Filsafat Eksistensialisme
Eksistensi, Kebebasan, dan Absurd
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Eksistensialisme Religius, Eksistensialisme Ateistik.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat eksistensialisme
sebagai salah satu aliran penting dalam tradisi pemikiran modern.
Eksistensialisme lahir dari kegelisahan manusia terhadap krisis makna di era
modernitas, ditandai oleh runtuhnya otoritas tradisional, pengalaman perang,
dan alienasi sosial. Kajian ini menguraikan konsep-konsep dasar seperti
kebebasan, tanggung jawab, absurditas, kecemasan, otentisitas, dan kesadaran
akan kematian. Melalui analisis historis, artikel ini menelusuri akar
eksistensialisme dari pemikiran klasik, proto-eksistensialis (Kierkegaard dan
Nietzsche), hingga perkembangan pesatnya pada abad ke-20 melalui Heidegger,
Sartre, Camus, dan Beauvoir. Selanjutnya, artikel ini membedakan
eksistensialisme religius dan ateistik, sekaligus meninjau kritik dari
rasionalisme, Marxisme, dan post-strukturalisme. Pada bagian reflektif,
eksistensialisme dipahami sebagai filsafat krisis sekaligus filsafat
pembebasan, yang menegaskan martabat manusia dalam kebebasan dan tanggung
jawab. Relevansi kontemporer eksistensialisme dibahas dalam kaitannya dengan
pendidikan, psikologi, seni, etika, serta tantangan global seperti alienasi
digital, krisis ekologis, dan pandemi. Artikel ini menyimpulkan bahwa
eksistensialisme tetap menjadi filsafat yang relevan, terbuka terhadap dialog
lintas tradisi, dan mampu memberikan kerangka refleksi kritis bagi manusia
modern dalam mencari makna hidup di tengah absurditas.
Kata kunci: Eksistensialisme,
kebebasan, absurditas, otentisitas, tanggung jawab, modernitas, filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Sebuah Kajian Komprehensif tentang Filsafat
Eksistensialisme
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Eksistensialisme merupakan salah satu
aliran filsafat modern yang menyoroti secara mendalam persoalan eksistensi manusia, khususnya terkait dengan kebebasan, kecemasan, absurditas, dan
tanggung jawab. Munculnya filsafat ini tidak dapat dilepaskan dari konteks
historis modernitas yang sarat dengan krisis makna, alienasi, dan dehumanisasi akibat revolusi industri,
perkembangan sains, serta pergolakan sosial-politik Eropa, termasuk dua Perang
Dunia yang menghancurkan tatanan lama dan mengguncang keyakinan terhadap
rasionalitas manusia.¹
Eksistensialisme menolak pandangan
esensialis klasik yang menganggap bahwa hakikat manusia telah ditentukan
sebelumnya. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa eksistensi mendahului esensi—manusia
pertama-tama ada, lalu menentukan dirinya melalui pilihan bebas.² Dengan
demikian, filsafat ini lebih menekankan pada dimensi individual, subjektif, dan
pengalaman konkret manusia
dibandingkan dengan abstraksi universal yang banyak dijumpai dalam filsafat
tradisional.
1.2.      
Rumusan Masalah
Dalam konteks akademik, kajian tentang
eksistensialisme perlu diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok,
antara lain:
1)                 
Apa pengertian dasar
eksistensialisme dan konsep-konsep kuncinya?
2)                 
Bagaimana sejarah
perkembangan eksistensialisme dari akar pra-modern hingga ke bentuknya yang
mapan pada abad ke-20?
3)                 
Siapa saja tokoh-tokoh
sentral eksistensialisme, serta apa kontribusi pemikirannya?
4)                 
Bagaimana relevansi
eksistensialisme dalam menjawab problem kontemporer, baik dalam bidang etika,
pendidikan, psikologi, maupun kehidupan sosial?
1.3.      
Tujuan Penelitian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)                 
Menguraikan secara
sistematis konsep-konsep dasar filsafat eksistensialisme.
2)                 
Menelusuri sejarah
perkembangan dan dinamika pemikiran eksistensialis.
3)                 
Mengkaji secara kritis
pemikiran tokoh-tokoh utama eksistensialisme.
4)                 
Menilai relevansi
eksistensialisme dalam menghadapi persoalan-persoalan manusia kontemporer.
1.4.      
Signifikansi Kajian
Kajian mengenai eksistensialisme
memiliki signifikansi teoretis maupun praktis. Secara teoretis, ia membantu
memperkaya wacana filsafat modern dengan menekankan dimensi subjektif dan
individual manusia, yang kerap diabaikan oleh filsafat rasionalistik maupun positivistik.³ Secara praktis,
eksistensialisme menawarkan perspektif filosofis yang relevan untuk memahami
kecemasan, kebebasan, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, termasuk
dalam konteks pendidikan, psikoterapi, seni, dan bahkan krisis global modern
seperti alienasi digital atau krisis ekologis.⁴
1.5.      
Metodologi Kajian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
historis-filosofis dan hermeneutik. Pendekatan historis-filosofis digunakan
untuk menelusuri akar-akar eksistensialisme dan perkembangannya, sementara
hermeneutik digunakan untuk menafsirkan
teks-teks pemikir eksistensialis secara mendalam. Selain itu, pendekatan
kritis-komparatif dipakai untuk menghubungkan eksistensialisme dengan wacana
filsafat lain serta dengan persoalan kontemporer.
Footnotes
[1]               
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 12–14.
[2]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[3]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
7: Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and
Nietzsche (New York: Image Books, 1994), 315.
[4]               
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
2.          
Konsep Dasar
Eksistensialisme
2.1.      
Definisi Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang menekankan pada keberadaan manusia konkret (eksistensi) di atas abstraksi
universal (esensi). Prinsip dasarnya adalah bahwa “eksistensi mendahului
esensi,” artinya manusia pertama-tama hadir di dunia, lalu membentuk
dirinya melalui pilihan-pilihan yang bebas.¹ Dengan demikian, eksistensialisme menggeser fokus filsafat dari
pertanyaan metafisis abstrak mengenai hakikat umum menuju pengalaman hidup
individual yang penuh kebebasan, kecemasan, dan keterbatasan.
Secara terminologis, istilah “eksistensi”
berasal dari bahasa Latin ex-sistere, yang berarti “keluar dari”
atau “muncul ke luar.”² Dalam kerangka eksistensialis, istilah ini
menunjuk pada dinamika manusia yang terus-menerus menjadi (becoming),
bukan sekadar berada secara
statis. Manusia tidak dipahami sebagai “substansi” yang tetap, melainkan
sebagai proyek terbuka yang ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diambilnya.
2.2.      
Eksistensi vs Esensi
Distingsi antara eksistensi dan esensi
merupakan konsep fundamental dalam eksistensialisme. Menurut Jean-Paul Sartre,
tidak ada esensi atau “hakikat” yang mendahului keberadaan manusia;
manusialah yang melalui tindakannya menciptakan esensinya sendiri.³ Pandangan
ini berlawanan dengan filsafat
klasik—seperti Aristoteles dan skolastik—yang menegaskan bahwa esensi
mendahului eksistensi.
Dalam kerangka ini, manusia adalah
makhluk yang dilemparkan (Geworfenheit) ke dalam dunia tanpa pilihan, namun pada saat yang sama diberi kebebasan
untuk menentukan arah hidupnya.⁴ Inilah yang membuat eksistensialisme sering
disebut sebagai filsafat kebebasan.
2.3.      
Kebebasan dan
Tanggung Jawab
Kebebasan merupakan kategori sentral
dalam eksistensialisme. Sartre menyatakan bahwa manusia “dikondisikan untuk
bebas” (condemned to be free), sebab bahkan tidak memilih pun
merupakan sebuah pilihan.⁵ Namun, kebebasan ini selalu disertai tanggung jawab.
Manusia tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, melainkan juga atas
kemanusiaan secara keseluruhan,
karena setiap tindakan individu berimplikasi universal.
Bagi Kierkegaard, kebebasan manusia
juga berhubungan dengan iman. Kebebasan sejati hanya dapat dijalankan melalui “lompatan
iman” yang mengatasi paradoks eksistensial.⁶ Dengan demikian, kebebasan dalam eksistensialisme tidak
pernah netral, melainkan selalu sarat dengan konsekuensi etis maupun religius.
2.4.      
Kecemasan,
Keputusasaan, dan Absurd
Selain kebebasan, eksistensialisme juga
menyoroti dimensi gelap kehidupan manusia: kecemasan, keputusasaan, dan
absurditas. Menurut Heidegger, kecemasan (Angst) adalah kondisi
eksistensial yang mengungkapkan ketiadaan makna dalam dunia, sekaligus membuka
peluang bagi otentisitas.⁷ Kierkegaard menyebut kecemasan sebagai “pusingnya kebebasan,” yakni rasa gentar
yang muncul dari kemungkinan tanpa batas dalam memilih.
Albert Camus, dalam The Myth of
Sisyphus, menekankan absurditas sebagai benturan antara kerinduan manusia
akan makna dengan kebisuan dunia.⁸ Menurutnya, satu-satunya respons yang layak
adalah sikap “pemberontakan,” yakni menerima absurditas tanpa menyerah pada nihilisme atau ilusi religius.
2.5.      
Otentisitas dan
Inautentisitas
Konsep otentisitas (authenticity)
menjadi tujuan utama dalam eksistensialisme. Manusia otentik adalah mereka yang
mengakui kebebasannya, bertindak sesuai dengan pilihan sadar, dan tidak terjebak dalam pola pikir massal. Heidegger
membedakan antara Dasein otentik—yang menyadari kefanaannya—dengan Dasein
inautentik, yakni individu yang larut dalam “mereka” (das Man),
sehingga kehilangan keunikan eksistensinya.⁹
Dengan demikian, otentisitas menuntut
keberanian untuk hidup sesuai pilihan sendiri, meskipun itu berarti menanggung kecemasan dan kesepian
eksistensial.
2.6.      
Eksistensialisme
Religius dan Ateistik
Eksistensialisme berkembang dalam dua
arus utama: religius dan ateistik. Kierkegaard mewakili eksistensialisme religius yang menekankan iman sebagai jalan keluar dari absurditas hidup.
Nietzsche, Sartre, dan Camus mewakili eksistensialisme ateistik, yang menolak
peran Tuhan dalam memberikan makna hidup, dan sebaliknya menegaskan bahwa
manusia sendirilah yang harus
menciptakan maknanya.¹⁰
Dua arus ini memperlihatkan bahwa
eksistensialisme tidak sekadar sistem tunggal, melainkan kerangka pemikiran luas yang membuka ruang perdebatan
antara iman, kebebasan, dan nihilisme.
Footnotes
[1]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]               
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
7: Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and
Nietzsche (New York: Image Books, 1994), 307.
[3]               
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 24.
[4]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174.
[5]               
Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.
[6]               
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 61.
[7]               
Heidegger, Being and Time, 231.
[8]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin
O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–29.
[9]               
Heidegger, Being and Time, 220.
[10]            
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 108–112.
3.          
Sejarah Perkembangan
Eksistensialisme
3.1.      
Akar dalam Filsafat
Klasik
Meskipun istilah eksistensialisme
baru muncul pada abad ke-20, akar-akar pemikirannya dapat ditelusuri jauh
sebelumnya. Socrates, dengan semboyan “Kenalilah dirimu sendiri,”
menekankan pentingnya refleksi
pribadi dan tanggung jawab moral individu.¹ Pemikiran Stoa (Stoisisme) juga
berpengaruh, terutama melalui penekanannya pada rasionalitas, penerimaan
terhadap nasib (amor fati), serta otonomi batin manusia dalam menghadapi
penderitaan.²
Pada abad pertengahan, filsuf Kristen
seperti Agustinus menekankan pengalaman subjektif iman dan pergulatan batin
manusia dengan Tuhan.³ Pascal, di era modern awal, menggarisbawahi “keterbatasan
manusia” di hadapan kekekalan, serta pentingnya iman sebagai jawaban atas absurditas eksistensi.⁴ Tokoh-tokoh ini
menyediakan fondasi konseptual yang kelak diolah oleh para eksistensialis
modern.
3.2.      
Kierkegaard dan
Nietzsche: Proto-Eksistensialis
Eksistensialisme sebagai aliran yang
khas sering dikaitkan dengan Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche.
Kierkegaard (1813–1855) dianggap sebagai “bapak eksistensialisme,” karena menekankan subjektivitas, pilihan
pribadi, serta “lompatan iman” dalam menghadapi paradoks eksistensial.⁵
Ia menolak agama yang hanya bersifat formal dan menekankan keterlibatan eksistensial
yang otentik dengan Tuhan.
Di sisi lain, Nietzsche (1844–1900)
menghadirkan kritik radikal terhadap moralitas tradisional, agama Kristen, dan
rasionalisme Barat. Dengan proklamasi “Tuhan telah mati,” ia menegaskan
nihilisme sebagai kondisi dasar modernitas.⁶ Nietzsche tidak berhenti pada
nihilisme, tetapi menawarkan konsep Übermensch (manusia unggul) dan “kehendak untuk berkuasa” sebagai cara manusia menciptakan nilai baru secara mandiri.⁷ Dua tokoh ini, meskipun
berbeda orientasi, sama-sama menekankan individualitas, kebebasan, dan tanggung
jawab eksistensial.
3.3.      
Eksistensialisme
Abad ke-20: Perancis dan Jerman
Eksistensialisme berkembang pesat pada
abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia I dan II yang menimbulkan krisis
makna, dislokasi sosial, serta penderitaan massal. Di Jerman, Martin Heidegger
(1889–1976) melalui Being and Time (1927) memformulasikan analisis
eksistensial mengenai Dasein, yakni manusia sebagai “ada-di-dunia”
(being-in-the-world).⁸ Heidegger menekankan keterlemparan, kecemasan,
dan kesadaran akan kematian sebagai kondisi dasar eksistensi manusia.
Di Perancis, Jean-Paul Sartre
(1905–1980) menjadi tokoh utama eksistensialisme ateistik. Dalam Being and
Nothingness (1943), Sartre menegaskan bahwa manusia “dikondisikan untuk
bebas” dan bahwa eksistensi mendahului esensi.⁹ Albert Camus (1913–1960), meski menolak label
eksistensialis, turut menyumbang gagasan tentang absurditas dan pemberontakan
melalui karya The Myth of Sisyphus (1942).¹⁰ Simone de Beauvoir
(1908–1986) juga mengintegrasikan eksistensialisme dengan feminisme dalam
karyanya The Second Sex (1949), yang menekankan pembebasan perempuan
dari struktur patriarkal.¹¹
3.4.      
Konteks Sosial dan
Kultural
Eksistensialisme tidak dapat dilepaskan
dari konteks sosial-politik modern. Krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh
perang, industrialisasi, dan alienasi modernitas mendorong pencarian makna baru
yang lebih subjektif dan personal. Gerakan
ini juga menemukan ekspresi dalam sastra, teater, dan seni modern. Misalnya,
karya sastra Dostoevsky, Kafka, dan Samuel Beckett merefleksikan kecemasan,
absurditas, serta keterasingan manusia.¹²
Eksistensialisme juga memengaruhi
perkembangan psikologi, khususnya melalui logoterapi Viktor Frankl yang
menekankan pencarian makna hidup sebagai inti kesehatan mental.¹³ Dalam bidang
seni dan budaya, eksistensialisme menjadi inspirasi bagi avant-garde serta gerakan intelektual
pascaperang yang mencari identitas baru dalam menghadapi krisis modernitas.
3.5.      
Eksistensialisme
dalam Dialog Global
Seiring waktu, eksistensialisme tidak
hanya berakar di Eropa, tetapi juga berdialog dengan tradisi lain. Dalam
filsafat Timur, misalnya, beberapa pengkaji menemukan paralel antara
eksistensialisme dan Zen Buddhisme dalam menekankan keterbatasan konsep
rasional dan pengalaman langsung eksistensi.¹⁴ Dalam pemikiran Islam
kontemporer, sejumlah intelektual mencoba merekonstruksi eksistensialisme dalam
kerangka teologi dan etika, meskipun sering dikritik karena perbedaan paradigma
metafisis.¹⁵
Dengan demikian, sejarah
eksistensialisme memperlihatkan perkembangan dinamis: dari akar klasik, proto-eksistensialis, puncak abad ke-20,
hingga dialog global kontemporer.
Footnotes
[1]               
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45.
[2]               
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of
Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1998), 132–135.
[3]               
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 77–80.
[4]               
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J.
Krailsheimer (London: Penguin, 1995), 122–124.
[5]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.
[6]               
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.
[7]               
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Graham Parkes (Oxford: Oxford University Press, 2005), 23–25.
[8]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–68.
[9]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans.
Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.
[10]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–6.
[11]            
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011),
283–285.
[12]            
Ronald Hayman, Existentialism and the Theatre
(London: Chatto & Windus, 1979), 44–47.
[13]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
[14]            
Masao Abe, “Zen and Western Thought,” in Abe Masao:
A Zen Life of Dialogue, ed. Steven Heine (Honolulu: University of Hawai‘i
Press, 1992), 114–117.
[15]            
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought
(Albany: SUNY Press, 1981), 201–203.
4.          
Tokoh-Tokoh Utama
Eksistensialisme
4.1.      
Søren
Kierkegaard (1813–1855)
Søren Kierkegaard dianggap sebagai
bapak eksistensialisme modern karena menekankan subjektivitas dan keterlibatan
personal dalam iman.¹ Baginya, kebenaran bukanlah sesuatu yang bersifat
objektif dan universal, melainkan dialami secara eksistensial oleh individu.
Konsep “loncatan iman” (leap of faith) menegaskan bahwa manusia, dalam menghadapi paradoks
kehidupan, hanya dapat menemukan makna melalui keterlibatan religius yang
mendalam.² Kierkegaard juga menguraikan kondisi eksistensial seperti kecemasan
(angst) dan keputusasaan, yang menjadi tanda keterbatasan manusia
sekaligus peluang untuk berjumpa dengan Tuhan.³
4.2.      
Friedrich
Nietzsche (1844–1900)
Nietzsche membawa eksistensialisme ke
arah yang berbeda dengan menolak metafisika dan agama tradisional. Ia terkenal
dengan proklamasinya “Tuhan telah mati,” yang menggambarkan runtuhnya
fondasi nilai-nilai tradisional Barat.⁴ Dalam konteks nihilisme ini, Nietzsche menawarkan konsep Übermensch
(manusia unggul) sebagai sosok yang mampu menciptakan nilai-nilai baru di
tengah kehampaan makna.⁵ Gagasannya tentang “kehendak untuk berkuasa” (will to power) memperlihatkan manusia sebagai makhluk yang aktif, kreatif, dan
bertanggung jawab atas maknanya sendiri.⁶ Meskipun sering dianggap sebagai
filsuf destruktif, Nietzsche sesungguhnya membuka jalan bagi afirmasi hidup
yang otentik.
4.3.      
Martin
Heidegger (1889–1976)
Heidegger menempatkan eksistensialisme
dalam kerangka ontologis melalui analisis tentang Dasein dalam Being
and Time.⁷ Ia memahami manusia bukan sekadar entitas, melainkan “ada-di-dunia”
(being-in-the-world) yang selalu berada dalam relasi dengan
lingkungannya. Heidegger menyoroti konsep keterlemparan (Geworfenheit),
kecemasan eksistensial, dan kesadaran akan kematian sebagai kondisi fundamental eksistensi.⁸ Menurutnya,
kesadaran akan kefanaan justru membuka peluang bagi kehidupan yang otentik.
Berbeda dengan Kierkegaard yang menekankan iman, Heidegger menyoroti struktur
dasar eksistensi manusia secara fenomenologis dan ontologis.
4.4.      
Jean-Paul
Sartre (1905–1980)
Sartre adalah tokoh sentral
eksistensialisme ateistik abad ke-20. Dalam Being and Nothingness, ia
menegaskan prinsip “eksistensi mendahului esensi,” yang berarti manusia
harus menciptakan dirinya melalui tindakan.⁹ Sartre menekankan kebebasan
radikal manusia yang “dikondisikan untuk bebas” (condemned to be free),
bahkan dalam situasi yang paling terbatas sekalipun.¹⁰ Namun, kebebasan ini
membawa konsekuensi tanggung jawab penuh atas tindakan-tindakan manusia. Sartre
juga menyoroti fenomena bad faith (ketidakjujuran eksistensial), yaitu
sikap mengingkari kebebasan dengan menyalahkan keadaan eksternal.¹¹ Melalui
filsafatnya, Sartre berupaya membangun
sebuah humanisme baru yang menegaskan martabat manusia sebagai makhluk bebas.
4.5.      
Albert Camus
(1913–1960)
Camus sering dikaitkan dengan
eksistensialisme, meskipun ia sendiri lebih suka disebut sebagai filsuf
absurditas. Dalam The Myth of Sisyphus, ia menegaskan bahwa kehidupan
manusia pada dasarnya absurd, yakni benturan antara kerinduan akan makna dan
ketidakacuhan dunia.¹² Alih-alih menyerah pada nihilisme atau beralih pada solusi religius, Camus
mengajukan konsep “pemberontakan” (révolte), yaitu sikap menerima
absurditas sambil tetap menjalani kehidupan dengan keberanian.¹³ Bagi Camus,
manusia absurd adalah mereka yang terus hidup dengan sadar, tanpa kepastian,
namun dengan komitmen penuh pada kebebasan.
4.6.      
Simone de Beauvoir
(1908–1986)
Simone de Beauvoir memperluas
eksistensialisme ke dalam bidang etika dan feminisme. Dalam karyanya The
Second Sex, ia menganalisis bagaimana perempuan secara historis ditempatkan
sebagai “yang lain” (the Other) dalam relasi sosial.¹⁴ Dengan
pendekatan eksistensialis, Beauvoir menekankan pentingnya kebebasan perempuan
untuk membentuk identitas dan esensinya sendiri. Ia menolak determinisme
biologis dan menegaskan bahwa perempuan “tidak dilahirkan sebagai perempuan,
tetapi menjadi perempuan.”¹⁵ Kontribusi Beauvoir menjadikan
eksistensialisme relevan dalam perjuangan emansipasi, etika relasional, dan
teori gender kontemporer.
Sintesis Pemikiran Tokoh
Keenam tokoh ini menunjukkan keragaman
orientasi dalam eksistensialisme: Kierkegaard dengan dimensi religius,
Nietzsche dengan kritik radikal terhadap nilai-nilai tradisional, Heidegger
dengan analisis ontologis, Sartre dengan humanisme ateistik, Camus dengan filsafat absurditas, serta Beauvoir dengan
feminisme eksistensialis. Meskipun berbeda, mereka sepakat dalam penekanan pada
subjektivitas, kebebasan, dan tanggung jawab eksistensial sebagai inti
pengalaman manusia.
Footnotes
[1]               
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton
University Press, 1941), 189–190.
[2]               
Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.
[3]               
Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1989), 43–45.
[4]               
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.
[5]               
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans.
Graham Parkes (Oxford: Oxford University Press, 2005), 23–25.
[6]               
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Judith Norman (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 110–112.
[7]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–68.
[8]               
Heidegger, Being and Time, 231–234.
[9]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans.
Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 22–24.
[10]            
Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans.
Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29.
[11]            
Sartre, Being and Nothingness, 86–87.
[12]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–29.
[13]            
Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New
York: Vintage International, 1991), 15–17.
[14]            
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance
Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283–285.
[15]            
Beauvoir, The Second Sex, 295.
5.          
Tema-tema Sentral
Eksistensialisme
5.1.      
Kebebasan dan
Tanggung Jawab
Kebebasan merupakan konsep paling
mendasar dalam eksistensialisme. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia “dikondisikan
untuk bebas” (condemned to be free), sebab bahkan ketika menolak
memilih, manusia tetap sedang memilih.¹ Kebebasan ini tidak bersifat pasif,
melainkan aktif: manusia dituntut untuk menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan-pilihan konkret.
Namun, kebebasan selalu beriringan dengan tanggung jawab. Sartre menekankan
bahwa dalam setiap tindakannya, manusia tidak hanya bertanggung jawab atas
dirinya, tetapi juga “mewakili” seluruh umat manusia.² Oleh karena itu,
kebebasan eksistensial bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang
sarat konsekuensi etis.
5.2.      
Absurd dan Pencarian
Makna
Albert Camus menyoroti absurditas
sebagai kondisi fundamental eksistensi manusia, yakni benturan antara kerinduan
manusia akan makna dengan kebisuan dunia.³ Menurut Camus, manusia menyadari
bahwa hidup tidak menawarkan makna transendental yang pasti, tetapi hal itu
tidak berarti menyerah pada nihilisme. Sebaliknya, manusia justru ditantang
untuk “memberontak” terhadap absurditas dengan menciptakan makna melalui
tindakannya.⁴ Absurditas dengan demikian
bukanlah akhir, melainkan panggilan untuk menjalani kehidupan secara lebih
autentik.
5.3.      
Kecemasan dan
Keterlemparan
Eksistensialisme juga menekankan
pengalaman kecemasan (anxiety) sebagai kondisi eksistensial yang khas.
Søren Kierkegaard menyebut kecemasan sebagai “pusingnya kebebasan” (the
dizziness of freedom), yaitu kegentaran yang timbul dari kesadaran akan
kemungkinan yang tak terbatas.⁵ Martin Heidegger melanjutkan gagasan ini dengan
menjelaskan bahwa kecemasan (Angst) mengungkapkan kenyataan
keterlemparan (Geworfenheit) manusia ke dalam dunia tanpa pilihan awal.⁶ Dalam kecemasan, manusia
menyadari kerapuhan eksistensinya, namun sekaligus menemukan peluang untuk
menjalani kehidupan secara otentik.
5.4.      
Otentisitas dan
Inautentisitas
Konsep otentisitas (authenticity)
merupakan tujuan ideal dalam eksistensialisme. Heidegger membedakan antara Dasein
otentik, yang menyadari keberadaannya yang terbatas dan menghadapi kematian dengan
jujur, dengan Dasein inautentik, yang larut dalam kehidupan massa (das
Man) dan kehilangan individualitasnya.⁷ Sartre menyebut fenomena serupa
sebagai bad faith, yakni sikap menipu diri sendiri dengan menyangkal
kebebasan demi kenyamanan semu.⁸ Hidup otentik berarti mengakui kebebasan
sepenuhnya dan bertindak sesuai dengan kesadaran eksistensial, meskipun penuh
risiko dan kesepian.
5.5.      
Relasi dengan
Kematian dan Kefanaan
Eksistensialisme juga menempatkan
kematian sebagai tema sentral. Heidegger menekankan bahwa kesadaran akan
kematian mengungkapkan sifat fundamental eksistensi manusia sebagai being-toward-death.⁹
Dengan menyadari kefanaan, manusia tidak lagi menunda atau menghindari realitas
hidup, melainkan hidup lebih intens dan autentik. Kierkegaard pun melihat
kematian sebagai titik batas yang menyingkap keterbatasan manusia di hadapan
Tuhan, sementara Camus melihatnya sebagai bukti paling konkret dari absurditas
eksistensi.¹⁰ Dalam semua variasi pandangan tersebut, kematian dipahami bukan
sekadar akhir biologis, melainkan momen filosofis yang menegaskan keunikan
eksistensi manusia.
5.6.      
Subjektivitas dan
Interpersonalitas
Selain menekankan individualitas,
eksistensialisme juga menyadari pentingnya relasi antar-manusia. Kierkegaard
berbicara tentang relasi pribadi dengan Tuhan sebagai puncak subjektivitas,
sementara Sartre menekankan dimensi konflik dalam relasi manusia melalui ungkapannya yang terkenal, “neraka
adalah orang lain.”¹¹ Namun, Simone de Beauvoir melengkapi perspektif ini
dengan menegaskan bahwa kebebasan individu tidak boleh mengabaikan kebebasan
orang lain.¹² Bagi Beauvoir, otentisitas sejati hanya dapat tercapai bila
seseorang mengakui dan menghormati kebebasan orang lain sebagai bagian dari
eksistensinya sendiri.
Sintesis Tema Eksistensialisme
Tema-tema eksistensialisme—kebebasan,
absurditas, kecemasan, otentisitas, kematian, dan relasi
interpersonal—mencerminkan upaya memahami manusia sebagai makhluk yang rapuh
sekaligus berdaya. Dengan menolak kepastian metafisik yang absolut,
eksistensialisme mengajak manusia untuk menghadapi dunia apa adanya, dengan
keberanian dan tanggung jawab. Tema-tema ini pula yang menjadikan
eksistensialisme relevan tidak hanya sebagai filsafat akademis, tetapi juga sebagai panduan praktis dalam
menghadapi problem kehidupan kontemporer.
Footnotes
[1]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans.
Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.
[2]               
Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans.
Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.
[3]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–6.
[4]               
Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New
York: Vintage International, 1991), 15–17.
[5]               
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 61.
[6]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–176.
[7]               
Heidegger, Being and Time, 220–223.
[8]               
Sartre, Being and Nothingness, 86–87.
[9]               
Heidegger, Being and Time, 303–305.
[10]            
Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1989), 43–45; Camus, The Myth of Sisyphus,
28–30.
[11]            
Sartre, No Exit, trans. Stuart Gilbert (New
York: Vintage, 1989), 45.
[12]            
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–75.
6.          
Eksistensialisme
Religius vs Eksistensialisme Ateistik
6.1.      
Distingsi
Fundamental
Eksistensialisme berkembang dalam dua
arus utama yang berbeda orientasi: religius dan ateistik. Keduanya sama-sama
menekankan eksistensi manusia sebagai pusat refleksi filsafat, namun berbeda dalam menjawab pertanyaan mendasar
mengenai Tuhan, makna hidup, dan sumber nilai moral. Eksistensialisme religius,
yang dipelopori oleh Søren Kierkegaard, menekankan iman sebagai jalan keluar
dari absurditas.¹ Sementara itu, eksistensialisme ateistik, yang dikembangkan
oleh Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Friedrich Nietzsche, menolak landasan
teologis dan berusaha menegaskan otonomi manusia sepenuhnya.²
6.2.      
Eksistensialisme Religius
Kierkegaard melihat kehidupan manusia
sebagai pergulatan eksistensial yang ditandai oleh kecemasan, keputusasaan, dan
keterbatasan.³ Menurutnya, hanya iman kepada Tuhan yang dapat memberikan
resolusi sejati terhadap paradoks eksistensial
tersebut. Ia memperkenalkan konsep “lompatan iman” (leap of faith),
yakni tindakan eksistensial yang melampaui rasionalitas untuk mencapai hubungan
pribadi dengan Tuhan.⁴ Dengan demikian, bagi Kierkegaard, iman bukanlah sekadar
dogma, melainkan keputusan eksistensial yang melibatkan subjektivitas terdalam.
Eksistensialisme religius tidak menolak
kebebasan, melainkan memahaminya dalam relasi dengan transendensi. Kebebasan
manusia tidak absolut, melainkan selalu diarahkan untuk mengakui ketergantungan
kepada Tuhan.⁵ Perspektif ini
menjadikan eksistensialisme religius tetap berakar pada tradisi iman, sambil
tetap menekankan tanggung jawab personal.
6.3.      
Eksistensialisme Ateistik
Berbeda dengan Kierkegaard, Sartre
menyatakan secara tegas bahwa “jika Tuhan tidak ada, maka manusia dibiarkan
sepenuhnya bebas, tanpa esensi yang telah ditentukan sebelumnya.”⁶ Dengan
prinsip bahwa “eksistensi mendahului esensi,” Sartre menegaskan bahwa
manusia sendirilah yang menciptakan
makna dan nilai dalam hidupnya. Kebebasan dalam perspektif ini bersifat
radikal, bahkan disertai beban tanggung jawab yang tidak dapat dialihkan.⁷
Albert Camus, meski sering disandingkan
dengan Sartre, mengambil jalur berbeda dengan filsafat absurditas. Bagi Camus,
hidup itu absurd karena tidak ada jawaban transendental yang memadai bagi
kerinduan manusia akan makna.⁸ Namun, ia menolak baik nihilisme maupun solusi
religius, dan justru menganjurkan sikap “pemberontakan” terhadap
absurditas dengan tetap menjalani hidup secara sadar dan penuh gairah.⁹
Nietzsche, yang lebih
awal, menyatakan bahwa “Tuhan telah mati,” dan dengan demikian manusia
harus menciptakan nilai-nilainya sendiri melalui konsep Übermensch dan
kehendak berkuasa.¹⁰
Eksistensialisme ateistik, meskipun
beragam, memiliki benang merah berupa penegasan otonomi manusia sepenuhnya dan
penolakan terhadap otoritas transendental.
6.4.      
Ketegangan dan
Dialog
Ketegangan antara eksistensialisme religius dan ateistik mencerminkan problem klasik filsafat: antara iman dan
rasio, antara transendensi dan immanensi. Kierkegaard memandang tanpa iman,
manusia akan terjebak dalam keputusasaan; Sartre dan Camus, sebaliknya, menilai
bahwa iman hanyalah pelarian dari kebebasan.¹¹ Meskipun berbeda secara radikal,
kedua arus ini sama-sama
menegaskan urgensi subjektivitas, kebebasan, dan tanggung jawab.
Menariknya, beberapa pemikir kontemporer berupaya mempertemukan dua arus
tersebut. Viktor Frankl, misalnya, mengintegrasikan dimensi spiritual dalam
logoterapinya, namun tetap membuka ruang bagi makna yang dibangun manusia tanpa
harus terikat pada dogma tertentu.¹² Hal ini menunjukkan bahwa dialog antara
eksistensialisme religius dan ateistik tetap relevan dalam konteks modern,
ketika manusia terus mencari makna di tengah krisis global dan sekularisasi.
Refleksi Kritis
Eksistensialisme religius dan ateistik
sama-sama lahir dari pergulatan terhadap absurditas hidup. Perbedaan utamanya
terletak pada arah respons: religius menuju iman, ateistik menuju kebebasan
radikal. Namun, keduanya menyumbang pemahaman yang kaya tentang kondisi
manusia. Bagi sebagian kalangan, keberanian Sartre dan Camus dalam menolak
transendensi merupakan langkah penting dalam menegaskan martabat manusia
modern. Sementara bagi yang lain, kedalaman Kierkegaard dalam melihat iman
sebagai pengalaman eksistensial menawarkan jalan spiritual yang tetap relevan.
Footnotes
[1]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.
[2]               
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 108–112.
[3]               
Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1989), 43–45.
[4]               
Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript,
trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University
Press, 1941), 189–190.
[5]               
Merold Westphal, Kierkegaard’s Concept of Faith
(Grand Rapids: Eerdmans, 2014), 21–24.
[6]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[7]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans.
Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.
[8]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–6.
[9]               
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower
(New York: Vintage International, 1991), 15–17.
[10]            
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.
[11]            
Barrett, Irrational Man, 146–149.
[12]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
7.          
Kritik terhadap
Eksistensialisme
7.1.      
Kritik dari
Rasionalisme dan Positivisme
Eksistensialisme kerap dikritik sebagai
filsafat yang terlalu subjektif dan emosional. Tradisi rasionalisme menilai
bahwa eksistensialisme mengabaikan universalitas rasio dan kepastian logis.¹
Para positivis logis, misalnya, menolak klaim eksistensialis mengenai
kebebasan, kecemasan, dan absurditas karena dianggap tidak dapat diverifikasi
secara empiris.² Dalam pandangan mereka,
filsafat seharusnya bersifat analitis dan berfokus pada bahasa serta struktur
logis, bukan pada pengalaman subjektif. Akibatnya, eksistensialisme sering
dipandang lebih dekat dengan sastra atau psikologi daripada filsafat ilmiah.
7.2.      
Kritik dari Marxisme
Eksistensialisme juga mendapat kritik
tajam dari pemikir Marxis. Menurut perspektif Marxis, eksistensialisme terlalu
menekankan kebebasan individual sehingga melupakan determinasi historis dan
kondisi material.³ Bagi kaum Marxis, kesadaran manusia dibentuk oleh struktur
ekonomi dan relasi sosial, bukan hanya oleh pilihan individual. Georg Lukács,
misalnya, menyebut eksistensialisme sebagai “ideologi dekadensi borjuis”
yang mengabaikan perjuangan kelas.⁴ Bahkan Sartre sendiri kemudian mencoba
menggabungkan eksistensialisme dengan Marxisme dalam karyanya Critique of
Dialectical Reason, meski proyek ini tetap menuai perdebatan.⁵
7.3.      
Kritik dari
Post-Strukturalisme dan Dekonstruksi
Pada paruh kedua abad ke-20, muncul
kritik dari post-strukturalisme yang menantang fondasi eksistensialisme.
Jacques Derrida menilai bahwa konsep “subjek otonom” yang menjadi pusat
eksistensialisme sesungguhnya rapuh karena identitas manusia selalu ditentukan
oleh jaringan tanda dan bahasa.⁶ Michel Foucault juga mengkritik gagasan
kebebasan radikal Sartre, dengan menekankan bahwa subjek manusia dibentuk oleh
relasi kuasa dan diskursus sosial.⁷ Kritik ini menunjukkan bahwa
eksistensialisme masih terlalu mengidealkan kebebasan individu, tanpa cukup
memperhitungkan faktor eksternal yang membentuk subjek.
7.4.      
Kritik atas
Individualisme dan Subjektivitas Radikal
Selain dari aliran filsafat lain,
eksistensialisme dikritik karena dianggap terlalu menekankan individualitas.⁸
Dalam fokusnya pada subjektivitas, ia berpotensi mengabaikan dimensi sosial dan
komunitarian dari eksistensi manusia. Sebagian kalangan teolog menilai bahwa eksistensialisme ateistik berujung pada
nihilisme, karena menolak otoritas transendental sebagai sumber makna.⁹ Bahkan
dalam eksistensialisme religius, orientasi iman yang terlalu individual dapat
menimbulkan kesan isolasi spiritual.
Evaluasi Kritis
Meskipun menuai banyak kritik,
eksistensialisme tetap memiliki relevansi. Kritik dari positivisme mengingatkan
agar filsafat eksistensial tidak terjebak dalam metafor yang kabur; kritik
Marxis menekankan pentingnya kondisi material dalam membentuk eksistensi;
sementara kritik post-strukturalis menunjukkan keterkaitan eksistensi dengan bahasa dan kuasa. Semua kritik ini,
jika diterima secara reflektif, justru memperkaya eksistensialisme dan
mendorongnya untuk lebih seimbang antara dimensi individual dan sosial.
Footnotes
[1]               
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 723–725.
[2]               
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 34–36.
[3]               
Maurice Merleau-Ponty, Adventures of the Dialectic,
trans. Joseph Bien (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 85–86.
[4]               
Georg Lukács, The Destruction of Reason, trans.
Peter Palmer (London: Merlin Press, 1980), 775.
[5]               
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason,
trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 15–18.
[6]               
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans.
Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.
[7]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 30–31.
[8]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 473.
[9]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), 52–53.
8.          
Relevansi
Eksistensialisme dalam Konteks Kontemporer
8.1.      
Eksistensialisme
dalam Pendidikan
Eksistensialisme memberikan kontribusi
penting dalam filsafat pendidikan modern. Pendekatan ini menekankan kebebasan
individu, tanggung jawab, dan pengembangan diri secara otentik.¹ Pendidikan dalam perspektif eksistensialis bukan
sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses membantu siswa menemukan makna
dan arah hidupnya.² Dengan menekankan pilihan dan kebebasan, eksistensialisme
menolak model pendidikan yang menindas kebebasan berpikir dan membentuk manusia
menjadi sekadar instrumen sistem.³ Relevansi ini sangat terasa di era
pendidikan kritis yang berusaha membebaskan individu dari hegemoni budaya dan
struktur sosial.
8.2.      
Eksistensialisme
dalam Psikologi dan Psikoterapi
Pemikiran eksistensialis juga berpengaruh
besar pada psikologi humanistik dan psikoterapi eksistensial. Viktor E. Frankl,
misalnya, mengembangkan logoterapi yang menekankan pencarian makna
sebagai inti kesehatan mental.⁴ Bagi Frankl, bahkan dalam kondisi ekstrem
seperti kamp konsentrasi, manusia masih memiliki kebebasan untuk menentukan
sikap dan menemukan makna hidupnya.⁵ Demikian pula, Rollo May dan Irvin Yalom
mengembangkan psikoterapi eksistensial yang menekankan kecemasan, kematian,
kebebasan, dan keterasingan sebagai realitas fundamental yang harus dihadapi
pasien.⁶ Dengan demikian, eksistensialisme tetap relevan dalam memberikan
landasan filosofis bagi terapi modern.
8.3.      
Eksistensialisme
dalam Sastra dan Seni
Eksistensialisme menemukan ekspresi
yang kuat dalam dunia sastra dan seni. Novel-novel Sartre (Nausea) dan
Camus (The Stranger) merepresentasikan pengalaman absurditas,
keterasingan, dan pencarian makna dalam kehidupan sehari-hari.⁷ Dalam teater,
karya Samuel Beckett seperti Waiting for Godot menghadirkan absurditas
eksistensi manusia dalam bentuk panggung minimalis dan repetitif.⁸ Seni eksistensialis tidak bertujuan
menghadirkan kepastian, melainkan menggugah kesadaran akan kondisi manusia yang
rapuh dan ambigu. Pada masa kontemporer, estetika eksistensialis terus hadir
dalam film, musik, dan seni rupa yang mengeksplorasi keterasingan manusia dalam
era digital.
8.4.      
Eksistensialisme dan
Krisis Global
Dalam konteks krisis global,
eksistensialisme menawarkan kerangka filosofis yang relevan untuk memahami
alienasi manusia modern. Di era digital, individu sering kehilangan otentisitas
karena terjebak dalam budaya massa dan konstruksi identitas maya.⁹
Eksistensialisme menegaskan pentingnya hidup otentik di tengah banjir informasi
dan tekanan sosial media. Selain itu, dalam menghadapi krisis ekologis, filsafat eksistensial menyoroti
keterbatasan manusia dan perlunya kesadaran akan tanggung jawab eksistensial
terhadap generasi mendatang.¹⁰ Bahkan dalam krisis pandemi global, gagasan
eksistensialis tentang kematian, kecemasan, dan makna hidup terbukti membantu
manusia menghadapi ketidakpastian.¹¹
8.5.      
Eksistensialisme dan
Etika Kontemporer
Eksistensialisme juga relevan dalam
diskursus etika kontemporer. Simone de Beauvoir melalui The Ethics of
Ambiguity menegaskan bahwa kebebasan individu harus selalu dipertimbangkan
dalam kaitannya dengan kebebasan orang lain.¹² Perspektif ini menjadi dasar
bagi etika relasional yang penting dalam wacana hak asasi manusia, feminisme,
dan pluralisme budaya. Dengan menekankan bahwa manusia menciptakan makna dan
nilai melalui tindakan,
eksistensialisme memberi dasar bagi etika yang dinamis, kontekstual, dan
terbuka terhadap keragaman.
Evaluasi Relevansi
Eksistensialisme, meskipun lahir pada
abad ke-19 dan ke-20, tetap menawarkan wawasan penting bagi abad ke-21. Ia
memberikan kerangka untuk menghadapi krisis identitas, alienasi digital,
kecemasan ekologis, dan dilema etika global. Walaupun dikritik karena terlalu individualistik,
eksistensialisme justru memaksa manusia modern untuk mengakui kebebasannya dan
bertanggung jawab atas masa depan bersama. Dengan demikian, eksistensialisme
tetap hidup sebagai filsafat yang relevan bagi zaman kini.
Footnotes
[1]               
Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on
Education, the Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995),
20–23.
[2]               
Van Cleve Morris, Existentialism in Education
(New York: Harper & Row, 1966), 34–36.
[3]               
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–74.
[4]               
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
[5]               
Frankl, Man’s Search for Meaning, 132–135.
[6]               
Rollo May, Existence: A New Dimension in Psychiatry
and Psychology (New York: Basic Books, 1958), 14–15; Irvin D. Yalom, Existential
Psychotherapy (New York: Basic Books, 1980), 8–10.
[7]               
Jean-Paul Sartre, Nausea, trans. Lloyd
Alexander (New York: New Directions, 1964), 25–28.
[8]               
Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York:
Grove Press, 1954), 7–9.
[9]               
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More
from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011),
156–158.
[10]            
Clive Hamilton, Requiem for a Species: Why We
Resist the Truth about Climate Change (London: Earthscan, 2010), 99–101.
[11]            
Jonathan Sacks, Morality: Restoring the Common Good
in Divided Times (London: Hodder & Stoughton, 2020), 185–188.
[12]            
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 72–75.
9.          
Perbandingan dan
Dialog
9.1.      
Eksistensialisme dan
Fenomenologi
Eksistensialisme memiliki hubungan erat
dengan fenomenologi, khususnya melalui karya Martin Heidegger yang berangkat
dari pemikiran Edmund Husserl. Fenomenologi Husserl menekankan “kembali ke
benda itu sendiri” (zu den Sachen selbst) dengan menangguhkan
prasangka teoretis untuk memahami pengalaman sebagaimana dialami.¹ Heidegger
mengadaptasi metode ini, tetapi mengalihkan fokus dari kesadaran murni ke
eksistensi konkret manusia (Dasein).² Sartre kemudian menggabungkan
fenomenologi dan eksistensialisme dalam analisis kesadaran sebagai kebebasan yang
selalu “melampaui dirinya.”³ Dengan demikian, fenomenologi memberi
kerangka metodologis bagi eksistensialisme, sementara eksistensialisme
memperluas fenomenologi ke ranah etis dan ontologis.
9.2.      
Eksistensialisme dan
Humanisme
Eksistensialisme kerap disebut sebagai
bentuk humanisme baru. Sartre, dalam esainya Existentialism Is a Humanism,
menegaskan bahwa meskipun menolak Tuhan sebagai sumber makna, eksistensialisme
justru menegaskan martabat manusia sebagai pencipta nilai.⁴ Namun, beberapa
humanis klasik mengkritik eksistensialisme karena dianggap terlalu pesimistis
dan sarat kecemasan.⁵ Perbedaan mendasar terletak pada fondasi: humanisme
klasik berpijak pada rasionalitas universal, sedangkan eksistensialisme pada
kebebasan individual. Kendati demikian, keduanya memiliki titik temu dalam penegasan nilai kemanusiaan dan
tanggung jawab etis.
9.3.      
Eksistensialisme dan
Agama-agama Dunia
Eksistensialisme religius ala
Kierkegaard menemukan resonansi dengan tradisi Kristen yang menekankan iman
personal.⁶ Dalam Islam, beberapa pemikir kontemporer—seperti Muhammad Iqbal—menekankan pentingnya kebebasan kreatif manusia dalam membangun diri,
yang selaras dengan semangat eksistensialis.⁷ Buddhisme, khususnya Zen, juga
menunjukkan kedekatan dengan eksistensialisme dalam penekanan pada keterbatasan
rasionalitas dan pengalaman langsung hidup di saat kini.⁸ Meskipun berbeda
landasan metafisis, dialog antara eksistensialisme dan agama-agama dunia
membuka kemungkinan reinterpretasi iman sebagai pengalaman eksistensial yang
otentik.
9.4.      
Eksistensialisme dan
Filsafat Timur
Filsafat Timur, seperti Taoisme dan
sufisme, memiliki sejumlah persinggungan dengan eksistensialisme. Taoisme
menekankan hidup selaras dengan Dao tanpa keterikatan pada konstruksi
rasional, yang mengingatkan pada sikap eksistensialis menghadapi absurditas.⁹
Dalam sufisme, pengalaman eksistensial manusia di hadapan Tuhan dipahami
melalui konsep fana’ (melebur dalam Tuhan) yang menyingkap keterbatasan diri.¹⁰
Namun, berbeda dengan eksistensialisme ateistik, filsafat Timur cenderung tetap
berakar pada dimensi transendensi.
Meski demikian, keduanya sama-sama menekankan pengalaman langsung, kebebasan
batin, dan otentisitas.
9.5.      
Eksistensialisme
dalam Dialog Global
Eksistensialisme tidak hanya berdialog
dengan tradisi Barat, tetapi juga menjadi jembatan untuk percakapan lintas
budaya. Dalam konteks globalisasi, eksistensialisme menawarkan kerangka untuk
membahas isu-isu universal seperti alienasi, makna hidup, dan kebebasan.¹¹
Dengan demikian, filsafat ini membuka ruang dialog antara tradisi yang berbeda,
baik religius maupun sekuler, Barat maupun Timur. Relevansinya terletak pada kemampuannya untuk menyoroti pengalaman
manusia yang mendasar, melampaui batas budaya dan agama.
Refleksi Komparatif
Dari dialog dengan fenomenologi,
humanisme, agama-agama, dan filsafat Timur, eksistensialisme menunjukkan
fleksibilitasnya. Ia bukan sistem tertutup, melainkan pendekatan terbuka yang
dapat berinteraksi dengan beragam tradisi intelektual. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa eksistensialisme memiliki
kekuatan sebagai filsafat krisis sekaligus filsafat dialog, yang memperkaya
diskursus filosofis dan spiritual kontemporer.
Footnotes
[1]               
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure
Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Collier Macmillan, 1962),
44–46.
[2]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–68.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans.
Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 22–24.
[4]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.
[5]               
Jacques Maritain, Existence and the Existent,
trans. Lewis Galantiere and Gerald B. Phelan (New York: Pantheon Books, 1948),
12–14.
[6]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56–59.
[7]               
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Stanford: Stanford University Press, 2013), 142–145.
[8]               
Masao Abe, Zen and Western Thought, ed. William
R. LaFleur (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1985), 95–98.
[9]               
Laozi, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London:
Penguin, 1963), 23–25.
[10]            
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 305–308.
[11]            
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 78–80.
10.      
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
10.1.   
Eksistensialisme
sebagai Filsafat Krisis
Eksistensialisme lahir dari konteks
krisis modernitas—runtuhnya otoritas tradisional, tragedi perang, serta
alienasi akibat industrialisasi.¹ Dengan menyoroti absurditas, kecemasan, dan
keterlemparan, eksistensialisme menegaskan bahwa manusia harus menghadapi
kenyataan tanpa ilusi metafisik.² Dalam hal ini, eksistensialisme berfungsi
sebagai filsafat krisis, yang mengguncang kepastian rasionalisme dan
positivisme, serta menyingkap kerapuhan kondisi manusia.
10.2.   
Eksistensialisme
sebagai Filsafat Pembebasan
Di sisi lain, eksistensialisme juga merupakan
filsafat pembebasan. Sartre menekankan kebebasan radikal manusia untuk
menciptakan dirinya sendiri.³ Beauvoir mengembangkan gagasan ini ke dalam ranah
feminisme, dengan menegaskan pentingnya pengakuan terhadap kebebasan orang
lain.⁴ Dengan demikian, eksistensialisme bukan hanya menyingkap absurditas,
tetapi juga membuka kemungkinan
etis dan praksis untuk membebaskan manusia dari determinisme struktural maupun
dogma yang menindas.
10.3.   
Dimensi Etis dan
Tanggung Jawab
Eksistensialisme menolak etika normatif
yang berbasis pada hukum universal, tetapi menekankan tanggung jawab konkret
individu.⁵ Menurut Sartre, dalam setiap tindakan manusia, ia sekaligus
menetapkan gambaran tentang “manusia seperti apa” yang ia pilih untuk
diwujudkan.⁶ Camus, meski menolak transendensi, mengajarkan sikap pemberontakan
terhadap absurditas sebagai bentuk kesetiaan pada hidup.⁷ Sementara Kierkegaard
menegaskan bahwa iman, meskipun
paradoksal, adalah wujud tertinggi dari tanggung jawab eksistensial.⁸ Dengan
demikian, eksistensialisme memberi dasar bagi etika yang terbuka, kontekstual,
dan personal.
10.4.   
Eksistensialisme dan
Martabat Manusia
Salah satu kontribusi terbesar
eksistensialisme adalah penegasan martabat manusia. Dengan menolak esensi yang
ditentukan dari luar, eksistensialisme mengakui manusia sebagai makhluk bebas
yang menentukan dirinya.⁹ Kesadaran akan kefanaan dan absurditas justru
mempertegas nilai eksistensi manusia sebagai unik dan tak tergantikan. Dalam
hal ini, eksistensialisme berkontribusi pada pengembangan humanisme kontemporer
yang menekankan kebebasan, tanggung jawab, dan otentisitas.¹⁰
10.5.   
Eksistensialisme
dalam Era Posmodern dan Teknologi
Dalam konteks posmodern dan era
digital, eksistensialisme tetap relevan. Di tengah krisis identitas, banjir
informasi, dan konstruksi sosial media, gagasan tentang otentisitas dan
kebebasan eksistensial menjadi semakin mendesak.¹¹ Eksistensialisme mengingatkan bahwa manusia tidak boleh larut
dalam “mereka” (das Man) versi digital—yakni opini massa dalam
ruang virtual—tetapi harus menemukan maknanya sendiri secara sadar.¹² Kesadaran
ini sekaligus mengajak refleksi etis mengenai penggunaan teknologi, lingkungan,
dan relasi antar-manusia.
Refleksi Filosofis
Eksistensialisme tidak memberikan
jawaban final, tetapi membuka ruang refleksi yang tak pernah selesai. Ia
mengajarkan bahwa hidup adalah proyek terbuka, penuh ambiguitas, namun sarat
makna jika dijalani dengan keberanian.¹³ Sebagai filsafat, eksistensialisme
menolak kepastian metafisik, tetapi justru di situlah kekuatannya: ia menghadirkan
filsafat yang dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Refleksi ini
menunjukkan bahwa eksistensialisme tetap menjadi sumber inspirasi filosofis
dalam menghadapi tantangan zaman modern maupun masa depan.
Footnotes
[1]               
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 12–14.
[2]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–176.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans.
Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553.
[4]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011),
283–285.
[5]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), 52–53.
[6]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.
[7]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–29.
[8]               
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 61.
[9]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 473.
[10]            
Jacques Maritain, Existence and the Existent,
trans. Lewis Galantiere and Gerald B. Phelan (New York: Pantheon Books, 1948),
12–14.
[11]            
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More
from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011),
156–158.
[12]            
Heidegger, Being and Time, 220–223.
[13]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
11.      
Penutup
11.1.   
Ringkasan Temuan
Kajian ini memperlihatkan bahwa
eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir dari kegelisahan
manusia menghadapi krisis makna dalam dunia modern.¹ Dengan menekankan
eksistensi di atas esensi, filsafat ini
menggeser fokus dari abstraksi universal ke pengalaman konkret individu.
Eksistensialisme menguraikan tema-tema seperti kebebasan, tanggung jawab,
absurditas, kecemasan, otentisitas, dan kematian, yang menjadikan filsafat ini
relevan tidak hanya secara teoretis,
tetapi juga secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.
11.2.   
Kontribusi
Eksistensialisme
Eksistensialisme memberi kontribusi
besar bagi filsafat, sastra, seni, psikologi, dan pendidikan.² Ia mengingatkan
bahwa manusia bukanlah entitas statis, melainkan proyek terbuka yang terus
membentuk dirinya melalui pilihan.³ Konsep kebebasan radikal Sartre, absurditas
Camus, iman eksistensial Kierkegaard, dan otentisitas Heidegger menunjukkan
keragaman wajah eksistensialisme yang pada akhirnya bermuara pada penegasan
martabat manusia. Eksistensialisme juga memperkaya wacana etika dengan menekankan tanggung jawab individual yang
tidak dapat dialihkan.
11.3.   
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks kontemporer,
eksistensialisme tetap aktual. Dunia yang ditandai oleh alienasi digital,
krisis ekologis, dan ketidakpastian global menuntut refleksi filosofis tentang
makna hidup, kebebasan, dan tanggung jawab.⁴ Eksistensialisme memberi kerangka
berpikir untuk menghadapi tantangan ini dengan keberanian, meskipun tanpa
kepastian metafisik yang mutlak. Bahkan, filsafat ini membantu manusia modern untuk lebih menyadari
otentisitas dirinya di tengah arus homogenisasi budaya.⁵
11.4.   
Prospek Kajian
Lanjutan
Eksistensialisme, meskipun sering
dikritik karena subjektivisme dan individualismenya, tetap membuka ruang bagi
dialog lintas tradisi. Ia dapat diperkaya dengan perspektif sosial,
komunitarian, dan ekoteologis untuk menjawab tantangan zaman.⁶ Dengan demikian,
eksistensialisme bukanlah sistem yang selesai, melainkan sebuah kerangka
refleksi terbuka yang terus dapat dikembangkan.
Penutup
Eksistensialisme pada akhirnya
mengajarkan bahwa hidup manusia adalah perjalanan yang penuh ambiguitas. Tidak
ada jawaban final, tetapi ada panggilan untuk hidup otentik, bertanggung jawab, dan penuh keberanian.⁷ Dengan
sikap ini, eksistensialisme menegaskan martabat manusia sebagai makhluk bebas
yang, meskipun rapuh dan fana, mampu menciptakan makna di tengah absurditas.
Refleksi ini menunjukkan bahwa eksistensialisme bukan hanya filsafat abad
ke-20, melainkan warisan filosofis yang tetap hidup dan relevan di abad ke-21.
Footnotes
[1]               
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 12–14.
[2]               
Ronald Hayman, Existentialism and the Theatre
(London: Chatto & Windus, 1979), 44–47.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[4]               
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More
from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011),
156–158.
[5]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–30.
[6]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 473.
[7]               
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
Daftar Pustaka
Abe, M. (1985). Zen and Western
thought (W. R. LaFleur, Ed.). University of Hawai‘i Press.
Augustine. (1991). Confessions
(H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. Dover Publications.
Barrett, W. (1990). Irrational
man: A study in existential philosophy. Anchor Books.
Beauvoir, S. de. (1976). The
ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.
Beauvoir, S. de. (2011). The
second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage.
Beckett, S. (1954). Waiting for
Godot. Grove Press.
Camus, A. (1991). The myth of
Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.
Camus, A. (1991). The rebel
(A. Bower, Trans.). Vintage International.
Copleston, F. (1994). A history of
philosophy, Vol. 7: Modern philosophy: From the post-Kantian idealists to Marx,
Kierkegaard, and Nietzsche. Image Books.
Derrida, J. (1978). Writing and
difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search
for meaning. Beacon Press.
Freire, P. (2005). Pedagogy of the
oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage.
Greene, M. (1995). Releasing the
imagination: Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.
Hadot, P. (1998). The inner
citadel: The meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard
University Press.
Hamilton, C. (2010). Requiem for a
species: Why we resist the truth about climate change. Earthscan.
Hayman, R. (1979). Existentialism
and the theatre. Chatto & Windus.
Heidegger, M. (1962). Being and
time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Husserl, E. (1962). Ideas: General
introduction to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). Collier
Macmillan.
Iqbal, M. (2013). The reconstruction
of religious thought in Islam. Stanford University Press.
Kierkegaard, S. (1980). The
concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and
trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.
Kierkegaard, S. (1989). The
sickness unto death (A. Hannay, Trans.). Penguin.
Kierkegaard, S. (1941). Concluding
unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton
University Press.
Laozi. (1963). Tao Te Ching
(D. C. Lau, Trans.). Penguin.
Lukács, G. (1980). The destruction
of reason (P. Palmer, Trans.). Merlin Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue.
University of Notre Dame Press.
Maritain, J. (1948). Existence and
the existent (L. Galantiere & G. B. Phelan, Trans.). Pantheon Books.
May, R. (1958). Existence: A new
dimension in psychiatry and psychology. Basic Books.
Merleau-Ponty, M. (1973). Adventures
of the dialectic (J. Bien, Trans.). Northwestern University Press.
Nasr, S. H. (1981). Islamic life
and thought. SUNY Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and
the sacred. SUNY Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay
science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (2002). Beyond good
and evil (J. Norman, Trans.). Cambridge University Press.
Nietzsche, F. (2005). Thus spoke
Zarathustra (G. Parkes, Trans.). Oxford University Press.
Pascal, B. (1995). Pensées (A.
J. Krailsheimer, Trans.). Penguin.
Russell, B. (2004). History of
Western philosophy. Routledge.
Sacks, J. (2020). Morality:
Restoring the common good in divided times. Hodder & Stoughton.
Sartre, J.-P. (1964). Nausea
(L. Alexander, Trans.). New Directions.
Sartre, J.-P. (1989). No exit
(S. Gilbert, Trans.). Vintage.
Sartre, J.-P. (1992). Being and
nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2004). Critique of
dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Schimmel, A. (1975). Mystical
dimensions of Islam. University of North Carolina Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the
self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Turkle, S. (2011). Alone together:
Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.
Vlastos, G. (1991). Socrates:
Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.
Westphal, M. (2014). Kierkegaard’s
concept of faith. Eerdmans.
Yalom, I. D. (1980). Existential
psychotherapy. Basic Books.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar