Sabtu, 25 Oktober 2025

Rasionalitas Teistik: Fondasi Filsafat Ketuhanan dalam Kerangka Akal, Iman, dan Eksistensi

Rasionalitas Teistik

Fondasi Filsafat Ketuhanan dalam Kerangka Akal, Iman, dan Eksistensi


Alihkan ke: Filsafat Agama.

Keberadaan Tuhan René Descartes, Keberadaan Tuhan Kurt Gödel.


Abstrak

Artikel ini membahas secara mendalam konsep rasionalitas teistik sebagai paradigma filsafat ketuhanan yang berupaya menjembatani ketegangan historis antara akal dan iman, filsafat dan teologi, serta pengetahuan dan keberadaan. Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, aksiologis, dan eksistensial, kajian ini menegaskan bahwa rasionalitas teistik bukan sekadar bentuk argumentasi intelektual tentang keberadaan Tuhan, tetapi juga cara berpikir dan hidup yang berakar pada partisipasi manusia dalam Logos Ilahi — prinsip rasional, personal, dan transendental yang mendasari segala realitas.

Secara historis, konsep ini berkembang dari tradisi filsafat Yunani klasik, mengalami kristalisasi dalam skolastisisme abad pertengahan (terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas), lalu mendapat kritik dari rasionalisme modern, empirisisme, dan eksistensialisme ateistik, hingga akhirnya direvitalisasi dalam teologi kontemporer oleh pemikir seperti Karl Rahner, Paul Tillich, Alvin Plantinga, dan John Cottingham.

Secara ontologis, rasionalitas teistik memandang Tuhan sebagai ipsum esse subsistens — dasar realitas yang rasional. Secara epistemologis, ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang Tuhan melibatkan baik rasio maupun iman dalam relasi dialogal. Secara aksiologis, ia menempatkan Tuhan sebagai sumber objektif nilai moral dan kebaikan tertinggi, menjadikan rasionalitas sebagai sarana etis untuk hidup sesuai kehendak ilahi. Sementara itu, secara eksistensial dan teologis, rasionalitas teistik menyingkap pengalaman manusia yang berpikir dan beriman di hadapan misteri Tuhan yang tak terjangkau namun dapat dialami.

Dalam konteks kontemporer, rasionalitas teistik menunjukkan relevansi besar terhadap dialog antara iman dan sains, pluralisme agama, etika global, dan krisis makna modernitas. Paradigma ini menawarkan alternatif terhadap nihilisme epistemologis dan relativisme moral dengan memulihkan integrasi antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam horizon transendental. Pada akhirnya, rasionalitas teistik dapat dipahami sebagai rasionalitas terbuka: berpikir yang berakar pada iman, dan beriman yang berpikir—suatu bentuk kebijaksanaan yang mempersatukan akal, moralitas, dan spiritualitas dalam orientasi menuju kebenaran ilahi.

Kata Kunci: Rasionalitas teistik; Logos ilahi; iman dan akal; filsafat ketuhanan; epistemologi iman; ontologi transendental; aksiologi moral; eksistensialisme religius; natural theology; kebijaksanaan ilahi.


PEMBAHASAN

Kontribusi Rasionalitas Teistik terhadap Filsafat Agama dan Etika


1.           Pendahuluan

Hubungan antara rasionalitas dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan salah satu persoalan paling mendasar dalam sejarah filsafat agama. Sejak zaman klasik, para filsuf telah berupaya menjembatani dua kutub ini: akal (logos) dan iman (pistis). Rasionalitas sering dianggap sebagai domain argumentasi logis yang mengandalkan prinsip koherensi dan bukti empiris, sedangkan iman dipandang sebagai wilayah kepercayaan transrasional yang bersandar pada wahyu dan pengalaman spiritual. Namun, dikotomi ini bukanlah sesuatu yang niscaya; justru, di dalam tradisi filsafat teistik, akal dan iman dapat saling memperkaya dan mengokohkan dasar pengetahuan manusia tentang Tuhan dan keberadaan-Nya.¹

Sejarah filsafat memperlihatkan bahwa upaya untuk menalar Tuhan secara rasional telah berlangsung sejak masa Plato dan Aristoteles, yang melihat keberadaan prinsip ilahi sebagai bentuk tertinggi dari logos kosmik.² Pemikiran ini kemudian diintegrasikan ke dalam kerangka filsafat skolastik, terutama oleh Santo Anselmus dan Thomas Aquinas, yang berusaha membangun sistem pembuktian rasional atas eksistensi Tuhan melalui argumen ontologis, kosmologis, dan teleologis.³ Dalam konteks ini, rasionalitas teistik bukanlah sekadar pembenaran intelektual atas iman, melainkan bentuk refleksi mendalam terhadap struktur realitas yang menunjuk pada prinsip pertama yang rasional dan personal, yakni Tuhan.⁴

Namun, rasionalitas teistik juga menghadapi kritik tajam dari filsafat modern. David Hume menggugat dasar kausalitas metafisis yang menjadi fondasi argumen kosmologis, sementara Immanuel Kant menegaskan bahwa pengetahuan rasional manusia terbatas pada fenomena dan tidak dapat menembus noumena, termasuk Tuhan sebagai das Ding an sich.⁵ Kritik-kritik ini tidak memusnahkan teisme rasional, tetapi mendorongnya berevolusi menjadi refleksi yang lebih eksistensial dan epistemologis. Dalam konteks ini, Søren Kierkegaard menekankan dimensi subjektif iman yang melampaui kalkulasi rasional, sedangkan filsuf analitik seperti Alvin Plantinga dan Richard Swinburne menghidupkan kembali wacana tentang rational belief in God melalui pendekatan epistemologi kontemporer.⁶

Secara filosofis, rasionalitas teistik menempati posisi unik antara dogmatisme iman dan skeptisisme ateistik. Ia berupaya menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan dapat memiliki dasar rasional tanpa kehilangan dimensi transendentalnya. Rasionalitas di sini tidak dipahami sebagai reduksi iman ke dalam logika formal, melainkan sebagai keterbukaan akal terhadap realitas yang melampaui dirinya.⁷ Dalam kerangka ini, iman dan rasio bukanlah lawan, tetapi dua modus pengenalan terhadap kebenaran yang sama: kebenaran eksistensial yang berakar pada sumber ilahi.⁸

Dengan demikian, pembahasan mengenai rasionalitas teistik menjadi krusial bukan hanya bagi filsafat agama, tetapi juga bagi seluruh disiplin filsafat yang menyoal hubungan antara manusia, kebenaran, dan realitas. Di tengah krisis makna dan relativisme epistemik dunia modern, pemulihan rasionalitas teistik berarti mengembalikan rasio kepada orientasi teleologisnya: pencarian akan Logos yang melandasi segala yang ada.⁹ Artikel ini bertujuan untuk menelaah secara sistematis dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari rasionalitas teistik, sekaligus mengkaji kritik serta relevansinya dalam konteks kontemporer di mana iman dan akal kembali dipertemukan dalam dialog yang konstruktif dan reflektif.¹⁰


Footnotes

[1]                John Cottingham, The Rationalists (Oxford: Oxford University Press, 1988), 3–5.

[2]                Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 112–118.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.

[4]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 56–62.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A613/B641–A630/B658.

[6]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 163–176; Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 5–8.

[7]                Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 41–45.

[8]                Josef Pieper, Faith, Hope, Love (San Francisco: Ignatius Press, 1997), 9–12.

[9]                Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 33–39.

[10]             William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 15–17.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Rasionalitas Teistik

Rasionalitas teistik tidak lahir dalam ruang hampa; ia merupakan hasil evolusi panjang dari refleksi manusia terhadap hubungan antara akal, iman, dan realitas ilahi. Sejak zaman Yunani Kuno hingga filsafat kontemporer, gagasan tentang Tuhan dan nalar berkembang dalam dialektika yang melibatkan berbagai paradigma metafisis dan epistemologis. Sejarah pemikiran ini menunjukkan bahwa rasionalitas teistik tidak sekadar pembenaran teologis terhadap kepercayaan, melainkan suatu proyek filosofis universal untuk menafsirkan realitas transenden melalui kapasitas intelektual manusia.¹

2.1.       Akar Yunani: Logos dan Rasio Kosmik

Dalam konteks filsafat Yunani, rasionalitas teistik berakar pada pemahaman tentang logos sebagai prinsip keteraturan kosmos. Herakleitos memahami logos sebagai hukum rasional yang mengatur segala perubahan dalam alam, suatu keteraturan yang bersifat imanen sekaligus misterius.² Sementara itu, Plato memperkenalkan gagasan tentang to agathon (Yang Baik) sebagai prinsip metafisis tertinggi yang menjadi sumber inteligibilitas bagi semua ide.³ Bagi Aristoteles, prinsip tersebut diwujudkan dalam konsep actus purus, yaitu “Penggerak Tak Bergerak” (the Unmoved Mover) yang menjadi sebab pertama dan tujuan akhir dari segala gerak.⁴ Dalam ketiga pemikir ini, rasionalitas dan prinsip ilahi tidak terpisah—rasionalitas manusia dianggap sebagai partisipasi dalam rasio kosmik yang bersifat ilahi.⁵

2.2.       Sintesis Teisme dan Rasionalitas dalam Skolastisisme

Ketika filsafat Yunani diintegrasikan ke dalam teologi Kristen pada Abad Pertengahan, muncul usaha sistematis untuk menyatukan iman dan akal. Agustinus dari Hippo menegaskan bahwa kebenaran sejati hanya dapat ditemukan melalui iluminasi ilahi, tetapi akal manusia memiliki peran penting dalam mengenali jejak rasional Sang Pencipta dalam ciptaan.⁶ Ia memperkenalkan formula terkenal, credo ut intelligam (“aku beriman supaya aku mengerti”), yang menegaskan prioritas iman tanpa meniadakan fungsi rasio.⁷

Sementara itu, Santo Anselmus mengembangkan argumen ontologis yang bertujuan membuktikan keberadaan Tuhan hanya melalui konsep rasional tentang “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan lebih besar daripadanya.”⁸ Puncak sintesis ini terjadi dalam pemikiran Thomas Aquinas, yang merumuskan lima jalan (quinque viae) pembuktian eksistensi Tuhan dengan menggabungkan prinsip metafisika Aristotelian dan teologi Kristen.⁹ Melalui sintesis tersebut, rasionalitas teistik mencapai bentuk sistematiknya—sebuah usaha menalar Tuhan dengan menggunakan prinsip logika tanpa meniadakan keagungan wahyu.¹⁰

2.3.       Krisis Modernitas: Rasionalitas yang Terpisah dari Transendensi

Memasuki zaman modern, paradigma rasionalitas mengalami pergeseran drastis. René Descartes menempatkan rasio sebagai fondasi utama pengetahuan, dengan cogito ergo sum sebagai titik tolak epistemologis.¹¹ Walaupun Descartes sendiri masih mempertahankan argumen rasional tentang keberadaan Tuhan, warisan pemikirannya membuka jalan bagi rasionalisme sekuler, di mana akal dianggap otonom dan bebas dari keharusan teologis.¹²

Reaksi terhadap rasionalisme muncul dari David Hume, yang menolak dasar metafisis dari argumen teistik dan menyatakan bahwa keyakinan terhadap Tuhan tidak dapat dibuktikan secara empiris.¹³ Immanuel Kant kemudian memperkuat kritik ini melalui Critique of Pure Reason, dengan menegaskan bahwa Tuhan, kebebasan, dan keabadian adalah “ide rasional murni” yang melampaui batas pengalaman.¹⁴ Dalam konteks ini, rasionalitas teistik kehilangan pijakan epistemologisnya di bawah bayang-bayang positivisme dan empirisme.¹⁵

2.4.       Rehabilitasi Rasionalitas Teistik: Dari Eksistensialisme ke Analitik

Krisis modernitas tidak menandai akhir dari rasionalitas teistik, melainkan membuka ruang bagi penafsiran baru terhadap relasi antara iman dan akal. Søren Kierkegaard menegaskan bahwa iman bukanlah anti-rasional, tetapi “rasionalitas yang melampaui kalkulasi,” di mana manusia berani mengambil lompatan eksistensial menuju Tuhan.¹⁶ Dalam abad ke-20, pemikiran Karl Jaspers, Gabriel Marcel, dan Paul Tillich mengembangkan teisme eksistensial yang menempatkan Tuhan bukan sebagai objek logika, tetapi sebagai horizon makna yang dialami melalui rasio reflektif.¹⁷

Sementara itu, dalam tradisi filsafat analitik, tokoh seperti Alvin Plantinga, William Alston, dan Richard Swinburne memperbarui pembelaan terhadap teisme dengan argumen probabilistik, logika modal, dan epistemologi reformasi.¹⁸ Mereka menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan dapat bersifat rasional tanpa memerlukan bukti empiris konklusif, melainkan berakar pada struktur kognitif dasar yang wajar (properly basic beliefs).¹⁹ Dengan demikian, rasionalitas teistik tidak lagi dipahami sebagai pembenaran eksternal atas iman, tetapi sebagai koherensi internal antara rasio dan pengalaman religius manusia.²⁰

2.5.       Genealogi Rasionalitas Teistik dalam Konteks Global

Selain akar Baratnya, rasionalitas teistik juga memiliki paralel dalam tradisi filsafat Timur dan Islam. Dalam filsafat Islam klasik, Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes) mengembangkan argumen rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan sebagai Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud).²¹ Al-Ghazali, meski kritis terhadap rasionalisme murni, tetap mempertahankan bahwa rasio adalah sarana untuk mengenali keterbatasannya sendiri di hadapan kebenaran wahyu.²² Tradisi ini menegaskan bahwa rasionalitas teistik bukan monopoli Barat, melainkan warisan universal yang menunjukkan kemampuan akal manusia untuk berpartisipasi dalam pencarian makna ilahi.²³

Dengan demikian, perjalanan historis dan genealogis ini menunjukkan bahwa rasionalitas teistik adalah tradisi reflektif lintas zaman dan lintas budaya. Ia terus berevolusi melalui dialog antara metafisika dan empirisme, iman dan sains, akal dan wahyu. Rasionalitas teistik bukan sekadar apologetika, tetapi ekspresi terdalam dari kecenderungan manusia untuk memahami realitas tertinggi dengan menggunakan potensi rasional yang dianugerahkan kepadanya.²⁴


Footnotes

[1]                John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1957), 9–11.

[2]                Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), Fr. 1.

[3]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 508e–509b.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), XII.7, 1072b.

[5]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Clarendon Press, 1948), 285–288.

[6]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.

[7]                Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (New York: New City Press, 1991), XV.28.

[8]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), II–IV.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.

[10]             Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 101–107.

[11]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation III.

[12]             Richard Popkin, The History of Scepticism: From Erasmus to Spinoza (Berkeley: University of California Press, 1979), 112–118.

[13]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard H. Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1980), 39–45.

[14]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A632/B660–A640/B668.

[15]             Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God... (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 27–29.

[16]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 65–67.

[17]             Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 244–247.

[18]             Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 114–117.

[19]             Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 1–3.

[20]             William Alston, Perceiving God: The Epistemology of Religious Experience (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 301–305.

[21]             Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), IX.4.

[22]             Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 179–183.

[23]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 96–99.

[24]             Alister E. McGrath, The Twilight of Atheism: The Rise and Fall of Disbelief in the Modern World (New York: Doubleday, 2004), 202–205.


3.           Ontologi Rasionalitas Teistik

Dalam ranah filsafat ketuhanan, ontologi rasionalitas teistik berupaya menjelaskan hakikat keberadaan Tuhan sebagai ens supremum (wujud tertinggi) yang menjadi dasar segala realitas dan rasionalitas. Rasionalitas, dalam kerangka ini, bukanlah sekadar fungsi kognitif manusia, tetapi dimensi ontologis dari realitas itu sendiri yang bersumber pada keberadaan ilahi. Dengan kata lain, rasio manusia hanyalah partisipasi terbatas dalam Logos Ilahi, yaitu prinsip rasional yang menopang seluruh tatanan kosmos.¹

3.1.       Tuhan sebagai Wujud Niscaya (Ens Necessarium)

Tradisi teistik klasik mengakui bahwa Tuhan bukanlah salah satu dari sekian banyak entitas dalam semesta, melainkan dasar ontologis dari seluruh keberadaan. Dalam kerangka metafisika Aristotelian dan skolastik, Tuhan dipahami sebagai actus purus—keberadaan murni yang tidak bergantung pada apa pun.² Thomas Aquinas menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki keberadaan sebagai hakikatnya sendiri (ipsum esse subsistens), sementara semua makhluk lain hanyalah partisipasi dalam keberadaan yang diberikan oleh-Nya.³ Dengan demikian, rasionalitas yang ditemukan dalam tatanan ciptaan merefleksikan keteraturan ontologis yang bersumber dari Tuhan sebagai causa prima (sebab pertama).⁴

Konsep ini menemukan resonansinya dalam filsafat Islam melalui gagasan Ibn Sina tentang Wajib al-Wujud (Yang Niscaya Ada), yang mengandaikan bahwa seluruh entitas kontingen bergantung secara kausal pada wujud yang tidak mungkin tidak ada.⁵ Pandangan ini menegaskan bahwa rasionalitas kosmik—keteraturan hukum-hukum alam dan koherensi eksistensi—merupakan ekspresi dari keharusan ontologis Tuhan.⁶ Dengan demikian, Tuhan tidak hanya eksis, tetapi juga merupakan dasar rasional dari eksistensi itu sendiri.⁷

3.2.       Logos dan Struktur Rasional Realitas

Rasionalitas teistik berpijak pada keyakinan bahwa realitas bersifat logis dan teratur karena berakar pada Logos Ilahi. Konsep Logos pertama kali diformulasikan dalam filsafat Yunani oleh Herakleitos dan kemudian diadopsi secara teologis oleh tradisi Kristen, khususnya dalam Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Logos, dan Logos itu bersama-sama dengan Allah, dan Logos itu adalah Allah.”⁸ Logos di sini tidak hanya menunjuk pada “kata” atau “akal,” tetapi pada prinsip kosmik yang rasional, imanen, dan sekaligus transenden.⁹

Dalam teologi Kristen, Logos dipahami sebagai manifestasi rasional dari keberadaan ilahi dalam tatanan ciptaan. Joseph Ratzinger menjelaskan bahwa iman Kristen bukanlah kepercayaan buta, melainkan kepercayaan pada Logos yang menciptakan dan menebus, sehingga dunia memiliki makna dan keteraturan rasional.¹⁰ Sementara itu, Paul Tillich menegaskan bahwa eksistensi manusia memperoleh makna hanya sejauh ia berpartisipasi dalam Ground of Being—dasar keberadaan yang rasional dan ilahi.¹¹ Maka, rasionalitas teistik menyatakan bahwa dunia dapat dipahami secara logis karena ia merupakan refleksi dari sumber yang rasional, yakni Tuhan sendiri.¹²

3.3.       Relasi Ontologis antara Tuhan, Dunia, dan Rasio Manusia

Salah satu prinsip utama dalam ontologi teistik adalah gagasan tentang partisipasi ontologis (participatio entis), di mana makhluk hidup berpartisipasi dalam keberadaan ilahi tanpa menjadi identik dengannya.¹³ Dengan demikian, rasio manusia tidak otonom terhadap Tuhan, melainkan turut serta dalam rasionalitas ilahi melalui kemampuan reflektifnya. Bagi Augustinus, rasio manusia mampu memahami kebenaran karena ia “dicerahkan oleh cahaya abadi” (lumen aeternum) yang berasal dari Tuhan.¹⁴

Perspektif ini diadaptasi secara modern oleh Alvin Plantinga melalui epistemologi Reformasinya. Ia berargumen bahwa kepercayaan kepada Tuhan merupakan bentuk “keyakinan dasar yang wajar” (properly basic belief) karena rasionalitas manusia diciptakan untuk mengenali realitas ilahi.¹⁵ Artinya, struktur rasional manusia memiliki telos (tujuan akhir) yang teistik: untuk memahami, menalar, dan berelasi dengan Sang Pencipta.¹⁶ Dengan demikian, rasionalitas bukan sekadar alat netral, melainkan dimensi ontologis yang berorientasi kepada Yang Transenden.¹⁷

3.4.       Rasionalitas Teistik dan Keteraturan Kosmos

Ontologi rasionalitas teistik juga menegaskan bahwa dunia bersifat intelligible, yakni dapat dipahami secara rasional karena mencerminkan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan.¹⁸ Dalam pandangan Albert Einstein, meskipun bukan seorang teolog, rasa kagum terhadap keteraturan rasional alam semesta merupakan bentuk religiusitas kosmik: “Hal yang paling tidak dapat dipahami tentang alam semesta adalah bahwa alam semesta itu dapat dipahami.”¹⁹ Pandangan ini menunjukkan bahwa rasionalitas alam bukanlah kebetulan, melainkan mengisyaratkan adanya dasar yang lebih tinggi dari sekadar mekanisme fisik.²⁰

Dalam kerangka teistik, keteraturan kosmos memiliki nilai ontologis dan teleologis—yakni, setiap tatanan dan hukum alam mengarah kepada kebaikan dan tujuan tertentu.²¹ Tuhan tidak menciptakan dunia secara arbitrer, melainkan dengan rasionalitas dan tujuan yang selaras dengan kebaikan-Nya.²² Maka, keteraturan rasional dunia bukanlah bukti kebetulan alam, tetapi manifestasi dari kehendak rasional Sang Pencipta.²³

3.5.       Rasionalitas Teistik sebagai Ontologi Relasional

Pada tahap yang lebih reflektif, ontologi rasionalitas teistik memandang keberadaan bukan sekadar sebagai struktur statis, melainkan sebagai relasi eksistensial antara Tuhan dan ciptaan.²⁴ Realitas ilahi tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan hubungan kasih dan komunikasi antara Tuhan dan manusia.²⁵ Dalam tradisi teologi trinitarian, Logos tidak hanya prinsip rasional, tetapi juga prinsip dialogal—yakni komunikasi kasih yang melahirkan rasionalitas partisipatif.²⁶

Hal ini menegaskan bahwa rasionalitas teistik memiliki dimensi personal dan komunikatif, bukan hanya logis-formal.²⁷ Rasio manusia menjadi benar-benar rasional ketika ia terbuka terhadap dialog dengan sumber rasionalitas tertinggi, Tuhan.²⁸ Dengan demikian, ontologi rasionalitas teistik menegaskan bahwa rasionalitas tidak dapat dipisahkan dari keberadaan, dan keberadaan itu sendiri menemukan maknanya dalam relasi rasional antara manusia dan Tuhan.²⁹


Footnotes

[1]                John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 24–25.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), XII.7, 1072b.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.3.a.4.

[4]                Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 72–75.

[5]                Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), IX.4.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 102–104.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 41–43.

[8]                The Holy Bible, John 1:1.

[9]                Werner Jaeger, The Theology of the Early Greek Philosophers (Oxford: Clarendon Press, 1947), 183–186.

[10]             Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity (San Francisco: Ignatius Press, 2004), 133–136.

[11]             Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–238.

[12]             William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 39–41.

[13]             Thomas Aquinas, De Veritate, q.2.a.11.

[14]             Augustine, De Magistro, trans. R. P. Russell (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1971), 11–12.

[15]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 173–176.

[16]             Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 51–53.

[17]             John Haldane, “Faith, Reason, and the Life of the Mind,” in Reasonable Faith and the Rationality of Theism, ed. Paul Copan and Paul Moser (London: Routledge, 2003), 79–81.

[18]             C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York: HarperCollins, 2001), 25–28.

[19]             Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349–382.

[20]             John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 32–34.

[21]             Richard Swinburne, Is There a God? (Oxford: Oxford University Press, 2010), 49–52.

[22]             Robert Spitzer, New Proofs for the Existence of God: Contributions of Contemporary Physics and Philosophy (Grand Rapids: Eerdmans, 2010), 64–68.

[23]             Brian Davies, The Reality of God and the Problem of Evil (London: Continuum, 2006), 18–20.

[24]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 52–54.

[25]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 121–123.

[26]             Joseph Ratzinger, The God of Jesus Christ: Meditations on the Triune God (San Francisco: Ignatius Press, 2008), 49–51.

[27]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 104–106.

[28]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §43.

[29]             Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 85–88.


4.           Epistemologi Rasionalitas Teistik

Jika ontologi rasionalitas teistik menjelaskan mengapa realitas bersifat rasional, maka epistemologi rasionalitas teistik menjelaskan bagaimana manusia dapat mengetahui Tuhan melalui rasio tanpa meniadakan dimensi iman. Dalam ranah filsafat agama, epistemologi ini menempati posisi antara evidensialisme empiris dan fideisme murni, dengan menegaskan bahwa iman bukanlah antitesis dari akal, melainkan bentuk rasionalitas yang berakar pada sumber transendental.¹

Rasionalitas teistik berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan dapat dikenal, meski tidak sepenuhnya dipahami.² Dalam tradisi klasik, rasionalitas manusia dipandang sebagai partisipasi dalam rasionalitas ilahi—imago Dei dalam diri manusia menjadi dasar epistemik bagi pengenalan terhadap realitas transenden.³ Maka, epistemologi teistik tidak hanya bersandar pada penalaran deduktif, tetapi juga pada keterbukaan eksistensial manusia terhadap misteri ilahi.⁴

4.1.       Fides Quaerens Intellectum: Iman yang Mencari Pengertian

Ungkapan klasik dari Anselmus dari Canterbury, fides quaerens intellectum (“iman yang mencari pengertian”), menggambarkan dengan tepat struktur epistemologis teistik.⁵ Iman bukanlah pengganti rasio, tetapi prasyarat bagi penalaran yang sejati. Dalam kerangka ini, pengetahuan tentang Tuhan bermula dari kepercayaan dan berujung pada pemahaman. Agustinus menegaskan, credo ut intelligam—“aku beriman supaya aku dapat mengerti.”⁶

Tradisi ini melahirkan paradigma epistemologis yang unik: rasio tidak mendahului iman, tetapi justru dipurnakan olehnya. Thomas Aquinas menegaskan bahwa sebagian kebenaran tentang Tuhan dapat diketahui oleh akal (melalui wahyu alamiah), sedangkan sebagian lainnya hanya dapat dipahami melalui wahyu adikodrati.⁷ Dengan demikian, epistemologi teistik menolak reduksi rasionalisme murni sekaligus menghindari fideisme buta.⁸

4.2.       Argumen Rasional tentang Keberadaan Tuhan

Epistemologi rasionalitas teistik tidak dapat dilepaskan dari upaya pembuktian keberadaan Tuhan melalui argumen-argumen filosofis. Tradisi Barat mengenal empat model utama: ontologis, kosmologis, teleologis, dan moral.

Argumen ontologis, yang pertama kali dirumuskan oleh Anselmus, menegaskan bahwa Tuhan, sebagai “sesuatu yang tiada dapat dipikirkan yang lebih besar daripadanya,” mesti ada tidak hanya dalam pikiran tetapi juga dalam realitas.⁹ Meskipun dikritik oleh Immanuel Kant karena “eksistensi bukanlah predikat,”¹⁰ argumen ini tetap berpengaruh dalam versi modernnya melalui logika modal Kurt Gödel yang membangun formal ontological proof atas eksistensi Tuhan dalam kerangka rasional simbolik.¹¹

Argumen kosmologis, sebagaimana dikembangkan oleh Aquinas, bertolak dari prinsip kausalitas: segala yang ada memiliki sebab, dan rantai sebab ini tidak dapat mundur tanpa batas; oleh karena itu, harus ada causa prima yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan.¹² Sementara itu, argumen teleologis (atau argument from design) menekankan keteraturan dan tujuan dalam alam semesta sebagai indikasi adanya perancang cerdas.¹³ William Paley menyebut dunia ibarat arloji yang rumit, sehingga mengandaikan seorang pembuat arloji yang cerdas.¹⁴

Adapun argumen moral, sebagaimana diformulasikan oleh Kant, menegaskan bahwa kesadaran moral manusia mengandaikan adanya sumber nilai objektif, yakni Tuhan sebagai penjamin tertinggi kebaikan.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi rasionalitas teistik menegaskan bahwa berbagai dimensi realitas—ontologis, kosmologis, dan etis—semuanya berujung pada postulat rasional tentang Tuhan.¹⁶

4.3.       Rasionalitas Iman dalam Perspektif Epistemologi Modern

Rasionalitas teistik modern berhadapan dengan krisis yang ditimbulkan oleh positivisme logis dan empirisisme ilmiah, yang menolak proposisi metafisis sebagai tidak bermakna.¹⁷ Sebagai respons, teolog-filsuf seperti Alvin Plantinga, William Alston, dan Nicholas Wolterstorff memperkenalkan epistemologi Reformasi yang menolak prinsip evidensialisme klasik.¹⁸ Menurut Plantinga, kepercayaan kepada Tuhan tidak memerlukan bukti empiris eksternal agar rasional; ia bersifat properly basic karena tertanam dalam struktur kognitif manusia yang diciptakan oleh Tuhan sendiri.¹⁹

Epistemologi ini menggeser fokus dari pembuktian menuju pembenaran rasional internal: iman dianggap rasional sejauh ia koheren dengan sistem keyakinan yang terintegrasi dan tidak kontradiktif.²⁰ Pendekatan ini berbeda dari evidensialisme Richard Swinburne, yang menggunakan teori probabilitas Bayes untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan lebih mungkin benar daripada tidak berdasarkan bukti empiris dan penjelasan terbaik dari realitas.²¹ Keduanya, meski berbeda metodologis, sama-sama menegaskan bahwa iman dapat bersifat rasional dalam kerangka epistemik yang sah.²²

4.4.       Rasionalitas Eksistensial: Pengetahuan melalui Keterlibatan

Selain dimensi proposisional, epistemologi teistik juga mencakup dimensi eksistensial. Bagi Søren Kierkegaard, pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat dicapai melalui deduksi logis semata, melainkan melalui lompatan iman yang bersifat personal dan eksistensial.²³ Iman bukan sekadar mengetahui tentang Tuhan, melainkan mengalami Tuhan secara langsung dalam eksistensi.²⁴ Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh Gabriel Marcel, yang menekankan “pengetahuan partisipatif” (participatory knowledge)—pengetahuan yang melibatkan cinta, komitmen, dan keterbukaan terhadap misteri.²⁵

Epistemologi rasionalitas teistik, dengan demikian, tidak meniadakan aspek subjektif, tetapi justru menegaskan bahwa pengalaman eksistensial manusia merupakan jalan yang sah menuju pengenalan rasional terhadap Tuhan.²⁶ Rasio tidak menolak iman, melainkan mengantarnya kepada pengenalan yang lebih dalam, sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich: iman adalah “tindakan tertinggi dari keberanian rasional untuk menerima realitas yang ultim.”²⁷


Sintesis Epistemik: Antara Evidensialisme dan Fideisme

Epistemologi rasionalitas teistik berupaya menempuh jalan tengah antara dua ekstrem: evidensialisme ketat dan fideisme absolut.²⁸ Di satu sisi, ia mengakui pentingnya bukti rasional dan koherensi logis dalam membenarkan iman; di sisi lain, ia menyadari keterbatasan akal dalam menembus misteri ilahi.²⁹ Dalam paradigma ini, rasionalitas dan iman bukanlah dua prinsip yang saling meniadakan, tetapi dua aspek yang saling meneguhkan dalam pencarian kebenaran.³⁰

Dengan demikian, epistemologi rasionalitas teistik membentuk kerangka pengetahuan integral: pengetahuan yang mencakup nalar, pengalaman, dan keterbukaan terhadap wahyu.³¹ Rasionalitas teistik tidak menolak sains, tetapi menempatkan sains dalam horizon yang lebih luas—horizon makna dan tujuan yang berakar pada keberadaan Tuhan sebagai sumber segala kebenaran.³²


Footnotes

[1]                John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1957), 9–12.

[2]                C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 14–17.

[3]                Paul Copan, Loving Wisdom: Christian Philosophy of Religion (St. Louis: Chalice Press, 2007), 21–23.

[4]                Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford: Oxford University Press, 2005), 8–10.

[5]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.

[6]                Augustine, Sermons on the New Testament Lessons, trans. R. G. MacMullen (New York: Fathers of the Church, 1948), 43.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.12.a.12.

[8]                Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Scribner, 1938), 45–48.

[9]                Anselm, Proslogion, II.

[10]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620.

[11]             Kurt Gödel, “Ontological Proof,” in Collected Works, ed. Solomon Feferman (Oxford: Oxford University Press, 1995), 403–405.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.

[13]             William Paley, Natural Theology (London: J. Faulder, 1802), 1–3.

[14]             Ibid., 5–8.

[15]             Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 133–135.

[16]             William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 108–111.

[17]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 33–35.

[18]             Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 15–17.

[19]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 173–176.

[20]             Paul Moser, The Elusive God: Reorienting Religious Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 52–55.

[21]             Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 68–72.

[22]             Paul Helm, Faith and Understanding (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 44–46.

[23]             Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 191–195.

[24]             C. Stephen Evans, Kierkegaard on Faith and the Self (Waco: Baylor University Press, 2006), 83–86.

[25]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 47–49.

[26]             Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 41–44.

[27]             Ibid., 45.

[28]             John Cottingham, The Spiritual Dimension (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 97–100.

[29]             Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 133–136.

[30]             Alvin Plantinga and Nicholas Wolterstorff, Faith and Rationality (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1983), 1–5.

[31]             William Alston, Perceiving God: The Epistemology of Religious Experience (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 289–292.

[32]             Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 73–76.


5.           Aksiologi Rasionalitas Teistik

Jika ontologi rasionalitas teistik berbicara tentang dasar keberadaan yang rasional, dan epistemologinya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui Tuhan melalui akal dan iman, maka aksiologi rasionalitas teistik menelaah dimensi nilai, moralitas, dan tujuan hidup manusia yang berakar pada pandangan teistik tentang realitas. Dalam kerangka ini, Tuhan bukan hanya “dasar keberadaan,” tetapi juga dasar kebaikan (summum bonum), yakni sumber nilai yang memberikan makna etis bagi seluruh tindakan manusia.¹

5.1.       Tuhan sebagai Dasar Objektif Nilai Moral

Salah satu kontribusi utama rasionalitas teistik dalam ranah aksiologi adalah pengakuan bahwa nilai moral memiliki dasar objektif dalam keberadaan Tuhan.² Tanpa fondasi transendental, nilai-nilai moral cenderung tereduksi menjadi relativisme subjektif.³ Dalam pandangan Plato, nilai-nilai seperti kebaikan dan keadilan berakar pada Idea of the Good yang bersifat absolut dan transenden.⁴ Tradisi ini kemudian diadopsi oleh Augustinus, yang menyatakan bahwa segala kebaikan adalah partisipasi dalam kebaikan ilahi.⁵

Dalam konteks filsafat modern, Immanuel Kant mengemukakan konsep summum bonum sebagai kesatuan antara kebajikan dan kebahagiaan yang hanya dapat diwujudkan jika terdapat Tuhan sebagai penjamin moralitas.⁶ Dengan demikian, bagi rasionalitas teistik, Tuhan bukan hanya penyebab pertama (causa prima), tetapi juga nilai pertama (valorum prima), yakni sumber segala kebaikan yang menjadikan moralitas rasional dan koheren.⁷

5.2.       Rasionalitas Moral dan Kehendak Ilahi

Rasionalitas teistik menegaskan bahwa etika tidak dapat dilepaskan dari struktur rasional kehendak ilahi. Dalam pandangan Thomas Aquinas, hukum moral abadi (lex aeterna) merupakan refleksi dari kebijaksanaan Tuhan yang mengatur ciptaan.⁸ Hukum alam (lex naturalis) menjadi partisipasi rasional manusia dalam hukum abadi ini, sehingga manusia dapat mengenal kebaikan dan menaatinya melalui akalnya.⁹

Pandangan ini berbeda dari teori perintah ilahi (divine command theory) yang menyatakan bahwa sesuatu menjadi baik karena diperintahkan oleh Tuhan.¹⁰ Dalam rasionalitas teistik, Tuhan memerintahkan yang baik karena Ia sendiri adalah Kebaikan itu.¹¹ Dengan demikian, moralitas bersifat rasional karena berakar pada esensi Tuhan yang niscaya baik, bukan pada kehendak arbitrer.¹²

Aksiologi rasionalitas teistik, oleh karena itu, menolak nihilisme moral yang muncul dalam konteks sekularisasi modern. Friedrich Nietzsche, misalnya, mengkritik bahwa “kematian Tuhan” akan menghapus seluruh horizon nilai.¹³ Namun, perspektif teistik justru menegaskan bahwa nilai-nilai rasional hanya dapat bertahan jika berakar pada sumber yang absolut.¹⁴ Dalam hal ini, keberadaan Tuhan menjamin koherensi moral, bukan sekadar otoritas eksternal.¹⁵

5.3.       Etika Cinta dan Rasionalitas Afektif

Rasionalitas teistik tidak berhenti pada penalaran logis terhadap kebaikan, tetapi juga mencakup dimensi cinta (agape) sebagai nilai tertinggi. Dalam tradisi Kristen, cinta dianggap sebagai bentuk rasionalitas tertinggi yang menyatukan kehendak dan pengetahuan.¹⁶ Paul Tillich menegaskan bahwa cinta adalah “daya yang menggerakkan segala sesuatu menuju kesatuan yang rasional dan bermakna.”¹⁷

Demikian pula, dalam tradisi Islam, konsep rahmah (kasih sayang) menempati posisi ontologis dan aksiologis yang sentral. Tuhan disebut al-Rahman al-Rahim, dan segala ciptaan merupakan manifestasi kasih sayang yang menjadi dasar tatanan moral dunia.¹⁸ Rasionalitas teistik, dalam hal ini, bukanlah rasionalitas kering yang terpisah dari afeksi, melainkan rasionalitas yang dihidupi oleh cinta dan empati terhadap sesama.¹⁹

Dalam kerangka ini, moralitas menjadi rasional-afektif, yakni perpaduan antara nalar dan kasih.²⁰ Cinta bukanlah irasionalitas, melainkan bentuk tertinggi dari kebijaksanaan moral yang menuntun manusia untuk bertindak sesuai kebaikan ilahi.²¹

5.4.       Kebijaksanaan sebagai Puncak Rasionalitas Teistik

Aksiologi rasionalitas teistik berpuncak pada konsep kebijaksanaan (sapientia) sebagai integrasi antara pengetahuan dan kebaikan.²² Kebijaksanaan tidak hanya berarti mengetahui apa yang benar, tetapi juga mengarahkan tindakan kepada yang baik dan indah.²³ Dalam hal ini, rasionalitas teistik melahirkan etika yang bersifat teleologis, karena setiap tindakan manusia diarahkan kepada tujuan tertinggi—yakni partisipasi dalam kebahagiaan ilahi (beatitudo).²⁴

Josef Pieper menegaskan bahwa kebijaksanaan adalah “pengetahuan tentang kebenaran tertinggi yang mengatur seluruh hidup manusia.”²⁵ Dalam perspektif ini, kebijaksanaan tidak dapat dipisahkan dari kontemplasi terhadap Tuhan, sumber kebenaran dan kebaikan.²⁶ Oleh karena itu, rasionalitas teistik mengandung dimensi pedagogis: membimbing akal manusia untuk menemukan nilai tertinggi melalui refleksi dan praktik etis.²⁷

5.5.       Rasionalitas Teistik dalam Etika Sosial

Aksiologi rasionalitas teistik juga memiliki implikasi sosial. Jika Tuhan adalah sumber nilai moral, maka masyarakat yang rasional adalah masyarakat yang hidup sesuai prinsip-prinsip ilahi: keadilan, kasih, dan kebenaran.²⁸ Dalam hal ini, rasionalitas teistik menjadi dasar bagi etika sosial, karena ia memandang sesama manusia sebagai refleksi citra Tuhan (imago Dei).²⁹

Martin Luther King Jr., misalnya, membangun perjuangan sosialnya di atas dasar rasionalitas teistik: bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama karena diciptakan oleh Tuhan.³⁰ Pandangan ini juga sejalan dengan filsafat personalisme yang menegaskan nilai intrinsik setiap pribadi sebagai pusat moralitas.³¹ Dengan demikian, rasionalitas teistik tidak berhenti pada kontemplasi metafisis, tetapi menuntut praksis etis dalam kehidupan bersama.³²

6. Sintesis Aksiologis: Tuhan sebagai Horizon Kebaikan

Dari keseluruhan dimensi di atas, aksiologi rasionalitas teistik menempatkan Tuhan sebagai horizon nilai yang menyatukan epistemologi dan ontologi.³³ Tuhan bukan hanya “diketahui” oleh rasio, tetapi juga “dihendaki” oleh moralitas.³⁴ Dalam hal ini, rasionalitas sejati adalah rasionalitas yang terarah pada kebaikan mutlak, bukan sekadar logika formal.³⁵

Dengan demikian, rasionalitas teistik menghadirkan etika integratif, di mana kebenaran, kebaikan, dan keindahan bersatu dalam orientasi kepada Tuhan.³⁶ Inilah fondasi aksiologis yang memungkinkan manusia hidup secara rasional, etis, dan spiritual secara bersamaan—suatu integrasi antara akal dan hati, antara iman dan kebijaksanaan.³⁷


Footnotes

[1]                John Cottingham, The Spiritual Dimension (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 91–94.

[2]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 157–160.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 36–38.

[4]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 508e–509b.

[5]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 133–135.

[7]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 52–54.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II.q.91.a.2.

[9]                Ibid., I–II.q.94.a.2.

[10]             Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 243–245.

[11]             William Alston, A Realist Conception of Truth (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 189–191.

[12]             Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 198–201.

[13]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[14]             Alister E. McGrath, The Twilight of Atheism (New York: Doubleday, 2004), 207–210.

[15]             Paul Copan, Loving Wisdom: Christian Philosophy of Religion (St. Louis: Chalice Press, 2007), 98–101.

[16]             C. S. Lewis, The Four Loves (New York: Harcourt, 1960), 121–125.

[17]             Paul Tillich, Love, Power, and Justice (Oxford: Oxford University Press, 1954), 29–31.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 55–57.

[19]             Tariq Ramadan, The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism (London: Allen Lane, 2010), 43–45.

[20]             John Haldane, “Virtue Ethics and the Rational Life,” Proceedings of the Aristotelian Society 95 (1995): 55–73.

[21]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 111–114.

[22]             Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture (South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 41–44.

[23]             Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 215–218.

[24]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II.q.3.a.8.

[25]             Pieper, The Four Cardinal Virtues, 132–135.

[26]             Ibid., 142–144.

[27]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 88–90.

[28]             Nicholas Wolterstorff, Justice: Rights and Wrongs (Princeton: Princeton University Press, 2008), 31–33.

[29]             Pope John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §42.

[30]             Martin Luther King Jr., Strength to Love (New York: Harper & Row, 1963), 97–99.

[31]             Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 15–18.

[32]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.

[33]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 198–200.

[34]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 105–108.

[35]             Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 122–124.

[36]             C. Stephen Evans, God and Moral Obligation (Oxford: Oxford University Press, 2013), 143–146.

[37]             John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 184–187.


6.           Dimensi Teologis dan Eksistensial

Rasionalitas teistik tidak hanya bersifat konseptual atau argumentatif, tetapi juga berdimensi teologis dan eksistensial. Artinya, rasionalitas ini tidak berhenti pada tataran logika formal, melainkan berakar dalam pengalaman iman manusia di hadapan Tuhan yang hidup. Dalam konteks ini, rasionalitas teistik berfungsi sebagai modus cognoscendi (cara mengetahui) dan sekaligus modus vivendi (cara hidup) — suatu bentuk kesadaran yang menyatukan pengetahuan, iman, dan eksistensi.¹

6.1.       Rasionalitas sebagai Respons terhadap Wahyu

Dalam teologi klasik, rasionalitas manusia dipahami sebagai tanggapan terhadap inisiatif ilahi. Tuhan, sebagai Logos, menyatakan diri-Nya melalui ciptaan dan wahyu, dan manusia menanggapinya dengan akal budi yang telah dianugerahkan kepadanya.² Karl Barth menegaskan bahwa teologi yang sejati dimulai bukan dari usaha manusia mencari Tuhan, tetapi dari tindakan Tuhan yang berkomunikasi melalui firman.³ Namun, komunikasi ilahi ini bukanlah irasional: wahyu tidak meniadakan rasio, tetapi memanggilnya untuk berpartisipasi dalam kebenaran yang melampaui dirinya.⁴

Dengan demikian, rasionalitas teistik berakar pada struktur dialogal antara Tuhan dan manusia. Akal manusia, yang diciptakan menurut citra Tuhan (imago Dei), menjadi sarana untuk memahami pesan ilahi tanpa menguasainya secara total.⁵ Iman yang rasional adalah iman yang mendengar dan mengerti, sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Aquinas, bahwa “iman melibatkan persetujuan intelek terhadap kebenaran ilahi yang ditawarkan oleh wahyu.”⁶

6.2.       Dimensi Eksistensial: Iman sebagai Pengalaman Ada di Hadapan Tuhan

Rasionalitas teistik tidak hanya mempersoalkan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi juga keberadaan manusia di hadapan Tuhan. Dalam kerangka eksistensialisme religius, pengetahuan tentang Tuhan tidak bersifat objektif semata, melainkan partisipatif dan transformatif. Søren Kierkegaard menekankan bahwa iman bukanlah hasil penalaran abstrak, tetapi keputusan eksistensial yang melibatkan seluruh diri manusia dalam relasi personal dengan Yang Ilahi.⁷

Dalam hubungan ini, rasionalitas teistik menjadi rasionalitas eksistensial, yakni bentuk pengertian yang timbul dari keterlibatan total manusia dalam misteri iman.⁸ Manusia tidak hanya berpikir tentang Tuhan, tetapi juga mengada-di-hadapan-Nya (being-before-God).⁹ Gabriel Marcel menyebut pengalaman ini sebagai “pengetahuan yang dihidupi” (connaissance vécue), suatu bentuk rasionalitas yang muncul dari cinta, kesetiaan, dan keterbukaan terhadap misteri ilahi.¹⁰

6.3.       Dialektika antara Kebebasan dan Kehendak Ilahi

Salah satu ketegangan utama dalam dimensi eksistensial teistik adalah hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak Tuhan. Rasionalitas teistik menolak pandangan deterministik yang meniadakan kebebasan, sekaligus menghindari humanisme radikal yang menyingkirkan Tuhan dari pusat eksistensi.¹¹ Dalam pandangan Paul Tillich, kebebasan sejati tidak berarti kemandirian absolut, melainkan “partisipasi dalam makna keberadaan yang bersumber dari Tuhan.”¹²

Kebebasan manusia, dalam kerangka teistik, adalah kebebasan yang berakar dalam ketaatan. Manusia bebas bukan karena ia dapat menolak Tuhan, tetapi karena ia diberi kapasitas untuk menanggapi kasih Tuhan secara sadar dan bertanggung jawab.¹³ Karl Rahner menyebut hal ini sebagai transcendental freedom — kebebasan yang diarahkan kepada horizon tak terbatas, yaitu Tuhan sendiri.¹⁴ Dengan demikian, rasionalitas teistik memandang kebebasan bukan sebagai otonomi tanpa arah, melainkan sebagai dinamika relasional antara makhluk dan Pencipta.¹⁵

6.4.       Rasionalitas Teistik dan Makna Eksistensi Manusia

Rasionalitas teistik menawarkan kerangka makna yang menyatukan akal dan eksistensi. Dalam dunia modern yang ditandai oleh fragmentasi dan nihilisme, gagasan tentang Tuhan sebagai sumber rasionalitas kosmis memberikan dasar ontologis bagi kebermaknaan hidup manusia.¹⁶ Viktor Frankl, dalam konteks psikologi eksistensial, menegaskan bahwa kebutuhan terdalam manusia adalah menemukan makna, dan makna tertinggi itu selalu bersifat transenden.¹⁷

Bagi rasionalitas teistik, makna bukanlah konstruksi subjektif, melainkan partisipasi dalam Logos Ilahi yang memberi arah bagi eksistensi.¹⁸ Oleh karena itu, iman rasional mengajak manusia untuk hidup dalam dialog antara berpikir dan beriman, antara mengerti dan menyembah.¹⁹ Dalam dialektika ini, eksistensi manusia menemukan dirinya sebagai “makhluk yang berpikir karena dicintai dan dikenal oleh Tuhan.”²⁰

6.5.       Rasionalitas Iman di Era Modern dan Krisis Eksistensial

Dalam konteks modernitas sekuler, rasionalitas teistik menghadapi krisis ganda: krisis iman dan krisis makna.²¹ Sains, teknologi, dan sekularisasi telah menggeser Tuhan dari pusat kosmos menuju pinggiran kesadaran manusia. Namun, seperti ditunjukkan oleh Alister McGrath, kehilangan Tuhan berarti kehilangan horizon makna yang memungkinkan koherensi hidup rasional.²²

Rasionalitas teistik berupaya meneguhkan kembali dimensi spiritual dari rasio — bahwa berpikir adalah juga bentuk berdoa, dan mengetahui adalah partisipasi dalam pengetahuan Ilahi.²³ Dalam pandangan ini, iman bukan pengganti pengetahuan, tetapi pengarahnya; ia memberi orientasi teleologis bagi seluruh aktivitas rasional manusia.²⁴ Oleh karena itu, menghidupi iman secara rasional berarti menghidupi eksistensi secara utuh — menyatukan nalar, moralitas, dan spiritualitas dalam harmoni dengan kehendak Tuhan.²⁵


Sintesis Teologis-Eksistensial: Iman sebagai Rasionalitas Hidup

Pada akhirnya, dimensi teologis dan eksistensial rasionalitas teistik bermuara pada satu sintesis: iman sebagai rasionalitas hidup.²⁶ Iman bukanlah oposisi terhadap akal, melainkan bentuk tertinggi dari rasionalitas yang menuntun manusia kepada kebenaran yang memerdekakan.²⁷ Dalam kerangka ini, teologi bukan sekadar sistem doktrin, tetapi refleksi hidup tentang perjumpaan dengan Tuhan yang rasional dan personal.²⁸

Sebagaimana ditegaskan oleh John Paul II dalam Fides et Ratio, “iman dan akal adalah seperti dua sayap yang dengannya roh manusia naik menuju kontemplasi kebenaran.”²⁹ Maka, rasionalitas teistik tidak berhenti pada penalaran, melainkan menemukan kepenuhannya dalam eksistensi yang terbuka kepada Yang Tak Terbatas — suatu keberadaan yang berpikir, percaya, dan mengasihi dalam terang Logos Ilahi.³⁰


Footnotes

[1]                John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 112–115.

[2]                Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity (San Francisco: Ignatius Press, 2004), 133–136.

[3]                Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 296–298.

[4]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 245–247.

[5]                Augustine, De Magistro, trans. R. P. Russell (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1971), 11–12.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II–II.q.2.a.9.

[7]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 71–73.

[8]                C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 52–54.

[9]                Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 28–30.

[10]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 47–49.

[11]             Emil Brunner, Man in Revolt (Philadelphia: Westminster Press, 1947), 116–119.

[12]             Tillich, Systematic Theology, 231–233.

[13]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 105–108.

[14]             Ibid., 110–112.

[15]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Drama II: The Dramatis Personae: Man in God (San Francisco: Ignatius Press, 1990), 91–94.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 211–214.

[17]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 99–103.

[18]             Joseph Ratzinger, The God of Jesus Christ: Meditations on the Triune God (San Francisco: Ignatius Press, 2008), 52–55.

[19]             John Haldane, “Faith, Reason, and the Life of the Mind,” in Reasonable Faith and the Rationality of Theism, ed. Paul Copan and Paul Moser (London: Routledge, 2003), 83–85.

[20]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 162–165.

[21]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 539–541.

[22]             Alister E. McGrath, The Twilight of Atheism: The Rise and Fall of Disbelief in the Modern World (New York: Doubleday, 2004), 211–214.

[23]             Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 67–69.

[24]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 198–201.

[25]             John Paul II, Crossing the Threshold of Hope (New York: Knopf, 1994), 47–49.

[26]             C. Stephen Evans, Kierkegaard on Faith and the Self (Waco: Baylor University Press, 2006), 121–123.

[27]             Gabriel Marcel, Homo Viator (New York: Harper & Row, 1962), 55–58.

[28]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 187–190.

[29]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.

[30]             Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 133–136.


7.           Kritik terhadap Rasionalitas Teistik

Sejak awal kemunculannya, rasionalitas teistik selalu berada dalam arus perdebatan filosofis antara iman dan rasio, metafisika dan empirisme, wahyu dan sains. Meskipun berupaya menegaskan bahwa iman kepada Tuhan dapat memiliki dasar rasional, proyek ini tidak luput dari kritik tajam. Kritik tersebut datang dari berbagai tradisi: empirisisme, positivisme logis, eksistensialisme ateistik, hingga postmodernisme. Masing-masing mempertanyakan validitas klaim epistemik dan metafisis yang diajukan oleh teisme rasional.¹

7.1.       Kritik Empirisisme dan Positivisme terhadap Rasionalitas Teistik

Kritik pertama terhadap rasionalitas teistik muncul dalam kerangka empirisisme modern, yang menegaskan bahwa seluruh pengetahuan sahih harus berakar pada pengalaman indrawi.² David Hume, dalam Dialogues Concerning Natural Religion, berpendapat bahwa semua argumen rasional tentang Tuhan gagal karena konsep kausalitas dan desain yang digunakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.³ Menurutnya, gagasan tentang Tuhan hanyalah proyeksi psikologis dari keteraturan dunia yang kita amati, bukan bukti akan keberadaan suatu sebab pertama.⁴

Kritik ini diperkuat oleh positivisme logis abad ke-20 yang dikembangkan oleh A. J. Ayer dan lingkaran Wina. Dalam pandangan mereka, proposisi teistik seperti “Tuhan ada” tidak memiliki makna empiris karena tidak dapat diverifikasi melalui observasi atau eksperimen.⁵ Menurut prinsip verifikasi Ayer, hanya dua jenis proposisi yang bermakna: analitik (seperti logika dan matematika) dan empiris (yang dapat diuji secara inderawi).⁶ Karena klaim tentang Tuhan tidak memenuhi kriteria ini, maka seluruh wacana teistik dianggap nonsensikal.⁷

Namun, kritik ini terbukti memiliki kelemahan mendasar. Prinsip verifikasi itu sendiri tidak dapat diverifikasi secara empiris, sehingga bersifat self-refuting.⁸ Para teolog-filsuf seperti John Hick dan Alvin Plantinga menolak pendekatan ini dengan menunjukkan bahwa makna religius tidak harus bersifat empiris, melainkan eksistensial dan simbolik.⁹ Rasionalitas teistik, dengan demikian, tetap memiliki legitimasi epistemologis yang berbeda dari rasionalitas empiris murni.¹⁰

7.2.       Kritik Skeptisisme Epistemik dan Rasionalitas Terbatas

Kritik berikutnya datang dari skeptisisme epistemik, terutama dalam pemikiran Immanuel Kant. Dalam Critique of Pure Reason, Kant berargumen bahwa Tuhan, kebebasan, dan keabadian adalah ide rasional yang berguna, tetapi tidak dapat dibuktikan melalui rasio murni karena melampaui batas pengalaman manusia.¹¹ Dengan kata lain, Tuhan dapat dipikirkan tetapi tidak dapat diketahui secara langsung (cognoscibilis sed non scibilis).¹²

Kant mengakui bahwa ide Tuhan memiliki fungsi regulatif bagi rasio—mengarahkan moralitas dan pengetahuan manusia menuju kesatuan sistematis—namun ia menolak kemungkinan pembuktian ontologis atau kosmologis tentang eksistensi Tuhan.¹³ Dengan demikian, teisme rasional kehilangan dasar pengetahuan objektifnya dan direduksi menjadi postulat moral.¹⁴

Skeptisisme epistemik kemudian diperluas oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus, yang menegaskan bahwa “tentang hal-hal yang tidak dapat dibicarakan, kita harus berdiam diri.”¹⁵ Kalimat ini sering ditafsirkan sebagai pembatasan bahasa religius: rasionalitas teistik tidak dapat mengekspresikan realitas transenden tanpa melampaui batas logika bahasa.¹⁶ Namun, para pemikir seperti D. Z. Phillips dan John Macquarrie kemudian mengembangkan teologi bahasa permainan (language game theology) untuk menunjukkan bahwa bahasa iman memiliki rasionalitas tersendiri dalam konteks praksis religius.¹⁷

7.3.       Kritik Eksistensialisme Ateistik

Rasionalitas teistik juga dikritik secara mendalam oleh eksistensialisme ateistik, terutama oleh Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Sartre menolak gagasan Tuhan karena dianggap membatasi kebebasan manusia.¹⁸ Jika Tuhan adalah sumber nilai dan makna, maka manusia tidak benar-benar bebas, sebab ia hanya merealisasikan kehendak ilahi.¹⁹ Dalam pandangannya, keberadaan mendahului esensi: manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri tanpa rujukan kepada entitas transenden.²⁰

Camus menambahkan bahwa dunia ini pada dasarnya absurd, dan upaya teistik untuk menalar Tuhan merupakan bentuk “pelarian dari absurditas eksistensi.”²¹ Ia menolak baik iman religius maupun nihilisme total, dan memilih “pemberontakan eksistensial” yang menerima absurditas tanpa ilusi metafisis.²² Kritik ini menyoroti aspek eksistensial rasionalitas teistik: jika dunia absurd, maka setiap usaha mencari makna transendental tampak seperti usaha sia-sia.²³

Namun, Gabriel Marcel dan Paul Tillich menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa justru dalam pengalaman keterbatasan dan absurditas itulah manusia menemukan dimensi transendental.²⁴ Rasionalitas teistik bukanlah usaha menghindari absurditas, melainkan cara untuk menafsirkannya dalam horizon makna yang lebih luas — yakni keterbukaan kepada misteri ilahi.²⁵

7.4.       Kritik Postmodern: Relativisme dan Dekonstruksi Kebenaran

Kritik kontemporer terhadap rasionalitas teistik muncul dari arus postmodernisme, yang menolak klaim universal tentang kebenaran rasional.²⁶ Tokoh seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Jean-François Lyotard berpendapat bahwa setiap bentuk rasionalitas adalah konstruksi kekuasaan dan wacana, bukan refleksi objektif atas realitas.²⁷ Dalam kerangka ini, rasionalitas teistik dianggap sebagai salah satu “metanarasi” yang berpretensi universal namun sebenarnya bersifat hegemonik.²⁸

Foucault menyoroti bagaimana wacana religius sering digunakan untuk menegakkan struktur kekuasaan moral; sedangkan Derrida menunjukkan bahwa konsep Tuhan selalu terbentuk melalui permainan tanda-tanda yang tidak pernah stabil (différance).²⁹ Akibatnya, rasionalitas teistik kehilangan statusnya sebagai dasar kebenaran universal dan hanya menjadi satu narasi di antara sekian banyak narasi yang saling bersaing.³⁰

Meski demikian, sejumlah teolog seperti Jean-Luc Marion dan John Milbank berupaya merehabilitasi rasionalitas teistik melalui pendekatan teologi pasca-metafisis.³¹ Marion, dalam God Without Being, berargumen bahwa Tuhan melampaui kategori rasionalitas metafisis, namun tetap dapat dialami secara fenomenologis sebagai “pemberian yang berlimpah” (saturated phenomenon).³² Sementara Milbank, melalui proyek Radical Orthodoxy, menegaskan bahwa iman Kristen menawarkan rasionalitas alternatif yang berakar pada kasih dan liturgi, bukan pada dominasi diskursif.³³

7.5.       Kritik Internal: Risiko Reduksionisme Rasional dalam Teologi

Selain kritik eksternal, rasionalitas teistik juga menghadapi kritik internal dari kalangan teolog sendiri. Bahayanya terletak pada reduksi rasionalitas iman ke dalam sistem logis yang kaku.³⁴ Karl Barth memperingatkan bahwa setiap upaya membuktikan Tuhan dengan logika manusia berpotensi mengobjektifikasi-Nya, menjadikan Tuhan sekadar entitas dalam sistem metafisis.³⁵ Dalam pandangan Barth, iman tidak boleh tunduk pada kriteria rasionalitas duniawi, tetapi harus tunduk pada inisiatif wahyu.³⁶

Paul Tillich menawarkan jalan tengah: rasionalitas teistik tidak boleh direduksi menjadi rasionalisme, tetapi juga tidak boleh jatuh ke dalam fideisme.³⁷ Ia menegaskan perlunya reason of participation, yaitu rasionalitas yang berakar dalam keterlibatan eksistensial dengan Tuhan, bukan jarak intelektual semata.³⁸ Dengan demikian, kritik internal ini mengingatkan bahwa rasionalitas teistik hanya sah sejauh ia tetap terbuka terhadap misteri dan tidak menggantikan iman dengan spekulasi.³⁹


Evaluasi Kritis: Rasionalitas Teistik sebagai Rasionalitas Terbuka

Dari seluruh kritik tersebut, tampak bahwa rasionalitas teistik harus dimengerti bukan sebagai sistem dogmatis yang tertutup, tetapi sebagai rasionalitas terbuka dan dialogis.⁴⁰ Ia bukan sekadar menegaskan keberadaan Tuhan melalui argumen formal, melainkan membuka ruang bagi dialog antara iman, sains, dan filsafat.⁴¹

Rasionalitas teistik mampu bertahan justru karena kesediaannya untuk dikoreksi, direfleksikan, dan dihidupi secara eksistensial.⁴² Sebagaimana dinyatakan oleh John Paul II, iman yang sejati tidak takut kepada rasio, sebab keduanya berasal dari sumber yang sama: kebenaran.⁴³ Dengan demikian, kritik terhadap rasionalitas teistik tidak melemahkannya, melainkan memperkaya dan memperdalam pemahamannya sebagai upaya manusia untuk berpikir secara jujur di hadapan Tuhan yang tak terbatas.⁴⁴


Footnotes

[1]                John Cottingham, The Spiritual Dimension (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 145–147.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), IV.19.

[3]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard H. Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1980), 39–45.

[4]                Ibid., 73–76.

[5]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 33–35.

[6]                Ibid., 37.

[7]                Antony Flew, “Theology and Falsification,” University 13 (1950): 96–99.

[8]                William Lane Craig, Reasonable Faith (Wheaton: Crossway, 2008), 39–41.

[9]                John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1957), 29–32.

[10]             Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 114–117.

[11]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A631/B659–A642/B670.

[12]             Paul Copan, Loving Wisdom: Christian Philosophy of Religion (St. Louis: Chalice Press, 2007), 55–57.

[13]             Kant, Critique of Pure Reason, A667/B695.

[14]             Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Scribner, 1938), 47–49.

[15]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 1922), §7.

[16]             Anthony Kenny, Wittgenstein (Harmondsworth: Penguin, 1973), 101–103.

[17]             D. Z. Phillips, Faith and Philosophical Enquiry (London: Routledge, 1970), 21–24.

[18]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 567–571.

[19]             Ibid., 576–579.

[20]             Ibid., 582.

[21]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–34.

[22]             Ibid., 54–56.

[23]             Colin Wilson, Religion and the Rebel (Boston: Houghton Mifflin, 1957), 145–147.

[24]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 77–79.

[25]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 161–163.

[26]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[27]             Michel Foucault, Power/Knowledge, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 92–94.

[28]             Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–281.

[29]             Ibid., 283.

[30]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 356–359.

[31]             Jean-Luc Marion, God Without Being, trans. Thomas Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 14–16.

[32]             Ibid., 33–36.

[33]             John Milbank, Theology and Social Theory (Oxford: Blackwell, 1990), 422–425.

[34]             Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 233–236.

[35]             Ibid., 241.

[36]             Ibid., 247.

[37]             Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 243–246.

[38]             Ibid., 250–252.

[39]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 112–114.

[40]             John Haldane, “Faith, Reason, and the Life of the Mind,” in Reasonable Faith and the Rationality of Theism, ed. Paul Copan and Paul Moser (London: Routledge, 2003), 89–91.

[41]             Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 138–140.

[42]             Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 91–93.

[43]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §23.

[44]             Cottingham, Philosophy of Religion, 215–217.


8.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks dunia modern yang ditandai oleh sekularisasi, relativisme nilai, dan kemajuan teknologi ilmiah, rasionalitas teistik memperoleh kembali signifikansinya sebagai paradigma filosofis yang menawarkan integrasi antara iman dan rasio, antara sains dan makna, antara kebebasan manusia dan keterarahan kosmik. Rasionalitas ini menghadirkan alternatif epistemologis dan etis terhadap pandangan dunia yang terfragmentasi, sekaligus memulihkan horizon spiritual dari pengetahuan manusia.¹

8.1.       Rasionalitas Teistik dan Sains Modern

Salah satu relevansi paling menonjol dari rasionalitas teistik adalah kemampuannya untuk membangun dialog kritis antara iman dan sains. Dalam era di mana naturalisme ilmiah sering diartikan sebagai ateisme metodologis, rasionalitas teistik menegaskan bahwa keteraturan alam semesta justru menunjuk pada fondasi rasional yang transenden.² Albert Einstein sendiri pernah menyatakan bahwa “hal yang paling tak dapat dipahami tentang alam semesta adalah bahwa ia dapat dipahami.”³ Keteraturan logis ini, dalam pandangan teistik, merupakan manifestasi dari Logos Ilahi yang membuat alam semesta dapat dikenali oleh akal manusia.⁴

John Polkinghorne, seorang fisikawan sekaligus teolog, berargumen bahwa hukum-hukum alam yang teratur dan koheren bukanlah kebetulan, melainkan ekspresi dari “rasionalitas ilahi yang tertanam dalam ciptaan.”⁵ Dengan demikian, sains dan iman tidak harus dipertentangkan, sebab keduanya berakar pada keyakinan yang sama: bahwa realitas dapat dipahami secara rasional.⁶ Dalam kerangka ini, rasionalitas teistik menjadi jembatan epistemologis antara metodologi ilmiah dan pemahaman teologis tentang dunia.⁷

8.2.       Rasionalitas Teistik dalam Pluralisme Agama dan Etika Global

Rasionalitas teistik juga memiliki peran penting dalam dialog antaragama dan pembentukan etika global. Di tengah meningkatnya pluralisme dan konflik identitas, pandangan teistik yang rasional dapat menyediakan dasar dialogis yang tidak bersifat eksklusif.⁸ John Hick, melalui konsep “realitas transenden” (the Real), menegaskan bahwa berbagai tradisi keagamaan berupaya menanggapi realitas ilahi yang sama melalui medium rasionalitas dan budaya yang berbeda.⁹

Pandangan ini memperluas horizon rasionalitas teistik dari sekadar pembenaran iman partikular menuju rasionalitas interreligius, yang membuka ruang bagi kerja sama moral lintas tradisi.¹⁰ Hans Küng melalui proyek Global Ethic menegaskan bahwa perdamaian dunia tidak mungkin tanpa fondasi etika global, dan etika global tidak mungkin tanpa dasar teistik yang rasional.¹¹ Dengan demikian, rasionalitas teistik berperan sebagai fondasi normatif bagi solidaritas kemanusiaan yang berakar pada martabat universal manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.¹²

8.3.       Rasionalitas Teistik dan Krisis Makna Modernitas

Dunia kontemporer diwarnai oleh krisis makna akibat nihilisme eksistensial dan reduksi rasio menjadi instrumen teknologis.¹³ Martin Heidegger menyebut kondisi ini sebagai “peninggalan metafisika” (Seinsvergessenheit), di mana manusia melupakan pertanyaan tentang keberadaan dan hanya mengejar efisiensi.¹⁴ Rasionalitas teistik menawarkan alternatif melalui pemulihan teleologi — bahwa akal bukan hanya alat untuk menguasai dunia, melainkan sarana untuk memahami makna terdalam keberadaan.¹⁵

Dalam kerangka ini, iman dan akal kembali disatukan dalam pencarian makna hidup yang integral. Viktor Frankl menegaskan bahwa kehilangan orientasi spiritual menyebabkan kehampaan eksistensial, sementara kesadaran akan makna transenden memulihkan keseimbangan psikis dan moral manusia.¹⁶ Rasionalitas teistik, yang berakar pada kesadaran akan Tuhan sebagai sumber makna tertinggi, membantu manusia modern keluar dari jebakan absurditas dan relativisme.¹⁷

8.4.       Rasionalitas Teistik dalam Filsafat Lingkungan dan Etika Ekologis

Krisis ekologis global menuntut paradigma rasional yang tidak hanya teknis, tetapi juga teologis. Rasionalitas teistik berperan penting dalam membangun etika ekologis yang melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai ciptaan rasional yang merefleksikan kebijaksanaan Tuhan.¹⁸ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis ekologi modern bersumber dari “sekularisasi kosmos,” yakni hilangnya kesadaran sakral terhadap alam.¹⁹

Rasionalitas teistik mengembalikan kesadaran bahwa keteraturan ekologis adalah manifestasi dari Logos Ilahi, sehingga penghormatan terhadap alam menjadi bagian dari penghormatan terhadap Tuhan.²⁰ Dengan demikian, ia menjadi dasar bagi ekoteologi rasional, yang memadukan keilmuan modern dengan spiritualitas ekologis.²¹

8.5.       Rasionalitas Teistik dan Etika Teknologi Digital

Dalam era digital, rasionalitas teistik juga memiliki relevansi yang mendalam. Teknologi telah memperluas kemampuan manusia secara luar biasa, tetapi sekaligus menimbulkan dilema etis dan eksistensial.²² Tanpa orientasi teistik, rasionalitas digital berisiko menjadi nihilistik—menjadikan efisiensi dan kontrol sebagai nilai tertinggi.²³ Jacques Ellul telah memperingatkan bahwa masyarakat teknologis cenderung mengorbankan dimensi moral demi kemajuan teknis.²⁴

Rasionalitas teistik menghadirkan koreksi terhadap tendensi ini dengan menegaskan bahwa teknologi harus diarahkan pada kebaikan manusia sebagai makhluk bermartabat dan rasional.²⁵ Prinsip teistik menuntun pengembangan teknologi agar berorientasi pada imago Dei—yakni manusia sebagai citra rasional Tuhan yang menciptakan bukan untuk mendominasi, melainkan melayani kehidupan.²⁶ Dengan demikian, rasionalitas teistik menjadi landasan etis bagi kemanusiaan digital yang berkeadilan dan berbelas kasih.²⁷

8.6.       Rasionalitas Teistik dan Spiritualitas Publik

Akhirnya, dalam konteks kehidupan sosial-politik, rasionalitas teistik relevan untuk menghidupkan kembali spiritualitas publik—yakni orientasi moral dan rasional yang menuntun kehidupan bersama.²⁸ Di tengah meningkatnya polarisasi ideologis, rasionalitas teistik menawarkan dasar dialog moral yang menggabungkan keadilan dan kasih, hukum dan kebijaksanaan.²⁹

Sebagaimana ditekankan oleh John Paul II dalam Fides et Ratio, masyarakat yang memisahkan iman dari rasio akan kehilangan arah moralnya.³⁰ Oleh karena itu, rasionalitas teistik bukan sekadar doktrin religius, melainkan etos rasionalitas integratif yang mampu memulihkan kesatuan antara pikiran, moralitas, dan spiritualitas dalam kehidupan publik.³¹ Ia menuntun manusia menuju bentuk peradaban yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara moral.³²


Footnotes

[1]                John Cottingham, The Spiritual Dimension (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 211–214.

[2]                Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 87–89.

[3]                Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349–382.

[4]                Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 3–5.

[5]                John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 21–24.

[6]                Ian Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 105–107.

[7]                Arthur Peacocke, Theology for a Scientific Age (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 65–68.

[8]                Leonard Swidler, Toward a Universal Theology of Religion (Maryknoll: Orbis Books, 1987), 9–12.

[9]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 240–243.

[10]             Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 33–35.

[11]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 23–25.

[12]             Paul Ricoeur, Reflections on the Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 115–118.

[13]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 539–541.

[14]             Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–5.

[15]             Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 92–95.

[16]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 109–112.

[17]             Gabriel Marcel, Homo Viator (New York: Harper & Row, 1962), 62–64.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–6.

[19]             Ibid., 14–17.

[20]             Larry Rasmussen, Earth Community, Earth Ethics (Maryknoll: Orbis Books, 1996), 98–101.

[21]             Alister McGrath, The Reenchantment of Nature (New York: Doubleday, 2002), 122–125.

[22]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 17–20.

[23]             Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 201–204.

[24]             Jacques Ellul, The Technological Society (New York: Vintage Books, 1964), 138–141.

[25]             Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 77–79.

[26]             Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §65–67.

[27]             C. Stephen Evans, God and Moral Obligation (Oxford: Oxford University Press, 2013), 188–191.

[28]             Nicholas Wolterstorff, Justice in Love (Grand Rapids: Eerdmans, 2011), 55–58.

[29]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 102–105.

[30]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §46.

[31]             Paul Tillich, Love, Power, and Justice (Oxford: Oxford University Press, 1954), 55–58.

[32]             John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 221–224.


9.           Sintesis Filosofis

Rasionalitas teistik, sebagaimana telah dianalisis dalam dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, dan eksistensialnya, menampakkan dirinya sebagai kerangka filosofis integratif yang menolak dikotomi antara akal dan iman, antara metafisika dan moralitas, antara sains dan spiritualitas. Dalam sintesis ini, rasionalitas bukan hanya kapasitas kognitif manusia untuk berpikir secara logis, tetapi partisipasi ontologis dalam Logos Ilahi, sumber kebenaran dan makna segala sesuatu.¹

9.1.       Integrasi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Rasionalitas teistik memperlihatkan bahwa ada hubungan intrinsik antara Being (ada), Knowing (mengetahui), dan Valuing (menilai).² Tuhan, sebagai ipsum esse subsistens—keberadaan itu sendiri—menjadi dasar dari segala pengetahuan yang benar dan kebaikan yang sejati.³ Ontologi memberikan fondasi keberadaan, epistemologi menjelaskan bagaimana manusia mengenal-Nya, dan aksiologi mengarahkan manusia untuk hidup dalam kebaikan yang bersumber pada Tuhan.

Dalam kerangka ini, pengetahuan yang benar tidak mungkin terpisah dari nilai moral dan kebenaran eksistensial.⁴ Sebagaimana dinyatakan Josef Pieper, kebijaksanaan sejati adalah pengetahuan yang terarah pada kebaikan tertinggi.⁵ Maka, rasionalitas teistik menyatukan dimensi intelektual dan etis dalam horizon transendental, di mana pengetahuan menjadi jalan menuju kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi partisipasi dalam kebenaran ilahi.⁶

9.2.       Iman sebagai Rasionalitas Transendental

Dalam perspektif sintetik, iman tidak lagi diposisikan sebagai oposisi terhadap rasio, melainkan sebagai puncak dari rasionalitas itu sendiri.⁷ Thomas Aquinas menyatakan bahwa iman mengatasi akal tanpa meniadakannya; iman melengkapi rasio sebagaimana rahmat menyempurnakan kodrat.⁸ Sementara John Paul II menegaskan bahwa iman dan akal adalah “dua sayap jiwa manusia” yang membawanya terbang menuju kebenaran.⁹

Rasionalitas teistik dengan demikian bersifat transendental—yakni, rasionalitas yang terbuka pada misteri dan tidak menutup diri dalam sistem logika tertutup.¹⁰ Ia menolak baik reduksionisme ilmiah yang meniadakan Tuhan maupun fideisme yang menolak refleksi kritis.¹¹ Dalam sintesis ini, iman menjadi ekspresi tertinggi dari akal yang sadar akan keterbatasannya sekaligus keterarahannya kepada Yang Tak Terbatas.¹²

9.3.       Logos sebagai Prinsip Penyatu Realitas

Salah satu puncak sintesis rasionalitas teistik terletak pada konsep Logos sebagai prinsip kesatuan ontologis dan epistemologis seluruh realitas. Logos bukan sekadar hukum rasional yang mengatur dunia, tetapi prinsip personal yang mengandung makna dan tujuan dari segala sesuatu.¹³ Dalam konteks ini, manusia sebagai imago Dei dipanggil untuk meniru rasionalitas ilahi dalam kehidupannya: berpikir secara benar, mencintai secara benar, dan bertindak sesuai kebenaran.¹⁴

Sebagaimana dijelaskan oleh Joseph Ratzinger, iman Kristen pada dasarnya adalah kepercayaan kepada Logos—bahwa realitas bersifat rasional karena berasal dari Tuhan yang rasional.¹⁵ Dengan demikian, rasionalitas teistik tidak hanya menegaskan coherence dalam tatanan kosmos, tetapi juga meaningfulness dalam eksistensi manusia.¹⁶ Segala sesuatu memiliki tujuan karena segala sesuatu berakar pada Logos yang memberi makna.¹⁷

9.4.       Rasionalitas sebagai Jalan Menuju Keutuhan Manusia

Rasionalitas teistik juga berfungsi sebagai paradigma humanistik yang utuh. Manusia, dalam pandangan ini, bukan hanya makhluk berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang mencari makna (homo viator) dan penyembah (homo adorans).¹⁸ Maka, berpikir rasional tidak hanya berarti berargumentasi secara logis, tetapi juga membuka diri terhadap keindahan, kebenaran, dan kebaikan yang bersumber dari Tuhan.¹⁹

Dengan demikian, rasionalitas teistik mengatasi fragmentasi modern antara intelektualitas dan spiritualitas. Ia memulihkan kesadaran bahwa berpikir adalah bentuk pengabdian, dan pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang memanusiakan.²⁰ Dalam istilah Gabriel Marcel, rasionalitas teistik adalah “pencerahan yang lahir dari kasih,” bukan dominasi intelektual.²¹

9.5.       Dialog antara Iman, Sains, dan Budaya

Dalam sintesis filosofisnya, rasionalitas teistik memandang iman dan sains sebagai dua bentuk partisipasi dalam Logos yang sama.²² Sains menyingkap keteraturan ciptaan, sedangkan iman menyingkap makna di balik keteraturan itu.²³ Keduanya tidak harus bertentangan, sebab keduanya lahir dari keyakinan fundamental bahwa dunia ini dapat dipahami secara rasional.²⁴

Selain itu, rasionalitas teistik bersifat inklusif terhadap budaya dan sejarah. Ia tidak menolak pluralitas penafsiran, tetapi mengintegrasikannya dalam horizon kebenaran yang lebih luas.²⁵ Dengan demikian, rasionalitas teistik menjadi dasar bagi civilization of dialogue — peradaban dialog yang menghormati perbedaan tanpa kehilangan orientasi terhadap kebenaran universal.²⁶

9.6.       Rasionalitas Terbuka: Dari Argumentasi ke Kontemplasi

Rasionalitas teistik akhirnya menemukan puncaknya bukan dalam perdebatan intelektual, tetapi dalam kontemplasi, yaitu kesadaran reflektif yang menyatukan pengetahuan dan kasih.²⁷ Edith Stein menyebut hal ini sebagai “rasionalitas yang berdoa” — bentuk tertinggi dari berpikir, di mana subjek tidak lagi menguasai objek, melainkan terpesona oleh kehadiran kebenaran.²⁸

Dengan demikian, rasionalitas teistik bersifat terbuka dan partisipatif, selalu siap untuk dikoreksi, diperdalam, dan dihidupi.²⁹ Ia bukan sistem yang tertutup, melainkan jalan menuju kebijaksanaan yang hidup.³⁰ Dalam sintesis filosofis ini, iman tidak lagi berdiri di luar rasionalitas, melainkan menjadi jantungnya — intellectus fidei yang mengubah berpikir menjadi bentuk penghormatan terhadap Kebenaran yang hidup.³¹

7. Konvergensi Akhir: Rasio yang Mengabdi kepada Misteri

Sintesis rasionalitas teistik mencapai puncaknya dalam kesadaran bahwa rasio sejati tidak menguasai misteri, tetapi mengabdi kepadanya.³² Tuhan bukanlah objek yang ditundukkan oleh argumen, melainkan subjek mutlak yang mengundang manusia untuk berpikir dalam terang kasih dan kebenaran-Nya.³³

Dalam pandangan ini, rasionalitas teistik adalah perpaduan antara intelek dan kontemplasi, antara pengetahuan dan penyembahan.³⁴ Ia mengubah logika menjadi doa, dan epistemologi menjadi jalan spiritual.³⁵ Seperti ditegaskan Karl Rahner, “manusia adalah makhluk yang bertanya karena ia telah disentuh oleh Misteri yang tak terkatakan.”³⁶ Oleh karena itu, rasionalitas teistik tidak berakhir pada proposisi, tetapi pada relasi — relasi antara manusia dan Tuhan, antara akal dan iman, antara kebenaran dan cinta.³⁷


Footnotes

[1]                John Cottingham, Philosophy of Religion: Towards a More Humane Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 225–228.

[2]                Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1969), 12–14.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.3.a.4.

[4]                Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 81–83.

[5]                Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture (South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 45–47.

[6]                Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 129–132.

[7]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 244–247.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.9.

[9]                John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.

[10]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 117–120.

[11]             Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 145–148.

[12]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 208–211.

[13]             Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity (San Francisco: Ignatius Press, 2004), 133–136.

[14]             Augustine, De Magistro, trans. R. P. Russell (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1971), 13–15.

[15]             Ratzinger, The God of Jesus Christ: Meditations on the Triune God (San Francisco: Ignatius Press, 2008), 47–49.

[16]             William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 201–204.

[17]             C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 63–65.

[18]             Gabriel Marcel, Homo Viator (New York: Harper & Row, 1962), 53–55.

[19]             John Haldane, “Virtue Ethics and the Rational Life,” Proceedings of the Aristotelian Society 95 (1995): 55–73.

[20]             John Cottingham, The Spiritual Dimension (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 217–220.

[21]             Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 101–103.

[22]             Ian Barbour, Religion and Science (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 113–116.

[23]             John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 21–23.

[24]             Arthur Peacocke, Theology for a Scientific Age (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 71–73.

[25]             Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 42–44.

[26]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 64–66.

[27]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 162–165.

[28]             Edith Stein, Finite and Eternal Being, trans. Kurt Reinhardt (Washington, D.C.: ICS Publications, 2002), 213–216.

[29]             Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds of Religion (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 111–113.

[30]             Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 205–208.

[31]             Anselm K. Min, Paths to the Triune God (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2005), 134–136.

[32]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 244–247.

[33]             Jean-Luc Marion, God Without Being, trans. Thomas Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 38–41.

[34]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 211–214.

[35]             Paul Ricoeur, Reflections on the Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 118–120.

[36]             Karl Rahner, Hearer of the Word, trans. Joseph Donceel (New York: Continuum, 1994), 101–103.

[37]             John Paul II, Crossing the Threshold of Hope (New York: Knopf, 1994), 59–61.


10.       Kesimpulan

Rasionalitas teistik, dalam keseluruhan bangun filsafatnya, menghadirkan sintesis integral antara iman, akal, dan eksistensi manusia. Ia menolak dua ekstrem: di satu sisi, rasionalisme reduksionis yang berusaha menjadikan Tuhan sekadar objek dari logika manusia; di sisi lain, fideisme dogmatis yang menyingkirkan rasio dari medan teologi.¹ Rasionalitas teistik justru berakar pada kesadaran bahwa Tuhan adalah sumber dan horizon dari setiap tindakan berpikir, sehingga rasio manusia menemukan maknanya dalam partisipasi terhadap rasionalitas Ilahi.²

10.1.    Rasionalitas sebagai Partisipasi dalam Logos

Rasionalitas teistik tidak memandang akal sebagai kekuatan otonom, melainkan sebagai partisipasi ontologis dalam Logos, yaitu prinsip rasional dan personal yang menopang seluruh realitas.³ Logos bukan hanya konsep metafisis, melainkan realitas ilahi yang menciptakan dan memberi makna.⁴ Maka, berpikir secara rasional berarti berpikir dalam dan bersama dengan keteraturan yang diciptakan oleh Tuhan.⁵ Dalam horizon ini, rasionalitas manusia bersifat reflektif dan partisipatif, bukan kompetitif terhadap kebijaksanaan ilahi.⁶

10.2.    Rasionalitas Iman dan Keterbatasan Akal

Rasionalitas teistik menegaskan bahwa iman bukanlah antitesis dari pengetahuan, melainkan bentuk rasionalitas tertinggi yang menyadari keterbatasan manusia dalam memahami Yang Tak Terbatas.⁷ Thomas Aquinas menulis bahwa akal dapat mengenal Tuhan sejauh efek-Nya tampak dalam ciptaan, tetapi misteri hakikat Tuhan tetap melampaui segala pemahaman manusia.⁸ Dengan demikian, iman memperluas jangkauan rasio tanpa meniadakan otonominya.

Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich, iman adalah “keberanian untuk menerima bahwa diri manusia diterima oleh realitas yang lebih besar dari dirinya.”⁹ Rasionalitas iman menuntut kerendahan hati intelektual, karena berpikir tentang Tuhan berarti berpikir dalam kesadaran akan keterbatasan.¹⁰ Dalam konteks ini, rasionalitas teistik menjadi rasionalitas yang berlutut — suatu rasio yang mencari kebenaran bukan untuk menguasai, tetapi untuk berpartisipasi dalam kasih dan kebenaran Tuhan.¹¹

10.3.    Etika, Keadilan, dan Kebijaksanaan sebagai Buah Rasionalitas Teistik

Rasionalitas teistik melahirkan implikasi etis dan sosial yang mendalam. Jika Tuhan adalah sumber kebaikan objektif, maka moralitas dan keadilan memperoleh dasar yang kokoh dalam rasionalitas ilahi.¹² Tanpa fondasi teistik, nilai moral menjadi relatif dan kehilangan arah teleologisnya.¹³ Karena itu, etika teistik bukan hanya seperangkat norma religius, tetapi refleksi rasional terhadap struktur kebaikan yang berakar pada keberadaan Tuhan.¹⁴

Alasdair MacIntyre menegaskan bahwa masyarakat modern kehilangan arah moral karena memutuskan diri dari sumber nilai yang transenden.¹⁵ Rasionalitas teistik hadir sebagai koreksi atas disorientasi tersebut: ia memulihkan keterhubungan antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan sebagai triadik nilai ilahi.¹⁶ Dalam praksisnya, hal ini menuntun manusia untuk hidup secara rasional sekaligus bermoral, menjadikan pengetahuan sebagai sarana untuk mencintai dan melayani kehidupan.¹⁷

10.4.    Relevansi Teistik di Tengah Krisis Modernitas

Dalam era sekular dan teknologis, rasionalitas teistik menjadi alternatif terhadap nihilisme epistemologis dan krisis makna.¹⁸ Ia mengingatkan bahwa rasio tanpa orientasi teologis akan kehilangan arah etis dan eksistensial.¹⁹ Sebaliknya, iman tanpa refleksi rasional akan mudah tergelincir dalam fanatisme dan irasionalitas.²⁰ Maka, rasionalitas teistik berfungsi sebagai penengah dialektis antara pengetahuan empiris dan hikmat transendental.²¹

Sebagaimana dikatakan oleh John Paul II dalam Fides et Ratio, “iman dan akal adalah dua sayap yang membawa jiwa manusia menuju kontemplasi kebenaran.”²² Pandangan ini menegaskan bahwa kemajuan sains dan teknologi seharusnya berjalan seiring dengan pendalaman spiritualitas dan kebijaksanaan etis.²³ Dalam hal ini, rasionalitas teistik tidak menolak modernitas, melainkan menguduskannya—menempatkan pengetahuan dalam horizon makna yang mengarah kepada kebaikan tertinggi.²⁴

10.5.    Rasionalitas sebagai Jalan Menuju Misteri

Pada puncaknya, rasionalitas teistik menegaskan bahwa berpikir secara rasional berarti melangkah menuju misteri, bukan menjauhinya.²⁵ Tuhan bukan objek penyelidikan yang dapat ditundukkan, melainkan realitas yang menampakkan diri-Nya kepada rasio dalam cinta dan kebenaran.²⁶ Dalam kesadaran ini, rasio menjadi bentuk ibadah — suatu cara bagi manusia untuk mengenal dan mencintai Tuhan dengan seluruh kapasitas intelektualnya.²⁷

Sebagaimana diungkapkan oleh Gabriel Marcel, “rasionalitas sejati adalah keterbukaan terhadap misteri yang tidak dapat direduksi menjadi rumus.”²⁸ Dengan demikian, rasionalitas teistik menolak pandangan dunia yang tertutup: ia mengakui misteri sebagai bagian dari kebenaran, bukan ancaman terhadapnya.²⁹ Dalam kesatuan antara iman dan rasio inilah manusia menemukan kebebasan, makna, dan arah eksistensialnya yang sejati.³⁰


Penutup: Rasio yang Beriman, Iman yang Berpikir

Rasionalitas teistik bukanlah doktrin statis, tetapi proses dialogis dan dinamis yang terus berkembang seiring dengan kesadaran manusia akan kebenaran.³¹ Ia menegaskan bahwa berpikir dan beriman adalah dua bentuk ketaatan terhadap Logos yang sama.³² Iman yang sejati tidak menolak pertanyaan, dan rasio yang sejati tidak menolak kekaguman.

Pada akhirnya, rasionalitas teistik mengembalikan manusia kepada hakikatnya sebagai makhluk yang berpikir karena percaya dan percaya karena berpikir.³³ Ia adalah jalan menuju kesatuan antara pengetahuan dan kasih, antara kebijaksanaan dan penyembahan — suatu filsafat keberadaan yang berakar pada misteri Tuhan dan terarah kepada kebenaran yang membebaskan.³⁴


Footnotes

[1]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 243–246.

[2]                John Cottingham, The Spiritual Dimension (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 229–232.

[3]                Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity (San Francisco: Ignatius Press, 2004), 134–136.

[4]                Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 211–214.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.9.

[6]                Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic I: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 2000), 216–219.

[7]                Alister E. McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 150–153.

[8]                Aquinas, Summa Theologiae, I.q.12.a.12.

[9]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 162–164.

[10]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 120–123.

[11]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 91–94.

[12]             William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 211–214.

[13]             John Haldane, “Virtue Ethics and the Rational Life,” Proceedings of the Aristotelian Society 95 (1995): 61–63.

[14]             C. Stephen Evans, God and Moral Obligation (Oxford: Oxford University Press, 2013), 149–151.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 221–223.

[16]             Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 139–141.

[17]             Nicholas Wolterstorff, Justice: Rights and Wrongs (Princeton: Princeton University Press, 2008), 75–77.

[18]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 727–730.

[19]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 356–359.

[20]             Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 189–191.

[21]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 199–201.

[22]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.

[23]             Ian Barbour, Religion and Science (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 120–122.

[24]             Alister McGrath, The Twilight of Atheism: The Rise and Fall of Disbelief in the Modern World (New York: Doubleday, 2004), 212–215.

[25]             Karl Rahner, Hearer of the Word, trans. Joseph Donceel (New York: Continuum, 1994), 101–103.

[26]             Jean-Luc Marion, God Without Being, trans. Thomas Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 37–39.

[27]             Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture (South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 49–51.

[28]             Marcel, Homo Viator (New York: Harper & Row, 1962), 57–59.

[29]             Paul Ricoeur, Reflections on the Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 121–123.

[30]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 247–250.

[31]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic II: Truth of God (San Francisco: Ignatius Press, 2004), 301–304.

[32]             Cottingham, Philosophy of Religion, 239–241.

[33]             Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), XI.2.

[34]             John Paul II, Crossing the Threshold of Hope (New York: Knopf, 1994), 59–61.


Daftar Pustaka

Adams, R. M. (1999). Finite and infinite goods: A framework for ethics. Oxford University Press.

Aquinas, T. (1920). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aquinas, T. (1955). Summa Contra Gentiles (A. C. Pegis, Trans.). University of Notre Dame Press.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Augustine. (1971). De magistro (R. P. Russell, Trans.). Bobbs-Merrill.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Barbour, I. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. HarperSanFrancisco.

Balthasar, H. U. von. (1990). Theo-drama II: The dramatis personae: Man in God (G. Harrison, Trans.). Ignatius Press.

Balthasar, H. U. von. (2000). Theo-logic I: Truth of the world (A. Walker, Trans.). Ignatius Press.

Balthasar, H. U. von. (2004). Theo-logic II: Truth of God (A. Walker, Trans.). Ignatius Press.

Barth, K. (1936). Church dogmatics I/1 (G. W. Bromiley, Trans.). T&T Clark.

Brunner, E. (1947). Man in revolt. Westminster Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage.

Carr, N. (2010). The shallows: What the Internet is doing to our brains. W. W. Norton.

Cottingham, J. (2005). The spiritual dimension. Cambridge University Press.

Cottingham, J. (2014). Philosophy of religion: Towards a more humane approach. Cambridge University Press.

Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.

Davies, B. (2004). An introduction to the philosophy of religion (3rd ed.). Oxford University Press.

Davies, P. (1992). The mind of God: The scientific basis for a rational world. Simon & Schuster.

Einstein, A. (1936). Physics and reality. Journal of the Franklin Institute, 221(3), 349–382.

Ellul, J. (1964). The technological society (J. Wilkinson, Trans.). Vintage Books.

Evans, C. S. (1998). Faith beyond reason. Eerdmans.

Evans, C. S. (2013). God and moral obligation. Oxford University Press.

Evans, C. S. (2006). Kierkegaard on faith and the self. Baylor University Press.

Flew, A. (1950). Theology and falsification. University, 13, 96–99.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Gilson, É. (1949). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, É. (1991). The spirit of mediaeval philosophy. University of Notre Dame Press.

Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the Middle Ages. Scribner.

Haldane, J. (1995). Virtue ethics and the rational life. Proceedings of the Aristotelian Society, 95, 55–73.

Haldane, J. (2003). Faith, reason, and the life of the mind. In P. Copan & P. Moser (Eds.), Reasonable faith and the rationality of theism (pp. 83–91). Routledge.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Hick, J. (1957). Faith and knowledge. Cornell University Press.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent. Yale University Press.

Hume, D. (1980). Dialogues concerning natural religion (R. H. Popkin, Ed.). Hackett Publishing.

Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.

Jaeger, W. (1947). The theology of the early Greek philosophers. Clarendon Press.

John Paul II. (1994). Crossing the threshold of hope. Knopf.

John Paul II. (1998). Fides et ratio. Libreria Editrice Vaticana.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.

King Jr., M. L. (1963). Strength to love. Harper & Row.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. Crossroad.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Locke, J. (1690). An essay concerning human understanding. Thomas Basset.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1999). Dependent rational animals: Why human beings need the virtues. Open Court.

Marcel, G. (1962). Homo viator. Harper & Row.

Marcel, G. (2001). The mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). St. Augustine’s Press.

Marion, J.-L. (1991). God without being (T. A. Carlson, Trans.). University of Chicago Press.

McGrath, A. E. (2004). The twilight of atheism: The rise and fall of disbelief in the modern world. Doubleday.

McGrath, A. E. (2008). The open secret: A new vision for natural theology. Blackwell.

McGrath, A. E. (2002). The reenchantment of nature: The denial of religion and the ecological crisis. Doubleday.

Milbank, J. (1990). Theology and social theory: Beyond secular reason. Blackwell.

Min, A. K. (2005). Paths to the triune God: An encounter between Aquinas and recent theologies. University of Notre Dame Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring values for humanity. HarperOne.

Panikkar, R. (1999). The intra-religious dialogue. Paulist Press.

Peacocke, A. (1993). Theology for a scientific age. Fortress Press.

Phillips, D. Z. (1970). Faith and philosophical enquiry. Routledge.

Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. University of Notre Dame Press.

Pieper, J. (1998). Leisure: The basis of culture. St. Augustine’s Press.

Pieper, J. (1997). Faith, hope, love. Ignatius Press.

Plantinga, A. (1967). God and other minds. Cornell University Press.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age of science. Yale University Press.

Rahner, K. (1978). Foundations of Christian faith. Crossroad.

Rahner, K. (1994). Hearer of the word (J. Donceel, Trans.). Continuum.

Ramadan, T. (2010). The quest for meaning: Developing a philosophy of pluralism. Allen Lane.

Ratzinger, J. (2004). Introduction to Christianity. Ignatius Press.

Ratzinger, J. (2008). The God of Jesus Christ: Meditations on the Triune God. Ignatius Press.

Rasmussen, L. (1996). Earth community, earth ethics. Orbis Books.

Ricoeur, P. (1969). The symbolism of evil (E. Buchanan, Trans.). Beacon Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2007). Reflections on the just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Stein, E. (2002). Finite and eternal being (K. Reinhardt, Trans.). ICS Publications.

Swidler, L. (1987). Toward a universal theology of religion. Orbis Books.

Swinburne, R. (2004). The existence of God (2nd ed.). Clarendon Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard University Press.

Tillich, P. (1951). Systematic theology (Vol. 1). University of Chicago Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Tillich, P. (1954). Love, power, and justice. Oxford University Press.

Tillich, P. (1957). Dynamics of faith. Harper & Row.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge.

Wilson, C. (1957). Religion and the rebel. Houghton Mifflin.

Wolterstorff, N. (1984). Reason within the bounds of religion. Eerdmans.

Wolterstorff, N. (2008). Justice: Rights and wrongs. Princeton University Press.

Wolterstorff, N. (2011). Justice in love. Eerdmans.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar