Rasionalitas Teistik
Fondasi Filsafat Ketuhanan dalam Kerangka Akal, Iman,
dan Eksistensi
Alihkan ke: Filsafat Agama.
Keberadaan Tuhan René Descartes, Keberadaan Tuhan Kurt Gödel.
Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam konsep rasionalitas
teistik sebagai paradigma filsafat ketuhanan yang berupaya menjembatani
ketegangan historis antara akal dan iman, filsafat dan teologi,
serta pengetahuan dan keberadaan. Melalui pendekatan ontologis,
epistemologis, aksiologis, dan eksistensial, kajian ini menegaskan bahwa
rasionalitas teistik bukan sekadar bentuk argumentasi intelektual tentang
keberadaan Tuhan, tetapi juga cara berpikir dan hidup yang berakar pada
partisipasi manusia dalam Logos Ilahi — prinsip rasional, personal, dan
transendental yang mendasari segala realitas.
Secara historis, konsep ini berkembang dari tradisi
filsafat Yunani klasik, mengalami kristalisasi dalam skolastisisme
abad pertengahan (terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas), lalu mendapat
kritik dari rasionalisme modern, empirisisme, dan eksistensialisme
ateistik, hingga akhirnya direvitalisasi dalam teologi kontemporer oleh
pemikir seperti Karl Rahner, Paul Tillich, Alvin Plantinga,
dan John Cottingham.
Secara ontologis, rasionalitas teistik memandang
Tuhan sebagai ipsum esse subsistens — dasar realitas yang rasional.
Secara epistemologis, ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang Tuhan melibatkan
baik rasio maupun iman dalam relasi dialogal. Secara aksiologis, ia menempatkan
Tuhan sebagai sumber objektif nilai moral dan kebaikan tertinggi, menjadikan
rasionalitas sebagai sarana etis untuk hidup sesuai kehendak ilahi. Sementara
itu, secara eksistensial dan teologis, rasionalitas teistik menyingkap
pengalaman manusia yang berpikir dan beriman di hadapan misteri Tuhan yang tak
terjangkau namun dapat dialami.
Dalam konteks kontemporer, rasionalitas teistik
menunjukkan relevansi besar terhadap dialog antara iman dan sains, pluralisme
agama, etika global, dan krisis makna modernitas. Paradigma
ini menawarkan alternatif terhadap nihilisme epistemologis dan relativisme
moral dengan memulihkan integrasi antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan
dalam horizon transendental. Pada akhirnya, rasionalitas teistik dapat dipahami
sebagai rasionalitas terbuka: berpikir yang berakar pada iman, dan
beriman yang berpikir—suatu bentuk kebijaksanaan yang mempersatukan akal,
moralitas, dan spiritualitas dalam orientasi menuju kebenaran ilahi.
Kata Kunci: Rasionalitas teistik; Logos ilahi; iman dan akal;
filsafat ketuhanan; epistemologi iman; ontologi transendental; aksiologi moral;
eksistensialisme religius; natural theology; kebijaksanaan ilahi.
PEMBAHASAN
Kontribusi Rasionalitas Teistik terhadap Filsafat Agama
dan Etika
1.          
Pendahuluan
Hubungan antara rasionalitas dan kepercayaan
kepada Tuhan merupakan salah satu persoalan paling mendasar dalam sejarah
filsafat agama. Sejak zaman klasik, para filsuf telah berupaya menjembatani dua
kutub ini: akal (logos) dan iman (pistis). Rasionalitas sering
dianggap sebagai domain argumentasi logis yang mengandalkan prinsip koherensi
dan bukti empiris, sedangkan iman dipandang sebagai wilayah kepercayaan
transrasional yang bersandar pada wahyu dan pengalaman spiritual. Namun,
dikotomi ini bukanlah sesuatu yang niscaya; justru, di dalam tradisi filsafat
teistik, akal dan iman dapat saling memperkaya dan mengokohkan dasar
pengetahuan manusia tentang Tuhan dan keberadaan-Nya.¹
Sejarah filsafat memperlihatkan bahwa upaya untuk
menalar Tuhan secara rasional telah berlangsung sejak masa Plato dan Aristoteles,
yang melihat keberadaan prinsip ilahi sebagai bentuk tertinggi dari logos
kosmik.² Pemikiran ini kemudian diintegrasikan ke dalam kerangka filsafat
skolastik, terutama oleh Santo Anselmus dan Thomas Aquinas,
yang berusaha membangun sistem pembuktian rasional atas eksistensi Tuhan
melalui argumen ontologis, kosmologis, dan teleologis.³ Dalam konteks ini,
rasionalitas teistik bukanlah sekadar pembenaran intelektual atas iman,
melainkan bentuk refleksi mendalam terhadap struktur realitas yang menunjuk
pada prinsip pertama yang rasional dan personal, yakni Tuhan.⁴
Namun, rasionalitas teistik juga menghadapi kritik
tajam dari filsafat modern. David Hume menggugat dasar kausalitas
metafisis yang menjadi fondasi argumen kosmologis, sementara Immanuel Kant
menegaskan bahwa pengetahuan rasional manusia terbatas pada fenomena dan tidak
dapat menembus noumena, termasuk Tuhan sebagai das Ding an sich.⁵
Kritik-kritik ini tidak memusnahkan teisme rasional, tetapi mendorongnya
berevolusi menjadi refleksi yang lebih eksistensial dan epistemologis. Dalam
konteks ini, Søren Kierkegaard menekankan dimensi subjektif iman yang
melampaui kalkulasi rasional, sedangkan filsuf analitik seperti Alvin
Plantinga dan Richard Swinburne menghidupkan kembali wacana tentang rational
belief in God melalui pendekatan epistemologi kontemporer.⁶
Secara filosofis, rasionalitas teistik menempati
posisi unik antara dogmatisme iman dan skeptisisme ateistik. Ia berupaya
menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan dapat memiliki dasar rasional tanpa
kehilangan dimensi transendentalnya. Rasionalitas di sini tidak dipahami
sebagai reduksi iman ke dalam logika formal, melainkan sebagai keterbukaan akal
terhadap realitas yang melampaui dirinya.⁷ Dalam kerangka ini, iman dan rasio
bukanlah lawan, tetapi dua modus pengenalan terhadap kebenaran yang sama:
kebenaran eksistensial yang berakar pada sumber ilahi.⁸
Dengan demikian, pembahasan mengenai rasionalitas
teistik menjadi krusial bukan hanya bagi filsafat agama, tetapi juga bagi
seluruh disiplin filsafat yang menyoal hubungan antara manusia, kebenaran, dan
realitas. Di tengah krisis makna dan relativisme epistemik dunia modern,
pemulihan rasionalitas teistik berarti mengembalikan rasio kepada orientasi
teleologisnya: pencarian akan Logos yang melandasi segala yang ada.⁹
Artikel ini bertujuan untuk menelaah secara sistematis dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dari rasionalitas teistik, sekaligus mengkaji
kritik serta relevansinya dalam konteks kontemporer di mana iman dan akal
kembali dipertemukan dalam dialog yang konstruktif dan reflektif.¹⁰
Footnotes
[1]               
John Cottingham, The Rationalists (Oxford:
Oxford University Press, 1988), 3–5.
[2]               
Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 112–118.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.
[4]               
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 56–62.
[5]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A613/B641–A630/B658.
[6]               
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 163–176; Richard Swinburne, The
Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 5–8.
[7]               
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 41–45.
[8]               
Josef Pieper, Faith, Hope, Love (San
Francisco: Ignatius Press, 1997), 9–12.
[9]               
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New
Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 33–39.
[10]            
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 15–17.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Rasionalitas Teistik
Rasionalitas teistik tidak lahir dalam ruang hampa;
ia merupakan hasil evolusi panjang dari refleksi manusia terhadap hubungan
antara akal, iman, dan realitas ilahi. Sejak zaman Yunani Kuno hingga
filsafat kontemporer, gagasan tentang Tuhan dan nalar berkembang dalam
dialektika yang melibatkan berbagai paradigma metafisis dan epistemologis.
Sejarah pemikiran ini menunjukkan bahwa rasionalitas teistik tidak sekadar
pembenaran teologis terhadap kepercayaan, melainkan suatu proyek filosofis
universal untuk menafsirkan realitas transenden melalui kapasitas
intelektual manusia.¹
2.1.      
Akar Yunani: Logos dan Rasio Kosmik
Dalam konteks filsafat Yunani, rasionalitas teistik
berakar pada pemahaman tentang logos sebagai prinsip keteraturan kosmos.
Herakleitos memahami logos sebagai hukum rasional yang mengatur
segala perubahan dalam alam, suatu keteraturan yang bersifat imanen sekaligus
misterius.² Sementara itu, Plato memperkenalkan gagasan tentang to
agathon (Yang Baik) sebagai prinsip metafisis tertinggi yang menjadi sumber
inteligibilitas bagi semua ide.³ Bagi Aristoteles, prinsip tersebut diwujudkan
dalam konsep actus purus, yaitu “Penggerak Tak Bergerak” (the
Unmoved Mover) yang menjadi sebab pertama dan tujuan akhir dari segala
gerak.⁴ Dalam ketiga pemikir ini, rasionalitas dan prinsip ilahi tidak
terpisah—rasionalitas manusia dianggap sebagai partisipasi dalam rasio kosmik
yang bersifat ilahi.⁵
2.2.      
Sintesis Teisme dan Rasionalitas
dalam Skolastisisme
Ketika filsafat Yunani diintegrasikan ke dalam
teologi Kristen pada Abad Pertengahan, muncul usaha sistematis untuk menyatukan
iman dan akal. Agustinus dari Hippo menegaskan bahwa kebenaran
sejati hanya dapat ditemukan melalui iluminasi ilahi, tetapi akal manusia
memiliki peran penting dalam mengenali jejak rasional Sang Pencipta dalam
ciptaan.⁶ Ia memperkenalkan formula terkenal, credo ut intelligam (“aku
beriman supaya aku mengerti”), yang menegaskan prioritas iman tanpa
meniadakan fungsi rasio.⁷
Sementara itu, Santo Anselmus mengembangkan
argumen ontologis yang bertujuan membuktikan keberadaan Tuhan hanya melalui
konsep rasional tentang “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan lebih besar
daripadanya.”⁸ Puncak sintesis ini terjadi dalam pemikiran Thomas
Aquinas, yang merumuskan lima jalan (quinque viae) pembuktian
eksistensi Tuhan dengan menggabungkan prinsip metafisika Aristotelian dan
teologi Kristen.⁹ Melalui sintesis tersebut, rasionalitas teistik mencapai
bentuk sistematiknya—sebuah usaha menalar Tuhan dengan menggunakan prinsip
logika tanpa meniadakan keagungan wahyu.¹⁰
2.3.      
Krisis Modernitas: Rasionalitas yang
Terpisah dari Transendensi
Memasuki zaman modern, paradigma rasionalitas
mengalami pergeseran drastis. René Descartes menempatkan rasio sebagai
fondasi utama pengetahuan, dengan cogito ergo sum sebagai titik tolak
epistemologis.¹¹ Walaupun Descartes sendiri masih mempertahankan argumen
rasional tentang keberadaan Tuhan, warisan pemikirannya membuka jalan bagi rasionalisme
sekuler, di mana akal dianggap otonom dan bebas dari keharusan teologis.¹²
Reaksi terhadap rasionalisme muncul dari David
Hume, yang menolak dasar metafisis dari argumen teistik dan menyatakan
bahwa keyakinan terhadap Tuhan tidak dapat dibuktikan secara empiris.¹³ Immanuel
Kant kemudian memperkuat kritik ini melalui Critique of Pure Reason,
dengan menegaskan bahwa Tuhan, kebebasan, dan keabadian adalah “ide rasional
murni” yang melampaui batas pengalaman.¹⁴ Dalam konteks ini, rasionalitas
teistik kehilangan pijakan epistemologisnya di bawah bayang-bayang positivisme
dan empirisme.¹⁵
2.4.      
Rehabilitasi Rasionalitas Teistik:
Dari Eksistensialisme ke Analitik
Krisis modernitas tidak menandai akhir dari
rasionalitas teistik, melainkan membuka ruang bagi penafsiran baru
terhadap relasi antara iman dan akal. Søren Kierkegaard menegaskan bahwa
iman bukanlah anti-rasional, tetapi “rasionalitas yang melampaui kalkulasi,” di
mana manusia berani mengambil lompatan eksistensial menuju Tuhan.¹⁶ Dalam abad
ke-20, pemikiran Karl Jaspers, Gabriel Marcel, dan Paul
Tillich mengembangkan teisme eksistensial yang menempatkan Tuhan bukan
sebagai objek logika, tetapi sebagai horizon makna yang dialami melalui rasio
reflektif.¹⁷
Sementara itu, dalam tradisi filsafat analitik,
tokoh seperti Alvin Plantinga, William Alston, dan Richard
Swinburne memperbarui pembelaan terhadap teisme dengan argumen
probabilistik, logika modal, dan epistemologi reformasi.¹⁸ Mereka menunjukkan
bahwa kepercayaan kepada Tuhan dapat bersifat rasional tanpa memerlukan bukti
empiris konklusif, melainkan berakar pada struktur kognitif dasar yang wajar (properly
basic beliefs).¹⁹ Dengan demikian, rasionalitas teistik tidak lagi dipahami
sebagai pembenaran eksternal atas iman, tetapi sebagai koherensi internal
antara rasio dan pengalaman religius manusia.²⁰
2.5.      
Genealogi Rasionalitas Teistik dalam
Konteks Global
Selain akar Baratnya, rasionalitas teistik juga
memiliki paralel dalam tradisi filsafat Timur dan Islam. Dalam filsafat Islam
klasik, Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd
(Averroes) mengembangkan argumen rasional untuk membuktikan keberadaan
Tuhan sebagai Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud).²¹ Al-Ghazali, meski
kritis terhadap rasionalisme murni, tetap mempertahankan bahwa rasio adalah
sarana untuk mengenali keterbatasannya sendiri di hadapan kebenaran wahyu.²²
Tradisi ini menegaskan bahwa rasionalitas teistik bukan monopoli Barat,
melainkan warisan universal yang menunjukkan kemampuan akal manusia untuk
berpartisipasi dalam pencarian makna ilahi.²³
Dengan demikian, perjalanan historis dan genealogis
ini menunjukkan bahwa rasionalitas teistik adalah tradisi reflektif lintas
zaman dan lintas budaya. Ia terus berevolusi melalui dialog antara
metafisika dan empirisme, iman dan sains, akal dan wahyu. Rasionalitas teistik
bukan sekadar apologetika, tetapi ekspresi terdalam dari kecenderungan manusia
untuk memahami realitas tertinggi dengan menggunakan potensi rasional yang
dianugerahkan kepadanya.²⁴
Footnotes
[1]               
John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca:
Cornell University Press, 1957), 9–11.
[2]               
Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson
(Toronto: University of Toronto Press, 1987), Fr. 1.
[3]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 508e–509b.
[4]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1908), XII.7, 1072b.
[5]               
Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the
History of His Development (Oxford: Clarendon Press, 1948), 285–288.
[6]               
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.
[7]               
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill
(New York: New City Press, 1991), XV.28.
[8]               
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), II–IV.
[9]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.
[10]            
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 101–107.
[11]            
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
Meditation III.
[12]            
Richard Popkin, The History of Scepticism: From
Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979),
112–118.
[13]            
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard H. Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1980),
39–45.
[14]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A632/B660–A640/B668.
[15]            
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No
God... (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 27–29.
[16]            
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 65–67.
[17]            
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 244–247.
[18]            
Alvin Plantinga, God and Other Minds
(Ithaca: Cornell University Press, 1967), 114–117.
[19]            
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 1–3.
[20]            
William Alston, Perceiving God: The Epistemology
of Religious Experience (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 301–305.
[21]            
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), IX.4.
[22]            
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000),
179–183.
[23]            
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 96–99.
[24]            
Alister E. McGrath, The Twilight of Atheism: The
Rise and Fall of Disbelief in the Modern World (New York: Doubleday, 2004),
202–205.
3.          
Ontologi
Rasionalitas Teistik
Dalam ranah filsafat ketuhanan, ontologi
rasionalitas teistik berupaya menjelaskan hakikat keberadaan Tuhan sebagai ens
supremum (wujud tertinggi) yang menjadi dasar segala realitas dan
rasionalitas. Rasionalitas, dalam kerangka ini, bukanlah sekadar fungsi
kognitif manusia, tetapi dimensi ontologis dari realitas itu sendiri yang
bersumber pada keberadaan ilahi. Dengan kata lain, rasio manusia hanyalah
partisipasi terbatas dalam Logos Ilahi, yaitu prinsip rasional yang
menopang seluruh tatanan kosmos.¹
3.1.      
Tuhan sebagai Wujud Niscaya (Ens
Necessarium)
Tradisi teistik klasik mengakui bahwa Tuhan
bukanlah salah satu dari sekian banyak entitas dalam semesta, melainkan dasar
ontologis dari seluruh keberadaan. Dalam kerangka metafisika Aristotelian
dan skolastik, Tuhan dipahami sebagai actus purus—keberadaan murni yang
tidak bergantung pada apa pun.² Thomas Aquinas menegaskan bahwa hanya
Tuhan yang memiliki keberadaan sebagai hakikatnya sendiri (ipsum esse subsistens),
sementara semua makhluk lain hanyalah partisipasi dalam keberadaan yang
diberikan oleh-Nya.³ Dengan demikian, rasionalitas yang ditemukan dalam tatanan
ciptaan merefleksikan keteraturan ontologis yang bersumber dari Tuhan sebagai causa
prima (sebab pertama).⁴
Konsep ini menemukan resonansinya dalam filsafat
Islam melalui gagasan Ibn Sina tentang Wajib al-Wujud (Yang
Niscaya Ada), yang mengandaikan bahwa seluruh entitas kontingen bergantung
secara kausal pada wujud yang tidak mungkin tidak ada.⁵ Pandangan ini
menegaskan bahwa rasionalitas kosmik—keteraturan hukum-hukum alam dan koherensi
eksistensi—merupakan ekspresi dari keharusan ontologis Tuhan.⁶ Dengan demikian,
Tuhan tidak hanya eksis, tetapi juga merupakan dasar rasional dari
eksistensi itu sendiri.⁷
3.2.      
Logos dan Struktur Rasional Realitas
Rasionalitas teistik berpijak pada keyakinan bahwa
realitas bersifat logis dan teratur karena berakar pada Logos Ilahi.
Konsep Logos pertama kali diformulasikan dalam filsafat Yunani oleh Herakleitos
dan kemudian diadopsi secara teologis oleh tradisi Kristen, khususnya dalam
Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Logos, dan Logos itu bersama-sama dengan
Allah, dan Logos itu adalah Allah.”⁸ Logos di sini tidak hanya menunjuk
pada “kata” atau “akal,” tetapi pada prinsip kosmik yang
rasional, imanen, dan sekaligus transenden.⁹
Dalam teologi Kristen, Logos dipahami sebagai
manifestasi rasional dari keberadaan ilahi dalam tatanan ciptaan. Joseph
Ratzinger menjelaskan bahwa iman Kristen bukanlah kepercayaan buta,
melainkan kepercayaan pada Logos yang menciptakan dan menebus, sehingga
dunia memiliki makna dan keteraturan rasional.¹⁰ Sementara itu, Paul Tillich
menegaskan bahwa eksistensi manusia memperoleh makna hanya sejauh ia
berpartisipasi dalam Ground of Being—dasar keberadaan yang rasional dan
ilahi.¹¹ Maka, rasionalitas teistik menyatakan bahwa dunia dapat dipahami
secara logis karena ia merupakan refleksi dari sumber yang rasional, yakni
Tuhan sendiri.¹²
3.3.      
Relasi Ontologis antara Tuhan,
Dunia, dan Rasio Manusia
Salah satu prinsip utama dalam ontologi teistik
adalah gagasan tentang partisipasi ontologis (participatio entis),
di mana makhluk hidup berpartisipasi dalam keberadaan ilahi tanpa menjadi
identik dengannya.¹³ Dengan demikian, rasio manusia tidak otonom terhadap Tuhan,
melainkan turut serta dalam rasionalitas ilahi melalui kemampuan reflektifnya.
Bagi Augustinus, rasio manusia mampu memahami kebenaran karena ia “dicerahkan
oleh cahaya abadi” (lumen aeternum) yang berasal dari Tuhan.¹⁴
Perspektif ini diadaptasi secara modern oleh Alvin
Plantinga melalui epistemologi Reformasinya. Ia berargumen bahwa
kepercayaan kepada Tuhan merupakan bentuk “keyakinan dasar yang wajar” (properly
basic belief) karena rasionalitas manusia diciptakan untuk mengenali realitas
ilahi.¹⁵ Artinya, struktur rasional manusia memiliki telos (tujuan
akhir) yang teistik: untuk memahami, menalar, dan berelasi dengan Sang
Pencipta.¹⁶ Dengan demikian, rasionalitas bukan sekadar alat netral, melainkan
dimensi ontologis yang berorientasi kepada Yang Transenden.¹⁷
3.4.      
Rasionalitas Teistik dan Keteraturan
Kosmos
Ontologi rasionalitas teistik juga menegaskan bahwa
dunia bersifat intelligible, yakni dapat dipahami secara rasional karena
mencerminkan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan.¹⁸ Dalam pandangan Albert
Einstein, meskipun bukan seorang teolog, rasa kagum terhadap keteraturan
rasional alam semesta merupakan bentuk religiusitas kosmik: “Hal yang paling
tidak dapat dipahami tentang alam semesta adalah bahwa alam semesta itu dapat
dipahami.”¹⁹ Pandangan ini menunjukkan bahwa rasionalitas alam bukanlah
kebetulan, melainkan mengisyaratkan adanya dasar yang lebih tinggi dari sekadar
mekanisme fisik.²⁰
Dalam kerangka teistik, keteraturan kosmos memiliki
nilai ontologis dan teleologis—yakni, setiap tatanan dan hukum alam
mengarah kepada kebaikan dan tujuan tertentu.²¹ Tuhan tidak menciptakan dunia
secara arbitrer, melainkan dengan rasionalitas dan tujuan yang selaras dengan
kebaikan-Nya.²² Maka, keteraturan rasional dunia bukanlah bukti kebetulan alam,
tetapi manifestasi dari kehendak rasional Sang Pencipta.²³
3.5.      
Rasionalitas Teistik sebagai
Ontologi Relasional
Pada tahap yang lebih reflektif, ontologi
rasionalitas teistik memandang keberadaan bukan sekadar sebagai struktur
statis, melainkan sebagai relasi eksistensial antara Tuhan dan ciptaan.²⁴
Realitas ilahi tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan hubungan kasih dan
komunikasi antara Tuhan dan manusia.²⁵ Dalam tradisi teologi trinitarian, Logos
tidak hanya prinsip rasional, tetapi juga prinsip dialogal—yakni komunikasi
kasih yang melahirkan rasionalitas partisipatif.²⁶
Hal ini menegaskan bahwa rasionalitas teistik
memiliki dimensi personal dan komunikatif, bukan hanya logis-formal.²⁷ Rasio
manusia menjadi benar-benar rasional ketika ia terbuka terhadap dialog dengan
sumber rasionalitas tertinggi, Tuhan.²⁸ Dengan demikian, ontologi
rasionalitas teistik menegaskan bahwa rasionalitas tidak dapat dipisahkan
dari keberadaan, dan keberadaan itu sendiri menemukan maknanya dalam relasi
rasional antara manusia dan Tuhan.²⁹
Footnotes
[1]               
John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards
a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014),
24–25.
[2]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1908), XII.7, 1072b.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.3.a.4.
[4]               
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 72–75.
[5]               
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), IX.4.
[6]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 102–104.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 41–43.
[8]               
The Holy Bible, John 1:1.
[9]               
Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek
Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 183–186.
[10]            
Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity
(San Francisco: Ignatius Press, 2004), 133–136.
[11]            
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–238.
[12]            
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 39–41.
[13]            
Thomas Aquinas, De Veritate, q.2.a.11.
[14]            
Augustine, De Magistro, trans. R. P. Russell
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1971), 11–12.
[15]            
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 173–176.
[16]            
Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds
of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 51–53.
[17]            
John Haldane, “Faith, Reason, and the Life of the
Mind,” in Reasonable Faith and the Rationality of Theism, ed. Paul Copan
and Paul Moser (London: Routledge, 2003), 79–81.
[18]            
C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York:
HarperCollins, 2001), 25–28.
[19]            
Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal
of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349–382.
[20]            
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of
Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 32–34.
[21]            
Richard Swinburne, Is There a God? (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 49–52.
[22]            
Robert Spitzer, New Proofs for the Existence of
God: Contributions of Contemporary Physics and Philosophy (Grand Rapids:
Eerdmans, 2010), 64–68.
[23]            
Brian Davies, The Reality of God and the Problem
of Evil (London: Continuum, 2006), 18–20.
[24]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 52–54.
[25]            
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of
the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 121–123.
[26]            
Joseph Ratzinger, The God of Jesus Christ:
Meditations on the Triune God (San Francisco: Ignatius Press, 2008), 49–51.
[27]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 104–106.
[28]            
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §43.
[29]            
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New
Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 85–88.
4.          
Epistemologi
Rasionalitas Teistik
Jika ontologi rasionalitas teistik menjelaskan mengapa
realitas bersifat rasional, maka epistemologi rasionalitas teistik menjelaskan bagaimana
manusia dapat mengetahui Tuhan melalui rasio tanpa meniadakan dimensi iman.
Dalam ranah filsafat agama, epistemologi ini menempati posisi antara evidensialisme
empiris dan fideisme murni, dengan menegaskan bahwa iman bukanlah
antitesis dari akal, melainkan bentuk rasionalitas yang berakar pada sumber
transendental.¹
Rasionalitas teistik berangkat dari keyakinan bahwa
Tuhan dapat dikenal, meski tidak sepenuhnya dipahami.² Dalam tradisi klasik,
rasionalitas manusia dipandang sebagai partisipasi dalam rasionalitas ilahi—imago
Dei dalam diri manusia menjadi dasar epistemik bagi pengenalan terhadap
realitas transenden.³ Maka, epistemologi teistik tidak hanya bersandar pada
penalaran deduktif, tetapi juga pada keterbukaan eksistensial manusia terhadap
misteri ilahi.⁴
4.1.      
Fides Quaerens Intellectum: Iman
yang Mencari Pengertian
Ungkapan klasik dari Anselmus dari Canterbury,
fides quaerens intellectum (“iman yang mencari pengertian”),
menggambarkan dengan tepat struktur epistemologis teistik.⁵ Iman bukanlah
pengganti rasio, tetapi prasyarat bagi penalaran yang sejati. Dalam kerangka
ini, pengetahuan tentang Tuhan bermula dari kepercayaan dan berujung pada
pemahaman. Agustinus menegaskan, credo ut intelligam—“aku
beriman supaya aku dapat mengerti.”⁶
Tradisi ini melahirkan paradigma epistemologis yang
unik: rasio tidak mendahului iman, tetapi justru dipurnakan olehnya. Thomas
Aquinas menegaskan bahwa sebagian kebenaran tentang Tuhan dapat diketahui
oleh akal (melalui wahyu alamiah), sedangkan sebagian lainnya hanya dapat
dipahami melalui wahyu adikodrati.⁷ Dengan demikian, epistemologi teistik
menolak reduksi rasionalisme murni sekaligus menghindari fideisme buta.⁸
4.2.      
Argumen Rasional tentang Keberadaan
Tuhan
Epistemologi rasionalitas teistik tidak dapat
dilepaskan dari upaya pembuktian keberadaan Tuhan melalui argumen-argumen
filosofis. Tradisi Barat mengenal empat model utama: ontologis, kosmologis,
teleologis, dan moral.
Argumen ontologis, yang pertama kali dirumuskan oleh Anselmus, menegaskan bahwa Tuhan,
sebagai “sesuatu yang tiada dapat dipikirkan yang lebih besar daripadanya,”
mesti ada tidak hanya dalam pikiran tetapi juga dalam realitas.⁹ Meskipun
dikritik oleh Immanuel Kant karena “eksistensi bukanlah predikat,”¹⁰
argumen ini tetap berpengaruh dalam versi modernnya melalui logika modal Kurt
Gödel yang membangun formal ontological proof atas eksistensi Tuhan
dalam kerangka rasional simbolik.¹¹
Argumen kosmologis, sebagaimana dikembangkan oleh Aquinas,
bertolak dari prinsip kausalitas: segala yang ada memiliki sebab, dan rantai
sebab ini tidak dapat mundur tanpa batas; oleh karena itu, harus ada causa
prima yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan.¹² Sementara itu, argumen
teleologis (atau argument from design) menekankan keteraturan dan
tujuan dalam alam semesta sebagai indikasi adanya perancang cerdas.¹³ William
Paley menyebut dunia ibarat arloji yang rumit, sehingga mengandaikan
seorang pembuat arloji yang cerdas.¹⁴
Adapun argumen moral, sebagaimana
diformulasikan oleh Kant, menegaskan bahwa kesadaran moral manusia mengandaikan
adanya sumber nilai objektif, yakni Tuhan sebagai penjamin tertinggi
kebaikan.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi rasionalitas teistik menegaskan bahwa
berbagai dimensi realitas—ontologis, kosmologis, dan etis—semuanya berujung
pada postulat rasional tentang Tuhan.¹⁶
4.3.      
Rasionalitas Iman dalam Perspektif
Epistemologi Modern
Rasionalitas teistik modern berhadapan dengan
krisis yang ditimbulkan oleh positivisme logis dan empirisisme ilmiah,
yang menolak proposisi metafisis sebagai tidak bermakna.¹⁷ Sebagai respons,
teolog-filsuf seperti Alvin Plantinga, William Alston, dan Nicholas
Wolterstorff memperkenalkan epistemologi Reformasi yang menolak
prinsip evidensialisme klasik.¹⁸ Menurut Plantinga, kepercayaan kepada Tuhan
tidak memerlukan bukti empiris eksternal agar rasional; ia bersifat properly
basic karena tertanam dalam struktur kognitif manusia yang diciptakan oleh
Tuhan sendiri.¹⁹
Epistemologi ini menggeser fokus dari pembuktian
menuju pembenaran rasional internal: iman dianggap rasional sejauh ia
koheren dengan sistem keyakinan yang terintegrasi dan tidak kontradiktif.²⁰
Pendekatan ini berbeda dari evidensialisme Richard Swinburne, yang
menggunakan teori probabilitas Bayes untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan
lebih mungkin benar daripada tidak berdasarkan bukti empiris dan penjelasan
terbaik dari realitas.²¹ Keduanya, meski berbeda metodologis, sama-sama
menegaskan bahwa iman dapat bersifat rasional dalam kerangka epistemik yang
sah.²²
4.4.      
Rasionalitas Eksistensial:
Pengetahuan melalui Keterlibatan
Selain dimensi proposisional, epistemologi teistik
juga mencakup dimensi eksistensial. Bagi Søren Kierkegaard,
pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat dicapai melalui deduksi logis semata,
melainkan melalui lompatan iman yang bersifat personal dan eksistensial.²³ Iman
bukan sekadar mengetahui tentang Tuhan, melainkan mengalami Tuhan secara
langsung dalam eksistensi.²⁴ Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh Gabriel
Marcel, yang menekankan “pengetahuan partisipatif” (participatory
knowledge)—pengetahuan yang melibatkan cinta, komitmen, dan keterbukaan
terhadap misteri.²⁵
Epistemologi rasionalitas teistik, dengan demikian,
tidak meniadakan aspek subjektif, tetapi justru menegaskan bahwa pengalaman
eksistensial manusia merupakan jalan yang sah menuju pengenalan rasional
terhadap Tuhan.²⁶ Rasio tidak menolak iman, melainkan mengantarnya kepada
pengenalan yang lebih dalam, sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich: iman
adalah “tindakan tertinggi dari keberanian rasional untuk menerima realitas
yang ultim.”²⁷
Sintesis
Epistemik: Antara Evidensialisme dan Fideisme
Epistemologi rasionalitas teistik berupaya menempuh
jalan tengah antara dua ekstrem: evidensialisme ketat dan fideisme absolut.²⁸
Di satu sisi, ia mengakui pentingnya bukti rasional dan koherensi logis dalam
membenarkan iman; di sisi lain, ia menyadari keterbatasan akal dalam menembus
misteri ilahi.²⁹ Dalam paradigma ini, rasionalitas dan iman bukanlah dua
prinsip yang saling meniadakan, tetapi dua aspek yang saling meneguhkan dalam
pencarian kebenaran.³⁰
Dengan demikian, epistemologi rasionalitas teistik
membentuk kerangka pengetahuan integral: pengetahuan yang mencakup
nalar, pengalaman, dan keterbukaan terhadap wahyu.³¹ Rasionalitas teistik tidak
menolak sains, tetapi menempatkan sains dalam horizon yang lebih luas—horizon
makna dan tujuan yang berakar pada keberadaan Tuhan sebagai sumber segala
kebenaran.³²
Footnotes
[1]               
John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca:
Cornell University Press, 1957), 9–12.
[2]               
C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Grand
Rapids: Eerdmans, 1998), 14–17.
[3]               
Paul Copan, Loving Wisdom: Christian Philosophy
of Religion (St. Louis: Chalice Press, 2007), 21–23.
[4]               
Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 8–10.
[5]               
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.
[6]               
Augustine, Sermons on the New Testament Lessons,
trans. R. G. MacMullen (New York: Fathers of the Church, 1948), 43.
[7]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
I.q.12.a.12.
[8]               
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Scribner, 1938), 45–48.
[9]               
Anselm, Proslogion, II.
[10]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A592/B620.
[11]            
Kurt Gödel, “Ontological Proof,” in Collected
Works, ed. Solomon Feferman (Oxford: Oxford University Press, 1995),
403–405.
[12]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.
[13]            
William Paley, Natural Theology (London: J.
Faulder, 1802), 1–3.
[14]            
Ibid., 5–8.
[15]            
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 133–135.
[16]            
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 108–111.
[17]            
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 33–35.
[18]            
Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds
of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 15–17.
[19]            
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 173–176.
[20]            
Paul Moser, The Elusive God: Reorienting
Religious Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 2008),
52–55.
[21]            
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 68–72.
[22]            
Paul Helm, Faith and Understanding (Grand
Rapids: Eerdmans, 1997), 44–46.
[23]            
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton
University Press, 1941), 191–195.
[24]            
C. Stephen Evans, Kierkegaard on Faith and the
Self (Waco: Baylor University Press, 2006), 83–86.
[25]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans.
G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 47–49.
[26]            
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 41–44.
[27]            
Ibid., 45.
[28]            
John Cottingham, The Spiritual Dimension
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 97–100.
[29]            
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 133–136.
[30]            
Alvin Plantinga and Nicholas Wolterstorff, Faith
and Rationality (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1983), 1–5.
[31]            
William Alston, Perceiving God: The Epistemology
of Religious Experience (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 289–292.
[32]            
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision
for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 73–76.
5.          
Aksiologi
Rasionalitas Teistik
Jika ontologi rasionalitas teistik berbicara
tentang dasar keberadaan yang rasional, dan epistemologinya menjelaskan
bagaimana manusia mengetahui Tuhan melalui akal dan iman, maka aksiologi
rasionalitas teistik menelaah dimensi nilai, moralitas, dan tujuan hidup
manusia yang berakar pada pandangan teistik tentang realitas. Dalam kerangka
ini, Tuhan bukan hanya “dasar keberadaan,” tetapi juga dasar kebaikan
(summum bonum), yakni sumber nilai yang memberikan makna etis bagi
seluruh tindakan manusia.¹
5.1.      
Tuhan sebagai Dasar Objektif Nilai
Moral
Salah satu kontribusi utama rasionalitas teistik
dalam ranah aksiologi adalah pengakuan bahwa nilai moral memiliki dasar
objektif dalam keberadaan Tuhan.² Tanpa fondasi transendental, nilai-nilai
moral cenderung tereduksi menjadi relativisme subjektif.³ Dalam pandangan Plato,
nilai-nilai seperti kebaikan dan keadilan berakar pada Idea of the Good
yang bersifat absolut dan transenden.⁴ Tradisi ini kemudian diadopsi oleh Augustinus,
yang menyatakan bahwa segala kebaikan adalah partisipasi dalam kebaikan ilahi.⁵
Dalam konteks filsafat modern, Immanuel Kant
mengemukakan konsep summum bonum sebagai kesatuan antara kebajikan dan
kebahagiaan yang hanya dapat diwujudkan jika terdapat Tuhan sebagai penjamin
moralitas.⁶ Dengan demikian, bagi rasionalitas teistik, Tuhan bukan hanya
penyebab pertama (causa prima), tetapi juga nilai pertama (valorum
prima), yakni sumber segala kebaikan yang menjadikan moralitas rasional dan
koheren.⁷
5.2.      
Rasionalitas Moral dan Kehendak
Ilahi
Rasionalitas teistik menegaskan bahwa etika tidak
dapat dilepaskan dari struktur rasional kehendak ilahi. Dalam pandangan Thomas
Aquinas, hukum moral abadi (lex aeterna) merupakan refleksi dari
kebijaksanaan Tuhan yang mengatur ciptaan.⁸ Hukum alam (lex naturalis)
menjadi partisipasi rasional manusia dalam hukum abadi ini, sehingga manusia
dapat mengenal kebaikan dan menaatinya melalui akalnya.⁹
Pandangan ini berbeda dari teori perintah ilahi
(divine command theory) yang menyatakan bahwa sesuatu menjadi baik karena
diperintahkan oleh Tuhan.¹⁰ Dalam rasionalitas teistik, Tuhan memerintahkan
yang baik karena Ia sendiri adalah Kebaikan itu.¹¹ Dengan demikian, moralitas bersifat
rasional karena berakar pada esensi Tuhan yang niscaya baik, bukan pada
kehendak arbitrer.¹²
Aksiologi rasionalitas teistik, oleh karena itu,
menolak nihilisme moral yang muncul dalam konteks sekularisasi modern. Friedrich
Nietzsche, misalnya, mengkritik bahwa “kematian Tuhan” akan
menghapus seluruh horizon nilai.¹³ Namun, perspektif teistik justru menegaskan
bahwa nilai-nilai rasional hanya dapat bertahan jika berakar pada sumber yang
absolut.¹⁴ Dalam hal ini, keberadaan Tuhan menjamin koherensi moral,
bukan sekadar otoritas eksternal.¹⁵
5.3.      
Etika Cinta dan Rasionalitas Afektif
Rasionalitas teistik tidak berhenti pada penalaran
logis terhadap kebaikan, tetapi juga mencakup dimensi cinta (agape)
sebagai nilai tertinggi. Dalam tradisi Kristen, cinta dianggap sebagai bentuk
rasionalitas tertinggi yang menyatukan kehendak dan pengetahuan.¹⁶ Paul
Tillich menegaskan bahwa cinta adalah “daya yang menggerakkan segala
sesuatu menuju kesatuan yang rasional dan bermakna.”¹⁷
Demikian pula, dalam tradisi Islam, konsep rahmah
(kasih sayang) menempati posisi ontologis dan aksiologis yang sentral. Tuhan
disebut al-Rahman al-Rahim, dan segala ciptaan merupakan manifestasi
kasih sayang yang menjadi dasar tatanan moral dunia.¹⁸ Rasionalitas teistik,
dalam hal ini, bukanlah rasionalitas kering yang terpisah dari afeksi,
melainkan rasionalitas yang dihidupi oleh cinta dan empati terhadap sesama.¹⁹
Dalam kerangka ini, moralitas menjadi rasional-afektif,
yakni perpaduan antara nalar dan kasih.²⁰ Cinta bukanlah irasionalitas,
melainkan bentuk tertinggi dari kebijaksanaan moral yang menuntun manusia untuk
bertindak sesuai kebaikan ilahi.²¹
5.4.      
Kebijaksanaan sebagai Puncak
Rasionalitas Teistik
Aksiologi rasionalitas teistik berpuncak pada
konsep kebijaksanaan (sapientia) sebagai integrasi antara pengetahuan
dan kebaikan.²² Kebijaksanaan tidak hanya berarti mengetahui apa yang benar,
tetapi juga mengarahkan tindakan kepada yang baik dan indah.²³ Dalam hal ini,
rasionalitas teistik melahirkan etika yang bersifat teleologis, karena
setiap tindakan manusia diarahkan kepada tujuan tertinggi—yakni partisipasi
dalam kebahagiaan ilahi (beatitudo).²⁴
Josef Pieper menegaskan bahwa kebijaksanaan adalah “pengetahuan tentang kebenaran
tertinggi yang mengatur seluruh hidup manusia.”²⁵ Dalam perspektif ini,
kebijaksanaan tidak dapat dipisahkan dari kontemplasi terhadap Tuhan, sumber
kebenaran dan kebaikan.²⁶ Oleh karena itu, rasionalitas teistik mengandung
dimensi pedagogis: membimbing akal manusia untuk menemukan nilai tertinggi
melalui refleksi dan praktik etis.²⁷
5.5.      
Rasionalitas Teistik dalam Etika
Sosial
Aksiologi rasionalitas teistik juga memiliki
implikasi sosial. Jika Tuhan adalah sumber nilai moral, maka masyarakat yang
rasional adalah masyarakat yang hidup sesuai prinsip-prinsip ilahi: keadilan,
kasih, dan kebenaran.²⁸ Dalam hal ini, rasionalitas teistik menjadi dasar bagi etika
sosial, karena ia memandang sesama manusia sebagai refleksi citra Tuhan (imago
Dei).²⁹
Martin Luther King Jr., misalnya, membangun perjuangan sosialnya di atas
dasar rasionalitas teistik: bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama
karena diciptakan oleh Tuhan.³⁰ Pandangan ini juga sejalan dengan filsafat
personalisme yang menegaskan nilai intrinsik setiap pribadi sebagai pusat
moralitas.³¹ Dengan demikian, rasionalitas teistik tidak berhenti pada
kontemplasi metafisis, tetapi menuntut praksis etis dalam kehidupan bersama.³²
6.
Sintesis Aksiologis: Tuhan sebagai Horizon Kebaikan
Dari keseluruhan dimensi di atas, aksiologi
rasionalitas teistik menempatkan Tuhan sebagai horizon nilai yang menyatukan
epistemologi dan ontologi.³³ Tuhan bukan hanya “diketahui” oleh
rasio, tetapi juga “dihendaki” oleh moralitas.³⁴ Dalam hal ini,
rasionalitas sejati adalah rasionalitas yang terarah pada kebaikan mutlak,
bukan sekadar logika formal.³⁵
Dengan demikian, rasionalitas teistik menghadirkan etika
integratif, di mana kebenaran, kebaikan, dan keindahan bersatu dalam
orientasi kepada Tuhan.³⁶ Inilah fondasi aksiologis yang memungkinkan manusia
hidup secara rasional, etis, dan spiritual secara bersamaan—suatu integrasi
antara akal dan hati, antara iman dan kebijaksanaan.³⁷
Footnotes
[1]               
John Cottingham, The Spiritual Dimension
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 91–94.
[2]               
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 157–160.
[3]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 36–38.
[4]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 508e–509b.
[5]               
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.
[6]               
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 133–135.
[7]               
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 52–54.
[8]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
I–II.q.91.a.2.
[9]               
Ibid., I–II.q.94.a.2.
[10]            
Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite
Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999),
243–245.
[11]            
William Alston, A Realist Conception of Truth
(Ithaca: Cornell University Press, 1996), 189–191.
[12]            
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 198–201.
[13]            
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
[14]            
Alister E. McGrath, The Twilight of Atheism
(New York: Doubleday, 2004), 207–210.
[15]            
Paul Copan, Loving Wisdom: Christian Philosophy
of Religion (St. Louis: Chalice Press, 2007), 98–101.
[16]            
C. S. Lewis, The Four Loves (New York:
Harcourt, 1960), 121–125.
[17]            
Paul Tillich, Love, Power, and Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1954), 29–31.
[18]            
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 55–57.
[19]            
Tariq Ramadan, The Quest for Meaning: Developing
a Philosophy of Pluralism (London: Allen Lane, 2010), 43–45.
[20]            
John Haldane, “Virtue Ethics and the Rational
Life,” Proceedings of the Aristotelian Society 95 (1995): 55–73.
[21]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 111–114.
[22]            
Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture
(South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 41–44.
[23]            
Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 215–218.
[24]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
I–II.q.3.a.8.
[25]            
Pieper, The Four Cardinal Virtues, 132–135.
[26]            
Ibid., 142–144.
[27]            
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals:
Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 88–90.
[28]            
Nicholas Wolterstorff, Justice: Rights and
Wrongs (Princeton: Princeton University Press, 2008), 31–33.
[29]            
Pope John Paul II, Fides et Ratio (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §42.
[30]            
Martin Luther King Jr., Strength to Love
(New York: Harper & Row, 1963), 97–99.
[31]            
Jacques Maritain, The Person and the Common Good
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 15–18.
[32]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.
[33]            
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of
the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 198–200.
[34]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 105–108.
[35]            
Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision
for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 122–124.
[36]            
C. Stephen Evans, God and Moral Obligation
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 143–146.
[37]            
John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards
a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014),
184–187.
6.          
Dimensi
Teologis dan Eksistensial
Rasionalitas teistik tidak hanya bersifat
konseptual atau argumentatif, tetapi juga berdimensi teologis dan
eksistensial. Artinya, rasionalitas ini tidak berhenti pada tataran logika
formal, melainkan berakar dalam pengalaman iman manusia di hadapan Tuhan yang
hidup. Dalam konteks ini, rasionalitas teistik berfungsi sebagai modus
cognoscendi (cara mengetahui) dan sekaligus modus vivendi (cara
hidup) — suatu bentuk kesadaran yang menyatukan pengetahuan, iman, dan
eksistensi.¹
6.1.      
Rasionalitas sebagai Respons
terhadap Wahyu
Dalam teologi klasik, rasionalitas manusia dipahami
sebagai tanggapan terhadap inisiatif ilahi. Tuhan, sebagai Logos,
menyatakan diri-Nya melalui ciptaan dan wahyu, dan manusia menanggapinya dengan
akal budi yang telah dianugerahkan kepadanya.² Karl Barth menegaskan
bahwa teologi yang sejati dimulai bukan dari usaha manusia mencari Tuhan,
tetapi dari tindakan Tuhan yang berkomunikasi melalui firman.³ Namun,
komunikasi ilahi ini bukanlah irasional: wahyu tidak meniadakan rasio, tetapi
memanggilnya untuk berpartisipasi dalam kebenaran yang melampaui dirinya.⁴
Dengan demikian, rasionalitas teistik berakar pada struktur
dialogal antara Tuhan dan manusia. Akal manusia, yang diciptakan menurut
citra Tuhan (imago Dei), menjadi sarana untuk memahami pesan ilahi tanpa
menguasainya secara total.⁵ Iman yang rasional adalah iman yang mendengar
dan mengerti, sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Aquinas, bahwa
“iman melibatkan persetujuan intelek terhadap kebenaran ilahi yang ditawarkan
oleh wahyu.”⁶
6.2.      
Dimensi Eksistensial: Iman sebagai
Pengalaman Ada di Hadapan Tuhan
Rasionalitas teistik tidak hanya mempersoalkan pengetahuan
tentang Tuhan, tetapi juga keberadaan manusia di hadapan Tuhan.
Dalam kerangka eksistensialisme religius, pengetahuan tentang Tuhan
tidak bersifat objektif semata, melainkan partisipatif dan transformatif. Søren
Kierkegaard menekankan bahwa iman bukanlah hasil penalaran abstrak, tetapi
keputusan eksistensial yang melibatkan seluruh diri manusia dalam relasi
personal dengan Yang Ilahi.⁷
Dalam hubungan ini, rasionalitas teistik menjadi rasionalitas
eksistensial, yakni bentuk pengertian yang timbul dari keterlibatan total
manusia dalam misteri iman.⁸ Manusia tidak hanya berpikir tentang Tuhan, tetapi
juga mengada-di-hadapan-Nya (being-before-God).⁹ Gabriel
Marcel menyebut pengalaman ini sebagai “pengetahuan yang dihidupi” (connaissance
vécue), suatu bentuk rasionalitas yang muncul dari cinta, kesetiaan, dan
keterbukaan terhadap misteri ilahi.¹⁰
6.3.      
Dialektika antara Kebebasan dan
Kehendak Ilahi
Salah satu ketegangan utama dalam dimensi
eksistensial teistik adalah hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak
Tuhan. Rasionalitas teistik menolak pandangan deterministik yang meniadakan
kebebasan, sekaligus menghindari humanisme radikal yang menyingkirkan Tuhan
dari pusat eksistensi.¹¹ Dalam pandangan Paul Tillich, kebebasan sejati
tidak berarti kemandirian absolut, melainkan “partisipasi dalam makna
keberadaan yang bersumber dari Tuhan.”¹²
Kebebasan manusia, dalam kerangka teistik, adalah kebebasan
yang berakar dalam ketaatan. Manusia bebas bukan karena ia dapat menolak
Tuhan, tetapi karena ia diberi kapasitas untuk menanggapi kasih Tuhan secara
sadar dan bertanggung jawab.¹³ Karl Rahner menyebut hal ini sebagai transcendental
freedom — kebebasan yang diarahkan kepada horizon tak terbatas, yaitu Tuhan
sendiri.¹⁴ Dengan demikian, rasionalitas teistik memandang kebebasan bukan
sebagai otonomi tanpa arah, melainkan sebagai dinamika relasional antara
makhluk dan Pencipta.¹⁵
6.4.      
Rasionalitas Teistik dan Makna
Eksistensi Manusia
Rasionalitas teistik menawarkan kerangka makna
yang menyatukan akal dan eksistensi. Dalam dunia modern yang ditandai oleh
fragmentasi dan nihilisme, gagasan tentang Tuhan sebagai sumber rasionalitas
kosmis memberikan dasar ontologis bagi kebermaknaan hidup manusia.¹⁶ Viktor
Frankl, dalam konteks psikologi eksistensial, menegaskan bahwa kebutuhan
terdalam manusia adalah menemukan makna, dan makna tertinggi itu selalu
bersifat transenden.¹⁷
Bagi rasionalitas teistik, makna bukanlah
konstruksi subjektif, melainkan partisipasi dalam Logos Ilahi yang
memberi arah bagi eksistensi.¹⁸ Oleh karena itu, iman rasional mengajak manusia
untuk hidup dalam dialog antara berpikir dan beriman, antara mengerti dan
menyembah.¹⁹ Dalam dialektika ini, eksistensi manusia menemukan dirinya sebagai
“makhluk yang berpikir karena dicintai dan dikenal oleh Tuhan.”²⁰
6.5.      
Rasionalitas Iman di Era Modern dan
Krisis Eksistensial
Dalam konteks modernitas sekuler, rasionalitas
teistik menghadapi krisis ganda: krisis iman dan krisis makna.²¹ Sains,
teknologi, dan sekularisasi telah menggeser Tuhan dari pusat kosmos menuju
pinggiran kesadaran manusia. Namun, seperti ditunjukkan oleh Alister McGrath,
kehilangan Tuhan berarti kehilangan horizon makna yang memungkinkan koherensi
hidup rasional.²²
Rasionalitas teistik berupaya meneguhkan kembali
dimensi spiritual dari rasio — bahwa berpikir adalah juga bentuk berdoa,
dan mengetahui adalah partisipasi dalam pengetahuan Ilahi.²³ Dalam pandangan
ini, iman bukan pengganti pengetahuan, tetapi pengarahnya; ia memberi orientasi
teleologis bagi seluruh aktivitas rasional manusia.²⁴ Oleh karena itu,
menghidupi iman secara rasional berarti menghidupi eksistensi secara utuh —
menyatukan nalar, moralitas, dan spiritualitas dalam harmoni dengan kehendak
Tuhan.²⁵
Sintesis
Teologis-Eksistensial: Iman sebagai Rasionalitas Hidup
Pada akhirnya, dimensi teologis dan eksistensial
rasionalitas teistik bermuara pada satu sintesis: iman sebagai rasionalitas
hidup.²⁶ Iman bukanlah oposisi terhadap akal, melainkan bentuk tertinggi
dari rasionalitas yang menuntun manusia kepada kebenaran yang memerdekakan.²⁷
Dalam kerangka ini, teologi bukan sekadar sistem doktrin, tetapi refleksi
hidup tentang perjumpaan dengan Tuhan yang rasional dan personal.²⁸
Sebagaimana ditegaskan oleh John Paul II
dalam Fides et Ratio, “iman dan akal adalah seperti dua sayap yang
dengannya roh manusia naik menuju kontemplasi kebenaran.”²⁹ Maka,
rasionalitas teistik tidak berhenti pada penalaran, melainkan menemukan
kepenuhannya dalam eksistensi yang terbuka kepada Yang Tak Terbatas — suatu
keberadaan yang berpikir, percaya, dan mengasihi dalam terang Logos Ilahi.³⁰
Footnotes
[1]               
John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards
a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014),
112–115.
[2]               
Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity
(San Francisco: Ignatius Press, 2004), 133–136.
[3]               
Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G.
W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 296–298.
[4]               
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 245–247.
[5]               
Augustine, De Magistro, trans. R. P. Russell
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1971), 11–12.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
II–II.q.2.a.9.
[7]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 71–73.
[8]               
C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Grand
Rapids: Eerdmans, 1998), 52–54.
[9]               
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles
A. Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 28–30.
[10]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans.
G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 47–49.
[11]            
Emil Brunner, Man in Revolt (Philadelphia:
Westminster Press, 1947), 116–119.
[12]            
Tillich, Systematic Theology, 231–233.
[13]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 105–108.
[14]            
Ibid., 110–112.
[15]            
Hans Urs von Balthasar, Theo-Drama II: The Dramatis
Personae: Man in God (San Francisco: Ignatius Press, 1990), 91–94.
[16]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 211–214.
[17]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 99–103.
[18]            
Joseph Ratzinger, The God of Jesus Christ:
Meditations on the Triune God (San Francisco: Ignatius Press, 2008), 52–55.
[19]            
John Haldane, “Faith, Reason, and the Life of the
Mind,” in Reasonable Faith and the Rationality of Theism, ed. Paul Copan
and Paul Moser (London: Routledge, 2003), 83–85.
[20]            
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 162–165.
[21]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 539–541.
[22]            
Alister E. McGrath, The Twilight of Atheism: The
Rise and Fall of Disbelief in the Modern World (New York: Doubleday, 2004),
211–214.
[23]            
Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds
of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 67–69.
[24]            
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 198–201.
[25]            
John Paul II, Crossing the Threshold of Hope
(New York: Knopf, 1994), 47–49.
[26]            
C. Stephen Evans, Kierkegaard on Faith and the
Self (Waco: Baylor University Press, 2006), 121–123.
[27]            
Gabriel Marcel, Homo Viator (New York:
Harper & Row, 1962), 55–58.
[28]            
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of
the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 187–190.
[29]            
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.
[30]            
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New
Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 133–136.
7.          
Kritik
terhadap Rasionalitas Teistik
Sejak awal kemunculannya, rasionalitas teistik
selalu berada dalam arus perdebatan filosofis antara iman dan rasio, metafisika
dan empirisme, wahyu dan sains. Meskipun berupaya menegaskan bahwa iman kepada
Tuhan dapat memiliki dasar rasional, proyek ini tidak luput dari kritik tajam.
Kritik tersebut datang dari berbagai tradisi: empirisisme, positivisme logis,
eksistensialisme ateistik, hingga postmodernisme. Masing-masing mempertanyakan
validitas klaim epistemik dan metafisis yang diajukan oleh teisme rasional.¹
7.1.      
Kritik Empirisisme dan Positivisme
terhadap Rasionalitas Teistik
Kritik pertama terhadap rasionalitas teistik muncul
dalam kerangka empirisisme modern, yang menegaskan bahwa seluruh
pengetahuan sahih harus berakar pada pengalaman indrawi.² David Hume,
dalam Dialogues Concerning Natural Religion, berpendapat bahwa semua
argumen rasional tentang Tuhan gagal karena konsep kausalitas dan desain yang
digunakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.³ Menurutnya, gagasan tentang
Tuhan hanyalah proyeksi psikologis dari keteraturan dunia yang kita amati,
bukan bukti akan keberadaan suatu sebab pertama.⁴
Kritik ini diperkuat oleh positivisme logis
abad ke-20 yang dikembangkan oleh A. J. Ayer dan lingkaran Wina. Dalam
pandangan mereka, proposisi teistik seperti “Tuhan ada” tidak memiliki
makna empiris karena tidak dapat diverifikasi melalui observasi atau
eksperimen.⁵ Menurut prinsip verifikasi Ayer, hanya dua jenis proposisi yang
bermakna: analitik (seperti logika dan matematika) dan empiris (yang dapat
diuji secara inderawi).⁶ Karena klaim tentang Tuhan tidak memenuhi kriteria
ini, maka seluruh wacana teistik dianggap nonsensikal.⁷
Namun, kritik ini terbukti memiliki kelemahan
mendasar. Prinsip verifikasi itu sendiri tidak dapat diverifikasi secara
empiris, sehingga bersifat self-refuting.⁸ Para teolog-filsuf seperti John
Hick dan Alvin Plantinga menolak pendekatan ini dengan menunjukkan
bahwa makna religius tidak harus bersifat empiris, melainkan eksistensial dan
simbolik.⁹ Rasionalitas teistik, dengan demikian, tetap memiliki legitimasi
epistemologis yang berbeda dari rasionalitas empiris murni.¹⁰
7.2.      
Kritik Skeptisisme Epistemik dan
Rasionalitas Terbatas
Kritik berikutnya datang dari skeptisisme
epistemik, terutama dalam pemikiran Immanuel Kant. Dalam Critique
of Pure Reason, Kant berargumen bahwa Tuhan, kebebasan, dan keabadian
adalah ide rasional yang berguna, tetapi tidak dapat dibuktikan melalui rasio
murni karena melampaui batas pengalaman manusia.¹¹ Dengan kata lain, Tuhan
dapat dipikirkan tetapi tidak dapat diketahui secara langsung (cognoscibilis
sed non scibilis).¹²
Kant mengakui bahwa ide Tuhan memiliki fungsi
regulatif bagi rasio—mengarahkan moralitas dan pengetahuan manusia menuju
kesatuan sistematis—namun ia menolak kemungkinan pembuktian ontologis atau
kosmologis tentang eksistensi Tuhan.¹³ Dengan demikian, teisme rasional
kehilangan dasar pengetahuan objektifnya dan direduksi menjadi postulat
moral.¹⁴
Skeptisisme epistemik kemudian diperluas oleh Ludwig
Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus, yang menegaskan
bahwa “tentang hal-hal yang tidak dapat dibicarakan, kita harus berdiam
diri.”¹⁵ Kalimat ini sering ditafsirkan sebagai pembatasan bahasa religius:
rasionalitas teistik tidak dapat mengekspresikan realitas transenden tanpa
melampaui batas logika bahasa.¹⁶ Namun, para pemikir seperti D. Z. Phillips
dan John Macquarrie kemudian mengembangkan teologi bahasa permainan (language
game theology) untuk menunjukkan bahwa bahasa iman memiliki rasionalitas
tersendiri dalam konteks praksis religius.¹⁷
7.3.      
Kritik Eksistensialisme Ateistik
Rasionalitas teistik juga dikritik secara mendalam
oleh eksistensialisme ateistik, terutama oleh Jean-Paul Sartre
dan Albert Camus. Sartre menolak gagasan Tuhan karena dianggap membatasi
kebebasan manusia.¹⁸ Jika Tuhan adalah sumber nilai dan makna, maka manusia
tidak benar-benar bebas, sebab ia hanya merealisasikan kehendak ilahi.¹⁹ Dalam
pandangannya, keberadaan mendahului esensi: manusia harus menciptakan makna
hidupnya sendiri tanpa rujukan kepada entitas transenden.²⁰
Camus menambahkan bahwa dunia ini pada dasarnya absurd,
dan upaya teistik untuk menalar Tuhan merupakan bentuk “pelarian dari
absurditas eksistensi.”²¹ Ia menolak baik iman religius maupun nihilisme
total, dan memilih “pemberontakan eksistensial” yang menerima absurditas
tanpa ilusi metafisis.²² Kritik ini menyoroti aspek eksistensial rasionalitas
teistik: jika dunia absurd, maka setiap usaha mencari makna transendental
tampak seperti usaha sia-sia.²³
Namun, Gabriel Marcel dan Paul Tillich
menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa justru dalam pengalaman
keterbatasan dan absurditas itulah manusia menemukan dimensi transendental.²⁴
Rasionalitas teistik bukanlah usaha menghindari absurditas, melainkan cara
untuk menafsirkannya dalam horizon makna yang lebih luas — yakni keterbukaan
kepada misteri ilahi.²⁵
7.4.      
Kritik Postmodern: Relativisme dan
Dekonstruksi Kebenaran
Kritik kontemporer terhadap rasionalitas teistik
muncul dari arus postmodernisme, yang menolak klaim universal tentang
kebenaran rasional.²⁶ Tokoh seperti Michel Foucault, Jacques Derrida,
dan Jean-François Lyotard berpendapat bahwa setiap bentuk rasionalitas
adalah konstruksi kekuasaan dan wacana, bukan refleksi objektif atas
realitas.²⁷ Dalam kerangka ini, rasionalitas teistik dianggap sebagai salah
satu “metanarasi” yang berpretensi universal namun sebenarnya bersifat
hegemonik.²⁸
Foucault menyoroti bagaimana wacana religius sering
digunakan untuk menegakkan struktur kekuasaan moral; sedangkan Derrida
menunjukkan bahwa konsep Tuhan selalu terbentuk melalui permainan tanda-tanda
yang tidak pernah stabil (différance).²⁹ Akibatnya, rasionalitas teistik
kehilangan statusnya sebagai dasar kebenaran universal dan hanya menjadi satu
narasi di antara sekian banyak narasi yang saling bersaing.³⁰
Meski demikian, sejumlah teolog seperti Jean-Luc
Marion dan John Milbank berupaya merehabilitasi rasionalitas teistik
melalui pendekatan teologi pasca-metafisis.³¹ Marion, dalam God
Without Being, berargumen bahwa Tuhan melampaui kategori rasionalitas
metafisis, namun tetap dapat dialami secara fenomenologis sebagai “pemberian
yang berlimpah” (saturated phenomenon).³² Sementara Milbank, melalui
proyek Radical Orthodoxy, menegaskan bahwa iman Kristen menawarkan
rasionalitas alternatif yang berakar pada kasih dan liturgi, bukan pada
dominasi diskursif.³³
7.5.      
Kritik Internal: Risiko
Reduksionisme Rasional dalam Teologi
Selain kritik eksternal, rasionalitas teistik juga
menghadapi kritik internal dari kalangan teolog sendiri. Bahayanya
terletak pada reduksi rasionalitas iman ke dalam sistem logis yang
kaku.³⁴ Karl Barth memperingatkan bahwa setiap upaya membuktikan Tuhan
dengan logika manusia berpotensi mengobjektifikasi-Nya, menjadikan Tuhan
sekadar entitas dalam sistem metafisis.³⁵ Dalam pandangan Barth, iman tidak
boleh tunduk pada kriteria rasionalitas duniawi, tetapi harus tunduk pada
inisiatif wahyu.³⁶
Paul Tillich menawarkan jalan tengah: rasionalitas teistik tidak boleh direduksi
menjadi rasionalisme, tetapi juga tidak boleh jatuh ke dalam fideisme.³⁷ Ia
menegaskan perlunya reason of participation, yaitu rasionalitas yang
berakar dalam keterlibatan eksistensial dengan Tuhan, bukan jarak intelektual
semata.³⁸ Dengan demikian, kritik internal ini mengingatkan bahwa rasionalitas
teistik hanya sah sejauh ia tetap terbuka terhadap misteri dan tidak
menggantikan iman dengan spekulasi.³⁹
Evaluasi
Kritis: Rasionalitas Teistik sebagai Rasionalitas Terbuka
Dari seluruh kritik tersebut, tampak bahwa
rasionalitas teistik harus dimengerti bukan sebagai sistem dogmatis yang
tertutup, tetapi sebagai rasionalitas terbuka dan dialogis.⁴⁰ Ia bukan
sekadar menegaskan keberadaan Tuhan melalui argumen formal, melainkan membuka
ruang bagi dialog antara iman, sains, dan filsafat.⁴¹
Rasionalitas teistik mampu bertahan justru karena
kesediaannya untuk dikoreksi, direfleksikan, dan dihidupi secara
eksistensial.⁴² Sebagaimana dinyatakan oleh John Paul II, iman yang
sejati tidak takut kepada rasio, sebab keduanya berasal dari sumber yang sama:
kebenaran.⁴³ Dengan demikian, kritik terhadap rasionalitas teistik tidak
melemahkannya, melainkan memperkaya dan memperdalam pemahamannya sebagai upaya
manusia untuk berpikir secara jujur di hadapan Tuhan yang tak terbatas.⁴⁴
Footnotes
[1]               
John Cottingham, The Spiritual Dimension
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 145–147.
[2]               
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), IV.19.
[3]               
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard H. Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1980),
39–45.
[4]               
Ibid., 73–76.
[5]               
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 33–35.
[6]               
Ibid., 37.
[7]               
Antony Flew, “Theology and Falsification,” University
13 (1950): 96–99.
[8]               
William Lane Craig, Reasonable Faith
(Wheaton: Crossway, 2008), 39–41.
[9]               
John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca:
Cornell University Press, 1957), 29–32.
[10]            
Alvin Plantinga, God and Other Minds
(Ithaca: Cornell University Press, 1967), 114–117.
[11]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A631/B659–A642/B670.
[12]            
Paul Copan, Loving Wisdom: Christian Philosophy
of Religion (St. Louis: Chalice Press, 2007), 55–57.
[13]            
Kant, Critique of Pure Reason, A667/B695.
[14]            
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Scribner, 1938), 47–49.
[15]            
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London:
Routledge, 1922), §7.
[16]            
Anthony Kenny, Wittgenstein (Harmondsworth:
Penguin, 1973), 101–103.
[17]            
D. Z. Phillips, Faith and Philosophical Enquiry
(London: Routledge, 1970), 21–24.
[18]            
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 567–571.
[19]            
Ibid., 576–579.
[20]            
Ibid., 582.
[21]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–34.
[22]            
Ibid., 54–56.
[23]            
Colin Wilson, Religion and the Rebel
(Boston: Houghton Mifflin, 1957), 145–147.
[24]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans.
G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 77–79.
[25]            
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 161–163.
[26]            
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[27]            
Michel Foucault, Power/Knowledge, ed. Colin
Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 92–94.
[28]            
Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–281.
[29]            
Ibid., 283.
[30]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 356–359.
[31]            
Jean-Luc Marion, God Without Being, trans.
Thomas Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 14–16.
[32]            
Ibid., 33–36.
[33]            
John Milbank, Theology and Social Theory
(Oxford: Blackwell, 1990), 422–425.
[34]            
Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G.
W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 233–236.
[35]            
Ibid., 241.
[36]            
Ibid., 247.
[37]            
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 243–246.
[38]            
Ibid., 250–252.
[39]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 112–114.
[40]            
John Haldane, “Faith, Reason, and the Life of the
Mind,” in Reasonable Faith and the Rationality of Theism, ed. Paul Copan
and Paul Moser (London: Routledge, 2003), 89–91.
[41]            
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New
Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 138–140.
[42]            
Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds
of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 91–93.
[43]            
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §23.
[44]            
Cottingham, Philosophy of Religion, 215–217.
8.          
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks dunia modern yang ditandai oleh sekularisasi,
relativisme nilai, dan kemajuan teknologi ilmiah, rasionalitas teistik
memperoleh kembali signifikansinya sebagai paradigma filosofis yang menawarkan integrasi
antara iman dan rasio, antara sains dan makna, antara kebebasan manusia dan
keterarahan kosmik. Rasionalitas ini menghadirkan alternatif epistemologis
dan etis terhadap pandangan dunia yang terfragmentasi, sekaligus memulihkan
horizon spiritual dari pengetahuan manusia.¹
8.1.      
Rasionalitas Teistik dan Sains
Modern
Salah satu relevansi paling menonjol dari
rasionalitas teistik adalah kemampuannya untuk membangun dialog kritis
antara iman dan sains. Dalam era di mana naturalisme ilmiah sering diartikan
sebagai ateisme metodologis, rasionalitas teistik menegaskan bahwa keteraturan
alam semesta justru menunjuk pada fondasi rasional yang transenden.² Albert
Einstein sendiri pernah menyatakan bahwa “hal yang paling tak dapat
dipahami tentang alam semesta adalah bahwa ia dapat dipahami.”³ Keteraturan
logis ini, dalam pandangan teistik, merupakan manifestasi dari Logos
Ilahi yang membuat alam semesta dapat dikenali oleh akal manusia.⁴
John Polkinghorne, seorang fisikawan sekaligus teolog, berargumen bahwa hukum-hukum alam
yang teratur dan koheren bukanlah kebetulan, melainkan ekspresi dari “rasionalitas
ilahi yang tertanam dalam ciptaan.”⁵ Dengan demikian, sains dan iman tidak
harus dipertentangkan, sebab keduanya berakar pada keyakinan yang sama: bahwa
realitas dapat dipahami secara rasional.⁶ Dalam kerangka ini, rasionalitas
teistik menjadi jembatan epistemologis antara metodologi ilmiah dan
pemahaman teologis tentang dunia.⁷
8.2.      
Rasionalitas Teistik dalam
Pluralisme Agama dan Etika Global
Rasionalitas teistik juga memiliki peran penting
dalam dialog antaragama dan pembentukan etika global. Di tengah
meningkatnya pluralisme dan konflik identitas, pandangan teistik yang rasional
dapat menyediakan dasar dialogis yang tidak bersifat eksklusif.⁸ John Hick,
melalui konsep “realitas transenden” (the Real), menegaskan bahwa
berbagai tradisi keagamaan berupaya menanggapi realitas ilahi yang sama melalui
medium rasionalitas dan budaya yang berbeda.⁹
Pandangan ini memperluas horizon rasionalitas
teistik dari sekadar pembenaran iman partikular menuju rasionalitas
interreligius, yang membuka ruang bagi kerja sama moral lintas tradisi.¹⁰ Hans
Küng melalui proyek Global Ethic menegaskan bahwa perdamaian dunia
tidak mungkin tanpa fondasi etika global, dan etika global tidak mungkin tanpa
dasar teistik yang rasional.¹¹ Dengan demikian, rasionalitas teistik berperan
sebagai fondasi normatif bagi solidaritas kemanusiaan yang berakar pada
martabat universal manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.¹²
8.3.      
Rasionalitas Teistik dan Krisis
Makna Modernitas
Dunia kontemporer diwarnai oleh krisis makna akibat
nihilisme eksistensial dan reduksi rasio menjadi instrumen teknologis.¹³
Martin Heidegger menyebut kondisi ini sebagai “peninggalan metafisika”
(Seinsvergessenheit), di mana manusia melupakan pertanyaan tentang
keberadaan dan hanya mengejar efisiensi.¹⁴ Rasionalitas teistik menawarkan
alternatif melalui pemulihan teleologi — bahwa akal bukan hanya alat
untuk menguasai dunia, melainkan sarana untuk memahami makna terdalam keberadaan.¹⁵
Dalam kerangka ini, iman dan akal kembali disatukan
dalam pencarian makna hidup yang integral. Viktor Frankl
menegaskan bahwa kehilangan orientasi spiritual menyebabkan kehampaan
eksistensial, sementara kesadaran akan makna transenden memulihkan keseimbangan
psikis dan moral manusia.¹⁶ Rasionalitas teistik, yang berakar pada kesadaran
akan Tuhan sebagai sumber makna tertinggi, membantu manusia modern keluar dari
jebakan absurditas dan relativisme.¹⁷
8.4.      
Rasionalitas Teistik dalam Filsafat
Lingkungan dan Etika Ekologis
Krisis ekologis global menuntut paradigma rasional
yang tidak hanya teknis, tetapi juga teologis. Rasionalitas teistik berperan
penting dalam membangun etika ekologis yang melihat alam bukan sebagai
objek eksploitasi, tetapi sebagai ciptaan rasional yang merefleksikan
kebijaksanaan Tuhan.¹⁸ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis
ekologi modern bersumber dari “sekularisasi kosmos,” yakni hilangnya kesadaran
sakral terhadap alam.¹⁹
Rasionalitas teistik mengembalikan kesadaran bahwa
keteraturan ekologis adalah manifestasi dari Logos Ilahi, sehingga penghormatan
terhadap alam menjadi bagian dari penghormatan terhadap Tuhan.²⁰ Dengan
demikian, ia menjadi dasar bagi ekoteologi rasional, yang memadukan
keilmuan modern dengan spiritualitas ekologis.²¹
8.5.      
Rasionalitas Teistik dan Etika
Teknologi Digital
Dalam era digital, rasionalitas teistik juga
memiliki relevansi yang mendalam. Teknologi telah memperluas kemampuan manusia
secara luar biasa, tetapi sekaligus menimbulkan dilema etis dan eksistensial.²²
Tanpa orientasi teistik, rasionalitas digital berisiko menjadi
nihilistik—menjadikan efisiensi dan kontrol sebagai nilai tertinggi.²³ Jacques
Ellul telah memperingatkan bahwa masyarakat teknologis cenderung
mengorbankan dimensi moral demi kemajuan teknis.²⁴
Rasionalitas teistik menghadirkan koreksi terhadap
tendensi ini dengan menegaskan bahwa teknologi harus diarahkan pada kebaikan
manusia sebagai makhluk bermartabat dan rasional.²⁵ Prinsip teistik
menuntun pengembangan teknologi agar berorientasi pada imago Dei—yakni
manusia sebagai citra rasional Tuhan yang menciptakan bukan untuk mendominasi,
melainkan melayani kehidupan.²⁶ Dengan demikian, rasionalitas teistik menjadi
landasan etis bagi kemanusiaan digital yang berkeadilan dan berbelas kasih.²⁷
8.6.      
Rasionalitas Teistik dan
Spiritualitas Publik
Akhirnya, dalam konteks kehidupan sosial-politik,
rasionalitas teistik relevan untuk menghidupkan kembali spiritualitas publik—yakni
orientasi moral dan rasional yang menuntun kehidupan bersama.²⁸ Di tengah meningkatnya
polarisasi ideologis, rasionalitas teistik menawarkan dasar dialog moral yang
menggabungkan keadilan dan kasih, hukum dan kebijaksanaan.²⁹
Sebagaimana ditekankan oleh John Paul II
dalam Fides et Ratio, masyarakat yang memisahkan iman dari rasio akan
kehilangan arah moralnya.³⁰ Oleh karena itu, rasionalitas teistik bukan sekadar
doktrin religius, melainkan etos rasionalitas integratif yang mampu
memulihkan kesatuan antara pikiran, moralitas, dan spiritualitas dalam
kehidupan publik.³¹ Ia menuntun manusia menuju bentuk peradaban yang tidak
hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara moral.³²
Footnotes
[1]               
John Cottingham, The Spiritual Dimension
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 211–214.
[2]               
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New
Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 87–89.
[3]               
Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal
of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349–382.
[4]               
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific
Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 3–5.
[5]               
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of
Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 21–24.
[6]               
Ian Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 105–107.
[7]               
Arthur Peacocke, Theology for a Scientific Age
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 65–68.
[8]               
Leonard Swidler, Toward a Universal Theology of
Religion (Maryknoll: Orbis Books, 1987), 9–12.
[9]               
John Hick, An Interpretation of Religion: Human
Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989),
240–243.
[10]            
Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue
(New York: Paulist Press, 1999), 33–35.
[11]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 23–25.
[12]            
Paul Ricoeur, Reflections on the Just,
trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 115–118.
[13]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 539–541.
[14]            
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–5.
[15]            
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 92–95.
[16]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 109–112.
[17]            
Gabriel Marcel, Homo Viator (New York:
Harper & Row, 1962), 62–64.
[18]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–6.
[19]            
Ibid., 14–17.
[20]            
Larry Rasmussen, Earth Community, Earth Ethics
(Maryknoll: Orbis Books, 1996), 98–101.
[21]            
Alister McGrath, The Reenchantment of Nature
(New York: Doubleday, 2002), 122–125.
[22]            
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 17–20.
[23]            
Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet
Is Doing to Our Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 201–204.
[24]            
Jacques Ellul, The Technological Society
(New York: Vintage Books, 1964), 138–141.
[25]            
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From
Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 77–79.
[26]            
Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2015), §65–67.
[27]            
C. Stephen Evans, God and Moral Obligation
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 188–191.
[28]            
Nicholas Wolterstorff, Justice in Love
(Grand Rapids: Eerdmans, 2011), 55–58.
[29]            
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals:
Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 102–105.
[30]            
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §46.
[31]            
Paul Tillich, Love, Power, and Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1954), 55–58.
[32]            
John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards
a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014),
221–224.
9.          
Sintesis
Filosofis
Rasionalitas teistik, sebagaimana telah dianalisis
dalam dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, dan eksistensialnya,
menampakkan dirinya sebagai kerangka filosofis integratif yang menolak
dikotomi antara akal dan iman, antara metafisika dan moralitas, antara sains
dan spiritualitas. Dalam sintesis ini, rasionalitas bukan hanya kapasitas
kognitif manusia untuk berpikir secara logis, tetapi partisipasi ontologis
dalam Logos Ilahi, sumber kebenaran dan makna segala sesuatu.¹
9.1.      
Integrasi Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi
Rasionalitas teistik memperlihatkan bahwa ada
hubungan intrinsik antara Being (ada), Knowing (mengetahui), dan Valuing
(menilai).² Tuhan, sebagai ipsum esse subsistens—keberadaan itu
sendiri—menjadi dasar dari segala pengetahuan yang benar dan kebaikan yang
sejati.³ Ontologi memberikan fondasi keberadaan, epistemologi menjelaskan
bagaimana manusia mengenal-Nya, dan aksiologi mengarahkan manusia untuk hidup
dalam kebaikan yang bersumber pada Tuhan.
Dalam kerangka ini, pengetahuan yang benar tidak
mungkin terpisah dari nilai moral dan kebenaran eksistensial.⁴ Sebagaimana
dinyatakan Josef Pieper, kebijaksanaan sejati adalah pengetahuan yang
terarah pada kebaikan tertinggi.⁵ Maka, rasionalitas teistik menyatukan dimensi
intelektual dan etis dalam horizon transendental, di mana pengetahuan menjadi
jalan menuju kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi partisipasi dalam
kebenaran ilahi.⁶
9.2.      
Iman sebagai Rasionalitas
Transendental
Dalam perspektif sintetik, iman tidak lagi
diposisikan sebagai oposisi terhadap rasio, melainkan sebagai puncak dari
rasionalitas itu sendiri.⁷ Thomas Aquinas menyatakan bahwa iman
mengatasi akal tanpa meniadakannya; iman melengkapi rasio sebagaimana rahmat
menyempurnakan kodrat.⁸ Sementara John Paul II menegaskan bahwa iman dan
akal adalah “dua sayap jiwa manusia” yang membawanya terbang menuju
kebenaran.⁹
Rasionalitas teistik dengan demikian bersifat transendental—yakni,
rasionalitas yang terbuka pada misteri dan tidak menutup diri dalam sistem
logika tertutup.¹⁰ Ia menolak baik reduksionisme ilmiah yang meniadakan Tuhan
maupun fideisme yang menolak refleksi kritis.¹¹ Dalam sintesis ini, iman
menjadi ekspresi tertinggi dari akal yang sadar akan keterbatasannya sekaligus
keterarahannya kepada Yang Tak Terbatas.¹²
9.3.      
Logos sebagai Prinsip Penyatu
Realitas
Salah satu puncak sintesis rasionalitas teistik
terletak pada konsep Logos sebagai prinsip kesatuan ontologis dan
epistemologis seluruh realitas. Logos bukan sekadar hukum rasional yang
mengatur dunia, tetapi prinsip personal yang mengandung makna dan tujuan
dari segala sesuatu.¹³ Dalam konteks ini, manusia sebagai imago Dei
dipanggil untuk meniru rasionalitas ilahi dalam kehidupannya: berpikir secara
benar, mencintai secara benar, dan bertindak sesuai kebenaran.¹⁴
Sebagaimana dijelaskan oleh Joseph Ratzinger,
iman Kristen pada dasarnya adalah kepercayaan kepada Logos—bahwa
realitas bersifat rasional karena berasal dari Tuhan yang rasional.¹⁵ Dengan demikian,
rasionalitas teistik tidak hanya menegaskan coherence dalam tatanan
kosmos, tetapi juga meaningfulness dalam eksistensi manusia.¹⁶ Segala
sesuatu memiliki tujuan karena segala sesuatu berakar pada Logos yang memberi
makna.¹⁷
9.4.      
Rasionalitas sebagai Jalan Menuju
Keutuhan Manusia
Rasionalitas teistik juga berfungsi sebagai paradigma
humanistik yang utuh. Manusia, dalam pandangan ini, bukan hanya makhluk
berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang mencari makna (homo
viator) dan penyembah (homo adorans).¹⁸ Maka, berpikir rasional
tidak hanya berarti berargumentasi secara logis, tetapi juga membuka diri
terhadap keindahan, kebenaran, dan kebaikan yang bersumber dari Tuhan.¹⁹
Dengan demikian, rasionalitas teistik mengatasi
fragmentasi modern antara intelektualitas dan spiritualitas. Ia memulihkan
kesadaran bahwa berpikir adalah bentuk pengabdian, dan pengetahuan sejati
adalah pengetahuan yang memanusiakan.²⁰ Dalam istilah Gabriel Marcel,
rasionalitas teistik adalah “pencerahan yang lahir dari kasih,” bukan dominasi
intelektual.²¹
9.5.      
Dialog antara Iman, Sains, dan
Budaya
Dalam sintesis filosofisnya, rasionalitas teistik
memandang iman dan sains sebagai dua bentuk partisipasi dalam Logos yang
sama.²² Sains menyingkap keteraturan ciptaan, sedangkan iman menyingkap
makna di balik keteraturan itu.²³ Keduanya tidak harus bertentangan, sebab
keduanya lahir dari keyakinan fundamental bahwa dunia ini dapat dipahami secara
rasional.²⁴
Selain itu, rasionalitas teistik bersifat inklusif
terhadap budaya dan sejarah. Ia tidak menolak pluralitas penafsiran, tetapi
mengintegrasikannya dalam horizon kebenaran yang lebih luas.²⁵ Dengan demikian,
rasionalitas teistik menjadi dasar bagi civilization of dialogue —
peradaban dialog yang menghormati perbedaan tanpa kehilangan orientasi terhadap
kebenaran universal.²⁶
9.6.      
Rasionalitas Terbuka: Dari
Argumentasi ke Kontemplasi
Rasionalitas teistik akhirnya menemukan puncaknya
bukan dalam perdebatan intelektual, tetapi dalam kontemplasi, yaitu
kesadaran reflektif yang menyatukan pengetahuan dan kasih.²⁷ Edith Stein
menyebut hal ini sebagai “rasionalitas yang berdoa” — bentuk tertinggi
dari berpikir, di mana subjek tidak lagi menguasai objek, melainkan terpesona
oleh kehadiran kebenaran.²⁸
Dengan demikian, rasionalitas teistik bersifat terbuka
dan partisipatif, selalu siap untuk dikoreksi, diperdalam, dan dihidupi.²⁹
Ia bukan sistem yang tertutup, melainkan jalan menuju kebijaksanaan yang
hidup.³⁰ Dalam sintesis filosofis ini, iman tidak lagi berdiri di luar
rasionalitas, melainkan menjadi jantungnya — intellectus fidei yang
mengubah berpikir menjadi bentuk penghormatan terhadap Kebenaran yang hidup.³¹
7.
Konvergensi Akhir: Rasio yang Mengabdi kepada Misteri
Sintesis rasionalitas teistik mencapai puncaknya
dalam kesadaran bahwa rasio sejati tidak menguasai misteri, tetapi mengabdi
kepadanya.³² Tuhan bukanlah objek yang ditundukkan oleh argumen, melainkan
subjek mutlak yang mengundang manusia untuk berpikir dalam terang kasih dan
kebenaran-Nya.³³
Dalam pandangan ini, rasionalitas teistik adalah perpaduan
antara intelek dan kontemplasi, antara pengetahuan dan penyembahan.³⁴ Ia
mengubah logika menjadi doa, dan epistemologi menjadi jalan spiritual.³⁵
Seperti ditegaskan Karl Rahner, “manusia adalah makhluk yang bertanya
karena ia telah disentuh oleh Misteri yang tak terkatakan.”³⁶ Oleh karena
itu, rasionalitas teistik tidak berakhir pada proposisi, tetapi pada relasi —
relasi antara manusia dan Tuhan, antara akal dan iman, antara kebenaran dan
cinta.³⁷
Footnotes
[1]               
John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards
a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014),
225–228.
[2]               
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans.
Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1969), 12–14.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.3.a.4.
[4]               
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 81–83.
[5]               
Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture
(South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 45–47.
[6]               
Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 129–132.
[7]               
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 244–247.
[8]               
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.9.
[9]               
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.
[10]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 117–120.
[11]            
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New
Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 145–148.
[12]            
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 208–211.
[13]            
Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity
(San Francisco: Ignatius Press, 2004), 133–136.
[14]            
Augustine, De Magistro, trans. R. P. Russell
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1971), 13–15.
[15]            
Ratzinger, The God of Jesus Christ: Meditations
on the Triune God (San Francisco: Ignatius Press, 2008), 47–49.
[16]            
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 201–204.
[17]            
C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Grand
Rapids: Eerdmans, 1998), 63–65.
[18]            
Gabriel Marcel, Homo Viator (New York:
Harper & Row, 1962), 53–55.
[19]            
John Haldane, “Virtue Ethics and the Rational
Life,” Proceedings of the Aristotelian Society 95 (1995): 55–73.
[20]            
John Cottingham, The Spiritual Dimension
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 217–220.
[21]            
Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S.
Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 101–103.
[22]            
Ian Barbour, Religion and Science (San
Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 113–116.
[23]            
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of
Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 21–23.
[24]            
Arthur Peacocke, Theology for a Scientific Age
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 71–73.
[25]            
Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue
(New York: Paulist Press, 1999), 42–44.
[26]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 64–66.
[27]            
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 162–165.
[28]            
Edith Stein, Finite and Eternal Being,
trans. Kurt Reinhardt (Washington, D.C.: ICS Publications, 2002), 213–216.
[29]            
Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds
of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 111–113.
[30]            
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 205–208.
[31]            
Anselm K. Min, Paths to the Triune God
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2005), 134–136.
[32]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 244–247.
[33]            
Jean-Luc Marion, God Without Being, trans.
Thomas Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 38–41.
[34]            
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of
the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 211–214.
[35]            
Paul Ricoeur, Reflections on the Just,
trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 118–120.
[36]            
Karl Rahner, Hearer of the Word, trans.
Joseph Donceel (New York: Continuum, 1994), 101–103.
[37]            
John Paul II, Crossing the Threshold of Hope
(New York: Knopf, 1994), 59–61.
10.       Kesimpulan
Rasionalitas teistik, dalam keseluruhan bangun
filsafatnya, menghadirkan sintesis integral antara iman, akal, dan
eksistensi manusia. Ia menolak dua ekstrem: di satu sisi, rasionalisme
reduksionis yang berusaha menjadikan Tuhan sekadar objek dari logika
manusia; di sisi lain, fideisme dogmatis yang menyingkirkan rasio dari
medan teologi.¹ Rasionalitas teistik justru berakar pada kesadaran bahwa Tuhan
adalah sumber dan horizon dari setiap tindakan berpikir, sehingga rasio manusia
menemukan maknanya dalam partisipasi terhadap rasionalitas Ilahi.²
10.1.   
Rasionalitas sebagai Partisipasi
dalam Logos
Rasionalitas teistik tidak memandang akal sebagai
kekuatan otonom, melainkan sebagai partisipasi ontologis dalam Logos,
yaitu prinsip rasional dan personal yang menopang seluruh realitas.³ Logos
bukan hanya konsep metafisis, melainkan realitas ilahi yang menciptakan dan
memberi makna.⁴ Maka, berpikir secara rasional berarti berpikir dalam
dan bersama dengan keteraturan yang diciptakan oleh Tuhan.⁵ Dalam
horizon ini, rasionalitas manusia bersifat reflektif dan partisipatif, bukan
kompetitif terhadap kebijaksanaan ilahi.⁶
10.2.   
Rasionalitas Iman dan Keterbatasan
Akal
Rasionalitas teistik menegaskan bahwa iman
bukanlah antitesis dari pengetahuan, melainkan bentuk rasionalitas
tertinggi yang menyadari keterbatasan manusia dalam memahami Yang Tak
Terbatas.⁷ Thomas Aquinas menulis bahwa akal dapat mengenal Tuhan sejauh
efek-Nya tampak dalam ciptaan, tetapi misteri hakikat Tuhan tetap melampaui
segala pemahaman manusia.⁸ Dengan demikian, iman memperluas jangkauan rasio
tanpa meniadakan otonominya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich,
iman adalah “keberanian untuk menerima bahwa diri manusia diterima oleh
realitas yang lebih besar dari dirinya.”⁹ Rasionalitas iman menuntut
kerendahan hati intelektual, karena berpikir tentang Tuhan berarti berpikir
dalam kesadaran akan keterbatasan.¹⁰ Dalam konteks ini, rasionalitas teistik
menjadi rasionalitas yang berlutut — suatu rasio yang mencari kebenaran
bukan untuk menguasai, tetapi untuk berpartisipasi dalam kasih dan kebenaran
Tuhan.¹¹
10.3.   
Etika, Keadilan, dan Kebijaksanaan
sebagai Buah Rasionalitas Teistik
Rasionalitas teistik melahirkan implikasi etis
dan sosial yang mendalam. Jika Tuhan adalah sumber kebaikan objektif, maka
moralitas dan keadilan memperoleh dasar yang kokoh dalam rasionalitas ilahi.¹²
Tanpa fondasi teistik, nilai moral menjadi relatif dan kehilangan arah
teleologisnya.¹³ Karena itu, etika teistik bukan hanya seperangkat norma
religius, tetapi refleksi rasional terhadap struktur kebaikan yang berakar pada
keberadaan Tuhan.¹⁴
Alasdair MacIntyre menegaskan bahwa masyarakat modern kehilangan arah
moral karena memutuskan diri dari sumber nilai yang transenden.¹⁵ Rasionalitas
teistik hadir sebagai koreksi atas disorientasi tersebut: ia memulihkan
keterhubungan antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan sebagai triadik nilai
ilahi.¹⁶ Dalam praksisnya, hal ini menuntun manusia untuk hidup secara rasional
sekaligus bermoral, menjadikan pengetahuan sebagai sarana untuk mencintai dan
melayani kehidupan.¹⁷
10.4.   
Relevansi Teistik di Tengah Krisis
Modernitas
Dalam era sekular dan teknologis, rasionalitas
teistik menjadi alternatif terhadap nihilisme epistemologis dan krisis makna.¹⁸
Ia mengingatkan bahwa rasio tanpa orientasi teologis akan kehilangan arah etis
dan eksistensial.¹⁹ Sebaliknya, iman tanpa refleksi rasional akan mudah
tergelincir dalam fanatisme dan irasionalitas.²⁰ Maka, rasionalitas teistik
berfungsi sebagai penengah dialektis antara pengetahuan empiris dan
hikmat transendental.²¹
Sebagaimana dikatakan oleh John Paul II
dalam Fides et Ratio, “iman dan akal adalah dua sayap yang membawa jiwa
manusia menuju kontemplasi kebenaran.”²² Pandangan ini menegaskan bahwa
kemajuan sains dan teknologi seharusnya berjalan seiring dengan pendalaman
spiritualitas dan kebijaksanaan etis.²³ Dalam hal ini, rasionalitas teistik
tidak menolak modernitas, melainkan menguduskannya—menempatkan pengetahuan
dalam horizon makna yang mengarah kepada kebaikan tertinggi.²⁴
10.5.   
Rasionalitas sebagai Jalan Menuju
Misteri
Pada puncaknya, rasionalitas teistik menegaskan
bahwa berpikir secara rasional berarti melangkah menuju misteri, bukan
menjauhinya.²⁵ Tuhan bukan objek penyelidikan yang dapat ditundukkan, melainkan
realitas yang menampakkan diri-Nya kepada rasio dalam cinta dan kebenaran.²⁶
Dalam kesadaran ini, rasio menjadi bentuk ibadah — suatu cara bagi manusia
untuk mengenal dan mencintai Tuhan dengan seluruh kapasitas intelektualnya.²⁷
Sebagaimana diungkapkan oleh Gabriel Marcel,
“rasionalitas sejati adalah keterbukaan terhadap misteri yang tidak dapat
direduksi menjadi rumus.”²⁸ Dengan demikian, rasionalitas teistik menolak
pandangan dunia yang tertutup: ia mengakui misteri sebagai bagian dari
kebenaran, bukan ancaman terhadapnya.²⁹ Dalam kesatuan antara iman dan rasio
inilah manusia menemukan kebebasan, makna, dan arah eksistensialnya yang
sejati.³⁰
Penutup:
Rasio yang Beriman, Iman yang Berpikir
Rasionalitas teistik bukanlah doktrin statis,
tetapi proses dialogis dan dinamis yang terus berkembang seiring dengan
kesadaran manusia akan kebenaran.³¹ Ia menegaskan bahwa berpikir dan beriman
adalah dua bentuk ketaatan terhadap Logos yang sama.³² Iman yang sejati tidak
menolak pertanyaan, dan rasio yang sejati tidak menolak kekaguman.
Pada akhirnya, rasionalitas teistik mengembalikan
manusia kepada hakikatnya sebagai makhluk yang berpikir karena percaya dan
percaya karena berpikir.³³ Ia adalah jalan menuju kesatuan antara pengetahuan
dan kasih, antara kebijaksanaan dan penyembahan — suatu filsafat keberadaan
yang berakar pada misteri Tuhan dan terarah kepada kebenaran yang membebaskan.³⁴
Footnotes
[1]               
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 243–246.
[2]               
John Cottingham, The Spiritual Dimension
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 229–232.
[3]               
Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity
(San Francisco: Ignatius Press, 2004), 134–136.
[4]               
Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 211–214.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.9.
[6]               
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of
the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 216–219.
[7]               
Alister E. McGrath, The Open Secret: A New
Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 150–153.
[8]               
Aquinas, Summa Theologiae, I.q.12.a.12.
[9]               
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 162–164.
[10]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 120–123.
[11]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans.
G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 91–94.
[12]            
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 211–214.
[13]            
John Haldane, “Virtue Ethics and the Rational
Life,” Proceedings of the Aristotelian Society 95 (1995): 61–63.
[14]            
C. Stephen Evans, God and Moral Obligation
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 149–151.
[15]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 221–223.
[16]            
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 139–141.
[17]            
Nicholas Wolterstorff, Justice: Rights and
Wrongs (Princeton: Princeton University Press, 2008), 75–77.
[18]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 727–730.
[19]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 356–359.
[20]            
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton
University Press, 1941), 189–191.
[21]            
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 199–201.
[22]            
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.
[23]            
Ian Barbour, Religion and Science (San
Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 120–122.
[24]            
Alister McGrath, The Twilight of Atheism: The
Rise and Fall of Disbelief in the Modern World (New York: Doubleday, 2004),
212–215.
[25]            
Karl Rahner, Hearer of the Word, trans.
Joseph Donceel (New York: Continuum, 1994), 101–103.
[26]            
Jean-Luc Marion, God Without Being, trans.
Thomas Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 37–39.
[27]            
Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture
(South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 49–51.
[28]            
Marcel, Homo Viator (New York: Harper &
Row, 1962), 57–59.
[29]            
Paul Ricoeur, Reflections on the Just,
trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 121–123.
[30]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 247–250.
[31]            
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic II: Truth of
God (San Francisco: Ignatius Press, 2004), 301–304.
[32]            
Cottingham, Philosophy of Religion, 239–241.
[33]            
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), XI.2.
[34]            
John Paul II, Crossing the Threshold of Hope
(New York: Knopf, 1994), 59–61.
Daftar Pustaka 
Adams, R. M. (1999). Finite and infinite goods:
A framework for ethics. Oxford University Press.
Aquinas, T. (1920). Summa Theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Aquinas, T. (1955). Summa Contra Gentiles
(A. C. Pegis, Trans.). University of Notre Dame Press.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford University Press.
Augustine. (1971). De magistro (R. P.
Russell, Trans.). Bobbs-Merrill.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Barbour, I. (1997). Religion and science:
Historical and contemporary issues. HarperSanFrancisco.
Balthasar, H. U. von. (1990). Theo-drama II: The
dramatis personae: Man in God (G. Harrison, Trans.). Ignatius Press.
Balthasar, H. U. von. (2000). Theo-logic I:
Truth of the world (A. Walker, Trans.). Ignatius Press.
Balthasar, H. U. von. (2004). Theo-logic II:
Truth of God (A. Walker, Trans.). Ignatius Press.
Barth, K. (1936). Church dogmatics I/1 (G.
W. Bromiley, Trans.). T&T Clark.
Brunner, E. (1947). Man in revolt.
Westminster Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage.
Carr, N. (2010). The shallows: What the Internet
is doing to our brains. W. W. Norton.
Cottingham, J. (2005). The spiritual dimension.
Cambridge University Press.
Cottingham, J. (2014). Philosophy of religion:
Towards a more humane approach. Cambridge University Press.
Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian
truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.
Davies, B. (2004). An introduction to the
philosophy of religion (3rd ed.). Oxford University Press.
Davies, P. (1992). The mind of God: The
scientific basis for a rational world. Simon & Schuster.
Einstein, A. (1936). Physics and reality. Journal
of the Franklin Institute, 221(3), 349–382.
Ellul, J. (1964). The technological society
(J. Wilkinson, Trans.). Vintage Books.
Evans, C. S. (1998). Faith beyond reason. Eerdmans.
Evans, C. S. (2013). God and moral obligation.
Oxford University Press.
Evans, C. S. (2006). Kierkegaard on faith and
the self. Baylor University Press.
Flew, A. (1950). Theology and falsification. University,
13, 96–99.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge (C.
Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Gilson, É. (1949). Being and some philosophers.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gilson, É. (1991). The spirit of mediaeval
philosophy. University of Notre Dame Press.
Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the
Middle Ages. Scribner.
Haldane, J. (1995). Virtue ethics and the rational
life. Proceedings of the Aristotelian Society, 95, 55–73.
Haldane, J. (2003). Faith, reason, and the life of
the mind. In P. Copan & P. Moser (Eds.), Reasonable faith and the
rationality of theism (pp. 83–91). Routledge.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Hick, J. (1957). Faith and knowledge.
Cornell University Press.
Hick, J. (1989). An interpretation of religion:
Human responses to the transcendent. Yale University Press.
Hume, D. (1980). Dialogues concerning natural
religion (R. H. Popkin, Ed.). Hackett Publishing.
Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld:
From garden to earth. Indiana University Press.
Jaeger, W. (1947). The theology of the early
Greek philosophers. Clarendon Press.
John Paul II. (1994). Crossing the threshold of
hope. Knopf.
John Paul II. (1998). Fides et ratio.
Libreria Editrice Vaticana.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific
postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University
Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin.
King Jr., M. L. (1963). Strength to love.
Harper & Row.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In
search of a new world ethic. Crossroad.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity
(A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Locke, J. (1690). An essay concerning human
understanding. Thomas Basset.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1999). Dependent rational
animals: Why human beings need the virtues. Open Court.
Marcel, G. (1962). Homo viator. Harper &
Row.
Marcel, G. (2001). The mystery of being (G.
S. Fraser, Trans.). St. Augustine’s Press.
Marion, J.-L. (1991). God without being (T.
A. Carlson, Trans.). University of Chicago Press.
McGrath, A. E. (2004). The twilight of atheism:
The rise and fall of disbelief in the modern world. Doubleday.
McGrath, A. E. (2008). The open secret: A new
vision for natural theology. Blackwell.
McGrath, A. E. (2002). The reenchantment of
nature: The denial of religion and the ecological crisis. Doubleday.
Milbank, J. (1990). Theology and social theory:
Beyond secular reason. Blackwell.
Min, A. K. (2005). Paths to the triune God: An encounter
between Aquinas and recent theologies. University of Notre Dame Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring
values for humanity. HarperOne.
Panikkar, R. (1999). The intra-religious
dialogue. Paulist Press.
Peacocke, A. (1993). Theology for a scientific
age. Fortress Press.
Phillips, D. Z. (1970). Faith and philosophical
enquiry. Routledge.
Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues.
University of Notre Dame Press.
Pieper, J. (1998). Leisure: The basis of culture.
St. Augustine’s Press.
Pieper, J. (1997). Faith, hope, love.
Ignatius Press.
Plantinga, A. (1967). God and other minds.
Cornell University Press.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age
of science. Yale University Press.
Rahner, K. (1978). Foundations of Christian
faith. Crossroad.
Rahner, K. (1994). Hearer of the word (J.
Donceel, Trans.). Continuum.
Ramadan, T. (2010). The quest for meaning:
Developing a philosophy of pluralism. Allen Lane.
Ratzinger, J. (2004). Introduction to
Christianity. Ignatius Press.
Ratzinger, J. (2008). The God of Jesus Christ:
Meditations on the Triune God. Ignatius Press.
Rasmussen, L. (1996). Earth community, earth
ethics. Orbis Books.
Ricoeur, P. (1969). The symbolism of evil
(E. Buchanan, Trans.). Beacon Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2007). Reflections on the just
(D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Stein, E. (2002). Finite and eternal being
(K. Reinhardt, Trans.). ICS Publications.
Swidler, L. (1987). Toward a universal theology
of religion. Orbis Books.
Swinburne, R. (2004). The existence of God
(2nd ed.). Clarendon Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard
University Press.
Tillich, P. (1951). Systematic theology
(Vol. 1). University of Chicago Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Tillich, P. (1954). Love, power, and justice.
Oxford University Press.
Tillich, P. (1957). Dynamics of faith.
Harper & Row.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. Basic Books.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge.
Wilson, C. (1957). Religion and the rebel.
Houghton Mifflin.
Wolterstorff, N. (1984). Reason within the
bounds of religion. Eerdmans.
Wolterstorff, N. (2008). Justice: Rights and
wrongs. Princeton University Press.
Wolterstorff, N. (2011). Justice in love.
Eerdmans.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar