Transhumanisme
Evolusi, Rasionalitas, dan Implikasi Filosofis terhadap
Kemanusiaan
Alihkan ke: Humanisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif gerakan
filosofis transhumanisme sebagai salah satu wacana paling berpengaruh
dalam filsafat kontemporer yang menggabungkan rasionalitas ilmiah, etika
kemanusiaan, dan refleksi metafisis terhadap masa depan manusia. Transhumanisme
dipahami bukan semata sebagai proyek teknologi, tetapi sebagai paradigma
filosofis yang menantang batas ontologis dan moral manusia. Melalui
pendekatan sistematis dan reflektif, artikel ini menelusuri landasan
historis dan genealogi intelektual transhumanisme dari humanisme Renaisans
hingga revolusi digital abad ke-21.
Kajian ontologis menyoroti perubahan makna manusia
sebagai entitas yang dapat dimodifikasi dan diperluas melalui bioteknologi
serta kecerdasan buatan, sedangkan dimensi epistemologisnya mengungkap
pergeseran dari pengetahuan reflektif menuju rasionalitas algoritmik yang
memperluas kesadaran manusia ke dalam ruang digital. Dalam ranah etika dan
aksiologi, artikel ini mengulas dilema moral seputar peningkatan manusia (human
enhancement), tanggung jawab ilmuwan, dan nilai kebebasan dalam konteks
posthumanisme. Selanjutnya, bagian kritik filosofis mengkaji berbagai
keberatan humanistik, teologis, ekofilosofis, dan politik terhadap proyek
transhumanistik yang berpotensi menimbulkan dehumanisasi dan ketimpangan
sosial.
Artikel ini juga menegaskan relevansi
kontemporer transhumanisme dalam bidang pendidikan, hukum, politik, dan
ekologi global, serta menawarkan sintesis filosofis berupa gagasan humanisme
transformatif—yakni integrasi antara kemajuan teknologi dan kebijaksanaan
moral. Kesimpulan utama artikel ini menegaskan bahwa masa depan manusia tidak
semata bergantung pada kemampuan untuk menciptakan teknologi yang lebih cerdas,
tetapi pada kemampuan untuk menggunakan teknologi secara etis, reflektif,
dan berkeadilan. Transhumanisme, dalam bentuknya yang reflektif dan
bertanggung jawab, menjadi cermin bagi kemanusiaan untuk menemukan kembali
makna menjadi manusia di era pascabiologis.
Kata Kunci: Transhumanisme; Filsafat Kontemporer; Humanisme
Transformatif; Etika Teknologi; Posthumanisme; Ontologi Digital; Kemanusiaan
Berkelanjutan.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.          
Pendahuluan
Perkembangan teknologi pada abad ke-21 telah
membawa perubahan fundamental terhadap cara manusia memahami dirinya sendiri,
lingkungannya, dan bahkan hakikat keberadaannya. Di tengah kemajuan
bioteknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), dan integrasi
manusia-mesin (cybernetic integration), muncul suatu gerakan filsafat baru yang
disebut transhumanisme. Gerakan ini berupaya melampaui batas-batas
biologis dan kognitif manusia dengan memanfaatkan potensi sains dan teknologi
demi mencapai peningkatan (enhancement) eksistensial manusia menuju fase pascamanusia
(posthuman).¹
Transhumanisme tidak hanya sekadar proyek
teknologis, tetapi juga mengandung dimensi filosofis yang mendalam. Ia
merupakan kelanjutan dari semangat humanisme Renaisans yang menempatkan
manusia sebagai pusat rasionalitas dan pencipta makna. Namun, bila humanisme
klasik menekankan kesempurnaan moral dan intelektual manusia melalui pendidikan
dan kebudayaan, transhumanisme menempatkan kesempurnaan tersebut pada ranah
biologis dan teknologis—melalui rekayasa genetika, augmentasi neural, hingga
digitalisasi kesadaran.² Gagasan ini berangkat dari keyakinan bahwa manusia
adalah entitas yang dapat disempurnakan tanpa batas, sejauh teknologi mampu
menundukkan kodrat biologisnya.
Dalam pandangan Julian Huxley, yang pertama
kali mempopulerkan istilah transhumanism pada 1951, manusia adalah makhluk
yang “belum selesai,” yang secara kodrati ditakdirkan untuk
mentransendensi dirinya sendiri melalui kemampuan rasional dan ilmiah.³ Konsep
ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Max More dan Nick Bostrom,
yang melihat transhumanisme sebagai proyek filosofis-etis yang mendorong
manusia untuk menggunakan teknologi guna memperpanjang usia, memperluas
kecerdasan, serta mengoptimalkan pengalaman eksistensialnya.⁴
Namun, di balik optimisme tersebut, transhumanisme
juga menimbulkan perdebatan ontologis dan etis yang kompleks.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah manusia yang ditingkatkan masih dapat
disebut manusia?”, “Apakah kesadaran dapat dipindahkan ke dalam mesin?”,
dan “Apakah keabadian digital dapat memiliki makna moral?” menjadi
wacana utama dalam diskursus ini.⁵ Filsafat transhumanisme menantang batas
tradisional antara manusia dan mesin, alam dan artifisial, mortalitas dan
imortalitas. Dalam konteks ini, ia menjadi medan refleksi tentang makna
kemanusiaan di era digital dan bioteknologis.
Pendahuluan ini menegaskan bahwa transhumanisme
bukan sekadar perkembangan teknologi, tetapi sebuah revolusi epistemologis
dan ontologis yang memaksa filsafat untuk meninjau kembali asumsi dasarnya
tentang manusia, pengetahuan, dan nilai.⁶ Dengan demikian, penelitian terhadap
transhumanisme memiliki urgensi filosofis yang tinggi, karena ia membuka ruang
dialog antara etika dan sains, antara rasionalitas teknologis dan
kebijaksanaan moral, serta antara harapan manusia untuk berkembang dan
risiko kehilangan identitasnya sendiri.⁷
Sebagai gerakan intelektual, transhumanisme
mencerminkan semangat zaman (zeitgeist) modern yang diwarnai oleh ambisi
mengatasi segala keterbatasan eksistensial. Ia menawarkan visi tentang masa
depan manusia yang ditingkatkan, tetapi sekaligus mengundang refleksi mendalam
tentang kemungkinan manusia kehilangan makna dirinya di tengah supremasi
teknologi.⁸ Oleh karena itu, pembahasan mengenai transhumanisme dalam konteks
filosofis bukan hanya penting untuk memahami arah evolusi manusia modern,
melainkan juga untuk menilai kembali komitmen etis kita terhadap kemanusiaan
itu sendiri.
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 3.
[2]               
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 14.
[3]               
Julian Huxley, “Transhumanism,” in New Bottles
for New Wine (London: Chatto & Windus, 1957), 13–17.
[4]               
Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The
Transhumanist Reader: Classical and Contemporary Essays on the Science,
Technology, and Philosophy of the Human Future, ed. Max More and Natasha
Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 4–7; Nick Bostrom, “A History of
Transhumanist Thought,” Journal of Evolution and Technology 14, no. 1
(2005): 1–25.
[5]               
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When
Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 9–10.
[6]               
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 22.
[7]               
Nick Bostrom, “Ethical Issues in Advanced Artificial
Intelligence,” Cognitive, Emotive and Ethical Aspects of Decision Making in
Humans and in Artificial Intelligence 2 (2003): 12–18.
[8]               
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 6–8.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogi Intelektual
Transhumanisme sebagai gerakan filsafat tidak
muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari perkembangan panjang
gagasan tentang manusia, pengetahuan, dan teknologi dalam sejarah pemikiran
Barat. Ia berakar pada warisan humanisme Renaisans, berkembang melalui Rasionalisme
dan Pencerahan (Enlightenment), kemudian menemukan bentuk konseptualnya
pada abad ke-20 melalui interaksi antara ilmu pengetahuan modern,
bioteknologi, dan filsafat eksistensial. Dengan demikian, untuk memahami
transhumanisme secara utuh, perlu ditelusuri genealogi intelektualnya yang
menghubungkan dimensi ontologis, epistemologis, dan etis dari tradisi
humanistik menuju era pascamanusia.¹
2.1.      
Akar Humanisme dan
Renaisans
Humanisme Renaisans pada abad ke-14 hingga ke-16
menjadi fondasi filosofis bagi lahirnya transhumanisme. Tokoh-tokoh seperti Pico
della Mirandola dalam Oratio de Hominis Dignitate menegaskan bahwa
manusia memiliki martabat karena kemampuannya membentuk dan melampaui dirinya
sendiri.² Pandangan ini memunculkan gagasan tentang manusia sebagai animal
rationale yang sekaligus homo faber—makhluk yang menciptakan dirinya
melalui karya dan ilmu. Ide dasar ini menjadi embrio bagi prinsip transhumanis:
bahwa manusia tidak hanya harus memahami dirinya, tetapi juga meningkatkan
dirinya melalui potensi akalnya.
Dalam konteks ini, Renaisans menjadi titik awal
pergeseran pandangan dari teosentrisme menuju antroposentrisme. Jika pada Abad
Pertengahan manusia dianggap sebagai ciptaan yang tunduk pada kehendak ilahi,
maka pada masa Renaisans, manusia dipandang sebagai subjek otonom yang memiliki
potensi tanpa batas.³ Transhumanisme kemudian melanjutkan warisan ini dengan
mengganti “pendidikan dan kebudayaan” (sebagaimana ideal humanisme
klasik) dengan “teknologi dan rekayasa biologi” sebagai medium
penyempurnaan diri manusia.
2.2.      
Rasionalisme dan Pencerahan
Era Pencerahan pada abad ke-17 dan ke-18 memperkuat
kepercayaan terhadap kekuatan rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Tokoh seperti René
Descartes memperkenalkan dualisme antara res cogitans (pikiran) dan res
extensa (materi), yang kemudian membuka jalan bagi proyek manusia untuk
menguasai alam melalui metode ilmiah.⁴ Rasionalisme Descartes, empirisisme
Bacon, dan optimisme Kantian terhadap kemajuan moral dan rasionalitas kolektif
menjadi fondasi epistemologis bagi transhumanisme yang memandang kemajuan
teknologi sebagai manifestasi logis dari kemampuan berpikir manusia.
Selain itu, semangat positivisme ilmiah yang
dikembangkan oleh Auguste Comte turut memperkuat keyakinan bahwa semua
fenomena, termasuk kesadaran dan kehidupan, dapat dijelaskan melalui
hukum-hukum ilmiah.⁵ Transhumanisme mengadopsi prinsip ini dengan menyatakan
bahwa sifat biologis manusia bukanlah batas metafisik, melainkan sistem
material yang dapat dimodifikasi dan dioptimalkan. Maka, proyek transhumanis
muncul sebagai kelanjutan ekstrem dari rasionalitas modern yang percaya pada
kekuasaan sains untuk menebus keterbatasan manusia.
2.3.      
Darwinisme, Evolusionisme,
dan Optimisme Bioteknologis
Revolusi Darwin pada abad ke-19 memberi dampak
besar terhadap pandangan manusia tentang dirinya. Gagasan bahwa manusia adalah
hasil proses evolusi membuka ruang bagi reinterpretasi tentang kemungkinan evolusi
buatan (artificial evolution).⁶ Julian Huxley, cucu dari Thomas H.
Huxley—pendukung utama Darwin—kemudian memperluas ide ini dalam bentuk evolusi
transhumanistik, yaitu gagasan bahwa manusia dapat secara sadar mengarahkan
evolusi dirinya menggunakan sains dan teknologi.⁷
Konsep “transcendence through evolution”
yang dikemukakan Julian Huxley menjadi dasar teoretis bagi gerakan
transhumanisme modern. Ia menegaskan bahwa evolusi biologis telah mencapai
titik di mana manusia, sebagai makhluk sadar, memiliki kewajiban moral untuk
melanjutkan proses evolusi tersebut melalui inovasi teknologi.⁸ Pandangan ini
menandai peralihan dari evolusi alamiah menuju evolusi teknologis
sebagai fase baru perkembangan manusia.
2.4.      
Era Digital dan Lahirnya
Transhumanisme Modern
Pada akhir abad ke-20, kemunculan komputer,
sibernetika, dan kecerdasan buatan memperluas cakrawala filosofis
transhumanisme. Tokoh seperti Max More mengembangkan philosophical
transhumanism yang menekankan peningkatan kemampuan manusia melalui
teknologi yang rasional dan etis.⁹ Sementara itu, Nick Bostrom
mendirikan Future of Humanity Institute di Universitas Oxford untuk
meneliti risiko dan potensi masa depan manusia di era pascabiologis.¹⁰
Gagasan singularity yang diperkenalkan oleh Ray
Kurzweil menggambarkan titik di mana kecerdasan buatan melampaui kemampuan
manusia, menghasilkan perubahan radikal terhadap struktur kesadaran dan
eksistensi.¹¹ Di sinilah transhumanisme memasuki ranah metafilosofis: bukan
sekadar proyek ilmiah, tetapi suatu visi ontologis baru tentang apa artinya
menjadi manusia dalam dunia yang semakin terotomatisasi.
Sintesis Genealogis
Secara genealogis, transhumanisme merupakan hasil
dialektika antara optimisme humanistik Renaisans, rasionalitas
Pencerahan, determinisme ilmiah modern, dan teknologisasi
kehidupan kontemporer. Ia mewarisi semangat antroposentrisme, namun
sekaligus menantangnya dengan menghadirkan manusia sebagai entitas yang dapat
ditransendensikan melalui teknologi. Dalam pengertian ini, transhumanisme adalah
bentuk “neo-humanisme teknologis” yang merevisi esensi kemanusiaan berdasarkan
kemampuan manusia untuk mencipta dirinya sendiri secara ilmiah.¹²
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 11–13.
[2]               
Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the
Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Gateway Editions,
1956), 3–7.
[3]               
Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness:
Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of
Chicago Press, 1970), 45.
[4]               
René Descartes, Discourse on Method and
Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 32.
[5]               
Auguste Comte, The Positive Philosophy
(London: George Bell & Sons, 1896), 12–18.
[6]               
Peter J. Bowler, Evolution: The History of an
Idea (Berkeley: University of California Press, 2009), 145.
[7]               
Julian Huxley, New Bottles for New Wine
(London: Chatto & Windus, 1957), 15–20.
[8]               
Steve Fuller and Veronika Lipińska, The
Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave
Macmillan, 2014), 9–12.
[9]               
Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The
Transhumanist Reader: Classical and Contemporary Essays on the Science,
Technology, and Philosophy of the Human Future, ed. Max More and Natasha
Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 3–14.
[10]            
Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,”
Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 1–25.
[11]            
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When
Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 20–25.
[12]            
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 42–45.
3.          
Ontologi
Transhumanisme: Hakikat Manusia dan Teknologi
Transhumanisme, sebagai proyek filosofis sekaligus
gerakan kultural, menantang pemahaman tradisional tentang hakikat manusia.
Secara ontologis, transhumanisme memandang manusia bukan sebagai entitas yang
statis dan final, melainkan sebagai makhluk yang bersifat terbuka, plastis,
dan dapat ditransformasikan melalui teknologi.¹ Teknologi dalam hal ini
bukan hanya instrumen eksternal bagi manusia, tetapi bagian integral dari
keberadaan manusia itu sendiri—sebuah “ontologi sibernetik” di mana
manusia dan mesin berinteraksi dalam suatu sistem eksistensial yang saling
membentuk.
3.1.      
Manusia sebagai Entitas
yang Dapat Ditingkatkan
Ontologi transhumanisme berangkat dari pandangan
bahwa batas biologis manusia bukanlah ketetapan metafisik, melainkan kondisi
kontingen yang dapat diubah melalui pengetahuan ilmiah.² Manusia dipahami
sebagai makhluk yang memiliki potensi evolutif tanpa batas, dan karena itu,
peningkatan (enhancement) fisik maupun mental merupakan bagian dari aktualisasi
esensinya. Dalam kerangka ini, tubuh manusia bukanlah “penjara jiwa”
sebagaimana dalam dualisme Cartesian, melainkan medium yang dapat direkayasa
untuk memperluas eksistensi.³
Dengan demikian, tubuh dipandang sebagai “proyek
ontologis” yang selalu terbuka untuk modifikasi—melalui bioteknologi,
neuroengineering, dan integrasi mesin-biologis.⁴ Pandangan ini mengarah pada
konsepsi manusia sebagai self-designing being, yaitu makhluk yang
membentuk dirinya sendiri melalui intervensi teknologis. Proses ini menandai
transisi dari human being menuju posthuman being, di mana
eksistensi manusia tidak lagi ditentukan oleh batas biologis, tetapi oleh
kemampuan teknologis dan kognitifnya.⁵
3.2.      
Relasi Ontologis antara
Manusia dan Teknologi
Dalam kerangka transhumanisme, teknologi bukanlah
alat eksternal yang tunduk sepenuhnya pada kehendak manusia, melainkan entitas
ko-evolusioner yang membentuk eksistensi manusia secara ontologis. Pemikiran
ini dekat dengan gagasan Martin Heidegger mengenai teknologi sebagai Gestell—suatu
cara keberadaan yang menata realitas.⁶ Bedanya, jika Heidegger mengkritik
bahaya “penguasaan total” teknologi atas keberadaan, transhumanisme
justru menegaskan potensi emansipatoris teknologi untuk memperluas makna menjadi
manusia.
Menurut Don Ihde, teknologi selalu bersifat
mediatif; ia tidak netral, tetapi menjadi “co-agent” dalam membentuk
pengalaman dan dunia manusia.⁷ Transhumanisme mengadopsi pandangan ini dengan
menganggap teknologi sebagai ekstensi eksistensial manusia—baik secara fisik
(melalui prostetik dan augmentasi) maupun mental (melalui kecerdasan buatan dan
integrasi digital). Dengan demikian, hubungan manusia-teknologi dalam ontologi
transhumanis bersifat simbiotik: manusia menciptakan teknologi, dan teknologi
menciptakan kembali manusia.
Paradigma ini disebut oleh Andy Clark
sebagai extended mind thesis, yaitu pandangan bahwa pikiran manusia
tidak terbatas pada otak, melainkan meluas ke dunia eksternal melalui alat dan
sistem informasi.⁸ Dalam konteks transhumanisme, tesis ini menemukan bentuk
ekstremnya: kesadaran manusia dapat dipindahkan, disalin, atau diperluas ke
dalam jaringan komputasional (mind uploading), menjadikan batas antara
manusia dan mesin semakin kabur.
3.3.      
Posthuman: Identitas,
Kesadaran, dan Tubuh Digital
Konsep posthuman menjadi pusat dari ontologi
transhumanisme. Posthuman bukan sekadar “manusia yang lebih baik,”
tetapi makhluk baru yang melampaui batas biologis dan epistemik manusia
modern.⁹ Dalam visi ini, tubuh manusia dapat digantikan oleh substrat
non-biologis tanpa kehilangan kesadaran—sebuah bentuk keberadaan yang disebut
oleh Hans Moravec sebagai informational being.¹⁰
Namun, pandangan ini menimbulkan persoalan
ontologis yang mendalam: jika kesadaran dapat diunggah ke sistem digital,
apakah entitas tersebut masih memiliki “ke-aku-an” (selfhood)
yang autentik?¹¹ Apakah identitas personal bergantung pada kontinuitas material
tubuh, atau cukup pada kontinuitas pola informasi dan memori? Pertanyaan ini
menyingkap dilema antara ontologi material dan ontologi informasi
yang menjadi inti refleksi transhumanistik.
Sementara itu, Katherine Hayles mengingatkan
bahwa reduksi manusia menjadi informasi semata berisiko mengabaikan peran tubuh
dan afektivitas dalam kesadaran manusia.¹² Dengan kata lain, proyek
posthumanisme digital dapat menyebabkan “disembodiment of humanity,”
yakni pemisahan eksistensi manusia dari dimensi fenomenologisnya. Kritik ini
penting untuk menjaga keseimbangan antara visi teknologis transhumanisme dan
kesadaran filosofis tentang keterikatan manusia pada dunia jasmaniah.
3.4.      
Ontologi Teknologis: Dari
Alat Menuju Kehadiran
Secara metafisis, transhumanisme merepresentasikan
pergeseran dari ontologi substansial menuju ontologi relasional.
Jika dalam filsafat klasik manusia dipahami sebagai substansi yang memiliki
esensi tetap, maka dalam paradigma transhumanis manusia dipahami sebagai processual
being—entitas yang ada melalui relasi dan transformasi teknologisnya.¹³
Teknologi di sini bukan lagi sekadar instrumen, melainkan modus keberadaan baru
(modus essendi) yang memungkinkan manusia untuk berevolusi secara sadar.
Ontologi semacam ini mengarah pada apa yang disebut
Stiegler sebagai technogenesis—proses di mana manusia dan
teknologi berkembang bersama dalam sejarah evolusi.¹⁴ Dengan demikian,
keberadaan manusia selalu bersifat teknologis sejak awal, dan proyek
transhumanisme hanyalah tahap lanjut dari dinamika ini. Dalam perspektif ini,
batas antara manusia dan mesin bukanlah pemisah ontologis, melainkan gradien
kontinuitas eksistensial.
3.5.      
Implikasi Ontologis:
Keabadian, Identitas, dan Makna Eksistensi
Ontologi transhumanisme membawa implikasi metafisik
yang luas. Pertama, ia membuka kemungkinan keabadian digital (digital
immortality) melalui replikasi kesadaran.¹⁵ Kedua, ia menantang konsep
klasik tentang identitas personal, karena keberadaan seseorang dapat
diperbanyak atau dimodifikasi melalui teknologi informasi. Ketiga, ia menggugat
makna eksistensi manusia: jika kehidupan dapat diperpanjang tanpa batas,
apakah masih ada ruang bagi makna, penderitaan, dan kematian sebagai bagian
dari eksistensi autentik?¹⁶
Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa
transhumanisme tidak hanya berbicara tentang masa depan teknologi, tetapi juga
tentang metafisika keberadaan manusia itu sendiri. Ontologi
transhumanis, dengan seluruh potensinya yang ambivalen, menuntun kita untuk
mempertimbangkan kembali relasi antara menjadi (being), membuat
(making), dan melampaui (transcending) dalam definisi manusia yang
baru.¹⁷
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 45–48.
[2]               
Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The
Transhumanist Reader: Classical and Contemporary Essays on the Science,
Technology, and Philosophy of the Human Future, ed. Max More and Natasha
Vita-More (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 6–9.
[3]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 56–57.
[4]               
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 25.
[5]               
Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,”
Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 8–12.
[6]               
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977),
12–14.
[7]               
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From
Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45.
[8]               
Andy Clark and David Chalmers, “The Extended Mind,”
Analysis 58, no. 1 (1998): 7–19.
[9]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
53.
[10]            
Hans Moravec, Mind Children: The Future of Robot
and Human Intelligence (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1988),
100–104.
[11]            
Susan Schneider, Artificial You: AI and the
Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 76–79.
[12]            
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman:
Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago:
University of Chicago Press, 1999), 3–5.
[13]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 60–63.
[14]            
Bernard Stiegler, Technics and Time, 1: The
Fault of Epimetheus, trans. Richard Beardsworth and George Collins
(Stanford: Stanford University Press, 1998), 134–138.
[15]            
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When
Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 321–324.
[16]            
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 88–90.
[17]            
Steve Fuller and Veronika Lipińska, The
Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave
Macmillan, 2014), 45–47.
4.          
Epistemologi
Transhumanisme: Pengetahuan, Rasionalitas, dan Kecerdasan Buatan
Epistemologi transhumanisme berakar pada keyakinan
bahwa pengetahuan ilmiah dan rasionalitas teknologis adalah sarana utama
untuk melampaui keterbatasan manusia. Dalam paradigma ini, knowing tidak
lagi sekadar aktivitas kontemplatif, tetapi juga proses intervensi terhadap
realitas melalui teknologi.¹ Pengetahuan menjadi kekuatan ontologis yang
mengubah bukan hanya dunia, melainkan juga manusia itu sendiri. Epistemologi
transhumanis, dengan demikian, merupakan bentuk epistemologi transformatif—yakni,
pemahaman tentang kebenaran yang sekaligus berfungsi untuk mentransendensi
kondisi manusiawi.
4.1.      
Rasionalitas Ilmiah sebagai
Dasar Epistemik
Transhumanisme menegaskan bahwa rasionalitas ilmiah
(scientific rationality) merupakan dasar tertinggi dari pengetahuan.²
Rasionalitas ini mewarisi semangat Pencerahan, di mana pengetahuan dipandang
sebagai instrumen emansipasi manusia dari ketidaktahuan dan penderitaan. Namun,
bila rasionalitas modern sebelumnya digunakan untuk menguasai alam, dalam transhumanisme
ia diperluas menjadi sarana untuk menguasai kodrat manusia itu sendiri.³
Menurut Nick Bostrom, kemajuan sains dan
teknologi menciptakan kondisi epistemik baru yang disebut epistemic
acceleration—yakni percepatan kemampuan manusia untuk memperoleh,
menyimpan, dan mengolah informasi.⁴ Ilmu pengetahuan bukan hanya menghasilkan
kebenaran empiris, tetapi juga membuka jalan bagi rekayasa genetika, augmentasi
otak, dan pengembangan kecerdasan buatan (AI) sebagai “alat epistemik”
yang melampaui kapasitas biologis manusia. Dalam konteks ini, pengetahuan
menjadi kekuatan evolusioner.
4.2.      
Transformasi Rasionalitas:
Dari Manusia ke Algoritma
Dalam pandangan transhumanisme, rasionalitas
manusia bukanlah titik akhir, melainkan tahap dalam evolusi menuju rasionalitas
algoritmik. Kecerdasan buatan dianggap sebagai perpanjangan (extension)
dari kesadaran manusia yang mampu memproses data dengan kecepatan dan
kompleksitas yang tak mungkin dicapai oleh otak biologis.⁵
Pemikiran Ray Kurzweil tentang technological
singularity menegaskan bahwa ketika kecerdasan buatan melampaui kemampuan
manusia, terjadi perubahan epistemologis radikal: kebenaran tidak lagi
dihasilkan oleh subjek manusia, melainkan oleh sistem yang bersifat non-biologis.⁶
Rasionalitas menjadi terdistribusi dalam jaringan algoritmik global,
menghasilkan bentuk baru pengetahuan yang bersifat collective, machine-mediated,
dan self-improving.
Namun, pandangan ini juga menimbulkan problem
filosofis: apakah entitas non-manusia dapat memiliki epistemic agency?⁷ Jika
pengetahuan dihasilkan oleh sistem kecerdasan buatan tanpa kesadaran, apakah
masih dapat disebut pengetahuan dalam arti filosofis? Dilema ini
menunjukkan bahwa transhumanisme memperluas ranah epistemologi dari subjek
rasional manusia ke sistem sibernetik yang otonom.
4.3.      
Pengetahuan sebagai
Augmentasi Kognitif
Epistemologi transhumanisme menempatkan teknologi
sebagai instrumen augmentatif dari kemampuan kognitif manusia. Dalam kerangka
ini, konsep extended cognition yang diperkenalkan oleh Andy Clark
menjadi sangat relevan: pikiran manusia bukanlah sistem tertutup, melainkan
jaringan terbuka yang dapat diperluas melalui alat-alat eksternal seperti
komputer, jaringan neural buatan, dan implantasi otak.⁸
Proyek-proyek seperti neuro-enhancement atau
brain-computer interface (BCI) berfungsi sebagai wujud nyata
epistemologi transhumanis, karena memungkinkan manusia memperluas kapasitas
persepsi, memori, dan penalaran di luar batas biologis.⁹ Hal ini mengubah
epistemologi klasik yang berpusat pada subjek menjadi epistemologi simbiotik
antara manusia dan mesin—sebuah bentuk co-intelligence.
Namun, sebagaimana diingatkan oleh Luciano
Floridi, kemajuan ini juga menimbulkan apa yang ia sebut sebagai infospheric
epistemology, yaitu kondisi di mana manusia hidup dalam lingkungan
informasi yang begitu padat hingga kebenaran menjadi relatif terhadap
arsitektur algoritma.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi transhumanis menghadapi
tantangan baru: bagaimana memastikan validitas dan tanggung jawab moral dari
pengetahuan yang dihasilkan oleh sistem non-manusia.
4.4.      
Dari Rasionalitas
Instrumental ke Rasionalitas Reflektif
Salah satu kritik utama terhadap transhumanisme
adalah kecenderungannya untuk mengidentikkan rasionalitas dengan efisiensi
teknologis.¹¹ Jürgen Habermas menyebut bentuk ini sebagai rasionalitas
instrumental—rasionalitas yang berfokus pada efektivitas sarana, bukan
nilai-nilai tujuan. Dalam konteks transhumanisme, pengetahuan sering kali
diukur berdasarkan kapasitas teknologinya untuk mempercepat proses dan
meningkatkan performa, bukan berdasarkan refleksi etis atau kebijaksanaan
eksistensial.
Oleh karena itu, filsafat transhumanisme perlu
melengkapi rasionalitas instrumental dengan rasionalitas reflektif, yakni
kesadaran kritis atas batas dan implikasi moral dari pengetahuan.¹² Seperti
diingatkan oleh Hans Jonas, tanggung jawab etis harus tumbuh seiring
kekuatan teknologi, karena setiap pengetahuan yang mengubah manusia juga
berpotensi mengubah esensi kemanusiaan itu sendiri.¹³
4.5.      
Epistemologi Baru: Menuju
Kesadaran Kolektif Digital
Transhumanisme memimpikan kondisi epistemik baru
yang disebut collective mind—kesadaran bersama antara manusia dan mesin
yang terhubung dalam jaringan digital global.¹⁴ Konsep ini berakar pada gagasan
Pierre Teilhard de Chardin tentang noosphere, lapisan kognitif
planet yang menyatukan seluruh kesadaran manusia. Dalam dunia digital,
noosphere ini diwujudkan dalam bentuk internet, big data, dan jaringan
kecerdasan buatan yang membangun planetary intelligence.¹⁵
Epistemologi transhumanis pada tahap ini menegaskan
bahwa pengetahuan tidak lagi bersifat individual, melainkan kolaboratif,
adaptif, dan berevolusi secara mandiri. Namun, kondisi ini juga menimbulkan
risiko epistemik baru: hilangnya otonomi subjek dan munculnya algorithmic
determinism, di mana keputusan kognitif manusia dikendalikan oleh logika
sistem yang ia ciptakan sendiri.¹⁶
4.6.      
Implikasi Epistemologis
Epistemologi transhumanisme menandai pergeseran
besar dari paradigma humanistik menuju paradigma posthumanistik. Pengetahuan
tidak lagi sekadar refleksi terhadap dunia, melainkan sarana untuk mencipta
dunia baru, bahkan bentuk baru eksistensi.¹⁷ Dengan demikian, epistemologi
transhumanis bukan hanya tentang “bagaimana manusia mengetahui,” tetapi
juga tentang “bagaimana pengetahuan membentuk ulang manusia.” Dalam
perspektif ini, pengetahuan menjadi kekuatan ontologis yang mampu menghapus
batas antara subjek dan objek, antara pikiran dan materi, antara manusia dan
mesin.¹⁸
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 78–81.
[2]               
Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The
Transhumanist Reader, ed. Max More and Natasha Vita-More (Malden, MA:
Wiley-Blackwell, 2013), 9–12.
[3]               
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 36.
[4]               
Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,”
Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 10–13.
[5]               
Susan Schneider, Artificial You: AI and the
Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 48–50.
[6]               
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When
Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 25–29.
[7]               
David J. Gunkel, The Machine Question: Critical
Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012),
7–9.
[8]               
Andy Clark and David Chalmers, “The Extended Mind,”
Analysis 58, no. 1 (1998): 12–14.
[9]               
Anders Sandberg, “Cognitive Enhancement: Methods,
Ethics, Regulatory Challenges,” Science and Engineering Ethics 17, no. 3
(2011): 405–410.
[10]            
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 53–56.
[11]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 228–231.
[12]            
Steve Fuller and Veronika Lipińska, The
Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave
Macmillan, 2014), 57.
[13]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 8–12.
[14]            
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of
Man (New York: Harper & Row, 1959), 180–185.
[15]            
Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of
the Mind and the Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 111–113.
[16]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and
the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University
Press, 2021), 73–76.
[17]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 95–97.
[18]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
84–86.
5.          
Etika
dan Aksiologi Transhumanisme
Etika dan aksiologi transhumanisme berupaya
menjawab pertanyaan paling mendasar tentang nilai dan tanggung jawab moral
manusia di era pascabiologis. Bila transhumanisme adalah proyek untuk mentransendensi
batas-batas biologis manusia, maka problem etisnya terletak pada bagaimana
batas moral itu sendiri diredefinisi.¹ Etika transhumanisme tidak sekadar
menyoal “apa yang boleh” dilakukan oleh sains, tetapi juga “apa yang
seharusnya” menjadi tujuan kemanusiaan di tengah revolusi bioteknologis dan
digital. Dengan kata lain, ia menempatkan pertanyaan aksiologis tentang makna baik,
bernilai, dan manusiawi dalam horizon yang telah berubah secara
radikal oleh teknologi.
5.1.      
Prinsip Moral dalam
Peningkatan Manusia (Human Enhancement)
Salah satu isu etis utama dalam transhumanisme
adalah gagasan peningkatan manusia (human enhancement).² Proyek ini
mencakup upaya memperluas kapasitas biologis, kognitif, dan emosional manusia
melalui intervensi teknologi—mulai dari rekayasa genetika, neural implants,
hingga imortalitas digital.³ Para pendukungnya, seperti Nick Bostrom dan
Julian Savulescu, berpendapat bahwa peningkatan diri secara teknologi
merupakan perpanjangan dari aspirasi moral manusia untuk memperbaiki kondisi
eksistensialnya.⁴ Dalam pandangan ini, tidak ada perbedaan moral antara
mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan alami; keduanya adalah ekspresi
kebajikan rasional manusia.
Namun, pihak kritis seperti Francis Fukuyama
menilai bahwa human enhancement berpotensi menghapus “faktor manusia” (factor
X)—yakni dimensi moral dan spiritual yang membuat manusia tetap manusia.⁵
Jika esensi manusia direduksi menjadi objek rekayasa, maka moralitas kehilangan
fondasi antropologisnya. Dengan demikian, proyek peningkatan manusia menimbulkan
dilema: apakah teknologi membebaskan manusia dari keterbatasan, atau justru
menghapus makna keberadaannya sebagai makhluk bermoral?
5.2.      
Dilema Bioetika dan
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan
Transhumanisme membawa implikasi bioetika yang
kompleks. Rekayasa genetik, cloning, kecerdasan buatan, dan integrasi
manusia-mesin menimbulkan pertanyaan tentang batas moral sains. Hans Jonas,
dalam The Imperative of Responsibility, menegaskan bahwa kekuatan
teknologi yang mampu mengubah hakikat manusia menuntut prinsip etis baru:
setiap tindakan teknologi harus mempertimbangkan konsekuensinya bagi masa depan
umat manusia.⁶ Prinsip ini dikenal sebagai heuristik ketakutan (heuristics
of fear)—yakni, kesadaran bahwa potensi destruktif teknologi harus selalu
menjadi dasar kehati-hatian moral.
Dalam konteks ini, transhumanisme menuntut lahirnya
etika futuristik yang disebut proactionary principle, sebagaimana
dikembangkan oleh Steve Fuller dan Max More.⁷ Berbeda dengan
prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang menekankan
pembatasan terhadap inovasi, prinsip proactionary mendorong eksplorasi
teknologi sejauh disertai tanggung jawab moral dan transparansi sosial. Dengan
demikian, etika transhumanis berupaya menyeimbangkan antara kebebasan
berinovasi dan tanggung jawab terhadap konsekuensinya.⁸
5.3.      
Nilai, Kebebasan, dan
Martabat Manusia
Aksiologi transhumanisme berpusat pada
reinterpretasi konsep kebebasan (freedom) dan martabat manusia (human
dignity). Kebebasan dalam paradigma ini tidak lagi dimaknai semata sebagai
otonomi moral, melainkan juga sebagai kemampuan teknologis untuk menentukan
kondisi eksistensial diri.⁹ Dengan kata lain, manusia bebas bukan hanya karena
dapat memilih, tetapi karena mampu mendesain ulang dirinya sendiri.
Namun, redefinisi kebebasan ini menimbulkan problem
etis: apakah kebebasan yang dibentuk oleh teknologi tetap bersifat autentik? Jürgen
Habermas memperingatkan bahwa rekayasa genetik dan augmentasi biologis
dapat mengubah struktur moral masyarakat dengan menciptakan “ketergantungan
asimetris” antara manusia yang dimodifikasi dan yang tidak.¹⁰ Akibatnya,
konsep martabat manusia yang bersifat universal dapat tergantikan oleh hierarki
biologis dan teknologis.
Dalam konteks aksiologi, nilai tertinggi
transhumanisme terletak pada gagasan perbaikan diri tanpa batas (self-perfection
through technology).¹¹ Akan tetapi, ketika kesempurnaan menjadi tujuan
mutlak, manusia berisiko kehilangan dimensi eksistensialnya yang paling manusiawi:
keterbatasan, penderitaan, dan mortalitas—yang justru menjadi sumber makna etis
dan empati.¹²
5.4.      
Etika Relasional dan
Solidaritas Posthuman
Etika transhumanisme juga mengandung aspek
relasional yang menyoroti hubungan antara manusia, teknologi, dan lingkungan.¹³
Dalam dunia pascamanusia, di mana kesadaran dapat didistribusikan ke dalam
sistem kecerdasan buatan dan jaringan digital, nilai moral tidak lagi hanya
berlaku bagi manusia biologis, tetapi juga bagi entitas non-manusia (non-human
agents).
Rosi Braidotti dalam The Posthuman menekankan perlunya etika posthuman yang
berlandaskan pada solidaritas antar-entitas (human dan non-human) dalam
jaringan kehidupan.¹⁴ Etika ini bersifat inklusif dan ekosentris, menolak
antroposentrisme yang menjadi akar krisis moral modernitas. Dalam kerangka ini,
transhumanisme dapat dilihat sebagai upaya memperluas horizon etika dari kemanusiaan
ke planetary ethics, di mana nilai moral meliputi ekosistem, kecerdasan
buatan, dan kehidupan sintetis.¹⁵
Namun, kritik muncul ketika nilai solidaritas ini
berbenturan dengan kepentingan ekonomi dan politik teknologi. Kate Crawford
menunjukkan bahwa pengembangan AI sering kali memperkuat ketimpangan sosial dan
eksploitasi sumber daya global, sehingga etika transhumanis harus juga
memperhatikan dimensi keadilan sosial (technological justice).¹⁶
5.5.      
Antara Etika Utilitarian
dan Deontologis
Transhumanisme sering kali diinterpretasikan
melalui paradigma etika utilitarian, yaitu maksimisasi kebahagiaan dan
pengurangan penderitaan melalui teknologi.¹⁷ Prinsip ini tampak dalam gagasan David
Pearce tentang hedonistic imperative, yang memimpikan dunia bebas
penderitaan melalui bioteknologi dan neuroengineering.¹⁸ Namun, pendekatan
utilitarian menghadapi kritik karena cenderung mengabaikan nilai intrinsik
manusia dan mengukur moralitas secara kuantitatif.
Sebaliknya, pendekatan deontologis, yang
berakar pada Immanuel Kant, menekankan kewajiban moral terhadap manusia
sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself).¹⁹ Dalam konteks
transhumanisme, etika deontologis menuntut agar setiap inovasi teknologi
menghormati nilai intrinsik manusia, bukan menjadikannya sekadar sarana untuk
efisiensi atau keuntungan. Oleh karena itu, sintesis antara utilitarianisme dan
deontologi menjadi penting agar etika transhumanisme tidak jatuh ke ekstrem
teknokratis atau moralistik.²⁰
5.6.      
Aksiologi Transhumanisme:
Menuju Nilai Kemanusiaan Baru
Aksiologi transhumanisme berpuncak pada upaya
membangun sistem nilai baru yang menyesuaikan diri dengan realitas
teknologis.²¹ Nilai-nilai seperti adaptabilitas, keberlanjutan, empati
digital, dan tanggung jawab planetar menjadi landasan bagi paradigma etis
masa depan. Dalam visi ini, kemajuan teknologi bukanlah tujuan akhir, melainkan
sarana untuk memperluas potensi kemanusiaan dan menciptakan harmoni antara
manusia, teknologi, dan alam.²²
Aksiologi transhumanis dengan demikian bukan
sekadar pembenaran terhadap teknologi, melainkan proyek moral yang bertujuan
menyeimbangkan antara kekuatan inovasi dan kebijaksanaan.²³ Ia menuntut
integrasi antara ethos of enhancement dan ethos of care—dua
prinsip yang menjamin bahwa dalam setiap langkah peningkatan manusia, nilai
kemanusiaan tidak hilang, melainkan diperluas dalam horizon etis yang baru.²⁴
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 89–91.
[2]               
Nick Bostrom and Julian Savulescu, eds., Human
Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 1–3.
[3]               
Anders Sandberg, “Cognitive Enhancement: Methods,
Ethics, Regulatory Challenges,” Science and Engineering Ethics 17, no. 3
(2011): 405–410.
[4]               
Julian Savulescu, “Procreative Beneficence: Why We
Should Select the Best Children,” Bioethics 15, no. 5–6 (2001): 413–426.
[5]               
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 6–8.
[6]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 8–12.
[7]               
Steve Fuller and Veronika Lipińska, The
Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave
Macmillan, 2014), 30–33.
[8]               
Max More, “The Philosophy of Transhumanism,” in The
Transhumanist Reader, ed. Max More and Natasha Vita-More (Malden, MA:
Wiley-Blackwell, 2013), 15–17.
[9]               
Nick Bostrom, “Transhumanist Values,” Review of
Contemporary Philosophy 4 (2005): 3–14.
[10]            
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature
(Cambridge: Polity Press, 2003), 21–24.
[11]            
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 41–44.
[12]            
Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A
Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 112–115.
[13]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
93–95.
[14]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 100–104.
[15]            
Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making
Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 12–15.
[16]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and
the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University
Press, 2021), 85–88.
[17]            
David Pearce, The Hedonistic Imperative
(London: BLTC Research, 1995), 5–9.
[18]            
Ibid., 11–13.
[19]            
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
37–39.
[20]            
Thomas Metzinger, Ethics of Artificial
Consciousness (Oxford: Oxford University Press, 2023), 76–79.
[21]            
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 118–122.
[22]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 67–70.
[23]            
Steve Fuller, Humanity 2.0, 56–59.
[24]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
96–99.
6.          
Kritik
terhadap Transhumanisme
Transhumanisme, meskipun menawarkan visi optimistis
tentang masa depan manusia yang melampaui keterbatasan biologis, telah
menimbulkan perdebatan filosofis, etis, dan teologis yang mendalam. Para
kritikus menilai bahwa di balik janji peningkatan kemanusiaan, transhumanisme
menyimpan bahaya dehumanisasi, teknologisasi moralitas, dan reduksi
eksistensi manusia menjadi data.¹ Gerakan ini dinilai berpotensi
mengaburkan batas antara manusia dan mesin, antara subjek dan algoritma, hingga
antara nilai moral dan efisiensi teknologis.
Kritik terhadap transhumanisme dapat dibagi ke
dalam beberapa ranah utama: humanistik, teologis, ekofilosofis,
dan politik-ekonomi. Masing-masing menunjukkan bahwa ambisi untuk
menjadi “lebih dari manusia” justru dapat berujung pada kehilangan makna
kemanusiaan itu sendiri.
6.1.      
Kritik Humanistik:
Kehilangan Makna Eksistensial
Kritik humanistik menyoroti bahwa transhumanisme
mengancam esensi manusia sebagai makhluk yang sadar akan keterbatasannya.²
Dalam tradisi eksistensialisme, keterbatasan dan kefanaan justru menjadi sumber
makna etis dan spiritual manusia. Martin Heidegger menegaskan bahwa
pengalaman “ada-menuju-kematian” (Sein-zum-Tode) merupakan
dimensi autentik eksistensi.³ Dengan menolak mortalitas dan menggantinya dengan
imortalitas digital, transhumanisme secara tidak langsung menolak keaslian
eksistensi itu sendiri.
Lebih jauh, Hubert Dreyfus mengkritik
rasionalitas teknologis transhumanisme sebagai bentuk “kesombongan epistemik”—yakni
keyakinan bahwa algoritma dapat menggantikan intuisi manusia.⁴ Dalam kerangka
ini, manusia berisiko menjadi entitas yang kehilangan spontanitas, emosi, dan
kebijaksanaan praktis (phronesis) yang menjadi ciri khas kemanusiaan.⁵
Transhumanisme, alih-alih memuliakan manusia, justru mengubahnya menjadi proyek
yang tak pernah selesai dan kehilangan makna eksistensialnya.
6.2.      
Kritik Teologis:
Transhumanisme sebagai Neo-Gnostisisme
Dari perspektif teologis, transhumanisme sering
dianggap sebagai bentuk neo-gnostisisme modern—yakni keyakinan bahwa
keselamatan manusia terletak pada pengetahuan dan pembebasan dari tubuh
material.⁶ Francis Fukuyama menilai bahwa gerakan ini secara ideologis
berbahaya karena berusaha “menciptakan manusia baru” tanpa mempedulikan
batas moral dan spiritual yang membedakan manusia dari Tuhan.⁷
Dalam pandangan teologis Kristen, manusia
diciptakan imago Dei—dengan keterbatasan yang justru mencerminkan
kebijaksanaan ilahi.⁸ Transhumanisme, dengan ambisi menghapus penderitaan dan
kematian, dianggap sebagai upaya meniadakan kebutuhan akan transendensi.
Seperti dikemukakan Brent Waters, upaya mengunggah kesadaran ke mesin
(mind uploading) merupakan bentuk “penebusan teknologis” yang meniru eskatologi
religius tanpa Tuhan.⁹
Kritik teologis ini juga menyoroti bahaya spiritual
dari “idola teknologi”, di mana manusia menggantikan Tuhan dengan
algoritma sebagai sumber kebenaran dan keselamatan.¹⁰ Dalam konteks ini,
transhumanisme dipandang bukan sebagai kemajuan moral, tetapi sebagai bentuk
baru dari hybris manusia modern—keinginan untuk menjadi ilahi melalui
mesin.¹¹
6.3.      
Kritik Ekofilosofis: Krisis
Lingkungan dan Ketimpangan Bioteknologis
Kritik ekofilosofis menyoroti bahwa orientasi
transhumanisme terhadap peningkatan individu sering kali mengabaikan
keberlanjutan ekologis dan kesetaraan global.¹² Pandangan ini berpijak pada
gagasan Rosi Braidotti bahwa proyek transhumanis bersifat antropo-teknosentris—menempatkan
manusia (dan teknologinya) di pusat semesta, sementara entitas non-manusia
seperti hewan, alam, dan ekosistem dianggap sekadar sumber daya.¹³
Selain itu, transhumanisme juga menghadapi problem
ketimpangan bioteknologis. Akses terhadap teknologi peningkatan tubuh atau
kecerdasan buatan kemungkinan besar hanya tersedia bagi kalangan elit global,
memperluas jurang sosial antara manusia “ditingkatkan” dan manusia “alami”.¹⁴
Kondisi ini menimbulkan apa yang disebut James Hughes sebagai “bioteknokrasi”,
yakni sistem sosial di mana kekuasaan ditentukan oleh akses terhadap teknologi
biologis dan digital.¹⁵
Dari sudut pandang etika lingkungan, proyek keabadian
digital dan peningkatan manusia yang mengandalkan energi dan sumber daya besar
juga berpotensi memperburuk krisis ekologi.¹⁶ Dengan demikian, transhumanisme
berisiko menciptakan dunia di mana keberlanjutan ekologis dikorbankan demi
ideal teknologis yang bersifat antroposentris.
6.4.      
Kritik Politik dan Ekonomi:
Kapitalisme Digital dan Kekuasaan Algoritma
Transhumanisme juga dikritik karena keterkaitannya
dengan logika kapitalisme digital.¹⁷ Para pemikir kritis seperti Shoshana
Zuboff dan Kate Crawford menunjukkan bahwa banyak proyek
transhumanistik—seperti augmentasi neural, biohacking, atau AI
superintelligent—dikendalikan oleh korporasi besar yang memonopoli data dan
sumber daya global.¹⁸
Dalam konteks ini, transhumanisme berfungsi bukan
sebagai gerakan emansipatoris, tetapi sebagai bentuk lanjutan dari kapitalisme
yang menubuhkan dirinya dalam tubuh manusia.¹⁹ Tubuh dan pikiran manusia
menjadi komoditas baru dalam ekonomi digital: data personal, emosi, dan memori
dijadikan bahan mentah bagi sistem algoritmik.²⁰ Akibatnya, manusia bukan hanya
pengguna teknologi, tetapi juga produk dari sistem ekonomi digital yang
ia ciptakan.
Selain itu, kekuasaan algoritma dalam pengambilan
keputusan sosial dan politik menimbulkan ancaman terhadap kebebasan dan otonomi
manusia.²¹ Jika keputusan moral dan politik diambil berdasarkan kalkulasi
algoritmik, maka rasionalitas manusia direduksi menjadi fungsi dari efisiensi
sistem. Kritik ini mengingatkan bahwa transhumanisme berisiko menggeser
nilai-nilai demokratis ke dalam logika teknokratis yang tidak manusiawi.²²
6.5.      
Kritik Filosofis: Ilusi
Kemajuan dan Krisis Ontologis
Dari sudut pandang filosofis, banyak pemikir
menilai bahwa transhumanisme menderita ilusi kemajuan (progress fallacy)—yakni
keyakinan bahwa setiap peningkatan teknologis identik dengan peningkatan moral
dan eksistensial.²³ Hubert Dreyfus dan Charles Taylor berargumen
bahwa teknologi tidak dapat menggantikan dimensi hermeneutik manusia yang
berakar pada makna, emosi, dan relasi antarpribadi.²⁴
Lebih jauh, Luciano Floridi menunjukkan
bahwa dunia yang sepenuhnya diatur oleh informasi dan algoritma akan
menimbulkan “krisis ontologis”—yakni kehilangan batas antara realitas
dan simulasi.²⁵ Dalam kondisi ini, manusia berisiko kehilangan orientasi
eksistensialnya, karena kebenaran dan identitas menjadi hasil rekayasa digital
semata.
Akhirnya, kritik filosofis menegaskan bahwa
transhumanisme, dengan seluruh potensinya, mengabaikan dimensi tragis dari
eksistensi manusia: penderitaan, kesementaraan, dan keterikatan dengan dunia
nyata.²⁶ Tanpa kesadaran akan keterbatasan, manusia kehilangan kemampuan untuk
berbelas kasih, bersyukur, dan menghayati makna kehidupan. Dengan demikian,
proyek untuk menjadi “lebih dari manusia” justru dapat mengarah pada keadaan
yang “kurang manusiawi.”²⁷
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 102–104.
[2]               
Jean-François Lyotard, The Inhuman: Reflections
on Time, trans. Geoffrey Bennington and Rachel Bowlby (Stanford: Stanford
University Press, 1991), 14–17.
[3]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
284–289.
[4]               
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
56–59.
[5]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 211–214.
[6]               
Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian
Theology and Technology in a Postmodern World (Burlington, VT: Ashgate,
2006), 22–25.
[7]               
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 16–18.
[8]               
John Paul II, Evangelium Vitae (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1995), 29–31.
[9]               
Brent Waters, This Mortal Flesh: Incarnation and
Bioethics (Grand Rapids, MI: Brazos Press, 2009), 42–45.
[10]            
Jacques Ellul, The Technological Society,
trans. John Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 89–93.
[11]            
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 67–70.
[12]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and
the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University
Press, 2021), 92–96.
[13]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 112–115.
[14]            
Nick Bostrom, “The Future of Human Evolution,” in Death
and Anti-Death: Two Hundred Years After Kant, Fifty Years After Turing, ed.
Charles Tandy (Palo Alto: Ria University Press, 2004), 5–7.
[15]            
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 128–130.
[16]            
Peter J. Bowler, Evolution: The History of an
Idea (Berkeley: University of California Press, 2009), 312–315.
[17]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 34–37.
[18]            
Kate Crawford, Atlas of AI, 104–107.
[19]            
Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here:
The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013),
44–48.
[20]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 101–104.
[21]            
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How
Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown,
2016), 62–65.
[22]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 376–380.
[23]            
David J. Gunkel, The Machine Question: Critical
Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012),
11–13.
[24]            
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 56–60.
[25]            
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 83–87.
[26]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 97–100.
[27]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
108–110.
7.          
Relevansi
Kontemporer Transhumanisme
Transhumanisme, sebagai gerakan filosofis, ilmiah,
dan kultural, memiliki relevansi yang sangat kuat dalam konteks dunia
kontemporer. Di tengah kemajuan bioteknologi, kecerdasan buatan (AI), dan
digitalisasi global, transhumanisme tidak hanya menjadi wacana teoretis,
tetapi juga realitas sosial dan politik yang mengubah cara manusia memahami
diri dan dunia.¹ Gerakan ini memberikan kerangka interpretatif untuk membaca
fenomena kemanusiaan modern—mulai dari teknologi medis, politik algoritma,
hingga moralitas digital—serta menimbulkan pertanyaan filosofis baru mengenai
makna kemajuan, keadilan, dan keberlanjutan eksistensi manusia.
7.1.      
Transhumanisme dalam Era
Digital dan AI
Kemunculan kecerdasan buatan telah mempercepat
realisasi gagasan transhumanistik tentang integrasi manusia dan mesin.² Konsep augmented
humanity kini mewujud dalam bentuk sistem kecerdasan buatan yang menyatu
dengan kehidupan sehari-hari: neural network, machine learning,
hingga brain-computer interface.³ Teknologi ini memungkinkan manusia
memperluas kapasitas kognitif dan sensoriknya, menciptakan bentuk baru dari
kesadaran kolektif digital.
Namun, fenomena ini juga mempertegas kritik
terhadap hilangnya batas ontologis antara manusia dan mesin. Luciano Floridi
menyebut kondisi ini sebagai infosphere, yakni ruang eksistensial di
mana manusia hidup bersama mesin cerdas dalam jaringan informasi yang saling
terhubung.⁴ Dalam konteks ini, transhumanisme menjadi lensa untuk memahami
transformasi epistemologis abad ke-21: manusia tidak lagi sekadar pencipta
teknologi, tetapi juga produk dari sistem teknologis yang ia bangun.
Implikasi etis dari era digital ini sangat
signifikan. Kecerdasan buatan yang mampu mengambil keputusan moral—seperti
dalam sistem kendaraan otonom atau algoritma medis—menimbulkan pertanyaan
tentang tanggung jawab moral dan status etis dari entitas non-manusia.⁵
Transhumanisme menjadi relevan karena menawarkan kerangka untuk memikirkan
ulang relasi antara kesadaran, kecerdasan, dan moralitas di era
posthuman.
7.2.      
Relevansi Sosial:
Ketimpangan Teknologi dan Akses Bioteknologi
Dalam ranah sosial, transhumanisme memunculkan
diskursus baru tentang keadilan teknologi (technological justice).⁶
Meskipun transhumanisme menjanjikan peningkatan kemampuan manusia, akses
terhadap teknologi peningkatan tubuh, rekayasa genetika, atau perpanjangan usia
cenderung terbatas pada kelompok ekonomi elit. Hal ini berpotensi melahirkan
kelas baru yang disebut “enhanced elite”—manusia dengan kemampuan fisik
dan kognitif melebihi rata-rata populasi.⁷
James Hughes memperingatkan bahwa tanpa kebijakan sosial yang egaliter,
transhumanisme dapat memperkuat struktur ketimpangan ekonomi dan politik.⁸
Dalam masyarakat digital, tubuh manusia dapat menjadi “aset ekonomi,”
dan kecerdasan buatan menjadi alat kontrol sosial. Oleh karena itu, relevansi
kontemporer transhumanisme menuntut refleksi etis dan politis mengenai
distribusi kekuasaan dalam masyarakat teknologi.
Lebih jauh, munculnya biohacking movement
dan citizen science memperlihatkan bentuk demokratisasi pengetahuan
transhumanistik, di mana masyarakat sipil mulai berpartisipasi dalam eksperimen
bioteknologi.⁹ Ini menunjukkan bahwa transhumanisme bukan hanya proyek elit intelektual,
melainkan juga gerakan kultural yang melibatkan masyarakat global dalam
membentuk masa depan manusia.
7.3.      
Relevansi dalam Pendidikan
dan Epistemologi Digital
Di bidang pendidikan, transhumanisme mengubah
paradigma pembelajaran.¹⁰ Teknologi digital dan sistem kecerdasan buatan
memungkinkan lahirnya augmented learning—proses pendidikan yang tidak
lagi terbatas oleh ruang dan waktu biologis.¹¹ Dalam perspektif
transhumanistik, pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi rekayasa
kesadaran untuk mempersiapkan manusia menghadapi era pascabiologis.
Steve Fuller menyebut transformasi ini sebagai “pendidikan evolusioner,” di
mana tujuan pembelajaran bukan hanya membentuk moralitas, tetapi juga
meningkatkan kapasitas kognitif manusia melalui integrasi teknologi.¹² Dalam
konteks ini, transhumanisme menantang sistem pendidikan tradisional untuk
beradaptasi dengan bentuk-bentuk kecerdasan non-biologis dan digital.
Namun, tantangan epistemologisnya juga besar.
Pengetahuan di era digital rentan terhadap manipulasi algoritmik dan
fragmentasi informasi.¹³ Karena itu, transhumanisme relevan sebagai kerangka
filsafat kritis yang menuntut refleksi atas bagaimana manusia mengetahui
dan mendidik diri di tengah dominasi data dan teknologi.
7.4.      
Relevansi Politik dan
Hukum: Etika Regulasi Teknologi
Perkembangan pesat bioteknologi, kecerdasan buatan,
dan neuro-rights telah memunculkan persoalan hukum dan politik yang
belum pernah dihadapi sebelumnya.¹⁴ Pertanyaan seperti: Apakah hak asasi
manusia berlaku bagi kecerdasan buatan? Apakah pikiran digital memiliki
privasi?—menjadi isu aktual dalam perdebatan transhumanistik.
Negara-negara seperti Chili, Spanyol, dan Jepang
telah mulai mengembangkan kerangka hukum mengenai hak kognitif dan mental
(cognitive liberty), yang secara eksplisit mengakui perlunya perlindungan
terhadap otonomi pikiran di era interfacing otak-komputer.¹⁵ Dalam konteks ini,
etika transhumanisme berperan penting dalam membentuk arah regulasi publik yang
adil dan manusiawi.
Selain itu, World Economic Forum (WEF) dan UNESCO
telah menyoroti pentingnya pendekatan etis terhadap AI dan bioteknologi yang
berlandaskan hak asasi manusia dan tanggung jawab global.¹⁶ Transhumanisme
menjadi relevan karena membuka wacana tentang masa depan etika hukum yang mampu
mengimbangi percepatan inovasi teknologi.
7.5.      
Relevansi Ekologis: Menuju
Etika Planetar dan Keberlanjutan
Relevansi kontemporer transhumanisme juga tampak
dalam relasinya dengan isu lingkungan dan keberlanjutan.¹⁷ Pandangan Rosi
Braidotti dan Donna Haraway menunjukkan bahwa teknologi tidak bisa
lagi dipisahkan dari ekosistem planet.¹⁸ Dalam konteks ini, transhumanisme
perlu bertransformasi dari paradigma antroposentris menuju eko-transhumanisme,
yaitu bentuk kesadaran baru yang mengintegrasikan teknologi dengan etika
ekologis.
Konsep planetary posthumanism menekankan
bahwa keberlanjutan bukan hanya masalah ekologi, tetapi juga masalah moralitas
eksistensial manusia di era teknologi tinggi.¹⁹ Dengan memandang manusia
sebagai bagian dari jaringan kehidupan dan informasi planetar, transhumanisme
dapat berperan dalam membangun etika baru yang menyeimbangkan inovasi dengan
tanggung jawab terhadap bumi.²⁰
7.6.      
Relevansi Kultural dan
Spiritualitas Baru
Dalam ranah kultural, transhumanisme menandai
lahirnya bentuk spiritualitas baru yang tidak lagi berbasis teologi
tradisional, melainkan pada keyakinan terhadap kemampuan manusia untuk “menyelamatkan
diri” melalui teknologi.²¹ Yuval Noah Harari menyebut fenomena ini
sebagai techno-religion, yaitu kepercayaan baru yang menggantikan Tuhan
dengan algoritma dan data.²² Meskipun terkesan sekuler, spiritualitas
transhumanistik menawarkan visi kebermaknaan baru: kehidupan yang diperpanjang,
kesadaran yang diunggah, dan moralitas yang dikodekan dalam sistem digital.
Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga dimensi
spiritualitas manusia agar tidak direduksi menjadi fungsi algoritmik.²³ Dalam
konteks ini, transhumanisme tetap relevan sebagai medan refleksi eksistensial
tentang hubungan antara iman, teknologi, dan kebijaksanaan moral di abad ke-21.
Kesimpulan
Sementara: Menghadapi Dunia Posthuman
Relevansi kontemporer transhumanisme terletak pada
kemampuannya untuk mengartikulasikan tensi antara kemajuan dan kebijaksanaan,
antara peningkatan dan kemanusiaan.²⁴ Ia menjadi medan dialog antara filsafat,
sains, etika, dan politik dalam menghadapi transformasi terbesar peradaban
manusia.
Transhumanisme bukan sekadar visi futuristik,
melainkan cermin zaman yang menampilkan wajah baru kemanusiaan: makhluk
yang sedang bernegosiasi dengan batasnya sendiri.²⁵ Dalam dunia yang semakin
digital, otomatis, dan saling terhubung, refleksi transhumanistik menjadi
kebutuhan mendesak agar manusia tidak sekadar menjadi objek dari kemajuannya,
tetapi tetap menjadi subjek yang sadar, etis, dan bertanggung jawab.²⁶
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 111–113.
[2]               
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When
Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 25–27.
[3]               
Anders Sandberg, “Neural Interfaces and Human
Enhancement,” Neuroethics 11, no. 2 (2018): 123–128.
[4]               
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 91–94.
[5]               
Susan Schneider, Artificial You: AI and the
Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 98–102.
[6]               
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 128–132.
[7]               
Nick Bostrom, “Human Genetic Enhancements: A
Transhumanist Perspective,” Journal of Value Inquiry 37, no. 4 (2003):
493–506.
[8]               
Ibid., 502.
[9]               
Hava Tirosh-Samuelson, “Transhumanism as a
Secularist Faith,” Zygon: Journal of Religion and Science 47, no. 4
(2012): 710–712.
[10]            
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 54–56.
[11]            
Max More and Natasha Vita-More, eds., The
Transhumanist Reader (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 210–213.
[12]            
Steve Fuller, The Knowledge Book: Key Concepts
in Philosophy, Science, and Culture (Montreal: McGill-Queen’s University
Press, 2014), 177–180.
[13]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 105–108.
[14]            
Rafael Yuste et al., “Four Ethical Priorities for
Neurotechnologies and AI,” Nature 551 (2017): 159–163.
[15]            
Marcello Ienca and Roberto Andorno, “Towards New
Human Rights in the Age of Neuroscience and Neurotechnology,” Life Sciences,
Society and Policy 13, no. 1 (2017): 1–27.
[16]            
World Economic Forum, Ethics by Design:
Principles for AI and Autonomous Systems (Geneva: WEF, 2019), 3–5.
[17]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 130–134.
[18]            
Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making
Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 23–25.
[19]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
115–117.
[20]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and
the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University
Press, 2021), 143–147.
[21]            
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of
Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 287–291.
[22]            
Ibid., 292–295.
[23]            
Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian
Theology and Technology in a Postmodern World (Burlington, VT: Ashgate,
2006), 74–76.
[24]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 127–130.
[25]            
Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge
(Cambridge: Polity Press, 2019), 198–202.
[26]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
118–120.
8.          
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis dari transhumanisme merupakan
upaya untuk memahami dan menyeimbangkan antara rasionalitas teknologis
dan kebijaksanaan humanistik dalam menghadapi transformasi eksistensial
manusia. Gerakan transhumanisme, dengan segala kompleksitasnya, menghadirkan
tantangan baru bagi filsafat: bagaimana manusia tetap menjadi subjek etis dan
bermakna di tengah kemajuan teknologi yang cenderung mengubah hakikat dirinya.¹
Sintesis ini berusaha merekonsiliasi antara potensi kreatif teknologi dan
nilai-nilai kemanusiaan yang universal, sehingga proyek peningkatan manusia
tidak berakhir pada dehumanisasi, melainkan pada bentuk baru humanisme
transformatif.
8.1.      
Rekonsiliasi antara Humanisme
dan Transhumanisme
Meskipun secara historis transhumanisme berakar
dari semangat humanisme Renaisans, keduanya berbeda dalam orientasi ontologis.
Humanisme klasik menekankan pada pendidikan moral, rasionalitas, dan
kesempurnaan batin, sementara transhumanisme berfokus pada perbaikan
biologis dan teknologis manusia.² Namun, keduanya dapat disintesiskan
melalui gagasan humanisme transformatif, yaitu pendekatan yang mengakui
teknologi sebagai sarana etis untuk mewujudkan potensi manusia tanpa meniadakan
nilai moralnya.³
Nick Bostrom menegaskan bahwa tujuan akhir transhumanisme bukanlah sekadar “menjadi
mesin” atau “melampaui tubuh,” tetapi mengembangkan kapasitas
manusia dalam kerangka moral yang bijaksana.⁴ Dengan demikian, humanisme dan
transhumanisme tidak perlu dilihat sebagai antitesis, melainkan sebagai dua
tahap dalam evolusi kesadaran manusia—yang satu menegaskan kemanusiaan melalui
budaya, dan yang lain melalui teknologi.
Rekonsiliasi ini menuntut reinterpretasi konsep virtus
dalam filsafat klasik: kebajikan bukan hanya dalam pengendalian diri, tetapi
juga dalam kemampuan menggunakan teknologi untuk kebaikan.⁵ Manusia yang “diperluas”
secara biologis tetap memerlukan kebijaksanaan moral untuk memastikan bahwa
peningkatan kemampuan tidak menjadi sarana dominasi, melainkan sarana pelayanan
terhadap kehidupan.
8.2.      
Integrasi Ontologi dan
Etika Teknologis
Sintesis filosofis juga menuntut integrasi antara ontologi
teknologi dan etika eksistensial. Dalam kerangka ini, teknologi
bukan lagi sekadar alat eksternal, tetapi bagian inheren dari struktur
eksistensi manusia.⁶ Bernard Stiegler menyebut hubungan ini sebagai technogenesis—proses
timbal balik antara manusia dan teknologi yang membentuk cara kita berpikir dan
ada di dunia.⁷
Namun, agar technogenesis tidak berujung pada
dominasi teknologi atas manusia, perlu dikembangkan prinsip teknomoralitas,
yaitu kesadaran bahwa setiap inovasi teknologi mengandung konsekuensi etis
terhadap eksistensi.⁸ Dalam kerangka ini, filsafat transhumanisme harus
bersifat reflektif: ia tidak hanya menanyakan “apa yang dapat dilakukan oleh
teknologi,” tetapi juga “apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dengan teknologi.”
Sintesis ontologis-etis ini membuka ruang bagi
konsep teknologi bijaksana (wise technology)—suatu pandangan bahwa
kemajuan sejati bukan diukur dari kecepatan inovasi, tetapi dari kemampuannya
menumbuhkan keadilan, empati, dan keberlanjutan kehidupan.⁹
8.3.      
Kesatuan Epistemologis
antara Rasionalitas dan Spiritualitas
Filsafat transhumanisme cenderung memisahkan
rasionalitas ilmiah dari spiritualitas manusia. Namun, dalam konteks sintesis
filosofis, keduanya dapat dipahami sebagai dua dimensi dari satu kesadaran
evolusioner.¹⁰ Teilhard de Chardin dalam konsep noosphere
menegaskan bahwa perkembangan kesadaran manusia menuju “kesadaran planetar”
merupakan bentuk spiritualitas baru yang berakar pada evolusi ilmu
pengetahuan.¹¹
Transhumanisme dapat mengadopsi gagasan ini dengan
mengakui bahwa pencarian kebenaran ilmiah dan teknologi adalah bagian dari
upaya spiritual manusia untuk memahami dan menyempurnakan ciptaan.¹² Sintesis
epistemologis ini menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tanpa kesadaran etis
berisiko menimbulkan nihilisme, sementara spiritualitas tanpa dasar rasional
berpotensi jatuh ke dogmatisme.¹³
Dengan demikian, paradigma baru yang dapat disebut
sebagai rasionalitas spiritual (spiritual rationality) menjadi inti dari
sintesis filosofis transhumanisme—suatu bentuk pengetahuan yang memadukan
sains, etika, dan kebijaksanaan eksistensial.¹⁴
8.4.      
Etika Keberlanjutan dan
Solidaritas Posthuman
Sintesis filosofis transhumanisme juga menuntut
etika yang melampaui individualisme manusia modern menuju solidaritas
posthuman. Dalam dunia yang semakin digital dan interkonektif, tanggung
jawab moral tidak hanya berlaku antar-manusia, tetapi juga mencakup entitas
non-manusia seperti AI, hewan, dan ekosistem planet.¹⁵
Rosi Braidotti menegaskan pentingnya membangun zoe-centric ethics—etika yang
menempatkan kehidupan sebagai pusat nilai, bukan hanya manusia.¹⁶ Pandangan ini
dapat diintegrasikan dengan visi transhumanistik yang mengakui bahwa peningkatan
manusia hanya bermakna jika diarahkan pada keberlanjutan kehidupan bersama.
Oleh karena itu, sintesis etis ini melahirkan prinsip eko-transhumanisme,
yakni paradigma yang memadukan inovasi teknologi dengan tanggung jawab ekologis
dan solidaritas global.¹⁷
Sintesis ini berimplikasi pada aksiologi baru:
nilai tertinggi bukanlah keabadian individu, melainkan keberlanjutan kolektif
kehidupan di bumi dan semesta.¹⁸ Dengan demikian, transhumanisme yang beretika
tidak lagi hanya berorientasi pada “mengatasi manusia,” tetapi juga pada
“merawat dunia.”
8.5.      
Menuju Paradigma
Kemanusiaan Baru
Hasil akhir dari sintesis filosofis ini adalah
lahirnya paradigma baru tentang kemanusiaan reflektif—manusia yang sadar
bahwa ia tidak hanya dapat mencipta, tetapi juga harus bertanggung jawab atas
ciptaannya.¹⁹ Manusia transhuman bukan sekadar makhluk dengan kemampuan yang
ditingkatkan, tetapi subjek etis yang memahami keterbatasannya sebagai bagian
dari kebijaksanaan.
Paradigma ini sejalan dengan visi Hans Jonas
tentang ethics of responsibility, yang menuntut manusia untuk
mengintegrasikan kekuatan teknologinya dengan kesadaran moral terhadap masa
depan kehidupan.²⁰ Dalam konteks ini, transhumanisme menemukan maknanya bukan
dalam menghapus batas kemanusiaan, tetapi dalam memperluas horizon moralnya ke
arah tanggung jawab universal.²¹
Oleh karena itu, sintesis filosofis transhumanisme
tidak berakhir pada penciptaan manusia super, tetapi pada penciptaan manusia
bijaksana (homo sapiens technologicus)—makhluk yang memahami bahwa menjadi
manusia berarti terus berkembang, namun tetap berakar pada cinta, empati, dan
kebijaksanaan.²²
Kesimpulan Sintetis
Sintesis filosofis transhumanisme mengajarkan bahwa
teknologi, sains, dan filsafat tidak dapat dipisahkan dalam perjalanan evolusi
kesadaran manusia.²³ Transhumanisme hanya akan memiliki nilai sejati bila
dijiwai oleh semangat humanisme moral, kesadaran ekologis, dan rasionalitas
spiritual. Dalam kerangka ini, masa depan manusia bukan sekadar tentang
menjadi lebih cerdas atau lebih kuat, tetapi tentang menjadi lebih
bertanggung jawab terhadap kehidupan dalam segala bentuknya.²⁴
Dengan demikian, filsafat transhumanisme menemukan
keseimbangannya: teknologi sebagai sarana kebijaksanaan, dan kebijaksanaan
sebagai arah teknologi.²⁵
Footnotes
[1]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 121–123.
[2]               
Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the
Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Gateway Editions,
1956), 5–8.
[3]               
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 72–75.
[4]               
Nick Bostrom, “Transhumanist Values,” Review of
Contemporary Philosophy 4 (2005): 6–9.
[5]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
29–32.
[6]               
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From
Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 43–45.
[7]               
Bernard Stiegler, Technics and Time, 1: The
Fault of Epimetheus, trans. Richard Beardsworth and George Collins
(Stanford: Stanford University Press, 1998), 134–138.
[8]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 87–89.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 9–12.
[10]            
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of
Man (New York: Harper & Row, 1959), 180–183.
[11]            
Ibid., 185–187.
[12]            
Max More and Natasha Vita-More, eds., The
Transhumanist Reader (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), 241–244.
[13]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 66–70.
[14]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
125–127.
[15]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 142–145.
[16]            
Ibid., 146–148.
[17]            
Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making
Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 35–38.
[18]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and
the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University
Press, 2021), 155–158.
[19]            
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 140–143.
[20]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
127–130.
[21]            
Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian
Theology and Technology in a Postmodern World (Burlington, VT: Ashgate,
2006), 79–81.
[22]            
Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge
(Cambridge: Polity Press, 2019), 211–214.
[23]            
Steve Fuller and Veronika Lipińska, The
Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave
Macmillan, 2014), 112–115.
[24]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
130–133.
[25]            
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When
Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 301–305.
9.          
Kesimpulan
Transhumanisme, sebagai gerakan intelektual,
ilmiah, dan filosofis, merupakan refleksi terdalam dari hasrat manusia untuk melampaui
batas dirinya sendiri. Ia memadukan semangat rasionalitas ilmiah dari
Pencerahan, humanisme moral dari Renaisans, dan optimisme futuristik dari
revolusi digital.¹ Namun di balik visi kemajuan dan peningkatan kemampuan
manusia, tersembunyi dilema mendasar yang bersifat ontologis, epistemologis,
dan etis: apakah dalam upaya menjadi lebih dari manusia, manusia justru
berisiko kehilangan makna kemanusiaannya?²
Transhumanisme menegaskan keyakinan bahwa manusia
adalah makhluk yang belum selesai (unfinished being)—entitas yang dapat
terus berevolusi melalui teknologi.³ Dalam perspektif ini, tubuh dan kesadaran
bukanlah entitas tetap, melainkan proyek terbuka yang dapat dimodifikasi dan
diperluas. Ontologi transhumanisme mengandung optimisme kreatif: bahwa
teknologi dapat menjadi sarana aktualisasi potensi manusia. Namun, di sisi
lain, ia juga menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam tentang tanggung jawab,
makna, dan martabat manusia dalam dunia yang semakin didominasi oleh mesin dan
algoritma.⁴
Secara epistemologis, transhumanisme menandai
pergeseran dari pengetahuan humanistik menuju knowledge-as-technology—di
mana mengetahui berarti juga mencipta.⁵ Pengetahuan tidak lagi sekadar
kontemplatif, melainkan produktif dan transformatif, memungkinkan manusia untuk
mengintervensi kondisi eksistensialnya sendiri. Namun, kondisi ini mengandung
paradoks: ketika pengetahuan menjadi kekuatan teknologis yang nyaris tanpa
batas, batas moral manusia justru menjadi kabur.⁶ Di sinilah filsafat berperan
untuk mengembalikan orientasi epistemologi transhumanis ke dalam kesadaran
reflektif, agar pengetahuan tidak terlepas dari kebijaksanaan.
Dari perspektif etika dan aksiologi, transhumanisme
menimbulkan tantangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tradisional.⁷ Upaya
peningkatan tubuh, pikiran, dan umur panjang tidak hanya menyentuh ranah
ilmiah, tetapi juga nilai moral dan sosial. Etika transhumanisme menuntut
adanya keseimbangan antara proactionary principle—semangat inovasi—dan precautionary
principle—kesadaran tanggung jawab.⁸ Dengan demikian, kemajuan teknologi
tidak boleh diukur hanya melalui efisiensi atau kecepatan, tetapi juga melalui
kontribusinya terhadap martabat, keadilan, dan solidaritas manusia.
Kritik terhadap transhumanisme—baik dari sudut
pandang humanistik, teologis, maupun ekofilosofis—menunjukkan bahwa proyek
peningkatan manusia mengandung risiko alienasi dan ketimpangan.⁹ Namun kritik
ini bukan alasan untuk menolak transhumanisme secara total, melainkan dorongan
untuk menumbuhkan transhumanisme reflektif, yang mengintegrasikan semangat
kemajuan dengan tanggung jawab moral dan ekologis.¹⁰ Dalam bentuknya yang
matang, transhumanisme bukan hanya tentang menciptakan manusia yang lebih kuat
atau cerdas, tetapi juga tentang menciptakan manusia yang lebih bijaksana,
empatik, dan sadar akan keterbatasannya.
Secara sintesis, filsafat transhumanisme membuka
peluang untuk membangun paradigma baru tentang humanisme transformatif—suatu
pandangan yang mengakui bahwa teknologi adalah bagian dari kodrat manusia,
tetapi tidak boleh menggantikan kemanusiaan itu sendiri.¹¹ Dalam paradigma ini,
manusia tidak dilihat sebagai “puncak evolusi,” melainkan sebagai
mediator antara alam, teknologi, dan kesadaran universal.¹² Dengan demikian,
arah perkembangan manusia bukan menuju keabadian mekanistik, tetapi menuju kemanusiaan
yang berkelanjutan (sustainable humanity)—sebuah kondisi di mana
teknologi, etika, dan spiritualitas saling menopang dalam harmoni.
Akhirnya, transhumanisme menghadirkan ajakan
filosofis untuk menemukan kembali makna menjadi manusia di era pascamanusia.¹³
Bukan dengan menolak teknologi, melainkan dengan mengintegrasikannya secara
bijak dalam horizon moral dan eksistensial. Manusia masa depan yang ideal
bukanlah makhluk yang bebas dari keterbatasan, tetapi makhluk yang mampu mengubah
keterbatasan menjadi kebijaksanaan.¹⁴ Dalam hal ini, proyek transhumanistik
yang sejati adalah proyek kemanusiaan itu sendiri: pencarian abadi terhadap
makna, kebaikan, dan tanggung jawab di tengah kemajuan tanpa batas.¹⁵
Footnotes
[1]               
Steve Fuller, Humanity 2.0: What It Means to Be
Human Past, Present and Future (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 9–12.
[2]               
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism
(London: Bloomsbury Academic, 2019), 136–139.
[3]               
Julian Huxley, New Bottles for New Wine
(London: Chatto & Windus, 1957), 17–19.
[4]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 15–18.
[5]               
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 102–106.
[6]               
Nick Bostrom, “A History of Transhumanist Thought,”
Journal of Evolution and Technology 14, no. 1 (2005): 12–15.
[7]               
Nick Bostrom and Julian Savulescu, eds., Human
Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 4–8.
[8]               
Steve Fuller and Veronika Lipińska, The
Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (New York: Palgrave
Macmillan, 2014), 37–40.
[9]               
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 6–9.
[10]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 152–155.
[11]            
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of
Man (New York: Harper & Row, 1959), 190–193.
[12]            
Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making
Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 40–43.
[13]            
James Hughes, Citizen Cyborg: Why Democratic
Societies Must Respond to the Redesigned Human of the Future (Boulder:
Westview Press, 2004), 156–160.
[14]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
58–61.
[15]            
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism,
140–143.
Daftar Pustaka 
Buku dan Monograf
Bostrom, N. (2005). A history of transhumanist
thought. Journal of Evolution and Technology, 14(1), 1–25.
Bostrom, N., & Savulescu, J. (Eds.). (2009). Human
enhancement. Oxford University Press.
Bowler, P. J. (2009). Evolution: The history of
an idea (3rd ed.). University of California Press.
Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity
Press.
Braidotti, R. (2019). Posthuman knowledge.
Polity Press.
Clark, A., & Chalmers, D. (1998). The extended
mind. Analysis, 58(1), 7–19.
Comte, A. (1896). The positive philosophy.
George Bell & Sons.
Della Mirandola, G. P. (1956). Oration on the dignity
of man (A. R. Caponigri, Trans.). Gateway Editions.
Descartes, R. (1998). Discourse on method and
meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still
can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.
Ellul, J. (1964). The technological society
(J. Wilkinson, Trans.). Vintage Books.
Ferrando, F. (2019). Philosophical posthumanism.
Bloomsbury Academic.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Fukuyama, F. (2002). Our posthuman future:
Consequences of the biotechnology revolution. Farrar, Straus and Giroux.
Fuller, S. (2011). Humanity 2.0: What it means
to be human past, present and future. Palgrave Macmillan.
Fuller, S., & Lipińska, V. (2014). The
proactionary imperative: A foundation for transhumanism. Palgrave
Macmillan.
Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history
of tomorrow. Harvill Secker.
Haraway, D. (2016). Staying with the trouble:
Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, Vol. 1. Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The theory of communicative
action, Vol. 2. Beacon Press.
Habermas, J. (2003). The future of human nature.
Polity Press.
Hughes, J. (2004). Citizen cyborg: Why
democratic societies must respond to the redesigned human of the future.
Westview Press.
Huxley, J. (1957). New bottles for new wine.
Chatto & Windus.
Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld:
From garden to earth. Indiana University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kurzweil, R. (2005). The singularity is near:
When humans transcend biology. Viking.
Lyotard, J.-F. (1991). The inhuman: Reflections
on time (G. Bennington & R. Bowlby, Trans.). Stanford University Press.
MacIntyre, A. (1984). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Metzinger, T. (2009). The ego tunnel: The
science of the mind and the myth of the self. Basic Books.
Metzinger, T. (2023). Ethics of artificial
consciousness. Oxford University Press.
More, M. (2013). The philosophy of transhumanism.
In M. More & N. Vita-More (Eds.), The transhumanist reader: Classical
and contemporary essays on the science, technology, and philosophy of the human
future (pp. 3–17). Wiley-Blackwell.
More, M., & Vita-More, N. (Eds.). (2013). The
transhumanist reader: Classical and contemporary essays on the science,
technology, and philosophy of the human future. Wiley-Blackwell.
Moravec, H. (1988). Mind children: The future of
robot and human intelligence. Harvard University Press.
Morozov, E. (2013). To save everything, click
here: The folly of technological solutionism. PublicAffairs.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction:
How big data increases inequality and threatens democracy. Crown.
Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric
experience. Orbis Books.
Pearce, D. (1995). The hedonistic imperative.
BLTC Research.
Sandberg, A. (2011). Cognitive enhancement:
Methods, ethics, regulatory challenges. Science and Engineering Ethics, 17(3),
405–431.
Schneider, S. (2019). Artificial you: AI and the
future of your mind. Princeton University Press.
Stiegler, B. (1998). Technics and time, 1: The
fault of Epimetheus (R. Beardsworth & G. Collins, Trans.). Stanford
University Press.
Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity.
Harvard University Press.
Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon
of man. Harper & Row.
Tirosh-Samuelson, H. (2012). Transhumanism as a
secularist faith. Zygon: Journal of Religion and Science, 47(4),
710–712.
Trinkaus, C. (1970). In our image and likeness:
Humanity and divinity in Italian humanist thought. University of Chicago
Press.
Waters, B. (2006). From human to posthuman:
Christian theology and technology in a postmodern world. Ashgate.
Waters, B. (2009). This mortal flesh:
Incarnation and bioethics. Brazos Press.
World Economic Forum. (2019). Ethics by design:
Principles for AI and autonomous systems. World Economic Forum.
Yuste, R., Goering, S., Arcas, B. A. y., Bi, G.,
Carmena, J. M., Carter, A., Fins, J. J., Friesen, P., Gallant, J., Huggins, J.
E., Illes, J., Kellmeyer, P., Klein, E., Marblestone, A., Mitchell, C., Parens,
E., Pham, M., Rubel, A., Sadato, N., & Wexler, A. (2017). Four ethical
priorities for neurotechnologies and AI. Nature, 551, 159–163.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Artikel dan Jurnal
Tambahan
Bostrom, N. (2003). Ethical issues in advanced
artificial intelligence. Cognitive, Emotive and Ethical Aspects of Decision
Making in Humans and in Artificial Intelligence, 2, 12–18.
Bostrom, N. (2003). Human genetic enhancements: A
transhumanist perspective. Journal of Value Inquiry, 37(4), 493–506.
Bostrom, N. (2004). The future of human evolution.
In C. Tandy (Ed.), Death and anti-death: Two hundred years after Kant, fifty
years after Turing (pp. 3–12). Ria University Press.
Hava, T.-S. (2012). Transhumanism as a secularist
faith. Zygon: Journal of Religion and Science, 47(4), 710–712.
Savulescu, J. (2001). Procreative beneficence: Why
we should select the best children. Bioethics, 15(5–6), 413–426.
Yuste, R., et al. (2017). Four ethical priorities
for neurotechnologies and AI. Nature, 551, 159–163.
Dokumen Keagamaan
dan Filsafat Klasik
John Paul II. (1995). Evangelium vitae.
Libreria Editrice Vaticana.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Referensi Tambahan
untuk Konteks Sosial dan Etika
Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power,
politics, and the planetary costs of artificial intelligence. Yale
University Press.
Gunkel, D. J. (2012). The machine question:
Critical perspectives on AI, robots, and ethics. MIT Press.
Hughes, J. (2004). Citizen cyborg: Why
democratic societies must respond to the redesigned human of the future.
Westview Press.
Morozov, E. (2013). To save everything, click here:
The folly of technological solutionism. PublicAffairs.
O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction:
How big data increases inequality and threatens democracy. Crown.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar