Sabtu, 11 Oktober 2025

Filsafat Eksistensialisme: Eksistensi, Kebebasan, dan Absurd

Filsafat Eksistensialisme

Eksistensi, Kebebasan, dan Absurd


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.

Eksistensialisme Religius, Eksistensialisme Ateistik.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat eksistensialisme sebagai salah satu aliran penting dalam tradisi pemikiran modern. Eksistensialisme lahir dari kegelisahan manusia terhadap krisis makna di era modernitas, ditandai oleh runtuhnya otoritas tradisional, pengalaman perang, dan alienasi sosial. Kajian ini menguraikan konsep-konsep dasar seperti kebebasan, tanggung jawab, absurditas, kecemasan, otentisitas, dan kesadaran akan kematian. Melalui analisis historis, artikel ini menelusuri akar eksistensialisme dari pemikiran klasik, proto-eksistensialis (Kierkegaard dan Nietzsche), hingga perkembangan pesatnya pada abad ke-20 melalui Heidegger, Sartre, Camus, dan Beauvoir. Selanjutnya, artikel ini membedakan eksistensialisme religius dan ateistik, sekaligus meninjau kritik dari rasionalisme, Marxisme, dan post-strukturalisme. Pada bagian reflektif, eksistensialisme dipahami sebagai filsafat krisis sekaligus filsafat pembebasan, yang menegaskan martabat manusia dalam kebebasan dan tanggung jawab. Relevansi kontemporer eksistensialisme dibahas dalam kaitannya dengan pendidikan, psikologi, seni, etika, serta tantangan global seperti alienasi digital, krisis ekologis, dan pandemi. Artikel ini menyimpulkan bahwa eksistensialisme tetap menjadi filsafat yang relevan, terbuka terhadap dialog lintas tradisi, dan mampu memberikan kerangka refleksi kritis bagi manusia modern dalam mencari makna hidup di tengah absurditas.

Kata kunci: Eksistensialisme, kebebasan, absurditas, otentisitas, tanggung jawab, modernitas, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Sebuah Kajian Komprehensif tentang Filsafat Eksistensialisme


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang menyoroti secara mendalam persoalan eksistensi manusia, khususnya terkait dengan kebebasan, kecemasan, absurditas, dan tanggung jawab. Munculnya filsafat ini tidak dapat dilepaskan dari konteks historis modernitas yang sarat dengan krisis makna, alienasi, dan dehumanisasi akibat revolusi industri, perkembangan sains, serta pergolakan sosial-politik Eropa, termasuk dua Perang Dunia yang menghancurkan tatanan lama dan mengguncang keyakinan terhadap rasionalitas manusia.¹

Eksistensialisme menolak pandangan esensialis klasik yang menganggap bahwa hakikat manusia telah ditentukan sebelumnya. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa eksistensi mendahului esensi—manusia pertama-tama ada, lalu menentukan dirinya melalui pilihan bebas.² Dengan demikian, filsafat ini lebih menekankan pada dimensi individual, subjektif, dan pengalaman konkret manusia dibandingkan dengan abstraksi universal yang banyak dijumpai dalam filsafat tradisional.

1.2.       Rumusan Masalah

Dalam konteks akademik, kajian tentang eksistensialisme perlu diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok, antara lain:

1)                  Apa pengertian dasar eksistensialisme dan konsep-konsep kuncinya?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan eksistensialisme dari akar pra-modern hingga ke bentuknya yang mapan pada abad ke-20?

3)                  Siapa saja tokoh-tokoh sentral eksistensialisme, serta apa kontribusi pemikirannya?

4)                  Bagaimana relevansi eksistensialisme dalam menjawab problem kontemporer, baik dalam bidang etika, pendidikan, psikologi, maupun kehidupan sosial?

1.3.       Tujuan Penelitian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan secara sistematis konsep-konsep dasar filsafat eksistensialisme.

2)                  Menelusuri sejarah perkembangan dan dinamika pemikiran eksistensialis.

3)                  Mengkaji secara kritis pemikiran tokoh-tokoh utama eksistensialisme.

4)                  Menilai relevansi eksistensialisme dalam menghadapi persoalan-persoalan manusia kontemporer.

1.4.       Signifikansi Kajian

Kajian mengenai eksistensialisme memiliki signifikansi teoretis maupun praktis. Secara teoretis, ia membantu memperkaya wacana filsafat modern dengan menekankan dimensi subjektif dan individual manusia, yang kerap diabaikan oleh filsafat rasionalistik maupun positivistik.³ Secara praktis, eksistensialisme menawarkan perspektif filosofis yang relevan untuk memahami kecemasan, kebebasan, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam konteks pendidikan, psikoterapi, seni, dan bahkan krisis global modern seperti alienasi digital atau krisis ekologis.⁴

1.5.       Metodologi Kajian

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis-filosofis dan hermeneutik. Pendekatan historis-filosofis digunakan untuk menelusuri akar-akar eksistensialisme dan perkembangannya, sementara hermeneutik digunakan untuk menafsirkan teks-teks pemikir eksistensialis secara mendalam. Selain itu, pendekatan kritis-komparatif dipakai untuk menghubungkan eksistensialisme dengan wacana filsafat lain serta dengan persoalan kontemporer.


Footnotes

[1]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 12–14.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 7: Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche (New York: Image Books, 1994), 315.

[4]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.


2.           Konsep Dasar Eksistensialisme

2.1.       Definisi Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan pada keberadaan manusia konkret (eksistensi) di atas abstraksi universal (esensi). Prinsip dasarnya adalah bahwa “eksistensi mendahului esensi,” artinya manusia pertama-tama hadir di dunia, lalu membentuk dirinya melalui pilihan-pilihan yang bebas.¹ Dengan demikian, eksistensialisme menggeser fokus filsafat dari pertanyaan metafisis abstrak mengenai hakikat umum menuju pengalaman hidup individual yang penuh kebebasan, kecemasan, dan keterbatasan.

Secara terminologis, istilah “eksistensi” berasal dari bahasa Latin ex-sistere, yang berarti “keluar dari” atau “muncul ke luar.”² Dalam kerangka eksistensialis, istilah ini menunjuk pada dinamika manusia yang terus-menerus menjadi (becoming), bukan sekadar berada secara statis. Manusia tidak dipahami sebagai “substansi” yang tetap, melainkan sebagai proyek terbuka yang ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diambilnya.

2.2.       Eksistensi vs Esensi

Distingsi antara eksistensi dan esensi merupakan konsep fundamental dalam eksistensialisme. Menurut Jean-Paul Sartre, tidak ada esensi atau “hakikat” yang mendahului keberadaan manusia; manusialah yang melalui tindakannya menciptakan esensinya sendiri.³ Pandangan ini berlawanan dengan filsafat klasik—seperti Aristoteles dan skolastik—yang menegaskan bahwa esensi mendahului eksistensi.

Dalam kerangka ini, manusia adalah makhluk yang dilemparkan (Geworfenheit) ke dalam dunia tanpa pilihan, namun pada saat yang sama diberi kebebasan untuk menentukan arah hidupnya.⁴ Inilah yang membuat eksistensialisme sering disebut sebagai filsafat kebebasan.

2.3.       Kebebasan dan Tanggung Jawab

Kebebasan merupakan kategori sentral dalam eksistensialisme. Sartre menyatakan bahwa manusia “dikondisikan untuk bebas” (condemned to be free), sebab bahkan tidak memilih pun merupakan sebuah pilihan.⁵ Namun, kebebasan ini selalu disertai tanggung jawab. Manusia tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, melainkan juga atas kemanusiaan secara keseluruhan, karena setiap tindakan individu berimplikasi universal.

Bagi Kierkegaard, kebebasan manusia juga berhubungan dengan iman. Kebebasan sejati hanya dapat dijalankan melalui “lompatan iman” yang mengatasi paradoks eksistensial.⁶ Dengan demikian, kebebasan dalam eksistensialisme tidak pernah netral, melainkan selalu sarat dengan konsekuensi etis maupun religius.

2.4.       Kecemasan, Keputusasaan, dan Absurd

Selain kebebasan, eksistensialisme juga menyoroti dimensi gelap kehidupan manusia: kecemasan, keputusasaan, dan absurditas. Menurut Heidegger, kecemasan (Angst) adalah kondisi eksistensial yang mengungkapkan ketiadaan makna dalam dunia, sekaligus membuka peluang bagi otentisitas.⁷ Kierkegaard menyebut kecemasan sebagai “pusingnya kebebasan,” yakni rasa gentar yang muncul dari kemungkinan tanpa batas dalam memilih.

Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menekankan absurditas sebagai benturan antara kerinduan manusia akan makna dengan kebisuan dunia.⁸ Menurutnya, satu-satunya respons yang layak adalah sikap “pemberontakan,” yakni menerima absurditas tanpa menyerah pada nihilisme atau ilusi religius.

2.5.       Otentisitas dan Inautentisitas

Konsep otentisitas (authenticity) menjadi tujuan utama dalam eksistensialisme. Manusia otentik adalah mereka yang mengakui kebebasannya, bertindak sesuai dengan pilihan sadar, dan tidak terjebak dalam pola pikir massal. Heidegger membedakan antara Dasein otentik—yang menyadari kefanaannya—dengan Dasein inautentik, yakni individu yang larut dalam “mereka” (das Man), sehingga kehilangan keunikan eksistensinya.⁹

Dengan demikian, otentisitas menuntut keberanian untuk hidup sesuai pilihan sendiri, meskipun itu berarti menanggung kecemasan dan kesepian eksistensial.

2.6.       Eksistensialisme Religius dan Ateistik

Eksistensialisme berkembang dalam dua arus utama: religius dan ateistik. Kierkegaard mewakili eksistensialisme religius yang menekankan iman sebagai jalan keluar dari absurditas hidup. Nietzsche, Sartre, dan Camus mewakili eksistensialisme ateistik, yang menolak peran Tuhan dalam memberikan makna hidup, dan sebaliknya menegaskan bahwa manusia sendirilah yang harus menciptakan maknanya.¹⁰

Dua arus ini memperlihatkan bahwa eksistensialisme tidak sekadar sistem tunggal, melainkan kerangka pemikiran luas yang membuka ruang perdebatan antara iman, kebebasan, dan nihilisme.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 7: Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche (New York: Image Books, 1994), 307.

[3]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, 24.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174.

[5]                Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.

[6]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 61.

[7]                Heidegger, Being and Time, 231.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–29.

[9]                Heidegger, Being and Time, 220.

[10]             William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 108–112.


3.           Sejarah Perkembangan Eksistensialisme

3.1.       Akar dalam Filsafat Klasik

Meskipun istilah eksistensialisme baru muncul pada abad ke-20, akar-akar pemikirannya dapat ditelusuri jauh sebelumnya. Socrates, dengan semboyan “Kenalilah dirimu sendiri,” menekankan pentingnya refleksi pribadi dan tanggung jawab moral individu.¹ Pemikiran Stoa (Stoisisme) juga berpengaruh, terutama melalui penekanannya pada rasionalitas, penerimaan terhadap nasib (amor fati), serta otonomi batin manusia dalam menghadapi penderitaan.²

Pada abad pertengahan, filsuf Kristen seperti Agustinus menekankan pengalaman subjektif iman dan pergulatan batin manusia dengan Tuhan.³ Pascal, di era modern awal, menggarisbawahi “keterbatasan manusia” di hadapan kekekalan, serta pentingnya iman sebagai jawaban atas absurditas eksistensi.⁴ Tokoh-tokoh ini menyediakan fondasi konseptual yang kelak diolah oleh para eksistensialis modern.

3.2.       Kierkegaard dan Nietzsche: Proto-Eksistensialis

Eksistensialisme sebagai aliran yang khas sering dikaitkan dengan Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Kierkegaard (1813–1855) dianggap sebagai “bapak eksistensialisme,” karena menekankan subjektivitas, pilihan pribadi, serta “lompatan iman” dalam menghadapi paradoks eksistensial.⁵ Ia menolak agama yang hanya bersifat formal dan menekankan keterlibatan eksistensial yang otentik dengan Tuhan.

Di sisi lain, Nietzsche (1844–1900) menghadirkan kritik radikal terhadap moralitas tradisional, agama Kristen, dan rasionalisme Barat. Dengan proklamasi “Tuhan telah mati,” ia menegaskan nihilisme sebagai kondisi dasar modernitas.⁶ Nietzsche tidak berhenti pada nihilisme, tetapi menawarkan konsep Übermensch (manusia unggul) dan “kehendak untuk berkuasa” sebagai cara manusia menciptakan nilai baru secara mandiri.⁷ Dua tokoh ini, meskipun berbeda orientasi, sama-sama menekankan individualitas, kebebasan, dan tanggung jawab eksistensial.

3.3.       Eksistensialisme Abad ke-20: Perancis dan Jerman

Eksistensialisme berkembang pesat pada abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia I dan II yang menimbulkan krisis makna, dislokasi sosial, serta penderitaan massal. Di Jerman, Martin Heidegger (1889–1976) melalui Being and Time (1927) memformulasikan analisis eksistensial mengenai Dasein, yakni manusia sebagai “ada-di-dunia” (being-in-the-world).⁸ Heidegger menekankan keterlemparan, kecemasan, dan kesadaran akan kematian sebagai kondisi dasar eksistensi manusia.

Di Perancis, Jean-Paul Sartre (1905–1980) menjadi tokoh utama eksistensialisme ateistik. Dalam Being and Nothingness (1943), Sartre menegaskan bahwa manusia “dikondisikan untuk bebas” dan bahwa eksistensi mendahului esensi.⁹ Albert Camus (1913–1960), meski menolak label eksistensialis, turut menyumbang gagasan tentang absurditas dan pemberontakan melalui karya The Myth of Sisyphus (1942).¹⁰ Simone de Beauvoir (1908–1986) juga mengintegrasikan eksistensialisme dengan feminisme dalam karyanya The Second Sex (1949), yang menekankan pembebasan perempuan dari struktur patriarkal.¹¹

3.4.       Konteks Sosial dan Kultural

Eksistensialisme tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik modern. Krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang, industrialisasi, dan alienasi modernitas mendorong pencarian makna baru yang lebih subjektif dan personal. Gerakan ini juga menemukan ekspresi dalam sastra, teater, dan seni modern. Misalnya, karya sastra Dostoevsky, Kafka, dan Samuel Beckett merefleksikan kecemasan, absurditas, serta keterasingan manusia.¹²

Eksistensialisme juga memengaruhi perkembangan psikologi, khususnya melalui logoterapi Viktor Frankl yang menekankan pencarian makna hidup sebagai inti kesehatan mental.¹³ Dalam bidang seni dan budaya, eksistensialisme menjadi inspirasi bagi avant-garde serta gerakan intelektual pascaperang yang mencari identitas baru dalam menghadapi krisis modernitas.

3.5.       Eksistensialisme dalam Dialog Global

Seiring waktu, eksistensialisme tidak hanya berakar di Eropa, tetapi juga berdialog dengan tradisi lain. Dalam filsafat Timur, misalnya, beberapa pengkaji menemukan paralel antara eksistensialisme dan Zen Buddhisme dalam menekankan keterbatasan konsep rasional dan pengalaman langsung eksistensi.¹⁴ Dalam pemikiran Islam kontemporer, sejumlah intelektual mencoba merekonstruksi eksistensialisme dalam kerangka teologi dan etika, meskipun sering dikritik karena perbedaan paradigma metafisis.¹⁵

Dengan demikian, sejarah eksistensialisme memperlihatkan perkembangan dinamis: dari akar klasik, proto-eksistensialis, puncak abad ke-20, hingga dialog global kontemporer.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45.

[2]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 132–135.

[3]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 77–80.

[4]                Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin, 1995), 122–124.

[5]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.

[6]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[7]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Graham Parkes (Oxford: Oxford University Press, 2005), 23–25.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–68.

[9]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.

[10]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–6.

[11]             Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283–285.

[12]             Ronald Hayman, Existentialism and the Theatre (London: Chatto & Windus, 1979), 44–47.

[13]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.

[14]             Masao Abe, “Zen and Western Thought,” in Abe Masao: A Zen Life of Dialogue, ed. Steven Heine (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1992), 114–117.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNY Press, 1981), 201–203.


4.           Tokoh-Tokoh Utama Eksistensialisme

4.1.       Søren Kierkegaard (1813–1855)

Søren Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme modern karena menekankan subjektivitas dan keterlibatan personal dalam iman.¹ Baginya, kebenaran bukanlah sesuatu yang bersifat objektif dan universal, melainkan dialami secara eksistensial oleh individu. Konsep “loncatan iman” (leap of faith) menegaskan bahwa manusia, dalam menghadapi paradoks kehidupan, hanya dapat menemukan makna melalui keterlibatan religius yang mendalam.² Kierkegaard juga menguraikan kondisi eksistensial seperti kecemasan (angst) dan keputusasaan, yang menjadi tanda keterbatasan manusia sekaligus peluang untuk berjumpa dengan Tuhan.³

4.2.       Friedrich Nietzsche (1844–1900)

Nietzsche membawa eksistensialisme ke arah yang berbeda dengan menolak metafisika dan agama tradisional. Ia terkenal dengan proklamasinya “Tuhan telah mati,” yang menggambarkan runtuhnya fondasi nilai-nilai tradisional Barat.⁴ Dalam konteks nihilisme ini, Nietzsche menawarkan konsep Übermensch (manusia unggul) sebagai sosok yang mampu menciptakan nilai-nilai baru di tengah kehampaan makna.⁵ Gagasannya tentang “kehendak untuk berkuasa” (will to power) memperlihatkan manusia sebagai makhluk yang aktif, kreatif, dan bertanggung jawab atas maknanya sendiri.⁶ Meskipun sering dianggap sebagai filsuf destruktif, Nietzsche sesungguhnya membuka jalan bagi afirmasi hidup yang otentik.

4.3.       Martin Heidegger (1889–1976)

Heidegger menempatkan eksistensialisme dalam kerangka ontologis melalui analisis tentang Dasein dalam Being and Time.⁷ Ia memahami manusia bukan sekadar entitas, melainkan “ada-di-dunia” (being-in-the-world) yang selalu berada dalam relasi dengan lingkungannya. Heidegger menyoroti konsep keterlemparan (Geworfenheit), kecemasan eksistensial, dan kesadaran akan kematian sebagai kondisi fundamental eksistensi.⁸ Menurutnya, kesadaran akan kefanaan justru membuka peluang bagi kehidupan yang otentik. Berbeda dengan Kierkegaard yang menekankan iman, Heidegger menyoroti struktur dasar eksistensi manusia secara fenomenologis dan ontologis.

4.4.       Jean-Paul Sartre (1905–1980)

Sartre adalah tokoh sentral eksistensialisme ateistik abad ke-20. Dalam Being and Nothingness, ia menegaskan prinsip “eksistensi mendahului esensi,” yang berarti manusia harus menciptakan dirinya melalui tindakan.⁹ Sartre menekankan kebebasan radikal manusia yang “dikondisikan untuk bebas” (condemned to be free), bahkan dalam situasi yang paling terbatas sekalipun.¹⁰ Namun, kebebasan ini membawa konsekuensi tanggung jawab penuh atas tindakan-tindakan manusia. Sartre juga menyoroti fenomena bad faith (ketidakjujuran eksistensial), yaitu sikap mengingkari kebebasan dengan menyalahkan keadaan eksternal.¹¹ Melalui filsafatnya, Sartre berupaya membangun sebuah humanisme baru yang menegaskan martabat manusia sebagai makhluk bebas.

4.5.       Albert Camus (1913–1960)

Camus sering dikaitkan dengan eksistensialisme, meskipun ia sendiri lebih suka disebut sebagai filsuf absurditas. Dalam The Myth of Sisyphus, ia menegaskan bahwa kehidupan manusia pada dasarnya absurd, yakni benturan antara kerinduan akan makna dan ketidakacuhan dunia.¹² Alih-alih menyerah pada nihilisme atau beralih pada solusi religius, Camus mengajukan konsep “pemberontakan” (révolte), yaitu sikap menerima absurditas sambil tetap menjalani kehidupan dengan keberanian.¹³ Bagi Camus, manusia absurd adalah mereka yang terus hidup dengan sadar, tanpa kepastian, namun dengan komitmen penuh pada kebebasan.

4.6.       Simone de Beauvoir (1908–1986)

Simone de Beauvoir memperluas eksistensialisme ke dalam bidang etika dan feminisme. Dalam karyanya The Second Sex, ia menganalisis bagaimana perempuan secara historis ditempatkan sebagai “yang lain” (the Other) dalam relasi sosial.¹⁴ Dengan pendekatan eksistensialis, Beauvoir menekankan pentingnya kebebasan perempuan untuk membentuk identitas dan esensinya sendiri. Ia menolak determinisme biologis dan menegaskan bahwa perempuan “tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan.”¹⁵ Kontribusi Beauvoir menjadikan eksistensialisme relevan dalam perjuangan emansipasi, etika relasional, dan teori gender kontemporer.


Sintesis Pemikiran Tokoh

Keenam tokoh ini menunjukkan keragaman orientasi dalam eksistensialisme: Kierkegaard dengan dimensi religius, Nietzsche dengan kritik radikal terhadap nilai-nilai tradisional, Heidegger dengan analisis ontologis, Sartre dengan humanisme ateistik, Camus dengan filsafat absurditas, serta Beauvoir dengan feminisme eksistensialis. Meskipun berbeda, mereka sepakat dalam penekanan pada subjektivitas, kebebasan, dan tanggung jawab eksistensial sebagai inti pengalaman manusia.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 189–190.

[2]                Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.

[3]                Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1989), 43–45.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[5]                Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Graham Parkes (Oxford: Oxford University Press, 2005), 23–25.

[6]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Judith Norman (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 110–112.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–68.

[8]                Heidegger, Being and Time, 231–234.

[9]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 22–24.

[10]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29.

[11]             Sartre, Being and Nothingness, 86–87.

[12]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–29.

[13]             Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 15–17.

[14]             Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283–285.

[15]             Beauvoir, The Second Sex, 295.


5.           Tema-tema Sentral Eksistensialisme

5.1.       Kebebasan dan Tanggung Jawab

Kebebasan merupakan konsep paling mendasar dalam eksistensialisme. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia “dikondisikan untuk bebas” (condemned to be free), sebab bahkan ketika menolak memilih, manusia tetap sedang memilih.¹ Kebebasan ini tidak bersifat pasif, melainkan aktif: manusia dituntut untuk menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan-pilihan konkret. Namun, kebebasan selalu beriringan dengan tanggung jawab. Sartre menekankan bahwa dalam setiap tindakannya, manusia tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya, tetapi juga “mewakili” seluruh umat manusia.² Oleh karena itu, kebebasan eksistensial bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang sarat konsekuensi etis.

5.2.       Absurd dan Pencarian Makna

Albert Camus menyoroti absurditas sebagai kondisi fundamental eksistensi manusia, yakni benturan antara kerinduan manusia akan makna dengan kebisuan dunia.³ Menurut Camus, manusia menyadari bahwa hidup tidak menawarkan makna transendental yang pasti, tetapi hal itu tidak berarti menyerah pada nihilisme. Sebaliknya, manusia justru ditantang untuk “memberontak” terhadap absurditas dengan menciptakan makna melalui tindakannya.⁴ Absurditas dengan demikian bukanlah akhir, melainkan panggilan untuk menjalani kehidupan secara lebih autentik.

5.3.       Kecemasan dan Keterlemparan

Eksistensialisme juga menekankan pengalaman kecemasan (anxiety) sebagai kondisi eksistensial yang khas. Søren Kierkegaard menyebut kecemasan sebagai “pusingnya kebebasan” (the dizziness of freedom), yaitu kegentaran yang timbul dari kesadaran akan kemungkinan yang tak terbatas.⁵ Martin Heidegger melanjutkan gagasan ini dengan menjelaskan bahwa kecemasan (Angst) mengungkapkan kenyataan keterlemparan (Geworfenheit) manusia ke dalam dunia tanpa pilihan awal.⁶ Dalam kecemasan, manusia menyadari kerapuhan eksistensinya, namun sekaligus menemukan peluang untuk menjalani kehidupan secara otentik.

5.4.       Otentisitas dan Inautentisitas

Konsep otentisitas (authenticity) merupakan tujuan ideal dalam eksistensialisme. Heidegger membedakan antara Dasein otentik, yang menyadari keberadaannya yang terbatas dan menghadapi kematian dengan jujur, dengan Dasein inautentik, yang larut dalam kehidupan massa (das Man) dan kehilangan individualitasnya.⁷ Sartre menyebut fenomena serupa sebagai bad faith, yakni sikap menipu diri sendiri dengan menyangkal kebebasan demi kenyamanan semu.⁸ Hidup otentik berarti mengakui kebebasan sepenuhnya dan bertindak sesuai dengan kesadaran eksistensial, meskipun penuh risiko dan kesepian.

5.5.       Relasi dengan Kematian dan Kefanaan

Eksistensialisme juga menempatkan kematian sebagai tema sentral. Heidegger menekankan bahwa kesadaran akan kematian mengungkapkan sifat fundamental eksistensi manusia sebagai being-toward-death.⁹ Dengan menyadari kefanaan, manusia tidak lagi menunda atau menghindari realitas hidup, melainkan hidup lebih intens dan autentik. Kierkegaard pun melihat kematian sebagai titik batas yang menyingkap keterbatasan manusia di hadapan Tuhan, sementara Camus melihatnya sebagai bukti paling konkret dari absurditas eksistensi.¹⁰ Dalam semua variasi pandangan tersebut, kematian dipahami bukan sekadar akhir biologis, melainkan momen filosofis yang menegaskan keunikan eksistensi manusia.

5.6.       Subjektivitas dan Interpersonalitas

Selain menekankan individualitas, eksistensialisme juga menyadari pentingnya relasi antar-manusia. Kierkegaard berbicara tentang relasi pribadi dengan Tuhan sebagai puncak subjektivitas, sementara Sartre menekankan dimensi konflik dalam relasi manusia melalui ungkapannya yang terkenal, “neraka adalah orang lain.”¹¹ Namun, Simone de Beauvoir melengkapi perspektif ini dengan menegaskan bahwa kebebasan individu tidak boleh mengabaikan kebebasan orang lain.¹² Bagi Beauvoir, otentisitas sejati hanya dapat tercapai bila seseorang mengakui dan menghormati kebebasan orang lain sebagai bagian dari eksistensinya sendiri.


Sintesis Tema Eksistensialisme

Tema-tema eksistensialisme—kebebasan, absurditas, kecemasan, otentisitas, kematian, dan relasi interpersonal—mencerminkan upaya memahami manusia sebagai makhluk yang rapuh sekaligus berdaya. Dengan menolak kepastian metafisik yang absolut, eksistensialisme mengajak manusia untuk menghadapi dunia apa adanya, dengan keberanian dan tanggung jawab. Tema-tema ini pula yang menjadikan eksistensialisme relevan tidak hanya sebagai filsafat akademis, tetapi juga sebagai panduan praktis dalam menghadapi problem kehidupan kontemporer.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.

[2]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.

[3]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–6.

[4]                Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 15–17.

[5]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 61.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–176.

[7]                Heidegger, Being and Time, 220–223.

[8]                Sartre, Being and Nothingness, 86–87.

[9]                Heidegger, Being and Time, 303–305.

[10]             Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1989), 43–45; Camus, The Myth of Sisyphus, 28–30.

[11]             Sartre, No Exit, trans. Stuart Gilbert (New York: Vintage, 1989), 45.

[12]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–75.


6.           Eksistensialisme Religius vs Eksistensialisme Ateistik

6.1.       Distingsi Fundamental

Eksistensialisme berkembang dalam dua arus utama yang berbeda orientasi: religius dan ateistik. Keduanya sama-sama menekankan eksistensi manusia sebagai pusat refleksi filsafat, namun berbeda dalam menjawab pertanyaan mendasar mengenai Tuhan, makna hidup, dan sumber nilai moral. Eksistensialisme religius, yang dipelopori oleh Søren Kierkegaard, menekankan iman sebagai jalan keluar dari absurditas.¹ Sementara itu, eksistensialisme ateistik, yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Friedrich Nietzsche, menolak landasan teologis dan berusaha menegaskan otonomi manusia sepenuhnya.²

6.2.       Eksistensialisme Religius

Kierkegaard melihat kehidupan manusia sebagai pergulatan eksistensial yang ditandai oleh kecemasan, keputusasaan, dan keterbatasan.³ Menurutnya, hanya iman kepada Tuhan yang dapat memberikan resolusi sejati terhadap paradoks eksistensial tersebut. Ia memperkenalkan konsep “lompatan iman” (leap of faith), yakni tindakan eksistensial yang melampaui rasionalitas untuk mencapai hubungan pribadi dengan Tuhan.⁴ Dengan demikian, bagi Kierkegaard, iman bukanlah sekadar dogma, melainkan keputusan eksistensial yang melibatkan subjektivitas terdalam.

Eksistensialisme religius tidak menolak kebebasan, melainkan memahaminya dalam relasi dengan transendensi. Kebebasan manusia tidak absolut, melainkan selalu diarahkan untuk mengakui ketergantungan kepada Tuhan.⁵ Perspektif ini menjadikan eksistensialisme religius tetap berakar pada tradisi iman, sambil tetap menekankan tanggung jawab personal.

6.3.       Eksistensialisme Ateistik

Berbeda dengan Kierkegaard, Sartre menyatakan secara tegas bahwa “jika Tuhan tidak ada, maka manusia dibiarkan sepenuhnya bebas, tanpa esensi yang telah ditentukan sebelumnya.”⁶ Dengan prinsip bahwa “eksistensi mendahului esensi,” Sartre menegaskan bahwa manusia sendirilah yang menciptakan makna dan nilai dalam hidupnya. Kebebasan dalam perspektif ini bersifat radikal, bahkan disertai beban tanggung jawab yang tidak dapat dialihkan.⁷

Albert Camus, meski sering disandingkan dengan Sartre, mengambil jalur berbeda dengan filsafat absurditas. Bagi Camus, hidup itu absurd karena tidak ada jawaban transendental yang memadai bagi kerinduan manusia akan makna.⁸ Namun, ia menolak baik nihilisme maupun solusi religius, dan justru menganjurkan sikap “pemberontakan” terhadap absurditas dengan tetap menjalani hidup secara sadar dan penuh gairah.⁹ Nietzsche, yang lebih awal, menyatakan bahwa “Tuhan telah mati,” dan dengan demikian manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri melalui konsep Übermensch dan kehendak berkuasa.¹⁰

Eksistensialisme ateistik, meskipun beragam, memiliki benang merah berupa penegasan otonomi manusia sepenuhnya dan penolakan terhadap otoritas transendental.

6.4.       Ketegangan dan Dialog

Ketegangan antara eksistensialisme religius dan ateistik mencerminkan problem klasik filsafat: antara iman dan rasio, antara transendensi dan immanensi. Kierkegaard memandang tanpa iman, manusia akan terjebak dalam keputusasaan; Sartre dan Camus, sebaliknya, menilai bahwa iman hanyalah pelarian dari kebebasan.¹¹ Meskipun berbeda secara radikal, kedua arus ini sama-sama menegaskan urgensi subjektivitas, kebebasan, dan tanggung jawab.

Menariknya, beberapa pemikir kontemporer berupaya mempertemukan dua arus tersebut. Viktor Frankl, misalnya, mengintegrasikan dimensi spiritual dalam logoterapinya, namun tetap membuka ruang bagi makna yang dibangun manusia tanpa harus terikat pada dogma tertentu.¹² Hal ini menunjukkan bahwa dialog antara eksistensialisme religius dan ateistik tetap relevan dalam konteks modern, ketika manusia terus mencari makna di tengah krisis global dan sekularisasi.


Refleksi Kritis

Eksistensialisme religius dan ateistik sama-sama lahir dari pergulatan terhadap absurditas hidup. Perbedaan utamanya terletak pada arah respons: religius menuju iman, ateistik menuju kebebasan radikal. Namun, keduanya menyumbang pemahaman yang kaya tentang kondisi manusia. Bagi sebagian kalangan, keberanian Sartre dan Camus dalam menolak transendensi merupakan langkah penting dalam menegaskan martabat manusia modern. Sementara bagi yang lain, kedalaman Kierkegaard dalam melihat iman sebagai pengalaman eksistensial menawarkan jalan spiritual yang tetap relevan.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.

[2]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 108–112.

[3]                Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1989), 43–45.

[4]                Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 189–190.

[5]                Merold Westphal, Kierkegaard’s Concept of Faith (Grand Rapids: Eerdmans, 2014), 21–24.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–6.

[9]                Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 15–17.

[10]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[11]             Barrett, Irrational Man, 146–149.

[12]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.


7.           Kritik terhadap Eksistensialisme

7.1.       Kritik dari Rasionalisme dan Positivisme

Eksistensialisme kerap dikritik sebagai filsafat yang terlalu subjektif dan emosional. Tradisi rasionalisme menilai bahwa eksistensialisme mengabaikan universalitas rasio dan kepastian logis.¹ Para positivis logis, misalnya, menolak klaim eksistensialis mengenai kebebasan, kecemasan, dan absurditas karena dianggap tidak dapat diverifikasi secara empiris.² Dalam pandangan mereka, filsafat seharusnya bersifat analitis dan berfokus pada bahasa serta struktur logis, bukan pada pengalaman subjektif. Akibatnya, eksistensialisme sering dipandang lebih dekat dengan sastra atau psikologi daripada filsafat ilmiah.

7.2.       Kritik dari Marxisme

Eksistensialisme juga mendapat kritik tajam dari pemikir Marxis. Menurut perspektif Marxis, eksistensialisme terlalu menekankan kebebasan individual sehingga melupakan determinasi historis dan kondisi material.³ Bagi kaum Marxis, kesadaran manusia dibentuk oleh struktur ekonomi dan relasi sosial, bukan hanya oleh pilihan individual. Georg Lukács, misalnya, menyebut eksistensialisme sebagai “ideologi dekadensi borjuis” yang mengabaikan perjuangan kelas.⁴ Bahkan Sartre sendiri kemudian mencoba menggabungkan eksistensialisme dengan Marxisme dalam karyanya Critique of Dialectical Reason, meski proyek ini tetap menuai perdebatan.⁵

7.3.       Kritik dari Post-Strukturalisme dan Dekonstruksi

Pada paruh kedua abad ke-20, muncul kritik dari post-strukturalisme yang menantang fondasi eksistensialisme. Jacques Derrida menilai bahwa konsep “subjek otonom” yang menjadi pusat eksistensialisme sesungguhnya rapuh karena identitas manusia selalu ditentukan oleh jaringan tanda dan bahasa.⁶ Michel Foucault juga mengkritik gagasan kebebasan radikal Sartre, dengan menekankan bahwa subjek manusia dibentuk oleh relasi kuasa dan diskursus sosial.⁷ Kritik ini menunjukkan bahwa eksistensialisme masih terlalu mengidealkan kebebasan individu, tanpa cukup memperhitungkan faktor eksternal yang membentuk subjek.

7.4.       Kritik atas Individualisme dan Subjektivitas Radikal

Selain dari aliran filsafat lain, eksistensialisme dikritik karena dianggap terlalu menekankan individualitas.⁸ Dalam fokusnya pada subjektivitas, ia berpotensi mengabaikan dimensi sosial dan komunitarian dari eksistensi manusia. Sebagian kalangan teolog menilai bahwa eksistensialisme ateistik berujung pada nihilisme, karena menolak otoritas transendental sebagai sumber makna.⁹ Bahkan dalam eksistensialisme religius, orientasi iman yang terlalu individual dapat menimbulkan kesan isolasi spiritual.


Evaluasi Kritis

Meskipun menuai banyak kritik, eksistensialisme tetap memiliki relevansi. Kritik dari positivisme mengingatkan agar filsafat eksistensial tidak terjebak dalam metafor yang kabur; kritik Marxis menekankan pentingnya kondisi material dalam membentuk eksistensi; sementara kritik post-strukturalis menunjukkan keterkaitan eksistensi dengan bahasa dan kuasa. Semua kritik ini, jika diterima secara reflektif, justru memperkaya eksistensialisme dan mendorongnya untuk lebih seimbang antara dimensi individual dan sosial.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 723–725.

[2]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 34–36.

[3]                Maurice Merleau-Ponty, Adventures of the Dialectic, trans. Joseph Bien (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 85–86.

[4]                Georg Lukács, The Destruction of Reason, trans. Peter Palmer (London: Merlin Press, 1980), 775.

[5]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 15–18.

[6]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 30–31.

[8]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 473.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 52–53.


8.           Relevansi Eksistensialisme dalam Konteks Kontemporer

8.1.       Eksistensialisme dalam Pendidikan

Eksistensialisme memberikan kontribusi penting dalam filsafat pendidikan modern. Pendekatan ini menekankan kebebasan individu, tanggung jawab, dan pengembangan diri secara otentik.¹ Pendidikan dalam perspektif eksistensialis bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses membantu siswa menemukan makna dan arah hidupnya.² Dengan menekankan pilihan dan kebebasan, eksistensialisme menolak model pendidikan yang menindas kebebasan berpikir dan membentuk manusia menjadi sekadar instrumen sistem.³ Relevansi ini sangat terasa di era pendidikan kritis yang berusaha membebaskan individu dari hegemoni budaya dan struktur sosial.

8.2.       Eksistensialisme dalam Psikologi dan Psikoterapi

Pemikiran eksistensialis juga berpengaruh besar pada psikologi humanistik dan psikoterapi eksistensial. Viktor E. Frankl, misalnya, mengembangkan logoterapi yang menekankan pencarian makna sebagai inti kesehatan mental.⁴ Bagi Frankl, bahkan dalam kondisi ekstrem seperti kamp konsentrasi, manusia masih memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dan menemukan makna hidupnya.⁵ Demikian pula, Rollo May dan Irvin Yalom mengembangkan psikoterapi eksistensial yang menekankan kecemasan, kematian, kebebasan, dan keterasingan sebagai realitas fundamental yang harus dihadapi pasien.⁶ Dengan demikian, eksistensialisme tetap relevan dalam memberikan landasan filosofis bagi terapi modern.

8.3.       Eksistensialisme dalam Sastra dan Seni

Eksistensialisme menemukan ekspresi yang kuat dalam dunia sastra dan seni. Novel-novel Sartre (Nausea) dan Camus (The Stranger) merepresentasikan pengalaman absurditas, keterasingan, dan pencarian makna dalam kehidupan sehari-hari.⁷ Dalam teater, karya Samuel Beckett seperti Waiting for Godot menghadirkan absurditas eksistensi manusia dalam bentuk panggung minimalis dan repetitif.⁸ Seni eksistensialis tidak bertujuan menghadirkan kepastian, melainkan menggugah kesadaran akan kondisi manusia yang rapuh dan ambigu. Pada masa kontemporer, estetika eksistensialis terus hadir dalam film, musik, dan seni rupa yang mengeksplorasi keterasingan manusia dalam era digital.

8.4.       Eksistensialisme dan Krisis Global

Dalam konteks krisis global, eksistensialisme menawarkan kerangka filosofis yang relevan untuk memahami alienasi manusia modern. Di era digital, individu sering kehilangan otentisitas karena terjebak dalam budaya massa dan konstruksi identitas maya.⁹ Eksistensialisme menegaskan pentingnya hidup otentik di tengah banjir informasi dan tekanan sosial media. Selain itu, dalam menghadapi krisis ekologis, filsafat eksistensial menyoroti keterbatasan manusia dan perlunya kesadaran akan tanggung jawab eksistensial terhadap generasi mendatang.¹⁰ Bahkan dalam krisis pandemi global, gagasan eksistensialis tentang kematian, kecemasan, dan makna hidup terbukti membantu manusia menghadapi ketidakpastian.¹¹

8.5.       Eksistensialisme dan Etika Kontemporer

Eksistensialisme juga relevan dalam diskursus etika kontemporer. Simone de Beauvoir melalui The Ethics of Ambiguity menegaskan bahwa kebebasan individu harus selalu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kebebasan orang lain.¹² Perspektif ini menjadi dasar bagi etika relasional yang penting dalam wacana hak asasi manusia, feminisme, dan pluralisme budaya. Dengan menekankan bahwa manusia menciptakan makna dan nilai melalui tindakan, eksistensialisme memberi dasar bagi etika yang dinamis, kontekstual, dan terbuka terhadap keragaman.


Evaluasi Relevansi

Eksistensialisme, meskipun lahir pada abad ke-19 dan ke-20, tetap menawarkan wawasan penting bagi abad ke-21. Ia memberikan kerangka untuk menghadapi krisis identitas, alienasi digital, kecemasan ekologis, dan dilema etika global. Walaupun dikritik karena terlalu individualistik, eksistensialisme justru memaksa manusia modern untuk mengakui kebebasannya dan bertanggung jawab atas masa depan bersama. Dengan demikian, eksistensialisme tetap hidup sebagai filsafat yang relevan bagi zaman kini.


Footnotes

[1]                Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 20–23.

[2]                Van Cleve Morris, Existentialism in Education (New York: Harper & Row, 1966), 34–36.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–74.

[4]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.

[5]                Frankl, Man’s Search for Meaning, 132–135.

[6]                Rollo May, Existence: A New Dimension in Psychiatry and Psychology (New York: Basic Books, 1958), 14–15; Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic Books, 1980), 8–10.

[7]                Jean-Paul Sartre, Nausea, trans. Lloyd Alexander (New York: New Directions, 1964), 25–28.

[8]                Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York: Grove Press, 1954), 7–9.

[9]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 156–158.

[10]             Clive Hamilton, Requiem for a Species: Why We Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 99–101.

[11]             Jonathan Sacks, Morality: Restoring the Common Good in Divided Times (London: Hodder & Stoughton, 2020), 185–188.

[12]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–75.


9.           Perbandingan dan Dialog

9.1.       Eksistensialisme dan Fenomenologi

Eksistensialisme memiliki hubungan erat dengan fenomenologi, khususnya melalui karya Martin Heidegger yang berangkat dari pemikiran Edmund Husserl. Fenomenologi Husserl menekankan “kembali ke benda itu sendiri” (zu den Sachen selbst) dengan menangguhkan prasangka teoretis untuk memahami pengalaman sebagaimana dialami.¹ Heidegger mengadaptasi metode ini, tetapi mengalihkan fokus dari kesadaran murni ke eksistensi konkret manusia (Dasein).² Sartre kemudian menggabungkan fenomenologi dan eksistensialisme dalam analisis kesadaran sebagai kebebasan yang selalu “melampaui dirinya.”³ Dengan demikian, fenomenologi memberi kerangka metodologis bagi eksistensialisme, sementara eksistensialisme memperluas fenomenologi ke ranah etis dan ontologis.

9.2.       Eksistensialisme dan Humanisme

Eksistensialisme kerap disebut sebagai bentuk humanisme baru. Sartre, dalam esainya Existentialism Is a Humanism, menegaskan bahwa meskipun menolak Tuhan sebagai sumber makna, eksistensialisme justru menegaskan martabat manusia sebagai pencipta nilai.⁴ Namun, beberapa humanis klasik mengkritik eksistensialisme karena dianggap terlalu pesimistis dan sarat kecemasan.⁵ Perbedaan mendasar terletak pada fondasi: humanisme klasik berpijak pada rasionalitas universal, sedangkan eksistensialisme pada kebebasan individual. Kendati demikian, keduanya memiliki titik temu dalam penegasan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab etis.

9.3.       Eksistensialisme dan Agama-agama Dunia

Eksistensialisme religius ala Kierkegaard menemukan resonansi dengan tradisi Kristen yang menekankan iman personal.⁶ Dalam Islam, beberapa pemikir kontemporer—seperti Muhammad Iqbal—menekankan pentingnya kebebasan kreatif manusia dalam membangun diri, yang selaras dengan semangat eksistensialis.⁷ Buddhisme, khususnya Zen, juga menunjukkan kedekatan dengan eksistensialisme dalam penekanan pada keterbatasan rasionalitas dan pengalaman langsung hidup di saat kini.⁸ Meskipun berbeda landasan metafisis, dialog antara eksistensialisme dan agama-agama dunia membuka kemungkinan reinterpretasi iman sebagai pengalaman eksistensial yang otentik.

9.4.       Eksistensialisme dan Filsafat Timur

Filsafat Timur, seperti Taoisme dan sufisme, memiliki sejumlah persinggungan dengan eksistensialisme. Taoisme menekankan hidup selaras dengan Dao tanpa keterikatan pada konstruksi rasional, yang mengingatkan pada sikap eksistensialis menghadapi absurditas.⁹ Dalam sufisme, pengalaman eksistensial manusia di hadapan Tuhan dipahami melalui konsep fana’ (melebur dalam Tuhan) yang menyingkap keterbatasan diri.¹⁰ Namun, berbeda dengan eksistensialisme ateistik, filsafat Timur cenderung tetap berakar pada dimensi transendensi. Meski demikian, keduanya sama-sama menekankan pengalaman langsung, kebebasan batin, dan otentisitas.

9.5.       Eksistensialisme dalam Dialog Global

Eksistensialisme tidak hanya berdialog dengan tradisi Barat, tetapi juga menjadi jembatan untuk percakapan lintas budaya. Dalam konteks globalisasi, eksistensialisme menawarkan kerangka untuk membahas isu-isu universal seperti alienasi, makna hidup, dan kebebasan.¹¹ Dengan demikian, filsafat ini membuka ruang dialog antara tradisi yang berbeda, baik religius maupun sekuler, Barat maupun Timur. Relevansinya terletak pada kemampuannya untuk menyoroti pengalaman manusia yang mendasar, melampaui batas budaya dan agama.


Refleksi Komparatif

Dari dialog dengan fenomenologi, humanisme, agama-agama, dan filsafat Timur, eksistensialisme menunjukkan fleksibilitasnya. Ia bukan sistem tertutup, melainkan pendekatan terbuka yang dapat berinteraksi dengan beragam tradisi intelektual. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa eksistensialisme memiliki kekuatan sebagai filsafat krisis sekaligus filsafat dialog, yang memperkaya diskursus filosofis dan spiritual kontemporer.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Collier Macmillan, 1962), 44–46.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–68.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 22–24.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.

[5]                Jacques Maritain, Existence and the Existent, trans. Lewis Galantiere and Gerald B. Phelan (New York: Pantheon Books, 1948), 12–14.

[6]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.

[7]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Stanford: Stanford University Press, 2013), 142–145.

[8]                Masao Abe, Zen and Western Thought, ed. William R. LaFleur (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1985), 95–98.

[9]                Laozi, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin, 1963), 23–25.

[10]             Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 305–308.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 78–80.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

10.1.    Eksistensialisme sebagai Filsafat Krisis

Eksistensialisme lahir dari konteks krisis modernitas—runtuhnya otoritas tradisional, tragedi perang, serta alienasi akibat industrialisasi.¹ Dengan menyoroti absurditas, kecemasan, dan keterlemparan, eksistensialisme menegaskan bahwa manusia harus menghadapi kenyataan tanpa ilusi metafisik.² Dalam hal ini, eksistensialisme berfungsi sebagai filsafat krisis, yang mengguncang kepastian rasionalisme dan positivisme, serta menyingkap kerapuhan kondisi manusia.

10.2.    Eksistensialisme sebagai Filsafat Pembebasan

Di sisi lain, eksistensialisme juga merupakan filsafat pembebasan. Sartre menekankan kebebasan radikal manusia untuk menciptakan dirinya sendiri.³ Beauvoir mengembangkan gagasan ini ke dalam ranah feminisme, dengan menegaskan pentingnya pengakuan terhadap kebebasan orang lain.⁴ Dengan demikian, eksistensialisme bukan hanya menyingkap absurditas, tetapi juga membuka kemungkinan etis dan praksis untuk membebaskan manusia dari determinisme struktural maupun dogma yang menindas.

10.3.    Dimensi Etis dan Tanggung Jawab

Eksistensialisme menolak etika normatif yang berbasis pada hukum universal, tetapi menekankan tanggung jawab konkret individu.⁵ Menurut Sartre, dalam setiap tindakan manusia, ia sekaligus menetapkan gambaran tentang “manusia seperti apa” yang ia pilih untuk diwujudkan.⁶ Camus, meski menolak transendensi, mengajarkan sikap pemberontakan terhadap absurditas sebagai bentuk kesetiaan pada hidup.⁷ Sementara Kierkegaard menegaskan bahwa iman, meskipun paradoksal, adalah wujud tertinggi dari tanggung jawab eksistensial.⁸ Dengan demikian, eksistensialisme memberi dasar bagi etika yang terbuka, kontekstual, dan personal.

10.4.    Eksistensialisme dan Martabat Manusia

Salah satu kontribusi terbesar eksistensialisme adalah penegasan martabat manusia. Dengan menolak esensi yang ditentukan dari luar, eksistensialisme mengakui manusia sebagai makhluk bebas yang menentukan dirinya.⁹ Kesadaran akan kefanaan dan absurditas justru mempertegas nilai eksistensi manusia sebagai unik dan tak tergantikan. Dalam hal ini, eksistensialisme berkontribusi pada pengembangan humanisme kontemporer yang menekankan kebebasan, tanggung jawab, dan otentisitas.¹⁰

10.5.    Eksistensialisme dalam Era Posmodern dan Teknologi

Dalam konteks posmodern dan era digital, eksistensialisme tetap relevan. Di tengah krisis identitas, banjir informasi, dan konstruksi sosial media, gagasan tentang otentisitas dan kebebasan eksistensial menjadi semakin mendesak.¹¹ Eksistensialisme mengingatkan bahwa manusia tidak boleh larut dalam “mereka” (das Man) versi digital—yakni opini massa dalam ruang virtual—tetapi harus menemukan maknanya sendiri secara sadar.¹² Kesadaran ini sekaligus mengajak refleksi etis mengenai penggunaan teknologi, lingkungan, dan relasi antar-manusia.


Refleksi Filosofis

Eksistensialisme tidak memberikan jawaban final, tetapi membuka ruang refleksi yang tak pernah selesai. Ia mengajarkan bahwa hidup adalah proyek terbuka, penuh ambiguitas, namun sarat makna jika dijalani dengan keberanian.¹³ Sebagai filsafat, eksistensialisme menolak kepastian metafisik, tetapi justru di situlah kekuatannya: ia menghadirkan filsafat yang dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Refleksi ini menunjukkan bahwa eksistensialisme tetap menjadi sumber inspirasi filosofis dalam menghadapi tantangan zaman modern maupun masa depan.


Footnotes

[1]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 12–14.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–176.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.

[4]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283–285.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 52–53.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.

[7]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–29.

[8]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 61.

[9]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 473.

[10]             Jacques Maritain, Existence and the Existent, trans. Lewis Galantiere and Gerald B. Phelan (New York: Pantheon Books, 1948), 12–14.

[11]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 156–158.

[12]             Heidegger, Being and Time, 220–223.

[13]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.


11.       Penutup

11.1.    Ringkasan Temuan

Kajian ini memperlihatkan bahwa eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir dari kegelisahan manusia menghadapi krisis makna dalam dunia modern.¹ Dengan menekankan eksistensi di atas esensi, filsafat ini menggeser fokus dari abstraksi universal ke pengalaman konkret individu. Eksistensialisme menguraikan tema-tema seperti kebebasan, tanggung jawab, absurditas, kecemasan, otentisitas, dan kematian, yang menjadikan filsafat ini relevan tidak hanya secara teoretis, tetapi juga secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.

11.2.    Kontribusi Eksistensialisme

Eksistensialisme memberi kontribusi besar bagi filsafat, sastra, seni, psikologi, dan pendidikan.² Ia mengingatkan bahwa manusia bukanlah entitas statis, melainkan proyek terbuka yang terus membentuk dirinya melalui pilihan.³ Konsep kebebasan radikal Sartre, absurditas Camus, iman eksistensial Kierkegaard, dan otentisitas Heidegger menunjukkan keragaman wajah eksistensialisme yang pada akhirnya bermuara pada penegasan martabat manusia. Eksistensialisme juga memperkaya wacana etika dengan menekankan tanggung jawab individual yang tidak dapat dialihkan.

11.3.    Relevansi Kontemporer

Dalam konteks kontemporer, eksistensialisme tetap aktual. Dunia yang ditandai oleh alienasi digital, krisis ekologis, dan ketidakpastian global menuntut refleksi filosofis tentang makna hidup, kebebasan, dan tanggung jawab.⁴ Eksistensialisme memberi kerangka berpikir untuk menghadapi tantangan ini dengan keberanian, meskipun tanpa kepastian metafisik yang mutlak. Bahkan, filsafat ini membantu manusia modern untuk lebih menyadari otentisitas dirinya di tengah arus homogenisasi budaya.⁵

11.4.    Prospek Kajian Lanjutan

Eksistensialisme, meskipun sering dikritik karena subjektivisme dan individualismenya, tetap membuka ruang bagi dialog lintas tradisi. Ia dapat diperkaya dengan perspektif sosial, komunitarian, dan ekoteologis untuk menjawab tantangan zaman.⁶ Dengan demikian, eksistensialisme bukanlah sistem yang selesai, melainkan sebuah kerangka refleksi terbuka yang terus dapat dikembangkan.


Penutup

Eksistensialisme pada akhirnya mengajarkan bahwa hidup manusia adalah perjalanan yang penuh ambiguitas. Tidak ada jawaban final, tetapi ada panggilan untuk hidup otentik, bertanggung jawab, dan penuh keberanian.⁷ Dengan sikap ini, eksistensialisme menegaskan martabat manusia sebagai makhluk bebas yang, meskipun rapuh dan fana, mampu menciptakan makna di tengah absurditas. Refleksi ini menunjukkan bahwa eksistensialisme bukan hanya filsafat abad ke-20, melainkan warisan filosofis yang tetap hidup dan relevan di abad ke-21.


Footnotes

[1]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 12–14.

[2]                Ronald Hayman, Existentialism and the Theatre (London: Chatto & Windus, 1979), 44–47.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 156–158.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–30.

[6]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 473.

[7]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.


Daftar Pustaka

Abe, M. (1985). Zen and Western thought (W. R. LaFleur, Ed.). University of Hawai‘i Press.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Barrett, W. (1990). Irrational man: A study in existential philosophy. Anchor Books.

Beauvoir, S. de. (1976). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage.

Beckett, S. (1954). Waiting for Godot. Grove Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.

Camus, A. (1991). The rebel (A. Bower, Trans.). Vintage International.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy, Vol. 7: Modern philosophy: From the post-Kantian idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche. Image Books.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Freire, P. (2005). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage.

Greene, M. (1995). Releasing the imagination: Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.

Hadot, P. (1998). The inner citadel: The meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University Press.

Hamilton, C. (2010). Requiem for a species: Why we resist the truth about climate change. Earthscan.

Hayman, R. (1979). Existentialism and the theatre. Chatto & Windus.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Husserl, E. (1962). Ideas: General introduction to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). Collier Macmillan.

Iqbal, M. (2013). The reconstruction of religious thought in Islam. Stanford University Press.

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.

Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). Penguin.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press.

Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin.

Lukács, G. (1980). The destruction of reason (P. Palmer, Trans.). Merlin Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue. University of Notre Dame Press.

Maritain, J. (1948). Existence and the existent (L. Galantiere & G. B. Phelan, Trans.). Pantheon Books.

May, R. (1958). Existence: A new dimension in psychiatry and psychology. Basic Books.

Merleau-Ponty, M. (1973). Adventures of the dialectic (J. Bien, Trans.). Northwestern University Press.

Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought. SUNY Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. SUNY Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (2002). Beyond good and evil (J. Norman, Trans.). Cambridge University Press.

Nietzsche, F. (2005). Thus spoke Zarathustra (G. Parkes, Trans.). Oxford University Press.

Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). Penguin.

Russell, B. (2004). History of Western philosophy. Routledge.

Sacks, J. (2020). Morality: Restoring the common good in divided times. Hodder & Stoughton.

Sartre, J.-P. (1964). Nausea (L. Alexander, Trans.). New Directions.

Sartre, J.-P. (1989). No exit (S. Gilbert, Trans.). Vintage.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. University of North Carolina Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.

Westphal, M. (2014). Kierkegaard’s concept of faith. Eerdmans.

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. Basic Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar