Kamis, 23 Oktober 2025

Transhumanisme: Evolusi, Rasionalitas, dan Implikasi Filosofis terhadap Kemanusiaan

Transhumanisme

Evolusi, Rasionalitas, dan Implikasi Filosofis terhadap Kemanusiaan


Alihkan ke: Humanisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif gerakan filosofis transhumanisme sebagai salah satu wacana paling berpengaruh dalam filsafat kontemporer yang menggabungkan rasionalitas ilmiah, etika kemanusiaan, dan refleksi metafisis terhadap masa depan manusia. Transhumanisme dipahami bukan semata sebagai proyek teknologi, tetapi sebagai paradigma filosofis yang menantang batas ontologis dan moral manusia. Melalui pendekatan sistematis dan reflektif, artikel ini menelusuri landasan historis dan genealogi intelektual transhumanisme dari humanisme Renaisans hingga revolusi digital abad ke-21.

Kajian ontologis menyoroti perubahan makna manusia sebagai entitas yang dapat dimodifikasi dan diperluas melalui bioteknologi serta kecerdasan buatan, sedangkan dimensi epistemologisnya mengungkap pergeseran dari pengetahuan reflektif menuju rasionalitas algoritmik yang memperluas kesadaran manusia ke dalam ruang digital. Dalam ranah etika dan aksiologi, artikel ini mengulas dilema moral seputar peningkatan manusia (human enhancement), tanggung jawab ilmuwan, dan nilai kebebasan dalam konteks posthumanisme. Selanjutnya, bagian kritik filosofis mengkaji berbagai keberatan humanistik, teologis, ekofilosofis, dan politik terhadap proyek transhumanistik yang berpotensi menimbulkan dehumanisasi dan ketimpangan sosial.

Artikel ini juga menegaskan relevansi kontemporer transhumanisme dalam bidang pendidikan, hukum, politik, dan ekologi global, serta menawarkan sintesis filosofis berupa gagasan humanisme transformatif—yakni integrasi antara kemajuan teknologi dan kebijaksanaan moral. Kesimpulan utama artikel ini menegaskan bahwa masa depan manusia tidak semata bergantung pada kemampuan untuk menciptakan teknologi yang lebih cerdas, tetapi pada kemampuan untuk menggunakan teknologi secara etis, reflektif, dan berkeadilan. Transhumanisme, dalam bentuknya yang reflektif dan bertanggung jawab, menjadi cermin bagi kemanusiaan untuk menemukan kembali makna menjadi manusia di era pascabiologis.

Kata Kunci: Transhumanisme; Filsafat Kontemporer; Humanisme Transformatif; Etika Teknologi; Posthumanisme; Ontologi Digital; Kemanusiaan Berkelanjutan.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Perkembangan teknologi pada abad ke-21 telah membawa perubahan fundamental terhadap cara manusia memahami dirinya sendiri, lingkungannya, dan bahkan hakikat keberadaannya. Di tengah kemajuan bioteknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), dan integrasi manusia-mesin (cybernetic integration), muncul suatu gerakan filsafat baru yang disebut transhumanisme. Gerakan ini berupaya melampaui batas-batas biologis dan kognitif manusia dengan memanfaatkan potensi sains dan teknologi demi mencapai peningkatan (enhancement) eksistensial manusia menuju fase pascamanusia (posthuman)

Transhumanisme tidak hanya sekadar proyek teknologis, tetapi juga mengandung dimensi filosofis yang mendalam. Ia merupakan kelanjutan dari semangat humanisme Renaisans yang menempatkan manusia sebagai pusat rasionalitas dan pencipta makna. Namun, bila humanisme klasik menekankan kesempurnaan moral dan intelektual manusia melalui pendidikan dan kebudayaan, transhumanisme menempatkan kesempurnaan tersebut pada ranah biologis dan teknologis—melalui rekayasa genetika, augmentasi neural, hingga digitalisasi kesadaran.² Gagasan ini berangkat dari keyakinan bahwa manusia adalah entitas yang dapat disempurnakan tanpa batas, sejauh teknologi mampu menundukkan kodrat biologisnya.

Dalam pandangan Julian Huxley, yang pertama kali mempopulerkan istilah transhumanism pada 1951, manusia adalah makhluk yang “belum selesai,” yang secara kodrati ditakdirkan untuk mentransendensi dirinya sendiri melalui kemampuan rasional dan ilmiah.³ Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Max More dan Nick Bostrom, yang melihat transhumanisme sebagai proyek filosofis-etis yang mendorong manusia untuk menggunakan teknologi guna memperpanjang usia, memperluas kecerdasan, serta mengoptimalkan pengalaman eksistensialnya.⁴

Namun, di balik optimisme tersebut, transhumanisme juga menimbulkan perdebatan ontologis dan etis yang kompleks. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah manusia yang ditingkatkan masih dapat disebut manusia?”, “Apakah kesadaran dapat dipindahkan ke dalam mesin?”, dan “Apakah keabadian digital dapat memiliki makna moral?” menjadi wacana utama dalam diskursus ini.⁵ Filsafat transhumanisme menantang batas tradisional antara manusia dan mesin, alam dan artifisial, mortalitas dan imortalitas. Dalam konteks ini, ia menjadi medan refleksi tentang makna kemanusiaan di era digital dan bioteknologis.

Pendahuluan ini menegaskan bahwa transhumanisme bukan sekadar perkembangan teknologi, tetapi sebuah revolusi epistemologis dan ontologis yang memaksa filsafat untuk meninjau kembali asumsi dasarnya tentang manusia, pengetahuan, dan nilai.⁶ Dengan demikian, penelitian terhadap transhumanisme memiliki urgensi filosofis yang tinggi, karena ia membuka ruang dialog antara etika dan sains, antara rasionalitas teknologis dan kebijaksanaan moral, serta antara harapan manusia untuk berkembang dan risiko kehilangan identitasnya sendiri.⁷

Sebagai gerakan intelektual, transhumanisme mencerminkan semangat zaman (zeitgeist) modern yang diwarnai oleh ambisi mengatasi segala keterbatasan eksistensial. Ia menawarkan visi tentang masa depan manusia yang ditingkatkan, tetapi sekaligus mengundang refleksi mendalam tentang kemungkinan manusia kehilangan makna dirinya di tengah supremasi teknologi.⁸ Oleh karena itu, pembahasan mengenai transhumanisme dalam konteks filosofis bukan hanya penting untuk memahami arah evolusi manusia modern, melainkan juga untuk menilai kembali komitmen etis kita terhadap kemanusiaan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 3.

[2]                Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 14.

[3]                Julian Huxley, “Transhumanism,” in New Bottles for New Wine (London: Chatto & Windus, 1957), 13–17.

[4]                Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The Transhumanist Reader: Classical and Contemporary Essays on the Science, Technology, and Philosophy of the Human Future, ed. Max More and Natasha Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 4–7; Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,” Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 1–25.

[5]                Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 9–10.

[6]                James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 22.

[7]                Nick Bostrom, “Ethical Issues in Advanced Artificial Intelligence,” Cognitive, Emotive and Ethical Aspects of Decision Making in Humans and in Artificial Intelligence 2 (2003): 12–18.

[8]                Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 6–8.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Intelektual

Transhumanisme sebagai gerakan filsafat tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari perkembangan panjang gagasan tentang manusia, pengetahuan, dan teknologi dalam sejarah pemikiran Barat. Ia berakar pada warisan humanisme Renaisans, berkembang melalui Rasionalisme dan Pencerahan (Enlightenment), kemudian menemukan bentuk konseptualnya pada abad ke-20 melalui interaksi antara ilmu pengetahuan modern, bioteknologi, dan filsafat eksistensial. Dengan demikian, untuk memahami transhumanisme secara utuh, perlu ditelusuri genealogi intelektualnya yang menghubungkan dimensi ontologis, epistemologis, dan etis dari tradisi humanistik menuju era pascamanusia.¹

2.1.       Akar Humanisme dan Renaisans

Humanisme Renaisans pada abad ke-14 hingga ke-16 menjadi fondasi filosofis bagi lahirnya transhumanisme. Tokoh-tokoh seperti Pico della Mirandola dalam Oratio de Hominis Dignitate menegaskan bahwa manusia memiliki martabat karena kemampuannya membentuk dan melampaui dirinya sendiri.² Pandangan ini memunculkan gagasan tentang manusia sebagai animal rationale yang sekaligus homo faber—makhluk yang menciptakan dirinya melalui karya dan ilmu. Ide dasar ini menjadi embrio bagi prinsip transhumanis: bahwa manusia tidak hanya harus memahami dirinya, tetapi juga meningkatkan dirinya melalui potensi akalnya.

Dalam konteks ini, Renaisans menjadi titik awal pergeseran pandangan dari teosentrisme menuju antroposentrisme. Jika pada Abad Pertengahan manusia dianggap sebagai ciptaan yang tunduk pada kehendak ilahi, maka pada masa Renaisans, manusia dipandang sebagai subjek otonom yang memiliki potensi tanpa batas.³ Transhumanisme kemudian melanjutkan warisan ini dengan mengganti “pendidikan dan kebudayaan” (sebagaimana ideal humanisme klasik) dengan “teknologi dan rekayasa biologi” sebagai medium penyempurnaan diri manusia.

2.2.       Rasionalisme dan Pencerahan

Era Pencerahan pada abad ke-17 dan ke-18 memperkuat kepercayaan terhadap kekuatan rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Tokoh seperti René Descartes memperkenalkan dualisme antara res cogitans (pikiran) dan res extensa (materi), yang kemudian membuka jalan bagi proyek manusia untuk menguasai alam melalui metode ilmiah.⁴ Rasionalisme Descartes, empirisisme Bacon, dan optimisme Kantian terhadap kemajuan moral dan rasionalitas kolektif menjadi fondasi epistemologis bagi transhumanisme yang memandang kemajuan teknologi sebagai manifestasi logis dari kemampuan berpikir manusia.

Selain itu, semangat positivisme ilmiah yang dikembangkan oleh Auguste Comte turut memperkuat keyakinan bahwa semua fenomena, termasuk kesadaran dan kehidupan, dapat dijelaskan melalui hukum-hukum ilmiah.⁵ Transhumanisme mengadopsi prinsip ini dengan menyatakan bahwa sifat biologis manusia bukanlah batas metafisik, melainkan sistem material yang dapat dimodifikasi dan dioptimalkan. Maka, proyek transhumanis muncul sebagai kelanjutan ekstrem dari rasionalitas modern yang percaya pada kekuasaan sains untuk menebus keterbatasan manusia.

2.3.       Darwinisme, Evolusionisme, dan Optimisme Bioteknologis

Revolusi Darwin pada abad ke-19 memberi dampak besar terhadap pandangan manusia tentang dirinya. Gagasan bahwa manusia adalah hasil proses evolusi membuka ruang bagi reinterpretasi tentang kemungkinan evolusi buatan (artificial evolution).⁶ Julian Huxley, cucu dari Thomas H. Huxley—pendukung utama Darwin—kemudian memperluas ide ini dalam bentuk evolusi transhumanistik, yaitu gagasan bahwa manusia dapat secara sadar mengarahkan evolusi dirinya menggunakan sains dan teknologi.⁷

Konsep “transcendence through evolution” yang dikemukakan Julian Huxley menjadi dasar teoretis bagi gerakan transhumanisme modern. Ia menegaskan bahwa evolusi biologis telah mencapai titik di mana manusia, sebagai makhluk sadar, memiliki kewajiban moral untuk melanjutkan proses evolusi tersebut melalui inovasi teknologi.⁸ Pandangan ini menandai peralihan dari evolusi alamiah menuju evolusi teknologis sebagai fase baru perkembangan manusia.

2.4.       Era Digital dan Lahirnya Transhumanisme Modern

Pada akhir abad ke-20, kemunculan komputer, sibernetika, dan kecerdasan buatan memperluas cakrawala filosofis transhumanisme. Tokoh seperti Max More mengembangkan philosophical transhumanism yang menekankan peningkatan kemampuan manusia melalui teknologi yang rasional dan etis.⁹ Sementara itu, Nick Bostrom mendirikan Future of Humanity Institute di Universitas Oxford untuk meneliti risiko dan potensi masa depan manusia di era pascabiologis.¹⁰

Gagasan singularity yang diperkenalkan oleh Ray Kurzweil menggambarkan titik di mana kecerdasan buatan melampaui kemampuan manusia, menghasilkan perubahan radikal terhadap struktur kesadaran dan eksistensi.¹¹ Di sinilah transhumanisme memasuki ranah metafilosofis: bukan sekadar proyek ilmiah, tetapi suatu visi ontologis baru tentang apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang semakin terotomatisasi.


Sintesis Genealogis

Secara genealogis, transhumanisme merupakan hasil dialektika antara optimisme humanistik Renaisans, rasionalitas Pencerahan, determinisme ilmiah modern, dan teknologisasi kehidupan kontemporer. Ia mewarisi semangat antroposentrisme, namun sekaligus menantangnya dengan menghadirkan manusia sebagai entitas yang dapat ditransendensikan melalui teknologi. Dalam pengertian ini, transhumanisme adalah bentuk “neo-humanisme teknologis” yang merevisi esensi kemanusiaan berdasarkan kemampuan manusia untuk mencipta dirinya sendiri secara ilmiah.¹²


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 11–13.

[2]                Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Gateway Editions, 1956), 3–7.

[3]                Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness: Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 45.

[4]                René Descartes, Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 32.

[5]                Auguste Comte, The Positive Philosophy (London: George Bell & Sons, 1896), 12–18.

[6]                Peter J. Bowler, Evolution: The History of an Idea (Berkeley: University of California Press, 2009), 145.

[7]                Julian Huxley, New Bottles for New Wine (London: Chatto & Windus, 1957), 15–20.

[8]                Steve Fuller and Veronika Lipińska, The Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 9–12.

[9]                Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The Transhumanist Reader: Classical and Contemporary Essays on the Science, Technology, and Philosophy of the Human Future, ed. Max More and Natasha Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 3–14.

[10]             Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,” Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 1–25.

[11]             Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 20–25.

[12]             James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 42–45.


3.           Ontologi Transhumanisme: Hakikat Manusia dan Teknologi

Transhumanisme, sebagai proyek filosofis sekaligus gerakan kultural, menantang pemahaman tradisional tentang hakikat manusia. Secara ontologis, transhumanisme memandang manusia bukan sebagai entitas yang statis dan final, melainkan sebagai makhluk yang bersifat terbuka, plastis, dan dapat ditransformasikan melalui teknologi.¹ Teknologi dalam hal ini bukan hanya instrumen eksternal bagi manusia, tetapi bagian integral dari keberadaan manusia itu sendiri—sebuah “ontologi sibernetik” di mana manusia dan mesin berinteraksi dalam suatu sistem eksistensial yang saling membentuk.

3.1.       Manusia sebagai Entitas yang Dapat Ditingkatkan

Ontologi transhumanisme berangkat dari pandangan bahwa batas biologis manusia bukanlah ketetapan metafisik, melainkan kondisi kontingen yang dapat diubah melalui pengetahuan ilmiah.² Manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi evolutif tanpa batas, dan karena itu, peningkatan (enhancement) fisik maupun mental merupakan bagian dari aktualisasi esensinya. Dalam kerangka ini, tubuh manusia bukanlah “penjara jiwa” sebagaimana dalam dualisme Cartesian, melainkan medium yang dapat direkayasa untuk memperluas eksistensi.³

Dengan demikian, tubuh dipandang sebagai “proyek ontologis” yang selalu terbuka untuk modifikasi—melalui bioteknologi, neuroengineering, dan integrasi mesin-biologis.⁴ Pandangan ini mengarah pada konsepsi manusia sebagai self-designing being, yaitu makhluk yang membentuk dirinya sendiri melalui intervensi teknologis. Proses ini menandai transisi dari human being menuju posthuman being, di mana eksistensi manusia tidak lagi ditentukan oleh batas biologis, tetapi oleh kemampuan teknologis dan kognitifnya.⁵

3.2.       Relasi Ontologis antara Manusia dan Teknologi

Dalam kerangka transhumanisme, teknologi bukanlah alat eksternal yang tunduk sepenuhnya pada kehendak manusia, melainkan entitas ko-evolusioner yang membentuk eksistensi manusia secara ontologis. Pemikiran ini dekat dengan gagasan Martin Heidegger mengenai teknologi sebagai Gestell—suatu cara keberadaan yang menata realitas.⁶ Bedanya, jika Heidegger mengkritik bahaya “penguasaan total” teknologi atas keberadaan, transhumanisme justru menegaskan potensi emansipatoris teknologi untuk memperluas makna menjadi manusia.

Menurut Don Ihde, teknologi selalu bersifat mediatif; ia tidak netral, tetapi menjadi “co-agent” dalam membentuk pengalaman dan dunia manusia.⁷ Transhumanisme mengadopsi pandangan ini dengan menganggap teknologi sebagai ekstensi eksistensial manusia—baik secara fisik (melalui prostetik dan augmentasi) maupun mental (melalui kecerdasan buatan dan integrasi digital). Dengan demikian, hubungan manusia-teknologi dalam ontologi transhumanis bersifat simbiotik: manusia menciptakan teknologi, dan teknologi menciptakan kembali manusia.

Paradigma ini disebut oleh Andy Clark sebagai extended mind thesis, yaitu pandangan bahwa pikiran manusia tidak terbatas pada otak, melainkan meluas ke dunia eksternal melalui alat dan sistem informasi.⁸ Dalam konteks transhumanisme, tesis ini menemukan bentuk ekstremnya: kesadaran manusia dapat dipindahkan, disalin, atau diperluas ke dalam jaringan komputasional (mind uploading), menjadikan batas antara manusia dan mesin semakin kabur.

3.3.       Posthuman: Identitas, Kesadaran, dan Tubuh Digital

Konsep posthuman menjadi pusat dari ontologi transhumanisme. Posthuman bukan sekadar “manusia yang lebih baik,” tetapi makhluk baru yang melampaui batas biologis dan epistemik manusia modern.⁹ Dalam visi ini, tubuh manusia dapat digantikan oleh substrat non-biologis tanpa kehilangan kesadaran—sebuah bentuk keberadaan yang disebut oleh Hans Moravec sebagai informational being.¹⁰

Namun, pandangan ini menimbulkan persoalan ontologis yang mendalam: jika kesadaran dapat diunggah ke sistem digital, apakah entitas tersebut masih memiliki “ke-aku-an” (selfhood) yang autentik?¹¹ Apakah identitas personal bergantung pada kontinuitas material tubuh, atau cukup pada kontinuitas pola informasi dan memori? Pertanyaan ini menyingkap dilema antara ontologi material dan ontologi informasi yang menjadi inti refleksi transhumanistik.

Sementara itu, Katherine Hayles mengingatkan bahwa reduksi manusia menjadi informasi semata berisiko mengabaikan peran tubuh dan afektivitas dalam kesadaran manusia.¹² Dengan kata lain, proyek posthumanisme digital dapat menyebabkan “disembodiment of humanity,” yakni pemisahan eksistensi manusia dari dimensi fenomenologisnya. Kritik ini penting untuk menjaga keseimbangan antara visi teknologis transhumanisme dan kesadaran filosofis tentang keterikatan manusia pada dunia jasmaniah.

3.4.       Ontologi Teknologis: Dari Alat Menuju Kehadiran

Secara metafisis, transhumanisme merepresentasikan pergeseran dari ontologi substansial menuju ontologi relasional. Jika dalam filsafat klasik manusia dipahami sebagai substansi yang memiliki esensi tetap, maka dalam paradigma transhumanis manusia dipahami sebagai processual being—entitas yang ada melalui relasi dan transformasi teknologisnya.¹³ Teknologi di sini bukan lagi sekadar instrumen, melainkan modus keberadaan baru (modus essendi) yang memungkinkan manusia untuk berevolusi secara sadar.

Ontologi semacam ini mengarah pada apa yang disebut Stiegler sebagai technogenesis—proses di mana manusia dan teknologi berkembang bersama dalam sejarah evolusi.¹⁴ Dengan demikian, keberadaan manusia selalu bersifat teknologis sejak awal, dan proyek transhumanisme hanyalah tahap lanjut dari dinamika ini. Dalam perspektif ini, batas antara manusia dan mesin bukanlah pemisah ontologis, melainkan gradien kontinuitas eksistensial.

3.5.       Implikasi Ontologis: Keabadian, Identitas, dan Makna Eksistensi

Ontologi transhumanisme membawa implikasi metafisik yang luas. Pertama, ia membuka kemungkinan keabadian digital (digital immortality) melalui replikasi kesadaran.¹⁵ Kedua, ia menantang konsep klasik tentang identitas personal, karena keberadaan seseorang dapat diperbanyak atau dimodifikasi melalui teknologi informasi. Ketiga, ia menggugat makna eksistensi manusia: jika kehidupan dapat diperpanjang tanpa batas, apakah masih ada ruang bagi makna, penderitaan, dan kematian sebagai bagian dari eksistensi autentik?¹⁶

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa transhumanisme tidak hanya berbicara tentang masa depan teknologi, tetapi juga tentang metafisika keberadaan manusia itu sendiri. Ontologi transhumanis, dengan seluruh potensinya yang ambivalen, menuntun kita untuk mempertimbangkan kembali relasi antara menjadi (being), membuat (making), dan melampaui (transcending) dalam definisi manusia yang baru.¹⁷


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 45–48.

[2]                Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The Transhumanist Reader: Classical and Contemporary Essays on the Science, Technology, and Philosophy of the Human Future, ed. Max More and Natasha Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 6–9.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 56–57.

[4]                Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 25.

[5]                Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,” Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 8–12.

[6]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–14.

[7]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45.

[8]                Andy Clark and David Chalmers, “The Extended Mind,” Analysis 58, no. 1 (1998): 7–19.

[9]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 53.

[10]             Hans Moravec, Mind Children: The Future of Robot and Human Intelligence (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1988), 100–104.

[11]             Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 76–79.

[12]             N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 3–5.

[13]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 60–63.

[14]             Bernard Stiegler, Technics and Time, 1: The Fault of Epimetheus, trans. Richard Beardsworth and George Collins (Stanford: Stanford University Press, 1998), 134–138.

[15]             Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 321–324.

[16]             James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 88–90.

[17]             Steve Fuller and Veronika Lipińska, The Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 45–47.


4.           Epistemologi Transhumanisme: Pengetahuan, Rasionalitas, dan Kecerdasan Buatan

Epistemologi transhumanisme berakar pada keyakinan bahwa pengetahuan ilmiah dan rasionalitas teknologis adalah sarana utama untuk melampaui keterbatasan manusia. Dalam paradigma ini, knowing tidak lagi sekadar aktivitas kontemplatif, tetapi juga proses intervensi terhadap realitas melalui teknologi.¹ Pengetahuan menjadi kekuatan ontologis yang mengubah bukan hanya dunia, melainkan juga manusia itu sendiri. Epistemologi transhumanis, dengan demikian, merupakan bentuk epistemologi transformatif—yakni, pemahaman tentang kebenaran yang sekaligus berfungsi untuk mentransendensi kondisi manusiawi.

4.1.       Rasionalitas Ilmiah sebagai Dasar Epistemik

Transhumanisme menegaskan bahwa rasionalitas ilmiah (scientific rationality) merupakan dasar tertinggi dari pengetahuan.² Rasionalitas ini mewarisi semangat Pencerahan, di mana pengetahuan dipandang sebagai instrumen emansipasi manusia dari ketidaktahuan dan penderitaan. Namun, bila rasionalitas modern sebelumnya digunakan untuk menguasai alam, dalam transhumanisme ia diperluas menjadi sarana untuk menguasai kodrat manusia itu sendiri

Menurut Nick Bostrom, kemajuan sains dan teknologi menciptakan kondisi epistemik baru yang disebut epistemic acceleration—yakni percepatan kemampuan manusia untuk memperoleh, menyimpan, dan mengolah informasi.⁴ Ilmu pengetahuan bukan hanya menghasilkan kebenaran empiris, tetapi juga membuka jalan bagi rekayasa genetika, augmentasi otak, dan pengembangan kecerdasan buatan (AI) sebagai “alat epistemik” yang melampaui kapasitas biologis manusia. Dalam konteks ini, pengetahuan menjadi kekuatan evolusioner.

4.2.       Transformasi Rasionalitas: Dari Manusia ke Algoritma

Dalam pandangan transhumanisme, rasionalitas manusia bukanlah titik akhir, melainkan tahap dalam evolusi menuju rasionalitas algoritmik. Kecerdasan buatan dianggap sebagai perpanjangan (extension) dari kesadaran manusia yang mampu memproses data dengan kecepatan dan kompleksitas yang tak mungkin dicapai oleh otak biologis.⁵

Pemikiran Ray Kurzweil tentang technological singularity menegaskan bahwa ketika kecerdasan buatan melampaui kemampuan manusia, terjadi perubahan epistemologis radikal: kebenaran tidak lagi dihasilkan oleh subjek manusia, melainkan oleh sistem yang bersifat non-biologis.⁶ Rasionalitas menjadi terdistribusi dalam jaringan algoritmik global, menghasilkan bentuk baru pengetahuan yang bersifat collective, machine-mediated, dan self-improving.

Namun, pandangan ini juga menimbulkan problem filosofis: apakah entitas non-manusia dapat memiliki epistemic agency?⁷ Jika pengetahuan dihasilkan oleh sistem kecerdasan buatan tanpa kesadaran, apakah masih dapat disebut pengetahuan dalam arti filosofis? Dilema ini menunjukkan bahwa transhumanisme memperluas ranah epistemologi dari subjek rasional manusia ke sistem sibernetik yang otonom.

4.3.       Pengetahuan sebagai Augmentasi Kognitif

Epistemologi transhumanisme menempatkan teknologi sebagai instrumen augmentatif dari kemampuan kognitif manusia. Dalam kerangka ini, konsep extended cognition yang diperkenalkan oleh Andy Clark menjadi sangat relevan: pikiran manusia bukanlah sistem tertutup, melainkan jaringan terbuka yang dapat diperluas melalui alat-alat eksternal seperti komputer, jaringan neural buatan, dan implantasi otak.⁸

Proyek-proyek seperti neuro-enhancement atau brain-computer interface (BCI) berfungsi sebagai wujud nyata epistemologi transhumanis, karena memungkinkan manusia memperluas kapasitas persepsi, memori, dan penalaran di luar batas biologis.⁹ Hal ini mengubah epistemologi klasik yang berpusat pada subjek menjadi epistemologi simbiotik antara manusia dan mesin—sebuah bentuk co-intelligence.

Namun, sebagaimana diingatkan oleh Luciano Floridi, kemajuan ini juga menimbulkan apa yang ia sebut sebagai infospheric epistemology, yaitu kondisi di mana manusia hidup dalam lingkungan informasi yang begitu padat hingga kebenaran menjadi relatif terhadap arsitektur algoritma.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi transhumanis menghadapi tantangan baru: bagaimana memastikan validitas dan tanggung jawab moral dari pengetahuan yang dihasilkan oleh sistem non-manusia.

4.4.       Dari Rasionalitas Instrumental ke Rasionalitas Reflektif

Salah satu kritik utama terhadap transhumanisme adalah kecenderungannya untuk mengidentikkan rasionalitas dengan efisiensi teknologis.¹¹ Jürgen Habermas menyebut bentuk ini sebagai rasionalitas instrumental—rasionalitas yang berfokus pada efektivitas sarana, bukan nilai-nilai tujuan. Dalam konteks transhumanisme, pengetahuan sering kali diukur berdasarkan kapasitas teknologinya untuk mempercepat proses dan meningkatkan performa, bukan berdasarkan refleksi etis atau kebijaksanaan eksistensial.

Oleh karena itu, filsafat transhumanisme perlu melengkapi rasionalitas instrumental dengan rasionalitas reflektif, yakni kesadaran kritis atas batas dan implikasi moral dari pengetahuan.¹² Seperti diingatkan oleh Hans Jonas, tanggung jawab etis harus tumbuh seiring kekuatan teknologi, karena setiap pengetahuan yang mengubah manusia juga berpotensi mengubah esensi kemanusiaan itu sendiri.¹³

4.5.       Epistemologi Baru: Menuju Kesadaran Kolektif Digital

Transhumanisme memimpikan kondisi epistemik baru yang disebut collective mind—kesadaran bersama antara manusia dan mesin yang terhubung dalam jaringan digital global.¹⁴ Konsep ini berakar pada gagasan Pierre Teilhard de Chardin tentang noosphere, lapisan kognitif planet yang menyatukan seluruh kesadaran manusia. Dalam dunia digital, noosphere ini diwujudkan dalam bentuk internet, big data, dan jaringan kecerdasan buatan yang membangun planetary intelligence.¹⁵

Epistemologi transhumanis pada tahap ini menegaskan bahwa pengetahuan tidak lagi bersifat individual, melainkan kolaboratif, adaptif, dan berevolusi secara mandiri. Namun, kondisi ini juga menimbulkan risiko epistemik baru: hilangnya otonomi subjek dan munculnya algorithmic determinism, di mana keputusan kognitif manusia dikendalikan oleh logika sistem yang ia ciptakan sendiri.¹⁶

4.6.       Implikasi Epistemologis

Epistemologi transhumanisme menandai pergeseran besar dari paradigma humanistik menuju paradigma posthumanistik. Pengetahuan tidak lagi sekadar refleksi terhadap dunia, melainkan sarana untuk mencipta dunia baru, bahkan bentuk baru eksistensi.¹⁷ Dengan demikian, epistemologi transhumanis bukan hanya tentang “bagaimana manusia mengetahui,” tetapi juga tentang “bagaimana pengetahuan membentuk ulang manusia.” Dalam perspektif ini, pengetahuan menjadi kekuatan ontologis yang mampu menghapus batas antara subjek dan objek, antara pikiran dan materi, antara manusia dan mesin.¹⁸


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 78–81.

[2]                Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The Transhumanist Reader, ed. Max More and Natasha Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 9–12.

[3]                Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 36.

[4]                Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,” Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 10–13.

[5]                Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 48–50.

[6]                Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 25–29.

[7]                David J. Gunkel, The Machine Question: Critical Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012), 7–9.

[8]                Andy Clark and David Chalmers, “The Extended Mind,” Analysis 58, no. 1 (1998): 12–14.

[9]                Anders Sandberg, “Cognitive Enhancement: Methods, Ethics, Regulatory Challenges,” Science and Engineering Ethics 17, no. 3 (2011): 405–410.

[10]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 53–56.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 228–231.

[12]             Steve Fuller and Veronika Lipińska, The Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 57.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–12.

[14]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 180–185.

[15]             Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 111–113.

[16]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 73–76.

[17]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 95–97.

[18]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 84–86.


5.           Etika dan Aksiologi Transhumanisme

Etika dan aksiologi transhumanisme berupaya menjawab pertanyaan paling mendasar tentang nilai dan tanggung jawab moral manusia di era pascabiologis. Bila transhumanisme adalah proyek untuk mentransendensi batas-batas biologis manusia, maka problem etisnya terletak pada bagaimana batas moral itu sendiri diredefinisi.¹ Etika transhumanisme tidak sekadar menyoal “apa yang boleh” dilakukan oleh sains, tetapi juga “apa yang seharusnya” menjadi tujuan kemanusiaan di tengah revolusi bioteknologis dan digital. Dengan kata lain, ia menempatkan pertanyaan aksiologis tentang makna baik, bernilai, dan manusiawi dalam horizon yang telah berubah secara radikal oleh teknologi.

5.1.       Prinsip Moral dalam Peningkatan Manusia (Human Enhancement)

Salah satu isu etis utama dalam transhumanisme adalah gagasan peningkatan manusia (human enhancement).² Proyek ini mencakup upaya memperluas kapasitas biologis, kognitif, dan emosional manusia melalui intervensi teknologi—mulai dari rekayasa genetika, neural implants, hingga imortalitas digital.³ Para pendukungnya, seperti Nick Bostrom dan Julian Savulescu, berpendapat bahwa peningkatan diri secara teknologi merupakan perpanjangan dari aspirasi moral manusia untuk memperbaiki kondisi eksistensialnya.⁴ Dalam pandangan ini, tidak ada perbedaan moral antara mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan alami; keduanya adalah ekspresi kebajikan rasional manusia.

Namun, pihak kritis seperti Francis Fukuyama menilai bahwa human enhancement berpotensi menghapus “faktor manusia” (factor X)—yakni dimensi moral dan spiritual yang membuat manusia tetap manusia.⁵ Jika esensi manusia direduksi menjadi objek rekayasa, maka moralitas kehilangan fondasi antropologisnya. Dengan demikian, proyek peningkatan manusia menimbulkan dilema: apakah teknologi membebaskan manusia dari keterbatasan, atau justru menghapus makna keberadaannya sebagai makhluk bermoral?

5.2.       Dilema Bioetika dan Tanggung Jawab Moral Ilmuwan

Transhumanisme membawa implikasi bioetika yang kompleks. Rekayasa genetik, cloning, kecerdasan buatan, dan integrasi manusia-mesin menimbulkan pertanyaan tentang batas moral sains. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menegaskan bahwa kekuatan teknologi yang mampu mengubah hakikat manusia menuntut prinsip etis baru: setiap tindakan teknologi harus mempertimbangkan konsekuensinya bagi masa depan umat manusia.⁶ Prinsip ini dikenal sebagai heuristik ketakutan (heuristics of fear)—yakni, kesadaran bahwa potensi destruktif teknologi harus selalu menjadi dasar kehati-hatian moral.

Dalam konteks ini, transhumanisme menuntut lahirnya etika futuristik yang disebut proactionary principle, sebagaimana dikembangkan oleh Steve Fuller dan Max More.⁷ Berbeda dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang menekankan pembatasan terhadap inovasi, prinsip proactionary mendorong eksplorasi teknologi sejauh disertai tanggung jawab moral dan transparansi sosial. Dengan demikian, etika transhumanis berupaya menyeimbangkan antara kebebasan berinovasi dan tanggung jawab terhadap konsekuensinya.⁸

5.3.       Nilai, Kebebasan, dan Martabat Manusia

Aksiologi transhumanisme berpusat pada reinterpretasi konsep kebebasan (freedom) dan martabat manusia (human dignity). Kebebasan dalam paradigma ini tidak lagi dimaknai semata sebagai otonomi moral, melainkan juga sebagai kemampuan teknologis untuk menentukan kondisi eksistensial diri.⁹ Dengan kata lain, manusia bebas bukan hanya karena dapat memilih, tetapi karena mampu mendesain ulang dirinya sendiri.

Namun, redefinisi kebebasan ini menimbulkan problem etis: apakah kebebasan yang dibentuk oleh teknologi tetap bersifat autentik? Jürgen Habermas memperingatkan bahwa rekayasa genetik dan augmentasi biologis dapat mengubah struktur moral masyarakat dengan menciptakan “ketergantungan asimetris” antara manusia yang dimodifikasi dan yang tidak.¹⁰ Akibatnya, konsep martabat manusia yang bersifat universal dapat tergantikan oleh hierarki biologis dan teknologis.

Dalam konteks aksiologi, nilai tertinggi transhumanisme terletak pada gagasan perbaikan diri tanpa batas (self-perfection through technology).¹¹ Akan tetapi, ketika kesempurnaan menjadi tujuan mutlak, manusia berisiko kehilangan dimensi eksistensialnya yang paling manusiawi: keterbatasan, penderitaan, dan mortalitas—yang justru menjadi sumber makna etis dan empati.¹²

5.4.       Etika Relasional dan Solidaritas Posthuman

Etika transhumanisme juga mengandung aspek relasional yang menyoroti hubungan antara manusia, teknologi, dan lingkungan.¹³ Dalam dunia pascamanusia, di mana kesadaran dapat didistribusikan ke dalam sistem kecerdasan buatan dan jaringan digital, nilai moral tidak lagi hanya berlaku bagi manusia biologis, tetapi juga bagi entitas non-manusia (non-human agents).

Rosi Braidotti dalam The Posthuman menekankan perlunya etika posthuman yang berlandaskan pada solidaritas antar-entitas (human dan non-human) dalam jaringan kehidupan.¹⁴ Etika ini bersifat inklusif dan ekosentris, menolak antroposentrisme yang menjadi akar krisis moral modernitas. Dalam kerangka ini, transhumanisme dapat dilihat sebagai upaya memperluas horizon etika dari kemanusiaan ke planetary ethics, di mana nilai moral meliputi ekosistem, kecerdasan buatan, dan kehidupan sintetis.¹⁵

Namun, kritik muncul ketika nilai solidaritas ini berbenturan dengan kepentingan ekonomi dan politik teknologi. Kate Crawford menunjukkan bahwa pengembangan AI sering kali memperkuat ketimpangan sosial dan eksploitasi sumber daya global, sehingga etika transhumanis harus juga memperhatikan dimensi keadilan sosial (technological justice).¹⁶

5.5.       Antara Etika Utilitarian dan Deontologis

Transhumanisme sering kali diinterpretasikan melalui paradigma etika utilitarian, yaitu maksimisasi kebahagiaan dan pengurangan penderitaan melalui teknologi.¹⁷ Prinsip ini tampak dalam gagasan David Pearce tentang hedonistic imperative, yang memimpikan dunia bebas penderitaan melalui bioteknologi dan neuroengineering.¹⁸ Namun, pendekatan utilitarian menghadapi kritik karena cenderung mengabaikan nilai intrinsik manusia dan mengukur moralitas secara kuantitatif.

Sebaliknya, pendekatan deontologis, yang berakar pada Immanuel Kant, menekankan kewajiban moral terhadap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself).¹⁹ Dalam konteks transhumanisme, etika deontologis menuntut agar setiap inovasi teknologi menghormati nilai intrinsik manusia, bukan menjadikannya sekadar sarana untuk efisiensi atau keuntungan. Oleh karena itu, sintesis antara utilitarianisme dan deontologi menjadi penting agar etika transhumanisme tidak jatuh ke ekstrem teknokratis atau moralistik.²⁰

5.6.       Aksiologi Transhumanisme: Menuju Nilai Kemanusiaan Baru

Aksiologi transhumanisme berpuncak pada upaya membangun sistem nilai baru yang menyesuaikan diri dengan realitas teknologis.²¹ Nilai-nilai seperti adaptabilitas, keberlanjutan, empati digital, dan tanggung jawab planetar menjadi landasan bagi paradigma etis masa depan. Dalam visi ini, kemajuan teknologi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk memperluas potensi kemanusiaan dan menciptakan harmoni antara manusia, teknologi, dan alam.²²

Aksiologi transhumanis dengan demikian bukan sekadar pembenaran terhadap teknologi, melainkan proyek moral yang bertujuan menyeimbangkan antara kekuatan inovasi dan kebijaksanaan.²³ Ia menuntut integrasi antara ethos of enhancement dan ethos of care—dua prinsip yang menjamin bahwa dalam setiap langkah peningkatan manusia, nilai kemanusiaan tidak hilang, melainkan diperluas dalam horizon etis yang baru.²⁴


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 89–91.

[2]                Nick Bostrom and Julian Savulescu, eds., Human Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 1–3.

[3]                Anders Sandberg, “Cognitive Enhancement: Methods, Ethics, Regulatory Challenges,” Science and Engineering Ethics 17, no. 3 (2011): 405–410.

[4]                Julian Savulescu, “Procreative Beneficence: Why We Should Select the Best Children,” Bioethics 15, no. 5–6 (2001): 413–426.

[5]                Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 6–8.

[6]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–12.

[7]                Steve Fuller and Veronika Lipińska, The Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 30–33.

[8]                Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The Transhumanist Reader, ed. Max More and Natasha Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 15–17.

[9]                Nick Bostrom, “Transhumanist Values,” Review of Contemporary Philosophy 4 (2005): 3–14.

[10]             Jürgen Habermas, The Future of Human Nature (Cambridge: Polity Press, 2003), 21–24.

[11]             Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 41–44.

[12]             Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 112–115.

[13]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 93–95.

[14]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 100–104.

[15]             Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 12–15.

[16]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 85–88.

[17]             David Pearce, The Hedonistic Imperative (London: BLTC Research, 1995), 5–9.

[18]             Ibid., 11–13.

[19]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 37–39.

[20]             Thomas Metzinger, Ethics of Artificial Consciousness (Oxford: Oxford University Press, 2023), 76–79.

[21]             James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 118–122.

[22]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 67–70.

[23]             Steve Fuller, Humanity 2.0, 56–59.

[24]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 96–99.


6.           Kritik terhadap Transhumanisme

Transhumanisme, meskipun menawarkan visi optimistis tentang masa depan manusia yang melampaui keterbatasan biologis, telah menimbulkan perdebatan filosofis, etis, dan teologis yang mendalam. Para kritikus menilai bahwa di balik janji peningkatan kemanusiaan, transhumanisme menyimpan bahaya dehumanisasi, teknologisasi moralitas, dan reduksi eksistensi manusia menjadi data.¹ Gerakan ini dinilai berpotensi mengaburkan batas antara manusia dan mesin, antara subjek dan algoritma, hingga antara nilai moral dan efisiensi teknologis.

Kritik terhadap transhumanisme dapat dibagi ke dalam beberapa ranah utama: humanistik, teologis, ekofilosofis, dan politik-ekonomi. Masing-masing menunjukkan bahwa ambisi untuk menjadi “lebih dari manusia” justru dapat berujung pada kehilangan makna kemanusiaan itu sendiri.

6.1.       Kritik Humanistik: Kehilangan Makna Eksistensial

Kritik humanistik menyoroti bahwa transhumanisme mengancam esensi manusia sebagai makhluk yang sadar akan keterbatasannya.² Dalam tradisi eksistensialisme, keterbatasan dan kefanaan justru menjadi sumber makna etis dan spiritual manusia. Martin Heidegger menegaskan bahwa pengalaman “ada-menuju-kematian” (Sein-zum-Tode) merupakan dimensi autentik eksistensi.³ Dengan menolak mortalitas dan menggantinya dengan imortalitas digital, transhumanisme secara tidak langsung menolak keaslian eksistensi itu sendiri.

Lebih jauh, Hubert Dreyfus mengkritik rasionalitas teknologis transhumanisme sebagai bentuk “kesombongan epistemik”—yakni keyakinan bahwa algoritma dapat menggantikan intuisi manusia.⁴ Dalam kerangka ini, manusia berisiko menjadi entitas yang kehilangan spontanitas, emosi, dan kebijaksanaan praktis (phronesis) yang menjadi ciri khas kemanusiaan.⁵ Transhumanisme, alih-alih memuliakan manusia, justru mengubahnya menjadi proyek yang tak pernah selesai dan kehilangan makna eksistensialnya.

6.2.       Kritik Teologis: Transhumanisme sebagai Neo-Gnostisisme

Dari perspektif teologis, transhumanisme sering dianggap sebagai bentuk neo-gnostisisme modern—yakni keyakinan bahwa keselamatan manusia terletak pada pengetahuan dan pembebasan dari tubuh material.⁶ Francis Fukuyama menilai bahwa gerakan ini secara ideologis berbahaya karena berusaha “menciptakan manusia baru” tanpa mempedulikan batas moral dan spiritual yang membedakan manusia dari Tuhan.⁷

Dalam pandangan teologis Kristen, manusia diciptakan imago Dei—dengan keterbatasan yang justru mencerminkan kebijaksanaan ilahi.⁸ Transhumanisme, dengan ambisi menghapus penderitaan dan kematian, dianggap sebagai upaya meniadakan kebutuhan akan transendensi. Seperti dikemukakan Brent Waters, upaya mengunggah kesadaran ke mesin (mind uploading) merupakan bentuk “penebusan teknologis” yang meniru eskatologi religius tanpa Tuhan.⁹

Kritik teologis ini juga menyoroti bahaya spiritual dari “idola teknologi”, di mana manusia menggantikan Tuhan dengan algoritma sebagai sumber kebenaran dan keselamatan.¹⁰ Dalam konteks ini, transhumanisme dipandang bukan sebagai kemajuan moral, tetapi sebagai bentuk baru dari hybris manusia modern—keinginan untuk menjadi ilahi melalui mesin.¹¹

6.3.       Kritik Ekofilosofis: Krisis Lingkungan dan Ketimpangan Bioteknologis

Kritik ekofilosofis menyoroti bahwa orientasi transhumanisme terhadap peningkatan individu sering kali mengabaikan keberlanjutan ekologis dan kesetaraan global.¹² Pandangan ini berpijak pada gagasan Rosi Braidotti bahwa proyek transhumanis bersifat antropo-teknosentris—menempatkan manusia (dan teknologinya) di pusat semesta, sementara entitas non-manusia seperti hewan, alam, dan ekosistem dianggap sekadar sumber daya.¹³

Selain itu, transhumanisme juga menghadapi problem ketimpangan bioteknologis. Akses terhadap teknologi peningkatan tubuh atau kecerdasan buatan kemungkinan besar hanya tersedia bagi kalangan elit global, memperluas jurang sosial antara manusia “ditingkatkan” dan manusia “alami”.¹⁴ Kondisi ini menimbulkan apa yang disebut James Hughes sebagai “bioteknokrasi”, yakni sistem sosial di mana kekuasaan ditentukan oleh akses terhadap teknologi biologis dan digital.¹⁵

Dari sudut pandang etika lingkungan, proyek keabadian digital dan peningkatan manusia yang mengandalkan energi dan sumber daya besar juga berpotensi memperburuk krisis ekologi.¹⁶ Dengan demikian, transhumanisme berisiko menciptakan dunia di mana keberlanjutan ekologis dikorbankan demi ideal teknologis yang bersifat antroposentris.

6.4.       Kritik Politik dan Ekonomi: Kapitalisme Digital dan Kekuasaan Algoritma

Transhumanisme juga dikritik karena keterkaitannya dengan logika kapitalisme digital.¹⁷ Para pemikir kritis seperti Shoshana Zuboff dan Kate Crawford menunjukkan bahwa banyak proyek transhumanistik—seperti augmentasi neural, biohacking, atau AI superintelligent—dikendalikan oleh korporasi besar yang memonopoli data dan sumber daya global.¹⁸

Dalam konteks ini, transhumanisme berfungsi bukan sebagai gerakan emansipatoris, tetapi sebagai bentuk lanjutan dari kapitalisme yang menubuhkan dirinya dalam tubuh manusia.¹⁹ Tubuh dan pikiran manusia menjadi komoditas baru dalam ekonomi digital: data personal, emosi, dan memori dijadikan bahan mentah bagi sistem algoritmik.²⁰ Akibatnya, manusia bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga produk dari sistem ekonomi digital yang ia ciptakan.

Selain itu, kekuasaan algoritma dalam pengambilan keputusan sosial dan politik menimbulkan ancaman terhadap kebebasan dan otonomi manusia.²¹ Jika keputusan moral dan politik diambil berdasarkan kalkulasi algoritmik, maka rasionalitas manusia direduksi menjadi fungsi dari efisiensi sistem. Kritik ini mengingatkan bahwa transhumanisme berisiko menggeser nilai-nilai demokratis ke dalam logika teknokratis yang tidak manusiawi.²²

6.5.       Kritik Filosofis: Ilusi Kemajuan dan Krisis Ontologis

Dari sudut pandang filosofis, banyak pemikir menilai bahwa transhumanisme menderita ilusi kemajuan (progress fallacy)—yakni keyakinan bahwa setiap peningkatan teknologis identik dengan peningkatan moral dan eksistensial.²³ Hubert Dreyfus dan Charles Taylor berargumen bahwa teknologi tidak dapat menggantikan dimensi hermeneutik manusia yang berakar pada makna, emosi, dan relasi antarpribadi.²⁴

Lebih jauh, Luciano Floridi menunjukkan bahwa dunia yang sepenuhnya diatur oleh informasi dan algoritma akan menimbulkan “krisis ontologis”—yakni kehilangan batas antara realitas dan simulasi.²⁵ Dalam kondisi ini, manusia berisiko kehilangan orientasi eksistensialnya, karena kebenaran dan identitas menjadi hasil rekayasa digital semata.

Akhirnya, kritik filosofis menegaskan bahwa transhumanisme, dengan seluruh potensinya, mengabaikan dimensi tragis dari eksistensi manusia: penderitaan, kesementaraan, dan keterikatan dengan dunia nyata.²⁶ Tanpa kesadaran akan keterbatasan, manusia kehilangan kemampuan untuk berbelas kasih, bersyukur, dan menghayati makna kehidupan. Dengan demikian, proyek untuk menjadi “lebih dari manusia” justru dapat mengarah pada keadaan yang “kurang manusiawi.”²⁷


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 102–104.

[2]                Jean-François Lyotard, The Inhuman: Reflections on Time, trans. Geoffrey Bennington and Rachel Bowlby (Stanford: Stanford University Press, 1991), 14–17.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 284–289.

[4]                Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 56–59.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 211–214.

[6]                Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian Theology and Technology in a Postmodern World (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 22–25.

[7]                Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 16–18.

[8]                John Paul II, Evangelium Vitae (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1995), 29–31.

[9]                Brent Waters, This Mortal Flesh: Incarnation and Bioethics (Grand Rapids, MI: Brazos Press, 2009), 42–45.

[10]             Jacques Ellul, The Technological Society, trans. John Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 89–93.

[11]             Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 67–70.

[12]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 92–96.

[13]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 112–115.

[14]             Nick Bostrom, “The Future of Human Evolution,” in Death and Anti-Death: Two Hundred Years After Kant, Fifty Years After Turing, ed. Charles Tandy (Palo Alto: Ria University Press, 2004), 5–7.

[15]             James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 128–130.

[16]             Peter J. Bowler, Evolution: The History of an Idea (Berkeley: University of California Press, 2009), 312–315.

[17]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 34–37.

[18]             Kate Crawford, Atlas of AI, 104–107.

[19]             Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 44–48.

[20]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 101–104.

[21]             Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 62–65.

[22]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 376–380.

[23]             David J. Gunkel, The Machine Question: Critical Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012), 11–13.

[24]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 56–60.

[25]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 83–87.

[26]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 97–100.

[27]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 108–110.


7.           Relevansi Kontemporer Transhumanisme

Transhumanisme, sebagai gerakan filosofis, ilmiah, dan kultural, memiliki relevansi yang sangat kuat dalam konteks dunia kontemporer. Di tengah kemajuan bioteknologi, kecerdasan buatan (AI), dan digitalisasi global, transhumanisme tidak hanya menjadi wacana teoretis, tetapi juga realitas sosial dan politik yang mengubah cara manusia memahami diri dan dunia.¹ Gerakan ini memberikan kerangka interpretatif untuk membaca fenomena kemanusiaan modern—mulai dari teknologi medis, politik algoritma, hingga moralitas digital—serta menimbulkan pertanyaan filosofis baru mengenai makna kemajuan, keadilan, dan keberlanjutan eksistensi manusia.

7.1.       Transhumanisme dalam Era Digital dan AI

Kemunculan kecerdasan buatan telah mempercepat realisasi gagasan transhumanistik tentang integrasi manusia dan mesin.² Konsep augmented humanity kini mewujud dalam bentuk sistem kecerdasan buatan yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari: neural network, machine learning, hingga brain-computer interface.³ Teknologi ini memungkinkan manusia memperluas kapasitas kognitif dan sensoriknya, menciptakan bentuk baru dari kesadaran kolektif digital.

Namun, fenomena ini juga mempertegas kritik terhadap hilangnya batas ontologis antara manusia dan mesin. Luciano Floridi menyebut kondisi ini sebagai infosphere, yakni ruang eksistensial di mana manusia hidup bersama mesin cerdas dalam jaringan informasi yang saling terhubung.⁴ Dalam konteks ini, transhumanisme menjadi lensa untuk memahami transformasi epistemologis abad ke-21: manusia tidak lagi sekadar pencipta teknologi, tetapi juga produk dari sistem teknologis yang ia bangun.

Implikasi etis dari era digital ini sangat signifikan. Kecerdasan buatan yang mampu mengambil keputusan moral—seperti dalam sistem kendaraan otonom atau algoritma medis—menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral dan status etis dari entitas non-manusia.⁵ Transhumanisme menjadi relevan karena menawarkan kerangka untuk memikirkan ulang relasi antara kesadaran, kecerdasan, dan moralitas di era posthuman.

7.2.       Relevansi Sosial: Ketimpangan Teknologi dan Akses Bioteknologi

Dalam ranah sosial, transhumanisme memunculkan diskursus baru tentang keadilan teknologi (technological justice).⁶ Meskipun transhumanisme menjanjikan peningkatan kemampuan manusia, akses terhadap teknologi peningkatan tubuh, rekayasa genetika, atau perpanjangan usia cenderung terbatas pada kelompok ekonomi elit. Hal ini berpotensi melahirkan kelas baru yang disebut “enhanced elite”—manusia dengan kemampuan fisik dan kognitif melebihi rata-rata populasi.⁷

James Hughes memperingatkan bahwa tanpa kebijakan sosial yang egaliter, transhumanisme dapat memperkuat struktur ketimpangan ekonomi dan politik.⁸ Dalam masyarakat digital, tubuh manusia dapat menjadi “aset ekonomi,” dan kecerdasan buatan menjadi alat kontrol sosial. Oleh karena itu, relevansi kontemporer transhumanisme menuntut refleksi etis dan politis mengenai distribusi kekuasaan dalam masyarakat teknologi.

Lebih jauh, munculnya biohacking movement dan citizen science memperlihatkan bentuk demokratisasi pengetahuan transhumanistik, di mana masyarakat sipil mulai berpartisipasi dalam eksperimen bioteknologi.⁹ Ini menunjukkan bahwa transhumanisme bukan hanya proyek elit intelektual, melainkan juga gerakan kultural yang melibatkan masyarakat global dalam membentuk masa depan manusia.

7.3.       Relevansi dalam Pendidikan dan Epistemologi Digital

Di bidang pendidikan, transhumanisme mengubah paradigma pembelajaran.¹⁰ Teknologi digital dan sistem kecerdasan buatan memungkinkan lahirnya augmented learning—proses pendidikan yang tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu biologis.¹¹ Dalam perspektif transhumanistik, pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi rekayasa kesadaran untuk mempersiapkan manusia menghadapi era pascabiologis.

Steve Fuller menyebut transformasi ini sebagai “pendidikan evolusioner,” di mana tujuan pembelajaran bukan hanya membentuk moralitas, tetapi juga meningkatkan kapasitas kognitif manusia melalui integrasi teknologi.¹² Dalam konteks ini, transhumanisme menantang sistem pendidikan tradisional untuk beradaptasi dengan bentuk-bentuk kecerdasan non-biologis dan digital.

Namun, tantangan epistemologisnya juga besar. Pengetahuan di era digital rentan terhadap manipulasi algoritmik dan fragmentasi informasi.¹³ Karena itu, transhumanisme relevan sebagai kerangka filsafat kritis yang menuntut refleksi atas bagaimana manusia mengetahui dan mendidik diri di tengah dominasi data dan teknologi.

7.4.       Relevansi Politik dan Hukum: Etika Regulasi Teknologi

Perkembangan pesat bioteknologi, kecerdasan buatan, dan neuro-rights telah memunculkan persoalan hukum dan politik yang belum pernah dihadapi sebelumnya.¹⁴ Pertanyaan seperti: Apakah hak asasi manusia berlaku bagi kecerdasan buatan? Apakah pikiran digital memiliki privasi?—menjadi isu aktual dalam perdebatan transhumanistik.

Negara-negara seperti Chili, Spanyol, dan Jepang telah mulai mengembangkan kerangka hukum mengenai hak kognitif dan mental (cognitive liberty), yang secara eksplisit mengakui perlunya perlindungan terhadap otonomi pikiran di era interfacing otak-komputer.¹⁵ Dalam konteks ini, etika transhumanisme berperan penting dalam membentuk arah regulasi publik yang adil dan manusiawi.

Selain itu, World Economic Forum (WEF) dan UNESCO telah menyoroti pentingnya pendekatan etis terhadap AI dan bioteknologi yang berlandaskan hak asasi manusia dan tanggung jawab global.¹⁶ Transhumanisme menjadi relevan karena membuka wacana tentang masa depan etika hukum yang mampu mengimbangi percepatan inovasi teknologi.

7.5.       Relevansi Ekologis: Menuju Etika Planetar dan Keberlanjutan

Relevansi kontemporer transhumanisme juga tampak dalam relasinya dengan isu lingkungan dan keberlanjutan.¹⁷ Pandangan Rosi Braidotti dan Donna Haraway menunjukkan bahwa teknologi tidak bisa lagi dipisahkan dari ekosistem planet.¹⁸ Dalam konteks ini, transhumanisme perlu bertransformasi dari paradigma antroposentris menuju eko-transhumanisme, yaitu bentuk kesadaran baru yang mengintegrasikan teknologi dengan etika ekologis.

Konsep planetary posthumanism menekankan bahwa keberlanjutan bukan hanya masalah ekologi, tetapi juga masalah moralitas eksistensial manusia di era teknologi tinggi.¹⁹ Dengan memandang manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan dan informasi planetar, transhumanisme dapat berperan dalam membangun etika baru yang menyeimbangkan inovasi dengan tanggung jawab terhadap bumi.²⁰

7.6.       Relevansi Kultural dan Spiritualitas Baru

Dalam ranah kultural, transhumanisme menandai lahirnya bentuk spiritualitas baru yang tidak lagi berbasis teologi tradisional, melainkan pada keyakinan terhadap kemampuan manusia untuk “menyelamatkan diri” melalui teknologi.²¹ Yuval Noah Harari menyebut fenomena ini sebagai techno-religion, yaitu kepercayaan baru yang menggantikan Tuhan dengan algoritma dan data.²² Meskipun terkesan sekuler, spiritualitas transhumanistik menawarkan visi kebermaknaan baru: kehidupan yang diperpanjang, kesadaran yang diunggah, dan moralitas yang dikodekan dalam sistem digital.

Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga dimensi spiritualitas manusia agar tidak direduksi menjadi fungsi algoritmik.²³ Dalam konteks ini, transhumanisme tetap relevan sebagai medan refleksi eksistensial tentang hubungan antara iman, teknologi, dan kebijaksanaan moral di abad ke-21.


Kesimpulan Sementara: Menghadapi Dunia Posthuman

Relevansi kontemporer transhumanisme terletak pada kemampuannya untuk mengartikulasikan tensi antara kemajuan dan kebijaksanaan, antara peningkatan dan kemanusiaan.²⁴ Ia menjadi medan dialog antara filsafat, sains, etika, dan politik dalam menghadapi transformasi terbesar peradaban manusia.

Transhumanisme bukan sekadar visi futuristik, melainkan cermin zaman yang menampilkan wajah baru kemanusiaan: makhluk yang sedang bernegosiasi dengan batasnya sendiri.²⁵ Dalam dunia yang semakin digital, otomatis, dan saling terhubung, refleksi transhumanistik menjadi kebutuhan mendesak agar manusia tidak sekadar menjadi objek dari kemajuannya, tetapi tetap menjadi subjek yang sadar, etis, dan bertanggung jawab.²⁶


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 111–113.

[2]                Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 25–27.

[3]                Anders Sandberg, “Neural Interfaces and Human Enhancement,” Neuroethics 11, no. 2 (2018): 123–128.

[4]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 91–94.

[5]                Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 98–102.

[6]                James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 128–132.

[7]                Nick Bostrom, “Human Genetic Enhancements: A Transhumanist Perspective,” Journal of Value Inquiry 37, no. 4 (2003): 493–506.

[8]                Ibid., 502.

[9]                Hava Tirosh-Samuelson, “Transhumanism as a Secularist Faith,” Zygon: Journal of Religion and Science 47, no. 4 (2012): 710–712.

[10]             Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 54–56.

[11]             Max More and Natasha Vita-More, eds., The Transhumanist Reader (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 210–213.

[12]             Steve Fuller, The Knowledge Book: Key Concepts in Philosophy, Science, and Culture (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2014), 177–180.

[13]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 105–108.

[14]             Rafael Yuste et al., “Four Ethical Priorities for Neurotechnologies and AI,” Nature 551 (2017): 159–163.

[15]             Marcello Ienca and Roberto Andorno, “Towards New Human Rights in the Age of Neuroscience and Neurotechnology,” Life Sciences, Society and Policy 13, no. 1 (2017): 1–27.

[16]             World Economic Forum, Ethics by Design: Principles for AI and Autonomous Systems (Geneva: WEF, 2019), 3–5.

[17]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 130–134.

[18]             Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 23–25.

[19]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 115–117.

[20]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 143–147.

[21]             Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 287–291.

[22]             Ibid., 292–295.

[23]             Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian Theology and Technology in a Postmodern World (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 74–76.

[24]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 127–130.

[25]             Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge (Cambridge: Polity Press, 2019), 198–202.

[26]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 118–120.


8.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis dari transhumanisme merupakan upaya untuk memahami dan menyeimbangkan antara rasionalitas teknologis dan kebijaksanaan humanistik dalam menghadapi transformasi eksistensial manusia. Gerakan transhumanisme, dengan segala kompleksitasnya, menghadirkan tantangan baru bagi filsafat: bagaimana manusia tetap menjadi subjek etis dan bermakna di tengah kemajuan teknologi yang cenderung mengubah hakikat dirinya.¹ Sintesis ini berusaha merekonsiliasi antara potensi kreatif teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, sehingga proyek peningkatan manusia tidak berakhir pada dehumanisasi, melainkan pada bentuk baru humanisme transformatif.

8.1.       Rekonsiliasi antara Humanisme dan Transhumanisme

Meskipun secara historis transhumanisme berakar dari semangat humanisme Renaisans, keduanya berbeda dalam orientasi ontologis. Humanisme klasik menekankan pada pendidikan moral, rasionalitas, dan kesempurnaan batin, sementara transhumanisme berfokus pada perbaikan biologis dan teknologis manusia.² Namun, keduanya dapat disintesiskan melalui gagasan humanisme transformatif, yaitu pendekatan yang mengakui teknologi sebagai sarana etis untuk mewujudkan potensi manusia tanpa meniadakan nilai moralnya.³

Nick Bostrom menegaskan bahwa tujuan akhir transhumanisme bukanlah sekadar “menjadi mesin” atau “melampaui tubuh,” tetapi mengembangkan kapasitas manusia dalam kerangka moral yang bijaksana.⁴ Dengan demikian, humanisme dan transhumanisme tidak perlu dilihat sebagai antitesis, melainkan sebagai dua tahap dalam evolusi kesadaran manusia—yang satu menegaskan kemanusiaan melalui budaya, dan yang lain melalui teknologi.

Rekonsiliasi ini menuntut reinterpretasi konsep virtus dalam filsafat klasik: kebajikan bukan hanya dalam pengendalian diri, tetapi juga dalam kemampuan menggunakan teknologi untuk kebaikan.⁵ Manusia yang “diperluas” secara biologis tetap memerlukan kebijaksanaan moral untuk memastikan bahwa peningkatan kemampuan tidak menjadi sarana dominasi, melainkan sarana pelayanan terhadap kehidupan.

8.2.       Integrasi Ontologi dan Etika Teknologis

Sintesis filosofis juga menuntut integrasi antara ontologi teknologi dan etika eksistensial. Dalam kerangka ini, teknologi bukan lagi sekadar alat eksternal, tetapi bagian inheren dari struktur eksistensi manusia.⁶ Bernard Stiegler menyebut hubungan ini sebagai technogenesis—proses timbal balik antara manusia dan teknologi yang membentuk cara kita berpikir dan ada di dunia.⁷

Namun, agar technogenesis tidak berujung pada dominasi teknologi atas manusia, perlu dikembangkan prinsip teknomoralitas, yaitu kesadaran bahwa setiap inovasi teknologi mengandung konsekuensi etis terhadap eksistensi.⁸ Dalam kerangka ini, filsafat transhumanisme harus bersifat reflektif: ia tidak hanya menanyakan “apa yang dapat dilakukan oleh teknologi,” tetapi juga “apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan teknologi.”

Sintesis ontologis-etis ini membuka ruang bagi konsep teknologi bijaksana (wise technology)—suatu pandangan bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari kecepatan inovasi, tetapi dari kemampuannya menumbuhkan keadilan, empati, dan keberlanjutan kehidupan.⁹

8.3.       Kesatuan Epistemologis antara Rasionalitas dan Spiritualitas

Filsafat transhumanisme cenderung memisahkan rasionalitas ilmiah dari spiritualitas manusia. Namun, dalam konteks sintesis filosofis, keduanya dapat dipahami sebagai dua dimensi dari satu kesadaran evolusioner.¹⁰ Teilhard de Chardin dalam konsep noosphere menegaskan bahwa perkembangan kesadaran manusia menuju “kesadaran planetar” merupakan bentuk spiritualitas baru yang berakar pada evolusi ilmu pengetahuan.¹¹

Transhumanisme dapat mengadopsi gagasan ini dengan mengakui bahwa pencarian kebenaran ilmiah dan teknologi adalah bagian dari upaya spiritual manusia untuk memahami dan menyempurnakan ciptaan.¹² Sintesis epistemologis ini menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tanpa kesadaran etis berisiko menimbulkan nihilisme, sementara spiritualitas tanpa dasar rasional berpotensi jatuh ke dogmatisme.¹³

Dengan demikian, paradigma baru yang dapat disebut sebagai rasionalitas spiritual (spiritual rationality) menjadi inti dari sintesis filosofis transhumanisme—suatu bentuk pengetahuan yang memadukan sains, etika, dan kebijaksanaan eksistensial.¹⁴

8.4.       Etika Keberlanjutan dan Solidaritas Posthuman

Sintesis filosofis transhumanisme juga menuntut etika yang melampaui individualisme manusia modern menuju solidaritas posthuman. Dalam dunia yang semakin digital dan interkonektif, tanggung jawab moral tidak hanya berlaku antar-manusia, tetapi juga mencakup entitas non-manusia seperti AI, hewan, dan ekosistem planet.¹⁵

Rosi Braidotti menegaskan pentingnya membangun zoe-centric ethics—etika yang menempatkan kehidupan sebagai pusat nilai, bukan hanya manusia.¹⁶ Pandangan ini dapat diintegrasikan dengan visi transhumanistik yang mengakui bahwa peningkatan manusia hanya bermakna jika diarahkan pada keberlanjutan kehidupan bersama. Oleh karena itu, sintesis etis ini melahirkan prinsip eko-transhumanisme, yakni paradigma yang memadukan inovasi teknologi dengan tanggung jawab ekologis dan solidaritas global.¹⁷

Sintesis ini berimplikasi pada aksiologi baru: nilai tertinggi bukanlah keabadian individu, melainkan keberlanjutan kolektif kehidupan di bumi dan semesta.¹⁸ Dengan demikian, transhumanisme yang beretika tidak lagi hanya berorientasi pada “mengatasi manusia,” tetapi juga pada “merawat dunia.”

8.5.       Menuju Paradigma Kemanusiaan Baru

Hasil akhir dari sintesis filosofis ini adalah lahirnya paradigma baru tentang kemanusiaan reflektif—manusia yang sadar bahwa ia tidak hanya dapat mencipta, tetapi juga harus bertanggung jawab atas ciptaannya.¹⁹ Manusia transhuman bukan sekadar makhluk dengan kemampuan yang ditingkatkan, tetapi subjek etis yang memahami keterbatasannya sebagai bagian dari kebijaksanaan.

Paradigma ini sejalan dengan visi Hans Jonas tentang ethics of responsibility, yang menuntut manusia untuk mengintegrasikan kekuatan teknologinya dengan kesadaran moral terhadap masa depan kehidupan.²⁰ Dalam konteks ini, transhumanisme menemukan maknanya bukan dalam menghapus batas kemanusiaan, tetapi dalam memperluas horizon moralnya ke arah tanggung jawab universal.²¹

Oleh karena itu, sintesis filosofis transhumanisme tidak berakhir pada penciptaan manusia super, tetapi pada penciptaan manusia bijaksana (homo sapiens technologicus)—makhluk yang memahami bahwa menjadi manusia berarti terus berkembang, namun tetap berakar pada cinta, empati, dan kebijaksanaan.²²


Kesimpulan Sintetis

Sintesis filosofis transhumanisme mengajarkan bahwa teknologi, sains, dan filsafat tidak dapat dipisahkan dalam perjalanan evolusi kesadaran manusia.²³ Transhumanisme hanya akan memiliki nilai sejati bila dijiwai oleh semangat humanisme moral, kesadaran ekologis, dan rasionalitas spiritual. Dalam kerangka ini, masa depan manusia bukan sekadar tentang menjadi lebih cerdas atau lebih kuat, tetapi tentang menjadi lebih bertanggung jawab terhadap kehidupan dalam segala bentuknya.²⁴

Dengan demikian, filsafat transhumanisme menemukan keseimbangannya: teknologi sebagai sarana kebijaksanaan, dan kebijaksanaan sebagai arah teknologi.²⁵


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 121–123.

[2]                Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Gateway Editions, 1956), 5–8.

[3]                Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 72–75.

[4]                Nick Bostrom, “Transhumanist Values,” Review of Contemporary Philosophy 4 (2005): 6–9.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 29–32.

[6]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 43–45.

[7]                Bernard Stiegler, Technics and Time, 1: The Fault of Epimetheus, trans. Richard Beardsworth and George Collins (Stanford: Stanford University Press, 1998), 134–138.

[8]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 87–89.

[9]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–12.

[10]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 180–183.

[11]             Ibid., 185–187.

[12]             Max More and Natasha Vita-More, eds., The Transhumanist Reader (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 241–244.

[13]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 66–70.

[14]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 125–127.

[15]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 142–145.

[16]             Ibid., 146–148.

[17]             Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 35–38.

[18]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 155–158.

[19]             James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 140–143.

[20]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 127–130.

[21]             Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian Theology and Technology in a Postmodern World (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 79–81.

[22]             Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge (Cambridge: Polity Press, 2019), 211–214.

[23]             Steve Fuller and Veronika Lipińska, The Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 112–115.

[24]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 130–133.

[25]             Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 301–305.


9.           Kesimpulan

Transhumanisme, sebagai gerakan intelektual, ilmiah, dan filosofis, merupakan refleksi terdalam dari hasrat manusia untuk melampaui batas dirinya sendiri. Ia memadukan semangat rasionalitas ilmiah dari Pencerahan, humanisme moral dari Renaisans, dan optimisme futuristik dari revolusi digital.¹ Namun di balik visi kemajuan dan peningkatan kemampuan manusia, tersembunyi dilema mendasar yang bersifat ontologis, epistemologis, dan etis: apakah dalam upaya menjadi lebih dari manusia, manusia justru berisiko kehilangan makna kemanusiaannya?²

Transhumanisme menegaskan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai (unfinished being)—entitas yang dapat terus berevolusi melalui teknologi.³ Dalam perspektif ini, tubuh dan kesadaran bukanlah entitas tetap, melainkan proyek terbuka yang dapat dimodifikasi dan diperluas. Ontologi transhumanisme mengandung optimisme kreatif: bahwa teknologi dapat menjadi sarana aktualisasi potensi manusia. Namun, di sisi lain, ia juga menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam tentang tanggung jawab, makna, dan martabat manusia dalam dunia yang semakin didominasi oleh mesin dan algoritma.⁴

Secara epistemologis, transhumanisme menandai pergeseran dari pengetahuan humanistik menuju knowledge-as-technology—di mana mengetahui berarti juga mencipta.⁵ Pengetahuan tidak lagi sekadar kontemplatif, melainkan produktif dan transformatif, memungkinkan manusia untuk mengintervensi kondisi eksistensialnya sendiri. Namun, kondisi ini mengandung paradoks: ketika pengetahuan menjadi kekuatan teknologis yang nyaris tanpa batas, batas moral manusia justru menjadi kabur.⁶ Di sinilah filsafat berperan untuk mengembalikan orientasi epistemologi transhumanis ke dalam kesadaran reflektif, agar pengetahuan tidak terlepas dari kebijaksanaan.

Dari perspektif etika dan aksiologi, transhumanisme menimbulkan tantangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tradisional.⁷ Upaya peningkatan tubuh, pikiran, dan umur panjang tidak hanya menyentuh ranah ilmiah, tetapi juga nilai moral dan sosial. Etika transhumanisme menuntut adanya keseimbangan antara proactionary principle—semangat inovasi—dan precautionary principle—kesadaran tanggung jawab.⁸ Dengan demikian, kemajuan teknologi tidak boleh diukur hanya melalui efisiensi atau kecepatan, tetapi juga melalui kontribusinya terhadap martabat, keadilan, dan solidaritas manusia.

Kritik terhadap transhumanisme—baik dari sudut pandang humanistik, teologis, maupun ekofilosofis—menunjukkan bahwa proyek peningkatan manusia mengandung risiko alienasi dan ketimpangan.⁹ Namun kritik ini bukan alasan untuk menolak transhumanisme secara total, melainkan dorongan untuk menumbuhkan transhumanisme reflektif, yang mengintegrasikan semangat kemajuan dengan tanggung jawab moral dan ekologis.¹⁰ Dalam bentuknya yang matang, transhumanisme bukan hanya tentang menciptakan manusia yang lebih kuat atau cerdas, tetapi juga tentang menciptakan manusia yang lebih bijaksana, empatik, dan sadar akan keterbatasannya.

Secara sintesis, filsafat transhumanisme membuka peluang untuk membangun paradigma baru tentang humanisme transformatif—suatu pandangan yang mengakui bahwa teknologi adalah bagian dari kodrat manusia, tetapi tidak boleh menggantikan kemanusiaan itu sendiri.¹¹ Dalam paradigma ini, manusia tidak dilihat sebagai “puncak evolusi,” melainkan sebagai mediator antara alam, teknologi, dan kesadaran universal.¹² Dengan demikian, arah perkembangan manusia bukan menuju keabadian mekanistik, tetapi menuju kemanusiaan yang berkelanjutan (sustainable humanity)—sebuah kondisi di mana teknologi, etika, dan spiritualitas saling menopang dalam harmoni.

Akhirnya, transhumanisme menghadirkan ajakan filosofis untuk menemukan kembali makna menjadi manusia di era pascamanusia.¹³ Bukan dengan menolak teknologi, melainkan dengan mengintegrasikannya secara bijak dalam horizon moral dan eksistensial. Manusia masa depan yang ideal bukanlah makhluk yang bebas dari keterbatasan, tetapi makhluk yang mampu mengubah keterbatasan menjadi kebijaksanaan.¹⁴ Dalam hal ini, proyek transhumanistik yang sejati adalah proyek kemanusiaan itu sendiri: pencarian abadi terhadap makna, kebaikan, dan tanggung jawab di tengah kemajuan tanpa batas.¹⁵


Footnotes

[1]                Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 9–12.

[2]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 136–139.

[3]                Julian Huxley, New Bottles for New Wine (London: Chatto & Windus, 1957), 17–19.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 15–18.

[5]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 102–106.

[6]                Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,” Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 12–15.

[7]                Nick Bostrom and Julian Savulescu, eds., Human Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 4–8.

[8]                Steve Fuller and Veronika Lipińska, The Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 37–40.

[9]                Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 6–9.

[10]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 152–155.

[11]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 190–193.

[12]             Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 40–43.

[13]             James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder: Westview Press, 2004), 156–160.

[14]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 58–61.

[15]             Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism, 140–143.


Daftar Pustaka

Buku dan Monograf

Bostrom, N. (2005). A history of transhumanist thought. Journal of Evolution and Technology, 14(1), 1–25.

Bostrom, N., & Savulescu, J. (Eds.). (2009). Human enhancement. Oxford University Press.

Bowler, P. J. (2009). Evolution: The history of an idea (3rd ed.). University of California Press.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Braidotti, R. (2019). Posthuman knowledge. Polity Press.

Clark, A., & Chalmers, D. (1998). The extended mind. Analysis, 58(1), 7–19.

Comte, A. (1896). The positive philosophy. George Bell & Sons.

Della Mirandola, G. P. (1956). Oration on the dignity of man (A. R. Caponigri, Trans.). Gateway Editions.

Descartes, R. (1998). Discourse on method and meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

Ellul, J. (1964). The technological society (J. Wilkinson, Trans.). Vintage Books.

Ferrando, F. (2019). Philosophical posthumanism. Bloomsbury Academic.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Fukuyama, F. (2002). Our posthuman future: Consequences of the biotechnology revolution. Farrar, Straus and Giroux.

Fuller, S. (2011). Humanity 2.0: What it means to be human past, present and future. Palgrave Macmillan.

Fuller, S., & Lipińska, V. (2014). The proactionary imperative: A foundation for transhumanism. Palgrave Macmillan.

Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history of tomorrow. Harvill Secker.

Haraway, D. (2016). Staying with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1. Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action, Vol. 2. Beacon Press.

Habermas, J. (2003). The future of human nature. Polity Press.

Hughes, J. (2004). Citizen cyborg: Why democratic societies must respond to the redesigned human of the future. Westview Press.

Huxley, J. (1957). New bottles for new wine. Chatto & Windus.

Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near: When humans transcend biology. Viking.

Lyotard, J.-F. (1991). The inhuman: Reflections on time (G. Bennington & R. Bowlby, Trans.). Stanford University Press.

MacIntyre, A. (1984). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Metzinger, T. (2009). The ego tunnel: The science of the mind and the myth of the self. Basic Books.

Metzinger, T. (2023). Ethics of artificial consciousness. Oxford University Press.

More, M. (2013). The philosophy of transhumanism. In M. More & N. Vita-More (Eds.), The transhumanist reader: Classical and contemporary essays on the science, technology, and philosophy of the human future (pp. 3–17). Wiley-Blackwell.

More, M., & Vita-More, N. (Eds.). (2013). The transhumanist reader: Classical and contemporary essays on the science, technology, and philosophy of the human future. Wiley-Blackwell.

Moravec, H. (1988). Mind children: The future of robot and human intelligence. Harvard University Press.

Morozov, E. (2013). To save everything, click here: The folly of technological solutionism. PublicAffairs.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. Crown.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience. Orbis Books.

Pearce, D. (1995). The hedonistic imperative. BLTC Research.

Sandberg, A. (2011). Cognitive enhancement: Methods, ethics, regulatory challenges. Science and Engineering Ethics, 17(3), 405–431.

Schneider, S. (2019). Artificial you: AI and the future of your mind. Princeton University Press.

Stiegler, B. (1998). Technics and time, 1: The fault of Epimetheus (R. Beardsworth & G. Collins, Trans.). Stanford University Press.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon of man. Harper & Row.

Tirosh-Samuelson, H. (2012). Transhumanism as a secularist faith. Zygon: Journal of Religion and Science, 47(4), 710–712.

Trinkaus, C. (1970). In our image and likeness: Humanity and divinity in Italian humanist thought. University of Chicago Press.

Waters, B. (2006). From human to posthuman: Christian theology and technology in a postmodern world. Ashgate.

Waters, B. (2009). This mortal flesh: Incarnation and bioethics. Brazos Press.

World Economic Forum. (2019). Ethics by design: Principles for AI and autonomous systems. World Economic Forum.

Yuste, R., Goering, S., Arcas, B. A. y., Bi, G., Carmena, J. M., Carter, A., Fins, J. J., Friesen, P., Gallant, J., Huggins, J. E., Illes, J., Kellmeyer, P., Klein, E., Marblestone, A., Mitchell, C., Parens, E., Pham, M., Rubel, A., Sadato, N., & Wexler, A. (2017). Four ethical priorities for neurotechnologies and AI. Nature, 551, 159–163.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


Artikel dan Jurnal Tambahan

Bostrom, N. (2003). Ethical issues in advanced artificial intelligence. Cognitive, Emotive and Ethical Aspects of Decision Making in Humans and in Artificial Intelligence, 2, 12–18.

Bostrom, N. (2003). Human genetic enhancements: A transhumanist perspective. Journal of Value Inquiry, 37(4), 493–506.

Bostrom, N. (2004). The future of human evolution. In C. Tandy (Ed.), Death and anti-death: Two hundred years after Kant, fifty years after Turing (pp. 3–12). Ria University Press.

Hava, T.-S. (2012). Transhumanism as a secularist faith. Zygon: Journal of Religion and Science, 47(4), 710–712.

Savulescu, J. (2001). Procreative beneficence: Why we should select the best children. Bioethics, 15(5–6), 413–426.

Yuste, R., et al. (2017). Four ethical priorities for neurotechnologies and AI. Nature, 551, 159–163.


Dokumen Keagamaan dan Filsafat Klasik

John Paul II. (1995). Evangelium vitae. Libreria Editrice Vaticana.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.


Referensi Tambahan untuk Konteks Sosial dan Etika

Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power, politics, and the planetary costs of artificial intelligence. Yale University Press.

Gunkel, D. J. (2012). The machine question: Critical perspectives on AI, robots, and ethics. MIT Press.

Hughes, J. (2004). Citizen cyborg: Why democratic societies must respond to the redesigned human of the future. Westview Press.

Morozov, E. (2013). To save everything, click here: The folly of technological solutionism. PublicAffairs.

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. Crown.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar