Hak Hukum bagi Alam
Analisis Konseptual dan Historis-Yuridis terhadap Teks
Stone dan Penerapannya dalam Teori Hukum Lingkungan Modern
Alihkan ke: Etika
Lingkungan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam gagasan
Christopher D. Stone dalam karyanya yang monumental “Should Trees Have
Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects” (1972), yang menjadi
tonggak penting dalam perkembangan filsafat hukum lingkungan dan etika
ekologis. Melalui analisis filosofis yang sistematis, tulisan ini menelusuri
dasar historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari usulan Stone
untuk memberikan hak hukum kepada alam sebagai subjek moral dan legal.
Secara historis, Stone menempatkan gagasannya dalam
tradisi evolusi hukum yang progresif, di mana perluasan hak selalu dimulai dari
entitas yang sebelumnya dianggap tidak layak diakui—dari budak, anak-anak,
hingga korporasi—dan kini mencakup entitas ekologis seperti sungai, hutan, dan gunung.
Secara ontologis, ia menolak dualisme manusia–alam dan menggantikannya dengan
pandangan relasional bahwa seluruh makhluk hidup merupakan bagian dari satu
komunitas moral (biotic community). Secara epistemologis, Stone
mengusulkan bentuk rasionalitas hukum baru yang mampu “mendengar suara alam”
melalui mekanisme representasi hukum (legal guardianship), sementara
secara aksiologis, ia menegaskan bahwa nilai tertinggi hukum terletak pada
keberlanjutan kehidupan dan keseimbangan ekologis, bukan semata-mata pada
kepentingan manusia.
Artikel ini juga meninjau kritik terhadap gagasan
Stone—baik dari sisi konseptual, praktis, maupun ideologis—serta menunjukkan
relevansi kontemporernya dalam menghadapi krisis ekologis global dan era
Antroposen. Gagasan Stone telah memengaruhi gerakan rights of nature di
berbagai negara, seperti Ekuador, Bolivia, dan Selandia Baru, yang secara hukum
mengakui alam sebagai subjek dengan hak yang sah. Sintesis filosofis dari
pemikiran Stone memperlihatkan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai sistem
normatif, tetapi juga sebagai instrumen moral dan spiritual untuk menjaga
keberlangsungan komunitas kehidupan di bumi.
Dengan demikian, artikel ini menyimpulkan bahwa
gagasan Stone merepresentasikan transformasi mendasar dalam filsafat hukum
modern—dari paradigma antropo-sentris menuju paradigma ekosentris—yang
menjadikan hukum sebagai ekspresi cinta terhadap kehidupan. Memberikan hak
kepada alam, sebagaimana ditegaskan Stone, bukanlah memperluas kekuasaan hukum,
melainkan memperluas kemanusiaan itu sendiri.
Kata Kunci: Christopher
D. Stone, hak alam, hukum ekologis, keadilan ekologis, etika lingkungan,
ontologi ekologis, rights of nature, paradigma ekosentris, filsafat hukum
lingkungan.
PEMBAHASAN
Analisis Filosofis dan Yuridis atas Gagasan Christopher
D. Stone dalam Should Trees Have Standing?
1.          
Pendahuluan
Perdebatan mengenai status moral dan hukum dari
alam bukanlah persoalan baru, namun mencapai titik kulminasi konseptualnya pada
awal dekade 1970-an melalui karya monumental Christopher D. Stone berjudul “Should
Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects”. Tulisan
tersebut pertama kali dipublikasikan dalam Southern California Law Review
tahun 1972, dan menjadi salah satu tonggak utama dalam sejarah pemikiran hukum
lingkungan modern. Stone secara radikal mengajukan pertanyaan yang hingga saat
itu dianggap tidak terpikirkan (the unthinkable): apakah pohon,
hutan, sungai, laut, atau gunung dapat menjadi subjek hukum dan memiliki hak
legal sebagaimana manusia atau korporasi? Pertanyaan ini bukan sekadar
provokatif secara retoris, melainkan menggugat fondasi antropo-sentris yang
telah lama mendominasi sistem hukum Barat sejak masa Romawi hingga modernitas
industrial.¹
Gagasan Stone lahir dalam konteks sosial yang
ditandai oleh kesadaran ekologis global yang semakin meningkat. Gerakan
lingkungan hidup pada akhir 1960-an, seperti Earth Day tahun 1970,
mencerminkan perubahan paradigma moral masyarakat terhadap alam—dari sekadar
sumber daya ekonomi menuju entitas yang memiliki nilai intrinsik.² Pada saat
yang sama, lembaga hukum dan politik masih beroperasi dalam kerangka
rasionalitas instrumental, di mana lingkungan hanya diakui sejauh memberi
manfaat bagi manusia. Stone melihat kontradiksi mendasar antara kemajuan etika
ekologis dan stagnasi institusi hukum yang tetap mempertahankan dikotomi
manusia–alam.³ Dalam pandangan Stone, sejarah hukum menunjukkan kecenderungan
progresif dalam memperluas cakupan subjek hukum: dari anak-anak, budak,
perempuan, hingga badan hukum seperti korporasi dan negara. Maka, memperluas
pengakuan hukum terhadap alam hanyalah kelanjutan logis dari evolusi moral
hukum manusia.⁴
Argumentasi utama Stone bertolak dari observasi
historis bahwa setiap ekspansi hak selalu berawal dari yang “tidak
terpikirkan.” Ia mencontohkan bagaimana pada masa lalu perdebatan tentang
hak-hak perempuan, anak-anak, atau bahkan korporasi juga dianggap absurd, namun
lambat laun diterima setelah terjadi perubahan cara pandang moral dan sosial.⁵
Dengan demikian, memberikan “hak hukum” kepada alam bukanlah lompatan
irasional, melainkan konsekuensi dari perkembangan kesadaran moral manusia yang
semakin inklusif. Bagi Stone, keberlanjutan moralitas hukum harus diukur dari
kemampuannya memperluas simpati moral menuju entitas non-manusia. Ia merujuk
pada gagasan Charles Darwin tentang moral development, yaitu proses
historis di mana empati manusia meluas dari lingkaran keluarga dan suku menuju
seluruh umat manusia, bahkan kepada hewan.⁶ Dalam kerangka tersebut, pemberian
hak kepada alam merupakan tahapan lanjut dari evolusi etika manusia—perluasan
lingkaran moral menuju komunitas ekologis yang lebih luas.
Selain dimensi moral, Stone juga menekankan dimensi
yuridis dan operasional dari gagasan ini. Ia menolak pandangan bahwa entitas
alam tidak bisa memiliki hak hanya karena tidak dapat berbicara atau mengajukan
gugatan. Menurutnya, banyak entitas non-manusia yang telah diakui sebagai
subjek hukum, seperti korporasi, lembaga keagamaan, atau bahkan kapal laut,
yang diwakili oleh kuasa hukum.⁷ Dengan analogi tersebut, alam pun dapat
diwakili oleh guardian ad litem atau wali hukum yang ditunjuk untuk
memperjuangkan kepentingannya di pengadilan. Dalam hal ini, Stone mengajukan
konsep legal guardianship bagi entitas alam—suatu mekanisme hukum yang
memungkinkan sungai, hutan, atau gunung memperoleh representasi sah di hadapan
hukum.⁸ Pendekatan ini menggeser titik berat hukum dari kepentingan manusia
menuju pengakuan terhadap hak intrinsik entitas ekologis.
Urgensi konseptual Stone juga berakar pada krisis
ekologis global yang semakin memburuk. Polusi udara dan air, deforestasi, serta
eksploitasi industri telah menimbulkan kerusakan ekologis yang tidak dapat
dipulihkan hanya dengan mekanisme hukum konvensional yang berorientasi pada
kompensasi manusia.⁹ Bagi Stone, hukum yang mengabaikan hak alam hanyalah
memperlakukan lingkungan sebagai objek utilitarian tanpa nilai moral.
Karenanya, sistem hukum perlu mengalami revolution of consciousness—pergeseran
paradigma dari hukum sebagai instrumen pemeliharaan kepentingan manusia menuju
hukum sebagai mekanisme keberlanjutan ekologis.¹⁰
Dengan demikian, Should Trees Have Standing?
bukan sekadar teks hukum, melainkan manifestasi dari gerakan filosofis yang
lebih luas—gerakan menuju eco-centric jurisprudence atau earth
jurisprudence.¹¹ Dalam konteks akademik, artikel ini membuka wacana lintas
disiplin antara hukum, filsafat moral, dan ekologi. Ia menuntut reinterpretasi
atas konsep dasar dalam teori hukum seperti rights, standing, dan
legal personhood.¹² Pertanyaan yang diajukan Stone masih menggema hingga
kini: jika korporasi dapat memiliki hak sebagai “orang hukum”, mengapa
sungai yang menopang kehidupan manusia tidak dapat mengklaim perlindungan hukum
yang sama?¹³
Kajian ini akan berupaya membedah gagasan Stone
secara sistematis melalui perspektif historis, ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Tujuannya adalah untuk memahami bukan hanya argumen yuridisnya,
tetapi juga fondasi filosofis dan etika yang mendasarinya. Dengan menelusuri
sejarah perluasan subjek hukum, mendalami konsep ontologis tentang personhood
alam, serta menilai relevansinya dalam konteks hukum lingkungan kontemporer,
tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa gagasan Stone bukan utopia legal,
melainkan visi normatif yang menuntut reformulasi radikal terhadap hubungan
manusia dan alam dalam sistem hukum modern.
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have
Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law
Review 45 (1972): 450–501.
[2]               
² Roderick Nash, The Rights of Nature: A History
of Environmental Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989),
3–6.
[3]               
³ Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1979), 266–267.
[4]               
⁴ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 453–456.
[5]               
⁵ Ibid., 454–455.
[6]               
⁶ Charles Darwin, The Descent of Man and
Selection in Relation to Sex (London: John Murray, 1871), 119–121.
[7]               
⁷ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 452–453.
[8]               
⁸ Ibid., 464–467.
[9]               
⁹ Rachel Carson, Silent Spring (Boston:
Houghton Mifflin, 1962), 187–189.
[10]            
¹⁰ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into
the Future (New York: Bell Tower, 1999), 105–107.
[11]            
¹¹ Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth
Justice (Totnes: Green Books, 2002), 18–22.
[12]            
¹² Christopher D. Stone, Should Trees Have
Standing? And Other Essays on Law, Morals, and the Environment (New York:
Oxford University Press, 2010), 5–9.
[13]            
¹³ Klaus Bosselmann, The Principle of
Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008),
41–43.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis: Perluasan Subjek Hukum
Perkembangan sejarah
hukum menunjukkan bahwa konsep hak (rights) tidak pernah bersifat
statis, melainkan hasil dari proses historis yang panjang dan dinamis.
Christopher D. Stone memulai argumentasinya dengan refleksi historis tentang
perluasan subjek hukum sebagai analogi bagi gagasannya untuk memberikan legal
standing kepada alam.¹ Melalui telaah genealogis terhadap berbagai
entitas yang sebelumnya dianggap tidak layak memiliki hak—anak-anak, perempuan,
budak, orang dengan gangguan mental, dan bahkan korporasi—Stone menunjukkan
bahwa setiap perluasan hak selalu tampak tidak terpikirkan (the
unthinkable) pada masa awal kemunculannya.² Dengan demikian,
mengakui hak hukum bagi alam bukanlah penyimpangan dari tradisi hukum,
melainkan kelanjutan logis dari evolusi moral dan sosial dalam sistem hukum
manusia.
2.1.      
Evolusi Historis
Hak: Dari Manusia ke Entitas Non-Manusia
Dalam Descent
of Man, Charles Darwin mengemukakan bahwa perkembangan moral
manusia merupakan proses yang terus-menerus memperluas lingkaran empati dari
individu kepada komunitas, ras lain, hingga makhluk non-manusia.³ Stone
mengadopsi pandangan evolusioner ini untuk menggambarkan bagaimana hukum
bergerak mengikuti arah yang sama: dari pengakuan hak atas individu terbatas
menuju perluasan terhadap entitas kolektif dan bahkan non-manusia. Pada masa
Romawi, misalnya, konsep patria potestas memberikan
kekuasaan mutlak kepada kepala keluarga, termasuk hak untuk menjual atau
menghukum mati anaknya sendiri.⁴ Anak tidak memiliki hak otonom, melainkan
dianggap bagian dari properti keluarga. Proses pembebasan anak dari status res
(benda) menuju status persona (subjek hukum) menandai
salah satu tonggak awal perubahan paradigma hukum terhadap entitas yang
sebelumnya tidak diakui secara moral maupun legal.
Perjalanan serupa
terjadi dalam pengakuan hak-hak perempuan. Pengadilan Wisconsin pada abad
ke-19, dalam kasus In re Goodell (1875), menolak
permohonan seorang perempuan untuk berpraktik hukum dengan alasan bahwa
perempuan secara kodrati “tidak diciptakan untuk perdebatan di ruang sidang.”⁵
Hanya setelah perjuangan panjang dan perubahan sosial, perempuan diakui sebagai
warga negara penuh dengan hak politik dan hukum yang sama. Proses historis ini
menunjukkan bahwa pengakuan hak selalu merupakan hasil pergulatan antara norma
sosial, kekuasaan hukum, dan perubahan moralitas publik. Dengan merujuk pada
pola tersebut, Stone menyatakan bahwa memberikan hak kepada alam mungkin tampak
aneh pada awalnya, tetapi sejarah menunjukkan bahwa “setiap ekspansi hak
selalu dimulai sebagai hal yang mustahil secara konseptual.”⁶
2.2.      
Personifikasi
Entitas Kolektif dan Fiktif dalam Sejarah Hukum
Perluasan subjek hukum tidak hanya mencakup manusia secara biologis, tetapi juga entitas
non-manusia yang bersifat fiktif atau kolektif. Sejak Abad Pertengahan, hukum
telah mengakui eksistensi badan-badan kolektif seperti Gereja, Kerajaan, dan
kemudian korporasi sebagai subjek hukum.⁷ Para ahli hukum skolastik seperti
Otto von Gierke mengembangkan konsep persona moralis untuk menjelaskan
eksistensi lembaga sosial yang memiliki identitas hukum terpisah dari individu-individu
anggotanya.⁸ Konsep ini menjadi dasar bagi pengakuan modern terhadap korporasi
sebagai “orang hukum,” sebagaimana ditegaskan dalam putusan Trustees
of Dartmouth College v. Woodward (1819), di mana Chief Justice John
Marshall menyebut korporasi sebagai “makhluk tak kasat mata yang hanya hidup
dalam pandangan hukum.”⁹
Dalam konteks ini,
Stone menunjukkan bahwa jika hukum dapat mengakui hak-hak bagi entitas fiktif
seperti korporasi—yang tidak memiliki tubuh, kesadaran, atau moralitas—maka
tidak ada alasan konseptual untuk menolak pengakuan hak bagi sungai, hutan,
atau ekosistem yang memiliki keberadaan fisik dan fungsi ekologis nyata.¹⁰
Personifikasi hukum terhadap korporasi atau kapal laut, misalnya, telah
berlangsung lama dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Kapal laut bahkan dapat
digugat dan disita secara in rem, seolah-olah ia adalah
pelaku pelanggaran hukum.¹¹ Maka, gagasan untuk memperlakukan sungai atau
gunung sebagai subjek hukum tidak lebih fiktif daripada memperlakukan
perusahaan atau lembaga finansial sebagai “orang hukum.”
2.3.      
Genealogi Perluasan
Hak: Dari Subordinasi Menuju Pengakuan
Genealogi hak
menunjukkan bahwa setiap kelompok atau entitas yang sebelumnya diposisikan
sebagai the
other—yang berbeda, inferior, atau tidak bermoral—pada akhirnya
memperoleh pengakuan hukum ketika masyarakat memperluas batas moralnya. Stone
mengutip berbagai contoh historis tentang rasialisasi dan dehumanisasi dalam
hukum: mulai dari putusan Dred Scott v. Sandford (1856) yang
menolak hak kewarganegaraan bagi orang kulit hitam, hingga larangan kesaksian
orang Tionghoa terhadap orang kulit putih dalam sistem hukum California abad
ke-19.¹² Bagi Stone, penolakan terhadap hak alam beroperasi dalam pola mental
yang sama—yakni ketidakmampuan moral dan kognitif untuk “melihat” nilai
intrinsik entitas di luar manusia.¹³
Hukum selalu
mencerminkan sistem nilai masyarakatnya. Ketika masyarakat menganggap
perempuan, budak, atau anak sebagai “benda,” hukum pun mengukuhkannya.
Namun, ketika kesadaran moral berubah, hukum menyesuaikan diri untuk
mencerminkan nilai baru tersebut. Dengan cara yang sama, gerakan lingkungan
hidup pada abad ke-20 mendorong pergeseran kesadaran hukum menuju ekosentrisme.
Stone menulis bahwa sejarah hukum “adalah catatan panjang tentang
transformasi dari yang tak bernilai menjadi yang memiliki martabat hukum.”¹⁴
Maka, memperjuangkan hak bagi alam bukanlah tindakan melawan hukum, melainkan
kelanjutan alami dari sejarah perluasan hak itu sendiri.
2.4.      
Makna Filosofis dari
Genealogi Hak
Genealogi ini mengandung
implikasi filosofis mendalam. Secara ontologis, ia menantang pandangan
dualistik yang memisahkan manusia dan alam. Secara epistemologis, ia mengajak
kita mempertimbangkan kembali dasar-dasar rasionalitas hukum: apakah
rasionalitas hanya milik makhluk berpikir, atau juga dapat mencakup sistem
kehidupan yang mempertahankan keberlanjutan planet? Secara aksiologis, ia
membuka jalan bagi paradigma keadilan ekologis—keadilan yang tidak hanya
melindungi manusia, tetapi juga memastikan keberlangsungan komunitas kehidupan
secara keseluruhan.¹⁵
Dengan demikian,
bagian historis dan genealogis dari argumen Stone bukan sekadar tinjauan
retrospektif, melainkan fondasi normatif yang mempersiapkan landasan filosofis
bagi konsep legal rights for natural objects. Perluasan
hak tidak berhenti pada manusia; ia terus bergerak mengikuti arah evolusi
moralitas manusia. Maka, ketika Stone bertanya “Apakah pohon berhak memiliki
kedudukan hukum?”, ia sebenarnya mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar:
sampai di mana batas moralitas hukum kita dapat diperluas tanpa kehilangan
kemanusiaannya sendiri?¹⁶
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450–452.
[2]               
² Ibid., 454–456.
[3]               
³ Charles Darwin, The Descent of Man and Selection in Relation to
Sex (London: John Murray, 1871), 119–121.
[4]               
⁴ Henry Maine, Ancient Law: Its Connection with the Early History
of Society and Its Relation to Modern Ideas (London: John Murray, 1861),
153–155.
[5]               
⁵ In re Goodell, 39 Wis. 232 (1875).
[6]               
⁶ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 455.
[7]               
⁷ Harold Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western
Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 235–239.
[8]               
⁸ Otto von Gierke, Political Theories of the Middle Age,
trans. Frederic Maitland (Cambridge: Cambridge University Press, 1900), 22–30.
[9]               
⁹ Trustees of Dartmouth College v. Woodward, 17 U.S. (4
Wheat.) 518 (1819).
[10]            
¹⁰ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 452–453.
[11]            
¹¹ United States v. Cargo of the Brig Malek Adhel, 43 U.S. (2
How.) 210 (1844).
[12]            
¹² Dred Scott v. Sandford, 60 U.S. (19 How.) 393 (1856); People
v. Hall, 4 Cal. 399 (1854).
[13]            
¹³ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 454–456.
[14]            
¹⁴ Ibid., 457.
[15]            
¹⁵ Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 44–46.
[16]            
¹⁶ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 457.
3.          
Ontologi
dan Konsep Subjek Hukum Alam
Pertanyaan mendasar
yang diajukan oleh Christopher D. Stone dalam tulisannya “Should
Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects”
adalah: apakah entitas alam seperti
pohon, sungai, atau gunung dapat dipahami secara ontologis sebagai subjek
hukum?¹ Pertanyaan ini bukan sekadar bersifat yuridis, tetapi
menyentuh lapisan ontologis terdalam dari hukum itu sendiri—yakni mengenai apa
yang dimaksud dengan “subjek” (subjectum) dan bagaimana sesuatu
dapat memiliki keberadaan yang layak untuk diakui dalam sistem hukum. Dalam
konteks pemikiran hukum klasik, subjek hukum adalah entitas yang diakui oleh
hukum sebagai pemegang hak (right-holder) dan kewajiban (duty-bearer).²
Namun, definisi ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Stone, bukanlah kategori
metafisik yang tetap, melainkan hasil konstruksi sosial dan moral yang berubah
seiring dengan perkembangan kesadaran manusia.
3.1.      
Subjek dan Objek
Hukum: Dari Dualisme Klasik ke Ontologi Relasional
Sejak masa hukum
Romawi, sistem hukum Barat mengasumsikan adanya dikotomi ontologis antara persona
(subjek hukum) dan res (objek hukum).³ Manusia
dianggap sebagai satu-satunya entitas yang memiliki kapasitas rasional untuk
memahami norma dan menjalankan kewajiban hukum. Alam, sebaliknya, ditempatkan
dalam ranah res—benda yang dapat dimiliki,
dieksploitasi, atau dikendalikan.⁴ Ontologi hukum klasik ini diperkuat oleh
tradisi Cartesian yang memisahkan res cogitans (substansi berpikir,
manusia) dan res extensa (substansi yang
diperluas, alam).⁵ Dalam pandangan ini, alam adalah entitas pasif yang
keberadaannya hanya bermakna sejauh berguna bagi manusia.
Stone menolak
dualisme ontologis semacam itu. Ia berargumen bahwa pembagian tajam antara
subjek dan objek hukum merupakan produk sejarah yang tidak lagi memadai untuk
menjelaskan kompleksitas relasi manusia dan alam dalam konteks modern.⁶
Sebaliknya, ia menawarkan ontologi relasional, di mana entitas alam memiliki
nilai dan keberadaan yang saling terkait dengan jaringan kehidupan (web of
life). Dalam pandangan ini, hukum tidak seharusnya hanya
mencerminkan relasi kepemilikan, tetapi juga relasi keberlanjutan dan tanggung
jawab ekologis.⁷
Pandangan Stone
sejalan dengan gagasan ekologis Aldo Leopold dalam A Sand County Almanac yang
menekankan bahwa manusia adalah bagian dari “komunitas biotik” (biotic
community) dan memiliki kewajiban moral untuk memperluas etika ke
dalam “tanah, air, tumbuhan, dan hewan.”⁸ Dengan demikian, pengakuan
terhadap hak hukum alam bukan hanya persoalan legal formal, tetapi juga
transformasi ontologis—dari pandangan yang menempatkan alam sebagai objek
menjadi pengakuan atasnya sebagai anggota komunitas moral dan hukum.
3.2.      
Personifikasi Alam:
Fiksi Hukum sebagai Realitas Ontologis
Stone menggunakan
analogi hukum yang kuat untuk menjelaskan bahwa pemberian status subjek hukum
kepada alam bukanlah tindakan metafisis, melainkan konsekuensi dari konstruksi
hukum yang telah lama menggunakan “fiksi legal” untuk menegakkan
keadilan.⁹ Ia mencontohkan bahwa entitas seperti korporasi, universitas,
gereja, bahkan negara, semuanya tidak memiliki eksistensi biologis atau
kesadaran, namun diakui oleh hukum sebagai “orang hukum” (legal
persons) yang dapat memiliki properti, menggugat, atau digugat.¹⁰
Jika entitas fiktif seperti perusahaan dapat diberikan status subjek hukum
karena alasan fungsional, maka tidak ada alasan ontologis untuk menolak
pengakuan hak bagi sungai atau hutan yang keberadaannya nyata dan memiliki
nilai ekologis vital bagi kehidupan.¹¹
Ontologi hukum yang
diusulkan Stone bersifat fungsional dan etis: keberadaan suatu entitas sebagai
subjek hukum ditentukan oleh sejauh mana ia memiliki kepentingan yang layak
dilindungi, bukan oleh kemampuan biologisnya untuk berbicara atau berpikir.¹²
Dalam hal ini, hukum berfungsi sebagai instrumen yang memediasi antara realitas
empiris dan nilai moral, menciptakan “realitas hukum” melalui pengakuan
dan representasi. Dengan mengacu pada teori representasi hukum (representation
theory), Stone menyatakan bahwa sebagaimana anak di bawah umur atau
orang tidak cakap hukum diwakili oleh wali (guardian), demikian pula entitas
alam dapat diwakili oleh lembaga atau individu yang ditunjuk oleh pengadilan.¹³
Personifikasi alam
dalam konteks hukum bukanlah sekadar simbolisme moral, melainkan bentuk konkret
dari ontologi sosial hukum (legal social ontology)—yakni bahwa
sesuatu menjadi nyata dalam tatanan hukum sejauh hukum memutuskan untuk
memperlakukannya demikian.¹⁴ Maka, subjek hukum bukanlah kategori ontologis
yang ditemukan, melainkan yang diciptakan (legal creationism). Dalam kerangka
ini, alam dapat “memiliki hak” bukan karena ia berbicara, melainkan
karena komunitas moral dan hukum memilih untuk memberinya suara melalui
institusi hukum.
3.3.      
Ontologi Ekosentris:
Alam sebagai Entitas Bernilai Intrinsik
Pandangan Stone
selaras dengan perubahan ontologis yang terjadi dalam filsafat lingkungan
kontemporer dari paradigma antropo-sentris menuju ekosentris. Paradigma
antropo-sentris menilai alam berdasarkan nilai instrumentalnya bagi
manusia—sebagai sumber daya, sarana produksi, atau objek rekreasi. Sebaliknya,
paradigma ekosentris menempatkan nilai intrinsik (intrinsic value) pada seluruh
komponen alam, baik biotik maupun abiotik.¹⁵ Dalam kerangka ini, setiap entitas
ekologis memiliki hak untuk eksis, berkembang, dan berkontribusi pada
keseimbangan sistem kehidupan.
Ontologi ekosentris
ini menemukan resonansi dalam pandangan ilmiah dan spiritual. Secara ilmiah,
teori sistem ekologi menunjukkan bahwa setiap organisme dan elemen lingkungan
membentuk jaringan interdependen yang menentukan keberlanjutan planet.¹⁶ Secara
spiritual, berbagai tradisi non-Barat—seperti filsafat Tao, kosmologi Hindu,
dan kearifan lokal Nusantara—telah lama mengajarkan kesatuan antara manusia dan
alam.¹⁷ Stone, meskipun berakar pada tradisi hukum Anglo-Amerika,
mengantisipasi pergeseran kesadaran global ini dengan menegaskan bahwa “hak
hukum bagi alam” tidak hanya bermakna yuridis, tetapi juga metafisis—yakni
pengakuan atas hak keberadaan (right to exist) sebagai dimensi
moral dari keadilan ekologis.¹⁸
3.4.      
Implikasi Ontologis
terhadap Sistem Hukum Modern
Konsepsi ontologis
ini memiliki implikasi mendalam terhadap teori hukum. Pertama, ia menuntut
redefinisi terhadap standing dalam hukum lingkungan:
hak untuk mengajukan gugatan tidak lagi dibatasi pada manusia yang dirugikan
secara langsung, tetapi juga dapat diberikan kepada entitas ekologis melalui
perwakilan sah.¹⁹ Kedua, ia menuntut perubahan paradigma dalam filsafat hukum
dari positivisme legal menuju naturalisme ekologis—yakni pandangan bahwa hukum
harus sejalan dengan keteraturan dan keseimbangan ekologis yang menjadi dasar
eksistensi dunia.²⁰ Ketiga, ia memperluas cakupan justice menjadi ecological
justice, di mana keseimbangan ekosistem dipandang sebagai dimensi
integral dari keadilan sosial.²¹
Dengan demikian,
ontologi subjek hukum alam yang dirumuskan oleh Stone bukan hanya upaya
memperluas wilayah hukum, melainkan usaha untuk merombak fondasi metafisiknya.
Hukum, dalam pandangan ini, bukan sekadar sistem norma yang mengatur manusia,
tetapi bagian dari tatanan moral yang lebih luas: the community of life.²² Stone
menegaskan bahwa selama hukum tetap terkungkung dalam paradigma
antropo-sentris, ia akan gagal melindungi sistem kehidupan yang menopang eksistensi
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pengakuan terhadap hak alam merupakan
langkah pertama menuju hukum yang benar-benar ekologis—hukum yang tidak hanya
berbicara atas nama manusia, tetapi juga atas nama bumi.
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450.
[2]               
² H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press,
1961), 178–180.
[3]               
³ W.W. Buckland, A Textbook of Roman Law (Cambridge: Cambridge
University Press, 1921), 53–55.
[4]               
⁴ Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens: University of
Georgia Press, 1995), 41–43.
[5]               
⁵ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans.
Donald Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 23–25.
[6]               
⁶ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 452–454.
[7]               
⁷ Ibid., 455.
[8]               
⁸ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224–225.
[9]               
⁹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 464–467.
[10]            
¹⁰ Trustees of Dartmouth College v. Woodward, 17 U.S. (4
Wheat.) 518 (1819).
[11]            
¹¹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 452–453.
[12]            
¹² Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale
University Press, 1964), 47–48.
[13]            
¹³ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 465–466.
[14]            
¹⁴ John R. Searle, The Construction of Social Reality (New
York: Free Press, 1995), 27–29.
[15]            
¹⁵ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values
in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
125–130.
[16]            
¹⁶ Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding
of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.
[17]            
¹⁷ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 87–90.
[18]            
¹⁸ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 468.
[19]            
¹⁹ Ibid., 469–470.
[20]            
²⁰ Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice (London: Routledge,
2005), 32–34.
[21]            
²¹ Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 50–52.
[22]            
²² Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 106–108.
4.          
Epistemologi
Hak Alam: Rasionalitas dan Instrumen Hukum
Epistemologi hak
alam sebagaimana dirumuskan oleh Christopher D. Stone dalam “Should
Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects”
berangkat dari pertanyaan mendasar: bagaimana kita mengetahui dan
membenarkan bahwa alam dapat menjadi subjek hukum?¹ Pertanyaan ini bukan
sekadar soal metafisika atau etika, melainkan soal epistemologi hukum—bagaimana
struktur rasionalitas hukum dapat mengenali, melegitimasi, dan
merepresentasikan entitas yang tidak memiliki suara (voiceless
entities). Dalam konteks ini, Stone mengajak kita untuk melampaui
rasionalitas hukum positivistik yang sempit dan mengadopsi bentuk rasionalitas
ekologis yang inklusif terhadap kepentingan non-manusia.²
Epistemologi hak
alam menuntut rekonseptualisasi terhadap apa yang disebut “pengetahuan hukum”
(legal
knowledge). Dalam paradigma tradisional, hukum hanya mengakui
pengetahuan yang bersumber dari klaim manusia—baik individu maupun institusi.
Namun, bagi Stone, hal ini menciptakan “epistemic blindness”:
ketidakmampuan hukum untuk mengenali bentuk-bentuk penderitaan atau kerusakan
ekologis yang tidak dirasakan langsung oleh manusia.³ Maka, memperjuangkan hak
alam bukan hanya persoalan normatif, tetapi juga epistemologis: bagaimana
memperluas kapasitas hukum untuk mengetahui dan mengakui
eksistensi serta kepentingan ekologis.
4.1.      
Rasionalitas Hukum
dan Krisis Antropo-Sentrisme
Stone menyoroti
bahwa sistem hukum modern beroperasi dalam kerangka rasionalitas instrumental,
yaitu logika yang menilai sesuatu berdasarkan kegunaannya bagi manusia.⁴ Dalam
rasionalitas ini, lingkungan hidup dianggap bernilai sejauh ia mendukung
kepentingan ekonomi atau kesejahteraan manusia. Hal tersebut tampak, misalnya,
dalam putusan hukum yang menghitung “kerugian lingkungan” hanya
berdasarkan nilai ekonomi, seperti potensi kehilangan keuntungan dari perikanan
atau pariwisata, bukan berdasarkan nilai ekologis dari sungai, hutan, atau tanah
itu sendiri.⁵
Rasionalitas semacam
ini mencerminkan warisan filsafat utilitarianisme Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill yang mendominasi kebijakan publik dan hukum lingkungan awal abad
ke-20.⁶ Bagi Stone, pendekatan utilitarian ini tidak mampu memberikan
justifikasi moral yang memadai bagi perlindungan lingkungan karena ia selalu
menempatkan alam sebagai alat bagi kepentingan manusia (instrumental
good), bukan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik (intrinsic
good).⁷ Oleh karena itu, epistemologi hak alam harus dibangun di
atas bentuk rasionalitas yang lebih luas—yakni rasionalitas ekologis yang
mengakui bahwa pengetahuan dan keadilan hukum tidak dapat dipisahkan dari
kesalingterhubungan sistem kehidupan.⁸
Dalam kerangka ini,
rasionalitas hukum tidak lagi dipahami sebagai kalkulasi utilitarian, melainkan
sebagai ekspresi moral dari co-existence antara manusia dan
alam. Dengan kata lain, hukum tidak hanya mencerminkan akal manusia (ratio
humana), tetapi juga rasionalitas ekologis (ratio
mundi) yang mengandaikan keteraturan dan keseimbangan sistem alam
sebagai bentuk rasionalitas itu sendiri.⁹
4.2.      
Representasi dan
Pengetahuan Hukum tentang Alam
Masalah
epistemologis utama yang dihadapi konsep hak alam adalah persoalan
representasi: jika alam tidak dapat berbicara, bagaimana ia dapat
mengartikulasikan haknya dalam sistem hukum yang didasarkan pada klaim verbal
dan logika argumentatif manusia?¹⁰ Stone menjawab dilema ini dengan menarik
analogi dari praktik hukum yang sudah mapan, yaitu mekanisme perwakilan (legal
guardianship). Sebagaimana anak di bawah umur, orang dengan
gangguan mental, atau bahkan korporasi diwakili oleh pihak ketiga yang
bertindak atas nama mereka, demikian pula entitas alam dapat diwakili oleh wali
hukum (guardians)
yang diakui secara sah oleh pengadilan.¹¹
Stone menulis bahwa
hukum “tidak menolak memberikan hak hanya karena entitas itu tidak dapat
berbicara.”¹² Ia mencontohkan bahwa “korporasi, negara, atau universitas
juga tidak dapat berbicara, namun tetap diakui sebagai subjek hukum.”¹³
Oleh karena itu, argumentasi yang menolak hak alam atas dasar ketidakmampuan
berbicara bersifat inkonsisten dan tidak epistemis. Dalam perspektif Stone,
hukum telah lama bekerja melalui mekanisme epistemologis representasi, di mana
perantara hukum (pengacara, lembaga, atau guardian) menjadi “agen epistemik”
bagi subjek hukum yang tak bersuara.¹⁴
Dengan cara ini,
pengetahuan hukum tentang alam tidak lagi terbatas pada pengalaman manusia,
melainkan dihasilkan melalui sistem representasi yang memungkinkan alam
diwakili secara sah di forum hukum.¹⁵ Stone bahkan mengusulkan agar lembaga
lingkungan seperti Environmental Defense Fund atau Sierra
Club dapat ditunjuk sebagai “guardian” bagi sungai, hutan,
atau ekosistem tertentu untuk memastikan bahwa kepentingan ekologis mendapatkan
perlindungan hukum yang efektif.¹⁶ Konsep ini mencerminkan pergeseran
epistemologis dari subject-centered knowledge menuju systemic
knowledge, di mana hukum berperan sebagai sarana pengenalan
kolektif terhadap realitas ekologis yang kompleks.
4.3.      
Hukum sebagai
Instrumen Pengetahuan Ekologis
Dalam epistemologi
Stone, hukum tidak hanya berfungsi untuk mengatur perilaku sosial, tetapi juga
sebagai instrumen kognitif untuk memahami dan menginternalisasi nilai-nilai
ekologis ke dalam kesadaran sosial.¹⁷ Ia berargumen bahwa sistem hukum yang
ideal seharusnya “memaksa setiap individu untuk menanggung seluruh biaya
sosial dari tindakannya terhadap lingkungan.”¹⁸ Pandangan ini berakar pada
teori welfare
economics yang dikembangkan oleh A.C. Pigou dan diterapkan dalam
konteks hukum lingkungan oleh Stone.¹⁹
Hukum, dalam
pengertian ini, bukan sekadar struktur normatif, melainkan mekanisme epistemik
yang mempertemukan tindakan dengan konsekuensinya. Dengan mempersonifikasikan
alam sebagai subjek hukum, sistem hukum dipaksa untuk memperhitungkan secara
penuh “biaya ekologis” dari setiap tindakan ekonomi atau industri.²⁰
Dengan kata lain, hukum menjadi alat untuk menginternalisasi pengetahuan
ekologis dalam setiap pengambilan keputusan publik.
Epistemologi hukum
semacam ini menolak pandangan positivistik yang memisahkan fakta dan nilai.
Sebaliknya, ia mengikuti jejak para pemikir hukum alam (natural
law theorists) seperti Lon Fuller dan Gustav Radbruch yang melihat
hukum sebagai perwujudan moralitas sosial.²¹ Dalam paradigma Stone, moralitas
ekologis menjadi bagian dari rationality of law itu sendiri.
Maka, pengetahuan hukum bukanlah pengetahuan yang netral, melainkan pengetahuan
yang normatif—pengetahuan yang bertanggung jawab terhadap kehidupan.
4.4.      
Transformasi
Epistemik Menuju Paradigma Ekologis
Epistemologi hak
alam mengandung transformasi mendasar dalam cara hukum memandang dunia.
Pertama, ia menolak klaim epistemologis bahwa hanya manusia yang dapat menjadi
sumber klaim hukum.²² Kedua, ia menegaskan bahwa pengetahuan hukum bersifat
intersubjektif dan sistemik—hukum belajar dari sains, etika, dan ekologi.
Ketiga, ia menggeser dasar legitimasi hukum dari kepentingan manusia menuju
keberlanjutan ekologis (ecological sustainability).²³
Dalam konteks ini,
hukum menjadi bagian dari sistem adaptif yang berfungsi menjaga keseimbangan
antara manusia dan alam.²⁴ Konsep standing yang diperluas menjadi
refleksi epistemologis bahwa hukum bukan hanya berbicara tentang
manusia, tetapi juga atas nama ekosistem kehidupan.²⁵
Dengan demikian, epistemologi hak alam tidak hanya mendefinisikan cara hukum mengetahui
alam, tetapi juga bagaimana manusia mengetahui dirinya sebagai bagian
dari komunitas ekologis yang lebih luas.
Epistemologi yang
ditawarkan Stone membuka horizon baru bagi hukum sebagai disiplin pengetahuan
yang dinamis, reflektif, dan interkonektif. Dalam kerangka ini, hukum bukan
hanya sistem normatif, melainkan sistem pengetahuan ekologis yang bertujuan
melindungi keberlanjutan kehidupan. Dengan memperluas epistemologi hukum agar
mencakup alam sebagai subjek yang sah, Stone menghadirkan visi hukum yang lebih
rasional, karena ia mengakui keberadaan realitas ekologis yang menjadi dasar
kehidupan manusia itu sendiri.²⁶
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450.
[2]               
² Ibid., 452–453.
[3]               
³ Ibid., 454–455.
[4]               
⁴ Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford
University Press, 1947), 4–7.
[5]               
⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 474–476.
[6]               
⁶ Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne, 1789), 14–16; John Stuart Mill, Utilitarianism
(London: Parker, 1863), 24–26.
[7]               
⁷ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 455.
[8]               
⁸ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 119–120.
[9]               
⁹ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 107.
[10]            
¹⁰ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 463.
[11]            
¹¹ Ibid., 465–466.
[12]            
¹² Ibid., 464.
[13]            
¹³ Ibid.
[14]            
¹⁴ John R. Searle, The Construction of Social Reality (New
York: Free Press, 1995), 27–29.
[15]            
¹⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 466–467.
[16]            
¹⁶ Ibid., 468.
[17]            
¹⁷ Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2002), 83–85.
[18]            
¹⁸ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 474–475.
[19]            
¹⁹ A.C. Pigou, The Economics of Welfare (London: Macmillan,
1920), 134–135.
[20]            
²⁰ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 476–478.
[21]            
²¹ Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale
University Press, 1964), 33–34; Gustav Radbruch, Einführung in die
Rechtswissenschaft (Leipzig: Quelle & Meyer, 1932), 52.
[22]            
²² Stone, “Should Trees Have Standing?,” 472.
[23]            
²³ Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 51–54.
[24]            
²⁴ Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding
of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28–30.
[25]            
²⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 469–470.
[26]            
²⁶ Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice
(Totnes: Green Books, 2002), 22–24.
5.          
Aksiologi
dan Etika Lingkungan
Gagasan Christopher
D. Stone dalam “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects” tidak hanya berdimensi yuridis dan
epistemologis, tetapi juga berakar pada fondasi aksiologis—yakni pada sistem
nilai yang menegaskan bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang layak
dihormati dan dilindungi terlepas dari manfaatnya bagi manusia.¹ Bagi Stone,
persoalan tentang pemberian hak kepada alam tidak dapat dipisahkan dari
persoalan moralitas dan etika. Di balik argumen hukumnya tersimpan seruan
filosofis untuk mengubah paradigma etika manusia terhadap dunia non-manusia.
Dengan demikian, pembahasan aksiologi hak alam harus dimulai dari pemahaman
bahwa hukum tidak hanya instrumen rasional, tetapi juga cermin nilai moral
masyarakat.²
5.1.      
Nilai Intrinsik Alam
dan Kritik terhadap Antropo-Sentrisme
Sistem nilai hukum
modern selama berabad-abad telah dibangun di atas paradigma antropo-sentrisme,
yakni pandangan bahwa nilai moral hanya melekat pada manusia.³ Alam dipandang
sebagai sumber daya yang memiliki nilai instrumental (instrumental
value), artinya bernilai hanya sejauh ia bermanfaat bagi
manusia—baik secara ekonomi, rekreasi, maupun estetika.⁴ Stone mengkritik
pandangan ini dengan tegas. Ia menilai bahwa hukum yang hanya melindungi
lingkungan demi kepentingan manusia telah gagal memahami hakikat nilai ekologis
yang sesungguhnya.⁵
Sebagai alternatif,
Stone menegaskan pentingnya mengakui nilai intrinsik alam (intrinsic
value of nature), yaitu nilai yang dimiliki oleh setiap entitas
alam karena keberadaannya sendiri, bukan karena kegunaannya.⁶ Dalam hal ini, ia
sejalan dengan pandangan Aldo Leopold yang menulis bahwa etika lingkungan harus
memperluas komunitas moral dari sekadar hubungan antar-manusia menjadi hubungan
antara manusia dan seluruh komunitas biotik (biotic community).⁷ Leopold
menyatakan, “Sesuatu adalah benar jika ia cenderung mempertahankan integritas,
stabilitas, dan keindahan komunitas biotik; sesuatu adalah salah jika
sebaliknya.”⁸ Stone mengambil semangat etika ini dan menerapkannya dalam
konteks hukum: memperluas komunitas moral berarti memperluas komunitas hukum.
Dengan kata lain, pengakuan atas nilai intrinsik alam menuntut transformasi
hukum dari human
law menjadi earth law.
5.2.      
Etika Tanggung Jawab
Ekologis
Aksiologi Stone
berakar dalam etika tanggung jawab (ethics of responsibility) yang
menekankan kewajiban moral manusia untuk menjaga kelangsungan sistem ekologis.⁹
Ia melihat bahwa kerusakan alam bukan hanya akibat kesalahan teknis atau
ekonomi, tetapi akibat dari kegagalan moral manusia untuk bertanggung jawab
atas akibat tindakannya. Gagasan ini sejalan dengan pandangan Hans Jonas dalam The
Imperative of Responsibility, yang menegaskan bahwa teknologi
modern telah memberi manusia kekuasaan yang begitu besar sehingga muncul
kewajiban etis baru untuk melindungi masa depan kehidupan di bumi.¹⁰ Jonas
menulis bahwa tindakan etis pada era modern harus memperhitungkan dampak jangka
panjang terhadap eksistensi makhluk hidup yang lain—sebuah prinsip yang secara
langsung beresonansi dengan konsep hak hukum bagi alam.¹¹
Dalam kerangka ini,
etika lingkungan bukan lagi sekadar kewajiban untuk “tidak merusak”
alam, tetapi kewajiban untuk menjaga dan melestarikan sistem
kehidupan yang menjadi dasar eksistensi manusia.¹² Tanggung jawab ekologis
menjadi bentuk tertinggi dari kebajikan moral karena menyangkut kelangsungan
semua bentuk kehidupan. Stone menyatakan bahwa memberikan hak kepada alam
berarti mengakui bahwa manusia bukan penguasa alam, melainkan penjaga (steward)
yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan ekologis.¹³ Dengan demikian, responsibility
menjadi nilai kunci dalam aksiologi hukum ekologis—nilai yang mengubah
orientasi hukum dari penghukuman terhadap pelanggaran menjadi perlindungan
terhadap kehidupan.
5.3.      
Keadilan Ekologis
dan Dimensi Moral Hukum
Aksiologi hak alam
juga berkaitan erat dengan konsep keadilan ekologis (ecological
justice), yaitu gagasan bahwa keadilan tidak boleh dibatasi pada
hubungan antar-manusia, tetapi harus mencakup hubungan antara manusia dan
entitas non-manusia.¹⁴ Dalam paradigma ini, keadilan dipahami sebagai
keseimbangan antara hak dan kewajiban ekologis. Manusia memiliki hak untuk
memanfaatkan alam, tetapi juga memiliki kewajiban moral untuk menjaga
keberlanjutannya.¹⁵ Stone menilai bahwa hukum yang adil harus mencerminkan
keseimbangan tersebut—bukan hanya dengan memberikan sanksi terhadap perusak
lingkungan, tetapi juga dengan menciptakan struktur hukum yang melindungi
keberadaan ekosistem sebagai subjek moral.¹⁶
Konsep ini
berseberangan dengan pandangan keadilan tradisional yang bersifat
antroposentris dan utilitarian. Jika keadilan Aristotelian menitikberatkan pada
distribusi manfaat dalam komunitas manusia, maka keadilan ekologis menuntut
distribusi tanggung jawab terhadap semua makhluk hidup.¹⁷ Dalam filsafat
keadilan kontemporer, gagasan ini mendapat penguatan dari pemikir seperti
Andrew Dobson dan Klaus Bosselmann, yang menekankan bahwa keadilan lingkungan
harus melampaui batas spesies (inter-species justice).¹⁸
Secara aksiologis,
keadilan ekologis yang dimaksud Stone adalah bentuk solidaritas hukum antara
manusia dan alam. Memberi hak kepada sungai atau hutan bukanlah tindakan
simbolik, tetapi pengakuan atas moralitas yang bersifat relasional—bahwa
eksistensi manusia dan alam saling tergantung dan tidak dapat dipisahkan.¹⁹
5.4.      
Hukum sebagai
Manifestasi Nilai Moral Ekologis
Dalam pandangan
Stone, hukum berfungsi sebagai wadah konkret bagi nilai moral masyarakat. Ia
menulis bahwa “setiap perubahan hukum yang besar didahului oleh perubahan
dalam persepsi moral.”²⁰ Dengan demikian, transformasi hukum menuju
pengakuan hak bagi alam harus dimulai dengan perubahan nilai dan kesadaran
etis. Hukum tidak dapat berfungsi efektif tanpa fondasi moral yang
mendukungnya.²¹
Hukum lingkungan
selama ini, meski tampak protektif, sebenarnya masih beroperasi dalam kerangka
moral yang antroposentris. Kebijakan konservasi dan pelestarian biasanya
dimaksudkan untuk menjamin “kelangsungan sumber daya manusia,” bukan
untuk menghormati hak eksistensial alam itu sendiri.²² Stone menilai bahwa
etika semacam ini bersifat utilitarian sempit dan hanya menunda krisis ekologis
tanpa mengubah akar nilainya. Ia menyerukan pergeseran dari conservation
ethics menuju ecological ethics—yakni etika yang
mengakui keberadaan moral alam sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya
sendiri.²³
Dalam tataran
aksiologis, hukum harus menjadi instrumen moral yang menegakkan nilai
keberlanjutan (sustainability), kesetaraan
ekologis (ecological
equality), dan penghormatan terhadap kehidupan (reverence
for life).²⁴ Aksiologi hukum ekologis yang demikian mengandaikan
bahwa nilai tertinggi bukanlah kemakmuran manusia semata, melainkan
kelangsungan komunitas kehidupan secara keseluruhan.²⁵
5.5.      
Etika Global dan
Kesadaran Planetaris
Gagasan Stone juga
memiliki relevansi kosmologis dan etika global. Dalam konteks krisis iklim,
polusi global, dan kepunahan spesies, kesadaran moral manusia harus melampaui
batas nasional dan spesies.²⁶ Etika lingkungan yang dikembangkan dari pemikiran
Stone menuntut solidaritas global—a planetary ethics—di mana setiap
keputusan politik, ekonomi, dan hukum mempertimbangkan dampaknya terhadap
sistem ekologis bumi.²⁷
Prinsip ini kemudian
diadopsi dalam berbagai dokumen hukum internasional, seperti World
Charter for Nature (1982), Earth Charter (2000), dan
konstitusi Ekuador (2008) yang secara eksplisit memberikan hak hukum kepada
alam.²⁸ Semua inisiatif ini mencerminkan perkembangan aksiologis yang telah
dimulai oleh Stone: bahwa hukum harus dibangun di atas nilai moral baru—nilai
yang mengakui keterpaduan manusia dan alam dalam satu komunitas kehidupan
planetar.²⁹
Dengan demikian,
etika lingkungan yang lahir dari gagasan Stone bukan sekadar cabang baru dari
etika terapan, melainkan paradigma aksiologis yang mengubah cara manusia
memahami dirinya sendiri dalam tatanan kosmik. Hukum yang berlandaskan etika
ekologis bukan hanya melindungi lingkungan, tetapi juga menegakkan martabat
moral bumi sebagai a living community of subjects,
bukan sekadar kumpulan objek.³⁰
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450–451.
[2]               
² Ibid., 453.
[3]               
³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 13–16.
[4]               
⁴ Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (New
York: Oxford University Press, 1991), 31–33.
[5]               
⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 456–457.
[6]               
⁶ Ibid., 458.
[7]               
⁷ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224–225.
[8]               
⁸ Ibid., 240.
[9]               
⁹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 463–464.
[10]            
¹⁰ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 5–8.
[11]            
¹¹ Ibid., 128–130.
[12]            
¹² Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 52–55.
[13]            
¹³ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 465.
[14]            
¹⁴ Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 53–54.
[15]            
¹⁵ Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of
Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 45–47.
[16]            
¹⁶ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 470–472.
[17]            
¹⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1985), 110–112.
[18]            
¹⁸ Bosselmann, The Principle of Sustainability, 56–58.
[19]            
¹⁹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 468.
[20]            
²⁰ Ibid., 454.
[21]            
²¹ H.L.A. Hart, Law, Liberty and Morality (Stanford: Stanford
University Press, 1963), 29–31.
[22]            
²² Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of Environmental
Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 144–146.
[23]            
²³ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 473.
[24]            
²⁴ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 108–110.
[25]            
²⁵ Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in
Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 178–180.
[26]            
²⁶ Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding
of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 31–33.
[27]            
²⁷ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 83–85.
[28]            
²⁸ Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice
(Totnes: Green Books, 2002), 64–66.
[29]            
²⁹ United Nations, World Charter for Nature (1982); Earth
Charter Initiative, “The Earth Charter” (2000).
[30]            
³⁰ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 476.
6.          
Kritik
terhadap Gagasan Stone
Sejak diterbitkannya
“Should
Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects” pada
tahun 1972, gagasan Christopher D. Stone telah menimbulkan perdebatan luas di
kalangan filsuf hukum, ahli etika lingkungan, dan praktisi hukum.¹ Sebagian
kalangan memuji tulisan tersebut sebagai terobosan revolusioner yang menggeser
batas tradisional hukum, sementara yang lain menilainya sebagai bentuk “romantisisme
ekologis” yang utopis dan tidak realistis dalam penerapannya.² Perdebatan
ini memperlihatkan bahwa gagasan hak bagi alam bukan hanya persoalan hukum
positif, tetapi juga pertarungan konseptual antara paradigma antropo-sentris
dan ekosentris.
6.1.      
Kritik Konseptual:
Masalah Status Ontologis dan Definisi Hak
Kritik pertama
terhadap Stone berfokus pada persoalan konseptual mengenai makna hak
itu sendiri. Para kritikus, seperti Richard A. Posner dan Joel Feinberg,
mempertanyakan apakah entitas non-manusia seperti sungai, pohon, atau gunung
dapat memenuhi syarat konseptual sebagai right-holder.³ Bagi mereka, hak
secara inheren mengandaikan kemampuan untuk memiliki kepentingan yang dapat
diidentifikasi secara moral (interests that matter morally)
serta kapasitas untuk menuntut atau melaksanakan hak tersebut.⁴
Posner berargumen
bahwa karena entitas alam tidak memiliki kesadaran, kehendak, atau
intensionalitas, mereka tidak dapat menjadi subjek hukum yang sejati.⁵ Dengan
demikian, pemberian hak kepada alam dianggap sebagai bentuk category
mistake—kesalahan logis yang mencampuradukkan entitas fisik dengan
entitas normatif.⁶ Feinberg, dalam esainya “The Rights of Animals and Unborn Generations,”
mengakui bahwa makhluk non-manusia dapat memiliki interests, tetapi tetap menolak
bahwa benda mati seperti batu atau sungai dapat memiliki hak dalam pengertian
moral atau hukum.⁷
Stone menanggapi
kritik ini dengan menegaskan bahwa hukum telah lama mengakui “subjek hukum
fiktif” seperti korporasi atau lembaga keagamaan.⁸ Maka, jika fiksi hukum
dapat digunakan untuk mewakili kepentingan entitas non-manusia, tidak ada
alasan konseptual untuk menolak pemberian hak kepada entitas ekologis.⁹ Meski
demikian, kritik terhadap “inflasi hak” (rights inflation) tetap relevan:
jika segala sesuatu dianggap memiliki hak, maka konsep hak itu sendiri
kehilangan maknanya.¹⁰
6.2.      
Kritik Praktis:
Masalah Representasi dan Penegakan Hukum
Kritik kedua
berkaitan dengan aspek praktis penerapan gagasan Stone, khususnya mengenai
siapa yang berhak mewakili alam di pengadilan dan bagaimana penegakan hak
tersebut dilakukan.¹¹ Dalam sistem hukum yang sudah kompleks, penunjukan guardian
atau trustee
bagi entitas alam menimbulkan berbagai pertanyaan yuridis: siapa yang akan
menentukan kepentingan alam? Bagaimana menghindari konflik kepentingan antara
manusia yang menjadi wali dan entitas yang diwakilinya?¹²
Misalnya, jika
sebuah lembaga lingkungan ditunjuk untuk menjadi guardian bagi sungai, bagaimana
memastikan bahwa lembaga tersebut tidak terpengaruh oleh tekanan politik atau
ekonomi?¹³ Tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas, gagasan legal
guardianship berisiko menjadi simbolis tanpa efek substantif.
Bahkan dalam konteks hukum modern, perwakilan bagi kelompok manusia yang
termarjinalkan pun seringkali mengalami distorsi kepentingan—apalagi bagi
entitas yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi.¹⁴
Selain itu, ada pula
persoalan pembuktian (evidentiary challenge). Bagaimana
hukum dapat menentukan secara objektif bahwa “hak” sungai telah
dilanggar? Apakah kerusakan ekosistem otomatis berarti pelanggaran hak?¹⁵ Tanpa
kriteria epistemologis yang kuat, penegakan hak alam dapat terjebak dalam
ambiguitas moral dan teknis. Karenanya, banyak ahli hukum seperti Christopher
D. Stone sendiri kemudian mengakui bahwa mekanisme standing untuk alam memerlukan
reformasi institusional yang mendalam, bukan sekadar penambahan klausul
hukum.¹⁶
6.3.      
Kritik Ideologis:
Antara Romantisisme Ekologis dan Bahaya Nihilisme Hukum
Kritik lain datang
dari kalangan realis hukum (legal realists) dan ekonom
lingkungan yang menilai gagasan Stone terlalu “romantis” dan berpotensi
menimbulkan nihilisme hukum.¹⁷ Mereka
berpendapat bahwa hukum harus berorientasi pada efisiensi sosial dan kestabilan
sistem, bukan pada simbolisme moral. Posner, misalnya, menganggap pendekatan
Stone sebagai bentuk moral sentimentalism yang tidak
produktif bagi kebijakan publik.¹⁸
Selain itu, beberapa
filsuf seperti Luc Ferry dan Pascal Bruckner menuduh gerakan ekologis semacam
ini membawa potensi eco-totalitarianism—yakni
subordinasi kebebasan manusia di bawah ideologi alam yang “suci.”¹⁹
Dalam pandangan mereka, memperlakukan alam sebagai subjek moral yang setara
dengan manusia dapat berujung pada pembalikan hierarki etis di mana manusia
kehilangan otonomi moralnya.²⁰
Sebaliknya, para
pendukung Stone menilai bahwa tuduhan semacam itu salah arah. Hukum ekologis
tidak menghapus hak manusia, melainkan menyeimbangkan relasi etis antara
manusia dan alam.²¹ Stone sendiri menolak tuduhan romantisisme dengan
menyatakan bahwa gagasannya bukanlah metafisika “pemujaan alam,”
melainkan rekonstruksi hukum yang realistis terhadap krisis lingkungan yang
nyata.²²
6.4.      
Kritik terhadap
Universalisme dan Konteks Sosial
Kritik lain muncul
dari perspektif pascakolonial dan ekofeminisme, yang menilai bahwa gagasan
Stone terlalu berakar pada tradisi hukum Barat dan kurang sensitif terhadap
keragaman epistemologi lokal.²³ Gagasan tentang “hak bagi alam” yang
diformulasikan dalam kerangka hukum positivistik Amerika dianggap tidak
sepenuhnya kompatibel dengan tradisi hukum adat atau kosmologi masyarakat
pribumi yang telah lama mengakui kesakralan alam tanpa memformalkannya dalam
hukum tertulis.²⁴
Ekofeminis seperti
Val Plumwood menekankan bahwa gagasan Stone, meskipun progresif, masih
beroperasi dalam logika paternalistik: manusia tetap menjadi perantara tunggal
yang menentukan siapa yang pantas “mendapat hak.”²⁵ Dengan demikian,
paradigma Stone tetap bersifat hierarkis dan belum sepenuhnya mendekonstruksi
relasi dominasi manusia terhadap alam.²⁶
Kritik ini membuka
ruang refleksi baru bahwa aksi ekologis tidak bisa hanya diukur melalui
reformasi hukum formal, tetapi harus disertai perubahan budaya, epistemik, dan
spiritual yang lebih mendasar.²⁷ Dalam hal ini, karya Stone tetap penting
sebagai trigger
discourse, tetapi tidak cukup untuk menggantikan sistem nilai
ekologis yang hidup dalam masyarakat tradisional.
6.5.      
Tanggapan dan
Signifikansi Filsafati
Meskipun kritik
terhadap Stone beragam, sebagian besar sepakat bahwa kontribusinya terletak
pada upayanya menantang cara berpikir hukum modern.²⁸ Stone tidak bermaksud
menghapus sistem hukum yang ada, tetapi mendorongnya agar berkembang lebih
reflektif dan moral. Dalam tanggapannya terhadap kritik, ia menyatakan bahwa
keberatan terhadap hak alam sering kali “berakar bukan pada logika hukum,
tetapi pada imajinasi moral yang belum siap menerima perluasan komunitas etis.”²⁹
Dengan demikian,
meskipun gagasan Stone dianggap sulit diterapkan secara praktis, nilai
filosofisnya terletak pada keberaniannya menembus batas epistemologis dan
aksiologis hukum. Kritik terhadapnya justru memperkaya wacana tentang bagaimana
hukum dapat berfungsi tidak hanya sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga
sebagai wahana moral untuk mengafirmasi martabat seluruh makhluk hidup.³⁰
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450–451.
[2]               
² Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of Environmental
Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 142–144.
[3]               
³ Richard A. Posner, The Economics of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1981), 189–190.
[4]               
⁴ Joel Feinberg, “The Rights of Animals and Unborn Generations,” in Philosophy
& Environmental Crisis, ed. William T. Blackstone (Athens: University
of Georgia Press, 1974), 48–49.
[5]               
⁵ Posner, The Economics of Justice, 192.
[6]               
⁶ Michael Bayles, Morality and Rights: An Introduction to Ethics
(Belmont, CA: Wadsworth, 1978), 87.
[7]               
⁷ Feinberg, “The Rights of Animals and Unborn Generations,” 52.
[8]               
⁸ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 464–466.
[9]               
⁹ Ibid., 468.
[10]            
¹⁰ Mary Midgley, Animals and Why They Matter (Athens:
University of Georgia Press, 1983), 65–67.
[11]            
¹¹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 465.
[12]            
¹² Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 55.
[13]            
¹³ Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice
(Totnes: Green Books, 2002), 71–73.
[14]            
¹⁴ David Schlosberg, Defining Environmental Justice (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 118–120.
[15]            
¹⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 474–476.
[16]            
¹⁶ Ibid., 478.
[17]            
¹⁷ Richard A. Posner, “The Ethical and Political Basis of the
Efficiency Norm in Common Law Adjudication,” Hofstra Law Review 8, no.
3 (1980): 487–489.
[18]            
¹⁸ Ibid., 492.
[19]            
¹⁹ Luc Ferry, The New Ecological Order (Chicago: University of
Chicago Press, 1995), 87–89.
[20]            
²⁰ Pascal Bruckner, The Fanaticism of the Apocalypse: Save the
Earth, Punish Human Beings (Cambridge: Polity Press, 2013), 54–56.
[21]            
²¹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values
in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
120–123.
[22]            
²² Stone, Should Trees Have Standing?, 477.
[23]            
²³ Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and
Unmaking of the Third World (Princeton: Princeton University Press, 1995),
202–204.
[24]            
²⁴ Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 98–101.
[25]            
²⁵ Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 65–68.
[26]            
²⁶ Ibid., 70.
[27]            
²⁷ Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development
(London: Zed Books, 1988), 118–120.
[28]            
²⁸ Nash, The Rights of Nature, 145–146.
[29]            
²⁹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 479.
[30]            
³⁰ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 110–112.
7.          
Relevansi
Kontemporer
Lebih dari lima
dekade setelah publikasi “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects”, gagasan Christopher D. Stone tetap
menjadi salah satu referensi utama dalam perdebatan mengenai etika lingkungan,
hukum ekologis, dan filsafat keadilan planetaris.¹ Dalam konteks kontemporer
yang ditandai oleh krisis iklim global, degradasi ekosistem, dan kepunahan
spesies massal, ide Stone tentang “hak hukum bagi alam” telah
bertransformasi dari gagasan teoretis menjadi kerangka normatif yang
memengaruhi sistem hukum di berbagai negara.² Relevansi pemikirannya kini
meluas, bukan hanya di ranah akademik, tetapi juga dalam praktik hukum,
kebijakan publik, dan etika global yang berorientasi pada keberlanjutan
ekologis.
7.1.      
1. Dari Teori ke
Praktik: Implementasi Hukum Hak Alam di Dunia
Salah satu bukti
paling nyata dari relevansi gagasan Stone adalah kemunculan rights
of nature movement di berbagai belahan dunia.³ Negara-negara
seperti Ekuador, Bolivia, dan Selandia Baru telah secara eksplisit mengadopsi
prinsip hak alam ke dalam sistem hukum mereka. Konstitusi Ekuador tahun 2008,
misalnya, menjadi yang pertama di dunia yang secara konstitusional mengakui “Pacha
Mama” (Ibu Bumi) sebagai subjek hukum dengan hak untuk eksis, berkembang,
dan beregenerasi.⁴ Bolivia kemudian memperkuat gagasan serupa melalui Ley de
Derechos de la Madre Tierra (Undang-Undang Hak Ibu Pertiwi) tahun
2010, yang menegaskan bahwa alam memiliki “hak atas keseimbangan” dan “hak
untuk bebas dari polusi.”⁵
Sementara itu, di
Selandia Baru, kasus pengakuan hukum terhadap Sungai Whanganui pada tahun 2017
menjadi tonggak sejarah penting. Berdasarkan Te Awa Tupua (Whanganui River Claims
Settlement) Act, sungai tersebut diakui sebagai entitas hukum yang
hidup (a living
legal person) dengan hak, kewajiban, dan perwakilan hukum.⁶ Model
hukum ini mencerminkan paradigma Stone secara konkret: alam dapat memiliki standing
dalam hukum melalui mekanisme representasi yang sah.⁷ Sejak saat itu, berbagai
yurisdiksi lain—termasuk India, Kolombia, dan Kanada—mengikuti jejak serupa
dengan memberikan status hukum bagi sungai, hutan, dan ekosistem tertentu.⁸
Perkembangan ini
menunjukkan bahwa ide Stone tidak lagi utopis. Ia telah menjadi basis bagi
reformasi hukum ekologis global yang memadukan sains, etika, dan hukum dalam
satu kerangka keadilan ekologis.⁹
7.2.      
Relevansi dalam Era
Krisis Iklim dan Antroposen
Dalam konteks Anthropocene—era
geologis di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan dominan yang memengaruhi
sistem bumi—gagasan Stone menjadi semakin penting.¹⁰ Krisis iklim, pengasaman
laut, dan deforestasi global menandakan bahwa paradigma hukum dan moral lama
yang berpusat pada manusia tidak lagi memadai.¹¹ Sebagaimana diingatkan oleh
ilmuwan sistem bumi seperti Johan Rockström dan Will Steffen, dunia kini berada
di ambang batas planet (planetary boundaries) yang
menentukan keberlangsungan kehidupan.¹²
Dalam kondisi seperti
ini, konsep hak hukum bagi alam berfungsi sebagai koreksi epistemologis
terhadap sistem hukum modern. Hukum tidak lagi hanya melayani manusia, tetapi
juga menjadi instrumen untuk menjaga stabilitas biosfer.¹³ Dengan memberikan
hak kepada alam, hukum dipaksa untuk memperhitungkan kepentingan ekologis
jangka panjang dalam setiap kebijakan ekonomi dan politik.¹⁴
Lebih jauh,
pendekatan ini juga menantang konsep kepemilikan absolut. Dalam logika
kapitalisme global, tanah dan sumber daya alam diperlakukan sebagai properti.
Namun, dalam paradigma Stone, kepemilikan dibatasi oleh kewajiban ekologis (ecological
obligations)—yakni tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga
keseimbangan kehidupan.¹⁵ Maka, dalam era krisis ekologis ini, gagasan Stone
memberikan alternatif bagi tatanan hukum yang berorientasi pada regenerasi,
bukan eksploitasi.¹⁶
7.3.      
Relevansi Etika:
Ekspansi Moralitas ke Komunitas Planetar
Gagasan Stone juga
memiliki resonansi kuat dalam etika kontemporer, khususnya dalam gerakan deep
ecology dan Earth jurisprudence.¹⁷ Ia memandang
bahwa moralitas manusia harus berkembang dari etika individual menuju etika
planetar, di mana seluruh entitas hidup diakui sebagai bagian dari komunitas
moral. Pemikir seperti Arne Naess dan Thomas Berry mengembangkan lebih lanjut
semangat ini dengan menegaskan bahwa etika sejati adalah etika yang memelihara wholeness
of life.¹⁸
Dalam praktiknya,
pandangan ini berkontribusi pada munculnya pendidikan ekologi moral (ecological
moral education), hukum spiritualitas ekologis (ecological
spirituality), dan gerakan keagamaan lintas iman yang mengadvokasi
perlindungan bumi sebagai tindakan moral universal.¹⁹ Misalnya, Laudato
Si’ (2015)—ensiklik Paus Fransiskus tentang ekologi integral—secara
eksplisit mencerminkan semangat Stone dalam menuntut pergeseran moral dari
paradigma dominasi menuju paradigma tanggung jawab dan solidaritas ekologis.²⁰
Dengan demikian,
nilai aksiologis dalam pemikiran Stone melampaui ranah hukum. Ia mengajak
masyarakat global untuk melihat alam bukan sebagai sumber daya pasif, melainkan
sebagai mitra moral dalam keberlangsungan kehidupan.²¹
7.4.      
Pengaruh terhadap
Diskursus Hukum dan Filsafat Lingkungan Modern
Secara teoretis,
gagasan Stone telah melahirkan cabang baru dalam filsafat hukum, yaitu ecocentric
jurisprudence.²² Cabang ini menolak dualisme klasik antara subjek
dan objek hukum, menggantikannya dengan model hukum relasional yang menekankan
kesalingbergantungan ekologis.²³ Di lingkungan akademik, pemikiran Stone juga
menjadi dasar bagi gerakan Earth Law, Wild Law,
dan Ecological
Constitutionalism yang dikembangkan oleh para pemikir seperti Klaus
Bosselmann dan Cormac Cullinan.²⁴
Konsep ini telah
memengaruhi diskursus internasional seperti Harmony with Nature Programme di
bawah PBB, yang berupaya mempromosikan integrasi prinsip hak alam ke dalam
kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).²⁵ Bahkan,
Mahkamah Agung Kolombia (2018) menggunakan argumen serupa dengan Stone ketika
menyatakan bahwa Sungai Atrato memiliki hak untuk dilindungi dan
direhabilitasi, menyebutnya sebagai “entitas yang hidup.”²⁶
Relevansi akademik
ini menunjukkan bahwa gagasan Stone bukan hanya teori hukum alternatif, tetapi
juga paradigma epistemik baru yang menuntut transformasi menyeluruh terhadap
sistem hukum dan politik planet.²⁷
7.5.      
Relevansi Filosofis
dan Tantangan Masa Depan
Meskipun telah
banyak diterapkan, gagasan Stone masih menghadapi tantangan konseptual dan
politis. Secara filosofis, dunia modern masih beroperasi dalam kerangka instrumental
rationality, di mana nilai ekonomi sering kali menyingkirkan nilai
ekologis.²⁸ Secara politis, hukum lingkungan internasional masih sangat
bergantung pada kepentingan negara dan korporasi.²⁹ Namun, relevansi Stone
tetap kuat karena ia menyediakan dasar filosofis untuk menilai ulang hubungan
manusia dengan bumi.
Stone menulis bahwa
“perluasan hak adalah cermin dari perluasan moralitas manusia.”³⁰
Pernyataan ini tetap menjadi refleksi mendalam di era sekarang: ketika manusia
dihadapkan pada ancaman ekologis global, evolusi moral menuju pengakuan
terhadap hak alam bukanlah pilihan, melainkan keharusan etis.³¹
Dengan demikian,
relevansi kontemporer gagasan Stone terletak pada kemampuannya menjembatani
jurang antara hukum positif dan etika planetar. Ia tidak hanya menawarkan
sistem hukum baru, tetapi juga kesadaran baru tentang tempat manusia di dalam
tatanan kosmik.³² Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh krisis,
pemikiran Stone menjadi pengingat bahwa keadilan sejati bukanlah tentang
dominasi, melainkan tentang koeksistensi.
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450.
[2]               
² Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of Environmental
Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 150–152.
[3]               
³ Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice
(Totnes: Green Books, 2002), 60–62.
[4]               
⁴ Republic of Ecuador, Constitución de la República del Ecuador
(Quito, 2008), art. 71–74.
[5]               
⁵ Republic of Bolivia, Ley de Derechos de la Madre Tierra (La
Paz, 2010), arts. 2–3.
[6]               
⁶ New Zealand Parliament, Te Awa Tupua (Whanganui River Claims
Settlement) Act 2017 (Wellington, 2017), sec. 14.
[7]               
⁷ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 465–466.
[8]               
⁸ Global Alliance for the Rights of Nature, Judgments and Legal
Innovations on Rights of Nature (Quito: GARN, 2020), 12–14.
[9]               
⁹ Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 49–50.
[10]            
¹⁰ Paul Crutzen and Eugene Stoermer, “The Anthropocene,” Global
Change Newsletter 41 (2000): 17–18.
[11]            
¹¹ Will Steffen et al., “Planetary Boundaries: Guiding Human
Development on a Changing Planet,” Science 347, no. 6223 (2015):
1259855.
[12]            
¹² Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for Humanity,” Nature
461 (2009): 472–475.
[13]            
¹³ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 473–474.
[14]            
¹⁴ Bosselmann, The Principle of Sustainability, 52–53.
[15]            
¹⁵ Herman Daly and John Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting
the Economy Toward Community, the Environment, and a Sustainable Future
(Boston: Beacon Press, 1989), 92–94.
[16]            
¹⁶ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 106–108.
[17]            
¹⁷ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 29–31.
[18]            
¹⁸ Berry, The Great Work, 109.
[19]            
¹⁹ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, DC: Island Press, 2014), 83–86.
[20]            
²⁰ Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §67–68.
[21]            
²¹ Stone, Should Trees Have Standing?, 476.
[22]            
²² Cullinan, Wild Law, 63–65.
[23]            
²³ Klaus Bosselmann, Earth Governance: Trusteeship of the Global
Commons (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 72–74.
[24]            
²⁴ Ibid., 78.
[25]            
²⁵ United Nations, Harmony with Nature Programme (New York:
UN, 2012).
[26]            
²⁶ Corte Suprema de Justicia de Colombia, Sentencia
T-622/16 (Río Atrato) (Bogotá, 2018).
[27]            
²⁷ Nash, The Rights of Nature, 155.
[28]            
²⁸ Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford
University Press, 1947), 6–8.
[29]            
²⁹ David Boyd, The Rights of Nature: A Legal Revolution That Could
Save the World (Toronto: ECW Press, 2017), 83–85.
[30]            
³⁰ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 455.
[31]            
³¹ Ibid., 479.
[32]            
³² Berry, The Great Work, 111–112.
8.          
Sintesis
Filosofis
Gagasan Christopher
D. Stone dalam “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects” pada hakikatnya tidak hanya merupakan
inovasi dalam teori hukum lingkungan, tetapi juga sebuah proyek filosofis yang
menyatukan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis hukum dalam
kerangka etika ekologis yang lebih luas.¹ Melalui pendekatannya, Stone
memperlihatkan bahwa sistem hukum bukanlah struktur normatif yang netral,
melainkan cermin dari kesadaran moral dan metafisika suatu zaman. Dengan
demikian, gagasan tentang pemberian hak hukum kepada alam harus dipahami
sebagai langkah filosofis yang menandai evolusi kesadaran manusia terhadap
tempatnya di dalam kosmos.²
8.1.      
Integrasi Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi
Secara ontologis,
Stone menolak pandangan klasik yang memisahkan manusia dan alam sebagai dua
entitas hierarkis. Ia menggantinya dengan pandangan relasional di mana manusia
merupakan bagian dari komunitas ekologis yang lebih luas.³ Pandangan ini
mengandaikan bahwa hukum bukan sekadar konstruksi sosial, tetapi juga ekspresi
dari order of
being yang lebih mendasar—yakni keterhubungan semua eksistensi
dalam jaringan kehidupan (the web of life).⁴ Dalam kerangka
ini, alam memiliki realitas ontologis yang otonom dan karenanya pantas diakui
sebagai subjectum
iuris, bukan sekadar res.
Epistemologinya
bersandar pada perluasan rasionalitas hukum: hukum tidak lagi hanya mengenali
fakta-fakta sosial, tetapi juga fenomena ekologis sebagai sumber legitimasi
moral.⁵ Stone membongkar batas epistemik hukum modern yang terlalu
antroposentris dengan menegaskan bahwa “pengetahuan hukum” harus
mencakup kesadaran ekologis.⁶ Dalam konteks ini, hukum menjadi instrumen
reflektif yang memungkinkan manusia untuk mendengar suara alam melalui
mekanisme representasi dan legal guardianship.
Aksiologinya
terwujud dalam gagasan bahwa nilai tertinggi hukum bukanlah efisiensi atau
utilitas manusia, melainkan keberlanjutan dan keseimbangan kehidupan.⁷ Dengan
mengakui nilai intrinsik alam, hukum dipanggil untuk bertransformasi dari
paradigma dominasi menuju paradigma koeksistensi. Maka, secara aksiologis,
gagasan Stone menempatkan keadilan ekologis (ecological justice) sebagai
ekspresi moral tertinggi dari hukum.⁸
Dalam sintesis ini,
hukum tampil bukan sebagai sistem tertutup, tetapi sebagai refleksi dari
kesatuan ontologis, epistemologis, dan aksiologis antara manusia dan alam—suatu
bentuk jurisprudence
of interconnectedness.⁹
8.2.      
Transendensi
Antroposentrisme: Dari Manusia ke Komunitas Kehidupan
Sintesis filosofis
Stone menandai transendensi dari paradigma antroposentris menuju paradigma
ekosentris. Ia tidak sekadar menggeser pusat moral dari manusia ke alam, tetapi
membangun kerangka koeksistensial yang menempatkan keduanya dalam hubungan
saling tergantung.¹⁰ Manusia tidak lagi menjadi dominus terrae (penguasa bumi),
melainkan steward
atau penjaga tatanan kehidupan.¹¹
Dalam konteks ini,
gagasan Stone sejalan dengan pandangan Aldo Leopold tentang “land ethic”
dan Thomas Berry tentang “earth community.”¹² Berry menulis bahwa “tugas
besar zaman kita adalah beralih dari peradaban manusia-sentris menuju peradaban
bumi-sentris.”¹³ Pemikiran Stone menjadi jembatan konseptual antara etika
ekologis Leopold dan spiritualitas kosmik Berry, dengan menyediakan landasan
hukum yang konkret untuk merealisasikan visi moral mereka. Dengan kata lain,
sintesis filosofis Stone merupakan upaya untuk menjadikan hukum sebagai
ekspresi moralitas kosmik—yakni kesadaran bahwa hukum yang benar harus
memelihara kehidupan, bukan hanya mengatur perilaku manusia.¹⁴
8.3.      
Evolusi Moral Hukum:
Dari “Person” Menuju “Community”
Salah satu gagasan
kunci dalam pemikiran Stone adalah bahwa evolusi hukum mencerminkan evolusi
moral manusia.¹⁵ Sejarah hukum menunjukkan bahwa setiap ekspansi hak selalu
bermula dari entitas yang sebelumnya tidak diakui—anak-anak, budak, perempuan,
hingga korporasi.¹⁶ Dengan menambahkan alam ke dalam lingkaran subjek hukum,
Stone memperluas horizon moral umat manusia. Ia menulis bahwa “setiap kali
lingkaran moral kita meluas, hukum pun menyesuaikan diri untuk mencerminkan
empati yang baru ditemukan.”¹⁷
Sintesis filosofis
ini menyiratkan bahwa hukum bukan sekadar sistem paksaan rasional, melainkan
instrumen evolusi moral.¹⁸ Dalam hal ini, Stone sejalan dengan pemikiran Lon
Fuller dan Gustav Radbruch yang menegaskan bahwa hukum sejati adalah hukum yang
memiliki kandungan moral (inner morality of law).¹⁹ Dengan
demikian, gagasan legal rights for natural objects
dapat dipahami sebagai bentuk tertinggi dari moral progression of law—yakni saat
hukum mulai mengakui keberlanjutan ekologis sebagai nilai moral universal.²⁰
8.4.      
Dimensi Metafisik:
Alam sebagai Subjek Spiritualitas Hukum
Sintesis Stone juga
membuka dimensi metafisik hukum yang jarang disentuh oleh positivisme legal.
Dengan mengakui alam sebagai subjek hukum, Stone secara implisit menegaskan
bahwa ada dimensi spiritual dalam struktur hukum itu sendiri.²¹ Alam bukan
hanya “materi yang diatur,” melainkan bagian dari tatanan eksistensial
yang memiliki nilai sakral.²² Pandangan ini menemukan resonansinya dalam
berbagai tradisi kosmologis non-Barat, seperti pandangan Pacha
Mama dalam budaya Andes atau konsep rta (tatanan kosmik) dalam filsafat
Vedanta.²³
Melalui sintesis
ini, Stone menghidupkan kembali gagasan bahwa hukum bukan sekadar lex
humana (aturan manusia), tetapi juga harus selaras dengan lex
naturalis (tatanan alam) dan lex divina (tatanan spiritual).²⁴
Dengan kata lain, hukum ekologis menjadi bentuk rekonsiliasi antara akal, alam,
dan moralitas—tiga pilar metafisis yang membentuk keseimbangan kosmos.²⁵
8.5.      
Visi Filosofis:
Menuju Hukum yang Berkeadilan Ekologis
Dari keseluruhan
kerangka pemikirannya, dapat disimpulkan bahwa sintesis filosofis Stone
berujung pada visi tentang eco-justice jurisprudence—sebuah
filsafat hukum yang memadukan keadilan sosial dengan keadilan ekologis.²⁶ Dalam
sistem ini, keadilan tidak lagi terbatas pada relasi antar-manusia, tetapi
diperluas kepada seluruh komunitas kehidupan (community of life).²⁷
Hukum yang
berkeadilan ekologis bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi juga memelihara
keberlanjutan moral dan spiritual planet.²⁸ Hukum semacam ini mengandaikan
transformasi epistemik dan etis: dari hukum sebagai instrumen kekuasaan menjadi
hukum sebagai perwujudan tanggung jawab kolektif terhadap bumi.²⁹
Dengan demikian,
sintesis filosofis Stone dapat dirumuskan dalam satu prinsip normatif: bahwa
martabat hukum terletak pada kemampuannya untuk melindungi martabat
kehidupan.³⁰ Ia menutup argumennya dengan seruan yang tetap relevan hingga
kini: “Ketika kita memberi hak kepada alam, kita tidak memperluas hukum,
melainkan memperluas kemanusiaan kita sendiri.”³¹
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450–451.
[2]               
² Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of Environmental
Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 140–142.
[3]               
³ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 454–456.
[4]               
⁴ Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 27–29.
[5]               
⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 464–465.
[6]               
⁶ Ibid., 467.
[7]               
⁷ Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 51–53.
[8]               
⁸ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 106–108.
[9]               
⁹ Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice
(Totnes: Green Books, 2002), 62–63.
[10]            
¹⁰ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 35–37.
[11]            
¹¹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 473.
[12]            
¹² Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224–225; Berry, The Great Work, 110.
[13]            
¹³ Berry, The Great Work, 112.
[14]            
¹⁴ Cullinan, Wild Law, 70–72.
[15]            
¹⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 455.
[16]            
¹⁶ Ibid., 456–457.
[17]            
¹⁷ Ibid., 457.
[18]            
¹⁸ Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale
University Press, 1964), 39–41.
[19]            
¹⁹ Gustav Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft
(Leipzig: Quelle & Meyer, 1932), 52–53.
[20]            
²⁰ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 469.
[21]            
²¹ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 88–90.
[22]            
²² Ibid., 92.
[23]            
²³ Republic of Ecuador, Constitución de la República del Ecuador
(Quito, 2008), preámbulo.
[24]            
²⁴ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 91, a. 2.
[25]            
²⁵ Berry, The Great Work, 115–117.
[26]            
²⁶ Bosselmann, The Principle of Sustainability, 58–60.
[27]            
²⁷ David R. Boyd, The Rights of Nature: A Legal Revolution That
Could Save the World (Toronto: ECW Press, 2017), 83–85.
[28]            
²⁸ Cullinan, Wild Law, 74.
[29]            
²⁹ Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 102–104.
[30]            
³⁰ Berry, The Great Work, 118.
[31]            
³¹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 479.
9.          
Kesimpulan
Pemikiran
Christopher D. Stone dalam “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects” merupakan tonggak filosofis dan yuridis
dalam sejarah hukum lingkungan modern.¹ Melalui gagasan revolusionernya tentang
kemungkinan memberikan hak hukum kepada alam, Stone tidak hanya menantang
struktur hukum positif yang antroposentris, tetapi juga menawarkan paradigma
baru bagi peradaban manusia: paradigma hukum yang berakar pada etika ekologis
dan kesadaran planetaris.² Ia menggeser pusat refleksi hukum dari manusia
sebagai penguasa alam menuju manusia sebagai bagian integral dari komunitas
ekologis. Dengan demikian, karya Stone bukan sekadar teks hukum, melainkan
deklarasi moral tentang tanggung jawab manusia terhadap dunia kehidupan yang
menopangnya.³
9.1.      
Sintesis Evolusi
Hukum dan Moralitas
Sejarah hukum,
sebagaimana ditunjukkan oleh Stone, adalah sejarah perluasan moralitas
manusia.⁴ Dari masa ketika budak, perempuan, dan anak-anak belum diakui sebagai
subjek hukum, hingga munculnya korporasi dan lembaga abstrak sebagai “orang
hukum,” hukum selalu berkembang mengikuti ekspansi kesadaran moral kolektif.⁵
Dengan menempatkan alam sebagai entitas berikutnya dalam evolusi moral hukum,
Stone menegaskan bahwa pengakuan terhadap hak-hak ekologis bukanlah
penyimpangan, melainkan kelanjutan logis dari perjalanan moral umat manusia.⁶
Dalam kerangka ini,
hukum tampil bukan sebagai mekanisme administratif semata, melainkan sebagai
medium historis bagi perwujudan nilai moral yang lebih luas.⁷ Setiap ekspansi
hak mencerminkan perluasan empati moral—dan pengakuan terhadap hak alam
menandai tahap lanjut dari moral progression of law.⁸ Maka,
gagasan Stone dapat dibaca sebagai wujud transisi etis dari anthropocentric
justice menuju ecological justice, di mana hukum
menjadi ekspresi moralitas komunitas kehidupan secara keseluruhan.⁹
9.2.      
Implikasi Filosofis
dan Etis
Secara filosofis,
gagasan Stone menegaskan bahwa hukum memiliki dasar ontologis, epistemologis,
dan aksiologis yang bersumber dari relasi antara manusia dan alam.¹⁰
Ontologinya menolak dikotomi manusia–alam, menggantikannya dengan pandangan relasional
yang menegaskan bahwa semua eksistensi saling terhubung.¹¹ Epistemologinya
memperluas cara hukum mengetahui dunia: hukum tidak hanya mengenali kepentingan
manusia, tetapi juga mendengarkan “suara ekologis” melalui mekanisme
representasi.¹² Sementara aksiologinya menempatkan nilai tertinggi hukum pada
keberlanjutan kehidupan, bukan sekadar keuntungan ekonomi atau kepentingan
sosial.¹³
Etika yang
terkandung dalam gagasan Stone bersifat transformatif. Ia memandang bahwa
tanggung jawab moral manusia terhadap alam bukan sekadar kewajiban tambahan,
tetapi inti dari moralitas itu sendiri.¹⁴ Dengan mengakui hak alam, manusia
sebenarnya sedang mengakui batas dirinya dan keterikatannya dengan seluruh
kehidupan. Dalam perspektif ini, hukum ekologis menjadi refleksi dari kesadaran
moral baru—bahwa “kita tidak dapat melindungi kemanusiaan tanpa melindungi
bumi.”¹⁵
9.3.      
Relevansi
Kontemporer: Krisis Ekologi sebagai Ujian Moral
Relevansi gagasan
Stone semakin terasa di tengah krisis ekologis global masa kini.¹⁶ Perubahan
iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan eksploitasi sumber daya alam secara
destruktif menunjukkan kegagalan paradigma hukum lama yang semata-mata
berorientasi pada manusia.¹⁷ Dalam situasi ini, gagasan Stone menyediakan
landasan moral dan normatif untuk merumuskan tatanan hukum yang berorientasi
pada keberlanjutan (sustainability) dan keseimbangan
planet.¹⁸
Penerapan gagasan
ini di berbagai negara—seperti pengakuan Sungai Whanganui di Selandia Baru,
hutan Amazon di Kolombia, dan “Pacha Mama” dalam Konstitusi
Ekuador—membuktikan bahwa pemikiran Stone telah bertransformasi menjadi praksis
global.¹⁹ Hukum tidak lagi sekadar membela manusia dari manusia, tetapi juga
membela bumi dari manusia.²⁰ Ini menunjukkan bahwa keadilan ekologis bukan lagi
utopia, melainkan keharusan moral dalam menghadapi realitas Antroposen.²¹
9.4.      
Paradigma Baru
Hukum: Dari Kekuasaan ke Kesadaran
Secara lebih luas,
Stone mengajukan revolusi filosofis terhadap cara kita memahami hukum: dari
hukum sebagai instrumen kekuasaan menjadi hukum sebagai ekspresi kesadaran
ekologis.²² Paradigma baru ini menuntut pergeseran dari logika kepemilikan
menuju logika tanggung jawab; dari dominasi menuju koeksistensi; dari
eksklusivitas moral manusia menuju inklusivitas moral semesta.²³
Hukum dalam visi
Stone bukan lagi benteng untuk melindungi hak individu, melainkan jaring
kesadaran moral yang menjaga keberlangsungan komunitas kehidupan.²⁴ Ia
mengingatkan bahwa hukum yang gagal melindungi bumi pada akhirnya akan
kehilangan legitimasi moralnya, sebab bumi adalah sumber segala kehidupan dan
dasar keberlanjutan hukum itu sendiri.²⁵ Dengan demikian, hukum ekologis bukan
hanya keharusan moral, tetapi juga prasyarat ontologis bagi keberlanjutan
peradaban manusia.²⁶
9.5.      
Kesimpulan Akhir:
Hukum sebagai Ekspresi Cinta terhadap Kehidupan
Pada akhirnya, inti
pemikiran Stone dapat disarikan dalam satu prinsip filosofis: bahwa hukum
sejati adalah hukum yang melindungi kehidupan.²⁷ Gagasannya mengingatkan bahwa
keberadaan manusia dan hukum tidak dapat dipisahkan dari keberadaan alam.
Dengan memberikan hak kepada alam, kita tidak sedang “mengantropomorfisasi”
alam, melainkan memanusiakan hukum—menjadikannya lebih etis, lebih reflektif,
dan lebih sejati terhadap realitas ekologis yang menjadi sumber kehidupannya.²⁸
Sebagaimana
dinyatakan Stone dalam kalimat penutupnya yang terkenal, “Ketika kita
memberi hak kepada alam, kita tidak memperluas hukum, melainkan memperluas
kemanusiaan kita.”²⁹ Kalimat ini menegaskan bahwa proyek hukum ekologis
bukan hanya soal reformasi yuridis, tetapi tentang transformasi spiritual dan
moral umat manusia. Dalam dunia yang dihadapkan pada ancaman ekologis global,
pemikiran Stone berdiri sebagai panggilan filosofis agar hukum kembali ke akar
moralnya: melindungi, memelihara, dan menghormati kehidupan dalam segala
bentuknya.³⁰
Footnotes
[1]               
¹ Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal
Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45 (1972):
450–451.
[2]               
² Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of Environmental
Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 142–145.
[3]               
³ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York: Bell Tower, 1999), 106.
[4]               
⁴ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 453–455.
[5]               
⁵ Ibid., 456.
[6]               
⁶ Ibid., 457.
[7]               
⁷ Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale
University Press, 1964), 35–37.
[8]               
⁸ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 459.
[9]               
⁹ Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming
Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 48–50.
[10]            
¹⁰ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 464–465.
[11]            
¹¹ Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding
of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–31.
[12]            
¹² Stone, “Should Trees Have Standing?,” 466.
[13]            
¹³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values
in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
125–127.
[14]            
¹⁴ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 128–130.
[15]            
¹⁵ Thomas Berry, The Great Work, 108.
[16]            
¹⁶ Will Steffen et al., “Planetary Boundaries: Guiding Human
Development on a Changing Planet,” Science 347, no. 6223 (2015):
1259855.
[17]            
¹⁷ Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for Humanity,” Nature
461 (2009): 472–475.
[18]            
¹⁸ Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice
(Totnes: Green Books, 2002), 63–65.
[19]            
¹⁹ Republic of Ecuador, Constitución de la República del Ecuador
(Quito, 2008), art. 71–74.
[20]            
²⁰ New Zealand Parliament, Te Awa Tupua (Whanganui River Claims
Settlement) Act 2017 (Wellington, 2017), sec. 14.
[21]            
²¹ David R. Boyd, The Rights of Nature: A Legal Revolution That
Could Save the World (Toronto: ECW Press, 2017), 83–85.
[22]            
²² Stone, “Should Trees Have Standing?,” 473–474.
[23]            
²³ Klaus Bosselmann, Earth Governance: Trusteeship of the Global
Commons (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 71–73.
[24]            
²⁴ Berry, The Great Work, 112–114.
[25]            
²⁵ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 478.
[26]            
²⁶ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 39–40.
[27]            
²⁷ Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in
Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 175–176.
[28]            
²⁸ Bosselmann, The Principle of Sustainability, 60.
[29]            
²⁹ Stone, “Should Trees Have Standing?,” 479.
[30]            
³⁰ Berry, The Great Work, 115–117.
Daftar Pustaka 
Berry, T. (1999). The Great work: Our way into
the future. New York, NY: Bell Tower.
Berman, H. J. (1983). Law and revolution: The
formation of the Western legal tradition. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Buckland, W. W. (1921). A textbook of Roman law.
Cambridge, England: Cambridge University Press.
Bosselmann, K. (2008). The principle of
sustainability: Transforming law and governance. Aldershot, England:
Ashgate.
Bosselmann, K. (2015). Earth governance:
Trusteeship of the global commons. Cheltenham, England: Edward Elgar.
Boyd, D. R. (2017). The rights of nature: A
legal revolution that could save the world. Toronto, Canada: ECW Press.
Bruckner, P. (2013). The fanaticism of the
apocalypse: Save the Earth, punish human beings. Cambridge, England: Polity
Press.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. New York, NY: Anchor Books.
Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The
systems view of life: A unifying vision. Cambridge, England: Cambridge
University Press.
Carson, R. (1962). Silent spring. Boston,
MA: Houghton Mifflin.
Crutzen, P. J., & Stoermer, E. F. (2000). The
Anthropocene. Global Change Newsletter, 41, 17–18.
Cullinan, C. (2002). Wild law: A manifesto for
Earth justice. Totnes, England: Green Books.
Daly, H. E., & Cobb, J. B. (1989). For the
common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and a
sustainable future. Boston, MA: Beacon Press.
Darwin, C. (1871). The descent of man and
selection in relation to sex. London, England: John Murray.
Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy
(D. Cress, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.
Dobson, A. (1998). Justice and the environment:
Conceptions of environmental sustainability and dimensions of social justice.
Oxford, England: Oxford University Press.
Escobar, A. (1995). Encountering development:
The making and unmaking of the Third World. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Feinberg, J. (1974). The rights of animals and
unborn generations. In W. T. Blackstone (Ed.), Philosophy &
environmental crisis (pp. 43–68). Athens, GA: University of Georgia Press.
Francis. (2015). Laudato Si’: On care for our
common home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.
Fuller, L. L. (1964). The morality of law.
New Haven, CT: Yale University Press.
Gierke, O. von. (1900). Political theories of
the Middle Age (F. W. Maitland, Trans.). Cambridge, England: Cambridge
University Press.
Hart, H. L. A. (1961). The concept of law.
Oxford, England: Clarendon Press.
Hart, H. L. A. (1963). Law, liberty and
morality. Stanford, CA: Stanford University Press.
Horkheimer, M. (1947). Eclipse of reason.
New York, NY: Oxford University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago,
IL: University of Chicago Press.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
New York, NY: Oxford University Press.
Maine, H. S. (1861). Ancient law: Its connection
with the early history of society and its relation to modern ideas. London,
England: John Murray.
Midgley, M. (1983). Animals and why they matter.
Athens, GA: University of Georgia Press.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London,
England: Parker.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy. Cambridge, England: Cambridge University
Press.
Nash, R. (1989). The rights of nature: A history
of environmental ethics. Madison, WI: University of Wisconsin Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. London, England: Allen and Unwin.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. New York, NY: Oxford University Press.
Pigou, A. C. (1920). The economics of welfare.
London, England: Macmillan.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of
nature. London, England: Routledge.
Posner, R. A. (1981). The economics of justice.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Radbruch, G. (1932). Einführung in die
Rechtswissenschaft. Leipzig, Germany: Quelle & Meyer.
Rolston, H. III. (1986). Philosophy gone wild:
Essays in environmental ethics. Buffalo, NY: Prometheus Books.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Philadelphia, PA: Temple
University Press.
Rockström, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, Å.,
Chapin, F. S., Lambin, E., ... Foley, J. (2009). A safe operating space for
humanity. Nature, 461(7263), 472–475.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the
South: Justice against epistemicide. Boulder, CO: Paradigm Publishers.
Searle, J. R. (1995). The construction of social
reality. New York, NY: Free Press.
Schlosberg, D. (2007). Defining environmental
justice. Oxford, England: Oxford University Press.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology
and development. London, England: Zed Books.
Singer, P. (1979). Practical ethics.
Cambridge, England: Cambridge University Press.
Steffen, W., Richardson, K., Rockström, J.,
Cornell, S. E., Fetzer, I., Bennett, E. M., ... Sörlin, S. (2015). Planetary
boundaries: Guiding human development on a changing planet. Science, 347(6223),
1259855.
Stone, C. D. (1972). Should trees have standing?
Toward legal rights for natural objects. Southern California Law Review, 45(2),
450–501.
Stone, C. D. (2010). Should trees have standing?
And other essays on law, morals, and the environment. New York, NY: Oxford
University Press.
Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology
and religion. Washington, DC: Island Press.
Watson, A. (1995). The spirit of Roman law.
Athens, GA: University of Georgia Press.
United Nations. (1982). World charter for
nature. New York, NY: Author.
United Nations. (2012). Harmony with nature
programme. New York, NY: Author.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar