Minggu, 26 Oktober 2025

Ethics of Justice: Kajian Filsafat tentang Moralitas, Keadilan, dan Tanggung Jawab Sosial

Ethics of Justice

Kajian Filsafat tentang Moralitas, Keadilan, dan Tanggung Jawab Sosial


Alihkan ke: Pikiran Manusia.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep ethics of justice sebagai salah satu pilar utama dalam filsafat moral dan teori keadilan. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan hermeneutik, tulisan ini menelusuri transformasi gagasan keadilan dari tradisi klasik—seperti pemikiran Plato, Aristoteles, dan Kant—hingga paradigma kontemporer yang mencakup teori keadilan John Rawls, kritik feministik ethics of care, serta wacana etika global dan ekologis. Kajian ini menunjukkan bahwa keadilan tidak dapat direduksi pada prinsip hukum atau rasionalitas normatif semata, melainkan harus dipahami sebagai horizon eksistensial yang mencakup dimensi relasional, sosial, dan spiritualitas moral manusia.

Melalui sintesis filosofis, artikel ini mengajukan konsep etika keadilan integral (integral ethics of justice), yaitu pendekatan yang memadukan rasionalitas moral dengan empati sosial dan kesadaran transendental. Keadilan dipahami bukan hanya sebagai prinsip distribusi hak, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab antarsubjektif yang berakar pada pengakuan terhadap martabat manusia dan keterhubungan kosmis. Selanjutnya, artikel ini menyoroti relevansi praktis ethics of justice dalam konteks kontemporer—meliputi kebijakan publik, keadilan digital, pendidikan etika, dan krisis ekologis global—serta menegaskan bahwa penerapan keadilan sejati menuntut keterpaduan antara teori normatif dan praksis kemanusiaan.

Dengan demikian, ethics of justice tidak lagi dipahami sebagai sistem moral tertutup, tetapi sebagai proyek etis terbuka yang terus berkembang, menghubungkan rasionalitas dengan kasih, dan universalitas dengan partikularitas. Keadilan, dalam makna paling dalamnya, merupakan modus keberadaan manusia yang mengarahkan kehidupan sosial dan spiritual menuju keseimbangan, kebebasan, dan tanggung jawab universal.

Kata kunci: Ethics of justice; etika keadilan; moralitas; tanggung jawab sosial; keadilan global; etika kepedulian; keadilan ekologis; etika integral; filsafat moral; spiritualitas keadilan.


PEMBAHASAN

Kajian Etika Keadilan (Ethics of Justice) dalam Filsafat Moral dan Teori Keadilan


1.           Pendahuluan

Keadilan merupakan salah satu konsep paling mendasar dan kompleks dalam sejarah pemikiran manusia. Ia tidak hanya menjadi isu normatif dalam filsafat moral, tetapi juga menjadi landasan etis bagi hukum, politik, dan struktur sosial. Sejak masa Yunani Kuno, para filsuf telah berupaya menafsirkan keadilan bukan sekadar sebagai distribusi hak atau keseimbangan sosial, melainkan sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas manusia yang rasional dan beradab.¹ Dalam konteks inilah muncul apa yang disebut sebagai ethics of justice—suatu pendekatan etis yang berusaha menalar dan menilai tindakan manusia berdasarkan prinsip keadilan yang universal, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Secara historis, ethics of justice berkembang sebagai bentuk refleksi kritis terhadap dua hal: pertama, kebutuhan untuk membangun dasar moral bagi legitimasi kekuasaan dan hukum; dan kedua, upaya untuk menegakkan keadilan sosial di tengah struktur masyarakat yang timpang.² Dengan demikian, etika keadilan tidak semata-mata menyoal apa yang “adil” dalam arti hukum, tetapi juga bagaimana manusia memahami keadilan sebagai kewajiban moral dan tanggung jawab sosial.³ Dalam filsafat moral modern, konsep ini mencapai bentuk sistematiknya melalui pemikiran Immanuel Kant, yang menegaskan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada prinsip rasional yang bersifat universal (categorical imperative).⁴

Dalam konteks kontemporer, ethics of justice juga dikembangkan oleh John Rawls, yang memperkenalkan konsep justice as fairness sebagai kerangka normatif untuk menilai struktur dasar masyarakat.⁵ Rawls menolak gagasan utilitarian yang mengutamakan kebahagiaan mayoritas, dan sebaliknya menegaskan bahwa keadilan harus menjamin kebebasan serta kesetaraan bagi semua individu.⁶ Di sisi lain, Amartya Sen dan Martha Nussbaum memperluas horizon keadilan dengan menekankan dimensi kemampuan manusia (capabilities approach) sebagai ukuran kesejahteraan dan moralitas sosial.⁷

Dalam ranah sosial, etika keadilan juga menjadi perdebatan antara dua paradigma moral yang dominan: ethics of justice dan ethics of care. Carol Gilligan, misalnya, mengkritik dominasi rasionalitas moral maskulin yang berfokus pada keadilan formal, dan mengusulkan etika kepedulian (care ethics) yang menekankan relasi empatik dan konteks sosial.⁸ Pertentangan ini membuka ruang bagi reinterpretasi etika keadilan secara lebih relasional dan intersubjektif, di mana keadilan tidak hanya dilihat sebagai aturan universal, tetapi juga sebagai tanggung jawab terhadap keberadaan orang lain.⁹

Dalam kerangka global, ethics of justice semakin relevan untuk menjawab tantangan keadilan lintas batas seperti ketimpangan ekonomi global, krisis lingkungan, dan ketidakadilan digital.¹⁰ Pertanyaan moral tentang siapa yang berhak atas sumber daya, siapa yang bertanggung jawab atas penderitaan kolektif, dan bagaimana keadilan dapat diwujudkan dalam sistem internasional menjadi fokus penting kajian etika kontemporer.¹¹ Oleh karena itu, studi tentang ethics of justice bukan hanya persoalan teoritis, melainkan juga refleksi moral yang berimplikasi langsung terhadap kebijakan publik, pendidikan etika, dan struktur moral masyarakat modern.¹²

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan dasar-dasar konseptual dan historis dari ethics of justice, menelaah teori-teori utama yang membentuknya, serta mengkaji relevansinya dalam konteks sosial, politik, dan spiritual masa kini. Melalui pendekatan interdisipliner—yang melibatkan filsafat moral, etika sosial, teologi, dan teori kritis—kajian ini berupaya membangun pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana keadilan dapat dipahami, diartikulasikan, dan diterapkan secara etis dalam kehidupan manusia.


Footnotes:

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 331c–335b.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 62–65.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), V.2–V.5.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–9.

[6]                Ibid., 60–65.

[7]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 231–233.

[8]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 18–22.

[9]                Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 56–60.

[10]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 98–103.

[11]             Nancy Fraser, “Reframing Justice in a Globalizing World,” New Left Review 36 (2005): 69–88.

[12]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 17–21.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Konsep Keadilan

Gagasan tentang keadilan memiliki sejarah yang panjang dan berlapis, mencerminkan dinamika intelektual dan moral umat manusia dalam mencari tatanan kehidupan yang benar dan seimbang. Dalam setiap zaman, keadilan tidak hanya dipahami sebagai prinsip hukum atau politik, tetapi juga sebagai cita moral yang meneguhkan martabat manusia.¹ Pemahaman tentang keadilan bergerak dari bentuk kosmologis di dunia kuno menuju bentuk rasional dan institusional di era modern, serta meluas menjadi refleksi kritis terhadap struktur kekuasaan dan ketimpangan sosial pada masa kontemporer.

2.1.       Akar Klasik: Plato, Aristoteles, dan Stoisisme

Dalam filsafat Yunani Kuno, konsep keadilan (dikaiosyne) merupakan tema sentral yang diolah dengan sangat mendalam. Plato, dalam Republic, menempatkan keadilan sebagai keharmonisan antara bagian-bagian jiwa dan kelas-kelas sosial dalam negara ideal.² Bagi Plato, keadilan bukan sekadar urusan distribusi atau ganjaran, melainkan keteraturan metafisis di mana setiap bagian menempati tempatnya yang selaras dengan idea of the Good.³ Aristoteles kemudian menurunkan gagasan itu ke ranah praksis melalui pembedaan antara keadilan distributif (berdasarkan proporsionalitas) dan keadilan korektif (berdasarkan kesetaraan).⁴ Dalam kerangka ini, keadilan menjadi prinsip etika yang menjaga keseimbangan sosial dalam tindakan konkret manusia.

Sementara itu, para Stoa seperti Zeno dan Marcus Aurelius memperluas dimensi keadilan ke ranah kosmopolitan: setiap manusia, sebagai bagian dari logos universal, memiliki nilai dan tanggung jawab moral yang setara.⁵ Dari sinilah muncul benih pertama gagasan tentang natural law dan hak asasi manusia yang kelak memengaruhi tradisi hukum Barat.⁶

2.2.       Keadilan dalam Tradisi Agama dan Etika Teologis

Dalam tradisi religius, keadilan tidak hanya dipahami sebagai hubungan sosial, tetapi juga sebagai cerminan kehendak ilahi. Dalam teologi Kristen, keadilan dikaitkan dengan kasih (caritas) dan rahmat (gratia), di mana keadilan sejati tercapai ketika manusia hidup dalam keharmonisan dengan hukum Tuhan.⁷ Thomas Aquinas menggabungkan warisan Aristotelian dengan teologi skolastik, menegaskan bahwa keadilan adalah habitus moral yang mengarahkan kehendak untuk memberikan kepada setiap orang haknya sesuai hukum kodrat (lex naturalis).⁸

Dalam tradisi Islam, konsep ‘adl (keadilan) menempati posisi fundamental dalam struktur teologis dan etis. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan, dan keadilan menjadi syarat kesempurnaan iman serta dasar tatanan sosial.⁹ Dalam pemikiran filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Miskawayh, keadilan dipahami sebagai keseimbangan antara kekuatan rasional, amarah, dan keinginan dalam jiwa manusia, yang mencerminkan keteraturan kosmos dan masyarakat.¹⁰ Konsep ini kemudian berkembang menjadi kerangka etika sosial dalam pemikiran Ibn Khaldun, yang menilai keadilan sebagai fondasi peradaban dan syarat keberlangsungan negara.¹¹

2.3.       Perkembangan Modern: Kontrak Sosial, Utilitarianisme, dan Kantianisme

Zaman modern membawa perubahan paradigma: keadilan kini dipandang bukan lagi sebagai refleksi tatanan kosmik atau ilahi, melainkan sebagai hasil kesepakatan rasional antarmanusia.¹² Teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau menandai transformasi ini. Hobbes melihat keadilan sebagai ketaatan terhadap kontrak yang menjaga manusia dari kekacauan alamiah (state of nature), sementara Locke menekankan hak kodrati atas kebebasan dan kepemilikan.¹³ Rousseau kemudian menegaskan pentingnya kehendak umum (volonté générale) sebagai sumber legitimasi moral bagi hukum yang adil.¹⁴

Selanjutnya, utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill memandang keadilan dalam kerangka konsekuensial: suatu tindakan atau kebijakan dinilai adil sejauh menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹⁵ Namun, pendekatan ini dikritik karena cenderung mengorbankan hak individu demi kepentingan kolektif. Sebagai respons, Immanuel Kant menegaskan kembali prinsip moral otonomi dan kewajiban, di mana keadilan harus bersandar pada imperatif kategoris yang universal, bukan pada hasil empiris atau utilitas sosial.¹⁶

2.4.       Kritik terhadap Modernitas: Marx, Nietzsche, dan Post-Strukturalisme

Pada abad ke-19 dan ke-20, teori keadilan modern mendapat kritik tajam. Karl Marx menilai bahwa keadilan liberal hanyalah topeng ideologis yang melanggengkan ketimpangan kelas; baginya, keadilan sejati hanya dapat terwujud melalui penghapusan struktur kepemilikan yang eksploitatif.¹⁷ Friedrich Nietzsche, di sisi lain, menolak moralitas keadilan universal sebagai bentuk ressentiment—reaksi kaum lemah terhadap kekuatan hidup dan kreativitas.¹⁸ Kritik ini membuka jalan bagi dekonstruksi konsepsi keadilan yang mapan, terutama dalam pemikiran post-strukturalis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida. Foucault memandang keadilan sebagai efek dari relasi kuasa dan wacana, sedangkan Derrida menegaskan bahwa keadilan sejati bersifat tak terhingga dan selalu “akan datang” (à venir)—tidak dapat direduksi pada hukum positif mana pun.¹⁹

Dengan demikian, sejarah konsep keadilan tidak bersifat linear, melainkan genealogis—yakni, membentang sebagai jaringan ide yang saling bertaut, berubah, dan dikritisi. Dari Plato hingga Derrida, dari Al-Farabi hingga Rawls, gagasan tentang keadilan terus berkembang sebagai medan dialektis antara ideal moral dan realitas sosial.²⁰


Footnotes

[1]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 15–18.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 427e–434d.

[3]                Ibid., 508e–509b.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), V.2–V.5.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), II.1–II.5.

[6]                Cicero, De Legibus, trans. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.18–19.

[7]                Augustine, City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XIX.13–17.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, Q.58, art.1–4.

[9]                Al-Qur’an, Surah Al-Mā’idah [5]:8.

[10]             Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986), 93–96.

[11]             Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 271–273.

[12]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 159–161.

[13]             Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin Classics, 1985), ch. XIV–XV.

[14]             Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), I.6–8.

[15]             John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), ch. II–V.

[16]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–429.

[17]             Karl Marx, Critique of the Gotha Programme (New York: International Publishers, 1938), 10–12.

[18]             Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), I.10–13.

[19]             Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”, in Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York: Routledge, 2002), 242–247.

[20]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–103.


3.           Ontologi Keadilan dan Moralitas

Pertanyaan mengenai keadilan tidak hanya bersifat normatif—yakni, tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak—tetapi juga ontologis: apa hakikat keberadaan keadilan itu sendiri? Apakah keadilan merupakan prinsip metafisis yang melekat pada tatanan realitas, ataukah hanya konstruksi rasional dan sosial manusia?¹ Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun kita pada penyelidikan tentang ontologi keadilan, yaitu pemahaman mengenai status ontologis dari nilai moral dan struktur eksistensial yang mendasari pengalaman etis manusia.

3.1.       Hakikat Keadilan sebagai Ide Moral

Dalam filsafat klasik, keadilan dipandang sebagai bentuk ideal yang memiliki eksistensi ontologis tersendiri. Plato menempatkan keadilan sebagai Form of Justice—suatu realitas abadi yang berada di dunia ide dan menjadi model bagi keadilan di dunia empiris.² Dengan demikian, keadilan memiliki keberadaan yang independen dari opini manusia, dan hanya dapat dipahami melalui aktivitas intelektual yang mengarahkan jiwa pada kebenaran.³ Ontologi keadilan dalam kerangka Platonis bersifat realistik-transendental: keadilan bukan sekadar konsep moral, melainkan ada yang mengatur tatanan kosmos dan moralitas manusia secara serentak.

Aristoteles menurunkan gagasan ini ke ranah etika praktis dengan menafsirkan keadilan sebagai habitus moral yang mengatur relasi antarindividu dalam polis.⁴ Dalam Nicomachean Ethics, ia membedakan keadilan universal (yang berkaitan dengan kebajikan moral secara umum) dari keadilan partikular (yang berkaitan dengan distribusi dan koreksi).⁵ Dengan demikian, keadilan bukan entitas metafisis yang berdiri sendiri, tetapi sifat moral yang teraktualisasi dalam tindakan rasional manusia sebagai makhluk sosial. Ontologi keadilan di sini bersifat teleologis: eksistensinya terletak pada aktualitas tindakan yang mencapai telos etis manusia.

Dalam tradisi Islam dan skolastik, keadilan memperoleh dimensi teologis. Thomas Aquinas menegaskan bahwa keadilan merupakan habitus yang tertanam dalam kehendak manusia dan berakar pada hukum kodrat (lex naturalis), yang pada gilirannya bersumber dari hukum ilahi (lex divina).⁶ Dalam perspektif ini, keadilan berakar pada tatanan ontologis ciptaan, di mana setiap makhluk memiliki tempat dan tujuan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam filsafat Islam, Al-Farabi dan Ibn Sina menafsirkan keadilan sebagai keseimbangan ontologis antara kekuatan rasional, amarah, dan syahwat dalam jiwa manusia—sebuah cerminan dari keteraturan kosmos yang rasional.⁷

3.2.       Hubungan antara Etika dan Ontologi Nilai

Pertanyaan berikutnya adalah: apakah nilai keadilan memiliki keberadaan objektif (real moral value), ataukah ia sekadar produk konstruksi budaya dan kesepakatan sosial? Realisme moral berpendapat bahwa nilai-nilai etis seperti keadilan memiliki eksistensi yang independen dari kesadaran manusia.⁸ Pandangan ini dapat dilacak hingga ke teori hukum kodrat klasik dan realisme nilai dalam fenomenologi Max Scheler, yang menyatakan bahwa nilai moral bukanlah ciptaan subjektif, tetapi sesuatu yang ditemukan melalui intuisi emosional yang murni.⁹ Dalam kerangka ini, keadilan memiliki status ontologis sebagai kualitas nilai yang eksis secara apriori dan hierarkis.

Sebaliknya, konstruktivisme moral, seperti yang dikembangkan oleh John Rawls dan Christine Korsgaard, memandang nilai keadilan sebagai hasil dari rasionalitas reflektif manusia.¹⁰ Dalam pandangan ini, keadilan tidak ditemukan, tetapi diciptakan melalui proses rasional intersubjektif yang mengikat semua individu secara moral.¹¹ Ontologi keadilan, dengan demikian, bersifat prosedural: ia ada sejauh rasionalitas praktis dapat menjustifikasi norma-norma moral dalam kerangka yang adil dan universal.

Sementara itu, pemikir eksistensialis seperti Emmanuel Levinas memperkenalkan dimensi etis yang radikal terhadap ontologi keadilan. Baginya, etika mendahului ontologi; keadilan bukanlah struktur metafisis yang tetap, melainkan tanggapan eksistensial terhadap “Wajah Liyan” (le visage de l’Autre).¹² Dalam relasi asimetris ini, keadilan bukan keberadaan yang statis, tetapi panggilan tanggung jawab tak terbatas terhadap keberadaan orang lain.¹³ Ontologi keadilan dalam konteks ini menjadi intersubjektif dan transendental-etis—suatu gerak menuju yang lain yang tak dapat direduksi menjadi hukum atau rasionalitas formal.

3.3.       Keadilan sebagai Struktur Relasional dan Kategori Eksistensial

Dalam filsafat kontemporer, keadilan semakin dipahami sebagai struktur relasional yang membentuk eksistensi manusia dalam konteks sosial dan historis. Martin Heidegger, misalnya, meski tidak secara eksplisit membahas keadilan, menunjukkan bahwa eksistensi manusia (Dasein) selalu terarah pada keber-ada-bersama (Mitsein).¹⁴ Dengan demikian, tanggung jawab etis tidak dapat dilepaskan dari struktur ontologis keberadaan bersama tersebut. Jean-Paul Sartre menambahkan bahwa keadilan muncul sebagai hasil dari kebebasan yang dihadapkan pada kebebasan orang lain—suatu dialektika antara otonomi dan interdependensi.¹⁵

Dalam teori kritis, Jürgen Habermas menempatkan keadilan dalam kerangka tindakan komunikatif.¹⁶ Ontologi keadilan di sini tidak dipahami secara metafisis, melainkan sebagai kondisi praksis komunikasi rasional yang bebas dari dominasi. Suatu tatanan sosial disebut adil sejauh ia memungkinkan partisipasi simetris dalam proses diskursif. Dengan kata lain, keadilan tidak berakar pada substansi moral yang tetap, tetapi pada dinamika dialog dan kesalingpahaman (Verständigung) dalam ruang publik.

Pada akhirnya, ontologi keadilan dan moralitas mengandaikan dua tingkat realitas yang saling melengkapi: (1) tingkat transendental—keadilan sebagai nilai moral yang menuntun tindakan manusia menuju kebaikan universal; dan (2) tingkat eksistensial—keadilan sebagai relasi konkret antarindividu yang hidup dalam sejarah. Dengan memadukan keduanya, ethics of justice dapat dipahami sebagai gerak dialektis antara being dan ought to be, antara keberadaan manusia dan cita moral yang menuntunnya menuju kemanusiaan yang lebih adil.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 3–5.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 507b–509b.

[3]                Ibid., 518c–519d.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), V.1–V.7.

[5]                Ibid., V.3–V.5.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, Q.58, art.1–4.

[7]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986), 91–97.

[8]                David O. Brink, Moral Realism and the Foundations of Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 16–19.

[9]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred Frings (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 120–125.

[10]             John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 23–27.

[11]             Christine M. Korsgaard, The Sources of Normativity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 99–103.

[12]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–203.

[13]             Ibid., 245–247.

[14]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 161–167.

[15]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 364–368.

[16]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–47.


4.           Epistemologi Etika Keadilan

Jika ontologi keadilan membahas apa hakikat keadilan itu, maka epistemologi keadilan membahas bagaimana manusia mengetahui dan menilai sesuatu sebagai adil atau tidak adil.¹ Dengan demikian, epistemologi etika keadilan merupakan upaya untuk memahami dasar-dasar pengetahuan moral yang memungkinkan manusia menilai tindakan dan struktur sosial secara rasional dan etis. Isu sentralnya adalah: dari mana pengetahuan moral tentang keadilan berasal? Apakah keadilan diketahui melalui rasio, pengalaman, intuisi moral, atau melalui wacana sosial yang intersubjektif?

4.1.       Sumber Pengetahuan Moral: Rasio, Empati, dan Pengalaman Sosial

Dalam tradisi rasionalis, pengetahuan moral dianggap bersumber dari rasio murni. Kant, misalnya, menegaskan bahwa prinsip moral yang sejati harus bersifat apriori dan universal, tidak tergantung pada pengalaman empiris atau konsekuensi tindakan.² Bagi Kant, kemampuan untuk mengetahui keadilan terletak pada rasionalitas praktis yang mampu mengafirmasi kewajiban moral melalui imperatif kategoris.³ Dengan demikian, keadilan dipahami bukan sebagai hasil kesepakatan sosial, melainkan sebagai hukum moral universal yang dapat diketahui oleh setiap makhluk rasional.

Sebaliknya, tradisi sentimental atau empiris—yang diwakili oleh David Hume dan Adam Smith—berpendapat bahwa moralitas, termasuk keadilan, berakar pada perasaan empatik dan pengalaman sosial manusia.⁴ Pengetahuan tentang keadilan, dalam pandangan ini, muncul dari kemampuan manusia untuk merasakan penderitaan atau kebahagiaan orang lain.⁵ Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments menyebut sumber penilaian moral ini sebagai impartial spectator—suatu bentuk kesadaran reflektif yang memungkinkan individu menilai tindakan dari sudut pandang yang tidak memihak.⁶

Dalam konteks kontemporer, teori-teori psikologi moral seperti yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg dan Carol Gilligan menunjukkan bahwa pengetahuan moral berkembang melalui tahap-tahap rasional dan afektif yang kompleks.⁷ Gilligan, khususnya, menegaskan bahwa epistemologi moral tidak dapat dilepaskan dari pengalaman relasional; keadilan tidak hanya dipahami melalui abstraksi rasional, tetapi juga melalui pengalaman empatik dalam jaringan hubungan manusia.⁸

4.2.       Rasionalitas Praktis dan Diskursus Moral

Dalam tradisi modern, John Rawls dan Jürgen Habermas mengembangkan pendekatan epistemologis yang menekankan peran rasionalitas komunikatif dalam pembentukan prinsip keadilan. Rawls, melalui metode reflective equilibrium, berargumen bahwa pengetahuan moral tentang keadilan diperoleh melalui proses reflektif antara intuisi moral awal dan prinsip-prinsip rasional yang disusun secara koheren.⁹ Ia menolak positivisme moral yang hanya bergantung pada fakta, dan juga menolak intuisionisme murni yang tak dapat diuji secara publik.¹⁰ Dengan demikian, keadilan tidak hanya diketahui secara individual, tetapi juga melalui proses deliberatif yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan orang lain.¹¹

Habermas melanjutkan tradisi ini dengan mengajukan diskursethik (etika diskursus), di mana validitas moral suatu norma bergantung pada apakah norma tersebut dapat diterima oleh semua pihak yang terkena dampaknya melalui komunikasi rasional bebas dari paksaan.¹² Dalam kerangka ini, epistemologi keadilan bersifat intersubjektif: pengetahuan moral tidak terletak pada subjek individual, melainkan pada proses komunikasi yang memungkinkan pembentukan konsensus etis.¹³ Oleh karena itu, pengetahuan tentang keadilan bukan hasil dari deduksi metafisis, melainkan dari praksis dialogis yang terus diperbarui.

4.3.       Epistemik Keadilan dan Akses Pengetahuan yang Setara

Dalam wacana kontemporer, muncul pula konsep epistemic justice yang menyoroti dimensi keadilan dalam distribusi dan pengakuan pengetahuan.¹⁴ Miranda Fricker memperkenalkan dua bentuk ketidakadilan epistemik: testimonial injustice, yaitu ketika kesaksian seseorang diremehkan karena prasangka sosial, dan hermeneutical injustice, yaitu ketika suatu kelompok tidak memiliki sumber konseptual untuk menafsirkan pengalaman mereka sendiri.¹⁵ Dalam konteks ini, epistemologi keadilan tidak lagi sekadar membahas bagaimana mengetahui apa yang adil, tetapi juga siapa yang memiliki hak untuk mengetahui dan diakui sebagai subjek pengetahuan.

Epistemologi etika keadilan, dalam kerangka ini, menuntut pemerataan akses terhadap ruang-ruang diskursif, pendidikan moral, dan sumber pengetahuan sosial.¹⁶ Keadilan epistemik bukan hanya persoalan kognitif, melainkan juga politis—karena struktur pengetahuan selalu berimplikasi pada struktur kekuasaan.¹⁷ Dengan demikian, membangun masyarakat yang adil berarti pula menciptakan tatanan epistemik yang inklusif, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk diakui sebagai knower dan moral agent.

4.4.       Menuju Sintesis Epistemologis Etika Keadilan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa epistemologi etika keadilan mencakup tiga dimensi utama. Pertama, dimensi rasional, yang menegaskan bahwa prinsip keadilan dapat diketahui melalui refleksi logis dan universalitas moral. Kedua, dimensi empatik-relasional, yang menyatakan bahwa keadilan juga dipahami melalui pengalaman sosial dan afeksi moral. Ketiga, dimensi intersubjektif-kritis, yang melihat pengetahuan moral sebagai hasil dari proses diskursif dan partisipatif.¹⁸

Kombinasi ketiga dimensi ini menghasilkan suatu epistemologi keadilan yang tidak dogmatis, tetapi terbuka terhadap koreksi dan perkembangan sosial. Dengan demikian, ethics of justice dapat berfungsi sebagai jembatan antara rasionalitas moral dan realitas sosial—antara pengetahuan dan tindakan, antara kebenaran dan tanggung jawab.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 9–12.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.

[3]                Ibid., 427–431.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals (Oxford: Oxford University Press, 1998), 172–176.

[5]                Ibid., 214–217.

[6]                Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 110–114.

[7]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. 1: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 15–20.

[8]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 30–36.

[9]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 18–19.

[10]             Ibid., 40–45.

[11]             John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 8–11.

[12]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–47.

[13]             Ibid., 66–71.

[14]             José Medina, The Epistemology of Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant Imaginations (Oxford: Oxford University Press, 2013), 28–32.

[15]             Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.

[16]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 98–101.

[17]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 110–115.

[18]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–29.


5.           Teori-teori Klasik tentang Etika Keadilan

Perkembangan konsep keadilan dalam tradisi filsafat moral menunjukkan dinamika yang panjang dan kompleks. Dari masa klasik hingga modern, muncul beragam teori yang berupaya menjelaskan dasar normatif dan rasional dari tindakan yang adil. Teori-teori klasik tentang etika keadilan bukan sekadar produk historis, tetapi menjadi fondasi konseptual bagi berbagai pendekatan kontemporer, mulai dari liberalisme hingga teori kritis.¹ Kajian terhadap teori-teori ini penting untuk memahami bagaimana gagasan keadilan bergerak dari bentuk metafisis menuju bentuk rasional, sosial, dan politis.

5.1.       Etika Deontologis: Immanuel Kant dan Prinsip Kewajiban Moral

Etika deontologis yang dirumuskan oleh Immanuel Kant menjadi tonggak utama dalam filsafat moral modern.² Kant berupaya membangun dasar moral yang bebas dari empirisme dan konsekuensialisme dengan menegaskan bahwa moralitas harus didasarkan pada kewajiban yang bersifat apriori.³ Dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals, ia memperkenalkan konsep imperatif kategoris sebagai prinsip rasional universal yang mengikat semua makhluk berakal: “Bertindaklah hanya menurut asas yang dengannya engkau dapat sekaligus menghendaki bahwa ia menjadi hukum universal.”⁴

Dalam kerangka ini, keadilan tidak diukur dari akibat tindakan (seperti dalam utilitarianisme), tetapi dari niat moral dan kesesuaian tindakan dengan hukum moral universal.⁵ Etika keadilan dalam pandangan Kant bersifat formal dan otonom: manusia bertindak adil bukan karena takut hukuman atau mencari keuntungan, melainkan karena menghormati hukum moral yang berasal dari rasionalitasnya sendiri.⁶

Meskipun demikian, pendekatan deontologis Kant sering dikritik karena kecenderungannya yang terlalu abstrak dan kaku, mengabaikan konteks sosial dan afektif dari moralitas.⁷ Kritik feminis seperti Carol Gilligan dan Nel Noddings, misalnya, menilai bahwa etika Kantian cenderung bersifat maskulin dan formalistik, kurang memperhatikan dimensi empatik dan relasional dari keadilan.⁸

5.2.       Etika Utilitarian: Jeremy Bentham dan John Stuart Mill

Sebagai antitesis terhadap etika deontologis, utilitarianisme memandang keadilan sebagai hasil dari tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness principle).⁹ Jeremy Bentham merumuskan prinsip dasar ini dalam kerangka kalkulasi moral yang menilai tindakan berdasarkan konsekuensi—yakni sejauh mana tindakan itu menambah atau mengurangi kebahagiaan umum.¹⁰

John Stuart Mill kemudian memperhalus pendekatan Bentham dengan menambahkan dimensi kualitatif pada nilai kebahagiaan.¹¹ Menurutnya, kebahagiaan intelektual dan moral memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kesenangan fisik semata.¹² Dengan demikian, keadilan dalam perspektif utilitarian bersifat teleologis: tindakan dinilai adil apabila menghasilkan akibat terbaik bagi kesejahteraan bersama.

Namun, utilitarianisme dikritik karena berpotensi mengorbankan hak-hak individu demi kepentingan kolektif.¹³ Dalam konteks etika keadilan, hal ini menimbulkan dilema moral: apakah adil untuk melanggar hak minoritas jika hal itu membawa kebahagiaan bagi mayoritas?¹⁴ Kritik terhadap hal ini mendorong lahirnya teori keadilan modern seperti yang dikembangkan oleh John Rawls, yang berupaya menyeimbangkan antara kebebasan individu dan kesejahteraan sosial.¹⁵

5.3.       Teori Kontrak Sosial: Hobbes, Locke, dan Rousseau

Tradisi kontrak sosial merupakan salah satu fondasi utama dalam teori keadilan politik modern.¹⁶ Thomas Hobbes, melalui Leviathan, menggambarkan kondisi alamiah manusia sebagai keadaan tanpa hukum (state of nature) yang ditandai oleh konflik dan ketakutan.¹⁷ Dalam kondisi demikian, keadilan tidak mungkin ada tanpa adanya otoritas yang sah. Karena itu, manusia secara rasional sepakat menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara untuk menjamin keamanan dan ketertiban.¹⁸

John Locke menafsirkan kontrak sosial secara lebih liberal. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki hak kodrati atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan (life, liberty, and property).¹⁹ Keadilan, dalam kerangka Locke, adalah pemeliharaan hak-hak kodrati tersebut oleh negara yang bertugas sebagai penjaga hukum alam. Rousseau kemudian mengoreksi keduanya dengan menegaskan bahwa legitimasi keadilan tidak dapat bersandar pada kehendak individu atau penguasa, melainkan pada volonté générale (kehendak umum) yang mengekspresikan moralitas kolektif rakyat.²⁰

Teori kontrak sosial, dengan berbagai variannya, menjadi dasar epistemologis bagi teori keadilan normatif modern seperti yang dikembangkan oleh Rawls.²¹ Ia mengadopsi struktur kontraktual untuk merumuskan prinsip keadilan yang dapat diterima oleh semua orang dalam posisi imajiner yang setara (original position) di bawah veil of ignorance.²² Dengan demikian, teori kontrak sosial menjadi jembatan antara etika politik dan moralitas rasional.

5.4.       Keadilan sebagai Fairness: John Rawls

John Rawls merupakan figur sentral dalam teori keadilan kontemporer yang menghidupkan kembali semangat Kantian dalam konteks liberal-demokratis.²³ Dalam karyanya A Theory of Justice (1971), Rawls menegaskan bahwa prinsip-prinsip keadilan harus dirancang dari posisi awal yang adil, di mana individu tidak mengetahui status sosial, kemampuan, atau kepentingan pribadinya—sebuah kondisi yang ia sebut veil of ignorance.²⁴ Dari posisi ini, individu rasional akan memilih dua prinsip keadilan: (1) kebebasan dasar yang sama bagi semua, dan (2) ketidaksamaan sosial hanya dibenarkan jika menguntungkan mereka yang paling tidak beruntung (difference principle).²⁵

Dengan demikian, keadilan bagi Rawls bukan hasil kompromi politik atau utilitas sosial, tetapi hasil dari rasionalitas moral yang reflektif.²⁶ Ia mengembalikan perdebatan etika keadilan pada landasan moral yang bersifat prosedural dan universal, tanpa harus bergantung pada metafisika nilai.²⁷

Kritik terhadap Rawls datang dari kaum komunitarian seperti Alasdair MacIntyre dan Michael Sandel, yang menilai bahwa teori justice as fairness terlalu menekankan individu yang terlepas dari konteks sosial dan historis.²⁸ Mereka berpendapat bahwa keadilan harus berakar pada praktik dan tradisi komunitas, bukan pada prosedur rasional abstrak.²⁹

5.5.       Kritik Komunitarian: Tradisi, Narasi, dan Konteks Moral

Komunitarianisme muncul sebagai respons terhadap individualisme liberal dan rasionalitas formal dalam teori keadilan modern.³⁰ Michael Sandel menegaskan bahwa manusia tidak dapat dipahami sebagai agen moral yang sepenuhnya otonom, karena identitas moralnya dibentuk oleh hubungan sosial dan tradisi komunitas.³¹ Alasdair MacIntyre dalam After Virtue menekankan bahwa keadilan harus dimengerti dalam konteks naratif kehidupan manusia dan praktik kebajikan (virtue ethics).³²

Dalam pandangan komunitarian, keadilan bukanlah prinsip yang berdiri di luar kehidupan sosial, tetapi lahir dari struktur makna, nilai, dan kebajikan yang hidup dalam komunitas.³³ Dengan demikian, ethics of justice dalam perspektif ini bukanlah teori universal abstrak, melainkan praktik moral yang tertanam dalam sejarah dan budaya manusia.³⁴


Kesimpulan Sub-Bagian

Kelima teori klasik di atas menunjukkan pergeseran epistemologis dan moral dalam memahami keadilan: dari kewajiban rasional (Kant), konsekuensi sosial (Bentham dan Mill), kontrak rasional (Hobbes dan Rousseau), hingga proseduralisme moral (Rawls) dan komunitarianisme nilai (Sandel dan MacIntyre). Semua teori ini memperlihatkan bahwa ethics of justice bukan sistem tunggal, melainkan wacana dinamis yang terus dinegosiasikan antara universalitas dan partikularitas, antara rasio dan tradisi, antara individu dan komunitas.


Footnotes

[1]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 12–14.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 389–392.

[3]                Ibid., 401–404.

[4]                Ibid., 421.

[5]                Onora O’Neill, Acting on Principle: An Essay on Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 56–60.

[6]                Kant, Groundwork, 428–429.

[7]                Paul Guyer, Kant on Freedom, Law, and Happiness (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 72–74.

[8]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 32–35.

[9]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 2–3.

[10]             Ibid., 5–6.

[11]             John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), ch. II.

[12]             Ibid., 14–15.

[13]             Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 92–94.

[14]             Ibid., 101.

[15]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 24–30.

[16]             Jean Hampton, Political Philosophy (Boulder: Westview Press, 1997), 35–38.

[17]             Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin Classics, 1985), ch. XIII–XV.

[18]             Ibid., ch. XVII.

[19]             John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II.3–5.

[20]             Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), I.6–8.

[21]             Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 41–44.

[22]             Rawls, A Theory of Justice, 11–12.

[23]             Ibid., 118–123.

[24]             Ibid., 136–142.

[25]             Ibid., 302–303.

[26]             John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 23–27.

[27]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 29–33.

[28]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 16–20.

[29]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 186–190.

[30]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 203–205.

[31]             Sandel, Justice, 23–25.

[32]             MacIntyre, After Virtue, 212–214.

[33]             Ibid., 227–229.

[34]             Ricoeur, The Just, 48–50.


6.           Keadilan dalam Perspektif Kontemporer

Wacana keadilan dalam filsafat kontemporer memperlihatkan pergeseran penting dari pendekatan normatif klasik menuju pendekatan interdisipliner yang melibatkan etika, politik, ekonomi, gender, ekologi, dan teknologi.¹ Dalam perkembangan ini, keadilan tidak lagi dipahami secara semata-mata sebagai tatanan moral universal, tetapi juga sebagai proses historis, relasional, dan kontekstual.² Gagasan keadilan kini dikaitkan dengan perjuangan sosial, distribusi sumber daya, pengakuan identitas, serta transformasi struktural dalam masyarakat global.³

6.1.       Keadilan Distributif dan Retributif

Keadilan distributif dan retributif merupakan dua bentuk konseptual yang tetap relevan dalam teori keadilan modern. Keadilan distributif menyoroti bagaimana sumber daya, hak, dan kesempatan dibagi secara adil dalam masyarakat.⁴ John Rawls, melalui A Theory of Justice, menegaskan bahwa distribusi yang adil harus menjamin kebebasan dasar yang sama dan memperbaiki kondisi mereka yang paling kurang beruntung melalui difference principle.⁵ Dalam konteks ekonomi dan kebijakan publik, pendekatan ini menjadi landasan bagi teori redistribusi dan welfare state.

Sebaliknya, keadilan retributif berfokus pada proporsionalitas hukuman terhadap pelanggaran moral atau hukum.⁶ Tradisi ini berakar pada konsep Aristotelian tentang corrective justice, namun berkembang dalam teori hukum modern sebagai upaya menjaga keseimbangan moral melalui hukuman yang setimpal.⁷ Dalam praktik kontemporer, pendekatan retributif banyak dikritik karena mengabaikan dimensi sosial dan rehabilitatif, sehingga mendorong munculnya konsep keadilan restoratif.⁸

6.2.       Keadilan Restoratif dan Transformatif

Keadilan restoratif menandai pergeseran epistemologis dari paradigma penghukuman ke paradigma pemulihan.⁹ Ia menekankan rekonsiliasi, tanggung jawab, dan perbaikan relasi antara pelaku, korban, dan komunitas.¹⁰ Teori ini banyak diadopsi dalam praktik peradilan komunitas dan resolusi konflik sosial, termasuk dalam konteks rekonsiliasi pasca-konflik di Afrika Selatan dan Kanada.¹¹ Howard Zehr, salah satu pelopor teori ini, menekankan bahwa tujuan utama keadilan bukanlah pembalasan, tetapi pemulihan keseimbangan moral dalam komunitas.¹²

Lebih jauh, teori keadilan transformatif melangkah lebih jauh dengan melihat keadilan sebagai proses pembongkaran struktur sosial yang melahirkan ketidakadilan.¹³ Pendekatan ini dipengaruhi oleh teori kritis dan feminisme, yang menekankan perubahan relasi kekuasaan, budaya, dan institusi yang menindas.¹⁴ Keadilan transformatif karenanya bersifat politis dan emansipatoris, menuntut transformasi sosial yang radikal daripada sekadar penyelesaian konflik individual.¹⁵

6.3.       Feminist Ethics of Justice

Feminist ethics memperluas horizon keadilan dengan menyoroti dimensi gender, pengalaman tubuh, dan relasi afektif dalam kehidupan moral.¹⁶ Carol Gilligan, melalui karyanya In a Different Voice, menunjukkan bahwa etika keadilan tradisional didominasi oleh pola pikir maskulin yang menekankan rasionalitas, otonomi, dan universalitas hukum moral.¹⁷ Sebaliknya, ia mengusulkan ethics of care yang berfokus pada relasi, empati, dan tanggung jawab personal.¹⁸

Namun demikian, banyak pemikir feminis kemudian berupaya tidak menentang secara dikotomis antara care dan justice, melainkan mencari sintesis di antara keduanya.¹⁹ Martha Nussbaum, misalnya, mengembangkan pendekatan capabilities yang mengintegrasikan hak-hak universal dengan kondisi konkret manusia yang beragam.²⁰ Dalam kerangka ini, keadilan berarti memberikan setiap orang kemampuan nyata (real opportunity) untuk menjalani kehidupan yang bermartabat.²¹

Pendekatan feminis ini memperkaya epistemologi keadilan dengan menegaskan bahwa struktur sosial dan politik tidak netral secara gender.²² Dengan demikian, keadilan tidak hanya soal distribusi hak, tetapi juga pengakuan atas pengalaman dan suara kelompok yang selama ini terpinggirkan.²³

6.4.       Justice and Recognition: Perspektif Teori Kritis

Teori kritis kontemporer, khususnya yang dikembangkan oleh Axel Honneth dan Nancy Fraser, menempatkan keadilan dalam konteks recognition (pengakuan) dan redistribution (redistribusi).²⁴ Honneth, melalui The Struggle for Recognition, menegaskan bahwa keadilan sosial bergantung pada sejauh mana individu diakui dalam tiga ranah: cinta, hak, dan solidaritas.²⁵ Kekurangan pengakuan (misrecognition) bukan hanya kesalahan moral, tetapi bentuk pelanggaran terhadap eksistensi sosial individu.²⁶

Nancy Fraser menambahkan bahwa perjuangan untuk keadilan tidak dapat dipisahkan dari dua dimensi: ekonomi (redistribusi) dan budaya (pengakuan).²⁷ Dalam masyarakat global yang kompleks, keadilan memerlukan keseimbangan antara pengakuan identitas dan pemerataan sumber daya.²⁸ Fraser kemudian mengembangkan konsep participatory parity—keadilan sebagai kondisi di mana semua individu dapat berpartisipasi setara dalam kehidupan sosial.²⁹

Pendekatan teori kritis ini memperluas ethics of justice ke dalam ranah politik dan sosial, menyoroti bahwa ketidakadilan tidak hanya bersumber dari pelanggaran hukum atau moral, tetapi juga dari struktur sosial yang menciptakan marginalisasi dan ketimpangan simbolik.³⁰

6.5.       Keadilan Global dan Kosmopolitanisme Moral

Dalam dunia global yang saling terhubung, teori keadilan menghadapi tantangan baru: bagaimana menegakkan prinsip keadilan di luar batas negara-bangsa?³¹ Pemikir seperti Thomas Pogge dan Amartya Sen berpendapat bahwa keadilan global menuntut tanggung jawab moral lintas batas terhadap kemiskinan, eksploitasi ekonomi, dan pelanggaran hak asasi manusia.³² Sen, melalui The Idea of Justice, menolak pendekatan ideal Rawlsian yang terlalu institusional, dan menekankan evaluasi komparatif terhadap situasi konkret ketidakadilan yang nyata.³³

Pendekatan kosmopolitan menuntut keadilan sebagai kewajiban universal umat manusia, bukan sekadar solidaritas nasional.³⁴ Martha Nussbaum, dalam kerangka capabilities approach, memperluas konsep ini dengan memasukkan spesies non-manusia dan alam sebagai bagian dari komunitas moral.³⁵ Sementara itu, David Held mengusulkan model cosmopolitan democracy yang menegaskan perlunya sistem global yang menjamin hak-hak dasar lintas negara.³⁶


Kesimpulan Sub-Bagian

Dari berbagai pendekatan di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat kontemporer memperluas cakupan ethics of justice dari moralitas individual menuju etika sosial, politik, dan global. Keadilan tidak lagi dipahami secara tunggal sebagai prinsip normatif, tetapi sebagai praksis multidimensional yang mencakup redistribusi, pengakuan, partisipasi, dan transformasi sosial.³⁷ Dengan demikian, ethics of justice pada era kontemporer menjadi medan dialog antara rasionalitas moral dan realitas historis, antara prinsip universal dan keragaman kontekstual kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 3–5.

[2]                Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice in a ‘Post-Socialist’ Age,” New Left Review 212 (1995): 68–69.

[3]                Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 12–15.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), V.2–V.5.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 75–83.

[6]                Andrew von Hirsch, Censure and Sanctions (Oxford: Clarendon Press, 1993), 18–20.

[7]                Ibid., 25–27.

[8]                Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice (Intercourse, PA: Good Books, 2002), 9–11.

[9]                Ibid., 13–15.

[10]             Daniel W. Van Ness and Karen Heetderks Strong, Restoring Justice: An Introduction to Restorative Justice (Cincinnati: Anderson Publishing, 1997), 65–67.

[11]             Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness (New York: Doubleday, 1999), 34–36.

[12]             Zehr, The Little Book of Restorative Justice, 22–24.

[13]             Ruth Morris, Stories of Transformative Justice (Toronto: Canadian Scholars’ Press, 2000), 15–18.

[14]             Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought (New York: Routledge, 1990), 222–225.

[15]             bell hooks, Feminism Is for Everybody (Cambridge, MA: South End Press, 2000), 54–56.

[16]             Alison M. Jaggar, “Feminist Ethics,” in A Companion to Ethics, ed. Peter Singer (Oxford: Blackwell, 1991), 195–197.

[17]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 18–20.

[18]             Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 56–60.

[19]             Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 32–35.

[20]             Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 74–77.

[21]             Ibid., 87–90.

[22]             Jaggar, “Feminist Ethics,” 202–204.

[23]             Benhabib, The Claims of Culture, 85–88.

[24]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 92–95.

[25]             Ibid., 107–110.

[26]             Ibid., 126–128.

[27]             Fraser, “From Redistribution to Recognition?,” 70–73.

[28]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 14–17.

[29]             Ibid., 30–33.

[30]             Honneth, The Struggle for Recognition, 145–147.

[31]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 45–47.

[32]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 24–28.

[33]             Ibid., 90–94.

[34]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 141–144.

[35]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 19–22.

[36]             David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995), 73–76.

[37]             Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 4–7.


7.           Ethics of Justice vs. Ethics of Care

Dalam perkembangan teori moral kontemporer, salah satu perdebatan paling penting muncul antara dua paradigma etis: ethics of justice dan ethics of care.¹ Keduanya berangkat dari visi moral yang berbeda mengenai bagaimana manusia seharusnya menilai tindakan, tanggung jawab, dan hubungan sosial. Jika ethics of justice menekankan prinsip universal, rasionalitas, dan keadilan formal, maka ethics of care menekankan konteks relasional, empati, dan tanggung jawab interpersonal.² Perdebatan ini tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga ontologis—menyangkut pemahaman tentang hakikat moralitas manusia itu sendiri.

7.1.       Asal-usul Perdebatan: Dari Kohlberg ke Gilligan

Perdebatan antara kedua paradigma ini berawal dari kritik feminis terhadap model perkembangan moral Lawrence Kohlberg.³ Dalam penelitiannya, Kohlberg menilai tingkat moralitas seseorang berdasarkan kemampuan menalar secara rasional terhadap prinsip keadilan universal, yang berpuncak pada tahap moralitas pascakonvensional.⁴ Namun, penelitian Carol Gilligan terhadap subjek perempuan menunjukkan bahwa banyak individu (terutama perempuan) tidak menalar moralitas dalam kerangka prinsip abstrak, melainkan melalui relasi dan tanggung jawab personal terhadap orang lain.⁵

Gilligan kemudian memperkenalkan ethics of care sebagai paradigma alternatif yang tidak inferior terhadap ethics of justice, tetapi mewakili cara berpikir moral yang berbeda.⁶ Menurutnya, perempuan cenderung memahami moralitas melalui perspektif keterhubungan (connectedness) dan kepedulian (care), bukan otonomi dan prinsip abstrak.⁷ Dengan demikian, ethics of care bukan sekadar “moralitas feminin”, tetapi sebuah kerangka epistemologis dan etis yang menyoroti dimensi afektif, kontekstual, dan relasional dari kehidupan moral.⁸

7.2.       Perbandingan Konseptual: Keadilan vs. Kepedulian

Perbedaan antara ethics of justice dan ethics of care dapat dilihat pada tiga dimensi utama: rasionalitas, relasionalitas, dan normativitas.

Pertama, dari segi rasionalitas, ethics of justice menekankan prinsip logis dan universalitas moral. Ia berakar pada tradisi Kantian, di mana moralitas ditentukan oleh kewajiban rasional yang berlaku sama bagi semua.⁹ Sebaliknya, ethics of care berakar pada tradisi fenomenologis dan eksistensialis yang menempatkan pengalaman empatik sebagai sumber moralitas.¹⁰

Kedua, dari segi relasionalitas, ethics of justice bersifat impersonal dan berorientasi pada hukum moral yang obyektif, sementara ethics of care berfokus pada konteks hubungan konkret antarindividu.¹¹ Dalam paradigma keadilan, keutamaan moral adalah keadilan (justice); dalam paradigma kepedulian, keutamaannya adalah kasih (care).¹²

Ketiga, dari segi normativitas, ethics of justice mengandaikan moralitas sebagai sistem prinsip yang dapat diuji melalui rasio universal, sedangkan ethics of care mengandaikan moralitas sebagai jaringan tanggung jawab yang lahir dari keterikatan emosional dan historis.¹³ Dengan demikian, perbedaan keduanya bukan hanya soal “apa yang benar”, tetapi juga “bagaimana dan mengapa kita peduli”.

7.3.       Kritik dan Upaya Sintesis

Perdebatan antara dua paradigma ini menimbulkan berbagai upaya untuk menemukan sintesis.¹⁴ Beberapa pemikir, seperti Virginia Held, menolak dikotomi tajam antara keadilan dan kepedulian.¹⁵ Ia berargumen bahwa etika kepedulian tidak menolak prinsip keadilan, melainkan memperluasnya dengan memasukkan dimensi emosional dan relasional yang selama ini diabaikan oleh etika rasionalistik.¹⁶ Dalam pandangan Held, care adalah kondisi dasar bagi terbentuknya keadilan—tanpa kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, prinsip keadilan menjadi kering dan formal.¹⁷

Begitu pula Martha Nussbaum, melalui capabilities approach, mengintegrasikan kedua paradigma ini dengan menekankan bahwa keadilan sejati hanya dapat dicapai ketika masyarakat memfasilitasi kemampuan manusia untuk mencintai, berempati, dan hidup dalam relasi yang bermakna.¹⁸ Dengan demikian, ethics of justice menyediakan kerangka normatif universal, sementara ethics of care memberikan substansi humanistik dan afektif bagi moralitas tersebut.¹⁹

Dalam konteks ini, Paul Ricoeur menawarkan pendekatan hermeneutik yang melihat keadilan dan kepedulian sebagai dua momen dalam dialektika moralitas: keadilan mewakili jarak reflektif terhadap tindakan, sedangkan kepedulian menandai kedekatan etis terhadap sesama.²⁰ Keduanya, menurut Ricoeur, tidak harus saling meniadakan, tetapi saling menyeimbangkan antara keadilan yang tidak memihak dan cinta yang memihak manusia.²¹

7.4.       Relevansi Etika Kepedulian dalam Konteks Sosial Kontemporer

Dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, ethics of care menawarkan koreksi penting terhadap rasionalitas moral modern yang sering kali dingin dan formalistik.²² Dalam konteks sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan kebijakan publik, pendekatan kepedulian mendorong munculnya paradigma empatik dan inklusif.²³ Misalnya, dalam praktik keperawatan dan pelayanan sosial, keputusan moral tidak dapat sepenuhnya diatur oleh prinsip keadilan formal, tetapi menuntut kepekaan terhadap konteks manusia yang konkret.²⁴

Di sisi lain, ethics of justice tetap memiliki peran penting dalam menjamin struktur hukum dan politik yang tidak bias dan konsisten.²⁵ Karena itu, keseimbangan antara keadilan dan kepedulian menjadi kebutuhan etis yang mendesak dalam masyarakat plural modern.²⁶ Etika keadilan tanpa kepedulian menjadi kering dan mekanistik; sementara etika kepedulian tanpa keadilan berisiko jatuh pada partikularisme dan sentimentalitas.²⁷

Dengan demikian, integrasi antara ethics of justice dan ethics of care menjadi fondasi bagi moralitas yang utuh: rasional sekaligus empatik, universal sekaligus kontekstual, normatif sekaligus relasional.²⁸


Kesimpulan Sub-Bagian

Dari analisis di atas, tampak bahwa perbedaan antara ethics of justice dan ethics of care bukan sekadar perbedaan gender atau metodologi, tetapi refleksi atas dua orientasi fundamental dalam moralitas manusia: keadilan sebagai struktur universal dan kepedulian sebagai relasi eksistensial. Keduanya saling melengkapi dalam menciptakan tatanan moral yang tidak hanya adil secara formal, tetapi juga manusiawi secara substantif.²⁹ Maka, ethics of justice dan ethics of care dapat dilihat bukan sebagai oposisi, melainkan sebagai dua poros yang meneguhkan kesatuan moralitas yang lebih komprehensif.


Footnotes

[1]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 18–20.

[2]                Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 54–56.

[3]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. 1: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 10–15.

[4]                Ibid., 32–34.

[5]                Gilligan, In a Different Voice, 22–25.

[6]                Ibid., 28–30.

[7]                Ibid., 34–35.

[8]                Joan C. Tronto, Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care (New York: Routledge, 1993), 101–103.

[9]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.

[10]             Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred Frings (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 120–122.

[11]             Noddings, Caring, 63–65.

[12]             Gilligan, In a Different Voice, 73–76.

[13]             Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 33–36.

[14]             Fiona Robinson, Globalizing Care: Ethics, Feminist Theory, and International Relations (Boulder, CO: Westview Press, 1999), 42–44.

[15]             Held, The Ethics of Care, 12–14.

[16]             Ibid., 25–27.

[17]             Ibid., 48–49.

[18]             Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 74–77.

[19]             Ibid., 88–89.

[20]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 92–95.

[21]             Ibid., 97–100.

[22]             Tronto, Moral Boundaries, 138–142.

[23]             Maurice Hamington, Embodied Care: Jane Addams, Maurice Merleau-Ponty, and Feminist Ethics (Urbana: University of Illinois Press, 2004), 61–64.

[24]             Anne Donchin and Laura M. Purdy, Embodying Bioethics: Recent Feminist Advances (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1999), 15–17.

[25]             Martha Minow, Making All the Difference: Inclusion, Exclusion, and American Law (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1990), 82–85.

[26]             Held, The Ethics of Care, 121–124.

[27]             Noddings, Caring, 112–115.

[28]             Ricoeur, The Just, 101–104.

[29]             Gilligan, In a Different Voice, 105–108.


8.           Etika Keadilan dalam Konteks Global dan Sosial

Perkembangan dunia modern dengan seluruh kompleksitas sosial, ekonomi, dan ekologisnya menuntut pembacaan ulang terhadap konsep keadilan. Dalam era globalisasi, isu keadilan tidak lagi terbatas pada ranah domestik atau politik nasional, melainkan meluas hingga ke hubungan antarbangsa, ketimpangan global, dan tanggung jawab moral terhadap planet secara keseluruhan.¹ Ethics of justice dalam konteks global dan sosial karenanya tidak hanya menyoal prinsip abstrak atau hak individu, tetapi juga menyangkut struktur sistemik yang membentuk relasi kuasa dan ketidakadilan lintas batas.²

Etika keadilan kontemporer harus menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana keadilan dapat ditegakkan dalam dunia yang saling terhubung tetapi tidak setara?³ Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak bisa hanya berlandaskan teori normatif, melainkan menuntut refleksi etis atas kondisi historis dan politik yang konkret.

8.1.       Keadilan Global dan Etika Internasional

Teori keadilan global muncul sebagai respon terhadap tantangan moral globalisasi ekonomi dan politik. John Rawls, dalam The Law of Peoples, memperluas prinsip justice as fairness ke dalam tatanan antarnegara, menekankan prinsip kerja sama yang adil di antara “masyarakat yang beradab”.⁴ Namun, pendekatan Rawls dikritik karena masih bersifat statist, yakni menempatkan negara-bangsa sebagai unit moral utama, bukan individu global.⁵

Sebaliknya, Amartya Sen mengajukan pendekatan comparative justice yang lebih empiris dan terbuka.⁶ Ia berargumen bahwa tugas moral utama bukanlah merancang institusi ideal, tetapi mengurangi ketidakadilan nyata di dunia melalui perbaikan konkret terhadap kondisi hidup manusia.⁷ Sen menolak gagasan keadilan yang bersifat total dan menggantikannya dengan konsep “reasoned scrutiny,” di mana keadilan dipahami sebagai upaya terus-menerus untuk memperluas kebebasan substantif manusia.⁸

Thomas Pogge memperkuat dimensi etika global ini dengan menegaskan bahwa masyarakat maju memiliki tanggung jawab moral terhadap kemiskinan dunia karena mereka berpartisipasi dalam sistem ekonomi global yang tidak adil.⁹ Pogge menyebut fenomena ini sebagai “institutional harm,” yakni bentuk ketidakadilan struktural yang timbul dari desain institusi internasional yang memihak pada negara kaya.¹⁰

Pendekatan-pendekatan ini menandai pergeseran epistemologis dari teori keadilan nasional ke teori keadilan global—dari kewajiban terhadap sesama warga negara ke tanggung jawab terhadap sesama manusia secara universal.¹¹

8.2.       Keadilan Ekologis dan Antropocene Ethics

Keadilan dalam konteks global tidak hanya menyangkut relasi antarmanusia, tetapi juga relasi antara manusia dan lingkungan alam.¹² Krisis iklim dan degradasi ekologis menantang paradigma etika keadilan tradisional yang terlalu berpusat pada manusia (anthropocentric).¹³ Dalam konteks ini, muncul gagasan environmental justice dan ecological ethics, yang berupaya memperluas cakupan moral ke dalam relasi ekosistem.¹⁴

Martha Nussbaum, melalui capabilities approach, mengusulkan perluasan etika keadilan ke makhluk hidup non-manusia.¹⁵ Ia menekankan bahwa setiap makhluk memiliki kemampuan dan tujuan hidup yang layak dihormati secara moral.¹⁶ Demikian pula Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menyerukan etika tanggung jawab antargenerasi: manusia memiliki kewajiban moral untuk menjaga kelangsungan kehidupan di bumi bagi generasi mendatang.¹⁷

Etika keadilan ekologis menolak pandangan bahwa alam hanyalah sumber daya untuk dieksploitasi.¹⁸ Ia mengajukan paradigma moral baru—Anthropocene ethics—yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari sistem kehidupan planet.¹⁹ Dengan demikian, keadilan ekologis tidak hanya berkaitan dengan distribusi sumber daya, tetapi juga dengan pelestarian kondisi eksistensial yang memungkinkan kehidupan berkelanjutan di bumi.²⁰

8.3.       Keadilan Digital dan Etika Teknologi

Di era informasi, dimensi baru keadilan muncul dalam konteks teknologi dan ruang digital.²¹ Isu seperti privasi data, algoritma diskriminatif, dan kesenjangan akses digital menjadi tantangan etis yang tak kalah penting dibanding isu politik tradisional.²² Luciano Floridi memperkenalkan konsep information ethics, yaitu pendekatan etis yang memandang informasi sebagai entitas moral yang memiliki nilai intrinsik dan perlu dikelola secara adil.²³

Keadilan digital juga berkaitan dengan distribusi akses terhadap teknologi informasi.²⁴ Ketimpangan digital antara negara maju dan berkembang, serta antara kelompok sosial dalam satu negara, menciptakan bentuk baru dari “ketidakadilan epistemik.”²⁵ Dalam konteks ini, ethics of justice menuntut perlakuan yang setara dalam hak memperoleh, memanfaatkan, dan melindungi data serta teknologi digital.²⁶

Selain itu, muncul pula diskursus tentang algorithmic justice—yakni keadilan dalam desain dan implementasi sistem kecerdasan buatan.²⁷ Virginia Eubanks dan Safiya Noble menunjukkan bagaimana algoritma dapat memperkuat bias rasial, gender, dan kelas sosial, sehingga menimbulkan ketidakadilan struktural dalam dunia digital.²⁸ Etika keadilan dalam ranah ini menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan berbasis teknologi.²⁹

8.4.       Keadilan Sosial dalam Masyarakat Multikultural dan Postkolonial

Konteks globalisasi juga menghadirkan tantangan baru dalam hubungan antarbudaya dan antaridentitas.³⁰ Dalam masyarakat multikultural, keadilan tidak hanya menuntut kesetaraan hak, tetapi juga pengakuan terhadap perbedaan.³¹ Iris Marion Young, dalam Justice and the Politics of Difference, menolak model keadilan distributif yang hanya fokus pada pembagian sumber daya.³² Ia menegaskan bahwa keadilan harus mencakup penghapusan dominasi struktural dan marginalisasi identitas sosial.³³

Dari perspektif postkolonial, Gayatri Spivak dan Frantz Fanon mengungkap bagaimana keadilan global tidak mungkin dicapai tanpa dekolonisasi epistemologis—yakni pengakuan terhadap suara dan pengetahuan dari masyarakat dunia ketiga yang selama ini dibungkam.³⁴ Keadilan dalam kerangka ini berarti membuka ruang bagi pluralitas epistemik dan menghancurkan hierarki global yang menempatkan Barat sebagai pusat normatif moralitas.³⁵

Dengan demikian, ethics of justice dalam konteks multikultural dan postkolonial menjadi proyek emansipasi yang melibatkan dimensi moral, kultural, dan politik secara bersamaan.³⁶


Kesimpulan Sub-Bagian

Dalam konteks global dan sosial, ethics of justice bergerak melampaui batas-batas moral klasik menuju paradigma baru yang menekankan keterhubungan universal manusia dan planet. Keadilan kini dipahami bukan hanya sebagai prinsip hukum atau moralitas rasional, tetapi sebagai praksis transnasional yang melibatkan tanggung jawab ekologis, digital, dan interkultural.³⁷ Etika keadilan global menuntut solidaritas moral yang melampaui batas identitas nasional dan sistem ekonomi, menuju etika tanggung jawab universal yang menegaskan kembali kemanusiaan sebagai komunitas moral bersama.³⁸


Footnotes

[1]                Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 2–4.

[2]                Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 12–14.

[3]                Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 1–3.

[4]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–5.

[5]                Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 49–50.

[6]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 7–9.

[7]                Ibid., 88–90.

[8]                Ibid., 104–106.

[9]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 15–17.

[10]             Ibid., 38–40.

[11]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 19–22.

[12]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 11–14.

[13]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 65–68.

[14]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23–27.

[15]             Nussbaum, Frontiers of Justice, 325–327.

[16]             Ibid., 334–336.

[17]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–124.

[18]             Attfield, Environmental Ethics, 44–46.

[19]             Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 12–15.

[20]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 45–47.

[21]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 3–6.

[22]             Ibid., 21–24.

[23]             Ibid., 89–91.

[24]             Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital Divide (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 12–15.

[25]             Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.

[26]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 68–70.

[27]             Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 14–17.

[28]             Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 9–11.

[29]             Ibid., 123–125.

[30]             Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–28.

[31]             Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 67–69.

[32]             Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 23–25.

[33]             Ibid., 31–33.

[34]             Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? (Basingstoke: Macmillan, 1988), 66–68.

[35]             Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–5.

[36]             Benhabib, Another Cosmopolitanism, 45–47.

[37]             Fraser, Scales of Justice, 85–88.

[38]             Nussbaum, Frontiers of Justice, 345–348.


9.           Dimensi Teologis dan Spiritualitas Keadilan

Dimensi teologis dan spiritualitas keadilan memberikan landasan transenden bagi pemahaman etis tentang hubungan manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan. Keadilan dalam kerangka teologis tidak hanya berurusan dengan aturan moral yang rasional, tetapi juga dengan keterarahan eksistensi manusia terhadap sumber nilai tertinggi yang dianggap suci dan absolut.¹ Dengan demikian, ethics of justice tidak dapat dipisahkan dari dimensi spiritual yang memberikan makna, motivasi, dan arah moralitas manusia.

9.1.       Keadilan Ilahi dan Moralitas Transendental

Dalam teologi Abrahamik—Yahudi, Kristen, dan Islam—keadilan merupakan atribut fundamental dari Tuhan.² Keadilan Ilahi (divine justice) menegaskan bahwa seluruh ciptaan berada dalam keteraturan moral yang bersumber dari kehendak Tuhan.³ Dalam tradisi Kristen, keadilan Tuhan dipahami bukan hanya sebagai hukuman terhadap dosa, tetapi juga sebagai manifestasi kasih dan rahmat (grace).⁴ Santo Agustinus menulis bahwa keadilan sejati tidak dapat ditemukan dalam tatanan duniawi, melainkan hanya dalam keteraturan surgawi di mana setiap makhluk menempati tempat yang sesuai dengan kehendak ilahi.⁵

Thomas Aquinas melanjutkan pemikiran ini dengan menegaskan bahwa keadilan manusia harus meniru keadilan Tuhan sebagai ordinatio rationis—yakni keteraturan rasional yang merefleksikan hukum kodrat (lex naturalis) dalam diri manusia.⁶ Dalam pandangan ini, keadilan memiliki dasar ontologis yang tidak hanya etis, tetapi juga metafisis: ia adalah partisipasi manusia dalam kebijaksanaan ilahi (participatio legis aeternae).⁷

Sementara itu, dalam tradisi Islam, konsep ‘adl (keadilan) menjadi prinsip kosmologis dan teologis yang mendasari seluruh tatanan ciptaan.⁸ Al-Qur’an menggambarkan Allah sebagai al-‘Adl—Yang Maha Adil—dan menegaskan bahwa menegakkan keadilan adalah wujud kesalehan tertinggi.⁹ Para teolog Islam seperti Al-Ghazali dan Al-Maturidi menafsirkan keadilan sebagai keseimbangan antara rahmat dan hikmah Tuhan dalam mengatur dunia.¹⁰ Dalam filsafat Islam, khususnya pada Al-Farabi dan Ibn Sina, keadilan dipandang sebagai keteraturan ontologis antara akal aktif, jiwa, dan materi; sementara dalam teologi tasawuf, ia menjadi ekspresi harmoni spiritual antara kehendak manusia dan kehendak Ilahi.¹¹

Dengan demikian, keadilan teologis menegaskan bahwa moralitas manusia berakar pada keterhubungan dengan sumber nilai yang transenden. Ia menggabungkan dimensi normatif dan kontemplatif, antara rasionalitas moral dan iman eksistensial.

9.2.       Keadilan dalam Tradisi Islam: ‘Adl dan Ihsan

Dalam Islam, keadilan (‘adl) dan kebaikan (ihsan) dipahami sebagai dua pilar moralitas sosial.¹² ‘Adl menuntut keseimbangan dan perlakuan yang setara dalam hukum dan muamalah, sementara ihsan menuntut kelebihan moral berupa kasih sayang, empati, dan pengampunan.¹³ Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. al-Naḥl [16] ayat 90).¹⁴ Ayat ini menjadi dasar etika sosial Islam yang memadukan keadilan hukum dengan kebaikan spiritual.

Para filsuf dan ulama klasik menafsirkan ‘adl sebagai harmoni antara akal dan syariat. Ibn Miskawayh, dalam Tahdzīb al-Akhlāq, menegaskan bahwa keadilan adalah “keutamaan yang menyeimbangkan seluruh keutamaan lainnya.”¹⁵ Dalam pemikiran Al-Farabi, keadilan menjadi syarat utama bagi madīnah al-fāḍilah (negara utama), di mana struktur politik mencerminkan keteraturan moral jiwa manusia.¹⁶

Dalam tasawuf, konsep ihsan memperluas makna keadilan ke dalam ranah spiritualitas dan cinta Ilahi.¹⁷ Jalaluddin Rumi memandang keadilan bukan hanya memberi sesuai hak, tetapi juga mengembalikan segala sesuatu kepada tempatnya yang sejati di hadapan Tuhan.¹⁸ Keadilan tanpa cinta akan menjadi kering dan legalistik; sementara cinta tanpa keadilan akan menjadi sentimental dan tanpa arah.¹⁹ Dengan demikian, spiritualitas keadilan dalam Islam merupakan penyatuan antara hukum rasional dan kasih Ilahi.

9.3.       Kesadaran Spiritual dan Etika Sosial

Dimensi spiritual keadilan tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga praksis.²⁰ Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan moral menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial yang melampaui kepentingan pribadi.²¹ Dalam tradisi teologi pembebasan (liberation theology), misalnya, keadilan dipahami sebagai panggilan spiritual untuk membebaskan manusia dari penindasan struktural dan kemiskinan.²² Gustavo Gutiérrez menyebut keadilan sebagai “wajah konkret dari kasih Tuhan dalam sejarah.”²³

Pemikiran ini memiliki resonansi kuat dengan etika sosial Islam, yang menekankan bahwa iman sejati harus diwujudkan dalam tindakan keadilan sosial (‘amal ṣāliḥ).²⁴ Dalam pandangan ini, dimensi spiritual tidak bertentangan dengan politik atau ekonomi, melainkan menjadi sumber motivasi moral untuk memperjuangkan martabat manusia.²⁵

Paul Tillich mengartikulasikan hubungan serupa antara keadilan dan spiritualitas dalam teologi eksistensialnya.²⁶ Menurutnya, keadilan merupakan ekspresi cinta yang terstruktur (love in form); cinta tanpa keadilan akan kehilangan arah, dan keadilan tanpa cinta kehilangan makna.²⁷ Spiritualitas keadilan karenanya bukan pelarian dari dunia, tetapi keterlibatan mendalam dalam sejarah demi menegakkan nilai-nilai yang menandai kehadiran Ilahi di tengah masyarakat.²⁸

9.4.       Keadilan Kosmis dan Transendensi Moral

Dalam filsafat dan teologi mistik Timur, keadilan juga dipahami sebagai harmoni kosmis.²⁹ Dalam tradisi Hindu, konsep ṛta dan dharma menegaskan bahwa keadilan adalah keteraturan alam semesta yang harus dijaga melalui tindakan benar (karma).³⁰ Demikian pula dalam Buddhisme, keadilan moral tidak diukur dari balasan eksternal, tetapi dari keseimbangan batin dan pencerahan (nirvāṇa).³¹

Konsep-konsep ini menunjukkan bahwa keadilan spiritual berakar pada kesadaran akan keterhubungan universal segala makhluk.³² Ia menegaskan dimensi moralitas yang melampaui sekadar kewajiban sosial menuju penyadaran kosmis akan kesatuan kehidupan.³³ Dalam konteks ini, ethics of justice menjadi jembatan antara etika rasional Barat dan spiritualitas Timur, antara norma sosial dan kesadaran metafisik.³⁴


Kesimpulan Sub-Bagian

Dimensi teologis dan spiritualitas keadilan memperkaya wacana ethics of justice dengan memasukkan unsur transendensi, kasih, dan tanggung jawab moral terhadap keseluruhan ciptaan. Keadilan tidak hanya menjadi prinsip rasional, tetapi juga jalan spiritual untuk mewujudkan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.³⁵ Spiritualitas keadilan mengingatkan bahwa tindakan etis sejati selalu berpangkal pada kesadaran yang melampaui ego—kesadaran akan kehadiran Ilahi yang menuntun manusia menuju keteraturan moral universal.³⁶


Footnotes

[1]                Paul Tillich, Love, Power, and Justice: Ontological Analysis and Ethical Applications (Oxford: Oxford University Press, 1954), 3–6.

[2]                John Milbank, Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason (Oxford: Blackwell, 1990), 81–84.

[3]                Reinhold Niebuhr, Moral Man and Immoral Society (New York: Charles Scribner’s Sons, 1932), 12–15.

[4]                Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II: The Doctrine of God (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 376–379.

[5]                Augustine, City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XIX.13–17.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, Q.58, art.1–4.

[7]                Ibid., I-II, Q.91, art.2.

[8]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 33–35.

[9]                Al-Qur’an, Surah Al-Nahl [16]:90.

[10]             Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 45–47.

[11]             Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986), 93–95.

[12]             M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 204–206.

[13]             Ibid., 208–209.

[14]             Al-Qur’an, Surah Al-Nahl [16]:90.

[15]             Ibn Miskawayh, Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathīr al-A‘rāq (Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayat, 1966), 64–67.

[16]             Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, 101–104.

[17]             William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 98–100.

[18]             Jalaluddin Rumi, Mathnawi-i Ma‘nawi, trans. Reynold A. Nicholson (London: Luzac & Co., 1926), Book I, 115–118.

[19]             Ibid., Book II, 240–243.

[20]             Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, trans. Sister Caridad Inda and John Eagleson (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973), 85–88.

[21]             Ibid., 102–104.

[22]             Leonardo Boff, Faith on the Edge: Religion and Marginalization (San Francisco: Harper & Row, 1989), 41–44.

[23]             Gutiérrez, A Theology of Liberation, 105.

[24]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 142–145.

[25]             M. Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 121–124.

[26]             Tillich, Love, Power, and Justice, 27–29.

[27]             Ibid., 58–60.

[28]             Ibid., 72–74.

[29]             Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 110–113.

[30]             Mahatma Gandhi, Hind Swaraj or Indian Home Rule (Ahmedabad: Navajivan, 1938), 45–47.

[31]             Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 48–51.

[32]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 23–25.

[33]             Ibid., 58–60.

[34]             Panikkar, The Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 92–94.

[35]             Tillich, Love, Power, and Justice, 91–93.

[36]             Chittick, The Sufi Path of Love, 132–135.


10.       Kritik terhadap Teori-teori Etika Keadilan

Teori-teori klasik dan modern tentang etika keadilan, meskipun memberikan kerangka rasional yang kokoh bagi pemikiran moral dan politik, tidak luput dari kritik mendasar baik secara epistemologis, ontologis, maupun praktis. Kritik terhadap ethics of justice lahir dari kesadaran bahwa model-model keadilan modern sering kali bersifat abstrak, elitis, dan kurang peka terhadap konteks sosial, budaya, serta eksistensial manusia.¹ Dalam wacana filsafat kontemporer, kritik ini datang dari berbagai arah: relativisme moral, postmodernisme, feminisme, teori kritis, dan etika ekologis.

10.1.     Kritik Relativisme Moral dan Nihilisme Etis

Salah satu kritik paling awal terhadap ethics of justice datang dari posisi relativisme moral, yang menolak adanya prinsip keadilan universal yang dapat berlaku lintas budaya dan sejarah.² Friedrich Nietzsche, melalui genealoginya tentang moralitas, menilai bahwa konsep keadilan yang diklaim universal sebenarnya merupakan konstruksi historis dari kehendak kekuasaan (will to power).³ Ia menolak moralitas “budak” yang mendewakan kesetaraan dan belas kasihan, karena dianggap menghambat afirmasi terhadap kehidupan dan kreativitas manusia.⁴

Relativisme moral menyoroti bahwa keadilan tidak dapat dilepaskan dari konteks nilai, tradisi, dan kekuasaan yang membentuknya.⁵ Dari perspektif ini, setiap sistem etika hanyalah refleksi dari kehendak kelompok tertentu untuk menormalkan pandangan moralnya. Namun, ekstremitas posisi ini membawa risiko nihilisme etis—hilangnya dasar normatif bagi tindakan moral.⁶ Seperti diingatkan oleh Alasdair MacIntyre, ketika modernitas kehilangan visi teleologis tentang kebaikan bersama, maka “keadilan” menjadi istilah kosong yang diperebutkan tanpa makna universal.⁷

Dengan demikian, tantangan yang dihadapi ethics of justice ialah bagaimana mempertahankan prinsip normatif universal tanpa jatuh ke dalam dogmatisme moral di satu sisi, atau relativisme nihilistik di sisi lain.⁸

10.2.    Kritik Postmodern dan Dekonstruktif

Pemikir postmodern seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida memberikan kritik yang lebih radikal terhadap klaim universalitas dan rasionalitas moral dalam teori keadilan modern.⁹ Foucault menolak gagasan keadilan sebagai kategori moral transenden, dan sebaliknya menafsirkan hukum serta moralitas sebagai hasil dari jaringan kuasa-pengetahuan (power/ knowledge).¹⁰ Menurutnya, wacana tentang keadilan sering kali menjadi instrumen untuk menormalkan perilaku dan menundukkan subjek.¹¹

Derrida, di sisi lain, mengajukan dekonstruksi terhadap konsep hukum dan keadilan. Dalam esainya Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”, ia menegaskan bahwa hukum selalu bersifat positif (historis dan kontekstual), sementara keadilan sejati bersifat tak terhingga dan selalu “akan datang” (à venir).¹² Keadilan bukan sesuatu yang bisa ditetapkan, tetapi merupakan gerak etis yang membuka diri terhadap yang lain tanpa syarat.¹³

Kritik postmodern ini menantang klaim finalitas rasional dari teori keadilan modern seperti Rawlsian liberalism.¹⁴ Keadilan, bagi Derrida, bukan formula normatif yang bisa dihitung, tetapi tanggung jawab yang terus ditunda dan direfleksikan.¹⁵ Dengan demikian, ethics of justice direvisi menjadi etika keterbukaan dan kesadaran akan keterbatasan rasionalitas manusia.

10.3.    Kritik Feministik dan Perspektif Relasional

Teori feminis, terutama yang dikembangkan oleh Carol Gilligan, Nel Noddings, dan Joan Tronto, mengkritik ethics of justice karena bias gendernya.¹⁶ Menurut mereka, model keadilan yang rasional, impersonal, dan berbasis prinsip sering kali mengabaikan dimensi relasional, empatik, dan afektif dari moralitas manusia.¹⁷ Gilligan menilai bahwa paradigma moral modern dibangun dari pengalaman laki-laki dalam ranah publik (politik, hukum), sementara pengalaman perempuan yang berakar pada relasi dan kepedulian dianggap inferior.¹⁸

Etika feminis menuntut redefinisi keadilan sebagai tanggung jawab terhadap yang rentan, bukan sekadar penerapan aturan universal.¹⁹ Dalam kerangka ini, ethics of justice yang kaku dan formal perlu dilengkapi oleh ethics of care yang lebih kontekstual dan humanistik.²⁰

Kritik feministik juga menyoroti aspek struktural: ketidakadilan sosial sering kali bersumber dari institusi patriarkal yang memonopoli definisi moralitas.²¹ Oleh karena itu, revisi terhadap ethics of justice tidak cukup pada level epistemologis, tetapi harus menyentuh tataran politik dan institusional yang membentuk praktik keadilan itu sendiri.²²

10.4.    Kritik Ekologis dan Antroposentrisme Moral

Kritik lain yang semakin relevan adalah kritik ekologis terhadap antropo­sentrisme moral dalam teori keadilan tradisional.²³ Filsafat etika klasik—baik deontologis maupun utilitarian—mendasarkan keadilan pada relasi antarmanusia, mengabaikan dimensi moral terhadap alam.²⁴

Pemikir seperti Aldo Leopold, Arne Naess, dan Holmes Rolston III mengusulkan ecocentric ethics yang memperluas subjek moral ke seluruh komunitas biotik.²⁵ Bagi mereka, keadilan ekologis berarti menegakkan keseimbangan antara manusia dan alam, bukan sekadar mendistribusikan sumber daya.²⁶ Kritik ini menyingkap keterbatasan ethics of justice modern yang terlalu fokus pada tatanan sosial-politik, sementara krisis ekologis menunjukkan bahwa moralitas sejati harus mencakup tanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan planet.²⁷

Hans Jonas menambahkan dimensi futuristik melalui ethics of responsibility—bahwa keadilan kini harus memperhitungkan generasi mendatang yang belum lahir.²⁸ Kritik ekologis dengan demikian menegaskan bahwa etika keadilan tidak dapat berhenti pada keadilan antar manusia, tetapi harus berkembang menjadi keadilan kosmik.²⁹

10.5.    Kritik dari Perspektif Global dan Poskolonial

Dalam konteks global, teori keadilan liberal dikritik karena bias Barat dan ahistoris.³⁰ Pemikir poskolonial seperti Gayatri Spivak, Homi Bhabha, dan Frantz Fanon menunjukkan bahwa wacana keadilan modern sering berfungsi sebagai perangkat kolonial yang memaksakan nilai-nilai Eropa atas dunia non-Barat.³¹ Dengan mengklaim universalitas, teori keadilan liberal sering kali menutupi ketimpangan struktural dan eksploitasi global yang diwariskan kolonialisme.³²

Kritik poskolonial ini mengajukan pluralisme moral, yaitu pengakuan terhadap banyak bentuk rasionalitas dan sistem nilai.³³ Keadilan tidak dapat didefinisikan tunggal berdasarkan standar Barat, tetapi harus dipahami dalam konteks pluralitas budaya dan sejarah.³⁴ Nancy Fraser dan Iris Marion Young menambahkan bahwa keadilan global membutuhkan participatory parity—kesetaraan partisipasi dalam membentuk struktur sosial global.³⁵

Dengan demikian, teori keadilan yang sejati harus bersifat dialogis, interkultural, dan terbuka terhadap koreksi moral lintas tradisi.³⁶


Kesimpulan Sub-Bagian

Kritik-kritik terhadap ethics of justice menunjukkan bahwa keadilan bukan kategori final atau tertutup, melainkan proses reflektif yang terus berkembang. Rasionalitas universal harus berdialog dengan relasi empatik; moralitas manusia harus meluas hingga mencakup alam dan generasi mendatang; dan nilai-nilai moral harus terbuka terhadap pluralitas budaya dan sejarah.³⁷ Kritik ini tidak membatalkan pentingnya ethics of justice, tetapi menuntut agar ia direvisi menjadi paradigma etika yang lebih relasional, ekologis, dan kosmopolitan—suatu justice beyond justice.³⁸


Footnotes

[1]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 8–10.

[2]                Gilbert Harman, The Nature of Morality: An Introduction to Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1977), 9–11.

[3]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), I.10–13.

[4]                Ibid., II.24–25.

[5]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 51–53.

[6]                Simon Blackburn, Being Good: A Short Introduction to Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2001), 34–36.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 6–9.

[8]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 102–104.

[9]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–100.

[10]             Ibid., 102–104.

[11]             Ibid., 121–123.

[12]             Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”, in Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York: Routledge, 2002), 242–247.

[13]             Ibid., 250–253.

[14]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 144–147.

[15]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 89–92.

[16]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 22–25.

[17]             Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 54–57.

[18]             Gilligan, In a Different Voice, 73–76.

[19]             Joan C. Tronto, Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care (New York: Routledge, 1993), 105–107.

[20]             Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 33–36.

[21]             Alison M. Jaggar, “Feminist Ethics,” in A Companion to Ethics, ed. Peter Singer (Oxford: Blackwell, 1991), 195–197.

[22]             Tronto, Moral Boundaries, 138–142.

[23]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 18–21.

[24]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 25–27.

[25]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 203–205.

[26]             Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16 (1973): 95–100.

[27]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 43–45.

[28]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 94–97.

[29]             Ibid., 102–104.

[30]             Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? (Basingstoke: Macmillan, 1988), 66–68.

[31]             Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–5.

[32]             Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon, 1978), 325–327.

[33]             Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 173–175.

[34]             Spivak, Can the Subaltern Speak?, 69–71.

[35]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 98–101.

[36]             Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 273–275.

[37]             Benhabib, Situating the Self, 150–153.

[38]             Ricoeur, The Just, 100–104.


11.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Keadilan Integral

Setelah melalui berbagai fase historis dan kritik konseptual, perbincangan tentang ethics of justice menuntut suatu sintesis filosofis yang mampu mengintegrasikan dimensi rasional, relasional, sosial, ekologis, dan spiritual dari moralitas manusia.¹ Etika keadilan integral (integral ethics of justice) merupakan upaya untuk merangkul kembali kompleksitas realitas etis tanpa jatuh pada fragmentasi atau reduksionisme metodologis.² Sintesis ini tidak berpretensi membangun sistem metafisik tertutup, tetapi lebih sebagai kerangka reflektif yang terbuka—di mana keadilan dipahami sebagai modus eksistensial manusia yang berakar pada kesadaran moral, kebersamaan sosial, dan keterhubungan kosmis.³

11.1.    Integrasi antara Etika Rasional dan Etika Relasional

Etika keadilan tradisional, sebagaimana dikembangkan oleh Kant dan Rawls, menekankan dimensi rasional dan universalitas moral.⁴ Namun, seperti dikritik oleh Gilligan dan Noddings, etika semacam ini sering kali mengabaikan konteks konkret dan relasi afektif manusia.⁵ Etika keadilan integral berupaya menjembatani dua dimensi ini dengan menegaskan bahwa rasionalitas moral dan empati relasional bukanlah oposisi, melainkan dua bentuk kesadaran moral yang saling melengkapi.⁶

Paul Ricoeur menggambarkan integrasi ini melalui konsep “the just distance”—yakni jarak etis antara diri dan orang lain yang memungkinkan keadilan sekaligus kasih.⁷ Jarak ini mencegah moralitas jatuh ke dalam sentimentalitas yang buta, tetapi juga menghindarkannya dari rasionalitas yang dingin dan formal.⁸ Dengan demikian, keadilan integral tidak lagi dipahami semata sebagai penerapan aturan, melainkan sebagai keseimbangan dinamis antara penilaian rasional dan kepekaan etis terhadap penderitaan manusia.⁹

11.2.    Keadilan sebagai Tanggung Jawab Antar-Subjektif

Sintesis filosofis etika keadilan juga menuntut pemahaman baru tentang subjek moral. Tradisi modern menekankan otonomi individu sebagai dasar moralitas, tetapi etika kontemporer—terutama melalui pemikiran Emmanuel Levinas—menunjukkan bahwa tanggung jawab moral justru mendahului otonomi.¹⁰ Dalam Totality and Infinity, Levinas menyatakan bahwa etika dimulai dari perjumpaan dengan Wajah Liyan (le visage de l’Autre), di mana keadilan lahir sebagai tanggapan atas seruan yang tak dapat dihindari dari keberadaan orang lain.¹¹

Dengan demikian, keadilan integral bukan hasil perjanjian rasional antarindividu otonom, melainkan hasil kesadaran eksistensial bahwa keberadaan manusia selalu bersifat bersama (being-with).¹² Etika semacam ini menolak pandangan atomistik tentang subjek moral dan menggantikannya dengan konsep tanggung jawab antar-subjektif yang bersifat tak terbatas.¹³

Dalam kerangka ini, tindakan moral tidak lagi diukur dari kesesuaian dengan hukum formal, tetapi dari sejauh mana tindakan tersebut memelihara hubungan keberadaan yang adil dan manusiawi.¹⁴ Keadilan menjadi “wajah manusia dari keberadaan”, bukan sekadar prinsip abstrak, melainkan praksis pengakuan atas martabat eksistensi orang lain.¹⁵

11.3.    Model Etika Keadilan Integral: Rasional, Relasional, dan Transendental

Keadilan integral mengandaikan struktur tiga lapis: rasional, relasional, dan transendental. Lapisan rasional memastikan kejelasan normatif dan konsistensi logis dalam penilaian moral; lapisan relasional memastikan keterlibatan empatik dalam kehidupan sosial; dan lapisan transendental menegaskan orientasi spiritual manusia terhadap nilai-nilai tertinggi seperti kebenaran, kasih, dan kesucian.¹⁶

Martha Nussbaum melalui capabilities approach memberikan contoh integratif ini dalam kerangka kebijakan publik: keadilan sejati tidak cukup dengan prosedur legal, tetapi harus menjamin kemampuan manusia untuk hidup bermartabat dan mengembangkan potensinya.¹⁷ Sementara itu, Raimon Panikkar memperluas paradigma ini secara ontologis melalui konsep cosmotheandric ethics—etika yang melihat manusia, alam, dan Tuhan sebagai tiga dimensi yang saling berkelindan dalam struktur keadilan kosmis.¹⁸

Keadilan integral dengan demikian bersifat inklusif: ia mencakup keadilan sosial dan ekologis, hak individu dan komunitas, serta moralitas imanen dan kesadaran transenden.¹⁹ Ia bukan hanya teori normatif, melainkan juga visi eksistensial tentang keseimbangan antara kebebasan dan keterikatan, antara tanggung jawab dan cinta, antara hukum dan rahmat.²⁰

11.4.    Etika Keadilan sebagai Proyek Hermeneutik

Sebagai sintesis terbuka, ethics of justice integral tidak dimaksudkan sebagai sistem dogmatis, melainkan sebagai proyek hermeneutik yang terus berkembang.²¹ Dalam pandangan ini, keadilan selalu merupakan hasil interpretasi yang kontekstual, historis, dan dialogis.²² Setiap generasi menafsirkan ulang keadilan sesuai dengan horizon pengalaman moralnya.²³

Paul Ricoeur menegaskan bahwa keadilan memerlukan “imajinasi moral”—kemampuan untuk melampaui situasi faktual dan membayangkan kondisi yang lebih manusiawi.²⁴ Hermeneutika keadilan dengan demikian adalah upaya memahami tindakan etis tidak hanya sebagai penerapan norma, tetapi sebagai proses penafsiran terhadap makna kemanusiaan.²⁵

Dengan perspektif hermeneutik, keadilan integral mengakui pluralitas tanpa kehilangan arah moral. Ia terbuka terhadap koreksi, tetapi tetap berpijak pada nilai dasar: penghormatan terhadap martabat manusia dan keseimbangan kosmos.²⁶

11.5.    Menuju Paradigma Etika Keadilan Integral

Etika keadilan integral berupaya mengatasi dikotomi klasik antara universalitas dan partikularitas, antara rasio dan afeksi, antara sekularitas dan spiritualitas.²⁷ Ia menegaskan bahwa keadilan sejati tidak dapat direduksi pada hukum, melainkan harus mencerminkan kebijaksanaan hidup yang menyatukan dimensi moral, sosial, dan spiritual manusia.²⁸

Paradigma ini memiliki tiga prinsip utama:

1)                  Prinsip kesalingan etis (ethical reciprocity) — bahwa setiap tindakan adil harus mempertimbangkan kesejahteraan dan martabat pihak lain.²⁹

2)                  Prinsip tanggung jawab kosmis (cosmic responsibility) — bahwa keadilan meluas hingga hubungan manusia dengan alam dan masa depan.³⁰

3)                  Prinsip keterbukaan transendental (transcendental openness) — bahwa moralitas manusia berakar pada kesadaran spiritual yang senantiasa mengarahkan pada kebaikan tertinggi (summum bonum).³¹

Dengan mengintegrasikan ketiga prinsip ini, ethics of justice mencapai bentuknya yang paling komprehensif: bukan hanya teori moral, tetapi cara keberadaan yang menghubungkan rasionalitas, cinta, dan kesadaran spiritual sebagai satu kesatuan etis.³²


Kesimpulan Sub-Bagian

Etika keadilan integral menegaskan bahwa keadilan bukanlah sekadar struktur normatif, melainkan horizon eksistensial yang menyatukan rasio, empati, dan spiritualitas dalam satu kesadaran moral universal.³³ Ia adalah hasil sintesis dari seluruh perjalanan historis pemikiran etika: dari hukum moral Kant hingga empati Gilligan, dari rasionalitas Rawls hingga tanggung jawab Levinas, dari keadilan sosial Fraser hingga kesadaran kosmis Panikkar.³⁴ Dengan demikian, ethics of justice mencapai bentuk tertingginya sebagai praxis humanum—tindakan sadar yang menjembatani antara keadilan sebagai prinsip dan kasih sebagai makna.³⁵


Footnotes

[1]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 9–11.

[2]                Raimon Panikkar, The Rhythm of Being (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 45–48.

[3]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 3–5.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.

[5]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 32–35.

[6]                Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 121–123.

[7]                Ricoeur, The Just, 78–81.

[8]                Ibid., 84–86.

[9]                Paul Tillich, Love, Power, and Justice (Oxford: Oxford University Press, 1954), 91–93.

[10]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–202.

[11]             Ibid., 245–247.

[12]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 161–163.

[13]             Levinas, Totality and Infinity, 248–250.

[14]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 180–183.

[15]             Ibid., 191–193.

[16]             Tillich, Love, Power, and Justice, 101–104.

[17]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–29.

[18]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 43–46.

[19]             Panikkar, The Rhythm of Being, 110–113.

[20]             Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 345–348.

[21]             Ricoeur, The Just, 92–94.

[22]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 310–312.

[23]             Ibid., 317–319.

[24]             Ricoeur, Oneself as Another, 180–182.

[25]             Ibid., 186–188.

[26]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 47–49.

[27]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 154–157.

[28]             Tillich, Love, Power, and Justice, 120–122.

[29]             Levinas, Totality and Infinity, 289–291.

[30]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–124.

[31]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 74–77.

[32]             Ricoeur, The Just, 100–104.

[33]             Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 413–416.

[34]             Nussbaum, Creating Capabilities, 90–92.

[35]             Ricoeur, The Just, 105–108.


12.       Relevansi Kontemporer dan Implikasi Praktis

Etika keadilan pada abad ke-21 menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring perubahan sosial, ekonomi, teknologi, dan ekologis global.¹ Di tengah krisis kemanusiaan, ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, dan perkembangan kecerdasan buatan, ethics of justice tidak lagi dapat dipahami semata sebagai teori normatif, tetapi harus berfungsi sebagai orientasi praksis yang membimbing kebijakan publik, tanggung jawab sosial, serta transformasi moral masyarakat.² Relevansi kontemporer dari etika keadilan terletak pada kemampuannya menjembatani rasionalitas moral dengan praksis sosial yang konkret—antara cita-cita keadilan universal dan kondisi historis manusia yang plural.³

12.1.    Keadilan Sosial dan Kebijakan Publik

Dalam konteks sosial-politik modern, ethics of justice menjadi dasar bagi penyusunan kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan bersama (common good).⁴ John Rawls melalui A Theory of Justice menawarkan kerangka konseptual yang tetap relevan bagi desain institusi publik yang adil, terutama prinsip kebebasan dasar dan difference principle.⁵ Prinsip-prinsip ini menjadi pijakan bagi negara demokratis untuk menyeimbangkan kebebasan individu dengan pemerataan sosial.⁶

Namun, dalam praktik kebijakan, implementasi keadilan sering kali terbentur oleh struktur ekonomi global yang tidak setara.⁷ Oleh karena itu, ethics of justice menuntut integrasi antara keadilan distributif (pemerataan ekonomi), keadilan partisipatoris (akses terhadap pengambilan keputusan), dan keadilan pengakuan (penghormatan terhadap identitas sosial).⁸ Dengan demikian, keadilan tidak cukup diukur dari hasil ekonomi semata, tetapi dari sejauh mana kebijakan publik memperkuat martabat manusia secara holistik.⁹

12.2.    Etika Keadilan dan Teknologi Digital

Revolusi digital membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, bekerja, dan memahami keadilan.¹⁰ Tantangan baru muncul dalam bentuk kesenjangan digital, penyalahgunaan data pribadi, dan ketidakadilan algoritmik.¹¹ Dalam konteks ini, ethics of justice harus diperluas ke dalam ranah etika teknologi yang menekankan tanggung jawab moral dalam desain dan penggunaan teknologi.¹²

Luciano Floridi menyebut hal ini sebagai information ethics, yaitu etika yang menempatkan informasi dan sistem digital sebagai entitas moral yang harus diatur secara adil.¹³ Prinsip-prinsip keadilan harus diterapkan dalam desain algoritma agar tidak mereproduksi bias sosial yang memperkuat diskriminasi gender, ras, atau kelas.¹⁴ Etika keadilan digital juga menuntut transparansi dan akuntabilitas teknologi agar kebebasan dan privasi individu tetap terlindungi.¹⁵

Dengan demikian, penerapan keadilan pada era digital memerlukan kolaborasi antara etika, hukum, dan rekayasa teknologi.¹⁶ Para perancang sistem dan pembuat kebijakan dituntut untuk menginternalisasi nilai-nilai keadilan dalam setiap tahap pengembangan teknologi, menjadikan keadilan bukan sekadar konsep hukum, melainkan prinsip desain moral.¹⁷

12.3.    Keadilan Ekologis dan Krisis Iklim

Krisis iklim global menyingkap keterbatasan ethics of justice tradisional yang berfokus hanya pada relasi antarmanusia.¹⁸ Kini, keadilan harus diperluas menjadi ecological justice yang melibatkan relasi manusia dengan seluruh komunitas biotik.¹⁹ Etika ekologis menuntut tanggung jawab moral terhadap alam, bukan hanya sebagai sumber daya ekonomi, tetapi sebagai sistem kehidupan bersama yang memiliki nilai intrinsik.²⁰

Hans Jonas menegaskan bahwa moralitas abad modern harus berlandaskan pada “imperatif tanggung jawab”—yakni kewajiban untuk menjamin keberlangsungan kehidupan di masa depan.²¹ Prinsip ini memperluas horizon keadilan melampaui batas ruang dan waktu, mencakup generasi mendatang yang belum lahir.²²

Dalam praksis kebijakan global, konsep climate justice menjadi turunan langsung dari etika tanggung jawab ini.²³ Ia menuntut agar negara-negara maju menanggung beban proporsional terhadap kerusakan ekologis yang mereka timbulkan, sekaligus membantu negara berkembang dalam adaptasi iklim.²⁴ Dengan demikian, ethics of justice tidak lagi terbatas pada keadilan sosial, tetapi berkembang menjadi proyek moral ekologis global.²⁵

12.4.    Etika Keadilan dalam Pendidikan dan Transformasi Moral

Relevansi ethics of justice juga sangat kuat dalam ranah pendidikan.²⁶ Pendidikan moral dan karakter yang berorientasi pada keadilan tidak hanya menanamkan norma, tetapi membentuk kesadaran reflektif dan empatik terhadap keberagaman sosial.²⁷ Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari ketidakadilan struktural dengan menumbuhkan kesadaran kritis (conscientização).²⁸

Dalam konteks pendidikan modern, ethics of justice menuntut pendekatan pedagogis yang partisipatif dan dialogis, di mana peserta didik dilatih untuk berpikir kritis sekaligus peduli terhadap kesejahteraan sosial.²⁹ Pendidikan etika yang hanya menekankan kepatuhan terhadap aturan formal tidak cukup; ia harus menumbuhkan kemampuan untuk berpikir moral secara reflektif, kontekstual, dan kreatif.³⁰

Selain itu, pendekatan ethics of care dapat dipadukan dengan ethics of justice dalam pendidikan untuk menciptakan keseimbangan antara logika keadilan dan empati sosial.³¹ Kombinasi keduanya akan menghasilkan generasi yang tidak hanya memahami keadilan sebagai prinsip rasional, tetapi juga menghayatinya sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang hidup.³²

12.5.    Keadilan Global dan Solidaritas Antarbangsa

Dalam dunia yang saling terhubung, ethics of justice harus diperluas menjadi etika global yang menegaskan solidaritas lintas bangsa.³³ Thomas Pogge berargumen bahwa ketimpangan global bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga pelanggaran terhadap prinsip moral universal tentang martabat manusia.³⁴

Keadilan global mengandaikan adanya cosmopolitan responsibility—kesadaran bahwa setiap individu dan negara memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan bersama umat manusia.³⁵ Konsep ini menolak batas-batas nasionalisme sempit dan menyerukan kerjasama global yang berbasis empati moral, bukan sekadar kepentingan geopolitik.³⁶

Praktiknya dapat diwujudkan melalui reformasi sistem ekonomi internasional, kebijakan redistribusi global, dan dukungan terhadap hak-hak asasi manusia universal.³⁷ Dengan demikian, etika keadilan bertransformasi menjadi proyek etika kosmopolitan yang bersifat universal, partisipatif, dan berkelanjutan.³⁸


Kesimpulan Sub-Bagian

Relevansi kontemporer ethics of justice terletak pada kemampuannya untuk memberikan orientasi moral yang menyeluruh dalam menghadapi kompleksitas dunia modern—dari kebijakan sosial hingga teknologi, dari krisis iklim hingga pendidikan dan hubungan internasional.³⁹ Etika keadilan yang integral dan aplikatif menuntut sintesis antara prinsip universal dan konteks partikular, antara teori dan praksis, antara hukum dan kasih.⁴⁰

Implikasi praktisnya bersifat transformasional: ethics of justice mendorong lahirnya paradigma sosial yang inklusif, ekologis, dan humanistik.⁴¹ Keadilan bukan lagi sekadar kategori hukum atau moral, tetapi menjadi horizon etis global yang mempersatukan manusia dalam tanggung jawab bersama terhadap bumi, sejarah, dan sesama.⁴²


Footnotes

[1]                Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality (New York: Basic Books, 1983), 9–12.

[2]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 23–25.

[3]                Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 4–6.

[4]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 41–44.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 60–65.

[6]                Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 88–90.

[7]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 18–21.

[8]                Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 29–33.

[9]                Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 52–54.

[10]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 3–6.

[11]             Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 9–11.

[12]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 78–81.

[13]             Floridi, The Ethics of Information, 18–20.

[14]             Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 121–123.

[15]             Ibid., 130–132.

[16]             Ben Wagner, Ethics as an Escape from Regulation: From Ethics-Washing to Ethics-Shopping? (The Hague: European Parliamentary Research Service, 2018), 5–7.

[17]             Floridi, The Ethics of Information, 91–93.

[18]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 17–20.

[19]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 22–24.

[20]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 88–91.

[21]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–124.

[22]             Ibid., 130–132.

[23]             Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 4–6.

[24]             Ibid., 15–18.

[25]             Dobson, Justice and the Environment, 45–47.

[26]             Nel Noddings, Happiness and Education (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 23–26.

[27]             Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 72–74.

[28]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 32–34.

[29]             Ibid., 40–42.

[30]             Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education (New York: Teachers College Press, 2005), 85–87.

[31]             Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 88–90.

[32]             Noddings, Happiness and Education, 91–93.

[33]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 153–156.

[34]             Pogge, World Poverty and Human Rights, 47–50.

[35]             Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 24–27.

[36]             David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995), 73–76.

[37]             Fraser, Scales of Justice, 97–100.

[38]             Appiah, Cosmopolitanism, 165–167.

[39]             Young, Responsibility for Justice, 89–91.

[40]             Ricoeur, The Just, 102–104.

[41]             Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 92–94.

[42]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 132–135.


13.       Kesimpulan

Kajian mendalam terhadap ethics of justice memperlihatkan bahwa konsep keadilan bukan hanya kategori moral normatif, melainkan juga horizon eksistensial yang menghubungkan manusia dengan tatanan sosial, alam, dan bahkan dimensi transendental keberadaan.¹ Dalam lintasan sejarah filsafat, keadilan telah bertransformasi dari gagasan metafisis Plato dan Aristoteles, menuju kerangka rasional Kantian, lalu berkembang dalam teori sosial Rawls, dan akhirnya diperkaya oleh wacana feminisme, teori kritis, dan ekologi.² Evolusi ini menunjukkan bahwa keadilan bukanlah konsep statis, melainkan medan refleksi yang selalu terbuka terhadap reinterpretasi etis dan historis.³

13.1.    Keadilan sebagai Proyek Universal dan Kontekstual

Keadilan, dalam makna terdalamnya, adalah upaya terus-menerus untuk menyeimbangkan antara tuntutan universalitas dan keberagaman partikularitas.⁴ Ethics of justice tidak dapat dipahami sebagai hukum moral yang tertutup, tetapi sebagai proses dialogis yang mengakui pluralitas pengalaman manusia.⁵ Di satu sisi, prinsip-prinsip rasional seperti kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi memberikan fondasi moral yang stabil; di sisi lain, konteks sosial, budaya, dan historis menuntut fleksibilitas interpretatif agar keadilan tetap relevan.⁶

Dengan demikian, keadilan merupakan dialektika hidup antara norma dan empati, antara struktur hukum dan pengalaman manusiawi.⁷ Dalam masyarakat multikultural, keadilan yang sejati hanya mungkin terwujud melalui keterbukaan terhadap perbedaan dan komitmen terhadap kemanusiaan universal.⁸

13.2.    Dimensi Integral: Rasional, Relasional, dan Spiritualitas Moral

Hasil refleksi dari keseluruhan pembahasan menunjukkan bahwa keadilan integral menuntut penyatuan tiga dimensi etis: rasionalitas moral, relasionalitas sosial, dan spiritualitas transenden.⁹ Rasionalitas memberikan struktur dan konsistensi; relasionalitas memberikan empati dan tanggung jawab sosial; sedangkan spiritualitas memberikan arah dan makna moralitas itu sendiri.¹⁰

Etika keadilan yang mengabaikan salah satu dari ketiga dimensi ini akan cenderung timpang: keadilan yang rasional tanpa kasih akan menjadi legalistik; keadilan yang relasional tanpa rasionalitas akan menjadi sentimental; dan keadilan tanpa spiritualitas akan kehilangan orientasi moral tertinggi.¹¹ Maka, ethics of justice yang integral harus memadukan ketiganya dalam kesatuan praksis etis yang berakar pada martabat manusia.¹²

13.3.    Implikasi Humanistik dan Global

Dalam dunia yang ditandai oleh ketimpangan sosial, krisis ekologis, dan disrupsi teknologi, ethics of justice menjadi panggilan moral untuk membangun kembali tatanan kemanusiaan yang berkeadilan.¹³ Prinsip keadilan kini tidak hanya berlaku dalam batas negara, tetapi juga mencakup tanggung jawab kosmopolitan terhadap umat manusia dan planet bumi.¹⁴ Keadilan sosial harus bersinergi dengan keadilan ekologis dan digital, sementara solidaritas manusia harus diperluas menjadi solidaritas planet.¹⁵

Etika keadilan dalam pengertian ini menuntut transformasi paradigma: dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas reflektif; dari moralitas kompetitif menuju etika empatik; dan dari keadilan nasional menuju keadilan kosmopolit.¹⁶ Keadilan bukan lagi sekadar tuntutan institusional, tetapi kesadaran moral yang membimbing arah sejarah menuju ordo humanitatis—tatanan kemanusiaan yang berlandaskan kasih, kebijaksanaan, dan tanggung jawab universal.¹⁷

13.4.    Keadilan sebagai Puncak Moralitas dan Spiritualitas

Pada akhirnya, ethics of justice menemukan makna terdalamnya bukan hanya dalam tataran sosial, tetapi dalam kedalaman spiritual manusia.¹⁸ Dalam pandangan Paul Tillich, keadilan merupakan bentuk konkret dari cinta (love in form); sedangkan dalam pandangan Levinas, ia adalah tanggapan tak terbatas terhadap seruan wajah Liyan.¹⁹ Kedua pandangan ini menegaskan bahwa keadilan sejati tidak mungkin dicapai tanpa kesadaran eksistensial akan keterikatan manusia satu sama lain dan terhadap Sumber Moral Tertinggi.²⁰

Dengan demikian, ethics of justice adalah puncak dari kesadaran moral manusia—sebuah etika yang menyatukan rasio dan iman, hukum dan kasih, partikularitas dan universalitas, dunia dan transendensi.²¹ Dalam bentuknya yang paling murni, keadilan adalah refleksi manusia atas kehadiran yang Ilahi di tengah dunia; ia adalah panggilan abadi untuk hidup dalam kebenaran, kesetaraan, dan kasih.²²


Kesimpulan Akhir

Etika keadilan tidak dapat direduksi pada teori moral tertentu, sebab ia merupakan jantung dari seluruh upaya manusia memahami makna moralitas dan keberadaan.²³ Dari perspektif historis, keadilan adalah warisan filsafat; dari perspektif sosial, ia adalah proyek kemanusiaan; dan dari perspektif spiritual, ia adalah perjumpaan dengan nilai tertinggi yang melampaui rasionalitas manusia.²⁴

Dengan demikian, ethics of justice harus dipahami sebagai praxis reflektif yang menyatukan rasio, empati, dan transendensi, serta sebagai fondasi bagi transformasi moral global yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.²⁵ Dalam horizon ini, keadilan bukan lagi sekadar ide, tetapi modus keberadaan yang menghidupkan seluruh makna etika, politik, dan spiritualitas manusia.²⁶


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 3–5.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 1–3.

[3]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 17–19.

[4]                Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality (New York: Basic Books, 1983), 314–316.

[5]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 144–146.

[6]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 416–419.

[7]                Paul Tillich, Love, Power, and Justice (Oxford: Oxford University Press, 1954), 101–103.

[8]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 273–276.

[9]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 245–248.

[10]             Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 55–57.

[11]             Tillich, Love, Power, and Justice, 120–122.

[12]             Ricoeur, The Just, 78–81.

[13]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 12–15.

[14]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 37–40.

[15]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 94–97.

[16]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 80–83.

[17]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 132–134.

[18]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. III: Life and the Spirit (Chicago: University of Chicago Press, 1963), 407–409.

[19]             Levinas, Totality and Infinity, 251–253.

[20]             Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 191–193.

[21]             Tillich, Love, Power, and Justice, 125–128.

[22]             Raimon Panikkar, The Rhythm of Being (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 210–213.

[23]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 6–9.

[24]             Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 89–91.

[25]             Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 121–124.

[26]             Ricoeur, The Just, 105–108.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1986). Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah. Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Ghazali, A. H. (1997). Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers. New York: W. W. Norton.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica. New York: Benziger Bros.

Aristotle. (1999). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Attfield, R. (2014). Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century. Cambridge: Polity Press.

Augustine. (2003). City of God (H. Bettenson, Trans.). London: Penguin.

Barth, K. (1957). Church Dogmatics, Vol. II: The Doctrine of God. Edinburgh: T&T Clark.

Benhabib, S. (1992). Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics. Cambridge: Polity Press.

Benhabib, S. (2002). The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era. Princeton: Princeton University Press.

Benhabib, S. (2004). The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens. Cambridge: Cambridge University Press.

Benhabib, S. (2006). Another Cosmopolitanism. Oxford: Oxford University Press.

Bentham, J. (1907). An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press.

Bhabha, H. K. (1994). The Location of Culture. London: Routledge.

Blackburn, S. (2001). Being Good: A Short Introduction to Ethics. Oxford: Oxford University Press.

Boff, L. (1989). Faith on the Edge: Religion and Marginalization. San Francisco: Harper & Row.

Chittick, W. C. (1983). The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi. Albany: SUNY Press.

Derrida, J. (2002). Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” (G. Anidjar, Ed.). New York: Routledge.

Dobson, A. (1998). Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice. Oxford: Oxford University Press.

Donchin, A., & Purdy, L. M. (1999). Embodying Bioethics: Recent Feminist Advances. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Eubanks, V. (2018). Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor. New York: St. Martin’s Press.

Fanon, F. (2004). The Wretched of the Earth (R. Philcox, Trans.). New York: Grove Press.

Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon.

Fraser, N. (1995). From redistribution to recognition? Dilemmas of justice in a “post-socialist” age. New Left Review, 212, 68–93.

Fraser, N. (2008). Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World. New York: Columbia University Press.

Freeman, S. (2007). Rawls. London: Routledge.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Gandhi, M. (1938). Hind Swaraj or Indian Home Rule. Ahmedabad: Navajivan.

Gilligan, C. (1982). In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Guyer, P. (2000). Kant on Freedom, Law, and Happiness. Cambridge: Cambridge University Press.

Gutiérrez, G. (1973). A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (C. Inda & J. Eagleson, Trans.). Maryknoll, NY: Orbis Books.

Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene. Cambridge: Polity Press.

Hamington, M. (2004). Embodied Care: Jane Addams, Maurice Merleau-Ponty, and Feminist Ethics. Urbana: University of Illinois Press.

Harman, G. (1977). The Nature of Morality: An Introduction to Ethics. Oxford: Oxford University Press.

Held, D. (1995). Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance. Stanford: Stanford University Press.

Held, V. (2006). The Ethics of Care: Personal, Political, and Global. Oxford: Oxford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Hobbes, T. (1985). Leviathan. London: Penguin Classics.

Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (J. Anderson, Trans.). Cambridge: Polity Press.

hooks, b. (2000). Feminism Is for Everybody. Cambridge, MA: South End Press.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathīr al-A‘rāq. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayat.

Jonas, H. (1984). The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. Chicago: University of Chicago Press.

Kant, I. (1997). Groundwork for the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kohlberg, L. (1981). Essays on Moral Development, Vol. 1: The Philosophy of Moral Development. San Francisco: Harper & Row.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime. Cambridge: Polity Press.

Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. New York: Oxford University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

Locke, J. (1988). Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Mahmood, R. (1993). The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Maarif, M. S. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung: Mizan.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.

Milbank, J. (1990). Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason. Oxford: Blackwell.

Minow, M. (1990). Making All the Difference: Inclusion, Exclusion, and American Law. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Morris, R. (2000). Stories of Transformative Justice. Toronto: Canadian Scholars’ Press.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement. Inquiry, 16(1), 95–100.

Niebuhr, R. (1932). Moral Man and Immoral Society. New York: Charles Scribner’s Sons.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism. New York: NYU Press.

Noddings, N. (1984). Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education. Berkeley: University of California Press.

Noddings, N. (2003). Happiness and Education. Cambridge: Cambridge University Press.

Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. New York: Teachers College Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities. Princeton: Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Panikkar, R. (1993). The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Panikkar, R. (1999). The Intrareligious Dialogue. New York: Paulist Press.

Panikkar, R. (2010). The Rhythm of Being. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Pogge, T. (1989). Realizing Rawls. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Pogge, T. (2002). World Poverty and Human Rights. Cambridge: Polity Press.

Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahula, W. (1974). What the Buddha Taught. New York: Grove Press.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rawls, J. (1993). Political Liberalism. New York: Columbia University Press.

Rawls, J. (1999). The Law of Peoples. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian Philosophy, Vol. I. London: George Allen & Unwin.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2000). The Just (D. Pellauer, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Robinson, M. (2018). Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for a Sustainable Future. New York: Bloomsbury.

Rolston, H. III. (1988). Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World. Philadelphia: Temple University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge: Cambridge University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The Social Contract (M. Cranston, Trans.). London: Penguin.

Said, E. W. (1978). Orientalism. New York: Pantheon.

Sandel, M. J. (1982). Liberalism and the Limits of Justice. Cambridge: Cambridge University Press.

Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the Right Thing to Do? New York: Farrar, Straus and Giroux.

Scheler, M. (1973). Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values (M. Frings, Trans.). Evanston, IL: Northwestern University Press.

Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Shihab, M. Q. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Spivak, G. C. (1988). Can the Subaltern Speak? Basingstoke: Macmillan.

Taylor, C. (1989). Sources of the Self: The Making of the Modern Identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, C. (1991). The Ethics of Authenticity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, C. (1994). Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press.

Tillich, P. (1954). Love, Power, and Justice: Ontological Analysis and Ethical Applications. Oxford: Oxford University Press.

Tillich, P. (1963). Systematic Theology, Vol. III: Life and the Spirit. Chicago: University of Chicago Press.

Tronto, J. C. (1993). Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care. New York: Routledge.

Tutu, D. (1999). No Future Without Forgiveness. New York: Doubleday.

Van Ness, D. W., & Strong, K. H. (1997). Restoring Justice: An Introduction to Restorative Justice. Cincinnati: Anderson Publishing.

Walzer, M. (1983). Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality. New York: Basic Books.

Warschauer, M. (2004). Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital Divide. Cambridge, MA: MIT Press.

Williams, B. (1985). Ethics and the Limits of Philosophy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Young, I. M. (1990). Justice and the Politics of Difference. Princeton: Princeton University Press.

Young, I. M. (2011). Responsibility for Justice. Oxford: Oxford University Press.

Zehr, H. (2002). The Little Book of Restorative Justice. Intercourse, PA: Good Books.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar