelaskan bahwa alam
semesta bukan entitas statis, melainkan bergerak
secara internal menuju bentuk eksistensial yang lebih tinggi.
Ini menunjukkan bahwa seluruh kosmos tidak hanya diciptakan dalam hierarki,
tetapi juga berproses dalam arah yang teleologis,
yakni menuju kesempurnaan eksistensi.⁷ Gerak ini bersifat ontologis, bukan
mekanistik; ia berlangsung dalam inti substansi makhluk, mengarahkan seluruh
alam menuju Tuhan sebagai tujuan akhir.
Dengan demikian, tasykīk
al-wujūd memberikan fondasi kosmologis yang dinamis
dan integral: tidak hanya menjelaskan asal-usul dan tatanan
alam, tetapi juga arah dan tujuan eksistensialnya.
Setiap makhluk menjadi bagian dari sistem kosmik yang hidup, berkembang, dan
bertujuan, bukan sekadar hadir dalam ruang dan waktu tanpa makna.⁸
Selain itu,
implikasi dari tasykīk dalam kosmologi juga berdampak pada pandangan
ekologis dan spiritual terhadap alam. Karena seluruh realitas
merupakan partisipasi dalam wujud Tuhan, maka alam semesta bukan hanya objek
material, tetapi juga tanda-tanda (āyāt) dari Yang Maha Ada.⁹
Ini memperkuat pandangan dunia Islam yang mengajarkan bahwa mengenali realitas
kosmos secara mendalam adalah jalan menuju pengenalan terhadap Sang Pencipta.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 41–43.
[2]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 94.
[3]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 34.
[4]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 135.
[5]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 408.
[6]
Ibrahim Kalin, “Between Physics and Metaphysics: Mulla Sadra on Nature
and Motion,” Islamic Studies 42, no. 3 (2003): 394.
[7]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 122–123.
[8]
Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 136.
[9]
Chittick, The Self-Disclosure of God, 412.
7.
Tasykīk al-Wujūd dan Dimensi Epistemologis
Salah satu keunikan
filsafat Mulla Sadra adalah
keberhasilannya menjembatani antara ontologi dan epistemologi,
antara keberadaan dan pengetahuan. Dalam sistem metafisikanya, eksistensi
bukan hanya dasar realitas, tetapi juga merupakan dasar
pengetahuan.⁽¹⁾ Di sinilah tasykīk al-wujūd (gradasi
eksistensi) memperoleh dimensi epistemologis yang mendalam: semakin
tinggi tingkatan eksistensi suatu entitas, semakin besar pula kapasitasnya
untuk mengetahui dan diketahui.
Mulla Sadra
mengembangkan teori ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan dengan
kehadiran), yang berbeda dari ‘ilm ḥuṣūlī (pengetahuan
representasional atau konseptual). Pengetahuan dengan kehadiran adalah jenis
pengetahuan yang langsung, intuitif, dan tanpa perantara konsep
atau representasi mental, sebagaimana pengetahuan jiwa terhadap
dirinya sendiri.⁽²⁾ Pengetahuan jenis ini, menurut Sadra, hanya mungkin terjadi
ketika subjek
dan objek pengetahuan berada dalam satu spektrum eksistensial,
yaitu dalam struktur tasykīk.⁽³⁾
Dalam kerangka tasykīk
al-wujūd, hubungan antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang
diketahui) tidak bersifat dualistik, melainkan kontinu. Artinya, karena semua
hal adalah derivasi dari satu realitas wujūd, maka pengetahuan
tidak terjadi antara dua entitas yang sepenuhnya terpisah,
tetapi antara dua tingkatan wujūd yang berbeda intensitas.⁽⁴⁾ Dengan demikian,
semakin tinggi eksistensi seseorang (misalnya melalui penyucian jiwa atau
intensifikasi spiritual), semakin murni dan intuitif pula bentuk
pengetahuannya.
Sadra juga
menyatakan bahwa realitas eksistensial memiliki sifat kognitif
secara intrinsik: wujūd tidak hanya “ada”, tetapi juga “menampakkan
diri” (tajallī)
dan “dapat dikenal”.⁽⁵⁾ Dalam konteks ini, tasykīk al-wujūd memberikan
penjelasan filosofis tentang kemungkinan pengetahuan intuitif terhadap
hakikat-hakikat metafisik, termasuk pengetahuan terhadap Tuhan.
Pengetahuan terhadap Tuhan, dalam filsafat Sadra, tidak bisa diperoleh semata
melalui argumen logis, tetapi melalui keserupaan eksistensial yang
dicapai dengan menyempurnakan eksistensi diri sendiri.⁽⁶⁾
Dimensi
epistemologis dari gradasi eksistensi ini menunjukkan bahwa pengetahuan
bukan hanya akumulasi informasi, tetapi merupakan bagian dari perjalanan
eksistensial manusia. Dalam sistem Sadra, filsafat dan
spiritualitas menyatu: mengetahui berarti menjadi—yakni
meningkatkan kualitas wujūd untuk mendekati sumber eksistensi tertinggi.⁽⁷⁾
Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat Sadra sangat terkait erat dengan
etika dan asketisme.
Lebih jauh,
implikasi dari pandangan ini menegaskan bahwa tingkatan pengetahuan tidak dapat disamakan
antara satu orang dengan yang lain, sebab setiap individu
berada dalam tingkatan eksistensial yang berbeda dalam struktur tasykīk. Ini
menjadi dasar bagi pendekatan holistik dalam pendidikan dan
pengembangan akal spiritual, di mana pengetahuan bukan sekadar
rasional, tetapi juga transenden dan intuitif.
Footnotes
[1]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 38–39.
[2]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 55–58.
[3]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 414.
[4]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 141–143.
[5]
James W. Morris, “The Wisdom of the Throne: An Introduction to the
Philosophy of Mulla Sadra,” Journal of the American Oriental Society
102, no. 1 (1982): 128.
[6]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra on the Problem of Knowledge and Existence,”
Islamic Studies 42, no. 3 (2003): 396.
[7]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 57.
8.
Kritik dan Pengaruh Pemikiran Mulla Sadra
Pemikiran Mulla
Sadra, khususnya konsep tasykīk al-wujūd, mendapat
sambutan yang beragam di kalangan filsuf, teolog, dan cendekiawan Muslim. Di
satu sisi, ia dipuji sebagai pemikir paling orisinal dalam sejarah filsafat
Islam pascaklasik; di sisi lain, beberapa gagasannya menuai kritik, terutama
dari kalangan yang lebih berorientasi tekstual atau skolastik dalam teologi
Islam.
Kritik terhadap Pemikiran
Mulla Sadra
Salah satu kritik
utama berasal dari sebagian ulama kalam, khususnya dari aliran Ahlussunnah
Asy‘ariyyah, yang menganggap pendekatan Sadra terlalu
dipengaruhi oleh spekulasi filsafat dan mistisisme. Mereka menilai bahwa konsep
asālat
al-wujūd dan tasykīk al-wujūd tidak memiliki
dasar yang eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh karena itu berpotensi
menyimpang dari prinsip dasar tauhid jika tidak dipahami secara hati-hati.¹
Kritik lainnya
diarahkan pada implikasi ontologis dari tasykīk, yang oleh sebagian penafsir
konservatif dianggap menyerempet kepada panteisme. Meskipun Sadra
secara eksplisit menolak penyamaan mutlak antara Tuhan dan ciptaan,² struktur
gradasional eksistensi yang ia usung dinilai oleh sebagian pihak dapat membuka
celah bagi pemahaman monistik yang rawan
disalahartikan.³
Selain itu,
pendekatan Sadra yang menggabungkan filsafat, irfan (mistisisme), dan teologi
dianggap terlalu kompleks dan sulit diakses oleh masyarakat awam.⁴ Hal ini
menyebabkan sebagian ulama lebih memilih pendekatan filsafat Peripatetik atau
iluminatif yang dianggap lebih sistematis dan “aman” secara doktrinal.
Pengaruh Pemikiran Mulla
Sadra
Terlepas dari kritik
tersebut, pengaruh Mulla Sadra dalam dunia Islam sangat besar dan terus
berkembang. Di Iran, pemikirannya menjadi fondasi kurikulum filsafat Islam di
hawzah-hawzah ilmiah, khususnya di Qom.⁵ Bahkan, revolusi
intelektual dalam filsafat Islam modern banyak dipengaruhi oleh revitalisasi
pemikiran Sadra oleh tokoh-tokoh seperti Allamah Thabathaba’i, Murtadha
Mutahhari, dan Mahmoud Taleghani.⁶
Dalam konteks
global, pemikiran Mulla Sadra menarik perhatian para sarjana Barat seperti Henry
Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan William
Chittick, yang melihat Sadra sebagai jembatan antara
rasionalisme filsafat dan kedalaman spiritualitas Islam.⁷ Karya-karyanya,
terutama al-Asfār
al-Arba‘ah, telah diterjemahkan dan dikaji dalam berbagai bahasa, menandakan
relevansi universal dari gagasan-gagasannya, termasuk tasykīk
al-wujūd.
Lebih jauh lagi,
sistem filsafat Sadra juga memberi kontribusi terhadap wacana filsafat
perennial, yaitu pandangan bahwa kebenaran metafisik mendasar
dapat ditemukan dalam semua tradisi agama besar dunia.⁸ Konsep tasykīk
dipandang kompatibel dengan ide tentang spektrum eksistensi dalam filsafat
Vedanta, Neoplatonisme, dan mistisisme Kristen, sehingga membuka ruang dialog
antarperadaban secara filosofis dan spiritual.
Dengan demikian,
meskipun pemikiran Mulla Sadra tidak luput dari kritik, ia tetap menjadi salah
satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam,
yang berhasil mengembangkan kerangka metafisika yang menyatukan akal, intuisi,
dan wahyu dalam satu sistem filosofis yang kokoh.
Footnotes
[1]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra and the Problem of Freedom and Determinism:
A Study of the Risalah fi al-Qada’ wa al-Qadar,” Islamic Studies 41,
no. 4 (2002): 618.
[2]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 35–37.
[3]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 234–235.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 151.
[5]
Nasr, Sadr al-Din Shirazi, 152.
[6]
Hamid Dabashi, Theology of Discontent: The Ideological Foundation
of the Islamic Revolution in Iran (New York: New York University Press,
1993), 102–103.
[7]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 417.
[8]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
71–72.
9.
Kesimpulan
Konsep tasykīk
al-wujūd atau gradasi eksistensi merupakan
inti dari sistem filsafat Mulla Sadra, dan sekaligus
menjadi salah satu pencapaian paling signifikan dalam sejarah filsafat Islam.
Dengan berangkat dari prinsip asālat al-wujūd (keaslian
eksistensi), Sadra membangun sebuah struktur ontologis yang tidak hanya
menjelaskan kesatuan realitas, tetapi juga keragamannya
dalam bentuk tingkatan keberadaan.¹ Pemikiran ini memberikan solusi terhadap
berbagai problem metafisika klasik mengenai hubungan antara Tuhan dan makhluk,
antara yang mutlak dan yang terbatas, antara dunia materi dan dunia spiritual.
Melalui kerangka tasykīk,
Mulla Sadra menolak dikotomi absolut antara subjek dan objek, antara pencipta
dan ciptaan, serta antara eksistensi dan pengetahuan. Ia menggantinya dengan
suatu model kontinuum eksistensial, di mana
seluruh makhluk merupakan manifestasi dari eksistensi yang satu namun beragam
intensitasnya.² Hal ini memungkinkan pendekatan holistik terhadap realitas, di
mana kosmologi, epistemologi, dan spiritualitas saling terkait dan saling
memperkuat.
Implikasi dari
konsep ini tidak terbatas pada bidang filsafat metafisika semata. Dalam kosmologi,
tasykīk menjelaskan tatanan vertikal alam semesta sebagai pancaran bertingkat
dari wujud Tuhan.³ Dalam epistemologi, konsep ini
menjadi dasar bagi teori ‘ilm ḥuḍūrī atau pengetahuan
langsung, di mana pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada kedekatan
eksistensial dengan realitas tersebut.⁴ Dan dalam spiritualitas
Islam, tasykīk mengandung dimensi praksis, karena menyiratkan
bahwa manusia dapat naik dalam hierarki eksistensi melalui penyempurnaan
spiritual dan intelektual.
Walaupun gagasan
Mulla Sadra mendapat kritik, khususnya dari kalangan teolog konservatif yang
mengkhawatirkan nuansa monistik atau spekulatif dalam filsafatnya,⁵ pengaruh
pemikirannya terbukti kuat dan meluas. Sadra tidak hanya menjadi tokoh sentral
dalam tradisi
filsafat Islam Syiah, tetapi juga dikenal luas di dunia
akademik Barat dan Timur sebagai simbol integrasi antara akal,
wahyu, dan intuisi.⁶
Dengan demikian, tasykīk
al-wujūd dapat dipandang sebagai sumbangan besar terhadap filsafat perennial,
karena membuka jalan bagi pemahaman eksistensi yang inklusif dan transendental.
Ia menyatukan keragaman menjadi kesatuan tanpa menafikan perbedaan, dan
menempatkan manusia dalam sebuah perjalanan eksistensial menuju
realitas tertinggi, yaitu al-Ḥaqq (Yang Maha Ada).⁷
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 28–29.
[2]
Mohammed Rustom, The Triumph of Mercy: Philosophy and Scripture in
Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 2012), 38.
[3]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 135–137.
[4]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 55–58.
[5]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra and the Problem of Freedom and
Determinism,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 618.
[6]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 415.
[7]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 73.
Daftar Pustaka
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s cosmology. Albany, NY: State University
of New York Press.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary
recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul.
Dabashi, H. (1993). The theology of discontent:
The ideological foundation of the Islamic revolution in Iran. New York, NY:
New York University Press.
Ibn Sina (Avicenna). (2005). The metaphysics of
the healing (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University
Press.
Kalin, I. (2001). Mulla Sadra’s realist ontology of
the intelligibles. Islamic Studies, 40(1), 31–45.
Kalin, I. (2002). Mulla Sadra and the problem of
freedom and determinism: A study of the Risalah fi al-Qada’ wa al-Qadar.
Islamic Studies, 41(4), 611–628.
Kalin, I. (2003). Between physics and metaphysics:
Mulla Sadra on nature and motion. Islamic Studies, 42(3), 391–409.
Morris, J. W. (1982). The wisdom of the throne: An
introduction to the philosophy of Mulla Sadra. Journal of the American
Oriental Society, 102(1), 121–132.
Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his
transcendent theosophy: Background, life and works. Tehran: Imperial
Iranian Academy of Philosophy.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra.
Albany, NY: State University of New York Press.
Rustom, M. (2012). The triumph of mercy:
Philosophy and scripture in Mulla Sadra. Albany, NY: State University of
New York Press.
Yazdi, M. H. (1992). The principles of
epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. Albany, NY:
State University of New York Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar