Ethics of Justice
Kajian Filsafat tentang Moralitas, Keadilan, dan
Tanggung Jawab Sosial
Alihkan ke: Pikiran Manusia.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep ethics
of justice sebagai salah satu pilar utama dalam filsafat moral dan teori
keadilan. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan
hermeneutik, tulisan ini menelusuri transformasi gagasan keadilan dari tradisi
klasik—seperti pemikiran Plato, Aristoteles, dan Kant—hingga paradigma
kontemporer yang mencakup teori keadilan John Rawls, kritik feministik ethics
of care, serta wacana etika global dan ekologis. Kajian ini menunjukkan
bahwa keadilan tidak dapat direduksi pada prinsip hukum atau rasionalitas
normatif semata, melainkan harus dipahami sebagai horizon eksistensial yang
mencakup dimensi relasional, sosial, dan spiritualitas moral manusia.
Melalui sintesis filosofis, artikel ini mengajukan
konsep etika keadilan integral (integral ethics of justice),
yaitu pendekatan yang memadukan rasionalitas moral dengan empati sosial dan
kesadaran transendental. Keadilan dipahami bukan hanya sebagai prinsip
distribusi hak, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab antarsubjektif yang
berakar pada pengakuan terhadap martabat manusia dan keterhubungan kosmis. Selanjutnya,
artikel ini menyoroti relevansi praktis ethics of justice dalam konteks
kontemporer—meliputi kebijakan publik, keadilan digital, pendidikan etika, dan
krisis ekologis global—serta menegaskan bahwa penerapan keadilan sejati
menuntut keterpaduan antara teori normatif dan praksis kemanusiaan.
Dengan demikian, ethics of justice tidak
lagi dipahami sebagai sistem moral tertutup, tetapi sebagai proyek etis terbuka
yang terus berkembang, menghubungkan rasionalitas dengan kasih, dan
universalitas dengan partikularitas. Keadilan, dalam makna paling dalamnya,
merupakan modus keberadaan manusia yang mengarahkan kehidupan sosial dan
spiritual menuju keseimbangan, kebebasan, dan tanggung jawab universal.
Kata kunci: Ethics of
justice; etika
keadilan; moralitas; tanggung jawab sosial; keadilan global; etika kepedulian;
keadilan ekologis; etika integral; filsafat moral; spiritualitas keadilan.
PEMBAHASAN
Kajian Etika Keadilan (Ethics of Justice) dalam
Filsafat Moral dan Teori Keadilan
1.          
Pendahuluan
Keadilan merupakan
salah satu konsep paling mendasar dan kompleks dalam sejarah pemikiran manusia.
Ia tidak hanya menjadi isu normatif dalam filsafat moral, tetapi juga menjadi
landasan etis bagi hukum, politik, dan struktur sosial. Sejak masa Yunani Kuno,
para filsuf telah berupaya menafsirkan keadilan bukan sekadar sebagai
distribusi hak atau keseimbangan sosial, melainkan sebagai ekspresi tertinggi
dari moralitas manusia yang rasional dan beradab.¹ Dalam konteks inilah muncul
apa yang disebut sebagai ethics of justice—suatu pendekatan
etis yang berusaha menalar dan menilai tindakan manusia berdasarkan prinsip
keadilan yang universal, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan secara
moral.
Secara historis, ethics
of justice berkembang sebagai bentuk refleksi kritis terhadap dua
hal: pertama, kebutuhan untuk membangun dasar moral bagi legitimasi kekuasaan
dan hukum; dan kedua, upaya untuk menegakkan keadilan sosial di tengah struktur
masyarakat yang timpang.² Dengan demikian, etika keadilan tidak semata-mata
menyoal apa yang “adil” dalam arti hukum, tetapi juga bagaimana manusia
memahami keadilan sebagai kewajiban moral dan tanggung jawab sosial.³ Dalam
filsafat moral modern, konsep ini mencapai bentuk sistematiknya melalui
pemikiran Immanuel Kant, yang menegaskan bahwa tindakan moral harus didasarkan
pada prinsip rasional yang bersifat universal (categorical imperative).⁴
Dalam konteks
kontemporer, ethics of justice juga dikembangkan
oleh John Rawls, yang memperkenalkan konsep justice as fairness sebagai
kerangka normatif untuk menilai struktur dasar masyarakat.⁵ Rawls menolak
gagasan utilitarian yang mengutamakan kebahagiaan mayoritas, dan sebaliknya
menegaskan bahwa keadilan harus menjamin kebebasan serta kesetaraan bagi semua
individu.⁶ Di sisi lain, Amartya Sen dan Martha Nussbaum memperluas horizon
keadilan dengan menekankan dimensi kemampuan manusia (capabilities
approach) sebagai ukuran kesejahteraan dan moralitas sosial.⁷
Dalam ranah sosial,
etika keadilan juga menjadi perdebatan antara dua paradigma moral yang dominan:
ethics
of justice dan ethics of care. Carol Gilligan,
misalnya, mengkritik dominasi rasionalitas moral maskulin yang berfokus pada
keadilan formal, dan mengusulkan etika kepedulian (care ethics) yang menekankan relasi
empatik dan konteks sosial.⁸ Pertentangan ini membuka ruang bagi reinterpretasi
etika keadilan secara lebih relasional dan intersubjektif, di mana keadilan
tidak hanya dilihat sebagai aturan universal, tetapi juga sebagai tanggung
jawab terhadap keberadaan orang lain.⁹
Dalam kerangka
global, ethics
of justice semakin relevan untuk menjawab tantangan keadilan lintas
batas seperti ketimpangan ekonomi global, krisis lingkungan, dan ketidakadilan
digital.¹⁰ Pertanyaan moral tentang siapa yang berhak atas sumber daya, siapa
yang bertanggung jawab atas penderitaan kolektif, dan bagaimana keadilan dapat
diwujudkan dalam sistem internasional menjadi fokus penting kajian etika
kontemporer.¹¹ Oleh karena itu, studi tentang ethics of justice bukan hanya
persoalan teoritis, melainkan juga refleksi moral yang berimplikasi langsung
terhadap kebijakan publik, pendidikan etika, dan struktur moral masyarakat
modern.¹²
Artikel ini
bertujuan untuk menguraikan dasar-dasar konseptual dan historis dari ethics
of justice, menelaah teori-teori utama yang membentuknya, serta
mengkaji relevansinya dalam konteks sosial, politik, dan spiritual masa kini.
Melalui pendekatan interdisipliner—yang melibatkan filsafat moral, etika
sosial, teologi, dan teori kritis—kajian ini berupaya membangun pemahaman yang
komprehensif tentang bagaimana keadilan dapat dipahami, diartikulasikan, dan
diterapkan secara etis dalam kehidupan manusia.
Footnotes:
[1]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett, 1992), 331c–335b.
[2]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 62–65.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), V.2–V.5.
[4]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.
[5]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–9.
[6]               
Ibid., 60–65.
[7]               
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 231–233.
[8]               
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
18–22.
[9]               
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 56–60.
[10]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 98–103.
[11]            
Nancy Fraser, “Reframing Justice in a Globalizing World,” New Left
Review 36 (2005): 69–88.
[12]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 17–21.
2.          
Landasan Historis dan Genealogi Konsep Keadilan
Gagasan tentang
keadilan memiliki sejarah yang panjang dan berlapis, mencerminkan dinamika
intelektual dan moral umat manusia dalam mencari tatanan kehidupan yang benar
dan seimbang. Dalam setiap zaman, keadilan tidak hanya dipahami sebagai prinsip
hukum atau politik, tetapi juga sebagai cita moral yang meneguhkan martabat
manusia.¹ Pemahaman tentang keadilan bergerak dari bentuk kosmologis di dunia kuno
menuju bentuk rasional dan institusional di era modern, serta meluas menjadi
refleksi kritis terhadap struktur kekuasaan dan ketimpangan sosial pada masa
kontemporer.
2.1.      
Akar Klasik: Plato,
Aristoteles, dan Stoisisme
Dalam filsafat
Yunani Kuno, konsep keadilan (dikaiosyne) merupakan tema sentral
yang diolah dengan sangat mendalam. Plato, dalam Republic, menempatkan keadilan
sebagai keharmonisan antara bagian-bagian jiwa dan kelas-kelas sosial dalam
negara ideal.² Bagi Plato, keadilan bukan sekadar urusan distribusi atau
ganjaran, melainkan keteraturan metafisis di mana setiap bagian menempati
tempatnya yang selaras dengan idea of the Good.³ Aristoteles
kemudian menurunkan gagasan itu ke ranah praksis melalui pembedaan antara keadilan
distributif (berdasarkan proporsionalitas) dan keadilan
korektif (berdasarkan kesetaraan).⁴ Dalam kerangka ini, keadilan
menjadi prinsip etika yang menjaga keseimbangan sosial dalam tindakan konkret
manusia.
Sementara itu, para
Stoa seperti Zeno dan Marcus Aurelius memperluas dimensi keadilan ke ranah
kosmopolitan: setiap manusia, sebagai bagian dari logos universal, memiliki nilai dan
tanggung jawab moral yang setara.⁵ Dari sinilah muncul benih pertama gagasan
tentang natural
law dan hak asasi manusia yang kelak memengaruhi tradisi hukum
Barat.⁶
2.2.      
Keadilan dalam Tradisi
Agama dan Etika Teologis
Dalam tradisi
religius, keadilan tidak hanya dipahami sebagai hubungan sosial, tetapi juga
sebagai cerminan kehendak ilahi. Dalam teologi Kristen, keadilan dikaitkan
dengan kasih (caritas) dan rahmat (gratia),
di mana keadilan sejati tercapai ketika manusia hidup dalam keharmonisan dengan
hukum Tuhan.⁷ Thomas Aquinas menggabungkan warisan Aristotelian dengan teologi
skolastik, menegaskan bahwa keadilan adalah habitus moral yang mengarahkan
kehendak untuk memberikan kepada setiap orang haknya sesuai hukum kodrat (lex
naturalis).⁸
Dalam tradisi Islam,
konsep ‘adl
(keadilan) menempati posisi fundamental dalam struktur teologis dan etis.
Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah mencintai orang-orang yang menegakkan
keadilan, dan keadilan menjadi syarat kesempurnaan iman serta dasar tatanan
sosial.⁹ Dalam pemikiran filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Miskawayh,
keadilan dipahami sebagai keseimbangan antara kekuatan rasional, amarah, dan
keinginan dalam jiwa manusia, yang mencerminkan keteraturan kosmos dan
masyarakat.¹⁰ Konsep ini kemudian berkembang menjadi kerangka etika sosial
dalam pemikiran Ibn Khaldun, yang menilai keadilan sebagai fondasi peradaban
dan syarat keberlangsungan negara.¹¹
2.3.      
Perkembangan Modern:
Kontrak Sosial, Utilitarianisme, dan Kantianisme
Zaman modern membawa
perubahan paradigma: keadilan kini dipandang bukan lagi sebagai refleksi
tatanan kosmik atau ilahi, melainkan sebagai hasil kesepakatan rasional
antarmanusia.¹² Teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh Hobbes, Locke, dan
Rousseau menandai transformasi ini. Hobbes melihat keadilan sebagai ketaatan
terhadap kontrak yang menjaga manusia dari kekacauan alamiah (state of
nature), sementara Locke menekankan hak kodrati atas kebebasan dan
kepemilikan.¹³ Rousseau kemudian menegaskan pentingnya kehendak umum (volonté
générale) sebagai sumber legitimasi moral bagi hukum yang adil.¹⁴
Selanjutnya,
utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill
memandang keadilan dalam kerangka konsekuensial: suatu tindakan atau kebijakan
dinilai adil sejauh menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak.¹⁵ Namun, pendekatan ini dikritik karena cenderung mengorbankan hak
individu demi kepentingan kolektif. Sebagai respons, Immanuel Kant menegaskan
kembali prinsip moral otonomi dan kewajiban, di mana keadilan harus bersandar
pada imperatif
kategoris yang universal, bukan pada hasil empiris atau utilitas
sosial.¹⁶
2.4.      
Kritik terhadap
Modernitas: Marx, Nietzsche, dan Post-Strukturalisme
Pada abad ke-19 dan
ke-20, teori keadilan modern mendapat kritik tajam. Karl Marx menilai bahwa
keadilan liberal hanyalah topeng ideologis yang melanggengkan ketimpangan
kelas; baginya, keadilan sejati hanya dapat terwujud melalui penghapusan
struktur kepemilikan yang eksploitatif.¹⁷ Friedrich Nietzsche, di sisi lain,
menolak moralitas keadilan universal sebagai bentuk ressentiment—reaksi kaum lemah
terhadap kekuatan hidup dan kreativitas.¹⁸ Kritik ini membuka jalan bagi
dekonstruksi konsepsi keadilan yang mapan, terutama dalam pemikiran
post-strukturalis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida. Foucault
memandang keadilan sebagai efek dari relasi kuasa dan wacana, sedangkan Derrida
menegaskan bahwa keadilan sejati bersifat tak terhingga dan selalu “akan
datang” (à venir)—tidak
dapat direduksi pada hukum positif mana pun.¹⁹
Dengan demikian,
sejarah konsep keadilan tidak bersifat linear, melainkan genealogis—yakni,
membentang sebagai jaringan ide yang saling bertaut, berubah, dan dikritisi.
Dari Plato hingga Derrida, dari Al-Farabi hingga Rawls, gagasan tentang
keadilan terus berkembang sebagai medan dialektis antara ideal moral dan
realitas sosial.²⁰
Footnotes
[1]               
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 15–18.
[2]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett, 1992), 427e–434d.
[3]               
Ibid., 508e–509b.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), V.2–V.5.
[5]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), II.1–II.5.
[6]               
Cicero, De Legibus, trans. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1928), I.18–19.
[7]               
Augustine, City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin, 2003), XIX.13–17.
[8]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, Q.58, art.1–4.
[9]               
Al-Qur’an, Surah Al-Mā’idah [5]:8.
[10]            
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1986), 93–96.
[11]            
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton:
Princeton University Press, 1967), 271–273.
[12]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 159–161.
[13]            
Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin Classics, 1985), ch.
XIV–XV.
[14]            
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin, 1968), I.6–8.
[15]            
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and
Bourn, 1863), ch. II–V.
[16]            
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–429.
[17]            
Karl Marx, Critique of the Gotha Programme (New York:
International Publishers, 1938), 10–12.
[18]            
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1989), I.10–13.
[19]            
Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of
Authority”, in Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York:
Routledge, 2002), 242–247.
[20]            
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–103.
3.          
Ontologi Keadilan dan Moralitas
Pertanyaan mengenai
keadilan tidak hanya bersifat normatif—yakni, tentang bagaimana seharusnya
manusia bertindak—tetapi juga ontologis: apa hakikat keberadaan keadilan itu
sendiri? Apakah keadilan merupakan prinsip metafisis yang melekat pada tatanan
realitas, ataukah hanya konstruksi rasional dan sosial manusia?¹
Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun kita pada penyelidikan tentang ontologi
keadilan, yaitu pemahaman mengenai status ontologis dari nilai
moral dan struktur eksistensial yang mendasari pengalaman etis manusia.
3.1.      
Hakikat Keadilan
sebagai Ide Moral
Dalam filsafat
klasik, keadilan dipandang sebagai bentuk ideal yang memiliki eksistensi
ontologis tersendiri. Plato menempatkan keadilan sebagai Form of
Justice—suatu realitas abadi yang berada di dunia ide dan menjadi
model bagi keadilan di dunia empiris.² Dengan demikian, keadilan memiliki
keberadaan yang independen dari opini manusia, dan hanya dapat dipahami melalui
aktivitas intelektual yang mengarahkan jiwa pada kebenaran.³ Ontologi keadilan
dalam kerangka Platonis bersifat realistik-transendental: keadilan
bukan sekadar konsep moral, melainkan ada yang mengatur tatanan kosmos
dan moralitas manusia secara serentak.
Aristoteles
menurunkan gagasan ini ke ranah etika praktis dengan menafsirkan keadilan
sebagai habitus
moral yang mengatur relasi antarindividu dalam polis.⁴ Dalam Nicomachean
Ethics, ia membedakan keadilan universal (yang berkaitan dengan
kebajikan moral secara umum) dari keadilan partikular (yang berkaitan dengan
distribusi dan koreksi).⁵ Dengan demikian, keadilan bukan entitas metafisis
yang berdiri sendiri, tetapi sifat moral yang teraktualisasi dalam tindakan
rasional manusia sebagai makhluk sosial. Ontologi keadilan di sini bersifat teleologis:
eksistensinya terletak pada aktualitas tindakan yang mencapai telos
etis manusia.
Dalam tradisi Islam
dan skolastik, keadilan memperoleh dimensi teologis. Thomas Aquinas menegaskan
bahwa keadilan merupakan habitus yang tertanam dalam
kehendak manusia dan berakar pada hukum kodrat (lex naturalis), yang pada
gilirannya bersumber dari hukum ilahi (lex divina).⁶ Dalam perspektif ini,
keadilan berakar pada tatanan ontologis ciptaan, di mana setiap makhluk
memiliki tempat dan tujuan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam filsafat Islam,
Al-Farabi dan Ibn Sina menafsirkan keadilan sebagai keseimbangan ontologis
antara kekuatan rasional, amarah, dan syahwat dalam jiwa manusia—sebuah
cerminan dari keteraturan kosmos yang rasional.⁷
3.2.      
Hubungan antara Etika
dan Ontologi Nilai
Pertanyaan
berikutnya adalah: apakah nilai keadilan memiliki keberadaan objektif (real
moral value), ataukah ia sekadar produk konstruksi budaya dan
kesepakatan sosial? Realisme moral berpendapat bahwa nilai-nilai etis seperti
keadilan memiliki eksistensi yang independen dari kesadaran manusia.⁸ Pandangan
ini dapat dilacak hingga ke teori hukum kodrat klasik dan realisme nilai dalam
fenomenologi Max Scheler, yang menyatakan bahwa nilai moral bukanlah ciptaan
subjektif, tetapi sesuatu yang ditemukan melalui intuisi emosional
yang murni.⁹ Dalam kerangka ini, keadilan memiliki status ontologis sebagai
kualitas nilai yang eksis secara apriori dan hierarkis.
Sebaliknya,
konstruktivisme moral, seperti yang dikembangkan oleh John Rawls dan Christine
Korsgaard, memandang nilai keadilan sebagai hasil dari rasionalitas reflektif
manusia.¹⁰ Dalam pandangan ini, keadilan tidak ditemukan, tetapi diciptakan
melalui proses rasional intersubjektif yang mengikat semua individu secara
moral.¹¹ Ontologi keadilan, dengan demikian, bersifat prosedural:
ia ada sejauh rasionalitas praktis dapat menjustifikasi norma-norma moral dalam
kerangka yang adil dan universal.
Sementara itu,
pemikir eksistensialis seperti Emmanuel Levinas memperkenalkan dimensi etis
yang radikal terhadap ontologi keadilan. Baginya, etika mendahului ontologi;
keadilan bukanlah struktur metafisis yang tetap, melainkan tanggapan
eksistensial terhadap “Wajah Liyan” (le visage de l’Autre).¹² Dalam relasi
asimetris ini, keadilan bukan keberadaan yang statis, tetapi panggilan
tanggung jawab tak terbatas terhadap keberadaan orang lain.¹³ Ontologi keadilan
dalam konteks ini menjadi intersubjektif dan transendental-etis—suatu
gerak menuju yang lain yang tak dapat direduksi menjadi hukum atau rasionalitas
formal.
3.3.      
Keadilan sebagai
Struktur Relasional dan Kategori Eksistensial
Dalam filsafat
kontemporer, keadilan semakin dipahami sebagai struktur relasional yang
membentuk eksistensi manusia dalam konteks sosial dan historis. Martin
Heidegger, misalnya, meski tidak secara eksplisit membahas keadilan,
menunjukkan bahwa eksistensi manusia (Dasein) selalu terarah pada
keber-ada-bersama (Mitsein).¹⁴ Dengan demikian,
tanggung jawab etis tidak dapat dilepaskan dari struktur ontologis keberadaan
bersama tersebut. Jean-Paul Sartre menambahkan bahwa keadilan muncul sebagai
hasil dari kebebasan yang dihadapkan pada kebebasan orang lain—suatu dialektika
antara otonomi dan interdependensi.¹⁵
Dalam teori kritis,
Jürgen Habermas menempatkan keadilan dalam kerangka tindakan komunikatif.¹⁶
Ontologi keadilan di sini tidak dipahami secara metafisis, melainkan sebagai
kondisi praksis komunikasi rasional yang bebas dari dominasi. Suatu tatanan
sosial disebut adil sejauh ia memungkinkan partisipasi simetris dalam proses diskursif.
Dengan kata lain, keadilan tidak berakar pada substansi moral yang tetap,
tetapi pada dinamika dialog dan kesalingpahaman (Verständigung) dalam ruang publik.
Pada akhirnya,
ontologi keadilan dan moralitas mengandaikan dua tingkat realitas yang saling
melengkapi: (1) tingkat transendental—keadilan sebagai nilai moral yang
menuntun tindakan manusia menuju kebaikan universal; dan (2) tingkat
eksistensial—keadilan sebagai relasi konkret antarindividu yang hidup dalam
sejarah. Dengan memadukan keduanya, ethics of justice dapat dipahami
sebagai gerak dialektis antara being dan ought to
be, antara keberadaan manusia dan cita moral yang menuntunnya
menuju kemanusiaan yang lebih adil.
Footnotes
[1]               
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 3–5.
[2]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett, 1992), 507b–509b.
[3]               
Ibid., 518c–519d.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), V.1–V.7.
[5]               
Ibid., V.3–V.5.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, Q.58, art.1–4.
[7]               
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1986), 91–97.
[8]               
David O. Brink, Moral Realism and the Foundations of Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 16–19.
[9]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values,
trans. Manfred Frings (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973),
120–125.
[10]            
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 23–27.
[11]            
Christine M. Korsgaard, The Sources of Normativity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 99–103.
[12]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–203.
[13]            
Ibid., 245–247.
[14]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 161–167.
[15]            
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 364–368.
[16]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 43–47.
4.          
Epistemologi Etika Keadilan
Jika ontologi
keadilan membahas apa hakikat keadilan itu, maka
epistemologi keadilan membahas bagaimana manusia mengetahui dan
menilai sesuatu sebagai adil atau tidak adil.¹ Dengan demikian, epistemologi
etika keadilan merupakan upaya untuk memahami dasar-dasar pengetahuan moral
yang memungkinkan manusia menilai tindakan dan struktur sosial secara rasional
dan etis. Isu sentralnya adalah: dari mana pengetahuan moral tentang keadilan
berasal? Apakah keadilan diketahui melalui rasio, pengalaman, intuisi moral,
atau melalui wacana sosial yang intersubjektif?
4.1.      
Sumber Pengetahuan
Moral: Rasio, Empati, dan Pengalaman Sosial
Dalam tradisi
rasionalis, pengetahuan moral dianggap bersumber dari rasio murni. Kant,
misalnya, menegaskan bahwa prinsip moral yang sejati harus bersifat apriori dan
universal, tidak tergantung pada pengalaman empiris atau konsekuensi tindakan.²
Bagi Kant, kemampuan untuk mengetahui keadilan terletak pada rasionalitas
praktis yang mampu mengafirmasi kewajiban moral melalui imperatif
kategoris.³ Dengan demikian, keadilan dipahami bukan sebagai hasil
kesepakatan sosial, melainkan sebagai hukum moral universal yang dapat
diketahui oleh setiap makhluk rasional.
Sebaliknya, tradisi
sentimental atau empiris—yang diwakili oleh David Hume dan Adam
Smith—berpendapat bahwa moralitas, termasuk keadilan, berakar pada perasaan empatik
dan pengalaman sosial manusia.⁴ Pengetahuan tentang keadilan, dalam pandangan
ini, muncul dari kemampuan manusia untuk merasakan penderitaan atau kebahagiaan
orang lain.⁵ Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments
menyebut sumber penilaian moral ini sebagai impartial spectator—suatu bentuk
kesadaran reflektif yang memungkinkan individu menilai tindakan dari sudut
pandang yang tidak memihak.⁶
Dalam konteks
kontemporer, teori-teori psikologi moral seperti yang dikembangkan oleh
Lawrence Kohlberg dan Carol Gilligan menunjukkan bahwa pengetahuan moral
berkembang melalui tahap-tahap rasional dan afektif yang kompleks.⁷ Gilligan,
khususnya, menegaskan bahwa epistemologi moral tidak dapat dilepaskan dari
pengalaman relasional; keadilan tidak hanya dipahami melalui abstraksi
rasional, tetapi juga melalui pengalaman empatik dalam jaringan hubungan
manusia.⁸
4.2.      
Rasionalitas Praktis
dan Diskursus Moral
Dalam tradisi
modern, John Rawls dan Jürgen Habermas mengembangkan pendekatan epistemologis
yang menekankan peran rasionalitas komunikatif dalam pembentukan prinsip
keadilan. Rawls, melalui metode reflective equilibrium, berargumen
bahwa pengetahuan moral tentang keadilan diperoleh melalui proses reflektif
antara intuisi moral awal dan prinsip-prinsip rasional yang disusun secara
koheren.⁹ Ia menolak positivisme moral yang hanya bergantung pada fakta, dan
juga menolak intuisionisme murni yang tak dapat diuji secara publik.¹⁰ Dengan
demikian, keadilan tidak hanya diketahui secara individual, tetapi juga melalui
proses deliberatif yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan
orang lain.¹¹
Habermas melanjutkan
tradisi ini dengan mengajukan diskursethik (etika diskursus), di
mana validitas moral suatu norma bergantung pada apakah norma tersebut dapat
diterima oleh semua pihak yang terkena dampaknya melalui komunikasi rasional
bebas dari paksaan.¹² Dalam kerangka ini, epistemologi keadilan bersifat
intersubjektif: pengetahuan moral tidak terletak pada subjek individual,
melainkan pada proses komunikasi yang memungkinkan pembentukan konsensus
etis.¹³ Oleh karena itu, pengetahuan tentang keadilan bukan hasil dari deduksi
metafisis, melainkan dari praksis dialogis yang terus diperbarui.
4.3.      
Epistemik Keadilan dan
Akses Pengetahuan yang Setara
Dalam wacana
kontemporer, muncul pula konsep epistemic justice yang menyoroti
dimensi keadilan dalam distribusi dan pengakuan pengetahuan.¹⁴ Miranda Fricker
memperkenalkan dua bentuk ketidakadilan epistemik: testimonial injustice, yaitu ketika
kesaksian seseorang diremehkan karena prasangka sosial, dan hermeneutical
injustice, yaitu ketika suatu kelompok tidak memiliki sumber
konseptual untuk menafsirkan pengalaman mereka sendiri.¹⁵ Dalam konteks ini,
epistemologi keadilan tidak lagi sekadar membahas bagaimana mengetahui apa yang
adil, tetapi juga siapa yang memiliki hak untuk mengetahui dan diakui sebagai
subjek pengetahuan.
Epistemologi etika
keadilan, dalam kerangka ini, menuntut pemerataan akses terhadap ruang-ruang
diskursif, pendidikan moral, dan sumber pengetahuan sosial.¹⁶ Keadilan
epistemik bukan hanya persoalan kognitif, melainkan juga politis—karena
struktur pengetahuan selalu berimplikasi pada struktur kekuasaan.¹⁷ Dengan
demikian, membangun masyarakat yang adil berarti pula menciptakan tatanan
epistemik yang inklusif, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk
diakui sebagai knower dan moral
agent.
4.4.      
Menuju Sintesis
Epistemologis Etika Keadilan
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa epistemologi etika keadilan mencakup tiga dimensi
utama. Pertama, dimensi rasional, yang menegaskan bahwa
prinsip keadilan dapat diketahui melalui refleksi logis dan universalitas
moral. Kedua, dimensi empatik-relasional, yang
menyatakan bahwa keadilan juga dipahami melalui pengalaman sosial dan afeksi
moral. Ketiga, dimensi intersubjektif-kritis, yang
melihat pengetahuan moral sebagai hasil dari proses diskursif dan
partisipatif.¹⁸
Kombinasi ketiga
dimensi ini menghasilkan suatu epistemologi keadilan yang tidak dogmatis,
tetapi terbuka terhadap koreksi dan perkembangan sosial. Dengan demikian, ethics
of justice dapat berfungsi sebagai jembatan antara rasionalitas
moral dan realitas sosial—antara pengetahuan dan tindakan, antara kebenaran dan
tanggung jawab.
Footnotes
[1]               
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 9–12.
[2]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.
[3]               
Ibid., 427–431.
[4]               
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 172–176.
[5]               
Ibid., 214–217.
[6]               
Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 110–114.
[7]               
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. 1: The
Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981),
15–20.
[8]               
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
30–36.
[9]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 18–19.
[10]            
Ibid., 40–45.
[11]            
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 8–11.
[12]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 43–47.
[13]            
Ibid., 66–71.
[14]            
José Medina, The Epistemology of Resistance: Gender and Racial
Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant Imaginations (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 28–32.
[15]            
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.
[16]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 98–101.
[17]            
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 110–115.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–29.
5.          
Teori-teori Klasik tentang Etika Keadilan
Perkembangan konsep
keadilan dalam tradisi filsafat moral menunjukkan dinamika yang panjang dan
kompleks. Dari masa klasik hingga modern, muncul beragam teori yang berupaya
menjelaskan dasar normatif dan rasional dari tindakan yang adil. Teori-teori
klasik tentang etika keadilan bukan sekadar produk historis, tetapi menjadi
fondasi konseptual bagi berbagai pendekatan kontemporer, mulai dari liberalisme
hingga teori kritis.¹ Kajian terhadap teori-teori ini penting untuk memahami
bagaimana gagasan keadilan bergerak dari bentuk metafisis menuju bentuk
rasional, sosial, dan politis.
5.1.      
Etika Deontologis:
Immanuel Kant dan Prinsip Kewajiban Moral
Etika deontologis
yang dirumuskan oleh Immanuel Kant menjadi tonggak utama dalam filsafat moral
modern.² Kant berupaya membangun dasar moral yang bebas dari empirisme dan
konsekuensialisme dengan menegaskan bahwa moralitas harus didasarkan pada
kewajiban yang bersifat apriori.³ Dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals,
ia memperkenalkan konsep imperatif kategoris sebagai prinsip
rasional universal yang mengikat semua makhluk berakal: “Bertindaklah hanya
menurut asas yang dengannya engkau dapat sekaligus menghendaki bahwa ia menjadi
hukum universal.”⁴
Dalam kerangka ini,
keadilan tidak diukur dari akibat tindakan (seperti dalam utilitarianisme),
tetapi dari niat moral dan kesesuaian tindakan dengan hukum moral universal.⁵
Etika keadilan dalam pandangan Kant bersifat formal dan otonom: manusia
bertindak adil bukan karena takut hukuman atau mencari keuntungan, melainkan
karena menghormati hukum moral yang berasal dari rasionalitasnya sendiri.⁶
Meskipun demikian,
pendekatan deontologis Kant sering dikritik karena kecenderungannya yang
terlalu abstrak dan kaku, mengabaikan konteks sosial dan afektif dari
moralitas.⁷ Kritik feminis seperti Carol Gilligan dan Nel Noddings, misalnya,
menilai bahwa etika Kantian cenderung bersifat maskulin dan formalistik, kurang
memperhatikan dimensi empatik dan relasional dari keadilan.⁸
5.2.      
Etika Utilitarian: Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill
Sebagai antitesis
terhadap etika deontologis, utilitarianisme memandang keadilan sebagai hasil
dari tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak (the
greatest happiness principle).⁹ Jeremy Bentham merumuskan prinsip
dasar ini dalam kerangka kalkulasi moral yang menilai tindakan berdasarkan
konsekuensi—yakni sejauh mana tindakan itu menambah atau mengurangi kebahagiaan
umum.¹⁰
John Stuart Mill
kemudian memperhalus pendekatan Bentham dengan menambahkan dimensi kualitatif
pada nilai kebahagiaan.¹¹ Menurutnya, kebahagiaan intelektual dan moral
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kesenangan fisik semata.¹² Dengan
demikian, keadilan dalam perspektif utilitarian bersifat teleologis: tindakan
dinilai adil apabila menghasilkan akibat terbaik bagi kesejahteraan bersama.
Namun,
utilitarianisme dikritik karena berpotensi mengorbankan hak-hak individu demi
kepentingan kolektif.¹³ Dalam konteks etika keadilan, hal ini menimbulkan
dilema moral: apakah adil untuk melanggar hak minoritas jika hal itu membawa
kebahagiaan bagi mayoritas?¹⁴ Kritik terhadap hal ini mendorong lahirnya teori
keadilan modern seperti yang dikembangkan oleh John Rawls, yang berupaya
menyeimbangkan antara kebebasan individu dan kesejahteraan sosial.¹⁵
5.3.      
Teori Kontrak Sosial:
Hobbes, Locke, dan Rousseau
Tradisi kontrak
sosial merupakan salah satu fondasi utama dalam teori keadilan politik
modern.¹⁶ Thomas Hobbes, melalui Leviathan, menggambarkan kondisi
alamiah manusia sebagai keadaan tanpa hukum (state of nature) yang ditandai oleh
konflik dan ketakutan.¹⁷ Dalam kondisi demikian, keadilan tidak mungkin ada
tanpa adanya otoritas yang sah. Karena itu, manusia secara rasional sepakat
menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara untuk menjamin keamanan dan
ketertiban.¹⁸
John Locke
menafsirkan kontrak sosial secara lebih liberal. Ia berpendapat bahwa manusia
pada dasarnya memiliki hak kodrati atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan (life,
liberty, and property).¹⁹ Keadilan, dalam kerangka Locke, adalah
pemeliharaan hak-hak kodrati tersebut oleh negara yang bertugas sebagai penjaga
hukum alam. Rousseau kemudian mengoreksi keduanya dengan menegaskan bahwa
legitimasi keadilan tidak dapat bersandar pada kehendak individu atau penguasa,
melainkan pada volonté générale (kehendak umum)
yang mengekspresikan moralitas kolektif rakyat.²⁰
Teori kontrak
sosial, dengan berbagai variannya, menjadi dasar epistemologis bagi teori
keadilan normatif modern seperti yang dikembangkan oleh Rawls.²¹ Ia mengadopsi
struktur kontraktual untuk merumuskan prinsip keadilan yang dapat diterima oleh
semua orang dalam posisi imajiner yang setara (original position) di bawah veil of
ignorance.²² Dengan demikian, teori kontrak sosial menjadi jembatan
antara etika politik dan moralitas rasional.
5.4.      
Keadilan sebagai
Fairness: John Rawls
John Rawls merupakan
figur sentral dalam teori keadilan kontemporer yang menghidupkan kembali
semangat Kantian dalam konteks liberal-demokratis.²³ Dalam karyanya A Theory
of Justice (1971), Rawls menegaskan bahwa prinsip-prinsip keadilan
harus dirancang dari posisi awal yang adil, di mana individu tidak mengetahui
status sosial, kemampuan, atau kepentingan pribadinya—sebuah kondisi yang ia
sebut veil of
ignorance.²⁴ Dari posisi ini, individu rasional akan memilih dua
prinsip keadilan: (1) kebebasan dasar yang sama bagi semua, dan (2)
ketidaksamaan sosial hanya dibenarkan jika menguntungkan mereka yang paling
tidak beruntung (difference principle).²⁵
Dengan demikian,
keadilan bagi Rawls bukan hasil kompromi politik atau utilitas sosial, tetapi
hasil dari rasionalitas moral yang reflektif.²⁶ Ia mengembalikan perdebatan
etika keadilan pada landasan moral yang bersifat prosedural dan universal,
tanpa harus bergantung pada metafisika nilai.²⁷
Kritik terhadap
Rawls datang dari kaum komunitarian seperti Alasdair MacIntyre dan Michael
Sandel, yang menilai bahwa teori justice as fairness terlalu
menekankan individu yang terlepas dari konteks sosial dan historis.²⁸ Mereka
berpendapat bahwa keadilan harus berakar pada praktik dan tradisi komunitas,
bukan pada prosedur rasional abstrak.²⁹
5.5.      
Kritik Komunitarian:
Tradisi, Narasi, dan Konteks Moral
Komunitarianisme
muncul sebagai respons terhadap individualisme liberal dan rasionalitas formal
dalam teori keadilan modern.³⁰ Michael Sandel menegaskan bahwa manusia tidak
dapat dipahami sebagai agen moral yang sepenuhnya otonom, karena identitas
moralnya dibentuk oleh hubungan sosial dan tradisi komunitas.³¹ Alasdair
MacIntyre dalam After Virtue menekankan bahwa
keadilan harus dimengerti dalam konteks naratif kehidupan manusia dan praktik
kebajikan (virtue
ethics).³²
Dalam pandangan
komunitarian, keadilan bukanlah prinsip yang berdiri di luar kehidupan sosial,
tetapi lahir dari struktur makna, nilai, dan kebajikan yang hidup dalam
komunitas.³³ Dengan demikian, ethics of justice dalam perspektif
ini bukanlah teori universal abstrak, melainkan praktik moral yang tertanam
dalam sejarah dan budaya manusia.³⁴
Kesimpulan
Sub-Bagian
Kelima teori klasik
di atas menunjukkan pergeseran epistemologis dan moral dalam memahami keadilan:
dari kewajiban rasional (Kant), konsekuensi sosial (Bentham dan Mill), kontrak
rasional (Hobbes dan Rousseau), hingga proseduralisme moral (Rawls) dan
komunitarianisme nilai (Sandel dan MacIntyre). Semua teori ini memperlihatkan
bahwa ethics
of justice bukan sistem tunggal, melainkan wacana dinamis yang
terus dinegosiasikan antara universalitas dan partikularitas, antara rasio dan
tradisi, antara individu dan komunitas.
Footnotes
[1]               
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 12–14.
[2]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 389–392.
[3]               
Ibid., 401–404.
[4]               
Ibid., 421.
[5]               
Onora O’Neill, Acting on Principle: An Essay on Kantian Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 56–60.
[6]               
Kant, Groundwork, 428–429.
[7]               
Paul Guyer, Kant on Freedom, Law, and Happiness (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 72–74.
[8]               
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
32–35.
[9]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 2–3.
[10]            
Ibid., 5–6.
[11]            
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and
Bourn, 1863), ch. II.
[12]            
Ibid., 14–15.
[13]            
Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 92–94.
[14]            
Ibid., 101.
[15]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 24–30.
[16]            
Jean Hampton, Political Philosophy (Boulder: Westview Press,
1997), 35–38.
[17]            
Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin Classics, 1985), ch.
XIII–XV.
[18]            
Ibid., ch. XVII.
[19]            
John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), II.3–5.
[20]            
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin, 1968), I.6–8.
[21]            
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 41–44.
[22]            
Rawls, A Theory of Justice, 11–12.
[23]            
Ibid., 118–123.
[24]            
Ibid., 136–142.
[25]            
Ibid., 302–303.
[26]            
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 23–27.
[27]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 29–33.
[28]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice
(Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 16–20.
[29]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 186–190.
[30]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 203–205.
[31]            
Sandel, Justice, 23–25.
[32]            
MacIntyre, After Virtue, 212–214.
[33]            
Ibid., 227–229.
[34]            
Ricoeur, The Just, 48–50.
6.          
Keadilan dalam Perspektif Kontemporer
Wacana keadilan
dalam filsafat kontemporer memperlihatkan pergeseran penting dari pendekatan
normatif klasik menuju pendekatan interdisipliner yang melibatkan etika,
politik, ekonomi, gender, ekologi, dan teknologi.¹ Dalam perkembangan ini,
keadilan tidak lagi dipahami secara semata-mata sebagai tatanan moral
universal, tetapi juga sebagai proses historis, relasional, dan kontekstual.²
Gagasan keadilan kini dikaitkan dengan perjuangan sosial, distribusi sumber
daya, pengakuan identitas, serta transformasi struktural dalam masyarakat
global.³
6.1.      
Keadilan Distributif
dan Retributif
Keadilan distributif
dan retributif merupakan dua bentuk konseptual yang tetap relevan dalam teori
keadilan modern. Keadilan distributif menyoroti bagaimana sumber daya, hak, dan
kesempatan dibagi secara adil dalam masyarakat.⁴ John Rawls, melalui A Theory
of Justice, menegaskan bahwa distribusi yang adil harus menjamin
kebebasan dasar yang sama dan memperbaiki kondisi mereka yang paling kurang
beruntung melalui difference principle.⁵ Dalam
konteks ekonomi dan kebijakan publik, pendekatan ini menjadi landasan bagi
teori redistribusi dan welfare state.
Sebaliknya, keadilan
retributif berfokus pada proporsionalitas hukuman terhadap pelanggaran moral
atau hukum.⁶ Tradisi ini berakar pada konsep Aristotelian tentang corrective
justice, namun berkembang dalam teori hukum modern sebagai upaya
menjaga keseimbangan moral melalui hukuman yang setimpal.⁷ Dalam praktik
kontemporer, pendekatan retributif banyak dikritik karena mengabaikan dimensi
sosial dan rehabilitatif, sehingga mendorong munculnya konsep keadilan
restoratif.⁸
6.2.      
Keadilan Restoratif
dan Transformatif
Keadilan restoratif
menandai pergeseran epistemologis dari paradigma penghukuman ke paradigma
pemulihan.⁹ Ia menekankan rekonsiliasi, tanggung jawab, dan perbaikan relasi
antara pelaku, korban, dan komunitas.¹⁰ Teori ini banyak diadopsi dalam praktik
peradilan komunitas dan resolusi konflik sosial, termasuk dalam konteks
rekonsiliasi pasca-konflik di Afrika Selatan dan Kanada.¹¹ Howard Zehr, salah
satu pelopor teori ini, menekankan bahwa tujuan utama keadilan bukanlah
pembalasan, tetapi pemulihan keseimbangan moral dalam komunitas.¹²
Lebih jauh, teori
keadilan transformatif melangkah lebih jauh dengan melihat keadilan sebagai
proses pembongkaran struktur sosial yang melahirkan ketidakadilan.¹³ Pendekatan
ini dipengaruhi oleh teori kritis dan feminisme, yang menekankan perubahan
relasi kekuasaan, budaya, dan institusi yang menindas.¹⁴ Keadilan transformatif
karenanya bersifat politis dan emansipatoris, menuntut transformasi sosial yang
radikal daripada sekadar penyelesaian konflik individual.¹⁵
6.3.      
Feminist Ethics of
Justice
Feminist ethics
memperluas horizon keadilan dengan menyoroti dimensi gender, pengalaman tubuh,
dan relasi afektif dalam kehidupan moral.¹⁶ Carol Gilligan, melalui karyanya In a
Different Voice, menunjukkan bahwa etika keadilan tradisional
didominasi oleh pola pikir maskulin yang menekankan rasionalitas, otonomi, dan
universalitas hukum moral.¹⁷ Sebaliknya, ia mengusulkan ethics
of care yang berfokus pada relasi, empati, dan tanggung jawab
personal.¹⁸
Namun demikian,
banyak pemikir feminis kemudian berupaya tidak menentang secara dikotomis
antara care
dan justice,
melainkan mencari sintesis di antara keduanya.¹⁹ Martha Nussbaum, misalnya,
mengembangkan pendekatan capabilities yang mengintegrasikan
hak-hak universal dengan kondisi konkret manusia yang beragam.²⁰ Dalam kerangka
ini, keadilan berarti memberikan setiap orang kemampuan nyata (real
opportunity) untuk menjalani kehidupan yang bermartabat.²¹
Pendekatan feminis
ini memperkaya epistemologi keadilan dengan menegaskan bahwa struktur sosial
dan politik tidak netral secara gender.²² Dengan demikian, keadilan tidak hanya
soal distribusi hak, tetapi juga pengakuan atas pengalaman dan suara kelompok
yang selama ini terpinggirkan.²³
6.4.      
Justice and
Recognition: Perspektif Teori Kritis
Teori kritis
kontemporer, khususnya yang dikembangkan oleh Axel Honneth dan Nancy Fraser,
menempatkan keadilan dalam konteks recognition (pengakuan) dan redistribution
(redistribusi).²⁴ Honneth, melalui The Struggle for Recognition,
menegaskan bahwa keadilan sosial bergantung pada sejauh mana individu diakui
dalam tiga ranah: cinta, hak, dan solidaritas.²⁵ Kekurangan pengakuan
(misrecognition) bukan hanya kesalahan moral, tetapi bentuk pelanggaran
terhadap eksistensi sosial individu.²⁶
Nancy Fraser
menambahkan bahwa perjuangan untuk keadilan tidak dapat dipisahkan dari dua
dimensi: ekonomi (redistribusi) dan budaya (pengakuan).²⁷ Dalam masyarakat
global yang kompleks, keadilan memerlukan keseimbangan antara pengakuan
identitas dan pemerataan sumber daya.²⁸ Fraser kemudian mengembangkan konsep participatory
parity—keadilan sebagai kondisi di mana semua individu dapat
berpartisipasi setara dalam kehidupan sosial.²⁹
Pendekatan teori
kritis ini memperluas ethics of justice ke dalam ranah
politik dan sosial, menyoroti bahwa ketidakadilan tidak hanya bersumber dari
pelanggaran hukum atau moral, tetapi juga dari struktur sosial yang menciptakan
marginalisasi dan ketimpangan simbolik.³⁰
6.5.      
Keadilan Global dan
Kosmopolitanisme Moral
Dalam dunia global
yang saling terhubung, teori keadilan menghadapi tantangan baru: bagaimana
menegakkan prinsip keadilan di luar batas negara-bangsa?³¹ Pemikir seperti
Thomas Pogge dan Amartya Sen berpendapat bahwa keadilan global menuntut
tanggung jawab moral lintas batas terhadap kemiskinan, eksploitasi ekonomi, dan
pelanggaran hak asasi manusia.³² Sen, melalui The Idea of Justice, menolak
pendekatan ideal Rawlsian yang terlalu institusional, dan menekankan evaluasi
komparatif terhadap situasi konkret ketidakadilan yang nyata.³³
Pendekatan
kosmopolitan menuntut keadilan sebagai kewajiban universal umat manusia, bukan
sekadar solidaritas nasional.³⁴ Martha Nussbaum, dalam kerangka capabilities
approach, memperluas konsep ini dengan memasukkan spesies
non-manusia dan alam sebagai bagian dari komunitas moral.³⁵ Sementara itu,
David Held mengusulkan model cosmopolitan democracy yang
menegaskan perlunya sistem global yang menjamin hak-hak dasar lintas negara.³⁶
Kesimpulan
Sub-Bagian
Dari berbagai
pendekatan di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat kontemporer memperluas
cakupan ethics
of justice dari moralitas individual menuju etika sosial, politik,
dan global. Keadilan tidak lagi dipahami secara tunggal sebagai prinsip normatif,
tetapi sebagai praksis multidimensional yang mencakup redistribusi, pengakuan,
partisipasi, dan transformasi sosial.³⁷ Dengan demikian, ethics
of justice pada era kontemporer menjadi medan dialog antara
rasionalitas moral dan realitas historis, antara prinsip universal dan
keragaman kontekstual kehidupan manusia.
Footnotes
[1]               
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 3–5.
[2]               
Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice
in a ‘Post-Socialist’ Age,” New Left Review 212 (1995): 68–69.
[3]               
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in
the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 12–15.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), V.2–V.5.
[5]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 75–83.
[6]               
Andrew von Hirsch, Censure and Sanctions (Oxford: Clarendon
Press, 1993), 18–20.
[7]               
Ibid., 25–27.
[8]               
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice
(Intercourse, PA: Good Books, 2002), 9–11.
[9]               
Ibid., 13–15.
[10]            
Daniel W. Van Ness and Karen Heetderks Strong, Restoring Justice:
An Introduction to Restorative Justice (Cincinnati: Anderson Publishing,
1997), 65–67.
[11]            
Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness (New York:
Doubleday, 1999), 34–36.
[12]            
Zehr, The Little Book of Restorative Justice, 22–24.
[13]            
Ruth Morris, Stories of Transformative Justice (Toronto:
Canadian Scholars’ Press, 2000), 15–18.
[14]            
Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought (New York:
Routledge, 1990), 222–225.
[15]            
bell hooks, Feminism Is for Everybody (Cambridge, MA: South
End Press, 2000), 54–56.
[16]            
Alison M. Jaggar, “Feminist Ethics,” in A Companion to Ethics,
ed. Peter Singer (Oxford: Blackwell, 1991), 195–197.
[17]            
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
18–20.
[18]            
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education
(Berkeley: University of California Press, 1984), 56–60.
[19]            
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 32–35.
[20]            
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 74–77.
[21]            
Ibid., 87–90.
[22]            
Jaggar, “Feminist Ethics,” 202–204.
[23]            
Benhabib, The Claims of Culture, 85–88.
[24]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of
Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995),
92–95.
[25]            
Ibid., 107–110.
[26]            
Ibid., 126–128.
[27]            
Fraser, “From Redistribution to Recognition?,” 70–73.
[28]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 14–17.
[29]            
Ibid., 30–33.
[30]            
Honneth, The Struggle for Recognition, 145–147.
[31]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 45–47.
[32]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 24–28.
[33]            
Ibid., 90–94.
[34]            
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 141–144.
[35]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 19–22.
[36]            
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995),
73–76.
[37]            
Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 4–7.
7.          
Ethics of Justice vs. Ethics of Care
Dalam perkembangan
teori moral kontemporer, salah satu perdebatan paling penting muncul antara dua
paradigma etis: ethics of justice dan ethics
of care.¹ Keduanya berangkat dari visi moral yang berbeda mengenai
bagaimana manusia seharusnya menilai tindakan, tanggung jawab, dan hubungan
sosial. Jika ethics of justice menekankan
prinsip universal, rasionalitas, dan keadilan formal, maka ethics
of care menekankan konteks relasional, empati, dan tanggung jawab
interpersonal.² Perdebatan ini tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga
ontologis—menyangkut pemahaman tentang hakikat moralitas manusia itu sendiri.
7.1.      
Asal-usul Perdebatan:
Dari Kohlberg ke Gilligan
Perdebatan antara
kedua paradigma ini berawal dari kritik feminis terhadap model perkembangan
moral Lawrence Kohlberg.³ Dalam penelitiannya, Kohlberg menilai tingkat
moralitas seseorang berdasarkan kemampuan menalar secara rasional terhadap
prinsip keadilan universal, yang berpuncak pada tahap moralitas
pascakonvensional.⁴ Namun, penelitian Carol Gilligan terhadap subjek perempuan
menunjukkan bahwa banyak individu (terutama perempuan) tidak menalar moralitas
dalam kerangka prinsip abstrak, melainkan melalui relasi dan tanggung jawab
personal terhadap orang lain.⁵
Gilligan kemudian
memperkenalkan ethics of care sebagai paradigma
alternatif yang tidak inferior terhadap ethics of justice, tetapi mewakili
cara berpikir moral yang berbeda.⁶ Menurutnya, perempuan cenderung memahami
moralitas melalui perspektif keterhubungan (connectedness) dan kepedulian (care),
bukan otonomi dan prinsip abstrak.⁷ Dengan demikian, ethics
of care bukan sekadar “moralitas feminin”, tetapi sebuah
kerangka epistemologis dan etis yang menyoroti dimensi afektif, kontekstual,
dan relasional dari kehidupan moral.⁸
7.2.      
Perbandingan
Konseptual: Keadilan vs. Kepedulian
Perbedaan antara ethics
of justice dan ethics of care dapat dilihat pada
tiga dimensi utama: rasionalitas, relasionalitas, dan normativitas.
Pertama, dari segi rasionalitas,
ethics
of justice menekankan prinsip logis dan universalitas moral. Ia
berakar pada tradisi Kantian, di mana moralitas ditentukan oleh kewajiban
rasional yang berlaku sama bagi semua.⁹ Sebaliknya, ethics of care berakar pada tradisi
fenomenologis dan eksistensialis yang menempatkan pengalaman empatik sebagai
sumber moralitas.¹⁰
Kedua, dari segi relasionalitas,
ethics
of justice bersifat impersonal dan berorientasi pada hukum moral
yang obyektif, sementara ethics of care berfokus pada
konteks hubungan konkret antarindividu.¹¹ Dalam paradigma keadilan, keutamaan
moral adalah keadilan (justice); dalam paradigma
kepedulian, keutamaannya adalah kasih (care).¹²
Ketiga, dari segi normativitas,
ethics
of justice mengandaikan moralitas sebagai sistem prinsip yang dapat
diuji melalui rasio universal, sedangkan ethics of care mengandaikan
moralitas sebagai jaringan tanggung jawab yang lahir dari keterikatan emosional
dan historis.¹³ Dengan demikian, perbedaan keduanya bukan hanya soal “apa
yang benar”, tetapi juga “bagaimana dan mengapa kita peduli”.
7.3.      
Kritik dan Upaya
Sintesis
Perdebatan antara
dua paradigma ini menimbulkan berbagai upaya untuk menemukan sintesis.¹⁴
Beberapa pemikir, seperti Virginia Held, menolak dikotomi tajam antara keadilan
dan kepedulian.¹⁵ Ia berargumen bahwa etika kepedulian tidak menolak prinsip
keadilan, melainkan memperluasnya dengan memasukkan dimensi emosional dan
relasional yang selama ini diabaikan oleh etika rasionalistik.¹⁶ Dalam
pandangan Held, care adalah kondisi dasar bagi
terbentuknya keadilan—tanpa kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain,
prinsip keadilan menjadi kering dan formal.¹⁷
Begitu pula Martha
Nussbaum, melalui capabilities approach,
mengintegrasikan kedua paradigma ini dengan menekankan bahwa keadilan sejati
hanya dapat dicapai ketika masyarakat memfasilitasi kemampuan manusia untuk
mencintai, berempati, dan hidup dalam relasi yang bermakna.¹⁸ Dengan demikian, ethics
of justice menyediakan kerangka normatif universal, sementara ethics
of care memberikan substansi humanistik dan afektif bagi moralitas
tersebut.¹⁹
Dalam konteks ini,
Paul Ricoeur menawarkan pendekatan hermeneutik yang melihat keadilan dan
kepedulian sebagai dua momen dalam dialektika moralitas: keadilan mewakili
jarak reflektif terhadap tindakan, sedangkan kepedulian menandai kedekatan etis
terhadap sesama.²⁰ Keduanya, menurut Ricoeur, tidak harus saling meniadakan,
tetapi saling menyeimbangkan antara keadilan yang tidak memihak dan cinta yang
memihak manusia.²¹
7.4.      
Relevansi Etika
Kepedulian dalam Konteks Sosial Kontemporer
Dalam dunia yang
semakin kompleks dan terfragmentasi, ethics of care menawarkan koreksi
penting terhadap rasionalitas moral modern yang sering kali dingin dan
formalistik.²² Dalam konteks sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan
kebijakan publik, pendekatan kepedulian mendorong munculnya paradigma empatik
dan inklusif.²³ Misalnya, dalam praktik keperawatan dan pelayanan sosial,
keputusan moral tidak dapat sepenuhnya diatur oleh prinsip keadilan formal,
tetapi menuntut kepekaan terhadap konteks manusia yang konkret.²⁴
Di sisi lain, ethics
of justice tetap memiliki peran penting dalam menjamin struktur
hukum dan politik yang tidak bias dan konsisten.²⁵ Karena itu, keseimbangan
antara keadilan dan kepedulian menjadi kebutuhan etis yang mendesak dalam
masyarakat plural modern.²⁶ Etika keadilan tanpa kepedulian menjadi kering dan
mekanistik; sementara etika kepedulian tanpa keadilan berisiko jatuh pada
partikularisme dan sentimentalitas.²⁷
Dengan demikian,
integrasi antara ethics of justice dan ethics
of care menjadi fondasi bagi moralitas yang utuh: rasional
sekaligus empatik, universal sekaligus kontekstual, normatif sekaligus
relasional.²⁸
Kesimpulan
Sub-Bagian
Dari analisis di
atas, tampak bahwa perbedaan antara ethics of justice dan ethics
of care bukan sekadar perbedaan gender atau metodologi, tetapi
refleksi atas dua orientasi fundamental dalam moralitas manusia: keadilan
sebagai struktur universal dan kepedulian sebagai relasi eksistensial. Keduanya
saling melengkapi dalam menciptakan tatanan moral yang tidak hanya adil secara
formal, tetapi juga manusiawi secara substantif.²⁹ Maka, ethics
of justice dan ethics of care dapat dilihat bukan
sebagai oposisi, melainkan sebagai dua poros yang meneguhkan kesatuan moralitas
yang lebih komprehensif.
Footnotes
[1]               
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
18–20.
[2]               
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 54–56.
[3]               
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. 1: The
Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981),
10–15.
[4]               
Ibid., 32–34.
[5]               
Gilligan, In a Different Voice, 22–25.
[6]               
Ibid., 28–30.
[7]               
Ibid., 34–35.
[8]               
Joan C. Tronto, Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic
of Care (New York: Routledge, 1993), 101–103.
[9]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.
[10]            
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values,
trans. Manfred Frings (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973),
120–122.
[11]            
Noddings, Caring, 63–65.
[12]            
Gilligan, In a Different Voice, 73–76.
[13]            
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 33–36.
[14]            
Fiona Robinson, Globalizing Care: Ethics, Feminist Theory, and
International Relations (Boulder, CO: Westview Press, 1999), 42–44.
[15]            
Held, The Ethics of Care, 12–14.
[16]            
Ibid., 25–27.
[17]            
Ibid., 48–49.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 74–77.
[19]            
Ibid., 88–89.
[20]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 92–95.
[21]            
Ibid., 97–100.
[22]            
Tronto, Moral Boundaries, 138–142.
[23]            
Maurice Hamington, Embodied Care: Jane Addams, Maurice
Merleau-Ponty, and Feminist Ethics (Urbana: University of Illinois Press,
2004), 61–64.
[24]            
Anne Donchin and Laura M. Purdy, Embodying Bioethics: Recent
Feminist Advances (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1999), 15–17.
[25]            
Martha Minow, Making All the Difference: Inclusion, Exclusion, and
American Law (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1990), 82–85.
[26]            
Held, The Ethics of Care, 121–124.
[27]            
Noddings, Caring, 112–115.
[28]            
Ricoeur, The Just, 101–104.
[29]            
Gilligan, In a Different Voice, 105–108.
8.          
Etika Keadilan dalam Konteks Global dan Sosial
Perkembangan dunia
modern dengan seluruh kompleksitas sosial, ekonomi, dan ekologisnya menuntut
pembacaan ulang terhadap konsep keadilan. Dalam era globalisasi, isu keadilan
tidak lagi terbatas pada ranah domestik atau politik nasional, melainkan meluas
hingga ke hubungan antarbangsa, ketimpangan global, dan tanggung jawab moral
terhadap planet secara keseluruhan.¹ Ethics of justice dalam konteks
global dan sosial karenanya tidak hanya menyoal prinsip abstrak atau hak
individu, tetapi juga menyangkut struktur sistemik yang membentuk relasi kuasa
dan ketidakadilan lintas batas.²
Etika keadilan
kontemporer harus menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana keadilan dapat
ditegakkan dalam dunia yang saling terhubung tetapi tidak setara?³ Jawaban
terhadap pertanyaan ini tidak bisa hanya berlandaskan teori normatif, melainkan
menuntut refleksi etis atas kondisi historis dan politik yang konkret.
8.1.      
Keadilan Global dan
Etika Internasional
Teori keadilan
global muncul sebagai respon terhadap tantangan moral globalisasi ekonomi dan
politik. John Rawls, dalam The Law of Peoples, memperluas
prinsip justice
as fairness ke dalam tatanan antarnegara, menekankan prinsip kerja
sama yang adil di antara “masyarakat yang beradab”.⁴ Namun, pendekatan
Rawls dikritik karena masih bersifat statist, yakni menempatkan
negara-bangsa sebagai unit moral utama, bukan individu global.⁵
Sebaliknya, Amartya
Sen mengajukan pendekatan comparative justice yang lebih
empiris dan terbuka.⁶ Ia berargumen bahwa tugas moral utama bukanlah merancang
institusi ideal, tetapi mengurangi ketidakadilan nyata di dunia melalui
perbaikan konkret terhadap kondisi hidup manusia.⁷ Sen menolak gagasan keadilan
yang bersifat total dan menggantikannya dengan konsep “reasoned scrutiny,”
di mana keadilan dipahami sebagai upaya terus-menerus untuk memperluas
kebebasan substantif manusia.⁸
Thomas Pogge
memperkuat dimensi etika global ini dengan menegaskan bahwa masyarakat maju
memiliki tanggung jawab moral terhadap kemiskinan dunia karena mereka
berpartisipasi dalam sistem ekonomi global yang tidak adil.⁹ Pogge menyebut
fenomena ini sebagai “institutional harm,” yakni bentuk
ketidakadilan struktural yang timbul dari desain institusi internasional yang
memihak pada negara kaya.¹⁰
Pendekatan-pendekatan
ini menandai pergeseran epistemologis dari teori keadilan nasional ke teori
keadilan global—dari kewajiban terhadap sesama warga negara ke tanggung jawab
terhadap sesama manusia secara universal.¹¹
8.2.      
Keadilan Ekologis dan
Antropocene Ethics
Keadilan dalam
konteks global tidak hanya menyangkut relasi antarmanusia, tetapi juga relasi
antara manusia dan lingkungan alam.¹² Krisis iklim dan degradasi ekologis
menantang paradigma etika keadilan tradisional yang terlalu berpusat pada
manusia (anthropocentric).¹³
Dalam konteks ini, muncul gagasan environmental justice dan ecological
ethics, yang berupaya memperluas cakupan moral ke dalam relasi
ekosistem.¹⁴
Martha Nussbaum,
melalui capabilities
approach, mengusulkan perluasan etika keadilan ke makhluk hidup
non-manusia.¹⁵ Ia menekankan bahwa setiap makhluk memiliki kemampuan dan tujuan
hidup yang layak dihormati secara moral.¹⁶ Demikian pula Hans Jonas, dalam The
Imperative of Responsibility, menyerukan etika tanggung jawab
antargenerasi: manusia memiliki kewajiban moral untuk menjaga kelangsungan
kehidupan di bumi bagi generasi mendatang.¹⁷
Etika keadilan
ekologis menolak pandangan bahwa alam hanyalah sumber daya untuk
dieksploitasi.¹⁸ Ia mengajukan paradigma moral baru—Anthropocene ethics—yang
menempatkan manusia sebagai bagian integral dari sistem kehidupan planet.¹⁹
Dengan demikian, keadilan ekologis tidak hanya berkaitan dengan distribusi
sumber daya, tetapi juga dengan pelestarian kondisi eksistensial yang
memungkinkan kehidupan berkelanjutan di bumi.²⁰
8.3.      
Keadilan Digital dan
Etika Teknologi
Di era informasi,
dimensi baru keadilan muncul dalam konteks teknologi dan ruang digital.²¹ Isu
seperti privasi data, algoritma diskriminatif, dan kesenjangan akses digital
menjadi tantangan etis yang tak kalah penting dibanding isu politik
tradisional.²² Luciano Floridi memperkenalkan konsep information
ethics, yaitu pendekatan etis yang memandang informasi sebagai entitas
moral yang memiliki nilai intrinsik dan perlu dikelola secara adil.²³
Keadilan digital
juga berkaitan dengan distribusi akses terhadap teknologi informasi.²⁴
Ketimpangan digital antara negara maju dan berkembang, serta antara kelompok
sosial dalam satu negara, menciptakan bentuk baru dari “ketidakadilan
epistemik.”²⁵ Dalam konteks ini, ethics of justice menuntut
perlakuan yang setara dalam hak memperoleh, memanfaatkan, dan melindungi data
serta teknologi digital.²⁶
Selain itu, muncul
pula diskursus tentang algorithmic justice—yakni keadilan
dalam desain dan implementasi sistem kecerdasan buatan.²⁷ Virginia Eubanks dan
Safiya Noble menunjukkan bagaimana algoritma dapat memperkuat bias rasial,
gender, dan kelas sosial, sehingga menimbulkan ketidakadilan struktural dalam
dunia digital.²⁸ Etika keadilan dalam ranah ini menuntut transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan berbasis
teknologi.²⁹
8.4.      
Keadilan Sosial dalam
Masyarakat Multikultural dan Postkolonial
Konteks globalisasi
juga menghadirkan tantangan baru dalam hubungan antarbudaya dan
antaridentitas.³⁰ Dalam masyarakat multikultural, keadilan tidak hanya menuntut
kesetaraan hak, tetapi juga pengakuan terhadap perbedaan.³¹ Iris Marion Young,
dalam Justice
and the Politics of Difference, menolak model keadilan distributif
yang hanya fokus pada pembagian sumber daya.³² Ia menegaskan bahwa keadilan
harus mencakup penghapusan dominasi struktural dan marginalisasi identitas
sosial.³³
Dari perspektif
postkolonial, Gayatri Spivak dan Frantz Fanon mengungkap bagaimana keadilan
global tidak mungkin dicapai tanpa dekolonisasi epistemologis—yakni pengakuan
terhadap suara dan pengetahuan dari masyarakat dunia ketiga yang selama ini
dibungkam.³⁴ Keadilan dalam kerangka ini berarti membuka ruang bagi pluralitas
epistemik dan menghancurkan hierarki global yang menempatkan Barat sebagai
pusat normatif moralitas.³⁵
Dengan demikian, ethics
of justice dalam konteks multikultural dan postkolonial menjadi
proyek emansipasi yang melibatkan dimensi moral, kultural, dan politik secara
bersamaan.³⁶
Kesimpulan
Sub-Bagian
Dalam konteks global
dan sosial, ethics of justice bergerak
melampaui batas-batas moral klasik menuju paradigma baru yang menekankan
keterhubungan universal manusia dan planet. Keadilan kini dipahami bukan hanya
sebagai prinsip hukum atau moralitas rasional, tetapi sebagai praksis
transnasional yang melibatkan tanggung jawab ekologis, digital, dan
interkultural.³⁷ Etika keadilan global menuntut solidaritas moral yang
melampaui batas identitas nasional dan sistem ekonomi, menuju etika tanggung
jawab universal yang menegaskan kembali kemanusiaan sebagai komunitas moral
bersama.³⁸
Footnotes
[1]               
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford: Oxford
University Press, 2006), 2–4.
[2]               
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 12–14.
[3]               
Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 1–3.
[4]               
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 3–5.
[5]               
Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 1989), 49–50.
[6]               
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 7–9.
[7]               
Ibid., 88–90.
[8]               
Ibid., 104–106.
[9]               
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 15–17.
[10]            
Ibid., 38–40.
[11]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 19–22.
[12]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 11–14.
[13]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 65–68.
[14]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of
Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 23–27.
[15]            
Nussbaum, Frontiers of Justice, 325–327.
[16]            
Ibid., 334–336.
[17]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 121–124.
[18]            
Attfield, Environmental Ethics, 44–46.
[19]            
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene
(Cambridge: Polity Press, 2017), 12–15.
[20]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 45–47.
[21]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 3–6.
[22]            
Ibid., 21–24.
[23]            
Ibid., 89–91.
[24]            
Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the
Digital Divide (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 12–15.
[25]            
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.
[26]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 68–70.
[27]            
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools
Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018),
14–17.
[28]            
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines
Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 9–11.
[29]            
Ibid., 123–125.
[30]            
Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of
Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–28.
[31]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and
Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 67–69.
[32]            
Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton:
Princeton University Press, 1990), 23–25.
[33]            
Ibid., 31–33.
[34]            
Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak?
(Basingstoke: Macmillan, 1988), 66–68.
[35]            
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–5.
[36]            
Benhabib, Another Cosmopolitanism, 45–47.
[37]            
Fraser, Scales of Justice, 85–88.
[38]            
Nussbaum, Frontiers of Justice, 345–348.
9.          
Dimensi Teologis dan Spiritualitas Keadilan
Dimensi teologis dan
spiritualitas keadilan memberikan landasan transenden bagi pemahaman etis
tentang hubungan manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan. Keadilan dalam
kerangka teologis tidak hanya berurusan dengan aturan moral yang rasional,
tetapi juga dengan keterarahan eksistensi manusia terhadap sumber nilai
tertinggi yang dianggap suci dan absolut.¹ Dengan demikian, ethics
of justice tidak dapat dipisahkan dari dimensi spiritual yang
memberikan makna, motivasi, dan arah moralitas manusia.
9.1.      
Keadilan Ilahi dan
Moralitas Transendental
Dalam teologi
Abrahamik—Yahudi, Kristen, dan Islam—keadilan merupakan atribut fundamental
dari Tuhan.² Keadilan Ilahi (divine justice) menegaskan bahwa
seluruh ciptaan berada dalam keteraturan moral yang bersumber dari kehendak
Tuhan.³ Dalam tradisi Kristen, keadilan Tuhan dipahami bukan hanya sebagai
hukuman terhadap dosa, tetapi juga sebagai manifestasi kasih dan rahmat (grace).⁴
Santo Agustinus menulis bahwa keadilan sejati tidak dapat ditemukan dalam
tatanan duniawi, melainkan hanya dalam keteraturan surgawi di mana setiap
makhluk menempati tempat yang sesuai dengan kehendak ilahi.⁵
Thomas Aquinas
melanjutkan pemikiran ini dengan menegaskan bahwa keadilan manusia harus meniru
keadilan Tuhan sebagai ordinatio rationis—yakni
keteraturan rasional yang merefleksikan hukum kodrat (lex
naturalis) dalam diri manusia.⁶ Dalam pandangan ini, keadilan
memiliki dasar ontologis yang tidak hanya etis, tetapi juga metafisis: ia
adalah partisipasi manusia dalam kebijaksanaan ilahi (participatio
legis aeternae).⁷
Sementara itu, dalam
tradisi Islam, konsep ‘adl (keadilan) menjadi prinsip
kosmologis dan teologis yang mendasari seluruh tatanan ciptaan.⁸ Al-Qur’an
menggambarkan Allah sebagai al-‘Adl—Yang Maha Adil—dan
menegaskan bahwa menegakkan keadilan adalah wujud kesalehan tertinggi.⁹ Para
teolog Islam seperti Al-Ghazali dan Al-Maturidi menafsirkan keadilan sebagai
keseimbangan antara rahmat dan hikmah Tuhan dalam mengatur dunia.¹⁰ Dalam
filsafat Islam, khususnya pada Al-Farabi dan Ibn Sina, keadilan dipandang
sebagai keteraturan ontologis antara akal aktif, jiwa, dan materi; sementara
dalam teologi tasawuf, ia menjadi ekspresi harmoni spiritual antara kehendak
manusia dan kehendak Ilahi.¹¹
Dengan demikian,
keadilan teologis menegaskan bahwa moralitas manusia berakar pada keterhubungan
dengan sumber nilai yang transenden. Ia menggabungkan dimensi normatif dan
kontemplatif, antara rasionalitas moral dan iman eksistensial.
9.2.      
Keadilan dalam Tradisi
Islam: ‘Adl dan Ihsan
Dalam Islam,
keadilan (‘adl) dan kebaikan (ihsan) dipahami sebagai dua pilar
moralitas sosial.¹² ‘Adl menuntut keseimbangan dan
perlakuan yang setara dalam hukum dan muamalah, sementara ihsan
menuntut kelebihan moral berupa kasih sayang, empati, dan pengampunan.¹³
Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. al-Naḥl [16] ayat 90).¹⁴ Ayat ini menjadi
dasar etika sosial Islam yang memadukan keadilan hukum dengan kebaikan
spiritual.
Para filsuf dan
ulama klasik menafsirkan ‘adl sebagai harmoni antara akal
dan syariat. Ibn Miskawayh, dalam Tahdzīb al-Akhlāq, menegaskan bahwa
keadilan adalah “keutamaan yang menyeimbangkan seluruh keutamaan lainnya.”¹⁵
Dalam pemikiran Al-Farabi, keadilan menjadi syarat utama bagi madīnah
al-fāḍilah (negara utama), di mana struktur politik
mencerminkan keteraturan moral jiwa manusia.¹⁶
Dalam tasawuf,
konsep ihsan
memperluas makna keadilan ke dalam ranah spiritualitas dan cinta Ilahi.¹⁷
Jalaluddin Rumi memandang keadilan bukan hanya memberi sesuai hak, tetapi juga
mengembalikan segala sesuatu kepada tempatnya yang sejati di hadapan Tuhan.¹⁸
Keadilan tanpa cinta akan menjadi kering dan legalistik; sementara cinta tanpa
keadilan akan menjadi sentimental dan tanpa arah.¹⁹ Dengan demikian,
spiritualitas keadilan dalam Islam merupakan penyatuan antara hukum rasional
dan kasih Ilahi.
9.3.      
Kesadaran Spiritual
dan Etika Sosial
Dimensi spiritual
keadilan tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga praksis.²⁰ Kesadaran akan
kehadiran Tuhan dalam kehidupan moral menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial
yang melampaui kepentingan pribadi.²¹ Dalam tradisi teologi pembebasan
(liberation theology), misalnya, keadilan dipahami sebagai panggilan spiritual
untuk membebaskan manusia dari penindasan struktural dan kemiskinan.²² Gustavo
Gutiérrez menyebut keadilan sebagai “wajah konkret dari kasih Tuhan dalam
sejarah.”²³
Pemikiran ini
memiliki resonansi kuat dengan etika sosial Islam, yang menekankan bahwa iman
sejati harus diwujudkan dalam tindakan keadilan sosial (‘amal ṣāliḥ).²⁴
Dalam pandangan ini, dimensi spiritual tidak bertentangan dengan politik atau
ekonomi, melainkan menjadi sumber motivasi moral untuk memperjuangkan martabat
manusia.²⁵
Paul Tillich
mengartikulasikan hubungan serupa antara keadilan dan spiritualitas dalam
teologi eksistensialnya.²⁶ Menurutnya, keadilan merupakan ekspresi cinta yang
terstruktur (love in form); cinta tanpa keadilan
akan kehilangan arah, dan keadilan tanpa cinta kehilangan makna.²⁷
Spiritualitas keadilan karenanya bukan pelarian dari dunia, tetapi keterlibatan
mendalam dalam sejarah demi menegakkan nilai-nilai yang menandai kehadiran
Ilahi di tengah masyarakat.²⁸
9.4.      
Keadilan Kosmis dan
Transendensi Moral
Dalam filsafat dan
teologi mistik Timur, keadilan juga dipahami sebagai harmoni kosmis.²⁹ Dalam
tradisi Hindu, konsep ṛta dan dharma menegaskan bahwa keadilan
adalah keteraturan alam semesta yang harus dijaga melalui tindakan benar (karma).³⁰
Demikian pula dalam Buddhisme, keadilan moral tidak diukur dari balasan
eksternal, tetapi dari keseimbangan batin dan pencerahan (nirvāṇa).³¹
Konsep-konsep ini
menunjukkan bahwa keadilan spiritual berakar pada kesadaran akan keterhubungan universal
segala makhluk.³² Ia menegaskan dimensi moralitas yang melampaui sekadar
kewajiban sosial menuju penyadaran kosmis akan kesatuan kehidupan.³³ Dalam
konteks ini, ethics of justice menjadi jembatan
antara etika rasional Barat dan spiritualitas Timur, antara norma sosial dan
kesadaran metafisik.³⁴
Kesimpulan
Sub-Bagian
Dimensi teologis dan
spiritualitas keadilan memperkaya wacana ethics of justice dengan memasukkan
unsur transendensi, kasih, dan tanggung jawab moral terhadap keseluruhan
ciptaan. Keadilan tidak hanya menjadi prinsip rasional, tetapi juga jalan
spiritual untuk mewujudkan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.³⁵
Spiritualitas keadilan mengingatkan bahwa tindakan etis sejati selalu
berpangkal pada kesadaran yang melampaui ego—kesadaran akan kehadiran Ilahi
yang menuntun manusia menuju keteraturan moral universal.³⁶
Footnotes
[1]               
Paul Tillich, Love, Power, and Justice: Ontological Analysis and
Ethical Applications (Oxford: Oxford University Press, 1954), 3–6.
[2]               
John Milbank, Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason
(Oxford: Blackwell, 1990), 81–84.
[3]               
Reinhold Niebuhr, Moral Man and Immoral Society (New York:
Charles Scribner’s Sons, 1932), 12–15.
[4]               
Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II: The Doctrine of God
(Edinburgh: T&T Clark, 1957), 376–379.
[5]               
Augustine, City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin, 2003), XIX.13–17.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, Q.58, art.1–4.
[7]               
Ibid., I-II, Q.91, art.2.
[8]               
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1980), 33–35.
[9]               
Al-Qur’an, Surah Al-Nahl [16]:90.
[10]            
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 45–47.
[11]            
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1986), 93–95.
[12]            
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 204–206.
[13]            
Ibid., 208–209.
[14]            
Al-Qur’an, Surah Al-Nahl [16]:90.
[15]            
Ibn Miskawayh, Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathīr al-A‘rāq (Beirut:
Dar al-Maktabah al-Hayat, 1966), 64–67.
[16]            
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, 101–104.
[17]            
William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings
of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 98–100.
[18]            
Jalaluddin Rumi, Mathnawi-i Ma‘nawi, trans. Reynold A.
Nicholson (London: Luzac & Co., 1926), Book I, 115–118.
[19]            
Ibid., Book II, 240–243.
[20]            
Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and
Salvation, trans. Sister Caridad Inda and John Eagleson (Maryknoll, NY:
Orbis Books, 1973), 85–88.
[21]            
Ibid., 102–104.
[22]            
Leonardo Boff, Faith on the Edge: Religion and Marginalization
(San Francisco: Harper & Row, 1989), 41–44.
[23]            
Gutiérrez, A Theology of Liberation, 105.
[24]            
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
142–145.
[25]            
M. Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
(Bandung: Mizan, 2009), 121–124.
[26]            
Tillich, Love, Power, and Justice, 27–29.
[27]            
Ibid., 58–60.
[28]            
Ibid., 72–74.
[29]            
Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen
& Unwin, 1923), 110–113.
[30]            
Mahatma Gandhi, Hind Swaraj or Indian Home Rule (Ahmedabad:
Navajivan, 1938), 45–47.
[31]            
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press,
1974), 48–51.
[32]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 23–25.
[33]            
Ibid., 58–60.
[34]            
Panikkar, The Intrareligious Dialogue (New York: Paulist
Press, 1999), 92–94.
[35]            
Tillich, Love, Power, and Justice, 91–93.
[36]            
Chittick, The Sufi Path of Love, 132–135.
10.      
Kritik terhadap Teori-teori Etika Keadilan
Teori-teori klasik
dan modern tentang etika keadilan, meskipun memberikan kerangka rasional yang
kokoh bagi pemikiran moral dan politik, tidak luput dari kritik mendasar baik
secara epistemologis, ontologis, maupun praktis. Kritik terhadap ethics
of justice lahir dari kesadaran bahwa model-model keadilan modern
sering kali bersifat abstrak, elitis, dan kurang peka terhadap konteks sosial,
budaya, serta eksistensial manusia.¹ Dalam wacana filsafat kontemporer, kritik
ini datang dari berbagai arah: relativisme moral, postmodernisme, feminisme,
teori kritis, dan etika ekologis.
10.1.   
 Kritik Relativisme Moral dan Nihilisme Etis
Salah satu kritik
paling awal terhadap ethics of justice datang dari
posisi relativisme moral, yang menolak adanya prinsip keadilan universal yang
dapat berlaku lintas budaya dan sejarah.² Friedrich Nietzsche, melalui
genealoginya tentang moralitas, menilai bahwa konsep keadilan yang diklaim
universal sebenarnya merupakan konstruksi historis dari kehendak kekuasaan (will to
power).³ Ia menolak moralitas “budak” yang mendewakan kesetaraan
dan belas kasihan, karena dianggap menghambat afirmasi terhadap kehidupan dan
kreativitas manusia.⁴
Relativisme moral
menyoroti bahwa keadilan tidak dapat dilepaskan dari konteks nilai, tradisi,
dan kekuasaan yang membentuknya.⁵ Dari perspektif ini, setiap sistem etika
hanyalah refleksi dari kehendak kelompok tertentu untuk menormalkan pandangan
moralnya. Namun, ekstremitas posisi ini membawa risiko nihilisme etis—hilangnya
dasar normatif bagi tindakan moral.⁶ Seperti diingatkan oleh Alasdair
MacIntyre, ketika modernitas kehilangan visi teleologis tentang kebaikan
bersama, maka “keadilan” menjadi istilah kosong yang diperebutkan tanpa makna
universal.⁷
Dengan demikian,
tantangan yang dihadapi ethics of justice ialah bagaimana
mempertahankan prinsip normatif universal tanpa jatuh ke dalam dogmatisme moral
di satu sisi, atau relativisme nihilistik di sisi lain.⁸
10.2.   
Kritik Postmodern dan
Dekonstruktif
Pemikir postmodern
seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida memberikan kritik yang lebih
radikal terhadap klaim universalitas dan rasionalitas moral dalam teori
keadilan modern.⁹ Foucault menolak gagasan keadilan sebagai kategori moral
transenden, dan sebaliknya menafsirkan hukum serta moralitas sebagai hasil dari
jaringan kuasa-pengetahuan (power/ knowledge).¹⁰ Menurutnya,
wacana tentang keadilan sering kali menjadi instrumen untuk menormalkan
perilaku dan menundukkan subjek.¹¹
Derrida, di sisi
lain, mengajukan dekonstruksi terhadap konsep hukum dan keadilan. Dalam esainya
Force of
Law: The “Mystical Foundation of Authority”, ia menegaskan bahwa
hukum selalu bersifat positif (historis dan kontekstual), sementara keadilan
sejati bersifat tak terhingga dan selalu “akan datang” (à venir).¹²
Keadilan bukan sesuatu yang bisa ditetapkan, tetapi merupakan gerak etis yang
membuka diri terhadap yang lain tanpa syarat.¹³
Kritik postmodern
ini menantang klaim finalitas rasional dari teori keadilan modern seperti
Rawlsian liberalism.¹⁴ Keadilan, bagi Derrida, bukan formula normatif yang bisa
dihitung, tetapi tanggung jawab yang terus ditunda dan direfleksikan.¹⁵ Dengan
demikian, ethics
of justice direvisi menjadi etika keterbukaan dan kesadaran akan
keterbatasan rasionalitas manusia.
10.3.   
Kritik Feministik dan
Perspektif Relasional
Teori feminis,
terutama yang dikembangkan oleh Carol Gilligan, Nel Noddings, dan Joan Tronto,
mengkritik ethics
of justice karena bias gendernya.¹⁶ Menurut mereka, model keadilan
yang rasional, impersonal, dan berbasis prinsip sering kali mengabaikan dimensi
relasional, empatik, dan afektif dari moralitas manusia.¹⁷ Gilligan menilai
bahwa paradigma moral modern dibangun dari pengalaman laki-laki dalam ranah
publik (politik, hukum), sementara pengalaman perempuan yang berakar pada
relasi dan kepedulian dianggap inferior.¹⁸
Etika feminis
menuntut redefinisi keadilan sebagai tanggung jawab terhadap yang rentan, bukan
sekadar penerapan aturan universal.¹⁹ Dalam kerangka ini, ethics
of justice yang kaku dan formal perlu dilengkapi oleh ethics
of care yang lebih kontekstual dan humanistik.²⁰
Kritik feministik
juga menyoroti aspek struktural: ketidakadilan sosial sering kali bersumber
dari institusi patriarkal yang memonopoli definisi moralitas.²¹ Oleh karena
itu, revisi terhadap ethics of justice tidak cukup pada
level epistemologis, tetapi harus menyentuh tataran politik dan institusional
yang membentuk praktik keadilan itu sendiri.²²
10.4.   
Kritik Ekologis dan
Antroposentrisme Moral
Kritik lain yang
semakin relevan adalah kritik ekologis terhadap antroposentrisme moral dalam
teori keadilan tradisional.²³ Filsafat etika klasik—baik deontologis maupun
utilitarian—mendasarkan keadilan pada relasi antarmanusia, mengabaikan dimensi
moral terhadap alam.²⁴
Pemikir seperti Aldo
Leopold, Arne Naess, dan Holmes Rolston III mengusulkan ecocentric
ethics yang memperluas subjek moral ke seluruh komunitas biotik.²⁵
Bagi mereka, keadilan ekologis berarti menegakkan keseimbangan antara manusia
dan alam, bukan sekadar mendistribusikan sumber daya.²⁶ Kritik ini menyingkap
keterbatasan ethics of justice modern yang
terlalu fokus pada tatanan sosial-politik, sementara krisis ekologis
menunjukkan bahwa moralitas sejati harus mencakup tanggung jawab terhadap
keberlanjutan kehidupan planet.²⁷
Hans Jonas
menambahkan dimensi futuristik melalui ethics of responsibility—bahwa
keadilan kini harus memperhitungkan generasi mendatang yang belum lahir.²⁸
Kritik ekologis dengan demikian menegaskan bahwa etika keadilan tidak dapat
berhenti pada keadilan antar manusia, tetapi harus berkembang menjadi keadilan
kosmik.²⁹
10.5.   
Kritik dari Perspektif
Global dan Poskolonial
Dalam konteks
global, teori keadilan liberal dikritik karena bias Barat dan ahistoris.³⁰
Pemikir poskolonial seperti Gayatri Spivak, Homi Bhabha, dan Frantz Fanon
menunjukkan bahwa wacana keadilan modern sering berfungsi sebagai perangkat
kolonial yang memaksakan nilai-nilai Eropa atas dunia non-Barat.³¹ Dengan
mengklaim universalitas, teori keadilan liberal sering kali menutupi ketimpangan
struktural dan eksploitasi global yang diwariskan kolonialisme.³²
Kritik poskolonial
ini mengajukan pluralisme moral, yaitu pengakuan
terhadap banyak bentuk rasionalitas dan sistem nilai.³³ Keadilan tidak dapat
didefinisikan tunggal berdasarkan standar Barat, tetapi harus dipahami dalam
konteks pluralitas budaya dan sejarah.³⁴ Nancy Fraser dan Iris Marion Young
menambahkan bahwa keadilan global membutuhkan participatory parity—kesetaraan
partisipasi dalam membentuk struktur sosial global.³⁵
Dengan demikian,
teori keadilan yang sejati harus bersifat dialogis, interkultural, dan terbuka
terhadap koreksi moral lintas tradisi.³⁶
Kesimpulan
Sub-Bagian
Kritik-kritik
terhadap ethics
of justice menunjukkan bahwa keadilan bukan kategori final atau tertutup,
melainkan proses reflektif yang terus berkembang. Rasionalitas universal harus
berdialog dengan relasi empatik; moralitas manusia harus meluas hingga mencakup
alam dan generasi mendatang; dan nilai-nilai moral harus terbuka terhadap
pluralitas budaya dan sejarah.³⁷ Kritik ini tidak membatalkan pentingnya ethics
of justice, tetapi menuntut agar ia direvisi menjadi paradigma
etika yang lebih relasional, ekologis, dan kosmopolitan—suatu justice
beyond justice.³⁸
Footnotes
[1]               
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 8–10.
[2]               
Gilbert Harman, The Nature of Morality: An Introduction to Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 9–11.
[3]               
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1989), I.10–13.
[4]               
Ibid., II.24–25.
[5]               
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 51–53.
[6]               
Simon Blackburn, Being Good: A Short Introduction to Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 34–36.
[7]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 6–9.
[8]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 102–104.
[9]               
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–100.
[10]            
Ibid., 102–104.
[11]            
Ibid., 121–123.
[12]            
Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of
Authority”, in Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York:
Routledge, 2002), 242–247.
[13]            
Ibid., 250–253.
[14]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
144–147.
[15]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 89–92.
[16]            
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
22–25.
[17]            
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 54–57.
[18]            
Gilligan, In a Different Voice, 73–76.
[19]            
Joan C. Tronto, Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic
of Care (New York: Routledge, 1993), 105–107.
[20]            
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 33–36.
[21]            
Alison M. Jaggar, “Feminist Ethics,” in A Companion to Ethics,
ed. Peter Singer (Oxford: Blackwell, 1991), 195–197.
[22]            
Tronto, Moral Boundaries, 138–142.
[23]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 18–21.
[24]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of
Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 25–27.
[25]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 203–205.
[26]            
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry
16 (1973): 95–100.
[27]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 43–45.
[28]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 94–97.
[29]            
Ibid., 102–104.
[30]            
Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak?
(Basingstoke: Macmillan, 1988), 66–68.
[31]            
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–5.
[32]            
Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon, 1978), 325–327.
[33]            
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 173–175.
[34]            
Spivak, Can the Subaltern Speak?, 69–71.
[35]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 98–101.
[36]            
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 273–275.
[37]            
Benhabib, Situating the Self, 150–153.
[38]            
Ricoeur, The Just, 100–104.
11.      
Sintesis Filosofis: Menuju Etika Keadilan
Integral
Setelah melalui
berbagai fase historis dan kritik konseptual, perbincangan tentang ethics
of justice menuntut suatu sintesis filosofis yang mampu
mengintegrasikan dimensi rasional, relasional, sosial, ekologis, dan spiritual
dari moralitas manusia.¹ Etika keadilan integral (integral ethics of justice)
merupakan upaya untuk merangkul kembali kompleksitas realitas etis tanpa jatuh
pada fragmentasi atau reduksionisme metodologis.² Sintesis ini tidak
berpretensi membangun sistem metafisik tertutup, tetapi lebih sebagai kerangka
reflektif yang terbuka—di mana keadilan dipahami sebagai modus
eksistensial manusia yang berakar pada kesadaran moral, kebersamaan
sosial, dan keterhubungan kosmis.³
11.1.   
Integrasi antara Etika
Rasional dan Etika Relasional
Etika keadilan
tradisional, sebagaimana dikembangkan oleh Kant dan Rawls, menekankan dimensi
rasional dan universalitas moral.⁴ Namun, seperti dikritik oleh Gilligan dan
Noddings, etika semacam ini sering kali mengabaikan konteks konkret dan relasi
afektif manusia.⁵ Etika keadilan integral berupaya menjembatani dua dimensi ini
dengan menegaskan bahwa rasionalitas moral dan empati relasional bukanlah
oposisi, melainkan dua bentuk kesadaran moral yang saling melengkapi.⁶
Paul Ricoeur
menggambarkan integrasi ini melalui konsep “the just distance”—yakni jarak etis
antara diri dan orang lain yang memungkinkan keadilan sekaligus kasih.⁷ Jarak
ini mencegah moralitas jatuh ke dalam sentimentalitas yang buta, tetapi juga
menghindarkannya dari rasionalitas yang dingin dan formal.⁸ Dengan demikian,
keadilan integral tidak lagi dipahami semata sebagai penerapan aturan,
melainkan sebagai keseimbangan dinamis antara penilaian rasional dan kepekaan
etis terhadap penderitaan manusia.⁹
11.2.   
Keadilan sebagai
Tanggung Jawab Antar-Subjektif
Sintesis filosofis
etika keadilan juga menuntut pemahaman baru tentang subjek moral. Tradisi
modern menekankan otonomi individu sebagai dasar moralitas, tetapi etika
kontemporer—terutama melalui pemikiran Emmanuel Levinas—menunjukkan bahwa
tanggung jawab moral justru mendahului otonomi.¹⁰ Dalam Totality
and Infinity, Levinas menyatakan bahwa etika dimulai dari
perjumpaan dengan Wajah Liyan (le
visage de l’Autre), di mana keadilan lahir sebagai tanggapan atas
seruan yang tak dapat dihindari dari keberadaan orang lain.¹¹
Dengan demikian,
keadilan integral bukan hasil perjanjian rasional antarindividu otonom,
melainkan hasil kesadaran eksistensial bahwa keberadaan manusia selalu bersifat
bersama (being-with).¹²
Etika semacam ini menolak pandangan atomistik tentang subjek moral dan
menggantikannya dengan konsep tanggung jawab antar-subjektif yang bersifat tak
terbatas.¹³
Dalam kerangka ini,
tindakan moral tidak lagi diukur dari kesesuaian dengan hukum formal, tetapi
dari sejauh mana tindakan tersebut memelihara hubungan keberadaan yang adil dan
manusiawi.¹⁴ Keadilan menjadi “wajah manusia dari keberadaan”, bukan sekadar
prinsip abstrak, melainkan praksis pengakuan atas martabat eksistensi orang
lain.¹⁵
11.3.   
Model Etika Keadilan
Integral: Rasional, Relasional, dan Transendental
Keadilan integral
mengandaikan struktur tiga lapis: rasional, relasional,
dan transendental.
Lapisan rasional memastikan kejelasan normatif dan konsistensi logis dalam
penilaian moral; lapisan relasional memastikan keterlibatan empatik dalam
kehidupan sosial; dan lapisan transendental menegaskan orientasi spiritual
manusia terhadap nilai-nilai tertinggi seperti kebenaran, kasih, dan
kesucian.¹⁶
Martha Nussbaum melalui
capabilities
approach memberikan contoh integratif ini dalam kerangka kebijakan
publik: keadilan sejati tidak cukup dengan prosedur legal, tetapi harus
menjamin kemampuan manusia untuk hidup bermartabat dan mengembangkan
potensinya.¹⁷ Sementara itu, Raimon Panikkar memperluas paradigma ini secara
ontologis melalui konsep cosmotheandric ethics—etika yang
melihat manusia, alam, dan Tuhan sebagai tiga dimensi yang saling berkelindan
dalam struktur keadilan kosmis.¹⁸
Keadilan integral
dengan demikian bersifat inklusif: ia mencakup keadilan sosial dan ekologis,
hak individu dan komunitas, serta moralitas imanen dan kesadaran transenden.¹⁹
Ia bukan hanya teori normatif, melainkan juga visi eksistensial tentang
keseimbangan antara kebebasan dan keterikatan, antara tanggung jawab dan cinta,
antara hukum dan rahmat.²⁰
11.4.   
Etika Keadilan sebagai
Proyek Hermeneutik
Sebagai sintesis
terbuka, ethics
of justice integral tidak dimaksudkan sebagai sistem dogmatis,
melainkan sebagai proyek hermeneutik yang terus berkembang.²¹ Dalam pandangan
ini, keadilan selalu merupakan hasil interpretasi yang kontekstual, historis,
dan dialogis.²² Setiap generasi menafsirkan ulang keadilan sesuai dengan
horizon pengalaman moralnya.²³
Paul Ricoeur
menegaskan bahwa keadilan memerlukan “imajinasi moral”—kemampuan untuk
melampaui situasi faktual dan membayangkan kondisi yang lebih manusiawi.²⁴
Hermeneutika keadilan dengan demikian adalah upaya memahami tindakan etis tidak
hanya sebagai penerapan norma, tetapi sebagai proses penafsiran terhadap makna
kemanusiaan.²⁵
Dengan perspektif
hermeneutik, keadilan integral mengakui pluralitas tanpa kehilangan arah moral.
Ia terbuka terhadap koreksi, tetapi tetap berpijak pada nilai dasar:
penghormatan terhadap martabat manusia dan keseimbangan kosmos.²⁶
11.5.   
Menuju Paradigma Etika
Keadilan Integral
Etika keadilan
integral berupaya mengatasi dikotomi klasik antara universalitas dan
partikularitas, antara rasio dan afeksi, antara sekularitas dan
spiritualitas.²⁷ Ia menegaskan bahwa keadilan sejati tidak dapat direduksi pada
hukum, melainkan harus mencerminkan kebijaksanaan hidup yang menyatukan dimensi
moral, sosial, dan spiritual manusia.²⁸
Paradigma ini
memiliki tiga prinsip utama:
1)                 
Prinsip kesalingan etis
(ethical reciprocity) — bahwa setiap tindakan adil harus
mempertimbangkan kesejahteraan dan martabat pihak lain.²⁹
2)                 
Prinsip tanggung jawab
kosmis (cosmic responsibility) — bahwa keadilan meluas hingga
hubungan manusia dengan alam dan masa depan.³⁰
3)                 
Prinsip keterbukaan
transendental (transcendental openness) — bahwa moralitas
manusia berakar pada kesadaran spiritual yang senantiasa mengarahkan pada
kebaikan tertinggi (summum bonum).³¹
Dengan
mengintegrasikan ketiga prinsip ini, ethics of justice mencapai
bentuknya yang paling komprehensif: bukan hanya teori moral, tetapi cara
keberadaan yang menghubungkan rasionalitas, cinta, dan kesadaran spiritual
sebagai satu kesatuan etis.³²
Kesimpulan
Sub-Bagian
Etika keadilan
integral menegaskan bahwa keadilan bukanlah sekadar struktur normatif,
melainkan horizon eksistensial yang menyatukan rasio, empati, dan spiritualitas
dalam satu kesadaran moral universal.³³ Ia adalah hasil sintesis dari seluruh
perjalanan historis pemikiran etika: dari hukum moral Kant hingga empati
Gilligan, dari rasionalitas Rawls hingga tanggung jawab Levinas, dari keadilan
sosial Fraser hingga kesadaran kosmis Panikkar.³⁴ Dengan demikian, ethics
of justice mencapai bentuk tertingginya sebagai praxis
humanum—tindakan sadar yang menjembatani antara keadilan sebagai
prinsip dan kasih sebagai makna.³⁵
Footnotes
[1]               
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 9–11.
[2]               
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 2010), 45–48.
[3]               
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 3–5.
[4]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 421–424.
[5]               
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
32–35.
[6]               
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 121–123.
[7]               
Ricoeur, The Just, 78–81.
[8]               
Ibid., 84–86.
[9]               
Paul Tillich, Love, Power, and Justice (Oxford: Oxford
University Press, 1954), 91–93.
[10]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–202.
[11]            
Ibid., 245–247.
[12]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 161–163.
[13]            
Levinas, Totality and Infinity, 248–250.
[14]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 180–183.
[15]            
Ibid., 191–193.
[16]            
Tillich, Love, Power, and Justice, 101–104.
[17]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–29.
[18]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 43–46.
[19]            
Panikkar, The Rhythm of Being, 110–113.
[20]            
Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species
Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 345–348.
[21]            
Ricoeur, The Just, 92–94.
[22]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 310–312.
[23]            
Ibid., 317–319.
[24]            
Ricoeur, Oneself as Another, 180–182.
[25]            
Ibid., 186–188.
[26]            
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 47–49.
[27]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
154–157.
[28]            
Tillich, Love, Power, and Justice, 120–122.
[29]            
Levinas, Totality and Infinity, 289–291.
[30]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 121–124.
[31]            
Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 74–77.
[32]            
Ricoeur, The Just, 100–104.
[33]            
Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 413–416.
[34]            
Nussbaum, Creating Capabilities, 90–92.
[35]            
Ricoeur, The Just, 105–108.
12.      
Relevansi Kontemporer dan Implikasi Praktis
Etika keadilan pada
abad ke-21 menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring perubahan sosial,
ekonomi, teknologi, dan ekologis global.¹ Di tengah krisis kemanusiaan,
ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, dan perkembangan kecerdasan buatan, ethics
of justice tidak lagi dapat dipahami semata sebagai teori normatif,
tetapi harus berfungsi sebagai orientasi praksis yang membimbing kebijakan
publik, tanggung jawab sosial, serta transformasi moral masyarakat.² Relevansi
kontemporer dari etika keadilan terletak pada kemampuannya menjembatani
rasionalitas moral dengan praksis sosial yang konkret—antara cita-cita keadilan
universal dan kondisi historis manusia yang plural.³
12.1.   
Keadilan Sosial dan
Kebijakan Publik
Dalam konteks
sosial-politik modern, ethics of justice menjadi dasar
bagi penyusunan kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan bersama (common
good).⁴ John Rawls melalui A Theory of Justice menawarkan
kerangka konseptual yang tetap relevan bagi desain institusi publik yang adil,
terutama prinsip kebebasan dasar dan difference principle.⁵
Prinsip-prinsip ini menjadi pijakan bagi negara demokratis untuk menyeimbangkan
kebebasan individu dengan pemerataan sosial.⁶
Namun, dalam praktik
kebijakan, implementasi keadilan sering kali terbentur oleh struktur ekonomi
global yang tidak setara.⁷ Oleh karena itu, ethics of justice menuntut
integrasi antara keadilan distributif (pemerataan ekonomi), keadilan
partisipatoris (akses terhadap pengambilan keputusan), dan keadilan pengakuan
(penghormatan terhadap identitas sosial).⁸ Dengan demikian, keadilan tidak
cukup diukur dari hasil ekonomi semata, tetapi dari sejauh mana kebijakan
publik memperkuat martabat manusia secara holistik.⁹
12.2.   
Etika Keadilan dan
Teknologi Digital
Revolusi digital
membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, bekerja, dan memahami
keadilan.¹⁰ Tantangan baru muncul dalam bentuk kesenjangan digital,
penyalahgunaan data pribadi, dan ketidakadilan algoritmik.¹¹ Dalam konteks ini,
ethics
of justice harus diperluas ke dalam ranah etika teknologi yang
menekankan tanggung jawab moral dalam desain dan penggunaan teknologi.¹²
Luciano Floridi
menyebut hal ini sebagai information ethics, yaitu etika
yang menempatkan informasi dan sistem digital sebagai entitas moral yang harus
diatur secara adil.¹³ Prinsip-prinsip keadilan harus diterapkan dalam desain
algoritma agar tidak mereproduksi bias sosial yang memperkuat diskriminasi
gender, ras, atau kelas.¹⁴ Etika keadilan digital juga menuntut transparansi
dan akuntabilitas teknologi agar kebebasan dan privasi individu tetap terlindungi.¹⁵
Dengan demikian,
penerapan keadilan pada era digital memerlukan kolaborasi antara etika, hukum,
dan rekayasa teknologi.¹⁶ Para perancang sistem dan pembuat kebijakan dituntut
untuk menginternalisasi nilai-nilai keadilan dalam setiap tahap pengembangan
teknologi, menjadikan keadilan bukan sekadar konsep hukum, melainkan prinsip
desain moral.¹⁷
12.3.   
Keadilan Ekologis dan
Krisis Iklim
Krisis iklim global
menyingkap keterbatasan ethics of justice tradisional yang
berfokus hanya pada relasi antarmanusia.¹⁸ Kini, keadilan harus diperluas
menjadi ecological
justice yang melibatkan relasi manusia dengan seluruh komunitas
biotik.¹⁹ Etika ekologis menuntut tanggung jawab moral terhadap alam, bukan
hanya sebagai sumber daya ekonomi, tetapi sebagai sistem kehidupan bersama yang
memiliki nilai intrinsik.²⁰
Hans Jonas
menegaskan bahwa moralitas abad modern harus berlandaskan pada “imperatif
tanggung jawab”—yakni kewajiban untuk menjamin keberlangsungan kehidupan di
masa depan.²¹ Prinsip ini memperluas horizon keadilan melampaui batas ruang dan
waktu, mencakup generasi mendatang yang belum lahir.²²
Dalam praksis
kebijakan global, konsep climate justice menjadi turunan
langsung dari etika tanggung jawab ini.²³ Ia menuntut agar negara-negara maju
menanggung beban proporsional terhadap kerusakan ekologis yang mereka
timbulkan, sekaligus membantu negara berkembang dalam adaptasi iklim.²⁴ Dengan
demikian, ethics
of justice tidak lagi terbatas pada keadilan sosial, tetapi
berkembang menjadi proyek moral ekologis global.²⁵
12.4.   
Etika Keadilan dalam
Pendidikan dan Transformasi Moral
Relevansi ethics
of justice juga sangat kuat dalam ranah pendidikan.²⁶ Pendidikan
moral dan karakter yang berorientasi pada keadilan tidak hanya menanamkan
norma, tetapi membentuk kesadaran reflektif dan empatik terhadap keberagaman
sosial.²⁷ Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed,
menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari ketidakadilan
struktural dengan menumbuhkan kesadaran kritis (conscientização).²⁸
Dalam konteks
pendidikan modern, ethics of justice menuntut
pendekatan pedagogis yang partisipatif dan dialogis, di mana peserta didik
dilatih untuk berpikir kritis sekaligus peduli terhadap kesejahteraan sosial.²⁹
Pendidikan etika yang hanya menekankan kepatuhan terhadap aturan formal tidak
cukup; ia harus menumbuhkan kemampuan untuk berpikir moral secara reflektif,
kontekstual, dan kreatif.³⁰
Selain itu,
pendekatan ethics
of care dapat dipadukan dengan ethics of justice dalam pendidikan
untuk menciptakan keseimbangan antara logika keadilan dan empati sosial.³¹
Kombinasi keduanya akan menghasilkan generasi yang tidak hanya memahami
keadilan sebagai prinsip rasional, tetapi juga menghayatinya sebagai tanggung
jawab kemanusiaan yang hidup.³²
12.5.   
Keadilan Global dan
Solidaritas Antarbangsa
Dalam dunia yang
saling terhubung, ethics of justice harus diperluas
menjadi etika global yang menegaskan solidaritas lintas bangsa.³³ Thomas Pogge
berargumen bahwa ketimpangan global bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga
pelanggaran terhadap prinsip moral universal tentang martabat manusia.³⁴
Keadilan global
mengandaikan adanya cosmopolitan responsibility—kesadaran
bahwa setiap individu dan negara memiliki tanggung jawab moral terhadap
kesejahteraan bersama umat manusia.³⁵ Konsep ini menolak batas-batas
nasionalisme sempit dan menyerukan kerjasama global yang berbasis empati moral,
bukan sekadar kepentingan geopolitik.³⁶
Praktiknya dapat
diwujudkan melalui reformasi sistem ekonomi internasional, kebijakan
redistribusi global, dan dukungan terhadap hak-hak asasi manusia universal.³⁷
Dengan demikian, etika keadilan bertransformasi menjadi proyek etika
kosmopolitan yang bersifat universal, partisipatif, dan berkelanjutan.³⁸
Kesimpulan
Sub-Bagian
Relevansi
kontemporer ethics of justice terletak pada
kemampuannya untuk memberikan orientasi moral yang menyeluruh dalam menghadapi
kompleksitas dunia modern—dari kebijakan sosial hingga teknologi, dari krisis
iklim hingga pendidikan dan hubungan internasional.³⁹ Etika keadilan yang
integral dan aplikatif menuntut sintesis antara prinsip universal dan konteks
partikular, antara teori dan praksis, antara hukum dan kasih.⁴⁰
Implikasi praktisnya
bersifat transformasional: ethics of justice mendorong
lahirnya paradigma sosial yang inklusif, ekologis, dan humanistik.⁴¹ Keadilan
bukan lagi sekadar kategori hukum atau moral, tetapi menjadi horizon etis
global yang mempersatukan manusia dalam tanggung jawab bersama terhadap bumi,
sejarah, dan sesama.⁴²
Footnotes
[1]               
Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and
Equality (New York: Basic Books, 1983), 9–12.
[2]               
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 23–25.
[3]               
Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 4–6.
[4]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 41–44.
[5]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 60–65.
[6]               
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 88–90.
[7]               
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 18–21.
[8]               
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 29–33.
[9]               
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and
Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 52–54.
[10]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 3–6.
[11]            
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools
Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018),
9–11.
[12]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 78–81.
[13]            
Floridi, The Ethics of Information, 18–20.
[14]            
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines
Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 121–123.
[15]            
Ibid., 130–132.
[16]            
Ben Wagner, Ethics as an Escape from Regulation: From Ethics-Washing
to Ethics-Shopping? (The Hague: European Parliamentary Research Service,
2018), 5–7.
[17]            
Floridi, The Ethics of Information, 91–93.
[18]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of
Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 17–20.
[19]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 22–24.
[20]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 88–91.
[21]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 121–124.
[22]            
Ibid., 130–132.
[23]            
Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for
a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 4–6.
[24]            
Ibid., 15–18.
[25]            
Dobson, Justice and the Environment, 45–47.
[26]            
Nel Noddings, Happiness and Education (Cambridge: Cambridge
University Press, 2003), 23–26.
[27]            
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 72–74.
[28]            
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 32–34.
[29]            
Ibid., 40–42.
[30]            
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative
Approach to Education (New York: Teachers College Press, 2005), 85–87.
[31]            
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 88–90.
[32]            
Noddings, Happiness and Education, 91–93.
[33]            
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 153–156.
[34]            
Pogge, World Poverty and Human Rights, 47–50.
[35]            
Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 24–27.
[36]            
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995),
73–76.
[37]            
Fraser, Scales of Justice, 97–100.
[38]            
Appiah, Cosmopolitanism, 165–167.
[39]            
Young, Responsibility for Justice, 89–91.
[40]            
Ricoeur, The Just, 102–104.
[41]            
Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1991), 92–94.
[42]            
Panikkar, The Cosmotheandric Experience (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1993), 132–135.
13.      
Kesimpulan
Kajian mendalam
terhadap ethics
of justice memperlihatkan bahwa konsep keadilan bukan hanya
kategori moral normatif, melainkan juga horizon eksistensial yang menghubungkan
manusia dengan tatanan sosial, alam, dan bahkan dimensi transendental
keberadaan.¹ Dalam lintasan sejarah filsafat, keadilan telah bertransformasi
dari gagasan metafisis Plato dan Aristoteles, menuju kerangka rasional Kantian,
lalu berkembang dalam teori sosial Rawls, dan akhirnya diperkaya oleh wacana feminisme,
teori kritis, dan ekologi.² Evolusi ini menunjukkan bahwa keadilan bukanlah
konsep statis, melainkan medan refleksi yang selalu terbuka terhadap
reinterpretasi etis dan historis.³
13.1.   
Keadilan sebagai
Proyek Universal dan Kontekstual
Keadilan, dalam makna
terdalamnya, adalah upaya terus-menerus untuk menyeimbangkan antara tuntutan
universalitas dan keberagaman partikularitas.⁴ Ethics of justice tidak dapat
dipahami sebagai hukum moral yang tertutup, tetapi sebagai proses dialogis yang
mengakui pluralitas pengalaman manusia.⁵ Di satu sisi, prinsip-prinsip rasional
seperti kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi memberikan fondasi moral yang
stabil; di sisi lain, konteks sosial, budaya, dan historis menuntut
fleksibilitas interpretatif agar keadilan tetap relevan.⁶
Dengan demikian,
keadilan merupakan dialektika hidup antara norma dan
empati, antara struktur hukum dan pengalaman manusiawi.⁷ Dalam masyarakat
multikultural, keadilan yang sejati hanya mungkin terwujud melalui keterbukaan
terhadap perbedaan dan komitmen terhadap kemanusiaan universal.⁸
13.2.   
Dimensi Integral:
Rasional, Relasional, dan Spiritualitas Moral
Hasil refleksi dari
keseluruhan pembahasan menunjukkan bahwa keadilan integral menuntut penyatuan
tiga dimensi etis: rasionalitas moral, relasionalitas sosial, dan spiritualitas
transenden.⁹ Rasionalitas memberikan struktur dan konsistensi; relasionalitas
memberikan empati dan tanggung jawab sosial; sedangkan spiritualitas memberikan
arah dan makna moralitas itu sendiri.¹⁰
Etika keadilan yang mengabaikan
salah satu dari ketiga dimensi ini akan cenderung timpang: keadilan yang
rasional tanpa kasih akan menjadi legalistik; keadilan yang relasional tanpa
rasionalitas akan menjadi sentimental; dan keadilan tanpa spiritualitas akan
kehilangan orientasi moral tertinggi.¹¹ Maka, ethics of justice yang integral
harus memadukan ketiganya dalam kesatuan praksis etis yang berakar pada
martabat manusia.¹²
13.3.   
Implikasi Humanistik
dan Global
Dalam dunia yang
ditandai oleh ketimpangan sosial, krisis ekologis, dan disrupsi teknologi, ethics
of justice menjadi panggilan moral untuk membangun kembali tatanan
kemanusiaan yang berkeadilan.¹³ Prinsip keadilan kini tidak hanya berlaku dalam
batas negara, tetapi juga mencakup tanggung jawab kosmopolitan terhadap umat
manusia dan planet bumi.¹⁴ Keadilan sosial harus bersinergi dengan keadilan
ekologis dan digital, sementara solidaritas manusia harus diperluas menjadi
solidaritas planet.¹⁵
Etika keadilan dalam
pengertian ini menuntut transformasi paradigma: dari rasionalitas instrumental
menuju rasionalitas reflektif; dari moralitas kompetitif menuju etika empatik;
dan dari keadilan nasional menuju keadilan kosmopolit.¹⁶ Keadilan bukan lagi
sekadar tuntutan institusional, tetapi kesadaran moral yang membimbing arah
sejarah menuju ordo humanitatis—tatanan
kemanusiaan yang berlandaskan kasih, kebijaksanaan, dan tanggung jawab
universal.¹⁷
13.4.   
Keadilan sebagai
Puncak Moralitas dan Spiritualitas
Pada akhirnya, ethics
of justice menemukan makna terdalamnya bukan hanya dalam tataran
sosial, tetapi dalam kedalaman spiritual manusia.¹⁸ Dalam pandangan Paul
Tillich, keadilan merupakan bentuk konkret dari cinta (love in
form); sedangkan dalam pandangan Levinas, ia adalah tanggapan tak
terbatas terhadap seruan wajah Liyan.¹⁹ Kedua pandangan ini menegaskan bahwa
keadilan sejati tidak mungkin dicapai tanpa kesadaran eksistensial akan
keterikatan manusia satu sama lain dan terhadap Sumber Moral Tertinggi.²⁰
Dengan demikian, ethics
of justice adalah puncak dari kesadaran moral manusia—sebuah etika
yang menyatukan rasio dan iman, hukum dan kasih, partikularitas dan
universalitas, dunia dan transendensi.²¹ Dalam bentuknya yang paling murni,
keadilan adalah refleksi manusia atas kehadiran yang Ilahi di tengah dunia; ia
adalah panggilan abadi untuk hidup dalam kebenaran, kesetaraan, dan kasih.²²
Kesimpulan
Akhir
Etika keadilan tidak
dapat direduksi pada teori moral tertentu, sebab ia merupakan jantung dari
seluruh upaya manusia memahami makna moralitas dan keberadaan.²³ Dari
perspektif historis, keadilan adalah warisan filsafat; dari perspektif sosial,
ia adalah proyek kemanusiaan; dan dari perspektif spiritual, ia adalah
perjumpaan dengan nilai tertinggi yang melampaui rasionalitas manusia.²⁴
Dengan demikian, ethics
of justice harus dipahami sebagai praxis reflektif yang menyatukan rasio, empati,
dan transendensi, serta sebagai fondasi bagi transformasi moral
global yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.²⁵ Dalam horizon ini, keadilan
bukan lagi sekadar ide, tetapi modus keberadaan yang menghidupkan
seluruh makna etika, politik, dan spiritualitas manusia.²⁶
Footnotes
[1]               
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 3–5.
[2]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 1–3.
[3]               
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 17–19.
[4]               
Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and
Equality (New York: Basic Books, 1983), 314–316.
[5]               
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
144–146.
[6]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 416–419.
[7]               
Paul Tillich, Love, Power, and Justice (Oxford: Oxford
University Press, 1954), 101–103.
[8]               
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 273–276.
[9]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 245–248.
[10]            
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 55–57.
[11]            
Tillich, Love, Power, and Justice, 120–122.
[12]            
Ricoeur, The Just, 78–81.
[13]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 12–15.
[14]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 37–40.
[15]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 94–97.
[16]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 80–83.
[17]            
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 132–134.
[18]            
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. III: Life and the Spirit
(Chicago: University of Chicago Press, 1963), 407–409.
[19]            
Levinas, Totality and Infinity, 251–253.
[20]            
Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago:
University of Chicago Press, 1992), 191–193.
[21]            
Tillich, Love, Power, and Justice, 125–128.
[22]            
Raimon Panikkar, The Rhythm of Being (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 2010), 210–213.
[23]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 6–9.
[24]            
Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 89–91.
[25]            
Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 121–124.
[26]            
Ricoeur, The Just, 105–108.
Daftar Pustaka
Al-Farabi. (1986). Ara’ Ahl al-Madinah
al-Fadilah. Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali, A. H. (1997). Ihya’ Ulum al-Din.
Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in
a World of Strangers. New York: W. W. Norton.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica. New
York: Benziger Bros.
Aristotle. (1999). Nicomachean Ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Attfield, R. (2014). Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century. Cambridge: Polity Press.
Augustine. (2003). City of God (H.
Bettenson, Trans.). London: Penguin.
Barth, K. (1957). Church Dogmatics, Vol. II: The
Doctrine of God. Edinburgh: T&T Clark.
Benhabib, S. (1992). Situating the Self: Gender,
Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics. Cambridge: Polity
Press.
Benhabib, S. (2002). The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era. Princeton: Princeton University
Press.
Benhabib, S. (2004). The Rights of Others:
Aliens, Residents, and Citizens. Cambridge: Cambridge University Press.
Benhabib, S. (2006). Another Cosmopolitanism.
Oxford: Oxford University Press.
Bentham, J. (1907). An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press.
Bhabha, H. K. (1994). The Location of Culture.
London: Routledge.
Blackburn, S. (2001). Being Good: A Short
Introduction to Ethics. Oxford: Oxford University Press.
Boff, L. (1989). Faith on the Edge: Religion and
Marginalization. San Francisco: Harper & Row.
Chittick, W. C. (1983). The Sufi Path of Love:
The Spiritual Teachings of Rumi. Albany: SUNY Press.
Derrida, J. (2002). Force of Law: The “Mystical
Foundation of Authority” (G. Anidjar, Ed.). New York: Routledge.
Dobson, A. (1998). Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice.
Oxford: Oxford University Press.
Donchin, A., & Purdy, L. M. (1999). Embodying
Bioethics: Recent Feminist Advances. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Eubanks, V. (2018). Automating Inequality: How
High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor. New York: St.
Martin’s Press.
Fanon, F. (2004). The Wretched of the Earth
(R. Philcox, Trans.). New York: Grove Press.
Floridi, L. (2013). The Ethics of Information.
Oxford: Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York:
Pantheon.
Fraser, N. (1995). From redistribution to
recognition? Dilemmas of justice in a “post-socialist” age. New Left Review,
212, 68–93.
Fraser, N. (2008). Scales of Justice:
Reimagining Political Space in a Globalizing World. New York: Columbia
University Press.
Freeman, S. (2007). Rawls. London:
Routledge.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Gandhi, M. (1938). Hind Swaraj or Indian Home
Rule. Ahmedabad: Navajivan.
Gilligan, C. (1982). In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Guyer, P. (2000). Kant on Freedom, Law, and
Happiness. Cambridge: Cambridge University Press.
Gutiérrez, G. (1973). A Theology of Liberation:
History, Politics, and Salvation (C. Inda & J. Eagleson, Trans.).
Maryknoll, NY: Orbis Books.
Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene. Cambridge: Polity Press.
Hamington, M. (2004). Embodied Care: Jane
Addams, Maurice Merleau-Ponty, and Feminist Ethics. Urbana: University of
Illinois Press.
Harman, G. (1977). The Nature of Morality: An
Introduction to Ethics. Oxford: Oxford University Press.
Held, D. (1995). Democracy and the Global Order:
From the Modern State to Cosmopolitan Governance. Stanford: Stanford
University Press.
Held, V. (2006). The Ethics of Care: Personal,
Political, and Global. Oxford: Oxford University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Hobbes, T. (1985). Leviathan. London:
Penguin Classics.
Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition:
The Moral Grammar of Social Conflicts (J. Anderson, Trans.). Cambridge:
Polity Press.
hooks, b. (2000). Feminism Is for Everybody.
Cambridge, MA: South End Press.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdzīb al-Akhlāq wa
Tathīr al-A‘rāq. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayat.
Jonas, H. (1984). The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. Chicago:
University of Chicago Press.
Kant, I. (1997). Groundwork for the Metaphysics
of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kohlberg, L. (1981). Essays on Moral
Development, Vol. 1: The Philosophy of Moral Development. San Francisco:
Harper & Row.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight Lectures
on the New Climatic Regime. Cambridge: Polity Press.
Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac.
New York: Oxford University Press.
Levinas, E. (1969). Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University
Press.
Locke, J. (1988). Two Treatises of Government.
Cambridge: Cambridge University Press.
MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre
Dame: University of Notre Dame Press.
Mahmood, R. (1993). The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Maarif, M. S. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan. Bandung: Mizan.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London:
Parker, Son, and Bourn.
Milbank, J. (1990). Theology and Social Theory:
Beyond Secular Reason. Oxford: Blackwell.
Minow, M. (1990). Making All the Difference:
Inclusion, Exclusion, and American Law. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Morris, R. (2000). Stories of Transformative
Justice. Toronto: Canadian Scholars’ Press.
Naess, A. (1973). The shallow and the deep,
long-range ecology movement. Inquiry, 16(1), 95–100.
Niebuhr, R. (1932). Moral Man and Immoral
Society. New York: Charles Scribner’s Sons.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of Oppression:
How Search Engines Reinforce Racism. New York: NYU Press.
Noddings, N. (1984). Caring: A Relational
Approach to Ethics and Moral Education. Berkeley: University of California
Press.
Noddings, N. (2003). Happiness and Education.
Cambridge: Cambridge University Press.
Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in
Schools: An Alternative Approach to Education. New York: Teachers College
Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women and Human
Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University
Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for Profit: Why
Democracy Needs the Humanities. Princeton: Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities:
The Human Development Approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Panikkar, R. (1993). The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Panikkar, R. (1999). The Intrareligious Dialogue.
New York: Paulist Press.
Panikkar, R. (2010). The Rhythm of Being.
Maryknoll, NY: Orbis Books.
Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Pogge, T. (1989). Realizing Rawls. Ithaca,
NY: Cornell University Press.
Pogge, T. (2002). World Poverty and Human Rights.
Cambridge: Polity Press.
Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur’an.
Minneapolis: Bibliotheca Islamica.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Rahula, W. (1974). What the Buddha Taught.
New York: Grove Press.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rawls, J. (1993). Political Liberalism. New
York: Columbia University Press.
Rawls, J. (1999). The Law of Peoples.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian Philosophy,
Vol. I. London: George Allen & Unwin.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another (K.
Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2000). The Just (D. Pellauer,
Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Robinson, M. (2018). Climate Justice: Hope,
Resilience, and the Fight for a Sustainable Future. New York: Bloomsbury.
Rolston, H. III. (1988). Environmental Ethics:
Duties to and Values in the Natural World. Philadelphia: Temple University
Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, Irony, and
Solidarity. Cambridge: Cambridge University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The Social Contract
(M. Cranston, Trans.). London: Penguin.
Said, E. W. (1978). Orientalism. New York:
Pantheon.
Sandel, M. J. (1982). Liberalism and the Limits
of Justice. Cambridge: Cambridge University Press.
Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the Right
Thing to Do? New York: Farrar, Straus and Giroux.
Scheler, M. (1973). Formalism in Ethics and
Non-Formal Ethics of Values (M. Frings, Trans.). Evanston, IL: Northwestern
University Press.
Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Shihab, M. Q. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Spivak, G. C. (1988). Can the Subaltern Speak?
Basingstoke: Macmillan.
Taylor, C. (1989). Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, C. (1991). The Ethics of Authenticity.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, C. (1994). Multiculturalism: Examining
the Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press.
Tillich, P. (1954). Love, Power, and Justice:
Ontological Analysis and Ethical Applications. Oxford: Oxford University
Press.
Tillich, P. (1963). Systematic Theology, Vol.
III: Life and the Spirit. Chicago: University of Chicago Press.
Tronto, J. C. (1993). Moral Boundaries: A
Political Argument for an Ethic of Care. New York: Routledge.
Tutu, D. (1999). No Future Without Forgiveness.
New York: Doubleday.
Van Ness, D. W., & Strong, K. H. (1997). Restoring
Justice: An Introduction to Restorative Justice. Cincinnati: Anderson
Publishing.
Walzer, M. (1983). Spheres of Justice: A Defense
of Pluralism and Equality. New York: Basic Books.
Warschauer, M. (2004). Technology and Social
Inclusion: Rethinking the Digital Divide. Cambridge, MA: MIT Press.
Williams, B. (1985). Ethics and the Limits of
Philosophy. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Young, I. M. (1990). Justice and the Politics of
Difference. Princeton: Princeton University Press.
Young, I. M. (2011). Responsibility for Justice.
Oxford: Oxford University Press.
Zehr, H. (2002). The Little Book of Restorative
Justice. Intercourse, PA: Good Books.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance
Capitalism. New York: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar